Pencarian

Asmara Berdarah 14

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


aja ia menge-nal Hui Song! Akan tetapi karena ia me-sih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, ia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song depot bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian karib. Apalagi melihat si-kap gadis cantik itu yang demikian me-mikat den dalam sikap dan gerak-gerik-nya nampak sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin. Ia mem-bayangi terus dan terheran-heran melihat betapa kini Hui Song dan gadis itu me-nyeberangi jembatan batu pedang sedang-kan dua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal, ia pernah melihat kedua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si ga-dis cantik, dan walaupun dengan agak sukar, kedua orang itu mampu menyebe-rangi. Mengapa kini berpura-pura tidak dapat menyeberang" Ia semakin curiga, apalagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song su-dah lenyap bersama gadis itu, kedua o-rang kakek ini berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan ia mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini dan iapun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.
Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu dan rahasia di dalam Guha Iblis Neraka telah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena Hui Song memang amat terancam bahaya ketika itu. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin ter-kena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan dalam kapalanya terguncang dan ia kehilangan ingatannya!
Ketika ia siuman, ia lupa segala dan melihat Hui Song, ia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke da-lam ingatannya pada saat terakhir ada-lah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai o-rang pertama pada saat ia siuman, iapun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat dan diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang amat kuat dan ia merasa kepalanya pusing maka iapun me-larikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.
Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa ia bertemu dengan lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang amat lihai, yang telah menyambitkan benda keras dan mengenal kepalanya karena kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat ia kalahkan tadi. Ia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepa-lanya pening, apalagi ia tidak mampu mengalahkan, maka akan berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka, Sui Cin mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali. Sehari lamanya ia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso kalau ia su-dah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru ia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali akan masa lalunya. Bahkan namanya sendiripun ia lupa! Iapun tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua, pakaiannya tertinggal di tempat persem-bunyian di dekat Guha Iblis Neraka.
Malam itu ia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Lalu ia duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikiran untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja ia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah, bahwa ia dikejar-kejar seorang lawan tangguh, dan bahwa ia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar. Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu amat terkesan di dalam batinnya, maka inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa ia harus pergi ke utara, keluar Tembok Be-sar!
Biarpun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Ia tetap nampak segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa ia sedang menderita luka dan guncangan yang membuat ia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri melamun den mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, ia nampak bengong dan bingung.
Karena ia tidak sadar betul ke mana ia harus pergi, setelah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa ia ketahui di mana ia berada dan ke mana ia harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi ia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, ia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka! Setelah rombongan itu pergi ia melamun. Untuk apa ia datang ke tempat asing ini" Ia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa ia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi di mana dan untuk apa ia tidak tahu! Ia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Kalau selama itu ia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa ia berada di tempat ini, ia akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya ia dapat mengerti artinya.
Pada suatu hari, dalam keadaan kese-pian, ia melihat serombongan orang Mo-ngol lagi dan sekali ini di antara mere-ka terdapat beberapa orang wanita Mo-ngol yang memakai pakaian wanita Han. Sui Cin teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek. Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, ia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak mempunyai pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek. Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya iapun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang-kadang nampak nyentrik. Walaupun Sui Cin seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana. Dalam keadaan kehilangan ingatan inipun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga biarpun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali. Karena itulah, melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, ia kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apalagi uang untuk membeli pakaian.
Dengan hati amat kepingin akan tetapi tidak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, Sui Cin diam-diam mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk wanita dan anak-anak, sedangkan para prianya berjalan sambil berjaga-jaga. Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam di sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada keesokan harinya, keluarga itu ribut-ribut karena kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!
Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan kini masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.
Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan iapun tidak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka iapun melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.
Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kulau ia kembali ke selatan, tiba-tiba ia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok dan menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah. Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh keriput dan buruk, tubuhnya kurus dan punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, ia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan ia terus menghampiri. Yang membuatnya bergembira adalah karena ia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walaupun agak kaku, namun ia dapat mengerti dengan jelas.
"Aduhhh, anakku yang baik... ah, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-huhh... ke mana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh" Hu-hu-huuhhh...!"
Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu seperti orang gila. Mana ada orang menangisi kematian seekor ular besar" Akan tetapi, karena sudah berhari-hari baru sekarang ia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, hatinya gembira sekali dan ia merasa kasihan kepada nenek ini.
Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orangpun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali kalau berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidaknya sebahasa! Seolah-olah bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.
"Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih" Engkau kematian binatang peliharaanmu" Mengapa ular ini bisa mati, nek?"
Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis kepadanya, dengan sikap menghibur. Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!
"Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seolah-olah merasa heran ada orang menegurnya, apalagi dalam bahasa Han. Kemudian matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah ia berdiri, bongkoknya nampak sekali.
Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri. "Nenek yang baik, engkau mengenalku" Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng" Sesungguhnya, nek, aku telah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kauberitahu siapa diriku ini, nek?"
Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih dan mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu ia akan terkejut setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka ia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.
"Ah, bagaimana engkau bisa melupakan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, si-kapnya kelihatan ramah dan wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu mena-kutkan lagi.
"Entahlah, nek. Seingatku, ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan seorang musuhku kepa-daku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yapg ternyata su-dah mengenal akupun sama sekali aku ti-dak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek" Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"
"Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"
Sui Cin menggeleng kepala. "Akupun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin mengepal tinju dengan gemas.
"Heh-heh-heh, anak baik, engkau bu-kan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."
Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan juga girang. "Aih, benarkah itu, nek" Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"
"Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku" Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?" Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang bia-sa saja dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."
Legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan se-gala hal yang dikenalnya di masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan ia untuk melumpuhkan gadis ini!
"Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan pernah engkau ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun dahulu. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li." Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya. Akan tetapi, Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan alis berkerut, "Bi... Ceng Bi Hwa... ah, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian ia memberi hormat kepada nenek itu. "Terimalah hormatku, nek."
