Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 7
semuanya mengenakan warna hitam, memangnya dari
mana pula jago kosen berjubah merah ini" Memangnya di dalam waktu singkat ini
pihak mereka telah mengundang jago2 dari aliran lain untuk bantu menghadapi
serbuan orange Bu-siang-pay" Kalau hal ini betul, betapa banyak jago2 silat yang
telah tiba" Bagaimana tingkat kepandaian mereka" Kini di mana pula mereka
menyembunyikan diri"
Siang Cin tidak ayal lagi, cepat dia melesat ke sana, dari jauh angin pukulannya
segera melanda musuh yang berjubah merah menyolok itu.
Sebat sekali orang berjubah merah itu berkisar, pergi, Poan-hou-jiu Te Yau berteriak
riang: "Siang-tayhiap, jejak Siocia sudah ditemukan, Pek yang sedang . . . . . . "
Belum habis dan bicara laki2 ubah merah telah melompat maju ke kanan-kiri, dalam
gerakan ke kiri-kanan ini, tiba2 sebelah tangannya menggablok ke arah Siang Cin,
sedang tangan yang lain memukul Te Yau tenaga pukulannya kuat luar biasa.
Diam2 Siang Cin mendongkol, main kepalan dirinya adalah paling ahli, kenyataan
lawan berani main hantam dihadapannya. Sembari menghardik tangannya bergerak
setengah melingkar, lingkaran kecil terus meluas menjadi sebuah lingkaran besar, di
tengah lingkaran besar inilah tersembunyi pukulan hebat, se-olah2 sebuah jala besar
yang tidak kelihatan terus mengurung ke arah musuh.
Maka si jubah merah merasakan adanya gencetan berat dari dua arah yang berbeda,
begitu tahu gelagat tidak menguntungkan cepat dia menyurut mundur, tapi ujung
jubahnya terobek oleh telapak tangan Siang Cin.
Bagai bayangan. Siang Cin memburu maju dengan serangan tiga puluh tujuh jurus
pukulan, sementara kedua kakinya berganti menendang secara berantai, gaya
pukulannya yang keras bagai gelombang yang ber-gulung2, bayangan kakinya
secepat kilat, rangsakan yang dahsyat ini sekaligus mendesak si jubah merah
mundur sampai di pinggir atap rumah.
Siang Cin melejit mundur seraya mendengus, lalu ia berseru: "Te-heng, apakah Janheng
mengejar musuh?"
Te Yau menyahut: "Betul, tadi Cayhe juga ikut mengejar, tapi dicegat keparat ini."
Dalam percakapan singkat ini, laki2 jubah merah telah menubruk balik, begitu
berhadapan kedua tangannya kembali melancarkan bayangan pukulan yang
bersusun dan tebal menggulung kearah Siang Cin.
Kini Sang Cin telah melihat jelas tampang lawannya, ternyata orang ini berwajah
cakap, seorang pemuda yang gagah kekar, sikapnya kelihatan angkuh, sorot
matapun tajam. Sambil bcrputar, se konyong2 bayangan jubah kuning Siang Cin berkelebat, seolah2
sekaligus telah berubah menjadi ribuan Siang Cin, dari arah yang sukar diduga
ini, sekaligus ia menggempur musuh dengan tak kalah gencar dan sengitnya.
Deru angin pukulan meledak saling bentur, bayangan pukulan beterbangan tanpa
kenal ampun lagu ia menggempur laki2 jubah merah itu.
Siang Cin telah keluarkan Bong-li-mo (iblis dalam ini api), salah satu dari kesembilan
keahliannya, selama terkenal di Kangouw jarang Siang Cin menggunakan jurus yang
lihay ini Karena Bong-li-mo dan Win jian san merupakan tipu pukulan yang paling
ganas diantara sembilan jurus ilmu pukulannya yang hebat, seluruhnya telah
161 memeras tenaga dan pikiran Siang Cin selama enam tahun baru berhasil
diyakinkannya ilmu pukulan ini.
Maka terdengar si jubah merah menjerit kaget, sekuatnya dia melompat sejauhnya,
sembari melompat kedua tangannya masih bergerak membuat pertahanan yang
kukuh bagai dinding, sekuatnya dia berusaha membendung serangan gencar musuh
yang memberondong tiba dari berbagai penjuru, serentetan suara keras menggetar,
tubuh si jubah merah tampak terjungkal ke bawah.
Sebat sekali Poan-hou jiu Te Yau memburu maju, serunya sambil tepuk tangan:
"Siang tayhiap, kau memang hebat, tidak lebih dari tiga jurus sudah kau bikin bocah
itu terjungkal ke bawah, padahal sudah hampir ratusan jurus Cayhe bergebrak
dengan dia ."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Te-heng, tahukah kau ketiga jurus ilmu yang
kugunakan tadi telah memeras keringat, tenaga dan pikiranku selama tujuh tahun?"
Melenggong sejenak, lalu Te Yau tertawa kikuk.
"Kungfu anak muda tadi ternyata cukup lihay," demikian kata Te Yau kemudian,
"bicara terus terang Siang tayhiap, kalau dilanjutkan mungkin aku tidak dapat
mengalahkan dia."
Sambil menepuk pundak Te Yau, dengan rasa was2 Siang Cin berkata: "Gelagatnya
kurang beres, si jubah merah tadi jelas bukan anggota kawanan Tangan Hitam,
sejauh ini kita belum tahu berapa banyak musuh telah mengundang bantuan dari
golongan lain, sedang bala bantuart Bu siang pay kalian sampai sekarang belum
juga menyerbu tiba di sini, padahal jejak puteri Ciangbunjin kalian belum .juga ada
kepastiannya, malah . . . . . . em, herannya gembong2 kawanan Hek jiu-tong yang
lain sampai sekarang belum juga muncul ........."
Tanpa sadar hampir saja Siang Cin menceritakan tentang kematian Ang Siu-cu, tapi
dia tahu dalam detik2 yang masih gawat ini, berita duka cita ini sekali2 tidak boleh
dia sampaikan, supaya tidak mempengaruhi semangat juang orang2 Bu-siang-pay,
jika sampai kalap dan bertempur tanpa menggunakan pikiran sehat, urusan tentu
bisa runyam. Agaknya Poan-hou-jiu Te Yau tidak perhatikan bahwa Ang Siu-cu sudah tiada di
samping Siang Cin, dengan rasa kuatir dia berkata: "Kekuatiranmu memang
beralasan, Siang-tayhiap, Pek-yang sudah mengejar ke sana, perumahan dalam
perkampungan itu seluruhnya gelap gulita, bangunannya sambung menyambung
seluas ini, untuk mencari jejak Pek yang memang bukan soal mudah . . . . . . "
Berpikir sejenak, Siang Cin berkata pula: ?"Apa boleh buat, terpaksa kita berpencar
mencarinya, peduli dapat tidak menemukan Jan-heng dan puteri Ciangbunjin kalian,
dalam waktu sesulutan dupa kita harus sudah tiba dan menunggu di pintu ruang
pendopo sana."
Baru saja Te Yau manggut, tiba2 seperti ingat apa2 dia bertanya: "O, ya, Siang
tayhiap, mana Siu-cu?"
Kebetulan Siang Cin sudah putar tubuh, sahutnya dengan tertawa getir: "Dia terpisah
denganku. Hayolah sekarang kitapun berpencar." Habis bicara Siang Cin
mendahului terjun ke tempat gelap.
Sejenak Te Yau berdiri melenggong, ia geleng kepala, iapun melompat ke sana.
Suasana dalam perkampungan yang luas gelap ini sunyi senyap, dalam kesunyian
ini terasa adanya ancaman yang amat berbahaya dan membuat orang merinding,
Tanpa berhenti Siang Cin terus meluncur ke barat, matanya menjelajah dan
memeriksa dengan cermat setiap tempat dan setiap sudut, tapi kecuali kesunyian
dan kepekatan, perkampungan besar ini hampir boleh dikatakan sudah tidak dihuni
oleh makhluk hidup lagi.
Tiba pada sebuah taman bunga yang kelihatan teratur dan terawat baik, berbagai
jenis bunga seruni tumbuh di dalam pot2 yang berjajar di sekeliling empang yang
berbentuk sabit, sebuah jembatan berliku tampak melintang di atas empang yang
panjang dan luas ini, sebuah gardu mungil berada di tengah empang sana Siang Cin
memandang sekilas ke sana, baru saja ia hendak berlalu, tiba2 ia mendengar suara
162 kresekan lirih di dalam gardu.
Tergerak hati Siang Cin, lekas dia mendekam, dengan tajam dia mengawasi gardu
itu, sesaat kemudian, dari dalam gardu kembali didengarnya suara pakaian yang
bergesek, batok kepala seorang tampak menongol keluar serta celingukan ke kanan
kiri. Mendadak Siang Cin pentang tangan, secepat kilat tiba2 dia menubruk kepala yang
menongol itu. Sudah tentu kejadian mendadak ini membuat orang itu kaget dan menjerit takut,
belum lagi sempat dia memberi reaksi, sekali raih dan jambak Siang Cin sudah
angkat orang itu ke atas, orang ini berpakaian hitam dengan kulit muka benjal benjol,
wajah yang bengis dan jerih, ini memang cocok sebagai anggota kawanan Tangan
hitam. Sembari menjerit kaget, golok yang dipegang orang itupun terlepas jatuh dan
bersuara nyaring.
Sekencang tanggam Siang Cin jambak leher baju orang itu, katanya dengan
menyeringai: "Pasukan besar Bu-siang-pay telah menyerbu ke atas Pi-ciok-san,
sepuluh gembong kalian sudah gugur separuh, anak buah juga tak terhitung
banyaknya yang binasa, yang masih hidup sudah ngacir menyelamatkan diri, dan
kau sahabat, kini juga tiada harapan hidup lagi."
Saking tegang dan ketakutan orang itu tampak pucat mukanya, napasnya terasa
sesak, mulutnya megap2, sekujur badan gemetar dan basah oleh keringat dingin,
sedikit mengendurkan jari2nya Siang Cia berkata pula: "Di mana kalian sekap puteri
Ciangbunjin Bu-siang-pay?"
Sekuatnya orang itu menarik napas sahutnya tersendat: "Aku . . . . . . aku tidak tahu."
Setajam pisau sorot mata Sang Cin di tempat gelap, jengeknya mengancam:
"Sekarang kau akan mampus secara sia2, Hek-jiu-tong sudah hancur, tiada orang
yang akan memuji dan mengenangmu, kematianmu tak ubahnya seperti babi atau
anjing yang tak berharga, tapi kau tak usah kuatir, kawan2mu sudah bubar, tiada
orang yang akan membuat tuntutan dan mencari kesulitanmu, maka beritahukan
saja padaku sejujurnya, nanti kuberi seratus tahil perak sebagai imbalan jasamu,
ehm?" Daging benjal-benjol di muka laki2 bermuka buruk ini tampak ber gerak2, ia
mengawasi Siang Cin dengan ragu.
"Bagaimana?" Siang Cin mendesak pula.
Orang itu celingukan ke kanan-kiri, lalu berkata dengan suara lirih: "Baiklah,
kuberitahu padamu, nona dari Bu-siang-pay kalian itu dikurung dalam kamar rahasia
di bawah gardu ini . . . . . ."
Siang Cin menatapnya lekat2, tanyanya: "Cara bagaimana membuka pintu kamar
rahasia?" Sejenak bimbang akhirnya orang itu berkata: "Meja batu di tengah gardu itu diputar
ke kanan kiri masing2 tiga kali, meja batu itu akan bergeser dan terbuka sebuah
lubang yang menjurus ke bawah dengan undakan batu, setelah melewati lorong
sempit panjang akan tiba di kamar tahanan itu."
"Siapa yang menjaga nona itu?" tanya Ciang Cin pula.
Setelah menelan liur baru orang itu menjawab ragu2: "Ada . . . . Pat-ko Dian Ki dan
lima orang Thaubak."
Dingin sinar mata Siang Cin, katanya: "Bagus, kau memang jujur dan mau terus
terang, sekarang biar aku memberi persen padamu."
Mulut si muka burik tampak menyungging senyum. tangannya terulur untuk
menerima dua ratus tahil yang dijanjikan Siang Cin.
Siang Cin merogoh saku mengeluarkan uang yang dijanjikan, malah jumlahnya satu
kali lipat lebih banyak, tapi begitu uangnya tergenggam ditangan orang, tiba2 dia
tertawa ter kekeh2 aneh, bernada kejam dan mengancam, seketika orang bermuka
buruk itu merasakan gelagat jelek, belum lagi dia menggenggam kencang dua
keping uang perak itu, tahu2 uang itu terebut pula oleh Siang Cin, sekali gablok,
163 kedua keping uang perak itu ambles masuk ke sela2 tulang pundak orang itu.
"Huuaaah," laki2 buruk rupa itu menjerit, saking kesakitan muka yang jelek dan hitam
itu tampak pucat kelabu.
Siang Cin menjambaknya pula, sepatah demi sepatah dia berkata: "Bicaralah terus
terang padaku, di mana nona itu disembunyikan?"
Sambil menahan sakit dan keringat dingin gemerobyos, kata orang itu dengan
gemetar: "Aku... aku sudah beritahu . . . . beritahu padamu . . . . aku . . , . sudah
bicara terus . . . . terus terang "
"Tapi kau lalai akan satu hal," jengek Siang C,a, "ketahuilah Pat-ko kalian si Alap2
hitam Dian Ki sudah modar, malah aku sendirilah yang merenggut nyawanya."
Laki2 itu berdiri melongo dengan badan tetap gemetar, mungkin saking kaget sampai
dia lupa merintih kesakitan maka sedikit tekan uang perak yang menusuk di tulang
pundak orang itu, Siang Cin mengancamnya pula: "Di mana?"
Keruan orang itu menjerit pula seperti babi disembelih saking kesakitan suaranyapun
berubah serak, katanya sambil menahan sakit: "Me . . . , memang betul . . . .
berada . . . . di dalam kamar batu ...."
"Bohong!" bentak Siang Cin. Telapak tangannya bekerja pulang-pergi, dia gampar
muka orang beberapa kali, laki2 itu mundur sempoyongan serta roboh telentang,
waktu merangkak bangun tangannya berusaha memungut goloknya yang terlempar
jatuh di lantai tadi terus hendak membabat kaki Siang Cin.
Baru saja sinar golok berkelebat, mendadak kaki Siang Cing terayun, belum lagi
golok orang menyamber tiba, kakinya telah menendang Thay yang-hiat dengan telak,
bersama goloknya orang itu mencelat ke atas dan "byuuur" kecebur ke dalam
empang. Sejenak mengawasi mayat yang terapung dipermukaan air, mendadak Siang Cin
membalik badan. Dalam gardu entah sejak kapan sudah berdiri seorang laki2 tua
berpakaian hitam dengan jenggot putih panjang terurai di depan dada. Sorot mata
orang tua ini setajam kilat, lama dia pandang Siang Cin lekat2, Siang Cinpun balas
menatap orang dengan dingin, dalam kegelapan dia sudah mengerahkan
Lwekangnya siap bertindak untuk menjatuhkan musuh lebih dulu.
Dengan lantang orang tua ini berkata: "Biarlah Lohu saja yang beritahu di mana
puteri Ciangbunjin Bu-siang-pay sekarang berada."
"Siapa kau?" bentak Siang Cin.
Orang tua itu menyeringai dan berkata: "King Ji-seng."
Mendengus Siang Cin, katanya: "Lama kudengar namamu yang tersohor, sahabat
tua, Kunsu (guru atau penasihat) dari Hek-jiu-tong, si bijak yang pandai membakar
rumah dan membunuh orang."
Marah tapi King Ji seng tertawa, katanya: "Kelihatannya Lohu memang welas asih,
tapi bila perlu aku bisa melakukan kekejaman, sebaliknya kau, membunuh orang
seperti memotong sayur, jadinya sahabat muda, kau tiada ubahnya seperti diriku"
Siang Cin menjengek: "Kalau dua durjana berhadapan, maka dia harus menentukan
antara mati dan hidup."
Sambil mengelus jenggot, sikap King Ji-seng tampak tenang, katanya: "Akan tetapi,
apakah kau tidak pikirkan lagi tentang jiwa puteri Ciangbunjin Bu-siang pay?"
"Baiklah, silakan bicara," ucap Siang Cin.
Setelah berdehem lalu King ji-seng berkata dengan pongah: "Puteri CiangbunJin Busiang-
pay Thi Yang-yang sudah suka sama suka dan menjadi jodoh yang setimpal
dan takkan terpisahkan dengan Losam kami, mereka sudah melangsungkan
pernikahan secara resmi petang tadi, keduanya sudah berjanji kepada bumi dan
langit untuk hidup sampai tua . . . . . "
"Apakah ada comblang dan saksi dari kedua pihak?" jengek Siang Cin.
"Sudah tentu ada!"
Siang Cin mencibir, katanya: "Siapa saksinya" Apakah bapak ibu Thi Yang yang
telah memberi izin" Ini hanyalah permainan kotor kalian sepihak, kalian harus tahu,
aku dan Bu-sang-pay bukan kaum lemah yang mudah ditipu dan dipermainkan."
164 Sedikit berubah air muka King Ji-seng, tapi sekuatnya dia menahan emosi, katanya
tawar: "Terserah bagaimana penilaianmu, tapi kau juga harus maklum akan satu hal,
jika Thi Yang-yang sendiri tidak menyetujui perjodohan ini, siapapun tak kuasa
memaksanya untuk melangsungkan pernikahan ini, malahan terus terang, meski
baru sekarang resminya mereka melangsungkan pernikahan, hakikatnya
sebelumnya hubungan suami-isteri lahir batin telah mereka lakukan."
Diam2 Siang Cin menghela napas, hal ini memang sudah dalam dugaannya, tapi dia
tetap ngotot menurut pendapat dan pandangannya, katanya: "Yang jelas pernikahan
ini diadakan secara sepihak oleh Hek-jiu-tong kalian, Khong Giok-tik membalas budi
kebaikan dengan kejahatan, bukan saja tidak berterima kasih akan pertolongan
jiwanya terhadap Bu-siang-pay, malah menculik orang dan mencuri pusaka, puteri
penolongnya dipikat dan dibawa lari, dia telah menyalahi kebenaran, kepercayaan
dan kesetiaan, karena itu sahabat tua, umpama benar Thi Yang-yang sendiri
sukarela melangsungkan pernikahan ini, ehm, yang terang perjodohan ini tanpa
restu orang tua dan tak dapat dianggap resmi."
King Ji-seng mendengus, katanya sinis: "Sahabat muda, itu adalah pandangan
kalian, kini bentrokan telah berlangsung secara terbuka, umpama kalian hendak
mengakhiri pertikaian ini juga tidak boleh jadi, Lohu hanya ingin membeber
persoalan sebenarnya, jadi bukan mengharapkan sesuatu yang mustahil. Dan lagi
dendam kematian Lo-jit dan Lo-pat belum kami tuntut dari kedua tanganmu yang
berlepotan darah itu, maka kau harus membayar utang jiwa ini dengan kematianmu."
"Memang sudab kupertimbangkan cara tuntut balas kalian ini," ucap Siang Cin,
"bagaimana hasilnya segera akan kita buktikan bersama, sudah tentu akan terjadi
banjir darah, darah kalian atau darahku."
Menatap Siang Cin sekejap pula, tiba2 King Ji-seng membalik badan pada saat
tubuhnya ber-gerak itulah tahu2 bayangannya lantas lenyap. tapi Siang Cin sudah
melihat bahwa dua langkah di belakang King Ji-seng berdiri itu, lantai bergerak
merapat, jadi King Ji-seng melenyapkan diri ke bawah lorong.
Menerawang sebentar keadaan, Siang Cin terus putar balik keluar, dia harus cepat
mengirim berita ini kepada orange Bu-siang-pay, selain itu iapun merasakan firasat
jelek, ia merasa tidak semestinya para gembong Hek-jiu-tong sejauh ini tidak
menampakkan batang hidungnya, se-olah2 di balik suasasana ini tersembunyi suatu
muslihat yang keji dan jahat. Pertama, kenapa gembong2 Hek-jiu-tong tidak muncul
seluruhnya membendung serbuan musuh" Adalah lucu bila mereka lupa bahwa
memecah kekuatan adalah memperlemah pertahanan sendiri. Kedua, meski Busiang-
pay telah melakukan serangan besar, sejauh ini pertempuran tetap
berkecamuk di daerah jalan dua belas liku sana, di puncak Pi-ciok san, terutama
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam Bu-wi-san-ceng tidak nampak suasana tegang sedikitpun, apalagi pertahanan
di sinipun terlampau lemah, jelas ini bukan tindakan kawanan Hek-jiu-tong yang
biasanya cukup cermat dan lihay. Ketiga, siapa pula laki2 jubah merah tadi" Apakah
Hek-jiu tong sudah simpan jago2 silat golongan lain yang telah diundang untuk
membantu" Berbagai pertanyaan ini, semakin dipikir semakin terasa ruwet dan
mencurigakan. Sebat sekali dia meluncur keluar rumah, dari sini dia melihat ke arah pendopo yang
tetap terang benderang, tapi tetap tidak kelihatan bayangan orang, demikian pula
pintu gerbang Bu wi-san ceng tetap tertutup rapat.
Baru saja Siang Cin hendak melompat pula ke sana, teriakan pertempuran yang
gegap gempita segera berkumandang ke atas gunung, suara ledakan dan kobaran
api belirang dengan asapnya yang tebal, sayup2 terdengar pula benturan senjata
dan jerit lolong yang menjadi korban.
Tadi di dalam dia tidak mendengar apa2, maklumlah jaraknya terlalu jauh, tapi dalam
sekejap ini kenapa pihak Bu-siang-pay dapat menyerbu dan naik ke puncak gunung
begini pesat, boleh dikatakan serbuan meraka amat mudah tanpa rintangan"
Memangnya muslihat apa yang diatur musuh"
Tanpa ayal Siang Cin melayang ke dalam Bu-wi-san-ceng, baru saja dia hinggap di
165 balik pagar tembok, dia melihat orang2 Bu-siang-pay dengan golok sabit mereka
yang kemilau itu sudah menerjang tiba dari jalan berliku yang terang benderang itu,
hanya masih beberapa gelintir saja kawanan Hek-jiu-tong yang tetap bertahan
mati2an. dalam kegelapan tampak rombongan besar orang Hek-jiu-tong sedang
mundur ke arah utara.
Di tengah kobaran api dan asap tebal yang bergulung itu, si Sayap terbang Kim Bok
tampak memburu datang, perawakannya yang tinggi besar tampak menyolok, tiga
puluhan orang Bu-siang pay yang berseragam putih dengan gelang emas melingkar
di jidat tampak ikut menyerbu di belakangnya.
Cepat Siang Cin memapak maju. Muka kim Bok tampak merah berdarah, noda
darah mengotori sekujesr badannya, Cuncu Wi ji-bun dari Bu siang-pay ini tampak
memburu napasnya, rambutnya awut2an, pakaiannya hangus terbakar di beberapa
tempat, melihat Siang Cin segera dia girang: "Lote, tiga barisan kita seluruhnya telah
menyerbu tiba, bagaimana keadaan di sini?"
Siang Cin tertawa, katanya: "Kim-cuncu, kenapa kalian bisa menyerbu datang
secepat ini?"
Hui-ih Kim Bok tertawa, katanya: "Tidak begitu cepat, dimulai sejak melihat tandamu,
keparat Tangan hitam itu bertahan mati2an, baru setengah jalan sudah dua puluhan
anak buah barisanku yang gugur, si jenggot merah yang jagal itupun terluka, tapi
musuh mungkin tahu tak mampu melawan, ketika kami berhasil menduduki lagi
beberapa pos penjagaan mereka, tahu2 mereka mundur dan melarikan diri, maka
dengan leluasa tanpa banyak rintangan kami, serbu sampai di sini."
Setelah menghela napas, Kim Bok memandang sekitarnya dengan senyum lebar,
bayangan yang bergerak semuanya berpakaian putih, mereka adalah orang2 Busiang-
pay yang telah menduduki puncak gunung sebelah luar, maka dengan puas
Kim Bok bertepuk tangan, katanya: "Lote, marilah kita langsung serbu ke sarang
mereka?" "Kim-cuncu," ucap Siang Cin sambil menggeleng, "kurasa gelagat kurang wajar,
serbuan harus segera dihentikan."
Terbelalak Kim Bok, serunya kaget: "Dihentikan" Dengan susah payah kita
menyerbu ke sini, mana boleh dihentikan" Kalah menang bukan soal, yang penting
jangan merosotkan semangat juang mereka."
"Kim-cuncu," kata Siang Cin gelisah. "gembong2 musuh yang muncul sampai detik
ini hanyalah kaum keroco yang tidak berarti, jago2 kosen yang berkepandaian tinggi
belum ada satupun yang muncul, keadaan dalam Bu-wi-san-ceng juga kosong dan
sunyi senyap tanpa kelihatan bayangan seorangpun, Cayhe memergoki pula jago2
kosen dari aliran lain yang membantu mereka, melihat gelagatnya, betapapun kita
harus bertindak hati2 . . . . . . " setelah memeriksa sekelilingnya Siang Cin segera
menambahkan pula: "Semula mereka bertahan dengan segala kekuatan, tapi
mendadak kekuatan mereka ditarik dan mengundurkan diri, situasi yang sukar
dijelaskan ini dapat disimpulkan bahwa di balik hal aneh ini pasti ada muslihatnya,
bukan mustahil mereka sedang mengatur perangkap keji."
Kim Bok rnendengarkan dengan melongo, diam2 iapun merasakan gejala2 yang
tidak beres ini, tapi tatkala mana ada dua puluhan murid Bu-siang-pay di bawah
pimpinan laki2 gundul bertubuh gemuk sedang menggempur pintu gerbang Bu-wisan
ceng, dengan mengacung tinggi golok sabitnya, si kepala gundul gemuk besar
itu tengah memberi komando kepada anak buahnya, jenggotnya yang merah,
matanya melotot, alisnya tebal, mulut ber-kaok2, kelihatan beringas dan buas.
"Kim-cuncu," teriak Sang Cin, `lekas perintahkan anak buahmu menghentikan
aksinya." Kim Bok mengangguk, segera ia bersuit panjang, dua puluhan murid Bu-siang-pay
yang sedang menggempur pintu segera mundur dan menghentikan aksinya, dengan
bingung mereka saling pandang lalu berpaling ke belakang.
Cepat sekali dua bayangan orang tampak meluncur tiba, yang di depan adalah Liat
hwe-kim-lun Siang Kong-ceng. di belakangnya adalah Ceng-yap cu Lo Ce.
166 Belum lagi tiba dari kejauhan Siang Kong ceng sudah berteriak marah: "Lo Kim,
memangnya kau sudah keblinger" Kemenangan sudah di depan mata, kenapa kau
perintahkan mereka berhenti?"
Belum lagi Kim Bok menjawab Siang Cin sudah menapak maju, katanya dengan
tenang: Siang cuncu, Cayhelah yang minta kepada Kim-cuncu untuk sementara
menghentikan penyerbuan."
Begitu melihat Siang Cin, amarah Siang Kong-ceng yang sudah meledak terpaksa
ditahan, dengan tertawa dia bertanya: "lote, apakah ada sesuatu yang kurang benar"
Secara ringkas Siang Cin ceritakan hasil penyelidikannya, lalu dia menambahkan:
"Siang-cuncu, Hek-jiu tong terkenal licik dan keji, betapapun mereka takkan mundur
setelah jatuh korban begini banyak, kurasa mereka pasti tengah mengatur muslihat,
situasi belum lagi kita jajaki, jika menyerbu masuk ke perkampungan secara
gegabah, kukuatir terperangkap oleh jebakan mereka."
Sambil mengelus jenggot, Siang Kong-ceng berkata tak acuh: "Kukira belum tentu
seperti apa yang Lote kuatirkan, situasi seperti sekarang ini, terus terang tidak
terpandang olehku. Yang jelas Hek-jiu tong mengalami gempuran hebat dan jatuh
banyak korban, nyalinya sudah pecah, mereka ngacir menyelamatkan jiwa,
kesempatan baik ini mana boleh diabaikan begini saja" Lote, lebih baik kita teruskan
gempur sampai ke sarang mereka."
Diam2 Siang Cin menghela napas, katanya: "Kim-cuncu, Cayhe masih muda dan
cetek pengalaman, jelas tak dapat dijajarkan dengan Siang cuncu, tapi setulus hati
Cayhe mengutarakan pendapatku, harap para Cuncu bertindak lebih cermat."
