Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bagian 1
" 05.Kait Perpisahan
Serial 7 Senjata
Karya : Gu Long
Terjemah : Tjan I.D
Bag 1. Bangsawan pembunuh berwajah tampan
"Aku tahu kait adalah sejenis senjata, berada pada urutan ke-7 dalam deretan 18 jenis senjata,
bagaimana dengan kait perpisahan?"
"Kait perpisahan juga sejenis senjata, juga sebuah Kaitan"
"Kalau memang sebuah senjata kait, mengapa dinamakan kait perpisahan?"
"Sebab kaitan ini bisa menciptakan sebuah perpisahan bila berhasil mengait mana pun, bila ia
berhasil mengait tanganmu, maka tanganmu akan berpisah dengan pangkal lenganmu, jika
berhasil mengait kakimu maka kaki mu akan mengucapkan selamat berpisah dengan pahamu"
"Bila leherku yang terkait, benarti aku akan berpisah dengan dunia ini?"
"Benar!"
"Mengapa kau harus menggunakan senjata begitu kejam dan begitu sadis?"
"Sebab aku tak ingin dipaksa orang untuk berpisah dengan orang yang kucintai"
"Aku mengerti maksudmu"
"Kau benar benar mengerti?"
"Kau menggunakan kait perpisahan karena kau ingin selalu berkumpul?"
"Betul!"
Perpisahan. Kesedihan yang harus diterima orang yang hampir terbetot sukmanya.
Jika tidak mencintai kuda jempolan bukanlah seorang enghiong.
0-0-0 "Tiada benda yang lebih indah dan nikmat daripada arak wangi yang berlimpah dan kuda
jempolan sebanyak ribuan ekor, jika anda berminat, kami akan sambut kedatangan anda dengan
gembira." Itulah isi undangan yang disebar congkoan nomor satu dari petemakan kuda Lok Jit di wilayah
Kwan Tong, Jiu Heng Kian mewakili majikannya Kim Toa tauke.
Tujuan dari undangan itu adalah untuk menyelenggarakan pesta besar yang pertama kali di
selenggarakan di petemakan kuda Lok Jit untuk mencoba menunggang kuda serta menjual kuda,
tempat penyelenggaraan adalah Pesanggrahan Pit Su San Ceng milik "Hoa Kay Hok Kui" (Bunga
mekar banyak rejeki dan terhormat) Hoa Suya, seorang saudagar kaya raya asal kota Lok Yang.
Waktu penyelenggaraan bulan tiga tanggal dan jam bulan purnama.
Undangan semacam ini hanya disebar sebanyak belasan lembar, sasaran yang pantas diundang
Jiu congkoan memang tidak terlalu banyak.
Tentu saja orang yang pantas mendapat undangan adalah para tokoh dunia persilatan serta
jago silat kenamaan yang berilmu tinggi. Tidak mencintai kuda jempolan bukanlah seorang
enghiong. Yang hadir hampir semuanya adalah para enghiong, kawanan enghiong yang pemah
menunggang kuda jempolan hasil temak Petemakan kuda Lok Jit.
Dimana ada matahari terbenam, disitu pasti ada kuda jempotan hasil temak Petemakan Lok Jit
yang sedang berlarian. (Lok Jit = matahari terbenam)
Kata motto yang digunakan majikan petemakan kuda ini Kim Toa tauke memang merupakan
kata kata yang nyata.
Bulan tiga, kota Lok Yang, musim semi.
Rembulan pada malam tanggal tujuh betas masih kelihatan bulat, malam telah semakin larut,
angin yang berhembus sepoi membawa bau harum bunga yang semerbak.
Suara ringkikan kuda jempolan yang sedang berlarian di bukit sebelah belakang, lamat lamat
masih kedengaran, tapi suara manusia telah hening, tak kedengaran lagi orang berbicara.
Sinar rembulan memancar masuk melalui luar jendela, meninggalkan sebuah bayangan hitam
yang panjang di lantai ketika menyoroti tubuh Jiu Heng Kian yang tinggi kekar.
Orang ini mempunyai mata yang besar dengan alis mata yang sangat tebal, jidatnya tinggi,
hidungnya mancung seperti hidung elang dan wajahnya penuh bercambang, dibawah sorot sinar
rembulan, Dia nampak begitu seram dan mengerikan.
Dia adalah seorang lelaki sejati, seorang hohan kelas satu di luar perbatasan, tapi saat ini dia
nampak sangat gelisah dan tak tenang.
Baru pertama kali ini dia memikul tanggung jawab berat, dia berjanji akan mensukseskan tugas
dan tanggung jawab ini sebaik baiknya.
Sejak tanggal lima belas, selama tiga hari ini meski hasil yang diperoleh terhitung sangat
memuaskan, bahkan sekelompok kuda yang berada di kandang terbesar dalam petemakan kuda
itu sudah dibeli dengan harga tinggi oleh Ong Cong piautau dari perusahaan ekspedisi Tionggoan
piaukiok, namun dua pembeli utama yang selalu dinantikan selama ini, hingga kini belum nampak
juga batang hidungnya.
Semestinya, tidak seharusnya dia mengharapkan kedatangan ke dua orang itu.
Ho Sou Tayhiap (pendelcar utara sungai) Ban Kun Bu yang nama besarnya sudah lama
menggetarkan sungai telaga sudah tak pemah meninggalkan perkampungannya sejak dia cuci
tangan mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan dua tahun berselang.
Ti Cing Ling, bangsawan kelas satu yang kaya raya dan selama ini memandang nama serta
harta bagai kotoran kerbau juga tak pemah terlihat lagi batang hidungnya selama berapa tahun
terakhir, selama ini orang tersebut selalu berkelana dalam dunia persilatan, bisa jadi dia belum
pernah menerima surat undangan itu.
Dia berharap mereka akan datang, sebab kuda terhaik diantara sekumpulan kuda pilihan yang
dia bawa jauh-jauh dari luar perbatasan hanya pantas ditunggangi mereka yang besar benar tahu
soal kualitas barang.
Hanya orang yang tahu soal kwalitas barang berani menawar dengan harga tinggi barang yang
dibelinya. Dia tak rela bila kuda sebagus itu dibayar bukan pada harga yang sepantasnya, terlebih tak
ingin membawa balik rombongan kuda itu ke luar perbatasan.
Sekarang sudah tengah malam hari ke dua sudah hampir lewat, ketika dia mulai merasa
kecewa itulah tiba tiba dari luar perkampungan kedengaran suara manusia, Ho Sou Tayhiap yang
sudah tiga tahun lamanya tak pemah meninggalkan tempat tinggalnya, kini sudah muncul di
perkampungan Botan Sanceng
0-0-0 Ban Kun Bu mulai terjun ke dalam dunia persilatan pada usia 14 tahun, pada umur 16 tahun dia
mulai membunuh manusia, umur 19 tahun dengan mengandalkan sebilah golok besar berhasil
memenggal batok kepala Hong Hau, seorang gembong perampok terkenal dari bukit Tay Hang
San, pada usia 23 tahun dia telah bertukar senjata dari sebuah golok besar menjadi sebilah golok
emas bersisik ikan dan nama besarnya menggetarkan sungai telaga, belum genap 30 tahun dia
sudah dihormati dan disegani segenap anggota Bu Lim sebagai pendekar Ho Sou Tayhiap.
Dia dilahirkan dalam naungan shio "tikus", tahun ini belum genap 46 tahun, usia yang jauh
lebih muda dari apa yang dibayangkan kebanyakan orang selama ini.
Kali ini dia tidak membawa serta golok andalannya.
Karena dia sudah muak dengan segala urusan dunia persilatan, ketika cuci tangan menyegel
goloknya dihadapan para enghiong hohan dari seluruh dunia persilatan, Golok emas bersisik ikan
yang menyertainya selama banyak tahun telah dibungkusnya dengan kain kuning dan diletakkan
diatas rak kayu cendana persis dihadapan area Kwan Kong yang disembahnya.
Sekalipun begitu, kedatangannya kali ini disertai tiga bilah golok yang lain.
Ke tiga bilah golok itu adalah kakak seperguruannya "Ban- Seng To" (Golok Selaksa
Kemenangan) Kho Tong, murid kesayangannya "Kuay To" (si Golok Kilat) Pui Seng serta teman
sehidup sematinya "Ji Gi To" (Golok Kebanggaan) Ko Hong.
Seorang jagoan semacam dia, bila pergi tanpa membawa golok sama ibaratnya dia pergi tanpa
mengenakan pakaian. tak mungkin dia mau sembarangan keluar dari rumah tinggalnya
Tapi dia yakin dan percaya, ke tiga orang itu adalah tiga bilah golok yang pantas diandalkan.
Entah siapapun orangnya, bila disisi mereka sudah didampingi tiga bilah golok macam ini, maka
dia bisa menghadapi setiap ketegangan dengan perasaan tanang.
Bulan tiga di kota Lok Yang, aneka bunga mekar dengan subumya disetiap sudut taman.
Bukit kecil di belakang pesanggrahan Botan Sanceng telah dipenuhi oink bunga Botan yang
sedang mekar, sementara dibawah bukit, didalam lingkaran arena yang dibatasi dengan kayu,
dipenuhi berpuluh kuda jempolan.
Kuda tak mengerti bagaimana menikmati keindahan bunga Botan, sebaliknya bunga Botan juga
tak mengerti bagaimana menikmati kebagusan seekor kuda, tapi kedua duanya pantas dinikmati
oleh manusia yang sedang menikmatinya.
Bunga Botan yang indah dan cantik persis seperti seorang gadis cantik dari keluarga kenamaan;
sementara kuda yang kekar dan lincah persis seperti seorang enghiong hohan dari dunia
persilatan. Saat ini suasana dibawah bukit sangat ramai, ada yang sedang menikmati kecantikan bunga
Botan, ada pula yang sedang mengagumi kegagahan dan kelincahan kuda kuda jempolan, tapi
diantara sekian banyak orang yang sedang menikmati suasana, hanya satu orang yang benar
benar menikmati.
Ban Kun-bu seperti sama sekali tidak tertarik dengan suasana disekeliling tempat itu, dia
setengah memejamkan matanya sambil bersandar diatas sebuah kursi empuk yang terbuat dari
anyaman rotan. Dia merasa sangat kelelahan.
Yaa, siapa pun pasti akan merasa kelelahan jika dalam semalaman harus tiga kali bertukar kuda
dan menempuh perjalanan sejauh sembilan ratus tiga puluh tiga li.
Kakak seperguruannya, murid kesayangannya dan teman sehidup sematinya masih berdiri
disampingnya tanpa bergerak setengah langkah pun, kuda demi kuda telah dibeli orang dengan
harga tinggi dari arena penampungan ditengah lapangan, tapi dia hanya pejamkan matanya terus
menerus, seakan akan tak ada hal yang menarik minatnya selama ini.
Hingga pada akhimya ketika ada seekor kuda yang sangat istimewa dituntun keluar dari arena
penampungan, dia baru membuka matanya mengawasi kuda yang sedang dituntun keluar oleh Jiu
congkoan itu, seekor kuda berwama hitam pekat dengan wama putih persis pada ujung
hidungnya. Suara pujian dan pekikan kagum segera bergema memenuhi angkasa, siapa pun yang ada
disitu dapat melihat kalau kuda tersebut adalah seeker kuda jempolan yang sangat luar biasa.
Dengan wajah berseri penuh kebanggaan Jiu Heng-kian menepuk nepuk kepala kudanya,
kemudian berkata,"Kuda ini bemama Sin-Ciam (Pariah Sakti), Ban Tayhiap, kau adalah seseorang
yang sangat ahli dalam hal kuda, tentunya kau tahu bukan kalau kuda ini adalah kuda mestika
yang luar biasa hebatnya"
Ban Kun-bu gelengkan kepalanya berulang kali dengan malas, sahutnya"Aku bukan seorang
ahli, kuda itu pun bukan kuda yang bagus, cukup mendengar namanya saja aku sudah tahu kalau
kuda itu tidak bagus"
"Kenapa?" tanya Jiu Heng-kian keheranan.
"Panah itu tak bisa mencapai jarak yang jauh, lagipula cepat duluan lambat dibelakang,
kekuatan akhimya pasti tidak bagus"
Kemudian setelah berhenti sejenak, Ban Kun-bu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain,
ujarnya lagi, "Sewaktu masih muda dulu, aku punya seorang sahabat, tingkah lakunya tak beda
jauh dengan Jiu congkoan sekarang, suatu kali dia mengundangku makan seekor ayam, tapi ayam
yang tak berpaha"
Walaupun dia sedang bercerita tentang seorang sahabatnya sewaktu masih muda serta seekor
ayam yang tak berpaha namum orang lain tidak mengerti apa maksud dari ceritanya itu.
Jiu Heng Kian juga tidak mengerti, tak tahan tanyanya:"Kenapa ayamnya tidak berpaha?"
"Karena sepasang pahanya sudah keburu dipotong oleh tuan rumah untuk dimakan sendiri"
jawab Ban Kun Bu dengan suara hambar, "keadaan seperti ini tak ada bedanya dengan Jiu
congkoan sekarang, kuda yang terbagus selalu disembunyikan untuk dipakai sendiri"
"Ban Tayhiap" bantah Jiu Heng Kian, "dengan ketajaman mata anda, mana berani aku berbuat
hal semacam itu dihadapan Tayhiap?"
Tiba tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Ban Kun Bu, katanya:"Kalau tidak, kenapa Jiu
congkoan sembunyikan kuda tersebut disana?"
Sinar matanya dialihkan ke arena penampungan kuda yang terIetak dipaling belakang, dalam
arena itu terdapat belasan ekor kuda kurus sisa kuda kuda yang sudah dipilih orang, diantara kuda
kurus itu terlihat seekor kuda berwama kuning yang tubuhnya kurus kering bagai seekor busur
panah yang melengkung, kuda itu diikat sendirian disudut arena, gerak geriknya sangat loyo
seperti tak bersemangat, lagipula selalu menjaga jarak dengan kumpulan kuda lainnya, seakan
akan kuda itu enggan berkumpul dengan rekannya.
"Maksud Ban Tayhiap kuda kurus itu?" tanya Jiu Heng Kian sambil mengerotkan dahinya.
"Betul, kuda itu yang kumaksud!"
Jiu Heng Kian tertawa getir.
"Ban tayhiap, kuda ini adalah kuda setan arak, masa kau tertarik dengan kuda semacam itu?"
"Satan arak" Jadi kuda itu baru bersemangat bila sudah diberi sedikit arak?"
"Tepat sekali!" Jiu Heng Klan menghela napas panjang, "bila didalam ransum kuda tidak
dicampuri dengan arak, biar lapar seharian pun dia tak mau makan"
"Apa nama kuda itu?"
"Arak Tua!"
Tiba tiba Ban Kun Bu bangkit berdiri dan menghampiri kuda itu dengan langkah lebar,
kemudian setelah mengamati sejenak binatang itu dengan sorot mata tajam, mendadak dia
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Arak Tua, bagus! Bagus sekali" serunya sambil tertawa, "nah kalau arak tua pasti punya
tenaga lagipula makin ke belakang semakin bertambah kuat, aku berani bertaruh kalau si panah
sakti harus beradu dengannya lari sejauh lima ratus li, mungkin pada dua ratus Ii pertama si
panah sakti akan memimpin duluan, tapi setelah lewat jarak itu, dia pasti dapat meIampaui si
panah sakti pada dua ratus li terakhir"
Kemudian seraya memandang wajah Jiu Heng Kian, tambahnya:"Kau berani bertaruh dengan
aku?" Jiu Heng-Idan termenung berapa saat, tiba tiba dia tertawa keras, sambil tertawa dia acungkan
ibu jarinya tanda memuji.
"Ketajaman mata Ban Tayhiap sungguh mengagumkan" pujinya, "ternyata semua urusan tak
bisa mengeIabuhi pandangan mata Ban Tayhiap"
Kembali terdengar suara pujian bergema dari balik kerumunan orang banyak, bukan saja
mereka mengagumi ketajaman mata Ban Kun Bu, bahkan pandangan mereka terhadap kuda kurus
yang sama sekali tak mencolok itupun mulai berubah, bahkan ada orang yang berebut membuka
penawaran lebih dulu, walaupun tahu bahwa mereka tak akan bisa menangkan persaingan itu
dengan Ho Sou Tayhiap, namun mereka berpendapat sekalipun harus kalah, mereka ingin kalah
secara terhormat.
Penawaran tertinggi yang diajukan adalah "sembilan ribu lima ratus tahil" satu angka
penawaran yang amat besar.
Ban Kun Bu sama sekali tidak menanggapi teriakan-teriakan orang lain, pelan pelan dia
acungkan tiga jari tangannya sambil membuat satu gerakan tangan tertentu.
Jiu congkoan dengan suara lantang segera mengumumkan, "Ban tayhiap mengajukan
penawaran sebesar tiga laksa tahil, apakah ada orang yang berani mengajukan penawaran lebih
tinggi?" Temyata tidak ada. Setiap orang mengunci mulutnya rapat rapat, tak seorangpun berani
bersuara lagi. Baru saja Ban Kun Bu dengan wajah berseri siap menghampiri arena penampungan untuk
menuntun kuda kurus itu, mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara nyaring:"Aku
berani menawar tiga laksa tiga tahil"
Paras muka Ban Kun Bu segera berubah hebat, sambil menarik wajahnya dia bergumam, "Sejak
awal sudah kuduga, bocah ingusan ini pasti akan datang mengacau!"
Sementara itu Jiu Heng Kian dengan wajah berseri telah berseru:"Sungguh tak disangka Ti Siau
Hou muncul juga tepat pada waktunya!"
Kerumunan orang banyak segera menyebar ke kiri kanan membuka jalan, siapa pun ingin
melihat macam apakah wajah Bangsawan nomor wahid, pemuda paling romantis dalam dunia
persilatan saat ini.
0-0-0 Dia adalah seorang pemuda tampan yang mengenakan baju berwama putih salju, pakaian itu
tampak bersih sekali tanpa ada debu yang menempel diatasnya, dia mempunyai wajah putih
bersih yang kelihatan begitu dingin dan hambar, sebuah senyuman seolah olah selalu menghiasi
ujung bibimya; Disamping pemuda ini selalu terlihat seorang perempuan cantik jelita yang berjalan
mengiringinya, bahkan setiap kali menampakkan diri di muka umum, gadis yang mengiringinya
selalu berganti orang.
Pemuda inilah Bangsawan yang menganggap harta kekayaan sebagai sampah, memandang
kuda jempolan dan wanita cantik bagai nyawa sendiri, Ti Cing Ling.
Perduli ke manapun dia pergi, dia selalu paling menarik perhatian orang banyak, dia pula yang
selalu menimbulkan rasa kagum orang terhadap dirinya.
Tidak terkecuali pada penampilannya kali ini.
Gadis cantik yang mendampinginya hari ini adalah seorang gadis cantik berbaju merah segar,
gadis itu mempunyai kulit badan yang putih bersih, bibir mungil bernarna merah seperti bunga
tho, mata yang bening dan sangat menawan hati serta pipi yang semu merah seperti orang yang
sedang mabuk arak.
Tak seorang pun yang tahu dari mana Bangsawan Ti berhasil mendapatkan seorang gadis
cantik seperti ini.
Melihat kehadirannya, Ban Kun Bu hanya bisa gelengkan kepalanya berulang kali sambil
menghela napas panjang:"Mau apa kau datang kemari" Kenapa kau harus datang kemari?"
Bangsawan Ti memandangnya sekejap sambil tertawa hambar, dengan perkataan yang paling
singkat dia beritahu kepada Ban Kun Bu:"Aku datang untuk mencelakaimu!"
"Mencelakai aku" Dengan cara apa kau hendak mencelakaiku?"
"Berapa tinggi pun penawaran yang kau ajukan, aku selalu akan menawar tiga tahil lebih
tinggi" Ban Kun Bu memandang wajah lawannya dengan sorot mars berkilat, entah berapa lama dia
melototi pemuda itu, kemudian sambil tertawa tergelak dia berkata:"Bagus, bagus sekali!"
Semua orang beranggapan jago tangguh dari sebelah utara sungai besar ini pasti akan
mengajukan satu penawaran yang lebih tinggi lagi untuk menggertak lawannya.
Tak nyana begitu berhenti tertawa, mendadak Ban Kun Bu berseru:"Aku tidak jadi membeli
kuda itu, kau boleh menjualnya kepada dia"
Jiu Heng Kian melengak, untuk sesaat dia nampak tertegun dan tak tahu apa yang harus
diperbuat. Belum sempat Ban Kun Bu melangkah pergi dari situ, tiba tiba terdengar Ti Cing Ling berteriak
lagi:"Tunggu sebentar!"
"Apa yang mesti kutunggu lagi?" sahut Ban Kun Bu sambil berpaling memandangnya sekejap.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ti Cing Ling tidak menjawab pertanyaan ini, dia bertanya kepada Jiu Heng Kian:"Apakah masih
ada orang lain yang akan mengajukan penawaran lebih tinggi?"
"Rasanya sudah tak ada lagi"
"Berarti mulai saat ini kuda tersebut sudal menjadi milikku?"
"Benar!"
"Kalau begitu kuhadiahkan kuda ini untukmu" kata Ti Cing Ling kemudian sambil berpaling ke
arah Ban Kun Bu.
Ban Kun Bu tertegun.
"Apa kau bilang?" serunya tertahan, "kau benar-benar akan menghadiahkan kuda ini kepadaku"
Kenapa kau berbuat begitu"'
Dia tidak paham, orang lain tentu saja lebih tak mengerti.
Dengan suara hambar Ti Cing Ling menjawab:"Tidak ada maksud lain atas pemberianku ini,
sudah sepantasnya kalau seekor kuda jempolan dihadiahkan untuk seorang jagoan sejati, kenapa
harus ditanya lagi mengapa?"
Memang begitulah tingkah laku Ti Cing Ling, satu tindakan yang aneh bagi pandangan orang
lain. 0-0-0 Malam semakin larut, dibawah cahaya lentera yang menerangi setiap sudut ruangan, pesta
perjamuan sedang berlangsung dengan meriahnya. Arak wangi mengalir tiada hentinya berpindah
dari dalam guci ke perut setiap jago yang ada disitu.
Ban Kun Bu minum terus tiada hentinya.
Semua jago persilatan tahu bahwa orang ini mempunyai takaran minum arak yang luar biasa
mengagumkan. "Bukan saja Ban Tayhiap memiliki ilmu golok yang tiada ke duanya dikolong langit, takaran
minum araknya juga tiada tandingan di dunia saat ini"
Tentu saja hari ini dia minum sangat banyak, luar biasa banyaknya.
Mau tidak mau dia harus menerima maksud balk Ti Cing Ling, namun setelah menerima
kebaikannya dia pun tak tahu harus merasa gembira atau tidak.
Oleh sebab itulah dia terus minum arak karena setelah minum arak dia akan merasa sangat
gembira. Kakak seperguruannya, murid kesayangannya serta teman sehidup sematinya membiarkan dia
minum sepuas hati, sebab tempat yang digunakan mink minum adalah kamar pribadi dan Hoa
Suya, tidak banyak tamu yang diundang dalam pertemuan kali ini, lagipula asal usul setiap orang
yang hadir disitu pun sudah diperiksa secara ketat dan teliti, karenanya tempat itu boleh dibilang
aman sekali. Ban Kun Bu sering berkata kepada teman temannya"Bila seseorang kelewat cepat ternama
dalam dunia persilatan, hal in bukanlah satu kejadian yang menggembirakan, sebab orang yang
kelewat cepat ternama biasanya pada waktu malam susah untuk tidur nyenyak"
Contohnya orang macam dia, dalam melakukan pekerjaan dan perbuatan apapun semuanya
harus dilakukan ekstra hati hati, karena sangat berhati hati maka dia bisa hidup sehat hingga hari
ini. Sekalipun ada orang menginginkan nyawanya, belum tentu kesempatan semacam itu bisa
didapatkan secara mudah.
Orang pertama yang mengundurkan did dan pesta meriah itu adalah Ti Cing Ling.
Sejak dulu dia tak pemah suka minum arak, dia pun merasa amat lelah, apalagi didalam kamar
tamu yang disiapkan tuan rumah masih ada seorang wanita cantik yang menunggunya bagi
sebagian besar orang, asal ada alasan yang terakhir pun sudah lebih dari cukup untuk mundur
Iebih cepat dan pasta pora yang meriah itu.
Setiap orang dengan membawa sorot mata kagum dan iri mengiringi kepergian pemuda
tampan itu, bukan hanya kagum bahkan sangat memuji:"Cara kerja Bangsawan Ti memang
menarik dan menggiurkan, tak heran banyak perempuan cantik yang mencintainya setengah mati"
Hoa Suya termasuk orang yang sangat terbuka dan luas pandangannya
Dia berperawakan tinggi besar, gemuk tapi berotot, jujur, berkemauan karat dan punya sikap
yang hangat terhadap siapa pun, wajahnya yang gemuk lagi bulat sama sekali tidak
mencerminkan kelicikan maupun kemunafikan, walau saban tahun dia harus berapa kali ditipu
orang, namun masalah semacam itu tak pemah dimasukkan ke dalam hati.
"Sudah berapa ekor kuda yang kau bell kali ini" tanya Ban Kun Bu kepadanya.
"Tak seekor pun yang kubeli" jawab Hoa Suya sambil tertawa terkekeh kekeh, "sebab baik Kim
Toa tanya maupun Jiu congkoan sama sama adalah sahabatku, aku tak boleh mencelakai teman
sendiri, tak boleh membuat mereka tertipu olehku, karena itu hanya aku yang ditipu orang, bukan
aku yang menipu temanku sendiri"
Ban Kun Bu tertawa terbahak bahak.
"Bagus, bagus sekali" " serunya "hahaha"aku pantas menghormati tiga cawan arak
kepadamu" Selesai minum tiga cawan arak, kembali Hoa Suya balas menghormatinya dengan tiga cawan
arak, setelah itu Ban Kun Bu pun berpamit untuk "meringankan tubuh" nya sebentar.
Tak heran orang ini mempunyai takaran minum yang luar biasa, sebab dia memiliki sebuah
rahasia dalam tehnik minum arak yaitu dia bisa muntah. Begitu selesai minum arak dalam jumlah
banyak, dia pasti berpamit untuk muntah dulu. Selesai muntah, dia akan kembali untuk
melanjutkan minumnya lagi.
Itulah rahasia darinya..
Walaupun kakak seperguruannya, murid kesayangannya dan teman sehidup sematinya
semuanya ikut mengetahui rahasia ini, namun dia selalu menganggap mereka tak pemah tahu,
karena itu mereka pun terpaksa harus berlagak seolah olah tidak tahu.
Oleh sebab itu ketika dia berpamit mau "meringankan tubuh", mereka membiarkan dia pergi
seorang diri. Diatas liang yang amat dalam tampak melintang papan kayu cendana sebagai tempat pijakan,
diatas papan tempat pijakan dilapisi sebuah karpet yang indah sementara pada dasar liang dilapisi
bulu angsa. Hoa Suya memang termasuk orang yang pandai menikmati hidup, apa yang dia inginkan selalu
dipersiapkan secara lengkap dan sempuma, termasuk tempat untuk "meringankan tubuh" pun
tanpa kecuali. Ketika berjalan masuk ke ruang "meringankan tubuh" dengan sorot mata yang masih mabuk
dia awasi tempat itu dengan perasaan kagum, dia memutuskan untuk membuat juga satu tempat
yang persis seperti ini setibanya di rumah nanti.
Maka dia pun mulai muntah.
Tidak sulit baginya untuk melakukan hal itu" asal dia masukkan jari telunjuknya ke dalam
mulut, kemudian menekan lidahnya kuat kuat maka semua isi perutnya akan mulai tumpah keluar.
Tapi sayang kali ini dia tak sempat muntah.
Baru saja dia masukkan jari telunjuknya ke dalam mulut, tiba tiba muncul sebuah tangan yang
lain dari belakang tubuhnya, tangan itu langsung menekan dagunya ke atas sehingga sebaris
giginya langsung menggigit ujung jarinya sendiri.
Dia merasa kesakitan tapi sayang tak mampu bertenak, dengan sekuat tenaga dia coba
menyikut tulang iga lawan dengan sikutnya, tapi sayang tindakan inipun tak berhasil karena orang
itu keburu menotok jalan darah Ci Ti Hiat nya terlebih dulu.
Ilmu silat yang dilatihnya dengan susah payah selama dua puluh delapan tahun, kini tak satu
pun yang bisa digunakan, kini seluruh tenaga dan kekuatan tubuhnya telah hilang musnah.
Padahal dia memiliki pengalaman bertempur yang sangat matang, banyak sudah korban yang
berhasil dibunuhnya, banyak juga orang yang ingin menghabisi nyawanya, tapi hanya orang ini
yang mampu memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk membekuknya.
Kini, dia hanya ingin tahu siapakah orang itu"
Tampaknya orang inipun berniat untuk memberitahu siapakah dirinya, dengan suara setengah
berbisik katanya pelant, "Sejak tadi aku toh sudah beritahu kepadamu, aku datang untuk
mencelakaimu, sudah lama aku melakukan penyelidikan serta pengamatan, setiap urusanmu,
setiap tindak tandukmu sudah kuselidiki sangat jelas, bahkan mungkin lebih jelas daripada dirimu
sendiri, aku pun tahu saat ini kau pasti akan datang kemari untuk muntah"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia menambahkan dengan suara dingin, "Oleh karena itu,
kau boleh mati dengan perasaan tenteram, mati tanpa menyesal!"
Ban Kun Bu segera tahu siapakah orang itu, hanya sayang selama hidup dia tak berkesempatan
lagi untuk bicara.
Pada saat yang terakhir dia hanya sempat menyaksikan berkilatnya selapis cahaya pisau, begitu
tawar cahaya itu persis seperti sekilas cahaya fajar yang baru muncul di ufuk timur saat itu.
Menyusul kemudian dia merasa ulu hatinya sakit sekali, sebilah pisau belati sudah menusuk
masuk dari tulang iga dada sebelah kirinya langsung tembus hingga ke jantungnya.
Sebilah pisau yang sangat tipis, lebih tipis dari selembar kertas.
Tak ada orang yang bisa melukiskan kecepatan gerak pisau tipi situ.
Ketika dicabut keluar, gerakan itupun sama cepatnya seperti ketika melancarkan tusukan tadi.
Ketika sebilah pisau yang sangat tipis menusuk ke dalam tubuh lalu dicabut kembali, maka
tusukan tersebut tidak akan meninggalkan bekas mulut luka yang kentara atau terlihat dengan
mata telanjang.
Oleh karena itu tak ada yang bisa membalaskan dendam atas kematian Ban Kun Bu.
Sebab kematiannya disebabkan minum arak kelewat banyak, dalam pandangan kebanyakan
orang, mereka sependapat bahwa seseorang yang minum arak kelewat banyak, seringkali bisa
mati secara mendadak
Tentu saja semua orang tak pemah menyangka kalau peristiwa kematian ini mempunyai
hubungan yang erat dengan Bangsawan Ti yang baru saja menghadiahkan seekor kuda jempolan
kepadanya. Oleh sebab itu kuda jempolan tetap mengikuti layon majikannya pergi meninggalkan tempat
itu, sementara Ti Cing Ling pergi sambil diikuti perempuan cantik miliknya.
