Pendekar Laknat 12

Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Bagian 12


tu aku menurut saja apa pesan Kongsun siauhiap!"
Baik sikap dan nada ucapannya, paderi dari Thian-san itu
amat menghormati sekali kepada Siau-liong.
823 Siau-liong segera berjongkok dan membuka tali pengikat
Poh Ceng-in, memapahnya berdiri lalu berkata hambar,
"Silahkan pergi!"
Sepasang mata wanita pemilik Lembah Semi itu memancar
sinar heran. Dipandangnya Siau-liong, "Engkau lepaskan aku
pergi?" Siau-liong tertawa tawar, "Benar, engkau bebas!"
Lu Bu-ki dan Liau Hoan terkejut sekali, hampir keduanya
serempak berseru; "Kongsun siau-hiap, wanita siluman itu tak
boleh dilepaskan!"
Liau Hoan maju selangkah, katanya, "Aku mengabdikan diri
ke dalam gereja. Meskipun tak menyetujui pembunuhan tetapi
kejahatan wanita itu benar-benar melebihi takeran. Dan lagi
dia telah menguasai jiwa Kongsun siauhiap. Mana boleh...."
Lu Bu-ki pun sudah mencabut ruyung besi dan
menghadang Poh Ceng-in, "Betul! wanita siluman itu tak boleh
dilepas!" Seru Siau-liong tenang, "Mati hidup tergantung takdir. Kaya
miskin pun sudah suratan nasib. Kalau aku memang sudah
ditakdirkan harus mati, bagaimanapun hendak berdaya tentu
tak berguna. Apalagi menjadikan seorang perempuan lemah
sebagai sandera. Sekalipun dapat mengalahkan Iblis-penaklukdunia,
tetapi cara itu bukan ksatrya!"
Melihat sikap Siau-liong yang jantan itu, mau tak mau Liau
Hoan dan Lu Bu-ki mengindahkan juga. Mereka serempak
mundur. Tetapi Poh Ceng-in pun tak mau segera pergi. Ia tertegun
memandang Siau-liong.
824 "Omitohud!" seru Liau Hoan siansu, "Kong-sun siauhiap
berbudi walas asih dan berwatak ksatrya. Sekalipun sudah 40
tahun lamanya aku mengabdikan diri dalam gereja, tetapi
ternyata masih kalah dengan peribudinya!"
Paderi itu menarik Lu Bu-ki, "Lu tayhiap, biarkan dia pergi!"
Poh Ceng-in rupanya hendak bicara, tetapi sampai sekian
lama bibirnya bergerak, belum juga terluncur kata-kata. Tibatiba
ia menutup mukanya, berputar tubuh terus melangkah
pergi dengan terhuyung-huyung.
Sekonyong-konyong Siau-liong loncat memburu, "Tunggu
dulu!" Poh Ceng-in berhenti, "Apakah engkau menyesal?"
Siau-liong tertawa dingin, "Kaum persilatan menjunjung
tinggi janji. Sekali seorang lelaki berkata, takkan bergoyah
seperti gunung yang kokoh. Masakan aku menyesal?"
Poh Ceng-in berputar diri. Dengan air mata berlinang-linang
ia menatap Siau-liong; "Kalau begitu, engkau...."
"Tolong sampaikan pada suami isteri Iblis-penakluk-dunia.
Bahwa sejak dahulu sampai sekarang, Kejahatan itu tak
mungkin dapat mengalahkan Kebenaran. Dengan siasat keji
dan ilmu Hitam, orang tuamu itu hendak menguasai dunia
persilatan, meskipun dapat berhasil tetapi tak akan tahan
lama. Maka sebelum terlambat, harap lekas sadar agar
mereka dapat melewati pada hari tua mereka dengan
tenteram. Dan yang kedua kalinya...."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan; "Engkau pun harus
memegang janji dibarisan Tujuh-maut tempo hari. Jika dalam
825 setahun ini, racun jong-tok itu tak bekerja, besok tahun muka
pada pertengahan musim rontok seperti hari ini, aku tentu
datang ke Busan."
Poh Ceng-in menunduk memandang tanah, katanya,
"Apakah masih ada lain pesanan lagi?"
"Tak ada, silahkan pergi!"
"Baik, semuanya kuingat!" kata Poh Ceng-in seraya
melangkah pergi.
Beberapa saat kemudian, Liau Hoan siansu berkata;
"Adakah Kongsun siauhiap masih ingat akan janji untuk
bersama aku menuju ke Thian-san?"
Siau-liong tertawa hambar, "Kuharap lo-siansu pun dapat
mengingat bahwa aku meluluskan hal itu setelah nanti tahun
depan pertengahan musim rontok. Pada saat itu apabila aku
masih hidup, tentu akan memenuhi janji itu!"
Liau Hoan tersenyum; "Baik akan kutunggu."
Sejenak memandang keempat penjuru, Siau-liong bertanya
kepada kedua orang itu apakah mereka tahu jalan kepuncak
Kim-ting. Lu Bu-ki tampil kemuka; "Apakah saudara Kongsun tak mau
bertemu dengan Tok Bok lojin itu?"
Siau-liong menghela napas, "Saat ini Iblis penakluk-dunia
sudah membawa rombongannya. Entah rencana apa yang
mereka siapkan. Maka kurasa hendak kepuncak Kim-ting dulu
meminta Tenggoret berkaki-tiga kepada paderi sakti itu!"
826 Lu Bu-ki menatap Liau Hoan siansu, serunya, "Kalau begitu,
aku yang menunjukkan jalan!"
Sitinggi besar itu terus ayunkan langkah mendahului
berjalan. Ternyata dia memang faham jalanan disitu. Kira2
sepenanak nasi lamanya, mereka tiba disebuah gunung
karang yang menjulang tinggi. Dipuncak gunung itu penuh
dengan pohon cemara dan jati.
"Sudah sampai Puncak itu adalah puncak Kim-ting dari
gunung Gobi !"Lu Bu-ki berhenti.
"Omitohud! Benar2 sebuah tempat yang keramat!" seru
Liau Hoan siansu.
Rupanya Lu Bu-ki teringat akan sesuatu hal yang penting
maka tiba2 ia berseru; "Dalam pertempuran diLembah Semi
tempo hari, kaum persilatan telah menderita kekalahan.
Dengan dapat menguasai dua tokoh pewaris ilmu sakti serta
beberapa tokoh sakti lainnya, Iblis-penakluk-dunia dapat
mengalahkan Ceng Hi totiang dan Pendekar Laknat.
Impiannya untuk menguasai dunia persilatan, rupanya akan
segera menjadi kenyataan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia
mundur lagi dan mengadakan janji kepada Ceng Hi totiang
supaya dalam waktu tiga hari datang kepuncak Kim-ting?"
Siau-liong juga heran.
Liau Hoan tertawa gelak2, "Sekali pun aku tak berani
mengatakan tahu betul rahasia itu, tetapi sedikit banyak aku
dapat menduganya ..."
Ia menunjuk kearah puncak Kim-ting yang tinggi, katanya,
"Puncak Kim-ting dari Gobi, setelah menjadi tempat
pertandingan ilmu pedang dan adu pedang dari Tio Sam-hong
dengan paderi Sembilan-jari Sapolo pada seribu tahun yang
827 lalu, maka tempat itu dianggap sebagai tempat keramat oleh
kaum persilatan. Beratus-ratus tahun lamanya entah sudah
terjadi berapa banyak peristiwa besar dipuncak gunung itu
Pemilihan Ketua dunia persilatan angkatan ketiga yang
dilangsungkan pada seratus tahun yang lalu, juga
diselenggarakan dipuncak itu. Sekalipun sudah dapat
mengalahkan Ceng Hi totiang dan menundukkan sebagian
besar kaum persilatan, tetapi apabila Iblis-penakluk-dunia tak
dapat mengadakan rapat besar di puncak Kim-ting unUk
mengumumkan pengangkatannya sebagai Penguasa Dunia
persilatan, tentu sukarlah bagi dia hendak menguasai dunia
persilatan selama-lamanya." "
Berhenti sebentar, paderi Liau Hoan melanjutkan pula,
"Yang kedua kalinya, Iblis-penakluk-dunia sudah
memperhitungkan bahwa kekuatan dunia persilatan sekarang
ini sudah rapuh. Tiada seorang lawan yang mampu
menentangnya lagi. Maka ia suruh seluruh tokoh2 persilatan
datang ke Kim-ting dimana nanti ia akan mengumumkan
pengangkatan dirinya sebagai Penguasa Dunia persilatan. Ia
sudah memperhitungkan sekalipun barangkali nanti ada
sementara orang yang berani menentangnya, tetapi ia yakin
dengan memiliki keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu, ia tentu
dapat menghancurkan setiap perintang ....."
Siau-liong mendengarkan dengan diam. Diam2 ia
merenungkan suhunya dan Randa Bus-an serta tokoh2
pewaris ilmu sakti yang ditawan Iblis-penakluk-dunia itu. Ia
menghela napas panjang.
Sambil memandang Siau liong, Liau Hoan siansu
melanjutkan kata-katanya, "Iblis-penakluk-dunia mengetahui
bahwa Kongsun siauhiap masih belum sempat mempelajari
ilmu Thian-kong-sin-kang. Maka untuk saat ini dia tak takut.
Tetapi paling lama dalam 10 hari, apabila ia tak dapat merebut
828 kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, ia tentu akan berusaha
sekuat tenaga untuk melenyapkan Kongsun siauhiap!"
Siau liong menyadari bahwa ucapan paderi itu memang
bukan ancaman kosong. Tiba2 ia teringat akan ucapan
suhunya Kongsun Sin-tho, bahwa kemungkinan Iblis-penaklukdunia
sudah dapat mempelajari ilmu sakti Jit-hoa-sin-kang,
Cek-ci sin kang dan lain-lainnya. Tetapi ia (Siau-liong)
sungguh lacur. Berulang kali ditawan dan dilepas oleh Iblispenakluk-
dunia. Dan beberapa kali dikelabuhinya hingga
hampir saja ia hendak mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang
itu kepada Song Ling.
"Saudara Kongsun, mari kita lanjutkan jalan lagi!" tiba2 Lu
Bu-ki berseru. Siau-liong gelagapan. Ia menyadari kalau tadi ia tertegun
melamun. segera ia mengiakan dan terus mengikuti
dibelakang Lu Bu-ki. Mereka bertiga menyusur jalan yang
berlingkar-lingkar baik.
Sambil berjalan, Siau liong menghela napas, "Entah
bagaimana dengan paderi sakti dari puncak Kim-ting itu" Jika
ia tak menyerahkan tenggoret ajaib itu, lalu bagaimana kita
harus bertindak.....?"
Berkata Liau Hoan siansu, "Sekalipun sempit pengalaman
karena jarang keluar ke Tionggoan, tetapi menurut hematku,
sejak muda paderi sakti Kim-ting itu sudah masuk ke dalam
gereja. Setelah masuk menjadi murid gereja Bik-hun-si yang
terletak di bagian depan gunung Gobi, ia lalu pindah
mengasingkan diri di puncak Kim-ting ini. Selama 100 tahun
terakhir ini, jarang orang melihatnya turun gunung. Mengenai
apakah dia sakti dalam ilmu silat atau tidak, mungkin tiada
seorangpun yang tahu. Juga berapa usianya sekarang ini,
829 orang pun tak ada yang mengetahui. Tetapi mungkin tak
kurang dad 120-an tahun umurnya....."
Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, "Selama 100 tahun
terakhir ini, di puncak Kim-ting pun telah terjadi beberapa
peristiwa besar. Tetapi selama itu tak pernah terdengar orang
bercerita tentang kehadiran paderi sakti itu. Orang yang
mendaki keatas pun kebanyakan jarang dapat menjumpainya
Bahkan sedikit sekali kaum persilatan yang tahu manakah
paderi sakti itu. Soal apakah dia benar2 memelihara
Tenggoret-berkaki-tiga dan apakah dia saat ini masih hidup,
aku sendiripun tak jelas!"
"Jika tak mendengar dari Ceng Hi totiang, akupun tak
mengetahui kalau di puncak Kim-ting tinggal seorang paderi
....tetapi karena dia disebut sebagai paderi sakti, tentulah
mahir dalam ilmu kesaktian dan tentu amat bijaksana juga.
Jika mengetahui babwa binatang ajaib itu dapat
menyelamatkan banjir darah dalam dunia persilatan, tentulah
ia tak sayang memberikannya!"
Dalam pada bercakap cakap itu, merekapun sudah mulai
mencapai puncak. Ternyata di sekeliling barisan puncak
gunung itu, terdapat sebuah tanah datar. Puncak penuh
pohon cemara dan jati yang tinggi serta air terjun dan sumber
air terdapat dimana-mana. Sungguh sebuah tempat yang
mirip tempat dewa2.
Mereka bertiga terus melintasi hutan dan ketika tiba di
ujung hutan, tetap mereka tak menemukan barang sebuah
rumah atau biara. Sekeliling penjuru hanya gunung belantara
yang senyap. Sedang di depan gunung itu hanya jurang
karang yang amat curam.
Siau-liong berhenti dan berkata heran, "Apakah saudara Lu
tak salah?"
830 Lu Bu-ki menampar kepalanya, "Sekalipun ditengah malam,
tak mungkin aku salah jalan!"
Liau Hoan menyelutuk, "Memang paderi sakti Kim-ting itu
tinggal didalam gua. Belum tentu tinggal di puncak sini ....."
Tiba2 sitinggi besar Lu Bu-ki berteriak kaget, "Hai, lihatlah
ke arah hutan cemara di sebelah kiri itu ....."
Siau-liong dan Liau Hoan serempak memandang ke arah
yang ditunjuk. Diatas anak puncak yang bersambung dengan
puncak Kim-ting, memang terdapat sebuah hutan pohon
cemara. Dan di tengah hutan itu tampak beberapa sosok
tubuh melintas..
Oleh karena tertutup oleh hutan yang lebat, maka tak
dapat terlihat jelas bagaimana pakaian orang2 itu. Tetapi
menilik gerakannya yang amat cepat sekali itu, jelaslah kalau
mereka itu tentu orang2 persilatan yang berkepandaian tinggi.
Begitu melesat, kawanan orang itupun lenyap,
bersembunyi dalam gerumbul hutan lebat.
Siau-liong merenung. Tiba2 ia berkata, "Mereka tentulah
rombongan Ceng Hi totiang!" "ia terus loncat dua tombak.
"Hai, benar, kecuali mereka siapa lagi!" seru Lu Bu-ki
seraya terus lari menyusul.
Jalan yang merentang kearah hutan cemara di samping
puncak itu, agak menurun kelain puncak yang lebih rendah.
Luasnya hanya terpaut sedikit dengan puncak Kim-ting, tetapi
keadannya lebih berbahaya. Penuh dengan karang curam dan
gunduk batu aneh yang lebat seperti sebuah hutan.
831 Sekalipun para pemburu, juga takkan memilih tempat
seperti itu. Adalah Siau-liong yang lebih dulu lari menghampiri. Dalam
beberapa loncatan saja ia sudah tiba di tempat sosok2 tubuh
yang muncul lenyap tadi. Memandang kedalam hutan.
memang terlihat beberapa sosok tubuh tadi masih bergerakgerak
pelahan. Ia girang sekali. Jelas rombongan orang itu adalah
rombongan yang dipimpin Ceng Hi totiang.


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera ia melangkah menghampiri ke tempat mereka.
Jalanan bermula hanya 3-4 tombak lebarnya, tetapi makin
lama makin lebar. Dikedua samping jalan, merupakan dua
buah puncak gunung yang penuh dengan hutan cemara dan
jati. Tetapi kira2 seratus tombak lagi, jalan itu terhadang oleh
sebuah karang gunung yang tinggi. Rupanya karang itu
merupakan ujung terakhir lalu disambung jalan lagi yang
membiluk ke sebelah kanan.
Ceng Hi totiang dan rombongannya sedang berhenti dan
mondar mandir di bawah karang gunung itu.
Mereka cepat melihat kedatangan Siau-liong. Empat orang
imam pengawal Ceng Hi totiang segera maju menghadang
dengan pedang melintang, "Siapa engkau?"