Liat-hwe-kim lun Siang Kong-ceng menyengir, katanya: "lote terlalu merendah hati,
tadi Lohu terlalu memberanikan diri, kuharap Lote jangan berkecil hati . . . . "
"Mana berani," ucap Siang Cin, "terlalu berat ucapan Cuncu."
Siang Kong-ceng memandang sejenak kearah Bu wi-san ceng tanpa bersuara.
akhirnya ia ambil keputusan: "Baiklah, akan segera kuperintahkan menggempur
sarang musuh."
Dengan bimbang Liat-hwe kim lun yang ada di sampingnya berkata: "Lo Siang apa
yang dikatakan Siang-lote cukup beralasan, kukira hal ini harus dipertimbangkan
lagi." Dengan kurang senang Siang Kong-ceng ber-kata: "Bimbang bukan putusan
bijaksana bagi seorang pimpinan di medan laga, Lo Kim, jika kau merasakan gelagat
menguatirkan, murid2 Wi-ji-bun kalian boleh tidak ikut menyerbu ke dalam."
Berubah air muka Kim Bok, katanya gusar: "Siang Kong-ceng, kau kau mengoceh
apa?" Siang Kong-ceng mendengus terus membalik badan, ia bersuit melengking pendek
beberapa kali, maka teriakan gegap gempita serbuan murid2 Bu siang pay segera
bergema pula, murid2 Bu-siang-pay yang telah menduduki puncak gunung serempak
menyerbu ke arah Bu-wi-san-ceng, malah ada puluhan bayangan orang telah
melompati pagar tembok.
Sambil mengulap tangan Siang Kong-ceng bawa Ceng-yap-cu memburu ke sana,
Kim Bok menghela napas, katanya lirih: " lote, begitulah ciri orang she Siang yang
suka bertindak menuruti panasnya hati, wataknya memang congkak, jangan kau
berkecil hati . . . . . "
Siang Cin tertawa tawar, katanya rawan: "Aku sudah bekerja sekuat tenaga. Biarlah
Thian yang memberikan putusannya."
Tengah bicara, suara gempuran keras terdengar, pelan2 pintu gerbang Bu-wi-san
ceng telah bobol, sambil berteriak riuh rendah murid2 Bu-siang-pay yang kesetanan
segera menyerbu ke dalam.
Kim Bok tertawa getir, katanya: "Lote, hayolah kita susul mereka?"
Siang Cin mendahului meleset ke depan, ujarnya: "Memangnya kita tidak
membantu?"
Kim Bok tidak mau kalah cepat, dia lari mendampingi, katanya: "Lote, agaknya tidak
ada apa2 . ..."
167 Terbayang rona dingin pada wajah Siang Cin, katanya prihatin: "Aku berharap
demikian."
Dalam percakapan ini kedua orang sudah melambung keatas pagar tembok,
sebagian besar murid2 Bu-siang-pay telah menyerbu masuk ke Bu-wi-san-ceng,
teriakan mereka masih terdengar, tapi teriakan lantang mereka yang keras itu seperti
kekurangan sesuatu apa di medan pertempuran. Seketika Siang Cin merasakan
adanya keganjilan semua teriakan tanpa sambutan dari musuh, sehingga teriakan
yang gegap gempita itu terdengar rada sumbang.
Menghela napas, Siang Cin berkata: "Marilah kita masuk, Kim-cuncu."
"Sudah tentu," ucap Kim Bok tertawa, "mungkin kali ini kau salah perhitungan Lote."
Reaksi yang mendadak dan diluar dugaan agaknya memang, disiapkan khusus
menyambut serbuan orang2 Bu-siang-pay, dikala Kim Bok baru selesa berkata,
sebuah ledakan yang dahsyat menggoncangkan seluruh puncak gunung, dibarengi
dengan semburan jalur2 api yang menyala dengan bau belirang dan minyak yang
menusuk hidung, jalur2 api seperti laba2 yang menyembur dari dalam bumi
menjulang tinggi menjilat apa saja yang dapat terbakar, rumah2 yang ada di seluruh
Bu-wi-san-ceng bukan saja ditelan lautan api, satu persatupun telah runtuh oleh
ledakan yang ber-turut2, suasana kacau balau se-olah2 dunia telah kiamat, seluruh
Bu-wi san-ceng hancur lebur karena ledakan keras dan menjadi lautan api.
Dikala ledakan pertama menggelegar, sebat sekali Siang Cin tarik Kim Bok
berjumpalitan keluar, remukan batu yang berhamburan selebat hujan muncrat kemana2.
Siang Cin bawa Kim Bok berguling sejauh mungkin. sementara semburan
api menjulang tinggi ke angkasa sehingga puncak gunung terang benderang.
Asap tebal berbau belirang menyesakkan napas, sambil batuk2 Kim Bok merangkak
berdiri, mukanya yang memang merah kini semakin merah, tanpa hiraukan kotoran
di mukanya dia ber-ternak" serak:
"Habis . . . . . kita betul2 tertipu . . . . keji . . . . "
Pakaian Siang Cin tergores sobek di beberapa tempat, dengan lengan baju dia kebut
kotoran di badannya, dengan tenang dia saksikan kobaran api yang menelan seluruh
Bu-w-san-ceng, katanya: "Api berkobar begini besar, di dalam perkampungan tentu
dipasang dinamit dan bahan bakar, Kim cuncu, anak buah kalian mungkin sudah
gugur sebagian besar."
Mendadak Kim Bok berjingkrak gusar, teriaknya: "Biar Lohu adu jiwa dengan
mereka." Cepat Siang Cin menarik lengan Kim Bok, katanya: "Kim-cuncu jangan gegabah,
bukan cuma main ledakan dan membakar saja, musuh pasti mengatur siasat lain,
bukan mustahil orang2 mereka akan segera menyerbu keluar."
Sambil memukul dada dan menggentak kaki Kim Bok mencak2, teriaknya:
"Lepaskan aku, Siang lote, lepaskan aku, biarpun mereka berkepala tiga berlengan
enam, dengan mempertaruhkan nyawa orang she Kim juga akan ganyang mereka."
"Kalau demikian, kenapa tidak bersabar sebentar,nanti kita sergap mereka," kata
Siang Cin. Bagai orang gila Kim Bok berteriak kalap: "Peduli amat, biar Lohu adu jiwa sama
mereka . . . ."
Di tengah kobaran ani, dari dalam Bu-wi-san-ceng tiba2 berlari keluar belasan orang
dengan langkah sempoyongan, malah ada yang merangkak, langkahnya limbung,
tubuhnya bergontai, ada pula yang sekujur badan terjilat api. Keruan Kim Bok
semakin panik, teriaknya sambil meronta dari pegangan Siang Cin: "Lohu akan
menolong mereka, Siang Cin jangan kau merintangi aku!"
Bagai harimau mengamuk Kim Bok memburu maju, baru saja dia berlari lima enam
langkah, dari sisi perkampungan di tempat gelap sana mendadak terdengar suara
tambur ditabuh dan bende di pukul ber-talu2, disambut meluncurnya panah api yang
membawa percikan kembang api melesat ke angkasa, ratusan kawanan Tangan
Hitam serempak menyerbu keluar dari tempat gelap, bagai air bah mereka
membanjir maju.
168 Orang2 Hek jiu-tong yang memburu datang mendadak melihat bayangan raksasa
hitam yang menukik dari angkasa, serentak mereka berteriak kaget dan ketakutan, di
tengah jeritan mereka itulah golok sabit Kim Bok telah bekerja, dalam sekejap saja,
di mana goloknya berkelebat, puluhan batok kepala orang2 Hek jiu-tong telah
dipenggal. Tapi keadaan ini hanya berlangsung sekejap saja selanjutnya Kim Bok telah
terkepung di tengah lingkaran orang Hek jiu- tong,
Dengan melotot dan otot hijau memenuhi dahinya, Kim Bok menyerbu musuh bagai
harimau mengamuk, golok sabitnya menyamber dan membubat kian kemari, jerit
tangis para korbau terdengar saling susul, tapi kalau yang di depan roboh, yang di
belakang segera tampil ke muka, Kim Bok tetap terkepung di tengah orang2 Hek-jiutong
seolah2 bukan lagi manusia, tapi sekelompok binatang yang tidak kenal artinya
mati. Sekali golok berputar, tiga kawanan Tangan hitam tertabas kutung sebatas pinggang,
darah sudah mengotori sekujur badan Kim Bok, mendadak dia berputar pula, baru
saja dia hendak menyerbu, tiba2 dari belakang barisan orang2 Hek jiu-tong
berkumandang gelak tawa yang aneh, geliak tertawa itu bergema laksana datang
dari tempat jauh, suara gaduh seketika kelelap oleh suara gelak tawa aneh ini.
Tergerak hati Kim Bok, se-konyong2 suatu benda yang dingin mengkilap tahu2
sudah berada di depan matanya, tak ubahnya cakar iblis yang hendak merenggut
nyawa. "Wut", badan Kim Bok yang tinggi besar tiba-tiba melayang ke atas, di tengah udara
ia ber salto sekali, belum lagi dia sempat melihat wajah si pembokong, gelak tawa
orang itu berkumadang pula di belakangnya.
Golok sabit Kim Bok menyabat dengan mengeluarkan deru angin yang kencang,
berbareng dia mengisar, terasa oleh Kim Bok bahwa serangan goloknya mengenal
tempat kosong, tahu2 senjata lawan telah mengepruk pula batok kepalanya, kali ini
Kim Bok melihat jelas, itulah sebatang Long-ge-pang (gada gigi serigala), tongkat
panjang yang penuh dihiasi gigi yang runcing.
Sebat sekali golok sabitnya memapak ke atas, "trang", benturan keras sekali, Kim
Bok bersalto dua kali, sementara lawanpun berjumpalitan ke sana. Orang ini ternyata
berperawakan pendek, kedua lengannya justeru teramat panjang sebatas lutut,
kepalanya hanya ditumbuhi beberapa utas rambut, bentuk dan wajah orang inii
bukan saja jelek juga aneh sekali.
Belum lagi Kim Bok memperoleh kesempatan ganti napas, bayangan musuh telah
berkelebat maju, tujuh batang golok menyamber pula dari sekelilingnya, dikala dia
menangkis dan balas menggasak pengeroyok ini, Laki2 pendek berlengan panjang
itu tertawa ter-gelak2, katanya dengan suara melengking: "Kim Bok setan tua,
memangnya kau kira Pi-ciok-san adalah tempat boleh dibuat sembarangan olehmu"
Kalau tuan besarmu hari ini tidak mencacah tubuhmu dan mayatmu kujadikan
makanan anjing, jangan anggap tuan besarmu ini gembong nomor dua dari Hek jiu
tong." Kim Bok mengamuk semakin kalap, sinar goloknya mendampar seperti gelombang
samudera, menari naik turun, empat di antara tujuh musuh yang menyerbu maju
disikatnya roboh binasa, tapi musuh se olah2 damparan ombak yang tidak kenal
berhenti, gugur satu maju dua, golok setan musuh bergantian secara berantai
merangsak maju.
Dua puluhan murid Bu siang-pay yang beruntung dapat meloloskan diri dari kobaran
api dan ledakan dahsvat di dalam Bu wi san ceng kini sudah terkepung oleh tiga
ratusan kawanan Tangan hitam, yang memimpin orang2 Hek-jiu-tong adalah King Ji
seng dan si hidung merah Kau Pui pui, gembong nomor lima.
Dua puluhan orang gagah Bu-siang-pay tiada satupun uang tidak terluka, di antara
dua puluhan orang ini temasuk si jagal jenggot merah dan Cengyap cu Lo Ce, tapi
Liat-hwe-kim-lun Siang Kong ceng dan Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu tidak kelihbatan
bayangannya. 169 Pundak kiri Ceng-yap-cu Lo Ce tampak hangus dan melepuh, demikian pula
mukanya tampak hitam berair di beberapa tempat, rambutnya tidak keruan dan
menjadi keriting karena terbakar, sementara jidat si jenggot merah berlepotan darah,
daging pahanya pun dedel, namun demikian, kedua orang sedikitpun tidak menjadi
jeri, sambil mengertak gigi dan mata melotot mereka pimpin sisa kawan2nya
mengadakan perlawanan dengan gigih pada musuhnya yang sepuluh kali lebih
banyak.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Cin sudah dapat meneropong situasi di depan mata, sayang untuk sementara
dia tidak mampu memberikan bantuan, karena waktu dia hendak mengikuti jejak Kim
Bok terjun ke tengah musuh, dari lereng Bu-wi-san-ceng sebelah kanan tiba2
menerobos keluar lima puluhan orang2 Hek-jiu-tong dan mencegatnya, lima puluh
orang ini semuanya mengenakan hiasan kalung berbandul telapak tangan yang
terbuat dari logam, ternyata mereka merupakan tulang punggung kesatuan Hek jiu
tong yang paling diandalkan keberanian dan kepandaiannya, barisan gagah berani
Hian-hun-tong yang terkenal.
Siang Cin pandang kelima puluh orang yang semua berwajah beringas buas, pelan2
di antara lima puluhan orang ini tampil seorang laki2 berperawakan tinggi kurus,
bermuka pucat, berusia setengah umur, di depan dada orang ini juga mengenakan
mainan kalung tangan hitam, cuma di telapak tangan mainan kalungnya itu masih
dihiasi sebentuk batu warna merah yang mencorong terang, sekilas pandang Siang
Cin lantas maklum bahwa orang ini tentu salah seorang gembong penting dari Hekjiu-
tong. Laki2 muka pucat yang bersikap ramah ini mengangguk dengan tersenyum kepada
Siang Cin, ditengah kedua alisnya yang hampir tersambung itu tampak lekukan segi
tiga yang menyolok, suaranya terayata keras dan kasar: "Siang Cin si Naga
Kuning?" Siang Cin mengangguk, sahutnya kalem: "Betul!"
Laki2 setengah umur mengelus batu di tengah telapak tangan mainannya, katanya
tenang: "Aku yang tak becus ini adalah Si-thauling (gembong keempat) dari Hek-jiutong,
pimpinan Hian-hun-tong, kawan persilatan memberi julukan Siau-long (serigala
tertawa) Ji Bu."
Siang Cin gosok2 tangannya, katanya: "Memang sesuai dengan nama julukannya,
selamat bertemu."
Laki2 pertengahan umur, yaitu serigala tertawa Ji Bu memandang sekelilingnya, lalu
katanya: "Situasi di depan mata kurasa tidak menguntungkan bagi pihak kalian,
betul?" "Kelihatannya memang demikian," sahut Siang Cin tak acuh.
"Bicara terus terang," kata Ji Bu sambil melangkah maju, "aksi kalian yang tidak
bersahabatnya sukar baginya untuk menolong kekalahan pihak Bu siang- pay.
Dengan tertawa Ji Bu berkata pula: "Di bawah gunung kalian juga meninggalkan
sekelompok orang persiapan bila perlu akan memberi bantuan ke atas, hal ini juga
sudah dalam perhitungan kami, oleh karena itu saudara ke sepuluh kami bersama
Jik-san-tui bergabung untuk menggasak mereka, sisa kekuatan kalian itu hanya
dipimpin oleh si kaki melengkung, memangnya mereka mampu menghadapi
pasukan Hian hun tong yang berjumluh ratusan orang itu?"
Sekilas lirik Siang Cin melihat Kim Bok tengah bergebrak sengit melawan laki2
pendek berlengan panjang itu, perawakan Kim Bok kekar kuat, Lwekangnya tangguh,
tapi lawannya ternyata bergerak sangat lincah, serangannyapun licik dan keji, maka
sejauh ini pertempuran kedua orang tetap seru dan belum tampak pihak mana bakal
unggul, sementara sebagian besar orang2 Hek-jiu-tong sama mengurung Ceng-yapcu
dan lain2. "Bagaimana Siang-heng, sudah paham akan penjelasanku?" jengek Ji Bu. "Aku
menjadi kasian, betapa sukar Siang-heng angkat nama, sayang harus gugur di Piciok-
san yang tidak berarti ini, kami pihak Hek jiu-tong ikut merasa berduka cita."
Kini, setiap saat berada dalam pengawasan dan pengintaian pihak kami, baru
170 sckarang kalian insaf situasi tidak menguntungkan, sebaliknya pihakku, hm,
sebelumnya sudah kami ramalkan nasib apa yang bakal menimpa kalian bila
menyerbu ke sini"
Setelah mengunjuk sikap kasihan dan simpatik Ji Bu berkata lebih lanjut: "Dengan
pasukan sekecil ini menyerbu ke sarang musuh yang jauh adalah siasat paling tidak
menguntungkan, hal ini tentunya Siang-heng maklum. Sayang sekali, sudah tahu
sengaja dilanggar, bukankah ini terlalu goblok, memang pihak kami juga banyak
jatuh korban, tapi pihak kalian" Mungkin jauh lebih parah, Thi-ji-bun dan Wi ji-bun
dari Bu-siang pay boleh dikatakan sudah musnah seluruhnya, sementara Hian ji-bun
yang bertugas menyerbu dari balik gunung juga sudah di dalam cengkeraman kami,
pintu belakang Bu-wi-san-ceng terbuka lebar untuk menyambut kedatangan mereka,
kini mereka telah menikmati betapa segarnya dipanggang di tengah kobaran api,
mungkin sudah mangkat ke surga."
Baru sekarang Siang Cin tahu apa yang terjadi, dia belum melihat bayangan Loh
Bong-bu, kiranya dia menyerbu naik dari arah lain, kini kecuali diam2 berdoa bagi
para pahlawan Bu-siang-pay itu, rasanya tiada upaya lain yang dapat dilakukannya"
Mengawasi jubah kuningnya yang berlepotan darah yang sudah mengering, lapat2
hidung Siang Cin mengendus bau amis, ia meraba noda darah itu, ia maklum bahwa
darah yang melekat di sekujur badannya malam ini takkan menjadi kering karena
darah baru dari para korban yang akan datang pasti akan membasahi badannya pula.
Setelah berdebem dua kali, Serigala tertawa Ji Bu tersenyum, katanya: "Siang-heng,
kupandang kebesaran namamu, tak tega aku menyaksikan nasibmu yang
mengenaskan lebih baik begini saja, biar aku bertanggung jawab dan ambil
keputusan sendiri, asal Siang-heng suka bunuh diri, aku jamin jenazahmu akan tetap
utuh dan kami kebumikan dengan upacara kebesaran . . . . . . "
Tiba2 Siang Cin menyeringai, katanya : "Apa betul ucapanmu?"
Melihat tawa Siang Cin yang aneh menyeramkan ini, melonjak jantung Ji Bu, tanpa
terasa dia menyurut mundur selangkah, dia berlagak simpatik, subutnya: "Sudah
tentu, dengan martabat dan kebesaranku aku berjanji . . . . . . "
Mata Siang-Cin memandang ke angkasa nan gelap, dikala orang bicara sampai kata
"janji", kedua tangannya mendadak bergerak, dua batang Toa-liong-kak yang
kemilau kuning secepat kilat menyamber ke depan.
Begitu sinar kuning menyambar, lekas serigala tertawa Ji Bu mendekam ke bawah
sambil tetap tersenyum dan berteriak: "Serbu!"
Lima puluhan orang Hiat-hun tong serempak ber-teriak2 sambil angkat senjata terus
menyerbu kalap, bagai harimau kelaparan mereka ingin melalap mangsanya.
Padahal Toa-liong-kak dengan deru suaranya yang membising telah menyambar tiba,
maka terdengarlah suara "cras, cras", dalam sekejap mata tujuh orang terjungkal
dengan kepala protol, dikala kedua Toa- liong kak menyamber maju pula, tiba2 dua
laki2 menggembor kalap dan melompat maju, seorang terus memeluk Toa-liong-kak
yang menyamber tiba, maka senjata tajam yang melengkung bagai sabit itu
menghunjam ke dada mereka, tenaga samberannya yang dahsyat menyebabkan
kedua korban nya tertolak balik dan jatuh terbanting, meski jiwa sudah melayang tapi
kedua orang ini tetap memeluk kencang senjata yang merobek dada mereka.
Golok setan yang besar tebal dari tiga orang tahu2 menderu tiba, mata golok yang
kemilau mengincar tubuh Siang Cin dari arah yang berbeda, sedikit miring tubuh
serta berputar, telapak tangan kiri Siang Cin bergerak, cukup sekali gerakan, tapi
ketiga musuh yang merangsak maju roboh dua di antaranya, seorang lagi sambil
mengeluarkan suara "ngek", mukanya pecah berdarah dan terpental mundur.
Ji Bu yang memang suka tertawa segera menyelinap maju, entah sejak kapan dia
telah memegang sebilah pedang pandak sepanjang dua kaki, lebarnya juga hanya
tiga senti, baru bayangannya terlihat oleh Siang Cin, sementara pedang pandak
yang kemilau tajam telah mengancam iga Siang Cin.
Cepat Siang Cin menggeser ke samping, kedua tangannya bekerja sekaligus, dua
laki2 dipukulnya roboh dengan mandi darah, pada saat itu pula terpaut serambut
171 saja pedang pandak si serigala tertawa Ji Bu menyamber lewat.
Siang Cin lantas melambung ke atas, di tengah udara dia berjumpalitan, kedua
kakinya menyepak dan menendang, dua kapak besar yang membelah tiba kena
ditendangnya mental balik menghunjam dada kawan sendiri, sementara tulang dada
orang ini juga tersodok remuk oleh gagang kapak yang menerjang balik.
Tanpa bersuara Serigala tertawa Ji Bu tetap menyerbu dengan tangkas luar biasa,
pedang pandaknya menggulung ke depan dengan keji, cepat dan ganas.
Sinar mata Siang Cin mencorong terang, secepat kilat ia menghindari damparan
sinar senjata musuh, padahal antara serangan pertama dengan serangan berikutnya
boleh dikatakan tiada peluang sedikitpun, tapi dengan menakjubkan Siang Cin
menyelinap lewat di antara sela2 sinar pedang musuh se-akan2 tubuhnya itu tak
berisi. Loh si-kiu-kiu-kiam-hoat adalah ilmu pedang andalan si serigala tertawa Ji Bu yang
terkenal sejak dia malang melintang di Kangouw, dia mengira ilmu pedangnya ini
tiada bandingan, kini sembilan puluh sembilan jurus dari ilmu pedangnya telah
dilancarkan, tapi jangankan melukai lawan, menyentuh tubuhnya saja tidak mampu.
Berkutet sekejap bayangan kedua orang lantas terpencar pula, dengan sebat sekali
keduanya sama2 melambung tinggi dan bentrok pula secepat kilat, kembali Ji Bu
lancarkan belasan jurus serangan, katanya tertawa: ?"Siang-heng, Kungfumu
memang tangguh sekali."
Tubuh Siang Cin menggeliat ke kanan-kiri, begitu cepat menghindari tabasan
tusukan pedang lawan, sembari berkelit itu serentak ia balas menyerang sembilan
belas pukulan dan empat kali tendangan, jubah kuning yang longgar bekibar,
katanya kaku: "Kawan, kau bukan lawanku"
Pedang Ji Bu mendadak menaburkan bayang2 sebesar kepalan, seperti kunang2
besar saja bayangan terang ini bertaburan di udara, setiap kuntum bayangan merah
ini menyambut pukulan dan tendangan lawan, jelas bahwa setiap kuntum bayangan
serangan lihay itu membawa tajamnya pedang Ji Bu.
Belum lagi orang tahu apa yang terjadi, kedua orang sudah terpisah pula, dengan
ramah Ji Bu berkata: "Siang-heng, siapa kuat siapa lemah, kini masih terlalu pagi
untuk diputuskan."
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
Dapatkah pihak Bu-siang-pay lolos dari perangkap Hek jiu-tong"
Kisah cinta apa di balik persoalan Khong Giok tik, gembong kelima Hek jiu tong yang
membawa lari puteri ketua Bu-siang-pay itu"
- Bacalah jilid
ke - 10 " Jilid 10 Sambil menghardik Siang Cin sekaligus lontarkan tiga belas kali pukulan. Sambil
tertawa Ji Bu menyingkir mundur, Siang Cin menarik napas panjang, baru saja ia
hendak memburu, tiba2 sebuah suara lolong panjang yang mengerikan menarik
perhatiannya. Waktu dia berpaling, dilihatnya orang2 Bu-siang pay yang masih bertahan sudah
kurang dari sepuluh orang, jeritan mengerikan itu keluar dari mulut orang Hek-jiutong,
bola mata orang ini tercolok buta, bola matanya masih bergelantung di
mukanya karena urat matanya belum putus, tapi golok setan miliknya juga
menembus dada seorang Bu-siang-pay, dikala Siang Cin menoleh ke sana, kedua
orang sedang roboh pelahan dan binasa.
Rangsakan Serigala tertawa Ji Bu segera bertambah gencar dan sengit, katanya
tertawa: "Menusuk perasaan bukan?"
Sebat sekali Siang Cin balas menyerang, katanya tawar: "Kawan, marilah kita
bertempur besa2an saja bagaimana" Suruhlah anak buahmu mengeroyok maju,
supaya pertempuran lekas berakhir."
172 Tantangan ini kelihatan menusuk hati Ji Bu, tampak sikapnya rada beruba, dia
maklum kalau anak buahnya ikut maju mengeroyok, sedang kekuatan lawan begini
tangguh, jelas anak buahnya akan banyak jatuh korban, lawan lebih sukar
dikendalikan pula. Maka ia tak berani menjawab. Sementara itu Siang Cin telah
lancarkan pukulan lagi, ejeknya: Jangan tegang, semakin banyak orang yang
bertempur bukankah lebih ramai?"
Pedang pandak Ji Bu, berputar kencang, katanya: "Orang she Siang, kupandang kau
sebagai laki2 sejati maka kulayani kau dengan aturan persilatan, satu lawan satu
menentukan mati-hidup, jika kau sudah jeri dan ingin merat, bukanlah nama besarmu
yang sudah tersohor itu akan ludes dalam waktu singkat ini."
Seperti terbang Siang Cin berputar ke kanan kiri, jengeknya: "Kawan, jangan kau
memancing kemarahanku dengan cara yang bodoh ini, bukan maksudku
menghindari bertempur satu lawan satu dengan kau, aku yakin kau maklum ke mana
maksud tujuanku yang sebenarnya."
Ji Bu menjadi beringas, mendadak dia berteriak kalap: "Murid2 Hian-hun, cacah
keparat ini."
Bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh Siang Cin mendadak melenting tinggi
ke atas, begitu cepat dan tangkas, sehingga tiada seorangpun yang sempat
merintangi, dikala dua puluhan orang2 Hek-jiu-tong menubruk ke tengah arena,
mereka saling membacok dan saling tindih sendiri, sementara Siang Cin sudah
melayang pergi tiga tombak jauhnya.
Sambil menggembor si Serigala sekuat tenaga mengapungkan tubuh mengudak ke
atas, sementara di belakangnya tiga puluhan kawanan Tangan Hitam dari Hiat-hun
tong segera putar haluan memburu ke arah sana pula.
Di tengah udara Siang Cin jumpalitan dengan indah, dengan enteng ia meluncur
turun ke depan pintu gerbang Bu-wi-san- ceng, keadaan Ceng-yap-cu Lo Ce dan si
jagal jenggot merah sudah teramat gawat, dalam sekejap ini mereka tinggal enam
orang saja yang masih bertahan mati2an. Luka baru kembali menghias badan Cengyap-
cu Lo Ce, tapi dia seperti tidak merasakan sakit, padahal ratusan orang Hek-jiutong
mengepung mereka, sinar golok setan musuh berseliweran disekitar tubuh.
Dengan menggertak gigi dia putar golok sabitnya, keringat bercampur darah
membasahi sekujur badan, pandangannya berubah beringas, rasa murka dan
dendam kesumat membakar sanubarinya, dia tidak lagi menghiraukan keselamatan
sendiri, yang terpikir hanyalah mengganyang musuh se-banyaknya.
Keadaan si jagal jenggot merah yang gundul lebih payah lagi, si hidung merah Kau
Pui-pui justeru mengincar dia dengan berbagai serangan keji, hampir seratus orang
mengepungnya, darah luka2 di tubuhnya telah bikin jubah putih yang dipakainya
berubah warna merah seluruhnya.
Di samping itu masih ada kira2 tiga ratusan orang Hek jiu-tong memagari
gelanggang di bawah pimpinan Kunsu King Ji-seng, mereka siap menyergap bila
perlu. Empat murid Bu siang-pay yang lain saling beradu punggung berdiri di samping
Ceng-yap-cu, semangat juang mereka ternyata tidak menjadi padam meski badan
terluka dan musuh mengepung sedemikian rapat, jenazah saudara2 mereka yang
telah gugur bergelimpangan disekitar kaki mereka, semuanya mati dalam keadaan
yang mengerikan, pahlawan2 padang rumput yang tadinya segagah harimau
mengamuk itu kini sudah saling tindih menjadi mayat.
