Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Bagian 2
ra yang terbanyak menampilkan
perubahan. Mata siapa saja, selalu memapilkan banyak perubahan
perasaan hatinya, entah sedih, riang gembira, dingin, marah
dan takut. Tapi perasaan yang ditampilkan oleh mata Hiang-hiang
justru tidak bisa dilukiskan dengan rangkaian huruf-huruf
indah. Karena sebatang golok melintang di lehernya, jiwanya
terancam oleh gaman yang berat itu.
Hiang-hiang adalah gadis jelita yang molek, kulit badannya
putih halus lagi mulus, lembut dan indah. Lehernya jenjang.
Tapi golok yang mengancam tengkuknya ternyata tidak kecil,
Kui-thau-to atau golok kepala setan bobotnya tiga puluh kati.
Jari-jari yang menggenggam gagang golok amat besar,
lengannya lebih besar lagi berotot.
Perasaan Thio-gongcu menjadi beku, badannya seperti
kecemplung sumur yang dingin.
Umumnya binatang berkumpul dengan jenisnya.
Maksudnya ular berkumpul dengan ular, harimau dengan
harimau, kura-kura mungkin bergaul dengan bulus, kalau tikus
juga punya kawan, maka kawannya itu pasti juga pandai
membuat lubang.
Siau Ma bukan orang baik, paling tidak dalam segi
tertentu, dia pasti bukan orang baik. Dia suka berkelahi, suka
mencampuri urusan orang lain, berkelahi adalah hobinya,
seperti hobi orang lain yang suka makan sayur putih. Mirip
Hwesio yang suka makan kentang atau lobak.
Thio-gongcu adalah sahabat lama Siau Ma, dalam waktu
sekejap tadi, sekaligus dia merobohkan empat orang. Sebagai
pejantan yang sudah sekian tahun digembleng dalam
kehidupan susah, orang ini pasti takkan gentar menghadapi
ancaman golok setan seberat tiga puluh tujuh kati, takkan
mungkin menjublek kuatir dan mencucurkan keringat dingin
seperti itu. Peduli golok setan itu mengancam leher siapa,
perasaannya takkan terguncang, hatinya takkan bingung.
Hanya seorang yang benar-benar dibuat kaget dan takut baru
perasaannya beku, hatinya menjadi pilu. Perasaannya beku,
karena kecuali sebatang golok kepala setan yang besar itu,
juga karena melihat tujuh belas batang golok yang sama besar
dan beratnya. Termasuk tukang pikul tandu, di atas batu cadas besar itu
semua ada sebelas orang kecuali Lan Lan dan si pasien yang
tetap berada dalam tandu, leher setiap orang diancam oleh
sebatang golok setan.
Bobot Kui-thau-to itu ada yang berat dan enteng, golok
yang mengancam leher Hiang-hiang, umpama bukan yang
paling besar dan paling berat, juga pasti bukan yang paling
enteng. Bentuk Kui-thau-to memang berbeda dengan golok
umumnya, ujung golok lebih besar dan berat, batang golok
yang lonjong lagi tipis, maka kalau golok ini membacok,
bacokannya mirip sebatang kampak.
Biasanya Kui-thau-to jarang membacok sasaran di tubuh
manusia, Kui-thau-to khusus memancung kepala manusia,
menebas leher orang.
Sekali bacok kepala menggelundung jatuh. Pasti tak perlu
dibacok dua kali.
Golok yang mengancam leher Siang Bu-gi. Sekali pandang
orang tahu, bahwa Kui-thau-to itu adalah yang paling besar,
paling berat juga paling tajam.
Ternyata Siang Bu-gi masih enak-enak tidur, masih
menggeros. Delapan belas batang Kui-thau-to, sembilan belas orang,
mereka adalah manusia serigala dan hanya satu orang tidak
memegang golok, tapi memegang pipa cangklong yang lebih
panjang melebihi Kui-thau-to.
Thio-gongcu tahu dan kenal siapa laki-laki yang memegang
pipa cangklong ini. Dia pernah melihat serigala tua Pok Can.
Ternyata dandanan, sikap dan tindak-tanduk orang ini, boleh
dikata adalah duplikat Pok Can, mirip kue yang dicetak dan
dipanggang bersama dalam tungku. Seorang duplikat yang
tidak baik. Oleh karena itu ciri-ciri Pok Can, orang ini dapat menirunya
dengan sempurna. Namun sikap dan tingkah laku Pok Can
yang gagah-gagahan, seolah-olah dunia miliknya sendiri, jelas
tak mungkin ditiru, seumur hidup jangan harap orang ini bisa
mempelajarinya.
Maka Thio-gongcu bertanya, "Kau ini putra Pok Can atau
muridnya?"
Orang ini tak mempedulikan pertanyaannya, matanya
mendelik ke arah Siau Ma.
Siau Ma melompat ke atas batu cadas, jengeknya dingin,
"Kalau menurut pendapatku keparat ini cucu kura-kura
serigala tua itu."
Thio-gongcu terloroh-loroh. Dia sengaja tertawa, padahal
rasa geli atau ingin tertawa sedikitpun tidak timbul dalam
hatinya. Melihat golok tajam sebesar itu mengancam leher
gadis yang dipujanya, siapa saja pasti takkan bisa gembira,
apalagi tertawa riang.
Padahal Thio-gongcu sering mendengar bahwa anak buah
atau serigala-serigala perang di bawah pimpinan serigala tua
Pok Can semuanya gagah perkasa, berani mati, bila
membunuh orang, seperti tukang sayur memotong lobak dan
membelah pepaya, berkedip mata pun tidak.
Tertawa sengaja dikumandangkan, nadanya sudah tentu
sumbang dan tidak enak didengar, dan biasanya memancing
amarah orang lain. Tapi orang ini ternyata cukup tabah dan
tebal muka, dia tetap tidak peduli kepada Thio-gongcu,
katanya sambil melotot kepada Siau Ma, "Kau she Ma?"
Siau Ma manggut.
"Jadi kau ini si Kuda Binal yang nakal itu?" ucap orang itu
pula. "Dan kau" Apakah kau bernama anjing kecil berkulit
serigala?"
Meski wajah panjang orang dengan bola mata sudah
berubah putih saking marahnya, namun sekuatnya dia
menekan emosi dan menahan gengsi, dengan mengendalikan
emosi dia berkata dingin, "Aku tahu asalmu."
"O" Lalu?"
"Kau datang dari Loan-ciok-san-kang yang berada di
perbatasan timur laut sana."
"Kalau benar kenapa?"
"Konon tinjumu amat keras, sekali pukul bikin Peng-lohau
tidak bisa bangun, sampai sekarang masih rebah di ranjang."
"Apakah kau juga ingin merasakan tinjuku?"
"Sekarang Loan-ciok-san-kang sudah bubar, runtuh dan
tinggal puing-puingnya saja. Hitung-hitung kita masih kawan
sehaluan, oleh karena itu aku bersikap sungkan dan memberi
muka kepadamu."
"Tidak perlu kau sungkan kepadaku."
Orang itu menarik muka, katanya, "Aku bernama Thi Samkak."
Melihat muka dan mata orang yang segitiga, Siau Ma
tertawa, katanya, "Namamu tepat dan cocok."
"Tapi namamu justru keliru."
"Hus, namaku pemberian orang tua."
"Sebetulnya kau lebih tepat dinamakan telur goblok,
karena memang goblok sekali," dengan pipa cangklongnya dia
menuding sekitarnya, "coba kau hitung berapa batang golok
yang kita bawa kali ini?"
Siau Ma tidak perlu menghitung.
Sekaligus melihat Kui-thau-to sebanyak itu, siapa pun pasti
akan menghitungnya diam-diam, maka sejak naik ke atas batu
Siau Ma sudah menghitungnya.
Thi Sam-kak berkata, "Coba kau periksa sekali lagi,
delapan belas golok itu mengancam jiwa orang-orangmu."
Siau Ma juga tidak perlu memeriksa lagi, sekilas pandang
dia sudah melihat jelas. Siang Bu-gi, Hiang-hiang, Cen Cen,
Cen Cu, Lo-bi ditambah empat tukang pikul tandu, sembilan
orang semuanya diancam golok pada lehernya. Sisa lagi
sembilan golok, empat batang mengancam dua tandu, lima
batang terpencar, menjaga dan mengelilingi batu cadas.
Jelas aksi mereka sudah direncanakan dengan baik,
perhitungan mereka tepat, kelemahan pihak Siau Ma juga
sudah diraba, maka mereka menyergap dengan hasil baik.
Dengan bermain sandiwara, delapan orang yang pura-pura
terluka tadi menarik perhatian dan memecah tenaga mereka,
lalu secara tiba-tiba dan tidak terduga menyergap serta
membekuk dan mengancam jiwa mereka.
Satu hal yang membuat Siau Ma tidak mengerti adalah,
Siang Bu-gi tidak buta, bukan tuli, kenapa diam saja
membiarkan golok orang mengancam lehernya. Dia menduga
dalam hal ini pasti ada latar belakang yang belum dia ketahui,
namun maknanya amat berarti. Oleh karena itu, sengaja dia
ajak Thi Sam-kak bicara, dengan tujuan mengendorkan
kewaspadaan mereka.
Ternyata Thio-gongcu tidak sabar lagi, keadaan Hianghiang
amat runyam dan harus dikasihani.
Thi Sam-kak berkata, "Ada delapan belas golok
mengancam leher kawan-kawanmu, kau masih berani
bertingkah dan ngobrol tidak keruan di hadapanku, coba kau
bilang, bukankah kau orang goblok, laki-laki dungu?"
"Betul, aku ini memang goblok, sangat dungu," Siau Ma
masih juga bersikap santai, dengan tertawa dia
menambahkan, "begitu goblok aku ini, sehingga
mempertaruhkan jiwa orang lain."
Thi Sam-kak tertawa lebar, tertawa besar dan latah. Jelas
dia sengaja tertawa, tawanya lebih jelek dari loroh Thiogongcu
tadi, "Ucapanmu betul. Saking gobloknya sampai jiwa
orang lain sengaja kau korbankan dengan sia-sia." Mendadak
gelak tawanya berhenti, mukanya juga berubah masam,
mukanya yang segitiga mendadak membesi hijau, jengeknya
dingin, "Sekarang korbankan dulu satu orang, untuk itu boleh
aku memberi kelonggaran kepadamu untuk memilih korban
yang pertama." Dengan pipa cangklongnya dia menunjuk
Hiang-hiang, "Bagaimana kalau kau renggut dulu jiwanya."
"Bagus sekali," seru Siau Ma bertepuk tangan.
Keruan Thio-gongcu gopoh, tanyanya gugup, "Bagus sekali
apa artinya?"
"Maksudnya, jiwanya itu tidak boleh diambil orang lain."
Bab 6 Thio-gongcu menghela napas lega. Thi Sam-kak sebaliknya
menyeringai sadis.
Siau Ma menghela napas, katanya, "Sayang sekali golok
besar itu mengancam lehernya, orang lain menuntut jiwanya
atau tidak" Yang terang aku tidak berdaya menolongnya."
"Agaknya kau mulai mengerti," jengek Thi Sam-kak.
"Tapi ada satu hal justru aku tidak paham."
"Kau boleh tanya."
"Golok kalian kelihatannya dapat bergerak dengan cepat."
"Ya cepat sekali."
"Dengan golok seperti itu, untuk memenggal kepala orang,
kelihatannya bukan kerja yang susah dilakukan."
"Sedikitpun tidak sukar."
"Kenapa tidak segera kau penggal?"
"Menurut pendapatmu?"
"Apakah karena belakangan ini kau banyak makan
kenyang dan iseng, kau ingin mempermainkan jiwa orang lain
untuk menghibur diri?"
"Cara menghibur diri seperti itu kurasa kurang
menyenangkan."
"Jadi kau hendak mengancam aku dengan jiwa mereka,
kau ingin aku melakukan sesuatu untuk kalian?"
"Pertanyaanmu kali ini betul."
"Kau ingin aku melakukan apa?"
"Aku menuntut sepasang tinjumu itu."
Siau Ma mengangkat tinjunya, katanya sambil mengawasi
tinjunya sendiri, "Tinjuku ini hanya untuk menghajar orang,
untuk apa kau menuntut tinjuku?"
"Supaya kau tidak bisa menghajar orang lagi."
"Kalian ada delapan belas batang golok, memangnya takut
terhadap sepasang tinjuku ini?"
"Hati-hati kan lebih baik."
"Maksudmu supaya aku memotong dua tinjuku dan
menyerahkan kepadamu, supaya aku tidak mencari
permusuhan dengan kalian, begitu?"
"Apa yang kau ucapkan meski tidak seluruhnya benar,
maksudku memang demikian."
"Baiklah," ujar Siau Ma tertawa, "dengan senang hati
kuserahkan kepadamu."
Belum habis bicara tubuhnya menerjang ke depan, tahutahu
tinjunya mendarat di hidung Thi Sam-kak.
Bukannya Thi Sam-kak tak melihat datangnya tinju Siau
Ma. Dia melihat jelas, tapi justru tak mampu berkelit, tak bisa
menghindar. Suaranya tidak keras waktu tinju mendarat di
hidung, waktu hidung tergenjot dan ringsek hampir tidak
mengeluarkan suara apapun. Tapi rasanya sungguh sukar
dilukiskan. Thi Sam-kak merasa mukanya seperti mendadak meledak,
rasa sakit dan perih membuat matanya berkunang-kunang, di
saat tubuhnya jungkir balik, mulutnya sempat berteriak
memberi komando, "Sikat!"
Begitu "sikat" berkumandang di udara, sembilan golok
yang mengancam leher para tawanan lantas terangkat hendak
memenggal leher.
Thio-gongcu juga menerjang ke depan, dia siap menghajar
lawan yang mengancam Hiang-hiang dengan sodokan sikut,
lalu tempelengan di muka dan genjotan di dada. Tetapi dia
belum atau tak usah turun tangan lagi.
Sebelum kakinya melangkah, laki-laki yang mengancam
dengan golok kepala setan tiba-tiba menjerit sambil
menungging memeluk perut, perlahan dia roboh ke tanah
terus berguling sambil merintih-rintih.
Hiang-hiang yang kelihatan takut dan harus dikasihani,
masih berdiri santai di tempatnya, mengawasi korbannya
dengan rasa iba, katanya, "Maaf sebetulnya tidak pantas aku
menendang anumu itu, tapi kau juga tidak perlu menyesal,
bila anumu remuk, selanjutnya kau tidak akan mengalami
kesulitan."
Thio-gongcu mengawasinya dengan terpesona dan kaget.
Seorang gadis yang kelihatan lemah lembut, penakut lagi
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramah, ternyata tega bertindak sekejam itu, perbuatannya
jelas lebih ganas dan menakutkan dibanding dirinya.
Bila dia menoleh dan melihat yang lain, sembilan belas
manusia serigala yang datang, tujuh belas di antaranya
meringkel di tanah. Seorang mukanya berlepotan darah, kulit
mukanya terkelupas. Orang ini adalah serigala yang tadi
mengancam Siang Bu-gi dengan goloknya yang paling besar.
Dua orang yang mampus adalah orang yang menjaga di
luar tandu Lan Lan. Tanpa bergerak kedua orang ini rebah di
tanah, sekujur badan tidak kelihatan ada luka yang
menyebabkan kematiannya. Hanya di tengah kedua alisnya
kelihatan setitik darah.
Dua orang lagi masih berdiri gemetar di depan tandu
dimana si pasien itu berada, tapi golok di tangan mereka
sudah tak kuat diangkat lagi.
Siang Bu-gi tengah menatap tajam mereka. Lutut mereka
goyah, orang yang di sebelah kiri celananya kelihatan basah.
Siang Bu-gi berkata, "Pulang dan laporkan kepada Pok
Can, kalau ingin beraksi, lebih baik dia turun tangan sendiri."
Mendengar "pulang", seketika kedua orang ini terbelalak
girang, rasa girangnya jauh lebih besar daripada mereka
kejatuhan rejeki nomplok, tanpa berjanji keduanya lantas
putar tubuh lari sipat kuping.
"Kembali," mendadak Siang Bu-gi menghardik.
Mendengar "kembali", seorang yang lain seketika
terkencing-kencing, celananya basah seluruhnya.
Siang Bu-gi menuding mereka, katanya, "Kalian tahu siapa
aku?" Kedua orang itu geleng kepala bersama.
"Aku si tukang kulit," sembari bicara ujung kaki Siang Bu-gi
menjungkit sebatang Kui-thau-to di atas tanah. Setelah dia
habis bicara, kedua orang sudah kehilangan secuil kulit di
kanan kiri pipi mereka.
Siau Ma menghela napas.
"Kenapa kau menghela napas?" tanya Siang Bu-gi.
"Semula aku kira mereka hendak mempermainkan dirimu,
sekarang baru aku maklum, engkaulah yang mempermainkan
mereka. Apakah kau juga beranggapan bahwa kita seperti
mereka, setelah kenyang makan tidak punya kerja lalu cari
hiburan?" Siang Bu-gi menyeringai dingin.
"Kenapa kau tidak turun tangan lebih dini?" tanya Siau Ma.
"Karena aku tidak bodoh, membiarkan jiwa orang
berkorban dengan percuma."
"Jiwa siapa yang berkorban?"
"Mungkin sekali jiwamu."
Siau Ma tertawa dingin.
"Jikalau kau tidak tergesa-gesa, tidak terburu napsu,
sekarang kita sudah aman tenteram."
"Memangnya sekarang kita belum aman?" jengek Siau Ma.
Siang Bu-gi mengancing mulut, sorot matanya setajam
pisau menatap ke lekuk gunung di sebelah kanan sana.
* * * * * Sang surya sudah terbenam, tabir malam sudah
menyelimuti mayapada.
Dari belakang pohon di lekuk gunung sana, perlahan
beranjak keluar tujuh orang, langkah mereka santai, seperti
pelancong yang jalan-jalan menikmati keindahan alam, sikap
mereka ramah lagi sopan.
Orang yang berjalan paling depan berpakaian jubah
panjang mirip pelajar dengan topi tinggi berhias, tangannya
memegang kipas lempit. Kipas yang digoyang-goyang dan
terbuka lebar tampak dihiasi dua baris huruf, huruf tulisan
kuno, kaligrafi dengan gaya indah dan tajam.
Syukur hari belum betul-betul gelap, di tengah
keremangan itu, laki-laki ini melangkah santai menuju ke batu
cadas, kira-kira setombak jauhnya dia berhenti, kipas dilempit
lalu menjura dengan hormat. Enam orang di belakangnya juga
ikut menjura. Kalau orang tahu peradatan, betapapun marahnya juga tak
bisa diumbar, apalagi orang memberi salam hormat, sudah
tentu Siau Ma menjadi rikuh untuk menggunakan tinjunya di
hidung orang. Lo-bi segera tampil ke depan, dengan tertawa dia
menyapa, "Sama-sama belum kenal, buat apa tuan sungkan
dan sehormat ini?"
Pelajar berjubah sutera putih ini tersenyum ramah,
katanya, "Bertemu di tengah jalan terhitung ada jodoh,
sayang di sini tiada meja perjamuan untuk menyambut
kedatangan tamu agung, maaf kami tidak mampu menyambut
selayaknya."
"Tidak usah sungkan, jangan pakai peradatan," Lo-bi
berkata dengan cengar-cengir.
Pelajar jubah putih memperkenalkan diri, "Cayhe Un Lianggiok."
"Cayhe she Bi," ucap Lo-bi.
Un Liang-giok berkata, "Sudah lama nama besar Bi-tayhiap
terkenal dan kudengar, demikian juga nama besar Siangsiansing,
Ma-kongcu, dan Thio-losiansing juga sudah lama
kukagumi, sayang belum pernah berkenalan, hari ini bisa
bertemu sungguh lega dan senang hati kami." Agaknya orang
sudah mencari tahu asal-usul rombongan Siau Ma, maka dia
dapat bicara lancar dan benar.
Perasaan Siau Ma mendelu, hatinya pun marah, melihat
dua baris tulisan dikipas orang tadi, segera dia menerka siapa
pelajar jubah sutera putih ini.
Un Liang-giok berkata, "Konon adik nona Lan sedang sakit,
Cayhe juga ikut merasa gugup dan khawatir setelah
mendengar berita ini."
Tak tahan Siau Ma bertanya, "Kelihatannya kau pandai
mencari berita."
Un Liang-giok tertawa, katanya, "Sayang gunung ini bukan
tempat aman, dalam kalangan kita juga tiada orang bajik,
kalau kalian ingin pergi dengan aman, kurasa amat sukar,
sukar sekali."
"Itu urusan kami, rasanya tiada sangkut-paut dengan kau,"
jengek Siau Ma.
"Sebagai penduduk gunung ini, mungkin Cayhe dapat
membantu sedikit, agar kalian sampai di tempat tujuan
dengan selamat."
Lo-bi segera menyeletuk, "Sekali pandang Cayhe lantas
tahu, tuan adalah Kuncu, kau pandai menggunakan istilah
bajik dan bijaksana segala."
Un Liang-giok pura-pura menghela napas gegetun,
katanya, "Walau Cayhe ada niat menjadi orang bajik, sayang
aku tak mampu berbuat banyak."
"Cara bagaimana supaya kau bisa berbuat bajik?" tanya
Siau Ma. "Gunung ini penuh semak belukar, berduri lagi, untuk
melewati sebuah gunung, pantasnya kalian membuka sebuah
jalan lebih dulu."
"Cara bagaimana kita harus membuka jalan tembus itu?"
tanya Siau Ma. Un Liang-giok tertawa, katanya, "Sebetulnya tidak sukar,
asal..." "Sebetulnya apa sih keinginanmu?" tanya Siau Ma tandas.
Tawar suara Un Liang-giok, "Aku hanya ingin menuntut
selaksa tahil uang emas, sepasang tinju dan sebuah tangan."
Siau Ma tertawa lebar, ujarnya, "Jika hanya minta uang
emas itu urusan gampang, tapi tinju dan tangan jauh
berbeda." "Ya, memang jauh berbeda."
"Tinju macam apa dan tangan seperti apa yang kau
inginkan?"
"Jiwa raga dilahirkan orang tua, sekali-kali tidak boleh
dibuat cacat, oleh karena itu ...."
"Kau menuntut sepasang tinju yang pandai menghajar
orang dan tangan yang ahli mengelupas kulit manusia."
Un Liang-giok tidak menyangkal, dengan senyum lebar dia
berkata, "Asal kalian terima sekedar syaratku itu, Cayhe
tanggung dalam tiga hari nona Lan dan adiknya bisa lewat
gunung ini dengan aman, kalau tidak ...." Dia menghela
napas, lalu menyambung, "Kalau tidak, terpaksa Cayhe tidak
bisa membantu."
Siau Ma tertawa besar. Dia bukan sengaja tertawa, tapi
tertawa besar sungguhan. Mendadak dia menyadari satu hal,
manusia keji yang menggunakan kedok 'Kuncu' (sosiawan),
bukan saja amat kejam dan patut ditindas, juga lucu
menggelikan. Dimana-mana manusia yang berkedok sebagai Kuncu
sama saja semuanya munafik.
Un Liang-giok bersikap biasa dan wajar, roman mukanya
tak berubah sedikitpun, katanya, "Boleh kalian pertimbangkan
dan rundingkan dulu syarat yang kuajukan tadi, besok pagi
Cayhe akan datang mendengar kabar gembira."
Segera Siau Ma bersikap pura-pura serius, katanya, "Kau
harus datang lho!"
Un Liang-giok berkata, "Malam telah gelap, perjalanan ke
depan makin berbahaya, kalau kalian ingin selamat dan aman
malam ini, kuanjurkan diam dan tinggal saja di sini." Lalu dia
menjura pula, kipas lempitnya terkembang pula, kakinya
sudah beranjak pergi. Enam orang di belakangnya juga
menjura, mereka ikut melangkah pergi dengan langkah
tenang, sedikitpun tidak kelihatan marah.
Sebaliknya Siau Ma tak kuat menahan gelora amarahnya,
desisnya geram, "Kenapa dia tidak turun tangan ?"
"Kalau dia turun tangan, memangnya kau bisa berbuat
apa?" jengek Siang Bu-gi.
"Jika dia turun tangan, aku tanggung hidungnya ringsek."
"Waktu itu mungkin dirimu juga tidak mirip manusia, tidak
mirip kuda binal yang pandai menggunakan tinjunya lagi."
Tiba-tiba Thio-gongcu menyeletuk, "Apa betul mereka itu
Kun-cu-long?"
"Orang tadi adalah Long-kuncu."
"Kau sudah melihat kedatangan mereka?"
"Waktu itu kalian sedang sibuk mempertahankan jiwa,
menolong jiwa raga kalian."
"Kau sengaja bertahan dan main ulur waktu dengan anak
buah Pok Can, karena kau sudah tahu bahwa pasukan tempur
serigala sudah berada di sini, maka mereka takkan muncul."
"Itulah peraturan yang harus dipatuhi di Long-San."
Thio-gongcu menghela napas gegetun, katanya,
"Kelihatannya mereka memang lebih mudah dilayani dibanding
beberapa batang Kui-thau-to itu." Lalu dia balas bertanya,
"Tapi anak buah Pok Can sudah pergi, kenapa mereka juga
tidak turun tangan?"
"Sekarang saat apa?" tanya Siang Bu-gi.
"Sekarang sudah malam."
"Kung-cu-long tidak pernah turun tangan di malam hari."
"Itupun peraturan yang berlaku di Long-san?"
"Begitulah kenyataannya."
Lo-bi berdiri di kejauhan, mendadak dia menghela napas,
katanya, "Untung yang dituntut bukan sepasang tinjuku, juga
bukan tanganku."
Dia berdiri cukup jauh, tapi baru saja dia habis bicara,
Siang Bu-gi sudah berada di depannya. Keruan berubah muka
Lo-bi, ingin tertawa, tapi mukanya dingin kaku. Bila melihat,
apalagi berhadapan dengan Siang Bu-gi, dia amat ketakutan
seperti melihat setan di siang hari.
Siang Bu-gi menatapnya tajam, desisnya, "Dia tidak minta
tinju atau tanganmu, biar aku yang minta."
"Kau ... kau ...." Lo-bi gelagapan.
"Bukan hanya tanganmu yang kuminta, kulitmu pun akan
kubeset." Perawakan Lo-bi sebetulnya tinggi, seakan tiba-tiba
tubuhnya mengkeret jadi pendek.
Siang Bu-gi berkata dengan suara tawar, "Sayang sekali
tiada orang mau membeli tanganmu, apalagi membeli
kulitmu." Waktu dia membalik tubuh, kebetulan Lan Lan turun
dari tandu. Segera dia melangkah pergi, melirik pun tidak sudi
kepada Lo-bi. Ternyata Lo-bi masih tidak berani berdiri.
Lan Lan menghampiri lalu memapahnya berdiri, katanya
lembut, "Terima kasih atas bantuanmu tadi, dua batang Kuithau-
to itu hampir saja memenggal kepalaku, kalau Toh-bingciam
tidak segera kau sambitkan, mungkin jiwaku sudah
melayang sejak tadi."
Lo-bi kucek-kucek hidung, lalu kucek-kucek mata,
mulutnya menggumam, "Buat apa kau singgung soal itu,
sebetulnya aku tidak ingin mereka tahu."
"Aku tahu kau menyembunyikan kepandaian, tapi kau
telah menolongku, betapapun aku harus mengucap terima
kasih kepadamu."
Dengan sebelah tangannya dia mengambil sekuntum
kembang mutiara yang menghias sanggulnya, "Hadiah yang
tidak berarti ini, kau harus menerimanya." Kembang mutiara
ini dibikin sedemikian rupa, seluruhnya terdiri tiga puluh
delapan mutiara yang besarnya sama.
Semula Lo-bi hendak menampik, tetapi setelah melihat
kembang mutiara itu, tangan yang semula mau mendorong
tangan orang malah menggenggam kembang mutiara itu.
Sebagai kawakan Kang-ouw, dia juga kenal nilai suatu benda,
dia tahu nilai kembang mutiara ini, kalau digadaikan,
sedikitnya bisa berfoya-foya tiga bulan lamanya.
Siau Ma sebaliknya kelihatan amat kaget. Bukan karena
Lo-bi menerima kembang mutiara itu, tapi terkejut setelah
mendengar apa yang diucapkan Lan Lan. Yang pasti bukan
Siau Ma saja yang terperanjat.
Thio-gongcu melirik Siau Ma, lalu mengawasi dua orang
yang mati dengan setitik darah di tengah alisnya. "Sejak
kapan kau mahir menggunakan Am-gi selihai itu" Kenapa
belum pernah aku tahu atau melihat kau memakainya?"
Lo-bi batuk dua kali lalu mendongak, katanya, "Sekali
sambit Am-gi itu merenggut jiwa orang, di hadapan sesama
teman mana berani aku menggunakannya, jika tidak terpaksa,
aku takkan menggunakan."
Lan Lan menghela napas, katanya, "Kau memang teman
yang baik." Sengaja atau tidak sengaja matanya melirik ke
arah Siang Bu-gi, tampak wajah Siang Bu-gi tidak mengunjuk
perasaan apa-apa.
Lan Lan berkata, "Sepuluh laksa tahil uang emas
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebetulnya mampu kubayar, tapi syarat yang diajukan Unkuncu
itu, aku tidak mau mempertimbangkan." Lalu dia
menoleh ke arah Siang Bu-gi, "Sekarang sudah gelap, apakah
kita sudah boleh melanjutkan perjalanan?"
Siang Bu-gi manggut-manggut.
"Siapa yang membuka jalan?" tanya Siau Ma.
"Engkau," seru Siang Bu-gi. .
"Kau di belakang?" tanya Siau Ma.
"Boleh."
"Thio-gongcu dimana?"
"Dia menemani kau."
Lo-bi segera menyeletuk, "Aku menemani Siau Ma saja."
Siang Bu-gi berkata dingin, "Kau mahir menggunakan
senjata rahasia, maka kau harus di tengah barisan."
"Boleh, yang terang aku tidak akan ke belakang," ucap Lobi
prihatin. Siang Bu-gi menyeringai dingin.
"Begitu datang tanda bahaya, kita harus serempak
berusaha melindungi kedua tandu ini," demikian usul Siau Ma.
Siang Bu-gi menyeringai dingin, katanya, "Hakikatnya
mereka tidak perlu ...." Belum habis dia bicara, mendadak dua
bayangan melompat dengan tangkas menubruk dengan
sengit. Ternyata Thi Sam-kak tidak mati. Demikian pula seorang
lain yang penyok hidungnya oleh pukulan Siau Ma juga tidak
mati. Hidung bukan tempat yang mematikan, Siau Ma bukan
orang yang suka membunuh.
* * * * * Pasien di dalam tandu mulai batuk-batuk. Kedua orang itu
justru menubruk ke arah tandu yang satu ini, asal dapat
membekuk dan menyandera si pasien, orang-orang ini akan
tunduk oleh ancaman. Walau Thi Sam-kak tidak mampu
menyelamatkan hidungnya dari genjotan Siau Ma, tetapi
kungfunya cukup baik. Bukan saja gerak-geriknya cekatan,
tindakannya juga cepat.
Sementara, Siau Ma, Thio-gongcu dan Siang Bu-gi berdiri
cukup jauh dari tandu itu, dalam rombongan, hanya mereka
bertiga yang ditakuti. Thi Sam-kak pandai mamanfaatkan
kesempatan. Pipa cangklong di tangannya terbuat dari baja
murni, ukuran wadah tembakau di ujung pipanya mirip tinju
Siau Ma, kalau baja sebesar tinju mengetuk kepala manusia
atau menjojoh Hiat-to, kalau tidak mampus seketika juga pasti
terluka parah. Secara diam-diam temannya juga sudah meraih
sebatang Kui-thau-to. Dimana sinar berkelebat, golok besar
dan berat itu membelah tandu dari atas. Betapapun kuat dan
terbuat dari kayu pilihan sekalipun, dibacok oleh golok seberat
tiga puluh kati dari ayunan seorang yang memiliki tenaga
raksasa, tandu itu pasti terbelah dan berantakan.
Padahal si pasien lagi batuk-batuk, penyakitnya sedang
kumat, jelas dia takkan terhindar dari bencana yang
mengancam. Betapapun cepat, sigap Siau Ma dan Siang Bu-gi
bergerak, juga pasti terlambat untuk menolong.
Bahwa Thi Sam-kak nekat bertindak dengan sergapan
yang mematikan, jelas sudah punya perhitungan matang, dia
yakin seorang musuh pasti dapat dibunuhnya.
Sayang dia salah perhitungan. Pada saat gawat itulah, dari
bawah tandu yang gelap, berkelebat dua larik sinar terang
yang menusuk bagai sambaran kilat. Sebatang pedang
mengiris lurus ke atas menepis Kui-thau-to, maka
terdengarlah jeritan yang menyayat hati. Darah berhamburan,
empat jari tangan yang menggenggam golok tertabas kutung,
sinar pedang berkelebat pula menukik ke bawah, ujung
pedang mampir ke dada dan tembus ke punggung. Bukan saja
lincah lagi beres, gerak pedang inipun tepat dan telengas.
