Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Bagian 4
ng melintang dan dikagumi serta
disegani kawan maupun lawan kaum Bu-lim, terutama orangorang
gagah di dunia ini tiada yang tidak memuja mereka, tapi
kalian berhasil mengobrak-abrik serikat itu, menghancurkan
kekuatan dan wibawanya, karena keberhasilan itu maka hari
ini kau boleh duduk di sini."
"Aku tahu," sahut Siau Ma memanggut.
"Aku juga tahu kau berani berkorban tanpa mempedulikan
jiwa raga sendiri."
Siau Ma diam. "Teman-temanmu terjebak, jiwa mereka terancam,
kekasihmu jatuh di tangan duta malaikat surya, mereka yang
kau kawal dan lindungi, tiada yang bisa kau antar lewat
gunung ini."
Siau Ma diam saja, apa yang diucapkan Cu Ngo Thay-ya
memang kenyataan, maka ia tidak perlu banyak bicara.
Apalagi terhadap raja yang berkuasa di Long-san ini, mau
tidak mau Siau Ma harus takluk dan tunduk. Semula Siau Ma
mengira raja yang berkuasa di Long-san ini berwatak aneh
dan eksentrik, hanya seorang tua renta yang dekat ajal dan
bersimaharaja, mengasingkan diri di gunung serigala ini untuk
menikmati kehidupan dewata, orang tua ini berpeluk tangan
membiarkan anak buahnya bertindak sewenang-wenang, raja
yang dikelabui dan dijadikan boneka.
Tapi sekarang Siau Ma sadar, orang tua yang satu ini
adalah manusia yang benar-benar berkuasa di Long-san,
ternyata setiap peristiwa yang terjadi dalam wilayah gunung
serigala, meski hanya urusan kecil sekalipun, tidak terlepas
dari pengawasannya, tiada persoalan yang dapat
mengelabuinya. Cu Ngo Thay-ya berkata, "Kini kau sadar setelah
menghadapi jalan buntu, maka kau terpaksa mencari aku, kau
ingin membarter jiwa belasan orang itu dengan sepasang
tinjumu." Tiba-tiba nadanya berubah jadi seringai dingin,
"Pernahkah kau saksikan seorang yang sembahyang dengan
sebatang dupa wangi di depan patung malaikat pujaannya
dalam kelenteng, dan berhasil menolong jiwa orang itu hingga
mencapai kehidupan bahagia sepanjang hidupnya?"
"Belum pernah aku melihatnya," sahut Siau Ma.
"Dan aku adalah malaikat gunung yang berkuasa di sini."
"Tapi sepasang tinjuku bukan sebatang dupa."
"Macam apa tinjumu itu?"
"Kawan setia, gaman yang ampuh untuk membunuh
orang." "O, apa benar begitu?"
"Aku yakin kau bukan malaikat tulen, kekuatan terbatas,
betapapun besar kau diagungkan, kalau memperoleh seorang
kawan setia, bertambah sebuah gaman yang dapat
memberantas musuhmu, cepat atau lambat tentu amat
berguna," Siau Ma membujuk dan meyakinkan kepercayaan
orang terhadap dirinya, "orang mati jelas tidak berguna,
sepuluh mayat jelas bukan tandingan sebatang golok kilat,
tapi tinjuku lebih cepat dari golok kilat yang paling cepat di
dunia ini."
"Agaknya kau tidak tahu bahwa di tempatku ini juga ada
tinju yang lebih cepat, lebih keras dan lihai dari tinjumu?"
"Aku belum pernah melihatnya, aku perlu bukti."
"Kau ingin bukti...."
"Ingin sekali."
"Coba kau menoleh ke belakang."
Siau Ma menoleh ke kiri kanan, matanya tertumbuk dua
laki-laki gede yang berdiri memeluk dada di belakangnya, lakilaki
kekar berotot dengan telanjang dada ini sedang melotot
kepadanya. Perlahan kedua laki-laki gede ini meluruskan
tangan, jari-jari mereka terkepal, tinju mereka mirip palu
godam. Cu Ngo Thay-ya berkata pula, "Yang berdiri di sebelah
kirimu bernama Wanyan Tiat."
