Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 15

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 15


agahan. Lok Hong yang mendengarkan agak tergugah juga perasannya.
Tetapi wajahnya masih tampak kelam dan sengaja memperlihatkan tampang yang kurang
senang. "Kalau Lohu mengabulkan permintaanmu, berarti dalam waktu yang singkat tidak
mungkin dapat kembali ke wilayah Sai Pak. Dengan demikian, bukankah berarti Ti Ciang
Pang yang sudah didirikan sejak ratusan tahun akan hancur tidak terurus akibat ulahku"
Persoalan ini apabila didengarkan memang sederhana, tetapi kalau dipikirkan baik-baik
malah merupakan pengorbanan yang besar dan tanggung jawab yang berat. Meskipun
hati Lohu ingin sekali menanggung tugas yang mulia ini, agar dunia Bulim kita dapat
tenteram seperti sedia kala. Tetapi Lohu juga tidak ingin menjadi orang yang paling
berdosa dalam perguruan dengan menelantarkan ribuan murid Ti Ciang Pang."
Tan Ki menundukkan kepalanya merenung sejenak.
"Lalu apa kira-kira syarat Locianpwe agar mau memenuhi permintaan Boanpwe ini?"
Sekali lagi Lok Hong tertawa terbahak-bahak.
"Syarat tentu saja ada, tetapi takutnya kau tidak sanggup memenuhi dengan baik!"
Mata Tan Ki mengerling sekilas. Tanpa kebimbangan sedikitpun dia berkata, "Demi
kesejahteraan dunia Bulim kita di masa yang akan datang, asal Locianpwe bersedia
memberikan janjinya, biarpun syarat yang bagaimana sulitnya, Boanpwe rela mencoba
melaksanakannya sebaik mungkin,"
"Kalau kau berhasil memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu, Lohu pasti akan
membantumu sekuat tenaga, bahkan membubarkan Ti Ciang Pang dan khusus menangani
masalah ini!" selesai berkata, tubuhnya langsung mencelat di udara kemudian berjungkir
balik satu kali lalu melayang turun di antara para hadirin.
Mendengar kata-katanya, mula-mula Tan Ki agak tertegun. Tetapi sesaat kemudian dia
tersentak sadar. Baru saja dia ingin menyampaikan rasa terima kasihnya, tiba-tiba
pandangan matanya jadi kabur. Lok Hong sudah mencelat turun ke bawah panggung dan
menghilang di antara kerumunan orang banyak. Untuk sesaat hatinya seperti merasa
kehilangan. Dia menarik nafas panjang, namun bibirnya masih mengembangkan
senyuman yang lembut. Dia berdiri dengan dada membusung dan mengedarkan
pandangannya ke arah para hadirin yang ada di bawah panggung.
Yibun Siu San juga langsung berdiri, matanya menyapu sekilas ke arah para hadirin,
kemudian berkata dengan suara lantang, "Pertandingan ini belum selesai. Sebagai dewan
juri, kami memutuskan bahwa babak kali ini kedudukannya seri!" selesai berkata,
perlahan-lahan dia duduk kembali. Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan yang riuh seakan memuji keputusan juri yang
adil di mana babak sebelumnya ditentukan seri. Juga sekaligus memuji kehebatan Tan Ki
yang telah menjalankan lima pertandingan berturut-turut dengan kedudukan empat
menang, satu seri. Belum lagi suara tepukan tangan sirap, dari kerumunan orang banyak tiba-tiba
mencelat sesosok bayangan ke atas panggung. Gerakannya demikian ringan dan cepat
laksana sehelai bulu angsa yang tertiup angin.
Mata Tan Ki memperhatikan orang yang baru muncul itu, saat itu juga dia jadi tertegun.
"Apakah Oey-heng juga ingin ikut bertanding?"
Oey Ku Kiong tertawa sumbang. "Anggap saja benar." sahutnya ragu.
Tan Ki langsung menarik nafas panjang.
"Kali ini, Tok Liong-hong dipenuhi oleh "orang dari berbagai kalangan. Biar siapapun,
asal memiliki sedikit kepandaian, tentu boleh naik ke atas panggung mengikuti ajang
perebutan ini. Tetapi, Oey-heng pernah menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Perasaan
hati ini sulit sekali diuraikan dengan kata-kata. Oey-heng mempunyai hati yang besar dan
mulia. Siaute maklum sekali akan hal ini. Karena kau sudah naik ke atas panggung ini,
tetapi Siaute merasa enggan bergebrak denganmu. Oleh karena itu, Siaute lebih baik
mengundurkan diri saja?" dia menjura dengan tubuh membungkuk rendah-rendah,
setelah itu berbalik untuk melangkah pergi.
Melihat keadaan ini, Yibun Siu San dan Cian Cong langsung mengerutkan sepasang alis
mereka. Yibun Siu San malah mengeluarkan suara batuk berkali-kali, sebagai tanda bahwa
hatinya panik bukan main. Bahkan si gadis ketolol-tololan Cin Ie juga menjadi heran melihat keadaan ini, dia terus
memaki Tan Ki sebagai orang bodoh! Mungkin dari ratusan bahkan ribuan hadirin yang ada di tempat itu, hanya ada satu
orang yang merasa senang melihat sikap Tan Ki ini. Siapa lagi kalau bukan selir yang baru
diangkat oleh Tocu Bu Sin To di Lam Hay, atau bekas budak keluarga Liu, Kiau Hun"
Tiba-tiba sepasang alisnya mengerut erat seakan melihat sesuatu hal yang membuat
hatinya menjadi tidak senang. Bahkan terdengar suara dengusan dingin dari hidungnya.
Rupanya saat ini Oey Ku Kiong sudah mengeluarkan pedang pusakanya dan
direntangkannya ke samping menghadang jalan perginya Tan Ki. Bibirnya masih tetap
tersenyum simpul. "Tan-heng, harap tunggu dulu. Biar Siaute menjelaskan dulu semuanya baru kau
mempertimbangkan kembali, bagaimana?"
Tan Ki tertawa datar. "Keputusanku sudah bulat. Biar apapun yang akan dikatakan oleh Oey-heng, tetap saja
sulit merubah pendirianku?" "Pertemuan besar di Tok Liong-hong ini tadinya diselenggarakan untuk menghadapi
ayah angkatku. Tetapi kalau ditilik dari keadaan sekarang, malah melenceng dari
tujuannya semula. Justru merupakan persiapan untuk menghadapi Lam Hay dan Si Yu
yang akan menggabungkan diri. Dengan usia yang masih demikian muda belia dan ilmu
silat yang menakjubkan, Tan Heng berhasil melakukan pertandingan selama lima kali,
bahkan empat di antaranya mencapai kemenangan yang gemilang. Hal ini benar-benar
membuat para sahabat menjadi tergetar dan terkesiap. Mereka mempunyai pandangan
sendiri-sendiri. Ambil saja sebuah contoh, justru karena Lok Locianpwe juga menyimpan
perasaan kagum di dalam hatinya, maka rela mengucapkan janji akan memberikan
bantuan apabila kau berhasil memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu ini. Kalau pada
saat seperti ini, tiba-tiba Tan Heng mengundurkan diri dari pertandingan, menurut
pendapat Siaute yang rendah, dengan kegagahan hati Tan Heng, tentu tidak sanggup
menerima cemoohan dari dua golongan baik putih maupun hitam. Aku sendiri merasa
tidak punya muka lagi untuk tampil di depan umum. Orang-orang akan menuduhku
menekan Tan Heng dengan budi yang pernah ditanamkan?" perlahan-lahan dia menarik
nafas panjang. "Kalau dengan cara demikian, meskipun aku bisa merebut kedudukan
Bulim Bengcu, tetapi hati ini tetap penasaran. Maksud Tan Heng yang baik, akhirnya
malah mencelakakan diriku?" Mendengar kata-katanya, mata Tan Ki mengerling sekilas. Sesaat kemudian tampak dia
menarik nafas panjang, kemudian menundukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah
katapun. Sepasang alis Oey Ku Kiong terjungkit ke atas melihatnya.
"Seandainya Tan Heng terus mempertahankan kekerasan hati dan tidak mau
bertanding dengan Siaute, maka jangan salahkan kalau Siaute menggunakan cara
paksaan!" Dia menarik nafas panjang-panjang, lalu mengerahkan tenaga dalamnya ke arah
lengan dan pedangnya bergerak menimbulkan segurat cahaya pelangi serta secara
mendadak melayang ke atas. Tan Ki melihat kerahan tenaga dalamnya pada pedang menimbulkan angin yang
kencang. Tampaknya anak muda itu tidak main-main lagi. Cepat-cepat dia memutar
tubuhnya dan berkelebat ke sebelah kiri.
Oey Ku Kiong terus mendesak maju. Mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang
keras. Sret! Sret! Sret! Tiga tusukkan dilancarkannya secara berturut-turut. Tampak
cahaya berkilauan memijar ke mana-mana. Hawa pedang yang dingin bergulung-gulung
mengiringi serangannya yang gencar.
Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau Tan Ki harus memikirkan keselamatan
dirinya sendiri. Diam-diam dia menghimpun hawa murninya dan pedang sulingnyapun
terulur ke depan. Terdengarlah suara bentrokan antara logam dengan batu kumala. Bahkan di sekitar
tubuh kedua orang itu timbul titik sinar yang berkilauan bagai percikan api. Ketika Tan Ki
menggerakkan pedang sulingnya, dia segera membalas sebuah serangan yang tidak kalah
dahsyatnya sehingga serangan pedang Oey Ku Kiong berhasil dipecahkannya dengan
mudah. Oey Ku Kiong membentak dengan suara lantang.
"Benar-benar Kiam-hoat yang bagus!" ucapannya sirap, pedang dihunus. Dengan jurus
Merak Emas Mengembangkan Sayap, dia mengibas ke arah jalan darah di pinggang Tan
Ki. Wajah Tan Ki agak berubah, sikapnya kembali pulih sebagaimana biasa dia menghadapi
lawan tangguh. Tubuhnya bergeser lalu memutar. Dia menghindarkan diri dari serangan
Oey Ku Kiong. Terasa hawa pedang memenuhi sekitarnya, kemudian melesat lewat di
sampingnya. Kalau terlambat sedetik saja, atau gerakan mundurnya terlalu cepat sehingga
memberi kesempatan kepada Oey Ku Kiong, dapat dipastikan bahwa di atas panggung itu
akan terjadi pertumpahan darah. Ini benar-benar yang dinamakan pertarungan antara
jago-jago kelas satu, mati atau hidup dapat ditentukan dalam sedetik saja.
Meskipun kedua orang itu belum pernah sungguh-sungguh mengukur kepandaian
lawannya masing-masing, tetapi di dalam hati mereka sudah mempunyai penilaian
tersendiri. Siapapun tidak berani memandang ringan lawannya. Tiba-tiba terlihat Oey Ku
Kiong menggetarkan pergelangan tangannya, pedangnya ditudingkan ke bawah dan
dengan jurus Mencabut Akar Pohon Tua, dengan gencar serangannya meluncur ke depan.
Tubuh Tan Ki bagai seekor ikan yang meloncat di dalam air berjungkir balik ke belakang
sejauh tiga depa. Tetapi justru ketika tubuhnya mencelat ke belakang itulah, ilmu
pedangnya tiba-tiba berubah. Begitu cepatnya gerakan pedangnya bagai curahan hujan
deras, sehingga menimbulkan butir-butir seperti mutiara yang berkilauan. Segulung demi
segulung berubah menjadi cahaya putih serta
mengandung kekuatan bagai ombak yang menghempas batu karang langsung
menerjang ke arah lawannya. Pertarungan kali ini bagai duel mati hidup antara dua orang musuh besar yang ingin
membalaskan dendamnya. Keduanya sama-sama mengerahkan ilmu kepandaiannya yang
paling hebat. Apabila menghindarkan diri, tubuh mereka mencelat sampai jauh sekali,
tetapi apabila melakukan serangan, begitu dekatnya sehingga hampir merapat. Di atas
panggung seakan terlihat pedang dan suling yang saling beterbangan. Suara gerungan
maupun raungan terus terdengar. Begitu sengitnya pertandingan babak ini sehingga
bayangan tubuh kedua orang itu sulit dibedakan. Yang tampak hanya dua gulungan
cahaya putih yang berkilauan berdempetan menjadi satu, kemudian berkelebatan di atas
panggung. Begitu hebat pertempuran kali ini. Angin yang terpancar keluar dan hawa
pedang sampai menggetarkan pakaian Liu Seng beserta rombongannya yang bertindak
sebagai regu pengaman sehingga berkibar-kibar bagai dihempas badai. Kain layar yang
dijadikan alas lantai juga terus bergelombang mengiringi jalannya pertandingan. Kadangkadang
bahkan menimbulkan suara menderu-deru bagai angin topan yang melanda.
Sejumlah hadirin yang ada di bawah panggung sampai basah tangannya oleh keringat
dingin. Mata mereka menatap atas panggung dengan terkesima, malah mungkin lupa di
mana mereka berada dan siapa diri mereka sebenarnya. Hitung-hitung memang budi pekerti Tan Ki memang lebih tebal. Dia tidak mengerahkan
Tian Si Sam-sut dan Te Sa Jit-sut yang mempunyai kekuatan maha dahsyat. Kalau tidak,
kemungkinan besar Oey Ku Kiong tidak dapat menahan diri dari lima kali serangannya.
Saat ini tampak ilmu kepandaian keduanya hampir seimbang. Tentu saja Tan Ki tidak
menggunakan Kiam-hoatnya yang paling hebat. Hal ini pasti karena dia mengingat budi
yang pernah ditanam Oey Ku Kiong kepada dirinya. Justru dengan demikian kedudukan
keduanya jadi sama kuat. Untuk sesaat pasti sulit menentukan siapa yang akan kalah dan
siapa yang akan meraih kemenangan. Setelah bertanding sengit sebanyak empat puluhan
jurus tampak jarak lima langkah dari tubuh kedua, orang itu dipenuhi oleh cahaya pedang
bayangan suling. Percikannya bagai bunga api dan semakin bertarung semakin cepat.
Secara berturut-turut Oey Ku Kiong telah merubah gerakannya dengan ilmu pedang
dari Pat Sian-kiam, Si Bun-kiam Serta yang lain-lainnya sebanyak tujuh macam. Tetapi
semuanya dapat dipecahkan oleh pedang pendek yang terselip di dalam suling di tangan
Tan Ki. Biar bagaimana pun gencarnya serangan pendekar berpakaian putih itu, juga biar
bagaimana kejinya, tetap saja Tan Ki melayaninya dengan tenang. Dia tidak tampak
gugup atau panik sama sekali. Tetapi Tan Ki sendiri juga sudah mengerahkan berbagai
macam ilmu yang didapatkannya dari goa makam Ti Ciang Pang, pokoknya dari sederhana
sampai yang hebat sekali, namun dia juga belum dapat membuat Oey Ku Kiong kewalahan
sampai menemui jalan buntu. Dengan cara seperti ini, kembali lima puluh jurusan telah berlalu. Makin bertarung
makin sengit. Jurus-jurus yang membahayakan serta keji dikerahkan satu per satu, seperti
orang yang tidak memperdulikan mati hidupnya sendiri. Baik wajah Oey Ku Kiong maupun
Tan Ki telah membasah karena dipenuhi keringat yang terus bercucuran. Nafas
keduanyapun tersengal-sengal. Tampak dada kedua orang itu terus naik turun bagai gelombang air, dalam waktu yang
bersamaan keduanya menghembuskan nafas yang berat. Bahkan Yibun Siu San dan Cian
Cong yang duduk pada jarak kurang lebih satu depaan dari mereka, juga dapat
mendengar dengan jelas nafas mereka yang semakim memburu.