Di sebelah kiri beruntun terdengar suara "tring, tring,
tring" tiga kali benturan nyaring disertai percikan kembang
api, pipa cang-klong dan pedang beradu tiga kali. Thi Sam-kak
memang lawan yang tidak mudah dilayani, selincah tupai dia
melejit ke atas, ujung kakinya sempat menutul pikulan tandu,
meminjam tenaga tutulan kakinya, tubuhnya bersalto lebih
tinggi di udara. Musuh berada di sekitar dirinya, setelah
sergapan gagal, mana berani dia bertahan lebih lama. Dia
ingin melarikan diri.
Di luar dugaan, di saat tubuhnya bersalto ke belakang itu,
sinar pedang juga sudah menunggu di bawah selangkangan,
begitu tubuhnya melorot turun, sinar pedang menyongsong,
pedang ganas itu amblas di tengah kedua pahanya miring ke
atas. Thi Sam-kak melolong seperti serigala kelaparan, sampai
mati dia tidak percaya bahwa jiwanya melayang di ujung
pedang yang menyerang dengan jurus sekeji itu, celakanya
penyerang dirinya adalah nona cantik yang masih berusia
enam atau tujuh belas.
Darah masih menetes di ujung pedang.
Dua nona cantik belia itu berdiri berjajar beradu pundak,
cadar hitam yang menutup wajah mereka tampak melambai
ditiup angin malam. Pedang di tangan mereka teracung ke
depan, mereka cekikikan dan riang geli. Membunuh orang
merupakan hobi, bagi mereka permainan yang menarik.
Mungkin karena mereka masih muda, belum menyelami
betapa berharganya jiwa manusia, betapa penting arti
kehidupan ini. Merdu cekikik tawa mereka, gaya tawa mereka
justru lebih menarik.
Siang Bu-gi menatap dingin, mendadak dia berseru, "Ilmu
pedang bagus."
Cen Cen cekikikan, katanya, "Banyak terima kasih."
Sebaliknya Cen Cu cemberut, katanya, "Sayang kami
bukan tandingan Siau Ma, mukaku bengkak karena
jotosannya." Melihat sikap dan mendengar omongannya, siapa
percaya kalau mereka masih anak-anak. Anak siapa yang
mampu melancarkan ilmu pedang seganas itu"
"Siapa yang mengajarkan Kiam-hoat kalian?" tanya Siang
Bu-gi. "Aku justru tak mau menerangkan," Cen Cu berkata.
Cen Cen cekikikan, katanya, "Kabarnya kau lebih lihai dari
Siau Ma, kenapa kau tidak tahu asal-usul Kiam-hoat kami?"
Siang Bu-gi tertawa dingin, tiba-tiba dia berkelebat dan
tahu-tahu sudah berada di depan mereka, gerak tangannya
laksana sambaran kilat, tujuannya merampas pedang kedua
nona cilik ini. Dia menggunakan Khong-jiu-jip-pek-to dengan
kombinasi Siau-kim-na-jiu-hoat yang berjumlah tujuh puluh
dua jurus. Umpama kungfu yang diyakini ini belum mencapai
taraf yang paling top, namun tidak banyak jago Bu-lim yang
mampu menandingi dirinya.
Tak nyana kedua nona cilik ini malah cekikikan lalu
membusung dada, sementara pedang mereka tersembunyi di
punggung. Kedua nona cilik ini adalah gadis yang baru akil
baliq, payudara mereka juga baru tumbuh membukit. Walau
Siang Bu-gi tidak sengaja, betapun dia malu kalau tangannya
menjamah payudara kedua nona cantik ini.
Cen Cen tertawa riang, serunya, "Pedang ini milik kami,
bukan barang curian, kenapa kau hendak merampasnya?"
Cen Cu juga mencemooh, "Laki-laki gede mau merampas
barang milik anak-anak, apa kau tidak malu?"
"Tidak tahu malu, tidak tahu malu," Cen Cen mengolokolok.
Membesi hijau muka Siang Bu-gi, sekian lama ia menjublek
tak bisa bicara.
Mendadak kedua nona cilik ini berputar ke kanan ke kiri,
sinar pedang juga berpencar, laksana ular sakti mematuk,
ujung pedang menusuk ke iga kiri kanannya. Walau ilmu
Khong-jiu-jip-pek-to yang diyakinkan Siang Bu-gi cukup lihai,
tapi serangan lawan datang tak terduga, mana berani merebut
gaman lawan. Syukur dia sempat menyelamatkan diri.
Tapi kedua nona cilik itu justru tidak memberi hati, dari kiri
kanan mereka merangsek dengan jurus-jurus ilmu pedang
lihai, beruntun tiga kali mereka menusuk. Bukan saja ganas
lagi lihai, kerja sama permainan pedang kedua nona ini juga
serasi, serangan jurus terakhir malah mirip bersilangnya
cahaya lembayung. Orang lain menyaksikan dengan jelas,
kedua pedang nona cilik itu sudah hampir menembus dada
Siang Bu-gi secara silang. Tak nyana tubuh Siang Bu-gi
mendadak miring lalu menegak lurus lagi, dua batang pedang
yang menusuk silang itu tahu-tahu terkempit di ketiaknya.
Tindakannya amat tepat juga berbahaya.
Sekuat tenaga kedua nona cilik itu menarik pedang, namun
ujung pedang seperti lengket di ketiak Siang Bu-gi, tubuhnya
tidak bergeming sedikitpun.
Cen Cen cemberut mewek-mewek hampir menangis. Cen
Cu sudah berkaca-kaca malah. Tapi mereka tidak kapok,
sekuat tenaga masih berusaha menarik pedang mereka. Di
saat mereka menarik sekuat tenaga, mendadak Siang Bu-gi
mengendorkan jepitan ketiaknya. Keruan kedua nona cilik itu
terjungkal ambruk ke belakang, lalu terduduk mencak-mencak
tak mau bangun.
Dengan air mata bercucuran Cen Cu merengek, "Orang
gede menghina anak kecil, tidak tahu malu, tidak tahu malu."
Semula Cen Cen hanya mewek-mewek, kini dia menangis
tergerung-gerung.
Suara batuk dalam tandu sudah berhenti, dengan napas
tersengal orang dalam tandu membentak tertahan, "Tutup
mulut!" Walau hanya mengucap dua patah kata, kedengarannya
dia mengerahkan seluruh tenaga, sehingga napasnya ngosngosan.
Walau suaranya lemah, tapi seperti mengundang kutukan
yang menggiriskan, lebih manjur dari kutukan setan iblis.
Kedua nona cilik itu segera berhenti menangis, bergegas
mereka menyeka air mata lalu berdiri di pinggir.
Siang Bu-gi masih berdiri di tempat, berdiri menjublek
mengawasi tandu, pikirannya seperti mengembara entah
kemana. Sayang dia tidak bisa melihat apa-apa. Tandu itu
tertutup rapat dari luar maupun dalam, orang dalam tandu
terdengar batuk-batuk lagi.
Orang macam apakah dia sebetulnya" Penyakit apakah
yang diidapnya"
Siang Bu-gi tidak bertanya. Akhirnya dia membalik badan,
perlahan dia beranjak ke sana, Siau Ma dan Thio-gongcu
sedang menunggu dia.
Siau Ma bertanya, "Kau sudah melihat asal-usul Kiam-hoat
mereka?" Siang Bu-gi tidak menjawab, mulutnya bungkam.
"Aku juga susah mengenalnya," ucap Siau Ma sambil
tertawa getir, "Kiam-hoat seperti itu, bukan saja aku tidak
mengenalnya, melihat pun belum pernah."
Thio-gongcu berkata, "Jelas bukan Bu-tong-kiam-hoat?"
"Pasti bukan," sahut Siau Ma.
"Juga bukan ilmu pedang Tiam-jong, Kun-lun, Hay-lam dan
Ui-san." "Omong kosong," sentak Siau Ma.
Memang omong kosong. Jit-toa-kiam-pay (tujuh besar
aliran ilmu pedang) amat terkenal di Bu-lim masa itu, satu
jurus permainan sudah dapat mereka kenali.
"Kurasa justru omong kosong," bantah Thio-gongcu.
"Lalu?" tanya Siau Ma.
"Kalau kami tidak pernah lihat Kiam-hoat seperti itu,
apalagi orang lain, jelas mereka pun tiada yang pernah
melihat." "Ehm, betul."
"Oleh karena itu, Kiam-hoat jenis itu mungkin belum
pernah muncul di Bu-lim"
Siau Ma mendengarkan, Siang Bu-gi juga mendengarkan.
"Tapi menilai keganasan dan kemahiran permainan Kiamhoat
mereka, jelas diwariskan oleh seorang tokoh kosen."
"Ya, pasti," Siau Ma setuju.
"Ada berapa banyak tokoh kosen yang belum pernah
muncul di Bu-lim?"
"Tidak banyak."
"Oleh karena itu," ucap Thio-gongcu lebih jauh, "kalau kita
berpikir secara cermat, pasti dapat menemukan dia."
Lan Lan sudah masuk ke dalam tandu, Lo-bi, Hiang-hiang
dan kedua nona cilik itu menyingkir ke tempat jauh,
kelihatannya mereka tidak berani dekat-dekat tiga orang yang
lagi kasak-kusuk di sini. Akan tetapi, tiga orang ini tetap bicara
dengan suara lirih.
Thio-gongcu bicara setengah berbisik, "Kedua batang Tohbing-
ciam (jarum perenggut sukma) itu pasti bukan sambitan
Lo-bi." Siau Ma mengangguk tanda sependapat.
"Nona Lan Lan itu sengaja bilang dia yang menyambit,
karena dia sudah tahu bahwa Lo-bi akan berbuat demikian
dan mengakui apa yang dia katakan."
Bab 7 Siau Ma tertawa, giliran dia berbicara, "Kejadian yang
menguntungkan dia jelas tidak akan ditolaknya, kalau tidak,
umpama betul dia yang melakukan, pasti dia akan mungkir
mesti dihajar atau diancam mau dibunuh."
Thio-gongcu berkata, "Kalau bukan Lo-bi yang
menyambitkan Am-gi, lalu siapa?"
Siau Ma sengaja bungkam, dia menungggu penjelasan
Thio-gongcu lebih lanjut.
"Kenapa nona Lan Lan sengaja menjatuhkan vonisnya
kepada Lo-bi, malah memberi hadiah kembang mutiara yang
nilainya cukup untuk berfoya-foya beberapa bulan?"
"Ya, jika tidak beberapa ratus tahil, pasti bernilai dua tiga
ribu tahil."
"Kenapa dia berbuat demikian, apakah karena matanya
lamur" Salah melihat orang?"
"Kutanggung matanya tidak lamur dan masih dapat
melihat jarum yang jatuh dalam beberapa tombak jauhnya."
Thio-gongcu menghembuskan angin dari mulut, katanya,
"Kalau demikian hanya ada satu penjelasan untuk peristiwa
ini." "Coba jelaskan."
"Sebetulnya dia sendiri yang menyambitkan Am-gi itu, tapi
tidak ingin orang tahu bahwa dia juga seorang kosen, untuk
menyembunyikan kemampuannya, maka ia rela
mengorbankan kembang mutiara dan memberi pahala kepada
Lo-bi." "Tepat, masuk akal," puji Siau Ma.
Thio-gongcu berkata lebih lanjut, "Yang mengajarkan
Kiam-hoat kedua nona taci beradik itu, kemungkinan besar
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga dia."
"Ya, mungkin sekali."
"Kenapa dia menutupi diri sendiri" Pandai kungfu bukan
suatu hal yang memalukan atau melanggar hukum."
Siau Ma memicingkan mata mengawasi sekian lama,
akhirnya ia menarik napas, katanya, "Aku ingin tanya satu hal
kepadamu."
Thio-gongcu mengawasi mulutnya.
"Apa yang dia lakukan, ada sangkut-paut apa dengan
kau?" Tanpa menjawab sepatah kata pun, Thio-gongcu putar
badan lalu pergi.
Terpaksa Siau Ma menoleh mengawasi Siang Bu-gi.
Muka Siang Bu-gi tetap kaku dingin, dia hanya mengucap
sepatah kata, "Berangkat."
Malam makin larut.
Jalan pegunungan yang jarang dilewati manusia makin
sukar ditempuh, keledai juga tak bisa digunakan lagi.
Hiang-hiang, kakak beradik Cen-cu selalu mengiringi
tandu, Lo-bi selalu berputar kayun di kanan kiri atau depan
belakang mereka, kelihatannya dia ingin cari kesempatan
untuk bicara atau berkelakar dengan mereka.
Bahwasanya Lo-bi bukan terhitung laki-laki hidung belang,
kalau mau dikata sebagai setan cabul, dia hanya termasuk
setan cabul biasa saja.
Demikian juga Siau Ma, bukan dia tidak memikirkan Lan
Lan, malah ingin menikmati lagi kehangatan badannya.
Apa yang dilakukan Lan Lan memang tiada sangkut-paut
dengan Thio-gongcu, tapi sedikit banyak justru ada hubungan
dengan dirinya.
Kenapa Lan Lan harus menyembunyikan diri, padahal dia
mahir kungfu"
Adiknya terjangkit penyakit apa" Kenapa tidak mau
menampakkan diri"
Siau Ma tidak sempat memecahkan persoalan ini, karena
mendadak dia melihat tiga orang muncul di depan dan
berjalan ke arah mereka.
Malam larut, bulan purnama, di bawah cahaya rembulan,
mereka masih bisa melihat keadaan sekeliling dalam jarak
tertentu. Yang datang dua perempuan satu laki-laki. Yang lelaki
telanjang dada dan mengenakan sepatu rumput, rambutnya
awut-awutan bagai sarang ayam, dari kejauhan terendus bau
badannya yang apek berkeringat. Menurut pendapat Siau Ma,
laki-laki ini sudah belasan hari tidak mandi. Tapi kedua gadis
itu justru memeluk lengannya, mereka jalan bergandengan
seperti kuatir laki-laki itu terlepas terbang. Mereka masih
muda usia, yang lelaki kekar gagah, yang perempuan
ramping, cantik lagi menggiurkan.
Mereka juga berpakaian sembarangan, berjubah panjang
atau 'longdress' yang ketat dengan belahan tinggi mencapai
pantat kanan kiri, bila kaki beranjak pakaiannya tersingkap,
paha pun kelihatan. Paha mereka jenjang lagi mulus putih,
kekar dan padat, jarang Siau Ma melihat paha semulus dan
menggiurkan seperti milik gadis ini. Gadis yang lain bukan
mengenakan 'Shanghai-dress' yang terbelah pahanya, tapi
terbelah di bagian dadanya sehingga sepasang bukit mulus
dan kenyal dapat diintip dari kejauhan.
Tingkah laku tiga muda mudi ini mirip 'hipis' zaman kini,
seperti tidak peduli keadaan sekeliling, dunia adalah milik
mereka bertiga, yang penting bisa hidup senang, peduli orang
lain mau mati atau ingin hidup.
Maklum di sini adalah Long-san. Tapi melihat tingkah
mereka, seolah-olah lagi tamasya di taman firdaus, putar
kayun di kebun rumah sendiri.
Saat Siau Ma mengawasi mereka, mereka juga sedang
mengawasi Siau Ma. Terutama gadis yang memiliki paha
panjang dan mulus itu, sepasang bola matanya terpaku di
wajah Siau Ma. Siau Ma tidak berani bertatap mata, lekas dia melengos.
Siau Ma bukan laki-laki yang takut menghadapi urusan, dia
bukan laki-laki jujur yang tidak mau menggoda perempuan,
soalnya dia masih ingat dan tidak berani melupakan
peringatan nenek tua di warung bobrok itu.
Di atas gunung ada serombongan muda-mudi yang dikenal
sebagai serigala bebas atau tepatnya serigala sesat.
Kadang mereka membunuh orang, tapi juga sering
menolong orang, asal kalian tidak mengganggu mereka,
biasanya mereka tidak akan mengganggu.
Siau Ma tidak ingin mencari gara-gara. Tidak mau terlibat
urusan yang tidak perlu. Ternyata mereka tidak mengganggu
Siau Ma, terhadap orang lain jangan kata memandang, melirik
pun tidak. Sambil tangan bergandeng tangan, tiga muda-mudi ini
terus beranjak ke sana memasuki hutan. Lo-bi masih
terpesona mengawasi sepasang paha yang mulus itu. Pemuda
itu mendadak menoleh dengan pandangan melotot
kepadanya, dalam matanya seperti ada ujung pisau menusuk
hati, tanpa sadar Lo-bi bergidik merinding. Sebaliknya gadis
yang berpaha bagus itu menoleh sambil mengerling tajam,
senyumnya menawan hati, Lo-bi hampir kelengar dan lutut
pun goyah. Di saat ketiga muda mudi ini lenyap dalam hutan. Dari
jalan pegunungan di depan sana, tepatnya dari kanan kiri
jalan sekaligus muncul tiga puluhan orang berpakaian hitam.
Serigala malam telah datang.
Hanya muncul di malam hari, entah dia manusia atau
binatang buas, entah makhluk apapun, bila dia muncul di
malam gelap, siapa pun akan merasa seram dan munculnya
dirasa mengandung misteri.
Kalau manusia hanya muncul di tengah malam, sedikit
banyak pasti punya pantangan yang takut dilihat orang.
Demikian pula dengan rombongan serigala malam itu,
mereka berpakaian hitam, sepatu hitam, dengan kedok muka
hitam pula, setiap orang memiliki sepasang mata yang
mencorong hijau dan buas mirip mata serigala, gerak-gerik
mereka lincah serta cekatan. Yang muncul paling akhir
ternyata seorang timpang.
Gerak-geriknya lamban lagi berat, setiap kali melangkah
seperti mengeluarkan banyak tenaga, maka langkahnya amat
lambat. Tapi begitu dia muncul, begitu dia tampil ke depan,
seumpama golok tajam mengkilap yang sudah terhunus,
orang akan merasakan datangnya hawa membunuh yang
menyelimuti dirinya.
Siau Ma berada di depan barisan, Siang Bu-gi berada di
ekor barisan, ruang lingkup mereka makin pendek dan
menciut. Cen Cu kakak beradik siap memegang pedang.
Sedang bola mata Lo-bi berputar mengerling ke sekitarnya
seperti siap melarikan diri bila keadaan betul-betul gawat.
Laki-laki baju hitam yang timpang itu terus beranjak maju
perlahan, dua kali dia batuk-batuk ringan, semua orang
mengira dia sudah siap membuka suara. Tak nyana begitu
batuk dua kali, berbagai gaman, entah golok pedang, tombak
dan lain-lain, termasuk senjata rahasia, mendadak
memberondong selebat hujan ke arah rombongan Siau Ma.
Kecuali ruyung, pisau dan panah serta ketapel besi, mereka
menggunakan dupa pembius yang wangi baunya. Jadi
berbagai senjata yang ada di Kangouw, entah yang biasa
dipakai orang-orang gagah termasuk pendekar atau yang
sering digunakan kawanan penjahat, berandal atau maling
cabul, dalam sekejap serentak diboyong keluar untuk
mengganyang mereka. Sasaran yang diincar juga termpat
yang mematikan, paling ringan terluka parah dan sekarat.
Untung rombongan musuh tidak semuanya jago kosen,
maka serangan gencar mereka juga tidak merupakan
ancaman fatal bagi rombongan Siau Ma.
Cen Cu kakak beradik memutar sepasang pedang mereka,
sebelah tangan Hiang-hiang menarik sambil menari, badannya
berputar sekencang baling-baling, selembar sabuk sutra
seketika ditarikan selincah bidadari menggulung mega di
angkasa, sabuk sutra sepanjang setombak tujuh kaki itu
ternyata mampu membendung senjata rahasia musuh yang
memberondong tiba.
Ada dua yang menggunakan dupa wangi peranti membius
orang, sigap sekali Siau Ma melompat ke depan, beruntun dua
kali jotosan tangan kanan kirinya, hidung kedua orang ini
seketika ringsek.
Siang Bu-gi ahli mengelupas kulit bergerak laksana
bayangan setan, setiap orang yang kepergok, semua roboh
terkapar dengan badan terkelupas kulitnya.
Akan tetapi berbagai jenis senjata itu terus memberondong
gencar secara bergelombang, satu gelombang demi satu
gelombang tidak putus atau berhenti.
Pedang sudah tidak lagi gemerdep, gerakannya disertai
hamburan darah, demikian pula sabuk sutra putih yang
panjang itu sudah berwarna merah berlepotan darah, di
bawah sinar bulan purnama kelihatan merah maron.
Betapapun mereka adalah perempuan, gadis muda yang
lemah hati dan berperasaan, melihat sekian banyak korban
mampus, hati tidak tega. Sudah tentu hal ini mempengaruhi
gerak-gerik mereka yang makin lemah, apalagi napas memang
sudah tersengal-sengal.
Lo-bi selalu menjerit dan berteriak, entah bergurau atau
karena terluka. Syukurlah Siau Ma dan Thio-gongcu datang
ikut mengadang di depan tandu Lan Lan dan adiknya yang
sakit. Empat laki-laki pemikul tandu meski berhasil mengepruk
pecah beberapa batok kepala orang yang meluruk datang, tapi
mereka sendiri juga terluka. Kalau bertempur lebih lama lagi
jelas pihak mereka akan mati kelelahan karena kehabisan
tenaga. Thio-gongcu mendadak berseru, "Cara begini tidak boleh
dilanjutkan."
"Duk," sekali genjot Siau Ma memukul hancur hidung
seorang yang menyergap tiba, tanyanya, "Bagaimana menurut
pendapatmu?"
"Menangkap maling harus membekuk pentolannya,"
demikian seru Thio-gongcu. Senjata yang digunakan adalah
golok melengkung mirip bulan sabit, bentuknya mirip pisau
yang biasa digunakan untuk mengiris dan membeset kulit.
Sekali golok sabit terayun, sebuah lengan ditabasnya buntung.
Siau Ma berkata, "Maksudmu harus kubekuk si timpang
itu?" Thio-gongcu tidak sempat menjawab, dia hanya
menganggukkan kepala.
Sejak tadi laki-laki timpang itu berdiri di luar sambil
menonton dengan menggendong tangan, mendengar tanya
jawab Siau Ma dengan Thio-gongcu, mendadak dia batuk dua
kali lalu memberi aba-aba, "Mundur."
Begitu perintah dikeluarkan, orang-orang baju hitam yang
belum roboh, termasuk mereka yang terluka tapi masih
mampu menggerakkan kaki, segera mundur ke tempat gelap.
Sudah tentu laki-laki timpang itu mendahului ngacir.
Di medan pertempuran terjadi penyembelihan dan
pembantaian, mendadak keadaan menjadi tenang, hening
lelap. Kalau tiada korban yang menggeletak tumpang tindih di
tanah, seolah-olah tidak pernah terjadi pembunuhan dan
pertempuran sengit di tempat itu.
Hiang-hiang dan Cen Cu kakak beradik duduk di tanah,
duduk lemas dan lunglai, duduk di tengah ceceran darah,
napas mereka tersengal-sengal. Demikian pula Lo-bi seperti
orang yang sudah tidak punya tulang, bukan lagi duduk malah
merebahkan diri.
Sesaat kemudian terdengar suara Lan Lan dari dalam
tandu, "Mereka sudah pergi?"
"Ehm," Siau Ma bersuara dalam mulut.
"Berapa orang kita yang terluka?" tanya Lan Lan.
"Tiga," sahut Siang Bu-gi.
Yang terluka adalah dua tukang pikul dan Cen Cen, Lo-bi
meski menjerit-jerit, namun sedikitpun tidak terluka.
"Aku punya obat khusus untuk menyembuhkan luka-luka
terbacok, ambillah dan tolong mereka." Sembari bicara Lan
Lan mengulur sebelah tangannya keluar, tangannya
memegang sebuah botol porselin kecil. Jari-jari tangannya
lebih mulus dan putih dibanding botol porselin itu.
Siau Ma mengulur tangan menerima botol porselin itu,
mendadak tangan Lan Lan menggenggam perlahan
tangannya, umpama ada seribu patah kata juga takkan sejelas
pernyataan dengan sekali genggam tangan, betapa besar
makna genggaman yang perlahan ini. Serta timbul perasaan
hangat dalam benak Siau Ma, perasaan hangat seperti yang
pernah dia alami dalam dekapan sang dewi di atas ranjang,
perasaan aneh yang tak mampu dia lukiskan dengan
rangkaian kata-kata, yang terang, segala jerih payah, derita
dan kesulitan yang pernah dialami selama perjalanan ini
seperti tidak dirasakan sama sekali, semua bahaya yang
pernah dialami juga seperti sudah memperoleh imbalan.
Seolah-olah Lan Lan juga menyelami perasaan Siau Ma.
Dia hanya berkata perlahan dari dalam tandu, "Tolong
sampaikan pernyataan terima kasihku kepada temantemanmu."
Lan Lan tidak berterima kasih kepada Siau Ma. Dia hanya
minta supaya Siau Ma menyampaikan terima kasih kepada
teman-temannya, karena terhadap Siau Ma tidak perlu
mengucap terima kasih, karena mereka seperti sudah menjadi
orang sendiri, dua orang laki perempuan yang sudah bersatu
padu. Di saat menerima botol porselin, hati Siau Ma benarbenar
hangat, manis dan bergairah.
Seorang gelandangan yang hidup bebas, tidak punya
tempat tinggal, tidak berakar di suatu tempat, bila
memperoleh sekedar pengertian dari lawan jenisnya, sekedar
kasih sayang atau cinta, maka selama hidupnya pasti takkan
pernah dilupakan.
Akan tetapi di dunia ini diliputi banyak kesedihan dan
kesengsaraan. Bulan purnama yang hampir bulat masih bercokol di
angkasa raya, sinar rembulan yang redup dan kalem
menyinari arena pertempuran yang kotor dan menjijikan oleh
darah dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Cukup lama kemudian, mungkin setelah perasaannya agak
tenang, Hiang-hiang menarik napas, katanya, "Bagaimanapun
juga, kita berhasil memukul mereka."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kukira kejadian ini belum tentu berakhir," Thio-gongcu
menanggapi. "Belum tentu?" berubah air muka Hiang-hiang, "apa ...
apakah mereka akan datang pula?"
Thio-gongcu tidak menjawab. Dia harap mereka betulbetul
sudah pergi, sayang dia tahu bahwa serigala malam
pasti dan tidak mudah dipukul mundur begitu saja.
Siang Bu-gi juga prihatin, katanya, "Lekas balut lukalukanya,
kita harus menerobos ke depan."
Cen Cen memprotes, "Tapi kita perlu istirahat."
"Kalau ingin mampus, boleh kau istirahat di sini."
Terpaksa Cen Cen tutup mulut.
Tukang pikul tandu sedang membalut luka-luka mereka,
seorang di antaranya berkata, "Luka-luka Lo-ji cukup parah,
umpama masih bisa berjalan, dia tidak kuat memikul tandu
lagi." "Orang yang tidak sakit tidak harus naik tandu," kata Siang
Bu-gi. "Harus naik tandu," Lan Lan memprotes. "Kau tidak punya
kaki?" tanya Siang Bu-gi.
"Punya."
"Kenapa tidak mau jalan sendiri?"
"Karena kalau aku harus jalan, tandu ini tidak boleh
ditinggal di sini."
Siang Bu-gi tidak bertanya lagi. Dia maklum tandu ini
menyimpan suatu benda, entah apa yang tidak boleh dibuang,
tapi juga tidak boleh dibawa secara terang-terangan, harus
selalu disembunyikan.
Siau Ma berkata, "Sebetulnya memikul tandu tidak jadi
persoalan. Asal manusia, siapa pun bisa memikul tandu."
Lo-bi segera bersuara, "Aku tidak bisa."
"Kau bisa belajar," desak Siau Ma.
"Ya, kelak aku akan belajar."
"Kenapa harus kelak, sekarang kau harus belajar, aku
berani tanggung sekali belajar, kau akan pandai."
Lo bi berjingkrak sambil berteriak, "Kau suruh aku memikul
tandu?" "Kalau bukan kau, siapa yang memikul?" jengek Siau Ma.
Lo-bi menatapnya lekat-lekat, mengawasi Thio-gongcu,
lalu menoleh ke arah Hiang-hiang dan Cen Cu kakak beradik.
Terhadap Siang Bu-gi melirik pun tidak berani.
Dia sadar, di antara sekian orang yang hadir, seorang pun
tiada yang bisa dia perintah, maka tugas memikul tandu
memang hanya dirinya yang harus melakukan. Persoalan yang
tidak boleh dirubah lagi, jika berusaha merubahnya, maka dia
adalah orang pikun. Lo-bi bukan orang pikun. Maka segera dia
berdiri, katanya dengan tertawa, "Baiklah, kau yang
menyuruh, aku akan memikul tandu ini, siapa suruh aku
menjadi teman lamamu."
Siau Ma juga tertawa, katanya, "Ada kalanya aku benarbenar
merasakan, kau ini bukan saja pintar, kau juga mungil
menyenangkan."
"Sayang sekali kau ini lelaki, kalau tidak ...." ucapannya
tidak selesai. Lo-bi bukan orang pikun, tapi dia berdiri
menjublek karena kaget.
* * * * * Di tengah kegelapan mendadak merubung datang
serombongan orang berpakaian hitam, jumlahnya jauh lebih
banyak dibanding yang tadi. Laki laki timpang baju hitam itu
muncul, dia berdiri di bawah pohon besar di kejauhan sana.
Thio-gongcu berseru lantang, "Cayhe Thio-wan-to, berasal
dari golongan yang sama, tuan ...."
Laki-laki timpang itu seperti tuli kupingnya, hakikatnya
tidak mendengar teriakannya, dia hanya batuk-batuk dua kali.
Maka berbagai jenis senjata dan Am-gi selebat hujan deras
kembali membrondong ke arah mereka. Kali ini jenis senjata
yang digunakan lebih banyak ragamnya, serangan juga lebih
keji, di antara mereka malah ada yang berkepandaian tinggi.
Siang Bu-gi menyeringai sadis, mendadak menepuk
pinggang melolos pedang lemas yang menjadi sabuk
celananya. Walau pedang lemas, sekali sendal menjadi lurus
kaku, cahayanya juga mencorong benderang, hawa dingin
merembes sehingga udara terasa lebih segar, tampak jelas
sikap Siang Bu-gi, dia terpaksa dan dipaksa mengeluarkan
senjatanya, sebetulnya dia tidak ingin gamannya diketahui
orang lain. Tetapi sekarang dia sudah berkeputusan untuk
menggunakan serangan keji, serangan yang mematikan.
Sudah tentu pertempuran kedua ini jauh lebih sengit, lebih
berbahaya, lebih mengenaskan. Meski Kiam-hoat Cen Cu
kakak ber-adik amat ganas, tapi kedua nona ini sudah terluka,
tenaga juga tidak sekuat tadi.
Lo-bi juga terkena sekali bacokan. Bacokan yang cukup
keras di punggung, luka-lukanya tidak ringan, tapi dia tidak
lagi menjerit-jerit seperti tadi.
Golok sabit Thio-gongcu membabat miring ke atas, dimana
goloknya berkelebat, setiap kali goloknya bergerak, darah
pasti berhamburan, leher putus dada terbelah, kalau bukan
kaki pasti tangan menjadi buntung.
Tetapi pedang Siang Bu-gi lebih menakutkan. Permainan
pedangnya lebih mengerikan.
Orang-orang baju hitam yang menyerbu tahu, betapapun
lihai tinju dan pedang musuh, akhirnya takkan mampu
menyelamatkan diri, akan tetapi tidak sedikit di antara mereka
yang tahu-tahu roboh binasa tanpa sebab. Waktu mereka
ambruk, sekujur badan tidak terluka, hanya setitik darah
menghias wajah tepat di tengah kedua alis.
Tiada orang tahu, tiada yang melihat darimana datangnya
senjata rahasia yang mematikan ini. Senjata rahasia yang
merenggut nyawa mencabut sukma seperti datang dari
neraka. Laki-laki timpang yang berpakaian hitam berdiri di
kejauhan menyaksikan dengan penuh perhatian, setelah dia
saksikan dua laki-laki baju hitam yang paling perkasa dan lihai
juga roboh tanpa bersuara karena senjata rahasia yang sama,
baru dia mengulap tangan seraya memberi aba-aba,
"Mundur."
* * * * * Kawanan serigala hitam itu segera lenyap ditelan gelap,
sinar bulan terasa lebih dingin, mayat bertumpuk lebih banyak
di tanah. Kali ini Lan Lan tidak bertanya, berapa yang terluka di
pihaknya. Dia turun dari tandu, waktu menyingkap kerai dan
mengintip dari dalam tandu, dia sudah tahu keadaan di luar,
orang-orang pihaknya hampir seluruhnya terluka. Siau Ma pun
terluka juga. Padahal Siau Ma mengganyang musuh dengan adu jiwa,
ternyata di antara kawanan serigala malam itu ada juga yang
nekad dan berani adu jiwa.
