Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
ayi pada umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula ter-jadi di seluruh dunia. Untuk membela a-gama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghan-curkan keluarga lain.
Akan tetapi, setelah isterinya mela-hirkan seorang anak perempuan yang di-bunuhnya sendiri, Raja Iblis menjadi se-makin menggila. Dia ingin sekali mem-peroleh keturunan terutama seorang pu-tera.
"Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku" Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!" Mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi murid-nya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memper-oleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai "permaisuri" akan terancam kalau ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramu-an obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak me-nurut. Juga Siang Hwa diancam dan di-paksa minum obat itu. Sebagai balas ja-sa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu I-blis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya.
Seperti telah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, koman-dan kota Ceng-tek sehingga ia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting mengenai keadaan benteng Ceng-tek. Ia melarikan diri menemui gurunya dan sementara itu pasukan Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Siang Hwa melaporkan peristiwa di Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk mela-kukan penyelidikan tentang berita bahwa para pendekar hendak mengadakan perte-muan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Gadis yang cerdik ini lalu memasang ba-nyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara mereka adalah enam o-rang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu. Terkejut-lah ia mendengar bahwa mereka itu ada-lah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan dua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya! Diaturlah siasat yang amat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh, hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepa-danya. Dan akhirnya iapun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, kini gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati. Ia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu su-dah pasti akan menemui kematian seperti dua ekor tikus yang tenggelam karena ia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!
Dan, direbutnya San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan dan menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke San-hai-koan.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Ada kekuasaan rahasia yang mujijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tak dapat dilawan oleh siapa atau oleh apapun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita. Kekuasaan yang mengatur arah angin, mengatur alam semesta, perederan bintang-bintang, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak yang paling kecil tak dapat dilihat mata sampai kepada makhluk yang paling besar. Kekuasaan yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar laut yang paling dalam, ataupun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang membuat kuku dan setiap helai rambut bartumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Kalau memang sudah tiba saatnya, ke manapun juga kita bersembunyi, maut tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, kalau memang belum semestinya kita mati, seribu ancaman mautpun akan luput. Siapapun adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apapun juga menurut istilah dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, dan agama masing-masing, namun kita manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa kekuasaan rahasia yang mujihat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam dan bahkan di dalam diri kita sendiri. Pikiran kita terlalu dangkal untuk dapat menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat melihat adanya kenyataan akan kekuasaan yang mujijat itu. Di sini tidak ada masalah percaya atau tidak percaya, karena kita dapat melihatnya, merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu minta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.
"Bantulah aku melepaskan diri, Ci Kang, agar aku depat membantumu membongkar penutup lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berseru setelah air sudah mencapai dada.
"Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?" Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!
Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.
"Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?" bentaknya. "kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kaubebaskan totokanku. Jangan dikira aku tidak mampu membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak mempunyai waktu untuk membebaskan totokanmu daripada aku, maka jangan kau tekebur dan sombong!"
Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sin-kangnya setelah jalan darahnya lancar.
"Mari kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher. Sentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.
"Mari!" kata Ci Kang dan mereka berdua kini berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sin-kang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga kedua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya. Akan tetapi kekuatan kedua orang muda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Akan tetapi, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Brakkkk...!" Bukan batu di atas itu yang terangkat, melainkan lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang tentu tertekan dengan hebatnya ke bawah, kini jebol ke bawah! Dan kedua orang muda itu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka melindungi diri. Mereka terjatuh dan terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang memiliki kekebalan dan ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan dan menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu. Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang amat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidaklah mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Air tadi sudah mencapai mulut dan terlambat satu menit lagi saja mereka akan tewas.
"Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.
Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup. "Cia Sun, engkau hebat!" Dia memuji karena bagaimanapun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.
"Sudahlah, tak perlu saling puji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lalu menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.
"Ssttt... lihat...!" Tiba-tiba Ci Kang berbisik. Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang melihat pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, sudah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.
Tentu saja dua orang muda itu siap siaga karena di tempat seperti ini, mereka dapat menduga bahwa tentu tosu itupun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Kiranya tosu itu telah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga kedua tangan yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, demikian pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.
"Ah, hanya kerangka..." kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga serem.
"Ssst, lihat...!" Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar. Keduanya terbelalak dengan muka berobah agak pucat ketika melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.
"Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"
Cia Sun dan Ci Kang yang terkejut setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, melainkan kerangka yang benar-benar terbungkus pakaian. Akan tetapi kenapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup"
Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang sudah menjadi kerangka ini dahulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat. "Harap locianpwe sudi me-maafkan karena tanpa sengaja kami ber-dua telah memasuki tempat ini..."
"Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak akan kucabut nyawa ka-lian!" kerangka itu memotong dan suara-nya terdengar galak sekali.
"Heeii!" Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu. "Lihat, mulutnya tidak ber-gerak dan kebutan itu gagangnya tidak dipegang oleh tangannya!" Setelah berka-ta demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi di ma-na tengkorak berpakaian itu duduk. Kira-nya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memper-hatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang membuatnya berteriak dan cepat melon-cat ke atas untuk mendekati kerangka i-tu. Pada saat itu, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar ba-gi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil, dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berke-lebat dari belakang kerangka itu adalah seorang gadis muda yang gerakannya lin-cah bukan main. Mereka teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak ka-lah cepatnya.
Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, bersembunyi di balik batu yang me-nonjol. Ketika dia melihat betapa dua o-rang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat, ia lalu me-ngeluarkan teriakan nyaring. "Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan de-kati aku!"
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang ti-dak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang. Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sama sekali bukan Siang Hwa!
Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya agak pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, seperti pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu. Melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan ketika ia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah dan juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.
Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tidak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang dari Raja Iblis, tentu saja merekapun menaruh curiga kepada gadis ini. Apalagi setelah mereka mengalami malapetaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis inipun tadi menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang kalau tidak cepat mereka elakkan, mungkin dapat membunuh mereka.
Betapapun juga, karena yang mereka hadapi hanya seorang gadis remaja yang kini nampak bingung dan ketakutan seperti seekor harimau yang terkurung, dua orang pemuda itu sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyeran gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona, kenapa engkau menakut-nakuti kami kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena demikian pesan ibuku..." jawab gadis itu, suaranya mardu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan ibumu" Untuk membunuh kami?"
"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.
"Siapakah ibumu, nona?"
"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, ibu kini hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan tetapi, kenapa engkau berada di tempat ini" Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... sejak kecil, dan yang menemani aku hanya ke-rangka itu... dan ibu yang kadang-kadeng datang menjengukku."
"Engkau tidak pernah keluar dari si-ni?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari ketika sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."
"Bagaimana engkau makan" Minum" Dan mandi atau mencuci pakaian?" Cia Sun bertanya, merasa heran dan kasihan.
"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali." Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti dua orang pe-muda itu. Ia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering dan bumbu-bumbunya. Cukup untuk makan berbulan-bulan.
"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung di sini" Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"
"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa a-ku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Kalau ada laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku ti-dak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm, jangan dikira mudah membu-nuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku tentu dapat kelau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai se-kali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sukar dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tar-tar...!" Ujung batu di langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan dan hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum. Gadis ini tidak main-main dan ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.
"Siapa yang mengajarmu mainkan kebutan selihai itu?" Cia Sun bertanya. Kalau sampai ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!" Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu. Dua orang pemuda itu terkejut dan kini mereka semua kembali, menghampirl kerangka yang masih duduk bersila. Kini mereka berdua dapat membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan bersamadhi. Dan hebatnya, biarpun seluruh kulit dan dagingnya telah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku." Gadis itu menjawab tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya dara itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang selain menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam guha bawah tanah ini.
"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu" Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.
Gadis itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu nampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.
"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Ilmu itu, kata ibu merupakan ilmu rahasia yang tidak pernah diajarkan kepada siapapun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."
Dua orang pemuda itu kint dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya de-ngan Raja Iblis, Ratu Iblis, maupun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah engkau mengenal seorang gadis bernama Siang Hwa?" tanyanya sam-bil memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggeleng kepala.
"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!" Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kaukira aku ini siapakah mengenal segala iblis" Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?" Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walaupun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu ia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, aku tidak pernah jumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberitahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.
