Kisah Dua Saudara Seperguruan 10
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Saduran Okt Bagian 10
ulu!? ayah ini. ?Satu
anak tak boleh scmbarang potong perkataan orang tua.
Kau mengerti? Kau sudah berumur sembilan belas tahun, kau
tidak kecil lagi, setelah bertunangan, kau lantas jadi orang
dewasa! Apakah kau tidak mengerti ini? Kau lihat beberapa
tetamu kita itu? Mereka datang untuk jodohmu. Pihak
perempuan ada Keluarga Hoa. Aku sudah terima baik lamaran
mereka;??
?Kau sudah terima baik, Ayah?? Teng Hiauw tcrkejut.
?Keluarga itu ada keluarga berpangkat, kita dari kaum ahli
silat, adakah itu cocok??
Urat-urat di jidatnya pemuda itu sampai terlihat nyata,
tanda sibuk hatinya.
Dengan dingin Kiam Beng pandang puteranya itu.
?Apa jeleknya nona dari keluarga berpangkat?? kata ayah
ini. ?Mereka sendiri tidak cela kita, habis kau hendak memilih
yang bagaimana??
?Tetapi, Ayah,? kata anak itu yang menahan sabar.
?Bukankah Ayah sendiri yang pernah bilang pesan Engkong
adalah melarang kita menjadi orang berpangkatnya bangsa
Boan? Kenapa kita justru berbesan dengan orang Boan
sekali??
Kiam Beng menjadi tidak senang.
?Eh, kenapa kau tidak dengar aku?? ia menegur. ?Apa aku
perintah kau pangku pangkat dan bekerja untuk bangsa Boan?
Kenapa kau lancang bawa-bawa pesan Icluhur kita? Benar
dulu Keluarga Hoa itu pangkupangkat tempi sudah sejak
lama dia undurkan din? Dia pun, seperti Keluarga Soh, ad a
dermawan bukannya pcmbesar busuk! Kau tahu,
Keluarga Hoa hendak jodohkan keponakannya dan cabang
dekat, dan orang perantara ada Soh Kongtjoe.
Nona itu cantik, mengerti surat dan adat-istiadat, dia
pandai menjahit dan menyulam. menikah dengan nona itu,
apa kau tidak merasa beruntung??
Ayah itu mendelik, ia bersenyum tawar ketika ia
menambahkan: ?Kau suka kelayapan sama perempuan hutan?
Kau mcnycbut diri keluarga ahli sifat, habis apa kau hendak
cari nona tukang dangsu? Benar begitu??
Teng Hiauw tunduk, mukanya merah.
?Aku tidak menyebut demikian,? ia menyahut.
?Kau tidak memikir demikian, itu bagus!? kata sang ayah,
yang ketok mejadengan pelahan. ?Mcskipun kita ada dan
keluarga ahli silat, aku tidak menyetujui nona tukang dangsu.
Kau tahu. satu isteri mesti bijaksana dan tahu aturan, tetapi
nona-nona Kangouw melainkan pandai naik di atas tambang,
mcnunggang kuda, mainkan golok dan pcdang, tetapi megang
jarum, ia rasai itu terlebih sulit daripada mainkan golok besar.
Kau pikir, perempuan demikian dapat merawat suami??
Kembali ayahnya ketok meja, dengan sama pelahannya.
?Umpama cucu perempuan dan si orang tua she Kiang?? ia
kata pula.
Mendengar itu, Teng Hiauw kaget sekali. Ia menduga
ayahnya sudah tahu rahasianya. Tetapi ayah itu melanjuti:
?Kiang Hong Keng yang dipanggil Angie Liehiap setiap kali dia
muncul di udara tcrbuka! Satu nona iimur tujuh atau dclapan
belas tahun, kerjanya naik-turun kuda saja, dia berkeliaran,
dia main gagah-gagahan adu kepandaian dan bercidera
dengan orang, maka nona scmacam itu man a tahu kewajiban
satu isteri??
Teng Hiauw diam saja, sang ayah pun tidak
mcmperdulikannya, ayah ini telah tetapkan perjodohannya
hanya sejak itu, di samping meyakinkani ilmu silat, ia ingin
putera ini belajar juga ilmu surat, kelakuannya harus sedikit
diubah hingga jadi sedikit lemah-lembut, agar besannya tidak
katakan dia kasar dan nanti menertawainya.
Teng Hiauw ada sangat tidak setuju, ia tidak puas sekali. la
jadi mcrasa seperti terbelenggu. Memang, pendiriannya
dengan pendirian ayahnya itu sudah terpisah jauh jaraknya,
urusan perjodohan itu menambah kerenggangan. Ia pun tak
puas ayahnya mencela Hong Keng. Tapi berbareng dengan
itu, ia ingat si nona dan Tjoe Soesioknya, hingga kembali
bangkit rasa iri hatinya.
?Apakah si paman itu bukan tunangannya?? ia mendugaduga.
Pemuda ini terus tak dapat melupai Nona Kiang, walaupun
ia telah merasakan pahit-getir. Ia belum pikir akan punya si
nona, toh ia tak puas nona itu mempunyai ?orang di
dampingnya?. Ia pun tak perlu pikir si nona, karena ia sendiri
sudah ikat tali perjodohan.
Oalam keragu-raguannya, Teng Hiauw bicara sama Kim
Hoa, ia utarakan tak setujunya, tetapi soeheng itu tidak bisa
memberi pikiran baik untuknya.
Selang bebcrapa hari, Teng Kiam Beng sudah antar panjar.
Ia ?main terbuka?, hingga kaum ahli silat di Kota Pooteng
ketahui hal perangkapan jodoh itu atau ikatan besan, hingga
urusan itu jadi bahan pembicaraan, sedang Teng Hiauw turut
jadi buah kata-kata hingga dia jadi jengah sendirinya.
Dua hari kemudian, di waktu malam, sclagi Teng Hiauw
sukar pulas, oleh karena ruwetnya pikiran, tiba-tiba ia dengar
suara berkeresek di atas genteng, lalu itu disusul sama
terpentangnya daun jendela, sedang waktu itu tidak ada
angin. Tidak tempo lagi, ia loncat turun dari pembaringannya,
dengan sebelah tangan di depan dada, ia loncat kdluar dari
kamarnya.
Rembulan malam itu ada jdrnih, maka itu Teng Hiauw lihat
dua bayangan sedang bcrlari-lari, malahja kenali, yang di
sebelah belakang adalah seorang perempuan. Dua orang
itu
lari pesat, sebentar saja, mereka menghilang. Dengan pikiran
tak keruan, Teng Hiauw kembali kd kamarnya, tapi sekarang,
di atas mcjanya, ia nampak selembar kertas yang
ditusukjarum. Ia membaca:
?Langit ada luas, di manakan di dunia ini tidak ada rumah
? Apa satu laki-laki mesti tunduk dan mengandalkan kepada
lain orang??
Ternganga Teng Hiauw apabila ia telah membaca, terus ia
menjublek dengan pikirkan surat itu. Dalam ragu-ragunya itu,
ia ingat suatu apa, ia sepcrii orang tersadar dari tidurnya.
Segera ia ambil pedang Tanhong-kiamnya, ia kantongi uang
belasan tail perak. Ia pun mcnulis surat untuk ayahnya.
Akhimya, sambi I bawa satu buntaIan, ia keluar dari
rumahnya.
Dunia ada luas, pemuda ini hendak merantau!
Selagi udara ada terang, di jalanan dari Hoopak menuju ke
Hoolam, ada berjatan satu anak muda cakap umur delapanatau
sembilan belas tahun, pakaiannya indah tetapi binatang
tunggangannya ada seekor keledai yang kurus dan jelek
macamnya, hingga binatang tunggangan itu dan
penunggangnya sangat tidak tepat.
Pemuda itu adalah Teng Hiauw yang tengah melarikan din.
Yang belum punya pengalaman. Ia anggap merantau mcski
dandan pantas, tak boleh sederhana seperti di rumah, dari itu,
ia bekal dua perangkat pakaian.
Kctika ia memilih, ia justru kena jumput pakaian yang
ayahnya siapkan untuk pernikahannya nanti!
Baharu hari pertama, Teng Hiauw telah tcrbitkan buah
tcrtawaan. Ia jalan di siang hari, ia mesti jalan dengan
pelahan. Di tempat umum, dimana lalu-lintas ramai, ia tak
dapat jalan scparuh lari seperti di waktu malam, ia tak dapat
gunai ilmunya jalan keras ?Patpou kansian? dan ?Lioktee
hoeiteng?. Ia pun telah tidak ambil jalanan kecil. Ia memang
tidak tahu jalanan, ia melainkan tahu hendak menuju ke
Propinsi Hoolam untuk mengunjungi Thaykek Tan di Tankeekauw,
Hoaykeng. Ia mau cari ahli Thaykek-koen si she Tan itu,
untuk belajar silat, supaya ia bisa gabung kedua macam ilmu
silat asal satu golongan itu. Maka di sepanjang jalan, sabansaban
ia tanya orang, di mana letak Kota Hoaykeng.
Sebal Teng Hiauw akan jalan ayal-ayalan, ia cepatkan
tindakannya. Tidak merasa, ia telah jalan cepat sekali. Ia
membuat orang heran dan curigai padanya. Ketika ia
kebetulan lewati seorang polisi, ia segeradisusul. Ia disangka
ada satu penjahat pemburon, ia hendak ditangkap. Syukur ia
masih di luar Kota Pooteng, ketika ia menerangkan, ia ada
puteranya Teng Kiam Beng, ia tidak jadi ditangkap. Si orang
polisi sangka ia lagi yakinkan ilmu lari keras. Ia cuma
diperingari untuk jangan berlatih di jalan besar!
Itulah pengalamannya yang pertama. Yang kedua ia telah
ditolak oleh tuan rumah penginapan ketika ia singgah untuk
bemialam. Itu kejadian di malam pertama, tempo ia sampai di
satu kota kecil. Ia dandan perlente, tapi ia jalan kaki, mukanya
pun penuh debu, tuan rumah bercuriga ia ditampik dengan
alasan semua kamar sudah penuh. Ia jadi sibuk. Akhirnya
dengan ngodol dua tail, ia dapat sebuah pondokan kecil dan
jorok, makanannya tak keruan!
Di hari kedua, sesudah insyaf, Teng Hiauw memikir akan
cari binatang tunggangan. Ia pergi ke pasar, ia tanya harga
kuda. Ia dapat keterangan, kuda yang bagus ber harga tiga
puluh tail lebih, dan yang jelek, sedikitnya belasan tail. Ia
cuma bekal belasan tail, sudah dipakai beberapa tail, maka
sisa uangnya tinggal sepuluh tail lebih sedikit. Akhirnya, ia beli
seekor keledai, yang kecil dan kurus, yang macamnya tak
keruan.
Menunggang kcledai, Teng Hiauw merasa jemu. Baharu ia
jalan sepintasan, keledai itu sudah ngorong kelelahan.
Binatang itu bertindaknya Iambat sekali, hingga ia haus.
Kelcdainya pun ingin minum. Maka ia mampir di tempat ramai
yang pertama. Ia pilih rumah makan yang paling besar. Ia
baharu muncul didepan pintu, atau jongos, dengan al is
dikerutkan kata padanya: ?Menycsal, Tuan, di sini tidak ada
minuman. Di depan, Pengen-tin, ada sebuah kota besar. Lagi
tiga puluh lie, kau akan sampai di sana, dengan runggang
keledai, dalam tempo setengah jam, kau akan sudah
sampai?.?
?Kau buka rumah makan, kau tolak tetamu?? berseru Teng
Hiauw dengan mendongkol. ?Aturan apa ini? Apa kau kira aku
tidak punya uang??
Ia mcrogoh sakunya, ia segera menyodorkan dua tail
perak.
Baharu sekarang jongos itu bersikap manis, karena ia lihat
uangnya dan jerih juga. Ia mempcrsilakan tctamunya ke dekat
jendela.
?Tuan ingin minum apa?? bertanya ia dengan hormatnya.
Sebenarnya Teng Hiauw masih mendongkol, ia ingin umbar
hawa amarahnya, akan tetapi ia lihat banyak mata mengawasi
ia, terpaksa ia tenangkan diri.
?Arak apa pun boleh asal jangan yang keras,? ia jawab.
Jongos itu tertawa, ia menyuguhkan arak ?Tiokyap-tjeng?.
?Arak ini pasti cocok untuk Tuan,? kata ia.
Tiokyap-tjeng ada arak keluaran Henghoa-tjoen, Shoasay,
baunya harum dan rasanya menyenangkan, siapa minum itu,
tidak lantas pusing, hanya nanti, pelahan-Iahan. Dan Teng.
Hiauw merasa senang dengan minuman ini. Ia minum sambil
memandang lain-lain tetamu, hingga ia pun menarik perhatian
empat tetamu yang duduk di meja timur.
Satu tetamu yang berumur lima puluh lebih, yang dua
berusia tiga sampai empat puluh tahun, yang keempat
pemuda umur dua puluh lebih. Mereka bicara dengan lidah
Selatan dan Utara, hingga menjadi nyata, mereka bukan
berasal satu tempat. Pembicaraan mereka dicampur sama
kata-kata rahasia sebekal pedang.
Biar bagaimana, Teng Hiauw ada puteranya satu ahli silat,
tidak banyak, sedikit ia mcngcrti j uga kata-kata rahasia kaum
Kangouw, maka itu, ia tahu empat orang itu bicara tentang
suatu perkumpulan rahasia, perihal Kaum Pcmbcron lak
Rambut Panjang. Rupanya mereka itu hendak mencari orang.
Ia duga-duga, mereka ada or-ang-orang baik atau jahat,
jikalau mereka ada orang baik-baik, ingin ia bersahabat
dengan mereka itu. Ia baharu memikir, atau orang sudah
mendahului undang dia. Si orang tua bangkit bcrdiri dan
sambil melambaikan tangan, ia mengundang. ?Sahabat, mari
duduk bersama-sama kita.
Tanpa sangsi, Teng Hiauw menghampiri. Ia segera
dipersilakan duduk.
?Saudara, kau sebenarnya ada dari jalan mana?? tanya
orang tua itu. Ia maksudkan, pemuda ini ada orang gagah dan
mana
?Aku sedang bikin perjalanan,? sahu! Tcng Hiauw dengan
tercengang. la bingung dengan pertanyaan orang itu.
Dijawab secara bertentangan, orang
tua itu mengawasi.
?Saudara. jangan curiga,? kata ia
?Kita orang ada asal jalanan yang sama sumbernya. Aku
tanya kau, kau menjaga membuka merayap atau diatas
jalanan mcnggantung mereka? Kau membuka usaha secara
resmi atau membuka gunung mendirikan almari??
Teng Hiauw mendatangkan kecurigaan orang, maka juga
dia ditanya apa dia telah merampok di suatu tempai tertentu,
apa dia tidak pilih tempat, apa dia masuk anggota suatu
rombongan, atau dia Cuma bekerja, atau dia jadi kepala
sendiri.
Semua pertanyaan itu tidak dimengerti oleh orang she
Teng ini, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka itu,
ia menjadi bingung.
Si anak muda mengawasi, lalu ia tertawa. Ia pun tarik
tangan orang.
?Saudara Muda, kau rupanya baharu menginjak dunia
Kangouw!? kata ia. ?Looyatjoe, kita salah mata, dia
menyangka kau ada orang Kangouw yang ada asal-usulnya.?
Si orang usia pertengahan juga tertawa.
?Kau pun keliru!? ia kata pada sahabatnya yang muda itu.
?Saudara Muda ini, walaupun dia bukannya satu kaum
Kangouw ulung, mesti ada satu ahli silat kenamaan. Lihat
pedangnya. Itu, itu?.?
Dan dia merandek sendirinya. Ia hendak puji pedang itu,
tctapi pedang masih di dalam sarung, dia belum pemah lihat,
bagaimana dia dapat memujinya? Syukur, Teng Hiauw telah
sambungi ia: ?Bicara tentang ilmu silat pedang, aku mengcrti
Thaykek-kiam secara kasar-kasar, dari itu, aku bukannya satu
ahli silat kenamaan. Tjoewie Tjianpwee sendiri tentu ada ahliahli.?
Teng Hiauw jadi suka bicara, karena ia lihat orang ada
manis budi, tidak galak sepcrti si orang she Kiang -
KiangEkHian.
?Eh, Saudara Muda,? tanya si orang
tua, ?kau sebenarnya
ada dari golongan mana??
Kembali pemuda ini melengak.
?Aku tidak masuk perkumpulan,? sahut ia.
Orang tua itu isikan cawannya, atas mana, Teng Hiauw
buru-buru menyambuti, ia hendak membilang terima kasih
tetapi si orang tua mendahului, katanya: ?Saudara, kendati
kita orang baharu bertemu, kita sudah sepcrti sahabat-sahabat
lama. Aku paling suka anak-anak muda yang gagah. Kita
kaum Kangouw mesti omong terus terang. Saudara, kau
mengcrti ilmu silat, biar kau bukan anggota perkumpulan, kau
mesti punvakan kaum. Orang toh tak bisakeluardari meledak,
bukan??
?Aku tidak tahu halnya perkumpulan,? kata Teng Hiauw,
yang berpura-pura pilon. Ia tidak curiga tetapi ia tak ingin
perkenalkan asal-usulnya. Dengan sebut nama ayahnya, ia
kuatir nanti tcrhina. Ia pun scdang buron, tak dapat ia buka
rahasia sendiri.
Orang tua itu keringkan cawannya sendiri. Ia lihat orang
sepcrti tak gembira bicara.
?Kendati kita baharu pertama bertemu, kita ada sepcrti
sahabat-sahabat lama,? orang tua ini kata pula kemudian.
?Tentu saja, kau curiga, Saudara, kau tidak berani lantas
omong terus terang. Umpama kau tidak memasuki sesuatu
perkumpulan, kau tentu ketahui halnya badan-badan
perkumpulan kaum Kangouw. Umpama Gichoo-toan, kau tahu
atau tidak??
?Aku tidak tahu,? sahut Teng Hiauw sambil goyang kepala.
?Toatoo-hwee?? , ?Tidak tahu juga.?
Orang tua itu meletaki cangkirnya dengan digabruki.
?Bcnar-benar kau pandang kita sebagai orang luar!?
melanjutkan ia ?Di mana ada seorang Kangouw yang tidak
jujur sepcrti kau? Giehoo-toan kau tidak tahu, Toatoo-hwee
kau tidak kenal, nah, kau scbutkanlah Sendiri, sebenarnya
perkumpulan Kangouw apa saja yang kau ketahui! Mustahil
kau tak mengetahui satu jua??
Teng Hiauw jadi berpikir.
?Aku mclainkan ketahui satu?? akhirnya ia jawab.
?Perkumpulan apa itu?? tanya si orang tua.
?Aku cuma ketahui Piesioe-hwee?? sahut si anak muda,
yang suaranya tak tegas.
Air mukanya si orang tua berubah.
?Oh, Piesioe-hwee?? kata ia. ?Siapa yang kau kenal dalam
kumpulan itu??
Pertanyaan ini membikin Teng Hiauw bungkam. Ia
menyebut Piesioe-hwee karena ia ingat itu setelah si orang tua
sebut Toatoo-hwee. Wajah si orang tua pun ada lain. Tentang
Piesioe-hwee ia tak tahu suatu apa, cuma dari Kim Hoa ia
dengar, itu ada satu perkumpulan rahasia
?Aku tidak kenal orang-orang perkumpulan itu,? ia berkata
kemudian. ?Aku pun dengar itu dari satu sahabatku. Katanya
dalam Piesioe-hwee ada satu pemuda dengan kepala sepcrti
kepala macan tutul, mukanya berewokan, dia pandai ilmu
pedang Thaykek-kiam.?
Orang tua itu lantas tertawa berkakakan.
?Benar-benar mataku yang tua tidak lamur!? berkata ia
dengan gembira. ?Kau memang bukan orang sembarangan,
Saudara!? Dan ia tunjuki jempolnya, ia suguhkan arak pula.,
Teng Hiauw bingung. Selagi ia tak tahu mesti berbuat apa,
ia lihat si orang tua tertawa dingin, lalu secepat kilat,
tangannya itu menyambar ke pundaknya hingga ia merasa
seperti digaet besi, sampai tangannya sesemutan dan lemas.
Dan belum ia tahu apa-apa. dua orang lain sudah keluarkan
borgolan dengan apa kedua tangannya terus dirantai!
Walaupun ia Jiehay, dalam keadaan seperti itu, selagi ia
bingung, Teng Hiauw lidak sempat berdaya. Sama sckali ia
tidak menyangkajelek. Ia ada scorang hijau untuk dun ia
Kangouw, scdang gcrakannya si orang tua ada luar biasa
tangkas. Tapi ia jadi tidak puas. ia mendongkol. Selagi Iainlain
retamu kaget dan heran, ia berseru: ?Eh, kawanan
manusia busuk, siauwya kau tidak bcrmusuh dengan kamu
scmua, ken apa kau orang tangkap aku? Lihat, hari ada
terang-bendcrang! Apakah kau orang tidak takuti undangundang
negara?? Si orang tua awasi pemuda itu 8t?l ketawa
dingin, kcmudian ia berpaJing pada Iain-Iain tetamu, yang
scmuanya terperanjat dan tcrcengang, i dcngan sabar ia
mcnyahuti si anak muda: ?Undang-undang negara? Looyamu
ini adalah undang-undang negara.?? Lantas ia lambaikan tuan
rumah di depan siapa ia beber surat kuasa atati surat titahnya,
sambil tambahkan: ?Kita semua telah ditugaskan Sri Baginda
Raja untuk bekuk kaum pemberontak, dan ini bocah adalah si
pemberontak! Dia minum arak di waning kau ini, kau juga tak
dapat lolos dari tanggung jawab, tetapi menampak romanmu,
kau 11ada sangkut paut dengan dia ini, kita suka memberi
ampun, kita tidak hendak bawa kau untuk diperiksa terlebih
jauh, akan tetapi lain kali kau mesti nyalakan api sedikit lebih
bcsar, supaya jika ada orang yang dicurigai, kau mcsti segera
laporkan itu kepada pembesar negeri!?
Dengan ?nyalakan api sedikit lebih besar?, diartikan awas
mata.
Menurut undang-undang Kerajaan Tjeng, siapa bcrontak,
dia akan terembet sampai pada tiga tingkat sanak-berayanya,
maka juga si tuan rumah, jongosnya, dan sckalian tetamu
lainnya, jadi jerih sekali. Begitulah tuan rumah, dia tidak
berani minta pembayaran uang arak dan makanan. Jongos,
yang tadi sambut Teng Hiauw, ingin bermuka-muka.
?Memang!? kata ia. ?Begitu melihat roman dia ini, aku
sudah curiga, tadi aku larang dia masuk tetapi dia memaksa!?
Teng Hiauw jadi lebih-lebih gusar. ?Setan alas!? ia mem
ben tak. ?Kau orang adalah si orang-orang jahat! Cara
bagaimana kau orang boleh tuduh aku? Terang kau orang
hendak memeras!?
?Memeras?? ulangi si orang tua. ?Apakah kau perlu
penjelasan? Piesioe-hwee ada perkumpulan rahasia
pemberontak paling jahat dan berbahaya, sesuatu anggotanya
yang kena ditawan, mesti dihukum mati, Sri Baginda Raja tak
akan bcrikan ampun lagi! Oh, bocah, kau masih mengharap
untuk hidup pula??.?
Si tua ini dengan getas tuduh pemuda itu ada anggota
Piesioe-hwee.
Mereka ini benar-benar ada orang-orang yang ditugaskan
menawan kaum pemberontak, tetapi mereka bukan
diwajibkan utama menumpas Piesioe-hwee, hanya Gichootoan.
Piesioe-hwee cuma main lakukan penyerangan gelap,
tidak demikian dengan Giehoo-toan, yang angkat senjata.
Giehoo-toan bercita-cita ?Hoetj?eng Hokbeng? - merubuhkan
Kerajaan Tjeng untuk membangunkan pula Kerajaan Bcng,
dan juga mcmbela rakyat jelata, korban sewenang-wenang
pembesar-pembesar negeri. Adalah tadinya, terang-ferangan,
Giehoo-toan masih diperlakukan mirip Piesioe-hwee.
Itu sampai empat orang adalah orang-orang kepercayaan
Kioeboen Teetok dari Pakkhia yang dipcrbantukan pada
Socnboc Lie Peng Heng dari Shoatang, kepada Tjongtok Djoe
Lok dari Titlee, dan kepada Soenboe Thio Lie Bwee dari
Hoolam, untuk cari orang-orang Giehoo-toan. Teetok itu
memang lepas banyak orangnya, maka mereka ini, yang
bekerja sama dengan orang-orang setiap propinsi sendiri,
merupakan seteru hebat bagi pergerakan kebangsaan itu.
Tempat tugas dari empat orang itu adalah daerah Kota
Anpeng.
Si orang tua ada Tjiauw Tiong Yauw, keutamaan ilmu
silatnya ada ?Thongpie-koen? atau ?Menembusi Lengan? serta
sedikit Tiamhiat-hoat Tiga yang Iain ada kawan sekerjanya,
yang pandai loncat tinggi. Mereka pun mengerti kata-kata
rahasia kaum Kangouw. Setiap mencari tahu tempat musuh,
atau lantas membekuk anggota-anggota Giehoo-toan yang
berkeliaran.
Tjiauw Tiong Yauw mengerti, Teng Hiauw ada scorang
hijau, tetapi karena pemuda ini menyebut-nyebut Piesioehwee,
perkumpulan yang sangat dirahasiakan, serta
menghunjuk juga anggota Piesioe-hwee yang pandai Thaykekkiam,
ia jadi curiga juga. Anggota Piesioe-hwee yang
dimaksud, yang berkepala sebagai kepala macan tutu I,
adalah Law Boe Wie, yang sedang dicari keras. Teng Hiauw
ketahui lukisan roman orang tetapi tidak tahu namanya, sebab
Kim Hoa, dari siapa ia perolch keterangan. tidak menyebutnya.
