Pencarian

Asmara Berdarah 18

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 18


rjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Kedua kaki yang besar dan kuat itu se-ketika kehilangan tenaga dan tubuh itu-pun terkulai dan roboh miring!
Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam segebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tibe dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya hilang. Tiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Belum pernah selama hidupnya kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia menge-rahkan tenaga!
Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya dan melompat bangun, berdiri dengan si-kap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu tak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka ang-gap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu mempunyai kekuatan le-bih dari sepuluh orang biasa!
Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adulah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apabila dia kalah dan menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu, diapun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri kalau kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.
"Orang muda, sungguh engkau hebat dan aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa dengan satu pukulan, engkau akan mampu merobohkan seekor biruang hitam dewasa! Engkau hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Ke-pala suku itu tertawa gembira dan sikap ini makin mengagumkan hati Ci Kang.
"EngkKau memiliki tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Kalau hanya mempergunakan tenaga badan saja melawanmu, aku tentu akan kalah."
Kedudukan Moghu Khali yang tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah namamu?"
"Siangkoan Ci Kang."
"Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama dan saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan kalau engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sung-guh aku akan merasa gembira sekali."
Ci Kang memang merasa kagum dan suka kepada kepala suku ini, maka diapun mengangguk. "Baiklah, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."
Moghu Khali girang sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormat dan disuka. Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, diapun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.
"Di selatan terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan telah diduduki pemberontak yang kabarnya didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu harus bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Dan untuk itu, kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."
"Menjadi jago" Apa yang kaumaksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.
Moghu Khali lalu menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa untuk mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.
Biarpun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu tidak memusuhi para pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga ingin membangun kembali kekuatan mereka yang telah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol. Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak, dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia mempergunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.
"Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan suka menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lain. Tentu saja aku tidak yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."
"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andaikata nasib tidak mempertemukan aku dan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walaupun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang memiliki tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, tak mungkin ada di antara mereka yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam segebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau" Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."
Demikiahlah, ketika sayembera adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.
Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggauta romborgan Mancu Timur" Untuk mengetahui jawabannya, mari kita mengikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.
Seperti telah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang telah tewas bersama semua keluar-ganya itu. Ketika melarikan anak perem-puan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui dan dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan o-rang ini melarikan Hui Lian.
Karena San-hai-koan telah jatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan suatu untuk menentang para pemberontak, Hui Song lalu pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pende-kar. Pertemuan itu menjadi semakin pen-ting saja setelah kini Raja Iblis dan ka-wan-kawannya sudah membuktikan pelak-sanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan. Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga. Dia tahu benar sia-pa adanya pemuda ini dan betapapun ga-gah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.
Pada hari itu juga girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini segera bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itupun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberon-tak.
"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tidak mungkin lagi kita mela-wan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat, be-tapapun sakti mereka itu, dapat kita ha-dapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan ka-lah kuat. Akan tetapi setelah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita mela-wan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerin-tah kalau bertempur dengan mereka, di manapun juga."
Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."
Kakek gendut itu mengerutkan alis-nya. Kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kini kehilangan kegembiraan-nya melihat betapa kaum pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya. "Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."
"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak" Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh ja-hat yang berbahaya sekali."
"Akan tetapi engkau harus ingat bah-wa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.
"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk se-perti Iblis Buta itu, tentu menjadi seo-rang tokoh sesat yang luar biasa. Biarpun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu I-blis, mana mungkin dia lalu berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar" Dia tentu mata-mata, suhu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biarlah aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tu-gas baru yang amat penting."
Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tidak menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"
"Setelah kini Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, bagi kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka. Akan tetapi ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Kalau mereka itu mau bergerak membantu dan menentang pemberontak, tentu akan mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Kalau ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang pemberontak, sungguh merupakan bantuan besar sekali kepada pemerintah."
"Akan tetapi, bukankah suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Ra-ja Iblis dan para datuk sesat yang hen-dak mengacaukan negara."
"Benar, akan tetapi setelah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberon-tak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."
"Baiklah, suhu, akan kuselidiki keada-an para suku bangsa di daerah ini."
Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke uta-ra, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya, ia tersesat ja-lan menuju ke timur dan pada suatu ha-ri tibalah dia di sebuah dusun kecil. Ha-ri telah menjelang senja ketika dia me-masuki pintu gerbang sederhana dusun i-tu, akan tetapi yang membuat dia mera-sa heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tidak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu. Sebuah dusun kosong" Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah di an-tara rumah-rumah kecil yang agaknya di-bangun secara darurat di dusun itu. Akan tetapi ke manakah perginya semua orang" Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimanapun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam dapat menang-kap gerakan-gerakan dan dia merasa ya-kin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!
Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan diapun berdiri di tengah-tengah la-pangan di antara rumah-rumah itu, di mana ia melihat bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Di sini dia berdiri tegak, me-mandang ke empat penjuru, ke arah ru-mah-rumah yang sunyi itu, dan diapun berkata dengan dengan suara lantang. "Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"
Tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu makin rapat sehingga dia bersikap waspada. Tiba-tiba saja, seperti yang sudah diduganya, terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya dan tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!
"Aku bukan penjahat...!" Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah mcluncur ke arah dirinya. Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatangpun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek, terkena anak panah.
Begitu anak panah itu dapat diruntuh-kannya semua, tiba-tiba nampak sinar hi-tam meluncur dan dia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang ber-bentuk laso pada ujungnya. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat cepatnya telah mengalungi lehernya, bahkan kedua tangannya juga kena dibelenggu. Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir dan agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak- peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur. Setelah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang kepadanya dengan penuh kemarahan! Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak-tombak, golok dan juga anak panah, semua dia-cungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya. Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua itu berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini tiga puluh tahun lebih, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal. Laki-laki ini maju dan dia diiringkan oleh belasan orang wanita yang kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka dari lima belas sampai dua puluh lima tahun! Laki-laki bermantel bulu dan bartopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, namun siap untuk mengeroyok Hui Song andaikata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.
Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya. Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Laki-laki bertopi inipun nam-pak tampan dan bersih, dan wanita-wani-ta yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.
"Aha, kiranya engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sukarnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"
Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di an-tara para wanita itu, yang termuda dan paling manis tiba-tiba melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.
"Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.
"Plak! Plak!" Dua kali pipi Hui Song ditamparnya dan laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarang-nya memukul lagi. Wanita itupun mundur sambil terisak.
"Ia adalah kakak gadis yang kauculik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu menyusahkan hati seorang gadis semanis ia" Padahal, kalau engkau menjadi orang baik-baik, banyak kiranya gadis yang a-kan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kaupaksa atau perkosa...!"
Biarpun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti ba-hasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung. Tampar-an tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan. Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kira-nya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!
"Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?" Dia berseru beberapa kali. Akan tetapi agaknya yang mengerti bahasanya hanyalah pria berto-pi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya dan keadaan menjadi be-risik.
Tiba-tiba saja terdengar jerit wanita melengking nyaring. Semua orang terke-jut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.
"Adikku perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.
Hui Song segera dapat mcngerti apa yang telah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang aseli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang di-curinya bukan perawan kepalang tang-gung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu! Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dia bukanlah penculik perawan, dan kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk dan juga membasmi penjahat pemetik bunga itu. Maka diapun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itupun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seper-ti seekor burung terbang saja.
"Aku akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun dan tan-pa memperdulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jerit-an wanita tadi.
Gerakannya yang memang lincah se-kali itu tidak terlambat. Dia melihat ba-yangan berkelebat keluar dari rumah itu, memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga ter-totok.
"Perlahan dulu, sobat!" Hui Song ber-kata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tengan kirinya menotok ke arah pun-dak. Orang itu nampak terkejut dan ge-rakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerak-kan pundak, mengelak dan melonjutkan larinya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan beta-pa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dan dua gerakan ini mengandung hawa yang amat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengeluarkan ke arah kepalanya.
"Dukk...!" dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!
"Eh, siapa kau...?" bentaknya dan dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Dan setelah orang itu kini melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, dia melihat di dalam keremangan senja bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek. Dia teringat akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggauta dari para datuk sesat a-nak buah Raja Iblis!
"Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!" Hui Song membentak dan dia sudah menerjang lagi dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dia dapat menduga juga lihai ini.
Tamparan-tamparan itu hebat sekali dan si penjahat agaknya mengenal pukul-an lihai, maka dia menggerakkan tangan, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.
"Plakk! Dukkk...!" Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah datang dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah. Melihat keadaan tidak menguntungkan, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan melon-cat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amat-lah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat.
Si pria bertopi kini menghampiri dan merangkulnya. "Engkau telah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami ta-di. Kami mengira engkau penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."
"Sudahlah, kesalahpahaman itu dapat kumengerti dan dapat kumaafkan. Beta-papun juga, penjahat itu telah menolong-ku."
"Menolongmu?" Pria bertopi itu ber-seru heran.
"Kalau tidak dia muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa pen-curi anak perawan." Hui Song tertawa dan orang itupun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berobah gembira sekali.
"Ha-ha, ternyata engkau selain tampan dan lihai, juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi" Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tidak begitu memperhatikan karena kemarahan menyangka engkau penjahat."
"Namaku Cia Hui Song."
"Bagus sekali, Cia-taihiap. Namaku adalah Lam-nong dan aku kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga kadang-kadang memburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapapun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan" Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami." Dengan suara lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu dan mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song.
Hui Song menerima dengan gembira dan sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.
"Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat." Lam-nong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba. "Taihiap, orang seperti engkau ini tentulah seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau sampai tersesat ke sini?"
Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan diapun teringat kepada Sui Cin. Tadipun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.
"Aku... aku sedang mencari seorang teman..." Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang teman perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang mencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."
"Ah! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"
"Ya, benar!" Hui Song bertanya gembira. Dia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Guha Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam guha itu. "Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"
Mendengar pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berobah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengar orang lain. Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu akan mendapatkan jejak. "Harap jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapinya!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan. Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.
"Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."
"Nenek iblis siapa yang kaumaksudkan?"
"Namanya Yelu Kim, menurut pengakuannya. Ia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai penasihat agung dari Jenghis Khan. Kini ia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasihat para kepala suku."
"Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"
"Hemm, biarpun ia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."
"Di manakah sarang mereka" Di mana aku bisa bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?" Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.
"Tinggallah bersama kami dan engkau akan dapat bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula di sana."
"Para suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin" Untuk apa dan apakah yang terjadi?" Hui Song bertanya girang. Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita tentang kepala-kepala suku. Justeru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.
"Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita, golongan hitam di selatan telah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan telah merampas dan menduduki benteng San-hai-koan, dan kabarnya akan terus bergerak melebarkan wilayah mereka sebelum mereka menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saatnya terbaik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebetulnya aku sendiri pribadi tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak dan diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku akan mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."
Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pasta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun. Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera.
Lam-nong duduk di samping Hui Song, diapit-apit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo ketika Lam-nong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!
"Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap" Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedi-kit sekali kalau dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala para suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song.
Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang amat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini de-ngan hawa arak di benaknya, dia menja-di semakin gembira. "Ha-ha, saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor a-yam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia" Seorang harus... dengan demikian banyak...?"
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itupun tersenyum dan tersi-pu-sipu, menutupi mulut mereka dengan saputangan atau punggung tangan. "Kalau perlu aku bisa lebih kuat daripada seekor ayam jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, ka-rena itu dalam hal itupun berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."
Merekapun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang memiliki suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itupun mulai menari. Dan Hui Song memandang dengan terpesona. Sellr ini pandai sekali manari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seolah-olah tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.
"Sekarang permainan yang kami na-makan Bulan Jatuh. Siapa kejatuhan bu-lan harus bangkit dan menari, siapapun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang malapetaka dan tidak menghormati orang lain." Lam-nong berkata kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.
Sambil tertawa gembira Lam-nong menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi kini dimainkan oleh orang-orang dewasa! Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai saputangan diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya ia diputar-putar, hal ini dimaksudkan agar selir yang tertutup matanya itu akan lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu dilepas dan mulailah ia meraba-raba. Kalau ia berhasil menangkap seorang yang duduk berkeliling, ia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Kalau dugaannya keliru, yang ternyata setelah ia diperkenankan membuka penutup mata, maka ia harus menari lagi, kemudian setelah habis satu lagu, ia akan mencari sasaran lagi. Bagaikan bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan kalau bulan itu "jatuh" kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka ia kejatuhan bulan dan ialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Tentu saja dengan adanya Hui Song di situ, permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali.
Selir muda yang cantik itu sudah diputar-putar dan dilepas. Kini dengan mata tertutup selir itu melangkah ke depan perlahan-lahan, kedua tangannya diluruskan ke depan meraba-raba.
Hui Song merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apalagi ketika kedua kaki yang kecil itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu meragu, dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena kaki itu terantuk kaki seseorang yang duduk di situ. Selir itu terkekeh, lalu berjongkok dan kedua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.
