Kisah Para Pendekar Pulau Es 24

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 24


rekalah yang membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal
Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang
berjuang untuk mengusir penjajah?" Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di
dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi
sudah memperli-hatkan perangai buruk, sebagian besar para pen-dekar masih ragu-ragu.
"Saudara sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa
yang akan kalian lakukan!" Puteri Milana berkata lagi dengan lantang. "Rencana kalian untuk
memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang tidak tepat pada waktunya. Apa yang akan
kalian capai dengan pemberontakan" Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata
menderita. Puluhan ribu orang tewas, rakyat kehilangan keluarga, har-ta benda dan
ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang untuk memperingat-kan dan
menyadarkan kalian agar menyerah dan jangan melawan!"
"Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan
rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja
membela pemerin-tahan bangsamu!"
"Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...."
"Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!" bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.
"Cu-wi, dengarlah baik-baik!" Kini Cin Liong yang berseru nyaring. "Lihatlah aku. Aku
adalah Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan
untuk menyerbu kalian, melainkan aku datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang
panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar
Kian Liong, harus diakui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup rakyat tidak
sengsara. Pula pemerintah ini selalu menen-tang golongan jahat dan melindungi rakyat."
"Engkau penjilat orang Mancu! Huh, tak tahu malu!" terdengar pula teriakan dari golongan
Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.
Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang. "Cu-wi adalah orang-orang yang gagah
perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memper-hitungkan setiap tindakan. Kita
harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita bertindak. Camkanlah,
kalau kalian melaku-kan pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena
perang, karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga me-nimbulkan
merajalelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan. Juga, keadaan
peme-rintah sekarang amatlah kuatnya, setiap pemberon-takan sama artinya dengan bunuh
diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan
berarti mati semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
707 Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andaikata dapat menang, hal yang sungguh tidak mungkin
terjadi dalam keadaan seperti seka-rang di waktu rakyat belum siap. Andaikata me-nang,
belum tentu kalian akan mendapatkan seo-rang pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda
kaisar sekarang ini!"
"Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lalu tindakan kami seperti
apakah yang akan kauanggap gagah" Apakah kami harus berlutut menyerahkan diri dan minta
ampun kepa-da orang Mancu" Ha-ha, itukah yang akan kau-anggap sebagai perbuatan
gagah?" Kao Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah Bu-
tai-hiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan kelu-arga ini, suatu perasaan tidak enak ketika
dia me-nolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang
puteri dari Bu-taihiap (baca ceritaSuling Emas dan Naga Si-luman ).
Dengan sikap ramah Cin Liong memberi hor-mat kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap.
"Harap Bu-locianpwe suka melihat kenyataan dan tidak mendahulukan prasangka. Saya
bersama semua keluarga Pulau Es datang bukan untuk menentang cu-wi, juga bukan untuk
membantu pemberontakan, melainkan untuk mengingatkan akan bahayanya rencana cu-wi
ini." "Nanti dulu, orang muda!" Tiba-tiha terde-ngar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini
sudah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan keluarga
Pulau Es. "Aku merasa heran sekali melihat beta-pa keluarga para Pendekar Pulau Es dapat
bersi-kap seperti ini!" Dia menatap tajam ke arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya.
"Kalau kita takut menghadapi bahaya dan kematian dalam su-atu perjuangan, berarti kita
pengecut dan bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan men-jatuhkan korban. Setiap
pembaharuan harus bera-ni meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan
hal ini" Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan pupuk bagi
perjuangan itu sendiri!"
Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim
Hong Bu. "Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorangpun meragukan
kegagahan-mu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti per-nah kita bicara, aku sendiripun
mengerti tentang jiwa patriot yang berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau
negara dibebaskan dari pen-jajahan. Akan tetapi, kini akupun melihat bahwa hal itu harus
dilakukan dengan perhitungan yang masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus da-pat
melihat keadaan dan ingat, perjuangan ini ada-lah perjuangan rakyat, bukan perjuangan
beberapa gelintir pendekar saja. Dan untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan seorang
pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara lihat, apakah orang-
orang seperti dari Pek--lian-kauw dan perkumpulan yang lain yang selalu memberontak
karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman seperjuangan" Nah, karena itu, aku
Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan
kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan."
"Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan
jatuhnya banyak korban dengan sia-sia," sambung Suma Kian Lee.
"Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!" kata
Jenderal Kao Cin Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
708 "Akupun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi
semua dan menghabiskan urusan ini karena bagaimanapun juga, cu-wi belum memberontak,
baru mengadakan pertemuan dan kalau cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka
dosa cu-wi tidaklah begitu besar."
"Omong kosong!" Tiba-tiba Bu-taihiap berseru keras sekali. "Heh, para keluarga pendekar
Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar
kelu-arga Pulau Es, juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ter-nyata hanyalah penjilat-penjilat
kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar
Bangsa Mancu, maju-lah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami meru-pakan suatu
kebanggaan karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!"
Ucapan Bu-tai-hiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka
bersorak menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak
terbawa emosi dandapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran dalam
ucap-an para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini menggeser tempat berdiri
mereka, men-dekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga
Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah
bersama empat orang isterinya.
"Kita lawan sampai mati....!" Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh
seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.
Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula sema-ngatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke
depan, di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan
ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan diapun berteriak. "Kita adalah patriot-patriot sejati!
Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita berjuang bukan guna kepentingan diri
sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!" Sikap Sim Hong Bu ini me-nambah semangat mereka
dan kembali para pen-dekar menyambut dengan sorak-sorai. Melihat ini Sim Houw putera
Sim Hong Bu juga melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.
"Eng-moi....!" Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja melon-cat
pula ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya
penuh semangat dan iapun sudah melolos suling emasnya.
Pada saat itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu
mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Pe-nyergapan dimulai! Tadi, Kao Cin Liong
menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe me-nangguhkan dulu penyergapan
karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar. Cao-goanswe amat segan
kepada rekannya ini maka dia memberi waktu habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya
waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan kini terpaksa Gao-goanswe mulai
meng-gerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!
Melihat ini, Puteri Milana berseru. "Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang
kami!" Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera
ber-kumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada keluarganya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
709 untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungnn. Adapun para pendekar
lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-
masing dan berpencaran untuk menyambut serbuan para perajurit pemerintah.
"Liong-ji....!" Teng Siang In berseru ke-ras ketika melihat puteranya meloncat dan
menyelinap bersama para pendekar yang hendak mela-wan pasukan!"Ibu, aku harus
melindungi Eng-moi!" hanya itulah jawaban Ceng Liong dan ibu ini diam-diam merasa
khawatir sekali. Ia tadi melihat betapa pu-teranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang
juga ikut maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu
pute-ranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberon-tak itu. Diam-diam ia merasa gelisah
sekali, akan tetapi karena iapun bertugas melindungi para pendekar yang sudah sadar dan
tidak melawan, ia ti-dak dapat meninggalkan tempat itu. Pula, apa yang dapat dilakukannya
kalau memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya
hendak melindunginya" Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran
sudah terjadi dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rambongan
mereka yang mengelilingi para pendekar yang ti-dak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong
ber-gantian berseru. "Jangan serang kami! Kami orang sendiri!"
Para perajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar perajurit
yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, ma-ka pasukan tidak ada yang berani
menyerang rom-bongan yang memang tidak melawan ini. Akan te-tapi, pasukan menghadapi
perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong
Bu! Biarpun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu meng-hadapi orang-orang
yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan pa-ra pendekar itu
melakukan perlawanan nekat dan mati-matian. Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap
dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi
kecuali melawan dan melawan!
Hutan Cemara yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini berobah menjadi tempat yang gaduh
dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang memba-bat rumput saja, para pendekar itu
mengamuk dan para perajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali amukan Bu-taihiap
dan empat orang isteri-nya. Segera mayat para perajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di
sekitar mereka. Tak kalah hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan pu-teranya, Sim Houw.
Pedang Pek-kong Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berobah menjadi seekor
naga, seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika
pendekar ini mengamuk dengan pedangnya. Sim Houw yang baru saja kembali dari
gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam Hong, juga mengamuk hebat. Dia
bahkan lebih lihai daripada ayahnya dan biarpun pedangnya bukan me-rupakan sebuah pusaka
yang sehebat dan seampuh Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih
hebat lagi. Hanya saja, agaknya pe-muda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh banyak
orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan biarpun setiap orang lawan yang
menghadapi-nya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tidak men-jatuhkan korban sebanyak
yang roboh oleh Pek--kong Po-kiam di tangan ayahnya. Pedang Pek--kong Po-kiam (Pedang
Pusaka Sinar Putih) me-mang tidak sedahsyat Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali
oleh Cu Han Bu, akan teta-pi pedang inipun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh
pedang ini dari seorang tosu per-tapa yang merasa kagum akan semangat perju-angannya.
Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadap-an dengan Ceng Liong! "Eng-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
710 moi, jangan....!" kata pemuda itu dan Bi Eng terpaksa menghenti-kan gerakan suling emasnya
ketika ia melihat pe-muda yang dicintanya itu menghadang di depan-nya.
"Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!" kata Bi Eng, suaranya gemetar
dan matanya basah. Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tak
disangkanya bah-wa terjadi perpecahan antara para pendekar, teru-tama sekali antara gurunya
dan keluarga Ceng Liong!
"Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan lanjutkan....!" Ceng Liong berkeras
menahannya. Suling emas itu di-gengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng dan ia menghadapi
kekasihnya dengan muka pucat.
"Koko, kenapa engkau menentangku" Menen-tang kami" Kenapa...." Jangan halangi aku dan
minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati....!"
"Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik--baik. Kalau keluarga Pulau Es memang
menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan
mampu berbuat banyak kalau begitu" Lihat, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian,
akan tetapi kamipun tidak me-nentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau ikut denganku,
pergi, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan semua kerusuhan dan keri-butan, semua
bunuh-membunuh yang haus darah ini. Lihat, tidak mengerikankah semua ini....?" Ceng
Liong membuka kedua tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan
me-lihat mayat-mayat berserakan dan darah mem-banjir di sekitar tempat itu.
Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.
"Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para
pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!"
"Tidak, Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Me-reka semua itu keliru. Sekarang aku sudah
sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak diperhitungkan
masak--masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita pergi sa-ja dari sini, Eng-moi...."
"Tidak, koko, aku harus membunuh anjing-an-jing Mancu itu, sebanyak mungkin!" Gadis itu
menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.
"Aih, Eng-moi, kenapa engkau tidak mende-ngarkan kata-kataku" Baiklah, Eng-moi kalau
memang engkau begitu haus darah, nah, ini da-daku. Kaubunuhlah aku lebih dahulu daripada
melihat engkau akhirnya akan tertawan atau ter-bunuh dan aku menjadi menyesal dan
berduka." Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis itu. Wajah Bi Eng menjadi
pucat sekali dan suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak
memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang
gagah perkasa dan penuh semangat itu men-jadi bingung dan gelisah, lalu menangis!
"Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?" terdengar bentakan dan
nam-pak sinar berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong. Pemuda ini terkejut, tahu bahwa
yang me-nyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka diapun melempar tubuh ke
belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
711 Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami
atau tunangan Bi Eng! Dan pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput,
pedang-nya sudah membalik dan meluncur lagi seperti ki-lat menyambar-nyambar,
pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu pedang
gabungan dari Koai--liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari pendekar
sakti Kam Hong. Me-mang belum sempurna benar dia menggabung ke-dua ilmu itu, akan
tetapi biarpun belum sempurna, keampuhannya sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-
gulung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup!
Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali dan cepat diapun menggerakkan tubuhnya
mence-lat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar
dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi tidak
pernah disangka-nya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebat-nya ilmu pedangnya.
Juga terjadi semacam keraguan dan kebingung-an di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah
mengenal pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati
sekali. Bagaimana-pun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada semacam
perasaan bersalah terha-dapnya dan kini dia merasa sungkan untuk mela-wan. Maka, biarpun
Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke sana-sini untuk
mengelak saja, masih merasa ra-gu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja
tanpa balas menyerang terhadap se-orang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat ber-bahaya
sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar
pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar
diri-nya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
"Brettt....!" Biarpun kulit tubuhnya be-lum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung
pedang. Barulah Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang
akan mampu merobek ujung bajunya dengan pe-dang, dan hal ini saja membuktikan bahwa
lawan-nya benar-benar amat tangguh.
"Tringgg....!" Tiba-tiba nampak api ber-pijar ketika pedang di tangan Sim Houw yang ma-sih
terus mengejar Ceng Liong itu tertangkis se-batang suling emas.
