Kisah Si Rase Terbang 15
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 15
dunia dan Thio Ciauw
Tong, seorang pen-tolan Bu-tong, binasa di Huikiang, Bu-tongpay
belum mempunyai Ciangbunjin lagi. Nama Bu-ceng-cu
yang barusan diperkenalkan, belum dikenal dalam kalangan
Rimba Persilatan.
Sementara itu, perwira tersebut sudah menunjuk Tong Pay
dan melanjutkan perkataannya: "Yang itu adalah Kam-lim-huicit-
seng Tong Tayhiap, Ciangbunjin dari partai Sam-cay-kiam.
Nama Tong Tayhiap yang menggetarkan seluruh Rimba
Persilatan, kurang boleh tak usah diperkenalkan lagi." Katakata
itu disambut dengan sorak-sorai gegap gempita, yang
berbeda jauh dengan sambutan yang diberikan kepada Buceng-
cu atau bahkan kepada Tay-tie Siansu sendiri.
Sesudah tampik sorak mereda, perwira itu lalu berkata lagi
sambil menunjuk orang yang keempat: "Yang itu adalah orang
gagah dari Boan-ciu, Hay Lan Pit Tayjin, Sam-leng atau
pemimpin tangsi Yauw-kie-eng dari pasukan Bendera Kuning
dan Ciangbunjin dari partai Hek-liong-bun di propinsi
Liaotong."
Waktu diperkenalkan, karena pangkatnya lebih rendah dari
pada perwira yang memperkenalkannya, maka Hay Lan Pit
bangun dari tempat duduk-nya dan berdiri tegak.
"Hek-liong-bun" Partai apa itu?" bisik seorang tua yang
duduk di dekat meja Ouw Hui. "Nama itu tidak dikenal dalam
Rimba Persilatan. Hrn! Dia diangkat menjadi Ciangbunjin
besar, sebab dia seorang Boan-ciu. Memang, kalau semua
Ciangbunjin terdiri dari bangsa Han, muka Hok Thayswee
tidak begitu terang. Menurut penglihatanku, Hay Tayjin itu
paling banyak mempunyai tenaga besar. Mana dia dapat
berendeng dengan jagojago bangsa Han?"
"Pendapat Susiok tepat sekali," kata seorang pemuda.
Mendengar itu, Ouw Hui tertawa dalam hati-nya. Sesudah
melihat sikap dan gerak-gerik orang Boan itu, ia mengerti,
bahwa pemimpin Hek-liong-bun tersebut bukan sembarang
orang. Sesudah diperkenalkan, keempat Ciangbunjin besar itu
segera bangun berdiri untuk memberi hormat kepada para
hadirin dengan secawan arak dan kemudian masing-masing
mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Tay-tie Siansu
bicara dengan sikap agung, sesuai dengan kedudukannya
yang sangat tinggi. Tong Pay yang pandai berpidato, telah
mengucapkan kata-kata yang membangkitkan gelak tertawa.
Bu-ceng-cu dan Hay Lan Pit yang tidak biasa bicara dihadapan
orang banyak, hanya mengucapkan sepatah dua patah
dengan suara ter-putus-putus. Bu-ceng-cu bicara dalam dialek
Ouw-pak yang tidak dimengerti oleh banyak orang.
"Mengapa suara imam itu tidak cukup ber-tenaga?" tanya
Ouw Hui di dalam hati dengan perasaan heran. "Bagaimana
dia bisa menjadi Ciang- bunjin dari Bu-tong-pay" Mungkin
sekali ia dicintai oleh para anggota partai, sehingga walaupun
ilmu silatnya tidak tinggi, ia diangkat menjadi Ciang-bunjin."
Sesudah beres perkenalan, perjamuan segera dimulai.
Perjamuan seorang menteri besar seperti Hok Thayswee tentu
saja berlainan dengan perjamuan biasa. Jangankan
santapannya, sedangkan araknya saja, yaitu arak Cong-boan
Ang-tin-siauw, sudah merupakan minuman yang langka. Ouw
Hui tidak berlaku sungkan-sungkan dan dengan ber-untun ia
sudah minum kurang lebih dua puluh cawan. Leng So
mengawasi kakaknya sambil ter-senyum-senyum dan kadangkadang
melirik Hong Jin Eng, untuk melihat apa manusia
busuk itu masih berada di tempatnya.
Sesudah dikeluarkan tujuh-delapan macam sa-yur, tiba-tiba
terdengar teriakan: "Hok Thayswee tiba!"
Semua perwira, petugas dan pelayan dengan serentak
berdiri tegak, diikuti oleh semua tetamu. Sesaat kemudian,
dari luar terdengar suara sepatu dan beberapa orang masuk
ke dalam. "Memberi hormat kepada Hok Thayswee!" te-riak semua
perwira sambil membungkuk dan menekuk satu lututnya.
Hok Kong An mengebas tangannya seraya ber-kata:
"Sudah! Bangunlah!"
"Terima kasih, Hok Thayswee!" teriak pula para perwira itu.
Melihat tata tertib yang angker dan rapih itu, Ouw Hui
merasa kagum. "Hok Kong An benar-benar bukan sembarang
orang," pikirnya. "Tak heran jika saban kali keluar berperang,
ia selalu mem-peroleh kemenangan."
Melihat paras muka pembesar itu yang berseri-seri, Ouw
Hui berkata pula di dalam hatinya: "Manusia tak punya isi
perut! Dua anaknya hilang, tapi dia tidak memperdulikan."
Hok Kong An segera memerintahkan orang menuang arak.
"Para Busu," katanya sambil meng-angkat cawan. "Dengan
jalan ini aku memberi selamat datang kepada kalian.
Keringkan cawan!"
Ia menceguk isi cawan diikuti oleh para hadirin, kecuali
Ouw Hui yang hanya menempelkan pinggir cawan di bibirnya.
Pemuda itu sungkan minum bersama-sama Thayswee yang
sangat kejam itu.
"Pertemuan para Ciangbunjin telah diketahui juga oleh
Bansweeya (kaisar)," kata pula pembesar itu. "Barusan
Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku dan menghadiahkan
dua puluh empat buah cangkir yang harus dibagikan kepada
dua puluh empat Ciangbunjin." Ia mengangkat tangannya dan
beberapa orang lantas saja menghampiri dengan membawa
tiga kotak sulam. Seorang perwira segera menggelar sehelai
taplak sutera sulam di atas meja dan dari dalam kotak, ia
mengeluarkan cangkir-cangkir yang lalu ditaruh di atas meja
itu. Ternyata, dalam kotak pertama terisi delapan buah cangkir
giok, dalam kotak kedua delapan cangkir emas, sedang dalam
kotak ketiga delapan cangkir perak. Tiga rupa cangkir itu
diatur jadi tiga baris di atas meja. Dengan sinarnya yang
gilang-gemilang, semua cangkir diukir dengan gambar-gambar
yang indah luar biasa. Dengan rasa kagum, semua orang
mengawasi cangkir-cangkir itu, karya seniman-seniman pilihan
dari istana kaisar.
"Cangkir giok dengan ukiran gambar naga di-beri nama
Giok-liong-pwee," kata pula Hok Kong An sesudah semua
cangkir diatur beres. "Cangkir giok itu adalah yang paling
berharga. Yang emas, dengan ukiran burung hong, diberi
nama Kim-hong-pwee, sedang cangkir perak, dengan ukiran
ikan gabus meletik, adalah Gin-lee-pwee."
Mendengar keterangan itu, semua orang jadi merasa
kurang enak. Dalam ruangan tersebut ter-dapat seratus lebih
Ciangbunjin, sedang jumlah cangkir hanya dua puluh empat
buah. Siapa yang akan mendapat cangkir-cangkir itu" Di
samping itu, cangkir-cangkir tersebut juga berbeda-beda.
Cangkir giok tentu saja banyak lebih berharga daripada
cangkir perak. Siapa yang akan memperoleh cangkir giok dan
siapa yang akan memperoleh perak"
Sementara itu, Hok Kong An sudah mengambil empat buah
cangkir giok dan ia sendiri lalu menye-rahkannya kepada
empat Ciangbunjin besar. "Kalian adalah pemimpin-pemimpin
Rimba Persilatan dan setiap orang mendapat sebuah cangkir
giok," katanya. Tay-tie Siansu dan ketiga Ciangbunjin lain-nya
lantas saja menerima hadiah itu sambil meng-haturkan terima
kasih. "Sekarang masih ada dua puluh cangkir," kata pula Hok
Kong An, "Aku ingin meminta supaya kalian memperlihatkan
kepandaian dan empat orang yang ilmu silatnya paling tinggi
akan dihadiahkan dengan empat buah cangkir giok. Mereka
berempat akan mempunyai kedudukan yang berendeng
dengan Ciangbunjin dari Siauw-lim, Bu-tong, Sam-cay-kiam
dan Hek-liong-bun, sehingga dengan demikian, kedelapan
Ciangbunjin itu dapat dinama-kan sebagai Giok-liong Pat-bun
(Delapan partai yang mendapat cangkir Giok-liong-pwee).
Kedelapan partai tersebut akan dikenal sebagai partai-partai
terbesar dan terkuat dalam Rimba Persilatan. Sesudah itu,
berdasarkan kepandaian yang dimiliki-nya, delapan
Ciangbunjin akan menerima cangkir emas dan mereka akan
dikenal sebagai Kim-hong Pat-bun. Paling akhir, delapan orang
lain, yang akan menjadi Gin-lee Pat-bun, akan menerima
cangkir perak. Sesudah ada penetapan tingkatan, maka di be-lakang hari
dalam Rimba Persilatan boleh tidak usah terjadi pula
sengketa-sengketa yang tidak di-ingini. Dalam pertemuan ini,
aku mengangkat Tay-tie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Tayhiap
dan Hay Som-leng sebagai juru pemimpin (juri) yang akan
menetapkan tinggi rendah ilmu silat setiap orang. Apakah
kalian setuju?"
Keterangan Hok Kong An itu disambut dengan rasa terkejut
oleh sejumlah Ciangbunjin yang mempunyai pemandangan
luas. Cara menteri besar itu tiada bedanya seperti mengadu
domba orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi di
hadapan Hok Kong An, siapa yang berani mengeluarkan
pendapat lain" Maka itu, biarpun di dalam hati sangat tidak
setuju, mereka terpaksa ikut menepuk-nepuk tangan.
Sementara itu, begitu mendengar penjelasan Hok Kong An,
Ouw Hui segera ingat keterangan Wan Cie Ie mengenai
maksud tujuan pembesar itu dalam menghimpunkan
pertemuan para Ciangbunjin. "Semula aku menduga, bahwa
dengan mengumpulkan orang-orang gagah di kolong langit, ia
ber-maksud untuk menggunakan mereka guna kepentingannya
sendiri." katanya di dalam hati. "Tapi dilihat begini,
ia mengandung maksud yang sangat jahat. Ia ingin mengadu
domba para ahli silat supaya mereka saling bunuh dalam
perebutan nama ko-song, agar mereka tidak mempunyai
tenaga lagi untuk menentang pemerintahan Boan-ceng."
Memikir sampai di situ, ia lihat Leng So mencelup jari
tangannya ke dalam cangkir teh dan menulis huruf "jie" (dua)
serta "tho" (buah tho), di atas meja. Sesudah menulis, si nona
lalu menghapus kedua huruf itu dengan tangannya.
Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "jie-moay
sungguh pintar," pikirnya. "Ia sudah dapat menebak siasat
busuk dari Hok Kong An yang menyerupai dengan tipu An Eng
yang sudah mem-bunuh tiga orang gagah dengan
menggunakan dua buah tho." Dengan rasa duka, ia menyapu
seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat kenyataan,
bahwa sebagian besar jago-jago muda kelihatan bergembira
sekali dan siap sedia untuk segera turun ke dalam
gelanggang, tapi di antara para Ciang-bunjin yang berusia
lebih tua banyak yang berparas lesu dan masgul, karena
seperti juga Ouw Hui dan Leng So, mereka sudah melihat
bencana yang te-ngah dihadapi oleh Rimba Persilatan.
Sementara itu, semua orang segera merunding-kan
keterangan Hok Thayswee, sehingga ruangan itu jadi ramai
sekali dengan suara manusia. "Ong Loo-ya-cu," demikian
terdengar suara seorang yang duduk di dekat meja Ouw Hui.
"Ilmu silat Sin-kun-bun lihay bukan main dan Loo-ya-cu pasti
akan dapat mengantongi sebuah cangkir Giok-liong."
"Cangkir Giok-liong aku tidak berani harap-kan," kata orang
yang dipanggil "Ong Loo-ya-cu" dengan suara merendahkan
diri. "Aku sudah merasa beruntung jika dapat mem-perlihatkan
cangkir emas kepada anak-anakku."
Seorang lain tertawa dan berkata dengan suara perlahan:
"Aku hanya khawatir, dia masih tak mam-pu merebut cangkir
perak." Mendengar ejekan itu, si orang she Ong jadi gusar bukan
main dan mengawasi orang yang meng-ejeknya dengan mata
melotot. Demikianlah, di setiap meja jago-jago itu ramai
bicara, bisik-bisik atau tertawa-tawa.
Tiba-tiba seorang perwira yang berdiri di sam-ping Hok
Kong An, menepuk tangannya tiga kali dan berseru: "Tuantuan
harap tenang sebentar, Hok Thayswee ingin bicara lagi."
Suara ramai itu perlahan-lahan mereda, tapi karena orangorang
itu tidak biasa dengan disiplin milker, maka untuk
sementara, masih terdengar suara orang bicara. Sesudah
lewat beberapa saat, barulah ruangan itu menjadi sunyi.
"Sekarang aku mengundang tuan-tuan bersan-tap dan
sesudah makan minum, barulah kalian mem-perlihatkan
kepandaian," kata Hok Kong An. "Mengenai peraturan pie-bu
(adu silat), sebentar Ang Teetok akan memberi penjelasan."
Seorang perwira Boan yang berdiri di samping pembesar
itu, lantas saja berkata: "Hayolah! Kalian boleh makan dan
minum sepuas hati. Sehabis per-jamuan, aku akan memberi
penjelasan. Hayolah! Sekarang aku memberi hormat kepada
kalian dengan secawan arak." Sambil berkata begitu, ia
menuang arak ke sebuah cawan besar dan lalu men-ceguk
kering isinya. Sebagian besar jago-jago yang hadir di situ adalah
"gentong-gentong" arak, tapi karena sedang menghadapi
pertempuran, mereka tidak berani mi-num terlalu banyak.
Sesudah perjamuan selesai, perwira yang tadi kembali
menepuk tangan tiga kali. Sejumlah pe-layan segera menaruh
delapan kursi Thay-su-ie di ruangan tengah, delapan kursi di
ruangan samping sebelah timur dan delapan kursi pula di
ruangan samping sebelah barat. Pada kursi-kursi di ruangan
tengah ditaruh alas dengan sulaman benang emas, pada kursi
di ruangan timur ditaruh alas sutera merah, sedang pada kursi
di ruangan barat ditaruh alas sutera hijau. Sesudah itu, tiga
orang Wie-su masing-masing membawa Giok-liong-pwee, KimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong-pwee dan Gin-lee-pwee yang lalu ditaruh di atas meja
teh di ruangan tengah, ruangan timur dan ruangan barat.
Sesudah cangkir-cangkir diatur beres, An Tee-tok segera
berkata dengan suara nyaring: "Had ini kita mengikat
persahabatan dengan ilmu silat dan begitu lekas salah satu
pihak kena dicolet, per-tandingan harus segera dihentikan.
Siapa pun jua tidak boleh mendendam sakit hati. Dalam
pertan-dingan, sebaiknya jangan sampai melukai lawan. Akan
tetapi, sebagaimana kalian tahu, di dalam setiap pertempuran
selalu terdapat kemungkinan kesalahan tangan. Maka itu, Hok
Thayswee telah menetapkan, bahwa orang yang mendapat
luka en-teng akan diberi uang obat sebanyak lima puluh tahil
perak, yang luka berat diberi tiga ratus tahil perak, sedang
kalau sampai ada yang meninggal dunia, keluaganya akan
mendapat seribu tahil perak. Orang yang karena salah tangan,
sudah melukai atau membinasakan lawannya, tidak akan
dituntut."
Semua orang terkejut. Penjelasan itu terang-te-rangan
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menganjurkan supaya jago-jago itu bertem-pur mati-matian.
Sesudah berdiam sejenak, perwira itu berkata pula: "Kami
mengundang empat Ciangbunjin besar mengambil tempat
duduknya."
Empat orang Wie-su lantas saja menghampiri dan
mempersilahkan Taytie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Pay dan Hay
Lan Pit maju ke tengah-tengah ruangan untuk duduk di empat
kursi Thay-su-ie. Sesudah mereka berduduk, masih ada empat
kursi kosong, dua di sebelah kiri dan dua lagi di sebelah
kanan. Perwira itu tersenyum dan berkata pula dengan suara
nyaring: "Para Ciangbunjin sekarang boleh memperhhatkan
kepandaiannya di hadapan Hok Thayswee. Mereka yang
menganggap kepandaiannya cukup tinggi untuk memiliki
cangkir Gin-lee-pwee boleh duduk di kursi di ruangan barat,
sedang mereka yang menganggap kepandaiannya cukup
tinggi untuk memperoleh Kim-hong-pwee, boleh duduk di
kursi di ruangan timur. Dan mereka yang merasa dapat
berendeng dengan empat Ciangbunjin besar, boleh duduk di
kursi di ruangan tengah, bersama-sama keempat Ciangbunjin
besar itu. Sesudah dua puluh Ciangbunjin menduduki dua puluh kursi
itu, siapa yang merasa tidak puas boleh menantang orang
yang menduduki kursi. Yang kalah mundur, yang menang
duduk di kursi itu. Per-tandingan baru dihentikan sampai tidak
ada orang yang menantang lagi. Bagaimana pendapat tuantuan?"
Pertanyaan itu disambut dengan teriakan "setuju!" oleh
jago-jago muda yang berdarah panas dan yang menganggap,
bahwa peraturan itu sesuai dengan kebiasaan pie-bu, siapa
kuat siapa menang. Di lain pihak, orang-orang yang tidak
setuju dengan cara mengadu domba itu, tentu saja tidak
berani membuka suara.
Waktu itu, Hok Kong An sendiri duduk di sebelah kursi
Thay-su-ie yang ditaruh di sebelah kiri ruangan itu, dengan
diapit oleh delapan Wie-su pilihan, antaranya Ciu Tiat Ciauw
dan Ong Kiam Eng.
Leng So menyentuh tangan kakaknya dengan jerijinya
sambil monyongkan mulutnya ke atas. Ouw Hui dongak dan
lihat sejumlah Busu berdiri berjejer di atas genteng dengan
senjata terhunus, sedang di luar ruangan itu pun dikurung
dengan sepasukan tentara pilihan. Pada saat itu, penjagaan di
gedung Peng-po Siang-sie mungkin lebih hebat daripada di
istana kaisar sendiri.
"Aku sudah merasa puas, bahwa hari ini aku bertemu
dengan Hong Jin Eng," kata Ouw Hui di dalam hati. "Yang
paling penting, rahasiaku tidak boleh bocor. Sebentar aku
akan coba merebut sebuah cangkir perak supaya tidak
menyia-nyiakan harapan Saudara Kie. Tapi sebaiknya aku
turun belakangan, supaya tidak menarik terlalu banyak
perhatian."
Di luar dugaan, niatan Ouw Hui untuk maju belakangan,
juga dipunyai oleh jago-jago lainnya. Ouw Hui berniat begitu
karena khawatir rahasianya bocor, tapi jago-jago yang lain
menggenggam niatan itu, sebab ingin menarik keuntungan.
Mereka ingin menunggu sampai orang lain letih dalam pertandingan-
pertandingan pendahuluan. Maka itulah, sesudah
perwira itu mengundang beberapa kali, tak seorang yang maju
untuk menduduki dua puluh kursi itu.
Mengenai ilmu silat terdapat sebuah pepatah yang tepat
sekali, yaitu: "Bun-bu-tee-it, Bu-bu-tee-jie" (Ilmu surat tidak
ada nomor satu, Ilmu silat tidak ada nomor dua). Kata-kata itu
berarti, bahwa seorang sasterawan tidak pernah menganggap,
bahwa karangannya atau syairnya adalah nomor satu di dalam
dunia, sedang seorang ahli silat - kecuali beberapa gelintir
pentolan yang sudah mengundur-kan diri dari pergaulan -
biasanya sungkan duduk di bawah orang.
Harus diingat, bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam
pertemuan itu adalah Ciangbunjin, atau pe-mimpin, dari
sebuah partai atau cabang persilatan. Maka itu, walaupun ada
sejumlah orang merasa tawar dalam hatinya, tapi mereka juga
tidak mau menjatuhkan nama partai sendiri. Semua orang
mengerti, bahwa sekali salah tangan, ratusan atau ribuan
muridnya tak akan bisa mengangkat kepala lagi dalam dunia
Kang-ouw dan kedudukannya sebagai Ciangbunjin juga sukar
dapat dipertahankan lagi.
Pada saat itu, berdasarkan kebiasaan dalam Rimba
Persilatan, dalam alam pikiran semua orang terdapat sebuah
kesimpulan yang bersamaan, yaitu:
Kalau mau turun, yang dituju adalah cangkir Giok-liongpwee.
Cangkir emas dan cangkir perak, yang berarti
kedudukan kedua dan ketiga, sama sekali tidak diperhatikan
orang. Maka itu, semua mata ditujukan kepada ruangan
tengah, sedang ruangan timur dan barat sama sekali tidak
dilirik orang. Sesudah lewat beberapa saat, sambil tertawa mengejek,
perwira itu berkata: "Mengapa tuan-tuan berlaku begitu
sungkan" Apa kalian ingin maju paling belakang, sesudah
semua orang kecapaian" Jika benar begitu sikap itu tidaklah
sesuai dengan sikapnya seorang gagah."
Benar saja sesudah diejek, dua orang segera maju dengan
berbareng dan duduk di dua kursi yang kosong. Yang satu
bertubuh tinggi besar seperti pagoda dan waktu ia duduk,
kursi Thay-su-ie yang kekar kuat mengeluarkan suara "kretekkretek".
Yang satunya lagi berbadan sedang-sedang saja dan
di bawah dagunya tumbuh jenggot yang berwarna kuning.
"Lao-hia," katanya seraya tertawa. "Kita menghadapi banyak
sekali jago-jago dan cangkir Giok-liong belum tentu dapat
direbut oleh kita. Maka itu, jangan kau merusakkan kursi itu."
Si raksasa tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara di
hidung. Seorang perwira yang memakai topi tingkatan keempat
lantas saja maju ke depan dan berteriak sambil menunjuk si
raksasa: "Tuan-tuan! Yang itu adalah Ciangbunjin dari partai
Jie-long-kun, Oey Hie Kiat Oey Loosu." Kemudian ia menunjuk
si jenggot kuning dan berkata pula: "Yang itu ialah Auwyang
Kong Ceng, Auwyang Loosu, Ciangbunjin Yan-ceng-kun."
Seorang tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui lantas saja
berbisik: "Aha! Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Kong Ceng
juga ingin merebut cangkir!" (Pendekar yang berjalan
sendirian dalam perjalan-an ribuan li).
Mendengar itu, Ouw Hui agak terkejut. Gelar Cian-lie Tokheng-
hiap telah ditempelkan pada namanya oleh Auwyang
Kong Ceng sendiri, seorang perampok tanpa kawan yang
namanya tidak begitu harum dalam kalangan Rimba
Persilatan, tapi harus diakui, ia memang mempunyai
kepandaian tinggi.
Sesudah kedua orang itu, maju pula seorang imam, yaitu
See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to. Ia sama sekali
tidak membawa senjata dan duduk di kursi Thay-su-ie sambil
tersenyum. Semua orang merasa heran, karena sebagai
pemimpin Kun-lun-to, ia tidak membekal golok.
Seluruh ruangan berubah sunyi senyap dengan semua
mata ditujukan kepada kursi terakhir yang masih kosong.
"Masih ada sebuah Giok-liong-pwee," kata pula perwira itu.
"Apa tidak ada yang mau?"
Pertanyaan itu disambut dengan teriakan seorang:
"Baiklah! Tinggalkan cangkir itu untuk aku, si setan arak!"
Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh jangkung
kurus bertindak ke luar dengan tindakan sempoyongan,
dengan satu tangan men-cekal poci arak dan lain tangan
memegang cawan. Begitu tiba di tengah-tengah ruangan, ia
membuat dua putaran seperti orang mabuk arak dan
kemudian, ia terjengkang ke belakang dan jatuh duduk di
kursi Thay-su-ie yang terakhir. Gerakan yang sangat lincah
dan enteng itu memperlihatkan kepandaian yang tinggi,
sehingga tanpa merasa bebe-rapa hadirin berseru: "Bagus!"
Orang itu adalah Ciangbunjin dari partai Cui-pat-sian,
namanya Bun Cui Ong, bergelar Cian-pwee Kie-su (Tuan dari
ribuan cawan arak).
"Aku menghaturkan selamat kepada keempat Loosu," kata
An Teetok. "Sekarang, siapa yang menganggap
kepandaiannya melebihi keempat Loosu itu, boleh tampil ke
muka dan mengajukan tantangan. Jika tidak ada yang
menantang, maka Jie-Iong-kun, Yan-Ceng-kun, Kun-lun-to
dan Cui-pat-sian akan termasuk dalam Giok-liong Pat-bun."
Hampir berbareng, dari sebelah timur keluar seorang yang
berjalan dengan tindakan lebar. "Siauwjin bernama Ciu Liong,"
ia memperkenalkan diri. "Aku ingin meminta pengajaran dari
Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Loosu." Orang itu ber-tubuh
kate dengan otot-otot yang menonjol keluar, sehingga bentuk
badannya menyerupai seekor ker-bau.
Ouw Hui tidak banyak mengenal orang-orang Rimba
Persilatan, tapi baik juga, si kakek yang duduk di dekat
mejanya mempunyai pengalaman luas dan ialah yang tanpa
diminta selalu mencerita-kan asal usul setiap orang yang
tampil ke muka. "Dia itu adalah Ciangbunjin dari Lo-cia-kun
dan Cong-piauw-tauw Liong-hin Piauw-kiok di Tay-tong-hu,
propinsi Shoasay," bisik si kakek kepada ka-wannya.
"Kudengar Auwyang Kong Ceng pernah merebut piauw yang
dilindungi olehnya, sehingga ia menaruh dendam. Menurut
pendapatku, ia turun ke gelanggang bukan untuk merebut
cangkir Giok-liong."
"Ya, dalam Rimba Persilatan memang banyak tersembunyi
dendam sakit hati," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Seperti aku,
kedatanganku di sini terutama untuk menyelidiki tempat
bersembunyi-nya Hong Jin Eng." Mengingat begitu, tanpa
merasa ia melirik orang she Hong itu yang sedang meng-usapusap
Tiat-tannya dengan paras muka tenang. Sesudah dua
malam berturut-turut terjadi keribut-an, Hong Jin Eng
menganggap musuhnya sudah kabur ke lain tempat. Mimpi
pun ia tak pernah mimpi, bahwa Ouw Hui justru berada dalam
ruang-an itu. Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi, Auwyang Kong
Ceng sudah bangun dari kursinya seraya berkata: "Ciu Congpiauw-
tauw, selamat bertemu! Bagaimana dengan
perusahaanmu" Aku pereaya kau telah mendapat banyak
keuntungan."
Mendengar ejekan itu, darah Ciu Liong meluap. Pada tahun
yang lalu, karena perampokan yang dilakukan oleh Auwyang
Kong Ceng, ia mesti mengganti piauw yang berharga lima
laksa tahil perak, sehingga simpanan yang dikumpul olehnya
selama puluhan tahun, habis seluruhnya. Maka itu, tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia segera menyerang secara
nekat. Dalam sekejap, mereka sudah mulai bertempur matimatian.
Ciu Liong bertenaga besar dan kedua kakinya mantap,
sedang Auwyang Kong Ceng gesit gerakan-gerakannya. Dalam
per-tandingan itu, dengan mengandalkan tenaga dan
latihannya, Ciu Liong tidak menghiraukan pukulan musuh dan
walaupun dadanya sudah tertinju tiga kali beruntun, ia seperti
juga tidak merasakan pukulan itu. Tiba-tiba sambil
membentak keras, ia menghantam dengan pukulan Genghong-
tah. Auwyang Kong Ceng berkelit seraya menendang
dan tendangan itu mengena tepat di lutut musuhnya yang
lantas saja rubuh terguling. Tapi, sesudah bergulingan
beberapa kali, Cong-piauw-tauw yang kedot itu sudah lantas
bangun berdiri lagi.
Sesudah bertanding kira-kira lima puluh jurus, belasan
pukulan sudah mampir di tubuh Ciu Liong. Beberapa saat
kemudian, waktu tidak berwaspada, tinju musuh mengenai
tepat di hidungnya, yang lantas saja mengucurkan darah. "Ciu
Loosu," kata Auwyang Kong Ceng dengan suara mengejek,
"Aku hanya merampas piauwmu dan bukan merebut is-terimu
atau membunuh ayahmu. Sudahlah! Kita menyudahi saja
permusuhan ini."
Ciu Liong yang sudah jadi kalap, terus mener-jang bagaikan
harimau edan. Dengan mengandal-kan ilmu ringan badan,
Auwyang Kong Ceng kelit serangan membabi buta itu sambil
mengejek. Selang beberapa jurus lagi, kempungan Ciu Liong kena
ditendang, tapi sebaliknya daripada menyerah, sambil
memegang kempungan dengan tangan kiri, ia melompat dan
mengirim tinju dengan seantero tenaganya. Diserang secara
begitu men-dadak, Auwyang Kong Ceng yang sedang
tergirang-girang melihat musuhnya sudah hampir rubuh, tidak
keburu berkelit lagi. "Buk!" tinju Ciu Liong mengena tepat di
dadanya, sehingga beberapa tulang-nya patah! Tubuh
perampok itu bergoyang-goyang dan mulutnya
menyemburkan darah.
Ia mengerti, bahwa musuhnya yang mendendam sakit hati
hebat, pasti akan menyerang pula. Maka itu, sambil meringisringis,
ia mundur seraya berkata: "Kau... kau menang...."
Tapi Ciu Liong tidak mau mengerti dan terus lompat
mengejar. Untung juga Tong Pay keburu mencegah: "Ciu
Loosu, kau sudah memperoleh kemenangan dan tidak boleh
turun tangan lagi. Duduklah di sini."
Ciu Liong tidak berani membantah dan seraya merangkap
kedua tangannya, ia berkata: "Siauwjin tidak berani merebut
Giok-liong-pwee!" Ia memutar badan dan kembali pada
tempat duduknya yang tadi.
Para hadirin yang mengenai asal usul Auwyang Kong Ceng
merasa girang melihat robohnya perampok jahat itu. Dengan
paras muka pucat karena sakit dan malu, orang she Auwyang
itu tidak berani meninggalkan gedung Hok Kong An. Ia tahu,
bahwa ia mempunyai terlalu banyak musuh dan dalam
keadaan terluka berat, begitu keluar dari gedung itu, musuhmusuhnya
pasti akan mengikutinya untuk membalas sakit hati.
