Dendam Iblis Seribu Wajah 21

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 21


an giginya erat-erat dan melancarkan sebuah totokan ke arah punggung
bocah itu. Dalam waktu yang bersamaan tangannya yang sebelah lagi langsung
menyambut nampan yang hampir terlepas dari tangan bocah tersebut.
Mungkin bocah itu mimpipun tidak menyangka kalau Liang Fu Yong tiba-tiba akan
menyerangnya. Tiba-tiba dia merasa bagian punggungnya kesemutan dan tidak sadarkan
diri terkulai di atas tanah. Sebelah tangan Liang Fu Yong langsung terulur meraih tubuhnya yang hampir jatuh.
Dia segera memondong tubuh bocah tersebut. Dia takut timbul suara yang akan
mengejutkan Tan Ki yang mempunyai pendengaran tajam. Baik melancarkan totokan,
menyambut nampan maupun meraih tubuh si bocah, semuanya dilakukan dengan hatihati.
Perlahan-lahan dia meletakkan nampan tadi di sebuah bangku rotan yang terdapat di
ujung koridor. Kemudian sepasang kakinya menutul dan dengan gerakan ringan dia
membawa bocah tersebut meninggalkan tempat itu. Sekali loncat saja, jaraknya mencapai
tiga de-paan. Dalam waktu sekejap mata dia sudah sampai di taman bunga. Harum bunga
semerbak terendus seiring dengan hembusan angin.
Setelah memperhatikan sekelilingnya, Liang Fu Yong baru merebahkan bocah itu di
balik sebuah gunung-gunungan yang dibuat sebagai dekorasi taman tersebut. Dia tahu
saat ini para hadirin sedang berkumpul di ruang pertemuan. Sedangkan sebagian yang
lainnya dikumpulkan dekat ruang peristirahatan karena terkena racun ganas. Dalam waktu
yang singkat tidak mungkin ada orang yang muncul di taman bunga ini.
Perlahan-lahan dia meletakkan bocah itu di atas tanah. Sepasang matanya yang jeli
menatap bocah itu lekat-lekat. Seakan sedang menilai setiap lekuk tubuh dan wajah anak
tersebut. Perlu diketahui bahwa orang-orang zaman itu rata-rata bertubuh tinggi besar. Meskipun
pelayan itu baru berusia empat belas tahunan, tetapi karena tubuhnya yang bongsor, dia
jadi terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya. Apalagi wajahnya yang demikian putih
bersih. Benar-benar membuat orang yang melihatnya merasa gemas.
Jalan darahnya ditotok oleh Liang Fu Yong, dengan demikian kesadarannya hilang.
Dalam sekejap mata saja, pakaiannya sudah dibuka oleh gadis itu. Bentuk tubuhnya kekar,
wajahnya yang terlelap dalam tidur sungguh manis dipandang. Liang Fu Yong yang
memandangnya sampai merasa tegang. Keringatnya bercucuran. Tangannya gemetar dan
gairah dalam dadanya meluap-luap. Semacam perasaan yang aneh membaur dalam
hatinya. Sekian lama dia memandangi bocah itu dengan termangu-mangu. Tiba-tiba dia
melonjak bangun dan menindih tubuh anak itu. Kulit mereka saling bersentuhan. Dia
merasa seperti ada aliran semacam kilat yang menyambar dirinya. Sekonyong-konyong
tubuhnya menggigil dan pikirannya menjadi agak sadar. Dia langsung melonjak bangun.
Liang Fu Yong mengangkat tangannya dan menepuk kepalanya sendiri. Mulutnya
menggumam seorang diri. "Mengapa aku demikian rendah" Bukankah aku bisa mencelakai seorang anak yang
baru tumbuh dewasa" Setelah mendapat nasehat dari adik Ki dan menerima warisan dari
suhu, ternyata aku masih belum berubah juga" Ya Tuhan, apakah aku Liang Fu Yong
sejak lahir memang telah ditakdirkan menjadi perempuan jalang?" air mata yang sebesar
kacang kedelai terus menetes membasahi pipinya.
Dia merasa apapun yang ada di hadapannya menjadi samar-samar. Tanpa sadar dia
teringat setengah bulan yang lalu sempat mengorbankan diri demi Tan Ki di taman bunga
keluarga Liu. Mengingat ketampanan dan kegagahan anak muda itu, hatinya kembali
tergetar. Dia merasa bingung dengan keadaannya sendiri. Padahal dia sempat tersadar
dan bertekad untuk berubah. Mengapa di saat seperti ini, hampir saja dia tidak dapat
menahan diri dan melakukan hal yang rendah itu"
Dengan demikian, pikirannya kembali melayang ke masa di mana dia bertualang
mencari kesenangan setiap malam. Perbuatannya begitu rendah. Meskipun di saat
menjalankannya dia sempat mendapatkan kepuasan lahiriah, tetapi setelah semuanya
berlalu, dia tetap merasa jiwanya kosong melompong. Dia malah merasa begitu kesepian
seakan dia tidak pernah mempunyai siapa-siapa di dunia ini.
Apabila saat ini dia tidak bisa mengendalikan hasrat dalam hatinya dan tetap melakukan
perbuatan yang rendah itu, setelah bocah itu tersadar, tentu seluruh bukit itu akan
gempar mendengar perbuatannya. Namun, haruskah demi kesenangan sekejap, dia musti
membunuh anak yang tidak berdosa itu agar tidak membuka mulut"
Semakin dipikirkan, Liang Fu Yong semakin bimbang. Semakin lama perasaannya juga
semakin takut. Untuk sesaat benci dan menyesal berbaur menjadi satu dalam hatinya. Dia
benci kepada dirinya sendiri yang masih belum berubah juga. Di samping itu dia juga
menyesali apa yang hampir dilakukannya. Tiba-tiba tangannya diangkat ke atas kemudian
dia menempeleng pipinya sendiri keras-keras. Angin bertiup semilir, air matanya yang
mengandung penyesalan tidak terkatakan terus mengalir membasahi pakaiannya. Dia juga
menghentakkan kakinya di atas tanah dengan kesal.
Setelah menangis beberapa saat, cepat-cepat dia mengenakan kembali pakaian si
pelayan cilik itu. Kemudian kakinya menendang membuka totokan pada jalan darahnya,
dalam waktu yang hampir bersamaan, tubuhnya berkelebat pergi secepat kilat.
Meskipun pikirannya sudah sadar kembaji, tetapi untuk sesaat dia masih merasa
bingung menentukan arah yang harus ditujunya. Hatinya juga merasa agak berat seakan
baru saja kehilangan suatu benda yang disukainya. Dengan perasaan hati yang galau,
tanpa sadar dia kembali lagi ke kamarnya sendiri. Tetapi dia seperti menghindarkan diri
dari sesuatu sehingga kamarnya sendiri pun tidak berani dimasukinya. Tanpa tujuan yang
pasti dia meneruskan langkah kakinya.
Ketika dia melewati kamar Tan Ki, tiba-tiba terdengar suara bisikan yang mesra, tidak
syak lagi sepasang suami isteri itu sedang bersenda gurau dengan gembira. Hatinya
kembali tergetar. Tiba-tiba saja dia mempercepat langkahnya dan lari meninggalkan
tempat itu. Beberapa saat kemudian, dia sudah sampai di ruang pertemuan. Meskipun telah lewat
beberapa waktu, tetapi wajahnya masih merah padam. Tentu saja Tian Bu Cu tidak tahu
bahwa dia tadi sempat pergi kemudian kembali lagi, sedangkan keadaannya sudah
berubah banyak. Tetapi dia merupakan seorang tokoh yang sakti. Sejak melihat sepasang
alis Liang Fu Yong yang menunjukkan kegairahan yang berkobar-kobar, dia langsung tahu
bahwa perempuan itu sedang terbangkit nafsu birahinya. Namun wajah Liang Fu Yong
yang menyiratkan ketakutan dalam itu justru membuatnya bingung apa yang telah terjadi.
Sepasang matanya yang menyorotkan sinar tajam terus memandang diri Liang Fu Yong
lekat-lekat. Melihat tampangnya yang berwibawa itu, jantung Liang Fu Yong semakin berdebardebar.
Perasaannya menjadi tidak tenang seperti orang yang menunggu jatuhnya
hukuman. Tiba-tiba terdengar Yibun Siu San berkata, "Harap Totiang mengajak muridmu itu
kembali ke kamar. Sore nanti kita akan menguras banyak tenaga menghadapi golongan
Lam Hay dan Si Yu. Setidaknya kita perlu istirahat yang cukup agar semangat dapat
terjaga." Tian Bu Cu merangkapkan sepasang tangannya memberi salam. Kemudian dia
membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Justru karena perkataan Yibun Siu San,
Liang Fu Yong seakan terlepas dari intaian mata Tian Bu Cu yang tajam. Cepat-cepat dia
mengikuti di belakang suhunya pergi secepat kilat.
Cian Cong menatap bayangan punggung kedua orang itu sampai menghilang di
kejauhan. Kemudian dia berkata dengan suara lirih, "Tua bangka, bagaimana caranya
mengurus perempuan ini?" sembari bertanya, tangannya menunjuk kepada Kiau Hun.
"Sikap perempuan ini tenang sekali. Meskipun sudah terjatuh ke tangan kita, tetapi dia
bukan orang yang mudah dihadapi. Apalagi dia seorang perempuan, tentu tidak pantas
apabila kau atau aku menggeledah tubuhnya. Oleh karena itu, aku rasa sebaiknya kita
serahkan saja kepada Ciu Cang Po. Pokoknya dengan cara lembut atau keras, kita harus
berhasil mengetahui di mana dia menyimpan obat penawar racun itu. Ini merupakan satusatunya
jalan apabila kita ingin menolong orang secepatnya."
Cian Cong langsung tertawa lebar mendengar ucapannya.
"Akal yang bagus!" katanya sembari berjalan ke arah Ciu Cang Po yang sedang
memejamkan matanya mengatur pernafasan.
Sejak jalan darahnya tertotok oleh Tian Bu Cu, Kiau Hun segera memejamkan matanya
dan mendengarkan pembicaraan orang-orang itu dengan seksama. Sikapnya begitu
tenang dan sejak awal hingga akhir dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia bukan
saja tidak memperlihatkan tampang ketakutan, bahkan seakan tidak ambil perduli tentang
mati hidupnya sendiri. Yibun Siu San dapat merasakan gadis itu sudah mengambil keputusan untuk tidak
memperdulikan mati hidupnya sendiri. Diam-diam dia merasa kagum sekali.
"Tampangnya yang wajar dan tenang membuat orang tidak menduga bahwa dia sudah
bertekad menunggu datangnya malaikat el-maut. Meskipun seorang tokoh berilmu tinggi
atau pendekar yang gagah perkasa, biasanya juga merasa gentar apabila tahu dirinya
akan mendapat hukuman mati. Rasanya tidak mungkin ada yang sanggup memperlihatkan
ketenangan seperti gadis ini." pikirnya dalam hati.
Sesaat kemudian dia memanggil orang-orang yang tidak keracunan untuk mengangkat
mayat-mayat yang berserakan untuk dikuburkan secara layak. Sementara itu, dia
mengambil beberapa macam obat untuk menahan kerjanya racun agar jangan sampai
menyebar ke jantung. Kurang lebih memakan waktu dua kentungan, semuanya baru berhasil dibersihkan dan
keadaan di tempat itu menjadi pulih kembali seperti sedia kala.
Tidak lama kemudian, kurang lebih dua puluh lebih tokoh-tokoh yang memegang
peranan penting dan sebagian lagi yang belum keracunan, termasuk Ceng Lain Hong dan
Oey Ku Kiong berkumpul lagi di ruang pertemuan.
Si pengemis cilik beserta rombongannya dari angkatan muda tetap berdiri di belakang
para Cianpwe masing-masing. Tampak wajah mereka serius sekali bahkan menyiratkan
ketegangan yang tidak terkatakan. Mereka seperti sedang menunggu suatu peristiwa
besar yang akan terjadi sebentar lagi.
Suasana di dalam ruangan itu menjadi demikian hening. Dua puluh lebih tokoh kelas
tinggi dunia Bulim duduk di tempat masing-masing dengan wajah kelam. Tampaknya
mereka merasa gelisah menunggu kehadiran Bengcu mereka.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, terdengar suara langkah kaki mendatangi.
Rupanya Tan Ki dan Mei Ling yang masuk ke dalam ruangan itu. Pada jarak lima langkah
dari meja bundar di depan, tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya, namun Mei
Ling tetap berjalan terus ke depan. Setelah mengitari sebuah meja, istrinya itu berdiri di
belakang Ceng Lam Hong. Sepasang matanya yang indah terus dipusatkan pada diri Tan
Ki. Hatinya sadar, meskipun Tan Ki sudah meraih kedudukan Bulim Bengcu tetapi dia
masih harus melewati dua ujian lainnya, yakni kebijaksanaannya dalam memutuskan suatu
persoalan dan kecerdasan otaknya berpikir. Dengan demikian dia baru dinobatkan sebagai
Bulim yang resmi. Ujian-ujian ini mengandalkan daya pikir yang sempurna, tapi tampaknya
Mei Ling mempunyai keyakinan yang besar terhadap suaminya itu. Biar bagaimana
sulitnya persoalan yang diajukan nanti, Tan Ki pasti berhasil lulus dengan mudah. Oleh
karena itu, mimik wajahnya tidak menunjukkan kepanikan sama sekali. Dia malah
mengembangkan senyuman yang manis dan gayanya santai.
Terdengar suara Yibun Siu San yang berkata dengan nada rendah"
"Dengan usiamu yang begitu muda, kau berhasil mengalahkan sejumlah tokoh-tokoh
kelas satu di dunia Bulim dan berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu. Oleh karena itu
orang-orang gagah yang hadir di puncak bukit Tok Liong-hong ini merasa kagum sekali
dengan ilmu pedangmu. Tetapi setelah aku perhatikan sepanjang hari, caramu menangani
persoalan terlalu ceroboh. Begitu menghadapi suatu masalah, kau tidak
mempertimbangkan segalanya dengan matang dan tidak menggunakan cara yang baik
untuk menyelesaikannya. Apabila membiarkan kau menjabat kedudukan penting ini dan
menyerahkan tanggung jawab yang besar terhadap dunia Bulim, mungkin akibat
perbuatanmu malah ribuan nyawa bisa menjadi korban. Apabila setiap tindak-tanduk yang
kau ambil tidak memakai akal sehat dalam menjalaninya, apakah kau dapat
membayangkan bencana apa yang akan terjadi?"
Tan Ki menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menyahut tidak tahu. Hatinya malah
diam-diam merasa heran. Biasanya paman Yi-bun justru khawatir kalau aku tidak berhasil
merebut kedudukan Bulim Bengcu, mengapa hari ini terus-terusan mempersalahkan
dirinya. Apabila dia bukan melakukannya dengan sengaja, Tan Ki benar-benar tidak
mengerti apa alasannya" Baru saja pikirannya tergerak, tiba-tiba terdengar kembali suara Yibun Siu San"
"Demi kelangsungan hidup dunia Bulim kita yang akan datang, terpaksa aku menguji
kebijaksanaanmu dalam menyelesaikan persoalan. Tetapi dalam bidang yang satu ini, Kok
Hua Hong dan Ciong San Suarig Siu ketiga Cianpwe menjamin bahwa kau dapat
melewatinya dengan mudah. Aku juga menceritakan bagaimana kau melawan dua laki-laki
dan perempuan bercadar di dalam goa. Oleh karena itu mereka setuju untuk tidak menguji
kebijaksanaanmu?" Mata Tan Ki mengesar ke sekeliling ruangan, kemudian mengembangkan seulas
senyuman. "Mengenai kecerdasan pikiran, harap Siok-siok ungkapkan saja biar keponakan
mencobanya. Meskipun keponakanmu ini orang yang bodoh, tetapi ingin juga mencoba
peruntungan, siapa tahu Thian yang kuasa memberikan bantuan-Nya."