Perawakan orang ini sedikit pendek dibanding temannya,
tapi ukuran badannya sembilan kaki lebih, kulit mukanya kasar
mengkilap, dagingnya menonjol tak keruan, warnanya yang
legam tak menunjukkan perubahan perasaan hatinya, antinganting
gelang emas sebesar mulut cangkir bergantung di
telinga kirinya.
"Wanyan Tiat meyakinkan Thong-cu-kang (ilmu weduk
perjaka, kebal)," Cu Ngo Thay-ya menjelaskan lebih lanjut,
"dia juga meyakinkan Cap-sha-thay-po. Tenaga pukulan tinju
kirinya berbobot lima ratus kati, tenaga pukulan tinju kanan
berbobot tujuh ratus kati."
"Bagus, tinju bagus," Siau Ma memuji berulang-ulang.
"Yang berdiri di kanan bernama Wanyan Kang."
Sesuai namanya, perawakan Wanyan Kang lebih tinggi,
kekar berotot, kulitnya mengkilap bagai baja, ukuran tubuhnya
sepuluh kaki lebih, corak tampangnya tidak banyak beda
dengan orang di sebelahnya, hanya saja anting-anting gelang
emas sebesar mulut cangkir bergantung di telinga kanan.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Sejak kecil Wanyan Kang
meyakinkan Thong-cu-kang, Kim-cong-coh dan Tiat-pou-san
serta ilmu weduk lainnya, badannya kebal senjata, kerasnya
laksana baja. Tenaga pukulan tinju kiri berbobot empat ratus
lima puluh kati."
"Bagus, tinju bagus," Siau Ma memuji pula.
"Mereka dari suku minoritas, lugu lagi sederhana, tumpul
tapi polos dan jujur."
"Ya, aku tahu."
"Bukan hanya tinju saja yang mereka serahkan padaku,
jiwa raga mereka juga tergenggam di tanganku."
"Ya, aku maklum."
"Aku sudah punya mereka, kenapa harus menerimamu?"
"Yang terang aku tidak jujur, tidak sederhana, aku punya
otak cerdas, ada akal dan pandai bertindak menurut gelagat,
aku lebih berguna dari mereka."
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Hm, jangan sok, coba
bayangkan, bagaimana kalau dua pasang tinju mereka
sekaligus memukul tubuhmu?"
"Apa yang akan terjadi aku tidak tahu," sahut Siau Ma, ia
memang tidak tahu, maklum bobot pukulan dua tinju mereka
seluruhnya total dua ribu kati lebih, menghadapi dua lawan
ini, Siau Ma tidak yakin dapat mengalahkan mereka. Tapi Siau
Ma juga sadar bahwa dirinya tidak punya pilihan lagi kecuali
menantang mereka untuk membuktikan kekuatan sendiri.
"Apa kau tidak ingin mencoba tinju mereka?" tanya Cu Ngo
Thay-ya. "Wah, ingin sekali."
* * * * * Tanggal 14 bulan 9. Pagi cuaca cerah.
Pendopo besar itu tidak ada jendela, sinar matahari tidak
kelihatan dari sini. Pendopo besar lagi panjang ini terlindung
dinding panjang yang dikapur bersih, tapi sepanjang tahun
tidak pernah ditingkah sinar matahari. Penerangan dalam
pendopo ini hanya dari cahaya lampu yang redup temarang,
namun darimana arah cahaya redup itu juga susah diketahui,
yang pasti Siau Ma tidak melihat adanya pelita atau obor.
"Apa betul kau ingin menjajal mereka?" tanya Cu Ngo
Thay-ya. "Betul," sahut Siau Ma tegas.
"Tidak menyesal akibatnya?"
"Apa yang sudah kuucapkan pantang kujilat kembali."
"Bagus."
Lenyap suara pujian Cu Ngo Thay-ya, tinju Wanyan
bersaudara lantas bergerak menggenjot dengan kencang,
begitu tangan terayun, deru anginnya yang keras hampir
memekak telinga Siau Ma.
