Asmara Berdarah 23

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


ah Naga?"
"Terima kasih, ayah baik-baik saja dan masih berada di Lembah Naga, akan tetapi ibu telah tewas terbunuh orang jahat." Cia Sun lalu menceritakan keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah pemberontakan itu sendiri.
"Aku telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!" Ketua Cin-ling-pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. "Tanpa penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga dan murid-murid Cin-ling-pai untuk membantu pasukan pemberontak, karena tadinya kukira bahwa pemberontak Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah lalim. Siapa kira, Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka dan ditawan, dan entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Ceng-tek."
Tiba-tiba terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas. "Ah, di atas terjadi pertempuran besar!" kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut mendengar kegaduhan itu.
"Kota ini telah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini telah terjadi pertempuran," kata Ci Kang.
"Bagus!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke atas lantai. "Inilah kesempatan baik begiku untuk menebus dosa. Aku harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat itu!"
"Akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar," Ci Kang membantah.
"Tentu saja kita harus melihat keadaan," kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit kembali semangatnya. "Mari kita keluar, kita melakukan pembakaran-pembakaran dan pengrusakan-pengrusakan untuk menimbulkan kekacauan dari dalam."
Cia Sun memandang kagum. Ketua Cin-ling-pai ini memang gagah perkasa dan penuh semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu. "Memang sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan daripada menduga-duga di tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."
"Harap kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!" kata Hui Cu. "Atau kalau kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"
"Hui Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal saja di sini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu sendiri," kata Ci Kang. Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat itu menjadi murung den gadis itu hampir menangis, kini memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata penuh permohonan.
Cia Sun merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu. "Hui Cu, kami terpaksa meninggalkanmu di sini. Tinggallah kau di sini. Kalau engkau ikut dan terlihat oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar dan kami sudah berjanji kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah di sini dan aku berjanji bahwa kalau pertempuran sudah selesai, aku pasti menjemputmu di sini."
Akhirnya Hui Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tidak lama setelah tiga orang itu keluar, Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja dan iapun segera menyelinap keluar.
Hati Sui Cin girang sekali bahwa ia telah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi dan para murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Ia berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek. Ia bergerak di antara para perajurit dan mencari gurunya. Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, telah menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Ceng-tek di mana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan.
Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi ia sudah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.
Tiba-tiba dari dalam gedung itu bermunculan serombongan orang yang langsung menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Beberapa orand perajurit pengawal Yelu Kim sudah roboh dalam segebrakan saja. Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang diperbantukan di Ceng-tek oleh Raja Iblis. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!
"Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang lihai!" katanya memperingatkan gurunya dan ia sendiri sudah menerjang maju dengan cepatnya. Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo sudah menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, sedangkan Hwa Hwa Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.
"Wuuuuttt...!" Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik dan mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka sambil tersenyum-senyum ia bertolak pinggang. Ia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu ia pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.
"Hi-hik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalupun kalian tidak menang melawanku, apalagi sekarang. Kalian sudah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"
Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi setelah gadis itu bicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka. "Kiranya engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!" Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin. Gadis ini sudah maklum bahwa nenek ini pandai menggunakan jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka ia sudah siap siaga dan sekali ia mengebutkan tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali dan jarum-jarum itu runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu! Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula oleh menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo. Dua orang tokoh muara Sungai Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin. Akan tetapi, gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tubuhnya sudah berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan dan semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknva iapun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu gentar dan terdesak mundur.
Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang menyeramkan itu, yang memiliki kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak manusia, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula. Adapun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, kini para datuk itu segera terdesak hebat.
Sui Cin tadinya ingin mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang meinang nakal. Akan tetapi iapun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan ia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka iapun mempercepat gerakannya.
"Singggg...!" Tiba-tiba Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena pada saat itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.
"Tingggg...!" Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku di ujung cambuk itu mencelat dan membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat. Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.
Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Ketika jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat ia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo. Paku di ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.
"Cappp...! Aiiiiiihhh...!" Nenek itu menjerit, paku menancap batok kepalanya dan melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo! Dasar orang sesat, karena paku di ujung cambuk temannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi lalu terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya. Sui Cin sudah tidak memperdulikan mereka lagi, langsung saja ia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal mengepung Tho-tee-kwi yang lihai. Majunya Sui Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih nampak gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walaupun ia dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, kini setelah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat! Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang. Kesempaten ini dipergunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa. Tho-tee-kwi sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannyapun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu amblas dan memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!
Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka itu telah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil dan dengan mudah merekapun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walaupun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal.
Setelah bertempur semalam suntuk, Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Akan tetapi, kini datanglah balabantuan dari San-hai-koan, yaitu pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, sedangkan pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.