Maka itu, dengan tidak memperdulikan ejekan-ejekan, ia
mengeluarkan obat luka dan menelannya dengan secawan
arak, akan kemudian duduk di salah sebuah kursi, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Diam-diam Ouw Hui memuji kepintaran Ciu Liong. Dengan
kepandaiannya yang tidak seberapa tinggi, memang ia tak
usah harap bisa memperoleh cangkir giok itu. Dengan
mengundurkan diri secara suka rela, meskipun tidak dapat
berdiri sebagai anggota Giok-liong Pat-bun, nama Lo-cia-kun
sudah naik tinggi.
"Jika Ciu Loosu tidak ingin turut merebut cangkir giok, kami
mempersilahkan lain sahabat maju ke mari," kata Tong Pay.
Hampir berbareng dengan undangan itu, dua orang yang
satu dari kiri dan yang lain dari kanan, dengan berbareng
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maju ke depan. Jarak antara mereka dan kursi Thay-su-ie
kira-kira bersamaan dan siapa yang lebih cepat, dialah yang
akan tiba lebih dulu. Apa mau, kedua orang itu maju dengan
kecepatan bersamaan dan begitu tiba di depan kursi, pundak
mereka beradu keras, sehingga ke-dua-duanya terpental. Pada
detik itulah, sekonyong-konyong seorang lain melompat tinggi
dan bagaikan seekor elang, tubuhnya melayang jatuh di atas
kursi! Itulah suatu ilmu mengentengkan badan yang sa-ngat
tinggi, sehingga para hadirin serentak ber-sorak-sorai.
Kedua orang yang berbenturan itu segera meng-awasi
orang yang merebut kursi. Tiba-tiba mereka berseru dengan
berbareng: "Ah! Kau!" Begitu ber-teriak, begitu mereka
menerjang. Tanpa bergerak dari kursi, orang itu menendang
dengan kaki kirinya dan penyerang yang di sebelah kiri lantas
saja jatuh terpelanting. Hampir berbareng, tangan kanannya
menyambar leher baju penyerang yang di sebelah kanan dan
lalu menyentaknya, sehingga orang itu pun rubuh di lantai.
Para hadirin bersorak-sorai. Mereka tak duga orang itu
begitu lihay. An Teetok yang tidak mengenal orang itu lantas saja
menghampiri seraya bertanya: "Apakah aku boleh mendapat
tahu she dan nama tuan yang mulia serta partai mana yang
dipimpin tuan?"
Tapi sebelum orang itu keburu menjawab, kedua orang
yang barusan rubuh sudah melompat bangun dan lalu
menyerang pula sambil mencaci dengan perkataan-perkataan
kotor. Dari cacian itu, ternyata waktu berada dalam
perjalanan, mereka berdua telah dipermainkan oleh orang
yang duduk di kursi.
Tapi ilmu silat orang yang duduk di kursi banyak lebih
unggul daripada kedua lawannya dan dengan mudah, ia
kembali berhasil merubuhkan mereka.
"Cee Loojie!" teriak orang yang di sebelah kiri. "Urusan kita
ditunda saja sampai di lain hari. Hari ini, kita harus lebih dulu
membereskan bangsat ini."
"Benar!" kata orang yang di sebelah kanan sambil
mencabut sebilah pisau dari pinggangnya.
Si kakek yang duduk di dekat meja Ouw Hui, menghela
napas dan berkata: "Semenjak Hoan-kang-houw (Belibis
membalik sungai) meninggal dunia, murid-murid Ap-heng-bun
(Partai gerakan bebek) benar-benar tidak berharga."
Karena sangat kepingin tahu, Ouw Hui lantas saja bangun
dari kursinya dan menghampiri kakek itu. Sambil mengangkat
kedua tangannya, ia berkata: "Aku mohon menanya, apakah
kedua orang itu murid-murid dari Ap-heng-bun?"
Si tua tertawa seraya berkata: "Kalau tidak salah, kita
belum pernah bertemu muka. Apakah aku boleh mendapat
tahu she dan nama tuan yang besar?"
Sebelum Ouw Hui menjawab, Coa Wie yang sudah bangun
berdiri, lantas mendului: "Biarlah aku yang memperkenalkan
kalian. Yang ini adalah Ciangbunjin yang baru dari partai kami,
Thia Leng Ouw, Thia Loosu. Loosu ini ialah Ciangbunjin Sianthian-
kun. Kwee Giok Tong, Kwee Loosu."
Si kakek mengenal Coa Wie dan juga tahu, bahwa Hoakun-
bun adalah salah sebuah partai yang besar di Tiongkok
Utara. Maka itu, ia lantas saja bangun berdiri dan
mengundang Ouw Hui untuk duduk bersama-sama.
Sian-thian-kun adalah sebuah partai yang sudah berusia
tua dan didirikan pada jaman kerajaan Tong. Dulu, partai itu
mempunyai nama yang sangat cemerlang. Hanya sayang,
setiap pemimpin partai tidak mau menurunkan seantero
kepandaiannya kepada murid-muridnya dan selalu menyimpan
satu dua pukulan untuk menjaga diri. Maka itulah, sesudah
melalui jangka waktu berabad-abad, ilmu silat Sian-thian-kun
tidak lagi menonjol ke depan. Pada waktu itu, yaitu jaman
kerajaan Ceng, partai Siang-thian-kun hanya sebuah partai
kecil yang tidak begitu dipandang orang. Kwee Giok Tong
cukup tahu diri. Ia mengerti, bahwa kepandaiannya tidak
cukup untuk turut merebut cangkir dan ia duduk di situ hanya
untuk menikmati makanan dan minuman Hok Kong An yang
luar biasa. Mendengar pertanyaan Ouw Hui, ia lantas saja berkata:
"Ilmu silat Ap-heng-kun agak aneh. Kuda-kudanya kate, kuat
di bagian kaki dan terutama lihay dalam ilmu berenang. Pada
waktu Hoan-kang-houw masih hidup, partai itu menjagoi di
wilayah Ho-tauw. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan
dua orang murid. Yang mencekal pisau adalah Cee Pek Cin,
sedang yang memegang pusut bernama Tan Ko Po. Semenjak
sepuluh tahun, mereka ber-dua berebut kedudukan
Ciangbunjin dan sampai sekarang belum ada keberesannya.
Dan sekarang, muka mereka cukup tebal untuk datang ke
mari bersama-sama."
Ouw Hui tersenyum. Dalam Rimba Persilatan memang
banyak terjadi kejadian yang aneh-aneh.
Sementara itu, dengan masing-masing mencekal senjata
pendek, Cee Pek Cin dan Tan Ko Po menyerang dari kiri dan
kanan. Tanpa berkisar dari kursinya, orang itu membentak:
"Bocah goblok! Di Lan-ciu aku sudah memperingati supaya
kamu ja-ngan datang ke mari. Tapi kamu tetap tidak
meladeni."
Semua mata lantas saja ditujukan kepada orang aneh itu,
yang berusia kira-kira lima puluh tahun, memakai tutup mata
hitam dan mengisap sebatang pipa, sedang di atas bibirnya
terdapat kumis warna kuning seperti kumis tikus. Apa yang
luar biasa adalah cara berkelahinya. Dengan sembarangan, ia
menggerakkan kaki tangannya, tapi pukulan-pu-kulannya itu
yang agaknya tidak bertenaga, selalu berhasil merubuhkan
kedua lawannya.
"Kwee Loosu, siapa Cianpwee itu?" tanya Ouw Hui.
Kwee Giok Tong mengerutkan alisnya dan berkata: "Dia...
dia...." Paras mukanya berubah merah, karena ia tak tahu
siapa adanya orang aneh itu.
"Bocah kurang ajar!" bentak pula si tutup mata hitam.
"Kalau bukan memandang muka Hoan-kang-houw, aku pasti
tak sudi campur-campur lagi urusanmu. Hoan-kang-houw
adalah seorang gagah yang patut dihormati. Aku tak nyana,
murid-muridnya sebangsa manusia rendah yang rakus. Eh!
Kamu mau pulang atau tidak?"
"Suhu pasti tidak mempunyai sahabat bau seperti kau!"
bentak Tan Ko Po. "Aku berguru lima enam tahun, tapi belum
pernah lihat muka bang-kotanmu!"
"Anak celaka!" caci si tutup mata. "Hoan-kang-houw kawan
mainku, kawan main lumpur dan menangkap kutu. Kau tahu?"
Tiba-tiba tangan kirinya menyambar dan "Plok!" mengena
tepat di kuping Tan Ko Po. Sesaat itu, Cee Pek Cin menubruk
dari sebelah kanan. Si tua mengangkat kakinya yang kena jitu
di muka Pek Cin. "Sesudah gurumu meninggal, biar aku yang
menghajar kau!" bentaknya.
Melihat pertunjukan yang lucu itu, semua orang tertawa
geli. Tapi Cee Pek Cin dan Tan Ko Po benar-benar manusia
tolol. Mereka sedikit pun tak bisa lihat, bahwa kepandaian
mereka masih kalah terlalu jauh dari si tutup mata.
"Bocah, kau dengarlah!" bentak si tua lagi. "Hok Thayswee
mengundang kamu datang di sini, apa kau kira dia mempunyai
maksud baik" Hm! Dia mau mengadu domba kamu semua!
Huh! Huh! untuk mendapat cangkir yang tidak cukup untuk
memuat kencing, kamu saling geragot dan saling bunuh!"
Mendengar perkataan itu, semua orang kaget bukan main.
Ouw Hui manggut-manggutkan ke-palanya dengan perasaan
kagum akan ketabahan orang tua itu.
Sekarang An Teetok tidak dapat menahan sa-bar lagi.
"Siapa kau?" bentaknya. "Kau mau mengacau di sini?" Karena
masih memandang muka para orang gagah, sedapat-dapat ia
menahan ama-rah dan tidak lantas turun tangan.
Si tutup mata tertawa dan berkata dengan suara tenang:
"Aku sedang mengajar cucu-cucuku dan tidak ada sangkut
pautnya dengan kau." Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat
pipanya berkelebat. Hampir berbareng pisau dan pusut yang
dicekal Cee Pek Cin dan Tan Ko Po jatuh di lantai. Sesudah
menyelipkan pipanya di pinggang, tangan kanannya
menyambar ke kuping kiri Cee Pek Cin, sedang tangan kirinya
menyambar ke kuping kanan Tan Ko Po. Ia bangun dan
bertindak ke luar sambil menje-wer kuping kedua pemuda itu.
Heran sungguh, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan
meringis seperti orang kesakitan, mereka mengikuti. Ternyata,
sedang jempol dan telunjuk orang tua itu menjewer
kuping, tiga jerijinya menekan jalan da-rah Kiang-kan-hiat dan
Hong-hu-hiat yang terletak di belakang otak, sehingga kaki
tangan kedua pemuda itu menjadi lemas dan tidak dapat
melawan lagi. Ouw Hui dan Leng So menyaksikan perbuatan si tua
dengan rasa kagum dan menghormat.
"Binatang!" caci An Teetok. "Apa kau mau cari mampus...?"
Kata-kata itu terhenti di tengah jalan, karena serupa benda
bundar mendadak menyambar ke dalam mulutnya dan terus
turun di tenggo-rokannya. Meskipun hidungnya mengendus
bebau-an daging dan lidahnya merasakan rasa daging, seperti
juga benda yang masuk ke dalam perutnya adalah sebuah
bakso, tapi ia tidak dapat mene-tapkan apakah benar, benda
bundar itu bakso ada-nya. Di samping itu, ia juga tak tahu
siapa yang sudah menimpuknya. Maka itu, dengan paras
muka pucat, ia berdiri bengong seperti patung.
Tong Pay yang duduk di belakang An Teetok tidak dapat
melihat kejadian itu. "Dalam dunia Kang-ouw memang
terdapat banyak sekali orang-orang gagah yang hidup
mengasingkan diri," kata-nya sesudah orang aneh itu berlalu.
"Karena Cianpwee yang tadi sungkan bergaul dengan
manusia biasa, maka kita pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Sekarang Loosu manakah yang ingin mengisi kursi yang
kosong ini?"
"Aku!" demikian terdengar satu suara. Orang heran, sebab
ada suara, tiada orangnya. Beberapa saat kemudian, dari
antara orang banyak barulah muncul seorang kate yang tinggi
tubuhnya hanya tiga kaki lima enam dim, sedang mukanya
yang berjenggot kelihatan angker sekali. Melihat si kate,
beberapa jago muda tidak tahan untuk tidak ter-tawa. Tibatiba
orang kate itu menengok dan meng-awasi dengan sorot
mata angker, sehingga orang-orang yang tertawa lantas saja
bungkam. Si kate berhenti di depan kursi Oey Hie Kiat dan mengawasi
raksasa itu dari kepala sampai di kaki dan dari kaki sampai di
kepala lagi. Melihat lagak orang yang aneh, Hie Kiat menegur:
"Eh, lihat apa kau" Apa kau mau menjajal kepandaian denganku?"
Orang kate itu tidak menjawab, ia hanya menge-luarkan
suara di hidung sambil berjalan ke belakang kursi. Karena
khawatir dibokong, Hie Kiat memutar tubuhnya dan si kate
kembali ke depan kursi, sedang matanya terus mengawasi
muka orang. "Loosu itu adalah Cong Hiong, Cong Loosu, Ciangbunjin
dari Tee-tong-kun di propinsi Siam-say," kata An Teetok.
Sebab diawasi secara begitu, darah Hie Kiat lantas saja
meluap dan ia bangun berdiri. "Cong Loosu!" bentaknya. "Aku
ingin meminta pelajaran dari ilmu silat Tee-tong-kun."
Di luar dugaan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Cong
Hiong menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas
saja melesat ke kursi yang kosong.
Oey Hie Kiat tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Jika
kau tidak ingin bertempur denganku, baiklah!" Sehabis
berkata begitu, ia duduk lagi di kursinya.
Tapi sungguh aneh, begitu lekas si raksasa duduk, si kate
bangun dan berdiri pula di depan kursi Oey Hie Kiat sambil
menatap wajah orang.
"Eh, lihat apa kau!" bentak Hie Kiat dengan suara gusar.
"Tadi, waktu minum arak, mengapa kau mengawasi aku
sambil tertawa-tawa?" tanya Cong Hiong. "Kau mentertawai
badanku kate, bukan?"
"Badanmu kate, ada sangkut paut apakah denganku?" kata
si raksasa seraya menyengir.
Cong Hiong jadi gusar. "Binatang! Kau menarik keuntungan
secara tidak halal atas diriku!" teriak-nya.
"Menarik keuntungan tidak halal?" menegas Hie Kiat
dengan heran. "Kau mengatakan, bahwa katenya badanku tiada sangkut
pautnya denganmu," jawabnya. "Huh -huh. Aku bertubuh kate
memang hanya bersangkut paut dengan ayahku. Dan dengan
mengatakan begitu, bukankah kau sengaja mengejek
ayahku?" Mendengar perkataan itu, semua orang tertawa besar - Hok
Kong An menyemburkan teh yang baru masuk ke dalam
mulutnya. Thia Leng So meneng-kurep di meja sambil
memegang perut, sedang Ouw Hui sedapat mungkin menahan
tertawa, sebab kha-watir jenggot palsunya jatuh.
Hie Kiat pun tertawa geli. "Tidak berani, tidak berani aku
mengejek ayah Cong Loosu," katanya.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Cong Hiong segera
meninju kempungan orang. Meskipun bertubuh tinggi besar,
Oey Hie Kiat ternyata cukup gesit dan dengan sekali menekan
lengan kursi, tubuhnya sudah melesat ke samping. Hampir
ber-bareng terdengar suara gedubrakan dan kursi Thay-su-ie
itu hancur jadi puluhan potong! Gelak tertawa terhenti
serentak. Semua orang kaget, karena mereka tak duga, Cong
Hiong yang berbadan kate kecil mempunyai tenaga yang
sedemikian hebat.
Begitu tinjunya melesat, Cong Hiong segera bergulingan di
lantai dan menyerang bagian bawah dengan menggunakan
ilmu silat Tee-tong-kun. Dengan beruntun-runtun. Oey Hie
Kiat membela diri dengan tendangan Sauw-tong-tui. Tui-pokwa-
houw-sit. Tiauw-cian-po dan Iain-lain, tapi ia masih tetap
kewalahan. Ilmu silat Jie-long-kun menguta-makan pukulan
tangan dan tidak begitu memper-hatikan ilmu menendang.
Jika bertemu dengan la-wan biasa, dengan menggunakan Jielong-
tan-san-ciang, Kay-ma-sam-kun dan Iain-lain pukulan, ditambah
lagi dengan tenaganya yang sangat besar, dengan
mudah ia dapat merubuhkan lawan itu. Apa celaka, ia
sekarang bertemu dengan si kate yang menyerang dengan
bergulingan. Ilmu menendang vang dimilikinya adalah untuk
menendang tubuh atau kepala musuh. Maka itu, dalam
menghadapi Cong Hiong, bukan saja tinjunya tidak berguna,
tapi kakinya pun selalu menendang ke tempat kosong.
Untuk membela diri, jalan satu-satunya ialah melompat
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kian ke mari. Sesudah bertempur puluhan jurus, Hie Kiat sudah kena
beberapa tendangan dan sesaat ke-mudian, kedua kaki Cong
Hiong mengena tepat di kedua lututnya, sehingga, tanpa
ampun lagi, ia ru-buh di atas lantai.
Dengan girang, si kate lalu menubruk. Tapi di luar dugaan,
biarpun sudah rubuh, Hie Kiat masih keburu mengirim tinju
dengan sekuat tenaga. "Buk!" Cong Hiong terpental setombak
lebih! Tapi begitu jatuh, begitu ia bangun dan terus
menerjang pula. Sambil berlutut, Hie Kiat melayani musuhnya
dan dalam kedudukan begitu, ia dapat melawan si kate yang
menyerang dengan bergulingan.
Mereka berdua adalah bangsa kedot yang tahan sakit dan
biarpun keduanya sudah kena pukulan-pukulan hebat,
pergulatan masih dilangsungkan terus. Sesudah Iewat sekian
jurus lagi, sekonyong-konyong Cong Hiong menghatam dada
Hie Kiat dengan kedua tinjunya. Hie Kiat mengegos sambil
menjambret leher si kate dan dengan sekali mem-balik tubuh,
ia menindih badan lawan dengan ba-dannya yang seperti
raksasa. Si kate coba mem-berontak sekuat tenaga, tapi tidak
bergeming, karena Hie Kiat yang sudah berada di atas angin,
terus menindih dan memeluknya secara mati-matian.
Beberapa saat kemudian, paras muka Cong Hiong berubah
pucat dan tenaga memberontaknya semakin lemah.
Melihat perkelahian peluk banting itu yang tidak miripmiripnya
dengan pertandingan antar dua Ciangbunjin, para
hadirin menggeleng-gelengkan kepala.
Mendadak, dari antara orang banyak melompat ke luar
seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan yang, segera
menghantam punggung Oey Hie Kiat.
"Mundur!" bentak An Teetok. "Tidak boleh mengerubuti!"
Tapi orang itu tidak meladeni dan tinjunya mengena tepat
di punggung si raksasa yang dalam kesakitannya terpaksa
melepaskan cekalannya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan
baik, Cong Hiong memberontak dengan seantero tenaganya
dan melompat bangun.
Tiba-tiba seorang lelaki lain kembali melompat ke luar dan
tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninju lelaki yang
bertubuh tinggi besar itu. Ter-nyata mereka itu adalah murid
kepala Cong Hiong dan putera Oey Hie Kiat. Di lain saat,
dalam ge-langgang berlangsung perkelahian antara dua pasang
musuh dan para tamu membantu keramaian itu dengan
bersorak-sorai dan menepuk-nepuk tangan. Dengan demikian,
apa yang tertampak lebih banyak menyerupai tontonan
wayang daripada pie-bu antara pentolan-pentolan Rimba
Persilatan. Sesudah mendapat pengalaman getir, Cong Hiong tidak
berani berlaku sembrono lagi dan ia berkelahi dengan hatihati,
sehingga pertempuran antara si kate dan si raksasa jadi
berimbang. Di lain pihak, putera Oey Hie Kiat yang belum
berpeng-alaman sudah terjungkal beberapa kali dan kemudian,
dalam gusarnya, ia mencabut sebilah golok pendek
yang disembunyikan di kaos kaki. Murid Cong Hiong kaget dan
sebab tidak membekal senjata, buru-buru ia menjambret kursi
Thay-su-ie yang kosong, yang lalu digunakan untuk
menangkis sen-jata musuh. Semakin lama pie-bu itu jadi
semakin kacau dan merosot martabatnya.
"Pie-bu apa ini" Semua mundur!" teriak An Teetok.
Tapi keempat orang itu yang sedang meluap darahnya,
tidak menggubris.
Sekonyong-konyong Hay Lan Pit bangun ber-diri dan
membentak: "Eh! Apa kamu tak dengar perkataan An
Teetok?" Sesaat itu, putera Oey Hie Kiat tengah mem-bacok
musuhnya yang dengan sekali berkelit, dapat menyelamatkan
diri. Pada detik golok membacok tempat kosong, tangan Hay
Lan Pit menyambardan mencengkeram dada puteranya Hie
Kiat yang lalu dilontarkan keluar gelanggang. Hampir
berbareng, tangannya yang lain menjambret murid Cong
Hiong yang juga lantas dilemparkan sampai di cimhee. Semua
orang terkejut. Di lain saat, kedua tangan Hay Lan Pit sudah
mencekal Hie Kiat dan Cong Hiong yang segera dilemparkan
dengan berbareng. Apa yang lucu adalah keempat orang itu
jatuh di satu tempat dengan bersusun tindih. Begitu jatuh,
begilu mereka saling gcbuk lagi dan perkelahian baru berhenti
sesudah mereka dipisahkan oleh beberapa Wie-su.
Kepandaian yang diperlihatkan Hay Lan Pit mengejutkan
semua orang. Biarpun Cong Hiong dan Oey Hie Kiat bukan
ahli-ahli silat kelas utama, tapi mereka adalah jago-jago yang
mempunyai nama dalam Rimba Persilatan. Bahwa mereka
telah dilontarkan secara begitu rupa oleh perwira Boan itu,
adalah kejadian di luar dugaan semua orang.
Sesudah menghentikan perkelahian itu, Hay Lan Pit segera
mendekati An Teetok dan bicara dalam bahasa Boan.
"Kepandaian Hay Tayjin benar-benar tinggi dan tidak dapat
disusul oleh kami semua," memuji Tong Pay sesudah perwira
itu kembali ke tempat duduk-nya. Terhadap pujian itu, Hay
Lan Pit segera mengeluarkan kata-kata merendahkan diri.
Sesaat ke-mudian seorang pelayan keluar dengan nicmbawa
sebuah kursi Thay-su-ie untuk ditukar dengan kursi yang
hancur. Sementara itu, sesudah menyaksikan kepandaian Hay Lan
Pit, See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to merasa tidak
enak dalam hatinya, ka-rena diam-diam ia mengakui, bahwa
ilmu silatnya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan
perwira Boan itu. Tapi Bun Cui Ong, Ciangbunjin Cui-pat-sian,
tetap tenang-tenang saja dengan kadang-ka-dang menceguk
cawan arak. Sesudah ketenangan pulih, An Teetok berkata pula sesudah
batuk-batuk beberapa kali. "Hok Thayswee mengundang
kalian datang ke mari adalah untuk menetapkan kepandaian
masing-masing. Maka itu, aku mengharap, bahwa kejadian
barusan yang sangat memalukan tidak terulang lagi. Di sini
masih terdapat dua kursi kosong yang kuharap akan diisi oleh
orang-orang gagah yang benar-benar mempunyai kepandaian
tinggi." "Hei! Jangan mengejek kau! Apa kau kira aku bukan orang
gagah tulen?" mengomel Cong Hiong dengan suara gusar.
Tapi semua orang tidak memperdulikan lagi omelan si kate,
karena mata mereka sudah di-tujukan kepada dua kursi Thaysu-
ie yang sekarang sudah terisi. Ternyata, di satu kursi sudah
duduk seorang pendetayangmengenakanjubah pertapaan
warna putih dan yang diperkenalkan oleh An Teetok sebagai
Hachi Taysu dari Mongolia, sedang di kursi yang satunya lagi
duduk dua orang yang muka dan dandanannya tidak berbeda
satu sama lain. Alis mereka turun, mata mereka seperti mata
ayam jantan yang sedang berkelahi dengan biji mata yang
terletak dekat dengan batang hidung dan dengan sekelebatan
saja, orang lantas menduga, bahwa mereka adalah saudara
kembar. Sambil tersenyum-senyum, An Teetok berkata: "Dua orang
gagah yang duduk di kursi itu adalah kedua Ciangbunjin dari
Song-cu-bun di propinsi Kwiciu, yaitu Nie Put Toa dan Nie Put
Siauw, Nie Loosu." (Nie Put Toa = Nie Tidak Besar. Nie Put
Siauw = Nie Tidak Kecil).
Melihat dua saudara itu yang seakan-akan pi-nang dibelah
dua, semua orang jadi merasa gembira dan mereka saling
menduga-duga, bahkan ada yang berlaruh, yang mana kakak,
yang mana adik. Bukan saja para tamu, malah Hok Kong An
sendiri meng-awasi kedua orang itu sambil tersenyum.
Selagi orang ramai bicara, tiba-tiba satu ba-yangan
berkelebat dan seorang wanila berdiri di tengah gelanggang.
Nona itu yang berusia kira-kira dua puluh tahun dan
mengenakan baju kuning dengan kun hijau, berparas sangat
cantik. "San Hui Hong, San Kouwnio, Ciangbunjin dari Ngo-ouwbun
di Hong-yang-hu!" seru An Teetok.
Melihat turunnya seorang wanita cantik, para hadirin jadi
lcbih bersemangat.
"Murid-murid Ngo-ouw-bun biasanya mencari nafkah dalam
dunia Kang-ouw dengan menjual silat dan obat-obatan,"
menerangkan Kwee Giok Tong kepada Ouw Hui. "Menurut
kebiasaan partai itu yang menjadi Ciangbunjin harus seorang
wanita. Meskipun mempunyai kepandaian tinggi, seorang pria
tidak dapat memimpin Ngo-ouw-bun. Tapi apa nona yang
berusia begitu muda mempunyai kepandaian tinggi?"
Di lain saat, San Hui Hong sudah berada di hadapan kedua
saudara Nie dan sambil menolak pinggang, ia menegur:
"Bolehkah aku mendapat tahu, di antara kalian berdua, siapa
kakak dan siapa adik?"
Kedua orang itu tidak menjawab, mereka hanya
menggelengkan kepala.
Nona San tersenyum dan berkata pula: "Walau-pun kalian
saudara kembar, tapi dalam persau-daraan kembar, ada yang
terlahir lebih dulu. ada vang belakangan."
Kedua saudara kembar itu tetap menggeleng-gelengkan
kepala. "Ah! Aku sungguh tak mengerti sikapmu," kata pula si
nona. Sambil menunjuk kepada orang yang duduk di sebelah
kiri, ia berkata lagi: "Apa kau yang lcbih tua"' Orang itu
menggelengkan kepala. Hui Hong menunjuk yang di sebelah
kanan dan menanya pula: "Kalau begitu, kaulah yang lebih
tua, bukan?" Dia pun menggoyang-goyangkan kepala.
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Loosu, sikapmu sungguh
mengherankan," katanya dengan suara mendongkol. "Kita,
orang-orang Rimba Persilatan biasanya tidak pernah
berdusta."
"Apa kau kata?" bentak yang duduk di sebelah kanan.
"Siapa berdusta" Aku bukan kakaknya dan dia pun bukan
kakakku." "Apakah kalian bukan saudara satu sama lain?" tanya si
nona. Dengan berbareng, lagi-lagi mereka meng-gelenggelengkan
kepala. Semua orang heran bukan main. Dilihat dari rupa dan
pakaian, terang-terangan mereka adalah saudara kembar.
Tapi mengapa mereka bersikap begini aneh"
San Hui Hong mengeluarkan suara di hidung. "Dengan
menggelengkan kepala, kalian sudah berdusta," katanya.
"Kalau orang mengatakan, bahwa kalian bukan saudara
kembar, biarpun dipotong kepala, aku tak akan pereaya.
Hayolah! Yang mana Nie Put Toa Loosu."
"Aku Nie Put Toa," jawab yang di sebelah kiri.
"Bagus," kata si nona. "Siapa yang terlahir lebih dulu, apa
kau, apa dia?"
Nie Put Toa mengerutkan alisnya. "Nona, mengapa kau
begitu rewel?" tanyanya dengan suara mendongkol. "Kau
bukan ingin mengikat famili dengan kami berdua saudara,
perlu apa kau begitu melit?"
Hui Hong menepuk-nepuk tangan dan tertawa geli. "Aha!
Sekarang kau sudah mengaku, bahwa kalian berdua adalah
saudara," k;'anya.
"Benar, memang benar kami bersaudara, tapi bukan
saudara kembar," kata Nie Put Siauw.
"Aku tidak percaya," kata Hui Hong.
"Terserah," kata Nie Put Toa.
Tapi si nona masih saja tidak merasa puas. "Persaudaraan
kembar sedikit pun tiada jeleknya. Mengapa kau terus
menyangkalnya?" katanya.
Kedua saudara itu berdiam sejenak dan kemu-dian Nie Put
Siauw berkata: "Kalau kau sangat ingin tahu hal ihwalnya
kami, kami pun bersedia untuk memberitahukannya. Tapi
kami mempunyai serupa peraturan. Siapa saja yang sudah
mendengar rahasia kelahiran kami, dia harus menerima tiga
pukulan dari aku dan saudaraku. Jika dia tidak mau dipukul,
boleh juga ditukar dengan berlutut tiga kali di hadapan kami
berdua." Karena didorong dengan rasa heran yang sangat besar, si
nona jadi nekat dan berkata seraya meng-angguk. "Baiklah,
kalian beritahukanlah kepadaku," katanya.
Kedua saudara itu bangun berdiri dengan ge-rakan yang
sangat bersamaan. "Aha! Lihatlah!"seru Hui Hong. "Setan pun
tidak pereaya, bahwa kalian bukan saudara kembar."
Sekonyong-konyong kedua saudara itu menge-luarkan
tangan mereka dari dalam tangan baju dan dengan serentak
terlihat berkelebat-kelebatnya si-nar emas. Ternyata, dua
puluh jari mereka disarung-kan dengan bidal-bidal emas yang
panjang tajam dan dapat digunakan sebagai senjata untuk
men-cengkeram musuh. Mendadak, tangan mereka
menyambar ke arah Hui Hong yang jadi kaget bukan main dan
buru-buru melompat ke samping. "Bikin apa kau?" membentak
si nona. Semenjak dilahirkan, kedua saudara itu belum pernah
berpisahan dan dalam ilmu silat, mereka dapat bekerjasama
seerat-eratnya, yang satu mem-bantu yang lain dalam
pembelaan diri dan serangan-serangan yang sudah dilalih
selama bertahun-tahun. Maka itu, tidaklah heran, dalam
sekejap San Hui Hong sudah jaluh di bawah angin. la hanya
dapat membela diri, tanpa mainpu membuat serangan
membalas. Para penonton lantas saja mulai berteriak-teriak.
"Tidak adil! Tak malu! Dua lelaki mengerubuti satu
perempuan!" teriak seorang.
"Si nona tangan kosong. kau berdua mengguna-kan
senjata. Ah! Lebih-Iebih tak tahu malu," seru yang lain.
"Saudara kecil! Bantulah nona itu. Mungkin ia akan sangat
berterima kasih kepadamu. Ha-ha-ha!" teriak orang ketiga.
