Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
h tua renta dan lemah. Dan hanya dia
seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari em-pat orang muda itu!" Berkata demikian, Jai-
hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan
Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu
menyambar ke arah kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kiri-nya ke atas, bukan seperti orang menangkis
mela-inkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan
Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas
itu. "Desss....!" Akibatnya, tubuh Jai-hca Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh.
Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya.
Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, diapun kini bergerak maju,
merendahkan dirinya sepcrti hampir merangkak dan tiba-tiba diapun melancarkan pukulan
Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok. Pukulan itu langsung datang
dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti. Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali
menggunakan tangan kirinya untuk didorongkan ke depan menyambut pukulan maut itu.
"Wuuuuttt.... plakk....!" Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok
seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar lalu terbanting dan masih terguling-guling
sampai tubuhnya menabrak dinding. Akan tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini
membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan kerassama keras, melainkan
menggunakan kelembutan. Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya
sendiri yang membalik. Tentu saja ban-tingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan
hatinyapun sudah menjadi gentar sekali. Dia bang-kit duduk dan memandang ke arah sosok
tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.
Melihat peristiwa ini, Hek-i Mo-ong menge-rutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian
re-kannya itu dan melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara demikian
mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.
"Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!" bentaknya dan kakek
raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya. Makin lama, putaran
itu menjadi semakin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak
hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
58 dengan suara berde-sing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua
tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan
menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.
"Hyaaaaaattt....!"
Tombak itu menyambar ke bawah dengan ke-kuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-
ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karangpun akan
hancur lebur tertimpa hantaman Leng-ge-pang yang dipukulkan dengan tenaga sedahsyat itu.
Suma Han menarik napas panjang, mengenal pu-kulan maut yang amat hebat. Dengan tenang
dia lalu menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat
bututnya itu di atas kepala.
"Desss....!" Seluruh ruangan itu rasanya se-perti tergetar dan semua orang yang hadir
merasa-kan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak.
Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu
dengan tenaga lu-nak pada tongkat butut. Dan akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i
Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan
tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan
tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bu-kan
dihantamkan, melainkan ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih duduk
ber-sila dengan tenang.
Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung
tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.
"Trakkkk....!" Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong
bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit
duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti mengusir kepeningan. Kemudian dia
meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya
terengah-engah. Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi
serangannya dengan perlawanan tena-ga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena
sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang,
tentu ada yang melebihinya. Akan tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya
keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak seperti meluluhkan tenaganya, atau
membuat tenaganya itu membalik dan menghan-tam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia
pe-nasaran. Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini" Demikian rendahkah
tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadahi-nya seperti itu" Dia tidak
percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di
antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti ketu-runan Suling Emas
itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalahpun hanya sedikit saja
selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mu-dah!
Akan tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggiman tenaga lemas saja.
Siapa yang takkan merasa penasaran" Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan
seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, meng-gunakan tenaga dan ditambah kekuatan
loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.
"Siuuuutttt.... darrrr....!" Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-
ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali,
matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah se-gar!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
59 Pendekar Super Sakti nampak tubuhnya bergo-yang-goyang. Dia menunduk dan terdengar
su-aranya lirih, "Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah...."
Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang ma-ti-
matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah
dan pergi begitu saja" Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sin-
kang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah
mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas,
mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.
Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-re-mang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan
terdengar bermacam-macam suara aneh, se-perti suara orang-orang menangis dan tertawa
bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sen-diri merasa serem akan tetapi karena mereka
tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang se-dang dikerahkan oleh pucuk pimpinan
mereka, me-reka merasa tenang.
"Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan
membantuku untuk membasmi keluargamu. Li-hat mereka muncul!" Dan kipasnya mengebut-
ngebut makin keras lagi. Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah
bayangan-bayangan hitam bermunculan, bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh
yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka
bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.
"Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa
yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai di-rinya sendiri!" terdengar Suma Han
menjawab halus dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini
nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap.
Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas,
kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri
dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walaupun kakinya hanya sebelah, sepasang mata-nya
mencorong seperti bintang.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat me-ngebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya
ke-luar suara-suara aneh seperti orang membaca mantram dalam bahasa asing. Dan bayangan-
ba-yangan hitam itu menggereng-gereng dan mener-jang ke depan, ke arah bayangan putih
dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu. Bayangan putih yang
berbentuk Pende-kar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-
gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau
seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.
Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-
ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang
berbentuk Suma Han itu "bersilat" atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan
hitam itu lalu me-rengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan le-ngan-lengan berbulu,
seperti anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.
Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan mantramnya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma
Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu makin mengecil dan
akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
60 "Krekkk....!" Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri
terpe-lanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia me-rintih akan tetapi masih dapat bangkit
lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari
mulutnya sehingga mu-kanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.
"Hek-i Mo-ong, pergilah dan tinggalkan pu-lau ini bersama semua kawanmu, bawa semua
ka-wanmu yang tewas maupun terluka," terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.
Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri
dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu da-pat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-
ok se-hingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri. Sejenak Hek-i Mo-
ong meman-dang kepada Suma Han, kemudian dia membalik-kan tubuhnya dengan sikap
angkuh dan menghardik, "Mari kita pergi!"
Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali,
cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah
payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-ma-yat para teman mereka dan
akhirnya, mereka pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita keka-lahan besar.
Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang dan menggunakan
sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi
mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat nemang tenaga Hek-i Mo-
ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah! Dia memandang ke arah wajah Nirahai
yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik, "Tak
kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu...." Dan diapun kembali bersila seperti
semula di dekat je-nazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke
atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening....
*** Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang
dila-kukan Cin Liong tadi. Begitu simnan, ia mengeluh lirih dan mengejap-ngejapkan mata.
Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lan-tai dalam ruangan yang remang-
remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan
Ceng Liong duduk bersila di sebelah kirinya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah
kanannya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali ber-gerak, dara ini
telah bangkit berdiri.
"Apa yang telah terjadi...." Ah.... engkau .... engkau telah menotokku dengan curang!" Suma
Hui teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke
depan. Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah
menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
61 "Plak! Plak! Plak! Plak!" Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat
ku-lit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tidak mau menangkis atau mengelak, maklum
betapa marah-nya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.
"Enci, jangan....!" Ciang Bun memegang lengan kanan encinya.
"Enci Hui, jangan pukul dia!" Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.
"Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani
meni-puku dan menotokku....!"
"Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai," kata Ciang Bun.
"Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau
dan kita semua, enci Hui!" Ceng Liong juga membu-juk dara yang masih marah itu. Kedua
tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi meman-dang wajah Cin Liong dan
andaikata ia tidak di-pegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut. Cin Liong hanya
menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena
ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan
tangan seorang dara seperti Suma Hui amat-lah hebatnya! Masih untung pendekar ini bahwa
Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, me-lainkan hanya sebagai peluapan amarahnya
saja. Kalau dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu bisa retak-retak
tulang ra-hangnya! Dan betapapun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak
maupun menang-kis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pende-kar Super Sakti mau
mempergunakan sin-kang.
Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang
biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan
Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan
kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang
matanya tidak ganas seperti tadi dan me-lihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang
Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.
"Baiklah...." akhirnya Suma Hui berkata, "aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah
atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebab-nya" Bukankah Pulau Es diserbu musuh"
Meng-apa kita harus melarikan diri?" Pertanyaan itu di-tujukan kepada Cin Liong dan
sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.
"Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga," jawab Cin Liong.
"Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta aku berjanji untuk
melaksanakan pe-rintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian
ke sini untuk bersem-bunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan
tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil)."
"Tapi.... bagaianana dengan nenek Nirahai" Dan kakek" Kita disuruh bersembunyi, lalu
bagaimana dengan mereka...." Mari kita keluar untuk membantu mereka!"
"Tapi, bibi...." Cin Liong hendak mence-gah. Memang sudah ada satu hari lebih mereka
berada di situ semenjak mereka masuk sampai da-ra itu siuman, akan tetapi dia belum
mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
62 keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar" Bukankah tiga orang muda ini
akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah usahanya memenuhi perintah nenek
Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya"
Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat
persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat ketika ia menggerakkan
sepasang pe-dang itu melintang di depan dadanya dan pan-dang matanya penuh tantangan
terhadap Cin Liong.
"Engkau hendak melarangku" Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang akan berani mencegah
aku keluar!"
Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan
te-tapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
"Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggungjawabkan janjiku
kepada ne-nek buyut Nirahai." Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki
kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia mengguna-kan kekerasan,
tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus
menghadapi kebencian dara ini.
"Tapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!" Suma Ciang Bun mencela. "Dan janji seorang
ga-gah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!"
"Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya
melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!" Suma
Ceng Liong juga mencela.Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu,
keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi
betapa duka dan khawatir ada-nya perasaan dara itu. Dia sendiripun tadinya kurang setuju
terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja
menghadapi banyak lawan tangguh se-dangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang
muda itu. Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena diapun dapat melihat
bahwa me-mang keselamatan tiga orang muda itu amat teran-cam dan perlu diselamatkan, dan
dia sudah berjan-ji, maka bagaimanapun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang,
melihat kedukaan dan kekha-watiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri merasa
menyesal mengapa dia telah men-taati perintah nenek Nirahai.
"Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, bi-arlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari
kita keluar dan melihat keadaan di sana," kata Cin Liong dan tiga orang muda yang memang
ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah
lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.
Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang mada itu keluar dari pintu
rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan
de-ngan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara
sedikit-pun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seo-rangpun. Begitu sunyi keadaannya,
sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-du-gaan yang mengerikan.
Apalagi setelah mereka berada di luar. Sung-guh jauh sekali daripada yang mereka kira
semu-la. Tidak nampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
63 mereka, pada-hal mereka berempat itu maklum betapa banyak-nya pihak musuh yang roboh
dan tewas. "Mari kita cari di dalam!" Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia
mera-sa gelisah sekali. Setelah kini berada di luar, ialah yang menjadi pemimpin.
Bagaimanapun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang kepo-nakan. Mereka lalu
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka
sudah dikejutkan oleh kenyataan mengeri-kan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan
Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah
tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.
Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan me-lihat ini dan iapun cepat lari masuk ke dalam,
dii-kuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhir-nya mereka tiba di ruangan di mana
peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma
Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang
tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi. Keadaan dalam ruangan itu begitu
sunyi, kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang
bersuara. Satu-satunya yang bergerak ha-nyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas
karena tidak terganggu semilirnya angin.
"Nenek Nirahai....!" Tiba-tiba Suma Hui menjerit dan dara ini lari menghampiri, lalu
ber-lutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis. Melihat encinya
menangis se-senggukan seperti itu, Ciang Bun juga tidak dapat menahan tangisnya. Hanya
Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah ne-nek itu dan
memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya
nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya
nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras. Cin Liong hanya menundukkan mukanya,
diam-diam diapun merasa terharu dan menyesal menga-pa keluarga Pulau Es yang demikian
terkenal se-bagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat
sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul
dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat ba-nyak dan kuat.
Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia
mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan
kedua mata-nya itu.
"Kong-kong....! Kenapa kong-kong mem-biarkan semua ini terjadi" Kenapa kong-kong
membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai" Di mana kesaktian
kong-kong" Kenapa kong-kong tidak menghadapi mu-suh, menghajar mereka dan mencegah
mereka membunuh kedua orang nenekku" Di mana kegagahan kong-kong....?"
Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani
mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja,
bergerakpun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang
sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih. Ciang Bun merangkul encinya dan
membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.
"Enci.... jangan menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu...."
keluh-nya. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
64 Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata, "Enci Hui,
ucapan apa itu" Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia
tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur
kong-kong!"
Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong. "Kita semua
telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmulah, Cin Liong, maka aku menjadi
pengecut! Kita me-larikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan
dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!"
Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.
"Enci....!" Ciang Bun menegur.
"Enci Hui....!" Ceng Liong juga menegur.
Akan tetapi Cin Liong yang tadinya mengang-kat muka memandang gadis itu, kini
menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu.
Biarpun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membenci-nya, namun dia tahu
bahwa semua itu timbul ka-rena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua
orang neneknya.
"Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiripun mera-sa menyesal harus meninggalkan medan
perkelahi-an, akan tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?"
katanya perlahan.
"Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami, akan tetapi perintah itu membuat kita
semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu, kenapa engkau mentaatinya secara
membuta saja?" Suma Hui membentak.
"Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan
untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang
mengandung kebenaran dan kecerdasan."
"Melarikan diri dari musuh kauanggap benar dan cerdas" Cin Liong, katanya engkau ini
seo-rang jenderal perang, kenapa berpendapat demiki-an" Pendapat macam apakah itu?"
"Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nira-hai adalah seorang panglima besar dan aku
sendiri sedikit banyak pernah mempelajari ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri
dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak
pengecut. Demi-kian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku untuk membawa kalian
bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama sekali bukan karena hendak
membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan perhitungan yang masak, benar dan
cerdas. Karena, andaikata kita tidak melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan
nenek bu-yut" Ingatlah, keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga
kalau toh kita melawan, maka kitapun semua akan tewas bersama nenek buyut."
"Lebih baik mati bersama nenek Nirahai daripada meninggalkannya lari, membiarkan ia
sen-dirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan sampai
titik darah penghabisan!" Suma Hui tetap ngotot.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
65 "Enci Hui, lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah maupun dari
kakek" Melawan musuh secara membuta sampai mati ha-nyalah tindakan orang nekat yang
bodoh. Melari-kan diri karena takut barulah pengecut, akan tetapi melarikan diri karena tahu
akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas." Ciang Bun memperi-ngatkan encinya.
"Dan kita lari bukan karena takut, enci. Mela-inkan karena perintah nenek Nirahai yang
meme-rintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan kita,
dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah" Bu-kankah kalau demikian berarti
enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?" Ceng Liong juga menegur.
