Bukit Pemakan Manusia 3
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 3
it Pemakan manusia ini!" Ditengah pembicaraan tersebut, dia sudah berjalan menuju keluar pintu.
Dengan cepat Sun tiong lo menghadang di-depan pintu, lalu serunya
sambil tertawa: "Nona, bersediakah kau untuk duduk sebentar." Nona itu
mengerdipkan matanya, lalu: "Sebenarnya aku mau duduk tapi
engkohmu yang berwatak kurang baik itu terus menerus bermaksud mengusir tamu, aku tak akan
mempunyai muka setebal itu untuk tetap disini!"
"Kalau nona memang sependapat lain, maka tindakanmu itu justru
merupakan suatu penampikan atas maksuk baikku!"
Nona itu menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, serunya
dengan perasaan yang tidak habis mengerti:
"Apa maksud perkataan mu itu?" "Tolong tanya nona, sejak
permulaan sampai akhir aku toh tidak
pernah mengucapkan kata-kata yang bermaksud mengusir tamu?"
Nona itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Yaa, kau memang
tidak berkata apa-apa." Sun Tiong-lo segera tertawa, serunya lagi:
"ltulah dia, kalau cuma lantaran perkataan dari kakakku saja nona lantas mengambil
keputusan untuk pergi dari sini, tolong tanya bagi diriku apakah
tindakan tersebut bisa dibilang sopan dan cukup memberi muka ?"
Nona itu segera tersenyum, "Anggap saja kau pandai berbicara !"
setelah berhenti sebentar, sambil mengerling sekejap kearah Bau ji,
katanya lagi: "Kau suruh aku tinggal disini, tentu saja boleh, tapi kau musti
menasehati dulu engkoh mu yang berwatak berangasan itu agar jangan
mengucapkan kata-kata yang menusuk pendengaran."
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 5 "TENTU saja!" sahut Sun Tiong-lo sambil manggut-manggut,
"aku percaya engkohku pasti tak akan berkata apa-apa lagi" "Oya .. . ?"
Nona itu berseru. Dengan sorot matanya yang jeli dia memandang
sekejap ke arah Bau-ji, kemudian duduk kembali di tempat semula.
Bau-ji agak mendongkol akan tetapi berhubung Sun Tiong lo telah
berkata begitu, diapun tidak berkata apa-apa lagi, maka dengan mulut
membungkam dia menyantap hidangannya.
Setelah nona itu duduk, Sun Tiong-lo kembali berkata, "Tolong tanya
nona, kau ada petunjuk lagi ?"
"Hei, dapatkah kau menukar panggilan itu dengan sebutan lain?" tegur
si nona dengan kening berkerut. Sun Tiong lo berseru tertahan, dia
lantas meninju kepala sendiri dan berseru.
"Yaa, aku memang tidak seharusnya bersikap begini, hingga sekarang
ternyata aku belum sempat menanyakan nama dari nona, harap nona
sudi memaafkan, kini..." "Kini baru teringat untuk bertanya" sela si nona dingin. . Dengan
nada minta maaf Sun Tiong lo berkata: "Jika aku telah membuat
suatu keteledoran harap nona suka memaafkannya." Kembali si nona itu mendengus. "Hmm... cukup."
tukas-nya, "lebih baik kau tak usah menanyakan
namaku lagi, panggil saja nona kepadaku." "Aaah... ini mana boleh
terjadi?" seru Sun Tiong lo sambil
menggeleng, "siapa tidak tahu dia tidak bersalah, nona..." "Lebih baik
kita agak sungkan juga!" kembali si nona menukas,
Bau-ji yang berada disampingnya menjadi tak sabar, segera serunya
dengan suara lantang: "Belum pernah kujumpai nona seperti kamu ini, tadi masih menyuruh
orang mengganti panggilan, sekarang ketika orang ingin mengetahui
namamu, kau malah berubah pikiran lagi, terhitung apaan itu?"
"Lantas apa pula maksudmu berkata demikian?" bentak si nona dengan
mata melotot. Baru saja Bau ji akan membuka suara, Sun Tiong lo
segera mengerdipkan mata kearahnya sambil menukas.
"Maksudnya kau adalah si nona dari bukit Pemakan manusia !" setelah
berhenti sejenak, tidak memberi kesempatan lagi kepada nona itu untuk
buka suara, ia telah berkata lebih jauh:
"Kalau memang nona bersikeras demikian, tentu akupun tak bisa
berkata apa-apa lagi, sekarang aku ingin bertanya kepada nona, ada
tujuan apa tengah hari ini nona berkunjung ke loteng impian ini ?"
Sahut si nona dengan dingin. "Untuk menunjukkan keadilan para
tamu agung yang akan melarikan diri, bukit kami telah menyusunkan suatu persiapan bagi
kalian, karena persiapan itulah aku datang kemari untuk
membicarakannya denganmu." "Oooh . . . tolong nona bersedia memberi petunjuk!" "Bukit kami
mempunyai medan yang cukup ganas dan
berbahaya, jalan gunungpun penuh dengan persimpangan yang
berliku-liku, ada jeram Ihkian, ada pasir mengambang, ada air kematian
adapula air beracun serta aneka tempat berbahaya lainnya.
"Oleh sebab itu, setiap tamu agung yang bersiap-siap hendak melarikan
diri, selama masa masih menjadi tamu agung dia berhak untuk
mendapatkan keterangan yang jelas tentang medan di dalam bukit kami
ini, sehingga memberi setitik harapan untuk hidup bagi mereka !"
Saat itu, Bau-ji telah mendengar pula tentang seriusnya persoalan itu, ia
lantas meletakkan kembali mangkuknya ke meja.
Dengan sikap yang tenang Sun Tiong-lo kembali bertanya. "Jadi nona
khusus datang kemari untuk memberi petunjuk
kepada kami berdua akan tempat di sekitar bukit ini?"
"Memangnya masih ada persoalan yang lain"!" Sun
Tiong-lo segera tertawa. "Jangan marah dulu nona, aku bisa berkata demikian karena hatiku
merasa amat berterima kasih sekali."
Setelah mendengar perkataan itu, paras muka si nona yang dingin dan
kaku itu pelan-pelan baru berubah menjadi agak hangat.
"Didalam memberi petunjuk kepada kalian ini, aku bagi menjadi dua
hal, pertama akulah yang akan menemani kalian menyelusuri tanah
perbukitan untuk meninjau langsung keadaan medan, kedua aku akan
menghantar kepada kalian untuk melihat miniaturnya."
"Maksud nona, kita akan meninjau miniatur dari keadaan bukit di
sekitar tempat ini seperti dengan yang aslinya?" tiba tiba Sun Tiong- lo
menukas. "Benar!" nona itu mengangguk, "apakah kau merasa kurang percaya?"
Sun Tiong-lo segera tertawa dan menggelengkan kepalanya berulang
kali. "Aaah! Masa aku berani tidak percaya?" Setelah berhenti sebentar,
dia melanjutkan. "Aku mempunyai
suatu permintaan dapatkah nona meluluskannya?" "Hnm! Kalau sudah
tahu kalau permintaan mu itu tidak seharusnya diajukan, kau anggap aku bisa meluluskannya?" Sun
Tiong-lo tidak memperdulikan ucapan dari nona tersebut,
kembali ujarnya: "Kami dua bersaudara ingin sekali memeriksa mimatur
bukit tersebut lebih dulu, kemudian baru merepotkan nona untuk menghantar
kami untuk mengunjungi tempat itu satu persatu."
Si Nona berpikir sebentar, kemudian menyahut. "Baiklah, kululuskan
permintaanmu itu, sekarang bersantaplah
lebih dulu, sebentar aku akan menyuruh Kim Poo-cu untuk mengundang
kalian . . ." Seusai berkata nona itu segera beranjak dan meninggalkan ruangan itu.
Ketika kakinya sudah hampir melangkah ke luar dari pintu ruangan,
mendadak dia berhenti seraya berpaling, ujarnya kepada Bau ji:
"Kau yang menjadi engkohnya tidak semujur si adik, kau hanya akan
menjadi tamu agung kami selama tiga hari, oleh sebab itu kau harus
perhatikan miniatur itu dengan bersungguh hati, aku harap kau bisa
menanggapi petunjuk ku ini dengan serius !"
Bau ji tak menjawab, dia hanya mendengus dingin. Nona itupun
mengernyitkan alis matanya sambil mendengus,
kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun segera turun dari
loteng. Menanti nona itu sudah iauh, Sun liong lo segera berkata kepada
Bau-ji. "Toako, ada suatu persoalan aku lupa untuk menanyakan kepadamu."
Bau ji segera mendongakkan kcpalanya, setelah memandang wajah Sun
Tiong lo sekejap katanya. "Persoalan apa ?" "Tentunya kedatangan toako keatas bukit ini
bukannya ada suatu maksud tertentu bukan?" Bau ji segera mengangguk. "Betul, aku
sedang melaksanakan tugas!" Mendengar jawaban itu, satu ingatan
lintas melintas dalam benak Sun tiong lo. "Melaksanakau tugas" Toako sedang melaksanakan tugas
siapa?" tegurnya ingin tahu. Bau ji tidak langsung menjawab, dia mendongakkan kepalanya dan
memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, kemudian balik bertanya:
"Dan kau" mau apa kau mendatangi bukit pemakan manusia ini?"
"Kalau dibicarakan mungkin toako sendiri pun tidak percaya" bisik
Sun Tiong lo, "Siaute sendiripun tidak tahu mau apa datang kemari."
"Aaaah mana mungkin" Masa kau tak tahu?" Bauji berseru
tertahan dengan wajah kurang percaya. "Betul, siaute sendiripun
sedang melaksanakan perintah dari suhu untuk mendatangkan bukit pemakan manusia, sedangkan mau
disuruh apa aku kemari, suhu tidak menjelaskan didalam surat
perintahnya, maka siaute rasa sekalipun kukatakan belum tentu toako
akan mempercayainya!" Bau-ji segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia tidak berkata
apa-apa lagi: "Toako, kau datang kemari. ." "Jite.." tukas Bau-ji," suhu kita berdua
memang benar-benar sangat aneh, aku sendiripun hanya mendapat surat perintah untuk
memasuki bukit ini, sedangkan mau apa dan disuruh berbuat apa aku
sendiripun kurang begitu tahu!"
Sun Tiong-lo menjadi berdiri bodoh, dia gelengkan kepalanya
berulangkali duduk dibangku dan termenung.
Bau-ji memandang sekejap hidangan sayur dan arak di meja, kemudian
katanya, "Jite, bersantaplah dulu!"
Dengan mulut membungkam kedua orang bersaudara itu segera
bersantap, belum lagi selesai Kim Poo cu sudah muncul di depan pintu
ruangan loteng. Maka dua bersaudara itupun segera beranjak dan mengikuti dibelakang
Kim Poo cu ke luar dari ruangan loteng.
Mendadak Sun Tiong lo berkata. "Sobat Kim, bolehkah kuajukan sebuah pertanyaan kepadamu ?"
Dengan dingin Kim Poo cu memandang sekejap waiah Sun Tiong
lo, lalu sahutnya. "Nona telah berpesan, apapun yang ingin kalian
tanyakan silahkan untuk ditanyakan sendiri kepada nona !" Sun Tiong Io segera
tertawa. "Pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu itu hanya kau
seorang yang bisa menjawabnya. Kim Poo cu segera mendengus dingin.
"Hmm ! Mulai sekarang persoalan apapun aku tidak tahu, lebih
baik jangan kau tanyakan kepadaku." Sun Tiong lo tidak menyerah
sampai disitu saja, kembali dia mencoba untuk memancing. "Pertanyaan yang kuajukan adalah tugas
apa yang dipikul sobat Kim didalam kampung ini." "Aku tidak tahu." Kim Poo cu tetap
mendengus dingin. Berkata sampai disitu dia lantas mempercepat
langkahnya dan tidak memperdulikan Sun Tiong Io serta Bau-ji lagi. Melihat itu Bauji
mengerutkan dahi kencang-kencang, lalu
bisiknya pada Su Tiong-lo. "Jite, buat apa kau musti bersikap demikian"
Apalah gunanya menyusahkan kaum rendah macam mereka ?" Sun Tiong lo segera
tersenyum. "Kau tidak tahu toako, apa yang kulakukan ini cuma
bermaksud untuk menyelidiki saja." Mendadak Kim Poo cu berhenti sambil berpaling
kearah Sun Tiong lo, serunya dengan garang. "Kuperingatkan kepadamu, lebih baik
jangan mengusik aku terus menerus!" Seakan akan tidak terjadi sesuatu apapun, dengan tenang Sun Tiong lo
berkata. "Akupun peringatkan kepadamu, kalau sedang berbicara denganku, lebih
baik kau tidak tunjukkan sikap semacam itu."
Kim Poo cu segera mengepal kepalannya kencang-kencang, sambil maju
dua langka ke muka serunya. "Kau berani sekali mengurusi sikap dan gerak-gerik lohu, Tapi sebelum
ia menyelesaikan kata-katanya, sambil membusungkan dada Sun Tiong
lo telah berseru pula. "Kaupun harus mengerti sekarang aku adalah tamu agung dari bukit
kalian ini, berbicara selangkah lebih kebelakang, paling banter ketika
aku gagal melarikan ciri dari bukit pemakan manusia ini, hanya sebuah
jalan kematian yang kuhadapi."
"Bila seseorang tak dapat terhindar dari kematian, juga tiada
kesempatan untuk memperoleh kehidupan, tiada persoalan yang
menakutkan lagi baginya, kalau tidak percaya hayolah turun tangan
untuk mencobanya sendiri." Paras muka Kim Poo cu berubah menjadi hijau membesi, sambil
menggertak gigi menahan diri, sampai lama sekali dia baru bisa berkata
dengan penuh kebencian. "Hutang ini akan lohu perhitungkan pada saat kau melarikan diri nanti,
hati hati saja pada waktunya nanti!"
Kontan saja Sun Tiong lo mendengus dingin. "Hmm .. .. ! Lebih baik
kau jangan mimpi" Kim po cu tidak berbicara lagi, sambil
membalikkan badan dengan gemas ia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Dalam waktu
singkat mereka sudah tiba di depan sebuah
ruangan besar sambil menuding ke arah ruangan itu. "dalam ruangan
tersebut bukan saja hadir si nona, Beng lo cengcu yang kakinya cacadpun
hadir didekat perapian dengan kursi berodanya itu.
Pertama-tamanya Sun Tiong lo menghampiri Beng lo cengcu lebih
dahulu, sambil tersenyum dan menjura katanya.
"Orang tua, baik baikkah kau?" Beng Liau huan segera tertawa.
"Baik-baiklah kongcu !" Setelah berhenti sejenak, sorot matanya di
alihkan ke wajah Bau ji, kemudian lanjutnya: "Dari Beng Seng kudengar semalam ditempat ini
telah kedatangan lagi seorang kongcu yang kebetulan berasal dari satu
marga dengan kongcu bahkan memiliki ilmu silat yang sangat lihay,
apakah..." Belum habis dia berkata, sambil tersenyum Sun Tiong lo telah berseru
kepada Bau ji: "Sun heng, cepat kemari dan menjumpai Beng lo cengcu!" Ketika
menyerbu ke dalam bukit dan akhir nya tertangkap
musuh, Bau ji langsung dihantar ke loteng impian, pada hakekatnya ia
belum pernah berkunjung ke ruangan besar itu, tentu saja diapun
belum pernah berjumpa dengan Beng lo cengcu.
Maka ketika didengarnya orang itu adalah cengcu ddari perkampungan
ini, kontan saja dia mendengus. "Hmmm! Aku lagi segan bergerak, juga enggan bersahabat dengan
manusia-manusia semacam itu !"
Sun Tiong-lo tahu, Bau ji tentunya telah salah paham, dia pasti mengira
Beng lo-cengcu tersebut berasal dari sekeluarga dengan pemilik bukit
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini, tapi dihadapan sinona tentu saja dia tak dapat memberi penjelasan,
terpaksa dia cuma tersenyum saja kepada Beng lo-cengcu.
Beng Liau huan sama sekali tidak memperlihatkan rasa tak senang hati,
malah ujarnya kepada Bau ji. "Tolong tanya kong cu ini?"
Dengan nada tak senang hati Bau ji segera berseru dengan suara
lantang: "Aku toh sudah berulang kali mengatakan bahwa aku tak ingin
bersahabat dengan semua manusia yang berada disini, maka apabila
tiada sesuatu kepentingan, lebih baik kurangi saja kata katamu."
Beng Liau huan mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia lantas memutar
kursi rodanya dan menyingkir kesamping serta tidak bicara lagi.
Dengan langkah lebar Bau ji menghampiri sinona, kemudian tegurnya
dengan lantang: "Dimanakah miniatur itu berada?" Nona mengerdipkan matanya,
kemudian mendesah: "Heran, kenapa orang ini selalu mengumbar
napsunya, memang dianggapnya dia hebat?" "Nona!" seru Bau-ji sinis, "aku datang kemari
bukan untuk mendengarkan kritikanmu, miniatur..." Agaknya nona itu sungguh
merasa mendongkol, sambil mendengus dingin ia lantas membalikkan badan dan berlalu dan situ,
sambil berjalan gumamnya: "Hmm, kenapa orangku betul-betul tak tahu diri?" Mendadak Bau-ji
melompat kedepan dan menghadang di hadapan nona itu, serunya. "Nona, mau kemana kau?" "Membawa kau
melihat miniatur dari tanah perbukitan disini!" Bau ji tidak berbicara
Iagi, dia segera menggeserkan tubuhnya
dan menyingkir kesamping. Pada saat itulah si nona
berseru kepada Sun Tiong lo. "Lebih baik kau bisa menasehati engkohmu" Mendengar ucapan
tersebut, paras mukanya Sun Tiong lo segera berubah hebat, dengan
cepat tukasnya: "Nona, harap kau bisa memegang janji!" Nona itu mula-mula agak
tertegun, menyusul kemudian serunya: "Setelah melihat miniatur
nanti, aku ingin berbicara empat mata
denganmu." "Baiklah, setiap saat engkau boleh bercakap cakap dengan
aku." Sun tianglo menganggukkan kepalanya sambil tertawa. Nona itu kembali
melirik sekejap ke arah Sun Tiong lo lalu
membalikkan badan dan berjalan menuju kepintu belakang ruang besar
itu. Sun Tiong lo dua bersaudara segera mengikuti dibelakangnya dan
mengikuti nona itu memasuki sebuah loteng kecil.
Loteng itu bernama "Hian ki", kelihatannya merupakan tempat yang
terpenting dalam bukit tersebut. Dilihat dari bagian luarnya, loteng itu seperti tiada sesuatu keistimewaan
apapun, tak jauh berbeda dengan bangunan lainnya, tapi setelah Sun
Tiong lo berdua memasuki pintu gerbang loteng itu, mereka baru sadar
bahwa keadaan tidak benar. Semisalnya saja loteng impian dimana mereka tinggal sekarang,
bangunannya mana megah dan mentereng, jauh lebih hebat daripada
loteng Hian ti lo ini, dasar lantainya juga terbuat dari papan jati.
Tapi dasar lantai dari loteng Hian ki loini ternyata terbuat dari baja asli,
ditinjau dari hal ini saja sudah dapat diketahui bahwa loteng ini
merupakan tempat yang paling penting dari seluruh tanah perbukitan
tersebut. Sesudah menyaksikan kejadian itu, sikap Sun Tiong lo masih tetap santai
seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun,
sebaliknya Bau ji segera berkerut kening, kemudian mendengus dingin.
Mendengar itu, Nona tersebut segera berhenti, tegurnya. "Apakah
kau merasa ada sesuatu bagian yang kurang enak ?" Bau ji
memandang sekejap ke permukaan lantai yang terbuat
dari baja itu, lalu menjawab. "Benar, aku merasa agak benci dengan
lantai baja ini !" Nona itu segera mendengus dingin. "Hmm! Asal setiap
kali kau datang ke loteng Hian ki lo ini selalu
ditemani oleh orang kami, papan baja tetap adalah papan baja, lantai
ini seperti juga lantai yang lain, tak bisa memakan manusia!"
Bau ji tidak memberi tanggapan apa apa, sebaliknya Sun Tiong lo
segera berseru tertahan. "Hmm Makanya aku lagi heran, sewaktu berjalan ditempat ini kenapa
suaranya itu bisa aneh, rupanya terbuat dari baja asli!"
Nona itu mengerling sekejap ke arahnya, kemudian berseru.
"Kelihatannya kau mempunyai bakat untuk bermain
sandiwara...hebat sekali!" Sembari berkata demikian, nona itu
melangkah maju dan menaiki anak tangga yang berada di sudut ruangan sana. Anak tangga disitu
tidak terhitung banyak, semuanya berjumlah
dua puluh empat buah, setiap anak tangga terdiri dari lapisan baja yang
beberapa inci tebalnya, tapi yang aneh disisi kiri maupun kanan anak
tangga itu ternyata tiada pegangannya.
Maka Sun Tiong lo segera melangkah naik keatas anak tangga itu
dengan sangat berhati-hati, sambil naik katanya:
"Kalau begini modelnya, sungguh berbahaya sekali, seandainya sampai
terpeleset, bukankah besar kemungkinannya orang bakal tergelincir
jatuh kebawah ?" "Mungkin bukan cuma tergelincir dan berguling ke bawah saja." kata
sinona sambil tertawa. "Ooh....lantas bisa mengakibatkan apa lagi?" Kembali nona itu
tertawa. "Bisa berakibat apa, soal itu harus dicoba lebih dulu baru
bisa diketahui." Sun Tiong-lo segera menggeleng. "Kalau didengar cara nona
berbicara, lebih baik jangan dicoba
saja." Entah apa maksud sinona yang sesungguhnya, mendadak ia
berhenti diatas tangga dan berkata: "Untuk diberitahukan kepadamu
juga tak. menjadi soal, di hari-hari biasa, misalnya sekarang, sekalipun
sampai terjatuh paling-paling hanya terguling saja kebawah dan tak akan
sampai menimbulkan ancaman jiwa."
"Tapi bila malam hari telah tiba, atau tak ada orang yan membawa
jalan, sebaliknya masuk sendiri ke dalam loteng Hiankilo ini, belum lagi
naik ke atas tangga, mungkin jiwanya sudah melayang !"
"Oooh....!" Sun Tiong lo berseru tertahan, dia mencoba mendepak
depakkan kakinya ke atas lantai, kemudian melanjutkan:
"Yaaa, untuk menjaga datangnya pencuri memang hal ini tepat
sekali..." Ketika menyelesaikan kata-katanya itu, si nona sudah naik ke atas
loteng. menyusul kemudian Sun Tiong lo dan Bau ji juga tiba di atas
loteng. Mendadak dari arah belakang berkumandang suara getaran yang keras
sekali, ketika mereka berpaling ternyata anak tangga itu sudah lenyap
tak berbekas. Bukan cuma anak tangga itu saja yang hilang, bahkan pintu gerbang
dimana mereka masuk tadipun kini sudah tertutup rapat.
Sun Tiong lo segera berpura-pura tidak mengerti, serunya kepada si
nona. "Hei,apa yang telah terjadi" Kita sudah terkurung didalam loteng ini,
bukankah..." "Aku berbuat demikian untuk lebih berhati hati saja" tukas si nona
sambil menerangkan "aku tak ingin ada orang yang datang
mengganggu kita selagi kita melihat bukit diatas loteng nanti, maka
sengaja kututup pintu loteng tersebut !"
"Oooh kiranya begitu, sungguh mengejutkan hatiku !" Nona itu
segera mendengus dingin. "Hm ! Andaikata nyalimu hanya sekecil
itu, mana mungkin berani mendatangi bukit pemakan manusia?" Sun Tiong lo tidak membantah
atsu mendebat lagi, sinar matanya segera dialihkan ke atas loteng itu, kemudian bertanya dengan
nada keheranan dan tidak habis mengerti.
"Tolong tanya nona, dimanakah letak miniatur tersebut ?" Belum lagi
si nona menjawab, Bau ji telah berkata pula dengan
suara dalam. "Nona, ruangan loteng ini kosong melompong tanpa
sesuatu benda apapun, sebetulnya apa tujuan menipu kami mendatangi tempat
semacam ini?" Nona itu tidak menjawab pun tidak menggubris, dia langsung berjalan
menuju ke arah dinding disebelah depan sana.
Sungguh aneh sekali, ketika nona itu akan membentur dengan dinding
tadi, tiba-tiba dinding sebelah selatan terbuka secara otomatis, disana
terlihat sebuah pintu gerbang, ke dalam ruangan itulah sinona itu
berjalan. Sun Tiong lo dan Bau ji saling bertukaran pandangan sekejap,
kemudian merekapun turut masuk kedalam.
Tempat itu adalah sebuah ruangan yang sangat luas, tiada jendela tiada
lubang hawa sehingga suasana sangat gelap sekali.
Agaknya si nona itu sudah melakukan persiapan, dengan cepat dia
membuat api dan memasang dua buah lentera disitu.
Kedua lentera tersebut yang satu tergantung disebelah kiri yang lain
tergantung disebelah kanan, tengahnya terdapat sebuah miniatur tanah
perbukitan yang panjangnya tiga kaki dengan lebar dua kaki,
disekelilingnya tanda-tanda, jumlahnya mencapai delapan belas pasang
lebih, setelah memasang lentera tersebut, nona itu segera duduk dikursi
goyang diunjung ruangan sana, katanya:
"lniJah miniatur yang paling jelas menggambarkan seluruh bagian dari
tanah perbukitan ini, termasuk juga tempat-tempat berbahaya yang
pernah kukatakan tadi, kalian musti memperhatikannya secara teliti dan
mengingatnya baik baik !" Maka Sun Tiong-lo dan Bau-ji segera memusatkan seluruh perhatiannya
untuk memperhatikan miniatur tersebut. Tapi setelah meneliti dengan
seksama, tak urung terkesiap juga kedua orang itu dibuatnya.
Ternyata diatas bukit pemakan manusia hanya ada dua jalan lewat saja,
yang pertama adalah jalan masuk lewat pintu depan, sedang yang lain
berada dibelakang gunung, jalan masuknya saja sudah cukup
berbahaya, jalan keluarnya ternyata berlipat ganda lebih berbahaya lagi.
Tanpa terasa kedua orang itu mendongakkan kepalanya dan saling
berpandangan, sementara itu si nona telah berkata lagi:
"Menurut peraturan yang berlaku disini, hanya waktu satu jam yang
tersedia bagi tamu agung untuk melihat miniatur ini, maka kalian harus
cepat melihat dan mengingat-ingatnya sehingga bermanfaat dikemudian
hari." Mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo segera tertawa, "Nona tidak
bisakah kau memberi waktu yang lebih lama lagi kepada kami?"
pintanya. "Sayang aku tak bisa meluluskan permintaanmu itu." si nona segera
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Nona, mengapa pelit amat sih kau ini?" "Mau percaya atau tidak
terserah kepadamu, pokoknya satu jam
kemudian diatas loteng ini akan terdengar suara keleningan, saat itu
pintu loteng akan terbuka dan anak tangga secara otomatis."
"0ooh .... andaikata secara tidak kebetulan pintu ruangan rahasia ini
tertutup maka apa yang terjadi?" seru Sun tiong lo
"Jika dinding ini tertutup maka ruangan ini akan tertutup dari udara
luar, jika sehari semalam kemudian orang yang berada dalam ruangan
ini akan mati lemas dan tidak bisa tertolong lagi!"
Sun Tiong lo mengerutkan dahinya rapat rapat, dan kemudian katanya:
"Seandainya terkurung di ruangan luar yang tak ada barangnya itu."
"Maka dia akan mati mengenaskan !" tukas sinona. "0oh .. apakah
dia juga akan mati lemas" Si nona menggeleng. "Tidak, dia akan
mati tercincang di kala tubuhnya lemas dan lelah
karena kehabisan tenaga. Mendengar perkataan itu, satu ingatan lantas
melintas dalam benak Sun Tiong-lo. "Lelah?" serunya, "aku tidak mengerti dengan apa
yang di maksudkan oleh nona?" Nona itu mengerling sekejap kearah Sun
Tiong-lo, kemudian ujarnya: "Dengan kecerdasanmu itu, masa kau tak bisa menebaknya
sendiri?" Sekali lagi Sun Tiong lo merasakan hatinya bergerak, tapi diluaran ia
berkata lagi: "Kalau suatu urusan yang tiada wujudnya, mana mungkin bisa di tebak
orang?" Si nona tersenyum, tiba-tiba ia bertanya: "Aku cuma merasa heran,
mengapa kau menanyakan tentang persoalan semacam ini ?" Sun Tiong lo gelengkan kepalanya menunjuk
kan perasaan apa boleh buat, katanya: "Yaaa, apa salahnya untuk bertanya sambil menam
bah pengetahuan." Nona itu mendengus dingin. "Hm dengan bicarakan
waktu berlalu dengan percuma, lebih baik lihatlah miniatur itu dengan seksama." Sun
Tiong lo memperhatikan Bau ji sekejap, ketika dilihatnya
pemuda itu sedang memusatkan semua perhatiannya untuk
memperhatikan semua bentuk dari pegunungan itu, diam-diam dia
lantas mengangguk. Kepada si nona katanya, dengan serius: "Sekarang, aku berpendapat
lebih baik lagi kalau tidak melihat
miniatur tersebut !" Nona itu tampak terkejut setelah mendengar
perkataan itu, serunya dengan cepat: "Apa maksudmu dengan ucapan tersebut ?" Sun
Tiong lo menghela napas panjang, katanya: "Aku cuma
seorang manusia lemah saja, membunuh ayampun tak punya tenaga,
sekali pun mengenali letak bukit itu juga belum tentu bisa melarikan diri
!" Dengan cepat nona itu melompat bangun, serunya: "Apakah sampai
sekarang kau masih mengatakan tak pandai berilmu silat ?"
