Harta Karun Jenghis Khan 1

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


di http://cerita-silat.mwapblog.com
TITLE: (PKH06) - Harta Karun Jenghis Khan
KOTA An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce, sebuah kota besar di utara Sungai itu dari Propinsi An-hwi. Karena letaknya yang strategis, dekat dengan Sungai besar Yang-ce yang datang dari kota besar Wu-han dan menuju ke kota Nan-keng, maka kota An-keng ini amat ramai dan menjadi pusat perdagangan yang diangkut melalui Sungai itu. Perdagangan yang amat ramai di kota itu membuat An-keng menjadi tempat yang banyak dikunjungi para pedagang sehingga bukan hanya toko-toko besar, akan tetapi juga restoran-restoran dan hotel-hotel tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.
Selain terkenal sebagai kota dagang yang ramai, juga An-keng mempunyai tempat plesiran di tepi Sungai Yang-ce yang sengaja dibuat oleh pemerintah daerah. Tempat ini adalah sebuah telaga buatan yang mendapatkan airnya dari sungai itu dan di sekitar telaga ini ditanami bunga-bunga yang indah. Juga telaga itu sendiri merupakan tempat bersantai yang menarik. Di satu bagian terdapat tanaman bunga teratai merah putih yang melatarbelakangi angsa-angsa putih berleher panjang yang berenang-renang dengan cantiknya di sekitar bunga-bunga teratai itu. Ada bagian di mana orang dapat memancing ikan, berperahu, atau duduk dengan santainya di restoran-restoran di tepi danau buatan, minum arak sambil menikmati pemandangan indah, melihat perahu-perahu berlalu lalang ditumpangi muda mudi yang asik berpacaran. Angin yang sejuk membuat orang makin betah dan suasana yang nyanian itu membuat orang lupa bahwa dia telah menghabiskan seekor bebek panggang yang terkenal di tempat itu, ditemani arak seguci kecil! Makin mabok, makin menarik dan indahlah suasana di sekitar Telaga Teratai Merah Putih di kota An-keng dan di sana sini terdengar sasterawan-sasterawan yang sudah mabok bernyanyi atau membaca sajak-sajak yang indah. Makin siang, suasana menjadi semakin meriah, apa lagi karena beberapa orang hartawan telah menyewa sekelompok wanita pemain musik dan penyanyi, membawa mereka ke dalam perahu dan suara nyanyian dan yang-kim mengalun bersama-sama permukaan air danau yang diguncang oleh perahu-perahu itu.
Di dalam sebuah di antara restoran-restoran yang dibangun di tepi pantai, bangunannya merupakan panggung agak tinggi yang menjulur ke air sehingga para tamu yang duduk makan minum seolah-olah merasa berada di atas perahu besar yang tidak bergerak, nampak sepasang orang muda duduk sambil menghadapi bebek panggang dan arak. Mereka itu merupakan pasangan yang cocok dan sedap dipandang. Yang pria berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, berkulit muka putih dengan sepasang alis hitam berbentuk golok, wajahnya tampak sekali dan gerak-geriknya amat halus. Pakaiannya seperti pakaian seorang pemuda pelajar, akan tetapi kulau biasanya para pelajar itu berpakaian dan bersikap sederhana, sebaliknya pakaian pemuda itu rapi sekali, bahkan mendekati pesolek walaupun sikapnya tidak berlebih-lebihan seperti biasa sikap pemuda-pemuda bangsawan yang kerjanya hanya menjual tampang dan memamerkan kekayaan padahal batinnya kosong. Pemuda ini berpakaian rapi, bersikap halus dan senyum manis selalu tersungging di bibirnya. Akan tetapi, kalau ada orang yang sudah biasa berkecimpung di dunia persilatan dan mempunyai pandang mata seorang ahli, tentu dia curiga terhadap pemuda halus tampan ini. Sepasang matanya mencorong penuh kekuatan, tajam menusuk seperti hendak menembus dada orang lain untuk menjenguk isi hatinya. Selain itu, juga ada sesuatu tersembunyi dalam gerakan halus itu, sesuatu yang membayangkan kekuatan yang amat hebat. Regangan-regangan jari tangannya kalau bergerak, kedudukan tubuh dan kedua lengannya, bagi orang yang berpemandangan tajam tentu akan mengenal gerakan otomatis seorang ahli silat!
Temannya juga amat menarik perhatian. Seorang wanita muda yang usianya sebaya, andaikata lebih tua sedikitpun tidak akan ketahuan karena memang wanita itu cantik sekali dan ada kelembutan yang membuat ia nampak lebih muda dari pada temannya. Wanita muda itu cantik jelita dan manis, kulitnya putih kemerahan dan seperti juga temannya itu, iapun berpakaian indah. Wajahnya yang cantik manis itu tidak memakai hiasan terlalu tebal, dan memang hal itu tidak perlu, bahkan mungkin akan merusak kecantikannya yang aseli. Bibir yang tipis penuh itu memang tidak membutuhkan pemerah lagi karena sudah merekah merah dan selalu seperti basah. Alisnya yang kecil panjang itu memang sudah hitam sekali, tidak perlu ditambah penghitam alis lagi. Ketawanya cerah dan suaranya merdu. Sepasang matanya juga akan membuat ahli silat yang berpemandangan tajam terkejut karena mata itu kadang-kadang mencorong, kadang-kadang mengeluarkan sinar yang demikian dingin menyeramkan, akan tetapi kadang-kadang juga penuh gairah yang hangat dan hidup. Sejak tadi keduanya duduk di restoran itu, makan minum, bercakap-cakap, kadang-kadang berbisik-bisik dan nampak nyata kasih sayang terpancar pada pandang mata mereka kalau mereka sudah berbisik-bisik saling pandang seperti itu. Ada kalanya mereka kelihatan seperti sepasang muda mudi yang asik berpacaran, akan tetapi kadang-kadang mereka bicara serius. Ketika terdengar suara nyanyian dan suara sasterawan-sasterawan tua yang mabok bersajak di atas perahunya yang meluncur tanpa tujuan di atas air, terdengar wanita muda itu tertawa merdu dan tangan kirinya menutupi mulut dengan gaya yang menarik.
"Apa yang kauketawakan?" tanya pemuda itu sambil menatap wajah temannya dengan penuh kagum. Sudah tiga tahun dia hidup di samping gadis ini namun setiap kali dia masih terpesona mengagumi kecantikannya. Kalau gadis itu sudah tertawa, dengan sepasang matanya ikut tertawa, hidungnya yang kecil itu agak dikernyitkan seperti itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa terharu, keharuan yang muncul karena rasa sayang yang amat besar yang seolah-olah menembus jantungnya dan membuat dia yakin betapa besar rasa cintanya kepada gadis ini. Rasa cinta inilah yang mendatangkan semua keindahan dan kecantikan itu. Bagi pandang mata orang lain, belum tentu gadis itu akan nampak sedemikian cantik dan indahnya di waktu tertawa seperti itu, akan tetapi bagi dia, dunia seolah-olah ikut tertawa bersama mata yang bersinar-sinar, hidung yang tertarik ke atas dan gigi yang mengintai sekilas di balik sepasang bibir merah basah yang terbuka itu.
"Kau tidak dengar sajak sasterawan tua yang berdiri bergoyang-goyang mabok di atas perahunya yang lewat tadi?"
"Tentu saja. Sajaknya indah dan dia mengeluh tentang hari tuanya. Dia ingin selamanya tinggal muda untuk menikmati keindaban Danau Teratai Merah Putih." jawab si pemuda. "Sajak itu menyedihkan, kenapa kau tertawa mendengarnya" Kurasa tidak ada lucunya di situ."
"Hi-hik, itulah karena engkaupun sama dengan dia. Beberapa tahun lagi dan engkaupun akan menangisi usia tuamu seperti dia, hidup sebatang-kara dan kesepian, hi-hik!"
"Ihh, mana mungkin" Kan ada engkau di sisiku?"
"Akupun akan tua dan meratapi nasibku kalau aku bersikap sepertimu. Itulah yang lucu. Kenapa dia menyesali hari tuanya" Lihat, bukankah danau ini, Sungai Yance itu, jauh lebih tua dari pada kita, dari pada sasterawan cengeng tadi" Namun lihat, berkurangkah keindahannya" Nampakkah tuanya" Adakah penyesalan pada danau dan sungai, dan pohon-pohon tua di seberang itu, akan ketuaannya" Sama sekali tidak, mereka semua itu masih tetap muda, cantik menarik bahkan dalam ketuaan mereka sekalipun."
Pemuda itu memandang serius dan mengangguk-angguk. "Ada isinya dalam ucapanmu itu, sayang. Memang. keindahan dan kebahagiaan terdapat di mana-mana dan pada saat apapun. Seorang mudapun tidak akan dapat melihat keindahan dan menikmati kebahagiaan kalau dia tidak mengenal indahnya SAAT INI. Dia, seperti sasterawan itu, hanya akan menyesali diri, menyalahkan nasib, menginginkan hal-hal yang tidak ada, maka datanglah kekecewaan, penyesalan dan duka cita. Wah, wah, sepagi ini engkau sudah mulai berfilsafat!"
Gadis itu tertawa. "Alam seindah ini, cuaca senyaman ini, hawa sesejuk ini, siapa orangnya yang tidak berobah menjadi penyair dan ahli filsafat?"
Tiba-tiba pemuda itu menyentuh tangan si gadis yang terletak di atas meja. Gadis itu terkejut karena sentuhan itu bukan sentuhan biasa, melainkan sentuhan yang menyatakan guncangan perasaan. Maka iapun menengok dan memandang ke arah pemuda itu memandang ke luar jendela dan iapun melihat seorang laki-laki mendayung perahunya lewat di bawah tempat itu dengan tergesa-gesa. Laki-laki itu sudah setengah tua dan dari pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang dusun sederhana. Akan tetapi wajahnya pucat dan matanya terbelalak ketakutan. Dan agak jauh di belakangnya, sebuah perahu lain meluncur dengan cepatnya. Perahu ini ditumpangi oleh dua orang laki-laki yang kelihatan kokoh kuat dan kasar, yang mendayung perahu itu dengan amat cepatnya, mengejar perahu pertama itu dan pada wajah mereka terbayang kemarahan dan keganasan. Karena banyak perahu berlalu lalang di situ, orang tidak akan tahu bahwa perahu yang ditumpangi oleh kakek dusun itu sedang dikejar oleh dua orang dalam perahu yang lebih besar itu. Hanya karena pemuda dan gadis itu duduk di atas dan kebetulan memandang ke telaga dan melihat wajah orang di perahu pertama, mereka melihat hal yang tidak wajar ini. Apa lagi karena memang keduanya memiliki pandang mata yang amat tajam, berbeda dari kebanyakan orang lain.
"Lihat, dia terluka..." bisik gadis itu. Pemuda itu mengangguk. Diapun sudah tahu bahwa kakek petani yang dikejar-kejar itu telah mengalami beberapa luka di tubuhnya. Luka memar dan gosong akibat pukulan-pukulan berat di leher dan tengkuknya yang coba ditutupinya dengan leher baju dan juga lengan bajunya yang kanan berlepotan darah yang sudah mulai mengering. Dan semua ini dapat nampak oleh pemuda dan gadis itu dari jarak jauh! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa sepasang muda mudi ini memiliki ketajaman mata yang lain dan jauh lebih dari pada mata orang biasa.
Kini perahu petani itu sudah tiba di darat dan petani itu naik ke darat, lalu tergesa-gesa meninggalkan perahunya.
"Mari kita lihat!" kata pemuda itu dengan tenang dan diapun memanggil pelayan, membayar harga makanan minuman, kemudian bersama gadis itu mereka keluar dari restoran, agaknya tidak tergesa-gesa akan tetapi langsung mereka menuju ke arah larinya petani yang kini dikejar-kejar oleh dua orahi itu. Petani itu bukan lari ke arah kota An-keng, melainkan keluar kota, ke tempat yang sunyi, agaknya memang ingin melarikan diri dari kejaran dua orang itu. Dia seorang petani biasa agaknya, usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus dan kasar, kulitnya kehitaman karena terlalu sering tertimpa terik matahari. Jelas merupakan seorang miskin yang biasa bekerja keras dan kasar. Sepasang matanya yang kadang-kadang dipakai memandang ke belakang dengan ketakutan itu kini terbelalak. Mukanya pucat dan jalannya terpincang-pincang, tanda bahwa di bagian kakinyapun sudah menderita luka.
Dari belakang, dua orang yang tadi mengejarnya dengan perahu, sudah hampir dapat menyusulnya. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, mulutnya yang lebar itu menyeringai dan selalu seperti mengejek, matanya yang sipit sekali itu seperti terpejam dan lehernya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh seperti orang yang berpenyakit batuk kering. Orang ke dua gemuk pendek, dengan mata lebar yang mengeluarkan sinar kejam, mukanya seperti muka babi dengan kulit bertotol-totol merah. Di kedua punggung mereka nampak tergantung sebatang golok besar.
"Petani busuk, kau hendak lari ke mana" Ha-ha-ha!" Si gendut berteriak mengejar dan tentu saja petani yang berlari menggunakan kekuatan biasa, apalagi dengan kaki terpincang-pincang itu, bukan lawan dua orang yang agaknya mempunyai kepandaian ilmu silat den pandai berlari cepat itu. Tahu-tahu dua orang itu telah menghadang dari depan den melihat ini, kakek petani itu dengan mata terbelalak lalu membalik ke kanan dan lari sekuatnya, kembali ke arah danau! Akan tetapi sekali ini dia tiba di bagian tepi danau yang sunyi dan tidak ada orangnya. Sambil tertawa mengejek, dua orang itu mengejar, mempermainkannya seperti dua ekor kucing yang mempermainkan seekor tikus yang sudah tersudut, tidak segera menerkamnya, seolah-olah hendak menikmati lebih dulu melihat tikus itu ketakutan setengah mati.
"Heh-heh-heh, petani tua bangka, lebih baik lekas berikan benda itu kepada kami dan kami akan membunuhmu dengan lunak."
"Tidak, tidak! Sampai mati tidak!" Petani itu berteriak dan tiba-tiba dia menubruk seorang di antera mereka yang menghadang di depannya. Tubrukan petani ini sama sekali tidak memakai perhitungan, tidak memakai teori ilmu berkelahi, melainkan tubrukan yang dilakukan karena terjepit den terpaksa. Akan tetapi justeru serangan seperti ini yang kadang-kadang membingungkan ahli silat yang masih rendah tingkatannya dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu menabrak dada orang tinggi kurus itu sampai terjengkang!
"Keparat! Kau berani melawan?" bentak si gendut dan nampak sinar golok berkelebat ketika goloknya membacok. Kakek petani yang sudah nekat itu tidak mengelak, melainkan terus menubruknya. Mengelakpun akan sia-sia karena dia tidak biasa berkelahi den tidak tahu bagaimana caranya mengelakkan diri dari sambaran golok itu.