Nanti ketika dia munculkan diri sekali lagi dikemudian hari semua orang pasti masih tetap akan
memandangnya dengan sorot mata kagum serta memuji, tak akan ada orang yang percaya kalau
dia pernah membunuh orang, menghabisi nyawa seseorang tanpa menimbulkan suara dan
menggunakan gerakan yang menyolok.
Memang inilah ciri khas dari Ti Cing Ling, tehnik membunuh orang yang tiada duanya di kolong
langit. 0-0-0 Ruangan dalam kereta kuda itu lebar dan terasa sangat nyaman, bukan saja kuda yang
menghela kereta itu terdiri dari kuda kuda pilihan, sang kusir pun sangat mahir dalam
mengendalikan kereta kuda itu.
Duduk didalam kereta kuda yang diperoleh Ti Cing Ling dari tangan seorang permaisuri raja
yang ditukar dengan sebuah mutiara mestika ini serasa duduk di dalam sebuah perahu pesiar di
telaga See Ou yang berair tenang, bahkan sama sekali tidak terasa katau kereta itu sedang
bergerak. Si Si dengan mengenakan sebuah jubah sutera berwarna merah yang amat lembut duduk
melingkar di sudut ruang kereta bagaikan seekor kucing Persia, saat itu dengan menggunakan
tangannya yang putih mulus dengan kuku yang diberi cat merah, sedang menyuapi kekasihnya
dengan buah anggur yang manis dan segar.
Dia adalah seorang wanita yang lemah lembut, cantik dan cerdik, dia sangat mengerti
bagaimana menikmati hidup, juga tahu bagaimana kaum lelaki menikmati kemesrahan yang dia
berikan. Dia tak ingin kehilangan lelaki yang berada disisinya saat ini, tapi dia sadar, sudah saatnya akan
segera kehilangan lelaki itu.
Ti Cing Ling tidak pemah membiarkan seorang wanita berada di sisinya terlalu lama.
Tapi Si Si telah mengambil keputusan, dia harus berupaya agar Bangsawan Ti menahannya
lebih lama. Ti Cing Ling mengawasi terus perempuan yang berada disisinya, mengawasi sepasang kakinya
yang telanjang, putih, indah dan lembut yang muncul dari balik jubah sutera merahnya.
Dia tahu, tubuh dibalik jubah sutera berwarna merah yang membalut badan perempuan itu
adalah sebuah tubuh telanjang bulat yang sangat indah dan menggairahkan napsu syawat.
Tubuh perempuan itu lembut, putih, halus dan montok, apalagi sewaktu mencapai puncak
kenikmatan, seluruh badannya akan berubah jadi dingin bahkan akan gemetaran terus tiada
hentinya. Si Si memang tahu bagaimana cara untuk menaklukan seorang pria, dia tahu bagaimana cara
mengendalikan seorang lelaki.
Bagi Ti Cing Ling yang sudah kelewat banyak menikmati tubuh wanita, hanya perempuan ini
yang terasa sangat cocok bagi seleranya, hanya perempuan ini yang selalu memberikan kepuasan
seks kepadanya.
Dia ambil keputusan akan menahannya lebih lama, gejolak hawa panas yang timbul dalam
tubuhnya membuat dia mengambil keputusan tersebut.
Pelan-pelan tangannya mulai digerakkan, menggerayang masuk ke balik jubah merahnya yang
Iebar, dipegang dan diremasnya sepasang payudaranya yang besar, montok dan kenyal itu
dengan penuh napsu.
Pada saat itulah, tiba tiba perempuan itu mengucapkan sepatah kata yang aneh sekali nadanya.
"Aku tahu kau sudah lama mengenali Ban Kun Bu" kata Si Si dengan suara lembut, "apakah
kalian saling mendendam atau terlibat suatu permusuhan?"
"Sama sekali tidak"
"Dulu pun dia tak pemah menyalahi dirimu?"
"Sama sekali tidak"
"Lalu, mengapa kau harus membunuhnya?" tanya Si Si sepatah demi sepatah kata, ditatapnya
pemuda itu dengan pandangan tajam.
Aliran hawa panas yang semula mengalir dalam tubuh Ti Cing Ling, tiba tiba saja berubah jadi
dingin membeku, entah mengapa dia merasa merinding hatinya
Terdengar Si Si masih melanjutkan kata-katanya,"Aku tahu, pasti kau yang telah
membunuhnya, sebab ketika dia menemui ajalnya secara kebetulan kau tidak berada disisiku, dan
sewaktu kembali kau pun kelihatan gembira sekali; Dalam semalaman kau sudah mengajakku
berbuat intim sampai tiga kali, jauh lebih banyak ketimbang sewaktu pertama kali kau bertemu
denganku. Dulu, aka pemah mendengar cerita dari seorang nyonya, katanya ada sementara orang
yang akan lebih bernapsu dan bergairah setelah membunuh seseorang, dia akan berubah brutal
diranjang, bertambah gila dan liar, persis seperti tingkah lakumu semalam tadi"
Ti Cing Ling hanya mendengarkan dengan tenang, sedikitpun tidak memberikan reaksinya.
Si Si kembali berkata:"Aku pun tahu, kau menyembunyikan sebilah pisau yang tipis, sangat tipis
dibalik bajumu, pernah beritahu kepadaku, jika membunuh seseorang dengan menggunakan pisau
semacam itu, maka akan sulit untuk menemukan mulur luka ditubuh korbannya,"
Ti Cing Ling tetap membungkam, tapi dia mulai menghela napas di dalam hati kecilnya.
Tidak seharusnya Si Si kenal dengan 'Toaci' tersebut, seorang wanita memang tidak
sepantasnya mengetahui begitu banyak urusan.
Si Si kembali mengawasi kekasihnya, sambil membelai wajah pemuda itu dengan lembut,
katanya lebih jauh: "Kau tak perlu merahasiakan urusan apapun kepadaku, toh aku sudah menjadi
milikmu, aku tak perduli kau akan melakukan perbuatan apapun, aku tetap akan selalu mengikuti
dirimu " Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya dengan lembut: "Oleh sebab itu kau boleh berlega
hati, aku tak akan bercerita tentang perbuatanmu, biar sampai matipun tak akan kuceritakan"
Nada suaranya bertambah halus dan lembut belaian tangannya juga bertambah lembut.
Dengan cepat perempuan ini mulai merasakan, napsu birahi pemuda itu mulai bangkit kernbali,
jubah sutera berwarna merah yang dikenakan segera mulai dirobek, mulai dicabik cabik dengan
penuh napsu. Sekarang Si Si boleh merasa lega.
Dia tahu, taktik yang dipergunakan telah membuahkan hasil, sekarang pemuda itu tak akan
meninggalkan dirinya, tak akan berani meninggalkan dirinya.
Goncangan hebat yang melanda kereta kuda itu pelan pelan mereda kembali, akhirnya kereta
pun dapat bergerak semakin tenang, bergerak ke depan rnengikuti helaan kuda didepannya.
Dari bawah tempat duduknya Ti Cing Ling ambil keluar sebotol arak anggur, setelah meneguk
satu cawan kecil dia baru berkata:"Tadi kau bertanya kepadaku kenapa harus membunuh Ban Kun
Bu, perlukah aku beritahu kepadamu sekarang?"
"Asal kau mau bercerita, aku akan mendengamya"
"Aku bunuh dia karena ada seorang sahabatku tidak menginginkan dia hidup terus"
"Kau punya sahabat?" Si Si tertawa. "aku belum pemah tahu kalau kaupun punya sahabat"
Setelah berpikir sejenak kembali tanyanya:"Apapun yang diminta sahabatmu itu, kau selalu
akan mengabulkan permintaannya?" Ti Cing Ling manggut-manggut.
"Hanya dia yang bisa membuatku berbuat begitu sebab aku sudah hutang budi kepadanya"
Bangsawan Ti menjelaskan, "sekarang dia adalah seorang pentolan paling top dari sebuah
organisasi rahasia terbesar dalam dunia persilatan, dia pemah membantuku satu kali, satu-satunya
syarat yang dia ajukan hanyalah ketika dia butuh aku melakukan suatu pekerjaan, maka aku tak
boleh menolak"
Setelah berhenti sejenak, kembali ujamya:"Organisasi rahasia itu bernama perkumpulan Cing
Liong Pang (Perkumpulan Naga Hijau), mempunyai tiga ratus enam puluh lima kantor cabang,
hampir di setiap propinsi, tiap keresidenan dan setiap sudut tempat terdapat orang orang mereka,
begitu besar dan dahsyatnya pengaruh mereka, jauh diatas apa yang kau bayangkan selama ini"
"Kalau mereka punya pengaruh dan kekuatan sedahsyat itu, kenapa harus minta bantuanmu
untuk bunuh orang?" tak tahan Si Si bertanya.
"Sebab ada sementara orang yang tak bisa membunuh orang, sebab setelah membunuh, akibat
yang timbul terlalu besar, kesulitan dan pertikaian yang muncul juga kelewat banyak, apalagi
manusia macam begini tentu mempunyai banyak sahabat, mereka tentu akan berupaya untuk
membalaskan dendam sakit hatinya"
"Yaa, benar juga, pihak kerajaan pasti akan mengirim petugas untuk melakukan penyelidikan"
Si Si mengangguk, "orang persilatan selalu enggan menghadapi kesulitan macam begini"
Ti Cing Ling manggut manggut membenarkan.
"Biasanya orang yang tak mungkin bisa dibunuh justru dapat kubunuh dengan mudah, dan
cuma aku yang bisa membunuh" katanya, "sebab siapapun tak akan mengira kalau aku bisa
bunuh orang, karena itu setelah membunuh orang aku pun tak akan menghadapi banyak
kerepotan, terlebih tak akan menyusahkan sahabatku itu"
Si Si tidak bertanya lebih jauh, karena sekarang dia lebih lega, dia merasa lega sekali.
Hanya dihadapan seorang wanita yang paling dicintai dan paling dipercaya, seorang lelaki baru
mau membeberkan rahasia semacam ini.
Dia bertekad untuk menjaga rahasia ini dengan sebaik-baiknya" sebab dia pun sangat
mencintai lelaki yang kadang lembut bagaikan alur air, kadang dingin bagaikan salju dan
terkadang begitu panas dan bergairah bagai kobaran api ini.
Dia percaya dan yakin dirinya pasti dapat mengendalikan lelaki ini.
Sayang sekali semua dugaannya keliru besar.
Walaupun dia sangat memahami kaum pria, tapi pria yang berada di hadapannya saat ini justru
sulit dipahami oleh siapa pun.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan dia sendiripun terkadang tidak paham dengan diri seniri.
Kereta kuda masih bergerak melanjutkan perjalanannya, hanya saja di dalam ruang kereta saat
ini tinggal Ti Cing Ling seorang.
Si Si sudah lenyap dari permukaan bumi, sejak detik itu dia sudah hilang lenyap untuk
selamanya. Ti Cing-ling mempunyai tiga macam cara yang dapat melenyapkan seseorang dari muka bumi,
cara yang digunakan terhadap Si Si adalah cara yang terampuh diantara cara cara lainnya.
Tak ada orang yang tahu cara apa yang dia gunakan, ketiga cara itu hanya dia seorang yang
tahu akan rahasianya.
Rahasia miliknya kecuali untuk dia sendiri, selama hidup tak pemah ada orang hidup kedua
yang mengetahuinya.
Si Si telah keliru besar, dia salah tafsir.
Sebab dia tak tahu kalau Ti Cing-ling selama hidup tak pernah akan percaya dengan siapa pun
yang masih bisa bernapas.
Dia pun tak tahu kalau satu satunya orang yang paling dicintai Ti Cing Ling hanya diri sendiri.
Jika seorang wanita semacam Si Si lenyap secara tiba tiba dari muka bumi, kejadian ini tak
mungkin bisa menimbulkan kesulitan ataupun persoalan apapun.
Sebab perempuan semacam ini tak lebih hanya seperti pohon Yang liu yang dipermainkan
hembusan angin, bagai daun teratai yang mengapung diatas permukaan air, seandainya dia
lenyap maka orang akan menduga besar kemungkinan dia sudah kabur bersama seorang playboy,
atau mungkin dia sudah disembunyikan seorang saudagar kaya raya dalam rumah emasnya, atau
bahkan mungkin dia sedang bersembunyi didalam sebuah kuil kecil ditengah hutan dan mencukur
rambut jadi nikou.
Perempuan semacam dia memang bisa melakukan perbuatan apapun.
Oleh karena itu dikala dia merasa yakin dapat hidup mendampingi Ti Cing-ling secara aman dan
tenteram, justru Ti Cing Ling mempersilahkan dia pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Dan hal ini merupakan salah satu ciri khas Ti Cing Ling terhadap kaum wanita.
0-0-0 "Toaci" sedang bersandar disisi pembaringan yang terbuat dari tembaga dengan seprei wama
merah menyala, dalam hati kecilnya dia sedang berpikir:
"Sudah seharusnya Si Si tiba dirumah, kenapa dia belum juga muncul?"
Dia sangat mencintai Si Si, sebab di kolong langit saat ini dia sudah tak punya sanak maupun
keluarga lagi, dan dia pun sudah mulai terbiasa disebut orang sebagai `Toaci'.
Seorang wanita macam dia ternyata dipanggil orang sebagai `Toaci. (kakak tertua),
sesungguhnya kejadian ini merupakan satu kejadian yang amat memilukan.
Usia remajanya sudah lama berlalu, sekarang, dia hanya berharap Si Si tidak meninggalkan
dirinya dan tidak mengecewalcan harapannya, dia berharap Si Si bisa menikah dengan seorang
pria yang jujur dan setia.
Sayang sekali Si Si justru tak pemah suka dengan pria yang jujur dan bersikap setia.
Si Si terlalu pintar, kelewat angkuh, dia ingin hidup menonjol, dia ingin jadi bini orang tenar,
orang kaya, persis seperti sikapnya ketika masih muda dulu.
Ditengah ruangan tersedia sebuah meja bulat yang terbuar dari kayu cendana, disisi meja
duduk seorang lelaki kurus kering, berkulit hitam, berwajah murung dan usianya sekitar tiga puluh
tahunan, dia duduk termenung sambil mengawasi perempuan itu tanpa berkedip.
Pemuda ini bernama Nyo Cing, teman mainnya semasa kecil, boleh dibilang dia merupakan
sahabat karibnya sejak kecil hingga kini.
Ketika berusia lima belas tahun, gara gara tak punya uang untuk mengubur kedua orang
tuanya, dia terjun dalam kehidupan malam sebagai seorang pelacur, setelah berpisah belasan
tahun akhirnya mereka berdua lagi disitu, sungguh tak disangka lelaki muda itu sudah jadi seorang
komandan opas di kota keresidenan tersebut.
Dengan jabatan serta kedudukannya sekarang, tidak pantas dia mendatangi tempat pelacuran
seperti ini. Tapi kenyataannya hampir setiap dua tiga hari sekali, dia pasti datang berkunjung, setiap kali
datang, dia hanya duduk termenung disitu sambil mengamati wajahnya tanpa berkedip.
Diantara mereka berdua sama sekali tak ada ikatan hubungan seperti apa yang diduga orang
lain, hubungan perasaan mereka berdua tak akan dipahami orang lain, juga tak akan dipercayai
siapa pun Dia selalu nasehati Nyo Cing agar tidak terlaIu sering datang berkunjung, agar terhindar dari
pergunjingan orang, yang mana dapat mempengaruhi dan menodai nama baik serta karier
kerjanya. Tapi Nyo Cing selalu bilang:"Selama aku tidak melakukan perbuatan yang melanggar norma
susila dan norma hukum, perduli amat dengan pergunjingan orang, aku tetap akan mendatangi
tempat yang ingin kudatangi"
Dia memang seorang lelaki keras hati.
Selama dia anggap hal tersebut patut dilakukan, selama tidak melanggar norma susila, tidak
melanggar norma hukum, biarpun ada golok mengancam di tengkuknya, tak seorangpun bisa
mencegah sepak terjangnya.
Dia bertekad akan menikahinya.
Dalam benaknya, dari dulu hingga sekarang dia tetap adalah si nona kecil berkepang besar "Lu
Siok Bun", dan bukan lonte kenamaan "Ji Giok", juga bukan si germo "Toaci" seperti predikatnya
saat ini. Sebaliknya, dalam benak sang "Toaci" pun bukan tak punya keinginan untuk kawin dengan
pemuda ini, siapa sih yang tak mau dikawini seorang lelaki yang keras hati, romantis lagi jujur"
Sejak berapa tahun berselang, dia telah menebus perempuan itu dari rumah bordil, asal dia
bersedia, setiap waktu setiap saat dia akan memboyongnya ke rumah.
Tapi dia tak boleh berbuat begitu, pemuda itu setahun lebih muda dari usianya, dalam
pandangan para anggota kepolisian, dia adalah seorang hohan yang jujur, bersih, punya masa
depan cemerlang, banyak sahabat dan mampu bekerja.
Sebaliknya dia sendiri tak lebih seperti sekuntum bunga yang mulai layu, mulai kusam dan
sudah sering diinjak kaki banyak orang, dia tak lebih hanya seorang lonte yang tak bermoral,
seorang lonte busuk yang sama sekali tak ada harganya.
Dia tak mau memusnahkan masa depannya, rnaka dia mesti bulatkan tekad untuk menampik
pinangannya, dia lebih suka hidup seorang diri dalam kesepian, seorang diri menyeka air mata
dikala ter jaga dari tidumya tengah malam.
Tiba tiba Nyoo Cing bertanya:"Apakah Si Si telah menemukan seorang lelaki yang baik, apakah
dia sudah dikawini seseorang?"
"Akupun berharap dia bisa peroleh seorang suami yang baik" Lu Siok Bun menghela napas
panjang, "sayang cepat atau lambat akhirnya dia harus kembali juga"
"Kenapa?"
"Kau tahu tentang manusia yang bemama Ti Cing Ling?"
"Aku tahu, keturunan bangsawan kelas satu, seorang pendekar muda yang romantis dan amat
termashur dalam dunia persilatan" jawab Nyoo Cing, "jadi Si Si pergi bersamanya,"
Lu Siok Bun mengangguk.
"Mana mungkin seorang lelaki macam Ti Cing Ling dapat menaruh cinta murni terhadap
seorang wanita" Paling banter cuma buat main main, setelah bosan ditinggal begitu saja"
Kembali Nyoo Cing duduk termangu berapa saat lamanya, kemudian pelan pelan dia bangkit
berdiri. "Aku pergi dulu" katanya, "malam ini aku masih punya tugas untuk dilaksanakan"
Lu Siok Bun tidak berusaha mencegah, dia pun tidak bertanya tugas apa yang hendak
dilaksanakan. Dalam hati mestinya dia ingin menahannya, ingin bertanya kepadanya, berbahayakah tugas
yang akan dijalankan" Di dalam hati kecilnya, dia selalu menguatirkan keselamatan jiwanya,
begitu kuatir sehingga kadang kadang sukar untuk tidur.
Namun diluar, ia hanya berkata hambar"Kalau begitu pergilah"
Malam semakin hening.
Di depan pinto gerbang rumah bordil "Gie Hong Wan" tergantung dua buah lentera merah yang
amat besar, dipandang dari kejauhan, lentera itu mirip sekali dengan sepasang mata hewan buas.
Seekor binatang buas yang bisa menelan manusia tanpa memuntahkan tulang belulangnya!
Sejak dulu, entah sudah berapa banyak gadis lemah yang ditelan bulat bulat oleh hewan buas
itu, berapa banyak gadis miskin yang dinodai dan dicemooh dalam gedung tersebut
Nyoo Cing amat benci, amat gemas dan mendendam! Sayang dia tak punya kemampuan untuk
mendobrak tradisi itu, karena rumah bordil dibuka atas dasar hukum, dilindungi undang undang,
sebuah usaha resmi yang lengkap dengan ijin ijinnya, bukan saja dia tak boleh mengusiknya,
bahkan harus melindungi dan menjaga keamanan serta kelancaran usaha itu.
Angin malam yang berhembus dalam lorong gelap itu basah lagi dingin, dengan melawan angin
dia berjalan keluar.
Mendadak muncul seseorang dari balik lorong, sambil tertawa menggapai ke arahnya memberi
tanda. Orang itu bernama Sun Ji Hay, Ji piautau dari sebuah perusahaan ekspedisi, nama besamya
cukup termashur dalam dunia persilatan, dalam kota pun sangat disegani orang banyak, konon
ilmu silat yang dimiliki terhitung tangguh.
Tapi Nyoo Cing tak pernah suka dengan orang ini, karena itu tegurnya dengan suara dingin,i
"Ada apa?"
"Ada sedikit benda akan kuserahkan kepada komandan Nyoo, titipan seorang teman" kata Sun
Ji-hay sambil mengeluarkan setumpuk uang kertas dari sakunya, "uang kertas ini dikeluarkan
rumah uang "Toa Thong", tiap lembar bernominal seribu tahil yang bisa diuangkan dimana pun"
Nyoo Cing memandangnya dengan sorot mata dingin, dia tidak bereaksi, ditunggunya orang itu
berkata lebih lanjut.
"Dengan uang tersebut, komandan Nyoo bisa membeli sebuah rumah gedung dengan halaman
yang luas, juga bisa menjemput nona Giok pulang ke rumah" tertawa Sun Ji Hay membuat
sepasang matanya kelihatan makin sipit, "asal malam ini komandan Nyoo mau beristirahat di
rumah dan tidak ke mana mana, tumpukan uang kertas ini akan menjadi milikmu"
"Siapa yang suruh kau serahkan ini kepadaku?" Nyoo Cing sama sekali tak tergerak hatinya,
"Apakah dari teman yang mau lewat disini malam ini?"
"Betul!" Sun Ji Hay segera mengakui, "dihadapan orang pintar tak perlu berbohong, memang
dia" "Konon baru saja dia berhasil membegal sebuah kereta kawalan di jalan raya Siang Lim To, nilai
kereta kawalan itu hampir seratus delapan puluh laksa tahil, masa dia cuma memberi aku
sedemikian kecilnya" Apa tidak kebangetan?"
"Komandan Nyoo minta berapa?"
"Tidak banyak yang kuminta, aka cuma pingin mendapat seratus delapan puluh laksa tahil plus
dua orang manusia"
"Dua orang yang mana?" Sun Ji-hay tak mampu tertawa lagi
"Yang satu kau, yang lain dia" kata Nyoo Cing, "sebagai seorang pengawal barang, ternyata
kau malah bersekongkol dengan kaum begal, manusia macam kau pantas dibantai"
Sun Ji Hay rnundur dua langkah, cepat cepat dia masukkan kembali tumpukan uang kertas itu
ke dalam saku, lalu dengan kecepatan bagaikan kilat dia cabut keluar sebuah senjata garpu dari
sakunya. "Sialan!" umpatnya sambil tertawa seram, "hanya seorang opas kecil di kota keresidenan juga
berani melawan Ni Pat taiya" Hmmm! Yang pingin mampus seharusnya kau"
"Dia bukan saja pantas mampus, bahkan sudah dipastikan akan mampus" dari balik lorong
gelap tiba tiba terdengar seseorang menimpali dengan suara dingin.
Bab 2. Tongkat Gigi Serigala.
Tongkat Gigi Serigaia atau lebih dikenal sebagai Long Ya Pang termasuk sebuah jenis senjata
yang jarang digunakan dalam dunia persilatan, selain berat, bentuknya kelewat besar, tidak
leluasa untuk dibawa ke mana mana, dalam penggunaan pun sangat canggung dan tak gesit,
Tanpa memiliki kekuatan lengan seberat ribuan kati, jangan harap bisa mainkan senjata ini
dengan lancar. Biasanya, senjata macam begini hanya dijumpai dalam sebuah pertempuran kolosal, sebuah
pertempuran akbar yang melibatkan beribu ribu orang prajurit, pertempuran berdarah yang bisa
menciptakan banjir darah dan bukit bangkai. Sementara dalam dunia persilatan, teramat jarang
orang menggunakan senjata jenis ini.
Tapi orang yang menerjang keluar dari balik lorong saat ini justru menggunakan senjata Long
Ya Pang dengan bobot paling tidak tujuh-delapan puluh kati, gigi serigala yang mencorong diatas
tongkat memancarkan sinar tajam yang menyilaukan mata, sekilas pandang persis seperti
berpuluh puluh ekor serigala kelaparan yang slap menerkam Nyoo Cing dan mencabik cabik
tubuhnya hingga hancur berkeping.
Orang itu berperawakan tinggi besar, tinggi badan hampir sembilan depa dengan panjang
lengan hampir dua depa, bertelanjang dada, berkepala botak, memakai anting anting besar
terbuat dari emas pada telinga kirinya dan berwajah merah membara seperti kobaran api.
Dia mempunyai sebuah bekas bacokan golok yang memanjang di ujung bibirnya, membuat
hidungnya yang besar bagai telur itik terbelah dua.
Jika ada orang yang menyaksikan kemunculannya ditengah malam buta, pasti akan mengira
telah berjumpa dengan jin atau memedi jahat.
Nyoo Cing membalikkan badan menghadap ke arah manusia raksasa itu, dia tak ambil perduli
dengan Sun Ji Hay yang berada di belakangnya, seolah-olah dia sama sekali tak tahu kalau senjata
garpu yang berada di tangan Sun Ji Hay pun merupakan senjata pembunuh, bahkan sudah banyak
jago yang menemui ajalnya di ujung senjata garpu yang tajam itu.
Perawakan Nyoo Cing termasuk cukup tinggi, namun dibandingkan manusia raksasa yang
berada di hadapannya, dia nampak pendek sekali.
"Konon Ni Pat punya seorang anak buah dari suku Miau yang disebut orang si Kerbau liar, jadi
kaulah si suku Miau itu?" tegur Nyoo Cing kemudian.
"Tepat sekali, akulah orangnya"
"Konon kau buas, kasar, tak pakai aturan dan tak takut mati, apa benar kau tak takut
mampus?" "Yang bakal mampus bukan aku, tapi kau si anak kura kura!" orang Miau itu mengumpat
dengan dialek Tionggoan yang lucu, apalagi kata umpatan yang digunakan, kedengarannya aneh
dan amat istimewa.
Nyoo Cing tidak bersenjata, jarang orang melihat dia gunakan senjata.
Dengan tangan kosong dia berdiri dihadapan manusia raksasa itu, bukan saja tak panik, dia
justru kelihatan tenang sekali.
Pada saat itulah, Tongkat gigi serigala seberat tujuh-delapan puluh kati itu sudah diayunkan ke
muka dan menyapu ke arah tubuhnya dengan membawa deruan angin serangan yang
rnemekikkan telinga.
Dia tak dapat menangkis, dalam genggamannya sama sekali tak ada benda yang bisa dipakai
untuk menangkis.
Dia pun tak dapat mundur, sebuah senjata garpu yang tajam sedang mengancam dari belakang
tubuhnya. Jangan lagi melawan, mau berkelit pun sulit baginya.
Lorong itu kelewat sempit, sementara senjata tongkat gigi serigala itu kelewat panjang,
sewaktu menyambar ke depan, hampir seluruh jalan mundumya telah terblokir total, mau berkelit
ke arah mana pun, sulit baginya untuk melepaskan diri dari ancarnan tersebut.
Sun Ji Hay tidak turun tangan.
Dia memang tak perlu turun tangan, bahkan saat itu dia sedang mencari akal bagaimana
caranya memusnahkan mayat orang itu, agar manusia yang bernama Nyoo Cing lenyap untuk
selamanya dan muka bumi.
Belum sempat dia menemukan sebuah cara yang sempurna, tahu tahu satu perubahan telah
terjadi, dia segera sadar, percuma dia melanjutkan pemikiran itu.
Karena dalam sekejap mata itulah dia menjumpai bahwa untuk sementara waktu Nyoo Cing tak
bakalan mampus.
Tadi, posisi Nyoo Cing memang sudah terkurung, kelihatannya dia segera akan menemui
ajalnya. Dengan cara apapun dia menangkis atau dengan cara apa pun dia berkelit, apalagi mundur dan
arena, sebuah pukulan dahsyat tetap akan bersarang di tubuhnya.
Tak ada orang yang mampu menahan serangan tongkat bergigi serigala itu.
Siapa nyana Nyoo Cing sama sekali tidak menangkis, dia tidak menghindar, apalagi mundur dari
arena memang ada sementara orang yang selama hidup tak sudi mundur dari arena, Nyoo Cing
termasuk manusia type ini.
Bukan saja dia tidak mundur, sebaliknya dia malah menerjang ke muka, menyongsong
datangnya serangan tongkat bergigi serigala itu.
Tak seorang pun yang mengira dia akan berbuat demnkian, karena selama ini memang tak
seorang pun berani berbuat demikian.
Seorang jago silat yang benar benar hebat clan berkepandaian tinggi, pasti memiliki cara lain
yang lebih bagus untuk menghadapi ancaman tersebut, sebaliknya buat orang yang berilmu agak
rendah, mungkin saat ini tubuhnya sudah terkoyak koyak oleh senjata tongkat bergigi serigala.
Nyoo Cing menerjang ke muka, menyongsong datangnya serangan.
Pada detik yang terakhir, tiba tiba dia jatuhkan diri ke lantai, dengan sepasang tangan menekan
permukaan tanah, dia menerobos masuk melalui bawah serangan senjata bergigi serigala itu,
kepalanya langsung menumbuk perut si kerbau liar.
Gerak serangan semacam ini tak bisa dianggap sebagai jurus ilmu silat, seorang jagoan murni
dari dunia persilatan tak bakalan menggunakan cara seperti ini, mereka tak sudi berbuat begitu.
Tapi cara yang digunakan Nyoo Cing justru sangat manjur dan bermanfaat, begitu perutnya
tertumpuk sodokan kepala lawan, si kerbau liar dengan berat badan hampir mencapai dua ratus
kati itu kontan roboh terguling ke atas tanah, sambil memegangi perut sendiri dan bergulingan,
dia menjerit jerit karena kesakitan, begitu keras jerit kesakitannya hingga orang yang berada tiga
gang dari tempat itu pun dapat mendengar sangat jelas.
Menyusul kemudian Nyoo Cing mengeluarkan seutas tali yang terbuat dari otot kerbau dan
langsung membelenggu kaki dan tangan manusia raksasa itu, bahkan dia jejalkan sebiji buah tho
ke dalam mulutnya agar orang itu tidak menjerit lagi.
Kemudian setelah menghembuskan napas panjang, dia berbalik ke hadapan Sun Ji Hay dan
menegur hambar,"Bagaimana?"
Dalam pada itu Sun Ji Hay sudah tertegun dibuatnya, sampai setengah harian kemudian dia
barn bergumam:"Ilmu silat macam apa itu?"
"Gerakan itu sama sekali bukan gerak jurus ilmu silat" sahut Nyoo Cing ketus, "aku tidak
mengerti apa itu ilmu silat, yang kuketahui hanya bagaimana cara merobohkan seseorang"
"Gerakan dungu semacam itu bukan termasuk jurus silat, seorang enghiong hohan, tak akan
sudi menggunakannya"
"Aku memang bukan enghiong hohan, aku pun tak pingin mampus, yang kuinginkan hanya
menggunalcan akal untuk membekuk si tersangka"
"Kini, dengan cara apa kau hendak menangkapku?" tanya Sun Ji Hay kemudian sambil
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rnenggenggam semakin kencang sepasang senjata garpunya.
