Ksatria Negeri Salju 3
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Bagian 3
dohan sendiri. Kerbau gundul macam kamu mana mampu menandingi kami, sedangkan Siauw-
lim cap sha lohan gurumu sendiri juga belum tentu mampu melawan kamu,
apalagi keroco macam kamu. Lima puluh tahun aku menahan dendam, dan sudi
merendahkan diri berguru di kuil kecil Wu Han, hari ini kau saksikanlah aku Tao Leng, putra Tao Keng Bu, menyatakan permusuhan pada Siauw-lim"
"Tao Leng, apa-apaan sih! Usaha kita masih baru permulaan tidak perlu
didramatisir seperti itu! Sekarang tugas kalian adalah mengubur mereka yang
terkena bintang kelabang maut! Kalian bertiga bantu Toa Leng!"
Bersama-sama mereka kemudian membawa jenasah ke sebuah lubang gua kecil
dan menimbunnya dengan batu, sedangkan mayat yang dibinasakan oleh
pengemis berwajah Nyo Beng dibiarkan begitu saja.
"Ahhh lega rasanya, sebentar lagi kuil itu benar-benar akan menjadi markas kita bukan Loco?" tanya orang tua berkepala gundul.
"Bodoh, tunggu dulu. Biarkan mereka membangun lagi kuil yang rusak itu,
setelah selesai kita akan kembali serbu."
"Dan kau Tao Leng, tugasmu sekarang adalah kembali ke Wu Han, dan
melaporkan peristiwa ini ke Hong thio Siauw-lim di Siong san." perintah orang tua yang bukan lain adalah Hiat kiam Lomo. Setelah diam sejenak ia
melanjutkan lagi analisisnya, "Dengan kematian Wu Han cit ceng, posisi Siauw-lim selatan akan menjadi lemah, dan kalau Siauw-lim pusat turun tangan, dapat dipastikan pertarungan dengan pengemis sabuk hitam akan makin melemahkan
kekuatan mereka yang selalu sok suci mengaku sebagai pendekar, golongan
bersih. Dan dengan demikian rencana mengambil alih kekuasaan kay-pang
sabuk hitam akan mulus kan Nyo Beng sicu" Tak kan lama lagi, daerah di
lembah dua sungai benar-benar akan kita kuasai. Dan kita tidak akan malu
untuk menuntut posisi tinggi di samping Ong-ya." Semua yang mendengar
analisa ini mengangguk-angguk tanda setuju dan tersenyum membayangkan
masa depan yang lebih cerah. namun tiba-tiba keceriaan itu dipecahkan oleh
sebuah pertanyaan."Bagimana halnya dengan Hek in pang di bukit awan hitam
di tepi selatan Yang tse?"
"Hemm....selama ini memang Suma Tiat selalu keras kepala, ia segolongan
dengan kita, tak bakalan berani melawan arus kita yang sudah sedemikian
besar. Kalaupun tidak biarlah Kwi ong yang mengatasi, ia memiliki hubungan
baik dengan mereka."
Akhirnya setelah senja tiba, langit mulai semburat merah, semerah percikan-
percikan di atas rumput dan batu bekas pertarungan yang tidak seimbang itu,
ke-enam iblis berbaju manusia itupun meninggalkan pinggiran hutan itu.
Rencana-rencana yang kejih yang menyembur dari mulut-mulut mereka sungguh
merupakan racun yang akan mengancam dunia persilatan. Kaum pendekar
benar-benar dalam bahaya.
Siapakah sebenarnya Tao Leng" Orang tua Tao Leng yang bernama Tao Keng
Bu adalah adik sepupu dari biang iblis kelabang emas. Puluhan tahun yang silam mereka bertiga, dengan suami nenek iblis kelabang emas, merupakan tiga
serangkai iblis sakti yang menguasai lembah di antara dua sungai, mereka
merajalela menebar kejahatan di wilayah itu. Pada saat itu kerajaan yang berada di bawah dinasti Tang sudah kehilangan kendali pemerintahannya, sehingga
situasi keamanan sangat buruk. Pencurian, pencopetan, perampokan merupakan
berita sehari-hari yang biasa terdengar.
Ketiga iblis itu suatu ketika mengusik perguruan-perguruan golongan lurus
seperti Siauw-lim pay dan Kong-thong pay. Sedang dalam keadaan tidak terusik saja para pendekar dari golongan yang lurus akan selalu menentang mereka,
apalagi ini mereka telah memberanikan diri mengusik ketenangan biara. Maka
suatu ketika datangnya dua pendekar muda yang memiliki kepandaian luar biasa yang menundukkan mereka. Tao Keng Bu dan kakaknya tewas dalam
pertarungan hidup mati selama sehari semalam. Nenek iblis kelabang emas
sendiri masih beruntung dapat diampuni oleh kedua pendekar itu, hanya kedua
kaki sebatas lutut dan tangan sebatas siku yang dikutungi sebagai hukuman.
Salah satu pendekar itu adalah murid preman dari ketua kuil Siauw-lim si waktu itu, sedang satunya lagi berjuluk pendekar bukit merak yang tinggal di bukit merak di kawasan pegunungan Tapa san. Tao Leng masih berumur lima tahun
saat kejadian itu biasanya kalau ayahnya pergi jauh ia selalu mendapat oleh-oleh yang ditunggu-tunggu. Sapa kira kedatangan rombongan anak buah tiga iblis
lembah dua sungai membawa oleh-oleh mayat ayahnya. kejadian ini sungguh
menggoreskan kesedihan dan kesumat yang membara, sayang hingga akhir
hayat dua pendekar itu upaya balas dendam Tao Leng tak pernah kesampaian.
Dua pendekar itu terlalu perkasa untuk Tao Leng. Karena tidak mampu
membalas sakit hatinya, ia mencoba mencari pelampiasan, atas usul iblis
kelabang emas ia diajak bersama-sama membasmi keturunan pendekar bukit
merak, sedang pendekar dari Siauw-lim tidak punya keturunan. Keturunan
pendekar bukit merak akhirnya dapat terbasmi, meskipun masih menyisakan
satu anak yang seperti lenyap ditelan bumi pada saat keluarga itu dibantai.
Namun dendam Tao Leng belumlah pupus. Atas saran iblis kelabang emas, ia
kemudian diminta untuk berpura-pura menjadi biksu di kuil Siauw-lim cabang
Wu Han, dan jadilah ia biksu yang ikut juga malang melintang dengan keenam
saudara seperguruannya sebagai Wu Han cit ceng. Itulah sekelumit kisah dari
Tao Leng yang mempunyai nama biksu Kong-meng hwesio.
Apakah yang akan terjadi pada kay-pang sabuk hitam yang bertahun-tahun
terkenal sebagai kay-pang yang menjunjung tinggi kejujuran dan kegagahan"
Mungkinkah mereka akan bertarung sendiri dengan biksu-biksu suci dari Siauw-
lim si" Masih banyak pertanyaan lain yang masih menggantung, namun mari kita ikuti dulu perjalanan Tiong Gi.
Bab 8. Lembah delapan rembulan
Pada malam hari kebakaran di Kong-sim liok si, Tiong Gi diselamatkan oleh
jembel berlengan tunggal. Setelah keluar dari kuil Tiong Gi lari keselatan ke arah kota, sedangkan pengemis berlengan tunggal lari ke utara, beruntunglah
keduanya tidak lari ke arah timur, karena arah itu yang dituju oleh musuh-
musuh yang menangkap mereka. Semalaman Tiong Gi berjalan ke Yi Chang
hingga akhirnya menjelang fajar ia sampai di sebuah pasar. Di pasar itu Tiong Gi duduk di tepi jalan masuk ke pasar. Sengaja ia menuju ke pasar karena dia
merasa lapar dan di tempat ini banyak dijumpai warung makan. Tiba-tiba ia
melihat serombongan kereta yang berhenti di pinggir jalan besar menuju ke
pasar. Dilihat dari bentuknya kereta itu merupakan jenis kereta barang yang
biasa dipakai oleh piauw-su. Beberapa lelaki turun dari kereta dengan wajah
kusut dan pakaian kumal meskipun terbuat dari bahan yang mahal. Ada enam
orang yang turun, rata-rata berumuran tiga puluh lima hingga empat puluh lima tahun. Pakaiannya ringkas dan membawa senjata yang tergantung di pinggang,
tanda mereka orang-orang yang tahu silat. Setelah berkumpul sebentar berbagi tugas, tiga orang kemudian berjalan menuju ke pasar. Secara tak sengaja Tiong Gi mendengar percakapan ke-tiga orang ini.
"Twako, apakah kita berhenti dan menetap di kota ini?" orang termuda bertanya pada salah seorang dari kedua orang yang lebih tua.
"Sam-te, kita cari dulu informasi di kota ini, apakah aman atau tidak. Aku tahu kita sudah lelah sekali. Tapi apa boleh buat, demi keselamatan anak-anak kita,"
jawab orang tertua.
"Ahhh...aku masih kepikiran nasib orang tua kita yang harus ditinggalkan anak-cucunya" desis orang kedua.
"Sudahlah ji-te, kita hanya pindah untuk sementara, kalau sudah mendapat
tempat aman kita ajak orang tua ke tempat kita yang baru."
Tiong Gi mendengarkan dengan baik ucapan mereka, dan karena hari masih
agak gelap pasar itu masih sepi, hanya satu dua warung yang sudah buka, maka percakapan mereka bisa ditangkap dengan baik. Kiranya mereka adalah
beberapa keluarga yang sedang pindahan, atau lebih tepatnya mengungsi. Desa
tempat tinggal mereka baru saja diserang oleh orang-orang jahat. Setelah keluar dari warung, wajah mereka masih tetap bersungut-sungut.
"Tak ada satu informasipun yang penting, sialan!" gerutu orang kedua.
"Nanti siang kalau sudah ramai pasti banyak orang yang tahu," jawab orang
tertua. "Gimana kalau kita cari penginapan saja twako, di sana pasti orang-orang yang datang dari jauh tahu banyak informasi dari berbagai tempat!" usul orang ketiga.
"Tidak...tidak, kita harus berhemat uang! Kita tidak sedang mengirim barang,"
ujar orang tertua.
"Lopeh, kabar berita apa yang lopeh cari di kota ini?" tanya Tiong Gi ketika mereka sudah dekat dengannya.
"Diam! Anak kecil tahu apa?" sahut orang kedua. Orang ketiga menyikut
pinggangnya. "Eh siauw suhu dapatkah membantu kami, kami ingin tahu apakah
kota ini pernah didatangi orang-orang yang mencari-cari anak kecil?" tanya
orang pertama. Tiong Gi mengangsurkan tangannya menadah, sedang tangan kirinya mengelus
perutnya. Orang kedua sudah melotot, tapi twako mereka mengode supaya
mereka memberi satu bakpao. Tiong Gi menggeleng sambil jari tangannya
diajungkan membentuk tanda dua. Sambil cemberut orang itu mau juga ngasih
sambil ngancam.
"Kota ini tidak aman, sebaiknya cu-wi lopeh segera meninggalkan kota ini sambil mencari tempat lain yang lebih aman. Semalam terjadi pembakaran kuil Kong-sim liok si. Tahukan lopeh kuil apakah itu?"
"Kuil Kong-sim liok si?"" Tentu saja kami tahu itu kuil tempat pengobatan
terutama bagi orang yang memiliki kelainan jiwa," jawab orang ketiga.
"Kelainan jiwa?"
"Itu kata lain dari gila!" jawab orang kedua gusar. Tiong Gi baru paham kuil apakah itu.
"Dua hari yang lalu Kong-sim hosiang tewas dibunuh! Setelah raksasa binatang berbentuk kelabang datang menyatroni kuil," papar Tiong Gi. Selanjutnya Tiong Gi menceritakan kejadian yang dialami di kuil itu secara singkat. Terlihat ketiga orang berpakaian piauw-su itu mendengarkan dengan mata terbelalak.
"Sungguh tak kami sangka kejadian di sini seperti itu, kalau begitu kami akan pergi saja, eh siauw suhu sendiri mau kemanakah?" seru orang ketiga.
"Aku tidak tahu!"
"Kalau begitu, kenapa siauw suhu tidak ikut bersama kami saja?" ajak orang
pertama. "Kalau kalian tidak berkeberatan, aku suka sekali ikut kalian."
Demikianlah akhirnya Tiong Gi mengikuti rombongan piauw-su itu sampai ke
kota Hong ji. Perjalanan dari Yi Chang ke Hong ji memerlukan waktu dua hari
semalam. Dari bercakap-cakap di sepanjang perjalanan dengan mereka tahulah
Tiong Gi bahwa mereka adalah tukang kirim barang. Mereka berasal dari Shashi.
Di dalam kereta terdapat ibu dan beberapa anak-anak. Tiga diantarnya sebaya
dengan Tiong Gi. Para piauw-su ini baru saja datang dari mengantar barang
ketika desa mereka diserang oleh rombongan nenek kelabang emas. Lebih dari
separo anak-anak berusia belasan tahun di desa itu tewas mengenaskan. Di
punggung mereka ditemukan bekas-bekas tusukan jarum besar, sedang di dada
ada bekas telapak tangan yang menghitam. Ada juga yang ditemukan dalam
keadaan tubuh hangus. Sungguh kekejaman yang sulit dibayangkan dengan
pikiran sehat. Dalam keadaan tergesa-gesa mereka mencoba menyelamatkan
anak istri mereka, dan langsung dibawa pergi ke arah barat. Cerita mereka
sungguh berkesan di hati Tiong Gi, bagaimana mereka berjuang mati-matian
melawan anak buah nenek kelabang emas, sehingga dua suadara mereka ada
yang gugur. Bagaimana mereka harus bahu membahu menyelamatkan diri.
Inilah pengalaman kedua Tiong Gi bertemu dengan orang-orang yang memiliki
sikap sebagai orang-orang yang baik. Yach itulah yang dirasakah oleh Tiong Gi.
Kasihan sekali nasib Tiong Gi, lahir dalam keluarga pesilat tangguh namun
dibesarkan oleh wanita berhati iblis, sehingga sulit sekali membedakan tindakan yang baik atau yang buruk. Namun dalam berinteraksi dengan orang-orang di
sekitarnya tahulah ia watak manusia berbeda-beda, dan ia mulai respek pada
watak orang-orang yang berbuat baik.
Ketika mereka beristirahat sore hari, anak-anak pada bermain-main. Tiong Gi-
pun ikut diajak serta oleh anak-anak seumuran dirinya. Meskipun agak kikuk
namun akhirnya mau juga Tiong Gi bermain bersama mereka.
"Siapa namamu hiante?" tanya salah seorang anak lelaki yang berkulit putih
bermuka lonjong. Anak ini berumuran setahun lebih tua dari Tiong Gi.
"Namaku Tiong Gi!"
"Kamu she Tiong?"
"Mmm bukan, aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku, namun menurut bibiku,
aku she Ciu!"
"Ooo...kamu sudah tidak punya orang tua, kasian dirimu Gi ko, eh boleh aku
panggil kamu seperti itu" Kenalkan aku bernama Kee Ling, she kami adalah
Tauw. Kakakku bernama Kee Han dan dia sepupuku bernama Bin Chao," kata
seorang gadis kecil, dua tahun lebih muda dari Tiong Gi.
Mereka bermain drama sam-pek eng-tai, dan Tiong Gi diaulat menjadi Sam-pek-
nya. Drama yang dimainkannya sungguh mengesankan. Meskipun tidak pernah
belajar sebelumnya ternyata akting Tiong Gi cukup sangat menawan. Para orang tuapun ikut-ikutan menonton, dengan perasaan haru, terbawa oleh cerita yang
memang menyedihkan.
"Waa...akting kamu bagus sekali Gi hian-tit !" puji salah seorang ibu muda
berusia tiga puluhan.
"Benar Gi-te, kamu berbakat jadi aktor loh!" seru Kee Han.
"Apa itu aktor?"
"Hah, masa aktor nggak tahu sih, itu artinya pemain drama. Kalau kamu ikut
kelompok drama kamu nanti akan menjadi aktor!" "Tapi aku tak ingin jadi
aktor!" "Emang kamu pengen jadi apa?" selidik gadis kecil itu.
"Hmmm..apa yaa, aku ingin belajar baca tulis!"
"Oooo kamu ingin jadi siaucay?"
"Siaucay, apa itu"
"Waahhh masa sih nggak tahu siaucay, kamu keseringan berliamkeng kali, gak
pernah gaul. Siaucay itu sastrawan atau orang terpelajar karena belajar ilmu membaca dan menulis," papar Kee Ling yang wataknya memang suka ngomong.
"Tapi sekarang kalau ikut ujian jin-shi sangat sulit. Setahun yang diterima hanya dua ratus, seluruh Tionggoan, bayangkan!" timpal anak lelaki yang lain yang
berkulit kecokelatan yang bernama Bin Chao.
Selanjutnya mereka saling cerita, terkadang diselingi main petak umpet. Kalau mereka berbicara satu dengan yang lain, Tiong Gi mendengarkan dengan rasa
malu. Ternyata selama ini dia memang terkurung, tak tahu apa-apa, hanya
memikirkan makan, tidur, latihan silat, itupun silat yang sangat cetek.
Tiba-tiba Bin Chao mengajak Kee Han berlatih silat. Kemudian mereka mulai
saling serang. Jurus-jurus mereka sangat cepat dengan gerakan yang indah.
Sekonyong-konyong hanya dari melihat saja, gerakan-gerakan tersebut melekat
di kepala Tiong Gi dan menambah pengertiannya tentang gerakan silat. Selama
ini jarang sekali ia melihat orang saling berlatih silat, yang lebih sering adalah melihat pertempuran mati-matian. Ketika selesai berlatih mereka mengajak
Tiong Gi ikut berlatih. Tiong Gi meladeni, karena dasar-dasar ilmu silat mereka berbeda, pertandingan kali ini berlangsung sangat seru. Jurus beradu jurus,
pukulan beradu pukulan. Setelah lewat dua puluh jurus terlihat bahwa Tiong Gi mampu mendesak lawannya. Para piauwsu yang tergerak untuk melihat
pertandingan memandang heran. Tak mereka sangka biksu kecil itu bisa silat
sehebat itu. Memang jika dibandingkan dengan ilmu silat kaum piauwsu, ilmu
silat dari bibi Ciu lebih bermutu, sehingga meskipun gerakan Tiong Gi masih
mentah. Hanya saja memang ilmu silat tangan kosong yang diwarisi Tiong Gi
banyak yang berasal dari silat perkumpulan Awan Hitam, sehingga banyak
gerakan yang ganas. Akhirnya lawan Tiong Gi menyerah setelah pukulan Tiong
Gi mengenai pinggangnya. Hampir saja ia melanjutkan dengan tendangan jika
tidak segera ditangkis oleh ketua rombongan piauwsu.
"Desss!" Betis Tiong Gi yang tertangkis kaki pemimpin piauwsu terasa nyeri.
"Tiong Gi! Siapa kamu sebenarnya" Bukankah ilmu silat yang kau pakai adalah
jurus-jurus dari perkumpulan Awan Hitam?" tanya pemimpin rombongan
piauwsu yang tiba-tiba berubah galak. Pengalaman berthun-tahun membuatnya
kenal terhadap berbagai macam jurus dari golongan hitam, golongan yang
sering dia hadapi sebagai lawan.
"Hah..... awan hitam!" desis piauwsu yang lain. Seketika pandangan mereka
terhadap Tiong Gi berubah curiga.
"Awan hitam, aku....aku sendiri tidak tahu, bibiku tidak pernah menyebut-nyebut nama itu."
Meskipun curiga, akhirnya para piuwsu itu mau mendengarkan keterangan yang
disampaikan oleh Tiong Gi. Pertanyaan-pertanyaan mereka dijawab lancar oleh
Tiong Gi, tentu saja dia tidak pernah menyinggung soal lukisan. Para piauwsu itu sendiri meskipun tidak senang, namun tidak punya alasan menyalahkan Tiong
Gi. Kekerasan memang biasa dihadapi oleh kaum piauwsu.
Kota Hong ji terletak di suatu pegunungan, yaitu pegunungan Tapa san.
Karenanya letaknya berbukit-bukit. Di kota ini ke-enam piauw-su berlabuh.
Mereka membeli sepetak tanah di pinggiran kota dan mendirikan rumah di sana.
Tiong Gi menolak diajak serta, ia lebih suka hidup bebas mencari seorang guru yang benar-benar mumpuni.
Seperti biasanya, Tiong Gi minta turun di pasar besar di kota. Dengan berbekal beberapa potong uang dari piauw-su ia bisa membeli pakaian dan makanan.
Sengaja ia membeli kain yang bisa dibuat menjadi jubah hwesio. Entah kenapa
ia merasa dengan berpakaian seperti itu ia lebih berharga mendapat sumbangan dari orang-orang kaya daripada menjadi pengemis. Untuk melancarkan
penyamaran ia mencari kuil untuk belajar agama. Namun ia lebih berhata-hati, sebelum mendatangi kuil. Ia lihat dulu beberapa hari apakah kuil itu aman atau tidak, ia tak segan bertanya pada pengunjung kuil. Dua hari berguru di suatu kuil cukuplah bekal yang dibawa Tiong Gi menjadi biksu.
*** Suatu hari di pasar Tiong Gi dikejutkan oleh peristiwa pencopetan. Peristiwa
pencopetan sebenarnya biasa terjadi di pasar, tapi tidak untuk pasar di wilayah Hong Jie. Sudah hampir sebulan Tiong Gi tinggal di kota ini, ia tidak pernah sekalipun menjumpai kejahatan, seakan-akan kota ini memiliki penjaga atau
opas yang sangat kuat. Tak banyak orang yang mengerti sebabnya, hanya kaum
tua saja yang suka cerita bahwa ada suatu masa dimana kejahatan di Hong Jie
merajalela, bahkan hampir-hampir mereka bisa menguasai pemerintahan. Pada
saat kritis itu munculah orang-orang misterius, orang-orang berpakaian putih bermantel tebal, seperti pakaian suku-suku pedalaman di barat sekitar Tibet.
Mereka kemudian menakhlukkan penjahat, dan mengikat perjanjian bahwa
penjahat-penjahat itu harus melindungi kota. Orang-orang itu kemudian
meminta kepala daerah membebaskan beberapa petak lahan yang kemudian
dijadikan ladang atau sawah. Kebetulan sekali selang beberapa tahun semenjak peristiwa itu dinasti yang baru memiliki kerjaan pengembangan budidaya padi, sehingga orang-orang jahat itu kemudian berangsur meninggalkan kebiasaannya
dan menjadi petani. Yang masih belum jera untuk melakukan kejahatan dapat
dipastikan keesokannya tubuhnya sudah menjadi mayat. Lambat laun wilayah
Hong Jie menjadi kota yang aman tenteram. Adapun orang-orang asing yang
membantu mereka, pergi meninggalkan kota, entah kemana. Tak seorangpun
tahu. Yang orang-orang ketahui kemudian adalah munculnya istana kecil yang
indah di lembah delapan rembulan.
Lembah delapan rembulan adalah sebuah lembah di pegunungan Tapa san,
sekitar tujuh puluh li dari kota Hong Jie. Lembah ini terkenal karena
pemandangannya yang indah. Hampir seluruh bagian lembah ini di kelilingi oleh dinding karang yang terjal. Pada dinding di sebelah barat terdapat sebuah air terjun mengucur dari puncak tebing. Percikan air yang dihasilkan membentuk
kabut air yang kadang-kadang membentuk bianglala. Di dalam lembah itu
terdapat delapan telaga kecil yang ukurannya berbeda-beda. Di sekitar telaga bertumbuhan berbagai jenis bunga yang berwarna elok. Air dari telaga mengalir dan bersambung ke sungai kecil dari air terjun. Sungai itu mengalir menembus dinding jurang, dan keluar di tempat yang lain dalam bentuk mata air, di
seberang jurang. Jika malam purnama tiba, dari puncak bukit di sebelah timur dapat dilihat pemandangan yang indah sekali, pantulan rembulan dari telaga
yang membuat seolah-olah ada delapan rembulan di dasar lembah. Untuk
mendapati pemandangan indah seperti ini tidaklah gampang, karena setahun
paling sering hanya dua kali purnama orang bisa menyaksikan pantulan
rembulan dari delapan telaga, bagaikan piring perak berbentuk pat kwa. Pada
bulan-bulan yang lain orang hanya akan mendapati selapis kabut yang
menyelimuti seluruh bagian lembah.
Satu-satunya jalan masuk ke lembah yang tidak terjal adalah hutan yang sangat lebat dan memiliki rawa-rawa yang terkenal sebagai hutan rawa bangkai, karena baunya yang sangat busuk. Namun jalan ini sungguh sangat berbahaya, karena
banyak terdapat hewan-hewan berbisa, ular, kelabang, kalajengking, dan laba-
laba. Selain itu juga terdapat berbagai tumbuhan seperti talas dan jamur yang beracun dan berbagai tumbuhan berduri. Di tambah lagi adanya lumpur pasir
yang dapat menghisap hewan atau orang yang tak sengaja menginjaknya.
Karena seringnya hewan besar atau orang mencoba-coba masuk dan tersesat
dan tak bisa kembali, maka dikenal ah kemudian hutan rawa itu sebagai hutan
rawa bangkai. Keanyiran hutan makin lengkap dengan adanya jenis tumbuhan
yang memiliki bunga yang berbau sangat menusuk, seperti bangkai. Sungguh
aneh sekali keadaan lembah yang demikian indah dikelilingi oleh tempat yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat buruk yang menebarkan bau kematian.
Sudah lebih dari dua puluh tahun di lembah itu berdiri sebuah istana kecil, yang terbuat dari batu karang yang berwarna putih. Tak seorangpun tahu siapa yang membangun istana dan taman di situ dan bagaimana mereka bisa memasuki
lembah, yang mereka tahu adalah tiap malam di padang rumput di depan istana, ada belasan orang sedang berlatih silat di bawah temeraman cahaya obor.
Namun tak seorangpun yakin bahwa yang sedang berlatih silat itu adalah
manusia karena mereka lebih sering hanya mendengar bunyi bertemunya dia
senjata tajam dan suara teriakan dan auman yang sangat keras di bawah
selimut kabut tebal, tanpa benar-benar melihat kejadian yang sesungguhnya.
Keangkeran hutan rawa bangkai dan kehadiran penduduk lembah menarik
orang-orang awan dan pendekar dalam rimba persilatan untuk datang sekedar
menyaksikan dari atas bukit atau mencoba-coba memasukinya. Namun siapa
saja tidak perduli ia adalah tokoh atau jago ternama di kalangan Kangouw,
selama dua puluh tahun lamanya, banyak jago-jago dari berbagai golongan, baik dari kalangan hitam maupun putih. semua kepingin tahu rahasianya istana
lembah delapan rembulan tersebut. Hingga dua puluh tahun lebih belum pernah
ada yang bisa keluar lagi. pernah satu dua kali ada yang mencoba turun
menggunakan tapi di waktu malam. Namun tak pernah terdengar kabar kembali.
Karena tidak ada yang bisa kembali maka tak seorangpun pernah bercerita
keadaan di dalam lembah.
Maka istana lembah delapan rembulan itu tetap merupakan satu rahasia bagi
dunia persilatan. Dan rimba itu merupakan tempat sangat keramat yang ditakuti oleh setiap orang. Siapakah sebenarnya penghuni lembah itu"
Peristiwa pencopetan di dekat Tiong Gi membuat anak itu bertindak cepat. Di
tolongnya seorang perempuan setengah tua, pengasuh anak yang bertubuh
agak gemuk yang tangannya terkena sabet golok si pencopet. Perempuan itu
berusaha mempertahankan tasnya yang berisi uang, sehingga membuat copet
kalap dan menyabetkan golok sehingga melukai lengannya. Seorang anak
perempuan yang ada di dekat bibi pengasuh itu hanya bisa mewek dan menjerit-
jerit sejadi-jadinya. Suasana pasar menjadi riuh rendah.
Dengan cekatan Tiong Gi menotok jalan darah di lengan kemudian meminta
obat penyembuh luka kepada pedagang pasar yang kebetulan memilikinya.
Setelah di taburkan ke luka, dibalutlah luka dengan lembaran kain jubahnya
yang masih bersih. Teriakan si bocah perempuan itu mengejutkan sepasang
orang tua yang berbaju mewah, seperti baju yang dikenakan oleh gadis kecil itu.
Dengan tergopoh-gopoh mereka kemudian menyibak kerumunan orang, wajah
mereka penuh kekhawatiran. Di pinggir lorong pasar mereka mendapati bibi
pengasuh anaknya sudah ditolong oleh seorang biksu kecil.
"Ah syukurlah kau sudah mendapat pertolongan bibi!" ujar lelaki yang sudah
berusia lima puluhan itu lega.
"Terima kasih banyak kami haturkan kepada siauw suhu inkong, siapakah nama
siauw suhu dan dari kuil manakah suhu berasal?" tanya laki-laki itu ramah.
"Ah tidak perlu disebut-sebut pertolongan ini paman, asal bibi ini bisa cepat sembuh hatikupun turut lega. Heran sekali, sudah dua bulan aku tinggal di sini selalu aman entah copet dari mana yang pagi-pagi seperti ini berani bermain gila di pasar Hong Jie," jawab Tiong Gi tenang. Bagi orang yang mengenal Tiong Gi, sungguh mengherankan sekali jawaban yang keluar dari mulutnya. Biasanya ia
selalu bersikap pendiam dan dingin sekali, namun setelah dua bulan tinggal di pasar itu, bergaul dengan pedagang pasar, berkawan dengan beberapa biksu
yang kadang-kadang ia temui telah sedikit merubah wataknya. Namun benarkan
demikian" Kita ikuti saja perkembangan selanjutnya.
"Kami keluarga Liu sungguh berhutang budi kepada siauw suhu, entah dengan
cara apa kami bisa membalasnya," kembali terdengar ucapan ramah dari lelaki
yang dari dandanannya terlihat seperti seorang juragan.
"Aku tidak ingin mengharap balasan, tapi kalau tuan tidak keberatan aku ingin berjalan-jalan, bolehkan aku ikut numpang perjalanan paman. Aku ingin
menambah pengalaman" jawab Tiong Gi.
"Baiklah kalau begitu, kau bisa bawakan keranjang kami, ke kereta itu," jawab lelaki yang bernama Liu Gan itu sambil menunjukkan keretanya. Setelah
berkenalan dan berbelanja barang lain maka berangkatlah kereta itu ke desa
tempat tinggal Liu Gan dan keluarganya.
Liu Gan adalah seorang juragan sekaligus cungcu dari desa Lim Kee Cung.
Istrinya bernama Siok Peng, anaknya bernama Liu Ce Lin. Desa Lim Kee Cung
terletak tepat berbatasan dengan hutan rawa bangkai, sehingga sering dilewati oleh orang-orang yang hendak pesiar melihat-lihat pemandangan lembah
delapan rembulan. Oleh karenanya jalan menuju desa itupun keadaannya cukup
baik. Kereta itu dikusiri sendiri oleh Liu Gan. Tiong Gi duduk disampingnya. Di sepanjang perjalanan gadis kecil anak semata wayang dari juragan ini hanya
mewek saja dipangkuan ibunya.
Liu Gan berwatak ramah dan suka berbicara, maka di sepanjang perjalanan ia
banyak sekali menceritakan keadaan desanya. Mulai dari cerita tentang
kerbaunya yang baru seminggu lalu melahirkan tiga ekor anak, hingga cerita
tentang sungai yang airnya jernih. Namun ketiga hendak menceritakan tentang
lembah delapan rembulan, tiba-tiba mulutnya tercekat.
"Tuan kenapakah?" tanya Tiong Gi.
"Aaa ah tidak aku kehausan, beri aku minum! Kita berhenti dulu sebentar di
sini," jawab Liu Gan sambil tangannya dijulurkan ke dalam meminta air minum.
"Tuan bolehkan aku menggantikanmu mengusiri kereta ini?" tanya Tiong Gi.
"Bisakah kamu" Cobalah kalau memang kau bisa mengendalikan, hati-hati
jangan terlalu kencang!"