"Tadinya aku sudah mempersiapkan dua persoalan mengenai kebijaksanaan dan
kecerdasan otak. Tetapi agar tidak dianggap memilih kasih, aku merundingkannya terlebih
dahulu dengan Tian Bu Cu, Lok Hong dan Cian Cong Locianpwe bertiga. Akhirnya kami
mengambil keputusan untuk tidak menguji kebijaksanaanmu lagi. Namun kecerdasan otak,
biar bagaimanapun kau harus berusaha melaluinya."
"Apabila keponakan tidak sanggup menjawabnya dengan baik, apa yang akan terjadi?"
tanya Tan Ki. "Mengikuti perkembangan dan mengambil keputusan secepatnya setiap kali
menghadapi masalah, merupakan tindak-tanduk orang yang bijak. Apabila kau tidak
sanggup melakukannya, hal ini bukan menyangkut dirimu saja, tetapi kesejahteraan
seluruh Bulim. Seandainya kau gagal dalam ujian ini, terpaksa kami memilih Bulim Bengcu
yang lain." Kata-katanya yang terakhir diucapkan dengan tegas. Hati orang-orang yang hadir
dalam ruangan itu sampai ikut tergetar. Semua menolehkan kepalanya melirik sejenak ke
arah Yibun Siu San. Tetapi karena wajah orang itu selalu ditutupi sehelai cadar, maka
orang-orang tidak dapat melihat bagaimana mimik perasaannya saat itu.
Tan Ki segera menjura dengan penuh hormat.
"Harap Siok-siok uraikan."
"Kau harus mendengarkannya baik-baik! Aku hanya mengucapkannya satu kali saja dan
tidak akan mengulanginya kembali!"
"Aku mengerti!" "Baik. Dengarkanlah. Beberapa hari yang lalu, ada seorang kakek penjual telur
melewati kota Tiang An. Tangan kanannya menjinjing sebuah keranjang sayur, entah
berapa banyak telur yang terisi di dalamnya. Kebetulan dia bertemu dengan seorang
nyonya muda. Perempuan itu membeli sebagian telurnya dan setengah butirnya lagi. Tidak
berapa lama kemudian dia bertemu lagi dengan seorang pelayan keluarga hartawan yang
kemudian membeli telurnya sebagian dan setengah butirnya lagi. Terakhir kembali ada
seorang tukang masak, orang itu juga membeli sebagian telurnya ditambah setengah butir
lagi. Sekarang coba kau tebak berapa butir jumlah telur yang ada dalam keranjang kakek
itu?" Sepasang alis Tan Ki langsung berkerut mendengarnya. Dia menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. "Orang jual telur mana ada yang hanya setengah butir?"
Yibun Siu San tersenyum simpul. "Anehnya justru terletak di bagian ini. Si kakek tua itu secara berturut-turut menjual
telurnya sebanyak tiga kali. Setiap kali dia menjual sebagian dan setengah butirnya lagi.
Kebetulan semuanya habis terjual."
Orang-orang gagah yang mendengar ucapannya, diam-diam menggunakan hitungan
langit, bumi, manusia dan tumbuhan yang biasa terdapat dalam kitab-kitab zaman itu.
Setelah menghitung beberapa saat, tetap saja menemukan kesulitan. Mereka merasa
pertanyaan itu tidak terlampau sulit didengarnya, namun ternyata tidak mudah
dipecahkan. Sebetulnya merupakan sebuah soal yang tidak dapat dihitung dengan rumus
biasa. Suasana semakin lama semakin menegangkan. Mereka menunggu dengan hati
berdebar-debar. Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, sepasang mata Tan Ki yang
tadinya terpejam merenung, tiba-tiba membuka kembali.
"Kalau menghitung telur, tidak mungkin ada setengah butir. Tampaknya di balik soal ini
terselip sesuatu?" sekonyong-konyong dia mengulurkan tangannya menepuk kepalanya
sendiri. Kata-katanya pun terputus. Rupanya saat itu, tiba-tiba suatu ilham muncul di
benaknya. Matanya terpejam kembali. Dengan hati-hati dia mengingat-ingat dalam
hatinya. Sesaat kemudian tampak dia membuka matanya kembali dengan bibir mengembangkan
seulas senyuman. "Apabila ingin memecahkan soal ini, maka kita harus menghitungnya dengan rumus jari
tangan, yakni mulai dari angka satu."
Yibun Siu San tertawa lebar mendengar ucapannya.
"Dengan demikian berarti kau sudah tahu rahasia soal ini."
Begitu kata-katanya diucapkan, semua orang yang hadir di tempat itu lantas
memusatkan perhatian mereka pada diri Tan Ki.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Tan Ki"
"Aku berhasil menghitungnya! Jumlah telur yang ada dalam keranjang si kakek tua itu
semuanya ada tujuh butir!" "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa jumlahnya ada tujuh butir?"
Wajah Tan Ki merah jengah, dengan malu-malu dia menjawab pertanyaan Yibun Siu
San. "Jawaban dari soal ini perlu dimengerti secara mendalam. Tidak mudah diuraikan
dengan kata-kata. Apabila Siok-siok menanyakan bagaimana keponakan dapat
mengetahuinya, mungkin tidak mudah menerangkannya secara jelas."
"Jawabannya sudah benar, tetapi coba kau terangkan dengan cara?" baru saja


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengucapkan beberapa patah kata, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendatangi.
Dengan demikian kata-katanya jadi terhenti.
Begitu pandangan mata dialihkan, dia melihat seorang laki-laki kekar yang dikenalnya
sebagai salah seorang penjaga di depan masuk ke dalam dengan tergesa-gesa. Pada jarak
lima langkah dari tempat Tan Ki, dia segera menghentikan langkah kakinya. Tubuhnya
membungkuk dalam-dalam memberi hormat.
"Sute dari Kaucu Pet Kut Kau mohon bertemu di luar."
Mendengar laporannya, wajah orang-orang yang hadir dalam ruangan itu langsung
berubah. Mereka saling lirik kemudian berbisik-bisik antara rekan masing-masing.
Sepasang alis Yibun Siu San langsung berkerut ketat.
"Persilahkan dia masuk!" katanya. Selesai berkata, dia langsung berdiri. Kemudian dia
menyodorkan tempat duduknya untuk Tan Ki dan tersenyum.
"Kau dapat menjawab soal tadi dengan baik, maka orang-orang yang hadir di sini juga
merasa puas telah memilih kau sebagai Bulim Bengcu. Harap mulai sekarang ini, dalam
menangani masalah apapun kau harus menggunakan akal sehat. Jangan memilih kasih,
serta tegas dalam memberikan hadiah maupun hukuman. Jangan sampai
menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh saudara-saudara kita."
Tan Ki segera menjawab dengan sopan.
"Anak Ki mempersembahkan diri ini untuk dunia Bulim. Rela berkorban jiwa dan raga
demi kelangsungan dunia Bulim. Apalagi dalam menghadapi pihak Lam Hay maupun Si Yu.
Anak Ki rela berkorban apapun asal mereka dapat terusir pulang ke negaranya sendiri!"
Yibun Siu San langsung tertawa lebar mendengar perkataannya.
"Sekarang Kim Yu datang menemui kita sebagai wali dari pihak Lam Hay. Ini
merupakan pertama kalinya kau bertemu muka dengan orang ini sebagai seorang
pimpinan. Kami semua ingin melihat bagaimana kau menghadapinya."
Baru saja ucapannya selesai, tampak seorang laki-laki bertubuh kurus dan berpakaian
putih masuk ke dalam ruangan diiringi seorang pelayan tua. Tan Ki segera mengenali
orang tersebut sebagai adik seperguruan dari Kaucu Pek Kut Kau yang bernama Kim Yu.
Tampak sepasang tangannya memegang sehelai kartu seperti undangan yang berukuran
besar. Kepalanya tertunduk, namun langkah kakinya cepat sekali. Dalam sekejap mata dia
sudah berhenti pada jarak tiga langkah dari tempat Tan Ki.
Tan Ki melihat jubahnya berkibar-kibar seakan tidak membawa senjata apapun. Dia
segera mengembangkan seulas senyuman.
"Kambing masuk ke dalam goa harimau, apakah tidak takut mendapat hinaan?"
Sepasang mata Kim Yu yang tajam mengedar ke sekelilingnya sejenak. Kemudian dia
mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"Kedatanganku saat ini merupakan utusan. Apabila saudara tidak takut ditertawakan
orang-orang sedunia, silahkan turun tangan sesuka hatimu!" sepasang tangannya terulur
ke depan, terasa ada serangkum tenaga yang kuat menekan datang ke arah Tan Ki.
Anak muda itu melihat dia mengerahkan tenaga dalamnya sambil menyodorkan surat
undangan di tangannya. Diam-diam dia merasa geli. Namun kedudukannya sekarang
adalah seorang Bulim Bengcu, perbuatan apapun yang dilakukannya harus serius dan
tidak boleh menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Oleh karena itu bibirnya tetap
tersenyum lembut. "Cayhe tidak berani menerima penghormatan sebesar ini."
Tangan kanannya mengibas, gayanya seperti sedang meminta Kim Yu tidak perlu
banyak adat, tetapi sebetulnya dia telah mengerahkan tenaga dalamnya dan menyambut
datangnya kekuatan yang dilancarkan Kim Yu dengan keras.
Dua gulung tenaga yang dahsyat langsung beradu saat itu juga. Timbul angin yang
kencang dan menerpa ke sekitar kedua orang itu. Bahkan pakaian beberapa orang yang
duduk dekat dengan mereka langsung berkibar-kibar.
Setelah kedua gulung tenaga beradu, Tan Ki tetap duduk di tempatnya semula tanpa
bergeming sedikitpun. Sedangkan jubah Kim Yu melambai-lambai, kakinya goyah dan
tubuhnya terhuyung-huyung tiga kali. Sampai cukup lama dia tidak dapat menegakkan
tubuhnya. Keadaannya saat itu seperti orang yang baru minum arak dalam jumlah yang
banyak. Akhirnya tanpa dapat mempertahankan diri, dia tergetar mundur sejauh tiga
langkah. Tampak lantai batu di mana kakinya berpijak tadi, sekarang retak dan debu-debu
beterbangan ke mana-mana. Baru saja mengadu kekuatan satu kali, hati Kim Yu sudah tercekat tidak kepalang.
Diam-diam dia berpikir: "Baru beberapa hari tidak bertemu, rasanya tenaga dalam orang
ini sudah bertambah hebat." Pikirannya tergerak, terdengar mulutnya berkata, "Usia saudara masih muda tetapi
tenaga dalam yang kau miliki ternyata sudah demikian tinggi. Benar-benar membuat hati
ini menjadi kagum." dia segera menyodorkan surat di tangannya ke depan. Kemudian
terdengar dia melanjutkan kata-katanya. "Hengte mendapat perintah dari Suheng dan Toa
Tocu untuk mengantarkan surat ini. Harap saudara membacanya kemudian sekalian
mengirimkan balasannya." Tan Ki langsung menyambut surat itu. Dia melihat di bagian atasnya tertulis:
"Menurut berita yang tersebar, saudara berhasil mengalahkan jago-jago lainnya dan
berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu. Hal ini benar-benar mengejutkan pihak kami.
Lagi pula kau langsung menyatakan tentang berdirinya Perkumpulan Ikat Pinggang
Merah?" Membaca sampai di sini, Tan Ki langsung mengeluarkan suara tawa dingin.
"Cepat sekali berita ini tersebar!"
Selanjutnya dia membaca lagi isi surat tersebut:
"Dengan demikian, kedua Bun Bu-siang serta tiga orang tongcu serta anggota dari
Kaucu Pek Kut Kau mengambil keputusan untuk mengunjungi bukit Tok Liong-hong sore
ini untuk melihat serta meminta pelajaran ilmu dari wilayah Tionggoan yang konon hebat
sekali. Karena takut mengganggu dan dianggap tidak sopan, maka kami sengaja mengirim
Kim Yu sebagai utusan untuk mengantarkan surat ini. Sekalian ingin menanyakan apakah
saudara setuju dengan, waktu dan tempat yang telah kami tetapkan?"
Di bawahnya tertera tanda tangan Toa Tocu dari Lam Hay dan Kaucu dari Pek Kut Kau.
Setelah membacanya sampai selesai, Tan Ki segera menyodorkan surat itu kepada
Yibun Siu San agar dibaca oleh orangtua itu. Bibirnya tetap tersenyum simpul.
"Kalau kalian sudah mengambil keputusan untuk menyerbu bukit Tok Liong-hong ini
sore nanti, buat apa membuat letih tangan sendiri dengan menulis surat ini" Apabila kalian
mempunyai kegembiraan seperti itu, tentu saja aku akan mengirimkan juga balasannya."
Dia langsung memanggil seorang penjaga untuk mengambilkan alat-alat tulis. Tanpa
menunda waktu lagi dia langsung menggerakkan pit di atas kertas dan menjawab surat
yang dibawakan oleh Kim Yu itu. "Saudara sudi menempuh perjalanan yang demikian jauh untuk menyambangi para
tokoh dari Tionggoan kami, tentu saja pihak kami akan menyambut dengan senang hati.
Dengan demikian kami menyatakan bahwa kami tidak akan bergeser dari puncak bukit
Tok Liong-hong ini walau kapanpun kalian akan datang menyambangi."
Kim Yu melihat tulisan tangan Tan Ki kokoh dan rapi. Namun isinya singkat saja. Dalam
waktu sekejap mata dia sudah selesai membacanya. Diam-diam dia memaki dalam
hatinya: "Sombong benar ucapan yang tertulis di dalamnya!"
Kim Yu merupakan manusia yang sangat licik. Meskipun hatinya mendongkol membaca
surat balasan Tan Ki, tetapi dari luar dia menampilkan sikap yang biasa-biasa saja. Namun
mata Tan Ki yang tajam sempat melihat perubahan wajahnya.
Tan Ki ingin menjaga sikapnya sebagai seorang Bulim Bengcu, diapun tidak ingin
mempermalukan orang ini di hadapan umum. Oleh karena itu dia pura-pura tidak tahu dan
tetap berkata dengan suara yang lembut.