"Ihhh...!" jeritnya kecil ketika ia me-raba topi orang itu dan tahulah ia bahwa ia telah menangkap atau "jatuh" kepada seorang pemukul tambur atau gendang. Terdengar suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu membuka penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial karena itu berarti bahwa ia harus main lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang" Kembali selir itu ditutup mukanya dengan saputangan dan diputar-putar. Akan tetapi selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika ia dilepas, iapun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup sepatu baru itulah yang yang kini meraba-raba dan ketika kakinya menginjak bagian yang agak menonjol, iapun berhenti lalu membalik dan kini kedua kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk! Selir ini memang menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song dan sebagai orang yang sudah biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja ia mengerti akan akal-akal yang dipergunakan orang dalam permainan ini. Tadi ketika ia membuka penutup matanya, ia telah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui Song dan ia melihat ada tanah menonjol di depan pemuda itu dan inilah yang dapat menuntunnya kepada Hui Song. Maka tadi ia berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan langkahnya kepada Hui Song. Ia hendak memilih pemuda yang telah menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga selir-selir yang lain dan mereka yang hadir di situ ingin sekali melihat Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu
menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat lari, dan hanya tersenyum tegang. Diapun tidak dapat mengelak ketika kaki kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan berjongkok di depannya, Hui Song memejamkan mata karena hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinganya, hidungnya, bibir dan dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat itu merayap di mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.
"Haii... ini... ini... Cia-taihiap...!" kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis ia menjura dan mempersilakan.
"Silakan, taihiap, kami mohon taihiap menjadl bulan," katanya merdu.
"Ha-ha-ha, nasibmu baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan tarianmu!" kata Lam-nong gembira. Suling, tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu terpaksa bangkit berdiri. Dia merue tubuh dan kepalanya ringan karena pengaruh arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai menari, maka diapun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi. Maka nampaklah pemandangan yang amat lucu ketika Hui Song melenggang-lenggok menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dang-dut! Karena dia memang ahli silat yang amat pandai, biarpun gerakannya lucu, namun juga lemas dan kadang-kadang bahkan diisi dnegan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira dan tariannyapun menjadi semakin panas.
Ketika tiba giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan saputangan, dengan mudah saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, dia menjatuhkan pilihannya kepada Lam-nong! Biarpun Hui Song seorang pemuda romantia dan lincah jenaka dan gembira, namun dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang di antara mereka. Hal ini mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.
Lam-nong adalah seorang kepala suku. Tentu saja diapun tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal lucu, yaitu hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari! Akhirnya Lam-nong menyuruh para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi.
Demikianlah, bersama rombongan ini, Hui Song ikut pula hadir ketika diadakan pertandingan jagoan di antara kepala-kepala suku. Lam-nong sendiri tidak mengajukan jagoan. Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan yang terpilih. Dan Hui Song yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang, bersembunyi di antara orang-orang Mancu Timur itu dan dapat dibayakngkan betapa besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek yang menurut keterangan Lam-nong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap di antara anak buah Lam-nong.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara mereka yang hendak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula. Sui Cin berada di situ karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini ia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau dianggap menjadi jagoan suku itu. Adapun Hui Song berada di tempat- itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di u-tara ini sesuai dengan tugas yang dibe-bankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
Kini pertandingan telah dimulai dan seperti sudah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang ma-sing-masing memiliki ketangguhan yang mengagumkan. Suku Mongol yang meru-pakan suku kedua terbesar sesudah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan ja-goan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apapun. Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan. Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda. Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak ammpu bangkit kembali. Lawannya cukup tangguh, ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.
"Plakkk!" Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah se-hingga jatuh pingsan dengan tulang re-muk!
Sorak sorai yang riuh rendah menyam-but kemenangan raksasa Mongol ini dan diapun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walaupun si raksana Mongol itu masih menantang-nantang de-ngan congkaknya.
Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mo-ngol, maka jago dari Mancu inipun ber-tubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan ber-otot kekar sekali. Kaki itu memakai se-patu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi dan diapun tidak menung-gang kuda dan tidak memegang senjata. Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelom-poknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mo-ngol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulan campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!
Dalam satu gebrakdn saja, lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak, dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat itupun terpe-lanting jauh! Lawannya berhasil melom-pat dan menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kut, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong! Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah ke-dua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-ti-ba sebuah kaki melayang dan menghan-tam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong o-leh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!
Ketika Ci Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada di sini, bahkan menjadi seorang di antara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya diapun diam saja dan hanya nonton. Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawan, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apapun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal inipun dilakukan setelah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalih itu tidak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!
Setelah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu telah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya dalam beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan. Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah depat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan!
Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti king-kong, dengan kedua lengan tegak terpentang, kedua kaki agak membungkuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut mennyeringai seperti mulut orang hutan marah. Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter. Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandang mata mereka. Keduanya berdiri seperti arca yang menyeramkan, sedikitpun tidak bergerak. Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tidak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, namun raksasa itu memasang dadanya dan mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.
"Blukkk...!" Hebat sekali benturan antara kaki dan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itupun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama! Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, walaupun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanya sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang benar karena si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka diapun bersikap hati-hati sekali.
Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya dapat dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol. Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas dan diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan. Akan tetapi, jagoan Mancu itu dengan kaki kanannya berhasil menendang pundak kanan lawan, sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting, jagoan Mancu depat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapt tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Keduanya kini terengah-engah dan berdiri saling pandang bagaikan dua ekor gajah yang sedang berlaga.
Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat. "Bress...!" Keduanya bertumbukan, mempergunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian. Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan-, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahan sehingga tiap kali kena dicengkeram, dia selalu dapat melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol beberapa kali kena terjangan kedua kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga dapat bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini.
Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling mencengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri masing-masing dengan kekebalan tubuh. Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tidak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang di antara mereka roboh dan tewas!
Akan tetapi tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu un-tuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang reksasa itu mentaati dan me-reka mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.
"Kami sudah melihat cukup!" kata ke-pala suku Mongol. "Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas."
"Benar!" sambung kepala suku Mancu. "Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang di antara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua jagoan ini dilanjutkan!" Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.
Mendengar itu, Ci Kang sudah mem-bisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang, "Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah tiga orang jago itu maju bersama, saling se-rang sampai seorang di antara mereka tinggal sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh."
Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Orang muda berjubah kulit hartmau itupun tadi mereka lihat cukup tangguh sehingga ka-lau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian.
Kini tiga orang jagoan itu sudah ma-ju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sam-bil menunggang kuda putihnya dan memegang tombak kong-ce yang bergagang panjang itu. Sikapnya tenang saja. Dia sebetulnya tidak gentar kalau harus mengha-dapi mereka dengan jalan kaki dan ber-tangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya terlalu besar karena menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong amatlah berba-haya, kecuali kalau dia menggunakan il-munya untuk membunuh mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Justeru dia sama sekali tidak ingin membunuh orang, apa-lagi dalam suatu pertandingan adu ke-pandaian ini di mana dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sa-habatnya.