Mendengar kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma
Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Gadis ini memiliki kegagahan luar
biasa, kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan. Ingin dia me-rangkul dan menghiburnya,
menyusut air mata itu!
"Kukira.... kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat
mencari peti jenazah....?" Akhirnya Cin Liong berkata.
"Nenek Nirahai sudah memiliki peti jenazah sendiri, di kamarnya. Biar kita mengambilnya,"
kata Ciang Bun. Mereka berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-
sama mereka lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu
dan mema-sukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk
bersila tanpa per-nah bergerak. Dan empat orang muda itupun ti-dak ada yang berani
mengganggunya. Kembali Suma Hui menangis ketika ia bersem-bahyang di depan peti jenazah ini. Ceng
Liong menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat, "Enci Hui, kenapa menangis" Kalau
kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah mem-diang nenek. Kalau tidak
demikian, tentu kita se-mua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih hidup sehingga kita
akan mampu untuk membalas-kan kematiannya, bukan?"
"Liong-te, ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati
kita diracuni dendam?" Ciang Bun menegur adiknya.
Tiba-tiba terdengar suara halus, "Kematian adalah suatu kewajaran. Tak perlu disusahkan,
tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, ba-wa mayat kami semua ke ruangan
sembahyang dan bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus ce-pat meninggalkan pulau ini
dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Pe-rintahku terakhir ini
sedikitpun tidak boleh kalian langgar!"
Semua orang terkejut sekali mendengar ini. Ta-dinya mereka bingung karena suara itu seperti
da-tang dari empat penjuru, atau kadang-kadang se-perti datang dari atas. Setelah tiga orang
cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh dan memandang. Akan
tetapi selagi sua-ra itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama sekali.
Akan tetapi jelas bah-wa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah yang bicara karena
suaranya tentu saja amat dike-nal oleh Ceng Liong, Ciang Bun, dan Suma Hui! Dan kalimat
terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal dunia! Cin Liong yang lebih dulu
sadar akan hal ini dan diapun cepat maju menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu
meraba pergelangan tangannya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
66 "Beliau telah wafat...." katanya lirih, penuh takjub dan hormat. Kakeknya ini, melihat tubuh
yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia sejak tadi, akan tetapi mengapa
suaranya masih terdengar" Diam-diam jenderal muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita
ayahnya tentang pendekar tua yang luar biasa saktinya ini.
Mendengar ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak.
Se-perti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air mata, akan
tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini menjadi agak pucat,
matanya mengelu-arkan sinar berkilat. Cin Liong membiarkan dara itu menangis sejenak,
kemudian terdengar dia ber-kata lirih.
"Harap kalian suka ingat akan pesan kakek bu-yut tadi bahwa kematian adalah suatu
kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan."
Mendengar peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil meme-gangi
tangan kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata, "Kong-kong, ampunkanlah Hui yang
tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah tiada.... kong-
kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi...."
Melihat betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah bicara
kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk dan
diapun me-ngejap-ngejapkan mata menahan air mata. Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia
telah jatuh cinta. Namun, pada saat itu pula diapun melihat kejang-galan besar dalam cintanya
ini. Betapa mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri! Men-cinta memang
mungkin saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu
diwujudkan menjadi suatu perjodohan" Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya"
Walaupun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua daripada "bibinya" itu, bahkan
jauh lebih tua. Betapapun juga, batinnya menyangkal adanya se-mua peraturan ini. Batinnya
tidak membohong. Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi
kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinyapun terasa perih se-kali.
Mereka berempat lalu sibuk bekerja. Lima ma-yat pelayan juga mereka angkut sekalian ke
ruang-an sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti,
diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, mereka
dudukkan di atas meja ren-dah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat jenazah yang
tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan dibaringkan di atas tumpukan
kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah keluarga Pulau Es.
Suma Hui tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh
kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun akan tetapi ia sudah dapat
menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang adiknya, juga kepada Cin Liong.
"Kong-kong menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua."
"Apa maksudmu, enci Hui?" tanya Ciang Bun heran.
"Kong-kong memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang
terkurung tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar
habis pula," kata Suma Hui dengan sedih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
67 "Akan tetapi hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!" Ceng Liong berseru kaget. "Istana
Pu-lau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar habis terbasmi
begitu saja?"
Tiga orang keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan yang
sesungguhnya ber-lawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja me-reka merasa berat kalau
harus membakar musnah Istana Pulau Es.
"Bagaimana dengan pendapatmu, Cin Liong" Biarpun engkau hanya keponakan kami, akan
tetapi usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih ma-tang." Akhirnya Suma Hui berpaling
kepada ke-ponakannya itu dan bertanya.
Cin Liong memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat
tiga orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak
pendekar-pendekar yang hebat.
"Kong-couw Suma Han adalah seorang pen-dekar sakti yang tentu telah memikirkan secara
mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang terakhir tadi,
wa-laupun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku yakin tentu juga mempunyai
alasan-alasan yang amat kuat. Dalam pesannya tadi ditekankan bahwa kita harus mentaatinya
dan bahkan ditekankan bahwa perintah terakhir itu sedikitpun tidak boleh kita langgar. Di
balik perintah ini tentu ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak
boleh melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir ke-pada beliau."
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan merekapun lalu
sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka melakukan
semban-yang untuk memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah kakek aan dua
orang nenek me-reka itu. Diperhatikan oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng
Liong yang memiliki keganjilan. Suma Hui seringkali menangis sedih dan Ciang Bun juga
kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu sama sekali
tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia tahu bahwa anak inipun
menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung dengan kematian tiga orang tua yang
dicintanya itu. Anak ini sungguh luar biasa, pikir-nya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.
Akhirnya, saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itupun
tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian teng-gelam. Senja telah tiba. Empat orang
muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak bakar kepada semua
jenazah, baik yang di peti maupun yang tidak, juga kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah
dan sekeliling para jena-zah, semua telah disirami minyak bakar yang ba-nyak disimpan di
dalam gudang. Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut
keluarga Pendekar Super Sakti ituberlutut dan bersujut. Suma Hui tidak dapat menahan
tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tak kuasa menahan air
matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dan kedua matanya tinggal kering, walaupun
cuping hidung-nya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
"Kong-kong, kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi....
ampun-kanlah kami yang tidak berbakti, yang membiar-kan kakek dan nenek tewas di tangan
penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara perabuan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
68 jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan kami harus meninggalkan Pulau Es....
semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek...."
Dengan hati diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu
menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan siraman
minyak ba-kar, maka dalam sekejap mata saja api telah ber-kobar dan menelan segala yang
berada di dalam ruangan. Empat orang muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat
dari luar ruangan betapa jenazah kakek yang duduk bersila itu diseli-muti api berkobar,
demikian pula dua buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan. Hawa menjadi terlalu
panas, cahaya api terlihat menyilau-kan dan merekapun teringat akan perintah ter-akhir dari
Pendekar Super Sakti, maka mereka ber-tiga dibujuk oleh Cin Liong, cepat-cepat
meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk menjauhi Pulau Es. Belum
lama mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan
nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar sedemikian
hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya menerangi permukaan laut!
Empat orang muda itu memandang dengan ma-ta terbelalak lebar. Biarpun mereka juga
sudah dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan
sembahyang itu di-jadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa api akan da-pat mengamuk secepat itu. Andaikata mereka tidak cepat-
cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam bahaya api!
Kira-nya dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini
dan karena-nya minta kepada mereka semua untuk cepat-ce-pat menyingkir meninggalkan
pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah ini-pun segera mereka
ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja nyalanya, bukan hanya terbatas pada
istana itu yang berada di tengah pu-lau, melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau!
Pulau Es itu terbakar seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyem-bur
ke atas seolah-olah api itu menyambar sum-ber minyak yang meluncur ke atas.Pemandangan
yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu me-longo.
Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya. Istana Pulau Es
seolah-olah berubah menjadi emas, demikian me-gah dan agung dan ajaib dalam lautan api!
Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus cepat-cepat mendayung perahu mereka
menjauh. Dari jarak yang amat jauh, mereka masih dapat menyak-sikan pemandangan yang
mentakjubkan itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu ber-nyala, akan
tetapi setelah lewat tengah malam, ca-haya api mulai mengecil dan istana itu mulai runtuh.
Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali dan setelah matahari
naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak melihat lagi adanya Pulau Es!
Tenggelamkah pulau itu" Ataukah permukaannya runtuh dan sisanya terendam air lautan"
Apapun juga yang terjadi, ternyata Pulau Es telah lenyap dari per-mukaan air!
"Pulau Es telah lenyap!" teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.
"Sungguh lenyap sama sekali....! Teng-gelamkah pulau kita itu?" Ciang Bun juga
berte-riak. Suma Hui menangis dan terguling roboh, ping-san dalam pelukan Cin Liong yang dengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu di dalam bilik
perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
69 "Tidak apa, bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti
siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja."
Dengan beberapa kali mengurut jalan darah-nya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat dara
itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu sadar Suma Hui lalu
me-nangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat memandang dengan muka pucat.
Mereka sendiripun dapat merasakan betapa musibah telah menimpa keluarga Pulau Es secara
bertubi-tubi dan berturut-turut. Bagaikan dalam mimpi saja semua itu! Dalam waktu dua hari
saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai orang-orang yang
paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di Pulau Es yang mereka pandang
sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek moyang mereka, terbakar habis dan pulau
itupun lenyap bersama-sama! Hanya dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka
per-caya. Baru dua hari yang lalu mereka masih ber-latih silat di pulau itu!
Setelah pulau yang terbakar itu padam, suasa-na menjadi begitu sunyi, yang terdengar hanya
ta-ngis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian ma-lam. Air lautpun begitu tenang sehingga
perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah lautanpun berkabung atas kematian
Pendekar Su-per Sakti dan dua orang isterinya yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es
berikut istananya. Ma-lam yang amat sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.
Cin Liong mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau
berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi, pemuda
yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya bahkan dia selalu
menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu. Dalam peristiwa ini, Cin Liong
kembali mendapatkan ke-nyataan bahwa tiada yang kekal di dalam kehidup-an ini! Pada suatu
saat, setiap orang manusia akan kehilangan segala-galanya, pasti akan tewas. Se-mua
kepandaian, kegagahan, nama besar, kemulia-an, harta benda, kedudukan, semua yang
disayang-nya, semua itu akan lenyap bersama dengan le-nyapnya nyawa dari badan! Karena
itu, semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut. Pengikatan
batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut menghadapi kenyataan
karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari semua yang meng-ikat batin kita, dan
mendatangkan duka kalau kita kehilangan mereka itu selagi kita masih hidup.
Cin Liong menghela napas panjang ketika ke-lihatan jelas olehnya bctapa diapun akan
kehilang-an semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya, bahkan
dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada! Akan tetapi, kenyataan yang dilihatnya ini
membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti berduka selagi hidup kalau akhirnya semua
inipun akan lenyap" Kena-pa mesti menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa
segala sesuatu di dunia ini tidak ke-kal adanya" Kesenangan dan kesusahan itu hanya seperti
angin lalu saja, datang silih berganti dan menjadi permainan daripada pikiran kita sendiri.
Pikiran sendiri yang menciptakan "aku", sumber daripada segala konflik penyebab
kesengsaraan, aku yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak
melakukan hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan
kesemuanya itupun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut!
*** Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
70 Kedukaan mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan
tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai suatu
bagian yang tak terpisahkan dari hidup, diapun sudah dapat terbebas daripada kedukaan
berhubung dengan kemati-an kakek dan nenek-nenek buyutnya dan lenyap-nya Pulau Es.
Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat menikmati keindahan di pagi hari
itu. Matahari tersembul dari permukaan laut di ti-mur, menciptakan jalur keemasan di atas air
yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul, putih
berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali dan
membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada ikan meloncat
keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika ikan itu terjun lagi dan
berenang secepatnya menghindar-kan diri dari pengejaran ikan yang lebih besar. Langit amat
cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis terbang lalu, bersimpang jalan dengan
terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian dipecahkan oleh pekik burung
camar memanggil kawannya. Sungguh me-rupakan pagi yang indah, tenang dan tenteram.
Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan
ber-ubah lagi. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan
berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap. Matahari
akhirnya akan lenyap di balik barat dan terangnya siang akan terganti gelapnya malam. Air
laut yang tenang penuh damai itu dapat saja sewaktu-waktu men-jadi air laut yang ganas,
mengamuk dan menelan apa saja yang dapat ditelannya, mendatangkan maut yang
mengerikan di mana-mana. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini. Yang kekal hanya-lah
KENYATAAN. Dan kenyataan ialah apa ada-nya, tanpa sifat baik buruk. Hanya hidup di
dalam kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka atau
duka, untung atau rugi. Baik atau buruk hanyalah penilaian, dan penilaian hanya merupakan
kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan untung rugi bagi si aku sendiri .
"Marilah kita segera tinggalkan tempat ini," akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian
dan seperti menyeret tiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah semalam mereka
bertiga membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan duka. "Tidak ada
gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini. Semua peristiwa ini harus
dilaporkan kepada orang-orang tua kalian."
Suma Hui memandang kepada pemuda itu dan mengangguk. "Mari kita berangkat."
Mereka berempat lalu mendayung perahu dan layarpun mereka pasang. Angin pagi mulai
ber-hembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.
Empat orang itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang
ha-rinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti itu tahu
bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus menempuh perjalanan
yang tidak mudah un-tuk mencapai daratan besar.
"Kita semua lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang
mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
71 memulihkan keku-atan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat. Biarlah aku
yang berjaga dan me-ngemudikan perahu lebih dulu."