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang. "Bagus, bagus... jangan khawatir, cucuku. Setelah engkau bertemu dengan nenekmu ini, engkau tentu akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."
"Aih, benarkah, nek" Benarkah engkau hendak mengobatiku" Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."
"Tentu saja! Bukankah engkau cucu keponakanku yang tersayang" Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggeleng. "Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi ge-rakan otomatis kaki tanganku sehingga aku bergerak tanpa kuingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."
"Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya kalau kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba untuk menyerangmu dengan cambukku. Setelah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang." Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.
"Tar-tar-tarr...!"
Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tak disangkanya nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya. Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak seperti ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja iapun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap! Terkejutlah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang ia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walaupun memang lihai, namun tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang ber-ada di depannya ini memiliki gin-kang yang mentakjubkan! Ia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.
"Heh-heh, bagus, engkau masih memi-liki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, aku akan menyerang sungguh-sungguh!" Dan cambuk itu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan hebat sekali. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan meno-tok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin. Gadis ini secara otomatis meng-gerakkan tubuhnya, dengan gin-kang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti ba-yang-bayang yang cepat sekali menyam-bar-nyambar di antara gulungan sinar-si-nar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja ia tidak membalas kerena ia meng-anggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah ia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!
Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah de-mikian. Ia hanya ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Kalau mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh ga-dis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, ia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya. Kini, melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkele-batan mengelak dari sambaran cambuk-nya, nenek itu terkejut. Tak disangkanya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dahulu. Maka, iapun maklum bahwa dengan cam-buknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan iapun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.
"Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, agar ingatanmu sehat kembali."
Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya. "Terima kasih, nek."
Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah, Sui Cin juga berjongkok di depan-nya, melihat nenek itu mengeluarkan se-guci arak, sebuah cawan dan sebuah bo-tol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, kemudian menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan berisi arak setc-ngahnya itu. Sambil terkekeh ia mengo-cok arak itu sehingga bubukan hijau ber-campur ke dalam arak.
"Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa me-ngantuk, tertidur dan setelah engkau ba-ngun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.
Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, ia tidak jadi minum dan meman-dang nenek itu dengan alis berkerut.
"Eh, ada apakah, cucuku" Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."
"Tapi, nek. Aku tidak tahu apa isi o-bat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"
"Heh-heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sen-dok merah! Memang obat itu racun, ra-cun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang menimang-ni-mangmu di waktu engkau kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua il-mu itu kepadamu" Apa kaukira aku akan meracunimu" Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"
Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu" Ia mendekatkan lagi cawan itu sambil memejamkan mata, iapun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas berputaran di dalam perutnya. Itulah hawa gin-kang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi, racun itu sudah bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.
"Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan" Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau sudah akan sembuh sama sekali. Tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah." Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebah-kan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, se-perti sedang meninabobokkan cucunya!
Suara itu aneh sekali, dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk tak tertahankan lagi, iapun tertidurlah.
Sui Cin tidak tahu berapa lama ia tertidur pulas, akan tetapi ketika it sadar kembali, matahari telah naik tinggi dan ia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja ia terkejut sekali dan otomatis ia mencoba untuk meronta. Akan tetapi, usahanya sia-sia belaka karena ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ka-ki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah ia bahwa ia telah tertipu!
"Nenek iblis jahanam!" Ia memaki dan terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Ki-ni nenek itu menyeringai dan berdiri di depan Sui Cin, mengebut-ngebutkan ba-junya yang terkena tanah.
"Heh-heh-heh, nona yang tolol, heh-heh-heh!" Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya. Nenek ini, sebagai seorang di antara Cap-sha-kui, memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan ha-tinya adalah kalau ia dapat menyiksa korbannya. Maka, kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keada-an tidak berdaya, tentu saja hatinya gi-rang bukan main.
"Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Hayo kalau memang engkau gagah, lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.
"Heh-heh-heh, andaikata kulepaskan juga, engkau takkan mampu bertahan le-bih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"
Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak ia kenal dan akibatnya ia mudah terjebak. "Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."
"Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh--heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha. Eh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"
"Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.
"Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"
Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tidak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, seperti tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li. Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak dan terdengerlah suara mereka mendesis-desis, lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua berkumpul mengelilingi tempat itu.
"Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."
Sui Cin bergidik. Teringat ia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji seperti iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan cambuknya dan beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang amat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!
Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu berbahaya sekali. Tiga ekor ular sendok yang paling besar berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepedanya, kepalanya lenggang-lenggok seperti menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.
"Heh-heh-heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, makin lincah lagi tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama makin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu. Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai ia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi mereka tidak berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.
"Heh-heh-heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya" Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Dan pertama-tama, aku akan memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu sampai kau hampir mati karena geli dan ngeri. Kemudian, aku akan memerintahkan mereka itu merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"
Cambuknya meledak-ledak dan tiga ekor ular itu mulai nampak beringas. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, menyelinap suara itu di antara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh. Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja yang masih bertahan, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau oleh suara ledakan-ledekan cambuk yang kini bercampur suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengeruhi mereka!
"Eh, keparat jahanam kurang ajar!" Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh. Matanya terbelalak marah ketika ia melihat seorang pemuda datang sam-bil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah. Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan iapun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pe-muda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat tiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan. Ia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya walaupun ia sendiri masih lemas dan tidak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu menlup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, ia menduga.
Sementara itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak. "Kau...! Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?" Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu. Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju ketika tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat. Terdengar suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu amat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung. Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu, tiba-tiba mendengar suara ini lalu terkulai dan berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat. Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking ia menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itupun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun.
Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya dan akibatnya, ia terpental ke belakang!
"Ehhh...!" Nenek itu berseru kaget bukan main. Kalau tadi ia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini ia dikejutkan pula oleh kekuatan sin-kang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan pernah ia hampir merobohkan Cia Sun dengan bantuan ular-ularnya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biarpun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sin-kangnya tidaklah sehebat sekarang ini.
Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin dan di antara puncak-puncak Pegunungan, Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini telah digembleng dengan hebat. Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.