Bagai segumpal mega kuning bayangan Siang Cin meluncur dari udara, tiga ratusan
orang Hek-jiu-tong yang memagari gelanggang sama berteriak sampai sang Kunsu
King Ji-seng mau tidak mau juga melenggong, dari belakang suara si Serigala
tertawa Ji Bu segera berkumandang: "King losu, cegat dia!"
Mendadak King Ji-seng menghardik, ia melejit ke atas memapak kedatangan
gumpalan mega kuning, dia timpukkan segenggam Oh-ling-soh, dikala pasir hitam
berhamburan ke depan, Thi kut-san (payung kerangka besi) di tangannyapun ikut
menjojoh. 173 Segesit burung menukik di angkasa tubuh Siang Cin tiba2 melingkar laksana seekor
naga kuning, di dalam gerakan melingkar dan mengapung inilah secara aneh dia
meluncur pergi.
Jenggot King Ji seng mendadak berjingkat. tapi sebelum dia sempat beraksi, Siang
Cin sudah bertindak lebih dulu, empat batang Toa liong kak dengan membawa sinar
kuning ber putar2. menyerang orange Hek-jiu-tong.
Serigala tertawa Ji Bun menubruk tiba pada saat itu, melihat samberan Toa liong kak
yang berbahaya itu, lekas dia berteriak: "Semua lekas tiarap . . . ."
sayang luncuran Toa liong-kak yang tajam itu ternyata lebih cepat, daripada suara
peringatannya, dua puluhan batok kepala sekaligus copot dari batang leher,
sementara keempat batang Toa -liong-kak itu masih terbang ber putar2 mencari
sasaran yang lain, setelah melingkar satu kali, "tring, tring", Toa-liong kak saling
bentur menimbulkan daya pental yang keras sehingga luncurannya terlebih kencang,
sekaligus tujuh belas orang Hek-jiu-tong tertabas putus pula kepalanya.
Gerakan Siang Cin ternyata tidak kalah cepat dari luncuran Toa-liong kak, begitu
menubruk tiba, tangannya terayun, "plak, plok", beruntun batok kepala beberapa
orang hancur, entah bagaimana kedua tangannya bergerak, tapi korban berjatuhan
saling susul, tiga belas nyawa mampus dalam sekejap pula, golok setan di tangan
merekapun mencelat beterbangan melukai teman membinasakan teman sendiri.
Angin berpusar bagai badai mengamuk, Siang Cin putar tubuh dalam lingkaran lebar
menerjang ke samping, di mana dia tiba, telapak tangannya tajam bagai golok,
sementara kakinya menendang bagai samberan geledek, jerit dan teriakan orang2
Hek-jiu tong terjadi di sana-sini, darahpun muncrat berhamburan.
King Ji-seng, sang Kunsu yang tua dan keji ini matanya melotot, dia mengudak di
belakang Siang Cin, tapi betapapun keji dan deras serangannya, selalu terpaut
serambut dan tak berhasil menyandak musuh.
Sekuat tenaga Serigala tertawa Ji Bu berusaha mencegat dan merintangi Sang Cin,
tapi gerak geriknya menjadi kurang leluasa karena teralang oleh anak buahnya
sendiri, secara terang2an orang2 Hek jiu-tong itu tak berani ngacir ke belakang, tapi
sedapat mungkin mereka menjauhi gelanggang, maklumlah mereka berjumlah terlalu
banyak dan berjubel lagi, menghadapi pertarungan yang seram ini, hati siapa yang
takkan panik" Maka suasana menjadi kacau balau, tampak bayangan orang saling
berdesakan, tindih menindih dan saling cacimaki sendiri, kalau orang2 yang di depan
berusaha mundur mencari salamat, maka yang berada di belakang justeru
mendorong maju kawan2nya yang mendesak mundur itu, tidaklah heran kalau aksi
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Cin berhasil membikin musuh kocar kacir dan tak terkendali pula.
Jenggot King Ji-seng tampak tak taratur lagi, dia berteriak: "Saudara2 Tangan Hitam,
dengarlah, sekuat tenagamu kepung dan bunuh keparat ini, siapapun dilarang
mundur, ke mana dia pergi sambut dengan golok kalian."
Siang Cin yang terjun ke tengah2 musuh seperti harimau mengamuk dalam
gerombolan domba, setiap kali tangan bergerak, jiwa musuh pasti direnggutnya,
tendangan kakinya saban juga mencabut nyawa orang.
Suatu ketika dia berkelit menghindari bacokan lima golok musuh, berbareng kedua
tangannya bergerak, "plak, plok", disertai suara menguak seperti sapi hendak
disembelih dua jiwa musuh kembali melayang.
Sebat sekali Siang Cin melompat maju ke sana, kaki kanannya menyapu, enam
orang Hek-jiu-tong kembali disapunya tunggang langgang.
Kini dia sudah dekat dengan kawanan Tangan Hitam yang mengepung Ceng-yap-cu
Lo Ce. Di tengah orang banyak yang kacau balau sana, Serigala tertawa Ji Bu
kembali mengumandangkan suaranya yang melengking gusar: ?"Orang2 Hiat-huntong,
putar ke samping, untuk apa kalian berdesakan di dalam" Memangnya kalian
gentong nasi semua!"
Dalam pada itu Ceng-yap-cu telah meluputkan diri dari bacokan golok, berbareng
galok sabit di tangannya tiba2 menyabet, "cret," dengan telak dia bacok putus lengan
seorang musuh, sigap sekali ia menubruk maju sembari menusukkan golok sabitnya,
174 dada seorang musuh kembali ditembus goloknya dan binasa. Tapi satu diantara
empat murid Bu-siang-pay yang berdiri beradu punggung pelahan2 juga tersungkur
roboh, luka bekas bacokan penuh menghiasi badannya, darah segar masih
mengucur. Orang lain tidak ambil pusing, tiada orang yang menolongnya karena
semua orang sedang sibuk mengadu jiwa dan mempertahankan hidup.
Cepat Siang Cin menerjang masuk ke tengah gerombolan musuh, kebetulan di
sampingnya ada seorang musuh berperawakan kasar seperti kerbau, segera orang
itu menyerang, lalu menyurut mundur sambil mencaci maki.
Siang Cin meraba enam batang Toa-liong-kak yang masih berada dalam sarungnya,
jengeknya: "Tapi kau harus mampus lebih dulu."
Tanpa ampun kepalan kanan Siang Cin menggenjot, "bluk", tubuh segede kerbau itu
mencelat terbang, batok kepalanya pecah, tubuhnya menindih kawan2nya. Tanpa
berhenti sedikitpun kedua tangan Siang Cin bekerja pula, kontan empat orang Hekjiu-
tong kembali dirobohkan, bilamana kaki kanannya menyerampang pula, perut
lima orang ditendangnya pecah dan isi perutnya terburai, dalani sekejap dia sudah
membobol kepungan musuh.
Lekas Ceng-yap cu Lo Cc menerjang keluar, "sret", mendadak punggungnya
terbacok hingga sobek, tapi seperti tidak merasa sakit sedikitpun, kakinya balas
mendepak kebelakang, seorang musuh ditendangnya jungkir balik, goloknya
mencelat melukai teman sendrri. Tiga murid Bu-siang-pay yang masih bertahan
melihat kepungan yang bobol ini.
Serempak mereka menghardik terus menerjang ke sana, tapi baru bergerak dua
langkak, satu diantaranya segera terbacok roboh oleh para pengepungnya.
Siang Cin kembali merobohkan dua musuh cepat dia menyongsong Ceng-yap-cu
yang memburu ke sampingnya, teriaknya: "Lo heng, mendekatlah ke sampingku . .. .
" Agaknya Ceng-yap-cu Lo Cc sudah kalap, hakikatnya dia tidak mendengar seruan
Siang Cin, mendadak ia menyerang Siang Cin malah.
Dengan tangkas Siang Cin tangkap pergelangan Lo Ce yang memegang golok, Lo
Ce melonjak kaget, serta merta sebelah kakinya teraangkat dan menyodok dengan
dengkulnya. Sembari menghardik Siang Cin geser langkah sambil tarik tangan Lo Ce terus
diputarnya, "Cret, cret", ujung golok sabit berhasil merobek perut dua musuh yang
menubruk maju. Baru sekarang Lo Ce sadar dan melihat jelas siapa orang
didekatnya. Tenggorokannya berbunyi "krok, krok", dengan suara serak dia menjerit:
"Siang .... Siang-tayhiap . . . . .
Siang Cin lepaskan tangannya, sekali membalik telapak tangan, "plok", batok kepala
seorang musuh yang menyergap di hantamnya remuk, katanya dongan kereng: "Ikuti
aku, terjang mereka, babat habis mereka."
Golok sabit Lo Ce kembali bekerja seperti kesetanan, haru, sedih dan dendam
membakar hati Lo Ce, katanya dengan tersendat "Habis semuanya . . . . Siangtayhiap
. .. .semuanya habis . ..."
Siang Cin menerjang kian kemari, sekali putar sekaligus dia pukul roboh tujuh musuh.
Tiba2 dua murid Bu-siang-pay yang terkepung tadi ikut menerjang maju ke arahnya,
sambil menghadang hardik satu diantaranya mengayun golok memenggal kepala
seorang musuh, tapi dalam waktu yang hampir sama, golok setan seorang musuh
dengan telak berhasil menusuk pundak kanannya dari arah bawah.
Wajah murid Bu-siang-pay yang berlepotan darah ini tampak berkerut menahan sakit,
sembari menggembor dia putar goloknya dan membacok, "cras" pembokong itu
ditabasnya mampus.
Siang Cin melompat maju dan binasakan beberapa musuh yang masih mengeroyok
seorang murid Bu-siang-pay. Golok murid Bu-siang-pay inipun merobohkan lima
lawan, akhirnya dia tarik ujung goloknya yang terbenam di dada seorang musuh,
matanya tampak melotot beringas, dengan langkah sempoyongan dan memburu ke
samping Siang Cin, teriaknya serak: "Terima kasih, kawan . . . . ".
175 Siang Cin tarik dan terus melompat jauh ke sana, laki2 yang sudah lemas kehabisan,
tenaga dengan luka2 di sekujur badannya terseret setombak lebih sambil masih berkaok2:
"Lepaskan aku, kawan . . . . . aku hendak bunuh . ... . . ."
Golok sabit Ceng yap-cu Lo Ce baru saja membabat lewat di leher seorang musuh,
semburan darah membikin muka dan sekujur badannya basah kuyup, Siang Cin
menyeret murid Bu-siang itu ke sampingnya, terus membentak: "Lo-heng, hayolah
kita terjang kepungan."
Sekujur badan Lo Ce bergetar, ia menyeringai dan berkata: "Tidak, Siangtayhiap
. . . . . tidak, bukan mustahil masih ada kawan2 kita yang masih hidup dalam
perkampungan, tak boleh kita tinggal pergi tanpa menghiraukan mereka. . . . . . . "
Siang Cin merobohkan pula beberapa orang musuh yang menggempur datang,
serunya gusar: "Kini jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat, mana ada waktu untuk
pikirkan keselamatan orang lain?"
Berlinang air mata Lo Ce, katanya tegas: "Siang tayhiap, kumohon padamu, biarlah
kami mati seluruhnya di sini mengadu jiwa dengan musuh . . . ."
Saking dongkol Siang Cin membanting kaki, belum lagi dia bicara lebih lanjut,
bayangan orang tampak berkelebat, suara si Serigala tertawa Ji Bu mengejek:
"Orang she Siang, main kucing2an dan takut mati, apakah tidak keliru
perhitunganmu."
Sikap Siang Cin tetap dingin, tapi otaknya bekerja cepat. Di tengah kumandang
suaranya, Serigala tertawa Ji Bu tampak menubruk tiba seperti bayangan setan.
Sembari teriak kalap Lo Cc angkat golok terus membacok ke arah musuh, Serigala
tertawa Ji Bu mengekeh tawa, pedang pandaknya yang lebar itu tampak berkelebat
menciptakan bayangan sinar yang ber-lapis2. sekaligus dia lancarkan belasan
serangan pada Lo Ce. .
Gerakan kedua pihak sama2 tangkas, sayang Lo Ce sudah kehabisan tenaga,
gerakannya kalah cepat, untunglah Siang Cin yang berhasil merobohkan enam
musuh sempat menolongnya, telapak tangannya segera menabas pelipis Ji Bu.
Sudah tentu Ji Bu harus menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, sebelum sempat
menusuk musuh cepat dia berputar pergi.
Mengusap mukanya yang basah oleh keringat dan darah, wajah Lo Ce yang cakap
kelihatan letih dia menarik napas panjang, katanya lemas: "Terima kasih . . . . . .
Siang tayhiap . . . . . . "
Siang Cin hindarkan samberan dua golok, ia berseru gelisah: "Lo-heng, siapkan
dirimu untuk menerjang keluar."
Lo Ce mengeluh dengan rasa pedih, katanya serak: "Tapi . . . . . . tapi. . . . . . . . "
"Prak", telapak tangan kanan Siang Cin berkelebat, tiga batok kepala musuh
dikepruknya pecah, sambil mengertak gigi Siang Cin berseru: "Jangan banyak
omong, Lo-heng, seorang laki2 harus pandai membawa diri."
Secepat angin Siang Cin berputar ke sana, murid Bu siang pay yang tak jauh di
sampingnya terbacok luka pula pahanya, sebelum tubuh orang ambruk Siang Cin
sudah menariknya mundur.
Tanpa bersuara si Serigala tertawa Ji Bu menyelinap maju pula, diam2 Siang Cin
juga telah memperhitungkan waktunya, tiba2 Gwat bong-ing dia lancarkan,
berbareng kakinya bergerak deras, Tau-ce-tui.
Serigala tertawa memang licik dan licin, dibawah hujan bayangan pukulan dan
tendangan, segesit belut tiba2 dia menyurut mundur, ia tahu serangan musuh tak
mungkin dapat dihadapinya, maka dia menghilang di balik tubuh anak buahnya.
Mendadak Siang Cin memburu maju, sambil menepuk pundak Ceng-yap-cu dia
berkata lirih: "Ikuti aku!" Lalu iapun mengundang murid Bu-siang pay yang tinggal
satu itu. Tapi waktu dia berpaling, kebetulan dilihatnya murid Bu-siang-pay itu tengah
menatapnya sambil menyeringai lucu, pahlawan padang rumput yang gagah perwira
ini, golok sabitnya itu membacok masuk dari pundak kanan sampai perut seorang
Hek-jiu-tong tapi golok Kui thau-to murid Tangan Hitam itu juga menembus dadanya.
Di tengah teriakan gegap gempita murid2 Tangan Hitam kembali merubung maju
176 bagai air bah. Siang Cin meraih tangain kiri Lo Ce yang berlepotan darah, sekali
lompat dia melayang tinggi ke atas.
Di tengah bayangan orang banyak yang saling tubruk dengan kacau balau itu,
didengarnya suara teriakan Serigala tertawa Ji Bu memberi aba2: "Bidik dengan
panah, incarlah yang tepat, mereka hendak lari."
Di tengah udara Siang Cin dan Lo Ce saran berjumpalitan dua kali, mata Siang Cin
yang tajam dapat melihat si Sayap terbang Kim Bok di sebelah sana sedang dalam
keadaan yang teramat gawat.
Jelas Cuncu Wi-ji-bun Bu siang-pay ini sudah kehabisan tenaga, keringat
membasahi tubuh sampai pakaiannya lengket ditubuh, uap tampak mengepul dari
kepalanya yang kelimis, musuhnya yang utama adalah laki2 pendek dengan lengan
panjang dan secomot rambut kuning menghias batok kepalanya, lawan tengah
melontarkan pukulan yang dahsyat, sementara kawanan Tangan Hitam di sekitarnya
secara licik maju mundur menyergap, roboh satu maju dua.
Kawanan Tangan Hitam di sana sudah beramai mengudak kemari, malah anak
panahpun berseliweran, tapi bidikan panah ini sudah terlambat, dikala hujan panah
berlangsung, sementara itu Siang Cin dan Lo Ce sudah terjun ke dalam arena yang
mengepung Kim Bok.
Tombak Lo Ce sudah sejak tadi hilang, sehingga dia tidak kuasa menyerang musuh
dari jarak jauh, tapi goloknya masih bekerja lincah dan ganas, sekaligus dia
merobohkan tiga musuh, ia berteriak lantang: "Cuncu, kami datang ........."
Sekuat tenaga Kim Bok menahan musuh di sekelilingnya, bukannya dia tidak mampu
melarikan diri, namun demi dendam dan karena penasaran dia tidak rela tinggal
pergi begini saja, teriakan Lo Ce seketika membakar semangatnya, iapun berteriak:
"Lo Ce, tidak lekas kau terjang keluar kepungan, tunggu apa lagi?"
Seiring dengan teriakannya, puluhan kawanan Tangan Hitam tak jauh di sekitarnya
sama jungkir balik dan menjerit, sesosok bayangan tinggi menyelinap maju, katanya
dingin: "Kim-cuncu, sebelum kau sendiri pergi, siapa berani pergi mendahuluimu?"
Golok sabit Kim Bok sekaligus menyerang belasan jurus, waktu ia mengerling,
segera ia berteriak girang: "Siang-lote, kaupun datang . . . . "
Yang menerjang datang ini ialah Siang Cin, sekali pukul dia binasakan seorang
musuh, sahutnya dingin: "Sudah tentu."
Kim Bok tidak berhenti, ia bergerak ke kanan kiri, golok sabitnya menciptakan
goresan sinar kemilau, teriaknya lantang: "Siang-lote, apakah masih ada harapan?"
Sebelum Siang Cin menjawab, laki2 pendek )awan Kim Bok itu ter-kekeh2, sapanya
dengan tertawa aneh: "Naga Kuning?"
Sekaligus Siang Cin lancarkan pukulan dan tendangan berantai, dalam satu kali
tarikan napas sebelas jiwa musuh telah diganyangnya, setelah itu dia menengadah
dan menjawab dengan sinis: "Kenapa?"
Sembari pergencar serangannya, laki2 pendek lengan panjang itu bergelak tertawa,
serunya: "Sungguh kasihan, kau yang terkenal cerdik ini, ternyata juga bodoh dan
ceroboh . . . . "
Tersembul senyuman dingin di wajah Siang Cin, katanya: "Aku tahu kau adalah
gembong kedua dari Hek jiu tong Thong thian-wan (lutung meraih langit) Ban Lok,
meski namamu amat tersohor di Kangouw, tapi otakmu puntul dan tampangmu
jelek." Golok Kim Bok membacok ke depan terus membabat ke samping, dia ter gelak2,
serunya: "Tepat sekali pujianmu, Siang lote."
Laki2 pendek bertubuh aneh ini memang betul gembong kedua dari Hek jiu tong,
setiap insan persilatan bila menyebut nama Thong-thian-wan Ban Lok pasti
mengerut kening. Secomot rambut kuning di kepalanya se-olah2 berdiri, gada gigi
serigala di tangannya segera berputar, di tengah deru samberan angin yang kencang,
dia mengamuk dan mencaci maki "Naga Kuning, kau harus mampus karena
olok2mu ini."
Siang Cin tertawa tenang, dia balas menyerang, sahutnya dingin: "Orang she Ban,
177 kau belum setimpal untukku." - Pada akhir katanya di lihatnya bayangan beberapa
orang telah mengudak tiba. satu di antaranya yang bergerak paling gesit diketahui
adalah Serigala tertawa Ji Bu..
Siang Cin menyurut mundur, dengan suara lirih dia berbisik: "Kim-cuncu, biar Cayhe
bertahan dibelakang, bawalah orang2mu yang masih hidup untuk meloloskan diri."
Golok sabit Kim Bok menyamber bagai halilintar, sesaat ia tampak bimbang, katanya
kemudian, "Tapi . . . , Siang lote, kemungkinan masih ada orang2 kita di dalam
sana. . . ."
Keringat sudah membasahi jidat Siang Cin, sambil mengertak gigi dia pukul musuh
yang berusaha menerjang maju, katanya tegas: "Kim-cuncu, anggap saja mereka
sudah ajal."
Melenggong sekejap, Kim Bok berseru bingung:" "Tapi . . . . Siang-lote . . . . "
Dengan jurus Kui so-hun mendesak mundur Serigala tertawa Ji Bu yang menubruk
tiba, lalu Siang Cin berkata pula: "Kim-cuncu, apakah kau masih ingin meresapi
suatu pengajaran?"
Setelah ragu sejenak mendadak Kim Bok menggembor: "Baiklah!"
Siang Cin melangkah maju, katanya: "Jangan melupakan orang gagah yang
berjenggot merah itu, mundurlah cepat!"
Ber-kaca2 kedua mata Kim Bok, aiisnya bertaut kencang, sembari menarik Ceng yap
cu Lo Ce, golok sabit berputar sekencang kitiran, serunya: "Lo Ce, hayolah."
Di tengah suaara gerungannya, Ceng-yap-cu mendadak menjatuhkan diri terus
menggelundung ke sana, golok sabitnya membabat miring, dalam sekejap saja
puluhan pasang kaki manusia sama ditabasnya kutung, jerit kesakitan mengerikan
mendirikan bulu roma, dikala Lo Ce melompat berdiri pula, lekas Kim Bok
memapahnya terus dibawa melompat ke udara, ketika tubuh terapung itulah, tombak
pendek yang terselip di depan dada Kim Bok mendadak menyamber dalam waktu
yang sama, sekotak penuh berisi Bun tui-ti to (labah2) ditaburkan dengan gerakan
"bidadari menyebar bunga".
Maka jerit kaget kesakitan berpadu pula, bagai disapu badai orang2 Hek jiu-tong
yang berjubel itu sama roboh bergelimpangan, ada pula yang berjingkrak sambil
mengebut dan memukul, sementara puluhan orang lari sambil menjerit ngeri,
suasana menjadi kacau-balau.
Thong-thian-wan.. Ban Lok mendadak memburu maju, serunya: ?"Siang Cin, kau
licik!" Tidak jadi mundur Siang Cin malah memapak maju, sekaligus dia lontarkan
beberapa jurus pukulan lihay, ,bayangan telapak tangan beterbangan laksana air
bah yang lolos dari tanggul yang dadal.
Begitu dahsyat daya pukulan Siang Cin, keji dan mematikan lagi, betapapun Thongthian
wan Ban Lok takkan mampu menghadapinya, terpaksa ia meraung penasaran
sambil melompat menyingkir sejauh mungkin.
Serigala tertawa Ji Bu yang tetap tertawa tampak berlari hendak membantu si hidung
merah Kau Pui-pui di sana, tapi Siang Cin lebih cepat lagi, sebelum orangnya tiba,
tenaga pukulannya yang dahsyat sudah membacok musuh.
Serigala tertawa Ji Bu putar pedang pandaknya, cahaya pedangnya yang kemilau
berwujud lapisan dinding cahaya yang kukuh untuk membendung damparan angin
pukulan lawan, maka terjadilah benturan angin pukulan dan pertahanan cahaya
pedang, begitu dahsyat benturan ini, Ji Bu sampai tertolak mundur dua langkah,
wajahnya yang pucat tampak merah padam.
Gerakan kedua pihak berlangsung cepat, dikala dua batang Toa liong-kak berputar
dengan desing suaranya yang memekak telinga menyamber tiba, si sayap terbang
Kim Bok dan Ceng-yap-cu Lo Ce kebetulan terjun ke tengah rombongan orang2
Hek-jiu-tong. Bagai iblis yang haus darah, kedua batang Toa-liong kak menyamber kian kemari
dengan cahaya kemilauan, suaranya yang membising mengaburkan perhatian orang
banyak pula, sehingga orang salah duga bahwa kedua senjata melengkung aneh ini
178 seperti benda hidup.
Jerit orang banyak terus bersahutan, korban berjatuhan, puluhan batok kepala
manusia sama terpental, kalau Toa liong-kak kemilau cahayanya, adalah golok sabit
Kim Bok juga menaburkan cahaya benderang, dalam dua kali gebrak delapan nyawa
direnggut oleh golok sabitnya. Kaki lengan dan kepala sama protol, isi perut sama
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terburai, dada dan perut robek oleh tabasan golok.
Kepala gundul yang berjenggot merah itu sudah payah kehabisan tenaga, serta
melihat kedatangan sang pimpinan yang menerjang datang seperti banteng ketaton,
seketika bangkit pula semangat tempurnya, entah dari mana datangnya kekuatan
baru, dengan nekat dia cecar si hidung merah Kau Pui-pui, lalu dengan suara
menggelegar dia berseru: "Cuncu, aku si jagal hari ini akan mengadu jiwa, dua puluh
tahun lagi akan menitis pula sebagai laki2 gagah perkasa ......."
Si Hidung merah Kau Pui-pui melayaninya dengan gerakan cepat dan tangkas pula,
permainan telapak tangannya masih tetap mantap, sorot matanya membara, katanya:
"Betul ucapanmu, dua puluh tahun lagi, kau mungkin laki2 sejati . . . ... "
Jenggot merah si jagal se-akan2 kaku tegak, golok di tangan laki2 gemuk ini
mendadak berputar kencang, keringat sudah membasahi sekujur badan, dengan
suara kasar dan sengit dia berkata: "Tapi kau keparat tua boneka ini harus
mengiringi aku bertamasya ke neraka . . . . . . . "
Hidung Kau Pui pui yang tinggal secuil daging yang benjol merah itu tampak bergerak2,
dengan sengit dia lontarkan sembilan jurus pukulan, serunya murka:
"Kematian sudah di depan mata masih berani jual lagak!"
Sambil menabas dan membacok, golok si gemuk terus bekerja tak kurang
kencangnya, dia tergelak2, serunya pongah: "Jika kau sendiri tahu malu, kau mahluk
aneh yang tidak punya hidung ini tentu merasa malu mengeroyok diriku dengan
bantuan begundalmu sebanyak ini."
Wajah Kau Pui pui yang jelek dan beringas itu tampak semakin buruk, sekaligus dia
lontarkan beberapa jurus pukulan dan tendangan, dikala tangan dan kaki bekerja,
timbul pusaran angin yang kencang. Tanpa jeri si gemuk, tetap putar golok sabitnya
balas menyerang, di tengah gempuran yang beradu cepat itu, terdengar suara "bret"
yang menusuk telinga, jubah si gemuk yang putih itu tampak sobek sebagian.
Di tengah suara sobekan ini, dari samping selarik sinar golok melengkung
membacok ke punggung si hidung merah Kau Pui-pui. Berteriak kaget lekas Kau
Pui-pui menggeser ke samping, waktu ia berpaling, serta-merta ia berteriak
melengking: -"Kim Bok!"
Kim Bok mencecar lawan pula, katanya penuh hebencian: "Kau Pui pui, sejak tadi
kau memang pandai menghindari bentrokan langsung dan main sergap mencari
lawan yang lemah, kini kau tidak akan bernasib mujur lagi."
Sambil berkelit dengan gesit dan tangkas, Kau Pui-pui berhasil lolos dari serangan
golok Kim Bok, tapi dikala badannya menyelinap menghindar kian kemari itu, ia
sempat melihat sembilan puluhan anak buahnya lebih dari separo sudah roboh
binasa oleh amukan golok musuh. Keruan tidak kepalang kagetnya, belum lagi
otaknya sempat bekerja, Kim Bok yang menjadi lawannya ini telah mendesaknya
lebih ketat, kembali dia melompat mundur, tapi Kim Bok ternyata tidak mengejarnya,
dikala dia berdiri tegak pula, tahu2 bayangan seorang sudah melayang ke samping
kirinya dengan bayangan seorang lagi.
Sedikit melenggong lekas Kau Pui-pui memandang ke sana, ternyata laki2 gemuk
kepala botak yang berjenggot merah yang menyatakan ingin jadi laki2 gagah pula
pada penitisan dua.puluh tahun yang akan datang telah menerjang ke arah kiri,
seketika Kau Pui-pui sadar, lekas dia berteriak: "Mereka hendak lari, cegat
mereka . . . . "
Kejadian berlangsung cepat sekali, belum lagi orang2 Hek-jiu-tong menyadari
maksud teriakan sang pemimpin, sekali gebrak, di bawah samberan golok kedua
orang Bu siang-pay ini, sepuluh orang sudah roboh menjadi korban. Kim Bok tergelak2,
dengan memimpin Ceng yap cu Lo Ce dan si jagal jenggot merah mereka
179 terus menerjang membobol kepungan.