Baru Siau-liong hendak menyahut, Lu Bu-ki dan Liau Hoan
siansupun telah tiba. Cepat sitinggi besar loncat kemuka Siauliong
dan memberi isyarat kepada keempat imam itu seraya
berseru, "Orang sendiri, harap kalian jangan salah faham....."
832 Kemudian berpaling menunjuk Siau-liong, Lu Bu-ki berkata,
"Kongsun siauhiap ini, adalah pewaris dari ilmu Thian-kongsin-
kang!" Ceng Hi totiang bersama lebih kurang 50 tokoh-tokoh
persilatan, terkejut ketika mendengar keterangan Lu Bu-ki.
Mereka serempak memandang kearah Siau-liong.
Ceng Hi totiang segera maju menghampiri dengan heran.
Diam2 Siau-liong geli juga. Bukan baru pertama kali itu ia
berjumpa dengan Ceng Hi totiang. Tetapi perjumpaannya
dahulu memang bukan sebagai Kongsun Liong, tetapi sebagai
Pendekar Laknat.
Lebih dulu Ceng Hi totiang memberi salam kepada Lu Bu-ki,
"Ah, saudara Lu tentu lelah!" Setelah itu baru ia mengucap
Omitohud kepada Liau Hoan siansu. Terhadap Siau-liong,
tampaknya Ceng Hi tak begitu menganggap penting.
Sehabis balas memberi ucapan salam keagamaan,
berkatalah Liau Hoan siansu, "Harap totiang jangan menegur
aku dulu ... ," " ia berpaling kepada Siau-liong dan berkata
pula, "Kongsun siauhiap Ini telah mendapat rejeki luar biasa.
Ia telah memperoleh pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dunia persilatan
dari ancaman Iblis-penakluk-dunia, rasanya tiada lain orang
lagi kecuali Kongsun siauhiap ini!"
Ceng Hi terkesiap. Menilik kedudukan dan kebesaran nama
Liau Hoan totiang, ia percaya penuh. Maka berpalinglah ia ke
arah Siau-liong, serunya, "Ah, maaf, aku agak terlambat
menghaturkan hormat!"
Rombongan Ceng Hi totiang itu terdiri dari tokoh-tokoh
pilihan yang tergolong jago kelas satu. Diantaranya termasuk
para ketua partai persilatan dan kepala dari beberapa aliran
833 perguruan silat. To Kiu-kong dari partai Kaypang, Pengemistertawa
Tio Tay-tong, Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay dan
Keempat Su-lo, juga ikut dalam rombongan itu.
Begitu melihat Siau-liong bersama Lu Bu-ki dan Liau Hoan
siansu tiba2 muncul, To Kiu-kong dan Tio Tay-tong girang
sekali. Serempak keduanya maju memberi hormat kepada
Siau-liong, seraya berseru, "Sucou-ya!" terus hendak berlutut
dihadapan Siau-liong.
Siau-liong cepat mencegah, serunya; "Kiu -kong, jangan
banyak peradatanlah!"
Ceng Hi totiang tertawa gelak2, "Kongsun siauhiap sungguh
seorang pemuda yang luar biasa. Kiranya murid dari
Pengemis-tengkorak Siong lo-enghiong. Aku merasa makin
kurang menghormat tadi..."
Berhenti sejenak mengicup mata, Ceng Hi melanjutkan
pula, "Tetapi tadi saudara Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu
mengatakan bahwa Kongsun siauhiap adalah pewaris ilmu
Thian-kong-sin-kang. Ini sungguh membingungkan. Menurut
pengetahuanku ...."
Kuatir kalau imam tua itu terus mendesak pertanyaan,
buru2 Siau-liong menukas, "Hanya secara kebetulan saja aku
telah mendapatkan suatu cara belajar dari sebuah ilmu sakti.
Tetapi mungkin berbeda dengan ilmu Thian-kong-sin-kang.
Pun karena belum dapat mempelajari sampai sempurna maka
masih sukar untuk menggunakannya....."
Sepasang mata Ceng Hi totiang berkilat-kilat menatap anak
muda itu, serunya, "Kongsun siauhiap, apakah ergkau tak
keberatan bicara dengan empat mata kepadaku?"
834 Siau-liong tahu bahwa imam tua itu mulai curiga. Maka ia
menyatakan setuju. Ceng Hi totiang tersenyum lalu
mendahului melangkah kebelakang sebuah batu karang yang
besar. Siau-liong segera mengikuti.
Menilik kedudukan Ceng Hi totiang dalam rombongannya,
ketika ia bicara dengan Siau-liong tadi, tiada seorang pun
yang berani ikut bicara. Mereka hanya mengawasi Ceng Hi
totiang dan Siau-liong menyelinap kebalik batu.
Setelah agak jauh dari rombongan tokoh-tokoh persilatan
itu, barulah Ceng Hi totiang berhenti. Ia anggap disitu aman,
takkan didengar orang lagi.
"Tadi Liau Hoan siansu dan Lu tayhiap mengatakan bahwa
Kongsun siauhiap adalah pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang.
Kupercaya keterangan itu tentu tak bohong...." Ceng Hi
totiang mulai membuka pembicaraan.
Siau-liong hanya tersenyum tak menjawab. Ceng Hi totiang
berhenti sejenak lalu melanjutkan, "Sudah ribuan tahun ilmu
Thian-kong-sin-kang itu tak muncul didunia. Kaum persilatan
dari masa kemasa selalu berusaha untuk mencari ilmu sakti
itu. Tetapi tiada seorangpun yang berhasil. Dua bulan yang
lalu, munculnya peta pusaka pada Giok-pwe, telah
menimbulkan kegemparan besar dikalangan persilatan.
Munculnya Iblis-penakluk-dunia ke Tionggoan lagi untuk
melaksanakan tujuannya menguasai dunia persilatan, tak lain
maksudnya memang hanya akan mencari kitab pusaka Thiankong-
sin-kang."
Melihat imam tua itu tak menyinggung keraguan terhadap
dirinya, Siau-liong tak sabar lagi. Ia barus lekas-lekas
mendapatkan paderi sakti Kim-ting untuk meminta Tenggoretemas-
berkaki-tiga. Ia tak mau membuang waktu maka segera
ia menyelutuk, "Kalau totiang hendak mengajukan
835 pertanyaan, silahkan. Pokok, aku tak mau membohongi
totiang!" Dalam keadaan seperti itu, ia cepat dapat menduga bahwa
Ceng Hi totiang tentu sudah dapat melihat kelemahannya.
Maka Siau-liong pun bersedia untuk memberi keterangan
sejujurnya. Ceng Hi agak terkesiap, ujarnya; "Tempo hari dalam
pertempuran lawan Iblis-penakluk-dunia di Lembah Semi, aku
telah menderita kekalahan habis-habisan. Untung saat itu
Pendekar Laknat muncul dan dapat menghadapi Jong Leng
Lojin serta Lam-hay Sin-ni, sehingga aku dan rombongan
dapat terlepas dari kehancuran. Kala itu Pendekar Laknat telah
menggunakan ilmu Thian-kong-sin-kang. Pun tampaknya ia
baru saja mempelajari ilmu sakti itu hingga belum sempurna.
Tetapi kupercaya bahwa kitab pusaka Thian-kong-sin-kang
yang sudah lenyap beribu tahun itu telah jatuh ditangan
Pendekar Laknat. Sayang, pada malamnya Pendekar Laknat
telah menghilang lagi. Dan sampai sekarang belum terdengar
kabar beritanya ...."
Siau-liong kerutkan dahi, hendak mengatakan bahwa
"aku....."
Ceng Hi totiang tertawa panjang, "Maaf kalau aku bicara
dengan terus terang ini. Pendekar Laknat pada 20 tahun yang
lalu, aku pernah kenal dengan baik. Tetapi Pendekar Laknat
yang muncul sekarang ini, kecuali wajahnya yang mirip, Ilmu
kepandaian dan perawakan tubuhnya, sama sekali berbeda
dengan Pendekar Laknat yang dulu, Yang paling
mengherankan ialah ilmu Thian-kong-sin-kang itu. Tak
mungkin sekali gus akan timbul dua orang Pendekar Laknat,
ini...ini....." tiba2 Ceng Hi totiang berhenti dan memandang
Siau-liong dan tersenyum.
836 Siau-liong menduga bahwa Ceng Hi totiang telah
mengetahui semuanya. Maka setelah batuk2 sebentar, ia
berkata, "Ah, totiang sungguh awas. Memang aku tak mau
bohong ....."
Kemudian ia menuturkan segala apa yang dialaminya. Dari
masa kecil sampai belajar silat di gunung Hongsan sehingga
sekarang. Akhirnya ia menutup penuturannya, "Adalah karena
menjunjung totiang sebagai seorang imam yang sakti maka
kuberitahu semua yang mengenai diriku. Kuharap totiang suka
menyimpan rahasia itu, jangan diberitahukan kepada lain
orang. Apa bila beruntung dapat menindas Iblis-penaklukdunia,
aku masih berharap dapat menggunakan sisa hidup
dalam satu tahun itu untuk membalas sakit hati ayahku lalu
menemui ibuku di seberang laut!"
Ceng Hi totiang menghela napas panjang. Dengan wajah
bersungguh ia berkata, "Kongsun siauhiap seorang pemuda
gagah yang berhati perwira. Maka tak heranlah kalau
mendapat berkah yang luar biasa itu. Arwah nenek guruku Tio
Sam-hong tentu akan puas dialam baka. Harap jangan kuatir,
aku pasti akan menyimpan rahasia itu ..."
Berhenti sejenak ia melanjutkan lagi, "Apa rencana
Kongsun siauhiap tetap akan memenuhi perjanjian mati
bersama dengan wanita pemilik Lembah Semi itu?"
Siau-liong menghela napas, "Sekali sudah berjanji, sukar
untuk mengingkari. Sekalipun mengenai soal kematian yang
penting, tetapi aku tak dapat melanggar janji!"
Ceng Hi totiang mengangguk hormat, "Watak dan tindakan
Kongsun siauhiap itu, makin menimbulkan rasa hormatku!"
837 Tersipu-sipu Siau-liong membalas hormat.
Setelah itu maka Ceng Hi totiang pun segera alihkan
pembicaraan tentang soal yang menyangkut kepentingan saat
itu. "Walaupun paderi sakti dari Kim-ting itu jarang diketahui
dunia persilatan tetapi kutahu dia memang seorang tokoh
aneh yang jarang muncul diluar. Kedatanganku bersama
rombongan tokoh2 persilatan itu tak lain memang hendak
memohon supaya orang tua sakti itu mau keluar membantu
kami. Tadi telah kukatakan hal itu kepada seorang Sian-thong
(murid penjaga guha) untuk menyampaikan pada beliau. Saat
ini kukira tentu sudah ada keterangan. Karena Kongsun
siauhiap juga akan menemuinya, baiklah kita sama2
menghadap."
Melihat bahwa Ceng Hi totiang yang sudah berumur 90
tahun lebih itu masih menyebut dengan kata2 yang sungkan
'beliau orang tua' kepada paderi sakti Kim-ting, diam2 makin
besarlah rasa hormat Siau-liong. Segera ia mengikuti Ceng Hi
totiang. Di atas karang gunung yang membelok ke sebelah kanan
dari lereng puncak, terdapat sebuah guha seluas satu tombak.
Tetapi guha itu amat dalam.
Dua orang kacung yang satu berpakaian warna biru dan
yang satu putih, sedang menjagu disamping pintu guha
dengan pedang terhunus.
Rombongan orang gagah berhenti beberapa tombak
jauhnya dari guha itu Mereka bebisik saling membicarakan
pertapa sakti dari Kim-ting itu. Tetapi setelah Ceng Hi totiang
muncul bersama Siau-liong, merekapun lalu diam dan hanya
memandang ke arah kedua orang itu.
838 Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si, segera tampil kemuka dan
setelah menyebut doa keagamaan, "Omitohud! Tingkah lalu
paderi sakti ini agak berlebih-lebihan. Bahkan sampai pada
kacungnya saja sudah begitu garang ... "
Buru2 Ceng Hi totiang melangkah maju mencegahnya;
"Harap taysu jangan marah, ketahuilah bahwa paderi sakti
....." "Hai, engkau bilang apa!" kedua kacung itu melangkah tiga
langkah dan salah seorang membentak Ti Gong taysu. Deliki
mata dan lintangkan pedang bersikap hendak menyerang.
Ti Gong taysu terkenal beradat keras. Sudan tentu ia tak
dapat membiarkan dirinya diperlakukan begitu kasar oleh
seorang kacung kecil. Serentak ia membentak, "Budak sekecil
engkau mengapa berani begitu kurang ajar. Tahukah engkau
siapa yang datang kesini ini?"
Kacung baju putih itu mendengus dingin, sahutnya, "Tak
peduli kalian ini orang apa, kalau Seng-ceng tak mau
menemui, tentu tetap tak mau keluar..."
Seng-ceng adalah sebutan menghormat dari kacung itu
kepada paderi sakti Kim-ting.
Kacung baju biru pun ikut menghampiri dan membentak,
"Selamanya tak pernah ada orang yang berani bikin ribut
disini. Jika kalian tak lekas angkat kaki, jangan sesalkan kami
berlaku kurang ajar!"
Ti Gong tertawa meloroh, "Ho, bagaimana pun juga, aku
tetap akan menemui Seng-ceng. Apakah kalian kacung kecil
berdua ini mampu mengusir kami?"
839 Seketika itu kedua kacung deliki matanya Serentak mereka
putar pedang dan menyerang Ti Gong taysu. Ketua Siau-lim-si
terbeliak kaget. Ternyata ilmu permainan pedang kedua
kacung itu hebat dan cepat sekali. Karena terdesak, ia
terpaksa mundur sampai 7- 8 langkah.
Kedua kacung itu hentikan serangannya. membentak, "Jika
Seng-ceng tak memperbolehkan kami membunuh jiwa, batang
kepala yang gundul itu tentu sudah terpisah dari badanmu!"
Karena marahnya, Ti Gang taysu menguak-nguak seperti
kerbau gila. Berpaling kepada Ceng Hi totiang ia berseru,
"Harap totiang suka maafkan aku. Aku hendak memberi
sedikit hajaran kepada kedua budak kecil itu!"
Tetapi Ceng Hi totiang buru2 mencegah, "Jika dalam
urusan kecil tak dapat menahan diri, urusan besar tentu akan
kacau. Harap taysu suka memikirkan kepentingan kita semua!"
Ti Gong taysu mendengus-dengus dan mengundurkan diri.
"Imam hidung kerbau, mau omong apa engkau?" tiba2
kedua kacung itu membentak Ceng Hi.
Walaupun dihina begitu, namun dengan tetap tenang Ceng


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hi totiang menjawab, "Harap siauko berdua jangan marah
dulu. Kami beramai-ramai hendak menemui Seng-ceng adalah
karena ada urusan yang amat penting sekali."
Kacung baju biru tertawa, "Daripada paderi gemuk
bertelinga lebar tadi, rupanya engkau lebih jinak sedikit."
Ceng Hi totiang tetap tertawa, "Harap siau?ko berdua suka
menolongi kepentingan kami dan membujuk supaya Sengceng
suka menerima kedatangan kami!"
840 Kacung baju biru tiba2 berpaling sejenak kepada kacung
baju putih, ujarnya, "Harap sute suka menjaga mulut guha
sana agar mereka tak menerobos masuk sehingga
mengganggu Seng-ceng!"
"Lebih baik halau mereka pergi dan perlu apa harus
meladeni mereka?" seru sikacung baju putih. Ia terus mundur
menjaga di mulut guha.
Setelah itu barulah kacung baju biru berpaling dan berkata
kepada Ceng Hi totiang lagi, "Seng-ceng tadi bilang tak dapat
menemui. Tak peduli engkau hendak mempunyai urusan apa,
tetap tiada gunanya!"
"Apakah siauko pernah kasih tahu gelaran namaku kepada
Seng ceng?" tanya Ceng Hi.
"Apakah dahulu engkau pernah bertemu dengan Sengceng?"
tanya sikacung.
"Sekali pun belum pernah bertemu muka tetapi sudah lama
aku mengagumi namanya. Jika engkau mau menerangkan
sedikit kepada Seng-ceng, mungkin beliau orang tua itu tentu
akan kenal namaku yang tak berharga itu ...."