Iadisangka ada punya hubungan sama Boe Wie, dari itu, ia
lantas ditawan. Itulah sikap umum dari orang-orang polisi ini.
yang berpokok: ?Lebih baik kcliru bunuh seratus rakyat jelata
daripada melepas lolos satu penjahat?.
Demikian Teng Hiauw yang apes, sia-sia ia memprotes,
orang tidak gubris padanya. Tiong Yauw berempat terus
minum araknya. sampai kemudian, di jalan besar, debu
tertampak mengebul, kuda menerbitkan suara berisik dengan
suara dan tindakannya. Itulah scpasukan tentara penumpas
pemberontak, yang datang ke arah tujuannya, dengan di
sepanjang jalan melakukan penangkapan kepada rakyat jelata
yang disangka.
Opsir yang mengepalai pasukan itu girang bukan main
apabila Tiong Yauw melaporkan dapat dibekuknya satu
anggota Piesioe-hwee.
Seiagi hamba negeri itu mclanj uti perjamuannya, ke dalam
rumah makan itu ada benindak masuk satu tetamu. Entah
bagaimana, dia masuk tanpa menarik perhatian siapa juga,
kecuali sesudah dia berada di depannya Tiong Yauw dan si
opsir beramai. Ketika itu, rumah makan seperti terkurung
tentara, meski benar sekalian serdadu sedang beristirahat dan
bcrpencaran.
Orang ini berumur hampir empat puiuh tahun, alisnya
kereng, matanya bersinar. Teng Hiauw pun tidak perhatikan
orang ini, karena ia sedang repot dengan dampratannya,
sebab ia sangat mendongkol atas periakuan orang-orang polisi
rahasia itu. ia baharu berpaling, untuk melihat, kapan ia
dengar ada serdadu yang menegur dengan keras: ?Kau siapa?
Kenapa kau lancang masuk kemari?
Kau tak tahu aturan??
?Aturan apa sin?? balik menanya tetamu itu, sikapnya
sabar luar biasa. ? dirumah makan, sesuatu orang dapat
memasukinya! Looya bisa datang kemari, mustahil aku tidak??
Itulah suara, yang Teng Hiauw kenali, hingga ia terkejut,
apabila ia (liat romannya, ia heran bukan main! Dia segera
kenali orang yang Angje Lichiap si Nona Baju Merah, panggil
?Tjoe Soesiok?, yang pernah tempur ia sendiri!
Ketika putera Teng Kiam Beng pandang orang baharu itu,
dia pun justru menoleh, hingga empat mata jadi bentrok
sinamya. Dia itu agaknya tcrpcranjat. Dia maju dua tindak,
mendekati, scraya berseru: ?Ah, Piauwtee! Kau kenapa?
Kenapa orang
telah pakaikan kau ini macam barang
pwrmainan??
Orang itu menyebutkannya borgolan scbagai barang
pcrmainan.
Teng Hiauw pun tercengang, karena tahu-tahu ia dipanggil
piauwtee, adik misan. Tapi, sebelum ia sempat menyahut,
kawan-kawannya Tjiauw Tiong Yauw sudah hunus golok dan
Thie-tjio mercka. Mercka maju menghalangi orang itu dekati
lebih jauh si anak muda, hingga orang itu mundur sendirinya
agaknya dia kaget dan tercengang.
?Dia tentu bukan orang benar, tangkap padanya!? berseru
si orang tua.
Dan dua kawannya sambuti seruan itu: ?Jangan kau
melawan!?
Teng Hiauw tahu orang itu liehay, ia percaya, pertempuran
hebat bakal mengambil tempat. Akan tetapi, dugaannya
meleset. Orang itu tidak melawan, dia malah angsurkan kedua
tangannya. Dia cuma bilang: ?Aku tidak tahu suatu apa, harap
Looya semua berlaku baik, untuk tidak bikin aku
bersengsara?.?
Dcmikian, dengan jinak, orang itu kena diborgol.
Teng Hiauw mendongkol bukan main, sekarang terhadap si
tetamu.
?Manusia ini cuma pandai berjumawa terhadap angkatan
muda,? pikir dia. ?Di muka hamba negeri, dia begini bernyali
kecil! Cis, aku tadinya sangka dia ada satu enghiong!?
Sesudah ditawan, si orang baharu lantas dipcriksa. Ia akui
bahwa Teng Hiauw itu ada adik misannya, bah wa mereka
berdua baharu saja masuk menjadi anggota Gichoo-toan.
Anggota Giehoo-toan disebut ?koenbin? artinya ?rakyat
Pahkoentauw?.
Orang tua itu dan si opsir tentara tertawa berkakakan.
?Kau lihat, bocah!? kata mereka pada anak muda kita.
?Scjak tadi kau berkepala batu, kiranya kau benar-benar orang
Giehoo-toan! Dan kau pun ada orang Piesioe-hwee yang
buron!? Kemudian, ia terusi pada si Tjoe Soesiok: ?Kau ada
seorang jujur, di depan Tiekoan nanti, kau pasti akan dapat
keringanan?.?
Bcrtambah-tambah gusamya Teng Hiauw, hingga dia
mendamprat si ?Pamah Tjoe? itu, yang dia katakan
pengkhianat kawan. Toh dia tidak tahu, siapa namanya orang
ini, dia cuma umbar hawa amarahnya, karena mana, dia tak
dapat piljh kata-kata.
Orang tua itu tak ambil perduli ia dicaci kalang-kabutan, ia
tunggu sampai si anak muda sedikit redah amarahnya, lain
dengan tawar ia kata: ?Piauwtee, kau sabar sedikit. Siapa
suruh kita kena ditawan? Baik kita orang pasrah saja kepada
nasib-..?
Ia bersikap lesu, nampaknya ia harus dikasihani, iapun
mcnghela napas berulang-ulang.
Si opsir dan orang-orang polisi tertawa geli melihat
kelakuannya itu, ?engko dan adik misan? satu kepada lain,
mereka anggap sikap mereka lucu.
Lalu, tak lama kemudian, opsir ini dan empat orang polisi
rahasia itu berangkat meninggalkan rumah makan, mereka
giring dua orang tawanan itu, yang dicampur dalam
rombongan tawanan lain. Meraka ada bawa beberapa ratus
serdadu. Jumlah orang tawanan ada belasan. Tujuannya
rombongan ini ada Anpeng-hoe, Kota Anpeng.
Teng Hiauw tak dapat kendalikan diri, di sepanjang jalan,
sampai suaranya jadi serak, sampai ia tak mampu
mendamprat lebih jauh. Orang
telah ringkus ia di atas kuda.
Melainkan dengan sepasang mata tajam, ia awasi Tjoe
Soesiok, si Paman Guru she Tjoe itu.
Si opsir gembira sekali, ia puas telah dapat tawan orangorang
Giehoo-toan dan Piesioe-hwee dengan berbareng.
Sementara ltu, penduduk di sepanjang jalan pada ketakutan,
mcreka singkirkan diri bagaikan ayam kabur dan anjing
ngiprit?.
Barisan tentara ini jalan terus, ketika sang maghrib
mendatangi, mereka terpisah dari Kota Anpeng tinggal lagi
lima puluh lie. Waktu itu mereka berada ditanjakan Tjiasekkong.
Supaya bisa sampai scbclum malam, mereka jalan
dengan cepat, kuda mereka dicambuki berulang-ulang.
Tanjakan Tjiasek-kong ada seperti bukit tersusun. tanahnya
ada tanah merah. Di kedua tepi jalanan ada tumbuh pohon
kaoliang yang tinggi sependirian manusia. Tatkala itu, angin
meniup-niup, hingga pohon-pohon kaoliang jadi rebah bangun
bagaikan gelombang. Selewatnya tanjakan ini, jalanan rata,
dari situ, Kota Anpeng sudah bisa terlihat.
Selagi barisan serdadu ini Icwati tikungan di kaki puncak,
dari scbclah atas, antara pepohonan lebat, ada terdengar
suara orang tertawa, yang disusul sama suara tindakan kaki
yang nyata, kemudian kelihatan munculnya satu orang
mcndckati umur empat puluh tahun. yang dandan sebagai
satu anak sckolah. Mahasiswa ini bcrsikap anch. Bcberapa
tumbak lagi akan sampai di depan serdadu-serdadu berkuda,
yang jalan paling depan, mendadakan ia angkat kedua
tangannya, ia rangkap itu, untuk
memberi hormat, sedang dari mulutnya segera terdengar
kata-kata| yang berirama nyanyian, katanya: ?Jalanan ini
adalah aku yang buka, gunung ini adalah aku yang rawatj
maka itu siapa berlalu-lintas di sini, dia harus membayar uang
sewa jalan!? Habis itu, dengan kipasnya dia tunjuk pasukan
tentara sambil berseru: ?Hayo, berhenti!?
Opsir pemimpin tentara itu menjadi heran, mau atau tidak,
ia berhenti. Ia tahu, melainkan tentara yang menawan
berandal, tidak ada begal yang sebaliknya minta uang sewa
jalan dari tentara. Dan herannya pula, orang ini cuma
bersendirian. Orang ini bertingkah-laku mirip orang
edan
daripada satu penjahat.
?Hci, orang otak miring, lekas minggir!? kemudian ia
berseru. ?Atau nanti aku bekuk padamu untuk dibawa ke
kantor negeri!?
Dia anggap orang itu edan, dari itu, dia cuma menggertak.
Anak sekolah itu tak perdulikan bentakan, ia berdiri diam.
Opsir itu menjadi heran, dari menggertak saja, ia jadi ingin
buktikan gertakannya itu, akan tetapi selagi ia hendak
membuka mulut, untuk berikan titahnya, Tjiauw Tiong Yauw
sudah dului ia.
?Tongtay, awas, jagalah orang-or-ang taw an an kita!?
berseru orang tua ini, si orang polisi. Dia bermata tajam,
segera ia duga, si anak sekolah bukannya orang edan?. Dia
pun sudah lantas keprak kudanya maju ke depan.
Baharu orang polisi ini berseru atau si Tjoe Soesiok, orang
yang masuk ke restoran untuk scrahkan diri dibelenggu, telah
berseru juga, suaranya bagaikan harimau menggcram,
menyusul mana, dia telah gcraki kaki dan tangannya, hingga
dalam sekcjab saja, rantai-rantai borgolan pada putus
terkutung beberapa potong, hingga berbareng dengan
kemerdekaan dirinya, dia mcncelat dari atas kudanya,
bagaikan kilat saja, segera ia sampai di atas kudanya Teng
Hiauw, tatkala ia gunai kedua tangannya, juga tambang yang
mengikat si anak muda pada terputus semua, sesudah mana,
lebih jauh ia bikin putus semua rantai belengguan.
Serdadu-serdadu pengiring sementara itu, walaupun
mereka terkejut, sudah lantas bergerak, untuk menyerang,
guna melakukan penangkapan.
Tjoe Soesiok itu tak jcrih akan ancaman barisan serdadu
itu, malah dia mendahului menerjang, hingga dengan
gampang, dia dapat rampas dua batang golok. Dia bermaksud
lemparkan sebatang golok kepada Teng Hiauw, untuk ini anak
muda, turut tindakannya, akan tetapi kapan ia menoleh, dia
tampak anak muda ini, yang sudah mcrdeka, baharu saja
berhasil toyor rubuh si opsir, tombak siapa ia sambar dan
rampas, hingga dengan senjata di tangan, ia bisa layani
serangan.
Pada waktu itu, si anak sekolah pun sudah turut beraksi,
akan cegat sejumlah serdadu, yang hendak mclarikan diri,
karcna hati mereka gentar sendirinya.
Komandan barisan itu, yang bcrpangkat tongtay, menjadi
sibuk sekali atas kejadian itu yang tidak disangka-sangka. Dia
duduk di atas seekor kuda besar, senjatanya sebatang golok,
dia lantas saja berseru, untuk kendalikan barisannya.
Tjoe Soesiok lihat aksinya pemimpin tentara itu, ia hendak
merintangi, untuk ini, ia berlompat tinggi dan jauh, guna
menghampirkan. Ia telah gunai loncatan ?Ithoo tjiongthian?
atau ?Seekor burung hoo serbu langit?.
Selagi Tjoe Soesiok beraksi berbareng dengan si anak
sekolah dan Teng Hiauw juga, kin dan kanan jalanan, di
sawah kaoliang, mendadakan timbul pekik riuh-rendah,
pohon-pohon kaoliang segera bergerak bagaikan gelombang.
Di situ muncul dengan tiba-tiba serombongan besar orang,
yang kepalanya semua dilibas pelangi kuning, yang tangannya
pada bergegaman, mereka ini maju sambil berseru-seru.
Mereka adalah koenbin atau pemberontak Giehoo-toan!
Tjoe Soesiok telah sampai di depannya si tongtay, selagi
dia ini terkejut, karena melihat barisan tcrsembuny! dari
musuh, tidak tempo lagi, dentgan ?Pektjoa touwsin?atau ?Ular
putih muntahkan bisa?, ia menikam, gerakannya sangat cepat
Tongtay itu terperanjat, dia kidut kudanya, untuk berlompat,
dengan goloknya, dia menangkis Akan tetapi si Tjoe Soesiok
ada sangat gesit, ia lompal ke samping, untuk berkelit, lain
dcngan enjot tubuhnya, ia loncat tinggi ke belakang kuda
sambil goloknya dipakai membabat dengan gerakan ?Ganlok
pengsee? atau ?Burung belibis turun di pasir datar?. Tongtay
itu belum sempat memutar tubuh atau berkelit,
senjatanya juga tak sempat diputar, tahu-tahu batang
lehernya sudah terbabat kutung. sambil muncratkan darah
hidup, kepalanya terpental jatuh, menyusul mana, tubuhnya
rubuh dari kudanya!
Sekalian serdadu Boan yang melihai itu menjadi kaget, hati
mereka menjadi ciut, tanpa ayal lagi, mereka berebut lari
serabutan.
Berbareng waktu itu, Tjiauw Tiong Yauw sudah tempur
simahasiswa yang memegat jalan mereka. Dia ada bersama
dua kawan, yang berusia pertengahan. Mereka ini ada boesoe,
guru silat dari kantor tjongtok di Titlee. Mereka gusar sekali
melihat serdadu mereka, yang terdiri dari beberapa ratus jiwa,
sudah angkat kakj, maka itu, mereka segera maju, akan
terjang Tjoe Soesiok. Senjata mereka masing-masing ada
golok sebatang, Tan-too dan Thie-tjio.
Tjoe Soesiok tertawa besar apabila ia lihat ia diterjang dari
kedua pinggiran. Ia tampak datangnya Thie-tjio terlebih
dahulu, sambil lompat ke samping, ia menyambuti, akan babat
lengan.
Penyerang itu lekas-lekas tank pulang tangannya, untuk
luputkan bahaya.
Setelah membabat dengan tidak bcrhasil, Tjoe Soesiok
lanjuti ayun goloknya, untuk tangkis serangan golok dari lain
musuhnya, yang sudah terus serang ia, maka segeralah ia
layani dua musuh itu. la bcrlaku gesit. Meski demikian, ia
masih gunai tempo, akan diam-diam link kawan-kawannya.
Teng Hiauw sedang me layani si anak muda yang menjadi
kawannya Tjiauw Tiong Yauw.
Kacau adalah pertempuran di antara barisan kocnbin
dengan tcntara negeri, yang belakangan ini banyak yang
kabur, tapi yang scbagian besar berkelahi dengan sengit,
hingga Tjiasek-kong menjadi satu medan pertempuran.
Teng Hiauw mengerti ilmu berkelahi tangan kosong lawan
senjata tajam, akan tetapi dia tidak sepandai si Tjioe Soesiok.
Dia pun malu, karena sebagai keluaran dan putcra ahli
Thaykek-kocn, dia mcsti ditolongi orang tak dikenal itu. Tapi
dia penasaran, dia tidak mau kalah, maka itu, dia sudah
terjang si opsir dan rampas tombaknya ia itu seraya orangnya
pun dibikin rubuh. Dengan tombak itu, ia lantas terjang
tentara negeri. Ia lagi panas hati, ia ngamuk dengan hebat.
Bcbcrapa serdadu lantas saja rubuh terpel anting.
Sedangnyaia sengit, tiba-tiba sambaran angin datang dari
belakangnya. Ia tahu, ada serangan datang, berbareng
menoleh, ia menangkis ke bclakang.
Kedua senjata bentrok dengan kcras, si penyerang Ioncat
mundur, apabila ia sudah lihat nyata, iakenali si pembokong
sebagai si anak muda kasar di rumah makan. Ia lantas balas
menycrang, walaupun tak biasa ia menggunai tombak.
Scsudah beberapa jurus dikasih lewat, hatinya Teng Hiauw
menjadi tetap. Di dalam hatinya, ia kata: ?Kiranya begini saja
pertempuran di kalangan Kangouw?. Aku tadinya sangka
semua orang mesti liehay seperti Tjoe Soesiok ini?.? Ia pun
lantas lihat kckurangannya sendiri dan bagian-bagian yang
liehay dari musuh itu, yang menggunai pedang, senjata
pendek yang memerlukan kegesitan. Lekas sekali ia mengerti
bagaimana harus melayani musuh ini. Dcmikianlah ia gunai
ilmu tombak Thaykek-tjhio Djicsiesie, yang terdiri dari dua
puluh empat jurus. Ia bersikap tenang, hingga cepat sekali, ia
berada di atas angin.
Di pihak lain, Tjiauw Tiong Yauw yang garang telah kena
dibikin bemapas senin-kamis oleh si anak sekolah. Senjatanya
yang belakangan
?ni adalah kipas Siauwkim-sie itu, yang terbuat dari baja,
yang kedua tepinya tajam sekali, hingga kipas itu dapat
digunai sebagai piehiat-kwat, penotok jalan darah, dan
pedang Ngoheng-kiam, terutama sebagai aiat mencari tiga
puluh enam jalan darah.
Tjiauw Tiong Yauw telah berfatih beberapa jntfuh tahun
akan tetapi dia masih belum tahu ilmu silat kipas ini. toyanya
Tjiebie-koen kesohor untuk dua Propinsi Titlee dan Shoatang,
sedang ia pun pandai pukulan ?Tongpie-koen?, kekuatan
kcpalan. akan tetapi, sesudah berfempur tig apuluh jurus, ia
kewatahan menghadapi si sioetjay itu. Ia jadi penasaran dan
gusar berbareng kuatir, ia jadi sibuk sendirinya, maka itu di
akhirnya, ia mendak, ia berseru, ia mengumpulkan tenaga
kepalannya pada toyanya, untuk menyambar pinggang lawan
dengan diterusi menyapu kaki!
Anak sekolah itu tertawa panjang.
?Ha, segala kepandaian tikus dan rase diperlihatkan
bagaikan sang kunyuk!? kata ia secara mengejek. ?Sayang
sakuku kosong-melompong, hingga aku tak punya uang untuk
dipersenkan! Jikalau kau bcrlompat pula, aku nanti hajar
padamu, jikalau tidak, aku akan menonton saja! Hayo, kau
berlompat atau tidak??
Lucu mahasiswa ini selagi bertempur, dia masih bergurau.
Memang juga, ilmu ?Tongpie-koen? dari Tjiauw Tiong Yauw
bergerak-gerak scperti gcrakgeriknya monyet, terutama selagi
ia loncat, ia mirip kunyuk. Tentu saja ia sangat mendongkol
dipermainkan secara demikian, tetapi ia cuma jadi makin
mendelu, karena semua serangannya tidak memberikan hasil.
Si sioetjay adajauh terlcbih gesit daripada dia, tubuhnya
melesat-lesat luput dan toyoran atau paparan toya. Jangan
kata orang purrya tubuh, bajunya saja tak pernah kelanggar.
Kalau Tiong Yauw makin lama jadi makin kecil hatinya,
sebaliknya, si sioetjay jadi makin mantap, kipasnya
semakinjadi bcrbahaya. Karena jaga diri, supaya jalan
darahnya tidak sampai kena ditotok, Tiong Yauw sampai
keluarkan keringat dingin.
Kekuatirannya memuncak apabila ia dapati kenyataan,
barisannya kena dikurung pasukan liar dan? musuh.
Diakhirnya, sambil putar tubuh, ia gunai gerakan ?Lauwsie
poankin? atau ?Pohon tua terbongkar akarnya?, untuk
membabat ke bawah, lalu di saat musuh loncat, untuk
luputkan diri, ia pun loncat mundur, guna angkat langkah kaki
panjang.
Si sioetjay liebay sekali, ia rupanya bisa duga maksud
musuh, selagi musuh loncat, ia pun loncat lebih jauh, ke
sebelah depan, hingga di lain saat, ia sudah mendahuiui
berada di depan musuh itu, untuk memegat, kipasnya terus
menotok kepada jalan darah ?Hoakay-hiat?. Tjiauw Tiong
Yauw terponggok.
sampai ia tak sempat menangkis atau mengelakkan diri,
tidak ampun lagi, ia mcnjcrit, jeritannya disusul sama
rubuhnya tubuhnya, yang rubuh terlentang.
Sesudah rubuhkan musuh, si sioetjay tidak hampirkan
musuh itu, untuk melanjuti serangannya, sembari tertawa
mengejek, ia hanya loncat ke belakang, akan serbu tentara
musuh. Celaka adalah Tjiauw Tiong Yauw, dia rubuh dalam
kekalutan, tidak ada satu serdadu jua, yang maju untuk
menolongi dia, rnaka, di antara injakan banyak kaki serdadu
dan serdadu koenbin, ia mesti kehilanganjiwanya. Si sioetjay
sudah lantas dekati orang
yang dipanggil Tjoe Soesiok itu,
selagi dia ini menyerang hebat dengan goloknya, hingga
goloknya merupakan bundaran perak. Dengan ini cara, Tjoe
Soesiok bikin repot kedua orang yang kepung dia, yang duaduanya
ada orang-orang polisi kesohor, hingga dalam tempo
yang lekas, ia bikin dua musuh itu jadi jerih. Dengan satu
tanda, mereka itu mcncoba tinggal kabur musuh yang Iichay
ini. Tjoe Soesiok itu sebaliknya mendesak semakin keras.
Musuh yang bersenjatakan Thie-tjio mau pakai senjata
yang berat itu akan tekan goloknya Tjoe Soesiok, sesudah itu
ia hendak loncat kabur, akan tetapi Tjoe Soesiok yang cerdik
tidak mau kasih goloknya kena dibikin tak berdaya, selagi
goloknya diketok keras, ia justru ke bawahkan itu, lalu ia
putar, akan dipakai balas serang lengan orang dengan tipu
pukulannya ?Poattjo simtjoa? atau ?Keprak rumput untuk cari
ular?.
Musuh yang bersenjatakan golok melihat kawannya
terancam bahaya, dalam sibuknya, dia loncat, dia serang
orang punya batok kepala. Hebat serangan ini, karena ia gunai
pukulan ?Lekpie Hoa-san? atau ?Dengan sekuat tenaga
menggempur Gunung Hoa-san?. Ia pun harap, dengan
serangan separuh mcmbokong itu, ia bisa rubuhkan musuh.
I tulah serangan sangat bcrbahaya. Akan tetapi, melayani
dua musuh, Tjoe Soesiok telah berlaku waspada, terutama
untuk scrangan-scrangan gelap. Melihat datangnya golok, dia
loncat berkelit, dengan tipu ?Yantjoe tjoanin? atau ?Burung
walet tembusi awan?. Bcgitu rupa ia berloncat, sebat sekali,
tetapi tak kalah gesitnya ketika ia turun, sebelum orang
sempat perbaiki diri, sembari turun, goloknya dipakai
menyambar. Kesudahan dari ini ada sangat hebat, karena
sebuah leher putus dan sebuah kepala terlempar jatuh dan
darah menyemprot!
Kagetnya musuh yang bersenjatakan Thie-tjio itu bukan
main, hatinya scperti hancur, tidak berayal lagi, ia loncat,
untuk angkat kaki. Tapi ia baharu menyingkir beberapa tindak,
tatkala di depannya, ia lihat seorang mendatangi sambil
berseru: ?Ke mana kau hendak kabur?
Di sini aku!?
Dan orang itu belum sampai atau serupa benda mendahuiui
ia, benda hitam, yang menerjang orang dengan gegaman
Thie-tjio itu. Dia ini kaget, belum sempat dia menangkis, atau
berkelit, benda itu sudah mengenai tubuhnya, yang telah kena
tertotok, maka segera ia rubuh seperti Tjiauw Tiong Yauw
yang buruk nasibnya.
Sesudah rubuhkan musuh yang mau kabur ini, orang itu
hampirkan si Tjoe Soesiok seraya bcrkata sambil tertawa:
?Untuk rubuhkan dua musuh tak punya guna ini, kenapa kau
sia-siakan begitu banyak tempo?? Tjoe Soesiok itu tertawa.
?Manusia jail, jangan adu mulut di sini!? ia mcmbentak. ?Kau
gunai senjatamu yang tepat dan aku senjata sambaran!?
Sehabis menjawab demikian, ia tank tangan orang.
?Mari aku ajak kau tengok satu pemuda Kangouw!? kata ia.
Pada waktu itu, pertempuran di antara Teng Hiauw dan si
anak muda, yang mukanya hitam, sudah mulai perlihatkan
tanda-tanda keputusan. Pedangnya si muka hitam liehay,
tetapi dia kewalahan melayani tombak Teng Hiauw yang
ujungnya menyambar-nyambar seperti tak hentinya, cepatnya
luar biasa, sampai orang repot bukan kepalang, hingga dia
seakan-akan kena dikurung.
Pertempuran itu berjalan cepat. Sang Batara Surya sudah
mulai doyong ke barat, terus selam di ujung gunung, hingga
cuaca sore menjadi gelap. Tapi pertempuran mesti
dilanjutkan, karcna tentara negen, daiam kekalahannya. masih
terus melakukan perlawanan. Maka itu, lentera Khongbengteng
lantas dinyalakan.