"Nona Kam.... kau.... kenapa....?" Sim Houw terkejut sekali dan terbelalak meman-dang
wajah Bi Eng. Biarpun gadis ini dengan res-mi menjadi tunangannya, bahkan di antara
mereka masih ada hubungan perguruan karena dia digem-bleng ayah gadis itu dan sebaliknya
gadis itu men-jadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah bergaul dan Sim Houw
adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah bergaul dengan wanita. Oleh karena itu dia
merasa sungkan dan malu dan menyebut gadis itu dengan sebutan "no-na". Tentu saja
pemuda ini merasa kaget dan he-ran sekali melihat betapa tunangannya itu me-nangkis
pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang membuat tunangannya tadi nampak
bi-ngung dan menangis!
"Sim-koko, jangan serang dia!" kata Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata. Pada
saat itu empat orang perajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw dan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

su-ling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat orang perajurit itu
tanpa da-pat bangun maupun bergerak lagi.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
712 "Eng-moi, mari kita pergi....!" kata Ceng Liong. Bi Eng nampak ragu-ragu dan Ceng Liong
lalu memegang tangan gadis itu, menariknya pergi dari situ. Melihat ini, Sim Houw
memandang be-ngong dan bingung.
Pada saat itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya dan
terkejut bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluh-an orang perwira dan perajurit
pemerintah. Di an-tara para perwira yang rata-rata lihai itu terdapat seorang laki-laki yang
gerakannya aneh dan lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang, dan membuatnya
terkejut karena dia seperti mengenal ge-rakan-gerakan yang mirip dengan Koai-liong Kiam-
sut! Ayahnya bukan hanya terdesak, akan tetapi agaknya sudah terluka parah. Tubuhnya
mandi darah dan biarpun pedang Pek-kong Po--kiam masih amat hebat dan merobohkan lagi
be-berapa orang, namun luka-luka di tubuhnya aki-bat anak panah dan bacokan-bacokan
membuat ayahnya terhuyung-huyung. Kiranya, betapapun lihainya Sim Hong Bu,
menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang tak pernah berkurang jumlah-nya karena
setiap kali ada yang roboh, ada pula penggantinya yang maju, akhirnya kakek ini keha-bisan
tenaga dan berkurang kecepatannya sehingga dia terluka oleh beberapa batang anak panah
dan senjata lawan. Apalagi ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang
mengeroyok pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.
"Ayah....!" Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung
ketat itu dan diapun mengamuk. Pedang di ta-ngannya mengeluarkan suara melengking-
lengking dan banyak perajurit dan perwira roboh oleh sinar pedangnya. Akibat kehebatan
pemuda ini, Tek Ciang sendiri menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Tadipun dia
sudah mengenal Kai-liong Kiam-sut. Sebagai murid keluarga Cu, ten-tu saja dia sudah
mendengar tentang Sim Hong Bu yang dianggap murid bahkan mantu durhaka dari keluarga
Cu itu. Maka ketika dia mengeroyok pendekar itu, dia mengenal gerakan Koai-liong Kiam-sut
yang mempunyai dasar-dasar gerakan mirip dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari
keluarga Cu, dan melihat suami Cu Pek In itu, timbul keinginan hati Tek Ciang untuk
membu-nuhnya. Guru-gurunya sudah bercerita tentang kehebatan ilmu pedang itu dan kini dia
mendapat-kan kenyataan betapa lihainya pendekar itu. Akan tetapi setelah dia dan kawan-
kawannya hampir berhasil merobohkan Sim Hong Bu, tiba-tiba mun-cul pemuda yang amat
lihai itu. "Ayah....!" Sim Houw merangkul ayahnya ketika berhasil membuat para pengeroyok
ayahnya kocar-kacir.
"Houw-ji.... aku sudah terluka.... tinggalkan aku dan selamatkanlah dirimu.... engkau tidak
boleh mati.... engkau harus me-lanjutkan perjuanganku kelak.... menyusun tenaga baru...."
Sim Hong Bu terengah-engah menahan nyeri dan dia tetap gagah, pedangnya melintang di
depan dada. "Tidak, ayah.... aku harus melindungi-mu...."
Pada saat itu, Louw Tek Ciang yang merasa penasaran karena ingin sekali merampas pedang
pusaka, sudah menghimpun pembantu-pembantu yang lihai dan mengepung lalu menerjang
ayah dan anak itu. Sim Houw menyambut dan terjadi-lah perkelahian seru antara Sim Houw
dan Tek Ciang. Sim Houw terkejut bukan main mendapat kenyataan betapa lawannya ini
amat tangguh, bu-kan hanya mampu menahan serangan pedangnya, bahkan mampu pula
membalasnya dengan amat hebat! Lebih terkejut lagi ketika kini dia dapat melihat semakin
nyata bahwa dasar-dasar gerakan ilmu pedang dari orang ini mirip dengan Koai-liong Kiam-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
713 sut! Maka diapun memutar pedangnya dan begitu dia mainkan gabungan Koai-liong Kiam--
sut dan Sin-siauw Kiam-sut, Tek Ciang mengeluarkan seruan kaget dan terdesak hebat! Suara
melengking-lengking yang keluar dari pedang pemuda itu mengingatkannya akan suara
tiupansuling keluarga Kam yang pernah membuatnya kalah.
Sementara itu, keadaan Sim Hong Bu semakin payah. Karena terlalu banyak mengeluarkan
darah, orang tua yang gagah perkasa ini semakin berku-rang tenaganya dan menghadapi
pengeroyokan para perwira, biarpun dia masih berbahaya dandapat merobohkan lawan yang
terlalu dekat dengannya, namun dia menerima pula beberapa kali tusukan tombak dan
tubuhnya semakin terhuyun--huyung.
Melihat keadaan ayahnya ini Sim Houw memu-tar pedangnya meninggalkan Tek Ciang dan
melindungi ayahnya. Pedangnya membentuk gulung-an sinar yang panjang dan luas,
membuat para pengeroyok Sim Hong Bu kocar-kacir lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Tek Ciang
bersama kawan-kawan-nya datang menyerbu. Sim Houw merangkul ayahnya dan ayah ini
berkata. "Houw-ji, pergu-nakan pedang ini, pergunakan Pek-kong Po--kiam...."
Sim Houw bertukar pedang dengan ayahnya dan begitu dia memutar Pek-kong Po-kiam,
aki-batnya hebat empat orang perwira terjungkal dan Tek Ciang sendiri terpaksa melompat
mundur sam-pai jauh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sim Houw untuk memondong
ayahnya yang sudah le-mah itu dengan lengan kiri, lalu meloncat pergi.
"Pemberontak, hendak lari ke mana kau?" Tek Ciang yang menginginkan pedang pusaka itu
me-lakukan pengejaran. Akan tetapi Sim Houw bersa-ma ayahnya sudah menghilang di
antara banyak perajurit yang masih bertempur dengan seru itu. Tek Ciang menjadi kecewa
dan marah, lalu mem-bantu para perajurit yang masih mengepung para pendekar.
Keluarga Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebatnya. Pendekar yang sudah tua ini lihai
bukan main, bertempur sambil tertawa-tawa gembira. Juga empat orang isterinya adalah
wanita-wanita yang hebat. Tang Cun Ciu yang dahulu terkenal dengan julukan Cui-beng Sian-
li (Dewi Pencabut Nyawa), bekas isteri tokoh keluarga Cu yang lihai, kini biarpun sudah
berusia enam puluh tahun, masih ganas dan lihai. Juga Cu Cui Bi yang bekas nikouw itupun
mengamuk di samping suaminya. Puteri Nandini, puteri Nepal yang menjadi seorang di antara
isteri-isteri Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebat. Wanita ini pernah menjadi panglima
Nepal dan memang sejak dahulu ia bermusuhan- dengan pemerintah, maka kini ia
memperoleh ke-sempatan melampiaskan dendamnya dan mengamuk, membunuh banyak
sekali perajurit yang berani mendekatinya. Isteri ke empat adalah seorang bongkok bernama
Gan Cui yang juga lihai sekali. Nenek inipun mengamuk dan keluarga Bu yang terdiri dari
lima orang ini telah merobohkan puluh-an orang perajurit pemerintah.
Selain keluarga Bu ini, juga para pendekar yang tadi tidak dapat dibujuk oleh keluarga para
pen-dekar Pulau Es mengamuk. Termasuk di antara mereka ini adalah orang-orang Pek-lian-
pai, Pat--kwa-pai dan Thian-li-pai yang sejak dahulu memang merupakan musuh-musuh lama
pemerin-tah. Perang kecil itu terjadi di Hutan Cemara dan biarpun ratusan orang perajurit
pemerintah roboh dan tewas, namun satu demi satu para pemberontak itu dapat dirobohkan
karena kehabisan tenaga atau kehabisan darah dari luka-luka mereka.
Mulailah sebagian dari mereka mencari jalan untuk melarikan diri. Karena melihat bahwa
per-lawanan mereka akan sia-sia saja, di antara me-reka itupun mulai menyelinap dan mencari
kesem-patan menyelamatkan diri dari pembantaian para perajurit. Akan tetapi Bu-taihiap
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
714 bersama empat orang isterinya tidak mau mundur selangkahpun! Bu-taihiap yang sudah tua
itu agaknya tahu bah-wa usianya tidak akan lama lagi dan dia memilih mati sebagai seorang
pejuang yang gagah perkasa.Agaknya empat orang isterinya itn amat setia kepadanya dan
juga berpendirian sama maka mereka-pun mengamuk di samping suami mereka itu,
se-dikitpun tidak ingin mundur.
Akan tetapi, seperti juga para pendekar yang lain, tenaga keluarga Bu-taihiap ini ada
batasnya. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh tewas di tangan mereka, akan tetapi
saking banyaknya -jumlah lawan, merekapun mulai kehabisan tenaga dan mulai terkena
senjata lawan sehingga luka--luka. Akhirnya, seorang demi seorang dari empat isteri Bu-
taihiap itupun roboh dan Bu Seng Kin sendiri akhirnyapun roboh. Dia dan isteri-isterinya
telah mempertahankan diri sampai titik darah ter-akhir dan tewas sebagai pejuang-pejuang
yang amat gagah perkasa. Perihal mereka ini, dan perihal pertempuran di Gunung Hutan
Cemara itu akan selalu dikenang oleh para patriot di sepan-jang masa. Mereka yang akhirnya
berhasil lolos dari Hutan Cemara itulah yang bercerita tentang kegagahan keluarga Bu-taihiap
dan pertempuran di Hu-tan Cemara itu terkenal dengan nama Banjir Darah Di Hutan Cemara.
Di antara seratus lebih orang yang melawan pa-sukan pemerintah, hanya ada belasan orang
saja yang berhasil lolos dan selebihnya tewas dengan tubuh hancur di bawah hujan senjata.
Akan tetapi, korban para pejuang yang jumlahnya kurang dari seratus orang itu ditebus
dengan nyawa hampir seribu orang perajurit Mancu!
Louw Tek Ciang merasa gemas sekali melihat betapa keluarga Pulau Es berhasil
menyadarkan banyak pendekar yang kemudian hanya digiring ke kota raja oleh Jenderal Cao
seperti yang diminta oleh Kao Cin Liong dan Puteri Milana. Tek Ciang tidak berani
membantah, bahkan dia tidak berani memperlihatkan muka di depan keluarga Pulau Es,
melainkan mendahului pasukan pulang ke kota raja.
Barulah ketika keluarga Pulau Es diperkenan-kan menghadap kaisar bersama para pendekar
yang urung memberontak, Tek Ciang menyelinap di antara para panglima. Ketika Cin Liong
dan Suma Hui melihat Louw Tek Ciang berada di antara para panglima menghadap kaisar,
mereka terkejut bukan main. Juga Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan para keluarga
Pendekar Pulau Es inipun diam-diam tahu siapakah yang menjadi pengkhianatnya sehingga
pertemuan antara pendekar itu sampai diketahui kaisar dan disergap. Tentu iblis itulah yang
menjadi biang keladinya. Akan tetapi keluarga Pulau Es tidak tahu apa yang telah ter-jadi dan
bagaimana iblis itu memperoleh keperca-yaan kaisar. Hanya seorang di antara para pen-dekar
yang berada di situ, yaitu Kwee Cin Koan, yang mengerutkan alisnya. Ketika berada di Hutan
Cemara, sebelum pasukan menyerbu, dia berkesem-patan bertemu dengan wakil Kun-lun-pai
dan dia mendengar bahwa kekasihnya, Can Kui Eng, terbunuh oleh susioknya sendiri. Ketika
dia bertanya dengan hati hancur tentang surat titipannya yang ditujukan kepada seorang
panglima di kota raja, para wakil Kun-lun-pai tidak tahu. Mereka hanya menceritakan bahwa
juga sebuah kitab pe-lajaran lenyap dari kamar perpustakaan Kun-lun-pai.
