Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
api dan putIh, rongga mulut yang merah seperti dagIng mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.
"Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu" tanyanya halus, sikapnya merendah.
Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang dilakukan oleh wanita ini" "Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!" akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.
"Ehhh" Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati"
Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. "Aku tidak membela mereka atau siapapun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya"
Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. "Jadi engkau.... engkau memperhatikan semua itu" Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka" Pandang mata itu kini penuh selidik. Wajah Tek Hoat menjadi merah.
"Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku."
"Aihhh.... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku berhadapan dengan Si Jari Maut" Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut" Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mujijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak"
"Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut.... Aku benci kepadanya! Aku benci....! Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur. Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua berhenti dl dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.
Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersamadhi beberapa lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah. Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan. Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari-hari dia tidak berhasil "mendekati" pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang lakilaki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!
Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!
Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Ada perbedaannya, yaitu kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Tek Hoat sebaliknya seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!
"Aihhh.... mengapa engkau begitu angkuh...." keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu. Sudah berhari-hari dia tidak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu!
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Dia sedang "haus" dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak" Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.
"Ohhh....!" Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.
Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru, "Ini dia siluman itu!"
Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li" Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati-matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.
"Toloooooonggggg....! Tolooonggggg.... Ang-sicu....!" Terdengar dia menjerit-jerit.
Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.
"Uhhh.... uhhhhh.... keparat kalian.... iiihhhhh, tolooonggggg....!"
"Jahanam....!" Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!
"Uuuhhhhh.... hu-huuuk, Sicu....!" Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat.
Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia menuduk, memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya, "Kenapa.... apa yang terjadi...." Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!
Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita, itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang-kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.
"Apa yang kaulakukan ini" dia membentak.
"Tek Hoat....ahhh, Tek Hoat...." Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, akan tetapi Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.
"Mo-li, apa yang kaulakukan ini" kembali dia membentak.
"Tek Hoat.... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku.... engkau telah menyelamatkan aku daripada penghinaan....lihatlah pakaianku.... dan mereka.... mereka.... jahanam-jahanam itu...." Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri.
Tek Hoat membuang muka. "Huh, kau.... kau telah menipuku, Mo-li!" Tek Hoat berseru marah dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. "Kau pura-pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan"
"Tidak.... tidak.... aku.... aku hampir...."
"Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku.... si tolol.... aku terlebak! Engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!"
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. "Hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li" Kita berdua memang cocok sekali bukan" Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan" Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah" Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat"
"Wuuuuuttttt....!" Jari tangan Tek Hoat menyambar namun dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu.
"Perempuan tak tahu malu!" Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu berahi! Tadi, ketika mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.
"Hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!"
"Wuuuttttt.... brakkkkk!" Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, kemudian pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba-raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam.
Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.
"Tek Hoattunggu....!" Terdengar teriakan dari belakang.
"Keparat....!" Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu.
Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.
"Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akah main-main lagi, aku bicara dengan sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kaukira di mana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi"
Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguhpun dia masih marah. "Di pantai Po-hai, di mana lagi" Dan aku tidak butuh bantuanmu."
"Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu" Sampai berapa tahun kau akan berhasil" Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi."
Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja. "Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!"
"Hi-hik, kaukira aku wanita macam apa mudah saja kaubunuh" Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin.... eh, suka kepadamu"
"Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya!"
"Hemmm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Sudah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai.... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana"
Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku. Andaikata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekalipun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekalipun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini daripada memusuhinya, apalagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.
"Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku tidak akan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan."
Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang terpenting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta! Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu!
"Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang.... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan" Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kausebut saja namaku seperti aku menyebut namamu."
Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. "Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan."
Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat. "Mari, Tek. Hoat, mari kita datangi kakek itu!"
Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.
*** () *** Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang. Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang kini telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja.
Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengahari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru, "Eh, ada orang berkelahi....!"
Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.
"Siauw Hong, jangan sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan, bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.
Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.
Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Adapun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini, Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu!
Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.
Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung sambil menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri maupun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.
Sementara itu, ketika Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Dua orang itu tadinya adalah sahabat-sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat, bukan itu saja, malah dia telah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan.
Melihat serangan dahsyat ini, Kian Bu terkejut. Dia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru, "Awasss....!"
Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, apalagi karena mendengar seruan Kian Bu.
"Desssss....!" Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu. Akibatnya, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah lutut dalamnya!
Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas.
"Rettt....!" Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat memeriksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah, kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek.
Memang jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biarpun dia belum melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian lihai dan berbahaya.
Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar berapi, wanita baju hijau itu kini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu kedua tangan digerak-gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya. Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biarpun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.
Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut. Dia tidak begitu suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biarpun pemuda itu telah bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.
Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bru. Kedua orang yang sedang saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap.
Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi.
"Plakkk!"
Biarpun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan rebah pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan.
Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan membentak, "Berani kau membunuh orang"
Akan tetapi sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan kepada gadis baju hijau tadi. Mereka segera berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti orang asing ini memiliki tenaga yang amat kuat maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakannya.
"Tahan...., Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!" Kian Bu berseru. Mendengar ini, Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru.
Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua menjura. "Kiranya Taihiap yang berada di sini...." Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup.
"Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi. Siauw Hong merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguhpun napas yang senin-kemis, dia lalu memondongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu.
Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan kematian kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka luar maupun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya.
Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap-cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena melihat bahwa baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya menyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi.
"Ehhh....! Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik pakaian dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan kebiruan itu dengan bengong terlongong. Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tidak percaya akan apa yang dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.
"Uhhh....!" Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang lakilaki muda lain lagi dan mereka semua kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.
"Heemmm.... aneh...." dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. "Kalau tidak cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia.... tidak boleh aku menjamahnya.... ah, tapi dia bisa mati.... dia...."
Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya. Dia membukai semua kancing, lalu menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek sedikit dandia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu. Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah-tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkangnya namun tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak menggigil biarpun dia sudah menenteramkan hatinya.
"Ahhh.... ohhhhh.... tolol kau....!"
Dia memaki diri sendiri dalam hatinya. "Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau" Yang penting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!"
Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat "dada yang indah itu" dan terus saja dada yang putih dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walaupun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi adalah seorang dara muda!
Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu" Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao Liang sendiri.
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya mereka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk menyingkirkan atau membasmi mereka mengingat bahwa ayah mereka itu adalah mantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh itu, pikir Jenderal Kao.
Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju hijau dan suhengnya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suhengnya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja menyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jenderal atau lebih tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.
Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor kepada kakak mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong keluarga mereka. Akan tetapi, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan, dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu.
Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau. Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suhengnya dan lima orang anak buahnya untuk membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu sehingga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau maupun Kang Swi yang sudah mengenalnya menjadi kaget dan jerih untuk melanjutkan pertandingan itu.
Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara tenang. "Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-orang sendiri. Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian terdapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya."
Kao Liang yang sudah bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si pemuda tampan itu kelihatan jerih terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apalagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut dan cepat-cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu. Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya. Kao Liang dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada muka gadis baju hijau sambil berkata, "Dia ini tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orang-orang dari golongan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!"
Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, "Nona, benarkah cerita mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab"
Wanita baju hijau itu tersenyum dingin. "Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong langit dan kami berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apalagi semenjak peristiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang, meleraikan, maka memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Akan tetapi hendaknya Taihiap ketahui bahwa dia itu," sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. "Dia itu adalah bekas Jenderal Kao Liang. Dialah yang telah membasmi seluruh keluargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara, ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu saja!"
Jenderal Kao Liang terbelalak. "Keluarga Kim...." Dia mengingat-ingat. "Maksudmu keluarga pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin"
"Tutup mulutmu!" Gadis baju hijau itu membentak marah. "Engkau sudah membasmi keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku" Kini kedua mata gadis itu menjadi basah.
"Ahhhhh.... kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin" Kao Liang menarik napas panjang dan mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. "Pantas....! Pantas engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kaudengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu."
Bekas Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti oleh para pemberontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin, seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil oleh Jenderal Kao.
Akan tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di bawah kekuasannya di utara (baca cerita Sepasang Rajawali).
Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia seke1uarganya dijatuhi hukuman mati.
"Demikianlah," Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. "Keluargamu terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tidak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan ayahmu."
"Orang she Kao! Kalau engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan mulutmu!" Tibatiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan mengepal tinju mengancam Kao Liang. Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan.
Kian Bu melerai dan menyuruh kedua fihak mundur.
Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. "Orang asing, apakah maksudmu" tanyanya.
"Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan Sumoiku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Akan tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya kepadamu!"
Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang tercengang. "Ahhh.... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak-anak mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan" Kao Liang berseru heran.
"Kao Liang, dalih apa pun yang kaukemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!" Gadis baju hijau itu berseru. "Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!"
Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu.
"Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she Kao!" si pemuda asing berseru. "Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!"
Melihat kedua fihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan membentak. "Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapapun juga, akan tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!" bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi itu menjadi gentar. Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan mengalah.
Kim Cu Yan menjura kepada Kian Bu. "Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan Taihiap." Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu. "Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liongsuheng, mari kita pergi!"
Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di situ. "Aihhh...., kekerasan...., kekerasan...., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang lain lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan seperti lingkaran setan. Betapa menyedihkan....!"
"Aduhhhhh....!"
Kian Bu dan tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu. Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil menangis terisak-isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.
Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu ke bawah pohon dan mengobatinya" Apa yang terjadi" Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pemuda tampan yang kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu" Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Kau mencari siapa" Kian Bu bertanya.
"Dia.... mana dia...." Siauw Hong bertanya.
"Kang Swi" Dia telah lari dan anehnya, dia lari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah yang telah terjadi" Kian Bu bertanya.
Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah semua yang telah terjadi tadi. Biarpun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit-apit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkangnya dan perlahan-lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi. Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut, miringkan kepalanya sehingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan.
"Apa yang telah terjadi, Siauw Hong" tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab.
Siauw Hong menggeleng kepala"Tidak apa-apa.... tidak apa....,dia memang orang aneh...." jawabnya. Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia!
Sementara itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menura sambil berkata, "Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu"
Pada saat itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu. Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil, maka mendengar pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab, "Nama Taihiap ini adalah Suma...."
"Siauw Hong!" Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu. "Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es" bentak bekas jenderal itu.
Dengan pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.
"Keparat!" Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju menyerang kalang-kabut!
"Ehhh....! Lhohhh....! Bagaimana pula ini...." Siauw Hong kebingungan dan berteriak-teriak. Akan tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguhpun orang yang diserangnya itu terus mengelak dengan mudah. Melihat ini, Siauw Hong hendak menyerbu dan membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya.
"Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian! Ketahuilah bahwa aku bukan orang yang menculik keluarga Kao maupun mencuri harta benda keluarga kalian!"
Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. "Apa maksudmu" Dan bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau mengetahui semua itu"
Kian Bu menghela napas. "Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyangka kami yang melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah mengenal baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik" Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua"
Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, "Kalau keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan semua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mereka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan." Lalu diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian Bu, dari awal sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka.
"Demikianlah, Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persahabatan antara keluarga kita, apakah kalian yang melakukan penculikan keluarga kami ataukah bukan"
Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab, "Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!"
"Ohhh....!" Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka.
"Ayah....!" Kok Han mengeluh.
"Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah" kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahan air matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya"
Kao Liang menurunkan kedua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak lagi ada air mata mengalir. "Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab itu," katanya setelah dia berdiri lagi. "Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya."
"Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako," kata Kok Tiong.