"Aku tak perduli cara apa yang mau dipakai, asal dapat membekukmu, cara apa pun akan
kuhalalkan"
Sun Ji Hay tertawa dingin.
Nyoo Cing tidak menggubris, sambil menatapnya tajam kembali ujamya:"Kau mengerti ilmu
silat dan aku tidak! Kau adalah seorang jagoan termashur dalam dunia persilatan, sedang aku
bukan. Di tanganmu tergenggam senjata dan aku tidak, bila kau memang hebat dan mampu
menaklukkan aku, yaa, aku pun tak bisa bilang apa-apa!"
Sun Ji Hay masih tertawa dingin, tapi paras mukanya telah berubah jadi pucat pias bagaikan
mayat. Nyoo Cing berjalan mendekat dengan amat lambat, katanya lagi:
"Sayang kau tak becus, aku tahu, kau memang tak becus, kalau berani bergerak sedikit saja,
akan kusuruh kau berbaring selama tiga bulan di ranjang tanpa mampu merangkak bangun, kau
percaya?" Kini dia sudah berada dihadapan Sun Ji Hay, jantung serta ulu hatinya sudah berada tak lebih
satu depa dari ujung senjata garpu yang berada dalam genggaman Sun Ji Hay.
Namun Sun Ji Hay tak bergerak, menggeserkan badan pun tidak.
"Criiing!" diiringi suara nyaring, sebuah borgol tangan yang terbuat dari besi baja sudah
terpasang di tangannya.
Tempik sorak bergema gegap gempita dari balik lorong gelap, rnenyusul kemunculan belasan
sosok lelaki kekar berbaju hitam berjalan mendekat dengan langkah Iebar
Mereka semua adalah anak buah Nyoo Cing, juga terhitung saudara sealiran dengan Nyoo Cing,
terhadap opas yang satu ini bukan saja mereka menaruh perasaan kagum, rasa hormatnya sangat
berlebihan. "Nyoo toako, kau memang hebat"
"Kalian juga hebat" jawab Nyoo Cing sambil tertawa, "tahu aku sedang menghadapi kesulitan,
bisanya kalian hanya menonton keramaian ditempat kegelapan, masa tak seorang pun yang
muncul membantu aku"
"Kami tahu untuk mengatasi persoalan ini, kekuatan toako seorang sudah lebih dari cukup,
kami datang karena ingin membantu toako untuk menyelesaikan urusan berikut"
Berubah serius paras muka Nyoo Cing.
"Rupanya kalian pun tahu tentang persoaJan ini, dari mana kalian bisa tahu?" hardiknya.
"Semalam, Tio Loji mengutus Siau Liu mencari toako di kantor, kami tahu pasti ada urusan
penting yang harus dikerjakan, maka siang tadi saudara saudara kami sengaja menahan Siau Liu
untuk minum arak"
"Jadi dia yang beritahu kalian" seru Nyoo Cing gusar, "padahal berulang kali aku sudah
peringatkan padanya, jangan bocorkan rahasia ini. Besar amat nyali si telur busuk ini"
"Kami mengerti maksud toako, kami pun tahu toako amat memperhatikan keselamatan kami,
toako melarang kami tahu peristiwa ini lantaran ilmu silat yang dimiliki musuh kelewat tangguh,
masalah ini sangat gawat dan berbahaya, salah salah dapat kehilangan nyawa."
Kawanan lelaki kekar itu berebut bicara:"Tapi kami sudah banyak tahun mengikuti toako,
apabila selama ini toako tidak selalu membentengi kami, mungkin separuh diantara kami sudah
mampus sejak awal, karenanya sudah lama kami siapkan nyawa untuk diserahkan kepada toako,
walaupun tahu bukan tandingan lawan, paling tidak kami akan mencoba untuk beradu nyawa, biar
mesti mati, kami semua saudara slap mati bersama"
Nyoo Cing mengepal tinjunya kencang kencang, sementara pandangan matanya terasa kabur
karena air mata yang nyaris meleleh keluar, masih untung ia sanggup menahan diri.
Kembali kawanan lelaki itu berseru:"Meskipun kami tak tahu seberapa hebatnya manusia she-Ni
itu, tapi dilihat dari keberaniannya menyatroni perusahaan ekspedisi Tionggoan piaukiok, bisa
disimpulkan bahwa dia memang seorang lawan tangguh, biar jelek begini kami pun bukan orang
bodoh, dibawah bimbingan toako, kami sempat berapa kali menangani kasus kasus bergengsi
secara sukses, maka dari itu, biar mesti gunakan dua nyawa untuk ditukar selembar nyawa, kami
tetap akan beradu jiwa dengan mereka"
"Bagus, bagus sekali" seru Nyoo Cing sambil menggenggam tangan saudara saudaranya,
"kalian semua ikut aku!"
Kembali kawanan lelaki kekar itu bersorak sorai, entah siapa yang punya ide ternyata sebuah
gentong arak wangi telah digotong ke arena.
"Toako, bagaimana kalau kau habiskan dua cawan arak lebih dulu?"
"Kira tak perlu membiarkan nyali dengan mengandalkan air kata kata, jika mau minum, kita
minum sepuasnya nanti setelah urusan ini selesai kita kerjakan"
"Betul, betul!" teriak kawanan lelaki itu lagi, "kita bikin gepeng si telur busuk itu lebih dulu,
kemudian baru bermabuk mabuk dengan menenggak arak kura-kura maknya!"
Tapi Sun Ji Hay dan si kerbau liar harus dikirim balik dulu ke markas, siapa yang mau bertugas
mengawal mereka" Semua orang tentu saja enggan melewatkan peluang yang sangat bagus ini,
maka semua orang pun berebut agar bisa terpilih.
Untuk menghindari keributan, akhimya Nyoo Cing yang mengambil keputusan, katanya, "Biar si
The tua dan Siau Hau Ji yang mengawal mereka pulang"
The tua belum lama menikah, putranya belum genap berusia satu tahun, tentu saja dia paham
dengan maksud Nyoo Cing, dalam hati kecilnya dia sedih bercampur terharu, dia berterima kasih
sekali dengan kebaikan saudaranya ini.
Sebaliknya si macan kecil Siau Hau Ji merasa tidak puas, teriaknyar"Toako, kenapa aku yang
diutus?" "Kau sudah lupa dengan ibumu di rumah yang sudah tua rental" Umpat Nyoo Cing sambil
tempeleng wajahnya satu kali.
Siau Hau Ji tidak bicara lagi, semaktu berpaling, nyaris air matanya jatuh berlinang.
Melihat tingkah lake orang orang itu, mendadak Sun Ji Hay merasa hawa panas bergelora
dalam rongga dadanya, dengan suara lantang teriaknya:
"Lepaskan aku, aku ingin beradu sekali lagi, aku Sun Ji Hay bukan manusia tempe, akupun tak
takut mati macam kalian"
Si Kerbau liar yang sudah diikat tangan kakinya dengan otot kerbau langsung meludahi
wajahnya sambil mengumpat"Anak kura-kura, kaJau kau tidak takut mampus, siapa yang takut"
Buat apa kau teriak teriak macam kentut busuk" Lebih baik segera tutup bacotmu."
Menyaksikan lo-The dan Siau Hau Ji menggotong pergi ke dua orang itu, tiba tiba Nyoo Cing
menghela napas panjang.
"Mungkin saja Sun Ji Hay bukan manusia berjiwa tempe, tapi berhubung belakangan
kehidupannya dilewatkan dalam keadaan serba berkecukupan, jiwanya jadi berubah"
Kemudian setelah berhenti sejenak dan menghela napas sedih, tambahnya:"Tidak gampang
manusia macam dia hidup berkecimpungan dalam dunia persilatan, tapi lebih tak gampang untuk
tak takut mati"
0-0-0 Ni Pat ya sedang sakit kepala.
Tentu saja kepalanya yang sakit bukan lantaran ulah Nyoo Cing, seorang opas dari sebuah kota
keresidenan bisa berbuat apa terhadapnya" dia hampir tak pandang sebelah mata pun terhadap
orang itu. Dia sakit kepala karena saat ini dia hampir sadar dari mabuknya semalam, arak yang diminum
semalam memang kelewat banyak.
Walaupun Congpiautau dari Tionggoan piaukiok, "Po Ma Kim To (Kuda Mestika Golok Emas)
Ong Ceng Hui tidak mengawal sendiri barang kawalannya lantaran sedang beli kuda di
perkampungan Botan Sanceng, tapi piausu dari marga Ong yang bertugas mengawal barang itu
sudah cukup membuatnya sakit gigi.
Dia harus bertarung mati matian hampir setengah jam lamanya dengan mengandalkan senjata
"To Tiong Koay" (Golok Dibalik tongkat) yang sudah mengikutinya hampir tiga puluhan tahun dan
mendampinginya paling tidak dalam tiga ratusan kali pertempuran, ditambah dukungan dari lima
belas orang antek dan begundalnya yang paling diandalkan, itupun harus kehilangan enam orang
jagoan dulu sebelum berhasil merampas barang dalam kereta kawalan itu.
Tapi semua perjuangannya itu tidak sia sia, seratus delapan puluh laksa tahil perak bukan
jumlah yang kecil, jumlah itu sudah Iebih dari cukup baginya untuk melewati sisa hidupnya
dengan penuh kemewahan dan kenikmatan.
Tahun ini usianya sudah mencapai lima puluh enam tahun, setelah mengirim semua uang hasil
jarahan itu ke rumah di desa, dia sudah bersiap cuci tangan dan mencari tempat yang jauh dan
keramaian dunia untuk menikmati sisa hidupnya dengan aman sentosa,
Ni Pat Toaya berasal dari daerah Su Chuan, dia senang menaiki "tandu peluncur"
Bangku yang diikatkan pada dua batang bambu dan digotong oleh dua orang, dinamakan
"tandu peluncur".
Duduk diatas tandu peluncur, selain enak juga tanpa halangan, selain dapat melihat ke delapan
penjuru secara babas, bila menoleh ke belakang, dia pun bisa melihat kereta yang penuh berisi
uang perak. Penghela kereta maupun kawanan pengawal barang merupakan konco konco sehidup
sematinya, mereka semua merupakan jagoan yang berilmu tinggi dan sangat berpengalaman
dalam menghadapi pelbagai pertempuran.
Walaupun dia yakin tak akan ada orang berani mengusiknya di jalanan itu, namun semua gerak
geriknya tetap dilakukan dengan sangat berhati hati.
Dia menggunakan kereta semacam ini untuk mengangkut uang peraknya karena kereta kecil
semacam ini paling lincah dan paling handal dalam menempuh perjalanan jauh, apalagi kereta
yang kecil tak bakal menggganggu atau menghalangi perjalanan orang lain.
Kereta kecil seperti ini mirip kereta gerobak, kereta yang didorong dengan tenaga manusia.
Kuda atau keledai akan menimbulkan suara, sedang manusia tidak, kuda atau keledai bisa
meringkik dan berteriak susah terkendali, manusia tak akan.
Karena itu dia sangat tenteram, dia sangat lega hatinya. Sementara itu hari sudah akan terang
tanah. Sambil pejamkan matanya Ni Pat Toaya beristirahat berapa saat lamanya, ketika berpaling ke
belakang, tiba tiba dia jumpai rombongan kereta gerobak yang seharusnya rnembentuk sebuah
barisan panjang, kini sudah tinggal separuh! Dia mencoba menghitung jumlahnya, betul juga,
telah berkurang tujuh buah kereta gerobak.
Jago yang mengawal kereta gerobak di barisan terakhir itu adalah si "Martil Tembaga", seperti
halnya "si Kerbau Liar", mereka adalah jago jago yang khusus didatangkan dari wilayah Miau di
perbatasan sana, dalam situasi macam apapun tak mungkin mereka akan menghianatinya.
Ke mana perginya gerobak gerobak berisi uang perak itu"
Sepasang tangan Ni Pat Toaya segera menekan sisi bambu lalu melejit ke tengah udara,
berjumpalitan beberapa kali, kemudian ujung kakinya mental diatas kepala kusir yang mendorong
gerobak keempat, dalam sekejap mata dia sudah melalui diatas kepala delapan orang kusir
gerobak dan tiba di gerobak terakhir dengan kecepatan tinggi, itulah ilmu meringankan tubuh Pat
Poh Kam Jan (delapan langkah mengejar ronggeng) yang paling dibanggakan selama ini.
Tak ada kejadian apa apa dibagian belakang sana, tapi si "Martil Tembaga" yang bertugas
mengawal gerobak uang sudah lenyap tak berbekas.
Orang yang mendorong gerobak di depan si Martil Tembaga adalah Seng Kong, hari ini dia
memang minum agak banyak, tapi dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi di belakang
tubuhnya, dia baru bertanya setelah melihat Ni Pat Toaya melayang turun persis di hadapannya.
Ni Pat Tanya tak bicara apa apa, dia langsung tempeleng dua kali wajahnya kemudian baru
berseru, "Cepat ikut aku periksa keadaan di belakang sanal"
Rembulan sudah mulai tenggelam, cahaya bintang pun mulai redup, suasana di empat penjuru
gelap gulita, sesaat menjelang ddtangnya fajar, suasana memang selalu paling gelap pekat
Tak ada gerak gerik yang mencurigakan di belakang sana, tak kedengaran suara apa apa, juga
tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Tapi suasana di balik semak belukar di sisi jalan nampak sedikit kurang beres" waktu itu angin
sedang berhembus menggoyangkan semak dan rerumputan, tapi ada sebagian diantaranya sama
sekali tak bergerak.
Semak disitu tak bergerak karena sudah ditindih manusia, ditindih delapan orang manusia,
tujuh orang pendorong gerobak sudah dipukul hingga semaput dan diikat dengan tali kuda,
mulutnya disumpal dengan buah tho dan tergeletak tak berkutik disana, sementara si Martil
Tembaga yang mengawal di paling belakang juga sudah diikat dengan otot kerbau bahkan sudah
mati terbunuh. Melihat situasi ini, Ni Pat Toaya malah jauh lebih tenang darpada keadaan semula, dia segera
bertanya kepada Seng Kong:
"Masa kau tidak mendengar suara apa pun yang mencurigakan?"
Seng Kong menunduk rendah, dia memang tidak mendengar apa apa, selama ini kesadarannya
memang tak pernah jernih.
Dari mulut kusir gerobak yang terikat Ni Pat Toaya lepaskan sebiji buah tho, kemudian setelah
menengok sekejap empat penjuru, serunya sambil tertawa dingin tak hentinya:"Bagus, bagus
sekali, cara kerja yang cepat, tak nyana dari kalangan kepolisian pun ada jagoan yang cukup
hebat." . "Konon opas handalan tempat ini bernama Nyoo Cing, ilmu silat yang dimiliki cukup tangguh"
timbrung Seng Kong tiba tiba.
Ni Pat segera mengerutkan dahinya.
"Aku sudah utus Sun Ji Hay dan si Kerbau Liar untuk menghadapinya, masa mereka berdua tak
sanggup menghadapinya" Kalau dia betul betul hebat, saat ini aku duga dia sudah berputar ke
depan dan menyikat tandu luncur ku"
"Coba kutengok" seru Seng Kong dengan wajah berubah. "Percuma, sekarang sudah terlambat"
sahut Ni Pat dengan suara hambar, wajahnya sama sekali tak berubah.
Dia memang tak malu disebut jago tua yang kenyang dengan pengalaman, biarpun tahu sudah
masuk perangkap namun otaknya tetap jernih, analisa serta kesimpulan yang diambil juga masih
tepat. Pada saat itulah dari barisan depan telah bergema suara jerit kesakitan yang memilukan hati,
suara dari si tua botak Pa.
Si botak Pa termasuk salah satu anak buah handalannya, dia bertugas mengawal di barisan
terdepan, jelas sudah, dia pun telah masuk perangkap.
Deegan wajah tidak berubah kembali Ni Pat berseru."Si botak Pa sudah habis riwayatnya, si
setan hitam, si serigala kuning dan si gajah kelewat berangasan dan talc sabaran, mereka pasti
menyusul ke situ, kalau dugaanku tak salah, Nyoo Cing tentu akan menghindari mereka dan kini
berputar ke tengah rombongan untuk menyikat Phang Hau terlebih dulu"
"Kita susul mereka?"
"Tidak, kita tak perlu menyusul, kita tidak ke mana pun"
"Masa kita hanya berdiri melulu, menyaksikan mereka membunuh orang orang kita"' seru Seng
Kong tertegun. Ni Pat Toaya tertawa dingin.
"Hmm, siapa lagi yang bisa dia bunuh" Selama aku belum mati, cepat atau lambat dia bakal
jatuh ke tanganku. Sasaran utamanya adalah aku, kalau aku ada disini, cepat atau lambat dia
pasti datang kemari untuk menghantar kernatiannya"
Angin berhembus makin kencang, langit semakin gelap, tiba tiba Seng Kong merasa hawa
bergidik muncul dan dasar lcakinya menyusup hingga ke kepala.
Sekarang dia baru sadar, Ni Pat Toaya tak pernah perduli dengan keselamatan anak buahnya,
termasuk para konco konco sehidup sematinya.
Kini, kereta gerobak tak mungkin bisa jalan, uang yang dimuat dalam gerobak juga tak akan ke
mana mana, asal mereka bisa bertahan hingga akhirnya membunuh Nyoo Cing, uang tetap akan
menjadi miliknya, orang yang memperoleh bagian uang pun semakin sedikit, dalam keadaan
begini buat apa dia mesti membuang tenaga untuk menolong orang" Buat apa dia mesti buang
tenaga dengan percuma"
Tentu saja dia dapat menahan diri asal dia bisa menahan diri dan menunggu kedatangan
lawan, Nyoo Cing akhimya pasti akan mati.
Seng Kong merasa makin bergidik, namun dia tak berani tampilkan perubahan perasaan
hatinya diatas wajah.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, sekalipun Nyoo Cing tidak turun tangan, siapa
tahu akhirnya Ni Pat akan turun tangan sendiri untuk menyingkirkan anak buahnya satu per satu"
Bila tak ada yang mendapat bagian, maka seratus delapan puluh Iaksa tahil perak akan
menjadi miliknya seorang, jika tak ada yang tahu rahasia ini, kehidupannya dikemudian hari
bukankah jauh lebih aman, tenteram dan bahagia"
Sementara itu Ni Pat Toaya telah siapkan golok dibalik tongkat To Tiong Koay yang tak pernah
berpisah dari sisi tubuhnya itu.
Sebilah golok Liu Yap To ditambah sebuah tongkat baja, Ditengah golok terselip tongkat,
ditengah tongkat terselip golok, satu keras satu lunak, keras lunak bersatu padu; satu menyerang
satu bertahan, serangan dan pertahanan saling membantu, itulah kepandaian yang paling
diandalkan Ni Pat Toaya selama menjelajahi dunia persilatan.
Dengan menjepit tongkatnya dibawah ketiak dan membelai mata golok dengan telapak
tangannya, Ni Pat Toaya melirik wajah Seng Kong sekejap, tiba tiba tegurnya, "Kau sudah
memahami maksud hatiku?"
Seng Kong terkesiap, den tak berani mengakui, tidak berani pula menyangkal.
Jerit kesakitan yang mengerikan bergema silih berganti dari balik kegelapan, Ni Pat tak
bergeming, dia seolah olah sama sekali tak mendengar suara itu.
"Kau keliru besar bila beranggapan aku sedang "meminjam golok membunuh orang'"' katanya
hambar,"sudah banyak tahun mereka ikut aku, kalau sampai menghadapi seorang opas kecil pun
tak mampu, buat apa aku mesti pikirkan nasib dan keselamatan mereka?"
"Yaa, aku mengerti" jawab Seng Kong dengan kepala tertunduk.
"Tapi kau beda, kau paling lama ikut aku, selama kau tetap setia kepadaku, penghidupanmu
dimasa mendatang pasti akan lebih baik"
"Yaa, aku mengerti"
"Bagus sekali kalau kau mengerti" Ni Pat Toaya mulai tertawa.
Dengan tangan kanan menggenggam tongkat, tangan kiri mengayunkan golok, diantara kilatan
cahaya tajam tiba tiba teriaknya nyaring:"Nyoo Cing, aku berada disini, kenapa kau belum muncul
juga?" Kereta gerobak sudah berserakan, suara bentakan dan jerit kesakitan sudah mekin mereda,
akhirnya dari balik kegelapan muncul seseorang, kepada Ni Pat hardiknya nyaring:"Manusia she-
Ni, kasus kriminalmu sudah terbukti, ayoh ikut karni pulang ke markas"
"Jadi kaulah Nyoo Cing?"
"Ehmm"
Kembali Ni Pat tertawa dingin.
"Manusia macam apa kau itu" Hmm, kenapa aku Pat Loya mesti turun tangan sendiri" Seng
Kong, ayoh maju hadapi dia!"
Seng Kong cabut keluar senjara ruyungnya yang terbuat dari bambu, sambil memutar ruyung
dia menerjang maju ke muka.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia bukannya tak paham maksud tujuan Ni Pat, dirinya jelas digunakan sebagai lempar batu
periksa jalan, dia digunakan untuk menjajal kemampuan yang dimiliki Nyoo Cing.
Sekalipun mengerti, mana mungkin baginya untuk tidak maju"
Ni Pat Tayya menggenggam kencang golok tongkatnya, sementara sorot matanya menatap
tajam sepasang bahu, sepasang kaki dan sepasang kepalan dari orang yang berada di
hadapannya. Asal bisa meraba aliran ilmu silat yang dimiliki orang tersebut, mati hidup Seng Kong sama
sekali tak dia perdulikan. Semenjak dia dihianati orang sampai dua kali, dia mulai belajar tentang
hal ini, asal dirinya bisa hidup, dapat hidup lebih baik, apa urusannya dengan mati hidup orang
lain" Disaat Seng Kong mulai bergerak menyerang, tiba tiba dari balik semak belukar sebelah kiri
jalan bergema suara gedebukan nyaring.
Dari antara pendorong gerobak yang dipukul pingsan dalam semak belukar itu, mendadak
menggelinding keluar seseorang, sambil bergulingan orang itu lepaskan tiga buah anak panah
beracun, arah sasaran adalah dada Ni Pat yang bidang itu.
Sesungguhnya Ni Pat termasuk orang yang hebat dan pandai menduga apa yang bakal terjadi,
tapi dia sama sekali tak menyangka akan datangnya serangan itu.
Dia sangat terkejut, untung dalam kagemya dia tak sampai panik, tubuhnya segera melejit ke
tengah udara, dalam keadaan yang kritis, Dia keluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang paling
hebat "Han Tee Pat Jiong" (Mencabut Bawang Ditanah Tandus), menghindarkan diri dari ancaman
ke tiga anak panah itu.
Si opas yang menyaru sebagai kuli dorong kereta cepat menggelinding ke muka dan menunggu
jatuhnya badan Ni Pat dari tengah udara.
Sadar ada musuh dibawah yang sedang menunggu, tergesa Ni Pat mengubah gerakan
tubuhnya, dia berniat menghindar ke samping.
Siapa tahu tatkala dia tarik napas sambil berusaha mengalihkan posisi, tiba tiba dari belakang
tubuhnya menerjang masuk seseorang sembari melepaskan sebuah tonjokan keras ke arab
pinggangnya. Jotosan itu tidak meleset.
Biar sehebat apapun pengalaman Ni Pat Taiya, dia tak menyangka akan datangnya serangan
itu, orang bilang sepandai pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga, sodokan tinju yang
keras itu kontan membuat tubuhnya terguling ke lantai, napasnya tersumbat hingga sukar ganti
hawa, nyaris dia tak mampu merangkak bangun lagi.
Tapi dia mesti merangkak bangun, kalau tidak, sebuah tendangan yang dilepaskan musuh
dapat mencabut selembar jiwanya.
Sambil paksakan diri menahan rasa sakit yang luar biasa di atas jalan darahnya, dia gunakan
tongkat bajanya menutul permukaan tanah lalu melompat bangun dengan segera.
Tahu tahu seorang lelaki kurus berwajah hitam sudah berdiri hadapannya, mengawasinya
dengan sepasang mata harimaunya vang tajam, bahkan beritahu kepadanya dengan nada
mengejek"Akulah Nyoo Cing yang asli, tadi kau salah orang"
Ni Pat tertawa keras, air getir hampir saja tumpah keluar dari perutnya yang mual, teriaknya
berulang kali:"Bagus, bagus! Aku kagum kepadamu, semua ini memang kesalahanku, bukan saja
aku salah melihat orang, akupun kelewat pandang enteng kemampuanmu, tak nyana kau adalah
manusia busuk yang banyak akal"
"Aku bukan seorang kuncu, tapi akupun bukan siaujin" kata Nyoo Cing, "kadangkala aku
memang suka menggunakan sedikit tipu muslihat, disaat aka harus gunakan maka aku akan
menggunakan, sewaktu bisa menggunakan akupun akan menggunakan"
"Bagaimana kalau tak bisa digunakan?"
"Kalau tak bisa digunakan, terpaksa aku akan beradu nyawa"
Ni Pat tertawa tergelak, padahal dia sudah tak mampu tertawa, tapi dia harus tertawa, apalagi
dalam situasi seperti ini.
Diwaktu biasa dia jarang tertawa, dikala harus tertawa diapun tidak tertawa, sebaliknya disaat
bukan waktunya tertawa. seringkali dia justru tertawa sangat keras, tertawa sangat riang, dia
memang selalu menganggap tertawa adalah sebuah kamuflase yang paling jitu, bisa
menyembunyikan perasaan sedih dan titik kelemahan seseorang.
Nyoo Cing sangat keheranan, dia tak habis mengerti, dalam keadaan seperti ini mengapa dia
masih sanggup tertawa, bahkan tertawa begitu riang"
Saat itulah mendadak Ni Pat melejit ke depan, golok dibalik tongkatnya dengan memakai jurus
"Thian Tee Sip Si" (Bumi dan Langit Kehilangan Pamor) melancarkan sebuah serangan dahsyat ke
depan. Jurus serangan ini banyak titik kelemahannya, ada sisinya yang terrbuka namun tingkat
keganasannya luar biasa, jurus tersebut memang terhitung sebuah jurus serangan beradu nyawa.
Situasi yang terdesak tidak mengijinkan dia untuk menyerang secara normal, hanya sebuah
jurus adu jiwa yang paling pas untuk menghadapi Nyoo Cing saat itu, hanya serangan macam
begini yang bisa memaksa musuhnya ikut mati.
Dia tak yakin Nyoo Cing berani beradu nyawa, biasanya seseorang yang banyak akal dan
pandai mengatur perangkap, tak bakal sudi mati sekonyol itu.
Asal Nyoo Cing keder, asal opas itu mundur sedikit saja dari posisinya sehingga melewatkan
kesempatan emas yang sangat langka itu, dia pasti akan tewas terhajar serangan maut ini.
Mimpi pun dia tak menyangka, ternyata Nyoo Cing nekad hendak beradu jiwa.
Nyoo Cing bukan manusia tak berotak, tapi setiap saat dia harus bersiap menghadapi serangan
adu jiwa macam begini, dia masih belum pingin mampus.
Tapi dia sadar, andaikata dia dipaksa untuk berhadapan dengan situasi kritis seperti ini, dia
putuskan, biar harus mati pun akan dia hadapi.
Dia manfaatkan peluang itu dengan sebaik-baiknya, caranya beradu nyawa lebih nekad
ketimbang siapa pun.
Yang dia gunakan bukan aliran ilmu silat yang mumi, belum pernah orang melihat dia berkelahi
dengan memakai gerak jurus ilmu sIlat murni.
Arah serangan dari Ni Pat segera melenceng dari sesaran.
Ketika seseorang terhantam pinggangnya ketika sedang berganti napas, bisa dipastikan
penghimpunan tenaganya akan melenceng, otomatis serangan yang dilancarkan akan melenceng
juga. Padahal jurus serangan Thian Tee Sip Si yang digunakan nerupakan gerak jurus adu nyawa
yang murni, namun dia gagal mencapai target itu.
Tak ampun dia pun roboh binasa di tanah, sementara Nyoo mg masih berdiri segar bugar.
Seng Kong tak sempat menyaksikan kematian Ni Pat.
Ketika mengayunkan ruyungnya dengan sepenuh tenaga tadi, dia sama sekali tidak menyerang
ke arah orang yang diduga Ni pat sebagai Nyoo Cing.
Menggunakan kegelapan malam yang masih menyelimuti jagat ia segera melarikan diri, disaat
Ni Pat melancarkan jurus "Thian Tee Sip Si", dia sudah kabur meninggalkan arena pertempuran.
Tak seorang pun mengejar dia, perhatian semua orang sedang tertuju pada pertarungan mati
hidup antara Ni Pat melawan Nyoo Cing.
Ketika Ni Pat roboh terjungkal, Nyoo Cing ikut roboh terjungkal, bedanya Ni Pat sudah tak
pernah bangkit berdiri lagi sementara Nyoo Cing masih sanggup bangkit berdiri lagi.
Biarpun punggungnya termakan sebuah gebukan tongkat Iawan, namun dia masih dapat
bangkit, setelah berdiri dia hanya mengucapkan sepatah kata"Ayoh kita nikmati arak yang
tersedia!' 0-0-0 Mereka tidak minum arak.
Guci berisi arak itu sekalian dibawa pulang oleh lo-The dan Siau Hau Ji yang mengawal para
tawanan pulang ke kantor pengadilan, namun mercka tak pemah sampai di Kantor.
Lo-The maupun Siau Hau Ji tak pernah sampai di rumah masing-masing, bersama Sun Ji Hay
dan si Kerbau Liar, mereka hilang lenyap tak berbekas, tak ada yang tahu kabar berita mereka,
juga tak ada yang berhasil mengetahui jejak mereka.
Dengan disertai semua saudaranya, Nyoo Cing telah menelusuri hampir setiap sudut kota
keresidenan itu, namun jejak mereka belum juga ditemukan. Anggota keluarga Sun Ji Hay dengan
membawa serta kakak, istri dan ke empat orang putra putrinya berteriak dan menangis di depan
kantor pengadilan menuntut ditemukan kembali Sun Ji Hay, membuat suasana disitu jadi amat
ramai. Mereka menuntut untuk melihat Sun Ji Hay kalau masih hidup dan menuntut jenasahnya bila
sudah mati. Bupati keresidenan hanya bisa menuntut Nyoo Cing untuk memberikan pertanggungan
jawabnya. Bini lo-The yang baru dinikahi serta ibu Siau Hau Ji yang sudah berusia 76 tahun hampir
semaput setelah mendengar berita duka itu.
Ke mana mereka telah pergi" Mengapa jejak dan kabar berita mereka hilang Ienyap tak
berbekas" 0-0-0 Senja telah menjeIang.
Nyoo Cing sangat lelah, sangat gelisah, lapar bercampur dahaga, dia amat sedih, perasaannya
tersiksa setengah mati.