"Aku juga!" kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani
mem-bantah. "Kalau begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah pulih
kekuatan, menggantikan kami berdua," kata Cin Liong dan dua orang pemuda itupun
mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka mere-bahkan diri dan sebentar saja
mereka tertidur pu-las. Kedukaan mempengaruhi badan yang menjadi lelah dan lemas dan
tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan dan kelelahan lahir batin.Cin Liong
mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin
meng-hembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka dapat
mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk. Bebera-pa kali Suma Hui
mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa dan dike-tahui oleh
pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah bagaimana, walaupun bi-binya
jauh lebih muda daripadanya, namun dia selalu merasa canggung dan malu terhadap bibi-nya
ini. Melihat betapa bekas tamparannya yang kema-rin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong,
dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan se-gala-galanya untuknya dan untuk kedua
orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es ketika menghadapi musuh-musuh
berbahaya, ha-ti Suma Hui terasa amat tidak enak. Ia tahu bah-wa pemuda yang jauh lebih tua
daripadanya, hanya karena "abu" saja menjadi keponakannya ini adalah seorang jenderal yang
ternama dan juga se-orang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian ting-gi. Dalam
pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itupun ia dapat melihat beta-pa
lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang ia atau dua orang adiknya. Bahkan harus
diakui-nya bahwa andaikata tidak ada Cin Liong, tentu lain jadinya akibat penyerbuan orang-
orang jahat itu. Bukan tidak mungkin bahwa ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban
pula. Kenangan ini membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri
ketika ia melihat bekas tam-paran tangannya pada kedua pipi pemuda itu. Se-orang pemuda
yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu, kulit
muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya. Suma Hui memejamkan
ke-dua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ke-tika ia menampari muka pemuda itu
yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia tidak menemukan
perlawanan sin-kang pada wa-jah yang ditamparnya! Pemuda itu seolah-olah rela menerima
tamparan-tamparannya. Ketika Suma Hui membuka kembali matanya, ia melihat be-tapa
pemuda itu sedang memandang kepadanya.
"Hui-i (bibi Hui).... apakah engkau mengan-tuk" Kalau begitu, istirahatlah, biar aku sendiri
yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Me-ngasolah...."
Suma Hui tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat
mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan. "Aku tidak mengantuk...."
Cin Liong tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang
ma-nis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu agak
belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar kee-masan. Betapa cantik jelitanya!
Akan tetapi dia tidak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya.
Jantungnya berdebar pe-nuh ketegangan. Sungguh mati, aku jatuh cinta padanya, batinnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
72 mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan betapa tidak mung-kinnya hal
ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya sendiri!
Suma Hui juga merasacanggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut
pandangan seorang bibi kepada seorang keponak-an. Namun tidak berhasil! Mana mungkin
me-mandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang pemuda dewasa
yang lebih tua daripada usianya sendiri" Namanya saja ia seorang bibi dan Cin Liong seorang
keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya. Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan
pengalaman, da-lam segala hal ia boleh berguru kepada jenderal muda ini!
"Cin Liong...."
Pemuda itu terkejut dari lamunannya dan cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang
mata penuh penyesalan dari gadis itu.
"Ada apakah, Hui-i?"
"Kau.... kaumaafkanlah perbuatanku kemarin...."
Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung
dan bingung. "Maafkan...." Tidak ada apapun yang harus dimaafkan, Hui-i, apakah
maksudmu....?"
"Aku telah menamparmu kemarin!"
"Oohh, itu....?" Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan
diapun tersenyum. "Ah, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar saja, Hui-i.
Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali lagi."
Alis itu berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah. "Cin Liong, jangan mengejekku!"
Cin Liong mengangkat alisnya. "Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu
memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ah, aku memang telah salah besar
kepadamu.... aku kurang ajar...."
"Tapi engkau hanya mentaati perintah mendi-ang nenek Nirahai."
"Ya, akan tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja, bukan
diam-diam lalu menotokmu...."
"Tapi, kalau kauberitahupun aku tidak akan mau menurut."
"Seharusnya aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan...."
"Tapi kau terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku...."
"Tapi aku menyinggung perasaanmu...."
"Dan untuk pertolonganmu aku telah menampari mukamu!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
73 "Sudah sepatutnya karena memang aku kurang ajar!"
Keduanya berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya mengerti betapa lucunya keadaan
mere-ka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian untuk
menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hni sebaliknya berusaha mati-matian untuk
membela Cin Liong!
"Heii, Cin Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?"
"Dan engkaupun berkeras hendak membelaku, Hui-i?"
Keduanya lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa
de-katnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.
"Kaulah yang seharusnya memaafkan aku, bibi."
"Hemm, aku baru mau memaafkan engkau ka-lau lebih dulu engkau memaafkan aku."
"Baiklah, Hui-i, aku memaafkan semua perbu-atanmu terhadap diriku."
"Dan akupun memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong."
Keduanya diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagaimana, Cin
Liong merasa betapa kegembiraan yaug amat besar me-nyelinap di dalam hatinya, seolah-olah
senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang menyusup dalam
ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya. Dia tidak tahu betapa gadis itupun merasa
berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam sekejap mata telah melu-pakan kedukaannya
berhubung dengan peristiwa yang menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.
Untung bahwa perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda
yang berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan dalam
guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut yang lapar, Suma Hui
lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan, karena di kanan kiri perahu nampak
ikan-ikan berseliweran dan apapun yang nampak di permukaan air mereka lahap dan sambar
saja. Ada mata kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan
sepotong kain, dan setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potong-an-
potongan ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun dan
Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.
"Bau panggang ikan....! Sedaaappp....!" kata Ceng Liong sambil menggeliat.
"Wah, gurih baunya, perutku jadi lapar!" kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam
bilik. Suma Hui tertawa. "Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian kalian
menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah sekali dan kalian
berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!"
"Hui-i lebih capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan," kata Cin Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
74 Mereka berempat lalu makan daging ikan bakar. Biarpun tanpa bumbu, hanya dengan rasa
asin air laut, akan tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana itu terasa
lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil memang telah
tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.
"Lihat matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita harus
menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat daya, takkan salah
lagi." Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke arah mana perahu harus
dikemudikan.Malam itu mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin
Liong, bahkan di atas sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh gerombolan
penjahat dan dise-rang sampai dia terjatuh ke laut. Pada keesokan harinya, begitu matahari
terbit, mereka melanjut-kan pelayaran mereka. Akan tetapi langit tidak cerah seperti pagi
yang lalu. Awan gelap meme-nnhi angkasa dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu
yang menyeramkan. Cin Liong memandang ke arah awan-awan hitam itu.
"Mudah-mudahan bukan tanda akan datang-nya badai," katanya.
Akan tetapi, ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat daripada itu.
Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan sebentar saja
mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan dapat dibayangkan betapa
kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa di atas em-pat buah perahu yang telah
mengurung perahu ke-cil mereka itu nampak adanya orang-orang yang pernah menyerbu
Pulau Es! Mereka melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang
datuk yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedi-kitnya
empat puluh orang yang kelihatan kasar-ka-sar dan bengis-bengis!
Tentu saja Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya
penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.
"Aku akan mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!" Ceng Liong mengeluarkan teriakan
sambil mengepal dua buah tinjunya yang kecil, sepasang matanya mencorong dan berapi-api,
seperti see-kor naga kecil yang siap untuk mengamuk, keli-hatan gagah sekali ketika dia
menyingsingkan ke-dua lengan bajunya!
"Kita lawan sampai titik darah terakhir!" Ciang Bun juga membentak marah dan sekali
tangan ka-nannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es ketika
mereka mening-galkan tempat itu.
"Bagus! Ada kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek
kita yang tercinta!" Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia mencabut
siang-kiamnya. Wajah tiga orang muda ini sedikitpun tidak membayangkan rasa takut,
walaupun Cin Liong maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk
dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka diapun tersenyum dan
mendekati Suma Hui.
"Hui-i, aku akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu
keba-hagiaan besar!" Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja. Gadis
itu me-noleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran. Sejenak
dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu pengertian yang tidak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
75
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi. Suma Hui ter-senyum mengangguk. "Bagiku
juga, Cin Liong," bisiknya.
Pada saat itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah
berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja angin bertiup
kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh mengerikan, apalagi diseling oleh
kilatan petir yang me-nyambar-nyambar. Sungguh perobahan yang amat tiba-tiba sehingga
empat buah perahu besar itu-pun terlanda badai dan nampak betapa anak buah merekapun
kebingungan dan sibuk menurunkan layar.
"Ah, badai datang....!" Cin Liong memper-ingatkan tiga orang muda itu dan diam-diam dia
mengharapkan bahwa munculnya badai ini akan mengurungkan niat jahat para penjahat di
atas em-pat buah perahu itu.
Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata ada
enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu sege-ra bergerak. Ceng Liong menyambut seorang
pen-jahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar
keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya,
sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Si-sanya, dua orang lagi,
disambut tendangan dan pu-kulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!
Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu
terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di
antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.
Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu
mereka terguncang hebat dan miring, hampir ter-balik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa
penja-hat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!
"Cepat, loncat ke perahu lawan!" teriaknya dan tiga orang muda itupun mengerti. Cin Liong
sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat.
Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah
menyambutnya de-ngan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Ka-rena tubuhnya masih
melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan
Ceng Liong ke atas geladak pe-rahu dan barulah dia menangkis dengan lengan ka-nannya.
Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biarpun
dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan
kanannya. "Desss....!" Hebat sekali benturan tenaga itu dan andaikata Ceng Liong masih berada da-lam
pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan
dahsyat itu. Biarpun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat,
na-mun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak
dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu mem-buat tubuhnya terlempar jauh keluar
dari perahu. "Byuurrr....!" Tubuh Cin Liong segera di-sambut oleh gelombang lautan yang sudah makin
mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
76 Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena
memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan ba-dai mengamuk itu.
Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang
mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah
dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret
menjauh. Tiba-tiba tangan-nya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah
ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan
tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu. Akan tetapi
perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan
nya-ring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia
diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang
dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.
"Byuurrr....!" Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan oleh mulut gelombang yang menganga
lebar. "Darrrr....!" Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong! Kiranya,
penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini
takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali
melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri
dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-pe-rahu besar di
maka tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat. Ketika melihat bayang-an
hitam terapung lalu dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari
perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu me-narik tubuhnya ke atas papan itu
dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.
Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, namun
anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam
Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan
ibunyapun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli
sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan
dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biarpun dia baru berusia
sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.
Para penjahat itu tadinya tentu saja meman-dang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi
si-kap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggauta
penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke laut-an untuk tidak muncul kembali!
Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun.
Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lu-nak dan
merekapun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan
me-ngeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang! Namun, dengan ilmunya Sin-
coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berobah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat
ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian de-ngan tendangan-tendangan
Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat
para pengeroyoknya kocar-kacir!
Betapapun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih
lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam, maka setelah dikepung
oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
77 koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya. Biarpun demikian, anak ini sama sekali
tidak pernah menge-luh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng
Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yai-tu Suma Hui
dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang mem-buat
mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk
memecah-belah kekuatan para pengeroyok. Se-dangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi
bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia
me-lihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu
tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua
orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan me-reka tentu tiada bedanya
dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus
melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!
"Majulah! Majulah kalian semua....!" Dia mambentak sambil berloncatan ke sana ke mari
dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. "Keroyoklah aku! Inilah cucu Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!"
Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa
sekali. Pakaiannya sudah penuh darah, tubuhnya sudah luka-luka akan tetapi gerakannya
masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih ber-nyala-nyala dan sedikitpun
tidak nampak dia gen-tar.
Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itupun tidak dapat
memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berke-lahi inipun nampak lucu,
kadang-kadang tergu-ling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong beberapa
kali terguling roboh karena olengnya perahu. Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah
tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya
hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas
perahu itu. Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap
lagi, hujanpun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak
ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kaki-nya menginjak papan yang
licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar. Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan
tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan
kepalanya di bawah. Dia meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah
penjahat. "Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!"
"Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!"
"Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!"
"Cambuki dia sampai hancur daging-daging-nya!"
Ceng Liong tak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia
memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang me-rubungnya itu. Wajah-wajah
yang menyeringai seperti setan-setan. Akan tetapi sedikitpun dia tidak takut. Bahkan dia
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
78 masih mencoba mengge-rakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu
sehingga para penjahat itu melang-kah mundur.
"Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa ta-kut mampus" Aku cucu Pendekar Super Sakti
Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!" Ceng
Liong membentak dan memaki-maki. Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam
dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikit-pun juga. Ketika kakeknya dan kedua
orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan
kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengke-raman maut yang
mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikitpun dia tidak kelihatan takut!
"Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?" bentak seorang yang
tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan
sam-pai sekarang masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya
ke arah leher Ceng Liong. Anak ini tak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip,
memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, se-dikitpun tidak kelihatan
takut. "Plakkk!" Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
"Lancang! Siapa suruh membunuhnya?" Hek-i Mo-ong membentak marah dan sekali lagi dia
menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menen-dang dan orang yang tadinya hendak
membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar
keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah
membunuhnya! Memang de-mikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Ke-ras dan kejam,
setiap kesalahan betapapun kecil-nya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini mem-buat
semua anak buah takut dan taat kepada pim-pinannya.
Akan tetapi, sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua
anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah
terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa se-karang orang yang hendak
membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong" Mereka semua
memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran. Hal ini diketahui oleh
Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu
menghadapinya dan dia menyeringai.
"Huh, siapapun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang
akan menyiksanya sampai mampus!"
Mendengar ucapan ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan merekapun tersenyum
me-nyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman me-reka tadi dibunuh, kiranya teman itu
hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.
Ceng Liong sendiri tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris
melayang di bawah bacokan golok tadi kini telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh
besar-nya! Sejenak dia menjadi bingung. Dia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh
nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang pa-ling sakti dalam rombongan
musuh yang menyerbu Pulau Es, juga kakek ini jelas merupakan pemim-pin mereka yang
paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nya-wanya.