Ketika keluarga Pulau Es muncul dan menya-darkan para pendekar, Kwee Cin Koan dan
lima orang sutenya dari Kong-thong-pai juga ikut sa-dar dan menggabung dengan keluarga
Pulau Es, apalagi karena semangatnya telah menjadi sete-ngah lumpuh oleh berita tentang
kematian keka-sihnya. Juga wakil-wakil Kun-lun-pai yang dapat melihat keadaan, ikut dalam
rombongan kelu-arga Pulau Es. Ketika berada di dalam rombongan itu dan hanya
menyaksikan terjadinya pertempuran, wakil-wakil Kun-lun-pai yang melihat Louw Tek Ciang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
715 di antara para perwira, memberi tahu kepada Kwee Cin Koan bahwa orang itu adalah seorang
tamu Kun-lun-pai yang menyaksikan terbunuhnya Can Kui Eng.
Karena itulah, ketika mereka semua dibawa menghadap kaisar, Kwee Cin Koan mengerutkan
alisnya dan memandang kepada Louw Tek Ciang dengan bermacam perasaan. Orang itulah
yang tahu tentang kematian kekasihnya dan agaknya hanya orang itu yang akan dapat
memberi keterang-an dengan jelas. Para wakil Kun-lun-pai agaknya tidak mau banyak bicara
tentang kematian Can Kui Eng dan dia sendiripun merasa sungkan untuk mendesak.
Kaisar Kian Liong merasa sedih mendengar pelaporan tentang penyerbuan di Hutan Cemara.
Dia merasa penasaran sekali mendengar betapa tokoh-tokoh pendekar yang dikenalnya,
bahkan tokoh-tokoh yang dikagumi dan yang pernah meno-longnya ketika dia masih
pangeran dahulu seperti Bu-taihiap dan isteri-isterinya, ikut pula menjadi pemberontak dan
tewas oleh pasukannya.
"Penasaran! Penasaran!" Kaisar menepuk-ne-puk pahanya dengan wajah murung. "Mengapa
me-reka itu memberontak" Mengapa para pendekar yang dahulu selalu melindungiku, kini
malah mem-berontak dan memusuhi aku?"
"Maaf, sri baginda," tiba-tiba Puteri Milana berkata sudah memberi hormat. "Sesungguhnya
mereka itu sama sekali tidak memusuhi paduka se-cara pribadi."-
Kaisar memandang kepada nenek itu dengan alis berkerut. "Bibi Milana, engkau yang
termasuk pendekar, akan tetapi pernah pula menjadi pangli-ma kerajaan, jelaskanlah apa yang
menyebabkan mereka memberontak kalau mereka tidak memben-ci dan memusuhi aku?"
Wanita itu kembali memberi hormat. "Hamba tahu benar bahwa para pendekar itu pada
umumnya sayang kepada paduka, menjunjung tinggi ke-adilan dan memuji dengan kagum
kebijaksanaan paduka di dalam pemerintahan. Akan tetapi, sejak dahulu, para pendekar itu
merasa tidak senang me-lihat betapa tanah air mereka terjajah. Itulah se-babnya mengapa
mereka memberontak."
Kaisar Kian Liong menjadi lemas dan menun-dukkan muka sampai lama, berulang kali
menarik napas panjang. Jauh di lubuk hatinya dia dapat merasakan apa yang diderita oleh para
pendekar itu. Dan apakah yang dapat dilakukannya" Pen-jajahan dari bangsanya, Bangsa
Mancu, terhadap selurah Tiongkok ini dilakukan oleh nenek moyangnya dan dia hanya
sebagai keturunan yang melanjutkan pemerintahan saja. Namun dia sudah berusaha untuk
mendirikan pemerintahan yang baik adil dan bijaksana. Bagaimanapun juga, tidak mungkin
dia menghapus rasa tidak suka karena dijajah itu dari hati para pendekar.
"Dan bagaimana dengan para pendekar yang kalian bawa menghadap itu?" tanya kaisar
ke-mudian, dengan sinar mata kesal memandang ke-pada mereka yang menghadap, berlutut di
situ dan menundukkan muka.
"Hamba dan Panglima Kao Cin Liong berhasil menyadarkan mereka dan selanjutnya terserah
ke-pada paduka," kata Puteri Milana.
Kaisar menoleh kepada panglima muda Kao Cin Liong dan kaisar mengerutkan alisnya. Dia
teringat akan laporan Louw Tek Ciang. Tadinya dia sendiri mencurigai Jenderal Kao ini dan
kelu-arga Pulau Es, akan tetapi ternyata sekarang bahwa keluarga Pulau Es yang telah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
716 menyadarkan seba-gian para pendekar dan karena itu maka pertem-puran tidaklah sehebat
kalau mereka semua memberontak. Sukar dibayangkan betapa hebatnya dan betapa
banyaknya perajurit yang akan tewas seki-ranya keluarga Pendekar Pulau Es ikut pula
memberontak! "Bagaimana, Kao-ciangkun" Apa kete-ranganmu tentang semua peristiwa ini?"
Cin Liong melirik ke arah Tek Ciang, lalu memberi hormat dan berkata dengan suara lantang,
sedikitpun tidak kelihatan takut. "Harap sri bagin-da maafkan kalau hamba bicara secara terus
terang saja. Sebetulnya, para pendekar yang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara itu
sama sekali belum melakukan perbuatan memberontak. Para pende-kar itu hanya ingin
mengadakan pertemuan dan memilih seorang bengcu di antara mereka. Me-mang, harus
diakui bahwa sebagian besar dari me-reka mempunyai jiwa patriot dan merasa tidak suka
akan penjajahan. Akan tetapi, ketika mereka mengadakan pertemuan itu, sama sekali belum
ada rencana pemberontakan atau gerakan memberon-tak."
Kaisar mengangguk-angguk. "Boleh jadi de-mikian, akan tetapi mereka telah bersekongkol
de-ngan Jenderal Gan!"
"Hamba tidak tahu akan hal itu, sri baginda. Yang hamba ketahui bahwa para pendekar itu
mengadakan pertemuan dan begitu hamba mende-ngar tentang persekutuan dengan Jenderal
Gan dan ditangkapnya panglima itu, hamba bersama keluar-ga Pulau Es segera pergi ke
Hutan Cemara untuk menyadarkan mereka. Sayang bahwa sebagian dari mereka tidak mau
dibujuk sehingga terjadi pertem-puran itu. Akan tetapi, hamba telah berjanji ke-pada mereka
yang sadar untuk memintakan ampun kepada paduka dan hamba percaya akan kebijaksanaan
paduka untuk mengampuni saudara-sauda-ra yang sama sekali belum memperlihatkan
perbu-atan memberontak ini."
"Hamba juga memohonkan ampun bagi mereka," kata pula Puteri Milana dan perbuatan ini
diturut pula oleh para keluarga Pulau Es.
Kaisar Kian Liong menghela napas panjang. "Baiklah, kami mengampuni mereka, akan
tetapi mereka akan dicatat dan kalau sampai ketahuan mengadakan persekutuan untuk
memberontak lagi, kami akan bertindak dan tidak akan dapat mengampuni mereka lagi." Para
pendekar menghaturkan terima kasih atas kebijaksanaan kaisar. Mereka lalu diperkenankan
keluar dari istana.
Peristiwa di Hutan Cemara itu tidak habis sam-pai di situ saja. Kao Cin Liong yang merasa
betapa sejak itu sikap kaisar berobah terhadap dirinya, dan karena dia sendiripun merasa
betapa batinnya terpecah antara kesetiaan kepada kaisar dan setia kawan kepada para
pendekar dan patriot, lalu tidak lama kemudian mengajukan permintaan untuk mengundurkan
diri. Permohonan yang kedua ka-linya ini tidak ditolak oleh kaisar. Bukan hanya peristiwa itu
saja yang mendorong Kao Cin Liong mengundurkan diri, melainkan ada sebab lain lagi, yaitu
ketika dia mendengar bahwa Louw Tek Ciang diberi anugerah oleh kaisar, diangkat men-jadi
seorang pembesar militer yang bertugas di utara!
"Si keparat itu!" Isterinya, Suma Hui mengepal tinju dan wajahnya nampak membayangkan
keben-cian. "Kalau tidak membalasnya sekarang, kalau sampai dia menjadi pembesar, maka
usahaku membalas kepadanya tentu akan mudah dicap pembe-rontak." Demikian antara lain
isterinya mengeluh dan akhirnya Kao Cin Liong memaksakan diri mengajukan permohonan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
717 kepada kaisar untuk me-letakkan jabatannya. Setelah urusan itu selesai, dia bersama isterinya
mulai melakukan penyelidikan dan mencari kesempatan untuk dapat menyergap Louw Tek
Ciang dan membalas dendam sebelum oran itu memegang jabatannya di utara.
*** "Ayah....!" Sim Houw mengeluh dengan sedih. Ayahnya terluka berat dan hampir kehabis-an
darah karena luka-lukanya. Kini dia meletak-kan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia
sendiri berlutut di dekat ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di mana terjadi
pertempuran dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan di balik bukit yang penuh
hutan. "Ayah, bagaimana keadaanmu?"
Sim Hong Bu membuka matanya dan meman-dang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali,
se-pasang mata itupun sudah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim
Houw mende-katkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah
demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-
bisikan ayahnya.
"Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng....?"
Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu
adalah se-orang anggauta keluarga Pulau Es. "Tadi aku tahu, ayah, akan tetapi ia pergi, entah
ke mana." Hati-nya tidak senang. Mengapa ayahnya yang keada-annya separah itu bicara
tentang gadis itu"
"Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong....?"
"Siapa dia, ayah" Aku tidak tahu...."
"Dia.... dia cucu Peudekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng.... ahh,
aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara kalian...."


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu" Aku sama sekali tidak memikirkan tentang
perjodohan itu!"
"Benarkah...." Benarkah itu, anakku" Be-narkah bahwa engkau.... engkau tidak mencin-ta Bi
Eng....?" Sim Houw menjadi semakin heran. Dia menge-rutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya
yang parah membuat ayahnya berobah pikiran" Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya
menanyakan hal yang bukan-bukan"
"Ayah, kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biarpun kami sudah saling
bertunang-an, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mung-kin ada cinta?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
718 Anehnya mendengar ucapan, itu wajah orang tua itu nampak girang! "Bagus, bagus.... ah,
senang hatiku mendengar ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam
Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi...."
Sim Houw membelalakkan matanya. "Ayah, apa.... apa maksudmu?" Dia masih bingung dan
heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal perjodohan yang harus dia
pu-tuskan itu.Ayahnya yang sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan
kuat untuk beberapa detik lamanya, lalu pegangannya me-ngendur. "Dengar baik-baik.... Bi
Eng saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku melihat dan mendengarnya sendiri....
dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan ayahmu.... ingatlah,
nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami
berpisah.... sebelum terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali- kali....
menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma...." Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai
lemas. "Ayaaaahhh....!" Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi
itu. Baru detik inilah pemuda itu merasakan ke-dukaan yang hebat, rasa kesepian dan
sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang amat dicintanya. Ibunya tidak pernah
memperdulikan-nya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan semenjak ayah dan ibunya
berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada
ibunya yang membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman. Dan kini ayahnya
meninggalkannya untuk selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga menyakitkan
hatinya itu. Dia harus melepaskan ikatan jodohnya dengan puteri gurunya! Memang, dia
belum pernah jatuh cinta, dan terhadap Bi Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena
tadinya menganggap gadis itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum pernah merasa
jatuh cinta kepada gadis itu.
"Ayah....!" Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lem-but
merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.
Pada saat itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap
pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bah-wa tentu pemuda Pulau Es yang
dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh ayahnya
dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang. Tentu
tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu
berada dalam bingung dan ragu.
"Suhu....!"
Sim Houw menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungan sendiri, pemuda
yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi Eng dan
Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim Houw merasa betapa
seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan
diapun memejamkan hatinya, lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air
matanya yang akan tumpah lagi.
"Suhu....!" Sekali lagi Bi Eng berseru dan kini gadis itupun lari menghampiri, lalu
menjatuh-kan diri berlutut di dekat jenazah gurunya, tak dapat menahan air matanya yang
menetes-netes turun membasahi pipinya. Sejenak ia terisak. Gu-runya adalah seorang yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
719 amat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini
amat mengejutkan dan menye-dihkan hatinya.
Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah.