Barisan kuda pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam
pertempuran malam iru, karena di bokit, di tanjakan. pihak
koenbin mengadakan dua pasukan lain, dalam dua rombongan
tersembunyi, yang mcnggunai anak panah, hingga setiap kali
pasukan negeri hendak mcnerobos, saban-saban mereka
dipukul mundur hujan busur.
Biasanya tentara negeri melakukan penangkapan dengan
mengandali jumlah yang besar, akan tetapi sekarang mereka
ketemu tandmgannya, dengan ccpat semangat mereka
tergedor, apapula dari sana-sini Iantas terdengar teriakan
anjuran: ?Menakluk! Lekas menakluk!?
Tjoe Soesiok teiah dapat rampas seekor kuda, ia naik ke
atasnya, ia keprak kudanya itu Ian mondar-mandir seraya ia
serukan berulang-ulang: ?Saudara-saudara tentara
negeri,lekas letaki senjata! Buat apa adu jiwa untuk
pemerintah asing? Bukankah kau orang semua ada rakyat
jelata? Jangan jual jiwamu untuk pemerintah, jangan tolol!
Lekas letaki senjata! Man bekeria sama-sama kita, untuk hidup
bersama, sama rata sama rasa!?
Seruan itu teiah memberikan hasil baik, tidak antara lama,
pertempuran benar-benar berhenti, waiaupun| dengan
pelahan-lahan, hingga di lain saat, beberapa ratus serdadu
Boan itu tidak beraksi lagi.
Si anak muda muka hitam kaget ketika ia dengari teriakanteriakan
menganjuri pihaknya meletaki senjata dan menyerah,
ia berkuatir, dalam sibuknya, ia coba menyerang dengan
hebat, dengan ilmu pedangnya ?Patsian-kiam? atau ?Pedang
dclapan dewa?. Dengan ilmu itu, beberapa kali dia
bcrlompatan, bergulingan, pedangnya saban-saban menikam
dan mcmbabat.
Teng Hiauw repot juga mclihat perubahan scrangan orang
itu, dengan tcrpaksa, ia mclayani tak kurang gesitnya, sambil
bcrkelit ke kiri dan ke kanan, tombaknya pun saban-saban
melakukan serangan pembalasan, malah satu kali, ujung
tombaknya menikam iga kanan orang. Si muka hitam kaget, ia
berkelit dengan melejit ke kiri, di sini dengan gerakan
?Thaypeng tjiantjie? atau ?Garuda pentang sayap? dia balas
membacok ke bebokong lawan nya.
Teng Hiauw bisa duga serangan orang itu, ia Iantas gunai
akal. Ia maju dengan lompatan ?Koaybong hoansuTatau ?Ular
nagajumpalitan?, ia sengaja bikin musuhnya menyerang ia
dengan hdti besar, tapi lalu dengan mendadakan, ia mcncelat
ke samping, tombaknya turun selagi pedang musuh lewati ia,
tidak tempo lagi, ia kena hajar pedang itu dengan keras sekali,
tak ampun lagi, cekalannya si hitam terlepas, pedangnya
terlempar beberapa tumbak jauhnya!
Kejadian itu membuat si muka hitam kaget, akan tetapi dia
tidak lompat, untuk lari, sebaliknya, dia berdiri diam, sambil
merangkap kedua tangannya, dia berseru: ?Aku menyerah!
Terserah, kau boleh bikin apa kau suka!?
Teng Hiauw telah bekerja terus meskipun ia sudah pukul
jatuh pedang musuh, ia geraki pula tombaknya, untuk
menikam. Gerakan nya ini ada berbarengan dengan seruannya
si pemuda muka hitam itu, tidak heran kalau ada sulit untuk ia
menahan tikamannya. Di saat yang sangat genting itu,
mendadakan ada orang berlompat dari belakang, seperti
burung melayang, tangannya menyambar, tiga jarinya
menotok nadi kanannya, atas mana sekejab saja, tombak di
tangannya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah.
Kaget dan heran adalah perasaannya Teng Hiauw itu
waktu, lengannya pun sesemutan, seperti mati, tetapi ia masih
dapat loncat, untuk memutar tubuh, hingga ia dapat melihat,
siapa orang yang membokong ia.
Penyerang dari belakang itu, sambil tertawa, kata padanya:
?Adalah aturan kita, musuh yang sudah menyerah, tak
dapat dibinasakan jiwanya!?
Dan ia kenali, orang itu adalah orang
yang dipanggil si
Nona Baju Merah panggil ?Tjoe Soesiok?! lalah orang yang akui
dia sebagai piauwtee, adik misan! Ia tercengang, ia malu
sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah.
?Tjoe Soesiok, aku tak tahu aturan itu?.? kata ia,
kemekmek, dan tanpa merasa, ia ikut-ikutan si nona
memanggil Tjoe Soesiok, Paman Guru Tjoe?.
Tjoe Soesiok tertawa pula. ?Seharusnya kau panggil aku
piauwhia!? kata ia, sambil tertawa pula. ?Dan sekarang kau
nistjaya tak dapat katakan aku menjual sahabat?.? Teng
Hiauw tertawa meringis. ?Sebenamya aku tak tahu Soesiok
ada orang macam apa?.? iaakui. Dan ini ada hal yang
sebenar-benamya.
Tjiasek-kong teiah menjadi sunyi dan tenang karena
berhentinya pertempuran, kecuali bergeraknya orang dan
kuda, dari tentara Giehoo-toan, sebab dari garis kedua dan
ketiga, di mana orang teiah menyalahkan lentera Khongbengteng,
semua serdadu koenboen mendatangi dan merubungi
Tjoe Soesiok itu.
?Tjong-tauwbak, banswee!? tiba-tiba semua serdadu itu
berseru. ltulah bcrarti: Hiduplah Tjong-tauwbak! Seruan itu
bergemuruh keras sekali.
memecahkan kesunyian. Tiba-tiba dari dalam rombongan
tentara itu loncatkcluarsatu orang siapa sambil berlari-lari
menghampirkan Tjoe Socsiok itu. Apabila ia sodah datang
dekat, ia lantas member, hormat dcngan tekuk lutut sebelah
kakmya. Itu ada cara pemberian hormat paling hormat di
dalam kalangan kaum Kangouw. Ia pun lantas berkata:
?Semua saudara berkeinginan sangat akan menemui Tjongtauwbak,
maka itu begitu mendengar kabar Tjong-tauwbak
bakal lewat di sini, tak dapat dicegah pula, mereka semua
dating kemari!? Tjoe Socsiok itu beri tanda dengan tangannya,
akan orang itu berbangkit ?Apakah kau ada Tjongto dari
Anpeng?? ia tanya. ?Bagus tindakan kau ini.? Sebetulnya, aku
pun teringat saja kepada kewajiban kau orang di sini, sayang
belum ada temponya untuk aku datang melongok. Kau orang
ada sangat mencintai aku, aku sangat bersyukur. Tapi
sekarang sudah membawa tawanan tentara Boan ini perlu
lekas dibawa pulang, untuk diurus, maka baiklah kau orang
pulang dahulu ke pusat. Di daiam perjalanan di waktu malam,
mintalah semua saudara berlaku hati-hati istimewa, supaya
kita tak rnembikin kaget pada rakyatdi sepanjang jalan.M
Tjongto dari Anpeng itu terima pesan itu, ia undurkan diri,
akan berikan titahnya, maka lantas saja semua serdadu
Giehoo-toan itu mundur untuk berdiri dengan rapi dan tenang.
Teng Hiauw ternganga menyaksikan kejadian itu.
Tjoe Soesiok itu adalah pendiri dari Giehoo-toan, karena dia
adalah Tjoc Hong Teng, seorang dari Torjioe, Shoatang.
Orang bilang dia ada turunan Kerajaan Beng, tetapi dia tidak
menyebutkan itu, karena tanpa keturunannya itu, rakyat toh
telah tunjang dia. Rakyat membutuhkan pemimpin, yang
dapat membebaskan mereka, sesudah mereka merasakan
sangat tertindih sebagai akibat dari Perang Candu. Dengan
gempuran meriam, negara-negara Barat telah paksa Tiongkok
pentang pintunya. Rakyat merasa sebagai ketindihan gunung
besar, sampai mereka sukar bernapas. Maka munculnya Tjoe
Hong Teng disambut dengan tangan terbuka.
Tjoe Hong Teng ini? ada murid tcrsayang dari Kiang Ek
Hian, Ketua dari Bweehoa-koen. Inilah sebabnya kenapa Angie
Liehiap Kiang Hong J Keng, si Nona Serba Merah, panggil dia
?soesiok?. Hong Teng telah mewariskan semua kepandaian
gurunya, sesudah itu, ia yakin terlebih jauh, sehingga dia
memperoleh hasil luar biasa. Bcda dari kebanyakan orang,
Tjoe Hong Teng tidak mau angkat nama di kalangan Rimba
Persilatan, dia hendak bangunkan bangsa Han, untuk
rubuhkan bangsa Boan, buat usirpengaruh bangsa asing.
Ketika Tjoe Hong Teng bertemu dengan Teng Hiauw, ia
dirikan Giehoo-toan baharu satu tahun. Ia datang ke Pooteng
untuk menengoki gurunya, buat sckalian tanya gurunya itu
suka atau tidak menunjang dia. Iapun ingin tarik Angie
Liehiap, karena di dalam Giehoo-toan ada pasukan
perempuan, yang kemudian diberi nama Hongteng-tjiauw,
Sinarnya Lentera Merah, pasukan mana membutuhkan pelatih
yang pandai silat.
Kiang Ek Hian ada gagah, tetapi setelah usianya lanjut, ia
kekurangan semangat pendirian. Sebenamya ia menyayangi
Tjoe Hong Teng, tetapi ia tak berani percaya murid ini
sanggup bekerja besar. Di sebelah itu, ia pusatkan
perhatiannya kepada cucu perempuannya, yang ia ingin sekali
carikan satu pasangan yang setimpal. Karena ini, ia tak jadi
punya keinginan akan hadapi badai dan gelombang dari dunia
Kangouw. Begitu maka ia sudah tolak undangannya sang
murid, hingga Tjoe Hong Teng jadi masygul. Ini pun berarti,
Kiang Hong Keng mesti sclalu dampingi cngkongnya, hingga
tak dapat dia ikut memasuki Giehoo-toan. Saking masygul,
Tjoe Hong Teng jadi bcrkesan: Sungguh sulit akan rubuhkan
pemerintah Boan, banyak orang jerih mendengar perkataan
?berontak?, sampaipun gurunya sendiri tidak mau pusingkan
diri?.
Karena ia tak dapat bantuan gurunya, Tjoe Hong Teng mau
lantas pamitan pulang, tetapi Kiang Ek Hian minta murid itu
suka berdiam untuk dua hari. Ia melul uskannya, karena ia
pun dapat pikiran untuk melihat apa di Kota Pooteng itu, ada
orang ?berarti? dalam Rimba Persilatan, yang ia boleh
harapkan bantuannya. Adalah kebetulan, di saat Tjoe Hong
Teng berdiam di Pooteng, hari itu Kiang Hong Keng karena
pukul harimau sudah kena dikurung serombongan pemburu,
sampai dia dapat ditolong oleh Teng Hiauw. Nona ini tidak
berterima kasih kepada anak muda itu oleh karena dia
menyangka, gum-guru silat Keluarga Soh itu adalah kawan si
anak muda, dia tidak tahu, Teng Hiauw melainkan ketahui
guru-guru silat itu, hubungan lainnya tidak ada. Ketika Hong
Keng puiang dan berccrita kepada cngkongnya, Hong Teng
dengar itu, dia lantas merasa pasti, Teng Hiauw bukannya
tergolong guru-guru silat itu, kalau tidak, si anak muda tidak
nanti berikan bantuannya. Maka itu, ketika Teng Hiauw satroni
Keluarga Kiang, Hong Teng sengaja sembunyikan diri dan
memegat di tengah jalan, untuk mempermainkan, buat
patahkan kepala besar orang, untuk tarik perhatiannya dia itu.
Kesudahan dari itu membuat Hong Teng girang. Ia dapat
kenyataan, Teng Hiauw masih muda sekali tetapi berani dan
gagah, ilmu silat pedangnya sudah bisa layani ilmunya yang
dilatih dua atau tiga puluh tahun, Iapun lihat, anak muda ini,
ada lain daripada ayahnya. Maka itu, justru Teng Hiauw
masygul karena ayahnya hendak paksa ia menikah. Hong
Teng ajak Hong Keng pergi satroni dia di rumahnya dan
meninggalkan surat itu, guna ?tarik? ini anak muda ke
pibaknya. Setelah si anak muda buron, Tjoe Hong Teng lantas
menguntit, akan lihat sepak-terjangnya. untuk sekaJian
melindungi padanya. Hong Teng sebaliknya tak mau segera
perkenalkan diri, karena ia sengaja hendak latih lebih jauh
pemuda ini. Demikian, karenanya, telah terjadilah hal-hal lucu,
disebabkan Teng Hiauw masih hijau daiam pengalaman.
Tjoe Hong Teng mengeluh ketika . ia lihat si anak muda
ditawan polisi. la tidak mat mem ben pertolongan dengan
kekcrasan, ia lantas dapat akal, sesudah kirim pesan untuk
tjongto di Anpeng kemana ia percaya barisan Boan ini bakal
lewat Kebetulan, itu waktu pun ada satu sahabat karibnya,
yang berada di pusat di Anpeng, ia sekaJian minta sahabat itu
bantu ia. Sesudah itu, ia hampirkan Teng Hiauw, yang ia akui
sebagai adik misan, hingga ia pun mandah dicekuk. Maka
kemudian, terjadi pemegatan tadi atau pertempuran di
Tjiasek-kong, hingga tentara negeri harus menyerah.
Baharu setelah itu, Teng Hiauw ketahui, Tjoe Soesiok
adalah pendiri dan Ketua Pusat dari Giehoo-toan. Ia lantas
hendak menghaturkan terima kasih, untuk sekalian tanyakan
hal-hal, yang masih gelap baginya, tetapi scbclum ia buka
mulut,*Hong Teng goyangi tangan dan dului ia berkata:
?Tunggu, aku akan perkenalkan kau pada satu orang?.? Ia
belum tutup mulutnya,- atau ia dengar orang telah tertawa
dan dului ia: ?Tak usah kau perkenalkan lagi! Mustahil aku
tidak kenal padanya??
Teng Hiauw segera menoleh, hingga ia tampak seorang
dengan thungsha sutera putih dan tangan mencekal kipas,
satu mahasiswa, ialah orang yang memegat tentara negeri,
yang meminta beelouw-tjhie atau uang sewa jalan?. Ia
tercengang, ia heran kenapa orang itu kenal ia. Ia toh baharu
pernah merantau, baharu sekali ini ia lihat orang itu. Ia
berniat menanyakan, akan tetapi orang itu sudah tertawa
pula dan menanyakannya: ?Bukankah ayahmu ada Sianpwee
Teng Kiarm Beng Ketua dari Thaykek-boen? Bukankah
namamu sendiri, Sieheng, ada Hiauw sepatah kata, yang
berarti ?terang tanah?? Begitu Iekas lihat kau mainkan ilmu
tombak Thaykek-tjhio, aku lantas ketahui siapa kau ada! Aku
cuma dengar nama besar dari ayahmu, tetapi tentang ilmu
silat kaummu, tentang murid-muridnya, aku tahu juga?.?
Tjoe Hong Teng tertawa mendengar kata-kata orang itu, ia
segera memotong: ?Oh, orang bermata pancalongok, katakata
kau benar adanya! Tapi kau sendiri, dengan dandananmu
yang tidak pernah ditukar, kau juga gampang sekali dikenali
orang!?
Sembari mengucap demikian, Hong Teng awasi Teng
Hiauw, akan lihat, pcmuda ini ketahui atau tidak si mahasiswa
itu. Tapi Teng Hiauw tidak kenal orang ini, yang ia cuma duga
ada seorang Kangouw yang ulung. Di saat ia hendak tanya
Tjoe Hong Teng tcntang nama orang itu, tiba-tiba ia ingat Kim
Hoa, yang pernah tuturkan dia tcntang orang-orang Kangouw.
Separuh bcrseru, segera ia bertanya: ?Tjianpwee, apakah
Tjianpwee bukannya Looenghiong Thiebian Sieseng Siangkoan
Kin??
Mendengar demikian, dari atas kudanya, Tjoe Hong Teng
tertawa bcrkakakan.
?Nah, apa aku kata! Sekalipun ini anak, yang baharu
pertama kali injak dunia Kangouw, begitu dia lihat
dandananmu, ia segera kenal kau! Aku lihat, baiklah kau salin
pakaian, supaya kau tidak terlalu mencolok mata!?
Siangkoan Kin tidak gubris godaan kawan itu, ia tarik
tangan si anak muda.
?Kau ketahui namaku, siapakah yang beritahukan itu
kepadamu?? ia tanya. ?Baik kau ketahui, tidak suka aku
disebut-sebut tjianpwee atau looenghiong, karena untuk itu,
belum sampai waktunya aku bertingkah-polah!? Baharu
setelah itu, ia menoleh
pada Tjoe Hong Teng, akan kata: ?Dandananku ini adalah
merek hidupku, aku tidak takut segala kawanan anjing kenali
aku! Jikalau mereka mempunyai kepandaian, mereka boleh
bekuk aku, aku tak takut!?
Kata-kata ini ditutup sama tertawa bergelak-gelak yang
nyaring.
Tjoe Hong Teng kerutkan alisnya. Ia tak setujui anggapan
sahabamya itu. Tapi sang sahabat sedang bergirang, ia tidak
mau ganggu kegembiraan orang itu.
Thiebian Sieseng Siangkoan Kin ada seorang luar biasa
dalam kalangan Kangouw, sampaipun asal-usulnya, sedikit
sekali orang yang ketahui, lebih-lcbih mengenai sumber ilmu
silatnya. Orang melainkan duga, dia ada sioetjay yang gagal
dalam ujian, yang lantas tukar ilmu surat dengan ilmu silat
Dengan sebenarnya, Siangkoan Kin ada putera dari satu
keluarga anak sekolah di Boesek, Kangsouw. Propinsi ini,
seperti Tjiatkang, memang ada tempatnya kaum sasterawan.
Maka juga, sejak masih .kecil, dia sudah dimestikan
mempelajarinya.
Dalam umur baharu sepuluh tahun lebih, karena amat
cerdasnya, Siangkoan Kin sudah pandai membaca kitab-kitab
Soesie Ngokeng di luar kepala, hingga gurunya, dan orang
tuanya, percaya dia bakal peroleh kemajuan, akan tetapi
dugaan itu meleset, sebab beberapa kali dia turat ujian,
saban-saban dia gagal -tak pcmah dia berhasil. Ketika ayahbundanya
menutup mata, dia baharu berumur dua puluh
tahun, dia tetap tak peroleh gclaran atau pangkat.
Keluarga Siangkoan Kin bukannya keluarga berharta, dia
tidak punya uang atau pengaruh, maka itu, waiaupun ilmu
suratnya Sempuma, dia seperti tidak ada di matanya kepaia
badan ujian, siapa cuma lihat uang, ? bukannya kcpandaian.
Di waktu hendak menutup mata, masih Siangkoan
Kindipesan, dianjuri ayahnya, untuk bclajar tcrus dengan rajin
dan ulet. untuk turut pula dalam ujian. Ayah ini tak put us
harapan puteranya nanti menjulet pangkat, untuk angkat naik
derajat keluarganya.
Tapi, sehabisnya bcrkabung, ketika untuk satu kali lagi
Siangkoan Kin lurut juga dalam ujian, sendirinya,
semangatnya untuk peroleh gelaran atau pangkat sudah
padam terlebih dahulu. Inilah sebabnya kembali dia rubuh,
.dan yang keluar sebagai pemenang ada seorang bemama
Hee Kie Tong.
Beberapa kali Siangkoan Kin dikecewakan, dia bersusah
hati, tetapi dia tidak penasaran sebagai mi kali. Dia heran dan
penasaran, karena kaygoan baru ada si orang she Hee itu,
yang ada calon sioetjay, yang biasanya kesohor paling tak
punya guna. Di waktu biasa, karangannya, saking buruk,
Siangkoan Kin sendiri tak sanggup mengubah atau
memperbaikinya, sampai perriah dia mengejek: ?Karangan lain
orang, apabila dilempar ke tanah, bisa bersuara nyaring
bagaikan emas, tetapi karangan kau, suaranya mirip dengan
tambur yang jatuh bergeiindingan dari atas gunung?.? Toh
aneh, sekarang si pemenang adalah orang yang karangannya
seperti tambur yang bergeluntungan itu!
Yang lebih mengherankan, Hee Kie Tong ini ada keluarga
lebih mi skin daripada Keluarga Siangkoan, hingga pasti dia
tidak bisa sogok si kepaia ujian itu. Orangnya bodoh, uangnya
tidak ada, tetapi dia lulus. Saking heran, Siangkoan Kin pergi
pada sahabatnya itu, untuk minta keterangan.
Hee Kie Tong tertawa ketika ia menjawab: ?Saudara
Siangkoan Kin, kita sama-sama tidak punya uang, untuk
menghormati kepaia ujian. Aku sendiri lulus, kau tidak, maka
itulah ada bukti yang karanganku ada terlebih baik daripada
karanganmu! Maka sekarang kata-kata kau ten tang ?tambur
yang bergeiindingan dari atas gunung tinggi? haruslah
dihaturkan kcmbali kepadamu!?
Siangkoan Kin mendongkol bukan kepalang, ia tak dapat
berbuat apa sclain ngeloyor pulang dengan perut panas. Ia
tetap gelap dengan duduknya hal, sampai?. Kepala examen
itu diutus dan ditugaskan di Boesek atas putusan boetay. Ia
girang sekali. Ketika ia mau berangkat ke Boesek, dia kunjungi
berbagai pembesar, untuk pamitan, akan ambil selamat jalan.
Ia pun kunjungi boetay, sebagai pembesar tertinggi. Ia
berlaku sangat hormat pada pembesar ini, yang pesan ia
harus , baik-baik lakukan kewajibannya di Kangsouw, tempat
kaum terpelajar. Selagi beri pesannya itu, tiba-tiba boetay
kerutkan alisnya, ia menyingkir ke samping. Kepaia examen ini
kira boetay hendak tinggalkan pesan perseorangan, ia
mendekati, ia pasang kupingnya, atas mana, boetay kata:
?Tidak lainnya lagi, heekhi-tong.?
Tadi malamnya boetay makan besar, pencernaannya
kurang baik, mendadakan ia ingin buang angin busuk, maka ia
minggir dari orang banyak, tetapi si kepaia examen kelira
sangka, dia mendekati, dari itu, ia jawab tidak apa-apa. Katakata
?heekhie-tong? itu ada kata-kata halus untuk angin
busuk. Si kepaia examen keliru dengar, dia sangka boetay
pesan untuk perhatikan orang nama ?Hee Kie Tong,? ia ingat
itu baik-baik. Demikian sudah terjadi, ketika ada calon sioetjay
nama Hee Kie Tong, tanpa banyak rewel, ia kasih lulus si tolok
ini sebagai kay goan, hingga kesudahannya, Siangkoan Kin
jadi mendelu!
Sebagai keharusan, Hee Kie Tong kunjungi kepala examen,
untuk hunjuk hormatnya, buat menghaturkan terima kasih.
Setelah pemberian hormat, kepala examen itu tarik tangannya
si kaygoan baru dan tanya dengan pelahan: ?Sieheng, kau ada
punya hubungan apa dengan Boetay Taydjin??
Ditanya begitu, Hee Kie Tong melengak, tak mampu ia
menjawab. Masih si kepaia examen tak engah, ia puas karena
ia sudah angkat ?orangnya? boetay. Ketika kemudian ia pula
ke ibukota propinsi, selagi menghadap boetay, untuk berikan
laporan kesudahan ujian, ia tambahkan bahwa ia sudah
lakukan pesan boetay itu mengenai Hee Kie Tong, yang ia
kasih lulus jadi kaygoan. Boetay tercengang. ?Apa kau bilang?
Siapa itu yang kau tolong?? dia tanya.
Kepaia examen ini kira boetay lupa, dia terangkan: ?Ketika
dulu akan pamitan, Taydjin toh bilang padaku: ?Tidak lainnya
lagi, heekhie-tong?
Mendengar demikian, dari melengak, boetay, tertawa
besar.
?Ah, kau benar tolol!? ia kata tanpa perdulikan di situ ada
hadir lain-lain orang lagi. ?Itu waktu aku sebut ? heekkie-tong?
tetapi itu bukan namanya orang, itu ada kata halus untuk
gantikan angin busuk dan dalam perut?.?
Kepaia examen itu mukanya merah, ia temganga. Ia benarbenar
tidak ingat kata-kata sopan itu untuk gantikan angin
busuk. la pun menyesal, karena dengan begitu. Ia bikin lenyap
uang sogokan, yang mestinya akan masuk ke dalam sakunya,
sedikitnya di atas seribu tail perak?. Ia ada begitu menyesal
dan penasaran, tanpa pikir panjang, ia utarakan
kemenyesalannya kepada beberapa rekannya. Tapi justru ini,
rahasia bocor, dari sepuluh mulut kepada seratus mulut,
dcmikian selanjutnya, sampai kabar pun tersiar sampai di
Boesek, karena itu berarti kejadian sangat lucu.