"Dua negara berunding, tidak boleh melakukan kekerasan terhadap utusan yang
dikirimkan. Aku tidak ingin tersebar berita yang tidak enak didengar atau menyulitkan
dirimu. Sebaiknya kau pulang saja secepatnya dengan membawa surat balasan ini. Tetapi
apabila lain kali bertemu lagi, kita sama-sama telah menjadi musuh bebuyutan. Aku rasa
kau sendiri mengerti apa yang harus dilakukan." Tan Ki melipat kertas surat itu kemudian
menyodorkannya ke hadapan Kim Yu. Saat ini jarak antara keduanya hanya setengah depaan lebih. Dengan mengulurkan
tangan saja dapat mencapai tubuh lawannya. Kim Yu melihat Tan Ki mengulurkan
tangannya ke depan dengan wajar, seakan tidak berjaga-jaga sama sekali, hatinya
sekonyong-konyong tergerak. Cepat-cepat dia menarik nafas dan diam-diam mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Dia berpikir ingin menggores tangan Tan Ki dengan jarinya yang
mengandung racun ketika menyambut surat balasan tersebut, Apabila berhasil, goresan
luka di tangannya pasti terkena racun dan dalam waktu yang singkat menyebar ke seluruh
tubuh serta mati seketika. Beberapa hari yang lalu, Kim Yu justru menggunakan jari
kukunya yang beracun itu melukai Tan Ki sehingga hampir saja nyawa anak muda itu
melayang. Begitu pikirannya tergerak, tangannya segera terulur keluar menyambut surat tersebut,
sepasang matanya menatap Tan Ki lekat-lekat seakan ingin melihat perubahan wajah anak
muda itu. Kebetulan pada saat itu, pandangan matanya bertemu dengan sepasang mata
Tan Ki yang juga sedang menatap kepadanya.
Dua pasang mata bertemu pandang, Kim Yu segera merasa bahwa di dalam sinar
matanya terkandung kewibawaan yang dalam. Sorotannya tajam menusuk, seperti
mengandung pengaruh yang tidak dapat ditolak. Mimik wajah anak muda itu begitu
angker sehingga tanpa terasa hatinya berdebar-debar. Pikirannya yang jahat hilang
seketika, dia tidak berani meneruskan niat hatinya.
Tanpa berkata sepatahpun, dia langsung menerima surat balasan tersebut dan
memasukkan ke balik pakaian. Tetapi saat itu dalam hatinya telah timbul perasaan ngeri
sehingga dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan ke depan beberapa langkah.
Tiba-tiba dia seperti teringat pada suatu persoalan yang besar sekali. Tanpa menghentikan
langkah kakinya dia menolehkan kepalanya dan mengedarkan pandangan matanya.
Sepasang alisnya langsung menjungkit ke atas, wajahnya menyiratkan perasaan bimbang,
tetapi akhirnya dia meneruskan juga langkahnya meninggalkan tempat tersebut.
Rupanya ketika dia menolehkan kepalanya tadi, dia merasa tidak menemukan
bayangan Kiau Hun di antara para tokoh-tokoh yang hadir di tempat itu. Biar bagaimana
perempuan itu merupakan mata-mata yang dikirim pihak Lam Hay Bun untuk menyelidiki
perkembangan di daerah Tionggoan. Ilmunya sangat tinggi karena mendapat didikan
langsung dari Toa Tocu. Seandainya dalam pertandingan dia tidak sanggup merebut
kedudukan Bulim Bengcu, tetapi berdasarkan kepandaiannya, paling tidak perempuan itu
pantas menyandang gelar pendekar pedang tingkat sembilan. Kali ini orang-orang yang
hadir dalam ruangan merupakan anggota Perkumpulan Ikat Pinggang Merah, tetapi
sebagai salah seorang peserta pertandingan, seharusnya Kiau Hun juga termasuk anggota
perkumpulan itu, mengapa saat ini bayangannya malah tidak kelihatan"
Jangan kata orang itu pergi dengan hati bertanya-tanya, Tan Ki sendiri sudah dapat
memastikan bahwa dia akan menceritakan apa yang dilihatnya kepada Suheng serta sang
Tocu. Setelah Kim Yu meninggalkan tempat itu, Tan Ki segera berdiri dengan bibir
menyunggingkan senyuman. "Saat ini waktu masih ada tiga kentungan sebelum sore hari. Sahabat-sahabat dari
perkumpulan kita ini sebagian sudah terserang racun. Mereka tentu saja tidak dapat
menghadapi musuh. Harap kalian menggunakan waktu yang singkat ini untuk beristirahat
agar semangat pulih kembali. Pertarungan yang akan berlangsung senja nanti menyangkut
nasib dunia Bulim kita. Cayhe hanya mengandalkan bantuan dari saudara-saudara
sekalian?" Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak menukas,
"Bengcu tidak perlu rendah diri, pihak Lam Hay dan Si Yu bergabung untuk menyerbu kita,
cara mereka licik dan keji. Kitapun tidak perlu sungkan menghadapi manusia-manusia
seperti itu. Meskipun harus bertarung sampai titik darah penghabisan, pokoknya kita rela
mendengar perintah Bengcu. Tetapi, hamba mempunyai suatu masalah yang mengganjal
dalam hati, yang mungkin tidak enak didengar apabila diungkapkan"!"
Tan Ki melirik orang itu sejenak kemudian tersenyum ramah.
"Silahkan saudara katakan saja terus terang, siaute justru ingin mendengarnya."
Orang itu merenung sesaat, seakan sedang mencari kata-kata yang tepat untuk
mengungkapkan isi hatinya. Beberapa waktu kemudian dia baru berkata dengan perlahanlahan"
"Meskipun di dalam dunia Bulim kita sering terjadi budi dan dendam yang berakhir
dengan pembunuhan, tetapi selama ratusan tahun boleh dibilang masih saling
memperhatikan. Setiap kabar berita cepat tersebar. Meskipun orangnya belum pernah
bertemu, kebanyakan namanya saja sudah pernah terdengar. Hamba sendiri seorang
pesilat kasar yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia Kangouw. Boleh dibilang
banyak hal yang sudah dialami ataupun dengar dari sana sini! Dalam pesta yang
berlangsung tadi, puluhan rekan kita mati secara mengenaskan karena terserang racun
yang dimasukkan dalam arak. Walaupun hamba tidak mempunyai hubungan apa-apa
dengan orang-orang itu, namun hati ini tetap merasa pedih melihat mereka mati dengan
cara demikian. Hamba merasa marah dan seakan menuntut keadilan bagi mereka. Oleh
karena itu, hamba memberanikan diri menanyakan kepada Bengcu, entah cara apa yang
akan diambil untuk menindak sang pelaku kejahatan tersebut?"
Mendengar ucapannya, untuk sesaat Tan Ki termangu-mangu. Kemudian dia malah
berbalik tanya kepada orang itu, "Bagaimana menurut pendapat saudara sendiri?"
Sepasang mata orang itu mengedar ke sekeliling ruangan dan melihat sekilas kepada
orang-orang yang hadir, kemudian dia baru berkata lagi dengan perlahan-lahan, "Apabila
orang itu memang pelaku kejahatan tersebut, harap Bengcu perintahkan orang untuk
membawanya keluar dan tentukan hukuman yang harus diterimanya di hadapan para
sahabat ini. Sekaligus menyelidiki di mana obat penawar racun itu disimpan sehingga kita
bisa memberi pertolongan lebih awal kepada rekan-rekan yang sekarat."
Baru saja perkataannya selesai, terdengar suara-suara yang menyatakan kesepakatan
mereka. Melihat emosi para anggotanya sudah mulai terbangkit, sepasang alis Tan Ki
langsung menjungkit ke atas. Sejenak kemudian dia sudah pulih kembali seperti sediakala.
"Baiklah, saudara boleh persilahkan Ciu Cang Po membawanya keluar."
Orang itu mengiakan kemudian langsung menghambur pergi.
Tidak lama kemudian, dia kembali lagi dengan diiringi oleh seorang nenek berambut
putih, yakni Ciu Cang Po yang menyeret seorang gadis berpakaian merah. Ketiganya
masuk ke dalam ruangan dan berhenti pada jarak lima langkah dari tempat duduk Tan Ki.
Pandangan mata anak muda itu segera dialihkan, dia melihat sepasang pipi Kiau Hun
yang biasanya mulus dan putih, sekarang sudah membengkak dan penuh dengan guratan
bekas tamparan jari tangan. Rambutnya acak-acakan. Walaupun belum sampai satu
kentungan dia dibawa oleh Ciu Cang Po, tetapi tampaknya mendadak saja dia menjadi
kurus banyak, wajahnya kuyu, langkah kakinya tertatih-tatih. Tidak diragukan lagi, bahwa
dia telah dihajar cukup keras oleh si nenek tua bekas gurunya itu.
Melihat keadaannya, hati Tan Ki terasa serba salah. Dia tidak dapat mengatakan
bagaimana perasaannya saat itu, entah pilu atau pedih. Dia menatap wajah Kiau Hun yang
bengap itu dengan termangu-mangu. Kembali terdengar suara orang tadi berkata kepada Tan Ki, "Hamba menuruti perintah
Bengcu dan sudah membawa si tersangka utama ke dalam ruangan ini. Harap Bengcu
tentukan keputusannya." Saat itu Tan Ki sedang mengenang masa lalunya. Meskipun suara pembicaraan orang
itu sangat lantang, tetapi dia seperti tidak mendengarnya. Dia tidak mengucapkan sepatah
kata atau bergeming sedikitpun dari tempat duduknya.
Saat itu juga bayangan Kiau Hun yang menempuh bahaya menolong jiwanya bahkan
sampai diusir dari pintu perguruan seakan melintas di depan pelupuk matanya. Akhirnya
gadis itu terpaksa mencari jalan keluar sendiri untuk mengangkat derajatnya sehingga dia
rela menjadi selir Tocu Lam Hay Bun.
Dari awal sampai akhir, meskipun Kiau Hun telah salah langkah sehingga sekarang
memetik hasilnya sendiri. Tetapi kalau dipikirkan dengan seksama, semua ini timbul akibat
dirinya. Perlu diketahui bahwa Tan Ki adalah seorang yang berwatak tinggi hati. Seorang diri
dia berkelana di dunia Kangouw dan selamanya tidak suka menerima budi orang lain.
Teringat olehnya cinta kasih Kiau Hun yang dalam dan budi yang tidak mudah dilunasi
olehnya. Hatinya menjadi tertekan. Dia merasa harus menolongnya satu kali ini agar
hutang piutang antara mereka menjadi impas. Tetapi kesalahannya justru berat sekali. Dia
menggunakan racun yang ganas dan memasukkannya dalam arak sehingga begitu banyak
korban yang jatuh. Caranya ini memang terlalu keji. Meskipun Tan Ki berniat
menolongnya, tetapi mungkin dia tidak sanggup membendung kemarahan orang-orang
gagah yang hadir dalam ruangan itu. Bahkan kemungkinan masa depannya sendiri akan
hancur dan nama besar yang baru berhasil diraihnya jatuh seketika.
Semakin dipikirkan, hati Tan Ki semakin galau. Dia merasa serba salah, entah jalan
mana yang harus dipilihnya Oleh karena itu, meskipun orang tadi berkata dengan suara
lantang, di telinganya hanya bagai dengungan-dengungan yang tidak jelas. Apa yang
sebenarnya dikatakan oleh orang itu, dia benarbenar tidak tahu.
BAGIAN LI Orang itu melihat sang Bengcu tidak memberikan jawaban sedikitpun dan tampangnya
seakan menyiratkan bahwa dia sedang menguras otaknya memikirkan suatu hal, maka
terpaksa dia mengulangi sekali lagi perkataannya.
Pikiran Tan Ki jadi tersentak sadar, mulutnya mengeluarkan suara desahan kemudian
dia mengulapkan sebelah tangannya. "Kalian berdua harap duduk dulu." sambil berkata, sepasang matanya menyapu ke arah
para hadirin sekilas. Tampak wajah mereka menyiratkan keseriusan yang tidak terkatakan.
Saat itu mereka juga sedang menatap kepadanya. Dia mengerti mereka ingin tahu
bagaimana Bengcu yang baru terpilih ini menyelesaikan masalah tersebut. Diam-diam
hatinya merasa tegang dan setelah menenangkan dirinya sejenak, dia mengeluarkan suara
batuk-batuk kecil. "Apakah kau yang bernama Kiau Hun dan pernah melayani nona Mei Ling di keluarga
Liu?" tanyanya sebagai pembuka kata.
"Apakah kau ingin menyelidiki masalah ini atau ingin tahu duduk perkara yang
sebenarnya" Kalau kau memang ingin tahu siapa aku ini, baiklah. Aku akan mengatakan
terus terang bahwa aku memang seorang budak yang rendah dan dihina oleh setiap
orang!" kata-kata yang diucapkannya itu seperti ingin mengumbar kemarahan dalam
hatinya. Oleh karena itu, nada suaranya juga begitu ketus dan menusuk perasaan.
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas, tiba-tiba nalurinya yang tajam
melintaskan sebuah pikiran. Terdengar dia berkata kembali"


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah. Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Apabila benar, kau boleh
menganggukkan kepalamu sebagai pernyataan iya. Kalau tidak, kau gelengkan kepalamu.
Tetapi kau tidak boleh menyahut yang bukan-bukan atau mengoceh sembarangan.
Mengerti?" Tanpa menunggu jawaban dari Kiau Hun dia segera melanjutkan lagi ucapannya.
"Tiga bulan yang lalu, demi menolong selembar nyawaku, kau sampai diusir oleh
gurumu dan meninggalkan gedung keluarga Liu. Karena kau seorang gadis yang sebatang
kara, seorang diri berkelana di dunia Kangouw, tentu pikiranmu menjadi gundah dan kau
menganggap hidup ini tidak berarti bukan?"
Kiau Hun merasa apa yang dikatakannya memang benar. Oleh karena itu dia
menganggukkan kepalanya. Dia tidak tahu kalau Tan Ki berniat menolongnya. Di pihak yang satunya, dia ingin
menekan Kiau Hun dengan kata-kata agar dia tidak sembarangan mengoceh. Di pihak
yang lain dia ingin orang-orang yang hadir dalam ruangan itu merasa iba atas nasib Kiau
Hun. Apabila mereka sudah merasa kasihan terhadap nasib gadis itu yang malang,
meskipun seberapa berat dosanya, tentu tidak perlu sampai dihukum mati.
Ternyata setelah dia mengucapkan kata-katanya, perhatian para hadirin langsung
terpusat pada diri Kiau Hun. Perlahan-lahan Tan Ki melanjutkan kata-katanya kembali"
"Seseorang yang dalam keadaan putus asa, baik pikirannya maupun keberaniannya jadi
melemah. Aku rasa dalam keadaan bingung kau bertemu dengan Toa Tocu, kemudian
dengan kata-katanya yang manis dia merayu dirimu agar kau terpengaruh untuk berpihak
padanya. Tentunya dalam keadaan seperti dirimu saat itu, tanpa berpikir panjang lagi kau
segera terbujuk untuk menuruti apa yang dikatakannya, betul bukan?"