"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri." dia menegur.
Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun sedemikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur o-rang padahal urusan pribadi nona itu sa-ma sekali tidak ada sangkut-pautnya de-ngan dia, segera maju dan berkata de-ngan suara menyesal, "Maafkan aku, no-na. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, akan tetapi aku tadi hanya merasa heran begaimana seo-rang gadis seperti engkau ini dapat membenci ayah sendiri. Kenapa engkau membencinya" Kalau sampai engkau memben-cinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu menurunkan kedua tangan-nya dan sejenak Cia Sun terpesona. Se-telah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini ia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemu-dian memandang Cia Sun.
"Dia... dia mau membunuhku!"
"Apa...?" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berjumpa dengan dia, akan tetapi ibu mene-kankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama de-ngan laki-laki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membu-nuhku kalau bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di sini."
Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan ma-nusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barang-kali gila, ataukah ayahnya yang gila" Ataukah gadis ini sendiri yang miring o-taknya"
"Engkau tidak tahu siapa nama ayah-mu atau ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Dan namamu sendiri" Siapakah namamu?"
"Ibu memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa itu she?"
"Nama keluargamu" Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu den kata ibu usiaku sekarang sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang amat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah, mari kita cepat keluar da-ri sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.
Baru teringat Cia Sun bahwa mereka terkurung di dalam guha bawah tanah. Diapun mengangguk kepada gadis berna-ma Hui Cu itu sambil berkata, "Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"
Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Ia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agak-nya, ibu gadis ini tidak lupa untuk mem-beri pelajaran cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam guha bawah tanah ini.
"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba ia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."
"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar" Kenapa tidak tinggal saja di sini menemani aku?"
Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tidak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus keluar dari sini. Banyak urus-an yang harus kuselesaikan. Nah, tunjuk-kanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan dalam hatinya, akan tetapi ia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat hitam.
"Hanya dari sinilah jalan kcluar, dan ini merupakan rahasia. Kalau bukan un-tukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali." Berkata demikian, gadis itu me-raba dinding batu dekat pintu dan terde-ngar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding. Seke-tika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang di balik pintu.
Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari. "Di sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itupun ikut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat di-ketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik Hui Cu," kata Cia Sun meman-cing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"
Gadis itu mengangguk. "Beberapa ka-li aku keluar, biasanya di waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Dan juga pernah beberapa kali keluar siang bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."
"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget. "Aih, kenapa aku tidak ingat" Aku dapat naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"
"Kenapa tidak bisa?" Ci Kang berkata dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sin-kang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. De-ngan menggunakan kedua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu memandang dengan mata ter-belalak. "Wah, dia lebih pandai daripada aku!" Lalu ia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"
"Mana bisa" Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."
"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja" Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."
Cia Sun memandang dengan hati ter-haru. Gadis ini masih separti kanak-ka-nak saja, polos dan bersih, dan menderi-ta. "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di sini. Engkau saja agar minta kepada ibumu, kalau benar ia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunubmu dan andaikata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman o-rang yang hendak membunuhmu."
Tiba-tiba Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah ia memandang wajah Cia Sun. "Benarkah, koko" Benarkah bahwa engkau a-kan suka melindungi aku" Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sukar dikalahkan siapapun juga..."
"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai di atas!"
Akan tatapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut tubuh kawannya itu dengan kedua lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan gin-kangnya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat tiba di dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas. Cia Sun kagum melihat kehebatan gin-kang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Ia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
"Mari kita susul Hui Cu!" Cia Sun berkata. Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka diapun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu. Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu turun kembali. Akan tetapi Hui Cu tidak perduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.
"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!" Nenek itu berseru dan meronta-ronta. Akan tetapi Hui Cu tetap tidak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya dan kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan kini mereka berdiri terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!
Nenek itu kinipun mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya pandang matanya sendiri dan ia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali! Akan te-tapi otaknya yang amat cerdik segera dapat membuat perhitungan dan ia men-jadi kagum bukan main. Ia dapat mendu-ga bahwa tentu dua orang muda itu ber-hasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pe-muda ini, yang menjadi musuh besar ke-luarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!
Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditu-kar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa. Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya da-ri ancaman suaminya. Kemudian, setelah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu dan mengurung anak yang di-beri nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam guha bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini meru-pakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat ke-ramat, maka dia sendiripun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian pute-rinya sendiri!
Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan ia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, dan menakut-nakuti gadis itu agar membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya. Hal ini membuat Hui Cu keta-kutan dan ia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya ia menjadi penghuni guha bawah tanah itu sampai akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan ia dengan Cia Sun dan Ci Kang!
Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain terkejut dan heran, ia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah kalau tahu bahwa ia mempunyai seorang puteri, yang disembunyikan sampai belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, ia tidak sanggup membayangkan.
"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dengan kuat dan Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang muda itu melainkan mendekati puterinya, merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"
Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Lenyaplah sifat liar dan ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul den mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!
"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"
Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya. "Sun-koko..." Siapa itu?"
"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki guha bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."
"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, kalau tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!" Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berobah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.
Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan main. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas den sebelum tangan itu menyentuh mereka, telah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak dan balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.
Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa tamparan-tamparannya dapat dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Ia masih memandang rendah mereka dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.
"Dukk! Dukk...!"
Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika ia merasa betapa benturan lengan itu membuat tubuhnya tergetar hebat, jangankan merobah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan ia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang memiliki tenaga kuat yang aneh sekali. Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan iapun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi ia masih belum percaya. Sekarang baru ia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai daripada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa mempergunakan siasat untuk menjebak mereka. Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkilat ketika ia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang ia mempergunakan pedangnya kalau bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walaupun ia tidak mencabut pedang.
Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka diapun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati. Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka iapun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata. Dengan cerdiknya, kedua orang muda itu lalu berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.
Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.
"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."
Akan tetapi nenek itu tentu saja tidak memperdulikan teriakan puterinya, bahkan membentak marah, "Diam kau...!"
"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!" Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan amat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.
Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat akan tetapi cepat membalik dan meluncur turun, kalau tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.
"Trakkk...!" Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang me-miliki tenaga sin-kang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya hebat sekali, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala nenek itu yang sedang menyerang Cia Sun.
Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serahgan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar dan menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kaku dan keras seperti besi.
"Takkk...!" Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang amat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.
"Ehhh...!" Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.
Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yakni pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis beja!
Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah ia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andaikata dua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya ia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan setelah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga ia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara ia dan dua orang muda itu membuat ia lelah karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.
"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang sejak tadi hanya nonton saja dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, ia menjadi semakin bingung.
"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang terutama laki-laki jahat, akan tetapi mereka ini tidak jahat, aku tidak bisa menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.
"Desss...!" Tubuh nenek itu terhuyung akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan tidak sampai roboh walaupun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main. Karena puterinya tidak mau membantunya dan maklum bahwa dua orang lawannya sungguh merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara itu dan kesempatan itu dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.
"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar. Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya yang ternyata kulitnya berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.
"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.
"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" keta Cia Sun. "Karena itu aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan kalau sampai ia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."
"Tidak perlu begitu lama, Cia Sun. Aku telah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."
Tak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sin-kang dan dengan hawa murni dia mendorong-kan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendiri saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya sepekan baru hawa beracun dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih. Akan te-tapi, kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya di siku dan pundak kirinya dan teman ini membantunya de-ngan mengerahkan sin-kang. Hawa panas memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mere-ka depat mengusir racun dari tangan ki-ri. Tak lama kemudian, kulit tangan itu berobah warnanya. Warna hitam kehijau-an itu perlahan-lahan surut dan akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.
"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan girang dan kagum.
Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkaupun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."
"Ci Kang, sampai kini aku masih me-rasa heran mengingat bahwa engkau, se-perti pengakuanmu, adalah putera Siang-koan Lo-jin! Dan engkau memusuhi datuk-datuk sesat! Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi saha-bat senasib sependeritaan, apakah yang kaucari di sini?"
"Sama dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"
Cia Sun mengangguk lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri perte-muan itu?"
Ci Kang tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. A-yahku seorang datuk sesat, begaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar" Tadinya kusangka..."
Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andaikata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan telah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin akupun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di sini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan untuk menentang golongan sesat! Tentu saja orang yang tidak mengenal keadaan dirimu akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"
"Aku hendak menyumbangkan tenaga menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."
"Bagus! Kalau begitu kita sehaluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."
Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apapun yang kuhadapi, kalau berhasil hanya karena bantuan orang lain, tidak akan memuaskan hatiku. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apapun akibatnya. Aku girang sekali telah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Diapun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terusir dan terbasmi sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyaplah kebesarannya seperti ketika mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu. Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka amat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai aliran, tradisi, dan agama. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.
Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesukaran yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.
Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri, dan seperti bia-sa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang me-nimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi la-hir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya un-tuk menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.
Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peranan nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, melainkan sebagai penengah. Nenek ini ditakuti karena memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah nenek Yelu Kim bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.
Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan se-suatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekua-saan yang sudah hilang di selatan. Juga Yelu Kim seperti baru terbangun dari ti-durnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa ia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkit-kan kembali kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mo-ngol"
Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan di antara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin kalau sampai mereka bersatu dan melakukan penyerbuan ke se-latan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan. Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak ber-hasil, sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya!
Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai ia bertemu dengan Sui Cin. Dalam diri gadis ini ia melihat bakat dan kepandai-an yang depat ia pergunakan untuk men-capai hasil baik dalam rencananya meng-hadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu. Nenek itu berhasil mem-bawa pergi Sui Cin dengan bantuan hari-mau peliharaannya, dan mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Akan tetapi selain keracunan, nenek itu mendapat kenyatan bahwa gadis itupun kehilangan ingatannya, maka iapun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya un-tuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, juga dari pe-nyakit kehilangan ingatan itu.
Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya ia berhasil mengobati Sui Cin sehingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi ia terbangun dan melihat nenek itu telah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum e-mas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya ketika ia sedang tidur dan berhasil "membuka" kembali ingatannya.
"Aihhh...!" Sui Cin meloncat dan bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkaupun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"
Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik ketika ia tersenyum. "A-nak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu" Tadinya engkau lu-pa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."
Sui Cin membelalakkan matanya. "Be-narkah itu" Ah, ya, teringat olehku se-karang. Tentu timpukan batu yang me-ngenai belakang kepalaku itu yang mem-buatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"
Nenek itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang me-nolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"
"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ah, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat den mengerikan semua pe-ngalamanku selama ini dan akhirnya lo-cianpwe yang dapat menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."
"Hushh, sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi" Ingat, sesuai de-ngan janjimu, engkau telah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang, ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."
"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin teringat bahwa ia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka ia meragu. Bagaimanapun juga, ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.
AKAN tetapi nenek itu tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah. "Sungguh para dewa telah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"
Sui Cin terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya" Padahal, sebelum ini belum pernah ia mengenal nenek Yelu Kim.
"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.
Senyum nenek ini melebar. "Tidak sukar mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu lihai dan selama engkau berada di sini, di dalam latihan engkau memainkan be-berapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya ku-kira engkau murid Cin-ling-pai, akan te-tapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Sui Cin mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Ia memuji.
"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin." Dan kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek i-tu. Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa biarpun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu indah sekali dan suara nyanyian nenek itupun merdu.
"Locianpwe..."
"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.
"Subo," akhirnya Sui Cin berkata de-ngan nada agak terpaksa. Sebenarnya, kalau ia berada dalam keadann sadar, ia tidak akan mau begitu saja berjanji men-jadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi ia sudah berjanji dan ia tidak akan menarik kembali apa yang telah di-janjikan. "Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"
"Tidak dapatkah engkau menduganya" Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"
Sui Cin menggeleng kepala den me-nyesal mengapa ia tidak tahu akan hal i-tu karena ia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.
"Aih, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."
"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.
"Sayang sekali. Nah, dengarlah baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasihat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan" Yelu Ce-tai inilah peng-atur semua siasat yang membuat peme-rintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."
"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.
Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu nampak diangkat penuh kebanggaan. "Dan beliau tidak malu mempunyai keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat a-ku ini, aku keturunannya, walaupun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasihat agung yang selalu mereka se-gani dan taati!"
Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.
"Subo telah menyelamatkan aku, dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebenarnya bantuan apakah yang dapat kulakukan" Bukankah sebagai seorang pe-nasihat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi ban-tuanku?"
"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat yang liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang-kadang memperlihatkan kekerasan mereka dan agaknya mereka itu akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku mampu mengendalikan mereka. Kini timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."
Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hen-dak memberontakpun diketahuinya! "Apa-kah yang subo ketahui tentang hal itu?"
Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Orang-orang kasar itu mungkin sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perobahan dan pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaba untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima San-hai-koan dan merampas benteng itu!"
"Selain itu?" Sui Cin mendessk.
"Tidak cukupkah itu" Kami melihat kesempatan yang baik sekali untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Saatnya tiba bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Akan tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"
Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
"Lalu apa hubungannya semua itu de-ngan bantuan yang subo harapkan dariku?"
"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Dan aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."
"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai. Bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai" Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama dan wibawa subo menjadi turun."
"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanya orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu" Sui Cin, aku sudah tahu akan keli-haianmu. Dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak menang melawanmu. Pula, ka-lau engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan" Di samping itu, masih ada yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"
"Aih, jadi subo bercita-cita untuk memperebutkan kedudukan pemimpin i-tu"
"Jangan salah sangka! Seorang nenek setua aku ini tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku memperoleh kembali ke-kuasaannya sebelum aku mati, apalagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena ban-tuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar daripada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu agar berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"
Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya seorang yang mempunyai cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!
"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"
"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andaikata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."
Tentu saja, setelah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang telah menjadi gurunva ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya merenca-nakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontakan, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita. Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang hendak mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini ia harus membantu pembe-rontakan nenek ini terhadap pemerintah" Akan tetapi iapun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menye-lamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang amat menyedihkan, yaitu kehi-langan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kem-bali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang pernah menjajah Tiongkok.
"Subo, apakah subo kira mudah saja melakukan pemberontakan" Mana mung-kin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu nmnandingi kekuatan balatentara kerajaan" Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan teman-teman subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan balaten-tara kerajaan yang amat bamyak jumlah-nya dan kuat."
Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang amat baik, terbuka kesempatan besar ka-rena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi balatenta-ra pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang dan merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah dan tidak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."
Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau berhasil semua siasat nenek itu, sungguh berbaha-ya keadaannya bagi pemerintah. Berarti pemerintah akan menghadapi dua gelom-bang serangan musuh, dan menurut seja-rah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara merupakan orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.
"Akan tetapi, subo. Hal itu akan me-nyalakan api peperangan besar dan untuk menggerakkan banyak orang bertempur, membutuhkan biaya yang amat besar. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."
"Jangan khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Kalau aku tidak memiliki harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dan harimau besar itu mendekati Sui Cin dan mengelus-elus punggung gadis itu de-ngan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.
"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan tiba-tiba melihat harimau ini, Sui Cin teringat akan sesuatu. Terbayanglah semua peristiwa di dalam guha. Guha Iblis Neraka! Ketika ia menyelidiki guha itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa dan dua orang kakek, ia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebatan memasuki guha. Kemudian ia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat. Ia teringat akan harta pusaka di dalam guha itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki guha untuk mencari harta pusaka, akan tetapi kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah ia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.
"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Guha Iblis Neraka..." Ia memancing.
Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkaupun tahu akan hal itu" Tak perlu kusembunyikan lagi. Kami telah mendapatkan harta pusaka itu. Untung, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"
"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah" Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."
"Jangan bodoh. Mana mungkin kalau hanya sendirian saja aku dapat mempertahankan kedudukanku" Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"
Sui Cin menggeleng kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggauta-anggauta Perkumpulan Harimau Terbang.
"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, sejak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggauta perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."
Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku dan kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu. Iapun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan telah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan. Kalau begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, iapun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk membe-rontak, melainkan membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Ra-ja Iblis.
"Subo sudah mempunyai banyak anggauta Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, kenapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"
"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat ter-lalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau engkau dengan ilmu silatmu yang tinggi maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tunggang-anmu, kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."
"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat membantu kalau subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi pemberontak."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama me-rupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."