Semenjak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
79 dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi
memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin kini dia akan memusuhi, apa
lagi mendendam, ke-pada seorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut"
Dia telah herhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong! Kenyataan ini membuat anak itu tidak
banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang
terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri
semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itupun
terkulai pingsan.Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapat-kan dirinya berada di sebuah
bilik kecil dan ko-song, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika
dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi,
ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat yang berwarna
merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka
itupun mengering. Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan ketika dia
dikeroyok tadi. Tadi" Atau kemarin" Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah
semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, diapun tahu bahwa dia masih berada di
dalam perahu dan diapun teringat bahwa dia telah men-jadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia
melihat hi-dangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Se-ketika dia merasa betapa tubuhnya
lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang
penting adalah men-jaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan
melihat perkembangan untuk menentukan tindakan. Ceng Liong lalu menyambar tempat air
dan minum. Segar sekali rasanya, walaupun hanya air tawar dingin saja. Lalu dia-pun mulai
makan, tidak lahap dan tidak terlalu ba-nyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang ko-song.
Setelah selesai makan, diapun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat
kuat, terhitup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat
tawanan! Dan diapun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka
bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
"Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, seka-rang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong."
terdengar seorang di antara mereka mengomel.
"Hushh, perlu apa mengomel" Kita malah un-tung besar. Lihat saja teman-teman banyak
yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan Jai-hwa Siauw-ok setelah berhasil menangkap
gadis itu lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!"
"Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik ma-nis, heh-heh!"
"Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin
kita itu!"
"Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!"
"Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja,
lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?"
"Kenapa ribut-ribut" Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong lebih enak. Dia lebih berpengaruh,
le-bih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
80 Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita
yang amat buruk. Agaknya encinya Suina Hui te-lah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Biarpun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya
jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu encinya itu
terancam bahaya yang mengeri-kan pula. Akan tetapi, dia tidak begitu mengkha-watirkan
Suma Hui karena bagaimanapun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa
dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang
membuat dia khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong. Mereka
ber-dua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mam-pu menyelamatkan diri dari ancaman
gelombang air laut dalam badai itu" Betapapun lihainya ka-kaknya, Ciang Bun atau
keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu takkan mampu berbuat banyak terhadap amukan
air laut dalam badai.
"Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini" Bukankah dia
bilang hendak menyiksanya sampai mati" Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang
harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi ma-kan lagi! Apa sih
maksudnya?"
"Hushh, perlu apa mencampuri" Tugas kita hanya mentaati perintah!"
"Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?" sambung suara lain. "Biasa, kalau hendak
memo-tong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?"
"Ha-ha-ha, engkau benar!"
"Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti
ke-berhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan
dibunuh." "Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembah-yangan roh para kawan yang telah tewas di
tangan keluarga Pulau Es selama ini."
Ceng Liong sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring,
"Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan beri-sik! Aku mau tidur, tahu?"
Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan
memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
"Bocah keparat!"
"Kurobek mulutnya!"
"Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi
sepotong!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdu-likan mereka lagi dan diapun mengusir
segala ke-khawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila
dan tenggelam dalam samadhi.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
81 Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu karena
yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri,
mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Ku-ning ini berada di Propinsi Kiang-
su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terda-pat pula rombongan orang yang
membawa ba-nyak kuda. Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng
tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Para anak
buah, sebagian ditinggalkan di perahu perahu itu dan sebagian pula menung-gang kuda
mengiringkan kereta. Kereta dan rom-bongan itu membalap ke arah barat.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di
sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi
Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang terpilih untuk
pertemuan para datuk itu.
*** Siapakah adanya Hek-i Mo-ong" Para pem-baca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu
telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seo-rang kakek raksasa yang bernama Phang Kui.
Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua sejak
muda dan matanya agak kebiruan. Dahulu pernah dia men-dirikan sebuah perkumpulan yang
dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang
amat kejam dan jahat, me-rupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang.
Belasan tahun yang lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal
dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) Hek-i Mo-ong memimpin
gerombolannya, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat
setempat menjadi sekutunya.
Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu
keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi
isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya
itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-
lian-san.Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata
gagal, bahkan Im-kan Nga-ok tewas semua oleh para pendekar muda (bacaSuling Emas dan
Naga Si-luman). Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan
dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi. Selama beberapa ta-hun dia menyembunyikan diri,
tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biarpun dia sudah
menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendam-nya dan juga
cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.
Kehancuran perkumpulan dan namanya mem-buat dia sakit hati dan dia mengambil
keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, kemudian
menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan
suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus mengangkat nama-nya
setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es! Ka-rena para datuk kaum sesat memang
menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat
kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
82 itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemu-dian Ulat
Seribu yang tewas di tangan nenek Nira-hai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-
jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-
satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.
Akan tetapi, biarpun dia dan sekutunya berha-sil menewaskan dua orang nenek, isteri dari
Pen-dekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar
Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak
buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan
betapa girang rasa hati-nya melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang
muda itu melarikan diri dari Pulau Es. Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk
menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti se-dangkan Si
Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu,
sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga
Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!
"Betapa membanggakan hasil hasil besar itu," pikirnya girang. Keluarga Pulau Es telah dapat
dibinasakannya dan sebagai bukti, dia membawa seorang cucu majikan Pulau Es sebagai
tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat
namanya, dan akan me-mudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa
semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu memban-tunya, kini
menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apa-kah
usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!
Biarpun dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam
pe-nyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil meng-hancurkan keluarga Pulau Es dan
menawan seo-rang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri
melarikan cucu perem-puan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena
perbuatan itupun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan me-rupakan
bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bah-wa
seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi
perma-inan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah
dirampasnya! Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan
pengalaman-nya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa
menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepan-daiannya seperti
punah dan tiada gunanya! Pada-hal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk
memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa
kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu.
Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang tadinya dia anggap sudah
tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu bauyak. Dan musuh-
musuhnya bukanlah orang-orang le-mah, walaupun kiranya tidak mungkin sehebat Pendekar
Super Sakti. Karena itu, dia harus me-ngumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat
kedudukannya. Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih
tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka su-dah berkumpul di dalam hutan itu,
tinggal di pon-dok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas,
ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam kalangan, semua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
83 telah berkumpul untuk men-dengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama
rekan-rekannya kabarnya pergi me-nyerbu Pulau Es.
Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki
yang mukanya agak pucat akan tetapi sepasang matanya memandang berani, muncul dari
pintu ke-reta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya,
sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan
sesat itu sambil berka-ta dengan suara nyaring dan bernada gembira, "Kawan-kawan sekalian,
ketahuilah bahwa kelu-arga Pulau Es telah kami binasakan, bahkan pu-lau itu sendiri telah
habis dimakan api dan teng-gelam! Dan semua penghuninya telah dapat kami binasakan dan
kami tawan."
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka itu
adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pu1au Es, bahkan
sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu. Memang
keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan sejak puluhan tahun
telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam
sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.
Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es" Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri
per-nah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, bahkan di
samping ilmu silatnya, diapun terkenal sekali dengan ilmu sihir-nya sehingga dijuluki
Pendekar Siluman! Juga dua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti dunia penjahat.
Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai
seorang panglima wanita yang sudah ba-nyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan
gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lu-lu isteri ke dua dari pendekar itupun pernah
dike-nal orang.
Selain sang pendekar sakti bersama dua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal
seba-gai pendekar-pendekar yang ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam. Puteri mereka,
yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar
wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.
Kedua orang pute-ra dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Le dan
Suma Kian Bu. Teruta-ma sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya
sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan
Pendekar Siluman, ayahnya. Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah
perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee
bernama Kiin Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang
sebagai seorang ga-dis dari dunia hitam yang murtad dan memaling-kan mukanya menentang
dunia kejahatan itu sen-diri, maka tentu saja iapun dianggap musuh oleh dunia penjahat.
Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bah-kan mantu
ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sehe-hat
Pendekar Super Sakti, namun kalau ia perguna-kan, cukup membuat repot
lawannya.Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka
tentu saja peng-umuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya
telah terbasmi disam-but dengan sorak-sorai gembira.
Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan
rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja
kete-rangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
84 Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong
mengajak me-reka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.
"Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan" Engkau
berangkat berlima dan pulang hanya sendirian sa-ja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan
ke Pulau Es itu berhasil baik?" terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.
Pertanyaan ini didukung oleh banyak tokoh yang lain. "Ya, mana buktinya?" Suara mereka
susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.
"Kalian tidak percaya kepadaku?" Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan
sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadipun padam dan semua orang
meman-dang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.
Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi,
suara ketawanya mengandung khi-kang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung
semua orang yang hadir di situ.
"Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti" Lihat baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari
Pendekar Super Sakti Suma Han." Berkata demi-kian, Hek-i Mo-ong lalu dengan gerakan
tiba-tiba melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas. Tu-buh itu terlempar ke udara. Ceng Liong
merasa terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang
lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan
melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.
"Gantung kaikinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!"
Dengan girang anak buahnya melakukan perin-tah ini, akan tetapi mereka sudah kapok untuk
ber-lancang tangan sehingga tidak ada yang menggang-gu Ceng Liong kecuali
menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan
kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani
mengganggu, menamparpun tidak.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu
dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-
ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.
Ceng Liong yang digantung pada kedua kaki-nya itu, mendengarkan saja dan dia mengambil
ke-putusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia
tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan samadhi sambil tergantung
seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti
jalan darahnya dan menghim-pun hawa sakti di pusar. Tiba-tiba saja, hawa sakti yang
diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan
kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan
dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam,
telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua
olehnya, demikian je-lasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung
orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
85 Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, seperti mimpi saja dia merasa
diba-ngunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar.
Malam itu tia-da bulan akan tetapi langit amat cerah, memben-tang biru penuh dengan
bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajak-nya ke tepi pantai
yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan de-ngan kakeknya.
"Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan dapat kaujadikan
pu-sat pengerahan sin-kang kelak kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah
kulihat dan eng-kaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat
menjadi dahsyat sekali dan kalau disalahgunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri.
Nah, ulurkan kedua lengan-mu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam
diri dan batinmu."
Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya kepada telapak tangan
kakeknya dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku,
dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin
lama semakin panas sam-pai dia hampir tidak tahan lagi, lalu perlahan-la-han menjadi dingin
dan semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik
menjadi panas lagi. Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhir-nya
dia tak ingat apa-apa lagi dan setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku,
duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam
air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.
"Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin," kakeknya berkata lirih
namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah
su-ara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya. Tiba-tiba dia merasa betapa
hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, terganti
dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan te-tapi, tubuhnya bagian atas
berkeringat dan terasa panas sekali!
"Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Gunakan pernapasan
un-tuk mengatur pembagian hawa...." kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya
menyentuh dan menekan kedua pundaknya. Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi
hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah mela-wan dingin dan bagian atas
melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur
keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang
membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.
Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadari-nya, dia telah mewarisi sumber pembangkit
tena-ga sin-kang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam
keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa
sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan menda-tangkan hal-hal aneh,
mempertajam panca inde-ranya!
Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah
memba-kar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup
ceritanya. "Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor sa-tu kita semua! Pendekar Super Sakti dan dua
orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
86 karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa ti-dak tahu keganasan Siauw-ok terhadap
wanita" Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula,
putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak
badai itu. Tinggal yang seo-rang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubu-nuh karena
hendak kuperlihatkan kalian semua. Ha-ha-ha!"
"Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh
ter-gesa-gesa bergembira dengan hasil itu."
Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini
bicara yang sedikit banyak merupakan celaan ter-hadap Mo-ong, atau mengecilkan arti
pembinasa-an Pulau Es itu.
Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan meno-leh dan membalikkan tubuh menghadapi orang
yang bicara itu. Semua orang menghentikau suara mereka dan keadaan menjadi hening karena
mere-ka semua ingin mendengar apa yang akan dibicara-kan antara dua orang ini. Apalagi
setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang
tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul
di situ dan berani mence-la Hek-i Mo-ong. Sebaliknya, Begitu Hek-i Mo-ong melihat orang
itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.
"Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang be-rani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-
ong! Ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, me-mang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan
saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik
ini?"Banyak di antara mereka terkejut mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja
Ular Dunia Barat) itu. Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
termasuk orang aneh, tak dapat dibilang berpihak kaum pendekar ataupun pendukung
golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan
mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampnri dalam arti
kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka
mengakui akan keanehan orang ini, keaneh-an yang mengerikan.
See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan
kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuh-nya hampir telanjang bulat. Hanya
ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan kare-na sangat kurus, maka
nampak tinggi sekali. Kepa-lanya botak kelimis. Kedua telinganya yang ter-lalu lebar itu
dihias anting-anting perak. Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membung-kus
tulang itu terhias gelang-gelang perak. Dan di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak
atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular
seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati!
Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan
mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang
dari kakek ini.
Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Si-luman tentu masih ingat kepada kakek aneh
ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah
muncul dan per-nah membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian da-lam ilmu menaklukkan
ular-ular dan memperda-lam ilmu silat pendekar itu. Kemudian kakek ini menghilang karena
memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di
Pegunungan Himalaya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
87 See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak
mudanya dia sudah seringkali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula
Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia
mendapatkan ilmu-ilmu silat da-ri daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang ini-lah dia dahulu
berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Ketika itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan
Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebab-nya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah
kepada Raja Ular itu.
"Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biar-pnn engkau telah berhasil membinasakan Pulau
Es dan para penghuninya, akan tetapi engkaupun kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu.
Bah-kan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-
jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak
buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar
Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu
sekalipun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?"
Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar. "Aha, Coa-
ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah
dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pen-dekar Super Sakti dan dua orang
isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan
tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah ba-nyak menimbulkan sudah
kepada kawan-kawan kita, terutama di barat."
Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang. "Baiklah, baiklah.... katakanlah bahwa
hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu
akan membebaskan kalian dari lawan kalian " Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau
ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai" Lupakah engkau
kepada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat
lihai itu" Dan lupakah -engkau kepada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama
Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil" Dan juga,
kalau benar Hikmah Pedang Hijau 14 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 12
h tua renta dan lemah. Dan hanya dia
seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari em-pat orang muda itu!" Berkata demikian, Jai-
hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan
Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu
menyambar ke arah kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kiri-nya ke atas, bukan seperti orang menangkis
mela-inkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan
Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas
itu. "Desss....!" Akibatnya, tubuh Jai-hca Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh.
Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya.
Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, diapun kini bergerak maju,
merendahkan dirinya sepcrti hampir merangkak dan tiba-tiba diapun melancarkan pukulan
Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok. Pukulan itu langsung datang
dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti. Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali
menggunakan tangan kirinya untuk didorongkan ke depan menyambut pukulan maut itu.
"Wuuuuttt.... plakk....!" Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok
seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar lalu terbanting dan masih terguling-guling
sampai tubuhnya menabrak dinding. Akan tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini
membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan kerassama keras, melainkan
menggunakan kelembutan. Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya
sendiri yang membalik. Tentu saja ban-tingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan
hatinyapun sudah menjadi gentar sekali. Dia bang-kit duduk dan memandang ke arah sosok
tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.
Melihat peristiwa ini, Hek-i Mo-ong menge-rutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian
re-kannya itu dan melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara demikian
mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.
"Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!" bentaknya dan kakek
raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya. Makin lama, putaran
itu menjadi semakin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak
hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
58 dengan suara berde-sing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua
tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan
menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.
"Hyaaaaaattt....!"
Tombak itu menyambar ke bawah dengan ke-kuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-
ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karangpun akan
hancur lebur tertimpa hantaman Leng-ge-pang yang dipukulkan dengan tenaga sedahsyat itu.
Suma Han menarik napas panjang, mengenal pu-kulan maut yang amat hebat. Dengan tenang
dia lalu menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat
bututnya itu di atas kepala.
"Desss....!" Seluruh ruangan itu rasanya se-perti tergetar dan semua orang yang hadir
merasa-kan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak.
Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu
dengan tenaga lu-nak pada tongkat butut. Dan akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i
Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan
tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan
tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bu-kan
dihantamkan, melainkan ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih duduk
ber-sila dengan tenang.
Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung
tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.
"Trakkkk....!" Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong
bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit
duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti mengusir kepeningan. Kemudian dia
meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya
terengah-engah. Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi
serangannya dengan perlawanan tena-ga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena
sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang,
tentu ada yang melebihinya. Akan tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya
keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak seperti meluluhkan tenaganya, atau
membuat tenaganya itu membalik dan menghan-tam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia
pe-nasaran. Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini" Demikian rendahkah
tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadahi-nya seperti itu" Dia tidak
percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di
antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti ketu-runan Suling Emas
itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalahpun hanya sedikit saja
selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mu-dah!
Akan tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggiman tenaga lemas saja.
Siapa yang takkan merasa penasaran" Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan
seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, meng-gunakan tenaga dan ditambah kekuatan
loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.
"Siuuuutttt.... darrrr....!" Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-
ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali,
matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah se-gar!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
59 Pendekar Super Sakti nampak tubuhnya bergo-yang-goyang. Dia menunduk dan terdengar
su-aranya lirih, "Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah...."
Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang ma-ti-
matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah
dan pergi begitu saja" Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sin-
kang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah
mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas,
mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.
Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-re-mang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan
terdengar bermacam-macam suara aneh, se-perti suara orang-orang menangis dan tertawa
bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sen-diri merasa serem akan tetapi karena mereka
tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang se-dang dikerahkan oleh pucuk pimpinan
mereka, me-reka merasa tenang.
"Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan
membantuku untuk membasmi keluargamu. Li-hat mereka muncul!" Dan kipasnya mengebut-
ngebut makin keras lagi. Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah
bayangan-bayangan hitam bermunculan, bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh
yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka
bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.
"Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa
yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai di-rinya sendiri!" terdengar Suma Han
menjawab halus dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini
nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap.
Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas,
kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri
dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walaupun kakinya hanya sebelah, sepasang mata-nya
mencorong seperti bintang.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat me-ngebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya
ke-luar suara-suara aneh seperti orang membaca mantram dalam bahasa asing. Dan bayangan-
ba-yangan hitam itu menggereng-gereng dan mener-jang ke depan, ke arah bayangan putih
dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu. Bayangan putih yang
berbentuk Pende-kar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-
gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau
seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.
Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-
ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang
berbentuk Suma Han itu "bersilat" atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan
hitam itu lalu me-rengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan le-ngan-lengan berbulu,
seperti anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.
Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan mantramnya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma
Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu makin mengecil dan
akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
60 "Krekkk....!" Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri
terpe-lanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia me-rintih akan tetapi masih dapat bangkit
lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari
mulutnya sehingga mu-kanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.
"Hek-i Mo-ong, pergilah dan tinggalkan pu-lau ini bersama semua kawanmu, bawa semua
ka-wanmu yang tewas maupun terluka," terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.
Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri
dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu da-pat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-
ok se-hingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri. Sejenak Hek-i Mo-
ong meman-dang kepada Suma Han, kemudian dia membalik-kan tubuhnya dengan sikap
angkuh dan menghardik, "Mari kita pergi!"
Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali,
cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah
payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-ma-yat para teman mereka dan
akhirnya, mereka pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita keka-lahan besar.
Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang dan menggunakan
sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi
mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat nemang tenaga Hek-i Mo-
ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah! Dia memandang ke arah wajah Nirahai
yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik, "Tak
kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu...." Dan diapun kembali bersila seperti
semula di dekat je-nazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke
atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening....
*** Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang
dila-kukan Cin Liong tadi. Begitu simnan, ia mengeluh lirih dan mengejap-ngejapkan mata.
Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lan-tai dalam ruangan yang remang-
remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan
Ceng Liong duduk bersila di sebelah kirinya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah
kanannya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali ber-gerak, dara ini
telah bangkit berdiri.
"Apa yang telah terjadi...." Ah.... engkau .... engkau telah menotokku dengan curang!" Suma
Hui teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke
depan. Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah
menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
61 "Plak! Plak! Plak! Plak!" Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat
ku-lit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tidak mau menangkis atau mengelak, maklum
betapa marah-nya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.
"Enci, jangan....!" Ciang Bun memegang lengan kanan encinya.
"Enci Hui, jangan pukul dia!" Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.
"Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani
meni-puku dan menotokku....!"
"Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai," kata Ciang Bun.
"Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau
dan kita semua, enci Hui!" Ceng Liong juga membu-juk dara yang masih marah itu. Kedua
tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi meman-dang wajah Cin Liong dan
andaikata ia tidak di-pegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut. Cin Liong hanya
menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena
ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan
tangan seorang dara seperti Suma Hui amat-lah hebatnya! Masih untung pendekar ini bahwa
Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, me-lainkan hanya sebagai peluapan amarahnya
saja. Kalau dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu bisa retak-retak
tulang ra-hangnya! Dan betapapun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak
maupun menang-kis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pende-kar Super Sakti mau
mempergunakan sin-kang.
Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang
biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan
Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan
kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang
matanya tidak ganas seperti tadi dan me-lihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang
Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.
"Baiklah...." akhirnya Suma Hui berkata, "aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah
atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebab-nya" Bukankah Pulau Es diserbu musuh"
Meng-apa kita harus melarikan diri?" Pertanyaan itu di-tujukan kepada Cin Liong dan
sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.
"Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga," jawab Cin Liong.
"Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta aku berjanji untuk
melaksanakan pe-rintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian
ke sini untuk bersem-bunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan
tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil)."
"Tapi.... bagaianana dengan nenek Nirahai" Dan kakek" Kita disuruh bersembunyi, lalu
bagaimana dengan mereka...." Mari kita keluar untuk membantu mereka!"
"Tapi, bibi...." Cin Liong hendak mence-gah. Memang sudah ada satu hari lebih mereka
berada di situ semenjak mereka masuk sampai da-ra itu siuman, akan tetapi dia belum
mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
62 keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar" Bukankah tiga orang muda ini
akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah usahanya memenuhi perintah nenek
Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya"
Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat
persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat ketika ia menggerakkan
sepasang pe-dang itu melintang di depan dadanya dan pan-dang matanya penuh tantangan
terhadap Cin Liong.
"Engkau hendak melarangku" Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang akan berani mencegah
aku keluar!"
Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan
te-tapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
"Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggungjawabkan janjiku
kepada ne-nek buyut Nirahai." Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki
kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia mengguna-kan kekerasan,
tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus
menghadapi kebencian dara ini.
"Tapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!" Suma Ciang Bun mencela. "Dan janji seorang
ga-gah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!"
"Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya
melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!" Suma
Ceng Liong juga mencela.Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu,
keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi
betapa duka dan khawatir ada-nya perasaan dara itu. Dia sendiripun tadinya kurang setuju
terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja
menghadapi banyak lawan tangguh se-dangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang
muda itu. Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena diapun dapat melihat
bahwa me-mang keselamatan tiga orang muda itu amat teran-cam dan perlu diselamatkan, dan
dia sudah berjan-ji, maka bagaimanapun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang,
melihat kedukaan dan kekha-watiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri merasa
menyesal mengapa dia telah men-taati perintah nenek Nirahai.
"Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, bi-arlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari
kita keluar dan melihat keadaan di sana," kata Cin Liong dan tiga orang muda yang memang
ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah
lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.
Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang mada itu keluar dari pintu
rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan
de-ngan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara
sedikit-pun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seo-rangpun. Begitu sunyi keadaannya,
sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-du-gaan yang mengerikan.
Apalagi setelah mereka berada di luar. Sung-guh jauh sekali daripada yang mereka kira
semu-la. Tidak nampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
63 mereka, pada-hal mereka berempat itu maklum betapa banyak-nya pihak musuh yang roboh
dan tewas. "Mari kita cari di dalam!" Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia
mera-sa gelisah sekali. Setelah kini berada di luar, ialah yang menjadi pemimpin.
Bagaimanapun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang kepo-nakan. Mereka lalu
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka
sudah dikejutkan oleh kenyataan mengeri-kan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan
Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah
tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.
Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan me-lihat ini dan iapun cepat lari masuk ke dalam,
dii-kuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhir-nya mereka tiba di ruangan di mana
peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma
Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang
tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi. Keadaan dalam ruangan itu begitu
sunyi, kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang
bersuara. Satu-satunya yang bergerak ha-nyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas
karena tidak terganggu semilirnya angin.
"Nenek Nirahai....!" Tiba-tiba Suma Hui menjerit dan dara ini lari menghampiri, lalu
ber-lutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis. Melihat encinya
menangis se-senggukan seperti itu, Ciang Bun juga tidak dapat menahan tangisnya. Hanya
Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah ne-nek itu dan
memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya
nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya
nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras. Cin Liong hanya menundukkan mukanya,
diam-diam diapun merasa terharu dan menyesal menga-pa keluarga Pulau Es yang demikian
terkenal se-bagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat
sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul
dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat ba-nyak dan kuat.
Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia
mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan
kedua mata-nya itu.
"Kong-kong....! Kenapa kong-kong mem-biarkan semua ini terjadi" Kenapa kong-kong
membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai" Di mana kesaktian
kong-kong" Kenapa kong-kong tidak menghadapi mu-suh, menghajar mereka dan mencegah
mereka membunuh kedua orang nenekku" Di mana kegagahan kong-kong....?"
Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani
mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja,
bergerakpun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang
sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih. Ciang Bun merangkul encinya dan
membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.
"Enci.... jangan menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu...."
keluh-nya. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
64 Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata, "Enci Hui,
ucapan apa itu" Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia
tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur
kong-kong!"
Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong. "Kita semua
telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmulah, Cin Liong, maka aku menjadi
pengecut! Kita me-larikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan
dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!"
Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.
"Enci....!" Ciang Bun menegur.
"Enci Hui....!" Ceng Liong juga menegur.
Akan tetapi Cin Liong yang tadinya mengang-kat muka memandang gadis itu, kini
menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu.
Biarpun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membenci-nya, namun dia tahu
bahwa semua itu timbul ka-rena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua
orang neneknya.
"Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiripun mera-sa menyesal harus meninggalkan medan
perkelahi-an, akan tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?"
katanya perlahan.
"Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami, akan tetapi perintah itu membuat kita
semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu, kenapa engkau mentaatinya secara
membuta saja?" Suma Hui membentak.
"Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan
untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang
mengandung kebenaran dan kecerdasan."
"Melarikan diri dari musuh kauanggap benar dan cerdas" Cin Liong, katanya engkau ini
seo-rang jenderal perang, kenapa berpendapat demiki-an" Pendapat macam apakah itu?"
"Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nira-hai adalah seorang panglima besar dan aku
sendiri sedikit banyak pernah mempelajari ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri
dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak
pengecut. Demi-kian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku untuk membawa kalian
bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama sekali bukan karena hendak
membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan perhitungan yang masak, benar dan
cerdas. Karena, andaikata kita tidak melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan
nenek bu-yut" Ingatlah, keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga
kalau toh kita melawan, maka kitapun semua akan tewas bersama nenek buyut."
"Lebih baik mati bersama nenek Nirahai daripada meninggalkannya lari, membiarkan ia
sen-dirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan sampai
titik darah penghabisan!" Suma Hui tetap ngotot.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
65 "Enci Hui, lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah maupun dari
kakek" Melawan musuh secara membuta sampai mati ha-nyalah tindakan orang nekat yang
bodoh. Melari-kan diri karena takut barulah pengecut, akan tetapi melarikan diri karena tahu
akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas." Ciang Bun memperi-ngatkan encinya.
"Dan kita lari bukan karena takut, enci. Mela-inkan karena perintah nenek Nirahai yang
meme-rintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan kita,
dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah" Bu-kankah kalau demikian berarti
enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?" Ceng Liong juga menegur.