Hampir seharian penuh dia tidak makan tidak minum, dia pun belum sempat pejamkan mata,
setiap orang telah memaksanya untuk pulang beristirahat bahkan Bupati pun sampai berkata."Apa
gunanya kau gelisah" Gelisah juga tak ada gunanya, bila ingin selidiki kasus ini hIngga tuntas, kau
tak boleh sampai roboh, jika kau roboh, siapa yang akan bertanggung jawab selesaikan tugas ini?"
Maka dari itu, Nyoo, Cing terpaksa pulang ke rumah.
Biarpun dia masih membujang, masih hidup seorang diri. namun dia menolak untuk tinggal di
asrama pengadilan, karena sejak awal kedatangannya ke tempat itu, dia sudah menyewa sebuah
rumah kecil dengan dua bilik kamar di luar kota.
Pemilik rumah dari marga Yu, sudah tua dan tak berputra, dia hanya memiliki seorang putri
tunggal Lian Koh, mereka berdiam di halaman muka rumah yang disewa Nyoo Cing itu, tak heran
kalau sikap kakek Yu terhadapnya sangat akrab bagai terhadap anak kandung sendiri.
Tiap pagi Lian Koh pasti akan datang mengirim sarapan untuknya, menu sarapan terdiri dan
empat butir telur dan semangkuk mie kuah, sebelum pergi dia akan membawa pakaian kotornya
untuk dicuci. Bila pakaiannya ada yang berlubang atau hilang kancingnya, ketika kembali, pakaian
itu tentu sudah ditambal atau terpasang kembali kancingnya.
Lian Koh tidak cantik tapi berbadan sehat, lemah lembut dan jujur. Bila sehari saja Nyoo Cing
tidak pulang, dia akan panik dan kebingungan sendiri, seringkali nona itu akan Iari ke tepi seIokan
dan diam diam mengucurkan air mata.
Seandainya Nyoo Cing tidak secara kebetulan bersua lagi dengan Lu Siok Bun, nona yang telah
dicintainya semenjak masa kanak-kanak, mungkin saat ini dia sudah menjadi menantunya
keluarga Yu. Dan dia pun tak perlu mengalami banyak peristiwa mengerikan, menakutkan dan
mengharukan dimasa mendatang.
Nasib memang selalu mempermainkan manusia, takdir sukar diramal, perjalanan hidup manusia
sukar diduga Seringkali peristiwa besar yang akan mengubah jalan kehidupan seseorang terjadi hanya dalam
waktu singkat dan terjadi secara kebetulan.
Dalam perjalanan pulang menuju ke rumah sewanya, Nyoo Cing selalu lewat didepan sebuah
warung, di warung itu dia sering membeli sayur asin dan arak, sayur asin buatan warung itu
sangat lezat dan amat cocok dengan seIeranya. Pemilik warung, si kakek Thio adalah sahabat
Nyoo Cing, kadang kalau sedang menganggur dia sering menemaninya minum dua cawan arak.
Dia merasa lelah sekali tapi masih ingin mampir dulu ke warung itu untuk makan mie,
kemudian pesan tahu dan usus babi goreng sebagai teman minum arak.
Matahari senja memancarkan cahayanya dari balik gunung, membiaskan sebuah pemandangan
alam yang sangat indah, seorang buta penjual ramalan berbaju abu abu dengan memukuI sebuah
genta kecil berjalan menelusuri jalanan kecil itu, ia mucul dari balik hutan di ujung jalan dengan
panduan sebuah tongkat bambu.
"Trang, traang" bunyi gembrengan bertaIu talu mengiringi hembusan angin senja yang silir
semilir, biarpun tidak memekikkan telinga, namun sangat merusak suasana di senja itu.
Nyoo Cing menyingkir ke samping jaIan, memberi jalan lewat kepada si buta itu untuk lewat
duluan. Paras muka si buta itu kaku tanpa perasaan, susah senang yang dialami manusia dalam
perjalanan hidupnya dianggap sebagai impian indah baginya.
Gembrengan tembaga ditabuh susul menyusul, sekaIi cepat sekali lambat, sementara si buta
menelusuri jalan kecil perbukitan itu dengan ayunan kaki yang lambat, se1angkah demi selangkah
berjalan menuju ke hadapan Nyoo Cing.
Mendadak Nyoo Cing merasa hatinya berdetak keras, dia seperti tertusuk oleh sebuah jarum
tajam yang tak terlihat.
Dia termasuk seseorang yang peka dan cekatan dalam bereaksi. namun hanya orang yang
sedang terancam jiwanya baru akan menunjukkan perasaan seperti itu.
Orang buta itu sama sekali tidak menaruh niat jahat terhadapnya, bahkan waktu itu sudah
berjalan Iewat dari hadapannya.
Aneh, mengapa bisa timbul perasaan semacam itu di dalam hatinya"
Tiba tiba Nyoo Cing teringat, dulu, ada seseorang yang sangat akrab dengan dirinya pernah
berkata demikian: Seorang jago lihay dari dunia persilatan yang sudah sering membunuh orang,
biasanya dari tubuh mereka akan muncul hawa pembunuhan yang tak terlihat dengan kasat mata,
perasaan tersebut mirip dengan hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari sebilah pedang
mestika yang sering dipakai untuk membunuh orang.
Jangan jangan orang buta itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan dia adalah seorang jagoan
tangguh yang sedang menyembunyikan identitasnya"
Sementara itu si buta telah pergi jauh, Nyoo Cing pun tidak memikirkan lagi peristiwa itu.
Dia sudah sangat lelah, dia tak ingin berpikir apa apa lagi, yang dipikirkan sekarang minum
berapa cawan arak lalu tidur yang nyenyak.
Setelah melewati hutan, warung milik kakek Thio berdiri dihadapannya.
Sewaktu Nyoo Cing tiba disitu, dalam warung sudah ada seorang tamu sedang bersantap, yang
disantap adalah bakmi kuah seperti yang dimakan Nyoo Cing diwaktu biasa, dia pun memesan
tahu dan usus babi goreng sebagai teman minum arak.
Orang itu mengenalcan topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu, topi itu dikenakan sangat
rendah, bukan hanya alis mata serta sepasang matanya yang tertutup, bahkan selembar wajahnya
pun ikut tersembunyi dibalik anyaman bambu itu, yang dapat dilihat Nyoo Cing hanya sepasang
tangannya. Telapak tangan itu sangat lebar, jari tangamiya panjang-panjang lagi kurus, kuku jarinya
dipotong pendek, tangan itupun kelihatan bersih sekali.
Nyoo Cing tahu, dengan tangan semacam ini benda apapan yang dipegangnya pasti sangat
mantap. dan bukan pekerjaan yang mudah untuk merampas sesuatu benda yang telah berada
dalam genggamannya.
Dia minum arak tapi sedikit yang diminum, dia makan tapi sedikit yang dimakan bahkan
caranya bersantap sangat lamban, setiap sumpitan yang dimasukkan ke dalam mulutnya selalu
dilakukan amat berhati hati, seperti dia takut ada lalat yang ikut terjepit dan tertelan ke perut.
Jangan dilihat warung makan milik kakek Thio kecil lagi sederhana, namun kebersihannya patut
diacungi jempol, mustahil ada lalat yang tercampur dalam hidangan yang disajikan.
Hanya keranjang berisi sayur asin yang diletakkan ditepi jalan dan mungkin saja kemasukan
debu, tapi yang lain boleh dibilang terjamin kebersihannya. Tapi orang itu seperti amat berhati
hati, dengan telitinya dia periksa setiap hidangan yang disuap ke dalam mulut, dia seperti takut
kecampuran debu dalam hidangan itu hingga merasa perlu untuk membuang setiap butir debu
yang menempel di hidangannya. Orang itu mengenakan jubah berwama biru yang sudah dicuci
hingga luntur wamanya, jelas pakaian itu dicuci bersih sekali dan berulang kali. Pada punggungnya
tersoren sebilah pedang dengan gagang terbuat dari kulit kerbau, pedangnya tujuh delapan inci
lebih panjang ketimbang pedang yang biasa digunakan orang, pada gagang pedang tergantung
pita baru berwarna biru, gagang pedang maupun sarung pedang yang terbuat dari tembaga
kuning juga digosok hingga berkilat.
Jelas orang ini adalah seorang manusia yang amat memperhatikan soal kebersihan, hingga
setitik debu saja sudah membuatnya tidak tahan.
Apa mungkin dia bisa melihat dengan jelas setiap debu yang menempel di tubuhnya"
Sekali lagi Nyoo Cing merasa jantungnya berdetak keras, hatinya sudah berdebar semenjak
melihat sepasang tangan milik orang itu.
Waktu itu, manusia berbaju biru itu sedang asyik menikmati bakmi dan sayur asin yang
terhidang di hadapannya, Dia tidak berpaling, juga tidak melirik Nyoo Cing walau sekejap pun, dia
seperti tidak menaruh niat jahat terhadapnya
Aneh, mengapa secara tiba tiba Nyoo Cing merasakan firasat semacam itu"
Mungkinkah orang ini seperti juga si buta penjual ramalan itu, seorang jago pedang yang
memiliki kepandaian tinggi"
Diwaktu biasa., tidak mudah menjumpai jagoan Bu lim berilmu tinggi di tempat tersebut,
mengapa hari ini, pada waktu yang hampir bersamaan telah muncul berapa orang jago lihay di
kota kecil tanpa nama ini"
Apakah mereka telah berjanji untuk datang bersama ke situ" Tapi, mau apa mereka datang ke
kota kecil tanpa nama ini"
Nyoo Cing memesan semangkuk mie kuah, dia pun memesan berapa macam hidangan teman
minum arak. Dia sudah kelewat lelah, yang dipikirkan sekarang hanya cepat selesai makan lalu pulang dan
tidur yang nyenyak.
Sudah terlalu banyak masalah yang dihadapi, dia tak ingin mencampuri urusan orang lain,
apalagi urusan semacam ini, siapa pun pasti segan turut campur karena salah salah malah
mendatangkan bencana kematian bagi diri sendiri.
Waktu itu, Ielaki bertopi anyaman bambu itu sudah bangkit berdiri, ia siap membayar rekening
dan pergi dari situ.
Begitu bangkit berdiri, Nyoo Cing segera menjumpai balwa perawakan tubuh orang itu persis
seperti pedang yang digembolnya, jauh lebih tinggi dari kebanyakan orang, tubuhnya ramping tapi
kencang, sama sekali tak nampak sisa daging yang menonjol.
Biarpun gerak geriknya sangat lamban namun kegesitannya tak terlukis dengan kata, hampir
setiap gerakan yang dilakukan sangat tepat seolah olah sama sekali tidak memakai kelebihan
tenaga, bahkan sampai caranya mengambil uang untuk membayar rekening pun tidak nampak
dengan jelas. Dia seperti selalu menyisakan tenaganyn agar bisa digunekan untuk pekerjaan lain kapan saja,
dia seperti enggan membuang tenaga percuma.
Bakmi telah dihidangkan, sambil menundukkan kepala Nyoo Cing mulai bersantap.
Sementara itu lelaki bertopi anyaman bambu itu sudah keluar dari pintu, Nyoo Cing tak tahan
untuk mendongakkan kepala dan memandangnya sekejap. Kebetulan pada saat yang bersamaan
orang itu juga berpaling dan memandang sekejap ke arahnya.
Sekali lagi Nyoo Cing merasa jantungnya berdetak keras, hampir saja sumpit yang berada
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam genggamannya terjatuh dari pegangan.
Sorot mata orang itu luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam dari pedang yang tercabut keluar
dari sarung, pedang tajam yang telah banyak membunuh orang! Selama hidup belum pernah Nyoo
Cing menjumpai sorot mata setajam itu.
Dia hanya melirik Nyoo Cing sekejap, tapi pemudaitu seolah olah merasa ada hawa pedang
yang menggidikkan hati menerpa tuhuhnya, menyerang langsung ke tenggorokan dan jidatnya
0-0-0 Senja semakin kelam.
Lelaki bertopi anyaman bambu itu sudah keluar dari pintu warung dan lenyap di balik
keremangan senja.
Nyoo Cing berulang kali mengingatkan diri sendiri agar ridak memikirkan orang itu lagi, terlebih
jangan mencampuri urusan mereka, yang penting baginya sekarang adalah cepat selesaikan
makannya dan pulang ke rumah tidur yang nyenyak.
Kakek Thio telah menarik sebuah bangku dan duduk persis dihadapannya.
"Komandan Nyoo" tegurnya, "kau adalah orang yang berpandangan tajam, apakah kau juga
merasakan kalau orang itu membawa hawa sesat?"
"Hawa sesat apa?"
"Sewaktu memasak bakmi diair panas, tentu ada berapa bakmi putus karena air, ketika diaduk
juga pasti ada berapa bakmi yang putus," ujar kakek Thio.
"Tapi orang itu hanya makan bakmi yang utuh dan meninggalkan semua bakmi yang putus
dalam mangkuknya?" sambung Nyoo Cing.
Kakek Thio segera menghela napas penjang;
"Yaa, aku tak habis mengerti, darimana dia bisa melihat dengan jelas dan memilahnya dengan
tepat?" Nyoo Cing segera terbayang kembali cara orang itu menyumpit sayur.
Benarkah ketajaman mata orang itu dapat melihat persoalan yang tak dapat dilihat orang lain"
Kakek Thio bantu Nyoo Cing penuhi cawannya dengan arak, tiba-tiba dia berkata lagi dengan
kata kata yang mengejutkan hati, "Aku lihat dia pasti datang untuk membunuh orang, aku berani
bertaruh dugaaanku pasti benar"
Dia bicara dengan penuh keyakinan, sepertinya apa yang dikatakanakan terjadi.
"Darimana kau bisa yakin kalau kedatangannya untuk membunuh orang"
"Aku sendiripun tak bisa menjelaskan, tapi aku bisa rnerasakan. Sewaktu mendekatinya aku
merasa sekujur tubuhku jadi dingin, bulu kudukku pada bangun berdiri, hatiku betul betul
bergidik."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Dulu aku pun seorang serdadu, aku baru akan
merasakan perasaan semacam itu tatkaia berada di tengah medan pertempuran yang sengit,
karena waktu itu semua orang harus maju ke medan laga dan slap membunuh orang, karenanya
hawa pembunuhan baru tercipta"
Nyoo Cing tidak meneruskan makannya, arak juga tidak diminumnya, dia tidak berkata apa
pun, mendadak dia bangkit berdiri dan menerjang keluar dari warung makan itu.
Dia yang bertanggung jawab dengan keamanan di wilayah tersebut, dia tak mengijinkan siapa
pun membunuh orang di wilayah kekuasaannya, perduli siapa pun orangnya.
Walaupun dia tahu kemungkinan besar orang itu dapat membunuhnya dalam sekejap mata,
tapi dia tak bisa berpeluk tangan belaka.
Kendatipun saat itu dia sangat lelah, walaupun saking lelahnya dia sudah tak kuat berjalan, biar
mesti rnerangkak pun dia harus merangkak ke situ.
0-0-0 Bab 3. Sesaat menjelang tibanya badai.
Matahari senja sudah lenyap dibalik gunang, kegelapan senja teIah menyelimuti angkasa, itulah
sesaat menjelang tibanya malam hari, lapisan kelabu seakan akan membenteng di seluruh jagad,
membuat, gunung, air, dedaunan dan bunga-bunga nampak serba kelabu, persis seperti sebuah
lukisan tinta yang hambar.
Lelaki bertopi anyaman bambu itu berjalan sangat lamban menelusuri jalan kecil di kaki bukit,
biarpun langkahnya kelihatan amat lambat, namun bila kita tidak melihatnya dalam waktu sekejap,
tahu-tahu dia sudah berada jauh sekali dari posisi semula.
Wajahnya masih tersembunyi dibalik topi anyaman bambunya yang lebar, sulit bagi siapa pun
untuk melihat perubahan mimik mukanya.
Tiba tiba "Traang!" bunyi gembrengan bergema memecahkan keheningan yang mencekam
sekeliling tempat itu.
Ditengah burung yang beterbangan karena takut, seorang Ielaki buta penjual ramalan muncul
dan balik hutan dan berjalan mendekat.
Orang berbaju biru itu berjalan menyongsong kedatangannya, pada sebuah jarak tertentu
mendadak ke dua orang itu sama sama berhenti.
Ke dua orang itu berdiri saling berhadapan bagaikan dua arca batu, lewat lama kemudian
mendadak si buta itu berkata kepada orang berbaju biru itu, "Apakah Sin Wan Sin Kiam (si Pedang
Sakti Mata Sakti) Lan Toa sianseng yang telah datang?"
"Behar, aku Lan It Cing" orang berbaju biru itu balik bertanya, "darimana kau bisa tahu kalau
yang datang pasti aku?"
"Biar mataku buta, hatiku tidak buta"
"Hati mu juga bermata dan bisa melihat?"
"Benar, bedanya yang dapat kulihat adalah masalah yang tak bisa dilihat orang lain dan orang
lain tak akan bisa melihatnya"
''Apa yang telah kau lihat sekarang?"
"Aku telah melihat hawa pedangmu dan hawa membunuhmu, aku masih punya telinga, aku
bisa mendengar"
Lan It Cing segera menghela napas panjang.
"Ku Bok Sin Kiam (Pedang Sakti Bermata Buta) Ing Sianseng memang tak malu disebut jago
diantara jago dan dewa diantara jago pedang"
Orang buta itu tertawa dingin.
"Sayang aku masih tetap seorang yang buta, mana mungkin bisa dibandingkan dengan
sepasang matamu yang masih jeli dan sakti itu?" jengeknya.
"Kau suruh aku kemari apa lantaran tidak leluasa mendengar julukanku sebagai si mata sakti?"
"Benar" orang buta itu segera mengakui, "tiga puluh tahun aku belajar pedang, banyak sudah
jago pedang dikolong langit yang pemah kujumpai, namun masih ada satu keinginan yang belum
terkabul, selama aku masih bisa bernapas, aku berjanji akan menjajal apakah aku si buta dapat
menandingi sepasang mata sakti mu yang tersohor itu"
Sekali lagi Lan It Cing menghela napas.
"Ing Bu Ok" katanya, "mata mu memang Ing Bu Ok (seharusnya tanpa materi), tak nyana
dalam hatimu masih memikirkan materi, tampaknya kau sangat tidak berkenan dengan julukan
mata sakti ku itu"
"Lan It Cing, sekarang akupun baru tahu mengapa kau bernama Lan It Cing (setitik debu)" sela
Ing Bu Ok dengan suara dingin, "karena dalam hatimu sesungguhnya masih tertinggal setitik
debu, setitik kecongkakan, karena debu kecongkakan maka kau datang kemari"
"Betul, kau minta aku kemari maka akupun kemari, kau bisa suruh aku pergi, make akupun
akan pergi" dengan cepat Lan It Cing mengakui.
"Pergi" Kemana?"
"Pergi mati"
Tiba tiba Ing Bu Ok mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak, "Hahahaha betul,
pedang adalah benda tanpa perasaan, sewaktu cabut keluar pedang pun pasti tak berperasaan,
kini kau telah datang kemari sedang akupun ikut datang, diantara kita berdua memang
sepantasnya ada seorang diantaranya harus pergi dari sini, pergi mampusl"
Dia telah mencabut keluar pedangnya.
Sebilah pedang yang tipis lagi panjang dalam sekejap mata telah dicabut keluar dari balik
tongkat bambunya, cahaya tajam yang bergetar bagai seekor ular cobra menggelegar tiada
hentinya ditengah hembusan angin malam yang gelap, agar orang lain tak pernah dapat menduga
dari arah manakah ujung pedang itu akan menyerang, terlebih tak bisa melihat dari arah mana
serangan akan muncul, bukan hanya getaran, cahaya sinar pedang pun seakan akan tiada
hentinya ikut berubah.
Ada kalanya berubah merah, kadangkala berubah jadi hijau. Sepasang mata Lan Toa Sianseng
mulai berkilat, kelopak matanya mulai berkerut kencang.
"Sebilah pedang ular cobra yang sangat hebat, lentur bagai bambu, ganas racunnya bagai
patukan ular kobra, tujuh langkah mencabut nyawa, tubuh hancur nyawa melayang" pujinya.
Si buta mendengus dingin.
"Mana Pedang Antik Bukit Biru, (Lan San Ku Kiam) milikmu?"
"Ada di sini"
Lan It Ceng membalikkan tangannya, sebilah cahaya pedang yang memancarkan cahaya biru
bagai birunya langit telah tercabut keluar dari sarungnya.
Kalau ujung pedang Ing Bu Ok bergetar tiada hentinya maka pedang milik Lan It Cing sama
sekali tak bergerak, jika cahaya pedang lng Bu Ok berubah tiada hentinya, pedang itu sama sekali
tak berubah. Dengan tenang menghadapi gerak, tanpa perubahan mengatasi sejuta perubahan.
Bila dibilang pedang milik Ing Bu Ok seperti ular yang paling racun, maka pedangnya mirip
sebuah bukit karang.
Tiba tiba lng Bu Ok menghela napas pula.
"Sejak dua puluh tahun berselang, seringkali aku dengar, konon pedang antik Lan San Ku Kiam
milik Lan Toa-sianseng adalah sebilah pedang mestika yang bisa menebas kutung rambut dan
bulu, sudah lama aku pingin melihatnya"
Setelah berhenti sejenak dan kembali menghela napas, lanjutnya."Tapi sayang, sampai kini pun
aku tetap tak bisa melihatnya"
"Yaa, memang patut disayangkan" kata Lan It Ceng dingin, kau bukan cuma ingin melihat, aku
pun sangat ingin agar kau bisa melihatnya"
Begitu pedang tercabut keluar dari sarungnya dan berada dalam genggamannya, benda itu
kembali berubah, berubah semakin tenang, semakin dingin dan semakin mantap.
Dingin bagai air, mantap bagai bukit karang.
Malam hari telah menjelang tiba, lapisan kelabu telah berubah menjadi lapisan kegelapan yang
pekat, yang terdengar hanya bunyi burung yang terlambat balik ke sarangnya.
Tiba tiba Ing Bu Ok bertanya"Apakah sekarang hari sudah malam?"
"Benar"
"Kalau begitu ada baiknya pertempuran diundur hingga esok pagi"
"Kenapa?"
"Hari sudah gelap, aku tak bisa melihat apa apa, kaupun tak bisa melihat apa apa, biar pun kau
punya mata tapi sekarang menjadi tak bermata, aku tak ingin mencari kemenangan dalam situasi
begini" "Kau keliru besar" tukas Lan It Ceng dengan suara makin dingin, "biarpun berada dalam
kegelapan malam tanpa bintang tanpa rembulan tanpa lentera, aku tetap bisa melihatnya dengan
jelas, karena aku memiliki sepasang mata sakti"
Dia melintangkan pedangnya, pedang bergerak tanpa suara, kembali katanya"Kau tak dapat
melihat pedangku, kau pun kelewat pandang enteng sepasang mata ku, tidak sepantasnya kau
suruh aku datang kemari"
"Kenapa?"
"Karena setelah aku datang kemari. maka kaulah yang bakalan pergi"
Gerak serangan mulai dipersiapkan, tapi belum sampai dilancarkan, orang pun sama sekali
belum bergerak.
Mendadak dari jalanan kecil perbukitan itu bergema suara orang yang sedang berlarian
mendekat, terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang, "Siapapun diantara kalian tak
boleh pergi, tak boleh pergi ke mana pun" teriakan orang itu semakin nyaring, "sebab aku sudah
datang!" Kalau didengar perkataan itu, seakan akan dianggapnya persoalan apa pun pasti akan beres
dengan kehadirannya, seberat apa pun masalahnya, semua akan beres dan terselesaikan.
"Siapa orang itu?" tanya lagi Bu ok dengan kening berkerut.
"Aku she-Nyo, bemama Nyo Cing, seorang opas kota keresidenan ini"
"Mau apa kau kemari?"
"Aka melarang kalian menggunakan pedang untuk melukai orang, selama berada di wilayahku,
siapa pun tidak kuperkenankan melakukan tindakan brutal dan melakukan tindak kriminal. Tidak
perduli siapa pun orang nya!"
lng Bu Ok tidak menunjukkan perubahan mimik muka. Dia tetap bersikap hambar tanpa
perasaan, tiba tiba pedang ular yang berada dalam genggamannya digetarkan, diantara kilatan
cahaya yang menggelegar di udara, pakaian dibagian dada yang dikenakan Nyo Cing sudah robek
tiga belas tempat, namun kulit badannya sama sekali tidak terluka.
Biarpun serangan itu dilancarkan dengan kecepatan Iuar biasa, namun penggunaan tenaga
serangannya sangat tepat dan telak.
"Tadi kau bilang, tidak perduli siapa pun kau tetap akan melarang, sekarang apakah masih
sama jawabanmu?" tegur lng Bu Ok dingin.
"Tetap sama saja, sama sekali tak berubah. Jika kau ingin membunuh, lebih baik bunuhlah aku
terlebih dulu"
"Baik!" jawaban lng Bu Ok sangat singkat, hanya sepatah kata.
Begitu selesai berkata, cahaya pedang yang bergetar bagaikan seoker ular berbisa itu sudah
tiba di depan tenggorokan Nyo Cing. Jangan dianggap sepasang matanya buta, serangan
pedangnya sama sekali tidak buta.
Ujung pedangnya seolah olah mempunyai mata yang tajam, bila dia ingin menusuk jalan darah
"Thian To" di atas tenggorokannya, serangan itu tak pernah akan meleset walau hanya seinci pun.
Diantara kilauan cahaya pedang yang menggeletar, secara beruntun dia melancarkan tiga belas
buah serangan berantai, jarang ada jagoan dalam dunia persilatan yang dapat lolos dari ancaman
itu. Siapa sangka Nyo Cing dapat menghindar dari ancaman itu, berkelit dengan tepat dan luar
biasa. Bukan saja dia dapat berkelit, dalam keadaan nyaris tertusuk senjata musuh, dia masih
sempatnya berusaha merobohkan tubuh lawan.
Memang begitulah perangainya sejak lahir, jika sudah bertarung, dia tak perduli siapa musuh
yang sedang dihadapi, dengan cara apa pun dia tetap akan berusaha untuk merobohkan
lawannya. Kembali gerakan nekad yang dipakai, dia menerobos maju ke muka di bawah bayang bayang
ancaman sinar pedang lawan dan langsung merangkul pinggang lng Bu Ok kuat kuat.
"Bagus!" pekik Ing Bu Ok sambil tertawa dingin.
Pedang ularnya berputar seraya berpusing, dia kurung seluruh tubuh Nyo Cing dalam ancaman
senjatanya, dalam waktu singkat dia telah melepaskan serentetan serangan yang mengancam tiga
belas jalan darah Nyo Cing dari belakang kepala hingga ujung kakinya, hampir semua jalan darah
yang diancam adalah titik jalan darah kematian.
Sayang Nyo Cing sudah nekad, dia tak ambil perduli.
Masih dengan gerakannya semula, dia berusaha memeluk pinggang Ing Bu-ok, asal terangkul
maka sampai mati pun dia tak akan lepaskan rangkulan itu.
Biar nyawa sebagai taruhan, dia tetap akan berusaha merobohkan lawannya.
Tentu saja Ing Bu Ok tak boleh roboh.
Dia boleh kehilangan nyawa tapi tak boleh roboh, sekalipun dia sudah memperhitungkan secura
tepat bahwa tusukan senjatanya bakal mencabut nyawa Nyo Cing, dia harus berusaha tidak
sampai roboh. Tiba tiba gerakan cahaya pedangnya lenyap tak berbekas, tahu tahu Ing Bu Ok sudah mundur
delapan depa dan posisi semula, dia tidak menyerang lagi.
"Lan It Ceng, kuserahkan dia kepadamu" teriaknya.
"Serahkan kepadaku" Apanya yang diserahkan kepadaku?"
"Kuserahkan orang gila itu kepadamu, untuk menjajal pedangmu"
"Kau punya pedang, pedangmu bisa juga dipakai bunuh orang, kenapa mesti serahkan
kepadaku" Kau takut aku berhasil melihat perubahan senjata mu" Atau kau takut aku berhasil
melihat To Mia Sat hie (Tangan Pembunuh Pencabut Nyawa) mu?"
"Betul!" ternyata Ing Bu Ok mengakui.
Mendadak Lan Toa Sianseng tertawa keras:"Pedang adalah senjata pembunuh, sedang aku
adalah seorang pembunuh, hanya satu jenis manusia yang tidak kubunuh"
"Manusia apa?"
"Manusia nekat" kata Lan It Ceng, "kalau nyawa sendiri pun tak digubris, kenapa aku mesti
menghendaki nyawanya?"
Malam semakin larut, angin malam yang berhembus lewat terasa makin dingin dan
menggigilkan Ing Bu Ok berdiri tenang dibawah hembusan angin malam, dia berdiri sangat lama, tiba tiba
cahaya pedangnya kembali berkelebat, tahu tahu pedang ularnya sudah disarungkan kembali.
Menyusul kemudian suara gembrengan kembali bertalu, "Traang!" tahu tahu bayangan
tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan malam.
Ketika angin berhembus lewat, terdengar suara teriakannya bergema tiba dari kejauhan sana,
Tampaknya dia sudah pergi sangat jauh, tapi suara ucapannya masih kedengaran sangat
jelas... Dia hanya mengucapkan lima kata, tapi setiap patah kata kedangaran sangat jelas?"Aku bakal
mencari mu lagi!"
0-0-0 Sekujur badan Nyo Cing bermandikan peluh, angin malam terasa makin dingin, peluh yang
bercucuran ditubuhnya adalah peluh dingin, ketika terkena hembusan angin, seluruh badannya
terasa dingin menggidikkan hati.
Ketika seseorang yang menganggap dirinya pasti mati, tahu tahu mendapatkan diri sendiri
masih hidup, entah bagaimana perasaan hatinya saat itu"
Lan Toa sianseng menatapnya, tiba tiba bertanya:"Sudah tahu siapa si orang buta itu?"
"Tidak"
"Kau tahu siapa pula dirimu?" Lan It Ceng menatapnya semakin tajam, belum sempat Nyo Cing
menjawab, dia kembali mendahului, "kau adalah seorang manusia yang teramat sangat
beruntung"
"Kenapa?"
"Karena kau masih hidup, tidak banyak manusia di dunia ini bisa lolos dalam keadaan hidup
dari ancaman pedang Ku Bok Sin kiam (Pedang Sakti Mata Buta) Ing Bu Ok"
"Kau sendiri sudah tahu, siapakah dirimu?" dengan menggunakan nada dan kata yang sama
Nyo Cing balik bertanya kepada Lan It Ceng, kemudian tidak memberi kesempatan lawannya
menjawab, dia sudah menjawabnya terlebih dulu, "Kau pun seorang yang besar hoki-nya, karena
kau sendiri pun tidak mati"
"Kau kira kau yang telah menolongku?"
"Yang kutolong mungkin kau, mungkin juga dia, terlepas kesemuanya ini, yang penting aku tak
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan mengijinkan kalian saling membunuh orang disini, aku tak ijinkan dia membunuhmu, begitu
pun aku melarang kau membunuhnya"
"Kalau kami yang membunuh dirimu?"
