Asmara Berdarah 4
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
a sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.
"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan o-rang-orang gagah ini," kata seorang di antara mereka.
Kaisar Ceng Tek merasa jengkel me-lihat penyamarannya dikenal orang. Ra-hasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun me-ngerutkan alisnya bertanya, "Kalian siapa?"
"Hamba berdua adalah perwira peng-awal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."
"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.
"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh--tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."
Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja. "Siapakah kalian?" tanyanya singkat.
Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gen-tar. Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi ne-nek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawab-annya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.
"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi pa-duka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami bas-mi sampai habis semua anggautanya!"
Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan ta-dipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculik-nya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tam-pan yang pakaiannya nyentrik itu.
"Dan engkau siapa?"
Pemuda itu menjura dengan sikap hormat. "Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, ter-ancam bahaya, hamba merasa berkewa-jiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."
Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaiing kepada dua orang perwira pengawal, "Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!" Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada ka-kek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang peng-awalnya.
Setelah kaisar pergi, nenek itu terke-keh. "Huh-huh, begitu sajakah kaisar" Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"
"Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari pergu-ruan mana" Aku suka sekali bersahabat denganmu!"
"Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman ti-durnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.
"Wah, masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.
Pemuda itu tersenyum. "Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku ti-dak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"
"Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.
"Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kauminta tentu terlaksana."
"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja" Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku" Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.
"Bagus!" Hwa-hwa Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang mengairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi di situ, telah pergi dengan diam-diam tanpa me-reka ketahui karena mereka hanya men-curahkan perhatian untuk mencari keme-nangan!
"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.
"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"
"Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di an-tara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!"
"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.
"Akupun belum!"
"Mari kita lanjutkan!"
"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"
"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga. Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.
Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sa-rang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah per-kumpulan persilatan, tempat itu dikeli-lingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh bebeapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang. Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba di situ, mereka tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu di-pimpin oleh Song Pak Lun yang lihai se-kali, terutama sekali kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna i-tu. Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka kare-na bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang meng-hadapi pemberontak, jadi tentu saja me-reka berdua merasa mendapat angin.
Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan ang-ker. Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang! Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara me-ngerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.
Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memper-lihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.
"Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.
Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-mu-rid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kangjiu-pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.
Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata, "Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"
"Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.
"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.
Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, se-pasang matanya lebar terbelalak dan se-perti mengeluarkan api. Tadi dia terke-jut mendengar disebutnya narna Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia" Dan dia marah mende-ngar kesombongan nenek itu.
"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagah-an. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan me-rasa malu walaupun memperoleh kerne-nangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah ha-dapi aku satu lawan satu, kalau aku ka-lah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk me-nyembahyangi arwah delapan orang murid kami."
Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru, "Kami da-tang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"
Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Mela-wan ketua itulah yang berat. Kalau me-reka berdua maju bersama, tentu terpak-sa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka ber-dua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan me-ngeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!
Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bu-kan tidak masuk akal ini. Seorang di an-tara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata, "Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."
Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang di antara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja. Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.
"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.
"Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!" Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan!
Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri di situ sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.
"Kau... ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"
Pemuda itu tertawa. "Sayang seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."
Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanasken hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.
"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.
Sementara itu, Song Pak Lun meman-dang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa perwida ini-lah yang pernah membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan ke-marahan. Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu Kang-jiu-pang mengha-dapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.
"Kang-jiu-pang tidak pernah mengha-rapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentak-nya.
Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura. "Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuse-lidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru kuketahui bah-wa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."
"Hemm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur ta-nganmu, tentu usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima ban-tuan orang yang telah mencelakakan kami!"
Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara ti-dak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, -akan tetapi juga berwatak baja yang ke-ras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserah, kalau tidak boleh memban-tu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempu-nyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"
Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget daripada marah. Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina. Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik. Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.
"Eh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.
"Wuuuuttt... singgg...!" Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.
"Tar-tar-tar-tarrr...!" Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.
"Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.
Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang. Akan tetapi tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.
"Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju dengan tamparan tangannya. Kedua tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo. Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, maka iapun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.
"Tranggg...!"
Nenek berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat! Barulah ia tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka, ditonton oleh para anggauta Kang-jiu-pang dengan hati tegang.
Akan tetapi, ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan per-kelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta Kang-jiu-pang kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping me-reka menjadi terheran-heran, bahkan de-mikian kagum sampai bengong.
Pemuda itu benar-benar memiliki ge-rakan yang amat lincah. Dia tidak meng-andalkan kecepatan ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandal-kan gerak kaki yang demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia menterta-wakan lawannya.
"Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."
"Sing...! Wirrr... singgg...!"
"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan" Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"
"Wuuuuttt... sing...!"
"Apa kubilang, luput lagi...!"
"Keparat!" Kakek itu memaki dan me-mutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.
"Perlahan dulu!"
Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipa-sangi paku itu telah tertahan dan terje-pit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya! Semua o-rang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak bo-leh dipandang ringan! Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini "berisi". Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba "Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.
"Uhhh...!" Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.
"Nah, apa kubilang" Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak.
Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali. "Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!"
Pemuda itu tersenyum. "Eh, kenapa tanya-tanya nama segala" Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu" Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!"
"Dari perguruan mana?"
"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding" Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.
"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya. "Tar-tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song.
Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.
"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!
Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.
Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!
Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo
dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar. Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak, "Kui-bo, mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang. Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.
Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura. "Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."
Song Pak Lun menarik napas panjang. "Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"
Hui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah. "Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."
"Ahh...!" Para anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!
"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.
"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"
Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan Cin-an berikut keluarga me-reka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sa-rang yang kosong karena semua burung-nya telah terbang pergi entah ke mana.
Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang men-jadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.
Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih. Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat. Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling men-cinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mere-ka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun. Setelah ayah-nya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu, di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga di antara murid-muridnya banyak yang jadi. Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun -sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas. Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mu-danya berwatak keras, pendiam dan se-rius, bahkan agak angkuh dan tinggi ha-ti. Agaknya Hui Song menuruni watak i-bunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga se-ringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya. Akan tetapi dia ti-dak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayah-nya merasa bosan sendiri dan membiar-kan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakai-an seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.
Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an di mana secara kebetulan dia da-pat menyelamatkan kaisar kemudian ber-balik membantu Kang-jiu-pang mengha-dapi dua orang kakek dan nenek iblis.
Setelah memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri segera pergi da-ri kota itu. Diapun merasa khawatir ka-lau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua o-rang iblis itu ternyata adalah kaki ta-ngan pemerintah pula! Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melin-dungi kaisar. Apakah dunia ini sudah ter-balik" Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya" Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.
Pada keesokan harinya, Hui Song te-lah pergi jauh dari Cin-an menuju ke se-latan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya ten-tang kegagalan atau pembatalan perte-muan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cin-an. Se-belum dia turun tangan membantu Kang--jiu-pang, dia telah melakukan penyelidik-an kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu ce-pat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.
Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini me-ngaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berte-duh. Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang mencip-takan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera ter-tidur setelah dia merebahkan diri terlen-tang di atas anyaman bambu di gubuk i-tu. Dia tertidur amat nyenyak dan nik-matnya.
Kita condong beranggapan bahwa se-gala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah mem-beli masakan-masakan yang mahal harga-nya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya" Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makan-ahnya yang sederhana, dengan kenikmat-an yang tidak dibuat-buat. Mengapa de-mikian" Karena badannya sehat dan ba-tinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wa-jar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita me-lihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat la-hir batinnya. Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa ba-nyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama ge-lisah di atas tempat tidurnya yang em-puk dan bertilamkan sutera di dalam se-buah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.
Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!
Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan se-gala letih dan kantuk.
Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.
"Brakkkkk...!" Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biar-pun baru satu kali bertemu dengan ma-khluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia -berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada wa-laupun mulutnya bergerak membuat se-nyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.
"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"
Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.
"Bocah sombong, kami datang mena-gih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.
"Plakk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.
"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!" Tangkisan itu dilakukan dengan pengerah-an tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibat-nya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya. Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Se-rangan Hek-mo dari samping cukup dah-syat, dengan pukulan keras ke arah lam-bung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.
"Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!" Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng me-nyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo de-ngan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!
"Plakk! Plakk...! Ihhh...!" Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.
Tidak percuma Hui Song menjadi pu-tera tunggal ketua Cin-ling-pai yang te-lah digembleng dengan keras sejak dia masih kecil dan sekarang dia sudah me-warisi semua ilmu ayah dan ibunya se-hingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri. Maka tentu saja dia da-pat bergerak dengan amat sigapnya dan biarpun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengim-bangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sin-kang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membi-ngungkan kedua orang pengeroyoknya.
Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, si raksasa berjubah hijau compang-camping menjadi tidak sabar la-gi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri dan sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu sudah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!
"Kalian berdua mundurlah dan biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua po-tong!" katanya. Dua orang rekannya me-rasa girang dan cepat meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apalagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan sen-jata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah!
Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang sudah berdiri di de-pannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pe-muda yang memiliki tubuh cukup tinggi beser. Akan tetapi, berhadapan dengan Tho-tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betis-nya! Tho-tee-kwi menyeringai sambil me-mandang pemuda itu. "Orang muda, eng-kau boleh juga dapat dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!"
"Hemm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi" Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk se-sat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkaupun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?" Hui Song meng-ejek, tidak tahu siapa sebenarnya yang mempergunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha-kui yang terke-nal datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.
"Ha-ha, orang muda, menurut kete-rangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat engkau pernah berjasa, aku memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, ke-sempatan ini hanya kuberikan satu kali saja," kata Tho-tee-kwi yang sebenarnya lebih suka kalau dapat bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.
"Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat" Dengan Cap-sha-kui" Wah, engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan menjadi Empat Belas Setan" Tak usah, ya! Terima kasih. Pe-nawaranmu kutolak dan kalian menjemu-kan hatiku. Pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja." Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa kalau tadi tidak ada tahi tikus men-jatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.
"Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya" Baiklah, kucabut saja nyawamu!" Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihen-takkan dan bumipun tergetar hebat. Se-perti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang be-sar-besar telah menyambar dengan se-rangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh kedua tangan yang mengandung kekuatan dahsyat.
Hui Song mengenal serangen berbaha-ya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang kuat sekali sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan men-cari penyakit. Maka diapun bersikap cer-dik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat. Akan tetapi, ternyata di samping kekuat-annya yang dahsyat, raksasa itupun me-miliki gerakan cepat. Sikunya telah dite-kuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjut-kan dengan cengkeraman untuk menang-kap pergelangan tangan pemuda itu dan tiba-tiba kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song! Bantingan kaki itu sungguh membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet ta-ngan yang lebar dan kuat itu.
"Desss...!" Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat telah mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang dipelajarinya dari ayahnya, maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak mendatangkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting dan Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tidak sampai terbanting jatuh. Dengan jungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka diapun ha-rus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, diapun mengerahkan sin-kang dan dari dalam pe-rutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru, "Hehh!" dan lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi mengge-tarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan te-nang dan balas menyerang dengan pukul-an-pukulan Thian-te Sin-ciang. Dia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dipergunakan untuk melindungi tu-buhnya itu dengan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu amat kuat dan kebal.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat dan biarpun pemuda itu lebih banyak bertahan daripada menyerangp na-mun tidak mudah bagi si raksaaa untuk mendesaknya. Diam-diam Tho-tee-kui terkejut dan penasaran sekali, sebaliknya Hui Song mengeluh di dalam hatinya karena dia harus mengakui bahwa baru sekali ini dia bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekali.
Kakek dan nenek iblis yang melihat betapa rekannya yang lebib lihai daripada mereka itupun sekian lamanya belum juga mampu merobohkan pomuda itu, menjadi semakin penasaran dan marah. Tak disangka oleh mereka bahwa pemuda yang tadinya mereka perebutkan untuk menjadi murid dan kekasih, ternyata memiliki tingkat kepandaian yang demikian hebatnya sehingga rekan mereka yang amat lihai seperti Tho-tee-kui pun tidak mampu mengalahkannya. Seperti telah bersepakat lebih dulu, keduanya lalu menerjang memasuki arena perkelahian itu dan mengeroyok Hui Song. Dasar watak penjahat, Tho-tee-kwi yang disohorkan sebagai pentolan Cap-sha-kui itupun diam-diam enak-enak saja melihat dua orang rekannya membantu dan mereka bertiga yang terkenal sebagai datuk-datuk besar kaum sesat tidak merasa sungkan atau malu mengeroyok seorang pemuda yang sama sekali belum terkenal di dunia persilatan!
"Ihh, bangkotan-bangkotan tebal mu-ka, main keroyokan seperti bajingan-ba-jingan kecil saja!" tiba-tiba terdenar bentakan dan muncullah seorang dara remaja yang segera terjun pula ke dalam arena perkelahian itu, membantu Hui Song dan mengamuk dengan menggunakan sen-jata aneh, yakni sebuah payung butut! Akan tetapi jangan dipandang rendah pa-yung butut itu karena gagangnya terbuat dari baja dan payung butut hanyalah kainnya saja akan tetapi rangkanya yang ba-ja itu masih utuh dan ujungnya runcing-runcing! Begitu terjun, gadis ini menye-rang Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo dengan ganas dan kalang-kabut!
"Eh, engkau...?" teriak Hwa-hwa Kui-bo dengan kaget dan Koai-pian Hek-mo juga terkejut sekali. Mereka berdua mengenal gadis yang pernah menghalangi mereka dan nyaris merobohkan mereka di kuil Dewi Laut! Gadis itu memang Ceng Sui Cin, siapa lagi kalau bukan ia yang mengamuk dengan payung butut itu"
"Ya, aku!" kata Sui Cin tertawa mengejek. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai ketika kita sa-ling bertemu di kuil Dewi Laut itu. Se-karang, jangan harap kalian akan dapat lolos dari jari-jari payung bututku, hi--hi!"
Tho-tee-kui juga kaget bukan main melihat munculnya seorang dara remaja dengan payungnya yang begitu mengamuk membuat dua orang rekannya kalang-ka-but dan dua orang rekannya itu cepat-cepat mengeluarkan senjata mereka, Hek-mo mengeluarkan pecut bajanya dan Kui-bo mencabut pedangnya.
Tentu saja di samping merasa kaget dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, Hui Song juga merasa girang sekali. Apalagi mendengar ucapan-ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa gembira.
"Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar se-kali, hadiahi pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya dan nenek topeng tikus itu lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!"
Sepasang mata Sui Cin berkilat dan iapun menahan senyum geli. Tapi dengan galak ia menghardik. "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala" Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"
"Lhoh! Disebut nona manis kok ma-rah, bagaimana sih" Apa lebih suka ke-lau kusebut engkau nona jelek dan galak?"
"Plak-plak... dukkkk!" Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.
"Rasakan kau hampir mampus!" Sui Cin mengejek. "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!" Pada saat ia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah ke-pada dua orang lawannya sehingga seper-ti juga Hui Song, ia terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi ka-rena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebib lihai dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payung-nya, ia mampu menggagalkan semua se-rangan itu dan balas mendesak lagi.
Hati Hui Song semakin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu ma-sih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaian-nya seperti gelandangan akan tetapi ber-sih, wajahnya manis dan gerakannya lin-cah, mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang pa-nas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.
"Wah, lalu menyebut apa" Baiklah, ku-sebut nona yang setengah manis setengah galak... wuuuuttt...!" Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tidak berani banyak cakap lagi karena kakek raksasa itu telah mendesaknya lagi dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya.
Setelah kini kedua orang muda itu ti-dak lagi bicara, mereka dapat mengha-dapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itupun maklum bahwa keada-an tidak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat me-ngenal dengan samar-samar ilmu silat mereka dan diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerak-an-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai!
"Kita pergi!" tiba-tiba raksasa itu berseru dan dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya. Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka iapun meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh dan melarikan diri bersama raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.
Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan mempergunakan cara-cara yang keji dan curang. Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!
Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-il-mu silat Cin-ling-pai, akan tetapi meli-hat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini"
Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang. Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mat. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seper-ti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata la-wan, dan ia mampu bertahan tidak ber-kedip sampai berjam-jam!
Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat berta-ban lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarah-annya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak, "Kau melihat apa" Matamu melotot seperti mata iblis!"
Dibentak demikian, Hui Song baru sa-dar bahwa sejak tadi dia memandang de-ngan bengong. Dia dapat merasakan ke-adaan yang lucu di antara mereka, maka diapun tersenyum lebar.
"Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!" Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.
Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!
"Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat" Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!" Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.
"Apa hebat" Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.
Kini terpaksa Hui Song berterus terang. "Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."
"Engkau laki-laki... cabul...!" Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!
