Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
ku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu" Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!"
Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.
"Diakah...." Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biarpun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu, dia datang memenuhi janji!" katanya.
Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. "Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya," katanya dengan sikap merendah.
Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. "Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu"
Siluman Kecil mengangkat muka memandang dan mereka saling bertemu dan beradu pandang. "Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran"
Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela. "Ahhh, kalau muncul dengan terang-terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini"
"Ohhh....! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini" Sungguh, saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!"
"Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar." Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.
Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.
Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, "Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diril"
Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya hendak bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka! Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, "Mau apa kalian berada di sini" Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini"
Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka menjawab, "Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu."
Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Seng-jin (Kakek Suling Sakti) tersenyum lebar.
"Aku tidak menghendaki bantuan dari siapapun!" Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.
"Cu-wi telah datang, boleh saja menyaksikan pertandingan." Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus namun menembus sampai jauh seperti hembusan angin, "Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!"
Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecli. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, "Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!"
Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.
Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kunlun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, "Harap Seng-jin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu aseli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Seng-jin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami."
Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan, maka majulah dia dan dengan suara halus namun bernada menantang dia berkata, "Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu" Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi."
Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain, hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Seng-jin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tidak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai memberi isyarat kepada sutenya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, tokoh ke dua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh ke dua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu menjura. "Silakan!"
Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya dan dia bertanya, "Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang"
"Pintu Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai," kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. "Kim Thian Cu totiang, sebagai fihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang mulai dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu."
Kim Thian Cu sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, tentu saja sudah mempunyai pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. "Pinto mulai, sambutlah!" Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu telah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang kesemuanya ada seratus dua puluh jurus. Biarpun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh ke dua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.
"Bagus....!" Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, kedua tangannya menangkis dua serangan itu.
"Dukkk!.... Dukkkkk!" Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Seng-jin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkangnya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali namun dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!
Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sutenya tidak akan mampu menang. Sayang bahwa sutenya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga untuk menghadapi lawan yang demikian tangguh amat sukar mendesaknya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri dan hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadangkadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sutenya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya dan dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, "Pinto mengaku kalah."
"Hebat.... hebat....!" Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. "Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi...."
Kakek itu tersenyum dan balas menjura. "Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Adapun tentang ilmuilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu."
Giok Thian Cu mengangguk-angguk. "Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau boleh pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya" Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. "Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu menyambut penghormatan Totiang."
Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, "Lihat pedang!" dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.
"Bagus!" Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
"Tranggg....!" Kedua fihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, terus saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.
Tiba-tiba Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah gulungan sinar perak yang amat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
"Hebat....! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. "Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas...."
Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu , kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, "Siancai....!" dan kedua gulungan sinar itu berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
"Sungguh hebat, pinto mengaku kalah."
"Ahhh, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali akan tetapi harus dlakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, kalau boleh."
Liang Sim Tosu sudah melangkah maju dan mepgeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun membalas dengan penghormatan dan menjawab, "Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju."
Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, "Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!" Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan makin lama makin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.
"Bukan main....!" Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
"Cring-tranggg....!
Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus namun luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan saling menggunting, kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya dua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan akan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan.
Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mujijat, karena dahulu, Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biarpun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mujijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.
Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.
"Ahhhhh....!" Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Biarpun ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya dapat membendung serangan lawan, namun karena memang dia kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
"Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah." Tiba-tiba terdengar suara halus dan Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. Saya mengaku kalah."
Liang Sim Tosu tersenyum lebar. "Bukan main....terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi."
Kini Sin-siauw Seng-jin melangkah maju. "Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapapun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hongin Bun-hoat yang telah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!" Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat daripada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
"Wah-wah-wah.... kalau aku bisa mendapatkan suling itu...." terdengar Hwee Li berbisik.
"Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas" Cui Lan mencela.
"Aihhh, kau mana tahu...."
Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika kini ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Akan tetapi, kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke manapun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
"Sekarang jagalah, Totiang!" Kakek tua renta itu berseru dan nampak kini sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, lalu menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Akan tetapi belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai cepat menjura penuh hormat. "Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng" Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah."
Kakek itu tersenyum. "Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah ilmu Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aselinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan)."
Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, "Biarpun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena kami merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu." Semua orang makin kagum mendengar ini.
"Locianpwe, saya sudah menunggu!" Tiba-tiba terdengar suara bening melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, "Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah slap, majulah!"
Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, lalu dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, "Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak."
"Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Seng-jin dan Siluman Kecil."
"Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!" kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. "Nah, maafkan aku!" Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata dan tahu-tahu kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.
"Tringgggg....!"
Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas. Memang hebat sekali kakek itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja membuktikan bahwa memang Sin-siauw Seng-jin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu makin lama makin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apalagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung dan belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak-kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untung Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga ketika suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula. Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Seng-jin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, dahinya berkeringat napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
"Aku mengaku kalah.... sekali.... ini...."
"Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan...."
"Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!" Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan, dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tidak ada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Pula, memang kakek itu benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pertandingan ke tiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
"In-kong (Tuan Penolong)....!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan di bentangkan seperti, orang hendak memeluk! Seorang gadis lain yang berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, "Ah, kau juga di sini, Nona" Melihat sikap Siluman Kecil itu Seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, "In-kong.... saya...."
Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.
"Hemmm....!" Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu. Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tak disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
"Ahhhhh....!" Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
"Brettt....!"
Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia, karena tak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya, maka dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.
"Laki-laki tak berperasaan!" Hwee Li memaki marah sambil memandang kepada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenahg, "Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya."
Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat, didorongnya terbuka dengan mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. "Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau"
Hwee Li mencibirkan bibirnya. "Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kaukenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain"
"Eh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!" teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya, menjadi panas, apalagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnye dengan golok yang telah dicabutnya.
"Huh, orang kasar!" Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis pekaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, diikuti pula oleh ketua kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan.
Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
"Berhenti semua! Jangan mendekat atau.... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis.... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!" Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah menghadiri undangan Kuiliong-pang mewakili gurunya, yaitu Heksin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
"Siancai.... di tempat begini ada maling!" Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, akan tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
"Kau lepaskan dia....!" Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat "Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa kalau aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!" Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
"Maling hina yang curang!" Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
"Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bersikap tenang seperti seorang pendeta yang berkedudukan tinggi" Nona berpakaian serba merah itu mengejek. "Siluman Kecil, bagaimana"
"Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kaucuri itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!" ucapannya terdengar halus akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan. "Hik-hik, tentu saja. Dan agar engkau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!" Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia lalu meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lenyap ke dalam kegelapan malam.
"Aku akan segera ke sana!" Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
"Ihhhhh....!" Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu adalah sebuah kancing baju putih yang tahu tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa! "Siluman Kecil, akudan Suhu menantimu di sana!"
Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa-tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, "Jangan bunuh orang.... jangan lukai orang....!"
Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.
"Aihhh....!" Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat. Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan kini semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang. Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar Hwee Li Menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam. Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, "Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!" Begitu dia berkata pergi, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang amat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan. Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja banyak orang, apalagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar menghormatinya. Sedangkan dia" Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan. Ayah bundanya mudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apalagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
"Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu."
Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan dan tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya. Adapun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mujijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti. Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai maupun kipas dan kitab-kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu"
Hal ini, akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan.
Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa lari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di sebuah lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan indah bukan main dan Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sennaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini! Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tidak membalas perasaan hatinya. Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.
"Ihhhh....! Kau lagi...."
Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!
"Hemmm...." Dia hanya menggumam.
"Hemmm apa" Kau laki-laki tak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!" Dara sudah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. "Bocah lancang mulut, apa yang kaumaksudkan itu"
"Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya" Kaukira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku"
Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. "Yaaah, terserah. Sekarang katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi"
"Maksudnya" Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lann kautinggalkan begitu saja, tidak tahu kahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau, setelah kaujatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kausia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku" Mau pamerkan kepandaianmu" Mau membunuh aku"
Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguhpun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.
"Aku tidak mengejarmu, Nona." Akhirnya dia berkata singkat.
"Dusta kau!" Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata, "Aku tidak ingin berkelahi!" Akan tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.
"Lari ke mana kau" Hwee Li membentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.
"Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!"
"Eh, Subo....!" Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.
Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi daripada si dara galak, apalagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.
Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga. Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua gerak-geriknya. Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.
Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.
"Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu" Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kaulupakan, ha-ha!"
"Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa" Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah....!"
Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, "Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!"
Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, "Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!" Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.
Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, "Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubar dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu."
"Ah, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini," kata wanita itu dengan sikap gembira dan melihat sikap dan mendengar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya. Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.
"Sumoi....!" Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
"Ah, Suheng, kau baru datang" Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.
Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, "Sumoi, dia kulihat di luar dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian."
Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, "Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku." Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
"Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...." Wanita itu memperkenalkan.
"Saya Ma Kok Ciang!"
"Saya Kam Seng!"
"Saya Kam Tiong!"
Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil.
"Sobat, Suhengku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat" Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.
"Namaku...." Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil," jawabnya pendek.
"Ughhh-ukkkhhhhh!" Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang mereka hanya dapat lihat punggungnya. Sedangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percayabegitu saja.
Sliurnah Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. "Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!"
Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.
Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
"Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya" kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak.
Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, "Saya.... saya adalah pengusaha warung.... harap maafkan.... saya tidak lagi menangkap ikan...."
"Bohong!" Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan. "Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai" Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kausuruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kausuruh menjual. kepada kami. Berani kau menyangkal"
Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu.Tak disangkanya bahwa Boan-wangwe, "raja" kaum nelayan itu demikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. "Maaf.... ampunkan saya.... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...."
"Ha-ha-ha!" Kini Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. "Sudahlah! Sekarang kaukeluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu."
"Heiii, pelayan! Tambah araknya!" Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah-olah dia sama aekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.
Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, membongkok-bongkok dan berkata gugup, "Harap Cu-wi sudi memaafkan saya.... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan.... dan Cu-wi tidak usah membayar harga makanan dan minuman tadi...."
"Hemmm, apa artinya ini" Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
"Maaf, Siauw-ya.... warung ini.... harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...."
"Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!" Pemuda asing itu membentak marah. "Hayo tambah lagi araknya!"
"Ba.... baik...." Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambli memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini" Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho. Hartawan she Boan ini dikenal sebagai "raja" kaum nelayan, dan dia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku untuk membantu segolongannya, akan tetapi juga memiliki iimu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.
"Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman-temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!" bentak Si Muka Hitam.
Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoinya masih enak-enak menggunakan sumpit lengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, "Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!"
"Keparat!" Si Muka Hitam membentak. Dia merupakan seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran, tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.
"Plak-plakkk.... aughhh...." Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoinya yang seolah-olah tidak mempedulikan suhengnya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga, akan tetapi sambil melanjutkan makan hidangan, di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!
Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini, mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka.
Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya. "Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!" katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar-putar di depan dada.
"Suheng, jangan....!" Wanita baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biarpun dia mendengar seruan mencegah dari sumoinya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka berkeretakan berbunyi saling beradu, mulut mereka mengeluarkan suara "hu-hu-hu-huuu...." dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.
"Huh!" Pemuda asing itu mendengus. "Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.
Boan-wangwe kini mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yapg aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya! Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya dan tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwgnya yang panjang!
"Wuuuttttt.... singgggg....!" Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
"Tranggggg!.... Cringgggg....!" Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampak api berhamburan, keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak biarpun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka.
Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.
Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biarpun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.
"Hyaaaaattttt....!" Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwenya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.
"Brettttt....!" Untung dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.
"Awas, Suheng....!" Wanita baju hijau itu berseru dan pemuda asing itu sudah waspada. Dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.
"Tringgg.... tarrrrr-tarrrrr!" Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
"Suheng....!" Wanita baju hijau itu berteriak dan dengan marah dia meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat.
Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.
"Tranggggg....!" Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwenya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat daripada suhengnya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil. Wanita baju hijau terpaksa menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
"Ha-ha-ha, baru kalian tahu rasa!" Boan-wangwe tertawa bergelak. "Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha!" Sekarang pergilah kalian ke neraka!" Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdirl dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwenya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu!
Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tibatiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.
"Plakkk....! Nyesssss....!" Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
"Celaka....!" serunya dan dia cepat menoleh ke kiri. Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu" Inikah dia si Siluman Kecil" Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!
Siapapun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwenya sebagai sumpitan. Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.
Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.
Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sanasini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur diantara hujan peluru kecil itu. Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak.
Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!
Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak. "Hebat!" serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. "Ah....!" Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
"Tahan....!" Laki-laki ini berseru, suara melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan tiba-tiba badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali!
Laki-laki tampan dan gagah perkasa itu ternyata memang hanya berlengan satu. Lengan kirinya buntung, maka lengan baju kirinya itu kosong. Akan tetapi hebatnya, justeru lengan baju yang kosong inilah yang amat lihai, yang seolah-olah merupakan ekor naga yang hidup dan mampu menangkap peluru-peluru berbahaya itu. Dengan sikap tenang, orang itu menggunakan tangan kanannya mengambil peluru-peluru kecil yang tergantung oleh lengan baju kirinya, memberikannya kepada Boan-wangwe. sambil berkata dengan suara penuh teguran, "Terimalah kembali peluru-pelurumu! Akan tetapi jangan begltu kejam lagi untuk menghamburkan barang-barang beracun yang keji ini di tempat umum. Lihatlah orang-orang itu yang menjadi korban. Engkau harus mengobati mereka."
Boan-wangwe menerima peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suhengnya yang masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia tidak mampu mengobati mereka.
Melihat kekejaman orang yang menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah Siluman Kecil dan dia menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti mata naga, yaitu mata laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya kelihatan terkejut sekali, karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata yang amat tajam berkilat dari mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata ini saja keduanya maklum bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat, karena hanya mata orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat sajalah yang mengeluarkan sinar seperti itu.
Laki-laki berlengan buntung itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari Siluman Kecil, juga dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa orang berambut putih yang memiliki kepandaian demikian dahsyatnya, yang memiliki gerakan yang demikian cepat dan mujijatnya, ternyata masih amat muda. Hal ini dapat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup oleh rambut putih riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan melihat rambutnya yang putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan merupakan seorang locianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata masih amat muda, hanya rambutnya yang sudah putih semua. Siluman Kecil sebaliknya terkejut dan kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah itu memiliki sinar mata yang mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak mereka beradu pandang, akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum dan hormat.
"Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat kagum melihatnya," kata laki-laki berlengan sebelah itu.
"Hemmm.... tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!" jawab Siluman Kecil sambil menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi muka, dan dia bangkit berdiri.
"Ah, saudara terlalu merendahkan diri," kata Si lengan satu.
"Tidak, saya berkata sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan mengelak terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara telah langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu saudara tadi sungguh mengagumkan!" Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus hatinya karena harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Seng-jin kakek yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.
"Ah, saudara terlalu memuji dan terlalu merendahkan diri, sungguh makin mengagumkan hati saya!" kata Si lengan satu sambil memandang penuh selidik dan benar-benar merasa kagum sekali.
Siluman Kecil tidak mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri Boan-wangwe, berkata dengan nada mengancam, "Manusia kejam! Kalau engkau tidak lekas mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!"
"Dan aku pun tidak akan tinggal diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!" kata pula Si lengan satu sambil menghampir Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai ini bukan orang bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.
"Baiklah," katanya dengan suara berat. "Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran ini hanya disebabkan oleh urusan kecil saja!" Dia lalu mengeluarkan sebuah guci arak dan setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari dalam guci itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan meneteskan sedikit obat di lubang hidung mereka yong menjadi korban, orang-orang yang tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar kembali.
Melihat ini, Siluman Kecil yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap pergi dengan cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia dan mencari pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Seng-jin itu di pantai Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan tetapi dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal oleh orang gagah itu.
Setelah semua korban disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan Boan-wangwe bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki kuda mereka terdengar berisik ketika mereka rneninggalkan warung Diam-diam Boan-wangwe menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu, mengingat demikian banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka.
Sementara itu, suheng dan sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera menghaturkan terima kasih kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi meninggalkan warung setelah dengan royal mengganti semua harga makanan dan mengganti semua harga barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si pemilik warung. Tentu saja pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat menarik keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua harga barang yang diganti oleh wanita baju hijau itu.
Kini warung itu menjadi sunyi kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan sebelah tadi. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung itu, laki-laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan bangkunya masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas menghampiri karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan seorang di antara golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih dulu.
"Taihiap hendak memerintah apakah" tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.
"Lopek, harap buatkan masakan untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kausediakan"
"Wah, untuk Taihiap saya sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa menyediakan hidangan-hidangan dari ikan sungai."
"Nah, kalau begitu buatkan goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi, panggang telur ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi, ang-sio-hi dua porsi besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan campur sarang burung dan telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan bakmi telur lima porsi!"
"Baik....baik....!" Pemilik warung mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya merasa heran sekali mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali baginya, di samping menyelamatkannya" Andaikata tidak dibayar semua masakan yang dipesan itu sekalipun, dia rela memberikanya sebagai tanda terima kasih! Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri masakan besar itu.
Karena di situ tidak ada tamu lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani laki-laki berlengan buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur, suara golok mencacah daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh, suara minyak mendidih dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan.
