Asmara Berdarah 5

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


orang le-bih itu dengan kacau-balau mengurung, menyerbu dan menyerang Hui Song!
Tentu saja Hui Song harus mempergunakan semua kelincahannya untuk meng-hadapi pengeroyokan orang yang demi-kian banyaknya. Di dalam hatinya, dia merasa penasaran dan juga heran. Ka-wanan pengemis Hwa-i Kai-pang ini je-las bukanlah golongan baik-baik, terlalu kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Orang-orang seperti ini biasanya digolongkan penjahat-penjahat, akan tetapi mengapa kini pasukan pemerintah malah membantu mereka" Dua kali sudah dia menemui hal-hal yang aneh. Pertama kali, datuk-datuk sesat macam Cap-sha-kui melindungi kaisar, dan kedua kalinya, kini pasukan pemerintah membantu gerombolan seperti orang-orang Hwa-i Kai-pang dan menyerang rakyat baik-baik! Dia merasa penasaran sekali dan biarpun dia tidak ingin membunuh orang, kini dia menambah tenaga dalam tamparan-tam-parannya sehingga dalam waktu singkat, enam orang sudah dia robohkan dengan tulang lengan, kaki atau pundak patah-patah, membuat mereka tidak mampu melakukan pengeroyokan lagi.
Bagaimanapun juga, jumlah pengeroyok itu teramat banyak dan para ang-gauta Hwa-i Kai-pang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi maka Hui Song merasa repot juga. Kalau dia mau melarikan diri, tentu tidak begitu sukar baginya karena sekali mempergunakan gin-kang dan meloncat keluar lalu lari, kira-nya mereka itu tidak akan mampu me-nyusulnya. Akan tetapi, yang membuat dia merasa malu untuk lari adalah sorakan dan teriakan pemuda jembel tadi.
"Hayo, gasak saja tikus-tikus itu! Ha-ha-ha, robohkan mereka semua satu demi satu, baru gagah namanya!" Teriakan-teriakan ini membuat hati Hui Song mendongkol. Kurang ajar, pikirnya, enak saja pemuda jembel itu membikin dia menjadi tontonan tanpa bayar. Dan kata-katanya membuat dia merasa malu kalau harus melarikan diri, takut dianggap penakut dan tidak gagah!
Teriakan Sui Cin itu tidak hanya membuat Hui Song mendongkol, akan tetapi juga membuat para pengeroyok menjadi marah. Mereka yang tidak dapat ikut mengeroyok pemuda itu karena jumlah mereka yang terlalu banyak, kini membalik dan mengepung Sui Cin sambil mengacung-acungkan senjata, siap untuk mangeroyoknya. Melihat ini, Hui Song tertawa.
"Rasakan kamu sekarang!" teriaknya ke arah pemuda jembel itu, akan tetapi diam-diam dia mendekati dan siap untuk melindunginya kalau ternyata pemuda jembel itu hanya baik hati dan bengal saja akan tetapi tidak becus menjaga diri dari serangan banyak orang bersenjata.
Akan tetapi, pemuda ini terbelalak kaget ketika melihat si pemuda jembel, sambil tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangannya dan uang-uang logam yang digenggamnya beterbangan ke depan, meluncur seperti peluru-peluru ke arah orang-orang yang datang hendak mengeroyoknya. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan empat orang melemparkan senjata mereka, terpincang-pincang berusaha mencabut uang logam yang menancap hampir lenyap ke dalam paha atau betis mereka.
"Aduh... aduhh... kakiku...!" Mereka berteriak-teriak dan berloncatan. Darah mengalir membasahi celana mereka.
Sui Cin tertawa-tawa dan bertepuk tangan gembira. "Ha-ha-hi-hi-hi, kalian seperti sekumpulan monyet menari-nari... heh-heh!"
Para perajurit lainnya marah dan menyerbu. Akan tetapi mereka disambut oleh hujan uang logam yang kalau mengenai tubuh mereka amat tajam dan run-cing seperti senjata rahasia piauw saja. Uang logam itu menembus pakaian dan kulit, menyusup ke dalam tulang. Tentu saja mereka yang terkena sambaran sen-jata rahasia yang istimewa itu.
Melihat kelihaian pemuda jembel itu, Hui Song menjadi girang bukan main. Tak disangkanya pemuda jembel bengal seperti itu ternyata lihai sekali. Sui Cin sendiri girang melihat hasil sambitan-sambitannya. "Ha-ha-ha, uang ini benar-benar serba guna, dapat diberikan orang-orang baik untuk membeli makanan penahan kelaparan, dapat pula dipergunakan untuk menghajar orang-orang jahat."
Ketika tanpa disengaja sebuah di antara uang logam yang disambit-sambitkan itu tepat mengenai tulang kering seorang pengeroyok sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak saking nyeri dan kiut-miut rasa tulang keringnya, Sui Cin menjadi gembira bukan main dan sambil masih tertawa-tawa dara inipun kini membidikkan sambit-sambitannya ke arah tulang kering kaki para pengeroyok itu. Makin banyak yang terkena sambaran uang lo-gam tulang kering kakinya, makin banyak pula yang berjingkrak seperti orang-orang menari dengan gaya yang lucu dan makin terbahaklah Sui Cin. Akan tetapi kini pasukan pemerintah datang semakin banyak dan karena banyaknya pengeroyok, Sui Cin tidak dapat mengandalkan lagi uang-uang logam itu dan diserbu dari be-lakang, terpaksa iapun berloncatan dan melakukan perlawanan seperti Hui Song, dengan tangan kosong. Setiap kali me-nyamar sebagai pemuda jembel, ia selalu meninggalkan payungnya. Payung dan ku-da cebolnya itu hanya dipergunakan ka-lau ia berpakaian sebagai wanita saja. Dan sekarang kuda dan payungnya itu di-titipkannya di tempat yang aman.
Hui Song menjadi semakin kagum melihat betapa selain pandai memperguna-kan uang logam sebagai senjata rahasia yang ampuh, ternyata pemuda jembel itu-pun lihai sekali ilmu silatnya sehingga dengan tangan kosong berani menyerbu banyak pengeroyok yang mempergunakan senjata tajam. Akan tetapi kekagumannya kini bercampur dengan keheranan karena dia segera mengenal gerakan-gerakan jurus ilmu silat yang dimainkan pemuda itu. Lagi-lagi seorang ahli silat keluarga Cin-ling-pai, pikirnya. Hatinya penasaran sekali dan tiba-tiba saja diapun teringat. Pantas dia merasa pernah bertemu de-ngan pemuda ini. Mata itu! Senyum itu! Kebengalan itu dan akhirnya ilmu silat itu. Sama benar dengan dara remajan nyentrik yang pernah dijumpainya! Akan teta-pi jembel ini adalah seorang pemuda. Tentu saudaranya! Ataukah saudara seperguruan"
"Heii, sobat muda yang baik, tidak benar melanjutkan perlawanan terhadap pasukan pemerintah. Hayo kita pergi!" kata Hui Song ketika melihat betapa pa-sukan pemerintah semakin banyak berda-tangan dan melakukan pengeroyokan.
Sui Cin juga merasa tidak enak kalau melanjutkan amukannya melihat betapa kini tempat itu penuh dengan perajurit pemerintah. Ayahnya tentu akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia bermusuhan dengan pasukan pemerintah karena hal ini hanya dapat diartikan bahwa ia telah menjadi pemberontak! Maka, mendengar ucapan Hui Song, iapun ter-tawa dan meloncat sambil membawa dua genggam uang logam. Hui Song juga me-loncat jauh dan ketika para pengeroyok melakukan pengejaran, Sui Cin melem-par-lemparkan uang logam dua genggam itu sehingga para pengeroyok dan penge-jar menjadi jerih. Dengan mudah mereka berdua lari meninggalkan kota Cin-an dan keluar dari pintu gerbang sebelah utara.
Hui Song mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi dengan kagum dan he-ran dia mendapat kenyataan betapa jem-bel muda itu dapat mengimbangi kecepatannya! Perkelahian dikeroyok banyak la-wan itu membuat keduanya puas benar. Kedua orang itu memang suka sekali bersilat, apalagi menghadapi pengeroyokan banyak orang di mana mereka berdua da-pat melampiaskan hati sepuasnya dengan menghajar para lawannya. Dan mengingat akan kelucuan pemuda jembel itu mero-bohkan lawan dengan melempar-lemparkan uang logam, keduanya berlari sambil tertawa-tawa. Setelah mereka tiba di de-kat hutan jauh di luar kota, dan tidak melihat adanya pengejar, berhentilah mereka terengah-engah akan tetapi masih tertawa gembira. Begitu melihat wajah pemuda jembel itu yang tertawa-tawa, hati Hui Song sudah tertarik sekali dan dia merasa amat suka kepada pemuda itu. Mereka berdua merasa lelah, bukan hanya karena perkelahian tadi, akan te-tapi juga karena berlari cepat dan di-tambah lagi karena tertawa-tawa dan mereka berdua menjatuhkan diri di atas rumput tebal di bawah pohon. Sui Cin menurunkan buntalannya dari atas pung-gungnya dan berkata sambil tersenyum, "Aah, perkelahian yang amat menyenang-kan!"