Hebat bukan main pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih segar dan jumlah merekapun lebih banyak. Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan benteng Ceng-tek yang pintu-pintunya rusak telah diperbaiki. Kini benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu. Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak mengepung Ceng-tek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim. Bagaimanapun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali Ceng-tek yang telah mereka kuasai. Bagaimanapun juga, nenek itu mengambil keputusan untuk mempertahankan Ceng-tek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru di mana mereka akan dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.
Sui Cin masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini sudah bertekad membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan pasukan pemberontak dan iapun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang besar jumlahnya.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Sementara itu, pertempuran di San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan. Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat dan tokoh-tokoh dunia hitam, membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu. Akan tetapi, pasukan pemerintah jauh lebih kuat dan pasukan inipun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak, maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itupun bobol dan pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.
Cia Sun dan Ci Kang kini mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengemuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah. Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!
Setelah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang. Juga dalam penyerbuan itu, walaupun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya dapat tertawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka dan panglima pemberontak inipun tidak dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu. Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Kiranya tokoh-tokoh terpenting mereka depat melarikan diri.
Setelah San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang telah diperhitungkannya, pasukan-pasukan pemberontak sedang mengepung Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobolkan benteng Ceng-tek yang sudah diduduki puukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.
Tentu saja pasukan pemberontak yang sedang mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apalagi setelah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara dan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah. Pasukan pemberontak mencoba untuk melakuken perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang dan dalam waktu sehari saja merekapun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.
Dan terjadilah perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu dan kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.
Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki bentmg Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Dia tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan. Oleh karena itu, Yang-ciangkun lalu menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras untuk menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang memiliki suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.
"Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat yang telah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap agar suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami agar persahabatan di antara kita tidak terganggu!"
Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar sehingga terdengar oleh mereka yang berjaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.
Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat di mana ia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini merasa bimbang sekali dan ia duduk berdua saja dengan Sui Cin. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.
"Keparat! Dengan susah payah kita merebut kota ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja" Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"
Sui Cin sejak tadi memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek. Akan tetapi iapun tahu bahwa kini, setelah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, ia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.
"Subo..." katanya lirih dan hati-hati.
"Hemm...?" Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.
"Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"
"Percaya apa?"
"Percaya bahwa aku selalu beriktikad baik terhadap subo dan pasukan yang subo pimpin."
Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam. "Tentu saja. Sudah banyak yang kaulakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali. Kalau aku tidak percaya padamu, tentu engkau tidak kuberi tugas yang panting-penting sclama ini."
"Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, melainkan karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka saya itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak akan merasa tersinggung dan menjadi marah."
Nenek itu tersenyum dan memandang lembut. "Muridku, apa kaukira aku belum mengenalmu dan tidak tahu akan isi hatimu" Engkau membantuku karena melihat aku menentang para pemberontak. Engkau seorang gadis pendekar dan tentu engkau menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Kalau kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami walaupun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"
Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana. Pantaslah kalau menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.
"Sungguh tepat sekali wawasan subo."
"Nah, sekarang katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."
"Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya. Tanpa diserang sekalipun, baru dikepung saja sampai sebulan lebih, kita akan kehabisan ransum dan akan celaka. Andaikata kita melawanpun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tidak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, jauh lebih menguntungkan untuk menerima usul Yang-ciangkun, menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat daripada mempertahankannya dengan kekerasan untuk akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."
"Pendapatmu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Akan tetapi, pantaskah kalau aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"
"Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai minta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Kalau subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"
"Aih, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ" Engkau benar sekali. Aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan dan wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami itu kepada Yang-ciangkun!"
Sui Cin gembira sekali. "Aku bersedia, subo!"
Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah dan keadaan menjadi sunyi. Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, sedangkan yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga nampak tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer. Akan tetapi gadis itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku bangsa yang tidak setuju dan hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah dipersiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.
Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.
Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apalagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!
Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada huburgannya dengan surat yang dibawanya. "Kalian mau apa?" bentaknya marah.
"Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.
"Huh, kalian kira aku takut" Sampai mati aku tidak sudi menyerah!" Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya. Akan tetapi ia tidak mudah lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang amat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan gin-kangnya yang tinggi, ia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.
Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat munculnya dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat lari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat ia berdiri.
"Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.
Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya, cepat gulungan kertas itu ia lemparkan ke arah nenek yang cepat menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan ia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.
Akan ketapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dilakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim. Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda di punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil. Nenek ini terkejut dan membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah ia bahwa ia terkena senjata beracun yang amat ampuh. Akan tetapi ia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung kota Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Ia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.
Para perejurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat menerima gulungan kertas dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang pantas ini..." dan nenek yang gagah perkasa inipun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun. Berita tentang kegagahan nenek Yelu Kim ini tersiar luas dan sampai puluhan tahun mendatangkan namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur dan dikagumi pula para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.
Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walaupun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah. "Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya dan iapun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang ampuh sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini itu.
Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika ia mengelak dari cengkeraman kedua tangan Raja Iblis, tiba-tiba ia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin ia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat. Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh ke tangan pemerintah. Melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih mempunyai harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah. Akan tetapi ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai. Oleh karena itu, dia lalu keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, terayata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat, dan mengorbankan nyawa sendiri dan kini tinggal gadis itu yang juga tidak mudah ditangkap!
Melihat betapa gadis itu malah menyerangnya dengan dahsyat, kakek seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dari dalam mulutnya dan diapun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.
"Plakk!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Semakin kagumlah dia, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa telapak kedua tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat. Dan pada saat itu, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan iapun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.
Pada saat itu, serombongan perajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis membentak mereka, "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"
Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang dan terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.
Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan ikut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek. Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.
"Apa yang terjadi" Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.
"Mereka menawan nona Sui Cin, kami tidak berani turun tangan."
"Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Ke mana mereka lari?"
"Ke sana...!" Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, mempergunakan ilmu berlari cepat.
Ketika keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak. Barulah setelah perang berakhir, Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah menyerang ke Ceng-tek, sehingga mereka merasa gembira sekali dan merekapun mengejar ke Ceng-tek.
Biarpun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi malihat Cia Sun dia segera bertanya, "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek" Apakah engkau bertemu dengan ayah?"
Cia Sun mengangguk. "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau kini berada di antara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."
"Apa...?" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Ke mana ia dibawa lari?"
"Ke bukit itu, dan kita akan mencarinya!" kata Cia Sun dan diapun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.
"Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar Ceng-tek!" Dan diapun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.
Bukit itu memang gundul dan kering. Setelah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikitpun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang menegangkan hati dari jauh sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedeng berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.
"Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.
"Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.
"Song-ko! Jangan mendekat...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.
Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter. Tempat di mana Sui Cin diikat itu tidak dapat dijangkau dengan tangan dan untuk meghampiri atau menolongnya, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya. Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apalagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya apabila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.
"Jangan mendekat dari depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas karena hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang dapat membunuh, menyedot oirang yang menginjaknya. Ah, mengeriken sekali...! Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya sampai dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat. "Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."
Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin. Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tak disangkanya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak merolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati kepadanya! Dan melihat mereka bertiga itu berdiri barjajar di depannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apapun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan ia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan citarasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah. Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Kini, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.
"Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskanmu, tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.
"Jangan...! Berhati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung alat-alat rahasia yang mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini, dan aku yakin bahwa sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, akan terjadi hal-hal yang mengerikan."
"Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"
"Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?" kata Cia Sun dan Hui Song berubah agak pucat wajahnya karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!
"Begini saja!" tiba-tiba Ci Kang berkata. "Aku yang mencoba menghampiri nona Ceng dengan jalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan kalau terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."
"Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."
"Jangan...!" Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian mau mempermainkan keselamatan Cin-moi" Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dulu keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"
"Lalu apa yang akan kaulakukan, paman Hui Song?"
"Kita selidiki dulu tanah di sekelilingnya pat-kwa ini." Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa di depan Sui Cin dan benar saja, tiba-tiba begitu tersentuh batu, pasir di depan batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itupun disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.
Kini Cia Sun dan Ci Kang tanpa diminta membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu pat-kwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa"apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka menjadi girang.
"Bagian ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.
"Biar aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah maju.
"Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!" Hui Song yang masih membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.
"Hemm, mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.
"Karena ia... ia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di depan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.
"Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.
"Paman Hui Song, siapapun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi dan hanya ialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi untuk menolongya kukira tidak ada perbedaan, semuapun berhak."
"Tidak! Biar aku yang mencobanya lebih dulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun." Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song melangkah ke atas tanah yang tadi sudah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran di antara mereka, memandang dengan hati khawatir.
Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Kiranya tanah yang tadi sudah dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya lalu melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!
"Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui Song. Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!
"Ah, aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi. Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu kalau disentuh mengeluarkan paku-paku beracun! "Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang sudah bergeser ke kanan, jatuh di bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia di bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"
Dua orang pemuda yang lain mencoba-coba dan memang benar. Kini bagian yang terkena bayangan yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.
"Aku anak naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan. Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena kedahuluan Ci Kang terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia.
Ci Kang sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu pat-kwa itu, akan tetapi lebih dahulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia lalu naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia memukul lagi bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa. Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dia memukulkan tongkatnya dengan hati-hati ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka dan nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin!
Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tidak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu, Hui Song melemparkan sebuah batu besar menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.
"Takkk...!" Anak panah itu terpukul batu dan mencelat jauh keluar batu pat-kwa. Wajah Sui Cin menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itupun diliputi ketegangan.