Ayahnya mengangguk-angguk. "Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir kalau-kalau akan terlambat...."
Tiba-tiba Kian Bu berkata, "Paman, jangan khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!" Kian Bu bicara penuh semangat.
"Ah, kami menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih mengira...."
"Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh penyesalan."
"Betapapun juga, kami harus menengoknya."
"Kalau begitu, marilah, Paman."
Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega sekali karena percakapan yang serius antara Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya.
*** () *** Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan, "Sute....!"
Kian Bu dan Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang berpakaian pengemis yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak!
"Suheng....! Kau kenapa...." Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian Bu melepaskan ikatan itu.
Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali. "Celaka," katanya. "Gadis setan itulah yang melakukannya!"
Siauw Hong terkejut. "Seorang gadis" Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu seperti ini, Suheng" Tentu saja Siauw Hong kaget bukan main. Suhengnya itu, Gu Sin-kai, edalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis!
Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata, "Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya."
Memang nama Kao Liang amat terkenal, apalagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang bersama sutenya dan Siluman Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura dengan hormat. "Ah, kiranya Kaotai-ciangkun...."
Kao Liang tersenyum. "Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi seorang panglima, bahkan perajurit pun bukan."
Gu Sin-kai mengangguk. "Maafkan saya, Kao-enghiong." Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw Hong. "Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main...."
"Hemmm, gadis itu apakah pakaiannya serba hitam" tiba-tiba Kian Bu bertanya.
"Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap" tanya Gu Sin-kai.
Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai" Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.
"Mari kita cepat naik ke puncak!" katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat.
Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain-laintiba di depan pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan. Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama sekali tidak memperbolehkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang agaknya terluka.
Pertempuran itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-cu Kai-ong sampai mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya berkerut seperti orang sedang marah atau berduka.
Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.
"Ceng Ceng....!" Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya. Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut "subo" oleh Hwee Li, mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Adapun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.
Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke depan dan berseru. "Tahan....! Kita berada di antara teman sendiri!"
Ceng Ceng menahan gerakannya dan kini dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian Bu berkata lirih, "Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku" Aku Suma Kian Bu...."
"Ohhh....!" Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. "Ahhh, kiranya Paman...." katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya.
"Ceng Ceng....!"
Wanita itu terkejet dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada di situ pula.
"Twa-so....!" Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.
"Ayah....! Adik Tiong dan Adik Han....!" Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. "Ayah di sini" Dia cepat memberi hormat.
"Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Mana suamimu" Kami sedang hendak mencari kalian di utara"
"Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami.... ah, panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini"
Bekas jenderal itu menarik napas panjang. Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu...."Dia menoleh ke arah Kian Bu. "Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi"
"Benar, Ceng Ceng, kenapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong" Paman, apakah yang telah terjadi dan mengapa kalian berdua bertempur" Kian Bu juga bertanya.
"Ahhh, semua adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kauceritakan semua perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!" Ceng Ceng berkata kepada Hwee Li sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan membalutnya dengan saputangan.
Mulut yang indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu, "Eh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini" Dia menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya yang cantik jelita maupun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar-benar seperti seorang anak kecil! "Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua kesalahfahaman diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon"
Hwee Li tersenyum. "Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang"
"Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu."
"Ah, bagaimana dengan dia" Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa.... dia terluka parah, aku lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini mendengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu" Akan tetapi.... para jembel ini...."
"Hwee Li!" Ceng Ceng menghardiknya.
Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. "Subo, harap Subo lihat pakaian mereka," dia menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, "Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel"
"Hemmm, bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!" kembali Ceng Ceng menghardik. Sering kali nyonya muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguhpun di dalam hatinya dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subonya.
"Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke puncak oleh jem.... eh, oleh kakek itu." Dia menuding ke arah Gu Sin-Kai. "Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya....!" Dia melerok ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu!
"Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem.... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya."
"Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman," kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buahnya terheran-heran mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka sebaya. Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran.
"Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami," Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng. "Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apalagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya."
Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah, "Paman Kian Lee terluka parah...." Dia bertanya.
"Benar, Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa mendapatkannya dengan mudah."
"Kenapa kau tidak rnenceritakan kepadaku" Ah, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman Kian Lee!"
Kian Bu cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apalagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam kamar. Akan tetapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus, "Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan saya. Biarpun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kunjungan banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya. Oleh karena itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi satu"
"Aku akan, menengoknya lebih dulu!" Hwee Li sudah melangkah maju. Melihat ini, yang lain mengalah dan diam-diam Ceng Ceng mengerutkan alisnya menyaksikan sikap muridnya itu. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li menyelinap masuk.
Hwee Li melangkah perlahan mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li berdiri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya. Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah bangkit duduk.
"Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li," kata Kian Lee wajah gembira.
Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. "Kau masih mengenal aku" Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu.
"Tentu saja, apalagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantunya mencari jamur panca warna. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika pahaku terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu mendapatkan jamur panca warna. Sungguh aku berhutang budi kepadamu, Hwee Li."
"Ahhhhh, siapa ingin bicara tentang budi" Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus dan kau kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Siluman Kecil adikmu itu! Ingin aku mengetuk kepalanya karena dia berani memukulmu seperti ini!"
Kian Lee tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini benar-benar mendatangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya matahari cerah memasuki kamarnya dari jendela.
"Sudah cukup kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa disengaja. Kami berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling mengenal. Eh, kau dari mana saja, Hwee Li" Selama lima enam tahun tidak berjumpa, engkau kini telah menjadi seorrang gadis yang lihai dan sudah dewasa."
Sepasang mata itu bersinar-sinar amat indahnya. "Benarkah kau tidak melupakan aku" Aku telah banyak merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan bersama burung garuda. Akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang ternyata adalah Kian Bu, adikmu."