"Wuuutt... singgg...! Heeiiittt...!" Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.
"Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih" Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kautusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"
"Manusia ceriwis, cabul, sialan!" Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa he-bat den berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu mem-buat serangan-serangannya tidak main-main lagi, diapun tidak berani meman-dang rendah dan terpaksa dia mengerah-kan seluruh kepandaiannya untuk menan-dangi Sui Cin. Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian li-hainya sehingga tidak mungkin dia ber-tahan terus tanpa balas menyerang, ka-rena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun un-tuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tam-paran-tamparan Thian-te Sin-ciang.
Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi den lehernya agak basah oleh peluhnya den matanya bersinar-sinar.
"Belum ada yang kalah kenapa ber-henti?" bentak Sui Cin penasaran.
Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh. "Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tang-guh lagi daripada mereka. Nona, kita sa-ma-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."
"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" ben-tak Sui Cin. "Apa kaukira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu ber-silat?"
Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mu-lutnya tersenyum. Sui Cin sendiri terse-nyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.
"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai pu-tera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi me-nikah!"
Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.
"Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggal-kan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut. "Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."
Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan gin--kangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan dia-pun mengerahkan tenaga dan kepandaian-nya, mengejar sekuat tenaga. Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu ber-lari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa le-lah den iapun cepat mengambil jalan me-mutar menuju ke tempat di mana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu menceng-klaknya dan membalapkan kudanya!
"Heiii, tunggu...!" Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!
Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Pada dasarnya memang ada daya tarik yang amat kuat antar lawan jenis, antara pria dan wanita dan daya tarik ini adalah alamiah, sesuai dengan kekuatan Im dan Yang, dua kekuatan yang saling berlawanan, saling tarik, yang membuat bumi berputar, yang mem-buat segala sesuatu menjadi hidup berkembang. Seorang pria, setelah memasuki masa remaja dan akil balikh, akan terta-rik melihat seorang wanita, atau sebalik-nya. Hal ini sudah wajar. Kelenjar-kelen-jar dalam tubuh bekerja, otak yang pe-nuh ingatan bekerja, dan tentu saja, rasa tertarik itu diperkuat dengan adanya selera sehingga menimbulkan pilihan-pilihan menurut selera masing-masing. Dan ini tentu saja penting sekali karena kalau selera kaum pria serupa, tentu setiap orang wanita akan diperebutkan oleh ba-nyak pria, atau juga sebaliknya.
Pertemuan pertama antara pria dan wanita, terutama yang cocok dengan se-lera masing-masing, menimbulkan kesan pertama. Akan tetapi, hal ini tidak atau jarang sekali berarti timbulnya rasa cinta asmara. Rasa cinta asmara biasanya timbul setelah masing-masing bergaul dan berdekatan, setelah masing-masing mengenal keadaan satu sama lain. Betapapun juga, pertemuan pertama merupakan goresan awal yang bukan tidak mungkin berlanjut dengan perkenalan dan saling mencinta. Bunga-bunga api asmara suka berpijar di sudut kerling mata dan di ujung senyum bibir, dan apabila memperoleh bahan bakarnya, bunga api yang berpijar itu akan membakar hati. Dan kalau dua hati sudah saling mencinta, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya. Dengan kekerasan, badan boleh dipisah, akan tetapi terikatnya dua hati yang saling mencinta akan dibawa sampai mati.
Setelah kuda kecil yang membawa pergi Sui Cin lenyap tak dapat diikuti pandang mata lagi, Hui Song menjatuhkan diri di bawah pohon, di atas rumput gemuk, melepaskan lelah. Peluhnya membasahi badan dan dengan hati mengkal dia menyusut peluh dari muka dan lehernya. Hatinya mendongkol dan kecewa sekali. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan apakah dia suka kepada dara itu, apalagi mencinta. Tidak, belum sejauh itu lamunannya. Dia hanya merasa amat tertarik dan ingin sekali mengenal dara itu, ingin tahu siapa adanya dara remaja yang usianya tentu paling banyak enam belas tahun itu, yang demikian lihainya, demikian manisnya, dan demikian bengalnya! Dia merasa tertarik melihat kesederhanaan dara itu, dengan pakaiannya yang bersahaja namun bersih, pakaian yang agak nyentrik dengan payung bututnya yang dapat dijadikan senjata ampuh. Dia menduga-duga siapa gerangan dara itu, anak atau murid siapa" Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa banyaklah pendekar-pendekar sakti yang masih ada hubungan dengan Cin-ling-pai, di antaranya yang amat terkenal adalah ketua Pek-liong-pai di Lembah Naga jauh di utara sana, kemudian Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah. Hanya itu yang diketahuinya, dan dia tidak pernah mendengar tentang keadaan mereka, apalagi tokoh-tokoh lain yang tidak diceritakan oleh ayahnya, akan tetapi yang menurut ayahnya banyak terdapat di dunia ini. Tidaklah mengherankan kalau ada ahli ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi kalau yang menguasai ilmu itu seorang dara yang masih demikian muda akan tetapi sudah sedemikian mahirnya, tidak kalah oleh dia sendiri sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, maka hal itu tentu saja membuat dia penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!
"Bocah bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!" Dia mengepal tinju dan cemberut, akan tetapi lalu dia tersenyum lebar. Kalau bertemu, apa yang akan dilakukannya" Dan mana mungkin dia marah-marah kepada dara selucu itu" Dan bagaimanapun juga, kalau tidak muncul dara itu yang membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu"
"Aku akan mengucapkan terima kasihku!" Akhirnya dia menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri.
Hui Song bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh sekali, dia merasakan suatu kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa dengan hati ini, pikirnya. Dia merasa kesepian! Dunia nampak begini kosong dan sunyi sekali, tidak menggembirakan lagi. Mengapa begini" Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira.
Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendirt ini menjadi sorga atau neraka! Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendi-rian! Bukan berarti kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir da-ripada pertemuan. Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa ta-kut dan rasa kesepian, rasa sengsara. Ju-ga ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi o-leh hukum. Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyal isteri, anak, keluarga, sahabat, harta ben-da, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan menderita! Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan ber-arti ikatan batin. Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin me-miliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini timbullah benih-benih pen-deritaan.
Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan. Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya" Apakah yang abadi di dunia ini" Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya! Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber segala derita.
Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu!
Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu.
Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huang-ho. Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an sehingga kota ini menjadi makmur dan toko-toko serba lengkap dan besar.
Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Biarpun dia putera ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnyapun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya.
Hari telah siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kam-jiu-pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-jiu-pang. Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui. Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk men-cari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.
Begitu memasuki pasar, Hui Song ter-tarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang dile-takkan di dalam keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang diben-tangkan di atas tanah begitu saja. Ke-ramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian jembel berlari-larian dengan wajah gembira se-kali. Hatinya tertarik dan diapun melang-kah mendekat ke tempat di mana para jembel itu berkerumun merubung sesuatu. Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tam-bal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para jembel itu. Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga su-kar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya ber-sinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam pe-nuh! Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja! Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum jem-bel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya. Ki-ni bukan hanya para jembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bah-kan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-ma-lu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan dan mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para jembel cepat-cepat meninggalkan tempat itu walaupun mereka belum memperoleh bagian. Agaknya semua orang merasa ketakutan secara tiba-tiba seperti ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka.
Sejak tadi, Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat seorang pemuda jembel membagi-bagikan uang secara begitu royalnya. Sungguh penglihatan itu amat tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik. Orang-orang kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang jembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja hal inipun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang jembel" Kalau benar demikian, apakah benar uang yang dibagi-bagikan itu uangnya sendiri ataukah uang curian" Biar bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda jembel itu. Diapun melihat betapa semua orang bubaran dan melarikan diri dengan wajah seperti dicekam rasa takut. Lapangan de-pan pasar itu menjadi berkurang ramai-nya. Hanya mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di si-tu, akan tetapi wajah merekapun mem-bayangkan rasa takut. Sebaliknya, pemu-da jembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Diapun mengangkat muka memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari ini, tiba-tiba saja, tanpa disengaja, sepa-sang mata jembel muda itu bertemu de-ngan pandang mata Hui Song. Hui Song terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda jembel itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, begitu bertemu pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal jembel muda itu! Dia meng-ingat-ingat, akan tetapi sementara itu, jembel muda itu membuang muka dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga memandang ke sana dan tahulah dia sebab daripada bubarnya semua orang tadi.