Demikianlah, Sui Cin lalu diberi pe-tunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat ber-tanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang me-miliki gin-kang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa ia telah akrab de-ngan harimau itu, sebentar saja ia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja se-bagai pengganti senjata payungnya.
Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara meng-adu jagoan untuk memilih pimpinan per-juangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggauta Perkumpulan Harimau Terbang, yang jumlahnya ada seratus orang telah dipersiapkan, akan tetapi seperti biasa, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, me-nyelinap di antara para anggauta kelom-pok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan ju-bah masing-masing kelompok.
Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan te-tapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, telah berkum-pul di situ. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walaupun ben-tuk tubuh dan wajah mereka tidak ba-nyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka adalah tukang-tukang berkelahi, orang-orang yang sudah terbiasa sejak kecil hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar. Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengena-kan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, me-nunjukkan bahwa kepala kelompok ini se-orang pendeta Buddha. Para kepala ke-lompok yang jumlahnya sampai tiga pu-luh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu du-duk bersila di atas tanah yang memben-tuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasihat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan meru-pakan jalan buntu.
Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris menjadi perkelahian kalau tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhir-nya diambil keputusan bahwa masing-ma-sing kelompok yang hadir hanya diperbo-lehkan mengajukan seorang jagoan saja. Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam pertandingan satu kali, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, boleh menggunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah kalau dia menyatakan tak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang menang satu kali diper-kenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun. Per-aturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau memper-gunakan kecurangan dalam memperebut-kan kedudukan itu. Tidak seorangpun memperdulikannya karena ia dianggap se-bagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim. Betapa-pun juga, ia merasa ngeri juga. Pertan-dingan itu, walaupun dilaksanakan di an-tara sahabat-gahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing ti-dak akan mau saling mengalah. Dan melihat sikap dan watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya akan mempertahankan nama dan kehormatan sampai saat ter-akhir! Pertandingan yang keras dan ke-jam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!
Tak lama kemudian, perundingan itu-pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok mengajukan jagoan masing-ma-sing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas de-ngan wakil seorang yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah. Ternyata, ti-dak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi tontonan saja. Mereka ini kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, setelah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja. Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lain menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.
Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang amat gagah, dengah memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kongce yang bercabang dan bergagang panjang. Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara" Biairpun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis! Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ" Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Con lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itupun merupakan hal yang amat aneh, mungkin lebih aneh daripada kehadiran Ci Kang sendiri. Ia adalah dari golongan pendekar dan kini ia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!
Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya tidak terlihat oleh Ci Kang, membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini juga seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti teman-temannya, pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu dan nelayan di pantai timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira. Ketika pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apalagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dan diapun merasa curiga apalagi mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti di antara para kepala suku! Dan Sui Cin, menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, adalah pengawal nenek itu! Sui Cin menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan"
Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih"
Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari malapetaka bersama Cia Sun ketika mereka berdua terjebak oleh Ciang Hwa ke dalam guha bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar dan diapun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.
Pada suatu hari dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang-kadang suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor biruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu dan berte-riak-teriak dalam usaha mereka menye-rang biruang itu dan menyelamatkan a-nak laki-laki itu. Akan tetapi biruang itu sungguh kuat. Dengan kaki depan kiri yang bergerak seperti lengan binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi, sedangkan tangan kanannya mencengkeram dan menangkis semua se-rangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya. Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itupun berhati-hati sekali da-lam penyerangan mereka, khawatir kalau kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.
Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapa adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan biruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan biruang itu. Ci Kang mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan bunyi melengking seperti binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri biruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang mengenai urat besar di pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.
Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi biruang yang kini menjadi semakin marah. Biruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, kedua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang amat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang. Akan tetapi, Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerak-an yang amat gesit tubuhnya menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.
"Dukkk...!" Betapapun kuatnya kepala biruang itu, begitu terkena tamparan tangan Ci Kang yang amat kuatnya, biruang itu mengeluarkan suara pekik he-bat dan tubuhnya terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi, binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biarpun binatang itu menjadi pening ka-rena guncangan hebat pada kepalanya, ia masih dapat meloncat bangun dan me-nerkam lagi, kini gerakannya ngawur ka-rena matanya masih berkunang.
Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini dia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri biruang.
"Krakkk!" Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah ketika tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Biruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang meloncat de-kat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala biruang itupun retak. Binatang itupun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluar-kan darah!
Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai biruang itu. Seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan, memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.
"Orang muda, engkau telah menyela-matkan putera kepala suku kami," kata orang itu dalam bahasa Han yang cukup lancer. Kiranya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.
Ci Kang melihat bahwa luka di pun-dak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia mengangguk. "Aku tidak perduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana. Jawaban ini agaknya membuat semua orang ber-gembira dan kagum dan satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah hagitu biasa dengan sikap ga-gah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.
"Orang muda, mari ikut bersama ka-mi pergi menemui kepala suku kami," kala si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.
Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahu-luinya lalu menghadang di depannya.
"Kau mau apa?" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.
Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."
Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"
"Orang muda, anak yang kauselamat-kan tadi adalah putera kepala suku kami. Kalau engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap mempunyai dua kesalahan dan akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terlu-ka dan kedua, aku membiarkan penolongnya tanpa memperkenalkannya ke-pada kepala kami."
Ci Kang mengerutkan alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah membo-hong, dan kebiasaan yang kasar dan ke-ras dari kapala suku itu mungkin benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini" Berada di antara orang-orang kasar jujur pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.
"Jauhkah tempat kepala suku itu?"
"Tidak, orang muda, tidak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."
"Baiklah. Mari kita berangkat."
Dan orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andaikata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat. Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apelagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh biruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya. Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tidak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh biruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja!
Kepala suku itu menggeleng kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar. "Mana mungkin membunuh biruang hitam dewasa de-ngan tiga kali pukulan saja" Kedua ta-ngan inipun tidak sanggup menandingi kekuatan biruang hitam. Mungkin dalam perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan" Tak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan?"
Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Dia sejak kecil suka sekali berburu binatang dan walaupun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya merupakan pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!
"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.
Kepala suku itu mengerutkan alisnya dan menganggap ucapan ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, kalau engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walaupun engkau telah menolong puteraku."
"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku" Andaikata engkau mempunyai seekor biruang hitam di sini, akupun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."
"Orang muda, kekuatanku lima kali seekor biruang hitam. Kalau engkau mampu mengalahkan seekor biruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."
"Kalau tidak dapat?"
"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"
Harga diri Ci Kang tersentuh dengan ucapan itu. "Aku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"
Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!" Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan mereka sudah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rum-put hijau yang subur. Orang-orang Khin ini selain merupakan pemburu-pemburu yang ulung, juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang amat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka. Kini dua orang laki--laki itu berdiri berhadapan dan banyak sekali orang Khin yang mendengar akan kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, su-dah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu! Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ke-tua itupun menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang amat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi diapun tidak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mengalahkan rak-sasa ini kurang dari sepuluh jurus karena diapun tidak ingin kehilangan persahabat-an dengan orang-orang yang menyenang-kan hatinya. Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wani-ta-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, ter-utama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!
"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung. Sikap ini mirip sikap biruang hitam tadi, pikir Ci Kang dan diapun bersikap waspada, dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya amat berbahaya kalau sampai kedua lengan panjang de-ngan jari-jari tangan kuat itu sampai da-pat menangkapnya.
Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia su-dah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya dan menundukkan raksasa ini secepat mungkin. Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apalagi tertangkap. Dengan mengembangkan kedua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, sedangkan secepat kilat, begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, jari tangan kanannya bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan. Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak nampak oleh kepala suku itu sendiri yang tiba-tiba merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biarpun kelumpuhan itu hanya te
ayi pada umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula ter-jadi di seluruh dunia. Untuk membela a-gama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghan-curkan keluarga lain.
Akan tetapi, setelah isterinya mela-hirkan seorang anak perempuan yang di-bunuhnya sendiri, Raja Iblis menjadi se-makin menggila. Dia ingin sekali mem-peroleh keturunan terutama seorang pu-tera.
"Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku" Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!" Mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi murid-nya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memper-oleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai "permaisuri" akan terancam kalau ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramu-an obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak me-nurut. Juga Siang Hwa diancam dan di-paksa minum obat itu. Sebagai balas ja-sa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu I-blis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya.
