Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
engkau dapat mengenal namaku?"
Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kumintakan bantuanmu ini."
Hui Song teringat akan dua orang kakek itu dan diapun tersenyum mengejek. "Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."
"Benar mereka!" kata Siang Hwa dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka itu adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biarpun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Kini mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun di dunia ramai untuk menentang kaum pemberontak."
"Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"
Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa" Taihiap tidak tahu..."
"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanyalah berupa ejekan terhadap mereka yang berpakaian pendeta, dan itupun dilakuken dalam keadaan mabok."
"Taihiap salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, tidak seperti yang taihiap sangka. Mereka adalah mata-mata pemberontak yang menyamar, sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak mempergunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak mudah dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan dan kami diserbu oleh para pemberontak."
Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.
"Aku merasa gembira sekali dapat bersahabat dengan taihiap, apalagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentu engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."
"Memang aku adalah putera ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."
"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama tidak merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusab apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"
"Urusan ini amat penting dan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."
"Hemm..." Hui Song termenung. Tak disangkanya bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!
"Bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau mengira bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justeru dalam usaha kami menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."
"Apa maksudmu" Aku tidak mengerti, nona."
"Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami sudah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja... tempat itu sukar didatangi, bahkan aku telah kehilangan nyawa beberapa orang teman ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."
"Ah, begitu berbahayakah" Apa yang menyebabkan bahaya itu?"
"Tempatnya amat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Guha Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya, dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti, yang mencuri harta karun dari kaisar la-lim dan disimpan di tempat itu, dan di-sediakan untuk mereka yang akan menen-tang kaisar lalim di kemudian hari. Har-ta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."
"Kalau demikian sukarnya, mengapa engkau minta bantuanku" Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"
"Begini, taihiap. Di antara kami yang depat menyeberangi jembatan batu pedang, hanya aku seorang. Kedua locianpwe itupun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku sudah menyeberangi jembatan batu pedang itu, namun selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang memiliki gin-kang dan sin-kang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."
"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek
Siang Hwa tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap" Sudahlah, biar aka mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberon-tak. Kalau kita berhasil, berarti kita te-lah memukul para pemberontak dan me-lumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"
Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biarpun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinama-kan kejam kalau empat orang muda itu adalah mata-mata pentberontak, dan biarpun gadis ini pernah bersikap tidak me-nyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yung menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri da-lam usahanya menentang para pemberontak.
"Baik, kapan kita berangkat ke sana?"
"Sekarang juga, taihiap."
"Baik, mari kita berangkat, singgah di rumah penginapan karena aku akan mengambil buntalan pakaianku lebih dahulu."
Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam ka-mar rumah penginapan itu.
"Eh" Bagaimana... kapan..."
"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku ter-tarik sekali dan aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, diam-diam memasuki ka-marmu. Ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud untuk mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku menyim-pan pakaian ini, lalu aku pergi lagi un-tuk muncul berlarian di atas genteng a-gar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.
"Sudahlah, mari kita pergi."
"Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."
Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan pe-nerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.
Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju ke arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!
Dua orang itu nampak terkejut meli-hat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa se-gera tersenyum dan memperkenalkan.
"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap telah menjadi sahabat kita yang se-haluan dan sudah kujelaskan semua ten-tang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang memiliki kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."
Dua orang itu kini sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali bertemu dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.
"Cia-taihiap, maafkan kami yang te-lah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.
"Ha-ha-ha, ada peribahasa mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sebenarnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.
"Cia-taihiap, harap maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan Ciong-hwesio sebaliknya suka bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isya-rat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwe-sio.
"Siancai... memperoleh seorang pem-bantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.
"Omitohud, sungguh pinceng yang ti-dak becus sehingga merepotkan saja ke-pada putera ketua Cin-ling-pai." kata pu-la Ciong-hwesio.
Berangkatlah empat orang itu melan-jutkan perjalanan menuju ke utara. Per-jalanan itu dilakukan dengan cepat dan setelah mereka melewati dan menyebe-rangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah makan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis. Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, hanya agaknya memiliki kelemahan terhadap pria yang menarik hatinya, ataukah me-mang gadis ini benar-benar jatuh cinta kepadanya. Di sepanjang perjalanan, Siang Hwa tidak memperlihatkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dila-kukon ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tidak nampak lagi dan ia ha-nya kelihatan amat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.
Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui ja-lan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam. Jelas bahwa orang biasa akan sukar melalui jalan seperti itu, dan kalaupun ada orang pandai yang dapat, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini" Tanpa tujuan penting, kiranya tidak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan su-kar dilalui ini.
Setelah matahari naik tinggi, di ba-wah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, tibalah me-reka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang di-kelilingi jurang. Hui Song terbelalak ka-gum. Bukit ini seperti sebuah rumah be-sar saja, dan pintunya adalah sebuah guha yang besar. Agaknya guha ini dahulu-nya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu ba-tu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GUHA IBLIS NERAKA. Sungguh amat indah, megah dan juga menyeramkan. Siapakah orang-nya yang sudah dapat membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya" Kalau menggunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya. Dan guha yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seolah-olah bu-kan guha melainkan sebuah pintu tem-busan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia penuh dengan batu-batu rak-sasa yang aneh-aneh bentuknya, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan"
Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan guha yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.
Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangen karena gadis itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
"Sebaiknya kita masuk sekarang sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.
"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.
Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu ma-auk ke dalam guha, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang ka-kek itu. Setelah mereka berempat ma-suk, Sui Cin dari atas "mclayang" ke bawah. Ya, gerakannya itu seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya. Ternyata gadis ini jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa dan ia telah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Ba-yangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, iapun menyelinap me-suk ke dalam guha di sebelah sana pintu dan ternyata di bagian dalam itu meru-pakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk me-nyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.
Setelah melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.
"Inilah jembatan batu pedang itu!" ka-ta Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan. Hebat memang. Bu-kan jembatan, melainkan lorong yang pe-nuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu demikian penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan ha-ruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing seperti pe-dang itu! Dan untuk mengerjakan ini bu-kanlah hal yang mudah, membutuhkan gin-kang yang sudah matang dan juga tenaga sin-kang yang kuat.
"Nah, di sinilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjut-nya aku tidak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.
"Apakah kesukarannya?" Hui Song ber-tanya.
"Menuturkannya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di de-pan engkau akan dapat melihatnya sen-diri, taihiap. Mulai dari sinilah aku membutuhkan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memim-pin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya daripada aku sen-diri."
"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Kini kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pe-kerjaan yang kita lakukan. Tempat apa-kah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah" Bagaimanapun juga, aku sungguh tidak akan mau membantu kalau terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."