Kurang lebih satu peminuman teh berlalu lagi. Oey Ku Kiong seperti ingin
menyelesaikan pertarungan secepatnya, kalau perlu dia akan mengadu jiwa. Terdengar
mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang keras. Pedangnya yang panjang
menimbulkan cahaya sampai sejauh sepuluh depa. Sinar yang bagai pelangi berwarna
putih itu menusuk lurus ke depan dengan kecepatan kilat.
Jurus yang digunakannya kali ini merupakan salah satu jurus dari ilmu Pek Hun Ceng
yang tidak diwariskan pada orang luar. Kehebatannya jangan ditanyakan lagi, meskipun
kekuatan tenaga dalam Oey Ku Kiong belum mencapai taraf dapat membunuh orang
dengan hawa pedangnya dari jarak jauh, tetapi tetap saja mengandung kelihaian yang
tidak terkirakan. Kalau diperhatikan dari bawah, maka pedangnya yang berwarna hijau
menimbulkan cahaya yang besarnya mengejutkan dan hawa yang terpancar dari
pedangnya mengandung hawa dingin yang menggigilkan. Gerakannya bagai seekor naga
sakti yang mengibas ke sana ke mari. Serangannya begitu cepat, persis air terjun yang
tercurah dari atas, baru melirik tahu-tahu sudah sampai di bawah. Seorang jago kelas satu
dari dunia Bulim sekalipun tidak mudah menghindarkan diri dalam waktu yang sekejap
mata itu. Tan Ki melihat Oey Ku Kiong merubah gerakannya seperti orang yang hendak mengadu
jiwa, hatinya tercekat setengah mati. Tubuhnya menggeser sedikit ladu memutar setengah
lingkaran, pedang suling di tangannya sekaligus bergerak lalu meluncur ke depan
menyambut datangnya serangan Oey Ku Kiong.
Inilah jurus Mengibas Pasir di Atas Tanah yang merupakan salah satu jurus terhebat
dari Te Sa Jit-sut. Perlu diketahui bahwa para tokoh persilatan di dunia Bulim semuanya memiliki penyakit
yang sama. Di hari-hari biasa mereka selalu menyembunyikan kepandaiannya yang sejati.
Hal ini dilakukan untuk mencegah kalau ada musuh besar mereka yang menyelidiki sampai
di mana sebetulnya ketinggian ilmu yang mereka miliki dan kemudian berusaha
menciptakan sejenis ilmu lainnya yang khusus untuk melawan ilmu tersebut. Lagipula
mereka juga takut kalau ilmu-ilmu hebat yang membuat nama mereka terkenal itu berhasil
dicuri belajar oleh orang lain. Oleh karena itulah, mereka jarang menunjukkan semua
kepandaiannya secara terang-terangan. Kalau sudah terdesak dalam keadaan gawat, yang
menyangkut mati hidup mereka, barulah mereka tidak berpikir panjang lagi, bahkan
memusatkan perhatian untuk mengerahkan ilmu "mereka yang paling dahsyat untuk
menyelamatkan diri sendiri dari maut. Penyakit seperti ini, bagi orang yang namanya
semakin besar dan ilmunya semakin hebat, malah lebih parah lagi. Kalau dilihat dari luar,
tokoh Bulim manapun pasti pandai berpura-pura atau sengaja menutup diri serapatrapatnya.
Meskipun tadinya Tan Ki sudah bertekad untuk mengendalikan dirinya sendiri dan tidak
mau mengerahkan ilmu Tian Si Sam-sut maupun Te Sa Jit-sut, tetapi ketika keadaan
sudah menyangkut keselamatan nyawanya sendiri, tanpa sadar seperti ada semacam
refleksi yang membuat dia mengerahkan jurus Mengibas Pasir di Atas Tanah.
Terdengar suara benturan logam dan batu kumala, yang terpancar setelah bunyi suitan
-gerakan kedua jenis senjata itu. Trang! Seiring angin yang berhembus, tampak pedang
panjang terhempas di atas tanah, di bagian lengan pakaian Oey Ku Kiong yang berwarna
putih tampak guratan sepanjang lima cun. Darah segar setetes demi setetes mengalir
keluar. Meskipun Tan Ki sama sekali tidak menduga bahwa gerakannya yang dilakukan secara
refleks untuk menyelamatkan diri ternyata malah melukai sahabat yang sudah menanam
budi berkali-kali kepadanya. Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu. Mimik wajahnya
seperti orang yang ketakutan karena berbuat kesalahan.
"Oey-heng, maaf sekali! Aku benar-benar tidak menyangka bisa melukai lenganmu?"
katanya gugup. Oey Ku Kiong menarik nafas panjang. Dia tidak menjawab perkataan Tan Ki tetapi
malah menggumam seorang diri. "Aku sudah mengerahkan segenap kemampuanku. Tetapi tetap saja bukan
tandinganmu. Apabila dia tahu mungkin dia juga tidak dapat menyalahkan diriku."
perlahan-lahan dia mendongakkan wajahnya dan melirik Tan Ki sekilas. Bibirnya
mengembangkan seulas senyuman yang tipis. Wajahnya tidak menyiratkan kemarahan
sedikitpun. Sinar mata Tan Ki yang penuh penyesalan terus mengerling ke arah dirinya. Hatinya
ingin sekali mengucapkan beberapa patah kata, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus
memulainya. Bibirnya bergerak-gerak sedikit tetapi tidak ada sepatah katapun yang
terucapkan olehnya. Oey Ku Kiong memaksakan sekulum tawa
di sudut bibirnya. "Tan-heng, babak ini kembali kau yang menang."
"Aku" aku benar-benar tidak bermaksud melukaimu. Tetapi entah mengapa, ketika aku
terdesak sedemikian rupa, aku malah tidak ingat lagi siapa dirimu, yang kupikirkan hanya


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keselamatan diriku sendiri?" Oey Ku Kiong dapat melihat mimik wajahnya yang merasa serba salah bahkan
menyiratkan kepanikan. Dia sengaja memperlebar senyumnya.
"Luka sekecil ini tidak berarti apa-apa. Dalam sebuah pertandingan, bahkan ayah dan
anakpun tidak dibedakan lagi. Pasti sulit mencegah salah satu di antaranya ada yang
terluka. Tan-heng tidak perlu merasa tidak enak hati karena masalah ini. Setelah
pertandingan ini, kau dan aku tetap merupakan sahabat."
Tampang Tan Ki menyiratkan sedikit kebimbangan.
"Kata-kata yang kau ucapkan tadi membuat orang tidak mengerti. Siaute terpaksa
memberanikan diri untuk bertanya. Apakah Oey heng naik ke atas panggung mengikuti
pertandingan ini sebetulnya mendapat perintah dari seseorang?"
Mendengar kata-katanya, wajah Oey Ku Kiong langsung berubah hebat. Tetapi sejenak
kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa. Perlahan-lahan dia menarik nafas satu
kali. "Tan-heng tidak usah terlalu mendesak. Pada suatu hari nanti, kau pasti akan
mengerti." dia membungkukkan tubuhnya untuk memungut kembali pedangnya yang
terjatuh di lantai panggung. Kemudian tampak bayangannya berkelebat dan diapun
meloncat turun ke bawah panggung. Hampir dalam waktu yang bersamaan dengan meloncat turunnya Oey Ku Kiong,
kembali ada sesosok bayangan yang berkelebat naik ke atas.
Terasa serangkum bau harum yang terpancar dari tubuh seorang perempuan menerpa
datang seiring hembusan angin. Pakaian yang berwarna merah jambu mengibar-ngibar. Di
atas panggung telah berdiri seorang perempuan yang cantik jelita.
Orang ini bukan siapa-siapa, tetapi justru si budak cantik yang menggunakan siasat rayuan
agar Oey Ku Kiong jatuh bertekuk lutut di bawah gaunnya. Siapa lagi kalau bukan
selir kesayangan Tocu Bu Sin To, Kiau Hun!
Diam-diam hati Tan Ki jadi tergetar.
"Apakah kau juga bermaksud merebut kedudukan Bulim Bengcu?"
Kiau Hun mengerlingkan sepasang matanya yang indah. Bibirnya juga mengembangkan
seulas senyuman yang manis. "Peraturan dalam pertandingan ini, tidak menyatakan bahwa kaum perempuan, biarpun
rahib atau nyonya muda tidak boleh mengikutinya. Mengapa aku tidak boleh ikut
memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu yang menjadi impian setiap tokoh persilatan
itu?" Melihat tampangnya dan mendengar kata-katanya yang tegas, Tan Ki sadar bahwa
pertandingan ini sudah pasti diikuti olehnya. Biar bagaimana dia pasti akan bergebrak
dengan-nya sampai ada salah satu yang menang. Hati-nya menjadi bimbang kembali.
Perempuan ini pernah menyelamatkan jiwanya bahkan sam-pai diusir dari pintu
perguruan. Lagipula Kiau Hun secara terang-terangan pernah menyatakan cinta kasihnya
dan terus merongrongnya sehingga dia merasa bahwa perempuan ini lebih sulit lagi
dihadapi dari pada Oey Ku Kiong. Tan Ki juga pernah melihat ilmu Kiau Hun yang sekarang. Dalam sekali gerak saja, dia
sanggup melukai seorang Locianpwe yang terkenal keras kepala seperti Ciu Cang Po.
Kalau benar-benar sampai terjadi pertarungan, mungkin dalam ribuan jurus sulit
menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Tampaknya Kiau Hun dapat menyelami perasaan hati Tan Ki. Bibirnya merekah
mengembangkan seulas senyuman. "Kau tidak perlu berpikir ke sana ke mari sehingga menjadi bimbang tidak menentu.
Perlu kau ketahui bahwa perebutan kedudukan Bulim Bengcu ini menjadi hak setiap orang.
Pokoknya begitu naik ke atas panggung, siapapun harus saling berhadapan sebagai lawan.
Tidak memperdulikan segala macam perasaan. Meskipun urusan antara kau dan aku
sudah menjadi kenangan masa lalu, aku malah ingin mengundurkannya dan
memperhitungkannya beberapa hari kemudian. Sekarang ini keluarkan dulu senjatamu
dan kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita."
Tan Ki menggelengkan kepalanya. Dia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Aku tidak bisa berkelahi denganmu."
Sepasang alis Kiau Hun langsung terjung-kit ke atas. Tampaknya dia menjadi kurang
senang mendengar ucapan Tan Ki, tetapi bibirnya tetap tersenyum.
"Apakah aku harus memaksamu untuk turun tangan sebagaimana halnya Oey Ku Kiong
tadi?" Pada dasarnya Kiau Hun memang gadis yang cantik. Lagaknya yang dibuat-buat seperti
anak manja itu justru membuat orang yang melihatnya semakin gemas. Sayangnya dia
sudah menjadi anggota Bu Sin To di Lam Hay dan bahkan mendapat kedudukannya
sekarang ini dengan menjual jiwa raganya. Kecantikan di luar saja, persis seperti
sekuntum bunga mawar yang merupakan lukisan dinding, bagus dilihat tetapi tidak
memancarkan keharuman sedikitpun. Tan Ki tertawa getir. "Aku sendiri rela mengaku?"
Kata-kata "kalah" belum sempat diucapkan, tiba-tiba Yibun Siu San sudah bangkit dari
tempat duduknya dan membentak. "Tunggu dulu!" Kiau Hun yang melihat Tan Ki sudah mulai terperangkap oleh jeratnya dan hampir saja
mengaku kalah. Kalau benar demikian, tentu pertandingan ini akan dimenangkan olehnya
dengan mudah. Siapa tahu pada saat yang tepat tiba-tiba kata-kata yang belum selesai
diucapkannya jadi terhenti oleh bentakan Yi-bun Siu San. Sepasang alisnya langsung
mengerut erat. Hatinya yang merasa gembira menjadi marah sekali.
"Orang sedang berbicara baik-baik, siapa suruh kau ikut campur?"
Yibun Siu San mendongakkan kepalanya menatap warna langit. Bibirnya merekahkan
senyuman yang lebar. "Sekarang ini waktu tepat menjelang sen-ja"
Kiau Hun tertawa dingin. "Memangnya kenapa kalau sudah senja?"
"Tentu saja istirahat dan isi perut!"
Kiau Hun tertawa dingin dan mendengus satu kali. Tetapi kali ini dia tidak menukas
perkataan Yibun Siu San. "Kau jangan aku kira memang sengaja menunda-nunda waktu. Sehingga hatimu
merasa tidak puas. Perlu kau ketahui bahwa peraturan dalam pertandingan ini sudah
diumumkan dengan jelas. Dalam keadaan bagaimanapun asal waktu sudah menjelang
senja, pertandingan harus dihentikan! Malam hari nanti baru dilanjutkan kembali. Aku
hanya menjalankan kewajiban, harap kau turun dulu dari panggung ini!" kata Yibun Siu
San tegas. Sepasang alis Kiau Hun bertaut semakin erat. Hawa pembunuhan mulai tersirat di
wajahnya. Tetapi dia berpikir panjang kalau sampai menimbulkan kemarahan para hadirin,
tentu sulit baginya untuk menghadapi orang yang begitu banyak. Biar bagaimana,
peraturan pertandingan yang telah ditentukan memang tidak boleh sembarangan
dilanggar. Akhirnya terpaksa dia menahan kemarahan hatinya dan dengan gerak gemulai,
dia turun juga dari atas panggung. Sementara itu, Tan Ki seperti tiba-tiba teringat akan suatu masalah. Dia langsung
bertanya kepada Yibun Siu San. "Sam Siok, apakah malam nanti aku harus bertanding lagi?"
Yibun Siu San tertawa datar. "Kau kira memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu itu
urusan yang mudah" Aku dan Cian Locianpwe menaruh harapan yang besar pada dirimu,
apakah kau ingin berhenti setengah jalan begitu saja?"
"Tetapi, kecuali babak yang satu ini, keponakan sudah bertanding selama enam kali
berturut-turut. Kalau dihitung-hitung berarti lima kali menang satu kali seri?"
Yibun Siu San menggoyangkan sepasang tangannya dengan maksud menghentikan
kata-kata Tan Ki. "Meskipun kau tidak mengatakan apa-apa, namun aku sudah tahu apa yang
terkandung dalam hatimu. Tetapi pikiranmu itu terlalu kekanak-kanakan. Kau kira dengan
mengandalkan ilmu silatmu yang tinggi, sehingga kau dapat mengenyahkan saingan dan
tidak ada seorangpun yang dapat menandingimu, lalu dengan mudah kau sudah dapat
menjabat sebagai Bulim Bengcu. Tentu saja masih jauh sekali jangkauannya. Kau harus
tahu bahwa kedudukan Bulim Bengcu itu berarti menjadi kepala atau ketua dari ratusan
partai ataupun perkumpulan di dunia ini. Banyak peraturan yang harus dipatuhi dan yang
paling penting harus bersikap tegas dalam mengambil segala keputusan, tidak boleh berat
sebelah. Baik ilmu silat, tingkat kecerdasan, kemuliaan hati, semuanya merupakan syarat
yang harus ada dan tidak boleh kurang satupun juga. Harus bisa mengatasi masalah
dengan pikiran dingin, masalah besar diperkecil, dan masalah kecil dihapus. Problema
yang tidak dapat diatasi oleh arang biasa, dia sudah pasti harus bisa menyelesaikannya
dengan baik. Demikian baru dapat disebut pimpinan besar dari para tokoh dunia Bulim!"