Tiba-tiba, sambil mengeluarkan seruan tertahan, kedua
saudara itu melompat keluar dari gelanggang dan mereka
mengawasi ke arah Hok Kong An, dengan sorot mata girang
dan kagum. Semua orang lantas saja menengok ke jurusan
yang diawasi mereka. Ternyata, dengan paras muka berseriseri,
Menteri Pertahanan itu sedang bicara bisik-bisik dengan
dua bocah yang dicekal dengan kedua ta-ngannya. Tak bisa
salah lagi, kedua bocah itu, yang mukanya tampan dan mirip
satu sama lainnya, ada-lah saudara kembar. Dengan demikian
dalam ruang-an itu terdapat dua pasang saudara kembar,
yang sepasang tampan, yang lain jelek.
Melihat begitu, kecuali dua orang, para tamu jadi merasa
gembira sekali. Dua orang yang tidak lurut bergembira -
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan kaget dan berkhawatir -adalah Ouw Hui dan Leng So
yang segera mengenali, bahwa kedua bocah itu bukan lain
daripada putera-puteranya Ma It Hong! Mereka mengerti,
bahwa dengan direbut pulangnya kedua anak itu, rahasia
mereka sudah menjadi bocor.
Dengan lirikan mata Leng So memberi isyarai kepada
kakaknya, supaya mereka segera meng-angkat kaki. Ouw Hui
manggut-manggutkan kepala sambil berkata dalam hatinya.
"Jika rahasia sudah bocor, musuh tentu sudah siap sedia.
Jalan satu-satunya ialah bertindak dengan mengimbangi
selatan." Sementara itu, Nie Put Toa dan Nie Put Siauw mengawasi
kedua bocah tersebut dengan mata ter-longong-longong.
Nona San tertawa seraya berkata, "Kedua bocah itu manis
sekali. Apa kalian mau mengambil mereka sebagai murid?"
Pertanyaan itu kena betul di hati mereka. Dalam Rimba
Persilatan, murid memilih guru, tapi gurupun memilih murid
untuk mengang-kat naik derajat rumah perguruan atau partai.
Dalam kalangan Song-cu-bun, untuk mendapat hasil yang
sebaik-baiknya, ilmu silat partai tersebut harus digunakan oleh
dua orang yang dengan bekerja sama seerat-eratnya.
Memang benar, seorang guru Song-cu-bun dapat memilih dua
murid bukan sau-dara dan kemudian melatih mereka
bersama-sama. Tapi sebaiknya jika bisa didapat dua saudara,
apa-lagi dua saudara kembar yang jalan pikirannya ham-pir
bersamaan, supaya dalam pertempuran kerja sama itu dapat
tereapai sebaik-baiknya. Maka itu-lah, semenjak dulu, partai
Song-cu-bun selalu men-cari dua saudara kembar untuk
dijadikan murid yang akan mewarisi dan memimpin partai
tersebut. De-mikianlah begitu melihat kedua putera Hok Kong
An, yang berparas tampan dan menunjuk bakat luar biasa, Nie
Put Toa dan Nie Put Siauw jadi seperti orang kesima dan
sesaat itu juga, mereka segera mengambil keputusan untuk
merebut kedua bocah itu guna dijadikan murid.
Di lain pihak, sambil tersenyum-senyum, Hok Kong An
berbisik di kuping kedua puteranya: "Li-hatlah kedua Suhu itu.
Mereka pun saudara kembar. Lihatlah, muka mereka sangat
bersamaan satu sama lain. Apa kau bisa menebak, yang mana
kakak, yang mana adik?"
Sesudah berhasil merebut pulang kedua puteranya, Hok
Kong An girang bukan main dan melihat kedua saudara Nie
itu, dalam gembiranya, ia segera memerintahkan seorang
Wie-su untuk mengajak kedua puteranya datang ke ruangan
perjamuan, supaya mereka pun dapat menyaksikari
macamnya kedua saudara Nie.
Mendengar pertanyaan sang ayah, sesudah mengawasi
beberapa saat, kedua anak itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sekonyong-konyong, sambil membentak keras, kedua
saudara Nie itu menerjang ke arah Hok Kong An dari kiri dan
kanan. Hok Kong An terkesiap, sedang dua Wie-su yang
berdiri di sampingnya segera melompat untuk menyambut
musuh. Tapi ge-rakan kedua saudara itu aneh dan cepat luar
biasa. Selagi lari menerjang, Nie Put Toa yang di sebelah kiri
mendadak membelok ke sebelah kanan, sedang Nie Put Siauw
yang di sebelah kanan membelok ke kiri. Dengan membelok
begitu, kedua Wie-su yang coba menyambutnya jadi
ketinggalan di belakang dan mereka terus menerjang Hok
Kong An. Begitu berhadapan, dengan berbareng mereka
menendang kaki kursi, sehingga menteri itu lantas saja jatuh
terguling bersama-sama kursinya. Dalam sekejap keadaan jadi
kacau. Para Wie-su kaget dan gugup - ada yang coba
mencegat musuh, ada yang menubruk untuk membangunkan
majikan mereka dan ada pula yang berdiri di depan Hok Kong
An, siap sedia untuk menyambut lain serangan. Dalam
keadaan yang kacau itu, cepat bagaikan kilat, kedua
saudaraNiemasing-masingmemondongsatubocah dan lalu
melompat untuk melarikan diri.
Keadaan dalam ruangan itu jadi semakin kacau balau.
Dengan beruntun terdengar suara gedubrak-an dan empat
Wie-su yang coba mencegat telah ditendang rubuh oleh kedua
saudara itu, yang sam-bil mendukung kedua bocah itu, berlarilari
ke arah pintu. Mendadak, dua bayangan berkelebat dan
dua orang mengejar secepat kilat. Mereka itu bukan lain
daripada Hay Lan Pit dan Tong Pay. Begitu menyusul, Hay Lan
Pit menepuk leher Nie Put Siauw, sedang Tong Pay membabat
pinggang Nie Put Toa dengan pukulan Bian-ciang yang
mengandung te-naga "keras" dan "lembek". Mendengar
sambaran angin dahsyat, kedua saudara itu segera
menangkis. Berbareng dengan suara "buk!", badan Nie Put
Siauw bergoyang-goyang, dukungannya terlepas dan sesudah
terhuyung beberapa tindak, ia muntahkan darah. Nie Put Toa
pun mengalami nasib yang hampir bersamaan dan putera Hok
Kong An terlepas dari pelukannya.
Sesaat itu, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw sudah
menerjang dan merebut pulang kedua bocah itu.
Sesudah menenteramkan hatinya, dengan ke-gusaran
meluap-luap Hok Kong An berteriak: "Bi-natang! Nyalimu
sungguh besar. Bekuk mereka!"
Hay Lan Pit dan Tong Pay melompat dengan berbareng dan
menyerang dengan ilmu Kin-na-chiu. Kedua saudara itu yang
sudah mendapat luka di dalam, tak dapat melawan lagi.
Sesudah berhasil membekuk kedua orang itu, Hay Lan Pit
dan Tong Pay segera memutar badan untuk menyeret
tawanan itu ke hadapan Hok Kong An. Pada detik itulah, dari
atas payon rumah mendadak melayang turun dua orang.
Begitu lekas kaki mereka hinggap di lantai, lilin-lilin
bergoyang-goyang dan semua orang bangun bulu romanya,
seakan-akan mereka bertemu setan memedi di tengah hutan
belukar. Mengapa" Karena macamnya kedua orang itu, tiada
bedanya seperti setan. Mereka bertubuh jang-kung dan kurus
luar biasa, dengan alis yang turun ke bawah dan muka kurus
panjang, seolah-olah macamnya setan Bu-siang-kwie yang
biasa men-cabut nyawa manusia. Apa yang lebih mengheranTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kan lagi, muka dan potongan badan mereka tiada bedanya
satu sama lain, sehingga dapat ditarik ke-simpulan, bahwa
mereka berdua juga saudara kem-bar.
Dengan gerakan secepat arus kilat, yang satu menyerang
Hay Lan Pit, yang lain menghantam Tong Pay. Begitu empat
lengan kebentrok, tubuh Hay Lan Pit dan Tong Pay
bergoyang-goyang. Sesaat itu, keadaan yang barusan kalut
berubah dengan mendadak dan ruangan itu menjadi sunyi
senyap, karena semua mata ditujukan kepada dua orang aneh
itu. Tiba-tiba, kesunyian dipecahkan dengan teriak-an Bun Cui
Ong yang tajam dan menakutkan:
"Hek-bu-siang...! Pek-bu-siang...?"
Dengan lengan mereka terus menempel dengan lengan
Hay Lan Pit dan Tong Pay, kedua orang itu mengawasi Bun
Cui Ong dengan mata setajam kilat. "Kedosaanmu sudah
luber, apa hari ini kau masih mengharap bisa melarikan diri?"
kata orang yang di sebelah kiri dengan suara dingin.
Mendadak, dengan berbareng mereka mendorong keras,
sehingga Hay Lan Pit dan Tong Pay terhuyung ke belakang
beberapa tindak dan cekalannya terhadap kedua saudara Nie
jadi terlepas. Tong Pay dan Hay Lan Pit ingin menyerang pula, tapi kedua
orang itu sudah menghadang di depan kedua saudara Nie dan
orang yang berdiri di sebelah kanan berkata dengan suara
nyaring: "Kami berdua sebenarnya tidak mempunyai
sangkutan apa pun jua dengan kedua saudara ini, tapi
mengingat sama-sama anak kembar, kami turun tangan untuk
menolong mereka."
Hampir berbareng, orang yang berdiri di sebelah kiri
mengangkat kedua tangannya seraya ber-seru: "Kakak
beradik Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie dari Ang-hoa-hwee
memberi hormat kepada orang-orang gagah di kolong langit."
Hay Lan Pit dan Tong Pay sebenarnya ingin menyerang
pula, tapi begitu lekas mendengar dua nama itu, mereka
terkesiap dan lantas mengurung-kan niatnya. Dilain saat,
dengan sekali menotol lantai dengan kaki mereka, kedua
saudara itu sudah melompat ke genteng sambil memondong
Nie Put Toa dan Nie Put Siauw. Kaburnya mereka disusul
dengan beberapa jeritan kesakitan di atap gedung dan semua
orang tahu, bahwa jeritan itu keluar dari mulutnya para Wiesu
yang telah dirubuhkan oleh kedua jago Ang-hoa-hwee itu.
Beberapa saat kemudian, Hay Lan Pit dan Tong Pay merasa
telapak tangan mereka gatal-gatal sakit dan begitu melihat,
mereka mengeluarkan seruan tertahan, karena telapak tangan
mereka sudah ber-warna ungu hitam. Dengan segera mereka
ingat, bahwa pukulan Hek-see-ciang (Pukulan pasir hitam) dari
See-coan Song-hiap (Dua pendekar dari Sec-coan barat)
bukan main lihaynya. Nama Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang
sudah didengar mereka selama puluhan tahun, tapi baru
sekarang mereka bertemu muka.
Dalam mengadakan pertemuan para Ciang-bunjin, salah
satu tujuan Hok Kong An adalah untuk menghadapi orangorang
gagah dari Ang-hoa-hwee. Tapi di luar dugaan, Siangsie
Heng-tee sudah keluar masuk selama pertemuan masih dilangsungkan,
seperti juga gedung Hok Kong An tidak ada
manusianya. Maka itu, dapatlah dibayang-kan rasa gusar dan
kecewanya pembesar itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata,
dengan mata melotot ia mengawasi orang-orang yang duduk
di kursi Thay-su-ie. Tay-tie Siansu tetap duduk sambil
menunduk dengan sikap tenang, Bu-ceng-cu juga tidak bergerak,
sedang Bun Cui Ong berdiri tegak dengan mata
mengawasi ke tempat jauh. Dari parasnya yang pucat pias,
dapat dilihat bahwa ia sedang berada dalam ketakutan yang
sangat hebat. Semua kejadian itu sudah disaksikan Ouw Hui dengan rasa
syukur dan girang. Nama "Ang-hoa-hwee" sudah membuat
jantungnya memukul lebih keras dan dengan rasa kagum, ia
melihat cara bagaimana kedua saudara Siang itu malang
melintang sesuka hati dalam ruangan pertemuan, sehingga
tanpa merasa, ia berkata dengan suara perlahan: "Itulah baru
orang gagah!"
San Hui Hong menonton peristiwa itu dengan berdiri di
pinggiran. Sesudah kedua saudara Siang berlalu, dengan rasa
heran ia mengawasi Bun Cui Ong yang masih berdiri seperti
orang kesima. Ia merasa geli dan lalu mendekati. "Kau
duduklah," katanya sambil tertawa dan mendorong orang she
Boan itu. "Setan Bu-siang-kwie sudah kabur jauh!" Sungguh
tak dinyana, begitu tersentuh, begitu tu-buh Bun Cui Ong
rubuh di lantai, tanpa bergerak lagi. Nona San terkesiap dan
buru-buru berjongkok untuk menyelidiki. Dan hatinya
mencelos, karena Bun Cui Ong ternyata sudah putus jiwa!
"Mati! Dia mati lantaran kaget!" teriaknya.
Karuan saja keadaan lantas berubah kalut dan semua
orang bangun dari tempat duduknya untuk melihat "orang
gagah" itu.
"Kwee Cianpwee, apakah Bun Cui Ong seorang jahat?"
tanya Ouw Hui. "Jahat, sangat jahat," jawabnya. "Menipu, merampok,
memperkosa wanita baik-baik dan Iain-lain perbuatan
terkutuk. Sebenarnya tak pantas aku bicara jelek tentang
orang yang sudah meninggal dunia. Tapi bukti kejahatannya
sudah terlalu ba-nyak dan sedari dulu, aku memang sudah
merasa, bahwa ia tak akan mati dengan baik-baik. Hanya
tidak dinyana, dia mampus karena ketakutan. Ha-ha-ha!"
"Mungkin sekali kedua saudara Siang itu sudah mencari dia
dalam tempo lama," menyelak seorang lain.
"Ya," kata si kakek. "Hampir boleh dipastikan orang she
Bun itu dulu pernah dihajar oleh Siang-sie Heng-tee dan
diampuni sesudah dia bersumpah. Dan hari ini mereka
bertemu lagi."
Selagi mereka beromong-omong, sekonyong-konyong
berjalan ke luar seorang tua yang pada pinggangnya
tergantung sebuah kantong tembakau yang berwarna hitam.
Ia menghampiri jenazah Bun Cui Ong dan berkata sambil
menangis: "Bun Jie-tee, tidak dinyana hari ini kau binasa
dalam tangannya sebangsa tikus."
Mendengar See-coan Song-hiap dinamakan sebagai
"sebangsa tikus", Ouw Hui mendongkol dan berbisik: "Kwee
Cianpwee, siapa orang itu?"
"Dia she Siangkoan bernama Tiat Seng, Ciang-bunjin partai
Hian-cie-bun di Kay-hong-hu," jawab si kakek. "Dia memberi
gelar Yan-hee Sanjin ke-pada dirinya sendiri dan bersama Bun
Cui Ong, mereka menggunakan gelar Yan-ciu Jie-sian (Dua
dewa, tembakau dan arak)!"
Ouw Hui mengawasi orang itu yang pakaiannya kotor dan
pinggangnya terselip sebatang pipa pan-jang (huncwee) yang
aneh buatannya dengan kepala pipa sebesar mangkok. "Dewa
apa?" kata Ouw Hui sambil tertawa. "Lebih tepat jika
dinamakan Setan tembakau."
Sesudah menangis beberapa lama sambil memeluk jenazah
Bun Cui Ong, Siangkoan Tiat Seng bangun berdiri dan
mengawasi San Hui Hong dengan mata melotot. "Mengapa
kau binasakan Bun Jie-tee?" bentaknya.
Si nona jadi gelagapan. "Eh-eh! Mengapa kau kata begitu"
Terang-terangan dia mati karena ke-takutan."
"Omong kosong!" teriak si tua. "Mana bisa orang segar
bugar mati lantaran ketakutan. Huh-huh! Tak salah lagi,
kaulah yang sudah turunkan tangan jahat terhadap adikku."
Sebab musabab mengapa Siangkoan Tiat Seng sudah
menuduh membuta tuli adalah karena jika sampai tersiar
warta, bahwa Bun Cui Ong binasa lantaran ketakutan, partai
Cui-pat-sian tidak dapat mengangkat kepala lagi dalam Rimba
Persilatan. Di lain pihak, jika seseorang binasa dalam tangan
la-wan, kejadian itu sama sekali tidak menurunkan derajat
partainya. Hui Hong yang belum mempunyai banyak pengalaman,
tidak mengerti latar belakang fit-nahan itu dan dalam
gusarnya, ia berteriak: "Aku dan dia sama sekali tidak
mempunyai permusuhan apa pun jua. Ribuan mata dalam
ruangan ini menjadi saksi, bahwa adikmu mati lantaran kaget
atau ketakutan."
Baru habis si nona membela diri, Hachi Tay-su yang sedari
tadi duduk di kursi Thay-su-ie tanpa mengeluarkan sepatah
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata, tiba-tiba menyelak: "Tidak, nona itu memang tidak
turunkan tangan jahat terhadap adikmu. Aku telah
menyaksikan dengan mata sendiri. Begitu lekas kedua setan
itu datang, aku dengar Bun-ya berteriak: 'Hek-bu-siang! Pekbu-
siang!"' la bicara dengan suara luar biasa nyaring dan waktu
mengucapkan perkataan 'Hek-bu-siang, Pek-bu-siang',
suaranya seolah-olah menggetarkan selu-ruh ruangan. Semua
orang tertegun dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
Hachi yang tidak mengerti mengapa mereka tertawa, lantas
saja berteriak: "Apa aku bicara salah" Roman kedua setan Busiang
itu sangat menakutkan dan tidak heran jika ada orang
mati karena kaget. Kalian tidak boleh menyalahkan nona itu."
"Nah! Dengarlah apa yang dikatakan oleh Tay-su itu," kata
San Hui Hong. "Dia mati sebab kaget dan sedikit pun tiada
sangkut pautnya dengan aku."
Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng sudah men-cabut
sebatang huncwee (pipa panjang) dari ping-gangnya,
memasukkan tembakau di kepala pipa dan kemudian
menyulutnya. Ia mengisapnya beberapa kali dan mendadak,
mengepulkan asap tembakau ke arah nona San. "Perempuan
hina!" bentaknya. "Terang-terang kau yang membunuh orang.
Tapi kau masih tetap coba menyangkal."
Si nona buru-buru melompat mundur, tapi hi-dungnya
sudah mengendus sedikit asap dan kepala-nya lantas saja
pusing. Mendengar cacian "perempuan hina", ia tak dapat
menahan sabar lagi. "Setan tua!" bentaknya. "Apa kau kira
aku takut padamu" Kau menuduh aku yang membunuh dia.
Baiklah. Aku akan mengambil juga jiwamu." Seraya berkata
begitu, sambil mengirim pukulan gertakan dengan tangan
kirinya, ia menendang pinggang Siangkoan Tiat Seng.
"Tua bangka!" teriak Hachi Hweeshio. "Jangan kau
menuduh membuta tuli! Bun-ya mati karena kedua setan
itu...." Mendengar pendeta itu, yang pada hakekat-nya seorang
jujur dan polos, tak hentinya menggunakan istilah "setan"
untuk See-coan Song-hiap, Ouw Hui jadi mendongkol dan
ingin sekali mendapat kesempatan untuk memberi sedikit
ajaran kepadanya.
Tiba-tiba, selagi Ouw Hui mengasah otak, dari sebelah
barat ruangan itu muncul seorang saste-rawan muda yang
langsung menuju ke arah Han-chi. la berusia kira-kira dua
puluh lima tahun, badannya kurus kecil, dandanannya rapi dan
ta-ngan kanannya mencekal kipas. Begitu berha-dapan
dengan si pendeta, ia lantas saja berkata: "Toaweeshio, kau
sudah membuat kesalahan da-lam menggunakan satu
perkataan dan kuharap kau suka mengubahnya."
"Salah apa?" tanyanya.
"Kedua orang tadi bukan 'setan', tapi dua sau-dara Siang
yang dikenal sebagai See-coan Song-hiap," jawabnya.
"Walaupun berwajah aneh, mereka berkepandaian tinggi dan
berhati mulia, sehingga mereka sangat dihormati orang dalam
dunia Kang-ouw."
Ouw Hui girang bukan main dan dalam hatinya lantas saja
timbul ingatan untuk berkenalan dengan pemuda itu.
"Bukankah Bun-ya memanggil mereka sebagai 'Hek-busiang
dan Pek-bu-siang'" tanya Hachi. "Dan Hek-bu-siang
serta Pek-bu-siang bukan lain dari-pada setan-setan jahat."
"Tidak, bukan begitu," membantah pemuda itu. "Mereka
she Siang dan dalam nama mereka ter-dapat huruf 'hek' dan
huruf 'pek'. Maka itu, secara guyon-guyon beberapa Cianpwee
telah memanggil mereka sebagai Hek-bu-siang dan Pek-busiang.
Sepanjang tahuku, kecuali beberapa Cianpwee yang
jumlahnya sangat terbatas, orang lain tak berani
menggunakan julukan itu untuk alamatnya See-coan Songhiap."
Selagi mereka saling sahut, Siangkoan Tiat Seng dan San
Hui Hong sudah mulai bertempur.
Tadi, waktu melawan kedua saudara Nie, San Hui Hong
agak keteter karena ilmu silat Song-cu-bun berdasarkan kerja
sama antara dua orang memang lihay luar biasa. Tapi
sekarang, dengan satu melawan satu, ia dapat melayani
Siangkoan Tiat Seng dengan sempurna.
Di lain pihak, huncwee Siangkoan Tiat Seng terbuat
daripada baja dan biasa digunakan sebagai senjata untuk
menotok tiga puluh enam jalan darah. Tapi sebab gerakan Hui
Hong sangat gesit, maka untuk sementara waktu, pipa
panjang itu masih belum dapat menemui sasarannya. Sambil
bertempur, Tiat Seng kadang-kadang menghisap pipanya dan
menyemburkan asap tembakau dari mulutnya. Perlahan-lahan
kepala pipa menjadi sangat panas dan berubah merah,
sehingga lantas saja merupakan senjata yang sangat
berbahaya. Sebelum tersentuh pipa, Hui Hong sudah
merasakan hawa panas dan dalam kebingungan, silatnya
mulai kalut. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, mendadak
asap yang disemburkan Siangkoan Tiat Seng menyambar
muka si nona dan di lain saat, badannya bergoyang-go-yang,
akan kemudian rubuh di lantai. Ternyata, dalam tembakau
pipa tereampur bie-yo (obat lupa) dan Siangkoan Tiat Seng
dapat menghisapnya tanpa kurang suatu apa, karena ia sudah
biasa dan juga sebab di dalam mulut dan hidungnya sudah
terdapat obat pemunah.
Si pemuda dan Hachi Hweeshio yang sedang mengadu
lidah, tidak memperhatikan jalan pertem-puran itu. Tiba-tiba,
hidung pemuda itu mengendus bebauan wangi dan sebagai
seorang yang berpeng-alaman, ia lantas saja mengerti, bahwa
wangi itu adalah bie-yo yang biasa digunakan oleh kawanan
perampok. Dengan gusar ia menengok ke gelang-gang
pertempuran. Sesaat itu, Siangkoan Tiat Seng tengah menotok
lutut si nona dengan huncweenya. Hui Hong mengeluarkan
teriakan kesakitan dan kunnya berlubang. Sekali lagi
Siangkoan Tiat Seng mengangkat lagi pipanya untuk menotok
pinggang nona San.
"Tahan!" bentak si sasterawan muda. Siangkoan Tiat Seng
terkejut dan huncweenya berhenti di tengah jalan. Hampir
berbareng, sambil membung-kuk pemuda itu sudah mencopot
kedua sepatu Hachi Hweeshio yang lalu digunakan untuk menjepit
huncwee. Dengan sekali menyentak, ia sudah merebut pipa panjang
itu dan lalu mengebasnya ke lengan Siangkoan Tiat Seng,
yang melompat sambil ber-teriak kesakitan dan tangan
bajunya sudah menjadi hangus. Sesudah melemparkan kedua
sepatu ber-sama huncwee, si sastrawan lalu menghampiri San
Hui Hong yang rebah dengan mata meram.
Karena dilontarkan secara sembarangan, kedua sepatu itu
jatuh di atas meja perjamuan sehingga beberapa mangkok
sayur terbalik, sedang huncwee itu menyambar ke arah Kwee
Giok Tong. "Celaka!" seru si kakek seraya coba menyingkirkan
diri. Tapi, ia tidak keburu bergerak lagi, sebab pipa itu
menyambar dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang
sangat berbahaya, bagaikan kilatOuwHui mengangkat sumpit
dan menjepitnya.
Semua kejadian itu, yang harus dituturkan agak panjang
lebar, telah terjadi dalam sekejap mata. Para hadirin lebih dulu
mengawasi dengan mulut ternganga dan kemudian bersoraksorai.
Si sasterawan tertawa dan manggut-manggut-kan
kepalanya kepada Ouw Hui, sebagai pernyata-an terima kasih,
bahwa berkat pertolongannya, ia tak sampai mencelakakan
orang yang tidak berdosa. Sesudah itu, ia mengawasi Hui
Hong dengan alis berkerut, karena tak tahu bagaimana harus
menolongnya. Di lain saat, dengan sorot mata gusar ia menatap wajah
Siangkoan Tiat Seng dan membentak: "Keluarkan obat
pemunah! Di sini orang mengadu ilmu silat, bukan mengadu
racun." Siangkoan Tiat Seng tahu, bahwa kepandaian pemuda itu
banyak lebih tinggi daripadanya, sehingga ia tidak berani
mengumbar nafsu. "Siapa menggunakan racun?" ia berlagak
pilon. "Perem-puan itu terlalu lemah. Baru berputaran
beberapa kali, ia sudah mabuk. Kau tidak boleh menyalahkan
aku." Sekonyong-konyong, dari sebelah barat ruang-an itu
muncul seorang wanita setengah tua yang punggungnya
bongkok dan tangan mencekal secawan arak. Sambil
menghampiri ia menghirup arak dan begitu berhadapan
dengan Hui Hong, ia menyemburkan arak itu ke muka si nona.
"Apa itu obat pemunah?" tanya si sasterawan.
Tanpa menjawab, wanita itu menyembur pula.
Waktu ia menyembur ketiga kali, nona San per-lahan-lahan
membuka kedua matanya.
"Aha! Coba kau lihat," seru Siangkoan Tiat Seng.
"Bukankah dia sudah tersadar" Kau tidak boleh menuduh
orang secara membabi buta."
Si sasterawan mengangkat tangannya dan meng-gaplok.
"Kau mesti dihajar!" bentaknya. Siangkoan Tiat Seng buruburu
menunduk dan gaplokan itu lewat di atas kepalanya.
Sementara itu, seraya mengusap-usap mata, San Hui Hong
melompat bangun. "Bangsat! Kau menggunakan racun untuk
mencelakakan nona-mu!" teriaknya seraya menghantam dada
Tiat Seng, yang dengan cepat lalu melompat ke belakang.
Siangkoan Tiat Seng gusar dan heran, karena ia tidak
mengerti, cara bagaimana wanita bongkok itu bisa
mempunahkan bie-yonya yang sangat lihay.
Sesudah gagal menghajar musuh, nona San mengawasi si
sasterawan seraya manggutkan ke-pala beberapa kali, sebagai
pernyataan terima kasih. Tapi si sasterawan sendiri lalu
menunjuk wanita bongkok itu seraya berkata: "Yang
menolong nona bukan aku, tapi Liehiap (pendekar wanita)
itu." "Aku tidak bisa menolong orang," kata wanita itu dengan
suara tawar. Ia menghampiri meja Ouw Hui, mengambil
sumpit yang dicekal pemuda itu dan lalu menjepit huncwee
yang segera dipulangkan kepada Siangkoan Tiat Seng.
Semua orang jadi heran. Siapa wanita bongkok itu"
Mengapa, sesudah menolong Hui Hong, ia mengembalikan
huncwee Siangkoan Tiat Seng" Wanita itu yang rambutnya
dauk, mukanya kisut dan badannya lemah, kelihatannya
bukan seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dilain saat, ia
sudah kembali ke mejanya dan bicara bisik-bisik dengan Ouw
Hui. Wanita bongkok itu bukan lain dari pada Thia Leng So.
Kalau bukan murid Tok-chiu Yo-ong, ia pasti tak akan dapat
mempunahkan bie-yo Siangkoan Tiat Seng yang istimewa.
Di lain pihak, Hachi Tay-su yang tidak ber-sepatu berteriakteriak:
"Hei! Pulangkan sepatuku! Pulangkan sepatuku!"
"Toahweeshio, sepatumu sudah terbakar," kata si
sasterawan sembil tertawa.
Dengan paras muka merah, Hachi turun dari kursi dan
menghampiri meja di mana kedua sepatunya jatuh. Ternyata,
sepatu itu sudah ha-ngus separuh dan penuh kuah sayur.
Karena tak ada jalan lain, apa boleh buat ia memakai juga
sepatu itu dan kemudian coba mencari si sasterawan, tapi
pemuda itu sudah tidak kelihatan mata hidungnya.
Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng dan San Hui Hong
sudah mulai bertempur lagi.
Sesudah gagal mencari si sasterawan, Hachi duduk kembali
di kursi Thay-su-ie. "Bangsat! Hari ini aku sungguh sial," ia
mencaci. "Sesudah bertemu dengan Bu-siang-kwie, aku
diganggu oleh Siu-cay-kwie." Sambil menonton pertempuran,
mulutnya Tienyomel panjang pendek.
Sekonyong-konyong para hadirin tertawa ter-"^ahakbahak.
Hachi mengawasi ke seluruh ruang-an. tapi ia tak
melihat sesuatu yang menggelikan. !a heran karena semua
orang mengawasi dirinya.
la meraba-raba pakaian, tapi kecuali kedua sepatunya yang
basah, tak ada apa pun jua yang luar biasa.
"Hei! Mengapa kamu tertawa?" teriaknya.
Suara tertawa jadi makin ramai.
"Kura-kura! Tertawa apa" Gila! Sudahlah! Aku tak usah
perduli," teriaknya dengan mata melotot.
Suara tertawa tetap tidak mereda, bahkan San Hui Hong,
yang sedang berkelahi mati-matian, turut tertawa!
Hachi jadi makin bingung.
Tiba-tiba nona San berseru: "Toahweeshio, coba menengok
ke belakang!"
Dengan terkejut ia melompat turun dari kursi dan memutar
badan. Ternyata si sasterawan nakal sedang duduk di
belakang Thay-su-ie sambil meng-gerak-gerakkan kaki
tangannya seperti seorang gagu.
"Siu-cay-kwie! Berani benar kau mengganggu aku!"
bentaknya dengan gusar.
Si sasterawan menggoyang-goyangkan kedua tangan.
"Tapi mengapa kau duduk di situ?"
"Si gagu" menunjuk delapan Giok-liong-pwee yang terletak
di atas meja, seperti juga ingin mengatakan, bahwa ia ingin
mengantongi cangkir-cangkir itu.
"Kau mau turut merebut cangkir?" tanya pula si pendeta.
Pemuda itu mengangguk.
"Di sini masih ada kursi kosong, mengapa kau tak mau
duduk di situ?"
Si sasterawan membuat gerakan-gerakan yang
memperlihatkan, bahwa ia takut dihajar orang.
"Kalau kau takut duduk di situ, mengapa kau berani duduk
di belakang kursiku?"
Si sasterawan menendang dengan kakinya, ke-mudian
badannya merosot ke bawah dan ia lalu duduk di kursi Hachi.