"Tiaak bisa yaa tidak bisa, kenapa musti dibedakan antara tadi dan
sekarang ?" seru Sun Tionglo tertegun.
Nona itu mendengus dingin, secepat kilat kepalannya segera diayunkan
ke depan menghantam dada Sun Tiong lo.
Serangan itu dilancarkan lebih dulu, kemudian baru berseru: "Kalau
begitu, sama artinya dengan kau menunggu untuk dihajar
oleh bogem mentahku." Tahu-tahu kepalan tersebut sudah meluncur
datang didadanya, dengan kaget bercampur gugup Sun liong lo menutupi kepalanya
dengan tangan, lalu teriaknya: "Jangan keras-keras, aku..." Sementara itu Bauji sudah meluncur ke
hadapan Sun Tiong lo dengan kecepatan tinggi, secara kebetulan sekali dia menerima
datangnya pukulan dari nona itu, kemudian dengan wajah penuh
kegusaran dia melotot kearah si nona sambil berteriak: "Jika kau ingin
berkelahi, biar aku saja yang menemanimu !"
Ketika Bauji menerjang kedepan sambil menghadang dihadapannya tadi,
nona itu sudah menarik kembali serangannya sambil mundur, mendengar
perkataan itu dia lantas tertawa dingin.
"Heeehhh, .. ,heeeeh memangnya kau anggap dirimu itu hebat ?"
"Kalau memang begitu, kenapa kita tidak mencoba-coba ?"
tantang Bau-ji sambil tertawa dingin pula. Dengan pandangan sinis nona
itu melirik sekejap kearahnya, kemudian katanya lagi: "Jangan kau anggap sewak tu menerjang naik
ke gunung secara beruntun bisa melukai delapan orang, maka kau anggap dirimu itu
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebat, terus terang saja kuberitahukan kepadamu, orang-orang yang
berhasil kau lukai itu tak lebih cuma prajurit tak bernama di bukit ini! "
"Mungkin ucapanmu itu benar!" kata Bau ji, kemudian sambil menuding
ke arah si nona terusnya, "cuma kamu sendiri apakah seorang prajurit
tak bernama atau bukan, juga harus dibuktikan, berani bertarung
denganku?" Kali ini nona itu tidak menjadi marah, malahan sebaliknya tertawa,
katanya. "Kalau ingin bertarung lain waktu masih ada waktu, sekarang yang
penting melihat miniatur itu lebih dulu..."
"Aku sudah selesai melihat." tukas Bau ji "maka masih ada cukup
waktu untuk tertamng me lawan mu !"
Nona itu mengerutkan dahinya, kemudian melirik sekejap ke arah Sun
Tiong lo, tak sepatah katapun yang diucapkan.
Sun Tiong lo pura-pura tidak melihat, malahan sambil membalikkan
badarnya dia berjalan menuju ke arah miniatur tersebut.
Si nona yang menyaksikan itu benar-benar marah sekali, sambil
mencibirkan bibirnya dia melotot kearah pemuda itu.
Kebetulan pula Sun Tiong-lo sedang bergumam pada waktu itu: "Yaa,
memang harus memperhatikan miniatur ini dengan
seksama, semut saja ingin hidup apalagi aku mempunyai alasan untuk
tidak mati, asal ada kesempatan hidup, kesempatan tersebut memang
harus digunakan secara baik 2 !"
Bau-ji yang melihat nona itu sama sekali tidak berkata apa-apa, segera
serunya: "Nona, silahkan!" Sekujur tubuh nona itu gemetar keras, mendadak
sambil mendepakkan kakinya ke tanah dia berseru. "Kau
sungguh teramat keji!" Entah ucapan itu sebetulnya
ditujukan pada siapa?" Ketika selesai berkata, tubuhnya segera berkelebat dan menerjang keluar
dan ruang rahasia itu. Sun Tionglo dan Bauji saling berpandangan sekejap, Bauji segera
bergeser keluar ruangan tapi dalam sekejap mata suasana disitu sudah
hening, bayangan tubuh dari nona itu sudah lenyap tak berbekas.
Tanpa terasa Bauji menjerit kaget, Mendengar itu Sun Tiong lo menyusul
keluar ruangan dimana sinar matanya memandang tampak mulut loteng
sudah terbuka tapi dengan cepat menutup kembali.
Kemudian terdengar suara dari nona itu berkumandang yang datang
dari arah bawah: "Aku hendak memperingatkan kepada kalian dua bersaudara, bila
mendengar suara keleningan harus segera turun dari loteng, waktu itu
mulut loteng dan anak tangga akan muncul dengan sendirinya, jika
sampai terlambat sudah pasti kalian akan mampus, waktu itu jangan
salahkan kalau aku tidak memberitahu kepada kalian."
Sekalipun nona itu berlalu dengan hati yang gusar, akan tetapi dia
rupanya masih meng-khawatirkan hal itu.
Menggunskan kesempatan ketika pintu loteng belum tertutup rapat
seluruhnya, dengan cepat berseru: "Kuucapkan banyak terima kasih atas kebaikan nona, sampai waktunya
aku pasti tak akan melupakan nasehatmu itu?"
Selesai berkata kedua orang bersaudara itu segera kembali lagi kedalam
ruang rahasia untuk memperhatikan kembali miniatur tersebut.
Sambil menuding sebuah daerah berawa-rawa, Sun Tiong lo lantas
berkata: "Toako, agaknya tempat ini letaknya pating: dekat dengan mulut bukit,
jika mengikuti miniatur ini, asal kita sudah menyeberangi
daerah berawa-rawa ini kemudian menyeberangi lagi sebuah hutan
lebar, maka jalan keluar itu akan terlihat !"
Bau ji segera menggeleng, katanya. "Jite, sekarang belum bisa
mengambil kesimpulan begini, kita harus melihat keadaan medannya lebih dulu baru bisa diputuskan !"
Sun Tiong lo manggut-manggut. "Toako, apakah kau sudah hafal dengan bentuk miniatur ini?" tanyanya
kemudian. "Yaaa, sudah teringat semua !" Sun Tiong lo segera tertawa.
"Menggumakan kesempatan baik ini, bagaimana kalau kita
berunding dulu tentang jalan yang dilewati bila akan kabur nanti ?"
"Mungkin tempat ini diawasi pula oleh orang lain ?" Kembali Sun Tiong
lo tertawa. "Toako, apakah kau tidak memperhatikan, loteng ini bukan
saja dinding, lantai dan langit langitnya terdiri dari baja murni, bahkan
sedikit lubang hawapun tidak nampak !"
"Oooohh makanya barusan jite sengaja mengirim suara kepadaku untuk
mencari gara-gara dengannja agar nona itu pergi karena marah.?"
"Benar!" Sun Tiong lo mengangguk, "dalam loteng lmpian, semuanya
terdapat pintu rahasia, tempat itu tidak cocok untuk membicarakan
sesuatu yang penting, maka baru aku memaksamu untuk melakukan
tindakan tersebut !" "Jite, apakah kau ada persoalan penting yang hendak di bicarakan
denganku?" Walaupun Sun Tiong-lo percaya bahwa tak mungkin ada orang yang
menyadap pembicaraan mereka disitu, tak urung dia merendahkan juga
suaranya sembari berkata: "Toako, menurut perhitungan lusa pagi kau sudah harus kabur dari
tempat ini, apakah toako sudah mempunyai persiapan atau rencana
tertentu . . . ." Bau-ji segera menggeleng. "Tidak ada !" katanya. Setelah berhenti
sejenak, dia meneruskan. "Cuma ada satu hal
yang aku merasa agak keheranan." "Soal apa?" "Aku sedang merasa
heran dengan perintah dari guru, apakah
dia suruh aku datang ke-bukit pemakan manusia ini adalah untuk...."
Tiba-tiba Sun Tiong-lo bertepuk tangan sambil tersenyum, tukasnya
dengan cepat: "Toako, persoalan itu juga yang membuat siaute merasa
bingung dan tidak habis mengerti." Bau ji tidak berkata lagi, ia hanya
mengerutkan kening sambil termenung.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB KE TUJUH SETELAH termenung beberapa saat lamanya, kembali Sun liong lo
berkata: "Toako, siaute merasa suhu kita berdua sudah pasti bukan tanpa
alasan untuk mengirim kita kemari, tentu tujuannya bukan mencoba
kepandaian silat dan kecerdasan kita saja!"
"Akupun berpendapat demikian, tapi..." Mendadak seperti
memahami akan sesuatu, Sun Tiong lo berkata
kembali : "Betul, toako! Mungkinkah kita sengaja diutus kemari untuk
membongkar rahasia Bukit pemakan manusia ini " Maka kita baru diutus
hampir pada saat yang bersamaan datang kesini ?"
Bau-ji berpikir sebentar, kemudian katanya:
"Seandainya begitu, apa pula yang bisa kita peroleh didalam tiga hari
yang teramat singkat itu?" Sun Tiong-lo segera manggut-manggut. "Betul, bila ingin
membongkar rahasia ini didalam waktu tiga hari
saja..." Mendadak dia menghentikan ucapannya sambil mengerdipkan
matanya berulang kaii. "Ji-te, api kah kau berhasil memikirkan
sesuatu?" tanpa terasa Bau ji segera bertanya. Sun Tionglo cuma termenung sambil
membungkam dalam seribu bahasa, Bauji tahu dia pasti sedang memikirkan suatu persoalan yang
sangat serius maka dia tidak bertanya lagi kuatir memecahkan
perhatian serta konsentrasinya. Lewat beberapa saat kemudian, Sun
Tiong lo baru berkata: "Toako, barusan siaute sedang memikirkan berbagai kemungkinan tapi
semuanya tidak bisa dipakai, satu-satunya yang masuk diakal cuma
alasan yang barusan kita kemukakan itu!"
"Maksudmu kedatangan kita untuk memecahkan rahasia yang
menyelimuti bukit ini..." Sambil mengangguk Sun Tiong-Io menukas: "Yaa, cuma
satu-satunya hal itu saja yang bisa dikatakan masuk
di -akal...." "Tapi balik dengan perkataan tadi, apalah artinya tiga hari
yang teramat singkat itu " Apa yang bisa kita lakukan selama beberapa hari
yang teramat singkat itu?" "Siaute mempunyai suatu pendapat, tentang bagaimana menurut
pendapat toako?" Bau-ji memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian tanyanya.
"Pendapat yang bagaimana ?"
"Yang diartikan dengan menjadi tamu agung selama tiga hari, aku
percaya suhu kita belum pernah mengalami kejadian semacam ini,
karena itu kemungkinan besar mereka juga tidak tahu tentang
peraturan tersebut." "Kemudian, sekalipun suhu kita mengetahui akan peraturan tersebut,
didalam pemikiran kedua orang tua itu persoalan tersebut sudah pasti
tidak tak akan menyusahkan kita berdua."
Bau ji segera bertepuk tangan dan berseru. "Betul, kalau bukan Jite
menyinggung persoalan itu, mungkin sampai sekarang aku masih tak
mengerti, Jite, peraturan menjadi tamu agung selama tiga hari ini apa
sangkut pautnya dengan kita?" "Apakah toako ingin mengerti?" tugas Sun-Tionglo sambil tertawa.
Bau ji-turut tertawa pula. "Pepatah kuno mengatakan "Kalau
perkataan tidak diucapkan tak akan tahu, kayu tidak ditembus tak akan berlubang, kuali tak dilubangi,
sepanjang masa takkan bocor! setelah kau singgung tadi, kini aku
paham sekali!" Tiba-tiba paras muka Sun Tiong lo berubah menjadi amat serius, dan
katanya: "Toako, kalau begitu kita harus membicarakan bagaimana cara kita
untuk melarikan diri." "Hei, melarikan diri apa lagi yang hendak kita rencanakan sekarang..?"
seru Bau ji tercengang. Sun Tiong lo tahu kalau Bau ji telah salah mengartikan katanya, maka
dia berkata. "Toako, bila waktu untuk menjadi tamu sudah habis, kita toh harus
melarikan diri ?" Bau ji manggut-manggut. "Tentu saja, cuma kita kan sudah bertekad untuk tidak pergi
meninggalkan tempat ini..." "Tidak pergi toh cuma diketahui kita berdua saja" tukas Sun Tiong lo
cepat, "Tapi terhadap setiap orang yang berada disini, kita harus
menanamkan suatu keyakinan bahwa kita sudah pergi dan sedang
melarikan diri, dengan begitu rencana kita baru akan berhasil dengan
sukses." Setelah diberi penjelasan, Bau ji baru mengerti, dia lantas
manggut-manggut. "Betul, kita memang harus membuat suatu rencana yang cukup matang
didalam hal ini." "Apakah toako mempunyai rencana ?" Bau-ji menggeleng. "Tidak ada,
pokoknya kita harus bermain petak bersama mereka diatas bukit ini !"
Tapi dengan serius Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Toako, kita tak boleh bermain petak !"
"Kenapa " Apakah kau mempunyai cara lalu yang lebih bagus lagi ?"
seru Bauji tidak habis mengerti. Sun Tiong lo manggut-manggut. "Mereka jauh lebih memahami
keadaan di tempat ini daripada kita, siaute yakin setiap tempat yang kemungkinan besar bisa dipakai
untuk menyembunyikan diri pasti sudah diketahui mereka dengan
sejelas-jelasnya, mereka tak akan melepaskan kita dengan begitu saja!"
Bau ji berpikir sebentar, lalu mengangguk "Yaaah, hal ini sudah jelas
sekali." Sesudah berhenti sejenak, diapun bertanya. "Jite menurut
pendapatmu, apa yang harus kita lakukan
sekarang?" Agaknya Sun Tiong lo sudah mempunyai rencana yang
cukup matang, sahutnya kemudian. "Ketika toako naik keatas bukit ini untuk pertama kalinya tadi, apakah
mereka itu telah memberitahukan suatu peraturan kepada toako?"
Bauji berpikir sebentar lalu bertanya: "Apakah kau maksudkan batas
waktu yang ditentukan setelah melarikan diri?" "Betul, karena waktu yang paling berbahaya buat kita
seluruhnya selama tiga hari." "Jite, apakah kamu percaya dengan segala omongan
setan itu?" seru Bauji sambil menggelengkan kepala. "Tentu saja ucapan tersebut
tak boleh dipercaya dengan begitu saja." "Nah, itulah dia, seandainya kita percaya pada perkataan mereka
dan munculkan dirinya retelah lewat masa yang ditentukan, mereka
pasti akan mempergunakan segala macam cara untuk mencelakai kita
sampai mati!" "Kemungkinan kesitu tentu ada." "Bukan mungkin lagi, tapi sudah
pasti demikian!" tukas Bau ji lagi
dengan cepat. Sun Tionglo mengerutkan dahinya dan kemudian
berkata: "Cara pemikiran siaute dengan toako, paling tidak harus saling
ada perhubungan!" "Apakah jite hendak mencobanya?" tanya Bau-ji
dengan perasaan tidak mengerti. Ucapan tersebut dengan cepat menimbulkan
satu ingatan didalam benak Sun Tiong lo dan katanya kemudian: "Bagaimana kalau
begitu saja, toako berada di tempat kegelapan,
sedangkan siaute secara terang-terangan."
Sambil menggeleng Bau ji segera menukas:
"Jite, persoalan ini bukan masalah untuk bermain-main, kuanjurkan
kepadamu lebih baik mempertimbangkan dulu secara masak-masak !"
Sun Tiong lo tertawa, katanya: "Toako tak usah kuatir, kalau siaute
berani muncul secara terang-terangan berarti aku pasti mempunyai kekuatan untuk
melindungi keselamatan jiwaku sendiri, memangnya kau ingin mampus
?" "Apalagi kita adalah bertujuan untuk membongkar rahasia yang
menyelimuti bukit ini, jika satu dari dalam satu dari luar kita turun
tangan bersama, selain bisa saling membantu, juga bisa membuat
musuh menjadi kebingungan dan curiga."
"Misalnya saja kita berhasil menemukan suatu rahasia dan perlu untuk
dilakukan penyelidikan, waktu itu siaute akan sengaja menimbulkan
gara-gara untuk menarik perhatian mereka, bukankah toako bisa turun
tangan secara diam diam ?" "Ketika persoalannya sudah terselidik, mereka pasti tak akan bisa berkata
apa-apa lagi, sekalipun menemukan sesuatu yang mencurigakan, mereka
juga tak akan menduga sampai diri toako."
"Bila satu dibelakang satu dimuka, satu dengan terangan yang lain main
sembunyi, aku yakin mereka pasti akan dibikin kebingungan dan gugup,
asal mereka sudah mulai panik, itu berati akan sangat bermanfaat sekali
bagi usaha penyelidikan kita."
Bauji berpikir sebentar, lalu katanya: "Ucapan ini memang sangat
masuk diakal, cuma juga keliwat berbahaya." "Jangan kuatir toako." hibur Sun Tiong lo. "siaute pasti
dapat melewati semua mara bahaya itu dengan selamat!" Tapi Bauji
masih belum lega juga, katanya lagi: "Bagaimana kalau kita
rundingkan kembali persoalan ini ?"
Dengan cepat Sun Tiong lo menggeleng, "Toako, waktu sudah amat
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendesak, persoalan ini harus segera diputuskan." serunya.
"Apa salanya kalau kita berkerja dari kegelapan saja ?" kata Bau ji
dengan kening berkerut. Sekali lagi Sun Tiong lo gelengkan kepalanya berulang kali. "Toako
tak boleh terlalu pandang rendah Sancu dari bukit ini, bila
ada satu diluar dan satu didalam, maka orang yang berada diluar itu
bisa mengaturkan segala sesuatunya bagi orang yang berada dibalik
kegelapan.." "Aaai... sudahlah. kalau jite memang begitu yakin dengan
kemampuanmu, akupun tak akan menghalangi lagi!"
Sun Tiong lo tertawa. "Tak usah kuatir toako" katanya, "siaute
ucapkan sepatah kata tekabur, bilamana sampai terjadi suatu pertarungan maka jangan harap
orang orang diatas bukit.. pemakan manusia ini bisa menghalangi
kepergian siaute !" Bauji segera merendahkan suaranya sambil berkata: "Jite tadi kau
anjurkan kepadaku agar jangan terlalu pandang
enteng sancu dari bukit ini, sekarang mengapa kau malah memandang
enteng dirinya" Padahal semenjak menyerbu kemari, aku memang
berhasrat untuk menjajal kemampuannya."
Belum habis dia berkata, Sun Tiong lo telah menukas. "Siaute sama
sekali tidak berniat untuk memandang rendah
rendah dirinya, harap toako jangan kuatir!" Bau ji memandang sekejap
ke arah Sun Tiong lo, kemudian dengan nada yang bermaksud dalam pesannya. "Jite, jangan lupa, kita
masih ada dendam sakit hati sedalam
lautan yang belum dibalas!" "Dendam berdarah ayah dan ibu mana
berani siaute lupakan." jawab Sun Tiong lo dengan serius. "Kalau memang begitu bagus sekali, entah dikemudian hari jite akan
berdiam disini secara terang terangan atau secara menggelap,
pokoknya kau musti berhati-hati, jangan sampai aku merisaukan
keselamatan jiwamu!" "Baik, siaute pasti berusaha untuk menghadapinya dengan waspada dan
hati-hati." tiba-tiba Bau ji menghela napas, "Ada suatu pertanyaan,
sudah lama sekali ingin kutanyakan kepada jite." katanya.
"Katakanlah saja toako!" "Apakah jite percaya bahwa manusia
berkerudung yang kuceritakan kemarin benar benar telah mempergunakan tenaga
pukulannya yang maha sakti untuk memaksa pedang ibuku menusuk
tubuh ayah?" "Siaute mempercayainya penuh!" jawab Sun-Tiong lo tanpa berpikir
panjang lagi. "Apakah disebabkan aku berkata demikian?" tanya Bauji sambil
menatap saudaranya tajam. Dengan cepat Sun Tiong lo menggeleng "Bukan, bukan cuma karena
perkataan dari toako saja", "Jadi karena masih ada alasan lainnya?"
"Toako, masih ingatkah kau sewaktu siaute jatuh pingsan diluar
jendela ruangan waktu itu?" Bau ji menghela napas dan mengangguk
"Yaa, selama hibup aku tak akan melupakan-nya!" "Walaupun siaute
jatuh tak sadarkan diri, meski mata tak bisa
melek dan tubuh tak bisa bergerak, tapi hatiku mengerti dan telingaku
bisa mendengar, sekarang tentunya sudah paham bukan."
Bau ji segera manggut-manggut. "Kalau begitu akupun merasa
lega!" setelah berhenti sebentar,
kembali ujarnya. "Cuma akupun meluluskan jite, cepat atau lambat aku pasti akan
menangkap manusia berkerudung itu, kemudian menyuruhnya
menceritakan sendiri akan semua kejadian tersebut kepadamu?"
"Toako, tidak perlu berbuat demikian!" kata Sun Tiong lo sambil
menggenggam tangan Bauji erat-erat.
"Perlu! aku hendak menyuruh dia berlutut didepan kuburan ayah dan
toanio, kemudian baru dia menceritakan semua kejadian tersebut agar
arwah yang telah tiada itu bisa beristirahat dengan tenang di alam
baka." "Terima kasih toako!" bisik Sun Tiong lo sambil menunduk.
Mendengar perkataan itu, Hau ji malah menjadi tertegun,
serunya: "Kita adalah saudara seayah, mengapa kau musti berterima
kasih kepadaku?" Mendadak Sun Tiong lo mendongakkan kepalanya, dengan
air mata membasahi matanya dia menyahut: "Siaute berterima kasih atas
panggilan toako terhadap ibuku." "0ooh..... kiranya begitu" Bauji lantas
tertunduk, "sudah sepantasnya kalau aku berbuat demikian" Setelah berhenti sebentar
dengan agak murung dia berkata lagi: "Aku merasa agak heran,
persoalan antara ayah dengan ibuku dulu sesungguhnya..." "Toako, bagaimana kalau untuk sementara
waktu kita jangan membicarakan dulu persoalan tersebut ?" tukas Sun Tiong lo Bauji
menghela napas panjang. "Aaaaaai, aku tahu bagaimanakah perasaan
jite, cuma ada sepatah kata harus kuutarakan juga, masih ingatkar jite, berapa usia
kita sewaktu berjumpa untuk pertama kalinya dulu ?"
"Tentu saja aku masih ingat, toako tujuh tahun dan siaute lima tahun."
"Jite, percayakah kau dengan kesimpulan yang diambil oleh seorang
bocah berusia tujuh tahun ?" Sun Tiong lo menjadi tertegun. "Hal ini tergantung pada persoalan
apakah itu" katanya. "Masalah yang menyangkut ibunya !"
"Seharusnya bisa dipercaya" kata Sun Tiong lo dengan serius,
"sebab dalam perasaan seorang anak, orang tua adalah paling agung."
Bau ji memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, kemudian katanya:
"Kalau memang jite berkata demikian, akupun tak akan banyak bicara."
Sun Tiong-lo tidak berbicara apa-apa, karena itu terpaksa Bau ji juga
termenung. Kebetulan sekali bunyi keliningan telah menggema, pintu ruangan
terbuka kembali dan anak tangga pun muncul secara otomatis.
"Toako, kita harus pergi dari sini!" kata Sun Tioaglo kemudian
memecahkan keheningan. Diluar loteng, congkoan Chin Hui-hou dengan wajah dingin telah
menunggu. Bauji sama sekali tidak mengubrisnya, sedangkan Sun Tiong Lo segera
menegur: "Congkoan, ada urusan apa kau berdiri menanti disini?" "Lohu
mendapat perintah dari nona untuk menemani kalian
berdua berkunjung ke seluruh tanah perbukitan kami!" jawab Chin Hui
hau dengan ketus. "Oooh kemana si nona itu?"
Dengan mendongkol dan gemas Chin Hui-hou segera menjawab.
"Nona adalah seorang terhormat, bukan khusus petunjuk jalan
untuk kalian!" "0oh... kalau begitu Congkoan adalah seorang petugas
yang khusus menghantar tamu mengelilingi bukit?" Chin Huihau menjadi
terbungkam, sekalipun ia merasa gusar
sekali juga tak mampu berbuat apa-apa. Dengan cepat Sun Tiong lo
berkata lagi, "kalau memang begitu,
harap congkoan datang lagi setengah jam kemudian di loteng
impian-aku dan Sun heng sudah amat lelah sekali sehabis melihat
miniatur tersebut!" Chin Hui hou segera mendengus, "Maaf seribu kali maaf, Lohu cuma
punya waktu sekarang saja, selewatnya setengah jam, aku masih ada
urusan dinas lain yang harus di selesaikan aku tak bisa menunggu
terlalu lama lagi" Sun Tiong lo juga mendengus. "Hmm...! congkoan anggap dalam
setengah jam kita bisa mengelilingi seluruh tanah perbukitan ini ?" Chin Hui hou segera
gelengkan kepalanya sambil tertawa licik,
jawabnya: "Bila ingin menjelajahi seluruh tempat, sepuluh hari baru bisa
diselesaikan !" Sun Tiong lo juga tertawa licik, katnya cepat: "Kalau
begitu, congkoan bersedia untuk menemani kami selama
setengah jam saja?" "Lohu tidak pernah berkata demikian !"
"Tegasnya saja berapa lama congkoan bisa menemani kami "!"
"Selama kami masih menjadi tamu agung kami, berapa lama kalian
suruh lohu menemani, lohu akan menemani berapa lama pula !"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Nah, itulah dia, bagaimanapun juga
dalam setengah jam toh tak akan terselesaikan. .?" Rupanya Chin Hui-hou sudah memahami ucapan
dari Sun Tiong lo tersebut, maka dengan cepat dia menyambung: "Bukan begitu
maksudku, bila kalian tak mau pergi sekarang juga, terpaksa lohu akan
pergi menyelesaikan persoalan lainnya, pokoknya kalau kalian tak mau
pergi sekarang, lohu tak punya waktu lagi."
"Yaaa... . yaaaa,. .. orang bilang kalau sudah menjadi budak orang
memang musti bekerja sungguh-sungguh, congkoan memang rajin
sekali," sindir Sun Tiong lo sekali lagi.
Chin Hui-hou tertawa seram : "Heeeeh... heeehhh... . kau tak usah
menyindir, rajin atau tidak adalah urusanku sendiri, kau tak usah turut
campur !" Sun Tiong lo balas tertawa dingin: "Congkoan juga jangan lupa,
menemani tamu agung berjaIanjalan juga merupakan salah satu tugasmu !" Belum sempat Chin Hui
hou mengucapkan sesuatu, Sun Tionglo
telah berkata lebih jauh. "Pokoknya aku sudah mengambil keputusan
begini, sampai waktunya nanti kunantikan lagi kedatangan Congkoan." Selesai
berkata, dia lantas berpaling kearah Pau ji sambil serunya
lantang. "Sun heng, bagaimana kalau kita kembali dulu ke loteng
impian untuk beristirahat ?" "Bagus sekali" seru Bau ji sambil mengangguk,
"silahkan saudara Sun-heng." Dua bersaudara itu sambil saling menjura segera berlalu dari situ tanpa
menggubris diri Chin Hui hau lagi. Menyaksikan kesemuanya itu, Chin Hui hou benar-benar merasa
mendongkolnya bukan kepalang, sambil menggertak gigi menahan
emosi, sumpahnya kepada bayangan punggung Sun Tiong lo yang telan
pergi menjauh itu. "Anjing keparat, nantikan saja nanti, kalau aku tidak mencingcang
tubuhmu menjadi berkeping-keping."
Belum habis perkataan itu, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar
suara si nona sedang menegur dengan suara sedingin es:
"Chin congkoan, begitu bencikah kau terhadapnya?" Chin Hui hou
merasa terperanjat sekali setelah mendengar
perkataan itu, buru-buru dia membalikkan badannya dan menjura
dengan penuh rasa hormat, katanya: "Nona harap maklumi makhluk keparat itu benar-benar menggemaskan
sekali!" "Ooh.... sampai dimanakah menggemaskan nya-itu?" tanya si nona
sambil tertawa dingin. Walaupun Chin Hui hou dapat mendengar bahwa ucapan dari si nona
itu mengandung nada yang tak enak, tapi ia tak punya akal lain untuk
menghindari keadaan tersebut, terpaksa sambil menggigit bibirnya
kencang kencang katanya: "Bila nona dapat mendengar apa yang dia katakan kepada hamba, kau
pasti akan memahaminya!" Nona itu segera mendengus dingin. "Hmm! Kau anggap aku tak
mendengarnya!" "Kalau memang nona sudah mendengar dengan
jelas, tentunya kau tak akan menyalahkan hamba jika sampai memakinya sebagai
anjing cilik !" bantah Chin Hui hou makin berani.