"Dunia sudah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para datuk sesat, seperti iblis-iblis, keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar sudah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah ke sana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Jika engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai sudah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."
Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas kedua ini sebenarnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka" Seperti ayam aduan atau jengkerik saja. Akan tetapi, perintah guru tidak mungkin diabaikan dan diapun menyanggupi. Demi-kianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan. Cia Sun segera mengenal nenek itu seba-gai Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir dia ber-teriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Gadis yang dibelenggu dan menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sen-dok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.
Akan tetapi, Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, din tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya de-ngan kekerasan begitu saja. Dia tahu be-tapa lihainya nenek itu dan tiga ekor u-lar sendok itu sudah siap mematuk, apa-lagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular. Maka, sambil bersembunyi dia lalu meniup sulingnya yang selalu diba-wanya, dan mengerahkan khi-kang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia mun-cul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Setelah ular-ular itu menyerang-nya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.
Melihat betapa nenek iblis itu menye-rangnya dengan ganas, Cia Sun tidak tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang di antara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat ja-hat dan karenanya haruslah dibasmi. Du-lu, pernah dia hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya. Kini, Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu" Dan mengapa Sui Cin memandang-nya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tidak kelihatan bahwa gadis itu mengenalnya" Apakah Sui Cin sudah pangling kepadanya"
Setelah mengelak dari sambaran cam-buk ekor sembilan, Cia Sun membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul totokan suling yang tadi dipergu-nakannya untuk mengusir ular. Nenek itu mengelak dan menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-le-dak. Terjadilah perkelahian yang seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya. A-kan tetapi, segera nenek itu mendapat-kan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlalu tangguh bagi-nya. Semua serangannya gagal, bukan ha-nya gagal, akan tetapi setiap kali bentur-an tenaga, ia tentu terdorong dan terhu-yung. Hatinya mulai merasa jerih. Akan tetapi Cia Sun yang mengambil keputus-an untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.
Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan ge-rakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan cengkeraman maut yang dah-syat. Nenek itu terkejut, cepat mengge-rakkan cambuknya menangkis dan lang-sung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun untuk menotok jalan darah maut. Pemuda itu tidak menjadi gugup, tangan kirinya menyambar dan menang-kap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki ki-ri Cia Sun melayang ke depan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan selagi kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat meng-elak dengan miringkan kepala, akan te-tapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.
"Dukkk...!" Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan se-rangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang sudah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu. Kiu-bwe Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi ia maklum bah-wa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya ia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa ka-lau ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka iapun memper-gunakan akal. Sambil menudingkan cam-buknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia berkata, "Kau membelanya" Biarlah ia mampus sekarang juga!" Dari tengah gagang cam-bukhya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk.
Cia Sun terkejut bukan main. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu dan jarum-jarum halus beracun itupun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li semakin kaget. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kem-bali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.
"Nenek iblis jahat!" Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, melainkan membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itupun runtuh.
"Heh-heh-heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"
Cia Sun terkejut dan menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tiduk mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong. Keadaan Sui Cin memang tidak wajar. Gadis yang dahulu dia kenal sebagai se-orang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itupun tidak mampu mem-bebaskan diri. Tentu gadis itu telah ter-luka, atau keracunan seperti yang dikata-kan nenek itu. Diapun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu.
Sejak tadi Sui Cin menjadi saksi per-kelahian itu dan iapun merasa kagum ke-pada pemuda berpakaian serba putih se-derhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."
Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Adik Sui Cin, kenapa engkau begini sungkan" Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"
Sui Cin memandang dengan mata ter-belalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi sema-kin cantik menarik. "Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"
Kini Cia Sun yang melongo. "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku" Aku Cia Sun..."
Akan tetapi gadis itu memandang bingung. "Cia Sun..." Aku... aku tidak mengenal nama itu..."
"Ehh..." Bagaimana ini" Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"
Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu... aku ti-dak tahu..."
Cia Sun merasa khawatir sekali dan memandang tajam. "Apa maksudmu" Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"
"Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."
"Apa pula ini" Bagaimana engkau ti-dak yakin akan nama sendiri?"
"Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itupun kudengar dari nenek itu..."
"Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu" Antara ayahmu dan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala. "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sebenarnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu dan ia telah menipuku, memberi minum yang katanya obat mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan ia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya ia adalah musuh besarku..."
"Tentu saja! Ia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"
"Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."
"Aih, Cin-moi. Aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini beberapa tahun yang lalu, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"
Sui Cin menggeleng kepalanya. "Aku lupa segala... kepalaku pening, ahh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnyna..." Gadis itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi ia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu karena racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."
"Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah mengapa, mungkin seperti yang kauingat itu, terkena lemparan batu sehingga otokmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu telah menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau keracunan, Cin-moi. Dan inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..." Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.
"Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"
"Aku tidak kenal denganmu..."
"Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiripun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biarpun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya kepadaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"
Sui Cin boleh jadi kehilangan ingatannya tentang mesa lalu, akan tetapi ia tidak kehilangen kegagahan dan keadilannya. Ia mengangguk. "Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kaulakukan dalam usahamu mengobatiku?"
"Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, karena itu tentu saja akupun tidak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sin-kang, barangkali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau setidaknya aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."
Kembali Sui Cin mengangguk. "Baiklah, saudara..."
"Cin-moi, dahulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun..." pemuda itu berkata halus.
"Baik, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kesih." Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu. Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui telapak kedua tangan itu yang menempel punggung dan ia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki. "Keparat! Anjing monyet tikus sia-lan!" Ia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu de-ngan puteri Pendekar Sadis, malah sudah berhasil ia meringkus tanpa banyak susah dan selagi ia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuh-nya, tahu-tahu muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga! Dan nyaris ia celaka, mungkin te-was di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya ia mampu lolos dari ancaman maut, walau-pun cambuk ekor sembilan dan rambut-nya rontok dan bodol!
"Sialan...!" gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!