"Sungguh berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah aku yang sekarang mencobanya, harap kalian suka menjaga baik-baik." Tanpa menanti jawaban, diapun menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang. Seperti juga Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan di sini, dengan hati-hati dia menggunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak yang terbagi dua itu dan ternyata di sini aman, tidak seperti di bagian kiri yang tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.
Di depan kotak ketiga yang terbagi dua itupun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang dan di bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi dua. Di sini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya. Dia sudah dekat dengan Sui Cin, akan tetapi belum dapat menjangkau ke depan untuk melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan hati-hati dan secara untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua itu.
"Blarrr...!" Bagian itu terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah Cia Sun dan Sui Cin. Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu, tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri, dia melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi. Akan tetapi, Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan besar itu.
Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat. "Berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan lain."
"Aku tahu," kata Hui Song "Aku akan meloncat ke atas tiang itu. Dengan demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."
"Jangan, Song-ko, terlalu berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran. Bukan main gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melibat kekhawatiran gadis itu. Mungkinkah Sui Cin begitu mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena mencintanya"
"Ah, apa artinya malapetaka bagiku, Cin-moi" Yang penting asal engkau selamat dan bebas dari tempat ini!"
Setelah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song sudah meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu. Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itupun berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat. Karena Sui Cin tidak dapat bergerak, kedua pergelangan tangannya diikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tak dapat dihindarkannya lagi. Tubuh Hui Song yang berdiri di atas tiang dengan sebelah kaki, berpusing dengan amat cepatnya pula. Pemuda inipun bingung sekali karena dia tidak mungkin dapat menghentikan geraken tiang yang berputar dengan amat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran. Betapapun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang. Yang membingungkan hatinya adalah karena dia memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang juga berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin. Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Kalau tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, akan berbahayalah keadaan mereka. Orang akan dapat tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.
"Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba"tiba Ci Kang membentak dan nyaring. Dia tidak ingat lagi akan segala ketidaksenangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song berpusing seperti itu.
Barulah Cia Sun teringat dan iapun cepat meneriaki Hui Song agar segera meloncat turun. Tadinya, Hui Song sendiri tidak sadar dan mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak. Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapapun juga, teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tidak memperdulikan lagi bahaya apapun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang. Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itupun sudah tidak nampak olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.
Begitu tubuhnya meloncat terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu dan loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu dilemparkan dengan tenaga raksasa. Kalau bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu. Akan tetapi Hui Song tidak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia dapat mengambil tindakan tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya dan dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadipun dapat dihindarkan. Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, walaupun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh. Ketika memandang, kepalanya pening dan dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia dapat menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya! Dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gads itu telah jatuh pingsan!
"Cin-moi...!" Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan dan dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.
"Ia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.
"Untung ia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.
Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinyapun lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berbenti sama sekali seperti tadi. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!
"Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.
"Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.
"Atau dia sengaja memancing para pendekar agar berkumpul di sini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasis batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.
"Aku tidak perduli Iblis itu menggunakan siasat apapun, aku tidak perduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.
Cia Sun mengerutkan alisnya. "Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orug lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri. Ci Kang diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.
"Maksudku, aku tidak perduli aku celaka atau mati sekalipun asalkan ia dapat diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.
Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya dan segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, ia merasa betapa sekelilingnya masih berpusing.
"Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.
Mendengar suara Hui Song, legalah hati Sut Cin. Tadi ia sudah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja, merasa berpusing sedemikian cepatnya dan ia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya ia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.
"Kalian berhati-hatilah, jangan gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ah, siapa yang datang itu...?"
Tiga orang muda itu memandang dan mereka mangerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.
"Hemm, kalau itu Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.
"Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.
"Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.
"Heiii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.
"Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang ketika mengenal kakek gendut botak itu.
Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba di situ, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh dan menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.
"Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa di situ?"
"Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat di sini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"
Mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"
"Locianpwe, kami bertiga tadi sudah mencoba-coba, akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."
Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya barkata, "Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu dapat membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"
Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.
"Ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlalu banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini" Aku berani bert&ruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.
Kerut di antara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal. "Aahhh, apa sih sukarnya" Biar batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"
"Jangan, suhu!" kata Hui Song. "Baru diinjak saja sudah mengeluarken senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apalagi digempur!"
"Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur dan alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti kau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelatak dan mulut cemberut. Dia marah sungguh-sungguh akan tetapi tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.
"Huh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir di sini" Aku menggempur batu pat-kwa dan engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya" Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna di sini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"
"Wah, wah! Kau menghina, ya" Aku ini memuakkan" Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang macam engkau ini yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kauhabiskan sendiri!"
"Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tidak tahu terima kasih kepada alam, biar alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."
"Subur apanya" Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"
Dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin berseru, "Suhu, aku tak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"
Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang. "Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"
Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak melayani dan dia bertanya kepada Hui Song "Kalian tadi sudah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini" Coba ceritakan, apa rahasianya!"
"Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa inipun mengandung jebakan yang amat berbahaya sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dah tidak berdaya lagi alat rahasianya. Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu dan hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itupun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi." Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon, "Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"
Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin mengejek, "Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"
Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri, "Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"
Hui Song memandang girang. "Bagaimana, locianpwe?"
"Membebaskannya melalui batu patkwa tidak mungkin, meloncat ke tiang itupun tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"
Tiba-tiba kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah. "Ndut, kenapa kau tertawa" Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"
"Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya dapat dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulur lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"
Biarpun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu biarpun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.
Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang dan memandang kakek gendut dengan mata melotot. "Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."
"Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.
"Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu di sini, tentu engkau akan selamat." Dan dia lalu menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkaup San-sian (Dewa Kipas), karena engkau paling gendut dan paling berat, juga untuk hukumanmu telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga paling bawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini," ditunjuknya Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"
Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya memang orang yang bertubuh kecil biasanya lebih gesit dan cerdik daripada orang yang bertubuh besar. Dia menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti..."
"Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat kali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.
Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini. Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar, "Kalau tidak mengerti, turut saja perintahku! Tak perlu membuang waktu banyak lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa di bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"
Biarpun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas. "Jangankan hanya empat orang, biar sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.
"Bagus, kalau begitu cepat kaurebahken dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"
Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, di bagian segi yang tertutup bayangan tiang. "Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."
Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, di antara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu. Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lalu meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang. Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung. Setelah itu, Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, seperti seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, kedua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.
"Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"
Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang dan gadis ini menoleh ke belakang karena pada saat itu, matahari berada di depannya dan bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.
"Ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenagapun aku masih sanggup menahanmu!" Siang-kiang Lo-jin yang menahan tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan bicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biarpun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!
"Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin. Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar di kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya, tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin! Mereka akhirnya dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa maupun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil namun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.
"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar batu pat-kwa!"
Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang tiang dan gurunya memegang kedua pundaknya, lalu dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melemparkan tubuh muridnya itu ke arah samping. Tubuh gadis itu melayang jauh dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya dan akhirnya dengan lunak dara itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!
Tiang manusia itupun terbongkar setelah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.
"Suhu...!" Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.
"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"
Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan luar biasa kini lari menghampiri Hui Song yang sudah melompat turun. Mereka itu saling menghampiri dan kini berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa ia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.
"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.
"Benar katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.
Mendengar ucapan dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan dua ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lalu menghampiri Cia Sun.
"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.
"Berterima kasihlah kepada suhumu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.
Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali, di dalam hatinya dia tidak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"
Ci Kang mengankat muka memandang dan melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya. "Aku... aku tidak ada artinya, nona..."
Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan main melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Kalau menurutkan perasaan hatinya, dia ingin meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimanapun juga Ci Kang membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia menahan kepanasan hatinya.
"Di mana adanya datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"
Berkata demikian, dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda inipun putera seorang datuk sesat.
"Mereka setelah mengikatku di sini lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.
"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua orang iblis itu dihancurkan, tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi." kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju. Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itupun tidak mereka temukan. Agaknya dua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit memang dapat terlihat batu pat-kwa itu dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya suami isteri iblis itu ketika melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai, mereka menjadi gentar dan meninggalkan tempat itu.
"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.
"Hemm, ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.
"Aku tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata dan semua mata memandang kepadanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka." Akan tetapi pada saat itu terdengar Cia Sun berkata,
"Benar, Ci Kang dan aku tahu di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"
Ci Kang dan Cia Sun sebagai penunjuk jalan lalu lari cepat diikuti oleh yang lain. Ketika melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,
"Eh, kenapa ke San-hai-koan?"
"Memang, di sanalah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapapun sehingga di sana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Perang sudah selesai setelah San-hai-koan dan Ceng-tek direbut kembali oleh balatentara pemerintah. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun dan para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.
Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan cepat menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.
Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walaupun mereka merasa jerih juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang perajurit pengawal pilihan.
Tempat rahasia itu dikepung oleh pasukan dan enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.
"Kami akan bersembunyi dulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia mempergunakan tongkat sakti itu, bagaimanapun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."
"Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja kalau kami sudah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe keluar membantu sehingga dia tidak sempat mengeluarkan tongkatnya itu."
Setelah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang berada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lalu menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya. "Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"
Tidak ada jawaban dari bawah, juga tidak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.
Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tidak sabar lagi. "Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!" Perwira ini hendak menggunaken siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap agar mereka yang berada di sebelah da-lam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.