Kapan akhimya cerita itu sampai di kupingnya Siangkoan
Kin, dia ini tercengang, mulutnya ternganga, matanya
terpentang iebar, ia diam sckian lama, akan kemudian, ia
tcrtawa terbahak-bahak, lantas ia berseru: ?Hei! sioetjay angin
busuk, kaygoan angin busuk, tjonggoan pun angin busuk! Jadi
semua. ponggan, tamhoa, itokkoen, boetay, haksoe,
semuanya angin busuk juga! Ya, semua-semua angin busuk,
maka tak usahlah aku repoti angin busuk!? Sadarlah sekarang
Siangkoan Kin akan keburukan ujian ilmu surat, padam
semangatnya, tak lagi ia sudi bikin examen, untuk
kehidupannya, ia buka rumah perguruan, karena ia tak punya
lain kepandaian. Tapi ia ada sioetjay yang gagal, tak ada
orang hartawan yang suka masuki anak-anaknya belajar
kepadanya, maka ia cuma dapati beberapa murid anaknya
orang miskin?.
Pada suatu sore, sehabis lepas sekolah, ia minum arak
seorang diri.
Ia berada sendirian, ia menjadi kesepian. Arak itu pun ada
antaranya dari satu muridnya. Saking iscng, tiba-tiba ia
perdengarkan cabutan dari syairnya Ek-ong Tjio Tat Kay, itu
pemimpin Thaypeng Thiankok yang bergelar pangeran:
?Penjahat besar juga ada lurunannya, yang Kitab Soesie tak
menghargainya. Emas kuning bagaikan tanah tak berharga,
nyali keras bagaikan besi.??
Dia belum habis ucapkan itu, atau tiba-tiba ada scruan:
?Sungguh bersemangat!? Menyusul mana satu orang,
bertindak masuk ke dalam rumahnya!
Siangkoan Kin terkejut, ia menoleh dengan segera, hingga
ia lihat, orang itu ada orang sesama kampungnya, si tukang
besi yang usianya sudah lanjut. Dengan sendirinya, hatinya
menjadi lega, pikirannya menjadi tetap pula.
Ketika itu belum cukup dua puluh tahun sejak runtuhnya
Kerajaan Thaypeng Thiankok, dengan diiam-diam syairnya
Tjio Tat Kay itu masih tetap tersiar di antara rakyat, tidak
perduli itu ada termaksud dalam larangan pemerintah Boan.
Siangkoan Kin nyanyikan itu tanpa merasa, tidak heran,
suaranya si empeh membikin ia terkejut. Di lain pihak,
sekarang ia heran i si empeh tukang besi itu.
Empeh ini ada orang satu kampung dengan ia, akan tetapi,
asalnya, dia ada orang perantauan dari lain tempat, yang
datang ke kampungnya selang sepuluh tahun yang lampau.
Dia ada ramah-tamah, dia pun pandai membuat segala rupa
barang dari besi, juga gendewa dan peluru untuk anak-anak
menjepret burung dan untuk petani petani kepung kelinci,
semacam tempuling terbuat dari kayu Tjoh. Lama-kelamaan,
orang kampung pandang dia sebagai orang kampung sendiri.
Di mata Siangkoan Kin, dia ada satu tukang besi, maka adalah
heran, sekarang tiba-tiba dia pun kagumi syairnya Tjio Tat
Kay.
?Rupanya Empeh mengerti syair,? kata ia, dengan sikap
menghormat.
Orang tua itu bersenyum.
?Aku ada seorang kasar, mana aku mengerti syair?? ia
baliki. ?Aku dengar suaramu menarik hati, begitulah aku
datang!?
Ia lihat pelbagai kitab di atas meja, ia agaknya heran.
?Siangkoan Sinshe, apakah kau ajarkan anak-anak dengan
kitab-kitab ini?? tanya ia. Pertanyaannya pun tiba-tiba.
?Kenapa kau tidak ajarkan mereka syair yang barusan kau
nyanyikan??
Juga pertanyaan ini aneh, hingga bertambahlah keheranan
sinshe ini.
?Pelajaran pelbagai kitab ini bisa dipakai sebagai alat
mendapatkan pangkat,? ia menyahut dengan sengaja. ?Syair
yang aku nyanyikan barusan, walaupun bagus, tidak ada
kegunaannya.?
?Pangkat?? dan orang tua itu tertawa. ?Bukankah Sinshe
telah baca ini pelbagai kitab? Kenapa Sinshe sendiri tak
peroleh pangkat??
Kembali Siangkoan Kin menjadi heran. Ia terdesak oleh
pertanyaan si empeh ini, satu tukang besi. Sesaat ini, dia tak
lagi mirip dengan satu orang
pertukangan!
?Empeh, sebenarnya kau ada dari golongan apa?? akhimya
ia tanya. Empeh itu dongak, ia tertawa pula ?Aku orang apa?
Buat apa kau mempcrdulikannya? Tapi aku tahu itu orang
syair siapa barusan kau nyanyikan. Dia pemah lulus sebagai
sioetjay, hingga ia berkedudukan lebih tinggi satu t ingkat
daripadamu. Akan tetapi dia tak perdulikan gelarannya ilmu
surat itu!?
Guru sekolah desa ini terperanjat. Teranglah sudah, si
empeh maksudkan Ek-ong Tjio Tat Kay, pendekar kebangsaan
yang gagah-pcrkasa dan pandai ilmu sastera. Semasa
umurdua puluh. namanya Ek-ong sebagai sastcrawan telah
kesohor di Selatan dan Utara Sungai Besar. Tidak tempo lagi,
ia menjura dalam tcrhadap tetamunya yang tidak diundangitu.
?Lootjianpwee, maafkan aku karena mataku lamur? ia
memohon.
?Sudah belasan tahun, aku tak dapat kenali padamu.
Rupanya Lootjianpwee mengerti baik sekaii syair Ek-ong ini.?
?Mengerti baik?? kata si orang tua, sambil tertawatiba-tiba.
?Sang waktu telah lewat lama, aku sudah tak ingat puia. Tapi
aku pemah. lihat sendiri ketika dia menulis syairnya itu.??.?
Alangkah heran Siangkoan Kin, hingga ia lari ke pintu, untuk
tutup pinitu. Ia kembali dengan ccpat, ia angkat tangan
bajunya, lantas ia tekuk lutut di depan orang tua ini.
?Teetjoe adalah korban ujian ilmu surat,? berkata ia, yang
mengaku terus terang, ?karena itu tak lagi teetjoe punya
keinginan untuk mengharap pangkat. Tapi teetjoe adalah
orang yang paling kagumi Ek-ong. Lootjianpwee, maukah
Lootjianpwee beritahukan aku, Lootjianpwee sebenarnya ada
Ek-ong empunya apa? Jikalau Lootjianpwee tidak memandang
kebodohanku, teerjoe ingin sekaii Lootjianpwee memberikan
sesuatu pengunjukan kepadaku?.?
Orang tua itu tidak singkirkan diri, dia terima pemberian
hormat itu, kemudian dengan ulur kedua tangannya, ia angkat
bangun guru sekolah itu. Siangkoan Kin masih hendak
menjura puia, tetapi tanpa ia merasa, tubuhnya kena diangkat
secara enteng sekaii.
?He, Lauwtee, apa artinya ini?? ia dengar si orang tua tegur
ia. ?Lekas bangun, tak berani aku terima hormatmu, tak
berani aku!?
Di mulutnya, orang tua ini mengucap demikian, di hatinya,
ia puas, sebagaimana air mukanya kelihatan terang. Ia
bersenyum berseri-seri, tanpa tunggu sampai Siangkoan Kin
ulangi pertanyaannyaJ tidak ragu-ragu lagi, cmpch tukang besi
ini beritahukan tentang dirinya yang sebenar-benarnya. Nyata
dia ada sal ah satu pahlawan dari Ek-ong Tjio Tat Kay, yang
senantiasa berdiri mcndampingi pahlawan pencinta ncgcri itu,
hingga bukanlah heran apabila ia telah saksikan sendiri ketika
Ek-ong menulis syairnya yang dibuat kenang-kenangan itu.
Ek-ong Tjio Tat Kay ada panglima perang kenamaan dari
Thaypeng Thiankok, ia pernah berperang di sana-sini melalui
medan perang beberapa Iaksa lie jauhnya, hingga ia telah
menggetarkan pemerintah Boan, tetapi ketika ia mcninggalkan
Kimleng (Lamkhia) dengan pimpin tentara tunggalnya ke Soetjoan,
se lama mana ia banyak mendcrita di sepanjang jalan,
karena meluapnya Sungai Kimsee-kang, hingga ia tak sanggup
sebcrangi Kali Taytou w-hoo, ia kena ditawan dan kemudian
menemui ajalnya karenanya, dalam usia baharu tiga puluh tiga
tahun. Scbagian besar dari tentaranya berkorban di medan
perang, sebagian yang kecil, dapat meloloskan diri. Dan Poei
Hok Han, ialah namanya si tukang besi itu waktu, juga
berhasil meluputkan diri dari bahaya. Tidak lama kemudian,
Thaypeng Thiankok runtuh Poei Hok Han merantau, hidup
dalam penyamaran. Ketika ketegangan mulai reda, ia sampai
di Boesek, akan hidup sebagai tukang besi di desa yang kecil.
Dua puluh tahun lewat dengan cepat, Hok Han telah
menjadi satu empeh-empeh, akan tetapi semangatnya masih
belum kunjung padam, dalam kesunyiannya, ia masih kenangkenangi
pergerakannya, karena tcrpaksa, ia kcndalikan diri,
untuk mana, kadang-kadang ia suka menepas air mata sendiri.
Dalam usia yang lanjut, Hok Han dapat pikiran untuk
mendapati mu-rid, guna wariskan ilmu silatnya. Ini ada urusan
yang sulit. Selama sepuluh tahun umpetkan diri, belum pemah
ia dapati murid yang ia cari. Ia ingin dapati murid yang
berbakat dan dapat dipercaya. Kebetulan sekaii, selagi lewat di
depan rumah Siangkoan Kin, ia dengar nyanyian orang, tak
bersangsi puia, ia masuk, akan kctcmui guru sekolah desa itu.
Sejak itu, dengan diam-diam, Siangkoan Kin angkat si
tukang besi menjadi gurunya. Ia sendiri, tetap menjadi guru
sekolah. Tak ada orang tahu yang ia lagi belajari silat. Di mata
penduduk lainnya, mereka ada satu sioetjay melarat dengan
satu tukang besi miskin, yang menjadi sahabat kekal karena
mereka senasib. Tidak ada satu penduduk juga yang
mencurigai mereka.
Siangkoan Kin berotak sangat terang, kalau orang lain
membutuhkan tempo satu tahun, ia cuma tiga bulan, tidaklah
heran, dalam tempo lima tahun, ia sudah dapatkan dasamya
sempurna, pelajarannya telah maju jauh.
Pada suatu malam terang bulan, seperti biasa, Poei Hok
Han datang ke rumah muridnya, ia saksikan sang murid lagi
melatih diri dalam ilmu pukulan ?Bittjong-koen,? setelah murid
itu selesai bersilat, ia menghela napas, ia kata: ?Kita drang
telah berkumpul lima tahun lamanya, aku khawatir kita orang
segera akan berpisah?.?
Mendengar itu, Siangkoan Kin terkejut.
?Kenapa, Soehoe?? tanya ia. ?Karena di kolong langit tidak
ada pesta perjamuan yang tidak ada saat bubarnya,? sahut
sang guru. ?Kau pun, selama lima tahun, sudah mewariskan
semua kepandaianku, bakatmu ada sangat bagus. pelajaranku
sebaliknya sangat rendah. tak sanggup aku mend idik kau
terlebih jauh. Kau tahu, aku ada seorang perantauan, aku ada
seorang gelap. Terpaksa aku hidup menyendiri. Di sebelah itu,
usiaku sudah lanjut, tak banyak tempo lagi untuk aku tewati.
Semcntara itu, masih ada urusan yang aku belum
selesaikan?. Sekarang aku memikir untuk mencari satu orang,
aku masih ingin tengok pula keadaan di luar?.?
Siangkoan Kin mengerti perasaan cinta negeri dari gurunya,
yang tetap tak mau padam, yang sukar untuk dilupai, maka ia
percaya, masih ada cita-citanyaguru ini. Tiba-tiba ia pun dapat
pikiran. Maka ia kata pada guru itu: ?Soehoe, muridrrra juga
ingin merantau sebagai kau, harap Soehoe ajak aku, untuk
aku peroleh pengalaman.?
Poei Hak Han pandang muridnya. ?Kau tak dapat,? jawab
ia. ?Kenapa, Soehoe?? sang murid tegaskan. ?Aku ada orang
yang dicari pemerintah Boan, walaupun banyak tahun sudah
lewat, namun aku tetap tcrancarn bahaya. Tidak demikian
dengan kau, anak tunggal, yang belum bcrumah tangga.
Bagaimana aku bisa bawa kau untuk menghadapi
bencana??
Mendengar gurunya sebut hal rumah tangga, mukanya
Siangkoan Kin merah bahna likat, tapi ia segera berbangkit,
dengan hormai, dan dengan sungguh-sungguh ia kata pada
gurunya itu: ?Soehoe, mustahil sampai sekarang Soehoe
masih tetap tak mempercayai aku? Jikalau aku jerih akan
kesukaran dan takut akan ancaman malapetaka, tidak nanti
aku berani ikuti kau! Soehoe, aku bersumpah akan teladan
kau selama aku masih bernyawa, aku akan musuhkan
pemerintah Boan! Tak mundur aku walaupun mesti binasa
berlaksa kali! Cita-citaku masih belum tercapai, cara
bagaimana bisa aku memikirkan rumah tangga? Harap Soehoe
jangan bersangsi pula, mari kita pergi bersama!?
Menampak ketetapan hati orang itu, Poei Hok Han
.tertawa.
?Jikalau demikian, tujuan kita sama!? kata ia. ?Baik, aku
nanti ajak kau!? Kemudian ia tepuk-tepuk pundaknya, dengan
roman sungguh-sungguh ia tambahkan: ?Barangkali dengan
perjalanan ini aku bisa sekalian carikan satu guru yang pandai
untuk kau!?
?Kau sangat berbudi, Soehoe, mana aku tega akan tukar
guru?? sahut sang murid.
Orang tua itu mengawasinya, alisnya dikerutkan.
?Kenapa kau pun jadi seperti orang
biasa saja?? tanya ia.
?Kau harus tahu, pelajaran tidak ada habisnya, pelajaran hams
diyakinkan terus, hingga jadi scmpurna! Tak boleh orang
kukuh i satu golongan saja, i tulah kebiasaan buruk dalam
kalangan Rimba Persilatan. Ada lagi, yang kukuhi diri sendiri,
tidak maul mengajarkan lain pihak, atau tidak mau pelajarkan
kepandaian lain orang.
Aku hendak carikan kau guru yang
pandai, yang lebih liehay sepuluh kali lipat daripada aku. Aku
hanya sangsi, orang itu sudi terima kau atau tidak?.?
Siangkoan Kin melongo, ia pandang gurunya itu.
?Siapa orang itu, Soehoe, yang Soehoe demikian
hargakan?? iatanya.
Poei Hok Han tidak lantas menjawab, ia tertawa.
?Kau ingat tidak, dalam salah satu syairnya Ek-ong Tjio Tat
Kay ada disebutkan hal meloloskan pedang dari pinggang,
untuk haturkan itu kepada lain orang??
Siangkoan Kin heran sekali.
?Aku ingat itu, Soehoe. Kenapakah?? ia tegaskan. Ia lantas
membacakan syair itu di luar kepala:
?Mengangkat kepalanya, naga tua perdengarkan suara
Mahasiswa berduka berkehendak mcmbasmi pengkhianat
Sesudah sampai di jalan buntu, masih ingin bersahabat
Persembahannya adalah ribuan tail emas berharga?.
Mendengar itu, si empeh buat main kumisnya, nampaknya
ia terharu sekali, seperti ia ingat apa-apa yang telah lalu.
?Guru yang aku niat carikan untuk kau itu,? kata ia
kemudian, dengan pelahan, ?adalah itu orang yang di saat
buntu kepada siapa Ek-ong loloskan pedangnya untiik
dihaturkannya. Aku ada Ek-ong empunya pahlawan, dia
adalah sahabatnya- Ek-ong?? ia berhenti sebentar, selagi
sang murid awasi ia, ia lanjuti: ?Dia adalah t sahabatnya Ekong,
akan tetapi cita-cita mcrcka berdua beda satu dari lain.
Sejak Ek-ong meninggalkan Kimleng, akan melakukan
perjalanan peperangan jauh selaksa lie, dia sendiri mcnuju ke
lain arah, dia tidak ikuti lebih jauh pada Ek-ong?.?
Siangkoan Kin heran. Ia ada orang yang paling kagumi Ekong,
mendengar ada sahabatnya raja muda itu, yang beda
faham, ia merasa tidak mufakat. Ia lantas tanya gurunya:
?Sudah terang dia bercita-cita tain dan Ek-ong, kenapa Ek-ong
haturkan pedangnya kepadanya, kenapa Soehoe pun sangat
hargai dia??
?Kau pandang urusan sangat sederhana!? sang guru
tertawa. ?Faham berlainan bukan berarti bahwa orang mesti
bertentangan. Ek-ong benar ada satu orang luar biasa tetapi
itu bukannya bcrarti sesuatu dari sepak-terjangnya benar
semua.? Sampai di sini, Hok Han tuturkan muridnya perihal
sahabatnya Tjio Tat Kay itu dan hubungannya dengan si raja
muda.
?Dia adalah Soekong Tjiauw, dia pun ada seorang luar
biasa. Dia sangat kagumi Ek-ong untuk Ek-ong empunya
kepintaran ilmu surat dan ilmu silat, ilmu pcrang yang mahir.
yang bisa dibandingkan dengan panglima-panglima perang
pandai di zaman dahulu. Begitulah, dengan ikhlas hati, ia kasih
dirinya dipekerjakan Ek-ong. Sejak Ek-ong dalam usia dua
puluh tiga tahun dianugerahkan sebagai pangeran, ia
mendampinginya saja dalam kemah sebagai penasihat Ek-ong
pun sangat hargai dia dan sangat percaya padanya. Adalah
kapan datang suatu saat yang maha penting, keduanya nyata
berbeda paham. keduanya lantas saja berpisahan?.?
Suaranya si empeh jadi pelahan, airmatanya berlinang.
?Itulah urusan yang membikin Thaypeng Thiankok dari
makmur menjadi lemah, hingga suatu usaha demikian besar
dan menggetarkan , dunia., lantas jadi hancur. Karcna
bentrokan di dalam, buyarlah semua-semua..?
Empeh ini menghela napas, suaranya sangat sedih.
?Apakah Soehoe maksudkan bentrokan antara Yo Sioe
Tjeng dengan Wie Tjiang Hoei?? Siangkoan Kin tegaskan.
?Benar,? jawab sang guru, setelah menghela napas
panjang.
Pada masa Thaypeng Thiankok mengangkat berbagai raja
muda (pangeran) adalah Tong-ong Yo Sioe Tjeng yang
kedudukannya paling agung. Tong-ong ini terlalu agulkan
jasanya, ia sampai menindih Iain-lain rekannya, sampaipun
Thian-ong Ang Sioe Tjoan sendiri, ia tidak lihat mata. Di
sebelah pangeran yang jumawa itu, ada Pak-ong Wie Tjiang
Hoei yang kouwkatie, yang irikan kedudukan orang. Selagi
Tong-ong agui-agulan demikian rhacam, hingga dia tak
disenangi Thian-ong dan Iain-Iain
pangeran, Pak-ong mengatur siasatnya yang buruk.
Dibokong dalam suatu pesta, Tong-ong kena dibinasakan.
Sesudah ini, Pak-ongjuga bunuh habis keluarganya serta
sebawahan yang berjumlah dua puluh ribu jiwa lebih. Ini ada
perbuatan kcterlaluan. Walaupun bisa dianggap Tong-ong
keliru, diamasih tak dapat dihukum mati, apa pula keluarga
dan sebawahannya itu. Orang-orang sebawahan itu adalah
anggota-anggota berharga dari Thaypeng Thiankok. Dengan
pembasmiannya itu, Pak-ong seperti membantu besar sekali
kepada musuh untuk memperlemah diri sendiri. Karena itu,
Ek-ong sudah lantas buru-buru berangkat ke Kota Raja, untuk
cegah pcmbunuhan itu..
Ketika Ek-ong baharu berumur dua puluh enam tahun tapi
dia telah jadi seperti jiwanya Thaypeng Thiankok, dia ada
pegang kekuasaan besar atas bala tcntara, namanya pun
kesohor di dalam dan di luar negeri. Wie Tjiang Hoei khawatir
kapan ia ketahui pangeran itu pulang; ia jadi dapat niatan
akan bunuh juga rekan ini. Beruntung buat Ek-ong, ia dengar
selentingan, malam-malam juga ia kabur, ia loloskan diri dari
Kota Raja. Tapi Pak-ong tak mau bekerja setengah jalan, dia
pun basmi keluarganya Ek-ong.
Ek-ong berjasa, dia terima nasib celaka itu, dia jadi gusar
dan mendongkol. Thian-ong khawatir Ek-ong gusar dan nanti
berontak, dia sudah lantas hukum mati pada Pak-ong Wie
Tjiang Hoei, tetapi di sebelah itu, ia pakai orang-orang yang
tak disukai Ek-ong, hingga perhubungannya dengan Ek-ong
menjadi renggang. Ek-ong ketahui ini, hatinya jadi tawar.
Maka di akhirnya, Ek-ong ambil putusan, dengan bawa
beberapa laksa serdadunya, ia mcninggalkan kota Kimleng, dia
menuju ke barat, untuk cari suatu pangkalan baru, untuk
berusaha sendiri, untuk bisa berdiri berendeng dengan
Thaypeng Thiankok, guna saling bantu.
Di harian Ek-ong berikan titah-titah unjuk, walaupun Thianong
keberangkatannya ke barat, Soekong Tjiauw menangis
sangat sedih, ia cegah tindakannya Ek-ong, ia menasihatinya
berulang-ulang. Ia menyia-nyiakannya, tetapi Thaypeng
Thiankok sendiri tak boleh kehilangan Ek-ong, bahwa
kepergian pangeran ini berarti memecah tenaga sendiri,
hingga gampanglah scsuatu dari mereka diserang rusak
tentara Boan. Mulanya, Ek-ong tertarik juga oleh nasihat itu,
akan tetapi di akhirnya, kepercayaan atas dirinya sendiri
demikian besar, hingga ia tak menghiraukannya. Tidak gentar
dia terhadap musuh Boan. Malah ia hunus pedangnya dan
sambil berbangkit, ia kata: ?Di dalam tentara Boan, yang
paling gagah adalah Saudara-saudaraTjan, tetapi mereka,
mendengar namaku hatinya rontok,
melihat bayanganku mereka lari simpang-siur! Kau lihat
nanti, dari Tionggoan aku akan menyapu ke Barat dan
Selatan, untuk meletaki dasar dan mendirikan usaha buat
laksaan turunan guna Thian-ong!?
Sampai di situ, Soekong Tjiauw tidak berani bilang suatu
apa pula, dia cuma berlinang air mata, laiu tanpa pamitan lagi,
dia pergi. meninggalkan raja muda itu.
Ek-ong berangkat ke barat, ia lakukan perjalanan laksaan
lie bersama beberapa puluh laksa serdadunya, tetapi akhirnya,
tepat kata-katanya Soekong Tjiauw, ia telah tidak bcrhasil.
karena tenaganya telah terpecah. Ketika ia hendak memasuki
Propinsi Soctjoan, tidak saja tentara di Kimleng terancam
bahaya, ia sendiri jadi semakin lemah. Tujuh tahun ia sudah
berperang, sembilan propinsi ia telah sampaikan ? ialah
Kangsee, Tjiatkang, Hokkian, Ouwlam, Kwiesay, Kwietang,
Koeitjioe, Ouwpak dan Soetjoan ? tenaganya jadi berkurang,
otot-ototnya lemah, di saat ia berada di Kali Taytouw-hoo, di
depan ia menghadapi tempat berbahaya, di belakang ada
musuh mengejar padanya. Di saat yang sangat mengancam
itu, sekonyong-konyong Soekong Tjiauw muncul pula di
hadapan Ek-ong; untuk menasihati raja muda ini bubarkan
tentaranya, untuk menyingkir sambil menyamar.
?Coba pikir, bagaimana Ek-ong bisa turut nasihat itu?? kata
Poei Hok Han sambil menghela napas pada muridnya. ?Itu
malam dengan pedang di tangan, aku damping! Ek-ong, aku
dengar pembicaraan mereka berdua.
Dengan keras Ek-ong kata: ?Aku bertanggung jawab atas
seluruh tentaraku, kewajibanku adalah berperang sampai
binasa, tak dapat aku menyingkirkan diri! Aku telah keliru
ambil jalan, aku telah bawa semua saudara ke tempat buntu,
maka aku mesti cari kehidupan dalam kematian, untuk
menerobos keluar!
Mana bisa aku bubarkan tentaraku untuk biarkan mereka
dikejar dan dibinasakan oleh bangsa Boan?
Khongtjoe toh bilang hams sempumakan
perikemanusiaan dan Bengtjoe mengatakan untuk pilih
kebijaksanaan. Semangatnya satu orang, di tempat berbahaya
itu mesti makin ternyata. maka dari itu, pasti sekali, tidak
nanti aku lari.
Untuk sekian lama, Soekong Tjiauw tak kata suatu apa,
adalah kemudian, dengan paksakan diri, ia bilang: ?Aku telah
keliru memberi nasihat. Karen a Ek-ong tak sudi menyingkir,
maka aku ingin temani Ek-ong binasa bersama.? Akan tetapi
Ek-ong larang ia bertindak demikian. Ek-ongmenyatakan:
*Kaudengan aku adalah lain. Aku ada kepala perang,
tanggung jawabku ada jauh terlebih berat daripada tugasmu.
Sudah pasti aku ingin binasa, kau sendiri tak dapat. Kau hams,
dengan tubuhmu yang berharga, selesaikan tugasmu yang
belum rampung.? Habis berkata demikian, Ek-ong loloskan
pedang
ulu!? ayah ini. ?Satu
anak tak boleh scmbarang potong perkataan orang tua.