Baru saja ketiga orang lolos dari kepungan, belum ada tiga tombak jauhnya, di
depan sudah mengadang seorang laki2 tua berjenggot panjang dan memimpin tiga
puluhan orang Hek-jiu-tong yang mengenakan mainan kalung telapak tangan di
depan dada, mereka adalah jago2 Hiat-hun tong yang siap menyambut mereka.
Kim Bok mendelik, teriaknya gusar: "Kita ganyang mereka?"
Laki2 tua berjenggot putih itu bukan lain adalah si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong,
jago yang tadi dipaksa jungkir-balik oleh Siang Cin yaitu King Ji-seng.
Belum lenyap gerungan Kim Bok, badannya yang besar itu mendadak meloncat
tinggi ke udara, mirip seekor burung raksasa dengan badan menukik dia langsung
menubruk ke arah King Ji seng.
King Ji-seng tertawa melengking bagai suara kokok-beluk, payung ragang besi di
tangannya melingkar satu bundaran, ujung payung yang runcing tiba2 menjojoh ke
depan laksana pagutan ular berbisa.
Sambil mengertak gigi golok pendek di kedua tangan Kim Bok sekaligus membacok
gagang payung lawan, selicin belut mendadak King Ji seng melompat mundur sambil
menarik payung, hardiknya: "Kepung mereka."
Tiga puluhan murid Hiat-hun-tong yang sejak tadi berdiri berjajar itu serentak
menggembor, bagai serigala haus darah, dengan tangkas dan terlatih mereka
merubung maju. Dalam hati Kim Bok diam2 mengeluh, dia pikir malam ini mungkin
teramat sukar untuk menjebol kepungan musuh dan lolos turun gunung.
Tapi baru saja tiga puluhan murid2 Hiat hun-tong yang berani mati itu menerjang
maju beberapa langkah, dari udara meluncur turun sesosok bayangan orang, belum
lagi orang banyak sempat melihat gerakannya, enam orang Hiat-hun-tong yang
terdepan sudah menggelepar roboh, semuanya pecah kepalanya."
"Siang-tayhiap," sambut Ceng-yap- ce Lo Ce dengan girang sambil mengayun
goloknya. Yang baru datang memang si Naga Kuning Siang Cin, wajahnya yang cakap bersih
tampak berlepotan darah dan keringat, begitu kaki menginjak bumi Siang Cin segera
susuli lagi dengan pukulan telapak tangan, tiga jiwa musuh direnggutnya pula,
teriaknya dengan serak: "Lekas pergi, biar aku tahan mereka."
Mendengar seruan ini Kim Bok menjadi haru dan berduka pula, teriaknya: "Sianglote!"
Mendadak Siang Cin berjongkok menghindari sabetan lima batang golok setan
lawan, waktu dia menegak pula, telapak tangannya telah memapas patah lengan
dua orang, ditengah hamburan darah segar itulah, kembali dia meraung gusar:
"Lekas pergi!"
Mau tak mau terpaksa Kim Bok, tarik Ceng yap-ce Lo Ce dan si jagal jenggot merah,
bertiga mereka sama2 melompat ke depan sejauh mungkin, selagi mengapung di
udara, mendadak kedua kaki Kim Bok memancal, kedua sayap buatan di bawah
ketiaknya segera berkembang, seperti burung raksasa yang pentang sayapnya,
mereka melayang turun ke bawah gunung.
Orang2 Hek-jiu-tong hanya ber-teriak2 dengan melongo saja, hampir mereka tidak
percaya akan pandangan mata sendiri, manusia apalagi dengan muatan dua orang,
bagaimana mungkin bisa mela yang terbang seperti burung di angkasa" Sungguh
kejadian yang luar biasa.
Siang Cin sendiri menjadi lega seperti bebas dari suatu tugas berat, sementara di
sana King Ji-seng sedang mencak2 seperti kebakaran jenggot, teriaknya kalap:
"Losu, Loji, Longo, lekas kejar, lekas . . . . ."
Serigala tertawa Ji Bu dan Kau Pui-pui segera memburu ke bawah gunung,
beberapa tombak di sebelah sana Thong-thian-wan Ban Lok juga pimpin ratusan
anak buahnya ikut menguber ke bawah gunung, Siang Cin ter-gelak2 sambil
menengadah, serunya: ?"King Ji seng, tunggulah pembalasanku."
Beringas pandangan King Ji-seng, ia mengayun payung besinya dan berteriak
kepada murid2 Hiat-hun tong yang berdiri disekitarnya: "Kalian tunggu apa lagi" Mau
180 pura2 mampus"
Puluhan jago Hiat-hun-tong tersentak kaget serentak mereka bergerak, seperti
gerombolan serigala yang kelaparan tanpa pikir keselamatan sendiri mereka
menyerbu ke arah Siang Cin.
Waktu itu Thong-thian-wan Ban Lok dengan ratusan anak buahnya sudah lari
beberapa tombak ke bawah gunung, beberapa langkah lagi akan tiba di balik
gundukan tanah dan lenyap di balik sana. Dengan menyeringai Siang Cin kerahkan
seluruh kekuatannya, kedua tangan terayun bersama, dua batang Toa-liong-kak
menyamber keluar, suara mendenging seperti jerit tangis setan penagih sukma,
begitu cepat membabat ke arah Thong-thian-wan Ban Lok di kejauhan itu.
Baru saja Toa liong kak menyambar keluar, Siang Cin lantas melompat ke balik
gundukan dan mendekam ke bawah, mendadak ia berputar, telapak tangannya yang
tajam membabat satu lingkaran.
Tiga belas jago Hiat-hun-tong yang menubruk maju tiba2 sama merasakan perut
kesakitan, sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, serta merta mereka sama
menunduk memandang perut masing2 entah sejak kapan isi perutnya ternyata
sudah kedodoran menjebol perut.
Gaya serangan Siang Cin yang menakjupkan ini merupakan salah satu jurus dari
San-jiu yang lihay, sehingga tiga belas musuh yang terbelah perutnya tidak
merasakan sakit padahal isi perut sudah berlimpah keluar.
Maka berpadulah jerit tangis sekarat ketiga belas orang yang berkelejatan itu,
semuanya membuang senjata dan mendekap perut sambil ter-guling2, wajah
mereka yang tadinya buas kasar itu kini tampak pucat berkeringat.
Tanpa hiraukan nasib anak buahnya, serigala tertawa Ji Bu, hidung merah Kau Puipui
Ban Lok, King Ji-seng menubruk dari tiga arah yang berlainan, Siang Cin sudah
memperhitungkan waktu dan mengincar sasaran dengan baik, mendadak ia
jumpalitan, dua Toa-liong-kak yang tersisapun dia sambitkan dengan desing
suaranya yang memekak telinga, tiga musuh yang merangsak maju sementara
teralang oleh "tanduk naga" ini.
begitu sinar kuning muncul, Serigala tertawa Ji Bu segera berteriak kalap: "Lo-ngo,
adu jiwa!"
Si hidung merah Kau Pui-pui menyahut: "Baiklah!"
"Siuutt", sebuah Toa liong-kak dengan membawa cucuran darah menyamber tiba,
Kau Pui-pui tidak menyingkir, mendadak dia menjatuhkan diri terus berputar. "Cret",
tanduk naga dengan telak menancap di pundaknya, tapi dengan berputar tadi iapun
sudah mengelinding ke samping Siang Cin.
Hal ini memang di luar dugaan Siang Cin, baru saja tanduk naga disambitkan, tahu2
orang yang meski terluka sudah mendesak tiba, sungguh dia tidak menduga musuh
berani nekat mengadu jiwa.
Sekilas dia melenggong, sementara telapak tangan Kau Pui-pui sudah terayun
membelah dadanya, sedang tanduk naga yang lain melayang diatas kepala si
Serigala tertawa Ji Bu, dasar licik, dengan menyelamatkan jiwa sendiri, sigap sekali
Ji Bu tarik seorang anak buahnya terus dilempar ke arah tanduk naga yang
menyamber tiba, terdengar jeritan ngeri, tanduk naga yang tajam itu sudah ambles
ke dalam perut murid Hek jiu-tong itu.
Tak sempat berpikir, lagi Siang Cin melenting ke atas, pada saat yang sama, tanpa
hiraukan keselamatan sendiri King Ji-seng juga menyelinap maju seraya menjojoh
iga kiri Siang Cin dengan ujung payungnya yang runcing itu.
"Pletak", suara tulang remuk disusul "bluk" yang keras pula, si hidung merah Kau
Pui-pui terpental ber-guling2, sementar Siang Cin terhuyung mundur tiga langkah,
wajah King Ji-seng tampak beringas seram, ujung payungnya yang runcing itu baru
dicabut keluar dari paha Siang Cin.
Bayangan orang segera berkelebat, sebat sekali si Serigala tertawa Ji Bu menubruk
maju sambil berteriak, lantang: "Bunuh dia!" - Baru saja dua patah kata ini terlontar
dari mulutnya, Ji Bu mendoyong ke depan, "Ngum", pedang pandaknya bergetar,
181 dengan keji ia menusuk. Inilah serangan maut ilmu pedang si Serigala tertawa Ji Bu
yang tiada taranya.
Tak mau ketinggalan gagang payung besi King Ji-seng srgesit ular juga mematuk
tiba, cuma untuk kali ini ujung payung yang runcing itu tidak langsung menusuk ke
arah Siang Cin, tapi menjojol, di sebelah belakang Siang Cin.
Dalam waktu sekejap ini dua gembong utama Hek-jiu-tong sekaligus melancarkan
serangan bersama, kali ini mereka tidak main sergap atau bertempur dari jarak jauh,
tapi bergebrak dalam jarak dekat, malah serangan yang dilancarkan juga lebih ganas.
Siang Cin insyaf detik2 yang menentukan dari pertempuran terakhir ini sudah di
depan mata, dia tahu akibat kalah dan menang pertempuran sengit ini tentu teramat
besar bagi kedua pihak, hanya antara mati dan hidup.
Serangan gencar kedua pihak begitu dahsyat, Siang Cin tiba2 memicingkan mata,
perawakannya yang jangkung itu tiba2 setengah berjongkok. Bong li-mo ( iblis dalam
impian ) dan Hian jian-sin ( darah menciprat hati ), dua jurus dari sembilan jurus
serangan maut sekaligus dilancarkan, dikala bayangan telapak tangannya
beterhangan dengan deru angin yang kencang, dua jurus lihay yang lain dari Gwatbong-
ing dan Ban-thian hong menyusul pula.
Hampir tidak terasakan gerakan Siang Cin yang begitu cepat dan tangkas, baru
empat jurus serangan ini ber-gulung2 di udara, empat jurus susulan yang lebih
dahsyat lagi telah diberondong keluar pula, keempat jurus susulan ini adalah Kui-sow
bun ( setan menagih nyawa ), Hay-swan-boh ( pusaran air laut ), Ing- poh long (elang
menerjang ombak )dan Liong kik-hun ( naga naik ke mega ), angin menderu
menjadikan pusaran yang kencang, debu pasir beterbangan, gaya Siang Cin yang
setengah berjongkok tiba2 tegak kembali, maka jurus terakhir dari sembilan tipu
pukulan yang paling ganas, yaitu Kan- thian bun ( menggetar pintu langit ) didorong
ke luar pula. Betapa hebat kekuatan pukulan berantai ini, boleh dikatakan hampir tak mungkin
dilakukan oleh manusia biasa. Serangan berantai dilancarkan dalam sekejap dari
jurus pertama sampai jurus kesembilan, damparan angin semakin bertambah hebat.
Bersamaan dengan serangan sembilan jurus berantai Siang Cin ini. Jenggot King Jiseng
tampak bergerak, kedua matanya melotot besar, gagang payung besi yang
mengatup itu tiba2 terbuka, di tengah suara "cret" yang keras, enam belas batang
ruji payung besi itu melesat bersama kedepan, berbareng si Serigala tertawa Ji Bu
juga memutar senjatanya seperti kitiran, keduanya menyusup ke tengah arus tenaga
pukulan Siang Cin yang dahsyat itu.
Jubah kuning dan lengan baju warna hitam beterbangan, tiga pasang tangan dan
kaki tengah melakukan gerakan cepat yang tidak mungkin dilakukan oleh tiga ratus
orang, gebrakan berlangsung dalam sekejap dan sebat, sekali lantas terpencar pula
ke arah masing2.
Begitu melompat ke belakang Serigala tertawa Ji Bu sudah tidak mampu berdiri lagi
dia jatuh tertunduk, pakaian hitam di sekujur badannya sudah hancur ber-keping2,
rambutnya yang gondrong semrawut, darah tampak membasahi jidat dan belakang
lehernya bercampur dengan keringat yang gemerobyos, mukanya pucat menguning,
napasnya tampak ter-sengal2, mukanya menampilkan rasa kesakitan yang luar
biasa. Di sebelah sana King Ji-seng juga terlempar keluar dua tombak jauhnya, masih terguling2
lagi, akhirnya rebah telentang tanpa bergerak lagi, sekujur badan dibasahi
noda darah, kulit muka mengkeret, darah meleleh dari hidung dan kuping serta mata,
kulit badannyapun berubah biru hitam. si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong yang lihay
otaknya ini meringkuk tak bergerak lagi, jenggot putih dibawah dagunya juga
kelihatan guram dan kotor oleh keringat yang tercampur darah, sungguh
mengenaskan sekali keadaannya.
Lima tombak dari arena, tampak Siang Cin berdiri kaku laksana patung, bola
matanya tampak melotot memancarkan cahaya cemerlang di dalam kegelapan, air
mukanya tetap dingin dan kaku, jubah kuningnya itu juga tampak berderai di bagian
182 bawahnya, noda2 darah bercipratan di sekujur badan, tiga batang ruji payung yang
tajam kemilau tampak jelas menusuk di paha, pundak dan iganya, sementara
pedang pandak si Serigala tertawa terselip di antara tulang pundak kirinya, namun
Siang Cin kelihatan tetap tenang se-akan2 derita ini bukan tumbuh di atas badannya,
dia seperti sudah pati rasa.
Serigala tertawa Ji Bu maklum betapa parah luka2nya kini, dalam gebrak
menentukan barusan, dia terkena lima kali tendangan dan satu pukulan, pukulan
yang teramat berat.
Sisa2 orang Hek-jiu-tong yang masih hidup berdiri terpencar di berbagai penjuru,
semuanya berdiri menjublek, tak tahu apa yang harus dilakukan, sungguh mereka
ngeri menyaksikan kejadian yang mengenaskan ini, hampir2 semuanya tidak
percaya atas penglihatan masing2, bahwa tiga gembong pimpinan mereka yang
diandalkan selama ini telah ambruk pada waktu yang sama, mampus dengan
mengerikan. Pelahan sesosok bayangan orang tampak bergerak dari balik bukit sebelah sana,
langkah orang ini teramat pelahan, di belakangnya ada delapan puluhan murid Hekjiu-
tong, sementara di atas tanah bergelimpangan mayat kawan mereka yang tak
berkepala, dua batang Toa-liong-kak tampak menancap di atas tanah padas dan
dada seorang musuh, sang korban tampak mendelik sambil memeluk dada.
Bayangan orang itu semakin dekat, kini kelihatan jelas, dia adalah Thong-thian-wan
Ban Lok, pada bagian pundak kiri pakaian hitamnya tampak basah oleh goresan
senjata yang mengeluarkan darah, di belakangnya juga ada goresan panjang di
punggung, darah masih mengucur keluar dan mengalir sampai ke ujung kaki.
Ada beberapa murid Hek-jiu-tong yang menyingkir jauh di sana, berjongkok sambil
memeluk perut, tak jauh dari mereka si hidung merah Kau Pui pui meringkuk lemas
tak bergerak dikelilingi anak buahnya. keadaannyapun kelihatan parah.
Pelahan Thong-thian-wan melangkah maju dan berhenti tiga tombak di depan Siang
Cin, air mukanya menampilkan rasa lelah, lama dia menatap musuh bak iblis di
depannya ini, dengan suara serius akhirnya dia berkata: "Siang Cin, kau memang
tersohor bertangan ganas di Bu lim, semula aku tak percaya, kini baru terbukti kau
memang setimpal dengan julukan itu, kau memang buas, ganas dan keji, kalau tidak
tentu sejak lama kau sudah mampus . . . . "
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aneh pancaran sinar mata Siang Cin, katanya kalem: "Untuk adu jiwa, orang she
Siang tidak gentar menghadapi keroyokan iblis2 laknat seperti kawanan Tangan
Hitam kalian. Ban Lok, pihak kalianla yang menarik keuntungan, tapi pernahkah kau
menaruh belas kasihan terhadap musuhmu?"
Secomot rambut kuning di kepala Thong-thian wan Ban Lok tampak melekat di
depan jidatnya yang basah keringat, kedua lengannya yang panjang bergontai lemas
di samping tubuhnya, dengan susah dia menelan ludah, lalu berkata dengan suara
serak: "Gambaranmu teramat seram, Siang Cin, kau memang pantas dipuji sebagai
pengganas nomor satu, tapi kau harus mengerti, utang jiwa harus dibayar dengan
jiwa." Menyeringai Siang Cin menahan rasa sakit yang menusuk tulang sungsumnya,
katanya berat: "Sudah tentu, orang she Siang selalu siap untuk ini, entah sekarang
atau kelak, kau atau orang2 lain."
Dengan lidah kaku Thong-thiau wan menjilat bibirnya, katanya serak: "Siang Cin,
biarlah sekarang saja?"
Siang Cin menggeleng dan berkata: "Ban Lok, kau sendiri maklum aku tidak akan
menyerah mentah-mentah, kita sama2 mempunyai kesempatan, betul tidak?"
"Betul, tapi kesempatanmu tak banyak . . . . " Ban Lok menyeringai.
Siang Cin mendengus: "Benar, tapi kau sendiri, dengan tipu muslihatmu kau sudah
berhasil mencapai sedikit dari apa yang kau harapkan. Ban Lok, jika menurut
kebiasaan watakmu, sejak tadi tentu sudah melabrakku mati2an, tapi kenapa tidak
kau lakukan" Sebab kau sendiri sudah terluka parah, kau sudah menyaksikan
betapa Lwekangku, para pembantumu sudah modar, tiada satupun yang setimpal
183 menjadi pembantumu untuk mengalahkan aku, maka kau sengaja menunggu,
mengulur waktu dengan ocehanmu, kini orang2mu tengah memanggil bantuan.
kalau ingatanku tidak keliru, pihak Hek-jiu-tong kalian masih ada Lotoa (tertua) Dian
Gun, Losam ( yang ketiga) Mo Giok yang belum muncul, betul tidak?"
Untuk menyembunyikan perasaannya Ban Lok mengusap pipi dengan telapak
tangan, katanya: "Siang Cin, kau memang pintar dan ini tidak menguntungkan
dirimu." Siang Cin menggeleng, katanya: "Hatimu tentu gelisah, kenapa bala bantuan yang
kau harapkan tidak kunjung tiba. Mereka akan segera tiba, mungkin sudah dalam
perjalanan, kau ingin sekarang juga melabrakku, tapi takut tak mampu merintangiku,
betul tidak" Ban Lok, tak usah kuatir, kelak masih banyak kesempatan."
Hampir tidak terlihat cara bagaimana Ban Lok memberi-aba2, tapi orang2 Hek-jiutong
yang tersebar itu mulai bergerak di bawah komandonya. Dengan tertawa Siang
Cin berkata: "Kau ingin segera mulai" Tapi aku ingin lekas pergi, pertikaian ini
agaknya tak bisa selesai malam ini, Ban Lok selamat bertemu pada kesempatan
lain." Mendadak Ban Lok berteriak sengit: "Siang Cin, kau terhitung orang gagah di
kalangan Kangouw, pada saat menang kalah akan ketahuan kau justeru ngacir
mencawat ekor" Di mana akan kau taruh pamormu?"
"Betul, kau tahu Siang Cin adalah laki2 sejati, tapi kau harus lebih tahu bahwa aku
bukan laki2 goblok, aku tidak sebodoh itu untuk terperangkap oleh muslihatmu,"
habis kata2nya, segera Siang Cin membalik tubuh.
Biji mata Ban Lok memancarkan nafsu membunuh, sambil menggertak gigi dia
mendesis: ?"Seluruh anak2 Tangan Hitam, kepung dia!"
Orang2 Hck-jiu-tong yang memang sudah bersiap segera merubung maju dari
berbagai penjuru, golok besar ditangan mereka sama teracung.
Mendadak Siang Cin angkat tangan seraya menghardik: "Awas Toa-liong-kak!"
Thong-thian-wan Ban Lok sudah bergerak maju, dia pernah merasakan betapa
rasanya samberan "tanduk naga" yang tajam ini, keruan ia kaget dan jeri, ia
merandek, sementara gada bergigi serigala dia putar sambil menggeser ke samping.
Hanya sekejap ini sudah cukup bagi Siang Cin, di tengah gelak tawanya, kedua
kakinya memancal bergantian, empat orang yang menubruk maju ditendangnya
mencelat, sebelum badan musuh2nya terbanting ke bumi, bagai burung terbang
Siang Cin menjulang tinggi ke udara, sekali berputar ia terus meluncur ke sana dan
lenyap di telan kegelapan.
Thong-thian-wan Ban Lok meraung dan memburu, tapi segera dia menghentikan
langkahnya, mukanya merah padam, sambil membanting kaki ia mencaci maki:
"Kalian semua gentong nasi, mampus semuanya. . . . . "
Serigala tertawa Ji Bu yang duduk lemas di sana tiba2 menengadah sambil tertawa
seram, biji matanya melotot memandang ke arah menghilangnya bayangan Siang
Cin, darah segera menyembur dari mulutnya, "bluk". akhirnya dia roboh terkulai.
Keruan anak buah Hek-jiu-tong menjadi ribut dan kacau, ada pula yang berteriak:
"Siko meninggal . . . . Siko sudah meninggal . . . . "-
Setiap patah kata itu laksana ujung jarum menusuk hati Ban Lok, setiap patah kata
itu se-akan2 guntur menggelegar di pinggir telinganya, keringat dingin bercucuran,
otot di jidatnya merongkol keluar, seperti orang linglung dia berdiri tak bergerak dan
bersuara lagi, dalam waktu semalam yang singkat ini dia seperti sudah lebih tua
puluhan tahun. Dari kejauhan, di samping Bu-wi san-ceng yang sudah menjadi puing itu, tampak
bayangan ratusan orang tengah berlari secepat terbang, mereka lari seperti
memburu waktu, Tong-thian-wan Ban Lok mendengar gemuruh langkah orang
banyak ini, dia tahu siapa yang datang, tapi segalanya sudah terlambat.
Mukanya yang kuning mengulum senyum pilu, matanya berlinang air mata, pelan2
Ban Lok terkulai duduk di atas tanah, pertempuran banjir darah malam ini
memangnya pihak mana yang kalah atau menang" Betapa banyak nyawa menjadi
184 korban" Langit di ufuk timur mulai menampakkan secercah cahaya, lambat laun
fajarpun menyingsing, suasana pagi dengan hawa segar tercium pula bau anyir
darah yang tebal.
Hawa pegunungan di waktu pagi sedemikian sejuknya, segumpal awan tipis
mengambang rendah di kejauhan sana, seperti melayang di permukaan Gak-yangho.
Dengan langkah limbung Siang Cin sedang berjalan seorang diri, luka2 di
tubuhnya sedemikian sakit, tapi dia tetap bersemangat dan memperhatikan keadaan
sekelilingnya, dia maklum, dalam keadaan sekarang sedikit lena akan
mendatangkan akibat yang fatal baginya, wataknya tidak suka menyesal pada apa
yang sudah terjadi, bahkan masih banyak urusan yang harus dia kerjakan, ya,
banyak sekali . . . . . . . . .
Di kejauhan dia sudah melihat hutan itu, di hutan mana semalam mereka
bersembunyi sebelum menyerbu ke atas Pi-ciok-san, di sebelah samping yang
teraling hutan, yaitu di tanah lekuk itu, kuda tunggangan mereka disembunyikan di
sana, entah sekarang apakah masih ada di situ"
Ia istirahat sebentar bersandar pohon sambil memejamkan mata, lalu dengan penuh
kewaspadaan dia menyelinap ke hutan itu, dia balut lukanya ala kadarnya, darah
telah membasahi kain pembalut dari lengan bajunya, pedang pandak yang menyelip
tulang pundaknya sudah dia cabut, sedang ketiga ruji payung besi itu dia tidak berani
mengusiknya secara gegabah, hanya Thian yang tahu betapa dalamnya besi2
runcing itu menancap ke dalam dagingnya, Siang Cin kuatir bila sekarang dia
mencabutnya, mungkin dia takkan kuat beranjak lagi.
Setelah dekat hutan, pelan2 Siang Cin merebahkan diri, dengan payah dia
merangkak maju dengan kedua sikunya, dikala dia menggeremet tiba di semak
rumput yang subur itu, tiba2 ia mendengar suara percakapan beberapa orang.
Dengan hati2 Siang Cin mengintip dari celah2 dedaunan, terlihat beberapa tombak di
depan sana ada delapan laki2 seragam merah tengah berbicara, semua bersenjata
kapak dua muka, pakai ikat kepala kain merah pula.
Setelah membasahi bibirnya yang kering, Siang Cin merunduk ke tempat lain, dalam
hutan dilihatnya masih ada beberapa orang, pakaian mereka ada yang merah ada
pula yang hitam, agaknya mereka sedang mencari dan menggeledah hutan ini, cuma
kelakuan mereka tidak begitu serius, gerak-geriknya acuh tak-acuh, senjata mereka
dibuat membabat rumput dan tetumbuhan yang merintangi jalan mereka, itulah sikap
pemenang setelah mengalahkan musuhnya.
Siang Cin bertiarap dan diam saja, dari percakapan beberapa orang ini, kira2 dia
tahu situasi pertempuran di bawah gunung dan bagaimana akhirnya. Jelas bahwa
aksi Bu siang pay menyerbu kesarang Hek jiu-tong ini sudah gagal total, Kegagalan
atau kekalahan ini dengan sendirinya juga menyangkut Siang Cin pula, meski
sekuatnya dia sudah berjuang untuk memperkecil kekalahan, tidak sedikit pula
musuh yang diganyangnya, tapi akhirnya tetap sama, darah yang tercecer, nyawa
yang tercabut, semuanya sudah terjadi dan telah berlalu.
Kebetulan bagi Siang Cin, ia merebah di tempatnya untuk melepaskan lelah, entah
berapa rombongan orang telah pergi, lama kelamaan suasana dalam hutan menjadi
sepi, tiada terdengar suara percakapan, tak terdengar langkah kaki orang,
sampaipun kicau burungpun tak terdengar lagi, begitu sunyi seperti di tanah
pekuburan. Menunggu lagi sekian lama, dengan pedang pandak menyangga badan, pelan2 dia
melangkah ke hutan sebelah sana.
Sambil jalan pelahan pikiran Siang Cin bergolak, dia menguatirkan keselamatan si
sayap terbang Kim Bok bertiga, entah mereka sudah lolos dari kepungan dan
kejaran musuh atau tidak" Liat-hwe kim lun Siang Kong ceng dan lain2 sama
memiliki Kungfu yang tangguh, tentunya tak mudah terkubur hidup2 di tengah
kobaran api" Demikian pula Cap-kau-hwi ce Loh Bong-bu, Jan Pek-yang, Te Yau
dan lain2, biasanya mereka cerdik dan cekatan, berjuang penuh semangat, asal ada
setitik harapan tentu mereka rebut untuk mempertahankan hidup.
185 "Pletak". tanpa sengaja kakinya menginjak patah ranting kering, suara ini cukup
mengejutkan lamunan Siang Cin, lekas dia menyelinap ke belakang pohon, dengan
waspada dia celingukan, dilihatnya sudah tiba di pinggir hutan, sebelah depan
adalah ladang belukar.
Dari balik pohon Siang Cin mengawasi keadaan sekeliling, tak jauh di depan sana
dilihatnya mayat2 yang ratusan jumlahnya berjajar dan bertumpuk, ada yang
berpakaian merah, hitam dan putih, menandakan para korban campur aduk dari tiga
pihak, tapi kini mereka sama2 sudah mati, berlepotan darah dan mengerikan,
semuanya rebah tenang berdampingan, tiada dendam dan bermusuhan.