Ceng Hi totiang berhenti sesaat, lalu berkata lagi, "Dan lagi
kedatanganku kemari bukanlah untuk kepentingan pribadi
melainkan demi keselamatan dan kelangsungan hidup dunia
persilatan."
Jawab sikacung, "Seng-ceng mengasingkan diri bertapa.
Selamanya tak pernah mencampuri urusan dunia persilatan.
Kurasa omonganmu tadi percuma saja. Lebih baik kalau kalian
segera angkat kaki dari sinilah!"
841 "Jika Seng-ceng memang tak mau menemui, akupun tak
dapat berbuat apa2. Tetapi harap engkau mengingat jerih
payah kami datang kemari dan suka melapor sekali lagi
kepada Seng-ceng...."
Rupanya kacung bajn biru itu tak sabar. Ia membentak
bengis, "Jika tak mau enyah." dia memandang ke sekeliling
lalu melanjutkan, "Tentu terpaksa kupanggilkan keempat
Suheng yang menjaga guha ini untuk menghadapi kalian!"
Mendengar omongan kacung itu makin lama makin kurang
ajar, Ti Gong taysu tak dapat menahan diri lagi. Sambil
menyebut Omitohud, ia melangkah keluar, serunya, "Murid
agama menjunjung welas asih dan perikemanusiaan. Apabila
Seng-ceng itu benar2 seorang imam sahid, tak mungkin
bertindak begitu kasar. Tentulah kalian sendiri jang
menghalang-halangi kami. Nanti setelah kami menerobos
masuk menemui Seng-ceng. barulah tahu....."
Ketua partai Siau lim si itu berpaling kepada Ceng Hi
totiang dan berseru lantang, "Karena dengan cara baik2 tak
berguna, terpaksa kita harus menggunakan kekerasan!"
Kacung baju biru itu lintangkan pedang dan tertawa
dingin.. Ceng Hi totiang menghela napas. Waktu ia hendak
membuka mulut tiba2 terdengar suara suitan panjang dari
kejauhan. Sekalian orang terkejut. Dan sebelum sempat menduga
apa2, kembali terdengar suara tertawa yang bernada congkak
sekali. Saat itu barulah semua orang menyadari bahwa suitan dan
tertawa itu berasal dari Iblis-penakluk-dunia!
842 Memang Iblis penakluk-dunia itu seorang durjana yang julig
dan banyak tipu akal. Bahwa secara tiba2 ia muncul disitu,
tentulah karena hendak melaksanakan rencananya untuk
menguasai dunia persilatan.
Suara tertawa itu berasal dari puncak Kim-ting. Jelaslah
bahwa iblis itu tentu sudah berada di puncak itu. Hanya
teraling dengan hutan lebat dari tempat rombongan Ceng Hi.
Secepat suara tertawa lenyap, terdengarlah Iblis-penaklukdunia
berseru bengis, "Kepada Ceng Hi imam tua!"
Serentak terdengar empat lima suara serempak mengulang
kata2 itu, "Kepada Ceng Hi imam tua!"
Sekalian orang tegang tegang dan bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Mereka mencurahkan pandang mata ke
arah Ceng Hi totiang.
Tiba2 kacung baju biru itu tertawa, "Ih, siapa yang datang
lagi itu" Apakah pemimpin kalian?"
Ceng Hi totiang menyahut gopoh, "Yang datang itu adalah
durjana iblis yang hendak menimbulkan pertumpahan darah
dalam dunia persilatan , ......"
Ia berputar tubuh dan berkata pelahan kepada rombongan
tokoh2 gagah, "Saat ini tibalah sudah detik2 yang genting.
Harap saudara2 jangan sembarangan bergerak sendiri!"
Melihat wajah rombongan tetamu itu amat tegang, kacung
baju biru tertawa makin keras, "Hai, kalian orang2 persilatan
itu mengapa suka bermusuhan dan berkelahi untuk cari
kemenangan......"
843 Kemudian bocah itu menyerut wajah dan berseru pula,
"Kalau mau berkelahi, pergilah cari tempat di puncak Kim-ting
sana. Jika berani mengganggu ketenangan tempat ini,
awaslah....."
Ceng Hi totiang menghela napas lirih. Pada saat ia hendak
berputar diri untuk menghadapi keadaan saat itu, tiba2 dua
sosok tubuh melintas di sebelah muka. Seorang kakek mata
satu berpakaian ungu muncul dengan memimpin tangan
seorang dara baju hijau.
Sekalian orang amat terkejut sekali!
Menilik pandangan mata mereka yang tajam termasuk diri
Ceng Hi totiang, setiap gerakan dari suatu apapun. tentu tak
lepas dari pandangan mereka. Tetapi kemunculan kakek
bersama itu benar2 tak diketahui sama sekali.
Saat itu Siau-liong, Liau Hoan siansu dan Lu Bu-ki berdiri di
samping. Diam2 mereka gelisah melihat sikap keras dari
kacung penjaga guha yang menolak memberi laporan kepada
Seng-ceng. Sedang saat itu Iblis-penakluk-dunia bersama
rom-bongannya sudah muncul.
Ketika melihat Kakek Mata-satu muncul secara tiba2, girang
hati Siau-long tak terperikan. Cepat ia maju memberi hormat,
"Lo-cianpwe ... nona Song ....."
Kakek Mata-satu tersenyum, "Apakah Kongsun siauhiap
sudah mendapat kedua kawanmu itu?"
"Lo cianpwe memang sakti sekali. Aku benar2 bertemu
dengan mereka!" sahut Siau-liong.
844 Sekalian orang dalam rombongan Ceng Hi totiang berdiam
diri dan memperhatikan pembicaraan Siau-liong dengan kakek
bermata satu itu.
Setelah merenung beberapa saat, Ceng Hi totiang
menganggukkan kepala lalu maju memberi hormat kepada
kakek itu, "Bukankah cianpwe ini pada 60 tahun yang lalu ....."
Pertapa-sakti-mata satu goyangkan tangan, tertawa, "Tak
perlu mengatakan lagi! Asal engkau sudah tahu saja ..."
kemudian ia menunjuk kearah matanya yang tinggal satu itu,
katanya pula, "Kemungkinan mataku yang tinggal sebiji ini
lebih dapat diingat lagi orang. Memang tak mengherankan
kalau engkau masih memikirkan peristiwa pada 60 tahun yang
lampau itu."
Tersipu sipu Ceng Hi totiang memberi hormat, "Ah, ucapan
cianpwe itu kelewat berat. Adalah karena kagum dan
mengindahkan akan keperwiraan dan keluhuran cianpwe
maka sekalipun sudah lewat berpuluh tahun, aku masih tak
lupa pada pertapa sakti itu bukan karena melihat matanya
yang tinggal satu." Tetapi ia pikir, ucapan itu terlalu
menyinggung peiasaan orang Maka ia tak mau melanjutkan
.... Saat itu kacung baju biru menghampiri, teriaknya, "Hai,
paman Buta!" ia memandang sipertapa sakti lalu bertanya lagi,
"Apakah paman kenal pada mereka?"
Pertapa-sakti-mata satu tertawa, "Bukan hanya kenal tetapi
mereka adalah sahabatku!"
Kacung kecil itu terkesiap serunya tertawa, "Ah, paman
Buta ngaco lagi. Bukankah paman serupa dengan suhuku.
Setahun penuh tak mau bertemu orang" Mengapa mendadak
sontak mempunyai sekian banyak kawan?"
845 Pertapa sakti mata satu tertawa keras, serunya, "Kalau
begitu, anggap sajalah mereka itu musuh!"
Ceng Hi totiang terkejut.
Kacung baju biru tertawa makin keras.
Beberapa saat kemudian baru ia berkata, "Kalau begitu, tak
usah menghiraukan mereka saja!" sahut Pertapa-sakti-matasatu.
"Apakah hari ini engkau hendak menantang suhuku
bermain catur?" tanya kacung itu pula.
"Tidak," jawab si pertapa, "hari ini aku sengaja membawa
cucu perempuanku bermain-main!"
Bocah itu tercengang. Dipandangnya Song Ling sejenak,
katanya, "Hari ini sungguh aneh sekali! Segala apa berobah
aneh. Mengapa dulu tak pernah kudengar paman mempunyai
seorang cucu perempuan?"
"Baru berapa tahunkah engkau hidup di dunia" Masakan
engkau tahu segala urusan!" Pertapa-sakti mata satu tertawa.
Kacung baju biru tertawa mengikik, "Ah, paman
mengandalkan diri sebagai orang tua.. "Cobalah paman bilang,
hari ini paman hendak mengapa?"
Pertapa-sakti masukkan tangannya kedalam saku. Sampai
beberapa saat baru pelahan-lahan ia menariknya keluar.
Tetapi tangannya digenggam sehingga tak tahu apa isinya.
"Hari ini aku membawa sebuah mainan yang aneh
untukmu!" 846 Bocah itu girang sekali, "Terima kasih paman Buta. Apakah
barang itu?"
"Didalam genggamanku ini. Tetapi engkau harus
menebaknya. Kalau menebak tepat, baru kuberikan
kepadamu!"
Kacung itu tertawa, "Ai, paman hendak mempermainkan
orang lagi. Aku tak mau menebaklah dan tak menginginkan
benda itu!"
"Kalau begitu jangan engkau menyesal lho. Mainan ini akan
kuberikan kepada sutemu!" kata si pertapa seraya membuka
tangannya. Suatu benda yang berkilat-kilat warnanya
memancar diantara celah jarinya. Tetapi cepat2 pertapa itu
mengatupkan genggamannya lagi.
"Ya, ya, aku akan menebaknya ....." seru kacung itu gopoh.
Ia kerutkan dahi beberapa saat lalu menerka, "Tentulah
sebutir mutiara Ya-beng cu ......"
Pertapa-sakti-mata-satu gelengkan kepala; "Salah!"
"Mata kucing!" seru bocah itu pula.
"Salah!" si pertapa menggeleng.
Bocah itu mengerut kening dan mengomel; "Ini salah itu
salah, lalu bagaimana orang harus menebaknya!"
Bocah yang menjaga dimulut guha tadi pun rupanya tak
sabar. Ia segera menghampiri, serunya, "Ah, paman Buta
memang berat sebelah. Punya barang baik tak mau
memberikan kepadaku."
847 Pertapa itu tertawa, "Engkau pun boleh ikut menebak.
Kalau betul, tentu kuberikan kepadamu."
Bocah baju putih dan baju biru benar2 saling berebut
menebak. Tugas untuk menjaga mulut guha hampir dilupakan.
Pada saat Pertapa-sakti-mata-satu sedang bergurau
mengadakan tebakan dengan bocah penjaga guha itu. Ceng
Hi totiang dan rombongan orang gagah, gelisah. Tetapi
mereka tak berani campur mulut. Untunglah saat itu suara
Iblis-penakluk-dunia tak kedengaran lagi.
Kemudian setelah bocah baju putih yang menjaga di mulut
guha itu ikut menimbrung ke tempat pertapa sakti, tahulah
Ceng Hi totiang akan maksud dari pertapa sakti itu. segera ia
lontarkan isyarat mata kepada Siau-liong.
Siau-liong memang berotak terang. Cepat ia dapat
menangkap isyarat Ceng Hi totiang. Dengan gerakan yang tak
mengeluarkan suara dan tak menarik perhatian orang, ia
berjengket-jengket mundur menyingkir dari pengawasan mata
kedua kacung itu. Setelah mendekati mulut guha, cepat ia
menyelundup masuk.
Gerakan Siau-liong itu dilakukan dengan cepat sekali dan
tak mengeluarkan suara apa2. Walau pun Ceng Hi totiang dan
rombongan orang gagah dapat melihat jelas, tetapi kedua
bocah penjaga guha itu tak dapat mengetahui sama sekali.
Setelah tahu Siau-liong sudah menyelundup masuk,
Pertapa-sakti-mata-satu tertawa, "Hai, mengapa hari ini kalian
begitu tolol" Apakah masih tak mampu menebak?"
Karena berulang kali menebak, si pertapa tetap gelengkan
kepala. Akhirnya marahlah sibocah baju putih. serunya geram,
"Ai, tentu tak lebih hanya sebutir batu!"
848 Pertapa-sakti teriawa nyaring, "Ho, ternyata engkau yang
lebih cerdas dan dapat menebak jitu!" "ia membuka
genggamannya dan ternyata memang sebutir batu mengkilap.
Kedua Bocah itu serempak membentak, "Kutahu paman
Buta memang tak bermaksud baik dan sengaja hendak
mempermainkan kami saja. Tetapi lain kali jangan harap dapat
mengingusi kami lagi! Sungguh sial!"
Pertapa-sakti tertawa, "Sedang apakah suhumu saat ini?"
"Duduk!" sahut kedua bocah itu.
Menunjuk pada Ceng Hi totiang dan rombongannya,
berkata pula pertapa itu, "Mereka hendak bertemu dengan
suhu kalian, mengapa kalian tak mau melaporkan?"
Bocah baju biru buru2 menerangkan, "Sudah kulaporkan
tetapi suhu tak mau menemui!"
Pertapa-sakti mengangguk tertawa, "Kalau begitu kalian tak
salah, tetapi....." ia picingkan matanya yang tinggal satu,
berkata lagi, "Karena tadi kalian hanya mengurus untuk


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menebak batu dalam genggamanku, andaikata ada orang
yang menyelundup masuk kedalam guha. bagaimanakah
suhumu akan menghukum kalian?"
"Yah, ngeri!" seru kedua bocah itu, "paling ringan tentu
akan suruh kami menghadap tembok sampai 10 hari
lamanya!" "Mungkin tak memberi makan kami sampai tiga hari." si
bocah baju putih menambahi.
849 Pertapa-sakti tertawa, "Kalau suhumu hendak memberi
hukuman, timpahkan saja segala kesalahan itu padaku!"
Kedua bocah itu terkejut, "Bagaimana" Apakah benar2 ada
orang yang menyelundup kedalam?"
"Ah, sukar dikatakan," kata pertapa-sakti, karena kalian
mempunyai empat biji mata saja tak mampu melihat, apalagi
aku yang tinggal satu. Sudah tentu lebih tak kelihatan lagi!"
Bocah baju biru memandang geram kesekeliling lalu
mengawasi Ceng Hi totiang dan rombongannya dengan
dendam, serunya, "Kukira mereka tentu tak punya keberanian
untuk berbuat begitu. Dengan mengandalkan tenaga keempat
Su-leng (Empat arwah) yang menjaga guha, sekalipun mereka
beramai-ramai masuk semua, tentu tiada seorang pun yang
mampu melewati penjagaan ..."
Tiba2 bocah baju biru itu berpaling kearah kawannya baju
putih dan membentak, "Suruh engkau menjaga mulut guha
dengan ketat, mengapa engkau lari kemari?"
Bocah baju putih itu tersipu-sipu ketakutan terus kembali
ke mulut guha lagi.
Sejenak meragu, bocah baju biru itu berkata, "Apakah
paman Buta tak masuk?"
Pertapa sakti goyangkan tangan, "Pemandangan alam di
sini paling indah. Aku bersama cucuku ini akan duduk
beristirahat disini sebentar!"
"Kalau begitu, maaf, kami tak dapat menemani paman
disini!" seru bocah itu terus kembali ke mulut guha. Keduanya
menjaga di kanan kiri guha.
850 Pertapa-sakti-mata-satu itupun sungguh mencari tempat
duduk. Sambil menunjuk kesana sini, ia berkata dengan bisik2
kepada Song Ling. Sama sekali ia tak menghiraukan Ceng Hi
totiang dan rombongan orang gagah.
Ceng Hi totiang tegak disamping. Sesaat ia tak tahu apa
yang harus dilakukan. Tiba2 terdengar pula suara teriakan
pelahan dari Iblis-penakluk-dunia, "Untuk yang kedua kalinya,
ditujukan kepada imam tua Ceng Hi!"
Serentak berturut-turut terdengar suara menyambut-ulang,
"Untuk yang kedua kalinya, ditujukan kepada imam tua Ceng
Hi .....!"
Beberapa saat lagi, kembali Iblis-penakluk-dunia berseru,
"Untuk yang kedua kalinya, apabila tidak datang, akan
dihukum mati!"
Riuh rendah suara menyambut dan mengulang seruan itu
terdengar dari seluruh penjuru.