Kau mengerti? Kau sudah berumur sembilan belas tahun, kau
tidak kecil lagi, setelah bertunangan, kau lantas jadi orang
dewasa! Apakah kau tidak mengerti ini? Kau lihat beberapa
tetamu kita itu? Mereka datang untuk jodohmu. Pihak
perempuan ada Keluarga Hoa. Aku sudah terima baik lamaran
mereka;??
?Kau sudah terima baik, Ayah?? Teng Hiauw tcrkejut.
?Keluarga itu ada keluarga berpangkat, kita dari kaum ahli
silat, adakah itu cocok??
Urat-urat di jidatnya pemuda itu sampai terlihat nyata,
tanda sibuk hatinya.
Dengan dingin Kiam Beng pandang puteranya itu.
?Apa jeleknya nona dari keluarga berpangkat?? kata ayah
ini. ?Mereka sendiri tidak cela kita, habis kau hendak memilih
yang bagaimana??
?Tetapi, Ayah,? kata anak itu yang menahan sabar.
?Bukankah Ayah sendiri yang pernah bilang pesan Engkong
adalah melarang kita menjadi orang berpangkatnya bangsa
Boan? Kenapa kita justru berbesan dengan orang Boan
sekali??
Kiam Beng menjadi tidak senang.
?Eh, kenapa kau tidak dengar aku?? ia menegur. ?Apa aku
perintah kau pangku pangkat dan bekerja untuk bangsa Boan?
Kenapa kau lancang bawa-bawa pesan Icluhur kita? Benar
dulu Keluarga Hoa itu pangkupangkat tempi sudah sejak
lama dia undurkan din? Dia pun, seperti Keluarga Soh, ad a
dermawan bukannya pcmbesar busuk! Kau tahu,
Keluarga Hoa hendak jodohkan keponakannya dan cabang
dekat, dan orang perantara ada Soh Kongtjoe.
Nona itu cantik, mengerti surat dan adat-istiadat, dia
pandai menjahit dan menyulam. menikah dengan nona itu,
apa kau tidak merasa beruntung??
Ayah itu mendelik, ia bersenyum tawar ketika ia
menambahkan: ?Kau suka kelayapan sama perempuan hutan?
Kau mcnycbut diri keluarga ahli sifat, habis apa kau hendak
cari nona tukang dangsu? Benar begitu??
Teng Hiauw tunduk, mukanya merah.
?Aku tidak menyebut demikian,? ia menyahut.
?Kau tidak memikir demikian, itu bagus!? kata sang ayah,
yang ketok mejadengan pelahan. ?Mcskipun kita ada dan
keluarga ahli silat, aku tidak menyetujui nona tukang dangsu.
Kau tahu. satu isteri mesti bijaksana dan tahu aturan, tetapi
nona-nona Kangouw melainkan pandai naik di atas tambang,
mcnunggang kuda, mainkan golok dan pcdang, tetapi megang
jarum, ia rasai itu terlebih sulit daripada mainkan golok besar.
Kau pikir, perempuan demikian dapat merawat suami??
Kembali ayahnya ketok meja, dengan sama pelahannya.
?Umpama cucu perempuan dan si orang tua she Kiang?? ia
kata pula.
Mendengar itu, Teng Hiauw kaget sekali. Ia menduga
ayahnya sudah tahu rahasianya. Tetapi ayah itu melanjuti:
?Kiang Hong Keng yang dipanggil Angie Liehiap setiap kali dia
muncul di udara tcrbuka! Satu nona iimur tujuh atau dclapan
belas tahun, kerjanya naik-turun kuda saja, dia berkeliaran,
dia main gagah-gagahan adu kepandaian dan bercidera
dengan orang, maka nona scmacam itu man a tahu kewajiban
satu isteri??
Teng Hiauw diam saja, sang ayah pun tidak
mcmperdulikannya, ayah ini telah tetapkan perjodohannya
hanya sejak itu, di samping meyakinkani ilmu silat, ia ingin
putera ini belajar juga ilmu surat, kelakuannya harus sedikit
diubah hingga jadi sedikit lemah-lembut, agar besannya tidak
katakan dia kasar dan nanti menertawainya.
Teng Hiauw ada sangat tidak setuju, ia tidak puas sekali. la
jadi mcrasa seperti terbelenggu. Memang, pendiriannya
dengan pendirian ayahnya itu sudah terpisah jauh jaraknya,
urusan perjodohan itu menambah kerenggangan. Ia pun tak
puas ayahnya mencela Hong Keng. Tapi berbareng dengan
itu, ia ingat si nona dan Tjoe Soesioknya, hingga kembali
bangkit rasa iri hatinya.
?Apakah si paman itu bukan tunangannya?? ia mendugaduga.
Pemuda ini terus tak dapat melupai Nona Kiang, walaupun
ia telah merasakan pahit-getir. Ia belum pikir akan punya si
nona, toh ia tak puas nona itu mempunyai ?orang di
dampingnya?. Ia pun tak perlu pikir si nona, karena ia sendiri
sudah ikat tali perjodohan.
Oalam keragu-raguannya, Teng Hiauw bicara sama Kim
Hoa, ia utarakan tak setujunya, tetapi soeheng itu tidak bisa
memberi pikiran baik untuknya.
Selang bebcrapa hari, Teng Kiam Beng sudah antar panjar.
Ia ?main terbuka?, hingga kaum ahli silat di Kota Pooteng
ketahui hal perangkapan jodoh itu atau ikatan besan, hingga
urusan itu jadi bahan pembicaraan, sedang Teng Hiauw turut
jadi buah kata-kata hingga dia jadi jengah sendirinya.
Dua hari kemudian, di waktu malam, sclagi Teng Hiauw
sukar pulas, oleh karena ruwetnya pikiran, tiba-tiba ia dengar
suara berkeresek di atas genteng, lalu itu disusul sama
terpentangnya daun jendela, sedang waktu itu tidak ada
angin. Tidak tempo lagi, ia loncat turun dari pembaringannya,
dengan sebelah tangan di depan dada, ia loncat kdluar dari
kamarnya.
Rembulan malam itu ada jdrnih, maka itu Teng Hiauw lihat
dua bayangan sedang bcrlari-lari, malahja kenali, yang di
sebelah belakang adalah seorang perempuan. Dua orang
itu
lari pesat, sebentar saja, mereka menghilang. Dengan pikiran
tak keruan, Teng Hiauw kembali kd kamarnya, tapi sekarang,
di atas mcjanya, ia nampak selembar kertas yang
ditusukjarum. Ia membaca:
?Langit ada luas, di manakan di dunia ini tidak ada rumah
? Apa satu laki-laki mesti tunduk dan mengandalkan kepada
lain orang??
Ternganga Teng Hiauw apabila ia telah membaca, terus ia
menjublek dengan pikirkan surat itu. Dalam ragu-ragunya itu,
ia ingat suatu apa, ia sepcrii orang tersadar dari tidurnya.
Segera ia ambil pedang Tanhong-kiamnya, ia kantongi uang
belasan tail perak. Ia pun mcnulis surat untuk ayahnya.
Akhimya, sambi I bawa satu buntaIan, ia keluar dari
rumahnya.
Dunia ada luas, pemuda ini hendak merantau!
Selagi udara ada terang, di jalanan dari Hoopak menuju ke
Hoolam, ada berjatan satu anak muda cakap umur delapanatau
sembilan belas tahun, pakaiannya indah tetapi binatang
tunggangannya ada seekor keledai yang kurus dan jelek
macamnya, hingga binatang tunggangan itu dan
penunggangnya sangat tidak tepat.
Pemuda itu adalah Teng Hiauw yang tengah melarikan din.
Yang belum punya pengalaman. Ia anggap merantau mcski
dandan pantas, tak boleh sederhana seperti di rumah, dari itu,
ia bekal dua perangkat pakaian.
Kctika ia memilih, ia justru kena jumput pakaian yang
ayahnya siapkan untuk pernikahannya nanti!
Baharu hari pertama, Teng Hiauw telah tcrbitkan buah
tcrtawaan. Ia jalan di siang hari, ia mesti jalan dengan
pelahan. Di tempat umum, dimana lalu-lintas ramai, ia tak
dapat jalan scparuh lari seperti di waktu malam, ia tak dapat
gunai ilmunya jalan keras ?Patpou kansian? dan ?Lioktee
hoeiteng?. Ia pun telah tidak ambil jalanan kecil. Ia memang
tidak tahu jalanan, ia melainkan tahu hendak menuju ke
Propinsi Hoolam untuk mengunjungi Thaykek Tan di Tankeekauw,
Hoaykeng. Ia mau cari ahli Thaykek-koen si she Tan itu,
untuk belajar silat, supaya ia bisa gabung kedua macam ilmu
silat asal satu golongan itu. Maka di sepanjang jalan, sabansaban
ia tanya orang, di mana letak Kota Hoaykeng.
Sebal Teng Hiauw akan jalan ayal-ayalan, ia cepatkan
tindakannya. Tidak merasa, ia telah jalan cepat sekali. Ia
membuat orang heran dan curigai padanya. Ketika ia
kebetulan lewati seorang polisi, ia segeradisusul. Ia disangka
ada satu penjahat pemburon, ia hendak ditangkap. Syukur ia
masih di luar Kota Pooteng, ketika ia menerangkan, ia ada
puteranya Teng Kiam Beng, ia tidak jadi ditangkap. Si orang
polisi sangka ia lagi yakinkan ilmu lari keras. Ia cuma
diperingari untuk jangan berlatih di jalan besar!
Itulah pengalamannya yang pertama. Yang kedua ia telah
ditolak oleh tuan rumah penginapan ketika ia singgah untuk
bemialam. Itu kejadian di malam pertama, tempo ia sampai di
satu kota kecil. Ia dandan perlente, tapi ia jalan kaki, mukanya
pun penuh debu, tuan rumah bercuriga ia ditampik dengan
alasan semua kamar sudah penuh. Ia jadi sibuk. Akhirnya
dengan ngodol dua tail, ia dapat sebuah pondokan kecil dan
jorok, makanannya tak keruan!
Di hari kedua, sesudah insyaf, Teng Hiauw memikir akan
cari binatang tunggangan. Ia pergi ke pasar, ia tanya harga
kuda. Ia dapat keterangan, kuda yang bagus ber harga tiga
puluh tail lebih, dan yang jelek, sedikitnya belasan tail. Ia
cuma bekal belasan tail, sudah dipakai beberapa tail, maka
sisa uangnya tinggal sepuluh tail lebih sedikit. Akhirnya, ia beli
seekor keledai, yang kecil dan kurus, yang macamnya tak
keruan.
Menunggang kcledai, Teng Hiauw merasa jemu. Baharu ia
jalan sepintasan, keledai itu sudah ngorong kelelahan.
Binatang itu bertindaknya Iambat sekali, hingga ia haus.
Kelcdainya pun ingin minum. Maka ia mampir di tempat ramai
yang pertama. Ia pilih rumah makan yang paling besar. Ia
baharu muncul didepan pintu, atau jongos, dengan al is
dikerutkan kata padanya: ?Menycsal, Tuan, di sini tidak ada
minuman. Di depan, Pengen-tin, ada sebuah kota besar. Lagi
tiga puluh lie, kau akan sampai di sana, dengan runggang
keledai, dalam tempo setengah jam, kau akan sudah
sampai?.?
?Kau buka rumah makan, kau tolak tetamu?? berseru Teng
Hiauw dengan mendongkol. ?Aturan apa ini? Apa kau kira aku
tidak punya uang??
Ia mcrogoh sakunya, ia segera menyodorkan dua tail
perak.
Baharu sekarang jongos itu bersikap manis, karena ia lihat
uangnya dan jerih juga. Ia mempcrsilakan tctamunya ke dekat
jendela.
?Tuan ingin minum apa?? bertanya ia dengan hormatnya.
Sebenarnya Teng Hiauw masih mendongkol, ia ingin umbar
hawa amarahnya, akan tetapi ia lihat banyak mata mengawasi
ia, terpaksa ia tenangkan diri.
?Arak apa pun boleh asal jangan yang keras,? ia jawab.
Jongos itu tertawa, ia menyuguhkan arak ?Tiokyap-tjeng?.
?Arak ini pasti cocok untuk Tuan,? kata ia.
Tiokyap-tjeng ada arak keluaran Henghoa-tjoen, Shoasay,
baunya harum dan rasanya menyenangkan, siapa minum itu,
tidak lantas pusing, hanya nanti, pelahan-Iahan. Dan Teng.
Hiauw merasa senang dengan minuman ini. Ia minum sambil
memandang lain-lain tetamu, hingga ia pun menarik perhatian
empat tetamu yang duduk di meja timur.
Satu tetamu yang berumur lima puluh lebih, yang dua
berusia tiga sampai empat puluh tahun, yang keempat
pemuda umur dua puluh lebih. Mereka bicara dengan lidah
Selatan dan Utara, hingga menjadi nyata, mereka bukan
berasal satu tempat. Pembicaraan mereka dicampur sama
kata-kata rahasia sebekal pedang.
Biar bagaimana, Teng Hiauw ada puteranya satu ahli silat,
tidak banyak, sedikit ia mcngcrti j uga kata-kata rahasia kaum
Kangouw, maka itu, ia tahu empat orang itu bicara tentang
suatu perkumpulan rahasia, perihal Kaum Pcmbcron lak
Rambut Panjang. Rupanya mereka itu hendak mencari orang.
Ia duga-duga, mereka ada or-ang-orang baik atau jahat,
jikalau mereka ada orang baik-baik, ingin ia bersahabat
dengan mereka itu. Ia baharu memikir, atau orang sudah
mendahului undang dia. Si orang tua bangkit bcrdiri dan
sambil melambaikan tangan, ia mengundang. ?Sahabat, mari
duduk bersama-sama kita.
Tanpa sangsi, Teng Hiauw menghampiri. Ia segera
dipersilakan duduk.
?Saudara, kau sebenarnya ada dari jalan mana?? tanya
orang tua itu. Ia maksudkan, pemuda ini ada orang gagah dan
mana
?Aku sedang bikin perjalanan,? sahu! Tcng Hiauw dengan
tercengang. la bingung dengan pertanyaan orang itu.
Dijawab secara bertentangan, orang
tua itu mengawasi.
?Saudara. jangan curiga,? kata ia
?Kita orang ada asal jalanan yang sama sumbernya. Aku
tanya kau, kau menjaga membuka merayap atau diatas
jalanan mcnggantung mereka? Kau membuka usaha secara
resmi atau membuka gunung mendirikan almari??
Teng Hiauw mendatangkan kecurigaan orang, maka juga
dia ditanya apa dia telah merampok di suatu tempai tertentu,
apa dia tidak pilih tempat, apa dia masuk anggota suatu
rombongan, atau dia Cuma bekerja, atau dia jadi kepala
sendiri.
Semua pertanyaan itu tidak dimengerti oleh orang she
Teng ini, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka itu,
ia menjadi bingung.
Si anak muda mengawasi, lalu ia tertawa. Ia pun tarik
tangan orang.
?Saudara Muda, kau rupanya baharu menginjak dunia
Kangouw!? kata ia. ?Looyatjoe, kita salah mata, dia
menyangka kau ada orang Kangouw yang ada asal-usulnya.?
Si orang usia pertengahan juga tertawa.
?Kau pun keliru!? ia kata pada sahabatnya yang muda itu.
?Saudara Muda ini, walaupun dia bukannya satu kaum
Kangouw ulung, mesti ada satu ahli silat kenamaan. Lihat
pedangnya. Itu, itu?.?
Dan dia merandek sendirinya. Ia hendak puji pedang itu,
tctapi pedang masih di dalam sarung, dia belum pemah lihat,
bagaimana dia dapat memujinya? Syukur, Teng Hiauw telah
sambungi ia: ?Bicara tentang ilmu silat pedang, aku mengcrti
Thaykek-kiam secara kasar-kasar, dari itu, aku bukannya satu
ahli silat kenamaan. Tjoewie Tjianpwee sendiri tentu ada ahliahli.?
Teng Hiauw jadi suka bicara, karena ia lihat orang ada
manis budi, tidak galak sepcrti si orang she Kiang -
KiangEkHian.
?Eh, Saudara Muda,? tanya si orang
tua, ?kau sebenarnya
ada dari golongan mana??
Kembali pemuda ini melengak.
?Aku tidak masuk perkumpulan,? sahut ia.
Orang tua itu isikan cawannya, atas mana, Teng Hiauw
buru-buru menyambuti, ia hendak membilang terima kasih
tetapi si orang tua mendahului, katanya: ?Saudara, kendati
kita orang baharu bertemu, kita sudah sepcrti sahabat-sahabat
lama. Aku paling suka anak-anak muda yang gagah. Kita
kaum Kangouw mesti omong terus terang. Saudara, kau
mengcrti ilmu silat, biar kau bukan anggota perkumpulan, kau
mesti punvakan kaum. Orang toh tak bisakeluardari meledak,
bukan??
?Aku tidak tahu halnya perkumpulan,? kata Teng Hiauw,
yang berpura-pura pilon. Ia tidak curiga tetapi ia tak ingin
perkenalkan asal-usulnya. Dengan sebut nama ayahnya, ia
kuatir nanti tcrhina. Ia pun scdang buron, tak dapat ia buka
rahasia sendiri.
Orang tua itu keringkan cawannya sendiri. Ia lihat orang
sepcrti tak gembira bicara.
?Kendati kita baharu pertama bertemu, kita ada sepcrti
sahabat-sahabat lama,? orang tua ini kata pula kemudian.
?Tentu saja, kau curiga, Saudara, kau tidak berani lantas
omong terus terang. Umpama kau tidak memasuki sesuatu
perkumpulan, kau tentu ketahui halnya badan-badan
perkumpulan kaum Kangouw. Umpama Gichoo-toan, kau tahu
atau tidak??
?Aku tidak tahu,? sahut Teng Hiauw sambil goyang kepala.
?Toatoo-hwee?? , ?Tidak tahu juga.?
Orang tua itu meletaki cangkirnya dengan digabruki.
?Bcnar-benar kau pandang kita sebagai orang luar!?
melanjutkan ia ?Di mana ada seorang Kangouw yang tidak
jujur sepcrti kau? Giehoo-toan kau tidak tahu, Toatoo-hwee
kau tidak kenal, nah, kau scbutkanlah Sendiri, sebenarnya
perkumpulan Kangouw apa saja yang kau ketahui! Mustahil
kau tak mengetahui satu jua??
Teng Hiauw jadi berpikir.
?Aku mclainkan ketahui satu?? akhirnya ia jawab.
?Perkumpulan apa itu?? tanya si orang tua.
?Aku cuma ketahui Piesioe-hwee?? sahut si anak muda,
yang suaranya tak tegas.
Air mukanya si orang tua berubah.
?Oh, Piesioe-hwee?? kata ia. ?Siapa yang kau kenal dalam
kumpulan itu??
Pertanyaan ini membikin Teng Hiauw bungkam. Ia
menyebut Piesioe-hwee karena ia ingat itu setelah si orang tua
sebut Toatoo-hwee. Wajah si orang tua pun ada lain. Tentang
Piesioe-hwee ia tak tahu suatu apa, cuma dari Kim Hoa ia
dengar, itu ada satu perkumpulan rahasia
?Aku tidak kenal orang-orang perkumpulan itu,? ia berkata
kemudian. ?Aku pun dengar itu dari satu sahabatku. Katanya
dalam Piesioe-hwee ada satu pemuda dengan kepala sepcrti
kepala macan tutul, mukanya berewokan, dia pandai ilmu
pedang Thaykek-kiam.?
Orang tua itu lantas tertawa berkakakan.
?Benar-benar mataku yang tua tidak lamur!? berkata ia
dengan gembira. ?Kau memang bukan orang sembarangan,
Saudara!? Dan ia tunjuki jempolnya, ia suguhkan arak pula.,
Teng Hiauw bingung. Selagi ia tak tahu mesti berbuat apa,
ia lihat si orang tua tertawa dingin, lalu secepat kilat,
tangannya itu menyambar ke pundaknya hingga ia merasa
seperti digaet besi, sampai tangannya sesemutan dan lemas.
Dan belum ia tahu apa-apa. dua orang lain sudah keluarkan
borgolan dengan apa kedua tangannya terus dirantai!
Walaupun ia Jiehay, dalam keadaan seperti itu, selagi ia
bingung, Teng Hiauw lidak sempat berdaya. Sama sckali ia
tidak menyangkajelek. Ia ada scorang hijau untuk dun ia
Kangouw, scdang gcrakannya si orang tua ada luar biasa
tangkas. Tapi ia jadi tidak puas. ia mendongkol. Selagi Iainlain
retamu kaget dan heran, ia berseru: ?Eh, kawanan
manusia busuk, siauwya kau tidak bcrmusuh dengan kamu
scmua, ken apa kau orang tangkap aku? Lihat, hari ada
terang-bendcrang! Apakah kau orang tidak takuti undangundang
negara?? Si orang tua awasi pemuda itu 8t?l ketawa
dingin, kcmudian ia berpaJing pada Iain-Iain tetamu, yang
scmuanya terperanjat dan tcrcengang, i dcngan sabar ia
mcnyahuti si anak muda: ?Undang-undang negara? Looyamu
ini adalah undang-undang negara.?? Lantas ia lambaikan tuan
rumah di depan siapa ia beber surat kuasa atati surat titahnya,
sambil tambahkan: ?Kita semua telah ditugaskan Sri Baginda
Raja untuk bekuk kaum pemberontak, dan ini bocah adalah si
pemberontak! Dia minum arak di waning kau ini, kau juga tak
dapat lolos dari tanggung jawab, tetapi menampak romanmu,
kau 11ada sangkut paut dengan dia ini, kita suka memberi
ampun, kita tidak hendak bawa kau untuk diperiksa terlebih
jauh, akan tetapi lain kali kau mesti nyalakan api sedikit lebih
bcsar, supaya jika ada orang yang dicurigai, kau mcsti segera
laporkan itu kepada pembesar negeri!?
Dengan ?nyalakan api sedikit lebih besar?, diartikan awas
mata.
Menurut undang-undang Kerajaan Tjeng, siapa bcrontak,
dia akan terembet sampai pada tiga tingkat sanak-berayanya,
maka juga si tuan rumah, jongosnya, dan sckalian tetamu
lainnya, jadi jerih sekali. Begitulah tuan rumah, dia tidak
berani minta pembayaran uang arak dan makanan. Jongos,
yang tadi sambut Teng Hiauw, ingin bermuka-muka.
?Memang!? kata ia. ?Begitu melihat roman dia ini, aku
sudah curiga, tadi aku larang dia masuk tetapi dia memaksa!?
Teng Hiauw jadi lebih-lebih gusar. ?Setan alas!? ia mem
ben tak. ?Kau orang adalah si orang-orang jahat! Cara
bagaimana kau orang boleh tuduh aku? Terang kau orang
hendak memeras!?
?Memeras?? ulangi si orang tua. ?Apakah kau perlu
penjelasan? Piesioe-hwee ada perkumpulan rahasia
pemberontak paling jahat dan berbahaya, sesuatu anggotanya
yang kena ditawan, mesti dihukum mati, Sri Baginda Raja tak
akan bcrikan ampun lagi! Oh, bocah, kau masih mengharap
untuk hidup pula??.?
Si tua ini dengan getas tuduh pemuda itu ada anggota
Piesioe-hwee.
Mereka ini benar-benar ada orang-orang yang ditugaskan
menawan kaum pemberontak, tetapi mereka bukan
diwajibkan utama menumpas Piesioe-hwee, hanya Gichootoan.
Piesioe-hwee cuma main lakukan penyerangan gelap,
tidak demikian dengan Giehoo-toan, yang angkat senjata.
Giehoo-toan bercita-cita ?Hoetj?eng Hokbeng? - merubuhkan
Kerajaan Tjeng untuk membangunkan pula Kerajaan Bcng,
dan juga mcmbela rakyat jelata, korban sewenang-wenang
pembesar-pembesar negeri. Adalah tadinya, terang-ferangan,
Giehoo-toan masih diperlakukan mirip Piesioe-hwee.
Itu sampai empat orang adalah orang-orang kepercayaan
Kioeboen Teetok dari Pakkhia yang dipcrbantukan pada
Socnboc Lie Peng Heng dari Shoatang, kepada Tjongtok Djoe
Lok dari Titlee, dan kepada Soenboe Thio Lie Bwee dari
Hoolam, untuk cari orang-orang Giehoo-toan. Teetok itu
memang lepas banyak orangnya, maka mereka ini, yang
bekerja sama dengan orang-orang setiap propinsi sendiri,
merupakan seteru hebat bagi pergerakan kebangsaan itu.
Tempat tugas dari empat orang itu adalah daerah Kota
Anpeng.
Si orang tua ada Tjiauw Tiong Yauw, keutamaan ilmu
silatnya ada ?Thongpie-koen? atau ?Menembusi Lengan? serta
sedikit Tiamhiat-hoat Tiga yang Iain ada kawan sekerjanya,
yang pandai loncat tinggi. Mereka pun mengerti kata-kata
rahasia kaum Kangouw. Setiap mencari tahu tempat musuh,
atau lantas membekuk anggota-anggota Giehoo-toan yang
berkeliaran.
Tjiauw Tiong Yauw mengerti, Teng Hiauw ada scorang
hijau, tetapi karena pemuda ini menyebut-nyebut Piesioehwee,
perkumpulan yang sangat dirahasiakan, serta
menghunjuk juga anggota Piesioe-hwee yang pandai Thaykekkiam,
ia jadi curiga juga. Anggota Piesioe-hwee yang
dimaksud, yang berkepala sebagai kepala macan tutu I,
adalah Law Boe Wie, yang sedang dicari keras. Teng Hiauw
ketahui lukisan roman orang tetapi tidak tahu namanya, sebab
Kim Hoa, dari siapa ia perolch keterangan. tidak menyebutnya.