Selama ini Kian Lee banyak menanggung penderitaan batin sehingga dia selalu murung dan kurang gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali memandang dan bicara dengan gadis ini. Sungguh, luar biasa lucu dan menggembirakannya melihat gadis ini bicara, menyebut namanya dan nama adiknya begitu saja seolah-olah Hwee Li merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-galanya! Akan tetapi di dalam semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa tersinggung oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu. Tidak ada bosannya mendengar Hwee Li bercerita panjang lebar dengan gerakan kedua tangannya dan bibir itu bergerak-gerak dengan kenesnya, mata itu bersinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru kepada Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun Pasir dan mempunyai seorang anak laki-laki yang telah lenyap!
"Subo dan Suhu sekarang mencari-carinya...."
Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. "Nona, harap Nona menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama."
"Akan tetapi siapa yang mengganggunya" Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak mengganggumu, Kian Lee" Hwee Li membantah.
Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, "Paman, siapakah yang akan mengunjungi aku"
"Ada Panglima Kao Liang di luar...."
"Ahhh!" Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, "Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk."
"Huh, jadi kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya" Kau lebih senang bicara dengan dia daripada dengan aku"
Kian Lee tersenyum. "Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah menanti sejak tadi."
Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu!
Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya dan mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, "Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari."
"Ah, Lo-ciangkun terlalu sungkan...."
"Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa...."
"Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalahfahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami."
Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh."
"Terima kasih."
Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik ke dalam kamar itu.
Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini sukar untuk dilupakannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya.
"Kau....kau.... Ceng Ceng...." Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.
Sejenak hati Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajahnya tampan itu jelas membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.
"Paman....!" Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee yang duduk di atas pembaringan. "Keponakanmu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee."
"Eh.... eh...., Ceng Ceng, bangunlah....!" Kian Lee berseru gugup. "Haha, hampir saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, bangunlah dan duduklah di atas bangku itu...."
Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit dan duduk di atas bangku, mukanya menjadi merah sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan. "Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah. Bagaimana keadaanmu" Mana, suamimu dan apakah engkau kini telah menjadi seorang ibu yang baik"
Ceng Ceng mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. "Paman, keadaan kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman."
Kian Lee tersenyum. "Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong."
"Aku tahu, Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku."
"Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir"
Ceng Ceng hanya mengangguk.
"Hebat sekali!"
"Marilah kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang," kata Ceng Ceng dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana-sini, meraba sana-sini, dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.
Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya sendiri! Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya, masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!
Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."
Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Dan tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi."
Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng lalu menceritakan hasil pemeriksaannya. "Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan engkau telah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalan-jalan darah tertentu."
Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat itu"
"Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum emas, kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku."
"Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum. Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat dia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati namun cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri. Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.
Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu terrtartg racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mujijat tentang segala macam racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini. Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.
Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.
Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi.
"Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya. Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya erst-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.
Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan matanya yang lebar terbelalak.
"Brakkk!" Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku" Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu kecil"
Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya." Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapapun gagahnya Ceng Ceng, namun sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh kekhawatiran kalau dia nengingat akan puteranya yang hilang.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggauta keluarganya diculik orang.
"Ehhh....!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat"
Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka.
"Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!"
"Ahhh....!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.
"Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orangorang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."
"Ahhh.... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin.... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa" Para penjahat dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin ribuan. Kemana kita harus menyelidiki"
"Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Mari kita berunding dengan dia untuk mengambil keputusan."
Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu karena hanya kepada pendekar inilah mereka menggantungkan harapan. Mereka lalu meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing.
Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Adapun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.
Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan ke dua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!
Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini lalu memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar dan penuh dengan masakan dan minuman.
"Terima kasih.... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka."
Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini."
Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada dua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apalagi ketika berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hldup sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya.... ah, setelah tua saya kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.
Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh semua orang, kakek itu lalu mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggauta keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang. Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya, dan kamar-kamar itu dipergunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.
Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain daripada kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini"
"Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat."
Kamar itu memang megah dan diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biarpun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambar-gambar orang tergantung rapi.
"Itu adalah gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat.
Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kai-ong" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!"
Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.
"Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki" kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan manapun juga. Beliau memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."
Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia"
Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas.
"Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia bernama Kam Liong...."
"Heeei.... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya" Hwee Li berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu. Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.
"Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau ini adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan tetapi sayang.... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati sebagai seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.
"Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku" Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut, di dalam hati mereka merasa menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat (baca cerita Istana Pulau Es)! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat.
Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu...."
"Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.
Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ah, benarkah itu, Nona" Di mana"
"Tentu saja di tangan Sin-siauw Seng-jin! Aku melihatnya beberapa bulan yang, lalu."
"Benarkah itu" Sin-siauw Seng-jin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka-pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Seng-jin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia"
Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kautanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"
"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang. Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.
"Apa" Kau membentak-bentak aku, heh" Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah siap dan memandang marah.
"Siapapun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.
"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"
Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subonya dan sejenak dua orang wanita itu saling "mengukur" tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek, dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subonya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...." lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kaumaafkan kelancanganku tadi, ya" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu"
Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!.
"Paman Yu, benarkah itu.... bahwa Sin-siauw Seng-jin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.
Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong dan jenazah muridnya she Ku, juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."
"Ah, mana mungkin itu" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri dan anak."
Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma-taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah dia memperoleh seorang putera...."
"Ahhhhh....!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.
"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong sendiri tidak mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.
"Eh, bagaimana pula itu" Kian Lee bertanya kaget.
"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas Sin-siauw Seng-jin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan itu. Karena, hanya apabila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telalh menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."
"Koai-lojin...." Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.
"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang" Siapa dia...." Kian Lee bertanya penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.
"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang aseli sebenarnya" Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Seng-jin" Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya diterima dari ka
Golok Yanci Pedang Pelangi 6 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 24
api dan putIh, rongga mulut yang merah seperti dagIng mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.
"Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu" tanyanya halus, sikapnya merendah.
Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang dilakukan oleh wanita ini" "Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!" akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.
"Ehhh" Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati"
Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. "Aku tidak membela mereka atau siapapun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya"
Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. "Jadi engkau.... engkau memperhatikan semua itu" Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka" Pandang mata itu kini penuh selidik. Wajah Tek Hoat menjadi merah.
"Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku."
"Aihhh.... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku berhadapan dengan Si Jari Maut" Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut" Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mujijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak"
"Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut.... Aku benci kepadanya! Aku benci....! Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur. Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua berhenti dl dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.
Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersamadhi beberapa lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah. Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan. Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari-hari dia tidak berhasil "mendekati" pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang lakilaki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!
Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!
Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Ada perbedaannya, yaitu kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Tek Hoat sebaliknya seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!
"Aihhh.... mengapa engkau begitu angkuh...." keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu. Sudah berhari-hari dia tidak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu!
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Dia sedang "haus" dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak" Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.
"Ohhh....!" Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.
Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru, "Ini dia siluman itu!"
Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li" Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati-matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.
"Toloooooonggggg....! Tolooonggggg.... Ang-sicu....!" Terdengar dia menjerit-jerit.
Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.
"Uhhh.... uhhhhh.... keparat kalian.... iiihhhhh, tolooonggggg....!"
"Jahanam....!" Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!
"Uuuhhhhh.... hu-huuuk, Sicu....!" Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat.
Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia menuduk, memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya, "Kenapa.... apa yang terjadi...." Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!
Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita, itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang-kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.
"Apa yang kaulakukan ini" dia membentak.
"Tek Hoat....ahhh, Tek Hoat...." Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, akan tetapi Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.
"Mo-li, apa yang kaulakukan ini" kembali dia membentak.
"Tek Hoat.... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku.... engkau telah menyelamatkan aku daripada penghinaan....lihatlah pakaianku.... dan mereka.... mereka.... jahanam-jahanam itu...." Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri.
Tek Hoat membuang muka. "Huh, kau.... kau telah menipuku, Mo-li!" Tek Hoat berseru marah dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. "Kau pura-pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan"
"Tidak.... tidak.... aku.... aku hampir...."
"Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku.... si tolol.... aku terlebak! Engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!"
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. "Hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li" Kita berdua memang cocok sekali bukan" Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan" Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah" Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat"
"Wuuuuuttttt....!" Jari tangan Tek Hoat menyambar namun dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu.
"Perempuan tak tahu malu!" Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu berahi! Tadi, ketika mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.
"Hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!"
"Wuuuttttt.... brakkkkk!" Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, kemudian pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba-raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam.
Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.
"Tek Hoattunggu....!" Terdengar teriakan dari belakang.
"Keparat....!" Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu.
Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.
"Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akah main-main lagi, aku bicara dengan sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kaukira di mana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi"
Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguhpun dia masih marah. "Di pantai Po-hai, di mana lagi" Dan aku tidak butuh bantuanmu."
"Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu" Sampai berapa tahun kau akan berhasil" Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi."
Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja. "Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!"
"Hi-hik, kaukira aku wanita macam apa mudah saja kaubunuh" Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin.... eh, suka kepadamu"
"Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya!"
"Hemmm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Sudah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai.... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana"
Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku. Andaikata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekalipun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekalipun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini daripada memusuhinya, apalagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.
"Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku tidak akan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan."
Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang terpenting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta! Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu!
"Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang.... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan" Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kausebut saja namaku seperti aku menyebut namamu."
Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. "Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan."
Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat. "Mari, Tek. Hoat, mari kita datangi kakek itu!"
Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.
*** () *** Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang. Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang kini telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja.
Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengahari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru, "Eh, ada orang berkelahi....!"
Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.
"Siauw Hong, jangan sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan, bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.
Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.
Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Adapun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini, Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu!
Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.
Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung sambil menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri maupun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.
Sementara itu, ketika Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Dua orang itu tadinya adalah sahabat-sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat, bukan itu saja, malah dia telah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan.
Melihat serangan dahsyat ini, Kian Bu terkejut. Dia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru, "Awasss....!"
Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, apalagi karena mendengar seruan Kian Bu.
"Desssss....!" Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu. Akibatnya, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah lutut dalamnya!
Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas.
"Rettt....!" Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat memeriksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah, kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek.
Memang jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biarpun dia belum melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian lihai dan berbahaya.
Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar berapi, wanita baju hijau itu kini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu kedua tangan digerak-gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya. Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biarpun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.
Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut. Dia tidak begitu suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biarpun pemuda itu telah bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.
Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bru. Kedua orang yang sedang saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap.
Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi.
"Plakkk!"
Biarpun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan rebah pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan.
Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan membentak, "Berani kau membunuh orang"
Akan tetapi sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan kepada gadis baju hijau tadi. Mereka segera berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti orang asing ini memiliki tenaga yang amat kuat maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakannya.
"Tahan...., Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!" Kian Bu berseru. Mendengar ini, Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru.
Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua menjura. "Kiranya Taihiap yang berada di sini...." Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup.
"Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi. Siauw Hong merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguhpun napas yang senin-kemis, dia lalu memondongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu.
Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan kematian kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka luar maupun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya.
Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap-cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena melihat bahwa baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya menyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi.
"Ehhh....! Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik pakaian dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan kebiruan itu dengan bengong terlongong. Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tidak percaya akan apa yang dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.
"Uhhh....!" Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang lakilaki muda lain lagi dan mereka semua kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.
"Heemmm.... aneh...." dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. "Kalau tidak cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia.... tidak boleh aku menjamahnya.... ah, tapi dia bisa mati.... dia...."
Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya. Dia membukai semua kancing, lalu menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek sedikit dandia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu. Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah-tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkangnya namun tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak menggigil biarpun dia sudah menenteramkan hatinya.
"Ahhh.... ohhhhh.... tolol kau....!"
Dia memaki diri sendiri dalam hatinya. "Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau" Yang penting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!"
Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat "dada yang indah itu" dan terus saja dada yang putih dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walaupun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi adalah seorang dara muda!
Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu" Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao Liang sendiri.
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya mereka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk menyingkirkan atau membasmi mereka mengingat bahwa ayah mereka itu adalah mantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh itu, pikir Jenderal Kao.
Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju hijau dan suhengnya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suhengnya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja menyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jenderal atau lebih tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.
Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor kepada kakak mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong keluarga mereka. Akan tetapi, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan, dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu.
Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau. Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suhengnya dan lima orang anak buahnya untuk membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu sehingga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau maupun Kang Swi yang sudah mengenalnya menjadi kaget dan jerih untuk melanjutkan pertandingan itu.
Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara tenang. "Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-orang sendiri. Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian terdapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya."
Kao Liang yang sudah bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si pemuda tampan itu kelihatan jerih terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apalagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut dan cepat-cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu. Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya. Kao Liang dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada muka gadis baju hijau sambil berkata, "Dia ini tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orang-orang dari golongan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!"
Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, "Nona, benarkah cerita mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab"
Wanita baju hijau itu tersenyum dingin. "Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong langit dan kami berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apalagi semenjak peristiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang, meleraikan, maka memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Akan tetapi hendaknya Taihiap ketahui bahwa dia itu," sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. "Dia itu adalah bekas Jenderal Kao Liang. Dialah yang telah membasmi seluruh keluargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara, ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu saja!"
Jenderal Kao Liang terbelalak. "Keluarga Kim...." Dia mengingat-ingat. "Maksudmu keluarga pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin"
"Tutup mulutmu!" Gadis baju hijau itu membentak marah. "Engkau sudah membasmi keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku" Kini kedua mata gadis itu menjadi basah.
"Ahhhhh.... kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin" Kao Liang menarik napas panjang dan mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. "Pantas....! Pantas engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kaudengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu."
Bekas Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti oleh para pemberontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin, seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil oleh Jenderal Kao.
Akan tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di bawah kekuasannya di utara (baca cerita Sepasang Rajawali).
Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia seke1uarganya dijatuhi hukuman mati.
"Demikianlah," Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. "Keluargamu terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tidak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan ayahmu."
"Orang she Kao! Kalau engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan mulutmu!" Tibatiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan mengepal tinju mengancam Kao Liang. Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan.
Kian Bu melerai dan menyuruh kedua fihak mundur.
Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. "Orang asing, apakah maksudmu" tanyanya.
"Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan Sumoiku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Akan tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya kepadamu!"
Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang tercengang. "Ahhh.... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak-anak mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan" Kao Liang berseru heran.
"Kao Liang, dalih apa pun yang kaukemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!" Gadis baju hijau itu berseru. "Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!"
Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu.
"Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she Kao!" si pemuda asing berseru. "Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!"
Melihat kedua fihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan membentak. "Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapapun juga, akan tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!" bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi itu menjadi gentar. Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan mengalah.
Kim Cu Yan menjura kepada Kian Bu. "Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan Taihiap." Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu. "Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liongsuheng, mari kita pergi!"
Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di situ. "Aihhh...., kekerasan...., kekerasan...., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang lain lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan seperti lingkaran setan. Betapa menyedihkan....!"
"Aduhhhhh....!"
Kian Bu dan tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu. Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil menangis terisak-isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.
Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu ke bawah pohon dan mengobatinya" Apa yang terjadi" Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pemuda tampan yang kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu" Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Kau mencari siapa" Kian Bu bertanya.
"Dia.... mana dia...." Siauw Hong bertanya.
"Kang Swi" Dia telah lari dan anehnya, dia lari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah yang telah terjadi" Kian Bu bertanya.
Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah semua yang telah terjadi tadi. Biarpun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit-apit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkangnya dan perlahan-lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi. Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut, miringkan kepalanya sehingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan.
"Apa yang telah terjadi, Siauw Hong" tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab.
Siauw Hong menggeleng kepala"Tidak apa-apa.... tidak apa....,dia memang orang aneh...." jawabnya. Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia!
Sementara itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menura sambil berkata, "Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu"
Pada saat itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu. Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil, maka mendengar pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab, "Nama Taihiap ini adalah Suma...."
"Siauw Hong!" Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu. "Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es" bentak bekas jenderal itu.
Dengan pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.
"Keparat!" Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju menyerang kalang-kabut!
"Ehhh....! Lhohhh....! Bagaimana pula ini...." Siauw Hong kebingungan dan berteriak-teriak. Akan tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguhpun orang yang diserangnya itu terus mengelak dengan mudah. Melihat ini, Siauw Hong hendak menyerbu dan membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya.
"Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian! Ketahuilah bahwa aku bukan orang yang menculik keluarga Kao maupun mencuri harta benda keluarga kalian!"
Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. "Apa maksudmu" Dan bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau mengetahui semua itu"
Kian Bu menghela napas. "Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyangka kami yang melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah mengenal baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik" Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua"
Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, "Kalau keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan semua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mereka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan." Lalu diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian Bu, dari awal sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka.
"Demikianlah, Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persahabatan antara keluarga kita, apakah kalian yang melakukan penculikan keluarga kami ataukah bukan"
Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab, "Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!"
"Ohhh....!" Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka.
"Ayah....!" Kok Han mengeluh.
"Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah" kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahan air matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya"
Kao Liang menurunkan kedua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak lagi ada air mata mengalir. "Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab itu," katanya setelah dia berdiri lagi. "Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya."
"Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako," kata Kok Tiong.