Dua orang laki2 kekar tampak menjaga mayat2 itu, mereka berdiri jauh dari
tumpukan mayat, seperti takut orang2 mati itu bangkit kembal
semuanya mengenakan warna hitam, memangnya dari
mana pula jago kosen berjubah merah ini" Memangnya di dalam waktu singkat ini
pihak mereka telah mengundang jago2 dari aliran lain untuk bantu menghadapi
serbuan orange Bu-siang-pay" Kalau hal ini betul, betapa banyak jago2 silat yang
telah tiba" Bagaimana tingkat kepandaian mereka" Kini di mana pula mereka
menyembunyikan diri"
Siang Cin tidak ayal lagi, cepat dia melesat ke sana, dari jauh angin pukulannya
segera melanda musuh yang berjubah merah menyolok itu.
Sebat sekali orang berjubah merah itu berkisar, pergi, Poan-hou-jiu Te Yau berteriak
riang: "Siang-tayhiap, jejak Siocia sudah ditemukan, Pek yang sedang . . . . . . "
Belum habis dan bicara laki2 ubah merah telah melompat maju ke kanan-kiri, dalam
gerakan ke kiri-kanan ini, tiba2 sebelah tangannya menggablok ke arah Siang Cin,
sedang tangan yang lain memukul Te Yau tenaga pukulannya kuat luar biasa.
Diam2 Siang Cin mendongkol, main kepalan dirinya adalah paling ahli, kenyataan
lawan berani main hantam dihadapannya. Sembari menghardik tangannya bergerak
setengah melingkar, lingkaran kecil terus meluas menjadi sebuah lingkaran besar, di
tengah lingkaran besar inilah tersembunyi pukulan hebat, se-olah2 sebuah jala besar
yang tidak kelihatan terus mengurung ke arah musuh.
Maka si jubah merah merasakan adanya gencetan berat dari dua arah yang berbeda,
begitu tahu gelagat tidak menguntungkan cepat dia menyurut mundur, tapi ujung
jubahnya terobek oleh telapak tangan Siang Cin.
Bagai bayangan. Siang Cin memburu maju dengan serangan tiga puluh tujuh jurus
pukulan, sementara kedua kakinya berganti menendang secara berantai, gaya
pukulannya yang keras bagai gelombang yang ber-gulung2, bayangan kakinya
secepat kilat, rangsakan yang dahsyat ini sekaligus mendesak si jubah merah
mundur sampai di pinggir atap rumah.
Siang Cin melejit mundur seraya mendengus, lalu ia berseru: "Te-heng, apakah Janheng
mengejar musuh?"
Te Yau menyahut: "Betul, tadi Cayhe juga ikut mengejar, tapi dicegat keparat ini."
Dalam percakapan singkat ini, laki2 jubah merah telah menubruk balik, begitu
berhadapan kedua tangannya kembali melancarkan bayangan pukulan yang
bersusun dan tebal menggulung kearah Siang Cin.
Kini Sang Cin telah melihat jelas tampang lawannya, ternyata orang ini berwajah
cakap, seorang pemuda yang gagah kekar, sikapnya kelihatan angkuh, sorot
matapun tajam. Sambil bcrputar, se konyong2 bayangan jubah kuning Siang Cin berkelebat, seolah2
sekaligus telah berubah menjadi ribuan Siang Cin, dari arah yang sukar diduga
ini, sekaligus ia menggempur musuh dengan tak kalah gencar dan sengitnya.
Deru angin pukulan meledak saling bentur, bayangan pukulan beterbangan tanpa
kenal ampun lagu ia menggempur laki2 jubah merah itu.
Siang Cin telah keluarkan Bong-li-mo (iblis dalam ini api), salah satu dari kesembilan
keahliannya, selama terkenal di Kangouw jarang Siang Cin menggunakan jurus yang
lihay ini Karena Bong-li-mo dan Win jian san merupakan tipu pukulan yang paling
ganas diantara sembilan jurus ilmu pukulannya yang hebat, seluruhnya telah
161 memeras tenaga dan pikiran Siang Cin selama enam tahun baru berhasil
diyakinkannya ilmu pukulan ini.
Maka terdengar si jubah merah menjerit kaget, sekuatnya dia melompat sejauhnya,
sembari melompat kedua tangannya masih bergerak membuat pertahanan yang
kukuh bagai dinding, sekuatnya dia berusaha membendung serangan gencar musuh
yang memberondong tiba dari berbagai penjuru, serentetan suara keras menggetar,
tubuh si jubah merah tampak terjungkal ke bawah.
Sebat sekali Poan-hou jiu Te Yau memburu maju, serunya sambil tepuk tangan:
"Siang tayhiap, kau memang hebat, tidak lebih dari tiga jurus sudah kau bikin bocah
itu terjungkal ke bawah, padahal sudah hampir ratusan jurus Cayhe bergebrak
dengan dia ."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Te-heng, tahukah kau ketiga jurus ilmu yang
kugunakan tadi telah memeras keringat, tenaga dan pikiranku selama tujuh tahun?"
Melenggong sejenak, lalu Te Yau tertawa kikuk.
"Kungfu anak muda tadi ternyata cukup lihay," demikian kata Te Yau kemudian,
"bicara terus terang Siang tayhiap, kalau dilanjutkan mungkin aku tidak dapat
mengalahkan dia."
Sambil menepuk pundak Te Yau, dengan rasa was2 Siang Cin berkata: "Gelagatnya
kurang beres, si jubah merah tadi jelas bukan anggota kawanan Tangan Hitam,
sejauh ini kita belum tahu berapa banyak musuh telah mengundang bantuan dari
golongan lain, sedang bala bantuart Bu siang pay kalian sampai sekarang belum
juga menyerbu tiba di sini, padahal jejak puteri Ciangbunjin kalian belum .juga ada
kepastiannya, malah . . . . . . em, herannya gembong2 kawanan Hek jiu-tong yang
lain sampai sekarang belum juga muncul ........."
Tanpa sadar hampir saja Siang Cin menceritakan tentang kematian Ang Siu-cu, tapi
dia tahu dalam detik2 yang masih gawat ini, berita duka cita ini sekali2 tidak boleh
dia sampaikan, supaya tidak mempengaruhi semangat juang orang2 Bu-siang-pay,
jika sampai kalap dan bertempur tanpa menggunakan pikiran sehat, urusan tentu
bisa runyam. Agaknya Poan-hou-jiu Te Yau tidak perhatikan bahwa Ang Siu-cu sudah tiada di
samping Siang Cin, dengan rasa kuatir dia berkata: "Kekuatiranmu memang
beralasan, Siang-tayhiap, Pek-yang sudah mengejar ke sana, perumahan dalam
perkampungan itu seluruhnya gelap gulita, bangunannya sambung menyambung
seluas ini, untuk mencari jejak Pek yang memang bukan soal mudah . . . . . . "
Berpikir sejenak, Siang Cin berkata pula: ?"Apa boleh buat, terpaksa kita berpencar
mencarinya, peduli dapat tidak menemukan Jan-heng dan puteri Ciangbunjin kalian,
dalam waktu sesulutan dupa kita harus sudah tiba dan menunggu di pintu ruang
pendopo sana."
Baru saja Te Yau manggut, tiba2 seperti ingat apa2 dia bertanya: "O, ya, Siang
tayhiap, mana Siu-cu?"
Kebetulan Siang Cin sudah putar tubuh, sahutnya dengan tertawa getir: "Dia terpisah
denganku. Hayolah sekarang kitapun berpencar." Habis bicara Siang Cin
mendahului terjun ke tempat gelap.
Sejenak Te Yau berdiri melenggong, ia geleng kepala, iapun melompat ke sana.
Suasana dalam perkampungan yang luas gelap ini sunyi senyap, dalam kesunyian
ini terasa adanya ancaman yang amat berbahaya dan membuat orang merinding,
Tanpa berhenti Siang Cin terus meluncur ke barat, matanya menjelajah dan
memeriksa dengan cermat setiap tempat dan setiap sudut, tapi kecuali kesunyian
dan kepekatan, perkampungan besar ini hampir boleh dikatakan sudah tidak dihuni
oleh makhluk hidup lagi.
Tiba pada sebuah taman bunga yang kelihatan teratur dan terawat baik, berbagai
jenis bunga seruni tumbuh di dalam pot2 yang berjajar di sekeliling empang yang
berbentuk sabit, sebuah jembatan berliku tampak melintang di atas empang yang
panjang dan luas ini, sebuah gardu mungil berada di tengah empang sana Siang Cin
memandang sekilas ke sana, baru saja ia hendak berlalu, tiba2 ia mendengar suara
162 kresekan lirih di dalam gardu.
Tergerak hati Siang Cin, lekas dia mendekam, dengan tajam dia mengawasi gardu
itu, sesaat kemudian, dari dalam gardu kembali didengarnya suara pakaian yang
bergesek, batok kepala seorang tampak menongol keluar serta celingukan ke kanan
kiri. Mendadak Siang Cin pentang tangan, secepat kilat tiba2 dia menubruk kepala yang
menongol itu. Sudah tentu kejadian mendadak ini membuat orang itu kaget dan menjerit takut,
belum lagi sempat dia memberi reaksi, sekali raih dan jambak Siang Cin sudah
angkat orang itu ke atas, orang ini berpakaian hitam dengan kulit muka benjal benjol,
wajah yang bengis dan jerih, ini memang cocok sebagai anggota kawanan Tangan
hitam. Sembari menjerit kaget, golok yang dipegang orang itupun terlepas jatuh dan
bersuara nyaring.
Sekencang tanggam Siang Cin jambak leher baju orang itu, katanya dengan
menyeringai: "Pasukan besar Bu-siang-pay telah menyerbu ke atas Pi-ciok-san,
sepuluh gembong kalian sudah gugur separuh, anak buah juga tak terhitung
banyaknya yang binasa, yang masih hidup sudah ngacir menyelamatkan diri, dan
kau sahabat, kini juga tiada harapan hidup lagi."
Saking tegang dan ketakutan orang itu tampak pucat mukanya, napasnya terasa
sesak, mulutnya megap2, sekujur badan gemetar dan basah oleh keringat dingin,
sedikit mengendurkan jari2nya Siang Cia berkata pula: "Di mana kalian sekap puteri
Ciangbunjin Bu-siang-pay?"
Sekuatnya orang itu menarik napas sahutnya tersendat: "Aku . . . . . . aku tidak tahu."
Setajam pisau sorot mata Sang Cin di tempat gelap, jengeknya mengancam:
"Sekarang kau akan mampus secara sia2, Hek-jiu-tong sudah hancur, tiada orang
yang akan memuji dan mengenangmu, kematianmu tak ubahnya seperti babi atau
anjing yang tak berharga, tapi kau tak usah kuatir, kawan2mu sudah bubar, tiada
orang yang akan membuat tuntutan dan mencari kesulitanmu, maka beritahukan
saja padaku sejujurnya, nanti kuberi seratus tahil perak sebagai imbalan jasamu,
ehm?" Daging benjal-benjol di muka laki2 bermuka buruk ini tampak ber gerak2, ia
mengawasi Siang Cin dengan ragu.
"Bagaimana?" Siang Cin mendesak pula.
Orang itu celingukan ke kanan-kiri, lalu berkata dengan suara lirih: "Baiklah,
kuberitahu padamu, nona dari Bu-siang-pay kalian itu dikurung dalam kamar rahasia
di bawah gardu ini . . . . . ."
Siang Cin menatapnya lekat2, tanyanya: "Cara bagaimana membuka pintu kamar
rahasia?" Sejenak bimbang akhirnya orang itu berkata: "Meja batu di tengah gardu itu diputar
ke kanan kiri masing2 tiga kali, meja batu itu akan bergeser dan terbuka sebuah
lubang yang menjurus ke bawah dengan undakan batu, setelah melewati lorong
sempit panjang akan tiba di kamar tahanan itu."
"Siapa yang menjaga nona itu?" tanya Ciang Cin pula.
Setelah menelan liur baru orang itu menjawab ragu2: "Ada . . . . Pat-ko Dian Ki dan
lima orang Thaubak."
Dingin sinar mata Siang Cin, katanya: "Bagus, kau memang jujur dan mau terus
terang, sekarang biar aku memberi persen padamu."
Mulut si muka burik tampak menyungging senyum. tangannya terulur untuk
menerima dua ratus tahil yang dijanjikan Siang Cin.
Siang Cin merogoh saku mengeluarkan uang yang dijanjikan, malah jumlahnya satu
kali lipat lebih banyak, tapi begitu uangnya tergenggam ditangan orang, tiba2 dia
tertawa ter kekeh2 aneh, bernada kejam dan mengancam, seketika orang bermuka
buruk itu merasakan gelagat jelek, belum lagi dia menggenggam kencang dua
keping uang perak itu, tahu2 uang itu terebut pula oleh Siang Cin, sekali gablok,
163 kedua keping uang perak itu ambles masuk ke sela2 tulang pundak orang itu.
"Huuaaah," laki2 buruk rupa itu menjerit, saking kesakitan muka yang jelek dan hitam
itu tampak pucat kelabu.
Siang Cin menjambaknya pula, sepatah demi sepatah dia berkata: "Bicaralah terus
terang padaku, di mana nona itu disembunyikan?"
Sambil menahan sakit dan keringat dingin gemerobyos, kata orang itu dengan
gemetar: "Aku... aku sudah beritahu . . . . beritahu padamu . . . . aku . . , . sudah
bicara terus . . . . terus terang "
"Tapi kau lalai akan satu hal," jengek Siang C,a, "ketahuilah Pat-ko kalian si Alap2
hitam Dian Ki sudah modar, malah aku sendirilah yang merenggut nyawanya."
Laki2 itu berdiri melongo dengan badan tetap gemetar, mungkin saking kaget sampai
dia lupa merintih kesakitan maka sedikit tekan uang perak yang menusuk di tulang
pundak orang itu, Siang Cin mengancamnya pula: "Di mana?"
Keruan orang itu menjerit pula seperti babi disembelih saking kesakitan suaranyapun
berubah serak, katanya sambil menahan sakit: "Me . . . , memang betul . . . .
berada . . . . di dalam kamar batu ...."
"Bohong!" bentak Siang Cin. Telapak tangannya bekerja pulang-pergi, dia gampar
muka orang beberapa kali, laki2 itu mundur sempoyongan serta roboh telentang,
waktu merangkak bangun tangannya berusaha memungut goloknya yang terlempar
jatuh di lantai tadi terus hendak membabat kaki Siang Cin.
Baru saja sinar golok berkelebat, mendadak kaki Siang Cing terayun, belum lagi
golok orang menyamber tiba, kakinya telah menendang Thay yang-hiat dengan telak,
bersama goloknya orang itu mencelat ke atas dan "byuuur" kecebur ke dalam
empang. Sejenak mengawasi mayat yang terapung dipermukaan air, mendadak Siang Cin
membalik badan. Dalam gardu entah sejak kapan sudah berdiri seorang laki2 tua
berpakaian hitam dengan jenggot putih panjang terurai di depan dada. Sorot mata
orang tua ini setajam kilat, lama dia pandang Siang Cin lekat2, Siang Cinpun balas
menatap orang dengan dingin, dalam kegelapan dia sudah mengerahkan
Lwekangnya siap bertindak untuk menjatuhkan musuh lebih dulu.
Dengan lantang orang tua ini berkata: "Biarlah Lohu saja yang beritahu di mana
puteri Ciangbunjin Bu-siang-pay sekarang berada."
"Siapa kau?" bentak Siang Cin.
Orang tua itu menyeringai dan berkata: "King Ji-seng."
Mendengus Siang Cin, katanya: "Lama kudengar namamu yang tersohor, sahabat
tua, Kunsu (guru atau penasihat) dari Hek-jiu-tong, si bijak yang pandai membakar
rumah dan membunuh orang."
Marah tapi King Ji seng tertawa, katanya: "Kelihatannya Lohu memang welas asih,
tapi bila perlu aku bisa melakukan kekejaman, sebaliknya kau, membunuh orang
seperti memotong sayur, jadinya sahabat muda, kau tiada ubahnya seperti diriku"
Siang Cin menjengek: "Kalau dua durjana berhadapan, maka dia harus menentukan
antara mati dan hidup."
Sambil mengelus jenggot, sikap King Ji-seng tampak tenang, katanya: "Akan tetapi,
apakah kau tidak pikirkan lagi tentang jiwa puteri Ciangbunjin Bu-siang pay?"
"Baiklah, silakan bicara," ucap Siang Cin.
Setelah berdehem lalu King ji-seng berkata dengan pongah: "Puteri CiangbunJin Busiang-
pay Thi Yang-yang sudah suka sama suka dan menjadi jodoh yang setimpal
dan takkan terpisahkan dengan Losam kami, mereka sudah melangsungkan
pernikahan secara resmi petang tadi, keduanya sudah berjanji kepada bumi dan
langit untuk hidup sampai tua . . . . . "
"Apakah ada comblang dan saksi dari kedua pihak?" jengek Siang Cin.
"Sudah tentu ada!"
Siang Cin mencibir, katanya: "Siapa saksinya" Apakah bapak ibu Thi Yang yang
telah memberi izin" Ini hanyalah permainan kotor kalian sepihak, kalian harus tahu,
aku dan Bu-sang-pay bukan kaum lemah yang mudah ditipu dan dipermainkan."
164 Sedikit berubah air muka King Ji-seng, tapi sekuatnya dia menahan emosi, katanya
tawar: "Terserah bagaimana penilaianmu, tapi kau juga harus maklum akan satu hal,
jika Thi Yang-yang sendiri tidak menyetujui perjodohan ini, siapapun tak kuasa
memaksanya untuk melangsungkan pernikahan ini, malahan terus terang, meski
baru sekarang resminya mereka melangsungkan pernikahan, hakikatnya
sebelumnya hubungan suami-isteri lahir batin telah mereka lakukan."
Diam2 Siang Cin menghela napas, hal ini memang sudah dalam dugaannya, tapi dia
tetap ngotot menurut pendapat dan pandangannya, katanya: "Yang jelas pernikahan
ini diadakan secara sepihak oleh Hek-jiu-tong kalian, Khong Giok-tik membalas budi
kebaikan dengan kejahatan, bukan saja tidak berterima kasih akan pertolongan
jiwanya terhadap Bu-siang-pay, malah menculik orang dan mencuri pusaka, puteri
penolongnya dipikat dan dibawa lari, dia telah menyalahi kebenaran, kepercayaan
dan kesetiaan, karena itu sahabat tua, umpama benar Thi Yang-yang sendiri
sukarela melangsungkan pernikahan ini, ehm, yang terang perjodohan ini tanpa
restu orang tua dan tak dapat dianggap resmi."
King Ji-seng mendengus, katanya sinis: "Sahabat muda, itu adalah pandangan
kalian, kini bentrokan telah berlangsung secara terbuka, umpama kalian hendak
mengakhiri pertikaian ini juga tidak boleh jadi, Lohu hanya ingin membeber
persoalan sebenarnya, jadi bukan mengharapkan sesuatu yang mustahil. Dan lagi
dendam kematian Lo-jit dan Lo-pat belum kami tuntut dari kedua tanganmu yang
berlepotan darah itu, maka kau harus membayar utang jiwa ini dengan kematianmu."
"Memang sudab kupertimbangkan cara tuntut balas kalian ini," ucap Siang Cin,
"bagaimana hasilnya segera akan kita buktikan bersama, sudah tentu akan terjadi
banjir darah, darah kalian atau darahku."
Menatap Siang Cin sekejap pula, tiba2 King Ji-seng membalik badan pada saat
tubuhnya ber-gerak itulah tahu2 bayangannya lantas lenyap. tapi Siang Cin sudah
melihat bahwa dua langkah di belakang King Ji-seng berdiri itu, lantai bergerak
merapat, jadi King Ji-seng melenyapkan diri ke bawah lorong.
Menerawang sebentar keadaan, Siang Cin terus putar balik keluar, dia harus cepat
mengirim berita ini kepada orange Bu-siang-pay, selain itu iapun merasakan firasat
jelek, ia merasa tidak semestinya para gembong Hek-jiu-tong sejauh ini tidak
menampakkan batang hidungnya, se-olah2 di balik suasasana ini tersembunyi suatu
muslihat yang keji dan jahat. Pertama, kenapa gembong2 Hek-jiu-tong tidak muncul
seluruhnya membendung serbuan musuh" Adalah lucu bila mereka lupa bahwa
memecah kekuatan adalah memperlemah pertahanan sendiri. Kedua, meski Busiang-
pay telah melakukan serangan besar, sejauh ini pertempuran tetap
berkecamuk di daerah jalan dua belas liku sana, di puncak Pi-ciok san, terutama
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam Bu-wi-san-ceng tidak nampak suasana tegang sedikitpun, apalagi pertahanan
di sinipun terlampau lemah, jelas ini bukan tindakan kawanan Hek-jiu-tong yang
biasanya cukup cermat dan lihay. Ketiga, siapa pula laki2 jubah merah tadi" Apakah
Hek-jiu tong sudah simpan jago2 silat golongan lain yang telah diundang untuk
membantu" Berbagai pertanyaan ini, semakin dipikir semakin terasa ruwet dan
mencurigakan. Sebat sekali dia meluncur keluar rumah, dari sini dia melihat ke arah pendopo yang
tetap terang benderang, tapi tetap tidak kelihatan bayangan orang, demikian pula
pintu gerbang Bu wi-san ceng tetap tertutup rapat.
Baru saja Siang Cin hendak melompat pula ke sana, teriakan pertempuran yang
gegap gempita segera berkumandang ke atas gunung, suara ledakan dan kobaran
api belirang dengan asapnya yang tebal, sayup2 terdengar pula benturan senjata
dan jerit lolong yang menjadi korban.
Tadi di dalam dia tidak mendengar apa2, maklumlah jaraknya terlalu jauh, tapi dalam
sekejap ini kenapa pihak Bu-siang-pay dapat menyerbu dan naik ke puncak gunung
begini pesat, boleh dikatakan serbuan meraka amat mudah tanpa rintangan"
Memangnya muslihat apa yang diatur musuh"
Tanpa ayal Siang Cin melayang ke dalam Bu-wi-san-ceng, baru saja dia hinggap di
165 balik pagar tembok, dia melihat orang2 Bu-siang-pay dengan golok sabit mereka
yang kemilau itu sudah menerjang tiba dari jalan berliku yang terang benderang itu,
hanya masih beberapa gelintir saja kawanan Hek-jiu-tong yang tetap bertahan
mati2an. dalam kegelapan tampak rombongan besar orang Hek-jiu-tong sedang
mundur ke arah utara.
Di tengah kobaran api dan asap tebal yang bergulung itu, si Sayap terbang Kim Bok
tampak memburu datang, perawakannya yang tinggi besar tampak menyolok, tiga
puluhan orang Bu-siang pay yang berseragam putih dengan gelang emas melingkar
di jidat tampak ikut menyerbu di belakangnya.
Cepat Siang Cin memapak maju. Muka kim Bok tampak merah berdarah, noda
darah mengotori sekujesr badannya, Cuncu Wi ji-bun dari Bu siang-pay ini tampak
memburu napasnya, rambutnya awut2an, pakaiannya hangus terbakar di beberapa
tempat, melihat Siang Cin segera dia girang: "Lote, tiga barisan kita seluruhnya telah
menyerbu tiba, bagaimana keadaan di sini?"
Siang Cin tertawa, katanya: "Kim-cuncu, kenapa kalian bisa menyerbu datang
secepat ini?"
Hui-ih Kim Bok tertawa, katanya: "Tidak begitu cepat, dimulai sejak melihat tandamu,
keparat Tangan hitam itu bertahan mati2an, baru setengah jalan sudah dua puluhan
anak buah barisanku yang gugur, si jenggot merah yang jagal itupun terluka, tapi
musuh mungkin tahu tak mampu melawan, ketika kami berhasil menduduki lagi
beberapa pos penjagaan mereka, tahu2 mereka mundur dan melarikan diri, maka
dengan leluasa tanpa banyak rintangan kami, serbu sampai di sini."
Setelah menghela napas, Kim Bok memandang sekitarnya dengan senyum lebar,
bayangan yang bergerak semuanya berpakaian putih, mereka adalah orang2 Busiang-
pay yang telah menduduki puncak gunung sebelah luar, maka dengan puas
Kim Bok bertepuk tangan, katanya: "Lote, marilah kita langsung serbu ke sarang
mereka?" "Kim-cuncu," ucap Siang Cin sambil menggeleng, "kurasa gelagat kurang wajar,
serbuan harus segera dihentikan."
Terbelalak Kim Bok, serunya kaget: "Dihentikan" Dengan susah payah kita
menyerbu ke sini, mana boleh dihentikan" Kalah menang bukan soal, yang penting
jangan merosotkan semangat juang mereka."
"Kim-cuncu," kata Siang Cin gelisah. "gembong2 musuh yang muncul sampai detik
ini hanyalah kaum keroco yang tidak berarti, jago2 kosen yang berkepandaian tinggi
belum ada satupun yang muncul, keadaan dalam Bu-wi-san-ceng juga kosong dan
sunyi senyap tanpa kelihatan bayangan seorangpun, Cayhe memergoki pula jago2
kosen dari aliran lain yang membantu mereka, melihat gelagatnya, betapapun kita
harus bertindak hati2 . . . . . . " setelah memeriksa sekelilingnya Siang Cin segera
menambahkan pula: "Semula mereka bertahan dengan segala kekuatan, tapi
mendadak kekuatan mereka ditarik dan mengundurkan diri, situasi yang sukar
dijelaskan ini dapat disimpulkan bahwa di balik hal aneh ini pasti ada muslihatnya,
bukan mustahil mereka sedang mengatur perangkap keji."
Kim Bok rnendengarkan dengan melongo, diam2 iapun merasakan gejala2 yang
tidak beres ini, tapi tatkala mana ada dua puluhan murid Bu-siang-pay di bawah
pimpinan laki2 gundul bertubuh gemuk sedang menggempur pintu gerbang Bu-wisan
ceng, dengan mengacung tinggi golok sabitnya, si kepala gundul gemuk besar
itu tengah memberi komando kepada anak buahnya, jenggotnya yang merah,
matanya melotot, alisnya tebal, mulut ber-kaok2, kelihatan beringas dan buas.
"Kim-cuncu," teriak Sang Cin, `lekas perintahkan anak buahmu menghentikan
aksinya." Kim Bok mengangguk, segera ia bersuit panjang, dua puluhan murid Bu-siang-pay
yang sedang menggempur pintu segera mundur dan menghentikan aksinya, dengan
bingung mereka saling pandang lalu berpaling ke belakang.
Cepat sekali dua bayangan orang tampak meluncur tiba, yang di depan adalah Liat
hwe-kim-lun Siang Kong-ceng. di belakangnya adalah Ceng-yap cu Lo Ce.
166 Belum lagi tiba dari kejauhan Siang Kong ceng sudah berteriak marah: "Lo Kim,
memangnya kau sudah keblinger" Kemenangan sudah di depan mata, kenapa kau
perintahkan mereka berhenti?"
Belum lagi Kim Bok menjawab Siang Cin sudah menapak maju, katanya dengan
tenang: Siang cuncu, Cayhelah yang minta kepada Kim-cuncu untuk sementara
menghentikan penyerbuan."
Begitu melihat Siang Cin, amarah Siang Kong-ceng yang sudah meledak terpaksa
ditahan, dengan tertawa dia bertanya: "lote, apakah ada sesuatu yang kurang benar"
Secara ringkas Siang Cin ceritakan hasil penyelidikannya, lalu dia menambahkan:
"Siang-cuncu, Hek-jiu tong terkenal licik dan keji, betapapun mereka takkan mundur
setelah jatuh korban begini banyak, kurasa mereka pasti tengah mengatur muslihat,
situasi belum lagi kita jajaki, jika menyerbu masuk ke perkampungan secara
gegabah, kukuatir terperangkap oleh jebakan mereka."
Sambil mengelus jenggot, Siang Kong-ceng berkata tak acuh: "Kukira belum tentu
seperti apa yang Lote kuatirkan, situasi seperti sekarang ini, terus terang tidak
terpandang olehku. Yang jelas Hek-jiu tong mengalami gempuran hebat dan jatuh
banyak korban, nyalinya sudah pecah, mereka ngacir menyelamatkan jiwa,
kesempatan baik ini mana boleh diabaikan begini saja" Lote, lebih baik kita teruskan
gempur sampai ke sarang mereka."
Diam2 Siang Cin menghela napas, katanya: "Kim-cuncu, Cayhe masih muda dan
cetek pengalaman, jelas tak dapat dijajarkan dengan Siang cuncu, tapi setulus hati
Cayhe mengutarakan pendapatku, harap para Cuncu bertindak lebih cermat."