Sementara itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan biarpun masing-masing belum dapat menen-tukan kemenangan, akan tetapi setidak-nya kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian. Akan tetapi, ka-lau seorang di antara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu yang dikeroyok akan celaka Maka, jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda itu dan setelah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka lakukan dengan cepat kalau mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul.
Ci Kang sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini ketika dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali ti-dak merasa gentar, akan tetapi, diam-diam dia mengkhawatirkan kudanya, maka diapun meloloskan kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas. Ge-rengan dari kanan kiri menandakan bahwa dua orang raksasa itu sudah mulai menyerangnya. Raksasa Mongol itu me-nyerang dari kiri dengan kedua tangan menubruk seperti seekor harimau sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakiya telah mengirim tendangan ke arah perut Ci Kang. Pemuda ini sudah siap siaga, menyambut tubrukan raksasa Mongol dengan tombaknya. Dia bukan menusuk tubuh melainkan menggu-nakan ujung tombak yang dibalik, yaitu menggunakan gagang tombak, menusuk ke arah mata! Inipun hanya gertakan saja, atau siasat untuk mencegah raksasa itu melanjutkan serangannya. Sementara itu, tendangan kaki raksaaa Mancu ke arah perutnya itu dia sambut dengan kaki kanannya.
"Dukkk...!"
Terdengar dua orang raksasa itu me-ngeluarkan seruan kaget bukan main. Raksasa Mongol terkejut karena tiba-tiba saja ada ujung gagang tombak menyam-bar cepat ke arah matanya. Dia boleh mengandalkan kekebalannya, akan tetaipi kalau matanya dicolok dengan gagang tombak, tentu akibatnya celaka baginya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali membuang diri ke belakang dan bergu-lingan setelah mengeluarkan seruan ka-get. Sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya itu, begitu kakinya bertemu dengan kaki pemuda itu, tubuhnya terjengkang dan diapun bergu-lingan sambil menahan rasa nyeri yang membuat tulang kering kakinya berde-nyut-denyut panas! Dua orang raksasa itu meloncat bangun lagi dan suasana menja-di sunyi senyap karena semua penonton melongo ketika melihat betapa dalam ge-rakan pertama saja pemuda itu sudah berhasil membuat dua orang raksasa yang mereka jagoi itu jatuh bergulingan! Bahkan orang-orang Khin sendiri yang mengajukan Ci Kang sebagai jagoan mereka, nampak sunyi dan melongo, terlalu heran dan kaget sehingga lupa untuk bersorak. Bukan hanya karena ini saja, akan tetapi juga karena suku itu diam-diam merasa takut dan segan kepada suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku-suku terbe-sar dan terkuat, maka melihat kepala su-ku mereka diam saja merekapun tidak berani untuk bersorak sorai.
Sementara itu Ci Kang maklum bah-wa kalau dia menunggang kuda mengha-dapi dua orang lawan yang ingin dia ja-tuhkan tanpa membunuh, maka kudanya tentu akan terancam bahaya, dan agak sukarlah baginya untuk melindungi kuda itu. Maka begitu kedua orang itu melom-pat bangun, dia sudah meloncat dari atas kudanya. Ci Kang sengaja meloncat dengan gaya lompatan ke atas, tinggi dan kemudian tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di udara sebelum meluncur -turun, didahului oleh tombaknya yang menancap di atas tanah dan Ci Kang berdiri tegak di atas tombak itu dengan se-belah kaki. Sedikitpun tubuhnya tidak bergoyang! Tentu saja hal ini amat me-ngagumkan para penonton dan orang-o-rang Khin tidak dapat lagi menahan ke-banggaan dan kegembiraan hati mereka. Ketika kepala suku mereka bertepuk tangan memuji, merekapun bersorak gembira sehingga suasana menjadi riuh kembali.
Nenek Yelu Kim terkejut sekali dan ia mendekati Sui Cin, berbisik, "Pemuda itu hebat sekali, apakah engkau sanggup menandinginya?"
Sui Cin juga melihat semua itu dan diam-diam kagum akan kelihaian Ci Kang. Akan tetapi kalau hanya gin-kang seperti yang dipertontonkan Ci Kang itu, dia masih sanggup menandinginya, bahkan mengatasinya.
"Harap subo jangan khawatir," bisiknya kembali.
Sementara itu, Hui Song yang juga melihat Ci Kang bergaya, diam-diam merasa panas hatinya walaupun dia harus pula akui bahwa pemuda putera Iblis Buta itu agaknya telah memperoleh kemajuan dan kini mungkin lebih lihai daripada dahulu, hal yang sudah diduganya ketika Ci Kang muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ada timbul keinginan untuk mencoba kepandaian pemuda itu. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan di sini karena tentu akan mengacaukan pemilihan pimpinan itu dan dia tidak mau menyusahkan rombongan Lam-nong. Maka diapun diam saja dan hanya menonton, sambil diam-diam seringkali melirik ke arah rombongan nenek Yelu Kim dan Sui Cin.
Dua orang raksasa itu sudah menjadi marah sekali karena dalam gebrakan pertama tadi mereka telah dibikin malu. Walaupun mereka tidak terluka, akan tetapi mereka telah dipaksa roboh bergulingan. Maka kini, biarpun mereka juga kaget melihat betapa pemuda itu memperlihatkan keringanan tubuh yang istimewa, mereka berlari menerjang dengan marah.
Akan tetapi betapa kaget dan heran mereka ketika tiba-tiba saja pemuda itu lenyap bersama tombaknya dan mereka hanya menubruk tempat kosong, bahkan hampir saling pukul sendiri. Kalau saja mereka berdua itu tidak mempunyai siasat untuk lebih dahulu merobohkan Ci Kang, tentu mereka sudah saling hantam karena mereka kini saling berhadapan dekat sekali. Akan tetapi keduanya sama sekali tidak melakukan hal ini, melainkan cepat membalik dan mencari Ci Kang. Ketika melihat pemuda itu berdiri tak jauh di belakang mereka sambil melintangkan tombaknya, merekapun menyerbu lagi. Kini semua penonton maklum bahwa dua orang raksaka yang tadi saling banting-membanting itu tiba-tiba saja sudah bersatu untuk menghadapi dan mengeroyok pemuda berbaju kulit hatimau itu!
"Curang...!" Moghu Khali, kepala suku Khin itu mengomel akan tetapi tidak berani bicara keras. Bagaimanapun juga, setelah memasuki arena pertandingan, tiga orang itu bebas berkelahi dengan cara bagaimanapun juga. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan jagoannya karena menghadapi pengeroyokan dua orang raksasa itu sungguh amat berbahaya sekali. Juga Sui Cin dan Hui Song menonton dengan hati tegang. Mereka juga dapat merasakan betapa berbahayanya keadaan Ci Kang sekarang.