"Apakah yang telah terjadi" Mengapa.... suhu...."
"Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah telah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar,
tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!" Ucapan Sim Houw itu
lantang dan me-mang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng Lioug.
Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini
pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.
"Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa
kagum dan hormatku kepadanya," kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri sendiri.
Sim Houw menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng
yang masih berlutut, "Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kaubela di Hutan Cemara.
Siapakah dia" Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?"
Wajah gadis itu berobah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang
me-mang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan berani
bertanggung jawab, apapun resikonya ia berani menghadapinya. Maka iapun bangkit dan
sejenak ia memandang kep-ada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu
mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu kini berub-ah menjadi
sumoi (adik seperguruan), maka iapun menyebut suheng kepadanya.
"Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik."
Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong
juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata Ceng
Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.
"Kam-sumoi, bagaimanapun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah
ditunang-kan dan sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak
mengetahui ke-adaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?"
"Sim-suheng, apa maksudmu?" Bi Eng berta-nya, memandang tajam.
"Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah eng-kau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?"
Tentu saja pertanyaan yang merupakan serang-an langsung ini amat mengejutkan Bi Eng.
Tak disangkanya tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan karena
datangnya per-tanyaan begitu tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, ia menjadi terkejut dan
sejenak ia bungkam tak mampu mengeluarkan jawaban!
"Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?" Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia mengangguk. "Benar, suheng," jawabnya
kemu-dian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
720 Kini Sim Houw membalikkan tubuh mengha-dapinya. Ceng Liong sudah siap untuk
menghadapi serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini meru-pakan lawan yang tangguh.
Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya, melainkan bertanya, suaranya
tetap tenang dan tegas.
"Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?"
Ceng Liong mengangguk perlahan. "Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja
kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling jumpa
lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku me-mang mencintanya, saudara Sim."
Sim Houw menarik napas panjang. "Bagus, aku hargai kejujuran kalian berdua. Sekarang
bereslah sudah...." dan diapun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.
"Sim-suheng.... kau.... kaumaafkan aku...." Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati
kasihan. Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggeleng kepala. "Sumoi,
tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaaf-kan. Akupun harus jujur kepadamu.
Sesungguh-nya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang tua kita, sedangkan di antara
kita sendiri tidak per-nah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah ber-kenalan atau bergaul,
jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi, karena hal ini
menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan
mengurus jenazah ayah, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta
di-putuskannya tali perjadohan antara kita."
Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali. "Suheng, betapa bijaksana hatimu...."
Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan meng-geleng kepala. "Aku bertindak biasa saja,
sesuai dengan pesan terakhir ayahku...."
"Suhu....?" Bi Eng bertanya kaget.
"Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam
pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan
tali perjo-dohan."
"Ah, suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?" tanya Bi Eng
cemas. Gurunya amat sayang kepadanya dan hatinya akan merasa menyesal sekali kalau
sebe-lum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya.
Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu menggeleng-kan kepalanya.
"Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang sudah mengalami penderitaan pahit dalam
pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta
kasih kedua pihak takkan mendatangkan kebahagiaan, oleh karena itu bahkan ayah yang
menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi."
"Ah, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian...." kata Bi Eng terharu
sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang suhunya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
721 "Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul
kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah."
"Tidak, suheng. Aku akan membantumu meng-urus jenazah suhu."
"Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahh, tinggalkan aku....
sendirian bersama ayah....!" Pemuda itu me-nutupi kedua mukanya. Agaknya kedukaan yang
mencekam hatinya sudah memuncak membuat pe-muda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat
ini, Ceng Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.
Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya daripada
ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan
benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan seba-gainya. Selama batin terikat, maka
sekali terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan
jalan orang atau ben-da yang terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita
sendiri yang meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpi-sahan, dari
semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan
kehi-langan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.
Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin
timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin me-miliki segala yang menyenangkan dan
membuang segala yang tidak menyenangkan.
Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak perduli terhadap
kelu-arga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan
sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban--kewajiban kita sebagai
seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai ini. Sama sekali tidak
demikian. Kebebasan batin ber-arti batin yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu
karena kewaspadaan melihat bahwa ikatan-ikatan ini hanya akan menimbulkan duka, baik
bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
*** Rombongan itu jelas sekali dapat dikenal seba-gai rombongan pembesar. Kereta-kereta yang
me-gah itu diberi tanda pangkat dan tiga buah kereta yang tertutup itu dikawal oleh pasukan
yang ju-mlahnya tiga losin. Biarpun hanya tiga losin orang perajurit yang mengawal tiga buah
kereta itu, na-mun para perajurit itu nampak tegap- tegap dan memang mereka adalah
perajurit-perajurit pilihan dari kota raja yang kini bertugas mengawal Louw--ciangkun,
pembesar militer yang baru diangkat oleh kaisar dan kini sedang menuju ke tempat dia
bertugas, yaitu di kota Shen-yang, jauh di utara.
Louw Tek Ciang, pembesar militer itu, adalah orang amat cerdik. Dia tahu bahwa dirinya
teran-cam bahaya setelah dia mengkhianati para pende-kar di Gunung Cemara. Oleh karena
itu, sebelum berangkat ke tempat tugasnya, dia telah membuat persiapan yang dianggapnya
cukup matang. Dia mengutus seorang perajurit untuk mengundang ke-luarga Cu ke kota raja.
Sambil menanti kedatangan guru-gurunya, diam-diam dia juga mengadakan hubungan dengan
tokoh-tokoh yang pernah men-jadi persekutuan untuk mencari kedudukan. Me-reka itu adalah
tokoh-tokoh yang pernah berse-kutu dengan Yong Ki Pok, gubernur di Sin-kiang yang
memberontak. Gerombolan orang ini masih selalu menanti-nanti saat yang baik dan akhirnya
mereka dapat berhubungan dengan Louw Tek Ciang yang sudah memperoleh kedudukan baik
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
722 itu. Pembesar muda ini dapat mereka pergunakan sebagai tangga atau batu loncatan ke arah
kedu-dukan yang lebih menguntungkan. Di lain pihak, Tek Ciang yang cerdik itu dapat
mempergunakan kepandaian mereka untuk melindungi dirinya. Yang berhasil dihubungi oleh
Tek Ciang dan sudah menanti di luar kota raja untuk bergabung dengannya adalah Thai-hong
Lama, yaitu Lama jubah merah dari Tibet yang lihai sekali itu. Juga Pek-bin Tok-ong, tokoh
Go-bi yang tidak kalah lihainya. Bahkan dua orang asing yang merupakan tokoh-tokoh pula
dalam persekutuan itu, yakni Siwananda bekas Koksu Nepal, dan Tai-lu-cin raksasa Mongol,
juga ikut serta dalam persekutuan bekerja sama dengan Tek Ciang. Empat orang to-koh lihai
ini menyelundup ke dalam pasukan pe-ngawal karena Tek Ciang cukup cerdik untuk
me-nyembunyikan mereka, bukan hanya dari mata orang luar yang akan menaruh curiga,
akan tetapi juga dari mata Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In yang datang
memenuhi undangannya ke kota raja.
Keluarga Cu itu merasa gembira dan bangga sekali melihat kemajuan yang dicapai Louw Tek
Ciang. Dua orang tokoh keluarga Cu itu biarpun agak kecewa mendengar bahwa Tek Ciang
belum sempat membalaskan kekalahan mereka kepada pendekar Kam Hong, juga merasa
menyesal sekali mendengar bahwa murid baru mereka yang ke dua, yaitu Pouw Kui Lok,
telah tewas. Akan tetapi ke-kecewaan ini terobati ketika Tek Ciang menjanji-kan bahwa kelak
dia tentu akan dapat membalas kekalahan itu karena dia sedang menyempurnakan ilmu Sin-
liong Ho-kang untuk melawan lengking-an suara suling dari keluarga Pendekar Suling E-mas
itu. Juga hati dua orang kakek ini terhibur ke-tika mereka diajak oleh Tek Ciang untuk ikut
per-gi ke Shen-yang, tempat di mana dia akan bertu-gas sebagai seorang panglima baru. Tentu
saja Cu Pek In juga gembira bukan main dan tanpa ma-lu-malu atau ragu-ragu lagi wanita ini
memper-lihatkan kemesraannya terhadap Tek Ciang, kini berterang di depan ayah dan
pamannya. Di antara kedua orang ini memang sudah ada hubungan cinta ketika Tek Ciang
belajar ilmu di Lembah Naga Siluman. Kini, setelah Tek Ciang menjadi seorang panglima,
tentu saja Cu Pek Inmengharapkan untuk menjadi isteri yang sah dari pria yang sepu-luh
tahun lebih muda darinya itu.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, berangkatlah Louw Tek Ciang bersama
rombongan-nya. Dia duduk di sebuah kereta bersama Cu Pek In dan biarpun hal ini
sesungguhnya amat janggal, namun Cu Han Bu yang sudah prihatin melihat hubungan
puterinya putus dengan mantunya, dan diam-diam mengharapkan puterinya itu akan da-pat
menjadi isteri murid barunya yang kini menjadi panglima, pura-pura tidak tahu dan diam saja.
Cu Han Bu sendiri bersama adiknya, Cu Seng Bu, duduk di kereta ke dua sedangkan barang-
barang mereka ditaruh di dalam kereta ke tiga. Tiga buah kereta ini dikawal oleh tiga losin
pasukan pilihan yang sengaja dipilih oleh Tek Ciang dari pasukan keamanan di kota raja.
Ketika rombongan tiba di luar tembok kota raja muncullah empat orang tokoh petualang itu
di tempat yang dijanjikan. Tek Ciang keluar sebentar dari kereta untuk menyambut mereka
dan empat orang itu lalu diberi kuda-kuda pilihan yang su-dah disediakan, kemudian mereka
berempat ikut pula dalam pasukan pengawal, diterima sebagai "pengawal-pengawal pribadi"
Louw- ciangkun!
Lewat tengah hari, rombongan ini melalui se-buah bukit yang sunyi. Ketika mereka tiba di
ta-nah datar yang diapit hutan, tiba-tiba mereka dihadang oleh beberapa orang yang berdiri di
te-ngah jalan dan mereka mengangkat tangan ke atas memberi isyarat agar rombongan itu
berhenti. Ke-tika para pengawal yang berada di depan mengenal seorang di antara mereka
yang berdiri menghadang, mereka terkejut, menghentikan kuda dan memberi isyarat ke
belakang agar rombongan berhenti. Seo-rang perwira pasukan pengawal segera turun dari atas
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
723 kudanya dan memberi hormat kepada orang yang dikenalnya itu. Orang itu adalah Kao Cin
Liong! Biarpun dia kini sudah tidak menjadi panglima lagi, sudah mengundurkan diri dan
ber-pakaian biasa, akan tetapi para perajurit itu me-ngenalnya dan nama Kao Cin Liong ini
amat popu-ler di antara perajurit sebagai seorang panglima yang disegani dan dikagumi.
Maka, begitu melihat bahwa yang menghadang dan menyuruh mere-ka berhenti itu adalah
bekas jenderal itu dan bebe-rapa orang tua yang nampak gagah, pasukan pe-ngawal itu segera
berhenti. Ketika kereta terpaksa dihentikan oleh kusirnya karena para pengawal di depan juga
menghentikan kuda, Tek Ciang merasa heran dan diapun menje-nguk keluar dari jendela.
Dapat dibayangkan be-tapa kaget rasa hatinya ketika dia melihat orang--orang yang
menghadang di depan itu. Kao Cin Liong, Suma Hui, Suma Kian Lee dan isterinya, Kao Kok
Cu dan isterinya, dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Pemuda itu adalah Kwee Cin
Koan, murid Kong-thong-pai, kekasih Can Kui Eng.
Celaka, pikirnya. Biarpun dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang gurunya
she Cu yang lihai berada di situ, bersama Cu Pek In, dan masih dibantu oleh empat orang
tokoh yang sakti, namun dia merasa gentar juga menghadapi para penghadang itu, terutama
sekali Suma Kian Lee bersama isteri dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ber-sama isteri. Maka dia
lalu menoleh ke belakang, memikirkan jalan lari atau kembali ke kota raja untuk melapor dan
mengerahkan balatentara meng-hadapi mereka itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia
melihat jalan mundur sudah dipotong pula. Di situ berkumpul banyak sekali pendekar,
agaknya para pendekar yang lolos dari pengepung-an di Hutan Cemara!
"Pemberontakan! Serbu mereka....!" Bentak Tek Ciang kepada pasukan pengawalnya.