Mendengar keterangannya yang panjang lebar, Tan Ki sampai meleletkan lidahnya.
Rasa terkejutnya tidak kepalang tanggung.
"Kalau ditinjau dari segala segi itu, entah berapa lama waktu yang diperlukan baru
dapat terpilih seorang Bulim Bengcu?"
Yibun Siu San tertawa lebar. "Kalau menurut pertimbangan diriku sendiri, mungkin waktu tujuh hari sudah bisa
menguji segala persyaratan itu, yakni ilmu silat, kecerdasan dan yang terakhir kemuliaan
jiwanya." Sementara mereka bercakap-cakap, Liu Seng, Kok Hua Hong dan Ciong San Suang Siu
sudah menyimpan senjata masing-masing dan berjalan menghampiri mereka. Hanya si
pengemis sakti Cian Cong yang masih duduk di tempatnya dengan mata terpejam seakan
sedang merenungkan suatu masalah. Mula-mula tampak Kok Hua Hong tertawa terbahak-bahak sambil mengacungkan jari
jempolnya. "Hebat sekali. Dengan usia yang masih demikian muda. Laote berhasil mendapat
kedudukan sebagai Go Kit Kiam-jiu (Pendekar pedang tingkat lima). Hal ini benar-benar
membuat orang jadi kagum." Mendengar kata-katanya, Tan Ki jadi tertegun. Dia memandang Kok Hua Hong dengan
tatapan kurang mengerti. "Go Kit Kiam-jiu?" Sekarang gantian. Liu Seng yang tertawa terbahak-bahak.
"Siapapun orangnya yang di atas panggung pertandingan dapat mengalahkan seorang
lawannya, maka akan mendapat sebutan Pendekar pedang tingkat satu. Kalau
mengalahkan dua orang, otomatis kedudukannya naik lagi menjadi Pendekar pedang
tingkat dua. Sedangkan Pendekar pedang tingkat lima berarti bahwa orang itu secara
berturut-turut berhasil mengalahkan lima orang lawannya. Sedangkan dalam pemilihan
Bulim Bengcu kali ini, harus mencapai tingkat sembilan baru dapat memenuhi syarat."
"Kalau di saat pertandingan, karena perhatian yang terpencar atau karena kecerobohan
lalu sampai mendapat kekalahan, bukankah berarti kehilangan kesempatan untuk
memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu tersebut?"
"Tidak mungkin. Yibun Cianpwe merupakan seorang tokoh yang berpikiran panjang.
Perhitungannya matang sekali. Setiap orang mempunyai peluang yang sama besar.
Umpamanya dirimu sekarang ini sudah mendapat gelar Pendekar pedang tingkat lima.
Lalu dalam babak selanjutnya kau mengalami kekalahan, kau tetap masih boleh
mengajukan pertandingan berikutnya. Istilahnya mencoba keberuntungan. Seandainya kau
dapat mengalahkan orang yang tingkatnya sama dengan dirimu dua kali berturut-turut,
maka kedudukanmu akan naik lagi satu tingkat. Tadi Heng Sang Si dan Goan Siang Fei
yang kau kalahkan justru dalam keadaan seperti yang kukatakan tadi. Mereka dapat lagi
kedudukannya menjadi Pendekar pedang tingkat empat."
Sepasang alis Tan Ki bertaut erat. Kemudian tampak bibirnya mengembangkan seulas
senyuman. "Dalam pertandingan seperti ini ada kenaikan tingkat segala, benar-benar merupakan
hal yang baru kudengar pertama kali. Tetapi dari penjelasannya saja sudah membuat
orang menjadi penasaran, tapi entah bagaimana cara Yok Hu (Bapak mertua) dan
Cianpwe sekalian menentukan Bulim Bengcu yang benar-benar sesuai dengan syarat yang
berlaku?" Baru saja Liu Seng ingin memberi jawaban, Kok Hua Hong sudah keburu menukasnya.
"Tahukah kau ada berapa orang tokoh yang ilmunya benar-benar tinggi sekali di dunia
Bulim ini?" Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk sesaat Tan Ki jadi termangu-mangu. Dia
menundukkan kepalanya merenung sejenak kemudian baru memberikan jawaban.
"Saat sekarang ini, tokoh yang ilmu silatnya benar-benar sudah mencapai taraf
tertinggi, mungkin hanya lima enam orang. Kecuali Tiah Bu Cu Cianpwe yang jarang
menunjukkan tampangnya di dunia persilatan, maka yang lainnya termasuk Sam Siok,
Yibun Siu San, Cian Locianpwe, Pangcu Ti Ciang Pang, Lok Locianpwe dan Ciu Cang Po
yang ilmunya kalah sedikit dibandingkan dengan orang-orang tadi. Sedangkan yang
terakhir sudah pasti si raja iblis Oey Kang. Mengenai jago-jago dari Lam Hay Bun maupun
pihak Pek Kut Kau dari Si Yu, aku tidak begitu paham."
Terdengar suara si gemuk pendek Cu Mei dari Ciong San Suang Siu menukas, "Si
pengemis sakti Cian Locianpwe merupakan salah satu dari dua tokoh sakti di dunia saat
ini. Baik kedudukan maupun nama besarnya bukan didapatkan dengan mudah. Sedangkan
Yibun Siu San muncul di Pek Hun Ceng dan menolong kita dari marabahaya. Dia juga
pernah bergebrak dengan Oey Kang biarpun hanya beberapa jurus. Hal ini kau tentu
sudah tahu, oleh karena itu kita menggunakan kedua Cianpwe ini sebagai bahan ujian.
Anggaplah mereka ini Pendekar pedang tingkat sembilan, jadi setidaknya orang yang
menduduki jabatan Bulim Bengcu harus mempunyai ilmu silat yang hampir seimbang
dengan mereka?" Mendengar kata-kata itu, sepasang alis Tan Ki terus mengerut.
"Ilmu silat yang Cayhe kuasai, seperti kalian semua ketahui merupakan hasil curian dari
Ti Ciang Pang. Tetapi meskipun Cayhe tidak mempunyai guru pembimbing, pengalaman
juga masih dangkal, namun pernah membaca dari sebuah kitab kuno sehingga
mengetahui bahwa rumus ilmu silat dalamnya seperti lautan, tidak ada batasnya.
Sekarang ini kita mengangkat Cian Locianpwe serta Sam Siok berdua sebagai Pendekar
pedang tingkat sembilan, seandainya ternyata ada orang yang lebih tinggi lagi ilmunya
dari mereka berdua, entah bagaimana kalian akan mengaturnya?"
Kata-kata ini diucapkan tanpa berpikir panjang lagi. Setelah tercetus dari mulutnya, dia
baru merasa bahwa ucapannya tadi mungkin terlalu tajam sehingga dapat menusuk hati
kedua orangtua tersebut. Siapa sangka tokoh aneh yang namanya sudah menjulang tinggi
di dunia Kangouw itu malah tertawa terbahak-bahak mendengar perkataannya.
"Ilmu silat si pengemis tua yang hanya beberapa jurus ini, tidak berani dikatakan
bahwa tiada duanya di dunia ini atau belum pernah ada yang dapat menandingi sejak dulu
kala. Tetapi kalau dalam jurus gerakan seseorang dapat merenggut nyawa si pengemis tua
dengan mudah, dapat dipastikan bahwa orang itu tentu tokoh silat setengah dewa."
Yibun Siu San tersenyum lembut, dia ikut menukas.
"Dan aku akan mengangkat orang itu sebagai Pendekar pedang tingkat sepuluh!"
Setelah mendengar kata-kata ini, hati Tan Ki tampaknya sudah merasa puas. Dia
anggap sejak sekarang di dunia Bulim sudah mempunyai patokan yang pasti untuk
menentukan tinggi rendahnya ilmu seseorang. Seandainya digabungkan lagi dengan ilmu
senjata rahasia maupun ilmu racun dari golongan sesat, paling banter bisa mendaki
sampai tingkat sembilan. Seandainya ada yang bisa mencapai tingkat sepuluh, maka dapat
dipastikan bahwa orang itu pasti jenius bukan main dan mempunyai kecerdasan melebihi
orang biasa serta dapat dianggap manusia setengah dewa seperti yang dikatakan oleh di
pengemis sakti Cian Cong. Dalam sejarah dunia Bulim selama ratusan tahun, orang yang
dapat mencapai tingkat tersebut mungkin hanya ada dua orang, yaitu Tat Mo Cousu dari
Siau Lim Si dan Tio Sam Hong dari Bu Tong Pai"
Justru di saat pikiran Tan Ki masih melayang-layang dengan terkesima, dia mendengar
Yibun Siu San kembali membuka suara, "Anak Ki, sebaiknya kau turun dari panggung
untuk beristirahat agar tenagamu dapat pulih kembali sebagai persiapan untuk melakukan
pertandingan lagi malam nanti."
Tan Ki mengiakan dengan suara lirih, dia membalikkan tubuhnya dan meloncat turun
dari panggung tersebut. Pada saat itu, para hadirin yang tadinya berkumpul di sana sudah mulai bubar, yang
tinggal hanya Mei Ling, Liang Fu Yong, kakak beradik Cin Ying dan Cin Ie yang paling
mengkhawatirkan keadaan Tan Ki. Mereka masih menunggu di bawah panggung.
Lok Hong beserta cucunya Lok Ing beserta Oey Ku Kiong dan Kiau Hun entah
mempunyai rencana apa. Saat ini mereka berdiri pada jarak sepuluh depaan dan terbagi
dalam dua kelompok yang berhadap-hadapan. Mereka saling berbisik dengan rekan
masing-masing, mata mereka berulangkah melirik ke arah Tan Ki Kalau bukan sedang
memperhatikan gerak-geriknya, tentu mereka sedang membicarakan ilmu silatnya yang
mengejutkan ketika berlangsungnya pertandingan tadi.
BAGIAN XXXVIII Hati Tan Ki saat ini bagai digelayuti berbagai masalah yang rumit. Dia tidak melirik
sedikitpun. Perlahan-lahan dia berjalan melalui hadapan mereka. Tetapi setelah melangkah
kurang lebih belasan tindak, tanpa sadar dia menolehkan kepalanya melihat sekilas ke
arah kedua gadis itu. Tampak wajah Lok Ing mengembangkan senyuman yang dingin dan
sinar matanya memancarkan perasaan rindu. Sedangkan Kiau Hun malah membelalakkan
matanya lebar-lebar dan di dalamnya terkandung sinar kemarahan.
Diam-diam hati Tan Ki merasa geli, dia menggelengkan kepalanya sambil menarik nafas
panjang. "Hati kaum perempuan memang paling sulit di duga?"
Karena kedua perempuan itu memang mempunyai watak dan perasaan yang berbeda
terhadap dirinya. Yang seorang mengira dirinya keracunan hebat dan sebentar lagi akan
mati, malah dia sudah mengambil keputusan bahwa setelah dirinya mati, akan mencari
sua-tu tempat yang tenang dan membangun sebuah makam raksasa lalu menutup dirinya
dari dalam dan menemaninya seumur hidup"
tetapi dia tidak tahu bahwa kedua jenis racun di dalam tubuh Tan Ki saling menyerang
di mana akhirnya daya kerja keduanya menjadi musnah. Bahkan dia telah mencekoki anak
muda itu dengan obat penyembuh luka dalam, dalam jumlah yang banyak dengan maksud
agar dia dapat mempertahankan kehidupannya sementara. Siapa sangka obat-obatan itu
justru menambah kekuatan tenaga dalamnya setelah racunnya hilang sehingga dia dapat
memenangkan pertandingan dengan gemilang di atas panggung.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun Kiau Hun juga sangat mencintai Tan Ki, tetapi dia malah memilih jalan yang
salah. Tanpa berpikir panjang, dia rela mengorbankan kesuciannya dan akhirnya diterima
menjadi selir Tocu Bu Sin To dari Lam Hay. Dianggapnya dengan demikian derajat
maupun kedudukannya akan terangkat lebih tinggi. Di samping itu dia juga
mempermainkan cinta kasih Oey Ku Kiong yang tulus dengan memperalat anak muda itu
menuruti kemauannya. Berpikir sampai di sini, Tan Ki menarik nafas panjang sekali lagi. Tiba-tiba langkah
kakinya dipercepat dan menghambur pergi. Karena sampai sekarang ini, dia masih belum
tahu apa yang harus dilakukannya menjelang pertandingan nanti malam apabila dia
bertemu lagi dengan Kiau Hun. Hatinya kacau, pikirannya melayang-layang. Sejak semula dia memang sudah tidak
menaruh perhatian terhadap pemandangan yang indah di sekitarnya. Angin yang sejuk
berhembus dari depannya. Tetapi anak muda ini malah seakan lupa di mana dirinya
berada. Tanpa terasa, dia sudah berjalan ke arah balik bukit tersebut. Begitu pandangan
matanya dialihkan, dia melihat batu-batuan berserakan, pepohonan tumbuh dengan
subur. Suara kicauan burung sayup-sayup masuk ke dalam telinganya.
Tiba-tiba saja perasaannya menjadi segar. Suasana tempat ini sunyi dan tenang,
dipadu dengan keindahan alam yang masih murni dan jarang terinjak kaki manusia.
Semangatnya seakan terbangkit. Gulungan perasaan dalam hatinya yang rumit mulai
menghilang sedikit demi sedikit. Baru saja dia berpikir untuk mendongakkan wajahnya
menentang langit dan bersiul sekeras-kerasnya agar perasaan hati yang sumpek dapat
tersalurkan, tiba-tiba telinganya menangkap suara samar-samar pembicaraan seorang
wanita. Ilmu yang dimiliki Tan Ki saat ini, sudah tergolong jago kelas satu di dunia Bulim.
Meskipun suara itu begitu halus dan lirih, tetapi berkat pendengarannya yang tajam serta
suasana tempat itu yang tenang dan sunyi, maka dia dapat mendengarnya dengan jelas.
Dengan membawa perasaan hatinya yang penasaran, dia berjalan mengikuti arah dari
mana suara itu datang. Begitu pandangan matanya dialihkan, jantungnya langsung berdegup dengan kencang.
