Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar, mulut, hidung dan matanya juga besar. Tubuhnya yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan menyeramkan. Pada bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang panjang-panjang seperti monyet. Selain cawat itu, betisnya diikat semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abu-abu. Perutnya besar gendut, akan tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan dan kakinya juga penuh tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi jantan. Pendeknya, raksasa ini cukup menakutkan bagi orang yang harus menghadapinya sebagai lawan. Dan melihat bentuk mukanya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya yang hanya mengenakan cawat, diapun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli silat yang amat kuat.
Seorang pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang berkata sambil berdiri di sudut panggung, "Saudara-saudara sekalian! Bagi mereka yang belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang bernama Moghul!"
Pegulat raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat penjuru disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama ini belum ada seorangpun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga di antara penonton memandangnya penuh kebencian.
"Biarkan aku maju menghadapinya, paman," kata seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah. Hui Song memperhatikan percakapan antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada di tempat itu pula, tidak jauh darinya.
"Aih, sudahlah, Bian-ji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk menjadi bulan-bulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, sedikitnya tentu tulang lengan atau kaki mereka patah-patah. Dia lihal sekali, kuat dan kebal," kata yang tua.
"Akan tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah aku sudah mempelajari silat bertahun-tahun?" bantah yang muda.
"Ah, apa kaukira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itupun bukan ahli-ahli silat" Percuma saja, mereka itu satu demi satu, begitu ter-tangkap oleh tangan raksasa itu, tidak mampu berkutik, dibanting, ditekuk dan dipatah-patahkan tulangnya."
"Saudara-saudara sekalian," kembali tukang bicara itu berteriak nyaring, "Sampai hari ini belum ada seorangpun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita ini tidak ada orang gagah" Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang saja. Tidak perlu mengalahkan Moghul, asal dapat bertahan melawan dia sampai habis terbakarnya sebatang hio saja sudah dianggap lulus. Kamipun tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul, si manusia gajah!"
Ucapan itu merupakan tantangan. De-ngan mengatakan pertanyaan apakah di kota San-hai-koan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan o-leh si pembicara tadi, si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran dalam hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.
"Paman, aku akan mencoba...!" Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju mendekati panggung.
"A-bian... jangan...!" pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah meloncat naik ke atas panggung. Gerakannya cukup cekatan ketika meloncat dan para penonton menyambut penantang pertama ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lalu menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.
"Hamba Kui Bian mohon perkenan pa-duka untuk mencoba kebodohan hamba."
Ji-ciangkun memberi isyarat dengan tangannya. "Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat lulus."
Seorang pengawal siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung itu. A-sap mengepul dan hio itu ditancapkan di tempat hio yang ditaruh di sudut depan panggung yang luas tempat bertanding i-tu. Si baju hitam lalu bangkit dan meng-hampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali.
Si baju hitam kini menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah. Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si baju hitam diam saja, diapun berkata dengan bahasa Han yang kaku, "Majulah, hio telah menyala."
Si baju hitam tiba-tiba berteriak, "Lihat serangan!" dan diapun menggerakkan tubuhnya yang meluncur ke depan. Ternyata dia menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menduga akan diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau menangkis.
"Blukk...!" Sepasang kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan kuat sekali dan akibatnya, tubuh yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk nyaring. Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah berdiri kembali ke atas papan dengan tegak. Sorak-sorai menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini girang melihat bahwa akhirnya muncul seorang gagah yang mampu merobohkan si raksasa dalam satu serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak senang melihat jatuhnya jagoannya.
Memang tubuh raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan membuat dia terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini amat mengherankan. Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak demikian cepatnya.
Dengan marah Moghul balas menyerang. Dia mementang kedua lengannya seperti seorang jago gulat atau seperti seekor biruang yang hendak menerkam, kemudian menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak lawan. Akan tetapi si baju hitam itu cukup gesit, dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping den kembali melayang dan kedua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali ini dari samping kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan, terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka diapun lalu menangkis dengan lengan kanannya yang besar.
"Bresss...!" Dan kembali dia terguling. Biarpun dia dapat menangkis, namun tenaga tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak mampu ditahannya dan untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul dan tahu bagaimana untuk mengalahkannya, maka dia menggunakan tendangan- tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan kekuatan yang amat besar.
Sekali ini si raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Diapun sudah meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun. Akan tetapi, tiba-tiba saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya yang besar itu telah menangkap kaki kiri lawan! Si baju hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun, tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas. Akan tetapi, selagi Moghul menyeringai girang karena melihat akalnya yang pura-pura lambat bangun tadi kini berhasil, tiba-tiba si baju hitam mengeluarkan bentakan keras dan kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah muka lawan. Moghul terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia dapat menerimanya dengan lindungan kekebalannya. Akan tetapi kini yang diserang adalah mukanya di mana terdapat bagian-bagian yang tidak mungkin bisa kebal seperti mata den hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi tidak terduga-duga.
"Desss...!" Cengkeraman tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas dan Moghul terhuyung ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju hitam ini, dan juga Kok-taijin tersenyum girang akan tetapi Ji-ciangkun menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut.
Akan tetapi Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itupun berhenti mengalir. Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar. Dan hio yang bernyala itupun belum padam, baru terbakar setengahnya. Dengan demikian berarti bahwa si baju hitam belum menang. Menurut peraturannya, kalau dia dapat bertahan sampai hio itu habis terbakar, atau kalau dia dapat merobohkan Moghul sampai si raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang. Kini Moghul menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah. Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan tendangan. Agaknya si baju hitam itu tidak mempunyai akal lain kecuali hendak mengalahkan lawan dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak tahu bahwa Moghul, selain kebal dan bertenaga besar, juga memiliki kecerdikan. Begitu melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga menggerakkan kakinya ke depan, menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang amat kecil dibandingkan dengan kaki Moghul.
"Bresss...!" Dua batang kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lalu terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam dan Kok-taijin mengerutkan alis-nya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena kekalahan si baju hitam, melainkan karena dia melihat betapa si raksasa itu curang. Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja! Tentu saja kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang, terasa nyeri bukan main bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini. Ketika si baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi, dia masih belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki meluncur ke depan. Agaknya dia hendak mengalahkan lawan dengan tendangan terbang seperti tadi.
Si raksasa menyeringai. Dia kini berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang dan memang sekali ini dia sudah siap-siap menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki si baju hitam itu menyambar dengan tumbukan keras mengenai dada yang bidang dari Moghul.
"Bresss...!" Den sekali ini tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju hitam terlempar ke belakang den terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul mengirim tendangan! Agaknya si raksasa ini masih marah karena tadi beberapa kali menjadi bulan-bulan tendangan yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula.
Melihat tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tak sempat mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.
"Dukkk...!" Dan si baju hitam mengeluh kesakitan dan terguling, tulang lengan yang menangkis itu patah bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti bahwa juga sepatu itu dalamnya berlapis baja!
Kini Moghul mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai lututnya, membuat dia terpelanting. Dan Moghul menghampirinya, lalu menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam. Si baju hitam berteriak kesakitan dan ternyata kedua kakinya itu retak-retak tulangnya diinjak oleh Moghul. Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh berso-rak girang memuji dan menyambut ke-menangan raksasa Moghul. Memang di antara para penonton, banyak yang menga-dakan taruhan dalam setiap pertandingan dan kini orang-orang yang bertaruh me-megang Moghul berani melipatgandakan taruhannya dengan satu banding tiga! A-gaknya mereka sudah merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan dengan Moghul!
Setelah si baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pu-la beberapa orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan te-tapi, mereka itu satu demi satu diroboh-kan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan patah-patah. Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja se-hingga berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan patah-patah tulangnya. Keadaan menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, ke-cuali mereka yang menang bertaruh. Si tukang bicara sudah berteriak-teriak lagi melakukan tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk ma-ju.
"Saudara-saudara yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi" Benarkah tidak ada seorangpun yang mampu berta-han menandingi Moghul sampai habis ter-bakarnya sebatang hio saja" Apakah ka-lian tidak malu kalau dikatakan bahwa di San-hai-koan tidak ada seorangpun yang dapat disebut gagah" Ingat, yang masuk menjadi perwira akan memperoleh pang-kat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia, membela negara dari gangguan para pemberontak!" Demikian si tukang bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton. Akan tetapi agaknya, mereka yang merasa memiliki kepandaian silat, sudah menjadi gentar dan melihat betapa lima orang tadi, yang gagah-gagah, kalah dan men-derita siksaan mengerikan, dan merasa bahwa mereka tidak akan mampu menan-dingi raksasa itu. Maka, para penonton hanya bisa saling pandang dengan perasaan mendongkol, penasaran, juga kecewa dan menyesal. Kini perasaan mereka se-mua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan. Sayembara memasuki ketentaraan itu kini berobah menjadi se-macam pibu atau adu kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampak-nya semakin sombong itu.
Moghul kini berdiri di tengah-tengah panggung, bertolak pinggang dan tubuh-nya yang telanjang berkilauan karena ke-ringat. Dia terbelalak memandang ke em-pat penjuru, mulutnya menyeringai lebar. "Ha-ha-ha, apakah tidak ada lagi yang maju" Aku belum lelah, belum keluar ke-ringat!" Tentu saja ucapan ini hanya di-pergunakan untuk menyombongkan diri saja. Dia lalu menggerak-gerakkan kaki tangannya dan terdengar suara berkero-tokan dan nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.
Sejak tadi Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa raksasa itu memang hebat dan sukar dikalahkan. Mengapekah pembesar setempat mengadakan syarat yang demikian beratnya untuk menjadi calon perwira" Jelaslah bahwa di antara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang da-pat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio kalau menandingi seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apalagi raksasa itu masih berla-ku curang, menyembunyikan besi di da-lam sepatu dan pembalut kakinya. Seolah-olah pembesar setempat itu bahkan hen-dak menghalangi masuknya orang-orang pandai ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada pe-serta yang unggul, biarpun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak senang dan bahkan khawatir. Meng-apa begini" Bukankah si panglima itu justeru yang membutuhkan perwira-per-wira baru untuk membantunya" Dan Moghul juga dia yang memilih sebagai peng-uji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciang-kun itu bahkan hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru" Semua ini, ditambah pula oleh si-kap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung. Dia harus menyelidiki se-mua ini. Pula, kalau dia sudah memper-oleh kedudukan, biarpun hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggu-nakan pasukan untuk mencari Sui Cin, selain itu, diapun dapat membantu de-ngan pasukannya kalau para pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang di-sangkanya.
Begitu muncul pula seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-se-dang saja dan tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya bersinar-sinar seperti seekor kucing melihat seekor tikus yang akan dapat dipermainkannya sepuas hatinya. Akan tetapi, para penonton sudah bersorak-sorai lagi menyambut kehadiran Hui Song, walaupun sorak-sorai itu hanya untuk mele-paskan ganjalan hati yang menjadi pena-saran karena si pembicara tadi mengata-kan bahwa tidak ada orang gagah lagi di San-hai-koan. Di lubuk hati mereka, tim-bul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga dilemparken ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau patah-patah tu-lang kaki tangannya. Hui Song menghampiri panggung di mana dua orang pembe-sar itu duduk, memberi hormat dan ber-kata dengan suara nyaring, "Saya Cia Hui Song mohon ijin memasuki sayembara."
Kok-taijin mengangguk-angguk dan Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata, "Baik, majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."
Hui Song memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya berpakaian. Raksasa ini sekali tang-kap dan berhasil mencengkeram baju la-wan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulat, lawan yang sudah ditangkap bajunya akan dapat diangkat atau dibanting. Sedangkan tubuh si raksasa ini sendiri yang telanjang, berkeringat dan licin. Teringat akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata.
"Moghul, tunggu dulu. Engkau telanjang badan, tidak adil kalau aku memakai baju ini. tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dulu." Dan diapun menanggalkan jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke tepi panggung dan menghadap penonton.
"Di antara cu-wi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak" Atau gajih" Kalau ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?" tanya Hui Song kepada mereka. Para penonton menjadi heran, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui Song mengambil sedikit di kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak. Tentu saja para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton terdekat, Hui Song lalu menghadapi Moghul dan sebatang hio dibakar oleh seorang petugas.
"Apakah engkau seorang jago gulat?" Moghul bertanya kepada Hui Song setelah pemuda itu berdiri di depannya.
Hui Song menggelengkan kepala. "Bukan, akan tetapi melihat tubuhmu berminyak, akupun melumuri tubuhku dengan minyak," katanya dengan sikap tolol.
"Orang muda, engkau menanggalkan baju dan melumuri tubuhmu dengan minyak, apakah kau akan menghadapi aku bertanding gulat" Ataukah dengan ilmu silat?"
"Dengan apa saja asal aku dapat mengalahkanmu dan dapat diterima menjadi perwira," jawab Hui Song seenaknya.
"Kau pandai gulat?" tanya Moghul. Hui Song menggeleng kepala.
"Pandai silat?" Kembali Hui Song menggeleng kepala.
Mendengar percakapan ini, semua penonton terbelalak. Sudah gilakah pemuda ini" Tidak bisa gulat atau silat, akan tetapi berani naik ke panggung melawan Moghul! Apakah pemuda ini mencari mati"
Moghul sendiri tertawa bergelak, ke-palanya ditarik ke belakang, wajahnya bordongak dan perutnya sampai bergelombang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, bocah nakal, lebih baik pulanglah saja dan minum susu ibumu sebelum terlambat, ha-ha!"
Para penonton juga merasa ngeri membayangkan pemuda yang lemah ini akan disiksa habis-habisan, maka di anta-ra mereka ada yang berteriak-teriak minta agar Hui Song turun saja dari atas panggung.
Akan tetapi Hui Song bersikap tenang. Dia bahkan menghampiri tempat hio yang sudah ditancapi sebatang hio bernyala, lalu dia menggunakan jari menjepit ujung hio itu sehingga apinya padam.