Mendengar kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma
Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Gadis ini memiliki kegagahan luar
biasa, kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan. Ingin dia me-rangkul dan menghiburnya,
menyusut air mata itu!
"Kukira.... kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat
mencari peti jenazah....?" Akhirnya Cin Liong berkata.
"Nenek Nirahai sudah memiliki peti jenazah sendiri, di kamarnya. Biar kita mengambilnya,"
kata Ciang Bun. Mereka berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-
sama mereka lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu
dan mema-sukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk
bersila tanpa per-nah bergerak. Dan empat orang muda itupun ti-dak ada yang berani
mengganggunya. Kembali Suma Hui menangis ketika ia bersem-bahyang di depan peti jenazah ini. Ceng
Liong menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat, "Enci Hui, kenapa menangis" Kalau
kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah mem-diang nenek. Kalau tidak
demikian, tentu kita se-mua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih hidup sehingga kita
akan mampu untuk membalas-kan kematiannya, bukan?"
"Liong-te, ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati
kita diracuni dendam?" Ciang Bun menegur adiknya.
Tiba-tiba terdengar suara halus, "Kematian adalah suatu kewajaran. Tak perlu disusahkan,
tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, ba-wa mayat kami semua ke ruangan
sembahyang dan bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus ce-pat meninggalkan pulau ini
dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Pe-rintahku terakhir ini
sedikitpun tidak boleh kalian langgar!"
Semua orang terkejut sekali mendengar ini. Ta-dinya mereka bingung karena suara itu seperti
da-tang dari empat penjuru, atau kadang-kadang se-perti datang dari atas. Setelah tiga orang
cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh dan memandang. Akan
tetapi selagi sua-ra itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama sekali.
Akan tetapi jelas bah-wa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah yang bicara karena
suaranya tentu saja amat dike-nal oleh Ceng Liong, Ciang Bun, dan Suma Hui! Dan kalimat
terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal dunia! Cin Liong yang lebih dulu
sadar akan hal ini dan diapun cepat maju menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu
meraba pergelangan tangannya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
66 "Beliau telah wafat...." katanya lirih, penuh takjub dan hormat. Kakeknya ini, melihat tubuh
yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia sejak tadi, akan tetapi mengapa
suaranya masih terdengar" Diam-diam jenderal muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita
ayahnya tentang pendekar tua yang luar biasa saktinya ini.
Mendengar ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak.
Se-perti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air mata, akan
tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini menjadi agak pucat,
matanya mengelu-arkan sinar berkilat. Cin Liong membiarkan dara itu menangis sejenak,
kemudian terdengar dia ber-kata lirih.
"Harap kalian suka ingat akan pesan kakek bu-yut tadi bahwa kematian adalah suatu
kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan."
Mendengar peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil meme-gangi
tangan kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata, "Kong-kong, ampunkanlah Hui yang
tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah tiada.... kong-
kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi...."
Melihat betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah bicara
kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk dan
diapun me-ngejap-ngejapkan mata menahan air mata. Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia
telah jatuh cinta. Namun, pada saat itu pula diapun melihat kejang-galan besar dalam cintanya
ini. Betapa mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri! Men-cinta memang
mungkin saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu
diwujudkan menjadi suatu perjodohan" Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya"
Walaupun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua daripada "bibinya" itu, bahkan
jauh lebih tua. Betapapun juga, batinnya menyangkal adanya se-mua peraturan ini. Batinnya
tidak membohong. Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi
kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinyapun terasa perih se-kali.
Mereka berempat lalu sibuk bekerja. Lima ma-yat pelayan juga mereka angkut sekalian ke
ruang-an sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti,
diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, mereka
dudukkan di atas meja ren-dah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat jenazah yang
tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan dibaringkan di atas tumpukan
kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah keluarga Pulau Es.
Suma Hui tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh
kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun akan tetapi ia sudah dapat
menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang adiknya, juga kepada Cin Liong.
"Kong-kong menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua."
"Apa maksudmu, enci Hui?" tanya Ciang Bun heran.
"Kong-kong memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang
terkurung tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar
habis pula," kata Suma Hui dengan sedih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
67 "Akan tetapi hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!" Ceng Liong berseru kaget. "Istana
Pu-lau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar habis terbasmi
begitu saja?"
Tiga orang keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan yang
sesungguhnya ber-lawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja me-reka merasa berat kalau
harus membakar musnah Istana Pulau Es.
"Bagaimana dengan pendapatmu, Cin Liong" Biarpun engkau hanya keponakan kami, akan
tetapi usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih ma-tang." Akhirnya Suma Hui berpaling
kepada ke-ponakannya itu dan bertanya.
Cin Liong memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat
tiga orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak
pendekar-pendekar yang hebat.
"Kong-couw Suma Han adalah seorang pen-dekar sakti yang tentu telah memikirkan secara
mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang terakhir tadi,
wa-laupun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku yakin tentu juga mempunyai
alasan-alasan yang amat kuat. Dalam pesannya tadi ditekankan bahwa kita harus mentaatinya
dan bahkan ditekankan bahwa perintah terakhir itu sedikitpun tidak boleh kita langgar. Di
balik perintah ini tentu ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak
boleh melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir ke-pada beliau."
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan merekapun lalu
sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka melakukan
semban-yang untuk memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah kakek aan dua
orang nenek me-reka itu. Diperhatikan oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng
Liong yang memiliki keganjilan. Suma Hui seringkali menangis sedih dan Ciang Bun juga
kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu sama sekali
tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia tahu bahwa anak inipun
menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung dengan kematian tiga orang tua yang
dicintanya itu. Anak ini sungguh luar biasa, pikir-nya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.
Akhirnya, saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itupun
tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian teng-gelam. Senja telah tiba. Empat orang
muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak bakar kepada semua
jenazah, baik yang di peti maupun yang tidak, juga kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah
dan sekeliling para jena-zah, semua telah disirami minyak bakar yang ba-nyak disimpan di
dalam gudang. Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut
keluarga Pendekar Super Sakti ituberlutut dan bersujut. Suma Hui tidak dapat menahan
tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tak kuasa menahan air
matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dan kedua matanya tinggal kering, walaupun
cuping hidung-nya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
"Kong-kong, kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi....
ampun-kanlah kami yang tidak berbakti, yang membiar-kan kakek dan nenek tewas di tangan
penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara perabuan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
68 jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan kami harus meninggalkan Pulau Es....
semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek...."
Dengan hati diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu
menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan siraman
minyak ba-kar, maka dalam sekejap mata saja api telah ber-kobar dan menelan segala yang
berada di dalam ruangan. Empat orang muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat
dari luar ruangan betapa jenazah kakek yang duduk bersila itu diseli-muti api berkobar,
demikian pula dua buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan. Hawa menjadi terlalu
panas, cahaya api terlihat menyilau-kan dan merekapun teringat akan perintah ter-akhir dari
Pendekar Super Sakti, maka mereka ber-tiga dibujuk oleh Cin Liong, cepat-cepat
meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk menjauhi Pulau Es. Belum
lama mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan
nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar sedemikian
hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya menerangi permukaan laut!
Empat orang muda itu memandang dengan ma-ta terbelalak lebar. Biarpun mereka juga
sudah dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan
sembahyang itu di-jadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa api akan da-pat mengamuk secepat itu. Andaikata mereka tidak cepat-
cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam bahaya api!
Kira-nya dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini
dan karena-nya minta kepada mereka semua untuk cepat-ce-pat menyingkir meninggalkan
pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah ini-pun segera mereka
ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja nyalanya, bukan hanya terbatas pada
istana itu yang berada di tengah pu-lau, melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau!
Pulau Es itu terbakar seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyem-bur
ke atas seolah-olah api itu menyambar sum-ber minyak yang meluncur ke atas.Pemandangan
yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu me-longo.
Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya. Istana Pulau Es
seolah-olah berubah menjadi emas, demikian me-gah dan agung dan ajaib dalam lautan api!
Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus cepat-cepat mendayung perahu mereka
menjauh. Dari jarak yang amat jauh, mereka masih dapat menyak-sikan pemandangan yang
mentakjubkan itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu ber-nyala, akan
tetapi setelah lewat tengah malam, ca-haya api mulai mengecil dan istana itu mulai runtuh.
Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali dan setelah matahari
naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak melihat lagi adanya Pulau Es!
Tenggelamkah pulau itu" Ataukah permukaannya runtuh dan sisanya terendam air lautan"
Apapun juga yang terjadi, ternyata Pulau Es telah lenyap dari per-mukaan air!
"Pulau Es telah lenyap!" teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.
"Sungguh lenyap sama sekali....! Teng-gelamkah pulau kita itu?" Ciang Bun juga
berte-riak. Suma Hui menangis dan terguling roboh, ping-san dalam pelukan Cin Liong yang dengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu di dalam bilik
perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
69 "Tidak apa, bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti
siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja."
Dengan beberapa kali mengurut jalan darah-nya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat dara
itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu sadar Suma Hui lalu
me-nangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat memandang dengan muka pucat.
Mereka sendiripun dapat merasakan betapa musibah telah menimpa keluarga Pulau Es secara
bertubi-tubi dan berturut-turut. Bagaikan dalam mimpi saja semua itu! Dalam waktu dua hari
saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai orang-orang yang
paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di Pulau Es yang mereka pandang
sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek moyang mereka, terbakar habis dan pulau
itupun lenyap bersama-sama! Hanya dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka
per-caya. Baru dua hari yang lalu mereka masih ber-latih silat di pulau itu!
Setelah pulau yang terbakar itu padam, suasa-na menjadi begitu sunyi, yang terdengar hanya
ta-ngis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian ma-lam. Air lautpun begitu tenang sehingga
perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah lautanpun berkabung atas kematian
Pendekar Su-per Sakti dan dua orang isterinya yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es
berikut istananya. Ma-lam yang amat sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.
Cin Liong mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau
berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi, pemuda
yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya bahkan dia selalu
menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu. Dalam peristiwa ini, Cin Liong
kembali mendapatkan ke-nyataan bahwa tiada yang kekal di dalam kehidup-an ini! Pada suatu
saat, setiap orang manusia akan kehilangan segala-galanya, pasti akan tewas. Se-mua
kepandaian, kegagahan, nama besar, kemulia-an, harta benda, kedudukan, semua yang
disayang-nya, semua itu akan lenyap bersama dengan le-nyapnya nyawa dari badan! Karena
itu, semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut. Pengikatan
batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut menghadapi kenyataan
karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari semua yang meng-ikat batin kita, dan
mendatangkan duka kalau kita kehilangan mereka itu selagi kita masih hidup.
Cin Liong menghela napas panjang ketika ke-lihatan jelas olehnya bctapa diapun akan
kehilang-an semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya, bahkan
dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada! Akan tetapi, kenyataan yang dilihatnya ini
membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti berduka selagi hidup kalau akhirnya semua
inipun akan lenyap" Kena-pa mesti menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa
segala sesuatu di dunia ini tidak ke-kal adanya" Kesenangan dan kesusahan itu hanya seperti
angin lalu saja, datang silih berganti dan menjadi permainan daripada pikiran kita sendiri.
Pikiran sendiri yang menciptakan "aku", sumber daripada segala konflik penyebab
kesengsaraan, aku yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak
melakukan hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan
kesemuanya itupun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut!
*** Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
70 Kedukaan mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan
tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai suatu
bagian yang tak terpisahkan dari hidup, diapun sudah dapat terbebas daripada kedukaan
berhubung dengan kemati-an kakek dan nenek-nenek buyutnya dan lenyap-nya Pulau Es.
Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat menikmati keindahan di pagi hari
itu. Matahari tersembul dari permukaan laut di ti-mur, menciptakan jalur keemasan di atas air
yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul, putih
berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali dan
membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada ikan meloncat
keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika ikan itu terjun lagi dan
berenang secepatnya menghindar-kan diri dari pengejaran ikan yang lebih besar. Langit amat
cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis terbang lalu, bersimpang jalan dengan
terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian dipecahkan oleh pekik burung
camar memanggil kawannya. Sungguh me-rupakan pagi yang indah, tenang dan tenteram.
Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan
ber-ubah lagi. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan
berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap. Matahari
akhirnya akan lenyap di balik barat dan terangnya siang akan terganti gelapnya malam. Air
laut yang tenang penuh damai itu dapat saja sewaktu-waktu men-jadi air laut yang ganas,
mengamuk dan menelan apa saja yang dapat ditelannya, mendatangkan maut yang
mengerikan di mana-mana. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini. Yang kekal hanya-lah
KENYATAAN. Dan kenyataan ialah apa ada-nya, tanpa sifat baik buruk. Hanya hidup di
dalam kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka atau
duka, untung atau rugi. Baik atau buruk hanyalah penilaian, dan penilaian hanya merupakan
kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan untung rugi bagi si aku sendiri .
"Marilah kita segera tinggalkan tempat ini," akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian
dan seperti menyeret tiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah semalam mereka
bertiga membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan duka. "Tidak ada
gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini. Semua peristiwa ini harus
dilaporkan kepada orang-orang tua kalian."
Suma Hui memandang kepada pemuda itu dan mengangguk. "Mari kita berangkat."
Mereka berempat lalu mendayung perahu dan layarpun mereka pasang. Angin pagi mulai
ber-hembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.
Empat orang itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang
ha-rinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti itu tahu
bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus menempuh perjalanan
yang tidak mudah un-tuk mencapai daratan besar.
"Kita semua lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang
mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
71 memulihkan keku-atan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat. Biarlah aku
yang berjaga dan me-ngemudikan perahu lebih dulu."