Ia ingin mengunjuk, bahwa ia tidak takut terhadap pendeta itu
yang ingin ditendang olehnya dan direbut kursinya.
Suara tertawa jadi makin ramai, ditambah dengan tepukan
tangan. Melihat pertemuan para Ciangbunjin yang be-gitu
digembar-gemborkan berubah menjadi sebuah lelucon, bukan
main mendongkolnya Hok Kong An. Ia segera memerintahkan
Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat mengantar kedua puteranya
ke ruangan dalam.
"Orang itu memiliki ilmu mengentengkan badan dan sangat
tinggi," bisik Leng So di kuping kakak-nya.
"Benar, aku belum pernah lihat gerakan yang segesit itu,"
kata Ouw Hui. "Ia rupanya sengaja mengacau," kata pula nona Thia.
Ouw Hui mengangguk.
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang, sejumlah orang juga sudah dapat melihat
maksud sebenarnya dari sasterawan itu. Ia bukan sematamata
mau menggoda Hachi, tapi tu-juan yang sesungguhnya
ialah mengubah pertemuan para Ciangbunjin yang sangat
angker menjadi serupa lelucon.
Sementara itu, si sasterawan mengacungkan kipasnya
seraya berkata: "Hachi Hweeshio, kau tak boleh berlaku
kurang ajar terhadapku. Lihatlah! Di atas kipasku ini terdapat
leluhurmu."
Hachi mengawasi, tapi tak melihat sesuatu yang luar biasa.
"Aku tak pereaya omongan gilamu!" katanya dengan melotot.
Si sasterawan segera membuka kipasnya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi "Kau tak pereaya" Li-hatlah!"
teriaknya. Suara tertawa gemuruh memenuhi seluruh ruangan.
Beberapa orang terpingkal-pingkal seraya memegang perut.
Ada apa di kipas itu" Tak lain dari pada gambar seekor kurakura
yang rebah telentang, sambil mengulur leher dalam
usaha mem-balik badannya!
Sambil tertawa Ouw Hui melirik adiknya. Mereka tidak
bersangsi lagi, bahwa pemuda itu memang sengaja datang
untuk mengacau. Diam-diam mereka merasa kagum, karena
tempat itu adalah seperti sarang harimau.
Hachi gusar tak kepalang. "Kau maki aku sebagai kurakura?"
teriaknya. "Binatang! Benar-be-nar kau sudah bosan
hidup!" Tapi pemuda itu tetap tenang. "Apa jeleknya menjadi kurakura?"
katanya sembil tersenyum. "Kura-kura panjang
umurnya. Maksudku ialah untuk mendoakan supaya kau
berumur panjang."
"Fui!" Hachi membuang ludah. "Jangan kau berlagak pilon.
Apa kau tak tahu, bahwa perem-puan yang mencuri lelaki
barulah dinamakan kura-kura?"
"Aha! Maaf, maaf!" kata si sasterawan seraya menyoja.
"Kalau begitu, Toahweeshio juga boleh mempunyai istri?"
Hachi tak dapat menahan sabar lagi. Bagaikan kilat
tangannya menyambar punggung sasterawan nakal itu. Kali
ini, si sasterawan tak keburu berkelit " punggungnya
dicengkeram dan ia dilemparkan di lantai.
Hachi Taysu adalah seorang ahli dalam ilmu menyengkeram
dan membanting di wilayah Mongolia, di mana ilmu itu terbagi
jadi tiga partai, yaitu Toajiauw, Tiongjiauw dan Siauwjiauw.
Pen-deta itu adalah Ciangbunjin dari Tiongjiauwbun dan
kekuatannya yang terutama terletak pada punggung dan
lututnya. Dalam menyengkeram dada dan punggung musuh,
ia belum pernah meng-alami kegagalan.
Begitu si sasterawan dibanting, semua orang mengawasi
dengan menahan napas. Mereka merasa pasti, pemuda itu,
yang dibanting hebat, akan men-dapat luka berat. Tapi di luar
dugaan, badan si sasterawan bisa membal bagaikan karet,
begitu tu-buhnya menyentuh lantai, begitu ia melompat dan
berdiri di atas kedua kakinya! Ia tertawa haha-hihi seraya
berkata: "Toahweeshio, kau tak akan mampu merubuhkan
aku." "Sekali lagi," teriak Hachi.
"Boleh," jawabnya seraya menghampiri. Men-dadak ia
mengangsurkan kedua tangannya untuk menyengkeram dada
pendeta itu. Para hadirin heran bukan main. Si pendeta bertubuh tinggi
besar, sedang ia sendiri kurus kecil. Hachi adalah ahli dalam
ilmu menyengkeram dan membanting. Bagaimana ia berani
menyerang musuh dengan cengkeraman"
Sambil menyeringai si sasterawan menyengkeram pundak
lawan dan menubruk terus dan memeluk leher si pendeta,
seraya menendang dengan kedua kaki. Tendangan itu
mengenakan tepat pada jalanan darah di lutut dan tanpa
ampun lagi, Hachi jatuh berlutut. Tapi sebagai jago, dalam
kekalahan, ia tak bingung. Dengan cepat, ia membalik tangan,
menyengkeram punggung pemuda itu yang lalu dibanting dan
ditindih dengan tubuhnya yang seperti raksasa.
"Aduh! Aduh!" teriak si sasterawan sambil meleletkan lidah
dan membuat muka yang lucu-lucu. Tong Pay, Hay Lan Pit
dan yang Iain-lain sekarang insyaf, bahwa pemuda itu adalah
seorang ahli yang berkepandaian tinggi dan yang bertujuan
untuk mengacau pertemuan Ciangbunjin.
Sementara itu, San Hui Hong terus melayani Siangkoan Tiat
Seng dengan hebatnya. Sebagai pentolan Ngo-ouw-bun di
Hong-yang-hu, kepan-daian San Hui Hong yang paling
disegani adalah Thie-lian-kang (Ilmu teratai besi), yaitu ilmu
menendang dengan sepatu yang berujung besi tajam. Dengan
pengalaman puluhan tahun, Siangkoan Tiat Seng tahu
kelihayan lawannya. Maka itu, setiap kali kaki nona San
bergerak, buru-buru ia melompat mundur atau ke samping.
Tapi, dalam pada itu, diam-diam ia merasa sangat malu,
sebab, sebagai seorang kenamaan dalam dunia Kang-ouw, ia
masih belum dapat merubuhkan seorang wanita muda,
sesudah bertempur hampir seratus jurus. Di lain pihak, makin
lama Hui Hong menendang makin gencar dan kakinya selalu
ditujukan ke bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya. Tiat
Seng jadi bingung dan segera mengambil keputusan untuk
menggunakan pula huncweenya.
Tiba-tiba ia melompat mundur dan tertawa ber-kakakan.
"Tendangan-tendanganmu sama sekali tiada harganya,"
katanya, mengejek, dan terus meng-hisap pipa.
Hui Hong buru-buru melompat mundur.
Tiba-tiba, pada paras muka Tiat Seng terjadi perubahan
aneh. Matanya mendelik dan ia meng-awasi si nona dengan
sorot mata seekor anjing gila. Sesaat kemudian, seraya
berteriak keras, ia menyeruduk bagaikan kerbau edan. Melihat
begitu, si nona jadi keder dan secepat kilat meloncat ke
samping. Tiat Seng menyelonong terus, menerjang ke arah
Hok Kong An. Can Tiat Yo yang berdiri di belakang pembesar
itu, buru-buru melompat ke depan, menangkap tangan Tiat
Seng dan men-dorongnya, sehingga sesudah terhuyung, ia
rubuh di lantai. Tapi dengan lekas ia bangun berdiri dan
menyeruduk pula ke meja lain. Semua orang ter-kejut. Dilihat
cara-caranya, ia ternyata gila men-dadak.
Ouw Hui melirik adiknya sambil tersenyum. Ia mengerti,
bahwa kejadian itu adalah pekerjaan Leng So. Tadi, waktu
mengembalikan huncwee, diam-diam si nona menaruh
semacam racun di ke-pala pipa, sehingga, begitu dihisap,
racun itu lantas saja bekerja. Di lain saat, Siangkoan Tiat Seng
bergulingan di lantai, menubruk dan memeluk satu kaki meja
yang lalu digeragotinya, seperti caranya seekor anjing gila.
Semua orang menyaksikan de-r.gan mulut ternganga dan bulu
mereka bangun >emua.
Sedang yang lain membungkam, Hachi seorang :erus
mencaci. "Binatang kecil! Siucay bangsat! Ini semua garagaramu!"
tenaknya. "Kura-kura nyali kecil! Lebih baik kau tutup mulut," si
sasterawan mengejek.
"Kalau aku mau maki kau, mau apa kau, Siucay bangsat!"
teriak Hachi. "Kau hanya berani terhadap aku, huh!" ejek si sasterawan.
"Apa kau berani terhadap Thayswee" Jika kau manusia
bernyali, coba katakan, Thayswee bangsat."
Si pendeta yang sudah setengah kalap, lantas saja
berteriak: "Thayswee bangsat!" Baru saja per-kataan itu
keluar dari mulutnya, ia terkesiap dan insyaf, bahwa lidahnya
terpeleset. "Aku... aku... sebenarnya mau mencaci kau,"
katanya, terputus-putus.
Si sasterawan tertawa nyaring. "Aku bukan Thayswee,"
katanya. "Aku sudah kata, nyalimu nyali cecurut!"
Dalam bingungnya karena khawatir mendapat hukuman,
Hachi segera menubruk. Pemuda itu mengegos dan
mendorongnya, sehingga ia rubuh terguling dan apa mau, ia
jatuh menindih Siangkoan Tiat Seng yang sedang
menggeragoti kaki meja.
Tiat Seng berbalik dan memeluknya, akan ke-mudian
membuka mulut untuk menggigit kepala-nya. Ia coba
memberontak, tapi pelukan itu bagai-kan lingkaran besi dan di
lain saat, kepalanya sudah digigit sehingga berlumuran darah.
"Bagus! Bagus!" seru si sasterawan seraya menepuk-nepuk
tangan. Perlahan-lahan ia mende-kati meja Giok-liong-pwee
dan mendadak tangannya menyambar dua buah cangkir. Ia
menengok ke arah San Hui Hong, mengangsurkan sebuah
cangkir dan berkata: "Cangkir sudah didapat, mari
kitaberlalu!"
Si nona terkejut. Ia belum mengenal pemuda itu, tapi
mengapa dia begitu manis terhadapnya" Tapi ia tak sempat
memikir panjang-panjang. Ia mengangguk, menyambuti
cangkir itu dan lalu mengikuti dari belakang.
Enam Wie-su yang melindungi Hok Kong An, lantas saja
berteriak-teriak: "Tangkap! Tangkap mata-mata! Tangkap
pencuri cangkir!" Seraya berteriak-teriak, mereka mengejar.
Tadi, sesudah Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie menolong
kedua saudara Nie, jumlah Wie-su yang menjaga di luar pintu
lantas saja ditambah. Sekarang, mendengar teriakan di dalam,
mereka lantas saja menerjang masuk sambil menghunus senjata.
Dipimpin oleh An Teetok, mereka segera mengurung si
sastrawan dan San Hui Hong.
Si sasterawan tersenyum. "Kalau kamu maju setindak lagi,
aku akan segera membanting cangkir ini," katanya seraya
mengangkat tangannya yang memegang cangkir.
Para Wie-su bersangsi dan serentak mereka menghentikan
tindakan. Melihat bahaya besar, San Hui Hong mengeluh dan
menyesalkan kebodohannya sendiri. Ia menghadiri
Ciangbunjin Tayhwee hanyalah untuk melihat-lihat keramaian
dan sama sekali tidak mempunyai maksud lain. Ia menyesal
dan merasa tidak mengerti, mengapa ia mengikuti pemuda
itu. Ouw Hui khawatir sangat dan melirik adiknya. Leng So
menggeleng-gelengkan kepala untuk melarang kakaknya
bergerak. Memang juga, dalam menghadapi begitu banyak
musuh, jika turun ta-ngan, mereka hanya akan membuang
jiwa secara cuma-cuma.
Sementara itu, Hay Lan Pit sudah bangun ber-diri dan
menghampiri dengan tindakan lebar. Semua orang mengawasi
dengan hati berdebar-debar. Mereka yakin, bahwa sekali turun
tangan, Hay Lan Pit akan dapat merubuhkan kedua orang
muda itu. "San Kouwnio, sekarang kita harus mengubah
sikap," kata si sasterawan sambil tertawa. "Jika cangkir ini
dibanting, mungkin sekali, sebelum ja-tuh, sudah ada orang
yang menyangganya. Begini saja: Aku akan meneriakkan satu,
dua, tiga dan berbareng dengan perkataan 'tiga', kita
meremukkan di dalam tangan."
Memang juga Hay Lan Pit ingin menangkap cangkir itu
waktu dibanting dan oleh karenanya, begitu mendengar
perkataan si sasterawan, ia segera menghentikan
tindakannya. Melihat begitu, Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay tertawa
terbahak-bahak dan lalu menghampiri. "Saudara kecil,"
katanya sesudah berhadapan dengan si sasterawan, "Boleh
aku mendapat tahu she dan namamu yang besar" Hari ini kau
telah mendapat muka terang. Kau telah menggetarkan seluruh
Rimba Persilatan. Maka itu, mana boleh kau tidak
meninggalkan she dan nama?"
Pemuda itu tersenyum. "Tak perlu," jawabnya. "Pertama,
kudatang bukan untuk merebut nama dan kedua, bukan untuk
menarik keuntungan. Melihat cangkir giok yang indah itu, aku
merasa suka dan ingin membawanya pulang untuk dibuat
main. Sesudah merasa bosan, aku akan segera mengembalikannya."
Tong Pay tertawa. "Saudara kecil, ilmu silatmu sangat luar
biasa," katanya pula. "Sesudah mem-perhatikan beberapa
lama, belum juga aku dapat menebak asal-usul ilmu silatmu
dan siapa adanya gurumu. Mungkin sekali, antara kita masih
terdapat ikatan erat. Saudara kecil, orang muda suka mainmain
adalah kejadian lumrah. Dengan memandang mukaku,
Hok Thayswee pasti tidak akan merasa gusar. Saudara kecil,
lebih baik kau masuk lagi dan makan minum pula sambil
menonton keramaian." Ia berpaling ke arah para Wie-su
seraya berkata: "Mundurlah! Saudara kecil ini sahabat kita. Ia
hanya guyon-guyon dan tak perlu kalian menghunus senjata."
Mendengar perkataan itu, semua wie-su lantas saja
mundur. "Orang she Tong, aku sungkan masuk dalam
perangkapmu," kata si sasterawan sambil tersenyum. "Kalau
kau maju setindak lagi, aku akan segera meremukkan cangkir
ini. Kalau benar kau laki-laki, pinjamkanlah cangkir ini
kepadaku. Aku akan membawanya pulang dan main-main tiga
hari lamanya. Sesudah lewat tiga hari, aku akan
mengembalikannya."
Dengan hati berdebar-debar, semua orang mengawasi
Tong Pay. Kam-lim-hui-cit-seng tertawa terbahak-bahak. "Urusan
kecil," katanya. "Tapi, saudara kecil, cangkir yang berada
dalam tanganmu belum ada pemilik-nya. Sebagaimana kau
tahu, dengan baik hati Hok Thayswee telah menghadiahkan
sebuah cangkir kepadaku. Begini saja: Aku akan
meminjamkan cang-kirku itu. Kau boleh bermain-main dalam
tempo yang tidak terbatas dan nanti, sesudah bosan, baru-lah
kau memulangkannya kepadaku. Bagaimana" Apa kau
setuju?" Sehabis berkata begitu, ia menghampiri meja cangkir,
mengambil sehelai sutera sulam dan lalu menaruh cangkirnya
sendiri di dalam sutera itu. Kemudian, dengan sikap hormat, ia
mengangsur-kannya kepada si sasterawan seraya berkata:
"Sau-dara kecil, kau ambillah!"
Itulah kejadian yang tidak diduga-duga. Semua orang
menganggap, bahwa Tong Pay tengah menggunakan siasat
untuk merebut pulang kedua cangkir itu. Tapi di luar dugaan,
ia ternyata tidak berdusta.
Bukan saja yang lain, tapi si sasterawan sendiri pun merasa
heran. "Kau bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, benar saja
tanganmu sangat terbuka," katanya. "Cangkir-cangkir ini tiada
bedanya, sehingga tidak perlu ditukar pergi-datang. Cangkir
San Kouwnio, kita andaikan saja telah dipinjamkan oleh Hay
Tay-jin. Tong Tayhiap, kau harus jadi penanggung. Hay
Tayjin, kau tak usah khawatir. Selewatnya tiga hari, jika
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cangkirmu belum juga kembali, kau boleh rae-mintanya dari
Tong Tayhiap."
"Baiklah," kata Tong Pay. "Aku tangungjawab segalagalanya.
San Kouwnio, kau jangan menyu-karkan aku." Sambil
berkata begitu, ia bertindak mendekati Hui Hong.
Si nona gugup. Ia melirik si sasterawan seraya berkata
dengan suara terputus-putus: "Aku... aku...."
Tiba-tiba, tiba-tiba saja, Tong Pay menggentus pergelangan
tangan Hui Hong dengan sikutnya. "Celaka!" seru nona San
dan cangkir yang dicekal-nya terbang ke atas. Hampir
berbareng, tangan kanan Tong Pay menjemput cangkir yang
berada di dalam sutera, sedang tangan kirinya mengebas
sutera itu yang lantas saja menggulung tangan si sasterawan.
Sesaat itu juga, telunjuk tangan kanan-nya menotok jalanan
darah In-bun, Kie-tie dan Hap-kok, sedang tangan kirinya
menyangga cangkir Hui Hong yang sedang melayang turun.
Dengan sekali menendang, nona San dibuatnya rubuh di
lantai. In-bun-hiat terletak di pundak, Kie-tie-hiat di sikut dan
Hap-kok-hiat di antara jempol dan telunjuk. Begitu lekas
ketiga jalanan darah itu ter-totok, seluruh lengan dan tangan
si sasterawan lemas dan ia tidak bertenaga lagi untuk
meremuk-kan cangkir yang dicekalnya.
Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Sebelum
orang bisa melihat tegas, Hui Hong dan si sasterawan sudah
rebah di lantai, sedang Tong Pay sendiri sudah menaruh tiga
buah cangkir itu di atas meja, akan kemudian kembali ke kursi
Thay-su-ie dengan sikap tenang.
Sesaat kemudian, ruangan itu seolah-olah ter-getar karena
tampik sorak yang gemuruh.
Kwee Giok Tong, yang duduk bersama-sama Ouw Hui,
mengurut-urut jenggotnya seraya berkata dengan suara
perlahan: "Benar-benar lihay! Tong Tayhiap bukan saja sudah
merubuhkan kedua orang muda itu dalam tempo begitu
pendek, tapi juga berhasil merebut cangkir dalam keadaan
utuh. Salah sedikit saja, cangkir itu tentu akan hancur atau
rusak. Tapi di samping kelihayan
TongTayhiap,kitaharuslebihmengagumibesarnya nyali kedua
orang muda itu. Thia Lauwtee, bagaimanapendapatmu?"
Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "He-bat, benarbenar
hebat," katanya.
Sementara itu, beberapa Wie-su sudah meng-ikat Hui Hong
dan si sasterawan yang lalu digusur ke hadapan Hok Kong An.
"Tahan saja dulu, kita boleh memeriksa mereka
belakangan," kata pembesar itu. "Kita tidak boleh
memadamkan kegembiraan para tamu kita. An Teetok,
mintalah mereka meneruskan pertan-dingan."
"Baiklah," kata An Teetok yang segera meng-umumkan,
bahwa pertandingan akan segera dilan-jutkan.
Ouw Hui menonton pertandingan-pertanding-an dengan
pikiran kusut. Ia khawatir sangat akan keselamatan Ma It
Hong, karena kedua anak itu sudah direbut pulang oleh
ayahnya. Mendadak, selagi pertandingan berlangsung, terdengar
teriakan seorang Wie-su yang menjaga di luar: "Sengeie
(firman kaisar) datang!"
Semua tetamu terkejut, tapi Hok Kong An dan para
pembesar tidak jadi kaget, karena datangnya firman di tengah
malam buta bukan kejadian luar biasa. Hioto (meja
sembahyang) lantas saja dipa-sang dan Hok Kong An
menerima firman sambil berlutut, diikuti oleh semua pembesar
dan para orang gagah. Mau tak mau, Ouw Hui terpaksa turut
berlutut. Yang membawa firman adalah seorang Thay-kam tua.
Lauw Cie Hie, yang dikenal Hok Kong An dan di belakang
Thaykam itu mengikuti empat orang Sie-wie. Begitu tiba di
depan pintu, Lauw Cie Hie menghentikan tindakannya,
membuka firman dan lalu membacanya: "Ditujukan kepada
Pengpo Siangsie Hok Kong An. Seorang penjahat lelaki dan
seorang penjahat perempuan yang barusan ditawan, harus
segera diserahkan untuk dibawa ke keraton. Firman kaisar."
Hok Kong An terkejut. "Apa bisa Hongsiang mendapat
warta mengenai kejadian di sini secara begitu cepat?"
tanyanya di dalam hati. "Perlu apa Hongsiang mengambil
kedua penjahat itu?" Sesudah menghaturkan terima kasih, ia
bangun berdiri dan mengawasi Thaykam itu. Hatinya jadi
semakin curiga. Biji mata Lauw Cie Hie memain dan paras
mukanya pucat. Di samping itu, ada sesuatu yang sangat luar
biasa. Menurut peraturan, seorang Thaykam yang membawa
firman harus membacanya di ruangan tengah dan menghadap
ke selatan. Tapi kali ini ia membacanya di ambang pintu dan
menghadap ke dalam rumah. Lauw Cie Hie adalah seorang
Thaykam tua dan tidak mungkin ia tak tahu atau sengaja mau
melanggar peraturan itu. Memikir begitu, Hok Kong An segera
mengetahui, bahwa dalam hal itu terselip sesuatu yang luar
biasa. "Lauw Kongkong, masuklah dan minum teh," katanya
sambil tersenyum. "Kongkong boleh sekalian melihat-lihat
pertandingan antara para orang gagah."
"Bagus! Bagus!" kata si Thaykam. Tapi di lain saat, alisnya
berkerut dan ia berkata pula: "Terima kasih atas undangan
Thayswee. Tapi aku tidak dapat berdiam lama-lama karena
Hongsiang sedang menunggu."
Hok Kong An lantas saja mengerti, bahwa firman itu adalah
firman palsu dan keempat Sie-wie yang berdiri di belakang
Lauw Cie Hie juga palsu. Dengan paras muka tidak berubah, ia
tersenyum dan berkata pula: "Lauw Kongkong, siapa adanya
saudara-saudara Sie-wie yang mengiringi kau. Aku belum
pernah melihat mereka."
Lauw Cie Hie tergugu. Sesaat kemudian baru-lah ia dapat
menjawab: "Mereka... mereka... orang baru dari lain propinsi."
Sekarang Hok Kong An mendapat kepastian, bahwa
keempat Sie-wie itu adalah Sie-wie palsu. Mengapa" Karena
jabatan Sie-wie, yaitu pengawal pribadi kaisar Ceng, hanya
diberikan kepada bangsa Boanciu atau orang-orang yang
leluhurnya telah banyak berjasa kepada kerajaan Ceng. Ia
mengerti, bahwa tindakan sekarang yang paling penting
adalah memisahkan keempat orang itu dari Lauw Cie Hie.
Maka itu, sambil menunjuk Hui Hong dan si sasterawan, ia
berkata: "Kalau begitu, Sie-wie Toa-ko boleh membawa
mereka!" Salah seorang Sie-wie lantas saja maju men-dekati si
sasterawan. Tiba-tiba Hok Kong An mem-bentak: "Tunggu
dulu! Boleh aku mendapat tahu she Sie-wie Toako itu yang
mulia?" Menurut kebiasaan memang Hok Kong An selalu berlaku
hormat kepada Sie-wie keraton dan selalu memanggil mereka
dengan panggilan "Sie-wie Toako". Tapi, oleh karena
kedudukan Sie-wie jauh lebih rendah dari pada pembesar itu,
maka menurut adat-istiadat, jika ditanya, ia haruslah
menghampiri dan menjawabnya sambil membung-kuk. Tapi
Sie-wie itu hanya menjawab: "Aku she Thiol"
"Sudan berapa lama Thio Toako berada di keraton?" tanya
pula pembesar itu. "Mengapa kita belum pernah bertemu?"
Sebelum dia keburu menjawab, mendadak seorang Sie-wie
yang berbadan gemuk dan berdiri di belakang Lauw Cie Hie,
mengayunkan tangannya dan serupa senjata rahasia yang
bentuknya menyerupai alat-alat tenun dan sinarnya putih berkelebatan
menyambar meja Giok-liong-pwee. Sam-baran Ginso
(alat-alat tenun dari perak) hebat luar biasa, dan kalau
kena, semua cangkir pasti akan hancur. Sambil mengeluarkan
teriakan kaget, sejumlah Wie-su segera melepaskan senjata
rahasia mereka. Hampir berbareng, Thie-lian-cie dan
sebagainya, kira-kira tujuh-delapan senjata rahasia,
menyambar ke arah Gin-so. Tapi Sie-wie gemuk itu pun
segera mengayun kedua tangannya dan tujuh-delapan senjata
rahasia terbang menyusul.
Di lain saat, terdengar suara "tring-trang-tring..." dan
semua senjata rahasia para Wie-su terpukul jatuh oleh senjata
rahasia si gemuk, sedang Gin-so sudah tiba di atas meja. Dan
sungguh aneh, begitu menggaet salah sebuah cangkir, senjata
rahasia itu terbang balik dan akhirnya kembali di tangan si Siewie
gemuk! Untuk sejenak seluruh ruangan sunyi senyap. Semua mata
mengawasi pertunjukan menakjubkan itu dengan mata
membelalak dan mulut ternganga. Sekonyong-konyong
kesunyian dipecahkan dengan teriakan: "Thio Samko!" Orang
yang berteriak ialah Ouw Hui.
Ternyata, yang menyamar sebagai Sie-wie ge-muk bukan
lain dari pada Tio Poan San, sedang Sie-wie yang mau
menolong si sasterawan juga seorang tokoh Ang-hoa-hwee,
yaitu Kui-cian-ciu Cio Siang Eng. Sudah lama jago-jago Anghoa-
hwee itu menanti di luar gedung Hok Kong An. Pada
waktu si sasterawan tertangkap, Thaykam Lauw Cie Hie
kebetulan lewat di depan gedung. Mereka lalu membekuknya
dan menulis sebuah firman palsu.
Hanya sayang, karena tidak mengerti per-aturan keraton,
maka begitu menjalankan siasat, rahasia mereka segera
ketahuan. Melihat kecu-rigaan Hok Kong An, Tio Poan San
segera men-dahului melepaskan Hui-yan Gin-so berhasil
merebut sebuah cangkir Giok-liong-pwee. Senjata rahasia itu
yang berbentuk setengah lingkaran dan yang bisa terbang
balik ke tangan yang melepas-kannya, adalah senjata
istimewa buatan Tio Poan San sendiri.
Hampir berbareng dengan direbutnya Giok-liong-pwee,
Poan San mendengar seruan "Tio Sam-ko". la kaget, karena
seruan itu bernada penuh kecintaan dan kegirangan. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia menyapu seluruh ruangan, tapi
ia tidak bisa menebak siapa yang berteriak begitu.
Sebagaimana diketahui, semenjak Ouw Hui ber-pisahan
dengan Tio Poan San, banyak tahun telah berlalu sehingga
roman dan potongan badan Ouw Hui sudah berubah banyak.
Jangankan ia sekarang menyamar, sekalipun tidak, Tio Poan
San tentu tak akan dapat mengenalinya.
Dalam keadaan berbahaya, Poan San tidak bisa
membuang-buang tempo lagi untuk mencari orang yang
menyebutkan namanya. Di lain saat, kedua tangannya
bergerak-gerak, diiring dengan suara menyambarnya senjataTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
senjata rahasia. Setiap senjata rahasia memadamkan
sebatang lilin dan dalam sekejap mata, ruangan itu sudah
menjadi gelap gulita. "Hok Kong An, jaga piauw!" ia berteriak.
Dua orang mengeluarkan teriakan kesakitan - rupanya mereka
kena senjata rahasia. Sementara itu sudah terdengar suara
bentrokan senjata, sebab seorang Wie-su yang berkepandaian
tinggi mulai bertempur melawan Cio Siang Eng.
"Angkat kaki!" demikian terdengar pula seruan Tio Poan
San. Ia mengerti, bahwa di tempat itu, di mana berkumpul
banyak sekali kaki tangan Hok Kong An yang berkepandaian
tinggi, ia dan kawan-kawannya tidak boleh berdiam terlalu
lama. Kalau sampai dikurung, pihaknya bisa celaka.
Tapi pada saat itu, Cio Siang Eng sudah bertempur hebat
dengan seorang Wie-su dan dua ka-wannya sudah turut
menerjang. Pada waktu si sasterawan dibekuk oleh Tong Pay, Ouw Hui
sebenarnya sudah berniat turun tangan. Tapi karena melihat
banyaknya musuh dan salah seorang dari keempat
Ciangbunjin besar itu saja belum tentu dapat dijatuhkan
olehnya, maka ia sudah menahan hati. Tapi sekarang,
sesudah munculnya Tio Poan San dan semua lilin padam, ia
lantas melompat ke sastrawan itu. Waktu Tong Pay menotok,
ia sudah lihat, bahwa yang ditotok adalah In-bun-hiat, Kie-tiehiat
dan Hap-kok-hiat. Maka itu, begitu berdekatan, ia segera
menepuk Thian-cong-hiat, di pundak si sastrawan. Tepukan
itu segera membuka In-bun-hiat yang tertotok. Sesudah itu, ia
menekan Thian-tie-hiat si sasterawan. Mendadak, kesiuran
angin telapak tangan menyambar.
Buru-buru Ouw Hui membalik tangan kirinya dan
menyambut pukulan itu. Tiba-tiba ia terkesiap, karena tenaga
lawan berat luar biasa dan waktu kedua telapak tangan
kebentrok, badannya ber-goyang dan ia terpaksa mundur
setengah tindak. Dengan cepat ia mengempos semangat dan
menahan tekanan tenaga lawan dengan Lweekangnya. Di lain
saat, ia mengeluh, sebab tenaga lawan menyerang dengan
saling susul bagaikan gelombang samudera. Ia mengerti,
bahwa keadaannya berba-haya sekali, sebab, begitu lekas
lilin-lilin dinyalakan lagi, ia pasti akan kena dibekuk.
Kejadian di atas, yang harus dituturkan agak panjang lebar,
sebenarnya terjadi dalam sekejap mata.
Sekonyong-konyong terdengar suara si sasterawan:
"Terima kasih atas pertolonganmu." Sambil berkata begitu, ia
melompat. Begitu si sasterawan melompat, Ouw Hui lan-tas saja
tersadar akan kekeliruannya. "Aku hanya membuka In-bunhiat,
sehingga Kie-tie dan Hap-kok-hiat tentu dibuka oleh
orang yang sedang mengadu tenaga denganku," katanya di
dalam hati. "Dengan demikian, dia bukan lawan, tapi kawan."