Seperti telah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, koman-dan kota Ceng-tek sehingga ia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting mengenai keadaan benteng Ceng-tek. Ia melarikan diri menemui gurunya dan sementara itu pasukan Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Siang Hwa melaporkan peristiwa di Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk mela-kukan penyelidikan tentang berita bahwa para pendekar hendak mengadakan perte-muan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Gadis yang cerdik ini lalu memasang ba-nyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara mereka adalah enam o-rang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu. Terkejut-lah ia mendengar bahwa mereka itu ada-lah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan dua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya! Diaturlah siasat yang amat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh, hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepa-danya. Dan akhirnya iapun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, kini gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati. Ia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu su-dah pasti akan menemui kematian seperti dua ekor tikus yang tenggelam karena ia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!
Dan, direbutnya San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan dan menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke San-hai-koan.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Ada kekuasaan rahasia yang mujijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tak dapat dilawan oleh siapa atau oleh apapun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita. Kekuasaan yang mengatur arah angin, mengatur alam semesta, perederan bintang-bintang, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak yang paling kecil tak dapat dilihat mata sampai kepada makhluk yang paling besar. Kekuasaan yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar laut yang paling dalam, ataupun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang membuat kuku dan setiap helai rambut bartumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu di antara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Kalau memang sudah tiba saatnya, ke manapun juga kita bersembunyi, maut tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, kalau memang belum semestinya kita mati, seribu ancaman mautpun akan luput. Siapapun adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apapun juga menurut istilah dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, dan agama masing-masing, namun kita manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa kekuasaan rahasia yang mujihat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam dan bahkan di dalam diri kita sendiri. Pikiran kita terlalu dangkal untuk dapat menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat melihat adanya kenyataan akan kekuasaan yang mujijat itu. Di sini tidak ada masalah percaya atau tidak percaya, karena kita dapat melihatnya, merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu minta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.
"Bantulah aku melepaskan diri, Ci Kang, agar aku depat membantumu membongkar penutup lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berseru setelah air sudah mencapai dada.
"Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?" Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!
Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.
"Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?" bentaknya. "kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kaubebaskan totokanku. Jangan dikira aku tidak mampu membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak mempunyai waktu untuk membebaskan totokanmu daripada aku, maka jangan kau tekebur dan sombong!"
Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sin-kangnya setelah jalan darahnya lancar.
"Mari kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher. Sentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.
"Mari!" kata Ci Kang dan mereka berdua kini berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sin-kang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga kedua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya. Akan tetapi kekuatan kedua orang muda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Akan tetapi, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Brakkkk...!" Bukan batu di atas itu yang terangkat, melainkan lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang tentu tertekan dengan hebatnya ke bawah, kini jebol ke bawah! Dan kedua orang muda itu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka melindungi diri. Mereka terjatuh dan terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang memiliki kekebalan dan ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan dan menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu. Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang amat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidaklah mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Air tadi sudah mencapai mulut dan terlambat satu menit lagi saja mereka akan tewas.
"Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.
Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup. "Cia Sun, engkau hebat!" Dia memuji karena bagaimanapun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.
"Sudahlah, tak perlu saling puji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lalu menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.
"Ssttt... lihat...!" Tiba-tiba Ci Kang berbisik. Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang melihat pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, sudah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.
Tentu saja dua orang muda itu siap siaga karena di tempat seperti ini, mereka dapat menduga bahwa tentu tosu itupun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Kiranya tosu itu telah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga kedua tangan yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, demikian pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.
"Ah, hanya kerangka..." kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga serem.
"Ssst, lihat...!" Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar. Keduanya terbelalak dengan muka berobah agak pucat ketika melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.
"Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"
Cia Sun dan Ci Kang yang terkejut setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, melainkan kerangka yang benar-benar terbungkus pakaian. Akan tetapi kenapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup"
Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang sudah menjadi kerangka ini dahulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat. "Harap locianpwe sudi me-maafkan karena tanpa sengaja kami ber-dua telah memasuki tempat ini..."
"Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak akan kucabut nyawa ka-lian!" kerangka itu memotong dan suara-nya terdengar galak sekali.
"Heeii!" Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu. "Lihat, mulutnya tidak ber-gerak dan kebutan itu gagangnya tidak dipegang oleh tangannya!" Setelah berka-ta demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi di ma-na tengkorak berpakaian itu duduk. Kira-nya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memper-hatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang membuatnya berteriak dan cepat melon-cat ke atas untuk mendekati kerangka i-tu. Pada saat itu, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar ba-gi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil, dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berke-lebat dari belakang kerangka itu adalah seorang gadis muda yang gerakannya lin-cah bukan main. Mereka teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak ka-lah cepatnya.
Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, bersembunyi di balik batu yang me-nonjol. Ketika dia melihat betapa dua o-rang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat, ia lalu me-ngeluarkan teriakan nyaring. "Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan de-kati aku!"
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang ti-dak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang. Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sama sekali bukan Siang Hwa!
Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya agak pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, seperti pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu. Melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan ketika ia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah dan juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.
Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tidak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang dari Raja Iblis, tentu saja merekapun menaruh curiga kepada gadis ini. Apalagi setelah mereka mengalami malapetaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis inipun tadi menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang kalau tidak cepat mereka elakkan, mungkin dapat membunuh mereka.
Betapapun juga, karena yang mereka hadapi hanya seorang gadis remaja yang kini nampak bingung dan ketakutan seperti seekor harimau yang terkurung, dua orang pemuda itu sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyeran gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona, kenapa engkau menakut-nakuti kami kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena demikian pesan ibuku..." jawab gadis itu, suaranya mardu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan ibumu" Untuk membunuh kami?"
"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.
"Siapakah ibumu, nona?"
"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, ibu kini hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan tetapi, kenapa engkau berada di tempat ini" Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... sejak kecil, dan yang menemani aku hanya ke-rangka itu... dan ibu yang kadang-kadeng datang menjengukku."
"Engkau tidak pernah keluar dari si-ni?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari ketika sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."
"Bagaimana engkau makan" Minum" Dan mandi atau mencuci pakaian?" Cia Sun bertanya, merasa heran dan kasihan.
"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali." Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti dua orang pe-muda itu. Ia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering dan bumbu-bumbunya. Cukup untuk makan berbulan-bulan.
"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung di sini" Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"
"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa a-ku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Kalau ada laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku ti-dak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm, jangan dikira mudah membu-nuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku tentu dapat kelau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai se-kali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sukar dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tar-tar...!" Ujung batu di langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan dan hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum. Gadis ini tidak main-main dan ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.
"Siapa yang mengajarmu mainkan kebutan selihai itu?" Cia Sun bertanya. Kalau sampai ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!" Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu. Dua orang pemuda itu terkejut dan kini mereka semua kembali, menghampirl kerangka yang masih duduk bersila. Kini mereka berdua dapat membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan bersamadhi. Dan hebatnya, biarpun seluruh kulit dan dagingnya telah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku." Gadis itu menjawab tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya dara itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang selain menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam guha bawah tanah ini.
"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu" Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.
Gadis itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu nampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.
"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Ilmu itu, kata ibu merupakan ilmu rahasia yang tidak pernah diajarkan kepada siapapun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."
Dua orang pemuda itu kint dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya de-ngan Raja Iblis, Ratu Iblis, maupun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah engkau mengenal seorang gadis bernama Siang Hwa?" tanyanya sam-bil memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggeleng kepala.
"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!" Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kaukira aku ini siapakah mengenal segala iblis" Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?" Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walaupun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu ia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, aku tidak pernah jumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberitahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.
"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri." dia menegur.
Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun sedemikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur o-rang padahal urusan pribadi nona itu sa-ma sekali tidak ada sangkut-pautnya de-ngan dia, segera maju dan berkata de-ngan suara menyesal, "Maafkan aku, no-na. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, akan tetapi aku tadi hanya merasa heran begaimana seo-rang gadis seperti engkau ini dapat membenci ayah sendiri. Kenapa engkau membencinya" Kalau sampai engkau memben-cinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu menurunkan kedua tangan-nya dan sejenak Cia Sun terpesona. Se-telah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini ia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemu-dian memandang Cia Sun.