Mendengar ini, Siang Hwa dan dua o-rang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua o-rang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa mengangguk dan berkata. "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-to-su." Dan ia menoleh kepada kakek ber-pakaian tesu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang segolongan dan sehaluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locian-pwe suka menjelaskannya."
"Siancai, sesungguhnya cerita menge-nai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, ki-ni menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."
Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kira-nya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pe-jabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol. Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar! Terjadilah perampasan-perampasan karena para pejabat tinggi menjadi "mabok tanah" dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil dalam tanah yang dikuasainya. Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang amat menekan, seolah-olah para petani itu diperas keringatnya dan dihisap sebagian besar hasil tenaga me-reka. Dan para petani itu tetap mau sa-ja diperas seperti itu karena mereka ha-nya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuilpun. Tanpa adanya tanah, kepandaian dan tenaga mereka untuk ber-cocok tanam tidak ada artinya dan me-reka perlu makan setiap hari.
Dengan adanya kekuasaan mutlak yang dipergunakan dengan sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan ningrat ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar diba-yangkan banyaknya. Dan di antara mere-ka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu! Pembesar Mongol ini menum-puk harta kekayaan yang amat besar, kemudian menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pe-merintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan brakhirlah pemerintahan penjajah Mongol dan lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.
Akan tetapi, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Guha Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja. Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi, tidak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu. Ketika menyimpan rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga ketika mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan betu-batu runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harka itu, biarpun dia sudah tahu di mana letaknya. Apalagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itupun amatlah sulit dan berbahayanya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang menemukan harta itu yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.
"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biarpun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang sejak muda menjadi pendeta" Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali dan menemukan harta pusaka itu, maka sampai kini pinto tinggal diam saja. Barulah setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pem-berontakan, hati pinto tergerak dan ber-sama kawan-kawan sehaluan pinto ber-usaha mendapatkan harta karun itu men-dahului para pemberontak!"
"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, melainkan melompati sumur pa-sir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.
"Menyeberang ke sana" Tapi, di depan itu hanya tebing..."
"Inilah mengapa aku mengatakan bah-wa tempat ini amat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kaulihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman" Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Di sebelah atas tonjolan itu terdapat le-kukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu ter-dapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum kepada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tem-pat mendarat yang luar biasa itu, sung-guh merupakan kecerdikan dan juga ke-beranian yang jarang terdapat. Dia sen-diri, kalau tidak diberi tahu, belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan me-loncati sumur pasir dan mendarat di te-bing yang curam itu.
"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa. Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Kalau gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak" Dan pula, setelah melihat tonjolan batu dan lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukan merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.
"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."
Tanpa menanti jawaban, Hui Song mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.
"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di balik batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."
Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar dan diapun berputar dan berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.
Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu telah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.
"Kenapa?" tanyanya heran.
Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu melepaskan kembali pegangannya. "Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya." Ia bergidik. Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap dan dia merasa kasihan.
"Engkau tidak sendirian, nona. Akupun merasa tegang dan ngeri. Tempat ini memang sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau dapat menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutams demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."
"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Tidak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kaulihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju ke tempet penyimpanan harta karun itu. Perjalananku yang sudah-sudah, untuk pertama kalinya ketika aku melakukan perjalanan seorang diri menyelidik, hanya sampai di tepi rawa ini dan aku tidak mampu melanjutkan. Kemudian aku datang lagi dibantu oleh seorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, temanku itu celaka dan tewas di rawa itu."
Kalau saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu dia akan bergidik ngeri. Memang benar gadis itu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan ban-tuan seorang gagah, akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, khawatir karena rahasia harta karun itu telah di-ketahui orang luar, secara keji ia lalu membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!
Mendengar ini, Hui Song memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Mereka kini sudah tiba di tepi rawa. Sebuah ra-wa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa mempergu-nakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung dan bina-tang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi bermacam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur dan tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.
"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" ta-nyanya.
Siang Hwa tersenyum. "Nampaknya aman dan tenang, bukan" Akan tetapi ketahuilah, taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang kelihatan tenang itu bersembunyi binatang-binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Bina-tang yang siap mengintai dari bawah un-tuk menerkam dan menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan ra-wa."
"Binatang apakah itu?"
"Lihat, akan kupancing keluar mere-ka!" kata Siang Hwa, kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang. Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, amat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Dan gerakan ini memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.
"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini" "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"
Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."
Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.
"Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.
"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."
"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.
Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!
"Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."
Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.
Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.
"Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!
"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.
Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.
Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!
Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"
"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini" "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"
Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."
Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.
"Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.
"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."
"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.
Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!
"Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."
Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.
Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.
"Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!
"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.
Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.
Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!
Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"
Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi penyerbuan binatang-binatang buas itu. "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini, untuk mencerai-beraikan mereka!" Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar. Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walaupun dia tentu akan memperoleh akal untuk menyelamatkan dirinya.
Kini, binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Terdengar suara keras pecahnya kepala binatang itu berkali-kali disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, biarpun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.
Hui Song merasa tidak leluasa kalau menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu dan menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia lalu meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, menghantam lagi dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik. Sebentar saja, belasan ekor buaya telah pecah kepalanya dan terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Biarpun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.
"Mari, taihiap, kini ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya setelah kini para binatang itu sibuk sendiri saling serang dan memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.
Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biarpun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.
"Hayaaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan saputangan.
Siang Hwa juga menyusuti keringatriya dan memandang kagum. "Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat den membuatku kagum sekali. Memang amat berbahaya tadi, den sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"
"Ah, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"
"Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar den biarpun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran tera-khir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Akhirnya tibalah mereka di depan se-buah guha kecil yang tertutup batu bun-dar yang besar. "Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, biarpun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami ti-dak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada guha di bela-kangnya."
Hui Song tertarik sekali dan meman-dang batu besar bulat itu. Batu itu me-mang besar, akan tetapi karena bentuk-nya bulat, rasanya kalau orang memiliki tenaga sin-kang yang sudah cukup kuat, tentu akan mampu mendorongnya sehing-ga menggelinding atau tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apalagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak ber-hasil mendorong batu bulat ini ke sam-ping" Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dua orang itu dengan tenaga digabung tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasia-ya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Maka mulailah dia mene-liti dan mendekati batu itu meraba sana-sini dan memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biarpun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut guha, na-mun ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut gu-ha. Tentu ada alat rahasianya.
"Taihiap, mari kita mencoba untuk menyatukan sin-kang dan mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu gu-ha," kata gadis itu.
Akan tetapi Hui Song menggeleng ke-palanya. "Nona, kurasa akan percuma sa-ja mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat ia tidak mungkin dipecahkan dun biarpun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong dan digeser. Kalau tidak dapat digeser, itu berarti bah-wa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."
"Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.
"Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."
Mula-mula Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, ia mengerti dan cepat membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam. Tiba-tiba Hui Song berteriak mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itupun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu guha itu!
"Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang guha itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.
"Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.
Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang guha mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.
Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki guha itu. Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sam-bungan besi yang terkait pada kaitan ba-ja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu men-dorong batu itu dari luar. Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi be-gitu guha terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerak-kan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.
Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum. "Sungguh he-bat sekali kepandaian orang yang mema-sangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.
"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding guha sebe-lah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil meng-hitung dari pintu guha. Setelah dua pu-luh satu langkah dia berhenti.
"Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok den memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.
"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.
"Awas...!" Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.
"Trakkk!" Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu. Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!
Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa seba-gai bekal tadi. Di bawah penerangan si-nar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah pe-ti besar hitam.
"Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak se-perti anak kecil. Hui Song tersenym dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha me-reka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.
"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."
Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan se-potong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.
"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.
"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.
Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesua-tu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, ter-ganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.
"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.
"Mungkin bukan ini, mungkin di tem-pat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.
"Tidak, tidak!" Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gam-baran peti dalam peta Liang-tosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya. "Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada o-rang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"
"Didahului orang" Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona" Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas" Dan siapa pula kerangka manu-sia" Mari kita selidiki!" Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam guha itu sudah mu-lai remang-remang, melakukan pemerik-saan dengan hati kecewa dan tegang.
Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya ba-gaimana orang itu dapat memasuki guha itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam guha itu" Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi" Tidak, ka-lau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang ti-dak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut guha!
Akhirnya usahanya berhasil. Dia me-nemukan sebuah lubang di lantai guha sebelah kanan, dan ketika dia menying-kirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar guha, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.
"Ah, orang itu memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan di ba-wah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.
"Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan per-kumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"
"Apa..." Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.
"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol aseli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Hari-mau Terbang, sebuah perkumpulan raha-sia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mo-ngol yang diukir di atasnya."
Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas. "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."
"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului ki-ta, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki guha dengan jalan membuat lu-bang terowongan kecil itu. Kemudian a-gaknya terjadi perebutan di sini, dan o-rang ini tewas sedangkan dia hanya da-pat merampas lencana yang agaknya di-pakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau le-bih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menye-rang orang yang datang kemudian mem-buka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk. Perki-raan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain. "Dugaanmu a-gaknya tepat sekali, nona. Memang ha-nya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup guha itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi me-mang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang ba-gaimana?"
Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwp dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu, akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan hatta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.
"Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"
Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin. "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"
Hui Song mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona" Aku... aku mempunyai urusan lain..." dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, wa-laupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.
Akan tetapi, ucapan gadis itu meye-kinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. "Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pem-berontak" Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling he-bat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat me-reka pergunakan untuk membiayai pem-berontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan me-nentang mereka."
Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hen-dak membela negara! "Nona Gui, aku ha-rus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesua-tu, hanya sepasang mata itu yang berki-lat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.
"Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta ka-run ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"
Hui Song mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."
"Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan da-tang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"
Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia ter-ingat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.
"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tem-pat ini sebelum malam tiba, taihiap."
Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan te-rus berjalan menuju ke sebelah dalam guha, Hui Song bertanya, "Eh, jalan ke mana, nona?"
"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, guha ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Se-perti yang kaulihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut guha di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan meli-hat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan guha ini, bukan?"
Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut guha dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang me-masuki guha dari pintu atau mulut guha itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak te-rang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam guha gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar guha itu. Dan pemandangan di depan guha itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan guha itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan te-tapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Me-ngerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan nampak pun-cak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.
"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing ju-rang itu.
Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sam-bil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut guha dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang bia-sanya bersikap manis dan halus itu.
"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"
"Nona, apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pe-dang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.
"Arntinya, engkau harus mampus di si-ni untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjun-lah ke dalam jurang itu."
Tapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.
"Ha-ha-ha-ha!" kakek gendut yang di-sebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan" Ha-ha-ha...!"
"Nona, apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, me-rasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tiduk lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen me-reka.
"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya" Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Tonn Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."
Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena me-rasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama ke-dua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk. "Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui..." Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"
"Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Ki-ranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!
Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dun ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara ber-terang begini daripada menghadapi mere-ka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya. "Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak me-ngira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap seka-rang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"
"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang). Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bah-wa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya den juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua si-nar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sen-tilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sam-pai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.
Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyam-bar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tem-pat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki-nya yang hampir saja mengenai lutut la-wan. Gadis itu terpaksa meloncat ke be-lakang dan menyerang lagi, sekali ini di-bantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun berge-rak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan ter-ancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya me-mang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.
Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kiri-nya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song sudah siap pula mengha-dapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk o-bat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap. Pada sa-at itug kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah pe-rut sedungkan si gendut menghantam da-ri samping ke arah kepalanya mengguna-kan guci arak itu!
Hui Song meloncat dan hendak me-nangkap hantuman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.
"Brettt...!" Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.
"Iblis-iblis busuk yang curang!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan da-ri dalam guha itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan ge-rakannya. Begitu tiba di luar mulut gu-ha, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo dan tangan kirinya mencengkeram ke a-rah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggnnggnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.
"Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.
Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"
Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut guha. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar stara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut guha itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Me-lihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam guha dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.
Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamat-an dia dan Sui Cin, maka diapun mener-jang daun pintu itu.
"Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.
"Song-ko, kita dapat lari melalui te-bing di depan itu!" kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang me-rupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."
Hui Song memandang dan menggeleng kepala. "Terlalu berbahaya..." Dia sendiri merasa sanggup meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin" Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.
Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam ba-tin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"
Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pinto baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau ka-lian harus melakukannya!" Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan o-leh tiga orang itu! Karena mereka ada-lah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan ber-bahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin. Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agak-nya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin telah memperoleh kemajuan pesat, ter-utama dalam ilmu gin-kang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertu-tup kembali dari dalam!
"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang te-bal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mence-lakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Me-nerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"
"Tentu saja sanggup, biar aku melom-pat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."
"Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga eng-kau dapat memperoleh tempat pendarat-an yang aman di sana."
"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak le-kukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."
"Baik, Cin-moi."
"Berhati-hatilah."
Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil menge-rahkan gin-kangnya , menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tu-buhnya meluncur seperti seckor burung saja dan tepat tiba pada dinding di ma-na terdapat banyak lekukan, agak ke ba-wah. Dengan cekatan tangannya men-cengkeram lekukan batu dan kedua kaki-nya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, la-lu berseru, "Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kenanku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!" Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak men-capai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai di mana kemampuan gin-kang gadis itu.