Memang menggelikan sekali ulah ne-nek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bah-wa kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan si-kap nenek Kiu-bwe Coa-li itu. Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk meng-gantungkan diri pada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lalu menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan se-bagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Mari kita sama mem-buka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari" Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan ke-luar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu kalau tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita masih melontarkan sebabnya kepada nasib!
Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, me-nyalahkan sistim pelajarannya, menyalah-kan teman-teman dan kalau tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya! Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari-cari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan buruk, licin dan sebagainya, me-nyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagai-nya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya atau juga melontarkannya kepada nasib! Seorang yang da-gangannya tidak laku dan gagal dalam u-sahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakan-nya tolol dan bodoh tidak mengenal ka-rangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.
Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang konyol dan tidak lucu" Bukankah si-kap seperti itu merupakan suatu kebodohan dan menjadi penghalang besar daripa-da kemajuan diri pribadi" Kalau saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri! Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada suatu sumber yang berada di dalam diri sendiri. Dan sikap mencari segala se-bab pada diri sendiri merupakan suatu kebijaksanaan yang amat besar dan amat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara demikian, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dan hanya kalau kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan kepada diri sendiri inilah maka akan dapat terjadi perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib ber-ada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.
Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogianya ditelusur dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku" Kurang bagaimanakah aku" Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, akan tetapi mengapa dia benci kepadaku" Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.
Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu, kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tidak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara manusia. Akan tetapi, kalau kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita mengapa ada orang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini sekaligus menimbulkan kesadaran yang melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merobah kesalahan sondiri.
Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Padahal semua kegagalan yang menimpa dirinya bukan lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan. Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh sehingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan barulah ia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apalagi ketika ia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengannya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih. Nenek inipun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya ia tentu seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya. Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar itu memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh. Jubahnya berwarna putih bersih, dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih seperti rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus seperti wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum membayangkan kebesaran hati ketika ia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.
Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang agak juling itu untuk memandang dan hatinya menja-di semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!
"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyang cambuk-nya. "Di mana kautaruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"
Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum. "Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapa yang bendak menubruk tadi" Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kautabruk." Suaranya halus dan dari suara dan kata-katanya jelas bahwa ia adalah seorang wanita Mongol yang pandai berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan baha-sa yang halus, lebih halus daripada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han aseli.
Ucapan yang halus dan sikap yang te-nang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah di-ejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak, "Pe-rempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-ba-ik. Engkau berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan kalau engkau tidak lekas ber-lutut minta ampun, cambukku akan men-cabut nyawamu!"
"Ck-ck-ck..." Nenek itu menggeleng kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan" Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawa ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang mampu menangguhkannya" Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut karena aku tidak mempunyai kesalahan apapun kepadamu."
"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku" Apakah kau bosan hidup?"
Pada saat itu terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu juga memandang kepadanya dan menggereng marah, matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jerih juga. Biarpun ia lihai, akan tetapi menghadapi seekor harimau yang demikian besarnya, ia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.
"Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk dan harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.
"Huh, biarpun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.
Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mencorong, seperti mata binatang pelibaraannya. "Kiu-bwe Coa-li, sungguh mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukan orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"
"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li yang masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampaknya buas sekali itu. Kalau hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.
"Begitukah" Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."
Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil mengge-reng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suara-nya.
"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"
"Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah dan nenek ini sudah mela-kukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan biarpun sudah ada dua ekornya yang putus ketika ia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh e-kor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yqng dahsyat.
"Hemmm...!" Nenek berjubah putih itu berseru kaget menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.
"Pratt-pratt-prattt!" Cambuk itu bertemu dengan kebutan beberapa kali dan nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.
"Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!" Kiu-bwe Coa-li mengejek dan terus me-nyerang lagi. Ia sama sekali tidak me-mandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya namapun tidak. Demi-kian watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya. Andaikata ia tadi bertanya dan ia tahu dengan siapa dia berhadapan, tentu ia akan bersikap hati-hati dan mungkin ia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi ia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.
Didesak oleh serangan-serangan yang dahsyat itu, nenek jubah putih mengelak sambil berloncatan dan anehnya, ia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi iapun terkejut memperolch kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat ke belakang ia menudingkan kebutannya sam-bil berkata halus, "Kiu-bwe Coa-li, mem-benci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sa-ma saja dengan menyerang diri sendiri!"
Kiu-bwe Coa-li tidak perduli walaupun ucapan nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas ia menu-bruk dengan cambuknya. "Tar-tar-tarrr...!" Cambuk meledak-ledak lalu menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi, en-tah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!
"Ihhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya dan nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Ia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan makin marah.
"Kubunuh kau... kau harus mampus!" Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan. Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lalu membanting kebutan itu ke bawah. Aneh sekali, tiba-tiba saja tubuh Kiu-bwe Coa-li yang se-dang meloncat itu tiba-tiba saja terban-ting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.
"Brukkk...!" Kiu-uwe Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu tidak melukainya, walaupun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Ketika ia mengangkat mukanya, nenek itu sudah berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tidak lagi mau memperdulikannya! Kemarahannya memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.
"Tunggu, ke mana engkau hendak la-ri, keparat?" Ia mengejar dan menuruni lereng yang diapit-apit jurang yang curam itu.
Nenek itu menengok. "Kiu-bwe Coa-li, aku melihat awan hitam mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!" Ucapannya itu halus dan bernada serius. Akan tetapi orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah"
Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li mengge-rakkan cambuknya dan meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu. Akan tetapi, nenek itu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya dan belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu, tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri! Nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat daripada ketika ia pakai menyerang. Ia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka iapun meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam! Nenek ini dalam kemarahannya telah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika ia mengelak dan melompat ke kiri, ia telah melompat ke dalam jurang.
Jeritan itu berhenti dan nenek berju-bah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak o-lehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil seperti boneka meng-gelinding ke bawah, terlempar-lempar ke-tika menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang den diam tak bergerak lagi.
"Ck-ck-ckk...!" Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan. Tepukan tangan itu terdengar nyaring se-kali dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari men-datangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itupun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.
Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan iapun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama ia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali ia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri. "Ah, agaknya akan perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."
Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jerih dan membuatnya tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya. Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apalagi, di samping menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasihat Raja Jenghis Khan! Biarpun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai masih dikenal orang, bahkan ratusan tahun kemudian, nenek itu sebagai keturunan keluarga Yelu, masih dihormati orang-orang Mongol, apalagi karena ia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya. Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasihat para pimpinan suku dan bahkan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara mereka seringkali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih percaya akan hal-hal mujijat dan ketahyulan, nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup!
Sebetulnya, Yelu Ce-tai dahulu adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim sekarang adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat. Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh. Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, sudah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.
Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang menakutkan dan memang nenek ini kadang-kadang mempunyai sikap yang aneh dan mengejutkan orang, kadang-kadang ia murah hati sekali dan mudah mengampuni, akan tetapi ada kalanya ia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah seorang kejam, melainkan seorang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap ia kejam. Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan ia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, ia suka akan binatang peliharaannya. Akan tetapi kalau para janda itu suka memelihara kueing atau anjing, nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan. Dan harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, bahkan juga dapat menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga dan melindungi keselamatannya. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampaknya amat menyayang dan setia kepada majikannya.
Demikianlah sedikit tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yahg sedang duduk bersila. Sui Cin yang merasa betapa hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman sekali dan hampir tertidur. Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sin-kang berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang seakan-akan menjadi lumpuh. Namun, dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sin-kang atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit.
Telah lewat tiga jam lamanya sejak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan terpaksa dia berhenti dulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan kedua tangannya dan Sui Cin sadar dari keadaan seperti tidur itu. Mereka lalu duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling memandang. Melihat betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun menarik napas panjang.
"Cin-moi, kita harus mengaso dulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya sin-kang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa yang dipergunakan Kiu-bwe Coa-li sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam tubuhmu seperti ini."
Gadis itu memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu. Ia tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, ia sudah lupa lagi siapa adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, di antara mereka terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, seorang pendekar! Dan melihat sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini seorang pendekar yang mengagumkan, bukan hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sin-kang. Seorang pe-muda yang hebat, dan sinar mata pemu-da itu kalau ditujukan kepadanya mem-buat jantungnya tergetar karena jelas te-rasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.
"Sudahlah, Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hambur-kan tenagamu untuk mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, ha-nya lemas dan tidak mampu membangkitkan tenaga sin-kangku..."
"Akan tetapi, engkau tentu menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan ma-tamu layu, Cin-moi, bagaimanapun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan ahli untukmu."
Pada saat itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon di mana kini sudah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya ne-nek ini tentu saja mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih tidak berdaya, diapun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata penuh curiga.
Nenek itu adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali. Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya penuh ejekan. "Orang muda, kaukah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coa-li?"
Cia Sun mengerutkan alisnya dan me-mandang tajam. "Benar sekali, dan sete-lah nenek iblis itu melarikan diri seka-rang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada hubungan apa engkau de-ngan Kiu-bwe Coa-li?"
Senyum mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak percaya. "Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li?"
"Kalau nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu ia sekarang sudah tewas di tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti ia memang sudah sepatutnya di-basmi dari permukaan bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul di sini?"
"Aku tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li, dan aku datang untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu." Berkata demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan dan mengelebatkan kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga jalan darah di dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.
"Hemm, kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!" bentak Cia Sun yang cepat mengelak dan diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh. Melihat tamparan ini yang mengandung hawa pukulan amat dahsyat, nenek Yelu Kim terkejut bukan main dan tahulah ia bahwa memang pemuda ini lihai sekali. Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coa-li sampai melarikan diri dalam keadaan marah-marah sehingga hampir menubruknya. Iapun menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan cambuknya.
Beberapa kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan setiap kali Cia Sun kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apalagi ketika melihat nenek itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar dan berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu seringkali berkelebatan lenyap dan tanpa diketahuinya, Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat di mana Sui Cin duduk bengong tadi. Gadis ini merasa gelisah karena ia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang nampaknya juga lihai sekali itu.
Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, telah lenyap di sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Iapun melangkahkan kaki untuk mengejar karena walaupun ia sendiri tidak berdaya, tidak mampu membantu karena tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih lemas, akan tetapi ia harus menyaksikan bagaimana kelanjutan perkelahian itu.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang amat besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar. Harimau itu demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau ia berada dalam keadaan biasa, tentu ia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan diri" Ia mencoba untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Sui Cin menjadi panik. Rasa ngeri mencekam hatinya dan ia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang berada di samping kirinya. Ia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebeser paha manusia itu roboh, membawa Sui Cin bersama roboh ke bawah!
"Ahhhh...!" Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan iapun jatuh pingsan.
Sementara itu, nenek pemegang kebutan ketika mendengar auman-auman harimau itu, tersenyum dan berkata, "Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu silatmu hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat tinggal!" Ia menggerakken kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan Cia Sun. Pemuda ini tercengang, mencari dengan pandang matanya ke sana-sini, akan tetapi sia-sia belaka, ia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka iapun cepat kembali ke tempat tadi karena iapun mendengar suara auman-auman harimau tadi dan mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.
Ketika tiba di tempat tadi, di mana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.
"Cin-moi...!" Dia berseru memanggil mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika mendengar suara auman harimau. Akan tetapi, panggilannya yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban same sekali.
"Cin-moi, di mana kau...?" Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan ataupun jejak gadis itu. Akhirnya dia menghentikan usahanya mencari dan duduk termenung di atas sebongkah batu besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi adalah seorang yang amat pandai dan biarpun ilmu silatnya tidak begitu hebat, juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu memiliki ilmu yang luar biasa, yaitu pandai menghilang. Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja" Dan nenek itu seperti sengaja memancingnya menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah terdengar auman harimau, nenek itupun menghilang! Kini dia teringat bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh.