Hanya Siang Bu-gi yang tetap berdiri tegak di tempatnya,
pakaiannya berlepotan darah, tapi bukan darahnya sendiri.
Bila kawanan serigala malam itu mengundurkan diri, pedang
di tangannya sudah tidak kelihatan.
Hiang-hiang memegang pikulan tandu, sorot matanya
menampilkan mimik yang aneh, mulutnya bergetar, tanyanya,
"Mereka ... mereka akan datang lagi tidak?" Belum habis
bicara tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.
Thio-gongcu memburu maju, satu tangan menutuk Jintiong-
hiat di atas bibir, tangan yang lain memegang urat nadi.
"Jangan gopoh," Siang Bu-gi berkata, "dia tidak mati,
hanya terkena bius."
Thio-gongcu menghela napas lega, katanya, "Tadi aku
menyaksikan sendiri Siau Ma sudah merobohkan orang yang
memegang bumbung semprot dupa wangi, bumbung
semprotannya sudah diinjaknya remuk, kenapa dia bisa
terbius?" Siang Bu-gi berkata dingin, "Kenapa tidak kau tanya
kepada yang bersangkutan."
Sudah tentu Thio-gongcu tidak mampu bertanya. Bukan
saja Hiang-hiang tak sadarkan diri, rona mukanya sudah
berubah kelabu.
Rona muka Thio-gongcu amat jelek, tanyanya kuatir,
"Siapa yang tahu bius jenis apa yang mengenai dia?"
"Dupa wangi yang tiada obat penawarnya," sahut Siau Ma
dengan tawa dipaksakan, lalu dia menghibur Thio-gongcu,
"Untung dia tidak banyak menghirup dupa wangi itu, maka
jiwanya takkan berbahaya."
Tiba-tiba Siang Bu-gi menyeletuk, "Tapi kalau orang-orang
itu datang lagi, maka jiwanya sukar diselamatkan." Walau
perkataannya menusuk pendengaran, tapi dia bicara secara
nyata. Jikalau kawanan serigala malam itu meluruk lagi, mereka
pasti menyerbu lebih sengit dan menyerang lebih nekad, lebih
kejam dan culas, untuk menghadapi musuh dan
mempertahankan diri, mereka cukup sibuk, mana sempat
melindungi Hiang-hiang.
Lo-bi cemberut, katanya, "Kalau kawanan serigala itu
datang lagi, bukan Hiang-hiang saja yang akan mati, kita juga
bakal mampus semua."
Siau Ma berkata, "Tapi mereka pasti mati lebih banyak."
Dia sudah menghitung, korban yang jatuh dari kawanan
serigala malam itu seluruhnya ada lima puluhan.
Cen Cen rebah di tanah, suaranya gemetar, namun dia
menghibur diri, "Mungkin pihak mereka sudah hampir mampus
seluruhnya, mana berani datang lagi."
"Ya, mungkin."
"Mungkin mereka segera datang," Lo-bi menyelentuk.
Siau Ma mendelik padanya, katanya, "Kenapa kau selalu
bicara secara tengik, menyebalkan saja."
"Tanpa aku bicara, orang lain juga sebal kepadaku."
Mengawasi orang yang berlepotan darah, lemas lunglai
kehabisan tenaga, Lan Lan menghela napas panjang, katanya
rawan, "Sekarang baru kutahu, Long-san memang daerah
yang menakutkan."
Yang benar keadaan di Long-san tidak cukup dilukis hanya
dengan "menakutkan" saja.
Siau Ma mendadak berkata lantang, "Aku justru tidak
menemukan dimana letak menakutkan di daerah maknya ini."
'Maknya' adalah kata seru yang selalu diucapkan oleh Siau
Ma, setiap membuka dan menutup mulut tidak jarang dia
melontarkan caci makinya, belakangan sudah banyak berubah,
hari ini lantaran marah tanpa sadar dia mencaci pula dengan
kata seru yang sudah menjadi kebiasaannya.
"Kau tidak melihat dimana tempat menakutkan di daerah
ini?" tanya Lan Lan.
"Aku hanya tahu dan jelas kulihat bahwa mereka akan
mampus seluruhnya. Sebaliknya kita masih hidup segar
bugar." Asal dada masih bernapas, bila tenaga belum habis, tak
pernah si Kuda Binal putus asa, tak pernah dia patah
semangat. Siapa pun asal dia tidak patah semangat, maka
harapan masih menanti, masih ada harapan.
Lan Lan mengawasinya, sorot matanya juga mulai
bercahaya, bukan saja tak pernah tunduk, tak pernah patah
semangat, pambeknya akan membangkitkan harapan orang
lain. Tapi keadaan mereka sekarang memang serba sulit, posisi
mereka terjepit. Masih cukup lama menunggu datangnya fajar,
setiap saat kawanan serigala itu masih mampu mengerahkan
tenaga, mengumpulkan bala bantuan untuk menyerbu dengan
serangan lebih ganas dan gencar.
Apalagi setelah fajar menyingsing, masih ada jenis serigala
lain yang harus mereka hadapi, paling tidak Kun-cu-long
adalah ancaman utama. Konon Kun-cu-long jauh lebih
menakutkan dibanding kawanan serigala malam.
"Sekarang kita masih mampu maju ke depan?" tanya Lan
Lan. "Kenapa tidak mampu?" tanya Siau Ma. "Kaki kita tidak
buntung, siapa bilang tidak mampu berjalan lagi."
Lo-bi tergagap, "Tapi aku ...."
"Aku tahu kau terluka, kau tidak bisa memikul tandu, biar
aku yang pikul."
Walau Siau Ma juga terluka, luka-lukanya mungkin tidak
lebih ringan dibanding Lo-bi, tapi dadanya masih membusung,
tubuhnya masih tegap.
Ada sementara orang, meski mengalami derita dan siksa,
dia pasti tidak pernah minta ampun atau tunduk oleh keadaan.
Siau Ma identik dengan manusia jenis ini. Bukan saja memiliki
keberanian yang takkan pernah melempem, seolah-olah dia
memiliki kekuatan terpendam yang tidak pernah habis
digunakan. * * * * * Maka rombongan mereka maju ke depan. Walau mereka
terluka tidak ringan, walau semua sudah merasa lelah, tetapi
melihat Siau Ma, semangat mereka pun menyala, semua
menggelorakan tekad dan mengerahkan seluruh tenaga.
Hiang-hiang masih belum sadar, maka Lan Lan turun dan
berjalan kaki, ganti Hiang-hiang yang naik tandu.
Sepanjang jalan Lo-bi berkeluh kesah, saking jengkelnya,
Siau Ma mengancam, "Berani kau cerewet lagi, bukan saja
kubikin ringsek hidungmu, biar kau memikul tandu."
Luka-luka di tubuh Cen Cu kakak beradik juga tidak ringan,
tapi obat luka-luka yang dibubuhkan Lan Lan memang
mujarab, rasa sakit hilang, darah pun berhenti keluar, maklum
mereka masih muda, ketahanan fisik mereka lebih kuat.
Waktu mendengar ucapan Siau Ma, meski menahan derita,
namun tak tertahan mereka tertawa cekikikan.
Bila seorang masih bisa tertawa, itu berarti dia masih
punya harapan. Kali ini mereka mampu menempuh jarak yang cukup jauh.
Betapapun jauh jarak yang telah mereka tempuh, mereka
tetap belum mampu keluar dari tabir kegelapan.
Malam masih gfelap.
Sambil memikul tandu, langkah Siau Ma masih enteng,
setengah berlari malah, Lan Lan terus mendampinginya.
Bukan hanya mendampingi saja, matanya selalu
mengawasinya pula, sorot matanya menampilkan rasa kagum,
hormat dan cinta.
Yang paling diperhatikan oleh Thio-gongcu hanya seorang,
tak jarang dia mendekati tandu, pasang kuping mendengarkan
pernapasan Hiang-hiang. Ternyata Hiang-hiang belum
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan perubahan. Sementara pasien di tandu yang lain
juga tidak batuk lagi, mungkin sedang tidur nyenyak.
Lan Lan berkata perlahan, "Kelihatannya mereka tidak
datang lagi."
"Ehm, semoga," ucap Siau Ma.
"Tapi kita harus mencari tempat untuk istirahat, kalau
begini terus, akhirnya kita tak kuat bertahan," mendadak Lan
Lan tertawa lebar dan manis, "Sudah tentu kau dikecualikan,
kau ini manusia berotot kawat tulang besi."
Siau Ma sedang menyeka keringat. Dia bukan manusia
besi, manusia robot. Siau Ma sendiri maklum akan datang
saatnya dia akan ambruk. Tapi dia tidak mengutarakan isi
hatinya, dia pantang bicara.
Lan Lan bimbang, mendadak dia bertanya, "Kalau aku jadi
binimu, mau tidak?"
Siau Ma membungkam.
Lan Lan berkata pula, "Apakah kau masih merindukan dia"
Perempuan macam apakah dia sebetulnya?"
Berubah air muka Siau Ma. Bukan seratus persen
dikarenakan perkataan Lan Lan, hingga terjadi perubahan air
mukanya, tapi karena matanya menangkap munculnya
bayangan seorang. Dia melihat laki-laki baju hitam yang
timpang itu. * * * * * Bab 8 Di jalan pegunungan yang turun naik dan tidak rata itu,
menghadang sebuah batu gunung raksasa. Laki-laki timpang
baju hitam itu berdiri di batu gunung raksasa ini, sepasang
matanya memancarkan cahaya gemerdep di tengah
kegelapan. Ternyata Siang Bu-gi yang berada di buntut barisan juga
sudah tahu munculnya laki-laki timpang baju hitam ini, segera
dia memburu ke depan barisan, dengan menekan suara
bertanya, "Terus terjang" Atau berhenti di sini?"
Siau Ma menurunkan tandu. Dia tahu, main terjang jelas
tak mampu lewat. Batu gunung raksasa itu terletak di tempat
yang berbahaya, tempat berbahaya cukup dijaga oleh
seorang, puluhan musuh juga jangan harap dapat menerobos
lewat. Apalagi di belakang batu gunung itu, banyak anak
buahnya siap menyergap.
Perlahan Cen Cu bertanya kepada sang taci, "Bagaimana
keadaanmu?"
Cen Cen berkata, "Aku hanya ingin mengganyang kurakura."
"Kau masih mampu membunuh orang?" tanya Cen Cu.
Cekak tapi tegas jawaban Cen Cen, "Bisa."
"Mari kita membunuhnya," kata Cen Cu.
"Hayolah."
Mendadak kedua kakak beradik menerjang lewat kanan kiri
tandu, waktu menerjang, pedang mereka sudah terhunus.
Anak muda umumnya tidak kenal arti takut. Bukan saja masih
muda, jalan pikiran mereka masih kanak-kanak. Kanak-kanak
tidak tahu artinya mati.
Dua anak dua batang pedang, menerjang ke atas batu
raksasa hendak membunuh laki-laki timpang baju hitam.
Kejadian tidak terduga, semua kaget terpesona, ingin
menariknya juga sudah terlambat.
Laki-laki timpang baju hitam berdiri sambil menggendong
tangan, berdiri sambil menyeringai dingin.
Cen Cen berkata, "Kita ganyang dia, coba masih bisa
tertawa tidak?"
"Tawanya lebih jelek dibanding kentut bebek, aku lebih
senang mati daripada mendengar tawanya," Cen Cu mengolok
dengan tertawa.
Kalau mereka mati tentu takkan mendengar suara tawa
orang, langkah mereka berarti mengantar kematian. Mereka
memang mempertaruhkan jiwa.
Walau laki-laki timpang baju hitam belum turun tangan,
namun melihat sorot matanya, sikap dan gayanya, siapa pun
belum tahu bahwa laki-laki timpang ini jagonya jago silat
kosen. Batu raksasa dimana dia berdiri terletak di tempat yang
berbahaya, berada di atas menghadapi serangan dari bawah.
Di belakang batu raksasa ada anak buahnya yang siap
bertindak bila mendengar perintah. Persoalan ini tidak terpikir
atau memang tidak diketahui oleh kakak beradik ini.
Syukurlah masih ada orang lain yang menduga akan hal
ini. Di saat kedua kakak beradik ini hampir mencapai batu
raksasa, mendadak selarik bayangan mendesir lewat di tengah
mereka, lalu berhenti tak jauhi di depannya. Kedua kakak adik
ini belum sempat melihat siapa orang yang menerobos lewat
di samping mereka, dengan keras mereka sudah saling
bertumbukan. Orang itu tidak bergeming sedikitpun, namun
kedua kakak beradik itu malah terpental mundur
sempoyongan, hampir saja jatuh terduduk.
Orang itu tetap berdiri tegak, menoleh pun tidak, tapi Cen
Cu berdua sudah melihat jelas siapa dia, hanya melihat
bayangan punggung saja, orang akan tahu siapa dia. Orang
itu bertubuh kurus sekali, punggungnya agak melengkung,
setengah bungkuk, tapi pinggangnya tegak dan tegap.
Tangannya panjang, bila dilurusksn ke bawah, jari tangannya
hampir menyentuh lutut.
Peduli apa yang terjadi di belakangnya, jarang dia menoleh
ke belakang. Orang ini adalah Siang Bu-gi.
Cen Cu berteriak lebih dulu, "Apa yang kau lakukan?"
Cen Cen ikut berkata, "Apa kau sinting?"
Siang Bu-gi tidak menjawab, juga tidak menoleh. Dia
menatap laki-laki timpang di atas batu gunung besar itu.
Laki-laki timpang berbaju hitam sedang menyeringai
dingin, mendadak dia berkata, "Kau pasti sinting."
Siang Bu-gi tetap tidak bersuara.
"Kau menolong mereka, mereka malah memaki engkau,
orang yang tidak sinting, mana mau berbuat sebodoh ini."
Siang Bu-gi diam saja.
"Sebetulnya kau tolong mereka atau tidak sama saja, jiwa
mereka sudah tergenggam di tanganku, tiada ampun bagi
orang yang berdosa di tempat ini."
Mendadak Siang Bu-gi berkata, "Kau punya tangan,
kenapa tidak turun tangan."
"Aku tidak perlu melakukan," habis dia bicara, dari tempat
gelap sekaligus muncul seratus orang berbaju hitam, umpama
tidak genap seratus pasti ada delapan puluh orang.
Laki-laki timpang baju hitam berkata, "Pedangmu sangat
cepat." Siang Bu-gi membungkam.
Laki-laki timpang berkata pula, "Kau memiliki sebatang
pedang bagus."
Siang Bu-gi tak menyangkal. Siapa pernah menyaksikan
permainannya, pasti tak berani menyangkal, pasti mengakui
bahwa pedang lemas miliknya itu adalah gaman bagus,
pedang mestika yang luar biasa.
Laki-laki timpang baju hitam berkata pula, "Tinju anak
muda yang memikul tandu itu juga tinju bagus, jotosannya
luar biasa."
Tinju Siau Ma tidak bagus, tinju Siau Ma suka menghajar
orang, terutama membuat hidung orang ringsek, kebiasaan
jelek ini jelas tidak bagus. Tapi sepasang tinju itu memang
cepat, teramat cepat, keras lagi.
Laki-laki timpang berkata, "Saudara-saudaraku ingin
mencoba kecepatan tinjunya."
Lalu dia batuk-batuk dua kali. Sudah tentu suara batuknya
berbeda dengan batuk si pasien dalam tandu. Medengar suara
batuknya, Cen Cen dan Cen Cu berubah air mukanya. Walau
mereka tidak takut mati, tapi dua kali pertempuran sengit
yang sudah mereka alami tadi, masih segar dalam ingatan
mereka. Sampai sekarang belum sempat mereka melupakan
apa yang terjadi dengan pembantaian manusia tadi.
Begitu suara batuk berkumandang, pertanda pertempuran
adu jiwa yang ketiga akan segera berlangsung. Pertarungan
ketiga ini jelas lebih kejam, lebih berbahaya juga lebih seru.
Bila pertempuran usai, berapa jiwa manusia akan ketinggalan
hidup" Sungguh tak terduga, di kala suara batuknya baru saja
berkumandang di udara, suara kokok ayam berkumandang di
kejauhan. Sikap laki-laki timpang tampak berubah, kelihatan tertegun
sejenak, lalu mengulap tangan, kawanan serigala yang siap
menerkam serempak menghentikan gerakan.
* * * * * Halimun tampak mulai mendatang dari depan gunung
sana. Dari arah datangnya halimun, berkumandang suara alat
musik yang aneh lagi ganjil iramanya, cepat enteng
mengandung daya tarik yang simpatik lagi menggelora
semangat. Manusia mana pun meski dia sudah patah
semangat, putus asa atau frustasi umpamanya, setelah
mendengar irama musik yang satu ini, perasaannya pasti
berubah, keinginan timbul, gelora hidup akan membara.
Laki-laki timpang baju hitam berdiri di atas batu gunung
besar itu sudah menghilang. Demikian pula kawanan serigala
malam lenyap ditelan gelap.
Kokok ayam jantan bersahut-sahutan di kejauhan, fajar
akan segera menyingsing, namun tabir gelap justru makin
pekat. Fajar hari ini kenapa datang lebih cepat dari biasanya"
Irama musik masih terus mengalun merdu.
Siau Ma mengepal tinju dengan mengendorkan sekujur
badan, bila dia membuka telapak tangan, didapatinya telapak
tangannya basah oleh keringat dingin.
Lan Lan menarik napas panjang. Bagaimanapun juga
malam yang penuh bahaya ini berakhir. Syukur pertempuran
besar yang menentukan mati hidup mereka tidak terjadi.
Walau rona muka Siang Bu-gi tidak berubah, tidak
menampilkan perubahan perasaan hatinya, namun sepasang
bola mata yang memicing perlahan terpentang lebar.
Akhirnya dia menoleh lalu membalik badan, dilihatnya
sepasang mata kakak beradik cewek ayu itu tengah
mengawasi dirinya dengan pandangan menyala. Cadar hitam
yang membungkus muka mereka sudah terjatuh. Walau lukaluka
di wajah belum sembuh, tapi sepasang mata mereka
yang indah, memancarkan cahaya terang, mengandung rasa
haru, terima kasih lagi simpatik.
Mendadak kakak beradik ini memburu maju, satu di kanan
yang lain di kiri, mereka memeluk Siang Bu-gi, lalu "Ngok"
dengan mesra mencium pipinya.
Cen Cen berkata, "Ternyata kau bukan orang jahat."
Cen Cu juga berkata, " Ternyata kau punya perasaan."
Terunjuk perubahan mimik di wajah Siang Bu-gi, wajahnya
menampilkan perasaan hatinya, namun siapa pun sukar
mengatakan perasaan apa yang terkandung dalam
sanubarinya. Siau Ma tertawa lebar. Lan Lan juga tertawa lega. Dua
orang ini beradu pandang sejenak, kerlingan mata mereka
mengandung pandangan mesra dan manisnya cinta.
Kehidupan amat berharga. Betapapun kehidupan manusia
mengandung rasa hangat dan kasih sayang, riang dan
gembira. Siau Ma berkata, "Walau wajahnya kaku dingin, tapi
hatinya panas membara."
Lan Lan menatapnya, katanya lirih tapi mesra,
"Kelihatannya kau pun mirip dia."
Mendadak Siang Bu-gi berkata dingin, "Kenyataan kita
belum mampus, kaki juga belum patah, kenapa perjalanan
tidak dilanjutkan.?"
Cen Cen tertawa riang, katanya jenaka, "Sekarang biar dia
bersikap galak, aku tidak takut lagi."
Cen Cu juga berkata, "Sekarang kami sudah tahu, dia
bersikap garang untuk menakuti orang lain."
Percakapan kakak beradik ini dilakukan setengah berbisik,
tapi sengaja mereka berlaku berani supaya didengar oleh
Siang Bu-gi. Saat menoleh ke arah mereka, dengan cekikikan
kedua kakak beradik ini lari menyingkir.
Siau Ma tertawa besar, tandu segera diangkatnya, tapi
baru saja tandu terangkat, suara tawanya pun sirap seketika.
Mendadak dia melihat tiga pasang mata sedang melotot ke
arahnya. Tiga pasang mata yang mencorong hijau seperti bola
mata serigala, sorot mata yang mengandung perasaan dan
harapan aneh, keinginan atau luapan hati yang penuh gelora
birahi. * * * * * Ada kehidupan pasti ada birahi, ada nafsu. Tapi nafsu juga
ada bermacam-macam. Ada nafsu yang mengangkat derajat
manusia, ada pula nafsu yang membuat manusia sengsara,
meruntuhkan moral manusia.
Nafsu yang terkandung di tiga pasang mata ini adalah
nafsu yang dapat meruntuhkan martabat manusia. Bukan saja
dapat meruntuhkan iman orang lain, juga akan meruntuhkan
diri sendiri. Kenapa manusia harus meruntuhkan diri sendiri" Apakah
karena mereka sudah kehilangan kesadaran" Sudah tidak
punya kepribadian"
Kini Siau Ma melihat jelas, tiga pasang mata ini adalah
milik tiga muda mudi yang tadi bertemu dengan mereka.
Pemuda dengan rambut awut-awutan mirip orang
gelandangan yang sudah belasan hari tidak mandi. Gadis
dengan sepasang paha yang jenjang dan payudara yang
montok padat. Kenapa mereka putar balik setelah le-nyap
dalam hutan tadi"
Siau Ma melengos ke arah lain, tidak mau atau tidak berani
beradu pandang dengan mereka, padahal besar hasratnya
melihat paha yang jenjang, dan payudara yang merangsang
menggiurkan itu. Tapi Siau Ma masih dapat mengendalikan
diri. Setelah meresapi pahit getirnya cinta, setelah tergembleng
oleh siksa lahir batin selama ini, Siau Ma bukan pemuda yang
suka emosi, bukan orang yang gampang dipancing amarahnya
lalu bertindak semena-mena.
Gadis cantik itu sedang menatapnya, mendadak dia
berteriak dari kejauhan, "Hai!"
Tak tahan Siau Ma menoleh, "Kau panggil siapa?"
"Kau," sahut gadis itu.
"Aku tidak mengenalmu."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa harus kenal kau, kalau tidak kenal apa tidak boleh
memanggilmu?"
Siau Ma melenggong. Tiada manusia yang sejak dilahirkan
lantas kenal satu dengan yang lainnya, apa yang dikatakan
gadis ayu ini rasanya cukup beralasan dan masuk akal.
"Hai!" gadis itu berteriak pula.
"Namaku bukan 'Hai'."
"Siapa namamu?"
"Orang memanggil aku Siau Ma."
"Aku justru suka memanggil kau 'Hai', asal kau tahu aku
sedang memanggilmu saja."
Kembali Siau Ma tertegun.
Panggilan antara manusia dengan manusia memang tiada
peraturan khusus, kalau orang boleh memanggil dengan tuan,
nona, saudara dan Iain-lain, kenapa tidak boleh memanggil
dengan 'Hai'. Pikiran dan sikap gadis ayu ini memang eksentrik, amat
aneh dan khusus, jauh berbeda dengan kebanyakan orang.
Tapi kedengarannya juga mempunyai alasan dan pengertian
yang dapat dimaklumi oleh siapa pun.
"Hai!" kembali gadis ayu itu berseru.
Siau Ma menjawab, "Untuk apa memanggil aku."
Gadis ayu itu berkata, "Hayo ikut aku."
Siau Ma melenggong, katanya, "Kenapa ikut kau?"
"Aku suka padamu," jawaban terus terang yang
mengejutkan orang.
Biasanya Siau Ma hidup dalam lingkungan bebas, tidak
pernah terkekang oleh adat istiadat, seperti kuda liar yang
binal, apa yang ingin diucapkan, tanpa tedeng aling-aling dia
lontarkan. Maklum jika dia tidak menduga gadis ayu ini juga
melontarkan omongannya itu.
Mendadak Lan Lan menyeletuk, "Dia tidak boleh ikut kau."
"Kenapa?" tanya gadis ayu terbelalak.
"Aku menyukainya, aku lebih suka dia dibanding kau,"
ucapannya mengejutkan, karena ucapannya itu merupakan
provokasi yang mungkin sekali mengundang perkelahian dua
orang yang berebut kekasih.
Di luar dugaan, gadis ayu itu seperti maklum, seolah-olah
merasa apa yang diucapkan Lan Lan masuk akal, dengan
penuh pengertian dia balas bertanya, "Bila dia pergi, apakah
kau bersedih?"
"Pasti sedih sekali," sahut Lan Lan.
"Sedih itu tidak baik, aku tidak senang membuat orang
sedih." "Kalau begitu, lekas kau pergi saja."
Gadis ayu itu berkata, "Kalian berdua boleh ikut
bersamaku."
"Kenapa harus ikut kau?" tanya Lan Lan.
"Karena di tempat itu amat menyenangkan, setiba di sana,
kalian pasti hidup senang."
Pemuda rambut panjang yang tidak keruan menyeletuk,
"Di tempat kami hanya ada senda gurau, hidup bebas, riang
gembira, tiada peraturan yang mengekang gerak-gerikmu, ada
musik, bisa menari, tiada...."
"Musik!" mendadak Siau Ma menukas.
Irama musik yang merdu masih berkumandang di
kejauhan. Siau Ma bertanya, "Itukah musik kalian?"
Pemuda rambut panjang berkata, "Setiap ada prosesi
penyembahan harus ada musik."
Musik dan upacara umumnya memang tidak pernah
terpisah. Siau Ma tertarik, timbul rasa ingin tahu, tanyanya, "Apakah
yang kalian sembah?"
"Surya," sahut pemuda rambut panjang.
"Sekarang masih gelap, masih malam, malam hari mana
ada surya?" tanya Siau Ma.
Pemuda gondrong berkata, "Upacara penyembahan hari ini
datang lebih dini dari biasanya."
"Kenapa?"
Pemuda gondrong itu tertawa, katanya sambil menepuk
kepala gadis ayu di sebelahnya, "Karena dia menyukaimu."
Siau Ma segera mengerti. Bila musik upacara yang
mengiringi penyembahan berbunyi, itu berarti fajar sudah
akan menjelang.
Kawanan serigala malam itu seumpama setan atau
dedemit, bila tabir malam lenyap, malam berganti pagi, maka
mereka harus lenyap dari mayapada ini.
Lan Lan menyeletuk, "Umpama betul kalian menolong
kami, dia tetap tidak boleh ikut kau."
"Dan kau?" tanya gadis ayu.
"Orang-orang di sini tiada satu pun yang boleh ikut kau,"
Lan Lan menegaskan.
Gadis ayu berkata, "Aku tidak suka memaksa orang, tapi
bila kalian mau datang, siapa saja tidak pandang bulu, kami
akan menyambut dengan gembira." Suaranya mengandung
daya tarik, undangan yang menawan, "Asal kalian menuju ke
arah datangnya suara musik, kalian akan menemukan kami,
kalian akan menemukan taman firdaus, meresapi hidup bebas,
riang gembira yang tiada taranya, aku berani tanggung, kalian
pasti takkan menyesal." Ketika dia membalik tubuh, kebetulan
angin menghembus kencang, maka belahan baju di bagian
pahanya tersingkap, sehingga paha yang jenjang mulus
terpampang di mata Siau Ma.
Bola mata Lo-bi melotot terpesona, bagai kelereng yang
hampir mencotot jatuh.
Gadis yang dadanya tersingkap mendadak menghampiri
Cen Cen dan Cen Cu. Sejak tadi gadis jelita ini terus
mengawasi mereka. Sorot matanya seperti mempunyai daya
gaib, tenaga iblis yang tak dapat dilawan, kakak beradik itu
seperti terpesona dan terpengaruh alam pikirannya.
Waktu gadis yang tersingkap baju dadanya berada di
depan mereka, ternyata keduanya berdiri kaku diam. Dengan
mesra gadis montok itu memeluk, lalu berbisik-bisik di pinggir
telinga mereka. Jari-jari tangannya mengusap dan mengelus
pinggang mereka.
Sorot mata Cen Cen dan Cen Cu mendadak menjadi pudar,
bola matanya seperti diselimuti halimun, matanya merem
melek seperti menikmati sesuatu yang menyenangkan,
sesuatu yang mengasyikan. Setelah gadis itu pergi jauh dan
tidak kelihatan, mereka belum juga sadar.
Setelah ketiga muda-mudi itu pergi cukup lama, baru Lan
Lan menghela napas lega, katanya, "Dua gadis itu seperti
iblis." "Bagaimana dibanding engkau?" goda Siau Ma tertawa.
Lan Lan tidak menanggapi, ia menghampiri Cen Cen dan
Cen Cu, katanya, "Apa yang dia bisikkan pada kalian?"
Merah jengah muka Cen Cen, katanya, "Dia ... dia tanya
apakah kami masih perawan?"
Sudah tentu mereka masih perawan, seratus persen halal.
"Apa pula yang dia katakan?" tanya Lan Lan pula.
Lebih merah muka Cen Cen, mulutnya megap-megap
sukar mengucap sepatah kata pun.
Waktu Lan-Lan mendesak lagi, pasien dalam tandu mulai
batuk-batuk. Kali ini batuknya lebih kerap, lebih keras dan
napas pun ngos-ngosan. Memang ada sejenis penyakit yang
hanya kumat di kala fajar menyingsing. Kalau sudah kumat,
pasti fatal, obat apa-pun tak dapat menahannya.
Sorot mata Lan Lan memancarkan rasa prihatin dan kuatir,
katanya, "Apapun yang akan terjadi, kita harus mencari
tempat untuk istirahat." Matanya tertuju ke arah Siang Bu-gi.
Ternyata Siang Bu-gi tidak menentang, dia juga tahu
bahwa mereka memang perlu istirahat. Tapi di gunung
serigala ini, di tempat mana mereka bisa istirahat secara
tenang dan tenteram" Setiap jengkal tanah di wilayahnya ini
tiada tempat berpijak untuk mereka.
Lan Lan menoleh ke arah Thio-gongcu, katanya, "Kau
pernah ke Long-san?"
Thio-gongcu manggut-manggut. Beberapa tahun yang lalu
dia pernah kemari, waktu itu gunung ini belum ada serigala
manusia sebanyak ini, maka dia masih selamat dan turun
gunung tanpa kurang suatu apapun.
"Orang-orang di sini banyak berubah, tetapi keadaan
gunung kurasa tak banyak berbeda," demikian kata Lan Lan.
Thio-gongcu mengangguk.
"Aku yakin kau dapat mengingat tempat dimana kita bisa
beristirahat dengan tenteram."
"Aku sedang berpikir," ucap Thio-gongcu.
Sudah lama dia berpikir, setiap pelosok tempat di sini yang
pernah dia kunjungi sudah dipikirkan, sayang dia tidak yakin di
tempat itu mereka akan selamat.
Di saat mereka kebingungan, mendadak seorang berkata,
"Kalian tidak usah cari tempat, dipikir sampai otak pecah juga
takkan menemukan tempat aman di sini, tapi aku bisa
menunjukkan dan membawa kalian ke tempat aman."
* * * * * Rembulan dan bintang sudah tenggelam, secercah cahaya
putih menongol di ufuk timur.
Tapi orang ini memegang sebuah lampion kecil, lampion
merah yang masih menyala, dengan langkah setengah diseret
dia turun dari atas batu gunung.
Dandanan dan sikap serta tindak-tanduk orang ini mirip
pedagang keliling yang menjajakan dagangan, seorang
manusia yang betul-betul normal, seperti orang yang pernah
mereka lihat sejak berada di daerah Long-san. Sikap orang ini
kelihatan ramah, sopan dan ingin bersahabat.
"Siapa kau?" tegur Siau Ma.
Orang itu tertawa, katanya, "Kalian tak usah kuatir, aku
orang dagang, bukan serigala."
"Di Long-san juga ada pedagang?" tanya Siau Ma.
"Hanya ada satu, orang itu adalah aku," ucap orang itu,
dengan tertawa dia menjelaskan, "Karena hanya aku seorang,
maka sampai sekarang aku tetap bertahan hidup."
"Kenapa demikian?" tanya Siau Ma.
Pedagang itu menerangkan, "Hanya aku yang bisa
berdagang dengan kawanan serigala yang memerlukan
berbagai keperluan yang diinginkan, aku memnuhi kebutuhan
hidup mereka, tanpa kehadiranku di sini, banyak persoalan
atau pekerjaan di sini menjadi terbengkalai.
Setelah memadamkan lampionnya dia menghirup napas
segar lalu menjelaskan lebih lanjut, "Kawanan serigala itu
hanya pandai membunuh dan merampas harta orang, mereka
tidak pandai berdagang."
"Dagang apa yang kau kerjakan?" tanya Siau Ma.
"Dagang apa saja kukerjakan, aku menerima barangbarang
mereka, katakanlah tukang tadah, lalu kujual di kota
sekitarnya, aku juga sering mencarikan cewek untuk mereka."
Siau Ma tertawa, "Hal itu memang amat penting."
Pedagang itu tertawa, katanya, "Sudah tentu, jauh lebih
penting dari pekerjaan apapun."
"Oleh karena itu mereka tiada yang tega membunuh kau."
"Kalau mereka mau membunuh aku semudah memites
semut, memites seekor semut apa manfaatnya bagi mereka?"