"Crakkk...!" Tubuh kakek itu terguling, pundaknya terluka parah oleh bacokan golok dan sebuah tendangan mengenai lambungnya, membuat dia terguling-guling. Kembali golok itu menyambar ke arah leher kakek petani.
"Desss... aughhh...!" Si gendut berteriak mengaduh ketika pergelangan tangannya bertemu dengan sepatu yang menendangnya dari samping. Demikian kerasnya tendangan pemuda tampan itu, sehingga bukan hanya golok yang terlempar, akan tetapi juga pergelangan tangan itu menjadi patah tulangnya.
Si tinggi kurus menjadi marah. Goloknya menyambar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara "ngekkk!" dan diapun roboh terguling karena tengkuknya disambar tangan halus gadis teman pemuda itu. Pasangan muda mudi itu ternyata telah tiba di situ, agak terlambat sehingga kakek petani telah menerima bacokan dan tendangan, akan tetapi masih belum terlambat untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Mereka menggerakkan kaki menendang dan tubuh dua orang penjahat itu terlempar ke arah danau.
"Byurrrr...!" Dua orang itu gelagapan dan berdaya upaya sekuatnya agar jangan sampai tenggelam. Mereka telah terluka, akan tetapi karena terancam bahaya mati tenggelam, mereka seperti memperoleh tenaga baru dan berenang ke darat, menjauhi pemuda dan gadis yang amat lihai itu. Sepasang muda mudi yang lihai ini tidak lagi memperdulikan mereka, melainkan cepat menolong petani tua yang menggeletak dengan napas empas-empis.
"Bagaimana keadaanmu, lopek?" tanya si pemuda sambil memeriksa luka-luka yang diderita oleh kakek itu.
"Lekas... lekas bawa aku pergi... tolonglah... auhhh... jumlah para penjahat itu banyak sekali... lekas sembunyikan aku... ahhhh!" Dan kakek itu tak sadarkan diri. Pemuda dan gadis itu saling pandang dan mereka melihat dua orang penjahat tadi telah berhasil mendarat dan melarikan diri.
"Bagaimana?" tanya si gadis tenang. "Kita menanti di sini dan menghajar mereka semua?"
Pemuda itu menggeleng. "Lebih baik kita sembunyikan dia dan merawatnya. Kurasa ada tersembunyi rahasia yang menarik di balik peristiwa ini. Aneh kalau penjahat-penjahat itu mengejar-ngejar dan mendesak seorang kakek petani miskin seperti ini. Dan tadi agaknya mereka menghendaki suatu benda..."
"Baik," jawab gadis itu. Pemuda itu memondong tubuh si kakek petani dan sebentar saja dia bersama temannya telah berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Cara mereka berjalan cepat tentu akan mengejutkan hati seorang ahli silat kelas tinggi sekalipun karena mereka telah mempergunakan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa!
Siapakah gerangan pemuda dan gadis yang luar biasa ini" Orang yang mengenal mereka tentu tidak akan heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian mereka karena pemuda itu bukan lain adalah tokoh dunia persilatan yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan julukannya yang menyeramkan, yaitu Pendekar Sadis! Dan temannya, gadis cantik jelita itupun pernah menjadi datuk kaum sesat yang berjuluk Lam-sin atau Malaikat Selatan!
Pendekar Sadis itu bernama Ceng Thian Sin. Dalam usianya yang baru dua puluh tiga tahun, pemuda ini telah berhasil mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan yang pada waktu itu jarang dapat dicari bandingannya. Dia bukan keturunan sembarangan orang, karena mendiang orang tuanya adalah Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, seorang pangeran yang pernah berambisi untuk menjadi Jagoan Nomor Satu di dunia, sedang mendiang ibunya adalah Lie Ciauw Si, cucu dari ketua Cin-ling-pai! Pendekar Sadis ini bukan hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, bahkan telah menerima gemblengan banyak orang sakti, dan terutama sekali dia telah mewarisi peninggalan ilmu yang mujijat dari mendiang ayah kandungnya.
Adapun temannya itu, yang pernah menyamar sebagai seorang nenek dengan julukan Lam-sin sebagai datuk selatan, bernama Toan Kim Hong, juga bukan orang sembarangan. Seperti juga Ceng Thian Sin, nona cantik ini adalah keturunan bangsawan karena ia adalah puteri seorang pangeran bernama Toan Su Ong yang sakti, ibu kandungnya adalah seorang wanita sakti pula bernama Ouwyang Ci yang mewarisi ilmu rahasia dari Perdana Menteri The Hoo yang terkenal itu. Seperti juga Thian Sin, orang tua Kim Hong telah tiada dan ia hidup seorang diri, mewarisi ilmu-ilmu yang hebat.
Kedua orang muda yang sama-sama keturunan bangsawan tinggi ini, dalam petualangan mereka, berjumpa dan saling tertarik, saling mencinta. Sudah tiga tahun mereka hidup bersama, hidup sebagai kekasih, sebagai suami isteri walaupun mereka berdua tidak pernah menikah dengan sah. Hal ini sudah mereka kehendaki berdua, dan walaupun mereka tidak disahkan dengan upacara pernikahan, namun mereka saling mencinta, melebihi suami isteri yang menikah dengan sah.
Thian Sin dan Kim Hong hidup berdua di sebuah pulau kosong yang bernama Pulau Teratai Merah, jauh dari daratan Tiongkok. Mereka hidup di pulau kosong itu dengan penuh kebahagiaan, tetangga mereka hanya penghuni pulau-pulau lainnya yang berdekatan dan kadang-kadang mereka naik perahu mendarat. Sudah tiga tahun lamanya mereka bertualang berdua, penuh kasih sayang, penuh kebahagiaan dan menghadapi apapun, mereka bersatu padu, saling mencinta, saling setia, walaupun kekerasan hati masing-masing membuat mereka kadang-kadang bercekcok! Akan tetapi, setiap percekcokan mereka seolah-olah merupakan pupuk bagi cinta kasih mereka karena setiap kali habis bercekcok, mereka menjadi lebih mesra lagi! Demikianlah riwayat singkat dari Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, dua sejoli yang sama cantik sama tampan, juga sama lihai ini. Telah lama Ceng Thian Sin tidak lagi mau menggunakan nama julukan Pendekar Sadis, juga Toan Kim Hong tidak lagi menggunakan nama julukan Lam-sin. Betapapun juga, para tokoh haum sesat masih ngeri mendengar kedua nama julukan ini. Setelah berkenalan sejenak dengan Thian Sin dan Kim Hong, mari kita lanjutkan dengan mengikuti perjalanan mereka yang penuh dengan petualangan itu.
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Luka-luka yang diderita oleh petani tua itu amat parah, Thian Sin dan Kim Hong melihat kenyataan ini dan mereka berdua hanya dapat memberi obat untuk mengurangi rasa nyeri saja, akan tetapi mereka maklum bahwa nyawa petani itu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Petani itu agaknya juga merasa bahwa keadaannya amat parah dan bahwa dia harus meninggalkan rahasianya kepada dua orang yang telah menolongnya itu, maka dengan suara tersendat-sendat dan napas terengah-engah dia lalu menceritakan keadaannya.
Petani itu bernama Ciang Gun, hidup di dusun Cin-bun-tang bersama dengan isterinya dan seorang puteranya yang sudah berusia duapuluh lima tahun. Keadaan mereka sedemikian sederhana dan miskinnya sehingga untuk mengawinkan Ciang Kim Su saja, yaitu putera tunggal mereka, tidak ada biaya. Sebidang tanah yang tidak begitu subur menjadi sumber nafkah mereka, hanya cukup untuk mencegah mereka mati kelaparan saja. Itupun mereka bertiga, Ciang Gun, isterinya dan Ciang Kim Su, harus mengerahku tenaga bekerja di ladang mereka.
Pada suatu hari, kurang lebih setahun yang lalu, karena membutuhkan air yang mahal karena musim kering terlampau lama, keluarga ini menggali sumur di tengah ladang mereka. Ketika mereka sudah menggali tanah sedalam kurang lebih dua meter, cangkul mereka bertemu dengan sebuah peti hitam kecil. Dengan hati penuh ketegangan mereka mengeluarkan peti itu, membukanya dan di dalam peti itu mereka menemukan sebuah peta dengan catatan huruf-huruf kuno, dan sebuah kunci yang terbuat dari pada emas.
"Kunci ini terbuat dari emas!" kata isteri Ciang Gun. "Cukup untuk dapat ditukar dengan beberapa karung gandum!"
"Dan sebaglan untuk membeli bibit!" kata Ciang Gun girang.
Akan tetapi Kim Su, putera mereka yang pernah duduk di bangku sekolah walaupun hanya untuk dua tahun, menggeleng kepala. "Ayah dan ibu, kurasa kita telah menemukan sesuatu yang amat berharga, yang jauh lebih berharga dari pada kunci emas ini."
Ayah itu memandang wajah puteranya dengan heran. "Maksudmu, gambaran corat-coret ini?"
Kim Su mengangguk. "Ini adalah sebuah peta dan kurasa peta ini menunjukkan tempat penyimpanan sesuatu yang amat berharga dan kunci ini untuk membukanya. Bayangkan saja. Baru kuncinya terbuat dari emas, apa lagi barang-barang yang disimpan di dalam tempat terkunci itu!"
"Harta karun...?" Ayahnya bertanya dan ibunya terbelalak.
"Aku belum tahu benar, ayah. Itu hanya dugaanku. Sayang bahwa huruf-huruf ini amat kuno dan aku tidak dapat membacanya. Akan tetapi, bukankah paman Su yang tinggal di kota raja mengenal banyak sasterawan pandai?"
"Kau benar, Kim Su!" kata ibunya yang merasa bangga akan adiknya yang tinggal di kota raja dan yang dianggapnya memiliki pengetahuan banyak dan kenalan-kenalan orang besar. "Dia tentu dapat membantumu membaca huruf-huruf itu."
"Sebaiknya, sekarang juga aku berangkat ke kota raja membawa peta ini, ayah. Dan kuncinya ayah simpan saja baik-baik, jangan sampai hilang dan menunggu sampai aku pulang dari kota raja dan mengetahui rahasia peta ini."
Berangkatlah Kim Su ke kota raja dan ayah ibunya menanti dengan penuh harapan. Akan tetapi, bulan berganti bulan dan sampai setahun lamanya Kim Su tidak pulang, juga tidak pernah ada beritanya ke rumah. Setelah lewat setahun lebih, pada suatu siang muncullah empat orang laki-laki yang sikapnya kasar. Kakek Ciang Gun menerima kedatangan mereka dengan heran dan menanyakan maksud kedatangan mereka.
Seorang di antara mereka yang bercodet di pipi kirinya, dengan suara lantang menerangkan maksud kedatangan mereka. "Kami disuruh oleh Ciang Kim Su..."
Baru sampai di sini, kakek dan isterinya itu girang bukan main. "Bagaimana kabarnya dengan Kim Su" Di mana dia sekarang dan mengapa sampai sekarang dia tidak pulang dan tidak memberi kabar" Apakah dia telah bertemu dengan pamannya?" Pertanyaan bertubi-tubi diajukan oleh suami isteri itu kepada empat orang pengunjung ini.
"Dia baik-baik saja dan dia menyuruh kami untuk datang mengabarkan kepada lopek berdua bahwa semua urusan berjalan beres. Dia menyuruh kami datang untuk menerima sebuah kunci dari lopek." Sambil berkata demikian, si codet ini memandang tajam kepada petani tua itu.
Ciang Gun mengerutkan alisnya. "Kunci" Kunci apa?" Biarpun dia seorang petani dusun, namun dia telah hidup cukup lama untuk dapat mengenal ciri-ciri orang yang tidak dapat dipercaya dan dia tidak percaya kepada empat orang ini. Selain itu, puteranya ketika hendak pergi dahulu pernah berpesan bahwa kunci emas itu tidak boleh diberikan kepada siapapun juga selain kepadanya sendiri. Bahkan membicarakan soal kunci emas itupun dilarang.
"Sebuah kunci emas!" Si codet mendesak.
"Kunci emas..." Aku tidak mengerti." Ciang Gun menjawab.
Tiga orang tamu yang lain mengerutkan alis dan kelihatan marah, akan tetapi si codet memberi isyarat dengan tangannya agar mereka bersabar. "Kamipun tidak tahu. Puteramu itu, Ciang Kim Su, hanya menyuruh demikian dan katanya engkau akan mengerti sendiri, lopek."
"Tapi... tapi..." "Jangan ragu-ragu, lopek. Kami berempat adalah sahabat-sahabat baik puteramu dan Kim Su yang mengutus kami. Serahkan saja kunci emas itu kepadaku, lopek."
"Tidak mungkin!" Tiba-tiba isteri petani itu berteriak. "Tidak mungkin Kim Su bersahabat dengan kalian!"
Empat orang itu kini menjadi marah dan mereka mengurung suami isteri itu. Si codet kini menanggalkan kedok matanya dan dengan suara geram dia mendekati petani itu dan menghardik, "Tidak perlu banyak cerewet lagi. Serahkan kunci emas itu kalau engkau ingin selamat!"
Ciang Gun terkejut sekali dan mukanya pucat, matanya terbelalak dan dia cepat mundur-mundur sambil menggeleng kepala. Isterinya, seorang wanita yang berani karena sejak kecil sudah terlampau kenyang menghadapi hidup sukar, kini melangkah ke depan, seperti hendak melindungi suaminya dan membentak dengan suara marah, "Kalian ini orang-orang jahat! Sejak tadi aku tidak percaya bahwa anak kami bersahabat dengan orang-orang seperti kalian. Hayo kalian pergi dari sini! Kami orang-orang miskin tidak mempunyai apa-apa..."
"Pkakkk!" Sebuah tamparan yang keras membuat tubuh wanita itu terpelanting dan roboh di atas tanah. Suaminya berteriak kaget, akan tetapi hanya dapat memandang dengan mata terbelalak saja ketika melihat si codet itu menubruk ke depan, menginjak punggung isterinya dengan lutut dan mencengkeram rambut wanita itu keras-keras ditarik ke belakang.
"Petani busuk! Serahkan kunci emas atau leher binimu akan kupatahkan!"
"Tidak... tidak... jangan kaulakukan itu. Lepaskan isteriku... harap kalian jangan sekejam itu..." Petani itu meratap.
"Serahkan kunci emas dan kalian akan selamat!" Si codet menghardik lagi.
"Jangan berikan!" Tiba-tiba isteri petani itu berteriak lantang kepada suaminya. "Jangan berikan. Ingat, mungkin anak kita telah mereka bunuh pula!"
Teriakan isterinya ini mengingatkan si petani dan wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada si codet yang membekuk isterinya itu dan petani ini menggeleng kepala keras-keras.