Ceng Hi tertawa masam. Saat itu ia belum dapat
menentukan keputusan. Tengah dalam keadaan gelisah, tiba2
telinganya terngiang oleh suara seseorang yang menggunakan
ilmu Menyusup suara, "Imam tua tak perlu gelisah. Yang
dapat mengatasi malapetaka hari ini tak lain hanyalah pemuda
Kongsun yang memiliki ilmu Thian-kong-sin?king itu. Aku
sendiri sukar memberi bantuan!"
Ceng Hi totiang cepat dapat mengetahui bahwa yang bicara
dengan ilmu Menyusup suara itu tak lain dari Pertapa-saktimata-
satu. Ia pun segera menjawab dengan ilmu menyusup
suara juga, "Terima kasih atas perhatian cianpwe. Tetapi
keadaan ini benar2 gawat sekali. Kedua suami isteri iblis itu
sudah tiba kemari. Dalam waktu beberapa saat tentu sukar
terhindar dari pertempuran berdarah....." '
851 Pertapa-sakti tertawa, "Apakah engkau takut dihukum mati
oleh iblis-penakluk-dunia?"
Ceng Hi totiang menyahut gopoh, "Sudah hampir 20 tahun
kusarungkan pedang. Jika takut mati, masakan aku mau
muncul lagi di dunia persilatan?"
"Kalau begitu gunakan siasat mengulur waktu sampai
beberapa jam. Mungkin Kongsun siauhiap itu sudah dapat
keluar dari guha!"
"Ah, tetapi keadaan sudah sukar diundurkan lagi, kecuali
....." Ceng Hi berhenti meragu sejenak. katanya pula, "Adakah
cianpwe menghendaki supaya aku bertekuk lutut kepada Iblispenakluk
dunia?" Pertapa-sakti tertawa, "Pandai menyesuaikan keadaan,
tahu mencari kesempatan pada setiap perobahan. Segala cara
dan siasat boleh digunakan!"
Ceng Hi totiang menghela napas panjang. Ia diam. Oleh
karena pembicaraan itu dilakukan dengan ilmu Menyusup
suara, maka sekalian orang tak dapat mendengar. Mereka
hanya menduga-duga saja apa yang sedang dibicarakan
kedua tokoh itu.
Pada saat itu kembali terdengar teriakan menggeledek dari
Iblis-penakluk-dunia, "Untuk yang ketiga kali, ditujukan
kepada imam tua Ceng Hi!"
Seperti seruan yang dua kali tadi, dan empat penjuru
terdengarlah suara orang mengulang perintah Iblis-penaklukdunia
itu. 852 Seluruh mata rombongan orang gagah tertumpah pada
Ceng Hi totiang. Sikap imam sakti itu tenang sekali. Dengan
suara tenang serius ia berkata, "Saat ini kita menghadapi
ancaman maut. Karena tak berguna, aku telah menyia-nyiakan
kepercayaan saudara2 yang dilimpahkan pada diriku.. Sekali
pun mati, aku masih merasa berdosa....."
Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si, dapat berseru lantang,
"Soal ini tak dapat menyalahkan totiang. Oleh karena sudah
menjadi suratan takdir, kami ikhlas mengorbankan jiwa. Kalau
kalah, tetap akan meninggalkan nama harum. Matipun tiada
menyesal....."
Ceng Hi totiang cepat menukas, "Mengandalkan keberanian
seperti harimau, mengandalkan jumlah banyak seperti air
sungai, bukan termasuk keberanian seorang ksatrya sejati.
Aku hendak mengajukan pertanyaan kepada saudara2 ..."
Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay yang berdiri disamping
Ceng Hi, pun menyeletuk, "Totiang saat ini adalah pemimpin
rombongan orang gagah. Apa yang totiang rasa baik, silahkan
memberi perintah saja. Masakan totiang kuatir ada orang yang
berani menentang?"
Ceng Hi totiang menghela napas panjang, "Apabila saudara
percaya padaku. Apa pun yang hendak kulakukan, harap
saudara tahankan emosi agar aku leluasa melaksanakan
rencanaku."
Dengan menekan rendah suaranya, berkatalah Ti Gong
taysu, "Silahkan totiang memberi perintah Kecuali disuruh
menyerah pada Iblis-penakluk-dunia, kuyakin tiada
seorangpun yang akan menentang perintah totiang!" -habis
berkata ketua Siau-lim-si itu memandang kearah rombongan
orang gagah. 853 Ceng Hi totiang kerutkan kening lalu gunakan ilmu
Menyusup suara kepada Ti Gong taysu, "Apa yang kukatakan
justeru mengenai soal itu. Demi untuk menyelamatkan
kelangsungan hidup dunia persilatan Terpaksa untuk
sementara waktu kita harus pura2 menyerah kepada Iblispenakluk-
dunia!" Bukan kepalang kejut Ti Gong taysu sehingga ia melonjak
dan menggerung seperti singa kelaparan, "Apakah aku tak
salah dengar bahwa ucapan itu berasal dari totiang?"
Dengan masih gunakan ilmu Menyusup suara, Ceng Hi
berkata, "Jika dalam soal kecil tak dapat menahan perasaan,
tentulah soal2 besar akan gagal, Tadi Kongsun siauhiap sudah
menyelundup ke dalam guha menemui Seng-ceng. Menurut
perhitunganku, paling tidak dalam beberapa jam tentu sudah
membawa laporan. Hanya untuk beberapa waktu itu kita
pura2 menyerah, begitu Kongsun siauhiap sudah keluar, kita
harus cepat2 berbalik haluan. Jika rencana itu gagal, tiada
jalan lagi kecuali harus bertempur sampai mati!"
Ti Gong taysu terlongong. Memandang kepada Ceng Hi
totiang, didapatinya wajah imam tua itu menampil kedukaan
tetapi tetap memancar keperibadian yang pantang menyerah.
Ti Gong taysu menghela napas, tundukkan kepala tak
berkata apa2. Rombongan tokoh2 persilatan pun berdiam diri.
Mereka percaya penuh pada Ceng Hi totiang.
Tiba2 terdengar suara bentakan menggeledek, "Panggilan
untuk imam tua Ceng Hi supaya segera datang kemari.
Apabila masih berayal, tentu akan dihukum mati!"
Kini tiada lagi Ceng Hi bersangsi. Dengan tenang ia segera
ayunkan langkah ke puncak Kim-ting. Sekalian orang gagah
854 tanpa berkata sepatah pun, tundukkan kepala dan mengikuti
dibelakang imam tua itu.
Pertapa-sakti-mata-satu tetap duduk di tempatnya dan
masih tetap tersenyum-senyum bicara dengan si dara Song
Ling. Liau Hoan siansu pun masih duduk di samping, tak ikut
pada rombongan orang gagah.
Song Ling gelisah resah. Terkenang akan ibunya yang
menjadi tawanan Iblis-penakluk-dunia, memikirkan Siau-liong
yang masuk ke dalam guha. Tak henti2nya ia celingukan kian
kemari. Apa yang dikatakan Pertapa- sakti kepadanya, sama
sekali tak dihiraukan.
Ceng Hi totiang bersama rombangan orang gagah melintasi
beberapa gerumbul hutan dan kini disebelah muka tampak
sebuah dataran. Di ujung dataran itu tampak suatu jajaran
sosok tubuh manusia. Jumlahnya tak kurang dari seratusan
orang. Terdiri dari lelaki dan perempuan dengan berbagai
corak pakaian. Tetapi yang paling menonjol sendiri, ialah
jajaran paling depan yang terdiri dan belasan orang baju
hitam, Mereka mengenakan kerudung muka sehingga tak
dapat melihat roman mukanya.
Tetapi begitu melihatnya, segeralah Ceng Hi totiang dan
rombongannya dapat menduga. Barisan baju hitam itu
tentulah keempat tokoh pewaris empat jenis ilmu sakti, kedua
momok Naga Terkutuk dan Harimau Iblis serta rombongan It
Hang totiang. Iblis-penakluk-dunia dan Dewi Neraka tegak berdiri
ditengah-tengah. Di belakangnya dijaga oleh empat lelaki dan
empat wanita. Demi melihat Ceng Hi muncul dengan kepala
menunduk, iblis itu segera tertawa nyaring.
855 Secepat hentikan tertawanya, Iblis-penaklak-dunia pun
segera membentak keras, "Imam tua Ceng Hi, lupakah
engkau akan perintahku tempo hari?"
Mendengar kata2 itu seketika wajah sekalian orang gagah,
berobah merah padam. Kata2 Iblis-penakluk-dunia itu benar2
suatu hinaan besar. Mereka adalah tokoh2 persilatan yang
ternama. Mereka lebih memberatkan nama daripada jiwa.
Seketika mereka siap hendak menyerbu.
Wajah Ceng Hi pun berobah-robah, hijau membesi lalu
pucat lesi. Suatu pertanda bahwa hatinya lebih tegang dari
rombongannya. Tetapi pada lain saat ia tersenyum lalu
berputar tubuh menghadang ke arah rombongan orang
gagah. Setelah mengeliarkan pandang mata kesekeliling, ia
berkata, "Tuan mengatakan bahwa empat hari kemudian akan
datang ke puncak Kim-ting. Tetapi hari ini baru hari yang
ketiga." Dari belakang kedua suami isteri iblis segera terdengar
seorang lelaki gagah memaki, "Imam-hidung-kerbau, sungguh
besar nian nyalimu! Sejak saat ini kita semua ini adalah anak
buah kedua pemimpin kita. Mengapa engkau menyebut
dengan panggilan begitu" Hayo, lekas memberi hormat
haturkan maaf!"
Ceng Hi totiang seorang tokoh yang namanya amat
diindahkan orang. Dihadapan rombongan tokoh persilatan dari
berbagai aliran, benar2 ia akan kehilangan muka apabila
sampai minta maaf kepada Iblis-penakluk-dunia. Maka sampai
beberapa jenak ia berdiam diri saja.
Rombongan orang gagah pun merah tegang wajahnya.
Suasana makin gawat.
856 "Hai, apakah engkau tuli?" bentak lelaki gagah itu pula.
Ceng Hi totiang menghela napas lalu anggukkan kepala,
"Ya, aku merasa salah!"
Walaupun mulut berkata begitu, tetapi dari pelupuk
matanya, mengembang air mata. Sepanjang hidupnya, baru
pertama kali itu ia menderita hinaan sedemikian besar. Tetapi
demi kepentingan umum, terpaksa ia tahankan perasaannya.
Iblis-penakluk-dunia tertawa nyaring; "Aku sih tak terlalu
mengutamakan soal2 peradatan kecil. Asal kelak dapat
merobah kesalahan saja, cukuplah sudah...."
Berhenti sejenak ia berkata pula, "Kuanggap diriku ini
memiliki kecerdasan jauh lebih tinggi dari orang biasa. Kalau
tidak masakan aku dapat berhasil seperti hari. Pepatah
mengatakan 'prajurit akan bermanfaat karena dapat bergerak
cepat' Jika besok pagi aku baru datang kemari, entah tingkah
yang bagaimana macamnya lagi yang hendak kalian unjukkan
padaku...."
Menunjuk ke arah gua tempat tinggal paderi sakti dari Kimting,
ia berkata pula, "Gerak-gerik kalian selama ini, sudah
berada dalam pengawasanku. Sekalipun kalian dapat
menyeret keluar paderi dari gua itu, pun tetap tak berguna...."
Habis berkata ia berpaling ke belakang, "Dimana engkau,
muridku!" Soh Beng Ki-su sambil berkaok-kaok, segera maju
kehadapan suhunya.
"Segala yang dikerjakan, kuserahkan kepadamu untuk
memberi perintah. Aku hendak beristirahat sebentar. Dalam
857 waktu tiga jam, apa yang kuserahkan kepadamu harus sudah
selesai!" Soh Beng Ki-su mengiakan. Sambil tertawa meloroh, Iblispenakluk-
dunia dan isterinya segera berjalan turun dari
puncak. Anak buahnya mengikuti. Tak lama ia sudah


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghilang ke dalam gerumbul hutan.
Yang masih berada di tanah datar itu tinggal Soh Beng Kisu
beserta 10 orang lelaki berpakaian ringkas. Diantara ke 10
orang itu, ada 8 orang yang bahunya dihinggapi burung elang
besar. Yang dua orang lagi, tangannya mencekal pena pit dan
tinta bak. Keduanya menjinjing selipat kain sutera putih.
Dengan tertawa mengekeh, Soh Beng Ki-su berkata kepada
Ceng Hi, "Aku mendapat perintah dari suhu. Apabila dalam
ucapanku ada yang kasar, harap totiang jangan sesalkan
dihati...."
Ia menyapukan pandang matanya ke arah Ceng Hi totiang
dan rombongan orang gagah, katanya pula, "Apa yang
dikehendaki suhuku hanya dua hal. Pertama, segera didirikan
panggung seluas dua tombak dan setinggi tiga meter.
Panggung itu akan diperuntukkan pengangkatan suhuku
sebagai Bu-lim bengcu (pemimpin dunia persilatan). Kedua,
lekaslah kalian beramai-ramai membuat dan menanda-tangani
surat pernyataan mendukung atas pengangkatan beliau itu.
Buatlah 64 pucuk undangan yang kalian beramai-ramai
menanda-tangani...."
Menunjuk pada ke 8 ekor burung elang besar yang hinggap
dibahu kedelapan lelaki berpakaian ringkas itu, Soh Beng Ki-su
berkata pula, "Ke 8 ekor burung itu dapat mengedarkan surat
Undangan itu kealamat yang dituju. Agar seluruh kaum
persilatan tahu dan mentaati."
858 Diam-diam Ceng Hi terkejut, pikirnya, "Segala
permintaannya masih dapat kupaksakan diri untuk menerima.
Tetapi surat dukungan yang akan disiarkan ke seluruh penjuru
dunia persilatan itu, benar-benar suatu hal yang tak boleh
terjadi." Maka dengan suara tersendat-sendat, Ceng Hi
menyanggah, "Ini.... ini...."
Soh Beng Ki-su mendengus dingin, "Tak perlu ini itu lagi.
Apa yang diperintahkan suhu, kalian tentu sudah mendengar.
Kedua hal itu hanya diberi waktu tiga jam harus sudah selesai.
Jika terlambat mengerjakan, kalian tahu sendiri akibatnya."
Ceng Hi merenung sampai lama baru berkata, "Kalau
begitu, aku menurut saja!"
Ia memandang tenang kepada rombongan orang gagah,
katanya, "Harap saudara2 suka membantu aku membuat
panggung itu!"
Dengan lesu sekalian orang mengiakan. Mereka segera
mulai membuat sebuah panggung. Diam-diam Ceng Hi
memberi isyarat rahasia agar mereka bekerja selambat
mungkin. Soh Beng Ki-su tak mau mendesak. Bersama ke 10 orang
berpakaian ringkas, ia duduk diujung puncak sambil
mengawasi pekerjaan Ceng Hi dan rombongannya.
Sekarang kita tinggalkan sejenak pembuatan panggung itu
untuk menjenguk keadaan dalam gua.
Setelah berhasil menyelundup masuk, Siau-liong dapatkan
gua itu tak begitu gelap. Setelah memusataan perhatian,
barulah ia dapat melihat jelas. Kiranya tempat itu tak mirip
859 dengan sebuah gua melainkan sebuah lorong terowongan
yang panjang ke dalam.
Siau-liong makin tegang. Cepat2 ia ayunkan langkah dan
tak berapa lama sudah tiba di ujung akhir terowongan itu.
Di muka ujung terowongan itu terbentang sebuah lapangan
kosong yang ditumbuhi pohon2 bunga aneh dan rumput2.
Walaupun saat itu berada dalam pertengahan musim rontok,
tetapi pohon-pohon bunga disitu tetap menghamburkan
bunga2 aneka warna.
Batang2 pohon cemara yang tumbuh lurus disebelah muka,
menjulang linggi sampai menyusup ke dinding karang. Sayup2
tampak sebuah mulut gua seluas satu tombak ditengah pohon
cemara itu. Pikir Siau-liong. paderi sakti di puncak Kim-ting itu
tentu tinggal dalam gua tersebut.
Segera berjalan menuju ke gua itu. Sekonyong-konyong,
serangkum angin keras menyambar punggungnya. Siau-liong
terkejut sekali dan segera miringkan tubuh loncat mundur
sampai lima langkah.