Tiong Gi mengambil alih kendali kuda. Ketika bersama dengan rombongan
piauwsu yang berpindah, Tiong Gi diajari mengusiri kereta, karena piauwsu
sudah banyak yang kelelahan.
Sesampainya di Lim Kee Cung hari sudah sore, sehingga Tiong Gi ditawari untuk menginap. Dua hari tinggal di desa itu membuat Tiong Gi merasa betah,
sehingga tawaran Liu Gan agar ia tinggal di rumah itu menjadi kacung tak
ditampiknya. Liu Gan adalah seorang juragan yang terampil sekali berusaha. Apa yang
disentuhnya seakan-akan berubah menjadi ladang uang, mulai dari beternak
kerbau, kambing, menjadi tuan tanah, membuka warung, bahkan ia juga
menyewakan beberapa kamar bagi pendatang. Sifatnya yang ramah dan
dermawan makin membuatnya dihormati dan disegani oleh semua orang di Lim
Kee Cung. Sayang sekali Liu Gan hanya memiliki satu anak, itupun lahir setelah hampir dua puluh tahun setelah pernikahan dengan isteri ke tiga. Dan yang lebih membuat orang-orang tidak habis pikir adalah perbedaan sifat Liu Gan dengan puteri
semata wayangnya.
Liu Ce Lin meskipun parasnya cantik dan manis, sangat manja dan bodoh. Di
sekolah ia sering mendapat nilai buruk. Wataknya juga agak tinggi hati dan
judes. Sehingga jarang ada temannya.
Karena khawatir perkembangan pendidikan anaknya, Liu Gan memanggil guru
les untuk Ce Lin. Di rumah tiap sore Ce Lin belajar les pada guru itu. Ce Lin memanggil gurunya dengan sebutan guru Wang.
Sore itu untuk pertama kali Tiong Gi bertemu dengan guru Wang. Terkesiap
Tiong Gi dibuatnya. Sorot mata yang dipancarkannya sungguh sangat
mencorong seperti bintang timur. Sebagai bocah yang sering berhubungan
dengan orang persilatan Tiong Gi tahu bahwa sorot mata seperti itu hanya
dimiliki oleh orang yang ada "isi"nya. Pandangan matanya seakan-akan mampu
menjenguk isi hati Tiong Gi.
Sebenarnya Guru Wang baru berusia enam puluh tahun lebih sedikit, namun
kerut di wajahnya membuat raut muka itu jauh lebih tua dari umurnya,
membayangkan pengalaman hidup yang penuh dengan kepahitan dan beban
yang sangat berat. Lelaki tua yang memakai baju kuning dengan jubah
kecokelatan rapi itu membawa sebatang mauw pit. Tinggi tubuhnya sedang tapi
badannya kurus agak melengkung seperti hanya tulang terbungkus kulit.
Wajahnya tirus, pipinya kempot, jenggotnya selalu dicukur tapi kumisnya
dibiarkan tak terawat seperti lidi. Berlawanan dengan wajahnya yang terkesan keras, gaya bicara guru Wang cukup lembut dan tertata baik, ciri seorang yang sangat terpelajar, pantas sekali ia menjadi guru di desa itu.
Sambil bekerja di rumah juragan Liu Gan, Tiong Gi menyempatkan untuk
mencuri dengar ketika putri Liu Ce Lin belajar menulis di rumahnya. Karena
putrinya rada bodoh maka pelajarannya sangat lambat sehingga Tiong Gi mudah
mengikuti. Pada malam harinya Tiong Gi menuliskan kembali apa yang diajarkan oleh guru Wang.
Cepat sekali otak Tiong Gi menyerap pelajaran guru Wang, hanya dengan
mengulang semalam, semua pelajaran paginya bisa dihapalkannya. Sebaliknya
putri juragan Liu setidaknya membutuhkan waktu empat sampai lima hari,
sehingga hanya sewaktu-waktu saja Tiong Gi mencuri pelajaran sambil pura-
pura menyapu atau membereskan perabotan di rumah juragannya. Guru Wang
bukannya tidak mengerti kalau pelajarannya dicuri dengar oleh kacung juragan Liu, namun sengaja ia diam saja.
Tak terasa setahun sudah Tiong Gi berada di rumah juragan Liu. Sudah banyak
pelajaran yang diserapnya dari guru Wang, namun sayang masih belum ada
sepersepuluh hurup di balik lukisan misterius yang disalin di kulit rusa yang pernah diajarkan, selebihnya adalah huruf-huruf yang jauh berbeda.
Suatu ketika dia menemui guru Wang, ketiga beliau sedang minum arak selepas
mengajar. "Guru Wang, aku ingin belajar membaca dan menulis padamu, apakah pada
malam hari engkau bisa mengajari aku?"
"Ha...ha...ha...alangkah lucunya permintaanmu bocah. Bujang seperti kamu
mana ada kemampuan belajar baca tulis! Lagian dari mana kamu dapat uang
untuk bayar gurumu hah" Heh jangan mimpi bisa membaca ya....kerjakan aja
tugas kamu, bodoh!
"Lopeh... aku akan kasih semua gajiku tiap bulan, asal kamu mau mengajar aku setiap malamnya."
"Huhh...gajimu sebulan paling banter sama dengan gajiku sekali ngajar Liu
siocia." Dua kali sudah Tiong Gi ketemu dan meminta agar guru Wang mau
menerimanya, tapi guru Wang tak bergeming. Ketiga kalinya, ia sengaja
mengejar guru Wang dan di jalan kecil menuju ke ujung desa ia berlutut dan
memohon untuk yang ketiga kalinya.
"Tiong Gi, aku masih melihat awan hitam menyelimuti dirimu, bagaimana aku
bisa menerimamu?"
"Maksud suhu" Aku tak paham, di sini tidak ada awan!"
"Apa sebenarnya yang kau cari anak baik?"
"Aku ingin belajar supaya menjadi orang pandai!"
"Untuk apa jadi orang pandai?"
"Agar aku bisa jadi orang berguna."
"He..he...he, aku tidak mendengar kejujuran di ucapanmu bocah."
"Sebenarnya, aku dapat wasiat dari nenek moyangku agar menemukan
warisan." Guru Wang memandang terkejut, segenap kemampuan inderanya tidak
menangkap ada sesuatu keanehan dalam nada suara anak didepannya. Guru
Wang yang sudah sedemikian matang pengalaman dan kemampuan bathinnya
sehingga mampu membaca suara hati orang lain yang tak terungkapkan, tidak
merasakan tanda-tanda itu. "Hmmm...anak ini memiliki latar belakang yang
sangat membuat penasaran, siapakah sebenarnya dia?"
"Tiong Gi, katakan terus terang, siapakah she-mu, dan siapa orang tuamu anak baiksiapa dirimu dan apa maksudmu?"
Kali ini Guru Wang bertanya dengan wajah sungguh-sungguh dan pertanyaan
yang tegas. Untuk kesekian kalinya orang menanyakan asal-usul nenek moyangnya. Kembali
Tiong Gi menjelaskan latar belakang dirinya secara sekilas. Dalam hati Tiong Gi merenung, "Kenapa orang selalu menanyakan itu, sejauh mana tingkat
pentingnya suatu jati diri" Siapa sebenarnya diriku?" Pandangannya kemudian
menerawang jauh, sembari menghela nafas dalam, ia tak mampu
menyembunyikan kesedihannya.
Tiba-tiba guru Wang merasakan suatu kedekatan perasaan terhadap anak yang
dihadapannya. Apalagi ketika dilihat wajah anak itu secara lebih seksama sambil berjongkok, ia seperti tidak asing dengan wajah itu. Ketika tangannya
memegang lengan Tiong Gi, terlihat raut mukanya berubah, betapa terheran-
herannya Guru Wang demi merasakan bahwa bocah yang hanya menjadi bujang
di perkampungan memiliki tulang bagus seperti itu. "Hmmm kenapa anak
harimau segagah ini hidup di antara kerbau?" pikirnya.
"He he heh....bocah pintar, baiklah nanti malem kita coba. Kalau ada bakat aku tidak hanya ajar kamu tiap minggu tapi kamu akan dapatkan semua ilmu surat
yang kumiliki, bahkan kalau kau bersedia aku juga akan mengajarimu ilmu silat."
"Hahh...benarkah suhu?"?"
Malam harinya dengan berindap Tiong Gi keluar dari kamarnya untuk pergi ke
rumah guru Wang. Rumah guru Wang berada di ujung jalan menuju ke sungai.
Di depan rumahnya tiap malam selalu di pasang lampion warna-warni. Meski
kecil tapi taman bunga di depan rumah menambah keasrian. Taman yang
terlihat sangat indah dengan komposisi yang serasi, seperti terawat oleh tangan yang terampil. Malam itu guru Wang sudah menunggu.
"Masuklah Tiong Gi!", seru guru Wang dari dalam rumahnya. Tiong Gi-pun
masuk ke dalam rumah itu. Ruang tamu rumah itu cukup lebar dan di ujung
sebelah dalam guru Wong sudah duduk menunggu. Di dekatnya ada kain cukup
besar. "Tiong Gi, ini ujian untukmu. Kalau kau lulus peganglah janjiku! Aku akan
melukis di kain ini, setelah selesai tolong tirukan lukisanku di papan tulis di sampingmu!"
Setelah selesai bicara Guru Wang langsung menggoreskan pena bulunya dengan
cepat, tidak lebih dari sepeminuman teh Guru Wang sudah menyelesaikan
sebuah lukisan pemandangan di pedesaan: ada sawah, lembu dan seekor
burung pipit terbang. Di bawah lukisan ia menuliskan kata-kata: ta-gu-niu-hui.
"Lihat baik-baik lukisan ini Tiong Gi, dan kau tirukan lukisan maupun tulisan di bawahnya!"
"Baik suhu, taecu akan mulai."
Dengan kapur tulis Tiong Gi mulai melukis seperti yang diminta suhunya. Sesaat ia ingin menengok kembali lukisan suhunya. Tak dinyana suhunya telah
menggulung lukisannya, sambil terkekeh, "Anak baik, kau akan mendapatkan
apa yang mampu kau lukiskan!"
Tiong Gi memeras otak untuk melukiskan apa yang dilihatnya. Cepat otak dan
tangannya bekerja menyalin tulisan di bawah lukisan terlebih dahulu, karena itu bagian yang paling sulit di ngat, sedang lukisan sawah kerbau dan burung lebih mudah untuk dikarang-karang. Beberapa saat ia melukis, sekonyong-konyong
muncul bau apek seperti daun tembakau dibakar. Tiong Gi melirik gurunya yang sedang asik menghisap tembakau dengan huncwe yang panjangnya selengan.
Matanya merem melek menikmati rasa nikotin tembakau. Setelah selesai Tiong
Gi membangunkan gurunya.
"Suhu aku sudah selesai!"
Guru Wang membuka mata dan membeliak, seakan-akan hampir loncat bola
matanya demi melihat lukisan di papan itu. Kata-kata di bawah lukisan itu persis seperti yang dituliskan, sedangkan lukisan di atasnya jauh lebih teratur goresan garis-garisnya antara yang tebal dengan yang tipis, sehingga ada kesan lebih hidup.
"Tiong Gi, katakan terus terang apakah sebelumnya kau pernah belajar?"
"Aku hanya belajar dari mengintip pelajaran yang suhu berikan pada Liu socia.
Apa lukisanku aneh suhu?"
"Aku tahu kau mencuri dengar ajaranku ke Liu siocia!" Hemm tak mungkin....tak mungkin.....Guru Wang bergumam sendiri. "Coba kau lebih mendekat!"
Setelah Tiong Gi mendekat, secepat kilat Guru Wang menotol ujung huncwe
beberapa kali ke bagian tubuhnya.
"Coba tunjukkan ilmu silat yang kau pelajari dari bibimu!"
Tiong Gi segera mengambil posisi kuda-kuda dan mulai melakukan gerakan-
gerakan jurus-jurus silat. Gerakan silat yang dipraktikkan adalah ilmu silat Hek in Cianghoat, namun gerakan-gerakan yang dilakukan masih sangat kaku dan
banyak kesalahan. Setelah selesai Tiong Gi meminta guru Wang meminjami
pedang. "Suhu bolehkan aku pinjam pedang?"
"Ambil sendiri di rak senjata" Tiong Gi segera mengambil pedang, dan mulai
mengayun-ayunkan pedang memeragakan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat.
Meski gerakannya kaku dan banyak kekeliruan, para pendekar yang banyak
pengalaman akan mengenali bahwa ilmu pedang yang dipergakan adalah ilmu
pedang dari Yu Liang Pay. Tapi aneh, sampai selesai tidak tampak ada
perubahan raut muka dari guru Wang. Hanya sedikit komentar yang
disampaikan ke Tiong Gi.
"Gerakan silatmu sangat kaku dan banyak lubang-lubangnya, lain kali kamu
jangan pakai lagi jurus ganas seperti itu." Coba mendekatlah kemari Tiong Gi"
ujar Guru Wang sambil melambaikan tangannya. Setelah Tiong Gi mendekat,
Guru Wang memegang pundaknya.
"Coba kau kerahkan sinkang di tubuhmu!" Tiong Gi mencoba namun kemudian
kesakitan. "Hmmm...aneh, jalan darahmu Leng thay hiat di punggung tertotok bertahun-
tahun, tapi tak ada tanda-tanda keracunan yang kau alami," kata guru Wang
sambil menotok punggung Tiong Gi, untuk membebaskan totokannya.
"Hanya ada dua kemungkinan, kau memiliki keturunan dari suku yang tinggal di daerah dingin, atau kau mempraktikkan ilmu yang bersifat im. Tapi apapu
kemungkinannya, yang jelas sekarang kau sudah terbebaskan. Aku akan
mengajarimu teknik mengumpulkan tenaga murni," ujar guru Wang sambil
mengajarkan teknik-teknik mengatur pernafasan. Setelah malam itu, guru Wang
menjanjikan pertemuan dua malam lagi.
Pada pertemuan berikutnya, Tiong Gi melihat seorang anak perempuan berusia
sebelas tahunan sedang menyalakan Lampion. Gadis itu bernama Wang Liu
Siang. Ketika Tiong Gi hendak menguluk salam gadis tanpa menoleh berkata:
"Kaukah murid baru kakek" Kabarnya bakat kamu bagus. Aku tidak percaya.
Coba kau sambut ini." Selesai mengucapakan kata-kata sambutan Liu Siang
langsung bergerak melancarkan serangan demi serangan. Tiong Gi dibuatnya
gugup tak mengira akan mendapat sambutan sehangat itu. Betapa tidak, bukan
hanya jurus-jurus serangan tangan dan kakinya saja yang indah, tapi juga jurus serangan jantung. Wajah yang manis ayu dengan rambut dikuncir dan senyum
dikulum menambah pesona yang bisa membuat copot jantung lelaki. Jurus
pertama dan kedua dapat dipapaki dengan baik, namun pada jurus ketiga,
ketika Liu Siang menggunakan gerakan tipu burung hong mengepak sayap,
tangan kanan berhasil menyodok dada. Tiong Gi baru menyadari kalau sudah
kena tojok telak setelah terdorong tiga langkah dan terkapar.
"Nona aku mengaku kalah!"
"Namaku Wang Liu Siang. Bangkitlah!" gadis itu mengulur tangan dan menarik
Tiong Gi. "Nona Siang, apakah engkau ini cucu dari guru Wang?" tanya Tiong Gi tenang.
"Kita berdua adalah cucu guru Wang. "Panggil saja aku suci atau enci, karena aku kan lebih dulu jadi murid kakek, jadi tidak perlu nona-nonaan segala!" jawab Liu Siang singkat.
Pada hari itu, guru Wang mulai menjelaskan dasar-dasar ilmu tulis dan ilmu silat, bersama Liu Siang, Tiong Gi mulai mempraktikkan teknik penulisan dan kuda-kuda. Ilmu silat guru Wang sebagian besar bersumber dari silat nenek
moyangnya. Ada tiga jenis silat yang diajarkan ke Tiong Gi, yang pertama ilmu pukulan bersifat dingin, ilmu silat pukulan badai angin salju (Swat im soan hong sin ciang). Ilmu yang terdiri dari tiga puluh tiga jurus ini lebih menekankan im.
Ada lima tingkatan yang bisa dilalui. Tingkatan pertama adalah penguasaan
gerakan luar (gwakang), tingkatan kedua adalah penguasan tenaga dalam
(lweekang), tingkatan ketiga adalah penguasaan harmonisasi gerakan dan
ukuran tenaga, tingkatan keempat adalah harmonisasi gerakan, tenaga dan
pikiran, sedangkan tingkatan terakhir adalah tingkatan harmonisasi sekeluruhan dengan hati. Pada tingkatan terakhir ini seseorang yang menguasai ilmu ini bisa tetap melakukan penyerangan meskipun dalam keadaan terbelenggu kaki dan
tangannya. Ilmu yang kedua adalah ilmu pedang cahaya salju (Sue kong kiam
hoat). Ilmu pedang ini sebenarnya terdiri dari lima puluh jurus, namun guru
Wang sendiri hanya menguasai tiga puluh jurus asli, sedangkan lima jurus
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tambahan merupakan jurus kembangannya. Ilmu yang terakhir adalah Sai cu
hokang (auman singa), sejenis ilmu teriakan yang disertai pengerahan khiekang yang dapat menggetarkan lawan.
Selama lima hari Liu Siang tinggal di rumah guru Wang, ia sering mengajak
Tiong Gi bermain ke dekat sungai memancing ikan atau mencari madu. Gaya
bicara Liu Siang sangat menarik, apalagi gerakan-gerakan tangannya menirukan ikan yang menggelepar-gelepar atau tawon yang berhamburan mengejar
buruannya, sehingga membuat Tiong Gi tak berdaya untuk menolak, sekalipun
ia harus menyancang kerbau-kerbaunya.
Setiap hari keenam dan ketujuh guru Wang meliburkan kelasnya, demikian juga
dengan pelajaran Tiong Gi. Demikianlah kegiatan yang dijalani Tiong Gi. Tiap minggu selalu saja ada dua hari guru Wang tidak mengajarnya, juga tidak ada di rumah. Setelah kembali lagi belajar di rumah itu Tiong Gi tidak pernah melihat lagi batang hidung Liu Siang, sehingga ia memberanikan diri bertanya kepada
guru Wang, namun dengan ringan guru Wang menjawab Liu Siang tidak tinggal
bersamanya. Karena singkatnya pertemuan mereka, maka guru Wang mengajarkan ilmunya
kepada Tiong Gi dengan cara yang luar biasa. Ia meminta Tiong Gi
menghafalkan teori-teorinya. Anehnya Tiong Gi merasa kesulitan menghafal
dalam bentuk teknik terstruktur, namun justru mudah hafal dalam bentuk
bahasa aslinya, bahasa puisi. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan
tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan
mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam
tubuh, sambil sedikit demi sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya.
Tiong Gi mempraktikkan pelajaran silat tidak hanya saat di rumah guru Wang,
namun juga dilatih sambil menggembala kerbau-kerbaunya. Tak terasa tiga
bulan berlalu, suatu waktu ketiga saking getolnya belajar silat, Tiong Gi tidak memperhatikan salah satu anak kerbaunya berjalan jauh meninggalkan induk
menuju hutan rawa bangkai. Begitu ia sadar anak kerbau itu sudah lenyap ke
jantung rimba itu, ketika Tiong Gi hendak mencari ia melihat tulisan larangan memasuki hutan, sehingga ia ragu, apalagi ia harus menyelamatkan kerbau-kerbau lain yang masih ada.
Kejadian ini membuat keluarga Liu marah, namun Liu Gan masih berusaha sabar
sehingga hanya memberi hukuman potong gaji dua bulan.
"Ini pasti gara-gara dia itu keseringan main ke rumah guru Wang. Huh, kacung bodoh sok-sok mau belajar baca tulis," ujar nona Liu ketus.
"Kakanda Liu, sebaiknya kita minta saja dia mengganti kerbau yang hilang, aku mau tahu dari mana ia dapat uang gantinya kalau bukan dari mengemis, ia
sudah lupa dulu kita temukan sebagai apa!" timpal nyonya Liu.
Tiong Gi meradang, rasanya hendak memuntahkan seluruh amarah di dadanya,
namun kemudian ia ingat nasihat guru Wang. "Tubuh dan pikiran manusia
hanyalah alat saja Tiong Gi, semua itu dikendalihan oleh bathin atau oleh hati.
Orang-orang yang berhasil dalam hidupnya adalah mereka yang berhasil
mengendalikan tubuh dan pikirannya, sehingga tidak pernah membiarkan dirinya larut dalam nafsu angkara. Itulah pentingnya ilmu mengelola hati."
Karena ia hanya menunduk saja, Liu Gan merasa kasihan, sehingga mau
memaafkan. Malam harinya ketika kembali belajar ke guru Wang, Tiong Gi
menyempatkan untuk bertanya kepada guru itu.
"Suhu, menurut orang-orang hutan rawa bangkai dan lembah delapan rembulan
adalah tempat yang keramat, benarkah demikian?"
Guru Wang hanya terkekeh pelan, namun kemudian tersenyum, senyum yang
getir. Namun tak tertangkap oleh indera Tiong Gi.
"Tempat yang keramat menjadi sarang hantu atau orang yang ingin menjadi
hantu, karena tak ingin terlihat oleh orang lain. Tak ada hal yang aneh. Apakah kau ingin pergi kesana?" jawab guru Wang singkat, namun membuat jantung
Tiong Gi berdegup kencang.
"Ad..da apakah di sana suhu" Apa itu tempat sembunyi dewa?"
"Kalau kau mau memegang rahasia, aku akan mengajakmu ke sana. Di sana ada
Liu Siang. Setiap dua hari dalam seminggu aku pulang kesana" papar guru
Wang. Ucapan guru Wang sangat sulit dipercaya oleh Tiong Gi. Namun ia tidak melihat raut muka bergurau, di wajah guru Wang.
"Jadi apakah guru Wang anggota penghuni lembah itu?"
"Anak bodoh, apakah masih perlu hal itu kamu pertanyakan?"
Namun kamu harus menunggu sampai enam bulan lagi. Perjalanan ke sana
memerlukan keterampilan khusus yang hanya dimiliki oleh pesilat tingkat atas.
Karena dijanjikan hal seperti ini, Tiong Gi makin giat belajar dan berlatih. Tiap hari waktu luangnya di si dengan berlatih dan berlatih. Teman sepermainannya hanyalah kerbau-kerbau piaraannya, namun ia tidak kehilangan kemampuan
interaksi dan komunikasi karena guru Wang juga sering mengajaknya ke kelas
yang diasuh guru itu, meskipun hanya dalam waktu singkat. Sebagai seorang
guru, Yung Ci nama asli guru Wang, sangat memahasi kebutuhan sosialisasi
anak. Makanya tidak aneh ketika Tiong Gi mengungkapkan perasaan hatinya.
"Suhu, kenapa beberapa waktu terakhir ini saya selalu ingat Siang suci, dan
ingin ketemu dengannya?"
"Aha, itu artinya kau sudah beranjak dewasa anakku, apakah kau sudah pernah
mimpi basah?"
"Apa itu mimpi basah suhu?"
"Itu adalah pertanda engkau harus lebih hati-hati dalam bersikap dan kendalikan dirimu baik-baik! Seorang laki-laki dewasa harus berani bertanggung jawab atas segala tindakannya!"
"Oo......iya memang aku sudah mengalaminya" jawab Tiong Gi malu-malu.
Tanpa terasa, enam bulan lebih waktu sudah terlewati. Suatu ketika guru Wang bermaksud mengajak Tiong Gi ke lembah delapan rembulan. Ia lalu meminta ijin ke juragan Liu untuk membawa Tiong Gi. Liu Gan memandang heran, namun tak
kuasa melarang usul guru Wang.
Berdebar-debar rasa hati Tiong Gi meninggalkan rumah-rumah di desa Lim Kee
Cung menujua hutan rawa bangkai. Pesan guru Wang benar-benar membuatnya
deg-degan, ia boleh ke lembah delapan bunga, dengan syarat ia akan menjadi
warga lembah, dan terikat dengan peraturan lembah. Di tambah lagi kerinduan
bertemu nona Siang yang cantik dan lucu. Jauh sekali beda watak nona Siang
dengan nona Lin.
Bab 9. Riwayat penghuni lembah delapan rembulan
Begitu sampai di pinggiran hutan, guru Wang Ketika mengempitnya dan
melompati dahan dahan pepohonan. Kadang-kadang menjejakkan kaki ke lantai
hutan, kadang-kadang meraih akar-akar pohon kemudian berpindah
menggunakan akar-akar pohon tersebut. Ternyata cara memasuki hutan itu
dengan aman memang ada rahasianya, dan guru Wang sendiri yang menyusun
jalan itu. Gerakan guru wang sangat cepat seperti berputar-putar, sampai
akhirnya mereka menemukan jalan buntu karena terhalang bukit karang yang
tinggi. Tiba-tiba guru Wang berhenti dan menuju ke batu yang ukurannya
sebesar sapi. Guru Wang menggeser batu, ternyata di balik batu itu ada gua
kecil yang menjorok kebawah. Guru wang menarik tangan Tiong Gi, setelah
menutup kembali batu itu, ia kembali mengempit tubuh Tiong Gi dan dibawa lari menuruni gua. Di ujung gua, guru Wang menekan suatu tombol, sehingga pintu
besi diujung gua itu terbuka. Gua itu ternyata terbuka ke tebing. Namun tebing ini lebih landai dibanding tebing lainnya. Setidaknya masih ada tonjolan-tonjolan batu yang dapat dijadikan batu loncatan. Ketika suhunya melepaskannya ia
merasa ngeri, akan tetapi Tiong Gi menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak
menyatakan rasa ngerinya! Ketika mereka memasuki halimun tebal yang
menutup bagian dasar lembah, Tiong Gi hampir menjadi kaku oleh rasa dingin.
Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan gigi bawah namun
dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali, dan Tiong Gi memandang
sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada di dasar lembah.
Di lembah itu selain bertemu Liu siang ia juga dikenalkan dengan penghuni yang lain. Ada dua pasang keluarga usia empat puluh lima tahunan, dua lelaki berusia lima puluh tahun dan enam puluh tahunan serta ada empat orang kakek
seumuran guru Wang. Mereka bukanlah orang sembarangan. Mereka sudah
tinggal selama lebih dari lima belas tahun sampai yang paling belakangan datang adalah sute ketua Kong Thong Pay.Sepasang lelaki dan perempuan berpakaian
biru-biru berusia empat puluhan lima adalah sute dari Hek in Loco. Sepasang
lagi yang berbaju hijau putih adalah murid dari Hoan Bin Kwi Ong. Seorang lelaki berpakaian tosu adalah murid Kong Thong Pay, yang berjuluk Sim Beng Tosu, ia adalah sute dari ketua Kong Thong Pay, sedangkan lelaki berjubah biksu adalah Bu Kong Taisu, suheng dari Bu Sian Taisu. Bagaimanakah tokoh berbagai
golongan ini bisa bersatu di lembah"
Mereka adalah para petualang yang mencoba-coba memasuki lembah dan
tertangkap dan dikalahkan oleh penghuni lembah. Mereka semula dikurung,
namun kemudian dibebaskan karena mereka berjanji untuk membantu lembah
menghadapi musuh dari luar. Balasan atas janji mereka adalah kebebasannya.
Meskipun begitu mereka tak henti-hentinya mencoba untuk keluar, namun
sampai sekian tahun mereka tak satupun yang mampu menembus tembok
tebing yang mengelilingi lembah itu. Bukannya mereka ini tidak pernah
mengikuti guru Wang, namun selalu mereka gagal membuka pintu gua di tebing.
Adapun empat orang lelaki seumuran guru Wang yang bergaya pakaian barat ini
adalah kawan-kawan seperjuangan guru Wang, mereka berasal dari daerah
yang sama di barat. Meski seumuran mereka sebenarnya berguru pada guru
Wang. Ditambah lima orang yang ada di luar lembah, mereka dinamakan Tai
Swat San Kiu Tiauw Kwi (Sembilan burung hantu dari gunung salju besar).
"Gi sute, gimana perkembangan ilmu surat dan ilmu silatmu, ayo kita berlatih di dekat telaga, aku akan mengajarimu cara pernafasan untuk menghangatkan
badan," seru Liu Siang saat bertemu dengan Tiong Gi.
"Liu cici, lama sekali kita tak bersua, ingin sekali aku kembali merasakan
tendanganmu!" jawab Tiong Gi ceria.
Selanjutnya mereka berdua sudah terlibat latihan silat tingkat tinggi yang sangat luar biasa. Tiong Gi menggunakan jurus-jurus dari pukulan saljunya sementara Liu Siang menggunakan jurus-jurus dari ilmu delapan unsur pat kwa. Ilmu yang bernama Pat kwa sin tiauw ciang hoat (Pukulan cakar rajawali pat kwa). Ilmu ini berdasarkan pada gerakan segi delapan, menggunakan kecepatan tinggi dan
ketepatan pukulan. Ilmu ini cocok sekali dengan karakter Liu Siang yang
langsing dan berbakat dalam ilmu meringankan tubuh. Ilmu ini diajarkan oleh
guru Wang dan dikembangkan lebih lanjut dengan tambahan pengertian dari Bu
Sian Taisu dan Sim Beng Tosu.
Latihan itu sungguh luar biasa, gerakan lincah tangan Liu Sian benar-benar
seperti patukan rajawali, sedangkan gerakan Tiong Gi tenang namun pukulan-
pukulannya mengandung kekuatan tenaga im yang menggiriskan. Para penghuni
lembah menonton dengan mata berbinar-binar. Tiba-tiba Tiong Gi mengubah
gerakan, tubuhnya merendah dan menyerang bagian bawah.
"Omitohud, sungguh besar sekali peruntungan Yung taihiap, bisa mendapatkan
sepasang anak naga yang sangat berbakat. Hati-hati Sian serangan pukulan
salju mengepung gunung harus kau bendung dari bawah, keluarkan jurus
rajawali mengepak sayap" kata Bu Kong Taisu.
Hampir saja Liu Sian terdesak, namun demi mendengar nasihat dari Bu Kong
taisu ia juga merubah gerakan mengeluarkan jurus kepakan sayap ke bagian
bawah. "Gi ji, pakai jurus naga salju menyemburkan api," tiba-tiba terdengar seruan salah seorang dari Kiu Tiauw Kwi.
Latihan makin sengit, dari hanya latihan biasa menjadi pertarungan tersembunyi antara Bu Kong Taisu dengan salah seorang tetua negeri salju. Puncak
pertarungan ini terlihat ketika Tiong Gi mengeluarkan jurus badai salju kutub utara yang dihadapi oleh Liu Siang dengan serangan tapak sakti delapan dewa
rajawali. Tangan Tiong Gi bergerak cepat dari kedua tapak tangan tersebut
keluar serangkum hawa dingin yang luar biasa. Bahkan angin pusaran yang
dihasilkan membuat terbang dedaunan di sekitarnya. Liu Siang memapakinya
dengan tangkisan tangan yang mengandung kekuatan yang tak kalah hebatnya,
bahkan ia masih sempat melayangkan satu jurus ke Tiong Gi. Dua benturan
jurus yang sangat hebat ini menimbulkan bunyi yang sangat keras.
"Blaaarrr!"
Tiong Gi terdorong tiga langkah dan terpelanting, sedangkan Liu Siang bisa
berpoksai dua kali dengan indah. Tampak dari hasil latihan ini, Tiong Gi masih kalah pengalaman dan kecolongan satu jurus. Tepuk tangan bergema. Guru
Wang tampak puas.