"Ciang Gun, lekas berikan kunci emas itu kepada kami, atau engkau akan melihat isterimu kami siksa sampai mati, kemudian engkau sendiripun akan kami siksa sampai mati dan akhimya kunci itupun akan dapat kami rampas!"
"Jangan percaya! Mereka ini penjahat-penjahat kejam, pembohong dan penipu semua!" isterinya menjerit lagi memperingatkan suaminya.
"Tangkap dia, geledah seluruh rumah!" bentak si codet kepada teman-temannya dan seorang di antara mereka menubruk kakek Ciang Gun, merobohkannya dan mengikat kaki tangannya. Isteri petani itu juga diikat kaki tangannya dan empat orang itu lalu menggeledah-geledah pakaian yang mereka pakai sampai hampir menelanjangi mereka. Setelah tidak berhasil menemukan kunci emas pada tubuh mereka, empat orang itu menggeledah seluruh tempat di dalam rumah itu, mengobrak-abrik semua barang. Akan tetapi tetap saja kunci itu tidak dapat mereka temukan. Mengertilah si codet bahwa kunci emas itu tentu disembunyikan oleh suami isteri itu di suatu tempat yang sukar untuk dapat dia temukan tanpa pemberitahuan mereka berdua.
"Hayo katakan, di mana kunci emas itu!" si codet menghardik sambil menjambak rambut isteri petani itu. Akan tetapi wanita tua yang sudah nekat ini memandang penuh kebencian dan ia meludah.
"Cuhh! Engkau boleh membunuh kami, akan tetapi jangan harap dapat menemukan kunci itu!"
"Plak! Plakk!" Dua kali si codet menampar lalu meninggalkan wanita itu yang berdarah pada mulutnya akan tetapi yang sedikitpun tidak mengeluh. Kini codet kejam itu menghampiri Ciang Gun.
"Hayo katakan, di mana kunci itu" Atau engkau lebih senang melihat isterimu kusembelih di depan matamu?"
"Suamiku, jangan katakan! Jangan kira dia akan melepaskanmu kalau kunci kauserahkan. Kita serahkan, tetap saja kita akan mereka bunuh. Biarlah kita mati, berkorban demi anak kita. Jangan beritahukan, jangan serahkan kunci!"
"Perempuan keparat!" Si codet meninggalkan petani itu, melompat ke dekat si wanita dan menendang tubuh yang terbelenggu itu sampai bergulingan dekat suaminya. Kakek Ciang Gun memejamkan matanya dan menangis.
"Kuatkan hatimu, suamiku. Paling-paling kita mati, akan tetapi mereka ini, binatang-binatang buas ini takkan dapat merampas kunci kita, demi untuk Kim Su... aughhh..."
Sebuah tendangan mengenai dadanya dan wanita itu tak mampu bicara lagi. Si codet mencabut goloknya dan memodongkan goloknya pada leher wanita yang sudah setengah pingsan itu.
"Petani busuk, engkau lebih memberatkan kunci keparat itu dari pada nyawa isterimu" Lihat ini!" Ujung golok itu menggores sedikit kulit leher. Darah muncrat membasahi leher dan baju. Melihat ini, kakek Ciang Gun kembali memejamkan matanya dan dia tidak mampu bersuara lagi, hanya menggeleng-geleng kepala keras-keras sambil menangis.
"Hi-hi-hik! Kalian anjing-anjing busuk, tak mungkin dapat memaksa suamiku. Dia adalah seorang gagah, benar, suamiku seorang gagah perkasa yang tak takut mati!"
Ujung golok itu menusuk dada dan kembali darah muncrat.
"Petani Ciang, sekali lagi, kunci emas itu atau nyawa isterimu?"
"Suamiku, kutunggu engkau di akhirat..." Isterinya masih sempat menjerit sebelum golok itu membacok lehernya dan iapun tewas seketika.
Blarpun dia memejamkan kedua matanya, petani itu dapat mengikuti penderitaan isterinya melalui pendengarannya dan telinga pulalah yang memberi tahu kepadanya akan keadaan isterinya. Dia membuka matanya dan melihat isterinya menggeletak dengan mandi darah dan tidak bergerak-gerak lagi. Dia hanya dapat merintih dan memanggil nama isterinya sambil menangis.
"Lihat, isterimu mati karena membandel. Hayo kaukatakan, di mana kunci itu!" Si codet membentak.
"Kalian bunuhlah aku! Bunuhlah aku...!" Kakek Ciang Gun berteriak-teriak dan menangis. Si codet menendang dan memukulinya, akan tetapi tidak sampai membunuhnya karena para penjahat ini maklum bahwa mayat tidak mungkin dapat memberitahukan di mana adanya kunci emas yang mereka cari-cari itu. Bahkan atas isyarat si codet, mereka lalu meninggalkan kakek Ciang Gun setelah membebaskannya dari belenggu, membiarkan kakek itu menangisi isterinya. Kakek itu, dibantu oleh para tetangganya yang tidak ada yang berani mencampuri urusan itu, mengubur jenazah isterinya dan berkabung dengan penuh kedukaan. Empat orang penjahat itu tidak muncul lagi. Akan tetapi kakek Ciang teringat akan nasihat dan kata-kata isterinya yang diucapkan di waktu mereka menghadapi penjahat-penjahat itu, maka diapun dapat menduga bahwa tentu para penjahat itu tidak mau melepaskan dia begitu saja. Dia menduga bahwa para penjahat itu tentu diam-diam membayanginya.
Untuk meyakinkan dugaan hatinya, beberapa hari kemudian, pada tengah malam, kakek Ciang diam-diam meninggalkan rumahnya lalu pergi ke sudut ladangnya, berindap-indap. Kemudian, seperti habis mengambil sesuatu, dia kembali ke rumahnya dan benar saja seperti yang telah diduganya, begitu memasuki rumahnya, di situ telah menanti empat orang penjahat itu!
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Engkau telah mengambilkan kunci itu untuk kami, ya" Serahkan kepadaku!" kata si codet.
Kakek Ciang menggeleng kepala. "Tidak ada kunci!"
Si codet marah dan menubruk maju. Kakek itu dipegangi dan digerayangi seluruh tubuhnya, akan tetapi memang benar tidak ada ditemukan kunci padanya. Kembali, seperti tempo hari, rumah itu diobrak-abrik, akan tetapi semua usaha itu sia-sia saja, tidak mereka temukan kunci yang dicari-cari. Setelah memukuli kakek itu tanpa membunuhnya untuk melampiaskan kedongkolan hati, mereka lalu meninggalkan Ciang Gun yang hanya dapat mengeluh dan meratapi nasibnya yang buruk. Semenjak ditemukan benda aneh dari dalam tanah itu, keluarganya tertimpa malapetaka hebat. Isterinya mati dibunuh penjahat, anaknya masih belum diketahui nasibnya dan dia sendiri kini berada dalam ancaman penjahat-penjahat kejam.
Kakek Ciang tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Pertama-tama, dia harus dapat melepaskan diri dari pengamatan para penjahat itu, kemudian mengambil kunci emas yang disimpannya di suatu tempat tersembunyi. Setelah itu, dia harus cepat pergi ke kota raja menyusul anaknya. Hanya itulah satu-satunya jalan. Dia pernah pergi ke kota raja menengok adik laki-laki isterinya, yaitu alamat yang hendak dikunjungi oleh Kim Su ketika pemuda itu meninggalkan dusun menuju ke kota raja.
Kakek Ciang mencari kesempatan dan kesempatan itu terbuka baginya ketika dia mengadakan sembahyangan untuk arwah isterinya. Para tetangga berdatangan pada malam hari itu dan seperti telah diduganya, dalam keadaan menerima tamu-tamu para tetangga, para penjahat agak lengah. Para penjahat yang mengamati dan membayanginya tentu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek itu akan melarikan diri justeru pada malam hari ketika para tetangga menjadi tamunya itu.
Petani Ciang Gun berhasil menyelinap pergi malam itu. Bahkan para tetangganya yang menjadi tamunya pada malam itupun tidak tahu akan kepergiannya. Mereka mengira bahwa tuan rumah itu pergi ke belakang, ke kamar mandi untuk buang air atau sebagainya. Setelah lama dia tidak muncul, barulah para tamu menjadi heran dan mencari-carinya tanpa hasil. Kakek Ciang telah pergi dan tak seorangpun tahu ke mana perginya! Tentu saja empat orang penjahat yang mengamati tempat itu dari jauh menjadi bingung dan marah-marah. Mereka mencari ke sana sini tanpa hasil pula. Sambil menyumpah-nyumpah mereka lalu berpencaran dan mencari terus.
Ciang Gun berhasil menyelinap pergi dan mengambil kunci emas yang disembunyikan di antara akar pohon besar. Kemudian dia membawa kunci itu, diikatkannya di pinggang dan larilah petani ini pada malam hari itu juga meninggalkan dusunnya, menuju ke kota raja. Karena para penjahat yang mengamatinya tidak mengira bahwa kakek ini berani melarikan diri ke kota raja, maka mereka mencari di sekitar dusun dan karena ini, petani Ciang memperoleh banyak waktu untuk melarikan diri dengan aman.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang petani lemah biasa saja sedangkan para pengejarnya adalah penjahat-penjahat yang ulung. Empat orang penjahat itu berpencar, bahkan mereka sudab menghubungi kawan-kawan mereka yang mencari ke berbagai jurusan. Oleh karena itu, tidak aneh ketika tiba di daerah An-keng, jejak petani Ciang itu ditemukan dan dia dikejar-kejar oleh dua orang penjahat. Dan seperti telah kita ketahui, secara kebetulan dia tertolong oleh sepasang pendekar yang sakti, yaitu Pendekar Sadis dan kekasihnya, yang berhasil menyelamatkannya setelah petani itu menderita luka-luka berat.
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Setelah selesai menceritakan riwayatnya, kakek petani itu memandang kepada Thian Sin dan Kim Hong dengan napas empas-empis, tinggal satu-satu. Diapun tahu bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk hidup, maka harapannya untuk dapat menyampaikan kunci emas kepada puteranya hanyalah muda mudi yang gagah perkasa ini.
"Ji-wi (anda berdua)... telah menolongku... ji-wi terimalah ini..." Dia mengeluarkan kunci emas yang digantungkan pada lehernya itu. "Carilah Kim Su di kota raja... petanya ada padanya... ji-wi adalah orang-orang gagah yang baik... bantulah dia membuka rahasia harta karun itu... bagi-bagilah antara kalian... dan..." Kakek itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, terkulai dan tewas.
Thian Sin cepat memeriksa dan saling pandang dengan Kim Hong. Kemudian dengan sederhana mereka berdua lalu mengubur jenazah kakek itu di tepi telaga. Karena adanya rahasia kunci emas di tangan mereka, kedua orang ini merasa tidak perlu untuk memberi tahu orang lain atau melaporkan kepada petugas keamanan tentang adanya peristiwa itu.
Setelah mereka selesai mengubur jenazah petani itu, Kim Hong bertanya, "Apa yang akan kita lakukan sekarang dengan kunci emas ini" Mencari orang bernama Ciang Kim Su itu?"
"Kau tertarik?" balas tanya Thian Sin.
Yang ditanya tersenyum, semacam senyuman yang tak pernah gagal mengguncangkan hati pemuda yang jatuh cinta itu. Diciumnya Kim Hong karena Thian Sin tidak pernah dapat menahan hatinya untuk tidak mencium setiap kali melihat senyum khas ini, sehingga bagi keduanya, senyuman khas itu seperti menjadi tanda agar Thian Sin mencium Kim Hong! Cinta kasih antara pria dan wanita memang melahirkan atau menciptakan bahasanya sendiri tanpa kata!
"Kau tahu, aku bukan gila harta. Akan tetapi aku kasihan kepada petani itu yang telah menjadi korban kejahatan dan ingin tahu apakah anaknya itu masih hidup. Selain itu, biarpun kita tidak gila harta, kalau benar ada harta karun sampai terjatuh ke tangan penjahat, kan sayang?"
Thian Si mengangguk. "Bagaimanapun juga, kakek petani itu telah percaya kepada kita dan pesan terakhir seorang yang mati sungguh tak baik untuk diabaikan begitu saja."
"Jadi kita ke kota raja?"
"Bagaimana kaupikir sebaiknya?" Thian Sin balas bertanya sambil memandang dengan sikap bertanya dan menguji. Kim Hong memang tidak perlu banyak bicara dengan kekasihnya ini. Dari pandang mata saja mereka sudah dapat saling mengutarakan isi hati masing-masing. Dara cantik itu tersenyum manis, bukan senyuman khas minta cium.
"Mari kita tulis pendapat masing-masing," katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berjongkok, membuat corat-coret di atas tanah. Thian Sin tersenyum dan juga membalikkan tubuhnya, seperti juga yang dilakukan kekasihnya itu dia mencorat-coret di atas tanah. Hampir berbareng mereka selesai dan tanpa bicara, keduanya membaca tulisan masing-masing. Mereka lalu tertawa dan saling rangkul. Tulisan mereka, walaupun dengan kalimat yang berbeda, isinya sama! Mereka berdua berpendapat bahwa mereka akan mempergunakan kunci itu untuk memancing datangnya para penjahat sebagai pintu atau jembatan pertama ke arah perkara kakek petani itu!
Mereka masih tertawa-tawa geli dan juga girang ketika mereka kembali ke rumah penginapan mereka di kota An-keng, berjalan bergandeng tangan dan tidak tergesa-gesa karena mereka sengaja hendak meninggalkan jejak atau memberi kesempatan kepada para penjahat untuk membayangi mereka dan mengetahui di mana mereka tinggal. Akan tetapi, begitu tiba di dalam kamar di rumah penginapan, diam-diam Thian Sin mempergunakan kepandaiannya untuk lolos dari dalam kamar, membawa kunci emas itu dan pergilah dia ke tukang pembuat perhiasan emas dan minta kepada tukang itu untuk membuatkan sebuah kunci emas untuknya. Tentu saja banya bentuknya yang mirip, akan tetapi dengan mata kunci yang jauh berbeda. Setelah selesai, dibawanya kunci emas palsu itu kembali ke hotel dan dia memberikan kunci emas yang aseli kepada Kim Hong, sedangkan yang palsu dia simpan dalam saku bajunya. Setelah membuat persiapan ini merekapun hanya tinggal menanti.
Dan mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga, selagi keduanya duduk di serambi samping rumah penginapan, menghadapi taman bunga yang diatur cukup nyeni bercakap-cakap menikmati malam cerah penuh bintang dan merasakan nyamannya angin malam bersilir sepi, tiba-tiba nampak sinar berkelebat karena adanya benda meluncur tertimpa sinar lampu. Akan tetapi, dua orang muda perkasa itu dapat mengikuti luncuran benda ini dengan pandang mata mereka dan maklum bahwa benda itu masih jauh dari tubuh mereka.