Dua orang kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis karena pakaian itu penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih baru, bahkan kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru! Keduanya memegang tongkat dan biarpun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi sikap mereka ketika melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar memegang tongkat komando saja. Sungguh aneh, akan tetapi amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi, jelaslah bahwa semua orang yang bubaran tadi adalah karena munculnya dua orang kakek pengemis ini. Sekarangpun, mereka berjalan seperti orang-orang yang berkuasa, dan pandang mata semua orang di situ yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut, seperti orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di tempat umum.
Siapakah adanya dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang menyingkir ketakutan begitu mereka muncul" Mereka itu adalah dua orang tokoh perkumpulan Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang). Dahulu, ketika Hwa-i Kai-pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman, perkumpulan int terkenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu agar mereka itu dapat terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan kebiasaan mereka mengemis. Juga mereka yang memiliki ilmu silat tentu bertujuan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini, setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki tangan Liu-thaikam, berubah pulalah keadaan perkumpulan itu.
Hwa-i Kai-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-i Lo-eng (Pendekar Tua Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama sekali tidak depat dinamakan bijaksana atau budiman. Apalagi setelah dia dapat dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berobah sama sekali. Liu Kim atau Liu-thaikam adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak memiliki kekuatan apapun. Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia seorang yang pandai melaksanakan pekerjaan. Segala perintah pe-kerjaan yang diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik. Akan tetapi, diapun seorang yang suka sekali menumpuk harta sehingga untuk memuas-kan nafsu yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu saja menimbulkan tentangan dari panyak pembesar yang setia den ju-jur. Untuk melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana. Dengan menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya. Bahkan akhir-akhir ini dia berhasil memperalat Cap-sha-kui. Den tentu saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang menjadi pohon emasnya! Kalau sampai kaisar muda itu diganti, berarti dia akan kehilangan ke-dudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga mungkin saja nyawa-nya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai suatu kesetisan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar.
Bukan hanya Cap-sha-kui yang terke-na bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi juga perkumpulan-per-kumpulan kuat lainnya. Satu diantaranya adalah Hwa-i Kai-pang yang kini berpusat di Cin-an dan sebagian membuka ca-bang di kota raja. Karena mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini amat kuatnya, dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam lalu menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-i Lo-eng dan dengan pengaruh harta dan juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh dan dia membawa seluruh anggauta perkumpulan untuk menjadi ka-ki tangan yang setia dari Liu-thaikam.
Kepercayaan dari orang penting ber-arti kekuasaan dan kekuasaan merupa-kan milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi mabok kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Kekuasaan biasanya membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin memamerkan kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.
Demikian pula keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang. Semenjak mereka menjadi kaki tangan Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya dan mereka hendak memaksakan segala macam keinginan hati mereka kepada rakyat tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi. Juga tidak ada pembesar berani menentang mereka setelah mengetahui bahwa para pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam! Makin besar kepala sajalah mereka ini, terutama sekali di Cin-an, mereka seolah-olah lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Manyiksa dan membunuh orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap pemerintah.
Demikianlah keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang yang mudah dikenal dari pakaian, tongkat dan gaya mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila orang-orang melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggauta Hwa-i Kai-pang muncul di pasar itu. Biasanya, para tokoh kai-pang ini hanya menyuruh anak buah mereka saja yang masih muda-muda. Kalau kini ada dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh.
Hui Song belum pernah mendengar tentang Hwa-i Kai-pang, maka diapun merasa heran dan tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang akan dilakukan kakek itu. Pada saat itu, ada seorang pengemis muda, paling banyak tiga belas tahun usianya, agaknya anak jembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memperoleh pembagian uang. Dia berlari menghampiri pemuda jembel yang mem-bagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat minta-minta. Pe-muda remaja itu memandang heran, ter-senyum gembira dan memberikan uang logam segenggam sambil berkata, suara-nya lantang gembira.
"Bagus, nih kuberi banyak sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan penakut."
Mata anak itu terbelalak ketika melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum pernah dia mempunyai uang sebanyak itu! Dia bergembira dan lupa akan kemunculan dua orang kakek penge-mis tadi, sambil tersenyum lebar dia menjura berkali-kali kepada pemuda remaja jembel itu sambil berkata, "Terima kasih, kak, terima kasih, kak!" Lalu dia lari dengan wajah berseri.
Akan tetapi, tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di depannya. Anak itu mengangkat mukanya memandang dan tiba-tiba mukanya men-jadi pucat ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang di antara dua kakek pengemis baju kembang tadi.
"Aku... aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan..." Anak itu membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.
"Plakkk!" Tangan kakek itu bergerak dan tubuh anak jembel itu terpelanting, uang yang digenggamnya terlempar ke mana-mana dan iapun menangis sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya bengkak dan matang biru karena tampar-an yang amat keras tadi.
"Masih kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak hanya akan menjadi maling atau perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!" kata si kakek pengemis. Banyak orang menonton peris-tiwa itu dan kakek pengemis kedua ber-diri dengan tongkat melintang dan pan-dang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan berani menghalangi mereka berdua.
"Ampun... aku tidak berani lagi, ampun...!" Anak itu meratap ketakutan ketika kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju menghampirinya dengan air muka bengis dan sadis.
"Ulurkan lenganmu! Cepat!" bentaknya.
"Tidak... tidak... ampunkan aku..." Anak itu meratap. Dia sudah mendengar akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini dan mendengar bahwa kedua lengannya aken dipatahkan, tentu saja anak itu menjadi ketakutan.
"Apa" Engkau berani membantah" Apakah engkau ingin kupatahkan lehermu sebaiknya daripada kedua lenganmu?"
"Ohhh... ampunkan aku...!" Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.
"Berani engkau melarikan diri" Engkau layak dibunuh!" Kakek itu membentak sehingga si anak jembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat dan tiba-tiba dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.
"Aduh, ampun...!" Anak itu menggigil dan mengangkat muka memandang. Akan tetapi ternyata yang ditabraknya itu bukanlah kakek pengemis, melainkan seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
"Jangan takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song! Anak jembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua le-ngannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat me-lintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman.
"Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?" bentak kakek pe-ngemis yang bertahi lalat di dagunya itu.
Hui Song tersenyum mengejek. "Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kali-an inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi me-makai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa se-kali, tidak lumrah manusia. Siapakah ka-lian?"
Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak, "Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta" Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang!" Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.
Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, se-dikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai-pang. "Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apa-kah kalian ini pengemis merangkap tu-kang pukul?"
"Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi lalat.
"Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.
"Anak itu telah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."
"Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!" Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali, "Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?" Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.
"Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!" Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.
"Plak! Plak!" Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sin-kang yang amat besar, jauh lebih kuat daripada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka- sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Kalian berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kaupukul!" Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.
"Takk! Takk!" Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan. Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sin-kang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.
"Bagus... bagus... hantam terus...!" Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai jembel muda yang membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin" Biarpun ia selalu menyamar sebagai jembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya. Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis-Khan. Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja. Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran. Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu mengha-dapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret. Akan tetapi bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak me-lihat dua orang tokoh pengemis itu ter-kena pukulan lawan" Ini sama dengan mencari mati namanya!
Mendengar sorakan pemuda jembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia ber-temu dengan seorang muda yang hebat, pikirnya. Seorang jembel yang bukan sa-ja menghamburkan uang untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir, akan tetapi juga yang memiliki nyali cu-kup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu. Memperoleh dukungan jembel muda itu, Hui Song makin hebat mempermainkan dua orang kakek penge-mis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua ketika tendangannya membuat mereka roboh dan karena yang ditendang itu pinggul mereka, maka aki-batnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa mereka meringis kesakitan lagi. Tentu saja mereka menjadi semakin marah ka-rena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka mengenal orang pandai, dan mereka juga maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk mundur atau mengaku kalah. De-ngan kemarahan meluap merekapun me-nyerang lagi, kini serangan mereka yang didorong luapan amarah menjadi memba-bi-buta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song untuk melayani dan mem-permainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh babak bundas.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan dari luar masuklah banyak orang ke da-lam lapangan depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani nonton perke-lahian itu dari jarak jauh, kini pergi un-tuk tidak kembali. Mereka ketakutan me-lihat munculnya belasan orang anggauta Hwa-i Kai-pang bersama sepasukan pen-jaga keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini bersen-jata lengkap, golok dan tombak! Tanpa banyak cakap lagi, tiga puluh
a sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.