Di lain pihak, orang itu pun memikir sedemikian. Ia hanya
membuka Kie-tie dan Ha
Bentrok Rimba Persilatan 16 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus 2
dunia dan Thio Ciauw
Tong, seorang pen-tolan Bu-tong, binasa di Huikiang, Bu-tongpay
belum mempunyai Ciangbunjin lagi. Nama Bu-ceng-cu
yang barusan diperkenalkan, belum dikenal dalam kalangan
Rimba Persilatan.
Sementara itu, perwira tersebut sudah menunjuk Tong Pay
dan melanjutkan perkataannya: "Yang itu adalah Kam-lim-huicit-
seng Tong Tayhiap, Ciangbunjin dari partai Sam-cay-kiam.
Nama Tong Tayhiap yang menggetarkan seluruh Rimba
Persilatan, kurang boleh tak usah diperkenalkan lagi." Katakata
itu disambut dengan sorak-sorai gegap gempita, yang
berbeda jauh dengan sambutan yang diberikan kepada Buceng-
cu atau bahkan kepada Tay-tie Siansu sendiri.
Sesudah tampik sorak mereda, perwira itu lalu berkata lagi
sambil menunjuk orang yang keempat: "Yang itu adalah orang
gagah dari Boan-ciu, Hay Lan Pit Tayjin, Sam-leng atau
pemimpin tangsi Yauw-kie-eng dari pasukan Bendera Kuning
dan Ciangbunjin dari partai Hek-liong-bun di propinsi
Liaotong."
Waktu diperkenalkan, karena pangkatnya lebih rendah dari
pada perwira yang memperkenalkannya, maka Hay Lan Pit
bangun dari tempat duduk-nya dan berdiri tegak.
"Hek-liong-bun" Partai apa itu?" bisik seorang tua yang
duduk di dekat meja Ouw Hui. "Nama itu tidak dikenal dalam
Rimba Persilatan. Hrn! Dia diangkat menjadi Ciangbunjin
besar, sebab dia seorang Boan-ciu. Memang, kalau semua
Ciangbunjin terdiri dari bangsa Han, muka Hok Thayswee
tidak begitu terang. Menurut penglihatanku, Hay Tayjin itu
paling banyak mempunyai tenaga besar. Mana dia dapat
berendeng dengan jagojago bangsa Han?"
"Pendapat Susiok tepat sekali," kata seorang pemuda.
Mendengar itu, Ouw Hui tertawa dalam hati-nya. Sesudah
melihat sikap dan gerak-gerik orang Boan itu, ia mengerti,
bahwa pemimpin Hek-liong-bun tersebut bukan sembarang
orang. Sesudah diperkenalkan, keempat Ciangbunjin besar itu
segera bangun berdiri untuk memberi hormat kepada para
hadirin dengan secawan arak dan kemudian masing-masing
mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Tay-tie Siansu
bicara dengan sikap agung, sesuai dengan kedudukannya
yang sangat tinggi. Tong Pay yang pandai berpidato, telah
mengucapkan kata-kata yang membangkitkan gelak tertawa.
Bu-ceng-cu dan Hay Lan Pit yang tidak biasa bicara dihadapan
orang banyak, hanya mengucapkan sepatah dua patah
dengan suara ter-putus-putus. Bu-ceng-cu bicara dalam dialek
Ouw-pak yang tidak dimengerti oleh banyak orang.
"Mengapa suara imam itu tidak cukup ber-tenaga?" tanya
Ouw Hui di dalam hati dengan perasaan heran. "Bagaimana
dia bisa menjadi Ciang- bunjin dari Bu-tong-pay" Mungkin
sekali ia dicintai oleh para anggota partai, sehingga walaupun
ilmu silatnya tidak tinggi, ia diangkat menjadi Ciang-bunjin."
Sesudah beres perkenalan, perjamuan segera dimulai.
Perjamuan seorang menteri besar seperti Hok Thayswee tentu
saja berlainan dengan perjamuan biasa. Jangankan
santapannya, sedangkan araknya saja, yaitu arak Cong-boan
Ang-tin-siauw, sudah merupakan minuman yang langka. Ouw
Hui tidak berlaku sungkan-sungkan dan dengan ber-untun ia
sudah minum kurang lebih dua puluh cawan. Leng So
mengawasi kakaknya sambil ter-senyum-senyum dan kadangkadang
melirik Hong Jin Eng, untuk melihat apa manusia
busuk itu masih berada di tempatnya.
Sesudah dikeluarkan tujuh-delapan macam sa-yur, tiba-tiba
terdengar teriakan: "Hok Thayswee tiba!"
Semua perwira, petugas dan pelayan dengan serentak
berdiri tegak, diikuti oleh semua tetamu. Sesaat kemudian,
dari luar terdengar suara sepatu dan beberapa orang masuk
ke dalam. "Memberi hormat kepada Hok Thayswee!" te-riak semua
perwira sambil membungkuk dan menekuk satu lututnya.
Hok Kong An mengebas tangannya seraya ber-kata:
"Sudah! Bangunlah!"
"Terima kasih, Hok Thayswee!" teriak pula para perwira itu.
Melihat tata tertib yang angker dan rapih itu, Ouw Hui
merasa kagum. "Hok Kong An benar-benar bukan sembarang
orang," pikirnya. "Tak heran jika saban kali keluar berperang,
ia selalu mem-peroleh kemenangan."
Melihat paras muka pembesar itu yang berseri-seri, Ouw
Hui berkata pula di dalam hatinya: "Manusia tak punya isi
perut! Dua anaknya hilang, tapi dia tidak memperdulikan."
Hok Kong An segera memerintahkan orang menuang arak.
"Para Busu," katanya sambil meng-angkat cawan. "Dengan
jalan ini aku memberi selamat datang kepada kalian.
Keringkan cawan!"
Ia menceguk isi cawan diikuti oleh para hadirin, kecuali
Ouw Hui yang hanya menempelkan pinggir cawan di bibirnya.
Pemuda itu sungkan minum bersama-sama Thayswee yang
sangat kejam itu.
"Pertemuan para Ciangbunjin telah diketahui juga oleh
Bansweeya (kaisar)," kata pula pembesar itu. "Barusan
Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku dan menghadiahkan
dua puluh empat buah cangkir yang harus dibagikan kepada
dua puluh empat Ciangbunjin." Ia mengangkat tangannya dan
beberapa orang lantas saja menghampiri dengan membawa
tiga kotak sulam. Seorang perwira segera menggelar sehelai
taplak sutera sulam di atas meja dan dari dalam kotak, ia
mengeluarkan cangkir-cangkir yang lalu ditaruh di atas meja
itu. Ternyata, dalam kotak pertama terisi delapan buah cangkir
giok, dalam kotak kedua delapan cangkir emas, sedang dalam
kotak ketiga delapan cangkir perak. Tiga rupa cangkir itu
diatur jadi tiga baris di atas meja. Dengan sinarnya yang
gilang-gemilang, semua cangkir diukir dengan gambar-gambar
yang indah luar biasa. Dengan rasa kagum, semua orang
mengawasi cangkir-cangkir itu, karya seniman-seniman pilihan
dari istana kaisar.
"Cangkir giok dengan ukiran gambar naga di-beri nama
Giok-liong-pwee," kata pula Hok Kong An sesudah semua
cangkir diatur beres. "Cangkir giok itu adalah yang paling
berharga. Yang emas, dengan ukiran burung hong, diberi
nama Kim-hong-pwee, sedang cangkir perak, dengan ukiran
ikan gabus meletik, adalah Gin-lee-pwee."
Mendengar keterangan itu, semua orang jadi merasa
kurang enak. Dalam ruangan tersebut ter-dapat seratus lebih
Ciangbunjin, sedang jumlah cangkir hanya dua puluh empat
buah. Siapa yang akan mendapat cangkir-cangkir itu" Di
samping itu, cangkir-cangkir tersebut juga berbeda-beda.
Cangkir giok tentu saja banyak lebih berharga daripada
cangkir perak. Siapa yang akan memperoleh cangkir giok dan
siapa yang akan memperoleh perak"
Sementara itu, Hok Kong An sudah mengambil empat buah
cangkir giok dan ia sendiri lalu menye-rahkannya kepada
empat Ciangbunjin besar. "Kalian adalah pemimpin-pemimpin
Rimba Persilatan dan setiap orang mendapat sebuah cangkir
giok," katanya. Tay-tie Siansu dan ketiga Ciangbunjin lain-nya
lantas saja menerima hadiah itu sambil meng-haturkan terima
kasih. "Sekarang masih ada dua puluh cangkir," kata pula Hok
Kong An, "Aku ingin meminta supaya kalian memperlihatkan
kepandaian dan empat orang yang ilmu silatnya paling tinggi
akan dihadiahkan dengan empat buah cangkir giok. Mereka
berempat akan mempunyai kedudukan yang berendeng
dengan Ciangbunjin dari Siauw-lim, Bu-tong, Sam-cay-kiam
dan Hek-liong-bun, sehingga dengan demikian, kedelapan
Ciangbunjin itu dapat dinama-kan sebagai Giok-liong Pat-bun
(Delapan partai yang mendapat cangkir Giok-liong-pwee).
Kedelapan partai tersebut akan dikenal sebagai partai-partai
terbesar dan terkuat dalam Rimba Persilatan. Sesudah itu,
berdasarkan kepandaian yang dimiliki-nya, delapan
Ciangbunjin akan menerima cangkir emas dan mereka akan
dikenal sebagai Kim-hong Pat-bun. Paling akhir, delapan orang
lain, yang akan menjadi Gin-lee Pat-bun, akan menerima
cangkir perak. Sesudah ada penetapan tingkatan, maka di be-lakang hari
dalam Rimba Persilatan boleh tidak usah terjadi pula
sengketa-sengketa yang tidak di-ingini. Dalam pertemuan ini,
aku mengangkat Tay-tie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Tayhiap
dan Hay Som-leng sebagai juru pemimpin (juri) yang akan
menetapkan tinggi rendah ilmu silat setiap orang. Apakah
kalian setuju?"
Keterangan Hok Kong An itu disambut dengan rasa terkejut
oleh sejumlah Ciangbunjin yang mempunyai pemandangan
luas. Cara menteri besar itu tiada bedanya seperti mengadu
domba orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi di
hadapan Hok Kong An, siapa yang berani mengeluarkan
pendapat lain" Maka itu, biarpun di dalam hati sangat tidak
setuju, mereka terpaksa ikut menepuk-nepuk tangan.
Sementara itu, begitu mendengar penjelasan Hok Kong An,
Ouw Hui segera ingat keterangan Wan Cie Ie mengenai
maksud tujuan pembesar itu dalam menghimpunkan
pertemuan para Ciangbunjin. "Semula aku menduga, bahwa
dengan mengumpulkan orang-orang gagah di kolong langit, ia
ber-maksud untuk menggunakan mereka guna kepentingannya
sendiri." katanya di dalam hati. "Tapi dilihat begini,
ia mengandung maksud yang sangat jahat. Ia ingin mengadu
domba para ahli silat supaya mereka saling bunuh dalam
perebutan nama ko-song, agar mereka tidak mempunyai
tenaga lagi untuk menentang pemerintahan Boan-ceng."
Memikir sampai di situ, ia lihat Leng So mencelup jari
tangannya ke dalam cangkir teh dan menulis huruf "jie" (dua)
serta "tho" (buah tho), di atas meja. Sesudah menulis, si nona
lalu menghapus kedua huruf itu dengan tangannya.
Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "jie-moay
sungguh pintar," pikirnya. "Ia sudah dapat menebak siasat
busuk dari Hok Kong An yang menyerupai dengan tipu An Eng
yang sudah mem-bunuh tiga orang gagah dengan
menggunakan dua buah tho." Dengan rasa duka, ia menyapu
seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat kenyataan,
bahwa sebagian besar jago-jago muda kelihatan bergembira
sekali dan siap sedia untuk segera turun ke dalam
gelanggang, tapi di antara para Ciang-bunjin yang berusia
lebih tua banyak yang berparas lesu dan masgul, karena
seperti juga Ouw Hui dan Leng So, mereka sudah melihat
bencana yang te-ngah dihadapi oleh Rimba Persilatan.
Sementara itu, semua orang segera merunding-kan
keterangan Hok Thayswee, sehingga ruangan itu jadi ramai
sekali dengan suara manusia. "Ong Loo-ya-cu," demikian
terdengar suara seorang yang duduk di dekat meja Ouw Hui.
"Ilmu silat Sin-kun-bun lihay bukan main dan Loo-ya-cu pasti
akan dapat mengantongi sebuah cangkir Giok-liong."
"Cangkir Giok-liong aku tidak berani harap-kan," kata orang
yang dipanggil "Ong Loo-ya-cu" dengan suara merendahkan
diri. "Aku sudah merasa beruntung jika dapat mem-perlihatkan
cangkir emas kepada anak-anakku."
Seorang lain tertawa dan berkata dengan suara perlahan:
"Aku hanya khawatir, dia masih tak mam-pu merebut cangkir
perak." Mendengar ejekan itu, si orang she Ong jadi gusar bukan
main dan mengawasi orang yang meng-ejeknya dengan mata
melotot. Demikianlah, di setiap meja jago-jago itu ramai
bicara, bisik-bisik atau tertawa-tawa.
Tiba-tiba seorang perwira yang berdiri di sam-ping Hok
Kong An, menepuk tangannya tiga kali dan berseru: "Tuantuan
harap tenang sebentar, Hok Thayswee ingin bicara lagi."
Suara ramai itu perlahan-lahan mereda, tapi karena orangorang
itu tidak biasa dengan disiplin milker, maka untuk
sementara, masih terdengar suara orang bicara. Sesudah
lewat beberapa saat, barulah ruangan itu menjadi sunyi.
"Sekarang aku mengundang tuan-tuan bersan-tap dan
sesudah makan minum, barulah kalian mem-perlihatkan
kepandaian," kata Hok Kong An. "Mengenai peraturan pie-bu
(adu silat), sebentar Ang Teetok akan memberi penjelasan."
Seorang perwira Boan yang berdiri di samping pembesar
itu, lantas saja berkata: "Hayolah! Kalian boleh makan dan
minum sepuas hati. Sehabis per-jamuan, aku akan memberi
penjelasan. Hayolah! Sekarang aku memberi hormat kepada
kalian dengan secawan arak." Sambil berkata begitu, ia
menuang arak ke sebuah cawan besar dan lalu men-ceguk
kering isinya. Sebagian besar jago-jago yang hadir di situ adalah
"gentong-gentong" arak, tapi karena sedang menghadapi
pertempuran, mereka tidak berani mi-num terlalu banyak.
Sesudah perjamuan selesai, perwira yang tadi kembali
menepuk tangan tiga kali. Sejumlah pe-layan segera menaruh
delapan kursi Thay-su-ie di ruangan tengah, delapan kursi di
ruangan samping sebelah timur dan delapan kursi pula di
ruangan samping sebelah barat. Pada kursi-kursi di ruangan
tengah ditaruh alas dengan sulaman benang emas, pada kursi
di ruangan timur ditaruh alas sutera merah, sedang pada kursi
di ruangan barat ditaruh alas sutera hijau. Sesudah itu, tiga
orang Wie-su masing-masing membawa Giok-liong-pwee, KimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong-pwee dan Gin-lee-pwee yang lalu ditaruh di atas meja
teh di ruangan tengah, ruangan timur dan ruangan barat.
Sesudah cangkir-cangkir diatur beres, An Tee-tok segera
berkata dengan suara nyaring: "Had ini kita mengikat
persahabatan dengan ilmu silat dan begitu lekas salah satu
pihak kena dicolet, per-tandingan harus segera dihentikan.
Siapa pun jua tidak boleh mendendam sakit hati. Dalam
pertan-dingan, sebaiknya jangan sampai melukai lawan. Akan
tetapi, sebagaimana kalian tahu, di dalam setiap pertempuran
selalu terdapat kemungkinan kesalahan tangan. Maka itu, Hok
Thayswee telah menetapkan, bahwa orang yang mendapat
luka en-teng akan diberi uang obat sebanyak lima puluh tahil
perak, yang luka berat diberi tiga ratus tahil perak, sedang
kalau sampai ada yang meninggal dunia, keluaganya akan
mendapat seribu tahil perak. Orang yang karena salah tangan,
sudah melukai atau membinasakan lawannya, tidak akan
dituntut."
Semua orang terkejut. Penjelasan itu terang-te-rangan
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menganjurkan supaya jago-jago itu bertem-pur mati-matian.
Sesudah berdiam sejenak, perwira itu berkata pula: "Kami
mengundang empat Ciangbunjin besar mengambil tempat
duduknya."
Empat orang Wie-su lantas saja menghampiri dan
mempersilahkan Taytie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Pay dan Hay
Lan Pit maju ke tengah-tengah ruangan untuk duduk di empat
kursi Thay-su-ie. Sesudah mereka berduduk, masih ada empat
kursi kosong, dua di sebelah kiri dan dua lagi di sebelah
kanan. Perwira itu tersenyum dan berkata pula dengan suara
nyaring: "Para Ciangbunjin sekarang boleh memperhhatkan
kepandaiannya di hadapan Hok Thayswee. Mereka yang
menganggap kepandaiannya cukup tinggi untuk memiliki
cangkir Gin-lee-pwee boleh duduk di kursi di ruangan barat,
sedang mereka yang menganggap kepandaiannya cukup
tinggi untuk memperoleh Kim-hong-pwee, boleh duduk di
kursi di ruangan timur. Dan mereka yang merasa dapat
berendeng dengan empat Ciangbunjin besar, boleh duduk di
kursi di ruangan tengah, bersama-sama keempat Ciangbunjin
besar itu. Sesudah dua puluh Ciangbunjin menduduki dua puluh kursi
itu, siapa yang merasa tidak puas boleh menantang orang
yang menduduki kursi. Yang kalah mundur, yang menang
duduk di kursi itu. Per-tandingan baru dihentikan sampai tidak
ada orang yang menantang lagi. Bagaimana pendapat tuantuan?"
Pertanyaan itu disambut dengan teriakan "setuju!" oleh
jago-jago muda yang berdarah panas dan yang menganggap,
bahwa peraturan itu sesuai dengan kebiasaan pie-bu, siapa
kuat siapa menang. Di lain pihak, orang-orang yang tidak
setuju dengan cara mengadu domba itu, tentu saja tidak
berani membuka suara.
Waktu itu, Hok Kong An sendiri duduk di sebelah kursi
Thay-su-ie yang ditaruh di sebelah kiri ruangan itu, dengan
diapit oleh delapan Wie-su pilihan, antaranya Ciu Tiat Ciauw
dan Ong Kiam Eng.
Leng So menyentuh tangan kakaknya dengan jerijinya
sambil monyongkan mulutnya ke atas. Ouw Hui dongak dan
lihat sejumlah Busu berdiri berjejer di atas genteng dengan
senjata terhunus, sedang di luar ruangan itu pun dikurung
dengan sepasukan tentara pilihan. Pada saat itu, penjagaan di
gedung Peng-po Siang-sie mungkin lebih hebat daripada di
istana kaisar sendiri.
"Aku sudah merasa puas, bahwa hari ini aku bertemu
dengan Hong Jin Eng," kata Ouw Hui di dalam hati. "Yang
paling penting, rahasiaku tidak boleh bocor. Sebentar aku
akan coba merebut sebuah cangkir perak supaya tidak
menyia-nyiakan harapan Saudara Kie. Tapi sebaiknya aku
turun belakangan, supaya tidak menarik terlalu banyak
perhatian."
Di luar dugaan, niatan Ouw Hui untuk maju belakangan,
juga dipunyai oleh jago-jago lainnya. Ouw Hui berniat begitu
karena khawatir rahasianya bocor, tapi jago-jago yang lain
menggenggam niatan itu, sebab ingin menarik keuntungan.
Mereka ingin menunggu sampai orang lain letih dalam pertandingan-
pertandingan pendahuluan. Maka itulah, sesudah
perwira itu mengundang beberapa kali, tak seorang yang maju
untuk menduduki dua puluh kursi itu.
Mengenai ilmu silat terdapat sebuah pepatah yang tepat
sekali, yaitu: "Bun-bu-tee-it, Bu-bu-tee-jie" (Ilmu surat tidak
ada nomor satu, Ilmu silat tidak ada nomor dua). Kata-kata itu
berarti, bahwa seorang sasterawan tidak pernah menganggap,
bahwa karangannya atau syairnya adalah nomor satu di dalam
dunia, sedang seorang ahli silat - kecuali beberapa gelintir
pentolan yang sudah mengundur-kan diri dari pergaulan -
biasanya sungkan duduk di bawah orang.
Harus diingat, bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam
pertemuan itu adalah Ciangbunjin, atau pe-mimpin, dari
sebuah partai atau cabang persilatan. Maka itu, walaupun ada
sejumlah orang merasa tawar dalam hatinya, tapi mereka juga
tidak mau menjatuhkan nama partai sendiri. Semua orang
mengerti, bahwa sekali salah tangan, ratusan atau ribuan
muridnya tak akan bisa mengangkat kepala lagi dalam dunia
Kang-ouw dan kedudukannya sebagai Ciangbunjin juga sukar
dapat dipertahankan lagi.
Pada saat itu, berdasarkan kebiasaan dalam Rimba
Persilatan, dalam alam pikiran semua orang terdapat sebuah
kesimpulan yang bersamaan, yaitu:
Kalau mau turun, yang dituju adalah cangkir Giok-liongpwee.
Cangkir emas dan cangkir perak, yang berarti
kedudukan kedua dan ketiga, sama sekali tidak diperhatikan
orang. Maka itu, semua mata ditujukan kepada ruangan
tengah, sedang ruangan timur dan barat sama sekali tidak
dilirik orang. Sesudah lewat beberapa saat, sambil tertawa mengejek,
perwira itu berkata: "Mengapa tuan-tuan berlaku begitu
sungkan" Apa kalian ingin maju paling belakang, sesudah
semua orang kecapaian" Jika benar begitu sikap itu tidaklah
sesuai dengan sikapnya seorang gagah."
Benar saja sesudah diejek, dua orang segera maju dengan
berbareng dan duduk di dua kursi yang kosong. Yang satu
bertubuh tinggi besar seperti pagoda dan waktu ia duduk,
kursi Thay-su-ie yang kekar kuat mengeluarkan suara "kretekkretek".
Yang satunya lagi berbadan sedang-sedang saja dan
di bawah dagunya tumbuh jenggot yang berwarna kuning.
"Lao-hia," katanya seraya tertawa. "Kita menghadapi banyak
sekali jago-jago dan cangkir Giok-liong belum tentu dapat
direbut oleh kita. Maka itu, jangan kau merusakkan kursi itu."
Si raksasa tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara di
hidung. Seorang perwira yang memakai topi tingkatan keempat
lantas saja maju ke depan dan berteriak sambil menunjuk si
raksasa: "Tuan-tuan! Yang itu adalah Ciangbunjin dari partai
Jie-long-kun, Oey Hie Kiat Oey Loosu." Kemudian ia menunjuk
si jenggot kuning dan berkata pula: "Yang itu ialah Auwyang
Kong Ceng, Auwyang Loosu, Ciangbunjin Yan-ceng-kun."
Seorang tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui lantas saja
berbisik: "Aha! Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Kong Ceng
juga ingin merebut cangkir!" (Pendekar yang berjalan
sendirian dalam perjalan-an ribuan li).
Mendengar itu, Ouw Hui agak terkejut. Gelar Cian-lie Tokheng-
hiap telah ditempelkan pada namanya oleh Auwyang
Kong Ceng sendiri, seorang perampok tanpa kawan yang
namanya tidak begitu harum dalam kalangan Rimba
Persilatan, tapi harus diakui, ia memang mempunyai
kepandaian tinggi.
Sesudah kedua orang itu, maju pula seorang imam, yaitu
See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to. Ia sama sekali
tidak membawa senjata dan duduk di kursi Thay-su-ie sambil
tersenyum. Semua orang merasa heran, karena sebagai
pemimpin Kun-lun-to, ia tidak membekal golok.
Seluruh ruangan berubah sunyi senyap dengan semua
mata ditujukan kepada kursi terakhir yang masih kosong.
"Masih ada sebuah Giok-liong-pwee," kata pula perwira itu.
"Apa tidak ada yang mau?"
Pertanyaan itu disambut dengan teriakan seorang:
"Baiklah! Tinggalkan cangkir itu untuk aku, si setan arak!"
Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh jangkung
kurus bertindak ke luar dengan tindakan sempoyongan,
dengan satu tangan men-cekal poci arak dan lain tangan
memegang cawan. Begitu tiba di tengah-tengah ruangan, ia
membuat dua putaran seperti orang mabuk arak dan
kemudian, ia terjengkang ke belakang dan jatuh duduk di
kursi Thay-su-ie yang terakhir. Gerakan yang sangat lincah
dan enteng itu memperlihatkan kepandaian yang tinggi,
sehingga tanpa merasa bebe-rapa hadirin berseru: "Bagus!"
Orang itu adalah Ciangbunjin dari partai Cui-pat-sian,
namanya Bun Cui Ong, bergelar Cian-pwee Kie-su (Tuan dari
ribuan cawan arak).
"Aku menghaturkan selamat kepada keempat Loosu," kata
An Teetok. "Sekarang, siapa yang menganggap
kepandaiannya melebihi keempat Loosu itu, boleh tampil ke
muka dan mengajukan tantangan. Jika tidak ada yang
menantang, maka Jie-Iong-kun, Yan-Ceng-kun, Kun-lun-to
dan Cui-pat-sian akan termasuk dalam Giok-liong Pat-bun."
Hampir berbareng, dari sebelah timur keluar seorang yang
berjalan dengan tindakan lebar. "Siauwjin bernama Ciu Liong,"
ia memperkenalkan diri. "Aku ingin meminta pengajaran dari
Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Loosu." Orang itu ber-tubuh
kate dengan otot-otot yang menonjol keluar, sehingga bentuk
badannya menyerupai seekor ker-bau.
Ouw Hui tidak banyak mengenal orang-orang Rimba
Persilatan, tapi baik juga, si kakek yang duduk di dekat
mejanya mempunyai pengalaman luas dan ialah yang tanpa
diminta selalu mencerita-kan asal usul setiap orang yang
tampil ke muka. "Dia itu adalah Ciangbunjin dari Lo-cia-kun
dan Cong-piauw-tauw Liong-hin Piauw-kiok di Tay-tong-hu,
propinsi Shoasay," bisik si kakek kepada ka-wannya.
"Kudengar Auwyang Kong Ceng pernah merebut piauw yang
dilindungi olehnya, sehingga ia menaruh dendam. Menurut
pendapatku, ia turun ke gelanggang bukan untuk merebut
cangkir Giok-liong."
"Ya, dalam Rimba Persilatan memang banyak tersembunyi
dendam sakit hati," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Seperti aku,
kedatanganku di sini terutama untuk menyelidiki tempat
bersembunyi-nya Hong Jin Eng." Mengingat begitu, tanpa
merasa ia melirik orang she Hong itu yang sedang meng-usapusap
Tiat-tannya dengan paras muka tenang. Sesudah dua
malam berturut-turut terjadi keribut-an, Hong Jin Eng
menganggap musuhnya sudah kabur ke lain tempat. Mimpi
pun ia tak pernah mimpi, bahwa Ouw Hui justru berada dalam
ruang-an itu. Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi, Auwyang Kong
Ceng sudah bangun dari kursinya seraya berkata: "Ciu Congpiauw-
tauw, selamat bertemu! Bagaimana dengan
perusahaanmu" Aku pereaya kau telah mendapat banyak
keuntungan."
Mendengar ejekan itu, darah Ciu Liong meluap. Pada tahun
yang lalu, karena perampokan yang dilakukan oleh Auwyang
Kong Ceng, ia mesti mengganti piauw yang berharga lima
laksa tahil perak, sehingga simpanan yang dikumpul olehnya
selama puluhan tahun, habis seluruhnya. Maka itu, tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia segera menyerang secara
nekat. Dalam sekejap, mereka sudah mulai bertempur matimatian.
Ciu Liong bertenaga besar dan kedua kakinya mantap,
sedang Auwyang Kong Ceng gesit gerakan-gerakannya. Dalam
per-tandingan itu, dengan mengandalkan tenaga dan
latihannya, Ciu Liong tidak menghiraukan pukulan musuh dan
walaupun dadanya sudah tertinju tiga kali beruntun, ia seperti
juga tidak merasakan pukulan itu. Tiba-tiba sambil
membentak keras, ia menghantam dengan pukulan Genghong-
tah. Auwyang Kong Ceng berkelit seraya menendang
dan tendangan itu mengena tepat di lutut musuhnya yang
lantas saja rubuh terguling. Tapi, sesudah bergulingan
beberapa kali, Cong-piauw-tauw yang kedot itu sudah lantas
bangun berdiri lagi.
Sesudah bertanding kira-kira lima puluh jurus, belasan
pukulan sudah mampir di tubuh Ciu Liong. Beberapa saat
kemudian, waktu tidak berwaspada, tinju musuh mengenai
tepat di hidungnya, yang lantas saja mengucurkan darah. "Ciu
Loosu," kata Auwyang Kong Ceng dengan suara mengejek,
"Aku hanya merampas piauwmu dan bukan merebut is-terimu
atau membunuh ayahmu. Sudahlah! Kita menyudahi saja
permusuhan ini."
Ciu Liong yang sudah jadi kalap, terus mener-jang bagaikan
harimau edan. Dengan mengandal-kan ilmu ringan badan,
Auwyang Kong Ceng kelit serangan membabi buta itu sambil
mengejek. Selang beberapa jurus lagi, kempungan Ciu Liong kena
ditendang, tapi sebaliknya daripada menyerah, sambil
memegang kempungan dengan tangan kiri, ia melompat dan
mengirim tinju dengan seantero tenaganya. Diserang secara
begitu men-dadak, Auwyang Kong Ceng yang sedang
tergirang-girang melihat musuhnya sudah hampir rubuh, tidak
keburu berkelit lagi. "Buk!" tinju Ciu Liong mengena tepat di
dadanya, sehingga beberapa tulang-nya patah! Tubuh
perampok itu bergoyang-goyang dan mulutnya
menyemburkan darah.
Ia mengerti, bahwa musuhnya yang mendendam sakit hati
hebat, pasti akan menyerang pula. Maka itu, sambil meringisringis,
ia mundur seraya berkata: "Kau... kau menang...."
Tapi Ciu Liong tidak mau mengerti dan terus lompat
mengejar. Untung juga Tong Pay keburu mencegah: "Ciu
Loosu, kau sudah memperoleh kemenangan dan tidak boleh
turun tangan lagi. Duduklah di sini."
Ciu Liong tidak berani membantah dan seraya merangkap
kedua tangannya, ia berkata: "Siauwjin tidak berani merebut
Giok-liong-pwee!" Ia memutar badan dan kembali pada
tempat duduknya yang tadi.
Para hadirin yang mengenai asal usul Auwyang Kong Ceng
merasa girang melihat robohnya perampok jahat itu. Dengan
paras muka pucat karena sakit dan malu, orang she Auwyang
itu tidak berani meninggalkan gedung Hok Kong An. Ia tahu,
bahwa ia mempunyai terlalu banyak musuh dan dalam
keadaan terluka berat, begitu keluar dari gedung itu, musuhmusuhnya
pasti akan mengikutinya untuk membalas sakit hati.
Maka itu, dengan tidak memperdulikan ejekan-ejekan, ia
mengeluarkan obat luka dan menelannya dengan secawan
arak, akan kemudian duduk di salah sebuah kursi, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Diam-diam Ouw Hui memuji kepintaran Ciu Liong. Dengan
kepandaiannya yang tidak seberapa tinggi, memang ia tak
usah harap bisa memperoleh cangkir giok itu. Dengan
mengundurkan diri secara suka rela, meskipun tidak dapat
berdiri sebagai anggota Giok-liong Pat-bun, nama Lo-cia-kun
sudah naik tinggi.