"Chin congkoan !" seru Nona itu dengan wajah dingin "Ucapan yang
manakah kau anggap tak sedap di dengar?"
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 6 "MlSALKAN saja dia sengaja menyusahkan hamba dengan
menyuruh hamba balik kembali setengah jam kemudian. . ." "Dia adalah
tamu agung" tukas si nona dengan suara dalam,
"sancu juga sudah mengeluarkan peraturan, dia sama sekali tidak
bersalah !" Buru-buru Chin Hui-hou berkata lagi: "Dia memakiku sebagai budak
orang yang bekerja rajin, bukankah kata kata ini merupakan suatu
penghinaan terhadap diri hamba, bagaimana pula dengan hal ini ?"
"Mengapa tidak kau anggap ucapan tersebut sebagai angin yang
berlalu " Apakah harus dipersoalkan terus?" jawab sinona dingin.
Chin hui-hou menjadi berdiri bodoh, untuk beberapa saat lamanya dia
tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Kembali nona itu mendengus dingin dan berkata: "Aku tahu, kau
membencinya, karena kau disuruh melayaninya
minum arak, maka kau menyimpannya persoalan ini dihati, kau
mendendamnya dan ingin membalas idendam itu padanya, Hmmm! Chin
hui-hou, aku peringatkan padamu, kau jangan mencoba melanggar akan
peraturan lagi!" Hampir meledak dacia Cnin hui ho karena dongkolnya, tapi dia berusaha
keras untuk mengendalikan perasaannya dengan sikap rasa hormat
katanya: "Baik, hamba akan mengingatnya selalu!"
Sepatah demi sepatah nona itu berseru.
"Setengah jam kemudian, pergilah keloteng impian dan menantikan
perintah dari tamu agung!" Kali ini seluruh badan Chin Hui-hou seperti mau meledak, biji matanya
hampir saja melotot keluar, tapi sebisanya dia simpan semua perasaan
tersebut didalam hatinya. Dengan tertawa yang dipaksakan katanya kemudian dengan suara amat
lirih: "Baik, baik-hamba akan turut perintah !"
Nona itu menatapnya sekejap, kemudian berkata: "Sekali lagi
kuberitahukan kepadamu, sebelum pergi meninggalkan bukit ini, Sancu
telah berbincang-bincang dengan Sun kongcu, dia berpesan agar Sun
kongcu menunggu sampai dia pulang gunung, mengertikah kau..."
Mendengar perkataan itu, Chin Hui-hou baru merasa amat terperanjat
serunya tertahan: "Nona, sungguhkah telah terjadi peristiwa ini ?"
"Kau bilang apa..."!" bentak si nona de ngan mata melotot dan penuh
kegusaran. Buru-buru Chin hui hou membungkukkan badannya meminta maaf,
katanya dengan cepat: "Berhubung kejadian ini diluar dugaan, hamba telah salah tingkah,
hamba harap nona sudi memaafkan dosaku!"
Nona itu mendengus dingin. "Hmm ! Kau juga tahu bagaimana watak
Sancu, juga tahu bagaimana jalan pemikirannya, siapa tahu Sun kongcu akan
mendapatkan pandangan istimewa dari Sancu" jika sampai begitu..."
"Baik baik... hamba mengucapkan banyak atas petunjuk dari nona"
"Tak usah banyak bicara lagi", seru si nona sambil tertawa dingin,
"Lebih berhati hatilah sikapmu mulai sekarang."
Setelah berkata, nona itu membalikkan badan dan kembali kekamarnya.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** "CHIN CONG KOAN apakah semuanya itu hanya
pohon siong saja disitu?" terdengar Sun Tiong lo bertanya sambil menunjuk ke sebuah
hutan disebelah kanannya. Sekarang, mau tak mau Chin Hui hou harus bermanis muka, sahutnya
sambil berkata: "Betul, semuanya pohon siong !" Sun Tiong lo segera berkerut
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kening, kemudian katanya lagi: "Chin congkoan, mungkinkah lantaran pengaruh dari tanah, maka..."
"Kongcu memang pintar, tempat itu memang kurang begitu gampang
untuk ditumbuhi!" "Dibelakang hutan itu mungkin terletak rawa-rawa bukan ?" "Benar,
setelah melewati daerah rawa rawa dan membelok pada
suatu tebing yang terjal orang akan sampai dimulut bukit sebelah
belakang sana ?" "Apakah dari sini ada jalan yang tembus dengan rawa-rawa tersebut...?"
tanya Bau ji sambil menuding hutan pohon siong yang gundul itu.
Chin Hui hou segera menggeleng. "Tiada jalan lain, jika ada orang
ingin melarikan diri melalui jalan ini maka dia harus menyeberangi rawa-rawa tersebut, teringat pada
lima tahun berselang, ada juga dua orang yang kabur lewat sana, tapi
kemudian..." Berbicara sampai disitu, mendadak ia berhenti berbicara dan tidak
melanjutkan kembali kata-katanya. "Bagaimana kemudian ?" tanya Bau ji tanpa terasa. Chin Hui hou
segera tertawa terkekeh-kekeh. "Dua orang sahabat itu tak perlu
merepotkan lohu lagi, heeeeehh... heeeehh..." "Oooooh, maksud congkoan, mereka tewas
dirawa-rawa tersebut ?" tanya Sun Tiong lo. Dengan gaya kucing menangisi tikus, Chin Hui
hou menghela napas panjang, kemudian katanya: "Siapa bilang tidak " Hutan pohon
yang gundul itu sangat beracun, rawa-rawa itu lebih beracun lagi,
kecuali kalau orang itu adalah dewa yang bisa berjalan sejauh beberapa
li tanpa menginjak tanah." Orang ini benar-benar licik dan keji, ternyata ia berhenti sampai
ditengah jalan dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
Dengan cepat Sun Tiong lo mengalihkan pembicaraannya kesoal lain,
katanya: "Tampaknya jalan ini hanya sebuah jalan mati ?"
Chin Hui hou yang licik ternyata tidak menjawab, malahan dia menutup
mulutnya rapat-rapat. Dengan kening berkerut Bau ji berkata: "Lebih baik kita balik saja, coba
kita lihat sebelah kanan dari belakang bukit tersebut !" .
"Tidak, lebih baik kongcu sekalian melihat-lihat dulu jalan tembusan
disekitar sini !" kali ini Chin Hui hou otomatis membuka suaranya
memberi saran. Sun Tiong lo segera tertawa. "Pentingkah itu bagi kami ?" katanya, Chin
Hui hou juga tertawa. "Pokoknya lohu tak akan menyuruh kongcu melakukan perjalanan
dengan sia-sia !" "Haaahh... haaaahh... kalau begitu bagus sekali, harap congkoan suka
menemani kami !" Maka Chin Hui hon berjalan didepan, Bau ji ditengah dan Sun Tiong lo
dibelakang segera berjalan mendekati jalan keluar bukit tersebut.
Setelah berbelok-belok, mulut bukitpun berada didepan mata. Sebuah
jeram yang sangat dalam menghadang jalan pergi mereka, jeram itu
delapan sembilan belas kaki lebarnya, sekalipun seorang jago kelas satu
dari dunia persilatan juga jangan harap bisa melewati jeram ini dengan
ilmu meringankan tubuhnya. Dari tepi jeram tersebut sampai dimulut bukit jaraknya tinggal setengah
lie, dan lagi merupakan sebuah jalan lurus.
Sambil menuding jalan lurus tersebut, Sun Tiong lo lantas bertanya:
"Chin congkoan, dibalik jalan lurus tidak adakah terdapat
jebakan-jebakan yang berbahaya?"
Chin Hui hou segera tertawa terkekeh-kekeh. "Menurut dugaan
kongcu?" ia balik bertanya. Sun Tiong lo segera menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Masalah ini bukanlah masalah yang boleh
ditebak secara sembarangan !" katanya. Sekali lagi Chin Hui-hou tertawa
terkekeh-kekeh. "Bila lohu mengatakan tak ada, kongcu tentu tak
percaya, padahal ada atau tidak lohu sendiripun tak tahu, sebab selama belasan
tahun belakangan ini..." "Belum pernah ada orang yang berhasil kabur melewati jeram
berbahaya ini bukan ?" sambung Sun Tiong lo.
Chin Hui hou segera terkekeh dengan seramnya. "Heeeeehh,heeeeehhhh,
kongcu memang sangat pintar, tak heran Sancu bisa memandang serius
kepadamu ?" Sun Tionglo tertawa. "San cu berjanji denganku untuk berbincang-bingcang lima hari
kemudian, apakah congkan tahu akan soal ini ?"
Chin Hui hou segera tertawa dingin. "Jangan lupa kongcu, lohu adalah
congkoan dari tanah perbukitan ini." serunya. "Benar benar, lagi pula merupakan seorang
Congkoan yang paling berkuasa !" sambung Sun Tiong lo Chin Hui hou tidak menjawab
ucapan tersebut, sebaliknya sambil menunjuk ke arah jeram dihadapannya, dia berkata: "Kongcu, mengapa
tidak kau tanyakan bagai mana caranya
menyeberangi jeram ini ?" Sun Tionglo gelengkan kepalanya berulang
kali, sahutnya: "Aku toh tak lebih cuma seorang manusia lemah yang
membunuh ayampun tak mampu, apa gunanya menanyakan soal itu?"
Chin Hui hou mengerling sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian
sambil berpaling ke arah Bauji, katanya:
"Kau pernah menyerbu masuk ke dalam bukit ini dengan kekerasan, aku
pikir kepandaian silat yang kau miliki tentu luar biasa sekali, tolong tanya
sanggupkah kau melompati jeram ini dengan sekali lompatan mencapai
jarak sejauh delapan sembilan belas kaki ?"
Bau ji mengerling sekejap kearahnya dan sama sekali tidak
mengucapkan separah katapun. "Tolong tanya apakah congkoan mampu ?" Sun Tiong lo segera balik
bertanya. Chin Hou menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya: "Bila
lohu bisa memiliki ilmu meringankan tubuh selihay itu, wah,
hal ini tentu saja lebih baik lagi."
Sun Tiong lo segera tertawa, katanya kembali: "Congkoan, konon
yang memangku tugas pemburu terhadap
tawanan adalah congkoan . ." "Benar, lohu dan Kim Poo Cu yang tugas
dalam pekerjaan ini !" tukas Chin Hui lo hou. "Tak ada yang lain?" "Kongcu, apakah kau lupa
dengan apa yang pernah lohu katakan
kepadamu?" "Oooh, maaf ! Akulah yang teledor !" setelah berhenti
sejenak lanjutnya: "Kalau memang orang yang bertugas mengejar tawanan
hanya congkoan dan sobat Kim, sedang congkoan mengaku tak akan sanggup
menyeberangi jeram ini, maka tentunya sobat Kim lah yang memiliki
kemampuan untuk melakukan hal itu."
Chin Hui hou segera tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh.. ,, - haaahhh ..
. . ,haaahhh lagi-lagi kongcu keliru besar." katanya, "Meskipun Kim Poo
cu memiliki sejenis tenaga dalam yang amat sakti, tapi kalau suruh dia
melompati jeram ini, mungkin sekalipun dibunuh tak akan mampu."
"Aaah,...! Kalau memang begitu, aku menjadi benar-benar tak habis
mengerti !" "Apakah yang tidak kau pahami ?" "Andaikata orang yang melarikan
diri itu berhasil melewati jeram tersebut, bukankah kalian berdua cuma bisa memandang dia melarikan
diri tanpa sanggup berbuat apa-apa."
"Benar" Chin Hui hou mengangguk, "cuma sayang selama banyak
tahun, belum pernah kujumpai kasus semacam ini!"
Sun Tiong lo segera gelengkan kepalanya berulang kali, katanya,
"Tak bisa melewati jeram tersebut adalan urusan lain, jika aku
adalah sancu tempat ini..." Dia sengaja menghentikan ucapannya itu dan tidak dilanjutkan kembali.
Chin Hui hou juga tidak bertanya, seakan-akan dia sudah mempunyai
sesuatu yang bisa diandalkan. Pada saat itulah, tiba tiba Bau ji berkata. "Tidak ada yang bisa dilihat
lagi, lebih baik kita pulang untuk beristirahat saja." Tampaknyo Chin Hui hou seperti mengandung
maksud lain, dengan cepat katanya. "Bila kau bersedia mendengarkan anjuranku, lebih
baik perhatikan lagi keadaan medan di sekeliling tempat ini, sebab kau tidak
semujur Sun kong cu ini, kau hanya mempunyai batas waktu selama
tiga hari saja." "Kalau tiga hari lantas kenapa" jengek Bau ji dingin. Chin Hui hou
segera tertawa, katanya. "Hari ini sudah berlalu sehari..." Sesudah
berhenti sebentar, kembali dia bergumam. "Waktu sedetik lebih
berarti daripada emas setahil, emas setahil
belum tentu bisa membeli waktu sedetik !" Bau ji segera mendengus
dingin. Hemm. kata kata tersebut memang sebuah kata yang indah,
sayang sekali muncul dari mulut seorang manusia semacam kau.
sayang sayang!" Chin Hui hou segera tertawa, serunya. "Kata-kata yang indah adalah
tetap kata yang indah, perduli amat ucapan tersebut muncul dari mulut siapa?" Pada saat itulah
mendadak Sun Tiong lo ju ga menghela nafas
panjang sambil menggumam. "Aaai sayang, sayang...!"
Chin Hui hou jadi tertegun, lalu tanyanya. "Apa yang kongcu
sayangkan?" "Sayang aku cuma seorang sastrawan yang lemah dan tidak mengerti
akan ilmu silat !" Chin Hui hou segera melototkan matanya benar-benar, serunya
kemudian dengan nyaring. "Bila kongcu mengerti akan ilmu silat, lantas apa yang kau lakukan?"
"Silahkan congkoan memperhatikan keadaan disekeliiing tempat ini..!"
ujar Sun Tiong lo sambil menuding kedaerah sekeliling tempat itu.
Dengan mata tajam Chin Hui hou segera memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya lagi:
"Buat apa melihat kesemuanya lagi." "Apakah congkoan melihat
adanya seseorang ?" Chin Hui hou segera tertawa: "Disini sama
sekali tak ada orang lain, tentu saja tak seorang
manusiapun yang kelihatan!" Sun Tiong lo segera mengangguk. "Nah,
itulah dia ! Saat ini kecuali aku dan Sunheng serta
Congkoan, disini sama sekali tak ada orang keempat, seandainya aku
mengerti ilmu silat, bukankah saat ini merupakan suatu kesempatan
yang paling baik buat kami ?" Chin Hui hou menjadi tertegun dan berdiri dengan perasaan tidak habis
mengerti. Sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Sun Tiong lo telah berkata
lebih jauh: "Waktu itu, aku dan Sun-heng bisa bekerja sama untuk
membunuh congkoan, kamipun tak usah kuatir perbuatan ini sampai
ketahuan orang lain, kemudian dengan mempergunakan rotan yang
dibuat tali menyeberangi jeram ini, bukankah dengan begitu kami akan
segera dapat meloloskan diri dari bukit ini ?"
Bau ji tidak memahami tujuan dari ucapan Sun Tiong lo tersebut,
dengan cepat dia menyambung: "Benar, Sunheng, mengapa kita tidak
mencobanya "!" Paras muka Chin Hui hou segera berubah hebat, mendadak dia
melompat mundur sejauh beberapa kaki dari situ.
Sun Tiong lo tertawa getir, sambil gelengkan kepalanya dan
mengangkat bahu dia berkata lagi kepada Bauji.
"Sun-heng, jangan lupa aku tak hanya seorang sastrawan lemah yang
sama sekali tak berguna." Bau ji segera berkerut kening, sedangkan paras muka Chin Hui hou
juga pelan-pelan pulih kembali menjadi tenang.
Sesaat kemudian Sun Tiong lo berpaling ke-arah Chin Hui hou dan
menegur sambil tertawa. "Congkoan, apakah barusan kau merasa takut?" Sesungguhnya
sampai detik itu jantung Chin-Hui hou masih
berdebar keras, tapi diluaran jawabannya dengan ketus: "Omong
kosong, sekalipun- kongcu mengerti ilmu siiat, lohu juga
tak bakal menjadi jeri!" "Oooh, sungguhkah itu?" "Tentu saja sungguh!"
jawab Chin Hui holt sambil menunjukkan
senyuman paksa. "Bagaimana kalau kita coba?" tentang Sun-Tionglo,
"Sun-heng kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, hayo kita
turun tangan!" kata Bau ji. Mendadak Chin hui hou mundur lagi sejauh
delapan depa, segenap tenaga dalamnya di him pun untuk bersiap siaga menghadapi
segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Sun Tiong lo tidak menjawab, diapun cuma tertawa getir belaka seperti
sedia kala. Senyum getir itu segera melegakan debaran jantungnya Chin hui hou
yang sudah menegang selama ini, dia pura-pura berlagak tertawa lebar,
kemudian katanya: "Kong cu memang tak malu menjadi seorang anak sekolahan, ternyata
pandai juga kau ini menggertak orang."
Siapa tahu secara tiba-tiba Sun Tiong lo maju dua langkah kemuka, dan
lalu dengan serius katanya, "Chin hui hou, apakah kau menganggap aku
benar benar tak pandai bersilat?"
Sekali lagi Chin Hui hou merasakan jantung nya berdebar keras, tapi
dengan nada menyelidik kembali dia bertanya.
"Kongcu, jangan bergurau terus" Lebih baik kita sudahi gurauan ini
sampai disini saja !" Sun Tiong-lo segera mendengus dingin, "Hm! Siapa yang sedang
bergurau denganmu?" Setelah berhenti sejenak pada Bau ji serunya. "Sun heng, cepat
hadang jalan mundurnya !" Bau-ji mengiakan, dengan cepat dia
melompat kemuka aan menghadang ditengah satu-satunya jalan mundur yang ada disana.
Sekarang, paras muka Chin Hui hou baru berubah hebat, serunya
dengan tergagap. "Kongcu, kau... kau...kau sungguhan ?" "Menurut
kau?" Sun Tiong-lo balik bertanya sambil mengawasi
lawannya itu dengan lekat-lekat. Dengan segala kemampuan yang ada
Chin hui hou berusaha untuk mengendalikan rasa-kaget dan gugup di dalam hatinya, kemudian
katanya: "Aku tebak kongcu hanya bermaksud untuk bergurau saja, apa lagi
kongcu memang tidak mengerti ilmu silat, selain dari pada itu sekalipun
pihak kami sangat menuruti kemauan tamu agungnya."
"Darimana kamu bisa tahu kalau aku tidak mengerti ilmu silat?" tukas
Sun Tiong lo. Chin hui-hou segera tertawa paksa. "Ketika kongcu masuk ke atas
bukit ini bukankah kau mengatakan tidak mengerti akan ilmu silat."
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB DELAPAN SUN TIONG LO segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah....haaaaahh..... percayakah kau dengan perkataanku "!"
Chin Hui hou menjadi berdiri bodoh, paras mukanya sekarang
telah berubah menjadi amat tak sedap. Saat itulah Bau ji berseru:
"Luheng, buat apa kita musti banyak
berbicara lagi dengannya " Hayo turun tangan dan bereskan saja orang
ini !" Sun Tiong lo kembali menatap Chin Hui hou lekat-lekat, kemudian
tertawa ter-bahak2.
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Haaaahh... haaaah Chin Hui hou, kau tidak menyangka bakal terjadi
perubahan semacam ini bukan ?"
Sementara itu dengan matanya yang liar Chin Hui hou berusaha untuk
memperhatikan sekeliling tempat itu, tampaknya dia sedang berusaha
untuk mencari akal guna melarikan diri dari kepungan tersebut.
Sambil menuding kearah jeram dihadapan nya, Sun Tiong lo berkata,
"Kau hendak ter jun sendiri kedalam jurang itu, ataukah musti
merepotkan diriku yang turun tangan ?"
Setelah berada dalam keadaan begini, Chin Hui hou baru sadar bahwa
dirinya sedang terjebak. Sambil menggigit bibir, segera serunya dengan suara lantang:
"Dengarkan anjing-anjing cilik, sekalipun kalian menyerangku berdua,
belum tentu aku bakal menderita kalah, sekalipun lohu tidak beruntung
mati di tangan kalian, maka kalian berduapun jangan harap bisa
meninggalkan tempat ini dengan selamat..."
"Chin Hui-hou" kata Sun- Tiong-lo sambil tertawa, "dengan rotan
sebagai tali bukankah kami masih bisa menyeberangi jurang ini dengan
selamat ?" Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou segera tertawa seram.
"Heeeehh.... heehh.... heeehh....kalian pasti bermimpi disiang
hari bolong, sekalipun bisa menyeberangi jurang ini, jangan harap kau
bisa keluar dari mulut bukit ini dengan selamat asal. Kalian berani
melangkahi tempat itu maka kalian akan mati tanpa tempat kubur,
kalau tidak, silahkan saja dicoba sendiri !"
Pada saat itulah secara tiba-tiba Sun Tiong lo bertepuk tangan sambil
tertawa tergelak, serunya. "Chin congkoan, kali ini mau tak mau kau mengakui juga secara terus
terang !" Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou menjadi tertegun, lalu serunya
tergagap. "Kau... kau...jadi kau sedang bergurau..." Sun Ting lo tertawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Congkoan, aku tak lebih cuma seorang
sastrawan yang lemah tak berkepandaian apa-apa, kalau bukan cuma bergurau saja, kenapa
pula aku tidak turun tangan dengan segera" apa pula gunanya kuulur
waktu sekian lama?" Sekarang Chin Hui hou baru bisa menghembuskan napas lega, katanya
kemudian. "Hmm, kuanjurkan kepadamu untuk jangan bergurau lagi secara begitu
brutal dikemudian hari!" Sun Tiong lo segera tertawa. "Gurauan semacam ini masa digunakan
untuk kedua kalinya?" katanya. Chin Hui hou tak sanggup menjawab apa-apa, maka semua
kemarahannya segera dilampiaskan kepada Bauji, katanya: "Aku lihat
kau tentunya ingin turun tangan secara bersungguhsungguh
bukan?" Bau-ji masih belum tahu permainan busuk apakah
yang sedang dipersiapkan Chin Hui hou, maka dia tidak menjawab pertanyaan
congkoan tersebut, sebaliknya sambil membalikkan badannya purapura
sedang melihat pemandangan alam disekeliling tempat itu.
Agaknya rasa benci Chin Hui hou terhadap Sun Tiong lo sudah merasuk
sampai ke tulang sumsum, tapi berhubung Sun Tiong lo dilindungi oleh
nonanya, lagipula ada perintah rahasia dari Sancu- nya, maka dia
dibuat sama sekali tak berkutik. Sebaliknya terhadap Bau ji dia tidak menaruh rasa kuatir apa- apa,
apalagi setelah dipermainkan oleh Sun Tiong lo sehingga hampir saja
nyalinja pecah kontan saja semua rasa dendam, benci dan marahnya itu
dilampiaskan ke atas diri Bau ji. Cuma waktu itupun Bau ji sebagai tamu agung. Buktinya, dia tak
berani melanggar peraturan sancunya secara
terang-terangan, maka biji matanya berputar kian kemari, akhirnya dia
mendapat sebuah siasat licik yang boleh dibilang-amat busuk.
Pelan-pelan dihampirinya Bau ji, katanya: "Sun kongcu, sudah hampir
sehari semalam kita saling berkenalan tetapi aku belum tahu siapakah nama kongcu, apakah aku
boleh tahu nama kongcu...." "Aku tidak punya nama!" jawab Bau ji dan sambil membalik badannya,
melotot gusar. Chin hui hou tertawa terkekeh-kekeh.
"Kongcu, anak yatim piatu yang tidak punya marga memang banyak
didunia ini, tapi kalau tak punya nama rasanya tak pernah ada."
Ucapan ini sangat tidak enak didengarnya tentu saja Bau ji
memahaminya. Maka dengan geramnya pemuda itu maju kemuka, dan serunya dengan
keras: "Anjing laknat, rupanya kau mau dihajar?" Sambil berseru, telapak
tangan kanannya segera diayunkan ketengah udara siap untuk melancarkan serangan. Mendadak Chin Hui
hou melayang mundur sejauh dua tangkah,
kemudian serunya: "Tunggu sebentar, apakah kongcu benar-benar ingin
turun tangan?" "Benar," sahut Bau ji marah. Chin Hui hou segera
membusungkan dadanya, kemudian berseru. "Lohu tak akan membalas, mau pukul silahkan pukul !" Bauji
menggertak giginya menahan emosi, telapak tangan
kanannya berulang kali hendak diayunkan kebawah, tapi niatnya
tersebut dibatalkan. Chin Hui hou tertawa seram, serunya: "Dewasa ini kongcu masih
merupakan tamu agung dari Sancu kami, maka sekalipun lohu memiliki kepandaian silat yang sanggup
mencabut nyawa kongcu juga percuma saja, sebab semua kepandaian
itu tak sanggup kugunakan." Bau-ji tak kuasa menahan diri lagi, dia segera menukas. "Manusia
laknat, kalau ingin turun tangan boleh saja kau turun
tangan, bila sancu menegur nanti, aku boleh memberi kesaksian kalau
pertarungan ini terselenggarakan atas dasar sama-sama setujunya !"
Chin Hui hou segera mencibirkan bibirnya. "ltu kan kata kongcu,
tanpa saksi..." "Kita boleh meminta Sunkongcu untuk menjadi saksi
kita." sela Bau ji lagi sambil menuding ke arah Sun Tiong lo. Diam-diam Chin Hui
hou merasa sangat gembira, tapi diluaran
dia berlagak keberatan, katanya sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali: "Meskipun boleh saja suruh Sun kongcu menjadi saksi, tapi lohu tak
bisa mengajukan permohonan ini kepada kongcu tersebut !"
Bau-ji yang berangasan segera menukas. "Kau tak usah memohon
langsung kepadanya," sesudah berhenti
sebentar, dia berpaling ke arah Sun Tiong lo, kemudian ujarnya: "Sun
heng, apakah kau bersedia membantuku?" Ternyata jawaban dari Su
long lo juga tepat sekali. "Boleh saja bila inginkan bantuanku, tapi
sebagai seorang saksi harus bertindak adil, cuma bila cuma kongcu seorang yang minta
bantuan menjadi saksi, rasanya hal ini menjadi timpang dan kurang
menunjukkan suatu keadilan." Dengan cepat Chin Hui hou berseru: "Seandainya kongcu bersedia,
lohupun ingin memohon bantuan dari kongcu!" Sun Tionglo memandang sekejap ke arah Bau ji,
kemudian memandang pula kearah Chin-Hui hou, setelah itu katanya: "Jadi kalian
berdua sama sama memohon kepadaku untuk
bertindak sebagai saksi dalam hal ini?" Chin Hui hou maupun Bau ji
segera bersama sama mengiakan Sun Tionglo tertawa, katanya kemudian: "Atas kepercayaan kalian
berdua kepadaku, baiklah, akan kuturuti kehendak kalian itu!"
Untuk kesekian kalinya Chin Hui hou merasa girang sekali. Bau-ji
segera berkata kepada Chin Hui hou: "Orang she Chin, sekarang kita
boleh mulai turun tangan!" "Tunggu sebentar!" kata Chin Hui hou
sambil menggeleng, "Sebelum pertarungan dimulai, lohu hendak mengucapkan beberapa
patah kata lebih dahulu." "Hmm ! darimana datangnya begitu banyak kata-kata busukmu."
dengus Bauji. Chin Hui hou tertawa seram. "Sekarang, walaupun sudah ada saksi
mata tetapi bagaimanapun juga kongcu adalah tamu agung kami, selain daripada itu, pertarungan
inipun merupakan urusan pribadi, sedang waktu kongcu kabur nanti baru
urusan dinas." "Oleh karena itu urusan pribadi tak boleh sampai mengganggu urusan
dinas, maka didalam pertarungan pribadi kali ini, masing masing tak
boleh menggunakan senjata tajam dan senjata rahasia, tapi cuma boleh
menggunakan kepalan dan kaki."
"Dengan kepalan dan kaki, itu lebih bagus lagi," seru Bau ji sambil
tertawa dingin. Sesudah berhenti sebentar, dengan suara dingin tanyanya lagi: "Kau
masih ada perkataan lain lagi yang hendak disampaikan?" "Masih
ada satu persoalan lagi, yakni bagaimana caranya untuk
menentukan siapa menang siapa kalah?" Baru saja Bau ji akan
menjawab, Sun Tionglo telah mendahului
sambil berkata: "Chin congkoan bisa berkata begitu, tentunya kau
sudah punya rencana bagus, mengapa tidak diutarakan?" Chin Hui hou memandang
sekejap ke arah Sun Tionglo, setelah
itu baru ujarnya: "Lohu tidak mempunyai rencana apa-apa, cuma dalam pertarungan yang
akan berlangsung kali ini, ada baiknya jika kita batasi sampai saling
menutul saja, sebab bagaimana pun juga Sun kongcu tetap merupakan
tamu agung kami." Sun Tiung lo berpikir sebentar, lalu berkata: "Bolehkah aku mengajukan
satu usul ?" "Tentu saja boleh !" jawab Chin Hui hou sambil tertawa. "Lebih baik
kita membuat lingkaran seluas satu kaki ditanah yang
masing-masing berselisih jarak, kemudian kalian boleh bertarung di
dalam lingkaran tersebut, selain dilarang melukai lawannya, barang
siapa yang dipaksa keluar dari lingkaran dialah yang kalah, yang
melukai orang juga dianggap kalah !"