Siapa nyana Kiau Hun malah tertawa sumbang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dalam keadaan sebatang kara dan tidak ada yang dapat diandalkan, mungkin orang
lain akan merasa putus asa dan memilih jalan pendek. Tetapi aku bukan orang seperti itu,
justru kemauanku untuk hidup semakin kuat, karena aku ingin membalas dendam. Apa
yang tidak dapat diperoleh oleh orang lain, aku malah harus mendapatkannya. Perlu kau
ketahui bahwa aku diusir dari pintu perguruan oleh Ciu Cang Po, justru karena derajatku
yang rendah dan tidak berharga setengah keping uangpun baginya. Dengan membawa
perasaan hati yang pesimis serta pedih, aku berkelana seorang diri. Diam-diam aku
bersumpah dalam hati bahwa aku rela mengorbankan apapun untuk mendapat kedudukan
yang tinggi dan harus sanggup mengangkat derajatku sendiri, agar orang-orang yang
pernah menghina aku atau orang yang menganggap rendah diriku tahu siapa diriku ini
sebenarnya. Ketika mula-mula bertemu dengan Toa Tocu dari Lam Hay Bun, aku hanya
mencoba-coba peruntunganku saja. Sebab aku tahu bahwa manusia seperti dia justru
merupakan pasangan yang paling ideal bagi diriku. Dia dapat memberiku segala hal yang
kuinginkan. Tetapi kejadiannya justru jauh berbeda dengan apa yang kau bayangkan.
Bukannya dia yang merayu diriku atau mempengaruhi diriku agar bersedia memihak
kepadanya. Malah aku yang bersandiwara di hadapannya sehingga dia menaruh perasaan
iba. Dengan tidak berpikir panjang, aku mengorbankan kecantikan serta kesucian-ku agar
dirinya terpikat. Akhirnya dia benar-benar tertarik pada diriku dan mengajarkan aku
berbagai ilmu yang tinggi dalam waktu tiga hari tiga malam. Belakangan aku malah
diangkat menjadi selir kesayangannya?"
Wajah orang-orang yang hadir di dalam ruangan itu langsung berubah hebat
mendengar keterangannya. Bahkan Tan Ki sendiri juga tidak menyangka dia akan seberani
itu mengatakan hal yang sebenarnya. Tidak dapat ditahan lagi dia jadi tertegun sekian
lama. Diam-diam dia merasa khawatir. Tampak orang-orang yang hadir di tempat itu
saling berbisik satu dengan lainnya. Suasana semakin tidak beres dan jauh dari
harapannya. Oleh karena itu dia segera menggebrak meja keras-keras, begitu kencangnya
sehingga meja bergetar hebat dan cawan-cawan yang ada di atasnya terbang melayang
tinggi. "Aku hanya menyuruh kau menganggukkan kepala dan menggeleng, tidak perlu banyak
omong. Sekarang kau malah berani mengoceh panjang lebar di hadapanku. Mana orang"
Harap beri tamparan dua kali biar dia tahu rasa!" bentaknya.
Wajah Kiau Hun semakin dingin mendengar ucapannya. Bibirnya malah mengeluarkan
suara tawa terkekeh-kekeh. "Jalan darahku toh telah tertotok, tenaga dalam tidak dapat dikerahkan sedikitpun.
Jangan kata hanya ditampar, biar dibunuh sekalipun, aku juga tidak dapat memberikan
perlawanan. Memangnya kau kira perbuatanmu itu gagah sekali?"
Hati Tan Ki semakin tertekan melihat keberanian Kiau Hun. Tadinya dia memang
sengaja menyuruh orang menempeleng pipinya agar kemarahan para hadirin yang
mendengar ceritanya agak reda. Perlahan-lahan dia baru mencari akal menolong gadis itu.
Siapa sangka Kiau Hun sama sekali tidak mengerti maksud hati Tan Ki. Dia kira anak muda
itu sengaja menghinanya di depan orang banyak. Akhirnya Tan Ki jadi serba salah. Belum
lagi dia sempat mengatakan apa-apa, tiba-tiba telinganya mendengar suara dengusan
dingin. Kumandangnya menggidikkan hati sehingga orang yang mendengarnya seperti
diguyur air dingin. Begitu pandangan matanya beralih, dia melihat Ciu Cang Po melesat ke
depan secepat kilat dan berhenti di hadapan Kiau Hun.
"Kalau kau memang sudah kepingin mati, si nenek tua akan mengabulkan
permintaanmu!" bentaknya marah.
Lengannya yang kurus kering terjulur keluar dan sebuah pukulan dihantamkannya ke
dada Kiau Hun. Tampak Kiau Hun memejamkan matanya menunggu kematian. Tiba-tiba dia merasa
ada serangkum angin yang kencang melanda sampingnya. Tahu-tahu pukulan yang
dilancarkan oleh Ciu Cang Po tertahan bahkan tubuhnya sampai tergetar oleh rangkuman
angin yang kencang tadi. Telinganya mendengar suara seseorang yang bening dan lantang, "Harap Locianpwe
jangan turun tangan sembar angan!"
Hati Ciu Cang Po terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia menarik kembali serangannya
lalu mencelat mundur ke belakang. Dia menolehkan kepalanya melihat, rupanya orang
yang bersuara tadi justru Bengcu yang baru terpilih, Tan Ki.
Meskipun namanya sudah jauh lebih lama terkenal dari pada anak muda itu, tetapi dia
sadar bahwa Tan Ki menemukan berbagai keajaiban sehingga ilmunya tinggi sekali. Malah
kalau ditilik dari keadaannya sekarang, mungkin ilmu Tan Ki sudah jauh lebih hebat dari
dirinya. Meskipun wataknya sangat picik dan tidak pernah mau mengalah kepada
siapapun, tetapi untuk saat ini dia juga tidak berani mengumbar adatnya yang keras
kepala. Apalagi Tan Ki sudah menjabat sebagai Bulim Bengcu yang harus dihormati, oleh
karena itu tampak nenek tua itu tertawa sumbang lalu berkata, "Tindakan apa yang akan
diambil oleh Bengcu?" Tan Ki tersenyum lebar. "Kita toh belum berhasil mengetahui di mana dia menyimpan obat penawar racun itu.
Harap kau jangan mengganggu dia lebih dahulu."
Ciu Cang Po melihat Tan Ki dapat melancarkan serangan tetapi orangnya sendiri
langsung mengikuti di belakang pukulannya. Kecepatan serangan yang dilancarkan oleh
anak muda itu belum tentu dapat dilakukan orang lain. Diam-diam hatinya tergetar dan
kemudian mengundurkan diri dengan perasaan apa boleh buat.
Tan Ki melihat pandangan mata orang-orang gagah saat itu tertumpu pada diri Ciu
Cang Po, cepat-cepat dia berkata dengan suara lirih, "Apabila kau mempunyai obat
penawar itu, cepat keluarkan. Aku akan mencari akal menolongmu terlepas dari kesulitan
ini." Mata Kiau Hun menyorotkan kepedihan hatinya. Bibirnya mengembangkan seulas
senyuman yang pilu. "Biarpun ada, asal kau membuka mulut memohon kepadaku, pasti akan kuserahkan
kepadamu." Tan Ki menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras.
"Aih, kau ini memang tidak mengerti perasaan orang"!" tiba-tiba suatu ingatan
melintas di benaknya. Dia segera merubah pokok pembicaraannya. "Aku tahu Oey Ku
Kiong sudah lama jatuh hati padamu, mungkin dia juga tahu persoalan ini dan merasa
sedih karenanya." Mendengar kata-katanya, bibir Kiau Hun mencibir seakan mengejek.
"Apapun yang dia lakukan, aku toh tidak pernah memaksanya. Tetapi perlu kau ketahui
bahwa aku tidak tertarik sedikitpun kepadanya, meskipun untuk mengambil hatiku dia rela
mengorbankan apa saja dan berani menempuh segala kesulitan serta selalu memikirkan
keselamatan diriku. Ditilik dari luar, dia memang seorang pemuda yang romantis.
Bodohnya sampai patut dikasihani, tetapi sebetulnya orang seperti dia itulah yang
dinamakan sudah tahu malah mencari kesulitan untuk diri sendiri. Aku justru memegang
kelemahannya dan memperalat dia untuk sementara waktu. Apabila pihak Lam Hay
berhasil menguasai Tionggoan, maka aku tidak memerlukan dirinya lagi, pada saat itu aku
akan menyepaknya jauh-jauh. Obat penawar dari racun Cairan Ular yang berharga itu,
mana mungkin aku serahkan kepada orang seperti dia?"
Hati Tan Ki sampai tercekat mendengar kata-katanya. "Sungguh keji perempuan
ini."pikirnya diam-diam. Kiau Hun melihat sepasang alis Tan Ki terus berkerut, dia mengira hati anak muda itu
sedih memikirkan obat penawar yang tidak berhasil didapatkannya. Oleh karena itu, dia
malah mengembangkan seulas senyuman yang santai.
"Bersedih terus juga percuma saja, obat penawar dari racun Cairan Ular hanya dimiliki
oleh Toa Tocu seorang, percuma kau menguras otakmu sedemikian rupa!"
Mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam.
"Biar bagaimana aku merupakan Bulim Bengcu zaman ini. Apakah aku melihat orangorangku
mati keracunan begitu saja tanpa berusaha sedikitpun?" bentaknya marah. Dalam
keadaan kesal, kesadarannya jadi terganggu, tanpa terasa kata-katanya itu diucapkan
dengan nada keras. Diam-diam hati Kiau Hun tergetar. Dia seperti seorang yang menerima hinaan berat. Air
matanya langsung mengalir dengan deras.
"Orang-orang yang keracunan, tidak mungkin bisa bertahan sampai esok hari.
Meskipun sekarang ada orang yang berangkat ke Lam Hay secepatnya untuk mencuri obat
penawar itu, dalam satu hari juga tidak mungkin sanggup menempuh perjalanan sejauh
itu." Sepasang mata Tan Ki memandang Kiau Hun dengan mendelik. Setelah menatap
sekejap, tiba-tiba dia menarik nafas panjang. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dia
bukan sedang memikirkan cara menyelamatkan orang-orang yang keracunan. Tetapi
merasa tidak berdaya menghadapi Kiau Hun yang keras kepala itu.
Justru ketika dia masih merasa serba salah, entah siapa tiba-tiba berteriak dengan
suara keras, "Kalau memang tidak dapat memperoleh obat penawar dari diri perempuan
itu, membiarkan dia hidup hanya meninggalkan bencana di kemudian hari. Lebih baik
bunuh saja sekalian membalaskan dendam kematian rekan-rekan kita!"
Seseorang yang lain langsung menukas ucapan orang yang pertama tadi"
"Watak perempuan itu sungguh keji. Dengan tenang dia sanggup meracuni orang
sebanyak ini. Benar-benar lebih beracun dari ular berbisa, lagipula membuat orang tidak
merasa iba sedikitpun terhadapnya. Cayhe mohon Bengcu mengambil keputusan yang
tegas, jangan sampai menimbulkan penyesalan di kemudian hari"!"
Satu dua orang buka mulut, yang lain ikut menyambar. Saat itu suasana di dalam
ruangan menjadi bising. Terdengar suara setuju dari kanan kiri.
Melihat keadaan ini, hati Tan Ki semakin tertekan. Dia mulai merasa bahwa keadaan
Kiau Hun semakin lama semakin membahayakan. Tanpa sadar dia memandang Yibun Siu
San, Cian Cong serta si tokoh sakti dari Bu Tong San, yakni Tian Bu Cu dengan mata
mengandung permohonan agar mereka memberikan jalan keluar kepadanya. Siapa nyana
mereka malah memejamkan matanya rapat-rapat seakan tidak bersedia ikut campur
dalam urusan ini. Oleh karena itu, dia segera menarik nafas panjang-panjang dan ikut
memejamkan matanya merenung. Dia baru diangkat menjadi Bulim Bengcu, dengan demikian juga ia sadar bahwa dirinya
harus menggunakan akal sehat menangani masalah ini. Dia harus mengambil keputusan
tegas sehingga orang-orang yang hadir dalam ruangan itu dapat merasa puas.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, mendadak dia membuka matanya kembali,
sikapnya serius dan wajahnya tampak kelam. Dia menepukkan tangannya tiga kali agar
para hadirin menghentikan pembicaraan mereka. Kemudian tampak dia mengangkat
telapak tangan kanannya dan berhenti di atas kepala Kiau Hun kurang lebih tiga mistar.
Diam-diam dia telah mengerahkan dua bagian tenaga dalamnya dan siap-siap dilancarkan.
Tenaga dalam Tan Ki saat ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Asal menggunakan
sedikit kekuatannya saja, bagian otak Kiau Hun pasti akan tergetar dan mati seketika.
Begitu melihat Tan Ki mengangkat tangannya dan berhenti di atas kepala Kiau Hun,
suara bisikan maupun pembicaraan berhenti seketika. Suasana menjadi hening serta
mencekam. Semua mata terpusat pada diri kedua orang itu dan menunggu dengan hati
tegang. Mereka membuka mata lebar-lebar seakan takut hilang kesempatan menyaksikan
kejadian besar ini. Bahkan saking tegangnya mereka sampai menahan nafas sekian lama.
Keringat dingin juga mulai membasahi wajah Tan Ki. Hatinya bimbang bukan main. Dia
merupakan seorang pemuda yang mempunyai sifat welas asih. Apabila orang meminta dia
membunuh seorang gadis yang tidak sanggup memberikan perlawanan, sebenarnya tidak
sampai hati dia melakukannya. Tetapi karena keadaan yang mendesak, lagipula sebagai
seorang Bengcu dia harus bertindak tegas, terpaksa dia harus turun tangan dengan keras
agar hati orang-orang yang hadir dalam ruangan itu merasa puas.
Dua macam pemikiran yang bertentangan terus berkecamuk dalam hatinya.
Perasaannya semakin lama semakin gelisah. Serangkum rasa pedih menyelinap dalam
kalbunya "dan untuk sesaat dia tidak sanggup turun tangan"
Tiba-tiba Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat. Hatinya dikeraskan dan siap-siap
turun tangan" Sekonyong-konyong telinganya mendengar suara Kiau Hun yang sendu, "Tan Koko,
benarkah kau tega membunuh diriku?"
Beberapa patah kata yang tercetus dari mulutnya itu benar-benar keluar dari hatinya
yang tulus. Setiap kalimatnya diucapkan dengan nada yang panjang ditambah lagi dengan
wajahnya yang basah oleh air mata. Tampangnya sungguh mengenaskan dan
mengandung daya tarik seorang wanita yang dalam.
Setelah mendengar nada suaranya yang sendu, dadanya seperti ditinju keras-keras oleh
seseorang. Tubuhnya bergetar hebat sehingga tenaga dalam yang sudah dikerahkan serta
siap dilancarkan seakan tertahan oleh suatu kekuatan yang tidak berwujud. Tanpa terasa
telapak tangannya merenggang dan dia malah memandang Kiau Hun dengan termangumangu.
Suara Kiau Hun yang lembut kembali mendengung di telinganya"
"Boleh dibilang hari ini aku baru benar-benar mengenal siapa dirimu. Lucunya selama
ini aku terus mencintaimu dengan sepenuh hati. Sudah salah tafsir, masih begitu bodoh
sehingga apapun yang kau katakan, aku menaruh kepercayaan sepenuhnya." suaranya
yang tadi begitu lembut semakin lama semakin dingin dan datar.
Perasaan Tan Ki jadi bergejolak mendengarkan kata-katanya, tanpa sadar dia malah
menarik kembali telapak tangannya. Kiau Hun melihat Tan Ki mulai terpengaruh oleh kata-katanya, tentu saja diam-diam
merasa senang. Asal dia terus mempengaruhi anak muda itu, mungkin tidak sulit baginya
untuk meloloskan diri dari tempat tersebut.