"Ceppp!" Sebatang pisau runcing menancap di daun jendela di belakang mereka, hanya lewat beberapa belas sentimeter di atas kepala mereka. Kalau bukan ahli yang telah memiliki kematangan dalam ilmu silat sehingga ilmu itu seolah-olah sudah mendarah daging di tubuh mereka, tentu keduanya tadi sudah kaget dan mengelak. Kim Hong hendak meloncat ke arah datangnya pisau, akan tetapi sentuhan halus tangan Thian Sin menahannya dan iapun melirik ke arah jendela, melihat bahwa pisau itu membawa sesampul surat yang kini tertancap di daun jendela. Mengertilah ia akan maksud kekasihnya. Pihak lawan telah mulai mengadakan hubungan dan karena lawan mengirim surat, maka tidak baik kalau mempergunakan kekerasan. Pula, yang melemparkan pisau secara ahli itupun tentu hanya merupakan anak buah belaka dan tidak ada artinya kalau hanya berurusan dengan anak buah.
Isi surat itu singkat saja, ditulis oleh orang yang agaknya lebih biasa memegang golok dan pedang dari pada pena. Namun cukup jelas bagi Thian Sin dan Kim Hong yang membaca bersama.
"Kalian mengetahui rahasia Ciang Gun, kami mengetahui rahasia Ciang Kim Su. Kita dapat saling menukar pengetahuan itu besok pagi di hutan cemara sebelah utara telaga."
Surat itu tidak ditandatangani akan tetapi isinya sudah jelas. Pihak penjahat, agaknya teman-teman dari dua orang penjahat yang menyerang mendiang Ciang Gun, menawarkan semacam kerjasama atau saling menukar rahasia. Tentu maksud mereka untuk mengetahui sebagian dari rahasia yang ditemukan keluarga petani Ciang.
"Hemm, umpan mulai didekati ikan," kata Thian Sin sambil merobek-robek surat itu.
"Baik kalau yang mendekati itu ikan kakap, bagaimana kalau hanya teri?" kata Kim Hong.
"Kakap atau teri, setidaknya lebih mendekatkan kita kepada rahasia Ciang Kim Su. Melalui mereka kita dapat mengetahui tentang putera petani itu dan ke mana harus mencarinya, atau apa yang telah terjadi dengan dirinya. Nah, kita boleh bersabar sampai besok pagi."
Pada keesokan harinya, setelah semalam tidak terjadi sesuatu yang mengganggu tidur mereka, pergilah Thian Sin dan Kim Hong menuju ke luar kota An-keng, ke hutan cemara yang berada di sebelah utara telaga. Sunyi sekali tempat di hutan itu, bukan hanya karena hari masih terlalu pagi, melainkan karena memang tempat ini jarang didatangi pelancong. Tempat ini agak liar dan pemandangannya juga tidak indah, di antara pohon-pohon cemara terdapat banyak semak-semak belukar yang berduri dan jalannyapun tidak rata. Karena sunyinya, jarang ada yang tertarik untuk mendatangi tempat ini, apa lagi tempat-tempat yang sunyi biasanya merupakan daerah rawan.
Dengan sikap tenang, seperti sepasang suami isteri muda pelancong saja, Thian Sin dan Kim Hong memasuki hutan ini. Biarpun hutan, akan tetapi karena pohon-pohonnya adalah pohon cemara, maka tidaklah begitu rimbun dan gelap. Cahaya matahari pagi mulai menerobos di antara celah-celah batang dan daun pohon, menciptakan berkas-berkas cahaya yang putih kekuningan dan amat indahnya. Burung-burang pagi berkicau di antara pohon-pohon cemara, menambah indahnya suasana dan kegembiraan yang mendalam terasa sekali dalam hati muda mudi itu. Mereka adalah dua orang pendekar yang sudah terlalu sering menghadapi bahaya-hahaya besar, maka urusan yang mereka hadapi sekarang ini merupakan persoalan kecil saja yang sama sekali tidak mengganggu ketenangan batin mereka, bahkan ketika mereka berdua menikmati suasana hening di pagi hari itu, urusan kunci emas sudah mereka lupakan!
Akan tetapi, panca indera mereka yang terlatih dan amat tajam segera membuyarkan keheningan itu. Mereka maklum bahwa terdapat banyak sekali orang, ada dua puluh orang lebih yang diam-diam berada di sekitar tempat itu dan diam-diam telah mengurung mereka dari jarak jauh. Akan tetapi keduanya hanya saling pandang saja sambil tersenyum-senyum, seperti dua orang dewasa yang melihat tingkah anak-anak kecil yang nakal. Kemudian, muncullah dua orang laki-laki dari balik semak-semak. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang pendek, gendut berkepala botak bermata lebar. Di punggungnya tergantung sebatang ruyung yang besar dan berat dan kakek yang usianya sudah lima puluh lebih ini nampak kuat sekali. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya kurus kering dan mukanya seperti tikus, membayangkan kelicikan dan kecerdikan. Melihat dua orang ini menghadang di depan dan bersikap seolah-olah mereka itu hanya berdua saja, Thian Sin dan Kim Hong kembali saling pandang dan mengulum senyum. Mereka segera maju menghampiri dan Thian Sin lalu bertanya dengan suara ramah.
"Maaf, kami mencari orang yang mengenal Ciang Kim Su. Dapatkah ji-wi menunjukkan?"
Si pendek gendut tertawa bergelak, suara ketawa yang kasar dan biarpun dia sudah mendengar bahwa sepasang orang muda ini sudah mengalahkan dua orang pembantunya yang paling lihai, yaitu si codet dan temannya, akan tetapi melihat keadaan pemuda dan gadis itu, si gendut ini memandong rendah. Betapapun juga, karena dia membutuhkan kunci emas yang diduganya tentu berada pada muda mudi ini, dia memaksa diri bersikap ramah. Setelah tertawa, dia berkata, "Kamilah orangnya yang mengenal Ciang Kim Su. Kalian berdua mengenal Ciang Gun. Nah, mari kita saling menukar pengetahuan kita."
Thian Sin mengangguk-angguk, nampak gembira seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh, mudah untuk ditipu orang. "Baik sekali. Nah, harap engkau suka memberi tahu kepada kami tentang Ciang Kim Su, dan kami akan memberi tahu tentang rahasia Ciang Gun."
"Tentang kunci emas?" tanya si gendut sambil memandang tajam. Dia masih meragukan dan tidak mau lancang turun tangan sebelum dia tahu pasti apakah muda mudi ini telah menguasai kunci emas. Kalau belum, dia tidak akan turun tangan, karena kini setelah kakek Ciang Gun meninggal dunia, kiranya orang-orang yang tahu akan kunci emas itu hanyalah muda-mudi ini.
"Benar, tentang kunci emas. Nah, ceritakan dulu tentang pemuda putera petani itu."
"Dan engkau akan menunjukkan kepada kami di mana adanya kunci emas?"
"Benar sekali." jawab Thian Sin. Tentu saja kakek gendut yang merupakan kepala gerombolan penjahat itu menjadi girang sekali. Kegirangan ini dicobanya untuk ditutupi, akan tetapi masih nampak jelas oleh Thian Sin dan Kim Hong.
"Baik, dengarlah ceritaku. Pemuda petani tolol Ciang Kim Su itu telah tiba di kota raja setahun yang lalu. Dia berhasil menemui pamannya, yaitu Su Tong Hak yang menjadi pedagang rempah-rempah di kota raja. Mereka berdua membagi peta rahasia harta karun yang dibawa pemuda dari dusun itu menjadi dua dan masing-masing menyimpan potongan peta. Akan tetapi, tiba-tiba saja pemuda itu menghilang dan karena mereka berdua itu ceroboh, rahasia mereka ketahuan oleh Mo-ko." Si gendut itu berhenti dan menarik napas panjang.
"Mo-ko" Siapakah itu?"
"Ah, engkau tidak mengenal Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang menjadi raja dunia hitam di kota raja?" si gendut itu bertanya dengan heran. Hampir semua orang kang-ouw mengenal Mo-ko, kenapa muda mudi ini tidak mengenalnya"
"Kami fidak mengenalnya, akan tetapi... lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana engkau sendiri sampai mengetahui rahasia itu?" kata Thian Sin.
Si gendut pendek itu tertawa, "Pat-pi Mo-ko boleh jadi lihai dan menjadi raja dunia hitam di kota raja, akan tetapi aku Liong-tut-pian Ban Lok, tidak ada keduanya di kota raja dalam hal membongkar rahasia orang! Sebelum diketahui oleh Mo-ko, aku telah mengetahui lebih dahulu rahasia besar yang dibawa dari dusun oleh pemuda she Ciang itu, bahkan aku tahu bahwa selain peta rahasia itu, terdapat pula kunci emasnya yang dipegang oleh ayah pemuda itu. Tanpa adanya kunci emas ini, peta itupun tidak akan ada gunanya."
"Jadi peta itu dibagi dua, masing-masing bagiannya disimpan oleh Su Tong Hak dan Ciang Kim Su yang lenyap secara tiba-tiba?" tanya pula Thian Sin.
Si gendut mengangguk. "Benar dan apa yang kuceritakan ini adalah yang sebenarnya. Nah, aku telah menceritakan tentang peta dan Ciang Kim Su, sekarang giliranmu untuk menukarnya dengan penjelasanmu tentang kunci emas..."
Thian Sin menepuk kantung di bajunya. "Kunci emas itu telah berada di sini, oleh kakek Ciang Gun diberikan kepadaku sebelum dia tewas karena luka-luka di tubuhnya yang dilakukan oleh anak buahmu."
Mendengar ini, sinar aneh terpancar dari sepasang mata kakek gendut itu ketika dia memandang ke arah baju Thian Sin. Akan tetapi, si gendut yang mengaku bernama Ban Lok dan berjuluk Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga) itu agaknya menahan keinginan hatinya untuk dapat segera merampas kunci yang diinginkannya itu.
"Kalau aku tidak melihat sendiri, bagaimana aku dapat percaya omonganmu" Siapa tahu engkau membohong atau kunci itu hanya kunci palsu belaka?"
"Kalau orang tidak percaya kepada kita, perlu apa kita melayaninya?" Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan sikap mendongkol. "Mari kita pergi saja mencari kerjasama dengan orang lain yang akan lebih dapat menghargai dan percaya kepada kita!"
Melihat Tbian Sin dan Kim Hong hendak pergi, Ban Lok cepat berkata, "Eiit, nanti dulu. Aku sudah memberi keterangan tentang rahasia pemuda she Ciang itu, dan kalian belum memberi penukarnya. Bukan aku tidak percaya, hanya aku harus berhati-hati karena aku belum mengenal kalian. Nah, biarkan aku melihat kunci itu."
Thian Sin memperlihatkan sikap ragu-tagu dan khawatir, sikap orang yang merasa enggan berpisah dari sebuah benda yang amat berharga, lalu mengeluarkan kunci emas dari saku bajunya sebelah dalam. Setelah mengirim pandang mata curiga, dia lalu mengacungkan kunci emas itu ke atas dan berkata, "Nih, lihatlah. Kunci emas yang tulen!"
Sinar matahari pagi menimpa kunci emas itu dan nampaklah sinar mencorong membuat Ban Lok menelan ludahnya dan matanya bersinar-sinar. Memang sebuah kunci emas tulen! Dia mengulur tangan hendak meraih, akan tetapi Thian Sin menariknya kembali. "Lihat sajapun cukuplah...!" katanya.
Si gendut itu mendelik. "Kau tidak percaya padaku" Bagaimana hatiku dapat yakin kalau hanya melihat" Aku harus memegangnya dan memeriksanya dengan teliti." Dia menghardik disertai sikap mengancam.
"Berikanlah, dari pada ribut-ribut!" terdengar Kim Hong berkata, sikapnya agak takut-takut membuat kepala penjahat itu tersenyum mengejek. Thian Sin menyerahkan kunci emas itu dan Ban Lok yang gendut cepat menyambarnya dan memeriksanya dengan jantung berdebar penuh rasa tegang dan gembira. Sebuah kunci yang benar-benar terbuat dari pada emas dan bentuknya aneh dan kuno. Emas itu saja sudah menjanjikan harta karun yang tentu luar biasa besarnya. Tiba-tiba, sambil menyimpan kunci emas itu di delam saku bajunya sebelah dalam, Ban Luk meloncat ke belakang dan berteriak kepada anak buahnya yang masih bersembunyi di belakangnya.
"Serbu dan bunuh mereka!"
Thian Sin dan Kim Hong sama sekali tidak merasa kaget melihat betapa dari balik semak-semak dan pohon-pohon besar muncul berlompatan banyak sekali orang-orang kasar. Jumlah mereka kurang lebih ada tiga puluh orang dan mereka semua membawa senjata tajam dan kini mereka telah bergerak mengurung. Akan tetapi, Thian Sin bersikap kaget dan penasaran.
"Eh, apa artinya ini" Kembalikan kunci emas itu kepadaku!"
Kepala penjahat yang gendut itupun membuang sikap palaunya dan dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Kalian sudah mendengar rahasia peta yang kuceritakan tadi, berarti kalian tidak boleh hidup lebib lama lagi. Sudah berbulan-bulan aku mencari kunci ini, setelah kudapatkan, mana mungkin kulepas lagi?"
"Curang! Engkau sudah berjanji saling menukar keterangan!" Kim Hong berteriak.
Kembali kepala penjahat itu tertawa bergelak. "Engkau seorang wanita yang cantik sekali, untung bertemu denganku sehingga engkau akan mati tanpa ternoda. Kalau engkau bertemu dengan Pat-pi Mo-ko, jangan harap dapat mati seenak itu, tentu engkau akan dipermainkannya sampai rusak binasa. Ha-ha-ha! Hayo serbu...!" Dia memberi aba-aba lagi. Puluhan orang itu memperketat kurungan dan mereka mulai mendekat dengan senjata ditodongkan.
Tentu saja ancaman maut yang bagi orang lain tentu akan menimbulkan kengerian itu, bahkan nampak menggelikan bagi pasangan pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi itu. Thian Sin membuang sikapnya yang pura-pura takut tadi dan diapun tersenyum.
"Baiklah, kalian mencari penyakit sendiri!" Dia dan Kim Hong masih berdiri dengan sikap seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti biasanya ahli silat kalau menghadapi ancaman lawan menghadapi ancaman begitu banyak orang. Mereka hanya saling pandang dan keduanya mengerti apa yang mereka harus kakukan, yaitu menghajar para pengepung itu habis-habisan tanpa melakukan pembunuhan.