"Hei, apa yang kaulakukan itu?" Si petugas yang tadi membakar hio mene-gur.
"Terlalu cepat kalau dibiarkan terba-kar. Kalau begini kan bisa lama bermain-main dengan gajah bengkak itu" Biarlah kami berdua main-main sampai seorang di antara kami roboh tak mampu mela-wan lagi!" jawab Hui Song dengan sikap yang masih tenang.
Mendengar ini, semua orang menjadi terkejut dan semakin terheran. Pemuda ini benar-benar sudah gila! Kalau tidak, mana mungkin berani bersikap seperti i-tu, menantang si raksasa untuk bertan-ding sampai seorang di antara mereka menggeletak tak mampu melawan lagi" Seolah-olah dia akan mampu bertahan se-kian lamanya!
Akan tetapi, sikap Hui Song ini mem-buat Moghul menjadi marah. Dia merasa ditantang dan bahkan dipandang rendah oleh pemuda hijau itu. "Majulah dan aku akan mematahkan seluruh tulang-tulang tubuhmu!" bentaknya sambil melangkah lebar menghampiri Hui Song yang sudsh kembali ke tengah panggung. "Engkau ini tikus kecil berani banyak lagak!"
Hui Song tersenyum jenaka. "Dan engkau ini babi kebiri terlalu banyak kaok-kaok, cobalah tangkap aku kalau bisa!"
Para penonton mulai tertawa melihat betapa pemuda ingusan itu berani mempermainkah si raksasa dan memakinya babi kebiri. Moghul memandang marah, matanya menjadi semakin lebar dan alisnya bangkit berdiri, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan, kedua tangannya mencengkeram hendak menangkap tubuh Hui Song, seperti seekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi, dengan gaya yang lucu namun cepat, Hui Song sudah menyelinap dan menyuruk ke bawah lengan si raksasa sambil berseru "Sayang luput!"
Kemudian, karena dia tadi menyelinap melalui bawah lengan lawan, kini tubuhnya berada di belakang lawan dan sekali dia mengangkat kaki kiri, sepatunya telah menendang panggul yang besar dan berdaging tebal itu. Tentu saja dia tidak mengerahkan tenaga sin-kangnya karena dia ingin mempermainkan raksasa yang berhati kejam ini.
"Bukkk...!" Pinggul itu kena ditendang dan walaupun Moghul tidak roboh dan tendangan itu tidak mendatangkan rasa nyeri akan tetapi suaranya yang nyaring itu terdengar semua orang dan mulailah para penonton bersorak gembira. Walaupun gerakan pemuda itu tidak memperlihatkan gerak silat atau gerak gulat yang mahir, namun buktinya pemuda itu telah berhasil menendang pinggul Moghul. Ini saja sudah hebat!
Moghul memutar tubuhnya, membalik dan mukanya merah sekali, matanya melotot saking marahnya. Dia menyerbu dan hendak menangkap, namun kembali Hui Song mengelak. Moghul mengejarnya dan kini raksasa itu mempergunakan kakinya yang besar untuk menyerang dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi. Hemm, pikir Hui Song, kiranya pegulat inipun mahir ilmu tendangan yang cukup lihai, apalagi kalau diingat bahwa di balik sepatu dan pembalut kakinya itu tersembunyi baja yang keras dan kuat. Dia mengelak dengan sembarangan saja, sengaja bersikap bodoh untuk memancing si raksasa agar bersikap lengah. Beberapa kali tendangan itu lewat dan ketika tendangan kaki kanan raksasa itu menyambar, dia cepat merendahkan tubuhnya dan begitu kaki itu lewat, dia mengulur tangannnya, menangkap bawah kaki itu dan terus mendorongnya ke atas. Karena Hui Song hanya menambah tenaga luncuran kaki itu sendiri, maka Moghul tidak mampu mempertahankan diri. Karena kakinya terus terangkat ke atas, otomatis tubuhnya terjengkang dengan keras.
"Brukkk...!" Papan lantai panggung itu tergetar hebat dan untung tidak ambrol tertimpa tubuh yang besar dan berat itu.
"Waah, hati-hati, babi kebiri. Perutmu bisa pecah kalau kaubanting-banting begitu!" Hui Song mengejek dan kembali terdengar sorak-sorai yang amat hebat. Kini mulailah timbul harapan di dalam hati penonton. Boleh jadi pemuda itu tidak mampu silat, tidak mampu gulat, akan tetapi jelas amat pemberani dan cerdik, dan sudah terbukti bahwa dalam beberapa gebrakan saja sudah mampu menendang pinggul si raksasa dan kini malah membuatnya terjengkang dan terbanting keras. Dan Moghul tidak segera bangkit, sengaja memancing agar pemuda itu melanjutkan serangannya untuk ditangkatnya, seperti yang dilakukannya terhadap si baju hitam tadi. Akan tetapi Hui Song tidak menyerang lagi, melainkan hanya pringas-pringis mengejek.
"Heh-heh, apakah perutmu terasa mulas dan kau tidak mampu bangun berdiri" Nah, baiklah. Mari kubantu, babi!" Hui Song mengulurkan tangannya seperti hen-dak membantu raksasa itu bangun. Tentu saja para penonton menjadi panik, bahkan ada yang berteriak-teriak agar Hui Song berhati-hati. Memang pemuda itu nampaknya terlalu sembrono dengan memberikan tangannya seperti itu. Sekali tangannya tertangkap, tentu pemuda itu akan cela-ka, akan dipatah-patahkan tulangnya dan mungkin saja akan dibunuh karena raksa-sa itu sudah amat marah padanya. Akan tetapi Hui Song pura-pura tidak mende-ngar cegahan-cegahan itU dan tetap mengulur tangan kepada Moghul.
Dan raksasa itu benar-benar menyambar tangan Hui Sbng yang diulurkan dan jari-jari yang panjang besar itu berhasil menangkap pergelangan tangan Hui Song dengan kuat. Akan tetapi, tiba-tiba Hui Song menarik lengannya dan cekalan itu terlepas, tangan itu licin seperti belut terlepas tak mampu dipertahankan oleh Moghul. Hui Song tersenyum dan memandang kepada orang yang memberi minyak kepadanya tadi, menjura.
"Terima kasih atas minyaknya, lenganku jadi licin, hi-hik!" Kembali orang-orang bersorak-sorai dan Hui Song kembali mengerahkan lengan yang satu lagi kepada Moghul. Ketika secara otomatis Moghul mengulur tangan hendak menangkap, Hui Song menarik kembali tangannya, seperti menggoda seorwg anak kecil saja. Sorak-sorai makin keras, orang-orang tertawa dan merasa geli menyaksikan pertunjukan yang lucu itu. Seperti bukan melihat pibu yang menyeramkan saja melainkan nonton panggung lawak yang lucu.
Dapat dibayangkan betapa kemarahan Moghul makin menjadi. "Kupatahkan semua tulangmu, kuhancurkan kepalamu...!" katanya berkali-kali dengan suara`mendesis.
"Silakan, kalau kau mampu menangkap aku," Hui Song mengejek.
Moghul yang sudah marah sekali itu tidak menjawab, melainkan menubruk lagi dengan cepat sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah. Namun, Hui Song mengelak dan sambil tersenyum mengejek pemuda ini tidak membalas, melainkan terus mengelak sampai raksasa itu terengah-engah kecapaian. Para penonton tertawa-tawa melihat tingkah Hui Song yang mempermainkan Moghul. Akan tetapi, agaknya bagi Moghul tidak ada kata kalah dalam benaknya. Dia sudah terbiasa selalu menang, sehingga kini, menghadapi seorang lawan yang demikian licin bagai belut sehingga semua serbuan dan terkamannya mengenai tempat kosong selalu, diapun merasa penasaran dan belum sadar bahwa dia sebenarnya menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai daripada dia.
"Hohhhhh...!" Kembali raksasa itu menubruk dari samping, dan untuk ke sekian kalinya Hui Song mengelak dan menyelinap di bawah lengan kanannya. Raksasa yang sudah lelah itu terhuyung ke depan karena terdorong tenaga tubrukannya sendiri. Ketika dia membalik, tiba--tiba dia melihat lawannya yang tubuhnya kecil dibandingkan dengan tubuh raksasa itu, menerjang ke depan.
Hui Song meloncat dan menggunakan jari-jari tangan kirinya hendak menceng-keram muka raksasa itu. "Awas, kucokel keluar matamu!" Moghul terkejut dan tentu saja dia terpengaruh ucapan itu, mem-perhatikan tangan kiri lawan yang menyerangnya dan siap melindungi matanya dengan kedua tangan sambil mencari ke-sempatan untuk menangkap tangan kiri itu. Sejak tadi dia sudah mengancam da-lam hatinya bahwa sekali dia dapat me-nangkap pemuda itu, akan diangkat dan dibantingnya, akan dipatah-patahkan se-mua tulang tubuhnya! Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa serangan Hui Song itu hanya merupakan gertakan saja, karena yang bekerja adalah tangan kanannya yang menepuk-nepuk ke arah perut gendut itu dengan keras.
"Plak! Plak! Pungg...!" Akan tetapi tamparan-tamparan tangannya itu membalik dan perut yang ditamparnya mengeluarkan suara seperti sebuah tambur besar dipukul.
"Wah, gentong ini kosong!" Hui Song masih mengeluarkan suara ejekan keras sehingga para penonton semakin geli tertawa. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti seketika karena pada saat itu, Moghul telah berhasil menangkap lengan kiri Hui Song dengan tangan kanannya. Dengan gerakan seekor jago gulat yang mahir, tangan kirinya menyusul dan su-dah menangkap pundak pemuda itu. Ke-mudian, secepat kilat tahu-tahu tubuh Hui Song sudah diangkat ke atas kepala. Semua orang memandang pucat dan Moghul menyeringai, mengeluarkan suara ha-ha-huh-huh seperti orang terengah-engah saking girangnya. Dia hendak membanting lawannya ke atas lantai panggung dan sudah mengerahkan tenaga agar bantingannya dapat dilakukan sekuatnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memekik kesakitan dan kedua lengannya menjadi lemas. Kiranya Hui Song menggunakan jari-jari tangannya, biarpun pergelangan tangan sudah ditangkap, untuk mencengkeram dan mencabuti bulu-bulu panjang di dada dan lengan raksasa itu, berbareng dengen itu, ujung sepatunya telah menotok jalan darah di dekat punggung lawan, membuat Moghul kehilangan tenaga untuk beberapa detik lamanya. Ini sudah cukup bagi Hui Song untuk meronta dan melepaskan diri dari pegangan kedua tangan lawannya. Dia menggeliatkan tubuhnya yang sudah dilumuri minyak tadi dan terlepas lalu meloncat ke belakang sambil berkata, "Heh-heh, tubuhku licin, berkat minyak!" Kembali penonton tertawa dengan hati lega. Biarpun sampai kini pemuda itu belum juga memperlihatkan ilmu silat atau ilmu gulat, namun semua gerakannya yang kelihatannya ngawur itu ternyata telah membuat si raksasa tidak berdaya!
Lumpuhnya kedua tangan Moghul tidak lama dan tentu saja raksasa ini menjadi semakin penasaran dan marah. Apalagi melihat betapa pemuda itu kini ber-diri sambil bertolak pinggang dengan ke-dua kaki terpentang lebar, berkata kepa-danya, "Hei, babi bengkak, coba sekarang engkau mengangkat dan membantingku kalau mampu!"
Tantangan ini mendatangkan rasa he-ran dan khawatir kepada para penonton, kecuali beberapa orang di antara mereka yang bermata tajam dan sudah dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah se-orang pendekar yang lihai dan tinggi il-mu kepandaiannya. Akan tetepi yang merasa girang adalah Moghul. Tadi dia pe-nasaran dan kecewa karena sungguh tidak disangkanya, pemuda yang sudah berada dalam cengkeramannya dan tinggal ban-ting saja itu dapat lolos. Kini dia ditan-tang, tentu saja dia merasa girang. Se-kali ini, kalau aku dapat menangkapnya, tak mungkin dia akan dapat lolos, pikirnya. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri dan tadinya mengira bahwa pe-muda itu tentu hanya mempermainkannya dan akan mengelak kalau ditangkap. Akan tetapi ternyata tidak! Ketika kedua tangannya yang besar itu menangkap pinggang Hui Song dan dia mengerahkan te-naga untuk mengangkatnya, ternyata tubuh kecil itu tidak bergeming dan tidak dapat diangkatnya! Tubuh yang kecil itu, yang agaknya akan dapat diangkat walaupun hanya dengan satu tangan saja oleh Moghul, kini terasa berat sekali, atau se-olah-olah kedua kaki pemuda itu sudah berakar pada lantai panggung. Moghul ti-dak percaya dan semakin penasaran. Di-kerahkannya kekuatannya sehingga urat dan otot di kedua lengan dan dadanya menggembung dan dicobanya lagi untuk mengangkat tubuh Hui Song. Namun tetap tak terangkat olehnya. Kedua tangannya pindah ke pundak, lalu ke pinggang lagi, tetap saja tidak terangkat.
Tiba-tiba Hui Song merendahkan tubuhnya, menggunakan kedua tangannya untuk menyangga paha dan perut si raksasa, mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengeluarkan lengking suara yang nyaring, dia meluruskan tubuh dan Moghul sudah terangkat ke atas olehnya! Tentu saja perbuatannya ini disambut sorak-so-rai gemuruh, bahkan Ji-ciangkun terbela-lak dan mukanya berobah agak pucat sementara itu Kok-taijin bertepuk tangan saking gembiranya.
"Brukkkk...!" Tubuh tinggi besar itu dilempar oleh Hui Song, bukan dibanting, melainkan hanya dilempar, akan tetapi akibatnya, bagian papan lantai panggung di ujung depan yang tertimpa tubuh raksasa itu ambrol!