"Ya, tidak berguna."
"Oleh karena itu, selama beberapa tahun ini aku aman
sentosa, mondar mandir leluasa."
"Lalu kau mau mengajak kami kemana?"
"Ke hotel damai."
"Apa di Long-san ada hotel?"
"Ya, hanya ada satu."
"Siapa yang membuka hotel itu?"
"Aku, aku pemiliknya."
"Apa betul di hotelmu itu aman?"
"Siapa saja asal berada di hotelku, kutanggung selamat
dan damai."
"Kau yakin apa yang kau ucapkan benar?"
"Aku sudah membuat kontrak dengan mereka, Cu Ngo
Thay-ya juga setuju."
Siapa saja tahu apa yang diucapkan Cu Ngo si tuan besar
adalah perintah, tiada penghuni gunung serigala ini yang
berani menentang perintahnya. Dahulu tiada, sekarang juga
belum pernah ada, kelak juga pasti takkan ada orang berani
menentang. Pedagang itu berkata pula, "Tidak jarang Cu Ngo Thay-ya
suruh aku melakukan sesuatu untuk beliau, karena beliau juga
tahu, orang yang berani lewat Long-san pasti punya keperluan
penting, tiada orang mau tinggal seumur hidup di hotelku."
"Oleh karena itu, bila mereka mau turun tangan,
kesempatan masih banyak."
"Oleh karena itu, mereka memberi fasilitas kepada aku
untuk berdagang kecil-kecilan, karena apa yang kukerjakan,
hakikatnya tidak mengganggu juga tidak merugikan mereka."
Bab 9 "Bagus, berarti daganganmu sudah berhasil."
"Sekarang belum berhasil."
"Lho, belum berhasil?"
"Terus terang saja, di tempatku itu hanya melayani sejenis
manusia, aku harus menilai dulu apakah kalian manusia jenis
itu, apakah kalian memenuhi syarat?"
"Manusia jenis apa yang bisa kau terima?"
"Manusia yang punya duit, orang yang punya banyak
uang," dengan tertawa dia menjelaskan lebih lanjut, tarip
yang berlaku di hotelku, terus terang lebih mahal sedikit
dibanding tempat lain."
"Lebih mahal berapa?"
"Ada orang bilang, harga secangkir arak dalam hotelku
lebih mahal dua puluh kali lipat dari tempat lain, padahal
mereka memfitnah, membuat aku penasaran saja."
"Berapa kali lipat lebih mahal tarip arakmu?"
"Kalau di kota secangkir arak harganya satu tahil, di
hotelku harganya hanya dua puluh delapan tahil."
Siau Ma tertawa lebar.
Lan Lan juga tertawa geli.
Pedagang itu mengawasi mereka, katanya, "Entah kalian
adalah orang-orang jenis yang kukatakan?"
"Ya," ucap Lan Lan. "Kami adalah orang yang punya duit,
punya banyak uang."
Apa yang dikatakan Lan Lan memang benar. Sekenanya
dia merogoh saku lalu mengeluarkan beberapa lembar uang
kertas, setelah dihitung, nilainya genap sepuluh ribu tahil
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perak, lalu diserahkan begitu saja kepada pedagang atau
pemilik hotel ini, seperti dia menyerahkan selembar kertas
yang tidak terpakai lagi.
Siau Ma berkata, "Cukup tidak duit itu untuk kita tinggal
setengah hari?"
Sepuluh ribu tahil perak cukup untuk membeli sebuah
rumah gedung yang cukup mentereng, untuk tinggal di sini,
selama tiga atau lima ratus hari juga lebih dari cukup.
Tapi pedagang itu berkata, "Asal kalian mau makan
sederhana, arak juga tidak minum terlalu banyak, kalau
menghemat tentu cukup."
Siau Ma tertawa besar, katanya, "Sekarang aku percaya
kau bukan serigala, kau manusia tulen."
"Lho, kenapa?"
"Soalnya hanya manusia yang bisa memeras manusia,
hanya orang yang pandai menindas sesamanya"
* * * * * Hotel damai mirip sebuah hotel, tapi hanya mirip saja.
Dikata mirip karena di depan pintu dipasang sebuah pigura
besar, pigura yang diukir huruf besar berbunyi 'Hotel Damai'.
Kecuali sekedar mirip, tempat lain hakikatnya tidak pantas
disebut hotel. Yang paling janggal sudah tentu bentuk
rumahnya. Rumah kuno itu sudah bobrok, sudah reyot. Seorang anak
kecil kepala gundul borokan berdiri di ambang pintu
menyambut tamu.
"Ini putraku," kata pedagang bangga, mesti anaknya
kurus, borokan lagi, tapi putra sendiri adalah anak tersayang,
"Biniku sudah lama kucerai, biniku bukan manusia baik."
Bini orang lain selalu baik, lebih bagus, anak sendiri adalah
yang tersayang.
Pedagang berkata pula, "Rumah ini ada delapan kamar
tidur dan sebuah kamar makan!"
Kamar makan amat besar dan luas, dua kali lebih besar
dibanding kamar tidur yang terbesar, kamar tidur berukuran
5x7 meter itu hanya berisi satu ranjang untuk satu orang
tidur. Pedagang berkata pula, "Menu yang kami sediakan kelas
satu, maka sembarang waktu para langganan suka
berkunjung kemari."
Apa yang diucapkan memang benar.
Hari masih pagi, cuaca masih remang-remang, tapi tamu
sudah berkunjung di hotel bobrok itu. Tapi hanya seorang
tamu saja. Seorang tua yang kurus kering, seorang kakek yang
berbaju kapas tebal terbuat dari kain sutera. Waktu itu bulan
sembilan, meski pagi hari hawa terasa panas dan gerah, tapi
kakek yang satu ini pakai baju kapas yang tebal, minum arak
dengan santai. Di atas meja yang disandingnya menggeletak
beberapa botol arak, sedikitnya dia sudah minum lima kati.
Tapi setetes keringat pun tidak kelihatan menghias mukanya.
Mukanya bercahaya, mengkilap ditingkah cahaya api dari pipa
cangklongnya yang panjang.
Pipa cangklong itu panjang tiga kaki, lebih besar dari
lengan bocah, siapa pun tahu pipa itu terbuat dari baja asli.
Bentuk kepala pipa amat menakutkan, tembakau yang
dimasukkan kalau tidak setengah kilo, mungkin ada lima ons.
Menurut perhitungan Thio-gongcu, bobot pipa cangklong
itu ada 50 kati, tapi menurut penilaian Siau Ma, beratnya ada
delapan atau sembilan puluh kati.
Pipa seberat dan sepanjang itu berada di tangan seorang
kakek kurus kering, tapi lagaknya seperti memegang sebatang
jerami. Kulit mukanya yang gemerdep kelihatan kuning seperti
malam, penuh kerut-merut, namun penampilan sikap dan
wibawanya menciutkan nyali orang. Padahal dia hanya duduk
seenaknya, duduk sembarangan, jarang ada orang duduk
seangker kakek kurus ini.
Pok Can. Orang tua kurus kering ini adalah Pok Can,
serigala tertua di Long-san. Setiap orang tahu dan kenal siapa
kakek tua kurus dengan pipa cangklong yang khas itu.
Sepasang bola mata mencorong bagai api, perlahan menyapu
pandang orang-orang yang baru datang, mendadak ia
bertanya, "Siapa yang membunuh Thi-sam-kak?"
"Aku!" jawaban diucapkan dua orang, jawaban yang
dilontarkan oleh Siau Ma dan Siang Bu-gi, mereka ingin
memikul tanggung jawab dari tuntutan balas musuh yang
kurus kering berpipa cangklong ini. Siau Ma dan Siang Bu-gi
maklum bahwa kehadiran Pok Can di hotel Damai ini adalah
ingin menuntut balas, mereka maklum, dengan bekal ilmu
pedang Cen Cen dan Cen Cu pasti bukan tandingan serigala
tua yang lihai ini.
Pok Can tertawa dingin.
Siau Ma berbicara dengan nada mantap, "Kecuali Thi-samkak
masih banyak lagi anak buahmu yang kubunuh, kalau
kamu ingin menuntut balas, boleh membuat perhitungan
dengan aku."
"Aku pernah mendengar tentang kau," ucap Pok Can
kalem. "Aku bernama Siau Ma, si Kuda Binal."
"Kamu bukan kuda, kamu lebih mirip keledai daripada
kuda." Siau Ma menyeringai dingin.
"Hanya keledai yang melakukan perbuatan bodoh. Kau
merebut kesalahan orang lain dan ingin menanggung
dosanya," demikian dampratnya, sebelum Siau Ma bicara dia
menambahkan lagi, "senjatamu tinju, tapi Thi-sam-kak mati
karena pedang."
"Tapi aku ...."
"Mereka ingin membunuh kalian, pantas kalau
membunuhnya, bunuh membunuh di kalangan Kangouw
memang lumrah, kejadian yang adil dan nyata."
"Tak nyana, manusia serigala seperti dirimu juga kenal
keadilan."
"Sakit hati kematian para anak buahku itu sebetulnya tidak
perlu diperhitungkan, hanya saja ...." tiba-tiba jari jemarinya
mengepal, "hanya saja kematiannya amat mengenaskan,
sudah puluhan tahun aku berkecimpung di Kangouw,
pertempuran besar kecil pernah kualami ribuan kali, namun
susah aku membayangkan siapa yang melontarkan ilmu
pedang sekeji itu untuk membunuhnya."
Siang Bu-gi terus bungkam, tapi dia mengeluarkan pedang.
Sebatang pedang lemas yang mengkilap tajam dan dingin,
sekali sendal pedang lemas itu menjadi kaku lurus.
"Pedang bagus," Pok Can memuji.
"Betul, pedang bagus," ucap Siang Bu-gi dingin.
"Baik, kutunggu kamu."
"Menunggu aku?"
"Kamu perlu istirahat dan tidur, setelah badanmu segar
aku akan menunggumu di luar."
"Tidak usah kau menunggu."
"Di sini bukan tempat untuk membunuh orang."
"Sekarang juga aku keluar dan bertempur denganmu."
Pok Can menatapnya lekat, mendadak dia berdiri, dengan
langkah lebar beranjak keluar.
Ternyata Siang Bu-gi sudah mendahului menunggu di luar.
Cen Cen dan Cen Cu berdiri lengang seperti orang
kesurupan, seolah-olah kejadian ini tiada sangkut-pautnya
dengan mereka. Lan Lan bertanya dengan suara lirih, "Bagaimana
pendapatmu" Menguatirkan tidak?"
Siau Ma mengepal tinju, membungkam.
Siapa bakal menang dan kalah dalam duel ini, Siau Ma
tidak tahu dan tidak bisa meramalkan, dia tidak yakin Siang
Bu-gi dapat mengalahkan lawannya.
Pedagang atau pemilik hotel tertawa lebar, katanya, "Tidak
jadi soal dan tidak perlu kuatir, mati satu orang kan juga
bermanfaat dan menguntungkan kalian."
Siau Ma menatapnya mendelik, "Keuntungan apa?"
tanyanya geram.
"Kalau mati satu orang berarti kurang pengeluaran, jatah
makan minum kalian kan jadi tambah."
Fajar telah menyingsing, tapi kabut masih tebal, mesti
angin gunung menghembus cukup kencang, kabut tebal itu
seperti tidak berujung pangkal, tidak buyar dan tidak habishabisnya.
Baju kapas Pok Can yang tebal tampak bergoyang oleh
tiupan angin, tapi orangnya berdiri kokoh dan tegap seperti
gunung. Sepasang kakinya terbuka satu kaki, memasang
kuda-kuda dengan berdiri tanpa gaya, berdiri santai
seenaknya, pembawaannya benar-benar menciutkan nyali
orang. Hanya seorang kosen atau ahli silat yang sudah
kenyang bertempur di medan laga dapat memperlihatkan gaya
segagah itu. Siang Bu-gi juga tak bergerak. Pedang masih membelit
pinggangnya, dia tidak pernah turun tangan lebih dulu.
Pok Can mengangkat pipa cangklongnya lalu diisap
perlahan tapi lama, tembakau di ujung pipa yang segede
kelapa itu menyala benderang memercikkan lelatu api.
Dengan tatapan dingin ia mengawasi Siang Bu-gi, katanya
menantang, "Aku tahu kau seorang ahli pedang."
Siang Bu-gi tidak menanggapi ocehannya.
"Oleh karena itu aku yakin kau juga tahu, bahwa tembakau
dalam pipaku adalah senjata rahasia yang dapat membunuh
orang." Siang Bu-gi mengangguk. Tembakau lembut yang terbakar
membara itu jauh lebih menakutkan dibanding senjata rahasia
jenis apapun. "Bila sudah turun tangan, aku tidak kenal kasihan, kau
boleh melancarkan jurus ilmu pedang keji apapun yang
mampu kamu kembangkan."
"Untuk menang, tentu akan kulancarkan," sahut Siang Bugi
tegas. "Jika aku mati di bawah pedangmu, murid dan cucu
muridku takkan menuntut balas."
"Bagus sekali."
"Umpama kau mengelupas kulit badanku, aku tak akan
membenci atau menyalahkanmu."
"Kulitmu tidak dibutuhkan, keutuhan badanmu boleh
dipertahankan."
"O." "Kulitmu tidak tebal, sudah keriput lagi."
Siang Bu-gi memang sering mengelupas kulit badan
manusia, tapi hanya satu jenis manusia yang dia kuliti, yaitu
manusia yang berkulit tebal.
Lama Pok Can menatapnya, akhirnya mendesis perlahan,
"Bagus sekali."
"Bagus sekali" adalah dua patah kata yang menutup
pembicaraan mereka. Hanya sekejap mata pipa cangklong
seberat tujuh puluh kati dengan panjang satu meter lebih itu
menyapu melintang.
Pipa cangklong umumnya adalah senjata khusus untuk
menutuk jalan darah, permainannya tak banyak beda dengan
Boan-koan-pit yang juga khusus menyerang Hiat-to. Tapi
berbeda dengan pipa cangklong Pok Can, bukan saja
pembawaannya mirip tombak panjang atau toya, tipu
permainannya juga diselipi dan dikombinasikan dengan
permainan tongkat, ruyung lemas, kampak dan jenis senjata
berat lainnya. Apalagi tembakau yang membara di kantong
pipa sembarang waktu dapat disemburkan untuk melukai
musuh, cahaya tembakau yang membara itu juga menyilaukan
mata. Diam-diam Siau Ma menghela napas. Betapa kenyang
pengalaman Siau Ma berkelahi, musuh macam apapun pernah
dihadapi, bersenjata maupun tangan kosong, tapi belum
pernah melihat gaman seganas dan selincah pipa cangklong di
tangan kakek tua kurus kering ini. Mau tidak mau timbul rasa
was-was dalam benaknya, Siau Ma menguatirkan keselamatan
Siang Bu-gi. Pok Can sudah menyerang 18 jurus secara beruntun,
sejurus pun Siang Bu-gi belum balas menyerang. Walau pipa
cangklong belum menyentuh badan atau ujung bajunya,
namun posisi atau keadaannya tidak lebih baik atau unggul di
atas angin. Padahal permainan Kiam-hoat merupakan
serangan gencar yang selalu membuat lawan bertahan, jurus
tipunya tak kenal kompromi, tapi dalam beberapa gebrak ini ia
justru terdesak di bawah angin, sehingga tak sempat balas
menyerang. Maklum gamannya adalah pedang tipis lagi lemas,
untuk memainkannya diperlukan kepandaian khusus dan
tenaga yang memadai, serangan lawan sederas hujan lebat,
jelas amat sukar dan tak mungkin dilawan dengan kekerasan.
"Blup", sekonyong-konyong terjadi sebuah letupan disertai
cahaya api benderang dari nyala tembakau di kantong pipa
cangklong itu. Di saat api membara besar itulah, kepala pipa
yang berkantong sebesar kelapa menindih ke bawah dengan
jurus Thay-san-ap-ting (Thay-san menindih kepala)
mengepruk batok kepala Siang Bu-gi.
Siang Bu-gi sudah mati langkah dan terpojok ke sudut
yang mematikan, demikian pula pedang di tangannya seperti
tidak mampu balas menyerang lagi.
Di luar dugaan, pada detik-detik gawat itulah, Siang Bu-gi
justru balas menyerang. Pedang itu mendadak bergerak
selincah ular sakti, laksana benang sutera, pedang lemas yang
disendal lurus oleh landasan tenaga dalam yang hebat,
mendadak berubah menjadi lingkaran cahaya yang tak
terhitung jumlahnya. Putaran cahaya yang mclingkar-lingkar
itu seperti saling belit, sehingga cahaya api tembakau yang
membara di kantong pipa cangklong itu redam seketika dan
lenyap tak berbekas.
"Ting" kembali terdengar suara nyaring, pedang
membentur pipa, di saat kembang api berpijar, pedang
mendadak mental lurus dan tegak ke atas.
Dalam detik kejadian itu juga Siau Ma maklum dan
menangkap maksud tujuan Siang Bu-gi.
Agaknya Siang Bu-gi menunggu dan memberi kesempatan
pada Pok Can mendesak dirinya ke posisi yang terkunci
langkahnya, ke sudut yang mematikan baru akan balas
menyerang. Duel dua jago kosen seumpama pertempuran dua raksasa
yang baku hantam di medan laga, siapa lebih dulu
menempatkan diri pada posisi yang mematikan, akhirnya akan
tampil sebagai pemenang, menang berarti hidup. Ia insaf
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuatan musuh lebih tangguh, pambeknya lebih besar, maka
ia memaksa dirinya menggunakan cara yang amat berbahaya
ini. Diam-diam Siau Ma amat kagum, kagum setengah mati.
Mendadak Siau Ma sadar, dua tahun belakangan ini, bukan
saja Siang Bu-gi bertambah bekal kepandaiannya, permainan
Kiam-hoatnya lebih matang dibanding dahulu.
Ilmu pedang lihai tidak terletak pada pedangnya, tapi
berada di sanubari orang yang memainkannya. Permainan
pedang yang gemilang dengan kemenangan yang dicapai
bukan karena permainan ilmu pedang yang lihai, tapi menang
dengan akal, bukan menang karena Lwekang yang tangguh,
tetapi menang karena menggunakan otak.
Siang Bu-gi menggunakan otak, maka ia menang.
Begitu pedang melenting ke atas, menyisir gagang pipa
lawan. Pok Can dipaksa menjejak kaki lalu melambung tinggi dan
bersalto di udara, pakaiannya yang tebal tampak melambai,
pipa cangklong yang berat itu sudah tidak berada di
tangannya lagi. Untuk menyelamatkan jari-jarinya dari tebasan
pedang lemas yang menyisir pipanya, terpaksa ia melepas dan
membuang senjata. Kehilangan senjata lebih mending
daripada tangan buntung. Pertarungan jago kosen kalau
senjata sampai dilucuti lawan, bukan saja kalah, hal ini
merupakan penghinaan pula.
Waktu kaki Pok Can menginjak bumi, roman mukanya
tampak pucat pias, sikap angkuh dan wibawa yang kereng tadi
sudah tak berbekas lagi.
Pedang Siang Bu-gi juga lenyap, pedang itu kembali ke
sarungnya. Mendadak Pok Can menghardik beringas, "Cabut lagi
pedangmu!"
Siang Bu-gi menyeringai, "Kau masih ingin bertarung?"
"Pedang untuk membunuh orang, bukan untuk hiasan!"
"Aku sudah bilang tidak akan menguliti dirimu. Jika kau
tewas, mana ada kulit yang ditinggalkan?"
Jari-jari Pok Can mengepal kencang, tangannya gemetar,
lututnya goyah. Hanya beberapa kejap saja, roman mukanya
yang tepos kelihatan lebih tua sepuluh tahun.
Karena Siang Bu-gi tidak mau membunuhnya, terpaksa ia
menyingkir, pergi meninggalkan hotel Damai. Sebagai jago
silat, meski sudah kalah, ia ingin bertarung sampai titik darah
penghabisan, sayang sekali Siang Bu-gi sudah menyimpan
pedang, terpaksa ia menyingkir dari tempat itu.
Mati ternyata tidak mudah, keinginan mati di medan laga
susah tercapai. Padahal usianya sudah lanjut, badan sudah
renta, hidup ini takkan lama lagi. Orang yang berusia lanjut
sudah meresapi pahit getir kehidupan, betapapun hidup lebih
menyenangkan daripada mati, kehilangan jiwa harus dibuat
sayang. * * * * * Kabut makin tipis.
Bayangan Pok Can telah lenyap ditelan kabut, pipa
cangklong itu menggeletak di tanah, tembakau yang tadi
membara di kantong pipa sudah padam.
Mata Lan Lan seperti bercahaya, katanya lega, "Setelah
kalah, mungkin dia takkan datang lagi."
Siau Ma berkata, "Ya, sesuai janjinya sendiri, ia tak akan
datang, murid dan cucu muridnya juga tidak akan
mengganggu kita."
Mereka tahu serigala tua ini amat disegani dan besar
wibawanya, ditakuti karena kekuasaannya besar.
Pedagang atau pemilik hotel Damai yang sejak tadi
menonton di samping mendadak tertawa, katanya, "Ternyata
jumlah orangnya tidak berkurang, kalian boleh minum dua
cangkir lebih banyak."
"Lho, kenapa?" tanya Siau Ma.
Pedagang itu tertawa lebar. "Karena Kiam-hoat tuan ini
hebat luar biasa," demikian katanya, "aku amat kagum, aku
terpesona."
"Aku juga kagum," mendadak seorang menyeletuk dari
belakangnya. Bila orang banyak membalik badan, seseorang telah
berada dalam rumah itu, seorang berpakaian pelajar dengan
mahkota tinggi, tangan memegang kipas lempit.
Long-kuncu akhirnya muncul.
* * * * * Tanggal 13 bulan 9, pagi. Cuaca cerah tetapi berkabut.
Berada di ruang makan hotel Damai, rasanya memang
tenteram dan damai. Semuanya duduk tenang, duduk
sewajarnya. Long-kuncu seperti ingin bersikap ramah, sopan
sebagai orang sekolahan.
Tapi Siau Ma justru tidak sopan, sikapnya kasar dan
temberang, ia sambut kedatangan Long-kuncu dengan
pandangan tajam menyelidik, tinjunya terkepal siap
menghajar hidungnya.
Un Liang-giok seperti tidak melihat dan tidak peduli akan
sikap Siau Ma yang kasar, dengan senyum ramah ia berkata,
"Semalam suntuk kalian berjerih payah, sampai sekarang
belum tidur dan tak sempat istirahat."
"Hm," Siau Ma menggeram dalam mulut.
Lan Lan tertawa ramah, katanya, "Payah memang benar,
syukur kita sudah aman dan tenteram di sini."
"Jik-lopan (juragan Jik)," mendadak Un Liang-giok
memanggil. Pedagang atau pemilik hotel mengiakan sambil
menghampiri, katanya dengan tertawa lebar, "Hamba ada di
sini." Un Liang-giok berkata, "Bikinkan beberapa macam
nyamikan, panaskan beberapa kati arak, rekeningnya aku
yang bayar."
Mendadak Siau Ma menyeringai dingin, "Juragan Jik akan
kelarisan hari ini. Sebaliknya usahamu justru gagal total,
kenapa kamu muncul di babak terakhir malah?"
"Berdagang dan menjamu tamu adalah dua persoalan
yang berbeda, jangan disamaratakan." Dengan senyum ramah
Un Liang-giok menjawab.
"Usahamu gagal, tapi mau menjamu kami?" Siau Ma
menegas. "Kalian datang dari jauh, di sini aku tuan rumah, kan
pantas Cayhe bersikap ramah terhadap tamunya."
"Baik, keluarkan mangkuk besar," seru Siau Ma ke dalam.
"Semalam kau tidak tidur," Lan Lan membujuk, "perut
masih kosong, jangan minum arak."
"Setelah berada di sini, sia-sia kalau tidak minum,"
demikian ujar Siau Ma bandel, "biar mampus juga tidak jadi
soal." Un Liang-giok tertawa sambil keplok, "Betul, memang
demikian, mumpung bisa dan ada kesempatan minum. Kalau
tinjumu sudah tiada, bagaimana kau bisa minum?"
"Kau ingin membeli sepasang tinjuku?" tanya Siau Ma.
Un Liang-giok hanya tersenyum saja.
"Baiklah, sekarang juga boleh kuserahkan kepadamu,"
belum habis Siau Ma bicara, mendadak tinjunya menggenjot.
Jotosan telak lagi cepat, begitu cepatnya sehingga sukar
diikuti pandangan mata.
Agaknya Un Liang-giok sudah siaga, sudah
memperhitungkan serangan tinju Siau Ma, cepat sekali dia
menjatuhkan tubuh terus menggelundung pergi bersama kursi
yang didudukinya. Ternyata Un Liang-giok tidak marah,
senyum ramah masih menghias wajahnya, "Arak belum
disuguhkan, apa kau sudah mabuk?"
"Siau Ma tidak pernah mabuk," Lan Lan menjawab tegas.
Un Liang-giok tidak membantah atau mendebat, sikapnya
tetap sopan, "Mungkin kuda binal dilahirkan untuk menghajar
orang." Lan Lan tertawa menggiurkan, "Dugaanmu keliru lagi."
"Keliru?" Un Liang-giok menegas.
"Kalau tidak perlu, Siau Ma tidak suka menghajar orang,
kecuali menghajar dirimu seorang."
"O, hanya aku yang dijadikan sasaran?"
"Bukan hanya Siau Ma yang ingin menghajar kamu, setiap
orang yang ada di sini semua ingin menghajar hidungmu!"
"Aku tidak ingin menghajarnya," tiba-tiba Siang Bu-gi
menyeletuk. "Kau tidak ingin menghajarnya" Habis akan kau apakan?"
tanya Lan Lan. "Aku hanya ingin mengelupas kulit badannya," sahut Siang
Bu-gi. Un Liang-giok masih bersikap ramah, tidak marah meski
disindir dan diejek secara pedas, malah berkata dengan tawa
lebar, "Kabarnya adikmu sedang sakit, apa benar?"
"Ehm," Lan Lan bersuara dalam mulut.
"Apa dia adik sepupumu?" tanya Un Liang-giok penuh
perhatian. "Ehm," Lan Lan mengiakan.
"Demikian pula Ma-kongcu ini?"
Lan Lan geleng kepala.
"Apa jiwa adik kandungmu lebih berharga dibanding
sepasang tinju si Kuda Binal?"
"Sayang tinju itu tumbuh di badannya," ucap Lan Lan
kalem. Un Liang-giok terbahak-bahak, "Nona bilang demikian, apa
tidak terlalu sungkan?"
"Kenapa?" tanya Lan Lan heran.
"Nona mahir menggunakan Am-gi, senjata rahasia selihai
itu belum pernah Cayhe melihatnya selama ini."
Un Liang-giok seperti sengaja membongkar rahasia Lan
Lan, ternyata cewek ini tidak kaget atau heran, sikapnya wajar
dan tenang, katanya kalem, "Pandangan tuan memang
tajam." "Dua nona cilik di pinggir itu adalah jago pedang yang
kosen, mereka dilatih dan meyakinkan kepandaian khusus.
Jika kau menginginkan sepasang tinju si Kuda Binal, kurasa
segampang mengambil barang dalam kantong baju sendiri."
Lan Lan tertawa, "Kalau mereka mengambil sepasang
tinjumu, apakah semudah merogoh uang dalam sakumu?"
Mimik muka Un Liang-giok mulai kurang wajar, "Agaknya
kontrak dagang yang kau inginkan tidak akan terkabul."
"Persetan dengan kontrak dagangmu!" jengek Siau Ma.
"Kapan nona mau meninggalkan tempat ini?" tanya Un
Liang-giok. "Kami tidak akan lama di sini, cepat atau lambat setelah
cukup beristirahat kami akan berangkat lagi."
"Bagus. Kalau begitu Cayhe mohon diri saja," Un Lianggiok
bicara sambil menjura, lalu membuka kipas lempit serta
beranjak keluar.
"Tunggu dulu," mendadak Siau Ma berseru, belum lenyap
suaranya bayangannya sudah menghadang di depan pintu.
Un Liang-giok tetap tenang, "Masih ada urusan lain?"
"Ya, masih ada yang belum kau lakukan," jengek Siau Ma.
"Urusan apa belum kulakukan?" tanya Un Liang-giok.
"Membayar rekening."
Un Liang-giok tertawa lucu.
"Dagang adalah dagang, mentraktir orang harus bayar,
bukankah kau sendiri yang bilang demikian?" demikian
semprot Siau Ma.
Un Liang-giok tidak menyangkal, ia mengangguk.
"Konsuken tidak kau dengan ucapanmu" Sebelum
membayar rekening, jangan harap bisa keluar dari pintu ini."
Sambil menggerakkan kipasnya, Un Liang-giok membalik
dan duduk kembali di kursinya semula, suaranya kalem,
"Kukira kau perlu memahami persoalan."
Siau Ma mendengarkan.
"Aku sudah tidur, makan kenyang dan banyak istirahat,
kalian justru sebaliknya. Kalian masih harus menggunakan
banyak tenaga untuk melewati gunung ini, kalau keadaan
tetap seperti ini, posisi dan kondisi kalian jelas tidak
menguntungkan," dengan senyum lebar ia melanjutkan,
"selama kalian berada di hotel Damai, sesuai peraturan yang
berlaku di sini, siapa pun tidak boleh berkelahi atau melukai
orang, kalau kalian berani melanggar peraturan, kurasa sukar
kalian berpijak lebih lama di Long-san."
Merah padam muka Siau Ma menahan amarah, marah
karena tahu ancaman Un Liang-giok itu serius dan bukan
gertak sambal. Thio-gongcu mendadak menyeletuk, "Apa benar kau tidak
mau membayar rekening?"
"Kalian bukan tamuku, kenapa aku harus mentraktir
kalian?" "Baiklah, kalau kau tidak mentraktir, biar aku yang
melunasi rekeningnya," demikian ujar Thio-gongcu kalem.
Un Liang-giok tertawa besar sambil mendongak, mendadak
kipasnya terayun dan berputar, bayangannya bertaburan
menimbulkan deru angin, deru angin tajam yang membuat
orang banyak memejamkan mata sekejap. Ketika orang
banyak membuka mata, bayangan Un Liang-giok sudah
lenyap. Tak tahan Lan Lan memuji, "Kepandaian bagus!"
Juragan Jik tertawa lebar, katanya, "Pandangan nona
memang tajam, kecuali Cu Ngo Thay-ya, kungfu Un Liang-giok
terhitung paling bagus di Long-san."
"Kau pernah melihat Cu Ngo Thay-ya?" tanya Lan Lan
pula. "Sudah tentu pernah," sahut juragan Jik.
"Bagaimana cara untuk bertemu dengannya," tanya Lan
Lan. Juragan Jik tampak ragu-ragu, "Nona ingin bertemu
dengan beliau?" tanyanya.
"Konon Cu Ngo Thay-ya orang luar biasa, setiap patah
katanya adalah perintah. Aku sedang berpikir ...." sorot mata
Lan Lan bercahaya. "Kalau kami dapat bertemu dengan beliau,
lalu beliau memberi izin dan membiarkan kami lewat dengan
selamat, orang lain tentu tidak berani menghadang kami.
Untuk lewat dan sampai di tempat tujuan dengan aman dan
selamat, kurasa hanya cara ini yang harus kita lakukan."
Bab 10 Juragan Jik tertawa, "Cara yang nona pikir memang benar,
namun harus dibuat sayang."
"Apa yang harus dibuat sayang?"
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tak bisa bertemu dengan beliau. Di Long-san hanya
enam orang yang tahu dimana sekarang beliau berada."
"Kau tidak tahu dimana beliau sekarang?"
"Aku hanya pedagang kecil yang kerjanya cari untung,
urusan lain aku tidak mau turut campur," demikian jawab
juragan Jik. Hidangan disuguhkan dengan arak yang masih mengepul
hangat. Sepiring sayur goreng, sepiring lagi telur mata sapi,
beberapa kue kering dan semangkok kuah daging sapi sayur
asin, beberapa mangkok nasi dan setengah gentong arak.
Juragan Jik tertawa, "Untuk dahar pagi ini aku
menghidangkan menu luar biasa, rekening seluruhnya hanya
seribu lima ratus tahil perak."
Pemilik hotel ini tertawa riang, tawa lebar dan gembira,
karena dia maklum berapa pun mahal tarip makanannya,
meski menggorok leher sekalipun, tamu terpaksa harus
membayar. Siau Ma mengawasi Thio-gongcu, katanya, "Sejak kapan
kau punya banyak duit" Berani kau membayar seribu lima
ratus tahil perak?"
Thio-gongcu menyengir kuda, "Maksudku ingin menggebah
keparat itu dari sini. Mana aku punya duit?"
Maksud sebenarnya adalah Thio-gongcu perlu ketenangan,
dia harus merawat dan menjaga Hiang-hiang.