"Baik, Song-ko, aku meloncat!"
Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pa-da saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut guha yang tiba-tiba terbuka dan melihat beta-pa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.
"Cin-moi, awas...!" Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.
"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.
"Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.
"Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkannya ke punggung.
Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.
Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan. Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sin--kangnya yang disalurkan ke dalam tela-pak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam ke-pala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluh-an-keluhan kecil dan rintihan yang tadi-nya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun ter-tidur pulas. Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak meng-halangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu terti-dur pulas terlentang di depannya. Dia ti-dak berani membuat api unggun karena khawatir kelau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang da-lam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin, dia lalu menanggal-kan jubah dan bajunya, menyelimuti tu-buh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.
Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sin-kangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap ha-wa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah ga-dis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.
"Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..." bisiknya dengan perasaan hati penuh haru. Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang pera datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang me-lainkan murid Raja Iblis! Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membea-yai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun den setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja a-kan dibunuh.
Hui Song mengepal tinju dan terse-nyum dingin. "Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"
Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting ada-lah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu pa-rah.
Pada keesokan harinya, setelah mata-hari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.
"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.
Sui Cin membuka mata, bangkit du-duk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring den tubuhnya mencelat ke depan, menye-rang dengan tendangan ke arah dada pe-muda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.
"Bukk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.
"Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.
"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"
"Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sin-kang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.
"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.
Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun. Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan ka-lau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran ta-ngannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.
"Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.
Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu gin-kang bimbingan Wu--yi Lo-jin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang mem-buat gadis itu agak kewalahan.
Tiba-tiba Sui Cin terhuyung ke bela-kang dan memegangi kepala dengan ta-ngan kiri. Hui Song menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan ke-dua matanya dan mengeluh. "Aihh... kepalaku... pening...!"
"Cin-moi, engkau kenapakah..." Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu. Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya dan menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang amat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia mengeluh lagi, memegang kepalanya, lalu ia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.
"Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, biarpun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apalagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapapun Hui Song telah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu gin-kang, namun tentu saja kalau dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari, dia masih kalah jauh.
"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat. Dia mengejar terus akan tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia sudah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil dan akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.
"Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?" Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Mengenai keselamatan diri gadis itu dia tidak begitu mengkhawatirkan karena biarpun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu kini merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiripun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tidak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakai gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.
Akan tetapi dia bingung ke mana ha-rus mencarinya, sedangkan ada dua ma-cam tugas penting yang harus dilaksana-kannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Be-sar. Kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau sampai harta karun itu terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka. Maka secara untung-untungan diapun melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, di sepanjang perja-lanan bertanya-tanya den menyelidiki ka-lau-kalau ada orang melihat Sui Cin le-wat di situ.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Bagaimana Sui Cin dapat muncul di depan Guha Iblis Neraka den membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya den berada dalam bahaya" Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah ia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk bahkan sempat membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu, gadis ini lalu diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu. Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi dan digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang siap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu. Mereka kabarnya pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.
Secara kebetulan saja dalam perjalanannya itu ia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Ketika ia lewat di depan kuil kosong, ia melihat dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita tentu saja ia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.
"Kalian mengapa berlari-lari ketakutan" Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu. Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Akan tetapi Sui Cin sekali meloncat sudah berdiri menghadang mereka dan mengembangkan kedua lengannya.
"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"
Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar se-tan..."
Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam ia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat, tentu ia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan" Ah, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.
"Mana setannya" Di mana?" tanyanya.
Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.
"Hayo kita pergi, siapa tahu ia ini..."
Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, ia malah disangka setan!
Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan" Bagaimanapun juga, ia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan. Selama hidupnya in belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.
Bagaimanapun juga, ia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika ia menghampiri kuil tua itu. Cuaca sudah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak menyeramkan.
Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti setidaknya tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi. Ia harus hati-hati dan tidak sembrono. Andaikata ada orang pandai di situ, ia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan ia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.
Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu gin-kangnya yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan seekor burung saja berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biarpun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan ke-datangan pendekar wanita ini.
Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya ia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-ca-kap di dalam kuil itu! Ia tersenyum. Bu-kan setan bukan iblis, melainkan seorang gadis cantik dan dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara per-lahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.
"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.
"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu tahyul. Mereka menyangka ka-mi setan dan lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.
"Bagus! Biarlah mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini berhantu. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Aku lelah sekali malam ini, be-sok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Guha Iblis Neraka."
"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka" Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan tetap gagal. Apakah tidak lebih baik kalau kita melapor saja kepa-da Ong-ya?"
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan su-kar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa ku-tinggalkan begitu saja sebelum berha-sil" Kita harus mencoba lagi besok pa-gi-pagi, kalau gagal, biar aku akan men-cari bantuan lagi."
Agaknya dua orang kakek itu merupa-kan pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu sedangkan si gadis cantik mema-suki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.
Yang diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li dan dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si ka-kek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si ka-kek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Ia tidak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini da-pat menduga bahwa tiga orang yang ber-ada di dalam kuil itu tentulah orang-o-rang yang memiliki kepandaian tinggi. Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali mengenai Guha Iblis Neraka itu. Ingin sekali ia tahu sia-pa adanya mereka dan tempat macam apakah guha itu. Karena ia ingin sekali tahu, maka malam itu ia kembali ke pe-nginapan dan pada keesokan harinya, pa-gi-pagi sekali ia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil. Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat ke-luar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat se-kali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, ia adalah ahlinya dan tanpa kesu-karan sama sekali ia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.
Ketika tiga orang yang dibayangi itu tiba di Guha Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Ia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu beser yang menutupi guha di sebelah dalam. Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu se-dang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hati-nya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan. Ke-tika mereka pergi, Sui Cin tinggal di si-tu dan ia sendiripun lalu melakukan penyelidikan. Akan tetapi iapun tidak mam-pu membuka batu besar penutup guha, dan karena ia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, iapun lalu menanti kembalinya ga-dis cantik yang akan membawa pemban-tu-pembantu itu. Ia mulai curiga mende-ngar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap ga-dis yang genit. Biarpun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangannya lebih jauh dan ia tinggal di dalam guha itu seorang diri sampai bebe-rapa hari lamanya.
Akhirnya, pada suatu hari ia melihat munculnya tiga orang itu, sekali ini dite-mani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat ia bersembunyi di dalam pohon di atas guha dan melihat pemuda gagah itu, hampir ia berteriak saking gi-rang den kagetnya. Tentu s
engkau dapat mengenal namaku?"
Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kumintakan bantuanmu ini."
Hui Song teringat akan dua orang kakek itu dan diapun tersenyum mengejek. "Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."
"Benar mereka!" kata Siang Hwa dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka itu adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biarpun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Kini mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun di dunia ramai untuk menentang kaum pemberontak."
"Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"
Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa" Taihiap tidak tahu..."
"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanyalah berupa ejekan terhadap mereka yang berpakaian pendeta, dan itupun dilakuken dalam keadaan mabok."
"Taihiap salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, tidak seperti yang taihiap sangka. Mereka adalah mata-mata pemberontak yang menyamar, sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak mempergunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak mudah dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan dan kami diserbu oleh para pemberontak."
Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.
"Aku merasa gembira sekali dapat bersahabat dengan taihiap, apalagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentu engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."
"Memang aku adalah putera ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."
"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama tidak merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusab apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"
"Urusan ini amat penting dan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."
"Hemm..." Hui Song termenung. Tak disangkanya bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!
"Bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau mengira bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justeru dalam usaha kami menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."
"Apa maksudmu" Aku tidak mengerti, nona."
"Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami sudah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja... tempat itu sukar didatangi, bahkan aku telah kehilangan nyawa beberapa orang teman ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."
"Ah, begitu berbahayakah" Apa yang menyebabkan bahaya itu?"
"Tempatnya amat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Guha Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya, dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti, yang mencuri harta karun dari kaisar la-lim dan disimpan di tempat itu, dan di-sediakan untuk mereka yang akan menen-tang kaisar lalim di kemudian hari. Har-ta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."
"Kalau demikian sukarnya, mengapa engkau minta bantuanku" Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"
"Begini, taihiap. Di antara kami yang depat menyeberangi jembatan batu pedang, hanya aku seorang. Kedua locianpwe itupun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku sudah menyeberangi jembatan batu pedang itu, namun selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang memiliki gin-kang dan sin-kang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."
"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek
Siang Hwa tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap" Sudahlah, biar aka mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberon-tak. Kalau kita berhasil, berarti kita te-lah memukul para pemberontak dan me-lumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"
Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biarpun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinama-kan kejam kalau empat orang muda itu adalah mata-mata pentberontak, dan biarpun gadis ini pernah bersikap tidak me-nyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yung menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri da-lam usahanya menentang para pemberontak.
"Baik, kapan kita berangkat ke sana?"
"Sekarang juga, taihiap."
"Baik, mari kita berangkat, singgah di rumah penginapan karena aku akan mengambil buntalan pakaianku lebih dahulu."
Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam ka-mar rumah penginapan itu.
"Eh" Bagaimana... kapan..."
"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku ter-tarik sekali dan aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, diam-diam memasuki ka-marmu. Ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud untuk mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku menyim-pan pakaian ini, lalu aku pergi lagi un-tuk muncul berlarian di atas genteng a-gar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.
"Sudahlah, mari kita pergi."
"Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."
Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan pe-nerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.
Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju ke arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!
Dua orang itu nampak terkejut meli-hat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa se-gera tersenyum dan memperkenalkan.
"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap telah menjadi sahabat kita yang se-haluan dan sudah kujelaskan semua ten-tang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang memiliki kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."
Dua orang itu kini sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali bertemu dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.
"Cia-taihiap, maafkan kami yang te-lah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.
"Ha-ha-ha, ada peribahasa mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sebenarnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.
"Cia-taihiap, harap maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan Ciong-hwesio sebaliknya suka bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isya-rat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwe-sio.
"Siancai... memperoleh seorang pem-bantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.
"Omitohud, sungguh pinceng yang ti-dak becus sehingga merepotkan saja ke-pada putera ketua Cin-ling-pai." kata pu-la Ciong-hwesio.
Berangkatlah empat orang itu melan-jutkan perjalanan menuju ke utara. Per-jalanan itu dilakukan dengan cepat dan setelah mereka melewati dan menyebe-rangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah makan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis. Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, hanya agaknya memiliki kelemahan terhadap pria yang menarik hatinya, ataukah me-mang gadis ini benar-benar jatuh cinta kepadanya. Di sepanjang perjalanan, Siang Hwa tidak memperlihatkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dila-kukon ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tidak nampak lagi dan ia ha-nya kelihatan amat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.
Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui ja-lan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam. Jelas bahwa orang biasa akan sukar melalui jalan seperti itu, dan kalaupun ada orang pandai yang dapat, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini" Tanpa tujuan penting, kiranya tidak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan su-kar dilalui ini.
Setelah matahari naik tinggi, di ba-wah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, tibalah me-reka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang di-kelilingi jurang. Hui Song terbelalak ka-gum. Bukit ini seperti sebuah rumah be-sar saja, dan pintunya adalah sebuah guha yang besar. Agaknya guha ini dahulu-nya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu ba-tu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GUHA IBLIS NERAKA. Sungguh amat indah, megah dan juga menyeramkan. Siapakah orang-nya yang sudah dapat membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya" Kalau menggunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya. Dan guha yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seolah-olah bu-kan guha melainkan sebuah pintu tem-busan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia penuh dengan batu-batu rak-sasa yang aneh-aneh bentuknya, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan"
Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan guha yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.
Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangen karena gadis itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
"Sebaiknya kita masuk sekarang sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.
"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.
Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu ma-auk ke dalam guha, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang ka-kek itu. Setelah mereka berempat ma-suk, Sui Cin dari atas "mclayang" ke bawah. Ya, gerakannya itu seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya. Ternyata gadis ini jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa dan ia telah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Ba-yangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, iapun menyelinap me-suk ke dalam guha di sebelah sana pintu dan ternyata di bagian dalam itu meru-pakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk me-nyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.
Setelah melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.
"Inilah jembatan batu pedang itu!" ka-ta Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan. Hebat memang. Bu-kan jembatan, melainkan lorong yang pe-nuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu demikian penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan ha-ruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing seperti pe-dang itu! Dan untuk mengerjakan ini bu-kanlah hal yang mudah, membutuhkan gin-kang yang sudah matang dan juga tenaga sin-kang yang kuat.
"Nah, di sinilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjut-nya aku tidak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.
"Apakah kesukarannya?" Hui Song ber-tanya.
"Menuturkannya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di de-pan engkau akan dapat melihatnya sen-diri, taihiap. Mulai dari sinilah aku membutuhkan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memim-pin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya daripada aku sen-diri."
"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Kini kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pe-kerjaan yang kita lakukan. Tempat apa-kah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah" Bagaimanapun juga, aku sungguh tidak akan mau membantu kalau terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."
Mendengar ini, Siang Hwa dan dua o-rang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua o-rang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa mengangguk dan berkata. "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-to-su." Dan ia menoleh kepada kakek ber-pakaian tesu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang segolongan dan sehaluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locian-pwe suka menjelaskannya."