Dia merasa aliran darah dalam tubuhnya seakan bertambah cepat dan perasaannya
menjadi bergejolak hebat. Mengapa" Rupanya dia melihat Ceng Lam Hong sedang berlutut di depan sebuah
makam. Di hadapannya terdapat tiga batang hio yang masih menyala dan memancarkan
bau harum yang khas. Saat ini wanita tersebut sedang menundukkan kepalanya dan
sembahyang dengan khusuk. Setelah tertegun sejenak, Tan Ki masih tidak mengerti juga. Diam-diam hatinya
berkata: "Tiba-tiba Ibu berlutut seorang diri di sini, entah makam siapa yang sedang
disem-bahyanginya?" Ketika hatinya masih bertanya-tanya, segulung suara yang lirih dan sendu bagai
ratapan menyusup ke dalam gendang telinga. Ternyata Ceng Lam Hong sedang
bergumam seorang diri: "Ciok San, keadaan selama sepuluh tahun ini, isterimu sudah menjelaskannya secara
terperinci. Sekarang anak Ki dalam usianya yang masih begitu muda sudah mendapat
perhatian yang besar dari orang-orang gagah bahkan dalam pertandingan sudah mencapai
gelar Pendekar pedang tingkat lima. Mungkin urusan balas dendam kelak, tidak sulit lagi
terwujud. Isterimu justru berharap tahun depan pada hari yang sama bisa membawa
kepala si iblis Oey Kang dan bersembahyang di hadapanmu agar sukmamu menjadi
tenteram?" Nada suara yang terdengar dari mulutnya penuh dengan penderitaan. Setiap patah
maupun kalimat yang terdengar bagai sebilah pisau yang tajam menusuki perasaan Tan
Ki. "Ciok San, semasa hidupmu, kau paling tidak senang mencari ketenaran nama dan
berhati mulia. Tetapi oleh para sahabat di dunia Bulim, kau malah dianggap sebagai tokoh
netral yang termasuk golongan lurus tidak, sesat-pun tidak. Ini masih tidak terhitung apaapa.
Kalau ditinjau dari segala segi, kesalahan sebenarnya terletak pada dirimu sendiri.
Kehidupan kita yang sudah tenang dan tenteram kau abaikan, malah membentuk apa
yang dinamakan Wi Lu Sam-kiat dan mengangkat saudara segala macam. Sejak isterimu
ini melahirkan anak Ki, aku sudah tahu kalau Oey Kang dan Yibun Samsiok sama-sama
memendam perasaan cinta kasih terhadap isterimu ini. Hal ini memang benar-benar di luar
dugaan. Isterimu sendiri merasa terkejut sekali. Tetapi karena kedua orang itu adalah
saudara angkat sehidup semati Siangkong, isterimu ini takut hubungan kalian akan rusak.
Oleh karena itu, terpaksa isterimu ini memendam semuanya dalam hati dan tidak
mengatakannya kepada siapapun. Siapa nyana Jisiok mempunyai hati yang demikian keji
serta menakutkan. Cinta kasihnya yang tidak tercapai berubah menjadi kegusaran hebat di
dalam ba-thinnya. Rupanya secara diam-diam dia menyimpan perasaan benci itu selama
sepuluh tahun. Hal ini tentu tidak mudah bagi orang biasa. Justru pada suatu malam yang
turun hujan deras, dia datang dengan wajah tertutup topeng. Penampilannya bagai
seorang musuh besar yang hendak membalas dendam. Ternyata malam itu juga dia
berhasil membunuh Siangkong dengan berpuluh macam senjata rahasia andalannya?"
Berkata sampai di sini, tampaknya Ceng Lam Hong tidak dapat menahan kepedihan
hatinya lagi, untuk sesaat dia tidak dapat meneruskan kata-katanya.
Tan Ki berdiri di belakang punggung ibunya, sulit baginya untuk melihat mimik wajah
wanita itu. Tetapi dari sepasang pundaknya yang bergerak-gerak naik turun, Tan Ki dapat
menduga bahwa ibunya sedang menangis terisak-isak.
Setelah berhenti beberapa saat, terdengar Ceng Lam Hong melanjutkan kembali katakatanya:
"Ketika aku melihat Siangkong mati dengan cara mengenaskan, untuk sesaat perasaan
marah dan sedih membaur dalam hati. Tanpa sempat mengambil senjata lagi di kamar,
aku langsung mengejar penjahat bertopeng itu. Pada saat itu isterimu ini masih tidak tahu
kalau orang itu adalah samaran Jisiok. Ketika aku berhasil mengejarnya dan mendesaknya
dengan serangan-serangan, kemudian dia terpaksa melancarkan serangan balasan, baru
aku tahu dia adalah Oey Kang. Tentu saja aku tahu dari jurus-jurus yang dikerahkannya.
Akhirnya, aku terluka parah dan pingsan di tempat itu juga. Kebetulan sekali Samsiok
lewat di tempat kejadian, sehingga Oey Kang terkejut dan mengundurkan diri. Dengan
demikian selembar nyawa yang malang ini pun terselamatkan. Ketika luka yang penderita
sudah agak sembuh, aku pulang lagi ke rumah. Tahu-tahu anak Ki lenyap entah ke mana.
Selama sepuluh tahun ini, aku selalu merindukan anak Ki dan tidak bisa melupakan
dendam kematian suami dan hilangnya anak tunggal kita itu. Isterimu ini akhirnya tinggal
bersama Samsiok di puncak bukit. Meskipun dia memperlakukan aku dengan sopan dan
hormat serta memandang aku seperti seorang dewi, tetapi untunglah dari awal sampai
akhir, biar bagaimana dalamnya perasaan Samsiok itu, kami tidak pernah melakukan
apapun yang di luar batas. Sayangnya anak Ki masih terlalu muda dan pandangannya
belum terbuka. Dia selalu mencurigai isterimu ini, malah memandang aku sebagai
musuh?" kembali terdengar Ceng Lam liong menarik nafas panjang lalu melanjutkan lagi
kata-katanya. "Biarpun menderita sampai bagaimana, tetap aku tidak akan menyalahkan
anak Ki. Tetapi aku mohon semoga arwah Siangkong melindunginya, supaya dia dapat
mendapatkan nama besar di dunia Kangouw, membalas dendam ayahnya dengan tangan
sendiri. Dengan demikian semua penderitaan yang isterimu rasakan, telah mendapatkan
imbalan yang sesuai." Bisikan hati seorang ibu yang penuh kasih, dapat terdengar jelas dari kata-katanya
yang terakhir. Kelembutannya yang tersirat nyata, membuat orang yang mendengarnya
menjadi terharu. Tan Ki sampai gemetar seluruh tubuhnya bagai disengat aliran listrik. Dia
merasa perasaanya bergejolak hebat dan tanpa dapat ditahan lagi dua baris air mata
mengalir dengan deras membasahi pipinya.
Dendam kesumat selama sepuluh tahun, boleh dibilang sekarang ini sudah menjadi
terang. Oey Kang mendapat Sam Jiu San Tian-sin, ilmu senjata rahasianya boleh dibilang
tidak ada tandingannya lagi di dunia ini. Tidak heran mayat ayahnya penuh dengan
berbagai senjata rahasia, bahkan jumlahnya sampai empat puluh delapan!
Akibatnya dia membunuh orang tanpa sebab musabab yang pasti. Hatinya hanya ingin
memperhitungkan dendam atas kematian sang ayah. Dalam waktu setengah tahun ini, dia
menganggap sedang membalaskan dendam ayahnya. Dua puluh tujuh tokoh hitam dan
putih di dunia Bulim mati di tangannya"
Berpikir sampai di sini, timbul perasaan tidak enak dalam hatinya. Kemudian suatu
ingatan melintas dalam benaknya. Diam-diam dia berpikir, "Mulai sekarang, nama Cian Bin
Mo-ong akan lenyap dari dunia persilatan. Aku tidak akan bertentangan lagi dengan
golongan putih" mungkin suatu hari nanti, aku harus mengumumkan masalah ini kepada
semua orang dan memohon pengertian. Dengan demikian aku telah menunjukkan bahwa
aku benar-benar menyesal atas perbuatanku yang tidak menggunakan akal sehat itu?"
Pikirannya masih melayang-layang, tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa yang
panjang. Begitu kerasnya sehingga bagai geluduk yang memecahkan keheningan. Tahutahu
di hadapan Ceng Lam Hong telah berdiri si raja iblis Oey Kang. Laki-laki itu
mengembangkan seulas senyuman yang menyebalkan.
Orang ini memang patut mendapat sebutan si raja iblis nomor satu di dunia Kangouw.
Suara tawanya belum lagi sirap, orangnya sudah melayang turun. Kecepatannya bagai
hembusan angin yang berlalu dan mengejutkan orang yang melihatnya.
Tampaknya Ceng Lam Hong juga terkesiap bukan main melihat kemunculannya yang
tidak terduga-duga itu. "Untuk apa kau datang ke mari?" Oey Kang tertawa terbahak-bahak. "Hari ini adalah
ulang tahun kematian Toa-ko yang ke sepuluh. Sebagai seorang adik sudah seharusnya
aku memberi penghormatan." selesai berkata, dia benar-benar membungkukkan tubuhnya
dalam-dalam ke arah kuburan itu. Ceng Lam Hong mendengus satu kali. "Kau sudah mencelakai Toako sehingga menemui
ajalnya, apakah kau masih belum merasa puas sehingga?"
Kembali Oey Kang tertawa terbahak-bahak kemudian menukas perkataannya.
"Sehingga masih ingin mendapatkan diri Toaso" Apanya yang salah, Toaso seperti
orang buta yang kehilangan tongkat. Sesudah Toako mati, tinggal Toaso sendirian
menanggung sepi dan kerinduan hati, tidak ada yang menemani. Usia Toaso pun justru
sedang matang-matangnya sehingga sulit menanggung rasa dahaga akan asmara dan
belaian seorang laki-laki yang?"
Sepasang alis Ceng Lam Hong bertaut erat mendengar ucapannya. Dia langsung
membentak marah, "Tutup mulut anjingmu!"
Oey Kang tersenyum simpul. "Biar mulut ini disumpal dengan kain sekalipun, kau tetap tidak bisa menghindari
sepasang mata ini, bukan?" Sembari berkata, sepasang matanya yang mengandung niat
busuk dari awal hingga ak-hir terus menatap wajah Ceng Lam Hong lekat-lekat. Dia
seakan ingin mencari sesuatu dari wajah wanita itu, tetapi juga seperti orang yang ingin
menatap setiap lubang pori-porinya sampai tidak setitik pun yang ketinggalan.
Mendengar ucapannya yang kurang ajar, wajah Ceng Lam Hong sampai merah padam
saking marahnya. Dia juga merasa kesal sekali. Tetapi ketika pandangan mereka bertemu,
tanpa terasa kepalanya tertunduk dalam-dalam dan tidak berani melihat lebih lama lagi.
Kali ini, Tan Ki yang sedang bersembunyi di balik sebuah batu besar merasa hawa amarah
dalam dadanya seakan meledak. Dia mendongakkan kepalanya dan mengeluarkan suara
suitan yang panjang. Tubuhnya langsung mencelat keluar dari tempat persembunyiannya.
Orangnya masih melayang di tengah udara, tangannya segera mengeluarkan pedang
sulingnya, dengan jurus Lautan Selatan Menggelora, tampaklah bayangan suling serta
kilauan cahaya pedangnya yang mengibar-ngibar. Tubuhnya bergerak seiring dengan
senjatanya langsung meluncur ke depan.
Oey Kang merasa ada gulungan hawa pedang yang melanda datang dari udara. Tanpa
terasa wajahnya langsung berubah. Dengan panik dia mengempos hawa murninya. Seiring
dengan pundaknya yang bergerak, tubuhnya pun mencelat ke belakang sejauh dua depa.
Gerakan tubuhnya demikian ringan dan cepat sehingga mungkin sulit dicari tandingannya
di dunia ini. Melihat serangannya tidak mengenai sasaran, kemarahan dalam hati Tan Ki semakin
berkobar-kobar. Pedang suling di tangannya direntangkan ke sebelah kiri. Anak muda itu
sudah siap melancarkan serangan kedua. Tiba-tiba terdengar suara bentakan Oey Kang
yang menggelegar. "Tunggu dulu!" Wajah Tan Ki kelam sekali. Dia berdiri tegak dengan menggenggam pedang sulingnya
erat-erat. Ditampilkannya sikap seorang jago kelas tinggi yang siap menghadapi musuh.
Mulutnya memperdengarkan suara tawa yang dingin.
"Entah penjahat tua ada pesan apa lagi, Cayhe bersedia membersihkan telinga
mendengarkan amanatmu yang terakhir"!"
Oey Kang tersenyum simpul. "Aku ingin mengucapkan selamat kepadamu atas keberhasilanmu mencapai gelar
Pendekar pedang tingkat lima. Nanti malam apabila bertanding lagi, entah berapa tingkat
lagi yang dapat kau capai?" Tan Ki mendengus dingin satu kali. "Apa hubungannya dengan dirimu?"
"Sepuluh tahun lamanya berlatih dengan keras, tidak ada berita besar di dunia ini yang
tidak sampai di telingaku. Aku tidak ingin membanggakan diriku sendiri sebagai jago tanpa
tandingan. Tetapi kalau ditinjau dari ilmu yang kau miliki saat ini, masih terpaut jauh
dengan diriku. Kalau diungkapkan secara kasar, kau masih belum sanggup menerima satu
kalipun serangan dariku, kecuali kalau kau dapat merebut kedudukan Bulim Bengcu."
Tan Ki mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
"Bagus sekali! Biar Cayhe buktikan dulu kebenaran kata-katamu!"
Pedang sulingnya perlahan-lahan digetarkan, timbul bayangan bunga pedang berbentuk
segitiga. Tampaknya dia sudah siap melancarkan serangan.
Ceng Lam Hong sangat menyayangi putranya ini. Cepat-cepat dia menghampiri dan
menarik tangan Tan Ki lalu berbisik kepadanya dengan suara lirih, "Orang ini banyak akal
busuknya. Hatinya juga licik sekali. Kalau belum ada buktinya jangan percaya. Apabila
sudah melihat dengan mata kepala sendiri, kau baru boleh mempercayai ucapannya."
"Tidak apa-apa. Aku akan menghadapinya dengan ilmuku yang paling hebat. Kalau
tidak bisa juga membalaskan dendam dengan tangan sendiri hari ini, aku akan mundur
dulu dan mencari kesempatan lagi kelak. Untuk menjaga diri saja aku masih mempunyai
keyakinan yang cukup besar!" Ceng Lam Hong merasa bimbang untuk beberapa saat, kemudian dengan penuh
kekhawatiran dia berkata, "Rasanya aku masih mencemaskan keadaanmu?"
Selama sepuluh tahun ini, Tan Ki baru mendengar lagi kata-kata ibunya yang penuh
perhatian dan kekhawatiran. Hatinya menjadi pilu, tiba-tiba darahnya mengalir dengan
cepat, perasaannya diselimuti keharuan yang tidak terkatakan. Dalam tenggorokannya
bagai ada suatu benda yang menyangkut, dengan nada parau dia memanggil, "Ibu?" dua
bulir air mata, tanpa dapat di tahan lagi menetes jatuh membasahi pipinya.
Air mata yang mengalir ini bukan air mata ketakutan ataupun air mata yang keluar
karena rasa terkejut, tetapi air mata yang terurai dari hatinya yang tulus, juga karena rasa
rindu yang terpendam selama sepuluh tahun. Dapat juga dikatakan sebagai air mata yang
paling berharga di dunia ini. Tetapi Ceng Lam Hong adalah seorang wanita yang sudah mengalami pahit getir hidup
ini. Hatinya sudah cukup tabah menghadapi berbagai penderitaan. Otomatis dia dapat
mengendalikan perasaan dan menekan keharuan dalam hatinya. Oleh karena itu, cepatcepat
dia menarik nafas dalam-dalam dan mengembangkan seulas senyuman yang
lembut. Tan Ki mengejapkan matanya berkali-kali serta mengusap air matanya yang masih
membekas di pipi. Dibalasnya senyuman ibunya dengan secercah senyuman yang manis.