Teriakan ini mengejutkan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang segera berloncatan keluar. Juga
Cu Pek In meloncat keluar mencabut sulingnya, sedangkan empat orang kakek yang
menyelinap di antara para pengawal sudah siap-siap pula. Akan tetapi, per-wira dan para
perajurit pengawal itu sendiri diam saja tidak bergerak!


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasukan pengawal, serbu para pemberontak yang menghadang di depan!" Tek Ciang
meng-ulangi perintahnya.
Akan tetapi para perajurit itu tidak bergerak, dan perwiranya tidak memberi aba-aba
menyerang, bahkan dia yang sudah turun dari kuda itu lari menghampiri Tek Ciang, lalu
berkata. "Ciangkun, mereka itu bukan pemberontak, melainkan Kao-goanswe dan beberapa
orang locianpwe yang hendak bicara dengan Louw-ciangkun!"
Dua orang she Cu itu juga sudah menghampiri Tek Ciang dan mendengar pelaporan perwira
itu, Cu Han Bu berkata kepada muridnya. "Kalau me-reka ada urusan, lebih baik kita temui
saja dan dengarkan apa kehendak mereka menghadang perjalanan kita."
Tek Ciang merasa serba salah dan karena di situ terdapat keluarga Cu, diapun tidak dapat
berbuat lain kecuali menurut, akan tetapi lebih dahulu dia membakar hati kedua orang
gurunya. "Harap suhu ketahui bahwa kita sudah terkurung dari depan dan belakang. Mereka
adalah pemberontak-pem-berontak yang menentang pemerintah dan mereka tentu akan
mengganggu teecu yang baru saja di-angkat menjadi panglima."
"Jangan takut, kalau memang mereka pembe-rontak, kita hancurkan di sini bersama pasukan
pengawal!" kata Cu Han Bu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
724 "Akan tetapi suhu tidak tahu siapa mereka! Mereka adalah komplotan keluarga yang hendak
mencelakakan teecu. Seperti pernah teecu cerita-kan kepada ji-wi suhu, isteri teecu dirampas
oleh Jenderal Kao Cin Liong dan sekarang dialah yang menghadang di sana bersama bekas
isteri teecu, bekas kedua mertua teecu dan juga orang tua jen-deral itu. Mereka tentu akan
mencelakai teecu."
Cu Han Bu mengerutkan alisnya. Memang per-nah Tek Ciang bercerita bahwa dia pernah
meni-kah akan tetapi isterinya itu dirampas oleh seorang jenderal muda. Isterinya, juga kedua
orang mertu-anya memilih jenderal itu yang berkedudukan ting-gi. Karena Tek Ciang sebagai
muridnya yang ber-bakat itu telah menjadi seorang duda, maka diam--diam mengharapkan
agar murid ini dapat berjodoh dengan puterinya yang juga dapat dibilang sudah menjadi janda
karena sudah berpisah dari suaminya. Maka, kini mendengar bahwa keluarga bekas isteri dan
jenderal yang merampas isteri mu-ridnya itu yang menghadang, tentu saja hatinya sudah
diliputi rasa tidak senang.
"Jangan takut, aku akan membantumu!" kata-nya membesarkan hati dan mereka bertiga,
diikuti pula oleh Cu Pek In, segera berjalan menuju ke depan di mana tujuh orang itu berdiri
di tengah jalan. Diam-diam, empat orang pembantu Tak Ciang juga sudah mendekati tempat
itu, siap untuk membantu kalau diperlukan. Di antara mereka dan Tek Ciang, sudah ada
persetujuan bahwa mereka tidak akan sembarangan keluar memperlihatkan diri kalau tidak
dimintai bantuan. Hal ini untuk mencegah adanya kecurigaan dari siapapun juga datangnya.
Sejak tadi, Suma Hui hanya memandang kepada Tek Ciang seorang, tidak memperdulikan
lain orang yang datang bersama musuh besarnya ini. Dan begitu Tek Ciang dan
rombongannya tiba di situ, Suma Hui sudah mencabut keluar sepasang pe-dangnya dan
dengan sikap gagah wanita ini ber-diri melintangkan sepasang pedang di depan dada, sambil
membentak. "Louw Tek Ciang, kami da-tang untuk mengadu nyawa denganmu!
Bersiap-lah!"
Menghadapi Suma Hui, tentu saja Tek Ciang tidak merasa takut sedikitpun juga. Akan tetapi
dia merasa gentar menghadapi yang lain-lain, ma-ka dia berusaha menarik sikap angkuh dan
mem-bentak. "Keluarga pemberontak! Beranikah engkau menghadang perjalananku"
Tahukah kalian bahwa aku adalah seorang pembesar pemerintah, seorang pejabat militer yang
sedang dalam perjalanan me-nuju ke tempat tugas?"
"Louw Tek Ciang, tak perlu banyak cerewet. Engkau tahu bahwa urusan antara kita adalah
urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut--pautnya dengan pemerintah!" Suma Hui
memben-tak dan kelihatannya wanita ini sudah marah sekali, penuh dendam yang ditahan-
tahan sejak bertahun-tahun. Diam-diam keluarga Cu merasa heran sekali. Wanita ini, kalau
benar bekas isteri Tek Ciang, telah melakukan perbuatan tidak mengenal malu, lari dari suami
untuk menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi wanita itu kini kelihatannya begitu
marah dan penuh dendam kepada Tek Ciang, bekas suaminya yang ditinggalkan!
Tek Ciang merasa tersudut, akan tetapi dia tersenyum mengejek dan memandang wajah
Suma Hui yang belum pernah menjadi isteri yang sesungguhnya itu. "Hemm, Suma Hui,
jangan dikira aku takut melawanmu. Akan tetapi apakah hanya engkau yang akan maju
menandingiku, ataukah engkau hendak mengandalkan pengeroyokan orang--orang lain?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
725 "Keparat Louw Tek Ciang! Fitnah yang kau-jatuhkan kepada diriku patut kautebus dengan
nyawamu!" bentak Kao Cin Liong sambil me-ngepal tinjunya dan memandang marah.
"Iblis busuk, akupun sudah terlalu lama meni-tipkan nyawamu kepadamu, sekarang harus
kuca-but nyawamu untuk perbuatanmu yang terkutuk terhadap keluarga kami!" Tiba-tiba
Suma Kian Lee membentak pula dan sepasang mata pende-kar ini mencorong mengeluarkan
sinar berkilat.
"Biarkan aku yang akan menghancur-lumat-kan kepala iblis jahanam ini!" Kim Hwee Li
mem-banting kakinya dengan marah.
Melihat betapa semua orang memusuhi dan hendak membunuh muridnya, tentu saja Cu Han
Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In menjadi pena-saran dan marah. Dua orang kakek Cu
sudah me-langkah maju dan Cu Han Bu dengan alis berkerut lalu berkata, suaranya lantang
berwibawa. "Bagus! Sudah lama kami mendengar bahwa keluarga Pulau Es adalah orang-orang gagah
dan pendekar- pendekar sejati, akan tetapi kiranya hanyalah orang-orang yang mengandalkan
jumlah banyak untuk mengeroyok orang! Sungguh meng-herankan sekali!"
"Siapa mau mengeroyok dan siapa mengandalkan jumlah banyak" Cih, tak tahu malu! Lihat
saja, siapa yang lebih banyak membawa kawan" Boleh kalian maju satu demi satu, akan kami
tan-dingi satu lawan satu!" Kim Hwee Li sudah mem-bentak dan melangkah maju.
Akan tetapi Suma Kian Lee dapat menduga bahwa dua orang kakek itu tentu bukan orang
sembarangan. Dia sudah mengenal kelicikan Tek Ciang dan dia khawatir kalan-kalau Tek
Ciang mengelabuhi tokoh sakti untuk diadu domba de-ngan pihaknya, maka dengan tenang
dia meraba lengan isterinya dan memberi isyarat agar isteri-nya bersabar, kemudian dia
sendiri menjura kepada dua orang kakek itu.
"Maaf, saya Suma Kian Lee adalah keturunan Pulau Es. Agar tidak terjadi kesalahpahaman,
saya ingin tahu siapakah ji-wi dan hendaknya ji-wi ketahui bahwa antara kami dan iblis busuk
Louw Tek Ciang ini terdapat urusan pribadi yang tidak mungkin dapat dicampuri orang lain."
Mendengar bahwa pria yang gagah dan bersi-kap tenang itu adalah Suma Kian Lee, putera
Pen-dekar Super Sakti yang terkenal, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memandang penuh
perhatian. Mereka berdua sudah mendengar cerita murid mereka Louw Tek Ciang, bahwa Tek
Ciang menjadi murid dan kemudian menjadi mantu pendekar ini, akan tetapi betapa kemudian
isterinya itu, dengan persetujuan ayahnya, menyeleweng, bahkan lalu menja-di isteri jenderal
Kao Cin Liong. Oleh karena itu, biarpun diam-diam mereka kagum kepada putera Pendekar
Super Sakti ini, namun di dalam hati me-reka sudah terkandung rasa tidak suka. Karena itu,
Cu Han Bu tersenyum pahit.
"Ah, kiranya kami berhadapan dengan pende-kar Suma yang terkenal" Maaf, kami berdua
hanya orang-orang biasa saja, namaku Cu Han Bu dan ini adikku Cu Seng Bu. Biarpun antara
kalian dan Louw Tek Ciang terdapat urusan pribadi, akan tetapi mengingat bahwa Tek Ciang
telah menjadi murid kami, maka urusan pribadinya berarti juga urusan kami."
Suma Kian Lee yang tidak pernah atau jarang sekali merantau, tidak mendengar nama
keluarga Cu. Akan tetapi dari sikap mereka dia dapat men-duga bahwa dua orang she Cu ini
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
726 tentu memiliki kepandaian tinggi dan bukan golongan orang jahat. Besar sekali
kemungkinannya mereka berdua ini dikelabuhi pula oleh Tek Ciang sehingga mereka sampai
mengambil murid seorang jahat macam Tek Ciang.
"Biarkan mereka membantu murid mereka yang jahat, kami tidak takut!" Kim Hwee Li
sudah membentak marah, akan tetapi kembali suaminya menyentuh lengan isterinya agar
isterinya bersa-bar.
"Pendapat ji-wi kami hormati, bahwa urusan pribadi murid berarti juga urusan pribadi
gurunya. Akan tetapi kami kira para pendekar bijaksana ti-dak akan ada yang membela
muridnya kalau me-ngetahui bahwa muridnya itu menyeleweng dan jahat, sebaliknya mereka
tentu akan menghukum muridnya. Dan kami percaya bahwa ji-wi termasuk pendekar
bijaksana, bukan golongan sesat yang saling membantu dalam kejahatan."
Dua orang kakek Cu itu saling pandang, kemudian mereka menoleh dan memandang kepada
mu-rid mereka dengan alis berkerut dan mata penuh selidik. "Tek Ciang, katakanlah, urusan
pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan keluarga Suma" Mengapa mereka menganggap
engkau ja-hat" Hayo ceritakan semua sejujurnya. Kalau engkau benar, sampai matipun akan
kami bela."
Tek Ciang memandang kepada dua orang gu-runya dan jantungnya berdebar tegang. Akan
tetapi wajahnya tidak memperlihatkan perobahan dan dia masih merasa yakin bahwa dua
orang she Cu itu tentu akan membantu dan membelanya karena se-lain dia adalah murid
mereka yang mereka andal-kan, juga dia tahu bahwa Cu Han Bu mengharap-kan dia menjadi
suami puterinya yang janda itu.