Syukur Siau Ma tidak menarik panjang persoalan. Siau Ma
maklum tujuan Thio-gongcu itu, bia
Pendekar Kembar 7 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Pendekar Super Sakti 16
ra yang terbanyak menampilkan
perubahan. Mata siapa saja, selalu memapilkan banyak perubahan
perasaan hatinya, entah sedih, riang gembira, dingin, marah
dan takut. Tapi perasaan yang ditampilkan oleh mata Hiang-hiang
justru tidak bisa dilukiskan dengan rangkaian huruf-huruf
indah. Karena sebatang golok melintang di lehernya, jiwanya
terancam oleh gaman yang berat itu.
Hiang-hiang adalah gadis jelita yang molek, kulit badannya
putih halus lagi mulus, lembut dan indah. Lehernya jenjang.
Tapi golok yang mengancam tengkuknya ternyata tidak kecil,
Kui-thau-to atau golok kepala setan bobotnya tiga puluh kati.
Jari-jari yang menggenggam gagang golok amat besar,
lengannya lebih besar lagi berotot.
Perasaan Thio-gongcu menjadi beku, badannya seperti
kecemplung sumur yang dingin.
Umumnya binatang berkumpul dengan jenisnya.
Maksudnya ular berkumpul dengan ular, harimau dengan
harimau, kura-kura mungkin bergaul dengan bulus, kalau tikus
juga punya kawan, maka kawannya itu pasti juga pandai
membuat lubang.
Siau Ma bukan orang baik, paling tidak dalam segi
tertentu, dia pasti bukan orang baik. Dia suka berkelahi, suka
mencampuri urusan orang lain, berkelahi adalah hobinya,
seperti hobi orang lain yang suka makan sayur putih. Mirip
Hwesio yang suka makan kentang atau lobak.
Thio-gongcu adalah sahabat lama Siau Ma, dalam waktu
sekejap tadi, sekaligus dia merobohkan empat orang. Sebagai
pejantan yang sudah sekian tahun digembleng dalam
kehidupan susah, orang ini pasti takkan gentar menghadapi
ancaman golok setan seberat tiga puluh tujuh kati, takkan
mungkin menjublek kuatir dan mencucurkan keringat dingin
seperti itu. Peduli golok setan itu mengancam leher siapa,
perasaannya takkan terguncang, hatinya takkan bingung.
Hanya seorang yang benar-benar dibuat kaget dan takut baru
perasaannya beku, hatinya menjadi pilu. Perasaannya beku,
karena kecuali sebatang golok kepala setan yang besar itu,
juga karena melihat tujuh belas batang golok yang sama besar
dan beratnya. Termasuk tukang pikul tandu, di atas batu cadas besar itu
semua ada sebelas orang kecuali Lan Lan dan si pasien yang
tetap berada dalam tandu, leher setiap orang diancam oleh
sebatang golok setan.
Bobot Kui-thau-to itu ada yang berat dan enteng, golok
yang mengancam leher Hiang-hiang, umpama bukan yang
paling besar dan paling berat, juga pasti bukan yang paling
enteng. Bentuk Kui-thau-to memang berbeda dengan golok
umumnya, ujung golok lebih besar dan berat, batang golok
yang lonjong lagi tipis, maka kalau golok ini membacok,
bacokannya mirip sebatang kampak.
Biasanya Kui-thau-to jarang membacok sasaran di tubuh
manusia, Kui-thau-to khusus memancung kepala manusia,
menebas leher orang.
Sekali bacok kepala menggelundung jatuh. Pasti tak perlu
dibacok dua kali.
Golok yang mengancam leher Siang Bu-gi. Sekali pandang
orang tahu, bahwa Kui-thau-to itu adalah yang paling besar,
paling berat juga paling tajam.
Ternyata Siang Bu-gi masih enak-enak tidur, masih
menggeros. Delapan belas batang Kui-thau-to, sembilan belas orang,
mereka adalah manusia serigala dan hanya satu orang tidak
memegang golok, tapi memegang pipa cangklong yang lebih
panjang melebihi Kui-thau-to.
Thio-gongcu tahu dan kenal siapa laki-laki yang memegang
pipa cangklong ini. Dia pernah melihat serigala tua Pok Can.
Ternyata dandanan, sikap dan tindak-tanduk orang ini, boleh
dikata adalah duplikat Pok Can, mirip kue yang dicetak dan
dipanggang bersama dalam tungku. Seorang duplikat yang
tidak baik. Oleh karena itu ciri-ciri Pok Can, orang ini dapat menirunya
dengan sempurna. Namun sikap dan tingkah laku Pok Can
yang gagah-gagahan, seolah-olah dunia miliknya sendiri, jelas
tak mungkin ditiru, seumur hidup jangan harap orang ini bisa
mempelajarinya.
Maka Thio-gongcu bertanya, "Kau ini putra Pok Can atau
muridnya?"
Orang ini tak mempedulikan pertanyaannya, matanya
mendelik ke arah Siau Ma.
Siau Ma melompat ke atas batu cadas, jengeknya dingin,
"Kalau menurut pendapatku keparat ini cucu kura-kura
serigala tua itu."
Thio-gongcu terloroh-loroh. Dia sengaja tertawa, padahal
rasa geli atau ingin tertawa sedikitpun tidak timbul dalam
hatinya. Melihat golok tajam sebesar itu mengancam leher
gadis yang dipujanya, siapa saja pasti takkan bisa gembira,
apalagi tertawa riang.
Padahal Thio-gongcu sering mendengar bahwa anak buah
atau serigala-serigala perang di bawah pimpinan serigala tua
Pok Can semuanya gagah perkasa, berani mati, bila
membunuh orang, seperti tukang sayur memotong lobak dan
membelah pepaya, berkedip mata pun tidak.
Tertawa sengaja dikumandangkan, nadanya sudah tentu
sumbang dan tidak enak didengar, dan biasanya memancing
amarah orang lain. Tapi orang ini ternyata cukup tabah dan
tebal muka, dia tetap tidak peduli kepada Thio-gongcu,
katanya sambil melotot kepada Siau Ma, "Kau she Ma?"
Siau Ma manggut.
"Jadi kau ini si Kuda Binal yang nakal itu?" ucap orang itu
pula. "Dan kau" Apakah kau bernama anjing kecil berkulit
serigala?"
Meski wajah panjang orang dengan bola mata sudah
berubah putih saking marahnya, namun sekuatnya dia
menekan emosi dan menahan gengsi, dengan mengendalikan
emosi dia berkata dingin, "Aku tahu asalmu."
"O" Lalu?"
"Kau datang dari Loan-ciok-san-kang yang berada di
perbatasan timur laut sana."
"Kalau benar kenapa?"
"Konon tinjumu amat keras, sekali pukul bikin Peng-lohau
tidak bisa bangun, sampai sekarang masih rebah di ranjang."
"Apakah kau juga ingin merasakan tinjuku?"
"Sekarang Loan-ciok-san-kang sudah bubar, runtuh dan
tinggal puing-puingnya saja. Hitung-hitung kita masih kawan
sehaluan, oleh karena itu aku bersikap sungkan dan memberi
muka kepadamu."
"Tidak perlu kau sungkan kepadaku."
Orang itu menarik muka, katanya, "Aku bernama Thi Samkak."
Melihat muka dan mata orang yang segitiga, Siau Ma
tertawa, katanya, "Namamu tepat dan cocok."
"Tapi namamu justru keliru."
"Hus, namaku pemberian orang tua."
"Sebetulnya kau lebih tepat dinamakan telur goblok,
karena memang goblok sekali," dengan pipa cangklongnya dia
menuding sekitarnya, "coba kau hitung berapa batang golok
yang kita bawa kali ini?"
Siau Ma tidak perlu menghitung.
Sekaligus melihat Kui-thau-to sebanyak itu, siapa pun pasti
akan menghitungnya diam-diam, maka sejak naik ke atas batu
Siau Ma sudah menghitungnya.
Thi Sam-kak berkata, "Coba kau periksa sekali lagi,
delapan belas golok itu mengancam jiwa orang-orangmu."
Siau Ma juga tidak perlu memeriksa lagi, sekilas pandang
dia sudah melihat jelas. Siang Bu-gi, Hiang-hiang, Cen Cen,
Cen Cu, Lo-bi ditambah empat tukang pikul tandu, sembilan
orang semuanya diancam golok pada lehernya. Sisa lagi
sembilan golok, empat batang mengancam dua tandu, lima
batang terpencar, menjaga dan mengelilingi batu cadas.
Jelas aksi mereka sudah direncanakan dengan baik,
perhitungan mereka tepat, kelemahan pihak Siau Ma juga
sudah diraba, maka mereka menyergap dengan hasil baik.
Dengan bermain sandiwara, delapan orang yang pura-pura
terluka tadi menarik perhatian dan memecah tenaga mereka,
lalu secara tiba-tiba dan tidak terduga menyergap serta
membekuk dan mengancam jiwa mereka.
Satu hal yang membuat Siau Ma tidak mengerti adalah,
Siang Bu-gi tidak buta, bukan tuli, kenapa diam saja
membiarkan golok orang mengancam lehernya. Dia menduga
dalam hal ini pasti ada latar belakang yang belum dia ketahui,
namun maknanya amat berarti. Oleh karena itu, sengaja dia
ajak Thi Sam-kak bicara, dengan tujuan mengendorkan
kewaspadaan mereka.
Ternyata Thio-gongcu tidak sabar lagi, keadaan Hianghiang
amat runyam dan harus dikasihani.
Thi Sam-kak berkata, "Ada delapan belas golok
mengancam leher kawan-kawanmu, kau masih berani
bertingkah dan ngobrol tidak keruan di hadapanku, coba kau
bilang, bukankah kau orang goblok, laki-laki dungu?"
"Betul, aku ini memang goblok, sangat dungu," Siau Ma
masih juga bersikap santai, dengan tertawa dia
menambahkan, "begitu goblok aku ini, sehingga
mempertaruhkan jiwa orang lain."
Thi Sam-kak tertawa lebar, tertawa besar dan latah. Jelas
dia sengaja tertawa, tawanya lebih jelek dari loroh Thiogongcu
tadi, "Ucapanmu betul. Saking gobloknya sampai jiwa
orang lain sengaja kau korbankan dengan sia-sia." Mendadak
gelak tawanya berhenti, mukanya juga berubah masam,
mukanya yang segitiga mendadak membesi hijau, jengeknya
dingin, "Sekarang korbankan dulu satu orang, untuk itu boleh
aku memberi kelonggaran kepadamu untuk memilih korban
yang pertama." Dengan pipa cangklongnya dia menunjuk
Hiang-hiang, "Bagaimana kalau kau renggut dulu jiwanya."
"Bagus sekali," seru Siau Ma bertepuk tangan.
Keruan Thio-gongcu gopoh, tanyanya gugup, "Bagus sekali
apa artinya?"
"Maksudnya, jiwanya itu tidak boleh diambil orang lain."
Bab 6 Thio-gongcu menghela napas lega. Thi Sam-kak sebaliknya
menyeringai sadis.
Siau Ma menghela napas, katanya, "Sayang sekali golok
besar itu mengancam lehernya, orang lain menuntut jiwanya
atau tidak" Yang terang aku tidak berdaya menolongnya."
"Agaknya kau mulai mengerti," jengek Thi Sam-kak.
"Tapi ada satu hal justru aku tidak paham."
"Kau boleh tanya."
"Golok kalian kelihatannya dapat bergerak dengan cepat."
"Ya cepat sekali."
"Dengan golok seperti itu, untuk memenggal kepala orang,
kelihatannya bukan kerja yang susah dilakukan."
"Sedikitpun tidak sukar."
"Kenapa tidak segera kau penggal?"
"Menurut pendapatmu?"
"Apakah karena belakangan ini kau banyak makan
kenyang dan iseng, kau ingin mempermainkan jiwa orang lain
untuk menghibur diri?"
"Cara menghibur diri seperti itu kurasa kurang
menyenangkan."
"Jadi kau hendak mengancam aku dengan jiwa mereka,
kau ingin aku melakukan sesuatu untuk kalian?"
"Pertanyaanmu kali ini betul."
"Kau ingin aku melakukan apa?"
"Aku menuntut sepasang tinjumu itu."
Siau Ma mengangkat tinjunya, katanya sambil mengawasi
tinjunya sendiri, "Tinjuku ini hanya untuk menghajar orang,
untuk apa kau menuntut tinjuku?"
"Supaya kau tidak bisa menghajar orang lagi."
"Kalian ada delapan belas batang golok, memangnya takut
terhadap sepasang tinjuku ini?"
"Hati-hati kan lebih baik."
"Maksudmu supaya aku memotong dua tinjuku dan
menyerahkan kepadamu, supaya aku tidak mencari
permusuhan dengan kalian, begitu?"
"Apa yang kau ucapkan meski tidak seluruhnya benar,
maksudku memang demikian."
"Baiklah," ujar Siau Ma tertawa, "dengan senang hati
kuserahkan kepadamu."
Belum habis bicara tubuhnya menerjang ke depan, tahutahu
tinjunya mendarat di hidung Thi Sam-kak.
Bukannya Thi Sam-kak tak melihat datangnya tinju Siau
Ma. Dia melihat jelas, tapi justru tak mampu berkelit, tak bisa
menghindar. Suaranya tidak keras waktu tinju mendarat di
hidung, waktu hidung tergenjot dan ringsek hampir tidak
mengeluarkan suara apapun. Tapi rasanya sungguh sukar
dilukiskan. Thi Sam-kak merasa mukanya seperti mendadak meledak,
rasa sakit dan perih membuat matanya berkunang-kunang, di
saat tubuhnya jungkir balik, mulutnya sempat berteriak
memberi komando, "Sikat!"
Begitu "sikat" berkumandang di udara, sembilan golok
yang mengancam leher para tawanan lantas terangkat hendak
memenggal leher.
Thio-gongcu juga menerjang ke depan, dia siap menghajar
lawan yang mengancam Hiang-hiang dengan sodokan sikut,
lalu tempelengan di muka dan genjotan di dada. Tetapi dia
belum atau tak usah turun tangan lagi.
Sebelum kakinya melangkah, laki-laki yang mengancam
dengan golok kepala setan tiba-tiba menjerit sambil
menungging memeluk perut, perlahan dia roboh ke tanah
terus berguling sambil merintih-rintih.
Hiang-hiang yang kelihatan takut dan harus dikasihani,
masih berdiri santai di tempatnya, mengawasi korbannya
dengan rasa iba, katanya, "Maaf sebetulnya tidak pantas aku
menendang anumu itu, tapi kau juga tidak perlu menyesal,
bila anumu remuk, selanjutnya kau tidak akan mengalami
kesulitan."
Thio-gongcu mengawasinya dengan terpesona dan kaget.
Seorang gadis yang kelihatan lemah lembut, penakut lagi
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramah, ternyata tega bertindak sekejam itu, perbuatannya
jelas lebih ganas dan menakutkan dibanding dirinya.
Bila dia menoleh dan melihat yang lain, sembilan belas
manusia serigala yang datang, tujuh belas di antaranya
meringkel di tanah. Seorang mukanya berlepotan darah, kulit
mukanya terkelupas. Orang ini adalah serigala yang tadi
mengancam Siang Bu-gi dengan goloknya yang paling besar.
Dua orang yang mampus adalah orang yang menjaga di
luar tandu Lan Lan. Tanpa bergerak kedua orang ini rebah di
tanah, sekujur badan tidak kelihatan ada luka yang
menyebabkan kematiannya. Hanya di tengah kedua alisnya
kelihatan setitik darah.
Dua orang lagi masih berdiri gemetar di depan tandu
dimana si pasien itu berada, tapi golok di tangan mereka
sudah tak kuat diangkat lagi.
Siang Bu-gi tengah menatap tajam mereka. Lutut mereka
goyah, orang yang di sebelah kiri celananya kelihatan basah.
Siang Bu-gi berkata, "Pulang dan laporkan kepada Pok
Can, kalau ingin beraksi, lebih baik dia turun tangan sendiri."
Mendengar "pulang", seketika kedua orang ini terbelalak
girang, rasa girangnya jauh lebih besar daripada mereka
kejatuhan rejeki nomplok, tanpa berjanji keduanya lantas
putar tubuh lari sipat kuping.
"Kembali," mendadak Siang Bu-gi menghardik.
Mendengar "kembali", seorang yang lain seketika
terkencing-kencing, celananya basah seluruhnya.
Siang Bu-gi menuding mereka, katanya, "Kalian tahu siapa
aku?" Kedua orang itu geleng kepala bersama.
"Aku si tukang kulit," sembari bicara ujung kaki Siang Bu-gi
menjungkit sebatang Kui-thau-to di atas tanah. Setelah dia
habis bicara, kedua orang sudah kehilangan secuil kulit di
kanan kiri pipi mereka.
Siau Ma menghela napas.
"Kenapa kau menghela napas?" tanya Siang Bu-gi.
"Semula aku kira mereka hendak mempermainkan dirimu,
sekarang baru aku maklum, engkaulah yang mempermainkan
mereka. Apakah kau juga beranggapan bahwa kita seperti
mereka, setelah kenyang makan tidak punya kerja lalu cari
hiburan?" Siang Bu-gi menyeringai dingin.
"Kenapa kau tidak turun tangan lebih dini?" tanya Siau Ma.
"Karena aku tidak bodoh, membiarkan jiwa orang
berkorban dengan percuma."
"Jiwa siapa yang berkorban?"
"Mungkin sekali jiwamu."
Siau Ma tertawa dingin.
"Jikalau kau tidak tergesa-gesa, tidak terburu napsu,
sekarang kita sudah aman tenteram."
"Memangnya sekarang kita belum aman?" jengek Siau Ma.
Siang Bu-gi mengancing mulut, sorot matanya setajam
pisau menatap ke lekuk gunung di sebelah kanan sana.
* * * * * Sang surya sudah terbenam, tabir malam sudah
menyelimuti mayapada.
Dari belakang pohon di lekuk gunung sana, perlahan
beranjak keluar tujuh orang, langkah mereka santai, seperti
pelancong yang jalan-jalan menikmati keindahan alam, sikap
mereka ramah lagi sopan.
Orang yang berjalan paling depan berpakaian jubah
panjang mirip pelajar dengan topi tinggi berhias, tangannya
memegang kipas lempit. Kipas yang digoyang-goyang dan
terbuka lebar tampak dihiasi dua baris huruf, huruf tulisan
kuno, kaligrafi dengan gaya indah dan tajam.
Syukur hari belum betul-betul gelap, di tengah
keremangan itu, laki-laki ini melangkah santai menuju ke batu
cadas, kira-kira setombak jauhnya dia berhenti, kipas dilempit
lalu menjura dengan hormat. Enam orang di belakangnya juga
ikut menjura. Kalau orang tahu peradatan, betapapun marahnya juga tak
bisa diumbar, apalagi orang memberi salam hormat, sudah
tentu Siau Ma menjadi rikuh untuk menggunakan tinjunya di
hidung orang. Lo-bi segera tampil ke depan, dengan tertawa dia
menyapa, "Sama-sama belum kenal, buat apa tuan sungkan
dan sehormat ini?"
Pelajar berjubah sutera putih ini tersenyum ramah,
katanya, "Bertemu di tengah jalan terhitung ada jodoh,
sayang di sini tiada meja perjamuan untuk menyambut
kedatangan tamu agung, maaf kami tidak mampu menyambut
selayaknya."
"Tidak usah sungkan, jangan pakai peradatan," Lo-bi
berkata dengan cengar-cengir.
Pelajar jubah putih memperkenalkan diri, "Cayhe Un Lianggiok."
"Cayhe she Bi," ucap Lo-bi.
Un Liang-giok berkata, "Sudah lama nama besar Bi-tayhiap
terkenal dan kudengar, demikian juga nama besar Siangsiansing,
Ma-kongcu, dan Thio-losiansing juga sudah lama
kukagumi, sayang belum pernah berkenalan, hari ini bisa
bertemu sungguh lega dan senang hati kami." Agaknya orang
sudah mencari tahu asal-usul rombongan Siau Ma, maka dia
dapat bicara lancar dan benar.
Perasaan Siau Ma mendelu, hatinya pun marah, melihat
dua baris tulisan dikipas orang tadi, segera dia menerka siapa
pelajar jubah sutera putih ini.
Un Liang-giok berkata, "Konon adik nona Lan sedang sakit,
Cayhe juga ikut merasa gugup dan khawatir setelah
mendengar berita ini."
Tak tahan Siau Ma bertanya, "Kelihatannya kau pandai
mencari berita."
Un Liang-giok tertawa, katanya, "Sayang gunung ini bukan
tempat aman, dalam kalangan kita juga tiada orang bajik,
kalau kalian ingin pergi dengan aman, kurasa amat sukar,
sukar sekali."
"Itu urusan kami, rasanya tiada sangkut-paut dengan kau,"
jengek Siau Ma.
"Sebagai penduduk gunung ini, mungkin Cayhe dapat
membantu sedikit, agar kalian sampai di tempat tujuan
dengan selamat."
Lo-bi segera menyeletuk, "Sekali pandang Cayhe lantas
tahu, tuan adalah Kuncu, kau pandai menggunakan istilah
bajik dan bijaksana segala."
Un Liang-giok pura-pura menghela napas gegetun,
katanya, "Walau Cayhe ada niat menjadi orang bajik, sayang
aku tak mampu berbuat banyak."
"Cara bagaimana supaya kau bisa berbuat bajik?" tanya
Siau Ma. "Gunung ini penuh semak belukar, berduri lagi, untuk
melewati sebuah gunung, pantasnya kalian membuka sebuah
jalan lebih dulu."
"Cara bagaimana kita harus membuka jalan tembus itu?"
tanya Siau Ma. Un Liang-giok tertawa, katanya, "Sebetulnya tidak sukar,
asal..." "Sebetulnya apa sih keinginanmu?" tanya Siau Ma tandas.
Tawar suara Un Liang-giok, "Aku hanya ingin menuntut
selaksa tahil uang emas, sepasang tinju dan sebuah tangan."
Siau Ma tertawa lebar, ujarnya, "Jika hanya minta uang
emas itu urusan gampang, tapi tinju dan tangan jauh
berbeda." "Ya, memang jauh berbeda."
"Tinju macam apa dan tangan seperti apa yang kau
inginkan?"
"Jiwa raga dilahirkan orang tua, sekali-kali tidak boleh
dibuat cacat, oleh karena itu ...."
"Kau menuntut sepasang tinju yang pandai menghajar
orang dan tangan yang ahli mengelupas kulit manusia."
Un Liang-giok tidak menyangkal, dengan senyum lebar dia
berkata, "Asal kalian terima sekedar syaratku itu, Cayhe
tanggung dalam tiga hari nona Lan dan adiknya bisa lewat
gunung ini dengan aman, kalau tidak ...." Dia menghela
napas, lalu menyambung, "Kalau tidak, terpaksa Cayhe tidak
bisa membantu."
Siau Ma tertawa besar. Dia bukan sengaja tertawa, tapi
tertawa besar sungguhan. Mendadak dia menyadari satu hal,
manusia keji yang menggunakan kedok 'Kuncu' (sosiawan),
bukan saja amat kejam dan patut ditindas, juga lucu
menggelikan. Dimana-mana manusia yang berkedok sebagai Kuncu
sama saja semuanya munafik.
Un Liang-giok bersikap biasa dan wajar, roman mukanya
tak berubah sedikitpun, katanya, "Boleh kalian pertimbangkan
dan rundingkan dulu syarat yang kuajukan tadi, besok pagi
Cayhe akan datang mendengar kabar gembira."
Segera Siau Ma bersikap pura-pura serius, katanya, "Kau
harus datang lho!"
Un Liang-giok berkata, "Malam telah gelap, perjalanan ke
depan makin berbahaya, kalau kalian ingin selamat dan aman
malam ini, kuanjurkan diam dan tinggal saja di sini." Lalu dia
menjura pula, kipas lempitnya terkembang pula, kakinya
sudah beranjak pergi. Enam orang di belakangnya juga
menjura, mereka ikut melangkah pergi dengan langkah
tenang, sedikitpun tidak kelihatan marah.
Sebaliknya Siau Ma tak kuat menahan gelora amarahnya,
desisnya geram, "Kenapa dia tidak turun tangan ?"
"Kalau dia turun tangan, memangnya kau bisa berbuat
apa?" jengek Siang Bu-gi.
"Jika dia turun tangan, aku tanggung hidungnya ringsek."
"Waktu itu mungkin dirimu juga tidak mirip manusia, tidak
mirip kuda binal yang pandai menggunakan tinjunya lagi."
Tiba-tiba Thio-gongcu menyeletuk, "Apa betul mereka itu
Kun-cu-long?"
"Orang tadi adalah Long-kuncu."
"Kau sudah melihat kedatangan mereka?"
"Waktu itu kalian sedang sibuk mempertahankan jiwa,
menolong jiwa raga kalian."
"Kau sengaja bertahan dan main ulur waktu dengan anak
buah Pok Can, karena kau sudah tahu bahwa pasukan tempur
serigala sudah berada di sini, maka mereka takkan muncul."
"Itulah peraturan yang harus dipatuhi di Long-San."
Thio-gongcu menghela napas gegetun, katanya,
"Kelihatannya mereka memang lebih mudah dilayani dibanding
beberapa batang Kui-thau-to itu." Lalu dia balas bertanya,
"Tapi anak buah Pok Can sudah pergi, kenapa mereka juga
tidak turun tangan?"
"Sekarang saat apa?" tanya Siang Bu-gi.
"Sekarang sudah malam."
"Kung-cu-long tidak pernah turun tangan di malam hari."
"Itupun peraturan yang berlaku di Long-san?"
"Begitulah kenyataannya."
Lo-bi berdiri di kejauhan, mendadak dia menghela napas,
katanya, "Untung yang dituntut bukan sepasang tinjuku, juga
bukan tanganku."
Dia berdiri cukup jauh, tapi baru saja dia habis bicara,
Siang Bu-gi sudah berada di depannya. Keruan berubah muka
Lo-bi, ingin tertawa, tapi mukanya dingin kaku. Bila melihat,
apalagi berhadapan dengan Siang Bu-gi, dia amat ketakutan
seperti melihat setan di siang hari.
Siang Bu-gi menatapnya tajam, desisnya, "Dia tidak minta
tinju atau tanganmu, biar aku yang minta."
"Kau ... kau ...." Lo-bi gelagapan.
"Bukan hanya tanganmu yang kuminta, kulitmu pun akan
kubeset." Perawakan Lo-bi sebetulnya tinggi, seakan tiba-tiba
tubuhnya mengkeret jadi pendek.
Siang Bu-gi berkata dengan suara tawar, "Sayang sekali
tiada orang mau membeli tanganmu, apalagi membeli
kulitmu." Waktu dia membalik tubuh, kebetulan Lan Lan turun
dari tandu. Segera dia melangkah pergi, melirik pun tidak sudi
kepada Lo-bi. Ternyata Lo-bi masih tidak berani berdiri.
Lan Lan menghampiri lalu memapahnya berdiri, katanya
lembut, "Terima kasih atas bantuanmu tadi, dua batang Kuithau-
to itu hampir saja memenggal kepalaku, kalau Toh-bingciam
tidak segera kau sambitkan, mungkin jiwaku sudah
melayang sejak tadi."
Lo-bi kucek-kucek hidung, lalu kucek-kucek mata,
mulutnya menggumam, "Buat apa kau singgung soal itu,
sebetulnya aku tidak ingin mereka tahu."
"Aku tahu kau menyembunyikan kepandaian, tapi kau
telah menolongku, betapapun aku harus mengucap terima
kasih kepadamu."
Dengan sebelah tangannya dia mengambil sekuntum
kembang mutiara yang menghias sanggulnya, "Hadiah yang
tidak berarti ini, kau harus menerimanya." Kembang mutiara
ini dibikin sedemikian rupa, seluruhnya terdiri tiga puluh
delapan mutiara yang besarnya sama.
Semula Lo-bi hendak menampik, tetapi setelah melihat
kembang mutiara itu, tangan yang semula mau mendorong
tangan orang malah menggenggam kembang mutiara itu.
Sebagai kawakan Kang-ouw, dia juga kenal nilai suatu benda,
dia tahu nilai kembang mutiara ini, kalau digadaikan,
sedikitnya bisa berfoya-foya tiga bulan lamanya.
Siau Ma sebaliknya kelihatan amat kaget. Bukan karena
Lo-bi menerima kembang mutiara itu, tapi terkejut setelah
mendengar apa yang diucapkan Lan Lan. Yang pasti bukan
Siau Ma saja yang terperanjat.
Thio-gongcu melirik Siau Ma, lalu mengawasi dua orang
yang mati dengan setitik darah di tengah alisnya. "Sejak
kapan kau mahir menggunakan Am-gi selihai itu" Kenapa
belum pernah aku tahu atau melihat kau memakainya?"
Lo-bi batuk dua kali lalu mendongak, katanya, "Sekali
sambit Am-gi itu merenggut jiwa orang, di hadapan sesama
teman mana berani aku menggunakannya, jika tidak terpaksa,
aku takkan menggunakan."
Lan Lan menghela napas, katanya, "Kau memang teman
yang baik." Sengaja atau tidak sengaja matanya melirik ke
arah Siang Bu-gi, tampak wajah Siang Bu-gi tidak mengunjuk
perasaan apa-apa.
Lan Lan berkata, "Sepuluh laksa tahil uang emas
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebetulnya mampu kubayar, tapi syarat yang diajukan Unkuncu
itu, aku tidak mau mempertimbangkan." Lalu dia
menoleh ke arah Siang Bu-gi, "Sekarang sudah gelap, apakah
kita sudah boleh melanjutkan perjalanan?"
Siang Bu-gi manggut-manggut.
"Siapa yang membuka jalan?" tanya Siau Ma.
"Engkau," seru Siang Bu-gi. .
"Kau di belakang?" tanya Siau Ma.
"Boleh."
"Thio-gongcu dimana?"
"Dia menemani kau."
Lo-bi segera menyeletuk, "Aku menemani Siau Ma saja."
Siang Bu-gi berkata dingin, "Kau mahir menggunakan
senjata rahasia, maka kau harus di tengah barisan."
"Boleh, yang terang aku tidak akan ke belakang," ucap Lobi
prihatin. Siang Bu-gi menyeringai dingin.
"Begitu datang tanda bahaya, kita harus serempak
berusaha melindungi kedua tandu ini," demikian usul Siau Ma.
Siang Bu-gi menyeringai dingin, katanya, "Hakikatnya
mereka tidak perlu ...." Belum habis dia bicara, mendadak dua
bayangan melompat dengan tangkas menubruk dengan
sengit. Ternyata Thi Sam-kak tidak mati. Demikian pula seorang
lain yang penyok hidungnya oleh pukulan Siau Ma juga tidak
mati. Hidung bukan tempat yang mematikan, Siau Ma bukan
orang yang suka membunuh.
* * * * * Pasien di dalam tandu mulai batuk-batuk. Kedua orang itu
justru menubruk ke arah tandu yang satu ini, asal dapat
membekuk dan menyandera si pasien, orang-orang ini akan
tunduk oleh ancaman. Walau Thi Sam-kak tidak mampu
menyelamatkan hidungnya dari genjotan Siau Ma, tetapi
kungfunya cukup baik. Bukan saja gerak-geriknya cekatan,
tindakannya juga cepat.
Sementara, Siau Ma, Thio-gongcu dan Siang Bu-gi berdiri
cukup jauh dari tandu itu, dalam rombongan, hanya mereka
bertiga yang ditakuti. Thi Sam-kak pandai mamanfaatkan
kesempatan. Pipa cangklong di tangannya terbuat dari baja
murni, ukuran wadah tembakau di ujung pipanya mirip tinju
Siau Ma, kalau baja sebesar tinju mengetuk kepala manusia
atau menjojoh Hiat-to, kalau tidak mampus seketika juga pasti
terluka parah. Secara diam-diam temannya juga sudah meraih
sebatang Kui-thau-to. Dimana sinar berkelebat, golok besar
dan berat itu membelah tandu dari atas. Betapapun kuat dan
terbuat dari kayu pilihan sekalipun, dibacok oleh golok seberat
tiga puluh kati dari ayunan seorang yang memiliki tenaga
raksasa, tandu itu pasti terbelah dan berantakan.
Padahal si pasien lagi batuk-batuk, penyakitnya sedang
kumat, jelas dia takkan terhindar dari bencana yang
mengancam. Betapapun cepat, sigap Siau Ma dan Siang Bu-gi
bergerak, juga pasti terlambat untuk menolong.
Bahwa Thi Sam-kak nekat bertindak dengan sergapan
yang mematikan, jelas sudah punya perhitungan matang, dia
yakin seorang musuh pasti dapat dibunuhnya.
Sayang dia salah perhitungan. Pada saat gawat itulah, dari
bawah tandu yang gelap, berkelebat dua larik sinar terang
yang menusuk bagai sambaran kilat. Sebatang pedang
mengiris lurus ke atas menepis Kui-thau-to, maka
terdengarlah jeritan yang menyayat hati. Darah berhamburan,
empat jari tangan yang menggenggam golok tertabas kutung,
sinar pedang berkelebat pula menukik ke bawah, ujung
pedang mampir ke dada dan tembus ke punggung. Bukan saja
lincah lagi beres, gerak pedang inipun tepat dan telengas.