Di bawah suara ketawa dan sorak-so-rai para penonton. Moghul merangkak ke luar lagi dari lantai papan panggupg. yang ambrol dan kini mukanya menjadi hitam, matanya merah sekali dan ada hawa pembunuhan membayangi wajahnya ketika dia melangkah maju lagi menghampiri Hui Song. Karena kini tidak ada lagi hio yang terbakar, maka orang tidak tahu lagi be-rapa lama batas pertandingan itu dan a-gaknya Moghul juga belum mau meneri-ma kalah.
"Eh-eh, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?" Hui Song bertanya mengejek. Raksasa itu tidak menjawab, melainkan menubruk dengan dahsyat, penuh ke-marahan. Akan tetapi tiba-tiba dia ter-belalak karena tubuh pemuda di depannya itu lenyap. Semua penonton dapat meli-hat betapa pemuda itu mengelak tubruk-an lawan sambil meloncat ke atas, tinggi sekali melampaui kepala Moghul dan ke-tika tubuhnya berjungkir balik dengan indahnya seperti seekor burung walet di udara, tubuh itu menukik turun dan tahu-tahu Hui Song telah hinggap di atas kedua pundak raksasa itu sambil tertawa-tawa!
Sejenak Moghul kebingungan, akan te-tapi melihat kedua batang kaki Hui Song bergantung di depan dadanya, dia cepat menangkap kedua kaki itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua kaki itu membalik dan menjepit lehernya dan kini tubuh atas Hui Song bergantung di belakang pung-gungnya dalam keadaan menelungkup.
"Wah, wah, celaka, kain cawatmu bau sekali, babi bengkak!" Hui Song berseru dan dengan kedua kaki masih menjepit leher, dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ujung kain cawat di belakang pinggul Moghul dan membukanya. Tentu saja nampak kedua bukit pinggul raksasa itu yang berkulit halus dan lebih putih daripada bagian tubuh lainnya. Semua penonton tertawa bergelak melihat ini karena dengan ditariknya cawat itu, nampaklah semua tubuh bagian bawah raksasa itu dari belakang!
Kini Moghul sama sekali tidak ingat untuk melakukan serangan lagi karena kedua kaki yang menjepit lehernya itu membuat dia merasa sukar bernapas. Ke-dua kaki itu sedemikian kuatnya seperti jepitan baja dikalungkan di lchernya saja. Dengan susah payah dia mencoba untuk melepaskan jepitan kedua kaki itu, na-mun sia-sia dan tiba-tiba Hui Song yang bergantungan di belakang tubuhnya itu menggunakan kedua tangannya untuk me-notok belakang lutut Moghul. Raksasa itu mengeluh keras dan kedua kakinya terte-kuk. Hui Song melepaskan jepitan kaki-nya dan meloncat turun kemudian dia berdiri mengejek di depan Moghul. Rak-sasa ini merasa betapa kedua kakinya nyeri sekali akibat totokan di belakang lutut tadi, akan tetapi kemarahan membuat dia mata gelap. Dia bangkit berdiri dan kini menyerang dengan pukulan tangannya yang dikepalkan, tidak menggunakan ilmu gulat lagi. Hui Song agaknya sudah merasa cukup mempermainkannya, maka diapun menyambut pukulan lengan kanan ini dengan tangkisan tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan seperti golok membacok ke arah lengan kanan lawan.
"Krekkk...!" Moghul memekik dan lengan kanannya menjadi lumpuh karena tulang lengan itu sudah patah! Dasar manusia yang keras kepala. Dia masih menyerang terus dengan tangan kirinya. Kembali Hui Song menangkis dan kini lengan kiri itupun patah lengannya. Pemuda itu teringat betapa raksasa ini sudah menyiksa banyak orang dengan mematahkan tulang kaki tangan mereka, maka diapun cepat melakukan tendangan susulan dua kali yang mematahkan tulang kedua kaki raksasa itu. Moghul roboh dan tak dapat bangkit kembali karena kedua kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, sudah patah-patah tulangnya. Hui Song kini membungkuk, menyambar se-buah lengan dan kaki, lalu mengangkat tubuh raksasa itu ke atas, memutar-mu-tarnya cepat lalu melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh itu melayang dan jatuh terbanting ke atas tanah, di luar kepungan para penonton! Sorak-sorai bagaikan meledak dan seperti akan merun-tuhkan panggung itu sendiri. Semua pe-nonton mengangkat kedua tangan dan ada yang berjingkrak-jingkrak menari kegirangan.
Akan tetapi, semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kekhawatiran ketika melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan orang pengawalnya telah berdiri di atas panggung dan mengurung pemuda yang baru saja memperoleh ke-menangan secara mutlak itu.
"Tangkap keparat ini!" bentak Ji-ciangkun kepada para perajuritnya yang nampak ragu-ragu.
Tentu saja Hui Song juga berdiri de-ngan mata terbelalak heran dan diapun merasa penasaran sekali. "Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?" bantah-nya.
"Orang muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu" Perta-ma, engkau telah memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau telah melu-kai penguji yang menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"
Akan tetapi pada waktu itu, Kok-taijin muncul pula dan terdengar pembesar sipil ini berkata, "Tidak, dia jangan di-tangkap, ciangkun. Biarlah kuampunkan kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal pribadiku?"
Hui Song merasa semakin heran. Agaknya ada pertentangan secara rahasia antara kedua pejabat itu dan diapun men-jura kepada gubemur itu, "Saya bersedia, taijin."
Ji-ciangkun nampak marah, akan te-tapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka diapun ti-dak berani menentang secara terang-te-rangan dan diapun memberi isyarat kepa-da para perajuritnya untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin meng-ajak Hui Song mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon per-wira itupun dibubarkan.
Setelah tiba di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki se-buah kamar untuk bicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia menyuruh seorang pela-yan menghidangkan minuman dan menyu-ruh pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lalu mengajak Hui Song bercakap-ca-kap.
"Cia-sicu, aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul, walaupun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan dalam hatiku, karena janggal dan anehlah kalau seorang pende-kar berilmu seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetul-nya, apakah yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"
Diam-diam Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata mempunyai pandangan tajam sekali. Dan diapun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar ini boleh dipercaya, ti-dak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu. "Harap taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya memasuki sayem-bara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah dan saya ingin membalaskan mere-ka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali mengapa kalau pe-merintah membutuhkan perwira-perwira baru, dengan mengajukan Moghul sebagai penguji maka seolah-olah pemerintah daerah bahkan menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu mengalahkan raksasa itu. Maka, saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan ini."
Pembesar ini mengangguk-angguk. "Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Oleh karena itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi. Sesungguhnya, sudah lama aku merasa curiga akan gerak-gerik Ji-ciangkun yang berobah semenjak beberapa bulan yang lalu ini. Dahulu diapun merupakan seorang panglima yang setia kepada pemerintah, akan tetapi entah mengapa, semenjak beberapa bulan ini terjadi perobahan pada sikapnya dan Moghul itupun pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju ketika aku mengusulkan untuk menerima perajurit dan perwira baru karena adanya desas-desus pemberontaken. Cia-sicu, tentu engkaupun sudah mendengar tentang desas-desus itu, bukan?"
Hui Song mengangguk. "Bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus terang saja, saya sampai ke daerah inipun adalah untuk menyelidiki tentang hal itu."
"Bagus kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal di sini, pura-pura saja menjadi pengawal pribadiku, kemudian tugas yang sesungguhnya bagimu adalah menyelidiki Ji-ciangkun" Siapa tahu dia mempunyai hubungan dengan para tokoh yang hendak memberontak itu."
"Baik, taijin. Saya dapat menggunakan waktu kira-kira sebulan untuk melakukan penyelidikan di sini."
Demikianlah, mulai hari itu, Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang sebenarnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri dan Gubernur Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiripun tidak mengetahuinya. Gubernur Kok tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya mempunyai seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk melakukan penyelidikan, karena tidak dicurigai.
Pada suatu malam, beberapa hari ke-mudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya, berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi. Anehnya, ketika para pensa-ga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, lalu perwira ini melapor kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.
"Ciangkun, dua orang tamu yang di-tunggu sudah datang," perwira itu mela-porkan.
"Baik. Persilakan mereka menanti ke dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal menjaga di luar, jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku tidak mau diganggu."
Perwira itu memberi hormat dan keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak lama kemudian, dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang bukan lain adalah Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui yang pernah bersama-sama Siang-to Sian-li Gui Siang Hwa murid Raja Iblis memikat Hui Song ke Guha Iblis Neraka tempo hari! Sang perwira menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menanti Ji-ciangkun di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruangan tamu, sama sekali tidak tahu bahwa seorang perajurit pengawal yang berdiri di situ dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah perajurit benteng itu, melainkan Hui Song yang telah menyamar! Dengan bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian perajurit benteng dan menyelundup masuk untuk melakukan penye-lidikan. Malam itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo yang pernah nyaris mene-waskannya di Guha Iblis Neraka.
Terkejut, heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya ter-hadap Ji-ciangkun ternyata kini terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua o-rang kakek iblis itu adalah para pemban-tu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun. Maka, setelah keadaan sunyi dan dia memperoleh kesempatan, Hui Song lalu melakukan pengintaian ke dalam ruangan tamu.
Tidak salah penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago gulat itu memang kuat sekali. Biarpun tulang kedua kaki tangannya patah, akan tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia mampu menghadiri pertemuan itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol mempunyai obat-obat yang amat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang. Dan kini makin mengertilah dia. Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itupun merupakan seorang di antara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan di antara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang pernah memerintah di Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang sudah jatuh. Jadi terdapat persekutuan antara tiga unsur di sini. Yang pertama adalah seorang panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yaitu Panglima Ji Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu persekutuan yang amat ber-bahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati.
"Pemuda itu...?" kata Kang-thouw Lo-mo sambil menenggak araknya ketika dia mendengar Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang mengalahkan Moghul dalam sayembara pemilihan perwira baru. "Ah, dialah orang she Cia, putera ketua Cin-ling-pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang lihai bukan main."
"Dan sekarang telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?" Hui-to Cin-jin menyambung. "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih dahulu!"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan main mendengar bahwa pemuda yang sikapnya ketolol-tololan itu, yang telah mengalahkan Moghul, ternyata bukan orang sembarangan, melainkan se-orang pendekar!
"Tidak mudah begitu saja menyingkir-kannya, bukan hanya karena dia lihai, a-kan tetapi karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigean di hati Kok-taijin sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat dibu-juk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan o-rang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa dia adalah seorang pendekar, ma-ka aku tidak menaruh curiga."
Mendengar ini, Hui Song sudah mera-sa cukup. Kalau kini Ji-ciangkun sudah mengerti siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi dan hal itu membuat dia tidak akan leluasa bergerak. Maka dia lalu secara hati-hati meninggalkan tempat itu dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika dibangunkan.
"Cia-sicu, ada apakah...?" tanyanya kaget.
"Taijin, mari kita bicara di dalam. A-da hal penting sekali," jawab Hui Song. Mereka lalu memasuki ruangan dalam dan di situ Hui Song menceritakan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya.
Diceritakannya kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun benar-benar bersekongkol dengan orang-orang yang hendak memberontak, betapa Moghul sebenarnya menurut pengakuannya adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak membangkitkan kembali kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya tentang dua orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pgmbantu Raja Iblis yang memimpin para datuk sesat yang hendak memberontak.
Mendengar penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini mengerutkan alisnya. "Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biarpun di San-hai-koan ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun, aku kekurangan kekuatan. Di sini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun menguasai pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Kita harus bertindak hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali mela-porkan ke kota raja. Akan tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melapor-kan kepada kaisar harus disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku minta bantuanmu. Sam-paikan suratku kepada komandan benteng Ceng-tek. Komandan itu adalah seorang panglima yang setia dan kalau dia mene-rima suratku, tentu dia akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang be-sap ke sini untuk membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."
Hui Song tidak dapat menolak karena dia sendiripun maklum akan gawatnya keadaan. Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki San-hai-koan lebih dulu untuk menjadi markas dan basis pembe-rontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan be-rangkatlah dia meninggalkan San-hai-koan.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu selain untuk berunding di mana dua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblus untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis di suatu tempat tersembunyi tidak jauh da-ri San-hai-koan! Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis. tadinya Moghul juga diundang, akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat berjalan, yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.
Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti di sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu memberi isyarat kepada Ji-ciangkun untuk menghentikan kuda masing-masing dan menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.
"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.
"Lihat saja isyarat tangan kami. Ka-lau bicara sebelum ditanya, dapat meng-akibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.
Mendengar ucapan dua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti o-rang yang amat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis a-dalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit-ong dan bahwa tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sen-diri! Setelah mereka berjalan kira-kira setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka tiba di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun me-mandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.
"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.
"Sssstt!" Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.
Ketika mereka tiba di luar tanah pe-kuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan mem-beri isyarat agar diam dan tidak menge-luarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berobah pucat. Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biarpun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia da-pat melihat dengan jelas apa yang terja-di di tengah kuburan itu.
Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tidak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang amat luar biasa. Seorang di antara mereka, adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin seperti muka mayat, sepasang matanya yang kehijauan mencorong seperti mata harimau, pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar dan kedodoran, usianya sukar ditaksir berapa karena biarpun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih. Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima pu-luh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersi-la di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan tengkorak saja sudah merupakan hal yang sukar dilaku-kan, karena tengkorak yang hanya ber-tumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh kalau di puncaknya diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan te-gak, bersila dan matanya memandang ta-jam ke depan. Di depannya, terpisah ku-rang lebih tiga tombak, ada tumpukan tengkorak lain seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi bar-diri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas! Wanita inipun rambutnya putih riap-riapan, pakaian dan wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku, dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena ia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.
"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.
"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.
"Mulai...!" kata pula yang pria. Kedua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.
"Tarrrr...!" terdengar ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini bet-ulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi, kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seo-lah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.
"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.
"Tarr... brukkkkk...!" Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga dahsyat!
"Tenagaku masih kurang kuat...!" Wanita itu menarik napas ketika ia sudah turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.
"Siapa bilang" Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!" Diapun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!
Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi terkejut ngeri dan juga gentar hatinya. Apalagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.
"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.
Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah iblis-iblis itu, hanya menjura dengan hormat.
"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis. Seperti biasa, ialah yang menjadi juru bicara suaminya, sedangkan Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.
"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."
Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka untuk duduk di atas tanah, sedang-kan dia sendiri duduk di ates tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedang-kan dua orang kakek pembantu mereka itupun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk.
Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.
"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang dia bicara, akan tetapi agaknya kini dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai me-nyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kua-sai?"
Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar. "Semua sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu perajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh perwira-perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu perajurit saya yang akan mudah diatasi. Akan tetapi, Kok-taijin sukar diajak berdamai dan tidak mungkin bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."
"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.
"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apalagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..." Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.
"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu telah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
Raja Iblis mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang pendek. "Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga mantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula kalau sudah tiba waktunya" Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"
"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apalagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."
"Pemuda itu harus dibunuh, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu su-kar membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi membunuh Kok-taijin saya kira tidak bijaksana, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."
"Mengapa?"
"Seperti telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan, dan kalau terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biarpun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."
"Caranya" Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.
Ji-ciangkun menggeleng kepala. "Biar-pun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andaikata dia ditangkap dan disiksa sekalipun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan te-tapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."
"Bagus! Lakukanlah itu, Ji-ciangkun. Ingat kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau akan resmi menjadi pang-lima besar semua pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."
Wajah Ji-ciangkun berseri gembira membayangkan kedudukan yang akan diperolehnya kalau gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah dia bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambilalihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun lalu kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.
Sementara itu, Hui Song yang keluar dari San-hai-koan dengan berkuda, baru kira-kira meninggalkan benteng itu sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini da-pat menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya" Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tidak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya. Maka diapun lalu berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusn, bukan ke jurusan Ceng-tek, me-lainkan ke timur. Kuda itu ketakutan dan lari cepat, dia masih mengejarnya dengen lemparan-lemparan batu sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.
Tak lama kemudian, muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sukar juga kalau dia harus melawan orang se-demikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor dan akhirnya mereka membelok ke kiri, mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.
Setelah pasukan itu membalapkan ku-da ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu memperguna-kan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Kota Ceng-tek merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini ter-dapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal berna-ma Lui Siong Tek, seorang laki-laki ting-gi besar dan gagah perkasa, berusia em-pat puluh lima tahun. Dia menguasai se-laksa pasukan tetap dan dengan mudah dia akan memperlipatgandakan pasukan-nya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang me-rupakan mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsa-bangsa liar di utara.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa seo-rang pembesar yang mempunyai kekuasa-an penuh di suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seolah-olah menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pem-besar itu akan lupa bahwa dia hanyalah seorang petugas yang bekerja untuk atas-an di kota raja. Dan seorang pembe-sar militer seperti Lui-goanswe ini, di waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kese-nangan-kesenaangan yang mudah saja di-dapat karena kekuasaan dan kekayaannya. Demikian pula dengan Lui Siong Tek, ka-rena wilayahnya dalam keadaan aman dan tenteram, diapun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang telah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.
Ketika Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, akan tetapi juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini mempunyai seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu.
Setelah mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song lalu memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak terjaga ketat. Kalau pemimpinnya malas, anak buahnyapun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnyapun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itupun tidak ketat. Para penjaga hanya bergerombol di pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudah Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di da-lam benteng itu dan dengan mudah saja dia dapat memasuki sebuah gedung ter-besar di tengah benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa ada penjagaan di seki-tar gedung, dan agaknya semua penghu-ninya telah tidur. Hui Song menyelinap masuk ke dalam gedung itu dan tak lama kemudlan dia sudah mengintai ke da-lam sebuah ruangan yang terang dan di mana dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Ketika dia mengintai ke da-lam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya di-hias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan mi-num dilayani oleh dua orang pelayan wa-nita muda dan di depannya duduk pula seorang wanita cantik. Melihat wanita itu, jantung Hui Song berdebar keras dan dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, mu-rid dari Raja Iblis itu!
Dan ternyata bahwa pada saat dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita, "Bersihkan meja!" lalu ia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya. Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena- dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong. Tempat itulah yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.
Akan tetapi, dapat dibayangkan beta-pa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia telah bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia telah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan cepat dia menyusup ke bawah tempat tidur.
Dan tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur!
Tempat tidur berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria yang ditariknya duduk di sampingnya.
"Aih, manis, kenapa engkau begini tergesa-gesa" Baru saja kita habis makan...!" kata pria itu yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek berkata sambil tertawa menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.
"Hemm, siapa sih yang kepingin" Apa kaukira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur" Tak tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.
"Ha-ha-ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apalagi kalau..."
"Pikiranmu memang penuh dengan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau bicara di depan para pelayan maka aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."
"Bicara apakah, Siang Hwa" Engkau minta apakah?"
"Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"
Jenderal itu merangkul dan menciumnya. "Aihhh, Siang Hwa, masihkah engkau tidak yakin akan cintaku" Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta padamu."
"Ciangkun, sudah sepekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepe-nuh hati, akan tetapi mengapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"
"Aaahh... itu...?" Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Hui Song cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dikeluarkan agar dia dapat mendengar den melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.
"Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada perminta-an lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk i-tu..."
Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka. "Sayangku, kenapa justeru itu yang kauminta" Mintalah yang lain. Apa saja tentu akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang sejak nenek moyangku menjunjung tinggi nama dan kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"
Hui Song terkejut bukan main mende-ngar ini. Ah, dia mengerti sekarang. Ga-dis iblis ini tentu sedang melakukan tu-gasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan pembe-rontak! Kiranya Raja Iblis sudah mende-ngar akan kelemahan jenderal ini terha-dap wanita cantik, maka menyuruh mu-ridnya sendiri yang selain lihai juga can-tik manis itu untuk menjebak sang jen-deral den kini Siang Hwa sedang menja-lankan peranannya dengan amat baik.
Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi. "Ciangkun, di dalam hidupku ini tidak ada legi hal lain yang kuinginkan kecuali membalas den-dam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semua tewas oleh pemerintah, difitnah dan dihukum mati sekeluargaku! Aku he-rus membalas dendam dan satu-satunya jalan hanyalah memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."
"Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya" Apa artinya balatentara puluhan ribu ini menghadapi balatentara pemerintah yang ratusan ribu" Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja malapetaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."
"Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam kepada pemerintah. Engkau dapat mencari kawan-kawan dalam hal ini, dan aku sanggup mencarikan kawan-kawan sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati kalau engkau mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu meng-hardik.
"Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kaudengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat daripada dirimu, bahkan leblh berat daripada nyawaku sendiri, mengerti?"
Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia memiliki kelemahan terhadap wanita, ma-ta keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin, akan tetapi harus diakui bahwa dia seorang laki-laki yang gagah dan te-guh pendiriannya.
"Bagus! Begitukah, ciangkun" Setelah kuserahkan segala-galanya selama sepe-kan ini kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka" Kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah mu-rid dari Pangeran Toan Jit-ong yang a-kan memimpin pemberontakan, dan kare-na penampikanmu, engkau tidak boleh hi-dup lebih lama lagi!"
Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jende-ral itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pe-lipisnya! Gui Siang Hwa telah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan te-tapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apalagi ketika di bawah sinar lampu ia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.
"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berobah pucat.
"Perempuan jahat!" Hui Song memaki marah karena dia melihat betapa munculnya terlambat dan jenderal itu tidak da-pat ditolong lagi. Maka diapun segera -langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apalagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan dan kelihaian wanita itu, maka diapun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempat-an itu dipergunakan oleh Siang Hwa un-tuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan ma-sih memakai pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.
"Mau lari ke mana kau?" bentak Hui Song sambil mengejar.
Akan tetapi, suara ribut-ribut itu me-mancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"
Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song de-ngan senjata mereka!
"Perempuan itulah pembunuhnya! Ia siluman jahat...!" Hui Song berseru, akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya" Mereka tidak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu telah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya. Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan diapun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadean sudah a-mat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimanapun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.
Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring, "Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi, kebetul-an sekali kedatanganku melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"
"Bohang! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."
"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang" Kalau memang ia orang baik-baik, kenapa ia melarikan diri" Karena kalian menghadangku, maka aku sampai tidak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah di-bunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"
Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walaupun ada di an-tara mereka yang mencari-cari dan tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.
"Sebaliknya kalian bawa aku mengha-dap wakil dari Lui-ciangkun. Biar yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"
Usul ini dapat diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng dan dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa yang di-bawa menghadap padanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.
Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tidak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung mema-suki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi, saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Ia adalah murid Raja Iblis yang se-dang menghimpun para datuk sesat untuk memberontak, maka kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe dan tak saya sangka-sangka, iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe ketika rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu a-gar ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dan ia pergi membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga ia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."
Dengan tenang Bhe-ciangkun mende-ngarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa memang ternyata wa-nita bernama Gui Siang Hwa itu telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.
Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat i-tu, wajahnya berobah dan dia lalu meng-ajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa me-reka tadi telah salah tangkap.
Sementara itu, setelah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun berkata, "Ah, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"
Hui Song mengangguk. "Dia malah merencanakan dengan para pemberontak un-tuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi ti-dak berhasil. Agaknya mereka akan menguasai San-hai-koan untuk dijadikan ba-sis gerakan pemberontakan mereka. Ka-rena itu, Kok-taijin mengharap bantuan pasukan dari sini, ciangkun." Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan bagaimana dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.
"Hemm, agaknya para tokoh pembe-rontak itu berusaha keras untuk mempe-ngaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk se-waktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau dia benar-benar berani memberontak."
"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya mengkhawatir-kan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang di-minta oleh Hui Song sekedar untuk pen-jagaan diri karena dia maklum bahwa se-telah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu mempersiapkan teman-temannya untuk menghadangnya apabila dia kembali ke San-hai-koan.
Kekhawatiran Hui Song itu sama se-kali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa dan kawan-ka-wannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar sangkaan den per-hitungan Hui Song. Tak disangkanya bah-wa secepat itu Ji-ciangkun akan bergerak untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.
Dipercepatnya pengambilalihan benteng San-hai-koan oleh para pemberontak ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dan menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya dan Raja Iblis juga segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga! Raja Iblis dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda itu yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!
Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, mau tidak mau harus mempergunakan kekerasan. Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siapa menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.
Ji-ciangkun masih hendak mempergu-nakan bujukan. Setelah gedung dikepung, dia menyampaikan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja daripada harus di-serbu dengan kekerasan. Akan tetapi Gu-bernur Kok membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk me-lindunginya. Terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal melakukan perla-wanan dengan gagah perkasa sehingga terjatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai sehari lamanya, gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.
Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun melawan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka diapun membalapkan kudanya dan ketika dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau. Hui Song tidak perduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua perajurit yang berani menghalanginya dan ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.
Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah pasukan, jelaslah bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dia segera menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu sudah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walaupun wajahnya juga pucat sekali.
"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga" Bagaimana dengan tugasmu?"
Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya dan bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak demikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.
Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita makin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.
"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku akan memimpin semua pengawalku melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"
"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari San-hai-koan" Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."
Gubernur itu menggeleng kepala. "Tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamtkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat" Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih" Tidak, aku akan tetap bersama kcluargaku di sini, akan kuhadapi semua dengan tabah. Lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir daripada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kauselamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubemur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.
Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka diapun tahu bahwa berbantah tidak akan ada gunanya. Di samping itu, diapun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil kalau hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya karena pihak musuh terlampau banyak dan kalau kereta yang membawa gubernur itu dihujani snak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka" Berbeda halnya kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, apalagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan diapun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat daripada dirinya sendiri.
"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu. Anak itu tidak nampak ketakutan karena agaknya ia belum mengerti benar apa se-betulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan ia memakai pita merah. Ia ter-senyum ketika tangannya digandeng Hui Song yang biarpun belum dikenalnya be-nar, namun agaknya ia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya. Akan tetapi ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangen itu, a-nak itu menangis.
"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"
Ibunya menangis, akan tetapi Kok-tai-jin memberi isyarat kepada Hui Song un-tuk membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. A-nak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.
"Diamlah, adik yang manis, kita ke-luar untuk menyelamatkanmu. Marilah!" Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya. "Adik yang manis, kau rangkullah leherku dan kugendong di be-lakangku. Jangan takut, aku akan menye-lamatkanmu," katanya dan diapun sudah mengambil busur dan mempersiapkan a-nak panahnya, lalu membedal kudanya keluar. Para pengawal sudah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan pu-teri sang gubernur, maka mereka melin-dunginya dengan anak panah yang mereka luncurkan ke depan.
Pertempuran sudah terjadi lagi dan kini Hui Song membalapkan kudanya di antara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-ka-dang diapun melepas anak panah merobohkan beberapa orang perajurit musuh yang berani menghadang. Kadang-kadang dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat. Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para perajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung. Hui Song melompati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia membalas dengan anak panahnya, dan robohlah dua orang perajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapapun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya. Akhirnya, biarpun dengan susah payah, berhasillah Hui Song membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan.
Akan tetapi, tiba-tiba ada benda-benda berkilauan menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Hui Song terkejut sekali dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas pung-gung kudanya. Kuda itu ketakutan, sejak tadi memang kuda itu sudah panik di antara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan, setelah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia membalap melarikan di-ri.
Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan dari mana pisau-pisau terbang tadi menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri di situ, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tak ke-tinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di situ dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Hemm, kembali si tampan gagah pu-tera ketua Cin-ling-pai mencampuri urus-an kita," kata Siang Hwa biarpun suara-nya mengandung ejekan, namun sinar matanya tidak dapat menyembunyikan pera-saan kagum dan sukanya kepada pende-kar yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!" Kang-thouw Lo-mo tertawa dan Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadipun gggal, ki-ni sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.
Hui Lian yang berada dalam gendong-an Hui Song, ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.
"Hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh anak-anak." Dan kini wanita itu mengeluar
, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar, mulut, hidung dan matanya juga besar. Tubuhnya yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan menyeramkan. Pada bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang panjang-panjang seperti monyet. Selain cawat itu, betisnya diikat semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abu-abu. Perutnya besar gendut, akan tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan dan kakinya juga penuh tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi jantan. Pendeknya, raksasa ini cukup menakutkan bagi orang yang harus menghadapinya sebagai lawan. Dan melihat bentuk mukanya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya yang hanya mengenakan cawat, diapun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli silat yang amat kuat.
Seorang pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang berkata sambil berdiri di sudut panggung, "Saudara-saudara sekalian! Bagi mereka yang belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang bernama Moghul!"
Pegulat raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat penjuru disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama ini belum ada seorangpun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga di antara penonton memandangnya penuh kebencian.
"Biarkan aku maju menghadapinya, paman," kata seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah. Hui Song memperhatikan percakapan antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada di tempat itu pula, tidak jauh darinya.
"Aih, sudahlah, Bian-ji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk menjadi bulan-bulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, sedikitnya tentu tulang lengan atau kaki mereka patah-patah. Dia lihal sekali, kuat dan kebal," kata yang tua.
"Akan tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah aku sudah mempelajari silat bertahun-tahun?" bantah yang muda.
"Ah, apa kaukira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itupun bukan ahli-ahli silat" Percuma saja, mereka itu satu demi satu, begitu ter-tangkap oleh tangan raksasa itu, tidak mampu berkutik, dibanting, ditekuk dan dipatah-patahkan tulangnya."
"Saudara-saudara sekalian," kembali tukang bicara itu berteriak nyaring, "Sampai hari ini belum ada seorangpun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita ini tidak ada orang gagah" Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang saja. Tidak perlu mengalahkan Moghul, asal dapat bertahan melawan dia sampai habis terbakarnya sebatang hio saja sudah dianggap lulus. Kamipun tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul, si manusia gajah!"
Ucapan itu merupakan tantangan. De-ngan mengatakan pertanyaan apakah di kota San-hai-koan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan o-leh si pembicara tadi, si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran dalam hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.
"Paman, aku akan mencoba...!" Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju mendekati panggung.
"A-bian... jangan...!" pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah meloncat naik ke atas panggung. Gerakannya cukup cekatan ketika meloncat dan para penonton menyambut penantang pertama ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lalu menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.
"Hamba Kui Bian mohon perkenan pa-duka untuk mencoba kebodohan hamba."
Ji-ciangkun memberi isyarat dengan tangannya. "Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat lulus."
Seorang pengawal siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung itu. A-sap mengepul dan hio itu ditancapkan di tempat hio yang ditaruh di sudut depan panggung yang luas tempat bertanding i-tu. Si baju hitam lalu bangkit dan meng-hampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali.
Si baju hitam kini menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah. Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si baju hitam diam saja, diapun berkata dengan bahasa Han yang kaku, "Majulah, hio telah menyala."
Si baju hitam tiba-tiba berteriak, "Lihat serangan!" dan diapun menggerakkan tubuhnya yang meluncur ke depan. Ternyata dia menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menduga akan diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau menangkis.
"Blukk...!" Sepasang kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan kuat sekali dan akibatnya, tubuh yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk nyaring. Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah berdiri kembali ke atas papan dengan tegak. Sorak-sorai menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini girang melihat bahwa akhirnya muncul seorang gagah yang mampu merobohkan si raksasa dalam satu serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak senang melihat jatuhnya jagoannya.
Memang tubuh raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan membuat dia terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini amat mengherankan. Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak demikian cepatnya.
Dengan marah Moghul balas menyerang. Dia mementang kedua lengannya seperti seorang jago gulat atau seperti seekor biruang yang hendak menerkam, kemudian menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak lawan. Akan tetapi si baju hitam itu cukup gesit, dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping den kembali melayang dan kedua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali ini dari samping kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan, terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka diapun lalu menangkis dengan lengan kanannya yang besar.
"Bresss...!" Dan kembali dia terguling. Biarpun dia dapat menangkis, namun tenaga tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak mampu ditahannya dan untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul dan tahu bagaimana untuk mengalahkannya, maka dia menggunakan tendangan- tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan kekuatan yang amat besar.
Sekali ini si raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Diapun sudah meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun. Akan tetapi, tiba-tiba saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya yang besar itu telah menangkap kaki kiri lawan! Si baju hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun, tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas. Akan tetapi, selagi Moghul menyeringai girang karena melihat akalnya yang pura-pura lambat bangun tadi kini berhasil, tiba-tiba si baju hitam mengeluarkan bentakan keras dan kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah muka lawan. Moghul terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia dapat menerimanya dengan lindungan kekebalannya. Akan tetapi kini yang diserang adalah mukanya di mana terdapat bagian-bagian yang tidak mungkin bisa kebal seperti mata den hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi tidak terduga-duga.
"Desss...!" Cengkeraman tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas dan Moghul terhuyung ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju hitam ini, dan juga Kok-taijin tersenyum girang akan tetapi Ji-ciangkun menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut.
Akan tetapi Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itupun berhenti mengalir. Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar. Dan hio yang bernyala itupun belum padam, baru terbakar setengahnya. Dengan demikian berarti bahwa si baju hitam belum menang. Menurut peraturannya, kalau dia dapat bertahan sampai hio itu habis terbakar, atau kalau dia dapat merobohkan Moghul sampai si raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang. Kini Moghul menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah. Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan tendangan. Agaknya si baju hitam itu tidak mempunyai akal lain kecuali hendak mengalahkan lawan dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak tahu bahwa Moghul, selain kebal dan bertenaga besar, juga memiliki kecerdikan. Begitu melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga menggerakkan kakinya ke depan, menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang amat kecil dibandingkan dengan kaki Moghul.
"Bresss...!" Dua batang kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lalu terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam dan Kok-taijin mengerutkan alis-nya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena kekalahan si baju hitam, melainkan karena dia melihat betapa si raksasa itu curang. Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja! Tentu saja kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang, terasa nyeri bukan main bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini. Ketika si baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi, dia masih belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki meluncur ke depan. Agaknya dia hendak mengalahkan lawan dengan tendangan terbang seperti tadi.
Si raksasa menyeringai. Dia kini berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang dan memang sekali ini dia sudah siap-siap menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki si baju hitam itu menyambar dengan tumbukan keras mengenai dada yang bidang dari Moghul.
"Bresss...!" Den sekali ini tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju hitam terlempar ke belakang den terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul mengirim tendangan! Agaknya si raksasa ini masih marah karena tadi beberapa kali menjadi bulan-bulan tendangan yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula.
Melihat tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tak sempat mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.
"Dukkk...!" Dan si baju hitam mengeluh kesakitan dan terguling, tulang lengan yang menangkis itu patah bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti bahwa juga sepatu itu dalamnya berlapis baja!
Kini Moghul mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai lututnya, membuat dia terpelanting. Dan Moghul menghampirinya, lalu menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam. Si baju hitam berteriak kesakitan dan ternyata kedua kakinya itu retak-retak tulangnya diinjak oleh Moghul. Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh berso-rak girang memuji dan menyambut ke-menangan raksasa Moghul. Memang di antara para penonton, banyak yang menga-dakan taruhan dalam setiap pertandingan dan kini orang-orang yang bertaruh me-megang Moghul berani melipatgandakan taruhannya dengan satu banding tiga! A-gaknya mereka sudah merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan dengan Moghul!
Setelah si baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pu-la beberapa orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan te-tapi, mereka itu satu demi satu diroboh-kan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan patah-patah. Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja se-hingga berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan patah-patah tulangnya. Keadaan menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, ke-cuali mereka yang menang bertaruh. Si tukang bicara sudah berteriak-teriak lagi melakukan tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk ma-ju.
"Saudara-saudara yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi" Benarkah tidak ada seorangpun yang mampu berta-han menandingi Moghul sampai habis ter-bakarnya sebatang hio saja" Apakah ka-lian tidak malu kalau dikatakan bahwa di San-hai-koan tidak ada seorangpun yang dapat disebut gagah" Ingat, yang masuk menjadi perwira akan memperoleh pang-kat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia, membela negara dari gangguan para pemberontak!" Demikian si tukang bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton. Akan tetapi agaknya, mereka yang merasa memiliki kepandaian silat, sudah menjadi gentar dan melihat betapa lima orang tadi, yang gagah-gagah, kalah dan men-derita siksaan mengerikan, dan merasa bahwa mereka tidak akan mampu menan-dingi raksasa itu. Maka, para penonton hanya bisa saling pandang dengan perasaan mendongkol, penasaran, juga kecewa dan menyesal. Kini perasaan mereka se-mua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan. Sayembara memasuki ketentaraan itu kini berobah menjadi se-macam pibu atau adu kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampak-nya semakin sombong itu.
Moghul kini berdiri di tengah-tengah panggung, bertolak pinggang dan tubuh-nya yang telanjang berkilauan karena ke-ringat. Dia terbelalak memandang ke em-pat penjuru, mulutnya menyeringai lebar. "Ha-ha-ha, apakah tidak ada lagi yang maju" Aku belum lelah, belum keluar ke-ringat!" Tentu saja ucapan ini hanya di-pergunakan untuk menyombongkan diri saja. Dia lalu menggerak-gerakkan kaki tangannya dan terdengar suara berkero-tokan dan nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.
Sejak tadi Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa raksasa itu memang hebat dan sukar dikalahkan. Mengapekah pembesar setempat mengadakan syarat yang demikian beratnya untuk menjadi calon perwira" Jelaslah bahwa di antara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang da-pat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio kalau menandingi seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apalagi raksasa itu masih berla-ku curang, menyembunyikan besi di da-lam sepatu dan pembalut kakinya. Seolah-olah pembesar setempat itu bahkan hen-dak menghalangi masuknya orang-orang pandai ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada pe-serta yang unggul, biarpun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak senang dan bahkan khawatir. Meng-apa begini" Bukankah si panglima itu justeru yang membutuhkan perwira-per-wira baru untuk membantunya" Dan Moghul juga dia yang memilih sebagai peng-uji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciang-kun itu bahkan hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru" Semua ini, ditambah pula oleh si-kap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung. Dia harus menyelidiki se-mua ini. Pula, kalau dia sudah memper-oleh kedudukan, biarpun hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggu-nakan pasukan untuk mencari Sui Cin, selain itu, diapun dapat membantu de-ngan pasukannya kalau para pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang di-sangkanya.
Begitu muncul pula seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-se-dang saja dan tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya bersinar-sinar seperti seekor kucing melihat seekor tikus yang akan dapat dipermainkannya sepuas hatinya. Akan tetapi, para penonton sudah bersorak-sorai lagi menyambut kehadiran Hui Song, walaupun sorak-sorai itu hanya untuk mele-paskan ganjalan hati yang menjadi pena-saran karena si pembicara tadi mengata-kan bahwa tidak ada orang gagah lagi di San-hai-koan. Di lubuk hati mereka, tim-bul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga dilemparken ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau patah-patah tu-lang kaki tangannya. Hui Song menghampiri panggung di mana dua orang pembe-sar itu duduk, memberi hormat dan ber-kata dengan suara nyaring, "Saya Cia Hui Song mohon ijin memasuki sayembara."
Kok-taijin mengangguk-angguk dan Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata, "Baik, majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."
Hui Song memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya berpakaian. Raksasa ini sekali tang-kap dan berhasil mencengkeram baju la-wan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulat, lawan yang sudah ditangkap bajunya akan dapat diangkat atau dibanting. Sedangkan tubuh si raksasa ini sendiri yang telanjang, berkeringat dan licin. Teringat akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata.
"Moghul, tunggu dulu. Engkau telanjang badan, tidak adil kalau aku memakai baju ini. tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dulu." Dan diapun menanggalkan jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke tepi panggung dan menghadap penonton.
"Di antara cu-wi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak" Atau gajih" Kalau ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?" tanya Hui Song kepada mereka. Para penonton menjadi heran, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui Song mengambil sedikit di kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak. Tentu saja para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton terdekat, Hui Song lalu menghadapi Moghul dan sebatang hio dibakar oleh seorang petugas.
"Apakah engkau seorang jago gulat?" Moghul bertanya kepada Hui Song setelah pemuda itu berdiri di depannya.
Hui Song menggelengkan kepala. "Bukan, akan tetapi melihat tubuhmu berminyak, akupun melumuri tubuhku dengan minyak," katanya dengan sikap tolol.
"Orang muda, engkau menanggalkan baju dan melumuri tubuhmu dengan minyak, apakah kau akan menghadapi aku bertanding gulat" Ataukah dengan ilmu silat?"
"Dengan apa saja asal aku dapat mengalahkanmu dan dapat diterima menjadi perwira," jawab Hui Song seenaknya.
"Kau pandai gulat?" tanya Moghul. Hui Song menggeleng kepala.
"Pandai silat?" Kembali Hui Song menggeleng kepala.
Mendengar percakapan ini, semua penonton terbelalak. Sudah gilakah pemuda ini" Tidak bisa gulat atau silat, akan tetapi berani naik ke panggung melawan Moghul! Apakah pemuda ini mencari mati"
Moghul sendiri tertawa bergelak, ke-palanya ditarik ke belakang, wajahnya bordongak dan perutnya sampai bergelombang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, bocah nakal, lebih baik pulanglah saja dan minum susu ibumu sebelum terlambat, ha-ha!"
Para penonton juga merasa ngeri membayangkan pemuda yang lemah ini akan disiksa habis-habisan, maka di anta-ra mereka ada yang berteriak-teriak minta agar Hui Song turun saja dari atas panggung.
Akan tetapi Hui Song bersikap tenang. Dia bahkan menghampiri tempat hio yang sudah ditancapi sebatang hio bernyala, lalu dia menggunakan jari menjepit ujung hio itu sehingga apinya padam.