Di lembah delapan rembulan Tiong Gi makin giat berlatih, apalagi kini ia punya lawan latihan yang sangat cerdas. Di lembah yang dari atas terlihat istana kecil ternyata dari dekat istana itu cukup luas. Namun dinginnya luar biasa. Hari-hari pertama Tiong Gi ditempatkan di bagian belakang yang ada guanya. Tiap malam
ia membuat api unggun. Namun setelah satu bulan ia sudah mampu
mempraktikkan teknik untuk mengumpulkan hawa yang mampu menghangatkan
tubuh. Rupanya di bagian belakang istana ada tiga gua. Selain yang ditempati Tiong Gi, masih ada dua lagi yang dijadikan kamar tawanan. Tiong Gi menjadi
terperanjat dan menatap curiga. Ia teringat dengan tawanan di Kuil Kong-sim
Liok si. Namun untuk bertanya langsung ke guru Wang ia ragu, maka saat
memancing ikan di tepi sungai bersama Liu Siang, ia bertanya
"Siang cici, apakah engkau mengetahui riwayat lembah ini?"
"Tentu saja, namun kukira riwayat itu belumlah lengkap, karena masih banyak
sisi-sisi yang masih misterius!"
"Coba ceritakan padaku cici!" desak Tiong Gi.
"Waahhh Gi te, ceritanya panjang, trus tidak gratis, masa juru dongeng
profesional seperti daku ini harus cuap-cuap tanpa bayaran sih?"
"Aduh cici, masa sih sama adik sendiri main palak segala."
"Loh, ada kalanya kita tidak memberi informasi secara percuma Gi te, apalagi kalau kau jadi mata-mata wah itu satu dua katapun bisa berharga puluhan tael emas!"
"Hah, benarkah?" desis Tiong Gi perlahan, ia kembali teringat peristiwa di kuil Kong-sim Liok si.
"Yaa tapi taruhannya nyawa, mending kalau berhadap-hadapan bertarung
secara jantan. Kebanyakan mereka meregang nyawa di kamar-kamar
penyiksaan."
"Iya...iya....lantas berapa tael yang enci mau?"
"Alaa sok kaya, setahilpun kau tak punya khan" Lagian aku ingin kau
membayarnya dengan mengajari aku ilmu auman harimau. Karena kata suhu,
khiekang kamu jauh lebih dalam dibandingkan khiekangku."
"Benarkah suhu berkata seperti itu?"
Liu Siang hanya mengangguk. Selarik senyum dikulum menambah
kecantikannya. Dan mulailah ia bercerita.
"Penghuni lembah delapan rembulan sebenarnya berasal dari pegunungan Tai
Sui san (pegunungan salju besar) yang terletak di Secuan barat. Pegunungan ini merupakan daerah perbatasan antara Tionggoan, Tibet dan Tayli, yang sering
menjadi daerah konflik. Pegunungan Tai Swat San memanjang dari utara yang
berbatasan dengan Bayan Har san hingga ke selatan berbatasan dengan propinsi Yunnan. Pegunungan yang terletak di antara dua sungai besar Yalong dan
Linsha ini memiliki perbukitan yang sebagian besar adalah puncak-puncak salju abadi. Tak heran jika ada yang menyebutnya sebagai negeri salju."
"Negeri salju?"?"
"Ya benar! Di negeri ini pernah berdiam seorang maestro dunia persilatan waktu itu yang bernama Lau Cin Shan, meskipun hanya beberapa hari. Pada saat itu
Lau Cin Shan diterjunkan ke medan pertempuran sebagai penasihat perang
kerajaan Tang, menghadapi pasukan Tibet yang didukung oleh Buthan. Saat itu
ia bertemu dengan seorang gadis dan berkenalan. Singkat kata ia kemudian
berkenalan dan menikah dengan wanita yang bukan lain anak kepala suku di
wilayah itu. Dari hasil perkawinannya ia meninggalkan keturunan yang bernama Lau Shu Han. Tak lupa Lau Cin Shan mewariskan berbagai ilmu untuk
keturunannya melalui isterinya. Pernikahannya dengan anak kepala suku negeri salju itu sangatlah aneh, karena negeri salju sendiri berdiri di belakang Tibet, sehingga mestinya ia berhadapan dengan suku itu sebagai musuh. Namun cinta
mengatasi semuanya. Bahkan demi menjaga kehormatannya yang dituduh
membelot, Lau Cin San rela mengorbankan jiwa dalam peperangan itu. Bagi
penduduk Hu Nan, Lau Cin San tetaplah harum dikenal sebagai seorang
pahlawan. Namun bagi musuh-musuhnya ia adalah pembelot. Entah yang
manakah yang benar."
"Lalu kenapa mereka tinggal di sini?"
"Mereka lari mencari tempat yang tersembunyi agar tidak dapat ditemukan oleh musuh mereka. Meskipun dalam pertemuan terakhir mereka mengalahkan
musuh besar mereka, namun saat itu tokoh terlihai mereka lenyap."
"Wah ancaman besar bagi kita, ci! Apakah kita tidak membentuk pasukan
tandingan?"
Tentu saja sejak dulu juga sudah dibentuk oleh putera Cin Shan. Lau Shu Han
tumbuh besar menjadi seorang ksatria dan bersama dengan empat saudara
seperguruannya yang memiliki she Yung, Kim, Shu dan Toan di bawah asuhan
ibunya, ia mendirikan klan ksatria salju. Tujuan dibentukkan klan ini adalah mempertahankan negeri salju sebagai daerah otonom. Pada masa Lau Shu Han,
negeri salju mencapai puncak kejayaan dan benar-benar menjadi daerah
otonom. Namun seiring waktu, pembentukkan klan ini menimbulkan reaksi
berlebihan dari lawan-lawan mereka, sehingga negeri salju selama puluhan
bahkan ratusan tahun setelahnya menjadi kawasan konflik."
"Daerah otonom" Kawasan konflik" Aduh cici, tolong gunakan istilah yang aku
pahami!" "Gi te, kamu harus lebih rajin belajar! Biar jadi orang cerdas!"
"Iya..iya deh, aku janji akan lebih giat belajar biar jadi anak cerdas seperti cici."
"Benarkah aku cerdas Gi te" He he he, makasih ya pujiannya, sayang neh gak
ada uang receh."
Keduanyapun kemudian tertawa.
"Eh, sebenarnya siapakah musuh besar itu?"
Liu Siang kembali melanjutkan ceritanya.
"Musuh utama negeri salju ini adalah kelompok tengkorak hitam. Seratus tahun silam, menjelang akhir masa dinasti Tang, dibentuklah sebuah kelompok milisi untuk menghadapi perlawanan musuh-musuh Tang. Salah satu kelompok yang
beroperasi di wilayah yang dikuasai kerajaan Tayli dan sekitarnya termasuk
negeri salju adalah kelompok tengkorak hitam.
Kelompok tengkorak hitam adalah kelompok iblis yang paling ditakuti di wilayah itu, bahkan kelihaiannya diakui oleh pesilat Tionggoan. Kelompok ini punya
pasukan iblis berani mati yang menggunakan topeng tengkorak. Topeng
memang benar-benar tengkorak nenek moyang mereka yang dilapisi besi yang
dapat melindungi kepala. Kelompok ini dibentuk oleh Wan Cun Ming seorang
mantan mata-mata kerajaan Tang. Cun Ming ternyata memiliki agenda
tersendiri, karena ia mendendam kepada Lau Cin Shan yang telah membunuh
kakeknya. Wan Cun Ming adalah iblis bertangan besi dalam menghadapi orang-
orang dari negeri salju. Dalam masa kepemimpinannya ia telah membantai tak
kurang dari lima ratus orang yang tinggal di negeri salju. Kelihaiannya sungguh luar biasa, bahkan dianggap sebagai jelmaan iblis itu sendiri. Kelima ksatria salju tewas satu persatu di tangannya. Api permusuhan yang disulut Wan Cun Ming
menjadi dendam hingga tujuh turunan. Kekalahan dan kemenangan silih
berganti di antara dua kelompok (tengkorak hitam musuh keturunan ksatria
salju). Menjelang keruntuhan masa lima dinasti dan sepuluh kerjaan, runtuh pula pondasi negeri salju, bahkan keturunan ksatria terakhir waktu itu yang dipimpin oleh Yung Ci terpaksa melarikan diri hingga ke lembah delapan rembulan.
Dendam membuat Yung Ci memperkuat diri di pengasingan. Menjelang
berakhirnya pemerintahan Kaisar Petama Sung yang berjuluk Sung Tai Cu,
pasukan Yung Ci mampu menakhlukkan pasukan tengkorak hitam. Bahkan dua
dari tiga cucu Wan tewas ditangan puteranya. Belajar dari siklus dan melihat tanda-tanda alam dengan mata bathinnya guru Wang yang bukan lain adalah
Yung Ci dapat merasakan waktu pembalasan dari tengkorak hitam sudah dekat."
"Lantas kenapa di belakang istana terdapat gua yang berisi penjara?"
"Gi te, hati-hati kamu, di sana dikurung tokoh-tokoh yang tidak mau bekerja
sama dengan kita, mereka tidak dilepaskan karena kawatir akan membocorkan
rahasia lembah ini ke kalayak ramai, dan akibatnya jika didengar oleh tengkorak hitam, akan sangat berbahaya sekali."
"Ooo....orang selihai suhu masih cemas menghadapi mereka, apakah mereka
memang benar-benar sakti?"
"Tak seorangpun tahu, tapi menurut Cit Tiauw (burung hantu ke tujuh), puncak pertikaian kedua belah pihak akan pecah dalam waktu dekat, karena sesuai
dengan perjanjian nenek moyang mereka, pertikaian ini akan berlangsung
selama tujuh turunan, dan turunan terakhirlah yang akan menyelesaikannya."
"Siapakah keturunan terakhir itu" Apakah suhu dan Kiu Tiauw?"
"Bukan! Keturunan terakhir ksatria salju adalah generasi cucu mereka, karena mereka adalah keturunan kelima."
"Berarti kamu kan cici" Bukankah kamu cucu dari suhu?"
"Bukan, aku bukan cucunya."
Tiong Gi terperanjat mendengar pengakuan Liu Siang, sampai detik ini ia masih menganggapnya begitu, kiranya dulu ucapan Liu Siang hanya gurauan. Tapi dia
menjadi heran karena tidak melihat perubahan ekspresi di wajah Liu Siang.
"Benarkah begitu" Lantas siapakah orang tuamu?"
"Aku tidak tahu. Menurut suhu, ia mendapatkan diriku berada di bawah
tumpukan jerami makanan kuda yang terlempar dari gerobak. Sedang seluruh
keluargaku telah meninggal semua. Tak ada orang di sekitar tempat ini yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenal keluarga kami."
"Cici, kamu tidak tampak sedih sudah tidak memiliki orang tua lagi."
"Gi te, semua orang yang disini adalah pengganti orang tua kita. Aku juga punya bibi pengasuh yang didatangkan oleh suhu. Lagi pula belum tentu memiliki
orang tua keadaannya lebih baik dari yang kita rasakan sekarang."
*** Lima bulan berlalu tanpa terasa, meskipun Tiong Gi harus berjuang keras
mengatasi musim salju yang sangat luar biasa dinginnya. Akhirnya setelah
tinggal di lembah itu selama setengah tahun, datanglah susim semi yang indah.
Bunga-bunga yang elok bersemi. Saat itu umur Tiong Gi sudah empat belas
tahun. Ia tumbuh menjadi pemuda yang bertubuh tegap, wajahnya agak bulat,
alisnya tebal, rahangnya kokoh, matanya agak lebar. Di ruang depan istana
delapan rembulan, ia berlutut di hadapan suhunya. Saat itu suhunya sedang
memberi pesan-pesan yang sangat penting.
"Tiong Gi, beberapa hari yang lalu tiga dari Kiu Tiauw Kwi telah datang. Kami kemudian berembug untuk menentukan rencana kedapan, dan aku sudah
berketetapan untuk menunjukmu sebagai ahli waris ilmu-ilmu ksatria salju
dengan tugas yang berat. Untuk itu maka kami berlima akan membawamu ke
gua harimau salju di puncak Gongga Ma. Saat ini adalah waktu yang tepat.
Kalau kita berangkat dalam waktu dekat dan sampai di sana pada saat musim
panas, kau akan dapat menyesuaikan diri, dan kita bisa berlatih selama
beberapa bulan sebelum musim salju tiba. Dan pada saat musim salju kamu
akan menjalani latihan terakhir," ujar guru Wang, sambil matanya mengatup, ia masih melamunkan peristiwa tadi malam. Masih terngiang-ngiang
percakapannya dengan tiga Kiu Tiauw Kwi yang baru saja datang. Percakapan
yang menuntut ia mengambil keputusan yang disampaikan ke Tiong Gi.
"Bagaimana dengan Siang cici, apakah dia akan ikut?"
"Tidak, dia akan dididik oleh lima dari Kiu Tiauw Kwi di sini."
"Dan kamu harus berjanji padaku Tiong Gi, apapun yang terjadi pada kami kau
harus mentaati perintahku."
"Taecu berjanji suhu!"
"Ingatlah Tiong Gi, nyawa tidak ada artinya bagi kebenaran dan keadilan."
"Taecu mengerti suhu!"
Setelah bersiap, maka pada malam hari itu juga mereka berangkat. Berbeda
dengan saat datang, ketika keluar meninggalkan lembah, Tiong Gi dibiarkan
berlari sendiri. Meskipun gingkannya sudah maju pesat, namun tetap ia masih
ngos-ngosan mengikuti gerakan mereka berlima yang berkelebat secepat kilat."
Yung Ci Tianglo dan keempat Tiauw Kwi memang sengaja menguji
perkembangan Tiong Gi, dan mereka sangat puas. Malam itu kalau ada orang
yang melihat berkelebatnya enam bayangan keluar dari hutan rawa bangkai
pasti akan lari ketakutan, mengira bayangan itu adalah setan.
Mereka berenam kemudian bergerak menuju ke barat. Perjalanan dilakukan
lewat darat, karena tak ingin menarik perhatian orang mereka melakukan
perjalanan dengan jalan kaki seperti orang awam. Karena dilakukan dengan
jalan darat maka perjalanan itu menempuh waktu satu bulan. Setelah sampai di lembah bunga kiok, Yung Ci Tianglo memerintahkan dua diantara Tiauw Kwi
melanjutkan perjalanan ke Tai Swat san untuk mencari murid, sedangkan
mereka mendaki ke Gongga Ma.
"Cit Tiauw dan kamu Pat Tiauw, lanjutkanlah perjalanan kalian berdua ke Tai
Swat san untuk mencari bibit-bibit yang bisa kita didik menjadi generasi penerus.
Tidak perlu banyak-banyak yang penting kejujuran dan bakatnya. Pergilah lewat sungai Yalong."
"Baik suhu!"
Mereka kemudian berpisah di lembah itu.
Gunung Kongga atau dalam bahasa daerah setempat dikenal dengan Minja
Konka, merupakan salah satu dari tiga puncak tertinggi di luar wilayah himalaya.
Puncak ini memiliki salju abadi yang menyelimuti kawasan di atas ketinggian
lima li. Untuk mendaki ke puncak ini sungguh sangat sulit dan berbahaya karena punggung-punggung bukit karang yang curam yang langsung berbatasan
dengan jurang-jurang yang terjal. Di salah satu dinding bukit yang menghadap ke selatan terdapat gua yang dikenal dengan gua harimau salju. Dinamakan
demikian karena dulu pernah dijadikan sarang harimau. Ada tiga gua yang
berdampingan dan satu gua yang agak jauh, gua yang nyaris tak terjamah
karena sulitnya jalan menuju ke gua itu. Ketika menuju ke sana, mereka harus merayap dan merangkak, saking terjalnya. Dari luar gua itu sangat sempit
namun setelah masuk makin lebar. Jika gua itu terus dimasuki akn tembus ke
sebuah lembah yang dikelilingi oleh tebing salju yang curam persis tempat di lembah delapan rembulan.
Hari pertama latihan, Tiong Gi harus melakukan semedi di luar gua selama satu jam. Meski hanya satu jam rasanya setahun aja. Embun yang menerpa wajah
dan rambutnya dalam waktu beberapa menit telah berubah menjadi es. Kulit
tubuhnya yang terpapar udara mulai memerah. Seluruh tubuhnya menggigil,
sampai gigi atas beradu dengan gigi bawah namun dia tetap coba bertahan,
tidak mau mengeluh sama sekali. Setiap minggu latihan ditambah, demikian
terus menerus sampai satu bulan lamanya, makin lama makin sulit jurus-jurus
yang harus dikuasai dan makin lama bertahan di bawah kabut salju. Tiong Gi
hampir menjadi kaku oleh rasa dingin.
Tak ada waktu untuk berleha-leha bagi Tiong Gi. Setiap hari selalu digunakan untuk berlatih. Jika tidak berlatih silat, maka ia belajar ilmu surat. Demikian terus menerus kegiatan yang menjadi rutin. Yung Ci Tianglo dan Tiong Gi sendiri tidak perlu repot-repot mencari makan, karena dua Tiauw Kwi siap bertugas melayani kebutuhan mereka.
Bagaimanapun hidup di luar rumah tempat tinggal yang paling nyaman,
merupakan perjuangan tersendiri. Apalagi menghadapi cuaca yang sangat
ekstrim dinginnya. Setelah sebulan mereka yang tinggal disitu mulai dihinggapi kejenuhan. Tiong Gi yang semula mencoba untuk bertahan mulai menunjukkan
kerewelan. "Suhu, masih berapa lama lagi kita tinggal di sini?"
"Tiong Gi, latihan kamu masih belum ada apa-apanya. Kita masih harus
menunggu musim dingin. Semoga di musim itu kita dapatkan badai salju, pada
waktu itu kamu harus mampu bertahan semalam suntuk. Kalau kamu mampu
bertahan maka ilmu Swat im soan hong sin ciang sudah akan kamu kuasai pada
tingkatan kedua, tinggal sedikit pematangan untuk mematangkan keselarasan
gerak dan tenaga maka di akhir pertapaan kita kamu sudah mencapai tingkatan
tiga, dan itu hasil yang luar biasa karena aku dulu menguasai tingkat dua pada usia duapuluh tahun, sedangkan tingkat tiga pada usia dua puluh lima tahun!"
"Suhu, taecu sudah bosan!"
"Ingat Tiong Gi, kau harus membulatkan tekad. Di hadapanmu kelak akan
bermunculan musuh-musuh yang memburumu. Ataukah kau akan lari menjadi
seorang pengecut?"
Nasihat-nasihat Yung Ci Tianglo awalnya dapat diresapi dengan baik oleh Tiong Gi. Namun ia adalah manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan.
Memasuki minggu kedua musim dingin, rasanya ia sudah tak mampu bertahan
lebih lama dari satu jam.
"Suhu aku kedinginan, aku tak tahan lagi," seru Tiong Gi yang sudah sulit
bertahan. Sudah dua hari ia tak mendapat asupan daging, hanya roti tawar saja yang dimakannya. Tubuhnya terguling, sehingga ia menghentikan latihannya
dan masuk ke gua, dengan merayap.
"Bertahanlah! Kemarin kamu bisa bertahan dua jam, kenapa sekarang malah
lebih mundur. Kiu Tiauw baru saja datang, dan ia membawa daging. Kami baru
saja mau mempersiapkan pembakaran! Hayo kembali lagi!!" seru Yung Ci keras.
"Taecu sudah tidak kuat......! Taecu mau pulang saja, suhu," rengek Tiong Gi sambil tubuhnya telentang.
Yung Ci saat itu sedang sibuk membuat api, namun sudah beberapa kali
mencoba masih belum nyala, meskipun ia sudah menggunakan tenaga
lwekangnya. Maka mulailah timbul kekesalannya. Ia sebenarnya juga merasakan
malam itu suhu tiba-tiba turun dengan sangat drastis. Tapi sedingin itu masih belum apa-apa dibandingkan nanti waktu puncak-puncaknya. Kekesalannya
seakan-akan dapat muara.
"Anak bodoh! Kami semua disini berjuang dan bertahan demi kamu, tapi kamu
males-malesan. Hayo keluar!" bentak Yung Ci.
"Desss!" sebuah tendangan membuat tubuh Tiong Gi melayang kembali ke luar.
Ia merasakan seluruh tubuhnya ngilu-ngilu saking dinginnya, bahkan otot
kakinya sudah sulit digerakkan karena kram. Tak biasanya suhunya bersikap
seperti itu. Bentakan Tendangan itu meskipun perlahan, dan tidak mengandung
tenaga keras, namun cukup membuat dadanya tambah nyeri, sehingga ia makin
kesulitan mengatur nafas. Ketika sudah sulit bertahan ia kembali merayap ke
dalam. Untung saat itu api sudah mulai menyala sehingga sampai di pintu
guapun ia sudah bisa merasakan hawa yang lebih hangat. Tapi siapa sangka
suhunya sudah menunggu di mulut gua.
"Tiong Gi, seorang ksatria harus siap menghadapi maut tanpa keluhan. Kamu ini anak macam apa, baru sebentar sudah merengek-rengek minta berhenti!"
"Su...hu...taecu...sudah...tak tahaan.....!"
"Keparat, berani melawan perintah guru!" seru Yung Ci dengan mata melotot,
nafasnya mulai tak beraturan, pertanda kemarahan mulai menguasainya.
Sekejap kemudian tangan kanannya terangkat dan "Plaaakk!" bunyi benturan
tapak tangan dan lengan terdengar cukup keras, meskipun keduanya tidak berisi sinkang.
"Kiu Tiauw, kau.....ahh!" ucapan keras Yung Ci berubah keluhan pendek.
Rupanya tadi tangan Kiu Tiaauw yang menangkis tamparan Yung Ci. Begitu
menyadari dirinya telah dikuasai nafsu amarah tersadarlah Yung Ci.
"Suhu, ampunkan taecu, bersabarlah, ingatlah pada Yung Lu," jawab Kiu Tiauw
sambil memeluk pinggang Yung Ci dan menariknya ke dalam.
Tampak setitik air mata di pelupuk kedua lelaki tua ini yang tak dicoba untuk diusap. Sebenarnya Kiu Tiauw dan Yung Ci seumuran. Namun karena Kiu Tiauw
belajar pada Yung Ci, maka ia memanggil suhu padanya. Kiu Tiauw segera
merawat Tiong Gi yang mengeletak pingsan di luar. Sedangkan Yung Ci
menyendiri melakukan semedi. Berbagai perasaan berkelebat di hatinya.
Pikirannya menerawang jauh mengingat salah satu puteranya yang disebut Kiu
Tiauw, Yung Lu.
Musim dingin di Kongga san sangatlah dingin luar biasa. Angin bertiup sangat kencang, sedangkan salju turun hampir tiap hari, membuat pemandangan yang
sudah putih menjadi semakin berkilauan bagaikan perak. Mendung dan kabut
tidak pernah meninggalkan puncak pada musim itu, hingga siang malam sulit
dibedakan. Latihan Tiong Gi sudah hampir mendekati saat-saat terakhir, karena sebentar
lagi puncak musim dingin yang ditandai dengan datangnya badai salju. Selama
dua minggu Tiong Gi sudah mampu bertahan lebih dari empat jam berdiam di
luar gua. "Tiong Gi, dalam dua tiga hari mendatang badai salju akan tiba, saat itu kau harus melakukan latihan di puncak bukit harimau itu. gunakan seluruh
kemampuanmu untuk tetap bertahan, dan jika kau sudah tidak tahan lagi,
biarlah dirimu memasuki badai, menyatulah dengan arus aliran angin
kemanapun ia bergerak, seraplah unsur im sebanyak kamu mampu dan biarkan
aliran hawa ini menyelimuti tubuhmu. Jangan melawan dan tetaplah konsentrasi.
Yakinlah Thian akan melindungimu."
Puncak harimau (Hauw swat teng) adalah puncak tertinggi ke lima yang terletak di sebelah timur dari Kongga san. Pada musim dingin jalan menuju puncak ini
bisa di kelilingi oleh timbunan-timbunan salju setinggi sepuluh meter. Bagi
manusia biasa melewati timbunan salju seperti ini haruslah menggunakan tali.
Pagi-pagi sekali Tiong Gi sudah bersiap menuju ke puncak. Yung Ci sudah dari fajar berada di luar gua, memusatkan seluruh panca indera dan segenap
kemampuan bathinnya. Hatinya agak bergetar demi merasakan cuaca
sedemikian tenangnya, setelah seminggu lebih badai selalu mendera dari arah
barat. Ketenangan yang merupakan pertanda bahwa badai yang akan datang
memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Sebenarnya ia ragu untuk melepas
Tiong Gi, namun ia sudah membulatkan tekad, kembali bersama atau tinggal di
situ selamanya.
Tiong Gi perlahan-lahan mendaki jalur yang sudah ditetapkan oleh suhunya. Ia dipesankan untuk tidak menggunakan ginkang menghambur-hamburkan tenaga.
Tepat sore hari ia sudah sampai di puncak dan segera bersila melakukan semedi seperti yang diajarkan suhunya. Sampai pukul sembilan malam cuaca masih
sedemikian tenang. Langit berkabut. Menjelang pukul sepuluh tiba-tiba cuaca
berubah, mendung mulai menebal, angin datang berkesiuran susul menyusul
berputaran. Sepenanakan nasi kemudian badai salju datang mengamuk. Suara
guntur dan angin puting beliung yang datang silih berganti memekakkan telinga.
Dua kekuatan angin dari barat dan timur bertemu menghasilkan pusaran badai
yang sangat dasyat. Es putihpun tercurah seperti butiran-butiran kerikil jatuh dari angkasa, disusuli kemudian pusaran angin yang membawa bongkahan-bongkahan salju berputar-putar menghantam apapun yang dihadapinya. Tiong
Gi mulai memainkan jurus-jurusnya dengan baik, gerakannya sangat sempurna,
sesuai pesan suhu ia bergerak mengikuti arus putaran badai. Tenaganya diatur sedemikian rupa menyesuaian dengan hantaman-hantaman topan. Selama
hampir dua jam ia terus menerus melatih ilmunya, baik secara tangan kosong
atau dengan menggunakan pedang. Tepat tengah malam badaipun memuncak,
pusaran angin yang semula simpang siur mulai menyatu membentuk kekuatan
dasyat menyapu segala yang ada.
Angin dingin yang menderu-deru itu seperti roh-roh gentayangan yang berpesta pora menyanyikan lagu yang memekakkan telinga. Manusia mana yang bisa
berdiri menyombongkan hartanya, kedudukan, kecantikan atau kegagahannya di
tengah-tengah kekuasaan alam yang yang takluk diatur oleh satu tangan yang
tidak kelihatan, tangan Sang Pencipta.
Tiong Gi mulai memainkan jurus-jurus baru yang dipelajarinya, dewa salju
membuka gerbang (Swat sian kuan men) dengan jurus ini gempuran badai tak
dilawan, bahkan dirinya menyatu dengan kekuatan maha dasyat yang
diperlihatkan oleh badai, karena gerbang pintu masuk kekuatan luar telah
dibuka. Tubuh Tiong Gi-pun terhempas badai terbawa berputar-putar mengikuti
kemanapun arah pusaran. Kadang-kadang badai melontarkannya tinggi ke
angkasa bertombak-tombak dari bumi, melewati puncak-puncak bebukitan,
kadang menghempaskannya ke onggokan salju dan menyeretnya berli-li
jauhnya. Yung Ci berdiri tegak di pintu gua, mulutnya berkemak-kemik memanjatkan
do"a. Badai kali ini berbeda sekali dengan badai yang dulu dialami, dinginnya dan dasyatnya sungguh membuat harapannya tinggal sekuku kelingking. Angin salju
yang menerpanya tak dirasakan. Ia tetap kokoh berdiri semalam suntuk.
Menjelang subuh badaipun reda. Dengan bergegas segera ia dan Kiu Tiauw
keluar gua menyusuri bekas-bekas badai. Sungguh bentuk permukaan gunung
telah berubah akibat badai. Punggung-punggung bukit yang sebelumnya
meruncing menjadi lebih tumpul, jurang-jurang yang dalam menjadi lebih
dangkal. Dengan membawa logam tipis yang terikat pada lingkaran kayu seperti raket ia menyusuri punggung-punggung bukit sambil melongok ke kanan dan ke
kiri. "Suhu benda apakan yang suhu bawa itu?"
"Kiu Tiauw, ini adalah besi getar. Alat ini berguna untuk mencari benda hidup.
Aku mendapatkannya dari Turki. Jika melewati daerah yang bersuhu panas ia
akan bergetar."
Kiu Tiauw melihat benda yang berbentuk aneh itu. Suhunya menyusuri jalanan
sambil tangannya menggerak-gerakkan gagang besi getar ke kanan dan ke kiri.
Mereka mencari-cari di sekitar puncak harimau. Secara bergantian mereka
berteriak-teriak memanggil Tiong Gi. Seharian mereka mencari ke sana ke mari, tanpa hasil. Tiong Gi tak ketahuan jejaknya sama sekali.
"Ia sepertinya telah terkubur suhu," kata Liu Tiauw.
"Tidak...tidak, aku masih merasakan getaran kehidupannya, meskipun lemah
dan jauh," jawab Yung Ci yakin.
Ketika senja tiba, cuaca mulai remang, mereka kemudian memutuskan untuk
menuruni puncak menuju ke barat, sesuai dengan arah angin badai. Hampir
sepenanakan nasi kemudian, setelah baru saja matahari tenggelam, mereka
baru menemukan jejak Tiong Gi, berupa potongan kain yang dipakainya.
"Suhu....taecu menemukan potongan kain, bukankah ini yang dipakainya?"
"Aa.. benar...benar memang itu kain yang dipakai olehnya, ayo kita cari sampai dapat, sebelum hari benar-benar menjadi gulita."
Sepeminuman teh kemudian barulah besi getar menunjukkan tanda-tanda
getaran. dan memang di daerah sekitar situ terdapat sepihan kain yang dipakai Tiong Gi. Ternyata getaran itu berasal dari lembah yang cukup curam. Dengan
hati-hati mereka menuruni lembah.
"Getarannya cukup kencang di sekitar sini, ayo kita gali bagian sebelah sini,"
perintah Yung Ci.
Setelah lewat setengah jam menggali di beberapa bagian, barulah Tiong Gi
ditemukan dalam keadaan telanjang bulat. Luar biasa sekali, meskipun sudah
sangat lemah ia masih memiliki detak jantung. Yung Ci segera menyalurkan
lwekangnya. Akibat dingin yang sangat luar biasa, beberapa bagian kulit tubuh Tiong Gi
menghitam dan mati, meskipun Yung Ci telah melumurinya dengan cairan lemak
beruang kutub yang sangat mujarab, namun tetap saja ada bagian yang
mengalami luka. Dua minggu berikutnya Tiong Gi hanya diam menjalani
perawatan lukanya. Setelah sembuh sebulan kemudian mereka turun gunung
untuk kembali ke lembah delapan rembulan.
Empat orang itu berjalan dengan langkah gagah menyusuri tepian hutan,
meskipun pakaian yang melekat di tubuh mereka sudah kumal, tanda bahwa
mereka telah melakukan perjalanan jauh. Sudah empat hari mereka menyusuri
hutan di sebelah barat kota Ping Ho. Tiga di antaranya sudah berusia lanjut
dipimpin seorang berpakaian rapi berwajah tirus, sedang seorang lagi pemuda
yang masih remaja. Sudah seharian mereka berjalan dan berharap sebelum
senja mereka bisa menemukan desa. Namun sayang, alih-alih desa, sedangkan
rumah saja tak satupun mereka jumpai.
"Suhu sepertinya malam ini kita harus menginap di hutan," kata salah seorang dari mereka.
"Iya, sepertinya memang desa masih jauh. Coba kita cari kuil atau bangunan
kuno lainnya, Kiu Tiauw!" perintah Yung Ci
Setelah berjalan kira-kira sepenanakan nasi, tepat ketika matahasi sejengkal dari tempat peraduannya, mereka menemukan sebuah bangunan kuno, mirip sebuah
kuil atau tempat pemujaan. Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal di kuil
tua itu. Tiong Gi membersihkan kuil itu, dan mereka berjaga bergantian. Sampai fajar menjelang tidak ada peristiwa apa-apa, namun ketika semburat matahari
mulai merekah di timur. Tiba-tiba saja terdengar bentakan menggeledek dari
luar. "Yung Ci, keluarlah menerima pembalasan!"