Liat-hwe-kim lun Siang Kong-ceng menyengir, katanya: "lote terlalu merendah hati,
tadi Lohu terlalu memberanikan diri, kuharap Lote jangan berkecil hati . . . . "
"Mana berani," ucap Siang Cin, "terlalu berat ucapan Cuncu."
Siang Kong-ceng memandang sejenak kearah Bu wi-san ceng tanpa bersuara.
akhirnya ia ambil keputusan: "Baiklah, akan segera kuperintahkan menggempur
sarang musuh."
Dengan bimbang Liat-hwe kim lun yang ada di sampingnya berkata: "Lo Siang apa
yang dikatakan Siang-lote cukup beralasan, kukira hal ini harus dipertimbangkan
lagi." Dengan kurang senang Siang Kong-ceng ber-kata: "Bimbang bukan putusan
bijaksana bagi seorang pimpinan di medan laga, Lo Kim, jika kau merasakan gelagat
menguatirkan, murid2 Wi-ji-bun kalian boleh tidak ikut menyerbu ke dalam."
Berubah air muka Kim Bok, katanya gusar: "Siang Kong-ceng, kau kau mengoceh
apa?" Siang Kong-ceng mendengus terus membalik badan, ia bersuit melengking pendek
beberapa kali, maka teriakan gegap gempita serbuan murid2 Bu siang pay segera
bergema pula, murid2 Bu-siang-pay yang telah menduduki puncak gunung serempak
menyerbu ke arah Bu-wi-san-ceng, malah ada puluhan bayangan orang telah
melompati pagar tembok.
Sambil mengulap tangan Siang Kong-ceng bawa Ceng-yap-cu memburu ke sana,
Kim Bok menghela napas, katanya lirih: " lote, begitulah ciri orang she Siang yang
suka bertindak menuruti panasnya hati, wataknya memang congkak, jangan kau
berkecil hati . . . . . "
Siang Cin tertawa tawar, katanya rawan: "Aku sudah bekerja sekuat tenaga. Biarlah
Thian yang memberikan putusannya."
Tengah bicara, suara gempuran keras terdengar, pelan2 pintu gerbang Bu-wi-san
ceng telah bobol, sambil berteriak riuh rendah murid2 Bu-siang-pay yang kesetanan
segera menyerbu ke dalam.
Kim Bok tertawa getir, katanya: "Lote, hayolah kita susul mereka?"
Siang Cin mendahului meleset ke depan, ujarnya: "Memangnya kita tidak
membantu?"
Kim Bok tidak mau kalah cepat, dia lari mendampingi, katanya: "Lote, agaknya tidak
ada apa2 . ..."
167 Terbayang rona dingin pada wajah Siang Cin, katanya prihatin: "Aku berharap
demikian."
Dalam percakapan ini kedua orang sudah melambung keatas pagar tembok,
sebagian besar murid2 Bu-siang-pay telah menyerbu masuk ke Bu-wi-san-ceng,
teriakan mereka masih terdengar, tapi teriakan lantang mereka yang keras itu seperti
kekurangan sesuatu apa di medan pertempuran. Seketika Siang Cin merasakan
adanya keganjilan semua teriakan tanpa sambutan dari musuh, sehingga teriakan
yang gegap gempita itu terdengar rada sumbang.
Menghela napas, Siang Cin berkata: "Marilah kita masuk, Kim-cuncu."
"Sudah tentu," ucap Kim Bok tertawa, "mungkin kali ini kau salah perhitungan Lote."
Reaksi yang mendadak dan diluar dugaan agaknya memang, disiapkan khusus
menyambut serbuan orang2 Bu-siang-pay, dikala Kim Bok baru selesa berkata,
sebuah ledakan yang dahsyat menggoncangkan seluruh puncak gunung, dibarengi
dengan semburan jalur2 api yang menyala dengan bau belirang dan minyak yang
menusuk hidung, jalur2 api seperti laba2 yang menyembur dari dalam bumi
menjulang tinggi menjilat apa saja yang dapat terbakar, rumah2 yang ada di seluruh
Bu-wi-san-ceng bukan saja ditelan lautan api, satu persatupun telah runtuh oleh
ledakan yang ber-turut2, suasana kacau balau se-olah2 dunia telah kiamat, seluruh
Bu-wi san-ceng hancur lebur karena ledakan keras dan menjadi lautan api.
Dikala ledakan pertama menggelegar, sebat sekali Siang Cin tarik Kim Bok
berjumpalitan keluar, remukan batu yang berhamburan selebat hujan muncrat kemana2.
Siang Cin bawa Kim Bok berguling sejauh mungkin. sementara semburan
api menjulang tinggi ke angkasa sehingga puncak gunung terang benderang.
Asap tebal berbau belirang menyesakkan napas, sambil batuk2 Kim Bok merangkak
berdiri, mukanya yang memang merah kini semakin merah, tanpa hiraukan kotoran
di mukanya dia ber-ternak" serak:
"Habis . . . . . kita betul2 tertipu . . . . keji . . . . "
Pakaian Siang Cin tergores sobek di beberapa tempat, dengan lengan baju dia kebut
kotoran di badannya, dengan tenang dia saksikan kobaran api yang menelan seluruh
Bu-w-san-ceng, katanya: "Api berkobar begini besar, di dalam perkampungan tentu
dipasang dinamit dan bahan bakar, Kim cuncu, anak buah kalian mungkin sudah
gugur sebagian besar."
Mendadak Kim Bok berjingkrak gusar, teriaknya: "Biar Lohu adu jiwa dengan
mereka." Cepat Siang Cin menarik lengan Kim Bok, katanya: "Kim-cuncu jangan gegabah,
bukan cuma main ledakan dan membakar saja, musuh pasti mengatur siasat lain,
bukan mustahil orang2 mereka akan segera menyerbu keluar."
Sambil memukul dada dan menggentak kaki Kim Bok mencak2, teriaknya:
"Lepaskan aku, Siang lote, lepaskan aku, biarpun mereka berkepala tiga berlengan
enam, dengan mempertaruhkan nyawa orang she Kim juga akan ganyang mereka."
"Kalau demikian, kenapa tidak bersabar sebentar,nanti kita sergap mereka," kata
Siang Cin. Bagai orang gila Kim Bok berteriak kalap: "Peduli amat, biar Lohu adu jiwa sama
mereka . . . ."
Di tengah kobaran ani, dari dalam Bu-wi-san-ceng tiba2 berlari keluar belasan orang
dengan langkah sempoyongan, malah ada yang merangkak, langkahnya limbung,
tubuhnya bergontai, ada pula yang sekujur badan terjilat api. Keruan Kim Bok
semakin panik, teriaknya sambil meronta dari pegangan Siang Cin: "Lohu akan
menolong mereka, Siang Cin jangan kau merintangi aku!"
Bagai harimau mengamuk Kim Bok memburu maju, baru saja dia berlari lima enam
langkah, dari sisi perkampungan di tempat gelap sana mendadak terdengar suara
tambur ditabuh dan bende di pukul ber-talu2, disambut meluncurnya panah api yang
membawa percikan kembang api melesat ke angkasa, ratusan kawanan Tangan
Hitam serempak menyerbu keluar dari tempat gelap, bagai air bah mereka
membanjir maju.
168 Orang2 Hek jiu-tong yang memburu datang mendadak melihat bayangan raksasa
hitam yang menukik dari angkasa, serentak mereka berteriak kaget dan ketakutan, di
tengah jeritan mereka itulah golok sabit Kim Bok telah bekerja, dalam sekejap saja,
di mana goloknya berkelebat, puluhan batok kepala orang2 Hek jiu-tong telah
dipenggal. Tapi keadaan ini hanya berlangsung sekejap saja selanjutnya Kim Bok telah
terkepung di tengah lingkaran orang Hek jiu- tong,
Dengan melotot dan otot hijau memenuhi dahinya, Kim Bok menyerbu musuh bagai
harimau mengamuk, golok sabitnya menyamber dan membubat kian kemari, jerit
tangis para korbau terdengar saling susul, tapi kalau yang di depan roboh, yang di
belakang segera tampil ke muka, Kim Bok tetap terkepung di tengah orang2 Hek-jiutong
seolah2 bukan lagi manusia, tapi sekelompok binatang yang tidak kenal artinya
mati. Sekali golok berputar, tiga kawanan Tangan hitam tertabas kutung sebatas pinggang,
darah sudah mengotori sekujur badan Kim Bok, mendadak dia berputar pula, baru
saja dia hendak menyerbu, tiba2 dari belakang barisan orang2 Hek jiu-tong
berkumandang gelak tawa yang aneh, geliak tertawa itu bergema laksana datang
dari tempat jauh, suara gaduh seketika kelelap oleh suara gelak tawa aneh ini.
Tergerak hati Kim Bok, se-konyong2 suatu benda yang dingin mengkilap tahu2
sudah berada di depan matanya, tak ubahnya cakar iblis yang hendak merenggut
nyawa. "Wut", badan Kim Bok yang tinggi besar tiba-tiba melayang ke atas, di tengah udara
ia ber salto sekali, belum lagi dia sempat melihat wajah si pembokong, gelak tawa
orang itu berkumadang pula di belakangnya.
Golok sabit Kim Bok menyabat dengan mengeluarkan deru angin yang kencang,
berbareng dia mengisar, terasa oleh Kim Bok bahwa serangan goloknya mengenal
tempat kosong, tahu2 senjata lawan telah mengepruk pula batok kepalanya, kali ini
Kim Bok melihat jelas, itulah sebatang Long-ge-pang (gada gigi serigala), tongkat
panjang yang penuh dihiasi gigi yang runcing.
Sebat sekali golok sabitnya memapak ke atas, "trang", benturan keras sekali, Kim
Bok bersalto dua kali, sementara lawanpun berjumpalitan ke sana. Orang ini ternyata
berperawakan pendek, kedua lengannya justeru teramat panjang sebatas lutut,
kepalanya hanya ditumbuhi beberapa utas rambut, bentuk dan wajah orang inii
bukan saja jelek juga aneh sekali.
Belum lagi Kim Bok memperoleh kesempatan ganti napas, bayangan musuh telah
berkelebat maju, tujuh batang golok menyamber pula dari sekelilingnya, dikala dia
menangkis dan balas menggasak pengeroyok ini, Laki2 pendek berlengan panjang
itu tertawa ter-gelak2, katanya dengan suara melengking: "Kim Bok setan tua,
memangnya kau kira Pi-ciok-san adalah tempat boleh dibuat sembarangan olehmu"
Kalau tuan besarmu hari ini tidak mencacah tubuhmu dan mayatmu kujadikan
makanan anjing, jangan anggap tuan besarmu ini gembong nomor dua dari Hek jiu
tong." Kim Bok mengamuk semakin kalap, sinar goloknya mendampar seperti gelombang
samudera, menari naik turun, empat di antara tujuh musuh yang menyerbu maju
disikatnya roboh binasa, tapi musuh se olah2 damparan ombak yang tidak kenal
berhenti, gugur satu maju dua, golok setan musuh bergantian secara berantai
merangsak maju.
Dua puluhan murid Bu siang-pay yang beruntung dapat meloloskan diri dari kobaran
api dan ledakan dahsvat di dalam Bu wi san ceng kini sudah terkepung oleh tiga
ratusan kawanan Tangan hitam, yang memimpin orang2 Hek-jiu-tong adalah King Ji
seng dan si hidung merah Kau Pui pui, gembong nomor lima.
Dua puluhan orang gagah Bu-siang-pay tiada satupun uang tidak terluka, di antara
dua puluhan orang ini temasuk si jagal jenggot merah dan Cengyap cu Lo Ce, tapi
Liat-hwe-kim-lun Siang Kong ceng dan Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu tidak kelihbatan
bayangannya. 169 Pundak kiri Ceng-yap-cu Lo Ce tampak hangus dan melepuh, demikian pula
mukanya tampak hitam berair di beberapa tempat, rambutnya tidak keruan dan
menjadi keriting karena terbakar, sementara jidat si jenggot merah berlepotan darah,
daging pahanya pun dedel, namun demikian, kedua orang sedikitpun tidak menjadi
jeri, sambil mengertak gigi dan mata melotot mereka pimpin sisa kawan2nya
mengadakan perlawanan dengan gigih pada musuhnya yang sepuluh kali lebih
banyak.
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Cin sudah dapat meneropong situasi di depan mata, sayang untuk sementara
dia tidak mampu memberikan bantuan, karena waktu dia hendak mengikuti jejak Kim
Bok terjun ke tengah musuh, dari lereng Bu-wi-san-ceng sebelah kanan tiba2
menerobos keluar lima puluhan orang2 Hek-jiu-tong dan mencegatnya, lima puluh
orang ini semuanya mengenakan hiasan kalung berbandul telapak tangan yang
terbuat dari logam, ternyata mereka merupakan tulang punggung kesatuan Hek jiu
tong yang paling diandalkan keberanian dan kepandaiannya, barisan gagah berani
Hian-hun-tong yang terkenal.
Siang Cin pandang kelima puluh orang yang semua berwajah beringas buas, pelan2
di antara lima puluhan orang ini tampil seorang laki2 berperawakan tinggi kurus,
bermuka pucat, berusia setengah umur, di depan dada orang ini juga mengenakan
mainan kalung tangan hitam, cuma di telapak tangan mainan kalungnya itu masih
dihiasi sebentuk batu warna merah yang mencorong terang, sekilas pandang Siang
Cin lantas maklum bahwa orang ini tentu salah seorang gembong penting dari Hekjiu-
tong. Laki2 muka pucat yang bersikap ramah ini mengangguk dengan tersenyum kepada
Siang Cin, ditengah kedua alisnya yang hampir tersambung itu tampak lekukan segi
tiga yang menyolok, suaranya terayata keras dan kasar: "Siang Cin si Naga
Kuning?" Siang Cin mengangguk, sahutnya kalem: "Betul!"
Laki2 setengah umur mengelus batu di tengah telapak tangan mainannya, katanya
tenang: "Aku yang tak becus ini adalah Si-thauling (gembong keempat) dari Hek-jiutong,
pimpinan Hian-hun-tong, kawan persilatan memberi julukan Siau-long (serigala
tertawa) Ji Bu."
Siang Cin gosok2 tangannya, katanya: "Memang sesuai dengan nama julukannya,
selamat bertemu."
Laki2 pertengahan umur, yaitu serigala tertawa Ji Bu memandang sekelilingnya, lalu
katanya: "Situasi di depan mata kurasa tidak menguntungkan bagi pihak kalian,
betul?" "Kelihatannya memang demikian," sahut Siang Cin tak acuh.
"Bicara terus terang," kata Ji Bu sambil melangkah maju, "aksi kalian yang tidak
bersahabatnya sukar baginya untuk menolong kekalahan pihak Bu siang- pay.
Dengan tertawa Ji Bu berkata pula: "Di bawah gunung kalian juga meninggalkan
sekelompok orang persiapan bila perlu akan memberi bantuan ke atas, hal ini juga
sudah dalam perhitungan kami, oleh karena itu saudara ke sepuluh kami bersama
Jik-san-tui bergabung untuk menggasak mereka, sisa kekuatan kalian itu hanya
dipimpin oleh si kaki melengkung, memangnya mereka mampu menghadapi
pasukan Hian hun tong yang berjumluh ratusan orang itu?"
Sekilas lirik Siang Cin melihat Kim Bok tengah bergebrak sengit melawan laki2
pendek berlengan panjang itu, perawakan Kim Bok kekar kuat, Lwekangnya tangguh,
tapi lawannya ternyata bergerak sangat lincah, serangannyapun licik dan keji, maka
sejauh ini pertempuran kedua orang tetap seru dan belum tampak pihak mana bakal
unggul, sementara sebagian besar orang2 Hek-jiu-tong sama mengurung Ceng-yapcu
dan lain2. "Bagaimana Siang-heng, sudah paham akan penjelasanku?" jengek Ji Bu. "Aku
menjadi kasian, betapa sukar Siang-heng angkat nama, sayang harus gugur di Piciok-
san yang tidak berarti ini, kami pihak Hek jiu-tong ikut merasa berduka cita."
Kini, setiap saat berada dalam pengawasan dan pengintaian pihak kami, baru
170 sckarang kalian insaf situasi tidak menguntungkan, sebaliknya pihakku, hm,
sebelumnya sudah kami ramalkan nasib apa yang bakal menimpa kalian bila
menyerbu ke sini"
Setelah mengunjuk sikap kasihan dan simpatik Ji Bu berkata lebih lanjut: "Dengan
pasukan sekecil ini menyerbu ke sarang musuh yang jauh adalah siasat paling tidak
menguntungkan, hal ini tentunya Siang-heng maklum. Sayang sekali, sudah tahu
sengaja dilanggar, bukankah ini terlalu goblok, memang pihak kami juga banyak
jatuh korban, tapi pihak kalian" Mungkin jauh lebih parah, Thi-ji-bun dan Wi ji-bun
dari Bu-siang pay boleh dikatakan sudah musnah seluruhnya, sementara Hian ji-bun
yang bertugas menyerbu dari balik gunung juga sudah di dalam cengkeraman kami,
pintu belakang Bu-wi-san-ceng terbuka lebar untuk menyambut kedatangan mereka,
kini mereka telah menikmati betapa segarnya dipanggang di tengah kobaran api,
mungkin sudah mangkat ke surga."
Baru sekarang Siang Cin tahu apa yang terjadi, dia belum melihat bayangan Loh
Bong-bu, kiranya dia menyerbu naik dari arah lain, kini kecuali diam2 berdoa bagi
para pahlawan Bu-siang-pay itu, rasanya tiada upaya lain yang dapat dilakukannya"
Mengawasi jubah kuningnya yang berlepotan darah yang sudah mengering, lapat2
hidung Siang Cin mengendus bau amis, ia meraba noda darah itu, ia maklum bahwa
darah yang melekat di sekujur badannya malam ini takkan menjadi kering karena
darah baru dari para korban yang akan datang pasti akan membasahi badannya pula.
Setelah berdebem dua kali, Serigala tertawa Ji Bu tersenyum, katanya: "Siang-heng,
kupandang kebesaran namamu, tak tega aku menyaksikan nasibmu yang
mengenaskan lebih baik begini saja, biar aku bertanggung jawab dan ambil
keputusan sendiri, asal Siang-heng suka bunuh diri, aku jamin jenazahmu akan tetap
utuh dan kami kebumikan dengan upacara kebesaran . . . . . . "
Tiba2 Siang Cin menyeringai, katanya : "Apa betul ucapanmu?"
Melihat tawa Siang Cin yang aneh menyeramkan ini, melonjak jantung Ji Bu, tanpa
terasa dia menyurut mundur selangkah, dia berlagak simpatik, subutnya: "Sudah
tentu, dengan martabat dan kebesaranku aku berjanji . . . . . . "
Mata Siang-Cin memandang ke angkasa nan gelap, dikala orang bicara sampai kata
"janji", kedua tangannya mendadak bergerak, dua batang Toa-liong-kak yang
kemilau kuning secepat kilat menyamber ke depan.
Begitu sinar kuning menyambar, lekas serigala tertawa Ji Bu mendekam ke bawah
sambil tetap tersenyum dan berteriak: "Serbu!"
Lima puluhan orang Hiat-hun tong serempak ber-teriak2 sambil angkat senjata terus
menyerbu kalap, bagai harimau kelaparan mereka ingin melalap mangsanya.
Padahal Toa-liong-kak dengan deru suaranya yang membising telah menyambar tiba,
maka terdengarlah suara "cras, cras", dalam sekejap mata tujuh orang terjungkal
dengan kepala protol, dikala kedua Toa- liong kak menyamber maju pula, tiba2 dua
laki2 menggembor kalap dan melompat maju, seorang terus memeluk Toa-liong-kak
yang menyamber tiba, maka senjata tajam yang melengkung bagai sabit itu
menghunjam ke dada mereka, tenaga samberannya yang dahsyat menyebabkan
kedua korban nya tertolak balik dan jatuh terbanting, meski jiwa sudah melayang tapi
kedua orang ini tetap memeluk kencang senjata yang merobek dada mereka.
Golok setan yang besar tebal dari tiga orang tahu2 menderu tiba, mata golok yang
kemilau mengincar tubuh Siang Cin dari arah yang berbeda, sedikit miring tubuh
serta berputar, telapak tangan kiri Siang Cin bergerak, cukup sekali gerakan, tapi
ketiga musuh yang merangsak maju roboh dua di antaranya, seorang lagi sambil
mengeluarkan suara "ngek", mukanya pecah berdarah dan terpental mundur.
Ji Bu yang memang suka tertawa segera menyelinap maju, entah sejak kapan dia
telah memegang sebilah pedang pandak sepanjang dua kaki, lebarnya juga hanya
tiga senti, baru bayangannya terlihat oleh Siang Cin, sementara pedang pandak
yang kemilau tajam telah mengancam iga Siang Cin.
Cepat Siang Cin menggeser ke samping, kedua tangannya bekerja sekaligus, dua
laki2 dipukulnya roboh dengan mandi darah, pada saat itu pula terpaut serambut
171 saja pedang pandak si serigala tertawa Ji Bu menyamber lewat.
Siang Cin lantas melambung ke atas, di tengah udara dia berjumpalitan, kedua
kakinya menyepak dan menendang, dua kapak besar yang membelah tiba kena
ditendangnya mental balik menghunjam dada kawan sendiri, sementara tulang dada
orang ini juga tersodok remuk oleh gagang kapak yang menerjang balik.
Tanpa bersuara Serigala tertawa Ji Bu tetap menyerbu dengan tangkas luar biasa,
pedang pandaknya menggulung ke depan dengan keji, cepat dan ganas.
Sinar mata Siang Cin mencorong terang, secepat kilat ia menghindari damparan
sinar senjata musuh, padahal antara serangan pertama dengan serangan berikutnya
boleh dikatakan tiada peluang sedikitpun, tapi dengan menakjubkan Siang Cin
menyelinap lewat di antara sela2 sinar pedang musuh se-akan2 tubuhnya itu tak
berisi. Loh si-kiu-kiu-kiam-hoat adalah ilmu pedang andalan si serigala tertawa Ji Bu yang
terkenal sejak dia malang melintang di Kangouw, dia mengira ilmu pedangnya ini
tiada bandingan, kini sembilan puluh sembilan jurus dari ilmu pedangnya telah
dilancarkan, tapi jangankan melukai lawan, menyentuh tubuhnya saja tidak mampu.
Berkutet sekejap bayangan kedua orang lantas terpencar pula, dengan sebat sekali
keduanya sama2 melambung tinggi dan bentrok pula secepat kilat, kembali Ji Bu
lancarkan belasan jurus serangan, katanya tertawa: ?"Siang-heng, Kungfumu
memang tangguh sekali."
Tubuh Siang Cin menggeliat ke kanan-kiri, begitu cepat menghindari tabasan
tusukan pedang lawan, sembari berkelit itu serentak ia balas menyerang sembilan
belas pukulan dan empat kali tendangan, jubah kuning yang longgar bekibar,
katanya kaku: "Kawan, kau bukan lawanku"
Pedang Ji Bu mendadak menaburkan bayang2 sebesar kepalan, seperti kunang2
besar saja bayangan terang ini bertaburan di udara, setiap kuntum bayangan merah
ini menyambut pukulan dan tendangan lawan, jelas bahwa setiap kuntum bayangan
serangan lihay itu membawa tajamnya pedang Ji Bu.
Belum lagi orang tahu apa yang terjadi, kedua orang sudah terpisah pula, dengan
ramah Ji Bu berkata: "Siang-heng, siapa kuat siapa lemah, kini masih terlalu pagi
untuk diputuskan."
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
Dapatkah pihak Bu-siang-pay lolos dari perangkap Hek jiu-tong"
Kisah cinta apa di balik persoalan Khong Giok tik, gembong kelima Hek jiu tong yang
membawa lari puteri ketua Bu-siang-pay itu"
- Bacalah jilid
ke - 10 " Jilid 10 Sambil menghardik Siang Cin sekaligus lontarkan tiga belas kali pukulan. Sambil
tertawa Ji Bu menyingkir mundur, Siang Cin menarik napas panjang, baru saja ia
hendak memburu, tiba2 sebuah suara lolong panjang yang mengerikan menarik
perhatiannya. Waktu dia berpaling, dilihatnya orang2 Bu-siang pay yang masih bertahan sudah
kurang dari sepuluh orang, jeritan mengerikan itu keluar dari mulut orang Hek-jiutong,
bola mata orang ini tercolok buta, bola matanya masih bergelantung di
mukanya karena urat matanya belum putus, tapi golok setan miliknya juga
menembus dada seorang Bu-siang-pay, dikala Siang Cin menoleh ke sana, kedua
orang sedang roboh pelahan dan binasa.
Rangsakan Serigala tertawa Ji Bu segera bertambah gencar dan sengit, katanya
tertawa: "Menusuk perasaan bukan?"
Sebat sekali Siang Cin balas menyerang, katanya tawar: "Kawan, marilah kita
bertempur besa2an saja bagaimana" Suruhlah anak buahmu mengeroyok maju,
supaya pertempuran lekas berakhir."
172 Tantangan ini kelihatan menusuk hati Ji Bu, tampak sikapnya rada beruba, dia
maklum kalau anak buahnya ikut maju mengeroyok, sedang kekuatan lawan begini
tangguh, jelas anak buahnya akan banyak jatuh korban, lawan lebih sukar
dikendalikan pula. Maka ia tak berani menjawab. Sementara itu Siang Cin telah
lancarkan pukulan lagi, ejeknya: Jangan tegang, semakin banyak orang yang
bertempur bukankah lebih ramai?"
Pedang pandak Ji Bu, berputar kencang, katanya: "Orang she Siang, kupandang kau
sebagai laki2 sejati maka kulayani kau dengan aturan persilatan, satu lawan satu
menentukan mati-hidup, jika kau sudah jeri dan ingin merat, bukanlah nama besarmu
yang sudah tersohor itu akan ludes dalam waktu singkat ini."
Seperti terbang Siang Cin berputar ke kanan kiri, jengeknya: "Kawan, jangan kau
memancing kemarahanku dengan cara yang bodoh ini, bukan maksudku
menghindari bertempur satu lawan satu dengan kau, aku yakin kau maklum ke mana
maksud tujuanku yang sebenarnya."
Ji Bu menjadi beringas, mendadak dia berteriak kalap: "Murid2 Hian-hun, cacah
keparat ini."
Bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh Siang Cin mendadak melenting tinggi
ke atas, begitu cepat dan tangkas, sehingga tiada seorangpun yang sempat
merintangi, dikala dua puluhan orang2 Hek-jiu-tong menubruk ke tengah arena,
mereka saling membacok dan saling tindih sendiri, sementara Siang Cin sudah
melayang pergi tiga tombak jauhnya.
Sambil menggembor si Serigala sekuat tenaga mengapungkan tubuh mengudak ke
atas, sementara di belakangnya tiga puluhan kawanan Tangan Hitam dari Hiat-hun
tong segera putar haluan memburu ke arah sana pula.
Di tengah udara Siang Cin jumpalitan dengan indah, dengan enteng ia meluncur
turun ke depan pintu gerbang Bu-wi-san- ceng, keadaan Ceng-yap-cu Lo Ce dan si
jagal jenggot merah sudah teramat gawat, dalam sekejap ini mereka tinggal enam
orang saja yang masih bertahan mati2an. Luka baru kembali menghias badan Cengyap-
cu Lo Ce, tapi dia seperti tidak merasakan sakit, padahal ratusan orang Hek-jiutong
mengepung mereka, sinar golok setan musuh berseliweran disekitar tubuh.
Dengan menggertak gigi dia putar golok sabitnya, keringat bercampur darah
membasahi sekujur badan, pandangannya berubah beringas, rasa murka dan
dendam kesumat membakar sanubarinya, dia tidak lagi menghiraukan keselamatan
sendiri, yang terpikir hanyalah mengganyang musuh se-banyaknya.
Keadaan si jagal jenggot merah yang gundul lebih payah lagi, si hidung merah Kau
Pui-pui justeru mengincar dia dengan berbagai serangan keji, hampir seratus orang
mengepungnya, darah luka2 di tubuhnya telah bikin jubah putih yang dipakainya
berubah warna merah seluruhnya.
Di samping itu masih ada kira2 tiga ratusan orang Hek jiu-tong memagari
gelanggang di bawah pimpinan Kunsu King Ji-seng, mereka siap menyergap bila
perlu. Empat murid Bu siang-pay yang lain saling beradu punggung berdiri di samping
Ceng-yap-cu, semangat juang mereka ternyata tidak menjadi padam meski badan
terluka dan musuh mengepung sedemikian rapat, jenazah saudara2 mereka yang
telah gugur bergelimpangan disekitar kaki mereka, semuanya mati dalam keadaan
yang mengerikan, pahlawan2 padang rumput yang tadinya segagah harimau
mengamuk itu kini sudah saling tindih menjadi mayat.