"Hei, apa yang kaulakukan itu?" Si petugas yang tadi membakar hio mene-gur.
"Terlalu cepat kalau dibiarkan terba-kar. Kalau begini kan bisa lama bermain-main dengan gajah bengkak itu" Biarlah kami berdua main-main sampai seorang di antara kami roboh tak mampu mela-wan lagi!" jawab Hui Song dengan sikap yang masih tenang.
Mendengar ini, semua orang menjadi terkejut dan semakin terheran. Pemuda ini benar-benar sudah gila! Kalau tidak, mana mungkin berani bersikap seperti i-tu, menantang si raksasa untuk bertan-ding sampai seorang di antara mereka menggeletak tak mampu melawan lagi" Seolah-olah dia akan mampu bertahan se-kian lamanya!
Akan tetapi, sikap Hui Song ini mem-buat Moghul menjadi marah. Dia merasa ditantang dan bahkan dipandang rendah oleh pemuda hijau itu. "Majulah dan aku akan mematahkan seluruh tulang-tulang tubuhmu!" bentaknya sambil melangkah lebar menghampiri Hui Song yang sudsh kembali ke tengah panggung. "Engkau ini tikus kecil berani banyak lagak!"
Hui Song tersenyum jenaka. "Dan engkau ini babi kebiri terlalu banyak kaok-kaok, cobalah tangkap aku kalau bisa!"
Para penonton mulai tertawa melihat betapa pemuda ingusan itu berani mempermainkah si raksasa dan memakinya babi kebiri. Moghul memandang marah, matanya menjadi semakin lebar dan alisnya bangkit berdiri, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan, kedua tangannya mencengkeram hendak menangkap tubuh Hui Song, seperti seekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi, dengan gaya yang lucu namun cepat, Hui Song sudah menyelinap dan menyuruk ke bawah lengan si raksasa sambil berseru "Sayang luput!"
Kemudian, karena dia tadi menyelinap melalui bawah lengan lawan, kini tubuhnya berada di belakang lawan dan sekali dia mengangkat kaki kiri, sepatunya telah menendang panggul yang besar dan berdaging tebal itu. Tentu saja dia tidak mengerahkan tenaga sin-kangnya karena dia ingin mempermainkan raksasa yang berhati kejam ini.
"Bukkk...!" Pinggul itu kena ditendang dan walaupun Moghul tidak roboh dan tendangan itu tidak mendatangkan rasa nyeri akan tetapi suaranya yang nyaring itu terdengar semua orang dan mulailah para penonton bersorak gembira. Walaupun gerakan pemuda itu tidak memperlihatkan gerak silat atau gerak gulat yang mahir, namun buktinya pemuda itu telah berhasil menendang pinggul Moghul. Ini saja sudah hebat!
Moghul memutar tubuhnya, membalik dan mukanya merah sekali, matanya melotot saking marahnya. Dia menyerbu dan hendak menangkap, namun kembali Hui Song mengelak. Moghul mengejarnya dan kini raksasa itu mempergunakan kakinya yang besar untuk menyerang dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi. Hemm, pikir Hui Song, kiranya pegulat inipun mahir ilmu tendangan yang cukup lihai, apalagi kalau diingat bahwa di balik sepatu dan pembalut kakinya itu tersembunyi baja yang keras dan kuat. Dia mengelak dengan sembarangan saja, sengaja bersikap bodoh untuk memancing si raksasa agar bersikap lengah. Beberapa kali tendangan itu lewat dan ketika tendangan kaki kanan raksasa itu menyambar, dia cepat merendahkan tubuhnya dan begitu kaki itu lewat, dia mengulur tangannnya, menangkap bawah kaki itu dan terus mendorongnya ke atas. Karena Hui Song hanya menambah tenaga luncuran kaki itu sendiri, maka Moghul tidak mampu mempertahankan diri. Karena kakinya terus terangkat ke atas, otomatis tubuhnya terjengkang dengan keras.
"Brukkk...!" Papan lantai panggung itu tergetar hebat dan untung tidak ambrol tertimpa tubuh yang besar dan berat itu.
"Waah, hati-hati, babi kebiri. Perutmu bisa pecah kalau kaubanting-banting begitu!" Hui Song mengejek dan kembali terdengar sorak-sorai yang amat hebat. Kini mulailah timbul harapan di dalam hati penonton. Boleh jadi pemuda itu tidak mampu silat, tidak mampu gulat, akan tetapi jelas amat pemberani dan cerdik, dan sudah terbukti bahwa dalam beberapa gebrakan saja sudah mampu menendang pinggul si raksasa dan kini malah membuatnya terjengkang dan terbanting keras. Dan Moghul tidak segera bangkit, sengaja memancing agar pemuda itu melanjutkan serangannya untuk ditangkatnya, seperti yang dilakukannya terhadap si baju hitam tadi. Akan tetapi Hui Song tidak menyerang lagi, melainkan hanya pringas-pringis mengejek.
"Heh-heh, apakah perutmu terasa mulas dan kau tidak mampu bangun berdiri" Nah, baiklah. Mari kubantu, babi!" Hui Song mengulurkan tangannya seperti hen-dak membantu raksasa itu bangun. Tentu saja para penonton menjadi panik, bahkan ada yang berteriak-teriak agar Hui Song berhati-hati. Memang pemuda itu nampaknya terlalu sembrono dengan memberikan tangannya seperti itu. Sekali tangannya tertangkap, tentu pemuda itu akan cela-ka, akan dipatah-patahkan tulangnya dan mungkin saja akan dibunuh karena raksa-sa itu sudah amat marah padanya. Akan tetapi Hui Song pura-pura tidak mende-ngar cegahan-cegahan itU dan tetap mengulur tangan kepada Moghul.
Dan raksasa itu benar-benar menyambar tangan Hui Sbng yang diulurkan dan jari-jari yang panjang besar itu berhasil menangkap pergelangan tangan Hui Song dengan kuat. Akan tetapi, tiba-tiba Hui Song menarik lengannya dan cekalan itu terlepas, tangan itu licin seperti belut terlepas tak mampu dipertahankan oleh Moghul. Hui Song tersenyum dan memandang kepada orang yang memberi minyak kepadanya tadi, menjura.
"Terima kasih atas minyaknya, lenganku jadi licin, hi-hik!" Kembali orang-orang bersorak-sorai dan Hui Song kembali mengerahkan lengan yang satu lagi kepada Moghul. Ketika secara otomatis Moghul mengulur tangan hendak menangkap, Hui Song menarik kembali tangannya, seperti menggoda seorwg anak kecil saja. Sorak-sorai makin keras, orang-orang tertawa dan merasa geli menyaksikan pertunjukan yang lucu itu. Seperti bukan melihat pibu yang menyeramkan saja melainkan nonton panggung lawak yang lucu.
Dapat dibayangkan betapa kemarahan Moghul makin menjadi. "Kupatahkan semua tulangmu, kuhancurkan kepalamu...!" katanya berkali-kali dengan suara`mendesis.
"Silakan, kalau kau mampu menangkap aku," Hui Song mengejek.
Moghul yang sudah marah sekali itu tidak menjawab, melainkan menubruk lagi dengan cepat sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah. Namun, Hui Song mengelak dan sambil tersenyum mengejek pemuda ini tidak membalas, melainkan terus mengelak sampai raksasa itu terengah-engah kecapaian. Para penonton tertawa-tawa melihat tingkah Hui Song yang mempermainkan Moghul. Akan tetapi, agaknya bagi Moghul tidak ada kata kalah dalam benaknya. Dia sudah terbiasa selalu menang, sehingga kini, menghadapi seorang lawan yang demikian licin bagai belut sehingga semua serbuan dan terkamannya mengenai tempat kosong selalu, diapun merasa penasaran dan belum sadar bahwa dia sebenarnya menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai daripada dia.
"Hohhhhh...!" Kembali raksasa itu menubruk dari samping, dan untuk ke sekian kalinya Hui Song mengelak dan menyelinap di bawah lengan kanannya. Raksasa yang sudah lelah itu terhuyung ke depan karena terdorong tenaga tubrukannya sendiri. Ketika dia membalik, tiba--tiba dia melihat lawannya yang tubuhnya kecil dibandingkan dengan tubuh raksasa itu, menerjang ke depan.
Hui Song meloncat dan menggunakan jari-jari tangan kirinya hendak menceng-keram muka raksasa itu. "Awas, kucokel keluar matamu!" Moghul terkejut dan tentu saja dia terpengaruh ucapan itu, mem-perhatikan tangan kiri lawan yang menyerangnya dan siap melindungi matanya dengan kedua tangan sambil mencari ke-sempatan untuk menangkap tangan kiri itu. Sejak tadi dia sudah mengancam da-lam hatinya bahwa sekali dia dapat me-nangkap pemuda itu, akan diangkat dan dibantingnya, akan dipatah-patahkan se-mua tulang tubuhnya! Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa serangan Hui Song itu hanya merupakan gertakan saja, karena yang bekerja adalah tangan kanannya yang menepuk-nepuk ke arah perut gendut itu dengan keras.
"Plak! Plak! Pungg...!" Akan tetapi tamparan-tamparan tangannya itu membalik dan perut yang ditamparnya mengeluarkan suara seperti sebuah tambur besar dipukul.
"Wah, gentong ini kosong!" Hui Song masih mengeluarkan suara ejekan keras sehingga para penonton semakin geli tertawa. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti seketika karena pada saat itu, Moghul telah berhasil menangkap lengan kiri Hui Song dengan tangan kanannya. Dengan gerakan seekor jago gulat yang mahir, tangan kirinya menyusul dan su-dah menangkap pundak pemuda itu. Ke-mudian, secepat kilat tahu-tahu tubuh Hui Song sudah diangkat ke atas kepala. Semua orang memandang pucat dan Moghul menyeringai, mengeluarkan suara ha-ha-huh-huh seperti orang terengah-engah saking girangnya. Dia hendak membanting lawannya ke atas lantai panggung dan sudah mengerahkan tenaga agar bantingannya dapat dilakukan sekuatnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memekik kesakitan dan kedua lengannya menjadi lemas. Kiranya Hui Song menggunakan jari-jari tangannya, biarpun pergelangan tangan sudah ditangkap, untuk mencengkeram dan mencabuti bulu-bulu panjang di dada dan lengan raksasa itu, berbareng dengen itu, ujung sepatunya telah menotok jalan darah di dekat punggung lawan, membuat Moghul kehilangan tenaga untuk beberapa detik lamanya. Ini sudah cukup bagi Hui Song untuk meronta dan melepaskan diri dari pegangan kedua tangan lawannya. Dia menggeliatkan tubuhnya yang sudah dilumuri minyak tadi dan terlepas lalu meloncat ke belakang sambil berkata, "Heh-heh, tubuhku licin, berkat minyak!" Kembali penonton tertawa dengan hati lega. Biarpun sampai kini pemuda itu belum juga memperlihatkan ilmu silat atau ilmu gulat, namun semua gerakannya yang kelihatannya ngawur itu ternyata telah membuat si raksasa tidak berdaya!
Lumpuhnya kedua tangan Moghul tidak lama dan tentu saja raksasa ini menjadi semakin penasaran dan marah. Apalagi melihat betapa pemuda itu kini ber-diri sambil bertolak pinggang dengan ke-dua kaki terpentang lebar, berkata kepa-danya, "Hei, babi bengkak, coba sekarang engkau mengangkat dan membantingku kalau mampu!"
Tantangan ini mendatangkan rasa he-ran dan khawatir kepada para penonton, kecuali beberapa orang di antara mereka yang bermata tajam dan sudah dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah se-orang pendekar yang lihai dan tinggi il-mu kepandaiannya. Akan tetepi yang merasa girang adalah Moghul. Tadi dia pe-nasaran dan kecewa karena sungguh tidak disangkanya, pemuda yang sudah berada dalam cengkeramannya dan tinggal ban-ting saja itu dapat lolos. Kini dia ditan-tang, tentu saja dia merasa girang. Se-kali ini, kalau aku dapat menangkapnya, tak mungkin dia akan dapat lolos, pikirnya. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri dan tadinya mengira bahwa pe-muda itu tentu hanya mempermainkannya dan akan mengelak kalau ditangkap. Akan tetapi ternyata tidak! Ketika kedua tangannya yang besar itu menangkap pinggang Hui Song dan dia mengerahkan te-naga untuk mengangkatnya, ternyata tubuh kecil itu tidak bergeming dan tidak dapat diangkatnya! Tubuh yang kecil itu, yang agaknya akan dapat diangkat walaupun hanya dengan satu tangan saja oleh Moghul, kini terasa berat sekali, atau se-olah-olah kedua kaki pemuda itu sudah berakar pada lantai panggung. Moghul ti-dak percaya dan semakin penasaran. Di-kerahkannya kekuatannya sehingga urat dan otot di kedua lengan dan dadanya menggembung dan dicobanya lagi untuk mengangkat tubuh Hui Song. Namun tetap tak terangkat olehnya. Kedua tangannya pindah ke pundak, lalu ke pinggang lagi, tetap saja tidak terangkat.
Tiba-tiba Hui Song merendahkan tubuhnya, menggunakan kedua tangannya untuk menyangga paha dan perut si raksasa, mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengeluarkan lengking suara yang nyaring, dia meluruskan tubuh dan Moghul sudah terangkat ke atas olehnya! Tentu saja perbuatannya ini disambut sorak-so-rai gemuruh, bahkan Ji-ciangkun terbela-lak dan mukanya berobah agak pucat sementara itu Kok-taijin bertepuk tangan saking gembiranya.
"Brukkkk...!" Tubuh tinggi besar itu dilempar oleh Hui Song, bukan dibanting, melainkan hanya dilempar, akan tetapi akibatnya, bagian papan lantai panggung di ujung depan yang tertimpa tubuh raksasa itu ambrol!