"Ji-wi suhu, tentu saja mereka menjelek-jelek-kan teecu, hal itu tidaklah mengherankan sama
sekali. Seperti yang pernah teecu beritahukan ke-pada suhu berdua, teecu pernah diterima
menjadi murid Suma Kian Lee, bahkan diambil mantu, di-jodohkan dengan Suma Hui, yaitu
wanita itu. Akan tetapi, setelah muncul Jenderal Kao Cin Liong yang kini sudah bukan
jenderal lagi, tali perjodoh-an kami diputuskan dan isteri teecu itu dirampas oleh Kao Cin
Liong dengan persetujuan isteri dan mertua teecu sendiri. Agaknya mereka hendak
membunuh teecu karena tidak ingin rahasia busuk mereka tersiar dan merusak nama besar
keluarga para pendekar Pulau Es!" Dengan senyum meng-ejek Tek Ciang memandang kepada
Suma Hui, Cin Liong dan yang lain-lain, lalu disambungnya. "Coba kalian bantah kebenaran
ceritaku tadi. Bu-kankah Suma Hui telah dijodohkan dengan aku" Bukankah ia kini malah
menjadi isteri Kao Cin Liong?" Tek Ciang yang cerdik ini merasa yakin bahwa keluarga
Suma itu tidak akan mempunyai alasan lagi untuk membantahnya. Alasan satu-sa-tunya
hanyalah menceritakan tentang peristiwa memalukan yang terjadi antara Suma Hui dan dia,
dan dia yakin bahwa aib itu sampai mati sekalipun pasti tidak akan diceritakan mereka kepada
orang lain. Kini dua orang kakek Cu itu kembali mengha-dapi Suma Kian Lee. Dengan hati lega mereka
melihat betapa keluarga itu nampak diam saja, se-olah-olah menandakan bahwa keterangan
murid mereka tadi benar. "Bagaimana sekarang, saudara Suma" Setelah mendengar
keterangan murid kami, beranikah kalian menyangkal kebenarannya" Dan kalau
keterangannya tadi benar, berarti kali-anlah yang jahat, bukan murid kami!" demikian kata Cu
Han Bu dengan sikap keren.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
727 Suma Kian Lee sekeluarga saling pandang, juga Kao Kok Cu yang biasanya tenang sekali
itupun kini kelihatan merah mukanya. Tiba-tiba Suma Hui melangkah maju dan dengan sikap
gagah ia berkata lantang. "Kalian hanya mendengarkan ke-terangan sepihak. Dengarlah
keteranganku akan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Iblis busuk ini, jahanam keji ini,
telah...."
"Hui-ji....!" Suma Kian Lee berseru un-tuk mencegah puterinya.
"Biarlah, ayah. Tidak tahukah ayah bahwa ja-hanam ini sengaja menceritakan semua itu
karena dia mengira bahwa kita tidak akan berani membuka rahasia itu?" Setelah berkata
demikian Suma Hui melanjutkan sambil memandang dua orang kakek Cu. "Kalian orang-
orang tua yang mudah dikelabuhi jahanam ini, dengarlah baik- baik. Mula-mula jahanam ini
mengelabuhi ayah, memikat hati ayah sedemikian rupa sehingga ayah percaya kepadanya,
bahkan mengambilnya sebagai murid. Ayah telah mengorbankan semua ilmu dari Pulau Es
untuk diberikan kepada jahanam ini. Akan te-tapi tahukah kalian apa yang diperbuat jahanam
ini" Ayah demikian terpikat dan tertipu sehingga ayah mengikat tali perjodahan antara aku
dan dia. Ayah berniat memungut mantu kepadanya! Akan tetapi, aku tidak mencintanya
karena aku sudah mencinta Kao Cin Liong. Dan pada suatu malam.... dengan bantuan tokoh
sesat Jai-hwa Siauw--ok yang juga menjadi gurunya, jahanam busuk yang menjadi murid
kalian ini membiusku dengan asap beracun, kemudian dia.... memperkosa diriku dan sengaja
membisikkan nama Kao Cin Liong kepadaku yang berada dalam keadaan setengah sadar."
"Suhu, jangan percaya obrolan perempuan ini. Seorang isteri yang sudah menyeleweng
mening-galkan suami dan menikah dengan pria lain, mana bisa dipercaya omongannya?" Tek
Ciang mem-bentak.
"Diam!" Bentak Cu Han Bu kepada murid-nya. "Biarkan ia melanjutkan penuturannya, benar
maupun tidak!?"Kami sekeluarga terkena tipunya," Suma Hui melanjutkan. "Sehingga kami
sekeluarga memusuhi Kao Cin Liong dan hampir terjadi kesalah-pahaman antara keluarga
kami. Aku sendiri bertahun-tahun memusuhi dan mendendam kepada Kao Cin Liong yang
merupakan satu- satunya pria yang kucinta. Baru rahasia kebusukannya terbuka ketika kami
dinikahkan. Aku melihat tonjolan daging beram-but di punggungnya, sama seperti yang
terdapat pada punggung orang yang memperkosa diriku! Dan diapun sudah mengaku, akan
tetapi dia dapat melarikan diri karena bantuan Jai-hwa Siauw-ok, gurunya...."
"Suhu, jangan percaya! Mereka ini adalah pemberontak-pemberontak, Jenderal Kao Cin
Liong sudah berhenti dari jabatannya karena dia berse-kongkol pula dengan pemberontak-
pemberontak! Keluarga Pulau Es adalah pemberontak-pemberontak! Perajurit pengawal,
tangkap mereka!"
"Para perajurit yang gagah, kalian mundurlah!" Tiba-tiba Kao Cin Liong membentak dengan
suaralantang . "Kalian sudah mengenal siapa aku, sebaliknya baru sekarang mengenal
manusia jaha-nam ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan pri-badi, karena tidak ada sangkut-
pautnya dengan pemerintah!"
Mendengar bentakan Kao Cin Liong dan meli-hat bekas jenderal muda itu, para perajurit
penga-wal menjadi bimbang. Mereka tidak berani me-nentang bekas jenderal yang mereka
kagumi itu. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
728 "Ji-wi locianpwe," kata Kao Cin Liong kepada dua orang kakek she Cu. "Kami sekalian
bukanlah pemberontak...."
"Kalau bukan pemberontak, mereka itu tentu pengkhianat-pengkhianat yang menyebabkan
ma-tinya para pendekar yang mengadakan pertemuan di Gunung Hutan Cemara!" Tek Ciang
berseru lantang. "Ji-wi suhu, ketahuilah bahwa ratusan orang pendekar dan patriot yang
sedang mengada-kan pertemuan di Hutan Cemara, telah dikhianati oleh keluarga Pulau Es
yang menentang mereka, sehingga mereka terbasmi oleh pasukan pemerintah...."
"Bohong! Ah, manusia keji, penyebar keja-hatan dan kebohongan. Tuhan akan menjatuhkan
hukuman kepadamu!" Tiba-tiba terdengar ben-takan dan majulah seorang pemuda gagah
perkasa. Pemuda ini adalah Kwee Cin Koan dan dia segera menghampiri kelompok orang
yang sedang bersitegang itu. Tek Ciang mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Kwee
Cin Koan, pemuda kekasih Can Kui Eng yang menyerahkan surat rahasia ke-pada mendiang
gadis murid Kun-lun-pai itu. Dia mulai merasa khawatir, akan tetapi semua perb-uatannya di
Kun-lun-pai tidak diketahui pemuda ini, takut apa"
Kwee Cin Koan memberi homat kepada mereka semua. "Cu-wi locianpwe yang terhormat,
saya adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai yang telah menyelidiki dengan seksama
dan tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Cu-locianpwe, saya tahu bahwa ji-wi adalah tokoh-
tokoh Lem-bah Naga Siluman di barat, dan agaknya, seperti juga Suma-locianpwe, ji-wi telah
dikelabuhi oleh iblis Louw Tek Ciang ini. Diapun dapat pula me-ngelabuhi para tosu Kun-
lun-pai sehingga dia di-beri pinjam untuk mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang. Cu-wi
locianpwe, dengarlah cerita-ku...."
"Engkau seorang di antara pemberontak yang dapat melarikan diri. Pengawal, tangkap dia!"
"Diam!" Bentak Cu Han Bu dengan marah, lalu memandang kepada para perajurit. "Siapa
berani mengganggu dia akan berhadapan dengan aku!" Lalu katanya kepada Kwee Cin Koan.
"Orang muda, teruskan ceritamu!"
"Saya berterus terang saja bahwa saya adalah seorang di antara para pendekar dan patriot
yang berkumpul di Hutan Cemara. Beberapa pekan yang lalu saya membawa sepucuk surat
dari kawan-ka-wan kami yang ditujukan kepada Gan-ciangkun di kota raja, yang maksudnya
mohon petunjuk dan kerja sama dengan panglima itu untuk menentang pemerintah penjajah.
Surat itu saya serahkan kepada.... kekasih saya yang bernama Can Kui Eng, murid Kun-lun-
pai dengan pesan agar ia yang membawa surat itu ke kota raja dan menyam-paikan kepada
Gan-ciangkun setelah ia selesai menjaga Louw Tek Ciang, yang sedang mempela-jari kitab
Kun-lun-pai itu tanpa meninggalkan kuil." Pemuda itu berhenti sebentar karena apa yang
hendak diceritakan masih amat menyakitkan hatinya. Pemuda ini sudah melakukan
penyelidikan ke Kun-lun-pai dan bersama para tosu Kun-lun-pai, akhirnya dia dapat menduga
apa yang telah terjadi ketika melihat betapa Louw Tek Ciang membantu pasukan yang
menyergap para pende-kar. Mudah saja diduga apa yang telah terjadi dan pemuda itu menjadi
marah bukan main, mati-ma-tian dan nekat dia hendak menghadang Louw Tek Ciang untuk
membalas dendam. Dan kebetulan dia bertemu dan bergabung dengan rombongan keluarga
Pulau Es! "Tidak ada kabar ceritanya kekasih saya itu sampai terjadinya pertemuan di Hutan Cemara
dan penyergapan pasukan pemerintah di mana sa-ya melihat jahanam ini ikut membantu
pasukan pemerintah. Saya yang ikut menyerah bersama keluarga Pulau Es lalu mengadakan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
729 penyelidikan ke Kun-lun-pai dan.... saya mendengar bahwa kekasih saya itu tewas dan
diperkosa oleh paman gurunya sendiri bernama Ponw Kui Lok yang kemudian dibunuh oleh
Louw Tek Ciang...."
"Apa" Kui Lok kaubunuh....?" Cu Han Bu membentak kaget bukan main mendengar ini.
Wajah Tek Ciang berobah pucat, lalu merah kembali. "Suhu, dia memperkosa gadis murid
Kun--lun-pai itu, maka teecu menjadi marah dan kami berkelahi sampai dia terbunuh oleh
teecu...."
"Bohong....!" bentak Cin Koan. "Jaha-nam ini memang pandai berbohong sehingga para tosu
Kun-lun-pai sendiri juga tertipu olehnya. Setelah dia muncul dengan pasukan pemerintah,
barulah kami semua tahu karena dapat menduga apa yang telah terjadi. Surat kepada Gan-
ciangkun itu berada pada Kui Eng, bagaimana bisa terjatuh ke tangan jahanam ini dan
dipergunakannya untuk mengkhianati para pendekar" Dia membawa surat itu ke kota raja,
menghadap kaisar dan me-lapor. Setelah penyergapan berhasil, dia mendapat anugerah
pangkat. Dialah yang memperkosa kekasih saya, dan dia pula yang membunuhnya,
me-rampas surat rahasia itu. Mungkin perbuatannya itu ketahuan oleh Pouw Kui Lok, maka


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibunuh-nya orang itu, dan kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang juga dicurinya!"
Wajah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi pucat, dan wajah Cu Pek In merah sekali bahkan
kedua matanya menjadi basah.
"Benarkah semua itu" Louw Tek Ciang, be-narkah semua yang kudengar itu" Benarkah
cerita keluarga Pulau Es dan benarkah cerita pemuda Kong-thong-pai ini?"
"Tidak, orang ini pembohong besar dan harus kubunuh sekarang juga!" Tek Ciang sudah
mener-jang ke depan, menyerang Kwee Cin Koan dengan hebatnya. Terdengar suara mencicit
karena dia telah menyerang dengan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang dahsyat, ilmu yang
dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Agaknya dia ingin membunuh pemuda itu dengan sekali
pukul. Serangan in dahsyat bukan main dan agaknya betapapun lihai-nya, Kwee Cin Koan
tentu akan roboh kalau saja Cin Liong tidak cepat bergerak ke depan dan
me-nangkis."Dukkk....!" Cin Liong merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dia terkejut. Dia
sudah mempergunakan Sin-liong-ciang-hoat yang ampuh untuk menangkis, namun lengannya
masih juga tergetar. Memang pada saat itu, kepandaian Tek Ciang sudah mencapai tingkat
yang tinggi. Dia pernah digembleng oleh Suma Kian Lee, menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok,
kemudian malah digembleng oleh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, bahkan akhir-akhir
ini dia mempelajari ilmu sakti Sin- liong Ho-kang dari Kun-lun-pai.
Melihat majunya Kao Cin Liong, hati Cu Han Bu tidak senang. Muridnya itu, bagaimanapun
salahnya, tadi menyerang pemuda yang membeber-kan kebusukan, dan majunya Kao Cin
Liong dianggapnya sebagai pengeroyokan. "Mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok
sungguh tak bisa kudiamkan saja!" katanya dan kakek inipun meng-gerakkan tangannya
menyerang ke arah Cin Liong. Angin kebutan lengan bajunya menyambar dahsyat ke depan
dan tahulah Cin Liong bahwa kakek yang menyerangnya ini memiliki kepandaian hebat.
Ma-ka diapun sudah bersiap- siap. Akan tetapi pada saat itu terdengar angin menyambar pula
dari be-lakangnya.