Cia Sun mengepal tinju dan bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras. "Nenek siluman, sampai di manapun juga, aku akan mengejarmu!" Dan diapun pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari Sui Cin dengan jalan mencari menek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Daerah pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang aneh-aneh bentuknya. Dan di daerah ini banyak terdapat guha-guha alam yang besar-besar dan juga aneh-aneh bentuknya. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah guha yang amat besar. Pintu guha ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa guha itu dirawat dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar guha sudah nampak bahwa di sebelah dalam guha itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak tirai-tirai kain di balik pintu.
Nenek itu duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan guha. Ia adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri. Tangan kaanannya membawa kebutan bulu putih dan di depannya terdapat sebuah guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup.
Terdengar auman harimau dari depan guha. Untuk mencapai guha itu orang harus mendaki dari bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu mendaki naik membawa gadis yang diseretnya itu.
Harimau besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidaklah sukar bagi harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju ke mulut guha di mana nenek itu menanti dengan wajah berseri.
"Letakkan ia di sini, Houw-cu," kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya. Harimau itu membawa Sui Cin ke depan si nenek dan melepaskannya di atas lantai. Tubuh Sui Cin rebah terlentang. "Nah, kau boleh pergi mengaso, Houw-cu," kata pula nenek Yelu Kim dan harimau itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga.
Nenek itu lalu membuka baju atas Sui Cin dan melakukan pemeriksaan, meraba sana-sini, mengetuk sana-sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan mengangguk-angguk.
"Sungguh keji sekali Kiu-bwe Coa-li, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."
Kemudian, dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam guha. Ternyata guha itu amat lebar dan di sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada di sudut ruangan luas itu. Kemudian ia membuat api di tungku dan memasak obat.
Sebelum obat itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Ia mengeluh dan seketika teringat akan harimau itu, maka iapun bangkit duduk dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau di situ sehingga melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.
"Nenek iblis! Apa yang telah kaulakukan terhadap Sun-twako?" bentaknya marah, akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika ia mencoba mengerahkan tenaga, masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya.
Yelu Kim masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh dan tersenyum. "Ah, engkau sudah sadar, nona" Aku dan Houw-cu sudah banyak mengejutkan hatimu, bukan" Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."
"Hemmm, siapa mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu" Di mana Sun-twako dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"
Nenek itu tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api dan menuangkan air obat yang berwarna coklat itu dan yang me-ngebulkan uap panas ke dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hi-dung Sui Cin, bau masakan obat.
"Aku tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, no-na, aku Yelu Kim jangan kausamakan dengan Kiu-bwe Coa-li."
"Kalau tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"
"Memang kusengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houw-cu untuk membawamu ke sini."
Mata Sui Cin terbelalak. "Apa" Hari-mau itu peliharaanmu dan dia kausuruh datang menculikku?"
Nenek itu masih tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak berniat jahat, anakku yang baik."
Sui Cin mendengus marah. "Tidak berniat jahat akan tetapi menyuruh harimaumu mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang dan me-mancing Sun-twako meninggalkan aku" Bagus, kaukira ada orang mau percaya o-monganmu ini?"
"Terserah kepadamu, nona. Akan te-tapi, kalau aku berniat buruk, apakah kaukira kau masih hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"
"Di mana Sun-toako?"
"Aku meninggalkan dia. Dia terlalu kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Setelah engkau dibawa hari-mauku, akupun meninggalkannya."
"Tapi... tapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap kami?"
"Sabarlah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan percaya kepadaku atau ti-dak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah per-kasa itu. Namaku Yelu Kim dan di dae-rah Mongol ini aku dihormati orang, bah-kan dianggap sebagai orang tua yang pa-tut dimintai nasihat oleh para kepala su-ku." Nenek itu mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak kaget mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seo-rang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan boleh diandalkan kelak.
"Nona, engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau sampai berada di daerah ini dan keracunan?"
Melihat sikap orang yang begitu ra-mah dan halus, berkuranglah kecurigaan Sui Cin. Bagaimanapun juga, dari sikap dan bicaranya, sukarlah menyamakan ne-nek ini dengan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li. Ia menarik napas panjang. Bagaimana-pun juga, dalam keadaan kehilangan te-naga ini iapun tidak akan mampu menjaga diri dan keselamatannya berada di ta-ngan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau ia bersikap halus mengimbangi sikap ne-nek itu.
"Ah, aku menjadi bingung kalau dita-nya begitu, nek. Ketahuilah, aku telah lupa sama sekali akan keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan inilah maka Kiu-bwe Coa-li dapat meni-puku, memberiku minum racun itu yang melumpuhkan kaki tanganku. Aku sampai sekarang tidak ingut lagi siapa adanya diriku, apalagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."
Mendengar ucapan itu dan melihat si-kap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan tertarik sekali. Ia meman-dang tajam penuh selidik. "Apa" Engkau kehilangan ingatanmu" Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"
"Bagaimana aku tahu, nek" Yang ku-ingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala dan ada dorongan dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan di sinilah aku. Aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku tidak mengenalnya dan baru aku tahu setelah ia memberi minum racun dan aku terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan ia mengaku bahwa ia adalah musuh besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat, akan tetapi akupun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku dari pengaruh racun yang melumpuhkan, dan engkau muncul..."
Nenek itu tertarik sekali dan mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, selain menyembuhkan engkau dari keracunan, akupun harus berusaha membangkitkan kembali ingatanmu itu, nona."
Sui Cin memandang tajam. "Mengapa, nek" Mengapa engkau hendak menolongku dengan cara seperti itu" Memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh harimau peliharaanmu itu untuk membawaku ke sini?"
"Nona, di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan iblis itu tan-pa sebab menyerangku. Akan tetapi akhirnya ia tewas oleh ulahnya sendiri, terja-tuh ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau sedang diobati oleh pemuda itu. Aku da-pat menduga bahwa engkau tentu terluka oleh Kiu-bwe Coa-li. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan tetapi juga aku dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan agaknya hanya engkaulah yang akan mampu membantuku menyelesaikan se-buah persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku lalu menggunakan akal untuk memancingnya meninggalkanmu dan aku menyuruh Houw-cu untuk membawamu ke sini."