Di bawah suara ketawa dan sorak-so-rai para penonton. Moghul merangkak ke luar lagi dari lantai papan panggupg. yang ambrol dan kini mukanya menjadi hitam, matanya merah sekali dan ada hawa pembunuhan membayangi wajahnya ketika dia melangkah maju lagi menghampiri Hui Song. Karena kini tidak ada lagi hio yang terbakar, maka orang tidak tahu lagi be-rapa lama batas pertandingan itu dan a-gaknya Moghul juga belum mau meneri-ma kalah.
"Eh-eh, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?" Hui Song bertanya mengejek. Raksasa itu tidak menjawab, melainkan menubruk dengan dahsyat, penuh ke-marahan. Akan tetapi tiba-tiba dia ter-belalak karena tubuh pemuda di depannya itu lenyap. Semua penonton dapat meli-hat betapa pemuda itu mengelak tubruk-an lawan sambil meloncat ke atas, tinggi sekali melampaui kepala Moghul dan ke-tika tubuhnya berjungkir balik dengan indahnya seperti seekor burung walet di udara, tubuh itu menukik turun dan tahu-tahu Hui Song telah hinggap di atas kedua pundak raksasa itu sambil tertawa-tawa!
Sejenak Moghul kebingungan, akan te-tapi melihat kedua batang kaki Hui Song bergantung di depan dadanya, dia cepat menangkap kedua kaki itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua kaki itu membalik dan menjepit lehernya dan kini tubuh atas Hui Song bergantung di belakang pung-gungnya dalam keadaan menelungkup.
"Wah, wah, celaka, kain cawatmu bau sekali, babi bengkak!" Hui Song berseru dan dengan kedua kaki masih menjepit leher, dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ujung kain cawat di belakang pinggul Moghul dan membukanya. Tentu saja nampak kedua bukit pinggul raksasa itu yang berkulit halus dan lebih putih daripada bagian tubuh lainnya. Semua penonton tertawa bergelak melihat ini karena dengan ditariknya cawat itu, nampaklah semua tubuh bagian bawah raksasa itu dari belakang!
Kini Moghul sama sekali tidak ingat untuk melakukan serangan lagi karena kedua kaki yang menjepit lehernya itu membuat dia merasa sukar bernapas. Ke-dua kaki itu sedemikian kuatnya seperti jepitan baja dikalungkan di lchernya saja. Dengan susah payah dia mencoba untuk melepaskan jepitan kedua kaki itu, na-mun sia-sia dan tiba-tiba Hui Song yang bergantungan di belakang tubuhnya itu menggunakan kedua tangannya untuk me-notok belakang lutut Moghul. Raksasa itu mengeluh keras dan kedua kakinya terte-kuk. Hui Song melepaskan jepitan kaki-nya dan meloncat turun kemudian dia berdiri mengejek di depan Moghul. Rak-sasa ini merasa betapa kedua kakinya nyeri sekali akibat totokan di belakang lutut tadi, akan tetapi kemarahan membuat dia mata gelap. Dia bangkit berdiri dan kini menyerang dengan pukulan tangannya yang dikepalkan, tidak menggunakan ilmu gulat lagi. Hui Song agaknya sudah merasa cukup mempermainkannya, maka diapun menyambut pukulan lengan kanan ini dengan tangkisan tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan seperti golok membacok ke arah lengan kanan lawan.
"Krekkk...!" Moghul memekik dan lengan kanannya menjadi lumpuh karena tulang lengan itu sudah patah! Dasar manusia yang keras kepala. Dia masih menyerang terus dengan tangan kirinya. Kembali Hui Song menangkis dan kini lengan kiri itupun patah lengannya. Pemuda itu teringat betapa raksasa ini sudah menyiksa banyak orang dengan mematahkan tulang kaki tangan mereka, maka diapun cepat melakukan tendangan susulan dua kali yang mematahkan tulang kedua kaki raksasa itu. Moghul roboh dan tak dapat bangkit kembali karena kedua kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, sudah patah-patah tulangnya. Hui Song kini membungkuk, menyambar se-buah lengan dan kaki, lalu mengangkat tubuh raksasa itu ke atas, memutar-mu-tarnya cepat lalu melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh itu melayang dan jatuh terbanting ke atas tanah, di luar kepungan para penonton! Sorak-sorai bagaikan meledak dan seperti akan merun-tuhkan panggung itu sendiri. Semua pe-nonton mengangkat kedua tangan dan ada yang berjingkrak-jingkrak menari kegirangan.
Akan tetapi, semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kekhawatiran ketika melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan orang pengawalnya telah berdiri di atas panggung dan mengurung pemuda yang baru saja memperoleh ke-menangan secara mutlak itu.
"Tangkap keparat ini!" bentak Ji-ciangkun kepada para perajuritnya yang nampak ragu-ragu.
Tentu saja Hui Song juga berdiri de-ngan mata terbelalak heran dan diapun merasa penasaran sekali. "Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?" bantah-nya.
"Orang muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu" Perta-ma, engkau telah memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau telah melu-kai penguji yang menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"
Akan tetapi pada waktu itu, Kok-taijin muncul pula dan terdengar pembesar sipil ini berkata, "Tidak, dia jangan di-tangkap, ciangkun. Biarlah kuampunkan kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal pribadiku?"
Hui Song merasa semakin heran. Agaknya ada pertentangan secara rahasia antara kedua pejabat itu dan diapun men-jura kepada gubemur itu, "Saya bersedia, taijin."
Ji-ciangkun nampak marah, akan te-tapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka diapun ti-dak berani menentang secara terang-te-rangan dan diapun memberi isyarat kepa-da para perajuritnya untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin meng-ajak Hui Song mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon per-wira itupun dibubarkan.
Setelah tiba di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki se-buah kamar untuk bicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia menyuruh seorang pela-yan menghidangkan minuman dan menyu-ruh pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lalu mengajak Hui Song bercakap-ca-kap.
"Cia-sicu, aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul, walaupun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan dalam hatiku, karena janggal dan anehlah kalau seorang pende-kar berilmu seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetul-nya, apakah yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"
Diam-diam Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata mempunyai pandangan tajam sekali. Dan diapun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar ini boleh dipercaya, ti-dak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu. "Harap taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya memasuki sayem-bara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah dan saya ingin membalaskan mere-ka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali mengapa kalau pe-merintah membutuhkan perwira-perwira baru, dengan mengajukan Moghul sebagai penguji maka seolah-olah pemerintah daerah bahkan menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu mengalahkan raksasa itu. Maka, saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan ini."
Pembesar ini mengangguk-angguk. "Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Oleh karena itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi. Sesungguhnya, sudah lama aku merasa curiga akan gerak-gerik Ji-ciangkun yang berobah semenjak beberapa bulan yang lalu ini. Dahulu diapun merupakan seorang panglima yang setia kepada pemerintah, akan tetapi entah mengapa, semenjak beberapa bulan ini terjadi perobahan pada sikapnya dan Moghul itupun pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju ketika aku mengusulkan untuk menerima perajurit dan perwira baru karena adanya desas-desus pemberontaken. Cia-sicu, tentu engkaupun sudah mendengar tentang desas-desus itu, bukan?"
Hui Song mengangguk. "Bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus terang saja, saya sampai ke daerah inipun adalah untuk menyelidiki tentang hal itu."
"Bagus kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal di sini, pura-pura saja menjadi pengawal pribadiku, kemudian tugas yang sesungguhnya bagimu adalah menyelidiki Ji-ciangkun" Siapa tahu dia mempunyai hubungan dengan para tokoh yang hendak memberontak itu."
"Baik, taijin. Saya dapat menggunakan waktu kira-kira sebulan untuk melakukan penyelidikan di sini."
Demikianlah, mulai hari itu, Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang sebenarnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri dan Gubernur Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiripun tidak mengetahuinya. Gubernur Kok tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya mempunyai seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk melakukan penyelidikan, karena tidak dicurigai.
Pada suatu malam, beberapa hari ke-mudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya, berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi. Anehnya, ketika para pensa-ga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, lalu perwira ini melapor kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.
"Ciangkun, dua orang tamu yang di-tunggu sudah datang," perwira itu mela-porkan.
"Baik. Persilakan mereka menanti ke dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal menjaga di luar, jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku tidak mau diganggu."
Perwira itu memberi hormat dan keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak lama kemudian, dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang bukan lain adalah Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui yang pernah bersama-sama Siang-to Sian-li Gui Siang Hwa murid Raja Iblis memikat Hui Song ke Guha Iblis Neraka tempo hari! Sang perwira menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menanti Ji-ciangkun di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruangan tamu, sama sekali tidak tahu bahwa seorang perajurit pengawal yang berdiri di situ dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah perajurit benteng itu, melainkan Hui Song yang telah menyamar! Dengan bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian perajurit benteng dan menyelundup masuk untuk melakukan penye-lidikan. Malam itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo yang pernah nyaris mene-waskannya di Guha Iblis Neraka.
Terkejut, heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya ter-hadap Ji-ciangkun ternyata kini terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua o-rang kakek iblis itu adalah para pemban-tu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun. Maka, setelah keadaan sunyi dan dia memperoleh kesempatan, Hui Song lalu melakukan pengintaian ke dalam ruangan tamu.
Tidak salah penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago gulat itu memang kuat sekali. Biarpun tulang kedua kaki tangannya patah, akan tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia mampu menghadiri pertemuan itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol mempunyai obat-obat yang amat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang. Dan kini makin mengertilah dia. Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itupun merupakan seorang di antara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan di antara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang pernah memerintah di Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang sudah jatuh. Jadi terdapat persekutuan antara tiga unsur di sini. Yang pertama adalah seorang panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yaitu Panglima Ji Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu persekutuan yang amat ber-bahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati.
"Pemuda itu...?" kata Kang-thouw Lo-mo sambil menenggak araknya ketika dia mendengar Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang mengalahkan Moghul dalam sayembara pemilihan perwira baru. "Ah, dialah orang she Cia, putera ketua Cin-ling-pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang lihai bukan main."
"Dan sekarang telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?" Hui-to Cin-jin menyambung. "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih dahulu!"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan main mendengar bahwa pemuda yang sikapnya ketolol-tololan itu, yang telah mengalahkan Moghul, ternyata bukan orang sembarangan, melainkan se-orang pendekar!
"Tidak mudah begitu saja menyingkir-kannya, bukan hanya karena dia lihai, a-kan tetapi karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigean di hati Kok-taijin sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat dibu-juk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan o-rang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa dia adalah seorang pendekar, ma-ka aku tidak menaruh curiga."
Mendengar ini, Hui Song sudah mera-sa cukup. Kalau kini Ji-ciangkun sudah mengerti siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi dan hal itu membuat dia tidak akan leluasa bergerak. Maka dia lalu secara hati-hati meninggalkan tempat itu dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika dibangunkan.
"Cia-sicu, ada apakah...?" tanyanya kaget.
"Taijin, mari kita bicara di dalam. A-da hal penting sekali," jawab Hui Song. Mereka lalu memasuki ruangan dalam dan di situ Hui Song menceritakan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya.
Diceritakannya kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun benar-benar bersekongkol dengan orang-orang yang hendak memberontak, betapa Moghul sebenarnya menurut pengakuannya adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak membangkitkan kembali kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya tentang dua orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pgmbantu Raja Iblis yang memimpin para datuk sesat yang hendak memberontak.
Mendengar penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini mengerutkan alisnya. "Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biarpun di San-hai-koan ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun, aku kekurangan kekuatan. Di sini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun menguasai pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Kita harus bertindak hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali mela-porkan ke kota raja. Akan tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melapor-kan kepada kaisar harus disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku minta bantuanmu. Sam-paikan suratku kepada komandan benteng Ceng-tek. Komandan itu adalah seorang panglima yang setia dan kalau dia mene-rima suratku, tentu dia akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang be-sap ke sini untuk membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."
Hui Song tidak dapat menolak karena dia sendiripun maklum akan gawatnya keadaan. Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki San-hai-koan lebih dulu untuk menjadi markas dan basis pembe-rontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan be-rangkatlah dia meninggalkan San-hai-koan.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu selain untuk berunding di mana dua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblus untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis di suatu tempat tersembunyi tidak jauh da-ri San-hai-koan! Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis. tadinya Moghul juga diundang, akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat berjalan, yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.
Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti di sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu memberi isyarat kepada Ji-ciangkun untuk menghentikan kuda masing-masing dan menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.
"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.
"Lihat saja isyarat tangan kami. Ka-lau bicara sebelum ditanya, dapat meng-akibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.
Mendengar ucapan dua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti o-rang yang amat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis a-dalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit-ong dan bahwa tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sen-diri! Setelah mereka berjalan kira-kira setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka tiba di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun me-mandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.
"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.
"Sssstt!" Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.
Ketika mereka tiba di luar tanah pe-kuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan mem-beri isyarat agar diam dan tidak menge-luarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berobah pucat. Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biarpun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia da-pat melihat dengan jelas apa yang terja-di di tengah kuburan itu.
Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tidak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang amat luar biasa. Seorang di antara mereka, adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin seperti muka mayat, sepasang matanya yang kehijauan mencorong seperti mata harimau, pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar dan kedodoran, usianya sukar ditaksir berapa karena biarpun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih. Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima pu-luh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersi-la di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan tengkorak saja sudah merupakan hal yang sukar dilaku-kan, karena tengkorak yang hanya ber-tumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh kalau di puncaknya diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan te-gak, bersila dan matanya memandang ta-jam ke depan. Di depannya, terpisah ku-rang lebih tiga tombak, ada tumpukan tengkorak lain seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi bar-diri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas! Wanita inipun rambutnya putih riap-riapan, pakaian dan wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku, dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena ia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.
"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.
"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.
"Mulai...!" kata pula yang pria. Kedua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.
"Tarrrr...!" terdengar ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini bet-ulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi, kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seo-lah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.
"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.
"Tarr... brukkkkk...!" Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga dahsyat!
"Tenagaku masih kurang kuat...!" Wanita itu menarik napas ketika ia sudah turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.
"Siapa bilang" Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!" Diapun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!
Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi terkejut ngeri dan juga gentar hatinya. Apalagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.
"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.
Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah iblis-iblis itu, hanya menjura dengan hormat.
"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis. Seperti biasa, ialah yang menjadi juru bicara suaminya, sedangkan Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.
"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."
Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka untuk duduk di atas tanah, sedang-kan dia sendiri duduk di ates tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedang-kan dua orang kakek pembantu mereka itupun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk.
Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.
"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang dia bicara, akan tetapi agaknya kini dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai me-nyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kua-sai?"
Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar. "Semua sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu perajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh perwira-perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu perajurit saya yang akan mudah diatasi. Akan tetapi, Kok-taijin sukar diajak berdamai dan tidak mungkin bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."
"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.
"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apalagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..." Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.
"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu telah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
Raja Iblis mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang pendek. "Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga mantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula kalau sudah tiba waktunya" Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"
"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apalagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."
"Pemuda itu harus dibunuh, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu su-kar membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi membunuh Kok-taijin saya kira tidak bijaksana, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."
"Mengapa?"
"Seperti telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan, dan kalau terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biarpun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."
"Caranya" Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.
Ji-ciangkun menggeleng kepala. "Biar-pun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andaikata dia ditangkap dan disiksa sekalipun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan te-tapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."
"Bagus! Lakukanlah itu, Ji-ciangkun. Ingat kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau akan resmi menjadi pang-lima besar semua pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."
Wajah Ji-ciangkun berseri gembira membayangkan kedudukan yang akan diperolehnya kalau gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah dia bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambilalihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun lalu kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.
Sementara itu, Hui Song yang keluar dari San-hai-koan dengan berkuda, baru kira-kira meninggalkan benteng itu sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini da-pat menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya" Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tidak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya. Maka diapun lalu berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusn, bukan ke jurusan Ceng-tek, me-lainkan ke timur. Kuda itu ketakutan dan lari cepat, dia masih mengejarnya dengen lemparan-lemparan batu sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.
Tak lama kemudian, muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sukar juga kalau dia harus melawan orang se-demikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor dan akhirnya mereka membelok ke kiri, mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.
Setelah pasukan itu membalapkan ku-da ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu memperguna-kan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Kota Ceng-tek merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini ter-dapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal berna-ma Lui Siong Tek, seorang laki-laki ting-gi besar dan gagah perkasa, berusia em-pat puluh lima tahun. Dia menguasai se-laksa pasukan tetap dan dengan mudah dia akan memperlipatgandakan pasukan-nya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang me-rupakan mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsa-bangsa liar di utara.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa seo-rang pembesar yang mempunyai kekuasa-an penuh di suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seolah-olah menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pem-besar itu akan lupa bahwa dia hanyalah seorang petugas yang bekerja untuk atas-an di kota raja. Dan seorang pembe-sar militer seperti Lui-goanswe ini, di waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kese-nangan-kesenaangan yang mudah saja di-dapat karena kekuasaan dan kekayaannya. Demikian pula dengan Lui Siong Tek, ka-rena wilayahnya dalam keadaan aman dan tenteram, diapun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang telah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.
Ketika Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, akan tetapi juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini mempunyai seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu.
Setelah mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song lalu memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak terjaga ketat. Kalau pemimpinnya malas, anak buahnyapun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnyapun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itupun tidak ketat. Para penjaga hanya bergerombol di pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudah Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di da-lam benteng itu dan dengan mudah saja dia dapat memasuki sebuah gedung ter-besar di tengah benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa ada penjagaan di seki-tar gedung, dan agaknya semua penghu-ninya telah tidur. Hui Song menyelinap masuk ke dalam gedung itu dan tak lama kemudlan dia sudah mengintai ke da-lam sebuah ruangan yang terang dan di mana dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Ketika dia mengintai ke da-lam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya di-hias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan mi-num dilayani oleh dua orang pelayan wa-nita muda dan di depannya duduk pula seorang wanita cantik. Melihat wanita itu, jantung Hui Song berdebar keras dan dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, mu-rid dari Raja Iblis itu!
Dan ternyata bahwa pada saat dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita, "Bersihkan meja!" lalu ia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya. Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena- dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong. Tempat itulah yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.
Akan tetapi, dapat dibayangkan beta-pa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia telah bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia telah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan cepat dia menyusup ke bawah tempat tidur.
Dan tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur!
Tempat tidur berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria yang ditariknya duduk di sampingnya.
"Aih, manis, kenapa engkau begini tergesa-gesa" Baru saja kita habis makan...!" kata pria itu yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek berkata sambil tertawa menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.
"Hemm, siapa sih yang kepingin" Apa kaukira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur" Tak tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.
"Ha-ha-ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apalagi kalau..."
"Pikiranmu memang penuh dengan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau bicara di depan para pelayan maka aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."
"Bicara apakah, Siang Hwa" Engkau minta apakah?"
"Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"
Jenderal itu merangkul dan menciumnya. "Aihhh, Siang Hwa, masihkah engkau tidak yakin akan cintaku" Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta padamu."
"Ciangkun, sudah sepekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepe-nuh hati, akan tetapi mengapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"
"Aaahh... itu...?" Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Hui Song cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dikeluarkan agar dia dapat mendengar den melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.
"Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada perminta-an lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk i-tu..."
Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka. "Sayangku, kenapa justeru itu yang kauminta" Mintalah yang lain. Apa saja tentu akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang sejak nenek moyangku menjunjung tinggi nama dan kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"
Hui Song terkejut bukan main mende-ngar ini. Ah, dia mengerti sekarang. Ga-dis iblis ini tentu sedang melakukan tu-gasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan pembe-rontak! Kiranya Raja Iblis sudah mende-ngar akan kelemahan jenderal ini terha-dap wanita cantik, maka menyuruh mu-ridnya sendiri yang selain lihai juga can-tik manis itu untuk menjebak sang jen-deral den kini Siang Hwa sedang menja-lankan peranannya dengan amat baik.
Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi. "Ciangkun, di dalam hidupku ini tidak ada legi hal lain yang kuinginkan kecuali membalas den-dam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semua tewas oleh pemerintah, difitnah dan dihukum mati sekeluargaku! Aku he-rus membalas dendam dan satu-satunya jalan hanyalah memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."
"Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya" Apa artinya balatentara puluhan ribu ini menghadapi balatentara pemerintah yang ratusan ribu" Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja malapetaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."
"Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam kepada pemerintah. Engkau dapat mencari kawan-kawan dalam hal ini, dan aku sanggup mencarikan kawan-kawan sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati kalau engkau mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu meng-hardik.
"Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kaudengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat daripada dirimu, bahkan leblh berat daripada nyawaku sendiri, mengerti?"
Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia memiliki kelemahan terhadap wanita, ma-ta keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin, akan tetapi harus diakui bahwa dia seorang laki-laki yang gagah dan te-guh pendiriannya.
"Bagus! Begitukah, ciangkun" Setelah kuserahkan segala-galanya selama sepe-kan ini kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka" Kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah mu-rid dari Pangeran Toan Jit-ong yang a-kan memimpin pemberontakan, dan kare-na penampikanmu, engkau tidak boleh hi-dup lebih lama lagi!"
Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jende-ral itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pe-lipisnya! Gui Siang Hwa telah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan te-tapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apalagi ketika di bawah sinar lampu ia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.
"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berobah pucat.
"Perempuan jahat!" Hui Song memaki marah karena dia melihat betapa munculnya terlambat dan jenderal itu tidak da-pat ditolong lagi. Maka diapun segera -langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apalagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan dan kelihaian wanita itu, maka diapun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempat-an itu dipergunakan oleh Siang Hwa un-tuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan ma-sih memakai pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.
"Mau lari ke mana kau?" bentak Hui Song sambil mengejar.
Akan tetapi, suara ribut-ribut itu me-mancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"
Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song de-ngan senjata mereka!
"Perempuan itulah pembunuhnya! Ia siluman jahat...!" Hui Song berseru, akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya" Mereka tidak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu telah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya. Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan diapun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadean sudah a-mat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimanapun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.
Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring, "Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi, kebetul-an sekali kedatanganku melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"
"Bohang! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."
"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang" Kalau memang ia orang baik-baik, kenapa ia melarikan diri" Karena kalian menghadangku, maka aku sampai tidak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah di-bunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"
Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walaupun ada di an-tara mereka yang mencari-cari dan tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.
"Sebaliknya kalian bawa aku mengha-dap wakil dari Lui-ciangkun. Biar yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"
Usul ini dapat diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng dan dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa yang di-bawa menghadap padanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.
Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tidak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung mema-suki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi, saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Ia adalah murid Raja Iblis yang se-dang menghimpun para datuk sesat untuk memberontak, maka kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe dan tak saya sangka-sangka, iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe ketika rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu a-gar ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dan ia pergi membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga ia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."
Dengan tenang Bhe-ciangkun mende-ngarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa memang ternyata wa-nita bernama Gui Siang Hwa itu telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.
Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat i-tu, wajahnya berobah dan dia lalu meng-ajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa me-reka tadi telah salah tangkap.
Sementara itu, setelah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun berkata, "Ah, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"
Hui Song mengangguk. "Dia malah merencanakan dengan para pemberontak un-tuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi ti-dak berhasil. Agaknya mereka akan menguasai San-hai-koan untuk dijadikan ba-sis gerakan pemberontakan mereka. Ka-rena itu, Kok-taijin mengharap bantuan pasukan dari sini, ciangkun." Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan bagaimana dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.
"Hemm, agaknya para tokoh pembe-rontak itu berusaha keras untuk mempe-ngaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk se-waktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau dia benar-benar berani memberontak."
"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya mengkhawatir-kan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang di-minta oleh Hui Song sekedar untuk pen-jagaan diri karena dia maklum bahwa se-telah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu mempersiapkan teman-temannya untuk menghadangnya apabila dia kembali ke San-hai-koan.
Kekhawatiran Hui Song itu sama se-kali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa dan kawan-ka-wannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar sangkaan den per-hitungan Hui Song. Tak disangkanya bah-wa secepat itu Ji-ciangkun akan bergerak untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.
Dipercepatnya pengambilalihan benteng San-hai-koan oleh para pemberontak ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dan menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya dan Raja Iblis juga segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga! Raja Iblis dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda itu yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!
Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, mau tidak mau harus mempergunakan kekerasan. Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siapa menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.
Ji-ciangkun masih hendak mempergu-nakan bujukan. Setelah gedung dikepung, dia menyampaikan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja daripada harus di-serbu dengan kekerasan. Akan tetapi Gu-bernur Kok membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk me-lindunginya. Terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal melakukan perla-wanan dengan gagah perkasa sehingga terjatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai sehari lamanya, gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.
Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun melawan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka diapun membalapkan kudanya dan ketika dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau. Hui Song tidak perduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua perajurit yang berani menghalanginya dan ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.
Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah pasukan, jelaslah bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dia segera menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu sudah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walaupun wajahnya juga pucat sekali.
"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga" Bagaimana dengan tugasmu?"
Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya dan bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak demikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.
Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita makin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.
"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku akan memimpin semua pengawalku melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"
"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari San-hai-koan" Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."
Gubernur itu menggeleng kepala. "Tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamtkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat" Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih" Tidak, aku akan tetap bersama kcluargaku di sini, akan kuhadapi semua dengan tabah. Lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir daripada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kauselamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubemur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.
Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka diapun tahu bahwa berbantah tidak akan ada gunanya. Di samping itu, diapun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil kalau hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya karena pihak musuh terlampau banyak dan kalau kereta yang membawa gubernur itu dihujani snak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka" Berbeda halnya kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, apalagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan diapun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat daripada dirinya sendiri.
"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu. Anak itu tidak nampak ketakutan karena agaknya ia belum mengerti benar apa se-betulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan ia memakai pita merah. Ia ter-senyum ketika tangannya digandeng Hui Song yang biarpun belum dikenalnya be-nar, namun agaknya ia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya. Akan tetapi ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangen itu, a-nak itu menangis.
"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"
Ibunya menangis, akan tetapi Kok-tai-jin memberi isyarat kepada Hui Song un-tuk membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. A-nak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.
"Diamlah, adik yang manis, kita ke-luar untuk menyelamatkanmu. Marilah!" Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya. "Adik yang manis, kau rangkullah leherku dan kugendong di be-lakangku. Jangan takut, aku akan menye-lamatkanmu," katanya dan diapun sudah mengambil busur dan mempersiapkan a-nak panahnya, lalu membedal kudanya keluar. Para pengawal sudah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan pu-teri sang gubernur, maka mereka melin-dunginya dengan anak panah yang mereka luncurkan ke depan.
Pertempuran sudah terjadi lagi dan kini Hui Song membalapkan kudanya di antara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-ka-dang diapun melepas anak panah merobohkan beberapa orang perajurit musuh yang berani menghadang. Kadang-kadang dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat. Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para perajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung. Hui Song melompati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia membalas dengan anak panahnya, dan robohlah dua orang perajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapapun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya. Akhirnya, biarpun dengan susah payah, berhasillah Hui Song membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan.
Akan tetapi, tiba-tiba ada benda-benda berkilauan menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Hui Song terkejut sekali dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas pung-gung kudanya. Kuda itu ketakutan, sejak tadi memang kuda itu sudah panik di antara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan, setelah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia membalap melarikan di-ri.
Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan dari mana pisau-pisau terbang tadi menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri di situ, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tak ke-tinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di situ dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Hemm, kembali si tampan gagah pu-tera ketua Cin-ling-pai mencampuri urus-an kita," kata Siang Hwa biarpun suara-nya mengandung ejekan, namun sinar matanya tidak dapat menyembunyikan pera-saan kagum dan sukanya kepada pende-kar yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!" Kang-thouw Lo-mo tertawa dan Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadipun gggal, ki-ni sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.
Hui Lian yang berada dalam gendong-an Hui Song, ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.
"Hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh anak-anak." Dan kini wanita itu mengeluar