Iadisangka ada punya hubungan sama Boe Wie, dari itu, ia
lantas ditawan. Itulah sikap umum dari orang-orang polisi ini.
yang berpokok: ?Lebih baik kcliru bunuh seratus rakyat jelata
daripada melepas lolos satu penjahat?.
Demikian Teng Hiauw yang apes, sia-sia ia memprotes,
orang tidak gubris padanya. Tiong Yauw berempat terus
minum araknya. sampai kemudian, di jalan besar, debu
tertampak mengebul, kuda menerbitkan suara berisik dengan
suara dan tindakannya. Itulah scpasukan tentara penumpas
pemberontak, yang datang ke arah tujuannya, dengan di
sepanjang jalan melakukan penangkapan kepada rakyat jelata
yang disangka.
Opsir yang mengepalai pasukan itu girang bukan main
apabila Tiong Yauw melaporkan dapat dibekuknya satu
anggota Piesioe-hwee.
Seiagi hamba negeri itu mclanj uti perjamuannya, ke dalam
rumah makan itu ada benindak masuk satu tetamu. Entah
bagaimana, dia masuk tanpa menarik perhatian siapa juga,
kecuali sesudah dia berada di depannya Tiong Yauw dan si
opsir beramai. Ketika itu, rumah makan seperti terkurung
tentara, meski benar sekalian serdadu sedang beristirahat dan
bcrpencaran.
Orang ini berumur hampir empat puiuh tahun, alisnya
kereng, matanya bersinar. Teng Hiauw pun tidak perhatikan
orang ini, karena ia sedang repot dengan dampratannya,
sebab ia sangat mendongkol atas periakuan orang-orang polisi
rahasia itu. ia baharu berpaling, untuk melihat, kapan ia
dengar ada serdadu yang menegur dengan keras: ?Kau siapa?
Kenapa kau lancang masuk kemari?
Kau tak tahu aturan??
?Aturan apa sin?? balik menanya tetamu itu, sikapnya
sabar luar biasa. ? dirumah makan, sesuatu orang dapat
memasukinya! Looya bisa datang kemari, mustahil aku tidak??
Itulah suara, yang Teng Hiauw kenali, hingga ia terkejut,
apabila ia (liat romannya, ia heran bukan main! Dia segera
kenali orang yang Angje Lichiap si Nona Baju Merah, panggil
?Tjoe Soesiok?, yang pernah tempur ia sendiri!
Ketika putera Teng Kiam Beng pandang orang baharu itu,
dia pun justru menoleh, hingga empat mata jadi bentrok
sinamya. Dia itu agaknya tcrpcranjat. Dia maju dua tindak,
mendekati, scraya berseru: ?Ah, Piauwtee! Kau kenapa?
Kenapa orang
telah pakaikan kau ini macam barang
pwrmainan??
Orang itu menyebutkannya borgolan scbagai barang
pcrmainan.
Teng Hiauw pun tercengang, karena tahu-tahu ia dipanggil
piauwtee, adik misan. Tapi, sebelum ia sempat menyahut,
kawan-kawannya Tjiauw Tiong Yauw sudah hunus golok dan
Thie-tjio mercka. Mercka maju menghalangi orang itu dekati
lebih jauh si anak muda, hingga orang itu mundur sendirinya
agaknya dia kaget dan tercengang.
?Dia tentu bukan orang benar, tangkap padanya!? berseru
si orang tua.
Dan dua kawannya sambuti seruan itu: ?Jangan kau
melawan!?
Teng Hiauw tahu orang itu liehay, ia percaya, pertempuran
hebat bakal mengambil tempat. Akan tetapi, dugaannya
meleset. Orang itu tidak melawan, dia malah angsurkan kedua
tangannya. Dia cuma bilang: ?Aku tidak tahu suatu apa, harap
Looya semua berlaku baik, untuk tidak bikin aku
bersengsara?.?
Dcmikian, dengan jinak, orang itu kena diborgol.
Teng Hiauw mendongkol bukan main, sekarang terhadap si
tetamu.
?Manusia ini cuma pandai berjumawa terhadap angkatan
muda,? pikir dia. ?Di muka hamba negeri, dia begini bernyali
kecil! Cis, aku tadinya sangka dia ada satu enghiong!?
Sesudah ditawan, si orang baharu lantas dipcriksa. Ia akui
bahwa Teng Hiauw itu ada adik misannya, bah wa mereka
berdua baharu saja masuk menjadi anggota Gichoo-toan.
Anggota Giehoo-toan disebut ?koenbin? artinya ?rakyat
Pahkoentauw?.
Orang tua itu dan si opsir tentara tertawa berkakakan.
?Kau lihat, bocah!? kata mereka pada anak muda kita.
?Scjak tadi kau berkepala batu, kiranya kau benar-benar orang
Giehoo-toan! Dan kau pun ada orang Piesioe-hwee yang
buron!? Kemudian, ia terusi pada si Tjoe Soesiok: ?Kau ada
seorang jujur, di depan Tiekoan nanti, kau pasti akan dapat
keringanan?.?
Bcrtambah-tambah gusamya Teng Hiauw, hingga dia
mendamprat si ?Pamah Tjoe? itu, yang dia katakan
pengkhianat kawan. Toh dia tidak tahu, siapa namanya orang
ini, dia cuma umbar hawa amarahnya, karena mana, dia tak
dapat piljh kata-kata.
Orang tua itu tak ambil perduli ia dicaci kalang-kabutan, ia
tunggu sampai si anak muda sedikit redah amarahnya, lain
dengan tawar ia kata: ?Piauwtee, kau sabar sedikit. Siapa
suruh kita kena ditawan? Baik kita orang pasrah saja kepada
nasib-..?
Ia bersikap lesu, nampaknya ia harus dikasihani, iapun
mcnghela napas berulang-ulang.
Si opsir dan orang-orang polisi tertawa geli melihat
kelakuannya itu, ?engko dan adik misan? satu kepada lain,
mereka anggap sikap mereka lucu.
Lalu, tak lama kemudian, opsir ini dan empat orang polisi
rahasia itu berangkat meninggalkan rumah makan, mereka
giring dua orang tawanan itu, yang dicampur dalam
rombongan tawanan lain. Meraka ada bawa beberapa ratus
serdadu. Jumlah orang tawanan ada belasan. Tujuannya
rombongan ini ada Anpeng-hoe, Kota Anpeng.
Teng Hiauw tak dapat kendalikan diri, di sepanjang jalan,
sampai suaranya jadi serak, sampai ia tak mampu
mendamprat lebih jauh. Orang
telah ringkus ia di atas kuda.
Melainkan dengan sepasang mata tajam, ia awasi Tjoe
Soesiok, si Paman Guru she Tjoe itu.
Si opsir gembira sekali, ia puas telah dapat tawan orangorang
Giehoo-toan dan Piesioe-hwee dengan berbareng.
Sementara ltu, penduduk di sepanjang jalan pada ketakutan,
mcreka singkirkan diri bagaikan ayam kabur dan anjing
ngiprit?.
Barisan tentara ini jalan terus, ketika sang maghrib
mendatangi, mereka terpisah dari Kota Anpeng tinggal lagi
lima puluh lie. Waktu itu mereka berada ditanjakan Tjiasekkong.
Supaya bisa sampai scbclum malam, mereka jalan
dengan cepat, kuda mereka dicambuki berulang-ulang.
Tanjakan Tjiasek-kong ada seperti bukit tersusun. tanahnya
ada tanah merah. Di kedua tepi jalanan ada tumbuh pohon
kaoliang yang tinggi sependirian manusia. Tatkala itu, angin
meniup-niup, hingga pohon-pohon kaoliang jadi rebah bangun
bagaikan gelombang. Selewatnya tanjakan ini, jalanan rata,
dari situ, Kota Anpeng sudah bisa terlihat.
Selagi barisan serdadu ini Icwati tikungan di kaki puncak,
dari scbclah atas, antara pepohonan lebat, ada terdengar
suara orang tertawa, yang disusul sama suara tindakan kaki
yang nyata, kemudian kelihatan munculnya satu orang
mcndckati umur empat puluh tahun. yang dandan sebagai
satu anak sckolah. Mahasiswa ini bcrsikap anch. Bcberapa
tumbak lagi akan sampai di depan serdadu-serdadu berkuda,
yang jalan paling depan, mendadakan ia angkat kedua
tangannya, ia rangkap itu, untuk
memberi hormat, sedang dari mulutnya segera terdengar
kata-kata| yang berirama nyanyian, katanya: ?Jalanan ini
adalah aku yang buka, gunung ini adalah aku yang rawatj
maka itu siapa berlalu-lintas di sini, dia harus membayar uang
sewa jalan!? Habis itu, dengan kipasnya dia tunjuk pasukan
tentara sambil berseru: ?Hayo, berhenti!?
Opsir pemimpin tentara itu menjadi heran, mau atau tidak,
ia berhenti. Ia tahu, melainkan tentara yang menawan
berandal, tidak ada begal yang sebaliknya minta uang sewa
jalan dari tentara. Dan herannya pula, orang ini cuma
bersendirian. Orang ini bertingkah-laku mirip orang
edan
daripada satu penjahat.
?Hci, orang otak miring, lekas minggir!? kemudian ia
berseru. ?Atau nanti aku bekuk padamu untuk dibawa ke
kantor negeri!?
Dia anggap orang itu edan, dari itu, dia cuma menggertak.
Anak sekolah itu tak perdulikan bentakan, ia berdiri diam.
Opsir itu menjadi heran, dari menggertak saja, ia jadi ingin
buktikan gertakannya itu, akan tetapi selagi ia hendak
membuka mulut, untuk berikan titahnya, Tjiauw Tiong Yauw
sudah dului ia.
?Tongtay, awas, jagalah orang-or-ang taw an an kita!?
berseru orang tua ini, si orang polisi. Dia bermata tajam,
segera ia duga, si anak sekolah bukannya orang edan?. Dia
pun sudah lantas keprak kudanya maju ke depan.
Baharu orang polisi ini berseru atau si Tjoe Soesiok, orang
yang masuk ke restoran untuk scrahkan diri dibelenggu, telah
berseru juga, suaranya bagaikan harimau menggcram,
menyusul mana, dia telah gcraki kaki dan tangannya, hingga
dalam sekcjab saja, rantai-rantai borgolan pada putus
terkutung beberapa potong, hingga berbareng dengan
kemerdekaan dirinya, dia mcncelat dari atas kudanya,
bagaikan kilat saja, segera ia sampai di atas kudanya Teng
Hiauw, tatkala ia gunai kedua tangannya, juga tambang yang
mengikat si anak muda pada terputus semua, sesudah mana,
lebih jauh ia bikin putus semua rantai belengguan.
Serdadu-serdadu pengiring sementara itu, walaupun
mereka terkejut, sudah lantas bergerak, untuk menyerang,
guna melakukan penangkapan.
Tjoe Soesiok itu tak jcrih akan ancaman barisan serdadu
itu, malah dia mendahului menerjang, hingga dengan
gampang, dia dapat rampas dua batang golok. Dia bermaksud
lemparkan sebatang golok kepada Teng Hiauw, untuk ini anak
muda, turut tindakannya, akan tetapi kapan ia menoleh, dia
tampak anak muda ini, yang sudah mcrdeka, baharu saja
berhasil toyor rubuh si opsir, tombak siapa ia sambar dan
rampas, hingga dengan senjata di tangan, ia bisa layani
serangan.
Pada waktu itu, si anak sekolah pun sudah turut beraksi,
akan cegat sejumlah serdadu, yang hendak mclarikan diri,
karcna hati mereka gentar sendirinya.
Komandan barisan itu, yang bcrpangkat tongtay, menjadi
sibuk sekali atas kejadian itu yang tidak disangka-sangka. Dia
duduk di atas seekor kuda besar, senjatanya sebatang golok,
dia lantas saja berseru, untuk kendalikan barisannya.
Tjoe Soesiok lihat aksinya pemimpin tentara itu, ia hendak
merintangi, untuk ini, ia berlompat tinggi dan jauh, guna
menghampirkan. Ia telah gunai loncatan ?Ithoo tjiongthian?
atau ?Seekor burung hoo serbu langit?.
Selagi Tjoe Soesiok beraksi berbareng dengan si anak
sekolah dan Teng Hiauw juga, kin dan kanan jalanan, di
sawah kaoliang, mendadakan timbul pekik riuh-rendah,
pohon-pohon kaoliang segera bergerak bagaikan gelombang.
Di situ muncul dengan tiba-tiba serombongan besar orang,
yang kepalanya semua dilibas pelangi kuning, yang tangannya
pada bergegaman, mereka ini maju sambil berseru-seru.
Mereka adalah koenbin atau pemberontak Giehoo-toan!
Tjoe Soesiok telah sampai di depannya si tongtay, selagi
dia ini terkejut, karena melihat barisan tcrsembuny! dari
musuh, tidak tempo lagi, dentgan ?Pektjoa touwsin?atau ?Ular
putih muntahkan bisa?, ia menikam, gerakannya sangat cepat
Tongtay itu terperanjat, dia kidut kudanya, untuk berlompat,
dengan goloknya, dia menangkis Akan tetapi si Tjoe Soesiok
ada sangat gesit, ia lompal ke samping, untuk berkelit, lain
dcngan enjot tubuhnya, ia loncat tinggi ke belakang kuda
sambil goloknya dipakai membabat dengan gerakan ?Ganlok
pengsee? atau ?Burung belibis turun di pasir datar?. Tongtay
itu belum sempat memutar tubuh atau berkelit,
senjatanya juga tak sempat diputar, tahu-tahu batang
lehernya sudah terbabat kutung. sambil muncratkan darah
hidup, kepalanya terpental jatuh, menyusul mana, tubuhnya
rubuh dari kudanya!
Sekalian serdadu Boan yang melihai itu menjadi kaget, hati
mereka menjadi ciut, tanpa ayal lagi, mereka berebut lari
serabutan.
Berbareng waktu itu, Tjiauw Tiong Yauw sudah tempur
simahasiswa yang memegat jalan mereka. Dia ada bersama
dua kawan, yang berusia pertengahan. Mereka ini ada boesoe,
guru silat dari kantor tjongtok di Titlee. Mereka gusar sekali
melihat serdadu mereka, yang terdiri dari beberapa ratus jiwa,
sudah angkat kakj, maka itu, mereka segera maju, akan
terjang Tjoe Soesiok. Senjata mereka masing-masing ada
golok sebatang, Tan-too dan Thie-tjio.
Tjoe Soesiok tertawa besar apabila ia lihat ia diterjang dari
kedua pinggiran. Ia tampak datangnya Thie-tjio terlebih
dahulu, sambil lompat ke samping, ia menyambuti, akan babat
lengan.
Penyerang itu lekas-lekas tank pulang tangannya, untuk
luputkan bahaya.
Setelah membabat dengan tidak bcrhasil, Tjoe Soesiok
lanjuti ayun goloknya, untuk tangkis serangan golok dari lain
musuhnya, yang sudah terus serang ia, maka segeralah ia
layani dua musuh itu. la bcrlaku gesit. Meski demikian, ia
masih gunai tempo, akan diam-diam link kawan-kawannya.
Teng Hiauw sedang me layani si anak muda yang menjadi
kawannya Tjiauw Tiong Yauw.
Kacau adalah pertempuran di antara barisan kocnbin
dengan tcntara negeri, yang belakangan ini banyak yang
kabur, tapi yang scbagian besar berkelahi dengan sengit,
hingga Tjiasek-kong menjadi satu medan pertempuran.
Teng Hiauw mengerti ilmu berkelahi tangan kosong lawan
senjata tajam, akan tetapi dia tidak sepandai si Tjioe Soesiok.
Dia pun malu, karena sebagai keluaran dan putcra ahli
Thaykek-kocn, dia mcsti ditolongi orang tak dikenal itu. Tapi
dia penasaran, dia tidak mau kalah, maka itu, dia sudah
terjang si opsir dan rampas tombaknya ia itu seraya orangnya
pun dibikin rubuh. Dengan tombak itu, ia lantas terjang
tentara negeri. Ia lagi panas hati, ia ngamuk dengan hebat.
Bcbcrapa serdadu lantas saja rubuh terpel anting.
Sedangnyaia sengit, tiba-tiba sambaran angin datang dari
belakangnya. Ia tahu, ada serangan datang, berbareng
menoleh, ia menangkis ke bclakang.
Kedua senjata bentrok dengan kcras, si penyerang Ioncat
mundur, apabila ia sudah lihat nyata, iakenali si pembokong
sebagai si anak muda kasar di rumah makan. Ia lantas balas
menycrang, walaupun tak biasa ia menggunai tombak.
Scsudah beberapa jurus dikasih lewat, hatinya Teng Hiauw
menjadi tetap. Di dalam hatinya, ia kata: ?Kiranya begini saja
pertempuran di kalangan Kangouw?. Aku tadinya sangka
semua orang mesti liehay seperti Tjoe Soesiok ini?.? Ia pun
lantas lihat kckurangannya sendiri dan bagian-bagian yang
liehay dari musuh itu, yang menggunai pedang, senjata
pendek yang memerlukan kegesitan. Lekas sekali ia mengerti
bagaimana harus melayani musuh ini. Dcmikianlah ia gunai
ilmu tombak Thaykek-tjhio Djicsiesie, yang terdiri dari dua
puluh empat jurus. Ia bersikap tenang, hingga cepat sekali, ia
berada di atas angin.
Di pihak lain, Tjiauw Tiong Yauw yang garang telah kena
dibikin bemapas senin-kamis oleh si anak sekolah. Senjatanya
yang belakangan
?ni adalah kipas Siauwkim-sie itu, yang terbuat dari baja,
yang kedua tepinya tajam sekali, hingga kipas itu dapat
digunai sebagai piehiat-kwat, penotok jalan darah, dan
pedang Ngoheng-kiam, terutama sebagai aiat mencari tiga
puluh enam jalan darah.
Tjiauw Tiong Yauw telah berfatih beberapa jntfuh tahun
akan tetapi dia masih belum tahu ilmu silat kipas ini. toyanya
Tjiebie-koen kesohor untuk dua Propinsi Titlee dan Shoatang,
sedang ia pun pandai pukulan ?Tongpie-koen?, kekuatan
kcpalan. akan tetapi, sesudah berfempur tig apuluh jurus, ia
kewatahan menghadapi si sioetjay itu. Ia jadi penasaran dan
gusar berbareng kuatir, ia jadi sibuk sendirinya, maka itu di
akhirnya, ia mendak, ia berseru, ia mengumpulkan tenaga
kepalannya pada toyanya, untuk menyambar pinggang lawan
dengan diterusi menyapu kaki!
Anak sekolah itu tertawa panjang.
?Ha, segala kepandaian tikus dan rase diperlihatkan
bagaikan sang kunyuk!? kata ia secara mengejek. ?Sayang
sakuku kosong-melompong, hingga aku tak punya uang untuk
dipersenkan! Jikalau kau bcrlompat pula, aku nanti hajar
padamu, jikalau tidak, aku akan menonton saja! Hayo, kau
berlompat atau tidak??
Lucu mahasiswa ini selagi bertempur, dia masih bergurau.
Memang juga, ilmu ?Tongpie-koen? dari Tjiauw Tiong Yauw
bergerak-gerak scperti gcrakgeriknya monyet, terutama selagi
ia loncat, ia mirip kunyuk. Tentu saja ia sangat mendongkol
dipermainkan secara demikian, tetapi ia cuma jadi makin
mendelu, karena semua serangannya tidak memberikan hasil.
Si sioetjay adajauh terlcbih gesit daripada dia, tubuhnya
melesat-lesat luput dan toyoran atau paparan toya. Jangan
kata orang purrya tubuh, bajunya saja tak pernah kelanggar.
Kalau Tiong Yauw makin lama jadi makin kecil hatinya,
sebaliknya, si sioetjay jadi makin mantap, kipasnya
semakinjadi bcrbahaya. Karena jaga diri, supaya jalan
darahnya tidak sampai kena ditotok, Tiong Yauw sampai
keluarkan keringat dingin.
Kekuatirannya memuncak apabila ia dapati kenyataan,
barisannya kena dikurung pasukan liar dan? musuh.
Diakhirnya, sambil putar tubuh, ia gunai gerakan ?Lauwsie
poankin? atau ?Pohon tua terbongkar akarnya?, untuk
membabat ke bawah, lalu di saat musuh loncat, untuk
luputkan diri, ia pun loncat mundur, guna angkat langkah kaki
panjang.
Si sioetjay liebay sekali, ia rupanya bisa duga maksud
musuh, selagi musuh loncat, ia pun loncat lebih jauh, ke
sebelah depan, hingga di lain saat, ia sudah mendahuiui
berada di depan musuh itu, untuk memegat, kipasnya terus
menotok kepada jalan darah ?Hoakay-hiat?. Tjiauw Tiong
Yauw terponggok.
sampai ia tak sempat menangkis atau mengelakkan diri,
tidak ampun lagi, ia mcnjcrit, jeritannya disusul sama
rubuhnya tubuhnya, yang rubuh terlentang.
Sesudah rubuhkan musuh, si sioetjay tidak hampirkan
musuh itu, untuk melanjuti serangannya, sembari tertawa
mengejek, ia hanya loncat ke belakang, akan serbu tentara
musuh. Celaka adalah Tjiauw Tiong Yauw, dia rubuh dalam
kekalutan, tidak ada satu serdadu jua, yang maju untuk
menolongi dia, rnaka, di antara injakan banyak kaki serdadu
dan serdadu koenbin, ia mesti kehilanganjiwanya. Si sioetjay
sudah lantas dekati orang
yang dipanggil Tjoe Soesiok itu,
selagi dia ini menyerang hebat dengan goloknya, hingga
goloknya merupakan bundaran perak. Dengan ini cara, Tjoe
Soesiok bikin repot kedua orang yang kepung dia, yang duaduanya
ada orang-orang polisi kesohor, hingga dalam tempo
yang lekas, ia bikin dua musuh itu jadi jerih. Dengan satu
tanda, mereka itu mcncoba tinggal kabur musuh yang Iichay
ini. Tjoe Soesiok itu sebaliknya mendesak semakin keras.
Musuh yang bersenjatakan Thie-tjio mau pakai senjata
yang berat itu akan tekan goloknya Tjoe Soesiok, sesudah itu
ia hendak loncat kabur, akan tetapi Tjoe Soesiok yang cerdik
tidak mau kasih goloknya kena dibikin tak berdaya, selagi
goloknya diketok keras, ia justru ke bawahkan itu, lalu ia
putar, akan dipakai balas serang lengan orang dengan tipu
pukulannya ?Poattjo simtjoa? atau ?Keprak rumput untuk cari
ular?.
Musuh yang bersenjatakan golok melihat kawannya
terancam bahaya, dalam sibuknya, dia loncat, dia serang
orang punya batok kepala. Hebat serangan ini, karena ia gunai
pukulan ?Lekpie Hoa-san? atau ?Dengan sekuat tenaga
menggempur Gunung Hoa-san?. Ia pun harap, dengan
serangan separuh mcmbokong itu, ia bisa rubuhkan musuh.
I tulah serangan sangat bcrbahaya. Akan tetapi, melayani
dua musuh, Tjoe Soesiok telah berlaku waspada, terutama
untuk scrangan-scrangan gelap. Melihat datangnya golok, dia
loncat berkelit, dengan tipu ?Yantjoe tjoanin? atau ?Burung
walet tembusi awan?. Bcgitu rupa ia berloncat, sebat sekali,
tetapi tak kalah gesitnya ketika ia turun, sebelum orang
sempat perbaiki diri, sembari turun, goloknya dipakai
menyambar. Kesudahan dari ini ada sangat hebat, karena
sebuah leher putus dan sebuah kepala terlempar jatuh dan
darah menyemprot!
Kagetnya musuh yang bersenjatakan Thie-tjio itu bukan
main, hatinya scperti hancur, tidak berayal lagi, ia loncat,
untuk angkat kaki. Tapi ia baharu menyingkir beberapa tindak,
tatkala di depannya, ia lihat seorang mendatangi sambil
berseru: ?Ke mana kau hendak kabur?
Di sini aku!?
Dan orang itu belum sampai atau serupa benda mendahuiui
ia, benda hitam, yang menerjang orang dengan gegaman
Thie-tjio itu. Dia ini kaget, belum sempat dia menangkis, atau
berkelit, benda itu sudah mengenai tubuhnya, yang telah kena
tertotok, maka segera ia rubuh seperti Tjiauw Tiong Yauw
yang buruk nasibnya.
Sesudah rubuhkan musuh yang mau kabur ini, orang itu
hampirkan si Tjoe Soesiok seraya bcrkata sambil tertawa:
?Untuk rubuhkan dua musuh tak punya guna ini, kenapa kau
sia-siakan begitu banyak tempo?? Tjoe Soesiok itu tertawa.
?Manusia jail, jangan adu mulut di sini!? ia mcmbentak. ?Kau
gunai senjatamu yang tepat dan aku senjata sambaran!?
Sehabis menjawab demikian, ia tank tangan orang.
?Mari aku ajak kau tengok satu pemuda Kangouw!? kata ia.
Pada waktu itu, pertempuran di antara Teng Hiauw dan si
anak muda, yang mukanya hitam, sudah mulai perlihatkan
tanda-tanda keputusan. Pedangnya si muka hitam liehay,
tetapi dia kewalahan melayani tombak Teng Hiauw yang
ujungnya menyambar-nyambar seperti tak hentinya, cepatnya
luar biasa, sampai orang repot bukan kepalang, hingga dia
seakan-akan kena dikurung.
Pertempuran itu berjalan cepat. Sang Batara Surya sudah
mulai doyong ke barat, terus selam di ujung gunung, hingga
cuaca sore menjadi gelap. Tapi pertempuran mesti
dilanjutkan, karcna tentara negen, daiam kekalahannya. masih
terus melakukan perlawanan. Maka itu, lentera Khongbengteng
lantas dinyalakan.