Chin Hui hou melirik sekejap kearah Bau ji, lalu katanya "Kongcu,
apakah kau setuju dengan usul tersebut ?"
Bau ji berkerut kening, baru saja akan menjawab, tiba-tiba dari sisi
telinganya terdengar suara dari Sun Tiong lo sedang berkumandang.
"Toako, cepat kau luluskan persyaratan tersebut !" "Baik, aku tidak
menolak !" Bauji segera mengiakan dengan
suara lantang. Kembali Chin Hui hou tertawa. "Kalau memang begitu,
terpaksa lohu juga harus menyetujuinya
juga...." katanya. "Kalian berdua harus ingat, dilarang melukai orang, .
. " seru Sun Tiong lo lagi dengan wajah serius. "Melukai orang atau tidak, kita
menentukan dengan cara apa..."
tanya Chin Hui hou. "Pokoknya apabila panca indra dan tubuh bagian
luar dimanapun jika tampak luka atau-merah membengkak maka hal ini akan
dianggap sebagai terluka, dan orang tersebut harus dianggap kalah."
Mendengar perkataan itu, diam-diam Chin-hui hou merasa girang
sekali, tetapi dasar tua keladi makin tua makin jadi, kelicikan orang ini
benar-benar luar biasa. Kembali dia bertanya dengan lantang: "Andaikata sepasang lengan
yang membengkak atau menjadi hijau membiru, apakah ini pun musti dianggap bagai terluka!" Sun Tiong
lo segera menggeleng. "Aku toh sudah menerangkan tadi, jikalau cuma
tangan yang membengkak menghijau, tentu saja tidak bisa dianggap sebagai
terluka!" Chin hui hou menjadi girang, dan serunya: "Kalau begitu, bagus
sekali!" Seraya berkata ia lantas mengambil sebiji batu tajam dan
segera membuat lingkaran. Lingkaran tersebut luasnya mencapai satu kaki lima
jengkal, berarti lebih lebar dari pada apa yang ditentukan semula. Sambil
tertawa Sun tiong Io lantas berkata. "Waaah... tampaknya congkoan
bernapsu sekali untuk bertarung, sampai-sampai menunggu sebentar iagipun tak sabar." "Aaaah... siapa
bilang begitu?" sangkal Chin hui-hou cepat-cepat
dengan lantangnya. "Kongcu telah bersedia menjadi saksi, lohu tak
berani merepotkan kongcu untuk turun tangan membuat lingkaran tersebut,
maka..." "Maka congkoan pum bersedia untuk membantu?" sambung Sun Tiong
lo kemudian. Chin hui-hou tertawa. "Ini mah termasuk tugas, bukannya masalah bantu membantu."
Tiba-tiba Sun Tiong lo menarik muka, kata-nya, "Bukankah sudah
kita janjikan jikalau lingkaran itu cuma satu kaki dua jengkal luasnya,
kenapa kau membuat seluas satu kaki lima jengkal" Dan sebenarnya
apa maksudmu itu!?" Dengan berlagak seakan-akan tidak habis mengerti, Chin Huihou balas
berseru: "Disini tidak ada alat pengukur, darimana kau bisa tahu kalau
lingkaran ini luasnya satu kaki lima jengkal ?"
Pelan-pelan Sun Tiong lo menggeleng katanya: "Aku sih tidak keberatan
untuk menganggap benar lingkaran yang dibuat itu, cuma
bagaimanapun juga toh congkoan adalah salah seorang yang terlibat
dalam peristiwa itu " Rasanya tidak pantas bukan bila kau juga yang
membuat lingkaran tersebut ?" Mendengar perkataan itu, diam-diam Chin Huihou menyumpah didalam
hatinya: "Anjing kecil, sialan kau ! siapa suruh kau banyak mencampuri urusan
orang?" Meski begitu, diluar dia tetap bersikap tenang, sahutnya: "Oya,... lohu
telah lupa akan hal ini, maaf, maaf kalau begini aku telah berbuat salah
!" "Nah begitu baru benar" seru Sun Tiong lo sambil tertawa, "sekarang,
akulah yang akan membuat lingkaran tersebut!"
Seraya berkata, dengan alas sepatunya dia menyeka lingkaran yang
telah dibuat tadi, kemudian dengan mempergunakan batu runcing sekali
lagi membuat sebuah lingkaran. Kali ini, lingkaran tersebut luasnya cuma satu kaki saja, melihat itu
dengan kening berkerut Cbin Hui hou segera memprotes.
"Kongcu, apakah lingkaran ini tidak terlampau kecil?" "Oooh kalau
begitu berapa besarkah baru bisa dihitung sebagai
besar?" "Bukankah kongcu tadi sudah bilang, luas lingkaran tersebut harus satu
kaki dua jengkal." "Congkoan" tukas Sun Tiong lo lagi. "bukankah sudah kau katakan tadi,
disini tak ada alat pengukur, apa yang terlukis kita anggap lukisan itu
benar?" Chin Hui hou segera terbungkam, tak sepatah katapun yang bisa
diucapkan keluar . . Lama kemudian dia baru bisa termenung. "Sungguh aneh sekali
kejadian ini, ilmu Han pok ciang yang
kumiliki baru bisa menunjukkan kehebatannya dari jarak satu kaki dua
jengkal kedepan secara kebetulan sekali anjing kecil ini membuat
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lingkaran seluas satu kaki ?" "Jangan-jangan anjing kecil ini tahu akan kepandaian silat serta tenaga
dalam yang kumiliki" Tapi, hal ini mana mungkin " Aaaaaah... mungkin
kebetulan saja dia berbuat begitu !"
Sementara dia masih merenungkan persoalan itu, Sun Tiong lo juga
manfaatkan kesempatan tersebut untuk berbisik kepada Bau ji:
"Keparat tua ini memiliki kepandaian silat yang sangat liehay, selain itu
juga pernah melatih ilmu Han pok ciang yang liehay, itulah sebabnya
sengaja siaute membuat sebuah lingkaran seluas satu kaki agar
kehebatan ilmu pukulannya itu tak bisa digunakan sebagaimana
mestinya." "Jika toako bertarung melawannya nanti, hati-hati dengan kuku tajam
diujung kesepuluh jari tangannya, sebab kuku tersebut sangat beracun,
siaute tidak tahu kepandaian apa yang dimiliki toako sekarang, untuk
keamanannya saja, lebih baik kau kerahkan tenaga khikang untuk
melindungi badan." Bauji melirik sekejap kearah Sun Tinoglo lalu manggut-manggut tanda
mengerti. Kebetulan sekali Chin Hui hou melihat hal itu, tanpa terasa ujarnya
kepada Sun Tiong lo: "Kongcu, apa maksudmu yang sebenarnya?" "Apanya yang kau
maksudkan ?" Sun Tiong lo pura pura berlagak
pilon dan tak mengerti. "Barusan aku lihat dia sedang
manggut-manggut kepada diri Kongcu, apa maksudnya manggut-manggut tersebut ?" Sun Tiong lo
segera tertawa. "Betul, Sun kongcu memang sedang manggut-manggut,
dia berbuat demikian karena minta ijin kepadaku untuk mulai turun tangan,
apakah salah perbuatannya itu?"
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Chin hui hou berkata:
"Asal kongcu adil...." Belum habis ucapan itu, Sun tianglo sudah
menukas dengan nada yang tak senang hati: "Chin cong koan, setelah mengucapkan
perkataan itu, kau harus minta maaf!" Dalam keadaan demikian, terpaksa Chin hui-hou haruslah
mengendalikan hawa amarahnya yang berkobar, katanya kemudian:
"Baik-baik, anggap saja aku salah bicara, harap kongcu sudi
memaafkan!" Sun Tiong lo masih melotot sekejap lagi ke-arahnya
sebelum katanya kemudian: "Harap kalian berdiri ditengah lingkaran tersebut,
asal kaki masih menginjak digaris lingkaran ini masih dianggap belum keluar dari
garis.!" Maka Bauji dan Chin Hui hou segera melangkah masuk ke dalam garis
lingkaran dan mengambil ancang-ancang.
Walaupun garis lingkaran tersebut seluas satu kaki saja, akan tetapi
setelah kedua belah pihak sama sama masuk kecalam lingkaran selisih
jarak diantara mereka masih-ada delapan jengkal
lebih, sehingga siapapun tak akan mampu untuk menjawil badan orang
dengan uluran tangannya. Dengan cepat kedua orang itu mengerahkan tenaga dalamnya dan
bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. .
Waktu itulah Sun Tionglo telah berkata kembali "Ketika aku bertepuk
tangan nanti, berarti pertarungan bisa
segera dimulai" Kedua orang itu sama-sama mengangguk, dengan
tenang merekapun bersiap-siap menunggu bunyi tepukan tangan. Sun Tionglo
memandang sekejap kearah Chin Hui-hou, kemudian
memandang pula ke arah Bauji, setelah itu baru serunya dengan
lantang-- "Aku harap kalian berdua ber-siap2!"
Menyusul ucapan tersebut, tangannya segera bertepuk satu kali
sebagai pertanda dimulai nya pertarungan.
Anehnya, meski tanda dimulainya pertarungan telah dibunyikan, namun
dua orang yang saling berhadapan muka dalam lingkaran garis masih
belum bergerak sedikitpun juga. Menyaksikan hal itu, diam-diam Sun Tiong Io manggut-manggut, tapi
iapun merasa amat terkejut. Dia manggut-manggut karena kedua belah pihak sama-sama
berpengalaman dan cukup mampu mengendalikan diri, diapun mengerti,
disaat masing-masing pihak tidak mengetahui dalam tidaknya tenaga
lwekang yang dimiliki lawan, memang lebih baik bertahan daripada
melancarkan serangan secara membabi buta.
Yang membuat hatinya terkejut adalah, meski ia sudah berkumpul
hampir sehari semalam dengan Bau ji, tapi berhubung banyak persoalan
yang dibicarakan sampai-sampai dia tak sempat membicarakan tentang
hal kepandain silat. Oleh karen itu dia tidak tahu sampai dimanakah taraf kepandaian silat
serta tenaga dalam yang dimiliki Bau ji, apalagi setelah dia
mengetahui asal usul Chin Hui hou yang sebenarnya, mau tak mau dia
menjadi kuatir juga bagi keselamatan kakaknya.
Dalam pada itu, dua orang manusia yang berada dibalik garis lingkaran
sudah mulai bergerak maju ke depan.
Cuma kedua belah pihak sama-sama melakukan tindakan tersebut
dengan amat berhati-hati, oleh sebab ini merekapun hanya bergeser
dengan mengitari garis lingkaran tersebut.
Dengan seksama Sun Tiong lo mencoba untuk memperhatikan keadaan
didalam arena, tiba-tiba alis matanya bergerak-gerak dan sekulum
seryuman segera menghiasi ujung bibirnya.
Rupanya ia telah menemukan banyak sekali titik kelemahan dibalik posisi
pertahanan dari Chin Hui hou, betul kepandaian silat yang dimilikinya
amat hebat, tenaga dalamnya juga amat sempurna, tapi entah mengapa
titik kelemahan banyak terdapat dalam pertahanannya.
Dia yakin seandainya tenaga dalam yang dimiliki Bauji seimbang
dengan tenaga dalam yang dimilikinya, seharusnya dia bisa melihat
kelemahan-kelemahan tersebut. Tapi, setelah ditunggunya sekian lama tanpa menyaksikan Bau ji
melancarkan serangan, sekali lagi alis matanya berkenyit, dari situ dia
lantas mengambil kesimpulan bahwa Bauji belum melihat titik
kelemahan yang ada dalam sistim pertahanan dari Chin Hui hou
tersebut. Tanpa terasa sinar matanya dialihkan kembali kearah Bauju dengan
cepat perasaan hati nya menjadi tenang kembali.
Sekalipun Bau ji tidak berhasil menjumpai titik kelemahan yang ada
dalam sistim pertahanan dari Chin Hui hou, namun sistim pertahanan
Bau-ji sendiripun tidak terpadat titik kelemahan. Menurut
pengamatannya delapan puluh persen si anak muda itu dapat
menangkan pertarungan tersebut. Rupanya Chin Hui hou telah sertakan tenaga nya sebesar sepuluh
bagian, dalam keadaan begitu Bauji tak berani bertindak gegabah,
dia pun menyongsong datangnya ancaman dengan tenaga yang besar
pula. Bisa dibayangkan andaikata bisa terjadi benturan kekerasan dalam garis
lingkaran satu kaki, menang kalah mungkin akan segera ditentukan.
Pada detik terakhir sebelum tenaga pukulan kedua belah pihak saling
membentur, mendadak Chin hui-hou membuyarkan serangannya dan
bergeser mundur, kemudian telapak tangannya yang kiri, dari arah kanan
bergerak menuju kesebelah kiri dan membacok bahu kiri serta lengan
Bau ji dengan ganas dan buas. Perubahan ini selain terjadi amat cepat dan luar biasa, keji dan
berbahaya pula. Siapa tahu Bau ji sudah mengadakan seksama diwaktu Chin hui hou
bergerak mundur tadi, Bau ji telah berputar kesamping kiri, lalu kaki
kanannya melangkah dengan gaya tujuh bintang, lengan kanannya
digetarkan dan menolak telapak tangan kiri Chin hui-hou.
Dalam keadaan ini, posisi Chi hui hou menjadi separuh bagian
menghadap Bau ji, dengan cepat lengan kanan Bauji mementalkan
tapak tangan kiri lawan, kemudian sikutnya menyodok ke belakang
menumbuk iga kanan musuh. Chin Hui-hou yang menyaksikan akal liciknya gagal, apalagi setelah
merasakan telapak tangan kirinya kena dipentalkan oleh Bau ji, dengan
cepat dia sadar kalau gelagat tidak menguntungkan, untuk mundur
setengah langkah guna menghindari serangan itu tak sampai lagi, tak
ampun sikut lawan menyodok telak diatas iganya.
Walaupun dibilang ia cukup cekatan untuk mundur ke belakang tapi iga
adalah bagian tubuh yang lemah dan tak boleh kena tersodok, tak
ampun ia berseru tertahan dan mendur ke belakang dengan
sempoyongan tapi masih belum keluar dari lingkaran
Bau ji tentu saja enggan memberi kesempatan kepada lawannya untuk
mengatur napas, tiba-tiba sepasang telapak tangannya
didorong ke depan dengan menggunakan tenaga pukulan sebesar
sembilan bagian. Belum lagi Chin Hui hou berdiri tegak, tubuhnya sudah terpental ke
belakang oleh pukulan itu. Dengan cepat badannya melayang keluar dari garis lingkaran, walaupun
ia berniat untuk meronta sayang sudah tak bertenaga Iagi..
"Blaaam,..," tak ampun tubuhnya terpental dan jatuh terbanting lebih
kurang satu kaki diluar lingkaran itu, kulit muka sebelah kirinya terpapas
oleh hancuran batu kerikil sehingga terluka dan mengucurkan darah.
Pada saat itulah Sun Tiong lo segera berteriak keras: "Berhenti!
pertarungan telah selesai, aku akan mengumumkan bahwa Chin Cong
koan adalah pemenangnya !" Waktu itu, Bau ji sudah mendapat kontak batin dengan Sun Tiong lo,
maka dia berpura-pura menarik muka sambil bertanya:
"Sun-heng, adilkah keputusanmu itu ?" "Tentu saja adil !" jawab Sun
Tiong lo pura-pura tidak mengerti. Sambil menuding Chin Hui hou
yang sedang merangkak bangun dari atas tanah, seru Bau ji: "Saudara Sun, seandainya matamu belum
buta, tentunya kau dapat melihat dengan jelas bukan kalau aku belum keluar dari garis
lingkaran" Kini yang terjatuh diluar lingkar itu adalah dia bukan
aku,kenapa kau mengatakan aku yang kalah"!"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Saudara, apakah kau lupa dengan janji
kita semuIa?" "Janji apa?" "Selama pertarungan berlangsung dilarang
melukai orang, barang siapa melanggar hal ini orang yang terlukalah yang akan
dimenangkan sebagai pemenang."
"Ooooh..." Bau-ji berseru tertahan, dan kemudian sambil mendepakkan
kakinya ketanah ia berseru, "aku lupa.... aku benar benar sudah lupa,
kalau tidak ... aaaai." Dalam pada itu Chin hui hou sudah merangkak bangun dari atas tanah,
dengan kemarahan yang berkobar-kobar serunya kepada Sun tiong lo,
"Pandai benar kalian berdua bermain sandiwara !"
Sun Tionglo tidak menyangkal malahan katanya sambil tertawa: "Chin
congkoan, rupanya kau sudah mengetahui kalau aku
sedang bermain licik untuk membohongi mu!?" "Hmm.... Lohu toh
bukan seorang anak yang berusia dua tahun,
memangnya bisa kau tipu mentah-mentah"!" teriak Chin hui hou
dengan geramnya sambil menggigit bibir.
Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Bukan begitu maksudku, yang
benar toh aku telah bersungguh hati menjadi seorang saksi yang adil." Dengan geramnya Chin hui hou
melotot sekejap kearah Sun tionglo dan katanya: "Lohu tidak percaya, seandainya dia yang terluka,
kau akan berdiam diri belaka." Sun Tiong lo segera berlagak seakan-akan dia
tertegun dan tidak habis mengerti. "Congkoan, aneh benar perkataanmu itu, andaikata Sun
heng yang terluka, sudah barang tentu aku akan menyatakan dirinya sebagai
pemenang, selain berbuat begitu, apa pula yang bisa kulakukan lagi"!"
Chin Hui hou segera mendengus dingin. "Hmm! bagaimanapun juga,
sekarang lohu sudah mengerti, makin kau berkata begitu, hal mana menunjukkan kalau kau pasti
mempunyai tipu musiihat!" Sun Tiong lo segera tertawa terbahak-bahak sambil berkeplok tangan.
"Haaahhh .. . haaahhh... haaahhh congkoan memang tak malu disebut
seorang manusia yang hebat!" Chin Hui hou mengerutkan dahinya makin kencang, kembali ia berkata
lagi: "Kau tak usah mengucapkan kata kata yang bernada ejekan lagi,
seandainya lohu hebat, tak nanti aku akan termakan oleh tipu
muslihatmu itu, lingkaran kecil inipun tak akan menyusahkan diriku."
Sun Tiong lo mengerdipkan matanya berulang kali. "Maksudku,
beruntung sekali congkoan yang terluka...." dia
berkata. "Andaikata dia yang terluka, mau apa kau?" tukas Chin Hui
hou dengan mata melotot. Sun Tiong lo tertawa. "Gampang sekali,
sekembalinya dari sini nanti bila nona kalian
bertanya maka aku akan menyangkal telah manjadi saksi, atau mungkin
aku pun akan menambahi dengan sepatah dua patah kata, sudah pasti
akan tercipta sebuah cerita yang menarik sekali!"
Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou menjadi naik pitam sehingga
mukanya merah membara dan matanya berapi api.
Sampai lama kemudian, dia baru bisa mengucapkan sepatah kata:
"Kau... kau...!" Sun Tiong lo tertawa terbahak-bahak. "Haaah...
haahh... kenapa dengan aku?" ejeknya segera. "Hati-hati kau lain
waktu!" ancam Chin Hui hou sambil
mendepakkan kakinya berulang kali. Sun Tiong lo
mendengus, dengan serius ka-tanya. "Chin congkoan, dengarkan baik baik, kali ini kau yang telah mencari
urusan dengan kami, kau toh tahu kalau Sancu kalian sudah ada
peraturan yang ketat, tapi demi melampiaskan rasa mangkel yang
terpendam didalam hati, kau tak segan-segan menggunakan akal licik."
"Betul aku adalah seorang sastrawan lemah yang tidak mengerti akan
ilmu silat, tapi berbicara soal kecerdasan, kau masih selisih jauh
dibandingkan dengan diriku, maka aku telah mempergunakan siasat
melawan siasat untuk memberi pelajaran kepadamu!
"Jika kau tidak puas, tidak apalah sebentar bila bertemu dengan nona
kalian nanti, atau menunggu setelah Sancu kalian kembali, kita boleh
berbicara secara blak-blakan, coba suruh dia yang menentukan siapa
benar siapa salah!" Chin Hui hou menjadi berdiri bodoh, kemudian tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia membalikkan badan dan berlalu dari situ dengan
langkah lebar. Belum berapa puluh langkah dia pergi, Sun-Tionglo telah berseru
kembali: "Chin congkoan, begitu beranikah kau pulang seorang diri dengan
meninggalkan kami disini?" Hampir meledak dada Chin Hui hou saking gusarnya, tapi diapun tak
bisa berbuat apa-apa. Bau ji dan Sun Tiong lo saling berpandangan sekejap, kemudian sambil
bergandengan tangan mereka beranjak dari situ.
Sepanjang jalan, mereka berdua bergurau dan bercanda sendiri,
hakekatnya mereka tidak menggubris Chin Hui hou yang berada di
belakang tubuhnya itu. -ooo0dw0oo- Dengan wajah serius Chin Hui hou berdiri didepan
seorang pemuda, sikapnya menghormat sekali.
Pemuda itu memakai baju berwarna hitam bermantel hitam dan
mempunyai selembar wajah yang putih.
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selain muka dan giginya, boleh dibilang pemuda itu berwarna serba
hitam. Ketika itu dengan suara yang dingin dan kaku pemuda itu sedang
berkata: "Lanjutkan !" Chin Hui hou mengiakan, dengan hormat dia berkata:
"Akhirnya hamba kena dipukul sehingga terpental keluar dari
garis lingkaran !" Pemuda itu mendengus dingin "Hmm! Apakah kau
tidak mempergunakan ilmu Han pok ciang ?" "Garis lingkaran itu cuma satu
kaki, padahal tenaga dalam yang hamba miliki sekarang..." Tidak menunggu Chin Hui hou menyelesaikan
kata-katanya, pemuda itu telah menukas: "Lima tahun sudah lewat, tiada kemajuan
apa-apa yang bisa kau capai, betul-betul goblok !" "Selanjutnya hamba pasti akan berlatih
dengan lebih rajin lagi!" ujar Chin Hui hou sambil membungkukkan badan memberi hormat.
"Apakah nona mengetahui akan hal ini ?" tanya sang pemuda
dengan mata melotot. Chin Hui hou menjadi sangsi dan tidak
menjawab. "Apakah kau mengidap penyakit ?" tegur sang pemuda
dengan kening berkerut. Chin Hui-hou segera tertawa getir, "Hamba tidak
melaporkan kejadian ini kepada nona." sahutnya.
"Kenapa?" "Oooh, kongcu, sampai matipun hamba tidak berani mengatakannya
keluar !" keluh Chin Hui-hou sambil menghela napas sedih.
"Katakan saja berterus-terang!" perintah pemuda itu dengan suara
dalam, "bila ada urusan, akulah yang akan bertanggung jawab !"
"Semenjak kedatangan Sun Tionglo si anjing kecil itu, nona tampak
agak berubah..." Mencorong sinar marah dari balik mata pemuda itu, bentaknya secara
tiba-tiba: "Chin Hui-hou, kau mencari mampus "!" Gemetar keras sekujur badan
Chin Hui hour dengan menunjukkan sikap patut dikasihani, katanya: "Kongcu harap maklum,
bukankah tadi sudah hamba katakan bahwa hamba tak berani berbicara apa adanya." "Baik, lanjutkan
perkataanmu itu, bila ucapanmu memang ada
dasarnya, telah kukatakan tadi aku akan bertanggung jawab untukmu,
apa yang telah kukatakan tentu tak akan kuingkari dengan begitu saja,
cuma kalau sampai kau berani bicara sembarangan hmmm..."
"Kongcu, sekalipun hamba bernyali besar juga tak akan berani
berbicara sembarangan!" buru-buru Cnin Hui hou berseru.
"Katakan secara langsung, tak usah berputar-putar kayun lagi !" seru
pemuda itu kemudian. "Pada malam itu juga nona telah mengirimnya keatas loteng impian dan
membiarkan si anjing kecil rudin itu berdiam disana, sejak waktu itu
hamba sudah merasa curiga sekali !"
"Lebih kurang pada kentongan kedua, tiba-tiba nona naik keatas loteng
seorang diri, kongcu, waktu itu si pelajar rudin she Sun masih ada
diruang tengah dan minum arak bersama Beng loji."
"Yaa, sudah pasti dia pergi ke sana untuk mengambil barangnya yang
tertinggal," sela pemuda itu. Chin Hui hou tertawa licik, kemudian menggelengkan kepalanya
berulang kali. Tiba-tiba pemuda itu mencengkeram pergelangan tangan Chin Hui hou
dan membentak dengan suara dalam. "Bukan" Darimana kau bisa tahu kalau bukan?" Kena dicengkeram
pergelangan tangannya, Chin Hui hou
merasakan tulang pergelangan tangannya sakit seperti mau patah,
sambil menahan sakit kembali serunya.
-ooo0dw0oo- Jilid 7 "KONGCU, lepas tangan, hamba akan segera membeberkan
keadaan yang sebenarnya !" Pemuda itu segera mengendorkan
tangannya lalu berkata: "Cepat katakan kau toh juga mengerti dengan
tabiatku!" Chin Hui-hou tak berani berayal, dia lantas berkata: "Nona
setelah masuk ke dalam loteng impian, tidak keluar lagi,
menanti pelajar rudin itu sudah selesai minum arak dan kembali ke
loteng impian untuk beristirahat nona masih berada didalam!"
Paras muka si pemuda yang sebenarnya pucat pias tak berdarah itu, kini
berubah menjadi semakin menakutkan bahkan diantara warna pucat
terselip warna kehijau-hijauan yang menyeramkan, keadaan itu tak ada
bedanya dengan setan gantung hidup.
Dengan mencorong sinar hijau dari balik matanya dia berseru:
"Waktu itu kau berada dimana ?" "Aku sedang melayani si anjing
rudin itu minum arak !" Mendengar perkataan itu, sang pemuda menjadi tertegun. "Kentut !"
makinya kemudian. Buru-buru Chin Hui-hou memberi penjelasan
"Yaa, jika kukatakan tak seorangpun yang percaya, tapi
sesungguhnya perintah ini datangnya dari sancu sendiri !" Pemuda itu
menjadi berdiri bodoh, setelah mengerdipkan
matanya berulang kali, katanya: "Masa ada kejadian seperti ini " Coba
kau teruskan !" "Untuk menyelidiki keadaan yang sebenar nya dari
pelajar rudin ini, diam diam kukuntit diam-diam dari belakangnya, karena itulah aku
baru tahu kalau sinona berada diatas loteng impian lebih dahulu."
"Berada dalam loteng itu, mula-mula mereka tidak memasang lampu,
setelah berbicara sekian lama, diselingi tertawa cekikikan dari nona,
akhirnya mereka baru memasang lentera."
Mencorong sinar bengis dari balik mata pemuda itu, tukasnya secara
tiba-tiba: "Sejak anjing kecil itu naik ke loteng, sampai lentera itu dipasang,
berapa lama sudah lewat?" Chin Hui-hou berpikir sejenak, kemudian sahutnya: "Lebih kurang
sepertanak nasi lamanya!" Dengan penuh kemarahan dan rasa benci
yang meluap, pemuda itu menyumpah: "Perempuan rendah yang tak tahu malu !" Setelah
berhenti sejenak, ujarnya kepada Chin Hui hou: "Teruskan ceritamu !"
"Baik, kemudian secara tiba tiba hamba mendengar suara pintu
loteng berbunyi, lalu nona keluar dari sana dan kembali ke
belakang, itulah kejadian yang berlangsung pada malam anjing kecil itu
datang kemari." "Apa pula yang telah terjadi hari ini ?" "Tengah hari tadi, nona telah
berkunjung ke loteng impian ketika kembali lagi ke gedung belakang, dia lantas menitahkan kepada Kim
Poo-cu untuk menghadap ke ruang tengah sesudah anjing-anjing kecil
itu bersantap." "Ada urusan apa ?" Sengaja Chin Hui hou menghela napas panjang.
"Aaaa... nona membawa anjing anjing kecil itu berkunjung ke
loteng Hian ki lo !" katanya. Agak tertegun si anak muda itu setelah
mendengar perkataan itu, serunya cepat: "Aaaah... masa terjadi peristiwa semacam ini "
Mereka....mereka..." Diam-diam Chin hui hou merasa girang sekali
sesudah menyaksikan sikap pemuda itu dan sambungnya: "Katanya dia hendak
menemani anjing kecil itu untuk melihat
miniatur dari bukit kita!" "Oooh. . ." pemuda itu berseru tertahan,
sesudah berpikir sebentar, lanjutnya, "yaa .... Mungkin saja begini." Dengan cepat Chin
hui hou menggelengkan kepalanya berulang
kali, serunya: "Kongcu, apakah kau lupa selanjutnya nona juga
menitahkan hamba untuk mengajak anjing anjing kecil itu mengi
Bara Naga 3 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bentrok Para Pendekar 7
it Pemakan manusia ini!" Ditengah pembicaraan tersebut, dia sudah berjalan menuju keluar pintu.