"Membiarkan dendam berlalu tanpa membalas, apa pantas disebut seorang anak
berbakti" Kalau kali ini membiarkan dia lari hecritn saja, mungkin sulit lagi mendapat
kesempatan untuk bertarung dengan dia satu per satu. Biar bagaimana aku harus
membalas dendam sedalam lautan ini!"
Oey Kang tertawa terbahak-bahak. "Sungguh-sungguh ucapan yang gagah, gagali
sekali. Kalau kau memang ingin membalas dendam, aku terpaksa mengiringi ke-mauanmu.
Tetapi tidak bisa di tempat ini!"
Tan Ki marah sekali mendengar sindirannya.
"Terserah kau, di mana saja kapan saja! Dengan membawa sebatang suling. Cayhe
akan menemani sampai kau puas!"
"Bagaimana kalau Pek Hun Ceng-ku yang terkenal itu" Meskipun di dalamnya semua
dilapisi pintu baja dan penuh dengan alat rahasia, tetapi kali ini aku berjanji akan
membunuhmu dengan tangan sendiri!"
Tan Ki tersenyum gagah. "Pek Hun Ceng yang begitu kecil, memangnya Cayhe pandang sebelah mata" Tempat
itu tidak bedanya dengan goa kelinci, sama sekali tidak ada yang perlu ditakutkan!"
"Bagus sekali! Kalau begitu kita berangkat sekarang juga"!" kata-katanya selesai,
orangnya sudah mencelat ke atas. Terdengar suara desiran pakaian yang dikibarkan
angin, dalam waktu sekedipan mata, orangnya sudah berada pada jarak kurang lebih tiga
empat de-paan.. Biar bagaimana usia Tan Ki masih muda, tentu saja mudah dipanas-panasi oleh si raja
iblis yang licik itu. Ditantang sedemikian rupa, hawa amarahnya semakin meluap. Tanpa
berpikir panjang lagi, dia langsung mengeluarkan suara bentakan yang nyaring kemudian
mengerahkan ginkangnya mengejar. Melihat keadaan itu, Ceng Lam Hong terkejut sekali. Hatinya mencelos, dengan panik
dia berteriak, "Anak Ki, jangan sembrono, cepat kembali!" otomatis kakinya bergerak dan
dia juga ikut mengejar dari belakang.
Pada dasarnya Ceng Lam Hong adalah seorang putri dari keluarga ternama. Sejak kecil
dia sudah mendapat warisan ilmu silat. Apalagi selama sepuluh tahun ini dia berlatih keras,
begitu ilmu ginkangnya dikerahkan, kecepatannya luar biasa sekali. Tetapi Siapa nyana,
ilmu silatnya sekarang ini masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan Tan Ki, apalagi
dengan Oey Kang. Semakin berlari jarak mereka terpaut semakin jauh. Setelah berlari
melewati dua buah bukit, dia telah kehilangan jejak kedua orang itu. Begitu paniknya
wanita ini sampai menghentakkan kaki berkali-kali dengan air matanya yang mengalir
deras. Tiba-tiba dia melihat empat lima sosok bayangan bagai anak panah cepatnya meluncur
datang ke tempat di mana dia berada.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceng Lam Hong mempertajam pandangannya. Dia melihat si Pengemis cilik Cu Cia, Hek
Lohan Sam Po Hwesio, dan tiga pemuda yang asing baginya. Dalam sekejap mata, mereka
sudah sampai di hadapannya. Si pengemis cilik Cu Cia mengibas-ngibaskan rambut kepalanya yang kusut. Dialah yang
pertama-tama membuka suara. "Ceng Pek-bo (Bibi Ceng) ke mana perginya Ki-heng" Ketiga sahabat ini mendengar
bahwa dengan sebatang seruling dia berhasil memenangkan lima pertandingan secara
berturut-turut, mereka merasa kagum sekali kepadanya dan sekarang ingin berkenalan
dengan Ki-heng." Sam Po Hwesio segera menukas. "Kalau cocok, kita malah ingin memasang hio mengangkat saudara dengannya!" tibatiba
dia melihat sepasang mata Ceng Lam Hong merah membengkak. Tampangnya seperti
orang yang baru menangis pilu. Tanpa dapat ditahan lagi dia jadi termangu-mangu.
"Pek-bo, ada apa?" tanyanya kemudian.
Wajah Ceng Lam Hong sedih sekali. Setelah menarik nafas panjang dia baru menyahut.
"Dia sudah pergi." Baik Cu Cia maupun Sam Po Hwesio terkejut sekali mendengar kata-katanya.
"Apa?" teriak mereka serentak.
Sekali Ceng Lam Hong menarik nafas panjang. Kemudian dia menceritakan prihal Oey
Kang yang membakar hati Tan Ki sehingga akhirnya anak muda itu terpancing katakatanya
lalu mengikutinya ke Pek Hun Ceng. Bukan main terkesiapnya hati Cu Cia dan Sam Po Hwesio mendengar cerita Ceng Lam
Hong. Bahkan ketiga pemuda yang asing itu juga merasakan bahwa urusan ini tampaknya
gawat. Sepasang alis mereka langsung bertaut erat.
Si pengemis cilik Cu Cia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bibirnya
bergerak-gerak seperti menggumam seorang diri.
"Bagaimana harus menyelesaikan masalah ini" Bulim Tayhwe sudah dimulai, dia justru
pergi di saat seperti ini." dia menundukkan kepalanya merenung beberapa saat. Kemudian
tampak dia menggertakkan giginya erat-erat seperti orang yang sudah mengambil keputusan
terakhir. Lalu dia berkata kepada Ceng Lam Hong. "Pek-bo, tolong kau sampaikan
kepada Suhuku, lihat apa yang dikatakannya tentang masalah ini. Si pengemis cilik beserta
Sam Po Hwesio, Yang Jen Ping, Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong berempat akan mengikuti
Ki-heng dari belakang dan lihat apakah kami bisa memberikan bantuan."
"Cara ini rasanya kurang baik. Jangan kata kau sudah terluka akibat pukulan anak Ki, di
dalam Pek Hun Ceng saja terdapat alat rahasia dan perangkap yang bukan main
banyaknya. Belum tentu kalian bisa masuk ke sana tanpa diketahui."
Tampak Cu Cia tersenyum simpul. "Luka sekecil ini, si pengemis cilik masih bisa menahannya. Apalagi Goan Yu Liong
Hengte sudah memberi sebutir pil yang manjur kepada keponakanmu ini. Dijamin tidak
akan terjadi apa-apa. Mengenai perjalanan ini, kami pasti berhati-hati dan bergerak
mengikuti situasi. Kalau bisa perang, tentu kita harus berperang. Tidak bisa memenangkan
pihak lawan, otomatis ambil langkah seribu. Inilah semboyan hidup si pengemis cilik
selama ini. Pek-bo tidak perlu khawatir, lagipula dengan bergabungnya kami berlima
menghadapi musuh, rasanya tidak sampai begitu mudah dicelakai lawan."
Ceng Lam Hong mendengar kata-katanya yang seakan yakin sekali kepada
kekuatannya sendiri dan cara pengungkapannya juga lucu, tanpa dapat ditahan lagi dia
jadi ikut tersenyum. "Hian-tit (Keponakan) mempunyai nyali yang besar dan berjiwa pendekar. Bahkan
berbudi mulia, benar-benar membuat Pek-bo ini jadi terharu. Tetapi apapun yang kalian
katakan, aku tetap merasa khawatir."
Sam Po Hwesio merekahkan bibirnya dan "tertawa lebar. Tangannya meraba-raba
kepalanya yang gundul. "Kalau memang perlu, Pek-bo boleh berangkat bersama-sama kami!"
Cu Cia langsung menepuk tangannya keras-keras.
"Bagus sekali. Kalau Pek-bo memang merasa perlu ikut dengan kami, ikut saja.
Sekarang ini waktu sangat berharga, kita tidak boleh bimbang lebih lama lagi. Si pengemis
cilik akan meninggalkan beberapa patah pesan untuk Suhu. Dengan demikian beliau akan
tahu ke mana tujuan kita." Selesai berkata, dia segera membungkukkan tubuhnya dan membersihkan dedaunan
yang berserakan di atas tanah. Setelah itu dia mengulurkan jari tangannya dan
dikerahkannya tenaga dalam untuk menggores tujuh belas huruf di atas tanah tersebut.
Akhirnya dia berdiri lagi dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor lalu berkata. "Mari kita
berangkat sekarang juga!" tanpa menunda waktu lagi dia langsung mengerahkan
ginkangnya dan berlari ke depan mendahului yang lain.
Beberapa rekannya yang lain tidak mau ketinggalan. Masing-masing mengerahkan ilmu
ginkangnya yang paling hebat dan mengejar si pengemis cilik. Otomatis Ceng Lam Hong
yang mencemaskan keselamatan anaknya juga ikut berlari di belakang mereka.
Setelah berlari kurang lebih sepuluhan li, si pengemis cilik sangat mengkhawatirkan Tan
Ki. Tampak sepasang alisnya terus berkerut. Dia menolehkan kepalanya dan
memperhatikan Ceng Lam Hong sekilas. Wanita itu masih terus berlari. Wajahnya
menyiratkan kecemasan hatinya, sinar matanya sayu. Namun biar begitu, keanggunannya
sama sekali tidak berkurang. Diam-diam Cu Cia berpikir dalam hati.
"Meskipun usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi kecantikannya masih terlihat
jelas. Gerak-geriknya bagai bidadari turun dari khayangan. Tampangnya begitu suci
sehingga menimbulkan rasa hormat dalam hati orang. Tidak heran Yibun Susiok memilih
tidak menikah dan masih mencintainya secara diam-diam!"
Ketika pikirannya masih melayang-layang, beberapa orang itu sudah memasuki sebuah
dusun. Meskipun dusun ini tidak terlalu besar, toko-toko didirikan dengan sederhana dan
sebagian besar menggelar dagangannya di bawah pohon, tetapi ramainya luar biasa. Di
mana-mana terlihat penduduk hilir mudik seakan sibuk sekali kehidupan dalam dusun
tersebut. Yang Jen Ping menjadi penunjuk jalan. Ceng Lam Hong, Ban Jin Bu, Goan Yu Liong
mengikuti dari belakang. Mereka berjalan menuju sebuah kedai arak di tengah dusun. Si
pengemis cilik Cu Cia sudah menunggu di depan pintu sambil menggapaikan tangannya.
"Ceng Pek-bo, Si pengemis cilik ini sudah memesankan hidangan dan arak untuk kalian,
cepat santap dulu setelah itu kita baru melanjutkan perjalanan lagi."
Rekan-rekannya mengiakan sambil tertawa. Berbondong-bondong mereka masuk ke
dalam kedai arak tersebut. Tampak di sebelah kiri ada sebuah meja yang sudah tersedia
berbagai hidangan. Hek Lohan Sam Po Hwesio duduk seorang diri dan sedang meneguk
arak dengan nikmat. Setiap kali cawannya terisi, dia langsung meneguknya sampai kering.
Melihat kemunculan Ceng Lam Hong dan yang lain-lainnya, dia langsung berdiri sambil
tertawa lebar. "Hwesio, arak dan daging seperti diriku ini kalau sudah melihat arak, cacing di perut
pasti berkelahi dengan sengit. Apalagi kalau lihat saja dan tidak segera menyikatnya,
wah" rasanya lebih menderita daripada disuruh mendaki bukit golok. Kalian jangan
mengira si pengemis cilik itu orangnya baik. Kalian belum sampai, hidangan sudah
dipesankan. Malah menunggu kalian di depan pintu. Padahal sebelumnya dia sudah
meneguk dua kendi besar arak Lian Hua Pek. Hwesio adalah umat Bud-dha yang tidak
boleh berdusta. Buddha mempunyai sukma yang dapat melihat segalanya. Apa yang aku
katakan semuanya merupakan kenyataan. Kalau tidak percaya, kalian boleh
menanyakannya kepada pelayan kedai ini."
Si pengemis cilik menuding Hek Lohan sambil menggerutu.
"Kau Hwesio cilik ini jangan suka mencari muka. Dengan segala ketulusan hati Si
pengemis cilik mengundang kau makan dan minum, kau malah menempeleng pipiku.
Dengarlah, Ceng Pek-bo orangnya supel, tidak mungkin dia mempersoalkan biaya makan
minum yang sedikit ini. Kau tidak usah membakar-bakar hati orang." meskipun nadanya
mengomel, tetapi mulutnya tetap saja tertawa lebar.
Sementara keduanya masih berdebat, Ceng Lam Hong dan yang lainnya sudah duduk
di sekeliling meja. Yang Jen Ping dan dua rekannya baru saja minum arak di Tok Lionghong,
saat ini tidak ada selera lagi untuk minum. Hanya si pengemis cilik dan Hek Lohan
terus mengangkat cawan araknya. Dalam waktu yang singkat mereka sudah
menghabiskan delapan kati arak. Si pengemis cilik meletakkan cawannya di atas meja sambil tertawa-tawa.
"Nikmat, nikmat sekali! Si pengemis cilik sudah belasan hari tidak minum arak.
Sekarang begitu masuk perut lagi, rasanya harum bukan main!" selesai berkata,
tangannya merenggut lagi sebuah kendi arak di atas meja kemudian meneguknya
sekaligus. Begitu asyiknya sampai menimbulkan suara Glek!
Glek! Glek! Caranya seperti minum air putih saja. Setelah sekendi arak itu kembali
dikeringkan, dia langsung berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya. Wajahnya
mengembangkan senyuman yang lebar. "Mari kita teruskan perjalanan!" sembari berteriak, tangannya menyambar tangan Hek
Lohan dan mengajaknya lari ke depan. Goan Yu Liong melihat kedua orang itu langsung
saja menghambur dari kedai arak tersebut. Dia menggelengkan kepadanya sambil tertawa.
"Si tukang minta-minta itu memang cukup menderita juga beberapa hari ini. Hari ini
mungkin dia sendirian saja ada minum arak sebanyak lima enam kati."
"Aku rasa malah lebih dari sepuluh kati. Dulu aku pernah minum bersama-sama
dengannya, mungkin lebih dari sepuluh kati. Kalau sampai ribuan cawan, aku belum berani
memastikannya, tetapi kalau di atas lima ratus cawan, mungkin masih bisa. Selamanya
aku tidak pernah melihat dia mabuk. Kali ini takaran minum mereka agak berkurang,
mungkin karena tergesa-gesa akan mengadakan. perjalanan, kita juga jangan sampai
ketinggalan." Ceng Lam Hong segera memanggil pelayan untuk menghitung harga makanan dan
minuman mereka. Ternyata kedua orang itu benar-benar menghabiskan dua puluh kati
Lian Hua Pek. Ban Jin Bu menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Dua orang menghabiskan Lian Hua Pek yang keras, hm". tampaknya si hwesio cilik
sendiri juga ada minum sebanyak sepuluh kati lebih."