Ayahnya mengangguk-angguk. "Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir kalau-kalau akan terlambat...."
Tiba-tiba Kian Bu berkata, "Paman, jangan khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!" Kian Bu bicara penuh semangat.
"Ah, kami menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih mengira...."
"Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh penyesalan."
"Betapapun juga, kami harus menengoknya."
"Kalau begitu, marilah, Paman."
Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega sekali karena percakapan yang serius antara Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya.
*** () *** Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan, "Sute....!"
Kian Bu dan Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang berpakaian pengemis yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak!
"Suheng....! Kau kenapa...." Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian Bu melepaskan ikatan itu.
Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali. "Celaka," katanya. "Gadis setan itulah yang melakukannya!"
Siauw Hong terkejut. "Seorang gadis" Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu seperti ini, Suheng" Tentu saja Siauw Hong kaget bukan main. Suhengnya itu, Gu Sin-kai, edalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis!
Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata, "Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya."
Memang nama Kao Liang amat terkenal, apalagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang bersama sutenya dan Siluman Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura dengan hormat. "Ah, kiranya Kaotai-ciangkun...."
Kao Liang tersenyum. "Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi seorang panglima, bahkan perajurit pun bukan."
Gu Sin-kai mengangguk. "Maafkan saya, Kao-enghiong." Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw Hong. "Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main...."
"Hemmm, gadis itu apakah pakaiannya serba hitam" tiba-tiba Kian Bu bertanya.
"Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap" tanya Gu Sin-kai.
Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai" Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.
"Mari kita cepat naik ke puncak!" katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat.
Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain-laintiba di depan pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan. Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama sekali tidak memperbolehkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang agaknya terluka.
Pertempuran itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-cu Kai-ong sampai mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya berkerut seperti orang sedang marah atau berduka.
Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.
"Ceng Ceng....!" Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya. Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut "subo" oleh Hwee Li, mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Adapun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.
Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke depan dan berseru. "Tahan....! Kita berada di antara teman sendiri!"
Ceng Ceng menahan gerakannya dan kini dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian Bu berkata lirih, "Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku" Aku Suma Kian Bu...."
"Ohhh....!" Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. "Ahhh, kiranya Paman...." katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya.
"Ceng Ceng....!"
Wanita itu terkejet dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada di situ pula.
"Twa-so....!" Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.
"Ayah....! Adik Tiong dan Adik Han....!" Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. "Ayah di sini" Dia cepat memberi hormat.
"Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Mana suamimu" Kami sedang hendak mencari kalian di utara"
"Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami.... ah, panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini"
Bekas jenderal itu menarik napas panjang. Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu...."Dia menoleh ke arah Kian Bu. "Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi"
"Benar, Ceng Ceng, kenapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong" Paman, apakah yang telah terjadi dan mengapa kalian berdua bertempur" Kian Bu juga bertanya.
"Ahhh, semua adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kauceritakan semua perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!" Ceng Ceng berkata kepada Hwee Li sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan membalutnya dengan saputangan.
Mulut yang indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu, "Eh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini" Dia menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya yang cantik jelita maupun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar-benar seperti seorang anak kecil! "Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua kesalahfahaman diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon"
Hwee Li tersenyum. "Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang"
"Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu."
"Ah, bagaimana dengan dia" Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa.... dia terluka parah, aku lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini mendengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu" Akan tetapi.... para jembel ini...."
"Hwee Li!" Ceng Ceng menghardiknya.
Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. "Subo, harap Subo lihat pakaian mereka," dia menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, "Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel"
"Hemmm, bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!" kembali Ceng Ceng menghardik. Sering kali nyonya muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguhpun di dalam hatinya dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subonya.
"Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke puncak oleh jem.... eh, oleh kakek itu." Dia menuding ke arah Gu Sin-Kai. "Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya....!" Dia melerok ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu!
"Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem.... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya."
"Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman," kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buahnya terheran-heran mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka sebaya. Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran.
"Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami," Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng. "Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apalagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya."
Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah, "Paman Kian Lee terluka parah...." Dia bertanya.
"Benar, Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa mendapatkannya dengan mudah."
"Kenapa kau tidak rnenceritakan kepadaku" Ah, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman Kian Lee!"
Kian Bu cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apalagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam kamar. Akan tetapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus, "Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan saya. Biarpun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kunjungan banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya. Oleh karena itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi satu"
"Aku akan, menengoknya lebih dulu!" Hwee Li sudah melangkah maju. Melihat ini, yang lain mengalah dan diam-diam Ceng Ceng mengerutkan alisnya menyaksikan sikap muridnya itu. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li menyelinap masuk.
Hwee Li melangkah perlahan mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li berdiri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya. Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah bangkit duduk.
"Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li," kata Kian Lee wajah gembira.
Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. "Kau masih mengenal aku" Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu.
"Tentu saja, apalagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantunya mencari jamur panca warna. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika pahaku terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu mendapatkan jamur panca warna. Sungguh aku berhutang budi kepadamu, Hwee Li."
"Ahhhhh, siapa ingin bicara tentang budi" Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus dan kau kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Siluman Kecil adikmu itu! Ingin aku mengetuk kepalanya karena dia berani memukulmu seperti ini!"
Kian Lee tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini benar-benar mendatangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya matahari cerah memasuki kamarnya dari jendela.
"Sudah cukup kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa disengaja. Kami berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling mengenal. Eh, kau dari mana saja, Hwee Li" Selama lima enam tahun tidak berjumpa, engkau kini telah menjadi seorrang gadis yang lihai dan sudah dewasa."
Sepasang mata itu bersinar-sinar amat indahnya. "Benarkah kau tidak melupakan aku" Aku telah banyak merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan bersama burung garuda. Akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang ternyata adalah Kian Bu, adikmu."