"Aku juga!" kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani
mem-bantah. "Kalau begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah pulih
kekuatan, menggantikan kami berdua," kata Cin Liong dan dua orang pemuda itupun
mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka mere-bahkan diri dan sebentar saja
mereka tertidur pu-las. Kedukaan mempengaruhi badan yang menjadi lelah dan lemas dan
tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan dan kelelahan lahir batin.Cin Liong
mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin
meng-hembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka dapat
mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk. Bebera-pa kali Suma Hui
mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa dan dike-tahui oleh
pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah bagaimana, walaupun bi-binya
jauh lebih muda daripadanya, namun dia selalu merasa canggung dan malu terhadap bibi-nya
ini. Melihat betapa bekas tamparannya yang kema-rin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong,
dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan se-gala-galanya untuknya dan untuk kedua
orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es ketika menghadapi musuh-musuh
berbahaya, ha-ti Suma Hui terasa amat tidak enak. Ia tahu bah-wa pemuda yang jauh lebih tua
daripadanya, hanya karena "abu" saja menjadi keponakannya ini adalah seorang jenderal yang
ternama dan juga se-orang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian ting-gi. Dalam
pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itupun ia dapat melihat beta-pa
lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang ia atau dua orang adiknya. Bahkan harus
diakui-nya bahwa andaikata tidak ada Cin Liong, tentu lain jadinya akibat penyerbuan orang-
orang jahat itu. Bukan tidak mungkin bahwa ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban
pula. Kenangan ini membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri
ketika ia melihat bekas tam-paran tangannya pada kedua pipi pemuda itu. Se-orang pemuda
yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu, kulit
muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya. Suma Hui memejamkan
ke-dua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ke-tika ia menampari muka pemuda itu
yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia tidak menemukan
perlawanan sin-kang pada wa-jah yang ditamparnya! Pemuda itu seolah-olah rela menerima
tamparan-tamparannya. Ketika Suma Hui membuka kembali matanya, ia melihat be-tapa
pemuda itu sedang memandang kepadanya.
"Hui-i (bibi Hui).... apakah engkau mengan-tuk" Kalau begitu, istirahatlah, biar aku sendiri
yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Me-ngasolah...."
Suma Hui tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat
mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan. "Aku tidak mengantuk...."
Cin Liong tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang
ma-nis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu agak
belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar kee-masan. Betapa cantik jelitanya!
Akan tetapi dia tidak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya.
Jantungnya berdebar pe-nuh ketegangan. Sungguh mati, aku jatuh cinta padanya, batinnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
72 mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan betapa tidak mung-kinnya hal
ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya sendiri!
Suma Hui juga merasacanggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut
pandangan seorang bibi kepada seorang keponak-an. Namun tidak berhasil! Mana mungkin
me-mandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang pemuda dewasa
yang lebih tua daripada usianya sendiri" Namanya saja ia seorang bibi dan Cin Liong seorang
keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya. Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan
pengalaman, da-lam segala hal ia boleh berguru kepada jenderal muda ini!
"Cin Liong...."
Pemuda itu terkejut dari lamunannya dan cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang
mata penuh penyesalan dari gadis itu.
"Ada apakah, Hui-i?"
"Kau.... kaumaafkanlah perbuatanku kemarin...."
Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung
dan bingung. "Maafkan...." Tidak ada apapun yang harus dimaafkan, Hui-i, apakah
maksudmu....?"
"Aku telah menamparmu kemarin!"
"Oohh, itu....?" Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan
diapun tersenyum. "Ah, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar saja, Hui-i.
Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali lagi."
Alis itu berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah. "Cin Liong, jangan mengejekku!"
Cin Liong mengangkat alisnya. "Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu
memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ah, aku memang telah salah besar
kepadamu.... aku kurang ajar...."
"Tapi engkau hanya mentaati perintah mendi-ang nenek Nirahai."
"Ya, akan tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja, bukan
diam-diam lalu menotokmu...."
"Tapi, kalau kauberitahupun aku tidak akan mau menurut."
"Seharusnya aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan...."
"Tapi kau terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku...."
"Tapi aku menyinggung perasaanmu...."
"Dan untuk pertolonganmu aku telah menampari mukamu!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
73 "Sudah sepatutnya karena memang aku kurang ajar!"
Keduanya berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya mengerti betapa lucunya keadaan
mere-ka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian untuk
menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hni sebaliknya berusaha mati-matian untuk
membela Cin Liong!
"Heii, Cin Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?"
"Dan engkaupun berkeras hendak membelaku, Hui-i?"
Keduanya lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa
de-katnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.
"Kaulah yang seharusnya memaafkan aku, bibi."
"Hemm, aku baru mau memaafkan engkau ka-lau lebih dulu engkau memaafkan aku."
"Baiklah, Hui-i, aku memaafkan semua perbu-atanmu terhadap diriku."
"Dan akupun memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong."
Keduanya diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagaimana, Cin
Liong merasa betapa kegembiraan yaug amat besar me-nyelinap di dalam hatinya, seolah-olah
senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang menyusup dalam
ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya. Dia tidak tahu betapa gadis itupun merasa
berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam sekejap mata telah melu-pakan kedukaannya
berhubung dengan peristiwa yang menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.
Untung bahwa perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda
yang berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan dalam
guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut yang lapar, Suma Hui
lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan, karena di kanan kiri perahu nampak
ikan-ikan berseliweran dan apapun yang nampak di permukaan air mereka lahap dan sambar
saja. Ada mata kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan
sepotong kain, dan setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potong-an-
potongan ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun dan
Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.
"Bau panggang ikan....! Sedaaappp....!" kata Ceng Liong sambil menggeliat.
"Wah, gurih baunya, perutku jadi lapar!" kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam
bilik. Suma Hui tertawa. "Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian kalian
menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah sekali dan kalian
berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!"
"Hui-i lebih capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan," kata Cin Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
74 Mereka berempat lalu makan daging ikan bakar. Biarpun tanpa bumbu, hanya dengan rasa
asin air laut, akan tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana itu terasa
lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil memang telah
tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.
"Lihat matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita harus
menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat daya, takkan salah
lagi." Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke arah mana perahu harus
dikemudikan.Malam itu mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin
Liong, bahkan di atas sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh gerombolan
penjahat dan dise-rang sampai dia terjatuh ke laut. Pada keesokan harinya, begitu matahari
terbit, mereka melanjut-kan pelayaran mereka. Akan tetapi langit tidak cerah seperti pagi
yang lalu. Awan gelap meme-nnhi angkasa dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu
yang menyeramkan. Cin Liong memandang ke arah awan-awan hitam itu.
"Mudah-mudahan bukan tanda akan datang-nya badai," katanya.
Akan tetapi, ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat daripada itu.
Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan sebentar saja
mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan dapat dibayangkan betapa
kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa di atas em-pat buah perahu yang telah
mengurung perahu ke-cil mereka itu nampak adanya orang-orang yang pernah menyerbu
Pulau Es! Mereka melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang
datuk yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedi-kitnya
empat puluh orang yang kelihatan kasar-ka-sar dan bengis-bengis!
Tentu saja Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya
penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.
"Aku akan mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!" Ceng Liong mengeluarkan teriakan
sambil mengepal dua buah tinjunya yang kecil, sepasang matanya mencorong dan berapi-api,
seperti see-kor naga kecil yang siap untuk mengamuk, keli-hatan gagah sekali ketika dia
menyingsingkan ke-dua lengan bajunya!
"Kita lawan sampai titik darah terakhir!" Ciang Bun juga membentak marah dan sekali
tangan ka-nannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es ketika
mereka mening-galkan tempat itu.
"Bagus! Ada kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek
kita yang tercinta!" Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia mencabut
siang-kiamnya. Wajah tiga orang muda ini sedikitpun tidak membayangkan rasa takut,
walaupun Cin Liong maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk
dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka diapun tersenyum dan
mendekati Suma Hui.
"Hui-i, aku akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu
keba-hagiaan besar!" Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja. Gadis
itu me-noleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran. Sejenak
dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu pengertian yang tidak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
75
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi. Suma Hui ter-senyum mengangguk. "Bagiku
juga, Cin Liong," bisiknya.
Pada saat itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah
berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja angin bertiup
kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh mengerikan, apalagi diseling oleh
kilatan petir yang me-nyambar-nyambar. Sungguh perobahan yang amat tiba-tiba sehingga
empat buah perahu besar itu-pun terlanda badai dan nampak betapa anak buah merekapun
kebingungan dan sibuk menurunkan layar.
"Ah, badai datang....!" Cin Liong memper-ingatkan tiga orang muda itu dan diam-diam dia
mengharapkan bahwa munculnya badai ini akan mengurungkan niat jahat para penjahat di
atas em-pat buah perahu itu.
Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata ada
enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu sege-ra bergerak. Ceng Liong menyambut seorang
pen-jahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar
keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya,
sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Si-sanya, dua orang lagi,
disambut tendangan dan pu-kulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!
Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu
terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di
antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.
Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu
mereka terguncang hebat dan miring, hampir ter-balik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa
penja-hat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!
"Cepat, loncat ke perahu lawan!" teriaknya dan tiga orang muda itupun mengerti. Cin Liong
sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat.
Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah
menyambutnya de-ngan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Ka-rena tubuhnya masih
melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan
Ceng Liong ke atas geladak pe-rahu dan barulah dia menangkis dengan lengan ka-nannya.
Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biarpun
dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan
kanannya. "Desss....!" Hebat sekali benturan tenaga itu dan andaikata Ceng Liong masih berada da-lam
pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan
dahsyat itu. Biarpun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat,
na-mun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak
dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu mem-buat tubuhnya terlempar jauh keluar
dari perahu. "Byuurrr....!" Tubuh Cin Liong segera di-sambut oleh gelombang lautan yang sudah makin
mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
76 Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena
memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan ba-dai mengamuk itu.
Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang
mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah
dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret
menjauh. Tiba-tiba tangan-nya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah
ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan
tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu. Akan tetapi
perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan
nya-ring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia
diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang
dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.
"Byuurrr....!" Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan oleh mulut gelombang yang menganga
lebar. "Darrrr....!" Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong! Kiranya,
penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini
takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali
melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri
dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-pe-rahu besar di
maka tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat. Ketika melihat bayang-an
hitam terapung lalu dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari
perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu me-narik tubuhnya ke atas papan itu
dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.
Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, namun
anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam
Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan
ibunyapun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli
sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan
dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biarpun dia baru berusia
sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.
Para penjahat itu tadinya tentu saja meman-dang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi
si-kap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggauta
penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke laut-an untuk tidak muncul kembali!
Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun.
Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lu-nak dan
merekapun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan
me-ngeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang! Namun, dengan ilmunya Sin-
coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berobah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat
ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian de-ngan tendangan-tendangan
Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat
para pengeroyoknya kocar-kacir!
Betapapun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih
lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam, maka setelah dikepung
oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
77 koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya. Biarpun demikian, anak ini sama sekali
tidak pernah menge-luh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng
Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yai-tu Suma Hui
dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang mem-buat
mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk
memecah-belah kekuatan para pengeroyok. Se-dangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi
bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia
me-lihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu
tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua
orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan me-reka tentu tiada bedanya
dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus
melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!
"Majulah! Majulah kalian semua....!" Dia mambentak sambil berloncatan ke sana ke mari
dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. "Keroyoklah aku! Inilah cucu Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!"
Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa
sekali. Pakaiannya sudah penuh darah, tubuhnya sudah luka-luka akan tetapi gerakannya
masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih ber-nyala-nyala dan sedikitpun
tidak nampak dia gen-tar.
Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itupun tidak dapat
memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berke-lahi inipun nampak lucu,
kadang-kadang tergu-ling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong beberapa
kali terguling roboh karena olengnya perahu. Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah
tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya
hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas
perahu itu. Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap
lagi, hujanpun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak
ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kaki-nya menginjak papan yang
licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar. Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan
tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan
kepalanya di bawah. Dia meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah
penjahat. "Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!"
"Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!"
"Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!"
"Cambuki dia sampai hancur daging-daging-nya!"
Ceng Liong tak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia
memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang me-rubungnya itu. Wajah-wajah
yang menyeringai seperti setan-setan. Akan tetapi sedikitpun dia tidak takut. Bahkan dia
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
78 masih mencoba mengge-rakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu
sehingga para penjahat itu melang-kah mundur.
"Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa ta-kut mampus" Aku cucu Pendekar Super Sakti
Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!" Ceng
Liong membentak dan memaki-maki. Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam
dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikit-pun juga. Ketika kakeknya dan kedua
orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan
kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengke-raman maut yang
mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikitpun dia tidak kelihatan takut!
"Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?" bentak seorang yang
tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan
sam-pai sekarang masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya
ke arah leher Ceng Liong. Anak ini tak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip,
memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, se-dikitpun tidak kelihatan
takut. "Plakkk!" Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
"Lancang! Siapa suruh membunuhnya?" Hek-i Mo-ong membentak marah dan sekali lagi dia
menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menen-dang dan orang yang tadinya hendak
membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar
keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah
membunuhnya! Memang de-mikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Ke-ras dan kejam,
setiap kesalahan betapapun kecil-nya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini mem-buat
semua anak buah takut dan taat kepada pim-pinannya.
Akan tetapi, sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua
anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah
terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa se-karang orang yang hendak
membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong" Mereka semua
memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran. Hal ini diketahui oleh
Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu
menghadapinya dan dia menyeringai.
"Huh, siapapun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang
akan menyiksanya sampai mampus!"
Mendengar ucapan ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan merekapun tersenyum
me-nyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman me-reka tadi dibunuh, kiranya teman itu
hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.
Ceng Liong sendiri tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris
melayang di bawah bacokan golok tadi kini telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh
besar-nya! Sejenak dia menjadi bingung. Dia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh
nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang pa-ling sakti dalam rombongan
musuh yang menyerbu Pulau Es, juga kakek ini jelas merupakan pemim-pin mereka yang
paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nya-wanya.