Baru saja ucapannya selesai, dari luar kedai arak tiba-tiba terdengar suara ringkikan
kuda. Dua ekor kuda yang gagah berhenti di depan kedai arak tersebut. Tampak dua
sosok bayangan berkelebat, kemudian mereka juga melangkah masuk ke dalam kedai.
Yang pertama-tama masuk adalah seorang laki-laki berusia kurang tiga puluh lima
tahunan. Wajahnya berbentuk persegi dengan telinga yang besar, cambangnya lebat
sekali sampai memenuhi sebagaian besar wajahnya. Tingginya kurang lebih tujuh kaki dan
dia mengenakan pakaian busu (pesilat) yang ketat berwarna hitam. Pundaknya
menyandang buntalan kain berwarna hitam pula, kepalanya diikat dengan selendang
putih. Kakinya mengenakan sepatu berikat tali yang biasa digunakan oleh kaum
pengelana. Pundaknya kekar dan pinggangnya lebar. Tampangnya menimbulkan kesan
kegarangan dan sekali lihat saja sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki ini termasuk orang
yang kasar. Di belakangnya justru mengiringi seorang pemuda bertampang pelajar. Dia
mengenakan jubah panjang berwarna biru langit, wajahnya seperti dilapisi bedak yang
tipis. Kepalanya juga ditutupi selendang yang diikat ke belakang. Tampangnya tampan
dengan sepasang alis yang tebal serta mata yang indah. Langkahnya tenang dan anggun.
Kalau dibandingkan dengan laki-laki kekar yang di depannya, satu kuat satu lemah, jauh
sekali perbedaannya. Setelah masuk ke dalam kedai arak, mereka memilih tempat duduk bagian sudut yang
merapat dengan tembok. Pemuda bertampang pelajar itu mempunyai sepasang mata yang
menyorotkan sinar tajam. Dia melirik sekilas ke arah rombongan Yang Jen Ping sembari
mulutnya berbicara dengan pelayan kedai arak tersebut.
"Bawakan delapan macam sayuran, beberapa kendi arak bagus dan empat pasang
sumpit serta cawan!" Yang Jen Ping dan yang lain-lainnya diam-diam merasa heran. Mengapa dua orang saja
memesan sumpit dan cawan sampai empat pasang. Apakah mereka sama dengan si
pengemis cilik Cu Cia dan Hek Lohan yang datang terlebih dahulu dan di belakang masih
ada kawan yang akan menyusul" Ketika hati mereka bertanya-tanya, langkah kaki mereka
tidak berhenti. Saat ini baru saja bertindak keluar dari kedai arak.
Tiba-tiba terdengar si laki-laki kasar itu tertawa lebar sambil berkata, "Coba kau lihat,
apakah orang ini serombongan dengan orang-orang itu" Wanita yang di tengah-tengah itu
boleh juga, malah lebih cantik dari dua perempuan yang dirobohkan Mei Hun kemarin."
Berkata sampai di sini, terdengar si pelajar langsung menukas, "Toako, penyakitmu ini
benar-benar sudah terlalu parah dan tidak bisa diubah. Asal lihat saja mulut langsung
berkoar tidak bisa diam. Ada saja yang kau persoalkan. Orang yang mendengarnya pasti
bisa salah paham." Mendengar pembicaraan kedua orang itu, sekali lagi hati Yang Jen Ping tergerak. Diamdiam
dia berpikir: "Kata-kata "Mei Hun" yang diucapkannya pasti nama seorang perempuan.
Tetapi entah siapa orangnya?" Pikirannya melayang-layang, tanpa terasa dia berdiri tertegun di depan pintu. Melihat
dia menghentikan langkah kakinya, otomatis yang lain juga berdiam diri.
Kedua orang yang di dalam kedai arak itu tampaknya menyadarinya juga. Mereka
merasa agak terkejut. Terdengar si pelajar tertawa terbahak-bahak.
"Bagaimana" Orang tidak jadi pergi kan" Tampaknya kali ini kau mencari kesulitan lagi
buat dirimu sendiri!" Laki-laki kasar itu mengerling sejenak kemudian ikut tertawa terbahak-bahak.
"Hengte, mengapa kau berubah jadi begitu pengecut dan bernyali kecil" Masa aku tidak
boleh membuka suara sama sekali" Aku justru tidak percaya ada orang yang bisa menutup
mulutku ini!" Selesai berkata, dia malah mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak.
Tawanya begitu keras dan gila-gilaan seakan di sekitarnya tidak ada orang lain.
Di dalam rombongan Ceng Lam Hong, usia
Goan Yu Liong yang terhitung paling muda. Tampaknya kesabarannya mulai menipis
melihat mereka seakan ditantang. Oleh karena itu dia segera memalingkan kepalanya dan
bermaksud menerjang masuk lagi ke dalam kedai. Ban Jin Bu cepat-cepat menarik
tangannya dan berbisik dengan suara lirih, "Gerak-gerik kedua orang ini sangat aneh.
Asal-usul mereka juga tidak jelas. Sebaiknya kita jangan mencari perkara dengan mereka."
Sebagai orang yang usianya paling muda, tentu saja adat Goan Yu Liong juga mudah
tersinggung. Mendengar ucapan Ban Jin Bu, dia memperlihatkan tampang kurang senang.
"Kita beberapa orang melakukan perjalanan bersama-sama, mana bisa menerima
penghinaan orang lain begitu saja. Biarpun mereka adalah tokoh sakti dari Si Yu atau Lam
Hay, aku tetap ingin menjajal sampai di mana kehebatan ilmu mereka sehingga membuka
mulut begitu besar!" Ceng Lam Hong sedang mengkhawatirkan jejak anaknya dan bagaimana keadaan Tan
Ki sekarang. Rasanya ingin sekali di punggungnya tiba-tiba tumbuh sayap sehingga dapat
terbang secepat mungkin ke Pek Hun Ceng untuk melihat bagaimana perkembangan yang
terjadi di sana. Melihat tampang Goan Yu Liong yang merah padam dan adatnya yang
berangasan, dia takut bisa terjadi sesuatu yang menunda perjalanan mereka. Tetapi biar
bagaimanapun, anak muda itu ikut dengan mereka dengan niat baik. Tentu Ceng Lam
Hong merasa tidak enak untuk menengurnya. Hanya sepasang alisnya yang bertaut
dengan erat dan berdiri di sudut dengan wajah muram.
Ban Jin Bu menepuk pundak Goan Yu Liong perlahan-lahan. Bibirnya tersenyum lembut.
"Kalau kau masih ribut terus, pasti akan terjadi perkelahian di antara kedua pihak.
Seandainya terjadi sesuatu pada diri Ki-heng justru karena perjalanan kita yang tertunda,
bagaimana kau akan memberi tanggung jawabmu kepada Pek-bo?" selesai berkata, dia
tidak memberi kesempatan lagi kepada Goan Yu Liong untuk membantah. Di tariknya
tangan anak muda itu dan diseretnya keluar dari kedai arak tersebut.
Beberapa orang itu langsung melanjutkan lagi perjalanannya. Setelah keluar dari dusun
tersebut, mereka berlari lagi kurang lebih sepuluh li. Tiba-tiba Yang Jen Ping seakan
teringat sesuatu hal. Dia menghentikan langkah
"pakinya. Tiba-tiba telinga mereka mendengar derap kaki kuda yang berlari dengan kencang. Di
bagian belakang tampak gumpalan debu yang melayang di angkasa. Kedua laki-laki yang
ada di dalam kedai arak tadi menunggang kuda .masing-masing dan memacu kudanya
dengan kecepatan tinggi.. Tampaknya mereka tergesa-gesa sekali. Dalam waktu yang
singkat, kedua ekor kuda itu sudah sampai di hadapan mereka.
Yang Jen Ping melihat kedua ekor itu mendatangi dengan pesat. Beberapa orang itu
segera menarik nafas dalam-dalam dan mencelat kedua tepian jalan. Dua ekor kuda
itupun melintas lewat di hadapan mereka.
Bagaimana pun Ceng Lam Hong adalah . seorang wanita yang usianya sudah setengah
baya. Perasaannya lebih peka. Dia merasa bahwa gerak-gerik kedua orang itu sangat
mencurigakan. Rombongan mereka yang beberapa orang ini sejak keluar dari kedai arak
terus berlari tanpa berhenti sekalipun untuk beristirahat. Kalau memang mereka berdua
sudah selesai makan dan minum, tentu setidaknya menghabiskan waktu yang tidak
sedikit. Biar bagaimana tentu tidak mudah mengejar mereka dalam waktu yang singkat.
Tetapi mengapa mereka memesan hidangan dan arak" Seandainya di depan ada kejadian
yang serius dan gawat, masa mereka bisa meramal apa yang terjadi sehingga menyusul
secepat mungkin" Apalagi selama mereka berlari sepanjang perjalanan ini, mereka tidak
bertemu" dengan siapapun. Semakin dipikirkan, semakin bingung Ceng Lam Hong akan asal-usul kedua orang tadi.
Tetapi hatinya berkata, seandainya dia menghabiskan waktu untuk merenung terus dan
kesempatan untuk mencari kedua orang itu hilang, mungkin sulit lagi ingin bertemu
dengan mereka. Untung saja arah yang diambil kedua orang tadi sama dengan tujuan
mereka. Terdengar dia menarik nafas panjang kemudian berteriak:
"Kejar!" Beberapa orang yang ikut bersamanya merupakan pemuda-pemuda berdarah panas.
Sejak semula mereka sudah merasa kalau gerak-gerik kedua orang itu sangat aneh. Juga
mengandung misteri yang membuat penasaran sehingga dalam hati ingin sekali
mengetahui rahasianya. Mendengar perintah Ceng Lam Hong agar mereka segera
mengejar kedua orang tadi, tanpa menunda waktu lagi masing-masing mengerahkan ilmu
ginkangnya yang paling hebat dan berlari mengejar. Hati Goan Yu Liong paling panik.
Makanya larinyalah yang paling cepat. Dalam waktu singkat dia sudah berlari sejauh


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ratusan li. Orangnya seperti seekor kuda liar yang lepas kendali dan berlari dengan kalap.
Siapa nyana tunggangan yang digunakan kedua orang tadi merupakan jenis kuda
unggul dari suku Biao. Dalam satu hari dapat berlari kurang lebih tujuh atau delapan ratus
m Meskipun rombongan Ceng Lam Hong berlari terus tanpa berhenti, tetapi kalau
dibandingkan dengan tunggangan mereka yang terdiri dari kuda jempolan, tentu saja
masih terpaut jauh. Oleh karena itu, jarak mereka pun tprtarik semakin panjang. Hati
Goan Yu Liong gugup sekali. Dia menggertakkan giginya erat-erat dan berlari secepat
mungkin. Padahal dia yang berada di ..paling depan. Begitu dihimpunnya tenaga dalam
serta hawa murni dalam tubuh, dalam sekali loncatan dia dapat mencapai sepuluh depa.
Tetapi jarak antara dirinya dengan kedua ekor kuda di depan masih ada ratusan langkah.
Tiba-tiba terdengar si laki-laki bercambang lebat itu mengeluarkan suara siulan yang
panjang. Setengah badan sebelah atasnya memutar sedikit, tangan kanannya mengibas,
dari pipa cangklongnya melesat keluar dua carik sinar putih yang berkilauan.
Goan Yu Liong merasa ada sesuatu yang mencurigakan. Cepat-cepat dia mengempos
semangatnya dan sepasang pundaknya ditarik ke belakang. Dengan demikian gerakan
tubuhnya jadi terhenti. Ketika dia menundukkan kepalanya, dia melihat ada dua batang
anak panah yang halus menancap di ikat pinggangnya.
Meskipun dia belum sampai terluka oleh serangan ini, tapi rasa terkejutnya jangan
ditanyakan lagi. Wajahnya sampai pucat pasi dan berdiri di tempat dengan termangumangu.
Di belakangnya terdengar suara langkah kaki yang ramai. Rupanya rekan-rekannya
sudah menyusul tiba. Melihat perubahan yang tidak di duga-duga ini, mereka tidak jadi
mengejar kedua orang itu, tetapi beramai-ramai mengerumuni Goan Yu Liong untuk
melihat apa yang terjadi dengan anak muda itu.
Yang Jen Ping mencabut kedua batang senjata rahasia dan meletakkannya dalam
telapak tangan untuk diperiksa secara teliti. Dia melihat senjata rahasia itu memang agak
mirip dengan anak panah, tetapi bagian depannya agak pipih dan ada beberapa lembar
bulu halus yang berwarna warni, tajamnya bukan main. Tetapi setelah diperhatikan sekian
lama, dia tetap tidak dapat menduga jenis senjata rahasia apa yang ada di tangannya itu.
Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya langsung mengerut.
"Senjata rahasia ini benar-benar jarang terlihat di dunia Kangouw. Siau-heng juga
sudah cukup lama berkelana di dunia persilatan, berbagai jenis senjata rahasia yang aneh
sudah pernah kutemui, tetapi aku tetap tidak tahu apa nama senjata rahasia ini dan dari
mana asalnya. Benar-benar membingungkan. Orang itu sanggup menimpukkan senjata
rahasia di atas kuda yang sedang berlari, baik gerakan maupun keseimbangan tubuhnya
dapat dikatakan bukan hal yang sanggup dilakukan sembarang orang. Kalau dia memang
berniat melukai orang, sejak semula adik Liong pasti, sudah terkapar di atas tanah. Kalau
menurut pendapat Siau-heng, meskipun tampang orang itu kasar dan bicaranya ketus,
tetapi tidak mengandung niat mencari musuh dengan membunuh orang. Kawan atau
lawan, sementara ini kita masih belum dapat memastikan. Mungkin dia menimpuk senjata
rahasia ke bagian luar pakaian adik Liong hanya sebagai peringatan saja."
Ban Jin Bu menundukkan kepalanya merenung sejenak. Kemudian terdengar dia
menukas. "Apapun maksudnya, lebih baik kita meneruskan perjalanan sampai dusun di depan,
setelah itu baru kita rundingkan kembali. Sekarang kedua orang itu pasti sudah jauh, kita
berdiam di sini juga tidak ada gunanya. Siapa tahu kita akan bertemu lagi dengan mereka
di dusun sebelah depan sana." Selesai berkata, Ban Jin Bu melihat mimik wajah beberapa orang itu berlainan. Goan Yu
Liong seperti sedang marah, Yang Jen Ping masih merasa terkejut, Ceng Lam Hong malah
seperti orang yang kebingungan. Sejak awai hingga akhir dia tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Hanya kakinya yang terus melang kah ke depan.
Ban Jin Bu tahu bahwa perasaan mereka sedang bergejolak, berbagai pikiran berkecamuk
menjadi satu. Dia sendiri jadi enggan ?berbicara. Dengan perasaan hati yang
tertekan, mereka melanjutkan perjalanan. Selama itu tidak ada seorangpun yang
membuka suara. Lambat laun mereka mulai memasuki daerah pegunungan. Ban Jin Bu
mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tampak awan
bergulung-gulung, di ujung langit hanya tinggal segurat cahaya berwarna keemasan. Di
dalam hati mereka semua seakan terdapat ganjalan yang berat. Sejak tadi mereka tidak
ingat untuk mencari tempat bermalam. Tampaknya malam ini mereka terpaksa
melanjutkan perjalanan di tengah pegunungan.