Selama ini Kian Lee banyak menanggung penderitaan batin sehingga dia selalu murung dan kurang gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali memandang dan bicara dengan gadis ini. Sungguh, luar biasa lucu dan menggembirakannya melihat gadis ini bicara, menyebut namanya dan nama adiknya begitu saja seolah-olah Hwee Li merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-galanya! Akan tetapi di dalam semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa tersinggung oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu. Tidak ada bosannya mendengar Hwee Li bercerita panjang lebar dengan gerakan kedua tangannya dan bibir itu bergerak-gerak dengan kenesnya, mata itu bersinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru kepada Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun Pasir dan mempunyai seorang anak laki-laki yang telah lenyap!
"Subo dan Suhu sekarang mencari-carinya...."
Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. "Nona, harap Nona menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama."
"Akan tetapi siapa yang mengganggunya" Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak mengganggumu, Kian Lee" Hwee Li membantah.
Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, "Paman, siapakah yang akan mengunjungi aku"
"Ada Panglima Kao Liang di luar...."
"Ahhh!" Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, "Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk."
"Huh, jadi kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya" Kau lebih senang bicara dengan dia daripada dengan aku"
Kian Lee tersenyum. "Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah menanti sejak tadi."
Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu!
Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya dan mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, "Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari."
"Ah, Lo-ciangkun terlalu sungkan...."
"Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa...."
"Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalahfahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami."
Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh."
"Terima kasih."
Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik ke dalam kamar itu.
Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini sukar untuk dilupakannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya.
"Kau....kau.... Ceng Ceng...." Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.
Sejenak hati Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajahnya tampan itu jelas membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.
"Paman....!" Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee yang duduk di atas pembaringan. "Keponakanmu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee."
"Eh.... eh...., Ceng Ceng, bangunlah....!" Kian Lee berseru gugup. "Haha, hampir saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, bangunlah dan duduklah di atas bangku itu...."
Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit dan duduk di atas bangku, mukanya menjadi merah sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan. "Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah. Bagaimana keadaanmu" Mana, suamimu dan apakah engkau kini telah menjadi seorang ibu yang baik"
Ceng Ceng mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. "Paman, keadaan kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman."
Kian Lee tersenyum. "Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong."
"Aku tahu, Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku."
"Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir"
Ceng Ceng hanya mengangguk.
"Hebat sekali!"
"Marilah kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang," kata Ceng Ceng dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana-sini, meraba sana-sini, dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.
Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya sendiri! Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya, masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!
Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."
Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Dan tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi."
Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng lalu menceritakan hasil pemeriksaannya. "Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan engkau telah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalan-jalan darah tertentu."
Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat itu"
"Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum emas, kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku."
"Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum. Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat dia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati namun cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri. Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.
Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu terrtartg racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mujijat tentang segala macam racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini. Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.
Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.
Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi.
"Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya. Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya erst-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.
Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan matanya yang lebar terbelalak.
"Brakkk!" Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku" Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu kecil"
Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya." Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapapun gagahnya Ceng Ceng, namun sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh kekhawatiran kalau dia nengingat akan puteranya yang hilang.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggauta keluarganya diculik orang.
"Ehhh....!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat"
Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka.
"Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!"
"Ahhh....!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.
"Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orangorang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."
"Ahhh.... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin.... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa" Para penjahat dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin ribuan. Kemana kita harus menyelidiki"
"Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Mari kita berunding dengan dia untuk mengambil keputusan."
Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu karena hanya kepada pendekar inilah mereka menggantungkan harapan. Mereka lalu meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing.
Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Adapun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.
Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan ke dua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!
Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini lalu memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar dan penuh dengan masakan dan minuman.
"Terima kasih.... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka."
Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini."
Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada dua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apalagi ketika berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hldup sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya.... ah, setelah tua saya kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.
Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh semua orang, kakek itu lalu mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggauta keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang. Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya, dan kamar-kamar itu dipergunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.
Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain daripada kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini"
"Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat."
Kamar itu memang megah dan diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biarpun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambar-gambar orang tergantung rapi.
"Itu adalah gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat.
Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kai-ong" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!"
Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.
"Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki" kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan manapun juga. Beliau memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."
Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia"
Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas.
"Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia bernama Kam Liong...."
"Heeei.... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya" Hwee Li berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu. Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.
"Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau ini adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan tetapi sayang.... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati sebagai seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.
"Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku" Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut, di dalam hati mereka merasa menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat (baca cerita Istana Pulau Es)! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat.
Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu...."
"Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.
Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ah, benarkah itu, Nona" Di mana"
"Tentu saja di tangan Sin-siauw Seng-jin! Aku melihatnya beberapa bulan yang, lalu."
"Benarkah itu" Sin-siauw Seng-jin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka-pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Seng-jin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia"
Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kautanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"
"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang. Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.
"Apa" Kau membentak-bentak aku, heh" Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah siap dan memandang marah.
"Siapapun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.
"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"
Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subonya dan sejenak dua orang wanita itu saling "mengukur" tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek, dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subonya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...." lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kaumaafkan kelancanganku tadi, ya" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu"
Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!.
"Paman Yu, benarkah itu.... bahwa Sin-siauw Seng-jin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.
Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong dan jenazah muridnya she Ku, juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."
"Ah, mana mungkin itu" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri dan anak."
Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma-taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah dia memperoleh seorang putera...."
"Ahhhhh....!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.
"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong sendiri tidak mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.
"Eh, bagaimana pula itu" Kian Lee bertanya kaget.
"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas Sin-siauw Seng-jin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan itu. Karena, hanya apabila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telalh menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."
"Koai-lojin...." Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.
"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang" Siapa dia...." Kian Lee bertanya penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.
"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang aseli sebenarnya" Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Seng-jin" Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya diterima dari ka
Golok Yanci Pedang Pelangi 6 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 24