"Dan engkau hebat sekali, sobat muda!" kata Hui Song dengan sungguh-sungguh. "Engkau masih begini muda, akan tetapi engkau telah memiliki kedermawanan besar dan memiliki kepandaian yang amat mengagumkan, terutama... eh, ilmu menyambit dengan uang logam tadi!"
"Hemm, kebisaanku apa artinya kalau dibandingkan dengan kelihaianmu?" Sui Cin berkata sejujurnya karena iapun ka-gum akan kepandaian pemuda putera ke-tua Cin-ling-pai ini. Ia sudah banyak mendengar tentang ketua Cin-ling-pai dari ayahnya. Menurut penuturan ayahnya, ketua Cin-ling-pai bernama Cia Kong Liang, pendekar yang telah mewarisi ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, seorang yang menurut ayahnya berwatak keras dan agak tinggi hati. Dari penuturan ayahnya, ia dapat menduga bahwa ayahnya tidak be-gitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang tinggi hati itu. Dan Cia Kong Liang ini menikah dengan puteri bekas datuk sesat. Mungkin karena pengaruh cerita ayahnya itulah hati Sui Cin masih belum percaya bahwa Hui Song dan sedang meraba-raba apakah pemuda ini juga tinggi hati se-perti ayahnya.
"Sobat muda, aku tidak hanya memuji kosong saja. Jarang aku memuji orang, akan tetapi aku sungguh kagum kepadamu. Engkau mengingatkan aku akan..."
"Nanti saja kita lanjutkan percakapan kita. Sekarang perutku lapar, apakah engkau mau makan bersamaku?"
Hui Song tertegun karena pembicaraannya diputus seperti itu. "Lapar" Makan" Ah... tentu saja, akupun lapar," katanya gembira karena melihat kelucuan ini.
Sui Cin membuka buntalan pakaiannya, akan tetapi tidak dibukanya semua, hanya sedikit saja untuk mengambil bungkusan kertas tebal dari dalamnya, lalu menutup kembali buntalan pakaiannya, seolah-olah ia tidak ingin Hui Song melihat isi buntalannya. Dan memang tentu saja ia tidak menginginkan pemuda itu melihat bekal pakaian wanita yang disimpan di dalam buntalannya itu. Untuk mengalihkan perhatian pemuda itu yang mengamati gerak-geriknya, Sui Cin bertanya, "Sobat, makanan apakah yang paling kausukai?"
"Aku...?" Hul Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri. "Aku suka makan... kodok!"
"Hah" Katak" Katak buduk?" Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan matanya. Sejenak Hui Song terpesona. Mata itu demikian lebar dan indahnya, mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.
"Ha-ha-ha, tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan lembut dagingnya itu!"
Sui Cin tersenyum mengejek. "Di hutan begini, mana ada yang menjual swike" Bahkan restoranpun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya hanya nasi cap-jai, kalau engkau lapar boleh makan bersama aku. Boleh saja makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya, batunya juga boleh kan?"
"Ha-ha-ha-ha! Engkau sungguh lucu sekali!" Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka bungkusan kertas dan ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar yang ketika dibuka terisi cap-jai dan nasi.
"Nah, silakan makan," kata Sui Cin.
"Tapi... tidak ada mangkok tidak ada sumpit, bagaimana harus makan?" Hui Song bertanya.
"Alaaaa, aksi dan genit amat sih! Tidak ada mangkok, kan ada daun ini" Tidak ada sumpit katamu" Sumpit hanya dua batang, sedangkan kita mempunyai lima batang sumpit alam, untuk apa kalau tidak dipergunakan?" Berkata demikian, langsung saja Sui Cin menggunakan lima sumpit alam alias lima jari tangan kanannya untuk menjumput nasi dan sayur lalu dimakannya dengan lahap.
Melihat ini, Hui Song terbelalak, memandang tangannya. Ingin dia mengatakan bahwa tangannya harus dicuci dulu, akan tetapi karena malu dikatakan aksi dan genit, diapun nekat dan menggunakan tangannya itu, tanpa dicuci atau dibersihkan, untuk menjumput makanan dengan kaku dan makan. Mereka berdua makan dengan tangan begitu saja dengan makanannyapun berada di atas daun, seperti dua orang dusun yang amat bersahaja. Diam-diam Hui Song semakin kagum kepada pemuda remaja jembel ini yang agaknya sudah terbiasa hidup serba kekurangan dan dapat menyesuaikan diri dengan kesederhanaan yang begitu polos dan tidak dibuat-buat. Dan mengingat bahwa pemuda ini tadi menghamburkan uang sedemikian banyaknya seperti pasir! Padahal, kalau dia mau mempergunakan uang sekarung itu untuk diri sendiri, tentu dia akan dapat makan enak di restoran, dengan mangkok perak dan sumpit gading sekalipun! Makin kagumlah dia. Dia sendiripun suka hidup ugal-ugalan atau tidak berbasa-basi, biasa berkelana dan suka akan kebebasan hidup sederhana, akan tetapi belum pernah dia makan menggunakan lima sumpit alamnya, maka makannyapun tidak kelihatan selahap dan seenak pemuda jembel itu. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan makanan itu berhenti di tenggorokannya.
"Ada apa?" Sui Cin bertanya sambil memandang wajah Hui Song yang tiba-tiba berobah itu. "Apakah ada tulang me-lintang di kerongkonganmu?"
Pertanyaan itu lucu dan mengundang kembali kegembiraan hati Hui Song akan tetapi tidak dapat mengusir dugaan yang menyelinap di dalam pikirannya. Bahkan pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat mulutnya mengucapkan isi hatinya. "Apakah... apakah makanan ini sisa makanan yang kaudapatkan dari rumah makan?"
Dugaan itu timbul ketika dia teringat bahwa pemuda remaja itu seorang pengemis dan bukankah sudah menjadi kebiasaan para pengemis untuk mengemis sisa makanan dari restoran-restoran" Teringat bahwa yang ditelannya adalah sisa makanan yang dikumpulkan dari restoran itulah yang membuat lehernya seperti tercekik tadi.
Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Sui Cin menjadi merah. Dengan gerakan marah ia lalu membuang bungkusan makanan yang sedang mereka ma-kan itu sehingga isinya tumpah berserak-an di atas tanah. Hampir Sui Cin mena-ngis, akan tetapi ditahannya karena ia teringat bahwa ia sedang menyamar sebagai seorang pemuda sehingga akan janggallah kalau menangis. Hui Song terkejut bukan main.
"Ada apakah" Mengapa... ah, maafkan aku, bukan maksudku untuk menghi-na." katanya gagap setelah dia sadar bah-wa dia telah salah bicara tadi. Sungguh watak yang aneh sekali, pikirnya. Seo-rang jembel muda membagi-bagi uang dan kini marah-marah ketika ditanyakan apakah makanannya didapat dari menge-mis sisa makanan. Di mana bisa didapat-kan seorang jembel seperti ini" Dan pakaiannya memang jembel, mukanya penuh debu.
"Aku bukan pengemis!" Sui Cin berkata dengan suara agak ketus.
Hui Song mengangguk-angguk. "Aku lupa bahwa engkau pernah membagi-bagi banyak uang. Tentu engkau seorang Sin-touw (Maling Sakti)..."
"Aku bukan maling!" Bentakan Sui Cin lebih keras lagi, mengejutkan hati Hui Song. Keduanya diam dan termenung sambil memandang makanan yang berserakan di atas tanah. Tentu saja makanan itu kotor dan tidak dapat dimakan lagi, padahal perut mereka masih lapar. Jelas nampak kekecewaan membayang di wajah kedua orang muda itu.
Tiba-tiba, agaknya melihat masakan itu tidak dapat diraih padahal demikian dekatnya, terdengar bunyi perut berkeruyuk saling sahut. Keduanya mengangkat muka saling pandang dan seketika kebe-kuan di antara mereka mencair.
"Perutmu berkeruyuk!" Hui Song ber-kata menahan senyum geli.
"Perutmu juga!" jawab Sui Cin dan keduanya tertawa geli. "Salahmu!" Sui Cin mengomel akan tetapi wajahnya kini berseri kembali. "Dugaanmu yang keji membuat aku marah dan membuang ma-kanan kita. Sekarang kita lapar dan aku hanya tinggal mempunyai roti tawar ke-ring saja."
"Roti tawar amat enak dimakan ke-tika perut lapar."
"Memang."
"Dan dapat mengenyangkan perut," kata pula Hui Song.
"Memang."
Biarpun membenarkan ucapan pemuda itu, namun Sui Cin belum juga mengeluarkan roti tawar yang tersimpan dalam buntalannya dan ia nampak termenung.
Hui Song memandang heran. "Kalau kita lapar sekali... dan roti tawar itu cukup enak..."
Tiba-tiba Sui Cin mengangkat mukanya dan memotong. "Engkau suka swike...?"
Tentu saja Hui Song terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti serangan pedang runcing ditusukkan ke jantungnya itu. "Apa...?"
"Engkau suka swike, terutama kodok batu...?" Kembali Sui Cin bertanya dan ia menoleh ke kiri, memandang ke puncak bukit di mana nampak beberapa ekor burung pipit beterbangan. Hui Song memandang dengan mata terbelalak kepada wajah yang kotor berdebu itu, alisnya berkerut, takut kalau-kalu pemuda jembel ini mempunyai keistimewaan lain lagi yang tidak menguntungkan, yaitu otaknya miring!