Tiong Gi tergagap mendengar bentakan ini, namun tiga orang tua dari lembah
delapan rembulan itu dengan tenang bergegas keluar kuil. Tiong Gi sambil
mengucak-ngucak matanya mengintip dari dalam, tak terlihat adanya bayangan.
Ketiga tetua lembah delapan rembulan diam mematung sudah siap menanti.
Kiranya bentakan itu dikirim dari tempat yang sangat jauh. Dan dari kuatnya
getaran yang ditimbulkan dapat ditebak pengirimnya bukan orang sembarangan.
Yung Ci Tianglo mengeluh dalam hati karena penyamaran mereka sudah
ketahuan, bahkan sebelum orang itu sampai di depan kuil. Hal itu hanya
menunjukkan bahwa mereka telah dimata-matai.
Sepeminuman teh kemudian berkelebatan delapan sosok tubuh, bagaikan setan
saja mereka telah tegak berdiri di pelataran kuil yang ditumbuhi rumput dan
semak setinggi lutut. Saat itu cuaca yang baru terang tanah, dalam selimutan kabut tipis kehadiran kedelapan sosok ini bak hantu bergentayangan. Semua
berbaju hitam empat diantaranya berjubah panjang juga berwarna hitam, serta
bertopeng yang lagi-lagi berwarna hitam bergaris putih di pinggirnya. Yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat topeng itu mengerikan adalah bentuknya seperti tengkorak. Hanya
sorot mata dari lubang pada bagian mata yang berbentuk bulat bercat merah di pinggirnya, yang menunjukkan di balik topeng itu wajah manusia.
"Tengkorak hitam......" desis kedua Tiauw kwi tercekat. Tiong Gi menatap tak berkedip. Tak terasa bulu kuduknya meremang, manusia atau hantukaha yang
datang. Namun demi melihat tiga tetua lembah masih berdiri dengan tenang.
Iapun berusaha tabah.
Yung Ci Tianglo terbelalak demi melihat bahwa sosok yang mendatangi kuil
berbaju terngkorak hitam. Sejenak wajahnya berubah pias, namun perasaan itu
tak lama karena sedetik kemudian ia sudah bisa menguasai diri.
"Siapa kalian!" bentaknya dengan suara mengguntur. Tiong Gi yang berada di
belakangnya juga merasakan jantungnya bergetar oleh hawa khikang yang
dikeluarkan. Memang bentakan ini mengandung serangan khikang yang
menggunakan seperempat Sai cu hokang. Yang berada di belakang saja sudah
sedemikian besar pengaruhnya, bisa dibayangkan jika yang di depan. Tapi yang diserang hanya empat orang saja yang tidak bertopeng yang terlihat bergetar, sedang yang bertopeng hanya tersenyum sinis.
"Heh..heh..heh, Yung Ci tidak usah pura-pura, aku tahu nyalimu sudah terbang melihat kehadiran kami" Bertahun-tahun kau menyembunyikan diri, kalau sudah
saatnya untuk membayar hutang, takdir juga yang akan membawamu ke liang
kubur menyusul murid-muridmu yang lainnya....ha..ha..ha...., " jawab salah
seorang bertopeng yang tubuhnya paling pendek. Kiranya orang ini pimpinan
mereka. Yung Ci tercekat mendengar ucapan ini, jantungnya berdetak bagaikan ditabuh
bertalu-talu. Mata bathinnya dapat merasakan ancaman besar di lembah delapan rembulan. Kiranya orang-orang tengkorak hitam sudah mengetahui letak
persembunyian mereka di lembah delapan rembulan. Dan itu hanya berarti satu
hal: mereka yang berada di sana dalam bahaya. Yung Ci tidak memikirkan
murid-muridnya Kiu Tiauw Kwi, tapi kepalanya ruwet memikirkan nasib Liu
Siang. Dari gertakan awal, tampaklah musuh sudah lebih menang posisi.
Benarkan ucapan orang-orang tengkorak hitam" Apakah yang sebenarnya terjadi
di lembah delapang rembulan" Marilah kita ikuti peristiwa yang terjadi sejak mereka ditinggalkan Yung Ci.
Bab 10. Peristiwa di lembah
Pada saat Yung Ci meninggalkan lembah, di lembah terdapat lima Tiauw Kwi,
secara bergantian mereka menjaga lembah dan mencari bahan makanan.
Biasanya yang menjaga lembah berjumlah tiga orang. Liu Siang belajar kepada
mereka. Ia sangat rajin sekali melatih ilmu-ilmunya. Mereka juga mulai
mengajari ilmu pukulan salju kepada Liu Siang.
Pada suatu pagi di akhir musim panas, saat seperti biasanya Liu Siang sedang berlatih dengan dua orang Tiauw Kwi, yaitu orang ketiga atau Sam Tiauw dan
orang keempat atau Si Tiauw tiba-tiba terdengar suara teriakan. Teriakan terjadi di belakang istana. Demi mendengar teriakan itu, keduanya secepat kilat
berkelebat ke sumber suara. Liu Siang menyusul di belakang, namun siapa kira ketika sampai di pojokan sudut istana ia diserang secara mendadak. Rupanya
ada orang yang membokong.
"Dukk, plakk desss..! Auughhh...
Sebuah pukulan mengenai lengan, pukulan susulan masih dapat ditangkis,
namun tendangan secara telak mengenai lambungnya. Hanya keluhan pendek
yang mampu keluar dari mulut Liu Siang, karena ia langsung ditotok di beberapa titik jalan darahnya termasuh jalan darah gagu. Iapun langsung kaku tak mampu apa-apa.
"He..he..heh...anak manis, sebaiknya engkau ikut aku, sayang," rayu seorang
lelaki sambil menyeringai dan tanpa menunggu jawaban langsung mengempit
tubuh Liu Siang. sambil secara kurang ajar menowel pipi dan dada Liu Siang.
Kiranya pelakunya adalah Coa Ting murid Hoan Bin Kwi Ong.
Sementara itu di bagian belakang, di depang gua tahanan, telah berdiri sepuluh orang penghuni lembah. Tiga Tiauw Kwi sudah berhadap-hadapan dengan
sepasang sute dari Hek in Loco yang juga berjuluk Hek In Siang Houw
(sepasang harimau awan hitam). Mereka mengapit seorang kakek tua bertubuh
kate, dengan kepala kecil gundul yang sedang menotok perempuan yang bukan
lain adalah pasangan Coa Ting. Jika ditaksir usianya pasti sudah lebih dari
delapan puluh tahun. Selain tubuhnya, pakaian yang dikenakan kakek kate ini
juga aneh sekali, hanya kain yang dililit-lilitkan di bagian bawah perutnya seperti cawat, yang sudah kumal dan apak. Hanya karena kulit tubuhnya berwarna
putih saja yang membuat penampilannya tidak rombeng-rombeng amat.
Siapakah kakek ini"
Kakek ini tak lain adalah guru Hek in Siang Houw, atau susiok dari Hek in Loco, yang berjuluk Hek in Pek Houw (harimau putih awan hitam). Sebagai susiok dari Hek in Loco dapat dibayangkan betapa tinggi tingkat kesaktiannya. Puluhan
tahun silam, begitu mendengar lembah delapan rembulan dihuni oleh orang
asing ia bersama Hek in Siang Houw mendatangi lembah. Mereka memerlukan
waktu hampir dua bulan untuk dapat menembus pertahanan lembah. Dan
setelah beberapa kali mencoba akhirnya mereka dapat juga memasukinya.
Namun di dasar lembah mereka dikalahkan oleh Yung Ci dan murid-muridnya,
sehingga kemudian dipenjarakan. Setelah sekian tahun, Hek in Siang Houw
menyatakan tobat dan bersedia bekerja sama, sehingga ia dibebaskan dari
penjara dan dibiarkan berkeliaran bebas di lembah. Kiranya tobat itu palsu
belaka, karena pagi ini mereka membebaskan guru mereka dan bersekongkol
untuk keluar dari lembah.
Di belakang kakek kate ini ada nenek yang bertubuh kecil ramping. Mukanya
putih pucat namun rambutnya masih hitam lebat. Nenek ini juga bukan orang
sembarangan, karena dia adalah sumoi dari Hoan bin Kwi Ong. Julukannya Pek
Bin Hek Mau Kwi bo. Mengapa ia membiarkan begitu saja murid keponakannya
ditotok. Meski hanya sekilas namun ketiga Tiauw Kwi sadar mereka telah
dikhianati. Apalagi ketika melihat kedatangan Coa Ting yang mengempit tubuh
Liu Siang, jelaslah apa yang telah terjadi.
"Coa Ting, lepaskan Liu Siang! Aku bersumpah akan membeset kulitnya sekerat
demi sekerat jika kau berani seujung rambutpun mengganggunya!" bentak Si
Tiauw yang paling sayang kepada Liu Siang dengan suara menggeledek.
"Hik..hik...hik....lihat Pek Houw betapa lucunya orang-orang Tibet ini. Sudah tahu posisinya sangat tersudut masih berlagak sok kuasa, sungguh kepongahan
yang menjemukan," ujar nenek Hek mau Kwi bo.
"Heh..heh..heh...Kwi bo manis, kamu tidak tahu di dalam hati mereka sudah
dirasuki ketakutan yang disembunyikan kek...kek...kek...,"jawab Pek Houw.
Betapa marahnya ketiga Tiauw Kwi itu, namun mereka tetap berusaha
menguasai diri, karena kemarahan adalah pangkal kekalahan dalam
pertandingan silat.
"Dengarkan heh kalian setan keparat, jangan kalian kira mudah keluar dari sini.
Melangkahi kami bertiga saja belum tentu kalian sanggup. Hayo kalau memang
kalian ingin mencoba-coba kelihaian lembah delapan rembulan, majulah!" ujar
Sam Tiauw yang saat itu jadi pimpinan mereka. Begitu selesai berkata dengan
secepat kilat sudah melompat kedepan menyerang Pek Houw. Pek Houw yang
dijadikan sasaran serangan tidak menduga sama sekali. Sebagai kaum persilatan yang sudah puluhan tahun terjun di Bu Lim, ia tidak terbiasa menghadapi
serangan tiba-tiba dari kaum yang mengklaim diri pendekar, sebaliknya
kelompok merekalah yang biasa menggunakan cara-cara curang seperti itu. Tapi kali ini Sam Tiauw sudah kepalang marah, sehingga tak lagi mengindahkan
segala aturan yang sering justru membelenggu diri sendiri.
Kakek kate itu tidak sempat berpikir panjang mengapa Sam Tiauw melakukan
serangan pengecut seperti itu, karena hawa pukulan yang sedemikian dingin
sudah menimpanya. Dengan sigap ia menangkis.
"Plak wuiss.....!"
Tanpa diduga oleh siapapun begitu ditangkis tubuh Sam Tiauw seakan-akan
terpelanting ke arah Coa Ting. Sekonyong-konyong tubuh yang tiba-tiba ada di depan Coa Ting sudah melakukan serangan yang sangat dasyat, yang dari hawa
pukulannya saja sudah mampu mengurung Coa Ting, sehingga ia sudah tidak
mampu berkelit kemanapun. Coa Ting sudah mencoba menangkis tapi
terlambat. Kiranya dengan menggunakan ilmu memindah tenaga lawan, Sam
Tiauw sengaja memukul untuk mengambil tenaga tangkisan untuk menyerang
sasaran utama. "Duggg...! Augghh....!" tubuh Coa Ting terlempar dua tombak dan langsung
muntah darah. Masih untung sepasang Hek in Siang Houw sudah berada di
belakangnya, dan langsung menyambar tubuh itu sehingga tidak jatuh di tanah.
Begitu tangan kirinya memukul Coa Ting, tangan kanan Sam Tiauw mencoba
merebut Liu Siang. Namun baru saja Liu Siang berpindah tangan, sekonyong-
konyong nenek rambut hitam sudah melancarkan serangan ke Sam Tiauw. Dua
Tiauw kwi lainnya juga terkejut melihat serangan yang sangat cepat ini, hingga mereka hanya mampu berteriak mengingatkan suheng mereka.
"Awasss!, teriak Si Tiuw.
"Plakkk....bugg!"
"Ayaaa.......celaka....," teriak Sam Tiauw, demi melihat Liu Siang telah terkena pukulan. Ia juga tidak menduga mendapat serangan dari nenek itu, serangan
pertama masih dapat di tangkis. Tangkisan itu sebenarnya sudah membuat
tubuh nenek itu terpelanting. Namun seperti sudah menduga akan terpelanting, justru dari bawah ia kembali melancarkan serangan kedua. Kali ini yang diserang adalah Liu Siang. Tangan nenek rambut hitam ini sebenarnya tidak sampai
menyentuh, namun hawa pukulan tapak kelabang yang dilancarkan sudah
mampu melukai Liu Siang. Sam Tiauw hanya sempat mengegoskan tubuh Liu
Siang sehingga serangan ke arah dada dapat dihindari. Namun luka pukulan
yang mengenai pangkal lengan juga sangat berbahaya. Dapat dibayangkan jika
pukulan itu menyentuh langsung ke kulit.
"Keparat katak busuk! Beraninya kalian bermain curang menyerang murid kami.
Hayoo berikan penawar racunnya," seru Si Tiauw yang langsung menyerang
nenek rambut hitam. Namun sebelum mengenai nenek itu, kakek kate Pek Houw
sudah menangkisnya. Keduanya sama-sama terdorong satu langkah. Betapa
kagetnya Si Tiauw merasakan tangkisan kakek kate itu. Dulu waktu pertama kali datang ia masih satu tingkat di atas kakek kate itu, siapa nyana kini kakek kate itu sudah memperoleh banyak kemajuan.
"Tahaan...tahaan...!" seru kakek kate sambil menangkis serangan Si Tiauw.
"Sam wi Tiauw Kwi, apakah kita akan menyelesaikan pertarungan ini dan
membiarkan murid kalian sekarat meregang nyawa, atau kalian mau bicara baik-
baik" Ingat nyawa murid kalian sudah diujung tanduk," seru Pek Houw.
Sam Tiauw yang memang berwatak keras, sudah hendak mengambil tindakan.
Namun ia menyadari posisinya tidak menguntungkan. Nyawa Liu Siang jadi
taruhannya. "Hmmm..katakan apa mau kalian?"
"Tentu saja kami ingin kebebasan, kalau kalian mengantar kami keluar, kami
akan berikan obat penawarnya!" jawab Pek Hauw tak kalah sengitnya.
Sam Tiauw menoleh ke kedua saudaranya. Si Tiauw menggelengkan kepala
sedang Go Tiauw membisikkan sesuatu.
"Kami akan beri kebebasan kepada Pek Bin Hek Mau Kwi bo, jika ia bisa
menyembuhkan Liu Siang, dan ia boleh membawa serta kedua muridnya," kata
Sam Tiauw tegas.
Si kate terkesiap mendengar jawaban seperti ini, sungguh berbahaya jika nenek muka pucat itu menerimanya. Ia makin mendongkol demi melihat si nenek
tersenyum-senyum penuh kemenangan. Ketika nenek itu menoleh lantas saja ia
melotot kepadanya.
"Ha..ha..ha...tak disangka Kiu Tiauw Kwi yang namanya terkenal gagah bisa
mengajukan usulan keji untuk memecah belah kami, kalau memang gagah hayo
bertanding sampai mampus," tantang Pek Houw. Nenek rambut hitam
menyadari betapa berbahanya jika ia terpecah dengan rombongan Pek Houw
"Hmmm kalau itu kehendak kalian, baiklah berapa jago kalian yang akan kalian ajukan."
"Empat lawan dua, empat dari kami, dua dari kalian," jawab kakek kate itu
penuh keyakinan.
"Kalau seperti itu tentu saja sulit menetukan pemenang kalau hasilnya satu "
satu. Begini saja, tiga lawan enam!"
Pek Houw diam sejenak, ia coba hitung-hitung kemungkinannya. Akhirnya ia
mengangguk. "Baiklah tiga lawan enam, tapi kalian dulu yang mengajukan jago."
Sam Tiauw berfikir sejenak. Dari tantangan ini sepertinya musuh ingin
mengambil poin kemenangan pertama. Kalau ia mengajukan Go Tiauw, maka
kekalahan dari pihaknya sudah dapat diperkirakan dari awal. Sebaliknya kalau ia maju lebih dulu mungkin dapat musuh yang terlalu empuk, "Hmmm aku harus
mengajukan Si te lebih dahulu!" pikirnya.
"Baiklah, kami akan mengajukan jago terlebih dahulu, namun untuk
pertandingan pertama, pihak pemenang yang harus mengajukan jago lebih
dahulu. Si te, majulah!"
Si Tiauw-pun maju. Pek Houw agak terkejut melihat yang maju Si Tiauw. Ini
diluar perhitungannya, karena kalau yang maju pertama Go Tiauw pihaknya
akan mengajukan pihak nenek muka pucat dan muridnya untuk mengambil
keuntungan pada pertandingan pertama, begitu yang maju Si Tiauw, ia ragu
untuk maju terlebih dahulu. Maka ia tetap mengajukan nenek muka pucat dan
muridnya. "Dari pihak kami, Pek Bin Hek Mau Kwi bo dan muridnya."
Kiranya, pihak Pek Houw tak mau kepalang. Kepalanya bergerak memberi kode
supaya kedua murid keponakan nenek muka putih itu maju semua. Coa Tingpun
terpaksa ikut maju meskipun telah terluka sebelumnya.
"Biarlah biksu Bu Kong menjadi wasitnya!" seru Sam Tiauw.
"Baik marilah kita mulai, silahkan kalian menyerang lebih dahulu. Tapi apakah bersenjata atau tidak"!"
"Huh, jangan mengejek kami, sejak kami kalian kalahkan belasan tahun silam
kapan kami pernah menggunakan senjata, tapi kalian juga tidak boleh
menggunakan senjata!"
Dengan majunya Si Tiauw, maka justru pertandingan pertama menjadi penentu
kemenangan. Siapapun yang dapat memenangkan pertandingan ini dapat
dipastikan akan memetik keuntungan. Maka dapat dipastikan pertarungan ini
mejadi sedemikian seru. Nenek muka putih dan kedua muridnya bahu membahu
melakukan serangan bertubi-tubi ke Sam Tiauw. Kedua tangan mereka penuh
berisi tenaga pukulan yang mengandung racun. Hanya sayang, meskipun dari
sisi tenaga lweekang mereka bertiga memperoleh kemajuan hebat saat di
lembah, namun kekuatan racunnya justru sangat berkurang drastis, sejak di
lembah mereka tidak dapat lagi berlatih dengan merendam tangan dalam cairan
beracun terutama racun kelabang sebagaimana mestinya. Hanya sesekali saja
dengan menggunakan hewan-hewan beracun yang ada di lembah. Itupun
pukulan nenek muka pucat masih mampu melukai Liu Siang.
Si Tiauw melayani keroyokan mereka bertiga dengan mantap. Pukulan-pukulan
tangan es dilakukan dengan penuh perhitungan, di ringi gerakan Pat kwa tiauw kwi ciang hoat yang didasarkan pada Pat kwa sin tiauw ciang hoat sehingga
kedudukannya tidak menjadi terdesak. malah kadang-kadang dengan
kelincahannya ia bisa balik memberikan serangan seolah-olah ada delapan
burung hantu yang mematuk-matuk mangsa.
Serang menyerang makin seru dan menegangkan. Wajah Pek Houw bersungut-
sungut penuh rasa mendongkol, sementara itu Sam Tiauw sibuk memberikan
perawatan pertama pada Liu Siang. Hanya Go Tiauw yang terlihat tenang.
Ketika kemudian nenek muka pucat dan kedua muridnya mengeluarkan jurus
kelabang emas terbang ke delapan penjuru (Pat hong hui kim hu ciang hoat),
maka serangan tangan dengan jari-jari yang digerak-gerakkan secara aneh
seperti cakar ini bagaikan ratusan kelabang menerjang Si Tiauw, mengeluarkan suara seperti anak panah menyambar dan didahului bau busuk seperti kelabang
beracun. Si Tiauwpun menjadi kelabakan dibuatnya. Posisinya terjepit, karena sepasang murid keponakan nenek muka pucat ini merangsek maju secara nekat.
Dengan cepat Si Tiauwpun mengeluarkan jurus naga salju menyembur api, dan
kali ini kejadian yang tak terduga oleh sepasang iblis murid Hoan bin kwi ong itu adalah tangkisan yang dilontarkan oleh Si Tiauw bersifat panas, kebalikan dari ilmu pukulan saljunya. Keduanya menjadi terpelanting, namun kemudian dengan
gerakan merayap yang aneh seperti gerakan kadal mereka berdua menyerang
bagian kaki. Pada saat yang bersamaan nenek muka pucat melakukan serangan
dengan tendangan kaki dari atas. Sungguh berbahaya posisi Si Tiauw saat itu, karena serangan ke kakinya paling banter hanya satu yang dapat ditangkis. Pada waktu yang sangat kritis, sekonyong-konyong Si Tiauw melakukan gerakan
berpoksai, posisinya menjadi berjumpalitan, kedua tangannya melakukan
serangan ke sepasang suami istri yang menyerangnya dari bawah, Sedang salah
satu kakinya digunakan untuk menangkis serangan nenek muka pucat.
"Plakk...plakkk.....desss......! Augghhh...!
"Blarrr....."
Dasyat sekali pertemuan empat kekuatan ini. Kedua pukulan tangan Si Tiauw
bertemu dengan tangkisan tangan istri Coa Ting, namun Coa Ting sendiri sudah tidak sanggup menangkis. Pukulan itupun mengenai punggungnya dan Coa Ting
tewas seketika, darahpun tak bisa mengalir keluar dari mulutnya karena
tubuhnya sudah membeku. Sementara itu, pasangan Coa Ting terluka dalam
akibat pertemuan tenaga tadi, ia muntah darah.
Karena harus membagi tenaga, tangkisan kaki Si Tiauw menjadi lemah, sehingga iapun terpelanting dan jatuh dalam posisi menelungkup. Demi melihat kedua
murid keponakannya roboh tak sanggup bangun lagi Pek Bin Hek Mau Kwi bo
menjerit. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mengginjakkan kakinya ke tubuh Si
Tiauw yang sedang terjatuh. Serangan ini sungguh sangat keji karena musuh
dalam posisi tidak siap. Sungguh dasyat sekali akibatnya jika hentakan kaki ini berhasil mengenai sasarannya. Keadaan Si Tiauw sangat kritis, nyawanya
diujung tanduk. Meskipun hantaman kaki itu bisa ditangkis namun posisinya
yang ada di bawah tetap sangat rugi, karena tidak ada ruang untuk terlontar, sehingga dapat dipastikan hantaman itu akan menggencet tubuhnya.
"Wuss...desssss krotak!"
Pada saat yang sangat kritis dengan gerakan yang sangat cepat, tangan Si
Tiauw masih sempat meraih mayat Coa Ting dan dijadikan tameng untuk
menangkis hantaman kaki. Akibatnya tubuh Coa Tingpun hancur berkeping-
keping, menjadi serpihan daging beku. Si Tiauwpun untuk sementara selamat,
dan kembali berdiri meskipun sudah tidak tegak. Kaki kanannya yang digunakan menangkis tendangan si nenek terasa sangat nyeri, tulang-tulangnya sepertinya ada yang retak. Pek Bin Hek Mau Kwi bo kembali menjerit mukanya yang pucat
menjadi semakin memutih. Semula ia senang karena tendangannya mengenai
sasaran, tapi siapa sangka justru yang dihantam itu adalah mayat Coa Ting.
Nenek itu sangat terperanjat melihat tubuh Coa Ting menjadi berkeping-keping.
Ia mengira dirinyalah yang membunuh Coa Ting. Perasaan marah, menyesal,
dan mendongkol membuatnya gelap mata, iapun mengumpat sambil
melancarkan serangan pamungkas, "Setaaaan, beraninya kau pakai muridku
sebagai tameng, rasakan kini jurus pamungkas serangan kelabang membelit
mangsa!" "Wussss......sret...sret...!"
Sekonyong-konyong dari lengan baju nenek muka pucat itu keluar selendang
yang langsung menyambar Si Tiauw dan membelitnya. Serangan ini sangatlah
curang, karena di awal pertandingan nenek itu sepakat untuk tidak
menggunakan senjata.
"Tahaaan!" bentak Sam Tiauw dan Bu Kong Taisu secara serempak. Namun
mereka tak keburu mencegah ketika Pek Bin Hek Mau Kwi bo membetot tubuh
Si Tiauw yang telah terbelit selendang yang terbuat dari robekan kain yang
disambung-sambung.
"Wussss....dessss.....bluarrr!!!"
Dasyaat sekali pertemuan dua tenaga raksasa di udara. Daun dan debupun
beterbangan di sekeliling tempat pertarungan. Akibat tendangan kaki kiri Si
Tiauw dan pukulan tangan kiri nenek muka pucat, keduanya terlempar ke
belakang sejauh tiga tombak. Dalam keadaan terbetot Si Tiauw justru
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan kesempatan tarikan untuk menendangkan kakinya. Pek Bin Hek
Mau Kwi bo tidak keburu untuk menangkis karena iapun dalam posisi melayang.
Pada saat seperti ini ketenangan serta pengalaman bertanding sangat
menentukan kemenangan seseorang. Kiu Tiauw Kwi dari yang tertua sampai Go
Tiauw selama belasan tahun bertugas di luar, bertemu dengan berbagai
kalangan persilatan mengenal dengan baik teknik-teknik bersilat, tahu belaka bahwa serangan selendang yang membelit dirinya akan di kuti pukulan tangan.
Biasanya lawan yang terbelit akan bertahan dan berusaha untuk membebaskan
belitan, sehingga pihak penyerang ketika membetot selendangnya akan
mendapat tenaga tarikan dari lawan yang terbelit. Namun Si Tiauw yang paham
teknik ini bertindak sebaliknya, ia tidak berusaha melawan tarikan sehingga
tubuhnyapun melayang dan bertemu di udara dengan nenek itu, akibatnya
dadanya terkena pukulan tangan kiri Pek Bin Hek Mau Kwi bo, sedangkan ulu
hati nenek itu terkena tendangan.
Dari kedua mulut orang yang bertanding itu keluar darah segar. Baik Si Tiauw maupun Pek Bin Hek Mau Kwi bo terluka dalam. Untung bagi nenek muka pucat
itu karena tendangan kaki Si Tiauw sudah lemah. Adapun pukulan tapak tangan
kiri Pek Bin Hek Mau Kwi bo yang beracun bisa membahayakan, maka Sam
Tiauw segera merawat Si Tiauw.
"Keduanya terluka, pihak kami tidak bisa dibilang kalah!" seru Pek Houw keras.
"Hmmm tapi pihak kalian telah berlaku curang, Pek Houw!" balas Bu Kong Taisu.
"Biarlah pertandingan pertama ini dinyatakan seri!" jawab Sam Tiauw pahit.
"Sekarang gantian pihakmu yang mengajukan jago Pek Houw!" timpal Go Tiauw.
"Tidak bisa..tidak bisa, pihak kami bukan pemenang, hasil pertandingan seri, artinya pihak kalian lagi yang harus mengajukan jago," kelit Pek Houw.
"Baik, aku yang akan maju! Go te, tolong jaga Liu Siang" jawab Sam Tiauw
pendek. "Baik marilah kita mulai, silahkan kalian menyerang lebih dahulu. Tapi apakah bersenjata atau tidak"!"
"Dari pihak kami, Hek in Houw ko (harimau jantan awan hitam)."
Lelaki berusia empat puluhan lebih yang merupakan murid Pek Houw segera
bersiap. Pertarungan kemudian segera dimulai, jurus-jurus serangan Sam Tiauw sangat mantap dan terasa menggiriskan, karena ia ingin mengakhiri pertarungan secepatnya. Pertandingan antara Sam Tiauw dan harimau jantan terasa kurang
menarik, karena dari awal sudah dapat ditebak pemenangnya. Namun karena
sudah terlanjur kesal, Sam Tiauw melukai Hek in Houw ko, sehingga tangan
keduanya patah-patah. Perlu waktu beberapa tahun untuk bisa
menyembuhkannya.
"Pertandingan kedua dimenangkan oleh pihak Sam Tiauw, silahkan Sam Tiauw
mengajukan jago ketiga!" kata Bu Kong Taisu.
"Dari pihak kedua belah pihak sama-sama tinggal dua orang, tidak tahu apakah Pek Houw masih ingin melanjutkan pertandingan" Bagaimanapun peluang kalian
menang sudah tertutup, hayo serahkan saja obat penawar itu, dan kami akan
ampuni jiwa anjing kalian!" bentak Sam Tiauw.
"He..he..he..heh, Sam Tiauw kalau kami berdua melawan kalian berdua jelas
kami merendahkan kemampuan Kiu Tiauw Kwi, dan dapat dipastikan dalam
pertandingan itu kami akan kalah, tapi kalau kalian berani maju satu per satu matipun kami rela jika kalian bisa mengalahkan kami, tapi kalau memang Kiu
Tiauw Kwi sudah kehilangan sifat keksatriaan aku tak tahu lagi," kelit Pek Houw membela diri. Sungguh kemahiran bicara Pek Houw harus diakui sangat lihai,
dan akal bulusnya sangat licin. Wajah Sam Tiauwpun menjadi merah padam,
menahan rasa gusar, penasaran dan malu.
"Baiklah, Go te lawanlah mereka! Jangan kasih ampun yang muda sekalipun!"
Maka majulah Go Tiauw ke kalangan. Pertandingan satu lawan dua tidak
seimbang untuk Go Tiauw, meskipun ia masih menang dalam hal ginkang,
namun dalam hal lweekang masih di bawah Pek Houw, karenanya dalam dua
puluh juruspun sebuah pukulan mengenai dadanya dan membuatnya terjatuh.
Go Tiauwpun kemudian bersila untuk bersamadi memulihkan lukanya.
"Pertandingan tiga dimenangkan oleh pihak Pek Houw, keadaan jadi seri,
pertandingan terakhir adalah penentuan!" kata Bu Kong Taisu.
"Pek Houw, majulah! Jangan kepalang, kerahkan seluruh kemampuanmu!"
bentak Sam Tiauw.
"Sim Tosu, sudikah menjaga Liu Siang sebentar?" pinta Sam Tiauw pada tosu
Kong Thong Pay yang tak lain adalah sute dari ketua Kong Thong Pay.
Kedua pihak kemudian bersiap, Pek Houw memasang kuda-kuda, sementara
dengan jerit melengking Hek in Houw nio (harimau betina awan hitam) mulai
melancarkan serangan pembukaan, tangannya membentuk cakar penyambar
cepat ke ubun-ubun Sam Tiauw. Sam Tiauw mengegoskan kepala, jari-jari
tangannya menyentil siku harimau betina. Houw nio menarik tangannya karena
tak ingin kena totok. Bersamaan dengan itu serangan susulan dilakukan oleh Pek Houw, cakar tangannya menyambar-nyambar, dari lengan keluar kabut hitam
yang berbau sangit seperti karet dibakar. Sam Tiauw mengimbangi dengan
tangkisan dan serangan balasan yang tidak kalah sengitnya. Mereka sudah
saling terjang maju dan terjadilah pertempuran yang lebih dahsyat lagi daripada tadi. Bu Kong Taisu dan Sim Beng Tosu yang menonton hampir berbarengan
mengeluarkan seruan-seruan kagum. Mereka adalah orang-orang sakti maka
dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat menikmati dan
mengagumi jurus-jurus yang belum pernah mereka saksikan keduanya di dunia
ini. Juga mereka merasa ngeri karena setelah kini mereka dapat mengikuti
serangan iblis kate itu yang benar-benar luar biasa dan amat berbahaya.