"Perlahan dulu!" Kiranya Kao Kok Cu sudah pula menggerakkan tangan tunggalnya ke
depan. Angin pukulan yang amat kuat menyambar dan bertemu dengan angin pukulan yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
730 dilancarkan Cu Han Bu. Akibatnya, tokoh Lembah Naga Si-luman itu merasa betapa hawa
pukulannya mem-balik sehingga dia terkejut bukan main. Dipan-dangnya laki-laki gagah
berlengan buntung itu. Dia tahu betapa lihainya orang berlengan satu, ayah Jenderal Kao Cin
Liong ini, akan tetapi dia berkata dengan suara lantang, penuh ejekan.
"Ayah membela anak tanpa melihat kebenaran lagi. Apakah itu gagah namanya?"
Dengan sebelah tangannya, Kao Kok Cu mem-beri hormat. "Sobat she Cu, perlahan dulu
bicara dan pergunakanlah kesadaran dan kewaspadaan-mu. Semua cerita tentang muridmu
seperti yang kaudengar tadi adalah benar belaka. Perbuatan-nya atas diri Suma Hui juga
benar. Kalau tidak benar, tidak mungkin, tidak mungkin puteraku mengawininya. Muridmu
adalah seorang yang berhati busuk dan licik, banyak orang menjadi korban tipuannya. Apakah
engkau juga membiar-kan dirimu tertipu dan terbawa-bawa oleh keja-hatan dan
kebusukannya?"
Wajah Cu Han Bu berobah merah sekali. Me-mang dia sudah merasa bimbang ragu atas diri
muridnya setelah mendengar cerita-cerita tadi, akan tetapi kekecewaan membuat dia masih
ber-usaha untuk menghilangkan keraguan itu dan membela muridnya. Kini dia membalikkan
tubuh, melotot memandang muridnya.
"Louw Tek Ciang, demi Tuhan, mengakulah sejujurnya! Benarkah semua cerita yang
kudengar tadi?"
Tek Ciang menjadi pucat mukanya, sebentar berobah merah lalu pucat lagi. Dia merasa
tersu-dut. Walaupun dia tidak takut karena mengandal-kan pasukannya dan empat orang
tokoh sakti yang berada di dalam pasukan itu, namun tentu saja dia amat mengharapkan
bantuan dua orang gurunya ini untuk menghadapi keluarga Pulau Es yang de-mikian
tangguhnya, apalagi pihak lawan dibantu oleh Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Selagi
Tek Ciang kebingungan dan belum menjawab per-tanyaan Cu Han Bu, tiba-tiba terdengar
suara gaduh dan di antara para perajurit pengawal ter-jadilah perkelahian hebat. Yang
berkelahi adalah Kao Cin Liong yang dikeroyok oleh empat orang pembantu Tek Ciang yang
menyelundup di antara para pasukan dan menutupi pakaian mereka de-ngan pakaian seragam
pasukan. Kiranya tadi Cin Liong mempergunakan kesempatan untuk mende-kati para perwira
pasukan dan minta kepada me-reka agar jangan bergerak dan jangan mencampuri urusan
pribadinya. Dalam kesempatan itulah sang perwira yang masih kagum dan hormat terhadap
bekas jenderal muda ini, membisikkan adanya em-pat orang aneh yang diselundupkan
pembesar baru itu di dalam pasukan. Kao Cin Liong merasa cu-riga lalu mencarinya.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati jen-deral muda ini ketika dia melihat empat orang
itu. Tentu saja dia mengenal mereka, bekas komplotan pemberontak yang pernah digagalkan
pasukan pemerintah. Maka sambil berseru keras diapun maju menerjang dan disambut oleh
empat orang itu. Karena empat orang itu memang lihai sekali, dikeroyok empat Cin Liong
kewalahan dan mun-dur terus mendekati kelompok keluarga Pulau Es. Dia meloncat ke depan
Cu Han Bu dan berkata. "Lihat, locianpwe. Siapa yang bersembunyi di da-lam pasukan
pengawal itu" Mereka adalah Thai--hong Lama, Pek-bin Tok-ong, Siwananda, dan Tai-lu-cin,
empat orang yang pernah bersekongkol dengan pemberontak! Jahanam Louw Tek Ciang ini
telah bersekongkol dengan pemberontak-pemberontak yang terdiri dari golongan sesat!"
Tentu saja semua orang terkejut, akan tetapi yang lebih kaget dan marah adalah Cu Han Bu
-dan Cu Seng Bu. Bagaimanapun juga, mereka ada-lah pendekar-pendekar yang tentu saja
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
731 tidak suka kepada golongan hitam dan kini murid mereka, bahkan yang diharapkan menjadi
suami Cu Pek In, telah bersekongkol dengan tokoh-tokoh jahat itu! Kenyataan ini
melenyapkan keraguan mereka bah-wa memang mereka telah tertipu, mereka telah keliru
mengambil murid!
"Pesukan pengawal, maju dan serbu mereka ini....!" Tek Ciang yang sudah terpojok itu
memberi aba-aba dengan keras. Akan tetapi, per-wira pemimpin pasukan itu diam saja seperti
pa-tung dan para perajurit yang melihat komandan mereka diam saja, juga tidak ada yang
berani ber-gerak. Memang hati mereka sudah condong memihak Kao Cin Liong, maka
diamnya komandan mereka itu membuat mereka lega. Mereka tidak suka menentang bekas
jenderal itu, segan dan ta-kut.
"Louw Tek Ciang, berlututlah engkau di depan kami dan sebagai murid kami, mengakulah
terus terang!" Cu Han Bu membentak.
Akan tetapi Tek Ciang yang sudah melihat be-tapa keadaannya terhimpit dan hanya
mengandalkan empat orang pembantunya yang kini sudah berdiri di situ dengan sikap siap
berkelahi, tentu saja tidak sudi untuk berlutut dan menyerah begitu saja.
"Ji-wi suhu, kalau tidak mau membantuku, persetan dengan kalian!"
"Louw Tek Ciang, engkau sungguh jahat!" Terdengar teriakan Cu Pek In dengan suara
me-ngandung isak, dan wanita ini tiba-tiba saja me-nyerang Tek Ciang dari belakang,
menggunakan sulingnya menotok ke arah tengkuk. Akan tetapi, biarpun Pek In merupakan
puteri tunggal Cu Han Bu, dalam hal ilmu kepandaian ia masih jauh di bawah tingkat Tek
Ciang. Serangan berupa totokan maut dengan suling ke arah tengkuk itu diha-dapi Tek Ciang
dengan tenang saja. Dia memutar tubuh sambil menggerakkan kedua tangannya, de-ngan jari-
jari terpentang. Terdengar suara bercu-itan dan tiba-tiba saja tubuh Cu Pek In terpelan-ting
dan wanita ini tewas seketika karena ia telah menjadi korban serangan Kiam-ci yang amat
hebat, dilakukan dengan kedua tangan dari jarak dekat sekali. Semua orang terkejut dan tidak
dapat men-cegah karena peristiwa ini begitu tiba-tiba dan tidak terduga-duga.
Sepasang mata Cu Han Bu terbelalak dan wa-jahnya pucat sekali memandang tubuh
puterinya yang menggeletak tak bernyawa, dari lehernya mengucur darah, juga dari dadanya!
"Kau.... kau.... keparat.... kau membunuh puteriku?" Cu Han Bu mengeluar-kan teriakan
marah lalu menerjang dan menyerang muridnya itu. Cu Seng Bu yang juga sudah ma-rah
sekali sejak tadi, melihat kakaknya maju menyerang bekas murid itu, diapun lalu menyerang
dengan sengit. Cu Han Bu terkenal dengan juluk-an Kim-kong-sian dan dia mempergunakan
sen-jatanya yang berupa sabuk emas. Sabuk itu berubah menjadi segulungan sinar emas yang
lihai sekali dan karena inilah dia dijuluki Dewa Sinar Emas. Sedangkan adiknya, Cu Seng Bu
dijuluki Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) karena memiliki gin-kang yang hebat sehingga
ketika dia menyerang maju, tubuhnya lenyap, hanya nampak berkelebatnya bayangannya
saja.Akan tetapi, Tek Ciang sama sekali tidak gen-tar menghadapi serangan kedua orang
gurunya ini. Dia mengelak cepat dari sambaran sabuk emas di tangan Cu Han Bu dan pedang
lemas di tangan Cu Seng Bu. Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal dasar-dasar gerakan
ilmu silat dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu. Dan ketika dia mem-balas, dia
mempergunakan ilmu- ilmu pukulan dari Pulau Es yang sama sekali tidak dikenal oleh kakak
beradik she Cu itu sehingga mereka berdua terdesak! Karena maklum betapa lihainya dua
orang lawan ini, Tek Ciang juga sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan kanan itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
732 bergerak cepat dan lihai sekali karena dia telah mengguna-kan ilmu silat pedang Siang-mo
Kiam-hoat yang dipelajarinya dahulu dari Suma Kian Lee. Siang--mo Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Sepasang Iblis) ini seharusnya dimainkan dengan sepasang pedang. Akan tetapi
karena Tek Ciang hanya memegang sebatang pedang, dia menggunakan tangan kirinya untuk
mengimbangi dengan Ilmu Kiam-ci, yaitu Jari Pedang dan tangan kirinya itupun tidak kalah
lihainya daripada tangan kanan yang memegang pedang!
Tek Ciang memang amat pandai mengombina-sikan ilmu- ilmu yang pernah dipelajarinya
dari bermacam aliran. Maka, karena dia sudah menge-nal gerakan kedua orang she Cu yang
mengeroyoknya sebaliknya dua orang itu tidak mengenal gerakan-gerakannya, biarpun
dikeroyok dua, Tek Ciang sebaliknya malah mendesak bekas guru--gurunya itu.
Ketika Cin Liong dan Suma Hui hendak maju, Kao Kok Cu memberi isyarat kepada putera
dan mantunya itu untuk menahan diri. Dan Cin Liong mengerti akan isyarat ayahnya. Tentu
ayahnya mengingat bahwa Tek Ciang telah diangkat seba-gai seorang pejabat tinggi oleh
kaisar dan kini ada banyak saksi, yaitu pasukan pengawal yang berada di situ. Biarkanlah
pejabat baru itu kini berkelahi, melawan dua orang bekas gurunya sehingga para saksi itu
akan melihat sendiri sehingga kelak keluarga Pulau Es tidak akan disalahkan sebagai
pemberontak-pemberontak yang membunuh pejabat pemerintah!
Akan tetapi, Suma Hui yang menaruh dendam yang amat besar terhadap Tek Ciang, orang
yang nyaris membuat hidupnya berantakan dan rusak, memandang dengan sinar mata berapi-
api. Hati-nya menjadi semakin panas melihat betapa Tek Ciang menghadapi kedua orang
lawannya dengan menggunakan ilmu pedang dari Pulau Es.
Serang-menyerang terjadi dengan amat seru-nya. Melihat betapa dua orang kakek Cu itu
se-makin terdesak, bahkan Cu Seng Bu terluka pangkal lengan kirinya, robek bajunya dan
berdarah ka-rena sambaran Kiam-ci, hati Suma Hui menjadi semakin marah. Dua orang kakek
itu biarpun lihai tidak mengenal gerakan pedang Tek Ciang. Akan tetapi ia tentu saja
mengenal baik Siang-mo Kiam--hoat itu dan bahkan ia dapat melihat kelemahan-
kelemahannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ben-takan nyaring dan tubuhnya sudah melayang
ke -udara, dan ketika tubuhnya tiba di atas Tek Ciang, ia membalikkan tubuh meluncur ke
bawah dan pedangnya menyambar ke arah ubun-ubun ke-pala Tek Ciang! Pada saat itu, Tek
Ciang sedang menghadapi serangan lawan dan memang ubun--ubun kepalanya merupakan
satu-satunya daerah yang terbuka. Terkejutlah Tek Ciang. Kalau dia berusaha menangkis atau
mengelak dari serangan di atas itu, tentu dia akan terancam oleh senjata dua orang she Cu.
Dia teringat akan ilmu barunya dan tiba-tiba saja mulutnya mengeluarkan suara melengking
yang amat hebat. Menggetarkan jan-tung semua orang yang hadir. Bahkan Suma Hui yang
sedang menyerang itu terkejut dan serangan-nya menyeleweng, tidak mengenai ubun-ubun
ke-pala melainkan mengenai pundak, itupun hanya menyerempet saja sehingga merobek baju
dan me-lukai kulit.