Orang yang tidak beres ingatannya harus disetujui saja kata-katanya, tidak boleh dibantah, demikian pikirnya. Maka diapun mengangguk pasti. "Ya, ya... aku suka sekali."
"Kalau begitu tunggu di sini sebentar, jangan pergi ke mana-mana!" Dan sebelum Hui Song sempat menjawab, Sui Cin telah meloncat dan berkelebat lenyap dari situ, seperti terbang cepatnya ia berlari ke arah puncak bukit yang sejak tadi dipandanginya itu. Hui Song bengong saja mengikuti bayangan itu sampai lenyap ditelan rimbunnya pohon-pohon dan semak-semak.
Tak lama kemudian, sambil tertawa-tawa pemuda jembel itu datang lagi. Kedua tangannya memegang kaki belakang empat ekor katak yang besar-besar dan gemuk-gemuk! Keempat katak itu bergantung tak bergerak, dan dari kaki belakang sampai kepala, panjangnya tidak kurang hampir dua kaki! Seperti katak raksasa saja! Kulitnya hitam-hitam kehijauan, lorek-lorek indah.
Sui Cin melemparkan empat ekor katak yang sudah mati itu ke atas tanah di depan Hui Song sambil tertawa gembira. Hui Song juga tertawa.
"Wah, engkau pintar sekali menangkap katak-katak raksasa ini," katanya sejujurnya.
"Engkau tidak tahu katak apa ini" Bukan katak raksasa. Inilah katak batu yang tulen! Terpaksa kupecahkan kepalanya dengan batu karena kodok batu ini liar dan ganas sekali!"
"Tapi yang biasa kubeli di restoran dagingnya lunak."
"Memang dagingnya lunak, akan tetapi kodok-kodok ini liar dan ganas. Hayo bantu aku membersihkannya. Potong kepalanya, ujung keempat kakinya. Akan tetapi jangan buang kulitnya. Kodok batu kulitnya tipis dan tidak ulet, enak dimakan bersama dagingnya. Babkan kalau kulitnya dilepas, dagingnya yang terlalu lunak itu akan hancur kalau dimasak. Nah, begitu. Mari kita cuci di sumber air sana. Aku melihatnya tadi ketika kembali ke sini."
Sui Cin membawa buntalannya dan dibantu oleh Hui Song, mereka berdua menuju ke sumber air untuk mencuci empat ekor katak besar itu. Mereka melakukan kerjaan ini sambil bercakap-cakap gembira, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak lama, padahal mereka bahkan belum saling berkenalan!
"Kenapa kodok batu yang dagingnya lunak kaunamakan kodok liar dan ganas?" Hui Song bertanya.
"Kodok batu termasuk kodok yang cerdik dan ganas. Engkau tahu apa yang dimakannya?"
"Tentu nyamuk, serangga lain atau lumut dan ujung daun..."
"Salah sama sekali! Engkau melihat burung-burung yang beterbangan di atas itu" Nah, itulah makanannya!"
"Tak mungkin! Mana bisa kodok yang berada di darat makan burung yang terbang di atas?"
"Kodok batu adalah pengail yang amat pandai dan sabar. Dia memancing burung itu untuk turun dan menyambar umpannya."
"Apa umpannya dan bagaimana cara memancing burung?"
"Umpannya dirinya sendiri. Seekor kodok batu yang kelaparan dan ingin makan burung, sengaja rebah terlentang di atas batu, kalau perlu sampai berjam-jam, tanpa bergerak sehingga siapapun akan menyangka dia sudah mati. Bangkai kodok itu menarik perhatian burung yang terbang turun untuk menyantapnya, akan tetapi begitu burung itu mematuk perutnya, seperti ikan menyambar umpan di mata kail, kodok batu itu akan menyergap dan menangkapnya dengan empat kaki dan menggigitnya. Nah, bukankah kodok batu itu liar den ganas?"
Hui Song mendengarkan dengan penuh kagum. Ternyata pemuda jembel ini banyak sekali pengetahuannya. Ketika membersihkan tubuh katak itu, dia mendapat kenyataan bahwa kulit yang lorek-lorek itu memang tipis dan halus.
"Heran, kodok yang liar dan ganas pemakan burung tapi kulitnya demikian tipis," katanya.
"Ya, dan kulitnya enak untuk dimakan, maka kodok batu selalu dimasak berikut kulitnya. Kulit katak hijau, biarpun lebih kecil dan pemakan nyamuk dan serangga, lebih ulet dan karena itu, kulit katak hijau tidak ikut dimasak. Mudah saja mengupas kulit katak. Kalau kepalanya sudah dipotong, sekali pencet saja tubuhnya akan keluar dari kulitnya. Tapi bodoh kalau membuang kulit katak hijau, karena kalau digoreng, rasanya enak sekali, tidak kalah oleh goreng kulit atau usus ayam!"
"Ha-ha-ha, sobat muda, agaknya engkau juga ahli tentang masakan!"
"Ahli makan sudah jelas, kalau ahli masak... hemm, harus dibuktikan lebih dulu. Sayang kita tidak mempunyai alat untuk masak, tidak mempunyai bumbu kecuali garam yang selalu kubawa dalam buntalan pakaian. Daging kodok batu ini kalau dimasak dengan tao-co, wah, gurih sekali. Kalau dimasak dengan jahe, hemm, sedap! Dan kalau dimasak dengan tape beras atau sedikit arak merah, lezat sekali."
Hui Song makin kagum den mulutnya menjadi basah karena bangkit seleranya oleh keterangan tentang masakan-masakan sedap itu. "Dan bagaimana kalau digoreng?"
"Kurang tepat. Daging kodok batu terlalu lunak kalau digoreng bisa hancur. Untuk gorengan, lebih enak daging kodok hijau biasa. Dan daging katak ini terpaksa kita panggang saja, dengan diberi sedikit garam. Habis tidak mempunyai alat masak dan bumbunya sih."
"Panggang daging kodok batu dimakan dengan roti tawar... hemm, enak seka-li!" kata Hui Song.
"Memang! Akan tetapi daging ini takkan matang kalau kita hanya omong-omong saja. Hayo cepat kumpulkan kayu bakar dan bikin api untuk panggang daging kodok ini!"
Tak lama kemudian, tercium bau panggang yang gurih dan segera mereka makan lagi, roti tawar dengan panggang kodok. Ternyata memang lezat dan mereka makan lebih lahap dan gembira daripada tadi.
"Hemm, belum pernah aku makan selezat ini!" Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar. "Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Pandai engkau membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"
Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berobah merah sekali. "Biarpun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk di waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."
"Ah, pantas kalau begitu" Siapa gurumu memasak?"
"Guruku..." Ia... enciku sendiri."
Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit dan memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum. "Ha! Aku tahu siapa encimu!"
"Eh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah" Kalau tahu, siapa nama enciku dan dari mana ia datang?"
"Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku, aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah ia telah menyelamatkan aku, membantuku ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkaupun membantuku, jadi kalian adik dan enci selalu membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, ketika aku bertemu dengan encimu, ia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama encimu dan siapa pula orang tua atau gurunya" Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat encimu sesumber dengan ilmu silatku."
Sui Cin diam-diam merasa geli dan wataknya yang bengal membuat ia ingin mempermainkan pemuda ini. "Mana aku tahu bahwa engkau benar-benar pernah bertemu dengan enciku" Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"
"Ah, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakannya?" kata Hui Song sambil menatap tajam wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Wajahnya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, kalau tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."
"Eh, kau ini menggambarkan wajah enciku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur, merasa sungkan dan tidak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.
"Habis, wajah encimu itu seperti pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.
"Teruskan, teruskan...!"
"Pendeknya, encimu itu seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... eh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."
"Cukup, engkau memang sudah mengenalnya." kata pemuda jembel itu, menyembunyikan perasaan girang dan juga malu di hatinya. Bagaimana ia tidak akan merasa girang akan tetapi juga jengah mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci"
"Memang aku sudah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu-membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kauberitahukanlah aku siapa nama encimu dan bagaimana pula keadaan keluargamu."
"Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan diri. Terus terang saja, aku dan enciku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enciku."
Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan suka sekali menggoda orang, wataknya agak berandalan. Akan tetapi diapun cerdik dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka diapun tidak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walaupun dia merasa jauh lebih tua daripada jembel muda ini.
"Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin-ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka kalau tidak muncul encimu yang lihai dan yang membantuku sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."
Sui Cin mengangguk-angguk. "Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang berilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang amat terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai" Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!" Sui Cin yang mendengar dari ayahnya tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai, lalu berdiri den memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itupun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.
"Aihh, adik yang baik, minta ampun jangan menyebutku taihiap!"
"Kenapa" Bukankah engkau seorang pendekar besar, putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang dihormati dan disegani orang-orang gagah di seluruh dunia?"
"Wah, tidak kuat aku menerima sebutan itu. Selama hidup belum pernah aku disebut orang taihiap, dan aku tidak pernah merasa menjadi taihiap. Apalagi pendekar besar, menjadi pendekar yang paling kecilpun aku bukan! Karena engkau jauh lebih muda dari aku, sebut saja aku kakak atau paman juga boleh!"