Tinju kanan Wanyan Tiat mengincar rahang Siau Ma,
berbareng tinju kiri Wanyan Kang menggenjot rusuk kanan
Siau Ma. Ternyata Wanyan bersaudara hanya menyerang
dengan sebelah tangan masing-masing. Tapi bobot atau
kekuatan tinju mereka ada ribuan kati beratnya.
Siau Ma berlaku tenang, tidak bergerak.
Tinju kilat pasti berat, pukulan berat pasti cepat. Kalau
tenaga kedua pukulan ini berbobot ribuan kati, maka
kecepatannya tentu bagai kilat. Begitu tinju menjotos tenaga
pun disalurkan, umpama kuda pingitan yang lepas dari
kandang, atau panah yang terlepas dari busurnya, sukar
ditarik kembali.
Sebagai ahli tinju, bukan Siau Ma tidak tahu arti kekuatan
tinju lawan. Tapi Siau Ma adalah pemuda sederhana, otoknya
cerdik tapi berpikir secara sederhana, ditunjang pengalaman
segudang, maka menghadapi serangan lawan, ia tetap berlaku
tenang. Melihat Siau Ma tidak bergerak, lebih bernafsu Wanyan
bersaudara mengayunkan tinjunya, namun sedetik sebelum
tinju Wanyan bersaudara yang sebesar kelapa itu mengenai
tubuhnya, mendadak Siau Ma bergerak, selicin belut dan
selincah tupai ia menyelinap ke bawah terus melejit ke pinggir,
padahal angin pukulan lawan sudah membuat mukanya perih.
Memang beginilah kebiasaan Siau Ma, detik-detik gawat
beginilah yang dia nantikan, saat yang menentukan kalah
menang hanya dalam segebrak saja. Siau Ma memang suka
membuat kejutan, bila jiwanya terancam bahaya baru ia
memberi reaksi, kecuali pengalaman segudang, Siau Ma
memang ditunjang ketahanan dan keberanian.
"Blang", di luar dugaan, bukan tubuh Siau Ma yang
terhajar oleh kedua tinju Wanyan bersaudara, tapi tinju kanan
Wanyan Tiat beradu dengan tinju kiri Wanyan Kang malah.
Tiada orang bisa melukiskan betapa mengerikan suara
benturan kedua tinju gede bagai godam ini. Kecuali kerasnya
benturan dua tinju yang mengerikan, disertai juga suara
tulang patah dan remuk.
Dapat dibayangkan betapa sakit kedua tangan Wanyan
bersaudara yang remuk ini, tapi dua raksasa ini ternyata
bungkam tak mengeluh atau menjerit. Seperti tidak merasa
apa-apa, mereka tetap berdiri sekokoh gunung di tempatnya,
hanya raut muka mereka saja yang kelihatan bergetar dan
berkeringat, berkerut-merut menahan sakit.
Begitu menyelinap keluar, sebat sekali Siau Ma membalik
tubuh, secepat kilat tinjunya menjotos tulang rusuk kanan
Wanyan Tiat. Hebat memang laki-laki raksasa ini, meski tulang
rusuk terpukul patah, Wanyan Tiat ternyata tidak roboh,
tubuhnya hanya sedikit tergeliat, namun secepat kilat pula
tinjunya yang utuh balas menghajar perut Siau Ma.
Menghadapi serangan balasan lawan, Siau Ma tidak
menyingkir atau merubah gerakan, sebagai pemuda berdarah
panas, ia suka membereskan perkara secara singkat dan
cepat, dan Siau Ma bukan pesilat yang menggunakan tinju
dengan ngawur. "Blang", dua tinju beradu, tinju berhantam dengan tinju,
suara benturan adu tinju ini mengerikan, yang mendengar
pasti mengkirik dan berdiri bulu romanya, akibatnya ternyata
lebih mengenaskan lagi.
Siau Ma mencelat mumbul ke atas oleh benturan tinju
yang keras itu, di udara ia bersalto dua kali baru meluncur
turun. Wanyan Tiat tetap berdiri di tempatnya, namua sedetik
kemudian mendadak ia terjengkang mundur lalu meringkuk di
lantai. Saking menahan sakit, mulutnya meringis, tubuhnya
mengejang dan gemetar, mukanya basah oleh keringat dingin.