Setelah terhindar, ia cepat memandang ke arah
penyerangnya itu. Ah, bukan kepalang kejutnya. Yang
menyerang itu ternyata seekor kera berbulu emas yang
besarnya hampir menyerupai orang.
Pukulan yang dilancarkan kera bulu emas itu bukan
kepalang dahsyatnya sehingga ketika luput dan menghantam
tanah, pasir dan debu segera muncrat berhamburan dan
tanah pun berlubang sampai setengah meter.
Siau-liong cepat dapat menduga bahwa kera bulu emas itu
tentulah binatang piaraan Paderi sakti Kim-ting. Maka ia tak
860 mau balas menyerang, Malah ia terus mengangkat tangan
memberi salam kepada kera itu.
Tepat pada saat ia sedang memberi hormat, kepada kera
bulu emas itu, tiba-tiba serangkum angin keras menyambar
punggungnya lagi. Dalam kejutnya, ia cepat apungkan tubuh
melayang beberapa meter.
Ah, kiranya seekor kera bulu emas lagi. Bahkan yang ini
tampaknya amat galak. Sambil menyeringaikan giginya yang
runcing, ia memandang Siau-liong dengan buas.
Belum sempat Siau-liong menenangkan diri, kembali ia
diserang oleh dua ekor kera bulu emas lagi.
Siau-liong benar-benar gelisah dan serba sulit. Ia tak mau
balas menyerang karena kuatir menimbulkan kemarahan
paderi sakti Kim-ting. Namun dengan mengalah itu, ia harus
banting tulang setengah mati untuk menghindari serangan
keempat ekor kera bulu emas yang gencar itu.
Keempat ekor kera bulu-emas itu memang lihay. Serangan
mereka serba aneh dan sukar diduga. Untunglah dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuh, dapatlah Siau-liong
berlincahan menghindarinya.
Tetapi betapapun juga, karena tak mau balas menyerang,
maka setelah dapat bertahan sampai sepeminum teh lamanya,
akhirnya ia mulai tak dapat bertahan lagi.
Keempat ekor kera bulu-emas itu meraung keras.
Serempak mereka menyerang makin gencar. Angin menderuderu,
tangan keempat binatang itu berhadapan mengarah
bagian tubuh Siau liong beberapa yang berbahaya.
861 Siau-liong makin gugup. Jika tak mau balas menyerang, ia
tentu akan terluka dibawah pukulan kera bulu-emas itu.
Dengan menggerung keras, ia segera mulai menyerang
dengan jurus Angin-awan-berobah-warna.
Hamburan pukulan yang bersinar emas itu berkelebat kian
kemari dan terdengarlah serangkum suitan bernada macam
naga meringkik.
Untunglah Siau-liong masih mengingat pada paderi sakti
Kim-ting. Ia hanya gunakan sepertiga bagian tenaganya dan
tak mau mengarah pada tempat yang berbahaya dari tubuh
kera berbulu emas itu.
Diluar dugaan, begitu Siau-liong memukul kawanan kera
bulu emas itu segera hentikan serangannya. Mereka
memandang wajah Siau-liong sampai sekian lama. Kemudian
mereka menyeringai dan bercuit-cuit beberapa kali. Pelahanlahan
mereka mulai menyurut mundur dan masuk ke dalam
gerumbul pohon bunga.
Siau-liong mengusap keringatnya dingin. Setelah itu cepat2
ia lanjutkan perjalanan lari ke arah gua.
Begitu tiba di pintu gua, ia berbenti. Dilihatnya di atas
sehelai permadani tinggi yang terletak beberapa meter dalam
pintu gua, duduklah seorang paderi tua dengan mata
memejam. Paderi tua itu amat kurus sekali. Duduk di atas
permadadani tak ubah seperti sesosok tulang kerangka. Tetapi
wajahnya menampilkan suatu perbawa yang mengundang
rasa perindahan orang. Tanpa disadari, Siau-liong pun seaera
berlutut. 862 Rupanya paderi tua kurus itu tak mendengar dan tak
mengetahui kedatangan Siau-liong. Dia tetap duduk pejamkan
mata tak bergerak.
Diam-diam Siau-liong menimang. Walaupun paderi tua itu
seorang tuli tetapi masakan tak mendengar suara
pertempuran hebat antara ia dengan keempat kera bulu emas
tadi. Ah, tentulah paderi tua itu hanya berpura-pura saja.
Siau-liong tak berani mengganggu. Terpaksa ia tetap
berlutut menunggu sampai paderi itu terjaga.
Lebih kurang sepenyulut dupa lamanya, barulah paderi tua
itu pelahan-lahan membuka mata. Sepasang matanya yang
berapi-api, menatap Siau-liong sejenak lalu dipejamkan lagi.
Siau-liong baru hendak membuka mulut atau tiba-tiba
paderi itu sudah mengatupkan matanya pula. Ia bingung.
Tetapi terpaksa bersabar menunggu lagi.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, tetap paderi tua itu diam
saja. Akhirnya Siau-liong tak sabar lagi. Segera ia berseru
pelahan, "Seng-ceng, Seng-ceng . ,.... lo-cianpwe, locianpwe...."
Rupanya paderi kurus itu memang Seng-ceng atau paderi
sakti dari Kim-ting. Ia terkejut mendengar seruan Siau-liong.
Cepat ia membuka mata dan membentak, "Kedua kacung
Hitam Putih itu?"
Siau-liong tersendat-sendat menyahut, "Mereka masih
berada diluar gua."
Seng-ceng itu mendengus, serunya pula, "Keempat kera
penjaga gua itu?"
863 Siau-liong termenung sejenak. Ia duga yang dimakud itu
tentu keempat ekor kera bulu emas.
"Aku tak melukai mereka!" sahutnya.
Tiba-tiba paderi sakti dari Kim-ting itu membentak murka,
"Nyalimu sungguh besar sekali berani menyelundup ke gua
sini!" Pada saat Siau-liong hendak memberi penjelasan, entah
bagaimana caranya bergerak tadi, tahu2 Siau-liong merasa
empat buah jalan darah di dadanya tertutuk oleh sambaran
jari paderi sakti itu Seketika Siau-liong rasakan tubuhnya
lemas lunglai, kaki tangannya pun melentuk.
"Bluk".... rubuhlah anak muda itu dan terkapar di tanah....!
Mata paderi tua itu sejenak memancar lalu pe-lahan2
mengatup lagi. Bukan main gelisah dan bingung Siau-liong. Diam-diam ia
memaki paderi itu sebagai seorang yang tak kenal
perikemanusiaan. Tidak mau membantu, pun tak apa. Tetapi
mengapa menyerang orang dengan cara gelap begitu. Itu
bukan tingkah laku seorang padri saleh tetapi seorang
penjahat kejam.
Karena jalan darahnya tertutuk dan kaki tangannya sakit
sekali, tubuh kaku seperti orang mati, sekali pun Siau-liong
dapat bicara tetapi tak mampu bergerak. Maka ia hanya deliki
mata memandang geram kepada paderi itu.
Tampak paderi tua itu membuka mata lagi, tegurnya,
"Mengapa engkau berani memaki-maki aku?"
864 Siau-liong seperti tersengat kala kagetnya, "Aku
memakinya dalam hati, mengapa dia tahu?" pikirnya.
Dipandangnya paderi itu dengan terpesona.
Paderi Kim-ting itu tersenyum, ujarnya, "Tak usah engkau
merasa heran. Dari sinar matamu tahulah aku isi hatimu dan
apa yang terkandung dalam pikiranmu!"
Diam-diam Siau-liong tertawa, pikirnya, "Ah, kiranya dia
hanya menduga-duga saja dari kerut wajahku."
Ia segera katupkan mata.
Saat itu masuklah kedua bocah penjaga gua tadi. Bukan
kepalang kejut melihat Siau-liong rubuh di tanah dengan jalan
darah tertutuk. Tetapi yang menggoncangkan hati kedua
bocah itu ialah mengapa pemuda itu dapat menyelundup
masuk ke dalam gua. Dari mana dan kapankah dia masuk.
Kedua bocah itu saling bertukar pandang lalu serempak
berlutut menghadap sipaderi sakti.
"Kemari!" seru paderi Kim-ting.
Kedua bocah itu ter-sipu2 bangun dan menghampiri. Mata
mereka menggeram ke arah Siau-liong. Begitu tiba di hadapan
paderi sakti, kedua bocah itu terus berseru: '"Murid harus
dihukum!" Serempak mereka berlutut.
Paderi, sakti itu mendengus dingin, "Kemanakah kalian
tadi?" Bocah baju putih memang kawannya baju biru lalu
menjawab tersekat, "Tak pergi kemana-mana, hanya terus
berada di pintu gua...."
865 "Kalau menjaga di mulut gua, mengapa tak tahu orang
masuk kemari?" bentak paderi sakti.
Bocah baju putih tersendat-sendat menjawab; "Murid....
murid...."
Tetapi anak itu tak dapat menemukan alasan yang tepat.
Maka sampai beberapa saat ia hanya dapat berkata 'murid....
murid.... ' saja.
"Apakah kalian pergi cari burung ke bawah karang?" seru
paderi sakti pula.
Tiba-tiba bocah baju biru menyelutuk, "Tadi paman Buta
datang kemari membohongi kami dengan sebuah batu
berkilau sehingga dia dapat menyelundup kemari!"
Paderi sakti itu menyebut Omitohud pelahan, ujarnya;
"Binatang, kalian harus menerima hukuman apa?"
Tanpa ragu2 lagi sibocah baju putih berseru, "Murid rela
menghadap tembok selama 10 hari agar dapat sungguh2
bertobat!"
Paderi sakti Kim-ting mengangguk pelahan, bertanya
kepada kacung baju biru; "Engkau?"
"Murid rela tiga hari tak makan!" sahut kacung itu.
Paderi sakti Kim-ting tersenyum, "Tetapi hari ini aku
memberi kelonggaran takkan menghukum kalian!"
Kedua bocah itu terkejut dan saling berpandangan dengan
wajah girang. Buru-buru mereka menundukkan kepala sampai
ke tanah selaku memberi hormat. Setelah itu mereka berdiri
dan menghaturkan terima kasih.
866 Kemudian paderi sakti Kim-ting menunjuk ke arah Siauliong


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan suruh kedua murid supaya menggeledah badan
pemuda itu. Kedua kacung itu segera melakukan perintah. Sekujur
badan Siau-liong habis digeledahnya. Dari badik yang terselip
dipinggang, pedang yang terpanggul dibahu dan bungkusan
pakaian yang terisi penyamaran Pendekar Laknat sampai pada
bungkusan kecil isi pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan semua
digeledah oleh kedua kacung itu.
Walaupun sedih dan geram, bingung dan marah, tetapi
karena jalan darahnya tertutuk, Siau-liong pun tak dapat
berbuat suatu apa kecuali hanya deliki mata memandang
perbuatan kedua bocah kacung itu.
Semua benda hasil geledahannya ditaruh dihadapan paderi
sakti Kim-ting; "Suhu. semua barang yang terdapat pada
tubuhnya telah kami ambil semua!"
Paderi sakti Kim-ting merenung sejenak lalu suruh kedua
bocah itu mengangkut Siau-liong kegua Hang Gan-li.
"Apakah suhu hendak membakarnya?" seru sikacung baju
putih terkejut.
"Jangan banyak tanya!" bentak paderi itu.
Bocah itu buru-buru mengiakan. Lalu bersama kawannya
sibaju biru mengangkut Siau-liong menyusuri dinding gunung
yang membelok kesebelah kanan.
Diam-diam Siau-liong mengeluh, "Ah, kali ini tentu tamat
riwayatku!"
867 Ia memandang dengan murka sekali kepada paderi Kimting
tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja. Siau-liong
benci sekali kepada paderi yang pura-pura alim itu. Jika ia
sampai berhasil lolos, tentu akan diajaknya paderi itu
mengadu jiwa. Tetapi apa daya. Pada saat itu ia tak dapat
berkutik kecuali hanya deliki mata penuh dendam dan
kebencian kepada paderi itu.
Cepat sekali kedua kacung itu telah tiba dimuka sebuah
mulut gua yang gelap gulita.
"Kita lemparkan saja ke dalam! Toh dia sudah tak bakal
hidup lagi!" seru sikacung baju putih.
Kacung baju biru setuju. Setelah menggoncang-goncang
tubuh Siau-liong maju mundur beberapa kali, barulab kedua
bocah itu lemparkan Siau-liong ke dalam gua. "Bum"....
Kedua bocah itu tertawa ngikik lalu mendorong sebuah
batu karang yang berada di tepi gua, menutup mulut gua. Gua
makin gelap pekat sehingga orang tentu tak dapat melihat jari
jemarinya sendiri.
Tetapi lemparan kedua bocah itu tak sampai melukai tubuh
Siau-liong. Walaupun tubuh tak berkutik tetapi kesadaran
pikirannya masih hidup. Berkat ilmu tenaga dalamnya yang
makin sempurna, tak berapa lama ia sudah biasa akan
keadaan gua. Diperhatikannya sekeliling tempat itu. Gua
hanya kira-kira dua tombak luasnya. tapi dindingnya terdiri
dari batu-batu yang runcing.... Sepintas pandang amat
menyeramkan sekali! '
Siau-liong benar-benar kalap. Perasaannya hampir seperti
orang gila. Dia bendak berteriak tetapi tak dapat bersuara. Dia
bendak menghancurkan gua itu tetapi tak dapat berkutik. Ia
hendak lolos dan menghajar paderi Kim-ting itu tetapi
868 mengangkat tangan saja ia tak mampu. Hatinya panas seperti
dibakar. Entah berapa lama, nafsu kemarahannya yang menyalanyala
didadanya itu makin reda. Sebagai gantinya saat itu ia
merasa berduka sekali.
Gurunya, Kongsun Sin-tho yang tertawan musuh, ibunya
yang berada diseberang laut, Tiau Bok-kun, Mawar Putih....
bayangan mereka satu demi satu mulai melintas kealam
pikirannya. Peristiwa2 yang lampau mulai membayang dalam
benaknya. Teringat akan pertapa-sakti-mata-satu, yang jelas menjadi
suhu dari Randa Bu-san atau pewaris angkatan terdahulu dari
ilmu sakti Ya-li-sin-kang yang amat diindahkan orang
persilatan, telah memberi bantuan besar kepadanya. Karena
pertapa sakti itu memikat perhatian kedua kacung untuk main
terka, sehingga ia mendapat kesempatan untuk menyeludup
masuk ke dalam gua. Adakah pertapa sakti-mata-satu itu
mempunyai maksud sengaja hendak mencelakai dirinya"
Lalu ia teringat akan Ceng Hi totiang. Dialah yang
merupakan satu2nya tokoh yang tepat memimpin berisan
orang persilatan. Ceng Hi begitu menghormat sekali kepada
paderi sakti Kim-ting. Adakah Ceng Hi totiang itu benar-benar
tak tahu bagaimana pribadi paderi kurus dari puncak Kim-ting
yang begitu dingin dan tak kenal perikemanusiaan"
Bukankah sia2 belaka usaha Ceng Hi totiang untuk
bersusah payah merendah diri meminta bantuan paderi sinting
dari Kim-ting itu"
Makin merenung, Siau-liong makin gelisah dan tak dapat
menemukan pemecahannya.
869 Sekonyong-konyong ia merasa seperti dilanda gelombang
hawa panas. Bermula hanya ringan tetapi makin lama makin
dahsyat. Ketika memperhatikan keadaan tempat itu, kejutnya
bukan kapalang.
Ternyata hawa panas itu berasal dari dinding gua yang
mulai berbongkah-bongkah mengeluarkan asap putih. Asap itu
amat menusuk hidung karena berbau belirang.
Hawa panas makin lama makin keras. Keempat dinding gua
seakan akan membara. Asap pun makin tebal. Betapapun
tajam mata Siau-liong, namun akhirnya ia tak mampu melihat
keadaan di sekelilingnya lagi.
Kecuali panas, pun asap itu amat menyesakkan napas
sehingga ia harus ngangakan mulut lebar-lebar untuk
melakukan pernapasan.