Sui Cin tertawa. Hatinya senang sekali. Pemuda ini sama sekali tidak congkak. Apakah berita tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai itu tidak benar" Kalau benar bapaknya berhati congkak, mengapa putera tunggalnya demikian ramah, polos, jenaka den rendah hati malah"
"Baiklah, aku akan menyebutmu kakek. Bagaimanapun, engkau hanya lebih tua beberapa tahun saja daripada aku."
"Beberapa tahun" Engkau paling banyak berusia empat belas tahun!"
"Aku sudah enam belas tahun... eh, hampir! Song-twako, engkau paling banyak berusia dua puluh empat tahun."
"Aku baru dua puluh satu tahun, karena tinggi besar, mungkin nampak lebih tua," kata Hut Song. "Dan sekarang ceritakanlah keadaan kalian..."
"Nanti dulu, Song-twako. Aku belum tahu benar akan keadaanmu. Apakah... apakah engkau sudah menikah?"
Hui Song tertawa. "Ha-ha-ha, apakah aku kelihatan seperti orang yang sudah menikah" Belum, adik yang baik. Aku belum menikah dan mungkin takkan menikah!"
"Eh, kenapa" Semua orang menikah kalau sudah berusia dua puluh tahun lebih."
"Apakah itu suatu keharusan" Aku tidak mau kalau dipaksa menikah, kecuali kalau memang hatiku ingin."
"Sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, tentu sejak kecil engkau sudah ditunangkan dengan puteri seorang yang berkedudukan tinggi dan terkenal pula."
Hui Song tersenyum lebar dan menggeleng kepala. "Tidak, aku belum bertunangan dan tidak akan ditunangkan di luar keinginanku. Nah, sekarang ceritakanlah, siapa nama encimu?"
"Hei, Song-twako. Engkau berhadapan dan berkenalan dengan aku, kenapa yang kautanyakan hanya enciku melulu?"
Hui Song tertawa menutupi rasa malunya. "Baiklah, aku tanyakan namamu dahulu. Siapa namamu, adik yang baik?"
"Namaku Ceng Sui Cin..."
Hui Song bangkit berdiri dan matanya terbelalak, wajahnya berseri. "She
Ceng" Ah, sudah kuduga dalam hatiku. Engkau putera Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang amat terkenal itu!"
"Hemmm... engkau sudah tahu ba-nyak tentang ayahku?" Sui Cin bertanya, matanya memandang penuh selidik. Kalau benar pemuda ini sudah banyak mengetahui tentang keadaan ayahnya, tiada gunanya lagi permainannya menyamar sebagai adik Sui Cin yang bernama Sui Cin itu!
Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala. "Tentu saja aku tahu tentang ayahmu dari penuturan ayahku. Akan tetapi yang kuketahui hanya bahwa ayahmu Ceng Thian Sin berjuluk Pendekar Sadis dan memiliki kepandaian amat hebat. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa tentang beliau karena ayah tidak menceritakan lebih banyak lagi, agaknya ayah memang tidak tahu banyak tentang ayahmu."
Memang tinggi hati ketua Cin-ling-pai itu, pikir Sui Cin. Bagaimanapun juga, ayahnya mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cin-ling-pai, akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu tidak banyak bercerita tentang ayahnya kepada puteranya.
Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ketua Cin-ling-pai itu adalah seorang yang congkak, tinggi hati. Akan tetapi, begaimanapun juga, keadaan ini melegakan hatinya. Ia lebih senang keadaan keluarganya tidak diketahui oleh Hui Song karena dengan demikian ia boleh mempermainkan pemuda itu sesuka hatinya.
"Sekarang ceritakan, siapa nama encimu itu, Cin-te (adik Cin)?"
Sui Cin tersenyum. "Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Kalau aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Ia galak sekali lho. Sebaiknya kelak saja kalau engkau berjumpa lagi dengannya, tanyakan sendiri, Song-twako."
Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah berjumpa dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka diapun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan encinya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya. Bagaimanapun juga dia telah berkenalan den bersahabat dengan adik dara itu, inipun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan encinya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimanapun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang amat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.
"Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu" Di manakah mereka tinggal?" tanyanya.
"Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... eh, untuk mencari enciku di sana."
"Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.
Sui Cin tersenyum menggoda. "Eh, katanya tadi bilang hendak ke Cin-ling-pai" Mengapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"
Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song tertawa. "Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan encimu. Akan tetapi, sesungguhnya, selain keinginanku berkenalan dengan encimu, juga ada hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."
Sui Cin merasa tertarik. "Hal-hal penting apakah, twako?"
"Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali ketika aku melihat kaisar dalam penyamaran dilindungi oleh datuk-datuk Cap-sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai-pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting den aneh sekali" Aku ingin menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tidak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."
Sui Cin mengangguk-angguk. "Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."
"Baiklah, dan akupun akan membantumu mencari encimu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Istana tua di Lembah Naga itu dahulu merupakan tempat yang amat sunyi, akan tetapi semenjak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu tidaklah begitu sunyi lagi. Di kanan kiri gedung istana tua itu kini didirikan bangunan-bangunan pondok di mana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih. Para murid atau anggauta Pek-liong-pai selain belajar ilmu silat di tempat itu, juga mereka bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu dan ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.
Banyak sudah murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan dan mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong-pai yang gagah perkasa, apalagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itupun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.
Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap sangat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan belajar di situ akan mengalami ujian dulu, diteliti watak dan bakatnya. Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah. Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat masih mentah sajalah yang tidak mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan hal ini selain amat berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.
Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai, belasan tahun yang lalu, ayah ibunya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, juga mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersamadhi dan menyendiri. Akan tetapi pendekar sakti ini merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak musnah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong membantu puteranya untuk memberi gemblengan ahlak kepada para murid Pek-liong-pai, dengan mempelajari budi pekerti dan ilmu kesusasteraan. Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.
"Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacad di dunia ini," demikian antara lain dia menasihatkan murid-murid Pek-liong-pai. "Dan kita sendiripun adalah manusia, maka kitapun tidak terlepas daripada cacad-cacad itu. Setiap orang manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, memiliki kebaikannya dan keburukannya masing-masing. Orang yang sedang tersesat atau melakukan perbuatan yang kita sebut jahat, hanyalah merupakan manusia yang sedang dihinggapi penyakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin inipun dapat sembuh. Orang yang hari ini sakit, besok atau lusa bisa sembuh, orang yang ini hari melakukan peebuatan sesat, besok atau lusa bisa bertobat. Sebaliknya orang yang sedang sehat, jangan sekali-kali te-kebur karena sewaktu-waktu bisa saja dia dihinggapi penyakit batin itu. Jadi, sebagai seorang pendekar yang mengetahui ini semua, yakin bahwa diri sendiripun sewaktu-waktu bisa saja sakit, kita tidak boleh meremehkan dan memandang rendah kepada orang-orang yang sedang sakit batinnya. Yang kita berantas adalah penyakit batinnya itu, bukan orangnya. Sebaliknya kita menyadarkan mereka, dan itu berarti mengusahakan pengobatan. Kalau perlu memang kita dapat menggunakan ilmu silat kita untuk menundukkannya, menghajarnya, agar dia jera. Akan tetapi ingat, seorang yang bagaimana jahatnyapun adalah seorang manusia, sama dengan kita, maka tidak berhaklah kita untuk membunuhnya."
"Akan tetapi, suhu," ada seorang murid yang memberanikan diri untuk membantah, "bagaimana kalau ada orang jahat yang sesudah dihajar berkali-kali, belum juga mau bertobat dan masih saja melanjutkan kejahatannya?"
Cia Han Tiong tersenyum lebar. "Ada juga penyakit badan yang sukar diobati. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita lalu boleh membunuh saja orang sakit yang tidak mudah diobati itu! Cepat atau lambatnya dia bertobat tergantung dari keadaan badannya, tergantung dari berat ringannya penyakitnya. Tidak ada istilah bosan dalam usaha pengobatan, baik pengobatan terhadap penyakit badan maupun penyakit batin."
"Maaf, suhu," seorang murid lain membantah. "bagaimana kalau kita bertemu dengan orang jahat, atau yang suhu sebut sebagai orang yang sedang sakit batinnya, dan orang itu menyerang dan hendak membunuh kita" Apakah kita harus membiarkan diri sendiri terbunuh olehnya karena kita tidak boleh membunuhnya?"
"Jangan kalian salah paham," Han Tiong menjawab. "yang dinamakan membunuh hanyalah perbuatan yang kita sengaja lakukan karena kebencian di hati. Menjaga dan melindungi diri sendiri dari kehancuran dan kematian merupakan suatu keharusan dalam hidup. Kalau untuk membela diri, untuk melindungi diri, baik terhadap ancaman maut di tangan binatang atau manusia, terpaksa kita mero-bohkan penyerang itu sampai dia tewas, bukan pembunuhan yang kita lakukan de-ngan sengaja, maka hal itu tidaklah bu-ruk. Aku tidak melarang perbuatan tidak disengaja seperti itu. Akan tetapi, seda-pat mungkin, cegahlah serangan yang da-pat mematikan lawan."