Barisan kuda pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam
pertempuran malam iru, karena di bokit, di tanjakan. pihak
koenbin mengadakan dua pasukan lain, dalam dua rombongan
tersembunyi, yang mcnggunai anak panah, hingga setiap kali
pasukan negeri hendak mcnerobos, saban-saban mereka
dipukul mundur hujan busur.
Biasanya tentara negeri melakukan penangkapan dengan
mengandali jumlah yang besar, akan tetapi sekarang mereka
ketemu tandmgannya, dengan ccpat semangat mereka
tergedor, apapula dari sana-sini Iantas terdengar teriakan
anjuran: ?Menakluk! Lekas menakluk!?
Tjoe Soesiok teiah dapat rampas seekor kuda, ia naik ke
atasnya, ia keprak kudanya itu Ian mondar-mandir seraya ia
serukan berulang-ulang: ?Saudara-saudara tentara
negeri,lekas letaki senjata! Buat apa adu jiwa untuk
pemerintah asing? Bukankah kau orang semua ada rakyat
jelata? Jangan jual jiwamu untuk pemerintah, jangan tolol!
Lekas letaki senjata! Man bekeria sama-sama kita, untuk hidup
bersama, sama rata sama rasa!?
Seruan itu teiah memberikan hasil baik, tidak antara lama,
pertempuran benar-benar berhenti, waiaupun| dengan
pelahan-lahan, hingga di lain saat, beberapa ratus serdadu
Boan itu tidak beraksi lagi.
Si anak muda muka hitam kaget ketika ia dengari teriakanteriakan
menganjuri pihaknya meletaki senjata dan menyerah,
ia berkuatir, dalam sibuknya, ia coba menyerang dengan
hebat, dengan ilmu pedangnya ?Patsian-kiam? atau ?Pedang
dclapan dewa?. Dengan ilmu itu, beberapa kali dia
bcrlompatan, bergulingan, pedangnya saban-saban menikam
dan mcmbabat.
Teng Hiauw repot juga mclihat perubahan scrangan orang
itu, dengan tcrpaksa, ia mclayani tak kurang gesitnya, sambil
bcrkelit ke kiri dan ke kanan, tombaknya pun saban-saban
melakukan serangan pembalasan, malah satu kali, ujung
tombaknya menikam iga kanan orang. Si muka hitam kaget, ia
berkelit dengan melejit ke kiri, di sini dengan gerakan
?Thaypeng tjiantjie? atau ?Garuda pentang sayap? dia balas
membacok ke bebokong lawan nya.
Teng Hiauw bisa duga serangan orang itu, ia Iantas gunai
akal. Ia maju dengan lompatan ?Koaybong hoansuTatau ?Ular
nagajumpalitan?, ia sengaja bikin musuhnya menyerang ia
dengan hdti besar, tapi lalu dengan mendadakan, ia mcncelat
ke samping, tombaknya turun selagi pedang musuh lewati ia,
tidak tempo lagi, ia kena hajar pedang itu dengan keras sekali,
tak ampun lagi, cekalannya si hitam terlepas, pedangnya
terlempar beberapa tumbak jauhnya!
Kejadian itu membuat si muka hitam kaget, akan tetapi dia
tidak lompat, untuk lari, sebaliknya, dia berdiri diam, sambil
merangkap kedua tangannya, dia berseru: ?Aku menyerah!
Terserah, kau boleh bikin apa kau suka!?
Teng Hiauw telah bekerja terus meskipun ia sudah pukul
jatuh pedang musuh, ia geraki pula tombaknya, untuk
menikam. Gerakan nya ini ada berbarengan dengan seruannya
si pemuda muka hitam itu, tidak heran kalau ada sulit untuk ia
menahan tikamannya. Di saat yang sangat genting itu,
mendadakan ada orang berlompat dari belakang, seperti
burung melayang, tangannya menyambar, tiga jarinya
menotok nadi kanannya, atas mana sekejab saja, tombak di
tangannya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah.
Kaget dan heran adalah perasaannya Teng Hiauw itu
waktu, lengannya pun sesemutan, seperti mati, tetapi ia masih
dapat loncat, untuk memutar tubuh, hingga ia dapat melihat,
siapa orang yang membokong ia.
Penyerang dari belakang itu, sambil tertawa, kata padanya:
?Adalah aturan kita, musuh yang sudah menyerah, tak
dapat dibinasakan jiwanya!?
Dan ia kenali, orang itu adalah orang
yang dipanggil si
Nona Baju Merah panggil ?Tjoe Soesiok?! lalah orang yang akui
dia sebagai piauwtee, adik misan! Ia tercengang, ia malu
sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah.
?Tjoe Soesiok, aku tak tahu aturan itu?.? kata ia,
kemekmek, dan tanpa merasa, ia ikut-ikutan si nona
memanggil Tjoe Soesiok, Paman Guru Tjoe?.
Tjoe Soesiok tertawa pula. ?Seharusnya kau panggil aku
piauwhia!? kata ia, sambil tertawa pula. ?Dan sekarang kau
nistjaya tak dapat katakan aku menjual sahabat?.? Teng
Hiauw tertawa meringis. ?Sebenamya aku tak tahu Soesiok
ada orang macam apa?.? iaakui. Dan ini ada hal yang
sebenar-benamya.
Tjiasek-kong teiah menjadi sunyi dan tenang karena
berhentinya pertempuran, kecuali bergeraknya orang dan
kuda, dari tentara Giehoo-toan, sebab dari garis kedua dan
ketiga, di mana orang teiah menyalahkan lentera Khongbengteng,
semua serdadu koenboen mendatangi dan merubungi
Tjoe Soesiok itu.
?Tjong-tauwbak, banswee!? tiba-tiba semua serdadu itu
berseru. ltulah bcrarti: Hiduplah Tjong-tauwbak! Seruan itu
bergemuruh keras sekali.
memecahkan kesunyian. Tiba-tiba dari dalam rombongan
tentara itu loncatkcluarsatu orang siapa sambil berlari-lari
menghampirkan Tjoe Socsiok itu. Apabila ia sodah datang
dekat, ia lantas member, hormat dcngan tekuk lutut sebelah
kakmya. Itu ada cara pemberian hormat paling hormat di
dalam kalangan kaum Kangouw. Ia pun lantas berkata:
?Semua saudara berkeinginan sangat akan menemui Tjongtauwbak,
maka itu begitu mendengar kabar Tjong-tauwbak
bakal lewat di sini, tak dapat dicegah pula, mereka semua
dating kemari!? Tjoe Socsiok itu beri tanda dengan tangannya,
akan orang itu berbangkit ?Apakah kau ada Tjongto dari
Anpeng?? ia tanya. ?Bagus tindakan kau ini.? Sebetulnya, aku
pun teringat saja kepada kewajiban kau orang di sini, sayang
belum ada temponya untuk aku datang melongok. Kau orang
ada sangat mencintai aku, aku sangat bersyukur. Tapi
sekarang sudah membawa tawanan tentara Boan ini perlu
lekas dibawa pulang, untuk diurus, maka baiklah kau orang
pulang dahulu ke pusat. Di daiam perjalanan di waktu malam,
mintalah semua saudara berlaku hati-hati istimewa, supaya
kita tak rnembikin kaget pada rakyatdi sepanjang jalan.M
Tjongto dari Anpeng itu terima pesan itu, ia undurkan diri,
akan berikan titahnya, maka lantas saja semua serdadu
Giehoo-toan itu mundur untuk berdiri dengan rapi dan tenang.
Teng Hiauw ternganga menyaksikan kejadian itu.
Tjoe Soesiok itu adalah pendiri dari Giehoo-toan, karena dia
adalah Tjoc Hong Teng, seorang dari Torjioe, Shoatang.
Orang bilang dia ada turunan Kerajaan Beng, tetapi dia tidak
menyebutkan itu, karena tanpa keturunannya itu, rakyat toh
telah tunjang dia. Rakyat membutuhkan pemimpin, yang
dapat membebaskan mereka, sesudah mereka merasakan
sangat tertindih sebagai akibat dari Perang Candu. Dengan
gempuran meriam, negara-negara Barat telah paksa Tiongkok
pentang pintunya. Rakyat merasa sebagai ketindihan gunung
besar, sampai mereka sukar bernapas. Maka munculnya Tjoe
Hong Teng disambut dengan tangan terbuka.
Tjoe Hong Teng ini? ada murid tcrsayang dari Kiang Ek
Hian, Ketua dari Bweehoa-koen. Inilah sebabnya kenapa Angie
Liehiap Kiang Hong J Keng, si Nona Serba Merah, panggil dia
?soesiok?. Hong Teng telah mewariskan semua kepandaian
gurunya, sesudah itu, ia yakin terlebih jauh, sehingga dia
memperoleh hasil luar biasa. Bcda dari kebanyakan orang,
Tjoe Hong Teng tidak mau angkat nama di kalangan Rimba
Persilatan, dia hendak bangunkan bangsa Han, untuk
rubuhkan bangsa Boan, buat usirpengaruh bangsa asing.
Ketika Tjoe Hong Teng bertemu dengan Teng Hiauw, ia
dirikan Giehoo-toan baharu satu tahun. Ia datang ke Pooteng
untuk menengoki gurunya, buat sckalian tanya gurunya itu
suka atau tidak menunjang dia. Iapun ingin tarik Angie
Liehiap, karena di dalam Giehoo-toan ada pasukan
perempuan, yang kemudian diberi nama Hongteng-tjiauw,
Sinarnya Lentera Merah, pasukan mana membutuhkan pelatih
yang pandai silat.
Kiang Ek Hian ada gagah, tetapi setelah usianya lanjut, ia
kekurangan semangat pendirian. Sebenamya ia menyayangi
Tjoe Hong Teng, tetapi ia tak berani percaya murid ini
sanggup bekerja besar. Di sebelah itu, ia pusatkan
perhatiannya kepada cucu perempuannya, yang ia ingin sekali
carikan satu pasangan yang setimpal. Karena ini, ia tak jadi
punya keinginan akan hadapi badai dan gelombang dari dunia
Kangouw. Begitu maka ia sudah tolak undangannya sang
murid, hingga Tjoe Hong Teng jadi masygul. Ini pun berarti,
Kiang Hong Keng mesti sclalu dampingi cngkongnya, hingga
tak dapat dia ikut memasuki Giehoo-toan. Saking masygul,
Tjoe Hong Teng jadi bcrkesan: Sungguh sulit akan rubuhkan
pemerintah Boan, banyak orang jerih mendengar perkataan
?berontak?, sampaipun gurunya sendiri tidak mau pusingkan
diri?.
Karena ia tak dapat bantuan gurunya, Tjoe Hong Teng mau
lantas pamitan pulang, tetapi Kiang Ek Hian minta murid itu
suka berdiam untuk dua hari. Ia melul uskannya, karena ia
pun dapat pikiran untuk melihat apa di Kota Pooteng itu, ada
orang ?berarti? dalam Rimba Persilatan, yang ia boleh
harapkan bantuannya. Adalah kebetulan, di saat Tjoe Hong
Teng berdiam di Pooteng, hari itu Kiang Hong Keng karena
pukul harimau sudah kena dikurung serombongan pemburu,
sampai dia dapat ditolong oleh Teng Hiauw. Nona ini tidak
berterima kasih kepada anak muda itu oleh karena dia
menyangka, gum-guru silat Keluarga Soh itu adalah kawan si
anak muda, dia tidak tahu, Teng Hiauw melainkan ketahui
guru-guru silat itu, hubungan lainnya tidak ada. Ketika Hong
Keng puiang dan berccrita kepada cngkongnya, Hong Teng
dengar itu, dia lantas merasa pasti, Teng Hiauw bukannya
tergolong guru-guru silat itu, kalau tidak, si anak muda tidak
nanti berikan bantuannya. Maka itu, ketika Teng Hiauw satroni
Keluarga Kiang, Hong Teng sengaja sembunyikan diri dan
memegat di tengah jalan, untuk mempermainkan, buat
patahkan kepala besar orang, untuk tarik perhatiannya dia itu.
Kesudahan dari itu membuat Hong Teng girang. Ia dapat
kenyataan, Teng Hiauw masih muda sekali tetapi berani dan
gagah, ilmu silat pedangnya sudah bisa layani ilmunya yang
dilatih dua atau tiga puluh tahun, Iapun lihat, anak muda ini,
ada lain daripada ayahnya. Maka itu, justru Teng Hiauw
masygul karena ayahnya hendak paksa ia menikah. Hong
Teng ajak Hong Keng pergi satroni dia di rumahnya dan
meninggalkan surat itu, guna ?tarik? ini anak muda ke
pibaknya. Setelah si anak muda buron, Tjoe Hong Teng lantas
menguntit, akan lihat sepak-terjangnya. untuk sekaJian
melindungi padanya. Hong Teng sebaliknya tak mau segera
perkenalkan diri, karena ia sengaja hendak latih lebih jauh
pemuda ini. Demikian, karenanya, telah terjadilah hal-hal lucu,
disebabkan Teng Hiauw masih hijau daiam pengalaman.
Tjoe Hong Teng mengeluh ketika . ia lihat si anak muda
ditawan polisi. la tidak mat mem ben pertolongan dengan
kekcrasan, ia lantas dapat akal, sesudah kirim pesan untuk
tjongto di Anpeng kemana ia percaya barisan Boan ini bakal
lewat Kebetulan, itu waktu pun ada satu sahabat karibnya,
yang berada di pusat di Anpeng, ia sekaJian minta sahabat itu
bantu ia. Sesudah itu, ia hampirkan Teng Hiauw, yang ia akui
sebagai adik misan, hingga ia pun mandah dicekuk. Maka
kemudian, terjadi pemegatan tadi atau pertempuran di
Tjiasek-kong, hingga tentara negeri harus menyerah.
Baharu setelah itu, Teng Hiauw ketahui, Tjoe Soesiok
adalah pendiri dan Ketua Pusat dari Giehoo-toan. Ia lantas
hendak menghaturkan terima kasih, untuk sekalian tanyakan
hal-hal, yang masih gelap baginya, tetapi scbclum ia buka
mulut,*Hong Teng goyangi tangan dan dului ia berkata:
?Tunggu, aku akan perkenalkan kau pada satu orang?.? Ia
belum tutup mulutnya,- atau ia dengar orang telah tertawa
dan dului ia: ?Tak usah kau perkenalkan lagi! Mustahil aku
tidak kenal padanya??
Teng Hiauw segera menoleh, hingga ia tampak seorang
dengan thungsha sutera putih dan tangan mencekal kipas,
satu mahasiswa, ialah orang yang memegat tentara negeri,
yang meminta beelouw-tjhie atau uang sewa jalan?. Ia
tercengang, ia heran kenapa orang itu kenal ia. Ia toh baharu
pernah merantau, baharu sekali ini ia lihat orang itu. Ia
berniat menanyakan, akan tetapi orang itu sudah tertawa
pula dan menanyakannya: ?Bukankah ayahmu ada Sianpwee
Teng Kiarm Beng Ketua dari Thaykek-boen? Bukankah
namamu sendiri, Sieheng, ada Hiauw sepatah kata, yang
berarti ?terang tanah?? Begitu Iekas lihat kau mainkan ilmu
tombak Thaykek-tjhio, aku lantas ketahui siapa kau ada! Aku
cuma dengar nama besar dari ayahmu, tetapi tentang ilmu
silat kaummu, tentang murid-muridnya, aku tahu juga?.?
Tjoe Hong Teng tertawa mendengar kata-kata orang itu, ia
segera memotong: ?Oh, orang bermata pancalongok, katakata
kau benar adanya! Tapi kau sendiri, dengan dandananmu
yang tidak pernah ditukar, kau juga gampang sekali dikenali
orang!?
Sembari mengucap demikian, Hong Teng awasi Teng
Hiauw, akan lihat, pcmuda ini ketahui atau tidak si mahasiswa
itu. Tapi Teng Hiauw tidak kenal orang ini, yang ia cuma duga
ada seorang Kangouw yang ulung. Di saat ia hendak tanya
Tjoe Hong Teng tcntang nama orang itu, tiba-tiba ia ingat Kim
Hoa, yang pernah tuturkan dia tcntang orang-orang Kangouw.
Separuh bcrseru, segera ia bertanya: ?Tjianpwee, apakah
Tjianpwee bukannya Looenghiong Thiebian Sieseng Siangkoan
Kin??
Mendengar demikian, dari atas kudanya, Tjoe Hong Teng
tertawa bcrkakakan.
?Nah, apa aku kata! Sekalipun ini anak, yang baharu
pertama kali injak dunia Kangouw, begitu dia lihat
dandananmu, ia segera kenal kau! Aku lihat, baiklah kau salin
pakaian, supaya kau tidak terlalu mencolok mata!?
Siangkoan Kin tidak gubris godaan kawan itu, ia tarik
tangan si anak muda.
?Kau ketahui namaku, siapakah yang beritahukan itu
kepadamu?? ia tanya. ?Baik kau ketahui, tidak suka aku
disebut-sebut tjianpwee atau looenghiong, karena untuk itu,
belum sampai waktunya aku bertingkah-polah!? Baharu
setelah itu, ia menoleh
pada Tjoe Hong Teng, akan kata: ?Dandananku ini adalah
merek hidupku, aku tidak takut segala kawanan anjing kenali
aku! Jikalau mereka mempunyai kepandaian, mereka boleh
bekuk aku, aku tak takut!?
Kata-kata ini ditutup sama tertawa bergelak-gelak yang
nyaring.
Tjoe Hong Teng kerutkan alisnya. Ia tak setujui anggapan
sahabamya itu. Tapi sang sahabat sedang bergirang, ia tidak
mau ganggu kegembiraan orang itu.
Thiebian Sieseng Siangkoan Kin ada seorang luar biasa
dalam kalangan Kangouw, sampaipun asal-usulnya, sedikit
sekali orang yang ketahui, lebih-lcbih mengenai sumber ilmu
silatnya. Orang melainkan duga, dia ada sioetjay yang gagal
dalam ujian, yang lantas tukar ilmu surat dengan ilmu silat
Dengan sebenarnya, Siangkoan Kin ada putera dari satu
keluarga anak sekolah di Boesek, Kangsouw. Propinsi ini,
seperti Tjiatkang, memang ada tempatnya kaum sasterawan.
Maka juga, sejak masih .kecil, dia sudah dimestikan
mempelajarinya.
Dalam umur baharu sepuluh tahun lebih, karena amat
cerdasnya, Siangkoan Kin sudah pandai membaca kitab-kitab
Soesie Ngokeng di luar kepala, hingga gurunya, dan orang
tuanya, percaya dia bakal peroleh kemajuan, akan tetapi
dugaan itu meleset, sebab beberapa kali dia turat ujian,
saban-saban dia gagal -tak pcmah dia berhasil. Ketika ayahbundanya
menutup mata, dia baharu berumur dua puluh
tahun, dia tetap tak peroleh gclaran atau pangkat.
Keluarga Siangkoan Kin bukannya keluarga berharta, dia
tidak punya uang atau pengaruh, maka itu, waiaupun ilmu
suratnya Sempuma, dia seperti tidak ada di matanya kepaia
badan ujian, siapa cuma lihat uang, ? bukannya kcpandaian.
Di waktu hendak menutup mata, masih Siangkoan
Kindipesan, dianjuri ayahnya, untuk bclajar tcrus dengan rajin
dan ulet. untuk turut pula dalam ujian. Ayah ini tak put us
harapan puteranya nanti menjulet pangkat, untuk angkat naik
derajat keluarganya.
Tapi, sehabisnya bcrkabung, ketika untuk satu kali lagi
Siangkoan Kin lurut juga dalam ujian, sendirinya,
semangatnya untuk peroleh gelaran atau pangkat sudah
padam terlebih dahulu. Inilah sebabnya kembali dia rubuh,
.dan yang keluar sebagai pemenang ada seorang bemama
Hee Kie Tong.
Beberapa kali Siangkoan Kin dikecewakan, dia bersusah
hati, tetapi dia tidak penasaran sebagai mi kali. Dia heran dan
penasaran, karena kaygoan baru ada si orang she Hee itu,
yang ada calon sioetjay, yang biasanya kesohor paling tak
punya guna. Di waktu biasa, karangannya, saking buruk,
Siangkoan Kin sendiri tak sanggup mengubah atau
memperbaikinya, sampai perriah dia mengejek: ?Karangan lain
orang, apabila dilempar ke tanah, bisa bersuara nyaring
bagaikan emas, tetapi karangan kau, suaranya mirip dengan
tambur yang jatuh bergeiindingan dari atas gunung?.? Toh
aneh, sekarang si pemenang adalah orang yang karangannya
seperti tambur yang bergeluntungan itu!
Yang lebih mengherankan, Hee Kie Tong ini ada keluarga
lebih mi skin daripada Keluarga Siangkoan, hingga pasti dia
tidak bisa sogok si kepaia ujian itu. Orangnya bodoh, uangnya
tidak ada, tetapi dia lulus. Saking heran, Siangkoan Kin pergi
pada sahabatnya itu, untuk minta keterangan.
Hee Kie Tong tertawa ketika ia menjawab: ?Saudara
Siangkoan Kin, kita sama-sama tidak punya uang, untuk
menghormati kepaia ujian. Aku sendiri lulus, kau tidak, maka
itulah ada bukti yang karanganku ada terlebih baik daripada
karanganmu! Maka sekarang kata-kata kau ten tang ?tambur
yang bergeiindingan dari atas gunung tinggi? haruslah
dihaturkan kcmbali kepadamu!?
Siangkoan Kin mendongkol bukan kepalang, ia tak dapat
berbuat apa sclain ngeloyor pulang dengan perut panas. Ia
tetap gelap dengan duduknya hal, sampai?. Kepala examen
itu diutus dan ditugaskan di Boesek atas putusan boetay. Ia
girang sekali. Ketika ia mau berangkat ke Boesek, dia kunjungi
berbagai pembesar, untuk pamitan, akan ambil selamat jalan.
Ia pun kunjungi boetay, sebagai pembesar tertinggi. Ia
berlaku sangat hormat pada pembesar ini, yang pesan ia
harus , baik-baik lakukan kewajibannya di Kangsouw, tempat
kaum terpelajar. Selagi beri pesannya itu, tiba-tiba boetay
kerutkan alisnya, ia menyingkir ke samping. Kepaia examen ini
kira boetay hendak tinggalkan pesan perseorangan, ia
mendekati, ia pasang kupingnya, atas mana, boetay kata:
?Tidak lainnya lagi, heekhi-tong.?
Tadi malamnya boetay makan besar, pencernaannya
kurang baik, mendadakan ia ingin buang angin busuk, maka ia
minggir dari orang banyak, tetapi si kepaia examen kelira
sangka, dia mendekati, dari itu, ia jawab tidak apa-apa. Katakata
?heekhie-tong? itu ada kata-kata halus untuk angin
busuk. Si kepaia examen keliru dengar, dia sangka boetay
pesan untuk perhatikan orang nama ?Hee Kie Tong,? ia ingat
itu baik-baik. Demikian sudah terjadi, ketika ada calon sioetjay
nama Hee Kie Tong, tanpa banyak rewel, ia kasih lulus si tolok
ini sebagai kay goan, hingga kesudahannya, Siangkoan Kin
jadi mendelu!
Sebagai keharusan, Hee Kie Tong kunjungi kepala examen,
untuk hunjuk hormatnya, buat menghaturkan terima kasih.
Setelah pemberian hormat, kepala examen itu tarik tangannya
si kaygoan baru dan tanya dengan pelahan: ?Sieheng, kau ada
punya hubungan apa dengan Boetay Taydjin??
Ditanya begitu, Hee Kie Tong melengak, tak mampu ia
menjawab. Masih si kepaia examen tak engah, ia puas karena
ia sudah angkat ?orangnya? boetay. Ketika kemudian ia pula
ke ibukota propinsi, selagi menghadap boetay, untuk berikan
laporan kesudahan ujian, ia tambahkan bahwa ia sudah
lakukan pesan boetay itu mengenai Hee Kie Tong, yang ia
kasih lulus jadi kaygoan. Boetay tercengang. ?Apa kau bilang?
Siapa itu yang kau tolong?? dia tanya.
Kepaia examen ini kira boetay lupa, dia terangkan: ?Ketika
dulu akan pamitan, Taydjin toh bilang padaku: ?Tidak lainnya
lagi, heekhie-tong?
Mendengar demikian, dari melengak, boetay, tertawa
besar.
?Ah, kau benar tolol!? ia kata tanpa perdulikan di situ ada
hadir lain-lain orang lagi. ?Itu waktu aku sebut ? heekkie-tong?
tetapi itu bukan namanya orang, itu ada kata halus untuk
gantikan angin busuk dan dalam perut?.?
Kepaia examen itu mukanya merah, ia temganga. Ia benarbenar
tidak ingat kata-kata sopan itu untuk gantikan angin
busuk. la pun menyesal, karena dengan begitu. Ia bikin lenyap
uang sogokan, yang mestinya akan masuk ke dalam sakunya,
sedikitnya di atas seribu tail perak?. Ia ada begitu menyesal
dan penasaran, tanpa pikir panjang, ia utarakan
kemenyesalannya kepada beberapa rekannya. Tapi justru ini,
rahasia bocor, dari sepuluh mulut kepada seratus mulut,
dcmikian selanjutnya, sampai kabar pun tersiar sampai di
Boesek, karena itu berarti kejadian sangat lucu.