Sayangnya seluruh tenaga dalamnya saat itu sudah lenyap sehingga dia tidak dapat
mengerahkan ilmu Pembetot Sukmanya untuk memikat Tan Ki"
Justru ketika pikirannya masih melayang-layang, tiba-tiba dia melihat wajah Tan Ki
perlahan-lahan mulai berubah. Sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam. Tanpa
terasa hatinya jadi tercekat. Pada saat itu juga dia merasa ada serangkum tenaga yang
menekan dari atas kepala. Kali ini rasa terkejutnya benar-benar tidak terkirakan, tubuhnya
bergetar bagai disambar kilat dan bagian kepalanya langsung terasa gatal. Dia maklum
Tan Ki hanya mengerahkan dua tiga bagian tenaganya, tetapi apabila dihantam ke ubunubun
kepalanya, cukup untuk membuat jiwanya melayang. Apalagi jalan darahnya dalam
keadaan tertotok, tubuhnya tidak dapat bergerak sedi-kitpun. Oleh karena itu terpaksa dia
memejamkan matanya menunggu kematian.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara benturan yang keras. Dua rangkum tenaga
beradu di atas kepalanya. Kekuatannya demikian dahsyat sehingga rambut Kiau Hun
terurai dan melambai-lambai. Kemudian dia mendengar suara kibaran pakaian, tanpa dapat mempertahankan diri lagi
dia membuka sepasang matanya. Dia melihat Oey Ku Kiong tergetar oleh tenaga dalam
Tan Ki yang kuat sehingga kakinya menjadi goyah dan tubuhnya terhuyung-huyung
mundur ke belakang dua langkah. Oey Ku Kiong tiba-tiba turun tangan menolong Kiau Hun, benar-benar merupakan hal
yang tidak diduga-duga oleh Tan Ki. Dia melihat wajah anak muda itu menyiratkan
kepedihan, namun tidak mengandung niat jahat sedikitpun. Kesannya terhadap Oey Ku
Kiong memang cukup baik. Setelah termangu-ma-ngu beberapa saat, ternyata dia tidak
sanggup marah kepada anak muda ini. Terdengar dia berbicara dengan nada yang berat,
"Apa yang dikatakan oleh perempuan ini tadi merupakan ucapan yang keluar dari hatinya
yang paling dalam. Dia begitu memandang rendah Oey Ku Kiong dan menghinamu
sedemikian rupa, mengapa kau masih berusaha menolong dirinya?"
Oey Ku Kiong langsung menjura dalam-dalam. Tampak dia tertawa getir.
"Perasaan cinta memang selalu menjerat manusia dalam perangkapnya. Sedangkan
orang yang sudah terjerat sulit lagi apabila ingin melepaskan diri. Karena hengte sudah
jatuh cinta kepadanya, terpaksa menerima dia apa adanya. Baik atau jahat, untuk
selamanya hati ini tidak akan berubah. Meskipun hente sudah tahu bahwa diri ini hanya
bertepuk sebelah tangan dan hanya menjadi permainannya saja, tetapi perasaan hati ini
tetap tidak bisa melupakan dirinya?" jiwanya bagai terkena pukulan bathin yang berat.
Kata-katanya lebih mirip gumaman. Rasanya apabila diteruskan hanya merendahkan
derajatnya sendiri. Oleh karena itu dia hanya tertawa sumbang dan membungkam seribu
bahasa. Tampak Tan Ki menarik nafas dalam-dalam.
"Kau benar-benar bodoh sekali. Sudah tahu lubang di depan mata, masih rela terjun ke
dalamnya. Tampaknya sampai matipun perasaanmu tidak dapat dirubah lagi."
"Pandangan hidup setiap orang memang berbeda-beda. Meskipun hengte bukan orang
baik-baik, tetapi mendengar ucapan Tan-heng tadi, hati ini benar-benar terhibur. Justru
karena kau sudi memaki diriku sedemikian rupa, hal ini membuktikan bahwa kau


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggap aku seperti saudaramu sendiri."
Tan Ki mengulapkan tangannya menghentikan kata-kata Oey Ku Kiong.
"Katakanlah apa yang tersimpan dalam hatimu sekarang ini."
Rahasia hati Oey Ku Kiong bagai tersingkap oleh Tan Ki. Wajahnya menjadi merah
padam. Cepat-cepat dia mengangkat lengan bajunya menutupi mulut dan mengeluarkan
suara batuk-batuk kecil. Setelah itu dia baru berkata, "Tentunya Tan-heng sudah tahu
perasaan hati hengte yang masih mengkhawatirkan diri Ceng Kouwnio. Hengte rasa
apabila dia sanggup memasukkan racun ke dalam arak, tentu dia juga mempunyai akal
untuk mendapatkan obat penawarnya. Harap Tan-heng ajukan syarat sebagai
pembebasan dirinya, biar hente yang menggantikannya menjadi sandera Tan-heng."
Mendengar kata-katanya, Tan Ki merasa tercekat. Diam-diam dia berpikir dalam
hatinya: "Apa maksud ucapannya ini" Terang-terangan kau ingin aku mewujudkan
harapanmu yang rela berkorban demi menukar selembar nyawa Kiau Hun. Apakah dia
akan kembali membawa obat penawar atau tidak, tentu kau tidak memusingkannya sama
sekali?" Pikirannya bagai kincir angin yang terus berputar. Belum sempat dia membuka suara,
tiba-tiba tampak Liu Seng berdiri dari temoat duduknya kemudian menukas, "Dengardengar
kau adalah putra angkat Oey Kang, bukan?"
Oey Ku Kiong membalikkan tubuhnya dan menjura dalam-dalam.
"Boanpwe memang putranya." sahutnya sopan.
Liu Seng mengeluarkan suara dengusan perlahan. Wajahnya menunjukkan perasaan
kurang senang. "Apakah kau tahu jejak ayahmu akhir-akhir ini?"
Oey Ku Kiong menarik nafas panjang.
"Gi-hu mempunyai pandangan hidup tersendiri. Kalau tidak salah dia sudah bergabung
dengan pihak Lam Hay?" "Itu dia". kalau Oey Kang memegang peranan penting karena bergabung dengan Lam
Hay Bun, sedangkan kau mempunyai hubungan sebagai anak dan ayah dengannya. Tentu
dia tidak akan turun tangan keras terhadapmu. Apabila kau ingin menolong nona Ceng,
lebih baik kau saja yang diutus ke Lam Hay Bun untuk mendapatkan obat penawar.
Sebelum racun dalam tubuh rekan-rekan kami bereaksi, dan kau dapat kembali tepat pada
waktunya, selembar jiwa nona Kiau Hun pasti masih dapat dipertahankan. Apabila kau
ingin menggantikan kedudukan nona Kiau Hun, hal ini sama sekali tidak boleh terjadi!"
kata Liu Seng dengan nada tegas. Kata-kata yang diucapkannya persis seperti sebatang paku yang dipantekkan dalamdalam
pada dinding batu. Biar bagaimana tidak bisa dirubah kembali. Diam-diam hati Oey
Ku Kiong tergetar. Dia menundukkan kepalanya merenung sejenak. Kemudian tampak dia
menggertakkan giginya erat-erat dan wajahnya menunjukkan bahwa dia sudah mengambil
keputusan yang bulat. "Hengte rela menempuh bahaya mencobanya. Tetapi harap sebelum matahari terbit,
apabila aku berhasil, aku masih sempat melihat wajah nona Ceng dalam keadaan hidup!"
sembari berkata, matanya yang mengandung kasih sayang melirik Kiau Hun sekilas.
Kemudian dia menghentakkan kakinya di atas tanah, kemudian membalikkan tubuh
meninggalkan tempat itu. Kiau Hun melihat anak muda itu tidak memperdulikan mati hidupnya sendiri berusaha
menolong jiwanya. Hatinya merasa terharu sekali. Bibirnya bergerak-gerak seakan ingin
memanggil Oey Ku Kiong untuk menghiburnya beberapa patah kata. Tiba-tiba dia seperti
mengingat suatu masalah yang penting sekali sehingga mendadak wajahnya berubah
datar dan mulutnya mengeluarkan suara tertawa dingin. Dia tidak jadi memanggil anak
muda itu. Suasana di dalam ruangan itu semakin mencekam.
Liu Seng menunggu sampai bayangan punggung Oey Ku Kiong sudah menjauh, diamdiam
dia mempersiapkan sebatang pisau terbang dalam genggaman tangannya. Kemudian
terdengar dia memanggil, "Anak Ki, kemarilah sebentar."
Tan Ki segera mengiakan dan berlari ke arahnya.
Baru saja kakinya maju ke depan beberapa langkah, sekonyong-konyong dia melihat
tangan kanan mertuanya mengibas keluar, cahaya dingin memijar sehingga membentuk
carikan sinar berwarna keputih-putihan dan melesat secepat kilat. Tanpa dapat ditahan
lagi dia jadi tertegun. Justru ketika dia menolehkan kepalanya untuk melihat lebih jelas, tiba-tiba telinganya
mendengar suara jeritan yang menyayat hati. Dia melihat sepasang alis Kiau Hun
mengerut dengan ketat. Sepasang tangannya mendekap dada, wajahnya menyiratkan
penderitaan yang tidak terkirakan. Rupanya di tengah-tengah jantung Kiau Hun saat itu
sudah menancap sebatang pisau terbang. Yang terlihat hanya gagangnya yang berukuran
dua cun. Darah mengalir dengan deras dari tangkai pisau itu kemudian menetes
membasahi tanah. Mula-mula Tan Ki terkejut setengah mati. Sesaat kemudian dia baru mengerti maksud
hati mertuanya. Rupanya orang itu takut tindakannya akan dicegah oleh Tan Ki apabila
anak muda itu tetap berdiri di samping Kiau Hun. Dengan ketinggian ilmu yang dimilikinya
saat itu, kemungkinan tersebut bisa saja terjadi. Oleh karena itu, dia pura-pura
memanggilnya. Ketika Tan Ki melangkah ke depan dan perhatiannya terpencar, dia
menimpukkan pisau terbang yang sudah dipersiapkannya dan dengan tepat menembus
jantung Kiau Hun. Melihat darah segar berceceran di atas tanah, hatinya merasa pedih
tidak terkatakan. Kalau kedudukannya sekarang bukan seorang Bulim Bengcu, rasanya dia
ingin menghambur ke dekat Kiau Hun dan menangis sepuas-puasnya. Hal ini bukan karena
Tan Ki menyayangkan kematian Kiau Hun.
Tetapi dia merasa bersalah terhadap Oey Ku Kiong, apalagi dia belum sempat
membalas budi yang ditanamkan gadis itu pada dirinya"
Dengan susah payah Tan Ki menahan air matanya yang hampir mengalir turun.
Orangnya sendiri seperti sebuah patung batu dan memandang Kiau Hun dengan
termangu-ma-ngu. Tidak sepatah katapun terucap dari mulutnya.
Saat itu wajah Kiau Hun sudah berubah pucat pasi, tubuhnya terhuyung-huyung. Dia
berusaha mempertahankan dirinya, tapi keadaannya sudah seperti lampu yang hampir
kehabisan minyak. Tan Ki melihat bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan
sesuatu. Namun dia sudah lemah sekali, untuk sesaat dia tidak sanggup membendung
keperihan hatinya, kakinya langsung melangkah ke depan menghampiri Kiau Hun.
Tangan kanan Tan Ki terulur ke depan meraih pinggang Kiau Hun. Dalam waktu yang
bersamaan dia berkata dengan suara lirih, "Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan?"
Sepasang mata Kiau Hun yang mulai redup membuka dan menatapnya sejenak.
Kemudian dia memejamkan matanya kembali, bibirnya bergerak-gerak beberapa kali
akhirnya terdengar juga suaranya yang seperti dengungan nyamuk.
"Pertikaian Cin merupakan takdir, daun Tong rontok sedikit" de" mi" se" di" kit?"
entah apakah ucapannya hanya demikian saja atau masih ada kelanjutannya. Tetapi
kepala Kiau Hun tiba-tiba terkulai dan jiwanya pun melayang.
Dengan mata tidak berkedip sedikitpun Tan Ki melihat seorang gadis cantik mati dalam
pelukannya, tiba-tiba hidungnya terasa perih dan air matanya jatuh bercucuran.
Perlahan-lahan dia meletakkan mayat Kiau Hun di atas tanah, kemudian
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Ini merupakan penghormatan dari hatinya yang
paling dalam sebagai tanda penyesalan dirinya.
Orang-orang yang hadir di dalam ruangan itu juga merasa iba melihat nasib gadis itu.
Wajah mereka tampak kelam. Perih dan sesal membaur dalam hati mereka. Bahkan Yibun
Siu San, Cian Gong serta Tian Bu Cu yang mempunyai kekerasan hati melebihi orang lain
juga berubah mimik wajah mereka. Suasana dalam ruangan itu demikian mencekam, kematian
Kiau Hun yang mengenaskan itu tampaknya menimbulkan kepiluan yang tidak
terkirakan. Sekali lagi Tan Ki menarik nafas panjang. Baru saja dia ingin memanggil beberapa
orang untuk mencari tempat yang tenang untuk mengubur mayat Kiau Hun, tiba-tiba
suatu ingatan melintas di benaknya. Mendadak dia ingat bahwa kata-kata yang diucapkan
Kiau Hun menjelang akhir hidupnya pernah didengarnya dan juga merupakan syair yang
menghalau Cia Tian Lun pergi meninggalkan mereka. Hatinya sadar bahwa syair itu
merupakan pesan yang dititipkan kepada ibunya oleh kakak beradik Cin Ying dan Cin Ie.
Meskipun tidak persis sama, tetapi makna yang terkandung di dalamnya hampir serupa.
Tentu saja Tan Ki tidak mengerti apa maksudnya. Hanya hatinya merasa heran mengapa
menjelang akhir hidupnya Kiau Hun bisa mengucapkan kata-kata itu. Oleh karena itu,
pandangan matanya langsung ditujukan kepada kakak beradik Cin yang berdiri di belakang
ibunya. Bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian
dibatalkannya kembali. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendatangi dengan tergesa-gesa. Seorang
penjaga menghambur masuk ke dalam ruangan dan berhenti di hadapan Tan Ki.
Kemudian orang itu menekuk sebelah kakinya dan memberikan laporan"
"Regu depan melaporkan, bagian timur dan selatan sudah terlihat munculnya jejak
musuh. Harap Bengcu segera menurunkan perintah!"
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas.
"Bagus sekali! Mereka tidak perlu makan dan beristirahat lagi langsung datang
menyerbu?" tangannya mengibas sebagai isyarat agar penjaga itu mengundurkan diri.
Kemudian dia berjalan perlahan-lahan ke tempat duduknya semula.
Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu melihat dia tidak mengucapkan sepatah
kata-pun dan menundukkan kepalanya merenung. Mereka tahu bahwa saat itu dia sedang
menguras otaknya memikirkan cara menghadapi musuh. Oleh karena itu, mereka
menahan nafas dan tidak berani bergerak sedikitpun. Mereka menunggu keputusan yang
akan diambil oleh Tan Ki. Orang-orang itu tahu bahwa Tan Ki mempunyai otak yang
sangat cerdas, tetapi kali ini mereka menghadapi musuh yang tangguh dari pihak Lam Hay
dan Si Yu. Seandainya terjadi kesalahan sedikit saja, maka seluruh pasukan akan
terpengaruh. Pertumpahan darah akan terjadi secara mengerikan. Hal ini menyangkut
seluruh dunia Bulim sehingga diam-diam hati mereka merasa tegang sekali.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, tiba-tiba Tan Ki mendongakkan wajahnya
dan menarik nafas panjang-panjang. Dia seakan melampiaskan kekesalan dan
kegundahan hatinya. Semangatnya seperti terbangkit kembali. Orangnya sendiri langsung
berdiri. "Para Jendral di zaman dahulu mempunyai sebuah pedoman: "Air datang, tanah
menghadang. Prajurit datang, Jendral menantang!" Perkumpulan Ikat Pinggang Merah
mewakili golongan hitam dan putih dari dunia Bulim. Dengan demikian kita harus
menghadapi gabungan pihak Lam Hay dan Si Yu. Meskipun kekuatan musuh di depan
mata lebih kuat dari kita, tetapi pertarungan ini menyangkut nasib seluruh Bulim kita. Aku
rasa saudara-saudara sekalian dapat bersatu menghadapi musuh-musuh yang tangguh
ini." Terdengar sahutan serentak dari orang-orang yang hadir di dalam ruangan tersebut.
"Kami rela menerima perintah Bengcu dan bersatu menghadap musuh-musuh yang
ingin menanamkan kekuasan di daerah Tionggoan kita."
Tan Ki tertawa lembut. "Kalau begitu hatiku baru merasa tenang. Meskipun kekuatan kita kalah banyak, tetapi
semangat kita jauh melebihi mereka. Demi kesejahteraan dunia Bulim kita di masa yang
akan datang, setiap tetes darah harus mengalir dengan imbalan yang sesuai." dia
menghentikan kata-katanya sejenak, baru kemudian melanjutkan kembali. "Ada suatu
berita lainnya yang harus kusampaikan terlebih dahulu kepada saudara-saudara sekalian.
TianlBu Cu Locianpwe tadi mengatakan kepadaku bahwa lima partai besar sudah tahu
golongan sesat dari luar samudera akan menyerbu kita. Asal kita bersatu dengan segenap
kemampuan serta mempertahankan diri sampai besok siang, maka para ketua, pimpinan
maupun angkatan tua dari lima partai besar akan keburu sampai di sini memberikan
bantuan." berkata sampai di sini, tiba-tiba suatu ingatan melintas di benaknya. Tanpa
sadar sepasang alisnya berkerut, ucapannya terhenti. Wajahnya menunjukkan
perasaannya yang gundah. Tiba-tiba terdengar suara tambur dipukul bertalu-talu, kemudian disusul dengan
tepukan tangan yang riuh rendah. Rupanya orang-orang yang hadir menyambut ucapan
Tan Ki dengan riang gembira. Semangat mereka juga terbangkit seketika. Mereka malah
tidak memperhatikan mimik. wajah Tan Ki yang aneh.
Liang Fu Yong mempunyai sepasang mata yang tajam. Dia sangat mencintai Tan Ki
sehingga selalu memperhatikan gerak-gerik anak muda tersebut. Melihat wajah anak
muda itu mendadak berubah kelam, dia langsung teringat suatu rahasia yang besar.
Ketika baru terjun ke dunia Kangouw, boleh dibilang secara berturut-turut Tan Ki
membunuh dua puluh tujuh tokoh hitam putih dunia Bulim. Kemudian dirinya malah
sempat bertikai dengan orang-orang dari pihak lima partai besar. Setelah lewat satu tahun
dia baru tahu bahwa pembunuh ayahnya yang sebenarnya adalah paman keduanya, Oey
Kang. Tetapi dia sudah terlanjur membunuh sekian banyak orang, hatinya menyesal
sekali. Orang-orang yang mati di tangannya hanya tahu bahwa dirinya adalah Cian Bin Moong,
si raja iblis yang menggemparkan dunia Kangouw.
Meskipun sampai hari ini rahasianya masih belum terbongkar, tetapi hati kecilnya terus
merasa bersalah. Dia selalu merasa tidak tenang. Oleh karena itu, setiap hal yang
dilakukannya selalu mengandung kebimbangan. Begitu tahu bahwa tidak lama lagi dia
akan berhadapan dengan orang-orang dari lima partai besar, hatinya menjadi agak kecut.
Apalagi dirinya terus digelayuti kisah asmara yang melibatkan beberapa orang gadis.
Meskipun Tan Ki adalah seorang pemuda yang cerdas, tetapi dalam waktu yang
bersamaan harus menghadapi begitu banyak persoalan, pikirannya menjadi galau juga.
Justru ketika pikiran Liang Fu Yong melayang-layang dan hatinya merasa gelisah. Tibatiba
telinganya menangkap suara Tan Ki yang sengaja dicetuskan seriang mungkin.
"Baru saja Perkumpulan Ikat Pinggang Merah kita didirikan, ternyata kita sudah harus
menghadapi cobaan yang demikian berat. Satu tangan tentu sulit melakukan pekerjaan
yang banyak. Aku harap saudara dapat bersatu menghadapi musuh, dengan demikian
baru kita menjadi kuat." Meskipun hatinya sedang gelisah, tetapi di hadapan sekian banyak anggota
Perkumpulan Ikat Pinggang Merah, dia terpaksa menunjukkan sikapnya yang optimis dan
gagali. Dia harus menjaga wibawanya sebagai seorang Bulim Bengcu. Selesai berkata, dia
langsung melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut.
Terdengar suara dorongan meja dan kursi yang membisingkan telinga. Rupanya saat
itu orang-orang yang ada dalam ruangan berdiri dari tempat duduknya serentak dan
mengikuti Tan Ki berjalan keluar. Dalam waktu yang singkat, ruangan yang tadinya penuh
sesak jadi kosong melompong. Hanya ada sesosok mayat yang mulai mendingin
menggeletak di atas tanah" Sukma seseorang telah meninggalkan raganya dan kembali ke alam asalnya. Orangorang
yang melihatnya segera timbul rasa pilu yang tidak terkirakan"
Beberapa saat kemudian, Tan Ki membawa orang orang yang terdiri sebagai anggota
perkumpulannya menuju pintu gerbang. Begitu pandangan matanya mengedar, dia
melihat suasana di sekitarnya sunyi senyap. Sama sekali tidak terlihat jejak musuh. Ketika
mengedarkan pandangannya, Tan Ki sempat melirik sekilas kepada Liu Seng.
Meskipun mulutnya tidak mengatakan apa-apa, tetapi diam-diam dia sudah mengambil
sebuah keputusan dalam hati. Dia seakan menyalahkan Liu Seng yang tanpa meminta
persetujuannya lagi langsung membunuh Kiau Hun dengan pisau terbang. Apabila Oey Ku
Kiong yang menempuh bahaya mengambil obat penawar dapat kembali tepat pada
waktunya dan berhasil, bagaimana dia harus menyatakan tanggung jawabnya"
Ketika pertama-tama menerima jabatan sebagai Bulim Bengcu, dia sudah menentukan
bahwa "Harus menjaga kepercayaan orang lain dan menepati janji" sebagai peraturan
ketiga yang tidak boleh dilanggar. Ternyata belum satu hari saja, Liu Seng sudah
melanggar peraturan tersebut. Hal ini justru membuat Tan Ki jadi serba salah dan tidak
tahu apa yang harus dilakukannya. Perlu diketahui bahwa Tan Ki sekarang merupakan seorang Bulim Bengcu. Baik
perkataan maupun tindak tanduknya mempunyai pengaruh yang besar terhadap dunia
Bulim. Dia harus bersikap tegas agar para anggotanya benar-benar takluk dan tidak
memilih kasih. Sekarang dengan seenaknya Liu Seng melanggar peraturan yang
ditentukan. Sudah seharusnya Tan Ki memberi hukuman kepadanya agar yang lain tidak
ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Tetapi justru hubungannya dengan orang itu
merupakan mertua dan menantu" Semakin dipikirkan hati Tan Ki semakin kesal. Dia merasa pikirannya saat itu seperti
buntu dan tidak dapat menentukan jalan yang harus dipilihnya. Kalau Oey Ku Kiong tidak
berhasil mendapatkan obat penawar, mungkin urusannya tidak begitu rumit. Namun
nyawa para anggotannya yang sedang sekarat?" Mungkin lebih baik kalau Oey Ku Kiong
berhasil mendapatkan obat penawar tetapi waktunya lebih dari batas yang telah
ditentukan, dengan demikian dia masih dapat mengemukakan berbagai alasan"
Justru ketika pikirannya masih bergerak, tiba-tiba dari seberang bukit terdengar suara
siulan yang panjang. Kemudian disusul dengan belasan sosok bayangan yang muncul. Di
bawah cahaya matahari yang terik, tampak mereka melesat datang dengan cepat.
Mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam, tangannya terangkat ke atas dan
menggapai sebanyak dua kali. Orang-orang yang mengikutinya segera memencarkan diri
dan mengambil posisi melebar seperti sayap burung rajawali yang direntangkan. Gerakan
mereka sangat kompak seperti orang-orang yang sudah lama dilatih. Barisan mereka pun
teratur sekali. Tiba-tiba tampak cahaya merah menerpa pandangan mata, rupanya secara diam-diam
orang-orang gagah itu sudah menyiapkan sehelai ikat pinggang merah untuk diri mereka
masing-masing dan saat itu langsung digunakan untuk mengikat pinggang mereka.
Panjang pendeknya tidak sama, mungkin karena diselesaikan dengan tergesa-gesa. Hanya
Tian Bu Cu seorang yang merupakan kekecualian. Dia tetap berdiri tidak bergerak di
tempatnya semula. Baru saja mereka selesai mempersiapkan diri, pihak lawan sudah mencapai puncak
bukit Tok Liong-hong dan berdiri pada jarak tiga depa dari hadapan mereka.
Di sebelah kiri berbaris tiga orang, mereka adalah ketiga tongcu dari Lam Hay Bun,
yakni Ho Tiang Cun, Miao Siong Fei dan Tio Hui. Di belakang mereka berbaris lagi lima
atau enam belasan orang yang mungkin merupakan jago-jago dari pihak Lam Hay Bun.
Sedangkan di sebelah kanan dipimpin oleh Kaucu dari Pek Kut Kau, di sampingnya
berdiri tegak adik seperguruannya, Kim Yu. Kemudian berbaris di belakangnya sepasang
siluman berpakaian putih dan beberapa orang lainnya lagi.
Di tengah-tengah berdiri seorang pelajar berpakaian hijau, alisnya tebal berbentuk


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melengkung seperti golok. Di pundaknya terselip sepasang pedang yang gagangnya
berukuran tiga cun. Di pinggangnya menggantung sebuah kantong kulit yang biasa
digunakan untuk menyimpan senjata rahasia. Sikapnya tenang dan penampilannya keren.
Di sisi kiri kanannya berdiri kedua Bun Bu-siang, yakni Gia Tian Lun dan Tong Ku Lu.
Kedua orang itu seakan melindungi si pelajar tadi.
Melihat bentuk barisan pihak lawan, Ciu Cang Po benar-benar merasa di luar dugaan.
Terdengar mulutnya terus mengucapkan kata "Aneh"!" berkali-kali.
Si pengemis sakti Cian Cong melirik kepadanya sekilas. Sepasang alisnya langsung
mengerut ketat. "Apa sih yang mulutmu ocehkan itu?" tanyanya kesal.
Ciu Cang Po langsung tertawa dingin. "Si nenek tua mempunyai kegembiraan tersendiri.
Apapun yang ingin kulakukan, tidak perlu kau mengurusnya. Tiga bulan yang lalu, si nenek
tua menerima sebuah pukulan dari-mu, sampai sekarang masih belum dapat dilupakan.
Semoga dalam pertarungan kali ini, kaki atau tanganmu jangan sampai patah. Nanti kita
cari kesempatan untuk memperhitungkan hutang piutang kita." sikap nenek ini benarbenar
keras kepala dan tidak pernah mengalah kepada siapapun.
Cian Cong tidak merasa aneh lagi dengan sikapnya itu. Dia mengembangkan seulas
senyuman yang lembut dan menyahut. "Seandainya si pengemis tua beruntung tidak mati dalam pertarungan ini, kapan waktu
saja aku siap menyambut tantanganmu."
Begitu pandangan matanya dialihkan, saat ini sikap kedua belah pihak sama-sama
serius dan tegang. Biar bagaimana kedua belah pihak mempunyai maksud hati tersendiri.
Yang satu ingin memamerkan kekuatannya dan berusaha menguasai dunia Bulim,
sedangkan pihak yang lainnya justru ingin mempertahankan kelangsungan dunia Bulim
agar tetap seperti sekarang ini. Dengan demikian, sebetulnya mereka tidak perlu
menggerakkan lidah karena masing-masing sudah maklum kehendak hati lawannya. Oleh
karena itu, sejak bertemu muka, tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun. Dari awal
hingga akhir mereka hanya saling menatap dengan mata mendelik lebar-lebar.
Tan Ki menjabat kedudukan sebagai Bengcu. Seorang diri dia mewakili seluruh Bulim di
daerah Tionggoan. Dia merasa dengan berdiam diri begini terus, tentu persoalan tidak
dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dia segera membusungkan dadanya dan berjalan
keluar ke depan tiga langkah. Kemudian dia menjura kepada si pelajar berpakaian hijau
sebagai salam penghormatan. Terdengar suaranya yang bening dan lantang"
"Apakah saudara sendiri yang dipanggil sebagai Toa Tocu dari Lam Hay Bun?" Pelajar
berpakaian hijau itu memperlihatkan tawa yang datar.
"Nama saudara telah menggetarkan seluruh Tionggoan, ternyata pandangan matanya
demikian rabun!" setelah mengucapkan kata-katanya, dia tertawa terkekeh-kekeh dua kali.
Mendengar ucapannya, Tan Ki justru tertegun untuk beberapa saat, kemudian baru dia
melanjutkan kata-katanya. "Kalau ditilik dari kata-katamu, tampaknya Toa Tocu sendiri masih belum muncul.
Cayhe sudah lama mendengar bahwa tocu tersebut berilmu sakti. Sekarang kesempatan
sudah ada, tetapi malah belum bisa bertemu muka, hati ini benar-benar merasa kecewa."
Si pelajar berpakaian hijau tertawa lebar.
"Kau anggap siapa guruku itu" Mana mungkin dia sudi bergebrak dengan seorang
angkatan muda yang tidak berarti apa-apa seperti dirimu. Itulah sebabnya beliau
mengutus aku, Hua Pek Cing sebagai wakilnya mengunjungi kalian."
Mendengar kata-katanya yang tajam menusuk, hati Tan Ki mulai merasa tidak senang
"Apapun yang dikehendaki oleh kita masing-masing tentunya kita sama-sama sudah
paham. Apabila pertumpahan darah memang tidak dapat dielakkan lagi, lebih baik secara
terang-terangan saja kita nyatakan cara bertarung yang akan dilangsungkan. Buat apalagi
kita berbicara panjang lebar?"
Bibir Hua Pek Cing tetap mengembangkan seulas senyuman.
"Apa yang saudara katakan memang tidak salah sedikitpun. Lebih baik kita langsung
bergebrak agar pihak mana yang unggul atau kalah akan segera ketahuan. Lihat siapa
yang berhak menguasai daerah seluas laksaan li ini!"