"Jika Ciu Loosu tidak ingin turut merebut cangkir giok, kami
mempersilahkan lain sahabat maju ke mari," kata Tong Pay.
Hampir berbareng dengan undangan itu, dua orang yang
satu dari kiri dan yang lain dari kanan, dengan berbareng
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maju ke depan. Jarak antara mereka dan kursi Thay-su-ie
kira-kira bersamaan dan siapa yang lebih cepat, dialah yang
akan tiba lebih dulu. Apa mau, kedua orang itu maju dengan
kecepatan bersamaan dan begitu tiba di depan kursi, pundak
mereka beradu keras, sehingga ke-dua-duanya terpental. Pada
detik itulah, sekonyong-konyong seorang lain melompat tinggi
dan bagaikan seekor elang, tubuhnya melayang jatuh di atas
kursi! Itulah suatu ilmu mengentengkan badan yang sa-ngat
tinggi, sehingga para hadirin serentak ber-sorak-sorai.
Kedua orang yang berbenturan itu segera meng-awasi
orang yang merebut kursi. Tiba-tiba mereka berseru dengan
berbareng: "Ah! Kau!" Begitu ber-teriak, begitu mereka
menerjang. Tanpa bergerak dari kursi, orang itu menendang
dengan kaki kirinya dan penyerang yang di sebelah kiri lantas
saja jatuh terpelanting. Hampir berbareng, tangan kanannya
menyambar leher baju penyerang yang di sebelah kanan dan
lalu menyentaknya, sehingga orang itu pun rubuh di lantai.
Para hadirin bersorak-sorai. Mereka tak duga orang itu
begitu lihay. An Teetok yang tidak mengenal orang itu lantas saja
menghampiri seraya bertanya: "Apakah aku boleh mendapat
tahu she dan nama tuan yang mulia serta partai mana yang
dipimpin tuan?"
Tapi sebelum orang itu keburu menjawab, kedua orang
yang barusan rubuh sudah melompat bangun dan lalu
menyerang pula sambil mencaci dengan perkataan-perkataan
kotor. Dari cacian itu, ternyata waktu berada dalam
perjalanan, mereka berdua telah dipermainkan oleh orang
yang duduk di kursi.
Tapi ilmu silat orang yang duduk di kursi banyak lebih
unggul daripada kedua lawannya dan dengan mudah, ia
kembali berhasil merubuhkan mereka.
"Cee Loojie!" teriak orang yang di sebelah kiri. "Urusan kita
ditunda saja sampai di lain hari. Hari ini, kita harus lebih dulu
membereskan bangsat ini."
"Benar!" kata orang yang di sebelah kanan sambil
mencabut sebilah pisau dari pinggangnya.
Si kakek yang duduk di dekat meja Ouw Hui, menghela
napas dan berkata: "Semenjak Hoan-kang-houw (Belibis
membalik sungai) meninggal dunia, murid-murid Ap-heng-bun
(Partai gerakan bebek) benar-benar tidak berharga."
Karena sangat kepingin tahu, Ouw Hui lantas saja bangun
dari kursinya dan menghampiri kakek itu. Sambil mengangkat
kedua tangannya, ia berkata: "Aku mohon menanya, apakah
kedua orang itu murid-murid dari Ap-heng-bun?"
Si tua tertawa seraya berkata: "Kalau tidak salah, kita
belum pernah bertemu muka. Apakah aku boleh mendapat
tahu she dan nama tuan yang besar?"
Sebelum Ouw Hui menjawab, Coa Wie yang sudah bangun
berdiri, lantas mendului: "Biarlah aku yang memperkenalkan
kalian. Yang ini adalah Ciangbunjin yang baru dari partai kami,
Thia Leng Ouw, Thia Loosu. Loosu ini ialah Ciangbunjin Sianthian-
kun. Kwee Giok Tong, Kwee Loosu."
Si kakek mengenal Coa Wie dan juga tahu, bahwa Hoakun-
bun adalah salah sebuah partai yang besar di Tiongkok
Utara. Maka itu, ia lantas saja bangun berdiri dan
mengundang Ouw Hui untuk duduk bersama-sama.
Sian-thian-kun adalah sebuah partai yang sudah berusia
tua dan didirikan pada jaman kerajaan Tong. Dulu, partai itu
mempunyai nama yang sangat cemerlang. Hanya sayang,
setiap pemimpin partai tidak mau menurunkan seantero
kepandaiannya kepada murid-muridnya dan selalu menyimpan
satu dua pukulan untuk menjaga diri. Maka itulah, sesudah
melalui jangka waktu berabad-abad, ilmu silat Sian-thian-kun
tidak lagi menonjol ke depan. Pada waktu itu, yaitu jaman
kerajaan Ceng, partai Siang-thian-kun hanya sebuah partai
kecil yang tidak begitu dipandang orang. Kwee Giok Tong
cukup tahu diri. Ia mengerti, bahwa kepandaiannya tidak
cukup untuk turut merebut cangkir dan ia duduk di situ hanya
untuk menikmati makanan dan minuman Hok Kong An yang
luar biasa. Mendengar pertanyaan Ouw Hui, ia lantas saja berkata:
"Ilmu silat Ap-heng-kun agak aneh. Kuda-kudanya kate, kuat
di bagian kaki dan terutama lihay dalam ilmu berenang. Pada
waktu Hoan-kang-houw masih hidup, partai itu menjagoi di
wilayah Ho-tauw. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan
dua orang murid. Yang mencekal pisau adalah Cee Pek Cin,
sedang yang memegang pusut bernama Tan Ko Po. Semenjak
sepuluh tahun, mereka ber-dua berebut kedudukan
Ciangbunjin dan sampai sekarang belum ada keberesannya.
Dan sekarang, muka mereka cukup tebal untuk datang ke
mari bersama-sama."
Ouw Hui tersenyum. Dalam Rimba Persilatan memang
banyak terjadi kejadian yang aneh-aneh.
Sementara itu, dengan masing-masing mencekal senjata
pendek, Cee Pek Cin dan Tan Ko Po menyerang dari kiri dan
kanan. Tanpa berkisar dari kursinya, orang itu membentak:
"Bocah goblok! Di Lan-ciu aku sudah memperingati supaya
kamu ja-ngan datang ke mari. Tapi kamu tetap tidak
meladeni."
Semua mata lantas saja ditujukan kepada orang aneh itu,
yang berusia kira-kira lima puluh tahun, memakai tutup mata
hitam dan mengisap sebatang pipa, sedang di atas bibirnya
terdapat kumis warna kuning seperti kumis tikus. Apa yang
luar biasa adalah cara berkelahinya. Dengan sembarangan, ia
menggerakkan kaki tangannya, tapi pukulan-pu-kulannya itu
yang agaknya tidak bertenaga, selalu berhasil merubuhkan
kedua lawannya.
"Kwee Loosu, siapa Cianpwee itu?" tanya Ouw Hui.
Kwee Giok Tong mengerutkan alisnya dan berkata: "Dia...
dia...." Paras mukanya berubah merah, karena ia tak tahu
siapa adanya orang aneh itu.
"Bocah kurang ajar!" bentak pula si tutup mata hitam.
"Kalau bukan memandang muka Hoan-kang-houw, aku pasti
tak sudi campur-campur lagi urusanmu. Hoan-kang-houw
adalah seorang gagah yang patut dihormati. Aku tak nyana,
murid-muridnya sebangsa manusia rendah yang rakus. Eh!
Kamu mau pulang atau tidak?"
"Suhu pasti tidak mempunyai sahabat bau seperti kau!"
bentak Tan Ko Po. "Aku berguru lima enam tahun, tapi belum
pernah lihat muka bang-kotanmu!"
"Anak celaka!" caci si tutup mata. "Hoan-kang-houw kawan
mainku, kawan main lumpur dan menangkap kutu. Kau tahu?"
Tiba-tiba tangan kirinya menyambar dan "Plok!" mengena
tepat di kuping Tan Ko Po. Sesaat itu, Cee Pek Cin menubruk
dari sebelah kanan. Si tua mengangkat kakinya yang kena jitu
di muka Pek Cin. "Sesudah gurumu meninggal, biar aku yang
menghajar kau!" bentaknya.
Melihat pertunjukan yang lucu itu, semua orang tertawa
geli. Tapi Cee Pek Cin dan Tan Ko Po benar-benar manusia
tolol. Mereka sedikit pun tak bisa lihat, bahwa kepandaian
mereka masih kalah terlalu jauh dari si tutup mata.
"Bocah, kau dengarlah!" bentak si tua lagi. "Hok Thayswee
mengundang kamu datang di sini, apa kau kira dia mempunyai
maksud baik" Hm! Dia mau mengadu domba kamu semua!
Huh! Huh! untuk mendapat cangkir yang tidak cukup untuk
memuat kencing, kamu saling geragot dan saling bunuh!"
Mendengar perkataan itu, semua orang kaget bukan main.
Ouw Hui manggut-manggutkan ke-palanya dengan perasaan
kagum akan ketabahan orang tua itu.
Sekarang An Teetok tidak dapat menahan sa-bar lagi.
"Siapa kau?" bentaknya. "Kau mau mengacau di sini?" Karena
masih memandang muka para orang gagah, sedapat-dapat ia
menahan ama-rah dan tidak lantas turun tangan.
Si tutup mata tertawa dan berkata dengan suara tenang:
"Aku sedang mengajar cucu-cucuku dan tidak ada sangkut
pautnya dengan kau." Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat
pipanya berkelebat. Hampir berbareng pisau dan pusut yang
dicekal Cee Pek Cin dan Tan Ko Po jatuh di lantai. Sesudah
menyelipkan pipanya di pinggang, tangan kanannya
menyambar ke kuping kiri Cee Pek Cin, sedang tangan kirinya
menyambar ke kuping kanan Tan Ko Po. Ia bangun dan
bertindak ke luar sambil menje-wer kuping kedua pemuda itu.
Heran sungguh, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan
meringis seperti orang kesakitan, mereka mengikuti. Ternyata,
sedang jempol dan telunjuk orang tua itu menjewer
kuping, tiga jerijinya menekan jalan da-rah Kiang-kan-hiat dan
Hong-hu-hiat yang terletak di belakang otak, sehingga kaki
tangan kedua pemuda itu menjadi lemas dan tidak dapat
melawan lagi. Ouw Hui dan Leng So menyaksikan perbuatan si tua
dengan rasa kagum dan menghormat.
"Binatang!" caci An Teetok. "Apa kau mau cari mampus...?"
Kata-kata itu terhenti di tengah jalan, karena serupa benda
bundar mendadak menyambar ke dalam mulutnya dan terus
turun di tenggo-rokannya. Meskipun hidungnya mengendus
bebau-an daging dan lidahnya merasakan rasa daging, seperti
juga benda yang masuk ke dalam perutnya adalah sebuah
bakso, tapi ia tidak dapat mene-tapkan apakah benar, benda
bundar itu bakso ada-nya. Di samping itu, ia juga tak tahu
siapa yang sudah menimpuknya. Maka itu, dengan paras
muka pucat, ia berdiri bengong seperti patung.
Tong Pay yang duduk di belakang An Teetok tidak dapat
melihat kejadian itu. "Dalam dunia Kang-ouw memang
terdapat banyak sekali orang-orang gagah yang hidup
mengasingkan diri," kata-nya sesudah orang aneh itu berlalu.
"Karena Cianpwee yang tadi sungkan bergaul dengan
manusia biasa, maka kita pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Sekarang Loosu manakah yang ingin mengisi kursi yang
kosong ini?"
"Aku!" demikian terdengar satu suara. Orang heran, sebab
ada suara, tiada orangnya. Beberapa saat kemudian, dari
antara orang banyak barulah muncul seorang kate yang tinggi
tubuhnya hanya tiga kaki lima enam dim, sedang mukanya
yang berjenggot kelihatan angker sekali. Melihat si kate,
beberapa jago muda tidak tahan untuk tidak ter-tawa. Tibatiba
orang kate itu menengok dan meng-awasi dengan sorot
mata angker, sehingga orang-orang yang tertawa lantas saja
bungkam. Si kate berhenti di depan kursi Oey Hie Kiat dan mengawasi
raksasa itu dari kepala sampai di kaki dan dari kaki sampai di
kepala lagi. Melihat lagak orang yang aneh, Hie Kiat menegur:
"Eh, lihat apa kau" Apa kau mau menjajal kepandaian denganku?"
Orang kate itu tidak menjawab, ia hanya menge-luarkan
suara di hidung sambil berjalan ke belakang kursi. Karena
khawatir dibokong, Hie Kiat memutar tubuhnya dan si kate
kembali ke depan kursi, sedang matanya terus mengawasi
muka orang. "Loosu itu adalah Cong Hiong, Cong Loosu, Ciangbunjin
dari Tee-tong-kun di propinsi Siam-say," kata An Teetok.
Sebab diawasi secara begitu, darah Hie Kiat lantas saja
meluap dan ia bangun berdiri. "Cong Loosu!" bentaknya. "Aku
ingin meminta pelajaran dari ilmu silat Tee-tong-kun."
Di luar dugaan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Cong
Hiong menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas
saja melesat ke kursi yang kosong.
Oey Hie Kiat tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Jika
kau tidak ingin bertempur denganku, baiklah!" Sehabis
berkata begitu, ia duduk lagi di kursinya.
Tapi sungguh aneh, begitu lekas si raksasa duduk, si kate
bangun dan berdiri pula di depan kursi Oey Hie Kiat sambil
menatap wajah orang.
"Eh, lihat apa kau!" bentak Hie Kiat dengan suara gusar.
"Tadi, waktu minum arak, mengapa kau mengawasi aku
sambil tertawa-tawa?" tanya Cong Hiong. "Kau mentertawai
badanku kate, bukan?"
"Badanmu kate, ada sangkut paut apakah denganku?" kata
si raksasa seraya menyengir.
Cong Hiong jadi gusar. "Binatang! Kau menarik keuntungan
secara tidak halal atas diriku!" teriak-nya.
"Menarik keuntungan tidak halal?" menegas Hie Kiat
dengan heran. "Kau mengatakan, bahwa katenya badanku tiada sangkut
pautnya denganmu," jawabnya. "Huh -huh. Aku bertubuh kate
memang hanya bersangkut paut dengan ayahku. Dan dengan
mengatakan begitu, bukankah kau sengaja mengejek
ayahku?" Mendengar perkataan itu, semua orang tertawa besar - Hok
Kong An menyemburkan teh yang baru masuk ke dalam
mulutnya. Thia Leng So meneng-kurep di meja sambil
memegang perut, sedang Ouw Hui sedapat mungkin menahan
tertawa, sebab kha-watir jenggot palsunya jatuh.
Hie Kiat pun tertawa geli. "Tidak berani, tidak berani aku
mengejek ayah Cong Loosu," katanya.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Cong Hiong segera
meninju kempungan orang. Meskipun bertubuh tinggi besar,
Oey Hie Kiat ternyata cukup gesit dan dengan sekali menekan
lengan kursi, tubuhnya sudah melesat ke samping. Hampir
ber-bareng terdengar suara gedubrakan dan kursi Thay-su-ie
itu hancur jadi puluhan potong! Gelak tertawa terhenti
serentak. Semua orang kaget, karena mereka tak duga, Cong
Hiong yang berbadan kate kecil mempunyai tenaga yang
sedemikian hebat.
Begitu tinjunya melesat, Cong Hiong segera bergulingan di
lantai dan menyerang bagian bawah dengan menggunakan
ilmu silat Tee-tong-kun. Dengan beruntun-runtun. Oey Hie
Kiat membela diri dengan tendangan Sauw-tong-tui. Tui-pokwa-
houw-sit. Tiauw-cian-po dan Iain-lain, tapi ia masih tetap
kewalahan. Ilmu silat Jie-long-kun menguta-makan pukulan
tangan dan tidak begitu memper-hatikan ilmu menendang.
Jika bertemu dengan la-wan biasa, dengan menggunakan Jielong-
tan-san-ciang, Kay-ma-sam-kun dan Iain-lain pukulan, ditambah
lagi dengan tenaganya yang sangat besar, dengan
mudah ia dapat merubuhkan lawan itu. Apa celaka, ia
sekarang bertemu dengan si kate yang menyerang dengan
bergulingan. Ilmu menendang vang dimilikinya adalah untuk
menendang tubuh atau kepala musuh. Maka itu, dalam
menghadapi Cong Hiong, bukan saja tinjunya tidak berguna,
tapi kakinya pun selalu menendang ke tempat kosong.
Untuk membela diri, jalan satu-satunya ialah melompat
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kian ke mari. Sesudah bertempur puluhan jurus, Hie Kiat sudah kena
beberapa tendangan dan sesaat ke-mudian, kedua kaki Cong
Hiong mengena tepat di kedua lututnya, sehingga, tanpa
ampun lagi, ia ru-buh di atas lantai.
Dengan girang, si kate lalu menubruk. Tapi di luar dugaan,
biarpun sudah rubuh, Hie Kiat masih keburu mengirim tinju
dengan sekuat tenaga. "Buk!" Cong Hiong terpental setombak
lebih! Tapi begitu jatuh, begitu ia bangun dan terus
menerjang pula. Sambil berlutut, Hie Kiat melayani musuhnya
dan dalam kedudukan begitu, ia dapat melawan si kate yang
menyerang dengan bergulingan.
Mereka berdua adalah bangsa kedot yang tahan sakit dan
biarpun keduanya sudah kena pukulan-pukulan hebat,
pergulatan masih dilangsungkan terus. Sesudah Iewat sekian
jurus lagi, sekonyong-konyong Cong Hiong menghatam dada
Hie Kiat dengan kedua tinjunya. Hie Kiat mengegos sambil
menjambret leher si kate dan dengan sekali mem-balik tubuh,
ia menindih badan lawan dengan ba-dannya yang seperti
raksasa. Si kate coba mem-berontak sekuat tenaga, tapi tidak
bergeming, karena Hie Kiat yang sudah berada di atas angin,
terus menindih dan memeluknya secara mati-matian.
Beberapa saat kemudian, paras muka Cong Hiong berubah
pucat dan tenaga memberontaknya semakin lemah.
Melihat perkelahian peluk banting itu yang tidak miripmiripnya
dengan pertandingan antar dua Ciangbunjin, para
hadirin menggeleng-gelengkan kepala.
Mendadak, dari antara orang banyak melompat ke luar
seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan yang, segera
menghantam punggung Oey Hie Kiat.
"Mundur!" bentak An Teetok. "Tidak boleh mengerubuti!"
Tapi orang itu tidak meladeni dan tinjunya mengena tepat
di punggung si raksasa yang dalam kesakitannya terpaksa
melepaskan cekalannya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan
baik, Cong Hiong memberontak dengan seantero tenaganya
dan melompat bangun.
Tiba-tiba seorang lelaki lain kembali melompat ke luar dan
tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninju lelaki yang
bertubuh tinggi besar itu. Ter-nyata mereka itu adalah murid
kepala Cong Hiong dan putera Oey Hie Kiat. Di lain saat,
dalam ge-langgang berlangsung perkelahian antara dua pasang
musuh dan para tamu membantu keramaian itu dengan
bersorak-sorai dan menepuk-nepuk tangan. Dengan demikian,
apa yang tertampak lebih banyak menyerupai tontonan
wayang daripada pie-bu antara pentolan-pentolan Rimba
Persilatan. Sesudah mendapat pengalaman getir, Cong Hiong tidak
berani berlaku sembrono lagi dan ia berkelahi dengan hatihati,
sehingga pertempuran antara si kate dan si raksasa jadi
berimbang. Di lain pihak, putera Oey Hie Kiat yang belum
berpeng-alaman sudah terjungkal beberapa kali dan kemudian,
dalam gusarnya, ia mencabut sebilah golok pendek
yang disembunyikan di kaos kaki. Murid Cong Hiong kaget dan
sebab tidak membekal senjata, buru-buru ia menjambret kursi
Thay-su-ie yang kosong, yang lalu digunakan untuk
menangkis sen-jata musuh. Semakin lama pie-bu itu jadi
semakin kacau dan merosot martabatnya.
"Pie-bu apa ini" Semua mundur!" teriak An Teetok.
Tapi keempat orang itu yang sedang meluap darahnya,
tidak menggubris.
Sekonyong-konyong Hay Lan Pit bangun ber-diri dan
membentak: "Eh! Apa kamu tak dengar perkataan An
Teetok?" Sesaat itu, putera Oey Hie Kiat tengah mem-bacok
musuhnya yang dengan sekali berkelit, dapat menyelamatkan
diri. Pada detik golok membacok tempat kosong, tangan Hay
Lan Pit menyambardan mencengkeram dada puteranya Hie
Kiat yang lalu dilontarkan keluar gelanggang. Hampir
berbareng, tangannya yang lain menjambret murid Cong
Hiong yang juga lantas dilemparkan sampai di cimhee. Semua
orang terkejut. Di lain saat, kedua tangan Hay Lan Pit sudah
mencekal Hie Kiat dan Cong Hiong yang segera dilemparkan
dengan berbareng. Apa yang lucu adalah keempat orang itu
jatuh di satu tempat dengan bersusun tindih. Begitu jatuh,
begilu mereka saling gcbuk lagi dan perkelahian baru berhenti
sesudah mereka dipisahkan oleh beberapa Wie-su.
Kepandaian yang diperlihatkan Hay Lan Pit mengejutkan
semua orang. Biarpun Cong Hiong dan Oey Hie Kiat bukan
ahli-ahli silat kelas utama, tapi mereka adalah jago-jago yang
mempunyai nama dalam Rimba Persilatan. Bahwa mereka
telah dilontarkan secara begitu rupa oleh perwira Boan itu,
adalah kejadian di luar dugaan semua orang.
Sesudah menghentikan perkelahian itu, Hay Lan Pit segera
mendekati An Teetok dan bicara dalam bahasa Boan.
"Kepandaian Hay Tayjin benar-benar tinggi dan tidak dapat
disusul oleh kami semua," memuji Tong Pay sesudah perwira
itu kembali ke tempat duduk-nya. Terhadap pujian itu, Hay
Lan Pit segera mengeluarkan kata-kata merendahkan diri.
Sesaat ke-mudian seorang pelayan keluar dengan nicmbawa
sebuah kursi Thay-su-ie untuk ditukar dengan kursi yang
hancur. Sementara itu, sesudah menyaksikan kepandaian Hay Lan
Pit, See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to merasa tidak
enak dalam hatinya, ka-rena diam-diam ia mengakui, bahwa
ilmu silatnya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan
perwira Boan itu. Tapi Bun Cui Ong, Ciangbunjin Cui-pat-sian,
tetap tenang-tenang saja dengan kadang-ka-dang menceguk
cawan arak. Sesudah ketenangan pulih, An Teetok berkata pula sesudah
batuk-batuk beberapa kali. "Hok Thayswee mengundang
kalian datang ke mari adalah untuk menetapkan kepandaian
masing-masing. Maka itu, aku mengharap, bahwa kejadian
barusan yang sangat memalukan tidak terulang lagi. Di sini
masih terdapat dua kursi kosong yang kuharap akan diisi oleh
orang-orang gagah yang benar-benar mempunyai kepandaian
tinggi." "Hei! Jangan mengejek kau! Apa kau kira aku bukan orang
gagah tulen?" mengomel Cong Hiong dengan suara gusar.
Tapi semua orang tidak memperdulikan lagi omelan si kate,
karena mata mereka sudah di-tujukan kepada dua kursi Thaysu-
ie yang sekarang sudah terisi. Ternyata, di satu kursi sudah
duduk seorang pendetayangmengenakanjubah pertapaan
warna putih dan yang diperkenalkan oleh An Teetok sebagai
Hachi Taysu dari Mongolia, sedang di kursi yang satunya lagi
duduk dua orang yang muka dan dandanannya tidak berbeda
satu sama lain. Alis mereka turun, mata mereka seperti mata
ayam jantan yang sedang berkelahi dengan biji mata yang
terletak dekat dengan batang hidung dan dengan sekelebatan
saja, orang lantas menduga, bahwa mereka adalah saudara
kembar. Sambil tersenyum-senyum, An Teetok berkata: "Dua orang
gagah yang duduk di kursi itu adalah kedua Ciangbunjin dari
Song-cu-bun di propinsi Kwiciu, yaitu Nie Put Toa dan Nie Put
Siauw, Nie Loosu." (Nie Put Toa = Nie Tidak Besar. Nie Put
Siauw = Nie Tidak Kecil).
Melihat dua saudara itu yang seakan-akan pi-nang dibelah
dua, semua orang jadi merasa gembira dan mereka saling
menduga-duga, bahkan ada yang berlaruh, yang mana kakak,
yang mana adik. Bukan saja para tamu, malah Hok Kong An
sendiri meng-awasi kedua orang itu sambil tersenyum.
Selagi orang ramai bicara, tiba-tiba satu ba-yangan
berkelebat dan seorang wanila berdiri di tengah gelanggang.
Nona itu yang berusia kira-kira dua puluh tahun dan
mengenakan baju kuning dengan kun hijau, berparas sangat
cantik. "San Hui Hong, San Kouwnio, Ciangbunjin dari Ngo-ouwbun
di Hong-yang-hu!" seru An Teetok.
Melihat turunnya seorang wanita cantik, para hadirin jadi
lcbih bersemangat.
"Murid-murid Ngo-ouw-bun biasanya mencari nafkah dalam
dunia Kang-ouw dengan menjual silat dan obat-obatan,"
menerangkan Kwee Giok Tong kepada Ouw Hui. "Menurut
kebiasaan partai itu yang menjadi Ciangbunjin harus seorang
wanita. Meskipun mempunyai kepandaian tinggi, seorang pria
tidak dapat memimpin Ngo-ouw-bun. Tapi apa nona yang
berusia begitu muda mempunyai kepandaian tinggi?"
Di lain saat, San Hui Hong sudah berada di hadapan kedua
saudara Nie dan sambil menolak pinggang, ia menegur:
"Bolehkah aku mendapat tahu, di antara kalian berdua, siapa
kakak dan siapa adik?"
Kedua orang itu tidak menjawab, mereka hanya
menggelengkan kepala.
Nona San tersenyum dan berkata pula: "Walau-pun kalian
saudara kembar, tapi dalam persau-daraan kembar, ada yang
terlahir lebih dulu. ada vang belakangan."
Kedua saudara kembar itu tetap menggeleng-gelengkan
kepala. "Ah! Aku sungguh tak mengerti sikapmu," kata pula si
nona. Sambil menunjuk kepada orang yang duduk di sebelah
kiri, ia berkata lagi: "Apa kau yang lcbih tua"' Orang itu
menggelengkan kepala. Hui Hong menunjuk yang di sebelah
kanan dan menanya pula: "Kalau begitu, kaulah yang lebih
tua, bukan?" Dia pun menggoyang-goyangkan kepala.
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Loosu, sikapmu sungguh
mengherankan," katanya dengan suara mendongkol. "Kita,
orang-orang Rimba Persilatan biasanya tidak pernah
berdusta."
"Apa kau kata?" bentak yang duduk di sebelah kanan.
"Siapa berdusta" Aku bukan kakaknya dan dia pun bukan
kakakku." "Apakah kalian bukan saudara satu sama lain?" tanya si
nona. Dengan berbareng, lagi-lagi mereka meng-gelenggelengkan
kepala. Semua orang heran bukan main. Dilihat dari rupa dan
pakaian, terang-terangan mereka adalah saudara kembar.
Tapi mengapa mereka bersikap begini aneh"
San Hui Hong mengeluarkan suara di hidung. "Dengan
menggelengkan kepala, kalian sudah berdusta," katanya.
"Kalau orang mengatakan, bahwa kalian bukan saudara
kembar, biarpun dipotong kepala, aku tak akan pereaya.
Hayolah! Yang mana Nie Put Toa Loosu."
"Aku Nie Put Toa," jawab yang di sebelah kiri.
"Bagus," kata si nona. "Siapa yang terlahir lebih dulu, apa
kau, apa dia?"
Nie Put Toa mengerutkan alisnya. "Nona, mengapa kau
begitu rewel?" tanyanya dengan suara mendongkol. "Kau
bukan ingin mengikat famili dengan kami berdua saudara,
perlu apa kau begitu melit?"
Hui Hong menepuk-nepuk tangan dan tertawa geli. "Aha!
Sekarang kau sudah mengaku, bahwa kalian berdua adalah
saudara," k;'anya.
"Benar, memang benar kami bersaudara, tapi bukan
saudara kembar," kata Nie Put Siauw.
"Aku tidak percaya," kata Hui Hong.
"Terserah," kata Nie Put Toa.
Tapi si nona masih saja tidak merasa puas. "Persaudaraan
kembar sedikit pun tiada jeleknya. Mengapa kau terus
menyangkalnya?" katanya.
Kedua saudara itu berdiam sejenak dan kemu-dian Nie Put
Siauw berkata: "Kalau kau sangat ingin tahu hal ihwalnya
kami, kami pun bersedia untuk memberitahukannya. Tapi
kami mempunyai serupa peraturan. Siapa saja yang sudah
mendengar rahasia kelahiran kami, dia harus menerima tiga
pukulan dari aku dan saudaraku. Jika dia tidak mau dipukul,
boleh juga ditukar dengan berlutut tiga kali di hadapan kami
berdua." Karena didorong dengan rasa heran yang sangat besar, si
nona jadi nekat dan berkata seraya meng-angguk. "Baiklah,
kalian beritahukanlah kepadaku," katanya.
Kedua saudara itu bangun berdiri dengan ge-rakan yang
sangat bersamaan. "Aha! Lihatlah!"seru Hui Hong. "Setan pun
tidak pereaya, bahwa kalian bukan saudara kembar."
Sekonyong-konyong kedua saudara itu menge-luarkan
tangan mereka dari dalam tangan baju dan dengan serentak
terlihat berkelebat-kelebatnya si-nar emas. Ternyata, dua
puluh jari mereka disarung-kan dengan bidal-bidal emas yang
panjang tajam dan dapat digunakan sebagai senjata untuk
men-cengkeram musuh. Mendadak, tangan mereka
menyambar ke arah Hui Hong yang jadi kaget bukan main dan
buru-buru melompat ke samping. "Bikin apa kau?" membentak
si nona. Semenjak dilahirkan, kedua saudara itu belum pernah
berpisahan dan dalam ilmu silat, mereka dapat bekerjasama
seerat-eratnya, yang satu mem-bantu yang lain dalam
pembelaan diri dan serangan-serangan yang sudah dilalih
selama bertahun-tahun. Maka itu, tidaklah heran, dalam
sekejap San Hui Hong sudah jaluh di bawah angin. la hanya
dapat membela diri, tanpa mainpu membuat serangan
membalas. Para penonton lantas saja mulai berteriak-teriak.
"Tidak adil! Tak malu! Dua lelaki mengerubuti satu
perempuan!" teriak seorang.
"Si nona tangan kosong. kau berdua mengguna-kan
senjata. Ah! Lebih-Iebih tak tahu malu," seru yang lain.
"Saudara kecil! Bantulah nona itu. Mungkin ia akan sangat
berterima kasih kepadamu. Ha-ha-ha!" teriak orang ketiga.