Sementara itu, laki-laki berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini" Para pembacacerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan tepat siapa adanya laki-iaki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia adalah Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid Go-bi Bu Beng Lojin yang terkenal dengan sebutan Si Dewa Bongkok. Seperti telah diceritakan dalamcerita Kisah Sepasang Rajawali , Kao Kok Cu berjodoh dengan Ceng Ceng atau nama lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, puteri dari mendiang Wan Keng In dan Lu Kim Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi. Setelah bertemu dengan Ceng Ceng, mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir, istana tempat tinggal gurunya di gurun pasir Go-bi di mana mereka hidup rukun dan damai, penuh kasih sayang dan sudah menjauhkan diri dari urusan dunia ramai.
Di dalamcerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak kecil hilang karena tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara dan dididik oleh gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan mencari orang tuanya dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng, jatuh cinta dan setelah mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang amat hebat, sehingga dia terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang membuat dia dikenal sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika membantu Ceng Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia dan Ceng Ceng bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Akan tetapi, memang segala sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan setiap orang manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja tergelincir ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja sewaktu-waktu naik ke atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang menjadi besar kepala dan sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya dengan orang yang menjadi putus asa selagi dia berada di bawah. Hanya orang yang wajar dan tidak mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira dan bahagia, kalau dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah dan kalau dia berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar tempat yang lebih tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang berada di bawah, dan kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang berada di atas!
Keadaan suami isteri Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana Gurun Pasir, yang hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun, kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil, menjadi berubah sama sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap tanpa meninggalkan jejak! Peristiwa ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri itu, dan mau tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya mengapa pada hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal sebagai Si Naga Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat pertempuran di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe.
Untuk lebih teliti dan mencari jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari isterinya, masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan bertemu hari ini di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa hasil dan kini semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya sudah penuh lagi dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini duduk termenung. Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di atas meja di depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak mempedulikan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang sedap menyergap hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di luar warung.
Melihat betapa pendekar itu mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah itu, si pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja di dunia ini ingin sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi menanti dengan pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar dan dia menghampiri pendekar itu. "Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan Taihiap makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin tentu kurang sedap."
Akan tetapi, dengan sikap tak acuh dan kurang semangat, Kao Kok Cu menjawab, "Biarlah, aku memang sedang menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak mengapalah kalau masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin."
Dengan mengangkat pundak penuh rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk di belakang menjaga mejanya, akan tetapi kini berkurang keheranannya mengapa pendekar itu memesan masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu menanti kedatangan isterinya dan tentu juga keluarga lainnya.
Seorang pengemis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para pelayan dan pemilik warung itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu dengan ramah berkata, "Anak, kau mau apakah"
Pengemis itu cengar-cengir, hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu sungguh seperti tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang kosong. "Saya....saya mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi.... katanya.
Si Naga Sakti memandang bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala. "Aku tidak pernah membawa uang, dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau lapar"
Jembel kecil itu mengangguk dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu lalu berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu. "Kesinikan kalengmu itu."
Si pengemis dengan girang menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu penuh dengan beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali kepada anak itu.
"Terima kasih....terima kasih...." Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan dan separuh berlari dia ke luar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Akan tetapi, tak Lama kemudian masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan kaleng kosongnya. Kao Kok Cu menerima kaleng kosong itu, meletakkannya di atas meja dan kembali mengisinya dengan masakan. Anak itu menghaturkan terma kasih, dan datang pula seorang anak lain. Kiranya peristiwa itu telah memancing datangnya hampir semua jembel kecil di kota An-yang itu yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang anak! Tentu saja, setelah semua orang pengemis kecil itu menerima bagiannya, semua masakan di atas m ja telah habis sama sekali! Para pelayan memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting-benting kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian tersenyum ketika dia melihat anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.
"Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-yang! Terima kasih, Siauwya!" Anak-anak itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan dan ucapan terima kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh kegembiraan. Akan tetapi, Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang wanita berjalan menuju ke warung itu. Seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita ke dua adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim Hwee Li, murid dari isterlinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka!
Ketika Ceng Ceng yang wajahnya agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib puteranya dengan hati gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil demikian banyaknya sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia menegur, "Hemmm, apa pula yang kaulakukan ini"
"Wah, kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!" Dia membalas teguran isterinya.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan mendongkol" Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksikan hal yang lucu sekali.
"Wah, Suhu telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah terus!"
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hwee Li, jangan main-main kau!" Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja.
Akan tetapi, Kao Kok Cu memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat pintu warung, "Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian beri bagian makanan"
"Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu" Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau" Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!"
Tentu jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema, "Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya." Lalu dia berteriak kepada para pengemis kecil itu, "Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus."
Anak pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai-ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari-larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di seberang jalan itu.
"Hemmm, lagaknya! Kaum jembel pun mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, kalau tidak melihat sendiri siapa percaya" Hwee Li berkata sambil tertawa geli.
"Husss!" Ceng Ceng menegur muridnya. Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukan orang sembarangan" Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan khikangnya cukup kuat."
Dengan cepat Ceng Ceng lalu memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu" Sudah mencium jejak" tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya.
Kok Cu menggeleng kepala. "Belum...." jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ. Isterinya juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu! Ceng Ceng merasa lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya.
Mereka berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar dan tentu saja tak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.
"Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku ketika masih kecil" Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga...."
"Jangan kau bicara demikian, suamiku!" Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar didalam hatinya. "Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!"
"Ucapan Subo benar sekali!" Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira. "Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki kalau-kalau di antara mereka ada yang melihat putera Subo."
Ucapan dan sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana seorang diri, apalagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya!
*** () *** Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalasmalasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.
Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka.
Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.
Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita yang cukup nyaring.
"Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put Goan Houw Ki Gwee!"
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti,
"Seorang kongcu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya."
Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangka
Harpa Iblis Jari Sakti 15 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila
ku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu" Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!"
Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.
"Diakah...." Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biarpun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu, dia datang memenuhi janji!" katanya.
Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. "Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya," katanya dengan sikap merendah.
Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. "Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu"
Siluman Kecil mengangkat muka memandang dan mereka saling bertemu dan beradu pandang. "Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran"
Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela. "Ahhh, kalau muncul dengan terang-terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini"
"Ohhh....! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini" Sungguh, saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!"
"Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar." Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.
Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.
Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, "Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diril"
Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya hendak bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka! Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, "Mau apa kalian berada di sini" Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini"
Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka menjawab, "Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu."
Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Seng-jin (Kakek Suling Sakti) tersenyum lebar.
"Aku tidak menghendaki bantuan dari siapapun!" Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.
"Cu-wi telah datang, boleh saja menyaksikan pertandingan." Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus namun menembus sampai jauh seperti hembusan angin, "Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!"
Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecli. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, "Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!"
Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.
Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kunlun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, "Harap Seng-jin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu aseli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Seng-jin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami."
Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan, maka majulah dia dan dengan suara halus namun bernada menantang dia berkata, "Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu" Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi."
Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain, hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Seng-jin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tidak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai memberi isyarat kepada sutenya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, tokoh ke dua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh ke dua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu menjura. "Silakan!"
Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya dan dia bertanya, "Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang"
"Pintu Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai," kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. "Kim Thian Cu totiang, sebagai fihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang mulai dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu."
Kim Thian Cu sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, tentu saja sudah mempunyai pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. "Pinto mulai, sambutlah!" Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu telah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang kesemuanya ada seratus dua puluh jurus. Biarpun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh ke dua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.
"Bagus....!" Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, kedua tangannya menangkis dua serangan itu.
"Dukkk!.... Dukkkkk!" Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Seng-jin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkangnya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali namun dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!
Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sutenya tidak akan mampu menang. Sayang bahwa sutenya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga untuk menghadapi lawan yang demikian tangguh amat sukar mendesaknya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri dan hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadangkadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sutenya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya dan dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, "Pinto mengaku kalah."
"Hebat.... hebat....!" Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. "Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi...."
Kakek itu tersenyum dan balas menjura. "Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Adapun tentang ilmuilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu."
Giok Thian Cu mengangguk-angguk. "Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau boleh pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya" Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. "Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu menyambut penghormatan Totiang."
Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, "Lihat pedang!" dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.
"Bagus!" Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
"Tranggg....!" Kedua fihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, terus saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.
Tiba-tiba Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah gulungan sinar perak yang amat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
"Hebat....! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. "Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas...."
Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu , kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, "Siancai....!" dan kedua gulungan sinar itu berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
"Sungguh hebat, pinto mengaku kalah."
"Ahhh, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali akan tetapi harus dlakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, kalau boleh."
Liang Sim Tosu sudah melangkah maju dan mepgeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun membalas dengan penghormatan dan menjawab, "Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju."
Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, "Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!" Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan makin lama makin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.
"Bukan main....!" Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
"Cring-tranggg....!
Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus namun luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan saling menggunting, kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya dua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan akan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan.
Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mujijat, karena dahulu, Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biarpun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mujijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.
Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.
"Ahhhhh....!" Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Biarpun ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya dapat membendung serangan lawan, namun karena memang dia kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
"Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah." Tiba-tiba terdengar suara halus dan Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. Saya mengaku kalah."
Liang Sim Tosu tersenyum lebar. "Bukan main....terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi."
Kini Sin-siauw Seng-jin melangkah maju. "Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapapun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hongin Bun-hoat yang telah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!" Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat daripada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
"Wah-wah-wah.... kalau aku bisa mendapatkan suling itu...." terdengar Hwee Li berbisik.
"Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas" Cui Lan mencela.
"Aihhh, kau mana tahu...."
Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika kini ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Akan tetapi, kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke manapun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
"Sekarang jagalah, Totiang!" Kakek tua renta itu berseru dan nampak kini sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, lalu menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Akan tetapi belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai cepat menjura penuh hormat. "Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng" Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah."
Kakek itu tersenyum. "Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah ilmu Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aselinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan)."
Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, "Biarpun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena kami merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu." Semua orang makin kagum mendengar ini.
"Locianpwe, saya sudah menunggu!" Tiba-tiba terdengar suara bening melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, "Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah slap, majulah!"
Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, lalu dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, "Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak."
"Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Seng-jin dan Siluman Kecil."
"Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!" kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. "Nah, maafkan aku!" Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata dan tahu-tahu kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.
"Tringgggg....!"
Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas. Memang hebat sekali kakek itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja membuktikan bahwa memang Sin-siauw Seng-jin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu makin lama makin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apalagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung dan belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak-kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untung Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga ketika suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula. Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Seng-jin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, dahinya berkeringat napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
"Aku mengaku kalah.... sekali.... ini...."
"Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan...."
"Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!" Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan, dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tidak ada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Pula, memang kakek itu benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pertandingan ke tiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
"In-kong (Tuan Penolong)....!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan di bentangkan seperti, orang hendak memeluk! Seorang gadis lain yang berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, "Ah, kau juga di sini, Nona" Melihat sikap Siluman Kecil itu Seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, "In-kong.... saya...."
Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.
"Hemmm....!" Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu. Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tak disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
"Ahhhhh....!" Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
"Brettt....!"
Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia, karena tak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya, maka dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.
"Laki-laki tak berperasaan!" Hwee Li memaki marah sambil memandang kepada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenahg, "Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya."
Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat, didorongnya terbuka dengan mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. "Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau"
Hwee Li mencibirkan bibirnya. "Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kaukenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain"
"Eh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!" teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya, menjadi panas, apalagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnye dengan golok yang telah dicabutnya.
"Huh, orang kasar!" Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis pekaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, diikuti pula oleh ketua kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan.
Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
"Berhenti semua! Jangan mendekat atau.... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis.... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!" Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah menghadiri undangan Kuiliong-pang mewakili gurunya, yaitu Heksin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
"Siancai.... di tempat begini ada maling!" Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, akan tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
"Kau lepaskan dia....!" Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat "Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa kalau aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!" Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
"Maling hina yang curang!" Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
"Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bersikap tenang seperti seorang pendeta yang berkedudukan tinggi" Nona berpakaian serba merah itu mengejek. "Siluman Kecil, bagaimana"
"Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kaucuri itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!" ucapannya terdengar halus akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan. "Hik-hik, tentu saja. Dan agar engkau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!" Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia lalu meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lenyap ke dalam kegelapan malam.
"Aku akan segera ke sana!" Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
"Ihhhhh....!" Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu adalah sebuah kancing baju putih yang tahu tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa! "Siluman Kecil, akudan Suhu menantimu di sana!"
Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa-tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, "Jangan bunuh orang.... jangan lukai orang....!"
Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.
"Aihhh....!" Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat. Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan kini semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang. Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar Hwee Li Menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam. Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, "Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!" Begitu dia berkata pergi, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang amat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan. Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja banyak orang, apalagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar menghormatinya. Sedangkan dia" Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan. Ayah bundanya mudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apalagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
"Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu."
Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan dan tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya. Adapun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mujijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti. Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai maupun kipas dan kitab-kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu"
Hal ini, akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan.
Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa lari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di sebuah lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan indah bukan main dan Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sennaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini! Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tidak membalas perasaan hatinya. Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.
"Ihhhh....! Kau lagi...."
Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!
"Hemmm...." Dia hanya menggumam.
"Hemmm apa" Kau laki-laki tak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!" Dara sudah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. "Bocah lancang mulut, apa yang kaumaksudkan itu"
"Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya" Kaukira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku"
Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. "Yaaah, terserah. Sekarang katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi"
"Maksudnya" Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lann kautinggalkan begitu saja, tidak tahu kahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau, setelah kaujatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kausia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku" Mau pamerkan kepandaianmu" Mau membunuh aku"
Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguhpun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.
"Aku tidak mengejarmu, Nona." Akhirnya dia berkata singkat.
"Dusta kau!" Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata, "Aku tidak ingin berkelahi!" Akan tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.
"Lari ke mana kau" Hwee Li membentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.
"Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!"
"Eh, Subo....!" Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.
Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi daripada si dara galak, apalagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.
Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga. Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua gerak-geriknya. Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.
Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.
"Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu" Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kaulupakan, ha-ha!"
"Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa" Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah....!"
Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, "Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!"
Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, "Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!" Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.
Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, "Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubar dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu."
"Ah, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini," kata wanita itu dengan sikap gembira dan melihat sikap dan mendengar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya. Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.
"Sumoi....!" Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
"Ah, Suheng, kau baru datang" Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.
Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, "Sumoi, dia kulihat di luar dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian."
Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, "Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku." Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
"Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...." Wanita itu memperkenalkan.
"Saya Ma Kok Ciang!"
"Saya Kam Seng!"
"Saya Kam Tiong!"
Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil.
"Sobat, Suhengku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat" Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.
"Namaku...." Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil," jawabnya pendek.
"Ughhh-ukkkhhhhh!" Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang mereka hanya dapat lihat punggungnya. Sedangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percayabegitu saja.
Sliurnah Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. "Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!"
Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.
Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
"Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya" kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak.
Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, "Saya.... saya adalah pengusaha warung.... harap maafkan.... saya tidak lagi menangkap ikan...."
"Bohong!" Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan. "Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai" Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kausuruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kausuruh menjual. kepada kami. Berani kau menyangkal"
Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu.Tak disangkanya bahwa Boan-wangwe, "raja" kaum nelayan itu demikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. "Maaf.... ampunkan saya.... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...."
"Ha-ha-ha!" Kini Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. "Sudahlah! Sekarang kaukeluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu."
"Heiii, pelayan! Tambah araknya!" Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah-olah dia sama aekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.
Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, membongkok-bongkok dan berkata gugup, "Harap Cu-wi sudi memaafkan saya.... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan.... dan Cu-wi tidak usah membayar harga makanan dan minuman tadi...."
"Hemmm, apa artinya ini" Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
"Maaf, Siauw-ya.... warung ini.... harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...."
"Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!" Pemuda asing itu membentak marah. "Hayo tambah lagi araknya!"
"Ba.... baik...." Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambli memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini" Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho. Hartawan she Boan ini dikenal sebagai "raja" kaum nelayan, dan dia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku untuk membantu segolongannya, akan tetapi juga memiliki iimu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.
"Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman-temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!" bentak Si Muka Hitam.
Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoinya masih enak-enak menggunakan sumpit lengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, "Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!"
"Keparat!" Si Muka Hitam membentak. Dia merupakan seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran, tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.
"Plak-plakkk.... aughhh...." Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoinya yang seolah-olah tidak mempedulikan suhengnya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga, akan tetapi sambil melanjutkan makan hidangan, di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!
Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini, mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka.
Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya. "Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!" katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar-putar di depan dada.
"Suheng, jangan....!" Wanita baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biarpun dia mendengar seruan mencegah dari sumoinya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka berkeretakan berbunyi saling beradu, mulut mereka mengeluarkan suara "hu-hu-hu-huuu...." dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.
"Huh!" Pemuda asing itu mendengus. "Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.
Boan-wangwe kini mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yapg aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya! Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya dan tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwgnya yang panjang!
"Wuuuttttt.... singgggg....!" Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
"Tranggggg!.... Cringgggg....!" Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampak api berhamburan, keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak biarpun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka.
Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.
Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biarpun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.
"Hyaaaaattttt....!" Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwenya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.
"Brettttt....!" Untung dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.
"Awas, Suheng....!" Wanita baju hijau itu berseru dan pemuda asing itu sudah waspada. Dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.
"Tringgg.... tarrrrr-tarrrrr!" Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
"Suheng....!" Wanita baju hijau itu berteriak dan dengan marah dia meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat.
Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.
"Tranggggg....!" Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwenya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat daripada suhengnya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil. Wanita baju hijau terpaksa menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
"Ha-ha-ha, baru kalian tahu rasa!" Boan-wangwe tertawa bergelak. "Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha!" Sekarang pergilah kalian ke neraka!" Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdirl dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwenya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu!
Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tibatiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.
"Plakkk....! Nyesssss....!" Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
"Celaka....!" serunya dan dia cepat menoleh ke kiri. Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu" Inikah dia si Siluman Kecil" Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!
Siapapun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwenya sebagai sumpitan. Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.
Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.
Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sanasini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur diantara hujan peluru kecil itu. Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak.
Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!
Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak. "Hebat!" serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. "Ah....!" Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
"Tahan....!" Laki-laki ini berseru, suara melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan tiba-tiba badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali!
Laki-laki tampan dan gagah perkasa itu ternyata memang hanya berlengan satu. Lengan kirinya buntung, maka lengan baju kirinya itu kosong. Akan tetapi hebatnya, justeru lengan baju yang kosong inilah yang amat lihai, yang seolah-olah merupakan ekor naga yang hidup dan mampu menangkap peluru-peluru berbahaya itu. Dengan sikap tenang, orang itu menggunakan tangan kanannya mengambil peluru-peluru kecil yang tergantung oleh lengan baju kirinya, memberikannya kepada Boan-wangwe. sambil berkata dengan suara penuh teguran, "Terimalah kembali peluru-pelurumu! Akan tetapi jangan begltu kejam lagi untuk menghamburkan barang-barang beracun yang keji ini di tempat umum. Lihatlah orang-orang itu yang menjadi korban. Engkau harus mengobati mereka."
Boan-wangwe menerima peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suhengnya yang masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia tidak mampu mengobati mereka.
Melihat kekejaman orang yang menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah Siluman Kecil dan dia menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti mata naga, yaitu mata laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya kelihatan terkejut sekali, karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata yang amat tajam berkilat dari mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata ini saja keduanya maklum bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat, karena hanya mata orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat sajalah yang mengeluarkan sinar seperti itu.
Laki-laki berlengan buntung itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari Siluman Kecil, juga dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa orang berambut putih yang memiliki kepandaian demikian dahsyatnya, yang memiliki gerakan yang demikian cepat dan mujijatnya, ternyata masih amat muda. Hal ini dapat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup oleh rambut putih riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan melihat rambutnya yang putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan merupakan seorang locianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata masih amat muda, hanya rambutnya yang sudah putih semua. Siluman Kecil sebaliknya terkejut dan kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah itu memiliki sinar mata yang mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak mereka beradu pandang, akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum dan hormat.
"Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat kagum melihatnya," kata laki-laki berlengan sebelah itu.
"Hemmm.... tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!" jawab Siluman Kecil sambil menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi muka, dan dia bangkit berdiri.
"Ah, saudara terlalu merendahkan diri," kata Si lengan satu.
"Tidak, saya berkata sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan mengelak terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara telah langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu saudara tadi sungguh mengagumkan!" Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus hatinya karena harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Seng-jin kakek yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.
"Ah, saudara terlalu memuji dan terlalu merendahkan diri, sungguh makin mengagumkan hati saya!" kata Si lengan satu sambil memandang penuh selidik dan benar-benar merasa kagum sekali.
Siluman Kecil tidak mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri Boan-wangwe, berkata dengan nada mengancam, "Manusia kejam! Kalau engkau tidak lekas mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!"
"Dan aku pun tidak akan tinggal diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!" kata pula Si lengan satu sambil menghampir Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai ini bukan orang bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.
"Baiklah," katanya dengan suara berat. "Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran ini hanya disebabkan oleh urusan kecil saja!" Dia lalu mengeluarkan sebuah guci arak dan setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari dalam guci itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan meneteskan sedikit obat di lubang hidung mereka yong menjadi korban, orang-orang yang tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar kembali.
Melihat ini, Siluman Kecil yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap pergi dengan cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia dan mencari pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Seng-jin itu di pantai Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan tetapi dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal oleh orang gagah itu.
Setelah semua korban disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan Boan-wangwe bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki kuda mereka terdengar berisik ketika mereka rneninggalkan warung Diam-diam Boan-wangwe menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu, mengingat demikian banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka.
Sementara itu, suheng dan sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera menghaturkan terima kasih kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi meninggalkan warung setelah dengan royal mengganti semua harga makanan dan mengganti semua harga barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si pemilik warung. Tentu saja pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat menarik keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua harga barang yang diganti oleh wanita baju hijau itu.
Kini warung itu menjadi sunyi kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan sebelah tadi. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung itu, laki-laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan bangkunya masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas menghampiri karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan seorang di antara golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih dulu.
"Taihiap hendak memerintah apakah" tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.
"Lopek, harap buatkan masakan untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kausediakan"
"Wah, untuk Taihiap saya sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa menyediakan hidangan-hidangan dari ikan sungai."
"Nah, kalau begitu buatkan goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi, panggang telur ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi, ang-sio-hi dua porsi besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan campur sarang burung dan telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan bakmi telur lima porsi!"
"Baik....baik....!" Pemilik warung mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya merasa heran sekali mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali baginya, di samping menyelamatkannya" Andaikata tidak dibayar semua masakan yang dipesan itu sekalipun, dia rela memberikanya sebagai tanda terima kasih! Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri masakan besar itu.
Karena di situ tidak ada tamu lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani laki-laki berlengan buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur, suara golok mencacah daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh, suara minyak mendidih dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan.