Mendengar sampai di sini, Tian Tai Tiau-siu Kok Hua Hong tidak dapat
mempertahankan kesabarannya lagi. Dia langsung membentak dengan suara keras,
"Kentut busuk!" tubuhnya melesat ke depan dan dia langsung mengirimkan sebuah
pukulan yang dahsyat. Sikap Hua Pek Cing tetap tenang sekali. Tampaknya dia malah tidak perduli dengan
serangan Kok Hua Hong yang dahsyat itu. Kejadian itu berlangsung dengan cepat.
Serangan Kok Hua Hong yang sengit belum sempat mencapai tubuh Hua Pek Cing, tibatiba
telinganya mendengar suara bentakan marah, "Ilmu silat daerah Tionggoan hanya
omong kosong saja. Kau kira dirimu pantas bergebrak dengan Sau Tocu (Tocu muda)?"
Serangan yang meluncur datang ini mengandung kekuatan yang bukan main hebatnya.
Begitu beradu dengan pukulan Kok Hua Hong, segera terasa isi perut Kok Hua Hong
tergetar. Kakinya goyah dan ternyata dia tidak sanggup menahan serangan orang itu. Oleh
karena itu, dia cepat-cepat menarik nafas panjang dan mencelat ke belakang.
Baru saja kakinya berdiri dengan mantap, tiba-tiba tampak seorang kakek kurus
mengeluarkan suara tawa yang menyeramkan dan menerjang datang secepat kilat. Orang
itu adalah salah satu dari Bun Bu-siang pihak Lam Hay, yakni Tong Ku Lu. Telapak tangan
kirinya menjulur ke depan dan tangan kanannya menyusul mengirimkan sebuah serangan.
Dalam satu jurus, ternyata orang itu menggunakan dua macam gerakan.
Begitu tergetar mundur oleh rangkum angin yang kencang, Kok Hua Hong segera sadar
bahwa tenaga dalam lawannya tinggi sekali. Apalagi ilmu silat pihak Lam Hay kebanyakan
terdiri dari ilmu-ilmu golongan sesat. Meskipun gerakan tubuhnya sangat cepat, tetapi
tenaga dalam yang terpancar tidak seberapa terasa. Mana mungkin Kok Hua Hong berani
memandang ringan lawannya. Cepat-cepat dia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya,
kemudian melancarkan pukulan dengan posisi mendorong dari arah dada.
BAGIAN LII Sepasang telapak tangan Kok Hua Hong menghantam ke depan dengan posisi
menahan di depan dada. Tadinya dia berpikir ingin menahan serangan Tong Ku Lu, oleh
karena itu tenaga dalam yang dikerahkannya dahsyat sekali. Tiba-tiba dia melihat Tong Ku
Lu menarik kembali sepasang lengannya, tubuhnya malah mendesak ke depan. Dengan
jurus Kerbau Menyeruduk Gunung, sekonyong-konyong dia menghantamkan pukulan ke
depan. Kok Hua Hong sudah mengerahkan segenap tenaga dalamnya, dia sama sekali
tidak menyangka kalau Tong Ku Lu mendadak merubah gerakannya dan meluncurkan
serangan kembali. Dalam keadaan panik dia tidak sempat mengganti jurusnya lagi, tanpa
dapat ditahan lagi hatinya tercekat. Cepat-cepat dia menggunakan jurus Ikan Lele
Melompat-lom-pat. Tubuhnya mencelat ke atas lalu berjungkir balik ke belakang.
Tong Ku Lu mengeluarkan suara bentakan yang keras, kaki kirinya mengirimkan sebuah
tendangan ke depan. Kok Hua Hong segera merasakan ada serangkum kekuatan yang
seperti batang besi membentur punggung sebelah kirinya. Tubuhnya langsung tergetar
kemudian menggelinding di atas tanah seperti sebuah hiolo. Sampai jarak dua belas
langkah, baru tubuhnya berhenti menggelinding. Kemudian dia membuka mulut dan
memuntahkan segumpal darah segar lalu jatuh tidak sadarkan diri.
Hanya dalam dua jurus saja Tong Ku Lu berhasil melukai dengan parah seorang jago
sedang tingkat delapan. Wajah Tan Ki beserta Rombongannya langsung berubah hebat.
Mereka merasa sedih dan marah. Si pengemis cilik Cu Cia dan Goan Yu Liong segera menghambur ke depan dan
memapah Kok Hua Hong agar dapat segera diberikan pertolongan.
Hua Pek Cing melihat pihaknya berhasil meraih kemenangan dan pertama kali
bergebrak langsung mendesak pihak Tionggoan, diam-diam dia merasa puas sekali
sehingga tanpa sadar bibirnya menyunggingkan seulas senyuman. Dia mengibaskan
tangannya sambil berkata, "Tong Sian-sing, setelah berhasil lekas kembali ke tempatmu,
biar orang lain yang melayani babak berikutnya!"
Mendengar ucapannya, tanpa terasa sepasang alis Tong Ku Lu berkerut-kerut. Biar
bagaimana dia merupakan seorang Bun Bu-siang dari Lam Hay Bun, kedudukannya tinggi
sekali. Boleh dibilang hanya di bawah Toa Tocu seorang. Dia juga merupakan seorang
tokoh yang dihormati oleh seluruh kalangan di daerah Lam Hay. Bahkan Hua Pek Cing
seharusnya menyebut orangtua itu sebagai Supek, karena dia memang benar-benar
Suheng dari Toa Tocu. Tetapi Hua Pek Cing justru menyebutnya Sian-sing (Tuan) di
hadapan kedua belah pihak. Diam-diam dia merasa pamornya jatuh. Hatinya menjadi
kurang senang. Tetapi dia tahu bahwa Sutenya merupakan seorang tokoh yang selain
berilmu tinggi juga cerdas sekali. Setiap melakukan hal apapun selalu mempunyai
pertimbangan yang matang. Apabila dia rela menyerahkan tugas seberat ini kepada
muridnya, tentu saja dia mempunyai alasan yang kuat.
Begitu pikirannya tergerak, dia terpaksa menahan kemarahan dalam hatinya dan
mengundurkan diri ke tempatnya semula. Kemudian terdengar suara tongkat besi yang
dihentakkan di atas tanah. Dengungannya memekakan telinga. Seorang nenek tua
berjalan keluar ke tengah arena. "Si nenek tua sudah lama mendengar bahwa Lam Hay mempunyai ilmu yang sakti.
Entah apakah Hua Kongcu sudi memberikan pelajaran barang beberapa jurus?" sembari
berkata, sepasang matanya yang menyorotkan sinar tajam bagai kilat menatap diri Hua
Pek Cing lekat-lekat. Tidak syak lagi dia ingin membalas kekalahannya tempo hari!
Tiba-tiba Ho Tiang Cun yang menjabat sebagai Tongcu dalam Lam Hay Bun berkelebat
keluar. Bibirnya mengembangkan senyuman.
"Kau kira siapa adanya tocu muda kami"
Mana sudi dia turun tangan memberi pelajaran kepadamu. Aku Ho Tiang Cun, seorang
saja sudah cukup membuat kau mati dengan mata terpejam!"
Orang ini teria hi r dengan bibir sumbing dan mata sebelah. Lagi pula wajahnya penuh
dengan bekas bacokan golok. Jeleknya sungguh seimbang dengan Om Cang Po. Kalau
bukan dalam keadaan genting seperti ini, orang-orang lain pasti tertawa melihat kedua
orang sama jeleknya itu berdiri berhadapan.
Mendengar ucapannya, Ciu Cang Po gusar sekali. Dia langsung melonjak ke atas dan
mengirimkan sebuah pukulan. Dengan tangan kiri, Ho Tiang Cun menangkis serangannya,
dalam waktu yang bersamaan terdengar suara terkekeh-kekeh dari mulutnya.
"Kalau tidak mengingat bahwa kau pernah terluka di tangan Tocu muda kami, dengan
berani menampilkan diri menantang saja, kau sudah patut dihukum mati!"
Hawa amarah dalam dada Ciu Cang Po benar-benar meluap mendengar ucapannya.
"Kentut busuk!" tubuhnya berkelebat, telapak tangan kiri menghantam dan tongkat di
tangan kanannya mengibas ke depan. Dalam waktu yang singkat dia melancarkan tujuh
pukulan dan empat serangan tongkat. Tangan kanan Ho Tian Cun dibungkus de-ngan
sebuah sarung tangan besi. Tentu saja dia tidak gentar menghadapi senjata apapun,
Setelah menangkis sebuah serangan Ciu Cang Po, wajahnya berubah jadi serius. Kaki
tangannya segera bergerak cian melancarkan serangan dengan gencar.
Kedua orang ini merupakan tokoh-tokoh berilmu tinggi. Baru bergebrak beberapa jurus,
serangan yang dilancarkan semakin lama semakin keji. Tenaga dalam yang dipancarkan
pun semakin dahsyat. Angin yang terpancar dari serangan mereka menderu deru,
bayangan tongkat bagai layar yang berkibar-kibar. Masing-masing tidak ada yang sudi
mengalah. Sekejap mata saja mereka sudah bergebrak sebanyak empat puluh jurus. Tibatiba
tampak tongkat di tangan Ciu Cang Po melancarkan dua buah serangan. Setelah itu
tubuhnya mencelat mundur sejauh setengah depa, sekaligus telapak tangan kirinya
menghantam ke depan. Ho Tiang Cun tahu ke marahan, nenek itu telah berkobar,
serangannya mengandung tenaga dalam sepenuhnya seakan hendak mengadu jiwa
dengan dirinya. Dia juga langsung mengerahkan kekuatannya dan menyebarkannya ke
sepasang lengannya. Sebelah matanya menatap diri Ciu Cang Po lekat-lekat, dia sudah
bersiap-siap menyambut serangan nenek tua itu dengan kekerasan.
Mata kedua orang itu tampak garang sekali. Mereka menatap lawannya masing-masing
tanpa berkedip sekalipun. Keduanya saling menunggu. Hal ini malah membuat suasana
menjadi hening serta mencekam. Sementara itu, telapak tangan Ciu Cang Po telah menghantam ke depan. Ketika tangan
kirinya berputar, terasa ada serangkum angin yang kencang dan gencar melanda ke arah
Ho Tiang Cun. Sejak semula Ho Tiang Cun sendiri sudah menunggu musuhnya, melihat nenek tua itu
melancarkan serangan, dia langsung mengerahkan tenaga dalam yang sudah
dipersiapkannya secara diam-diam dan didorongnya ke depan untuk menyambut serangan
Ciu Cang Po dengan kekerasan. Dua gulung tenaga yang kuat langsung saling beradu. Kaki Ciu Cang Po terlihat goyah.
Dia tidak dapat berdiri dengan mantap, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa kali
kemudian terpaksa mundur ke belakang kurang lebih tiga langkah.
Ho Tiang Cun sendiri juga tergetar oleh hantaman tenaga dalam nenek tua itu yang
kuat sehingga bagian tubuh sebelah atas limbung dan bergoyang-goyang. Jubahnya yang
panjang tampak berkibar-kibar. Ciu Cang Po mengeluarkan suara dengusan dingin. Ternyata nenek tua itu memang
nekat sekali. Tanpa mengatur pernafasannya lagi, lengan kirinya berputaran dan sekaligus
dilancarkannya empat buah pukulan. Ho Tiang Cun sendiri juga cukup keji. Dia tidak mengelak maupun menghindar, secara
berturut-turut disambutnya pukulan Ciu Cang Po yang empat kali itu dengan kekerasan.
Situasi jadi panas, angin yang terpancar dari pukulan mereka bergulung-gulung. Yang
seorang melancarkan empat pukulan, lawannya menyambut empat pukulan. Wajah
keduanya mulai berubah. Nafas Ciu Cang Po tersengal-sengal, sedangkan keringat telah
membasahi seluruh wajah Ho Tiang Cun.
Setelah menyambut empat kali pukulannya, Ciu Cang Po melihat keadaan Ho Tiang Cun
masih biasa-biasa saja. Hal ini benar-benar membuat kemarahannya meluap. Dia segera
membentak dengan suara keras, tubuhnya berkelebat ke depan dan langsung
dikerahkannya lwekang kelas tinggi serta melancarkan serangan dari atas.
Pengalaman Ho Tiang Cun sebagai salah seorang Tongcu di Lam Hay sudah banyak
sekali. Begitu melihat gerakan Ciu Cang Po, dia sadar nenek tua itu sudah mengerahkan
lwekang kelas tinggi seakan hendak mengadu jiwa dengannya. Tanpa terasa sepasang
matanya menyorotkan api amarah yang berkobar-kobar.
"Bagus sekali. Rupanya kau benar-benar hendak mengadu jiwa denganku?" teriaknya
dengan suara melengking tajam. Tangan keduanya yang telah diisi dengan tenaga dalam sepenuhnya langsung
menghantam keluar menyambut serangan Ciu Cang Po yang dahsyat.
Cara bertarung yang menggunakan kekerasan ini benar-benar tidak dapat dianggap
main-main. Lagipula jauh berbeda dengan cara yang digunakan orang-orang biasanya.
Terdengar suara benturan yang menggelegar, baik Ciu Cang Po maupun Ho Tiang Cun
sama-sama tergetar mundur sejauh empat langkah. Tubuh keduanya sama-sama terkulai
di atas tanah kemudian memuntahkan segumpal darah segar.
Perubahan yang tidak disangka-sangka langsung terjadi, keduanya sama-sama rubuh di
tengah arena. Ciong San Suang Siu segera maju ke depan memapah tubuh Ciu Cang Po,
sedangkan di pihak lawan tampak Miao Siong Fei dan Tio Hui menghambur ke depan
membangunkan Ho Tiang Cun. Terdengar Miao Siong Fei bertanya dengan suara rendah, "Ho Tongcu, bagaimana
keadaan lukamu?" "Sejak semula aku sudah mengerahkan hawa mumi untuk melindungi isi perut. Darah
yang kumuntahkan tadi hanya karena tergetar oleh ilmu lwekangnya yang hebat sehingga
terdesak keluar. Apabila dia masih bisa melakukan penyerangan, mungkin aku akan mati
saat itu juga. Tetapi aku tahu bahwa dia sudah terhantam oleh lwekang yang
kupancarkan. Bukan saja dia tidak sanggup bertarung lagi, luka dalamnya bahkan jauh
lebih parah dari diriku." Selesai berkata, senyumannya ditarik kembali. Cepat-cepat dia menarik nafas panjang
satu kali kemudian melepaskan diri dari bim-bingan tangan Miao Fei Siong serta Tio Hui.
Dengan langkah lebar dia kembali ke tempatnya semula.
Hua Pek Cing melihat pihaknya secara berturut-turut telah menang di atas angin. Tetapi
salah satu jagonya yang paling diandalkan juga sempat terluka. Sepasang alisnya
langsung menjungkit ke atas, perlahan-lahan dia melangkah maju ke depan.
Para jago dari pihak Lam Hay melihat Tosu muda mereka tampil ke depan seakan ingin
turun tangan sendiri menghadapi lawan. Secara berbondong-bondong mereka juga
berebutan berjalan keluar. Bahkan Kaucu Pek Kut Kau dari Si Yu juga ikut-ikutan berjalan
keluar dari barisan mereka. Para jago dari Perkumpulan Ikat Pinggang Merah takut pihak lawan akan menyerbu
secara mendadak, dengan demikian mereka tentu kewalahan menghadapinya. Cepatcepat
mereka mencabut senjata masing-masing dan menyongsong ke depan.