Akan tetapi Ci Kang menghadapi mereka dengan sikap tenang-tenang saja. Diapun bukan orang bodoh dan majunya ke tempat itu hanya untuk membantu Moghu Khali yang menjadi sahabatnya. Kalau dia mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, kiranya akan mudah baginya melawan dan menewaskan dua orang raksasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa dengan melakukan hal ini, tentu akan timbul iri dan penasaran dalam hati para kepala suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku yang terbesar dan kuat. Dan hal itu tentu akan membuat keadaan Moghu Khali tidak menguntungkan dan mungkin dimusuhi. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mencapai kemenangan setelah memberi muka kepada dua orang raksasa ini, yang berarti memberi muka kepada kepala suku masing-masing.
Oleh karena itu, ketika dua orang raksasa itu datang menyerbu lagi, dia hanya mengelak dan menangkis, mampergunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri. Terjadilah perkelahian yang kelihatannya saja seru dan menegangkan, akan tetapi bagi orang-orang pandai seperti Sui Cin dan Hui Song, nampak jelas bahwa Ci Kang sengaja mengalah dan belum pernah membalas. Dan mereka berdua inipun setelah mengamati gerak-gerik kedua orang raksasa itu mendapat kenyataan bahwa dua jagoan tinggi besar itu hanya memiliki tenaga besar saja namun dalam hal ilmu berkelahi masih jauh kalah kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat Ci Kang.
Setelah membiarkan dirinya dihujani serangan sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Ci Kang memutar-mutar tombaknya dan tombak itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya. Tubuh Ci Kang sendiri lenyap, hanya nampak kedua kakinya saja kadang-kadang menginjak tanah. Melihat ini, dua orang raksasa itu menjadi terkejut dan tentu saja merasa ragu-ragu karena mereka gentar untuk menerjang dinding yang terbuat dari gulungan sinar putih itu.
Ci Kang tidak bermaksud membunuh lawan. Dia memutar tombak itu hanya untuk menciptakan dinding sinar yang menutup tubuhnya, dan memang menjadi maksudnya agar kedua orang lawan itu menghentikan serangan mereka. Pada saat kedua orang raksaaa itu berdiri bimbang, tiba-tiba Ci Kang meloncat ke depan, menggunakan tombak yang dibalik untuk menotok kedua lutut raksasa Mancu yang ahli tendang itu dan berbareng tangan kirinya menampar ke arah tengkuk raksasa Mongol sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
Dua serangan yang dilakukukan Ci Kang ini sudah memakai perhitungan dan pemusatan tenaga, maka mengenai suarannya secara tepat sekali. Dua orang raksasa itu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Raksasa Mancu tertotok kedua lututnya dan kedua kakinya menjadi lumpuh, sedangkan raksasa Mongol yang kena dihantam tengkuknya dengan tangan yang dimiringkan itu roboh pingsan. Ternyata kekebalannya tidak mampu melindungi tengkuknya dari hantaman yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu.
Suasana kembali menjadi sunyi, karena semua orang untuk ke sekian kalinya tertegun dan melongo, hampir tidak percaya bahwa pemuda itu akan mampu mengalahkan dua orang jagoan raksasa yang mengeroyoknya itu sedemikian mudahnya! Ketika tadi Ci Kang memperlihatkan kepandaiannya, tak pernah dapat dirobohkan oleh kedua orang penyerangnya, orang-orang mulai menjadi tegang dan mengira bahwa tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Akan tetapi siapa kira pemuda itu akan mampu mengakhiri pertandingan itu sedemikian mudah dan cepat. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan dia sudah meloncat lagi ke atas punggung kuda putihnya sambil melintangkan tombaknya. Dengan gagahnya, Ci Kang menjalankan kudanya berputaran di lapangan itu, tidak bersikap sombong, melainkan menanti kalau-kalau masih ada jagoan lain yang akan maju menandinginya, sementara itu dua orang raksasa yang roboh telah digotong pergi oleh teman-temannya.
Setelah Moghu Khali mengangkat tangan bersorak, berulah anak buahnya berani bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat betapa jagoan mereka mendapat kemenangan, dan tak lama kemudian hampir semua orang yang hadir bersorak menyambut kemenangan ini. Bagaimanapun juga, mereka itu adalah suku-suku bangsa yang menghargai kegagahan dan melihat kehebatan Ci Kang, mereka merasa kagum sekali. Melihat sikap semua orang ini, Moghu Khali berbesar hati untuk menuntut haknya, yaitu menjadi pimpinan karena jagoannya telah keluar sebagai pemenang. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru dengan suara lantang.
"Seperti saudara sekalian menyaksikannya, jagoan yang kami ajukan telah menjadi juara dan mengalahkan semua jagoan lainnya, oleh karena itu..."
"Tunggu dulu...!" Suara nenek Yelu Kim melengking dan mengatasi semua suara sehingga semua orang menengok kepadanya. Nenek ini sudah bangkit berdiri pula dan mengebut-ngebutkan hud--tim di tangannya. Karena nenek ini dikenal sebagai seorang yang disegani bahkan ditakuti, dan nasihat-nasihatnya selalu ditaati oleh para suku bangsa di utara karena nasihat-nasihat itu memang amat baik dan tepat, maka kini semua orang memandang dan menanti apa yang aken dikatakan oleh nenek itu.
"Saudara sekalian harap tenang dulu. Aku sendiri masih mempunyai seorang jago, dan aku berhak mengajukan jagoku, setidaknya untuk menguji sampai di mana kemampuan jago dari saudara-saudara suku Khin itu!"
Tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang menggetarkan jantung dan dari belakang rombongan nenek Yelu Kim melompotlah keluar seekor harimau besar yang ditunggangi oleh seorang bertubuh kecil ramping yang muka dan kepalanya ditutupi kain hitam sebagai kedok. Hanya sepasang matanya yang mencorong itu saja yang nampak dari lubang pada kain hitam itu. Orang ini menunggang harimau seperti menunggang kuda saja, tanpa sela, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki lebih.
"Harimau Terbang...!" Terdengar orang berbisik-bisik dengan mata terbelalak, dan mereka memandang dengan gentar. Hui Song yang sejak tadi memandang ke arah rombongan nenek Yelu Kim di mana terdapat pula Sui Cin, kini ikut terbelalak karena tadi dia hanya melihat gadis itu menyelinap lenyap di antara rombongan nenek itu, kini muncul orang menunggang harimau dan Sui Cin tidak nampak pula. Biarpun orang itu menyembunyikan kepala dan mukanya di balik kedok kain sutera hitam, akan tetapi dia mengenal perawakannya dan juga tadi Sui Cin memakai pakaian seperti yang kini dipakai penunggang harimau itu. Saking herannya Hui Song hanya memandang saja. Apa artinya semua ini, pikirnya. Sui Cin maju sebagai jagoan nenek Yelu Kim pemimpin perkumpulan rahasia Harimau Terbang, bahkan kini Sui Cin memakai kedok dan menunggang harimau!