"Kalau begitu, anggap saja aku memang
Petualang Asmara 12 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 24
" 05.Kait Perpisahan
Serial 7 Senjata
Karya : Gu Long
Terjemah : Tjan I.D
Bag 1. Bangsawan pembunuh berwajah tampan
"Aku tahu kait adalah sejenis senjata, berada pada urutan ke-7 dalam deretan 18 jenis senjata,
bagaimana dengan kait perpisahan?"
"Kait perpisahan juga sejenis senjata, juga sebuah Kaitan"
"Kalau memang sebuah senjata kait, mengapa dinamakan kait perpisahan?"
"Sebab kaitan ini bisa menciptakan sebuah perpisahan bila berhasil mengait mana pun, bila ia
berhasil mengait tanganmu, maka tanganmu akan berpisah dengan pangkal lenganmu, jika
berhasil mengait kakimu maka kaki mu akan mengucapkan selamat berpisah dengan pahamu"
"Bila leherku yang terkait, benarti aku akan berpisah dengan dunia ini?"
"Benar!"
"Mengapa kau harus menggunakan senjata begitu kejam dan begitu sadis?"
"Sebab aku tak ingin dipaksa orang untuk berpisah dengan orang yang kucintai"
"Aku mengerti maksudmu"
"Kau benar benar mengerti?"
"Kau menggunakan kait perpisahan karena kau ingin selalu berkumpul?"
"Betul!"
Perpisahan. Kesedihan yang harus diterima orang yang hampir terbetot sukmanya.
Jika tidak mencintai kuda jempolan bukanlah seorang enghiong.
0-0-0 "Tiada benda yang lebih indah dan nikmat daripada arak wangi yang berlimpah dan kuda
jempolan sebanyak ribuan ekor, jika anda berminat, kami akan sambut kedatangan anda dengan
gembira." Itulah isi undangan yang disebar congkoan nomor satu dari petemakan kuda Lok Jit di wilayah
Kwan Tong, Jiu Heng Kian mewakili majikannya Kim Toa tauke.
Tujuan dari undangan itu adalah untuk menyelenggarakan pesta besar yang pertama kali di
selenggarakan di petemakan kuda Lok Jit untuk mencoba menunggang kuda serta menjual kuda,
tempat penyelenggaraan adalah Pesanggrahan Pit Su San Ceng milik "Hoa Kay Hok Kui" (Bunga
mekar banyak rejeki dan terhormat) Hoa Suya, seorang saudagar kaya raya asal kota Lok Yang.
Waktu penyelenggaraan bulan tiga tanggal dan jam bulan purnama.
Undangan semacam ini hanya disebar sebanyak belasan lembar, sasaran yang pantas diundang
Jiu congkoan memang tidak terlalu banyak.
Tentu saja orang yang pantas mendapat undangan adalah para tokoh dunia persilatan serta
jago silat kenamaan yang berilmu tinggi. Tidak mencintai kuda jempolan bukanlah seorang
enghiong. Yang hadir hampir semuanya adalah para enghiong, kawanan enghiong yang pemah
menunggang kuda jempolan hasil temak Petemakan kuda Lok Jit.
Dimana ada matahari terbenam, disitu pasti ada kuda jempotan hasil temak Petemakan Lok Jit
yang sedang berlarian. (Lok Jit = matahari terbenam)
Kata motto yang digunakan majikan petemakan kuda ini Kim Toa tauke memang merupakan
kata kata yang nyata.
Bulan tiga, kota Lok Yang, musim semi.
Rembulan pada malam tanggal tujuh betas masih kelihatan bulat, malam telah semakin larut,
angin yang berhembus sepoi membawa bau harum bunga yang semerbak.
Suara ringkikan kuda jempolan yang sedang berlarian di bukit sebelah belakang, lamat lamat
masih kedengaran, tapi suara manusia telah hening, tak kedengaran lagi orang berbicara.
Sinar rembulan memancar masuk melalui luar jendela, meninggalkan sebuah bayangan hitam
yang panjang di lantai ketika menyoroti tubuh Jiu Heng Kian yang tinggi kekar.
Orang ini mempunyai mata yang besar dengan alis mata yang sangat tebal, jidatnya tinggi,
hidungnya mancung seperti hidung elang dan wajahnya penuh bercambang, dibawah sorot sinar
rembulan, Dia nampak begitu seram dan mengerikan.
Dia adalah seorang lelaki sejati, seorang hohan kelas satu di luar perbatasan, tapi saat ini dia
nampak sangat gelisah dan tak tenang.
Baru pertama kali ini dia memikul tanggung jawab berat, dia berjanji akan mensukseskan tugas
dan tanggung jawab ini sebaik baiknya.
Sejak tanggal lima belas, selama tiga hari ini meski hasil yang diperoleh terhitung sangat
memuaskan, bahkan sekelompok kuda yang berada di kandang terbesar dalam petemakan kuda
itu sudah dibeli dengan harga tinggi oleh Ong Cong piautau dari perusahaan ekspedisi Tionggoan
piaukiok, namun dua pembeli utama yang selalu dinantikan selama ini, hingga kini belum nampak
juga batang hidungnya.
Semestinya, tidak seharusnya dia mengharapkan kedatangan ke dua orang itu.
Ho Sou Tayhiap (pendelcar utara sungai) Ban Kun Bu yang nama besarnya sudah lama
menggetarkan sungai telaga sudah tak pemah meninggalkan perkampungannya sejak dia cuci
tangan mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan dua tahun berselang.
Ti Cing Ling, bangsawan kelas satu yang kaya raya dan selama ini memandang nama serta
harta bagai kotoran kerbau juga tak pemah terlihat lagi batang hidungnya selama berapa tahun
terakhir, selama ini orang tersebut selalu berkelana dalam dunia persilatan, bisa jadi dia belum
pernah menerima surat undangan itu.
Dia berharap mereka akan datang, sebab kuda terhaik diantara sekumpulan kuda pilihan yang
dia bawa jauh-jauh dari luar perbatasan hanya pantas ditunggangi mereka yang besar benar tahu
soal kualitas barang.
Hanya orang yang tahu soal kwalitas barang berani menawar dengan harga tinggi barang yang
dibelinya. Dia tak rela bila kuda sebagus itu dibayar bukan pada harga yang sepantasnya, terlebih tak
ingin membawa balik rombongan kuda itu ke luar perbatasan.
Sekarang sudah tengah malam hari ke dua sudah hampir lewat, ketika dia mulai merasa
kecewa itulah tiba tiba dari luar perkampungan kedengaran suara manusia, Ho Sou Tayhiap yang
sudah tiga tahun lamanya tak pemah meninggalkan tempat tinggalnya, kini sudah muncul di
perkampungan Botan Sanceng
0-0-0 Ban Kun Bu mulai terjun ke dalam dunia persilatan pada usia 14 tahun, pada umur 16 tahun dia
mulai membunuh manusia, umur 19 tahun dengan mengandalkan sebilah golok besar berhasil
memenggal batok kepala Hong Hau, seorang gembong perampok terkenal dari bukit Tay Hang
San, pada usia 23 tahun dia telah bertukar senjata dari sebuah golok besar menjadi sebilah golok
emas bersisik ikan dan nama besarnya menggetarkan sungai telaga, belum genap 30 tahun dia
sudah dihormati dan disegani segenap anggota Bu Lim sebagai pendekar Ho Sou Tayhiap.
Dia dilahirkan dalam naungan shio "tikus", tahun ini belum genap 46 tahun, usia yang jauh
lebih muda dari apa yang dibayangkan kebanyakan orang selama ini.
Kali ini dia tidak membawa serta golok andalannya.
Karena dia sudah muak dengan segala urusan dunia persilatan, ketika cuci tangan menyegel
goloknya dihadapan para enghiong hohan dari seluruh dunia persilatan, Golok emas bersisik ikan
yang menyertainya selama banyak tahun telah dibungkusnya dengan kain kuning dan diletakkan
diatas rak kayu cendana persis dihadapan area Kwan Kong yang disembahnya.
Sekalipun begitu, kedatangannya kali ini disertai tiga bilah golok yang lain.
Ke tiga bilah golok itu adalah kakak seperguruannya "Ban- Seng To" (Golok Selaksa
Kemenangan) Kho Tong, murid kesayangannya "Kuay To" (si Golok Kilat) Pui Seng serta teman
sehidup sematinya "Ji Gi To" (Golok Kebanggaan) Ko Hong.
Seorang jagoan semacam dia, bila pergi tanpa membawa golok sama ibaratnya dia pergi tanpa
mengenakan pakaian. tak mungkin dia mau sembarangan keluar dari rumah tinggalnya
Tapi dia yakin dan percaya, ke tiga orang itu adalah tiga bilah golok yang pantas diandalkan.
Entah siapapun orangnya, bila disisi mereka sudah didampingi tiga bilah golok macam ini, maka
dia bisa menghadapi setiap ketegangan dengan perasaan tanang.
Bulan tiga di kota Lok Yang, aneka bunga mekar dengan subumya disetiap sudut taman.
Bukit kecil di belakang pesanggrahan Botan Sanceng telah dipenuhi oink bunga Botan yang
sedang mekar, sementara dibawah bukit, didalam lingkaran arena yang dibatasi dengan kayu,
dipenuhi berpuluh kuda jempolan.
Kuda tak mengerti bagaimana menikmati keindahan bunga Botan, sebaliknya bunga Botan juga
tak mengerti bagaimana menikmati kebagusan seekor kuda, tapi kedua duanya pantas dinikmati
oleh manusia yang sedang menikmatinya.
Bunga Botan yang indah dan cantik persis seperti seorang gadis cantik dari keluarga kenamaan;
sementara kuda yang kekar dan lincah persis seperti seorang enghiong hohan dari dunia
persilatan. Saat ini suasana dibawah bukit sangat ramai, ada yang sedang menikmati kecantikan bunga
Botan, ada pula yang sedang mengagumi kegagahan dan kelincahan kuda kuda jempolan, tapi
diantara sekian banyak orang yang sedang menikmati suasana, hanya satu orang yang benar
benar menikmati.
Ban Kun-bu seperti sama sekali tidak tertarik dengan suasana disekeliling tempat itu, dia
setengah memejamkan matanya sambil bersandar diatas sebuah kursi empuk yang terbuat dari
anyaman rotan. Dia merasa sangat kelelahan.
Yaa, siapa pun pasti akan merasa kelelahan jika dalam semalaman harus tiga kali bertukar kuda
dan menempuh perjalanan sejauh sembilan ratus tiga puluh tiga li.
Kakak seperguruannya, murid kesayangannya dan teman sehidup sematinya masih berdiri
disampingnya tanpa bergerak setengah langkah pun, kuda demi kuda telah dibeli orang dengan
harga tinggi dari arena penampungan ditengah lapangan, tapi dia hanya pejamkan matanya terus
menerus, seakan akan tak ada hal yang menarik minatnya selama ini.
Hingga pada akhimya ketika ada seekor kuda yang sangat istimewa dituntun keluar dari arena
penampungan, dia baru membuka matanya mengawasi kuda yang sedang dituntun keluar oleh Jiu
congkoan itu, seekor kuda berwama hitam pekat dengan wama putih persis pada ujung
hidungnya. Suara pujian dan pekikan kagum segera bergema memenuhi angkasa, siapa pun yang ada
disitu dapat melihat kalau kuda tersebut adalah seeker kuda jempolan yang sangat luar biasa.
Dengan wajah berseri penuh kebanggaan Jiu Heng-kian menepuk nepuk kepala kudanya,
kemudian berkata,"Kuda ini bemama Sin-Ciam (Pariah Sakti), Ban Tayhiap, kau adalah seseorang
yang sangat ahli dalam hal kuda, tentunya kau tahu bukan kalau kuda ini adalah kuda mestika
yang luar biasa hebatnya"
Ban Kun-bu gelengkan kepalanya berulang kali dengan malas, sahutnya"Aku bukan seorang
ahli, kuda itu pun bukan kuda yang bagus, cukup mendengar namanya saja aku sudah tahu kalau
kuda itu tidak bagus"
"Kenapa?" tanya Jiu Heng-kian keheranan.
"Panah itu tak bisa mencapai jarak yang jauh, lagipula cepat duluan lambat dibelakang,
kekuatan akhimya pasti tidak bagus"
Kemudian setelah berhenti sejenak, Ban Kun-bu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain,
ujarnya lagi, "Sewaktu masih muda dulu, aku punya seorang sahabat, tingkah lakunya tak beda
jauh dengan Jiu congkoan sekarang, suatu kali dia mengundangku makan seekor ayam, tapi ayam
yang tak berpaha"
Walaupun dia sedang bercerita tentang seorang sahabatnya sewaktu masih muda serta seekor
ayam yang tak berpaha namum orang lain tidak mengerti apa maksud dari ceritanya itu.
Jiu Heng Kian juga tidak mengerti, tak tahan tanyanya:"Kenapa ayamnya tidak berpaha?"
"Karena sepasang pahanya sudah keburu dipotong oleh tuan rumah untuk dimakan sendiri"
jawab Ban Kun Bu dengan suara hambar, "keadaan seperti ini tak ada bedanya dengan Jiu
congkoan sekarang, kuda yang terbagus selalu disembunyikan untuk dipakai sendiri"
"Ban Tayhiap" bantah Jiu Heng Kian, "dengan ketajaman mata anda, mana berani aku berbuat
hal semacam itu dihadapan Tayhiap?"
Tiba tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Ban Kun Bu, katanya:"Kalau tidak, kenapa Jiu
congkoan sembunyikan kuda tersebut disana?"
Sinar matanya dialihkan ke arena penampungan kuda yang terIetak dipaling belakang, dalam
arena itu terdapat belasan ekor kuda kurus sisa kuda kuda yang sudah dipilih orang, diantara kuda
kurus itu terlihat seekor kuda berwama kuning yang tubuhnya kurus kering bagai seekor busur
panah yang melengkung, kuda itu diikat sendirian disudut arena, gerak geriknya sangat loyo
seperti tak bersemangat, lagipula selalu menjaga jarak dengan kumpulan kuda lainnya, seakan
akan kuda itu enggan berkumpul dengan rekannya.
"Maksud Ban Tayhiap kuda kurus itu?" tanya Jiu Heng Kian sambil mengerotkan dahinya.
"Betul, kuda itu yang kumaksud!"
Jiu Heng Kian tertawa getir.
"Ban tayhiap, kuda ini adalah kuda setan arak, masa kau tertarik dengan kuda semacam itu?"
"Satan arak" Jadi kuda itu baru bersemangat bila sudah diberi sedikit arak?"
"Tepat sekali!" Jiu Heng Klan menghela napas panjang, "bila didalam ransum kuda tidak
dicampuri dengan arak, biar lapar seharian pun dia tak mau makan"
"Apa nama kuda itu?"
"Arak Tua!"
Tiba tiba Ban Kun Bu bangkit berdiri dan menghampiri kuda itu dengan langkah lebar,
kemudian setelah mengamati sejenak binatang itu dengan sorot mata tajam, mendadak dia
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Arak Tua, bagus! Bagus sekali" serunya sambil tertawa, "nah kalau arak tua pasti punya
tenaga lagipula makin ke belakang semakin bertambah kuat, aku berani bertaruh kalau si panah
sakti harus beradu dengannya lari sejauh lima ratus li, mungkin pada dua ratus Ii pertama si
panah sakti akan memimpin duluan, tapi setelah lewat jarak itu, dia pasti dapat meIampaui si
panah sakti pada dua ratus li terakhir"
Kemudian seraya memandang wajah Jiu Heng Kian, tambahnya:"Kau berani bertaruh dengan
aku?" Jiu Heng-Idan termenung berapa saat, tiba tiba dia tertawa keras, sambil tertawa dia acungkan
ibu jarinya tanda memuji.
"Ketajaman mata Ban Tayhiap sungguh mengagumkan" pujinya, "ternyata semua urusan tak
bisa mengeIabuhi pandangan mata Ban Tayhiap"
Kembali terdengar suara pujian bergema dari balik kerumunan orang banyak, bukan saja
mereka mengagumi ketajaman mata Ban Kun Bu, bahkan pandangan mereka terhadap kuda kurus
yang sama sekali tak mencolok itupun mulai berubah, bahkan ada orang yang berebut membuka
penawaran lebih dulu, walaupun tahu bahwa mereka tak akan bisa menangkan persaingan itu
dengan Ho Sou Tayhiap, namun mereka berpendapat sekalipun harus kalah, mereka ingin kalah
secara terhormat.
Penawaran tertinggi yang diajukan adalah "sembilan ribu lima ratus tahil" satu angka
penawaran yang amat besar.
Ban Kun Bu sama sekali tidak menanggapi teriakan-teriakan orang lain, pelan pelan dia
acungkan tiga jari tangannya sambil membuat satu gerakan tangan tertentu.
Jiu congkoan dengan suara lantang segera mengumumkan, "Ban tayhiap mengajukan
penawaran sebesar tiga laksa tahil, apakah ada orang yang berani mengajukan penawaran lebih
tinggi?" Temyata tidak ada. Setiap orang mengunci mulutnya rapat rapat, tak seorangpun berani
bersuara lagi. Baru saja Ban Kun Bu dengan wajah berseri siap menghampiri arena penampungan untuk
menuntun kuda kurus itu, mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara nyaring:"Aku
berani menawar tiga laksa tiga tahil"
Paras muka Ban Kun Bu segera berubah hebat, sambil menarik wajahnya dia bergumam, "Sejak
awal sudah kuduga, bocah ingusan ini pasti akan datang mengacau!"
Sementara itu Jiu Heng Kian dengan wajah berseri telah berseru:"Sungguh tak disangka Ti Siau
Hou muncul juga tepat pada waktunya!"
Kerumunan orang banyak segera menyebar ke kiri kanan membuka jalan, siapa pun ingin
melihat macam apakah wajah Bangsawan nomor wahid, pemuda paling romantis dalam dunia
persilatan saat ini.
0-0-0 Dia adalah seorang pemuda tampan yang mengenakan baju berwama putih salju, pakaian itu
tampak bersih sekali tanpa ada debu yang menempel diatasnya, dia mempunyai wajah putih
bersih yang kelihatan begitu dingin dan hambar, sebuah senyuman seolah olah selalu menghiasi
ujung bibimya; Disamping pemuda ini selalu terlihat seorang perempuan cantik jelita yang berjalan
mengiringinya, bahkan setiap kali menampakkan diri di muka umum, gadis yang mengiringinya
selalu berganti orang.
Pemuda inilah Bangsawan yang menganggap harta kekayaan sebagai sampah, memandang
kuda jempolan dan wanita cantik bagai nyawa sendiri, Ti Cing Ling.
Perduli ke manapun dia pergi, dia selalu paling menarik perhatian orang banyak, dia pula yang
selalu menimbulkan rasa kagum orang terhadap dirinya.
Tidak terkecuali pada penampilannya kali ini.
Gadis cantik yang mendampinginya hari ini adalah seorang gadis cantik berbaju merah segar,
gadis itu mempunyai kulit badan yang putih bersih, bibir mungil bernarna merah seperti bunga
tho, mata yang bening dan sangat menawan hati serta pipi yang semu merah seperti orang yang
sedang mabuk arak.
Tak seorang pun yang tahu dari mana Bangsawan Ti berhasil mendapatkan seorang gadis
cantik seperti ini.
Melihat kehadirannya, Ban Kun Bu hanya bisa gelengkan kepalanya berulang kali sambil
menghela napas panjang:"Mau apa kau datang kemari" Kenapa kau harus datang kemari?"
Bangsawan Ti memandangnya sekejap sambil tertawa hambar, dengan perkataan yang paling
singkat dia beritahu kepada Ban Kun Bu:"Aku datang untuk mencelakaimu!"
"Mencelakai aku" Dengan cara apa kau hendak mencelakaiku?"
"Berapa tinggi pun penawaran yang kau ajukan, aku selalu akan menawar tiga tahil lebih
tinggi" Ban Kun Bu memandang wajah lawannya dengan sorot mars berkilat, entah berapa lama dia
melototi pemuda itu, kemudian sambil tertawa tergelak dia berkata:"Bagus, bagus sekali!"
Semua orang beranggapan jago tangguh dari sebelah utara sungai besar ini pasti akan
mengajukan satu penawaran yang lebih tinggi lagi untuk menggertak lawannya.
Tak nyana begitu berhenti tertawa, mendadak Ban Kun Bu berseru:"Aku tidak jadi membeli
kuda itu, kau boleh menjualnya kepada dia"
Jiu Heng Kian melengak, untuk sesaat dia nampak tertegun dan tak tahu apa yang harus
diperbuat. Belum sempat Ban Kun Bu melangkah pergi dari situ, tiba tiba terdengar Ti Cing Ling berteriak
lagi:"Tunggu sebentar!"
"Apa yang mesti kutunggu lagi?" sahut Ban Kun Bu sambil berpaling memandangnya sekejap.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ti Cing Ling tidak menjawab pertanyaan ini, dia bertanya kepada Jiu Heng Kian:"Apakah masih
ada orang lain yang akan mengajukan penawaran lebih tinggi?"
"Rasanya sudah tak ada lagi"
"Berarti mulai saat ini kuda tersebut sudal menjadi milikku?"
"Benar!"
"Kalau begitu kuhadiahkan kuda ini untukmu" kata Ti Cing Ling kemudian sambil berpaling ke
arah Ban Kun Bu.
Ban Kun Bu tertegun.
"Apa kau bilang?" serunya tertahan, "kau benar-benar akan menghadiahkan kuda ini kepadaku"
Kenapa kau berbuat begitu"'
Dia tidak paham, orang lain tentu saja lebih tak mengerti.
Dengan suara hambar Ti Cing Ling menjawab:"Tidak ada maksud lain atas pemberianku ini,
sudah sepantasnya kalau seekor kuda jempolan dihadiahkan untuk seorang jagoan sejati, kenapa
harus ditanya lagi mengapa?"
Memang begitulah tingkah laku Ti Cing Ling, satu tindakan yang aneh bagi pandangan orang
lain. 0-0-0 Malam semakin larut, dibawah cahaya lentera yang menerangi setiap sudut ruangan, pesta
perjamuan sedang berlangsung dengan meriahnya. Arak wangi mengalir tiada hentinya berpindah
dari dalam guci ke perut setiap jago yang ada disitu.
Ban Kun Bu minum terus tiada hentinya.
Semua jago persilatan tahu bahwa orang ini mempunyai takaran minum arak yang luar biasa
mengagumkan. "Bukan saja Ban Tayhiap memiliki ilmu golok yang tiada ke duanya dikolong langit, takaran
minum araknya juga tiada tandingan di dunia saat ini"
Tentu saja hari ini dia minum sangat banyak, luar biasa banyaknya.
Mau tidak mau dia harus menerima maksud balk Ti Cing Ling, namun setelah menerima
kebaikannya dia pun tak tahu harus merasa gembira atau tidak.
Oleh sebab itulah dia terus minum arak karena setelah minum arak dia akan merasa sangat
gembira. Kakak seperguruannya, murid kesayangannya serta teman sehidup sematinya membiarkan dia
minum sepuas hati, sebab tempat yang digunakan mink minum adalah kamar pribadi dan Hoa
Suya, tidak banyak tamu yang diundang dalam pertemuan kali ini, lagipula asal usul setiap orang
yang hadir disitu pun sudah diperiksa secara ketat dan teliti, karenanya tempat itu boleh dibilang
aman sekali. Ban Kun Bu sering berkata kepada teman temannya"Bila seseorang kelewat cepat ternama
dalam dunia persilatan, hal in bukanlah satu kejadian yang menggembirakan, sebab orang yang
kelewat cepat ternama biasanya pada waktu malam susah untuk tidur nyenyak"
Contohnya orang macam dia, dalam melakukan pekerjaan dan perbuatan apapun semuanya
harus dilakukan ekstra hati hati, karena sangat berhati hati maka dia bisa hidup sehat hingga hari
ini. Sekalipun ada orang menginginkan nyawanya, belum tentu kesempatan semacam itu bisa
didapatkan secara mudah.
Orang pertama yang mengundurkan did dan pesta meriah itu adalah Ti Cing Ling.
Sejak dulu dia tak pemah suka minum arak, dia pun merasa amat lelah, apalagi didalam kamar
tamu yang disiapkan tuan rumah masih ada seorang wanita cantik yang menunggunya bagi
sebagian besar orang, asal ada alasan yang terakhir pun sudah lebih dari cukup untuk mundur
Iebih cepat dan pasta pora yang meriah itu.
Setiap orang dengan membawa sorot mata kagum dan iri mengiringi kepergian pemuda
tampan itu, bukan hanya kagum bahkan sangat memuji:"Cara kerja Bangsawan Ti memang
menarik dan menggiurkan, tak heran banyak perempuan cantik yang mencintainya setengah mati"
Hoa Suya termasuk orang yang sangat terbuka dan luas pandangannya
Dia berperawakan tinggi besar, gemuk tapi berotot, jujur, berkemauan karat dan punya sikap
yang hangat terhadap siapa pun, wajahnya yang gemuk lagi bulat sama sekali tidak
mencerminkan kelicikan maupun kemunafikan, walau saban tahun dia harus berapa kali ditipu
orang, namun masalah semacam itu tak pemah dimasukkan ke dalam hati.
"Sudah berapa ekor kuda yang kau bell kali ini" tanya Ban Kun Bu kepadanya.
"Tak seekor pun yang kubeli" jawab Hoa Suya sambil tertawa terkekeh kekeh, "sebab baik Kim
Toa tanya maupun Jiu congkoan sama sama adalah sahabatku, aku tak boleh mencelakai teman
sendiri, tak boleh membuat mereka tertipu olehku, karena itu hanya aku yang ditipu orang, bukan
aku yang menipu temanku sendiri"
Ban Kun Bu tertawa terbahak bahak.
"Bagus, bagus sekali" " serunya "hahaha"aku pantas menghormati tiga cawan arak
kepadamu" Selesai minum tiga cawan arak, kembali Hoa Suya balas menghormatinya dengan tiga cawan
arak, setelah itu Ban Kun Bu pun berpamit untuk "meringankan tubuh" nya sebentar.
Tak heran orang ini mempunyai takaran minum yang luar biasa, sebab dia memiliki sebuah
rahasia dalam tehnik minum arak yaitu dia bisa muntah. Begitu selesai minum arak dalam jumlah
banyak, dia pasti berpamit untuk muntah dulu. Selesai muntah, dia akan kembali untuk
melanjutkan minumnya lagi.
Itulah rahasia darinya..
Walaupun kakak seperguruannya, murid kesayangannya dan teman sehidup sematinya
semuanya ikut mengetahui rahasia ini, namun dia selalu menganggap mereka tak pemah tahu,
karena itu mereka pun terpaksa harus berlagak seolah olah tidak tahu.
Oleh sebab itu ketika dia berpamit mau "meringankan tubuh", mereka membiarkan dia pergi
seorang diri. Diatas liang yang amat dalam tampak melintang papan kayu cendana sebagai tempat pijakan,
diatas papan tempat pijakan dilapisi sebuah karpet yang indah sementara pada dasar liang dilapisi
bulu angsa. Hoa Suya memang termasuk orang yang pandai menikmati hidup, apa yang dia inginkan selalu
dipersiapkan secara lengkap dan sempuma, termasuk tempat untuk "meringankan tubuh" pun
tanpa kecuali. Ketika berjalan masuk ke ruang "meringankan tubuh" dengan sorot mata yang masih mabuk
dia awasi tempat itu dengan perasaan kagum, dia memutuskan untuk membuat juga satu tempat
yang persis seperti ini setibanya di rumah nanti.
Maka dia pun mulai muntah.
Tidak sulit baginya untuk melakukan hal itu" asal dia masukkan jari telunjuknya ke dalam
mulut, kemudian menekan lidahnya kuat kuat maka semua isi perutnya akan mulai tumpah keluar.
Tapi sayang kali ini dia tak sempat muntah.
Baru saja dia masukkan jari telunjuknya ke dalam mulut, tiba tiba muncul sebuah tangan yang
lain dari belakang tubuhnya, tangan itu langsung menekan dagunya ke atas sehingga sebaris
giginya langsung menggigit ujung jarinya sendiri.
Dia merasa kesakitan tapi sayang tak mampu bertenak, dengan sekuat tenaga dia coba
menyikut tulang iga lawan dengan sikutnya, tapi sayang tindakan inipun tak berhasil karena orang
itu keburu menotok jalan darah Ci Ti Hiat nya terlebih dulu.
Ilmu silat yang dilatihnya dengan susah payah selama dua puluh delapan tahun, kini tak satu
pun yang bisa digunakan, kini seluruh tenaga dan kekuatan tubuhnya telah hilang musnah.
Padahal dia memiliki pengalaman bertempur yang sangat matang, banyak sudah korban yang
berhasil dibunuhnya, banyak juga orang yang ingin menghabisi nyawanya, tapi hanya orang ini
yang mampu memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk membekuknya.
Kini, dia hanya ingin tahu siapakah orang itu"
Tampaknya orang inipun berniat untuk memberitahu siapakah dirinya, dengan suara setengah
berbisik katanya pelant, "Sejak tadi aku toh sudah beritahu kepadamu, aku datang untuk
mencelakaimu, sudah lama aku melakukan penyelidikan serta pengamatan, setiap urusanmu,
setiap tindak tandukmu sudah kuselidiki sangat jelas, bahkan mungkin lebih jelas daripada dirimu
sendiri, aku pun tahu saat ini kau pasti akan datang kemari untuk muntah"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia menambahkan dengan suara dingin, "Oleh karena itu,
kau boleh mati dengan perasaan tenteram, mati tanpa menyesal!"
Ban Kun Bu segera tahu siapakah orang itu, hanya sayang selama hidup dia tak berkesempatan
lagi untuk bicara.
Pada saat yang terakhir dia hanya sempat menyaksikan berkilatnya selapis cahaya pisau, begitu
tawar cahaya itu persis seperti sekilas cahaya fajar yang baru muncul di ufuk timur saat itu.
Menyusul kemudian dia merasa ulu hatinya sakit sekali, sebilah pisau belati sudah menusuk
masuk dari tulang iga dada sebelah kirinya langsung tembus hingga ke jantungnya.
Sebilah pisau yang sangat tipis, lebih tipis dari selembar kertas.
Tak ada orang yang bisa melukiskan kecepatan gerak pisau tipi situ.
Ketika dicabut keluar, gerakan itupun sama cepatnya seperti ketika melancarkan tusukan tadi.
Ketika sebilah pisau yang sangat tipis menusuk ke dalam tubuh lalu dicabut kembali, maka
tusukan tersebut tidak akan meninggalkan bekas mulut luka yang kentara atau terlihat dengan
mata telanjang.
Oleh karena itu tak ada yang bisa membalaskan dendam atas kematian Ban Kun Bu.
Sebab kematiannya disebabkan minum arak kelewat banyak, dalam pandangan kebanyakan
orang, mereka sependapat bahwa seseorang yang minum arak kelewat banyak, seringkali bisa
mati secara mendadak
Tentu saja semua orang tak pemah menyangka kalau peristiwa kematian ini mempunyai
hubungan yang erat dengan Bangsawan Ti yang baru saja menghadiahkan seekor kuda jempolan
kepadanya. Oleh sebab itu kuda jempolan tetap mengikuti layon majikannya pergi meninggalkan tempat
itu, sementara Ti Cing Ling pergi sambil diikuti perempuan cantik miliknya.