"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan o-rang-orang gagah ini," kata seorang di antara mereka.
Kaisar Ceng Tek merasa jengkel me-lihat penyamarannya dikenal orang. Ra-hasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun me-ngerutkan alisnya bertanya, "Kalian siapa?"
"Hamba berdua adalah perwira peng-awal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."
"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.
"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh--tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."
Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja. "Siapakah kalian?" tanyanya singkat.
Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gen-tar. Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi ne-nek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawab-annya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.
"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi pa-duka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami bas-mi sampai habis semua anggautanya!"
Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan ta-dipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculik-nya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tam-pan yang pakaiannya nyentrik itu.
"Dan engkau siapa?"
Pemuda itu menjura dengan sikap hormat. "Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, ter-ancam bahaya, hamba merasa berkewa-jiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."
Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaiing kepada dua orang perwira pengawal, "Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!" Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada ka-kek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang peng-awalnya.
Setelah kaisar pergi, nenek itu terke-keh. "Huh-huh, begitu sajakah kaisar" Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"
"Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari pergu-ruan mana" Aku suka sekali bersahabat denganmu!"
"Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman ti-durnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.
"Wah, masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.
Pemuda itu tersenyum. "Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku ti-dak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"
"Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.
"Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kauminta tentu terlaksana."
"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja" Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku" Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.
"Bagus!" Hwa-hwa Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang mengairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi di situ, telah pergi dengan diam-diam tanpa me-reka ketahui karena mereka hanya men-curahkan perhatian untuk mencari keme-nangan!
"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.
"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"
"Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di an-tara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!"
"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.
"Akupun belum!"
"Mari kita lanjutkan!"
"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"
"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga. Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.
Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sa-rang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah per-kumpulan persilatan, tempat itu dikeli-lingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh bebeapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang. Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba di situ, mereka tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu di-pimpin oleh Song Pak Lun yang lihai se-kali, terutama sekali kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna i-tu. Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka kare-na bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang meng-hadapi pemberontak, jadi tentu saja me-reka berdua merasa mendapat angin.
Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan ang-ker. Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang! Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara me-ngerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.
Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memper-lihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.
"Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.
Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-mu-rid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kangjiu-pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.
Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata, "Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"
"Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.
"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.
Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, se-pasang matanya lebar terbelalak dan se-perti mengeluarkan api. Tadi dia terke-jut mendengar disebutnya narna Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia" Dan dia marah mende-ngar kesombongan nenek itu.
"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagah-an. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan me-rasa malu walaupun memperoleh kerne-nangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah ha-dapi aku satu lawan satu, kalau aku ka-lah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk me-nyembahyangi arwah delapan orang murid kami."
Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru, "Kami da-tang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"
Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Mela-wan ketua itulah yang berat. Kalau me-reka berdua maju bersama, tentu terpak-sa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka ber-dua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan me-ngeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!
Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bu-kan tidak masuk akal ini. Seorang di an-tara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata, "Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."
Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang di antara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja. Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.
"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.
"Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!" Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan!
Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri di situ sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.
"Kau... ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"
Pemuda itu tertawa. "Sayang seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."
Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanasken hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.
"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.
Sementara itu, Song Pak Lun meman-dang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa perwida ini-lah yang pernah membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan ke-marahan. Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu Kang-jiu-pang mengha-dapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.
"Kang-jiu-pang tidak pernah mengha-rapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentak-nya.
Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura. "Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuse-lidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru kuketahui bah-wa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."
"Hemm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur ta-nganmu, tentu usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima ban-tuan orang yang telah mencelakakan kami!"
Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara ti-dak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, -akan tetapi juga berwatak baja yang ke-ras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserah, kalau tidak boleh memban-tu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempu-nyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"
Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget daripada marah. Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina. Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik. Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.
"Eh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.
"Wuuuuttt... singgg...!" Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.
"Tar-tar-tar-tarrr...!" Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.
"Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.
Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang. Akan tetapi tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.
"Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju dengan tamparan tangannya. Kedua tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo. Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, maka iapun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.
"Tranggg...!"
Nenek berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat! Barulah ia tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka, ditonton oleh para anggauta Kang-jiu-pang dengan hati tegang.
Akan tetapi, ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan per-kelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta Kang-jiu-pang kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping me-reka menjadi terheran-heran, bahkan de-mikian kagum sampai bengong.
Pemuda itu benar-benar memiliki ge-rakan yang amat lincah. Dia tidak meng-andalkan kecepatan ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandal-kan gerak kaki yang demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia menterta-wakan lawannya.
"Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."
"Sing...! Wirrr... singgg...!"
"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan" Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"
"Wuuuuttt... sing...!"
"Apa kubilang, luput lagi...!"
"Keparat!" Kakek itu memaki dan me-mutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.
"Perlahan dulu!"
Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipa-sangi paku itu telah tertahan dan terje-pit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya! Semua o-rang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak bo-leh dipandang ringan! Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini "berisi". Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba "Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.
"Uhhh...!" Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.
"Nah, apa kubilang" Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak.
Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali. "Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!"
Pemuda itu tersenyum. "Eh, kenapa tanya-tanya nama segala" Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu" Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!"
"Dari perguruan mana?"
"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding" Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.
"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya. "Tar-tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song.
Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.
"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!
Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.
Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!
Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo
dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar. Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak, "Kui-bo, mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang. Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.
Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura. "Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."
Song Pak Lun menarik napas panjang. "Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"
Hui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah. "Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."
"Ahh...!" Para anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!
"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.
"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"
Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan Cin-an berikut keluarga me-reka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sa-rang yang kosong karena semua burung-nya telah terbang pergi entah ke mana.
Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang men-jadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.
Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih. Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat. Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling men-cinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mere-ka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun. Setelah ayah-nya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu, di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga di antara murid-muridnya banyak yang jadi. Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun -sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas. Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mu-danya berwatak keras, pendiam dan se-rius, bahkan agak angkuh dan tinggi ha-ti. Agaknya Hui Song menuruni watak i-bunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga se-ringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya. Akan tetapi dia ti-dak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayah-nya merasa bosan sendiri dan membiar-kan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakai-an seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.
Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an di mana secara kebetulan dia da-pat menyelamatkan kaisar kemudian ber-balik membantu Kang-jiu-pang mengha-dapi dua orang kakek dan nenek iblis.
Setelah memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri segera pergi da-ri kota itu. Diapun merasa khawatir ka-lau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua o-rang iblis itu ternyata adalah kaki ta-ngan pemerintah pula! Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melin-dungi kaisar. Apakah dunia ini sudah ter-balik" Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya" Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.
Pada keesokan harinya, Hui Song te-lah pergi jauh dari Cin-an menuju ke se-latan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya ten-tang kegagalan atau pembatalan perte-muan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cin-an. Se-belum dia turun tangan membantu Kang--jiu-pang, dia telah melakukan penyelidik-an kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu ce-pat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.
Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini me-ngaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berte-duh. Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang mencip-takan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera ter-tidur setelah dia merebahkan diri terlen-tang di atas anyaman bambu di gubuk i-tu. Dia tertidur amat nyenyak dan nik-matnya.
Kita condong beranggapan bahwa se-gala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah mem-beli masakan-masakan yang mahal harga-nya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya" Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makan-ahnya yang sederhana, dengan kenikmat-an yang tidak dibuat-buat. Mengapa de-mikian" Karena badannya sehat dan ba-tinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wa-jar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita me-lihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat la-hir batinnya. Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa ba-nyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama ge-lisah di atas tempat tidurnya yang em-puk dan bertilamkan sutera di dalam se-buah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.
Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!
Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan se-gala letih dan kantuk.
Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.
"Brakkkkk...!" Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biar-pun baru satu kali bertemu dengan ma-khluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia -berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada wa-laupun mulutnya bergerak membuat se-nyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.
"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"
Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.
"Bocah sombong, kami datang mena-gih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.
"Plakk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.
"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!" Tangkisan itu dilakukan dengan pengerah-an tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibat-nya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya. Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Se-rangan Hek-mo dari samping cukup dah-syat, dengan pukulan keras ke arah lam-bung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.
"Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!" Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng me-nyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo de-ngan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!
"Plakk! Plakk...! Ihhh...!" Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.
Tidak percuma Hui Song menjadi pu-tera tunggal ketua Cin-ling-pai yang te-lah digembleng dengan keras sejak dia masih kecil dan sekarang dia sudah me-warisi semua ilmu ayah dan ibunya se-hingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri. Maka tentu saja dia da-pat bergerak dengan amat sigapnya dan biarpun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengim-bangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sin-kang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membi-ngungkan kedua orang pengeroyoknya.
Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, si raksasa berjubah hijau compang-camping menjadi tidak sabar la-gi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri dan sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu sudah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!
"Kalian berdua mundurlah dan biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua po-tong!" katanya. Dua orang rekannya me-rasa girang dan cepat meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apalagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan sen-jata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah!
Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang sudah berdiri di de-pannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pe-muda yang memiliki tubuh cukup tinggi beser. Akan tetapi, berhadapan dengan Tho-tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betis-nya! Tho-tee-kwi menyeringai sambil me-mandang pemuda itu. "Orang muda, eng-kau boleh juga dapat dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!"
"Hemm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi" Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk se-sat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkaupun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?" Hui Song meng-ejek, tidak tahu siapa sebenarnya yang mempergunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha-kui yang terke-nal datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.
"Ha-ha, orang muda, menurut kete-rangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat engkau pernah berjasa, aku memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, ke-sempatan ini hanya kuberikan satu kali saja," kata Tho-tee-kwi yang sebenarnya lebih suka kalau dapat bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.
"Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat" Dengan Cap-sha-kui" Wah, engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan menjadi Empat Belas Setan" Tak usah, ya! Terima kasih. Pe-nawaranmu kutolak dan kalian menjemu-kan hatiku. Pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja." Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa kalau tadi tidak ada tahi tikus men-jatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.
"Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya" Baiklah, kucabut saja nyawamu!" Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihen-takkan dan bumipun tergetar hebat. Se-perti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang be-sar-besar telah menyambar dengan se-rangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh kedua tangan yang mengandung kekuatan dahsyat.
Hui Song mengenal serangen berbaha-ya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang kuat sekali sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan men-cari penyakit. Maka diapun bersikap cer-dik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat. Akan tetapi, ternyata di samping kekuat-annya yang dahsyat, raksasa itupun me-miliki gerakan cepat. Sikunya telah dite-kuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjut-kan dengan cengkeraman untuk menang-kap pergelangan tangan pemuda itu dan tiba-tiba kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song! Bantingan kaki itu sungguh membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet ta-ngan yang lebar dan kuat itu.
"Desss...!" Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat telah mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang dipelajarinya dari ayahnya, maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak mendatangkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting dan Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tidak sampai terbanting jatuh. Dengan jungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka diapun ha-rus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, diapun mengerahkan sin-kang dan dari dalam pe-rutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru, "Hehh!" dan lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi mengge-tarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan te-nang dan balas menyerang dengan pukul-an-pukulan Thian-te Sin-ciang. Dia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dipergunakan untuk melindungi tu-buhnya itu dengan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu amat kuat dan kebal.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat dan biarpun pemuda itu lebih banyak bertahan daripada menyerangp na-mun tidak mudah bagi si raksaaa untuk mendesaknya. Diam-diam Tho-tee-kui terkejut dan penasaran sekali, sebaliknya Hui Song mengeluh di dalam hatinya karena dia harus mengakui bahwa baru sekali ini dia bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekali.
Kakek dan nenek iblis yang melihat betapa rekannya yang lebib lihai daripada mereka itupun sekian lamanya belum juga mampu merobohkan pomuda itu, menjadi semakin penasaran dan marah. Tak disangka oleh mereka bahwa pemuda yang tadinya mereka perebutkan untuk menjadi murid dan kekasih, ternyata memiliki tingkat kepandaian yang demikian hebatnya sehingga rekan mereka yang amat lihai seperti Tho-tee-kui pun tidak mampu mengalahkannya. Seperti telah bersepakat lebih dulu, keduanya lalu menerjang memasuki arena perkelahian itu dan mengeroyok Hui Song. Dasar watak penjahat, Tho-tee-kwi yang disohorkan sebagai pentolan Cap-sha-kui itupun diam-diam enak-enak saja melihat dua orang rekannya membantu dan mereka bertiga yang terkenal sebagai datuk-datuk besar kaum sesat tidak merasa sungkan atau malu mengeroyok seorang pemuda yang sama sekali belum terkenal di dunia persilatan!
"Ihh, bangkotan-bangkotan tebal mu-ka, main keroyokan seperti bajingan-ba-jingan kecil saja!" tiba-tiba terdenar bentakan dan muncullah seorang dara remaja yang segera terjun pula ke dalam arena perkelahian itu, membantu Hui Song dan mengamuk dengan menggunakan sen-jata aneh, yakni sebuah payung butut! Akan tetapi jangan dipandang rendah pa-yung butut itu karena gagangnya terbuat dari baja dan payung butut hanyalah kainnya saja akan tetapi rangkanya yang ba-ja itu masih utuh dan ujungnya runcing-runcing! Begitu terjun, gadis ini menye-rang Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo dengan ganas dan kalang-kabut!
"Eh, engkau...?" teriak Hwa-hwa Kui-bo dengan kaget dan Koai-pian Hek-mo juga terkejut sekali. Mereka berdua mengenal gadis yang pernah menghalangi mereka dan nyaris merobohkan mereka di kuil Dewi Laut! Gadis itu memang Ceng Sui Cin, siapa lagi kalau bukan ia yang mengamuk dengan payung butut itu"
"Ya, aku!" kata Sui Cin tertawa mengejek. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai ketika kita sa-ling bertemu di kuil Dewi Laut itu. Se-karang, jangan harap kalian akan dapat lolos dari jari-jari payung bututku, hi--hi!"
Tho-tee-kui juga kaget bukan main melihat munculnya seorang dara remaja dengan payungnya yang begitu mengamuk membuat dua orang rekannya kalang-ka-but dan dua orang rekannya itu cepat-cepat mengeluarkan senjata mereka, Hek-mo mengeluarkan pecut bajanya dan Kui-bo mencabut pedangnya.
Tentu saja di samping merasa kaget dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, Hui Song juga merasa girang sekali. Apalagi mendengar ucapan-ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa gembira.
"Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar se-kali, hadiahi pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya dan nenek topeng tikus itu lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!"
Sepasang mata Sui Cin berkilat dan iapun menahan senyum geli. Tapi dengan galak ia menghardik. "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala" Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"
"Lhoh! Disebut nona manis kok ma-rah, bagaimana sih" Apa lebih suka ke-lau kusebut engkau nona jelek dan galak?"
"Plak-plak... dukkkk!" Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.
"Rasakan kau hampir mampus!" Sui Cin mengejek. "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!" Pada saat ia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah ke-pada dua orang lawannya sehingga seper-ti juga Hui Song, ia terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi ka-rena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebib lihai dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payung-nya, ia mampu menggagalkan semua se-rangan itu dan balas mendesak lagi.
Hati Hui Song semakin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu ma-sih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaian-nya seperti gelandangan akan tetapi ber-sih, wajahnya manis dan gerakannya lin-cah, mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang pa-nas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.
"Wah, lalu menyebut apa" Baiklah, ku-sebut nona yang setengah manis setengah galak... wuuuuttt...!" Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tidak berani banyak cakap lagi karena kakek raksasa itu telah mendesaknya lagi dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya.
Setelah kini kedua orang muda itu ti-dak lagi bicara, mereka dapat mengha-dapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itupun maklum bahwa keada-an tidak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat me-ngenal dengan samar-samar ilmu silat mereka dan diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerak-an-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai!
"Kita pergi!" tiba-tiba raksasa itu berseru dan dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya. Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka iapun meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh dan melarikan diri bersama raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.
Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan mempergunakan cara-cara yang keji dan curang. Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!
Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-il-mu silat Cin-ling-pai, akan tetapi meli-hat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini"
Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang. Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mat. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seper-ti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata la-wan, dan ia mampu bertahan tidak ber-kedip sampai berjam-jam!
Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat berta-ban lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarah-annya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak, "Kau melihat apa" Matamu melotot seperti mata iblis!"
Dibentak demikian, Hui Song baru sa-dar bahwa sejak tadi dia memandang de-ngan bengong. Dia dapat merasakan ke-adaan yang lucu di antara mereka, maka diapun tersenyum lebar.
"Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!" Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.
Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!
"Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat" Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!" Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.
"Apa hebat" Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.
Kini terpaksa Hui Song berterus terang. "Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."
"Engkau laki-laki... cabul...!" Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!
"Wuuutt... singgg...! Heeiiittt...!" Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.
"Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih" Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kautusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"
"Manusia ceriwis, cabul, sialan!" Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa he-bat den berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu mem-buat serangan-serangannya tidak main-main lagi, diapun tidak berani meman-dang rendah dan terpaksa dia mengerah-kan seluruh kepandaiannya untuk menan-dangi Sui Cin. Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian li-hainya sehingga tidak mungkin dia ber-tahan terus tanpa balas menyerang, ka-rena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun un-tuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tam-paran-tamparan Thian-te Sin-ciang.
Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi den lehernya agak basah oleh peluhnya den matanya bersinar-sinar.
"Belum ada yang kalah kenapa ber-henti?" bentak Sui Cin penasaran.
Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh. "Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tang-guh lagi daripada mereka. Nona, kita sa-ma-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."
"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" ben-tak Sui Cin. "Apa kaukira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu ber-silat?"
Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mu-lutnya tersenyum. Sui Cin sendiri terse-nyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.
"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai pu-tera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi me-nikah!"
Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.
"Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggal-kan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut. "Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."
Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan gin--kangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan dia-pun mengerahkan tenaga dan kepandaian-nya, mengejar sekuat tenaga. Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu ber-lari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa le-lah den iapun cepat mengambil jalan me-mutar menuju ke tempat di mana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu menceng-klaknya dan membalapkan kudanya!
"Heiii, tunggu...!" Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!
Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Pada dasarnya memang ada daya tarik yang amat kuat antar lawan jenis, antara pria dan wanita dan daya tarik ini adalah alamiah, sesuai dengan kekuatan Im dan Yang, dua kekuatan yang saling berlawanan, saling tarik, yang membuat bumi berputar, yang mem-buat segala sesuatu menjadi hidup berkembang. Seorang pria, setelah memasuki masa remaja dan akil balikh, akan terta-rik melihat seorang wanita, atau sebalik-nya. Hal ini sudah wajar. Kelenjar-kelen-jar dalam tubuh bekerja, otak yang pe-nuh ingatan bekerja, dan tentu saja, rasa tertarik itu diperkuat dengan adanya selera sehingga menimbulkan pilihan-pilihan menurut selera masing-masing. Dan ini tentu saja penting sekali karena kalau selera kaum pria serupa, tentu setiap orang wanita akan diperebutkan oleh ba-nyak pria, atau juga sebaliknya.
Pertemuan pertama antara pria dan wanita, terutama yang cocok dengan se-lera masing-masing, menimbulkan kesan pertama. Akan tetapi, hal ini tidak atau jarang sekali berarti timbulnya rasa cinta asmara. Rasa cinta asmara biasanya timbul setelah masing-masing bergaul dan berdekatan, setelah masing-masing mengenal keadaan satu sama lain. Betapapun juga, pertemuan pertama merupakan goresan awal yang bukan tidak mungkin berlanjut dengan perkenalan dan saling mencinta. Bunga-bunga api asmara suka berpijar di sudut kerling mata dan di ujung senyum bibir, dan apabila memperoleh bahan bakarnya, bunga api yang berpijar itu akan membakar hati. Dan kalau dua hati sudah saling mencinta, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya. Dengan kekerasan, badan boleh dipisah, akan tetapi terikatnya dua hati yang saling mencinta akan dibawa sampai mati.
Setelah kuda kecil yang membawa pergi Sui Cin lenyap tak dapat diikuti pandang mata lagi, Hui Song menjatuhkan diri di bawah pohon, di atas rumput gemuk, melepaskan lelah. Peluhnya membasahi badan dan dengan hati mengkal dia menyusut peluh dari muka dan lehernya. Hatinya mendongkol dan kecewa sekali. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan apakah dia suka kepada dara itu, apalagi mencinta. Tidak, belum sejauh itu lamunannya. Dia hanya merasa amat tertarik dan ingin sekali mengenal dara itu, ingin tahu siapa adanya dara remaja yang usianya tentu paling banyak enam belas tahun itu, yang demikian lihainya, demikian manisnya, dan demikian bengalnya! Dia merasa tertarik melihat kesederhanaan dara itu, dengan pakaiannya yang bersahaja namun bersih, pakaian yang agak nyentrik dengan payung bututnya yang dapat dijadikan senjata ampuh. Dia menduga-duga siapa gerangan dara itu, anak atau murid siapa" Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa banyaklah pendekar-pendekar sakti yang masih ada hubungan dengan Cin-ling-pai, di antaranya yang amat terkenal adalah ketua Pek-liong-pai di Lembah Naga jauh di utara sana, kemudian Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah. Hanya itu yang diketahuinya, dan dia tidak pernah mendengar tentang keadaan mereka, apalagi tokoh-tokoh lain yang tidak diceritakan oleh ayahnya, akan tetapi yang menurut ayahnya banyak terdapat di dunia ini. Tidaklah mengherankan kalau ada ahli ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi kalau yang menguasai ilmu itu seorang dara yang masih demikian muda akan tetapi sudah sedemikian mahirnya, tidak kalah oleh dia sendiri sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, maka hal itu tentu saja membuat dia penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!
"Bocah bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!" Dia mengepal tinju dan cemberut, akan tetapi lalu dia tersenyum lebar. Kalau bertemu, apa yang akan dilakukannya" Dan mana mungkin dia marah-marah kepada dara selucu itu" Dan bagaimanapun juga, kalau tidak muncul dara itu yang membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu"
"Aku akan mengucapkan terima kasihku!" Akhirnya dia menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri.
Hui Song bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh sekali, dia merasakan suatu kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa dengan hati ini, pikirnya. Dia merasa kesepian! Dunia nampak begini kosong dan sunyi sekali, tidak menggembirakan lagi. Mengapa begini" Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira.
Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendirt ini menjadi sorga atau neraka! Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendi-rian! Bukan berarti kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir da-ripada pertemuan. Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa ta-kut dan rasa kesepian, rasa sengsara. Ju-ga ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi o-leh hukum. Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyal isteri, anak, keluarga, sahabat, harta ben-da, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan menderita! Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan ber-arti ikatan batin. Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin me-miliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini timbullah benih-benih pen-deritaan.
Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan. Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya" Apakah yang abadi di dunia ini" Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya! Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber segala derita.
Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu!
Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu.
Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huang-ho. Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an sehingga kota ini menjadi makmur dan toko-toko serba lengkap dan besar.
Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Biarpun dia putera ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnyapun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya.
Hari telah siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kam-jiu-pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-jiu-pang. Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui. Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk men-cari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.
Begitu memasuki pasar, Hui Song ter-tarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang dile-takkan di dalam keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang diben-tangkan di atas tanah begitu saja. Ke-ramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian jembel berlari-larian dengan wajah gembira se-kali. Hatinya tertarik dan diapun melang-kah mendekat ke tempat di mana para jembel itu berkerumun merubung sesuatu. Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tam-bal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para jembel itu. Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga su-kar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya ber-sinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam pe-nuh! Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja! Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum jem-bel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya. Ki-ni bukan hanya para jembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bah-kan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-ma-lu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan dan mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para jembel cepat-cepat meninggalkan tempat itu walaupun mereka belum memperoleh bagian. Agaknya semua orang merasa ketakutan secara tiba-tiba seperti ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka.
Sejak tadi, Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat seorang pemuda jembel membagi-bagikan uang secara begitu royalnya. Sungguh penglihatan itu amat tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik. Orang-orang kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang jembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja hal inipun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang jembel" Kalau benar demikian, apakah benar uang yang dibagi-bagikan itu uangnya sendiri ataukah uang curian" Biar bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda jembel itu. Diapun melihat betapa semua orang bubaran dan melarikan diri dengan wajah seperti dicekam rasa takut. Lapangan de-pan pasar itu menjadi berkurang ramai-nya. Hanya mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di si-tu, akan tetapi wajah merekapun mem-bayangkan rasa takut. Sebaliknya, pemu-da jembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Diapun mengangkat muka memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari ini, tiba-tiba saja, tanpa disengaja, sepa-sang mata jembel muda itu bertemu de-ngan pandang mata Hui Song. Hui Song terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda jembel itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, begitu bertemu pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal jembel muda itu! Dia meng-ingat-ingat, akan tetapi sementara itu, jembel muda itu membuang muka dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga memandang ke sana dan tahulah dia sebab daripada bubarnya semua orang tadi.