Bagai segumpal mega kuning bayangan Siang Cin meluncur dari udara, tiga ratusan
orang Hek-jiu-tong yang memagari gelanggang sama berteriak sampai sang Kunsu
King Ji-seng mau tidak mau juga melenggong, dari belakang suara si Serigala
tertawa Ji Bu segera berkumandang: "King losu, cegat dia!"
Mendadak King Ji-seng menghardik, ia melejit ke atas memapak kedatangan
gumpalan mega kuning, dia timpukkan segenggam Oh-ling-soh, dikala pasir hitam
berhamburan ke depan, Thi kut-san (payung kerangka besi) di tangannyapun ikut
menjojoh. 173 Segesit burung menukik di angkasa tubuh Siang Cin tiba2 melingkar laksana seekor
naga kuning, di dalam gerakan melingkar dan mengapung inilah secara aneh dia
meluncur pergi.
Jenggot King Ji seng mendadak berjingkat. tapi sebelum dia sempat beraksi, Siang
Cin sudah bertindak lebih dulu, empat batang Toa liong kak dengan membawa sinar
kuning ber putar2. menyerang orange Hek-jiu-tong.
Serigala tertawa Ji Bun menubruk tiba pada saat itu, melihat samberan Toa liong kak
yang berbahaya itu, lekas dia berteriak: "Semua lekas tiarap . . . ."
sayang luncuran Toa liong-kak yang tajam itu ternyata lebih cepat, daripada suara
peringatannya, dua puluhan batok kepala sekaligus copot dari batang leher,
sementara keempat batang Toa -liong-kak itu masih terbang ber putar2 mencari
sasaran yang lain, setelah melingkar satu kali, "tring, tring", Toa-liong kak saling
bentur menimbulkan daya pental yang keras sehingga luncurannya terlebih kencang,
sekaligus tujuh belas orang Hek-jiu-tong tertabas putus pula kepalanya.
Gerakan Siang Cin ternyata tidak kalah cepat dari luncuran Toa-liong kak, begitu
menubruk tiba, tangannya terayun, "plak, plok", beruntun batok kepala beberapa
orang hancur, entah bagaimana kedua tangannya bergerak, tapi korban berjatuhan
saling susul, tiga belas nyawa mampus dalam sekejap pula, golok setan di tangan
merekapun mencelat beterbangan melukai teman membinasakan teman sendiri.
Angin berpusar bagai badai mengamuk, Siang Cin putar tubuh dalam lingkaran lebar
menerjang ke samping, di mana dia tiba, telapak tangannya tajam bagai golok,
sementara kakinya menendang bagai samberan geledek, jerit dan teriakan orang2
Hek-jiu tong terjadi di sana-sini, darahpun muncrat berhamburan.
King Ji-seng, sang Kunsu yang tua dan keji ini matanya melotot, dia mengudak di
belakang Siang Cin, tapi betapapun keji dan deras serangannya, selalu terpaut
serambut dan tak berhasil menyandak musuh.
Sekuat tenaga Serigala tertawa Ji Bu berusaha mencegat dan merintangi Sang Cin,
tapi gerak geriknya menjadi kurang leluasa karena teralang oleh anak buahnya
sendiri, secara terang2an orang2 Hek jiu-tong itu tak berani ngacir ke belakang, tapi
sedapat mungkin mereka menjauhi gelanggang, maklumlah mereka berjumlah terlalu
banyak dan berjubel lagi, menghadapi pertarungan yang seram ini, hati siapa yang
takkan panik" Maka suasana menjadi kacau balau, tampak bayangan orang saling
berdesakan, tindih menindih dan saling cacimaki sendiri, kalau orang2 yang di depan
berusaha mundur mencari salamat, maka yang berada di belakang justeru
mendorong maju kawan2nya yang mendesak mundur itu, tidaklah heran kalau aksi
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Cin berhasil membikin musuh kocar kacir dan tak terkendali pula.
Jenggot King Ji-seng tampak tak taratur lagi, dia berteriak: "Saudara2 Tangan Hitam,
dengarlah, sekuat tenagamu kepung dan bunuh keparat ini, siapapun dilarang
mundur, ke mana dia pergi sambut dengan golok kalian."
Siang Cin yang terjun ke tengah2 musuh seperti harimau mengamuk dalam
gerombolan domba, setiap kali tangan bergerak, jiwa musuh pasti direnggutnya,
tendangan kakinya saban juga mencabut nyawa orang.
Suatu ketika dia berkelit menghindari bacokan lima golok musuh, berbareng kedua
tangannya bergerak, "plak, plok", disertai suara menguak seperti sapi hendak
disembelih dua jiwa musuh kembali melayang.
Sebat sekali Siang Cin melompat maju ke sana, kaki kanannya menyapu, enam
orang Hek-jiu-tong kembali disapunya tunggang langgang.
Kini dia sudah dekat dengan kawanan Tangan Hitam yang mengepung Ceng-yap-cu
Lo Ce. Di tengah orang banyak yang kacau balau sana, Serigala tertawa Ji Bu
kembali mengumandangkan suaranya yang melengking gusar: ?"Orang2 Hiat-huntong,
putar ke samping, untuk apa kalian berdesakan di dalam" Memangnya kalian
gentong nasi semua!"
Dalam pada itu Ceng-yap-cu telah meluputkan diri dari bacokan golok, berbareng
galok sabit di tangannya tiba2 menyabet, "cret," dengan telak dia bacok putus lengan
seorang musuh, sigap sekali ia menubruk maju sembari menusukkan golok sabitnya,
174 dada seorang musuh kembali ditembus goloknya dan binasa. Tapi satu diantara
empat murid Bu-siang-pay yang berdiri beradu punggung pelahan2 juga tersungkur
roboh, luka bekas bacokan penuh menghiasi badannya, darah segar masih
mengucur. Orang lain tidak ambil pusing, tiada orang yang menolongnya karena
semua orang sedang sibuk mengadu jiwa dan mempertahankan hidup.
Cepat Siang Cin menerjang masuk ke tengah gerombolan musuh, kebetulan di
sampingnya ada seorang musuh berperawakan kasar seperti kerbau, segera orang
itu menyerang, lalu menyurut mundur sambil mencaci maki.
Siang Cin meraba enam batang Toa-liong-kak yang masih berada dalam sarungnya,
jengeknya: "Tapi kau harus mampus lebih dulu."
Tanpa ampun kepalan kanan Siang Cin menggenjot, "bluk", tubuh segede kerbau itu
mencelat terbang, batok kepalanya pecah, tubuhnya menindih kawan2nya. Tanpa
berhenti sedikitpun kedua tangan Siang Cin bekerja pula, kontan empat orang Hekjiu-
tong kembali dirobohkan, bilamana kaki kanannya menyerampang pula, perut
lima orang ditendangnya pecah dan isi perutnya terburai, dalani sekejap dia sudah
membobol kepungan musuh.
Lekas Ceng-yap cu Lo Cc menerjang keluar, "sret", mendadak punggungnya
terbacok hingga sobek, tapi seperti tidak merasa sakit sedikitpun, kakinya balas
mendepak kebelakang, seorang musuh ditendangnya jungkir balik, goloknya
mencelat melukai teman sendrri. Tiga murid Bu-siang-pay yang masih bertahan
melihat kepungan yang bobol ini.
Serempak mereka menghardik terus menerjang ke sana, tapi baru bergerak dua
langkak, satu diantaranya segera terbacok roboh oleh para pengepungnya.
Siang Cin kembali merobohkan dua musuh cepat dia menyongsong Ceng-yap-cu
yang memburu ke sampingnya, teriaknya: "Lo heng, mendekatlah ke sampingku . .. .
" Agaknya Ceng-yap-cu Lo Cc sudah kalap, hakikatnya dia tidak mendengar seruan
Siang Cin, mendadak ia menyerang Siang Cin malah.
Dengan tangkas Siang Cin tangkap pergelangan Lo Ce yang memegang golok, Lo
Ce melonjak kaget, serta merta sebelah kakinya teraangkat dan menyodok dengan
dengkulnya. Sembari menghardik Siang Cin geser langkah sambil tarik tangan Lo Ce terus
diputarnya, "Cret, cret", ujung golok sabit berhasil merobek perut dua musuh yang
menubruk maju. Baru sekarang Lo Ce sadar dan melihat jelas siapa orang
didekatnya. Tenggorokannya berbunyi "krok, krok", dengan suara serak dia menjerit:
"Siang .... Siang-tayhiap . . . . .
Siang Cin lepaskan tangannya, sekali membalik telapak tangan, "plok", batok kepala
seorang musuh yang menyergap di hantamnya remuk, katanya dongan kereng: "Ikuti
aku, terjang mereka, babat habis mereka."
Golok sabit Lo Ce kembali bekerja seperti kesetanan, haru, sedih dan dendam
membakar hati Lo Ce, katanya dengan tersendat "Habis semuanya . . . . Siangtayhiap
. .. .semuanya habis . ..."
Siang Cin menerjang kian kemari, sekali putar sekaligus dia pukul roboh tujuh musuh.
Tiba2 dua murid Bu-siang-pay yang terkepung tadi ikut menerjang maju ke arahnya,
sambil menghadang hardik satu diantaranya mengayun golok memenggal kepala
seorang musuh, tapi dalam waktu yang hampir sama, golok setan seorang musuh
dengan telak berhasil menusuk pundak kanannya dari arah bawah.
Wajah murid Bu-siang-pay yang berlepotan darah ini tampak berkerut menahan sakit,
sembari menggembor dia putar goloknya dan membacok, "cras" pembokong itu
ditabasnya mampus.
Siang Cin melompat maju dan binasakan beberapa musuh yang masih mengeroyok
seorang murid Bu-siang-pay. Golok murid Bu-siang-pay inipun merobohkan lima
lawan, akhirnya dia tarik ujung goloknya yang terbenam di dada seorang musuh,
matanya tampak melotot beringas, dengan langkah sempoyongan dan memburu ke
samping Siang Cin, teriaknya serak: "Terima kasih, kawan . . . . ".
175 Siang Cin tarik dan terus melompat jauh ke sana, laki2 yang sudah lemas kehabisan,
tenaga dengan luka2 di sekujur badannya terseret setombak lebih sambil masih berkaok2:
"Lepaskan aku, kawan . . . . . aku hendak bunuh . ... . . ."
Golok sabit Ceng yap-cu Lo Ce baru saja membabat lewat di leher seorang musuh,
semburan darah membikin muka dan sekujur badannya basah kuyup, Siang Cin
menyeret murid Bu-siang itu ke sampingnya, terus membentak: "Lo-heng, hayolah
kita terjang kepungan."
Sekujur badan Lo Ce bergetar, ia menyeringai dan berkata: "Tidak, Siangtayhiap
. . . . . tidak, bukan mustahil masih ada kawan2 kita yang masih hidup dalam
perkampungan, tak boleh kita tinggal pergi tanpa menghiraukan mereka. . . . . . . "
Siang Cin merobohkan pula beberapa orang musuh yang menggempur datang,
serunya gusar: "Kini jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat, mana ada waktu untuk
pikirkan keselamatan orang lain?"
Berlinang air mata Lo Ce, katanya tegas: "Siang tayhiap, kumohon padamu, biarlah
kami mati seluruhnya di sini mengadu jiwa dengan musuh . . . ."
Saking dongkol Siang Cin membanting kaki, belum lagi dia bicara lebih lanjut,
bayangan orang tampak berkelebat, suara si Serigala tertawa Ji Bu mengejek:
"Orang she Siang, main kucing2an dan takut mati, apakah tidak keliru
perhitunganmu."
Sikap Siang Cin tetap dingin, tapi otaknya bekerja cepat. Di tengah kumandang
suaranya, Serigala tertawa Ji Bu tampak menubruk tiba seperti bayangan setan.
Sembari teriak kalap Lo Cc angkat golok terus membacok ke arah musuh, Serigala
tertawa Ji Bu mengekeh tawa, pedang pandaknya yang lebar itu tampak berkelebat
menciptakan bayangan sinar yang ber-lapis2. sekaligus dia lancarkan belasan
serangan pada Lo Ce. .
Gerakan kedua pihak sama2 tangkas, sayang Lo Ce sudah kehabisan tenaga,
gerakannya kalah cepat, untunglah Siang Cin yang berhasil merobohkan enam
musuh sempat menolongnya, telapak tangannya segera menabas pelipis Ji Bu.
Sudah tentu Ji Bu harus menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, sebelum sempat
menusuk musuh cepat dia berputar pergi.
Mengusap mukanya yang basah oleh keringat dan darah, wajah Lo Ce yang cakap
kelihatan letih dia menarik napas panjang, katanya lemas: "Terima kasih . . . . . .
Siang tayhiap . . . . . . "
Siang Cin hindarkan samberan dua golok, ia berseru gelisah: "Lo-heng, siapkan
dirimu untuk menerjang keluar."
Lo Ce mengeluh dengan rasa pedih, katanya serak: "Tapi . . . . . . tapi. . . . . . . . "
"Prak", telapak tangan kanan Siang Cin berkelebat, tiga batok kepala musuh
dikepruknya pecah, sambil mengertak gigi Siang Cin berseru: "Jangan banyak
omong, Lo-heng, seorang laki2 harus pandai membawa diri."
Secepat angin Siang Cin berputar ke sana, murid Bu siang pay yang tak jauh di
sampingnya terbacok luka pula pahanya, sebelum tubuh orang ambruk Siang Cin
sudah menariknya mundur.
Tanpa bersuara si Serigala tertawa Ji Bu menyelinap maju pula, diam2 Siang Cin
juga telah memperhitungkan waktunya, tiba2 Gwat bong-ing dia lancarkan,
berbareng kakinya bergerak deras, Tau-ce-tui.
Serigala tertawa memang licik dan licin, dibawah hujan bayangan pukulan dan
tendangan, segesit belut tiba2 dia menyurut mundur, ia tahu serangan musuh tak
mungkin dapat dihadapinya, maka dia menghilang di balik tubuh anak buahnya.
Mendadak Siang Cin memburu maju, sambil menepuk pundak Ceng-yap-cu dia
berkata lirih: "Ikuti aku!" Lalu iapun mengundang murid Bu-siang pay yang tinggal
satu itu. Tapi waktu dia berpaling, kebetulan dilihatnya murid Bu-siang-pay itu tengah
menatapnya sambil menyeringai lucu, pahlawan padang rumput yang gagah perwira
ini, golok sabitnya itu membacok masuk dari pundak kanan sampai perut seorang
Hek-jiu-tong tapi golok Kui thau-to murid Tangan Hitam itu juga menembus dadanya.
Di tengah teriakan gegap gempita murid2 Tangan Hitam kembali merubung maju
176 bagai air bah. Siang Cin meraih tangain kiri Lo Ce yang berlepotan darah, sekali
lompat dia melayang tinggi ke atas.
Di tengah bayangan orang banyak yang saling tubruk dengan kacau balau itu,
didengarnya suara teriakan Serigala tertawa Ji Bu memberi aba2: "Bidik dengan
panah, incarlah yang tepat, mereka hendak lari."
Di tengah udara Siang Cin dan Lo Ce saran berjumpalitan dua kali, mata Siang Cin
yang tajam dapat melihat si Sayap terbang Kim Bok di sebelah sana sedang dalam
keadaan yang teramat gawat.
Jelas Cuncu Wi-ji-bun Bu siang-pay ini sudah kehabisan tenaga, keringat
membasahi tubuh sampai pakaiannya lengket ditubuh, uap tampak mengepul dari
kepalanya yang kelimis, musuhnya yang utama adalah laki2 pendek dengan lengan
panjang dan secomot rambut kuning menghias batok kepalanya, lawan tengah
melontarkan pukulan yang dahsyat, sementara kawanan Tangan Hitam di sekitarnya
secara licik maju mundur menyergap, roboh satu maju dua.
Kawanan Tangan Hitam di sana sudah beramai mengudak kemari, malah anak
panahpun berseliweran, tapi bidikan panah ini sudah terlambat, dikala hujan panah
berlangsung, sementara itu Siang Cin dan Lo Ce sudah terjun ke dalam arena yang
mengepung Kim Bok.
Tombak Lo Ce sudah sejak tadi hilang, sehingga dia tidak kuasa menyerang musuh
dari jarak jauh, tapi goloknya masih bekerja lincah dan ganas, sekaligus dia
merobohkan tiga musuh, ia berteriak lantang: "Cuncu, kami datang ........."
Sekuat tenaga Kim Bok menahan musuh di sekelilingnya, bukannya dia tidak mampu
melarikan diri, namun demi dendam dan karena penasaran dia tidak rela tinggal
pergi begini saja, teriakan Lo Ce seketika membakar semangatnya, iapun berteriak:
"Lo Ce, tidak lekas kau terjang keluar kepungan, tunggu apa lagi?"
Seiring dengan teriakannya, puluhan kawanan Tangan Hitam tak jauh di sekitarnya
sama jungkir balik dan menjerit, sesosok bayangan tinggi menyelinap maju, katanya
dingin: "Kim-cuncu, sebelum kau sendiri pergi, siapa berani pergi mendahuluimu?"
Golok sabit Kim Bok sekaligus menyerang belasan jurus, waktu ia mengerling,
segera ia berteriak girang: "Siang-lote, kaupun datang . . . . "
Yang menerjang datang ini ialah Siang Cin, sekali pukul dia binasakan seorang
musuh, sahutnya dingin: "Sudah tentu."
Kim Bok tidak berhenti, ia bergerak ke kanan kiri, golok sabitnya menciptakan
goresan sinar kemilau, teriaknya lantang: "Siang-lote, apakah masih ada harapan?"
Sebelum Siang Cin menjawab, laki2 pendek )awan Kim Bok itu ter-kekeh2, sapanya
dengan tertawa aneh: "Naga Kuning?"
Sekaligus Siang Cin lancarkan pukulan dan tendangan berantai, dalam satu kali
tarikan napas sebelas jiwa musuh telah diganyangnya, setelah itu dia menengadah
dan menjawab dengan sinis: "Kenapa?"
Sembari pergencar serangannya, laki2 pendek lengan panjang itu bergelak tertawa,
serunya: "Sungguh kasihan, kau yang terkenal cerdik ini, ternyata juga bodoh dan
ceroboh . . . . "
Tersembul senyuman dingin di wajah Siang Cin, katanya: "Aku tahu kau adalah
gembong kedua dari Hek jiu tong Thong thian-wan (lutung meraih langit) Ban Lok,
meski namamu amat tersohor di Kangouw, tapi otakmu puntul dan tampangmu
jelek." Golok Kim Bok membacok ke depan terus membabat ke samping, dia ter gelak2,
serunya: "Tepat sekali pujianmu, Siang lote."
Laki2 pendek bertubuh aneh ini memang betul gembong kedua dari Hek jiu tong,
setiap insan persilatan bila menyebut nama Thong-thian-wan Ban Lok pasti
mengerut kening. Secomot rambut kuning di kepalanya se-olah2 berdiri, gada gigi
serigala di tangannya segera berputar, di tengah deru samberan angin yang kencang,
dia mengamuk dan mencaci maki "Naga Kuning, kau harus mampus karena
olok2mu ini."
Siang Cin tertawa tenang, dia balas menyerang, sahutnya dingin: "Orang she Ban,
177 kau belum setimpal untukku." - Pada akhir katanya di lihatnya bayangan beberapa
orang telah mengudak tiba. satu di antaranya yang bergerak paling gesit diketahui
adalah Serigala tertawa Ji Bu..
Siang Cin menyurut mundur, dengan suara lirih dia berbisik: "Kim-cuncu, biar Cayhe
bertahan dibelakang, bawalah orang2mu yang masih hidup untuk meloloskan diri."
Golok sabit Kim Bok menyamber bagai halilintar, sesaat ia tampak bimbang, katanya
kemudian, "Tapi . . . , Siang lote, kemungkinan masih ada orang2 kita di dalam
sana. . . ."
Keringat sudah membasahi jidat Siang Cin, sambil mengertak gigi dia pukul musuh
yang berusaha menerjang maju, katanya tegas: "Kim-cuncu, anggap saja mereka
sudah ajal."
Melenggong sekejap, Kim Bok berseru bingung:" "Tapi . . . . Siang-lote . . . . "
Dengan jurus Kui so-hun mendesak mundur Serigala tertawa Ji Bu yang menubruk
tiba, lalu Siang Cin berkata pula: "Kim-cuncu, apakah kau masih ingin meresapi
suatu pengajaran?"
Setelah ragu sejenak mendadak Kim Bok menggembor: "Baiklah!"
Siang Cin melangkah maju, katanya: "Jangan melupakan orang gagah yang
berjenggot merah itu, mundurlah cepat!"
Ber-kaca2 kedua mata Kim Bok, aiisnya bertaut kencang, sembari menarik Ceng yap
cu Lo Ce, golok sabit berputar sekencang kitiran, serunya: "Lo Ce, hayolah."
Di tengah suaara gerungannya, Ceng-yap-cu mendadak menjatuhkan diri terus
menggelundung ke sana, golok sabitnya membabat miring, dalam sekejap saja
puluhan pasang kaki manusia sama ditabasnya kutung, jerit kesakitan mengerikan
mendirikan bulu roma, dikala Lo Ce melompat berdiri pula, lekas Kim Bok
memapahnya terus dibawa melompat ke udara, ketika tubuh terapung itulah, tombak
pendek yang terselip di depan dada Kim Bok mendadak menyamber dalam waktu
yang sama, sekotak penuh berisi Bun tui-ti to (labah2) ditaburkan dengan gerakan
"bidadari menyebar bunga".
Maka jerit kaget kesakitan berpadu pula, bagai disapu badai orang2 Hek jiu-tong
yang berjubel itu sama roboh bergelimpangan, ada pula yang berjingkrak sambil
mengebut dan memukul, sementara puluhan orang lari sambil menjerit ngeri,
suasana menjadi kacau-balau.
Thong-thian-wan.. Ban Lok mendadak memburu maju, serunya: ?"Siang Cin, kau
licik!" Tidak jadi mundur Siang Cin malah memapak maju, sekaligus dia lontarkan
beberapa jurus pukulan lihay, ,bayangan telapak tangan beterbangan laksana air
bah yang lolos dari tanggul yang dadal.
Begitu dahsyat daya pukulan Siang Cin, keji dan mematikan lagi, betapapun Thongthian
wan Ban Lok takkan mampu menghadapinya, terpaksa ia meraung penasaran
sambil melompat menyingkir sejauh mungkin.
Serigala tertawa Ji Bu yang tetap tertawa tampak berlari hendak membantu si hidung
merah Kau Pui-pui di sana, tapi Siang Cin lebih cepat lagi, sebelum orangnya tiba,
tenaga pukulannya yang dahsyat sudah membacok musuh.
Serigala tertawa Ji Bu putar pedang pandaknya, cahaya pedangnya yang kemilau
berwujud lapisan dinding cahaya yang kukuh untuk membendung damparan angin
pukulan lawan, maka terjadilah benturan angin pukulan dan pertahanan cahaya
pedang, begitu dahsyat benturan ini, Ji Bu sampai tertolak mundur dua langkah,
wajahnya yang pucat tampak merah padam.
Gerakan kedua pihak berlangsung cepat, dikala dua batang Toa liong-kak berputar
dengan desing suaranya yang memekak telinga menyamber tiba, si sayap terbang
Kim Bok dan Ceng-yap-cu Lo Ce kebetulan terjun ke tengah rombongan orang2
Hek-jiu-tong. Bagai iblis yang haus darah, kedua batang Toa-liong kak menyamber kian kemari
dengan cahaya kemilauan, suaranya yang membising mengaburkan perhatian orang
banyak pula, sehingga orang salah duga bahwa kedua senjata melengkung aneh ini
178 seperti benda hidup.
Jerit orang banyak terus bersahutan, korban berjatuhan, puluhan batok kepala
manusia sama terpental, kalau Toa liong-kak kemilau cahayanya, adalah golok sabit
Kim Bok juga menaburkan cahaya benderang, dalam dua kali gebrak delapan nyawa
direnggut oleh golok sabitnya. Kaki lengan dan kepala sama protol, isi perut sama
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terburai, dada dan perut robek oleh tabasan golok.
Kepala gundul yang berjenggot merah itu sudah payah kehabisan tenaga, serta
melihat kedatangan sang pimpinan yang menerjang datang seperti banteng ketaton,
seketika bangkit pula semangat tempurnya, entah dari mana datangnya kekuatan
baru, dengan nekat dia cecar si hidung merah Kau Pui-pui, lalu dengan suara
menggelegar dia berseru: "Cuncu, aku si jagal hari ini akan mengadu jiwa, dua puluh
tahun lagi akan menitis pula sebagai laki2 gagah perkasa ......."
Si Hidung merah Kau Pui-pui melayaninya dengan gerakan cepat dan tangkas pula,
permainan telapak tangannya masih tetap mantap, sorot matanya membara, katanya:
"Betul ucapanmu, dua puluh tahun lagi, kau mungkin laki2 sejati . . . ... "
Jenggot merah si jagal se-akan2 kaku tegak, golok di tangan laki2 gemuk ini
mendadak berputar kencang, keringat sudah membasahi sekujur badan, dengan
suara kasar dan sengit dia berkata: "Tapi kau keparat tua boneka ini harus
mengiringi aku bertamasya ke neraka . . . . . . . "
Hidung Kau Pui pui yang tinggal secuil daging yang benjol merah itu tampak bergerak2,
dengan sengit dia lontarkan sembilan jurus pukulan, serunya murka:
"Kematian sudah di depan mata masih berani jual lagak!"
Sambil menabas dan membacok, golok si gemuk terus bekerja tak kurang
kencangnya, dia tergelak2, serunya pongah: "Jika kau sendiri tahu malu, kau mahluk
aneh yang tidak punya hidung ini tentu merasa malu mengeroyok diriku dengan
bantuan begundalmu sebanyak ini."
Wajah Kau Pui pui yang jelek dan beringas itu tampak semakin buruk, sekaligus dia
lontarkan beberapa jurus pukulan dan tendangan, dikala tangan dan kaki bekerja,
timbul pusaran angin yang kencang. Tanpa jeri si gemuk, tetap putar golok sabitnya
balas menyerang, di tengah gempuran yang beradu cepat itu, terdengar suara "bret"
yang menusuk telinga, jubah si gemuk yang putih itu tampak sobek sebagian.
Di tengah suara sobekan ini, dari samping selarik sinar golok melengkung
membacok ke punggung si hidung merah Kau Pui-pui. Berteriak kaget lekas Kau
Pui-pui menggeser ke samping, waktu ia berpaling, serta-merta ia berteriak
melengking: -"Kim Bok!"
Kim Bok mencecar lawan pula, katanya penuh hebencian: "Kau Pui pui, sejak tadi
kau memang pandai menghindari bentrokan langsung dan main sergap mencari
lawan yang lemah, kini kau tidak akan bernasib mujur lagi."
Sambil berkelit dengan gesit dan tangkas, Kau Pui-pui berhasil lolos dari serangan
golok Kim Bok, tapi dikala badannya menyelinap menghindar kian kemari itu, ia
sempat melihat sembilan puluhan anak buahnya lebih dari separo sudah roboh
binasa oleh amukan golok musuh. Keruan tidak kepalang kagetnya, belum lagi
otaknya sempat bekerja, Kim Bok yang menjadi lawannya ini telah mendesaknya
lebih ketat, kembali dia melompat mundur, tapi Kim Bok ternyata tidak mengejarnya,
dikala dia berdiri tegak pula, tahu2 bayangan seorang sudah melayang ke samping
kirinya dengan bayangan seorang lagi.
Sedikit melenggong lekas Kau Pui-pui memandang ke sana, ternyata laki2 gemuk
kepala botak yang berjenggot merah yang menyatakan ingin jadi laki2 gagah pula
pada penitisan dua.puluh tahun yang akan datang telah menerjang ke arah kiri,
seketika Kau Pui-pui sadar, lekas dia berteriak: "Mereka hendak lari, cegat
mereka . . . . "
Kejadian berlangsung cepat sekali, belum lagi orang2 Hek-jiu-tong menyadari
maksud teriakan sang pemimpin, sekali gebrak, di bawah samberan golok kedua
orang Bu siang-pay ini, sepuluh orang sudah roboh menjadi korban. Kim Bok tergelak2,
dengan memimpin Ceng yap cu Lo Ce dan si jagal jenggot merah mereka
179 terus menerjang membobol kepungan.