Melihat kesibukan para perajurit pengawal mempersiapkan perintah sang per-wira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang perajurit yang berada paling dekat de-ngan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika ka-rena jarum-jarum beracun telah menyam-bar tenggorokan mereka. Dan dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua so-sok tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek. Tentu saja para perajurit pengawal men-jadi kaget dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi, dua orang muda itu amat lihai dan begi-tu mereka berdua menggerakkan pedang kembali robohlah empat orang perajurit yang mengeroyok mereka.
Sementara itu, ketika mengenal bah-wa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang sudah marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sutenya walaupun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.
"Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menye-rah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!" Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merobah sifat pemuda ini. Biarpun dia marah sekali dan tahu bah-wa bekas sutenya ini adalah seorang ja-hat yang sepatutnya dibasmi, namun dia ingin memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merobah sifatnya yang jahat.
Akan tetapi, Sim Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bah-wa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta" Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar" Ha-ha-ha, alangkah lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah mengge-rakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang. Namun, dengan mudah saja, Ci Kang mengelak dan menendang ke arah perge-langan lengan lawan yang juga dapat di-elakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru walaupun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.
Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu sudah menyerang tanpa banyak cakap lagi. Iapun menggunakan tangan kosong saja, menubruk dan mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak, "Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"
Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa ia telah terkepung banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap iapun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat ko-song, bahkan ia terkejut bukan main melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu telah menyerang dengan tamparan ke arah kepalanya dari sam-ping! Tahulah ia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli gin-kang yang tangguh, maka iapun cepat meloncat ke belakang sambil me-mutar pedangnya melindungi tubuh. Terjadi perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.
Cia Sun dan Hui Song hanya menon-ton dan siap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena mak-lum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan dua orang musuh i-tu. Membantu teman yang lebih kuat da-ripada lawan merupakan pantangan bagi mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan ke-ras dan tanah dengan batu muncrat dari tempat tidak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlu-bang besar dan dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian perajurit melainkan pakaian jago silat dan di atas joli terbuka itu duduk dua o-rang yang membuat semua orang terke-jut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!
Tentu saja para perajurit segera me-ngepungnya dan belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi, segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya. Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka dan hawa pukulan menyambar dahsyat, membuat belasan o-rang perajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para perajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar.
Melihat betapa Raja dan Ratu Iblis sudah keluar, Hui Song mengeluarkan bentakan dan diapun sudah berloncatan diantara para perajurit untuk membantu mereka mengepung dan mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Cia Sun mengenal empat orang penggotong tandu atau joli tanpa atap itu. Mereka berempat itu bukan lain adalah Hui-thian Su-kwi, empat orang Cap-sha-kui yang memang memiliki gin-kang yang luar biasa sekali. Maka diapun cepat lari menghampiri dan ikut pula mengepung. Juga para pendekar ikut membantu sehingga kini empat orang pemikul tandu itu dikepung dari empat jurusan!
Akan tetapi, gerakan Hui-thian Su-kwi sungguh luar biasa cepatnya. Sebentar mereka berloncatan ke atas kepala para perajurit dan dua orang kakek dan nenek di atas tandu itu menyebar maut dengan pu-kulan-pukulan jarak jauh mereka. Hanya para pendekar yang dapat menghindarkan diri atau menangkis sambaran angin dah-syat itu, akan tetapi para perajurit pengawal banyak yang roboh dan tewas.
Agaknya Raja Iblis yang lebih banyak menyebar maut sedangkan Ratu Iblis "mengemudi" empat orang pemanggul tandu itu dengan teriakan-teriakannya, "Kanan...! Maju...! Mundur... ke kiri!" Dan Hui-thian Su-kwi mempergunakan kecepatan gerak kaki mereka untuk berloncatan sesuai dengan petunjuk Ratu Iblis. Sambil berloncatan, kaki merekapun tidak pernah bergerak dengan sia-sia, karena tendangan-tendangan mereka lakukan yang merobohkan pula banyak perajurit pengawal yang mengepung.
"Kejar! Kepung, robohkan para pemi-kul tandu!" Perwira pasukan memberi aba-aba dan kini empat orang pemikul tandu itu berloncatan tinggi sampai di tenda besar yang didirikan oleh para perajurit setiba mereka di situ. Tenda itu diterjang dan tiang-tiangnya roboh oleh tendangan empat orang pemikul tandu yang berloncatan ke atas. Dan hantaman-han-taman yang dilakukan oleh telapak to-ngan Raja Iblis sedemikian hebatnya se-hingga mayat-mayat para pengeroyok ro-boh berserakan.
"Kepung rapat!" teriak perwira pasu-kan ketika melihat empat orang pemikul tandu itu meloncat tinggi dan hinggap di atas tiang-tiang kayu bekas tenda besar. Para perajurit mengepung dan menyerang dengan tombak.
"Loncat turun ke depan!" terdengar Ratu Iblis mengomando dan Raja Iblis me-lancarkan pukulan ke arah tiang melin-tang di depannya.