Sui Cin mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan tetapi juga hendak minta ban-tuannya. Pertolongan yang bersyarat, pi-kirnya. "Nenek yang baik, hendaknya eng-kau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak me-nerima pengobatanmu!"
Nenek itu tertawa. "Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku dengan mendiang Kiu-bwe Coa-li."
"Sungguh aneh sekali. Engkau yang mampu mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis seperti Kiu-bwe Coa-li, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat kulakukan untuk seorang sak-ti seperti engkau?"
"Sudahlah, tidak perlu engkau mem-buang banyak tenaga. Mari kuobati eng-kau lebih dulu, baru nanti kuceritakan a-pa yang harus kaulakukan untukku. Mari, kauminumlah obat ini dan racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap, tenagamu akan pulih kem-bali."
"Tapi... tapi engkau belum menceritakan syaratmu..." Sui Cin meragu.
"Tidak usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andaikata engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hati-mu, engkau boleh tidak usah melakukan-nya. Nah, kau tahu sekarang bahwa aku tidak berniat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."
Sui Cin yang tahu bahwa kalau ia ti-dak minum obat, keselamatannya tentu terancam maut, maka iapun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini bermaksud buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya" Apa perlu-nya nenek ini susah-susah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau mak-sudnya buruk" Ia lalu menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya tidaklah seburuk rupa-nya. Baunya sedap dan rasabya agak ma-nis, maka tanpa ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis.
Tiba-tiba ia merasa betapa dalam pe-rutnya bergerak-gerak dan terdengar sua-ra berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Ye-lu Kim tersenyum.
"Nona, kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan tergesa-gesa, kalau pintu pusar sumber tian-tian sudah terbuka, salurkan tenagamu perlahan-lahan agar tidak me-rusak jaringan syaraf yang penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."
Sui Cin menurut dan iapun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan perlahan-lahan ia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya dan ada kekuatan yang naik. Ia lalu me-nguasai tenaga itu dan perlahan-lahan menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai ia merasa biasa kembali dengan tenaga sakti yang ta-di seperti tenggelam itu. Tak lama ke-mudian ia merasa segar dan sehat kem-bali dan dibukanya kedua matanya. Ne-nek Yelu Kim berdiri memandang kepa-danya dengan senyum ramah. Kini lenyaplah keraguan dari hati Sui Cin dan iapun cepat bangkit dan memberi hormat kepa-da wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar dalam keraguannya.
"Harap locianpwe sudi memaafkan ke-kasaranku tadi dan terima kasih atas per-tolongan locianpwe."
Nenek itu tersenyum. "Nantl dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai orang. Nona, sambutlah seranganku ini!" Dan kebutan di tangannya bergerak menyambar, ujung kebutan melakukan totokan kilat ke arah pundak Sui Cin. Gadis ini terkejut, namun otomatis ia bergerak mengelak dan setelah ia mengerti bahwa nenek itu hendak mengujinya, maka iapun bergerak lincah menghadapi serangan kebutan bertubi-tubi itu, bahkan berani menangkis menggunakan tenaga sin-kangnya.
"Plakk!" Tangkisannya itu membuat Yelu Kim terhuyung ke belakang dan ne-nek ini menjadi semakin girang. Ia mempercepat gerakan kebutannya, akan tetapi segera ia merasa pusing setelah Sui Cin menggunakan gin-kangnya yang istimewa. Nenek ini dapat menghilang dengan ban-tuan sihirnya, akan tetapi sekarang ia menghadapi kecepaten Sui Cin, ia men-jadi bingung karena kadang-kadang bayangan gadis itu seperti lenyap dan ta-hu-tahu telah berada di samping atau be-lakangnya. Ia melompat mundur dan memandang kagum.
"Cukup, cukup! Aih, girang hatiku ka-rena aku sama sekali tidak kecewa. Eng-kau bahkan melampaui semua harapan dan dugaanku, nona."
"Ah, locianpwe terlalu memuji. Seka-rang harap locianpwe ceritakan, bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu!"
Nenek itu kembali tersenyum. "Nanti dulu, nona, jangan tergesa-gesa. Urusan itu penting sekali dan aku tidak mau bantuan orang untuk mewakiliku tanpa kuke-nal benar siapa adanya orang itu. Karena itu, biarlah aku akan mencoba untuk me-nyembuhkan dulu luka di dalam kepala-mu yang membuatmu kehilantan ingatan itu."
Sepasang mata Sui Cin terbelalak dan wajahnya berseri saking girangnya. "Lo-cianpwe dapat menyembuhkan aku dan mengembalikan ingatanku yang hilang?" tanyanya penuh harapan.
Nenek itu mengangguk. "Mudah-mudahan demikian agar tidak percuma sebutan semua rakyat Mongol yang menyebut aku Dewi Penyelamat. Marilah masuk ke da-lam kamarku dan aku akan mulai dengan pengobatan itu, nona. Akan tetapi engkau harus percaya penuh kepadaku dan ber-sabar karena mengobati bagian kepala harus sangat hati-hati dan teliti."