Dengan cepat Sun tiong lo menghadang di-depan pintu, lalu serunya
sambil tertawa: "Nona, bersediakah kau untuk duduk sebentar." Nona itu
mengerdipkan matanya, lalu: "Sebenarnya aku mau duduk tapi
engkohmu yang berwatak kurang baik itu terus menerus bermaksud mengusir tamu, aku tak akan
mempunyai muka setebal itu untuk tetap disini!"
"Kalau nona memang sependapat lain, maka tindakanmu itu justru
merupakan suatu penampikan atas maksuk baikku!"
Nona itu menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, serunya
dengan perasaan yang tidak habis mengerti:
"Apa maksud perkataan mu itu?" "Tolong tanya nona, sejak
permulaan sampai akhir aku toh tidak
pernah mengucapkan kata-kata yang bermaksud mengusir tamu?"
Nona itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Yaa, kau memang
tidak berkata apa-apa." Sun Tiong-lo segera tertawa, serunya lagi:
"ltulah dia, kalau cuma lantaran perkataan dari kakakku saja nona lantas mengambil
keputusan untuk pergi dari sini, tolong tanya bagi diriku apakah
tindakan tersebut bisa dibilang sopan dan cukup memberi muka ?"
Nona itu segera tersenyum, "Anggap saja kau pandai berbicara !"
setelah berhenti sebentar, sambil mengerling sekejap kearah Bau ji,
katanya lagi: "Kau suruh aku tinggal disini, tentu saja boleh, tapi kau musti
menasehati dulu engkoh mu yang berwatak berangasan itu agar jangan
mengucapkan kata-kata yang menusuk pendengaran."
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 5 "TENTU saja!" sahut Sun Tiong-lo sambil manggut-manggut,
"aku percaya engkohku pasti tak akan berkata apa-apa lagi" "Oya .. . ?"
Nona itu berseru. Dengan sorot matanya yang jeli dia memandang
sekejap ke arah Bau-ji, kemudian duduk kembali di tempat semula.
Bau-ji agak mendongkol akan tetapi berhubung Sun Tiong lo telah
berkata begitu, diapun tidak berkata apa-apa lagi, maka dengan mulut
membungkam dia menyantap hidangannya.
Setelah nona itu duduk, Sun Tiong-lo kembali berkata, "Tolong tanya
nona, kau ada petunjuk lagi ?"
"Hei, dapatkah kau menukar panggilan itu dengan sebutan lain?" tegur
si nona dengan kening berkerut. Sun Tiong lo berseru tertahan, dia
lantas meninju kepala sendiri dan berseru.
"Yaa, aku memang tidak seharusnya bersikap begini, hingga sekarang
ternyata aku belum sempat menanyakan nama dari nona, harap nona
sudi memaafkan, kini..." "Kini baru teringat untuk bertanya" sela si nona dingin. . Dengan
nada minta maaf Sun Tiong lo berkata: "Jika aku telah membuat
suatu keteledoran harap nona suka memaafkannya." Kembali si nona itu mendengus. "Hmm... cukup."
tukas-nya, "lebih baik kau tak usah menanyakan
namaku lagi, panggil saja nona kepadaku." "Aaah... ini mana boleh
terjadi?" seru Sun Tiong lo sambil
menggeleng, "siapa tidak tahu dia tidak bersalah, nona..." "Lebih baik
kita agak sungkan juga!" kembali si nona menukas,
Bau-ji yang berada disampingnya menjadi tak sabar, segera serunya
dengan suara lantang: "Belum pernah kujumpai nona seperti kamu ini, tadi masih menyuruh
orang mengganti panggilan, sekarang ketika orang ingin mengetahui
namamu, kau malah berubah pikiran lagi, terhitung apaan itu?"
"Lantas apa pula maksudmu berkata demikian?" bentak si nona dengan
mata melotot. Baru saja Bau ji akan membuka suara, Sun Tiong lo
segera mengerdipkan mata kearahnya sambil menukas.
"Maksudnya kau adalah si nona dari bukit Pemakan manusia !" setelah
berhenti sejenak, tidak memberi kesempatan lagi kepada nona itu untuk
buka suara, ia telah berkata lebih jauh:
"Kalau memang nona bersikeras demikian, tentu akupun tak bisa
berkata apa-apa lagi, sekarang aku ingin bertanya kepada nona, ada
tujuan apa tengah hari ini nona berkunjung ke loteng impian ini ?"
Sahut si nona dengan dingin. "Untuk menunjukkan keadilan para
tamu agung yang akan melarikan diri, bukit kami telah menyusunkan suatu persiapan bagi
kalian, karena persiapan itulah aku datang kemari untuk
membicarakannya denganmu." "Oooh . . . tolong nona bersedia memberi petunjuk!" "Bukit kami
mempunyai medan yang cukup ganas dan
berbahaya, jalan gunungpun penuh dengan persimpangan yang
berliku-liku, ada jeram Ihkian, ada pasir mengambang, ada air kematian
adapula air beracun serta aneka tempat berbahaya lainnya.
"Oleh sebab itu, setiap tamu agung yang bersiap-siap hendak melarikan
diri, selama masa masih menjadi tamu agung dia berhak untuk
mendapatkan keterangan yang jelas tentang medan di dalam bukit kami
ini, sehingga memberi setitik harapan untuk hidup bagi mereka !"
Saat itu, Bau-ji telah mendengar pula tentang seriusnya persoalan itu, ia
lantas meletakkan kembali mangkuknya ke meja.
Dengan sikap yang tenang Sun Tiong-lo kembali bertanya. "Jadi nona
khusus datang kemari untuk memberi petunjuk
kepada kami berdua akan tempat di sekitar bukit ini?"
"Memangnya masih ada persoalan yang lain"!" Sun
Tiong-lo segera tertawa. "Jangan marah dulu nona, aku bisa berkata demikian karena hatiku
merasa amat berterima kasih sekali."
Setelah mendengar perkataan itu, paras muka si nona yang dingin dan
kaku itu pelan-pelan baru berubah menjadi agak hangat.
"Didalam memberi petunjuk kepada kalian ini, aku bagi menjadi dua
hal, pertama akulah yang akan menemani kalian menyelusuri tanah
perbukitan untuk meninjau langsung keadaan medan, kedua aku akan
menghantar kepada kalian untuk melihat miniaturnya."
"Maksud nona, kita akan meninjau miniatur dari keadaan bukit di
sekitar tempat ini seperti dengan yang aslinya?" tiba tiba Sun Tiong- lo
menukas. "Benar!" nona itu mengangguk, "apakah kau merasa kurang percaya?"
Sun Tiong-lo segera tertawa dan menggelengkan kepalanya berulang
kali. "Aaah! Masa aku berani tidak percaya?" Setelah berhenti sebentar,
dia melanjutkan. "Aku mempunyai
suatu permintaan dapatkah nona meluluskannya?" "Hnm! Kalau sudah
tahu kalau permintaan mu itu tidak seharusnya diajukan, kau anggap aku bisa meluluskannya?" Sun
Tiong-lo tidak memperdulikan ucapan dari nona tersebut,
kembali ujarnya: "Kami dua bersaudara ingin sekali memeriksa mimatur
bukit tersebut lebih dulu, kemudian baru merepotkan nona untuk menghantar
kami untuk mengunjungi tempat itu satu persatu."
Si Nona berpikir sebentar, kemudian menyahut. "Baiklah, kululuskan
permintaanmu itu, sekarang bersantaplah
lebih dulu, sebentar aku akan menyuruh Kim Poo-cu untuk mengundang
kalian . . ." Seusai berkata nona itu segera beranjak dan meninggalkan ruangan itu.
Ketika kakinya sudah hampir melangkah ke luar dari pintu ruangan,
mendadak dia berhenti seraya berpaling, ujarnya kepada Bau ji:
"Kau yang menjadi engkohnya tidak semujur si adik, kau hanya akan
menjadi tamu agung kami selama tiga hari, oleh sebab itu kau harus
perhatikan miniatur itu dengan bersungguh hati, aku harap kau bisa
menanggapi petunjuk ku ini dengan serius !"
Bau ji tak menjawab, dia hanya mendengus dingin. Nona itupun
mengernyitkan alis matanya sambil mendengus,
kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun segera turun dari
loteng. Menanti nona itu sudah iauh, Sun liong lo segera berkata kepada
Bau-ji. "Toako, ada suatu persoalan aku lupa untuk menanyakan kepadamu."
Bau ji segera mendongakkan kcpalanya, setelah memandang wajah Sun
Tiong lo sekejap katanya. "Persoalan apa ?" "Tentunya kedatangan toako keatas bukit ini
bukannya ada suatu maksud tertentu bukan?" Bau ji segera mengangguk. "Betul, aku
sedang melaksanakan tugas!" Mendengar jawaban itu, satu ingatan
lintas melintas dalam benak Sun tiong lo. "Melaksanakau tugas" Toako sedang melaksanakan tugas
siapa?" tegurnya ingin tahu. Bau ji tidak langsung menjawab, dia mendongakkan kepalanya dan
memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, kemudian balik bertanya:
"Dan kau" mau apa kau mendatangi bukit pemakan manusia ini?"
"Kalau dibicarakan mungkin toako sendiri pun tidak percaya" bisik
Sun Tiong lo, "Siaute sendiripun tidak tahu mau apa datang kemari."
"Aaaah mana mungkin" Masa kau tak tahu?" Bauji berseru
tertahan dengan wajah kurang percaya. "Betul, siaute sendiripun
sedang melaksanakan perintah dari suhu untuk mendatangkan bukit pemakan manusia, sedangkan mau
disuruh apa aku kemari, suhu tidak menjelaskan didalam surat
perintahnya, maka siaute rasa sekalipun kukatakan belum tentu toako
akan mempercayainya!" Bau-ji segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia tidak berkata
apa-apa lagi: "Toako, kau datang kemari. ." "Jite.." tukas Bau-ji," suhu kita berdua
memang benar-benar sangat aneh, aku sendiripun hanya mendapat surat perintah untuk
memasuki bukit ini, sedangkan mau apa dan disuruh berbuat apa aku
sendiripun kurang begitu tahu!"
Sun Tiong-lo menjadi berdiri bodoh, dia gelengkan kepalanya
berulangkali duduk dibangku dan termenung.
Bau-ji memandang sekejap hidangan sayur dan arak di meja, kemudian
katanya, "Jite, bersantaplah dulu!"
Dengan mulut membungkam kedua orang bersaudara itu segera
bersantap, belum lagi selesai Kim Poo cu sudah muncul di depan pintu
ruangan loteng. Maka dua bersaudara itupun segera beranjak dan mengikuti dibelakang
Kim Poo cu ke luar dari ruangan loteng.
Mendadak Sun Tiong lo berkata. "Sobat Kim, bolehkah kuajukan sebuah pertanyaan kepadamu ?"
Dengan dingin Kim Poo cu memandang sekejap waiah Sun Tiong
lo, lalu sahutnya. "Nona telah berpesan, apapun yang ingin kalian
tanyakan silahkan untuk ditanyakan sendiri kepada nona !" Sun Tiong Io segera
tertawa. "Pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu itu hanya kau
seorang yang bisa menjawabnya. Kim Poo cu segera mendengus dingin.
"Hmm ! Mulai sekarang persoalan apapun aku tidak tahu, lebih
baik jangan kau tanyakan kepadaku." Sun Tiong lo tidak menyerah
sampai disitu saja, kembali dia mencoba untuk memancing. "Pertanyaan yang kuajukan adalah tugas
apa yang dipikul sobat Kim didalam kampung ini." "Aku tidak tahu." Kim Poo cu tetap
mendengus dingin. Berkata sampai disitu dia lantas mempercepat
langkahnya dan tidak memperdulikan Sun Tiong Io serta Bau-ji lagi. Melihat itu Bauji
mengerutkan dahi kencang-kencang, lalu
bisiknya pada Su Tiong-lo. "Jite, buat apa kau musti bersikap demikian"
Apalah gunanya menyusahkan kaum rendah macam mereka ?" Sun Tiong lo segera
tersenyum. "Kau tidak tahu toako, apa yang kulakukan ini cuma
bermaksud untuk menyelidiki saja." Mendadak Kim Poo cu berhenti sambil berpaling
kearah Sun Tiong lo, serunya dengan garang. "Kuperingatkan kepadamu, lebih baik
jangan mengusik aku terus menerus!" Seakan akan tidak terjadi sesuatu apapun, dengan tenang Sun Tiong lo
berkata. "Akupun peringatkan kepadamu, kalau sedang berbicara denganku, lebih
baik kau tidak tunjukkan sikap semacam itu."
Kim Poo cu segera mengepal kepalannya kencang-kencang, sambil maju
dua langka ke muka serunya. "Kau berani sekali mengurusi sikap dan gerak-gerik lohu, Tapi sebelum
ia menyelesaikan kata-katanya, sambil membusungkan dada Sun Tiong
lo telah berseru pula. "Kaupun harus mengerti sekarang aku adalah tamu agung dari bukit
kalian ini, berbicara selangkah lebih kebelakang, paling banter ketika
aku gagal melarikan ciri dari bukit pemakan manusia ini, hanya sebuah
jalan kematian yang kuhadapi."
"Bila seseorang tak dapat terhindar dari kematian, juga tiada
kesempatan untuk memperoleh kehidupan, tiada persoalan yang
menakutkan lagi baginya, kalau tidak percaya hayolah turun tangan
untuk mencobanya sendiri." Paras muka Kim Poo cu berubah menjadi hijau membesi, sambil
menggertak gigi menahan diri, sampai lama sekali dia baru bisa berkata
dengan penuh kebencian. "Hutang ini akan lohu perhitungkan pada saat kau melarikan diri nanti,
hati hati saja pada waktunya nanti!"
Kontan saja Sun Tiong lo mendengus dingin. "Hmm .. .. ! Lebih baik
kau jangan mimpi" Kim po cu tidak berbicara lagi, sambil
membalikkan badan dengan gemas ia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Dalam waktu
singkat mereka sudah tiba di depan sebuah
ruangan besar sambil menuding ke arah ruangan itu. "dalam ruangan
tersebut bukan saja hadir si nona, Beng lo cengcu yang kakinya cacadpun
hadir didekat perapian dengan kursi berodanya itu.
Pertama-tamanya Sun Tiong lo menghampiri Beng lo cengcu lebih
dahulu, sambil tersenyum dan menjura katanya.
"Orang tua, baik baikkah kau?" Beng Liau huan segera tertawa.
"Baik-baiklah kongcu !" Setelah berhenti sejenak, sorot matanya di
alihkan ke wajah Bau ji, kemudian lanjutnya: "Dari Beng Seng kudengar semalam ditempat ini
telah kedatangan lagi seorang kongcu yang kebetulan berasal dari satu
marga dengan kongcu bahkan memiliki ilmu silat yang sangat lihay,
apakah..." Belum habis dia berkata, sambil tersenyum Sun Tiong lo telah berseru
kepada Bau ji: "Sun heng, cepat kemari dan menjumpai Beng lo cengcu!" Ketika
menyerbu ke dalam bukit dan akhir nya tertangkap
musuh, Bau ji langsung dihantar ke loteng impian, pada hakekatnya ia
belum pernah berkunjung ke ruangan besar itu, tentu saja diapun
belum pernah berjumpa dengan Beng lo cengcu.
Maka ketika didengarnya orang itu adalah cengcu ddari perkampungan
ini, kontan saja dia mendengus. "Hmmm! Aku lagi segan bergerak, juga enggan bersahabat dengan
manusia-manusia semacam itu !"
Sun Tiong-lo tahu, Bau ji tentunya telah salah paham, dia pasti mengira
Beng lo-cengcu tersebut berasal dari sekeluarga dengan pemilik bukit
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini, tapi dihadapan sinona tentu saja dia tak dapat memberi penjelasan,
terpaksa dia cuma tersenyum saja kepada Beng lo-cengcu.
Beng Liau huan sama sekali tidak memperlihatkan rasa tak senang hati,
malah ujarnya kepada Bau ji. "Tolong tanya kong cu ini?"
Dengan nada tak senang hati Bau ji segera berseru dengan suara
lantang: "Aku toh sudah berulang kali mengatakan bahwa aku tak ingin
bersahabat dengan semua manusia yang berada disini, maka apabila
tiada sesuatu kepentingan, lebih baik kurangi saja kata katamu."
Beng Liau huan mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia lantas memutar
kursi rodanya dan menyingkir kesamping serta tidak bicara lagi.
Dengan langkah lebar Bau ji menghampiri sinona, kemudian tegurnya
dengan lantang: "Dimanakah miniatur itu berada?" Nona mengerdipkan matanya,
kemudian mendesah: "Heran, kenapa orang ini selalu mengumbar
napsunya, memang dianggapnya dia hebat?" "Nona!" seru Bau-ji sinis, "aku datang kemari
bukan untuk mendengarkan kritikanmu, miniatur..." Agaknya nona itu sungguh
merasa mendongkol, sambil mendengus dingin ia lantas membalikkan badan dan berlalu dan situ,
sambil berjalan gumamnya: "Hmm, kenapa orangku betul-betul tak tahu diri?" Mendadak Bau-ji
melompat kedepan dan menghadang di hadapan nona itu, serunya. "Nona, mau kemana kau?" "Membawa kau
melihat miniatur dari tanah perbukitan disini!" Bau ji tidak berbicara
Iagi, dia segera menggeserkan tubuhnya
dan menyingkir kesamping. Pada saat itulah si nona
berseru kepada Sun Tiong lo. "Lebih baik kau bisa menasehati engkohmu" Mendengar ucapan
tersebut, paras mukanya Sun Tiong lo segera berubah hebat, dengan
cepat tukasnya: "Nona, harap kau bisa memegang janji!" Nona itu mula-mula agak
tertegun, menyusul kemudian serunya: "Setelah melihat miniatur
nanti, aku ingin berbicara empat mata
denganmu." "Baiklah, setiap saat engkau boleh bercakap cakap dengan
aku." Sun tianglo menganggukkan kepalanya sambil tertawa. Nona itu kembali
melirik sekejap ke arah Sun Tiong lo lalu
membalikkan badan dan berjalan menuju kepintu belakang ruang besar
itu. Sun Tiong lo dua bersaudara segera mengikuti dibelakangnya dan
mengikuti nona itu memasuki sebuah loteng kecil.
Loteng itu bernama "Hian ki", kelihatannya merupakan tempat yang
terpenting dalam bukit tersebut. Dilihat dari bagian luarnya, loteng itu seperti tiada sesuatu keistimewaan
apapun, tak jauh berbeda dengan bangunan lainnya, tapi setelah Sun
Tiong lo berdua memasuki pintu gerbang loteng itu, mereka baru sadar
bahwa keadaan tidak benar. Semisalnya saja loteng impian dimana mereka tinggal sekarang,
bangunannya mana megah dan mentereng, jauh lebih hebat daripada
loteng Hian ti lo ini, dasar lantainya juga terbuat dari papan jati.
Tapi dasar lantai dari loteng Hian ki loini ternyata terbuat dari baja asli,
ditinjau dari hal ini saja sudah dapat diketahui bahwa loteng ini
merupakan tempat yang paling penting dari seluruh tanah perbukitan
tersebut. Sesudah menyaksikan kejadian itu, sikap Sun Tiong lo masih tetap santai
seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun,
sebaliknya Bau ji segera berkerut kening, kemudian mendengus dingin.
Mendengar itu, Nona tersebut segera berhenti, tegurnya. "Apakah
kau merasa ada sesuatu bagian yang kurang enak ?" Bau ji
memandang sekejap ke permukaan lantai yang terbuat
dari baja itu, lalu menjawab. "Benar, aku merasa agak benci dengan
lantai baja ini !" Nona itu segera mendengus dingin. "Hmm! Asal setiap
kali kau datang ke loteng Hian ki lo ini selalu
ditemani oleh orang kami, papan baja tetap adalah papan baja, lantai
ini seperti juga lantai yang lain, tak bisa memakan manusia!"
Bau ji tidak memberi tanggapan apa apa, sebaliknya Sun Tiong lo
segera berseru tertahan. "Hmm Makanya aku lagi heran, sewaktu berjalan ditempat ini kenapa
suaranya itu bisa aneh, rupanya terbuat dari baja asli!"
Nona itu mengerling sekejap ke arahnya, kemudian berseru.
"Kelihatannya kau mempunyai bakat untuk bermain
sandiwara...hebat sekali!" Sembari berkata demikian, nona itu
melangkah maju dan menaiki anak tangga yang berada di sudut ruangan sana. Anak tangga disitu
tidak terhitung banyak, semuanya berjumlah
dua puluh empat buah, setiap anak tangga terdiri dari lapisan baja yang
beberapa inci tebalnya, tapi yang aneh disisi kiri maupun kanan anak
tangga itu ternyata tiada pegangannya.
Maka Sun Tiong lo segera melangkah naik keatas anak tangga itu
dengan sangat berhati-hati, sambil naik katanya:
"Kalau begini modelnya, sungguh berbahaya sekali, seandainya sampai
terpeleset, bukankah besar kemungkinannya orang bakal tergelincir
jatuh kebawah ?" "Mungkin bukan cuma tergelincir dan berguling ke bawah saja." kata
sinona sambil tertawa. "Ooh....lantas bisa mengakibatkan apa lagi?" Kembali nona itu
tertawa. "Bisa berakibat apa, soal itu harus dicoba lebih dulu baru
bisa diketahui." Sun Tiong-lo segera menggeleng. "Kalau didengar cara nona
berbicara, lebih baik jangan dicoba
saja." Entah apa maksud sinona yang sesungguhnya, mendadak ia
berhenti diatas tangga dan berkata: "Untuk diberitahukan kepadamu
juga tak. menjadi soal, di hari-hari biasa, misalnya sekarang, sekalipun
sampai terjatuh paling-paling hanya terguling saja kebawah dan tak akan
sampai menimbulkan ancaman jiwa."
"Tapi bila malam hari telah tiba, atau tak ada orang yan membawa
jalan, sebaliknya masuk sendiri ke dalam loteng Hiankilo ini, belum lagi
naik ke atas tangga, mungkin jiwanya sudah melayang !"
"Oooh....!" Sun Tiong lo berseru tertahan, dia mencoba mendepak
depakkan kakinya ke atas lantai, kemudian melanjutkan:
"Yaaa, untuk menjaga datangnya pencuri memang hal ini tepat
sekali..." Ketika menyelesaikan kata-katanya itu, si nona sudah naik ke atas
loteng. menyusul kemudian Sun Tiong lo dan Bau ji juga tiba di atas
loteng. Mendadak dari arah belakang berkumandang suara getaran yang keras
sekali, ketika mereka berpaling ternyata anak tangga itu sudah lenyap
tak berbekas. Bukan cuma anak tangga itu saja yang hilang, bahkan pintu gerbang
dimana mereka masuk tadipun kini sudah tertutup rapat.
Sun Tiong lo segera berpura-pura tidak mengerti, serunya kepada si
nona. "Hei,apa yang telah terjadi" Kita sudah terkurung didalam loteng ini,
bukankah..." "Aku berbuat demikian untuk lebih berhati hati saja" tukas si nona
sambil menerangkan "aku tak ingin ada orang yang datang
mengganggu kita selagi kita melihat bukit diatas loteng nanti, maka
sengaja kututup pintu loteng tersebut !"
"Oooh kiranya begitu, sungguh mengejutkan hatiku !" Nona itu
segera mendengus dingin. "Hm ! Andaikata nyalimu hanya sekecil
itu, mana mungkin berani mendatangi bukit pemakan manusia?" Sun Tiong lo tidak membantah
atsu mendebat lagi, sinar matanya segera dialihkan ke atas loteng itu, kemudian bertanya dengan
nada keheranan dan tidak habis mengerti.
"Tolong tanya nona, dimanakah letak miniatur tersebut ?" Belum lagi
si nona menjawab, Bau ji telah berkata pula dengan
suara dalam. "Nona, ruangan loteng ini kosong melompong tanpa
sesuatu benda apapun, sebetulnya apa tujuan menipu kami mendatangi tempat
semacam ini?" Nona itu tidak menjawab pun tidak menggubris, dia langsung berjalan
menuju ke arah dinding disebelah depan sana.
Sungguh aneh sekali, ketika nona itu akan membentur dengan dinding
tadi, tiba-tiba dinding sebelah selatan terbuka secara otomatis, disana
terlihat sebuah pintu gerbang, ke dalam ruangan itulah sinona itu
berjalan. Sun Tiong lo dan Bau ji saling bertukaran pandangan sekejap,
kemudian merekapun turut masuk kedalam.
Tempat itu adalah sebuah ruangan yang sangat luas, tiada jendela tiada
lubang hawa sehingga suasana sangat gelap sekali.
Agaknya si nona itu sudah melakukan persiapan, dengan cepat dia
membuat api dan memasang dua buah lentera disitu.
Kedua lentera tersebut yang satu tergantung disebelah kiri yang lain
tergantung disebelah kanan, tengahnya terdapat sebuah miniatur tanah
perbukitan yang panjangnya tiga kaki dengan lebar dua kaki,
disekelilingnya tanda-tanda, jumlahnya mencapai delapan belas pasang
lebih, setelah memasang lentera tersebut, nona itu segera duduk dikursi
goyang diunjung ruangan sana, katanya:
"lniJah miniatur yang paling jelas menggambarkan seluruh bagian dari
tanah perbukitan ini, termasuk juga tempat-tempat berbahaya yang
pernah kukatakan tadi, kalian musti memperhatikannya secara teliti dan
mengingatnya baik baik !" Maka Sun Tiong-lo dan Bau-ji segera memusatkan seluruh perhatiannya
untuk memperhatikan miniatur tersebut. Tapi setelah meneliti dengan
seksama, tak urung terkesiap juga kedua orang itu dibuatnya.
Ternyata diatas bukit pemakan manusia hanya ada dua jalan lewat saja,
yang pertama adalah jalan masuk lewat pintu depan, sedang yang lain
berada dibelakang gunung, jalan masuknya saja sudah cukup
berbahaya, jalan keluarnya ternyata berlipat ganda lebih berbahaya lagi.
Tanpa terasa kedua orang itu mendongakkan kepalanya dan saling
berpandangan, sementara itu si nona telah berkata lagi:
"Menurut peraturan yang berlaku disini, hanya waktu satu jam yang
tersedia bagi tamu agung untuk melihat miniatur ini, maka kalian harus
cepat melihat dan mengingat-ingatnya sehingga bermanfaat dikemudian
hari." Mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo segera tertawa, "Nona tidak
bisakah kau memberi waktu yang lebih lama lagi kepada kami?"
pintanya. "Sayang aku tak bisa meluluskan permintaanmu itu." si nona segera
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Nona, mengapa pelit amat sih kau ini?" "Mau percaya atau tidak
terserah kepadamu, pokoknya satu jam
kemudian diatas loteng ini akan terdengar suara keleningan, saat itu
pintu loteng akan terbuka dan anak tangga secara otomatis."
"0ooh .... andaikata secara tidak kebetulan pintu ruangan rahasia ini
tertutup maka apa yang terjadi?" seru Sun tiong lo
"Jika dinding ini tertutup maka ruangan ini akan tertutup dari udara
luar, jika sehari semalam kemudian orang yang berada dalam ruangan
ini akan mati lemas dan tidak bisa tertolong lagi!"
Sun Tiong lo mengerutkan dahinya rapat rapat, dan kemudian katanya:
"Seandainya terkurung di ruangan luar yang tak ada barangnya itu."
"Maka dia akan mati mengenaskan !" tukas sinona. "0oh .. apakah
dia juga akan mati lemas" Si nona menggeleng. "Tidak, dia akan
mati tercincang di kala tubuhnya lemas dan lelah
karena kehabisan tenaga. Mendengar perkataan itu, satu ingatan lantas
melintas dalam benak Sun Tiong-lo. "Lelah?" serunya, "aku tidak mengerti dengan apa
yang di maksudkan oleh nona?" Nona itu mengerling sekejap kearah Sun
Tiong-lo, kemudian ujarnya: "Dengan kecerdasanmu itu, masa kau tak bisa menebaknya
sendiri?" Sekali lagi Sun Tiong lo merasakan hatinya bergerak, tapi diluaran ia
berkata lagi: "Kalau suatu urusan yang tiada wujudnya, mana mungkin bisa di tebak
orang?" Si nona tersenyum, tiba-tiba ia bertanya: "Aku cuma merasa heran,
mengapa kau menanyakan tentang persoalan semacam ini ?" Sun Tiong lo gelengkan kepalanya menunjuk
kan perasaan apa boleh buat, katanya: "Yaaa, apa salahnya untuk bertanya sambil menam
bah pengetahuan." Nona itu mendengus dingin. "Hm dengan bicarakan
waktu berlalu dengan percuma, lebih baik lihatlah miniatur itu dengan seksama." Sun
Tiong lo memperhatikan Bau ji sekejap, ketika dilihatnya
pemuda itu sedang memusatkan semua perhatiannya untuk
memperhatikan semua bentuk dari pegunungan itu, diam-diam dia
lantas mengangguk. Kepada si nona katanya, dengan serius: "Sekarang, aku berpendapat
lebih baik lagi kalau tidak melihat
miniatur tersebut !" Nona itu tampak terkejut setelah mendengar
perkataan itu, serunya dengan cepat: "Apa maksudmu dengan ucapan tersebut ?" Sun
Tiong lo menghela napas panjang, katanya: "Aku cuma
seorang manusia lemah saja, membunuh ayampun tak punya tenaga,
sekali pun mengenali letak bukit itu juga belum tentu bisa melarikan diri
!" Dengan cepat nona itu melompat bangun, serunya: "Apakah sampai
sekarang kau masih mengatakan tak pandai berilmu silat ?"