Beberapa tahun yang lalu, Ceng Thian Sin terkenal dengan julukan Pendekar Sadis. Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa dia mempunya hati yang amat kejam terhadap para penjahat. Dia amat membenci para penjahat sehingga setiap kali bentrok dengan tokoh-tokoh penjahat, dia bukan hanya menurunkan tangan sakti membunuhnya, akan tetapi menyiksanya terlebih dahulu dengan cara-cara yang amat sadis. Dia memperoleh kenikmatan dengan menyiksa orang-orang yang dianggapnya jahat itu sebagai peluapan rasa dendamnya yang amat besar terhadap para penjahat. Semenjak kccil, dia telah mengalami banyak kesengsaraan hidup sebagai akibat dari perbuatan para penjahat sehingga dia menaruh dendam yang amat hebat. Adapan Toan Kim Hong, wanita muda yang cantik jelita itu, tadinya pernah menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) yang merupakan seorang di antara empat datuk kaum sesat. Iapun amat ganas dan kejam, membunuh lawan dengan tangan dingin (baca tentang Pendekar Sadis dan Lam-sin dalam cerita Pendekar Sadis). Akan tetapi, semenjak keduanya saling bertemu, saling jatub cinta, kemudian bersama-sama menghadapi para pendekar sakti, sampai akhirnya mereka berhadapan dengan para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang mereka cinta, puja dan takuti, keduanya telah berubah. Mereka berdua kini tinggal di Pulau Teratai Merah dan tidak lagi menuruti hati yang ingin membasmi para penjahat. Bahkan keduanya berjanji bahwa mereka akan menghadapi penjahat-penjahat dengan keadilan, bukan lagi dengan kekejaman. Karena inilah maka sekarang, biarpun mereka diancam oleh para penjahat dan bahkan dicurangi, mereka yang saling pandang itu maklum akan isi hati masing-masing, yaitu bahwa mereka masih ingat untuk tidak membunuh orang walaupun mereka harus menghajar kumpulan penjahat yang kejam itu. Karena jumlah mereka yang terlalu banyak dan tidak mungkin tiga puluh orang itu maju serentak melakukan serangan, maka kini begitu gerombolan itu bergerak, hanya ada delapan orang yang dapat maju menggerakkan senjata mereka menyerang Thian Sin dan Kim Hong yang kelihatan masih bersikap enak-enakan dan bagi para penjahat itu dianggap sebagai makanan lunak. Akan tetapi, begitu mereka delapan orang itu maju, tiba-tiba saja nampak dua bayangan berkelebatan dan delapan orang itu merasa seperti disambar halilintar! Delapan orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi dan selamanya mereka itu takkan sanggup menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Tadinya mereka dengan ganas menyerbu dan menyerang pemuda dan gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang muda itu lenyap dan sebagai gantinya, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu dunia tiba-tiba menjadi gelap bagi mereka! Ketika mereka siuman kembali, mereka telah mendapatkim tubuh mereka malang melintang, senjata mereka entah terbang ke mana dan tubuh mereka luka-luka, ada yang benjol-benjol kepalanya, ada yang patah tulang lengannya, ada pula yang memar-memar badannya, ada yang pingsan ada pula yang hanya nanar saja. Pendeknya, secara aneh dan dalam waktu segebrakan saja, delapan orang itu telah terlempar ke sana sini dan terbanting tanpa dapat bangun kembali! Bahkan di antara mereka ada yang tidak sempat lagi berteriak karena sudah keburu tidak sadar.
Melihat ini, kawanan penjahat itu terkejut dan marah sekali. Mereka berebut maju dan mengeroyok dengan buas. Akan tetapi, mereka itu seperti sekumpulan nyamuk menyerbu api lilin saja, karena siapa yang maju lebih dulu tentu terkapar atau terlempar, terbanting keras, berteriak kesakitan den berobohanlah para pengeroyok itu malang melintang, senjata mereka terlempar ke empat penjuru, bahkan ada yang patah-patah bertemu dengan lengan dua orang pendekar muda itu. Menyaksikan kehebatan dua orang muda itu, tentu saja si gendut Ban Lok merasa terkejut den gentar. Boleh jadi dia mendapatkan nama besar dari kepandaiannya atau juga dari kekejamannya, dan julukannya adalah Liong-kut-pian karena senjata ruyungnya itu memang hebat. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang yang kejam dan orang kejam itu biasanya berwatak pengecut dan penakut. Hanya penakut sajalah yang dapat bersikap kejam, karena seorang penakut itu selalu khawatir akan keselamaten dirinya maka dia condong untuk meniadakan ancaman bagi dirinya. Biarpun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa di sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang hebat. Demikian pula halnya dengan Liong-kut-pian Ban Lok ini. Begitu melihat bahwa keadaannya tidak aman baginya, hatinya merasa gentar den lupalah dia akan kedudukannya sebagai seorang kepala atau pemimpin. Kiranya keganasan dan kekejamannya itu hanya menjadi selimut dari kepengecutannya, dan semua keberaniannya hanya timbul karena dia merasa ada banyak anak buah di belakangnya. Biasanya memang demikianlah. Segerombolan orang akan menjadi nekat den berani, akan tetapi kalau seseorang terpisah dari kelompoknya, maka keberaniannyapun akan lenyap.
Ban Lok yang sudah merasa berhasil mengantongi kunci emas, ketika melihat betapa mudahnya sepasang pendekar muda itu merobohkan anak buahnya, lalu mengambil langkah seribu, melarikan diri dari situ untuk menyelamatkan diri dan kunci emas. Melihat ini, Kim Hong berkata kepada kekasihnya. "Thian Sin, kauhajar semua anjing ini dan aku akan mencegah anjing besar melarikan diri!" Tanpa menanti jawaban karena ia sudah tahu bahwa kekasihnya akan menyetujuinya, sekali menggerakkan tubuh, Kim Hong telah meloncat dan melayang dengan kecepatan seekor burung walet terbang, mengejar Ban Lok.
"Ehh...?" Kepala penjahat yang gendut ini terbelalak ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang gadis cantik jelita, berdiri dengan santainya, bertolak pinggang dan tersenyum seperti seorang guru menghadapi seorang murid taman kanak-kanak yang bandel! Lebih terkejut lagi hati kepala garong ini ketika mengenal bahwa gadis ini bukan lain adalah gadis yang dikeroyok tadi. Dia menoleh dan melihat betapa sisa anak buahnya masih mengeroyok si pemuda. Maklumlah dia bahwa dia harus berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kunci emas itu. Maka tangan kanannya moraba ke belakang dan ruyung itu telah berada di tangannya. Ruyung yang mengangkat namanya tinggi-tinggi itu dilintangkan di depan dada. Ruyung itu terbuat dari pada baja dan kelihatan amat berat. Agaknya bentuk ruyung yang diukir seperti ekor ular itulah yang membuat ruyung itu dinamakan Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga), jadi bukanlah tulang naga atau ular sungguh-sungguh.
"Minggir kalau tidak ingin hancur kepalamu!" bentaknya sambil mengamang-amangkan ruyung yang berat itu.
Kim Hong tersenyum mengejek, senyum yang manis sekali akan tetapi kalau orang sudah lama mengenal wanita jelita ini, tentu akan bergidik karena senyum mengejek itu adalah senyuman khas yang menyembunyikan ancaman hebat! "Hati-hatilah main-main dengan ruyung berat itu. Jangan-jangan kepalamu sendiri yang akan terpukul dan pecah. Lebih baik kembalikan kunci emas tadi dan engkau boleh pergi sebagai anak yang baik." Ucapannya sungguh seperti ucapan seorang guru menasihati seorang anak kecil yang nakal. Tentu saja Liong-kut-pian Ban Lok menjadi marah sekali. Dia adalah seorang kepala penjahat yang sudah biasa merampok dan menodong selama puluhan tahun. Kini usianya sudah lima puluh tahun lebih dan dia diperlakukan sebagai anak kecil oleh seorang gadis yang masih begitu muda.
"Bocah lancang bosan hidup!" Bentaknya dan ruyungnya sudah menyambar dengan dahsyat. Melihat gerakan ini, Kim Hong maklum bahwa si gundul ini memang memiliki tenaga besar. Akan tetapi hanya tenaga besar itu sajalah modalnya, di samping kenekatan karena gerakannya tidak menunjukkan ilmu silat yang tinggi. Maka dengan mudahnya ia mengelak hanya dengan menarik kepala ke belakang saja. Ruyung itu lewat di atas kepalanya, membawa suara berdesir dan menimbulkan angin yang kuat sehingga rambut di kepala Kim Hong berkibar dibuatnya.
Ban Lok menjadi semakin penasaran. Dia mengeluarkan suara geraman nyaring dan menggunakan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung). Jurus ini dilakukan dengan gerakan ruyung dari atas menyambar dengan gerakan menyerong ke arah leher lawan. Ketika lawan mengelak, ruyung itu membalik dan menyambar pula ke arah dada, dilanjutkan sambaran ke arah perut. Serangan beruntun ini merupakan perkembangan jurus Hun-in-toan-san. Namun, dengan mudah dan indah, seperti gerakan seorang anak manis bermain loncat tali dengan lincah dan cekatan, Kim Hong berhasil menghindarkan diri dari sambaran ruyung yang bertubi-tubi itu. Ban Lok melanjutlan jurus Hun-in-toan-san yang gagal itu dengan jurus Sin-liong-tiauw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor), tubuhnya memutar dan membalik, ruyungnya mendahului gerakannya sehingga ruyung itu seperti ekor naga yang membalik dan menyambar amat ganasnya. Melihat jurus yang selain cepat kuat juga mematikan ini, Kim Hong mengerutkan alisnya. Kepala penjahat ini terlalu kejam, pikirnya dan ia membayangkan, entah sudah berapa ratus nyawa orang yang tidak berdosa melayang oleh ruyung ini. Melihat sambaran ruyung yang diayun dari belakang dengan gerakan tubuh memutar itu ke arah pinggangnya, Kim Hong mengangkat kaki kirinya dan menotol dengan ujung kakinya ke arah ujung ruyung! Sungguh merupakan perbuatan yang amat berani karena meleset sedikit saja, tentu tulang kakinya akan dihajar ruyung sampai remuk-remuk! Akan tetapi, ternyata ujung sepatunya dapat mendorong dengan tepat sehingga ruyung itu menyeleweng gerakan meluncurnya dan membuat pemegangnya kehilangan keseimbangan dirinya. Ban Lok terkejut dan marah. Tubuhnya terbawa oleh luncuran ruyung sehingga dia terhuyung. Akan tetapi, kepala penjahat ini sengaja membuang diri ke bawah dan menggelundung, tubuhnya yang gendut itu menggelinding seperti bola dan ternyata kepala penjahat ini telah melanjutkan dengai jurus yang dinamakan Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Membajak Tanah). Tubuhnya yang menggelinding ini menyerbu ke arah lawan dan tiba-tiba saja dia meloncat dan menyeruduk dengan ruyungnya ke arat perut Kim Hong. Gerakan ini dahsyat dan berbahaya bukan main. Akan tetapi kini Kim Hong telah mengambil keputusan untuk merobohkan Ban Lok. Ia herdiri tegak dan seolah-olah tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi diam-diam ia menanamkan tenaga sin-kang kepada kedua kakinya. Lalu tangan kirinya membuat gerakan dari samping, menangkis ruyung dan melanjutkan dengan dorongan tangan kanan ke arah ruyung. Sebetulnya, gadis sakti itu bukan menangkis, melainkan memapaki ruyung dengan telapak tangannya, seperti menempel atau menangkap, lalu melanjutkannya dengan mengalihkan tenaga luncuran ruyung itu membuat gerakan menyerong dan membalik. Tenaga luncuran oleh tangan Ban Lok itu masih kuat, kini ditambah tenaga dorongan tangan kanan Kim Hong, melayang ke arah kepala Ban Lok sendiri.
"Prakk...!" Ban Lok mengeluarkan suara mengorok dari lehernya dan tubuhnya terpelanting ke kanan, roboh dengan kepala berlumuran darah, kepala yang sudah retak-retak oleh hantaman ruyungnya sendiri! Kim Hong berdiri dan bertolak pinggang, memandang ke arah korbannya, lalu menarik napas panjang.
"Hemm, kau membunuhnya juga?" terdengar suara orang bertanya.
Kim Hong menoleh dan melihat bahwa kekasihnya juga sudah selesai merobohkan semua orang yang mengeroyoknya tanpa membunuh seorangpun di antara mereka. Tiga puluh lebih anak buah penjahat yang menggeletak malang melintang itu, hanya dapat memandang kepada sepasang pendekar itu dengan mata terbelalak penuh ketakjuban. Tak mereka sangka sama sekali bahwa mereka semua roboh seperti itu, bahkan kepala mereka telah tewas! Kini baru terbuka mata mereka bahwa mereka telah kecelik, menabrak batu karang.
"Aku tidak membunuhnya, melainkan dia yang hendak membunuhku dan salah pukul sehingga ruyungnya memukul kepalanya sendiri!" jawab Kim Hong setengah berkelakar. Thian Sin mengerti akan isi hati kekasihnya. Dia menarik napas panjang.
"Dia manusia licik den jahat. Entah sudah berapa banyak orang dibunuhnya den membiarkan orang seperti dia tinggal hidup, berarti memperbanyak jumlah calon korban saja. Engkau benar Kim Hong, sudah sepatutnya dia dibunuh dan anak buahnya diberi hajaran seperti ini."
Thian Sin lalu menghampiri tubuh si gendut yang sudah menjadi mayat itu, membalikkan tubuh menelungkup itu dengan kakinya, lalu mencari dan mengambil kembali kunci emas dari saku baju kepala penjahat itu. Dia sengaja mengangkat kunci emas itu tinggi-tinggi agar nampak oleh para anak buah penjahat yang rebah malang melintang karena dia ingin mempergunakan kunci itu untuk memancing semua pihak yang tersangkut dalam perkara harta karun yang peta dan kuncinya ditemukan oleh keluarga petani Ciang yang sial itu.
-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Kota raja Peking nampak tenang-tenang saja, penduduknya nampak hidup makmur dan perdagangan berjalan dengan lancar dan ramai. Akan tetapi, keadaan di kota raja ini sesungguhnya tidak dapat dipakai sebagai ukuran keadaan negara pada waktu itu. Walaupun kerajaan di bawah pimpinan Kaisar Hung Chih, yaitu kaisar yang menggantikan Kaisar Ceng Hwa, masih cukup kuat dan tidak lagi terjadi pemberontakan-pemberontakan, akan tetapi kejahatan-kejahatan merajalela den agaknya pemerintah tidak cukup tangguh untuk dapat mengatasi kekacauan-kekacauan kecil yang cukup membuat rakyat menderita ini. Tentu saja semua kekacauan itu terjadi di luar kota raja, karena kota raja sendiri di mana kaisar dan para pembesar tinggi berada, selalu terjaga kuat dan dibersihkan dari pengacauan. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa tidak ada kejahatan terjadi di kota raja. Banyak masih. Bahkan penjahat-penjahat berkaliber besar juga berpusat di kota raja. Hanya saja, para tokoh penjahat itu tidak berani melakukan kejahatan di kota raja secara menyolok dan mereka itu lebih banyak beroperasi di luar kota raja.