Beberapa orang ini merupakan ahli-ahli silat yang mempunyai kepandaian cukup tinggi.
Mereka tidak takut adanya binatang buas atau ular melata, tetapi daerah pegunungan
gelap dan sunyi. Belum lagi hawanya yang dingin menyengat, tentu saja hati mereka
merasa kurang puas terpaksa melakukan perjalanan ataupun menginap di tengah
pegunungan sepanjang malam. Untung saja malam ini tidak begitu gelap. Rembulan bersinar terang, cahayanya
memancarkan warna putih berkilauan, sehingga pemandangan masih dapat terlihat.
Suasana seperti ini membawa keunikan tersendiri, sayangnya di hati beberapa orang itu
sedang ada masalah, sehingga tidak ada minat sama sekali menikmati keindahan alam.
Jalan di pegunungan semakin ditempuh semakin memencil. Pemandangan di sekitar
pun semakin indah mengagumkan. Di bawah cahaya rembulan tampak lekukan-lekukan
yang seakan tiada batasnya. Di kejauhan terlihat segumpal uap seperti kabut putih yang
membuat pandangan jadi samar-samar.
Tiba-tiba tampak bayangan seseorang berkelebat. Sam Po Hwesio mendadak muncul
dari lekukan celah gunung dan menghadang di tengah jalan. Hwesio cilik itu tertawa
terbahak-bahak seakan ada sesuatu yang menggembirakannya.
"Kalian mungkin sudah merasa agak lapar setelah berjalan sekian jauh bukan" Di dalam
dusun tadi, si pengemis cilik dan Hwesio cilik diundang makan oleh kalian. Sedangkan di
daerah sini merupakan pegunungan yang terpencil dan sepi, meskipun punya uang juga
tidak ada gunanya. Sekarang gantian si Hwesio cilik dan si tukang minta-minta yang jadi
bos mengundang kalian." sembari berkata, tangannya menunjuk ke arah di mana
gumpalan uap putih tadi terlihat. Rupanya yang terlihat dari kejauhan itu bukan kabut atau uap putih, tetapi asap yang
timbul dari tungku api. Terdengar Sam Po Hwesio melanjutkan lagi kata-katanya" "Si
tukang minta-minta itu benar-benar punya keahlian tersendiri. Dia telah membuatkan
hidangan yang istimewa buat kita semua. Kalau kalian merasa lapar, maka jangan tunda
waktu lagi. Hayo ikut aku!" tubuhnya langsung melesat dan berlari menuju lembah yang
jaraknya lebih seratusan depa. Di dalam lembah itu terdapat bunga-bunga liar yang tumbuh dengan subur. Saat itu
semuanya sedang bermekaran. Angin malam membawa serangkum bau harum. Di
samping sebatang pohon siong yang besar sekali, tampak ada seonggok api unggun. Si
pengemis cilik Cu Cia sedang membakar potongan daging. Paduan antara harum bunga
ada hawa daging bakar terendus di hidung seiring hembusan angin, membuat perut
beberapa orang yang sudah lapar itu semakin menggelitik dan hampir menetes air liurnya.
Si pengemis cilik mendongakkan kepalanya dan melihat kedatangan beberapa orang
tersebut. Dia langsung berteriak, "Cepat ke mari, si pengemis cilik dengan susah payah
berlari sejauh dua tiga li akhirnya baru mendapatkan kijang kecil ini."
Ketika sudah mendekat, beberapa orang itu baru melihat di sampingnya terdapat
setumpukan kulit kijang, sedangkan daging kijang itu sudah terpotong-potong menjadi
beberapa bagian dan sebagian besarnya sudah dibakar matang. Saat ini siapapun tidak
ada yang sungkan lagi, masing-masing segera meraih sepotong daging kijang bakar itu.
Tampaknya Goan Yu Liong masih kesal karena peristiwa tadi. Wajahnya masih
cemberut terus. Melihat rekan-rekannya menikmati hidangan sambil membakar sisa
daging kijang, dia malah menyingkir ke sudut. Tangannya menggenggam sepotong daging
bakar dan duduk menyendiri di bawah sebatang pohon siong.
Tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara yang bening dan nyaring"
"Nona"! Nona"!"
Suara panggilan itu tidak berhenti-berhen-ti. Nyaring dan tajam, rasanya seperti suara
seorang gadis. Mendengar suara yang muncul secara tidak terduga-duga ini, Goan Yu Liong terkejut
setengah mati. Dia segera mendongakkan kepalanya melihat ke atas pohon. Tinggi pohon
itu kira-kira tujuh delapan depa. Persis seperti sebuah payung besar yang disoroti cahaya
rembulan. Meskipun malam ini rembulan cukup terang, tetapi saking lebatnya dedaunan pohon
itu, keadaan di dalamnya tidak dapat terlihat jelas. Setelah didengarkan dengan seksama.
Suara tadi memang muncul dari dalam gerombolan dedaunan yang lebat tersebut.
BAGIAN XXXIX Goan Yu Liong adalah putra kesayangan Pendekar pedang tingkat empat Goan Siang
Fei yang dikalahkan oleh Tan Ki. Pendidikannya cukup tinggi. Sejak kecil ia sudah belajar
ilmu silat sehingga pandangan matanya sangat tajam. Tetapi setelah mendongakkan
wajahnya sekian lama mencari-cari, dia tetap tidak melihat adanya bayangan orang di atas
pohon, tanpa dapat ditahan lagi hatinya tergetar, lagipula dia melihat di bagian batang
pohon itu tidak terdapat ranting sama sekali, sedangkan sumber suara tadi terpancar dari
bagiannya yang paling tinggi. Hatinya berpikir bahwa ilmu ginkang orang ini sudah
mencapai taraf yang begitu tingginya sehingga ngeri dibayangkan dengan akal sehat.
Karena di bagian batang pohon tidak terdapat ranting sebagai injakan kaki. Orang itu ilmu
ginkangnya sudah cukup tinggi saja, paling-paling hanya sanggup mencapai jarak tiga
depaan sekali loncat. Sedangkan tinggi pohon ini justru lebih dua kali lipat.
Berpikir sampai di sini, hatinya tergerak, cepat-cepat dia membungkukkan tubuhnya
dan memungut sebuah batu kecil. Setelah itu dia mendongakkan wajahnya dan
mengeluarkan suara bentakan, "Siapa" Kalau tidak keluar juga, jangan salahkan Cayhe
bertindak kurang sopan!" Terdengar sahutan suara yang bening dan nyaring itu.
"Nona" nona" aku bernama Liok Giok?"
Mendengar kata-kata itu, Goan Yu Liong jadi tertegun. Diam-diam dia berpikir di dalam
hati: "Kata-kata ini sepertinya bukan diucapkan oleh manusia. Kalau benar orang, aku toh
tidak menanyakan siapa namanya, mengapa tidak hujan tidak angin dia malah
memberitahukan kepadaku" Lagipula mengapa dia menyebut aku nona?"
Pikirannya masih bergerak, tanpa sadar mulutnya berteriak lagi.
"Liok Giok!" Baru saja suaranya berkumandang, tiba-tiba dari gerombolan pohon siong yang paling
tinggi terbang keluar seekor burung kecil berwarna hijau. Dia melesat ke atas sejauh
sepuluh depaan, kemudian menukik turun ke arah Goan Yu Liong.
Goan Yu Liong mengulurkan tangannya, burung kecil itu langsung hinggap di atas
pangkal lengannya. Begitu diperhatikan, wajah Goan Yu Liong langsung berseri-seri.
Senangnya bukan kepalang, hampir saja dia menggerakkan kakinya menari-nari. Rupanya
yang memanggil-manggil dari atas pohon dan sekarang hinggap di lengan anak muda itu
ladalah seekor burung kakaktua berwarna hi-jau yang sangat cantik. Ukurannya lebih
besar sedikit dari burung kakaktua biasanya. Bulunya lebat dan menimbulkan cahaya yang
berkilauan. Goan Yu Liong gembira sekali. Dibuangnya daging bakar yang ada di tangannya dan
dipeluknya burung itu di depan dada. Siapa nyana burung itu memberontak dan
mendonggakkan kepalanya menatap Goan Yu Liong sejenak. Tiba-tiba burung itu
berteriak, "Kau bukan nona, Liok Giok tidak suka!"
Mendengar kata-katanya, Goan Yu Liong jadi termangu-mangu. Untuk sesaat dia
merasa bingung. Tanpa sadar dia mengulurkan tangannya meraba wajahnya sendiri.
Rupanya pipi anak muda ini memang halus sekali dan putih bersih. Lagipula rambutnya
panjang terurai dan belum diikat dengan selendang. Kalau dilihat sepintas memang seperti
anak gadis yang cantik. Kali ini Goan Yu Liong jadi tertawa geli sehingga hampir saja air
matanya keluar. "Sayang, aku memang bukan anak perempuan. Tetapi aku juga bisa menyayangimu,
bahkan melebihi mereka." Di tengah pegunungan kesunyian semakin terasa, suara sedikit saja akan
berkumandang ke mana-mana, otomatis suara tawanya yang keras tadi mengejutkan
rekan-rekannya yang lain. Ban Jin Bu cepat-cepat berlari menghampirinya.
"Adik Liong, hal apa yang membuat kau demikian gembira?"
Mula-mula Goan Yu Liong mengencangkan dekapannya. Dengan demikian burung
kakaktua itu tidak dapat sembarangan bergerak. Dia takut kedatangan Ban Jin Bu akan
mengejutkannya, karena kalau sudah terbang tentu tidak mudah lagi menangkapnya.
Setelah itu dia mengembangkan senyuman yang lebar.
"Coba kau lihat, aku berhasil menangkap seekor burung kakaktua yang pandai bicara."
Ban Jin Bu segera memusatkan perhatiannya. Dia melihat sepasang tangan Goan Yu
Liong yang halus bagai tangan wanita itu menggenggam seekor burung kakaktua yang
bulunya berwarna hijau berkilauan. Tampaknya anak muda itu seperti takut kehilangan
burung tersebut sehingga dia memeluknya erat-erat. Ban Jin Bu merasa bahwa burung itu
benar-benar menyenangkan. Setelah memperhatikan beberapa saat, tanpa dapat ditahan
lagi dia mengulurkan tangannya untuk meraba burung dalam dekapan Goan Yu Liong itu.
Goan Yu Liong cepat-cepat mundur satu langkah, dia menggelengkan kepalanya sambil
tersenyum. "Kau jangan sentuh dia. Aku baru saja berhasil menangkapnya, sekarang ini masih
belum jinak." Ban Jin Bu menatap dengan mata tak berkedip.
"Burung ini benar-benar manis sekali. Sejak kecil sampai sekarang aku baru melihat ada
burung secantik ini." Tiba-tiba tampak si pengemis cilik berjalan menghampiri ke arah mereka. Melihat
burung dalam dekapan Goan Yu Liong, dia ikut terpana. Tampangnya seakan bingung.
Setelah lewat sesaat, dia baru menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa lebar.
"Burung ini tidak menunjukkan perasaan terkejut melihat orang asing. Pasti bukan
burung liar tetapi peliharaan seseorang?"
Belum lagi ucapannya selesai, dari kejauhan berkumandang suara siulan yang panjang.
Suara siulan itu begitu nyaring dan lantang sehingga menimbulkan gaungan yang tidak
terputus-putus. Suara siulan itu bagai semacam isyarat bagi si burung kakaktua. Tiba-tiba dia
memberontak dan berusaha mengepakkan sayapnya seakan ingin terbang ke udara.
Untung saja sejak semula Goan Yu Liong sudah berjaga-jaga, sepasang tangannya dengan
cepat mengail genggam kaki burung itu erat-erat.
Burung kakaktua itu tidak bisa kabur, mungkin saking paniknya sepasang sayapnya
terus dikepak-kepakkan dengan keras, terdengar pula suara teriakannya.
"Nona cepat ke mari! Nona"! Mei Hun"! Ciu Hiang"! Pai Ping"! Pai Ping"!"
Secara berturut-turut dia memanggil nama beberapa orang gadis, mendengar dia juga
menyebut nama "Mei Hun", hati Yang Jen Ping jadi tergerak. Belum sempat dia
mengatakan apa-apa, suara siulan tadi sudah terdengar lagi. Kali ini malah lebih keras dari
sebelumnya. Bahkan lambat laun suara siulan itu berubah menjadi suara teriakan, sayup-sayup
terdengar panggilan "Liok Giok"!"
Yang Jen Ping merasa ada sesuatu yang tidak beres. Cepat-cepat dia mencelat ke atas
dan bersembunyi dalam gerombolan dedaunan pada sebatang pohon siong yang ada di
samping. Beberapa orang yang lainnya juga merasa terkejut oleh suara siulan dan panggilan itu.
Satu per satu menunjukkan kebimbangan hatinya. Wajah mereka tampak serius serta
mulai berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
Terdengar suara itu semakin lama semakin mendekat. Nadanya juga semakin nyaring
serta tajam menusuk. Liok Giok yang berada di dalam pelukan Goan Yu Liong juga
memberontak semakin hebat. Sayapnya dikepak-kepakkan dengan keras.
Saking paniknya, Goan Yu Liong mendekapkan sepasang tangannya erat-erat di depan
dada. Dipegangnya sepasang kaki Liok Giok kencang-kencang. Orang-orang yang lainnya
juga seperti terpengaruh oleh suara siulan serta panggilan itu, mereka mengedarkan
pandangannya ke sekeliling dan berusaha melihat jejak lawan.
Suara siulan tadi terus terdengar sampai kurang lebih sepeminum teh lamanya. Setelah
berhenti, keheningan kembali mencekam, seluruh lembah tersebut bagai diselimuti
kesunyian yang membuat perasaan mereka menjadi tegang. Mereka merasa bahwa orang
yang menimbulkan suara itu sudah berada dekat sekali. Hati mereka seakan tertekan dan
ma-tapun melirik ke sana ke mari, tetapi tidak ada suatupun yang terlihat. Hanya
bayangan pohon yang bergerak-gerak tertiup angin sehingga menimbulkan hawa
menyeramkan dan rerumputan juga bergoyang-goyang bagai gerombolan setan yang
menari-nari. Tiba-tiba dari bagian kanan puncak gunung berkumandang suara tawa yang panjang.
Disusul dengan dua sosok bayangan yang berkelebat bagai bintang jatuh. Dalam sekejap
mata, keduanya sudah melayang turun dari puncak bukit yang tingginya kira-kira sepuluh
depaan. Kedua orang ini tidak asing sama sekali bagi rombongan Ceng Lam Hong. Mereka justru
si laki-laki tinggi besar yang bercambang kasar dan pelajar yang tampan yang pernah
bertemu dengan mereka di kedai arak tadi sore.
Saat ini si pelajar tersebut sudah mengganti pakaiannya dengan stelan ketat berwarna
hi tam. Di pundaknya tergantung sebuah perisai berbentuk sayap burung yang besar.
Sedangkan di bagian pinggangnya tersembul beberapa batang pisau. Wajahnya
menunjukkan kegusaran hatinya. Sedangkan si laki-laki bercambang itu masih
mengenakan pakaian yang sama, kepalanya masih diikat dengan sehelai selendang putih.