Ci Kang juga terkejut sekali melihat munculnya orang menunggang harimau itu. Dari Moghu Khali, dalam percakapan mereka, dia sudah mendengar akan nenek Yelu Kim yang disegani itu, juga bahwa nenek itu memimpin sebuah perkumpulan rahasia yang bernama Harimau Terbang dan nenek itu bertindak sebagai penasihat dan pengawas para suku di utara. Kini, melihat munculnya penunggang harimau itu, dia bersikap tenang tetapi waspada. Dia tahu bahwa penunggang harimau itu seorang wanita, dan kalau seorang wanita sudah mampu menunggang harimau dengan gerakan seperti itu, tentulah wanita itu lihai sekali.
Akan tetapi calon lawannya itu agaknya tidak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir dan melamun. Dengan lompatan-lompatan jauh, harimau itu sudah datang mendekat dan Ci Kang sudah siap siaga dengan tombaknya.
"Lihat serangan!" Tiba-tiba penunggang harimau itu membentak dan harimau itu sudah melompat, menerkam ke arah Ci Kang dan kudanya, sedangkan penunggangnya juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah mata Ci Kang!
Sungguh hebat bukan main serangan itu dan melihat kenyataan betapa orang ini memberi peringatan sebelum menyerang, dalam bahasa Han yang tidak kaku, Ci Kang dapat menduga bahwa orang di balik kedok sutera hitam itu tentulah seorang pendekar wanita dari selatan! Menghadapi serangan maut itu, yang amat berbahaya bagi dirinya dan juga kuda yang ditungganginya, Ci Kang bergerak cepat. Tangan kirinya diangkat ke atas menangkis tusukan tongkat.
"Dukkk...!" Tangan kirinya yang kuat itu bertemu dengan tongkat dan tongkat itu terpental, akan tetapi Ci Kang juga merasa betape lengan kirinya tergetar. Pada saat itu diapun harus menyelamatkan kudanya, maka dia menggerakkan tombaknya menangkis dua kaki depan harimau yang menerkam itu.
"Bresss...!" Dua kaki harimau itu tertangkis dan tombaknya dilanjutkan menusuk dada harimau yang masih melompat itu.
"Dukkk...!" Kini ujung tombaknya ditangkis oleh tendangan wanita penunggang harimau! Ci Kang terkejut sekali. Sungguh hebat gerakan wanita itu dan kini harimau itu sudah menyerang lagi dengan cepat setelah tadi meloncat turun, membalik dan mengaum.
Ci Kang terpaksa memutar tombaknya untuk melindungi dirinya sendiri dan juga kudanya. Dan binatang tunggangannya itu menjadi panik, mengangkat kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik ketakutan, juga meronta-ronta. Hal ini sungguh membahayakan dirinya dan hampir saja pundaknya terkena pukulan tongkat. Kalau dilanjutken begini, menunggang seekor kuda yang ketakutan, dia akhirnya akan celaka, pikirnya. Maka Ci Kang lalu meloncat turun dari atas kudanya dan begitu kuda itu merasa terbebas dari kendali, diapun meringkik dan melarikan diri ketakutan! Kini Ci Kang berdiri di atas tanah, siap dengan tombaknya. Dia merasa penasaran dan marah, apalagi mendengar wanita itu tertawa lirih di balik kedoknya. Engkau curang, pikirnya, mengandalkan harimau itu untuk membikin takut kuda. Maka, melihat harimau itu kembali menubruk, diapun memapakinya dengan tusukan tombaknya yang panjang.
"Tranggg...!" Ujung tombak tertangkis tongkat baja den keduanya merasa betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang sama kuat. Akan tetapi Ci Kang tidak mau memberi hati dan diapun memutar tombaknya, mendesak dan ujung tombaknya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh harimau! Maka repotlah penunggang harimau itu yang harus melindungi tubuh harimaunya dengan tangkisan-tangkisan, yang membuat tubuhya kadang-kadang membungkuk ke sana-sini. Karena senjata di tangan Ci Kang jauh lebih panjang, maka mudah bagi pemuda itu untuk menghujankan serangan. Kalau dia menujukan serangannya kepada penunggang harimau itu, tentu lebih mudah bagi lawannya untuk melindungi dirinya dan harimau itu akan merupakan bahaya baginya. Akan tetapi karena dia menujukan serangan-sarangannya kepada tubuh harimau, sebaliknya si penunggang harimau itu yang repot bukan main harus menyelamatkan binatang tunggangannya dari tusukan tombak.
Wanita penunggang harimau itu tentu saja Sui Cin orangnya. Seperti kita ketahui, ia telah dipilih oleh Yelu Kint untuk menjadi murid dan pembantunya. Sui Cin merasa hutang budi kepada nenek itu yang telah menyembuhkannya, bukan saja dari pengaruh racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li kepadanya, melainkan juga nenek Yelu Kim itu telah monyembuhkannya dari penyakit hilang ingatan. Dan kini, atas perintah Yelu Kim, ia maju menghadapi Ci Kang sambil menunggang harimau.
Memang benar bahwa harimau itu telah merepotkan Ci Kang dan membuat pemuda itu terpaksa turun dari kudanya yang ketakutan. Akan tetapi setelah kini pemuda itu tidak lagi menunggang kuda dan menghadapinya di atas tanah dengan tombaknya, kini keadaannya menjadi terbalik. Sui Cin kini menjadi kerepotan sekali, harus melindungi harimaunya. Ia merasa penasaran dan marah, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali lalu meluncur turun menyerang Ci Kang dari udara. Tongkat baja di tangannya diputar dan menhantam ke arah kepala pemuda itu.
Ci Kang terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tongkat bertemu dengan tombak, nampak bunga api berpijar dan keduanya terdorong ke belakang. Sui Cin berjungkir balik lagi dan turun ke atas tanah.
"Houw-ji, mundurlah!" Ia berkata kepada harimau itu yang mengeluarkan suara menggereng, meringis memperlihatkan taringnya, akan tetapi agaknya binatang ini sudah mengenal dan mentaati suara Sui Cin. Diapun mundur mendekat nenek Yelu Kim yang mengelus kepalanya.
Kini Ci Kang berhadapan dengan Sui Cin, keduanya berdiri tegak tidak menunggang apa-apa lagi.
"Hemm, kini engkau tidak dapat mengandalkan kegalakan macan itu!" Ci Kang mengejek, diam-diam merasa kagum dan menduga-duga siapa adanya wanita perkasa bangsa Han yang menjadi kaki tangan nenek Yelu Kim ini.