Kota raja yang ramai ini menyimpan banyak rahasia-rahasia besar. Pernah menyaksikan jatuh bangunnya para kaisar dan dinasti yang berganti-ganti saling memperebutkan kekuasaan. Menjadi saksi bisu pula dari peristiwa-peristiwa kejahatan yang menjadi rahasia selamanya bagi penduduknya. Di kota raja ini pula tersimpan rahasia hilangnya pemuda dusun Ciang Kim Su yang datang ke kota raja membawa peta rahasia yang ditemukannya bersama ayahnya di ladang mereka. Apakah yang telah terjadi setahun yang lain ketika pemuda itu datang berkunjung ke kota raja" Benarkah seperti yang diceritakan oleh Liong-kut-pian Ban Lok kepada Pendekar Sadis dan Lam-sin itu"
Pertanyaan-pertanyaan itu mengaduk di dalam otak Thian Sin dan Kim Hong ketika pada suatu pagi mereka memasuki kota raja yang ramai. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Pendekar Sadis, Thian Sin pernah menggegerkan kota raja. Akan tetapi ketika itu, hanya namanya saja dikenal orang sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi jarang ada orang pernah melihatnya. Maka sekarangpun dengan tenang dia memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang sebagai Pendekar Sadis. Betapapun juga, ketika dia bersama Kim Hong melewati pintu gerbang istana yang megah, dari jauh jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan mendiang ayahnya, yaitu Ceng Han Houw, yang masih keturunan kaisar yang menempati istana itu. Darahnya sendiripun yang mengalir di tubuhnya masih darah keluarga istana ini!
Kim Hong agaknya dapat membaca isi hati kekasihnya ketika melibat sinar mata kekasihnya memandang dengan termenung ke arah istana ketika mereka lewat perlahan.
"Ingin menjenguk keluarga di dalam?"
Thian Sin terkejut, menengok, saling pandang. Lalu tersenyum pahit dan balas bertanya. "Kaukira aku haus akan kedudukan dan kehormatan kosong itu?"
Kim Hong sadar bahwa pertanyaannya tadi menyinggung, maka iapun cepat berkata menutupi rasa sesalnya. "Maksudku, kalau engkau ingin melihat-lihat ke dalam istana, apa salahnya kalau malam nanti kita masuk" Sudah sampai di kota raja, rugi kalau tidak melihat-lihat dalam istana. Kau kan tidak takut?"
"Hushh, siapa takut" Hanya kau lupa bahwa yang membawa kita ke kota raja bukan untuk pelesir. Sebelum urusan ini selesai, kita main-main di istana dan ketahuan, bukankah itu akan menggagalkan usaha kita?"
Kim Hong mengangguk-angguk, menyadari kesalahannya. "Mari kita cari orang bernama Su Tong Hak itu."
"Mudah-mudahan dia masih hidup," kata Thian Sin. "Dialah satu-satunya orang yang dapat kita harapkan untuk menemukan peta."
"Kaupikir dia..." "Belum tentu. Akan tetapi kita tahu bahwa urusan ini telah tercium oleh gerombolan penjahat. Siapa tahu diapun sudah dibereskan dan petanya dirampas."
"Kalau memang demikian, masih ada jalan. Kita datangi Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng!" kata Kim Hong penasaran.
"Ssttt, jangan keras-keras. Nama itu amat terkenal di sini. Sebaiknya kita mencari kamar rumah penginapan lebih dahulu, untuk menaruh pakaian dan menjadi tempat peristirahatan kita."
Keduanya memilih dan mendapatkan sebuah kamar yang cukup bersih dan besar di rumah penginapan Hi-lok-li-koan. Setelah menaruh buntalan pakaian di kamar itu, mereka lalu keluar dari rumah penginapan dan mencari Su Tong Hak yang telah mereka ketahui nama dan alamatnya dari seorang anak buah mendiang Ban Lok.
Orang yang mereka cari itu, Su Tong Hak, adik ipar dari mendiang petani Ciang Gun, ternyata telah berhasil dalam usahanya dan kini menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup kaya di kota raja. Tokonya cukup besar dan ketika pegawai toko melihat tamu suami isteri yang tampan dan jelita, juga yang berpakaian rapi dan mewah, dengan mudah tamu yang dianggap penting dan hendak berdagang ini dipersilahkan masuk ke dalam ruangan tamu dan diterima sendiri oleh majikan toko.
Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi tegap dan biarpun di wajahnya masih ada bekas membayang kekerasan yang merupakan garis-garis mendalam seorang petani yang biasa hidup sukar, namun pakaian dan sikapnya menyelimuti bekas ini dan dia lebih patut menjadi tuan Su Tong Hak saudagar yang cukup berhasil di kota raja. Wajahnya masih menunjukkan keterbukaan seorang petani, akan tetapi sinar matanya sudah penuh kecerdikan seperti sinar mata para pedagang yang pandai bersandiwara.
Setelah saling memberi hormat, pedagang itu berkata, "Saya Su Tong Hak, dan siapakah ji-wi dan datang dari mana" Kabar baik apakah yang ji-wi bawa untuk kami?" Sikapnya ramah seperti biasa seorang pedagang.
"Paman Su Tong Hak, kami datang untuk mencari seorang bernama Ciang Kim Su dari dusun Ciu-bun-tang yang setahun yang lalu datang ke sini mencari paman. Di manakah adanya Ciang Kim Su sekarang?" Pertanyaan ini diajukan oleh Thian Sin dengan tiba-tiba dan dia bersama Kim Hong lalu menatap wajah tuan rumah dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Akan tetapi pedagang itu ternyata adalah seorang yang mampu menguasai perasaannya. Kekagetan hatinya mendengar ucapan tamunya itu hanya nampak pada sinar matanya yang agak terbelalak, akan tetapi sikapnya tetap tenang, bahkan kini diapun memandang tamunya dengan alis berkerut dan pandang mata curiga.
"Hemm, siapakah ji-wi sebenarnya" Ciang Kim Su adalah keponakanku, anak dari kakakku perempuan. Memang pernah dia datang ke sini, akan tetapi... sebelum kuceritakan tentang dia, harap ji-wi suka memberi tahu apa keperluan ji-wi mencari keponakanku itu?"
"Kami berdua adalah utusan dari Ciang Gun, ayah Ciang Kim Su, untuk mencarinya di sini."
Pedagang itu masih mengerutkan alisnya. "Nama ji-wi?"
"Aku Ceng Thian Sin dan ia adalah Toan Kim Hong."
"Hemm, aku tidak pernah mendengar nama itu dan tidak pernah mengenal ji-wi. Mustahil kalau kakak iparku Ciang Gun menyuruh ji-wi, karena ji-wi jelas bukanlah orang-orang dusun sedangkan kakakku..."
"Masih tidak percayakah paman kalau melihat ini?" Thian Sin sengaja mengeluarkan kunci emasnya, tentu saja yang palsu.
"Apa... apa itu...?" Su Tong Hak bertanya, akan tetapi jelas bahwa dia terkejut sekali dan pura-pura tidak tahu karena matanya terbelalak dan wajahnya berobah ketika dia melihat kunci emas itu.
"Tentu paman pernah mendengar tentang ini. Kunci emas yang ada hubungannya dengan peta yang dibawa Ciang Kim Su. Nah, percayakah sekarang paman bahwa kami diutus oleh paman Ciang Gun" Ceritakanlah di mana adanya Ciang Kim Su."
"Baik, baik... akan tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak itu. Baiklah kuceritakan dari awal, setahun yang lalu..." Pedagang ini setelah melihat kunci emas, lenyap keangkuhannya dan agaknya ingin sekali bekerja sama, maka diapun lalu menceritakan penuturannya yang lain lagi dengan penuturan yang pernah didengar oleh dua orang pendekar itu dari mendiang Ban Lok. Cerita dari pedagang she Su ini lebih lengkap.
Menurut cerita itu, setahun lebih yang lalu Ciang Kim Su memang datang ke kota raja dan berhasil bertemu dengan pamannya, adik ibunya, yang telah menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup berhasil. Setelah Kim Su menceritakan pamannya tentang dia dan ayahnya menemukan peta rahasia dan ingin mencari orang pandai yang dapat menerangkan isi peta itu, Su Tong Hak tertarik sekali.
"Untuk dapat menterjemahkan tulisan kuno itu, kita harus dapat bantuan seorang sasterawan yang pandai," kata Su Tong Hak. "Kebetulan sekali aku tahu akan seorang sasterawan tua yang kabarnya ahli dalam huruf-huruf kuno. Mari kita kunjungi Louw Siucai."
Louw Siucai adalah seorang siucai (gelar lulusan ujian negeri) yang miskin dan usianya sudah enam puluh tahun. Dia hidup menyendiri di tepi kota raja yang sunyi, tanpa keluarga karena isterinya telah meninggal dunia tanpa anak. Hidupnya amat sederhana dan setiap hari dia hanya termenung, baca kitab, menulis sajak dan mabuk-mabukan.
Ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang berkunjung dan memperlihatkan peta itu sambil mohon pertolongan si sasterawan untuk menterjemahkan, Louw siucai meneliti peta itu dengan penuh perhatian. Wajahnya yang kurus itu berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Ya Tuhan...!" Dia berseru. "Kalian telah menemukan sebuah benda yang tak ternilai harganya! Peta ini sudah ada seribu tahun usianya dan di sini terdapat tulisan tangan Sang Raja Besar Jenghis Khan!" Bagi sasterawan tua itu, yang dianggap tak ternilai harganya adalah kekunoan peta dan terutama sekali tulisan tangan Raja Besar Mongol yang pertama itu, pendiri dari dinasti Goan-tiauw.
AKAN tetapi, Su Tong Hak tidak tertanik akan kekunoan benda itu. "Apa isinya" Bagaimana bunyinya dan apa artinya peta ini?"
Mendengar pertanyaan yang membayangkan kehausan akan keuntungan besar ini, si sasterawan tua mengerutkan alisnya, memandang tajam lalu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, "Dari manakah ji-wi bisa memperoleh benda yang amat langka ini?"
"Louw siucai, kedatangan kami ini adalah untuk minta bantuanmu membaca isi peta, dan untuk itu kami sanggup membayarmu. Tidak perlu kauhiraukan dari mana kami memperolehnya, yang penting bacalah dan apa isinya?" Suara saudagar itu terdengar tidak sabar dan marah.
Kembali sasterawan itu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan suara perlahan, didengarkan dengan penuh perhation oleh paman dan keponakan itu. "Tulisan tangan Raja Jenghis Khan ini dapat dengan mudah kubaca. Bunyinya begini : Harta karun ini milik Jenghis Khan yang maha besar, yang mengutus Yelu Kim untuk menyelidikinya. Nah, hanya tulisan inilah yang dapat kubaca. Untuk dapat membaca huruf-huruf di peta itu sendiri, membutuhkan waktu sedikitnya sehari semalam."
Su Tong Hak sudah kegirangan luar biasa mendengar kata "harta karun" tadi, dan dia meragu untuk meninggalkan peta itu. Akan tetapi keponakannya yang berasal dari dusun den kepercayaannya terhadap sesama manusia jauh lebih tebal dari pada orang kota yang sudah terlalu sering mengenal kepalsuan manusia, berkata, "Kalau memang membutuhkan waktu, biarlah kita tinggalkan peta itu di sini untuk sehari semalam. Besok kita datang lagi untuk mengambilnya."
"Tapi..." pamannya mencela.
"Biarlah, paman. Apa artinya peta ini kalau kita tidak tahu bagaimana bunyinya?"
Akhirnya Su Tong Hak mengalah den sambil memandang tajam kepada sasterawan itu dia berkata, "Louw siucai, ingat! Peta ini milik kami dan amat berharga. Kami menitipkannya kepadamu untuk sehari semalam, agar dapat kauterjemahkan. Akan kubayar berapa saja uang lelahmu. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dilihat atau terdengar orang lain. Apa lagi kalau sampai hilang, nyawamu gantinya!"
Sasterawan tua itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Ciang Kim Su, lalu berkata lirih seperti kepada diri sendiri, "Orang muda dari dusun membawa benda seperti ini, betapa bahayanya..." Diam-diam sasterawan itu agaknya maklum bahwa peta itu adalah milik si pemuda, nampak dari sikap paman den keponakan tadi. Maka ditinggalkanlah peta itu oleh mereka kepada si sasterawan yang akan mempelajarinya selama sehari semalam.
Pada keesokan harinya, paman dan keponakan itu datang lagi ke rumah Louw siucai dan dengan girang mereka menerima kembali peta bersama terjemahannya. Dan ternyatalah bahwa peta itu merupakan peta yang menunjukkan tempat disimpannya harta karun Jenghis Khan atau harta karun kuno yang sudah seribu tahun lebih umurnya dan yang oleh Jenghis Khan ditemukan petanya. Kemudian kaisar itu mengutus seorang pembantunya bernama Yelu Kim untuk menyelidiki tempat rahasia itu.
"Agaknya, Yelu Kim itu gagal dalam usahanya dan mungkin peta itu terampas orang lain, kemudian lenyap dan tahu-tahu ditemukan oleh ji-wi." kata si sasterawan. "Akan tetapi peta ini tidak lengkap kalau tidak ada kuncinya."
"Kuncinya" Apa maksudmu?" Su Tong Hak bertanya.
"Kunci emas. Ada disebutkan di situ, sudah kuterjemahkan, bahwa untuk menemukan tempat rahasia itu harus dengan bantuan peta ini, akan tetapi untuk dapat masuk, harus menggunakan kunci emas. Tidak tahu apakah kunci emas itu juga ji-wi temukan?"
Su Tong Hak menoleh dan memandang kepada keponakannya. Tentu saja Ciang Kim Su tahu apa yang dimaksudkan dengan kunci emas itu, ialah benda yang ditemukannya bersama peta ini dan yang kini disimpan oleh ayahnya. Akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala, tanda bahwa diapun tidak tahu.
Su Tong Hak meninggalkan uang yang cukup sebagai pembayaran jerih payah sasterawan Louw, kemudian mengajak keponakannya pulang. Sampai di rumah, mereka berdua lalu memeriksa terjemahan peta itu dan keduanya merasa girang sekali. Dengan jelas ditunjukkan pada peta itu bahwa tempat harta karun itu berada di suatu tempat, di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san. Memang amat sukar didatangi dan kiranya takkan mungkin ditemukan tanpa bantuan peta itu!
Kim Su, apakah engkau dan ayahmu tidak menemukan kunci emasnya?" paman itu bertanya sambil memandang tajam kepada wajah keponakannya.
"Setahuku tidak, paman. Akan tetapi aku akan bertanya kepada ayah tentang itu."