Bayangan mereka sudah lenyap. Yang tampak olehnya hanyalah putaran tangan
berwarna putih di antara asap hitam, seperti merpati bermain-main diantara
awan hitam. Akibatnya luar biasa, pasir dan dedaunan yang sudah berserakan
jauh ketika pertempuran sebelumnya makin terbang
Elang Terbang Di Dataran Luas 9 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Seruling Perak Sepasang Walet 3
dohan sendiri. Kerbau gundul macam kamu mana mampu menandingi kami, sedangkan Siauw-
lim cap sha lohan gurumu sendiri juga belum tentu mampu melawan kamu,
apalagi keroco macam kamu. Lima puluh tahun aku menahan dendam, dan sudi
merendahkan diri berguru di kuil kecil Wu Han, hari ini kau saksikanlah aku Tao Leng, putra Tao Keng Bu, menyatakan permusuhan pada Siauw-lim"
"Tao Leng, apa-apaan sih! Usaha kita masih baru permulaan tidak perlu
didramatisir seperti itu! Sekarang tugas kalian adalah mengubur mereka yang
terkena bintang kelabang maut! Kalian bertiga bantu Toa Leng!"
Bersama-sama mereka kemudian membawa jenasah ke sebuah lubang gua kecil
dan menimbunnya dengan batu, sedangkan mayat yang dibinasakan oleh
pengemis berwajah Nyo Beng dibiarkan begitu saja.
"Ahhh lega rasanya, sebentar lagi kuil itu benar-benar akan menjadi markas kita bukan Loco?" tanya orang tua berkepala gundul.
"Bodoh, tunggu dulu. Biarkan mereka membangun lagi kuil yang rusak itu,
setelah selesai kita akan kembali serbu."
"Dan kau Tao Leng, tugasmu sekarang adalah kembali ke Wu Han, dan
melaporkan peristiwa ini ke Hong thio Siauw-lim di Siong san." perintah orang tua yang bukan lain adalah Hiat kiam Lomo. Setelah diam sejenak ia
melanjutkan lagi analisisnya, "Dengan kematian Wu Han cit ceng, posisi Siauw-lim selatan akan menjadi lemah, dan kalau Siauw-lim pusat turun tangan, dapat dipastikan pertarungan dengan pengemis sabuk hitam akan makin melemahkan
kekuatan mereka yang selalu sok suci mengaku sebagai pendekar, golongan
bersih. Dan dengan demikian rencana mengambil alih kekuasaan kay-pang
sabuk hitam akan mulus kan Nyo Beng sicu" Tak kan lama lagi, daerah di
lembah dua sungai benar-benar akan kita kuasai. Dan kita tidak akan malu
untuk menuntut posisi tinggi di samping Ong-ya." Semua yang mendengar
analisa ini mengangguk-angguk tanda setuju dan tersenyum membayangkan
masa depan yang lebih cerah. namun tiba-tiba keceriaan itu dipecahkan oleh
sebuah pertanyaan."Bagimana halnya dengan Hek in pang di bukit awan hitam
di tepi selatan Yang tse?"
"Hemm....selama ini memang Suma Tiat selalu keras kepala, ia segolongan
dengan kita, tak bakalan berani melawan arus kita yang sudah sedemikian
besar. Kalaupun tidak biarlah Kwi ong yang mengatasi, ia memiliki hubungan
baik dengan mereka."
Akhirnya setelah senja tiba, langit mulai semburat merah, semerah percikan-
percikan di atas rumput dan batu bekas pertarungan yang tidak seimbang itu,
ke-enam iblis berbaju manusia itupun meninggalkan pinggiran hutan itu.
Rencana-rencana yang kejih yang menyembur dari mulut-mulut mereka sungguh
merupakan racun yang akan mengancam dunia persilatan. Kaum pendekar
benar-benar dalam bahaya.
Siapakah sebenarnya Tao Leng" Orang tua Tao Leng yang bernama Tao Keng
Bu adalah adik sepupu dari biang iblis kelabang emas. Puluhan tahun yang silam mereka bertiga, dengan suami nenek iblis kelabang emas, merupakan tiga
serangkai iblis sakti yang menguasai lembah di antara dua sungai, mereka
merajalela menebar kejahatan di wilayah itu. Pada saat itu kerajaan yang berada di bawah dinasti Tang sudah kehilangan kendali pemerintahannya, sehingga
situasi keamanan sangat buruk. Pencurian, pencopetan, perampokan merupakan
berita sehari-hari yang biasa terdengar.
Ketiga iblis itu suatu ketika mengusik perguruan-perguruan golongan lurus
seperti Siauw-lim pay dan Kong-thong pay. Sedang dalam keadaan tidak terusik saja para pendekar dari golongan yang lurus akan selalu menentang mereka,
apalagi ini mereka telah memberanikan diri mengusik ketenangan biara. Maka
suatu ketika datangnya dua pendekar muda yang memiliki kepandaian luar biasa yang menundukkan mereka. Tao Keng Bu dan kakaknya tewas dalam
pertarungan hidup mati selama sehari semalam. Nenek iblis kelabang emas
sendiri masih beruntung dapat diampuni oleh kedua pendekar itu, hanya kedua
kaki sebatas lutut dan tangan sebatas siku yang dikutungi sebagai hukuman.
Salah satu pendekar itu adalah murid preman dari ketua kuil Siauw-lim si waktu itu, sedang satunya lagi berjuluk pendekar bukit merak yang tinggal di bukit merak di kawasan pegunungan Tapa san. Tao Leng masih berumur lima tahun
saat kejadian itu biasanya kalau ayahnya pergi jauh ia selalu mendapat oleh-oleh yang ditunggu-tunggu. Sapa kira kedatangan rombongan anak buah tiga iblis
lembah dua sungai membawa oleh-oleh mayat ayahnya. kejadian ini sungguh
menggoreskan kesedihan dan kesumat yang membara, sayang hingga akhir
hayat dua pendekar itu upaya balas dendam Tao Leng tak pernah kesampaian.
Dua pendekar itu terlalu perkasa untuk Tao Leng. Karena tidak mampu
membalas sakit hatinya, ia mencoba mencari pelampiasan, atas usul iblis
kelabang emas ia diajak bersama-sama membasmi keturunan pendekar bukit
merak, sedang pendekar dari Siauw-lim tidak punya keturunan. Keturunan
pendekar bukit merak akhirnya dapat terbasmi, meskipun masih menyisakan
satu anak yang seperti lenyap ditelan bumi pada saat keluarga itu dibantai.
Namun dendam Tao Leng belumlah pupus. Atas saran iblis kelabang emas, ia
kemudian diminta untuk berpura-pura menjadi biksu di kuil Siauw-lim cabang
Wu Han, dan jadilah ia biksu yang ikut juga malang melintang dengan keenam
saudara seperguruannya sebagai Wu Han cit ceng. Itulah sekelumit kisah dari
Tao Leng yang mempunyai nama biksu Kong-meng hwesio.
Apakah yang akan terjadi pada kay-pang sabuk hitam yang bertahun-tahun
terkenal sebagai kay-pang yang menjunjung tinggi kejujuran dan kegagahan"
Mungkinkah mereka akan bertarung sendiri dengan biksu-biksu suci dari Siauw-
lim si" Masih banyak pertanyaan lain yang masih menggantung, namun mari kita ikuti dulu perjalanan Tiong Gi.
Bab 8. Lembah delapan rembulan
Pada malam hari kebakaran di Kong-sim liok si, Tiong Gi diselamatkan oleh
jembel berlengan tunggal. Setelah keluar dari kuil Tiong Gi lari keselatan ke arah kota, sedangkan pengemis berlengan tunggal lari ke utara, beruntunglah
keduanya tidak lari ke arah timur, karena arah itu yang dituju oleh musuh-
musuh yang menangkap mereka. Semalaman Tiong Gi berjalan ke Yi Chang
hingga akhirnya menjelang fajar ia sampai di sebuah pasar. Di pasar itu Tiong Gi duduk di tepi jalan masuk ke pasar. Sengaja ia menuju ke pasar karena dia
merasa lapar dan di tempat ini banyak dijumpai warung makan. Tiba-tiba ia
melihat serombongan kereta yang berhenti di pinggir jalan besar menuju ke
pasar. Dilihat dari bentuknya kereta itu merupakan jenis kereta barang yang
biasa dipakai oleh piauw-su. Beberapa lelaki turun dari kereta dengan wajah
kusut dan pakaian kumal meskipun terbuat dari bahan yang mahal. Ada enam
orang yang turun, rata-rata berumuran tiga puluh lima hingga empat puluh lima tahun. Pakaiannya ringkas dan membawa senjata yang tergantung di pinggang,
tanda mereka orang-orang yang tahu silat. Setelah berkumpul sebentar berbagi tugas, tiga orang kemudian berjalan menuju ke pasar. Secara tak sengaja Tiong Gi mendengar percakapan ke-tiga orang ini.
"Twako, apakah kita berhenti dan menetap di kota ini?" orang termuda bertanya pada salah seorang dari kedua orang yang lebih tua.
"Sam-te, kita cari dulu informasi di kota ini, apakah aman atau tidak. Aku tahu kita sudah lelah sekali. Tapi apa boleh buat, demi keselamatan anak-anak kita,"
jawab orang tertua.
"Ahhh...aku masih kepikiran nasib orang tua kita yang harus ditinggalkan anak-cucunya" desis orang kedua.
"Sudahlah ji-te, kita hanya pindah untuk sementara, kalau sudah mendapat
tempat aman kita ajak orang tua ke tempat kita yang baru."
Tiong Gi mendengarkan dengan baik ucapan mereka, dan karena hari masih
agak gelap pasar itu masih sepi, hanya satu dua warung yang sudah buka, maka percakapan mereka bisa ditangkap dengan baik. Kiranya mereka adalah
beberapa keluarga yang sedang pindahan, atau lebih tepatnya mengungsi. Desa
tempat tinggal mereka baru saja diserang oleh orang-orang jahat. Setelah keluar dari warung, wajah mereka masih tetap bersungut-sungut.
"Tak ada satu informasipun yang penting, sialan!" gerutu orang kedua.
"Nanti siang kalau sudah ramai pasti banyak orang yang tahu," jawab orang
tertua. "Gimana kalau kita cari penginapan saja twako, di sana pasti orang-orang yang datang dari jauh tahu banyak informasi dari berbagai tempat!" usul orang ketiga.
"Tidak...tidak, kita harus berhemat uang! Kita tidak sedang mengirim barang,"
ujar orang tertua.
"Lopeh, kabar berita apa yang lopeh cari di kota ini?" tanya Tiong Gi ketika mereka sudah dekat dengannya.
"Diam! Anak kecil tahu apa?" sahut orang kedua. Orang ketiga menyikut
pinggangnya. "Eh siauw suhu dapatkah membantu kami, kami ingin tahu apakah
kota ini pernah didatangi orang-orang yang mencari-cari anak kecil?" tanya
orang pertama. Tiong Gi mengangsurkan tangannya menadah, sedang tangan kirinya mengelus
perutnya. Orang kedua sudah melotot, tapi twako mereka mengode supaya
mereka memberi satu bakpao. Tiong Gi menggeleng sambil jari tangannya
diajungkan membentuk tanda dua. Sambil cemberut orang itu mau juga ngasih
sambil ngancam.
"Kota ini tidak aman, sebaiknya cu-wi lopeh segera meninggalkan kota ini sambil mencari tempat lain yang lebih aman. Semalam terjadi pembakaran kuil Kong-sim liok si. Tahukan lopeh kuil apakah itu?"
"Kuil Kong-sim liok si?"" Tentu saja kami tahu itu kuil tempat pengobatan
terutama bagi orang yang memiliki kelainan jiwa," jawab orang ketiga.
"Kelainan jiwa?"
"Itu kata lain dari gila!" jawab orang kedua gusar. Tiong Gi baru paham kuil apakah itu.
"Dua hari yang lalu Kong-sim hosiang tewas dibunuh! Setelah raksasa binatang berbentuk kelabang datang menyatroni kuil," papar Tiong Gi. Selanjutnya Tiong Gi menceritakan kejadian yang dialami di kuil itu secara singkat. Terlihat ketiga orang berpakaian piauw-su itu mendengarkan dengan mata terbelalak.
"Sungguh tak kami sangka kejadian di sini seperti itu, kalau begitu kami akan pergi saja, eh siauw suhu sendiri mau kemanakah?" seru orang ketiga.
"Aku tidak tahu!"
"Kalau begitu, kenapa siauw suhu tidak ikut bersama kami saja?" ajak orang
pertama. "Kalau kalian tidak berkeberatan, aku suka sekali ikut kalian."
Demikianlah akhirnya Tiong Gi mengikuti rombongan piauw-su itu sampai ke
kota Hong ji. Perjalanan dari Yi Chang ke Hong ji memerlukan waktu dua hari
semalam. Dari bercakap-cakap di sepanjang perjalanan dengan mereka tahulah
Tiong Gi bahwa mereka adalah tukang kirim barang. Mereka berasal dari Shashi.
Di dalam kereta terdapat ibu dan beberapa anak-anak. Tiga diantarnya sebaya
dengan Tiong Gi. Para piauw-su ini baru saja datang dari mengantar barang
ketika desa mereka diserang oleh rombongan nenek kelabang emas. Lebih dari
separo anak-anak berusia belasan tahun di desa itu tewas mengenaskan. Di
punggung mereka ditemukan bekas-bekas tusukan jarum besar, sedang di dada
ada bekas telapak tangan yang menghitam. Ada juga yang ditemukan dalam
keadaan tubuh hangus. Sungguh kekejaman yang sulit dibayangkan dengan
pikiran sehat. Dalam keadaan tergesa-gesa mereka mencoba menyelamatkan
anak istri mereka, dan langsung dibawa pergi ke arah barat. Cerita mereka
sungguh berkesan di hati Tiong Gi, bagaimana mereka berjuang mati-matian
melawan anak buah nenek kelabang emas, sehingga dua suadara mereka ada
yang gugur. Bagaimana mereka harus bahu membahu menyelamatkan diri.
Inilah pengalaman kedua Tiong Gi bertemu dengan orang-orang yang memiliki
sikap sebagai orang-orang yang baik. Yach itulah yang dirasakah oleh Tiong Gi.
Kasihan sekali nasib Tiong Gi, lahir dalam keluarga pesilat tangguh namun
dibesarkan oleh wanita berhati iblis, sehingga sulit sekali membedakan tindakan yang baik atau yang buruk. Namun dalam berinteraksi dengan orang-orang di
sekitarnya tahulah ia watak manusia berbeda-beda, dan ia mulai respek pada
watak orang-orang yang berbuat baik.
Ketika mereka beristirahat sore hari, anak-anak pada bermain-main. Tiong Gi-
pun ikut diajak serta oleh anak-anak seumuran dirinya. Meskipun agak kikuk
namun akhirnya mau juga Tiong Gi bermain bersama mereka.
"Siapa namamu hiante?" tanya salah seorang anak lelaki yang berkulit putih
bermuka lonjong. Anak ini berumuran setahun lebih tua dari Tiong Gi.
"Namaku Tiong Gi!"
"Kamu she Tiong?"
"Mmm bukan, aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku, namun menurut bibiku,
aku she Ciu!"
"Ooo...kamu sudah tidak punya orang tua, kasian dirimu Gi ko, eh boleh aku
panggil kamu seperti itu" Kenalkan aku bernama Kee Ling, she kami adalah
Tauw. Kakakku bernama Kee Han dan dia sepupuku bernama Bin Chao," kata
seorang gadis kecil, dua tahun lebih muda dari Tiong Gi.
Mereka bermain drama sam-pek eng-tai, dan Tiong Gi diaulat menjadi Sam-pek-
nya. Drama yang dimainkannya sungguh mengesankan. Meskipun tidak pernah
belajar sebelumnya ternyata akting Tiong Gi cukup sangat menawan. Para orang tuapun ikut-ikutan menonton, dengan perasaan haru, terbawa oleh cerita yang
memang menyedihkan.
"Waa...akting kamu bagus sekali Gi hian-tit !" puji salah seorang ibu muda
berusia tiga puluhan.
"Benar Gi-te, kamu berbakat jadi aktor loh!" seru Kee Han.
"Apa itu aktor?"
"Hah, masa aktor nggak tahu sih, itu artinya pemain drama. Kalau kamu ikut
kelompok drama kamu nanti akan menjadi aktor!" "Tapi aku tak ingin jadi
aktor!" "Emang kamu pengen jadi apa?" selidik gadis kecil itu.
"Hmmm..apa yaa, aku ingin belajar baca tulis!"
"Oooo kamu ingin jadi siaucay?"
"Siaucay, apa itu"
"Waahhh masa sih nggak tahu siaucay, kamu keseringan berliamkeng kali, gak
pernah gaul. Siaucay itu sastrawan atau orang terpelajar karena belajar ilmu membaca dan menulis," papar Kee Ling yang wataknya memang suka ngomong.
"Tapi sekarang kalau ikut ujian jin-shi sangat sulit. Setahun yang diterima hanya dua ratus, seluruh Tionggoan, bayangkan!" timpal anak lelaki yang lain yang
berkulit kecokelatan yang bernama Bin Chao.
Selanjutnya mereka saling cerita, terkadang diselingi main petak umpet. Kalau mereka berbicara satu dengan yang lain, Tiong Gi mendengarkan dengan rasa
malu. Ternyata selama ini dia memang terkurung, tak tahu apa-apa, hanya
memikirkan makan, tidur, latihan silat, itupun silat yang sangat cetek.
Tiba-tiba Bin Chao mengajak Kee Han berlatih silat. Kemudian mereka mulai
saling serang. Jurus-jurus mereka sangat cepat dengan gerakan yang indah.
Sekonyong-konyong hanya dari melihat saja, gerakan-gerakan tersebut melekat
di kepala Tiong Gi dan menambah pengertiannya tentang gerakan silat. Selama
ini jarang sekali ia melihat orang saling berlatih silat, yang lebih sering adalah melihat pertempuran mati-matian. Ketika selesai berlatih mereka mengajak
Tiong Gi ikut berlatih. Tiong Gi meladeni, karena dasar-dasar ilmu silat mereka berbeda, pertandingan kali ini berlangsung sangat seru. Jurus beradu jurus,
pukulan beradu pukulan. Setelah lewat dua puluh jurus terlihat bahwa Tiong Gi mampu mendesak lawannya. Para piauwsu yang tergerak untuk melihat
pertandingan memandang heran. Tak mereka sangka biksu kecil itu bisa silat
sehebat itu. Memang jika dibandingkan dengan ilmu silat kaum piauwsu, ilmu
silat dari bibi Ciu lebih bermutu, sehingga meskipun gerakan Tiong Gi masih
mentah. Hanya saja memang ilmu silat tangan kosong yang diwarisi Tiong Gi
banyak yang berasal dari silat perkumpulan Awan Hitam, sehingga banyak
gerakan yang ganas. Akhirnya lawan Tiong Gi menyerah setelah pukulan Tiong
Gi mengenai pinggangnya. Hampir saja ia melanjutkan dengan tendangan jika
tidak segera ditangkis oleh ketua rombongan piauwsu.
"Desss!" Betis Tiong Gi yang tertangkis kaki pemimpin piauwsu terasa nyeri.
"Tiong Gi! Siapa kamu sebenarnya" Bukankah ilmu silat yang kau pakai adalah
jurus-jurus dari perkumpulan Awan Hitam?" tanya pemimpin rombongan
piauwsu yang tiba-tiba berubah galak. Pengalaman berthun-tahun membuatnya
kenal terhadap berbagai macam jurus dari golongan hitam, golongan yang
sering dia hadapi sebagai lawan.
"Hah..... awan hitam!" desis piauwsu yang lain. Seketika pandangan mereka
terhadap Tiong Gi berubah curiga.
"Awan hitam, aku....aku sendiri tidak tahu, bibiku tidak pernah menyebut-nyebut nama itu."
Meskipun curiga, akhirnya para piuwsu itu mau mendengarkan keterangan yang
disampaikan oleh Tiong Gi. Pertanyaan-pertanyaan mereka dijawab lancar oleh
Tiong Gi, tentu saja dia tidak pernah menyinggung soal lukisan. Para piauwsu itu sendiri meskipun tidak senang, namun tidak punya alasan menyalahkan Tiong
Gi. Kekerasan memang biasa dihadapi oleh kaum piauwsu.
Kota Hong ji terletak di suatu pegunungan, yaitu pegunungan Tapa san.
Karenanya letaknya berbukit-bukit. Di kota ini ke-enam piauw-su berlabuh.
Mereka membeli sepetak tanah di pinggiran kota dan mendirikan rumah di sana.
Tiong Gi menolak diajak serta, ia lebih suka hidup bebas mencari seorang guru yang benar-benar mumpuni.
Seperti biasanya, Tiong Gi minta turun di pasar besar di kota. Dengan berbekal beberapa potong uang dari piauw-su ia bisa membeli pakaian dan makanan.
Sengaja ia membeli kain yang bisa dibuat menjadi jubah hwesio. Entah kenapa
ia merasa dengan berpakaian seperti itu ia lebih berharga mendapat sumbangan dari orang-orang kaya daripada menjadi pengemis. Untuk melancarkan
penyamaran ia mencari kuil untuk belajar agama. Namun ia lebih berhata-hati, sebelum mendatangi kuil. Ia lihat dulu beberapa hari apakah kuil itu aman atau tidak, ia tak segan bertanya pada pengunjung kuil. Dua hari berguru di suatu kuil cukuplah bekal yang dibawa Tiong Gi menjadi biksu.
*** Suatu hari di pasar Tiong Gi dikejutkan oleh peristiwa pencopetan. Peristiwa
pencopetan sebenarnya biasa terjadi di pasar, tapi tidak untuk pasar di wilayah Hong Jie. Sudah hampir sebulan Tiong Gi tinggal di kota ini, ia tidak pernah sekalipun menjumpai kejahatan, seakan-akan kota ini memiliki penjaga atau
opas yang sangat kuat. Tak banyak orang yang mengerti sebabnya, hanya kaum
tua saja yang suka cerita bahwa ada suatu masa dimana kejahatan di Hong Jie
merajalela, bahkan hampir-hampir mereka bisa menguasai pemerintahan. Pada
saat kritis itu munculah orang-orang misterius, orang-orang berpakaian putih bermantel tebal, seperti pakaian suku-suku pedalaman di barat sekitar Tibet.
Mereka kemudian menakhlukkan penjahat, dan mengikat perjanjian bahwa
penjahat-penjahat itu harus melindungi kota. Orang-orang itu kemudian
meminta kepala daerah membebaskan beberapa petak lahan yang kemudian
dijadikan ladang atau sawah. Kebetulan sekali selang beberapa tahun semenjak peristiwa itu dinasti yang baru memiliki kerjaan pengembangan budidaya padi, sehingga orang-orang jahat itu kemudian berangsur meninggalkan kebiasaannya
dan menjadi petani. Yang masih belum jera untuk melakukan kejahatan dapat
dipastikan keesokannya tubuhnya sudah menjadi mayat. Lambat laun wilayah
Hong Jie menjadi kota yang aman tenteram. Adapun orang-orang asing yang
membantu mereka, pergi meninggalkan kota, entah kemana. Tak seorangpun
tahu. Yang orang-orang ketahui kemudian adalah munculnya istana kecil yang
indah di lembah delapan rembulan.
Lembah delapan rembulan adalah sebuah lembah di pegunungan Tapa san,
sekitar tujuh puluh li dari kota Hong Jie. Lembah ini terkenal karena
pemandangannya yang indah. Hampir seluruh bagian lembah ini di kelilingi oleh dinding karang yang terjal. Pada dinding di sebelah barat terdapat sebuah air terjun mengucur dari puncak tebing. Percikan air yang dihasilkan membentuk
kabut air yang kadang-kadang membentuk bianglala. Di dalam lembah itu
terdapat delapan telaga kecil yang ukurannya berbeda-beda. Di sekitar telaga bertumbuhan berbagai jenis bunga yang berwarna elok. Air dari telaga mengalir dan bersambung ke sungai kecil dari air terjun. Sungai itu mengalir menembus dinding jurang, dan keluar di tempat yang lain dalam bentuk mata air, di
seberang jurang. Jika malam purnama tiba, dari puncak bukit di sebelah timur dapat dilihat pemandangan yang indah sekali, pantulan rembulan dari telaga
yang membuat seolah-olah ada delapan rembulan di dasar lembah. Untuk
mendapati pemandangan indah seperti ini tidaklah gampang, karena setahun
paling sering hanya dua kali purnama orang bisa menyaksikan pantulan
rembulan dari delapan telaga, bagaikan piring perak berbentuk pat kwa. Pada
bulan-bulan yang lain orang hanya akan mendapati selapis kabut yang
menyelimuti seluruh bagian lembah.
Satu-satunya jalan masuk ke lembah yang tidak terjal adalah hutan yang sangat lebat dan memiliki rawa-rawa yang terkenal sebagai hutan rawa bangkai, karena baunya yang sangat busuk. Namun jalan ini sungguh sangat berbahaya, karena
banyak terdapat hewan-hewan berbisa, ular, kelabang, kalajengking, dan laba-
laba. Selain itu juga terdapat berbagai tumbuhan seperti talas dan jamur yang beracun dan berbagai tumbuhan berduri. Di tambah lagi adanya lumpur pasir
yang dapat menghisap hewan atau orang yang tak sengaja menginjaknya.
Karena seringnya hewan besar atau orang mencoba-coba masuk dan tersesat
dan tak bisa kembali, maka dikenal ah kemudian hutan rawa itu sebagai hutan
rawa bangkai. Keanyiran hutan makin lengkap dengan adanya jenis tumbuhan
yang memiliki bunga yang berbau sangat menusuk, seperti bangkai. Sungguh
aneh sekali keadaan lembah yang demikian indah dikelilingi oleh tempat yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat buruk yang menebarkan bau kematian.
Sudah lebih dari dua puluh tahun di lembah itu berdiri sebuah istana kecil, yang terbuat dari batu karang yang berwarna putih. Tak seorangpun tahu siapa yang membangun istana dan taman di situ dan bagaimana mereka bisa memasuki
lembah, yang mereka tahu adalah tiap malam di padang rumput di depan istana, ada belasan orang sedang berlatih silat di bawah temeraman cahaya obor.
Namun tak seorangpun yakin bahwa yang sedang berlatih silat itu adalah
manusia karena mereka lebih sering hanya mendengar bunyi bertemunya dia
senjata tajam dan suara teriakan dan auman yang sangat keras di bawah
selimut kabut tebal, tanpa benar-benar melihat kejadian yang sesungguhnya.
Keangkeran hutan rawa bangkai dan kehadiran penduduk lembah menarik
orang-orang awan dan pendekar dalam rimba persilatan untuk datang sekedar
menyaksikan dari atas bukit atau mencoba-coba memasukinya. Namun siapa
saja tidak perduli ia adalah tokoh atau jago ternama di kalangan Kangouw,
selama dua puluh tahun lamanya, banyak jago-jago dari berbagai golongan, baik dari kalangan hitam maupun putih. semua kepingin tahu rahasianya istana
lembah delapan rembulan tersebut. Hingga dua puluh tahun lebih belum pernah
ada yang bisa keluar lagi. pernah satu dua kali ada yang mencoba turun
menggunakan tapi di waktu malam. Namun tak pernah terdengar kabar kembali.
Karena tidak ada yang bisa kembali maka tak seorangpun pernah bercerita
keadaan di dalam lembah.
Maka istana lembah delapan rembulan itu tetap merupakan satu rahasia bagi
dunia persilatan. Dan rimba itu merupakan tempat sangat keramat yang ditakuti oleh setiap orang. Siapakah sebenarnya penghuni lembah itu"
Peristiwa pencopetan di dekat Tiong Gi membuat anak itu bertindak cepat. Di
tolongnya seorang perempuan setengah tua, pengasuh anak yang bertubuh
agak gemuk yang tangannya terkena sabet golok si pencopet. Perempuan itu
berusaha mempertahankan tasnya yang berisi uang, sehingga membuat copet
kalap dan menyabetkan golok sehingga melukai lengannya. Seorang anak
perempuan yang ada di dekat bibi pengasuh itu hanya bisa mewek dan menjerit-
jerit sejadi-jadinya. Suasana pasar menjadi riuh rendah.
Dengan cekatan Tiong Gi menotok jalan darah di lengan kemudian meminta
obat penyembuh luka kepada pedagang pasar yang kebetulan memilikinya.
Setelah di taburkan ke luka, dibalutlah luka dengan lembaran kain jubahnya
yang masih bersih. Teriakan si bocah perempuan itu mengejutkan sepasang
orang tua yang berbaju mewah, seperti baju yang dikenakan oleh gadis kecil itu.
Dengan tergopoh-gopoh mereka kemudian menyibak kerumunan orang, wajah
mereka penuh kekhawatiran. Di pinggir lorong pasar mereka mendapati bibi
pengasuh anaknya sudah ditolong oleh seorang biksu kecil.
"Ah syukurlah kau sudah mendapat pertolongan bibi!" ujar lelaki yang sudah
berusia lima puluhan itu lega.
"Terima kasih banyak kami haturkan kepada siauw suhu inkong, siapakah nama
siauw suhu dan dari kuil manakah suhu berasal?" tanya laki-laki itu ramah.
"Ah tidak perlu disebut-sebut pertolongan ini paman, asal bibi ini bisa cepat sembuh hatikupun turut lega. Heran sekali, sudah dua bulan aku tinggal di sini selalu aman entah copet dari mana yang pagi-pagi seperti ini berani bermain gila di pasar Hong Jie," jawab Tiong Gi tenang. Bagi orang yang mengenal Tiong Gi, sungguh mengherankan sekali jawaban yang keluar dari mulutnya. Biasanya ia
selalu bersikap pendiam dan dingin sekali, namun setelah dua bulan tinggal di pasar itu, bergaul dengan pedagang pasar, berkawan dengan beberapa biksu
yang kadang-kadang ia temui telah sedikit merubah wataknya. Namun benarkan
demikian" Kita ikuti saja perkembangan selanjutnya.
"Kami keluarga Liu sungguh berhutang budi kepada siauw suhu, entah dengan
cara apa kami bisa membalasnya," kembali terdengar ucapan ramah dari lelaki
yang dari dandanannya terlihat seperti seorang juragan.
"Aku tidak ingin mengharap balasan, tapi kalau tuan tidak keberatan aku ingin berjalan-jalan, bolehkan aku ikut numpang perjalanan paman. Aku ingin
menambah pengalaman" jawab Tiong Gi.
"Baiklah kalau begitu, kau bisa bawakan keranjang kami, ke kereta itu," jawab lelaki yang bernama Liu Gan itu sambil menunjukkan keretanya. Setelah
berkenalan dan berbelanja barang lain maka berangkatlah kereta itu ke desa
tempat tinggal Liu Gan dan keluarganya.
Liu Gan adalah seorang juragan sekaligus cungcu dari desa Lim Kee Cung.
Istrinya bernama Siok Peng, anaknya bernama Liu Ce Lin. Desa Lim Kee Cung
terletak tepat berbatasan dengan hutan rawa bangkai, sehingga sering dilewati oleh orang-orang yang hendak pesiar melihat-lihat pemandangan lembah
delapan rembulan. Oleh karenanya jalan menuju desa itupun keadaannya cukup
baik. Kereta itu dikusiri sendiri oleh Liu Gan. Tiong Gi duduk disampingnya. Di sepanjang perjalanan gadis kecil anak semata wayang dari juragan ini hanya
mewek saja dipangkuan ibunya.
Liu Gan berwatak ramah dan suka berbicara, maka di sepanjang perjalanan ia
banyak sekali menceritakan keadaan desanya. Mulai dari cerita tentang
kerbaunya yang baru seminggu lalu melahirkan tiga ekor anak, hingga cerita
tentang sungai yang airnya jernih. Namun ketiga hendak menceritakan tentang
lembah delapan rembulan, tiba-tiba mulutnya tercekat.
"Tuan kenapakah?" tanya Tiong Gi.
"Aaa ah tidak aku kehausan, beri aku minum! Kita berhenti dulu sebentar di
sini," jawab Liu Gan sambil tangannya dijulurkan ke dalam meminta air minum.
"Tuan bolehkan aku menggantikanmu mengusiri kereta ini?" tanya Tiong Gi.
"Bisakah kamu" Cobalah kalau memang kau bisa mengendalikan, hati-hati
jangan terlalu kencang!"