"Dia... dia mau membunuhku!"
"Apa...?" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berjumpa dengan dia, akan tetapi ibu mene-kankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama de-ngan laki-laki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membu-nuhku kalau bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di sini."
Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan ma-nusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barang-kali gila, ataukah ayahnya yang gila" Ataukah gadis ini sendiri yang miring o-taknya"
"Engkau tidak tahu siapa nama ayah-mu atau ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Dan namamu sendiri" Siapakah namamu?"
"Ibu memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa itu she?"
"Nama keluargamu" Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu den kata ibu usiaku sekarang sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang amat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah, mari kita cepat keluar da-ri sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.
Baru teringat Cia Sun bahwa mereka terkurung di dalam guha bawah tanah. Diapun mengangguk kepada gadis berna-ma Hui Cu itu sambil berkata, "Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"
Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Ia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agak-nya, ibu gadis ini tidak lupa untuk mem-beri pelajaran cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam guha bawah tanah ini.
"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba ia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."
"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar" Kenapa tidak tinggal saja di sini menemani aku?"
Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tidak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus keluar dari sini. Banyak urus-an yang harus kuselesaikan. Nah, tunjuk-kanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan dalam hatinya, akan tetapi ia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat hitam.
"Hanya dari sinilah jalan kcluar, dan ini merupakan rahasia. Kalau bukan un-tukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali." Berkata demikian, gadis itu me-raba dinding batu dekat pintu dan terde-ngar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding. Seke-tika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang di balik pintu.
Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari. "Di sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itupun ikut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat di-ketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik Hui Cu," kata Cia Sun meman-cing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"
Gadis itu mengangguk. "Beberapa ka-li aku keluar, biasanya di waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Dan juga pernah beberapa kali keluar siang bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."
"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget. "Aih, kenapa aku tidak ingat" Aku dapat naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"
"Kenapa tidak bisa?" Ci Kang berkata dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sin-kang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. De-ngan menggunakan kedua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu memandang dengan mata ter-belalak. "Wah, dia lebih pandai daripada aku!" Lalu ia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"
"Mana bisa" Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."
"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja" Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."
Cia Sun memandang dengan hati ter-haru. Gadis ini masih separti kanak-ka-nak saja, polos dan bersih, dan menderi-ta. "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di sini. Engkau saja agar minta kepada ibumu, kalau benar ia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunubmu dan andaikata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman o-rang yang hendak membunuhmu."
Tiba-tiba Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah ia memandang wajah Cia Sun. "Benarkah, koko" Benarkah bahwa engkau a-kan suka melindungi aku" Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sukar dikalahkan siapapun juga..."
"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai di atas!"
Akan tatapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut tubuh kawannya itu dengan kedua lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan gin-kangnya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat tiba di dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas. Cia Sun kagum melihat kehebatan gin-kang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Ia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
"Mari kita susul Hui Cu!" Cia Sun berkata. Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka diapun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu. Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu turun kembali. Akan tetapi Hui Cu tidak perduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.
"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!" Nenek itu berseru dan meronta-ronta. Akan tetapi Hui Cu tetap tidak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya dan kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan kini mereka berdiri terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!
Nenek itu kinipun mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya pandang matanya sendiri dan ia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali! Akan te-tapi otaknya yang amat cerdik segera dapat membuat perhitungan dan ia men-jadi kagum bukan main. Ia dapat mendu-ga bahwa tentu dua orang muda itu ber-hasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pe-muda ini, yang menjadi musuh besar ke-luarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!
Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditu-kar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa. Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya da-ri ancaman suaminya. Kemudian, setelah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu dan mengurung anak yang di-beri nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam guha bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini meru-pakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat ke-ramat, maka dia sendiripun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian pute-rinya sendiri!
Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan ia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, dan menakut-nakuti gadis itu agar membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya. Hal ini membuat Hui Cu keta-kutan dan ia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya ia menjadi penghuni guha bawah tanah itu sampai akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan ia dengan Cia Sun dan Ci Kang!
Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain terkejut dan heran, ia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah kalau tahu bahwa ia mempunyai seorang puteri, yang disembunyikan sampai belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, ia tidak sanggup membayangkan.
"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dengan kuat dan Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang muda itu melainkan mendekati puterinya, merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"
Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Lenyaplah sifat liar dan ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul den mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!
"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"
Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya. "Sun-koko..." Siapa itu?"
"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki guha bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."
"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, kalau tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!" Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berobah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.
Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan main. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas den sebelum tangan itu menyentuh mereka, telah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak dan balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.
Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa tamparan-tamparannya dapat dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Ia masih memandang rendah mereka dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.
"Dukk! Dukk...!"
Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika ia merasa betapa benturan lengan itu membuat tubuhnya tergetar hebat, jangankan merobah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan ia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang memiliki tenaga kuat yang aneh sekali. Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan iapun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi ia masih belum percaya. Sekarang baru ia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai daripada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa mempergunakan siasat untuk menjebak mereka. Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkilat ketika ia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang ia mempergunakan pedangnya kalau bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walaupun ia tidak mencabut pedang.
Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka diapun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati. Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka iapun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata. Dengan cerdiknya, kedua orang muda itu lalu berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.
Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.
"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."
Akan tetapi nenek itu tentu saja tidak memperdulikan teriakan puterinya, bahkan membentak marah, "Diam kau...!"
"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!" Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan amat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.
Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat akan tetapi cepat membalik dan meluncur turun, kalau tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.
"Trakkk...!" Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang me-miliki tenaga sin-kang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya hebat sekali, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala nenek itu yang sedang menyerang Cia Sun.
Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serahgan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar dan menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kaku dan keras seperti besi.
"Takkk...!" Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang amat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.
"Ehhh...!" Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.
Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yakni pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis beja!
Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah ia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andaikata dua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya ia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan setelah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga ia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara ia dan dua orang muda itu membuat ia lelah karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.
"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!" Akhirnya setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang sejak tadi hanya nonton saja dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, ia menjadi semakin bingung.
"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang terutama laki-laki jahat, akan tetapi mereka ini tidak jahat, aku tidak bisa menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.
"Desss...!" Tubuh nenek itu terhuyung akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan tidak sampai roboh walaupun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main. Karena puterinya tidak mau membantunya dan maklum bahwa dua orang lawannya sungguh merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara itu dan kesempatan itu dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.
"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!" Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar. Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya yang ternyata kulitnya berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.
"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.
"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" keta Cia Sun. "Karena itu aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan kalau sampai ia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."
"Tidak perlu begitu lama, Cia Sun. Aku telah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."
Tak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sin-kang dan dengan hawa murni dia mendorong-kan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendiri saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya sepekan baru hawa beracun dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih. Akan te-tapi, kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya di siku dan pundak kirinya dan teman ini membantunya de-ngan mengerahkan sin-kang. Hawa panas memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mere-ka depat mengusir racun dari tangan ki-ri. Tak lama kemudian, kulit tangan itu berobah warnanya. Warna hitam kehijau-an itu perlahan-lahan surut dan akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.
"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan girang dan kagum.
Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkaupun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."
"Ci Kang, sampai kini aku masih me-rasa heran mengingat bahwa engkau, se-perti pengakuanmu, adalah putera Siang-koan Lo-jin! Dan engkau memusuhi datuk-datuk sesat! Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi saha-bat senasib sependeritaan, apakah yang kaucari di sini?"
"Sama dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"
Cia Sun mengangguk lalu bertanya, "Apa maksudmu ingin menghadiri perte-muan itu?"
Ci Kang tersenyum pahit. "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. A-yahku seorang datuk sesat, begaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar" Tadinya kusangka..."
Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu. "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andaikata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan telah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin akupun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran di sini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan untuk menentang golongan sesat! Tentu saja orang yang tidak mengenal keadaan dirimu akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"
"Aku hendak menyumbangkan tenaga menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."
"Bagus! Kalau begitu kita sehaluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."
Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala. "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apapun yang kuhadapi, kalau berhasil hanya karena bantuan orang lain, tidak akan memuaskan hatiku. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apapun akibatnya. Aku girang sekali telah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Diapun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terusir dan terbasmi sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyaplah kebesarannya seperti ketika mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu. Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka amat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai aliran, tradisi, dan agama. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.
Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya. Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesukaran yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.
Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri, dan seperti bia-sa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang me-nimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi la-hir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya un-tuk menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.
Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peranan nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, melainkan sebagai penengah. Nenek ini ditakuti karena memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah nenek Yelu Kim bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.
Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan se-suatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekua-saan yang sudah hilang di selatan. Juga Yelu Kim seperti baru terbangun dari ti-durnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa ia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkit-kan kembali kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mo-ngol"
Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan di antara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin kalau sampai mereka bersatu dan melakukan penyerbuan ke se-latan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan. Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak ber-hasil, sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya!
Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai ia bertemu dengan Sui Cin. Dalam diri gadis ini ia melihat bakat dan kepandai-an yang depat ia pergunakan untuk men-capai hasil baik dalam rencananya meng-hadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu. Nenek itu berhasil mem-bawa pergi Sui Cin dengan bantuan hari-mau peliharaannya, dan mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Akan tetapi selain keracunan, nenek itu mendapat kenyatan bahwa gadis itupun kehilangan ingatannya, maka iapun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya un-tuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, juga dari pe-nyakit kehilangan ingatan itu.
Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya ia berhasil mengobati Sui Cin sehingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi ia terbangun dan melihat nenek itu telah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum e-mas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya ketika ia sedang tidur dan berhasil "membuka" kembali ingatannya.
"Aihhh...!" Sui Cin meloncat dan bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkaupun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"
Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik ketika ia tersenyum. "A-nak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu" Tadinya engkau lu-pa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."
Sui Cin membelalakkan matanya. "Be-narkah itu" Ah, ya, teringat olehku se-karang. Tentu timpukan batu yang me-ngenai belakang kepalaku itu yang mem-buatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"
Nenek itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang me-nolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"
"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ah, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat den mengerikan semua pe-ngalamanku selama ini dan akhirnya lo-cianpwe yang dapat menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."
"Hushh, sudahlah. Di antara guru dan murid mana ada budi" Ingat, sesuai de-ngan janjimu, engkau telah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang, ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."
"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..." Sui Cin teringat bahwa ia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka ia meragu. Bagaimanapun juga, ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.
AKAN tetapi nenek itu tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah. "Sungguh para dewa telah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"
Sui Cin terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya" Padahal, sebelum ini belum pernah ia mengenal nenek Yelu Kim.
"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.
Senyum nenek ini melebar. "Tidak sukar mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu lihai dan selama engkau berada di sini, di dalam latihan engkau memainkan be-berapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya ku-kira engkau murid Cin-ling-pai, akan te-tapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Sui Cin mengangguk. "Locianpwe sungguh cerdik sekali." Ia memuji.
"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin." Dan kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek i-tu. Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari di dalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa biarpun di situ tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu indah sekali dan suara nyanyian nenek itupun merdu.
"Locianpwe..."
"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.
"Subo," akhirnya Sui Cin berkata de-ngan nada agak terpaksa. Sebenarnya, kalau ia berada dalam keadann sadar, ia tidak akan mau begitu saja berjanji men-jadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi ia sudah berjanji dan ia tidak akan menarik kembali apa yang telah di-janjikan. "Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"
"Tidak dapatkah engkau menduganya" Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"
Sui Cin menggeleng kepala den me-nyesal mengapa ia tidak tahu akan hal i-tu karena ia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.
"Aih, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."
"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.
"Sayang sekali. Nah, dengarlah baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasihat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai di samping nama besar Jenghis Khan" Yelu Ce-tai inilah peng-atur semua siasat yang membuat peme-rintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."
"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.
Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu nampak diangkat penuh kebanggaan. "Dan beliau tidak malu mempunyai keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat a-ku ini, aku keturunannya, walaupun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasihat agung yang selalu mereka se-gani dan taati!"
Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi di antara suku bangsa utara.
"Subo telah menyelamatkan aku, dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebenarnya bantuan apakah yang dapat kulakukan" Bukankah sebagai seorang pe-nasihat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi ban-tuanku?"
"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat yang liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang-kadang memperlihatkan kekerasan mereka dan agaknya mereka itu akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku mampu mengendalikan mereka. Kini timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."
Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hen-dak memberontakpun diketahuinya! "Apa-kah yang subo ketahui tentang hal itu?"
Nenek itu tersenyum bangga. "Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Orang-orang kasar itu mungkin sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perobahan dan pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaba untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima San-hai-koan dan merampas benteng itu!"
"Selain itu?" Sui Cin mendessk.
"Tidak cukupkah itu" Kami melihat kesempatan yang baik sekali untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Saatnya tiba bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Akan tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"
Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
"Lalu apa hubungannya semua itu de-ngan bantuan yang subo harapkan dariku?"
"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Dan aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."
"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu di antara kelompok itu terdapat orang-orang pandai. Bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai" Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama dan wibawa subo menjadi turun."
"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanya orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu" Sui Cin, aku sudah tahu akan keli-haianmu. Dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak menang melawanmu. Pula, ka-lau engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan" Di samping itu, masih ada yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"
"Aih, jadi subo bercita-cita untuk memperebutkan kedudukan pemimpin i-tu"
"Jangan salah sangka! Seorang nenek setua aku ini tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku memperoleh kembali ke-kuasaannya sebelum aku mati, apalagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena ban-tuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar daripada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu agar berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, di bawah bimbinganku pula!"
Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya seorang yang mempunyai cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!
"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"
"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andaikata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."
Tentu saja, setelah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang telah menjadi gurunva ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya merenca-nakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontakan, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita. Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang hendak mengerahkan kaum sesat untuk memberontak. Mana mungkin kini ia harus membantu pembe-rontakan nenek ini terhadap pemerintah" Akan tetapi iapun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menye-lamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang amat menyedihkan, yaitu kehi-langan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kem-bali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang pernah menjajah Tiongkok.
"Subo, apakah subo kira mudah saja melakukan pemberontakan" Mana mung-kin kelompok-kelompok suku di sini akan mampu nmnandingi kekuatan balatentara kerajaan" Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan teman-teman subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan balaten-tara kerajaan yang amat bamyak jumlah-nya dan kuat."
Nenek itu tersenyum. "Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang amat baik, terbuka kesempatan besar ka-rena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi balatenta-ra pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang dan merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah dan tidak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."
Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau berhasil semua siasat nenek itu, sungguh berbaha-ya keadaannya bagi pemerintah. Berarti pemerintah akan menghadapi dua gelom-bang serangan musuh, dan menurut seja-rah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara merupakan orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.
"Akan tetapi, subo. Hal itu akan me-nyalakan api peperangan besar dan untuk menggerakkan banyak orang bertempur, membutuhkan biaya yang amat besar. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."
"Jangan khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Kalau aku tidak memiliki harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dan harimau besar itu mendekati Sui Cin dan mengelus-elus punggung gadis itu de-ngan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.
"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan tiba-tiba melihat harimau ini, Sui Cin teringat akan sesuatu. Terbayanglah semua peristiwa di dalam guha. Guha Iblis Neraka! Ketika ia menyelidiki guha itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa dan dua orang kakek, ia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebatan memasuki guha. Kemudian ia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat. Ia teringat akan harta pusaka di dalam guha itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki guha untuk mencari harta pusaka, akan tetapi kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah ia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.
"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Guha Iblis Neraka..." Ia memancing.
Nenek itu membelalakkan matanya. "Aha! Engkaupun tahu akan hal itu" Tak perlu kusembunyikan lagi. Kami telah mendapatkan harta pusaka itu. Untung, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"
"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah" Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."
"Jangan bodoh. Mana mungkin kalau hanya sendirian saja aku dapat mempertahankan kedudukanku" Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"
Sui Cin menggeleng kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggauta-anggauta Perkumpulan Harimau Terbang.
"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, sejak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggauta perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan di antara mereka dapat kupertahankan."
Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku dan kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu. Iapun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan telah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan. Kalau begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, iapun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk membe-rontak, melainkan membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Ra-ja Iblis.