Siau-liong hampir putus asa. Ia merasa tentu takkan hidup
lagi. Tetapi naluri sebagai manusia yang tak menyerah pada
ancaman maut, membangkit semangat hidupnya. Cepat ia
kerahkan semangat, pusatkan seluruh pikiran. Menekan hawa
darahnya yang bergolak. Ia hendak gunakan ilmu bernapas
dari Thian-kong-sin-kang untuk membuka jalan darahnya yang
tertutuk. Tetapi sayang tindakannya itu terlambat. Jalan darahnya
yang tertutuk itu seolah-olah ditutup oleh empat batang paku
besar. Betapa keras tenaga dalam yang dipancarkan dari
perutnya, namun tetap tak mampu menjebolkan paku itu.
Ia hentikan usahanya. Napasnya terengah-engah, keringat
membanjir turun.
870 Saat itu asap mulai menipis. Demikian pula dengan hawa
panas, pun mulai berkurang. Akhirnya asap dan hawa itu
lenyap dan gua pun kembali seperti sedia kala.
Diam-diam ia mengeluh. Sejam lagi asap dan hawa belirang
itu berhamburan, ia tentu mati.
Pikirannya melayang pada Ceng Hi totiang dan rombongan
tokoh2 persilatan. Entah bagaimana keadaan mereka saat itu!
Tetapi apabila terjadi pertempuran, akibatnya mudah diduga.
Ceng Hi totiang dan rombongannya pasti sudah dihancurkan
oleh kedua suami isteri Iblis-penakluk-dunia.
Dalam keadaan tak berdaya seperti saat itu, terpaksalah
Siau-liong kembali pada keputusannya tadi. Ia harus
merenungkan ini pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang lagi.
Kitab pusaka itu benar-benar menyerupai laut yang lidak dapat
diukur dalamnya. Begitu membenamkan pikiran menjelajah isi
kitab Thian-kong-sin-kang, iapun segera lelap dari alam
kesunyian yang hampa dari Ke-akuan.
Ia berusaha untuk merenungkan arti dan kegunaan dari
intisari pelajaran Thian-kong sin-kang antara lain mengenai
apa yang disebut Semangat, hati, keinginan, pikiran, gerakan,
ketenangan, kehampaan dan isi.
Entah berapa lama ia tenggelam dalam laut pencarian
rahasia kitab Thian-kong-sin-kang itu, tiba-tiba gua mulai
terasa dingin. Bermula masih dapat ditahan tetapi makin lama
makin menggigilkan tubuh. Ia rasakan'seperti dibenam dalam
sungai es, sehingga darahnya serasa membeku.
Tetapi saat itu ia masih bergulat untuk memeras otak
memecahkan isi kitab Thian-kong-sin-kang. Betapa hebat
hawa dingin itu menyerang, ia masih dapat bertahan.
871 Kira2 sepeminum teh lamanya, hawa dingin itu pun
mereda. Tetapi sebagai gantinya, memancar pulalah hawa
panas yang tadi.
Dari dingin mendadak berganti panas, walau pun orang
yang memiliki tubuh baja sekalipun, tentu sukar bertahan.
Apalagi seperti Siau-liong yang jalan darahnya masih tertutuk.
Dia benar-benar seperti sam-sing atau ayam sesaji
sembahyangan. Tetapi dalam penderitaan yang hebat itu, Siau-liong
menemukan sesuatu yang belum pernah dimilikinya. Suatu
tenaga sekokoh baja yang tak tergoyahkan. Walaupun
jasmaniah ia menderita siksaan yang sedemikian hebat, tetapi
dalam rohaniah ia telah mendapat suatu rasa kesadaran yang
tenang. Ia tetap terlelap dalam lautan ilmu sakti yang sukar
dipelajari. Dalam pada itu perobahan hawa dalam gua tetap
berlangsung sampai berulang kali. Dingin mendadak berobah
panas. Panas tiba-tiba berganti dingin.
Keadaan itu telah berlangsung sejam lamanya, Siau-liong
seperti digodog dalam kawah gunung berapi lalu dilemparkan
ke dalam sungai es....
---ooo0dw0ooo---
Jilid 16 Katak berkaki tiga
872 Pada permulaan, rasa dingin panas yang saling bergantian
secara mendadak itu, benar-benar menyiksa Siau-liong. Tetapi
lama kelamaan ia menjadi kebal. Dan anehnya, rasa sakit
dalam tubuhnya pun lenyap.
Pelahan-lahan pikirannya pun tenang kembali. Ia merasa
dalam waktu sejam itu telah mengalami perobahan besar
sekali. Beberapa bagian dalam kitab pusaka Thian-kong-sinkang
yang sukar dimengerti, saat itu sebagian besar sudah
dapat difahami artinya.
Pelajaran yang mengemukakan tentang sifat2 Semangat,
Mati, Keinginan dan Pikiran yang tak dapat diselaminya selama
ini, saat itu satu demi satu sudah dapat merabah intisarinya.
Diam-diam Siau-liong terkejut girang. Tak tahu ia sampai
berapa jauhkah ia dapat mengerti isi kitab pusaka itu. Tetapi
yang jelas, ia merasa kepandaiannya amat dangkal sekali,
sebelum memahami isi kitab pusaka itu.
Diam-diam ia geli atas tingkah laku paderi tua dari puncak
Kim-ting itu. Paderi itu hendak menghukumnya mati. Tetapi
tanpa disadari, hukuman pembakaran api dan membenamkan
dalam es itu, telah mendorong pikirannya untuk memecahkan
intisari dari bagian2 pelajaran yang sukar dari kitab pusaka
Thian-kong-pit-kip.
Tengah ia terbenam dalam renungan tiba-tiba ia dikejutkan
oleh bunyi mendesis-desis yang mendatangi ke arah
tempatnya. Buru-buru ia curahkan perhatian untuk
mendengarkan bunyi itu.
Ia tersirap kaget ketika melihat di atas dinding gua sebelah
kanan, tiba-tiba muncul seekor ular besar. Kepala ular itu
tumbuh jambul merah dan tubuhnya bergariskan kembang2
warna hitam biru. Jelas tentu seekor ular ganas.
873 Rupanya ular itu sudah mencium bau tempat beradanya
Siau-liong. Maka pelahan-lahan ia merayap menghampiri.
Sudah tentu Siau-liong kaget setengah mati. Saat itu jalan
darahnya sedang tertutuk, tak dapat berkutik. Bukankah ia
akan mati digigit ular berbisa itu"
Tetapi pada jarak masih terpisah dua meter dari tempat
Siau-liong, ular itu pun berhenti. Binatang itu gerak-gerakkan
kepala dan mengebas-ebas ekor seraya berbunyi mendesisdesis.
Dalam menghadapi suasana yang seram akan datangnya
maut, Siau-liong sudah kehabisan daya.
Satu-satunya jalan ialah mengerahkan seluruh tenaga dan
serentak ia terus berguling-guling ke samping. Dua kali ia
bergulingan dan telah tiba di bawah dinding gua sebelah kiri.
Tetapi alangkah kejutnya ketika memandang ke dalam,
ternyata ular itu masih merayap mengikutinya.
Kepalanya yang diangkat sampai setengah meter ke atas,
memancarkan sinar mata yang berapi api.
Karena gugup, Siau-liong menggembor keras dan
menyambar kepala ular itu. Terus dilontar ke muka. "Bluk"....
lontaran Siau-liong bukan olah2 kuatnya sehingga kepala ular
itu pecah berhamburan.
Setelah tenangkan hati, cepat ia berbangkit dan hampir
saja ia berteriak kaget. Karena dicengkeram oleh rasa tegang,
ia sampai lupa bahwa seharusnya ia tak dapat membunuh ular
itu karena jalan darahnya masih tertutuk. Tetapi ternyata ia
874 dapat bergerak bebas. Lalu bilakah jalan darahnya yang
tertutuk itu terbuka"
Ah, segera ia teringat apa yang terjadi. Tentulah ketika ia
kerahkan tenaga dan berguling-guling diri di tanah tadi, jalan
darahnya itu terbuka sendiri.
Bukan mainlah girangnya saat itu. Cepat2 ia duduk
menyalurkan napas. Dirasakannya darah mengalir dengan
lancar, tenaga dalam pun mulai bergolak. Hawa panas dalam
perut, mengalir keseluruh tubuh.
Beberapa saat kemudian iapun bangun. Dipandangnya
keadaan dalam gua itu dengan seksama. Tampak pintu gua
yang tertutup, terdapat beberapa celah2 yang tidak rata
bentuknya. Segera ia kerahkan tenaga dan coba2 untuk
mendorong pintu itu. Ah, berat benar. Hampir ia merasa tak
kuat lagi mendorongnya. Tetapi karena gugup, ia terpaksa
mencobanya lagi.
Krek.... ternyata pintu itu mulai bergerak. Siau-liong girang
sekali dan segera tambahkan tenaganya untuk mendorong.
Krek, krek.... pintu batu itupun terbuka sampai setengah
meter lebarnya.
Dengan bersuit panjang, ia cepat loncat keluar. Tetapi
sebelum sempat melihat keadaan di sekeliling, tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, " Omitohud!


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dorongan itu paling tidak tentu beribu-ribu kati tenaganya,
Rupanya bukannya mati tetapi engkau malah mendapat rejeki
besar!" Siau-liong mengangkat muka dan melihat paderi Kim-ling
tegak berdiri setombak dari gua situ. Saat itu barulah Siauliong
dapat melihat jelas roman muka paderi itu. Seorang
paderi tua yang bertubuh tinggi kurus. Jubahnya penuh
875 dengan tambalan, sepatu rumput. Sepasang matanya besinarsinar
tajam sekali. Tetapi tak dapat diketahui bagaimana
sikapnya saat itu. Girangkah atau marah"
Siau-liong mendengus dingin. serunya, "Paderi tua,
mungkin engkau tak pernah menyangkanya...."
Ia tampil dua langkah dan membentak, "Aku tak punya
dendam permusuhan suatu apa kepadamu. Mengapa engkau
terus menerus mendesak hendak membunuh aku?"
"Menyelundup ke dalam gua dan hendak mengambil katak
berkaki tiga. Apakah dosa itu tak layak dihukum mati?"
Siau-liong tertawa hatinya. Kemarahannyapun reda, "Sekali
pun belum lama berkelana dalam dunia persilatan, tetapi
seumur hidup aku belum pernah mencuri milik orang...."
Ia berhenti sejenak, berkata pula, "Kedatanganku kemari
memang benar-benar hendak meminta katak mustika itu.
Tentu soal menyelundup ke dalam gua, adalah karena kedua
murid lo-siansu tak mau memberitahu kepada lo-siansu!"
Paderi Kim Ting tertawa, "Katak kaki-tiga itu merupakan
binatang ajaib penunggu gua. Dengan tindakanmu yang liar
dan kasar itu bagaimana engkau hendak memperoleh katak
itu?" Siau-liong berseru lantang, "Kedua suami isteri Iblispenakluk-
dunia dan Dewi Neraka telah mengganas dunia
persilatan karena ingin menguasainya. Sekalian tokoh-tokoh
gagah dalam dunia tiada yang mampu menandingi dan
terpaksa menyerah. Mereka kini berkumpul di puncak Kim
Ting sini. Saat ini merupakan detik2 yang menentukan mati
hidupnya dunia persilatan. Kedatanganku untuk meminta
katak mustika itu sama sekali bukan untuk kepentinganku
876 peribadi melainkan untuk menyelamatkan nasib dunia
persilatan...."
Wajah Siau-liong berobah tegang dan nada suaranya pun
makin rawan. Sejenak menghela napas ia berkata pula,
"Apabila kedua suami isteri iblis itu benar-benar dapat
menguasai dunia persilatan, mungkin lo-siansu pun tak dapat
duduk dengan tenang dalam gua ini!"
Paderi Kim Ting tertawa, "Selama ini aku tak mau ikut
campur pergolakan dunia persilatan. Dan kali inipun tak
terkecuali."
"Aku bukan hendak memohon lo-siansu ikut campur urasan
dunia persilatan tetapi hanya hendak mohon katak berkakitiga
itu...." cepat Siau-liong menukas.
"Itupun sukar.... ," paderi Kim Ting berhenti lalu dengan
mata berkilat-kilat ia berkata, "walaupun hawa dingin panas
dalam gua itu tadi dapat membunuhmu tetapi untuk keluar
dari gua ini, bukanlah suatu hal yang mudah bagimu. Maka
tak perlu engkau hendak minta katak mustika itu!"
Siau-liong terbeliak kaget. Memang apa yang dikatakan
paderi itu benar. Menilik ilmu tutukan jalan darah dari paderi
itu saja, tahulah ia bahwa paderi itu memang sudah mencapai
tataran tinggi kepandaiannya.
Jika paderi itu benar hendak membunuhnya, tentu sukar
baginya untuk lolos. Dalam keadaan begitu percumalah ia
hendak minta katak mustika segala macam....!
"Maksud lo-siansu hendak menghukum mati aku?" katanya
beberapa jenak kemudian.
877 Paderi kurus itu tersenyum, "Hal itu tergantung bagaimana
kepandaianmu nanti!"
Siau-liong marah sekali. Ia benar-benar tak dapat
mengendalikan diri dan membentak dingin, "Semula kukira
engkau seorang paderi luhur. Oleh karena itu aku selalu
bersabar untuk mengalah. Hendaknya engkau harus
mengetahui. bahwa sekali pun umurku masih begini muda
tetapi aku adalah pewaris dari ilmu sakti Thian-kong-sinkang."
Paderi kurus itu teriawa keras, "Ilmuku sakti Ih-kah-sinkang,
tiada lawannya di dunia. Satu-satunya yang mampu
mengimbangi ilmuku itu hanyalah Thian-kong-sin-kang. Tetapi
itu pun harus dilihat sampai dimana tingkat pelajaran orang
yang mempunyai Thian-kong-sin-kang itu!"
Sejenak paderi itu memandang Siau-liong tajam-tajam lalu
tiba-tiba membentak, "Hayo, bertempur!"
Siau-liong mendengus dingin terus hendak menghantam
tetapi tiba-tiba benaknya terlintas sesuatu dan menurunkan
tangannya lagi.
"Hm, takut kepada paderi tua ini?" ejek paderi Kim Ting
Siau-liong tertawa dingin, "Seumur hidup aku tak pernah
mengenal kata2 takut! Hanya ingin sekali lagi kujelaskan,
bahwa maksudku hendak meminta katak mustika itu bukanlah
untuk kepentingan diriku peribadi melainkan untuk menolong
seluruh tokoh persilatan yang sedang terkurung di puncak Kim
Ting. Keempat tokoh pewaris dari empat macam ilmu saktipun
telah ditawan oleh Iblis-penakluk-dunia, maka akupun
sesungguhnya tak mempunyai selera bertempur dengan
engkau!" 878 Paderi itu deliki mata dan tertawa, "Budak! Kecerdasanmu
sebagai seorang setan cilik memang boleh juga" -ia berhenti
sejenak lalu: "Dengan cara bagaimanakah supaya dapat
kubangkitkan seleramu bertempur dengan aku?"
Mata Siau-liong sejenak berkeliaran lalu berkata, "Jika aku
sampai kalah, terserah saja bagaimana lo-siansu hendak
menghukum diriku. Tetapi bila aku beruntung menang...."
Paderi Kim Ting cepat tertawa menukas, "Asal engkau
mampu menangkan aku, katak berkaki-tiga itu pasti akan
kuberikan kepadamu!"
"Apakah lo-siansu takkan menyesal?"
Siau-liong berdebar-debar menunggu kesempatan itu.
Memang ia tak mempunyai harapan besar untuk
memenangkan pertempuran itu namun iapun tak lekas putus
asa untuk menyerah. Mudah-mudahan nasib akan membawa
perobahan baik kepadanya.
Paderi itu membentak, "Huh, engkau kira aku seorang yang
tak dapat dipercaya?"
Siau-liong terkejut. Dilihatnya sepasang mata paderi kurus
itu berapi-api. Wajahnya tidak menampil kemarahan tetapi
kewibawaan yang menonjol, sehingga Siau-liong merasa kecil
diri. Sekalipun ia tak dapat memastikan dapat mengalahkan
paderi itu. tetapi karena keadaan sudah mendesak, maka
bagaimanapun juga ia harus mencoba dengan sekuat
tenaganya. Apabila ia beruntung dapat menang, ia akan
memperoleh katak mustika yang amat diperlukan untuk
pembuatan pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan. Pil yang akan
menolong para tokoh2 dari kebiusan.