Nanti ketika dia munculkan diri sekali lagi dikemudian hari semua orang pasti masih tetap akan
memandangnya dengan sorot mata kagum serta memuji, tak akan ada orang yang percaya kalau
dia pernah membunuh orang, menghabisi nyawa seseorang tanpa menimbulkan suara dan
menggunakan gerakan yang menyolok.
Memang inilah ciri khas dari Ti Cing Ling, tehnik membunuh orang yang tiada duanya di kolong
langit. 0-0-0 Ruangan dalam kereta kuda itu lebar dan terasa sangat nyaman, bukan saja kuda yang
menghela kereta itu terdiri dari kuda kuda pilihan, sang kusir pun sangat mahir dalam
mengendalikan kereta kuda itu.
Duduk didalam kereta kuda yang diperoleh Ti Cing Ling dari tangan seorang permaisuri raja
yang ditukar dengan sebuah mutiara mestika ini serasa duduk di dalam sebuah perahu pesiar di
telaga See Ou yang berair tenang, bahkan sama sekali tidak terasa katau kereta itu sedang
bergerak. Si Si dengan mengenakan sebuah jubah sutera berwarna merah yang amat lembut duduk
melingkar di sudut ruang kereta bagaikan seekor kucing Persia, saat itu dengan menggunakan
tangannya yang putih mulus dengan kuku yang diberi cat merah, sedang menyuapi kekasihnya
dengan buah anggur yang manis dan segar.
Dia adalah seorang wanita yang lemah lembut, cantik dan cerdik, dia sangat mengerti
bagaimana menikmati hidup, juga tahu bagaimana kaum lelaki menikmati kemesrahan yang dia
berikan. Dia tak ingin kehilangan lelaki yang berada disisinya saat ini, tapi dia sadar, sudah saatnya akan
segera kehilangan lelaki itu.
Ti Cing Ling tidak pemah membiarkan seorang wanita berada di sisinya terlalu lama.
Tapi Si Si telah mengambil keputusan, dia harus berupaya agar Bangsawan Ti menahannya
lebih lama. Ti Cing Ling mengawasi terus perempuan yang berada disisinya, mengawasi sepasang kakinya
yang telanjang, putih, indah dan lembut yang muncul dari balik jubah sutera merahnya.
Dia tahu, tubuh dibalik jubah sutera berwarna merah yang membalut badan perempuan itu
adalah sebuah tubuh telanjang bulat yang sangat indah dan menggairahkan napsu syawat.
Tubuh perempuan itu lembut, putih, halus dan montok, apalagi sewaktu mencapai puncak
kenikmatan, seluruh badannya akan berubah jadi dingin bahkan akan gemetaran terus tiada
hentinya. Si Si memang tahu bagaimana cara untuk menaklukan seorang pria, dia tahu bagaimana cara
mengendalikan seorang lelaki.
Bagi Ti Cing Ling yang sudah kelewat banyak menikmati tubuh wanita, hanya perempuan ini
yang terasa sangat cocok bagi seleranya, hanya perempuan ini yang selalu memberikan kepuasan
seks kepadanya.
Dia ambil keputusan akan menahannya lebih lama, gejolak hawa panas yang timbul dalam
tubuhnya membuat dia mengambil keputusan tersebut.
Pelan-pelan tangannya mulai digerakkan, menggerayang masuk ke balik jubah merahnya yang
Iebar, dipegang dan diremasnya sepasang payudaranya yang besar, montok dan kenyal itu
dengan penuh napsu.
Pada saat itulah, tiba tiba perempuan itu mengucapkan sepatah kata yang aneh sekali nadanya.
"Aku tahu kau sudah lama mengenali Ban Kun Bu" kata Si Si dengan suara lembut, "apakah
kalian saling mendendam atau terlibat suatu permusuhan?"
"Sama sekali tidak"
"Dulu pun dia tak pemah menyalahi dirimu?"
"Sama sekali tidak"
"Lalu, mengapa kau harus membunuhnya?" tanya Si Si sepatah demi sepatah kata, ditatapnya
pemuda itu dengan pandangan tajam.
Aliran hawa panas yang semula mengalir dalam tubuh Ti Cing Ling, tiba tiba saja berubah jadi
dingin membeku, entah mengapa dia merasa merinding hatinya
Terdengar Si Si masih melanjutkan kata-katanya,"Aku tahu, pasti kau yang telah
membunuhnya, sebab ketika dia menemui ajalnya secara kebetulan kau tidak berada disisiku, dan
sewaktu kembali kau pun kelihatan gembira sekali; Dalam semalaman kau sudah mengajakku
berbuat intim sampai tiga kali, jauh lebih banyak ketimbang sewaktu pertama kali kau bertemu
denganku. Dulu, aka pemah mendengar cerita dari seorang nyonya, katanya ada sementara orang
yang akan lebih bernapsu dan bergairah setelah membunuh seseorang, dia akan berubah brutal
diranjang, bertambah gila dan liar, persis seperti tingkah lakumu semalam tadi"
Ti Cing Ling hanya mendengarkan dengan tenang, sedikitpun tidak memberikan reaksinya.
Si Si kembali berkata:"Aku pun tahu, kau menyembunyikan sebilah pisau yang tipis, sangat tipis
dibalik bajumu, pernah beritahu kepadaku, jika membunuh seseorang dengan menggunakan pisau
semacam itu, maka akan sulit untuk menemukan mulur luka ditubuh korbannya,"
Ti Cing Ling tetap membungkam, tapi dia mulai menghela napas di dalam hati kecilnya.
Tidak seharusnya Si Si kenal dengan 'Toaci' tersebut, seorang wanita memang tidak
sepantasnya mengetahui begitu banyak urusan.
Si Si kembali mengawasi kekasihnya, sambil membelai wajah pemuda itu dengan lembut,
katanya lebih jauh: "Kau tak perlu merahasiakan urusan apapun kepadaku, toh aku sudah menjadi
milikmu, aku tak perduli kau akan melakukan perbuatan apapun, aku tetap akan selalu mengikuti
dirimu " Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya dengan lembut: "Oleh sebab itu kau boleh berlega
hati, aku tak akan bercerita tentang perbuatanmu, biar sampai matipun tak akan kuceritakan"
Nada suaranya bertambah halus dan lembut belaian tangannya juga bertambah lembut.
Dengan cepat perempuan ini mulai merasakan, napsu birahi pemuda itu mulai bangkit kernbali,
jubah sutera berwarna merah yang dikenakan segera mulai dirobek, mulai dicabik cabik dengan
penuh napsu. Sekarang Si Si boleh merasa lega.
Dia tahu, taktik yang dipergunakan telah membuahkan hasil, sekarang pemuda itu tak akan
meninggalkan dirinya, tak akan berani meninggalkan dirinya.
Goncangan hebat yang melanda kereta kuda itu pelan pelan mereda kembali, akhirnya kereta
pun dapat bergerak semakin tenang, bergerak ke depan rnengikuti helaan kuda didepannya.
Dari bawah tempat duduknya Ti Cing Ling ambil keluar sebotol arak anggur, setelah meneguk
satu cawan kecil dia baru berkata:"Tadi kau bertanya kepadaku kenapa harus membunuh Ban Kun
Bu, perlukah aku beritahu kepadamu sekarang?"
"Asal kau mau bercerita, aku akan mendengamya"
"Aku bunuh dia karena ada seorang sahabatku tidak menginginkan dia hidup terus"
"Kau punya sahabat?" Si Si tertawa. "aku belum pemah tahu kalau kaupun punya sahabat"
Setelah berpikir sejenak kembali tanyanya:"Apapun yang diminta sahabatmu itu, kau selalu
akan mengabulkan permintaannya?" Ti Cing Ling manggut-manggut.
"Hanya dia yang bisa membuatku berbuat begitu sebab aku sudah hutang budi kepadanya"
Bangsawan Ti menjelaskan, "sekarang dia adalah seorang pentolan paling top dari sebuah
organisasi rahasia terbesar dalam dunia persilatan, dia pemah membantuku satu kali, satu-satunya
syarat yang dia ajukan hanyalah ketika dia butuh aku melakukan suatu pekerjaan, maka aku tak
boleh menolak"
Setelah berhenti sejenak, kembali ujamya:"Organisasi rahasia itu bernama perkumpulan Cing
Liong Pang (Perkumpulan Naga Hijau), mempunyai tiga ratus enam puluh lima kantor cabang,
hampir di setiap propinsi, tiap keresidenan dan setiap sudut tempat terdapat orang orang mereka,
begitu besar dan dahsyatnya pengaruh mereka, jauh diatas apa yang kau bayangkan selama ini"
"Kalau mereka punya pengaruh dan kekuatan sedahsyat itu, kenapa harus minta bantuanmu
untuk bunuh orang?" tak tahan Si Si bertanya.
"Sebab ada sementara orang yang tak bisa membunuh orang, sebab setelah membunuh, akibat
yang timbul terlalu besar, kesulitan dan pertikaian yang muncul juga kelewat banyak, apalagi
manusia macam begini tentu mempunyai banyak sahabat, mereka tentu akan berupaya untuk
membalaskan dendam sakit hatinya"
"Yaa, benar juga, pihak kerajaan pasti akan mengirim petugas untuk melakukan penyelidikan"
Si Si mengangguk, "orang persilatan selalu enggan menghadapi kesulitan macam begini"
Ti Cing Ling manggut manggut membenarkan.
"Biasanya orang yang tak mungkin bisa dibunuh justru dapat kubunuh dengan mudah, dan
cuma aku yang bisa membunuh" katanya, "sebab siapapun tak akan mengira kalau aku bisa
bunuh orang, karena itu setelah membunuh orang aku pun tak akan menghadapi banyak
kerepotan, terlebih tak akan menyusahkan sahabatku itu"
Si Si tidak bertanya lebih jauh, karena sekarang dia lebih lega, dia merasa lega sekali.
Hanya dihadapan seorang wanita yang paling dicintai dan paling dipercaya, seorang lelaki baru
mau membeberkan rahasia semacam ini.
Dia bertekad untuk menjaga rahasia ini dengan sebaik-baiknya" sebab dia pun sangat
mencintai lelaki yang kadang lembut bagaikan alur air, kadang dingin bagaikan salju dan
terkadang begitu panas dan bergairah bagai kobaran api ini.
Dia percaya dan yakin dirinya pasti dapat mengendalikan lelaki ini.
Sayang sekali semua dugaannya keliru besar.
Walaupun dia sangat memahami kaum pria, tapi pria yang berada di hadapannya saat ini justru
sulit dipahami oleh siapa pun.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan dia sendiripun terkadang tidak paham dengan diri seniri.
Kereta kuda masih bergerak melanjutkan perjalanannya, hanya saja di dalam ruang kereta saat
ini tinggal Ti Cing Ling seorang.
Si Si sudah lenyap dari permukaan bumi, sejak detik itu dia sudah hilang lenyap untuk
selamanya. Ti Cing-ling mempunyai tiga macam cara yang dapat melenyapkan seseorang dari muka bumi,
cara yang digunakan terhadap Si Si adalah cara yang terampuh diantara cara cara lainnya.
Tak ada orang yang tahu cara apa yang dia gunakan, ketiga cara itu hanya dia seorang yang
tahu akan rahasianya.
Rahasia miliknya kecuali untuk dia sendiri, selama hidup tak pemah ada orang hidup kedua
yang mengetahuinya.
Si Si telah keliru besar, dia salah tafsir.
Sebab dia tak tahu kalau Ti Cing-ling selama hidup tak pernah akan percaya dengan siapa pun
yang masih bisa bernapas.
Dia pun tak tahu kalau satu satunya orang yang paling dicintai Ti Cing Ling hanya diri sendiri.
Jika seorang wanita semacam Si Si lenyap secara tiba tiba dari muka bumi, kejadian ini tak
mungkin bisa menimbulkan kesulitan ataupun persoalan apapun.
Sebab perempuan semacam ini tak lebih hanya seperti pohon Yang liu yang dipermainkan
hembusan angin, bagai daun teratai yang mengapung diatas permukaan air, seandainya dia
lenyap maka orang akan menduga besar kemungkinan dia sudah kabur bersama seorang playboy,
atau mungkin dia sudah disembunyikan seorang saudagar kaya raya dalam rumah emasnya, atau
bahkan mungkin dia sedang bersembunyi didalam sebuah kuil kecil ditengah hutan dan mencukur
rambut jadi nikou.
Perempuan semacam dia memang bisa melakukan perbuatan apapun.
Oleh karena itu dikala dia merasa yakin dapat hidup mendampingi Ti Cing-ling secara aman dan
tenteram, justru Ti Cing Ling mempersilahkan dia pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Dan hal ini merupakan salah satu ciri khas Ti Cing Ling terhadap kaum wanita.
0-0-0 "Toaci" sedang bersandar disisi pembaringan yang terbuat dari tembaga dengan seprei wama
merah menyala, dalam hati kecilnya dia sedang berpikir:
"Sudah seharusnya Si Si tiba dirumah, kenapa dia belum juga muncul?"
Dia sangat mencintai Si Si, sebab di kolong langit saat ini dia sudah tak punya sanak maupun
keluarga lagi, dan dia pun sudah mulai terbiasa disebut orang sebagai `Toaci'.
Seorang wanita macam dia ternyata dipanggil orang sebagai `Toaci. (kakak tertua),
sesungguhnya kejadian ini merupakan satu kejadian yang amat memilukan.
Usia remajanya sudah lama berlalu, sekarang, dia hanya berharap Si Si tidak meninggalkan
dirinya dan tidak mengecewalcan harapannya, dia berharap Si Si bisa menikah dengan seorang
pria yang jujur dan setia.
Sayang sekali Si Si justru tak pemah suka dengan pria yang jujur dan bersikap setia.
Si Si terlalu pintar, kelewat angkuh, dia ingin hidup menonjol, dia ingin jadi bini orang tenar,
orang kaya, persis seperti sikapnya ketika masih muda dulu.
Ditengah ruangan tersedia sebuah meja bulat yang terbuar dari kayu cendana, disisi meja
duduk seorang lelaki kurus kering, berkulit hitam, berwajah murung dan usianya sekitar tiga puluh
tahunan, dia duduk termenung sambil mengawasi perempuan itu tanpa berkedip.
Pemuda ini bernama Nyo Cing, teman mainnya semasa kecil, boleh dibilang dia merupakan
sahabat karibnya sejak kecil hingga kini.
Ketika berusia lima belas tahun, gara gara tak punya uang untuk mengubur kedua orang
tuanya, dia terjun dalam kehidupan malam sebagai seorang pelacur, setelah berpisah belasan
tahun akhirnya mereka berdua lagi disitu, sungguh tak disangka lelaki muda itu sudah jadi seorang
komandan opas di kota keresidenan tersebut.
Dengan jabatan serta kedudukannya sekarang, tidak pantas dia mendatangi tempat pelacuran
seperti ini. Tapi kenyataannya hampir setiap dua tiga hari sekali, dia pasti datang berkunjung, setiap kali
datang, dia hanya duduk termenung disitu sambil mengamati wajahnya tanpa berkedip.
Diantara mereka berdua sama sekali tak ada ikatan hubungan seperti apa yang diduga orang
lain, hubungan perasaan mereka berdua tak akan dipahami orang lain, juga tak akan dipercayai
siapa pun Dia selalu nasehati Nyo Cing agar tidak terlaIu sering datang berkunjung, agar terhindar dari
pergunjingan orang, yang mana dapat mempengaruhi dan menodai nama baik serta karier
kerjanya. Tapi Nyo Cing selalu bilang:"Selama aku tidak melakukan perbuatan yang melanggar norma
susila dan norma hukum, perduli amat dengan pergunjingan orang, aku tetap akan mendatangi
tempat yang ingin kudatangi"
Dia memang seorang lelaki keras hati.
Selama dia anggap hal tersebut patut dilakukan, selama tidak melanggar norma susila, tidak
melanggar norma hukum, biarpun ada golok mengancam di tengkuknya, tak seorangpun bisa
mencegah sepak terjangnya.
Dia bertekad akan menikahinya.
Dalam benaknya, dari dulu hingga sekarang dia tetap adalah si nona kecil berkepang besar "Lu
Siok Bun", dan bukan lonte kenamaan "Ji Giok", juga bukan si germo "Toaci" seperti predikatnya
saat ini. Sebaliknya, dalam benak sang "Toaci" pun bukan tak punya keinginan untuk kawin dengan
pemuda ini, siapa sih yang tak mau dikawini seorang lelaki yang keras hati, romantis lagi jujur"
Sejak berapa tahun berselang, dia telah menebus perempuan itu dari rumah bordil, asal dia
bersedia, setiap waktu setiap saat dia akan memboyongnya ke rumah.
Tapi dia tak boleh berbuat begitu, pemuda itu setahun lebih muda dari usianya, dalam
pandangan para anggota kepolisian, dia adalah seorang hohan yang jujur, bersih, punya masa
depan cemerlang, banyak sahabat dan mampu bekerja.
Sebaliknya dia sendiri tak lebih seperti sekuntum bunga yang mulai layu, mulai kusam dan
sudah sering diinjak kaki banyak orang, dia tak lebih hanya seorang lonte yang tak bermoral,
seorang lonte busuk yang sama sekali tak ada harganya.
Dia tak mau memusnahkan masa depannya, rnaka dia mesti bulatkan tekad untuk menampik
pinangannya, dia lebih suka hidup seorang diri dalam kesepian, seorang diri menyeka air mata
dikala ter jaga dari tidumya tengah malam.
Tiba tiba Nyoo Cing bertanya:"Apakah Si Si telah menemukan seorang lelaki yang baik, apakah
dia sudah dikawini seseorang?"
"Akupun berharap dia bisa peroleh seorang suami yang baik" Lu Siok Bun menghela napas
panjang, "sayang cepat atau lambat akhirnya dia harus kembali juga"
"Kenapa?"
"Kau tahu tentang manusia yang bemama Ti Cing Ling?"
"Aku tahu, keturunan bangsawan kelas satu, seorang pendekar muda yang romantis dan amat
termashur dalam dunia persilatan" jawab Nyoo Cing, "jadi Si Si pergi bersamanya,"
Lu Siok Bun mengangguk.
"Mana mungkin seorang lelaki macam Ti Cing Ling dapat menaruh cinta murni terhadap
seorang wanita" Paling banter cuma buat main main, setelah bosan ditinggal begitu saja"
Kembali Nyoo Cing duduk termangu berapa saat lamanya, kemudian pelan pelan dia bangkit
berdiri. "Aku pergi dulu" katanya, "malam ini aku masih punya tugas untuk dilaksanakan"
Lu Siok Bun tidak berusaha mencegah, dia pun tidak bertanya tugas apa yang hendak
dilaksanakan. Dalam hati mestinya dia ingin menahannya, ingin bertanya kepadanya, berbahayakah tugas
yang akan dijalankan" Di dalam hati kecilnya, dia selalu menguatirkan keselamatan jiwanya,
begitu kuatir sehingga kadang kadang sukar untuk tidur.
Namun diluar, ia hanya berkata hambar"Kalau begitu pergilah"
Malam semakin hening.
Di depan pinto gerbang rumah bordil "Gie Hong Wan" tergantung dua buah lentera merah yang
amat besar, dipandang dari kejauhan, lentera itu mirip sekali dengan sepasang mata hewan buas.
Seekor binatang buas yang bisa menelan manusia tanpa memuntahkan tulang belulangnya!
Sejak dulu, entah sudah berapa banyak gadis lemah yang ditelan bulat bulat oleh hewan buas
itu, berapa banyak gadis miskin yang dinodai dan dicemooh dalam gedung tersebut
Nyoo Cing amat benci, amat gemas dan mendendam! Sayang dia tak punya kemampuan untuk
mendobrak tradisi itu, karena rumah bordil dibuka atas dasar hukum, dilindungi undang undang,
sebuah usaha resmi yang lengkap dengan ijin ijinnya, bukan saja dia tak boleh mengusiknya,
bahkan harus melindungi dan menjaga keamanan serta kelancaran usaha itu.
Angin malam yang berhembus dalam lorong gelap itu basah lagi dingin, dengan melawan angin
dia berjalan keluar.
Mendadak muncul seseorang dari balik lorong, sambil tertawa menggapai ke arahnya memberi
tanda. Orang itu bernama Sun Ji Hay, Ji piautau dari sebuah perusahaan ekspedisi, nama besamya
cukup termashur dalam dunia persilatan, dalam kota pun sangat disegani orang banyak, konon
ilmu silat yang dimiliki terhitung tangguh.
Tapi Nyoo Cing tak pernah suka dengan orang ini, karena itu tegurnya dengan suara dingin,i
"Ada apa?"
"Ada sedikit benda akan kuserahkan kepada komandan Nyoo, titipan seorang teman" kata Sun
Ji-hay sambil mengeluarkan setumpuk uang kertas dari sakunya, "uang kertas ini dikeluarkan
rumah uang "Toa Thong", tiap lembar bernominal seribu tahil yang bisa diuangkan dimana pun"
Nyoo Cing memandangnya dengan sorot mata dingin, dia tidak bereaksi, ditunggunya orang itu
berkata lebih lanjut.
"Dengan uang tersebut, komandan Nyoo bisa membeli sebuah rumah gedung dengan halaman
yang luas, juga bisa menjemput nona Giok pulang ke rumah" tertawa Sun Ji Hay membuat
sepasang matanya kelihatan makin sipit, "asal malam ini komandan Nyoo mau beristirahat di
rumah dan tidak ke mana mana, tumpukan uang kertas ini akan menjadi milikmu"
"Siapa yang suruh kau serahkan ini kepadaku?" Nyoo Cing sama sekali tak tergerak hatinya,
"Apakah dari teman yang mau lewat disini malam ini?"
"Betul!" Sun Ji Hay segera mengakui, "dihadapan orang pintar tak perlu berbohong, memang
dia" "Konon baru saja dia berhasil membegal sebuah kereta kawalan di jalan raya Siang Lim To, nilai
kereta kawalan itu hampir seratus delapan puluh laksa tahil, masa dia cuma memberi aku
sedemikian kecilnya" Apa tidak kebangetan?"
"Komandan Nyoo minta berapa?"
"Tidak banyak yang kuminta, aka cuma pingin mendapat seratus delapan puluh laksa tahil plus
dua orang manusia"
"Dua orang yang mana?" Sun Ji-hay tak mampu tertawa lagi
"Yang satu kau, yang lain dia" kata Nyoo Cing, "sebagai seorang pengawal barang, ternyata
kau malah bersekongkol dengan kaum begal, manusia macam kau pantas dibantai"
Sun Ji Hay rnundur dua langkah, cepat cepat dia masukkan kembali tumpukan uang kertas itu
ke dalam saku, lalu dengan kecepatan bagaikan kilat dia cabut keluar sebuah senjata garpu dari
sakunya. "Sialan!" umpatnya sambil tertawa seram, "hanya seorang opas kecil di kota keresidenan juga
berani melawan Ni Pat taiya" Hmmm! Yang pingin mampus seharusnya kau"
"Dia bukan saja pantas mampus, bahkan sudah dipastikan akan mampus" dari balik lorong
gelap tiba tiba terdengar seseorang menimpali dengan suara dingin.
Bab 2. Tongkat Gigi Serigala.
Tongkat Gigi Serigaia atau lebih dikenal sebagai Long Ya Pang termasuk sebuah jenis senjata
yang jarang digunakan dalam dunia persilatan, selain berat, bentuknya kelewat besar, tidak
leluasa untuk dibawa ke mana mana, dalam penggunaan pun sangat canggung dan tak gesit,
Tanpa memiliki kekuatan lengan seberat ribuan kati, jangan harap bisa mainkan senjata ini
dengan lancar. Biasanya, senjata macam begini hanya dijumpai dalam sebuah pertempuran kolosal, sebuah
pertempuran akbar yang melibatkan beribu ribu orang prajurit, pertempuran berdarah yang bisa
menciptakan banjir darah dan bukit bangkai. Sementara dalam dunia persilatan, teramat jarang
orang menggunakan senjata jenis ini.
Tapi orang yang menerjang keluar dari balik lorong saat ini justru menggunakan senjata Long
Ya Pang dengan bobot paling tidak tujuh-delapan puluh kati, gigi serigala yang mencorong diatas
tongkat memancarkan sinar tajam yang menyilaukan mata, sekilas pandang persis seperti
berpuluh puluh ekor serigala kelaparan yang slap menerkam Nyoo Cing dan mencabik cabik
tubuhnya hingga hancur berkeping.
Orang itu berperawakan tinggi besar, tinggi badan hampir sembilan depa dengan panjang
lengan hampir dua depa, bertelanjang dada, berkepala botak, memakai anting anting besar
terbuat dari emas pada telinga kirinya dan berwajah merah membara seperti kobaran api.
Dia mempunyai sebuah bekas bacokan golok yang memanjang di ujung bibirnya, membuat
hidungnya yang besar bagai telur itik terbelah dua.
Jika ada orang yang menyaksikan kemunculannya ditengah malam buta, pasti akan mengira
telah berjumpa dengan jin atau memedi jahat.
Nyoo Cing membalikkan badan menghadap ke arah manusia raksasa itu, dia tak ambil perduli
dengan Sun Ji Hay yang berada di belakangnya, seolah-olah dia sama sekali tak tahu kalau senjata
garpu yang berada di tangan Sun Ji Hay pun merupakan senjata pembunuh, bahkan sudah banyak
jago yang menemui ajalnya di ujung senjata garpu yang tajam itu.
Perawakan Nyoo Cing termasuk cukup tinggi, namun dibandingkan manusia raksasa yang
berada di hadapannya, dia nampak pendek sekali.
"Konon Ni Pat punya seorang anak buah dari suku Miau yang disebut orang si Kerbau liar, jadi
kaulah si suku Miau itu?" tegur Nyoo Cing kemudian.
"Tepat sekali, akulah orangnya"
"Konon kau buas, kasar, tak pakai aturan dan tak takut mati, apa benar kau tak takut
mampus?" "Yang bakal mampus bukan aku, tapi kau si anak kura kura!" orang Miau itu mengumpat
dengan dialek Tionggoan yang lucu, apalagi kata umpatan yang digunakan, kedengarannya aneh
dan amat istimewa.
Nyoo Cing tidak bersenjata, jarang orang melihat dia gunakan senjata.
Dengan tangan kosong dia berdiri dihadapan manusia raksasa itu, bukan saja tak panik, dia
justru kelihatan tenang sekali.
Pada saat itulah, Tongkat gigi serigala seberat tujuh-delapan puluh kati itu sudah diayunkan ke
muka dan menyapu ke arah tubuhnya dengan membawa deruan angin serangan yang
rnemekikkan telinga.
Dia tak dapat menangkis, dalam genggamannya sama sekali tak ada benda yang bisa dipakai
untuk menangkis.
Dia pun tak dapat mundur, sebuah senjata garpu yang tajam sedang mengancam dari belakang
tubuhnya. Jangan lagi melawan, mau berkelit pun sulit baginya.
Lorong itu kelewat sempit, sementara senjata tongkat gigi serigala itu kelewat panjang,
sewaktu menyambar ke depan, hampir seluruh jalan mundumya telah terblokir total, mau berkelit
ke arah mana pun, sulit baginya untuk melepaskan diri dari ancarnan tersebut.
Sun Ji Hay tidak turun tangan.
Dia memang tak perlu turun tangan, bahkan saat itu dia sedang mencari akal bagaimana
caranya memusnahkan mayat orang itu, agar manusia yang bernama Nyoo Cing lenyap untuk
selamanya dan muka bumi.
Belum sempat dia menemukan sebuah cara yang sempurna, tahu tahu satu perubahan telah
terjadi, dia segera sadar, percuma dia melanjutkan pemikiran itu.
Karena dalam sekejap mata itulah dia menjumpai bahwa untuk sementara waktu Nyoo Cing tak
bakalan mampus.
Tadi, posisi Nyoo Cing memang sudah terkurung, kelihatannya dia segera akan menemui
ajalnya. Dengan cara apapun dia menangkis atau dengan cara apa pun dia berkelit, apalagi mundur dan
arena, sebuah pukulan dahsyat tetap akan bersarang di tubuhnya.
Tak ada orang yang mampu menahan serangan tongkat bergigi serigala itu.
Siapa nyana Nyoo Cing sama sekali tidak menangkis, dia tidak menghindar, apalagi mundur dari
arena memang ada sementara orang yang selama hidup tak sudi mundur dari arena, Nyoo Cing
termasuk manusia type ini.
Bukan saja dia tidak mundur, sebaliknya dia malah menerjang ke muka, menyongsong
datangnya serangan tongkat bergigi serigala itu.
Tak seorang pun yang mengira dia akan berbuat demnkian, karena selama ini memang tak
seorang pun berani berbuat demikian.
Seorang jago silat yang benar benar hebat clan berkepandaian tinggi, pasti memiliki cara lain
yang lebih bagus untuk menghadapi ancaman tersebut, sebaliknya buat orang yang berilmu agak
rendah, mungkin saat ini tubuhnya sudah terkoyak koyak oleh senjata tongkat bergigi serigala.
Nyoo Cing menerjang ke muka, menyongsong datangnya serangan.
Pada detik yang terakhir, tiba tiba dia jatuhkan diri ke lantai, dengan sepasang tangan menekan
permukaan tanah, dia menerobos masuk melalui bawah serangan senjata bergigi serigala itu,
kepalanya langsung menumbuk perut si kerbau liar.
Gerak serangan semacam ini tak bisa dianggap sebagai jurus ilmu silat, seorang jagoan murni
dari dunia persilatan tak bakalan menggunakan cara seperti ini, mereka tak sudi berbuat begitu.
Tapi cara yang digunakan Nyoo Cing justru sangat manjur dan bermanfaat, begitu perutnya
tertumpuk sodokan kepala lawan, si kerbau liar dengan berat badan hampir mencapai dua ratus
kati itu kontan roboh terguling ke atas tanah, sambil memegangi perut sendiri dan bergulingan,
dia menjerit jerit karena kesakitan, begitu keras jerit kesakitannya hingga orang yang berada tiga
gang dari tempat itu pun dapat mendengar sangat jelas.
Menyusul kemudian Nyoo Cing mengeluarkan seutas tali yang terbuat dari otot kerbau dan
langsung membelenggu kaki dan tangan manusia raksasa itu, bahkan dia jejalkan sebiji buah tho
ke dalam mulutnya agar orang itu tidak menjerit lagi.
Kemudian setelah menghembuskan napas panjang, dia berbalik ke hadapan Sun Ji Hay dan
menegur hambar,"Bagaimana?"
Dalam pada itu Sun Ji Hay sudah tertegun dibuatnya, sampai setengah harian kemudian dia
barn bergumam:"Ilmu silat macam apa itu?"
"Gerakan itu sama sekali bukan gerak jurus ilmu silat" sahut Nyoo Cing ketus, "aku tidak
mengerti apa itu ilmu silat, yang kuketahui hanya bagaimana cara merobohkan seseorang"
"Gerakan dungu semacam itu bukan termasuk jurus silat, seorang enghiong hohan, tak akan
sudi menggunakannya"
"Aku memang bukan enghiong hohan, aku pun tak pingin mampus, yang kuinginkan hanya
menggunalcan akal untuk membekuk si tersangka"
"Kini, dengan cara apa kau hendak menangkapku?" tanya Sun Ji Hay kemudian sambil
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rnenggenggam semakin kencang sepasang senjata garpunya.