"Siancai, sesungguhnya cerita menge-nai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, ki-ni menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."
Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kira-nya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pe-jabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol. Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar! Terjadilah perampasan-perampasan karena para pejabat tinggi menjadi "mabok tanah" dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil dalam tanah yang dikuasainya. Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang amat menekan, seolah-olah para petani itu diperas keringatnya dan dihisap sebagian besar hasil tenaga me-reka. Dan para petani itu tetap mau sa-ja diperas seperti itu karena mereka ha-nya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuilpun. Tanpa adanya tanah, kepandaian dan tenaga mereka untuk ber-cocok tanam tidak ada artinya dan me-reka perlu makan setiap hari.
Dengan adanya kekuasaan mutlak yang dipergunakan dengan sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan ningrat ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar diba-yangkan banyaknya. Dan di antara mere-ka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu! Pembesar Mongol ini menum-puk harta kekayaan yang amat besar, kemudian menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pe-merintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan brakhirlah pemerintahan penjajah Mongol dan lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.
Akan tetapi, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Guha Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja. Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi, tidak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu. Ketika menyimpan rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga ketika mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan betu-batu runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harka itu, biarpun dia sudah tahu di mana letaknya. Apalagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itupun amatlah sulit dan berbahayanya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang menemukan harta itu yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.
"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biarpun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang sejak muda menjadi pendeta" Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali dan menemukan harta pusaka itu, maka sampai kini pinto tinggal diam saja. Barulah setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pem-berontakan, hati pinto tergerak dan ber-sama kawan-kawan sehaluan pinto ber-usaha mendapatkan harta karun itu men-dahului para pemberontak!"
"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, melainkan melompati sumur pa-sir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.
"Menyeberang ke sana" Tapi, di depan itu hanya tebing..."
"Inilah mengapa aku mengatakan bah-wa tempat ini amat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kaulihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman" Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Di sebelah atas tonjolan itu terdapat le-kukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu ter-dapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum kepada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tem-pat mendarat yang luar biasa itu, sung-guh merupakan kecerdikan dan juga ke-beranian yang jarang terdapat. Dia sen-diri, kalau tidak diberi tahu, belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan me-loncati sumur pasir dan mendarat di te-bing yang curam itu.
"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa. Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Kalau gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak" Dan pula, setelah melihat tonjolan batu dan lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukan merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.
"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."
Tanpa menanti jawaban, Hui Song mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.
"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di balik batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."
Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar dan diapun berputar dan berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.
Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu telah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.
"Kenapa?" tanyanya heran.
Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu melepaskan kembali pegangannya. "Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya." Ia bergidik. Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap dan dia merasa kasihan.
"Engkau tidak sendirian, nona. Akupun merasa tegang dan ngeri. Tempat ini memang sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau dapat menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutams demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."
"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Tidak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kaulihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju ke tempet penyimpanan harta karun itu. Perjalananku yang sudah-sudah, untuk pertama kalinya ketika aku melakukan perjalanan seorang diri menyelidik, hanya sampai di tepi rawa ini dan aku tidak mampu melanjutkan. Kemudian aku datang lagi dibantu oleh seorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, temanku itu celaka dan tewas di rawa itu."
Kalau saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu dia akan bergidik ngeri. Memang benar gadis itu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan ban-tuan seorang gagah, akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, khawatir karena rahasia harta karun itu telah di-ketahui orang luar, secara keji ia lalu membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!
Mendengar ini, Hui Song memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Mereka kini sudah tiba di tepi rawa. Sebuah ra-wa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa mempergu-nakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung dan bina-tang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi bermacam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur dan tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.
"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" ta-nyanya.
Siang Hwa tersenyum. "Nampaknya aman dan tenang, bukan" Akan tetapi ketahuilah, taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang kelihatan tenang itu bersembunyi binatang-binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Bina-tang yang siap mengintai dari bawah un-tuk menerkam dan menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan ra-wa."
"Binatang apakah itu?"
"Lihat, akan kupancing keluar mere-ka!" kata Siang Hwa, kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang. Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, amat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Dan gerakan ini memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.
"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini" "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"
Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."
Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.
"Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.
"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."
"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.
Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!
"Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."
Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.
Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.
"Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!
"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.
Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.
Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!
Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"
"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini" "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"
Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak depat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu den mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."
Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat den ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.
"Hemm, kiranya engkau sudah mem-persiapkan segalanya, nona," kate Hui Song kagum.
"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan ber-hasil, dengan bantuanmu. Mari kita me-nyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."
"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas per-mukaan air berlumpur.
Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak me-miliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke da-lam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!
"Jangan sembarangan memukul mere-ka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau ti-dak dia akan mengamuk dan berbahaya-lah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang he-bat."
Hui Song mengangguk-angguk, mata-nya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.
Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.
"Prakkk!" Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!
"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak. "Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunaken dayung untuk menangkis ekor. Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.
Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bereng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.
Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bembu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!
Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"
Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi penyerbuan binatang-binatang buas itu. "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini, untuk mencerai-beraikan mereka!" Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar. Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walaupun dia tentu akan memperoleh akal untuk menyelamatkan dirinya.
Kini, binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Terdengar suara keras pecahnya kepala binatang itu berkali-kali disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, biarpun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.
Hui Song merasa tidak leluasa kalau menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu dan menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia lalu meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, menghantam lagi dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik. Sebentar saja, belasan ekor buaya telah pecah kepalanya dan terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Biarpun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.
"Mari, taihiap, kini ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya setelah kini para binatang itu sibuk sendiri saling serang dan memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.
Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biarpun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.
"Hayaaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan saputangan.
Siang Hwa juga menyusuti keringatriya dan memandang kagum. "Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat den membuatku kagum sekali. Memang amat berbahaya tadi, den sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"
"Ah, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"
"Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar den biarpun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran tera-khir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Akhirnya tibalah mereka di depan se-buah guha kecil yang tertutup batu bun-dar yang besar. "Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, biarpun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami ti-dak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada guha di bela-kangnya."
Hui Song tertarik sekali dan meman-dang batu besar bulat itu. Batu itu me-mang besar, akan tetapi karena bentuk-nya bulat, rasanya kalau orang memiliki tenaga sin-kang yang sudah cukup kuat, tentu akan mampu mendorongnya sehing-ga menggelinding atau tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apalagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak ber-hasil mendorong batu bulat ini ke sam-ping" Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dua orang itu dengan tenaga digabung tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasia-ya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Maka mulailah dia mene-liti dan mendekati batu itu meraba sana-sini dan memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biarpun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut guha, na-mun ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut gu-ha. Tentu ada alat rahasianya.
"Taihiap, mari kita mencoba untuk menyatukan sin-kang dan mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu gu-ha," kata gadis itu.