879 Dengan tujuan itu, longgarlah hati Siau-liong. Sekalipun ia
mati dalam pertempuran dengan paderi Kim Ting itu, tak
apalah. Ia serahkan saja pada nasib.
Dengan kebulatan tekad yang pasrah itu, ia segera
salurkan tenaga dalam bersiap-siap.
Wajah paderi sakti dari Kim Ting itu tetap tenang sekali.
Kakinya pun bebas tak mengunjukkan persiapan apa2. Tetapi
sekali pun begitu, paderi itu memancarkan perbawa yang
menggetarkan hati orang.
Setelah mengempos semangat, berserulah Siau-liong
dengan nada serius, "Silahkan lo-siansu mulai!"
Paderi sakti itu tersenyum, ujarnyy, "Berkelahi dengan
engkau masakan aku masih menginginkan menyerang lebih
dulu?" Siau-liong menyadari bahwa paderi itu memang sakti
sehingga tak memandang mata kepadanya. Diam-diam ia
girang karena paderi itu menghendaki supaya diserang lebih
dulu. "Kalau begitu maafkan aku berlaku kurang hormat!"
serunya tertawa lalu balikkan tangan kiri dan pelahan-lahan
diarahkan kepada paderi itu. Aneh sekali gerakan Siau-liong
itu. Seperti menghantam tetapi pun seperti menutuk. Seperti
mencengkeram tetapi pun seperti menampar. Suatu gerakan
tangan yang memungkinkan seribu akibat.
"Budak! Gerakanmu itu hanya gertakan kosong, masakan
engkau mampu mengelabuhi aku!" seru paderi Kim Ting
tertawa. Ia tak mau bergerak sama sekali dari tempatnya dan
seolah-olah tak mengacuhkan tangan Siau-liong.
880 Siau-liong terkejut. Ia heran mengapa lawan tahu gerak
serangannya itu kosong. Tetapi secepat kilat ia terus gerakkan
tangan kanan dengan jurus Hun-hoa-hud-liu untuk
mencengkeram siku lengan kiri dari paderi itu.
Namun paderi itu tetap tertawa lepas dan tak mau bergerak
dari tempatnya berdiri.
Diam-diam Siau-liong girang. Ia tambahi tenaga dalam
pada tangan kanan untuk mencengkeram lengan sipaderi.
Pikirnya, "Karena engkau tak mau menghindar dan
menangkis, rupanya Tuhan memang menghendaki aku
menang!" Tetapi alangkah kejutnya ketika ia merasa tentu dapat
mencengkeram tangan orang, tiba-tiba entah bagaimana. ia
mencengkeram angin kosong. Jangankan siku lengan, bahkan
ujung baju paderi itupun tak mampu dijamahnya.
Dan ketika memandang kemuka, dilihatnya paderi kurus itu
masih tegak di tempatnya. Tampaknya ia tak berkisar sama
sekali. Kejut Siau-liong bukan kepalang, pikirnya, "Adakah paderi
ini menggunakan ilmu setan?"
Tengah ia terlongong, tiba-tiba paderi sakti itu tertawa,
"Menyerang dengan dahsyat, termasuk ilmu tingkat
rendah....!"
Berhenti sejenak ia berkata pula, "Budak, adakah begitu
jelek engkau mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang itu?"
Siau-liong tersipu malu. Diam-diam ia makin terkejut dan
menyadari bahwa yang dihadapinya itu benar-benar seorang
881 paderi yang berilmu tinggi. Jelas pertempuran itu nanti sia2
belaka. Tetapi ucapan paderi itu menyadarkan Siau-liong akan
beberapa kenyataan. Bahwa selama digodok dalam gua
dengan hawa dingin panas. ia berhasil memecahkan beberapa
pelajaran sulit dalam kitab Thian-kong-pit-kip.
Walaupun ilmu tersebut kebanyakan tergolong pada ilmu
Nafas dan tampaknya tiada hubungannya dengan ilmu
pukulan dan tutukan, tetapi otak Siau-liong yang cerdas
segera dapat menyadari.
Thian-kong-sin-kang adalah suatu ilmu ajaran yang
mengutamakan Sin (semangat). Bahwa selama dalam gua tadi
dengan susah payah ia berhasil memahami pelajaran2 tentang
Semangat, Hati, Keinginan, Pikiran, Gerakan, Ketenangan,
Kosong dan Isi. Mengapa saat itu ia tak menggunakan apa
yang diketahui itu" Siapa tahu kemungkinan hal itu
merupakan inti dari pelajaran Thian-kong-sin-kang.
Maka tersenyumlah ia berkata, "Harap lo-siansu jangan
menertawakan, berhati-hatilah!"
Pada saat itu ia tetap bergerak dalam jurus Hun-hua-hudliu
untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri paderi Kim
Ting. Tiba-tiba paderi Kim Ting tertawa gelak2, "Ho-la! Thiankong-
sin-kang memang benar-benar bukan ilmu picisan!"
Siau-liong terkejut sekali. Baru pikirannya merencanakan
untuk mengembangkan Semangat, Hati, Keinginan, Pikiran
dan lain-lain dalam jurus Hun-hua-hud-liu, tahu2 lengan kanan
paderi itu telah dapat dicengkeramnya.
882 Ia benar-benar tak menyadari bahwa lupa kalau sedang
bergerak dalam jurus itu. Karena tercengang kejut ia sampai
lupa untuk menggunakan tenaga menggenggam lengan
orang. Paderi Kim Ting tertawa. Lengan kirinya tiba-tiba
memancar tenaga dalam sehingga separuh tubuh Siau-liong
terasa kesemutan dan tangan kanannya terlempar gemetar.
Tangannya itu serasa diborgol dengan rantai. Kiranya paderi
King Ting balas mencengkeram pergelangan tangannya.
"Ho, dari kalah jadi menang!" paderi itu tertawa keras.
Siau-liong terkejut. Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke
arah pergelangan tangan. Tetapi walau pun kelima jari paderi
itu amat kurus sekali, namun kuatnya tak kalah dengan baja.
Karena Siau-liong menggempur dengan tenaga dalam, tenaga
dalam itu terhalau balik dan hampir saja menghancurkan isi
dadanya sendiri.
"Habislah riwayatku sekarang!" diam-diam Siau-liong
menghela napas.
Tiba-tiba paderi itu membentaknya, "Goblok! Apakah
engkau tak tahu apa yang disebut Menyerang untuk menindas
serangan" Adakah ilmu dasar itu tak dapat engkau gunakan?"
Serentak Siau-liong seperti orang yang dibangunkan dari
mimpi. Ia mengeluh dalam hati mengapa tak ingat akan cara
itu. Maka cepat ia rentangkan kelima jari kiri dan menutuk
dada lawan. Gerakan itu berlangsung serempak dengan
Angan-angannya. Benar-benar suatu perpaduan antara
keinginan dan Gerakan tangan.
Karena terdesak, paderi Kim Ting terpaksa miringkan
tubuh, Tetapi secepat itu kelima jari Siau-liong pun ditarik
883 mundur lalu dirobah untuk memapas pergelangan tangan
sipaderi. Paderi Kim Ting tertawa gelak2. Ia lepaskan tangan kirinya
lalu mundur tiga langkah, serunya, "Bahan yang boleh
dijadikan....!"
Siau-liong tertegun.
Ia merenungkan pertempurannya lawan paderi Kim Ting
itu. Begitu bergebrak sudah dikuasai paderi itu. Bila paderi itu
tak memberi petunjuk, mungkin ia tentu sudah kalah.


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba paderi itu berkata pula, "Walaupun tak pernah
berkelana di dunia persilatan tetapi kupercaya ilmuku Ih-kasin-
kang itu pasti tak ada orang yang mampu bertahan sampai
tiga jurus. Menilik usiamu yang masih muda tetapi mampu
bertanding seri dengan aku, engkau benar tak mengecewakan
dirimu sebagai pewaris Thian-kong-sin-kang Sejenak
mengicup mata, paderi itu melanjutkan pula, "Karena belum
tahu menang atau kalah, kali ini kulanggar peraturan untuk
memberi ampun kepadamu. Tetapi jangan harap engkau
mampu mendapat katak mustika itu....! lekas keluar dari gua
ini!" Siau-liong malah maju selangkah lalu berlutut di hadapan
paderi itu, ?"Sungguh mataku tak dapat melihat gunung
Thaysan, Bila perbuatanku tadi ada yang kurang ajar, harap
losiansu sudi maafkan...."
Saat itu ia telah menyadari tujuan paderi Kim Ting yang
baik. Sambil memaki dirinya yang tolol, ia melanjutkan
ucapannya menghaturkan terima kasihnya, "Atas petunjuk
yang lo-cianpwe berikan, wanpwe.... ,"
884 "Engkau keluar sendiri atau harus kuhalaumu" " tukas
paderi sakti itu dengan wajah beku.
Siau-liong tertegun, sahutnya, " Biarlah aku pergi sendiri!
Tetapi...." "ia pelahan-lahan berbangkit, serunya, "Barang
bekalku yang diambil oleh kedua sian-tong tadi, harap lo
cianpwe suka mengembalikan!"
"Masakan aku sudi mengambil barangmu!" bentak paderi
itu dengan marah seraya ayunkan tangannya.
Saat itu Siau-liong sudah tak punya prasangka jelek kepada
paderi Kim Ting. Dan pukulan paderi itu sama sekali tak
mengeluarkan suara. Pada saat Siau-liong terkejut, tubuhnya
sudah dilanda oleh gelombang tenaga dahsyat. Untunglah
tenaga itu amat lunak sehingga tak melukai tubuh Siau-liong.
sekalipun begitu Siau-liong terpental sampai lima enam
tombak jauhnya....
Ketika ia berdiri tegak barulah menyadari bahwa dirinya
sudah berada di luar gua.
Kedua bocah baju biru dan putih, melesat keluar gua.
Dengan pandang dingin mereka menatap Siau-liong sejenak
lalu menekan tepi pintu gua. Terdengar bunyi berderak-derak
dan dari kedua tepi, meluncurlah sekeping pintu batu,
menutup gua rapat2.
Siau-liong menghela napas panjang. Ia tegak terlongonglongong.
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya
lembut, "Siau-liong! Siau...."
Siau-liong terkejut dan berpaling. Ketika memandang
seksama, kejutnya bukan kepalang. Tampak si dara Song Ling
tegak di sampingnya sambil menatap dengan pandang
885 bertanya. Sedang Kakek Mata-satu masih duduk dua tombak
jauhnya dari pintu gua, tersenyum-senyum tak berkata apa2.
Bertanya Siau-liong gopoh, "Nona Song, bagaimana dengan
Ceng Hi totiang dan rombongannya. Saat ini...."
Song Ling menunjuk ke sebelah jauh, "Mereka berada
disana!" Sambil memandang ke arah yang ditunjuk si dara, Siauliong
bertanya pula, "Apakah mereka tak bertempur lawan
kedua suami isteri Iblis-penakluk-dunia?"
Song Ling gelengkan kepala, "Agaknya tidak...." "
kemudian dara itu bertanya, "Bagaimana dengan katak
berkaki-tiga" Apakah sudah engkau peroleh?"
Siau-liong menghela napas, "Ah, paderi itu memang
berwatak aneh sekali, sukar dirabah hatinya...."
Dalam pada berkata-kata itu, ia sudah tiba dihadapan si
Kakek Mata-satu. Ia lalu menuturkan semua pengalaman yang
dialaminya. Song Ling kerutkan batang hidung, "Kalau begitu, paderi itu
memang tak dapat diajak berunding dengan baik2. Dia tak
mau memberikan katak mustika itu sih tak apa. Tetapi
mengapa masih menahan barang2 orang dan menyiksa orang
begitu rupa....!"
Kemudian dengan pandang menggeram, dara itu berpaling
ke arah kakek gurunya, "Bukankah sucou mengatakan sering
mengunjungi dan bermain catur dengannya" Mengapa sucou
tak menemuinya dan mendampratnya!"
886 Siau-liong tertawa, "Tetapi paderi sakti itu memang tak
kecewa sebagai seorang paderi yang luhur. Walaupun aku
disiksa setengah hari dijebluskan dalam gua, tetapi aku
memperoleh manfaat yang tak sedikit!"
"Apakah dia memberi petunjuk ilmu silat kepadamu?" tanya
Kakek Mata-satu.
Siau-liong mengangguk, "Boleh dianggap begitulah."
"Apakah sekarang ia merasa akan mampu menghadapi
keroyokan keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu?"
"Ini.... ini aku tak berani memastikan. Dan lagi...." Siauliong
banting kaki menghela napas, "Dan lagi, guruku dan lainlain
tokoh masih dikuasai kedua suami isteri iblis itu. bahkan
obat-obatan dan resep2 berharga pemberian guruku juga
turut hilang.Sekalipun aku dapat melawan keempat pewaris
ilmu sakti mitu, tetapi apa gunanya" Apakah suruh aku
menjadi seorang murid yang mencelakai guru"
Habis berkata hidungnyapun lembab, beberapa air mata
menitik turun. Song Lingpun dengan cemas memegang ujung baju kakek
gurunya, "Cousu-ya, harap engkau lekas mencari daya!
Apakah engkau benar-benar tak memikirkan nasib ibuku?"
Kakek Mata-satu itu mengelus-elus bahu si dara seraya
menghiburnya, "Nak, jangan ributlah...."
Kemudian memandang ke langit, kakek mata satu itu
melanjutkan, "Sekarang hari masih pagi. Walaupun kedua iblis
itu hendak mengadakan rencana apa saja, tetapi tentu akan
menunggu sampai tengah malam. Baiklah kita tunggu saja
bagaimana perkembangannya nanti. Kurasa paderi kurus itu
887 tentu tak berhenti sampai disini. Mungkin...." " ia mengeluselus
jenggotnya yang panjang dan berdiam diri.
Sepasang mata dara itu berkaca-kaca dan sandarkan
kepalanya pada bahu kakek gurunya.
Saat itu matahari sudah condong ke barat Siau-liong
mempertajam pendengarannya. Dari atas puncak Kim Ting,
terdengar suara batu berdebak-debuk berjatuhan tetapi tak
terdengar suara orahg.
Beberapa saat kemudian, bertanialah Siau-liong dengan
heran, "Sedang sibuk apakah Ceng Hi totiang dan
rombongannya itu?"
"Sedang sibuk membuat panggung yang akan
dipergunaKan Iblis-penakluk-dunia untuk mengumumkan
pengangkatan dirinya sebagai pemimpin dunia persiatan!"
sahut Kakek Mata-satu.
Siau-liong terkejut, "Apakah Ceng Hi totiang takut mati
sehingga rela diperbudak kedua iblis itu?"
Kakek Mata-satu tertawa, "Justeru kebalikannya! Tindakan
Ceng Hi totiang itu hanya sebagai siasat untuk menunggu bala
bantuan...." " kemudian menatap dengan pandang rawan ke
arah Siau-liong, Kakek Mata-satu berkata pula, "Mereka telah
melihat engkau masuk ke dalam gua maka seluruh harapan
mereka tertumpah padamu. Yang mereka harapkan sebagai
bala bantuan tak lain ialah engkau dapat mengajak paderi Kim
Ting itu keluar dari guanya!"
Siau-liong menghela napas, "Kalau begitu yang mereka
harapkan, akan sia2 saja harapan mereka! Sedang katak
berkaki-tiga saja dia tak mau memberikan apalagi disuruh
keluar membantu!"
888 Kakek Mata satu tetap tertawa, "Walaupun dengan cara
menyiksa dirimu itu memang agak keterlaluan tetapi hal itu
dapat membuatmu dalam waktu yang singkat, mengetahui
pelajaran2 yang sukar dalam kitab Thian-kong-pit-kip.
Bukankah itu berarti dia sudah memberi bantuan?"
Siau liong terbeliak kaget. Diam-diam ia mengakui ucapan
kakek buta itu memang tepat. Dipandangnya kakek itu tanpa
berkata apa2. Tetapi dalam hati, penuhlah tanda tanya yang
beraneka macamnya.