"Lihat serangan!" Sui Cin membentak marah dan tidak melayani ejekan Ci Kang, tongkat di tangan menyambar ganas. Akan tetapi sambil tersenyum Ci Kang menggerakkan tombaknya menangkis dengan mudah, lalu balas menyerang, menyapukan tombaknya ke arah kaki lawannya. Akan tetapi sapuan tombak itupun dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Sui Cin, dengan cara meloncat ke atas. Melihat gerakan loncatan ke atas lalu tongkat di tangan itu langsung menusuk dari atas, diam-diam Ci Kang merasa kagum juga. Bukan main wanita ini, pikirnya, memiliki gin-kang yang amat hebat dan dia harus berhati-hati karena gin-kang sehebat ini dapat mendatangkan kesukaran baginya. Maka diapun menggerakkan tombaknya melindungi dirinya dengan amat kuat, memutar tombak itu sehingga membentuk lingkaran dari gulungan sinar.
Sui Cin yang mengenal Ci Kang dan mengetahui pula bahwa putera datuk sesat Si Iblis Buta ini memang lihai sekali, tidak merasa gentar dan diapun mengandalkan gin-kangnya untuk mengimbangi kecepatan gerakan tombak. Terjadilah se-rang-menyerang dan pertandingan yang seru ini membuat semua penonton men-jadi gembira. Bagaimanapun juga, jago yang diajukan oleh suku Khin itu adalah orang Han, dan merekapun tidak tahu siapa adanya jago Harimau Terbang yang diajukan oleh nenek Yelu Kim, maka merekapun sukar menentukan siapa yang mereka dukung. Akan tetapi melihat be-tapa kedua orang itu berkelahi dengan amat cepat, perkelahian dengan ilmu si-lat yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya, membuat mereka kagum se-kali, juga bergembira.
Akan tetapi, setelah Ci Kang menge-rahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluar-kan semua ilmu silatnya, Sui Cin terke-jut sekali. Tadinya ia merasa yakin akan mampu mengatasi pemuda itu mengingat bahwa selama tiga tahun ini ia digembleng oleh Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi siapa kira agaknya pemuda itupun selama ini telah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga kini ia sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi mengatasinya. Bahkan ia mulai terdesak karena kalah kuat tenaganya walaupun dalam hal ke-cepatan ia masih lebih unggul. Akan te-tapi keunggulan dalam gin-kang inipun di-tutup oleh Ci Kang dengan gerakan tom-baknya yang luar biasa cepatnya. Tentu saja Sui Cin tidak tahu bahwa seperti juga ia sendiri, pemuda itu menerima gemblengan hebat selama tiga tahun oleh Cui-sian Lo-kai!
Nenek Yelu Kim juga melihat betapa murid atau pembantunya itu sama sekali tidak mampu mendesak pemuda baju ku-lit harimau yang amat lihai itu, walau-pun muridnya tidak dapat dibilang kalah karena keduanya agaknya memiliki kepandaian yang seimbang. Akan tetapi ia me-rasa khawatir kalau-kalau Sui Cin kalah. Ia tidak boleh kalah. Kekalahan muridnya itu berarti akan menghancurkan nama besar Harimau Terbang dan akan meruntuhkan namanya pula sebagai orang yang paling disegani di antara suku-suku di u-tara. Terutama sekali, kekalahan Sui Cin berarti kegagalannya untuk memegang tampul pimpinan di antara para suku yang hendak berjuang menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan! Maka, diam-diam nenek ini duduk bersila dan mengerahkan semua tenaga batinnya, mulutnya kemak-kemik dan ia mulai mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membantu Sui Cin.
Tiba-tiba terjadilah perubahan dalam perkelahian itu. Beberapa kali Ci Kang terhuyung dan kelihatan betapa dia keheranan dan kebingungan, kadang-kadang menggunakan tombaknya untuk menangkis ke kanan, kiri atau belakang, padahal dari tiga jurusan itu tidak ada sesuatu yang menyerangnya. Memang dia merasa seperti ada angin-angin pukulan menyambar dari jurusan-jurusan ini sehingga dia cepat menangkis, akan tetapi selalu hanya menangkis angin kosong saja. Karena itu, tentu saja Sui Cin memperoleh kesempatan untuk mendesaknya. Gadis ini merasa seolah-olah lawannya menghadapi pengeroyokan. Sejenak ia sendiripun heran melihat perobahan pada lawannya. Akan tetapi iapun lalu teringat kepada nenek Yelu Kim yang pandai sihir dan dapat menduga bahwa tentu nenek itu yang membantunya dengan kekuatan sihir. Hal ini malah membuat ia merasa jengkel dan marah. Ia belum kalah dan tidak akan kalah, dan sungguh memalukan kalau harus menghadapi Ci Kang dengan pengeroyokan.
Kemarahan ini yang membuat Sui Cin bertindak sambrono. Karena marah, ia menumpahkan kemarahannya kepada lawan di depannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking keras dan tangan kirinya bergerak ke depan. Nampak sinar merah disusul teriakan Ci Kang yang kaget dan kesakitan dan tubuh pemuda itupun terjengkang keras, roboh dan tidak bergerak lagi karena dia telah pingsan! Kiranya dalam kemarahannya, Sui Cin telah mempergunakan senjata rahasianya yang ampuh, yang diajarkan ibunya kepadanya. Senjata rahasia itu berupa jarum-jarum halus berwarna merah harum dan beracun! Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh golongan hitam dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa ibu gadis itu, Toan Kim Hong, dahulunya pernah bertahun-tahun terkenal sebagai Lam-sin, seorang datuk sesat dari selatan!
Baru setelah melihat lawannya menggeletak dengan muka pucat dan pingsan, Sui Cin memandang dengan mata terbelalak, merasa menyesal mengapa ia mempergunakan senjata rahasia yang bahkan oleh ibunya sendiri ia sudah dilarang untuk sembarangan mempergunakannya. Dan dalam penyesalannya, Sui Cin sampai berdiri terbelalak dan seperti orang kehilangan akal, diam saja ketika melihat beberapa orang Khin cepat maju den menggotong tubuh Ci Kang yang masih pingsan. Sorak-sorai gegap gempita menyambut kemenangan Sui Cin dan kini terdengar suara nenek Yelu Kim yang melengking tinggi mengatasi semua suara sehingga orang orang menjadi tenang mendengarkan.
"Saudara-saudara sekalian yang tercinta. Para dewata telah menunjuk kami sebagai pemenang den pimpinan. Para jagoan tadi merupakan tenaga-tenaga yang amat baik untuk membantu perjuangan kita, juga pemuda baju kulit harimau itu agar dirawat sebaiknya. Sekarang kita beristirahat dan mempersiapkan diri untuk malam nanti mengadakan pertemuan rapat besar. Jagoku telah menang, berarti kami berhak menjadi pimpinan kalian yang akan membimbing kalian melakukan perjuangan dengan berhasil. Apakah ada yang tidak setuju dan ada yang masih hendak mengajukan jago baru?"