"Tiaak bisa yaa tidak bisa, kenapa musti dibedakan antara tadi dan
sekarang ?" seru Sun Tionglo tertegun.
Nona itu mendengus dingin, secepat kilat kepalannya segera diayunkan
ke depan menghantam dada Sun Tiong lo.
Serangan itu dilancarkan lebih dulu, kemudian baru berseru: "Kalau
begitu, sama artinya dengan kau menunggu untuk dihajar
oleh bogem mentahku." Tahu-tahu kepalan tersebut sudah meluncur
datang didadanya, dengan kaget bercampur gugup Sun liong lo menutupi kepalanya
dengan tangan, lalu teriaknya: "Jangan keras-keras, aku..." Sementara itu Bauji sudah meluncur ke
hadapan Sun Tiong lo dengan kecepatan tinggi, secara kebetulan sekali dia menerima
datangnya pukulan dari nona itu, kemudian dengan wajah penuh
kegusaran dia melotot kearah si nona sambil berteriak: "Jika kau ingin
berkelahi, biar aku saja yang menemanimu !"
Ketika Bauji menerjang kedepan sambil menghadang dihadapannya tadi,
nona itu sudah menarik kembali serangannya sambil mundur, mendengar
perkataan itu dia lantas tertawa dingin.
"Heeehhh, .. ,heeeeh memangnya kau anggap dirimu itu hebat ?"
"Kalau memang begitu, kenapa kita tidak mencoba-coba ?"
tantang Bau-ji sambil tertawa dingin pula. Dengan pandangan sinis nona
itu melirik sekejap kearahnya, kemudian katanya lagi: "Jangan kau anggap sewak tu menerjang naik
ke gunung secara beruntun bisa melukai delapan orang, maka kau anggap dirimu itu
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebat, terus terang saja kuberitahukan kepadamu, orang-orang yang
berhasil kau lukai itu tak lebih cuma prajurit tak bernama di bukit ini! "
"Mungkin ucapanmu itu benar!" kata Bau ji, kemudian sambil menuding
ke arah si nona terusnya, "cuma kamu sendiri apakah seorang prajurit
tak bernama atau bukan, juga harus dibuktikan, berani bertarung
denganku?" Kali ini nona itu tidak menjadi marah, malahan sebaliknya tertawa,
katanya. "Kalau ingin bertarung lain waktu masih ada waktu, sekarang yang
penting melihat miniatur itu lebih dulu..."
"Aku sudah selesai melihat." tukas Bau ji "maka masih ada cukup
waktu untuk tertamng me lawan mu !"
Nona itu mengerutkan dahinya, kemudian melirik sekejap ke arah Sun
Tiong lo, tak sepatah katapun yang diucapkan.
Sun Tiong lo pura-pura tidak melihat, malahan sambil membalikkan
badarnya dia berjalan menuju ke arah miniatur tersebut.
Si nona yang menyaksikan itu benar-benar marah sekali, sambil
mencibirkan bibirnya dia melotot kearah pemuda itu.
Kebetulan pula Sun Tiong-lo sedang bergumam pada waktu itu: "Yaa,
memang harus memperhatikan miniatur ini dengan
seksama, semut saja ingin hidup apalagi aku mempunyai alasan untuk
tidak mati, asal ada kesempatan hidup, kesempatan tersebut memang
harus digunakan secara baik 2 !"
Bau-ji yang melihat nona itu sama sekali tidak berkata apa-apa, segera
serunya: "Nona, silahkan!" Sekujur tubuh nona itu gemetar keras, mendadak
sambil mendepakkan kakinya ke tanah dia berseru. "Kau
sungguh teramat keji!" Entah ucapan itu sebetulnya
ditujukan pada siapa?" Ketika selesai berkata, tubuhnya segera berkelebat dan menerjang keluar
dan ruang rahasia itu. Sun Tionglo dan Bauji saling berpandangan sekejap, Bauji segera
bergeser keluar ruangan tapi dalam sekejap mata suasana disitu sudah
hening, bayangan tubuh dari nona itu sudah lenyap tak berbekas.
Tanpa terasa Bauji menjerit kaget, Mendengar itu Sun Tiong lo menyusul
keluar ruangan dimana sinar matanya memandang tampak mulut loteng
sudah terbuka tapi dengan cepat menutup kembali.
Kemudian terdengar suara dari nona itu berkumandang yang datang
dari arah bawah: "Aku hendak memperingatkan kepada kalian dua bersaudara, bila
mendengar suara keleningan harus segera turun dari loteng, waktu itu
mulut loteng dan anak tangga akan muncul dengan sendirinya, jika
sampai terlambat sudah pasti kalian akan mampus, waktu itu jangan
salahkan kalau aku tidak memberitahu kepada kalian."
Sekalipun nona itu berlalu dengan hati yang gusar, akan tetapi dia
rupanya masih meng-khawatirkan hal itu.
Menggunskan kesempatan ketika pintu loteng belum tertutup rapat
seluruhnya, dengan cepat berseru: "Kuucapkan banyak terima kasih atas kebaikan nona, sampai waktunya
aku pasti tak akan melupakan nasehatmu itu?"
Selesai berkata kedua orang bersaudara itu segera kembali lagi kedalam
ruang rahasia untuk memperhatikan kembali miniatur tersebut.
Sambil menuding sebuah daerah berawa-rawa, Sun Tiong lo lantas
berkata: "Toako, agaknya tempat ini letaknya pating: dekat dengan mulut bukit,
jika mengikuti miniatur ini, asal kita sudah menyeberangi
daerah berawa-rawa ini kemudian menyeberangi lagi sebuah hutan
lebar, maka jalan keluar itu akan terlihat !"
Bau ji segera menggeleng, katanya. "Jite, sekarang belum bisa
mengambil kesimpulan begini, kita harus melihat keadaan medannya lebih dulu baru bisa diputuskan !"
Sun Tiong lo manggut-manggut. "Toako, apakah kau sudah hafal dengan bentuk miniatur ini?" tanyanya
kemudian. "Yaaa, sudah teringat semua !" Sun Tiong lo segera tertawa.
"Menggumakan kesempatan baik ini, bagaimana kalau kita
berunding dulu tentang jalan yang dilewati bila akan kabur nanti ?"
"Mungkin tempat ini diawasi pula oleh orang lain ?" Kembali Sun Tiong
lo tertawa. "Toako, apakah kau tidak memperhatikan, loteng ini bukan
saja dinding, lantai dan langit langitnya terdiri dari baja murni, bahkan
sedikit lubang hawapun tidak nampak !"
"Oooohh makanya barusan jite sengaja mengirim suara kepadaku untuk
mencari gara-gara dengannja agar nona itu pergi karena marah.?"
"Benar!" Sun Tiong lo mengangguk, "dalam loteng lmpian, semuanya
terdapat pintu rahasia, tempat itu tidak cocok untuk membicarakan
sesuatu yang penting, maka baru aku memaksamu untuk melakukan
tindakan tersebut !" "Jite, apakah kau ada persoalan penting yang hendak di bicarakan
denganku?" Walaupun Sun Tiong-lo percaya bahwa tak mungkin ada orang yang
menyadap pembicaraan mereka disitu, tak urung dia merendahkan juga
suaranya sembari berkata: "Toako, menurut perhitungan lusa pagi kau sudah harus kabur dari
tempat ini, apakah toako sudah mempunyai persiapan atau rencana
tertentu . . . ." Bau-ji segera menggeleng. "Tidak ada !" katanya. Setelah berhenti
sejenak, dia meneruskan. "Cuma ada satu hal
yang aku merasa agak keheranan." "Soal apa?" "Aku sedang merasa
heran dengan perintah dari guru, apakah
dia suruh aku datang ke-bukit pemakan manusia ini adalah untuk...."
Tiba-tiba Sun Tiong-lo bertepuk tangan sambil tersenyum, tukasnya
dengan cepat: "Toako, persoalan itu juga yang membuat siaute merasa
bingung dan tidak habis mengerti." Bau ji tidak berkata lagi, ia hanya
mengerutkan kening sambil termenung.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB KE TUJUH SETELAH termenung beberapa saat lamanya, kembali Sun liong lo
berkata: "Toako, siaute merasa suhu kita berdua sudah pasti bukan tanpa
alasan untuk mengirim kita kemari, tentu tujuannya bukan mencoba
kepandaian silat dan kecerdasan kita saja!"
"Akupun berpendapat demikian, tapi..." Mendadak seperti
memahami akan sesuatu, Sun Tiong lo berkata
kembali : "Betul, toako! Mungkinkah kita sengaja diutus kemari untuk
membongkar rahasia Bukit pemakan manusia ini " Maka kita baru diutus
hampir pada saat yang bersamaan datang kesini ?"
Bau-ji berpikir sebentar, kemudian katanya:
"Seandainya begitu, apa pula yang bisa kita peroleh didalam tiga hari
yang teramat singkat itu?" Sun Tiong-lo segera manggut-manggut. "Betul, bila ingin
membongkar rahasia ini didalam waktu tiga hari
saja..." Mendadak dia menghentikan ucapannya sambil mengerdipkan
matanya berulang kaii. "Ji-te, api kah kau berhasil memikirkan
sesuatu?" tanpa terasa Bau ji segera bertanya. Sun Tionglo cuma termenung sambil
membungkam dalam seribu bahasa, Bauji tahu dia pasti sedang memikirkan suatu persoalan yang
sangat serius maka dia tidak bertanya lagi kuatir memecahkan
perhatian serta konsentrasinya. Lewat beberapa saat kemudian, Sun
Tiong lo baru berkata: "Toako, barusan siaute sedang memikirkan berbagai kemungkinan tapi
semuanya tidak bisa dipakai, satu-satunya yang masuk diakal cuma
alasan yang barusan kita kemukakan itu!"
"Maksudmu kedatangan kita untuk memecahkan rahasia yang
menyelimuti bukit ini..." Sambil mengangguk Sun Tiong-Io menukas: "Yaa, cuma
satu-satunya hal itu saja yang bisa dikatakan masuk
di -akal...." "Tapi balik dengan perkataan tadi, apalah artinya tiga hari
yang teramat singkat itu " Apa yang bisa kita lakukan selama beberapa hari
yang teramat singkat itu?" "Siaute mempunyai suatu pendapat, tentang bagaimana menurut
pendapat toako?" Bau-ji memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian tanyanya.
"Pendapat yang bagaimana ?"
"Yang diartikan dengan menjadi tamu agung selama tiga hari, aku
percaya suhu kita belum pernah mengalami kejadian semacam ini,
karena itu kemungkinan besar mereka juga tidak tahu tentang
peraturan tersebut." "Kemudian, sekalipun suhu kita mengetahui akan peraturan tersebut,
didalam pemikiran kedua orang tua itu persoalan tersebut sudah pasti
tidak tak akan menyusahkan kita berdua."
Bau ji segera bertepuk tangan dan berseru. "Betul, kalau bukan Jite
menyinggung persoalan itu, mungkin sampai sekarang aku masih tak
mengerti, Jite, peraturan menjadi tamu agung selama tiga hari ini apa
sangkut pautnya dengan kita?" "Apakah toako ingin mengerti?" tugas Sun-Tionglo sambil tertawa.
Bau ji-turut tertawa pula. "Pepatah kuno mengatakan "Kalau
perkataan tidak diucapkan tak akan tahu, kayu tidak ditembus tak akan berlubang, kuali tak dilubangi,
sepanjang masa takkan bocor! setelah kau singgung tadi, kini aku
paham sekali!" Tiba-tiba paras muka Sun Tiong lo berubah menjadi amat serius, dan
katanya: "Toako, kalau begitu kita harus membicarakan bagaimana cara kita
untuk melarikan diri." "Hei, melarikan diri apa lagi yang hendak kita rencanakan sekarang..?"
seru Bau ji tercengang. Sun Tiong lo tahu kalau Bau ji telah salah mengartikan katanya, maka
dia berkata. "Toako, bila waktu untuk menjadi tamu sudah habis, kita toh harus
melarikan diri ?" Bau ji manggut-manggut. "Tentu saja, cuma kita kan sudah bertekad untuk tidak pergi
meninggalkan tempat ini..." "Tidak pergi toh cuma diketahui kita berdua saja" tukas Sun Tiong lo
cepat, "Tapi terhadap setiap orang yang berada disini, kita harus
menanamkan suatu keyakinan bahwa kita sudah pergi dan sedang
melarikan diri, dengan begitu rencana kita baru akan berhasil dengan
sukses." Setelah diberi penjelasan, Bau ji baru mengerti, dia lantas
manggut-manggut. "Betul, kita memang harus membuat suatu rencana yang cukup matang
didalam hal ini." "Apakah toako mempunyai rencana ?" Bau-ji menggeleng. "Tidak ada,
pokoknya kita harus bermain petak bersama mereka diatas bukit ini !"
Tapi dengan serius Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Toako, kita tak boleh bermain petak !"
"Kenapa " Apakah kau mempunyai cara lalu yang lebih bagus lagi ?"
seru Bauji tidak habis mengerti. Sun Tiong lo manggut-manggut. "Mereka jauh lebih memahami
keadaan di tempat ini daripada kita, siaute yakin setiap tempat yang kemungkinan besar bisa dipakai
untuk menyembunyikan diri pasti sudah diketahui mereka dengan
sejelas-jelasnya, mereka tak akan melepaskan kita dengan begitu saja!"
Bau ji berpikir sebentar, lalu mengangguk "Yaaah, hal ini sudah jelas
sekali." Sesudah berhenti sejenak, diapun bertanya. "Jite menurut
pendapatmu, apa yang harus kita lakukan
sekarang?" Agaknya Sun Tiong lo sudah mempunyai rencana yang
cukup matang, sahutnya kemudian. "Ketika toako naik keatas bukit ini untuk pertama kalinya tadi, apakah
mereka itu telah memberitahukan suatu peraturan kepada toako?"
Bauji berpikir sebentar lalu bertanya: "Apakah kau maksudkan batas
waktu yang ditentukan setelah melarikan diri?" "Betul, karena waktu yang paling berbahaya buat kita
seluruhnya selama tiga hari." "Jite, apakah kamu percaya dengan segala omongan
setan itu?" seru Bauji sambil menggelengkan kepala. "Tentu saja ucapan tersebut
tak boleh dipercaya dengan begitu saja." "Nah, itulah dia, seandainya kita percaya pada perkataan mereka
dan munculkan dirinya retelah lewat masa yang ditentukan, mereka
pasti akan mempergunakan segala macam cara untuk mencelakai kita
sampai mati!" "Kemungkinan kesitu tentu ada." "Bukan mungkin lagi, tapi sudah
pasti demikian!" tukas Bau ji lagi
dengan cepat. Sun Tionglo mengerutkan dahinya dan kemudian
berkata: "Cara pemikiran siaute dengan toako, paling tidak harus saling
ada perhubungan!" "Apakah jite hendak mencobanya?" tanya Bau-ji
dengan perasaan tidak mengerti. Ucapan tersebut dengan cepat menimbulkan
satu ingatan didalam benak Sun Tiong lo dan katanya kemudian: "Bagaimana kalau
begitu saja, toako berada di tempat kegelapan,
sedangkan siaute secara terang-terangan."
Sambil menggeleng Bau ji segera menukas:
"Jite, persoalan ini bukan masalah untuk bermain-main, kuanjurkan
kepadamu lebih baik mempertimbangkan dulu secara masak-masak !"
Sun Tiong lo tertawa, katanya: "Toako tak usah kuatir, kalau siaute
berani muncul secara terang-terangan berarti aku pasti mempunyai kekuatan untuk
melindungi keselamatan jiwaku sendiri, memangnya kau ingin mampus
?" "Apalagi kita adalah bertujuan untuk membongkar rahasia yang
menyelimuti bukit ini, jika satu dari dalam satu dari luar kita turun
tangan bersama, selain bisa saling membantu, juga bisa membuat
musuh menjadi kebingungan dan curiga."
"Misalnya saja kita berhasil menemukan suatu rahasia dan perlu untuk
dilakukan penyelidikan, waktu itu siaute akan sengaja menimbulkan
gara-gara untuk menarik perhatian mereka, bukankah toako bisa turun
tangan secara diam diam ?" "Ketika persoalannya sudah terselidik, mereka pasti tak akan bisa berkata
apa-apa lagi, sekalipun menemukan sesuatu yang mencurigakan, mereka
juga tak akan menduga sampai diri toako."
"Bila satu dibelakang satu dimuka, satu dengan terangan yang lain main
sembunyi, aku yakin mereka pasti akan dibikin kebingungan dan gugup,
asal mereka sudah mulai panik, itu berati akan sangat bermanfaat sekali
bagi usaha penyelidikan kita."
Bauji berpikir sebentar, lalu katanya: "Ucapan ini memang sangat
masuk diakal, cuma juga keliwat berbahaya." "Jangan kuatir toako." hibur Sun Tiong lo. "siaute pasti
dapat melewati semua mara bahaya itu dengan selamat!" Tapi Bauji
masih belum lega juga, katanya lagi: "Bagaimana kalau kita
rundingkan kembali persoalan ini ?"
Dengan cepat Sun Tiong lo menggeleng, "Toako, waktu sudah amat
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendesak, persoalan ini harus segera diputuskan." serunya.
"Apa salanya kalau kita berkerja dari kegelapan saja ?" kata Bau ji
dengan kening berkerut. Sekali lagi Sun Tiong lo gelengkan kepalanya berulang kali. "Toako
tak boleh terlalu pandang rendah Sancu dari bukit ini, bila
ada satu diluar dan satu didalam, maka orang yang berada diluar itu
bisa mengaturkan segala sesuatunya bagi orang yang berada dibalik
kegelapan.." "Aaai... sudahlah. kalau jite memang begitu yakin dengan
kemampuanmu, akupun tak akan menghalangi lagi!"
Sun Tiong lo tertawa. "Tak usah kuatir toako" katanya, "siaute
ucapkan sepatah kata tekabur, bilamana sampai terjadi suatu pertarungan maka jangan harap
orang orang diatas bukit.. pemakan manusia ini bisa menghalangi
kepergian siaute !" Bauji segera merendahkan suaranya sambil berkata: "Jite tadi kau
anjurkan kepadaku agar jangan terlalu pandang
enteng sancu dari bukit ini, sekarang mengapa kau malah memandang
enteng dirinya" Padahal semenjak menyerbu kemari, aku memang
berhasrat untuk menjajal kemampuannya."
Belum habis dia berkata, Sun Tiong lo telah menukas. "Siaute sama
sekali tidak berniat untuk memandang rendah
rendah dirinya, harap toako jangan kuatir!" Bau ji memandang sekejap
ke arah Sun Tiong lo, kemudian dengan nada yang bermaksud dalam pesannya. "Jite, jangan lupa, kita
masih ada dendam sakit hati sedalam
lautan yang belum dibalas!" "Dendam berdarah ayah dan ibu mana
berani siaute lupakan." jawab Sun Tiong lo dengan serius. "Kalau memang begitu bagus sekali, entah dikemudian hari jite akan
berdiam disini secara terang terangan atau secara menggelap,
pokoknya kau musti berhati-hati, jangan sampai aku merisaukan
keselamatan jiwamu!" "Baik, siaute pasti berusaha untuk menghadapinya dengan waspada dan
hati-hati." tiba-tiba Bau ji menghela napas, "Ada suatu pertanyaan,
sudah lama sekali ingin kutanyakan kepada jite." katanya.
"Katakanlah saja toako!" "Apakah jite percaya bahwa manusia
berkerudung yang kuceritakan kemarin benar benar telah mempergunakan tenaga
pukulannya yang maha sakti untuk memaksa pedang ibuku menusuk
tubuh ayah?" "Siaute mempercayainya penuh!" jawab Sun-Tiong lo tanpa berpikir
panjang lagi. "Apakah disebabkan aku berkata demikian?" tanya Bauji sambil
menatap saudaranya tajam. Dengan cepat Sun Tiong lo menggeleng "Bukan, bukan cuma karena
perkataan dari toako saja", "Jadi karena masih ada alasan lainnya?"
"Toako, masih ingatkah kau sewaktu siaute jatuh pingsan diluar
jendela ruangan waktu itu?" Bau ji menghela napas dan mengangguk
"Yaa, selama hibup aku tak akan melupakan-nya!" "Walaupun siaute
jatuh tak sadarkan diri, meski mata tak bisa
melek dan tubuh tak bisa bergerak, tapi hatiku mengerti dan telingaku
bisa mendengar, sekarang tentunya sudah paham bukan."
Bau ji segera manggut-manggut. "Kalau begitu akupun merasa
lega!" setelah berhenti sebentar,
kembali ujarnya. "Cuma akupun meluluskan jite, cepat atau lambat aku pasti akan
menangkap manusia berkerudung itu, kemudian menyuruhnya
menceritakan sendiri akan semua kejadian tersebut kepadamu?"
"Toako, tidak perlu berbuat demikian!" kata Sun Tiong lo sambil
menggenggam tangan Bauji erat-erat.
"Perlu! aku hendak menyuruh dia berlutut didepan kuburan ayah dan
toanio, kemudian baru dia menceritakan semua kejadian tersebut agar
arwah yang telah tiada itu bisa beristirahat dengan tenang di alam
baka." "Terima kasih toako!" bisik Sun Tiong lo sambil menunduk.
Mendengar perkataan itu, Hau ji malah menjadi tertegun,
serunya: "Kita adalah saudara seayah, mengapa kau musti berterima
kasih kepadaku?" Mendadak Sun Tiong lo mendongakkan kepalanya, dengan
air mata membasahi matanya dia menyahut: "Siaute berterima kasih atas
panggilan toako terhadap ibuku." "0ooh..... kiranya begitu" Bauji lantas
tertunduk, "sudah sepantasnya kalau aku berbuat demikian" Setelah berhenti sebentar
dengan agak murung dia berkata lagi: "Aku merasa agak heran,
persoalan antara ayah dengan ibuku dulu sesungguhnya..." "Toako, bagaimana kalau untuk sementara
waktu kita jangan membicarakan dulu persoalan tersebut ?" tukas Sun Tiong lo Bauji
menghela napas panjang. "Aaaaaai, aku tahu bagaimanakah perasaan
jite, cuma ada sepatah kata harus kuutarakan juga, masih ingatkar jite, berapa usia
kita sewaktu berjumpa untuk pertama kalinya dulu ?"
"Tentu saja aku masih ingat, toako tujuh tahun dan siaute lima tahun."
"Jite, percayakah kau dengan kesimpulan yang diambil oleh seorang
bocah berusia tujuh tahun ?" Sun Tiong lo menjadi tertegun. "Hal ini tergantung pada persoalan
apakah itu" katanya. "Masalah yang menyangkut ibunya !"
"Seharusnya bisa dipercaya" kata Sun Tiong lo dengan serius,
"sebab dalam perasaan seorang anak, orang tua adalah paling agung."
Bau ji memandang sekejap kearah Sun Tiong lo, kemudian katanya:
"Kalau memang jite berkata demikian, akupun tak akan banyak bicara."
Sun Tiong-lo tidak berbicara apa-apa, karena itu terpaksa Bau ji juga
termenung. Kebetulan sekali bunyi keliningan telah menggema, pintu ruangan
terbuka kembali dan anak tangga pun muncul secara otomatis.
"Toako, kita harus pergi dari sini!" kata Sun Tioaglo kemudian
memecahkan keheningan. Diluar loteng, congkoan Chin Hui-hou dengan wajah dingin telah
menunggu. Bauji sama sekali tidak mengubrisnya, sedangkan Sun Tiong Lo segera
menegur: "Congkoan, ada urusan apa kau berdiri menanti disini?" "Lohu
mendapat perintah dari nona untuk menemani kalian
berdua berkunjung ke seluruh tanah perbukitan kami!" jawab Chin Hui
hau dengan ketus. "Oooh kemana si nona itu?"
Dengan mendongkol dan gemas Chin Hui-hou segera menjawab.
"Nona adalah seorang terhormat, bukan khusus petunjuk jalan
untuk kalian!" "0oh... kalau begitu Congkoan adalah seorang petugas
yang khusus menghantar tamu mengelilingi bukit?" Chin Huihau menjadi
terbungkam, sekalipun ia merasa gusar
sekali juga tak mampu berbuat apa-apa. Dengan cepat Sun Tiong lo
berkata lagi, "kalau memang begitu,
harap congkoan datang lagi setengah jam kemudian di loteng
impian-aku dan Sun heng sudah amat lelah sekali sehabis melihat
miniatur tersebut!" Chin Hui hou segera mendengus, "Maaf seribu kali maaf, Lohu cuma
punya waktu sekarang saja, selewatnya setengah jam, aku masih ada
urusan dinas lain yang harus di selesaikan aku tak bisa menunggu
terlalu lama lagi" Sun Tiong lo juga mendengus. "Hmm...! congkoan anggap dalam
setengah jam kita bisa mengelilingi seluruh tanah perbukitan ini ?" Chin Hui hou segera
gelengkan kepalanya sambil tertawa licik,
jawabnya: "Bila ingin menjelajahi seluruh tempat, sepuluh hari baru bisa
diselesaikan !" Sun Tiong lo juga tertawa licik, katnya cepat: "Kalau
begitu, congkoan bersedia untuk menemani kami selama
setengah jam saja?" "Lohu tidak pernah berkata demikian !"
"Tegasnya saja berapa lama congkoan bisa menemani kami "!"
"Selama kami masih menjadi tamu agung kami, berapa lama kalian
suruh lohu menemani, lohu akan menemani berapa lama pula !"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Nah, itulah dia, bagaimanapun juga
dalam setengah jam toh tak akan terselesaikan. .?" Rupanya Chin Hui-hou sudah memahami ucapan
dari Sun Tiong lo tersebut, maka dengan cepat dia menyambung: "Bukan begitu
maksudku, bila kalian tak mau pergi sekarang juga, terpaksa lohu akan
pergi menyelesaikan persoalan lainnya, pokoknya kalau kalian tak mau
pergi sekarang, lohu tak punya waktu lagi."
"Yaaa... . yaaaa,. .. orang bilang kalau sudah menjadi budak orang
memang musti bekerja sungguh-sungguh, congkoan memang rajin
sekali," sindir Sun Tiong lo sekali lagi.
Chin Hui-hou tertawa seram : "Heeeeh... heeehhh... . kau tak usah
menyindir, rajin atau tidak adalah urusanku sendiri, kau tak usah turut
campur !" Sun Tiong lo balas tertawa dingin: "Congkoan juga jangan lupa,
menemani tamu agung berjaIanjalan juga merupakan salah satu tugasmu !" Belum sempat Chin Hui
hou mengucapkan sesuatu, Sun Tionglo
telah berkata lebih jauh. "Pokoknya aku sudah mengambil keputusan
begini, sampai waktunya nanti kunantikan lagi kedatangan Congkoan." Selesai
berkata, dia lantas berpaling kearah Pau ji sambil serunya
lantang. "Sun heng, bagaimana kalau kita kembali dulu ke loteng
impian untuk beristirahat ?" "Bagus sekali" seru Bau ji sambil mengangguk,
"silahkan saudara Sun-heng." Dua bersaudara itu sambil saling menjura segera berlalu dari situ tanpa
menggubris diri Chin Hui hau lagi. Menyaksikan kesemuanya itu, Chin Hui hou benar-benar merasa
mendongkolnya bukan kepalang, sambil menggertak gigi menahan
emosi, sumpahnya kepada bayangan punggung Sun Tiong lo yang telan
pergi menjauh itu. "Anjing keparat, nantikan saja nanti, kalau aku tidak mencingcang
tubuhmu menjadi berkeping-keping."
Belum habis perkataan itu, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar
suara si nona sedang menegur dengan suara sedingin es:
"Chin congkoan, begitu bencikah kau terhadapnya?" Chin Hui hou
merasa terperanjat sekali setelah mendengar
perkataan itu, buru-buru dia membalikkan badannya dan menjura
dengan penuh rasa hormat, katanya: "Nona harap maklumi makhluk keparat itu benar-benar menggemaskan
sekali!" "Ooh.... sampai dimanakah menggemaskan nya-itu?" tanya si nona
sambil tertawa dingin. Walaupun Chin Hui hou dapat mendengar bahwa ucapan dari si nona
itu mengandung nada yang tak enak, tapi ia tak punya akal lain untuk
menghindari keadaan tersebut, terpaksa sambil menggigit bibirnya
kencang kencang katanya: "Bila nona dapat mendengar apa yang dia katakan kepada hamba, kau
pasti akan memahaminya!" Nona itu segera mendengus dingin. "Hmm! Kau anggap aku tak
mendengarnya!" "Kalau memang nona sudah mendengar dengan
jelas, tentunya kau tak akan menyalahkan hamba jika sampai memakinya sebagai
anjing cilik !" bantah Chin Hui hou makin berani.