Demikianlah antarsa lain gemblengan batin yang diberikan oleh Cia Hen Tiong terhadap murid-muridnya. Oleh karena i-tu, para murid yang dinyatakan lulus kemudian terjun ke dalam dunia ramai se-bagai seorang pendekar Pek-liong-pai, dengan pakaian putih mereka, selalu men-datangkan kagum di dunia kang-ouw. Pa-ra pendekar menghormati nama Pek-liong-pai yang menentang kejahatan tanpa rasa benci perorangan kepada pelaku-pelaku kejahatan itu sendiri. Jarang sekali ter-jadi seorang penjahat tewas di tangan murid Pek-liong-pai, walaupun dengan il-mu silatnya yang tinggi murid Pek-liong-pai itu menekan si penjahat untuk meng-hentikan kejahatannya.
Cia Han Tiong den isterinya hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Sun. Seperti juga para murid lain dari Pek-liong-pai, Cia Sun juga digembleng oleh ayahnya, bahkan penggemblengan terhadap dirinya lebih hebat tentu saja sehingga dalam usia dua puluh tahun sa-ja Cia Sun telah mewarisi semua ilmu kepandaian ayahnya. Juga dia mewarisi watak ayahnya yang pendiam, halus pe-nuh perasaan, berwibawa, jujur den setia, seorang kuncu atau budiman lahir batin seperti yang dimaksudkan dalam pelajar-an Nabi Khong Cu.
Pada pagi hari yang cerah itu, Cia Han Tiong dan isterinya bercakap-cakap sambil duduk di serambi depan istana kuno yang menjadi tempat tinggal mereka. Pagi itu cerah sekali dan hawanya segar, membuat orang merasa tubuhnya sehat den batinnya tenteram. Cia Han Tiong sudah berusia empat puluh tujuh tahun kurang sedikit, akan tetapi dia masih kelihatan gagah perkasa dan wa-jahnya membayangkan watak yang budi-man, halus peramah. Tubuhnya yang tegap membayangkan tenaga yang kuat dan patutlah kalau dia menjadi ketua Pek-liong-pai yang gagah perkasa. Isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berusia empat pu-luh dua tahun, masih nampak muda dan cantik. Mereka bercakap-cakap dan membicarakan putera mereka yang pergi me-wakili Pek-liong-pai menghadiri pertemu-an para pendekar di Puncak Bukit Pe-rahu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi keributan di selatan sana," kata Cia Han Tiong kepada isterinya. "Aku tidak ingin melihat Cia Sun terlibat dalam permusuhan yang tiada hentinya antara golongan hitam dan golongan putih. Kalau dia terlibat, berarti seluruh Pek-liong-pai akan terlibat pula."
Isterinya menarik napas panjang. "Aku selalu menghargai pendirianmu, suamiku, dan memang aku dapat melihat bahwa kekerasan tidak mungkin dapat melenyapkan kekerasan. Akan tetapi, golongan hitam dan golongan putih merupakan dua golongan yang berdiri saling berhadapan dan saling bertentangan. Mana mungkin mencegah kedua golongan yang saling bertentangan itu untuk tidak bentrok dan bermusuhan?"
"Aaah, itulah yang kadang-kadang menyedihkan hati sekali. Golongan hitam dianggap melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan. Kemudian golongan putih menentang mereka dengan kekeras-an pula. Kalau keduanya sudah menggu-nakan kekerasan, maka sukarlah untuk dinilai siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih buruk. Seyogianya mereka yang menamakan dirinya golongan putih itu melenyapkan dulu perasaan dendam dan benci dari hati mereka sehingga tin-dakan mereka bukan dilandasi kebencian melainkan dilandasi cinta kasih..."
"Cinta kasih" Cinta kasih terhadap kaum sesat yang jahat seperti iblis...?" Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.
Suaminya menggeleng kepala. "Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu siapa saja, tidak memilih golongan. Dengan dasar ini, maka mereka yang merasa bersih itu bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."
Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing ia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang membingungkannya. "Ah, kalau saja Cia Sun pulang..." katanya dan iapun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan yang membentang luas di depan istana Lembah Naga. Suaminya juga bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.
"Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicara mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."
Ciu Lian Hong menoleh kepada suaminya, "Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan bertemu sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tidak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?" Berkata demikian, isteri yang mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.
Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa lagi nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang ketika kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu" Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya. Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tehun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dewasa. Akan tetapi, isterinya itu terutama sekali merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis! Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seolah-olah terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong. Dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong. Satu di antara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang ditakuti orang. Hubungan itulah, dan watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi, bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan ia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!
Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaan-nya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja. Ke-duanya berjalan dibantu oleh tongkat me-reka. Kakek itu bertongkat hitam den si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.
"Benar di sinilah tempat itu, kanda?" tanya si nenek dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu. Kelau menggunakan tenaga orang biasa, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat den menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.
"Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah di situ masih ada tulisannya?" jawab si kakek. Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.
TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU
HEK-HIAT MO-LI
"Tidak salah lagi, suhu kita yang me-numpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tidak mampu mengalah-kan musuh," kata lagi si nenek.
"Jangan keliru. Pada waktu itu, suhu hanya memiliki tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."
"Engkau benar, kanda. Untunglah bah-wa dia telah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tiba saatnya bagi kita un-tuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"
"Mau keturunannya, atau muridnya, akan kita gempur dan basmi sampai ha-bis seakar-akarnya!"
Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tumpukan tiga bongkah batu itu memberi hormat, kemudian seje-nak mereka bersamadhi di tempat itu se-perti orang mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri, wajah me-reka penuh semangat dan dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.
Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti lagi. Bagaima-napun juga, wajah mereka nampak tegang dan agaknya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan dan kekuatan para penghuninya. Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada saat itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan. Sebaliknya, empat ang-gauta Pek-liong-pang yang bertugas di sebelah kanan istana itu, melihat kemun-culan kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu. Tentu saja mereka merasa heran dan cepat me-reka menunda pekerjaan mereka. Dua o-rang di antara mereka menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu di antara ajaran yang mereka dapatkan di perguru-an Pek-liong-pai, yaitu menghormat o-rang yang lebih tua.
"Maaf, lopek berdua hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara dua murid Pek-liong-pai itu.
Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, ke-mudian si kakek bertanya, suaranya ter-dengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing, "Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"
Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!
"Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."
Kini kakek dan nenek itu saling pandang dengan wajah membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya, "Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"
"Yang tinggal di situ adalah suhu dan subo..."
"Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.
"Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."
"Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai mengerutkan alisnya. Kakek dan nenek ini jelas orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, mereka menjawab juga.
"Suhu adalah putera beliau."
Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu. "Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?" teriak si nenek marah.
Dua orang laki-laki yang usianya mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Dua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu. Namun, gerakan mereka jauh kalah cepat.
"Kekkk! Kekk!" Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.
Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi kaget dan merekapun cepat lari menghampiri ke tempat itu. Ketika mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.
"Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?" bentak seorang di antara mereka.
"Mampuslah!" Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan. Akan tetapi, dua orang murid Pek-liong-pai itu selain lebih tangkas daripada dua orang sute mereka yang tewas, juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.
Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang amat dahsyat. Mereka hanya mampu mengelak beberapa kali dan ketika terpaksa mereka menangkis, terdengar suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang di antara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan semua murid Pek-liong-pai sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu. Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi dan robohlah mereka dengan tubuh utuh. Kepala mereka yang kena ditampar dan tanpa kelihatan terluka, mereka roboh dan tewas seketika. Hanya nampak tanda menghitam di pelipis mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!
Akan tetapi pekik melengking yang dikeluarkan oleh seorang di antara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tidak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga. Akan tetapi pada saat itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan di antara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menanti dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.
Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian putih itu berdatangan dari segenap penjuru ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain. Biarpun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid-murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, melainkan mengepung saja agar kakek dan nenek pemhunuh itu tidak dapat melarikan diri. Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, dan seorang di antara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.
"Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka dan kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami?"
Kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka kelihatan bergembira! Kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang jarang akan tetapi cukup panjang, tangan kanan memegang tongkat yang didirikan di depan kakinya, sedangkan nenek itupun tersenyum dan tangan kirinya bertolak pinggang.
"Ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semua sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa yang dapat membunuh musuh paling banyak!" Setelah berkata demikian, nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu telah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai! Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi kini yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja dua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biarpun mereka kaget sekali, mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.
Maklum bahwa kakek dan nenek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka
tiga orang murid pertama itu mencabut pedang mereka dan seorang di an-tara
mereka memberi komando, "Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!" Suheng ini masih memper-ingatkan para sutenya agar jangan sem-barangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!
Terjadilah perkelahian yang amat he-bat. Kakek dan nenek itu mengamuk de-ngan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya me-ngenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika. Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dialakkan saja, itu-pun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit. Para murid itu mempergu-nakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul mempergunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengero-yok dengan tangan kosong. Dan akibatnya sungguh mengerikan. Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam wak-tu singkat saja, di antara dua puluh lima orang murid, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepu-luh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tahan senjata...!" Bentakan ini demikian penuh wibawa dan memiliki getaran khi-kang yang amat kuat sehingga kakek den nenek itu terkejut dan mereka meloncat ke belakang, melintangkan tongkat di depan dada lalu menatap ke depan.
Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, telah berdiri di situ dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri melihat belasan orang muridnya telah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, sedangkan yang sepuluh orang lagi kelihaten pucat den gentar. Diapun memandang ke arah kakek den nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.