Kapan akhimya cerita itu sampai di kupingnya Siangkoan
Kin, dia ini tercengang, mulutnya ternganga, matanya
terpentang iebar, ia diam sckian lama, akan kemudian, ia
tcrtawa terbahak-bahak, lantas ia berseru: ?Hei! sioetjay angin
busuk, kaygoan angin busuk, tjonggoan pun angin busuk! Jadi
semua. ponggan, tamhoa, itokkoen, boetay, haksoe,
semuanya angin busuk juga! Ya, semua-semua angin busuk,
maka tak usahlah aku repoti angin busuk!? Sadarlah sekarang
Siangkoan Kin akan keburukan ujian ilmu surat, padam
semangatnya, tak lagi ia sudi bikin examen, untuk
kehidupannya, ia buka rumah perguruan, karena ia tak punya
lain kepandaian. Tapi ia ada sioetjay yang gagal, tak ada
orang hartawan yang suka masuki anak-anaknya belajar
kepadanya, maka ia cuma dapati beberapa murid anaknya
orang miskin?.
Pada suatu sore, sehabis lepas sekolah, ia minum arak
seorang diri.
Ia berada sendirian, ia menjadi kesepian. Arak itu pun ada
antaranya dari satu muridnya. Saking iscng, tiba-tiba ia
perdengarkan cabutan dari syairnya Ek-ong Tjio Tat Kay, itu
pemimpin Thaypeng Thiankok yang bergelar pangeran:
?Penjahat besar juga ada lurunannya, yang Kitab Soesie tak
menghargainya. Emas kuning bagaikan tanah tak berharga,
nyali keras bagaikan besi.??
Dia belum habis ucapkan itu, atau tiba-tiba ada scruan:
?Sungguh bersemangat!? Menyusul mana satu orang,
bertindak masuk ke dalam rumahnya!
Siangkoan Kin terkejut, ia menoleh dengan segera, hingga
ia lihat, orang itu ada orang sesama kampungnya, si tukang
besi yang usianya sudah lanjut. Dengan sendirinya, hatinya
menjadi lega, pikirannya menjadi tetap pula.
Ketika itu belum cukup dua puluh tahun sejak runtuhnya
Kerajaan Thaypeng Thiankok, dengan diiam-diam syairnya
Tjio Tat Kay itu masih tetap tersiar di antara rakyat, tidak
perduli itu ada termaksud dalam larangan pemerintah Boan.
Siangkoan Kin nyanyikan itu tanpa merasa, tidak heran,
suaranya si empeh membikin ia terkejut. Di lain pihak,
sekarang ia heran i si empeh tukang besi itu.
Empeh ini ada orang satu kampung dengan ia, akan tetapi,
asalnya, dia ada orang perantauan dari lain tempat, yang
datang ke kampungnya selang sepuluh tahun yang lampau.
Dia ada ramah-tamah, dia pun pandai membuat segala rupa
barang dari besi, juga gendewa dan peluru untuk anak-anak
menjepret burung dan untuk petani petani kepung kelinci,
semacam tempuling terbuat dari kayu Tjoh. Lama-kelamaan,
orang kampung pandang dia sebagai orang kampung sendiri.
Di mata Siangkoan Kin, dia ada satu tukang besi, maka adalah
heran, sekarang tiba-tiba dia pun kagumi syairnya Tjio Tat
Kay.
?Rupanya Empeh mengerti syair,? kata ia, dengan sikap
menghormat.
Orang tua itu bersenyum.
?Aku ada seorang kasar, mana aku mengerti syair?? ia
baliki. ?Aku dengar suaramu menarik hati, begitulah aku
datang!?
Ia lihat pelbagai kitab di atas meja, ia agaknya heran.
?Siangkoan Sinshe, apakah kau ajarkan anak-anak dengan
kitab-kitab ini?? tanya ia. Pertanyaannya pun tiba-tiba.
?Kenapa kau tidak ajarkan mereka syair yang barusan kau
nyanyikan??
Juga pertanyaan ini aneh, hingga bertambahlah keheranan
sinshe ini.
?Pelajaran pelbagai kitab ini bisa dipakai sebagai alat
mendapatkan pangkat,? ia menyahut dengan sengaja. ?Syair
yang aku nyanyikan barusan, walaupun bagus, tidak ada
kegunaannya.?
?Pangkat?? dan orang tua itu tertawa. ?Bukankah Sinshe
telah baca ini pelbagai kitab? Kenapa Sinshe sendiri tak
peroleh pangkat??
Kembali Siangkoan Kin menjadi heran. Ia terdesak oleh
pertanyaan si empeh ini, satu tukang besi. Sesaat ini, dia tak
lagi mirip dengan satu orang
pertukangan!
?Empeh, sebenarnya kau ada dari golongan apa?? akhimya
ia tanya. Empeh itu dongak, ia tertawa pula ?Aku orang apa?
Buat apa kau mempcrdulikannya? Tapi aku tahu itu orang
syair siapa barusan kau nyanyikan. Dia pemah lulus sebagai
sioetjay, hingga ia berkedudukan lebih tinggi satu t ingkat
daripadamu. Akan tetapi dia tak perdulikan gelarannya ilmu
surat itu!?
Guru sekolah desa ini terperanjat. Teranglah sudah, si
empeh maksudkan Ek-ong Tjio Tat Kay, pendekar kebangsaan
yang gagah-pcrkasa dan pandai ilmu sastera. Semasa
umurdua puluh. namanya Ek-ong sebagai sastcrawan telah
kesohor di Selatan dan Utara Sungai Besar. Tidak tempo lagi,
ia menjura dalam tcrhadap tetamunya yang tidak diundangitu.
?Lootjianpwee, maafkan aku karena mataku lamur? ia
memohon.
?Sudah belasan tahun, aku tak dapat kenali padamu.
Rupanya Lootjianpwee mengerti baik sekaii syair Ek-ong ini.?
?Mengerti baik?? kata si orang tua, sambil tertawatiba-tiba.
?Sang waktu telah lewat lama, aku sudah tak ingat puia. Tapi
aku pemah. lihat sendiri ketika dia menulis syairnya itu.??.?
Alangkah heran Siangkoan Kin, hingga ia lari ke pintu, untuk
tutup pinitu. Ia kembali dengan ccpat, ia angkat tangan
bajunya, lantas ia tekuk lutut di depan orang tua ini.
?Teetjoe adalah korban ujian ilmu surat,? berkata ia, yang
mengaku terus terang, ?karena itu tak lagi teetjoe punya
keinginan untuk mengharap pangkat. Tapi teetjoe adalah
orang yang paling kagumi Ek-ong. Lootjianpwee, maukah
Lootjianpwee beritahukan aku, Lootjianpwee sebenarnya ada
Ek-ong empunya apa? Jikalau Lootjianpwee tidak memandang
kebodohanku, teerjoe ingin sekaii Lootjianpwee memberikan
sesuatu pengunjukan kepadaku?.?
Orang tua itu tidak singkirkan diri, dia terima pemberian
hormat itu, kemudian dengan ulur kedua tangannya, ia angkat
bangun guru sekolah itu. Siangkoan Kin masih hendak
menjura puia, tetapi tanpa ia merasa, tubuhnya kena diangkat
secara enteng sekaii.
?He, Lauwtee, apa artinya ini?? ia dengar si orang tua tegur
ia. ?Lekas bangun, tak berani aku terima hormatmu, tak
berani aku!?
Di mulutnya, orang tua ini mengucap demikian, di hatinya,
ia puas, sebagaimana air mukanya kelihatan terang. Ia
bersenyum berseri-seri, tanpa tunggu sampai Siangkoan Kin
ulangi pertanyaannyaJ tidak ragu-ragu lagi, cmpch tukang besi
ini beritahukan tentang dirinya yang sebenar-benarnya. Nyata
dia ada sal ah satu pahlawan dari Ek-ong Tjio Tat Kay, yang
senantiasa berdiri mcndampingi pahlawan pencinta ncgcri itu,
hingga bukanlah heran apabila ia telah saksikan sendiri ketika
Ek-ong menulis syairnya yang dibuat kenang-kenangan itu.
Ek-ong Tjio Tat Kay ada panglima perang kenamaan dari
Thaypeng Thiankok, ia pernah berperang di sana-sini melalui
medan perang beberapa Iaksa lie jauhnya, hingga ia telah
menggetarkan pemerintah Boan, tetapi ketika ia mcninggalkan
Kimleng (Lamkhia) dengan pimpin tentara tunggalnya ke Soetjoan,
se lama mana ia banyak mendcrita di sepanjang jalan,
karena meluapnya Sungai Kimsee-kang, hingga ia tak sanggup
sebcrangi Kali Taytou w-hoo, ia kena ditawan dan kemudian
menemui ajalnya karenanya, dalam usia baharu tiga puluh tiga
tahun. Scbagian besar dari tentaranya berkorban di medan
perang, sebagian yang kecil, dapat meloloskan diri. Dan Poei
Hok Han, ialah namanya si tukang besi itu waktu, juga
berhasil meluputkan diri dari bahaya. Tidak lama kemudian,
Thaypeng Thiankok runtuh Poei Hok Han merantau, hidup
dalam penyamaran. Ketika ketegangan mulai reda, ia sampai
di Boesek, akan hidup sebagai tukang besi di desa yang kecil.
Dua puluh tahun lewat dengan cepat, Hok Han telah
menjadi satu empeh-empeh, akan tetapi semangatnya masih
belum kunjung padam, dalam kesunyiannya, ia masih kenangkenangi
pergerakannya, karena tcrpaksa, ia kcndalikan diri,
untuk mana, kadang-kadang ia suka menepas air mata sendiri.
Dalam usia yang lanjut, Hok Han dapat pikiran untuk
mendapati mu-rid, guna wariskan ilmu silatnya. Ini ada urusan
yang sulit. Selama sepuluh tahun umpetkan diri, belum pemah
ia dapati murid yang ia cari. Ia ingin dapati murid yang
berbakat dan dapat dipercaya. Kebetulan sekaii, selagi lewat di
depan rumah Siangkoan Kin, ia dengar nyanyian orang, tak
bersangsi puia, ia masuk, akan kctcmui guru sekolah desa itu.
Sejak itu, dengan diam-diam, Siangkoan Kin angkat si
tukang besi menjadi gurunya. Ia sendiri, tetap menjadi guru
sekolah. Tak ada orang tahu yang ia lagi belajari silat. Di mata
penduduk lainnya, mereka ada satu sioetjay melarat dengan
satu tukang besi miskin, yang menjadi sahabat kekal karena
mereka senasib. Tidak ada satu penduduk juga yang
mencurigai mereka.
Siangkoan Kin berotak sangat terang, kalau orang lain
membutuhkan tempo satu tahun, ia cuma tiga bulan, tidaklah
heran, dalam tempo lima tahun, ia sudah dapatkan dasamya
sempurna, pelajarannya telah maju jauh.
Pada suatu malam terang bulan, seperti biasa, Poei Hok
Han datang ke rumah muridnya, ia saksikan sang murid lagi
melatih diri dalam ilmu pukulan ?Bittjong-koen,? setelah murid
itu selesai bersilat, ia menghela napas, ia kata: ?Kita drang
telah berkumpul lima tahun lamanya, aku khawatir kita orang
segera akan berpisah?.?
Mendengar itu, Siangkoan Kin terkejut.
?Kenapa, Soehoe?? tanya ia. ?Karena di kolong langit tidak
ada pesta perjamuan yang tidak ada saat bubarnya,? sahut
sang guru. ?Kau pun, selama lima tahun, sudah mewariskan
semua kepandaianku, bakatmu ada sangat bagus. pelajaranku
sebaliknya sangat rendah. tak sanggup aku mend idik kau
terlebih jauh. Kau tahu, aku ada seorang perantauan, aku ada
seorang gelap. Terpaksa aku hidup menyendiri. Di sebelah itu,
usiaku sudah lanjut, tak banyak tempo lagi untuk aku tewati.
Semcntara itu, masih ada urusan yang aku belum
selesaikan?. Sekarang aku memikir untuk mencari satu orang,
aku masih ingin tengok pula keadaan di luar?.?
Siangkoan Kin mengerti perasaan cinta negeri dari gurunya,
yang tetap tak mau padam, yang sukar untuk dilupai, maka ia
percaya, masih ada cita-citanyaguru ini. Tiba-tiba ia pun dapat
pikiran. Maka ia kata pada guru itu: ?Soehoe, muridrrra juga
ingin merantau sebagai kau, harap Soehoe ajak aku, untuk
aku peroleh pengalaman.?
Poei Hak Han pandang muridnya. ?Kau tak dapat,? jawab
ia. ?Kenapa, Soehoe?? sang murid tegaskan. ?Aku ada orang
yang dicari pemerintah Boan, walaupun banyak tahun sudah
lewat, namun aku tetap tcrancarn bahaya. Tidak demikian
dengan kau, anak tunggal, yang belum bcrumah tangga.
Bagaimana aku bisa bawa kau untuk menghadapi
bencana??
Mendengar gurunya sebut hal rumah tangga, mukanya
Siangkoan Kin merah bahna likat, tapi ia segera berbangkit,
dengan hormai, dan dengan sungguh-sungguh ia kata pada
gurunya itu: ?Soehoe, mustahil sampai sekarang Soehoe
masih tetap tak mempercayai aku? Jikalau aku jerih akan
kesukaran dan takut akan ancaman malapetaka, tidak nanti
aku berani ikuti kau! Soehoe, aku bersumpah akan teladan
kau selama aku masih bernyawa, aku akan musuhkan
pemerintah Boan! Tak mundur aku walaupun mesti binasa
berlaksa kali! Cita-citaku masih belum tercapai, cara
bagaimana bisa aku memikirkan rumah tangga? Harap Soehoe
jangan bersangsi pula, mari kita pergi bersama!?
Menampak ketetapan hati orang itu, Poei Hok Han
.tertawa.
?Jikalau demikian, tujuan kita sama!? kata ia. ?Baik, aku
nanti ajak kau!? Kemudian ia tepuk-tepuk pundaknya, dengan
roman sungguh-sungguh ia tambahkan: ?Barangkali dengan
perjalanan ini aku bisa sekalian carikan satu guru yang pandai
untuk kau!?
?Kau sangat berbudi, Soehoe, mana aku tega akan tukar
guru?? sahut sang murid.
Orang tua itu mengawasinya, alisnya dikerutkan.
?Kenapa kau pun jadi seperti orang
biasa saja?? tanya ia.
?Kau harus tahu, pelajaran tidak ada habisnya, pelajaran hams
diyakinkan terus, hingga jadi scmpurna! Tak boleh orang
kukuh i satu golongan saja, i tulah kebiasaan buruk dalam
kalangan Rimba Persilatan. Ada lagi, yang kukuhi diri sendiri,
tidak maul mengajarkan lain pihak, atau tidak mau pelajarkan
kepandaian lain orang.
Aku hendak carikan kau guru yang
pandai, yang lebih liehay sepuluh kali lipat daripada aku. Aku
hanya sangsi, orang itu sudi terima kau atau tidak?.?
Siangkoan Kin melongo, ia pandang gurunya itu.
?Siapa orang itu, Soehoe, yang Soehoe demikian
hargakan?? iatanya.
Poei Hok Han tidak lantas menjawab, ia tertawa.
?Kau ingat tidak, dalam salah satu syairnya Ek-ong Tjio Tat
Kay ada disebutkan hal meloloskan pedang dari pinggang,
untuk haturkan itu kepada lain orang??
Siangkoan Kin heran sekali.
?Aku ingat itu, Soehoe. Kenapakah?? ia tegaskan. Ia lantas
membacakan syair itu di luar kepala:
?Mengangkat kepalanya, naga tua perdengarkan suara
Mahasiswa berduka berkehendak mcmbasmi pengkhianat
Sesudah sampai di jalan buntu, masih ingin bersahabat
Persembahannya adalah ribuan tail emas berharga?.
Mendengar itu, si empeh buat main kumisnya, nampaknya
ia terharu sekali, seperti ia ingat apa-apa yang telah lalu.
?Guru yang aku niat carikan untuk kau itu,? kata ia
kemudian, dengan pelahan, ?adalah itu orang yang di saat
buntu kepada siapa Ek-ong loloskan pedangnya untiik
dihaturkannya. Aku ada Ek-ong empunya pahlawan, dia
adalah sahabatnya- Ek-ong?? ia berhenti sebentar, selagi
sang murid awasi ia, ia lanjuti: ?Dia adalah t sahabatnya Ekong,
akan tetapi cita-cita mcrcka berdua beda satu dari lain.
Sejak Ek-ong meninggalkan Kimleng, akan melakukan
perjalanan peperangan jauh selaksa lie, dia sendiri mcnuju ke
lain arah, dia tidak ikuti lebih jauh pada Ek-ong?.?
Siangkoan Kin heran. Ia ada orang yang paling kagumi Ekong,
mendengar ada sahabatnya raja muda itu, yang beda
faham, ia merasa tidak mufakat. Ia lantas tanya gurunya:
?Sudah terang dia bercita-cita tain dan Ek-ong, kenapa Ek-ong
haturkan pedangnya kepadanya, kenapa Soehoe pun sangat
hargai dia??
?Kau pandang urusan sangat sederhana!? sang guru
tertawa. ?Faham berlainan bukan berarti bahwa orang mesti
bertentangan. Ek-ong benar ada satu orang luar biasa tetapi
itu bukannya bcrarti sesuatu dari sepak-terjangnya benar
semua.? Sampai di sini, Hok Han tuturkan muridnya perihal
sahabatnya Tjio Tat Kay itu dan hubungannya dengan si raja
muda.
?Dia adalah Soekong Tjiauw, dia pun ada seorang luar
biasa. Dia sangat kagumi Ek-ong untuk Ek-ong empunya
kepintaran ilmu surat dan ilmu silat, ilmu pcrang yang mahir.
yang bisa dibandingkan dengan panglima-panglima perang
pandai di zaman dahulu. Begitulah, dengan ikhlas hati, ia kasih
dirinya dipekerjakan Ek-ong. Sejak Ek-ong dalam usia dua
puluh tiga tahun dianugerahkan sebagai pangeran, ia
mendampinginya saja dalam kemah sebagai penasihat Ek-ong
pun sangat hargai dia dan sangat percaya padanya. Adalah
kapan datang suatu saat yang maha penting, keduanya nyata
berbeda paham. keduanya lantas saja berpisahan?.?
Suaranya si empeh jadi pelahan, airmatanya berlinang.
?Itulah urusan yang membikin Thaypeng Thiankok dari
makmur menjadi lemah, hingga suatu usaha demikian besar
dan menggetarkan , dunia., lantas jadi hancur. Karcna
bentrokan di dalam, buyarlah semua-semua..?
Empeh ini menghela napas, suaranya sangat sedih.
?Apakah Soehoe maksudkan bentrokan antara Yo Sioe
Tjeng dengan Wie Tjiang Hoei?? Siangkoan Kin tegaskan.
?Benar,? jawab sang guru, setelah menghela napas
panjang.
Pada masa Thaypeng Thiankok mengangkat berbagai raja
muda (pangeran) adalah Tong-ong Yo Sioe Tjeng yang
kedudukannya paling agung. Tong-ong ini terlalu agulkan
jasanya, ia sampai menindih Iain-lain rekannya, sampaipun
Thian-ong Ang Sioe Tjoan sendiri, ia tidak lihat mata. Di
sebelah pangeran yang jumawa itu, ada Pak-ong Wie Tjiang
Hoei yang kouwkatie, yang irikan kedudukan orang. Selagi
Tong-ong agui-agulan demikian rhacam, hingga dia tak
disenangi Thian-ong dan Iain-Iain
pangeran, Pak-ong mengatur siasatnya yang buruk.
Dibokong dalam suatu pesta, Tong-ong kena dibinasakan.
Sesudah ini, Pak-ongjuga bunuh habis keluarganya serta
sebawahan yang berjumlah dua puluh ribu jiwa lebih. Ini ada
perbuatan kcterlaluan. Walaupun bisa dianggap Tong-ong
keliru, diamasih tak dapat dihukum mati, apa pula keluarga
dan sebawahannya itu. Orang-orang sebawahan itu adalah
anggota-anggota berharga dari Thaypeng Thiankok. Dengan
pembasmiannya itu, Pak-ong seperti membantu besar sekali
kepada musuh untuk memperlemah diri sendiri. Karena itu,
Ek-ong sudah lantas buru-buru berangkat ke Kota Raja, untuk
cegah pcmbunuhan itu..
Ketika Ek-ong baharu berumur dua puluh enam tahun tapi
dia telah jadi seperti jiwanya Thaypeng Thiankok, dia ada
pegang kekuasaan besar atas bala tcntara, namanya pun
kesohor di dalam dan di luar negeri. Wie Tjiang Hoei khawatir
kapan ia ketahui pangeran itu pulang; ia jadi dapat niatan
akan bunuh juga rekan ini. Beruntung buat Ek-ong, ia dengar
selentingan, malam-malam juga ia kabur, ia loloskan diri dari
Kota Raja. Tapi Pak-ong tak mau bekerja setengah jalan, dia
pun basmi keluarganya Ek-ong.
Ek-ong berjasa, dia terima nasib celaka itu, dia jadi gusar
dan mendongkol. Thian-ong khawatir Ek-ong gusar dan nanti
berontak, dia sudah lantas hukum mati pada Pak-ong Wie
Tjiang Hoei, tetapi di sebelah itu, ia pakai orang-orang yang
tak disukai Ek-ong, hingga perhubungannya dengan Ek-ong
menjadi renggang. Ek-ong ketahui ini, hatinya jadi tawar.
Maka di akhirnya, Ek-ong ambil putusan, dengan bawa
beberapa laksa serdadunya, ia mcninggalkan kota Kimleng, dia
menuju ke barat, untuk cari suatu pangkalan baru, untuk
berusaha sendiri, untuk bisa berdiri berendeng dengan
Thaypeng Thiankok, guna saling bantu.
Di harian Ek-ong berikan titah-titah unjuk, walaupun Thianong
keberangkatannya ke barat, Soekong Tjiauw menangis
sangat sedih, ia cegah tindakannya Ek-ong, ia menasihatinya
berulang-ulang. Ia menyia-nyiakannya, tetapi Thaypeng
Thiankok sendiri tak boleh kehilangan Ek-ong, bahwa
kepergian pangeran ini berarti memecah tenaga sendiri,
hingga gampanglah scsuatu dari mereka diserang rusak
tentara Boan. Mulanya, Ek-ong tertarik juga oleh nasihat itu,
akan tetapi di akhirnya, kepercayaan atas dirinya sendiri
demikian besar, hingga ia tak menghiraukannya. Tidak gentar
dia terhadap musuh Boan. Malah ia hunus pedangnya dan
sambil berbangkit, ia kata: ?Di dalam tentara Boan, yang
paling gagah adalah Saudara-saudaraTjan, tetapi mereka,
mendengar namaku hatinya rontok,
melihat bayanganku mereka lari simpang-siur! Kau lihat
nanti, dari Tionggoan aku akan menyapu ke Barat dan
Selatan, untuk meletaki dasar dan mendirikan usaha buat
laksaan turunan guna Thian-ong!?
Sampai di situ, Soekong Tjiauw tidak berani bilang suatu
apa pula, dia cuma berlinang air mata, laiu tanpa pamitan lagi,
dia pergi. meninggalkan raja muda itu.
Ek-ong berangkat ke barat, ia lakukan perjalanan laksaan
lie bersama beberapa puluh laksa serdadunya, tetapi akhirnya,
tepat kata-katanya Soekong Tjiauw, ia telah tidak bcrhasil.
karena tenaganya telah terpecah. Ketika ia hendak memasuki
Propinsi Soctjoan, tidak saja tentara di Kimleng terancam
bahaya, ia sendiri jadi semakin lemah. Tujuh tahun ia sudah
berperang, sembilan propinsi ia telah sampaikan ? ialah
Kangsee, Tjiatkang, Hokkian, Ouwlam, Kwiesay, Kwietang,
Koeitjioe, Ouwpak dan Soetjoan ? tenaganya jadi berkurang,
otot-ototnya lemah, di saat ia berada di Kali Taytouw-hoo, di
depan ia menghadapi tempat berbahaya, di belakang ada
musuh mengejar padanya. Di saat yang sangat mengancam
itu, sekonyong-konyong Soekong Tjiauw muncul pula di
hadapan Ek-ong; untuk menasihati raja muda ini bubarkan
tentaranya, untuk menyingkir sambil menyamar.
?Coba pikir, bagaimana Ek-ong bisa turut nasihat itu?? kata
Poei Hok Han sambil menghela napas pada muridnya. ?Itu
malam dengan pedang di tangan, aku damping! Ek-ong, aku
dengar pembicaraan mereka berdua.
Dengan keras Ek-ong kata: ?Aku bertanggung jawab atas
seluruh tentaraku, kewajibanku adalah berperang sampai
binasa, tak dapat aku menyingkirkan diri! Aku telah keliru
ambil jalan, aku telah bawa semua saudara ke tempat buntu,
maka aku mesti cari kehidupan dalam kematian, untuk
menerobos keluar!
Mana bisa aku bubarkan tentaraku untuk biarkan mereka
dikejar dan dibinasakan oleh bangsa Boan?
Khongtjoe toh bilang hams sempumakan
perikemanusiaan dan Bengtjoe mengatakan untuk pilih
kebijaksanaan. Semangatnya satu orang, di tempat berbahaya
itu mesti makin ternyata. maka dari itu, pasti sekali, tidak
nanti aku lari.
Untuk sekian lama, Soekong Tjiauw tak kata suatu apa,
adalah kemudian, dengan paksakan diri, ia bilang: ?Aku telah
keliru memberi nasihat. Karen a Ek-ong tak sudi menyingkir,
maka aku ingin temani Ek-ong binasa bersama.? Akan tetapi
Ek-ong larang ia bertindak demikian. Ek-ongmenyatakan:
*Kaudengan aku adalah lain. Aku ada kepala perang,
tanggung jawabku ada jauh terlebih berat daripada tugasmu.
Sudah pasti aku ingin binasa, kau sendiri tak dapat. Kau hams,
dengan tubuhmu yang berharga, selesaikan tugasmu yang
belum rampung.? Habis berkata demikian, Ek-ong loloskan
pedang