Akan tetapi Hui Song menggeleng ke-palanya. "Nona, kurasa akan percuma sa-ja mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat ia tidak mungkin dipecahkan dun biarpun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong dan digeser. Kalau tidak dapat digeser, itu berarti bah-wa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."
"Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.
"Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."
Mula-mula Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, ia mengerti dan cepat membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam. Tiba-tiba Hui Song berteriak mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itupun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu guha itu!
"Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang guha itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.
"Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.
Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang guha mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.
Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki guha itu. Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sam-bungan besi yang terkait pada kaitan ba-ja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu men-dorong batu itu dari luar. Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi be-gitu guha terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerak-kan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.
Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum. "Sungguh he-bat sekali kepandaian orang yang mema-sangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.
"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding guha sebe-lah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil meng-hitung dari pintu guha. Setelah dua pu-luh satu langkah dia berhenti.
"Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok den memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.
"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.
"Awas...!" Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.
"Trakkk!" Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu. Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!
Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa seba-gai bekal tadi. Di bawah penerangan si-nar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah pe-ti besar hitam.
"Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak se-perti anak kecil. Hui Song tersenym dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha me-reka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.
"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."
Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan se-potong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.
"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.
"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.
Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesua-tu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, ter-ganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.
"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.
"Mungkin bukan ini, mungkin di tem-pat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.
"Tidak, tidak!" Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gam-baran peti dalam peta Liang-tosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya. "Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada o-rang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"
"Didahului orang" Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona" Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas" Dan siapa pula kerangka manu-sia" Mari kita selidiki!" Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam guha itu sudah mu-lai remang-remang, melakukan pemerik-saan dengan hati kecewa dan tegang.
Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya ba-gaimana orang itu dapat memasuki guha itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam guha itu" Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi" Tidak, ka-lau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang ti-dak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut guha!
Akhirnya usahanya berhasil. Dia me-nemukan sebuah lubang di lantai guha sebelah kanan, dan ketika dia menying-kirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar guha, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.
"Ah, orang itu memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan di ba-wah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.
"Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan per-kumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"
"Apa..." Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.
"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol aseli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Hari-mau Terbang, sebuah perkumpulan raha-sia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mo-ngol yang diukir di atasnya."
Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas. "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."
"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului ki-ta, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki guha dengan jalan membuat lu-bang terowongan kecil itu. Kemudian a-gaknya terjadi perebutan di sini, dan o-rang ini tewas sedangkan dia hanya da-pat merampas lencana yang agaknya di-pakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau le-bih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menye-rang orang yang datang kemudian mem-buka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk. Perki-raan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain. "Dugaanmu a-gaknya tepat sekali, nona. Memang ha-nya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup guha itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi me-mang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang ba-gaimana?"
Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwp dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu, akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan hatta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.
"Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"
Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin. "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"
Hui Song mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona" Aku... aku mempunyai urusan lain..." dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, wa-laupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.
Akan tetapi, ucapan gadis itu meye-kinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. "Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pem-berontak" Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling he-bat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat me-reka pergunakan untuk membiayai pem-berontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan me-nentang mereka."
Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hen-dak membela negara! "Nona Gui, aku ha-rus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesua-tu, hanya sepasang mata itu yang berki-lat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.
"Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta ka-run ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"
Hui Song mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."
"Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan da-tang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"
Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia ter-ingat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.
"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tem-pat ini sebelum malam tiba, taihiap."
Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan te-rus berjalan menuju ke sebelah dalam guha, Hui Song bertanya, "Eh, jalan ke mana, nona?"
"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, guha ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Se-perti yang kaulihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut guha di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan meli-hat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan guha ini, bukan?"
Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut guha dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang me-masuki guha dari pintu atau mulut guha itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak te-rang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam guha gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar guha itu. Dan pemandangan di depan guha itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan guha itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan te-tapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Me-ngerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan nampak pun-cak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.
"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing ju-rang itu.
Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sam-bil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut guha dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang bia-sanya bersikap manis dan halus itu.
"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"
"Nona, apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pe-dang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.
"Arntinya, engkau harus mampus di si-ni untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjun-lah ke dalam jurang itu."
Tapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.
"Ha-ha-ha-ha!" kakek gendut yang di-sebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan" Ha-ha-ha...!"
"Nona, apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, me-rasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tiduk lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen me-reka.
"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya" Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Tonn Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."
Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena me-rasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama ke-dua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk. "Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui..." Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"
"Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Ki-ranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!
Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dun ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara ber-terang begini daripada menghadapi mere-ka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya. "Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak me-ngira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap seka-rang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"
"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang). Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bah-wa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya den juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua si-nar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sen-tilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sam-pai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.
Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyam-bar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tem-pat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki-nya yang hampir saja mengenai lutut la-wan. Gadis itu terpaksa meloncat ke be-lakang dan menyerang lagi, sekali ini di-bantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun berge-rak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan ter-ancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya me-mang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.
Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kiri-nya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song sudah siap pula mengha-dapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk o-bat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap. Pada sa-at itug kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah pe-rut sedungkan si gendut menghantam da-ri samping ke arah kepalanya mengguna-kan guci arak itu!
Hui Song meloncat dan hendak me-nangkap hantuman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.
"Brettt...!" Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.
"Iblis-iblis busuk yang curang!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan da-ri dalam guha itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan ge-rakannya. Begitu tiba di luar mulut gu-ha, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo dan tangan kirinya mencengkeram ke a-rah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggnnggnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.
"Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.
Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"
Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut guha. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar stara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut guha itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Me-lihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam guha dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.
Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamat-an dia dan Sui Cin, maka diapun mener-jang daun pintu itu.
"Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.
"Song-ko, kita dapat lari melalui te-bing di depan itu!" kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang me-rupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."
Hui Song memandang dan menggeleng kepala. "Terlalu berbahaya..." Dia sendiri merasa sanggup meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin" Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.
Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam ba-tin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"
Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pinto baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau ka-lian harus melakukannya!" Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan o-leh tiga orang itu! Karena mereka ada-lah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan ber-bahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin. Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agak-nya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin telah memperoleh kemajuan pesat, ter-utama dalam ilmu gin-kang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertu-tup kembali dari dalam!
"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang te-bal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mence-lakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Me-nerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"
"Tentu saja sanggup, biar aku melom-pat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."
"Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga eng-kau dapat memperoleh tempat pendarat-an yang aman di sana."
"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak le-kukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."
"Baik, Cin-moi."
"Berhati-hatilah."
Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil menge-rahkan gin-kangnya , menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tu-buhnya meluncur seperti seckor burung saja dan tepat tiba pada dinding di ma-na terdapat banyak lekukan, agak ke ba-wah. Dengan cekatan tangannya men-cengkeram lekukan batu dan kedua kaki-nya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, la-lu berseru, "Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kenanku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!" Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak men-capai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai di mana kemampuan gin-kang gadis itu.
"Baik, Song-ko, aku meloncat!"
Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pa-da saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut guha yang tiba-tiba terbuka dan melihat beta-pa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.
"Cin-moi, awas...!" Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.
"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.
"Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.
"Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkannya ke punggung.
Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.
Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan. Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sin--kangnya yang disalurkan ke dalam tela-pak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam ke-pala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluh-an-keluhan kecil dan rintihan yang tadi-nya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun ter-tidur pulas. Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak meng-halangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu terti-dur pulas terlentang di depannya. Dia ti-dak berani membuat api unggun karena khawatir kelau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang da-lam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin, dia lalu menanggal-kan jubah dan bajunya, menyelimuti tu-buh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.
Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sin-kangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap ha-wa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah ga-dis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.
"Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..." bisiknya dengan perasaan hati penuh haru. Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang pera datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang me-lainkan murid Raja Iblis! Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membea-yai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun den setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja a-kan dibunuh.
Hui Song mengepal tinju dan terse-nyum dingin. "Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"
Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting ada-lah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu pa-rah.
Pada keesokan harinya, setelah mata-hari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.
"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.
Sui Cin membuka mata, bangkit du-duk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring den tubuhnya mencelat ke depan, menye-rang dengan tendangan ke arah dada pe-muda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.
"Bukk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.
"Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.
"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"
"Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sin-kang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.
"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.
Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun. Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan ka-lau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran ta-ngannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.
"Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.
Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu gin-kang bimbingan Wu--yi Lo-jin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang mem-buat gadis itu agak kewalahan.
Tiba-tiba Sui Cin terhuyung ke bela-kang dan memegangi kepala dengan ta-ngan kiri. Hui Song menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan ke-dua matanya dan mengeluh. "Aihh... kepalaku... pening...!"
"Cin-moi, engkau kenapakah..." Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu. Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya dan menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang amat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia mengeluh lagi, memegang kepalanya, lalu ia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.
"Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, biarpun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apalagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapapun Hui Song telah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu gin-kang, namun tentu saja kalau dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari, dia masih kalah jauh.
"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat. Dia mengejar terus akan tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia sudah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil dan akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.
"Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?" Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Mengenai keselamatan diri gadis itu dia tidak begitu mengkhawatirkan karena biarpun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu kini merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiripun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tidak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakai gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.
Akan tetapi dia bingung ke mana ha-rus mencarinya, sedangkan ada dua ma-cam tugas penting yang harus dilaksana-kannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Be-sar. Kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau sampai harta karun itu terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka. Maka secara untung-untungan diapun melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, di sepanjang perja-lanan bertanya-tanya den menyelidiki ka-lau-kalau ada orang melihat Sui Cin le-wat di situ.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Bagaimana Sui Cin dapat muncul di depan Guha Iblis Neraka den membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya den berada dalam bahaya" Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah ia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk bahkan sempat membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu, gadis ini lalu diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu. Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi dan digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang siap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu. Mereka kabarnya pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.
Secara kebetulan saja dalam perjalanannya itu ia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Ketika ia lewat di depan kuil kosong, ia melihat dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita tentu saja ia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.
"Kalian mengapa berlari-lari ketakutan" Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu. Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Akan tetapi Sui Cin sekali meloncat sudah berdiri menghadang mereka dan mengembangkan kedua lengannya.
"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"
Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar se-tan..."
Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam ia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat, tentu ia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan" Ah, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.
"Mana setannya" Di mana?" tanyanya.
Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.
"Hayo kita pergi, siapa tahu ia ini..."
Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, ia malah disangka setan!
Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan" Bagaimanapun juga, ia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan. Selama hidupnya in belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.
Bagaimanapun juga, ia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika ia menghampiri kuil tua itu. Cuaca sudah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak menyeramkan.
Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti setidaknya tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi. Ia harus hati-hati dan tidak sembrono. Andaikata ada orang pandai di situ, ia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan ia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.
Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu gin-kangnya yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan seekor burung saja berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biarpun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan ke-datangan pendekar wanita ini.
Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya ia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-ca-kap di dalam kuil itu! Ia tersenyum. Bu-kan setan bukan iblis, melainkan seorang gadis cantik dan dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara per-lahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.
"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.
"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu tahyul. Mereka menyangka ka-mi setan dan lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.
"Bagus! Biarlah mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini berhantu. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Aku lelah sekali malam ini, be-sok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Guha Iblis Neraka."
"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka" Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan tetap gagal. Apakah tidak lebih baik kalau kita melapor saja kepa-da Ong-ya?"
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan su-kar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa ku-tinggalkan begitu saja sebelum berha-sil" Kita harus mencoba lagi besok pa-gi-pagi, kalau gagal, biar aku akan men-cari bantuan lagi."
Agaknya dua orang kakek itu merupa-kan pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu sedangkan si gadis cantik mema-suki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.
Yang diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li dan dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si ka-kek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si ka-kek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Ia tidak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini da-pat menduga bahwa tiga orang yang ber-ada di dalam kuil itu tentulah orang-o-rang yang memiliki kepandaian tinggi. Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali mengenai Guha Iblis Neraka itu. Ingin sekali ia tahu sia-pa adanya mereka dan tempat macam apakah guha itu. Karena ia ingin sekali tahu, maka malam itu ia kembali ke pe-nginapan dan pada keesokan harinya, pa-gi-pagi sekali ia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil. Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat ke-luar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat se-kali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, ia adalah ahlinya dan tanpa kesu-karan sama sekali ia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.
Ketika tiga orang yang dibayangi itu tiba di Guha Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Ia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu beser yang menutupi guha di sebelah dalam. Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu se-dang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hati-nya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan. Ke-tika mereka pergi, Sui Cin tinggal di si-tu dan ia sendiripun lalu melakukan penyelidikan. Akan tetapi iapun tidak mam-pu membuka batu besar penutup guha, dan karena ia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, iapun lalu menanti kembalinya ga-dis cantik yang akan membawa pemban-tu-pembantu itu. Ia mulai curiga mende-ngar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap ga-dis yang genit. Biarpun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangannya lebih jauh dan ia tinggal di dalam guha itu seorang diri sampai bebe-rapa hari lamanya.
Akhirnya, pada suatu hari ia melihat munculnya tiga orang itu, sekali ini dite-mani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat ia bersembunyi di dalam pohon di atas guha dan melihat pemuda gagah itu, hampir ia berteriak saking gi-rang den kagetnya. Tentu s