"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.
Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia mengangguk. "Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe" Andaikata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang" Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?" Pertanyaennya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.
"Ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu den benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.
Han Tiong mengerutkan alisnya. "Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."
"Bagus! Cia Han Tiong, jangan salahkan murid-muridmu dan kami tidak mempunyai permusuhan apapun dengan Pek-liong-pai. Salahkan saja nenek moyangmu dan terutama ayahmu yang dahulu membunuh nenek guru kami, yaitu bibi dari guru kami. Nama nenek guru kami itu adalah Hek-hiat Mo-li, pendatang dari Sailan. Kami sebagai keturunan perguru-annya melanjutkan usaha guru kami un-tuk mencari Pendekar Lembah Naga dan membalas dendam."
"Akan tetapi, ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu! Kenapa ji-wi lalu membunuhi murid-murid kami yang tidak berdosa...?"
"Hemm, puluhan tahun kami melatih diri, hidup sengsara agar dapat berbakti, kemudian melakukan perjalanan yang a-mat jauh dari selatan, apakah semua itu harus sia-sia saja karena kematian ayah-mu" Ayahmu boleh mati, akan tetapi ma-sih ada puteranya dan cucu-cucu murid-nya!"
Cia Han Tiong mengerutkan alisnya. Hatinya diliputi penyesalan besar. Men-diang ayahnya tidak pernah bercerita ten-tang musuh-musuhnya di waktu dahulu, akan tetapi dia merasa yakin bahwa me-mang benar ayahnya tentu dahulu pernah menewaskan nenek guru dari dua orang ini. Dan diapun yakin pula bahwa nenek guru mereka yang memakai julukan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam) tentulah bukan orang baik-baik dan tidak mengherankan kalau ayahnya membunuh-nya dalam perkelahian. Makin terasa o-lehnya betapa buruknya hidup dalam ke-kerasan. Sampai turun-temurun, dendam masih mengikatnya! Dia menarik napas panjang. Harus diakhiri ikatan karma ini. Manusia selalu dikejar ikatan karma ka-rena ulah sendiri. Kini, saatnya untuk menentukan apakah karma itu akan terus mengejarnya dan anak cucunya, sepenuh-nya berada di telapak tangannya. Akan tetapi, apakah dia harus menyerahkan sa-ja nyawanya" Kakek den nenek ini me-miliki sinar mata penuh kebencian, tentu mereka tidak akan puas kalau hanya dia yang menyerahkan diri. Mereka tentu akan membunuh pula isterinya, semua muridnya, bahkan putera tunggalnya ten-tu akan mereka cari untuk dibunuh! Ti-dak, dia harus mempertahankan keluarga-nya. Dia harus membela diri dan melin-dungi keluarga dan para muridnya.
"Orang yang dibebani dendam terkutuk! Siapakah namamu?" Akhirnya Han Tiong bertanya, suaranya penuh wibawa.
Kakek itu tertawa. "Nama kami tidak ada gunanya kauketahui. Akan tetepi agar engkau ingat bahwa kami datang untuk membalas dendam nenek kami Hek-hiat Mo-li, biarlah engkau dan dunia kang-ouw mengenal kami sebagai Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Ha-ha-ha, akan te-tapi apa gunanya" Sebentar lagi kalian semua akan menyusul mereka yang sudah mampus lebih dahulu!"
Cia Han Tiong melangkah maju. "Hek-hiat Lo-mo, marilah kita bereskan perhi-tungan lama secara jantan. Marilah eng-kau dan aku menentukan dengan nyawa kita dan urusan dendam ini kita habiskan di sini, tidak perlu menyangkut orang lain."
"Enak saja engkau hendak menyelamatkan keluarga dan murid-muridmu. Tidak, kalian semua harus mampus di tangan kami, barulah kami merasa puas dan ter-lepas dari beban batin selama puluhan tahun!" Nenek yang diberi nama Hek-hiat Lo-bo itu berkata dengan suara melengking-lengking.
Ciu Lian Hong yang sejak tadi diam saja, kini melangkah maju mendekati suaminya dan berkata, "Marilah kita hadapi mereka!" dengan sikap gagah nyonya ini-pun mempersiapkan diri. Akan tetapi suaminya menggeleng kepala dan menyuruh-nya mundur dengan sikap halus.
"Jangan engkau mencampuri, biarkan aku saja yang membereskan persoalan i-ni," katanya.
"Ha-ha-ha, ketua Pek-liong-pang. Ti-dak perlu sungkan dan malu. Kami da-tang berdua dan kami sudah mempersiap-kan segalanya, termasuk pengeroyokan murid-muridmu. Nah, kerahkanlah semua tenagamu di sini, kami tidak akan takut, tidak akan mencelamu kalau kau melaku-kan pengeroyokan!" kata Hek-hiat Lo-mo.
Akan tetapi Cia Han Tiong adalah seorang pendekar lengkap, seorang yang menjunjung tinggi kehormatan. "Kami bukan pengecut yang suka main keroyokan mengandalkan banyak orang. Kalian hanya datang berdua, kelau setuju, biarlah kulayani kalian satu demi satu."
"Kami datang berdua dan kami maju bersama. Kau boleh mengerahkan semua keluarga den muridmu!" Hek-hiat Lo-bo membentak dan nenek ini sudah mener-jang dahsyat menggunakan tongkatnya yaug meluncur ke arah dada ketua Pek-liong-pang itu. Suaminya, Hek-hiat Lo-mo, juga menyerang dengan tongkatnya.
Menghadapi serangan beruntun yang dilakukan dua orang itu secara dahsyat dan susul menyusul, Han Tiong mengebutkan kedua lengan bajunya menangkis u-jung tongkat sambil meloneat ke belakang.
"Plak-plak... brettt!" Ujung lengan bajunya dapat menyampok terpental kedua senjata lawan, akan tetapi ujung lengan baju kiri yang menangkis senjata di tangan Hek-hiat Lo-mo itu terobek.
Kedua pihak terkejut. Kakek den ne-nek itu dapat merasakan betapa kuat tangkisan ujung lengan baju tadi. Mereka bergerak dengan hati-hati dan kini meng-ambil posisi di kanan kiri lawan dan tongkat mereka membuat gerakan-gerakan a-neh den mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam saja. Melihat gerakan mereka yang teratur, Han Tiong da-pat menduga bahwa kedua orang ini me-mang telah mempelajari cara bersilat berdua merupakan semacam ilmu silat berpasangan. Ilmu ini amat kuat karena keduanya dapat bekerja sama secara ter-atur dan rapi, dapat saling bantu dan sa-ling melindungi secara otomatis. Menger-tilah dia mengapa mereka tidak mau ma-ju satu demi satu, melainkan ingin maju bersama.
"Sing...!" Cia Han Tiong memang pantang membunuh, akan tetapi menghadapi lawan-lawan tangguh itu, untuk dapat membela diri dengan baik diapun mencabut pedangnya. Sebetulnya pendekar ini tidak pernah mempergunakan pedang dan pedang yang dibawanya itu lebih merupakan hiasan saja. Akan tetapi, sekali ini dia membutuhkannya.
"Hiaaaat...!" Hek-hiat Lo-mo sudah menusukkan tongkatnya dari kanan.
"Ihhh...!" Hek-hiat Lo-bo juga menyerang dari kiri dengan totokan ke arah leher.
"Wuuutt... sing... trang-trang...!" pedang berkelebat membentuk sinar terang dan menangkis kedua tongkat. Akan tetapi, begitu kedua tongkat terpental, kakek dan nenek itu menggerakkan tangan kiri dan ternyata serangan tangan kiri mereka yang menyambar itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan tongkat mereka!
Han Tiong cepat menggeser kaki dua kali, mengelak dan menggunakan ujung lengan baju kiri untuk menangkis. Kini tahulah dia bahwa yang paling berbahaya adalah tangan kiri kedua lawan itu. Inti penyerangan mereka terletak di kedua tangan kiri sedangkan tongkat-tongkat itu lebih bertugas mengacau kedudukan la-wan dan mengalihkan perhatian agar ta-ngan kiri mereka lebih banyak memper-oleh kesempatan untuk "mencuri" kele-ngahan lawan. Maka diapun segera mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat di tangan kirinya untuk men-jaga diri dan balas menyerang. Terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru.
Akan tetapi, dua orang kakek dan ne-nek itu memiliki gerakan silat yang luar biasa dan asing bagi Han Tiong. Yang berbahaya sekali dan tak terduga-duga datangnya adalah serangan kaki mereka. Kaki mereka itu dapat menyelingi serangan tongkat dan tangan dengan tendangan-tendangan aneh yang dilakuken dalam berbagai posisi. Tendangan langsung, mi-ring ke belakang, bahkan tendangan lu-tut. Cara menendang gaya Sailan ini ti-dak dikenal Han Tiong. Berbeda dengan gaya tendangan dari selatan yang meng-gunakan sepanjang kaki dengan pengerah-an kekuatan dan dilakukan dengan cepat dari jarak agak jauh, tendangan kakek dan nenek ini dapat dilakukan deri jarak dekat, menggunakan lutut dan tiba-tiba datangnya. Betapapun juga, kematangan Han Tiong dalam ilmu silatnya membuat dia selalu dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat pula sehingga sering membuat kedua lawannya terkejut dan kesatuan gerakan mereka membuyar.