Hanya bagian pundaknya yang sudah bertambah sebatang senjata berupa golok. Matanya
mendelik marah dan wajahnya kaku dan dingin.
Belum lagi rombongan Ceng Lam Hong sempat mengucapkan kata, si pelajar berwajah
putih sudah menuding ke arah Goan Yu Liong dan bertanya dengan nada dingin.
"Tampaknya nyali bocah ini tidak kepalang besarnya sehingga berani mendekapi Liok
Giok tanpa niat melepaskannya. Apakah kau tidak tahu peliharaan siapa Liok Giok ini?"
Sikap dan nada ucapannya angkuh dan dingin. Perkataannya lebih mirip sindiran yang
tajam menusuk. Biar bagaimana pun Goan Yu Liong juga anak murid keluarga yang cukup
punya nama di dunia Kangouw, otomatis dia juga berjiwa besar dan berhati mulia.
Tadinya dia berpikir ingin menanyakan sampai jelas apakah burung kakaktua itu adalah
milik mereka. Apabila benar, dia memang bermaksud mengembalikannya. Tetapi karena
nada-nada yang diucapkan pelajar itu begitu tidak enak didengar, tanpa terasa hawa
amarahnya jadi meluap. Apalagi mengingat senjata rahasia yang dilemparkan kepadanya


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sore tadi, kemarahannya semakin menjadi-jadi. Persis seperti api yang disiram minyak.
Matanya mendelik ke arah pelajar itu lebar-lebar.
"Ucapanmu kok aneh sekali. Burung yang mempunyai sayap, di pegunungan mana atau
lembah manapun banyak sekali. Kalau memang milik kalian, seharusnya tidak boleh
dibiarkan berkeliaran di luar. Sedangkan luas daerah ini sampai ribuan li, jumlah
burungnya saja mungkin mencapai laksaan. Apakah semuanya termasuk peliharaan
kalian?" Si laki-laki bercambang lebat langsung tertawa terbahak-bahak.
"Bocah busuk, berani benar mengucapkan kata-kata yang besar. Kalau tidak
memberimu sedikit pelajaran, mungkin kau tidak tahu seberapa tingginya langit dan
seberapa dalamnya bumi. Hanya mengandalkan kalian beberapa orang ini, apabila ingin
menahan Liok Giok, benar-benar tidak mengukur kekuatan sendiri!"
Goan Yu Liong mengangkat sepasang bahunya dan tidak mau kalah gertak.
"Teman, burung kakaktua termasuk unggas liar, mengapa kau berkeras mengatakan
bahwa burung ini milik kalian" Tadi sore kau menjual lagak dengan mempermainkan aku,
urusan itu masih belum diperhitungkan. Sekarang kalian tampaknya ingin mencari garagara
lagi. Apakah karena menganggap bahwa kami ini orang-orang yang gampang dihina"
Kalau melihat sepasang alismu yang berkerut-kerut dan matamu yang sejak tadi mendelik
terus, apakah memang sudah ingin berkelahi?"
.Si laki-laki bercambang kasar itu memang sudah marah sekali, mendengar kata-kata
Goan Yu Liong yang seakan menantang, mana mungkin dia bisa menahan kesabarannya
lagi" Tangannya terangkat ke atas dan dihunusnya golok yang tergantung di pundak.
Terdengar suara dentingan yang nyaring dan tampak sinar berkilauan dari golok yang
tergenggam di tangannya. Tampaknya ilmu orang ini cukup tinggi juga. Ketika menghunus goloknya, sarung golok
itu sendiri tidak bergerak sedikitpun. Dengan jurus Elang Perkasa Mengembangkan
Sayapnya, tampak goloknya menimbulkan cahaya yang berkilauan. Serangannya meluncur
ke depan dengan gerakan menyapu. Goan Yu Liong menggeser kakinya sedikit kemudian memutar, tubuhnya bergerak
menghindarkan diri. Pergelangan tangannya menekuk dan dengan jurus Sabuk Kumala
Mengikat Pinggang, dia menyerang ke arah pinggang laki-laki kasar itu.
Tiba-tiba terdengar laki-laki kekar itu tertawa terbahak-bahak. Kakinya maju ke depan
mengejar, gerakan tubuhnya bagai hembusan angin. Belum lagi jurus yang dikerahkan
Goan Yu Liong selesai dijalankan, tahu-tahu orang itu sudah memutar ke bagian belakang
tubuhnya. Telapak tangannya mengirimkan sebuah pukulan ke arah punggung, sedangkan
goloknya mengincar bagian belakang paha. Satu jurus dua serangan dikerahkan sekaligus
dalam waktu yang bersamaan. Kali ini gerakannya cepat bukan kepalang. Begitu cepatnya sampai Ban Jin Bu tidak
sempat memberikan pertolongan, si pengemis cilik begitu paniknya sehingga
mengeluarkan suara bentakan dan menerjang ke depan. Sam Po Hwesio melepaskan
tasbih di lehernya serta ikut melesat ke udara.
Tujuan kedua orang itu ingin menolong rekannya, tetapi karena itu pula, mereka jadi
melancarkan serangan ke arah laki-laki kasar tersebut. Di depan mata tampak beberapa
macam senjata berkelebat ke sana ke mari. Gerakan mereka sama cepat juga sama
kejinya. Apabila ada yang terkena, kalau tidak sampai mati, pasti terluka parah. Goan Yu
Liong sulit terlepas dari kesulitan, sedangkan laki-laki tinggi besar itu juga tidak mudah
terlepas dari marabahaya. Justru di saat genting yang menentukan mati hidup kedua orang itu, bahaya setiap saat
mengintai, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang bening dan nyaring dari angkasa.
Sesosok bayangan kecil dan langsung bagai gulungan angin menerobos masuk ke dalam
kelebatan senjata. Dalam sesaat beberapa orang itu merasa pandangannya menjadi samar. Golok, tasbih,
pedang yang ada di tangan langsung terlepas jatuh ke atas tanah. Serangkum angin yang
kencang menerpa sehingga beberapa orang itu terhempas sejauh tiga empat depa. Begitu
pandangan mata dipusatkan, baik si pengemis cilik, Goan Yu Liong maupun Sam Po
Hwesio langsung termangu-mangu. Mata mereka membelalak dan mulut terbuka lebar.
Untuk beberapa saat tidak ada sepatah katapun tercetus dari mulut mereka.
Ini merupakan peristiwa yang sulit diterima akal sehat. Dalam sekali gerak saja, senjata
mereka terlepas dari tangan, bahkan mereka terdorong oleh hempasan angin yang
kencang. Ternyata orang yang muncul ini bukan seorang tokoh tua yang bertampang
angker atau rambutnya sudah putih beruban, tetapi seorang gadis muda yang rambutnya
dikepang dua. Wajahnya cantik sekali. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau muda dan
usianya pasti tidak lebih dari lima atau enam belas tahunan. Sepasang matanya indah
berkilauan dipadu dengan hidung yang mangir serta bibir yang mungil.
Saat ini sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam dan dia sedang memusatkan
perhatiannya kepada si laki-laki kasar kemudian pandangan matanya dialihkan kepada
rombongan si pengemis cilik serta rombongannya. Kemudian dia berkata dengan suaranya
yang masih kekanak-kanakan, "Kalian ini sebetulnya ada apa sih, kok tiba-tiba jadi
berkelahi?" Belum sempat Ban Jin Bu mengatakan apa-apa, laki-laki kasar itu sudah menjawab"
"Mereka menangkap kakaktua Pek Sian Cu, Liok Giok. Aku dan Ong Heng berdebat
dengan mereka, tetapi mereka berkeras tidak mau mengembalikan. Akhirnya timbullah
perkelahian diantara kami." Gadis cilik itu menganggukkan kepalanya berkali-kali, kemudian sinar matanya beralih
kepada si pelajar. Si pelajar berwajah putih itu tampaknya agak gugup.
"Kejadiannya kurang lebih memang begitu." katanya cepat-cepat. Sikapnya
menunjukkan rasa sungkan dan takut.
Si gadis cilik itu tertawa dingin. Dia mengangkat tangannya menggapai, burung
kakaktua yang ada dalam dekapan Goan Yu Liong segera mengepakkan sayap dan
terbang memutarinya dua kali, mulutnya mengeluarkan suara panggilan"
"Mei Hun"! Mei Hun"!"
Setelah itu dia menggetarkan sayapnya dengan keras dan melesat ke udara lalu
terbang Secepat kilat. Gadis cilik yang dipanggil Mei Hun itu menunggu sampai Liok Giok
hilang dari pandangan, setelah itu dia menolehkan kepalanya ke arah pelajar itu kembali
serta berkata, "Kalian pergilah" di sini biar aku yang urus!"
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan beradat seperti harimau gila ini cepat-cepat
mengiakan setelah mendengar perkataan si gadis cilik tersebut. Tampaknya dia tidak
berani membantah sama sekali. Dia segera membungkukkan tubuhnya memungut kembali
goloknya yang jatuh di atas tanah kemudian mengundurkan diri ke puncak bukit bersamasama
rekannya yang berdandanan pelajar. Mei Hun kembali menolehkan kepalanya dan berkata kepada Goan Yu Liong.
"Mungkin kalian berhasil menangkap Liok Giok tanpa sengaja. Melihat burung itu sangat
cantik dan pandai berbicara jadi kalian sayang melepaskannya kembali. Tetapi perlu kalian
ketahui bahwa Liok Giok adalah peliharaan kesayangan majikanku, siapapun tidak boleh
menyentuhnya apalagi menyakitinya. Hari ini nasib kalian masih terhitung beruntung
karena aku yang memergoki kejadian ini. Seandainya Cing Ying atau Pai Ping yang
mengetahui, biar kalian beberapa orang ini bergabung menjadi satu juga sulit melepaskan
diri dari sepasang cakarnya. Sekarang aku tidak berani mengambil keputusan bagaimana
harus memberi hukuman kepada kalian. Aku harus menunggu petunjuk dari majikanku.
Liok Giok pasti akan menceritakan apa yang telah terjadi kepada majikanku itu, kalau
kalian memang merasa bersalah, tentu tidak keberatan menunggu di sini beberapa saat,
aku akan menanyakan dulu bagaimana keputusan majikanku. Tetapi kalau kalian merasa
tidak mas, kalian boleh turun tangan serentak. Asal calian dapat menahan sepuluh kali
seranganmu, maka aku yang akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Kalian boleh
segera tinggalkan tempat ini dengan tenang." selesai berkata, dia berdiri berkacak
pinggang. Sepasang matanya yang indah menyorotkan sinar bagai kilat yang seakan
mendesak mereka untuk segera memberikan jawaban.
Kalau ditilik dari usianya, apalagi seorang gadis yang lemah gemulai dan cantik, pada
saat biasanya siapa yang bisa menahan geli mendengar nada ucapannya yang sesumbar
itu. Tetapi ketika baru datang, dia sudah sanggup menggetarkan beberapa orang itu
sehingga senjata masing-masing terlepas dari tangan dan mereka terdesak oleh angin
serangannya sampai terdesak mundur tujuh delapan langkah. Padahal begitu banyaknya
mata yang melihat kejadian itu, tetapi tidak seorangpun yang dapat melihat jelas gerakan
tubuhnya. Kenyataan ini membuat mereka terpaksa percaya bahwa kata-katanya bukan
sekedar bualan saja. Usia Ceng Lam Hong lebih tua dari yang lainnya. Tetapi untuk sesaat dia juga tidak
tahu bagaimana harus memberikan jawaban.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, terasa angin berdesir, Yang Jen Ping melesat
keluar dari tempat persembunyiannya di atas pohon siong. Dia segera merangkapkan
sepasang kepalan tangannya menjura ke arah si gadis cilik.
"Ilmu silat Nona sungguh membuat kami kagum, boleh dibilang seperti cerita khayalan
saja. Majikan Nona pasti seorang Cianpwe yang hebatnya bukan main. Kalau kami
mempunyai kesempatan untuk bertemu, tentu merupakan rejeki kami yang besar sekali.
Silaukan Nona temui majikanmu dan tanyakan apa pendapatnya, kami akan menunggu
kabar dan petunjuk dari Nona."
Kata-kata ini diucapkan dengan sopan dan ramah, juga mengandung rasa hormat.
Wajah Mei Hun yang mendengarnya langsung berubah menjadi berseri-seri. Dia
mengibaskan kepang rambutnya ke belakang sambil tersenyum manis.
"Apakah majikanku ingin bertemu dengan kalian atau tidak, aku belum berani
memastikan. Tentu saja harus dilihat dari keberuntungan kalian. Tetapi aku rasa apa yang
dilakukan oleh Saudara ini tadi bukan suatu kesengajaan, mungkin Beliau tidak akan
menuntut lebih jauh. Majikanku jarang bertemu muka dengan orang asing, apalagi kaum
laki-laki?" Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba terdengar suara pekikan panjang yang
memekakan telinga, mirip dengan gesekan benda logam yang keras. Beberapa orang itu
segera mendongakkan kepalanya melihat ke atas, pandangan mereka menangkap
bayangan samar-samar di bawah kelap-kelipnya bintang-bintang yang bertaburan di
langit. Setelah beberapa saat baru terlihat jelas bahwa suara itu timbul dari seekor burung
elang yang bulunya berwarna hijau. Begitu besarnya elang itu sehingga dari kepala sampai
ekor panjangnya tidak kurang dari sembilan kali. Sepasang sayapnya direntangkan lebarlebar.
Paling tidak lebarnya mencapai satu setengah meter. Sungguh sulit menemui elang
sebesar itu. Ketika jaraknya dengan tanah masih sekitar tiga de-paan, dia tidak melayang
lebih rendah lagi tetapi tetap mengepakkan sayapnya terbang berputaran di udara.
Di atas panggungnya yang berkilauan dengan warna-warni yang indah duduk seorang
gadis bergaun putih. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya panjang terurai di pundak.
Tangannya menyandang sebuah keranjang.
Liok Giok justru duduk di dalam keranjang itu. Entah rumput apa yang terdapat di
dalam keranjang itu karena tercium bau harum seiring dengan hembusan angin yang
berlalu. Jarak antara rombongan Ceng Lam Hong dengan burung raksasa itu cukup jauh,
apalagi wajah gadis itu tertutup sehelai cadar putih sehingga mereka tidak dapat melihat
bagaimana raut wajah gadis itu sebenarnya. Di atas sayap sebelah kiri burung elang
tersebut berdiri seorang gadis yang pakaiannya mini dengan sepasang pundak terbuka.
Tampaknya usia gadis ini tidak jauh berbeda dengan Mei Hun.
Tampaknya Mei Hun benar-benar terkejut melihat kemunculan si gadis berpakaian
putih. Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu. Tetapi sekejap kemudian dia sudah pulih
kembali, dia segera merangkapkan sepasang telapak tangannya seperti orang yang
menyembah. "Budak baru saja akan kembali ke rumah, agar Cujin (majikan) jangan sampai
menempuh perjalanan di tengah pegunungan yang sunyi, sungguh tidak mengira?"
Terdengar suara merdu si gadis berpakaian putih itu.
"Liok Giok sudah menceritakan semuanya kepadaku. Kalau mereka memang tidak
sengaja, kita juga tidak usah memperpanjang urusan ini. Biar
Bentrok Para Pendekar 1 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 4
^