Di sebelah kiri beruntun terdengar suara "tring, tring,
tring" tiga kali benturan nyaring disertai percikan kembang
api, pipa cang-klong dan pedang beradu tiga kali. Thi Sam-kak
memang lawan yang tidak mudah dilayani, selincah tupai dia
melejit ke atas, ujung kakinya sempat menutul pikulan tandu,
meminjam tenaga tutulan kakinya, tubuhnya bersalto lebih
tinggi di udara. Musuh berada di sekitar dirinya, setelah
sergapan gagal, mana berani dia bertahan lebih lama. Dia
ingin melarikan diri.
Di luar dugaan, di saat tubuhnya bersalto ke belakang itu,
sinar pedang juga sudah menunggu di bawah selangkangan,
begitu tubuhnya melorot turun, sinar pedang menyongsong,
pedang ganas itu amblas di tengah kedua pahanya miring ke
atas. Thi Sam-kak melolong seperti serigala kelaparan, sampai
mati dia tidak percaya bahwa jiwanya melayang di ujung
pedang yang menyerang dengan jurus sekeji itu, celakanya
penyerang dirinya adalah nona cantik yang masih berusia
enam atau tujuh belas.
Darah masih menetes di ujung pedang.
Dua nona cantik belia itu berdiri berjajar beradu pundak,
cadar hitam yang menutup wajah mereka tampak melambai
ditiup angin malam. Pedang di tangan mereka teracung ke
depan, mereka cekikikan dan riang geli. Membunuh orang
merupakan hobi, bagi mereka permainan yang menarik.
Mungkin karena mereka masih muda, belum menyelami
betapa berharganya jiwa manusia, betapa penting arti
kehidupan ini. Merdu cekikik tawa mereka, gaya tawa mereka
justru lebih menarik.
Siang Bu-gi menatap dingin, mendadak dia berseru, "Ilmu
pedang bagus."
Cen Cen cekikikan, katanya, "Banyak terima kasih."
Sebaliknya Cen Cu cemberut, katanya, "Sayang kami
bukan tandingan Siau Ma, mukaku bengkak karena
jotosannya." Melihat sikap dan mendengar omongannya, siapa
percaya kalau mereka masih anak-anak. Anak siapa yang
mampu melancarkan ilmu pedang seganas itu"
"Siapa yang mengajarkan Kiam-hoat kalian?" tanya Siang
Bu-gi. "Aku justru tak mau menerangkan," Cen Cu berkata.
Cen Cen cekikikan, katanya, "Kabarnya kau lebih lihai dari
Siau Ma, kenapa kau tidak tahu asal-usul Kiam-hoat kami?"
Siang Bu-gi tertawa dingin, tiba-tiba dia berkelebat dan
tahu-tahu sudah berada di depan mereka, gerak tangannya
laksana sambaran kilat, tujuannya merampas pedang kedua
nona cilik ini. Dia menggunakan Khong-jiu-jip-pek-to dengan
kombinasi Siau-kim-na-jiu-hoat yang berjumlah tujuh puluh
dua jurus. Umpama kungfu yang diyakini ini belum mencapai
taraf yang paling top, namun tidak banyak jago Bu-lim yang
mampu menandingi dirinya.
Tak nyana kedua nona cilik ini malah cekikikan lalu
membusung dada, sementara pedang mereka tersembunyi di
punggung. Kedua nona cilik ini adalah gadis yang baru akil
baliq, payudara mereka juga baru tumbuh membukit. Walau
Siang Bu-gi tidak sengaja, betapun dia malu kalau tangannya
menjamah payudara kedua nona cantik ini.
Cen Cen tertawa riang, serunya, "Pedang ini milik kami,
bukan barang curian, kenapa kau hendak merampasnya?"
Cen Cu juga mencemooh, "Laki-laki gede mau merampas
barang milik anak-anak, apa kau tidak malu?"
"Tidak tahu malu, tidak tahu malu," Cen Cen mengolokolok.
Membesi hijau muka Siang Bu-gi, sekian lama ia menjublek
tak bisa bicara.
Mendadak kedua nona cilik ini berputar ke kanan ke kiri,
sinar pedang juga berpencar, laksana ular sakti mematuk,
ujung pedang menusuk ke iga kiri kanannya. Walau ilmu
Khong-jiu-jip-pek-to yang diyakinkan Siang Bu-gi cukup lihai,
tapi serangan lawan datang tak terduga, mana berani merebut
gaman lawan. Syukur dia sempat menyelamatkan diri.
Tapi kedua nona cilik itu justru tidak memberi hati, dari kiri
kanan mereka merangsek dengan jurus-jurus ilmu pedang
lihai, beruntun tiga kali mereka menusuk. Bukan saja ganas
lagi lihai, kerja sama permainan pedang kedua nona ini juga
serasi, serangan jurus terakhir malah mirip bersilangnya
cahaya lembayung. Orang lain menyaksikan dengan jelas,
kedua pedang nona cilik itu sudah hampir menembus dada
Siang Bu-gi secara silang. Tak nyana tubuh Siang Bu-gi
mendadak miring lalu menegak lurus lagi, dua batang pedang
yang menusuk silang itu tahu-tahu terkempit di ketiaknya.
Tindakannya amat tepat juga berbahaya.
Sekuat tenaga kedua nona cilik itu menarik pedang, namun
ujung pedang seperti lengket di ketiak Siang Bu-gi, tubuhnya
tidak bergeming sedikitpun.
Cen Cen cemberut mewek-mewek hampir menangis. Cen
Cu sudah berkaca-kaca malah. Tapi mereka tidak kapok,
sekuat tenaga masih berusaha menarik pedang mereka. Di
saat mereka menarik sekuat tenaga, mendadak Siang Bu-gi
mengendorkan jepitan ketiaknya. Keruan kedua nona cilik itu
terjungkal ambruk ke belakang, lalu terduduk mencak-mencak
tak mau bangun.
Dengan air mata bercucuran Cen Cu merengek, "Orang
gede menghina anak kecil, tidak tahu malu, tidak tahu malu."
Semula Cen Cen hanya mewek-mewek, kini dia menangis
tergerung-gerung.
Suara batuk dalam tandu sudah berhenti, dengan napas
tersengal orang dalam tandu membentak tertahan, "Tutup
mulut!" Walau hanya mengucap dua patah kata, kedengarannya
dia mengerahkan seluruh tenaga, sehingga napasnya ngosngosan.
Walau suaranya lemah, tapi seperti mengundang kutukan
yang menggiriskan, lebih manjur dari kutukan setan iblis.
Kedua nona cilik itu segera berhenti menangis, bergegas
mereka menyeka air mata lalu berdiri di pinggir.
Siang Bu-gi masih berdiri di tempat, berdiri menjublek
mengawasi tandu, pikirannya seperti mengembara entah
kemana. Sayang dia tidak bisa melihat apa-apa. Tandu itu
tertutup rapat dari luar maupun dalam, orang dalam tandu
terdengar batuk-batuk lagi.
Orang macam apakah dia sebetulnya" Penyakit apakah
yang diidapnya"
Siang Bu-gi tidak bertanya. Akhirnya dia membalik badan,
perlahan dia beranjak ke sana, Siau Ma dan Thio-gongcu
sedang menunggu dia.
Siau Ma bertanya, "Kau sudah melihat asal-usul Kiam-hoat
mereka?" Siang Bu-gi tidak menjawab, mulutnya bungkam.
"Aku juga susah mengenalnya," ucap Siau Ma sambil
tertawa getir, "Kiam-hoat seperti itu, bukan saja aku tidak
mengenalnya, melihat pun belum pernah."
Thio-gongcu berkata, "Jelas bukan Bu-tong-kiam-hoat?"
"Pasti bukan," sahut Siau Ma.
"Juga bukan ilmu pedang Tiam-jong, Kun-lun, Hay-lam dan
Ui-san." "Omong kosong," sentak Siau Ma.
Memang omong kosong. Jit-toa-kiam-pay (tujuh besar
aliran ilmu pedang) amat terkenal di Bu-lim masa itu, satu
jurus permainan sudah dapat mereka kenali.
"Kurasa justru omong kosong," bantah Thio-gongcu.
"Lalu?" tanya Siau Ma.
"Kalau kami tidak pernah lihat Kiam-hoat seperti itu,
apalagi orang lain, jelas mereka pun tiada yang pernah
melihat." "Ehm, betul."
"Oleh karena itu, Kiam-hoat jenis itu mungkin belum
pernah muncul di Bu-lim"
Siau Ma mendengarkan, Siang Bu-gi juga mendengarkan.
"Tapi menilai keganasan dan kemahiran permainan Kiamhoat
mereka, jelas diwariskan oleh seorang tokoh kosen."
"Ya, pasti," Siau Ma setuju.
"Ada berapa banyak tokoh kosen yang belum pernah
muncul di Bu-lim?"
"Tidak banyak."
"Oleh karena itu," ucap Thio-gongcu lebih jauh, "kalau kita
berpikir secara cermat, pasti dapat menemukan dia."
Lan Lan sudah masuk ke dalam tandu, Lo-bi, Hiang-hiang
dan kedua nona cilik itu menyingkir ke tempat jauh,
kelihatannya mereka tidak berani dekat-dekat tiga orang yang
lagi kasak-kusuk di sini. Akan tetapi, tiga orang ini tetap bicara
dengan suara lirih.
Thio-gongcu bicara setengah berbisik, "Kedua batang Tohbing-
ciam (jarum perenggut sukma) itu pasti bukan sambitan
Lo-bi." Siau Ma mengangguk tanda sependapat.
"Nona Lan Lan itu sengaja bilang dia yang menyambit,
karena dia sudah tahu bahwa Lo-bi akan berbuat demikian
dan mengakui apa yang dia katakan."
Bab 7 Siau Ma tertawa, giliran dia berbicara, "Kejadian yang
menguntungkan dia jelas tidak akan ditolaknya, kalau tidak,
umpama betul dia yang melakukan, pasti dia akan mungkir
mesti dihajar atau diancam mau dibunuh."
Thio-gongcu berkata, "Kalau bukan Lo-bi yang
menyambitkan Am-gi, lalu siapa?"
Siau Ma sengaja bungkam, dia menungggu penjelasan
Thio-gongcu lebih lanjut.
"Kenapa nona Lan Lan sengaja menjatuhkan vonisnya
kepada Lo-bi, malah memberi hadiah kembang mutiara yang
nilainya cukup untuk berfoya-foya beberapa bulan?"
"Ya, jika tidak beberapa ratus tahil, pasti bernilai dua tiga
ribu tahil."
"Kenapa dia berbuat demikian, apakah karena matanya
lamur" Salah melihat orang?"
"Kutanggung matanya tidak lamur dan masih dapat
melihat jarum yang jatuh dalam beberapa tombak jauhnya."
Thio-gongcu menghembuskan angin dari mulut, katanya,
"Kalau demikian hanya ada satu penjelasan untuk peristiwa
ini." "Coba jelaskan."
"Sebetulnya dia sendiri yang menyambitkan Am-gi itu, tapi
tidak ingin orang tahu bahwa dia juga seorang kosen, untuk
menyembunyikan kemampuannya, maka ia rela
mengorbankan kembang mutiara dan memberi pahala kepada
Lo-bi." "Tepat, masuk akal," puji Siau Ma.
Thio-gongcu berkata lebih lanjut, "Yang mengajarkan
Kiam-hoat kedua nona taci beradik itu, kemungkinan besar
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga dia."
"Ya, mungkin sekali."
"Kenapa dia menutupi diri sendiri" Pandai kungfu bukan
suatu hal yang memalukan atau melanggar hukum."
Siau Ma memicingkan mata mengawasi sekian lama,
akhirnya ia menarik napas, katanya, "Aku ingin tanya satu hal
kepadamu."
Thio-gongcu mengawasi mulutnya.
"Apa yang dia lakukan, ada sangkut-paut apa dengan
kau?" Tanpa menjawab sepatah kata pun, Thio-gongcu putar
badan lalu pergi.
Terpaksa Siau Ma menoleh mengawasi Siang Bu-gi.
Muka Siang Bu-gi tetap kaku dingin, dia hanya mengucap
sepatah kata, "Berangkat."
Malam makin larut.
Jalan pegunungan yang jarang dilewati manusia makin
sukar ditempuh, keledai juga tak bisa digunakan lagi.
Hiang-hiang, kakak beradik Cen-cu selalu mengiringi
tandu, Lo-bi selalu berputar kayun di kanan kiri atau depan
belakang mereka, kelihatannya dia ingin cari kesempatan
untuk bicara atau berkelakar dengan mereka.
Bahwasanya Lo-bi bukan terhitung laki-laki hidung belang,
kalau mau dikata sebagai setan cabul, dia hanya termasuk
setan cabul biasa saja.
Demikian juga Siau Ma, bukan dia tidak memikirkan Lan
Lan, malah ingin menikmati lagi kehangatan badannya.
Apa yang dilakukan Lan Lan memang tiada sangkut-paut
dengan Thio-gongcu, tapi sedikit banyak justru ada hubungan
dengan dirinya.
Kenapa Lan Lan harus menyembunyikan diri, padahal dia
mahir kungfu"
Adiknya terjangkit penyakit apa" Kenapa tidak mau
menampakkan diri"
Siau Ma tidak sempat memecahkan persoalan ini, karena
mendadak dia melihat tiga orang muncul di depan dan
berjalan ke arah mereka.
Malam larut, bulan purnama, di bawah cahaya rembulan,
mereka masih bisa melihat keadaan sekeliling dalam jarak
tertentu. Yang datang dua perempuan satu laki-laki. Yang lelaki
telanjang dada dan mengenakan sepatu rumput, rambutnya
awut-awutan bagai sarang ayam, dari kejauhan terendus bau
badannya yang apek berkeringat. Menurut pendapat Siau Ma,
laki-laki ini sudah belasan hari tidak mandi. Tapi kedua gadis
itu justru memeluk lengannya, mereka jalan bergandengan
seperti kuatir laki-laki itu terlepas terbang. Mereka masih
muda usia, yang lelaki kekar gagah, yang perempuan
ramping, cantik lagi menggiurkan.
Mereka juga berpakaian sembarangan, berjubah panjang
atau 'longdress' yang ketat dengan belahan tinggi mencapai
pantat kanan kiri, bila kaki beranjak pakaiannya tersingkap,
paha pun kelihatan. Paha mereka jenjang lagi mulus putih,
kekar dan padat, jarang Siau Ma melihat paha semulus dan
menggiurkan seperti milik gadis ini. Gadis yang lain bukan
mengenakan 'Shanghai-dress' yang terbelah pahanya, tapi
terbelah di bagian dadanya sehingga sepasang bukit mulus
dan kenyal dapat diintip dari kejauhan.
Tingkah laku tiga muda mudi ini mirip 'hipis' zaman kini,
seperti tidak peduli keadaan sekeliling, dunia adalah milik
mereka bertiga, yang penting bisa hidup senang, peduli orang
lain mau mati atau ingin hidup.
Maklum di sini adalah Long-san. Tapi melihat tingkah
mereka, seolah-olah lagi tamasya di taman firdaus, putar
kayun di kebun rumah sendiri.
Saat Siau Ma mengawasi mereka, mereka juga sedang
mengawasi Siau Ma. Terutama gadis yang memiliki paha
panjang dan mulus itu, sepasang bola matanya terpaku di
wajah Siau Ma. Siau Ma tidak berani bertatap mata, lekas dia melengos.
Siau Ma bukan laki-laki yang takut menghadapi urusan, dia
bukan laki-laki jujur yang tidak mau menggoda perempuan,
soalnya dia masih ingat dan tidak berani melupakan
peringatan nenek tua di warung bobrok itu.
Di atas gunung ada serombongan muda-mudi yang dikenal
sebagai serigala bebas atau tepatnya serigala sesat.
Kadang mereka membunuh orang, tapi juga sering
menolong orang, asal kalian tidak mengganggu mereka,
biasanya mereka tidak akan mengganggu.
Siau Ma tidak ingin mencari gara-gara. Tidak mau terlibat
urusan yang tidak perlu. Ternyata mereka tidak mengganggu
Siau Ma, terhadap orang lain jangan kata memandang, melirik
pun tidak. Sambil tangan bergandeng tangan, tiga muda-mudi ini
terus beranjak ke sana memasuki hutan. Lo-bi masih
terpesona mengawasi sepasang paha yang mulus itu. Pemuda
itu mendadak menoleh dengan pandangan melotot
kepadanya, dalam matanya seperti ada ujung pisau menusuk
hati, tanpa sadar Lo-bi bergidik merinding. Sebaliknya gadis
yang berpaha bagus itu menoleh sambil mengerling tajam,
senyumnya menawan hati, Lo-bi hampir kelengar dan lutut
pun goyah. Di saat ketiga muda mudi ini lenyap dalam hutan. Dari
jalan pegunungan di depan sana, tepatnya dari kanan kiri
jalan sekaligus muncul tiga puluhan orang berpakaian hitam.
Serigala malam telah datang.
Hanya muncul di malam hari, entah dia manusia atau
binatang buas, entah makhluk apapun, bila dia muncul di
malam gelap, siapa pun akan merasa seram dan munculnya
dirasa mengandung misteri.
Kalau manusia hanya muncul di tengah malam, sedikit
banyak pasti punya pantangan yang takut dilihat orang.
Demikian pula dengan rombongan serigala malam itu,
mereka berpakaian hitam, sepatu hitam, dengan kedok muka
hitam pula, setiap orang memiliki sepasang mata yang
mencorong hijau dan buas mirip mata serigala, gerak-gerik
mereka lincah serta cekatan. Yang muncul paling akhir
ternyata seorang timpang.
Gerak-geriknya lamban lagi berat, setiap kali melangkah
seperti mengeluarkan banyak tenaga, maka langkahnya amat
lambat. Tapi begitu dia muncul, begitu dia tampil ke depan,
seumpama golok tajam mengkilap yang sudah terhunus,
orang akan merasakan datangnya hawa membunuh yang
menyelimuti dirinya.
Siau Ma berada di depan barisan, Siang Bu-gi berada di
ekor barisan, ruang lingkup mereka makin pendek dan
menciut. Cen Cu kakak beradik siap memegang pedang.
Sedang bola mata Lo-bi berputar mengerling ke sekitarnya
seperti siap melarikan diri bila keadaan betul-betul gawat.
Laki-laki baju hitam yang timpang itu terus beranjak maju
perlahan, dua kali dia batuk-batuk ringan, semua orang
mengira dia sudah siap membuka suara. Tak nyana begitu
batuk dua kali, berbagai gaman, entah golok pedang, tombak
dan lain-lain, termasuk senjata rahasia, mendadak
memberondong selebat hujan ke arah rombongan Siau Ma.
Kecuali ruyung, pisau dan panah serta ketapel besi, mereka
menggunakan dupa pembius yang wangi baunya. Jadi
berbagai senjata yang ada di Kangouw, entah yang biasa
dipakai orang-orang gagah termasuk pendekar atau yang
sering digunakan kawanan penjahat, berandal atau maling
cabul, dalam sekejap serentak diboyong keluar untuk
mengganyang mereka. Sasaran yang diincar juga termpat
yang mematikan, paling ringan terluka parah dan sekarat.
Untung rombongan musuh tidak semuanya jago kosen,
maka serangan gencar mereka juga tidak merupakan
ancaman fatal bagi rombongan Siau Ma.
Cen Cu kakak beradik memutar sepasang pedang mereka,
sebelah tangan Hiang-hiang menarik sambil menari, badannya
berputar sekencang baling-baling, selembar sabuk sutra
seketika ditarikan selincah bidadari menggulung mega di
angkasa, sabuk sutra sepanjang setombak tujuh kaki itu
ternyata mampu membendung senjata rahasia musuh yang
memberondong tiba.
Ada dua yang menggunakan dupa wangi peranti membius
orang, sigap sekali Siau Ma melompat ke depan, beruntun dua
kali jotosan tangan kanan kirinya, hidung kedua orang ini
seketika ringsek.
Siang Bu-gi ahli mengelupas kulit bergerak laksana
bayangan setan, setiap orang yang kepergok, semua roboh
terkapar dengan badan terkelupas kulitnya.
Akan tetapi berbagai jenis senjata itu terus memberondong
gencar secara bergelombang, satu gelombang demi satu
gelombang tidak putus atau berhenti.
Pedang sudah tidak lagi gemerdep, gerakannya disertai
hamburan darah, demikian pula sabuk sutra putih yang
panjang itu sudah berwarna merah berlepotan darah, di
bawah sinar bulan purnama kelihatan merah maron.
Betapapun mereka adalah perempuan, gadis muda yang
lemah hati dan berperasaan, melihat sekian banyak korban
mampus, hati tidak tega. Sudah tentu hal ini mempengaruhi
gerak-gerik mereka yang makin lemah, apalagi napas memang
sudah tersengal-sengal.
Lo-bi selalu menjerit dan berteriak, entah bergurau atau
karena terluka. Syukurlah Siau Ma dan Thio-gongcu datang
ikut mengadang di depan tandu Lan Lan dan adiknya yang
sakit. Empat laki-laki pemikul tandu meski berhasil mengepruk
pecah beberapa batok kepala orang yang meluruk datang, tapi
mereka sendiri juga terluka. Kalau bertempur lebih lama lagi
jelas pihak mereka akan mati kelelahan karena kehabisan
tenaga. Thio-gongcu mendadak berseru, "Cara begini tidak boleh
dilanjutkan."
"Duk," sekali genjot Siau Ma memukul hancur hidung
seorang yang menyergap tiba, tanyanya, "Bagaimana menurut
pendapatmu?"
"Menangkap maling harus membekuk pentolannya,"
demikian seru Thio-gongcu. Senjata yang digunakan adalah
golok melengkung mirip bulan sabit, bentuknya mirip pisau
yang biasa digunakan untuk mengiris dan membeset kulit.
Sekali golok sabit terayun, sebuah lengan ditabasnya buntung.
Siau Ma berkata, "Maksudmu harus kubekuk si timpang
itu?" Thio-gongcu tidak sempat menjawab, dia hanya
menganggukkan kepala.
Sejak tadi laki-laki timpang itu berdiri di luar sambil
menonton dengan menggendong tangan, mendengar tanya
jawab Siau Ma dengan Thio-gongcu, mendadak dia batuk dua
kali lalu memberi aba-aba, "Mundur."
Begitu perintah dikeluarkan, orang-orang baju hitam yang
belum roboh, termasuk mereka yang terluka tapi masih
mampu menggerakkan kaki, segera mundur ke tempat gelap.
Sudah tentu laki-laki timpang itu mendahului ngacir.
Di medan pertempuran terjadi penyembelihan dan
pembantaian, mendadak keadaan menjadi tenang, hening
lelap. Kalau tiada korban yang menggeletak tumpang tindih di
tanah, seolah-olah tidak pernah terjadi pembunuhan dan
pertempuran sengit di tempat itu.
Hiang-hiang dan Cen Cu kakak beradik duduk di tanah,
duduk lemas dan lunglai, duduk di tengah ceceran darah,
napas mereka tersengal-sengal. Demikian pula Lo-bi seperti
orang yang sudah tidak punya tulang, bukan lagi duduk malah
merebahkan diri.
Sesaat kemudian terdengar suara Lan Lan dari dalam
tandu, "Mereka sudah pergi?"
"Ehm," Siau Ma bersuara dalam mulut.
"Berapa orang kita yang terluka?" tanya Lan Lan.
"Tiga," sahut Siang Bu-gi.
Yang terluka adalah dua tukang pikul dan Cen Cen, Lo-bi
meski menjerit-jerit, namun sedikitpun tidak terluka.
"Aku punya obat khusus untuk menyembuhkan luka-luka
terbacok, ambillah dan tolong mereka." Sembari bicara Lan
Lan mengulur sebelah tangannya keluar, tangannya
memegang sebuah botol porselin kecil. Jari-jari tangannya
lebih mulus dan putih dibanding botol porselin itu.
Siau Ma mengulur tangan menerima botol porselin itu,
mendadak tangan Lan Lan menggenggam perlahan
tangannya, umpama ada seribu patah kata juga takkan sejelas
pernyataan dengan sekali genggam tangan, betapa besar
makna genggaman yang perlahan ini. Serta timbul perasaan
hangat dalam benak Siau Ma, perasaan hangat seperti yang
pernah dia alami dalam dekapan sang dewi di atas ranjang,
perasaan aneh yang tak mampu dia lukiskan dengan
rangkaian kata-kata, yang terang, segala jerih payah, derita
dan kesulitan yang pernah dialami selama perjalanan ini
seperti tidak dirasakan sama sekali, semua bahaya yang
pernah dialami juga seperti sudah memperoleh imbalan.
Seolah-olah Lan Lan juga menyelami perasaan Siau Ma.
Dia hanya berkata perlahan dari dalam tandu, "Tolong
sampaikan pernyataan terima kasihku kepada temantemanmu."
Lan Lan tidak berterima kasih kepada Siau Ma. Dia hanya
minta supaya Siau Ma menyampaikan terima kasih kepada
teman-temannya, karena terhadap Siau Ma tidak perlu
mengucap terima kasih, karena mereka seperti sudah menjadi
orang sendiri, dua orang laki perempuan yang sudah bersatu
padu. Di saat menerima botol porselin, hati Siau Ma benarbenar
hangat, manis dan bergairah.
Seorang gelandangan yang hidup bebas, tidak punya
tempat tinggal, tidak berakar di suatu tempat, bila
memperoleh sekedar pengertian dari lawan jenisnya, sekedar
kasih sayang atau cinta, maka selama hidupnya pasti takkan
pernah dilupakan.
Akan tetapi di dunia ini diliputi banyak kesedihan dan
kesengsaraan. Bulan purnama yang hampir bulat masih bercokol di
angkasa raya, sinar rembulan yang redup dan kalem
menyinari arena pertempuran yang kotor dan menjijikan oleh
darah dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Cukup lama kemudian, mungkin setelah perasaannya agak
tenang, Hiang-hiang menarik napas, katanya, "Bagaimanapun
juga, kita berhasil memukul mereka."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kukira kejadian ini belum tentu berakhir," Thio-gongcu
menanggapi. "Belum tentu?" berubah air muka Hiang-hiang, "apa ...
apakah mereka akan datang pula?"
Thio-gongcu tidak menjawab. Dia harap mereka betulbetul
sudah pergi, sayang dia tahu bahwa serigala malam
pasti dan tidak mudah dipukul mundur begitu saja.
Siang Bu-gi juga prihatin, katanya, "Lekas balut lukalukanya,
kita harus menerobos ke depan."
Cen Cen memprotes, "Tapi kita perlu istirahat."
"Kalau ingin mampus, boleh kau istirahat di sini."
Terpaksa Cen Cen tutup mulut.
Tukang pikul tandu sedang membalut luka-luka mereka,
seorang di antaranya berkata, "Luka-luka Lo-ji cukup parah,
umpama masih bisa berjalan, dia tidak kuat memikul tandu
lagi." "Orang yang tidak sakit tidak harus naik tandu," kata Siang
Bu-gi. "Harus naik tandu," Lan Lan memprotes. "Kau tidak punya
kaki?" tanya Siang Bu-gi.
"Punya."
"Kenapa tidak mau jalan sendiri?"
"Karena kalau aku harus jalan, tandu ini tidak boleh
ditinggal di sini."
Siang Bu-gi tidak bertanya lagi. Dia maklum tandu ini
menyimpan suatu benda, entah apa yang tidak boleh dibuang,
tapi juga tidak boleh dibawa secara terang-terangan, harus
selalu disembunyikan.
Siau Ma berkata, "Sebetulnya memikul tandu tidak jadi
persoalan. Asal manusia, siapa pun bisa memikul tandu."
Lo-bi segera bersuara, "Aku tidak bisa."
"Kau bisa belajar," desak Siau Ma.
"Ya, kelak aku akan belajar."
"Kenapa harus kelak, sekarang kau harus belajar, aku
berani tanggung sekali belajar, kau akan pandai."
Lo bi berjingkrak sambil berteriak, "Kau suruh aku memikul
tandu?" "Kalau bukan kau, siapa yang memikul?" jengek Siau Ma.
Lo-bi menatapnya lekat-lekat, mengawasi Thio-gongcu,
lalu menoleh ke arah Hiang-hiang dan Cen Cu kakak beradik.
Terhadap Siang Bu-gi melirik pun tidak berani.
Dia sadar, di antara sekian orang yang hadir, seorang pun
tiada yang bisa dia perintah, maka tugas memikul tandu
memang hanya dirinya yang harus melakukan. Persoalan yang
tidak boleh dirubah lagi, jika berusaha merubahnya, maka dia
adalah orang pikun. Lo-bi bukan orang pikun. Maka segera dia
berdiri, katanya dengan tertawa, "Baiklah, kau yang
menyuruh, aku akan memikul tandu ini, siapa suruh aku
menjadi teman lamamu."
Siau Ma juga tertawa, katanya, "Ada kalanya aku benarbenar
merasakan, kau ini bukan saja pintar, kau juga mungil
menyenangkan."
"Sayang sekali kau ini lelaki, kalau tidak ...." ucapannya
tidak selesai. Lo-bi bukan orang pikun, tapi dia berdiri
menjublek karena kaget.
* * * * * Di tengah kegelapan mendadak merubung datang
serombongan orang berpakaian hitam, jumlahnya jauh lebih
banyak dibanding yang tadi. Laki laki timpang baju hitam itu
muncul, dia berdiri di bawah pohon besar di kejauhan sana.
Thio-gongcu berseru lantang, "Cayhe Thio-wan-to, berasal
dari golongan yang sama, tuan ...."
Laki-laki timpang itu seperti tuli kupingnya, hakikatnya
tidak mendengar teriakannya, dia hanya batuk-batuk dua kali.
Maka berbagai jenis senjata dan Am-gi selebat hujan deras
kembali membrondong ke arah mereka. Kali ini jenis senjata
yang digunakan lebih banyak ragamnya, serangan juga lebih
keji, di antara mereka malah ada yang berkepandaian tinggi.
Siang Bu-gi menyeringai sadis, mendadak menepuk
pinggang melolos pedang lemas yang menjadi sabuk
celananya. Walau pedang lemas, sekali sendal menjadi lurus
kaku, cahayanya juga mencorong benderang, hawa dingin
merembes sehingga udara terasa lebih segar, tampak jelas
sikap Siang Bu-gi, dia terpaksa dan dipaksa mengeluarkan
senjatanya, sebetulnya dia tidak ingin gamannya diketahui
orang lain. Tetapi sekarang dia sudah berkeputusan untuk
menggunakan serangan keji, serangan yang mematikan.
Sudah tentu pertempuran kedua ini jauh lebih sengit, lebih
berbahaya, lebih mengenaskan. Meski Kiam-hoat Cen Cu
kakak ber-adik amat ganas, tapi kedua nona ini sudah terluka,
tenaga juga tidak sekuat tadi.
Lo-bi juga terkena sekali bacokan. Bacokan yang cukup
keras di punggung, luka-lukanya tidak ringan, tapi dia tidak
lagi menjerit-jerit seperti tadi.
Golok sabit Thio-gongcu membabat miring ke atas, dimana
goloknya berkelebat, setiap kali goloknya bergerak, darah
pasti berhamburan, leher putus dada terbelah, kalau bukan
kaki pasti tangan menjadi buntung.
Tetapi pedang Siang Bu-gi lebih menakutkan. Permainan
pedangnya lebih mengerikan.
Orang-orang baju hitam yang menyerbu tahu, betapapun
lihai tinju dan pedang musuh, akhirnya takkan mampu
menyelamatkan diri, akan tetapi tidak sedikit di antara mereka
yang tahu-tahu roboh binasa tanpa sebab. Waktu mereka
ambruk, sekujur badan tidak terluka, hanya setitik darah
menghias wajah tepat di tengah kedua alis.
Tiada orang tahu, tiada yang melihat darimana datangnya
senjata rahasia yang mematikan ini. Senjata rahasia yang
merenggut nyawa mencabut sukma seperti datang dari
neraka. Laki-laki timpang yang berpakaian hitam berdiri di
kejauhan menyaksikan dengan penuh perhatian, setelah dia
saksikan dua laki-laki baju hitam yang paling perkasa dan lihai
juga roboh tanpa bersuara karena senjata rahasia yang sama,
baru dia mengulap tangan seraya memberi aba-aba,
"Mundur."
* * * * * Kawanan serigala hitam itu segera lenyap ditelan gelap,
sinar bulan terasa lebih dingin, mayat bertumpuk lebih banyak
di tanah. Kali ini Lan Lan tidak bertanya, berapa yang terluka di
pihaknya. Dia turun dari tandu, waktu menyingkap kerai dan
mengintip dari dalam tandu, dia sudah tahu keadaan di luar,
orang-orang pihaknya hampir seluruhnya terluka. Siau Ma pun
terluka juga. Padahal Siau Ma mengganyang musuh dengan adu jiwa,
ternyata di antara kawanan serigala malam itu ada juga yang
nekad dan berani adu jiwa.
Hanya Siang Bu-gi yang tetap berdiri tegak di tempatnya,
pakaiannya berlepotan darah, tapi bukan darahnya sendiri.