Baru saja ketiga orang lolos dari kepungan, belum ada tiga tombak jauhnya, di
depan sudah mengadang seorang laki2 tua berjenggot panjang dan memimpin tiga
puluhan orang Hek-jiu-tong yang mengenakan mainan kalung telapak tangan di
depan dada, mereka adalah jago2 Hiat-hun tong yang siap menyambut mereka.
Kim Bok mendelik, teriaknya gusar: "Kita ganyang mereka?"
Laki2 tua berjenggot putih itu bukan lain adalah si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong,
jago yang tadi dipaksa jungkir-balik oleh Siang Cin yaitu King Ji-seng.
Belum lenyap gerungan Kim Bok, badannya yang besar itu mendadak meloncat
tinggi ke udara, mirip seekor burung raksasa dengan badan menukik dia langsung
menubruk ke arah King Ji seng.
King Ji-seng tertawa melengking bagai suara kokok-beluk, payung ragang besi di
tangannya melingkar satu bundaran, ujung payung yang runcing tiba2 menjojoh ke
depan laksana pagutan ular berbisa.
Sambil mengertak gigi golok pendek di kedua tangan Kim Bok sekaligus membacok
gagang payung lawan, selicin belut mendadak King Ji seng melompat mundur sambil
menarik payung, hardiknya: "Kepung mereka."
Tiga puluhan murid Hiat-hun-tong yang sejak tadi berdiri berjajar itu serentak
menggembor, bagai serigala haus darah, dengan tangkas dan terlatih mereka
merubung maju. Dalam hati Kim Bok diam2 mengeluh, dia pikir malam ini mungkin
teramat sukar untuk menjebol kepungan musuh dan lolos turun gunung.
Tapi baru saja tiga puluhan murid2 Hiat hun-tong yang berani mati itu menerjang
maju beberapa langkah, dari udara meluncur turun sesosok bayangan orang, belum
lagi orang banyak sempat melihat gerakannya, enam orang Hiat-hun-tong yang
terdepan sudah menggelepar roboh, semuanya pecah kepalanya."
"Siang-tayhiap," sambut Ceng-yap- ce Lo Ce dengan girang sambil mengayun
goloknya. Yang baru datang memang si Naga Kuning Siang Cin, wajahnya yang cakap bersih
tampak berlepotan darah dan keringat, begitu kaki menginjak bumi Siang Cin segera
susuli lagi dengan pukulan telapak tangan, tiga jiwa musuh direnggutnya pula,
teriaknya dengan serak: "Lekas pergi, biar aku tahan mereka."
Mendengar seruan ini Kim Bok menjadi haru dan berduka pula, teriaknya: "Sianglote!"
Mendadak Siang Cin berjongkok menghindari sabetan lima batang golok setan
lawan, waktu dia menegak pula, telapak tangannya telah memapas patah lengan
dua orang, ditengah hamburan darah segar itulah, kembali dia meraung gusar:
"Lekas pergi!"
Mau tak mau terpaksa Kim Bok, tarik Ceng yap-ce Lo Ce dan si jagal jenggot merah,
bertiga mereka sama2 melompat ke depan sejauh mungkin, selagi mengapung di
udara, mendadak kedua kaki Kim Bok memancal, kedua sayap buatan di bawah
ketiaknya segera berkembang, seperti burung raksasa yang pentang sayapnya,
mereka melayang turun ke bawah gunung.
Orang2 Hek-jiu-tong hanya ber-teriak2 dengan melongo saja, hampir mereka tidak
percaya akan pandangan mata sendiri, manusia apalagi dengan muatan dua orang,
bagaimana mungkin bisa mela yang terbang seperti burung di angkasa" Sungguh
kejadian yang luar biasa.
Siang Cin sendiri menjadi lega seperti bebas dari suatu tugas berat, sementara di
sana King Ji-seng sedang mencak2 seperti kebakaran jenggot, teriaknya kalap:
"Losu, Loji, Longo, lekas kejar, lekas . . . . ."
Serigala tertawa Ji Bu dan Kau Pui-pui segera memburu ke bawah gunung,
beberapa tombak di sebelah sana Thong-thian-wan Ban Lok juga pimpin ratusan
anak buahnya ikut menguber ke bawah gunung, Siang Cin ter-gelak2 sambil
menengadah, serunya: ?"King Ji seng, tunggulah pembalasanku."
Beringas pandangan King Ji-seng, ia mengayun payung besinya dan berteriak
kepada murid2 Hiat-hun tong yang berdiri disekitarnya: "Kalian tunggu apa lagi" Mau
180 pura2 mampus"
Puluhan jago Hiat-hun-tong tersentak kaget serentak mereka bergerak, seperti
gerombolan serigala yang kelaparan tanpa pikir keselamatan sendiri mereka
menyerbu ke arah Siang Cin.
Waktu itu Thong-thian-wan Ban Lok dengan ratusan anak buahnya sudah lari
beberapa tombak ke bawah gunung, beberapa langkah lagi akan tiba di balik
gundukan tanah dan lenyap di balik sana. Dengan menyeringai Siang Cin kerahkan
seluruh kekuatannya, kedua tangan terayun bersama, dua batang Toa-liong-kak
menyamber keluar, suara mendenging seperti jerit tangis setan penagih sukma,
begitu cepat membabat ke arah Thong-thian-wan Ban Lok di kejauhan itu.
Baru saja Toa liong kak menyambar keluar, Siang Cin lantas melompat ke balik
gundukan dan mendekam ke bawah, mendadak ia berputar, telapak tangannya yang
tajam membabat satu lingkaran.
Tiga belas jago Hiat-hun-tong yang menubruk maju tiba2 sama merasakan perut
kesakitan, sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, serta merta mereka sama
menunduk memandang perut masing2 entah sejak kapan isi perutnya ternyata
sudah kedodoran menjebol perut.
Gaya serangan Siang Cin yang menakjupkan ini merupakan salah satu jurus dari
San-jiu yang lihay, sehingga tiga belas musuh yang terbelah perutnya tidak
merasakan sakit padahal isi perut sudah berlimpah keluar.
Maka berpadulah jerit tangis sekarat ketiga belas orang yang berkelejatan itu,
semuanya membuang senjata dan mendekap perut sambil ter-guling2, wajah
mereka yang tadinya buas kasar itu kini tampak pucat berkeringat.
Tanpa hiraukan nasib anak buahnya, serigala tertawa Ji Bu, hidung merah Kau Puipui
Ban Lok, King Ji-seng menubruk dari tiga arah yang berlainan, Siang Cin sudah
memperhitungkan waktu dan mengincar sasaran dengan baik, mendadak ia
jumpalitan, dua Toa-liong-kak yang tersisapun dia sambitkan dengan desing
suaranya yang memekak telinga, tiga musuh yang merangsak maju sementara
teralang oleh "tanduk naga" ini.
begitu sinar kuning muncul, Serigala tertawa Ji Bu segera berteriak kalap: "Lo-ngo,
adu jiwa!"
Si hidung merah Kau Pui-pui menyahut: "Baiklah!"
"Siuutt", sebuah Toa liong-kak dengan membawa cucuran darah menyamber tiba,
Kau Pui-pui tidak menyingkir, mendadak dia menjatuhkan diri terus berputar. "Cret",
tanduk naga dengan telak menancap di pundaknya, tapi dengan berputar tadi iapun
sudah mengelinding ke samping Siang Cin.
Hal ini memang di luar dugaan Siang Cin, baru saja tanduk naga disambitkan, tahu2
orang yang meski terluka sudah mendesak tiba, sungguh dia tidak menduga musuh
berani nekat mengadu jiwa.
Sekilas dia melenggong, sementara telapak tangan Kau Pui-pui sudah terayun
membelah dadanya, sedang tanduk naga yang lain melayang diatas kepala si
Serigala tertawa Ji Bu, dasar licik, dengan menyelamatkan jiwa sendiri, sigap sekali
Ji Bu tarik seorang anak buahnya terus dilempar ke arah tanduk naga yang
menyamber tiba, terdengar jeritan ngeri, tanduk naga yang tajam itu sudah ambles
ke dalam perut murid Hek jiu-tong itu.
Tak sempat berpikir, lagi Siang Cin melenting ke atas, pada saat yang sama, tanpa
hiraukan keselamatan sendiri King Ji-seng juga menyelinap maju seraya menjojoh
iga kiri Siang Cin dengan ujung payungnya yang runcing itu.
"Pletak", suara tulang remuk disusul "bluk" yang keras pula, si hidung merah Kau
Pui-pui terpental ber-guling2, sementar Siang Cin terhuyung mundur tiga langkah,
wajah King Ji-seng tampak beringas seram, ujung payungnya yang runcing itu baru
dicabut keluar dari paha Siang Cin.
Bayangan orang segera berkelebat, sebat sekali si Serigala tertawa Ji Bu menubruk
maju sambil berteriak, lantang: "Bunuh dia!" - Baru saja dua patah kata ini terlontar
dari mulutnya, Ji Bu mendoyong ke depan, "Ngum", pedang pandaknya bergetar,
181 dengan keji ia menusuk. Inilah serangan maut ilmu pedang si Serigala tertawa Ji Bu
yang tiada taranya.
Tak mau ketinggalan gagang payung besi King Ji-seng srgesit ular juga mematuk
tiba, cuma untuk kali ini ujung payung yang runcing itu tidak langsung menusuk ke
arah Siang Cin, tapi menjojol, di sebelah belakang Siang Cin.
Dalam waktu sekejap ini dua gembong utama Hek-jiu-tong sekaligus melancarkan
serangan bersama, kali ini mereka tidak main sergap atau bertempur dari jarak jauh,
tapi bergebrak dalam jarak dekat, malah serangan yang dilancarkan juga lebih ganas.
Siang Cin insyaf detik2 yang menentukan dari pertempuran terakhir ini sudah di
depan mata, dia tahu akibat kalah dan menang pertempuran sengit ini tentu teramat
besar bagi kedua pihak, hanya antara mati dan hidup.
Serangan gencar kedua pihak begitu dahsyat, Siang Cin tiba2 memicingkan mata,
perawakannya yang jangkung itu tiba2 setengah berjongkok. Bong li-mo ( iblis dalam
impian ) dan Hian jian-sin ( darah menciprat hati ), dua jurus dari sembilan jurus
serangan maut sekaligus dilancarkan, dikala bayangan telapak tangannya
beterhangan dengan deru angin yang kencang, dua jurus lihay yang lain dari Gwatbong-
ing dan Ban-thian hong menyusul pula.
Hampir tidak terasakan gerakan Siang Cin yang begitu cepat dan tangkas, baru
empat jurus serangan ini ber-gulung2 di udara, empat jurus susulan yang lebih
dahsyat lagi telah diberondong keluar pula, keempat jurus susulan ini adalah Kui-sow
bun ( setan menagih nyawa ), Hay-swan-boh ( pusaran air laut ), Ing- poh long (elang
menerjang ombak )dan Liong kik-hun ( naga naik ke mega ), angin menderu
menjadikan pusaran yang kencang, debu pasir beterbangan, gaya Siang Cin yang
setengah berjongkok tiba2 tegak kembali, maka jurus terakhir dari sembilan tipu
pukulan yang paling ganas, yaitu Kan- thian bun ( menggetar pintu langit ) didorong
ke luar pula. Betapa hebat kekuatan pukulan berantai ini, boleh dikatakan hampir tak mungkin
dilakukan oleh manusia biasa. Serangan berantai dilancarkan dalam sekejap dari
jurus pertama sampai jurus kesembilan, damparan angin semakin bertambah hebat.
Bersamaan dengan serangan sembilan jurus berantai Siang Cin ini. Jenggot King Jiseng
tampak bergerak, kedua matanya melotot besar, gagang payung besi yang
mengatup itu tiba2 terbuka, di tengah suara "cret" yang keras, enam belas batang
ruji payung besi itu melesat bersama kedepan, berbareng si Serigala tertawa Ji Bu
juga memutar senjatanya seperti kitiran, keduanya menyusup ke tengah arus tenaga
pukulan Siang Cin yang dahsyat itu.
Jubah kuning dan lengan baju warna hitam beterbangan, tiga pasang tangan dan
kaki tengah melakukan gerakan cepat yang tidak mungkin dilakukan oleh tiga ratus
orang, gebrakan berlangsung dalam sekejap dan sebat, sekali lantas terpencar pula
ke arah masing2.
Begitu melompat ke belakang Serigala tertawa Ji Bu sudah tidak mampu berdiri lagi
dia jatuh tertunduk, pakaian hitam di sekujur badannya sudah hancur ber-keping2,
rambutnya yang gondrong semrawut, darah tampak membasahi jidat dan belakang
lehernya bercampur dengan keringat yang gemerobyos, mukanya pucat menguning,
napasnya tampak ter-sengal2, mukanya menampilkan rasa kesakitan yang luar
biasa. Di sebelah sana King Ji-seng juga terlempar keluar dua tombak jauhnya, masih terguling2
lagi, akhirnya rebah telentang tanpa bergerak lagi, sekujur badan dibasahi
noda darah, kulit muka mengkeret, darah meleleh dari hidung dan kuping serta mata,
kulit badannyapun berubah biru hitam. si cerdik pandai dari Hek-jiu-tong yang lihay
otaknya ini meringkuk tak bergerak lagi, jenggot putih dibawah dagunya juga
kelihatan guram dan kotor oleh keringat yang tercampur darah, sungguh
mengenaskan sekali keadaannya.
Lima tombak dari arena, tampak Siang Cin berdiri kaku laksana patung, bola
matanya tampak melotot memancarkan cahaya cemerlang di dalam kegelapan, air
mukanya tetap dingin dan kaku, jubah kuningnya itu juga tampak berderai di bagian
182 bawahnya, noda2 darah bercipratan di sekujur badan, tiga batang ruji payung yang
tajam kemilau tampak jelas menusuk di paha, pundak dan iganya, sementara
pedang pandak si Serigala tertawa terselip di antara tulang pundak kirinya, namun
Siang Cin kelihatan tetap tenang se-akan2 derita ini bukan tumbuh di atas badannya,
dia seperti sudah pati rasa.
Serigala tertawa Ji Bu maklum betapa parah luka2nya kini, dalam gebrak
menentukan barusan, dia terkena lima kali tendangan dan satu pukulan, pukulan
yang teramat berat.
Sisa2 orang Hek-jiu-tong yang masih hidup berdiri terpencar di berbagai penjuru,
semuanya berdiri menjublek, tak tahu apa yang harus dilakukan, sungguh mereka
ngeri menyaksikan kejadian yang mengenaskan ini, hampir2 semuanya tidak
percaya atas penglihatan masing2, bahwa tiga gembong pimpinan mereka yang
diandalkan selama ini telah ambruk pada waktu yang sama, mampus dengan
mengerikan. Pelahan sesosok bayangan orang tampak bergerak dari balik bukit sebelah sana,
langkah orang ini teramat pelahan, di belakangnya ada delapan puluhan murid Hekjiu-
tong, sementara di atas tanah bergelimpangan mayat kawan mereka yang tak
berkepala, dua batang Toa-liong-kak tampak menancap di atas tanah padas dan
dada seorang musuh, sang korban tampak mendelik sambil memeluk dada.
Bayangan orang itu semakin dekat, kini kelihatan jelas, dia adalah Thong-thian-wan
Ban Lok, pada bagian pundak kiri pakaian hitamnya tampak basah oleh goresan
senjata yang mengeluarkan darah, di belakangnya juga ada goresan panjang di
punggung, darah masih mengucur keluar dan mengalir sampai ke ujung kaki.
Ada beberapa murid Hek-jiu-tong yang menyingkir jauh di sana, berjongkok sambil
memeluk perut, tak jauh dari mereka si hidung merah Kau Pui pui meringkuk lemas
tak bergerak dikelilingi anak buahnya. keadaannyapun kelihatan parah.
Pelahan Thong-thian-wan melangkah maju dan berhenti tiga tombak di depan Siang
Cin, air mukanya menampilkan rasa lelah, lama dia menatap musuh bak iblis di
depannya ini, dengan suara serius akhirnya dia berkata: "Siang Cin, kau memang
tersohor bertangan ganas di Bu lim, semula aku tak percaya, kini baru terbukti kau
memang setimpal dengan julukan itu, kau memang buas, ganas dan keji, kalau tidak
tentu sejak lama kau sudah mampus . . . . "
Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aneh pancaran sinar mata Siang Cin, katanya kalem: "Untuk adu jiwa, orang she
Siang tidak gentar menghadapi keroyokan iblis2 laknat seperti kawanan Tangan
Hitam kalian. Ban Lok, pihak kalianla yang menarik keuntungan, tapi pernahkah kau
menaruh belas kasihan terhadap musuhmu?"
Secomot rambut kuning di kepala Thong-thian wan Ban Lok tampak melekat di
depan jidatnya yang basah keringat, kedua lengannya yang panjang bergontai lemas
di samping tubuhnya, dengan susah dia menelan ludah, lalu berkata dengan suara
serak: "Gambaranmu teramat seram, Siang Cin, kau memang pantas dipuji sebagai
pengganas nomor satu, tapi kau harus mengerti, utang jiwa harus dibayar dengan
jiwa." Menyeringai Siang Cin menahan rasa sakit yang menusuk tulang sungsumnya,
katanya berat: "Sudah tentu, orang she Siang selalu siap untuk ini, entah sekarang
atau kelak, kau atau orang2 lain."
Dengan lidah kaku Thong-thiau wan menjilat bibirnya, katanya serak: "Siang Cin,
biarlah sekarang saja?"
Siang Cin menggeleng dan berkata: "Ban Lok, kau sendiri maklum aku tidak akan
menyerah mentah-mentah, kita sama2 mempunyai kesempatan, betul tidak?"
"Betul, tapi kesempatanmu tak banyak . . . . " Ban Lok menyeringai.
Siang Cin mendengus: "Benar, tapi kau sendiri, dengan tipu muslihatmu kau sudah
berhasil mencapai sedikit dari apa yang kau harapkan. Ban Lok, jika menurut
kebiasaan watakmu, sejak tadi tentu sudah melabrakku mati2an, tapi kenapa tidak
kau lakukan" Sebab kau sendiri sudah terluka parah, kau sudah menyaksikan
betapa Lwekangku, para pembantumu sudah modar, tiada satupun yang setimpal
183 menjadi pembantumu untuk mengalahkan aku, maka kau sengaja menunggu,
mengulur waktu dengan ocehanmu, kini orang2mu tengah memanggil bantuan.
kalau ingatanku tidak keliru, pihak Hek-jiu-tong kalian masih ada Lotoa (tertua) Dian
Gun, Losam ( yang ketiga) Mo Giok yang belum muncul, betul tidak?"
Untuk menyembunyikan perasaannya Ban Lok mengusap pipi dengan telapak
tangan, katanya: "Siang Cin, kau memang pintar dan ini tidak menguntungkan
dirimu." Siang Cin menggeleng, katanya: "Hatimu tentu gelisah, kenapa bala bantuan yang
kau harapkan tidak kunjung tiba. Mereka akan segera tiba, mungkin sudah dalam
perjalanan, kau ingin sekarang juga melabrakku, tapi takut tak mampu merintangiku,
betul tidak" Ban Lok, tak usah kuatir, kelak masih banyak kesempatan."
Hampir tidak terlihat cara bagaimana Ban Lok memberi-aba2, tapi orang2 Hek-jiutong
yang tersebar itu mulai bergerak di bawah komandonya. Dengan tertawa Siang
Cin berkata: "Kau ingin segera mulai" Tapi aku ingin lekas pergi, pertikaian ini
agaknya tak bisa selesai malam ini, Ban Lok selamat bertemu pada kesempatan
lain." Mendadak Ban Lok berteriak sengit: "Siang Cin, kau terhitung orang gagah di
kalangan Kangouw, pada saat menang kalah akan ketahuan kau justeru ngacir
mencawat ekor" Di mana akan kau taruh pamormu?"
"Betul, kau tahu Siang Cin adalah laki2 sejati, tapi kau harus lebih tahu bahwa aku
bukan laki2 goblok, aku tidak sebodoh itu untuk terperangkap oleh muslihatmu,"
habis kata2nya, segera Siang Cin membalik tubuh.
Biji mata Ban Lok memancarkan nafsu membunuh, sambil menggertak gigi dia
mendesis: ?"Seluruh anak2 Tangan Hitam, kepung dia!"
Orang2 Hck-jiu-tong yang memang sudah bersiap segera merubung maju dari
berbagai penjuru, golok besar ditangan mereka sama teracung.
Mendadak Siang Cin angkat tangan seraya menghardik: "Awas Toa-liong-kak!"
Thong-thian-wan Ban Lok sudah bergerak maju, dia pernah merasakan betapa
rasanya samberan "tanduk naga" yang tajam ini, keruan ia kaget dan jeri, ia
merandek, sementara gada bergigi serigala dia putar sambil menggeser ke samping.
Hanya sekejap ini sudah cukup bagi Siang Cin, di tengah gelak tawanya, kedua
kakinya memancal bergantian, empat orang yang menubruk maju ditendangnya
mencelat, sebelum badan musuh2nya terbanting ke bumi, bagai burung terbang
Siang Cin menjulang tinggi ke udara, sekali berputar ia terus meluncur ke sana dan
lenyap di telan kegelapan.
Thong-thian-wan Ban Lok meraung dan memburu, tapi segera dia menghentikan
langkahnya, mukanya merah padam, sambil membanting kaki ia mencaci maki:
"Kalian semua gentong nasi, mampus semuanya. . . . . "
Serigala tertawa Ji Bu yang duduk lemas di sana tiba2 menengadah sambil tertawa
seram, biji matanya melotot memandang ke arah menghilangnya bayangan Siang
Cin, darah segera menyembur dari mulutnya, "bluk". akhirnya dia roboh terkulai.
Keruan anak buah Hek-jiu-tong menjadi ribut dan kacau, ada pula yang berteriak:
"Siko meninggal . . . . Siko sudah meninggal . . . . "-
Setiap patah kata itu laksana ujung jarum menusuk hati Ban Lok, setiap patah kata
itu se-akan2 guntur menggelegar di pinggir telinganya, keringat dingin bercucuran,
otot di jidatnya merongkol keluar, seperti orang linglung dia berdiri tak bergerak dan
bersuara lagi, dalam waktu semalam yang singkat ini dia seperti sudah lebih tua
puluhan tahun. Dari kejauhan, di samping Bu-wi san-ceng yang sudah menjadi puing itu, tampak
bayangan ratusan orang tengah berlari secepat terbang, mereka lari seperti
memburu waktu, Tong-thian-wan Ban Lok mendengar gemuruh langkah orang
banyak ini, dia tahu siapa yang datang, tapi segalanya sudah terlambat.
Mukanya yang kuning mengulum senyum pilu, matanya berlinang air mata, pelan2
Ban Lok terkulai duduk di atas tanah, pertempuran banjir darah malam ini
memangnya pihak mana yang kalah atau menang" Betapa banyak nyawa menjadi
184 korban" Langit di ufuk timur mulai menampakkan secercah cahaya, lambat laun
fajarpun menyingsing, suasana pagi dengan hawa segar tercium pula bau anyir
darah yang tebal.
Hawa pegunungan di waktu pagi sedemikian sejuknya, segumpal awan tipis
mengambang rendah di kejauhan sana, seperti melayang di permukaan Gak-yangho.
Dengan langkah limbung Siang Cin sedang berjalan seorang diri, luka2 di
tubuhnya sedemikian sakit, tapi dia tetap bersemangat dan memperhatikan keadaan
sekelilingnya, dia maklum, dalam keadaan sekarang sedikit lena akan
mendatangkan akibat yang fatal baginya, wataknya tidak suka menyesal pada apa
yang sudah terjadi, bahkan masih banyak urusan yang harus dia kerjakan, ya,
banyak sekali . . . . . . . . .
Di kejauhan dia sudah melihat hutan itu, di hutan mana semalam mereka
bersembunyi sebelum menyerbu ke atas Pi-ciok-san, di sebelah samping yang
teraling hutan, yaitu di tanah lekuk itu, kuda tunggangan mereka disembunyikan di
sana, entah sekarang apakah masih ada di situ"
Ia istirahat sebentar bersandar pohon sambil memejamkan mata, lalu dengan penuh
kewaspadaan dia menyelinap ke hutan itu, dia balut lukanya ala kadarnya, darah
telah membasahi kain pembalut dari lengan bajunya, pedang pandak yang menyelip
tulang pundaknya sudah dia cabut, sedang ketiga ruji payung besi itu dia tidak berani
mengusiknya secara gegabah, hanya Thian yang tahu betapa dalamnya besi2
runcing itu menancap ke dalam dagingnya, Siang Cin kuatir bila sekarang dia
mencabutnya, mungkin dia takkan kuat beranjak lagi.
Setelah dekat hutan, pelan2 Siang Cin merebahkan diri, dengan payah dia
merangkak maju dengan kedua sikunya, dikala dia menggeremet tiba di semak
rumput yang subur itu, tiba2 ia mendengar suara percakapan beberapa orang.
Dengan hati2 Siang Cin mengintip dari celah2 dedaunan, terlihat beberapa tombak di
depan sana ada delapan laki2 seragam merah tengah berbicara, semua bersenjata
kapak dua muka, pakai ikat kepala kain merah pula.
Setelah membasahi bibirnya yang kering, Siang Cin merunduk ke tempat lain, dalam
hutan dilihatnya masih ada beberapa orang, pakaian mereka ada yang merah ada
pula yang hitam, agaknya mereka sedang mencari dan menggeledah hutan ini, cuma
kelakuan mereka tidak begitu serius, gerak-geriknya acuh tak-acuh, senjata mereka
dibuat membabat rumput dan tetumbuhan yang merintangi jalan mereka, itulah sikap
pemenang setelah mengalahkan musuhnya.
Siang Cin bertiarap dan diam saja, dari percakapan beberapa orang ini, kira2 dia
tahu situasi pertempuran di bawah gunung dan bagaimana akhirnya. Jelas bahwa
aksi Bu siang pay menyerbu kesarang Hek jiu-tong ini sudah gagal total, Kegagalan
atau kekalahan ini dengan sendirinya juga menyangkut Siang Cin pula, meski
sekuatnya dia sudah berjuang untuk memperkecil kekalahan, tidak sedikit pula
musuh yang diganyangnya, tapi akhirnya tetap sama, darah yang tercecer, nyawa
yang tercabut, semuanya sudah terjadi dan telah berlalu.
Kebetulan bagi Siang Cin, ia merebah di tempatnya untuk melepaskan lelah, entah
berapa rombongan orang telah pergi, lama kelamaan suasana dalam hutan menjadi
sepi, tiada terdengar suara percakapan, tak terdengar langkah kaki orang,
sampaipun kicau burungpun tak terdengar lagi, begitu sunyi seperti di tanah
pekuburan. Menunggu lagi sekian lama, dengan pedang pandak menyangga badan, pelan2 dia
melangkah ke hutan sebelah sana.
Sambil jalan pelahan pikiran Siang Cin bergolak, dia menguatirkan keselamatan si
sayap terbang Kim Bok bertiga, entah mereka sudah lolos dari kepungan dan
kejaran musuh atau tidak" Liat-hwe kim lun Siang Kong ceng dan lain2 sama
memiliki Kungfu yang tangguh, tentunya tak mudah terkubur hidup2 di tengah
kobaran api" Demikian pula Cap-kau-hwi ce Loh Bong-bu, Jan Pek-yang, Te Yau
dan lain2, biasanya mereka cerdik dan cekatan, berjuang penuh semangat, asal ada
setitik harapan tentu mereka rebut untuk mempertahankan hidup.
185 "Pletak". tanpa sengaja kakinya menginjak patah ranting kering, suara ini cukup
mengejutkan lamunan Siang Cin, lekas dia menyelinap ke belakang pohon, dengan
waspada dia celingukan, dilihatnya sudah tiba di pinggir hutan, sebelah depan
adalah ladang belukar.
Dari balik pohon Siang Cin mengawasi keadaan sekeliling, tak jauh di depan sana
dilihatnya mayat2 yang ratusan jumlahnya berjajar dan bertumpuk, ada yang
berpakaian merah, hitam dan putih, menandakan para korban campur aduk dari tiga
pihak, tapi kini mereka sama2 sudah mati, berlepotan darah dan mengerikan,
semuanya rebah tenang berdampingan, tiada dendam dan bermusuhan.
Dua orang laki2 kekar tampak menjaga mayat2 itu, mereka berdiri jauh dari
tumpukan mayat, seperti takut orang2 mati itu bangkit kembal