Ciu Lian Hong merasa penasaran ke-tika suaminya menyuruhnya mundur tadi. Apalagi kini melihat suaminya dikeroyok dua dan nampak terdesak, ia merasa semakin penasaran. Karena merasa khawatir akan keselamatan suaminya, akhirnya Ciu Lian Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Kakek nenek iblis curang!" bentaknya dan nyonya itupun meloncat ke depas, sambil menyerang Hek-hiat Lo-bo dengan tamparan tangan kanannya.
"Plakk...!" Tubuh nyonya itu nyaris terpelanting ketika tamparannya ditangkis oleh Hek-hiat Lo-bo dengan amat kuatnya.
"Heh-heh, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" nenek itu terkekeh lalu menyerang Ciu Lian Hong dengan tongkatnya. Nyonya ini mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya."
"Tranggg...!" Sinar pedang berkelebat dan ternyata Han Tiong telah menangkis tongkat yang mengancam keselamatan isterinya itu.
"Hong-moi, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri..."
"Tidak! Aku harus membantumu!" teriak Lian Hong.
Han Tiong khawatir akan keselamatan isterinya, maklum bahwa tidak mungkin Lian Hong dicegah. Dia menyerahkan pedang di tangannya kepada isterinya lalu berbisik cepat, "Pergunakan pedang ini dan mainkan Thai-kek Sin-kun hanya untuk membela diri saja!"
Dua orang musuh mereka itu tertawa, lalu menyerang lagi, si kakek menyerang Han Tiong yang bertangan kosong sedangkan nenek itu memutar tongkatnya lalu menyerang Lian Hong.
Nyonya ini maklum akan kelihaian lawan. Maka iapun cepat menggerakkan pedangnya dan bersilat dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun, sesuai dengan pesan suaminya. Ilmu ini dapat dimainkan dengan pedang dan ilmu silat ini memang mengandung daya tahan yang amat hebat. Ketika Lian Hong memutar pedangnya memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tongkat lawannya tidak mampu menembus benteng pertahanan yang kokoh kuat itu.
Betapapun jugat tenaga lawan lebih besar dan ilmu kepandaian nenek itu me-mang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka biarpun Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun amat kokoh kuat, tetap saja Lian Hong terdesak dan tangannya yang memegang pe-dang terasa panas dan nyeri setiap kali pedangnya bertemu tongkat. Sejak tadi Lian Hong hanya membela diri saja, se-suai dengan petunjuk suaminya, tidak pernah membalas karena ia mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk bertahan. Akan tetapi, lama kelamaan nyonya ini merasa penasaran. Ia didesak dan dihimpit dan biarpun ilmu silat itu ternyata mampu melindunginya sehingga selama hampir lima puluh jurus ia belum pernah terpukul, akan tetapi kalau hanya bertahan terus, akhirnya pasti ia akan kalah juga. Rasa penasaran membuat Lian Hong kini menyelingi pertahanannya dengan serangan balasan. Dan inilah ke-salahannya!
Tadi Han Tiong melihat betapa ting-kat kepandaian isterinya masih kalah jauh dibandingkan lawan, maka dia sengaja memberikan pedangnya dengan pesan agar isterinya memainkan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, walaupun isterinya takkan menang, setidaknya isterinya akan dapat melin-dungi diri sendiri sampai dia berhasil me-ngalahkan Hek-hiat Lo-mo kemudian membantu Lian Hong. Akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa kakek itu benar-benar amat lihai. Kini, tanpa me-megang pedang, sebetulnya Han Tiong dapat mengeluarkan ilmu-ilmunya yang sakti. Sayang, hatinya yang bersih sama sekali tak menghendaki membunuh lawan. Dia merasa bahwa pihaknya yang berhu-tang. Maka dia hanya membela diri dan balasan serangannya mempergunakan batas-batas agar jangan sampai dia mem-bunuh lawan. Hal ini mengurangi daya serangannya dan sedemikian jauhnya dia masih belum mampu mengalahkan lawan. Dan tiba-tiba saja Lian Hong yang sudah penasaran itu mulai membalas dengan se-rangan hebat kepada Hek-hiat Lo-bo!
"Haiiittt...!" Lian Hong menusukkan pedangnya dengan cepat dan kuat ke arah perut nenek itu.
"Iiihhh...!" Nenek itu meloncat dan terhuyung ke belakang. Nenek yang sudah berpengalaman ini memang licik sekali. Tadi ia sudah hampir putus asa menghadapi daya tahan yang kokoh kuat dari ilmu silat lawannya. Ia merasa penasaran dan kehabisan akal. Ia tahu bahwa ia menang segala-galanya dari lawan, akan tetapi semua ilmu sudah ia keluarkan namun belum juga ia mampu membobolkan sinar pedang yang membentuk benteng pertahanan lawan itu. Ketika ia melihat lawan tiba-tiba mulai menyerang, ia menjadi girang sekali. Begitu lawan menyerang, ia melihat lubang terbuka dalam benteng pertahanan itu! Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, bahkan memancing lawan agar menyerang terus sehingga akan terbuka lubang dan kesempatan yang lebih besar. Maka ia pura-pura terkejut, berseru sambil terhuyung ke belakang se-olah-olah ia terdesak hebat oleh serangan lawan tadi. Dan Lian Hong terkena je-bakan ini!
Melihat betapa nenek itu terhuyung oleh serangannya, Lian Hong menjadi girang sekali, mengira bahwa serangannya ini berhasil. Ia lalu mendesak dan mengirimkan serangan susulan dengan pedangnya, menubruk ke depan dan menyabetkan pedangnya ke arah leher nenek itu dari samping.
"Hong-moi, mundur...!" Tiba-tiba terdengar Han Tiong berseru keras sekali dan dia hendak meloncat ke depan mencegah isterinya. Akan tetapi, Hek-hiat Lo-mo menghadang dengan totokan tongkatnya. Dan juga, seruannya sudah terlambat karena isterinya yang sudah merasa girang melihat kemenangannya di depan mata itu tidak mau menahan serangannya.
"Wuuuttt... srettt...!" Pedang itu menyambar leher Hek-hiat Lo-bo yang mengelak dan ketika ia menggerakkan kepala, ikatan rambutnya yang penuh uban itu terlepas dan gumpalan rambutnya bergerak seperti hidup, tahu-tahu sudah membelit dan menangkap pedang lawan. Lian Hong mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, namun sukar sekali dan selagi ia bersitegang, mendadak tongkat di tangan nenek itu meluncur di ba-wah lengan Lian Hong dan menotok da-da, tepat di dekat ketiak.
"Tukkk...!" Nyonya itu mengeluh lirih, terkulai dan roboh tak dapat berkutik lagi.
Han Tiong mengeluarkan geraman yang menggetarkan seluruh tempat itu, mener-jang kakek yang menghalang dengan tongkat. Karena marah dan khawatir melihat isterinya roboh, dia kini mengeluarkan il-mu simpanannya yang disebut Keng-lun Tai-pun, melakukan sebuah jurus aneh, tubuhnya melayang ke depan, kedua le-ngannya dikembangkan dan dari dua ta-ngannya keluar hawa panas menyambar-nyambar.
"Tukk! Desss...!" Tubuh Hek-hiat Lo-mo terjengkang dan Han Tiong terguncang tubuhnya terkena totokan tongkat. Akan tetapi dia menerjang terus dan meloncat ke arah isterinya yang rebah miring. Hek-hiat Lo-bo yang melihat suaminya terjengkang, mengeluarkan suara pekik melengking dan menyambut Han Tiong dengan tusukan tongkat dibarengi hantaman telapak tangan kiri. Hebat bukan main serangan nenek yang tingkat kepandaian-nya tidak di bawah suaminya ini.
"Tukk! Plak! Desss...!" Tubuh Hek-hiat Lo-bo juga terpelanting dan terguling-guling ke dekat tubuh suaminya. Keduanya dengan susah payah bangkit du-duk, muka mereka pucat sekali, napas mereka memburu dan dari mulut dan hidung mereka keluar darah. Maklum bahwa mereka telah terluka parah dalam pertemuen tenaga sakti melawan ketua Pek-liong-pang tadi, keduanya lalu duduk bersila menghimpun hawa murni dan menanti datangnya pukulan maut dari lawan. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, melarikan diri tidak mungkin, apalagi melawan!
Han Tiong sendiripun terluka, akan tetapi untung baginya bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh melindungi tu-buhnya sehingga biarpun dalam tubuhnya terguncang hebat dan dari mulutnya mengalir darah segar pula, namun totokan-to-tokan dan hantaman tangan kiri lawan yang amat ampuh tadi tidak sampai mengakibatkan luka parah. Dia tidak memperdulikan lagi kedua orang lawannya, melainkan berlutut di dekat tubuh isterinya. Dia mengangkat dan memangku tubuh yang lunglai itu dan biarpun tubuh itu masih hangat, dia tahu bahwa isterinya telah tewas!
"Hong-moi... aihhh, Hong-moi... engkau menjadi korban kekerasan keluargaku..." dia meratap dan mengeluh, penuh rasa duka dan terharu.