Akan tetapi lengkingan suara yang mengandung Ilmu Sin-liong Ho-kang itu memang dahsyat
sekali, demikian hebatnya terasa oleh dua orang kakek Cu sehingga mereka tertegun dan
tubuh mereka seperti dimasuki getaran kuat yang membuat mereka lumpuh selama beberapa
detik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Ciang seba-ik- baiknya. Dia telah dapat
miringkan tubuh se-hingga pedang Suma Hui hanya melukai pundaknya, dan melihat dua
orang kakek itu masih terte-gun, pedang di tangan kanan dan jari-jari tangan kirinya
menyambar seperti kilat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
733 Dua orang kakek Cu mengeluarkan teriakan keras. Pedang di tangan kanan Tek Ciang telah
menembus perut Cu Han Bu, sedangkan Cu Seng Bu terkena pukulan Kiam- ci tepat pada
dadanya. Keduanya merupakan serangan mematikan dan kalau bukan dua orang kakek Cu itu
yang terkena, tentu roboh seketika. Akan tetapi dua orang kakek itu hanya berteriak dan
dengan mata melotot keduanya menubruk ke depan, dari kanan kiri Tek Ciang. Hal ini sama
sekali tidak terduga oleh Tek Ciang dan dia tidak memperoleh kesempatan untuk mengelak
sama sekali. Tahu-tahu dua pasang ta-ngan dengan jari-jari yang mencengkeram telah
menerkam kepalanya dan dua puluh buah jari ta-ngan menancap ke dalam kepala! Tek Ciang
me-ngeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya ter-guling, membawa dua tubuh lain itu
dan tubuhnya berkelojotan, dengan kaki dan tangan meregang. Akan tetapi tubuh dua orang
kakek itu tidak ber-gerak, kaku dan kedua tangan mereka masih men-cengkeram kepala, dua
pasang mata itu masih me-lotot mengerikan! Akhirnya tubuh Tek Ciang pun diam tak
bergerak lagi setelah nyawanya melayang bersama dua orang kakek yang masih terus
men-cengkeram kepalanya itu.
Suma Hui yang berdiri dekat suaminya berbi-sik. "Puas sudah hatiku....!"
Kao Cin Liong menarik napas panjang. Dia tahu akan perasaan hati isterinya. Dan dia
mera-sa girang bahwa isterinya tadi hanya mem-bantu saja robohnya Tek Ciang, tidak
langsung menjadi pembunuh Tek Ciang. Betapapun juga, harus diakui bahwa robohnya Tek
Ciang diawali dengan serangan Suma Hui tadi.
Melihat Tek Ciang roboh, empat orang pem-bantunya itu menjadi gentar. Mereka tadi sudah
melihat betapa pasukan itu tidak taat lagi kepada Tek Ciang dan tidak berani melawan bekas
Jen-deral Kao Cin Liong. Kini, melihat Tek Ciang te-was, merekapun merasa tiada gunanya
melawan lagi dan mereka saling pandang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba--tiba nampak bayangan berkelebat dan Cin Liong sudah menghadang
mereka. "Perlahan dulu, sobat. Kalian tidak boleh pergi dan harus menjadi tawanan pasukan!"
Empat orang itu terkejut dan maklum bahwa mereka takkan mungkin lolos kalau tidak
menggu-nakan kekerasan, maka merekapun segera mencabut senjata masing-masing dan
menerjang bekas jenderal itu. Akan tetapi Suma Hui, Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Kao Kok
Cu, dan Wan Ceng sudah maju dan menghadapi keluarga yang sakti itu, empat orang tokoh
sesat itu tidak dapat berbuat banyak. Dalam waktu tiga puluh jurus lebih saja, mereka
berempat sudah dapat dirobohkan, dibe-lenggu oleh pasukan dan dibawa kembali ke kota raja.
Atas permintaan Kao Cin Liong, komandan pasukan melapor kepada atasannya yang
melanjut-kan kepada kaisar bahwa Panglima Louw Tek Ciang di tengah jalan bertengkar
dengan dua orang gurunya dan dalam perkelahian itu dia tewas, de-mikian pula kedua orang
gurunya. Dan ditambahkan pula bahwa ternyata pembesar baru itu telah bersekongkol dengan
empat orang pemberontak yang dapat ditawan.
*** Suma Ceng Liong bersama Kam Bi Eng pergi ke puncak Bukit Nelayan, menghadap Kam
Hong dan Bu Ci Sian. Dengan terus terang dan berani mereka berdua menghadap suami isteri
ini dan menceritakan segala hal tentang diri mereka, ten-tang pertemuan di Hutan Cemara,
tentang tewas-nya Sim Hong Bu dan juga tentang cinta kasih antara mereka dan tentang
pertemuan mereka de-ngan Sim Houw.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
734 Mula-mula Kam Hong dan isterinya terkejut sekali. Terutama sekali Kam Hong mengerutkan
alisnya dan memandang marah. Apalagi setelah kini Sim Hong Bu gugur, dia marah harus
meme-gang teguh perjanjiannya dengan sahabat itu.
"Bi Eng, bagaimana engkau dapat mengharap-kan aku melanggar janji terhadap seorang
sahabat yang telah meninggal dunia?" katanya dengan nada lebih banyak menegur daripada
bertanya. "Ayah, suhu Sim Hong Bu sendiri yang telah menyetujui seperti yang kami dengar dari Sim
Houw suheng."
"Sudahlah, aku baru mau mempertimbangkannya kalau sudah mendengar sendiri penuturan
Sim Houw!"
Biarpun dengan hati yang tidak enak, Suma Ceng Liong tinggal di rumah kekasihnya itu.
Sikap tuan dan nyonya rumah yang pendiam membuat dia merasa canggung sekali, akan
tetapi demi cin-tanya terhadap Bi Eng, diapun mempertahankan diri. Apalagi sikap Bi Eng
amat manis dan gadis ini selalu membesarkan hatinya.
Akhirnya, saat yang dinanti-nantikanpun tiba. Sim Houw datang berkunjung. Pemuda ini
menja-tuhkan diri berlutut di depan guru atau juga calon mertuanya dan tak dapat menahan
cucuran air matanya. Kam Hong dan isterinya merasa terharu sekali.
"Kami telah mendengar tentang kematian ayah-mu, Sim Houw. Akan tetapi, usaplah air
matamu. Ayahmu tewas sebagai seorang pendekar dan pa-triot sejati yang gugur dalam
perjuangan yang pa-tut. Tak perlu ditangisi dan bukan sikap seorang pendekar kalau mudah
saja mencucurkan air ma-tanya."
"Maaf, suhu, maafkan kelemahan teecu," jawab Sim Houw.
Seperti yang sudah direncanakan dengan isteri-nya, apalagi di situ tidak terdapat Bi Eng dan
Ceng Liong yang sedang berburu di hutan, Kam Hong memancing. "Sim Houw, setelah
ayahmu meninggal dunia, kami merasa perlu untuk mem-percepat pelaksanaan pernikahanmu
dengan Bi Eng...."
"Tidak, suhu....! Maafkan teecu, suhu, akan tetapi.... ikatan perjodohan antara teecu dan
sumoi itu tidak mungkin dilanjutkan...."
Kam Hong pura-pura kaget dan marah. "Sim Houw! Omongan apa yang kaukeluarkan ini"
Apa maksudmu?"
"Suhu, sebelum meninggal, ayah berpesan ke-pada teecu agar teecu menghadap suhu dan
me-nyatakan bahwa ikatan perjodohan itu agar dipu-tuskan."
Kam Hong mengangguk-angguk. Kalau begi-tu puterinya tidak berbohong. "Apa alasannya
mendiang ayahmu berpesan seaneh itu?"
"Sederhana saja alasannya, suhu, yaitu bahwa sumoi tidak berjodoh dengan teecu, maksud
teecu.... eh, sumoi dan teecu tidak saling men-cinta...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
735 Inilah keterangan yang dikehendaki Kam Hong dan isterinya. "Sim Houw, katakan sekali
lagi, apakah benar-benar engkau tidak mencinta Bi Eng?" tanya Bu Ci Sian.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sim Houw merasa bingung dan takut mengha-dapi pertanyaan ini. Dia harus mengaku
sejujur-nya bahwa dia kagum sekali dan suka kepada Bi Eng. Siapa orangnya tidak akan suka
dan kagum kepada gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat manis itu" Akan tetapi
dia sendiripun tidak tahu apakah dia mencinta Bi Eng, suatu perasaan yang belum pernah
dirasakannya. Yang jelas, men-dengar bahwa Bi Eng mencinta pemuda lain, dia tidak merasa
duka atau marah.
"Subo, maafkanlah teecu. Tentu saja antara teecu dan sumoi terdapat rasa sayang sebagai
sau-dara seperguruan, akan tetapi tentang cinta.... sumoi telah mencinta seorang pemuda lain.
Bagai-mana teecu dan ia dapat saling mencinta" Dan menurut ayah, jodoh tanpa cinta hanya
akan ber-akhir dengan duka nestapa."
Mendengar ucapan pemuda ini, wajah Bu Ci Sian berobah pucat. Dahulu, dahulu sekali,
ketika Sim Hong Bu, ayah pemuda ini, masih menjadi se-orang pemuda, Hong Bu pernah
mati-matian ja-tuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia tidak mem-balas cintanya dan ia mencinta
Kam Hong. Kemu-dian Sim Hong Bu menikah dengan Cu Pek In. Iapun menarik napas
panjang dan tenggelam da-lam kenangan.
Kam Hong merasa lega sekali mendengar ucap-an muridnya ini. Jadi benar semua keterangan
puterinya. Puterinya saling mencinta dengan Su-ma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti
dari Pular Es itu. Dan putusnya tali perjodohan pute-rinya dengan Sim Houw inipun sudah
sah, karena disetujui oleh Sim Hong Bu dan oleh Sim Houw sendiri.
"Baiklah, kalau begitu kami menjadi yakin, Sim Houw. Ketahuilah bahwa sebetulnya kami
telah mendengar kesemuanya itu dari Bi Eng."
"Ah, jadi sumoi sudah pulang dan menceritakan semua kepada suhu dan subo" Dan pemuda
itu.... eh, maksud teecu, saudara Suma Ceng Liong...."
"Diapun sudah berada di sini. Mereka berdua sudah menceritakan semuanya kepada kami,
akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin mendengar dari engkau sendiri, Sim
Houw." Wajah pemuda itu berseri gembira. "Ah, kalau begitu hati teecu menjadi lega dan gembira.
Me-reka itu betul-betul saling mencinta dan pemuda itu amat gagah dan jujur, menjadi calon
jodoh su-moi yang amat baik."
Sim Houw tidak lama berada di puncak Bukit Nelayan. Setelah bertemu dan beramah tamah
dengan Bi Eng dan Ceng Liong dan makan bersa-ma dari hidangan hasil buruan sepasang
muda mudi itu, diapun berpamit dan mendapat doa restu dari suhu dan subonya yang merasa
terharu dan kasihan, juga kagum terhadap murid itu.
Perjodohan antara Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong tidak mengalami banyak kesulitan.
Suma Kian Bu dan Teng Siang In segera datang berkun-jung ke puncak Bukit Nelayan setelah
mendengar permintaan Ceng Liong untuk mengajukan pi-nangan dan diterima dengan senang
hati dan gem-bira oleh Kam Hong dan isterinya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
736 Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara kedua orang muda itupun dirayakan dengan
amat meriah, dihadiri oleh orang-orang gagah dari se-genap penjuru dan di dalam perayaan
ini berkum-pullah semua keluarga para pendekar Pulau Es de-ngan lengkap. Kam Hong dan
isterinya merasa bangga dan berbahagia sekali dapat berbesan de-ngan keluarga Pulau Es
apalagi setelah mereka mendengar penuturan mantu mereka tentang riwayatnya sampai dia
menjadi murid Hek-i Mo-ong dan diajak menyerbu ke Bukit Nelayan. Mereka yang tadinya
merasa tidak senang melihat pemuda itu menjadi murid Hek-i Mo-ong, kini berbalik menjadi
kagum. Demikianlah, cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh keluarga Pulau Es.
Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup bahagia. Suma Ceng Liong hidup
berbahagia pu-la bersama isterinya, Kam Bi Eng. Dan biarpun Suma Ciang Bun masih merasa
kehilangan Gangga, akan tetapi dia semakin matang dan semakin dapat mengenal diri sendiri,
perlahan-lahan dia membi-arkan dirinya berobah melalui kewaspadaan.
Sebagai akhir tulisan dalam cerita ini, penga-rang mengharapkan mudah-mudahan di
samping menghibur dan menemani Anda di kala senggang, juga cerita ini mengandung
manfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa kembali di lain kisah!
T A M A T Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
737 Istana Pulau Es 17 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Hikmah Pedang Hijau 7
^