Semua orang menyatakan setuju. Kalau masih ada yang merasa penasaran, merekapun tidak berani bicara terus terang, karena mereka semum merasa segan dan takut kepada nenek Yelu Kim. Apalagi kini nenek itu mempunyai seorang jago yang sedemikian lihainya, sehingga melawanpun tidak akan menang. Akan tetapi, di antara para kepala suku, ada pula beberapa yang diam-diam merasa tidak setuju kalau perjuangan mereka itu dipimpin oleh seorang wanita, sudah nenek-nenek pula. Sejak dahulu, perjuangan bangsa mereka itu dipimpin oleh orang laki-laki yang gagah perkasa, bukan oleh seorang nenek tua renta. Hal ini sungguh menyinggung rasa harga diri dan kejantanan mereka. Akan tetapi, sedikit kepala suku itu, termasuk Lam-nong kepala suku Mancu Timur, tidak berani berterus terang, hanya mereka sudah kehilangan gairah untuk melanjutkan perjuangan menyerbu ke selatan kalau dipimpin oleh seorang nenek tua. Dan diam-diam kelompok-kelompok yang tidak setuju inipun meninggalkan tempat itu, tidak ingin menghadiri rapat yang dipimpin nenek itu. Juga Lam-nong mengajak rombongannya untuk kembali ke timur dan tidak mencampuri pemberontakan.
Sui Cin baru sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh penyesalan, nenek itu berbisik, "Engkau kenapakah, Sui Cin" Engkau telah menang, dan aku amat berterima kasih kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram" Apakah kemenanganmu itu tidak menggembirakan hatimu?"
Sui Cin menggeleng kepala. "Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku."
Mendengar ini, nenek Yelu Kim terkejut dan iapun menggandeng tangan muridnya dan diajaknya muridnya itu me-masuki tendanya yang sunyi menyendiri dan di sini ia bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.
"Nah, anak yang baik, sekarang ceri-takan mengapa engkau begini muram dan mengapa kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu."
"Subo, aku telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang..."
"Siangkoan Ci Kang" Siapakah itu?"
"Jagoan suku Khin tadi."
"Ah, jadi engkau sudah mengenalnya" Dia... sahabatmu?"
Sui Cin menggeleng kepala. "Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya..."
Nenek itu mengangguk-angguk dan matanya yang mencorong itu menatap wa-jah muridnya penuh selidik, dan tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu. "Sui Cin, apakah engkau... cinta padanya?"
Tiba-tiba saja wajah gadis itu berobah merah sekali dan ia memandang nenek i-tu dengan mata terbelalak. "Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga de-mikian?"
Nenek itu menarik napas panjang dan diapun menundukkan mukanya. "Karena orang hidup harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini..."
Sui Cin semakin heran dan kini ia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja menangis! Tangisnya sungguh -menyedihkan, kedua pundaknya tergun-cang-guncang, mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara ta-ngisnya sampai sesenggukan. Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Ne-nek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya demikian tabah dan tegas, kini menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan iapun memegang kedua lengan nenek itu.
"Subo, ada apakah" Kenapa subo menangis?"
Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak dan kadang-kadang mengusap air mata yang bercucuran. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai saputangan, lalu memandang wajah gadis itu dengan mata yang merah bekas tangis.
"Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku memperoleh kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walaupun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis daripada tidak."
"Akan tetapi, kenapa subo" Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, bahkan kini berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi kenapa subo berduka?"
"Karena aku takut!"
Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin. "Takut" Subo..." Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut" Takut apakah?"
"Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian..."
"Eh" Takut akan kematian?"
"Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati" Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena begaimana mungkin aku tidak hidup lagi" Lalu bagaimana dengan aku" Bagaimana dengan kedudukanku" Ah, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi setelah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil mem-peroleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut..."
Sui Cin duduk diam termenung, alis-nya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat inipun ia tidak pernah perduli akan hal itu. Akan tetapi ia tidak pernah me-rasa takut walaupun ia sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi ia tidak takut!
Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, ti-dak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya ke-dudukan. Bahkan rasa takut ini lebih ba-nyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja. Sesungguhnya, meng-apa timbul rasa takut akan kematian ini" Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hi-lang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati" Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti" Kita hanya takut akan sesuatu yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi. Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum ter-jadi, pikiran yang mengada-ada. Rasa ta-kut timbul karena kita tidak mau kehi-langan hal-hal yang menyenangkan kita, hal-hal yahg telah mengikat batin kita, seperti kcluarga, kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya. Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, ki-ta takut akan merasa kesepian karena ti-dak adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.
Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak akan pernah ada!
Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan" Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup"
Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan. Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan. Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka sebelum terjadi perpisahan jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.
Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat" Hanya sengsara yang akan dirasakan!
Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan berarti tidak mencinta. Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, den timbullah ikatan.
Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga berang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih.
Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan. Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.
Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi ag&k pucat dan wajah itu membayangkan kedukaan. "Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa takut" Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa."
Nenek itu kini dapat tersenyum dan mengangguk. "Akupun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kaulakukan sekarang?"
"Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal, aku telah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya..." Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat daripada nyawa, yaitu ketika ia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.
Nenek itu tersenyum. "Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya."
Giranglah hati Sui Cin dan ia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya! "Campur bubukan ini dengan secawan arak, minumkan padanya dan dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali."
Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?"
Yelu Kim tersenyum lebar. "Anak bo-doh, apa sukarnya itu" Ingat, aku ini menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin" Nah, kau-bawa ini dan perlihatkan kalau ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bah-wa aku yang mengutusmu untuk mengo-bati pemuda itu."
Sui Cin menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terhang dari ne-nek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah tahu bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Heriman Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Ia mengantongi obat-obat dan lam-bang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.
"Terima kasih atas bantuan subo se-hingga aku mendapatkan kesempatan un-tuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah malukainya."
"Berangkatlah sekarang. Perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat dan malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi. Engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan."
Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perke-mahan suku Khin, begitu ia dikenal seba-gai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, ia di diterima dengan gembira den penuh hormat. Apalagi ketika ia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk meng-obati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkan-nya ke dalam kamar Ci Kang.
Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu rebah terlentang di atas se-buah pembaringan, hanya memakai sepa-tu dan celananya saja. Tubuh atasnya te-lanjang, tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.
"Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?" tanya kepala suku itu dengan khawatir.
Sui Cin tersenyum. "Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya."
Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan ragu-ragu. "Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?"
Sui Cin mengangguk, hanya tersenyum dan mengangguk.
"Ahhh...!" Seru Moghu Khali dengan takjub. Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali ia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini. "Sungguh beruntung aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona," katanya sambil memberi hormat.
Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.
"Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya."
"Baiklah, silakan nona," Moghu Khali lalu memanggil seor

^