Kalau tadi para murid Pek-liong-pai tidak berani turun tangan menghadapi musuh tanpa perintah suhu mereka, kini melihat subo mereka tewas dan kedua orang musuh itu agaknya sudah terluka parah tinggal menyusulkan pukulan maut saja, mereka lalu bergerak menyerang kakek dan nenek itu untuk membalaskan kematian subo dan lima belas orang saudara seperguruan mereka. Tentu saja sebagai dua orang yang pandai, kakek dan nenek itu tahu akan bahaya yang mengancam diri mereka. Mereka sudah terluka parah dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan berarti membunuh diri sendiri. Akan tetapi, sebelum mati lebih baik mereka merobohkan lagi beberapa orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum tinggi. Mereka lalu bangkit berdiri, terengah-engah menyeringai, bertopang pada tongkat mereka.
"Hah, majulah kalian, heh-heh...!" Hek-hiat Lo-mo menantang. Isterinya juga siap di sebelahnya, tidak berani dan tidak kuat lagi membuka suara. Para murid Pek-liong-pang terkejut dan menjadi agak gentar, menunda serangan mereka dan kini maju mengepung, siap dengan senjata mereka.
"Tahan...!" tiba-tiba untuk kedua kalinya, Han Tiong membentak. Semua muridnya terkejut, menahan senjata dan menoleh ke arah pendekar itu.
Dengan lembut Han Tiong menurunkan tubuh isterinya, merebahkan mayat yang masih hangat itu di atas tanah, lalu dia bangkit berdiri, mengusap darah dari te-pi bibirnya, lalu melangkah maju menghampiri kakek dan nenek itu, sejak tadi matanya menatap wajah mereka dengan tajam.
Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo memandang dengan muka pucat, maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan pendekar ini karena melawan pendekar ini tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terluka parah.
Tiba-tiba Hek-hiat Lo-mo terkekeh. Dia tertawa untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya. "Heh-heh-heh, orang she Cia! Kami sudah kalah olehmu. Mau bu-nuh lekaslah lakukan itu. Kami tidak me-rasa rugi, nyawa kami ditukar nyawa isterimu dan lima belas orang muridmu!"
Sinar berapi-api penuh kemarahan me-mancar dari sepasang mata pendekar ini, dan kedua tangannya mengepal tinju. Ter-dengar bunyi berkerotokan ketika dia mengerahkan tenaga dan dua orang tua itu merasa semakin serem. Mereka tahu be-tapa dahsyatnya tenaga yang tersembunyi di dalam kedua tangan itu sehingga se-kali saja tangan itu bergerak, mereka takkan mampu mempertahankan nyawa mereka lagi. Juga para murid Pek-liong-pang memandang terbelalak, ingin sekali melihat guru mereka menurunkan tangan maut membunuh dua orang musuh besar itu.
Akan tetapi pukulan yang dinanti-nan-tikan itu tak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isteri-nya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya mengge-tar penub duka.
"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, setelah kalian membunuh isteriku dan li-ma belas orang muridku, keuntungan apa-kah yang kalian peroleh dari kematian mereka" Dan apakah dengan kematian mereka itu nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"
Mendengar pertanyaan aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan de-ngan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab, "Tentu saja nenek guru kami tidak dapat hidup kembali, dan keuntung-an yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagi-an!"
"Benarkah itu" Benarkah kalian mera-sa puas" Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"
"Sudahlah, kami sudah kalah dan ga-gal, engkau boleh membunuh kami, kami tidak merasa takut!"
Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya. "Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyam-bung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan ku-bikin putus rantai karma yang membe-lenggu diriku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai di sini sa-ja."
Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.
"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?" Nenek itu bertanya, suaranya mengandung isak tertahan karena ia ter-lepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.
Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, kalian boleh pergi..."
Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh iste-ri dan lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup mereka belum pernah mendengar yang seganjil ini, apalagi mengalaminya. Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarangpun mereka mulai merasa menyesal sekali. Peristiwa pembunuhan ini akan menghan-tui mereka selama hidup dengan penye-salan. Kalau pendekar ini merasa den-dam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di hati mereka. Akan tetapi kini sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal se-kali telah melakukan pembunuhan di ha-ri ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.
Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah. "Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali..." kata kakek itu.
"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong, lalu dia menghampiri mayat
isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang. Para muridnya juga
mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.
Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang amat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang ma-ta sayu, kemudian tertatih-tatih mereka-pun pergi meninggalkan Lembah Naga.
Setelah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana men-jadi amat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka dan setiap kali ada murid Pek-liong-pang datang, meledaklah ratap tangis di antara mereka.
Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul di malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati i-tu akan dikebumikan. Dalam kesempatan ini, para murid kepala menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.
"Suhu, teecu sekalian tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan
kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan
kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang sudah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka. Para murid lainnya mengangguk setuju dan semua mata di-tujukan kepada pendekar itu. Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.
"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam perkelahian" Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"
"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."
"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."
"Tapi, suhu. Mereka datang menyebar maut membunuh! Setelah suhu mengalah-kan mereka, mengapa suhu melarang tee-cu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membe-baskan mereka. Sungguh bisa membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.
Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya
membuka mata melihat betapa pahit kadang-kadang kenyataan hidup itu ada-nya.
"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, dan kalian menganggap mereka itu jahat. A-kan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita kalau kita juga ingin membunuh karena dendam" Membunuh adalah perbuatan jahat, apapun alasannya, apalagi membu-nuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andaikata kita membunuh mereka berdua apakah enam belas jenazah ini akan da-pat hidup kembali" Tidak, tidak ada gu-nanya sama sekali kalau kita membunuh mereka, bahkan kita menanam lagi bibit permusuhan baru. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan me-reka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."
Hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para mu-rid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.
"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah setiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon dan berbuah yang harus kita petik sendiri pula" Karena itu, kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman sendiri, dan kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima malapetaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku telah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."
"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.
"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."
Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum sehingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tidak bicara lagi, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.
Tiba-tiba terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin-lilin besar di atas meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam, menimbulkan banyak bayangan hitam menari-nari di atas dinding putih. Juga asap dupa beterbangan ke arah kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka. Sebelum mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari dua arah menjadi berputaran seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor harimau dari dua jurusan.
Han Tiong tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan lalu menggeser duduknya di belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke meja sembahyang. Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka di saat seperti itu. Dia tidak mengharapkan tamu luar. Para muridnya sudah dipesan agar mengundang murid-murid Pek-liong-pang saja dan kalau mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar. Dia tidak ingin malapetaka yang menimpanya itu diketahui dunia kang-ouw. Dan rahasia ini mungkin saja dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul orang-orang pandai"
Para murid Pek-liong-pang tidak ada yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa hal itu tentu dilakukan oleh mahluk-mahluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri dan bulu tengkuk mereka meremang.
Tiba-tiba saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget dan memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan meja sembahyang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya penuh cambang bauk yang terpelihara rapi sehingga dia nampak bersih, dan pakaiannya seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru mengkilap.
"Ha-ha-ha...! Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku ikut berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga Cia!" Berkata demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.
Han Tiong sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia telah minum obat dan merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dapat menduga bahwa kekek ini muncul bukan sebagai sahabat. Ketika kakek itu menjura ke arah-nya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sin-kang dan balas menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kehe-batan tenaga sakti yang menyambar ke-padanya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan dorongan kuat yang membuatnya merasa dadanya terhimpit sesak!
Selagi Han Tiong hendak menghenti-kan adu tenaga ini dengan jalan meng-hindar dengan loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah belakangnya. Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka. Kakek inipun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usia-nya. Tubuhnya tinggi kurus, tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung sebuah ciu-ouw (guci arak).
"Heh-heh-heh...! Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah" Tahunya hanya mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa dan budiman, mana bisa dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?"
Sambil berkata demikian, kakek ting-gi kurus yang bajunya penuh tambalan inipun menjura dari belakang Han Tiong dan pendekar ini merasa betapa ada te-naga mujijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga dorongan kakek tinggi besar itu.
Sementara itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan adanya adu tenaga sakti itu, mengira bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang hen-dak bersembahyang, lalu menyalakan be-berapa batang hio dan dengan sikap hor-mat menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek, masing-ma-sing tiga batang. Agaknya murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah sahabat-saha-bat suhunya, kerena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat ba-nyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari bahwa di an-tara kedua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti yang se-ru!
Dua orang kakek itu tersenyum-se-nyum menerima tiga batang hio. Kakek bercambang bauk lalu bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu tiba-tiba me-luncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel! Barulah para murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. Akan tetapi pada saat itu, asap dari tiga batang hio di ta-ngan kakek jembel juga meluncur ke de-pan, menyambut tiga jalur asap pertama. Terjadilah pemandangan yang amat yang amat menarik, aneh dan menegangkan. Dari satu pihak terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit, saling dorong, seperti enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa! Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang hio. Anehnya, bara api pada hio-hio itu amat besar nyalanya seperti ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itupun habis terbakar dan padam. Ular-ular asap itupun membuyar dan per-tandingan berhenti.
"Ha-ha-ha! Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi be-sar tertawa gembira.
"Dan engkau orang gunung liar sema-kin binal saja!" kakek jembel itupun ter-tawa.
"Kau masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi bes

^