"Krakkkk...!" Tiang yang besar itu patah tengahnya dan tiang-tiang itupun roboh menimpa para perajurit sedangkan empat orang pemikul tandu meloncat jauh ke depan.
Melihat betapa Raja Iblis menyebar maut, Hui Song dan Cia Sun menjadi marah sekali. Mereka tidak dapat leluasa bergerak karena kesimpang-siuran para perajurit yang mengeroyok.
"Kita serang berbareng dengan loncatan ke atas!" tiba-tiba Cia Sun berbisik dan Hui Song mengangguk.
Tiba-tiba dua orang pemuda perkasa ini meloncat jauh ke atas, melampaui kepala beberapa orang perajurit dan mereka itu langsung menerjang Raja Iblis dari kanan dan belakang! Memang mereka sudah memperhitungkan agar loncatan mereka tiba di sebelah kanan dan belakang Raja Iblis dan mereka menyerang dengan berbareng. Sambil meloncat itu, dari sebelah kanan Cia Sun sudah mengirimkan pukulan dengan sejurus Hok-mo Cap-sha-ciang, sebuah ilmu pukulan tangan kosong yang mujijat dan luar biasa ampuhnya. Pukulan itu mendatangkan angin kuat dan nampak seperti ada sinar ke-merahan menyambar dahsyat ke arah leher Raja Iblis. Pada saat yang sama pula, Hui Song sudah menyerang dengan pukulan Thian-te Sin-ciang yang juga merupakan pukulan amat ampuh, ditujukan ke arah punggung Raja Iblis.
Menghadapi penyerangan dua orang pemuda yang amat lihai ini, Raja Iblis mengeluarkan suara mendengus marah dan juga kaget. Cepat dia memutar tubuhnya ke kanan, tangan kirinya diputar menahan pukulan Cia Sun sedangkan tangan kanannya menangkis pukulan Hui Song. Sementara itu, Ratu Iblis tidak tinggal diam melihat suaminya menghadapi penyerangan dahsyat itu dan iapun mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mendorong ke arah Cia Sun dan Hui Song dari sebelah kanan suaminya.
"Plakkk! Desss...!" Tubuh Hui Song dan Cia Sun yang menyerang sambil melompat itu, karena tidak mempunyai tempat berpijak dan saking kuatnya tenaga Raja dan Ratu Iblis, terpental ke belakang dan terpaksa berjungkir balik menghindarkan diri dari berbanting, akan tetapi tenaga mereka juga demikian kuatnya sehingga Raja dan Ratu Iblis yang tadi mengerahkan tenaga, membuat empat orang Hui-thian Su-kwi terhuyung karena tiba-tiba saja panggulan mereka menjadi berat luar biasa.
Sementara itu, perkelahian antara Sui Cin dan Gui Siang Hwa terjadi amat serunya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Siang Hwa harus mengakui keunggulan Sui Cin. Sebelum gadis ini digembleng oleh Wu-yi Lo-jin, belum tentu Sui Cin akan dapat mengalahkan Siang Hwa dengan mudah. Akan tetapi, selama tiga tahun ini Sui Cin mengalami gemblengan yang amat mendalam sehingga ilmu-ilmunya yang banyak macamnya, yang diwarisinya dari ayah ibunya itu, kini menjadi matang. Oleh karena itu, biarpun Siang Hwa mempergunakan pedang, bahkan telah mempergunakan pula saputangan suteranya yang mengandung racun, ia sama sekali tidak berdaya dan semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh Sui Cin, sebaliknya desakan gadis Pulau Teratai Merah ini membuat ia repot dan terhuyung-huyung. Beberapa kali ia sudah menerima tamparan Sui Cin dan hanya kekebalan dirinya saja yang membuat Siang Hwa masih dapat bertahan sampai puluhan jurus. Akan tetapi, ketika jari tangan Sui Cin yang kecil mungil dan meruncing itu menyambar pundaknya dengan totokan yang amat cepat, Siang Hwa terpelanting dan pedangnya terlepas ketika tangan kanannya ditendang oleh Sui Cin. Pada saat itulah para perajurit menubruk dengan tombak dan golok mereka sehing-ga wanita cabul itu tewas dalam keadaan mengerikan, tubuhnya hancur oleh belas-an batang golok dan tombak.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ci Kang juga sudah merobohkan sutenya, yaitu, Sim Thian Bu. Memang sejak semula Sim Thian Bu sendiri sudah gentar menghadapi putera mendiang gurunya ini. Sejak dahulu dia tidak pernah dapat menang terhadap Ci Kang. Apalagi setelah Ci Kang digembleng dengan hebatnya oleh Ciu-sian Lo-kai, tentu saja gerakan-gerakannya menjadi semakin matang dan kuat. Namun, karena perasaan Ci Kang menjadi halus dan lembut, dia merasa tidak tega untuk membunuh bekas sutenya. Beberapa kali dia membujuk agar Thian Bu menyerah saja dan kalau mau bertobat, dia yang akan mintakan ampun kepada Yang Tai-ciangkun. Akan tetapi semua bujukannya disambut dengan ucapan-ucapan menghina oleh Thian Bu sehingga perkelahian itu menjadi lama. Akhirnya, sebuah tendangan yang dilakukan dengan posisi miring dari Ci Kang amat tidak terduga oleh Thian Bu. Tendangan itu mengenai lambung Sim Thian Bu, mam-buatnya tersungkur roboh. Pada saat itu, para perajurit juga menubruk dan menghunjamkan senjata mereka. Namun, sebelum tewas, Thian Bu masih sempat me-lontarkan pedangnya membunuh seorang di antara mereka. Dia sendiri, seperti juga Siang Hwa, tewas di ujung belasan batang tombak dan golok.