Bila kawanan serigala malam itu mengundurkan diri, pedang
di tangannya sudah tidak kelihatan.
Hiang-hiang memegang pikulan tandu, sorot matanya
menampilkan mimik yang aneh, mulutnya bergetar, tanyanya,
"Mereka ... mereka akan datang lagi tidak?" Belum habis
bicara tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.
Thio-gongcu memburu maju, satu tangan menutuk Jintiong-
hiat di atas bibir, tangan yang lain memegang urat nadi.
"Jangan gopoh," Siang Bu-gi berkata, "dia tidak mati,
hanya terkena bius."
Thio-gongcu menghela napas lega, katanya, "Tadi aku
menyaksikan sendiri Siau Ma sudah merobohkan orang yang
memegang bumbung semprot dupa wangi, bumbung
semprotannya sudah diinjaknya remuk, kenapa dia bisa
terbius?" Siang Bu-gi berkata dingin, "Kenapa tidak kau tanya
kepada yang bersangkutan."
Sudah tentu Thio-gongcu tidak mampu bertanya. Bukan
saja Hiang-hiang tak sadarkan diri, rona mukanya sudah
berubah kelabu.
Rona muka Thio-gongcu amat jelek, tanyanya kuatir,
"Siapa yang tahu bius jenis apa yang mengenai dia?"
"Dupa wangi yang tiada obat penawarnya," sahut Siau Ma
dengan tawa dipaksakan, lalu dia menghibur Thio-gongcu,
"Untung dia tidak banyak menghirup dupa wangi itu, maka
jiwanya takkan berbahaya."
Tiba-tiba Siang Bu-gi menyeletuk, "Tapi kalau orang-orang
itu datang lagi, maka jiwanya sukar diselamatkan." Walau
perkataannya menusuk pendengaran, tapi dia bicara secara
nyata. Jikalau kawanan serigala malam itu meluruk lagi, mereka
pasti menyerbu lebih sengit dan menyerang lebih nekad, lebih
kejam dan culas, untuk menghadapi musuh dan
mempertahankan diri, mereka cukup sibuk, mana sempat
melindungi Hiang-hiang.
Lo-bi cemberut, katanya, "Kalau kawanan serigala itu
datang lagi, bukan Hiang-hiang saja yang akan mati, kita juga
bakal mampus semua."
Siau Ma berkata, "Tapi mereka pasti mati lebih banyak."
Dia sudah menghitung, korban yang jatuh dari kawanan
serigala malam itu seluruhnya ada lima puluhan.
Cen Cen rebah di tanah, suaranya gemetar, namun dia
menghibur diri, "Mungkin pihak mereka sudah hampir mampus
seluruhnya, mana berani datang lagi."
"Ya, mungkin."
"Mungkin mereka segera datang," Lo-bi menyelentuk.
Siau Ma mendelik padanya, katanya, "Kenapa kau selalu
bicara secara tengik, menyebalkan saja."
"Tanpa aku bicara, orang lain juga sebal kepadaku."
Mengawasi orang yang berlepotan darah, lemas lunglai
kehabisan tenaga, Lan Lan menghela napas panjang, katanya
rawan, "Sekarang baru kutahu, Long-san memang daerah
yang menakutkan."
Yang benar keadaan di Long-san tidak cukup dilukis hanya
dengan "menakutkan" saja.
Siau Ma mendadak berkata lantang, "Aku justru tidak
menemukan dimana letak menakutkan di daerah maknya ini."
'Maknya' adalah kata seru yang selalu diucapkan oleh Siau
Ma, setiap membuka dan menutup mulut tidak jarang dia
melontarkan caci makinya, belakangan sudah banyak berubah,
hari ini lantaran marah tanpa sadar dia mencaci pula dengan
kata seru yang sudah menjadi kebiasaannya.
"Kau tidak melihat dimana tempat menakutkan di daerah
ini?" tanya Lan Lan.
"Aku hanya tahu dan jelas kulihat bahwa mereka akan
mampus seluruhnya. Sebaliknya kita masih hidup segar
bugar." Asal dada masih bernapas, bila tenaga belum habis, tak
pernah si Kuda Binal putus asa, tak pernah dia patah
semangat. Siapa pun asal dia tidak patah semangat, maka
harapan masih menanti, masih ada harapan.
Lan Lan mengawasinya, sorot matanya juga mulai
bercahaya, bukan saja tak pernah tunduk, tak pernah patah
semangat, pambeknya akan membangkitkan harapan orang
lain. Tapi keadaan mereka sekarang memang serba sulit, posisi
mereka terjepit. Masih cukup lama menunggu datangnya fajar,
setiap saat kawanan serigala itu masih mampu mengerahkan
tenaga, mengumpulkan bala bantuan untuk menyerbu dengan
serangan lebih ganas dan gencar.
Apalagi setelah fajar menyingsing, masih ada jenis serigala
lain yang harus mereka hadapi, paling tidak Kun-cu-long
adalah ancaman utama. Konon Kun-cu-long jauh lebih
menakutkan dibanding kawanan serigala malam.
"Sekarang kita masih mampu maju ke depan?" tanya Lan
Lan. "Kenapa tidak mampu?" tanya Siau Ma. "Kaki kita tidak
buntung, siapa bilang tidak mampu berjalan lagi."
Lo-bi tergagap, "Tapi aku ...."
"Aku tahu kau terluka, kau tidak bisa memikul tandu, biar
aku yang pikul."
Walau Siau Ma juga terluka, luka-lukanya mungkin tidak
lebih ringan dibanding Lo-bi, tapi dadanya masih membusung,
tubuhnya masih tegap.
Ada sementara orang, meski mengalami derita dan siksa,
dia pasti tidak pernah minta ampun atau tunduk oleh keadaan.
Siau Ma identik dengan manusia jenis ini. Bukan saja memiliki
keberanian yang takkan pernah melempem, seolah-olah dia
memiliki kekuatan terpendam yang tidak pernah habis
digunakan. * * * * * Maka rombongan mereka maju ke depan. Walau mereka
terluka tidak ringan, walau semua sudah merasa lelah, tetapi
melihat Siau Ma, semangat mereka pun menyala, semua
menggelorakan tekad dan mengerahkan seluruh tenaga.
Hiang-hiang masih belum sadar, maka Lan Lan turun dan
berjalan kaki, ganti Hiang-hiang yang naik tandu.
Sepanjang jalan Lo-bi berkeluh kesah, saking jengkelnya,
Siau Ma mengancam, "Berani kau cerewet lagi, bukan saja
kubikin ringsek hidungmu, biar kau memikul tandu."
Luka-luka di tubuh Cen Cu kakak beradik juga tidak ringan,
tapi obat luka-luka yang dibubuhkan Lan Lan memang
mujarab, rasa sakit hilang, darah pun berhenti keluar, maklum
mereka masih muda, ketahanan fisik mereka lebih kuat.
Waktu mendengar ucapan Siau Ma, meski menahan derita,
namun tak tertahan mereka tertawa cekikikan.
Bila seorang masih bisa tertawa, itu berarti dia masih
punya harapan. Kali ini mereka mampu menempuh jarak yang cukup jauh.
Betapapun jauh jarak yang telah mereka tempuh, mereka
tetap belum mampu keluar dari tabir kegelapan.
Malam masih gfelap.
Sambil memikul tandu, langkah Siau Ma masih enteng,
setengah berlari malah, Lan Lan terus mendampinginya.
Bukan hanya mendampingi saja, matanya selalu
mengawasinya pula, sorot matanya menampilkan rasa kagum,
hormat dan cinta.
Yang paling diperhatikan oleh Thio-gongcu hanya seorang,
tak jarang dia mendekati tandu, pasang kuping mendengarkan
pernapasan Hiang-hiang. Ternyata Hiang-hiang belum
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan perubahan. Sementara pasien di tandu yang lain
juga tidak batuk lagi, mungkin sedang tidur nyenyak.
Lan Lan berkata perlahan, "Kelihatannya mereka tidak
datang lagi."
"Ehm, semoga," ucap Siau Ma.
"Tapi kita harus mencari tempat untuk istirahat, kalau
begini terus, akhirnya kita tak kuat bertahan," mendadak Lan
Lan tertawa lebar dan manis, "Sudah tentu kau dikecualikan,
kau ini manusia berotot kawat tulang besi."
Siau Ma sedang menyeka keringat. Dia bukan manusia
besi, manusia robot. Siau Ma sendiri maklum akan datang
saatnya dia akan ambruk. Tapi dia tidak mengutarakan isi
hatinya, dia pantang bicara.
Lan Lan bimbang, mendadak dia bertanya, "Kalau aku jadi
binimu, mau tidak?"
Siau Ma membungkam.
Lan Lan berkata pula, "Apakah kau masih merindukan dia"
Perempuan macam apakah dia sebetulnya?"
Berubah air muka Siau Ma. Bukan seratus persen
dikarenakan perkataan Lan Lan, hingga terjadi perubahan air
mukanya, tapi karena matanya menangkap munculnya
bayangan seorang. Dia melihat laki-laki baju hitam yang
timpang itu. * * * * * Bab 8 Di jalan pegunungan yang turun naik dan tidak rata itu,
menghadang sebuah batu gunung raksasa. Laki-laki timpang
baju hitam itu berdiri di batu gunung raksasa ini, sepasang
matanya memancarkan cahaya gemerdep di tengah
kegelapan. Ternyata Siang Bu-gi yang berada di buntut barisan juga
sudah tahu munculnya laki-laki timpang baju hitam ini, segera
dia memburu ke depan barisan, dengan menekan suara
bertanya, "Terus terjang" Atau berhenti di sini?"
Siau Ma menurunkan tandu. Dia tahu, main terjang jelas
tak mampu lewat. Batu gunung raksasa itu terletak di tempat
yang berbahaya, tempat berbahaya cukup dijaga oleh
seorang, puluhan musuh juga jangan harap dapat menerobos
lewat. Apalagi di belakang batu gunung itu, banyak anak
buahnya siap menyergap.
Perlahan Cen Cu bertanya kepada sang taci, "Bagaimana
keadaanmu?"
Cen Cen berkata, "Aku hanya ingin mengganyang kurakura."
"Kau masih mampu membunuh orang?" tanya Cen Cu.
Cekak tapi tegas jawaban Cen Cen, "Bisa."
"Mari kita membunuhnya," kata Cen Cu.
"Hayolah."
Mendadak kedua kakak beradik menerjang lewat kanan kiri
tandu, waktu menerjang, pedang mereka sudah terhunus.
Anak muda umumnya tidak kenal arti takut. Bukan saja masih
muda, jalan pikiran mereka masih kanak-kanak. Kanak-kanak
tidak tahu artinya mati.
Dua anak dua batang pedang, menerjang ke atas batu
raksasa hendak membunuh laki-laki timpang baju hitam.
Kejadian tidak terduga, semua kaget terpesona, ingin
menariknya juga sudah terlambat.
Laki-laki timpang baju hitam berdiri sambil menggendong
tangan, berdiri sambil menyeringai dingin.
Cen Cen berkata, "Kita ganyang dia, coba masih bisa
tertawa tidak?"
"Tawanya lebih jelek dibanding kentut bebek, aku lebih
senang mati daripada mendengar tawanya," Cen Cu mengolok
dengan tertawa.
Kalau mereka mati tentu takkan mendengar suara tawa
orang, langkah mereka berarti mengantar kematian. Mereka
memang mempertaruhkan jiwa.
Walau laki-laki timpang baju hitam belum turun tangan,
namun melihat sorot matanya, sikap dan gayanya, siapa pun
belum tahu bahwa laki-laki timpang ini jagonya jago silat
kosen. Batu raksasa dimana dia berdiri terletak di tempat yang
berbahaya, berada di atas menghadapi serangan dari bawah.
Di belakang batu raksasa ada anak buahnya yang siap
bertindak bila mendengar perintah. Persoalan ini tidak terpikir
atau memang tidak diketahui oleh kakak beradik ini.
Syukurlah masih ada orang lain yang menduga akan hal
ini. Di saat kedua kakak beradik ini hampir mencapai batu
raksasa, mendadak selarik bayangan mendesir lewat di tengah
mereka, lalu berhenti tak jauhi di depannya. Kedua kakak adik
ini belum sempat melihat siapa orang yang menerobos lewat
di samping mereka, dengan keras mereka sudah saling
bertumbukan. Orang itu tidak bergeming sedikitpun, namun
kedua kakak beradik itu malah terpental mundur
sempoyongan, hampir saja jatuh terduduk.
Orang itu tetap berdiri tegak, menoleh pun tidak, tapi Cen
Cu berdua sudah melihat jelas siapa dia, hanya melihat
bayangan punggung saja, orang akan tahu siapa dia. Orang
itu bertubuh kurus sekali, punggungnya agak melengkung,
setengah bungkuk, tapi pinggangnya tegak dan tegap.
Tangannya panjang, bila dilurusksn ke bawah, jari tangannya
hampir menyentuh lutut.
Peduli apa yang terjadi di belakangnya, jarang dia menoleh
ke belakang. Orang ini adalah Siang Bu-gi.
Cen Cu berteriak lebih dulu, "Apa yang kau lakukan?"
Cen Cen ikut berkata, "Apa kau sinting?"
Siang Bu-gi tidak menjawab, juga tidak menoleh. Dia
menatap laki-laki timpang di atas batu gunung besar itu.
Laki-laki timpang berbaju hitam sedang menyeringai
dingin, mendadak dia berkata, "Kau pasti sinting."
Siang Bu-gi tetap tidak bersuara.
"Kau menolong mereka, mereka malah memaki engkau,
orang yang tidak sinting, mana mau berbuat sebodoh ini."
Siang Bu-gi diam saja.
"Sebetulnya kau tolong mereka atau tidak sama saja, jiwa
mereka sudah tergenggam di tanganku, tiada ampun bagi
orang yang berdosa di tempat ini."
Mendadak Siang Bu-gi berkata, "Kau punya tangan,
kenapa tidak turun tangan."
"Aku tidak perlu melakukan," habis dia bicara, dari tempat
gelap sekaligus muncul seratus orang berbaju hitam, umpama
tidak genap seratus pasti ada delapan puluh orang.
Laki-laki timpang baju hitam berkata, "Pedangmu sangat
cepat." Siang Bu-gi membungkam.
Laki-laki timpang berkata pula, "Kau memiliki sebatang
pedang bagus."
Siang Bu-gi tak menyangkal. Siapa pernah menyaksikan
permainannya, pasti tak berani menyangkal, pasti mengakui
bahwa pedang lemas miliknya itu adalah gaman bagus,
pedang mestika yang luar biasa.
Laki-laki timpang baju hitam berkata pula, "Tinju anak
muda yang memikul tandu itu juga tinju bagus, jotosannya
luar biasa."
Tinju Siau Ma tidak bagus, tinju Siau Ma suka menghajar
orang, terutama membuat hidung orang ringsek, kebiasaan
jelek ini jelas tidak bagus. Tapi sepasang tinju itu memang
cepat, teramat cepat, keras lagi.
Laki-laki timpang berkata, "Saudara-saudaraku ingin
mencoba kecepatan tinjunya."
Lalu dia batuk-batuk dua kali. Sudah tentu suara batuknya
berbeda dengan batuk si pasien dalam tandu. Medengar suara
batuknya, Cen Cen dan Cen Cu berubah air mukanya. Walau
mereka tidak takut mati, tapi dua kali pertempuran sengit
yang sudah mereka alami tadi, masih segar dalam ingatan
mereka. Sampai sekarang belum sempat mereka melupakan
apa yang terjadi dengan pembantaian manusia tadi.
Begitu suara batuk berkumandang, pertanda pertempuran
adu jiwa yang ketiga akan segera berlangsung. Pertarungan
ketiga ini jelas lebih kejam, lebih berbahaya juga lebih seru.
Bila pertempuran usai, berapa jiwa manusia akan ketinggalan
hidup" Sungguh tak terduga, di kala suara batuknya baru saja
berkumandang di udara, suara kokok ayam berkumandang di
kejauhan. Sikap laki-laki timpang tampak berubah, kelihatan tertegun
sejenak, lalu mengulap tangan, kawanan serigala yang siap
menerkam serempak menghentikan gerakan.
* * * * * Halimun tampak mulai mendatang dari depan gunung
sana. Dari arah datangnya halimun, berkumandang suara alat
musik yang aneh lagi ganjil iramanya, cepat enteng
mengandung daya tarik yang simpatik lagi menggelora
semangat. Manusia mana pun meski dia sudah patah
semangat, putus asa atau frustasi umpamanya, setelah
mendengar irama musik yang satu ini, perasaannya pasti
berubah, keinginan timbul, gelora hidup akan membara.
Laki-laki timpang baju hitam berdiri di atas batu gunung
besar itu sudah menghilang. Demikian pula kawanan serigala
malam lenyap ditelan gelap.
Kokok ayam jantan bersahut-sahutan di kejauhan, fajar
akan segera menyingsing, namun tabir gelap justru makin
pekat. Fajar hari ini kenapa datang lebih cepat dari biasanya"
Irama musik masih terus mengalun merdu.
Siau Ma mengepal tinju dengan mengendorkan sekujur
badan, bila dia membuka telapak tangan, didapatinya telapak
tangannya basah oleh keringat dingin.
Lan Lan menarik napas panjang. Bagaimanapun juga
malam yang penuh bahaya ini berakhir. Syukur pertempuran
besar yang menentukan mati hidup mereka tidak terjadi.
Walau rona muka Siang Bu-gi tidak berubah, tidak
menampilkan perubahan perasaan hatinya, namun sepasang
bola mata yang memicing perlahan terpentang lebar.
Akhirnya dia menoleh lalu membalik badan, dilihatnya
sepasang mata kakak beradik cewek ayu itu tengah
mengawasi dirinya dengan pandangan menyala. Cadar hitam
yang membungkus muka mereka sudah terjatuh. Walau lukaluka
di wajah belum sembuh, tapi sepasang mata mereka
yang indah, memancarkan cahaya terang, mengandung rasa
haru, terima kasih lagi simpatik.
Mendadak kakak beradik ini memburu maju, satu di kanan
yang lain di kiri, mereka memeluk Siang Bu-gi, lalu "Ngok"
dengan mesra mencium pipinya.
Cen Cen berkata, "Ternyata kau bukan orang jahat."
Cen Cu juga berkata, " Ternyata kau punya perasaan."
Terunjuk perubahan mimik di wajah Siang Bu-gi, wajahnya
menampilkan perasaan hatinya, namun siapa pun sukar
mengatakan perasaan apa yang terkandung dalam
sanubarinya. Siau Ma tertawa lebar. Lan Lan juga tertawa lega. Dua
orang ini beradu pandang sejenak, kerlingan mata mereka
mengandung pandangan mesra dan manisnya cinta.
Kehidupan amat berharga. Betapapun kehidupan manusia
mengandung rasa hangat dan kasih sayang, riang dan
gembira. Siau Ma berkata, "Walau wajahnya kaku dingin, tapi
hatinya panas membara."
Lan Lan menatapnya, katanya lirih tapi mesra,
"Kelihatannya kau pun mirip dia."
Mendadak Siang Bu-gi berkata dingin, "Kenyataan kita
belum mampus, kaki juga belum patah, kenapa perjalanan
tidak dilanjutkan.?"
Cen Cen tertawa riang, katanya jenaka, "Sekarang biar dia
bersikap galak, aku tidak takut lagi."
Cen Cu juga berkata, "Sekarang kami sudah tahu, dia
bersikap garang untuk menakuti orang lain."
Percakapan kakak beradik ini dilakukan setengah berbisik,
tapi sengaja mereka berlaku berani supaya didengar oleh
Siang Bu-gi. Saat menoleh ke arah mereka, dengan cekikikan
kedua kakak beradik ini lari menyingkir.
Siau Ma tertawa besar, tandu segera diangkatnya, tapi
baru saja tandu terangkat, suara tawanya pun sirap seketika.
Mendadak dia melihat tiga pasang mata sedang melotot ke
arahnya. Tiga pasang mata yang mencorong hijau seperti bola
mata serigala, sorot mata yang mengandung perasaan dan
harapan aneh, keinginan atau luapan hati yang penuh gelora
birahi. * * * * * Ada kehidupan pasti ada birahi, ada nafsu. Tapi nafsu juga
ada bermacam-macam. Ada nafsu yang mengangkat derajat
manusia, ada pula nafsu yang membuat manusia sengsara,
meruntuhkan moral manusia.
Nafsu yang terkandung di tiga pasang mata ini adalah
nafsu yang dapat meruntuhkan martabat manusia. Bukan saja
dapat meruntuhkan iman orang lain, juga akan meruntuhkan
diri sendiri. Kenapa manusia harus meruntuhkan diri sendiri" Apakah
karena mereka sudah kehilangan kesadaran" Sudah tidak
punya kepribadian"
Kini Siau Ma melihat jelas, tiga pasang mata ini adalah
milik tiga muda mudi yang tadi bertemu dengan mereka.
Pemuda dengan rambut awut-awutan mirip orang
gelandangan yang sudah belasan hari tidak mandi. Gadis
dengan sepasang paha yang jenjang dan payudara yang
montok padat. Kenapa mereka putar balik setelah le-nyap
dalam hutan tadi"
Siau Ma melengos ke arah lain, tidak mau atau tidak berani
beradu pandang dengan mereka, padahal besar hasratnya
melihat paha yang jenjang, dan payudara yang merangsang
menggiurkan itu. Tapi Siau Ma masih dapat mengendalikan
diri. Setelah meresapi pahit getirnya cinta, setelah tergembleng
oleh siksa lahir batin selama ini, Siau Ma bukan pemuda yang
suka emosi, bukan orang yang gampang dipancing amarahnya
lalu bertindak semena-mena.
Gadis cantik itu sedang menatapnya, mendadak dia
berteriak dari kejauhan, "Hai!"
Tak tahan Siau Ma menoleh, "Kau panggil siapa?"
"Kau," sahut gadis itu.
"Aku tidak mengenalmu."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa harus kenal kau, kalau tidak kenal apa tidak boleh
memanggilmu?"
Siau Ma melenggong. Tiada manusia yang sejak dilahirkan
lantas kenal satu dengan yang lainnya, apa yang dikatakan
gadis ayu ini rasanya cukup beralasan dan masuk akal.
"Hai!" gadis itu berteriak pula.
"Namaku bukan 'Hai'."
"Siapa namamu?"
"Orang memanggil aku Siau Ma."
"Aku justru suka memanggil kau 'Hai', asal kau tahu aku
sedang memanggilmu saja."
Kembali Siau Ma tertegun.
Panggilan antara manusia dengan manusia memang tiada
peraturan khusus, kalau orang boleh memanggil dengan tuan,
nona, saudara dan Iain-lain, kenapa tidak boleh memanggil
dengan 'Hai'. Pikiran dan sikap gadis ayu ini memang eksentrik, amat
aneh dan khusus, jauh berbeda dengan kebanyakan orang.
Tapi kedengarannya juga mempunyai alasan dan pengertian
yang dapat dimaklumi oleh siapa pun.
"Hai!" kembali gadis ayu itu berseru.
Siau Ma menjawab, "Untuk apa memanggil aku."
Gadis ayu itu berkata, "Hayo ikut aku."
Siau Ma melenggong, katanya, "Kenapa ikut kau?"
"Aku suka padamu," jawaban terus terang yang
mengejutkan orang.
Biasanya Siau Ma hidup dalam lingkungan bebas, tidak
pernah terkekang oleh adat istiadat, seperti kuda liar yang
binal, apa yang ingin diucapkan, tanpa tedeng aling-aling dia
lontarkan. Maklum jika dia tidak menduga gadis ayu ini juga
melontarkan omongannya itu.
Mendadak Lan Lan menyeletuk, "Dia tidak boleh ikut kau."
"Kenapa?" tanya gadis ayu terbelalak.
"Aku menyukainya, aku lebih suka dia dibanding kau,"
ucapannya mengejutkan, karena ucapannya itu merupakan
provokasi yang mungkin sekali mengundang perkelahian dua
orang yang berebut kekasih.
Di luar dugaan, gadis ayu itu seperti maklum, seolah-olah
merasa apa yang diucapkan Lan Lan masuk akal, dengan
penuh pengertian dia balas bertanya, "Bila dia pergi, apakah
kau bersedih?"
"Pasti sedih sekali," sahut Lan Lan.
"Sedih itu tidak baik, aku tidak senang membuat orang
sedih." "Kalau begitu, lekas kau pergi saja."
Gadis ayu itu berkata, "Kalian berdua boleh ikut
bersamaku."
"Kenapa harus ikut kau?" tanya Lan Lan.
"Karena di tempat itu amat menyenangkan, setiba di sana,
kalian pasti hidup senang."
Pemuda rambut panjang yang tidak keruan menyeletuk,
"Di tempat kami hanya ada senda gurau, hidup bebas, riang
gembira, tiada peraturan yang mengekang gerak-gerikmu, ada
musik, bisa menari, tiada...."
"Musik!" mendadak Siau Ma menukas.
Irama musik yang merdu masih berkumandang di
kejauhan. Siau Ma bertanya, "Itukah musik kalian?"
Pemuda rambut panjang berkata, "Setiap ada prosesi
penyembahan harus ada musik."
Musik dan upacara umumnya memang tidak pernah
terpisah. Siau Ma tertarik, timbul rasa ingin tahu, tanyanya, "Apakah
yang kalian sembah?"
"Surya," sahut pemuda rambut panjang.
"Sekarang masih gelap, masih malam, malam hari mana
ada surya?" tanya Siau Ma.
Pemuda gondrong berkata, "Upacara penyembahan hari ini
datang lebih dini dari biasanya."
"Kenapa?"
Pemuda gondrong itu tertawa, katanya sambil menepuk
kepala gadis ayu di sebelahnya, "Karena dia menyukaimu."
Siau Ma segera mengerti. Bila musik upacara yang
mengiringi penyembahan berbunyi, itu berarti fajar sudah
akan menjelang.
Kawanan serigala malam itu seumpama setan atau
dedemit, bila tabir malam lenyap, malam berganti pagi, maka
mereka harus lenyap dari mayapada ini.
Lan Lan menyeletuk, "Umpama betul kalian menolong
kami, dia tetap tidak boleh ikut kau."
"Dan kau?" tanya gadis ayu.
"Orang-orang di sini tiada satu pun yang boleh ikut kau,"
Lan Lan menegaskan.
Gadis ayu berkata, "Aku tidak suka memaksa orang, tapi
bila kalian mau datang, siapa saja tidak pandang bulu, kami
akan menyambut dengan gembira." Suaranya mengandung
daya tarik, undangan yang menawan, "Asal kalian menuju ke
arah datangnya suara musik, kalian akan menemukan kami,
kalian akan menemukan taman firdaus, meresapi hidup bebas,
riang gembira yang tiada taranya, aku berani tanggung, kalian
pasti takkan menyesal." Ketika dia membalik tubuh, kebetulan
angin menghembus kencang, maka belahan baju di bagian
pahanya tersingkap, sehingga paha yang jenjang mulus
terpampang di mata Siau Ma.
Bola mata Lo-bi melotot terpesona, bagai kelereng yang
hampir mencotot jatuh.
Gadis yang dadanya tersingkap mendadak menghampiri
Cen Cen dan Cen Cu. Sejak tadi gadis jelita ini terus
mengawasi mereka. Sorot matanya seperti mempunyai daya
gaib, tenaga iblis yang tak dapat dilawan, kakak beradik itu
seperti terpesona dan terpengaruh alam pikirannya.
Waktu gadis yang tersingkap baju dadanya berada di
depan mereka, ternyata keduanya berdiri kaku diam. Dengan
mesra gadis montok itu memeluk, lalu berbisik-bisik di pinggir
telinga mereka. Jari-jari tangannya mengusap dan mengelus
pinggang mereka.
Sorot mata Cen Cen dan Cen Cu mendadak menjadi pudar,
bola matanya seperti diselimuti halimun, matanya merem
melek seperti menikmati sesuatu yang menyenangkan,
sesuatu yang mengasyikan. Setelah gadis itu pergi jauh dan
tidak kelihatan, mereka belum juga sadar.
Setelah ketiga muda-mudi itu pergi cukup lama, baru Lan
Lan menghela napas lega, katanya, "Dua gadis itu seperti
iblis." "Bagaimana dibanding engkau?" goda Siau Ma tertawa.
Lan Lan tidak menanggapi, ia menghampiri Cen Cen dan
Cen Cu, katanya, "Apa yang dia bisikkan pada kalian?"
Merah jengah muka Cen Cen, katanya, "Dia ... dia tanya
apakah kami masih perawan?"
Sudah tentu mereka masih perawan, seratus persen halal.
"Apa pula yang dia katakan?" tanya Lan Lan pula.
Lebih merah muka Cen Cen, mulutnya megap-megap
sukar mengucap sepatah kata pun.
Waktu Lan-Lan mendesak lagi, pasien dalam tandu mulai
batuk-batuk. Kali ini batuknya lebih kerap, lebih keras dan
napas pun ngos-ngosan. Memang ada sejenis penyakit yang
hanya kumat di kala fajar menyingsing. Kalau sudah kumat,
pasti fatal, obat apa-pun tak dapat menahannya.
Sorot mata Lan Lan memancarkan rasa prihatin dan kuatir,
katanya, "Apapun yang akan terjadi, kita harus mencari
tempat untuk istirahat." Matanya tertuju ke arah Siang Bu-gi.
Ternyata Siang Bu-gi tidak menentang, dia juga tahu
bahwa mereka memang perlu istirahat. Tapi di gunung
serigala ini, di tempat mana mereka bisa istirahat secara
tenang dan tenteram" Setiap jengkal tanah di wilayahnya ini
tiada tempat berpijak untuk mereka.
Lan Lan menoleh ke arah Thio-gongcu, katanya, "Kau
pernah ke Long-san?"
Thio-gongcu manggut-manggut. Beberapa tahun yang lalu
dia pernah kemari, waktu itu gunung ini belum ada serigala
manusia sebanyak ini, maka dia masih selamat dan turun
gunung tanpa kurang suatu apapun.
"Orang-orang di sini banyak berubah, tetapi keadaan
gunung kurasa tak banyak berbeda," demikian kata Lan Lan.
Thio-gongcu mengangguk.
"Aku yakin kau dapat mengingat tempat dimana kita bisa
beristirahat dengan tenteram."
"Aku sedang berpikir," ucap Thio-gongcu.
Sudah lama dia berpikir, setiap pelosok tempat di sini yang
pernah dia kunjungi sudah dipikirkan, sayang dia tidak yakin di
tempat itu mereka akan selamat.
Di saat mereka kebingungan, mendadak seorang berkata,
"Kalian tidak usah cari tempat, dipikir sampai otak pecah juga
takkan menemukan tempat aman di sini, tapi aku bisa
menunjukkan dan membawa kalian ke tempat aman."
* * * * * Rembulan dan bintang sudah tenggelam, secercah cahaya
putih menongol di ufuk timur.
Tapi orang ini memegang sebuah lampion kecil, lampion
merah yang masih menyala, dengan langkah setengah diseret
dia turun dari atas batu gunung.
Dandanan dan sikap serta tindak-tanduk orang ini mirip
pedagang keliling yang menjajakan dagangan, seorang
manusia yang betul-betul normal, seperti orang yang pernah
mereka lihat sejak berada di daerah Long-san. Sikap orang ini
kelihatan ramah, sopan dan ingin bersahabat.
"Siapa kau?" tegur Siau Ma.
Orang itu tertawa, katanya, "Kalian tak usah kuatir, aku
orang dagang, bukan serigala."
"Di Long-san juga ada pedagang?" tanya Siau Ma.
"Hanya ada satu, orang itu adalah aku," ucap orang itu,
dengan tertawa dia menjelaskan, "Karena hanya aku seorang,
maka sampai sekarang aku tetap bertahan hidup."
"Kenapa demikian?" tanya Siau Ma.
Pedagang itu menerangkan, "Hanya aku yang bisa
berdagang dengan kawanan serigala yang memerlukan
berbagai keperluan yang diinginkan, aku memnuhi kebutuhan
hidup mereka, tanpa kehadiranku di sini, banyak persoalan
atau pekerjaan di sini menjadi terbengkalai.
Setelah memadamkan lampionnya dia menghirup napas
segar lalu menjelaskan lebih lanjut, "Kawanan serigala itu
hanya pandai membunuh dan merampas harta orang, mereka
tidak pandai berdagang."
"Dagang apa yang kau kerjakan?" tanya Siau Ma.
"Dagang apa saja kukerjakan, aku menerima barangbarang
mereka, katakanlah tukang tadah, lalu kujual di kota
sekitarnya, aku juga sering mencarikan cewek untuk mereka."
Siau Ma tertawa, "Hal itu memang amat penting."
Pedagang itu tertawa, katanya, "Sudah tentu, jauh lebih
penting dari pekerjaan apapun."
"Oleh karena itu mereka tiada yang tega membunuh kau."
"Kalau mereka mau membunuh aku semudah memites
semut, memites seekor semut apa manfaatnya bagi mereka?"