"Aku tak perduli cara apa yang mau dipakai, asal dapat membekukmu, cara apa pun akan
kuhalalkan"
Sun Ji Hay tertawa dingin.
Nyoo Cing tidak menggubris, sambil menatapnya tajam kembali ujamya:"Kau mengerti ilmu
silat dan aku tidak! Kau adalah seorang jagoan termashur dalam dunia persilatan, sedang aku
bukan. Di tanganmu tergenggam senjata dan aku tidak, bila kau memang hebat dan mampu
menaklukkan aku, yaa, aku pun tak bisa bilang apa-apa!"
Sun Ji Hay masih tertawa dingin, tapi paras mukanya telah berubah jadi pucat pias bagaikan
mayat. Nyoo Cing berjalan mendekat dengan amat lambat, katanya lagi:
"Sayang kau tak becus, aku tahu, kau memang tak becus, kalau berani bergerak sedikit saja,
akan kusuruh kau berbaring selama tiga bulan di ranjang tanpa mampu merangkak bangun, kau
percaya?" Kini dia sudah berada dihadapan Sun Ji Hay, jantung serta ulu hatinya sudah berada tak lebih
satu depa dari ujung senjata garpu yang berada dalam genggaman Sun Ji Hay.
Namun Sun Ji Hay tak bergerak, menggeserkan badan pun tidak.
"Criiing!" diiringi suara nyaring, sebuah borgol tangan yang terbuat dari besi baja sudah
terpasang di tangannya.
Tempik sorak bergema gegap gempita dari balik lorong gelap, rnenyusul kemunculan belasan
sosok lelaki kekar berbaju hitam berjalan mendekat dengan langkah Iebar
Mereka semua adalah anak buah Nyoo Cing, juga terhitung saudara sealiran dengan Nyoo Cing,
terhadap opas yang satu ini bukan saja mereka menaruh perasaan kagum, rasa hormatnya sangat
berlebihan. "Nyoo toako, kau memang hebat"
"Kalian juga hebat" jawab Nyoo Cing sambil tertawa, "tahu aku sedang menghadapi kesulitan,
bisanya kalian hanya menonton keramaian ditempat kegelapan, masa tak seorang pun yang
muncul membantu aku"
"Kami tahu untuk mengatasi persoalan ini, kekuatan toako seorang sudah lebih dari cukup,
kami datang karena ingin membantu toako untuk menyelesaikan urusan berikut"
Berubah serius paras muka Nyoo Cing.
"Rupanya kalian pun tahu tentang persoaJan ini, dari mana kalian bisa tahu?" hardiknya.
"Semalam, Tio Loji mengutus Siau Liu mencari toako di kantor, kami tahu pasti ada urusan
penting yang harus dikerjakan, maka siang tadi saudara saudara kami sengaja menahan Siau Liu
untuk minum arak"
"Jadi dia yang beritahu kalian" seru Nyoo Cing gusar, "padahal berulang kali aku sudah
peringatkan padanya, jangan bocorkan rahasia ini. Besar amat nyali si telur busuk ini"
"Kami mengerti maksud toako, kami pun tahu toako amat memperhatikan keselamatan kami,
toako melarang kami tahu peristiwa ini lantaran ilmu silat yang dimiliki musuh kelewat tangguh,
masalah ini sangat gawat dan berbahaya, salah salah dapat kehilangan nyawa."
Kawanan lelaki kekar itu berebut bicara:"Tapi kami sudah banyak tahun mengikuti toako,
apabila selama ini toako tidak selalu membentengi kami, mungkin separuh diantara kami sudah
mampus sejak awal, karenanya sudah lama kami siapkan nyawa untuk diserahkan kepada toako,
walaupun tahu bukan tandingan lawan, paling tidak kami akan mencoba untuk beradu nyawa, biar
mesti mati, kami semua saudara slap mati bersama"
Nyoo Cing mengepal tinjunya kencang kencang, sementara pandangan matanya terasa kabur
karena air mata yang nyaris meleleh keluar, masih untung ia sanggup menahan diri.
Kembali kawanan lelaki itu berseru:"Meskipun kami tak tahu seberapa hebatnya manusia she-Ni
itu, tapi dilihat dari keberaniannya menyatroni perusahaan ekspedisi Tionggoan piaukiok, bisa
disimpulkan bahwa dia memang seorang lawan tangguh, biar jelek begini kami pun bukan orang
bodoh, dibawah bimbingan toako, kami sempat berapa kali menangani kasus kasus bergengsi
secara sukses, maka dari itu, biar mesti gunakan dua nyawa untuk ditukar selembar nyawa, kami
tetap akan beradu jiwa dengan mereka"
"Bagus, bagus sekali" seru Nyoo Cing sambil menggenggam tangan saudara saudaranya,
"kalian semua ikut aku!"
Kembali kawanan lelaki kekar itu bersorak sorai, entah siapa yang punya ide ternyata sebuah
gentong arak wangi telah digotong ke arena.
"Toako, bagaimana kalau kau habiskan dua cawan arak lebih dulu?"
"Kira tak perlu membiarkan nyali dengan mengandalkan air kata kata, jika mau minum, kita
minum sepuasnya nanti setelah urusan ini selesai kita kerjakan"
"Betul, betul!" teriak kawanan lelaki itu lagi, "kita bikin gepeng si telur busuk itu lebih dulu,
kemudian baru bermabuk mabuk dengan menenggak arak kura-kura maknya!"
Tapi Sun Ji Hay dan si kerbau liar harus dikirim balik dulu ke markas, siapa yang mau bertugas
mengawal mereka" Semua orang tentu saja enggan melewatkan peluang yang sangat bagus ini,
maka semua orang pun berebut agar bisa terpilih.
Untuk menghindari keributan, akhimya Nyoo Cing yang mengambil keputusan, katanya, "Biar si
The tua dan Siau Hau Ji yang mengawal mereka pulang"
The tua belum lama menikah, putranya belum genap berusia satu tahun, tentu saja dia paham
dengan maksud Nyoo Cing, dalam hati kecilnya dia sedih bercampur terharu, dia berterima kasih
sekali dengan kebaikan saudaranya ini.
Sebaliknya si macan kecil Siau Hau Ji merasa tidak puas, teriaknyar"Toako, kenapa aku yang
diutus?" "Kau sudah lupa dengan ibumu di rumah yang sudah tua rental" Umpat Nyoo Cing sambil
tempeleng wajahnya satu kali.
Siau Hau Ji tidak bicara lagi, semaktu berpaling, nyaris air matanya jatuh berlinang.
Melihat tingkah lake orang orang itu, mendadak Sun Ji Hay merasa hawa panas bergelora
dalam rongga dadanya, dengan suara lantang teriaknya:
"Lepaskan aku, aku ingin beradu sekali lagi, aku Sun Ji Hay bukan manusia tempe, akupun tak
takut mati macam kalian"
Si Kerbau liar yang sudah diikat tangan kakinya dengan otot kerbau langsung meludahi
wajahnya sambil mengumpat"Anak kura-kura, kaJau kau tidak takut mampus, siapa yang takut"
Buat apa kau teriak teriak macam kentut busuk" Lebih baik segera tutup bacotmu."
Menyaksikan lo-The dan Siau Hau Ji menggotong pergi ke dua orang itu, tiba tiba Nyoo Cing
menghela napas panjang.
"Mungkin saja Sun Ji Hay bukan manusia berjiwa tempe, tapi berhubung belakangan
kehidupannya dilewatkan dalam keadaan serba berkecukupan, jiwanya jadi berubah"
Kemudian setelah berhenti sejenak dan menghela napas sedih, tambahnya:"Tidak gampang
manusia macam dia hidup berkecimpungan dalam dunia persilatan, tapi lebih tak gampang untuk
tak takut mati"
0-0-0 Ni Pat ya sedang sakit kepala.
Tentu saja kepalanya yang sakit bukan lantaran ulah Nyoo Cing, seorang opas dari sebuah kota
keresidenan bisa berbuat apa terhadapnya" dia hampir tak pandang sebelah mata pun terhadap
orang itu. Dia sakit kepala karena saat ini dia hampir sadar dari mabuknya semalam, arak yang diminum
semalam memang kelewat banyak.
Walaupun Congpiautau dari Tionggoan piaukiok, "Po Ma Kim To (Kuda Mestika Golok Emas)
Ong Ceng Hui tidak mengawal sendiri barang kawalannya lantaran sedang beli kuda di
perkampungan Botan Sanceng, tapi piausu dari marga Ong yang bertugas mengawal barang itu
sudah cukup membuatnya sakit gigi.
Dia harus bertarung mati matian hampir setengah jam lamanya dengan mengandalkan senjata
"To Tiong Koay" (Golok Dibalik tongkat) yang sudah mengikutinya hampir tiga puluhan tahun dan
mendampinginya paling tidak dalam tiga ratusan kali pertempuran, ditambah dukungan dari lima
belas orang antek dan begundalnya yang paling diandalkan, itupun harus kehilangan enam orang
jagoan dulu sebelum berhasil merampas barang dalam kereta kawalan itu.
Tapi semua perjuangannya itu tidak sia sia, seratus delapan puluh laksa tahil perak bukan
jumlah yang kecil, jumlah itu sudah Iebih dari cukup baginya untuk melewati sisa hidupnya
dengan penuh kemewahan dan kenikmatan.
Tahun ini usianya sudah mencapai lima puluh enam tahun, setelah mengirim semua uang hasil
jarahan itu ke rumah di desa, dia sudah bersiap cuci tangan dan mencari tempat yang jauh dan
keramaian dunia untuk menikmati sisa hidupnya dengan aman sentosa,
Ni Pat Toaya berasal dari daerah Su Chuan, dia senang menaiki "tandu peluncur"
Bangku yang diikatkan pada dua batang bambu dan digotong oleh dua orang, dinamakan
"tandu peluncur".
Duduk diatas tandu peluncur, selain enak juga tanpa halangan, selain dapat melihat ke delapan
penjuru secara babas, bila menoleh ke belakang, dia pun bisa melihat kereta yang penuh berisi
uang perak. Penghela kereta maupun kawanan pengawal barang merupakan konco konco sehidup
sematinya, mereka semua merupakan jagoan yang berilmu tinggi dan sangat berpengalaman
dalam menghadapi pelbagai pertempuran.
Walaupun dia yakin tak akan ada orang berani mengusiknya di jalanan itu, namun semua gerak
geriknya tetap dilakukan dengan sangat berhati hati.
Dia menggunakan kereta semacam ini untuk mengangkut uang peraknya karena kereta kecil
semacam ini paling lincah dan paling handal dalam menempuh perjalanan jauh, apalagi kereta
yang kecil tak bakal menggganggu atau menghalangi perjalanan orang lain.
Kereta kecil seperti ini mirip kereta gerobak, kereta yang didorong dengan tenaga manusia.
Kuda atau keledai akan menimbulkan suara, sedang manusia tidak, kuda atau keledai bisa
meringkik dan berteriak susah terkendali, manusia tak akan.
Karena itu dia sangat tenteram, dia sangat lega hatinya. Sementara itu hari sudah akan terang
tanah. Sambil pejamkan matanya Ni Pat Toaya beristirahat berapa saat lamanya, ketika berpaling ke
belakang, tiba tiba dia jumpai rombongan kereta gerobak yang seharusnya rnembentuk sebuah
barisan panjang, kini sudah tinggal separuh! Dia mencoba menghitung jumlahnya, betul juga,
telah berkurang tujuh buah kereta gerobak.
Jago yang mengawal kereta gerobak di barisan terakhir itu adalah si "Martil Tembaga", seperti
halnya "si Kerbau Liar", mereka adalah jago jago yang khusus didatangkan dari wilayah Miau di
perbatasan sana, dalam situasi macam apapun tak mungkin mereka akan menghianatinya.
Ke mana perginya gerobak gerobak berisi uang perak itu"
Sepasang tangan Ni Pat Toaya segera menekan sisi bambu lalu melejit ke tengah udara,
berjumpalitan beberapa kali, kemudian ujung kakinya mental diatas kepala kusir yang mendorong
gerobak keempat, dalam sekejap mata dia sudah melalui diatas kepala delapan orang kusir
gerobak dan tiba di gerobak terakhir dengan kecepatan tinggi, itulah ilmu meringankan tubuh Pat
Poh Kam Jan (delapan langkah mengejar ronggeng) yang paling dibanggakan selama ini.
Tak ada kejadian apa apa dibagian belakang sana, tapi si "Martil Tembaga" yang bertugas
mengawal gerobak uang sudah lenyap tak berbekas.
Orang yang mendorong gerobak di depan si Martil Tembaga adalah Seng Kong, hari ini dia
memang minum agak banyak, tapi dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi di belakang
tubuhnya, dia baru bertanya setelah melihat Ni Pat Toaya melayang turun persis di hadapannya.
Ni Pat Tanya tak bicara apa apa, dia langsung tempeleng dua kali wajahnya kemudian baru
berseru, "Cepat ikut aku periksa keadaan di belakang sanal"
Rembulan sudah mulai tenggelam, cahaya bintang pun mulai redup, suasana di empat penjuru
gelap gulita, sesaat menjelang ddtangnya fajar, suasana memang selalu paling gelap pekat
Tak ada gerak gerik yang mencurigakan di belakang sana, tak kedengaran suara apa apa, juga
tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Tapi suasana di balik semak belukar di sisi jalan nampak sedikit kurang beres" waktu itu angin
sedang berhembus menggoyangkan semak dan rerumputan, tapi ada sebagian diantaranya sama
sekali tak bergerak.
Semak disitu tak bergerak karena sudah ditindih manusia, ditindih delapan orang manusia,
tujuh orang pendorong gerobak sudah dipukul hingga semaput dan diikat dengan tali kuda,
mulutnya disumpal dengan buah tho dan tergeletak tak berkutik disana, sementara si Martil
Tembaga yang mengawal di paling belakang juga sudah diikat dengan otot kerbau bahkan sudah
mati terbunuh. Melihat situasi ini, Ni Pat Toaya malah jauh lebih tenang darpada keadaan semula, dia segera
bertanya kepada Seng Kong:
"Masa kau tidak mendengar suara apa pun yang mencurigakan?"
Seng Kong menunduk rendah, dia memang tidak mendengar apa apa, selama ini kesadarannya
memang tak pernah jernih.
Dari mulut kusir gerobak yang terikat Ni Pat Toaya lepaskan sebiji buah tho, kemudian setelah
menengok sekejap empat penjuru, serunya sambil tertawa dingin tak hentinya:"Bagus, bagus
sekali, cara kerja yang cepat, tak nyana dari kalangan kepolisian pun ada jagoan yang cukup
hebat." . "Konon opas handalan tempat ini bernama Nyoo Cing, ilmu silat yang dimiliki cukup tangguh"
timbrung Seng Kong tiba tiba.
Ni Pat segera mengerutkan dahinya.
"Aku sudah utus Sun Ji Hay dan si Kerbau Liar untuk menghadapinya, masa mereka berdua tak
sanggup menghadapinya" Kalau dia betul betul hebat, saat ini aku duga dia sudah berputar ke
depan dan menyikat tandu luncur ku"
"Coba kutengok" seru Seng Kong dengan wajah berubah. "Percuma, sekarang sudah terlambat"
sahut Ni Pat dengan suara hambar, wajahnya sama sekali tak berubah.
Dia memang tak malu disebut jago tua yang kenyang dengan pengalaman, biarpun tahu sudah
masuk perangkap namun otaknya tetap jernih, analisa serta kesimpulan yang diambil juga masih
tepat. Pada saat itulah dari barisan depan telah bergema suara jerit kesakitan yang memilukan hati,
suara dari si tua botak Pa.
Si botak Pa termasuk salah satu anak buah handalannya, dia bertugas mengawal di barisan
terdepan, jelas sudah, dia pun telah masuk perangkap.
Deegan wajah tidak berubah kembali Ni Pat berseru."Si botak Pa sudah habis riwayatnya, si
setan hitam, si serigala kuning dan si gajah kelewat berangasan dan talc sabaran, mereka pasti
menyusul ke situ, kalau dugaanku tak salah, Nyoo Cing tentu akan menghindari mereka dan kini
berputar ke tengah rombongan untuk menyikat Phang Hau terlebih dulu"
"Kita susul mereka?"
"Tidak, kita tak perlu menyusul, kita tidak ke mana pun"
"Masa kita hanya berdiri melulu, menyaksikan mereka membunuh orang orang kita"' seru Seng
Kong tertegun. Ni Pat Toaya tertawa dingin.
"Hmm, siapa lagi yang bisa dia bunuh" Selama aku belum mati, cepat atau lambat dia bakal
jatuh ke tanganku. Sasaran utamanya adalah aku, kalau aku ada disini, cepat atau lambat dia
pasti datang kemari untuk menghantar kernatiannya"
Angin berhembus makin kencang, langit semakin gelap, tiba tiba Seng Kong merasa hawa
bergidik muncul dan dasar lcakinya menyusup hingga ke kepala.
Sekarang dia baru sadar, Ni Pat Toaya tak pernah perduli dengan keselamatan anak buahnya,
termasuk para konco konco sehidup sematinya.
Kini, kereta gerobak tak mungkin bisa jalan, uang yang dimuat dalam gerobak juga tak akan ke
mana mana, asal mereka bisa bertahan hingga akhirnya membunuh Nyoo Cing, uang tetap akan
menjadi miliknya, orang yang memperoleh bagian uang pun semakin sedikit, dalam keadaan
begini buat apa dia mesti membuang tenaga untuk menolong orang" Buat apa dia mesti buang
tenaga dengan percuma"
Tentu saja dia dapat menahan diri asal dia bisa menahan diri dan menunggu kedatangan
lawan, Nyoo Cing akhimya pasti akan mati.
Seng Kong merasa makin bergidik, namun dia tak berani tampilkan perubahan perasaan
hatinya diatas wajah.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, sekalipun Nyoo Cing tidak turun tangan, siapa
tahu akhirnya Ni Pat akan turun tangan sendiri untuk menyingkirkan anak buahnya satu per satu"
Bila tak ada yang mendapat bagian, maka seratus delapan puluh Iaksa tahil perak akan
menjadi miliknya seorang, jika tak ada yang tahu rahasia ini, kehidupannya dikemudian hari
bukankah jauh lebih aman, tenteram dan bahagia"
Sementara itu Ni Pat Toaya telah siapkan golok dibalik tongkat To Tiong Koay yang tak pernah
berpisah dari sisi tubuhnya itu.
Sebilah golok Liu Yap To ditambah sebuah tongkat baja, Ditengah golok terselip tongkat,
ditengah tongkat terselip golok, satu keras satu lunak, keras lunak bersatu padu; satu menyerang
satu bertahan, serangan dan pertahanan saling membantu, itulah kepandaian yang paling
diandalkan Ni Pat Toaya selama menjelajahi dunia persilatan.
Dengan menjepit tongkatnya dibawah ketiak dan membelai mata golok dengan telapak
tangannya, Ni Pat Toaya melirik wajah Seng Kong sekejap, tiba tiba tegurnya, "Kau sudah
memahami maksud hatiku?"
Seng Kong terkesiap, den tak berani mengakui, tidak berani pula menyangkal.
Jerit kesakitan yang mengerikan bergema silih berganti dari balik kegelapan, Ni Pat tak
bergeming, dia seolah olah sama sekali tak mendengar suara itu.
"Kau keliru besar bila beranggapan aku sedang "meminjam golok membunuh orang'"' katanya
hambar,"sudah banyak tahun mereka ikut aku, kalau sampai menghadapi seorang opas kecil pun
tak mampu, buat apa aku mesti pikirkan nasib dan keselamatan mereka?"
"Yaa, aku mengerti" jawab Seng Kong dengan kepala tertunduk.
"Tapi kau beda, kau paling lama ikut aku, selama kau tetap setia kepadaku, penghidupanmu
dimasa mendatang pasti akan lebih baik"
"Yaa, aku mengerti"
"Bagus sekali kalau kau mengerti" Ni Pat Toaya mulai tertawa.
Dengan tangan kanan menggenggam tongkat, tangan kiri mengayunkan golok, diantara kilatan
cahaya tajam tiba tiba teriaknya nyaring:"Nyoo Cing, aku berada disini, kenapa kau belum muncul
juga?" Kereta gerobak sudah berserakan, suara bentakan dan jerit kesakitan sudah mekin mereda,
akhirnya dari balik kegelapan muncul seseorang, kepada Ni Pat hardiknya nyaring:"Manusia she-
Ni, kasus kriminalmu sudah terbukti, ayoh ikut karni pulang ke markas"
"Jadi kaulah Nyoo Cing?"
"Ehmm"
Kembali Ni Pat tertawa dingin.
"Manusia macam apa kau itu" Hmm, kenapa aku Pat Loya mesti turun tangan sendiri" Seng
Kong, ayoh maju hadapi dia!"
Seng Kong cabut keluar senjara ruyungnya yang terbuat dari bambu, sambil memutar ruyung
dia menerjang maju ke muka.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia bukannya tak paham maksud tujuan Ni Pat, dirinya jelas digunakan sebagai lempar batu
periksa jalan, dia digunakan untuk menjajal kemampuan yang dimiliki Nyoo Cing.
Sekalipun mengerti, mana mungkin baginya untuk tidak maju"
Ni Pat Tayya menggenggam kencang golok tongkatnya, sementara sorot matanya menatap
tajam sepasang bahu, sepasang kaki dan sepasang kepalan dari orang yang berada di
hadapannya. Asal bisa meraba aliran ilmu silat yang dimiliki orang tersebut, mati hidup Seng Kong sama
sekali tak dia perdulikan. Semenjak dia dihianati orang sampai dua kali, dia mulai belajar tentang
hal ini, asal dirinya bisa hidup, dapat hidup lebih baik, apa urusannya dengan mati hidup orang
lain" Disaat Seng Kong mulai bergerak menyerang, tiba tiba dari balik semak belukar sebelah kiri
jalan bergema suara gedebukan nyaring.
Dari antara pendorong gerobak yang dipukul pingsan dalam semak belukar itu, mendadak
menggelinding keluar seseorang, sambil bergulingan orang itu lepaskan tiga buah anak panah
beracun, arah sasaran adalah dada Ni Pat yang bidang itu.
Sesungguhnya Ni Pat termasuk orang yang hebat dan pandai menduga apa yang bakal terjadi,
tapi dia sama sekali tak menyangka akan datangnya serangan itu.
Dia sangat terkejut, untung dalam kagemya dia tak sampai panik, tubuhnya segera melejit ke
tengah udara, dalam keadaan yang kritis, Dia keluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang paling
hebat "Han Tee Pat Jiong" (Mencabut Bawang Ditanah Tandus), menghindarkan diri dari ancaman
ke tiga anak panah itu.
Si opas yang menyaru sebagai kuli dorong kereta cepat menggelinding ke muka dan menunggu
jatuhnya badan Ni Pat dari tengah udara.
Sadar ada musuh dibawah yang sedang menunggu, tergesa Ni Pat mengubah gerakan
tubuhnya, dia berniat menghindar ke samping.
Siapa tahu tatkala dia tarik napas sambil berusaha mengalihkan posisi, tiba tiba dari belakang
tubuhnya menerjang masuk seseorang sembari melepaskan sebuah tonjokan keras ke arab
pinggangnya. Jotosan itu tidak meleset.
Biar sehebat apapun pengalaman Ni Pat Taiya, dia tak menyangka akan datangnya serangan
itu, orang bilang sepandai pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga, sodokan tinju yang
keras itu kontan membuat tubuhnya terguling ke lantai, napasnya tersumbat hingga sukar ganti
hawa, nyaris dia tak mampu merangkak bangun lagi.
Tapi dia mesti merangkak bangun, kalau tidak, sebuah tendangan yang dilepaskan musuh
dapat mencabut selembar jiwanya.
Sambil paksakan diri menahan rasa sakit yang luar biasa di atas jalan darahnya, dia gunakan
tongkat bajanya menutul permukaan tanah lalu melompat bangun dengan segera.
Tahu tahu seorang lelaki kurus berwajah hitam sudah berdiri hadapannya, mengawasinya
dengan sepasang mata harimaunya vang tajam, bahkan beritahu kepadanya dengan nada
mengejek"Akulah Nyoo Cing yang asli, tadi kau salah orang"
Ni Pat tertawa keras, air getir hampir saja tumpah keluar dari perutnya yang mual, teriaknya
berulang kali:"Bagus, bagus! Aku kagum kepadamu, semua ini memang kesalahanku, bukan saja
aku salah melihat orang, akupun kelewat pandang enteng kemampuanmu, tak nyana kau adalah
manusia busuk yang banyak akal"
"Aku bukan seorang kuncu, tapi akupun bukan siaujin" kata Nyoo Cing, "kadangkala aku
memang suka menggunakan sedikit tipu muslihat, disaat aka harus gunakan maka aku akan
menggunakan, sewaktu bisa menggunakan akupun akan menggunakan"
"Bagaimana kalau tak bisa digunakan?"
"Kalau tak bisa digunakan, terpaksa aku akan beradu nyawa"
Ni Pat tertawa tergelak, padahal dia sudah tak mampu tertawa, tapi dia harus tertawa, apalagi
dalam situasi seperti ini.
Diwaktu biasa dia jarang tertawa, dikala harus tertawa diapun tidak tertawa, sebaliknya disaat
bukan waktunya tertawa. seringkali dia justru tertawa sangat keras, tertawa sangat riang, dia
memang selalu menganggap tertawa adalah sebuah kamuflase yang paling jitu, bisa
menyembunyikan perasaan sedih dan titik kelemahan seseorang.
Nyoo Cing sangat keheranan, dia tak habis mengerti, dalam keadaan seperti ini mengapa dia
masih sanggup tertawa, bahkan tertawa begitu riang"
Saat itulah mendadak Ni Pat melejit ke depan, golok dibalik tongkatnya dengan memakai jurus
"Thian Tee Sip Si" (Bumi dan Langit Kehilangan Pamor) melancarkan sebuah serangan dahsyat ke
depan. Jurus serangan ini banyak titik kelemahannya, ada sisinya yang terrbuka namun tingkat
keganasannya luar biasa, jurus tersebut memang terhitung sebuah jurus serangan beradu nyawa.
Situasi yang terdesak tidak mengijinkan dia untuk menyerang secara normal, hanya sebuah
jurus adu jiwa yang paling pas untuk menghadapi Nyoo Cing saat itu, hanya serangan macam
begini yang bisa memaksa musuhnya ikut mati.
Dia tak yakin Nyoo Cing berani beradu nyawa, biasanya seseorang yang banyak akal dan
pandai mengatur perangkap, tak bakal sudi mati sekonyol itu.
Asal Nyoo Cing keder, asal opas itu mundur sedikit saja dari posisinya sehingga melewatkan
kesempatan emas yang sangat langka itu, dia pasti akan tewas terhajar serangan maut ini.
Mimpi pun dia tak menyangka, ternyata Nyoo Cing nekad hendak beradu jiwa.
Nyoo Cing bukan manusia tak berotak, tapi setiap saat dia harus bersiap menghadapi serangan
adu jiwa macam begini, dia masih belum pingin mampus.
Tapi dia sadar, andaikata dia dipaksa untuk berhadapan dengan situasi kritis seperti ini, dia
putuskan, biar harus mati pun akan dia hadapi.
Dia manfaatkan peluang itu dengan sebaik-baiknya, caranya beradu nyawa lebih nekad
ketimbang siapa pun.
Yang dia gunakan bukan aliran ilmu silat yang mumi, belum pernah orang melihat dia berkelahi
dengan memakai gerak jurus ilmu sIlat murni.
Arah serangan dari Ni Pat segera melenceng dari sesaran.
Ketika seseorang terhantam pinggangnya ketika sedang berganti napas, bisa dipastikan
penghimpunan tenaganya akan melenceng, otomatis serangan yang dilancarkan akan melenceng
juga. Padahal jurus serangan Thian Tee Sip Si yang digunakan nerupakan gerak jurus adu nyawa
yang murni, namun dia gagal mencapai target itu.
Tak ampun dia pun roboh binasa di tanah, sementara Nyoo mg masih berdiri segar bugar.
Seng Kong tak sempat menyaksikan kematian Ni Pat.
Ketika mengayunkan ruyungnya dengan sepenuh tenaga tadi, dia sama sekali tidak menyerang
ke arah orang yang diduga Ni pat sebagai Nyoo Cing.
Menggunakan kegelapan malam yang masih menyelimuti jagat ia segera melarikan diri, disaat
Ni Pat melancarkan jurus "Thian Tee Sip Si", dia sudah kabur meninggalkan arena pertempuran.
Tak seorang pun mengejar dia, perhatian semua orang sedang tertuju pada pertarungan mati
hidup antara Ni Pat melawan Nyoo Cing.
Ketika Ni Pat roboh terjungkal, Nyoo Cing ikut roboh terjungkal, bedanya Ni Pat sudah tak
pernah bangkit berdiri lagi sementara Nyoo Cing masih sanggup bangkit berdiri lagi.
Biarpun punggungnya termakan sebuah gebukan tongkat Iawan, namun dia masih dapat
bangkit, setelah berdiri dia hanya mengucapkan sepatah kata"Ayoh kita nikmati arak yang
tersedia!' 0-0-0 Mereka tidak minum arak.
Guci berisi arak itu sekalian dibawa pulang oleh lo-The dan Siau Hau Ji yang mengawal para
tawanan pulang ke kantor pengadilan, namun mercka tak pemah sampai di Kantor.
Lo-The maupun Siau Hau Ji tak pernah sampai di rumah masing-masing, bersama Sun Ji Hay
dan si Kerbau Liar, mereka hilang lenyap tak berbekas, tak ada yang tahu kabar berita mereka,
juga tak ada yang berhasil mengetahui jejak mereka.
Dengan disertai semua saudaranya, Nyoo Cing telah menelusuri hampir setiap sudut kota
keresidenan itu, namun jejak mereka belum juga ditemukan. Anggota keluarga Sun Ji Hay dengan
membawa serta kakak, istri dan ke empat orang putra putrinya berteriak dan menangis di depan
kantor pengadilan menuntut ditemukan kembali Sun Ji Hay, membuat suasana disitu jadi amat
ramai. Mereka menuntut untuk melihat Sun Ji Hay kalau masih hidup dan menuntut jenasahnya bila
sudah mati. Bupati keresidenan hanya bisa menuntut Nyoo Cing untuk memberikan pertanggungan
jawabnya. Bini lo-The yang baru dinikahi serta ibu Siau Hau Ji yang sudah berusia 76 tahun hampir
semaput setelah mendengar berita duka itu.
Ke mana mereka telah pergi" Mengapa jejak dan kabar berita mereka hilang Ienyap tak
berbekas" 0-0-0 Senja telah menjeIang.
Nyoo Cing sangat lelah, sangat gelisah, lapar bercampur dahaga, dia amat sedih, perasaannya
tersiksa setengah mati.