"Baiklah, sekarang sebaiknya engkau pulang ke dusun dan membuat laporan kepada ayahmu tentang peta ini, dan sekilian kalian mencari kunci emas itu. Kalau belum kalian temukan, mungkin masih terpendam di tempat di mana kalian menemukan peta."
"Akan tetapi peta itu..."
"Sebaiknya kita bagi dua saja, Kim Su. Ingat, benda ini amat berharga dan kalau kaubawa semua, sungguh amat berbahaya bagimu. Biarlah kita potong menjadi dua bagian, kita masing-masing membawa sepotong. Kaubawa yang sepotong pulang ke dusun, kemudian bersama ayahmu mencari kunci emas itu. Kalau sudah ketemu, engkau ayah dan ibumu datanglah ke sini dan kita bersama akan pergi mencari harta karun itu. Semua biaya perjalanan mencarinya akan kutanggung."
Ciang Kim Su menyetujui pendapat ini dan demikianlah, peta itu dipotong menjadi dua dan mereka masing-masing menyimpan sepotong. Kemudian, pemuda dusun itu pulang ke dusun naik kuda pemberian pamannya dan membawa bekal secukupnya, jauh bedanya dengan keadaannya di waktu dia datang ke kota raja.
"Demikianlah apa yang telah terjadi," Su Tong Hak mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Thian Sin dan Kim Hong.
"Lalu ke mana perginya Ciang Kim Su?" tanya Kini Hung. "Kenapa dia tidak pernah pulang ke dusun sehingga ayahnya mencarinya?"
Pedagang itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu aku sendiripun menanti-nantinya dan tidak pernah ada berita darinya."
"Hemm, sungguh aneh sekali." kata Thian Sin sambil mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengkhawatirkan nasib pemuda dusun itu. Paman pemuda itu, yang kini duduk di depannya, mempunyai sikap yang palsu dan patut dicurigai, maka di dalam hatinya, dia tidak mau percaya begitu saja akan apa yang diceritakan oleh pedagang itu."
"Dan paman masih memegang sepotong dari peta yang dibagi dua itu?" tanyanya.
Pedagang itu memandang tajam, alisnya berkerut. Lalu dia menggeleng kepala keras-keras. "Tidak lagi! Peta harts karun itu membawa malapetaka! Baru sebulan setelah Kim Su pergi, rumahku kemalingan dan selain uang dan barang berharga, juga potongan peta itu dicurinya."
"Bohong...!" Kim Hong berseru dengan marah. "Mungkin kaubunuh keponakanmu itu dan kaurampas potongan peta yang ada padanya!"
Thian Sin hendak mencegah namun sudah tidak keburu dan anehnya, pedagang itu tidak merasa takut, bahkan nampak marah dan bangkit dari duduknya sambil bertolak pinggang. "Apa kau bilang" Kalian datang membawa kunci emas dan mengaku utusan dari kakak iparku, datang-datang berani kau menuduhku yang bukan-bukan" Ah, jangan-jangan kalian inilah penjahat-penjahat yang telah membunuh keponakanku dan selain merampas kunci emas dari ayahnya, juga merampas sebagian peta itu dan kini datang untuk mendapatkan potongan lainnya dariku!"
Thian Sin bangkit menyabarkan kekasihnya lalu berkata kepada pedagang itu, "Paman Su, kami sungguh diutus oleh mendiang paman Ciang Gun..."
"Mendiang?" "Ya, dia terbunuh oleh Liong-kut-pian Ban Lok dan kaki tangannya..."
"Ban Lok" Si keparat! Berani dia...!" Saudagar itu menahan kata-katanya seperti baru sadar bahwa sikapnya itu menunjukkan bahwa dia mengenal baik kepala penjahat itu. "Lalu... apa yang terjadi?" tanyanya, menahan rasa kagetnya.
"Sebelum meninggal, paman Ciang Gun menyerahkan kunci emas ini kepada kami dan memesan agar kami mencari puteranya di sini."
"Tapi peta itu..." "Kami akan cari sampai dapat."
"Kalau sudah dapat?" "Akan kami cari harta karun itu untuk kami serahkan kepada yang berhak."
"Akulah yang berhak. Akulah keluarga terdekat dari keluarga Ciang."
"Bukan engkau, akan tetapi Ciang Kim Su." Kata Kim Hong yang masih marah.
"Akan tetapi dia... dia telah mati!"
Tiba-tiba Thian Sin memegang lengan tangan pedagang itu. Pedagang itu meronta dan agaknya dia juga kuat dan menguasai ilmu silat sehingga dia berhasil melepaskan pegangan itu karena Thian Sin juga memegang secara biasa saja. "Bagaimana kau bisa tahu?" bentak Thian Sin yang belum mau memperlihatkan kepandaiannya.
"Ku... kurasa demikian, karena kalau dia masih hidup, di mana dia" Mengapa tidak memberi kabar kepadaku" Orang muda, marilah kita bekerja sama. Serahkan kunci emas itu kepadaku dan aku akan mengusahakan kembalinya peta dan..."
"Tidak! Kami akan mencari sendiri dan memenuhi pesan mendiang Ciang Gun yang telah menjadi korban, bersama isterinya pula dan putera tunggalnya juga masih belum ketahuan bagaimana nasibnya."
"Tapi... tanpa peta, apa gunanya kunci emas itu?"
"Kami akan mencarinya." "Ke mana" Peta itu telah hilang."
"Bagaimana nanti sajalah. Akan tetapi, mungkin saja kita masih akan saling bertemu!" Setelah berkata denlikian, Thian Sin dan Kim Hong lalu meninggalkan pedagang itu yang masih memandang dengan bengong.
Setelah tiba di luar gedung itu, Thian Sin dan Kim Hong tentu saja tahu bahwa tak lama kemudian, ada tiga bayangan orang mengikuti mereka dari jauh. Mereka tidak merasa heran karena memang mereka sudah menduga bahwa Su Tong Hak bukanlah orang baik-baik dan tiga bayangan orang itu tentulah kaki tangan pedagang itu yang hendak memata-matai mereka. Mereka berpura-pura tidak tahu dan langsung kembali ke rumah penginapan mereka. Memang sesungguhnya kunjungan mereka kepada Su Tong Hak itupun hanya merupakan gerakan pancingan saja untuk memancing keluar kakap-kakap yang ada hubungannya dengan rahasia peta harta karun. Bagaimanapun juga, dua orang pendekar ini masih merasa ragu-ragu di mana adanya peta itu sekarang. Benarkah yang sepotong masih berada di tangan Kim Su yang lenyap tanpa meninggalkan jejak itu" Dan di mana adanya yang sepotong lagi" Mereka tahu bahwa tanpa peta itu, memang kunci emas tidak ada gunanya, sebaliknya, si pemegang petapun tidak akan berhasil tanpa memiliki kunci emas. Inilah sebabnya mengapa mereka menanti. Mereka merasa yakin bahwa dengan memegang kunci emas, akhirnya mereka pasti akan dicari oleh pemilik peta!


Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)- ( )-(file google dokumen published by saiful bahri situbondo seletreng)-
Mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga para penjahat telah mulai beraksi. Pada malam hari itu, karena maklum bahwa mereka menghadapi urusan besar dan ancaman bahayat, Thian Sin dan Kim Hong tidak tidur seranjang seperti biasanya. Di dalam kamar itu terdapat dua buah tempat tidur berdampingan, hanya terhalang sebuah meja kecil dan keduanya duduk bersila di atas pembaringan masing-masing. Menjelang tengah malam, tanpa mengeluarkan suara, Kim Hong meniup padam lampu penerangan yang terletak di atas meja dan kamar itupun menjadi gelap.
Lima bayangan orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan itu. Gerakan mereka amat gesit, tanda bahwa mereka berlima telah memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Bagaikan lima ekor kucing saja, mereka bergerak di atas genteng dan kemudian satu demi satu mereka melayang turun dari atas genteng. Ketika kaki mereka menginjak tanah, tidak terdengar suara sedikitpun. Mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh kuat yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya jangkung. Di punggung mereka nampak terselip sepasang golok tipis yang kadang-kadang mengeluarkan cahaya berkilauan kalau tertimpa sinar lampu. Mereka tidak pernah mengeluarkan suara, dan si jangkung hanya memberi aba-aba dengan isyarat tangan saja. Tak lama kemudian mereka telah berada di luar jendela dan pintu kamar yang dihuni oleh Thian Sin dan Kim Hong.
Tanpa mengeluarkan suara, mereka berlima mengeluarkan saputangan hitam dan memasang saputangan itu di depan hidung dan mulut sebagai kedok.
Kemudian, mereka menyalakan hio dan bau yang harum aneh berhamburan dari asap hio. Melalui celah-celah daun pintu di bawah, juga dari celah-celah jendela, mereka memasukkan hio-hio yang terbakar itu ke dalam kamar sehingga mulailah asap-asap harum memenuhi kamar.
Beberapa menit kemudian, terdengarlah gerakan di dalam kamar itu. Suara orang terbatuk-batuk kecil, kemudian disusul suara menguap. Suara itu jelas menunjukkan bahwa yang berada di dalam kamar adalah seorang pria dan seorang wanita. Tentu saja lima orang berkedok saputangan hitam itu menjadi girang dan mereka saling pandang dengan sinar mata berkilat dan berseri. Batuk-batuk dan menguap" Itu membuktikan bahwa asap hio mereka yang mengandung obat bius kuat itu telah mengenai sasaran dan berhasil. Memang orang akan lebih dulu terbatuk-batuk, kemudian setelah menguap takkan dapat tertahan lagi, pasti jatuh pulas seperti pingsan saja!
Mereka menanti sampai kurang lebih sepuluh menit dan pada waktu itu, kamar telah penuh dengan asap hio. Mereka juga mendengarkan dengan penuh perhatian dan agak kecewa karena tidak mendengar suara orang mendengkur yang menjadi tanda mutlak bahwa orang-orang di dalam kamar itu telah tidur pulas. Akan tetapi, tidak semua orang tidur mendengkur. Biasanya, hanya orang-orang yang gendut sajalah yang tidur mendengkur dan mereka tahu bahwa pria dan wanita yang berada di dalam kamar itu sama sekali tidak gendut. Setelah hio-hio itu terbakar habis dan padam, dan asap harum mulai melayang keluar dari celah-celah jendela, si jangkung memberi isarat dengan tangan. Mereka lalu membongkar daun jendela dengan amat mudahnya karena mereka memiliki tenaga yang kuat.
Nampak sinar-sinar berkilau ketika lima orang itu menghunus golok-golok mereka dengan kedua tangan dan dengan sepasang golok di tangan merekapun berloncatan memasuki kamar melalui jendela, muka mereka terlindung oleh saputangan hitam yang sudah diberi penawar obat bius. Melihat ada tubuh terseilmut membujur di atas dua buah pembaringan itu, lima orang pendatang ini menjadi ganas. Dengan isyarat si jangkung, mereka lalu menyerbu dengan golok terangkat dan dalam sekejap mata saja sepuluh batang golok di tangan mereka itu sudah membacok dan menusuk ke arah dua batang tubuh terseilmut yang nampak remang-remang di atas dua buah pembaringan.
Terdengar suara crak-crok-crak-crok disusul seruan-seruan kaget dan heran ketika lima orang itu merasa betapa golok-golok mereka bertemu dengan "tubuh" yang lunak, yaitu guling dan bantal yang ditutupi seilmut!
"Celaka, kita terjebak. Keluar!" kata si jangkung dengan suara mendesis karena marah. Dan pada saat itu terdengarlah suara ketawa dari atas genteng, suara ketawa yang merdu dari seorang wanita dan suara ketawa mengejek seorang pria!
Lima orang itu menjadi marah dan dengan gerakan cepat mereka berlima sudah meloncat keluar dari dalam kamar yang masih penuh dengan asap itu, kemudian mereka langsung berloncatan ke atas wuwungan rumah dengan sepasang golok masih berada di tangan masing-masing. Dan di sana, di atas wuwungan, diterangi oleh bulan muda dan bintang-bintang, nampak seorang pemuda dan seorang gadis berdiri dengan kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, tersenyum-senyum mentertawakan mereka. Si jangkung merenggut saputangan hitam dari mukanya, diturut oleh empat orang kawannya ketika mereka mengejar ke depan.
Melihat gerakan lima orang itu yang cukup gesit menandakan bahwa mereka itu bukan penjahat-penjahat sembarangan melainkan orang-orang yang telah memiliki kepandaian tinggi, Thian Sin lalu mengacungkan sebuah kunci emas ke atas kepala sambil berkata, "Kalau kalian datang untuk mencari ini, ikutilah kami!" Dan diapun meloncat turun bersama Kim Hong, lalu melarikan diri menjauhi tempat ramai itu menuju ke pinggir kota yang sunyi, di bagian yang dipergunakan orang untuk bercocok tanam. Di situ sunyi sekali dan cuaca hanya remang-remang diterangi bulan muda dan bintang-bintang. Lima orang itu tentu saja menjadi penasaran dan agaknya melihat berkilaunya kunci emas tadi, semangat mereka bertambah dan merekapun melakukan pengejaran. Kejar mengejar ini dipergunakan oleh Thian Sin dan Kim Hong untuk mengukur ilmu berlari cepat lima orang itu dan mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang itu benar-benar cukup lihai. Mereka menjadi girang karena makin lihainya lawan yang datang mencari mereka, hal itu dapat diartikan bahwa semakin dekatlah mereka dengan orang yang menguasai peta yang mereka cari!
Thian Sin dan Kim Hong berdiri tegak menanti lima orang calon lawan yang kinipun mulai mengerti bahwa dua orang muda mudi yang dikejarnya itu bukan orang sembarangan. Dan melihat cara mereka menipu di dalam kamar, kemudian melihat cara mereka berdua lari, lima orang ini maklum bahwa ternyata pemilik kunci emas itu adalah dua orang muda yang lihai. Maka, sambil mengejar tadi, si jangkung memberi peringatan kepada teman-temannya agar berhati-hati.
Setelah saling berhadapan, Thian Sin dan Kim Hong kini dapat melihat wajah mereka dengan jelas, walaupun dalam cuaca remang-remang. Dan mereka berdua itu merasa heran karena wajah mereka itu bukan wajah penjahat yang kasar. Wajah orang-orang yang bersikap tenang, pantasnya wajah jagoan-jagoan yang merasa yakin akan kepandaian sendiri, akan tetapi, melihat sepak terjang mereka ketika menyebarkan obat asap bius dan ketika mereka menyerang guling dan bantal yang diseilmuti, sungguh merupakan perbuatan kejam sekali.
"Hemm, kalian ini lima orang maling kecil, tentu hendak merampas kunci emasku ini, bukan?" Thian Sin kembali mengacungkan kunci emas itu di tangan kanannya.