Tiong Gi mengambil alih kendali kuda. Ketika bersama dengan rombongan
piauwsu yang berpindah, Tiong Gi diajari mengusiri kereta, karena piauwsu
sudah banyak yang kelelahan.
Sesampainya di Lim Kee Cung hari sudah sore, sehingga Tiong Gi ditawari untuk menginap. Dua hari tinggal di desa itu membuat Tiong Gi merasa betah,
sehingga tawaran Liu Gan agar ia tinggal di rumah itu menjadi kacung tak
ditampiknya. Liu Gan adalah seorang juragan yang terampil sekali berusaha. Apa yang
disentuhnya seakan-akan berubah menjadi ladang uang, mulai dari beternak
kerbau, kambing, menjadi tuan tanah, membuka warung, bahkan ia juga
menyewakan beberapa kamar bagi pendatang. Sifatnya yang ramah dan
dermawan makin membuatnya dihormati dan disegani oleh semua orang di Lim
Kee Cung. Sayang sekali Liu Gan hanya memiliki satu anak, itupun lahir setelah hampir dua puluh tahun setelah pernikahan dengan isteri ke tiga. Dan yang lebih membuat orang-orang tidak habis pikir adalah perbedaan sifat Liu Gan dengan puteri
semata wayangnya.
Liu Ce Lin meskipun parasnya cantik dan manis, sangat manja dan bodoh. Di
sekolah ia sering mendapat nilai buruk. Wataknya juga agak tinggi hati dan
judes. Sehingga jarang ada temannya.
Karena khawatir perkembangan pendidikan anaknya, Liu Gan memanggil guru
les untuk Ce Lin. Di rumah tiap sore Ce Lin belajar les pada guru itu. Ce Lin memanggil gurunya dengan sebutan guru Wang.
Sore itu untuk pertama kali Tiong Gi bertemu dengan guru Wang. Terkesiap
Tiong Gi dibuatnya. Sorot mata yang dipancarkannya sungguh sangat
mencorong seperti bintang timur. Sebagai bocah yang sering berhubungan
dengan orang persilatan Tiong Gi tahu bahwa sorot mata seperti itu hanya
dimiliki oleh orang yang ada "isi"nya. Pandangan matanya seakan-akan mampu
menjenguk isi hati Tiong Gi.
Sebenarnya Guru Wang baru berusia enam puluh tahun lebih sedikit, namun
kerut di wajahnya membuat raut muka itu jauh lebih tua dari umurnya,
membayangkan pengalaman hidup yang penuh dengan kepahitan dan beban
yang sangat berat. Lelaki tua yang memakai baju kuning dengan jubah
kecokelatan rapi itu membawa sebatang mauw pit. Tinggi tubuhnya sedang tapi
badannya kurus agak melengkung seperti hanya tulang terbungkus kulit.
Wajahnya tirus, pipinya kempot, jenggotnya selalu dicukur tapi kumisnya
dibiarkan tak terawat seperti lidi. Berlawanan dengan wajahnya yang terkesan keras, gaya bicara guru Wang cukup lembut dan tertata baik, ciri seorang yang sangat terpelajar, pantas sekali ia menjadi guru di desa itu.
Sambil bekerja di rumah juragan Liu Gan, Tiong Gi menyempatkan untuk
mencuri dengar ketika putri Liu Ce Lin belajar menulis di rumahnya. Karena
putrinya rada bodoh maka pelajarannya sangat lambat sehingga Tiong Gi mudah
mengikuti. Pada malam harinya Tiong Gi menuliskan kembali apa yang diajarkan oleh guru Wang.
Cepat sekali otak Tiong Gi menyerap pelajaran guru Wang, hanya dengan
mengulang semalam, semua pelajaran paginya bisa dihapalkannya. Sebaliknya
putri juragan Liu setidaknya membutuhkan waktu empat sampai lima hari,
sehingga hanya sewaktu-waktu saja Tiong Gi mencuri pelajaran sambil pura-
pura menyapu atau membereskan perabotan di rumah juragannya. Guru Wang
bukannya tidak mengerti kalau pelajarannya dicuri dengar oleh kacung juragan Liu, namun sengaja ia diam saja.
Tak terasa setahun sudah Tiong Gi berada di rumah juragan Liu. Sudah banyak
pelajaran yang diserapnya dari guru Wang, namun sayang masih belum ada
sepersepuluh hurup di balik lukisan misterius yang disalin di kulit rusa yang pernah diajarkan, selebihnya adalah huruf-huruf yang jauh berbeda.
Suatu ketika dia menemui guru Wang, ketiga beliau sedang minum arak selepas
mengajar. "Guru Wang, aku ingin belajar membaca dan menulis padamu, apakah pada
malam hari engkau bisa mengajari aku?"
"Ha...ha...ha...alangkah lucunya permintaanmu bocah. Bujang seperti kamu
mana ada kemampuan belajar baca tulis! Lagian dari mana kamu dapat uang
untuk bayar gurumu hah" Heh jangan mimpi bisa membaca ya....kerjakan aja
tugas kamu, bodoh!
"Lopeh... aku akan kasih semua gajiku tiap bulan, asal kamu mau mengajar aku setiap malamnya."
"Huhh...gajimu sebulan paling banter sama dengan gajiku sekali ngajar Liu
siocia." Dua kali sudah Tiong Gi ketemu dan meminta agar guru Wang mau
menerimanya, tapi guru Wang tak bergeming. Ketiga kalinya, ia sengaja
mengejar guru Wang dan di jalan kecil menuju ke ujung desa ia berlutut dan
memohon untuk yang ketiga kalinya.
"Tiong Gi, aku masih melihat awan hitam menyelimuti dirimu, bagaimana aku
bisa menerimamu?"
"Maksud suhu" Aku tak paham, di sini tidak ada awan!"
"Apa sebenarnya yang kau cari anak baik?"
"Aku ingin belajar supaya menjadi orang pandai!"
"Untuk apa jadi orang pandai?"
"Agar aku bisa jadi orang berguna."
"He..he...he, aku tidak mendengar kejujuran di ucapanmu bocah."
"Sebenarnya, aku dapat wasiat dari nenek moyangku agar menemukan
warisan." Guru Wang memandang terkejut, segenap kemampuan inderanya tidak
menangkap ada sesuatu keanehan dalam nada suara anak didepannya. Guru
Wang yang sudah sedemikian matang pengalaman dan kemampuan bathinnya
sehingga mampu membaca suara hati orang lain yang tak terungkapkan, tidak
merasakan tanda-tanda itu. "Hmmm...anak ini memiliki latar belakang yang
sangat membuat penasaran, siapakah sebenarnya dia?"
"Tiong Gi, katakan terus terang, siapakah she-mu, dan siapa orang tuamu anak baiksiapa dirimu dan apa maksudmu?"
Kali ini Guru Wang bertanya dengan wajah sungguh-sungguh dan pertanyaan
yang tegas. Untuk kesekian kalinya orang menanyakan asal-usul nenek moyangnya. Kembali
Tiong Gi menjelaskan latar belakang dirinya secara sekilas. Dalam hati Tiong Gi merenung, "Kenapa orang selalu menanyakan itu, sejauh mana tingkat
pentingnya suatu jati diri" Siapa sebenarnya diriku?" Pandangannya kemudian
menerawang jauh, sembari menghela nafas dalam, ia tak mampu
menyembunyikan kesedihannya.
Tiba-tiba guru Wang merasakan suatu kedekatan perasaan terhadap anak yang
dihadapannya. Apalagi ketika dilihat wajah anak itu secara lebih seksama sambil berjongkok, ia seperti tidak asing dengan wajah itu. Ketika tangannya
memegang lengan Tiong Gi, terlihat raut mukanya berubah, betapa terheran-
herannya Guru Wang demi merasakan bahwa bocah yang hanya menjadi bujang
di perkampungan memiliki tulang bagus seperti itu. "Hmmm kenapa anak
harimau segagah ini hidup di antara kerbau?" pikirnya.
"He he heh....bocah pintar, baiklah nanti malem kita coba. Kalau ada bakat aku tidak hanya ajar kamu tiap minggu tapi kamu akan dapatkan semua ilmu surat
yang kumiliki, bahkan kalau kau bersedia aku juga akan mengajarimu ilmu silat."
"Hahh...benarkah suhu?"?"
Malam harinya dengan berindap Tiong Gi keluar dari kamarnya untuk pergi ke
rumah guru Wang. Rumah guru Wang berada di ujung jalan menuju ke sungai.
Di depan rumahnya tiap malam selalu di pasang lampion warna-warni. Meski
kecil tapi taman bunga di depan rumah menambah keasrian. Taman yang
terlihat sangat indah dengan komposisi yang serasi, seperti terawat oleh tangan yang terampil. Malam itu guru Wang sudah menunggu.
"Masuklah Tiong Gi!", seru guru Wang dari dalam rumahnya. Tiong Gi-pun
masuk ke dalam rumah itu. Ruang tamu rumah itu cukup lebar dan di ujung
sebelah dalam guru Wong sudah duduk menunggu. Di dekatnya ada kain cukup
besar. "Tiong Gi, ini ujian untukmu. Kalau kau lulus peganglah janjiku! Aku akan
melukis di kain ini, setelah selesai tolong tirukan lukisanku di papan tulis di sampingmu!"
Setelah selesai bicara Guru Wang langsung menggoreskan pena bulunya dengan
cepat, tidak lebih dari sepeminuman teh Guru Wang sudah menyelesaikan
sebuah lukisan pemandangan di pedesaan: ada sawah, lembu dan seekor
burung pipit terbang. Di bawah lukisan ia menuliskan kata-kata: ta-gu-niu-hui.
"Lihat baik-baik lukisan ini Tiong Gi, dan kau tirukan lukisan maupun tulisan di bawahnya!"
"Baik suhu, taecu akan mulai."
Dengan kapur tulis Tiong Gi mulai melukis seperti yang diminta suhunya. Sesaat ia ingin menengok kembali lukisan suhunya. Tak dinyana suhunya telah
menggulung lukisannya, sambil terkekeh, "Anak baik, kau akan mendapatkan
apa yang mampu kau lukiskan!"
Tiong Gi memeras otak untuk melukiskan apa yang dilihatnya. Cepat otak dan
tangannya bekerja menyalin tulisan di bawah lukisan terlebih dahulu, karena itu bagian yang paling sulit di ngat, sedang lukisan sawah kerbau dan burung lebih mudah untuk dikarang-karang. Beberapa saat ia melukis, sekonyong-konyong
muncul bau apek seperti daun tembakau dibakar. Tiong Gi melirik gurunya yang sedang asik menghisap tembakau dengan huncwe yang panjangnya selengan.
Matanya merem melek menikmati rasa nikotin tembakau. Setelah selesai Tiong
Gi membangunkan gurunya.
"Suhu aku sudah selesai!"
Guru Wang membuka mata dan membeliak, seakan-akan hampir loncat bola
matanya demi melihat lukisan di papan itu. Kata-kata di bawah lukisan itu persis seperti yang dituliskan, sedangkan lukisan di atasnya jauh lebih teratur goresan garis-garisnya antara yang tebal dengan yang tipis, sehingga ada kesan lebih hidup.
"Tiong Gi, katakan terus terang apakah sebelumnya kau pernah belajar?"
"Aku hanya belajar dari mengintip pelajaran yang suhu berikan pada Liu socia.
Apa lukisanku aneh suhu?"
"Aku tahu kau mencuri dengar ajaranku ke Liu siocia!" Hemm tak mungkin....tak mungkin.....Guru Wang bergumam sendiri. "Coba kau lebih mendekat!"
Setelah Tiong Gi mendekat, secepat kilat Guru Wang menotol ujung huncwe
beberapa kali ke bagian tubuhnya.
"Coba tunjukkan ilmu silat yang kau pelajari dari bibimu!"
Tiong Gi segera mengambil posisi kuda-kuda dan mulai melakukan gerakan-
gerakan jurus-jurus silat. Gerakan silat yang dipraktikkan adalah ilmu silat Hek in Cianghoat, namun gerakan-gerakan yang dilakukan masih sangat kaku dan
banyak kesalahan. Setelah selesai Tiong Gi meminta guru Wang meminjami
pedang. "Suhu bolehkan aku pinjam pedang?"
"Ambil sendiri di rak senjata" Tiong Gi segera mengambil pedang, dan mulai
mengayun-ayunkan pedang memeragakan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat.
Meski gerakannya kaku dan banyak kekeliruan, para pendekar yang banyak
pengalaman akan mengenali bahwa ilmu pedang yang dipergakan adalah ilmu
pedang dari Yu Liang Pay. Tapi aneh, sampai selesai tidak tampak ada
perubahan raut muka dari guru Wang. Hanya sedikit komentar yang
disampaikan ke Tiong Gi.
"Gerakan silatmu sangat kaku dan banyak lubang-lubangnya, lain kali kamu
jangan pakai lagi jurus ganas seperti itu." Coba mendekatlah kemari Tiong Gi"
ujar Guru Wang sambil melambaikan tangannya. Setelah Tiong Gi mendekat,
Guru Wang memegang pundaknya.
"Coba kau kerahkan sinkang di tubuhmu!" Tiong Gi mencoba namun kemudian
kesakitan. "Hmmm...aneh, jalan darahmu Leng thay hiat di punggung tertotok bertahun-
tahun, tapi tak ada tanda-tanda keracunan yang kau alami," kata guru Wang
sambil menotok punggung Tiong Gi, untuk membebaskan totokannya.
"Hanya ada dua kemungkinan, kau memiliki keturunan dari suku yang tinggal di daerah dingin, atau kau mempraktikkan ilmu yang bersifat im. Tapi apapu
kemungkinannya, yang jelas sekarang kau sudah terbebaskan. Aku akan
mengajarimu teknik mengumpulkan tenaga murni," ujar guru Wang sambil
mengajarkan teknik-teknik mengatur pernafasan. Setelah malam itu, guru Wang
menjanjikan pertemuan dua malam lagi.
Pada pertemuan berikutnya, Tiong Gi melihat seorang anak perempuan berusia
sebelas tahunan sedang menyalakan Lampion. Gadis itu bernama Wang Liu
Siang. Ketika Tiong Gi hendak menguluk salam gadis tanpa menoleh berkata:
"Kaukah murid baru kakek" Kabarnya bakat kamu bagus. Aku tidak percaya.
Coba kau sambut ini." Selesai mengucapakan kata-kata sambutan Liu Siang
langsung bergerak melancarkan serangan demi serangan. Tiong Gi dibuatnya
gugup tak mengira akan mendapat sambutan sehangat itu. Betapa tidak, bukan
hanya jurus-jurus serangan tangan dan kakinya saja yang indah, tapi juga jurus serangan jantung. Wajah yang manis ayu dengan rambut dikuncir dan senyum
dikulum menambah pesona yang bisa membuat copot jantung lelaki. Jurus
pertama dan kedua dapat dipapaki dengan baik, namun pada jurus ketiga,
ketika Liu Siang menggunakan gerakan tipu burung hong mengepak sayap,
tangan kanan berhasil menyodok dada. Tiong Gi baru menyadari kalau sudah
kena tojok telak setelah terdorong tiga langkah dan terkapar.
"Nona aku mengaku kalah!"
"Namaku Wang Liu Siang. Bangkitlah!" gadis itu mengulur tangan dan menarik
Tiong Gi. "Nona Siang, apakah engkau ini cucu dari guru Wang?" tanya Tiong Gi tenang.
"Kita berdua adalah cucu guru Wang. "Panggil saja aku suci atau enci, karena aku kan lebih dulu jadi murid kakek, jadi tidak perlu nona-nonaan segala!" jawab Liu Siang singkat.
Pada hari itu, guru Wang mulai menjelaskan dasar-dasar ilmu tulis dan ilmu silat, bersama Liu Siang, Tiong Gi mulai mempraktikkan teknik penulisan dan kuda-kuda. Ilmu silat guru Wang sebagian besar bersumber dari silat nenek
moyangnya. Ada tiga jenis silat yang diajarkan ke Tiong Gi, yang pertama ilmu pukulan bersifat dingin, ilmu silat pukulan badai angin salju (Swat im soan hong sin ciang). Ilmu yang terdiri dari tiga puluh tiga jurus ini lebih menekankan im.
Ada lima tingkatan yang bisa dilalui. Tingkatan pertama adalah penguasaan
gerakan luar (gwakang), tingkatan kedua adalah penguasan tenaga dalam
(lweekang), tingkatan ketiga adalah penguasaan harmonisasi gerakan dan
ukuran tenaga, tingkatan keempat adalah harmonisasi gerakan, tenaga dan
pikiran, sedangkan tingkatan terakhir adalah tingkatan harmonisasi sekeluruhan dengan hati. Pada tingkatan terakhir ini seseorang yang menguasai ilmu ini bisa tetap melakukan penyerangan meskipun dalam keadaan terbelenggu kaki dan
tangannya. Ilmu yang kedua adalah ilmu pedang cahaya salju (Sue kong kiam
hoat). Ilmu pedang ini sebenarnya terdiri dari lima puluh jurus, namun guru
Wang sendiri hanya menguasai tiga puluh jurus asli, sedangkan lima jurus
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tambahan merupakan jurus kembangannya. Ilmu yang terakhir adalah Sai cu
hokang (auman singa), sejenis ilmu teriakan yang disertai pengerahan khiekang yang dapat menggetarkan lawan.
Selama lima hari Liu Siang tinggal di rumah guru Wang, ia sering mengajak
Tiong Gi bermain ke dekat sungai memancing ikan atau mencari madu. Gaya
bicara Liu Siang sangat menarik, apalagi gerakan-gerakan tangannya menirukan ikan yang menggelepar-gelepar atau tawon yang berhamburan mengejar
buruannya, sehingga membuat Tiong Gi tak berdaya untuk menolak, sekalipun
ia harus menyancang kerbau-kerbaunya.
Setiap hari keenam dan ketujuh guru Wang meliburkan kelasnya, demikian juga
dengan pelajaran Tiong Gi. Demikianlah kegiatan yang dijalani Tiong Gi. Tiap minggu selalu saja ada dua hari guru Wang tidak mengajarnya, juga tidak ada di rumah. Setelah kembali lagi belajar di rumah itu Tiong Gi tidak pernah melihat lagi batang hidung Liu Siang, sehingga ia memberanikan diri bertanya kepada
guru Wang, namun dengan ringan guru Wang menjawab Liu Siang tidak tinggal
bersamanya. Karena singkatnya pertemuan mereka, maka guru Wang mengajarkan ilmunya
kepada Tiong Gi dengan cara yang luar biasa. Ia meminta Tiong Gi
menghafalkan teori-teorinya. Anehnya Tiong Gi merasa kesulitan menghafal
dalam bentuk teknik terstruktur, namun justru mudah hafal dalam bentuk
bahasa aslinya, bahasa puisi. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan
tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan
mengatur pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam
tubuh, sambil sedikit demi sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di punggung muridnya.
Tiong Gi mempraktikkan pelajaran silat tidak hanya saat di rumah guru Wang,
namun juga dilatih sambil menggembala kerbau-kerbaunya. Tak terasa tiga
bulan berlalu, suatu waktu ketiga saking getolnya belajar silat, Tiong Gi tidak memperhatikan salah satu anak kerbaunya berjalan jauh meninggalkan induk
menuju hutan rawa bangkai. Begitu ia sadar anak kerbau itu sudah lenyap ke
jantung rimba itu, ketika Tiong Gi hendak mencari ia melihat tulisan larangan memasuki hutan, sehingga ia ragu, apalagi ia harus menyelamatkan kerbau-kerbau lain yang masih ada.
Kejadian ini membuat keluarga Liu marah, namun Liu Gan masih berusaha sabar
sehingga hanya memberi hukuman potong gaji dua bulan.
"Ini pasti gara-gara dia itu keseringan main ke rumah guru Wang. Huh, kacung bodoh sok-sok mau belajar baca tulis," ujar nona Liu ketus.
"Kakanda Liu, sebaiknya kita minta saja dia mengganti kerbau yang hilang, aku mau tahu dari mana ia dapat uang gantinya kalau bukan dari mengemis, ia
sudah lupa dulu kita temukan sebagai apa!" timpal nyonya Liu.
Tiong Gi meradang, rasanya hendak memuntahkan seluruh amarah di dadanya,
namun kemudian ia ingat nasihat guru Wang. "Tubuh dan pikiran manusia
hanyalah alat saja Tiong Gi, semua itu dikendalihan oleh bathin atau oleh hati.
Orang-orang yang berhasil dalam hidupnya adalah mereka yang berhasil
mengendalikan tubuh dan pikirannya, sehingga tidak pernah membiarkan dirinya larut dalam nafsu angkara. Itulah pentingnya ilmu mengelola hati."
Karena ia hanya menunduk saja, Liu Gan merasa kasihan, sehingga mau
memaafkan. Malam harinya ketika kembali belajar ke guru Wang, Tiong Gi
menyempatkan untuk bertanya kepada guru itu.
"Suhu, menurut orang-orang hutan rawa bangkai dan lembah delapan rembulan
adalah tempat yang keramat, benarkah demikian?"
Guru Wang hanya terkekeh pelan, namun kemudian tersenyum, senyum yang
getir. Namun tak tertangkap oleh indera Tiong Gi.
"Tempat yang keramat menjadi sarang hantu atau orang yang ingin menjadi
hantu, karena tak ingin terlihat oleh orang lain. Tak ada hal yang aneh. Apakah kau ingin pergi kesana?" jawab guru Wang singkat, namun membuat jantung
Tiong Gi berdegup kencang.
"Ad..da apakah di sana suhu" Apa itu tempat sembunyi dewa?"
"Kalau kau mau memegang rahasia, aku akan mengajakmu ke sana. Di sana ada
Liu Siang. Setiap dua hari dalam seminggu aku pulang kesana" papar guru
Wang. Ucapan guru Wang sangat sulit dipercaya oleh Tiong Gi. Namun ia tidak melihat raut muka bergurau, di wajah guru Wang.
"Jadi apakah guru Wang anggota penghuni lembah itu?"
"Anak bodoh, apakah masih perlu hal itu kamu pertanyakan?"
Namun kamu harus menunggu sampai enam bulan lagi. Perjalanan ke sana
memerlukan keterampilan khusus yang hanya dimiliki oleh pesilat tingkat atas.
Karena dijanjikan hal seperti ini, Tiong Gi makin giat belajar dan berlatih. Tiap hari waktu luangnya di si dengan berlatih dan berlatih. Teman sepermainannya hanyalah kerbau-kerbau piaraannya, namun ia tidak kehilangan kemampuan
interaksi dan komunikasi karena guru Wang juga sering mengajaknya ke kelas
yang diasuh guru itu, meskipun hanya dalam waktu singkat. Sebagai seorang
guru, Yung Ci nama asli guru Wang, sangat memahasi kebutuhan sosialisasi
anak. Makanya tidak aneh ketika Tiong Gi mengungkapkan perasaan hatinya.
"Suhu, kenapa beberapa waktu terakhir ini saya selalu ingat Siang suci, dan
ingin ketemu dengannya?"
"Aha, itu artinya kau sudah beranjak dewasa anakku, apakah kau sudah pernah
mimpi basah?"
"Apa itu mimpi basah suhu?"
"Itu adalah pertanda engkau harus lebih hati-hati dalam bersikap dan kendalikan dirimu baik-baik! Seorang laki-laki dewasa harus berani bertanggung jawab atas segala tindakannya!"
"Oo......iya memang aku sudah mengalaminya" jawab Tiong Gi malu-malu.
Tanpa terasa, enam bulan lebih waktu sudah terlewati. Suatu ketika guru Wang bermaksud mengajak Tiong Gi ke lembah delapan rembulan. Ia lalu meminta ijin ke juragan Liu untuk membawa Tiong Gi. Liu Gan memandang heran, namun tak
kuasa melarang usul guru Wang.
Berdebar-debar rasa hati Tiong Gi meninggalkan rumah-rumah di desa Lim Kee
Cung menujua hutan rawa bangkai. Pesan guru Wang benar-benar membuatnya
deg-degan, ia boleh ke lembah delapan bunga, dengan syarat ia akan menjadi
warga lembah, dan terikat dengan peraturan lembah. Di tambah lagi kerinduan
bertemu nona Siang yang cantik dan lucu. Jauh sekali beda watak nona Siang
dengan nona Lin.
Bab 9. Riwayat penghuni lembah delapan rembulan
Begitu sampai di pinggiran hutan, guru Wang Ketika mengempitnya dan
melompati dahan dahan pepohonan. Kadang-kadang menjejakkan kaki ke lantai
hutan, kadang-kadang meraih akar-akar pohon kemudian berpindah
menggunakan akar-akar pohon tersebut. Ternyata cara memasuki hutan itu
dengan aman memang ada rahasianya, dan guru Wang sendiri yang menyusun
jalan itu. Gerakan guru wang sangat cepat seperti berputar-putar, sampai
akhirnya mereka menemukan jalan buntu karena terhalang bukit karang yang
tinggi. Tiba-tiba guru Wang berhenti dan menuju ke batu yang ukurannya
sebesar sapi. Guru Wang menggeser batu, ternyata di balik batu itu ada gua
kecil yang menjorok kebawah. Guru wang menarik tangan Tiong Gi, setelah
menutup kembali batu itu, ia kembali mengempit tubuh Tiong Gi dan dibawa lari menuruni gua. Di ujung gua, guru Wang menekan suatu tombol, sehingga pintu
besi diujung gua itu terbuka. Gua itu ternyata terbuka ke tebing. Namun tebing ini lebih landai dibanding tebing lainnya. Setidaknya masih ada tonjolan-tonjolan batu yang dapat dijadikan batu loncatan. Ketika suhunya melepaskannya ia
merasa ngeri, akan tetapi Tiong Gi menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak
menyatakan rasa ngerinya! Ketika mereka memasuki halimun tebal yang
menutup bagian dasar lembah, Tiong Gi hampir menjadi kaku oleh rasa dingin.
Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan gigi bawah namun
dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali, dan Tiong Gi memandang
sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada di dasar lembah.
Di lembah itu selain bertemu Liu siang ia juga dikenalkan dengan penghuni yang lain. Ada dua pasang keluarga usia empat puluh lima tahunan, dua lelaki berusia lima puluh tahun dan enam puluh tahunan serta ada empat orang kakek
seumuran guru Wang. Mereka bukanlah orang sembarangan. Mereka sudah
tinggal selama lebih dari lima belas tahun sampai yang paling belakangan datang adalah sute ketua Kong Thong Pay.Sepasang lelaki dan perempuan berpakaian
biru-biru berusia empat puluhan lima adalah sute dari Hek in Loco. Sepasang
lagi yang berbaju hijau putih adalah murid dari Hoan Bin Kwi Ong. Seorang lelaki berpakaian tosu adalah murid Kong Thong Pay, yang berjuluk Sim Beng Tosu, ia adalah sute dari ketua Kong Thong Pay, sedangkan lelaki berjubah biksu adalah Bu Kong Taisu, suheng dari Bu Sian Taisu. Bagaimanakah tokoh berbagai
golongan ini bisa bersatu di lembah"
Mereka adalah para petualang yang mencoba-coba memasuki lembah dan
tertangkap dan dikalahkan oleh penghuni lembah. Mereka semula dikurung,
namun kemudian dibebaskan karena mereka berjanji untuk membantu lembah
menghadapi musuh dari luar. Balasan atas janji mereka adalah kebebasannya.
Meskipun begitu mereka tak henti-hentinya mencoba untuk keluar, namun
sampai sekian tahun mereka tak satupun yang mampu menembus tembok
tebing yang mengelilingi lembah itu. Bukannya mereka ini tidak pernah
mengikuti guru Wang, namun selalu mereka gagal membuka pintu gua di tebing.
Adapun empat orang lelaki seumuran guru Wang yang bergaya pakaian barat ini
adalah kawan-kawan seperjuangan guru Wang, mereka berasal dari daerah
yang sama di barat. Meski seumuran mereka sebenarnya berguru pada guru
Wang. Ditambah lima orang yang ada di luar lembah, mereka dinamakan Tai
Swat San Kiu Tiauw Kwi (Sembilan burung hantu dari gunung salju besar).
"Gi sute, gimana perkembangan ilmu surat dan ilmu silatmu, ayo kita berlatih di dekat telaga, aku akan mengajarimu cara pernafasan untuk menghangatkan
badan," seru Liu Siang saat bertemu dengan Tiong Gi.
"Liu cici, lama sekali kita tak bersua, ingin sekali aku kembali merasakan
tendanganmu!" jawab Tiong Gi ceria.
Selanjutnya mereka berdua sudah terlibat latihan silat tingkat tinggi yang sangat luar biasa. Tiong Gi menggunakan jurus-jurus dari pukulan saljunya sementara Liu Siang menggunakan jurus-jurus dari ilmu delapan unsur pat kwa. Ilmu yang bernama Pat kwa sin tiauw ciang hoat (Pukulan cakar rajawali pat kwa). Ilmu ini berdasarkan pada gerakan segi delapan, menggunakan kecepatan tinggi dan
ketepatan pukulan. Ilmu ini cocok sekali dengan karakter Liu Siang yang
langsing dan berbakat dalam ilmu meringankan tubuh. Ilmu ini diajarkan oleh
guru Wang dan dikembangkan lebih lanjut dengan tambahan pengertian dari Bu
Sian Taisu dan Sim Beng Tosu.
Latihan itu sungguh luar biasa, gerakan lincah tangan Liu Sian benar-benar
seperti patukan rajawali, sedangkan gerakan Tiong Gi tenang namun pukulan-
pukulannya mengandung kekuatan tenaga im yang menggiriskan. Para penghuni
lembah menonton dengan mata berbinar-binar. Tiba-tiba Tiong Gi mengubah
gerakan, tubuhnya merendah dan menyerang bagian bawah.
"Omitohud, sungguh besar sekali peruntungan Yung taihiap, bisa mendapatkan
sepasang anak naga yang sangat berbakat. Hati-hati Sian serangan pukulan
salju mengepung gunung harus kau bendung dari bawah, keluarkan jurus
rajawali mengepak sayap" kata Bu Kong Taisu.
Hampir saja Liu Sian terdesak, namun demi mendengar nasihat dari Bu Kong
taisu ia juga merubah gerakan mengeluarkan jurus kepakan sayap ke bagian
bawah. "Gi ji, pakai jurus naga salju menyemburkan api," tiba-tiba terdengar seruan salah seorang dari Kiu Tiauw Kwi.
Latihan makin sengit, dari hanya latihan biasa menjadi pertarungan tersembunyi antara Bu Kong Taisu dengan salah seorang tetua negeri salju. Puncak
pertarungan ini terlihat ketika Tiong Gi mengeluarkan jurus badai salju kutub utara yang dihadapi oleh Liu Siang dengan serangan tapak sakti delapan dewa
rajawali. Tangan Tiong Gi bergerak cepat dari kedua tapak tangan tersebut
keluar serangkum hawa dingin yang luar biasa. Bahkan angin pusaran yang
dihasilkan membuat terbang dedaunan di sekitarnya. Liu Siang memapakinya
dengan tangkisan tangan yang mengandung kekuatan yang tak kalah hebatnya,
bahkan ia masih sempat melayangkan satu jurus ke Tiong Gi. Dua benturan
jurus yang sangat hebat ini menimbulkan bunyi yang sangat keras.
"Blaaarrr!"
Tiong Gi terdorong tiga langkah dan terpelanting, sedangkan Liu Siang bisa
berpoksai dua kali dengan indah. Tampak dari hasil latihan ini, Tiong Gi masih kalah pengalaman dan kecolongan satu jurus. Tepuk tangan bergema. Guru
Wang tampak puas.