Tiba-tiba, sambil mengeluarkan seruan tertahan, kedua
saudara itu melompat keluar dari gelanggang dan mereka
mengawasi ke arah Hok Kong An, dengan sorot mata girang
dan kagum. Semua orang lantas saja menengok ke jurusan
yang diawasi mereka. Ternyata, dengan paras muka berseriseri,
Menteri Pertahanan itu sedang bicara bisik-bisik dengan
dua bocah yang dicekal dengan kedua ta-ngannya. Tak bisa
salah lagi, kedua bocah itu, yang mukanya tampan dan mirip
satu sama lainnya, ada-lah saudara kembar. Dengan demikian
dalam ruang-an itu terdapat dua pasang saudara kembar,
yang sepasang tampan, yang lain jelek.
Melihat begitu, kecuali dua orang, para tamu jadi merasa
gembira sekali. Dua orang yang tidak lurut bergembira -
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan kaget dan berkhawatir -adalah Ouw Hui dan Leng So
yang segera mengenali, bahwa kedua bocah itu bukan lain
daripada putera-puteranya Ma It Hong! Mereka mengerti,
bahwa dengan direbut pulangnya kedua anak itu, rahasia
mereka sudah menjadi bocor.
Dengan lirikan mata Leng So memberi isyarai kepada
kakaknya, supaya mereka segera meng-angkat kaki. Ouw Hui
manggut-manggutkan kepala sambil berkata dalam hatinya.
"Jika rahasia sudah bocor, musuh tentu sudah siap sedia.
Jalan satu-satunya ialah bertindak dengan mengimbangi
selatan." Sementara itu, Nie Put Toa dan Nie Put Siauw mengawasi
kedua bocah tersebut dengan mata ter-longong-longong.
Nona San tertawa seraya berkata, "Kedua bocah itu manis
sekali. Apa kalian mau mengambil mereka sebagai murid?"
Pertanyaan itu kena betul di hati mereka. Dalam Rimba
Persilatan, murid memilih guru, tapi gurupun memilih murid
untuk mengang-kat naik derajat rumah perguruan atau partai.
Dalam kalangan Song-cu-bun, untuk mendapat hasil yang
sebaik-baiknya, ilmu silat partai tersebut harus digunakan oleh
dua orang yang dengan bekerja sama seerat-eratnya.
Memang benar, seorang guru Song-cu-bun dapat memilih dua
murid bukan sau-dara dan kemudian melatih mereka
bersama-sama. Tapi sebaiknya jika bisa didapat dua saudara,
apa-lagi dua saudara kembar yang jalan pikirannya ham-pir
bersamaan, supaya dalam pertempuran kerja sama itu dapat
tereapai sebaik-baiknya. Maka itu-lah, semenjak dulu, partai
Song-cu-bun selalu men-cari dua saudara kembar untuk
dijadikan murid yang akan mewarisi dan memimpin partai
tersebut. De-mikianlah begitu melihat kedua putera Hok Kong
An, yang berparas tampan dan menunjuk bakat luar biasa, Nie
Put Toa dan Nie Put Siauw jadi seperti orang kesima dan
sesaat itu juga, mereka segera mengambil keputusan untuk
merebut kedua bocah itu guna dijadikan murid.
Di lain pihak, sambil tersenyum-senyum, Hok Kong An
berbisik di kuping kedua puteranya: "Li-hatlah kedua Suhu itu.
Mereka pun saudara kembar. Lihatlah, muka mereka sangat
bersamaan satu sama lain. Apa kau bisa menebak, yang mana
kakak, yang mana adik?"
Sesudah berhasil merebut pulang kedua puteranya, Hok
Kong An girang bukan main dan melihat kedua saudara Nie
itu, dalam gembiranya, ia segera memerintahkan seorang
Wie-su untuk mengajak kedua puteranya datang ke ruangan
perjamuan, supaya mereka pun dapat menyaksikari
macamnya kedua saudara Nie.
Mendengar pertanyaan sang ayah, sesudah mengawasi
beberapa saat, kedua anak itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sekonyong-konyong, sambil membentak keras, kedua
saudara Nie itu menerjang ke arah Hok Kong An dari kiri dan
kanan. Hok Kong An terkesiap, sedang dua Wie-su yang
berdiri di sampingnya segera melompat untuk menyambut
musuh. Tapi ge-rakan kedua saudara itu aneh dan cepat luar
biasa. Selagi lari menerjang, Nie Put Toa yang di sebelah kiri
mendadak membelok ke sebelah kanan, sedang Nie Put Siauw
yang di sebelah kanan membelok ke kiri. Dengan membelok
begitu, kedua Wie-su yang coba menyambutnya jadi
ketinggalan di belakang dan mereka terus menerjang Hok
Kong An. Begitu berhadapan, dengan berbareng mereka
menendang kaki kursi, sehingga menteri itu lantas saja jatuh
terguling bersama-sama kursinya. Dalam sekejap keadaan jadi
kacau. Para Wie-su kaget dan gugup - ada yang coba
mencegat musuh, ada yang menubruk untuk membangunkan
majikan mereka dan ada pula yang berdiri di depan Hok Kong
An, siap sedia untuk menyambut lain serangan. Dalam
keadaan yang kacau itu, cepat bagaikan kilat, kedua
saudaraNiemasing-masingmemondongsatubocah dan lalu
melompat untuk melarikan diri.
Keadaan dalam ruangan itu jadi semakin kacau balau.
Dengan beruntun terdengar suara gedubrak-an dan empat
Wie-su yang coba mencegat telah ditendang rubuh oleh kedua
saudara itu, yang sam-bil mendukung kedua bocah itu, berlarilari
ke arah pintu. Mendadak, dua bayangan berkelebat dan
dua orang mengejar secepat kilat. Mereka itu bukan lain
daripada Hay Lan Pit dan Tong Pay. Begitu menyusul, Hay Lan
Pit menepuk leher Nie Put Siauw, sedang Tong Pay membabat
pinggang Nie Put Toa dengan pukulan Bian-ciang yang
mengandung te-naga "keras" dan "lembek". Mendengar
sambaran angin dahsyat, kedua saudara itu segera
menangkis. Berbareng dengan suara "buk!", badan Nie Put
Siauw bergoyang-goyang, dukungannya terlepas dan sesudah
terhuyung beberapa tindak, ia muntahkan darah. Nie Put Toa
pun mengalami nasib yang hampir bersamaan dan putera Hok
Kong An terlepas dari pelukannya.
Sesaat itu, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw sudah
menerjang dan merebut pulang kedua bocah itu.
Sesudah menenteramkan hatinya, dengan ke-gusaran
meluap-luap Hok Kong An berteriak: "Bi-natang! Nyalimu
sungguh besar. Bekuk mereka!"
Hay Lan Pit dan Tong Pay melompat dengan berbareng dan
menyerang dengan ilmu Kin-na-chiu. Kedua saudara itu yang
sudah mendapat luka di dalam, tak dapat melawan lagi.
Sesudah berhasil membekuk kedua orang itu, Hay Lan Pit
dan Tong Pay segera memutar badan untuk menyeret
tawanan itu ke hadapan Hok Kong An. Pada detik itulah, dari
atas payon rumah mendadak melayang turun dua orang.
Begitu lekas kaki mereka hinggap di lantai, lilin-lilin
bergoyang-goyang dan semua orang bangun bulu romanya,
seakan-akan mereka bertemu setan memedi di tengah hutan
belukar. Mengapa" Karena macamnya kedua orang itu, tiada
bedanya seperti setan. Mereka bertubuh jang-kung dan kurus
luar biasa, dengan alis yang turun ke bawah dan muka kurus
panjang, seolah-olah macamnya setan Bu-siang-kwie yang
biasa men-cabut nyawa manusia. Apa yang lebih mengheranTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kan lagi, muka dan potongan badan mereka tiada bedanya
satu sama lain, sehingga dapat ditarik ke-simpulan, bahwa
mereka berdua juga saudara kem-bar.
Dengan gerakan secepat arus kilat, yang satu menyerang
Hay Lan Pit, yang lain menghantam Tong Pay. Begitu empat
lengan kebentrok, tubuh Hay Lan Pit dan Tong Pay
bergoyang-goyang. Sesaat itu, keadaan yang barusan kalut
berubah dengan mendadak dan ruangan itu menjadi sunyi
senyap, karena semua mata ditujukan kepada dua orang aneh
itu. Tiba-tiba, kesunyian dipecahkan dengan teriak-an Bun Cui
Ong yang tajam dan menakutkan:
"Hek-bu-siang...! Pek-bu-siang...?"
Dengan lengan mereka terus menempel dengan lengan
Hay Lan Pit dan Tong Pay, kedua orang itu mengawasi Bun
Cui Ong dengan mata setajam kilat. "Kedosaanmu sudah
luber, apa hari ini kau masih mengharap bisa melarikan diri?"
kata orang yang di sebelah kiri dengan suara dingin.
Mendadak, dengan berbareng mereka mendorong keras,
sehingga Hay Lan Pit dan Tong Pay terhuyung ke belakang
beberapa tindak dan cekalannya terhadap kedua saudara Nie
jadi terlepas. Tong Pay dan Hay Lan Pit ingin menyerang pula, tapi kedua
orang itu sudah menghadang di depan kedua saudara Nie dan
orang yang berdiri di sebelah kanan berkata dengan suara
nyaring: "Kami berdua sebenarnya tidak mempunyai
sangkutan apa pun jua dengan kedua saudara ini, tapi
mengingat sama-sama anak kembar, kami turun tangan untuk
menolong mereka."
Hampir berbareng, orang yang berdiri di sebelah kiri
mengangkat kedua tangannya seraya ber-seru: "Kakak
beradik Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie dari Ang-hoa-hwee
memberi hormat kepada orang-orang gagah di kolong langit."
Hay Lan Pit dan Tong Pay sebenarnya ingin menyerang
pula, tapi begitu lekas mendengar dua nama itu, mereka
terkesiap dan lantas mengurung-kan niatnya. Dilain saat,
dengan sekali menotol lantai dengan kaki mereka, kedua
saudara itu sudah melompat ke genteng sambil memondong
Nie Put Toa dan Nie Put Siauw. Kaburnya mereka disusul
dengan beberapa jeritan kesakitan di atap gedung dan semua
orang tahu, bahwa jeritan itu keluar dari mulutnya para Wiesu
yang telah dirubuhkan oleh kedua jago Ang-hoa-hwee itu.
Beberapa saat kemudian, Hay Lan Pit dan Tong Pay merasa
telapak tangan mereka gatal-gatal sakit dan begitu melihat,
mereka mengeluarkan seruan tertahan, karena telapak tangan
mereka sudah ber-warna ungu hitam. Dengan segera mereka
ingat, bahwa pukulan Hek-see-ciang (Pukulan pasir hitam) dari
See-coan Song-hiap (Dua pendekar dari Sec-coan barat)
bukan main lihaynya. Nama Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang
sudah didengar mereka selama puluhan tahun, tapi baru
sekarang mereka bertemu muka.
Dalam mengadakan pertemuan para Ciang-bunjin, salah
satu tujuan Hok Kong An adalah untuk menghadapi orangorang
gagah dari Ang-hoa-hwee. Tapi di luar dugaan, Siangsie
Heng-tee sudah keluar masuk selama pertemuan masih dilangsungkan,
seperti juga gedung Hok Kong An tidak ada
manusianya. Maka itu, dapatlah dibayang-kan rasa gusar dan
kecewanya pembesar itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata,
dengan mata melotot ia mengawasi orang-orang yang duduk
di kursi Thay-su-ie. Tay-tie Siansu tetap duduk sambil
menunduk dengan sikap tenang, Bu-ceng-cu juga tidak bergerak,
sedang Bun Cui Ong berdiri tegak dengan mata
mengawasi ke tempat jauh. Dari parasnya yang pucat pias,
dapat dilihat bahwa ia sedang berada dalam ketakutan yang
sangat hebat. Semua kejadian itu sudah disaksikan Ouw Hui dengan rasa
syukur dan girang. Nama "Ang-hoa-hwee" sudah membuat
jantungnya memukul lebih keras dan dengan rasa kagum, ia
melihat cara bagaimana kedua saudara Siang itu malang
melintang sesuka hati dalam ruangan pertemuan, sehingga
tanpa merasa, ia berkata dengan suara perlahan: "Itulah baru
orang gagah!"
San Hui Hong menonton peristiwa itu dengan berdiri di
pinggiran. Sesudah kedua saudara Siang berlalu, dengan rasa
heran ia mengawasi Bun Cui Ong yang masih berdiri seperti
orang kesima. Ia merasa geli dan lalu mendekati. "Kau
duduklah," katanya sambil tertawa dan mendorong orang she
Boan itu. "Setan Bu-siang-kwie sudah kabur jauh!" Sungguh
tak dinyana, begitu tersentuh, begitu tu-buh Bun Cui Ong
rubuh di lantai, tanpa bergerak lagi. Nona San terkesiap dan
buru-buru berjongkok untuk menyelidiki. Dan hatinya
mencelos, karena Bun Cui Ong ternyata sudah putus jiwa!
"Mati! Dia mati lantaran kaget!" teriaknya.
Karuan saja keadaan lantas berubah kalut dan semua
orang bangun dari tempat duduknya untuk melihat "orang
gagah" itu.
"Kwee Cianpwee, apakah Bun Cui Ong seorang jahat?"
tanya Ouw Hui. "Jahat, sangat jahat," jawabnya. "Menipu, merampok,
memperkosa wanita baik-baik dan Iain-lain perbuatan
terkutuk. Sebenarnya tak pantas aku bicara jelek tentang
orang yang sudah meninggal dunia. Tapi bukti kejahatannya
sudah terlalu ba-nyak dan sedari dulu, aku memang sudah
merasa, bahwa ia tak akan mati dengan baik-baik. Hanya
tidak dinyana, dia mampus karena ketakutan. Ha-ha-ha!"
"Mungkin sekali kedua saudara Siang itu sudah mencari dia
dalam tempo lama," menyelak seorang lain.
"Ya," kata si kakek. "Hampir boleh dipastikan orang she
Bun itu dulu pernah dihajar oleh Siang-sie Heng-tee dan
diampuni sesudah dia bersumpah. Dan hari ini mereka
bertemu lagi."
Selagi mereka beromong-omong, sekonyong-konyong
berjalan ke luar seorang tua yang pada pinggangnya
tergantung sebuah kantong tembakau yang berwarna hitam.
Ia menghampiri jenazah Bun Cui Ong dan berkata sambil
menangis: "Bun Jie-tee, tidak dinyana hari ini kau binasa
dalam tangannya sebangsa tikus."
Mendengar See-coan Song-hiap dinamakan sebagai
"sebangsa tikus", Ouw Hui mendongkol dan berbisik: "Kwee
Cianpwee, siapa orang itu?"
"Dia she Siangkoan bernama Tiat Seng, Ciang-bunjin partai
Hian-cie-bun di Kay-hong-hu," jawab si kakek. "Dia memberi
gelar Yan-hee Sanjin ke-pada dirinya sendiri dan bersama Bun
Cui Ong, mereka menggunakan gelar Yan-ciu Jie-sian (Dua
dewa, tembakau dan arak)!"
Ouw Hui mengawasi orang itu yang pakaiannya kotor dan
pinggangnya terselip sebatang pipa pan-jang (huncwee) yang
aneh buatannya dengan kepala pipa sebesar mangkok. "Dewa
apa?" kata Ouw Hui sambil tertawa. "Lebih tepat jika
dinamakan Setan tembakau."
Sesudah menangis beberapa lama sambil memeluk jenazah
Bun Cui Ong, Siangkoan Tiat Seng bangun berdiri dan
mengawasi San Hui Hong dengan mata melotot. "Mengapa
kau binasakan Bun Jie-tee?" bentaknya.
Si nona jadi gelagapan. "Eh-eh! Mengapa kau kata begitu"
Terang-terangan dia mati karena ke-takutan."
"Omong kosong!" teriak si tua. "Mana bisa orang segar
bugar mati lantaran ketakutan. Huh-huh! Tak salah lagi,
kaulah yang sudah turunkan tangan jahat terhadap adikku."
Sebab musabab mengapa Siangkoan Tiat Seng sudah
menuduh membuta tuli adalah karena jika sampai tersiar
warta, bahwa Bun Cui Ong binasa lantaran ketakutan, partai
Cui-pat-sian tidak dapat mengangkat kepala lagi dalam Rimba
Persilatan. Di lain pihak, jika seseorang binasa dalam tangan
la-wan, kejadian itu sama sekali tidak menurunkan derajat
partainya. Hui Hong yang belum mempunyai banyak pengalaman,
tidak mengerti latar belakang fit-nahan itu dan dalam
gusarnya, ia berteriak: "Aku dan dia sama sekali tidak
mempunyai permusuhan apa pun jua. Ribuan mata dalam
ruangan ini menjadi saksi, bahwa adikmu mati lantaran kaget
atau ketakutan."
Baru habis si nona membela diri, Hachi Tay-su yang sedari
tadi duduk di kursi Thay-su-ie tanpa mengeluarkan sepatah
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata, tiba-tiba menyelak: "Tidak, nona itu memang tidak
turunkan tangan jahat terhadap adikmu. Aku telah
menyaksikan dengan mata sendiri. Begitu lekas kedua setan
itu datang, aku dengar Bun-ya berteriak: 'Hek-bu-siang! Pekbu-
siang!"' la bicara dengan suara luar biasa nyaring dan waktu
mengucapkan perkataan 'Hek-bu-siang, Pek-bu-siang',
suaranya seolah-olah menggetarkan selu-ruh ruangan. Semua
orang tertegun dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
Hachi yang tidak mengerti mengapa mereka tertawa, lantas
saja berteriak: "Apa aku bicara salah" Roman kedua setan Busiang
itu sangat menakutkan dan tidak heran jika ada orang
mati karena kaget. Kalian tidak boleh menyalahkan nona itu."
"Nah! Dengarlah apa yang dikatakan oleh Tay-su itu," kata
San Hui Hong. "Dia mati sebab kaget dan sedikit pun tiada
sangkut pautnya dengan aku."
Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng sudah men-cabut
sebatang huncwee (pipa panjang) dari ping-gangnya,
memasukkan tembakau di kepala pipa dan kemudian
menyulutnya. Ia mengisapnya beberapa kali dan mendadak,
mengepulkan asap tembakau ke arah nona San. "Perempuan
hina!" bentaknya. "Terang-terang kau yang membunuh orang.
Tapi kau masih tetap coba menyangkal."
Si nona buru-buru melompat mundur, tapi hi-dungnya
sudah mengendus sedikit asap dan kepala-nya lantas saja
pusing. Mendengar cacian "perempuan hina", ia tak dapat
menahan sabar lagi. "Setan tua!" bentaknya. "Apa kau kira
aku takut padamu" Kau menuduh aku yang membunuh dia.
Baiklah. Aku akan mengambil juga jiwamu." Seraya berkata
begitu, sambil mengirim pukulan gertakan dengan tangan
kirinya, ia menendang pinggang Siangkoan Tiat Seng.
"Tua bangka!" teriak Hachi Hweeshio. "Jangan kau
menuduh membuta tuli! Bun-ya mati karena kedua setan
itu...." Mendengar pendeta itu, yang pada hakekat-nya seorang
jujur dan polos, tak hentinya menggunakan istilah "setan"
untuk See-coan Song-hiap, Ouw Hui jadi mendongkol dan
ingin sekali mendapat kesempatan untuk memberi sedikit
ajaran kepadanya.
Tiba-tiba, selagi Ouw Hui mengasah otak, dari sebelah
barat ruangan itu muncul seorang saste-rawan muda yang
langsung menuju ke arah Han-chi. la berusia kira-kira dua
puluh lima tahun, badannya kurus kecil, dandanannya rapi dan
ta-ngan kanannya mencekal kipas. Begitu berha-dapan
dengan si pendeta, ia lantas saja berkata: "Toaweeshio, kau
sudah membuat kesalahan da-lam menggunakan satu
perkataan dan kuharap kau suka mengubahnya."
"Salah apa?" tanyanya.
"Kedua orang tadi bukan 'setan', tapi dua sau-dara Siang
yang dikenal sebagai See-coan Song-hiap," jawabnya.
"Walaupun berwajah aneh, mereka berkepandaian tinggi dan
berhati mulia, sehingga mereka sangat dihormati orang dalam
dunia Kang-ouw."
Ouw Hui girang bukan main dan dalam hatinya lantas saja
timbul ingatan untuk berkenalan dengan pemuda itu.
"Bukankah Bun-ya memanggil mereka sebagai 'Hek-busiang
dan Pek-bu-siang'" tanya Hachi. "Dan Hek-bu-siang
serta Pek-bu-siang bukan lain dari-pada setan-setan jahat."
"Tidak, bukan begitu," membantah pemuda itu. "Mereka
she Siang dan dalam nama mereka ter-dapat huruf 'hek' dan
huruf 'pek'. Maka itu, secara guyon-guyon beberapa Cianpwee
telah memanggil mereka sebagai Hek-bu-siang dan Pek-busiang.
Sepanjang tahuku, kecuali beberapa Cianpwee yang
jumlahnya sangat terbatas, orang lain tak berani
menggunakan julukan itu untuk alamatnya See-coan Songhiap."
Selagi mereka saling sahut, Siangkoan Tiat Seng dan San
Hui Hong sudah mulai bertempur.
Tadi, waktu melawan kedua saudara Nie, San Hui Hong
agak keteter karena ilmu silat Song-cu-bun berdasarkan kerja
sama antara dua orang memang lihay luar biasa. Tapi
sekarang, dengan satu melawan satu, ia dapat melayani
Siangkoan Tiat Seng dengan sempurna.
Di lain pihak, huncwee Siangkoan Tiat Seng terbuat
daripada baja dan biasa digunakan sebagai senjata untuk
menotok tiga puluh enam jalan darah. Tapi sebab gerakan Hui
Hong sangat gesit, maka untuk sementara waktu, pipa
panjang itu masih belum dapat menemui sasarannya. Sambil
bertempur, Tiat Seng kadang-kadang menghisap pipanya dan
menyemburkan asap tembakau dari mulutnya. Perlahan-lahan
kepala pipa menjadi sangat panas dan berubah merah,
sehingga lantas saja merupakan senjata yang sangat
berbahaya. Sebelum tersentuh pipa, Hui Hong sudah
merasakan hawa panas dan dalam kebingungan, silatnya
mulai kalut. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, mendadak
asap yang disemburkan Siangkoan Tiat Seng menyambar
muka si nona dan di lain saat, badannya bergoyang-go-yang,
akan kemudian rubuh di lantai. Ternyata, dalam tembakau
pipa tereampur bie-yo (obat lupa) dan Siangkoan Tiat Seng
dapat menghisapnya tanpa kurang suatu apa, karena ia sudah
biasa dan juga sebab di dalam mulut dan hidungnya sudah
terdapat obat pemunah.
Si pemuda dan Hachi Hweeshio yang sedang mengadu
lidah, tidak memperhatikan jalan pertem-puran itu. Tiba-tiba,
hidung pemuda itu mengendus bebauan wangi dan sebagai
seorang yang berpeng-alaman, ia lantas saja mengerti, bahwa
wangi itu adalah bie-yo yang biasa digunakan oleh kawanan
perampok. Dengan gusar ia menengok ke gelang-gang
pertempuran. Sesaat itu, Siangkoan Tiat Seng tengah menotok
lutut si nona dengan huncweenya. Hui Hong mengeluarkan
teriakan kesakitan dan kunnya berlubang. Sekali lagi
Siangkoan Tiat Seng mengangkat lagi pipanya untuk menotok
pinggang nona San.
"Tahan!" bentak si sasterawan muda. Siangkoan Tiat Seng
terkejut dan huncweenya berhenti di tengah jalan. Hampir
berbareng, sambil membung-kuk pemuda itu sudah mencopot
kedua sepatu Hachi Hweeshio yang lalu digunakan untuk menjepit
huncwee. Dengan sekali menyentak, ia sudah merebut pipa panjang
itu dan lalu mengebasnya ke lengan Siangkoan Tiat Seng,
yang melompat sambil ber-teriak kesakitan dan tangan
bajunya sudah menjadi hangus. Sesudah melemparkan kedua
sepatu ber-sama huncwee, si sastrawan lalu menghampiri San
Hui Hong yang rebah dengan mata meram.
Karena dilontarkan secara sembarangan, kedua sepatu itu
jatuh di atas meja perjamuan sehingga beberapa mangkok
sayur terbalik, sedang huncwee itu menyambar ke arah Kwee
Giok Tong. "Celaka!" seru si kakek seraya coba menyingkirkan
diri. Tapi, ia tidak keburu bergerak lagi, sebab pipa itu
menyambar dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang
sangat berbahaya, bagaikan kilatOuwHui mengangkat sumpit
dan menjepitnya.
Semua kejadian itu, yang harus dituturkan agak panjang
lebar, telah terjadi dalam sekejap mata. Para hadirin lebih dulu
mengawasi dengan mulut ternganga dan kemudian bersoraksorai.
Si sasterawan tertawa dan manggut-manggut-kan
kepalanya kepada Ouw Hui, sebagai pernyata-an terima kasih,
bahwa berkat pertolongannya, ia tak sampai mencelakakan
orang yang tidak berdosa. Sesudah itu, ia mengawasi Hui
Hong dengan alis berkerut, karena tak tahu bagaimana harus
menolongnya. Di lain saat, dengan sorot mata gusar ia menatap wajah
Siangkoan Tiat Seng dan membentak: "Keluarkan obat
pemunah! Di sini orang mengadu ilmu silat, bukan mengadu
racun." Siangkoan Tiat Seng tahu, bahwa kepandaian pemuda itu
banyak lebih tinggi daripadanya, sehingga ia tidak berani
mengumbar nafsu. "Siapa menggunakan racun?" ia berlagak
pilon. "Perem-puan itu terlalu lemah. Baru berputaran
beberapa kali, ia sudah mabuk. Kau tidak boleh menyalahkan
aku." Sekonyong-konyong, dari sebelah barat ruang-an itu
muncul seorang wanita setengah tua yang punggungnya
bongkok dan tangan mencekal secawan arak. Sambil
menghampiri ia menghirup arak dan begitu berhadapan
dengan Hui Hong, ia menyemburkan arak itu ke muka si nona.
"Apa itu obat pemunah?" tanya si sasterawan.
Tanpa menjawab, wanita itu menyembur pula.
Waktu ia menyembur ketiga kali, nona San per-lahan-lahan
membuka kedua matanya.
"Aha! Coba kau lihat," seru Siangkoan Tiat Seng.
"Bukankah dia sudah tersadar" Kau tidak boleh menuduh
orang secara membabi buta."
Si sasterawan mengangkat tangannya dan meng-gaplok.
"Kau mesti dihajar!" bentaknya. Siangkoan Tiat Seng buruburu
menunduk dan gaplokan itu lewat di atas kepalanya.
Sementara itu, seraya mengusap-usap mata, San Hui Hong
melompat bangun. "Bangsat! Kau menggunakan racun untuk
mencelakakan nona-mu!" teriaknya seraya menghantam dada
Tiat Seng, yang dengan cepat lalu melompat ke belakang.
Siangkoan Tiat Seng gusar dan heran, karena ia tidak
mengerti, cara bagaimana wanita bongkok itu bisa
mempunahkan bie-yonya yang sangat lihay.
Sesudah gagal menghajar musuh, nona San mengawasi si
sasterawan seraya manggutkan ke-pala beberapa kali, sebagai
pernyataan terima kasih. Tapi si sasterawan sendiri lalu
menunjuk wanita bongkok itu seraya berkata: "Yang
menolong nona bukan aku, tapi Liehiap (pendekar wanita)
itu." "Aku tidak bisa menolong orang," kata wanita itu dengan
suara tawar. Ia menghampiri meja Ouw Hui, mengambil
sumpit yang dicekal pemuda itu dan lalu menjepit huncwee
yang segera dipulangkan kepada Siangkoan Tiat Seng.
Semua orang jadi heran. Siapa wanita bongkok itu"
Mengapa, sesudah menolong Hui Hong, ia mengembalikan
huncwee Siangkoan Tiat Seng" Wanita itu yang rambutnya
dauk, mukanya kisut dan badannya lemah, kelihatannya
bukan seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dilain saat, ia
sudah kembali ke mejanya dan bicara bisik-bisik dengan Ouw
Hui. Wanita bongkok itu bukan lain dari pada Thia Leng So.
Kalau bukan murid Tok-chiu Yo-ong, ia pasti tak akan dapat
mempunahkan bie-yo Siangkoan Tiat Seng yang istimewa.
Di lain pihak, Hachi Tay-su yang tidak ber-sepatu berteriakteriak:
"Hei! Pulangkan sepatuku! Pulangkan sepatuku!"
"Toahweeshio, sepatumu sudah terbakar," kata si
sasterawan sembil tertawa.
Dengan paras muka merah, Hachi turun dari kursi dan
menghampiri meja di mana kedua sepatunya jatuh. Ternyata,
sepatu itu sudah ha-ngus separuh dan penuh kuah sayur.
Karena tak ada jalan lain, apa boleh buat ia memakai juga
sepatu itu dan kemudian coba mencari si sasterawan, tapi
pemuda itu sudah tidak kelihatan mata hidungnya.
Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng dan San Hui Hong
sudah mulai bertempur lagi.
Sesudah gagal mencari si sasterawan, Hachi duduk kembali
di kursi Thay-su-ie. "Bangsat! Hari ini aku sungguh sial," ia
mencaci. "Sesudah bertemu dengan Bu-siang-kwie, aku
diganggu oleh Siu-cay-kwie." Sambil menonton pertempuran,
mulutnya Tienyomel panjang pendek.
Sekonyong-konyong para hadirin tertawa ter-"^ahakbahak.
Hachi mengawasi ke seluruh ruang-an. tapi ia tak
melihat sesuatu yang menggelikan. !a heran karena semua
orang mengawasi dirinya.
la meraba-raba pakaian, tapi kecuali kedua sepatunya yang
basah, tak ada apa pun jua yang luar biasa.
"Hei! Mengapa kamu tertawa?" teriaknya.
Suara tertawa jadi makin ramai.
"Kura-kura! Tertawa apa" Gila! Sudahlah! Aku tak usah
perduli," teriaknya dengan mata melotot.
Suara tertawa tetap tidak mereda, bahkan San Hui Hong,
yang sedang berkelahi mati-matian, turut tertawa!
Hachi jadi makin bingung.
Tiba-tiba nona San berseru: "Toahweeshio, coba menengok
ke belakang!"
Dengan terkejut ia melompat turun dari kursi dan memutar
badan. Ternyata si sasterawan nakal sedang duduk di
belakang Thay-su-ie sambil meng-gerak-gerakkan kaki
tangannya seperti seorang gagu.
"Siu-cay-kwie! Berani benar kau mengganggu aku!"
bentaknya dengan gusar.
Si sasterawan menggoyang-goyangkan kedua tangan.
"Tapi mengapa kau duduk di situ?"
"Si gagu" menunjuk delapan Giok-liong-pwee yang terletak
di atas meja, seperti juga ingin mengatakan, bahwa ia ingin
mengantongi cangkir-cangkir itu.
"Kau mau turut merebut cangkir?" tanya pula si pendeta.
Pemuda itu mengangguk.
"Di sini masih ada kursi kosong, mengapa kau tak mau
duduk di situ?"
Si sasterawan membuat gerakan-gerakan yang
memperlihatkan, bahwa ia takut dihajar orang.
"Kalau kau takut duduk di situ, mengapa kau berani duduk
di belakang kursiku?"
Si sasterawan menendang dengan kakinya, ke-mudian
badannya merosot ke bawah dan ia lalu duduk di kursi Hachi.
Ia ingin mengunjuk, bahwa ia tidak takut terhadap pendeta itu
yang ingin ditendang olehnya dan direbut kursinya.
Suara tertawa jadi makin ramai, ditambah dengan tepukan
tangan. Melihat pertemuan para Ciangbunjin yang be-gitu
digembar-gemborkan berubah menjadi sebuah lelucon, bukan
main mendongkolnya Hok Kong An. Ia segera memerintahkan
Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat mengantar kedua puteranya
ke ruangan dalam.
"Orang itu memiliki ilmu mengentengkan badan dan sangat
tinggi," bisik Leng So di kuping kakak-nya.
"Benar, aku belum pernah lihat gerakan yang segesit itu,"
kata Ouw Hui. "Ia rupanya sengaja mengacau," kata pula nona Thia.
Ouw Hui mengangguk.
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang, sejumlah orang juga sudah dapat melihat
maksud sebenarnya dari sasterawan itu. Ia bukan sematamata
mau menggoda Hachi, tapi tu-juan yang sesungguhnya
ialah mengubah pertemuan para Ciangbunjin yang sangat
angker menjadi serupa lelucon.
Sementara itu, si sasterawan mengacungkan kipasnya
seraya berkata: "Hachi Hweeshio, kau tak boleh berlaku
kurang ajar terhadapku. Lihatlah! Di atas kipasku ini terdapat
leluhurmu."
Hachi mengawasi, tapi tak melihat sesuatu yang luar biasa.
"Aku tak pereaya omongan gilamu!" katanya dengan melotot.
Si sasterawan segera membuka kipasnya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi "Kau tak pereaya" Li-hatlah!"
teriaknya. Suara tertawa gemuruh memenuhi seluruh ruangan.
Beberapa orang terpingkal-pingkal seraya memegang perut.
Ada apa di kipas itu" Tak lain dari pada gambar seekor kurakura
yang rebah telentang, sambil mengulur leher dalam
usaha mem-balik badannya!
Sambil tertawa Ouw Hui melirik adiknya. Mereka tidak
bersangsi lagi, bahwa pemuda itu memang sengaja datang
untuk mengacau. Diam-diam mereka merasa kagum, karena
tempat itu adalah seperti sarang harimau.
Hachi gusar tak kepalang. "Kau maki aku sebagai kurakura?"
teriaknya. "Binatang! Benar-be-nar kau sudah bosan
hidup!" Tapi pemuda itu tetap tenang. "Apa jeleknya menjadi kurakura?"
katanya sembil tersenyum. "Kura-kura panjang
umurnya. Maksudku ialah untuk mendoakan supaya kau
berumur panjang."
"Fui!" Hachi membuang ludah. "Jangan kau berlagak pilon.
Apa kau tak tahu, bahwa perem-puan yang mencuri lelaki
barulah dinamakan kura-kura?"
"Aha! Maaf, maaf!" kata si sasterawan seraya menyoja.
"Kalau begitu, Toahweeshio juga boleh mempunyai istri?"
Hachi tak dapat menahan sabar lagi. Bagaikan kilat
tangannya menyambar punggung sasterawan nakal itu. Kali
ini, si sasterawan tak keburu berkelit " punggungnya
dicengkeram dan ia dilemparkan di lantai.
Hachi Taysu adalah seorang ahli dalam ilmu menyengkeram
dan membanting di wilayah Mongolia, di mana ilmu itu terbagi
jadi tiga partai, yaitu Toajiauw, Tiongjiauw dan Siauwjiauw.
Pen-deta itu adalah Ciangbunjin dari Tiongjiauwbun dan
kekuatannya yang terutama terletak pada punggung dan
lututnya. Dalam menyengkeram dada dan punggung musuh,
ia belum pernah meng-alami kegagalan.
Begitu si sasterawan dibanting, semua orang mengawasi
dengan menahan napas. Mereka merasa pasti, pemuda itu,
yang dibanting hebat, akan men-dapat luka berat. Tapi di luar
dugaan, badan si sasterawan bisa membal bagaikan karet,
begitu tu-buhnya menyentuh lantai, begitu ia melompat dan
berdiri di atas kedua kakinya! Ia tertawa haha-hihi seraya
berkata: "Toahweeshio, kau tak akan mampu merubuhkan
aku." "Sekali lagi," teriak Hachi.
"Boleh," jawabnya seraya menghampiri. Men-dadak ia
mengangsurkan kedua tangannya untuk menyengkeram dada
pendeta itu. Para hadirin heran bukan main. Si pendeta bertubuh tinggi
besar, sedang ia sendiri kurus kecil. Hachi adalah ahli dalam
ilmu menyengkeram dan membanting. Bagaimana ia berani
menyerang musuh dengan cengkeraman"
Sambil menyeringai si sasterawan menyengkeram pundak
lawan dan menubruk terus dan memeluk leher si pendeta,
seraya menendang dengan kedua kaki. Tendangan itu
mengenakan tepat pada jalanan darah di lutut dan tanpa
ampun lagi, Hachi jatuh berlutut. Tapi sebagai jago, dalam
kekalahan, ia tak bingung. Dengan cepat, ia membalik tangan,
menyengkeram punggung pemuda itu yang lalu dibanting dan
ditindih dengan tubuhnya yang seperti raksasa.
"Aduh! Aduh!" teriak si sasterawan sambil meleletkan lidah
dan membuat muka yang lucu-lucu. Tong Pay, Hay Lan Pit
dan yang Iain-lain sekarang insyaf, bahwa pemuda itu adalah
seorang ahli yang berkepandaian tinggi dan yang bertujuan
untuk mengacau pertemuan Ciangbunjin.
Sementara itu, San Hui Hong terus melayani Siangkoan Tiat
Seng dengan hebatnya. Sebagai pentolan Ngo-ouw-bun di
Hong-yang-hu, kepan-daian San Hui Hong yang paling
disegani adalah Thie-lian-kang (Ilmu teratai besi), yaitu ilmu
menendang dengan sepatu yang berujung besi tajam. Dengan
pengalaman puluhan tahun, Siangkoan Tiat Seng tahu
kelihayan lawannya. Maka itu, setiap kali kaki nona San
bergerak, buru-buru ia melompat mundur atau ke samping.
Tapi, dalam pada itu, diam-diam ia merasa sangat malu,
sebab, sebagai seorang kenamaan dalam dunia Kang-ouw, ia
masih belum dapat merubuhkan seorang wanita muda,
sesudah bertempur hampir seratus jurus. Di lain pihak, makin
lama Hui Hong menendang makin gencar dan kakinya selalu
ditujukan ke bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya. Tiat
Seng jadi bingung dan segera mengambil keputusan untuk
menggunakan pula huncweenya.
Tiba-tiba ia melompat mundur dan tertawa ber-kakakan.
"Tendangan-tendanganmu sama sekali tiada harganya,"
katanya, mengejek, dan terus meng-hisap pipa.
Hui Hong buru-buru melompat mundur.
Tiba-tiba, pada paras muka Tiat Seng terjadi perubahan
aneh. Matanya mendelik dan ia meng-awasi si nona dengan
sorot mata seekor anjing gila. Sesaat kemudian, seraya
berteriak keras, ia menyeruduk bagaikan kerbau edan. Melihat
begitu, si nona jadi keder dan secepat kilat meloncat ke
samping. Tiat Seng menyelonong terus, menerjang ke arah
Hok Kong An. Can Tiat Yo yang berdiri di belakang pembesar
itu, buru-buru melompat ke depan, menangkap tangan Tiat
Seng dan men-dorongnya, sehingga sesudah terhuyung, ia
rubuh di lantai. Tapi dengan lekas ia bangun berdiri dan
menyeruduk pula ke meja lain. Semua orang ter-kejut. Dilihat
cara-caranya, ia ternyata gila men-dadak.
Ouw Hui melirik adiknya sambil tersenyum. Ia mengerti,
bahwa kejadian itu adalah pekerjaan Leng So. Tadi, waktu
mengembalikan huncwee, diam-diam si nona menaruh
semacam racun di ke-pala pipa, sehingga, begitu dihisap,
racun itu lantas saja bekerja. Di lain saat, Siangkoan Tiat Seng
bergulingan di lantai, menubruk dan memeluk satu kaki meja
yang lalu digeragotinya, seperti caranya seekor anjing gila.
Semua orang menyaksikan de-r.gan mulut ternganga dan bulu
mereka bangun >emua.
Sedang yang lain membungkam, Hachi seorang :erus
mencaci. "Binatang kecil! Siucay bangsat! Ini semua garagaramu!"
tenaknya. "Kura-kura nyali kecil! Lebih baik kau tutup mulut," si
sasterawan mengejek.
"Kalau aku mau maki kau, mau apa kau, Siucay bangsat!"
teriak Hachi. "Kau hanya berani terhadap aku, huh!" ejek si sasterawan.
"Apa kau berani terhadap Thayswee" Jika kau manusia
bernyali, coba katakan, Thayswee bangsat."
Si pendeta yang sudah setengah kalap, lantas saja
berteriak: "Thayswee bangsat!" Baru saja per-kataan itu
keluar dari mulutnya, ia terkesiap dan insyaf, bahwa lidahnya
terpeleset. "Aku... aku... sebenarnya mau mencaci kau,"
katanya, terputus-putus.
Si sasterawan tertawa nyaring. "Aku bukan Thayswee,"
katanya. "Aku sudah kata, nyalimu nyali cecurut!"
Dalam bingungnya karena khawatir mendapat hukuman,
Hachi segera menubruk. Pemuda itu mengegos dan
mendorongnya, sehingga ia rubuh terguling dan apa mau, ia
jatuh menindih Siangkoan Tiat Seng yang sedang
menggeragoti kaki meja.
Tiat Seng berbalik dan memeluknya, akan ke-mudian
membuka mulut untuk menggigit kepala-nya. Ia coba
memberontak, tapi pelukan itu bagai-kan lingkaran besi dan di
lain saat, kepalanya sudah digigit sehingga berlumuran darah.
"Bagus! Bagus!" seru si sasterawan seraya menepuk-nepuk
tangan. Perlahan-lahan ia mende-kati meja Giok-liong-pwee
dan mendadak tangannya menyambar dua buah cangkir. Ia
menengok ke arah San Hui Hong, mengangsurkan sebuah
cangkir dan berkata: "Cangkir sudah didapat, mari
kitaberlalu!"
Si nona terkejut. Ia belum mengenal pemuda itu, tapi
mengapa dia begitu manis terhadapnya" Tapi ia tak sempat
memikir panjang-panjang. Ia mengangguk, menyambuti
cangkir itu dan lalu mengikuti dari belakang.
Enam Wie-su yang melindungi Hok Kong An, lantas saja
berteriak-teriak: "Tangkap! Tangkap mata-mata! Tangkap
pencuri cangkir!" Seraya berteriak-teriak, mereka mengejar.
Tadi, sesudah Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie menolong
kedua saudara Nie, jumlah Wie-su yang menjaga di luar pintu
lantas saja ditambah. Sekarang, mendengar teriakan di dalam,
mereka lantas saja menerjang masuk sambil menghunus senjata.
Dipimpin oleh An Teetok, mereka segera mengurung si
sastrawan dan San Hui Hong.
Si sasterawan tersenyum. "Kalau kamu maju setindak lagi,
aku akan segera membanting cangkir ini," katanya seraya
mengangkat tangannya yang memegang cangkir.
Para Wie-su bersangsi dan serentak mereka menghentikan
tindakan. Melihat bahaya besar, San Hui Hong mengeluh dan
menyesalkan kebodohannya sendiri. Ia menghadiri
Ciangbunjin Tayhwee hanyalah untuk melihat-lihat keramaian
dan sama sekali tidak mempunyai maksud lain. Ia menyesal
dan merasa tidak mengerti, mengapa ia mengikuti pemuda
itu. Ouw Hui khawatir sangat dan melirik adiknya. Leng So
menggeleng-gelengkan kepala untuk melarang kakaknya
bergerak. Memang juga, dalam menghadapi begitu banyak
musuh, jika turun ta-ngan, mereka hanya akan membuang
jiwa secara cuma-cuma.
Sementara itu, Hay Lan Pit sudah bangun ber-diri dan
menghampiri dengan tindakan lebar. Semua orang mengawasi
dengan hati berdebar-debar. Mereka yakin, bahwa sekali turun
tangan, Hay Lan Pit akan dapat merubuhkan kedua orang
muda itu. "San Kouwnio, sekarang kita harus mengubah
sikap," kata si sasterawan sambil tertawa. "Jika cangkir ini
dibanting, mungkin sekali, sebelum ja-tuh, sudah ada orang
yang menyangganya. Begini saja: Aku akan meneriakkan satu,
dua, tiga dan berbareng dengan perkataan 'tiga', kita
meremukkan di dalam tangan."
Memang juga Hay Lan Pit ingin menangkap cangkir itu
waktu dibanting dan oleh karenanya, begitu mendengar
perkataan si sasterawan, ia segera menghentikan
tindakannya. Melihat begitu, Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay tertawa
terbahak-bahak dan lalu menghampiri. "Saudara kecil,"
katanya sesudah berhadapan dengan si sasterawan, "Boleh
aku mendapat tahu she dan namamu yang besar" Hari ini kau
telah mendapat muka terang. Kau telah menggetarkan seluruh
Rimba Persilatan. Maka itu, mana boleh kau tidak
meninggalkan she dan nama?"
Pemuda itu tersenyum. "Tak perlu," jawabnya. "Pertama,
kudatang bukan untuk merebut nama dan kedua, bukan untuk
menarik keuntungan. Melihat cangkir giok yang indah itu, aku
merasa suka dan ingin membawanya pulang untuk dibuat
main. Sesudah merasa bosan, aku akan segera mengembalikannya."
Tong Pay tertawa. "Saudara kecil, ilmu silatmu sangat luar
biasa," katanya pula. "Sesudah mem-perhatikan beberapa
lama, belum juga aku dapat menebak asal-usul ilmu silatmu
dan siapa adanya gurumu. Mungkin sekali, antara kita masih
terdapat ikatan erat. Saudara kecil, orang muda suka mainmain
adalah kejadian lumrah. Dengan memandang mukaku,
Hok Thayswee pasti tidak akan merasa gusar. Saudara kecil,
lebih baik kau masuk lagi dan makan minum pula sambil
menonton keramaian." Ia berpaling ke arah para Wie-su
seraya berkata: "Mundurlah! Saudara kecil ini sahabat kita. Ia
hanya guyon-guyon dan tak perlu kalian menghunus senjata."
Mendengar perkataan itu, semua wie-su lantas saja
mundur. "Orang she Tong, aku sungkan masuk dalam
perangkapmu," kata si sasterawan sambil tersenyum. "Kalau
kau maju setindak lagi, aku akan segera meremukkan cangkir
ini. Kalau benar kau laki-laki, pinjamkanlah cangkir ini
kepadaku. Aku akan membawanya pulang dan main-main tiga
hari lamanya. Sesudah lewat tiga hari, aku akan
mengembalikannya."
Dengan hati berdebar-debar, semua orang mengawasi
Tong Pay. Kam-lim-hui-cit-seng tertawa terbahak-bahak. "Urusan
kecil," katanya. "Tapi, saudara kecil, cangkir yang berada
dalam tanganmu belum ada pemilik-nya. Sebagaimana kau
tahu, dengan baik hati Hok Thayswee telah menghadiahkan
sebuah cangkir kepadaku. Begini saja: Aku akan
meminjamkan cang-kirku itu. Kau boleh bermain-main dalam
tempo yang tidak terbatas dan nanti, sesudah bosan, baru-lah
kau memulangkannya kepadaku. Bagaimana" Apa kau
setuju?" Sehabis berkata begitu, ia menghampiri meja cangkir,
mengambil sehelai sutera sulam dan lalu menaruh cangkirnya
sendiri di dalam sutera itu. Kemudian, dengan sikap hormat, ia
mengangsur-kannya kepada si sasterawan seraya berkata:
"Sau-dara kecil, kau ambillah!"
Itulah kejadian yang tidak diduga-duga. Semua orang
menganggap, bahwa Tong Pay tengah menggunakan siasat
untuk merebut pulang kedua cangkir itu. Tapi di luar dugaan,
ia ternyata tidak berdusta.
Bukan saja yang lain, tapi si sasterawan sendiri pun merasa
heran. "Kau bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, benar saja
tanganmu sangat terbuka," katanya. "Cangkir-cangkir ini tiada
bedanya, sehingga tidak perlu ditukar pergi-datang. Cangkir
San Kouwnio, kita andaikan saja telah dipinjamkan oleh Hay
Tay-jin. Tong Tayhiap, kau harus jadi penanggung. Hay
Tayjin, kau tak usah khawatir. Selewatnya tiga hari, jika
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cangkirmu belum juga kembali, kau boleh rae-mintanya dari
Tong Tayhiap."
"Baiklah," kata Tong Pay. "Aku tangungjawab segalagalanya.
San Kouwnio, kau jangan menyu-karkan aku." Sambil
berkata begitu, ia bertindak mendekati Hui Hong.
Si nona gugup. Ia melirik si sasterawan seraya berkata
dengan suara terputus-putus: "Aku... aku...."
Tiba-tiba, tiba-tiba saja, Tong Pay menggentus pergelangan
tangan Hui Hong dengan sikutnya. "Celaka!" seru nona San
dan cangkir yang dicekal-nya terbang ke atas. Hampir
berbareng, tangan kanan Tong Pay menjemput cangkir yang
berada di dalam sutera, sedang tangan kirinya mengebas
sutera itu yang lantas saja menggulung tangan si sasterawan.
Sesaat itu juga, telunjuk tangan kanan-nya menotok jalanan
darah In-bun, Kie-tie dan Hap-kok, sedang tangan kirinya
menyangga cangkir Hui Hong yang sedang melayang turun.
Dengan sekali menendang, nona San dibuatnya rubuh di
lantai. In-bun-hiat terletak di pundak, Kie-tie-hiat di sikut dan
Hap-kok-hiat di antara jempol dan telunjuk. Begitu lekas
ketiga jalanan darah itu ter-totok, seluruh lengan dan tangan
si sasterawan lemas dan ia tidak bertenaga lagi untuk
meremuk-kan cangkir yang dicekalnya.
Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Sebelum
orang bisa melihat tegas, Hui Hong dan si sasterawan sudah
rebah di lantai, sedang Tong Pay sendiri sudah menaruh tiga
buah cangkir itu di atas meja, akan kemudian kembali ke kursi
Thay-su-ie dengan sikap tenang.
Sesaat kemudian, ruangan itu seolah-olah ter-getar karena
tampik sorak yang gemuruh.
Kwee Giok Tong, yang duduk bersama-sama Ouw Hui,
mengurut-urut jenggotnya seraya berkata dengan suara
perlahan: "Benar-benar lihay! Tong Tayhiap bukan saja sudah
merubuhkan kedua orang muda itu dalam tempo begitu
pendek, tapi juga berhasil merebut cangkir dalam keadaan
utuh. Salah sedikit saja, cangkir itu tentu akan hancur atau
rusak. Tapi di samping kelihayan
TongTayhiap,kitaharuslebihmengagumibesarnya nyali kedua
orang muda itu. Thia Lauwtee, bagaimanapendapatmu?"
Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "He-bat, benarbenar
hebat," katanya.
Sementara itu, beberapa Wie-su sudah meng-ikat Hui Hong
dan si sasterawan yang lalu digusur ke hadapan Hok Kong An.
"Tahan saja dulu, kita boleh memeriksa mereka
belakangan," kata pembesar itu. "Kita tidak boleh
memadamkan kegembiraan para tamu kita. An Teetok,
mintalah mereka meneruskan pertan-dingan."
"Baiklah," kata An Teetok yang segera meng-umumkan,
bahwa pertandingan akan segera dilan-jutkan.
Ouw Hui menonton pertandingan-pertanding-an dengan
pikiran kusut. Ia khawatir sangat akan keselamatan Ma It
Hong, karena kedua anak itu sudah direbut pulang oleh
ayahnya. Mendadak, selagi pertandingan berlangsung, terdengar
teriakan seorang Wie-su yang menjaga di luar: "Sengeie
(firman kaisar) datang!"
Semua tetamu terkejut, tapi Hok Kong An dan para
pembesar tidak jadi kaget, karena datangnya firman di tengah
malam buta bukan kejadian luar biasa. Hioto (meja
sembahyang) lantas saja dipa-sang dan Hok Kong An
menerima firman sambil berlutut, diikuti oleh semua pembesar
dan para orang gagah. Mau tak mau, Ouw Hui terpaksa turut
berlutut. Yang membawa firman adalah seorang Thay-kam tua.
Lauw Cie Hie, yang dikenal Hok Kong An dan di belakang
Thaykam itu mengikuti empat orang Sie-wie. Begitu tiba di
depan pintu, Lauw Cie Hie menghentikan tindakannya,
membuka firman dan lalu membacanya: "Ditujukan kepada
Pengpo Siangsie Hok Kong An. Seorang penjahat lelaki dan
seorang penjahat perempuan yang barusan ditawan, harus
segera diserahkan untuk dibawa ke keraton. Firman kaisar."
Hok Kong An terkejut. "Apa bisa Hongsiang mendapat
warta mengenai kejadian di sini secara begitu cepat?"
tanyanya di dalam hati. "Perlu apa Hongsiang mengambil
kedua penjahat itu?" Sesudah menghaturkan terima kasih, ia
bangun berdiri dan mengawasi Thaykam itu. Hatinya jadi
semakin curiga. Biji mata Lauw Cie Hie memain dan paras
mukanya pucat. Di samping itu, ada sesuatu yang sangat luar
biasa. Menurut peraturan, seorang Thaykam yang membawa
firman harus membacanya di ruangan tengah dan menghadap
ke selatan. Tapi kali ini ia membacanya di ambang pintu dan
menghadap ke dalam rumah. Lauw Cie Hie adalah seorang
Thaykam tua dan tidak mungkin ia tak tahu atau sengaja mau
melanggar peraturan itu. Memikir begitu, Hok Kong An segera
mengetahui, bahwa dalam hal itu terselip sesuatu yang luar
biasa. "Lauw Kongkong, masuklah dan minum teh," katanya
sambil tersenyum. "Kongkong boleh sekalian melihat-lihat
pertandingan antara para orang gagah."
"Bagus! Bagus!" kata si Thaykam. Tapi di lain saat, alisnya
berkerut dan ia berkata pula: "Terima kasih atas undangan
Thayswee. Tapi aku tidak dapat berdiam lama-lama karena
Hongsiang sedang menunggu."
Hok Kong An lantas saja mengerti, bahwa firman itu adalah
firman palsu dan keempat Sie-wie yang berdiri di belakang
Lauw Cie Hie juga palsu. Dengan paras muka tidak berubah, ia
tersenyum dan berkata pula: "Lauw Kongkong, siapa adanya
saudara-saudara Sie-wie yang mengiringi kau. Aku belum
pernah melihat mereka."
Lauw Cie Hie tergugu. Sesaat kemudian baru-lah ia dapat
menjawab: "Mereka... mereka... orang baru dari lain propinsi."
Sekarang Hok Kong An mendapat kepastian, bahwa
keempat Sie-wie itu adalah Sie-wie palsu. Mengapa" Karena
jabatan Sie-wie, yaitu pengawal pribadi kaisar Ceng, hanya
diberikan kepada bangsa Boanciu atau orang-orang yang
leluhurnya telah banyak berjasa kepada kerajaan Ceng. Ia
mengerti, bahwa tindakan sekarang yang paling penting
adalah memisahkan keempat orang itu dari Lauw Cie Hie.
Maka itu, sambil menunjuk Hui Hong dan si sasterawan, ia
berkata: "Kalau begitu, Sie-wie Toa-ko boleh membawa
mereka!" Salah seorang Sie-wie lantas saja maju men-dekati si
sasterawan. Tiba-tiba Hok Kong An mem-bentak: "Tunggu
dulu! Boleh aku mendapat tahu she Sie-wie Toako itu yang
mulia?" Menurut kebiasaan memang Hok Kong An selalu berlaku
hormat kepada Sie-wie keraton dan selalu memanggil mereka
dengan panggilan "Sie-wie Toako". Tapi, oleh karena
kedudukan Sie-wie jauh lebih rendah dari pada pembesar itu,
maka menurut adat-istiadat, jika ditanya, ia haruslah
menghampiri dan menjawabnya sambil membung-kuk. Tapi
Sie-wie itu hanya menjawab: "Aku she Thiol"
"Sudan berapa lama Thio Toako berada di keraton?" tanya
pula pembesar itu. "Mengapa kita belum pernah bertemu?"
Sebelum dia keburu menjawab, mendadak seorang Sie-wie
yang berbadan gemuk dan berdiri di belakang Lauw Cie Hie,
mengayunkan tangannya dan serupa senjata rahasia yang
bentuknya menyerupai alat-alat tenun dan sinarnya putih berkelebatan
menyambar meja Giok-liong-pwee. Sam-baran Ginso
(alat-alat tenun dari perak) hebat luar biasa, dan kalau
kena, semua cangkir pasti akan hancur. Sambil mengeluarkan
teriakan kaget, sejumlah Wie-su segera melepaskan senjata
rahasia mereka. Hampir berbareng, Thie-lian-cie dan
sebagainya, kira-kira tujuh-delapan senjata rahasia,
menyambar ke arah Gin-so. Tapi Sie-wie gemuk itu pun
segera mengayun kedua tangannya dan tujuh-delapan senjata
rahasia terbang menyusul.
Di lain saat, terdengar suara "tring-trang-tring..." dan
semua senjata rahasia para Wie-su terpukul jatuh oleh senjata
rahasia si gemuk, sedang Gin-so sudah tiba di atas meja. Dan
sungguh aneh, begitu menggaet salah sebuah cangkir, senjata
rahasia itu terbang balik dan akhirnya kembali di tangan si Siewie
gemuk! Untuk sejenak seluruh ruangan sunyi senyap. Semua mata
mengawasi pertunjukan menakjubkan itu dengan mata
membelalak dan mulut ternganga. Sekonyong-konyong
kesunyian dipecahkan dengan teriakan: "Thio Samko!" Orang
yang berteriak ialah Ouw Hui.
Ternyata, yang menyamar sebagai Sie-wie ge-muk bukan
lain dari pada Tio Poan San, sedang Sie-wie yang mau
menolong si sasterawan juga seorang tokoh Ang-hoa-hwee,
yaitu Kui-cian-ciu Cio Siang Eng. Sudah lama jago-jago Anghoa-
hwee itu menanti di luar gedung Hok Kong An. Pada
waktu si sasterawan tertangkap, Thaykam Lauw Cie Hie
kebetulan lewat di depan gedung. Mereka lalu membekuknya
dan menulis sebuah firman palsu.
Hanya sayang, karena tidak mengerti per-aturan keraton,
maka begitu menjalankan siasat, rahasia mereka segera
ketahuan. Melihat kecu-rigaan Hok Kong An, Tio Poan San
segera men-dahului melepaskan Hui-yan Gin-so berhasil
merebut sebuah cangkir Giok-liong-pwee. Senjata rahasia itu
yang berbentuk setengah lingkaran dan yang bisa terbang
balik ke tangan yang melepas-kannya, adalah senjata
istimewa buatan Tio Poan San sendiri.
Hampir berbareng dengan direbutnya Giok-liong-pwee,
Poan San mendengar seruan "Tio Sam-ko". la kaget, karena
seruan itu bernada penuh kecintaan dan kegirangan. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia menyapu seluruh ruangan, tapi
ia tidak bisa menebak siapa yang berteriak begitu.
Sebagaimana diketahui, semenjak Ouw Hui ber-pisahan
dengan Tio Poan San, banyak tahun telah berlalu sehingga
roman dan potongan badan Ouw Hui sudah berubah banyak.
Jangankan ia sekarang menyamar, sekalipun tidak, Tio Poan
San tentu tak akan dapat mengenalinya.
Dalam keadaan berbahaya, Poan San tidak bisa
membuang-buang tempo lagi untuk mencari orang yang
menyebutkan namanya. Di lain saat, kedua tangannya
bergerak-gerak, diiring dengan suara menyambarnya senjataTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
senjata rahasia. Setiap senjata rahasia memadamkan
sebatang lilin dan dalam sekejap mata, ruangan itu sudah
menjadi gelap gulita. "Hok Kong An, jaga piauw!" ia berteriak.
Dua orang mengeluarkan teriakan kesakitan - rupanya mereka
kena senjata rahasia. Sementara itu sudah terdengar suara
bentrokan senjata, sebab seorang Wie-su yang berkepandaian
tinggi mulai bertempur melawan Cio Siang Eng.
"Angkat kaki!" demikian terdengar pula seruan Tio Poan
San. Ia mengerti, bahwa di tempat itu, di mana berkumpul
banyak sekali kaki tangan Hok Kong An yang berkepandaian
tinggi, ia dan kawan-kawannya tidak boleh berdiam terlalu
lama. Kalau sampai dikurung, pihaknya bisa celaka.
Tapi pada saat itu, Cio Siang Eng sudah bertempur hebat
dengan seorang Wie-su dan dua ka-wannya sudah turut
menerjang. Pada waktu si sasterawan dibekuk oleh Tong Pay, Ouw Hui
sebenarnya sudah berniat turun tangan. Tapi karena melihat
banyaknya musuh dan salah seorang dari keempat
Ciangbunjin besar itu saja belum tentu dapat dijatuhkan
olehnya, maka ia sudah menahan hati. Tapi sekarang,
sesudah munculnya Tio Poan San dan semua lilin padam, ia
lantas melompat ke sastrawan itu. Waktu Tong Pay menotok,
ia sudah lihat, bahwa yang ditotok adalah In-bun-hiat, Kie-tiehiat
dan Hap-kok-hiat. Maka itu, begitu berdekatan, ia segera
menepuk Thian-cong-hiat, di pundak si sastrawan. Tepukan
itu segera membuka In-bun-hiat yang tertotok. Sesudah itu, ia
menekan Thian-tie-hiat si sasterawan. Mendadak, kesiuran
angin telapak tangan menyambar.
Buru-buru Ouw Hui membalik tangan kirinya dan
menyambut pukulan itu. Tiba-tiba ia terkesiap, karena tenaga
lawan berat luar biasa dan waktu kedua telapak tangan
kebentrok, badannya ber-goyang dan ia terpaksa mundur
setengah tindak. Dengan cepat ia mengempos semangat dan
menahan tekanan tenaga lawan dengan Lweekangnya. Di lain
saat, ia mengeluh, sebab tenaga lawan menyerang dengan
saling susul bagaikan gelombang samudera. Ia mengerti,
bahwa keadaannya berba-haya sekali, sebab, begitu lekas
lilin-lilin dinyalakan lagi, ia pasti akan kena dibekuk.
Kejadian di atas, yang harus dituturkan agak panjang lebar,
sebenarnya terjadi dalam sekejap mata.
Sekonyong-konyong terdengar suara si sasterawan:
"Terima kasih atas pertolonganmu." Sambil berkata begitu, ia
melompat. Begitu si sasterawan melompat, Ouw Hui lan-tas saja
tersadar akan kekeliruannya. "Aku hanya membuka In-bunhiat,
sehingga Kie-tie dan Hap-kok-hiat tentu dibuka oleh
orang yang sedang mengadu tenaga denganku," katanya di
dalam hati. "Dengan demikian, dia bukan lawan, tapi kawan."
Di lain pihak, orang itu pun memikir sedemikian. Ia hanya
membuka Kie-tie dan Ha
Bentrok Rimba Persilatan 16 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus 2