Pada saat Hui-thian Su-kwi terhuyung karena pertemuan tenaga antara Raja den Ratu Iblis melawan Hui Song dan Cia Sun, tiba-tiba muncullah Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin! Dua orang kakek ini melihat kesempatan baik se-kali. Pada saat itu, Raja Iblis tidak memegang tongkat yang mereka takuti. Mereka melayang seperti yang dilakukan Hui Song dan Cia Sun tadi, dan mereka sudah menerjang ke arah Raja dan Ratu Iblis yang berdiri di atas joli terbuka. Empat orang pemikul sedang terhuyung maka tidak sempat membawa pemimpin mereka meloncat dan terpaksa Raja den Ratu Iblis yang kaget melihat munculnya dua orang kakek ini, menyambut serangan mereka dengan dorongan tangan. Raja Iblis menyambut hantaman tangan Siang-kiang Lo-jin sedangkan Ratu Iblis juga menyambut pukulan Wu-yi Lo-jin dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Wuuuuttt... desss...!" Pertemuan tenaga sin-kang sekali ini lebih hebat lagi. Akibatnya, tubuh Raja dan Ratu Iblis terdorong dan condong ke belakang sedangkan tubuh dua orang kakek penyerang yang tadi meloncat terdorong ke belakang dan hampir mereka terjengkang, akan tetapi empat orang Hui-thian Su-kwi sampai jatuh berjongkok karena kaki mereka tiba-tiba tidak kuat lagi menahan tenaga yang menekan dari atas!
Pada saat itu Sui Cin, Ci Kang, Hui Song dan Cia Sun sudah menerjang maju, masing-masing menyerang seorang dari Hui-thian Su-kwi. Empat orang tokoh Cap-sha-kui ini terkejut sekali. Mereka baru saja jatuh berjongkok dan serangan em-pat orang muda itu sedemikian dahsyat-nya sehingga mereka terpaksa melepas-kan pikulan joli dan bangkit untuk meloncat mengelak atau menangkis. Segera terjadi perkelahian antara mereka dan empat orang muda itu dan joli itupun terlempar ke samping! Akan tetapi, Raja dan Ratu Iblis sudah berloncatan turun dan ketika Wu-yi Lo-jin dan Siang-kang Lo-jin hendak menyerang, tiba-tiba me-reka berdua terbelalak dan mundur kare-na Raja Iblis sudah mengangkat tinggi-tinggi tongkat saktinya!
Para pendekar yang hadir cepat maju menyerang, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja mereka terpental roboh dan kini para perajurit pengawal menge-pung lagi, mengeroyok kakek dan nenek itu. Akan tetapi, para perajurit ini se-perti sekelompok nyamuk menyerang api lilin saja, setiap kali kakek den nenek i-tu menggerakkan tangan, tentu banyak orang yang roboh terpelanting. Karena i-tu, para perajurit menjadi gentar dan Raja Iblis bersama isterinya dengan mudah berloncatan lalu melarikan diri dengan cepat sekali, tak pernah dapat disusul oleh para pengejarnya. Apalagi karena para pengejarnya itu sudah gentar, bahkan dua orang kakek yang paling lihai di antara mereka, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, juga mengejar dari jauh saja karena mereka itu juga gentar, bukan gentar terhadap Raja dan Ratu Iblis, melainkan terhadap tongkat sakti itu! Mereka takut kepada sumpah mereka sendiri, takut melanggar sumpah. Hal ini membuat kakek dan nenek iblis itu dengan mudah keluar dari San-hai-koan dan melarikan diri menuju ke padang pasir di sebelah selatan, kemudian membelok ke barat.
Sementara itu, dalam keadaan panik dan juga karena memang jauh kalah tinggi tingkat kepandaiannya, keempat orang Hui-thian Su-kwi yang menghadapi empat orang pendekar muda sudah roboh semua. Su Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun juga melihat betapa Raja dan Rat

^