"Subo sudah mempunyai banyak anggauta Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, kenapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"
"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat ter-lalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau engkau dengan ilmu silatmu yang tinggi maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tunggang-anmu, kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."
"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat membantu kalau subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi pemberontak."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama me-rupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."
Demikianlah, Sui Cin lalu diberi pe-tunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat ber-tanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang me-miliki gin-kang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa ia telah akrab de-ngan harimau itu, sebentar saja ia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja se-bagai pengganti senjata payungnya.
Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara meng-adu jagoan untuk memilih pimpinan per-juangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggauta Perkumpulan Harimau Terbang, yang jumlahnya ada seratus orang telah dipersiapkan, akan tetapi seperti biasa, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, me-nyelinap di antara para anggauta kelom-pok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan ju-bah masing-masing kelompok.
Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan te-tapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, telah berkum-pul di situ. Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walaupun ben-tuk tubuh dan wajah mereka tidak ba-nyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa. Mereka adalah tukang-tukang berkelahi, orang-orang yang sudah terbiasa sejak kecil hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar. Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengena-kan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, me-nunjukkan bahwa kepala kelompok ini se-orang pendeta Buddha. Para kepala ke-lompok yang jumlahnya sampai tiga pu-luh orang lebih karena banyak di antara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago di antara mereka. Nampak Yelu Kim hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu du-duk bersila di atas tanah yang memben-tuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasihat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan meru-pakan jalan buntu.
Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris menjadi perkelahian kalau tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhir-nya diambil keputusan bahwa masing-ma-sing kelompok yang hadir hanya diperbo-lehkan mengajukan seorang jagoan saja. Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam pertandingan satu kali, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, boleh menggunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah kalau dia menyatakan tak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas. Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang menang satu kali diper-kenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun. Per-aturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau memper-gunakan kecurangan dalam memperebut-kan kedudukan itu. Tidak seorangpun memperdulikannya karena ia dianggap se-bagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim. Betapa-pun juga, ia merasa ngeri juga. Pertan-dingan itu, walaupun dilaksanakan di an-tara sahabat-gahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing ti-dak akan mau saling mengalah. Dan melihat sikap dan watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya akan mempertahankan nama dan kehormatan sampai saat ter-akhir! Pertandingan yang keras dan ke-jam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!
Tak lama kemudian, perundingan itu-pun berakhir dan masing-masing kepala kelompok mengajukan jagoan masing-ma-sing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas de-ngan wakil seorang yang dianggapnya kurang tangguh. Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah. Ternyata, ti-dak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula di antara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi tontonan saja. Mereka ini kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, setelah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja. Di antara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lain menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang satu di antara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.
Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal seorang di antara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang amat gagah, dengah memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kongce yang bercabang dan bergagang panjang. Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada di situ, bahkan menjadi jagoan dari satu di antara kelompok suku dari utara" Biairpun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis! Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ" Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Con lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itupun merupakan hal yang amat aneh, mungkin lebih aneh daripada kehadiran Ci Kang sendiri. Ia adalah dari golongan pendekar dan kini ia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!
Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya tidak terlihat oleh Ci Kang, membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini juga seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti teman-temannya, pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu dan nelayan di pantai timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira. Ketika pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apalagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dan diapun merasa curiga apalagi mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti di antara para kepala suku! Dan Sui Cin, menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, adalah pengawal nenek itu! Sui Cin menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan"
Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih"
Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari malapetaka bersama Cia Sun ketika mereka berdua terjebak oleh Ciang Hwa ke dalam guha bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar dan diapun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.
Pada suatu hari dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang-kadang suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor biruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu dan berte-riak-teriak dalam usaha mereka menye-rang biruang itu dan menyelamatkan a-nak laki-laki itu. Akan tetapi biruang itu sungguh kuat. Dengan kaki depan kiri yang bergerak seperti lengan binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi, sedangkan tangan kanannya mencengkeram dan menangkis semua se-rangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya. Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itupun berhati-hati sekali da-lam penyerangan mereka, khawatir kalau kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.
Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapa adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan biruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan biruang itu. Ci Kang mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan bunyi melengking seperti binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri biruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang mengenai urat besar di pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.
Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi biruang yang kini menjadi semakin marah. Biruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, kedua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang amat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang. Akan tetapi, Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerak-an yang amat gesit tubuhnya menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.
"Dukkk...!" Betapapun kuatnya kepala biruang itu, begitu terkena tamparan tangan Ci Kang yang amat kuatnya, biruang itu mengeluarkan suara pekik he-bat dan tubuhnya terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi, binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biarpun binatang itu menjadi pening ka-rena guncangan hebat pada kepalanya, ia masih dapat meloncat bangun dan me-nerkam lagi, kini gerakannya ngawur ka-rena matanya masih berkunang.
Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini dia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri biruang.
"Krakkk!" Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah ketika tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Biruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang meloncat de-kat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala biruang itupun retak. Binatang itupun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluar-kan darah!
Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai biruang itu. Seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan, memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.
"Orang muda, engkau telah menyela-matkan putera kepala suku kami," kata orang itu dalam bahasa Han yang cukup lancer. Kiranya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.
Ci Kang melihat bahwa luka di pun-dak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia mengangguk. "Aku tidak perduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana. Jawaban ini agaknya membuat semua orang ber-gembira dan kagum dan satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah hagitu biasa dengan sikap ga-gah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.
"Orang muda, mari ikut bersama ka-mi pergi menemui kepala suku kami," kala si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.
Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahu-luinya lalu menghadang di depannya.
"Kau mau apa?" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.
Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."
Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"
"Orang muda, anak yang kauselamat-kan tadi adalah putera kepala suku kami. Kalau engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap mempunyai dua kesalahan dan akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terlu-ka dan kedua, aku membiarkan penolongnya tanpa memperkenalkannya ke-pada kepala kami."
Ci Kang mengerutkan alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah membo-hong, dan kebiasaan yang kasar dan ke-ras dari kapala suku itu mungkin benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini" Berada di antara orang-orang kasar jujur pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.
"Jauhkah tempat kepala suku itu?"
"Tidak, orang muda, tidak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."
"Baiklah. Mari kita berangkat."
Dan orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andaikata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat. Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apelagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh biruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya. Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tidak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh biruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja!
Kepala suku itu menggeleng kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar. "Mana mungkin membunuh biruang hitam dewasa de-ngan tiga kali pukulan saja" Kedua ta-ngan inipun tidak sanggup menandingi kekuatan biruang hitam. Mungkin dalam perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan" Tak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan?"
Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Dia sejak kecil suka sekali berburu binatang dan walaupun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya merupakan pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!
"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.
Kepala suku itu mengerutkan alisnya dan menganggap ucapan ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, kalau engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walaupun engkau telah menolong puteraku."
"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku" Andaikata engkau mempunyai seekor biruang hitam di sini, akupun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."
"Orang muda, kekuatanku lima kali seekor biruang hitam. Kalau engkau mampu mengalahkan seekor biruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."
"Kalau tidak dapat?"
"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"
Harga diri Ci Kang tersentuh dengan ucapan itu. "Aku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"
Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!" Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan mereka sudah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rum-put hijau yang subur. Orang-orang Khin ini selain merupakan pemburu-pemburu yang ulung, juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang amat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka. Kini dua orang laki--laki itu berdiri berhadapan dan banyak sekali orang Khin yang mendengar akan kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, su-dah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu! Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ke-tua itupun menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang amat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi diapun tidak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mengalahkan rak-sasa ini kurang dari sepuluh jurus karena diapun tidak ingin kehilangan persahabat-an dengan orang-orang yang menyenang-kan hatinya. Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wani-ta-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, ter-utama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!
"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung. Sikap ini mirip sikap biruang hitam tadi, pikir Ci Kang dan diapun bersikap waspada, dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya amat berbahaya kalau sampai kedua lengan panjang de-ngan jari-jari tangan kuat itu sampai da-pat menangkapnya.
Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia su-dah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya dan menundukkan raksasa ini secepat mungkin. Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apalagi tertangkap. Dengan mengembangkan kedua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, sedangkan secepat kilat, begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, jari tangan kanannya bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan. Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak nampak oleh kepala suku itu sendiri yang tiba-tiba merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biarpun kelumpuhan itu hanya te