Tiba-tiba terdengar suara berderak-derak. Siau-liong
terkejut dan buru-buru memperhatikan ke arah gua. Pintu gua
yang tadi menutup rapat, tiba-tiba berderak-derak terbuka
pelahan-lahan. "Kutahu paderi kurus itu bukan manusia yang temaha pada
harta orang .... (tak terbaca)...." Kakek Mata satu tersenyum
Kedua bocah baju biru dan putih membawa beberapa
barang dan dengan tersenyum simpul melangkah ke tempat
Kakek Mata-satu.
Bukan kepalang kejut Siau-liong saat itu. Yang dibawa
kedua bocah itu bukan lain adalah barang2 miliknya ialah alat
penyamaran sebagai Pendekar Laknat. Jelas kedua bocah itu
telah membuka buntalannya dan mengeluarkan topeng
berwajah Pendekar Laknat dengan rambut palsu, sepasang
alis tebal dan sebuah hidung merah. Topeng berwajah
Pendekar Laknat yang seram itu dibawa oleh sibocah baju
biru. Begitu tiba di depan Siau-liong, kedua bocah itu lalu
lemparkan benda itu sepotong demi sepotong, serunya,
"Cobalah cocokkan, apakah ada yang kurang?"
889 Sambil membawa topeng Pendekar Laknat, bertanyalah
bocah baju biru, "Perlu apa engkau membawa benda begini
macam" Apakah engkau hendak menyaru jadi setan untuk
menakuti orang?"
Siau-liong cepat merebut topeng itu, jawabnya, "Mengapa
engkau berani sembarangan memeriksa buntelan bekalku?"
Bocah baju biru terkesiap, serunya gopoh, "Sebuah topeng
setan macam itu, siapa sudi mengambilnya!"
Siau-liong tahu bahwa si dara Song Ling benci setengah
mati kepada Pendekar Laknat. Apabila topeng itu sampai
diketahui Song Ling tentu akan menimbulkan pertanyaan yang
runyam. Maka cepat2 ia segera membungkusnya lagi.
Tetapi terlambat. Song Ling sudah melihat semua. Cepat ia
melengking, "Apa itu?"
Siau-liong tertawa meringis, "Tidak apa2! Hanya barang
permainanku dahulu!"
"Berikan padaku!" bentak Song Ling, seraya terus
merebutnya. Siau-liong tak dapat berbuat apa2 kecuali membiarkan
benda itu direbut si dara.
"Rebutlah sepuas hatimu! Masakan benda macam muka
setan begini, hendak kalian rebutkan?" bocah baju biru
tertawa mengikik.
Sebaliknya bocah baju putih berkata kepada Kakek Matasatu,
"Suhu tahu kalau engkau tentu sibuk hari ini maka beliau
tak mau mengundangmu bermain catur!"
890 "Benar," sahut Kakek Mata-satu, "aku harus menemaninya
bermain-main sehari penuh. Sampaikan terima kasihku
kepadanya!"
Setelah saling bertukar pandang, kedua bocah itu segera
minta diri. Karena topeng Pendekar Laknat direbut Song Ling, hati
Siau-liong gelisah resah. Selekas kedua bocah itu pergi, buruburu
ia memeriksa obat2 pemberian gurunya, Kongsun Sintho.
Ia terkejut melihat bungkusan obat itu menyurut kecil
sekali. Tentulah sudah dibuka orang. Dan lebih terkejut pula
ketika ia membuka bungkusan itu. Obat2 pemberian gurunya
telah lenyap semua. Dan pada buntelan itu hanya terisi
sebuah ho-lou atau buli2 berwarna kuning emas. Dalam buli2
itu berisi 20 butir pil warna hitam.
Dari kaget, berobahlah hati Siau-liong menjadi rasa girang
yang tak terkira. Sambil memegang buli2 pil itu, ia berseru
tersendat-sendat, "Ini.... ini...." - walaupun hatinya dapat
menduga tetapi ia tak berani mengatakan dengan pasti.
Kakek Mata satu tertawa, serunya, "Paderi seorang paderi
luhur. Tak mungkin ia sampai hati melihat keadaan ini. Pil itu
tentu pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan yang dibuatnya untuk
diberikan kepadamu!"
Sambil memandang ke arah gua yang pintunya sudah
tertutup lagi, Siau-liong menyatakan hendak menghaturkan
terima kasih kepada paderi itu. Tetapi Kakek Mata-satu
menertawakannya, "Sejak kecil dia sudah masuk menjadi
paderi. Dan saat ini dia sudah tak mau campur tangan urusan
duniawi lagi. Perlu apa engkau menggaturkan terima kasih
kepadanya?"
891 Memandang kepada kakek itu, diam-diam Siau-liong
membenarkan. Katanya dalam hati, "Ya, benar, paderi Kim
Ting itu sudah tak menghiraukan urusan dunia lagi. Percuma
menghaturkan terima kasih kepadanya. Lalu bagaimana
caraku membalas budi kepadanya?"
Berkata pula Kakek Mata-satu, "Paderi tua itu paling gemar
bermain catur. Jika senggang akan kutemani dia bermain
catur dan akan kukatakan kepadanya bahwa aku mewakili
engkau untuk membalas budinya. Tetapi...." " tiba-tiba ia
berhenti sejenak lalu tertawa, "Aku mempunyai sebuah urusan
yang hendak kuminta engkau meluluskan lebih dulu."
"Apapan juga, harap lo-cianpwe bilang. Asal mampu
melakukan, tentu akan kukerjakan sekali pun harus masuk ke
dalam lautan api!"
"Ah, tak begitu serius. Soal itu.... ," Kakek Mata-satu
tertawa penuh arti, "pokoknya tentu membawa kebaikan
kepadamu. Tak perlu harus menerjang lautan api karena
cukup aman."
"Soal apakah itu?" Siau-liong makin heran.
Kakek itu gelengkan kepala tertawa, "Rahasia alam tak
boleh dibocorkan. Yang penting engkau mau meluluskan atau
tidak?" Siau-liong memandang kakek itu makin tak mengerti,
"Bilakah lo-cianpwe menghendaki aku melakukan hal itu?"
"Paling cepat pun nanti setelah kedua suami isteri iblis itu
sudah terbasmi!"
Siau-liong mengangguk dan menyatakan persetujuannya.
892

Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan wajah mengerut serius, Kakek Mata-satu itu
berkata, "Pernyataan dengan mulut, tiada jaminannya. Harap
engkau mengangkat sumpah!"
Tanpa banyak keraguan lagi Siau-liong terus mengikrarkan
sumpah, "Apabila aku menyesal atas apa yang kusetujui itu,
biarlah aku mati ditumpas Allah!"
"Bagus!" Kakek Mata-satu tertawa, "sumpah itu cukup
gawat dan dapat dipercaya!"
Siau-liong tak menghiraukan hal itu. Ia percaya Kakek
Mata-satu itu tentu bermaksud baik kepadanya Apalagi hal itu
baru dilaksanakan setelah Iblis-penakluk-dunia terbasmi.
Saat itu Siau-liong teringat akan si dara. Ketika melirik
kesamping, dilihatnya Song Ling masih memandang topeng
Pendekar Laknat dengan penuh perhatian dan kegeraman.
Begitu Siau-liong melirik ke arahnya, cepat dara itu
membuang topeng dan melengking, "Mengapa engkau
memiliki benda ini" Apakah hubunganmu dengan Pendekar
Laknat?" "Aku...." Siau-liong gugup.
Song Ling deliki mata dan menuding Siau-liong dengan
marah, "Apakah engkau muridnya?"
Siau-liong gelengkan kepala menghela napas, "Aku bukan
muridnya, dan lagi...."
Song Ling melonjak dan meraung-raung seperti singa
betina yang kehilangan anak, "Bagus! Engkau ternyata
mengakui, engkau.... engkau.... ah. mataku sungguh buta!"
893 Habis menumpahkan kemarahannya, dara itu terus
menangis gerung-gerung.
Siau-liong gopoh tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Setelah
dara itu berhenii menangis, barulah ia coba menghibur, "Nona,
Pendekar Laknat sudah meninggal...."
Song Ling terbeliak tetapi cepat mendengus dingin, "Ngaco!
Kapankah dia meninggal?"
Siau-liong menghela napas, "Dia sudah meninggal di dalam
Lembah Penasaran di gunung Hongsan. sama sekali dia tak
pernah muncul di dunia persilatan lagi.?" ia berhenti meragu
sejenak lalu melanjutkan, "Yang muncul sebagai Pendekar
Laknat di dunia persilatan itu sesungguhnya adalah aku
sendiri...."
"Kalau begitu yang bertempur dengan aku di lembah Mati
dulu itu, juga engkau?"
Siau-liong mengiakan, "Ya, aku terpaksa melakukan hal itu,
harap nona maafkan."
Song Ling duduk lagi seraya bertanya, "Apa perlumu
engkau melakukan hal itu?"
"Ah, panjang sekali kalau diceritakan," Siau liong menghela
napas, "pokoknya, walaupun aku dan dia tak mempunyai
ikatan sebagai guru dan murid tetapi dalam kenyataan aku
telah menerima pelajarannya. Jika dia tak mengorbankan
hawa murninya selama berpuluh tahun untuk memberi
penyaluran kepada tubuhku, tentulah aku sudah mati dalam
Laut Penasaran itu. Dan jika dia tak menyalurkan tenaga
murninya itu kepadaku, tentu belum meninggal...."
894 Siau-liong berhenti sejenak lalu melanjutkaa pula, "Dan lagi
walaupun dia disohorkan orang sebagai manusia laknat yang
ganas, tetapi menurut pengamatanku, sebenarnya dia seorang
tua yang berbudi luhur, seorang tua yang kesunyian
hidupnya!"
Sambil bercucuran airmata, Song Ling bertanya, "Tahukah
engkau bahwa dia itu manusia yang membunuh ayahku?"
Siau-liong menghela napas.
"Bagaimana beliau mengikat permusuhan dengan nona,
aku tak tahu. Tetapi aku selalu membedakan budi dan
dendam. Pendekar Laknat telah melepas budi besar kepadaku.
Sudah tentu aku wajib membalasnya. Tindakanku menyamar
sebagai Pendekar Laknat, tak lain karena hendak memulihkan
nama baik beliau dalam dunia persilatan. Agar beliau
mendapat perindahan dan penghormatan dari kaum
persilatan."
Tiba tiba Song Ling berbangkit, bentaknya, "Engkau hendak
membalas budi dan aku hendak membalas dendam! Oleh
karena Pendekar Laknat sudah mati, maka perhitungan itu
akan kuminta kepadamu!"
Habis berkata nona itu terus mengangkat tangan hendak
memukul. Melihat itu Kakek Mata-satu cepat ulurkan tangan
melerai, "Ah, perlu apa harus begitu?"
Sesungguhnya Song Ling tak bermaksud memukul Siauliong.
Adalah karena menumpahkan kegeramannnya maka ia
sampai marah begitu rupa. Setelah dicegah Kakek Mata-satu.
cepat ia menarik pulang tangannya dan menangis tersedusedu.
895 Kakek itu menghela napas panjang, ujarnya; "Karena
Pendekar Laknat sudah mati maka dendam permusuhannya
pun sudah habis...."
Kemudian menunjuk pada Siau-liong, kakek itu melanjutkan
pula, "Bahwa anak itu hendak membalas budi Pendekar
Laknat, sungguh langkah yang patut dipuji...."
"Apa yang patut dipuji . ,...." dengus Song Ling.
Kakek Mata-satu tertawa, "Nak, apakah engkau suka kalau
dia menjadi seorang manusia yang tak tahu membalas budi!"
Song Ling balikkan kelopak matanya, "Apa sangkut paut
diriku denran dia. Mulai saat ini, aku takkan
memperdulikannya lagi!"
Dara itu terus palingkan muka.
Kakek Mata-satu hanya geleng2 kepala. Katanya pula,
"Tentang hubungan ibumu dengan Pendekar Laknat dahulu,
mungkin engkau belum jelas. Maukah engkau mendengar
ceritaku?"
Song Ling terdiam sejenak lalu berseru, "Ceritakanlah!"
Dengan permusuhan antara Randa Busan dengan Pendekar
Laknat dan bagaimana ayah Song Ling sampai mati ditangan
Pendekar Laknat. memang ingin sekali diketahui Siau-liong....
Maka pemuda itu mendengarkan cerita sikakek dengan penuh
perhatian. Setelah batuk2 sebentar, kakek Mata-satu itu berkata
kepada Song Ling, "Dahulu ibumu itu seorang anak sebatang
kara yang dibuang oleh orangtuanya. saat itu ia baru berumur
896 tiga tahun dan menderita sakit keras seorang diri ditinggalkan
dalam hutan....
Song Ling kerutkan alis dan cepat menyelutuk, "Kakek,
jangan mengibuli aku!"
Mata sikakek yang tinggal satu itu mendelik, "Masakan aku
sampai hati membohongi engkau!"
Song Ling tertegun . lalu tundukkan kepala.
Kemudian kakek Mata-satu pun melanjutkan ceritanya lagi.
"Pada waktu itu kebelulan Pendekar Laknat lewat di hutan
situ. Ia tak sampai hati melihat seorang anak perempuan kecil
terkapar diantara gunduk batu dalam keadaan menderita sakit
parah. Diambilnya arak itu pulang. Keadaan ibumu saat itu
benar-benar amat parah sekali. Hidupnya yang menderita
kekurangan dan penyakit yang diidapnya begitu parah, lalu
dibuang dalam hutan beberapa hari tak makan tak minum,
didera hujan dan angin. menyebabkan ibumu tak mungkin
ditolong jiwanya lagi....
Kakek itu berhenti menghela napas.
"Melihat anak itu sudah meregang jiwa tetapi masih
bernapas, Pendekar Laknat membawanya ke gunung Kun-lun
yang jauh. untuk minta obat kepada Se Hong sanjin, seorang
tabib sakti. Tetapi sungguh sial. Tabib itu sedang berkelana
keluar, sehingga Pendekar Laknat tak dapat berjumpa. Ibumu
benar-benar sudah tiada harapan tertolong lagi. Tetapi sekali
pun begini, Pendekar Laknat tetap tak sampai hati untuk
membuangnya. Sambil membopongnya, ia mondar mandir
menghela napas panjang pendek...."
897 Song Ling rentangkan sepasang biji mata dan bertanya,
"Kakek! Mengapa engkau tahu keadaan ibuku begitu jelas?"
Kakek Mata-satu itu tersenyum, sahutnya! "Karena pada
saat itulah aku berjumpa dengan mereka...."
Mata sikakek tampak berkilat-kilat seperti mengenangkan
peristiwa itu. Lalu ia melanjutkan pula.
"Walaupun aku tak mengerti ilmu pengobatan, tetapi
kebetulan aku masih mempunyai pil Kiu-cwan-koh-wan-tan
pemberian si Tabib-sakti Se Hong saniin. Atas permintaan
Pendekar Laknat, kuberikan kepadanya sebutir pil itu. Karena
belum takdirnya mati, setelah minum pil itu, ibumu pun
sembuh. Pendekar Laknat lalu membawanya pulang ke
Hongsan. Karena wajahnya yang buruk dan menyeramkan maka
Pendekar Laknat mengasingkan diri di gunung dan tak mau
bergaul dalam masyarakat ramai. Beberapa tahun kamudian
dalam asuhan dan rawatan Pendekar Laknat, anak perempuan
itu cepat tumbuh dewasa. Beberapa belas tahun kemudian,
anak itu sudah menjadi seorang gadis yang berumur 20-an
tahun. Dalam masa yang begitu panjang itu, dari seorang anak
perempuan yang tak tahu apa2, ibumu telah menjadi seorang
gadis dewasa. Tetapi dia hidup dalam lingkungan alam
pegunungan yang berpenghuni pohon dan binatang. Satusatunya
manusia yang menjadi teman pergaulannya hanya
Pendekar Laknat. Dalam pandangan ibumu, wajah buruk dari
Pendekar Laknat itu tidak menyeramkan karena sudah biasa.
Sejak kecil ia melayani Pendekar Laknat dan menganggapnya
manusia biasa seperti dirinya.
898 Bermula mereka hidup sebagai ayah dan anak. Umur
Pendekar Laknat lebih tua 30 tahun. Tetapi ketika ibumu
berumur 20 tahun, hubungan merekapu
Kesatria Berandalan 1 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 7
^