Di lembah delapan rembulan Tiong Gi makin giat berlatih, apalagi kini ia punya lawan latihan yang sangat cerdas. Di lembah yang dari atas terlihat istana kecil ternyata dari dekat istana itu cukup luas. Namun dinginnya luar biasa. Hari-hari pertama Tiong Gi ditempatkan di bagian belakang yang ada guanya. Tiap malam
ia membuat api unggun. Namun setelah satu bulan ia sudah mampu
mempraktikkan teknik untuk mengumpulkan hawa yang mampu menghangatkan
tubuh. Rupanya di bagian belakang istana ada tiga gua. Selain yang ditempati Tiong Gi, masih ada dua lagi yang dijadikan kamar tawanan. Tiong Gi menjadi
terperanjat dan menatap curiga. Ia teringat dengan tawanan di Kuil Kong-sim
Liok si. Namun untuk bertanya langsung ke guru Wang ia ragu, maka saat
memancing ikan di tepi sungai bersama Liu Siang, ia bertanya
"Siang cici, apakah engkau mengetahui riwayat lembah ini?"
"Tentu saja, namun kukira riwayat itu belumlah lengkap, karena masih banyak
sisi-sisi yang masih misterius!"
"Coba ceritakan padaku cici!" desak Tiong Gi.
"Waahhh Gi te, ceritanya panjang, trus tidak gratis, masa juru dongeng
profesional seperti daku ini harus cuap-cuap tanpa bayaran sih?"
"Aduh cici, masa sih sama adik sendiri main palak segala."
"Loh, ada kalanya kita tidak memberi informasi secara percuma Gi te, apalagi kalau kau jadi mata-mata wah itu satu dua katapun bisa berharga puluhan tael emas!"
"Hah, benarkah?" desis Tiong Gi perlahan, ia kembali teringat peristiwa di kuil Kong-sim Liok si.
"Yaa tapi taruhannya nyawa, mending kalau berhadap-hadapan bertarung
secara jantan. Kebanyakan mereka meregang nyawa di kamar-kamar
penyiksaan."
"Iya...iya....lantas berapa tael yang enci mau?"
"Alaa sok kaya, setahilpun kau tak punya khan" Lagian aku ingin kau
membayarnya dengan mengajari aku ilmu auman harimau. Karena kata suhu,
khiekang kamu jauh lebih dalam dibandingkan khiekangku."
"Benarkah suhu berkata seperti itu?"
Liu Siang hanya mengangguk. Selarik senyum dikulum menambah
kecantikannya. Dan mulailah ia bercerita.
"Penghuni lembah delapan rembulan sebenarnya berasal dari pegunungan Tai
Sui san (pegunungan salju besar) yang terletak di Secuan barat. Pegunungan ini merupakan daerah perbatasan antara Tionggoan, Tibet dan Tayli, yang sering
menjadi daerah konflik. Pegunungan Tai Swat San memanjang dari utara yang
berbatasan dengan Bayan Har san hingga ke selatan berbatasan dengan propinsi Yunnan. Pegunungan yang terletak di antara dua sungai besar Yalong dan
Linsha ini memiliki perbukitan yang sebagian besar adalah puncak-puncak salju abadi. Tak heran jika ada yang menyebutnya sebagai negeri salju."
"Negeri salju?"?"
"Ya benar! Di negeri ini pernah berdiam seorang maestro dunia persilatan waktu itu yang bernama Lau Cin Shan, meskipun hanya beberapa hari. Pada saat itu
Lau Cin Shan diterjunkan ke medan pertempuran sebagai penasihat perang
kerajaan Tang, menghadapi pasukan Tibet yang didukung oleh Buthan. Saat itu
ia bertemu dengan seorang gadis dan berkenalan. Singkat kata ia kemudian
berkenalan dan menikah dengan wanita yang bukan lain anak kepala suku di
wilayah itu. Dari hasil perkawinannya ia meninggalkan keturunan yang bernama Lau Shu Han. Tak lupa Lau Cin Shan mewariskan berbagai ilmu untuk
keturunannya melalui isterinya. Pernikahannya dengan anak kepala suku negeri salju itu sangatlah aneh, karena negeri salju sendiri berdiri di belakang Tibet, sehingga mestinya ia berhadapan dengan suku itu sebagai musuh. Namun cinta
mengatasi semuanya. Bahkan demi menjaga kehormatannya yang dituduh
membelot, Lau Cin San rela mengorbankan jiwa dalam peperangan itu. Bagi
penduduk Hu Nan, Lau Cin San tetaplah harum dikenal sebagai seorang
pahlawan. Namun bagi musuh-musuhnya ia adalah pembelot. Entah yang
manakah yang benar."
"Lalu kenapa mereka tinggal di sini?"
"Mereka lari mencari tempat yang tersembunyi agar tidak dapat ditemukan oleh musuh mereka. Meskipun dalam pertemuan terakhir mereka mengalahkan
musuh besar mereka, namun saat itu tokoh terlihai mereka lenyap."
"Wah ancaman besar bagi kita, ci! Apakah kita tidak membentuk pasukan
tandingan?"
Tentu saja sejak dulu juga sudah dibentuk oleh putera Cin Shan. Lau Shu Han
tumbuh besar menjadi seorang ksatria dan bersama dengan empat saudara
seperguruannya yang memiliki she Yung, Kim, Shu dan Toan di bawah asuhan
ibunya, ia mendirikan klan ksatria salju. Tujuan dibentukkan klan ini adalah mempertahankan negeri salju sebagai daerah otonom. Pada masa Lau Shu Han,
negeri salju mencapai puncak kejayaan dan benar-benar menjadi daerah
otonom. Namun seiring waktu, pembentukkan klan ini menimbulkan reaksi
berlebihan dari lawan-lawan mereka, sehingga negeri salju selama puluhan
bahkan ratusan tahun setelahnya menjadi kawasan konflik."
"Daerah otonom" Kawasan konflik" Aduh cici, tolong gunakan istilah yang aku
pahami!" "Gi te, kamu harus lebih rajin belajar! Biar jadi orang cerdas!"
"Iya..iya deh, aku janji akan lebih giat belajar biar jadi anak cerdas seperti cici."
"Benarkah aku cerdas Gi te" He he he, makasih ya pujiannya, sayang neh gak
ada uang receh."
Keduanyapun kemudian tertawa.
"Eh, sebenarnya siapakah musuh besar itu?"
Liu Siang kembali melanjutkan ceritanya.
"Musuh utama negeri salju ini adalah kelompok tengkorak hitam. Seratus tahun silam, menjelang akhir masa dinasti Tang, dibentuklah sebuah kelompok milisi untuk menghadapi perlawanan musuh-musuh Tang. Salah satu kelompok yang
beroperasi di wilayah yang dikuasai kerajaan Tayli dan sekitarnya termasuk
negeri salju adalah kelompok tengkorak hitam.
Kelompok tengkorak hitam adalah kelompok iblis yang paling ditakuti di wilayah itu, bahkan kelihaiannya diakui oleh pesilat Tionggoan. Kelompok ini punya
pasukan iblis berani mati yang menggunakan topeng tengkorak. Topeng
memang benar-benar tengkorak nenek moyang mereka yang dilapisi besi yang
dapat melindungi kepala. Kelompok ini dibentuk oleh Wan Cun Ming seorang
mantan mata-mata kerajaan Tang. Cun Ming ternyata memiliki agenda
tersendiri, karena ia mendendam kepada Lau Cin Shan yang telah membunuh
kakeknya. Wan Cun Ming adalah iblis bertangan besi dalam menghadapi orang-
orang dari negeri salju. Dalam masa kepemimpinannya ia telah membantai tak
kurang dari lima ratus orang yang tinggal di negeri salju. Kelihaiannya sungguh luar biasa, bahkan dianggap sebagai jelmaan iblis itu sendiri. Kelima ksatria salju tewas satu persatu di tangannya. Api permusuhan yang disulut Wan Cun Ming
menjadi dendam hingga tujuh turunan. Kekalahan dan kemenangan silih
berganti di antara dua kelompok (tengkorak hitam musuh keturunan ksatria
salju). Menjelang keruntuhan masa lima dinasti dan sepuluh kerjaan, runtuh pula pondasi negeri salju, bahkan keturunan ksatria terakhir waktu itu yang dipimpin oleh Yung Ci terpaksa melarikan diri hingga ke lembah delapan rembulan.
Dendam membuat Yung Ci memperkuat diri di pengasingan. Menjelang
berakhirnya pemerintahan Kaisar Petama Sung yang berjuluk Sung Tai Cu,
pasukan Yung Ci mampu menakhlukkan pasukan tengkorak hitam. Bahkan dua
dari tiga cucu Wan tewas ditangan puteranya. Belajar dari siklus dan melihat tanda-tanda alam dengan mata bathinnya guru Wang yang bukan lain adalah
Yung Ci dapat merasakan waktu pembalasan dari tengkorak hitam sudah dekat."
"Lantas kenapa di belakang istana terdapat gua yang berisi penjara?"
"Gi te, hati-hati kamu, di sana dikurung tokoh-tokoh yang tidak mau bekerja
sama dengan kita, mereka tidak dilepaskan karena kawatir akan membocorkan
rahasia lembah ini ke kalayak ramai, dan akibatnya jika didengar oleh tengkorak hitam, akan sangat berbahaya sekali."
"Ooo....orang selihai suhu masih cemas menghadapi mereka, apakah mereka
memang benar-benar sakti?"
"Tak seorangpun tahu, tapi menurut Cit Tiauw (burung hantu ke tujuh), puncak pertikaian kedua belah pihak akan pecah dalam waktu dekat, karena sesuai
dengan perjanjian nenek moyang mereka, pertikaian ini akan berlangsung
selama tujuh turunan, dan turunan terakhirlah yang akan menyelesaikannya."
"Siapakah keturunan terakhir itu" Apakah suhu dan Kiu Tiauw?"
"Bukan! Keturunan terakhir ksatria salju adalah generasi cucu mereka, karena mereka adalah keturunan kelima."
"Berarti kamu kan cici" Bukankah kamu cucu dari suhu?"
"Bukan, aku bukan cucunya."
Tiong Gi terperanjat mendengar pengakuan Liu Siang, sampai detik ini ia masih menganggapnya begitu, kiranya dulu ucapan Liu Siang hanya gurauan. Tapi dia
menjadi heran karena tidak melihat perubahan ekspresi di wajah Liu Siang.
"Benarkah begitu" Lantas siapakah orang tuamu?"
"Aku tidak tahu. Menurut suhu, ia mendapatkan diriku berada di bawah
tumpukan jerami makanan kuda yang terlempar dari gerobak. Sedang seluruh
keluargaku telah meninggal semua. Tak ada orang di sekitar tempat ini yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenal keluarga kami."
"Cici, kamu tidak tampak sedih sudah tidak memiliki orang tua lagi."
"Gi te, semua orang yang disini adalah pengganti orang tua kita. Aku juga punya bibi pengasuh yang didatangkan oleh suhu. Lagi pula belum tentu memiliki
orang tua keadaannya lebih baik dari yang kita rasakan sekarang."
*** Lima bulan berlalu tanpa terasa, meskipun Tiong Gi harus berjuang keras
mengatasi musim salju yang sangat luar biasa dinginnya. Akhirnya setelah
tinggal di lembah itu selama setengah tahun, datanglah susim semi yang indah.
Bunga-bunga yang elok bersemi. Saat itu umur Tiong Gi sudah empat belas
tahun. Ia tumbuh menjadi pemuda yang bertubuh tegap, wajahnya agak bulat,
alisnya tebal, rahangnya kokoh, matanya agak lebar. Di ruang depan istana
delapan rembulan, ia berlutut di hadapan suhunya. Saat itu suhunya sedang
memberi pesan-pesan yang sangat penting.
"Tiong Gi, beberapa hari yang lalu tiga dari Kiu Tiauw Kwi telah datang. Kami kemudian berembug untuk menentukan rencana kedapan, dan aku sudah
berketetapan untuk menunjukmu sebagai ahli waris ilmu-ilmu ksatria salju
dengan tugas yang berat. Untuk itu maka kami berlima akan membawamu ke
gua harimau salju di puncak Gongga Ma. Saat ini adalah waktu yang tepat.
Kalau kita berangkat dalam waktu dekat dan sampai di sana pada saat musim
panas, kau akan dapat menyesuaikan diri, dan kita bisa berlatih selama
beberapa bulan sebelum musim salju tiba. Dan pada saat musim salju kamu
akan menjalani latihan terakhir," ujar guru Wang, sambil matanya mengatup, ia masih melamunkan peristiwa tadi malam. Masih terngiang-ngiang
percakapannya dengan tiga Kiu Tiauw Kwi yang baru saja datang. Percakapan
yang menuntut ia mengambil keputusan yang disampaikan ke Tiong Gi.
"Bagaimana dengan Siang cici, apakah dia akan ikut?"
"Tidak, dia akan dididik oleh lima dari Kiu Tiauw Kwi di sini."
"Dan kamu harus berjanji padaku Tiong Gi, apapun yang terjadi pada kami kau
harus mentaati perintahku."
"Taecu berjanji suhu!"
"Ingatlah Tiong Gi, nyawa tidak ada artinya bagi kebenaran dan keadilan."
"Taecu mengerti suhu!"
Setelah bersiap, maka pada malam hari itu juga mereka berangkat. Berbeda
dengan saat datang, ketika keluar meninggalkan lembah, Tiong Gi dibiarkan
berlari sendiri. Meskipun gingkannya sudah maju pesat, namun tetap ia masih
ngos-ngosan mengikuti gerakan mereka berlima yang berkelebat secepat kilat."
Yung Ci Tianglo dan keempat Tiauw Kwi memang sengaja menguji
perkembangan Tiong Gi, dan mereka sangat puas. Malam itu kalau ada orang
yang melihat berkelebatnya enam bayangan keluar dari hutan rawa bangkai
pasti akan lari ketakutan, mengira bayangan itu adalah setan.
Mereka berenam kemudian bergerak menuju ke barat. Perjalanan dilakukan
lewat darat, karena tak ingin menarik perhatian orang mereka melakukan
perjalanan dengan jalan kaki seperti orang awam. Karena dilakukan dengan
jalan darat maka perjalanan itu menempuh waktu satu bulan. Setelah sampai di lembah bunga kiok, Yung Ci Tianglo memerintahkan dua diantara Tiauw Kwi
melanjutkan perjalanan ke Tai Swat san untuk mencari murid, sedangkan
mereka mendaki ke Gongga Ma.
"Cit Tiauw dan kamu Pat Tiauw, lanjutkanlah perjalanan kalian berdua ke Tai
Swat san untuk mencari bibit-bibit yang bisa kita didik menjadi generasi penerus.
Tidak perlu banyak-banyak yang penting kejujuran dan bakatnya. Pergilah lewat sungai Yalong."
"Baik suhu!"
Mereka kemudian berpisah di lembah itu.
Gunung Kongga atau dalam bahasa daerah setempat dikenal dengan Minja
Konka, merupakan salah satu dari tiga puncak tertinggi di luar wilayah himalaya.
Puncak ini memiliki salju abadi yang menyelimuti kawasan di atas ketinggian
lima li. Untuk mendaki ke puncak ini sungguh sangat sulit dan berbahaya karena punggung-punggung bukit karang yang curam yang langsung berbatasan
dengan jurang-jurang yang terjal. Di salah satu dinding bukit yang menghadap ke selatan terdapat gua yang dikenal dengan gua harimau salju. Dinamakan
demikian karena dulu pernah dijadikan sarang harimau. Ada tiga gua yang
berdampingan dan satu gua yang agak jauh, gua yang nyaris tak terjamah
karena sulitnya jalan menuju ke gua itu. Ketika menuju ke sana, mereka harus merayap dan merangkak, saking terjalnya. Dari luar gua itu sangat sempit
namun setelah masuk makin lebar. Jika gua itu terus dimasuki akn tembus ke
sebuah lembah yang dikelilingi oleh tebing salju yang curam persis tempat di lembah delapan rembulan.
Hari pertama latihan, Tiong Gi harus melakukan semedi di luar gua selama satu jam. Meski hanya satu jam rasanya setahun aja. Embun yang menerpa wajah
dan rambutnya dalam waktu beberapa menit telah berubah menjadi es. Kulit
tubuhnya yang terpapar udara mulai memerah. Seluruh tubuhnya menggigil,
sampai gigi atas beradu dengan gigi bawah namun dia tetap coba bertahan,
tidak mau mengeluh sama sekali. Setiap minggu latihan ditambah, demikian
terus menerus sampai satu bulan lamanya, makin lama makin sulit jurus-jurus
yang harus dikuasai dan makin lama bertahan di bawah kabut salju. Tiong Gi
hampir menjadi kaku oleh rasa dingin.
Tak ada waktu untuk berleha-leha bagi Tiong Gi. Setiap hari selalu digunakan untuk berlatih. Jika tidak berlatih silat, maka ia belajar ilmu surat. Demikian terus menerus kegiatan yang menjadi rutin. Yung Ci Tianglo dan Tiong Gi sendiri tidak perlu repot-repot mencari makan, karena dua Tiauw Kwi siap bertugas melayani kebutuhan mereka.
Bagaimanapun hidup di luar rumah tempat tinggal yang paling nyaman,
merupakan perjuangan tersendiri. Apalagi menghadapi cuaca yang sangat
ekstrim dinginnya. Setelah sebulan mereka yang tinggal disitu mulai dihinggapi kejenuhan. Tiong Gi yang semula mencoba untuk bertahan mulai menunjukkan
kerewelan. "Suhu, masih berapa lama lagi kita tinggal di sini?"
"Tiong Gi, latihan kamu masih belum ada apa-apanya. Kita masih harus
menunggu musim dingin. Semoga di musim itu kita dapatkan badai salju, pada
waktu itu kamu harus mampu bertahan semalam suntuk. Kalau kamu mampu
bertahan maka ilmu Swat im soan hong sin ciang sudah akan kamu kuasai pada
tingkatan kedua, tinggal sedikit pematangan untuk mematangkan keselarasan
gerak dan tenaga maka di akhir pertapaan kita kamu sudah mencapai tingkatan
tiga, dan itu hasil yang luar biasa karena aku dulu menguasai tingkat dua pada usia duapuluh tahun, sedangkan tingkat tiga pada usia dua puluh lima tahun!"
"Suhu, taecu sudah bosan!"
"Ingat Tiong Gi, kau harus membulatkan tekad. Di hadapanmu kelak akan
bermunculan musuh-musuh yang memburumu. Ataukah kau akan lari menjadi
seorang pengecut?"
Nasihat-nasihat Yung Ci Tianglo awalnya dapat diresapi dengan baik oleh Tiong Gi. Namun ia adalah manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan.
Memasuki minggu kedua musim dingin, rasanya ia sudah tak mampu bertahan
lebih lama dari satu jam.
"Suhu aku kedinginan, aku tak tahan lagi," seru Tiong Gi yang sudah sulit
bertahan. Sudah dua hari ia tak mendapat asupan daging, hanya roti tawar saja yang dimakannya. Tubuhnya terguling, sehingga ia menghentikan latihannya
dan masuk ke gua, dengan merayap.
"Bertahanlah! Kemarin kamu bisa bertahan dua jam, kenapa sekarang malah
lebih mundur. Kiu Tiauw baru saja datang, dan ia membawa daging. Kami baru
saja mau mempersiapkan pembakaran! Hayo kembali lagi!!" seru Yung Ci keras.
"Taecu sudah tidak kuat......! Taecu mau pulang saja, suhu," rengek Tiong Gi sambil tubuhnya telentang.
Yung Ci saat itu sedang sibuk membuat api, namun sudah beberapa kali
mencoba masih belum nyala, meskipun ia sudah menggunakan tenaga
lwekangnya. Maka mulailah timbul kekesalannya. Ia sebenarnya juga merasakan
malam itu suhu tiba-tiba turun dengan sangat drastis. Tapi sedingin itu masih belum apa-apa dibandingkan nanti waktu puncak-puncaknya. Kekesalannya
seakan-akan dapat muara.
"Anak bodoh! Kami semua disini berjuang dan bertahan demi kamu, tapi kamu
males-malesan. Hayo keluar!" bentak Yung Ci.
"Desss!" sebuah tendangan membuat tubuh Tiong Gi melayang kembali ke luar.
Ia merasakan seluruh tubuhnya ngilu-ngilu saking dinginnya, bahkan otot
kakinya sudah sulit digerakkan karena kram. Tak biasanya suhunya bersikap
seperti itu. Bentakan Tendangan itu meskipun perlahan, dan tidak mengandung
tenaga keras, namun cukup membuat dadanya tambah nyeri, sehingga ia makin
kesulitan mengatur nafas. Ketika sudah sulit bertahan ia kembali merayap ke
dalam. Untung saat itu api sudah mulai menyala sehingga sampai di pintu
guapun ia sudah bisa merasakan hawa yang lebih hangat. Tapi siapa sangka
suhunya sudah menunggu di mulut gua.
"Tiong Gi, seorang ksatria harus siap menghadapi maut tanpa keluhan. Kamu ini anak macam apa, baru sebentar sudah merengek-rengek minta berhenti!"
"Su...hu...taecu...sudah...tak tahaan.....!"
"Keparat, berani melawan perintah guru!" seru Yung Ci dengan mata melotot,
nafasnya mulai tak beraturan, pertanda kemarahan mulai menguasainya.
Sekejap kemudian tangan kanannya terangkat dan "Plaaakk!" bunyi benturan
tapak tangan dan lengan terdengar cukup keras, meskipun keduanya tidak berisi sinkang.
"Kiu Tiauw, kau.....ahh!" ucapan keras Yung Ci berubah keluhan pendek.
Rupanya tadi tangan Kiu Tiaauw yang menangkis tamparan Yung Ci. Begitu
menyadari dirinya telah dikuasai nafsu amarah tersadarlah Yung Ci.
"Suhu, ampunkan taecu, bersabarlah, ingatlah pada Yung Lu," jawab Kiu Tiauw
sambil memeluk pinggang Yung Ci dan menariknya ke dalam.
Tampak setitik air mata di pelupuk kedua lelaki tua ini yang tak dicoba untuk diusap. Sebenarnya Kiu Tiauw dan Yung Ci seumuran. Namun karena Kiu Tiauw
belajar pada Yung Ci, maka ia memanggil suhu padanya. Kiu Tiauw segera
merawat Tiong Gi yang mengeletak pingsan di luar. Sedangkan Yung Ci
menyendiri melakukan semedi. Berbagai perasaan berkelebat di hatinya.
Pikirannya menerawang jauh mengingat salah satu puteranya yang disebut Kiu
Tiauw, Yung Lu.
Musim dingin di Kongga san sangatlah dingin luar biasa. Angin bertiup sangat kencang, sedangkan salju turun hampir tiap hari, membuat pemandangan yang
sudah putih menjadi semakin berkilauan bagaikan perak. Mendung dan kabut
tidak pernah meninggalkan puncak pada musim itu, hingga siang malam sulit
dibedakan. Latihan Tiong Gi sudah hampir mendekati saat-saat terakhir, karena sebentar
lagi puncak musim dingin yang ditandai dengan datangnya badai salju. Selama
dua minggu Tiong Gi sudah mampu bertahan lebih dari empat jam berdiam di
luar gua. "Tiong Gi, dalam dua tiga hari mendatang badai salju akan tiba, saat itu kau harus melakukan latihan di puncak bukit harimau itu. gunakan seluruh
kemampuanmu untuk tetap bertahan, dan jika kau sudah tidak tahan lagi,
biarlah dirimu memasuki badai, menyatulah dengan arus aliran angin
kemanapun ia bergerak, seraplah unsur im sebanyak kamu mampu dan biarkan
aliran hawa ini menyelimuti tubuhmu. Jangan melawan dan tetaplah konsentrasi.
Yakinlah Thian akan melindungimu."
Puncak harimau (Hauw swat teng) adalah puncak tertinggi ke lima yang terletak di sebelah timur dari Kongga san. Pada musim dingin jalan menuju puncak ini
bisa di kelilingi oleh timbunan-timbunan salju setinggi sepuluh meter. Bagi
manusia biasa melewati timbunan salju seperti ini haruslah menggunakan tali.
Pagi-pagi sekali Tiong Gi sudah bersiap menuju ke puncak. Yung Ci sudah dari fajar berada di luar gua, memusatkan seluruh panca indera dan segenap
kemampuan bathinnya. Hatinya agak bergetar demi merasakan cuaca
sedemikian tenangnya, setelah seminggu lebih badai selalu mendera dari arah
barat. Ketenangan yang merupakan pertanda bahwa badai yang akan datang
memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Sebenarnya ia ragu untuk melepas
Tiong Gi, namun ia sudah membulatkan tekad, kembali bersama atau tinggal di
situ selamanya.
Tiong Gi perlahan-lahan mendaki jalur yang sudah ditetapkan oleh suhunya. Ia dipesankan untuk tidak menggunakan ginkang menghambur-hamburkan tenaga.
Tepat sore hari ia sudah sampai di puncak dan segera bersila melakukan semedi seperti yang diajarkan suhunya. Sampai pukul sembilan malam cuaca masih
sedemikian tenang. Langit berkabut. Menjelang pukul sepuluh tiba-tiba cuaca
berubah, mendung mulai menebal, angin datang berkesiuran susul menyusul
berputaran. Sepenanakan nasi kemudian badai salju datang mengamuk. Suara
guntur dan angin puting beliung yang datang silih berganti memekakkan telinga.
Dua kekuatan angin dari barat dan timur bertemu menghasilkan pusaran badai
yang sangat dasyat. Es putihpun tercurah seperti butiran-butiran kerikil jatuh dari angkasa, disusuli kemudian pusaran angin yang membawa bongkahan-bongkahan salju berputar-putar menghantam apapun yang dihadapinya. Tiong
Gi mulai memainkan jurus-jurusnya dengan baik, gerakannya sangat sempurna,
sesuai pesan suhu ia bergerak mengikuti arus putaran badai. Tenaganya diatur sedemikian rupa menyesuaian dengan hantaman-hantaman topan. Selama
hampir dua jam ia terus menerus melatih ilmunya, baik secara tangan kosong
atau dengan menggunakan pedang. Tepat tengah malam badaipun memuncak,
pusaran angin yang semula simpang siur mulai menyatu membentuk kekuatan
dasyat menyapu segala yang ada.
Angin dingin yang menderu-deru itu seperti roh-roh gentayangan yang berpesta pora menyanyikan lagu yang memekakkan telinga. Manusia mana yang bisa
berdiri menyombongkan hartanya, kedudukan, kecantikan atau kegagahannya di
tengah-tengah kekuasaan alam yang yang takluk diatur oleh satu tangan yang
tidak kelihatan, tangan Sang Pencipta.
Tiong Gi mulai memainkan jurus-jurus baru yang dipelajarinya, dewa salju
membuka gerbang (Swat sian kuan men) dengan jurus ini gempuran badai tak
dilawan, bahkan dirinya menyatu dengan kekuatan maha dasyat yang
diperlihatkan oleh badai, karena gerbang pintu masuk kekuatan luar telah
dibuka. Tubuh Tiong Gi-pun terhempas badai terbawa berputar-putar mengikuti
kemanapun arah pusaran. Kadang-kadang badai melontarkannya tinggi ke
angkasa bertombak-tombak dari bumi, melewati puncak-puncak bebukitan,
kadang menghempaskannya ke onggokan salju dan menyeretnya berli-li
jauhnya. Yung Ci berdiri tegak di pintu gua, mulutnya berkemak-kemik memanjatkan
do"a. Badai kali ini berbeda sekali dengan badai yang dulu dialami, dinginnya dan dasyatnya sungguh membuat harapannya tinggal sekuku kelingking. Angin salju
yang menerpanya tak dirasakan. Ia tetap kokoh berdiri semalam suntuk.
Menjelang subuh badaipun reda. Dengan bergegas segera ia dan Kiu Tiauw
keluar gua menyusuri bekas-bekas badai. Sungguh bentuk permukaan gunung
telah berubah akibat badai. Punggung-punggung bukit yang sebelumnya
meruncing menjadi lebih tumpul, jurang-jurang yang dalam menjadi lebih
dangkal. Dengan membawa logam tipis yang terikat pada lingkaran kayu seperti raket ia menyusuri punggung-punggung bukit sambil melongok ke kanan dan ke
kiri. "Suhu benda apakan yang suhu bawa itu?"
"Kiu Tiauw, ini adalah besi getar. Alat ini berguna untuk mencari benda hidup.
Aku mendapatkannya dari Turki. Jika melewati daerah yang bersuhu panas ia
akan bergetar."
Kiu Tiauw melihat benda yang berbentuk aneh itu. Suhunya menyusuri jalanan
sambil tangannya menggerak-gerakkan gagang besi getar ke kanan dan ke kiri.
Mereka mencari-cari di sekitar puncak harimau. Secara bergantian mereka
berteriak-teriak memanggil Tiong Gi. Seharian mereka mencari ke sana ke mari, tanpa hasil. Tiong Gi tak ketahuan jejaknya sama sekali.
"Ia sepertinya telah terkubur suhu," kata Liu Tiauw.
"Tidak...tidak, aku masih merasakan getaran kehidupannya, meskipun lemah
dan jauh," jawab Yung Ci yakin.
Ketika senja tiba, cuaca mulai remang, mereka kemudian memutuskan untuk
menuruni puncak menuju ke barat, sesuai dengan arah angin badai. Hampir
sepenanakan nasi kemudian, setelah baru saja matahari tenggelam, mereka
baru menemukan jejak Tiong Gi, berupa potongan kain yang dipakainya.
"Suhu....taecu menemukan potongan kain, bukankah ini yang dipakainya?"
"Aa.. benar...benar memang itu kain yang dipakai olehnya, ayo kita cari sampai dapat, sebelum hari benar-benar menjadi gulita."
Sepeminuman teh kemudian barulah besi getar menunjukkan tanda-tanda
getaran. dan memang di daerah sekitar situ terdapat sepihan kain yang dipakai Tiong Gi. Ternyata getaran itu berasal dari lembah yang cukup curam. Dengan
hati-hati mereka menuruni lembah.
"Getarannya cukup kencang di sekitar sini, ayo kita gali bagian sebelah sini,"
perintah Yung Ci.
Setelah lewat setengah jam menggali di beberapa bagian, barulah Tiong Gi
ditemukan dalam keadaan telanjang bulat. Luar biasa sekali, meskipun sudah
sangat lemah ia masih memiliki detak jantung. Yung Ci segera menyalurkan
lwekangnya. Akibat dingin yang sangat luar biasa, beberapa bagian kulit tubuh Tiong Gi
menghitam dan mati, meskipun Yung Ci telah melumurinya dengan cairan lemak
beruang kutub yang sangat mujarab, namun tetap saja ada bagian yang
mengalami luka. Dua minggu berikutnya Tiong Gi hanya diam menjalani
perawatan lukanya. Setelah sembuh sebulan kemudian mereka turun gunung
untuk kembali ke lembah delapan rembulan.
Empat orang itu berjalan dengan langkah gagah menyusuri tepian hutan,
meskipun pakaian yang melekat di tubuh mereka sudah kumal, tanda bahwa
mereka telah melakukan perjalanan jauh. Sudah empat hari mereka menyusuri
hutan di sebelah barat kota Ping Ho. Tiga di antaranya sudah berusia lanjut
dipimpin seorang berpakaian rapi berwajah tirus, sedang seorang lagi pemuda
yang masih remaja. Sudah seharian mereka berjalan dan berharap sebelum
senja mereka bisa menemukan desa. Namun sayang, alih-alih desa, sedangkan
rumah saja tak satupun mereka jumpai.
"Suhu sepertinya malam ini kita harus menginap di hutan," kata salah seorang dari mereka.
"Iya, sepertinya memang desa masih jauh. Coba kita cari kuil atau bangunan
kuno lainnya, Kiu Tiauw!" perintah Yung Ci
Setelah berjalan kira-kira sepenanakan nasi, tepat ketika matahasi sejengkal dari tempat peraduannya, mereka menemukan sebuah bangunan kuno, mirip sebuah
kuil atau tempat pemujaan. Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal di kuil
tua itu. Tiong Gi membersihkan kuil itu, dan mereka berjaga bergantian. Sampai fajar menjelang tidak ada peristiwa apa-apa, namun ketika semburat matahari
mulai merekah di timur. Tiba-tiba saja terdengar bentakan menggeledek dari
luar. "Yung Ci, keluarlah menerima pembalasan!"