Hampir seharian penuh dia tidak makan tidak minum, dia pun belum sempat pejamkan mata,
setiap orang telah memaksanya untuk pulang beristirahat bahkan Bupati pun sampai berkata."Apa
gunanya kau gelisah" Gelisah juga tak ada gunanya, bila ingin selidiki kasus ini hIngga tuntas, kau
tak boleh sampai roboh, jika kau roboh, siapa yang akan bertanggung jawab selesaikan tugas ini?"
Maka dari itu, Nyoo, Cing terpaksa pulang ke rumah.
Biarpun dia masih membujang, masih hidup seorang diri. namun dia menolak untuk tinggal di
asrama pengadilan, karena sejak awal kedatangannya ke tempat itu, dia sudah menyewa sebuah
rumah kecil dengan dua bilik kamar di luar kota.
Pemilik rumah dari marga Yu, sudah tua dan tak berputra, dia hanya memiliki seorang putri
tunggal Lian Koh, mereka berdiam di halaman muka rumah yang disewa Nyoo Cing itu, tak heran
kalau sikap kakek Yu terhadapnya sangat akrab bagai terhadap anak kandung sendiri.
Tiap pagi Lian Koh pasti akan datang mengirim sarapan untuknya, menu sarapan terdiri dan
empat butir telur dan semangkuk mie kuah, sebelum pergi dia akan membawa pakaian kotornya
untuk dicuci. Bila pakaiannya ada yang berlubang atau hilang kancingnya, ketika kembali, pakaian
itu tentu sudah ditambal atau terpasang kembali kancingnya.
Lian Koh tidak cantik tapi berbadan sehat, lemah lembut dan jujur. Bila sehari saja Nyoo Cing
tidak pulang, dia akan panik dan kebingungan sendiri, seringkali nona itu akan Iari ke tepi seIokan
dan diam diam mengucurkan air mata.
Seandainya Nyoo Cing tidak secara kebetulan bersua lagi dengan Lu Siok Bun, nona yang telah
dicintainya semenjak masa kanak-kanak, mungkin saat ini dia sudah menjadi menantunya
keluarga Yu. Dan dia pun tak perlu mengalami banyak peristiwa mengerikan, menakutkan dan
mengharukan dimasa mendatang.
Nasib memang selalu mempermainkan manusia, takdir sukar diramal, perjalanan hidup manusia
sukar diduga Seringkali peristiwa besar yang akan mengubah jalan kehidupan seseorang terjadi hanya dalam
waktu singkat dan terjadi secara kebetulan.
Dalam perjalanan pulang menuju ke rumah sewanya, Nyoo Cing selalu lewat didepan sebuah
warung, di warung itu dia sering membeli sayur asin dan arak, sayur asin buatan warung itu
sangat lezat dan amat cocok dengan seIeranya. Pemilik warung, si kakek Thio adalah sahabat
Nyoo Cing, kadang kalau sedang menganggur dia sering menemaninya minum dua cawan arak.
Dia merasa lelah sekali tapi masih ingin mampir dulu ke warung itu untuk makan mie,
kemudian pesan tahu dan usus babi goreng sebagai teman minum arak.
Matahari senja memancarkan cahayanya dari balik gunung, membiaskan sebuah pemandangan
alam yang sangat indah, seorang buta penjual ramalan berbaju abu abu dengan memukuI sebuah
genta kecil berjalan menelusuri jalanan kecil itu, ia mucul dari balik hutan di ujung jalan dengan
panduan sebuah tongkat bambu.
"Trang, traang" bunyi gembrengan bertaIu talu mengiringi hembusan angin senja yang silir
semilir, biarpun tidak memekikkan telinga, namun sangat merusak suasana di senja itu.
Nyoo Cing menyingkir ke samping jaIan, memberi jalan lewat kepada si buta itu untuk lewat
duluan. Paras muka si buta itu kaku tanpa perasaan, susah senang yang dialami manusia dalam
perjalanan hidupnya dianggap sebagai impian indah baginya.
Gembrengan tembaga ditabuh susul menyusul, sekaIi cepat sekali lambat, sementara si buta
menelusuri jalan kecil perbukitan itu dengan ayunan kaki yang lambat, se1angkah demi selangkah
berjalan menuju ke hadapan Nyoo Cing.
Mendadak Nyoo Cing merasa hatinya berdetak keras, dia seperti tertusuk oleh sebuah jarum
tajam yang tak terlihat.
Dia termasuk seseorang yang peka dan cekatan dalam bereaksi. namun hanya orang yang
sedang terancam jiwanya baru akan menunjukkan perasaan seperti itu.
Orang buta itu sama sekali tidak menaruh niat jahat terhadapnya, bahkan waktu itu sudah
berjalan Iewat dari hadapannya.
Aneh, mengapa bisa timbul perasaan semacam itu di dalam hatinya"
Tiba tiba Nyoo Cing teringat, dulu, ada seseorang yang sangat akrab dengan dirinya pernah
berkata demikian: Seorang jago lihay dari dunia persilatan yang sudah sering membunuh orang,
biasanya dari tubuh mereka akan muncul hawa pembunuhan yang tak terlihat dengan kasat mata,
perasaan tersebut mirip dengan hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari sebilah pedang
mestika yang sering dipakai untuk membunuh orang.
Jangan jangan orang buta itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan dia adalah seorang jagoan
tangguh yang sedang menyembunyikan identitasnya"
Sementara itu si buta telah pergi jauh, Nyoo Cing pun tidak memikirkan lagi peristiwa itu.
Dia sudah sangat lelah, dia tak ingin berpikir apa apa lagi, yang dipikirkan sekarang minum
berapa cawan arak lalu tidur yang nyenyak.
Setelah melewati hutan, warung milik kakek Thio berdiri dihadapannya.
Sewaktu Nyoo Cing tiba disitu, dalam warung sudah ada seorang tamu sedang bersantap, yang
disantap adalah bakmi kuah seperti yang dimakan Nyoo Cing diwaktu biasa, dia pun memesan
tahu dan usus babi goreng sebagai teman minum arak.
Orang itu mengenalcan topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu, topi itu dikenakan sangat
rendah, bukan hanya alis mata serta sepasang matanya yang tertutup, bahkan selembar wajahnya
pun ikut tersembunyi dibalik anyaman bambu itu, yang dapat dilihat Nyoo Cing hanya sepasang
tangannya. Telapak tangan itu sangat lebar, jari tangamiya panjang-panjang lagi kurus, kuku jarinya
dipotong pendek, tangan itupun kelihatan bersih sekali.
Nyoo Cing tahu, dengan tangan semacam ini benda apapan yang dipegangnya pasti sangat
mantap. dan bukan pekerjaan yang mudah untuk merampas sesuatu benda yang telah berada
dalam genggamannya.
Dia minum arak tapi sedikit yang diminum, dia makan tapi sedikit yang dimakan bahkan
caranya bersantap sangat lamban, setiap sumpitan yang dimasukkan ke dalam mulutnya selalu
dilakukan amat berhati hati, seperti dia takut ada lalat yang ikut terjepit dan tertelan ke perut.
Jangan dilihat warung makan milik kakek Thio kecil lagi sederhana, namun kebersihannya patut
diacungi jempol, mustahil ada lalat yang tercampur dalam hidangan yang disajikan.
Hanya keranjang berisi sayur asin yang diletakkan ditepi jalan dan mungkin saja kemasukan
debu, tapi yang lain boleh dibilang terjamin kebersihannya. Tapi orang itu seperti amat berhati
hati, dengan telitinya dia periksa setiap hidangan yang disuap ke dalam mulut, dia seperti takut
kecampuran debu dalam hidangan itu hingga merasa perlu untuk membuang setiap butir debu
yang menempel di hidangannya. Orang itu mengenakan jubah berwama biru yang sudah dicuci
hingga luntur wamanya, jelas pakaian itu dicuci bersih sekali dan berulang kali. Pada punggungnya
tersoren sebilah pedang dengan gagang terbuat dari kulit kerbau, pedangnya tujuh delapan inci
lebih panjang ketimbang pedang yang biasa digunakan orang, pada gagang pedang tergantung
pita baru berwarna biru, gagang pedang maupun sarung pedang yang terbuat dari tembaga
kuning juga digosok hingga berkilat.
Jelas orang ini adalah seorang manusia yang amat memperhatikan soal kebersihan, hingga
setitik debu saja sudah membuatnya tidak tahan.
Apa mungkin dia bisa melihat dengan jelas setiap debu yang menempel di tubuhnya"
Sekali lagi Nyoo Cing merasa jantungnya berdetak keras, hatinya sudah berdebar semenjak
melihat sepasang tangan milik orang itu.
Waktu itu, manusia berbaju biru itu sedang asyik menikmati bakmi dan sayur asin yang
terhidang di hadapannya, Dia tidak berpaling, juga tidak melirik Nyoo Cing walau sekejap pun, dia
seperti tidak menaruh niat jahat terhadapnya
Aneh, mengapa secara tiba tiba Nyoo Cing merasakan firasat semacam itu"
Mungkinkah orang ini seperti juga si buta penjual ramalan itu, seorang jago pedang yang
memiliki kepandaian tinggi"
Diwaktu biasa., tidak mudah menjumpai jagoan Bu lim berilmu tinggi di tempat tersebut,
mengapa hari ini, pada waktu yang hampir bersamaan telah muncul berapa orang jago lihay di
kota kecil tanpa nama ini"
Apakah mereka telah berjanji untuk datang bersama ke situ" Tapi, mau apa mereka datang ke
kota kecil tanpa nama ini"
Nyoo Cing memesan semangkuk mie kuah, dia pun memesan berapa macam hidangan teman
minum arak. Dia sudah kelewat lelah, yang dipikirkan sekarang hanya cepat selesai makan lalu pulang dan
tidur yang nyenyak.
Sudah terlalu banyak masalah yang dihadapi, dia tak ingin mencampuri urusan orang lain,
apalagi urusan semacam ini, siapa pun pasti segan turut campur karena salah salah malah
mendatangkan bencana kematian bagi diri sendiri.
Waktu itu, Ielaki bertopi anyaman bambu itu sudah bangkit berdiri, ia siap membayar rekening
dan pergi dari situ.
Begitu bangkit berdiri, Nyoo Cing segera menjumpai balwa perawakan tubuh orang itu persis
seperti pedang yang digembolnya, jauh lebih tinggi dari kebanyakan orang, tubuhnya ramping tapi
kencang, sama sekali tak nampak sisa daging yang menonjol.
Biarpun gerak geriknya sangat lamban namun kegesitannya tak terlukis dengan kata, hampir
setiap gerakan yang dilakukan sangat tepat seolah olah sama sekali tidak memakai kelebihan
tenaga, bahkan sampai caranya mengambil uang untuk membayar rekening pun tidak nampak
dengan jelas. Dia seperti selalu menyisakan tenaganyn agar bisa digunekan untuk pekerjaan lain kapan saja,
dia seperti enggan membuang tenaga percuma.
Bakmi telah dihidangkan, sambil menundukkan kepala Nyoo Cing mulai bersantap.
Sementara itu lelaki bertopi anyaman bambu itu sudah keluar dari pintu, Nyoo Cing tak tahan
untuk mendongakkan kepala dan memandangnya sekejap. Kebetulan pada saat yang bersamaan
orang itu juga berpaling dan memandang sekejap ke arahnya.
Sekali lagi Nyoo Cing merasa jantungnya berdetak keras, hampir saja sumpit yang berada
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam genggamannya terjatuh dari pegangan.
Sorot mata orang itu luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam dari pedang yang tercabut keluar
dari sarung, pedang tajam yang telah banyak membunuh orang! Selama hidup belum pernah Nyoo
Cing menjumpai sorot mata setajam itu.
Dia hanya melirik Nyoo Cing sekejap, tapi pemudaitu seolah olah merasa ada hawa pedang
yang menggidikkan hati menerpa tuhuhnya, menyerang langsung ke tenggorokan dan jidatnya
0-0-0 Senja semakin kelam.
Lelaki bertopi anyaman bambu itu sudah keluar dari pintu warung dan lenyap di balik
keremangan senja.
Nyoo Cing berulang kali mengingatkan diri sendiri agar ridak memikirkan orang itu lagi, terlebih
jangan mencampuri urusan mereka, yang penting baginya sekarang adalah cepat selesaikan
makannya dan pulang ke rumah tidur yang nyenyak.
Kakek Thio telah menarik sebuah bangku dan duduk persis dihadapannya.
"Komandan Nyoo" tegurnya, "kau adalah orang yang berpandangan tajam, apakah kau juga
merasakan kalau orang itu membawa hawa sesat?"
"Hawa sesat apa?"
"Sewaktu memasak bakmi diair panas, tentu ada berapa bakmi putus karena air, ketika diaduk
juga pasti ada berapa bakmi yang putus," ujar kakek Thio.
"Tapi orang itu hanya makan bakmi yang utuh dan meninggalkan semua bakmi yang putus
dalam mangkuknya?" sambung Nyoo Cing.
Kakek Thio segera menghela napas penjang;
"Yaa, aku tak habis mengerti, darimana dia bisa melihat dengan jelas dan memilahnya dengan
tepat?" Nyoo Cing segera terbayang kembali cara orang itu menyumpit sayur.
Benarkah ketajaman mata orang itu dapat melihat persoalan yang tak dapat dilihat orang lain"
Kakek Thio bantu Nyoo Cing penuhi cawannya dengan arak, tiba-tiba dia berkata lagi dengan
kata kata yang mengejutkan hati, "Aku lihat dia pasti datang untuk membunuh orang, aku berani
bertaruh dugaaanku pasti benar"
Dia bicara dengan penuh keyakinan, sepertinya apa yang dikatakanakan terjadi.
"Darimana kau bisa yakin kalau kedatangannya untuk membunuh orang"
"Aku sendiripun tak bisa menjelaskan, tapi aku bisa rnerasakan. Sewaktu mendekatinya aku
merasa sekujur tubuhku jadi dingin, bulu kudukku pada bangun berdiri, hatiku betul betul
bergidik."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Dulu aku pun seorang serdadu, aku baru akan
merasakan perasaan semacam itu tatkaia berada di tengah medan pertempuran yang sengit,
karena waktu itu semua orang harus maju ke medan laga dan slap membunuh orang, karenanya
hawa pembunuhan baru tercipta"
Nyoo Cing tidak meneruskan makannya, arak juga tidak diminumnya, dia tidak berkata apa
pun, mendadak dia bangkit berdiri dan menerjang keluar dari warung makan itu.
Dia yang bertanggung jawab dengan keamanan di wilayah tersebut, dia tak mengijinkan siapa
pun membunuh orang di wilayah kekuasaannya, perduli siapa pun orangnya.
Walaupun dia tahu kemungkinan besar orang itu dapat membunuhnya dalam sekejap mata,
tapi dia tak bisa berpeluk tangan belaka.
Kendatipun saat itu dia sangat lelah, walaupun saking lelahnya dia sudah tak kuat berjalan, biar
mesti rnerangkak pun dia harus merangkak ke situ.
0-0-0 Bab 3. Sesaat menjelang tibanya badai.
Matahari senja sudah lenyap dibalik gunang, kegelapan senja teIah menyelimuti angkasa, itulah
sesaat menjelang tibanya malam hari, lapisan kelabu seakan akan membenteng di seluruh jagad,
membuat, gunung, air, dedaunan dan bunga-bunga nampak serba kelabu, persis seperti sebuah
lukisan tinta yang hambar.
Lelaki bertopi anyaman bambu itu berjalan sangat lamban menelusuri jalan kecil di kaki bukit,
biarpun langkahnya kelihatan amat lambat, namun bila kita tidak melihatnya dalam waktu sekejap,
tahu-tahu dia sudah berada jauh sekali dari posisi semula.
Wajahnya masih tersembunyi dibalik topi anyaman bambunya yang lebar, sulit bagi siapa pun
untuk melihat perubahan mimik mukanya.
Tiba tiba "Traang!" bunyi gembrengan bergema memecahkan keheningan yang mencekam
sekeliling tempat itu.
Ditengah burung yang beterbangan karena takut, seorang Ielaki buta penjual ramalan muncul
dan balik hutan dan berjalan mendekat.
Orang berbaju biru itu berjalan menyongsong kedatangannya, pada sebuah jarak tertentu
mendadak ke dua orang itu sama sama berhenti.
Ke dua orang itu berdiri saling berhadapan bagaikan dua arca batu, lewat lama kemudian
mendadak si buta itu berkata kepada orang berbaju biru itu, "Apakah Sin Wan Sin Kiam (si Pedang
Sakti Mata Sakti) Lan Toa sianseng yang telah datang?"
"Behar, aku Lan It Cing" orang berbaju biru itu balik bertanya, "darimana kau bisa tahu kalau
yang datang pasti aku?"
"Biar mataku buta, hatiku tidak buta"
"Hati mu juga bermata dan bisa melihat?"
"Benar, bedanya yang dapat kulihat adalah masalah yang tak bisa dilihat orang lain dan orang
lain tak akan bisa melihatnya"
''Apa yang telah kau lihat sekarang?"
"Aku telah melihat hawa pedangmu dan hawa membunuhmu, aku masih punya telinga, aku
bisa mendengar"
Lan It Cing segera menghela napas panjang.
"Ku Bok Sin Kiam (Pedang Sakti Bermata Buta) Ing Sianseng memang tak malu disebut jago
diantara jago dan dewa diantara jago pedang"
Orang buta itu tertawa dingin.
"Sayang aku masih tetap seorang yang buta, mana mungkin bisa dibandingkan dengan
sepasang matamu yang masih jeli dan sakti itu?" jengeknya.
"Kau suruh aku kemari apa lantaran tidak leluasa mendengar julukanku sebagai si mata sakti?"
"Benar" orang buta itu segera mengakui, "tiga puluh tahun aku belajar pedang, banyak sudah
jago pedang dikolong langit yang pemah kujumpai, namun masih ada satu keinginan yang belum
terkabul, selama aku masih bisa bernapas, aku berjanji akan menjajal apakah aku si buta dapat
menandingi sepasang mata sakti mu yang tersohor itu"
Sekali lagi Lan It Cing menghela napas.
"Ing Bu Ok" katanya, "mata mu memang Ing Bu Ok (seharusnya tanpa materi), tak nyana
dalam hatimu masih memikirkan materi, tampaknya kau sangat tidak berkenan dengan julukan
mata sakti ku itu"
"Lan It Cing, sekarang akupun baru tahu mengapa kau bernama Lan It Cing (setitik debu)" sela
Ing Bu Ok dengan suara dingin, "karena dalam hatimu sesungguhnya masih tertinggal setitik
debu, setitik kecongkakan, karena debu kecongkakan maka kau datang kemari"
"Betul, kau minta aku kemari maka akupun kemari, kau bisa suruh aku pergi, make akupun
akan pergi" dengan cepat Lan It Cing mengakui.
"Pergi" Kemana?"
"Pergi mati"
Tiba tiba Ing Bu Ok mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak, "Hahahaha betul,
pedang adalah benda tanpa perasaan, sewaktu cabut keluar pedang pun pasti tak berperasaan,
kini kau telah datang kemari sedang akupun ikut datang, diantara kita berdua memang
sepantasnya ada seorang diantaranya harus pergi dari sini, pergi mampusl"
Dia telah mencabut keluar pedangnya.
Sebilah pedang yang tipis lagi panjang dalam sekejap mata telah dicabut keluar dari balik
tongkat bambunya, cahaya tajam yang bergetar bagai seekor ular cobra menggelegar tiada
hentinya ditengah hembusan angin malam yang gelap, agar orang lain tak pernah dapat menduga
dari arah manakah ujung pedang itu akan menyerang, terlebih tak bisa melihat dari arah mana
serangan akan muncul, bukan hanya getaran, cahaya sinar pedang pun seakan akan tiada
hentinya ikut berubah.
Ada kalanya berubah merah, kadangkala berubah jadi hijau. Sepasang mata Lan Toa Sianseng
mulai berkilat, kelopak matanya mulai berkerut kencang.
"Sebilah pedang ular cobra yang sangat hebat, lentur bagai bambu, ganas racunnya bagai
patukan ular kobra, tujuh langkah mencabut nyawa, tubuh hancur nyawa melayang" pujinya.
Si buta mendengus dingin.
"Mana Pedang Antik Bukit Biru, (Lan San Ku Kiam) milikmu?"
"Ada di sini"
Lan It Ceng membalikkan tangannya, sebilah cahaya pedang yang memancarkan cahaya biru
bagai birunya langit telah tercabut keluar dari sarungnya.
Kalau ujung pedang Ing Bu Ok bergetar tiada hentinya maka pedang milik Lan It Cing sama
sekali tak bergerak, jika cahaya pedang lng Bu Ok berubah tiada hentinya, pedang itu sama sekali
tak berubah. Dengan tenang menghadapi gerak, tanpa perubahan mengatasi sejuta perubahan.
Bila dibilang pedang milik Ing Bu Ok seperti ular yang paling racun, maka pedangnya mirip
sebuah bukit karang.
Tiba tiba lng Bu Ok menghela napas pula.
"Sejak dua puluh tahun berselang, seringkali aku dengar, konon pedang antik Lan San Ku Kiam
milik Lan Toa-sianseng adalah sebilah pedang mestika yang bisa menebas kutung rambut dan
bulu, sudah lama aku pingin melihatnya"
Setelah berhenti sejenak dan kembali menghela napas, lanjutnya."Tapi sayang, sampai kini pun
aku tetap tak bisa melihatnya"
"Yaa, memang patut disayangkan" kata Lan It Ceng dingin, kau bukan cuma ingin melihat, aku
pun sangat ingin agar kau bisa melihatnya"
Begitu pedang tercabut keluar dari sarungnya dan berada dalam genggamannya, benda itu
kembali berubah, berubah semakin tenang, semakin dingin dan semakin mantap.
Dingin bagai air, mantap bagai bukit karang.
Malam hari telah menjelang tiba, lapisan kelabu telah berubah menjadi lapisan kegelapan yang
pekat, yang terdengar hanya bunyi burung yang terlambat balik ke sarangnya.
Tiba tiba Ing Bu Ok bertanya"Apakah sekarang hari sudah malam?"
"Benar"
"Kalau begitu ada baiknya pertempuran diundur hingga esok pagi"
"Kenapa?"
"Hari sudah gelap, aku tak bisa melihat apa apa, kaupun tak bisa melihat apa apa, biar pun kau
punya mata tapi sekarang menjadi tak bermata, aku tak ingin mencari kemenangan dalam situasi
begini" "Kau keliru besar" tukas Lan It Ceng dengan suara makin dingin, "biarpun berada dalam
kegelapan malam tanpa bintang tanpa rembulan tanpa lentera, aku tetap bisa melihatnya dengan
jelas, karena aku memiliki sepasang mata sakti"
Dia melintangkan pedangnya, pedang bergerak tanpa suara, kembali katanya"Kau tak dapat
melihat pedangku, kau pun kelewat pandang enteng sepasang mata ku, tidak sepantasnya kau
suruh aku datang kemari"
"Kenapa?"
"Karena setelah aku datang kemari. maka kaulah yang bakalan pergi"
Gerak serangan mulai dipersiapkan, tapi belum sampai dilancarkan, orang pun sama sekali
belum bergerak.
Mendadak dari jalanan kecil perbukitan itu bergema suara orang yang sedang berlarian
mendekat, terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang, "Siapapun diantara kalian tak
boleh pergi, tak boleh pergi ke mana pun" teriakan orang itu semakin nyaring, "sebab aku sudah
datang!" Kalau didengar perkataan itu, seakan akan dianggapnya persoalan apa pun pasti akan beres
dengan kehadirannya, seberat apa pun masalahnya, semua akan beres dan terselesaikan.
"Siapa orang itu?" tanya lagi Bu ok dengan kening berkerut.
"Aku she-Nyo, bemama Nyo Cing, seorang opas kota keresidenan ini"
"Mau apa kau kemari?"
"Aka melarang kalian menggunakan pedang untuk melukai orang, selama berada di wilayahku,
siapa pun tidak kuperkenankan melakukan tindakan brutal dan melakukan tindak kriminal. Tidak
perduli siapa pun orang nya!"
lng Bu Ok tidak menunjukkan perubahan mimik muka. Dia tetap bersikap hambar tanpa
perasaan, tiba tiba pedang ular yang berada dalam genggamannya digetarkan, diantara kilatan
cahaya yang menggelegar di udara, pakaian dibagian dada yang dikenakan Nyo Cing sudah robek
tiga belas tempat, namun kulit badannya sama sekali tidak terluka.
Biarpun serangan itu dilancarkan dengan kecepatan Iuar biasa, namun penggunaan tenaga
serangannya sangat tepat dan telak.
"Tadi kau bilang, tidak perduli siapa pun kau tetap akan melarang, sekarang apakah masih
sama jawabanmu?" tegur lng Bu Ok dingin.
"Tetap sama saja, sama sekali tak berubah. Jika kau ingin membunuh, lebih baik bunuhlah aku
terlebih dulu"
"Baik!" jawaban lng Bu Ok sangat singkat, hanya sepatah kata.
Begitu selesai berkata, cahaya pedang yang bergetar bagaikan seoker ular berbisa itu sudah
tiba di depan tenggorokan Nyo Cing. Jangan dianggap sepasang matanya buta, serangan
pedangnya sama sekali tidak buta.
Ujung pedangnya seolah olah mempunyai mata yang tajam, bila dia ingin menusuk jalan darah
"Thian To" di atas tenggorokannya, serangan itu tak pernah akan meleset walau hanya seinci pun.
Diantara kilauan cahaya pedang yang menggeletar, secara beruntun dia melancarkan tiga belas
buah serangan berantai, jarang ada jagoan dalam dunia persilatan yang dapat lolos dari ancaman
itu. Siapa sangka Nyo Cing dapat menghindar dari ancaman itu, berkelit dengan tepat dan luar
biasa. Bukan saja dia dapat berkelit, dalam keadaan nyaris tertusuk senjata musuh, dia masih
sempatnya berusaha merobohkan tubuh lawan.
Memang begitulah perangainya sejak lahir, jika sudah bertarung, dia tak perduli siapa musuh
yang sedang dihadapi, dengan cara apa pun dia tetap akan berusaha untuk merobohkan
lawannya. Kembali gerakan nekad yang dipakai, dia menerobos maju ke muka di bawah bayang bayang
ancaman sinar pedang lawan dan langsung merangkul pinggang lng Bu Ok kuat kuat.
"Bagus!" pekik Ing Bu Ok sambil tertawa dingin.
Pedang ularnya berputar seraya berpusing, dia kurung seluruh tubuh Nyo Cing dalam ancaman
senjatanya, dalam waktu singkat dia telah melepaskan serentetan serangan yang mengancam tiga
belas jalan darah Nyo Cing dari belakang kepala hingga ujung kakinya, hampir semua jalan darah
yang diancam adalah titik jalan darah kematian.
Sayang Nyo Cing sudah nekad, dia tak ambil perduli.
Masih dengan gerakannya semula, dia berusaha memeluk pinggang Ing Bu-ok, asal terangkul
maka sampai mati pun dia tak akan lepaskan rangkulan itu.
Biar nyawa sebagai taruhan, dia tetap akan berusaha merobohkan lawannya.
Tentu saja Ing Bu Ok tak boleh roboh.
Dia boleh kehilangan nyawa tapi tak boleh roboh, sekalipun dia sudah memperhitungkan secura
tepat bahwa tusukan senjatanya bakal mencabut nyawa Nyo Cing, dia harus berusaha tidak
sampai roboh. Tiba tiba gerakan cahaya pedangnya lenyap tak berbekas, tahu tahu Ing Bu Ok sudah mundur
delapan depa dan posisi semula, dia tidak menyerang lagi.
"Lan It Ceng, kuserahkan dia kepadamu" teriaknya.
"Serahkan kepadaku" Apanya yang diserahkan kepadaku?"
"Kuserahkan orang gila itu kepadamu, untuk menjajal pedangmu"
"Kau punya pedang, pedangmu bisa juga dipakai bunuh orang, kenapa mesti serahkan
kepadaku" Kau takut aku berhasil melihat perubahan senjata mu" Atau kau takut aku berhasil
melihat To Mia Sat hie (Tangan Pembunuh Pencabut Nyawa) mu?"
"Betul!" ternyata Ing Bu Ok mengakui.
Mendadak Lan Toa Sianseng tertawa keras:"Pedang adalah senjata pembunuh, sedang aku
adalah seorang pembunuh, hanya satu jenis manusia yang tidak kubunuh"
"Manusia apa?"
"Manusia nekat" kata Lan It Ceng, "kalau nyawa sendiri pun tak digubris, kenapa aku mesti
menghendaki nyawanya?"
Malam semakin larut, angin malam yang berhembus lewat terasa makin dingin dan
menggigilkan Ing Bu Ok berdiri tenang dibawah hembusan angin malam, dia berdiri sangat lama, tiba tiba
cahaya pedangnya kembali berkelebat, tahu tahu pedang ularnya sudah disarungkan kembali.
Menyusul kemudian suara gembrengan kembali bertalu, "Traang!" tahu tahu bayangan
tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan malam.
Ketika angin berhembus lewat, terdengar suara teriakannya bergema tiba dari kejauhan sana,
Tampaknya dia sudah pergi sangat jauh, tapi suara ucapannya masih kedengaran sangat
jelas... Dia hanya mengucapkan lima kata, tapi setiap patah kata kedangaran sangat jelas?"Aku bakal
mencari mu lagi!"
0-0-0 Sekujur badan Nyo Cing bermandikan peluh, angin malam terasa makin dingin, peluh yang
bercucuran ditubuhnya adalah peluh dingin, ketika terkena hembusan angin, seluruh badannya
terasa dingin menggidikkan hati.
Ketika seseorang yang menganggap dirinya pasti mati, tahu tahu mendapatkan diri sendiri
masih hidup, entah bagaimana perasaan hatinya saat itu"
Lan Toa sianseng menatapnya, tiba tiba bertanya:"Sudah tahu siapa si orang buta itu?"
"Tidak"
"Kau tahu siapa pula dirimu?" Lan It Ceng menatapnya semakin tajam, belum sempat Nyo Cing
menjawab, dia kembali mendahului, "kau adalah seorang manusia yang teramat sangat
beruntung"
"Kenapa?"
"Karena kau masih hidup, tidak banyak manusia di dunia ini bisa lolos dalam keadaan hidup
dari ancaman pedang Ku Bok Sin kiam (Pedang Sakti Mata Buta) Ing Bu Ok"
"Kau sendiri sudah tahu, siapakah dirimu?" dengan menggunakan nada dan kata yang sama
Nyo Cing balik bertanya kepada Lan It Ceng, kemudian tidak memberi kesempatan lawannya
menjawab, dia sudah menjawabnya terlebih dulu, "Kau pun seorang yang besar hoki-nya, karena
kau sendiri pun tidak mati"
"Kau kira kau yang telah menolongku?"
"Yang kutolong mungkin kau, mungkin juga dia, terlepas kesemuanya ini, yang penting aku tak
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan mengijinkan kalian saling membunuh orang disini, aku tak ijinkan dia membunuhmu, begitu
pun aku melarang kau membunuhnya"
"Kalau kami yang membunuh dirimu?"
"Kalau begitu, anggap saja aku memang
Petualang Asmara 12 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 24