"Chin congkoan !" seru Nona itu dengan wajah dingin "Ucapan yang
manakah kau anggap tak sedap di dengar?"
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 6 "MlSALKAN saja dia sengaja menyusahkan hamba dengan
menyuruh hamba balik kembali setengah jam kemudian. . ." "Dia adalah
tamu agung" tukas si nona dengan suara dalam,
"sancu juga sudah mengeluarkan peraturan, dia sama sekali tidak
bersalah !" Buru-buru Chin Hui-hou berkata lagi: "Dia memakiku sebagai budak
orang yang bekerja rajin, bukankah kata kata ini merupakan suatu
penghinaan terhadap diri hamba, bagaimana pula dengan hal ini ?"
"Mengapa tidak kau anggap ucapan tersebut sebagai angin yang
berlalu " Apakah harus dipersoalkan terus?" jawab sinona dingin.
Chin hui-hou menjadi berdiri bodoh, untuk beberapa saat lamanya dia
tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Kembali nona itu mendengus dingin dan berkata: "Aku tahu, kau
membencinya, karena kau disuruh melayaninya
minum arak, maka kau menyimpannya persoalan ini dihati, kau
mendendamnya dan ingin membalas idendam itu padanya, Hmmm! Chin
hui-hou, aku peringatkan padamu, kau jangan mencoba melanggar akan
peraturan lagi!" Hampir meledak dacia Cnin hui ho karena dongkolnya, tapi dia berusaha
keras untuk mengendalikan perasaannya dengan sikap rasa hormat
katanya: "Baik, hamba akan mengingatnya selalu!"
Sepatah demi sepatah nona itu berseru.
"Setengah jam kemudian, pergilah keloteng impian dan menantikan
perintah dari tamu agung!" Kali ini seluruh badan Chin Hui-hou seperti mau meledak, biji matanya
hampir saja melotot keluar, tapi sebisanya dia simpan semua perasaan
tersebut didalam hatinya. Dengan tertawa yang dipaksakan katanya kemudian dengan suara amat
lirih: "Baik, baik-hamba akan turut perintah !"
Nona itu menatapnya sekejap, kemudian berkata: "Sekali lagi
kuberitahukan kepadamu, sebelum pergi meninggalkan bukit ini, Sancu
telah berbincang-bincang dengan Sun kongcu, dia berpesan agar Sun
kongcu menunggu sampai dia pulang gunung, mengertikah kau..."
Mendengar perkataan itu, Chin Hui-hou baru merasa amat terperanjat
serunya tertahan: "Nona, sungguhkah telah terjadi peristiwa ini ?"
"Kau bilang apa..."!" bentak si nona de ngan mata melotot dan penuh
kegusaran. Buru-buru Chin hui hou membungkukkan badannya meminta maaf,
katanya dengan cepat: "Berhubung kejadian ini diluar dugaan, hamba telah salah tingkah,
hamba harap nona sudi memaafkan dosaku!"
Nona itu mendengus dingin. "Hmm ! Kau juga tahu bagaimana watak
Sancu, juga tahu bagaimana jalan pemikirannya, siapa tahu Sun kongcu akan
mendapatkan pandangan istimewa dari Sancu" jika sampai begitu..."
"Baik baik... hamba mengucapkan banyak atas petunjuk dari nona"
"Tak usah banyak bicara lagi", seru si nona sambil tertawa dingin,
"Lebih berhati hatilah sikapmu mulai sekarang."
Setelah berkata, nona itu membalikkan badan dan kembali kekamarnya.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** "CHIN CONG KOAN apakah semuanya itu hanya
pohon siong saja disitu?" terdengar Sun Tiong lo bertanya sambil menunjuk ke sebuah
hutan disebelah kanannya. Sekarang, mau tak mau Chin Hui hou harus bermanis muka, sahutnya
sambil berkata: "Betul, semuanya pohon siong !" Sun Tiong lo segera berkerut
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kening, kemudian katanya lagi: "Chin congkoan, mungkinkah lantaran pengaruh dari tanah, maka..."
"Kongcu memang pintar, tempat itu memang kurang begitu gampang
untuk ditumbuhi!" "Dibelakang hutan itu mungkin terletak rawa-rawa bukan ?" "Benar,
setelah melewati daerah rawa rawa dan membelok pada
suatu tebing yang terjal orang akan sampai dimulut bukit sebelah
belakang sana ?" "Apakah dari sini ada jalan yang tembus dengan rawa-rawa tersebut...?"
tanya Bau ji sambil menuding hutan pohon siong yang gundul itu.
Chin Hui hou segera menggeleng. "Tiada jalan lain, jika ada orang
ingin melarikan diri melalui jalan ini maka dia harus menyeberangi rawa-rawa tersebut, teringat pada
lima tahun berselang, ada juga dua orang yang kabur lewat sana, tapi
kemudian..." Berbicara sampai disitu, mendadak ia berhenti berbicara dan tidak
melanjutkan kembali kata-katanya. "Bagaimana kemudian ?" tanya Bau ji tanpa terasa. Chin Hui hou
segera tertawa terkekeh-kekeh. "Dua orang sahabat itu tak perlu
merepotkan lohu lagi, heeeeehh... heeeehh..." "Oooooh, maksud congkoan, mereka tewas
dirawa-rawa tersebut ?" tanya Sun Tiong lo. Dengan gaya kucing menangisi tikus, Chin Hui
hou menghela napas panjang, kemudian katanya: "Siapa bilang tidak " Hutan pohon
yang gundul itu sangat beracun, rawa-rawa itu lebih beracun lagi,
kecuali kalau orang itu adalah dewa yang bisa berjalan sejauh beberapa
li tanpa menginjak tanah." Orang ini benar-benar licik dan keji, ternyata ia berhenti sampai
ditengah jalan dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
Dengan cepat Sun Tiong lo mengalihkan pembicaraannya kesoal lain,
katanya: "Tampaknya jalan ini hanya sebuah jalan mati ?"
Chin Hui hou yang licik ternyata tidak menjawab, malahan dia menutup
mulutnya rapat-rapat. Dengan kening berkerut Bau ji berkata: "Lebih baik kita balik saja, coba
kita lihat sebelah kanan dari belakang bukit tersebut !" .
"Tidak, lebih baik kongcu sekalian melihat-lihat dulu jalan tembusan
disekitar sini !" kali ini Chin Hui hou otomatis membuka suaranya
memberi saran. Sun Tiong lo segera tertawa. "Pentingkah itu bagi kami ?" katanya, Chin
Hui hou juga tertawa. "Pokoknya lohu tak akan menyuruh kongcu melakukan perjalanan
dengan sia-sia !" "Haaahh... haaaahh... kalau begitu bagus sekali, harap congkoan suka
menemani kami !" Maka Chin Hui hon berjalan didepan, Bau ji ditengah dan Sun Tiong lo
dibelakang segera berjalan mendekati jalan keluar bukit tersebut.
Setelah berbelok-belok, mulut bukitpun berada didepan mata. Sebuah
jeram yang sangat dalam menghadang jalan pergi mereka, jeram itu
delapan sembilan belas kaki lebarnya, sekalipun seorang jago kelas satu
dari dunia persilatan juga jangan harap bisa melewati jeram ini dengan
ilmu meringankan tubuhnya. Dari tepi jeram tersebut sampai dimulut bukit jaraknya tinggal setengah
lie, dan lagi merupakan sebuah jalan lurus.
Sambil menuding jalan lurus tersebut, Sun Tiong lo lantas bertanya:
"Chin congkoan, dibalik jalan lurus tidak adakah terdapat
jebakan-jebakan yang berbahaya?"
Chin Hui hou segera tertawa terkekeh-kekeh. "Menurut dugaan
kongcu?" ia balik bertanya. Sun Tiong lo segera menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Masalah ini bukanlah masalah yang boleh
ditebak secara sembarangan !" katanya. Sekali lagi Chin Hui-hou tertawa
terkekeh-kekeh. "Bila lohu mengatakan tak ada, kongcu tentu tak
percaya, padahal ada atau tidak lohu sendiripun tak tahu, sebab selama belasan
tahun belakangan ini..." "Belum pernah ada orang yang berhasil kabur melewati jeram
berbahaya ini bukan ?" sambung Sun Tiong lo.
Chin Hui hou segera terkekeh dengan seramnya. "Heeeeehh,heeeeehhhh,
kongcu memang sangat pintar, tak heran Sancu bisa memandang serius
kepadamu ?" Sun Tionglo tertawa. "San cu berjanji denganku untuk berbincang-bingcang lima hari
kemudian, apakah congkan tahu akan soal ini ?"
Chin Hui hou segera tertawa dingin. "Jangan lupa kongcu, lohu adalah
congkoan dari tanah perbukitan ini." serunya. "Benar benar, lagi pula merupakan seorang
Congkoan yang paling berkuasa !" sambung Sun Tiong lo Chin Hui hou tidak menjawab
ucapan tersebut, sebaliknya sambil menunjuk ke arah jeram dihadapannya, dia berkata: "Kongcu, mengapa
tidak kau tanyakan bagai mana caranya
menyeberangi jeram ini ?" Sun Tionglo gelengkan kepalanya berulang
kali, sahutnya: "Aku toh tak lebih cuma seorang manusia lemah yang
membunuh ayampun tak mampu, apa gunanya menanyakan soal itu?"
Chin Hui hou mengerling sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian
sambil berpaling ke arah Bauji, katanya:
"Kau pernah menyerbu masuk ke dalam bukit ini dengan kekerasan, aku
pikir kepandaian silat yang kau miliki tentu luar biasa sekali, tolong tanya
sanggupkah kau melompati jeram ini dengan sekali lompatan mencapai
jarak sejauh delapan sembilan belas kaki ?"
Bau ji mengerling sekejap kearahnya dan sama sekali tidak
mengucapkan separah katapun. "Tolong tanya apakah congkoan mampu ?" Sun Tiong lo segera balik
bertanya. Chin Hou menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya: "Bila
lohu bisa memiliki ilmu meringankan tubuh selihay itu, wah,
hal ini tentu saja lebih baik lagi."
Sun Tiong lo segera tertawa, katanya kembali: "Congkoan, konon
yang memangku tugas pemburu terhadap
tawanan adalah congkoan . ." "Benar, lohu dan Kim Poo Cu yang tugas
dalam pekerjaan ini !" tukas Chin Hui lo hou. "Tak ada yang lain?" "Kongcu, apakah kau lupa
dengan apa yang pernah lohu katakan
kepadamu?" "Oooh, maaf ! Akulah yang teledor !" setelah berhenti
sejenak lanjutnya: "Kalau memang orang yang bertugas mengejar tawanan
hanya congkoan dan sobat Kim, sedang congkoan mengaku tak akan sanggup
menyeberangi jeram ini, maka tentunya sobat Kim lah yang memiliki
kemampuan untuk melakukan hal itu."
Chin Hui hou segera tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh.. ,, - haaahhh ..
. . ,haaahhh lagi-lagi kongcu keliru besar." katanya, "Meskipun Kim Poo
cu memiliki sejenis tenaga dalam yang amat sakti, tapi kalau suruh dia
melompati jeram ini, mungkin sekalipun dibunuh tak akan mampu."
"Aaah,...! Kalau memang begitu, aku menjadi benar-benar tak habis
mengerti !" "Apakah yang tidak kau pahami ?" "Andaikata orang yang melarikan
diri itu berhasil melewati jeram tersebut, bukankah kalian berdua cuma bisa memandang dia melarikan
diri tanpa sanggup berbuat apa-apa."
"Benar" Chin Hui hou mengangguk, "cuma sayang selama banyak
tahun, belum pernah kujumpai kasus semacam ini!"
Sun Tiong lo segera gelengkan kepalanya berulang kali, katanya,
"Tak bisa melewati jeram tersebut adalan urusan lain, jika aku
adalah sancu tempat ini..." Dia sengaja menghentikan ucapannya itu dan tidak dilanjutkan kembali.
Chin Hui hou juga tidak bertanya, seakan-akan dia sudah mempunyai
sesuatu yang bisa diandalkan. Pada saat itulah, tiba tiba Bau ji berkata. "Tidak ada yang bisa dilihat
lagi, lebih baik kita pulang untuk beristirahat saja." Tampaknyo Chin Hui hou seperti mengandung
maksud lain, dengan cepat katanya. "Bila kau bersedia mendengarkan anjuranku, lebih
baik perhatikan lagi keadaan medan di sekeliling tempat ini, sebab kau tidak
semujur Sun kong cu ini, kau hanya mempunyai batas waktu selama
tiga hari saja." "Kalau tiga hari lantas kenapa" jengek Bau ji dingin. Chin Hui hou
segera tertawa, katanya. "Hari ini sudah berlalu sehari..." Sesudah
berhenti sebentar, kembali dia bergumam. "Waktu sedetik lebih
berarti daripada emas setahil, emas setahil
belum tentu bisa membeli waktu sedetik !" Bau ji segera mendengus
dingin. Hemm. kata kata tersebut memang sebuah kata yang indah,
sayang sekali muncul dari mulut seorang manusia semacam kau.
sayang sayang!" Chin Hui hou segera tertawa, serunya. "Kata-kata yang indah adalah
tetap kata yang indah, perduli amat ucapan tersebut muncul dari mulut siapa?" Pada saat itulah
mendadak Sun Tiong lo ju ga menghela nafas
panjang sambil menggumam. "Aaai sayang, sayang...!"
Chin Hui hou jadi tertegun, lalu tanyanya. "Apa yang kongcu
sayangkan?" "Sayang aku cuma seorang sastrawan yang lemah dan tidak mengerti
akan ilmu silat !" Chin Hui hou segera melototkan matanya benar-benar, serunya
kemudian dengan nyaring. "Bila kongcu mengerti akan ilmu silat, lantas apa yang kau lakukan?"
"Silahkan congkoan memperhatikan keadaan disekeliiing tempat ini..!"
ujar Sun Tiong lo sambil menuding kedaerah sekeliling tempat itu.
Dengan mata tajam Chin Hui hou segera memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya lagi:
"Buat apa melihat kesemuanya lagi." "Apakah congkoan melihat
adanya seseorang ?" Chin Hui hou segera tertawa: "Disini sama
sekali tak ada orang lain, tentu saja tak seorang
manusiapun yang kelihatan!" Sun Tiong lo segera mengangguk. "Nah,
itulah dia ! Saat ini kecuali aku dan Sunheng serta
Congkoan, disini sama sekali tak ada orang keempat, seandainya aku
mengerti ilmu silat, bukankah saat ini merupakan suatu kesempatan
yang paling baik buat kami ?" Chin Hui hou menjadi tertegun dan berdiri dengan perasaan tidak habis
mengerti. Sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Sun Tiong lo telah berkata
lebih jauh: "Waktu itu, aku dan Sun-heng bisa bekerja sama untuk
membunuh congkoan, kamipun tak usah kuatir perbuatan ini sampai
ketahuan orang lain, kemudian dengan mempergunakan rotan yang
dibuat tali menyeberangi jeram ini, bukankah dengan begitu kami akan
segera dapat meloloskan diri dari bukit ini ?"
Bau ji tidak memahami tujuan dari ucapan Sun Tiong lo tersebut,
dengan cepat dia menyambung: "Benar, Sunheng, mengapa kita tidak
mencobanya "!" Paras muka Chin Hui hou segera berubah hebat, mendadak dia
melompat mundur sejauh beberapa kaki dari situ.
Sun Tiong lo tertawa getir, sambil gelengkan kepalanya dan
mengangkat bahu dia berkata lagi kepada Bauji.
"Sun-heng, jangan lupa aku tak hanya seorang sastrawan lemah yang
sama sekali tak berguna." Bau ji segera berkerut kening, sedangkan paras muka Chin Hui hou
juga pelan-pelan pulih kembali menjadi tenang.
Sesaat kemudian Sun Tiong lo berpaling ke-arah Chin Hui hou dan
menegur sambil tertawa. "Congkoan, apakah barusan kau merasa takut?" Sesungguhnya
sampai detik itu jantung Chin-Hui hou masih
berdebar keras, tapi diluaran jawabannya dengan ketus: "Omong
kosong, sekalipun- kongcu mengerti ilmu siiat, lohu juga
tak bakal menjadi jeri!" "Oooh, sungguhkah itu?" "Tentu saja sungguh!"
jawab Chin Hui holt sambil menunjukkan
senyuman paksa. "Bagaimana kalau kita coba?" tentang Sun-Tionglo,
"Sun-heng kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, hayo kita
turun tangan!" kata Bau ji. Mendadak Chin hui hou mundur lagi sejauh
delapan depa, segenap tenaga dalamnya di him pun untuk bersiap siaga menghadapi
segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Sun Tiong lo tidak menjawab, diapun cuma tertawa getir belaka seperti
sedia kala. Senyum getir itu segera melegakan debaran jantungnya Chin hui hou
yang sudah menegang selama ini, dia pura-pura berlagak tertawa lebar,
kemudian katanya: "Kong cu memang tak malu menjadi seorang anak sekolahan, ternyata
pandai juga kau ini menggertak orang."
Siapa tahu secara tiba-tiba Sun Tiong lo maju dua langkah kemuka, dan
lalu dengan serius katanya, "Chin hui hou, apakah kau menganggap aku
benar benar tak pandai bersilat?"
Sekali lagi Chin Hui hou merasakan jantung nya berdebar keras, tapi
dengan nada menyelidik kembali dia bertanya.
"Kongcu, jangan bergurau terus" Lebih baik kita sudahi gurauan ini
sampai disini saja !" Sun Tiong-lo segera mendengus dingin, "Hm! Siapa yang sedang
bergurau denganmu?" Setelah berhenti sejenak pada Bau ji serunya. "Sun heng, cepat
hadang jalan mundurnya !" Bau-ji mengiakan, dengan cepat dia
melompat kemuka aan menghadang ditengah satu-satunya jalan mundur yang ada disana.
Sekarang, paras muka Chin Hui hou baru berubah hebat, serunya
dengan tergagap. "Kongcu, kau... kau...kau sungguhan ?" "Menurut
kau?" Sun Tiong-lo balik bertanya sambil mengawasi
lawannya itu dengan lekat-lekat. Dengan segala kemampuan yang ada
Chin hui hou berusaha untuk mengendalikan rasa-kaget dan gugup di dalam hatinya, kemudian
katanya: "Aku tebak kongcu hanya bermaksud untuk bergurau saja, apa lagi
kongcu memang tidak mengerti ilmu silat, selain dari pada itu sekalipun
pihak kami sangat menuruti kemauan tamu agungnya."
"Darimana kamu bisa tahu kalau aku tidak mengerti ilmu silat?" tukas
Sun Tiong lo. Chin hui-hou segera tertawa paksa. "Ketika kongcu masuk ke atas
bukit ini bukankah kau mengatakan tidak mengerti akan ilmu silat."
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB DELAPAN SUN TIONG LO segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah....haaaaahh..... percayakah kau dengan perkataanku "!"
Chin Hui hou menjadi berdiri bodoh, paras mukanya sekarang
telah berubah menjadi amat tak sedap. Saat itulah Bau ji berseru:
"Luheng, buat apa kita musti banyak
berbicara lagi dengannya " Hayo turun tangan dan bereskan saja orang
ini !" Sun Tiong lo kembali menatap Chin Hui hou lekat-lekat, kemudian
tertawa ter-bahak2.
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Haaaahh... haaaah Chin Hui hou, kau tidak menyangka bakal terjadi
perubahan semacam ini bukan ?"
Sementara itu dengan matanya yang liar Chin Hui hou berusaha untuk
memperhatikan sekeliling tempat itu, tampaknya dia sedang berusaha
untuk mencari akal guna melarikan diri dari kepungan tersebut.
Sambil menuding kearah jeram dihadapan nya, Sun Tiong lo berkata,
"Kau hendak ter jun sendiri kedalam jurang itu, ataukah musti
merepotkan diriku yang turun tangan ?"
Setelah berada dalam keadaan begini, Chin Hui hou baru sadar bahwa
dirinya sedang terjebak. Sambil menggigit bibir, segera serunya dengan suara lantang:
"Dengarkan anjing-anjing cilik, sekalipun kalian menyerangku berdua,
belum tentu aku bakal menderita kalah, sekalipun lohu tidak beruntung
mati di tangan kalian, maka kalian berduapun jangan harap bisa
meninggalkan tempat ini dengan selamat..."
"Chin Hui-hou" kata Sun- Tiong-lo sambil tertawa, "dengan rotan
sebagai tali bukankah kami masih bisa menyeberangi jurang ini dengan
selamat ?" Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou segera tertawa seram.
"Heeeehh.... heehh.... heeehh....kalian pasti bermimpi disiang
hari bolong, sekalipun bisa menyeberangi jurang ini, jangan harap kau
bisa keluar dari mulut bukit ini dengan selamat asal. Kalian berani
melangkahi tempat itu maka kalian akan mati tanpa tempat kubur,
kalau tidak, silahkan saja dicoba sendiri !"
Pada saat itulah secara tiba-tiba Sun Tiong lo bertepuk tangan sambil
tertawa tergelak, serunya. "Chin congkoan, kali ini mau tak mau kau mengakui juga secara terus
terang !" Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou menjadi tertegun, lalu serunya
tergagap. "Kau... kau...jadi kau sedang bergurau..." Sun Ting lo tertawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Congkoan, aku tak lebih cuma seorang
sastrawan yang lemah tak berkepandaian apa-apa, kalau bukan cuma bergurau saja, kenapa
pula aku tidak turun tangan dengan segera" apa pula gunanya kuulur
waktu sekian lama?" Sekarang Chin Hui hou baru bisa menghembuskan napas lega, katanya
kemudian. "Hmm, kuanjurkan kepadamu untuk jangan bergurau lagi secara begitu
brutal dikemudian hari!" Sun Tiong lo segera tertawa. "Gurauan semacam ini masa digunakan
untuk kedua kalinya?" katanya. Chin Hui hou tak sanggup menjawab apa-apa, maka semua
kemarahannya segera dilampiaskan kepada Bauji, katanya: "Aku lihat
kau tentunya ingin turun tangan secara bersungguhsungguh
bukan?" Bau-ji masih belum tahu permainan busuk apakah
yang sedang dipersiapkan Chin Hui hou, maka dia tidak menjawab pertanyaan
congkoan tersebut, sebaliknya sambil membalikkan badannya purapura
sedang melihat pemandangan alam disekeliling tempat itu.
Agaknya rasa benci Chin Hui hou terhadap Sun Tiong lo sudah merasuk
sampai ke tulang sumsum, tapi berhubung Sun Tiong lo dilindungi oleh
nonanya, lagipula ada perintah rahasia dari Sancu- nya, maka dia
dibuat sama sekali tak berkutik. Sebaliknya terhadap Bau ji dia tidak menaruh rasa kuatir apa- apa,
apalagi setelah dipermainkan oleh Sun Tiong lo sehingga hampir saja
nyalinja pecah kontan saja semua rasa dendam, benci dan marahnya itu
dilampiaskan ke atas diri Bau ji. Cuma waktu itupun Bau ji sebagai tamu agung. Buktinya, dia tak
berani melanggar peraturan sancunya secara
terang-terangan, maka biji matanya berputar kian kemari, akhirnya dia
mendapat sebuah siasat licik yang boleh dibilang-amat busuk.
Pelan-pelan dihampirinya Bau ji, katanya: "Sun kongcu, sudah hampir
sehari semalam kita saling berkenalan tetapi aku belum tahu siapakah nama kongcu, apakah aku
boleh tahu nama kongcu...." "Aku tidak punya nama!" jawab Bau ji dan sambil membalik badannya,
melotot gusar. Chin hui hou tertawa terkekeh-kekeh.
"Kongcu, anak yatim piatu yang tidak punya marga memang banyak
didunia ini, tapi kalau tak punya nama rasanya tak pernah ada."
Ucapan ini sangat tidak enak didengarnya tentu saja Bau ji
memahaminya. Maka dengan geramnya pemuda itu maju kemuka, dan serunya dengan
keras: "Anjing laknat, rupanya kau mau dihajar?" Sambil berseru, telapak
tangan kanannya segera diayunkan ketengah udara siap untuk melancarkan serangan. Mendadak Chin Hui
hou melayang mundur sejauh dua tangkah,
kemudian serunya: "Tunggu sebentar, apakah kongcu benar-benar ingin
turun tangan?" "Benar," sahut Bau ji marah. Chin Hui hou segera
membusungkan dadanya, kemudian berseru. "Lohu tak akan membalas, mau pukul silahkan pukul !" Bauji
menggertak giginya menahan emosi, telapak tangan
kanannya berulang kali hendak diayunkan kebawah, tapi niatnya
tersebut dibatalkan. Chin Hui hou tertawa seram, serunya: "Dewasa ini kongcu masih
merupakan tamu agung dari Sancu kami, maka sekalipun lohu memiliki kepandaian silat yang sanggup
mencabut nyawa kongcu juga percuma saja, sebab semua kepandaian
itu tak sanggup kugunakan." Bau-ji tak kuasa menahan diri lagi, dia segera menukas. "Manusia
laknat, kalau ingin turun tangan boleh saja kau turun
tangan, bila sancu menegur nanti, aku boleh memberi kesaksian kalau
pertarungan ini terselenggarakan atas dasar sama-sama setujunya !"
Chin Hui hou segera mencibirkan bibirnya. "ltu kan kata kongcu,
tanpa saksi..." "Kita boleh meminta Sunkongcu untuk menjadi saksi
kita." sela Bau ji lagi sambil menuding ke arah Sun Tiong lo. Diam-diam Chin Hui
hou merasa sangat gembira, tapi diluaran
dia berlagak keberatan, katanya sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali: "Meskipun boleh saja suruh Sun kongcu menjadi saksi, tapi lohu tak
bisa mengajukan permohonan ini kepada kongcu tersebut !"
Bau-ji yang berangasan segera menukas. "Kau tak usah memohon
langsung kepadanya," sesudah berhenti
sebentar, dia berpaling ke arah Sun Tiong lo, kemudian ujarnya: "Sun
heng, apakah kau bersedia membantuku?" Ternyata jawaban dari Su
long lo juga tepat sekali. "Boleh saja bila inginkan bantuanku, tapi
sebagai seorang saksi harus bertindak adil, cuma bila cuma kongcu seorang yang minta
bantuan menjadi saksi, rasanya hal ini menjadi timpang dan kurang
menunjukkan suatu keadilan." Dengan cepat Chin Hui hou berseru: "Seandainya kongcu bersedia,
lohupun ingin memohon bantuan dari kongcu!" Sun Tionglo memandang sekejap ke arah Bau ji,
kemudian memandang pula kearah Chin-Hui hou, setelah itu katanya: "Jadi kalian
berdua sama sama memohon kepadaku untuk
bertindak sebagai saksi dalam hal ini?" Chin Hui hou maupun Bau ji
segera bersama sama mengiakan Sun Tionglo tertawa, katanya kemudian: "Atas kepercayaan kalian
berdua kepadaku, baiklah, akan kuturuti kehendak kalian itu!"
Untuk kesekian kalinya Chin Hui hou merasa girang sekali. Bau-ji
segera berkata kepada Chin Hui hou: "Orang she Chin, sekarang kita
boleh mulai turun tangan!" "Tunggu sebentar!" kata Chin Hui hou
sambil menggeleng, "Sebelum pertarungan dimulai, lohu hendak mengucapkan beberapa
patah kata lebih dahulu." "Hmm ! darimana datangnya begitu banyak kata-kata busukmu."
dengus Bauji. Chin Hui hou tertawa seram. "Sekarang, walaupun sudah ada saksi
mata tetapi bagaimanapun juga kongcu adalah tamu agung kami, selain daripada itu, pertarungan
inipun merupakan urusan pribadi, sedang waktu kongcu kabur nanti baru
urusan dinas." "Oleh karena itu urusan pribadi tak boleh sampai mengganggu urusan
dinas, maka didalam pertarungan pribadi kali ini, masing masing tak
boleh menggunakan senjata tajam dan senjata rahasia, tapi cuma boleh
menggunakan kepalan dan kaki."
"Dengan kepalan dan kaki, itu lebih bagus lagi," seru Bau ji sambil
tertawa dingin. Sesudah berhenti sebentar, dengan suara dingin tanyanya lagi: "Kau
masih ada perkataan lain lagi yang hendak disampaikan?" "Masih
ada satu persoalan lagi, yakni bagaimana caranya untuk
menentukan siapa menang siapa kalah?" Baru saja Bau ji akan
menjawab, Sun Tionglo telah mendahului
sambil berkata: "Chin congkoan bisa berkata begitu, tentunya kau
sudah punya rencana bagus, mengapa tidak diutarakan?" Chin Hui hou memandang
sekejap ke arah Sun Tionglo, setelah
itu baru ujarnya: "Lohu tidak mempunyai rencana apa-apa, cuma dalam pertarungan yang
akan berlangsung kali ini, ada baiknya jika kita batasi sampai saling
menutul saja, sebab bagaimana pun juga Sun kongcu tetap merupakan
tamu agung kami." Sun Tiung lo berpikir sebentar, lalu berkata: "Bolehkah aku mengajukan
satu usul ?" "Tentu saja boleh !" jawab Chin Hui hou sambil tertawa. "Lebih baik
kita membuat lingkaran seluas satu kaki ditanah yang
masing-masing berselisih jarak, kemudian kalian boleh bertarung di
dalam lingkaran tersebut, selain dilarang melukai lawannya, barang
siapa yang dipaksa keluar dari lingkaran dialah yang kalah, yang
melukai orang juga dianggap kalah !"