Tiong Gi tergagap mendengar bentakan ini, namun tiga orang tua dari lembah
delapan rembulan itu dengan tenang bergegas keluar kuil. Tiong Gi sambil
mengucak-ngucak matanya mengintip dari dalam, tak terlihat adanya bayangan.
Ketiga tetua lembah delapan rembulan diam mematung sudah siap menanti.
Kiranya bentakan itu dikirim dari tempat yang sangat jauh. Dan dari kuatnya
getaran yang ditimbulkan dapat ditebak pengirimnya bukan orang sembarangan.
Yung Ci Tianglo mengeluh dalam hati karena penyamaran mereka sudah
ketahuan, bahkan sebelum orang itu sampai di depan kuil. Hal itu hanya
menunjukkan bahwa mereka telah dimata-matai.
Sepeminuman teh kemudian berkelebatan delapan sosok tubuh, bagaikan setan
saja mereka telah tegak berdiri di pelataran kuil yang ditumbuhi rumput dan
semak setinggi lutut. Saat itu cuaca yang baru terang tanah, dalam selimutan kabut tipis kehadiran kedelapan sosok ini bak hantu bergentayangan. Semua
berbaju hitam empat diantaranya berjubah panjang juga berwarna hitam, serta
bertopeng yang lagi-lagi berwarna hitam bergaris putih di pinggirnya. Yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat topeng itu mengerikan adalah bentuknya seperti tengkorak. Hanya
sorot mata dari lubang pada bagian mata yang berbentuk bulat bercat merah di pinggirnya, yang menunjukkan di balik topeng itu wajah manusia.
"Tengkorak hitam......" desis kedua Tiauw kwi tercekat. Tiong Gi menatap tak berkedip. Tak terasa bulu kuduknya meremang, manusia atau hantukaha yang
datang. Namun demi melihat tiga tetua lembah masih berdiri dengan tenang.
Iapun berusaha tabah.
Yung Ci Tianglo terbelalak demi melihat bahwa sosok yang mendatangi kuil
berbaju terngkorak hitam. Sejenak wajahnya berubah pias, namun perasaan itu
tak lama karena sedetik kemudian ia sudah bisa menguasai diri.
"Siapa kalian!" bentaknya dengan suara mengguntur. Tiong Gi yang berada di
belakangnya juga merasakan jantungnya bergetar oleh hawa khikang yang
dikeluarkan. Memang bentakan ini mengandung serangan khikang yang
menggunakan seperempat Sai cu hokang. Yang berada di belakang saja sudah
sedemikian besar pengaruhnya, bisa dibayangkan jika yang di depan. Tapi yang diserang hanya empat orang saja yang tidak bertopeng yang terlihat bergetar, sedang yang bertopeng hanya tersenyum sinis.
"Heh..heh..heh, Yung Ci tidak usah pura-pura, aku tahu nyalimu sudah terbang melihat kehadiran kami" Bertahun-tahun kau menyembunyikan diri, kalau sudah
saatnya untuk membayar hutang, takdir juga yang akan membawamu ke liang
kubur menyusul murid-muridmu yang lainnya....ha..ha..ha...., " jawab salah
seorang bertopeng yang tubuhnya paling pendek. Kiranya orang ini pimpinan
mereka. Yung Ci tercekat mendengar ucapan ini, jantungnya berdetak bagaikan ditabuh
bertalu-talu. Mata bathinnya dapat merasakan ancaman besar di lembah delapan rembulan. Kiranya orang-orang tengkorak hitam sudah mengetahui letak
persembunyian mereka di lembah delapan rembulan. Dan itu hanya berarti satu
hal: mereka yang berada di sana dalam bahaya. Yung Ci tidak memikirkan
murid-muridnya Kiu Tiauw Kwi, tapi kepalanya ruwet memikirkan nasib Liu
Siang. Dari gertakan awal, tampaklah musuh sudah lebih menang posisi.
Benarkan ucapan orang-orang tengkorak hitam" Apakah yang sebenarnya terjadi
di lembah delapang rembulan" Marilah kita ikuti peristiwa yang terjadi sejak mereka ditinggalkan Yung Ci.
Bab 10. Peristiwa di lembah
Pada saat Yung Ci meninggalkan lembah, di lembah terdapat lima Tiauw Kwi,
secara bergantian mereka menjaga lembah dan mencari bahan makanan.
Biasanya yang menjaga lembah berjumlah tiga orang. Liu Siang belajar kepada
mereka. Ia sangat rajin sekali melatih ilmu-ilmunya. Mereka juga mulai
mengajari ilmu pukulan salju kepada Liu Siang.
Pada suatu pagi di akhir musim panas, saat seperti biasanya Liu Siang sedang berlatih dengan dua orang Tiauw Kwi, yaitu orang ketiga atau Sam Tiauw dan
orang keempat atau Si Tiauw tiba-tiba terdengar suara teriakan. Teriakan terjadi di belakang istana. Demi mendengar teriakan itu, keduanya secepat kilat
berkelebat ke sumber suara. Liu Siang menyusul di belakang, namun siapa kira ketika sampai di pojokan sudut istana ia diserang secara mendadak. Rupanya
ada orang yang membokong.
"Dukk, plakk desss..! Auughhh...
Sebuah pukulan mengenai lengan, pukulan susulan masih dapat ditangkis,
namun tendangan secara telak mengenai lambungnya. Hanya keluhan pendek
yang mampu keluar dari mulut Liu Siang, karena ia langsung ditotok di beberapa titik jalan darahnya termasuh jalan darah gagu. Iapun langsung kaku tak mampu apa-apa.
"He..he..heh...anak manis, sebaiknya engkau ikut aku, sayang," rayu seorang
lelaki sambil menyeringai dan tanpa menunggu jawaban langsung mengempit
tubuh Liu Siang. sambil secara kurang ajar menowel pipi dan dada Liu Siang.
Kiranya pelakunya adalah Coa Ting murid Hoan Bin Kwi Ong.
Sementara itu di bagian belakang, di depang gua tahanan, telah berdiri sepuluh orang penghuni lembah. Tiga Tiauw Kwi sudah berhadap-hadapan dengan
sepasang sute dari Hek in Loco yang juga berjuluk Hek In Siang Houw
(sepasang harimau awan hitam). Mereka mengapit seorang kakek tua bertubuh
kate, dengan kepala kecil gundul yang sedang menotok perempuan yang bukan
lain adalah pasangan Coa Ting. Jika ditaksir usianya pasti sudah lebih dari
delapan puluh tahun. Selain tubuhnya, pakaian yang dikenakan kakek kate ini
juga aneh sekali, hanya kain yang dililit-lilitkan di bagian bawah perutnya seperti cawat, yang sudah kumal dan apak. Hanya karena kulit tubuhnya berwarna
putih saja yang membuat penampilannya tidak rombeng-rombeng amat.
Siapakah kakek ini"
Kakek ini tak lain adalah guru Hek in Siang Houw, atau susiok dari Hek in Loco, yang berjuluk Hek in Pek Houw (harimau putih awan hitam). Sebagai susiok dari Hek in Loco dapat dibayangkan betapa tinggi tingkat kesaktiannya. Puluhan
tahun silam, begitu mendengar lembah delapan rembulan dihuni oleh orang
asing ia bersama Hek in Siang Houw mendatangi lembah. Mereka memerlukan
waktu hampir dua bulan untuk dapat menembus pertahanan lembah. Dan
setelah beberapa kali mencoba akhirnya mereka dapat juga memasukinya.
Namun di dasar lembah mereka dikalahkan oleh Yung Ci dan murid-muridnya,
sehingga kemudian dipenjarakan. Setelah sekian tahun, Hek in Siang Houw
menyatakan tobat dan bersedia bekerja sama, sehingga ia dibebaskan dari
penjara dan dibiarkan berkeliaran bebas di lembah. Kiranya tobat itu palsu
belaka, karena pagi ini mereka membebaskan guru mereka dan bersekongkol
untuk keluar dari lembah.
Di belakang kakek kate ini ada nenek yang bertubuh kecil ramping. Mukanya
putih pucat namun rambutnya masih hitam lebat. Nenek ini juga bukan orang
sembarangan, karena dia adalah sumoi dari Hoan bin Kwi Ong. Julukannya Pek
Bin Hek Mau Kwi bo. Mengapa ia membiarkan begitu saja murid keponakannya
ditotok. Meski hanya sekilas namun ketiga Tiauw Kwi sadar mereka telah
dikhianati. Apalagi ketika melihat kedatangan Coa Ting yang mengempit tubuh
Liu Siang, jelaslah apa yang telah terjadi.
"Coa Ting, lepaskan Liu Siang! Aku bersumpah akan membeset kulitnya sekerat
demi sekerat jika kau berani seujung rambutpun mengganggunya!" bentak Si
Tiauw yang paling sayang kepada Liu Siang dengan suara menggeledek.
"Hik..hik...hik....lihat Pek Houw betapa lucunya orang-orang Tibet ini. Sudah tahu posisinya sangat tersudut masih berlagak sok kuasa, sungguh kepongahan
yang menjemukan," ujar nenek Hek mau Kwi bo.
"Heh..heh..heh...Kwi bo manis, kamu tidak tahu di dalam hati mereka sudah
dirasuki ketakutan yang disembunyikan kek...kek...kek...,"jawab Pek Houw.
Betapa marahnya ketiga Tiauw Kwi itu, namun mereka tetap berusaha
menguasai diri, karena kemarahan adalah pangkal kekalahan dalam
pertandingan silat.
"Dengarkan heh kalian setan keparat, jangan kalian kira mudah keluar dari sini.
Melangkahi kami bertiga saja belum tentu kalian sanggup. Hayo kalau memang
kalian ingin mencoba-coba kelihaian lembah delapan rembulan, majulah!" ujar
Sam Tiauw yang saat itu jadi pimpinan mereka. Begitu selesai berkata dengan
secepat kilat sudah melompat kedepan menyerang Pek Houw. Pek Houw yang
dijadikan sasaran serangan tidak menduga sama sekali. Sebagai kaum persilatan yang sudah puluhan tahun terjun di Bu Lim, ia tidak terbiasa menghadapi
serangan tiba-tiba dari kaum yang mengklaim diri pendekar, sebaliknya
kelompok merekalah yang biasa menggunakan cara-cara curang seperti itu. Tapi kali ini Sam Tiauw sudah kepalang marah, sehingga tak lagi mengindahkan
segala aturan yang sering justru membelenggu diri sendiri.
Kakek kate itu tidak sempat berpikir panjang mengapa Sam Tiauw melakukan
serangan pengecut seperti itu, karena hawa pukulan yang sedemikian dingin
sudah menimpanya. Dengan sigap ia menangkis.
"Plak wuiss.....!"
Tanpa diduga oleh siapapun begitu ditangkis tubuh Sam Tiauw seakan-akan
terpelanting ke arah Coa Ting. Sekonyong-konyong tubuh yang tiba-tiba ada di depan Coa Ting sudah melakukan serangan yang sangat dasyat, yang dari hawa
pukulannya saja sudah mampu mengurung Coa Ting, sehingga ia sudah tidak
mampu berkelit kemanapun. Coa Ting sudah mencoba menangkis tapi
terlambat. Kiranya dengan menggunakan ilmu memindah tenaga lawan, Sam
Tiauw sengaja memukul untuk mengambil tenaga tangkisan untuk menyerang
sasaran utama. "Duggg...! Augghh....!" tubuh Coa Ting terlempar dua tombak dan langsung
muntah darah. Masih untung sepasang Hek in Siang Houw sudah berada di
belakangnya, dan langsung menyambar tubuh itu sehingga tidak jatuh di tanah.
Begitu tangan kirinya memukul Coa Ting, tangan kanan Sam Tiauw mencoba
merebut Liu Siang. Namun baru saja Liu Siang berpindah tangan, sekonyong-
konyong nenek rambut hitam sudah melancarkan serangan ke Sam Tiauw. Dua
Tiauw kwi lainnya juga terkejut melihat serangan yang sangat cepat ini, hingga mereka hanya mampu berteriak mengingatkan suheng mereka.
"Awasss!, teriak Si Tiuw.
"Plakkk....bugg!"
"Ayaaa.......celaka....," teriak Sam Tiauw, demi melihat Liu Siang telah terkena pukulan. Ia juga tidak menduga mendapat serangan dari nenek itu, serangan
pertama masih dapat di tangkis. Tangkisan itu sebenarnya sudah membuat
tubuh nenek itu terpelanting. Namun seperti sudah menduga akan terpelanting, justru dari bawah ia kembali melancarkan serangan kedua. Kali ini yang diserang adalah Liu Siang. Tangan nenek rambut hitam ini sebenarnya tidak sampai
menyentuh, namun hawa pukulan tapak kelabang yang dilancarkan sudah
mampu melukai Liu Siang. Sam Tiauw hanya sempat mengegoskan tubuh Liu
Siang sehingga serangan ke arah dada dapat dihindari. Namun luka pukulan
yang mengenai pangkal lengan juga sangat berbahaya. Dapat dibayangkan jika
pukulan itu menyentuh langsung ke kulit.
"Keparat katak busuk! Beraninya kalian bermain curang menyerang murid kami.
Hayoo berikan penawar racunnya," seru Si Tiauw yang langsung menyerang
nenek rambut hitam. Namun sebelum mengenai nenek itu, kakek kate Pek Houw
sudah menangkisnya. Keduanya sama-sama terdorong satu langkah. Betapa
kagetnya Si Tiauw merasakan tangkisan kakek kate itu. Dulu waktu pertama kali datang ia masih satu tingkat di atas kakek kate itu, siapa nyana kini kakek kate itu sudah memperoleh banyak kemajuan.
"Tahaan...tahaan...!" seru kakek kate sambil menangkis serangan Si Tiauw.
"Sam wi Tiauw Kwi, apakah kita akan menyelesaikan pertarungan ini dan
membiarkan murid kalian sekarat meregang nyawa, atau kalian mau bicara baik-
baik" Ingat nyawa murid kalian sudah diujung tanduk," seru Pek Houw.
Sam Tiauw yang memang berwatak keras, sudah hendak mengambil tindakan.
Namun ia menyadari posisinya tidak menguntungkan. Nyawa Liu Siang jadi
taruhannya. "Hmmm..katakan apa mau kalian?"
"Tentu saja kami ingin kebebasan, kalau kalian mengantar kami keluar, kami
akan berikan obat penawarnya!" jawab Pek Hauw tak kalah sengitnya.
Sam Tiauw menoleh ke kedua saudaranya. Si Tiauw menggelengkan kepala
sedang Go Tiauw membisikkan sesuatu.
"Kami akan beri kebebasan kepada Pek Bin Hek Mau Kwi bo, jika ia bisa
menyembuhkan Liu Siang, dan ia boleh membawa serta kedua muridnya," kata
Sam Tiauw tegas.
Si kate terkesiap mendengar jawaban seperti ini, sungguh berbahaya jika nenek muka pucat itu menerimanya. Ia makin mendongkol demi melihat si nenek
tersenyum-senyum penuh kemenangan. Ketika nenek itu menoleh lantas saja ia
melotot kepadanya.
"Ha..ha..ha...tak disangka Kiu Tiauw Kwi yang namanya terkenal gagah bisa
mengajukan usulan keji untuk memecah belah kami, kalau memang gagah hayo
bertanding sampai mampus," tantang Pek Houw. Nenek rambut hitam
menyadari betapa berbahanya jika ia terpecah dengan rombongan Pek Houw
"Hmmm kalau itu kehendak kalian, baiklah berapa jago kalian yang akan kalian ajukan."
"Empat lawan dua, empat dari kami, dua dari kalian," jawab kakek kate itu
penuh keyakinan.
"Kalau seperti itu tentu saja sulit menetukan pemenang kalau hasilnya satu "
satu. Begini saja, tiga lawan enam!"
Pek Houw diam sejenak, ia coba hitung-hitung kemungkinannya. Akhirnya ia
mengangguk. "Baiklah tiga lawan enam, tapi kalian dulu yang mengajukan jago."
Sam Tiauw berfikir sejenak. Dari tantangan ini sepertinya musuh ingin
mengambil poin kemenangan pertama. Kalau ia mengajukan Go Tiauw, maka
kekalahan dari pihaknya sudah dapat diperkirakan dari awal. Sebaliknya kalau ia maju lebih dulu mungkin dapat musuh yang terlalu empuk, "Hmmm aku harus
mengajukan Si te lebih dahulu!" pikirnya.
"Baiklah, kami akan mengajukan jago terlebih dahulu, namun untuk
pertandingan pertama, pihak pemenang yang harus mengajukan jago lebih
dahulu. Si te, majulah!"
Si Tiauw-pun maju. Pek Houw agak terkejut melihat yang maju Si Tiauw. Ini
diluar perhitungannya, karena kalau yang maju pertama Go Tiauw pihaknya
akan mengajukan pihak nenek muka pucat dan muridnya untuk mengambil
keuntungan pada pertandingan pertama, begitu yang maju Si Tiauw, ia ragu
untuk maju terlebih dahulu. Maka ia tetap mengajukan nenek muka pucat dan
muridnya. "Dari pihak kami, Pek Bin Hek Mau Kwi bo dan muridnya."
Kiranya, pihak Pek Houw tak mau kepalang. Kepalanya bergerak memberi kode
supaya kedua murid keponakan nenek muka putih itu maju semua. Coa Tingpun
terpaksa ikut maju meskipun telah terluka sebelumnya.
"Biarlah biksu Bu Kong menjadi wasitnya!" seru Sam Tiauw.
"Baik marilah kita mulai, silahkan kalian menyerang lebih dahulu. Tapi apakah bersenjata atau tidak"!"
"Huh, jangan mengejek kami, sejak kami kalian kalahkan belasan tahun silam
kapan kami pernah menggunakan senjata, tapi kalian juga tidak boleh
menggunakan senjata!"
Dengan majunya Si Tiauw, maka justru pertandingan pertama menjadi penentu
kemenangan. Siapapun yang dapat memenangkan pertandingan ini dapat
dipastikan akan memetik keuntungan. Maka dapat dipastikan pertarungan ini
mejadi sedemikian seru. Nenek muka putih dan kedua muridnya bahu membahu
melakukan serangan bertubi-tubi ke Sam Tiauw. Kedua tangan mereka penuh
berisi tenaga pukulan yang mengandung racun. Hanya sayang, meskipun dari
sisi tenaga lweekang mereka bertiga memperoleh kemajuan hebat saat di
lembah, namun kekuatan racunnya justru sangat berkurang drastis, sejak di
lembah mereka tidak dapat lagi berlatih dengan merendam tangan dalam cairan
beracun terutama racun kelabang sebagaimana mestinya. Hanya sesekali saja
dengan menggunakan hewan-hewan beracun yang ada di lembah. Itupun
pukulan nenek muka pucat masih mampu melukai Liu Siang.
Si Tiauw melayani keroyokan mereka bertiga dengan mantap. Pukulan-pukulan
tangan es dilakukan dengan penuh perhitungan, di ringi gerakan Pat kwa tiauw kwi ciang hoat yang didasarkan pada Pat kwa sin tiauw ciang hoat sehingga
kedudukannya tidak menjadi terdesak. malah kadang-kadang dengan
kelincahannya ia bisa balik memberikan serangan seolah-olah ada delapan
burung hantu yang mematuk-matuk mangsa.
Serang menyerang makin seru dan menegangkan. Wajah Pek Houw bersungut-
sungut penuh rasa mendongkol, sementara itu Sam Tiauw sibuk memberikan
perawatan pertama pada Liu Siang. Hanya Go Tiauw yang terlihat tenang.
Ketika kemudian nenek muka pucat dan kedua muridnya mengeluarkan jurus
kelabang emas terbang ke delapan penjuru (Pat hong hui kim hu ciang hoat),
maka serangan tangan dengan jari-jari yang digerak-gerakkan secara aneh
seperti cakar ini bagaikan ratusan kelabang menerjang Si Tiauw, mengeluarkan suara seperti anak panah menyambar dan didahului bau busuk seperti kelabang
beracun. Si Tiauwpun menjadi kelabakan dibuatnya. Posisinya terjepit, karena sepasang murid keponakan nenek muka pucat ini merangsek maju secara nekat.
Dengan cepat Si Tiauwpun mengeluarkan jurus naga salju menyembur api, dan
kali ini kejadian yang tak terduga oleh sepasang iblis murid Hoan bin kwi ong itu adalah tangkisan yang dilontarkan oleh Si Tiauw bersifat panas, kebalikan dari ilmu pukulan saljunya. Keduanya menjadi terpelanting, namun kemudian dengan
gerakan merayap yang aneh seperti gerakan kadal mereka berdua menyerang
bagian kaki. Pada saat yang bersamaan nenek muka pucat melakukan serangan
dengan tendangan kaki dari atas. Sungguh berbahaya posisi Si Tiauw saat itu, karena serangan ke kakinya paling banter hanya satu yang dapat ditangkis. Pada waktu yang sangat kritis, sekonyong-konyong Si Tiauw melakukan gerakan
berpoksai, posisinya menjadi berjumpalitan, kedua tangannya melakukan
serangan ke sepasang suami istri yang menyerangnya dari bawah, Sedang salah
satu kakinya digunakan untuk menangkis serangan nenek muka pucat.
"Plakk...plakkk.....desss......! Augghhh...!
"Blarrr....."
Dasyat sekali pertemuan empat kekuatan ini. Kedua pukulan tangan Si Tiauw
bertemu dengan tangkisan tangan istri Coa Ting, namun Coa Ting sendiri sudah tidak sanggup menangkis. Pukulan itupun mengenai punggungnya dan Coa Ting
tewas seketika, darahpun tak bisa mengalir keluar dari mulutnya karena
tubuhnya sudah membeku. Sementara itu, pasangan Coa Ting terluka dalam
akibat pertemuan tenaga tadi, ia muntah darah.
Karena harus membagi tenaga, tangkisan kaki Si Tiauw menjadi lemah, sehingga iapun terpelanting dan jatuh dalam posisi menelungkup. Demi melihat kedua
murid keponakannya roboh tak sanggup bangun lagi Pek Bin Hek Mau Kwi bo
menjerit. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mengginjakkan kakinya ke tubuh Si
Tiauw yang sedang terjatuh. Serangan ini sungguh sangat keji karena musuh
dalam posisi tidak siap. Sungguh dasyat sekali akibatnya jika hentakan kaki ini berhasil mengenai sasarannya. Keadaan Si Tiauw sangat kritis, nyawanya
diujung tanduk. Meskipun hantaman kaki itu bisa ditangkis namun posisinya
yang ada di bawah tetap sangat rugi, karena tidak ada ruang untuk terlontar, sehingga dapat dipastikan hantaman itu akan menggencet tubuhnya.
"Wuss...desssss krotak!"
Pada saat yang sangat kritis dengan gerakan yang sangat cepat, tangan Si
Tiauw masih sempat meraih mayat Coa Ting dan dijadikan tameng untuk
menangkis hantaman kaki. Akibatnya tubuh Coa Tingpun hancur berkeping-
keping, menjadi serpihan daging beku. Si Tiauwpun untuk sementara selamat,
dan kembali berdiri meskipun sudah tidak tegak. Kaki kanannya yang digunakan menangkis tendangan si nenek terasa sangat nyeri, tulang-tulangnya sepertinya ada yang retak. Pek Bin Hek Mau Kwi bo kembali menjerit mukanya yang pucat
menjadi semakin memutih. Semula ia senang karena tendangannya mengenai
sasaran, tapi siapa sangka justru yang dihantam itu adalah mayat Coa Ting.
Nenek itu sangat terperanjat melihat tubuh Coa Ting menjadi berkeping-keping.
Ia mengira dirinyalah yang membunuh Coa Ting. Perasaan marah, menyesal,
dan mendongkol membuatnya gelap mata, iapun mengumpat sambil
melancarkan serangan pamungkas, "Setaaaan, beraninya kau pakai muridku
sebagai tameng, rasakan kini jurus pamungkas serangan kelabang membelit
mangsa!" "Wussss......sret...sret...!"
Sekonyong-konyong dari lengan baju nenek muka pucat itu keluar selendang
yang langsung menyambar Si Tiauw dan membelitnya. Serangan ini sangatlah
curang, karena di awal pertandingan nenek itu sepakat untuk tidak
menggunakan senjata.
"Tahaaan!" bentak Sam Tiauw dan Bu Kong Taisu secara serempak. Namun
mereka tak keburu mencegah ketika Pek Bin Hek Mau Kwi bo membetot tubuh
Si Tiauw yang telah terbelit selendang yang terbuat dari robekan kain yang
disambung-sambung.
"Wussss....dessss.....bluarrr!!!"
Dasyaat sekali pertemuan dua tenaga raksasa di udara. Daun dan debupun
beterbangan di sekeliling tempat pertarungan. Akibat tendangan kaki kiri Si
Tiauw dan pukulan tangan kiri nenek muka pucat, keduanya terlempar ke
belakang sejauh tiga tombak. Dalam keadaan terbetot Si Tiauw justru
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan kesempatan tarikan untuk menendangkan kakinya. Pek Bin Hek
Mau Kwi bo tidak keburu untuk menangkis karena iapun dalam posisi melayang.
Pada saat seperti ini ketenangan serta pengalaman bertanding sangat
menentukan kemenangan seseorang. Kiu Tiauw Kwi dari yang tertua sampai Go
Tiauw selama belasan tahun bertugas di luar, bertemu dengan berbagai
kalangan persilatan mengenal dengan baik teknik-teknik bersilat, tahu belaka bahwa serangan selendang yang membelit dirinya akan di kuti pukulan tangan.
Biasanya lawan yang terbelit akan bertahan dan berusaha untuk membebaskan
belitan, sehingga pihak penyerang ketika membetot selendangnya akan
mendapat tenaga tarikan dari lawan yang terbelit. Namun Si Tiauw yang paham
teknik ini bertindak sebaliknya, ia tidak berusaha melawan tarikan sehingga
tubuhnyapun melayang dan bertemu di udara dengan nenek itu, akibatnya
dadanya terkena pukulan tangan kiri Pek Bin Hek Mau Kwi bo, sedangkan ulu
hati nenek itu terkena tendangan.
Dari kedua mulut orang yang bertanding itu keluar darah segar. Baik Si Tiauw maupun Pek Bin Hek Mau Kwi bo terluka dalam. Untung bagi nenek muka pucat
itu karena tendangan kaki Si Tiauw sudah lemah. Adapun pukulan tapak tangan
kiri Pek Bin Hek Mau Kwi bo yang beracun bisa membahayakan, maka Sam
Tiauw segera merawat Si Tiauw.
"Keduanya terluka, pihak kami tidak bisa dibilang kalah!" seru Pek Houw keras.
"Hmmm tapi pihak kalian telah berlaku curang, Pek Houw!" balas Bu Kong Taisu.
"Biarlah pertandingan pertama ini dinyatakan seri!" jawab Sam Tiauw pahit.
"Sekarang gantian pihakmu yang mengajukan jago Pek Houw!" timpal Go Tiauw.
"Tidak bisa..tidak bisa, pihak kami bukan pemenang, hasil pertandingan seri, artinya pihak kalian lagi yang harus mengajukan jago," kelit Pek Houw.
"Baik, aku yang akan maju! Go te, tolong jaga Liu Siang" jawab Sam Tiauw
pendek. "Baik marilah kita mulai, silahkan kalian menyerang lebih dahulu. Tapi apakah bersenjata atau tidak"!"
"Dari pihak kami, Hek in Houw ko (harimau jantan awan hitam)."
Lelaki berusia empat puluhan lebih yang merupakan murid Pek Houw segera
bersiap. Pertarungan kemudian segera dimulai, jurus-jurus serangan Sam Tiauw sangat mantap dan terasa menggiriskan, karena ia ingin mengakhiri pertarungan secepatnya. Pertandingan antara Sam Tiauw dan harimau jantan terasa kurang
menarik, karena dari awal sudah dapat ditebak pemenangnya. Namun karena
sudah terlanjur kesal, Sam Tiauw melukai Hek in Houw ko, sehingga tangan
keduanya patah-patah. Perlu waktu beberapa tahun untuk bisa
menyembuhkannya.
"Pertandingan kedua dimenangkan oleh pihak Sam Tiauw, silahkan Sam Tiauw
mengajukan jago ketiga!" kata Bu Kong Taisu.
"Dari pihak kedua belah pihak sama-sama tinggal dua orang, tidak tahu apakah Pek Houw masih ingin melanjutkan pertandingan" Bagaimanapun peluang kalian
menang sudah tertutup, hayo serahkan saja obat penawar itu, dan kami akan
ampuni jiwa anjing kalian!" bentak Sam Tiauw.
"He..he..he..heh, Sam Tiauw kalau kami berdua melawan kalian berdua jelas
kami merendahkan kemampuan Kiu Tiauw Kwi, dan dapat dipastikan dalam
pertandingan itu kami akan kalah, tapi kalau kalian berani maju satu per satu matipun kami rela jika kalian bisa mengalahkan kami, tapi kalau memang Kiu
Tiauw Kwi sudah kehilangan sifat keksatriaan aku tak tahu lagi," kelit Pek Houw membela diri. Sungguh kemahiran bicara Pek Houw harus diakui sangat lihai,
dan akal bulusnya sangat licin. Wajah Sam Tiauwpun menjadi merah padam,
menahan rasa gusar, penasaran dan malu.
"Baiklah, Go te lawanlah mereka! Jangan kasih ampun yang muda sekalipun!"
Maka majulah Go Tiauw ke kalangan. Pertandingan satu lawan dua tidak
seimbang untuk Go Tiauw, meskipun ia masih menang dalam hal ginkang,
namun dalam hal lweekang masih di bawah Pek Houw, karenanya dalam dua
puluh juruspun sebuah pukulan mengenai dadanya dan membuatnya terjatuh.
Go Tiauwpun kemudian bersila untuk bersamadi memulihkan lukanya.
"Pertandingan tiga dimenangkan oleh pihak Pek Houw, keadaan jadi seri,
pertandingan terakhir adalah penentuan!" kata Bu Kong Taisu.
"Pek Houw, majulah! Jangan kepalang, kerahkan seluruh kemampuanmu!"
bentak Sam Tiauw.
"Sim Tosu, sudikah menjaga Liu Siang sebentar?" pinta Sam Tiauw pada tosu
Kong Thong Pay yang tak lain adalah sute dari ketua Kong Thong Pay.
Kedua pihak kemudian bersiap, Pek Houw memasang kuda-kuda, sementara
dengan jerit melengking Hek in Houw nio (harimau betina awan hitam) mulai
melancarkan serangan pembukaan, tangannya membentuk cakar penyambar
cepat ke ubun-ubun Sam Tiauw. Sam Tiauw mengegoskan kepala, jari-jari
tangannya menyentil siku harimau betina. Houw nio menarik tangannya karena
tak ingin kena totok. Bersamaan dengan itu serangan susulan dilakukan oleh Pek Houw, cakar tangannya menyambar-nyambar, dari lengan keluar kabut hitam
yang berbau sangit seperti karet dibakar. Sam Tiauw mengimbangi dengan
tangkisan dan serangan balasan yang tidak kalah sengitnya. Mereka sudah
saling terjang maju dan terjadilah pertempuran yang lebih dahsyat lagi daripada tadi. Bu Kong Taisu dan Sim Beng Tosu yang menonton hampir berbarengan
mengeluarkan seruan-seruan kagum. Mereka adalah orang-orang sakti maka
dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat menikmati dan
mengagumi jurus-jurus yang belum pernah mereka saksikan keduanya di dunia
ini. Juga mereka merasa ngeri karena setelah kini mereka dapat mengikuti
serangan iblis kate itu yang benar-benar luar biasa dan amat berbahaya.
Bayangan mereka sudah lenyap. Yang tampak olehnya hanyalah putaran tangan
berwarna putih di antara asap hitam, seperti merpati bermain-main diantara
awan hitam. Akibatnya luar biasa, pasir dan dedaunan yang sudah berserakan
jauh ketika pertempuran sebelumnya makin terbang
Elang Terbang Di Dataran Luas 9 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Seruling Perak Sepasang Walet 3