Dua orang kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis karena pakaian itu penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih baru, bahkan kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru! Keduanya memegang tongkat dan biarpun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi sikap mereka ketika melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar memegang tongkat komando saja. Sungguh aneh, akan tetapi amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi, jelaslah bahwa semua orang yang bubaran tadi adalah karena munculnya dua orang kakek pengemis ini. Sekarangpun, mereka berjalan seperti orang-orang yang berkuasa, dan pandang mata semua orang di situ yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut, seperti orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di tempat umum.
Siapakah adanya dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang menyingkir ketakutan begitu mereka muncul" Mereka itu adalah dua orang tokoh perkumpulan Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang). Dahulu, ketika Hwa-i Kai-pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman, perkumpulan int terkenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu agar mereka itu dapat terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan kebiasaan mereka mengemis. Juga mereka yang memiliki ilmu silat tentu bertujuan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini, setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki tangan Liu-thaikam, berubah pulalah keadaan perkumpulan itu.
Hwa-i Kai-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-i Lo-eng (Pendekar Tua Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama sekali tidak depat dinamakan bijaksana atau budiman. Apalagi setelah dia dapat dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berobah sama sekali. Liu Kim atau Liu-thaikam adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak memiliki kekuatan apapun. Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia seorang yang pandai melaksanakan pekerjaan. Segala perintah pe-kerjaan yang diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik. Akan tetapi, diapun seorang yang suka sekali menumpuk harta sehingga untuk memuas-kan nafsu yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu saja menimbulkan tentangan dari panyak pembesar yang setia den ju-jur. Untuk melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana. Dengan menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya. Bahkan akhir-akhir ini dia berhasil memperalat Cap-sha-kui. Den tentu saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang menjadi pohon emasnya! Kalau sampai kaisar muda itu diganti, berarti dia akan kehilangan ke-dudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga mungkin saja nyawa-nya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai suatu kesetisan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar.
Bukan hanya Cap-sha-kui yang terke-na bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi juga perkumpulan-per-kumpulan kuat lainnya. Satu diantaranya adalah Hwa-i Kai-pang yang kini berpusat di Cin-an dan sebagian membuka ca-bang di kota raja. Karena mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini amat kuatnya, dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam lalu menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-i Lo-eng dan dengan pengaruh harta dan juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh dan dia membawa seluruh anggauta perkumpulan untuk menjadi ka-ki tangan yang setia dari Liu-thaikam.
Kepercayaan dari orang penting ber-arti kekuasaan dan kekuasaan merupa-kan milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi mabok kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Kekuasaan biasanya membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin memamerkan kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.
Demikian pula keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang. Semenjak mereka menjadi kaki tangan Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya dan mereka hendak memaksakan segala macam keinginan hati mereka kepada rakyat tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi. Juga tidak ada pembesar berani menentang mereka setelah mengetahui bahwa para pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam! Makin besar kepala sajalah mereka ini, terutama sekali di Cin-an, mereka seolah-olah lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Manyiksa dan membunuh orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap pemerintah.
Demikianlah keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang yang mudah dikenal dari pakaian, tongkat dan gaya mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila orang-orang melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggauta Hwa-i Kai-pang muncul di pasar itu. Biasanya, para tokoh kai-pang ini hanya menyuruh anak buah mereka saja yang masih muda-muda. Kalau kini ada dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh.
Hui Song belum pernah mendengar tentang Hwa-i Kai-pang, maka diapun merasa heran dan tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang akan dilakukan kakek itu. Pada saat itu, ada seorang pengemis muda, paling banyak tiga belas tahun usianya, agaknya anak jembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memperoleh pembagian uang. Dia berlari menghampiri pemuda jembel yang mem-bagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat minta-minta. Pe-muda remaja itu memandang heran, ter-senyum gembira dan memberikan uang logam segenggam sambil berkata, suara-nya lantang gembira.
"Bagus, nih kuberi banyak sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan penakut."
Mata anak itu terbelalak ketika melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum pernah dia mempunyai uang sebanyak itu! Dia bergembira dan lupa akan kemunculan dua orang kakek penge-mis tadi, sambil tersenyum lebar dia menjura berkali-kali kepada pemuda remaja jembel itu sambil berkata, "Terima kasih, kak, terima kasih, kak!" Lalu dia lari dengan wajah berseri.
Akan tetapi, tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di depannya. Anak itu mengangkat mukanya memandang dan tiba-tiba mukanya men-jadi pucat ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang di antara dua kakek pengemis baju kembang tadi.
"Aku... aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan..." Anak itu membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.
"Plakkk!" Tangan kakek itu bergerak dan tubuh anak jembel itu terpelanting, uang yang digenggamnya terlempar ke mana-mana dan iapun menangis sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya bengkak dan matang biru karena tampar-an yang amat keras tadi.
"Masih kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak hanya akan menjadi maling atau perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!" kata si kakek pengemis. Banyak orang menonton peris-tiwa itu dan kakek pengemis kedua ber-diri dengan tongkat melintang dan pan-dang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan berani menghalangi mereka berdua.
"Ampun... aku tidak berani lagi, ampun...!" Anak itu meratap ketakutan ketika kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju menghampirinya dengan air muka bengis dan sadis.
"Ulurkan lenganmu! Cepat!" bentaknya.
"Tidak... tidak... ampunkan aku..." Anak itu meratap. Dia sudah mendengar akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini dan mendengar bahwa kedua lengannya aken dipatahkan, tentu saja anak itu menjadi ketakutan.
"Apa" Engkau berani membantah" Apakah engkau ingin kupatahkan lehermu sebaiknya daripada kedua lenganmu?"
"Ohhh... ampunkan aku...!" Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.
"Berani engkau melarikan diri" Engkau layak dibunuh!" Kakek itu membentak sehingga si anak jembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat dan tiba-tiba dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.
"Aduh, ampun...!" Anak itu menggigil dan mengangkat muka memandang. Akan tetapi ternyata yang ditabraknya itu bukanlah kakek pengemis, melainkan seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
"Jangan takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song! Anak jembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua le-ngannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat me-lintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman.
"Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?" bentak kakek pe-ngemis yang bertahi lalat di dagunya itu.
Hui Song tersenyum mengejek. "Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kali-an inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi me-makai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa se-kali, tidak lumrah manusia. Siapakah ka-lian?"
Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak, "Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta" Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang!" Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.
Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, se-dikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai-pang. "Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apa-kah kalian ini pengemis merangkap tu-kang pukul?"
"Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi lalat.
"Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.
"Anak itu telah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."
"Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!" Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali, "Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?" Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.
"Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!" Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.
"Plak! Plak!" Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sin-kang yang amat besar, jauh lebih kuat daripada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka- sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Kalian berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kaupukul!" Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.
"Takk! Takk!" Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan. Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sin-kang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.
"Bagus... bagus... hantam terus...!" Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai jembel muda yang membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin" Biarpun ia selalu menyamar sebagai jembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya. Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis-Khan. Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja. Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran. Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu mengha-dapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret. Akan tetapi bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak me-lihat dua orang tokoh pengemis itu ter-kena pukulan lawan" Ini sama dengan mencari mati namanya!
Mendengar sorakan pemuda jembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia ber-temu dengan seorang muda yang hebat, pikirnya. Seorang jembel yang bukan sa-ja menghamburkan uang untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir, akan tetapi juga yang memiliki nyali cu-kup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu. Memperoleh dukungan jembel muda itu, Hui Song makin hebat mempermainkan dua orang kakek penge-mis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua ketika tendangannya membuat mereka roboh dan karena yang ditendang itu pinggul mereka, maka aki-batnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa mereka meringis kesakitan lagi. Tentu saja mereka menjadi semakin marah ka-rena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka mengenal orang pandai, dan mereka juga maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk mundur atau mengaku kalah. De-ngan kemarahan meluap merekapun me-nyerang lagi, kini serangan mereka yang didorong luapan amarah menjadi memba-bi-buta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song untuk melayani dan mem-permainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh babak bundas.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan dari luar masuklah banyak orang ke da-lam lapangan depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani nonton perke-lahian itu dari jarak jauh, kini pergi un-tuk tidak kembali. Mereka ketakutan me-lihat munculnya belasan orang anggauta Hwa-i Kai-pang bersama sepasukan pen-jaga keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini bersen-jata lengkap, golok dan tombak! Tanpa banyak cakap lagi, tiga puluh