Chin Hui hou melirik sekejap kearah Bau ji, lalu katanya "Kongcu,
apakah kau setuju dengan usul tersebut ?"
Bau ji berkerut kening, baru saja akan menjawab, tiba-tiba dari sisi
telinganya terdengar suara dari Sun Tiong lo sedang berkumandang.
"Toako, cepat kau luluskan persyaratan tersebut !" "Baik, aku tidak
menolak !" Bauji segera mengiakan dengan
suara lantang. Kembali Chin Hui hou tertawa. "Kalau memang begitu,
terpaksa lohu juga harus menyetujuinya
juga...." katanya. "Kalian berdua harus ingat, dilarang melukai orang, .
. " seru Sun Tiong lo lagi dengan wajah serius. "Melukai orang atau tidak, kita
menentukan dengan cara apa..."
tanya Chin Hui hou. "Pokoknya apabila panca indra dan tubuh bagian
luar dimanapun jika tampak luka atau-merah membengkak maka hal ini akan
dianggap sebagai terluka, dan orang tersebut harus dianggap kalah."
Mendengar perkataan itu, diam-diam Chin-hui hou merasa girang
sekali, tetapi dasar tua keladi makin tua makin jadi, kelicikan orang ini
benar-benar luar biasa. Kembali dia bertanya dengan lantang: "Andaikata sepasang lengan
yang membengkak atau menjadi hijau membiru, apakah ini pun musti dianggap bagai terluka!" Sun Tiong
lo segera menggeleng. "Aku toh sudah menerangkan tadi, jikalau cuma
tangan yang membengkak menghijau, tentu saja tidak bisa dianggap sebagai
terluka!" Chin hui hou menjadi girang, dan serunya: "Kalau begitu, bagus
sekali!" Seraya berkata ia lantas mengambil sebiji batu tajam dan
segera membuat lingkaran. Lingkaran tersebut luasnya mencapai satu kaki lima
jengkal, berarti lebih lebar dari pada apa yang ditentukan semula. Sambil
tertawa Sun tiong Io lantas berkata. "Waaah... tampaknya congkoan
bernapsu sekali untuk bertarung, sampai-sampai menunggu sebentar iagipun tak sabar." "Aaaah... siapa
bilang begitu?" sangkal Chin hui-hou cepat-cepat
dengan lantangnya. "Kongcu telah bersedia menjadi saksi, lohu tak
berani merepotkan kongcu untuk turun tangan membuat lingkaran tersebut,
maka..." "Maka congkoan pum bersedia untuk membantu?" sambung Sun Tiong
lo kemudian. Chin hui-hou tertawa. "Ini mah termasuk tugas, bukannya masalah bantu membantu."
Tiba-tiba Sun Tiong lo menarik muka, kata-nya, "Bukankah sudah
kita janjikan jikalau lingkaran itu cuma satu kaki dua jengkal luasnya,
kenapa kau membuat seluas satu kaki lima jengkal" Dan sebenarnya
apa maksudmu itu!?" Dengan berlagak seakan-akan tidak habis mengerti, Chin Huihou balas
berseru: "Disini tidak ada alat pengukur, darimana kau bisa tahu kalau
lingkaran ini luasnya satu kaki lima jengkal ?"
Pelan-pelan Sun Tiong lo menggeleng katanya: "Aku sih tidak keberatan
untuk menganggap benar lingkaran yang dibuat itu, cuma
bagaimanapun juga toh congkoan adalah salah seorang yang terlibat
dalam peristiwa itu " Rasanya tidak pantas bukan bila kau juga yang
membuat lingkaran tersebut ?" Mendengar perkataan itu, diam-diam Chin Huihou menyumpah didalam
hatinya: "Anjing kecil, sialan kau ! siapa suruh kau banyak mencampuri urusan
orang?" Meski begitu, diluar dia tetap bersikap tenang, sahutnya: "Oya,... lohu
telah lupa akan hal ini, maaf, maaf kalau begini aku telah berbuat salah
!" "Nah begitu baru benar" seru Sun Tiong lo sambil tertawa, "sekarang,
akulah yang akan membuat lingkaran tersebut!"
Seraya berkata, dengan alas sepatunya dia menyeka lingkaran yang
telah dibuat tadi, kemudian dengan mempergunakan batu runcing sekali
lagi membuat sebuah lingkaran. Kali ini, lingkaran tersebut luasnya cuma satu kaki saja, melihat itu
dengan kening berkerut Cbin Hui hou segera memprotes.
"Kongcu, apakah lingkaran ini tidak terlampau kecil?" "Oooh kalau
begitu berapa besarkah baru bisa dihitung sebagai
besar?" "Bukankah kongcu tadi sudah bilang, luas lingkaran tersebut harus satu
kaki dua jengkal." "Congkoan" tukas Sun Tiong lo lagi. "bukankah sudah kau katakan tadi,
disini tak ada alat pengukur, apa yang terlukis kita anggap lukisan itu
benar?" Chin Hui hou segera terbungkam, tak sepatah katapun yang bisa
diucapkan keluar . . Lama kemudian dia baru bisa termenung. "Sungguh aneh sekali
kejadian ini, ilmu Han pok ciang yang
kumiliki baru bisa menunjukkan kehebatannya dari jarak satu kaki dua
jengkal kedepan secara kebetulan sekali anjing kecil ini membuat
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lingkaran seluas satu kaki ?" "Jangan-jangan anjing kecil ini tahu akan kepandaian silat serta tenaga
dalam yang kumiliki" Tapi, hal ini mana mungkin " Aaaaaah... mungkin
kebetulan saja dia berbuat begitu !"
Sementara dia masih merenungkan persoalan itu, Sun Tiong lo juga
manfaatkan kesempatan tersebut untuk berbisik kepada Bau ji:
"Keparat tua ini memiliki kepandaian silat yang sangat liehay, selain itu
juga pernah melatih ilmu Han pok ciang yang liehay, itulah sebabnya
sengaja siaute membuat sebuah lingkaran seluas satu kaki agar
kehebatan ilmu pukulannya itu tak bisa digunakan sebagaimana
mestinya." "Jika toako bertarung melawannya nanti, hati-hati dengan kuku tajam
diujung kesepuluh jari tangannya, sebab kuku tersebut sangat beracun,
siaute tidak tahu kepandaian apa yang dimiliki toako sekarang, untuk
keamanannya saja, lebih baik kau kerahkan tenaga khikang untuk
melindungi badan." Bauji melirik sekejap kearah Sun Tinoglo lalu manggut-manggut tanda
mengerti. Kebetulan sekali Chin Hui hou melihat hal itu, tanpa terasa ujarnya
kepada Sun Tiong lo: "Kongcu, apa maksudmu yang sebenarnya?" "Apanya yang kau
maksudkan ?" Sun Tiong lo pura pura berlagak
pilon dan tak mengerti. "Barusan aku lihat dia sedang
manggut-manggut kepada diri Kongcu, apa maksudnya manggut-manggut tersebut ?" Sun Tiong lo
segera tertawa. "Betul, Sun kongcu memang sedang manggut-manggut,
dia berbuat demikian karena minta ijin kepadaku untuk mulai turun tangan,
apakah salah perbuatannya itu?"
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Chin hui hou berkata:
"Asal kongcu adil...." Belum habis ucapan itu, Sun tianglo sudah
menukas dengan nada yang tak senang hati: "Chin cong koan, setelah mengucapkan
perkataan itu, kau harus minta maaf!" Dalam keadaan demikian, terpaksa Chin hui-hou haruslah
mengendalikan hawa amarahnya yang berkobar, katanya kemudian:
"Baik-baik, anggap saja aku salah bicara, harap kongcu sudi
memaafkan!" Sun Tiong lo masih melotot sekejap lagi ke-arahnya
sebelum katanya kemudian: "Harap kalian berdiri ditengah lingkaran tersebut,
asal kaki masih menginjak digaris lingkaran ini masih dianggap belum keluar dari
garis.!" Maka Bauji dan Chin Hui hou segera melangkah masuk ke dalam garis
lingkaran dan mengambil ancang-ancang.
Walaupun garis lingkaran tersebut seluas satu kaki saja, akan tetapi
setelah kedua belah pihak sama sama masuk kecalam lingkaran selisih
jarak diantara mereka masih-ada delapan jengkal
lebih, sehingga siapapun tak akan mampu untuk menjawil badan orang
dengan uluran tangannya. Dengan cepat kedua orang itu mengerahkan tenaga dalamnya dan
bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. .
Waktu itulah Sun Tionglo telah berkata kembali "Ketika aku bertepuk
tangan nanti, berarti pertarungan bisa
segera dimulai" Kedua orang itu sama-sama mengangguk, dengan
tenang merekapun bersiap-siap menunggu bunyi tepukan tangan. Sun Tionglo
memandang sekejap kearah Chin Hui-hou, kemudian
memandang pula ke arah Bauji, setelah itu baru serunya dengan
lantang-- "Aku harap kalian berdua ber-siap2!"
Menyusul ucapan tersebut, tangannya segera bertepuk satu kali
sebagai pertanda dimulai nya pertarungan.
Anehnya, meski tanda dimulainya pertarungan telah dibunyikan, namun
dua orang yang saling berhadapan muka dalam lingkaran garis masih
belum bergerak sedikitpun juga. Menyaksikan hal itu, diam-diam Sun Tiong Io manggut-manggut, tapi
iapun merasa amat terkejut. Dia manggut-manggut karena kedua belah pihak sama-sama
berpengalaman dan cukup mampu mengendalikan diri, diapun mengerti,
disaat masing-masing pihak tidak mengetahui dalam tidaknya tenaga
lwekang yang dimiliki lawan, memang lebih baik bertahan daripada
melancarkan serangan secara membabi buta.
Yang membuat hatinya terkejut adalah, meski ia sudah berkumpul
hampir sehari semalam dengan Bau ji, tapi berhubung banyak persoalan
yang dibicarakan sampai-sampai dia tak sempat membicarakan tentang
hal kepandain silat. Oleh karen itu dia tidak tahu sampai dimanakah taraf kepandaian silat
serta tenaga dalam yang dimiliki Bau ji, apalagi setelah dia
mengetahui asal usul Chin Hui hou yang sebenarnya, mau tak mau dia
menjadi kuatir juga bagi keselamatan kakaknya.
Dalam pada itu, dua orang manusia yang berada dibalik garis lingkaran
sudah mulai bergerak maju ke depan.
Cuma kedua belah pihak sama-sama melakukan tindakan tersebut
dengan amat berhati-hati, oleh sebab ini merekapun hanya bergeser
dengan mengitari garis lingkaran tersebut.
Dengan seksama Sun Tiong lo mencoba untuk memperhatikan keadaan
didalam arena, tiba-tiba alis matanya bergerak-gerak dan sekulum
seryuman segera menghiasi ujung bibirnya.
Rupanya ia telah menemukan banyak sekali titik kelemahan dibalik posisi
pertahanan dari Chin Hui hou, betul kepandaian silat yang dimilikinya
amat hebat, tenaga dalamnya juga amat sempurna, tapi entah mengapa
titik kelemahan banyak terdapat dalam pertahanannya.
Dia yakin seandainya tenaga dalam yang dimiliki Bauji seimbang
dengan tenaga dalam yang dimilikinya, seharusnya dia bisa melihat
kelemahan-kelemahan tersebut. Tapi, setelah ditunggunya sekian lama tanpa menyaksikan Bau ji
melancarkan serangan, sekali lagi alis matanya berkenyit, dari situ dia
lantas mengambil kesimpulan bahwa Bauji belum melihat titik
kelemahan yang ada dalam sistim pertahanan dari Chin Hui hou
tersebut. Tanpa terasa sinar matanya dialihkan kembali kearah Bauju dengan
cepat perasaan hati nya menjadi tenang kembali.
Sekalipun Bau ji tidak berhasil menjumpai titik kelemahan yang ada
dalam sistim pertahanan dari Chin Hui hou, namun sistim pertahanan
Bau-ji sendiripun tidak terpadat titik kelemahan. Menurut
pengamatannya delapan puluh persen si anak muda itu dapat
menangkan pertarungan tersebut. Rupanya Chin Hui hou telah sertakan tenaga nya sebesar sepuluh
bagian, dalam keadaan begitu Bauji tak berani bertindak gegabah,
dia pun menyongsong datangnya ancaman dengan tenaga yang besar
pula. Bisa dibayangkan andaikata bisa terjadi benturan kekerasan dalam garis
lingkaran satu kaki, menang kalah mungkin akan segera ditentukan.
Pada detik terakhir sebelum tenaga pukulan kedua belah pihak saling
membentur, mendadak Chin hui-hou membuyarkan serangannya dan
bergeser mundur, kemudian telapak tangannya yang kiri, dari arah kanan
bergerak menuju kesebelah kiri dan membacok bahu kiri serta lengan
Bau ji dengan ganas dan buas. Perubahan ini selain terjadi amat cepat dan luar biasa, keji dan
berbahaya pula. Siapa tahu Bau ji sudah mengadakan seksama diwaktu Chin hui hou
bergerak mundur tadi, Bau ji telah berputar kesamping kiri, lalu kaki
kanannya melangkah dengan gaya tujuh bintang, lengan kanannya
digetarkan dan menolak telapak tangan kiri Chin hui-hou.
Dalam keadaan ini, posisi Chi hui hou menjadi separuh bagian
menghadap Bau ji, dengan cepat lengan kanan Bauji mementalkan
tapak tangan kiri lawan, kemudian sikutnya menyodok ke belakang
menumbuk iga kanan musuh. Chin Hui-hou yang menyaksikan akal liciknya gagal, apalagi setelah
merasakan telapak tangan kirinya kena dipentalkan oleh Bau ji, dengan
cepat dia sadar kalau gelagat tidak menguntungkan, untuk mundur
setengah langkah guna menghindari serangan itu tak sampai lagi, tak
ampun sikut lawan menyodok telak diatas iganya.
Walaupun dibilang ia cukup cekatan untuk mundur ke belakang tapi iga
adalah bagian tubuh yang lemah dan tak boleh kena tersodok, tak
ampun ia berseru tertahan dan mendur ke belakang dengan
sempoyongan tapi masih belum keluar dari lingkaran
Bau ji tentu saja enggan memberi kesempatan kepada lawannya untuk
mengatur napas, tiba-tiba sepasang telapak tangannya
didorong ke depan dengan menggunakan tenaga pukulan sebesar
sembilan bagian. Belum lagi Chin Hui hou berdiri tegak, tubuhnya sudah terpental ke
belakang oleh pukulan itu. Dengan cepat badannya melayang keluar dari garis lingkaran, walaupun
ia berniat untuk meronta sayang sudah tak bertenaga Iagi..
"Blaaam,..," tak ampun tubuhnya terpental dan jatuh terbanting lebih
kurang satu kaki diluar lingkaran itu, kulit muka sebelah kirinya terpapas
oleh hancuran batu kerikil sehingga terluka dan mengucurkan darah.
Pada saat itulah Sun Tiong lo segera berteriak keras: "Berhenti!
pertarungan telah selesai, aku akan mengumumkan bahwa Chin Cong
koan adalah pemenangnya !" Waktu itu, Bau ji sudah mendapat kontak batin dengan Sun Tiong lo,
maka dia berpura-pura menarik muka sambil bertanya:
"Sun-heng, adilkah keputusanmu itu ?" "Tentu saja adil !" jawab Sun
Tiong lo pura-pura tidak mengerti. Sambil menuding Chin Hui hou
yang sedang merangkak bangun dari atas tanah, seru Bau ji: "Saudara Sun, seandainya matamu belum
buta, tentunya kau dapat melihat dengan jelas bukan kalau aku belum keluar dari garis
lingkaran" Kini yang terjatuh diluar lingkar itu adalah dia bukan
aku,kenapa kau mengatakan aku yang kalah"!"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Saudara, apakah kau lupa dengan janji
kita semuIa?" "Janji apa?" "Selama pertarungan berlangsung dilarang
melukai orang, barang siapa melanggar hal ini orang yang terlukalah yang akan
dimenangkan sebagai pemenang."
"Ooooh..." Bau-ji berseru tertahan, dan kemudian sambil mendepakkan
kakinya ketanah ia berseru, "aku lupa.... aku benar benar sudah lupa,
kalau tidak ... aaaai." Dalam pada itu Chin hui hou sudah merangkak bangun dari atas tanah,
dengan kemarahan yang berkobar-kobar serunya kepada Sun tiong lo,
"Pandai benar kalian berdua bermain sandiwara !"
Sun Tionglo tidak menyangkal malahan katanya sambil tertawa: "Chin
congkoan, rupanya kau sudah mengetahui kalau aku
sedang bermain licik untuk membohongi mu!?" "Hmm.... Lohu toh
bukan seorang anak yang berusia dua tahun,
memangnya bisa kau tipu mentah-mentah"!" teriak Chin hui hou
dengan geramnya sambil menggigit bibir.
Sekali lagi Sun Tiong lo tertawa. "Bukan begitu maksudku, yang
benar toh aku telah bersungguh hati menjadi seorang saksi yang adil." Dengan geramnya Chin hui hou
melotot sekejap kearah Sun tionglo dan katanya: "Lohu tidak percaya, seandainya dia yang terluka,
kau akan berdiam diri belaka." Sun Tiong lo segera berlagak seakan-akan dia
tertegun dan tidak habis mengerti. "Congkoan, aneh benar perkataanmu itu, andaikata Sun
heng yang terluka, sudah barang tentu aku akan menyatakan dirinya sebagai
pemenang, selain berbuat begitu, apa pula yang bisa kulakukan lagi"!"
Chin Hui hou segera mendengus dingin. "Hmm! bagaimanapun juga,
sekarang lohu sudah mengerti, makin kau berkata begitu, hal mana menunjukkan kalau kau pasti
mempunyai tipu musiihat!" Sun Tiong lo segera tertawa terbahak-bahak sambil berkeplok tangan.
"Haaahhh .. . haaahhh... haaahhh congkoan memang tak malu disebut
seorang manusia yang hebat!" Chin Hui hou mengerutkan dahinya makin kencang, kembali ia berkata
lagi: "Kau tak usah mengucapkan kata kata yang bernada ejekan lagi,
seandainya lohu hebat, tak nanti aku akan termakan oleh tipu
muslihatmu itu, lingkaran kecil inipun tak akan menyusahkan diriku."
Sun Tiong lo mengerdipkan matanya berulang kali. "Maksudku,
beruntung sekali congkoan yang terluka...." dia
berkata. "Andaikata dia yang terluka, mau apa kau?" tukas Chin Hui
hou dengan mata melotot. Sun Tiong lo tertawa. "Gampang sekali,
sekembalinya dari sini nanti bila nona kalian
bertanya maka aku akan menyangkal telah manjadi saksi, atau mungkin
aku pun akan menambahi dengan sepatah dua patah kata, sudah pasti
akan tercipta sebuah cerita yang menarik sekali!"
Mendengar perkataan itu, Chin Hui hou menjadi naik pitam sehingga
mukanya merah membara dan matanya berapi api.
Sampai lama kemudian, dia baru bisa mengucapkan sepatah kata:
"Kau... kau...!" Sun Tiong lo tertawa terbahak-bahak. "Haaah...
haahh... kenapa dengan aku?" ejeknya segera. "Hati-hati kau lain
waktu!" ancam Chin Hui hou sambil
mendepakkan kakinya berulang kali. Sun Tiong lo
mendengus, dengan serius ka-tanya. "Chin congkoan, dengarkan baik baik, kali ini kau yang telah mencari
urusan dengan kami, kau toh tahu kalau Sancu kalian sudah ada
peraturan yang ketat, tapi demi melampiaskan rasa mangkel yang
terpendam didalam hati, kau tak segan-segan menggunakan akal licik."
"Betul aku adalah seorang sastrawan lemah yang tidak mengerti akan
ilmu silat, tapi berbicara soal kecerdasan, kau masih selisih jauh
dibandingkan dengan diriku, maka aku telah mempergunakan siasat
melawan siasat untuk memberi pelajaran kepadamu!
"Jika kau tidak puas, tidak apalah sebentar bila bertemu dengan nona
kalian nanti, atau menunggu setelah Sancu kalian kembali, kita boleh
berbicara secara blak-blakan, coba suruh dia yang menentukan siapa
benar siapa salah!" Chin Hui hou menjadi berdiri bodoh, kemudian tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia membalikkan badan dan berlalu dari situ dengan
langkah lebar. Belum berapa puluh langkah dia pergi, Sun-Tionglo telah berseru
kembali: "Chin congkoan, begitu beranikah kau pulang seorang diri dengan
meninggalkan kami disini?" Hampir meledak dada Chin Hui hou saking gusarnya, tapi diapun tak
bisa berbuat apa-apa. Bau ji dan Sun Tiong lo saling berpandangan sekejap, kemudian sambil
bergandengan tangan mereka beranjak dari situ.
Sepanjang jalan, mereka berdua bergurau dan bercanda sendiri,
hakekatnya mereka tidak menggubris Chin Hui hou yang berada di
belakang tubuhnya itu. -ooo0dw0oo- Dengan wajah serius Chin Hui hou berdiri didepan
seorang pemuda, sikapnya menghormat sekali.
Pemuda itu memakai baju berwarna hitam bermantel hitam dan
mempunyai selembar wajah yang putih.
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selain muka dan giginya, boleh dibilang pemuda itu berwarna serba
hitam. Ketika itu dengan suara yang dingin dan kaku pemuda itu sedang
berkata: "Lanjutkan !" Chin Hui hou mengiakan, dengan hormat dia berkata:
"Akhirnya hamba kena dipukul sehingga terpental keluar dari
garis lingkaran !" Pemuda itu mendengus dingin "Hmm! Apakah kau
tidak mempergunakan ilmu Han pok ciang ?" "Garis lingkaran itu cuma satu
kaki, padahal tenaga dalam yang hamba miliki sekarang..." Tidak menunggu Chin Hui hou menyelesaikan
kata-katanya, pemuda itu telah menukas: "Lima tahun sudah lewat, tiada kemajuan
apa-apa yang bisa kau capai, betul-betul goblok !" "Selanjutnya hamba pasti akan berlatih
dengan lebih rajin lagi!" ujar Chin Hui hou sambil membungkukkan badan memberi hormat.
"Apakah nona mengetahui akan hal ini ?" tanya sang pemuda
dengan mata melotot. Chin Hui hou menjadi sangsi dan tidak
menjawab. "Apakah kau mengidap penyakit ?" tegur sang pemuda
dengan kening berkerut. Chin Hui-hou segera tertawa getir, "Hamba tidak
melaporkan kejadian ini kepada nona." sahutnya.
"Kenapa?" "Oooh, kongcu, sampai matipun hamba tidak berani mengatakannya
keluar !" keluh Chin Hui-hou sambil menghela napas sedih.
"Katakan saja berterus-terang!" perintah pemuda itu dengan suara
dalam, "bila ada urusan, akulah yang akan bertanggung jawab !"
"Semenjak kedatangan Sun Tionglo si anjing kecil itu, nona tampak
agak berubah..." Mencorong sinar marah dari balik mata pemuda itu, bentaknya secara
tiba-tiba: "Chin Hui-hou, kau mencari mampus "!" Gemetar keras sekujur badan
Chin Hui hour dengan menunjukkan sikap patut dikasihani, katanya: "Kongcu harap maklum,
bukankah tadi sudah hamba katakan bahwa hamba tak berani berbicara apa adanya." "Baik, lanjutkan
perkataanmu itu, bila ucapanmu memang ada
dasarnya, telah kukatakan tadi aku akan bertanggung jawab untukmu,
apa yang telah kukatakan tentu tak akan kuingkari dengan begitu saja,
cuma kalau sampai kau berani bicara sembarangan hmmm..."
"Kongcu, sekalipun hamba bernyali besar juga tak akan berani
berbicara sembarangan!" buru-buru Cnin Hui hou berseru.
"Katakan secara langsung, tak usah berputar-putar kayun lagi !" seru
pemuda itu kemudian. "Pada malam itu juga nona telah mengirimnya keatas loteng impian dan
membiarkan si anjing kecil rudin itu berdiam disana, sejak waktu itu
hamba sudah merasa curiga sekali !"
"Lebih kurang pada kentongan kedua, tiba-tiba nona naik keatas loteng
seorang diri, kongcu, waktu itu si pelajar rudin she Sun masih ada
diruang tengah dan minum arak bersama Beng loji."
"Yaa, sudah pasti dia pergi ke sana untuk mengambil barangnya yang
tertinggal," sela pemuda itu. Chin Hui hou tertawa licik, kemudian menggelengkan kepalanya
berulang kali. Tiba-tiba pemuda itu mencengkeram pergelangan tangan Chin Hui hou
dan membentak dengan suara dalam. "Bukan" Darimana kau bisa tahu kalau bukan?" Kena dicengkeram
pergelangan tangannya, Chin Hui hou
merasakan tulang pergelangan tangannya sakit seperti mau patah,
sambil menahan sakit kembali serunya.
-ooo0dw0oo- Jilid 7 "KONGCU, lepas tangan, hamba akan segera membeberkan
keadaan yang sebenarnya !" Pemuda itu segera mengendorkan
tangannya lalu berkata: "Cepat katakan kau toh juga mengerti dengan
tabiatku!" Chin Hui-hou tak berani berayal, dia lantas berkata: "Nona
setelah masuk ke dalam loteng impian, tidak keluar lagi,
menanti pelajar rudin itu sudah selesai minum arak dan kembali ke
loteng impian untuk beristirahat nona masih berada didalam!"
Paras muka si pemuda yang sebenarnya pucat pias tak berdarah itu, kini
berubah menjadi semakin menakutkan bahkan diantara warna pucat
terselip warna kehijau-hijauan yang menyeramkan, keadaan itu tak ada
bedanya dengan setan gantung hidup.
Dengan mencorong sinar hijau dari balik matanya dia berseru:
"Waktu itu kau berada dimana ?" "Aku sedang melayani si anjing
rudin itu minum arak !" Mendengar perkataan itu, sang pemuda menjadi tertegun. "Kentut !"
makinya kemudian. Buru-buru Chin Hui-hou memberi penjelasan
"Yaa, jika kukatakan tak seorangpun yang percaya, tapi
sesungguhnya perintah ini datangnya dari sancu sendiri !" Pemuda itu
menjadi berdiri bodoh, setelah mengerdipkan
matanya berulang kali, katanya: "Masa ada kejadian seperti ini " Coba
kau teruskan !" "Untuk menyelidiki keadaan yang sebenar nya dari
pelajar rudin ini, diam diam kukuntit diam-diam dari belakangnya, karena itulah aku
baru tahu kalau sinona berada diatas loteng impian lebih dahulu."
"Berada dalam loteng itu, mula-mula mereka tidak memasang lampu,
setelah berbicara sekian lama, diselingi tertawa cekikikan dari nona,
akhirnya mereka baru memasang lentera."
Mencorong sinar bengis dari balik mata pemuda itu, tukasnya secara
tiba-tiba: "Sejak anjing kecil itu naik ke loteng, sampai lentera itu dipasang,
berapa lama sudah lewat?" Chin Hui-hou berpikir sejenak, kemudian sahutnya: "Lebih kurang
sepertanak nasi lamanya!" Dengan penuh kemarahan dan rasa benci
yang meluap, pemuda itu menyumpah: "Perempuan rendah yang tak tahu malu !" Setelah
berhenti sejenak, ujarnya kepada Chin Hui hou: "Teruskan ceritamu !"
"Baik, kemudian secara tiba tiba hamba mendengar suara pintu
loteng berbunyi, lalu nona keluar dari sana dan kembali ke
belakang, itulah kejadian yang berlangsung pada malam anjing kecil itu
datang kemari." "Apa pula yang telah terjadi hari ini ?" "Tengah hari tadi, nona telah
berkunjung ke loteng impian ketika kembali lagi ke gedung belakang, dia lantas menitahkan kepada Kim
Poo-cu untuk menghadap ke ruang tengah sesudah anjing-anjing kecil
itu bersantap." "Ada urusan apa ?" Sengaja Chin Hui hou menghela napas panjang.
"Aaaa... nona membawa anjing anjing kecil itu berkunjung ke
loteng Hian ki lo !" katanya. Agak tertegun si anak muda itu setelah
mendengar perkataan itu, serunya cepat: "Aaaah... masa terjadi peristiwa semacam ini "
Mereka....mereka..." Diam-diam Chin hui hou merasa girang sekali
sesudah menyaksikan sikap pemuda itu dan sambungnya: "Katanya dia hendak
menemani anjing kecil itu untuk melihat
miniatur dari bukit kita!" "Oooh. . ." pemuda itu berseru tertahan,
sesudah berpikir sebentar, lanjutnya, "yaa .... Mungkin saja begini." Dengan cepat Chin
hui hou menggelengkan kepalanya berulang
kali, serunya: "Kongcu, apakah kau lupa selanjutnya nona juga
menitahkan hamba untuk mengajak anjing anjing kecil itu mengi
Bara Naga 3 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bentrok Para Pendekar 7