Si jangkung menghardik, suaranya nyaring dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, "Kalau sudah tahu begitu, orang muda, lebih baik kauserahkan kunci itu kepada kami dan kalian boleh pergi dengan selamat."
"Wah, wah, lima ekor tikus sawah, yang hanya maling-maling kecil ini sombong sekali!" kata Kim Hong.
"Kalian hanyalah pesuruh-pesuruh rendah," kata Thian Sin. "Kalau memang menghendaki kunci, suruhlah kepala kalian, atau orang yang memegang peta rahasia itu untuk menemui kami. Kami sudah bosan berurusan dengan anak buah rendahan!"
Lima orang itu jelas kelihatan marah sekali dan golok-golok di tangan mereka itu tergetar. "Orang muda yang sombong!" bentak si jangkung, "Kalian berdua tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Kami adalah Siang-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Pasangan) dan bukan sekedar golongan rendahan!"
Thian Sin dan Kim Hong tidak pernah mendengar nama julukan Siang-to Ngo-houw ini karena memang sudah bertahun-tahun mereka tidak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw. Tentu saja nama ini tidak berarti apa-apa bagi mereka.
"Siang-to Ngo-houw, kami hanya mau bicara tentang kunci emas kepada orang yang memiliki peta rahasia itu. Apakah kalian menguasai peta itu" Kalau benar, keluarkanlah dan mari kita bicara!" kata pula Thian Sin.
"Tidak perlu banyak cakap. Serahkan kunci emas itu atau terpaksa kita harus menggunakan kekerasan untuk merampasnya!" teriak pula si jangkung.
"Hi-hik, masih mengancam lagi. Padahal, bisanya hanya menggunakan asap bius dan membacoki bantal guling seperti maling-maling kecil." Kim Hong berkata mengejek lalu berpaling kepada kekasihnya. "Perlu apa melayani segala maling-maling kecil" Mereka ini tentu hanya kaum rendahan saja!"
"Serbu!" Si jangkung sudah memberi komando karena tidak sabar lagi melihat sikap dua orang yang jelas memandang rendah kepada mereka itu.
Thian Sin menyimpan kunci emasnya dan hendak bergerak, akan tetapi Kim Hong sudah berkata kepadanya, "Biarkan aku menghadapi mereka sendiri!"
"Ah, bukan waktunya untuk main-main, Kim Hong!" Thian Sin membantah. Dia melihat bahwa lima orang ini tidak boleh dipandang ringan dan biarpun dia tahu betapa lihainya kekasihnya itu, dan kalau menghadapi mereka ini satu lawan satu tentu tidak sukar bagi Kim Hong untuk merobohkan mereka semua, akan tetapi kalau mereka itu maju berlima, kiranya bukan tidak berbahaya bagi kekasihnya.
"Siapa main-main" Justeru sudah lama aku tidak latihan menghadapi lawan tangguh. Biarkan aku, Thian Sin, sekali ini saja ya...?" Kalimat terakhir itu terdengar demikian manja dan penuh keinginan sehingga Thian Sin terpaksa tersenyum sambil melangkah mundur.
"Bandel! Sesukamulah, tapi jangan salahkan aku kalau kau tergores golok!" Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi tentu saja diapun siap waspada, tidak mungkin dia membiarkan kulit halus kekasihnya itu tergores golok orang.
Kim Hong tersenyum manis dan kalau saja gadis itu tidak sedang menghadapi perkelahian, tentu Thian Sin akan merangkul dan menciumnya karena senyuman itu adalah senyuman khas dari kekasihnya kalau lagi senang hatinya dan sedang mencumbu. Tentu senyum itu sebagai tanda terima kasih yang akan dibayar kalau kesempatan memungkinkan nanti. Lalu gadis itu melompat ke depan, dengan gaya yang menantang sekali ia lalu menggulung kedua lengan bajunya, sehingga nampaklah lengan yang bulat dan berkulit putih halus. Demikian tipis dan halusnya kulit lengan Kim Hong ini sehingga kalau saja cuaca tidak segelap itu akan nampak urat-urat halus membayang di balik kulitnya. Nampaknya demikian halus dan lunak, akan tetapi jangan sekali-kali mengira demikian karena kedua lengan itu dapat terisi tenaga yang amat hebat dan sedemikian kuatnya sehingga mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka!
"Tahan...!" Tiba-tiba si jangkung berseru kepada teman-temannya. Bagaimanapun juga, nama Siang-to Ngo-houw terlalu besar untuk dikotori dengan pengeroyokan terhadap seorang gadis muda yang bertangan kosong. Di kota raja, nama Siang-to Ngo-houw sudah terkenal sekali. Mereka ini adalah bekas tokoh-tokoh besar di perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang bertugas di luar kota raja. Baru setelah Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) mengalami musibah, yaitu dengan terbunuhnya dua orang pimpinannya, yaitu Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai sehingga perkumpulan itu menjadi berantakan, maka kelima orang ini datang ke kota raja. Kedua orang pemimpin Hwa-i Kai-pang ini terbunuh oleh Pendekar Sadis dan hanya itulah yang diketahui oleh Siang-to Ngo-houw. Mereka sama sekali tidak pernah mengira bahwa Pendekar Sadis pembunuh dua orang suheng mereka itu adalah pemuda yang kini berhadapan dengan mereka inilah!
Seperti telah diceritakan dalam cerita Pendekar Sadis, dua orang pimpinan Hwa-i Kai-pang itu dibunuh oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin karena mereka berdua pernah membantu pengeroyokan sehingga tewasnya ayah bunda pendekar itu. Dan karena hanya sedikit saja orang yang mengenal muka Pendekar Sadis, maka lima orang jagoan inipun hanya mendengar namanya saja akan tetapi tidak mengenal Thian Sin.
Siang-to Ngo-houw adalah sute dari Lo-thian Sin-kai, dan memiliki tingkat kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Tentu saja mereka itu lihai sekali, apa lagi kalau mereka maju berlima karena mereka telah menciptakan bersama suatu ilmu silat gabungan yang amat dahsyat. Mereka kembali ke kota raja setelah dua orang pimpman Hwa-i Kai-pang tewas dan melihat bahwa perkumpulan itu sudah tidak begitu baik lagi namanya, maka lima orang inipun tidak lagi mau membangunnya, bahkan mereka lain membantu tokoh sesat yang pada waktu itu paling terkenal di kota raja, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Inilah sebabnya, maka sebagai tokoh-tokoh besar yang terkenal dan memiliki ilmu tinggi yang mereka andalkan, si jangkung yang memimpin adik-adiknya itu merasa malu untuk mengeroyok seorang gadis yang bertangan kosong, sehingga dia berteriak menahan adik-adiknya sebelum mereka itu sempat menggerakkan golok mereka. Empat orang adiknya memandang kepada si jangkung dengan sinar mata penuh pertanyaan. Akan tetapi si jangkung lalu menghadapi Kim Hong den mengangkat dada untuk menunjukkan kegagahan.
"Nona, Siang-to Ngo-houw memang sudah biasa maju bersama, akan tetapi belum pernah mengganggu wanita yang bertangan kosong. Maka, kami minta agar kalian berdua menyerahkan kunci atau maju bersama dengan menggunakan senjata."
Melihat sikap ini, Kim Hong malah mentertawakan. "Hik-hik, lagaknya! Apa sudah lupa betapa tadi yang berjuluk Siang-to Ngo-houw sama sekali tidak bersikap jantan, tidak seperti Lima Ekor Harimau akan tetapi lebih pantas menjadi Lima Ekor Tikus yang curang dan pengecut, menggunakan obat bius den menyerang orang-orang yang sedang tidur pulas" Hi-hik, kini berlagak lagi! Sungguh tidak lucu, malah menjemukan. Hayo tak perlu cerewet lagi, ingin kulihat apakah ilmu kalian juga sebesar kecurangan kalian!"
"Perempuan sombong!" Teriakan ini dilakukan oleh dua orang di antara lima tokoh sesat itu dan merekapun sudah menerjang maju dengan sambaran sepasang golok mereka. Terdengar bunyi berdesingan ketika empat batang golok itu menyambar dengan dahsyat menghujankan serangan maut ke arah tubuh Kim Hong. Akan tetapi, hanya dengan sedikit gerakan tubuh saja, sambaran golok-golok itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Kim Hong den hanya mengenai tempat kosong saja. Tiga orang lainnya kini tidak ragu-ragu lagi, apa pula mereka juga amat marah dan merasa terhina oleh ejekan Kim Hong tadi. Mereka mengeluarkan suara bentakan den mulailah lima orang itu mengurung Kim Hong sambil membuat langkah-langkah lebar memutari gadis itu. Mereka yang dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang demikian tabahnya menantang mereka pasti memiliki kelihaian, kini segera menggerakkan ilmu yang mereka andalkan, yaitu Ngo-lian To-tin (Barisan Golok Lima Teratai). Langkah-langkah mereka teratur dan mereka itu merupakan rangkaian yang bekerja sama secara otomatis. Kadang-kadang sambil melangkah mengitari lawan, terdengar golok mereka bersiutan, digerakkan menembus udara, kadang-kadang berdencing karena saling sentuh sehingga suasana menjadi menegangkan.
Akan tetapi Kim Hong berdiri dengan tenang saja, same sekali tidak bergerak den hanya sepasang matanya yang bergerak-gerak mengikuti gerakan lima orang pengepungnya dan tentu saja pendengarannya juga mengikuti setiap gerakan orang yang berada di belakangnya. Seluruh urat syarafnya sudah siap siaga dan menegang, walaupun tubuhnya nampak tenang-tenang seenaknya saja. Gadis ini maklum bahwa lima orang pengepungnya bukanlah lawan ringan dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Akan tetapi ia masih belum merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penaluk Iblis) yang berwarna hitam dan yang selalu disimpannya di balik baju itu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, kalau tidak amat terpaksa, Kim Hong tidak akan mau mempergunakan pedang.
"Hiaaattt...!" Tiba-tiba si jangkung mengeluarkan teriakan nyaring dan sepasang goloknya sudah menyambar dengan gerak tipu Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Runtuh Dedaunan), sepasang golok itu berkelebat saling susul, yang kiri menyambar leher dan yang kanan menusuk lambung. Serangan ini dilakukan ketika dia berada di sebelah kanan dari Kim Hong.
"Hemm...!" Kim Hong menggeser kaki mengelak dan cara mengelaknya memang istimewa sekali, kakinya tidak terangkat, melainkan menggeser atau meluncur seolah-olah di bawah sepatunya terdapat roda yang membuat tubuhnya dapat meluncur. Akan tetapi cepatnya bukan main sehingga serangan sepasang golok itu gagal total. Akan tetapi, kiranya serangan pertama dari si jangkung ini merupakan pembukaan atau aba-aba, karena kini mereka berlima sepenuhnya mulai menggerakkan Ngo-lian To-tin atau Barisan Golok Lima Teratai itu dan memang hebat sekali gerakan mereka. Sepuluh batang golok itu bekerja sama dengan demikian rapi dan cekatan, susul menyusul dan bertubi-tubi, seolah-olah digerakkan oleh satu otak saja, saling bantu dan ke manapun tubuh Kim Hong mengelak, tentu ia sudah dipapaki oleh lain golok. Dan susunan serangan mereka itupun makin lama makin kuat dan berbahaya!
"Ciaaattt...!" Seorang di antara mereka yang berada di depan Kim Hong, menggunakan jurus Sin-eng Hoan-sin (Garuda Sakti Memutar Tubuh), sepasang goloknya itu tiba-tiba meluncur dengan gerakan membalik, amat berbahaya sekali dan saking cepatnya, sepasang golok itu lenyap bentuknya berobah menjadi dua berkas sinar yang menyilaukan mata. Kim Hong cepat mengelak dan sekali ini dengan loncatan ringan ke kiri, di mana ia disambut oleh sepasang golok yang dimainkan dengan jurus Kim-liong-hian-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar) dengan sepasang golok itu menusuk secara berantai. Kembali Kim Hong mengelak ke belakang di mana ia disambut pula oleh scrangan golok yang lebih berbahaya karena penyerangnya menggunakan jurus Giok-tai-wi-yauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang), sebuah gerakan yang indah sekali dan golok itu seolah-olah melengkung melalui belakang pinggang dan langsung menuju ke pinggang lawan. Untuk kesekian kalinya Kim Hong mengelak dan lawan ke lima yang berada di belakangnya sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat yang disusul oleh sambaran golok ke leher. Sepasang golok itu membuat gerakan menggunting dari kanan kiri dan itulah jurus yang dinamakan Ji-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mustika).
Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan gencar, cepat dan kuat, juga saling membantu ini, yang maksudnya untuk menutup jalan keluarnya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang melainkan dipaksa untuk mengelak terus, Kim Hong lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan iapun sudah mainkan ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) dan tubuhnya berkelebatan secara cepat bukan main! Lima orang jagoan itu terkejut sekali melihat betapa tubuh lawan mereka itu kadang-kadang lenyap dan demikian cepat gerakan gadis itu sehingga membuat mata mereka menjadi silau dan kabur pandangannya. Hebatnya, gadis itu kadang-kadang berani menyampok golok dengan tangan kosong dan tangan itu terasa demikian lunak seperti kapas sehingga tidak terluka oleh golok, namun di bawah kelunakan itu terkandung tenaga yang luar biasa kuatnya! Maklumlah Siang-to Ngo-houw bahwa mereka menghadapi seorang gadis yang benar-benar amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Kerja sama mereka yang amat rapi itu tetap saja dapat mengimbangi ilmu silat istimewa dari Kim Hong dan membuat gadis itu masih sulit untuk dapat merobohkan seorang di antara mereka karena mereka itu selalu dalam posisi saling bantu dan saling melindungi. Memang lima orang itu telah memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Seperti juga ilmu kepandaian mendiang suheng mereka, yaitu Lo-thian Sin-kai tokoh nomor satu dari Hwa-i Kai-pang, mereka memiliki dua macam ilmu silat yang menjadi andalan mereka. Pertama adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Ta-houw Sin-ciang-hoat (Ilmu Silat Sakti Pemukul Harimau) yang membuat tangan mereka menjadi sedemikian kerasnya sehingga kepalan tangan mereka itu mampu mengalahkan harimau dan memecahkan kepala binatang itu. Dan yang ke dua adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Silat Tongkat Lima Teratai). Ilmu ini mereka robah menjadi Ngo-lian To-hoat (Silat Golok Lima Teratai) dan dengan ilmu golok ini, mereka berlima telah menciptakan Ngo-lian To-tin (Barisan Go. lok Lima Teratai) yang amat tangguh itu.
Tentu saja kalau dibandingkan satu lawan satu, tingkat kepandaian Kim Hong masih jauh lebih tinggi, baik dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang, terutama sekali dalam hal gin-kang karena memang gadis
Bentrok Rimba Persilatan 19 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bara Naga 7
^