Para jago dari kedua pihak berbondong-bondong keluar, suasana menjadi tegang tidak
terkirakan. Tempat itu bagai telah ditanami puluhan mesiu yang siap meledak setiap saat.
Jarak antara kedua pihak semakin mendekat, tampaknya sebuah pertempuran besarbesaran
segera akan berlangsung di depan mata. Tiba-tiba Hua Pek Cing menghentikan
langkah kakinya serta mengibaskan tangannya.
"Kalian semua mundur!" Kata-kata itu diucapkan dengan datar, namun pengaruhnya besar sekali. Para jago dari
pihak Lam Hay dan Si Yu ternyata langsung mengundurkan diri masing-masing. Hanya
Kaucu Pek Kut Kau saja yang masih berdiri di tempat semula.
Hua Pek Cing maklum bahwa orang itu menjaga gengsinya sehingga dia juga tidak
ambil hati, bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang datar. Kemudian dia
membalikkan tubuhnya kembali dan maju beberapa langkah lagi. Dia segera menjura
kepada Tan Ki dan berkata: "Di dunia Bulim banyak sekali macam ragamnya. Sulit menentukan siapa yang benar
dan siapa yang salah. Masing-masing mempunyai pandangan hidup tersendiri. Guruku
yang berbudi menyimpan harapan ingin menguasai dunia Bulim, sebetulnya bukan untuk
dirinya sendiri. Beliau ingin mempersatukan seluruh Bulim di bawah benderanya sehingga
tidak ada lagi yang mendirikan partai masing-masing. Oleh karena itu, tanpa
memperdulikan jalan apapun yang harus ditempuhnya, beliau ingin menciptakan
kebahagiaan untuk dunia Bulim sampai ratusan tahun yang akan datang. Tetapi ditilik dari
keadaan yang ada, ternyata niat ini malah menimbulkan persengketaan. Mungkin hanya
dengan ilmu kepandaian kita dapat menentukan siapa yang lebih kuat atau siapa yang
berhak hidup. Namun hal ini merupakan urusan kita berdua yang telah terpilih sebagai
pemimpin. Oleh karena itulah, segalanya kita yang berhak menentukan. Barusan telah
terjadi dua babak pertarungan, meskipun ada menang dan ada yang kalah, tetapi babak


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketiga ini lebih baik kita saja yang turun tangan sendiri agar urusan ini dapat diselesaikan
secepatnya!" Dikiranya siapa Tan Ki itu, mana mungkin dia sudi menunjukkan kelemahannya. Pergelangan
tangannya memutar dan Pedang Penghancur Pelangi sudah tergenggam dalam
telapak tangannya. Segera terpancar hawa yang dingin dari pedang itu. Baru saja dia
hendak melangkah keluar. Liu Seng sudah mencelat ke depan dan menolehkan kepalanya.
"Kau merupakan Pangcu dari sebuah perkumpulan, jangan sembarangan turun tangan
kalau tidak mendesak sekali. Biar aku yang hadapi dulu babak ini, nanti baru lihat lagi
perkembangannya!" Tan Ki agak bimbang sejenak, kemudian dia berpesan dengan suara rendah, "Ilmu silat
pihak Lam Hay selamanya terkenal ganas dan keji. Harap. Yok-hu berhati-hati."
Liu Seng tersenyum sambil menganggukkan kepadanya. Dengan langkah lebar dia
berjalan ke hadapan Hua Pek Cing. Sembari berjalan, dia mengeluarkan pedang besinya
yang berat dan telah membuat namanya terkenal di dunia Kangouw.
Hua Pek Cing tersenyum simpul kepadanya.
"Rupanya Lok Yang Sin-kiam, tuan Liu, Hua Pek Cing sudah lama mengagumi dirimu.
Hari ini beruntung dapat bertemu muka, cayhe akan menghadapimu satu lawan satu
untuk melihat sampai di mama kedahsyatan ilmu silat daerah Tionggoan dengan tangan
kosong menemanimu bermain-main barang beberapa jurus!"
Mendengar sesumbarnya yang begitu besar, untuk sesaat Liu Seng tidak
menyangkanya sehingga termangu-mangu.
"Apa?" dia bertanya sekali lagi seakan tadi telinganya masih belum mendengar
ucapannya dengan jelas. Hua Pek Cing tertawa lebar. "Menghadapi seorang Cianpwe yang namanya sudah menjulang tinggi seperti dirimu
ini, rasanya kurang seru apabila menggunakan senjata. Seandainya tuan Liu dapat
bertahan dua puluh jurus bergebrak denganku, biarlah babak ini anggap dirimu yang
menang." Kata-kata yang diucapkannya ini terdengar biasa-biasa saja, tetapi makna yang
terkandung di dalamnya justru tajam menusuk. Sepasang alis Liu Seng sampai menjungkit
ke atas. Bahkan wajah para jago dari pihak Lam Hay dan Si Yu pun sampai berubah. Liu
Seng sudah berkecimpung di dunia Kangouw kurang lebih tiga puluhan tahun. Sebatang
pedang besi yang beratnya mencapai dua belas kati itu pernah menggetarkan sungai
telaga. Mana boleh dia disamakan dengan tokoh sem-barangan. Sedangkan Hua Pek Cing
mengucapkan kata-kata yang sesumbar di hadapan para jago kedua belah pihak. Dengan
tangan kosong dia ingin menghadapi sebatang pedang tua Liu Seng, hal ini benar-benar
membuat orang merasa bahwa dirinya sudah lebih dari keterlaluan.
Perlu diketahui bahwa kedua Bun Bu-siang dan ketiga tongcu dari Lam Hay merupakan
orang-orang yang usianya sudah setengah baya bahkan ada yang sudah tua sekali.
Kedudukan mereka sangat tinggi dan sudah sejak lama nama mereka terkenal. Tiba-tiba
mereka disuruh menerima perintah dari seorang bocah yang baru menginjak dewasa,
meskipun mulut mereka tidak mengatakan apa-apa, tetapi dalam hati pasti merasa tidak
senang. Tetapi karena pengaruh tocunya yang terhormat, mereka tidak berani memprotes
secara terang-terangan. Sedangkan Hua Pek Cing juga seorang pemuda yang cerdas. Dia maklum bahwa
dengan usianya yang begitu muda, sekarang dia harus mengendalikan para jago dari dua
partai, tentu sulit meminta mereka merasa takluk begitu saja. Oleh karena itu, dia sengaja
tidak mengijinkan para tongcunya turun tangan lagi. Dalam hatinya dia berniat melukai
beberapa jago dari pihak lawan agar nyali musuh tergetar lebih dahulu. Sekaligus
memamerkan sedikit ilmunya yang sejati agar para jagonya atau jago dari pihak Si Yu
tidak berani memandang remeh dirinya.
Sementara itu, Liu Seng yang mendengar kata-katanya, langsung memicingkan
matanya. Meskipun dia merupakan seorang tokoh yang sudah mengalami banyak hal,
tetapi saat itu hawa amarah dalam dadanya terasa meluap juga mendengar ucapan anak
kemarin sore yang begitu menyakitkan.
"Benar-benar mulut yang besar sekali! Lohu berkecimpung di dunia Kangouw selama
puluhan tahun, tetapi belum pernah bertemu dengan orang yang begitu menganggap
remeh orang lain seakan dirinya sendiri yang paling hebat!" pedang panjangnya diangkat
ke atas, dengan jurus Menggetarkan Lonceng Besar, dia menikam ke depan.
Hua Pek Cing tersenyum simpul. Tiba-tiba tubuhnya bergerak mendesak ke arah Liu
Seng, ketika pergelangan tangannya bergerak, dengan telak dia melancarkan sebuah
totokan ke salah satu urat darah Liu Seng yang mematikan.
Gerakan tubuhnya yang aneh itu mengandung kecepatan yang tidak terkirakan. Orangorang
yang hadir di tempat itu tercekat bukan kepalang. Liu Seng tidak sempat menarik
kembali serangannya, terpaksa dia mencelat mundur sejauh tujuh delapan langkah.
Sedangkan Hua Pek Cing masih berdiri di tempatnya semula. Dia tidak mengejar
lawannya. Penampilannya tenang dan keren. Bibirnya mengulumkan seulas senyuman.
"Bagaimana kalau yang tadi itu dihitung sebagai jurus pertama?"
Kata-katanya itu bagaikan sebilah pisau yang menikam jantung Liu Seng. Dia
berkecimpung di dunia. Kangouw selama puluhan tahun, mana pernah dia menerima
hinaan sehebat ini" Begitu marahnya laki-laki setengah baya ini, sehingga dia langsung
meraung keras, secepat kilat dia menerjang lagi ke depan, pedang besinya digetarkan.
Timbul angin yang kencang dan kilatan cahaya yang dingin. Serangannya kali ini hebat
bukan main. Hua Pek Cing mengelakkan dirinya sedikit, tampaknya seperti menghindarkan serangan
musuh, tetapi sebenarnya dia malah balas menyerang. Jari tangannya meluncur ke depan
mengirimkan sebuah totokan. Jurus yang dikerahkannya seakan mengandung keajaiban. Bukan saja dia berhasil
mengelak dari serangan Liu Seng, bahkan dalam waktu yang bersamaan dia mendesak
maju dan mengirimkan sebuah totokan. Begitu terdesaknya Liu Seng sehingga terpaksa"
mencelat mundur sejauh tiga tindak. Dengan demikian dia baru berhasil menghindarkan
diri dari serangan Hua Pek Cing yang dahsyat.
Dengan gaya yang bukan main santainya, Hua Pek Cing tertawa-tawa.
"Yang ini terhitung jurus kedua. Kau masih mempunyai kesempatan delapan jurus
untuk meraih kemenangan!" begitu selesai berkata, kembali dia tertawa lebar. Matanya
menyorotkan sinar yang bercahaya terang, tetapi dari sepasang alisnya justru tersirat
hawa pembunuhan yang tebal. Mei Ling dan Tan Ki menyaksikan pertarungan di antara kedua orang itu dengan
seksama. Setelah lewat beberapa jurus, bukan saja mereka dapat melihat kelemahan
orang-tuanya, tetapi semakin lama justru semakin terdesak di bawah angin. Jangan kata
perbandingan tenaga dalam di antara keduanya, jurus-jurus yang dikerahkan Hua Pek
Cing demikian ajaib dan aneh sudah cukup membuat Liu Seng kalang kabut. Kalau dia
benar-benar bertarung dengan serius, mungkin dalam sepuluh jurus saja, Liu Seng sudah
rubuh di atas tanah bermandikan darah.
Ternyata sesumbar yang dicetuskan mulut Hua Pek Cing bukan sekedar bualan saja.
Tanpa dapat ditahan lagi hati sepasang suami isteri itu jadi mengkhawatirkan keadaan Liu
Seng. Secara diam-diam mereka mengerahkan tenaga dalamnya dan berjaga-jaga
terhadap segala kemungkinan. Apabila keadaan Liu Seng terlihat berbahaya, tentu mereka
akan segera turun tangan memberikan bantuan.
Terdengar Hua Pek Cing mengeluarkah suara tawa terbahak-bahak.
"Cayhe sudah lama mendengar bahwa pedang besi tuan Liu mempunyai jurus serangan
yang sakti dan dapat mengalahkan lawan sampai takluk. Tetapi apabila melihat kenyataan
hari ini, tampaknya berita itu terlalu dibesar-besarkan. Kalau pertarungan ini tetap
diteruskan, rasanya tidak seru lagi. Lebih baik tuan Liu mengundang beberapa rekan yang
lain agar cayhe merasa lebih puas melanjutkan pertarungan ini, bagaimana?"
Apabila kata-kata ini tercetus dari mulut orang lain, pasti orang-orang dari kedua belah
pihak merasa ucapan seperti itu keterlaluan dan tidak pantas diucapkan. Wajah Liu Seng
sampai merah padam mendengar perkataannya. Tiba-tiba dia meraung marah dan
tubuhnya mencelat ke udara, pedang besi yang be" ratnya mencapai dua belas kati itu
langsung melancarkan serangan yang tidak terkirakan dahsyatnya. Tampak pedangnya
laksana naga sakti yang meliuk-liuk di angkasa serta mengi baskan ekornya dengan
marah. Serangannya kali ini dilancarkan dalam keadaan marah, dia sudah bertekad
menghabiskan nyawa Hua Pek Cing di bawah serangan pedangnya. Dengan demikian
hinaan yang diterima jadi terbalas. Oleh karena itu, setiap jurus yang dikerahkannya selalu
mengandung kedahsyatan yang luar biasa kejinya.
Hua Pek Cing tertawa panjang. Tubuhnya bergerak perlahan, jubahnya yang panjang
berkibar-kibar. Dia menerobos masuk ke dalam bayangan pedang yang bergulung-gulung.
Gerakan tubuhnya bagai seekor kupu-kupu yang menyelinap ke dalam gerombolan bunga.
Dia berkelebat ke sana ke mari dalam bayangan pedang Liu Seng.
Secara berturut-turut empat belas jurus telah berlalu. Sebatang pedang Liu Seng
seperti hujan yang diterpa angin kencang, melesat ke kiri dan kanan. Tetapi dari awal
hingga akhir tetap saja dia tidak sanggup menyentuh ujung pakaian Hua Pek Cing, apalagi
tubuh orang itu. Boleh dibilang dalam empat belas jurus tersebut, Hua Pek Cing hanya
menghindarkan diri saja. Dia tidak membalas serangan Liu Seng.
Setelah memperhatikan sejenak, orang-orang yang ada di tempat itu segera sadar
bahwa ilmu Tocu muda itu memang tinggi sekali"
Setelah empat belas jurus terlewatkan, tiba-tiba Hua Pek Cing tertawa panjang.
Sepasang lengannya berputaran secepat kilat dan menimbulkan angin yang kencang.
Sekonyong-konyong dia melancarkan serangan. Tampak gerakan tangannya begitu aneh
dan belum pernah dilihat selama hidupnya oleh Liu Seng. Untuk sesaat Liu Seng menjadi
kalang kabut dan bingung bagaimana harus menghadapi anak muda itu. Tahu-tahu salah
satu jalan darahnya telah tertendang oleh Hua Pek Cing. Tidak sempat mendengus
sekalipun, tubuhnya langsung terkulai dan jatuh tidak sadarkan diri di atas tanah.
Gerakan Hua Pek Cing terlalu cepat. Meskipun Tan Ki sudah berjaga-jaga sejak tadi,
tetapi dia tetap tidak keburu memberikan pertolongan. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang
alisnya menjungkit ke atas. Dia mendengus dingin satu kali kemudian berjalan keluar
perlahan-lahan dengan niat hendak menghadapi musuh itu dengan tangannya sendiri.
Tiba-tiba terasa ada serangkum tenaga yang kuat menahan tubuhnya. Begitu menolehkan
kepalanya, dia melihat Yibun Siu San memberikan isyarat dengan gerakan tangannya
mencegah tindakannya. Sepasang mata orangtua itu menyorotkan sinar yang penuh
perhatian "serta Bara Naga 15 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 18
^