"Ya, tidak berguna."
"Oleh karena itu, selama beberapa tahun ini aku aman
sentosa, mondar mandir leluasa."
"Lalu kau mau mengajak kami kemana?"
"Ke hotel damai."
"Apa di Long-san ada hotel?"
"Ya, hanya ada satu."
"Siapa yang membuka hotel itu?"
"Aku, aku pemiliknya."
"Apa betul di hotelmu itu aman?"
"Siapa saja asal berada di hotelku, kutanggung selamat
dan damai."
"Kau yakin apa yang kau ucapkan benar?"
"Aku sudah membuat kontrak dengan mereka, Cu Ngo
Thay-ya juga setuju."
Siapa saja tahu apa yang diucapkan Cu Ngo si tuan besar
adalah perintah, tiada penghuni gunung serigala ini yang
berani menentang perintahnya. Dahulu tiada, sekarang juga
belum pernah ada, kelak juga pasti takkan ada orang berani
menentang. Pedagang itu berkata pula, "Tidak jarang Cu Ngo Thay-ya
suruh aku melakukan sesuatu untuk beliau, karena beliau juga
tahu, orang yang berani lewat Long-san pasti punya keperluan
penting, tiada orang mau tinggal seumur hidup di hotelku."
"Oleh karena itu, bila mereka mau turun tangan,
kesempatan masih banyak."
"Oleh karena itu, mereka memberi fasilitas kepada aku
untuk berdagang kecil-kecilan, karena apa yang kukerjakan,
hakikatnya tidak mengganggu juga tidak merugikan mereka."
Bab 9 "Bagus, berarti daganganmu sudah berhasil."
"Sekarang belum berhasil."
"Lho, belum berhasil?"
"Terus terang saja, di tempatku itu hanya melayani sejenis
manusia, aku harus menilai dulu apakah kalian manusia jenis
itu, apakah kalian memenuhi syarat?"
"Manusia jenis apa yang bisa kau terima?"
"Manusia yang punya duit, orang yang punya banyak
uang," dengan tertawa dia menjelaskan lebih lanjut, tarip
yang berlaku di hotelku, terus terang lebih mahal sedikit
dibanding tempat lain."
"Lebih mahal berapa?"
"Ada orang bilang, harga secangkir arak dalam hotelku
lebih mahal dua puluh kali lipat dari tempat lain, padahal
mereka memfitnah, membuat aku penasaran saja."
"Berapa kali lipat lebih mahal tarip arakmu?"
"Kalau di kota secangkir arak harganya satu tahil, di
hotelku harganya hanya dua puluh delapan tahil."
Siau Ma tertawa lebar.
Lan Lan juga tertawa geli.
Pedagang itu mengawasi mereka, katanya, "Entah kalian
adalah orang-orang jenis yang kukatakan?"
"Ya," ucap Lan Lan. "Kami adalah orang yang punya duit,
punya banyak uang."
Apa yang dikatakan Lan Lan memang benar. Sekenanya
dia merogoh saku lalu mengeluarkan beberapa lembar uang
kertas, setelah dihitung, nilainya genap sepuluh ribu tahil
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perak, lalu diserahkan begitu saja kepada pedagang atau
pemilik hotel ini, seperti dia menyerahkan selembar kertas
yang tidak terpakai lagi.
Siau Ma berkata, "Cukup tidak duit itu untuk kita tinggal
setengah hari?"
Sepuluh ribu tahil perak cukup untuk membeli sebuah
rumah gedung yang cukup mentereng, untuk tinggal di sini,
selama tiga atau lima ratus hari juga lebih dari cukup.
Tapi pedagang itu berkata, "Asal kalian mau makan
sederhana, arak juga tidak minum terlalu banyak, kalau
menghemat tentu cukup."
Siau Ma tertawa besar, katanya, "Sekarang aku percaya
kau bukan serigala, kau manusia tulen."
"Lho, kenapa?"
"Soalnya hanya manusia yang bisa memeras manusia,
hanya orang yang pandai menindas sesamanya"
* * * * * Hotel damai mirip sebuah hotel, tapi hanya mirip saja.
Dikata mirip karena di depan pintu dipasang sebuah pigura
besar, pigura yang diukir huruf besar berbunyi 'Hotel Damai'.
Kecuali sekedar mirip, tempat lain hakikatnya tidak pantas
disebut hotel. Yang paling janggal sudah tentu bentuk
rumahnya. Rumah kuno itu sudah bobrok, sudah reyot. Seorang anak
kecil kepala gundul borokan berdiri di ambang pintu
menyambut tamu.
"Ini putraku," kata pedagang bangga, mesti anaknya
kurus, borokan lagi, tapi putra sendiri adalah anak tersayang,
"Biniku sudah lama kucerai, biniku bukan manusia baik."
Bini orang lain selalu baik, lebih bagus, anak sendiri adalah
yang tersayang.
Pedagang berkata pula, "Rumah ini ada delapan kamar
tidur dan sebuah kamar makan!"
Kamar makan amat besar dan luas, dua kali lebih besar
dibanding kamar tidur yang terbesar, kamar tidur berukuran
5x7 meter itu hanya berisi satu ranjang untuk satu orang
tidur. Pedagang berkata pula, "Menu yang kami sediakan kelas
satu, maka sembarang waktu para langganan suka
berkunjung kemari."
Apa yang diucapkan memang benar.
Hari masih pagi, cuaca masih remang-remang, tapi tamu
sudah berkunjung di hotel bobrok itu. Tapi hanya seorang
tamu saja. Seorang tua yang kurus kering, seorang kakek yang
berbaju kapas tebal terbuat dari kain sutera. Waktu itu bulan
sembilan, meski pagi hari hawa terasa panas dan gerah, tapi
kakek yang satu ini pakai baju kapas yang tebal, minum arak
dengan santai. Di atas meja yang disandingnya menggeletak
beberapa botol arak, sedikitnya dia sudah minum lima kati.
Tapi setetes keringat pun tidak kelihatan menghias mukanya.
Mukanya bercahaya, mengkilap ditingkah cahaya api dari pipa
cangklongnya yang panjang.
Pipa cangklong itu panjang tiga kaki, lebih besar dari
lengan bocah, siapa pun tahu pipa itu terbuat dari baja asli.
Bentuk kepala pipa amat menakutkan, tembakau yang
dimasukkan kalau tidak setengah kilo, mungkin ada lima ons.
Menurut perhitungan Thio-gongcu, bobot pipa cangklong
itu ada 50 kati, tapi menurut penilaian Siau Ma, beratnya ada
delapan atau sembilan puluh kati.
Pipa seberat dan sepanjang itu berada di tangan seorang
kakek kurus kering, tapi lagaknya seperti memegang sebatang
jerami. Kulit mukanya yang gemerdep kelihatan kuning seperti
malam, penuh kerut-merut, namun penampilan sikap dan
wibawanya menciutkan nyali orang. Padahal dia hanya duduk
seenaknya, duduk sembarangan, jarang ada orang duduk
seangker kakek kurus ini.
Pok Can. Orang tua kurus kering ini adalah Pok Can,
serigala tertua di Long-san. Setiap orang tahu dan kenal siapa
kakek tua kurus dengan pipa cangklong yang khas itu.
Sepasang bola mata mencorong bagai api, perlahan menyapu
pandang orang-orang yang baru datang, mendadak ia
bertanya, "Siapa yang membunuh Thi-sam-kak?"
"Aku!" jawaban diucapkan dua orang, jawaban yang
dilontarkan oleh Siau Ma dan Siang Bu-gi, mereka ingin
memikul tanggung jawab dari tuntutan balas musuh yang
kurus kering berpipa cangklong ini. Siau Ma dan Siang Bu-gi
maklum bahwa kehadiran Pok Can di hotel Damai ini adalah
ingin menuntut balas, mereka maklum, dengan bekal ilmu
pedang Cen Cen dan Cen Cu pasti bukan tandingan serigala
tua yang lihai ini.
Pok Can tertawa dingin.
Siau Ma berbicara dengan nada mantap, "Kecuali Thi-samkak
masih banyak lagi anak buahmu yang kubunuh, kalau
kamu ingin menuntut balas, boleh membuat perhitungan
dengan aku."
"Aku pernah mendengar tentang kau," ucap Pok Can
kalem. "Aku bernama Siau Ma, si Kuda Binal."
"Kamu bukan kuda, kamu lebih mirip keledai daripada
kuda." Siau Ma menyeringai dingin.
"Hanya keledai yang melakukan perbuatan bodoh. Kau
merebut kesalahan orang lain dan ingin menanggung
dosanya," demikian dampratnya, sebelum Siau Ma bicara dia
menambahkan lagi, "senjatamu tinju, tapi Thi-sam-kak mati
karena pedang."
"Tapi aku ...."
"Mereka ingin membunuh kalian, pantas kalau
membunuhnya, bunuh membunuh di kalangan Kangouw
memang lumrah, kejadian yang adil dan nyata."
"Tak nyana, manusia serigala seperti dirimu juga kenal
keadilan."
"Sakit hati kematian para anak buahku itu sebetulnya tidak
perlu diperhitungkan, hanya saja ...." tiba-tiba jari jemarinya
mengepal, "hanya saja kematiannya amat mengenaskan,
sudah puluhan tahun aku berkecimpung di Kangouw,
pertempuran besar kecil pernah kualami ribuan kali, namun
susah aku membayangkan siapa yang melontarkan ilmu
pedang sekeji itu untuk membunuhnya."
Siang Bu-gi terus bungkam, tapi dia mengeluarkan pedang.
Sebatang pedang lemas yang mengkilap tajam dan dingin,
sekali sendal pedang lemas itu menjadi kaku lurus.
"Pedang bagus," Pok Can memuji.
"Betul, pedang bagus," ucap Siang Bu-gi dingin.
"Baik, kutunggu kamu."
"Menunggu aku?"
"Kamu perlu istirahat dan tidur, setelah badanmu segar
aku akan menunggumu di luar."
"Tidak usah kau menunggu."
"Di sini bukan tempat untuk membunuh orang."
"Sekarang juga aku keluar dan bertempur denganmu."
Pok Can menatapnya lekat, mendadak dia berdiri, dengan
langkah lebar beranjak keluar.
Ternyata Siang Bu-gi sudah mendahului menunggu di luar.
Cen Cen dan Cen Cu berdiri lengang seperti orang
kesurupan, seolah-olah kejadian ini tiada sangkut-pautnya
dengan mereka. Lan Lan bertanya dengan suara lirih, "Bagaimana
pendapatmu" Menguatirkan tidak?"
Siau Ma mengepal tinju, membungkam.
Siapa bakal menang dan kalah dalam duel ini, Siau Ma
tidak tahu dan tidak bisa meramalkan, dia tidak yakin Siang
Bu-gi dapat mengalahkan lawannya.
Pedagang atau pemilik hotel tertawa lebar, katanya, "Tidak
jadi soal dan tidak perlu kuatir, mati satu orang kan juga
bermanfaat dan menguntungkan kalian."
Siau Ma menatapnya mendelik, "Keuntungan apa?"
tanyanya geram.
"Kalau mati satu orang berarti kurang pengeluaran, jatah
makan minum kalian kan jadi tambah."
Fajar telah menyingsing, tapi kabut masih tebal, mesti
angin gunung menghembus cukup kencang, kabut tebal itu
seperti tidak berujung pangkal, tidak buyar dan tidak habishabisnya.
Baju kapas Pok Can yang tebal tampak bergoyang oleh
tiupan angin, tapi orangnya berdiri kokoh dan tegap seperti
gunung. Sepasang kakinya terbuka satu kaki, memasang
kuda-kuda dengan berdiri tanpa gaya, berdiri santai
seenaknya, pembawaannya benar-benar menciutkan nyali
orang. Hanya seorang kosen atau ahli silat yang sudah
kenyang bertempur di medan laga dapat memperlihatkan gaya
segagah itu. Siang Bu-gi juga tak bergerak. Pedang masih membelit
pinggangnya, dia tidak pernah turun tangan lebih dulu.
Pok Can mengangkat pipa cangklongnya lalu diisap
perlahan tapi lama, tembakau di ujung pipa yang segede
kelapa itu menyala benderang memercikkan lelatu api.
Dengan tatapan dingin ia mengawasi Siang Bu-gi, katanya
menantang, "Aku tahu kau seorang ahli pedang."
Siang Bu-gi tidak menanggapi ocehannya.
"Oleh karena itu aku yakin kau juga tahu, bahwa tembakau
dalam pipaku adalah senjata rahasia yang dapat membunuh
orang." Siang Bu-gi mengangguk. Tembakau lembut yang terbakar
membara itu jauh lebih menakutkan dibanding senjata rahasia
jenis apapun. "Bila sudah turun tangan, aku tidak kenal kasihan, kau
boleh melancarkan jurus ilmu pedang keji apapun yang
mampu kamu kembangkan."
"Untuk menang, tentu akan kulancarkan," sahut Siang Bugi
tegas. "Jika aku mati di bawah pedangmu, murid dan cucu
muridku takkan menuntut balas."
"Bagus sekali."
"Umpama kau mengelupas kulit badanku, aku tak akan
membenci atau menyalahkanmu."
"Kulitmu tidak dibutuhkan, keutuhan badanmu boleh
dipertahankan."
"O." "Kulitmu tidak tebal, sudah keriput lagi."
Siang Bu-gi memang sering mengelupas kulit badan
manusia, tapi hanya satu jenis manusia yang dia kuliti, yaitu
manusia yang berkulit tebal.
Lama Pok Can menatapnya, akhirnya mendesis perlahan,
"Bagus sekali."
"Bagus sekali" adalah dua patah kata yang menutup
pembicaraan mereka. Hanya sekejap mata pipa cangklong
seberat tujuh puluh kati dengan panjang satu meter lebih itu
menyapu melintang.
Pipa cangklong umumnya adalah senjata khusus untuk
menutuk jalan darah, permainannya tak banyak beda dengan
Boan-koan-pit yang juga khusus menyerang Hiat-to. Tapi
berbeda dengan pipa cangklong Pok Can, bukan saja
pembawaannya mirip tombak panjang atau toya, tipu
permainannya juga diselipi dan dikombinasikan dengan
permainan tongkat, ruyung lemas, kampak dan jenis senjata
berat lainnya. Apalagi tembakau yang membara di kantong
pipa sembarang waktu dapat disemburkan untuk melukai
musuh, cahaya tembakau yang membara itu juga menyilaukan
mata. Diam-diam Siau Ma menghela napas. Betapa kenyang
pengalaman Siau Ma berkelahi, musuh macam apapun pernah
dihadapi, bersenjata maupun tangan kosong, tapi belum
pernah melihat gaman seganas dan selincah pipa cangklong di
tangan kakek tua kurus kering ini. Mau tidak mau timbul rasa
was-was dalam benaknya, Siau Ma menguatirkan keselamatan
Siang Bu-gi. Pok Can sudah menyerang 18 jurus secara beruntun,
sejurus pun Siang Bu-gi belum balas menyerang. Walau pipa
cangklong belum menyentuh badan atau ujung bajunya,
namun posisi atau keadaannya tidak lebih baik atau unggul di
atas angin. Padahal permainan Kiam-hoat merupakan
serangan gencar yang selalu membuat lawan bertahan, jurus
tipunya tak kenal kompromi, tapi dalam beberapa gebrak ini ia
justru terdesak di bawah angin, sehingga tak sempat balas
menyerang. Maklum gamannya adalah pedang tipis lagi lemas,
untuk memainkannya diperlukan kepandaian khusus dan
tenaga yang memadai, serangan lawan sederas hujan lebat,
jelas amat sukar dan tak mungkin dilawan dengan kekerasan.
"Blup", sekonyong-konyong terjadi sebuah letupan disertai
cahaya api benderang dari nyala tembakau di kantong pipa
cangklong itu. Di saat api membara besar itulah, kepala pipa
yang berkantong sebesar kelapa menindih ke bawah dengan
jurus Thay-san-ap-ting (Thay-san menindih kepala)
mengepruk batok kepala Siang Bu-gi.
Siang Bu-gi sudah mati langkah dan terpojok ke sudut
yang mematikan, demikian pula pedang di tangannya seperti
tidak mampu balas menyerang lagi.
Di luar dugaan, pada detik-detik gawat itulah, Siang Bu-gi
justru balas menyerang. Pedang itu mendadak bergerak
selincah ular sakti, laksana benang sutera, pedang lemas yang
disendal lurus oleh landasan tenaga dalam yang hebat,
mendadak berubah menjadi lingkaran cahaya yang tak
terhitung jumlahnya. Putaran cahaya yang mclingkar-lingkar
itu seperti saling belit, sehingga cahaya api tembakau yang
membara di kantong pipa cangklong itu redam seketika dan
lenyap tak berbekas.
"Ting" kembali terdengar suara nyaring, pedang
membentur pipa, di saat kembang api berpijar, pedang
mendadak mental lurus dan tegak ke atas.
Dalam detik kejadian itu juga Siau Ma maklum dan
menangkap maksud tujuan Siang Bu-gi.
Agaknya Siang Bu-gi menunggu dan memberi kesempatan
pada Pok Can mendesak dirinya ke posisi yang terkunci
langkahnya, ke sudut yang mematikan baru akan balas
menyerang. Duel dua jago kosen seumpama pertempuran dua raksasa
yang baku hantam di medan laga, siapa lebih dulu
menempatkan diri pada posisi yang mematikan, akhirnya akan
tampil sebagai pemenang, menang berarti hidup. Ia insaf
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuatan musuh lebih tangguh, pambeknya lebih besar, maka
ia memaksa dirinya menggunakan cara yang amat berbahaya
ini. Diam-diam Siau Ma amat kagum, kagum setengah mati.
Mendadak Siau Ma sadar, dua tahun belakangan ini, bukan
saja Siang Bu-gi bertambah bekal kepandaiannya, permainan
Kiam-hoatnya lebih matang dibanding dahulu.
Ilmu pedang lihai tidak terletak pada pedangnya, tapi
berada di sanubari orang yang memainkannya. Permainan
pedang yang gemilang dengan kemenangan yang dicapai
bukan karena permainan ilmu pedang yang lihai, tapi menang
dengan akal, bukan menang karena Lwekang yang tangguh,
tetapi menang karena menggunakan otak.
Siang Bu-gi menggunakan otak, maka ia menang.
Begitu pedang melenting ke atas, menyisir gagang pipa
lawan. Pok Can dipaksa menjejak kaki lalu melambung tinggi dan
bersalto di udara, pakaiannya yang tebal tampak melambai,
pipa cangklong yang berat itu sudah tidak berada di
tangannya lagi. Untuk menyelamatkan jari-jarinya dari tebasan
pedang lemas yang menyisir pipanya, terpaksa ia melepas dan
membuang senjata. Kehilangan senjata lebih mending
daripada tangan buntung. Pertarungan jago kosen kalau
senjata sampai dilucuti lawan, bukan saja kalah, hal ini
merupakan penghinaan pula.
Waktu kaki Pok Can menginjak bumi, roman mukanya
tampak pucat pias, sikap angkuh dan wibawa yang kereng tadi
sudah tak berbekas lagi.
Pedang Siang Bu-gi juga lenyap, pedang itu kembali ke
sarungnya. Mendadak Pok Can menghardik beringas, "Cabut lagi
pedangmu!"
Siang Bu-gi menyeringai, "Kau masih ingin bertarung?"
"Pedang untuk membunuh orang, bukan untuk hiasan!"
"Aku sudah bilang tidak akan menguliti dirimu. Jika kau
tewas, mana ada kulit yang ditinggalkan?"
Jari-jari Pok Can mengepal kencang, tangannya gemetar,
lututnya goyah. Hanya beberapa kejap saja, roman mukanya
yang tepos kelihatan lebih tua sepuluh tahun.
Karena Siang Bu-gi tidak mau membunuhnya, terpaksa ia
menyingkir, pergi meninggalkan hotel Damai. Sebagai jago
silat, meski sudah kalah, ia ingin bertarung sampai titik darah
penghabisan, sayang sekali Siang Bu-gi sudah menyimpan
pedang, terpaksa ia menyingkir dari tempat itu.
Mati ternyata tidak mudah, keinginan mati di medan laga
susah tercapai. Padahal usianya sudah lanjut, badan sudah
renta, hidup ini takkan lama lagi. Orang yang berusia lanjut
sudah meresapi pahit getir kehidupan, betapapun hidup lebih
menyenangkan daripada mati, kehilangan jiwa harus dibuat
sayang. * * * * * Kabut makin tipis.
Bayangan Pok Can telah lenyap ditelan kabut, pipa
cangklong itu menggeletak di tanah, tembakau yang tadi
membara di kantong pipa sudah padam.
Mata Lan Lan seperti bercahaya, katanya lega, "Setelah
kalah, mungkin dia takkan datang lagi."
Siau Ma berkata, "Ya, sesuai janjinya sendiri, ia tak akan
datang, murid dan cucu muridnya juga tidak akan
mengganggu kita."
Mereka tahu serigala tua ini amat disegani dan besar
wibawanya, ditakuti karena kekuasaannya besar.
Pedagang atau pemilik hotel Damai yang sejak tadi
menonton di samping mendadak tertawa, katanya, "Ternyata
jumlah orangnya tidak berkurang, kalian boleh minum dua
cangkir lebih banyak."
"Lho, kenapa?" tanya Siau Ma.
Pedagang itu tertawa lebar. "Karena Kiam-hoat tuan ini
hebat luar biasa," demikian katanya, "aku amat kagum, aku
terpesona."
"Aku juga kagum," mendadak seorang menyeletuk dari
belakangnya. Bila orang banyak membalik badan, seseorang telah
berada dalam rumah itu, seorang berpakaian pelajar dengan
mahkota tinggi, tangan memegang kipas lempit.
Long-kuncu akhirnya muncul.
* * * * * Tanggal 13 bulan 9, pagi. Cuaca cerah tetapi berkabut.
Berada di ruang makan hotel Damai, rasanya memang
tenteram dan damai. Semuanya duduk tenang, duduk
sewajarnya. Long-kuncu seperti ingin bersikap ramah, sopan
sebagai orang sekolahan.
Tapi Siau Ma justru tidak sopan, sikapnya kasar dan
temberang, ia sambut kedatangan Long-kuncu dengan
pandangan tajam menyelidik, tinjunya terkepal siap
menghajar hidungnya.
Un Liang-giok seperti tidak melihat dan tidak peduli akan
sikap Siau Ma yang kasar, dengan senyum ramah ia berkata,
"Semalam suntuk kalian berjerih payah, sampai sekarang
belum tidur dan tak sempat istirahat."
"Hm," Siau Ma menggeram dalam mulut.
Lan Lan tertawa ramah, katanya, "Payah memang benar,
syukur kita sudah aman dan tenteram di sini."
"Jik-lopan (juragan Jik)," mendadak Un Liang-giok
memanggil. Pedagang atau pemilik hotel mengiakan sambil
menghampiri, katanya dengan tertawa lebar, "Hamba ada di
sini." Un Liang-giok berkata, "Bikinkan beberapa macam
nyamikan, panaskan beberapa kati arak, rekeningnya aku
yang bayar."
Mendadak Siau Ma menyeringai dingin, "Juragan Jik akan
kelarisan hari ini. Sebaliknya usahamu justru gagal total,
kenapa kamu muncul di babak terakhir malah?"
"Berdagang dan menjamu tamu adalah dua persoalan
yang berbeda, jangan disamaratakan." Dengan senyum ramah
Un Liang-giok menjawab.
"Usahamu gagal, tapi mau menjamu kami?" Siau Ma
menegas. "Kalian datang dari jauh, di sini aku tuan rumah, kan
pantas Cayhe bersikap ramah terhadap tamunya."
"Baik, keluarkan mangkuk besar," seru Siau Ma ke dalam.
"Semalam kau tidak tidur," Lan Lan membujuk, "perut
masih kosong, jangan minum arak."
"Setelah berada di sini, sia-sia kalau tidak minum,"
demikian ujar Siau Ma bandel, "biar mampus juga tidak jadi
soal." Un Liang-giok tertawa sambil keplok, "Betul, memang
demikian, mumpung bisa dan ada kesempatan minum. Kalau
tinjumu sudah tiada, bagaimana kau bisa minum?"
"Kau ingin membeli sepasang tinjuku?" tanya Siau Ma.
Un Liang-giok hanya tersenyum saja.
"Baiklah, sekarang juga boleh kuserahkan kepadamu,"
belum habis Siau Ma bicara, mendadak tinjunya menggenjot.
Jotosan telak lagi cepat, begitu cepatnya sehingga sukar
diikuti pandangan mata.
Agaknya Un Liang-giok sudah siaga, sudah
memperhitungkan serangan tinju Siau Ma, cepat sekali dia
menjatuhkan tubuh terus menggelundung pergi bersama kursi
yang didudukinya. Ternyata Un Liang-giok tidak marah,
senyum ramah masih menghias wajahnya, "Arak belum
disuguhkan, apa kau sudah mabuk?"
"Siau Ma tidak pernah mabuk," Lan Lan menjawab tegas.
Un Liang-giok tidak membantah atau mendebat, sikapnya
tetap sopan, "Mungkin kuda binal dilahirkan untuk menghajar
orang." Lan Lan tertawa menggiurkan, "Dugaanmu keliru lagi."
"Keliru?" Un Liang-giok menegas.
"Kalau tidak perlu, Siau Ma tidak suka menghajar orang,
kecuali menghajar dirimu seorang."
"O, hanya aku yang dijadikan sasaran?"
"Bukan hanya Siau Ma yang ingin menghajar kamu, setiap
orang yang ada di sini semua ingin menghajar hidungmu!"
"Aku tidak ingin menghajarnya," tiba-tiba Siang Bu-gi
menyeletuk. "Kau tidak ingin menghajarnya" Habis akan kau apakan?"
tanya Lan Lan. "Aku hanya ingin mengelupas kulit badannya," sahut Siang
Bu-gi. Un Liang-giok masih bersikap ramah, tidak marah meski
disindir dan diejek secara pedas, malah berkata dengan tawa
lebar, "Kabarnya adikmu sedang sakit, apa benar?"
"Ehm," Lan Lan bersuara dalam mulut.
"Apa dia adik sepupumu?" tanya Un Liang-giok penuh
perhatian. "Ehm," Lan Lan mengiakan.
"Demikian pula Ma-kongcu ini?"
Lan Lan geleng kepala.
"Apa jiwa adik kandungmu lebih berharga dibanding
sepasang tinju si Kuda Binal?"
"Sayang tinju itu tumbuh di badannya," ucap Lan Lan
kalem. Un Liang-giok terbahak-bahak, "Nona bilang demikian, apa
tidak terlalu sungkan?"
"Kenapa?" tanya Lan Lan heran.
"Nona mahir menggunakan Am-gi, senjata rahasia selihai
itu belum pernah Cayhe melihatnya selama ini."
Un Liang-giok seperti sengaja membongkar rahasia Lan
Lan, ternyata cewek ini tidak kaget atau heran, sikapnya wajar
dan tenang, katanya kalem, "Pandangan tuan memang
tajam." "Dua nona cilik di pinggir itu adalah jago pedang yang
kosen, mereka dilatih dan meyakinkan kepandaian khusus.
Jika kau menginginkan sepasang tinju si Kuda Binal, kurasa
segampang mengambil barang dalam kantong baju sendiri."
Lan Lan tertawa, "Kalau mereka mengambil sepasang
tinjumu, apakah semudah merogoh uang dalam sakumu?"
Mimik muka Un Liang-giok mulai kurang wajar, "Agaknya
kontrak dagang yang kau inginkan tidak akan terkabul."
"Persetan dengan kontrak dagangmu!" jengek Siau Ma.
"Kapan nona mau meninggalkan tempat ini?" tanya Un
Liang-giok. "Kami tidak akan lama di sini, cepat atau lambat setelah
cukup beristirahat kami akan berangkat lagi."
"Bagus. Kalau begitu Cayhe mohon diri saja," Un Lianggiok
bicara sambil menjura, lalu membuka kipas lempit serta
beranjak keluar.
"Tunggu dulu," mendadak Siau Ma berseru, belum lenyap
suaranya bayangannya sudah menghadang di depan pintu.
Un Liang-giok tetap tenang, "Masih ada urusan lain?"
"Ya, masih ada yang belum kau lakukan," jengek Siau Ma.
"Urusan apa belum kulakukan?" tanya Un Liang-giok.
"Membayar rekening."
Un Liang-giok tertawa lucu.
"Dagang adalah dagang, mentraktir orang harus bayar,
bukankah kau sendiri yang bilang demikian?" demikian
semprot Siau Ma.
Un Liang-giok tidak menyangkal, ia mengangguk.
"Konsuken tidak kau dengan ucapanmu" Sebelum
membayar rekening, jangan harap bisa keluar dari pintu ini."
Sambil menggerakkan kipasnya, Un Liang-giok membalik
dan duduk kembali di kursinya semula, suaranya kalem,
"Kukira kau perlu memahami persoalan."
Siau Ma mendengarkan.
"Aku sudah tidur, makan kenyang dan banyak istirahat,
kalian justru sebaliknya. Kalian masih harus menggunakan
banyak tenaga untuk melewati gunung ini, kalau keadaan
tetap seperti ini, posisi dan kondisi kalian jelas tidak
menguntungkan," dengan senyum lebar ia melanjutkan,
"selama kalian berada di hotel Damai, sesuai peraturan yang
berlaku di sini, siapa pun tidak boleh berkelahi atau melukai
orang, kalau kalian berani melanggar peraturan, kurasa sukar
kalian berpijak lebih lama di Long-san."
Merah padam muka Siau Ma menahan amarah, marah
karena tahu ancaman Un Liang-giok itu serius dan bukan
gertak sambal. Thio-gongcu mendadak menyeletuk, "Apa benar kau tidak
mau membayar rekening?"
"Kalian bukan tamuku, kenapa aku harus mentraktir
kalian?" "Baiklah, kalau kau tidak mentraktir, biar aku yang
melunasi rekeningnya," demikian ujar Thio-gongcu kalem.
Un Liang-giok tertawa besar sambil mendongak, mendadak
kipasnya terayun dan berputar, bayangannya bertaburan
menimbulkan deru angin, deru angin tajam yang membuat
orang banyak memejamkan mata sekejap. Ketika orang
banyak membuka mata, bayangan Un Liang-giok sudah
lenyap. Tak tahan Lan Lan memuji, "Kepandaian bagus!"
Juragan Jik tertawa lebar, katanya, "Pandangan nona
memang tajam, kecuali Cu Ngo Thay-ya, kungfu Un Liang-giok
terhitung paling bagus di Long-san."
"Kau pernah melihat Cu Ngo Thay-ya?" tanya Lan Lan
pula. "Sudah tentu pernah," sahut juragan Jik.
"Bagaimana cara untuk bertemu dengannya," tanya Lan
Lan. Juragan Jik tampak ragu-ragu, "Nona ingin bertemu
dengan beliau?" tanyanya.
"Konon Cu Ngo Thay-ya orang luar biasa, setiap patah
katanya adalah perintah. Aku sedang berpikir ...." sorot mata
Lan Lan bercahaya. "Kalau kami dapat bertemu dengan beliau,
lalu beliau memberi izin dan membiarkan kami lewat dengan
selamat, orang lain tentu tidak berani menghadang kami.
Untuk lewat dan sampai di tempat tujuan dengan aman dan
selamat, kurasa hanya cara ini yang harus kita lakukan."
Bab 10 Juragan Jik tertawa, "Cara yang nona pikir memang benar,
namun harus dibuat sayang."
"Apa yang harus dibuat sayang?"
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tak bisa bertemu dengan beliau. Di Long-san hanya
enam orang yang tahu dimana sekarang beliau berada."
"Kau tidak tahu dimana beliau sekarang?"
"Aku hanya pedagang kecil yang kerjanya cari untung,
urusan lain aku tidak mau turut campur," demikian jawab
juragan Jik. Hidangan disuguhkan dengan arak yang masih mengepul
hangat. Sepiring sayur goreng, sepiring lagi telur mata sapi,
beberapa kue kering dan semangkok kuah daging sapi sayur
asin, beberapa mangkok nasi dan setengah gentong arak.
Juragan Jik tertawa, "Untuk dahar pagi ini aku
menghidangkan menu luar biasa, rekening seluruhnya hanya
seribu lima ratus tahil perak."
Pemilik hotel ini tertawa riang, tawa lebar dan gembira,
karena dia maklum berapa pun mahal tarip makanannya,
meski menggorok leher sekalipun, tamu terpaksa harus
membayar. Siau Ma mengawasi Thio-gongcu, katanya, "Sejak kapan
kau punya banyak duit" Berani kau membayar seribu lima
ratus tahil perak?"
Thio-gongcu menyengir kuda, "Maksudku ingin menggebah
keparat itu dari sini. Mana aku punya duit?"
Maksud sebenarnya adalah Thio-gongcu perlu ketenangan,
dia harus merawat dan menjaga Hiang-hiang.
Syukur Siau Ma tidak menarik panjang persoalan. Siau Ma
maklum tujuan Thio-gongcu itu, bia
Pendekar Kembar 7 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Pendekar Super Sakti 16