Semenjak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
79 dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi
memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin kini dia akan memusuhi, apa
lagi mendendam, ke-pada seorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut"
Dia telah herhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong! Kenyataan ini membuat anak itu tidak
banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang
terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri
semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itupun
terkulai pingsan.Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapat-kan dirinya berada di sebuah
bilik kecil dan ko-song, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika
dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi,
ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat yang berwarna
merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka
itupun mengering. Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan ketika dia
dikeroyok tadi. Tadi" Atau kemarin" Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah
semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, diapun tahu bahwa dia masih berada di
dalam perahu dan diapun teringat bahwa dia telah men-jadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia
melihat hi-dangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Se-ketika dia merasa betapa tubuhnya
lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang
penting adalah men-jaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan
melihat perkembangan untuk menentukan tindakan. Ceng Liong lalu menyambar tempat air
dan minum. Segar sekali rasanya, walaupun hanya air tawar dingin saja. Lalu dia-pun mulai
makan, tidak lahap dan tidak terlalu ba-nyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang ko-song.
Setelah selesai makan, diapun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat
kuat, terhitup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat
tawanan! Dan diapun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka
bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
"Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, seka-rang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong."
terdengar seorang di antara mereka mengomel.
"Hushh, perlu apa mengomel" Kita malah un-tung besar. Lihat saja teman-teman banyak
yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan Jai-hwa Siauw-ok setelah berhasil menangkap
gadis itu lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!"
"Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik ma-nis, heh-heh!"
"Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin
kita itu!"
"Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!"
"Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja,
lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?"
"Kenapa ribut-ribut" Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong lebih enak. Dia lebih berpengaruh,
le-bih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
80 Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita
yang amat buruk. Agaknya encinya Suina Hui te-lah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Biarpun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya
jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu encinya itu
terancam bahaya yang mengeri-kan pula. Akan tetapi, dia tidak begitu mengkha-watirkan
Suma Hui karena bagaimanapun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa
dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang
membuat dia khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong. Mereka
ber-dua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mam-pu menyelamatkan diri dari ancaman
gelombang air laut dalam badai itu" Betapapun lihainya ka-kaknya, Ciang Bun atau
keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu takkan mampu berbuat banyak terhadap amukan
air laut dalam badai.
"Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini" Bukankah dia
bilang hendak menyiksanya sampai mati" Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang
harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi ma-kan lagi! Apa sih
maksudnya?"
"Hushh, perlu apa mencampuri" Tugas kita hanya mentaati perintah!"
"Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?" sambung suara lain. "Biasa, kalau hendak
memo-tong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?"
"Ha-ha-ha, engkau benar!"
"Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti
ke-berhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan
dibunuh." "Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembah-yangan roh para kawan yang telah tewas di
tangan keluarga Pulau Es selama ini."
Ceng Liong sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring,
"Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan beri-sik! Aku mau tidur, tahu?"
Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan
memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
"Bocah keparat!"
"Kurobek mulutnya!"
"Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi
sepotong!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdu-likan mereka lagi dan diapun mengusir
segala ke-khawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila
dan tenggelam dalam samadhi.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
81 Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu karena
yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri,
mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Ku-ning ini berada di Propinsi Kiang-
su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terda-pat pula rombongan orang yang
membawa ba-nyak kuda. Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng
tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Para anak
buah, sebagian ditinggalkan di perahu perahu itu dan sebagian pula menung-gang kuda
mengiringkan kereta. Kereta dan rom-bongan itu membalap ke arah barat.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di
sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi
Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang terpilih untuk
pertemuan para datuk itu.
*** Siapakah adanya Hek-i Mo-ong" Para pem-baca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu
telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seo-rang kakek raksasa yang bernama Phang Kui.
Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua sejak
muda dan matanya agak kebiruan. Dahulu pernah dia men-dirikan sebuah perkumpulan yang
dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang
amat kejam dan jahat, me-rupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang.
Belasan tahun yang lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal
dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) Hek-i Mo-ong memimpin
gerombolannya, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat
setempat menjadi sekutunya.
Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu
keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi
isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya
itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-
lian-san.Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata
gagal, bahkan Im-kan Nga-ok tewas semua oleh para pendekar muda (bacaSuling Emas dan
Naga Si-luman). Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan
dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi. Selama beberapa ta-hun dia menyembunyikan diri,
tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biarpun dia sudah
menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendam-nya dan juga
cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.
Kehancuran perkumpulan dan namanya mem-buat dia sakit hati dan dia mengambil
keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, kemudian
menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan
suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus mengangkat nama-nya
setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es! Ka-rena para datuk kaum sesat memang
menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat
kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
82 itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemu-dian Ulat
Seribu yang tewas di tangan nenek Nira-hai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-
jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-
satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.
Akan tetapi, biarpun dia dan sekutunya berha-sil menewaskan dua orang nenek, isteri dari
Pen-dekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar
Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak
buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan
betapa girang rasa hati-nya melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang
muda itu melarikan diri dari Pulau Es. Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk
menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti se-dangkan Si
Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu,
sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga
Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!
"Betapa membanggakan hasil hasil besar itu," pikirnya girang. Keluarga Pulau Es telah dapat
dibinasakannya dan sebagai bukti, dia membawa seorang cucu majikan Pulau Es sebagai
tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat
namanya, dan akan me-mudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa
semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu memban-tunya, kini
menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apa-kah
usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!
Biarpun dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam
pe-nyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil meng-hancurkan keluarga Pulau Es dan
menawan seo-rang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri
melarikan cucu perem-puan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena
perbuatan itupun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan me-rupakan
bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bah-wa
seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi
perma-inan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah
dirampasnya! Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan
pengalaman-nya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa
menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepan-daiannya seperti
punah dan tiada gunanya! Pada-hal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk
memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa
kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu.
Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang tadinya dia anggap sudah
tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu bauyak. Dan musuh-
musuhnya bukanlah orang-orang le-mah, walaupun kiranya tidak mungkin sehebat Pendekar
Super Sakti. Karena itu, dia harus me-ngumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat
kedudukannya. Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih
tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka su-dah berkumpul di dalam hutan itu,
tinggal di pon-dok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas,
ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam kalangan, semua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
83 telah berkumpul untuk men-dengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama
rekan-rekannya kabarnya pergi me-nyerbu Pulau Es.
Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki
yang mukanya agak pucat akan tetapi sepasang matanya memandang berani, muncul dari
pintu ke-reta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya,
sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan
sesat itu sambil berka-ta dengan suara nyaring dan bernada gembira, "Kawan-kawan sekalian,
ketahuilah bahwa kelu-arga Pulau Es telah kami binasakan, bahkan pu-lau itu sendiri telah
habis dimakan api dan teng-gelam! Dan semua penghuninya telah dapat kami binasakan dan
kami tawan."
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka itu
adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pu1au Es, bahkan
sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu. Memang
keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan sejak puluhan tahun
telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam
sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.
Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es" Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri
per-nah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, bahkan di
samping ilmu silatnya, diapun terkenal sekali dengan ilmu sihir-nya sehingga dijuluki
Pendekar Siluman! Juga dua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti dunia penjahat.
Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai
seorang panglima wanita yang sudah ba-nyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan
gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lu-lu isteri ke dua dari pendekar itupun pernah
dike-nal orang.
Selain sang pendekar sakti bersama dua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal
seba-gai pendekar-pendekar yang ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam. Puteri mereka,
yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar
wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.
Kedua orang pute-ra dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Le dan
Suma Kian Bu. Teruta-ma sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya
sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan
Pendekar Siluman, ayahnya. Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah
perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee
bernama Kiin Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang
sebagai seorang ga-dis dari dunia hitam yang murtad dan memaling-kan mukanya menentang
dunia kejahatan itu sen-diri, maka tentu saja iapun dianggap musuh oleh dunia penjahat.
Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bah-kan mantu
ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sehe-hat
Pendekar Super Sakti, namun kalau ia perguna-kan, cukup membuat repot
lawannya.Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka
tentu saja peng-umuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya
telah terbasmi disam-but dengan sorak-sorai gembira.
Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan
rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja
kete-rangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
84 Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong
mengajak me-reka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.
"Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan" Engkau
berangkat berlima dan pulang hanya sendirian sa-ja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan
ke Pulau Es itu berhasil baik?" terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.
Pertanyaan ini didukung oleh banyak tokoh yang lain. "Ya, mana buktinya?" Suara mereka
susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.
"Kalian tidak percaya kepadaku?" Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan
sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadipun padam dan semua orang
meman-dang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.
Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi,
suara ketawanya mengandung khi-kang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung
semua orang yang hadir di situ.
"Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti" Lihat baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari
Pendekar Super Sakti Suma Han." Berkata demi-kian, Hek-i Mo-ong lalu dengan gerakan
tiba-tiba melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas. Tu-buh itu terlempar ke udara. Ceng Liong
merasa terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang
lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan
melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.
"Gantung kaikinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!"
Dengan girang anak buahnya melakukan perin-tah ini, akan tetapi mereka sudah kapok untuk
ber-lancang tangan sehingga tidak ada yang menggang-gu Ceng Liong kecuali
menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan
kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani
mengganggu, menamparpun tidak.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu
dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-
ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.
Ceng Liong yang digantung pada kedua kaki-nya itu, mendengarkan saja dan dia mengambil
ke-putusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia
tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan samadhi sambil tergantung
seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti
jalan darahnya dan menghim-pun hawa sakti di pusar. Tiba-tiba saja, hawa sakti yang
diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan
kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan
dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam,
telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua
olehnya, demikian je-lasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung
orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
85 Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, seperti mimpi saja dia merasa
diba-ngunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar.
Malam itu tia-da bulan akan tetapi langit amat cerah, memben-tang biru penuh dengan
bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajak-nya ke tepi pantai
yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan de-ngan kakeknya.
"Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan dapat kaujadikan
pu-sat pengerahan sin-kang kelak kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah
kulihat dan eng-kaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat
menjadi dahsyat sekali dan kalau disalahgunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri.
Nah, ulurkan kedua lengan-mu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam
diri dan batinmu."
Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya kepada telapak tangan
kakeknya dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku,
dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin
lama semakin panas sam-pai dia hampir tidak tahan lagi, lalu perlahan-la-han menjadi dingin
dan semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik
menjadi panas lagi. Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhir-nya
dia tak ingat apa-apa lagi dan setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku,
duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam
air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.
"Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin," kakeknya berkata lirih
namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah
su-ara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya. Tiba-tiba dia merasa betapa
hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, terganti
dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan te-tapi, tubuhnya bagian atas
berkeringat dan terasa panas sekali!
"Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Gunakan pernapasan
un-tuk mengatur pembagian hawa...." kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya
menyentuh dan menekan kedua pundaknya. Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi
hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah mela-wan dingin dan bagian atas
melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur
keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang
membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.
Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadari-nya, dia telah mewarisi sumber pembangkit
tena-ga sin-kang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam
keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa
sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan menda-tangkan hal-hal aneh,
mempertajam panca inde-ranya!
Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah
memba-kar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup
ceritanya. "Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor sa-tu kita semua! Pendekar Super Sakti dan dua
orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
86 karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa ti-dak tahu keganasan Siauw-ok terhadap
wanita" Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula,
putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak
badai itu. Tinggal yang seo-rang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubu-nuh karena
hendak kuperlihatkan kalian semua. Ha-ha-ha!"
"Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh
ter-gesa-gesa bergembira dengan hasil itu."
Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini
bicara yang sedikit banyak merupakan celaan ter-hadap Mo-ong, atau mengecilkan arti
pembinasa-an Pulau Es itu.
Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan meno-leh dan membalikkan tubuh menghadapi orang
yang bicara itu. Semua orang menghentikau suara mereka dan keadaan menjadi hening karena
mere-ka semua ingin mendengar apa yang akan dibicara-kan antara dua orang ini. Apalagi
setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang
tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul
di situ dan berani mence-la Hek-i Mo-ong. Sebaliknya, Begitu Hek-i Mo-ong melihat orang
itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.
"Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang be-rani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-
ong! Ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, me-mang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan
saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik
ini?"Banyak di antara mereka terkejut mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja
Ular Dunia Barat) itu. Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
termasuk orang aneh, tak dapat dibilang berpihak kaum pendekar ataupun pendukung
golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan
mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampnri dalam arti
kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka
mengakui akan keanehan orang ini, keaneh-an yang mengerikan.
See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan
kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuh-nya hampir telanjang bulat. Hanya
ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan kare-na sangat kurus, maka
nampak tinggi sekali. Kepa-lanya botak kelimis. Kedua telinganya yang ter-lalu lebar itu
dihias anting-anting perak. Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membung-kus
tulang itu terhias gelang-gelang perak. Dan di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak
atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular
seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati!
Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan
mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang
dari kakek ini.
Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Si-luman tentu masih ingat kepada kakek aneh
ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah
muncul dan per-nah membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian da-lam ilmu menaklukkan
ular-ular dan memperda-lam ilmu silat pendekar itu. Kemudian kakek ini menghilang karena
memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di
Pegunungan Himalaya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
87 See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak
mudanya dia sudah seringkali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula
Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia
mendapatkan ilmu-ilmu silat da-ri daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang ini-lah dia dahulu
berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Ketika itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan
Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebab-nya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah
kepada Raja Ular itu.
"Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biar-pnn engkau telah berhasil membinasakan Pulau
Es dan para penghuninya, akan tetapi engkaupun kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu.
Bah-kan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-
jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak
buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar
Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu
sekalipun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?"
Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar. "Aha, Coa-
ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah
dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pen-dekar Super Sakti dan dua orang
isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan
tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah ba-nyak menimbulkan sudah
kepada kawan-kawan kita, terutama di barat."
Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang. "Baiklah, baiklah.... katakanlah bahwa
hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu
akan membebaskan kalian dari lawan kalian " Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau
ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai" Lupakah engkau
kepada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat
lihai itu" Dan lupakah -engkau kepada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama
Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil" Dan juga,
kalau benar Hikmah Pedang Hijau 14 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 12