Sementara itu, laki-laki berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini" Para pembacacerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan tepat siapa adanya laki-iaki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia adalah Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid Go-bi Bu Beng Lojin yang terkenal dengan sebutan Si Dewa Bongkok. Seperti telah diceritakan dalamcerita Kisah Sepasang Rajawali , Kao Kok Cu berjodoh dengan Ceng Ceng atau nama lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, puteri dari mendiang Wan Keng In dan Lu Kim Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi. Setelah bertemu dengan Ceng Ceng, mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir, istana tempat tinggal gurunya di gurun pasir Go-bi di mana mereka hidup rukun dan damai, penuh kasih sayang dan sudah menjauhkan diri dari urusan dunia ramai.
Di dalamcerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak kecil hilang karena tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara dan dididik oleh gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan mencari orang tuanya dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng, jatuh cinta dan setelah mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang amat hebat, sehingga dia terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang membuat dia dikenal sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika membantu Ceng Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia dan Ceng Ceng bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Akan tetapi, memang segala sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan setiap orang manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja tergelincir ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja sewaktu-waktu naik ke atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang menjadi besar kepala dan sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya dengan orang yang menjadi putus asa selagi dia berada di bawah. Hanya orang yang wajar dan tidak mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira dan bahagia, kalau dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah dan kalau dia berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar tempat yang lebih tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang berada di bawah, dan kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang berada di atas!
Keadaan suami isteri Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana Gurun Pasir, yang hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun, kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil, menjadi berubah sama sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap tanpa meninggalkan jejak! Peristiwa ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri itu, dan mau tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya mengapa pada hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal sebagai Si Naga Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat pertempuran di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe.
Untuk lebih teliti dan mencari jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari isterinya, masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan bertemu hari ini di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa hasil dan kini semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya sudah penuh lagi dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini duduk termenung. Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di atas meja di depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak mempedulikan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang sedap menyergap hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di luar warung.
Melihat betapa pendekar itu mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah itu, si pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja di dunia ini ingin sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi menanti dengan pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar dan dia menghampiri pendekar itu. "Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan Taihiap makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin tentu kurang sedap."
Akan tetapi, dengan sikap tak acuh dan kurang semangat, Kao Kok Cu menjawab, "Biarlah, aku memang sedang menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak mengapalah kalau masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin."
Dengan mengangkat pundak penuh rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk di belakang menjaga mejanya, akan tetapi kini berkurang keheranannya mengapa pendekar itu memesan masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu menanti kedatangan isterinya dan tentu juga keluarga lainnya.
Seorang pengemis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para pelayan dan pemilik warung itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu dengan ramah berkata, "Anak, kau mau apakah"
Pengemis itu cengar-cengir, hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu sungguh seperti tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang kosong. "Saya....saya mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi.... katanya.
Si Naga Sakti memandang bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala. "Aku tidak pernah membawa uang, dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau lapar"
Jembel kecil itu mengangguk dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu lalu berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu. "Kesinikan kalengmu itu."
Si pengemis dengan girang menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu penuh dengan beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali kepada anak itu.
"Terima kasih....terima kasih...." Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan dan separuh berlari dia ke luar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Akan tetapi, tak Lama kemudian masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan kaleng kosongnya. Kao Kok Cu menerima kaleng kosong itu, meletakkannya di atas meja dan kembali mengisinya dengan masakan. Anak itu menghaturkan terma kasih, dan datang pula seorang anak lain. Kiranya peristiwa itu telah memancing datangnya hampir semua jembel kecil di kota An-yang itu yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang anak! Tentu saja, setelah semua orang pengemis kecil itu menerima bagiannya, semua masakan di atas m ja telah habis sama sekali! Para pelayan memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting-benting kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian tersenyum ketika dia melihat anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.
"Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-yang! Terima kasih, Siauwya!" Anak-anak itu bersorak-sorak dan berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan dan ucapan terima kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh kegembiraan. Akan tetapi, Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang wanita berjalan menuju ke warung itu. Seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita ke dua adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim Hwee Li, murid dari isterlinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau Neraka!
Ketika Ceng Ceng yang wajahnya agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib puteranya dengan hati gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil demikian banyaknya sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia menegur, "Hemmm, apa pula yang kaulakukan ini"
"Wah, kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!" Dia membalas teguran isterinya.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan mendongkol" Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksikan hal yang lucu sekali.
"Wah, Suhu telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah terus!"
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hwee Li, jangan main-main kau!" Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja.
Akan tetapi, Kao Kok Cu memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat pintu warung, "Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian beri bagian makanan"
"Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu" Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau" Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!"
Tentu jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema, "Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya." Lalu dia berteriak kepada para pengemis kecil itu, "Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus."
Anak pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai-ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari-larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di seberang jalan itu.
"Hemmm, lagaknya! Kaum jembel pun mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, kalau tidak melihat sendiri siapa percaya" Hwee Li berkata sambil tertawa geli.
"Husss!" Ceng Ceng menegur muridnya. Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukan orang sembarangan" Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan khikangnya cukup kuat."
Dengan cepat Ceng Ceng lalu memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu" Sudah mencium jejak" tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya.
Kok Cu menggeleng kepala. "Belum...." jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ. Isterinya juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu! Ceng Ceng merasa lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya.
Mereka berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar dan tentu saja tak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.
"Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku ketika masih kecil" Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga...."
"Jangan kau bicara demikian, suamiku!" Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar didalam hatinya. "Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!"
"Ucapan Subo benar sekali!" Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira. "Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki kalau-kalau di antara mereka ada yang melihat putera Subo."
Ucapan dan sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana seorang diri, apalagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya!
*** () *** Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalasmalasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.
Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka.
Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.
Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita yang cukup nyaring.
"Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put Goan Houw Ki Gwee!"
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti,
"Seorang kongcu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya."
Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangka
Harpa Iblis Jari Sakti 15 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila