Petualang Asmara 2
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
.. hamba... karena takut... hamba lari... dan
andaikata benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu sama sekali
tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya..."
"Sengaja atau tidak, yang jelas engkau yang menyebabkan kebakaran! Mengampunkanmu" Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau
minta aku memberi ampun!" Kepala dusun itu menendang dengan keras, akan tetapi
karena tubuh Si Koki amat gendut dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir dia
terguling. Kakinya yang menendang terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis
menahan nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding.
"Pukul dia! Pukul sampai mampus!"
Para pengawal atau tukang pukul yang sudah siap lalu menghampiri Si Koki gendut.
Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis.
"Tahan! Jangan pukul dia!"
Semua tukang pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki
kecil yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya penuh
keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam sama sekali.
"Ceritanya tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran
itu, tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak bersalah
merupakan perbuatan yang biadab dan keji!"
Semua orang terkejut sekali dan banyak orang kini memandang Kun Liong, apalagi
karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah
yang tinggal separuh.
"Hemm, anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis
siapa?" "Yang salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke
dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran itu,"
kata Kun Liong dengan tenang. Tentu saja dia bukan seorang anak bodoh yang mau
mencari malapetaka dengan pegakuan itu, akan tetapi melihat betapa koki gendut yang
tidak bersalah digebugi dan terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak
dapat berdiam saja.
Muka kepala dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa
herannya lebih besar lagi, maka dia kembali bertanya, "Bocah setan! Apa perlunya
engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?"
"Tadinya aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci
masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku menyesal sekali, akan tetapi
harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa." Koki itu memang sudah dilepaskan
dan masih berlutut, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan matanya
yang sipit memandang tanpa berkedip, penuh perasaan heran, kagum dan terharu
karena dia mengenal anak yang diusirnya tadi.
"Tangkap dia!" Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
32 "Pukul saja bocah setan ini!"
"Bunuh bocah pengacau!"
Orang-orang dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi,
melainkan berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun! Kun Liong
ditangkap, diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan
ini, tentu saja tidak mau mandah dan menggunakan kaki tangannya untuk mengelak dan
menangkis, sungguhpun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang
merasa bersalah dan pantas dihukum!
"Bukan hanya dia yang melepas ular, kami juga...!"
"Ya, kami juga...!"
Dua orang anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, tiba-tiba muncul di situ. Kun Liong
kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena
sesungguhnya mereka berdua itu takkan berani melakukan pengacauan kalau tidak
karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikah kesetiakawanan
mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetiakawanan yang
indah dan gagah!
Akan tetapi kedua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, dan tenggelam
dalam teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan
mereka itu didorong dan ditendang sampai terguling-guling karena dianggap
menghalangi mereka yang berlumba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu
penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul!
Biarpun Kun Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan
tetapi dalam pengeroyokan demikian banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya
robek dan tububnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apalagi
ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, selain tukang-tukang pukul,
juga penduduk dusun. Bahkan ada yang menggendong anaknya di punggung ikut-ikut
mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya! Biarpun Kun Liong sudah
menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, namun tanpa membalas
dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia tertangkap. Seorang tukang
pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk dusun yang sudah tua dan marah-
marah karena koki yang menjadi korban tadi adalah anaknya, memegang lengan kanan
Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya, mencekik lehernya dari depan!
Kun Liong yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, kini
dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya makin kuat, dia tidak dapat
bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya mulai
berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara berdengung di
telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka,
"Bunuh saja bocah setan!"
"Cekik sampai mampus!"
"Tidak, aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku telah melakukan kesalahan, akan
tetapi aku tidak sengaja membakar rumah orang!" Pikiran ini menyelinap di dalam hati
Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran mengapa untuk perbuatannya tanpa disengaja
yang mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus dengan nyawa! Ia teringat
akan pelajaran Sin-kun-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari ayahnya
dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan. Dia hampir tidak kuat
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
33 lagi. Kepalanya berdenyut-denyut makin hebat, seperti mau pecah. Dalam detik terakhir
itu, dia menggunakan tenaga kedua orang yang memegangi lengannya kanan kiri,
menggantungkan tubuhnya dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang ke
depan, mendorong perut dan dada tukang pukul yang sedang berusaha mencekiknya
sampai mati! "Bresss... auukhhh...!" Tubuh tukang pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia
memaki-maki sambil berusaha bangun kembali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kun-hoat, tiba-tiba saja
kedua tengannya menjadi lemas dan licin, sekali renggut dia sudah berhasil menarik
kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang berteriak kaget dan heran
karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu merosot licin dan terlepas!
"Tangkap...!"
Kembali Kun Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam,
seperti segerombolan serigala haus darah dan tentu tidak akan mau sudah sebelum
melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh rusak
penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya! Dia tadi membiarkan dirinya digebuki,
dimaki dan dihukum. Akan tetapi, setelah kesalahannya dia tebus dengan mandah
menerima hukuman yang dianggap sudah lebih dari cukup, kalau mereka masih haus
darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus melindungi dirinya. Seorang yang
tidak berani melindungi nyawa dan dirinya sendiri adalah seorang pengecut.
"Kalian sudah cukup menghukum aku!" teriaknya dan kini dia menerjang ke kiri
menangkap sebatang bambu yang dipergunakan untuk menghantam kepalanya,
membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga pemegangnya yang tidak
menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut oleh tendangan Kun Liong yang
mengenai sambungan lututnya.
"Plakk! Aduhhh...!"
Biarpun yang menggajul lutut itu hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tatapi
karena ujung sepatu Kun Liong tepat mengenal sambungan lutut, tentu saja rasanya
nyeri bukan main dan membuat orang itu terpelanting tongkatnya terampas oleh Kun
Liong! Kini cuaca menjadi gelap kembali setelah kebakaran itu dapat dipadamkan. Hal ini
menguntungkan Kun Liong. Dengan tongkat rampasan di tangannya dia mengamuk, kini
tidak hanya menangkis atau mengelak, melainkan juga membalas dengan sodokan
tongkatnya. Dia berhasil merobohkan empat orang sambil melompat ke sana ke sini
mencari lowongan di antara para pengepungnya. Yang roboh mengaduh-aduh
memegangi perut yang tersodok sampai terasa mulas, atau kaki yang dihantam sampai
bengkak. Orang yang terancam bahaya maut kadang-kadang dapat melakukan hal-hal
yang luar biasa, yang tidak dapat dilakukannya dalam keadaan biasa, seolah-olah
ancaman bahaya maut itu menimbulkan tenaga tersembunyi yang selama itu tidak
pernah muncul dan hanya akan muncul apabila dirinya terancam bahaya maut dan
tenaga mujijat itu akan bekerja di luar kesadarannya. Demikian pula dengan Kun Liong.
Memang harus diakui bahwa anak ini semenjak kecil digembleng oleh ayah bundanya,
dua orang ahli yang pandai. Akan tetapi karena usianya baru sepuluh tahun, sepandai-
pandainya, dia tentu tidak mungkin dapat melawan tukang-tukang pukul dan penduduk
dusun yang sedang marah dan berjumlah banyak itu. Namun ketika anak itu sadar akan
bahaya maut yang mengancamnya dan dia melakukan perlawanan, secara tiba-tiba
tubuhnya yang penuh luka dan hampir kehabisan tenaga itu mendadak menjadi sangat
tangkas dan dia dapat bergerak cepat sekali, melompat ke sana-sini, merobohkan siapa
saja yang mencoba menghalanginya dan akhirnya dia dapat melarikan diri ke dalam
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
34 kegelapan malam, dikejar oleh banyak orang yang berteriak-teriak marah. Malam yang
amat gelap menolongnya, dan teriakan-teriakan itu menambah kesukaran mereka yang
mencari dan mengejarnya karena suara riuh rendah itu menelan lenyap suara kaki Kun
Liong yang berlari cepat menyelinap di antara rumah-rumah orang dan pohon-pohon,
kemudian keluar dari dusun dan terus lari, tidak mempedulikan arah karena tujuannya
hanya satu, lari menjauhi orang-orang yang mengejarnya secepat dan sejauh mungkin!
*** Dibantu oleh isterinya, Yap Cong San mempergunakan semua kepandaiannya untuk
mengobati dan menolong tiga orang perwira pengawal Ma-taijin. Akan tetapi, tanpa
bantuan obat khusus, mana mungkin mereka menyembuhkan luka akibat pukulan jari
tangan Sakti Pek-tok-ci" Obat yang mereka dapakan dari Siauw-lim-pai, satu-satunya
obat yang mungkin menyembuhkan luka beracun itu, telah tumpah dan hanya tinggal
sedikit! Untuk mencari obat semacam itu lagi ke Siauw-lim-si, waktunya sudah tidak
cukup lagi. Setelah membawa sisa obat yang tumpah seadanya, ditambah obat-obat buatan sendiri,
dibantu oleh Gui Yan Cu, isterinya yang lebih pandai dalam hal ilmu pengobatan,
kemudian menggunakan sin-kang mereka berdua untuk mengobati tiga orang perwira itu
secara bergantian, akhirnya Yap Cong San dan isterinya pulang untuk beristirahat.
Pengobatan dengan obat khusus yang amat kurang itu membuat mereka lelah dan
khawatir akan hasil pengobatan itu.
"Aihh, ke manakah perginya anak bengal itu?" Cong San menggerutu setelah tiba di
rumah tidak melihat adanya Kun Liong.
Tentu saja dia pergi meninggalkan rumah, takut pulang karena di rumah menanti
ayahnya yang siap untuk memaki dan memukulnya," Yan Cu menjawab.
Suami itu memandang isterinya, lalu menarik napas panjang. "Kalau terlalu dimanja,
begitulah jadinya!"
"Kalau terlalu ditekan dengan kekerasan, begitulah jadinya?"
Keduanya saling memandang, kemudian Cong San yang mengalah dan menarik napas
panjang lagi. "Isteriku, aku tidak menekan dan tidak bersikap keras terhadap anak kita.
Akan tetapi tidaklah engkau melihat bahwa keadaan tiga orang perwira itu berbahaya
sekali dan karena perbuatan Kun Liong, maka obat menjadi tumpah dan kini sukar
mengobati mereka sampai sembuh?"
"YANG menumpahkan obat bukan Liong-ji (Anak Liong), melainkan Pek-pek, anjing
peliharaan kita. Siapapun yang menumpahkan obat, yang tumpah sudah tumpah, mau
diapakan lagi" Hal itu merupakan kecelakaan. Siapapun yang menumpahkan tentu bukan
dilakukan dengan sengaja. Kalau sampai hal itu membuat tiga orang perwira itu tidak
sembuh, berarti memang sudah semestinya demikian. Kita harus dapat dan berani
menghadapi segala kenyataan yang menimpa kita, suamiku."
Kembali Cong San menarik napas panjang. Apa pun yang terjadi, dia tidak menghendaki
bentrokan pendapat dan kesalahan paham dengan isterinya. Dan akan menjadi gelap
baginya, hidup akan menjadi penderitaan kalau hal itu terjadi. Dipandangnya wajah
isterinya yang baginya luar biasa cantik jelitanya itu, ditangkapnya tangan isterinya dan
ditarik sehingga tubuh Yan Cu berada dalam pelukannya. Dalam keadaan begini, dengan
tubuh isterinya berada demikian dekat, didekap dalam pelukan di atas dadanya, segala
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
35 kekhawatiran lenyap dari hati Cong San. Dan inilah yang dia inginkan. Ia kembali
menghela napas, kini helaan napas penuh kelegaan dan kebahagiaan.
"Semua ucapan mereka memang benar, isteriku. Biarlah kita hadapi apa yang akan
terjadi kalau sampai pengobatan kita gagal."
Yan Cu menengadah, memandang wajah suaminya, mengangkat kedua lengan
merangkul leher sehingga muka suaminya menunduk, menempel di dahinya, kemudian
dengan sikap penuh kasih sayang dan agak manja, kemanjaan seorang isteri yang
membutuhkan kasih suaminya selama dia hidup, Yan Cu berkata lirih,
"Gagal atau berhasil pengobatan kita, tergantung dari nasib mereka sendiri, perlu apa
kita khawatir" Yang lebih penting adalah memikirkan anak kita yang sudah pergi.
Sebaiknya aku pergi mencarinya."
Cong Sang memperketat pelukannya. "Jangan! Biarkan dia menyesali kenakalannya.
Kalau dicari, tentu dia akan merasa amat dimanjakan. Dia sudah besar, sudah pandai
menjaga diri, biarlah dia pergi semalam lagi, tidak akan berbahaya. Besok pagi-pagi
barulah engkau pergi mencarinya kalau dia belum kembali. Malam ini aku lebih
membutuhkan engkau isteriku." Cong San menunduk dan mencium dengan pandang
mata dan gerakan yang sudah amat dikenal oleh Yan Cu.
"Ihhh, seperti pengantin baru saja! Dua persoalan menghimpit kita, pertama adalah
kemungkinan gagal pengobatan para perwira, ke dua adalah perginya Kun Liong tanpa
pamit, dan engkau bersikap seperti pengantin baru saja!" Yan Cu mengomel manja dan
mengelak dari ciuman suaminya.
Cong San tersenyum, dan biarpun mereka sudah menjadi suami isteri sebelas tahun
lamanya, tetap saja senyum pria itu masih memiliki daya tarik yang selalu
mendatangkan debar penuh gairah kasih di hati Yan Cu.
"Kita akan selalu seperti pengantin baru sampai selama kita hidup!"
"Aihhh! Tidak ingat anak kita" Engkau sudah menjadi ayah, aku sudah menjadi ibu,
bukan muda remaja lagi!" Yan Cu mencela manja.
Cong San menciumnya dan sekali ini Yan Cu sama sekali tidak mengelak, bahkan
menerima dan menyambut pencurahan kasih sayang suaminya itu dengan hangat.
"Biar kelak aku menjadi kakek dan engkau menjadi nenek yang sudah mempunyai
selosin buyut (anak cucu), kita akan tetap seperti pengantin baru!"
Yan Cu tidak dapat membantah lagi dan malam itu, sepasang suami isteri ini benar-
benar seperti sepasang pengaritin baru yang sedang berbulan madu, lupa akan segala
persoalan yang mengganggu, lupa akan ancaman Ma-taijin dan lupa pula akan anak
mereka yang pergi tanpa pamit.
Pada keesokan harinya, setelah bangun dari tidur dan menghadapi sarapan pagi, barulah
teringat kembali mereka akan persoalan yang mereka hadapi. Demikianlah hidup!
Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua malam tadi dan pagi ini!
Seperti siang dan malam. Kebalikannya! Dan memang sesungguhnyalah bahwa suka dan
duka, puas dan kecewa, menang dan kalah, hanyalah sebuah benda dengan dua muka,
keduanya tidak dapat saling dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan
bertemu dengan yang lain. Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan
oleh ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya
kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan mengejar
bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah yang dihidupkan oleh
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
36 ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak tahu bahwa pengejaran akan
bayangan suka menimbulkan duka, akan bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan
bayangan menang menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka
terjadilah perlumbaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan,
bukan hanya saling berlumba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling memukul,
bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!
"Aku akan menengok para perwira, mudah-mudahan mereka dapat sembuh," kata Cong
San sehabis sarapan suaranya berat.
"Aku akan mencari Kun Liong, mudah-mudahan dapat kutemukan," kata Yan Cu, juga
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suaranya tidak segembira malam tadi karena dia maklum bahwa mereka berdua
menghadapi persoalan yang tidak menyenangkan.
Dengan ucapan-ucapan itu, suami isteri ini saling berpisah. Cong San pergi ke gedung
tempat tinggal Ma-taijin, sedangkan Yan Cu segera pergi melakukan penyelidikan dan
bertanya-tanya kepada para tetangga akan diri puteranya yang telah pergi sehari dua
malam meninggalkan rumah tanpa pamit.
Gui Yan Cu adalah seorang wanita yang cerdik. Dia maklum bahwa puteranya tentu tidak
melarikan diri ke utara, timur atau barat karena dusun-dusun di bagian ini merupakan
tempat tinggal orang-orang yang sudah mengenal keluarganya. Kalau puteranya itu
melarikan diri, tentu anak yang dia tahu amat cerdik itu melarikan diri ke arah selatan,
daerah yang asing bagi mereka dan dusun-dusunnya terletak jauh dari Leng-kok.
Sebagai pelarian yang takut ditemukan ayah bundanya anak itu tentu mengambil
jurusan yang satu ini. Karena itu, maka Yan Cu lalu melakukan penyelidikan ke arah
selatan, setelah para tetangganya tidak ada yang melihat Kun Liong dan tak searang pun
di antara mereka tahu ke mana perginya anak itu.
Dan dugaan nyonya itu memang tepat sekali! Ketika melarikan diri, memang Kun Liong
sengaja mengambil jalan ke jurusan selatan, karena tepat seperti diduga ibunya, dia
tidak ingin ada orang mengenalnya karena kalau hal ini terjadi, sudah pasti sekali dalam
waktu singkat ayahnya atau ibunya akan dapat mengejar dan memaksanya pulang!
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Gui Yan Cu melakukan pengejaran dan jarak
yang ditempuh oleh puteranya dalam waktu sehari semalam, hanya membutuhkan waktu
setengah hari saja baginya. Tibalah dia di dusun di mana Kun Liong menjadi sebab
kebakaran dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melakukan penyelidikan,
dia mendengar akan seorang anak laki-laki yang menyebabkan kebakaran dengan
melepaskan ular-ular beracun di dalam rumah yang sedang pesta, kemudian betapa
anak itu ditangkap dan dipukuli orang-orang, akan tetapi secara aneh anak itu dapat
melarikan diri dan tak seorang pun tahu ke mana perginya.
"Semalam suntuk kepala dusun dan tukang-tukang pukulnya pergi mencari akan tetapi
sia-sia. Anak setan itu seperti menghilang. Kalau dapat dicari, tentu dia akan dipukul
sampai mampus!" Tukang warung nasi menutup keterangannya.
Gui Yan Cu menahan kemarahan hatinya. Kalau dahulu, sepuluh tahun yang lalu, dia
mendengar penuturan ini, tentu dia akan mengamuk dan menghajar orang sekampung
itu, atau setidaknya dia akan menghajar kepala kampung, atau paling sedikit dia akan
menampar pipi tukang warung nasi yang menceritakan perihal anaknya. Akan tetapi
sekarang dia bukanlah seorang dara remaja yang ganas lagi, melainkan seorang nyonya
dan ibu yang bingung memikirkan puteranya, dan yang maklum betapa sakit hati para
penduduk karena ada yang mengacau pesta, dan betapa jahat pandangan mereka
terhadap kenakalan anaknya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
37 Karena dia tidak berhasil mencari di sekitar dusun itu, pula karena dia khawatir akan
keadaan suaminya yang harus menghadapi ancaman kepala daerah kalau tidak berhasil
menyembuhkan tiga orang perwira yang terluka, Yan Cu mengambil keputusan untuk
pulang dahulu, kemudian setelah urusan Leng-kok beres, baru dia akan mengajak
suaminya untuk mencari Kun Liong.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati nyonya perkasa ini ketika dia tiba di
rumah pada waktu senja hari itu, dia disambut oleh seorang kakek dengan wajah keruh
dan penuh kegelisahan. Kakek itu adalah Liok Sui Hok, paman tua suaminya. Kakek
inilah yang membantu suaminya membuka toko obat di Leng-kok, dan karena Liok Sui
Hok tidak mempunyai keturunan pula, sudah duda dan hidup seorang diri di rumahnya
yang besar di Leng-kok kakek ini menganggap keponakannya itu seperti anak sendiri.
"Sungguh celaka... suamimu gagal mengobati para perwira, dan dia kini ditahan oleh Ma-
taijin..." Demikianiah sambutan kakek itu begitu melihat Yan Cu datang.
Yan Cu menggigit bibirnya, sejenak tak dapat berkata-kata. Memang hal ini sudah
dikhawatirkannya, akan tetapi sungguh tak disangka bahwa kepala daerah she Ma itu
benar-benar berani menahan suaminya!
"Hemm... si keparat Ma itu perlu dihajar!" katanya dan dia sudah membalikkan tubuh
hendak pergi lagi ke rumah pembesar itu.
"Wah-wah, nanti dulu! Harap kau bersabar, perlu apa menggunakan kekerasan
menghadapi pembesar" Jangan-jangan engkau malah akan dianggap pemberontak dan
melawan pemerintah!"
"Paman! Pemerintah mempunyai hukum dan kalau suamiku bersalah berarti dia
melanggar hukum, tentu saja saya tidak berani menggunakan kekerasan. Akan tetapi
dalam hal ini, suamiku tidak bersalah. Kalau sampai dia ditahan, hal itu berarti bahwa
Ma-taijin mempergunakan hukumnya sendiri, dan aku pun bisa menggunakan hukumku
sendiri terhadap dia!"
"Sabarlah! Dia adalah kepala daerah di sini, di Leng-kok ini kekuasaannya paling besar
dan harus ditaati oleh seluruh rakyat."
"Apakah dia raja?"
"Bukan, akan tetapi biasanya, setiap kepala daerah merasa menjadi raja kecil dalam
daerah masing-masing. Karena itu, besok aku akan pergi ke kota Khan-bun, kepala
daerah di sana lebih tinggi pangkatnya dan dengan bantuan teman-teman yang tinggal di
sana, agaknya aku akan dapat menarik pengaruh dan bantuannya untuk menolong
suamimu." Yan Cu mengerutkan alisnya. Dia sudah banyak mendengar akan tindakan sewenang-
wenang para pembesar setempat. Keadilan yang berlaku pada waktu itu hanyalah
keadilan uang! Siapa yang dapat menyogok, dialah yang akan dilindungi dan
dimenangkan oleh mereka yang berkuasa!
"Paman, saya dan suami saya tidak mau dilindungi dengan cara menyogok! Kalau
memang kami bersalah, kami rela dihukum! Akan tetapi kalau kami tidak bersalah, kami
siap melawan siapa saja yang hendak melakukan tindakan sewenang-wenang! Sekarang
juga saya mau menghadap Ma-taijin menuntut keadilan!" Tanpa menanti jawaban, Yan
Cu berlari meninggalkan Liok Sui Hok yang berdiri bengong dan menggeleng kepala,
menarik napas panjang berkali-kali. Dia maklum bahwa keponakannya, Yap Cong San,
adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi sekali, sedangkan
isterinya, yang cantik jelita itu bukan hanya ahli dalam pengobatan, akan tetapi juga
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
38 memiliki ilmu silat yang amat lihai. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi keributan. Dan
lebih celaka lagi adalah nasib yang dihadapi Ma-taijin! Kakek itu maklum bahwa kalau
keponakan dan mantu keponakannya itu mengamuk, tidak ada seorang pun di antara
jagoan-jagoan pengawal kepala daerah akan mampu menandingi mereka.
"Hemm... orang-orang muda... kurang perhitungan, asal berani dan kuat saja... hemm,
ke mana perginya Kun Liong cucuku?" Sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh
uban, kakek itu melangkah perlahan-lahan, pulang ke rumahnya sendiri.
Dengan menggunakan ilmunya berlari cepat, tidak mempedulikan seruan-seruan dan
pandang mata penuh keheranan dari para penduduk Leng-kok yang kebetulan melihat
nyonya ini berlari demikian cepatnya seperti terbang, Yan Cu menuju gedung kepala
daerah yang berada di ujung kota sebelah utara. Sebuah rumah gedung yang mewah
dan megah, paling besar di dalam kota Leng-kok.
"Berhenti!!" Seorang penjaga pintu gerbang di depan gedung itu membentak, dan lima
orang kawannya sudah muncul ke luar dari tempat penjagaan menghadapi Yan Cu
dengan tombak ditodongkan. Ketika mereka mengenal nyonya itu, timbul dua macam
perasaan yang tampak dalam sikap mereka yang ragu-ragu. Mereka itu sedikit banyak
merasa segan dan menghormat nyonya cantik jelita yang sudah terkenal banyak
menolong orang sakit di kota Leng-kok ini, bahkan di antara mareka tidak ada seorang
pun yang tidak pernah ditolong, ketika seorang di antara keluarga mereka atau mereka
sendiri sakit. Di samping ini, mereka juga sudah tahu bahwa suami nyonya ini telah
ditahan dan dimasukkan dalam rumah penjara, dijaga ketat atas perintah Ma-taijin
sendiri dengan tuduhan memberontak dan bersekutu dengan Pek-lian-kauw! Tuduhan
yang amat berat dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun di antara para
penjaga ini yang berani memperlihatkan sikap yang lunak dan bersahabat terhadap
seorang sekutu Pek-lian-kauw karena khawatir dituduh bersekutu pula.
"Eh... Toanio... hendak ke manakah?" Komandan jaga, yang berkumis tebal dan
bertubuh tinggi besar, menegur ragu-ragu.
"Aku hendak bertemu dan bicara dengan Ma-taijin!" jawab Yan Cu singkat.
"Tapi... tapi..." Komandan jaga itu membantah, makin meragu, dan bingung karena dia
maklum bahwa kalau dia melapor ke dalam tentu dia akan didamprat oleh atasannya.
"Tidak ada tapi, tinggal kaupilih. Kau melapor ke dalam minta Ma-taijin keluar
menyambutku, atau aku yang akan langsung masuk mencarinya sendiri di dalam
gedungnya!"
"Wah, Toanio membuat kami susah payah. Menemui Ma-taijin tentu saja tidak begitu
mudah. Kalau memang Toanio ada keperluan dan hendak menghadap, harap suka
membuat surat permohonan dan besok siang, setelah Ma-taijin berada di kantornya,
Toanio boleh saja menghadap melalui peraturan biasa. Sekarang, sudah malam begini..."
"Dia pun hanya manusia biasa, mengapa aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan dia
sekarang juga" Sudahlah, biar aku mencarinya sendiri!"
Yan Cu melangkah memasuki halaman depan gedung itu, akan tetapi enam orang
penjaga itu sudah melompat ke depan, menghadangnya dengan tombak di tangan
dipalangkan menghalang majunya nyonya itu.
"Toanio, kami tidak bermaksud bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi
terhadap Toanio. Akan tetapi, jangan Toanio mendesak kami dan membuat kami
tersudut..., kami hanya memenuhi kewajiban kami..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
39 "Minggirlah!" Yan Cu berseru nyaring, kedua tangannya bergerak secepat kilat ke kanan
kiri dan enam orang penjaga itu rpboh terpelanting ke kanan kiri seperti segenggam
rumput tertiup angin! Ketika mereka merangkak bangun dengan mata terbelalak
mencari-cari, ternyata bayangan nyonya itu telah lenyap dari situ!
Dengan cepat sekali, setelah berhasil merobohkan enam orang penjaga dengan sekali
dorong, Yan Cu meloncat ke depan, langsung dia menyerbu ke ruangan depan gedung
yang megah itu. Akan tetapi, baru saja kedua kakinya yang tadinya melompat dari jauh
itu menyentuh lantai, belasan orang penjaga telah muncul dan menghadangnya dengan
golok di tangan.
Komandan pengawal di ruangan depan itu pun mengenal nyonya itu dan memang dia
telah mendapat perintah dari atasan untuk berjaga-jaga dengan anak buahnya
berhubung dengan ditangkapnya Yap Cong San. Mereka semua sudah mendengar bahwa
tidak hanya Yap-sinshe yang pandai ilmu silat, juga isterinya adalah seorang pendekar
wanita yang lihai.
"Tangkap isteri pemberontak!" Komandan itu berseru dan anak buahnya yang berjumlah
selosin orang itu telah bergerak mengurung Yan Cu dengan golok di tangan, sikap
mereka mengancam sekali karena betapapun juga, mereka memandang rendah kalau
lawannya hanya seorang wanita cantik seperti ini. Biarpun mereka sudah mendengar
bahwa wanita ini pandai main silat, akan tetapi mereka yang berjumlah tiga belas orang
itu, ditambah lagi dengan para pengawal yang dipersiapkan di dalam menjaga
keselamatan Ma-taijin, tentu saja tidak perlu merasa jerih terhadap seorang wanita!
Yan Cu mengerling ke kanan kiri, sikapnya angker penuh wibawa, sepasang pipinya yang
halus itu menjadi merah dan matanya yang indah mengeluarkan sinar berkilat. Sudah
bertahun-tahun dia hidup aman tenteram di samping suaminya, tidak pernah lagi
mempergunakan ilmu silatnya untuk bertempur dan hampir lupa dia akan semua
pengalamannya dahulu di waktu dia masih gadis, pengalaman yang penuh dengan
pertempuran hebat dan mati-matian (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Sudah sebelas
tahun dia tidak pemah memukul orang, dan tadi di pintu gerbang adalah gerakan
pertama selama ini, gerakan untuk merobohkan orang sungguhpun dia merobohkan
enam orang tadi bukan dengan niat membunuh, hanya cukup untuk membuat mereka
tidak menghalanginya. Kini, dikurung oleh belasan orang, timbul kembali semangat
kependekarannya. Kini dia bergerak untuk membela suaminya, jangankan hanya belasan
orang pengawal biar ada barisan setan dan iblis sekalipun dia tidak akan menjadi gentar
dan akan dilawannya! Timbulnya semangat ini menimbulkan pula kegembiraannya!
Kegembiraan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pendekar, atau seorang tentara
dalam medan perang yang sudah kebal akan rasa takut.
"Apakah kalian sudah bosan hidup?" pertanyaan ini keluar dari mulutnya dengan suara
halus, seperti suara seorang ibu menegur anaknya, akan tetapi nadanya mengandung
penghinaan dan sindiran. "Aku mau bertemu dan bicara dengan Ma-taijin! Dia mau atau
tidak harus menjumpai aku, dan kalau kalian hendak mencoba menghalangiku, jangan
persalahkan aku kalau kaki tanganku yang tidah bermata akan membuat kalian jatuh
untuk tidak bangun kembali!"
"Tangkap pemberontak sombong!" Komandan yang bertubuh tinggi gendut itu mukanya
penuh bopeng bekas penyakit cacar itu kembali berteriak. Komandan ini adalah seorang
perwira pengawal baru yang datang dari kota raja. Dia belum mengenal Yap-sinshe dan
isterinya, maka dia pun tidak merasa sungkan terhadap suami isteri itu seperti yang
dirasakan oleh banyak pengawal yang telah mengenal dan sedikit banyak berhutang budi
kepada mereka. Dua belas orang anak buahnya yang semua bersenjata golok karena memang mereka
adalah anggauta pasukan bergolok besar, segera maju menyerbu, namun mereka itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
40 masih merasa sungkan, hanya menggerakkan tangan kiri yang tidak bersenjata,
berlumba menangkap nyonya yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun masih
amat cantik jelita dan kelihatan seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!
Dahulu, ketika masih dara remaja, Gui Yan Cu mempunyai watak halus namun jenaka
dan juga tegas menghadapi penjahat atau musuh. Akan tetapi, sekarang, setelah
sepuluh tahun lebih menjadi isteri Yap Cong San, setelah dia menjadi seorang ibu dan
sudah lama tidak pernah bertempur atau bermusuhan, biarpun dia masih memiliki
keberanian dan ketegasan bertindak, namun hatinya menjadi makin lembut dan dia tidak
tega untuk menjatuhkan tangan besi terhadap para pengawal ini. Dia bukan seorang
dara muda yang ganas lagi, yang berpemandangan sempit dan suka merobohkan orang
tanpa perhitungan lagi. Dia kini berpemandangan luas dan jauh, maka dia maklum
bahwa semua pengawal ini hanyalah menjalankan tugas masing-masing, sama sekali
tidak mempunyai permusuhan pribadi terhadap dirinya atau suaminya. Melihat cara
mereka bergerak menyerbunya, tidak menggunakan golok melainkan menggunakan
tangan kiri untuk menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa mereka itu sedikit
banyak mempunyai rasa segan terhadap dirinya. Hal ini mengurangi banyak nafsu
amarahnya dan meniup lenyap niatnya memberi hajaran keras kepada mereka. Melihat
semua orang menubruk maju, Yan Cu menggerakkan kedua kakinya menekan lantai dan
tiba-tiba tubuhnya melesat dan meluncur ke atas, melewati kepala mereka dan gegerlah
para pengawal yang saling tubruk dan saling pandang karena tahu-tahu "burung" di
tengah yang mereka kurung tadi telah terbang lenyap begitu saja! Cepat-cepat mereka
membalikkan tubuh mencari-cari dan berlari-larian menyerbu ke arah komandan gemuk
mereka yang berteriak-teriak kesakitan karena sedang ditampari oleh Yan Cu, seperti
seorang anak kecil yang nakal dipukuli ibunya!
"Plak! Plak! Plak!" Kedua pipi komandan gendut itu menjadi bengkak-bengkak dan dari
ujung kedua bibirnya mengalir darah yang keluar dari bekas tempat gigi yang coplok!
Yan Cu menendang tubuh komandan Itu yang terlempar dan terbanting mengaduh-aduh
meraba kedua pipinya dengan kedua tangan, matanya terbelalak memandang kepada
nyonya itu karena dia masih kaget dan heran akan serangan itu. Tadi dia melihat betapa
tubuh nyonya itu melayang melalui kepala para pengepungnya, menyambar ke arahnya.
Dia cepat menggerakkan golok menyambut dengan bacokan ke arah muka nyonya itu,
akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu goloknya direnggut lepas dari pegangannya,
dan seperti kilat menyambar-nyambar, kedua tangan nyonya itu telah menggaplok
kedua pipinya sampai matanya menjadi gelap dan berkunang-kunang!
"Biarlah itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!" Yan Cu
berkata. Akan tetapi pada saat itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka
ditampari dan dirobohkan, menjadi terkejut sekali dan terpaksa mereka kini menerjang
maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak menyerang dengan
sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, disangka menaruh kasihan
dan membela seorang isteri pemberontak!
Terjadilah pengeroyokan yang kacau balau, diseling suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan
mereka. Yan Cu melompat ke sana-sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian
dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok cukup
membuat jari tangan itu memegang terbuka dan goloknya terlepas. Yan Cu menyambar
golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul teriakan-teriakan
para pengeroyok karena begitu nyonya itu menggerakkan goloknya menghadapi para
pengeroyok, dalam beberapa jurus saja, empat batang golok yang kena ditangkis
terlempar ke sana-sini, dua orang lagi terpaksa melepaskan golok karena lengan mereka
tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah sungguhpun bukan merupakan luka yang
parah. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
41 Dalam sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok, dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima
orang yang lain menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung
tanpa berani bergerak! Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah
puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri! Pembesar ini tentu
saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang pengawal
dan berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang akan tetapi nyata menyinarkan
kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan,
"Tangkap pemberontak itu!" Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba,
"Tahan semua...!!" Bentakan Yan Cu mengandung tenaga khi-kang yang hebat,
membuat semua pengawal yang sudah mulai bergerak itu terkejut dan terguncang
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jantungnya, memandang kepada nyonya yang sudah berdiri tegak dan memalangkan
golok rampasan di depan dada, tidak mempedulikan para pengawal yang sudah
membuat gerakan mengurungnya, melainkan menunjukkan perhatian dan pandang
matanya ke arah Ma-taijin.
"Ma-taijin, aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi
untuk bertemu dan bicara denganmu!"
"Hemmm, perempuan tak berbudi!" Pembesar itu membentak karena merasa malu
mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya itu,
malu kepada para pengawalnya karena sikap wanita itu benar-benar telah menyeret
turun wibawa dan derajatnya! "Seorang pemberontak dan berdosa besar seperti
suamimu dan engkau apalagi setelah berani datang mengacau di sini, mau bicara apa
lagi?" "Ma-taijn, seorang pembesar tentu mengerti akan hukuman pemerintah, akan tetapi
mengapa engkau bicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan" Engkau tahu
sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas tahun.
Siapakah di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami yang
memberontak" Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan rakyat"
Baru sekarang ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami pemberontak, dan
orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut akan bayangan sendiri
menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?"
"Berani benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah jelas bahwa
suamimu Yap Sinshe melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan
sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu sendiri!"
"Sebutkah dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!" Yan Cu
berkata, menahan kemarahannya.
"Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia
melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-
kauw." "Bohong besar!" Yan Cu berteriak, "Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap
orang warga harus dan berkewajiban uatuk membunuh seorang anggota Pek-lian-kauw"
Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi orang-orang seperti engkau dan
para pengawalmulah untuk memusuhi, dan membasminya! Kami, atau dalam hal ini
suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai
seorang warga negara yang baik telah menolong tiga orang perwira pengawalmu yang
akan dibunuh. Mencegah pembunuh adalah kewajiban setiap orang, apalagi kami yang
berjiwa Pendekar. Akan tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
42 "Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga
orang perwira pemerintah."
"Sungguh tidak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang
bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?"
"Suamimu, terutama engkau, telah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan.
Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi
justeru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan
kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw" Dosa yang ke tiga
adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!"
"Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah malaikat pengatur nyawa yang dapat
memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang suka mencabut
nyawa! Kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang
menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah
urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana
harus mengatur nyawa orang lain" Adapun aku ke sini dengan maksud bicara denganmu
dan minta dibebaskannya suamiku yang tidak berdosa, akan tetapi para anjing-anjing
penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapa yang bersalah
dalam hal ini" Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang
juga harus kaubebaskan dia!"
"Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!"
Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah
berkelebat dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu
wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!
"Toloooonggg" tangkap" ahhhh!" Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi
karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!
"Mundur semua!!" Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat. "Kalau
kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!?"
Para pengawal menjadi bingung dan Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main.
Terbayang di depan matanya selir-selir yang muda-muda dan banyak, gedungnya,
gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air
matanya bercucuran.
"Jangan bunuh aku..." ratapnya.
"Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku,
membawanya ke sini. Cepat, kalau aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku
sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!" Yan Cu membentak dan memberi
sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan
sedikit darah mengucur!
"Aihhh... jangan... haiii, semua mundur, dengar tidak" Mundur semua kataku, bedebah!
Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara, bebaskan Yap-sinshe, ehhh... ajak
dia ke sini... cepat!!"
Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling
ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara
mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir
sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, tidak bergerak
bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
43 "Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu datangnya suamiku. Engkau lihat, bagaimana
mudahnya untuk membunuhmu dan para pengawalmu kalau kami benar-benar
merupakan pemberontakan-pemberontakan atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan
pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal
di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah
menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku
dan suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan setelah
kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak
sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang
sendiri untuk mencabut nyawamu!"
Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali diperbolehkan duduk di atas
kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang amat menyiksanya
adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala
kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-
angguk tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung. Yan Cu berdiri di dekatnya,
menodongkan ujung golok di leher dan mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-
diam dia mengharapkan agar jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya,
karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan
pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya untuk mengancam belaka, agar suaminya
dapat segera bebas.
Tak lama kemudian, datangnya kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat
isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,
"Aihhh, apa yang kaulakukan, isteriku" Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan.
Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau?"
"Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku"
Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari
Liong-ji! Mari kita pergi!"
Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya dan
mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi
menancap di depan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan
suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan
lenyap. "Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepat!
Tolol kalian semua!" Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya,
akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya
yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya!
Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati
kebat-kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada
seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah
obat tempat tinggal Yap-sinshe. Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan
sebuah toko yang kosong, tidak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang
tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas
barang-barang toko dan mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai
dua orang pelarian!
"Aihhh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Kalau saja dia tidak
menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan
yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat,
mendatangkan kepusingan baru bagi kita!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
44 Yan Cu cemberut. Mereka sudah lari ke luar kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi
dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong
sehingga dia terpaksa pulang karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak
menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang baru di dusun yang
ditemuinya yaitu membakar rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa
dibicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak
mereka. "Siapa bilang gara-gara Kun Liong" Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi
apakah dia sengaja menumpahkannya" Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya
dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku
mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya."
"Aku....?" Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya
semenjak terjadi peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara
mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu (baca ceritaPedang Kayu Harum ).
Karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia
bertobat dan bersikap hati-hati, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan
dosanya yang lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya
mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran
sehingga dia menghentikan langkah kakinya.
"Ya, engkau..." Yan Cu berkata. Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi,
kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di
dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai
mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan.
"Mengapa aku...?"
"Kalau-kalau dicari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena
takut kepadamu, karena engkau terlalu keras kepadanya. Engkau marah karena dia
menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek,
dan dia murung dan bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek karena dia
merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-
lian-kauw. Andaikata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan tidak
bermain-main dengan anjing dan tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati,
dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan..."
"Stoppp...!" Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi
isterinya. "Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur
terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita..."
"Mungkin dimulai sejak dunia berkembang, sejak manusia pertama..." Yan Cu juga
tertawa. Keduanya tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang
dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, kemudian
menjadi penuh pengertian.
"Aihhh... apa yang kita lakukan ini?"" Yan Cu berkata lirih.
Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. "Mengertikah engkau apa
yang kumengerti" Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?"
Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran dan
mendesak, Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
45 "Kalau memang mengerti, apa?"
"Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi
orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko,
kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi
yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!"
"Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa
yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh
peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang
melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita
saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita
bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar."
"Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!" Yan Cu menarik leher suaminya dan
mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima
kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra. "Dari pada ribut-ribut
saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan
bertiga. Betapa senangnya!"
"Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di
dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?"
"Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang
tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo
jawab, mengapa engkau malah gembira?"
Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. "Hemm... agaknya, yang
paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat
kita mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!"
"Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!" Isterinya mencela.
"Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya
dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau
mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang,
merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan
terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan
juga..." "Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?"
"Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya
menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang,
khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan
engkau, apa yang membuatmu begini gembira?"
"Agaknya, kebebasan seperti yang kaukatakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali,
aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di
dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk
melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak
dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak
obat!" "Wah, celaka tiga belas!" Cong San memegang kepalanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
46 "Mengapa?"
"Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!"
"Ihhhh!" Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi
senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas
rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan
dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh
mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan
sinarnya yang keemasan.
"Aihhh, masa di tempat terbuka begini..." Seperti orang terlantar..." bisik Yan Cu.
"Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah..." terdengar suara
Cong San lirih. "Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah" Beberapa malam
kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini" aih" mesra...!"
"Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!"
"Cinta tak mengenal usia..."
Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa
segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru
yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca
ceritaPedang Kayu Harum ).
Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan.
Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka
saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San
mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.
"Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan
dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat
membebaskan diri dan lari entah ke mana."
"Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah,
hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya."
"Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku
khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang
diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri."
"Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah
kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu.
Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras.
Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua
telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku."
"Apa maksudmu?" Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang
wajah orang yang berjalan di sampingnya.
"Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan
sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi
seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita
berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
47 "Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua
pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita" Bukankah kita, dengan
cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?"
Cong San menarik napas panjang. "Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah
kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK
dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai
seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk
tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri,
bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan
boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru
dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!"
Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus
dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri!
Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak
pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki
puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat
seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia
mulai merasa menyesal dan terharu.
"Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?"
"Anak-anak kita" Anak kita hanya seorang Yan Cu."
"Hemm, siapa tahu" Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai
seorang anak saja?"
Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka
melangkah lagi perlahan-lahan.
"Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar
mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar
mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia
hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor
kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak
mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri,
bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita
bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi
sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?"
Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.
"Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat
menerima, aku dapat melihat kebenarannya."
Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh
kasih. "Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba,
bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita
dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan."
"Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum
ketemu!" Cong San menarik napas panjang. "Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
48 "Memang kau saja melamun" Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan,
melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong."
"Ke mana?"
"Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita
tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san."
"Keng Hong dan Biauw Eng?""
Yan Cu mengangguk.
Hening sejenak. "Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau
bukan mereka" Aihh, aku rindu sekali kepada mereka."
Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang
diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri
yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi
saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!
Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang
membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu" Cia Ken Hong
dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal
ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh
pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri! Cia Keng Hong adalah seorang
pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara
datuk-datuk atau "raja" dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil
mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja
Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya
sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal
sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung
Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang
berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami
kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar
sakti di Cin-ling-san itu.
*** Tubuhnya penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat
seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, ada pula yang terobek
kulitnya dan mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam.
Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu
seperti seorang anak pengemis.
Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh
dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik
tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut. Betapa
kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seolah-olah merupakan tungku berisikan api panas
yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang mendekatinya.
Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas. Ah, lebih
buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk
menyakiti, membalas dendam, atau karena marah, melainkan karena membutuhkan
mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan. Akan tetapi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
49 manusia, karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, menjadi
marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena
tanpa disengajanya menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah
sekali kepadanya. Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja
membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu
dibunuh mereka. Dan kalau dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia
sudah tak nyawa lagi! Hanya karena rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak
disengaja. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih
kembali! Betapa kejamnya manusia!
Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya
yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani
pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan
membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela
menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat. Dia sudah rindu kepada
ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan
marah besar kalau mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran dan hampir
saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang dusun! Kesalahan terhadap ayah bunda sendiri,
ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan
membuat ayahnya marah bukan main. Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya
secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi
seorang anak baik, rajin dan pandai agar kelak dia menjadi seorang pendekar budiman!
Pendekar budiman, sebutan itu sampai hafal dia! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia
tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong
yang biasa saja!
Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya
lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat
akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk
mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi
segera dilawannya pikiran ini. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai
pengganti nasi pengisi perutnya!
Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia jatuh menelungkup.
Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah
yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman
sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi! Rasa lapar di
perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa
seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik
butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya.
"Ibu?" dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia
rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki.
Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam
dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang.
Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke
tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong ketika iring-iringan itu lewat di
depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah
bukit. Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis
sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang,
akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi
mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara. Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan
serupa itu di kota. Dalam iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada
yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh ataukah hanya menangis buatan,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
50 akan tetapi banyak pula, di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau,
sungguhpun suara ketawa mereka selalu mereka tahan.
Tiba-tiba Kon Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling
akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan biarpun sudah penuh
keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan sedang
mengiringkan kematian, melainkan mengiringkan mempelai!
Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian,
terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki,
melangkah maju mengikuti iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu.
Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat sebagaimana biasanya
penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar
meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang
masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan
tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.
"Aihh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?" Si Kakek itu melangkah
maju mendekati laki-laki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur
dengan nada suara mengejek.
Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat dan sepasang
matanya yang merah karena terlalu banyak menangis itu memandang Si Kakek tak
senang, akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu maka jawabnya,
"Paman Lo, orang menangis adalah tanda berduka, dan seorang anak yang kematian
ayahnya, tentu berduka. Apa anehnya kalau aku menangisi kematian ayahku" Paman
hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya."
Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan berwarna dua. "Heh-heh-heh,
sebetulnya siapakah yang kau kutangisi, itu Akian!?"
"Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!" jawabnya penasaran karena dia merasa
betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.
"Benarkah" Kalau ayahmu yang kautangisi, mengapa kautangisi?"
Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa
dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu
tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,
"Dia kutangisi karena dia mati!"
"Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?" kakek itu mendesak. Kun Liong menjadi
penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini
menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran dan membuatnya
merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur,
melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya.
"Aihhh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi" Tentu saja dia mati kutangisi,
karena dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya
dan kami takkan saling dapat berjumpa selamanya."
"Ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kautangisi bukanlah ayahmu,
melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
51 mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu
sendiri yang ditinggal pergi!"
Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan
yang sukar dibantahnya ini. Hatinya merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar
terhadap ayahnya kalau benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya,
melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk
membela diri, "Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan
terhadap ayah yang meninggal dunia!"
"Hemmm, benarkah itu" Tahukah engkau bagaimana keadaan ayahmu setelah mati"
Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia
sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya"
Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tidak dapat melihatnya
lagi, tidak akan dapat bicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kausandari
sebagai seorang ayah" Ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian,
padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan
dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau
menangisi kehilanganku, aku bahkan gembira karena sahabat baikku itu telah terbebas
daripada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup."
"Benarkah itu, Paman Lo?" Tiba-tiba Akian membantah dan menyerang. "Bagaimana
Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan"
Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa
gembira" Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati
Paman sendiri belaka?"
MULUT kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba kehilangan serinya, matanya
terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan
tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot dan akhirnya dia menarik
napas panjang berulang-ulang. "Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm...
sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya
demi diriku sendiri..."
Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang
anak laki-laki kecil melangkah perlahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar
percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua
itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia
sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya
sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang
menyebabkan orang-orang itu bersikap seperti itu.
"Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena
gigitan ular berbisa..." Terdengar suara Akian memecah kesunyian.
"Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular
itu..." "Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?"
Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan
melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya
bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas
dan pucat. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
52 "Aihh, siapa engkau?" Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-
laki yang tidak terkenal di tanah kuburan, di waktu senja larut dan cuaca mulai agak
gelap itu. "Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi mengapa sampai ada ular membunuh
orang" Mengapa tidak ditangkap ular-ular berbisa itu?"
Kakek itu bangkit berdiri. "Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani
menangkap ular berbisa?"
"Hemm, aku sudah biasa menangkap ular sejak kecil!" Kun Liong berkata, "Dan sudah
biasa pula makan daging ular berbisa."
"Aku tidak percaya!" Akian juga bangkit berdiri.
Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis.
"Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat
bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang manapun juga!"
Biarpun ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong
dengan ketakutan. Kun Liong melangkah maju, menghampiri sebelah bawah sebuah
kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu. Dia mendekatkan hidungnya
pada sebuah lubang dan temyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini.
Kun Liong segera menggunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang
dengan telapak tangan, mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus.
Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar
lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya
merah! Makin lama makin panjang tubuh ular itu tersembul keluar dan secepat kilat,
tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian
dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.
"Wah, engkau benar-benar dapat menangkap ular!" Akian berseru girang seperti
bersorak. "Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini" Ular-ular di sini... eh,
maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan..." kata Si Kakek.
"Apa...?" Kun Liong bertanya tidak percaya. "Siapa yang memelihara ular?"
"Ssstt, Paman, harap jangan main-main..." Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan
kelihatan takut-takut.
"Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa
yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena kau telah berani
menangkap ular ini."
"Ular raksasa" Di mana binatang itu?"
"Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami," kata Si kakek, tanpa mempedulikan
Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai
isyarat menyuruh kakek itu diam.
"Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku
akan menangkapnya!" Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
53 Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan matanya.
Kepada Kun Liong dia berkata, "Benarkah itu, anak yang ajaib" Dan engkau juga bisa
mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?"
"Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?"
"Ada dua orang, di dusun kami!" Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan.
"Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat jangan sampai terlambat!" kata Kun
Liong. Kakek Lo dan Akian mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka
disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih
memegang seekor ular hitam, apalagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua
bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa.
Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa di waktu
mereka mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki
mereka yang kini menjadi bengkak biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu
pingsan, sedangkan si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti
anaknya. Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa
anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami dan
anaknya. Berbondong-bondong orang-orang mengikuti Kun Liong memasuki rumah
petani itu. Setibanya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan
berkata, "Harap para paman dan bibi suka menanti di luar saja. Tidak baik kalau kamar
yang menderita sakit dipenuhi orang."
Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong dan berkata dengan suara
lantang, "Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini
tontonan" Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke
sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!" Dengan lagak
bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya membolehkan nyonya rumah, dia
sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar
anak itu memasuki kamar dua orang karban gigitan ular berbisa itu.
Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu.
Dia memang sudah memperoleh pelajaran tentang racun ular agak matang dari ibunya
yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja
maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan
nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang
runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang mengembung dan mengeluarkan darah
hitam dengan jalan memijat dan mengurut.
Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang
itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak
dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan
ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati
nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh
mereka tidak panas lagi. Dia serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong
yang cepat-cepat membangunkan kembali.
Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata, "Aihhh, Siauw-sinshe, kepandaianmu
seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu
dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
54 Kun Liong mengangguk. "Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok akan kucoba
menangkap ular raksasa yang kauceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat
tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum
makan..." "Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang" Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar
untukmu dan tentang makan, jangan khawatir. Marilah!" Dia menggandeng tangan Kun
Liong, menariknva diajak ke luar menuju ke rumahnya. Ketika tiba di luar pintu, dia
berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.
"Mereka sudah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi
anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini makan dan tidur di rumahku, akan
menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!" Tanpa
menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan
seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di
dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga" Dia yang menemukan anak ajaib ini!
Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang "anak ajaib" yang ia
dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian
bercerita tentang dia, tentang munculnya yang dikatakan melayang turun dari angkasa,
betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu
Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran daripada orang-orang dusun itu
sendiri! Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka
memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan
seadanya yang masih mereka punyai sehingga tak lama kemudian Kun Liong duduk
menghadapi meja penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan
keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.
Setelah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada
keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat
sekali bentuknya. "Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian
cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali."
Kun Liong tidak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu, dan
rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai saputangan sutera. Juga
pemberian sepatu baru dipakainya.
"Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!" Kakek Lo berseru
dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali.
"Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa
saja." "Siapakah namamu, Siauw-sinshe?"
"Aku she Yap, namaku Kun Liong."
"Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)"!"
"Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek."
"Ah, tidak, siapa percaya" Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti
para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
55 Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan.
Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu,
dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil
berkata, "Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-
kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan penduduk yang terluka dan akan
menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami."
"Harap Cuwi tidak bersikap sungkan," kata Kun Liong malu-malu. "Aku hanya melakukan
apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja,
terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang
besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap agar disediakan seekor ayam betina
yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan."
Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong,
kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan
Dusun Coa-tong-cung (Dusun Guha Ular). Akan tetapi tak seorang pun berani memasuki
hutan, hanya berdiri di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan
kengerian. "Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti" Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular
raksasa itu?"
Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo segera melangkah maju dan berkata
dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan, "Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!"
"Aku juga!" Akian melangkah maju pula.
"Hemm, sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini memerlukan
bentuan," kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya memilih sepuluh orang
pemuda-pemuda yang bertubuh kuat, membawa senjata dan dia sendiri memimpin
sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan.
Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan
dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang
pun berani maju lagi.
Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur
yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. "Harap Cuwi menanti
saja di sini," katanya dan dia membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu,
perlahan-lahan menghampiri sebuah guha di antara batu-batu gunung. Setelah dia
menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut guha, tampaklah olehnya seekor ular
yang amat besar dan panjang. Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang
melingkar, akan tetapi agaknya ular itu melihat kedatangannya. Ular itu mendesis dan
tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas dan tampaklah
tubuh yang panjang sekali, tidak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar
perutnya melebihi paha Kun Liong!
Setelah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk
mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat
lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah
dipelajarinya dari ibunya. Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, sungguhpun
tidak sebesar ular di depannya ini. Menurut pelajaran yang diberikan ibunya, seekor ular
besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya
mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tidak berbisa
seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
56 gigitannya tak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan
tubuhnya yang amat kuat. Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus
dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang
melengkong ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan
dalam keadaan menggigit korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan
mulutnya. Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong yang
berbahaya adalah belitan tubuh itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang
kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh.
Ular itu kini mengeluarkan desis keras ketika Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam
betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan mengerakkan sayap hendak
lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang
memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu
terlempar ke depan, ke dekat ular.
Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu memekik-
mekik dan meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi
runcing yang telah menancap di tubuhnya dan mengait daging dan tulang. Kun Liong
menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai
lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara tiba-tiba memaksa
tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun Liong
sudah meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular yang
menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya, mengerahkan semua tenaga
untuk memijat dan memukul tengkuk ular. Bau yang amis dan wengur membuatnya
muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia merasa ngeri juga. Kalau moncong
ular itu tidak penuh ayam yang mulai ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang
menjadi korban dan kiranya ular itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan
tubuhnya bulat-bulat.
Ular itu marah sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya
yang penuh ayam, dia hanya menggunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada
tengkuknya mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok
urat kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit
tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya!
Kun Liong menggunakan lengannya melindungi leher karena dia maklum bahwa kalau
sampai lehernya terbelit dan tercekik, dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan
tentu akan mati. Dia berhasil melindungi leher, akan tetapi pinggang, kedua kaki, dada,
dan lengannya terhimpit dan terbelit, membuat dia sukar bernapas dan tidak dapat
bergerak! Ketika melihat betapa kepala dusun dan anak buahnya yang menyaksikan
keadaannya itu datang mendekat dengan senjata di tangan, siap membantunya, Kun
Liong menggeleng kepala dan berkata, "Jangan...!" Dia merasa khawatir sekali karena
kalau orang-orang itu menyerbu dan melukai ular besar ini, tentu ular itu makin marah
dan memperkuat libatannya dan hal ini berarti ancaman maut baginya.
Untung bahwa kepala dusun itu seorang yang cukup cerdik untuk dapat mengerti bahwa
kalau keadaan anak itu terancam bahaya, tidak mungkin anak itu menolak untuk
dibantu. Maka dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk diam, dan mereka itu
kini hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran melihat Kun Liong
bergulat dalam usahanya membebaskan diri dari belitan tubuh ular yang licin dan amat
kuat itu. Biarpun tubuh bagian leher setengah lumpuh, namun tenaga dari ekomya masih
amat kuat dan agaknya ular itu hendak membuat tubuh Kun Liong remuk dengan
himpitannya. Kun Liong maklum bahwa keadaannya berbahaya. Biarpun dia telah berhasil memukul
tengkuk ular itu sehingga untuk sementara ular itu tidak dapat menelan tubuh ayam dan
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
57 mulutnya tidak akan menggigitnya akan tetapi tenaga pukulannya tidak cukup kuat
sehingga ular itu hanya akan lumpuh, untuk beberapa saat lamanya saja. Kalau ular itu
dapat memulihkan kembali tenaganya, menelan tubuh ayam tadi dan mulutnya sudah
kosong, tentu dia tidak akan tertolong lagi. Sekali gigit dia akan mati dan tubuhnya akan
ditelan perlahan-lahan ke dalam perut yang besar itu.
Kembali Ilmu Sia-kut-hoat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, dia pergunakan
untuk menolong dirinya. Dengan menggunakan ilmu ini, biarpun perlahan-lahan karena
belitan ular itu benar-benar amat kuat, akhirnya Kun Liong dapat membebaskan kedua
lengannya. Ekor ular itu ikut membelit ke pinggangnya, maka mudah baginya untuk
menangkap ekor ular itu dan dengan sekuat tenaga dia menarik dan membetot bagian
ekor ular itu sampai terdengar bunyi suara tulang berkerotok, tanda bahwa sambungan
tulang di ekor itu terlepas!
Karena kedua ujung tubuhnya yang menjadi serupa pegangan dan pusat tenaganya telah
menjadi lumpuh, ular itu kebingungan. Tubuhnya bergerak-gerak lemah dan otomatis
libatannya menjadi kendur sehingga dengan mudah Kun Liong melepaskan diri dan
meloncat keluar dari lilitan tubuh ular yang melingkar-lingkar.
"Dia sudah dapat kujinakkan!" katanya kepada orang-orang yang menonton dengan
heran dan kagum. Akan tetapi karena tubuh ular besar itu masih bergerak-gerak, orang-
orang itu masih merasa takut dan tidak berani datang mendekati.
"Dia tidak akan dapat menggigit atau melilit lagi. Kita ikat leher dan ekornya, bawa
pulang ke dusun. Dagingnya enak sekali! Juga kulitnya amat berharga" kata Kun Liong.
Kakek yang menjadi orang pertama melompat ke depan mendekati ular. Dan mengulur
tangan menepuk-nepuk kepala ular itu dan ketika melihat betapa ular itu sama sekali
tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh dan semua orang menjadi berani.
Beramai-ramai mereka mengikat ular itu dengan tali yang memang mereka bawa dari
dusun. Kun Liong lalu menangkap-nangkapi ular-ular beracun kecil sampai belasan ekor lebih.
Kini sambil memanggul ular yang sudah diikat dan membawa ular-ular berbisa kecil yang
sudah lumpuh, penduduk dusun yang dipimpin kepala kampung itu tertawa-tawa
gembira dan penuh kebanggaan, berjalan beriring hendak keluar dari dalam hutan.
"Mudah saja untuk mengusir ular-ular dari hutan ini" Kun Liong sibuk memberi
penjelasan kepada kepala dusun. "Cuwi dapat mempergunakan bubukan garam untuk
mengusir ular. Ular-ular itu paling takut karena garam dapat mencelakakan mereka,
menjadi racun yang merusak kulit mereka. Pertama-tama Cuwi sebarkan garam di
bagian hutan yang dekat dusun, atau dapat juga dipergunakan api untuk membakar
semak-semak. Pasti binatang-binatang itu akan lari ketakutan dan tidak akan berani
datang kembali, mereka akan mencari tempat persembunyian lain yang lebih aman."
Tiba-tiba rombongan itu berhenti berjalan ketika terdengar suara yang mirip suara
suling, akan tetapi aneh sekali, tidak seperti suling biasa. Jelas bahwa suara itu keluar
dari sebuah alat tiup macam suling, hanya suaranya melengking terus tanpa pernah
berhenti sedikit pun, nadanya naik turun, kalau naik menjadi tinggi sekali sampai hampir
tidak terdengar lagi dan seperti menusuk-nusuk telinga, kalau turun menjadi amat
rendah seperti gerengan seekor harimau yang menggetarkan jantung.
"Suara apa itu...?" Kun Liong bertanya, akan tetapi dia tidak memerlukan jawaban lagi
ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu saling pandang dengan mata
terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan seruan kaget ketika mendengar
suara mendesis-desis dari sekeliling mereka, disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan
ekor ular besar kecil yang mengurung mereka! Tadinya ular-ular itu bergerak dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
58 mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara melengking itu berubah pendek-pendek
seperti memberi aba-aba dan... ular-ular itu lalu berhenti, tidak bergerak seperti mati!
"Apa... apa ini...?" Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan bergidik
melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya datang dari
empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu terlatih sehinggia dapat
melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara suling aneh itu yang mengatur
"barisan" ular ini. Diam-diam dia kagum bukan main.
Suara melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk
dusun itu ketika tiba-tiba, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu di
depan mereka telah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa, seorang kakek berusia lima
puluh tahun, pakaiannya lorek-lorek seperti kulit ular, tubuhnya kurus tinggi dan
lehernya amat panjang, kepalanya lonjong. Benar-benar seorang manusia yang bentuk
tubuhnya "mendekati" bentuk ular! Tangan orang ini memegang sebuah benda yang
bentuknya seperti suling akan tetapi ujung bagian depan besar dan terbuka seperti
corong, agaknya sebuah alat tiup terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang
sebatang pedang.
"Hahhhh! Siapa kalian ini berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu
binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!" Tiba-tiba dia menggetarkan tangah kanannya
ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan dan... semua ular yang dipegang
rombongan itu terlepas karena tiba-tiba mereka, termasuk Kun Liong merasa ada angin
menyambar dan membuat lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk
beberapa detik lamanya!
Kepala dusun dan anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking
takutnya sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat akan cerita Kakek Lo dan
Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular hutan itu
yang katanya ada yang memelihara. Kiranya cerita itu bukan cerita bohong belaka
karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengaku ular-ular itu sebagai
anak buah dan peliharaannya! Dia teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia
kang-ouw banyak terdapat manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan
memiliki kesaktian. Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan
mampu membuat mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi,
Kun Liong dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-
manusia sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat
dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata,
"Locianpwe (Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk
dusun ini, mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini."
Manusia aneh itu sejenak memandang ke arah ular-ular yang hanya dapat bergerak
lambat, termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada
Kun Liong dan memandang dengan heran. "Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan! Engkau
yang melakukan ini" Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap ular?"
"Pemah kupelajari dari orang tuaku sendiri."
"Hemmm, kalian manusia-manusia jahat dan lancang, berani melumpuhkan dan
menangkapi ular-ularku! Kalian tidak berhak hidup lagi karena kalian telah berani
menghina Ban-tok Coa-ong!"
Mendengar ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak
buahnya. "Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
59 "Hemmm, aku barangkali bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!" kata
kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali.
Kun Liong menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata,
"Locianpwe yang telah memiliki nama julukan demikian menyeramkan tentu bukanlah
seorang manusia biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe
tidak malu dan tidak ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe
membunuh orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?"
Kembali kakek itu tercengang memandang Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini benar-
benar membuat dia kaget, heran, dan kagum.
"Kalian telah mengganggu ular-ularku, sudah pantas dihukum. Siapa yang akan
mentertawakan aku?"
"Locianpwe adalah seorang mariusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih
sayang.kepada ular daripada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!"
Kun Liong membantah lagi penuh penasaran.
"Ho-ho-ha-ha-ha! Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang.
membela ular-ular ini" Aku tidak sudi dimasukkan kelompok manusia! Ular-ular ini jauh
lebih baik daripada manusia!"
"Locianpwe agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan
merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!" Kun Liong membantah,
suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar nyaring penuh
penasaran. "Apa kau bilang?" Kakek itu. mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi hasilnya,
sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali. Leherya yang
panjang bergerak-gerak makin memanjang, dan kelihatannya lucu sekali. Lengannya
yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu menudingkan telunjuk tangan
ke arah Kun Liong. "Jangan memutarbalikkan kenyataan, ya" Kau hanya mengingat
manusia yang terbunuh oleh ular-ular, sama sekali tidak ingat akan ular-ular yang
terbunuh oleh manusia! Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus
ekor ular telah dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Itu
pun terjadi karena si manusia mengganggu ular, kalau tidak, tak mungkin ada ular
menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar
karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau
ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa" Tanpa makan ular kalian masih dapat
hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu terbalik
dan sebetulnya, manusia-manusia macam kalian inilah yang amat berbahaya bagi
kehidupan ular?"
Kun Liong menjadi merah sekali mukanya. Di dalam hati anak yang masih belum rusak
benar oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa dia dapat menerima pendapat
kakek aneh itu dan dalam kewajarannya, dia mau tidak mau harus membenarkan
pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun dan anak buahnya
terancam bahaya maut, dia membantah,
"Biarpun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe
adalah seorang manusia, tidak mungkin hendak mengorbankan nyawa manusia untuk
membela ular!"
"Memang aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan daripada bergaul
dengan manusia-manusia yang palsu!" Kakek itu segera mendekatkan ujung
terompetnya ke bibir dan terdengarlah suara melengking yang dahsyat sekali, yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
60 membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun itu menggigil kedua kakinya dan tidak
dapat melangkah dari tempat mereka berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh!
Temyata bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, melainkan suara yang
mengandung getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong
terkejut bukan main. Pemah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini.
Hanya orang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat saja dapat mengerahkan tenaga
dalam suara sehingga melumpuhkan lawan! Pemah dia merasakan getaran khi-kang dari
suara nyanyian tosu Pek-lia-kauw, yaitu Loan Khi Tosu, akan tetapi getaran yang
terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat suara terompet ini sehingga dia
bahkan dapat mengacau nyanyian tosu itu dengan nyanyiannya. Pernah ayahnya
mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khi-kang, akan tetapi
agaknya kekuatan ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat
Kisah Sepasang Rajawali 2 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 2
.. hamba... karena takut... hamba lari... dan
andaikata benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu sama sekali
tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya..."
"Sengaja atau tidak, yang jelas engkau yang menyebabkan kebakaran! Mengampunkanmu" Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau
minta aku memberi ampun!" Kepala dusun itu menendang dengan keras, akan tetapi
karena tubuh Si Koki amat gendut dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir dia
terguling. Kakinya yang menendang terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis
menahan nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding.
"Pukul dia! Pukul sampai mampus!"
Para pengawal atau tukang pukul yang sudah siap lalu menghampiri Si Koki gendut.
Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis.
"Tahan! Jangan pukul dia!"
Semua tukang pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki
kecil yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya penuh
keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam sama sekali.
"Ceritanya tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran
itu, tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak bersalah
merupakan perbuatan yang biadab dan keji!"
Semua orang terkejut sekali dan banyak orang kini memandang Kun Liong, apalagi
karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah
yang tinggal separuh.
"Hemm, anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis
siapa?" "Yang salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke
dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran itu,"
kata Kun Liong dengan tenang. Tentu saja dia bukan seorang anak bodoh yang mau
mencari malapetaka dengan pegakuan itu, akan tetapi melihat betapa koki gendut yang
tidak bersalah digebugi dan terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak
dapat berdiam saja.
Muka kepala dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa
herannya lebih besar lagi, maka dia kembali bertanya, "Bocah setan! Apa perlunya
engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?"
"Tadinya aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci
masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku menyesal sekali, akan tetapi
harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa." Koki itu memang sudah dilepaskan
dan masih berlutut, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan matanya
yang sipit memandang tanpa berkedip, penuh perasaan heran, kagum dan terharu
karena dia mengenal anak yang diusirnya tadi.
"Tangkap dia!" Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
32 "Pukul saja bocah setan ini!"
"Bunuh bocah pengacau!"
Orang-orang dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi,
melainkan berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun! Kun Liong
ditangkap, diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan
ini, tentu saja tidak mau mandah dan menggunakan kaki tangannya untuk mengelak dan
menangkis, sungguhpun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang
merasa bersalah dan pantas dihukum!
"Bukan hanya dia yang melepas ular, kami juga...!"
"Ya, kami juga...!"
Dua orang anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, tiba-tiba muncul di situ. Kun Liong
kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena
sesungguhnya mereka berdua itu takkan berani melakukan pengacauan kalau tidak
karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikah kesetiakawanan
mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetiakawanan yang
indah dan gagah!
Akan tetapi kedua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, dan tenggelam
dalam teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan
mereka itu didorong dan ditendang sampai terguling-guling karena dianggap
menghalangi mereka yang berlumba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu
penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul!
Biarpun Kun Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan
tetapi dalam pengeroyokan demikian banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya
robek dan tububnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apalagi
ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, selain tukang-tukang pukul,
juga penduduk dusun. Bahkan ada yang menggendong anaknya di punggung ikut-ikut
mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya! Biarpun Kun Liong sudah
menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, namun tanpa membalas
dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia tertangkap. Seorang tukang
pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk dusun yang sudah tua dan marah-
marah karena koki yang menjadi korban tadi adalah anaknya, memegang lengan kanan
Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya, mencekik lehernya dari depan!
Kun Liong yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, kini
dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya makin kuat, dia tidak dapat
bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya mulai
berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara berdengung di
telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka,
"Bunuh saja bocah setan!"
"Cekik sampai mampus!"
"Tidak, aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku telah melakukan kesalahan, akan
tetapi aku tidak sengaja membakar rumah orang!" Pikiran ini menyelinap di dalam hati
Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran mengapa untuk perbuatannya tanpa disengaja
yang mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus dengan nyawa! Ia teringat
akan pelajaran Sin-kun-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari ayahnya
dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan. Dia hampir tidak kuat
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
33 lagi. Kepalanya berdenyut-denyut makin hebat, seperti mau pecah. Dalam detik terakhir
itu, dia menggunakan tenaga kedua orang yang memegangi lengannya kanan kiri,
menggantungkan tubuhnya dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang ke
depan, mendorong perut dan dada tukang pukul yang sedang berusaha mencekiknya
sampai mati! "Bresss... auukhhh...!" Tubuh tukang pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia
memaki-maki sambil berusaha bangun kembali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kun-hoat, tiba-tiba saja
kedua tengannya menjadi lemas dan licin, sekali renggut dia sudah berhasil menarik
kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang berteriak kaget dan heran
karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu merosot licin dan terlepas!
"Tangkap...!"
Kembali Kun Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam,
seperti segerombolan serigala haus darah dan tentu tidak akan mau sudah sebelum
melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh rusak
penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya! Dia tadi membiarkan dirinya digebuki,
dimaki dan dihukum. Akan tetapi, setelah kesalahannya dia tebus dengan mandah
menerima hukuman yang dianggap sudah lebih dari cukup, kalau mereka masih haus
darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus melindungi dirinya. Seorang yang
tidak berani melindungi nyawa dan dirinya sendiri adalah seorang pengecut.
"Kalian sudah cukup menghukum aku!" teriaknya dan kini dia menerjang ke kiri
menangkap sebatang bambu yang dipergunakan untuk menghantam kepalanya,
membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga pemegangnya yang tidak
menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut oleh tendangan Kun Liong yang
mengenai sambungan lututnya.
"Plakk! Aduhhh...!"
Biarpun yang menggajul lutut itu hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tatapi
karena ujung sepatu Kun Liong tepat mengenal sambungan lutut, tentu saja rasanya
nyeri bukan main dan membuat orang itu terpelanting tongkatnya terampas oleh Kun
Liong! Kini cuaca menjadi gelap kembali setelah kebakaran itu dapat dipadamkan. Hal ini
menguntungkan Kun Liong. Dengan tongkat rampasan di tangannya dia mengamuk, kini
tidak hanya menangkis atau mengelak, melainkan juga membalas dengan sodokan
tongkatnya. Dia berhasil merobohkan empat orang sambil melompat ke sana ke sini
mencari lowongan di antara para pengepungnya. Yang roboh mengaduh-aduh
memegangi perut yang tersodok sampai terasa mulas, atau kaki yang dihantam sampai
bengkak. Orang yang terancam bahaya maut kadang-kadang dapat melakukan hal-hal
yang luar biasa, yang tidak dapat dilakukannya dalam keadaan biasa, seolah-olah
ancaman bahaya maut itu menimbulkan tenaga tersembunyi yang selama itu tidak
pernah muncul dan hanya akan muncul apabila dirinya terancam bahaya maut dan
tenaga mujijat itu akan bekerja di luar kesadarannya. Demikian pula dengan Kun Liong.
Memang harus diakui bahwa anak ini semenjak kecil digembleng oleh ayah bundanya,
dua orang ahli yang pandai. Akan tetapi karena usianya baru sepuluh tahun, sepandai-
pandainya, dia tentu tidak mungkin dapat melawan tukang-tukang pukul dan penduduk
dusun yang sedang marah dan berjumlah banyak itu. Namun ketika anak itu sadar akan
bahaya maut yang mengancamnya dan dia melakukan perlawanan, secara tiba-tiba
tubuhnya yang penuh luka dan hampir kehabisan tenaga itu mendadak menjadi sangat
tangkas dan dia dapat bergerak cepat sekali, melompat ke sana-sini, merobohkan siapa
saja yang mencoba menghalanginya dan akhirnya dia dapat melarikan diri ke dalam
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
34 kegelapan malam, dikejar oleh banyak orang yang berteriak-teriak marah. Malam yang
amat gelap menolongnya, dan teriakan-teriakan itu menambah kesukaran mereka yang
mencari dan mengejarnya karena suara riuh rendah itu menelan lenyap suara kaki Kun
Liong yang berlari cepat menyelinap di antara rumah-rumah orang dan pohon-pohon,
kemudian keluar dari dusun dan terus lari, tidak mempedulikan arah karena tujuannya
hanya satu, lari menjauhi orang-orang yang mengejarnya secepat dan sejauh mungkin!
*** Dibantu oleh isterinya, Yap Cong San mempergunakan semua kepandaiannya untuk
mengobati dan menolong tiga orang perwira pengawal Ma-taijin. Akan tetapi, tanpa
bantuan obat khusus, mana mungkin mereka menyembuhkan luka akibat pukulan jari
tangan Sakti Pek-tok-ci" Obat yang mereka dapakan dari Siauw-lim-pai, satu-satunya
obat yang mungkin menyembuhkan luka beracun itu, telah tumpah dan hanya tinggal
sedikit! Untuk mencari obat semacam itu lagi ke Siauw-lim-si, waktunya sudah tidak
cukup lagi. Setelah membawa sisa obat yang tumpah seadanya, ditambah obat-obat buatan sendiri,
dibantu oleh Gui Yan Cu, isterinya yang lebih pandai dalam hal ilmu pengobatan,
kemudian menggunakan sin-kang mereka berdua untuk mengobati tiga orang perwira itu
secara bergantian, akhirnya Yap Cong San dan isterinya pulang untuk beristirahat.
Pengobatan dengan obat khusus yang amat kurang itu membuat mereka lelah dan
khawatir akan hasil pengobatan itu.
"Aihh, ke manakah perginya anak bengal itu?" Cong San menggerutu setelah tiba di
rumah tidak melihat adanya Kun Liong.
Tentu saja dia pergi meninggalkan rumah, takut pulang karena di rumah menanti
ayahnya yang siap untuk memaki dan memukulnya," Yan Cu menjawab.
Suami itu memandang isterinya, lalu menarik napas panjang. "Kalau terlalu dimanja,
begitulah jadinya!"
"Kalau terlalu ditekan dengan kekerasan, begitulah jadinya?"
Keduanya saling memandang, kemudian Cong San yang mengalah dan menarik napas
panjang lagi. "Isteriku, aku tidak menekan dan tidak bersikap keras terhadap anak kita.
Akan tetapi tidaklah engkau melihat bahwa keadaan tiga orang perwira itu berbahaya
sekali dan karena perbuatan Kun Liong, maka obat menjadi tumpah dan kini sukar
mengobati mereka sampai sembuh?"
"YANG menumpahkan obat bukan Liong-ji (Anak Liong), melainkan Pek-pek, anjing
peliharaan kita. Siapapun yang menumpahkan obat, yang tumpah sudah tumpah, mau
diapakan lagi" Hal itu merupakan kecelakaan. Siapapun yang menumpahkan tentu bukan
dilakukan dengan sengaja. Kalau sampai hal itu membuat tiga orang perwira itu tidak
sembuh, berarti memang sudah semestinya demikian. Kita harus dapat dan berani
menghadapi segala kenyataan yang menimpa kita, suamiku."
Kembali Cong San menarik napas panjang. Apa pun yang terjadi, dia tidak menghendaki
bentrokan pendapat dan kesalahan paham dengan isterinya. Dan akan menjadi gelap
baginya, hidup akan menjadi penderitaan kalau hal itu terjadi. Dipandangnya wajah
isterinya yang baginya luar biasa cantik jelitanya itu, ditangkapnya tangan isterinya dan
ditarik sehingga tubuh Yan Cu berada dalam pelukannya. Dalam keadaan begini, dengan
tubuh isterinya berada demikian dekat, didekap dalam pelukan di atas dadanya, segala
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
35 kekhawatiran lenyap dari hati Cong San. Dan inilah yang dia inginkan. Ia kembali
menghela napas, kini helaan napas penuh kelegaan dan kebahagiaan.
"Semua ucapan mereka memang benar, isteriku. Biarlah kita hadapi apa yang akan
terjadi kalau sampai pengobatan kita gagal."
Yan Cu menengadah, memandang wajah suaminya, mengangkat kedua lengan
merangkul leher sehingga muka suaminya menunduk, menempel di dahinya, kemudian
dengan sikap penuh kasih sayang dan agak manja, kemanjaan seorang isteri yang
membutuhkan kasih suaminya selama dia hidup, Yan Cu berkata lirih,
"Gagal atau berhasil pengobatan kita, tergantung dari nasib mereka sendiri, perlu apa
kita khawatir" Yang lebih penting adalah memikirkan anak kita yang sudah pergi.
Sebaiknya aku pergi mencarinya."
Cong Sang memperketat pelukannya. "Jangan! Biarkan dia menyesali kenakalannya.
Kalau dicari, tentu dia akan merasa amat dimanjakan. Dia sudah besar, sudah pandai
menjaga diri, biarlah dia pergi semalam lagi, tidak akan berbahaya. Besok pagi-pagi
barulah engkau pergi mencarinya kalau dia belum kembali. Malam ini aku lebih
membutuhkan engkau isteriku." Cong San menunduk dan mencium dengan pandang
mata dan gerakan yang sudah amat dikenal oleh Yan Cu.
"Ihhh, seperti pengantin baru saja! Dua persoalan menghimpit kita, pertama adalah
kemungkinan gagal pengobatan para perwira, ke dua adalah perginya Kun Liong tanpa
pamit, dan engkau bersikap seperti pengantin baru saja!" Yan Cu mengomel manja dan
mengelak dari ciuman suaminya.
Cong San tersenyum, dan biarpun mereka sudah menjadi suami isteri sebelas tahun
lamanya, tetap saja senyum pria itu masih memiliki daya tarik yang selalu
mendatangkan debar penuh gairah kasih di hati Yan Cu.
"Kita akan selalu seperti pengantin baru sampai selama kita hidup!"
"Aihhh! Tidak ingat anak kita" Engkau sudah menjadi ayah, aku sudah menjadi ibu,
bukan muda remaja lagi!" Yan Cu mencela manja.
Cong San menciumnya dan sekali ini Yan Cu sama sekali tidak mengelak, bahkan
menerima dan menyambut pencurahan kasih sayang suaminya itu dengan hangat.
"Biar kelak aku menjadi kakek dan engkau menjadi nenek yang sudah mempunyai
selosin buyut (anak cucu), kita akan tetap seperti pengantin baru!"
Yan Cu tidak dapat membantah lagi dan malam itu, sepasang suami isteri ini benar-
benar seperti sepasang pengaritin baru yang sedang berbulan madu, lupa akan segala
persoalan yang mengganggu, lupa akan ancaman Ma-taijin dan lupa pula akan anak
mereka yang pergi tanpa pamit.
Pada keesokan harinya, setelah bangun dari tidur dan menghadapi sarapan pagi, barulah
teringat kembali mereka akan persoalan yang mereka hadapi. Demikianlah hidup!
Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua malam tadi dan pagi ini!
Seperti siang dan malam. Kebalikannya! Dan memang sesungguhnyalah bahwa suka dan
duka, puas dan kecewa, menang dan kalah, hanyalah sebuah benda dengan dua muka,
keduanya tidak dapat saling dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan
bertemu dengan yang lain. Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan
oleh ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya
kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan mengejar
bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah yang dihidupkan oleh
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
36 ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak tahu bahwa pengejaran akan
bayangan suka menimbulkan duka, akan bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan
bayangan menang menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka
terjadilah perlumbaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan,
bukan hanya saling berlumba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling memukul,
bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!
"Aku akan menengok para perwira, mudah-mudahan mereka dapat sembuh," kata Cong
San sehabis sarapan suaranya berat.
"Aku akan mencari Kun Liong, mudah-mudahan dapat kutemukan," kata Yan Cu, juga
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suaranya tidak segembira malam tadi karena dia maklum bahwa mereka berdua
menghadapi persoalan yang tidak menyenangkan.
Dengan ucapan-ucapan itu, suami isteri ini saling berpisah. Cong San pergi ke gedung
tempat tinggal Ma-taijin, sedangkan Yan Cu segera pergi melakukan penyelidikan dan
bertanya-tanya kepada para tetangga akan diri puteranya yang telah pergi sehari dua
malam meninggalkan rumah tanpa pamit.
Gui Yan Cu adalah seorang wanita yang cerdik. Dia maklum bahwa puteranya tentu tidak
melarikan diri ke utara, timur atau barat karena dusun-dusun di bagian ini merupakan
tempat tinggal orang-orang yang sudah mengenal keluarganya. Kalau puteranya itu
melarikan diri, tentu anak yang dia tahu amat cerdik itu melarikan diri ke arah selatan,
daerah yang asing bagi mereka dan dusun-dusunnya terletak jauh dari Leng-kok.
Sebagai pelarian yang takut ditemukan ayah bundanya anak itu tentu mengambil
jurusan yang satu ini. Karena itu, maka Yan Cu lalu melakukan penyelidikan ke arah
selatan, setelah para tetangganya tidak ada yang melihat Kun Liong dan tak searang pun
di antara mereka tahu ke mana perginya anak itu.
Dan dugaan nyonya itu memang tepat sekali! Ketika melarikan diri, memang Kun Liong
sengaja mengambil jalan ke jurusan selatan, karena tepat seperti diduga ibunya, dia
tidak ingin ada orang mengenalnya karena kalau hal ini terjadi, sudah pasti sekali dalam
waktu singkat ayahnya atau ibunya akan dapat mengejar dan memaksanya pulang!
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Gui Yan Cu melakukan pengejaran dan jarak
yang ditempuh oleh puteranya dalam waktu sehari semalam, hanya membutuhkan waktu
setengah hari saja baginya. Tibalah dia di dusun di mana Kun Liong menjadi sebab
kebakaran dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melakukan penyelidikan,
dia mendengar akan seorang anak laki-laki yang menyebabkan kebakaran dengan
melepaskan ular-ular beracun di dalam rumah yang sedang pesta, kemudian betapa
anak itu ditangkap dan dipukuli orang-orang, akan tetapi secara aneh anak itu dapat
melarikan diri dan tak seorang pun tahu ke mana perginya.
"Semalam suntuk kepala dusun dan tukang-tukang pukulnya pergi mencari akan tetapi
sia-sia. Anak setan itu seperti menghilang. Kalau dapat dicari, tentu dia akan dipukul
sampai mampus!" Tukang warung nasi menutup keterangannya.
Gui Yan Cu menahan kemarahan hatinya. Kalau dahulu, sepuluh tahun yang lalu, dia
mendengar penuturan ini, tentu dia akan mengamuk dan menghajar orang sekampung
itu, atau setidaknya dia akan menghajar kepala kampung, atau paling sedikit dia akan
menampar pipi tukang warung nasi yang menceritakan perihal anaknya. Akan tetapi
sekarang dia bukanlah seorang dara remaja yang ganas lagi, melainkan seorang nyonya
dan ibu yang bingung memikirkan puteranya, dan yang maklum betapa sakit hati para
penduduk karena ada yang mengacau pesta, dan betapa jahat pandangan mereka
terhadap kenakalan anaknya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
37 Karena dia tidak berhasil mencari di sekitar dusun itu, pula karena dia khawatir akan
keadaan suaminya yang harus menghadapi ancaman kepala daerah kalau tidak berhasil
menyembuhkan tiga orang perwira yang terluka, Yan Cu mengambil keputusan untuk
pulang dahulu, kemudian setelah urusan Leng-kok beres, baru dia akan mengajak
suaminya untuk mencari Kun Liong.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati nyonya perkasa ini ketika dia tiba di
rumah pada waktu senja hari itu, dia disambut oleh seorang kakek dengan wajah keruh
dan penuh kegelisahan. Kakek itu adalah Liok Sui Hok, paman tua suaminya. Kakek
inilah yang membantu suaminya membuka toko obat di Leng-kok, dan karena Liok Sui
Hok tidak mempunyai keturunan pula, sudah duda dan hidup seorang diri di rumahnya
yang besar di Leng-kok kakek ini menganggap keponakannya itu seperti anak sendiri.
"Sungguh celaka... suamimu gagal mengobati para perwira, dan dia kini ditahan oleh Ma-
taijin..." Demikianiah sambutan kakek itu begitu melihat Yan Cu datang.
Yan Cu menggigit bibirnya, sejenak tak dapat berkata-kata. Memang hal ini sudah
dikhawatirkannya, akan tetapi sungguh tak disangka bahwa kepala daerah she Ma itu
benar-benar berani menahan suaminya!
"Hemm... si keparat Ma itu perlu dihajar!" katanya dan dia sudah membalikkan tubuh
hendak pergi lagi ke rumah pembesar itu.
"Wah-wah, nanti dulu! Harap kau bersabar, perlu apa menggunakan kekerasan
menghadapi pembesar" Jangan-jangan engkau malah akan dianggap pemberontak dan
melawan pemerintah!"
"Paman! Pemerintah mempunyai hukum dan kalau suamiku bersalah berarti dia
melanggar hukum, tentu saja saya tidak berani menggunakan kekerasan. Akan tetapi
dalam hal ini, suamiku tidak bersalah. Kalau sampai dia ditahan, hal itu berarti bahwa
Ma-taijin mempergunakan hukumnya sendiri, dan aku pun bisa menggunakan hukumku
sendiri terhadap dia!"
"Sabarlah! Dia adalah kepala daerah di sini, di Leng-kok ini kekuasaannya paling besar
dan harus ditaati oleh seluruh rakyat."
"Apakah dia raja?"
"Bukan, akan tetapi biasanya, setiap kepala daerah merasa menjadi raja kecil dalam
daerah masing-masing. Karena itu, besok aku akan pergi ke kota Khan-bun, kepala
daerah di sana lebih tinggi pangkatnya dan dengan bantuan teman-teman yang tinggal di
sana, agaknya aku akan dapat menarik pengaruh dan bantuannya untuk menolong
suamimu." Yan Cu mengerutkan alisnya. Dia sudah banyak mendengar akan tindakan sewenang-
wenang para pembesar setempat. Keadilan yang berlaku pada waktu itu hanyalah
keadilan uang! Siapa yang dapat menyogok, dialah yang akan dilindungi dan
dimenangkan oleh mereka yang berkuasa!
"Paman, saya dan suami saya tidak mau dilindungi dengan cara menyogok! Kalau
memang kami bersalah, kami rela dihukum! Akan tetapi kalau kami tidak bersalah, kami
siap melawan siapa saja yang hendak melakukan tindakan sewenang-wenang! Sekarang
juga saya mau menghadap Ma-taijin menuntut keadilan!" Tanpa menanti jawaban, Yan
Cu berlari meninggalkan Liok Sui Hok yang berdiri bengong dan menggeleng kepala,
menarik napas panjang berkali-kali. Dia maklum bahwa keponakannya, Yap Cong San,
adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi sekali, sedangkan
isterinya, yang cantik jelita itu bukan hanya ahli dalam pengobatan, akan tetapi juga
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
38 memiliki ilmu silat yang amat lihai. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi keributan. Dan
lebih celaka lagi adalah nasib yang dihadapi Ma-taijin! Kakek itu maklum bahwa kalau
keponakan dan mantu keponakannya itu mengamuk, tidak ada seorang pun di antara
jagoan-jagoan pengawal kepala daerah akan mampu menandingi mereka.
"Hemm... orang-orang muda... kurang perhitungan, asal berani dan kuat saja... hemm,
ke mana perginya Kun Liong cucuku?" Sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh
uban, kakek itu melangkah perlahan-lahan, pulang ke rumahnya sendiri.
Dengan menggunakan ilmunya berlari cepat, tidak mempedulikan seruan-seruan dan
pandang mata penuh keheranan dari para penduduk Leng-kok yang kebetulan melihat
nyonya ini berlari demikian cepatnya seperti terbang, Yan Cu menuju gedung kepala
daerah yang berada di ujung kota sebelah utara. Sebuah rumah gedung yang mewah
dan megah, paling besar di dalam kota Leng-kok.
"Berhenti!!" Seorang penjaga pintu gerbang di depan gedung itu membentak, dan lima
orang kawannya sudah muncul ke luar dari tempat penjagaan menghadapi Yan Cu
dengan tombak ditodongkan. Ketika mereka mengenal nyonya itu, timbul dua macam
perasaan yang tampak dalam sikap mereka yang ragu-ragu. Mereka itu sedikit banyak
merasa segan dan menghormat nyonya cantik jelita yang sudah terkenal banyak
menolong orang sakit di kota Leng-kok ini, bahkan di antara mareka tidak ada seorang
pun yang tidak pernah ditolong, ketika seorang di antara keluarga mereka atau mereka
sendiri sakit. Di samping ini, mereka juga sudah tahu bahwa suami nyonya ini telah
ditahan dan dimasukkan dalam rumah penjara, dijaga ketat atas perintah Ma-taijin
sendiri dengan tuduhan memberontak dan bersekutu dengan Pek-lian-kauw! Tuduhan
yang amat berat dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun di antara para
penjaga ini yang berani memperlihatkan sikap yang lunak dan bersahabat terhadap
seorang sekutu Pek-lian-kauw karena khawatir dituduh bersekutu pula.
"Eh... Toanio... hendak ke manakah?" Komandan jaga, yang berkumis tebal dan
bertubuh tinggi besar, menegur ragu-ragu.
"Aku hendak bertemu dan bicara dengan Ma-taijin!" jawab Yan Cu singkat.
"Tapi... tapi..." Komandan jaga itu membantah, makin meragu, dan bingung karena dia
maklum bahwa kalau dia melapor ke dalam tentu dia akan didamprat oleh atasannya.
"Tidak ada tapi, tinggal kaupilih. Kau melapor ke dalam minta Ma-taijin keluar
menyambutku, atau aku yang akan langsung masuk mencarinya sendiri di dalam
gedungnya!"
"Wah, Toanio membuat kami susah payah. Menemui Ma-taijin tentu saja tidak begitu
mudah. Kalau memang Toanio ada keperluan dan hendak menghadap, harap suka
membuat surat permohonan dan besok siang, setelah Ma-taijin berada di kantornya,
Toanio boleh saja menghadap melalui peraturan biasa. Sekarang, sudah malam begini..."
"Dia pun hanya manusia biasa, mengapa aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan dia
sekarang juga" Sudahlah, biar aku mencarinya sendiri!"
Yan Cu melangkah memasuki halaman depan gedung itu, akan tetapi enam orang
penjaga itu sudah melompat ke depan, menghadangnya dengan tombak di tangan
dipalangkan menghalang majunya nyonya itu.
"Toanio, kami tidak bermaksud bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi
terhadap Toanio. Akan tetapi, jangan Toanio mendesak kami dan membuat kami
tersudut..., kami hanya memenuhi kewajiban kami..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
39 "Minggirlah!" Yan Cu berseru nyaring, kedua tangannya bergerak secepat kilat ke kanan
kiri dan enam orang penjaga itu rpboh terpelanting ke kanan kiri seperti segenggam
rumput tertiup angin! Ketika mereka merangkak bangun dengan mata terbelalak
mencari-cari, ternyata bayangan nyonya itu telah lenyap dari situ!
Dengan cepat sekali, setelah berhasil merobohkan enam orang penjaga dengan sekali
dorong, Yan Cu meloncat ke depan, langsung dia menyerbu ke ruangan depan gedung
yang megah itu. Akan tetapi, baru saja kedua kakinya yang tadinya melompat dari jauh
itu menyentuh lantai, belasan orang penjaga telah muncul dan menghadangnya dengan
golok di tangan.
Komandan pengawal di ruangan depan itu pun mengenal nyonya itu dan memang dia
telah mendapat perintah dari atasan untuk berjaga-jaga dengan anak buahnya
berhubung dengan ditangkapnya Yap Cong San. Mereka semua sudah mendengar bahwa
tidak hanya Yap-sinshe yang pandai ilmu silat, juga isterinya adalah seorang pendekar
wanita yang lihai.
"Tangkap isteri pemberontak!" Komandan itu berseru dan anak buahnya yang berjumlah
selosin orang itu telah bergerak mengurung Yan Cu dengan golok di tangan, sikap
mereka mengancam sekali karena betapapun juga, mereka memandang rendah kalau
lawannya hanya seorang wanita cantik seperti ini. Biarpun mereka sudah mendengar
bahwa wanita ini pandai main silat, akan tetapi mereka yang berjumlah tiga belas orang
itu, ditambah lagi dengan para pengawal yang dipersiapkan di dalam menjaga
keselamatan Ma-taijin, tentu saja tidak perlu merasa jerih terhadap seorang wanita!
Yan Cu mengerling ke kanan kiri, sikapnya angker penuh wibawa, sepasang pipinya yang
halus itu menjadi merah dan matanya yang indah mengeluarkan sinar berkilat. Sudah
bertahun-tahun dia hidup aman tenteram di samping suaminya, tidak pernah lagi
mempergunakan ilmu silatnya untuk bertempur dan hampir lupa dia akan semua
pengalamannya dahulu di waktu dia masih gadis, pengalaman yang penuh dengan
pertempuran hebat dan mati-matian (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Sudah sebelas
tahun dia tidak pemah memukul orang, dan tadi di pintu gerbang adalah gerakan
pertama selama ini, gerakan untuk merobohkan orang sungguhpun dia merobohkan
enam orang tadi bukan dengan niat membunuh, hanya cukup untuk membuat mereka
tidak menghalanginya. Kini, dikurung oleh belasan orang, timbul kembali semangat
kependekarannya. Kini dia bergerak untuk membela suaminya, jangankan hanya belasan
orang pengawal biar ada barisan setan dan iblis sekalipun dia tidak akan menjadi gentar
dan akan dilawannya! Timbulnya semangat ini menimbulkan pula kegembiraannya!
Kegembiraan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pendekar, atau seorang tentara
dalam medan perang yang sudah kebal akan rasa takut.
"Apakah kalian sudah bosan hidup?" pertanyaan ini keluar dari mulutnya dengan suara
halus, seperti suara seorang ibu menegur anaknya, akan tetapi nadanya mengandung
penghinaan dan sindiran. "Aku mau bertemu dan bicara dengan Ma-taijin! Dia mau atau
tidak harus menjumpai aku, dan kalau kalian hendak mencoba menghalangiku, jangan
persalahkan aku kalau kaki tanganku yang tidah bermata akan membuat kalian jatuh
untuk tidak bangun kembali!"
"Tangkap pemberontak sombong!" Komandan yang bertubuh tinggi gendut itu mukanya
penuh bopeng bekas penyakit cacar itu kembali berteriak. Komandan ini adalah seorang
perwira pengawal baru yang datang dari kota raja. Dia belum mengenal Yap-sinshe dan
isterinya, maka dia pun tidak merasa sungkan terhadap suami isteri itu seperti yang
dirasakan oleh banyak pengawal yang telah mengenal dan sedikit banyak berhutang budi
kepada mereka. Dua belas orang anak buahnya yang semua bersenjata golok karena memang mereka
adalah anggauta pasukan bergolok besar, segera maju menyerbu, namun mereka itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
40 masih merasa sungkan, hanya menggerakkan tangan kiri yang tidak bersenjata,
berlumba menangkap nyonya yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun masih
amat cantik jelita dan kelihatan seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!
Dahulu, ketika masih dara remaja, Gui Yan Cu mempunyai watak halus namun jenaka
dan juga tegas menghadapi penjahat atau musuh. Akan tetapi, sekarang, setelah
sepuluh tahun lebih menjadi isteri Yap Cong San, setelah dia menjadi seorang ibu dan
sudah lama tidak pernah bertempur atau bermusuhan, biarpun dia masih memiliki
keberanian dan ketegasan bertindak, namun hatinya menjadi makin lembut dan dia tidak
tega untuk menjatuhkan tangan besi terhadap para pengawal ini. Dia bukan seorang
dara muda yang ganas lagi, yang berpemandangan sempit dan suka merobohkan orang
tanpa perhitungan lagi. Dia kini berpemandangan luas dan jauh, maka dia maklum
bahwa semua pengawal ini hanyalah menjalankan tugas masing-masing, sama sekali
tidak mempunyai permusuhan pribadi terhadap dirinya atau suaminya. Melihat cara
mereka bergerak menyerbunya, tidak menggunakan golok melainkan menggunakan
tangan kiri untuk menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa mereka itu sedikit
banyak mempunyai rasa segan terhadap dirinya. Hal ini mengurangi banyak nafsu
amarahnya dan meniup lenyap niatnya memberi hajaran keras kepada mereka. Melihat
semua orang menubruk maju, Yan Cu menggerakkan kedua kakinya menekan lantai dan
tiba-tiba tubuhnya melesat dan meluncur ke atas, melewati kepala mereka dan gegerlah
para pengawal yang saling tubruk dan saling pandang karena tahu-tahu "burung" di
tengah yang mereka kurung tadi telah terbang lenyap begitu saja! Cepat-cepat mereka
membalikkan tubuh mencari-cari dan berlari-larian menyerbu ke arah komandan gemuk
mereka yang berteriak-teriak kesakitan karena sedang ditampari oleh Yan Cu, seperti
seorang anak kecil yang nakal dipukuli ibunya!
"Plak! Plak! Plak!" Kedua pipi komandan gendut itu menjadi bengkak-bengkak dan dari
ujung kedua bibirnya mengalir darah yang keluar dari bekas tempat gigi yang coplok!
Yan Cu menendang tubuh komandan Itu yang terlempar dan terbanting mengaduh-aduh
meraba kedua pipinya dengan kedua tangan, matanya terbelalak memandang kepada
nyonya itu karena dia masih kaget dan heran akan serangan itu. Tadi dia melihat betapa
tubuh nyonya itu melayang melalui kepala para pengepungnya, menyambar ke arahnya.
Dia cepat menggerakkan golok menyambut dengan bacokan ke arah muka nyonya itu,
akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu goloknya direnggut lepas dari pegangannya,
dan seperti kilat menyambar-nyambar, kedua tangan nyonya itu telah menggaplok
kedua pipinya sampai matanya menjadi gelap dan berkunang-kunang!
"Biarlah itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!" Yan Cu
berkata. Akan tetapi pada saat itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka
ditampari dan dirobohkan, menjadi terkejut sekali dan terpaksa mereka kini menerjang
maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak menyerang dengan
sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, disangka menaruh kasihan
dan membela seorang isteri pemberontak!
Terjadilah pengeroyokan yang kacau balau, diseling suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan
mereka. Yan Cu melompat ke sana-sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian
dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok cukup
membuat jari tangan itu memegang terbuka dan goloknya terlepas. Yan Cu menyambar
golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul teriakan-teriakan
para pengeroyok karena begitu nyonya itu menggerakkan goloknya menghadapi para
pengeroyok, dalam beberapa jurus saja, empat batang golok yang kena ditangkis
terlempar ke sana-sini, dua orang lagi terpaksa melepaskan golok karena lengan mereka
tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah sungguhpun bukan merupakan luka yang
parah. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
41 Dalam sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok, dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima
orang yang lain menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung
tanpa berani bergerak! Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah
puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri! Pembesar ini tentu
saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang pengawal
dan berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang akan tetapi nyata menyinarkan
kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan,
"Tangkap pemberontak itu!" Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba,
"Tahan semua...!!" Bentakan Yan Cu mengandung tenaga khi-kang yang hebat,
membuat semua pengawal yang sudah mulai bergerak itu terkejut dan terguncang
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jantungnya, memandang kepada nyonya yang sudah berdiri tegak dan memalangkan
golok rampasan di depan dada, tidak mempedulikan para pengawal yang sudah
membuat gerakan mengurungnya, melainkan menunjukkan perhatian dan pandang
matanya ke arah Ma-taijin.
"Ma-taijin, aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi
untuk bertemu dan bicara denganmu!"
"Hemmm, perempuan tak berbudi!" Pembesar itu membentak karena merasa malu
mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya itu,
malu kepada para pengawalnya karena sikap wanita itu benar-benar telah menyeret
turun wibawa dan derajatnya! "Seorang pemberontak dan berdosa besar seperti
suamimu dan engkau apalagi setelah berani datang mengacau di sini, mau bicara apa
lagi?" "Ma-taijn, seorang pembesar tentu mengerti akan hukuman pemerintah, akan tetapi
mengapa engkau bicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan" Engkau tahu
sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas tahun.
Siapakah di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami yang
memberontak" Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan rakyat"
Baru sekarang ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami pemberontak, dan
orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut akan bayangan sendiri
menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?"
"Berani benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah jelas bahwa
suamimu Yap Sinshe melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan
sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu sendiri!"
"Sebutkah dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!" Yan Cu
berkata, menahan kemarahannya.
"Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia
melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-
kauw." "Bohong besar!" Yan Cu berteriak, "Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap
orang warga harus dan berkewajiban uatuk membunuh seorang anggota Pek-lian-kauw"
Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi orang-orang seperti engkau dan
para pengawalmulah untuk memusuhi, dan membasminya! Kami, atau dalam hal ini
suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai
seorang warga negara yang baik telah menolong tiga orang perwira pengawalmu yang
akan dibunuh. Mencegah pembunuh adalah kewajiban setiap orang, apalagi kami yang
berjiwa Pendekar. Akan tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
42 "Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga
orang perwira pemerintah."
"Sungguh tidak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang
bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?"
"Suamimu, terutama engkau, telah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan.
Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi
justeru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan
kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw" Dosa yang ke tiga
adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!"
"Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah malaikat pengatur nyawa yang dapat
memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang suka mencabut
nyawa! Kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang
menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah
urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana
harus mengatur nyawa orang lain" Adapun aku ke sini dengan maksud bicara denganmu
dan minta dibebaskannya suamiku yang tidak berdosa, akan tetapi para anjing-anjing
penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapa yang bersalah
dalam hal ini" Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang
juga harus kaubebaskan dia!"
"Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!"
Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah
berkelebat dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu
wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!
"Toloooonggg" tangkap" ahhhh!" Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi
karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!
"Mundur semua!!" Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat. "Kalau
kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!?"
Para pengawal menjadi bingung dan Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main.
Terbayang di depan matanya selir-selir yang muda-muda dan banyak, gedungnya,
gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air
matanya bercucuran.
"Jangan bunuh aku..." ratapnya.
"Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku,
membawanya ke sini. Cepat, kalau aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku
sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!" Yan Cu membentak dan memberi
sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan
sedikit darah mengucur!
"Aihhh... jangan... haiii, semua mundur, dengar tidak" Mundur semua kataku, bedebah!
Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara, bebaskan Yap-sinshe, ehhh... ajak
dia ke sini... cepat!!"
Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling
ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara
mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir
sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, tidak bergerak
bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
43 "Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu datangnya suamiku. Engkau lihat, bagaimana
mudahnya untuk membunuhmu dan para pengawalmu kalau kami benar-benar
merupakan pemberontakan-pemberontakan atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan
pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal
di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah
menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku
dan suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan setelah
kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak
sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang
sendiri untuk mencabut nyawamu!"
Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali diperbolehkan duduk di atas
kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang amat menyiksanya
adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala
kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-
angguk tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung. Yan Cu berdiri di dekatnya,
menodongkan ujung golok di leher dan mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-
diam dia mengharapkan agar jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya,
karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan
pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya untuk mengancam belaka, agar suaminya
dapat segera bebas.
Tak lama kemudian, datangnya kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat
isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,
"Aihhh, apa yang kaulakukan, isteriku" Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan.
Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau?"
"Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku"
Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari
Liong-ji! Mari kita pergi!"
Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya dan
mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi
menancap di depan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan
suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan
lenyap. "Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepat!
Tolol kalian semua!" Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya,
akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya
yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya!
Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati
kebat-kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada
seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah
obat tempat tinggal Yap-sinshe. Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan
sebuah toko yang kosong, tidak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang
tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas
barang-barang toko dan mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai
dua orang pelarian!
"Aihhh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Kalau saja dia tidak
menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan
yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat,
mendatangkan kepusingan baru bagi kita!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
44 Yan Cu cemberut. Mereka sudah lari ke luar kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi
dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong
sehingga dia terpaksa pulang karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak
menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang baru di dusun yang
ditemuinya yaitu membakar rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa
dibicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak
mereka. "Siapa bilang gara-gara Kun Liong" Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi
apakah dia sengaja menumpahkannya" Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya
dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku
mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya."
"Aku....?" Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya
semenjak terjadi peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara
mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu (baca ceritaPedang Kayu Harum ).
Karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia
bertobat dan bersikap hati-hati, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan
dosanya yang lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya
mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran
sehingga dia menghentikan langkah kakinya.
"Ya, engkau..." Yan Cu berkata. Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi,
kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di
dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai
mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan.
"Mengapa aku...?"
"Kalau-kalau dicari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena
takut kepadamu, karena engkau terlalu keras kepadanya. Engkau marah karena dia
menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek,
dan dia murung dan bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek karena dia
merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-
lian-kauw. Andaikata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan tidak
bermain-main dengan anjing dan tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati,
dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan..."
"Stoppp...!" Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi
isterinya. "Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur
terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita..."
"Mungkin dimulai sejak dunia berkembang, sejak manusia pertama..." Yan Cu juga
tertawa. Keduanya tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang
dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, kemudian
menjadi penuh pengertian.
"Aihhh... apa yang kita lakukan ini?"" Yan Cu berkata lirih.
Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya. "Mengertikah engkau apa
yang kumengerti" Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?"
Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran dan
mendesak, Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
45 "Kalau memang mengerti, apa?"
"Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi
orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko,
kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi
yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!"
"Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa
yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh
peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang
melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita
saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita
bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar."
"Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!" Yan Cu menarik leher suaminya dan
mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima
kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra. "Dari pada ribut-ribut
saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan
bertiga. Betapa senangnya!"
"Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di
dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?"
"Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang
tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo
jawab, mengapa engkau malah gembira?"
Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir. "Hemm... agaknya, yang
paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat
kita mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!"
"Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!" Isterinya mencela.
"Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya
dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau
mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang,
merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan
terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan
juga..." "Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?"
"Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya
menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang,
khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan
engkau, apa yang membuatmu begini gembira?"
"Agaknya, kebebasan seperti yang kaukatakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali,
aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di
dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk
melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak
dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak
obat!" "Wah, celaka tiga belas!" Cong San memegang kepalanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
46 "Mengapa?"
"Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!"
"Ihhhh!" Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi
senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas
rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan
dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh
mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan
sinarnya yang keemasan.
"Aihhh, masa di tempat terbuka begini..." Seperti orang terlantar..." bisik Yan Cu.
"Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah..." terdengar suara
Cong San lirih. "Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah" Beberapa malam
kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini" aih" mesra...!"
"Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!"
"Cinta tak mengenal usia..."
Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa
segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru
yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca
ceritaPedang Kayu Harum ).
Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan.
Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka
saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San
mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.
"Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan
dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat
membebaskan diri dan lari entah ke mana."
"Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah,
hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya."
"Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku
khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang
diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri."
"Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah
kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu.
Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras.
Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua
telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku."
"Apa maksudmu?" Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang
wajah orang yang berjalan di sampingnya.
"Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan
sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi
seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita
berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
47 "Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua
pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita" Bukankah kita, dengan
cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?"
Cong San menarik napas panjang. "Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah
kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK
dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai
seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk
tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri,
bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan
boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru
dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!"
Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus
dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri!
Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak
pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki
puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat
seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia
mulai merasa menyesal dan terharu.
"Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?"
"Anak-anak kita" Anak kita hanya seorang Yan Cu."
"Hemm, siapa tahu" Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai
seorang anak saja?"
Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka
melangkah lagi perlahan-lahan.
"Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar
mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar
mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia
hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor
kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak
mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri,
bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita
bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi
sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?"
Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.
"Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat
menerima, aku dapat melihat kebenarannya."
Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh
kasih. "Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba,
bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita
dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan."
"Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum
ketemu!" Cong San menarik napas panjang. "Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
48 "Memang kau saja melamun" Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan,
melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong."
"Ke mana?"
"Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita
tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san."
"Keng Hong dan Biauw Eng?""
Yan Cu mengangguk.
Hening sejenak. "Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau
bukan mereka" Aihh, aku rindu sekali kepada mereka."
Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang
diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri
yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi
saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng!
Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang
membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu" Cia Ken Hong
dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal
ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh
pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri! Cia Keng Hong adalah seorang
pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar, seorang di antara
datuk-datuk atau "raja" dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil
mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja
Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya
sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal
sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung
Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang
berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami
kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar
sakti di Cin-ling-san itu.
*** Tubuhnya penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat
seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, ada pula yang terobek
kulitnya dan mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam.
Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu
seperti seorang anak pengemis.
Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh
dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik
tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut. Betapa
kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seolah-olah merupakan tungku berisikan api panas
yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang mendekatinya.
Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas. Ah, lebih
buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk
menyakiti, membalas dendam, atau karena marah, melainkan karena membutuhkan
mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan. Akan tetapi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
49 manusia, karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, menjadi
marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena
tanpa disengajanya menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah
sekali kepadanya. Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja
membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu
dibunuh mereka. Dan kalau dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia
sudah tak nyawa lagi! Hanya karena rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak
disengaja. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih
kembali! Betapa kejamnya manusia!
Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya
yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani
pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan
membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela
menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat. Dia sudah rindu kepada
ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan
marah besar kalau mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran dan hampir
saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang dusun! Kesalahan terhadap ayah bunda sendiri,
ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan
membuat ayahnya marah bukan main. Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya
secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi
seorang anak baik, rajin dan pandai agar kelak dia menjadi seorang pendekar budiman!
Pendekar budiman, sebutan itu sampai hafal dia! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia
tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong
yang biasa saja!
Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya
lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat
akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali, timbul pikirannya untuk
mencontoh perbuatan dua orang anak pengemis di dusun yang kebakaran. Akan tetapi
segera dilawannya pikiran ini. Dia akan bekerja, apa saja membantu orang sebagai
pengganti nasi pengisi perutnya!
Karena melamun, kakinya yang sudah lelah terantuk batu dan ia jatuh menelungkup.
Sejenak dia tinggal berbaring menelungkup, meletakkan pipinya di atas tanah. Bau tanah
yang sedap, hawa dari tanah yang hangat, membuat dia merasa senang dan nyaman
sekali. Betapa nikmatnya rebah seperti itu selamanya, tidak bangun lagi! Rasa lapar di
perutnya berkurang ketika perutnya dia tekankan kuat-kuat kepada tanah. Dia merasa
seolah dipeluk dan dibelai tanah, seperti kalau dia dipeluk ibunya. Tak terasa dua titik
butir air mata turun dari pelupuk matanya. Betapa rindu dia kepada ibunya.
"Ibu?" dia berbisik, memejamkan mata menahan isak.
Tiba-tiba dia mengangkat muka lalu bangkit duduk dan memandang ke depan. Ketika dia
rebah dengan pipi di atas tanah tadi, telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki.
Dia cepat bangun berdiri ketika melihat serombongan orang berjalan keluar dari dalam
dusun itu mengiringkan sebuah peti mati yang dipikul oleh delapan orang.
Penglihatan ini serta-merta mengusir semua persoalan dirinya. Ada orang mati diantar ke
tempat penguburan! Kun Liong memandang bengong ketika iring-iringan itu lewat di
depannya menuju ke sebuah tanah kuburan yang tampak dari situ, di lereng sebuah
bukit. Dia melihat beberapa orang mengiringkan peti jenazah sambil menangis
sesenggukan. Ada pula yang diam saja, tidak memperlihatkan muka susah atau senang,
akan tetapi ada pula beberapa orang pengiring yang saling bercakap-cakap diselingi
mulut tertawa tanpa mengeluarkan suara. Sering pula Kun Liong menyaksikan keadaan
serupa itu di kota. Dalam iring-iringan kematian, memang sanak keluarga si mati ada
yang menangis, entah menangis sungguh-sungguh ataukah hanya menangis buatan,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
50 akan tetapi banyak pula, di antara para pengiring yang melayat sambil bersendau-gurau,
sungguhpun suara ketawa mereka selalu mereka tahan.
Tiba-tiba Kon Liong memandang bengong kepada seorang kakek yang berjalan paling
akhir. Kakek ini kelihatan gembira sekali! Wajahnya berseri dan biarpun sudah penuh
keriput, jelas bahwa kakek itu tertawa-tawa gembira, seolah-olah bukan sedang
mengiringkan kematian, melainkan mengiringkan mempelai!
Lupa akan rasa nyeri, lelah dan lapar karena tertarik oleh iring-iringan kematian,
terutama sekali akan sikap kakek yang tertawa-tawa, Kun Liong menggerakkan kaki,
melangkah maju mengikuti iringan yang menuju ke tanah kuburan di lereng bukit itu.
Upacara pemakaman dilakukan dengan sederhana dan cepat sebagaimana biasanya
penduduk dusun dan setelah peti mati itu dikubur, semua pengiring lalu bubar
meninggalkan tanah kuburan karena senja telah mulai larut. Hanya ada tiga orang yang
masih tinggal di tanah kuburan yaitu Si Kakek Tua yang masih nampak gembira, seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang masih berlutut menangis di depan gundukan
tanah kuburan baru, dan Kun Liong yang berdiri menonton dari jauh.
"Aihh, Akian, mengapa engkau menangis terus tiada hentinya?" Si Kakek itu melangkah
maju mendekati laki-laki itu, duduk di atas batu nisan dekat kuburan baru, menegur
dengan nada suara mengejek.
Orang yang bernama Akian itu mengangkat mukanya yang agak pucat dan sepasang
matanya yang merah karena terlalu banyak menangis itu memandang Si Kakek tak
senang, akan tetapi agaknya dia sudah biasa menghormat kakek itu maka jawabnya,
"Paman Lo, orang menangis adalah tanda berduka, dan seorang anak yang kematian
ayahnya, tentu berduka. Apa anehnya kalau aku menangisi kematian ayahku" Paman
hanya sahabatnya, tentu saja tidak dapat merasakan seperti saya."
Kakek itu meraba-raba jenggotnya yang panjang dan berwarna dua. "Heh-heh-heh,
sebetulnya siapakah yang kau kutangisi, itu Akian!?"
"Tentu saja Ayah yang kutangisi, Paman!" jawabnya penasaran karena dia merasa
betapa pertanyaan itu bodoh dan tidak perlu.
"Benarkah" Kalau ayahmu yang kautangisi, mengapa kautangisi?"
Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu adalah sahabat baik ayahnya, dan sudah biasa
dihormatnya, tentu akan dimaki atau bahkan dipukul. Akan tetapi kakek itu sudah terlalu
tua, agaknya sudah pikun, maka dengan suara terpaksa dia menjawab,
"Dia kutangisi karena dia mati!"
"Hemm, kalau dia mati, mengapa ditangisi?" kakek itu mendesak. Kun Liong menjadi
penasaran seperti orang yang ditanya, karena dalam tanya jawab itu anak ini
menangkap sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuka kesadaran dan membuatnya
merasa betapa pertanyaan-pertanyaan kakek itu sama sekali bukan bodoh atau ngawur,
melainkan pertanyaan yang penting dan perlu diselidiki jawabnya.
"Aihhh, Paman. Kenapa Paman masih bertanya lagi" Tentu saja dia mati kutangisi,
karena dia meninggalkan kami untuk selamanya, dia meninggalkan aku untuk selamanya
dan kami takkan saling dapat berjumpa selamanya."
"Ha-ha-ha-ha! Nah, sekarang baru ternyata bahwa yang kautangisi bukanlah ayahmu,
melainkan engkau sendiri, Akian! Engkau menangis dan berduka bukan karena ayahmu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
51 mati, bukan karena melihat ayahmu menghadapi kesulitan, melainkan menangisi dirimu
sendiri yang ditinggal pergi!"
Mendengar ini, Akian terbelalak, terkejut bukan main dihadapkan dengan kenyataan
yang sukar dibantahnya ini. Hatinya merasa ngeri dan dia merasa berdosa besar
terhadap ayahnya kalau benar bahwa dia menangis bukan menangisi ayahnya,
melainkan menangisi dan mengasihani dirinya sendiri! Maka dia cepat membantah untuk
membela diri, "Akan tetapi aku menangis tanpa mengingat diri sendiri, Paman. Aku merasa kasihan
terhadap ayah yang meninggal dunia!"
"Hemmm, benarkah itu" Tahukah engkau bagaimana keadaan ayahmu setelah mati"
Apakah engkau yakin bahwa ayahmu menghadapi kesengsaraan setelah meninggal dunia
sehingga engkau merasa kasihan dan menangis penuh duka melihat kesengsaraannya"
Ataukah engkau menangis karena engkau kehilangan ayahmu, tidak dapat melihatnya
lagi, tidak akan dapat bicara dengannya lagi, tidak ada lagi yang dapat kausandari
sebagai seorang ayah" Ha-ha-ha, aku tidak mau menangis melihat dia mati, Akian,
padahal dia sahabatku yang paling baik. Engkau tahu sendiri, setiap hari dia jalan-jalan
dengan aku, minum arak, main kartu, mengobrol dengan aku. Akan tetapi aku tidak mau
menangisi kehilanganku, aku bahkan gembira karena sahabat baikku itu telah terbebas
daripada hidup yang serba sulit ini, terhindar dari kesengsaraan hidup."
"Benarkah itu, Paman Lo?" Tiba-tiba Akian membantah dan menyerang. "Bagaimana
Paman bisa tahu bahwa ayah terbebas dari kesulitan hidup, terhindar dari kesengsaraan"
Apakah Paman melihat sendiri dan sudah yakin akan hal itu maka Paman tertawa-tawa
gembira" Ataukah semua itu pun hanya merupakan harapan dan hiburan bagi hati
Paman sendiri belaka?"
MULUT kakek yang tadinya tersenyum lebar itu tiba-tiba kehilangan serinya, matanya
terbuka lebar dan dia melongo, memandang jauh seperti orang melamun, ragu-ragu dan
tanpa disadarinya, jari tangannya mencabut-cabut jenggot dan akhirnya dia menarik
napas panjang berulang-ulang. "Aihhh... aku tidak ingat akan hal itu... hemmm...
sekarang aku pun bingung dan ragu apakah aku tertawa demi ayahmu, ataukah hanya
demi diriku sendiri..."
Dua orang itu duduk melamun di depan kuburan baru itu, tidak tahu betapa seorang
anak laki-laki kecil melangkah perlahan mendekati mereka. Kun Liong yang mendengar
percakapan itu, merasa tertarik sekali dan dia merasa betapa benarnya mereka berdua
itu, membuka mata masing-masing akan kepalsuan dan kekeliruan mereka sehingga dia
sendiri pun dapat melihat betapa picik, penuh rasa iba diri, pura-pura dan palsu adanya
sikap orang-orang yang kematian. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apa yang
menyebabkan orang-orang itu bersikap seperti itu.
"Aku hanya merasa kasihan dan menyesal kalau teringat betapa Ayah mati karena
gigitan ular berbisa..." Terdengar suara Akian memecah kesunyian.
"Tak perlu disesalkan, sudah terlalu banyak penduduk dusun kita itu mati oleh gigitan
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ular beracun yang memenuhi hutan di selatan itu. Memang menggemaskan ular-ular
itu..." "Mengapa tidak dilawan saja ular-ular itu?"
Mereka kaget dan menengok, lebih heran lagi ketika melihat bahwa yang menganjurkan
melawan ular-ular itu hanyalah seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang tubuhnya
bengkak-bengkak dan matang biru, pakaiannya koyak-koyak dan kelihatannya lemas
dan pucat. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
52 "Aihh, siapa engkau?" Akian bertanya, agak seram melihat munculnya seorang anak laki-
laki yang tidak terkenal di tanah kuburan, di waktu senja larut dan cuaca mulai agak
gelap itu. "Siapa aku tidak penting, Paman. Akan tetapi mengapa sampai ada ular membunuh
orang" Mengapa tidak ditangkap ular-ular berbisa itu?"
Kakek itu bangkit berdiri. "Bocah, kau bicara sembarangan saja! Siapa berani
menangkap ular berbisa?"
"Hemm, aku sudah biasa menangkap ular sejak kecil!" Kun Liong berkata, "Dan sudah
biasa pula makan daging ular berbisa."
"Aku tidak percaya!" Akian juga bangkit berdiri.
Tiba-tiba hidung Kun Liong mencium sesuatu dan cuping hidungnya berkembang-kempis.
"Harap kalian mundur, ada ular berbisa di sini, akan kutangkap agar kalian dapat melihat
bahwa manusia tidak kalah oleh ular yang manapun juga!"
Biarpun ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong
dengan ketakutan. Kun Liong melangkah maju, menghampiri sebelah bawah sebuah
kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu. Dia mendekatkan hidungnya
pada sebuah lubang dan temyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini.
Kun Liong segera menggunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang
dengan telapak tangan, mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus.
Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar
lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya
merah! Makin lama makin panjang tubuh ular itu tersembul keluar dan secepat kilat,
tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian
dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.
"Wah, engkau benar-benar dapat menangkap ular!" Akian berseru girang seperti
bersorak. "Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini" Ular-ular di sini... eh,
maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan..." kata Si Kakek.
"Apa...?" Kun Liong bertanya tidak percaya. "Siapa yang memelihara ular?"
"Ssstt, Paman, harap jangan main-main..." Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan
kelihatan takut-takut.
"Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa
yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena kau telah berani
menangkap ular ini."
"Ular raksasa" Di mana binatang itu?"
"Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami," kata Si kakek, tanpa mempedulikan
Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai
isyarat menyuruh kakek itu diam.
"Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku
akan menangkapnya!" Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
53 Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan matanya.
Kepada Kun Liong dia berkata, "Benarkah itu, anak yang ajaib" Dan engkau juga bisa
mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?"
"Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?"
"Ada dua orang, di dusun kami!" Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan.
"Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat jangan sampai terlambat!" kata Kun
Liong. Kakek Lo dan Akian mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka
disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih
memegang seekor ular hitam, apalagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua
bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa.
Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa di waktu
mereka mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki
mereka yang kini menjadi bengkak biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu
pingsan, sedangkan si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti
anaknya. Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa
anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami dan
anaknya. Berbondong-bondong orang-orang mengikuti Kun Liong memasuki rumah
petani itu. Setibanya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan
berkata, "Harap para paman dan bibi suka menanti di luar saja. Tidak baik kalau kamar
yang menderita sakit dipenuhi orang."
Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong dan berkata dengan suara
lantang, "Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini
tontonan" Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke
sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!" Dengan lagak
bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya membolehkan nyonya rumah, dia
sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar
anak itu memasuki kamar dua orang karban gigitan ular berbisa itu.
Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu.
Dia memang sudah memperoleh pelajaran tentang racun ular agak matang dari ibunya
yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja
maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan
nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang
runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang mengembung dan mengeluarkan darah
hitam dengan jalan memijat dan mengurut.
Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang
itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak
dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan
ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut. Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati
nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh
mereka tidak panas lagi. Dia serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong
yang cepat-cepat membangunkan kembali.
Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata, "Aihhh, Siauw-sinshe, kepandaianmu
seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu
dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
54 Kun Liong mengangguk. "Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok akan kucoba
menangkap ular raksasa yang kauceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat
tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum
makan..." "Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang" Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar
untukmu dan tentang makan, jangan khawatir. Marilah!" Dia menggandeng tangan Kun
Liong, menariknva diajak ke luar menuju ke rumahnya. Ketika tiba di luar pintu, dia
berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.
"Mereka sudah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi
anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini makan dan tidur di rumahku, akan
menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!" Tanpa
menanti jawaban kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan
seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di
dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga" Dia yang menemukan anak ajaib ini!
Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang "anak ajaib" yang ia
dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian
bercerita tentang dia, tentang munculnya yang dikatakan melayang turun dari angkasa,
betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu
Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran daripada orang-orang dusun itu
sendiri! Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka
memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan
seadanya yang masih mereka punyai sehingga tak lama kemudian Kun Liong duduk
menghadapi meja penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan
keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.
Setelah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada
keesokan harinya, Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat
sekali bentuknya. "Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian
cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali."
Kun Liong tidak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu, dan
rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai saputangan sutera. Juga
pemberian sepatu baru dipakainya.
"Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!" Kakek Lo berseru
dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali.
"Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa
saja." "Siapakah namamu, Siauw-sinshe?"
"Aku she Yap, namaku Kun Liong."
"Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)"!"
"Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek."
"Ah, tidak, siapa percaya" Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti
para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
55 Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan.
Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu,
dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil
berkata, "Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-
kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan penduduk yang terluka dan akan
menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami."
"Harap Cuwi tidak bersikap sungkan," kata Kun Liong malu-malu. "Aku hanya melakukan
apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja,
terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang
besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap agar disediakan seekor ayam betina
yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan."
Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong,
kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan
Dusun Coa-tong-cung (Dusun Guha Ular). Akan tetapi tak seorang pun berani memasuki
hutan, hanya berdiri di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan
kengerian. "Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti" Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular
raksasa itu?"
Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo segera melangkah maju dan berkata
dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan, "Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!"
"Aku juga!" Akian melangkah maju pula.
"Hemm, sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini memerlukan
bentuan," kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya memilih sepuluh orang
pemuda-pemuda yang bertubuh kuat, membawa senjata dan dia sendiri memimpin
sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan.
Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan
dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah. pucat dan tak seorang
pun berani maju lagi.
Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur
yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar. "Harap Cuwi menanti
saja di sini," katanya dan dia membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu,
perlahan-lahan menghampiri sebuah guha di antara batu-batu gunung. Setelah dia
menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut guha, tampaklah olehnya seekor ular
yang amat besar dan panjang. Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang
melingkar, akan tetapi agaknya ular itu melihat kedatangannya. Ular itu mendesis dan
tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas dan tampaklah
tubuh yang panjang sekali, tidak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar
perutnya melebihi paha Kun Liong!
Setelah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk
mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat
lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah
dipelajarinya dari ibunya. Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, sungguhpun
tidak sebesar ular di depannya ini. Menurut pelajaran yang diberikan ibunya, seekor ular
besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya
mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tidak berbisa
seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
56 gigitannya tak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan
tubuhnya yang amat kuat. Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus
dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang
melengkong ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan
dalam keadaan menggigit korbannya, ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan
mulutnya. Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong yang
berbahaya adalah belitan tubuh itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang
kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh.
Ular itu kini mengeluarkan desis keras ketika Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam
betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan mengerakkan sayap hendak
lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang
memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu
terlempar ke depan, ke dekat ular.
Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu memekik-
mekik dan meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi
runcing yang telah menancap di tubuhnya dan mengait daging dan tulang. Kun Liong
menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai
lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara tiba-tiba memaksa
tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun Liong
sudah meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular yang
menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya, mengerahkan semua tenaga
untuk memijat dan memukul tengkuk ular. Bau yang amis dan wengur membuatnya
muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia merasa ngeri juga. Kalau moncong
ular itu tidak penuh ayam yang mulai ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang
menjadi korban dan kiranya ular itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan
tubuhnya bulat-bulat.
Ular itu marah sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya
yang penuh ayam, dia hanya menggunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada
tengkuknya mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok
urat kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit
tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya!
Kun Liong menggunakan lengannya melindungi leher karena dia maklum bahwa kalau
sampai lehernya terbelit dan tercekik, dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan
tentu akan mati. Dia berhasil melindungi leher, akan tetapi pinggang, kedua kaki, dada,
dan lengannya terhimpit dan terbelit, membuat dia sukar bernapas dan tidak dapat
bergerak! Ketika melihat betapa kepala dusun dan anak buahnya yang menyaksikan
keadaannya itu datang mendekat dengan senjata di tangan, siap membantunya, Kun
Liong menggeleng kepala dan berkata, "Jangan...!" Dia merasa khawatir sekali karena
kalau orang-orang itu menyerbu dan melukai ular besar ini, tentu ular itu makin marah
dan memperkuat libatannya dan hal ini berarti ancaman maut baginya.
Untung bahwa kepala dusun itu seorang yang cukup cerdik untuk dapat mengerti bahwa
kalau keadaan anak itu terancam bahaya, tidak mungkin anak itu menolak untuk
dibantu. Maka dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk diam, dan mereka itu
kini hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran melihat Kun Liong
bergulat dalam usahanya membebaskan diri dari belitan tubuh ular yang licin dan amat
kuat itu. Biarpun tubuh bagian leher setengah lumpuh, namun tenaga dari ekomya masih
amat kuat dan agaknya ular itu hendak membuat tubuh Kun Liong remuk dengan
himpitannya. Kun Liong maklum bahwa keadaannya berbahaya. Biarpun dia telah berhasil memukul
tengkuk ular itu sehingga untuk sementara ular itu tidak dapat menelan tubuh ayam dan
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
57 mulutnya tidak akan menggigitnya akan tetapi tenaga pukulannya tidak cukup kuat
sehingga ular itu hanya akan lumpuh, untuk beberapa saat lamanya saja. Kalau ular itu
dapat memulihkan kembali tenaganya, menelan tubuh ayam tadi dan mulutnya sudah
kosong, tentu dia tidak akan tertolong lagi. Sekali gigit dia akan mati dan tubuhnya akan
ditelan perlahan-lahan ke dalam perut yang besar itu.
Kembali Ilmu Sia-kut-hoat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, dia pergunakan
untuk menolong dirinya. Dengan menggunakan ilmu ini, biarpun perlahan-lahan karena
belitan ular itu benar-benar amat kuat, akhirnya Kun Liong dapat membebaskan kedua
lengannya. Ekor ular itu ikut membelit ke pinggangnya, maka mudah baginya untuk
menangkap ekor ular itu dan dengan sekuat tenaga dia menarik dan membetot bagian
ekor ular itu sampai terdengar bunyi suara tulang berkerotok, tanda bahwa sambungan
tulang di ekor itu terlepas!
Karena kedua ujung tubuhnya yang menjadi serupa pegangan dan pusat tenaganya telah
menjadi lumpuh, ular itu kebingungan. Tubuhnya bergerak-gerak lemah dan otomatis
libatannya menjadi kendur sehingga dengan mudah Kun Liong melepaskan diri dan
meloncat keluar dari lilitan tubuh ular yang melingkar-lingkar.
"Dia sudah dapat kujinakkan!" katanya kepada orang-orang yang menonton dengan
heran dan kagum. Akan tetapi karena tubuh ular besar itu masih bergerak-gerak, orang-
orang itu masih merasa takut dan tidak berani datang mendekati.
"Dia tidak akan dapat menggigit atau melilit lagi. Kita ikat leher dan ekornya, bawa
pulang ke dusun. Dagingnya enak sekali! Juga kulitnya amat berharga" kata Kun Liong.
Kakek yang menjadi orang pertama melompat ke depan mendekati ular. Dan mengulur
tangan menepuk-nepuk kepala ular itu dan ketika melihat betapa ular itu sama sekali
tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh dan semua orang menjadi berani.
Beramai-ramai mereka mengikat ular itu dengan tali yang memang mereka bawa dari
dusun. Kun Liong lalu menangkap-nangkapi ular-ular beracun kecil sampai belasan ekor lebih.
Kini sambil memanggul ular yang sudah diikat dan membawa ular-ular berbisa kecil yang
sudah lumpuh, penduduk dusun yang dipimpin kepala kampung itu tertawa-tawa
gembira dan penuh kebanggaan, berjalan beriring hendak keluar dari dalam hutan.
"Mudah saja untuk mengusir ular-ular dari hutan ini" Kun Liong sibuk memberi
penjelasan kepada kepala dusun. "Cuwi dapat mempergunakan bubukan garam untuk
mengusir ular. Ular-ular itu paling takut karena garam dapat mencelakakan mereka,
menjadi racun yang merusak kulit mereka. Pertama-tama Cuwi sebarkan garam di
bagian hutan yang dekat dusun, atau dapat juga dipergunakan api untuk membakar
semak-semak. Pasti binatang-binatang itu akan lari ketakutan dan tidak akan berani
datang kembali, mereka akan mencari tempat persembunyian lain yang lebih aman."
Tiba-tiba rombongan itu berhenti berjalan ketika terdengar suara yang mirip suara
suling, akan tetapi aneh sekali, tidak seperti suling biasa. Jelas bahwa suara itu keluar
dari sebuah alat tiup macam suling, hanya suaranya melengking terus tanpa pernah
berhenti sedikit pun, nadanya naik turun, kalau naik menjadi tinggi sekali sampai hampir
tidak terdengar lagi dan seperti menusuk-nusuk telinga, kalau turun menjadi amat
rendah seperti gerengan seekor harimau yang menggetarkan jantung.
"Suara apa itu...?" Kun Liong bertanya, akan tetapi dia tidak memerlukan jawaban lagi
ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu saling pandang dengan mata
terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan seruan kaget ketika mendengar
suara mendesis-desis dari sekeliling mereka, disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan
ekor ular besar kecil yang mengurung mereka! Tadinya ular-ular itu bergerak dan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
58 mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara melengking itu berubah pendek-pendek
seperti memberi aba-aba dan... ular-ular itu lalu berhenti, tidak bergerak seperti mati!
"Apa... apa ini...?" Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan bergidik
melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya datang dari
empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu terlatih sehinggia dapat
melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara suling aneh itu yang mengatur
"barisan" ular ini. Diam-diam dia kagum bukan main.
Suara melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk
dusun itu ketika tiba-tiba, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu di
depan mereka telah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa, seorang kakek berusia lima
puluh tahun, pakaiannya lorek-lorek seperti kulit ular, tubuhnya kurus tinggi dan
lehernya amat panjang, kepalanya lonjong. Benar-benar seorang manusia yang bentuk
tubuhnya "mendekati" bentuk ular! Tangan orang ini memegang sebuah benda yang
bentuknya seperti suling akan tetapi ujung bagian depan besar dan terbuka seperti
corong, agaknya sebuah alat tiup terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang
sebatang pedang.
"Hahhhh! Siapa kalian ini berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu
binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!" Tiba-tiba dia menggetarkan tangah kanannya
ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan dan... semua ular yang dipegang
rombongan itu terlepas karena tiba-tiba mereka, termasuk Kun Liong merasa ada angin
menyambar dan membuat lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk
beberapa detik lamanya!
Kepala dusun dan anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking
takutnya sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat akan cerita Kakek Lo dan
Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular hutan itu
yang katanya ada yang memelihara. Kiranya cerita itu bukan cerita bohong belaka
karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengaku ular-ular itu sebagai
anak buah dan peliharaannya! Dia teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia
kang-ouw banyak terdapat manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan
memiliki kesaktian. Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan
mampu membuat mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi,
Kun Liong dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-
manusia sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat
dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata,
"Locianpwe (Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk
dusun ini, mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini."
Manusia aneh itu sejenak memandang ke arah ular-ular yang hanya dapat bergerak
lambat, termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada
Kun Liong dan memandang dengan heran. "Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan! Engkau
yang melakukan ini" Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap ular?"
"Pemah kupelajari dari orang tuaku sendiri."
"Hemmm, kalian manusia-manusia jahat dan lancang, berani melumpuhkan dan
menangkapi ular-ularku! Kalian tidak berhak hidup lagi karena kalian telah berani
menghina Ban-tok Coa-ong!"
Mendengar ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak
buahnya. "Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
59 "Hemmm, aku barangkali bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!" kata
kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali.
Kun Liong menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata,
"Locianpwe yang telah memiliki nama julukan demikian menyeramkan tentu bukanlah
seorang manusia biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe
tidak malu dan tidak ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe
membunuh orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?"
Kembali kakek itu tercengang memandang Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini benar-
benar membuat dia kaget, heran, dan kagum.
"Kalian telah mengganggu ular-ularku, sudah pantas dihukum. Siapa yang akan
mentertawakan aku?"
"Locianpwe adalah seorang mariusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih
sayang.kepada ular daripada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!"
Kun Liong membantah lagi penuh penasaran.
"Ho-ho-ha-ha-ha! Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang.
membela ular-ular ini" Aku tidak sudi dimasukkan kelompok manusia! Ular-ular ini jauh
lebih baik daripada manusia!"
"Locianpwe agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan
merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!" Kun Liong membantah,
suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar nyaring penuh
penasaran. "Apa kau bilang?" Kakek itu. mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi hasilnya,
sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali. Leherya yang
panjang bergerak-gerak makin memanjang, dan kelihatannya lucu sekali. Lengannya
yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu menudingkan telunjuk tangan
ke arah Kun Liong. "Jangan memutarbalikkan kenyataan, ya" Kau hanya mengingat
manusia yang terbunuh oleh ular-ular, sama sekali tidak ingat akan ular-ular yang
terbunuh oleh manusia! Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus
ekor ular telah dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Itu
pun terjadi karena si manusia mengganggu ular, kalau tidak, tak mungkin ada ular
menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar
karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau
ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa" Tanpa makan ular kalian masih dapat
hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu terbalik
dan sebetulnya, manusia-manusia macam kalian inilah yang amat berbahaya bagi
kehidupan ular?"
Kun Liong menjadi merah sekali mukanya. Di dalam hati anak yang masih belum rusak
benar oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa dia dapat menerima pendapat
kakek aneh itu dan dalam kewajarannya, dia mau tidak mau harus membenarkan
pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun dan anak buahnya
terancam bahaya maut, dia membantah,
"Biarpun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe
adalah seorang manusia, tidak mungkin hendak mengorbankan nyawa manusia untuk
membela ular!"
"Memang aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan daripada bergaul
dengan manusia-manusia yang palsu!" Kakek itu segera mendekatkan ujung
terompetnya ke bibir dan terdengarlah suara melengking yang dahsyat sekali, yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
60 membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun itu menggigil kedua kakinya dan tidak
dapat melangkah dari tempat mereka berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh!
Temyata bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, melainkan suara yang
mengandung getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong
terkejut bukan main. Pemah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini.
Hanya orang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat saja dapat mengerahkan tenaga
dalam suara sehingga melumpuhkan lawan! Pemah dia merasakan getaran khi-kang dari
suara nyanyian tosu Pek-lia-kauw, yaitu Loan Khi Tosu, akan tetapi getaran yang
terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat suara terompet ini sehingga dia
bahkan dapat mengacau nyanyian tosu itu dengan nyanyiannya. Pernah ayahnya
mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khi-kang, akan tetapi
agaknya kekuatan ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat
Kisah Sepasang Rajawali 2 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 2