Demikianlah, nenek Yelu Kim yang ternyata memiliki ilmu pengobatan yang tinggi itu memeriksa kepala Sui Cin dan mulai memberi pengobatan dengan urut-an-urutan pada jalan darah dan juga memberi obat minum yang rasanya amat pahit. Namun Sui Cin yang sudah mena-ruh kepercayaan penuh kepada nenek yang ramah itu mentaati semua petunjuknya dengan sabar. Kemudian ia melihat beta-pa nenek ini dibantu oleh beberapa orang pelayan wanita Mongol yang datang seti-ap kali tenaga mereka diperlukan dan a-gaknya mereka itu tinggal di luar guha yang hanya ditempati nenek Yelu Kim seorang diri saja. Juga ia melihat betapa harimau besar yang pernah mengejutkan-nya itu ternyata adalah seekor binatang yang amat jinak jika berada di dekat ne-nek Yelu Kim. Bahkan ia sendiri mulai bersababat dengan binatang itu yang a-gaknya mengerti bahwa ia bukenlah seo-rang musuh melainkan seorang kawan baik.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Hui Song memasuki kota kecil yang merupakan benteng terakhir di daerah u-tara dari pasukan pemerintah. Benteng i-tu berada di dekat Tembok Besar, sebe-lah selatan tembok dan penduduknya cu-kup banyak karena kota San-hai-koan ini benar-benar merupakan kota dekat laut dan gunung. Penghuninya sebagian besar adalah orang-orang Han utara, akan te-tapi banyak juga terdapat orang-orang Mongol dan Mancu, yaitu para pedagang yang datang dari luar Tembok Besar. Ka-rena kota benteng ini merupakan perta-hanan terakhir dari pemerintah Kerajaan Beng. Pada waktu itu, kekuasaan Kerajaan Beng meliputi daerah yang cukup luas. Ke selatan sampai lautan dan propinsi paling selatan adalah Kiang-si dan Yun-nan, ke barat hanya sampai Se-cuan dan Shen-si saja dan ke utara hanya sampai batas Tembok Besar. Tentu saja luasnya wilayah ini merupakan warisan atau ram-pasan dari kekuasaan Kerajaan Goan atau penjajah Mongol yang memang berambisi untuk memperluas wilayah.
San-hai-koan merupakan kota penghu-bung antara Tiongkok dan daerah Mongol dan Mancu, dan menjadi satu di antara benteng-benteng terakhir di utara, dan merupakan benteng terakhir dan terkuat di daerah timur laut. Karena itu, ben-teng ini diperkuat dengan pasukan yang cukup besar, dipimpin oleh seorang gu-bernur yang dibantu oleh seorang pangli-ma perang. Karena letaknya di tepi laut-an, di tepi teluk besar Po-hai, maka se-bagian besar daripada penghuninya ada-lah pelaut-pelaut dan nelayan yang biasa bekerja keras, di samping banyak pula yang menjadi pedagang karena ramainya lalu-lalang di daerah perbatasan ini. Ko-tanya cukup besar, banyak terdapat rumah makan dan rumah penginapan. Akan tetapi, penjagaan kota itu cukup ketat dan para penjaga keamanan selalu meng-adakan pemeriksaan untuk mencegah ter-jadinya kerusuhan di kota benteng itu.
Ketika Hui Song memasuki kota itu, dia melihat banyak orang, kesemuanya pria, menuju ke satu jurusan. Dia sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap diri Sui Cin, maka melihat ra-mainya orang pergi ke jurusan tengah kota, diapun lalu menyusup di antara banyak orang sambil bertanya-tanya. Siapa tahu dia akan bertemu dengan Sui Cin di pusat keramaian, karena dia tahu bahwa Sui Cin suka sekali menyamar sebagai pria. Dia tersenyum geli kalau teringat akan hal itu. Betapa bodohnya dia dahu-lu, kena dipermainkan gadis itu yang menyamar sebagai pria dan dia sama sekali tidak tahu bahwa "pemuda jembel" yang lucu dan jenaka itu adalah Sui Cin! Akan tetapi sekarang, biar gadis itu akan me-nyamar seribu kali, dia pasti akan dapat mengenalnya.
"Sobat, ada peristiwa apakah maka orang-orang begini banyak berbondong-bondong ke suatu arah" Ke manakah kalian hendak pergi?" tanyanya kepada seorang laki-laki brewok yang wajahnya memba-yangkan keramahan.
Orang itu memandang kepada Hui Song dan memicingkan matanya. "Hemm, agaknya engkau baru datang dari selatan, ya?"
"Benar," Hui Song menjawab terus te-rang, "aku sedang melancong."
Si brewok itu menggeleng kepala. "Aihh, melancong dalam waktu begini, sungguh berbahaya."
"Eh, ada apakah?"
"Negara sedang tidak aman. Didesas-desuskan orang bahwa akan ada pembe-rontakan besar. Karena itu, sejak sepekan ini, Kok-taijin dan Ji-ciangkun mengada-kan sayembara penerimaan perwira-per-wira baru, juga perajurit-perajurit cadangan untuk menjaga kalau-kalau benteng ini diserang musuh."
"Ah, begitukah" Sayembara apakah i-tu?"
"Tentu saja semacam pibu (adu kepan-daian silat). Setiap orang yang mampu mengalahkan pengujinya, akan diterima. Akan tetapi jangan harap untuk dapat mengalahkan penguji untuk penerimaan calon perwira itu. Kalau hendak masuk perajurit, boleh saja karena pengujinya tidak begitu berat. Akan tetapi penguji para calon perwira itu, waah, luar biasa sekali. Raksasa itu tak terkalahkan sehingga dalam sepekan ini, belum ada seorangpun yang lulus ujian! Dan hari ini kami semua ingin melihat apakah masih ada orang berani menghadapi raksasa itu."
Hati Hui Song tertarik sekali dan diapun ikut bersama rombongan orang yang berduyun menuju ke alun-alun, semacam lapangan rumput yang luas dan yang berada di tengah kota. Kota itu memang merupakan kota tentara, dikurung tembok benteng yang tinggi dan kokoh kuat, dan di dalamnya terdapat pula lapangan-lapangan untuk berlatih baris dan olah raga bagi para perajurit.
Ternyata di tempat itu sudah terdapat banyak orang. Mereka berdiri mengepung sebuah panggung yang tingginya setombak dan di belakang panggung itu terdapat sebuah bangunan kecil di mana duduk seorang pembesar sipil dan seorang pembesar militer yang dijaga oleh belasan orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Dan di atas panggung berdiri seorang laki-laki yang tinggi besar. Hui Song dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki tenaga yang amat besar. Dia sendiri mungkin hanya setinggi leher orang itu dan tubuhnya tidak ada setengahnya dibandingkan dengan tubuh raksasa itu. Kepalanya gundul, akan tetapi alisnya tebal dan hitam

^