Kedua lengannya lunglai dan lemas tak mampu
digerakkan, tulang jari-jarinya remuk. Betapa sakitnya, namun
ternyata merintih pun tidak. Mungkin ajal pun ia tidak akan
mengeluh, karena mengeluh dianggap memalukan.
Di hadapan sang majikan, meski kedua lengannya lumpuh,
ia pantang menyerah, sambil mengertak gigi ia meronta
bangun, biar jiwa melayang seketika juga akan ia hadapi
dengan badan berdiri.
Melihat betapa tabah dan kuat fisik orang ini, tak urung
Siau Ma berseru memuji, "Laki-laki gagah!"
Melotot gusar mata Wanyan Kang, selangkah demi
selangkah dia menghampiri. Wanyan Kang masih ada tinju,
dengan sisa tinju yang satu ini dia masih mampu mengadu
jiwa, meski ia tahu tinjunya itu ibarat telur menghadapi batu,
namun sebelum bertempur sampai titik darah terakhir, dia
pantang mundur, tidak mau menyerah. Wanyan bersaudara
memang berhati baja, berani dan tabah, lebih penting lagi,
mereka setia terhadap sang junjungan, loyalitas mereka teruji
di saat mereka menghadapi saat-saat kritis seperti ini.
Siau Ma menghela napas. Siau Ma berjiwa luhur, bajik dan
cinta kasih terhadap sesama, ia paling menghargai manusia
jantan, laki-laki sejati, sayang sekali lawan yang terpuji ini
harus dihadapinya di medan laga, terdesak oleh keadaan,
tiada pilihan lain, maka ia harus bertindak tanpa kenal
kasihan. Keadaan menuntut Siau Ma mengadu jiwa, kalau
bukan aku yang mati kaulah yang mampus, bertarung sampai
babak terakhir dan bertempur hingga ada pihak yang kalah
dan menang. Kali ini Siau Ma tidak sabar lagi, sebelum Wanyan Kang
melabraknya, ia bertindak lebih dulu. Tinjunya menjotos lurus
ke depan, lurus seperti tombak menusuk, tinjunya bukan
memukul tinju Wanyan Kang, tapi memukul hidungnya.
Padahal untuk memukul hidung orang yang berperawakan
lebih tinggi dan dilindungi tinju raksasa itu, sungguh sukar dan
berbahaya. Tapi Siau Ma berani menyerempet bahaya, bukan karena
Siau Ma sengaja mengincar hidung orang, tapi dia menghargai
kesetiaan orang ini, loyalitasnya patut dihargai, maka Siau Ma
tidak menghancurkan tinju orang, melainkan menghajar
hidungnya. "Duk", darah muncrat dan meleleh di muka Wanyan Kang,
hidungnya pecah dan ringsek, walau mata berkunang-kunang,
lawan tidak terlihat, tapi dia menggerung kalap sambil
menyerang serabutan, dia masih ingin mengadu jiwa.
Siau Ma tidak memberi kesempatan pada lawannya, Siau
Ma tidak ingin menghancurkan karir orang hanya karena dia
mengabdi kepada kepentingan orang lain, berkorban secara
sia-sia. Waktu Siau Ma melompat sambil berputar, tinjunya
menghajar Thay-yang-hiat di pelipis Wanyan Kang dengan
telak. Wanyan Kang ambruk seperti pohon tumbang, Wanyan
Tiat masih berdiri diam, mengawasi saudaranya roboh tanpa
dapat berbuat apa-apa, mukanya basah entah karena keringat
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau air mata. Air mata kesedihan, air mata putus asa, karir mereka dapat
dipertahankan kalau bekal masih utuh, kini kekalahan sudah
nyata, daripada mendapat malu lebih baik mati. Wanyan Tiat
sudah bertekad untuk mati, tapi Cu Ngo Thay-ya, sang
majikan tidak sependapat, kalau sang raja tidak ingin mereka
mati, maka mereka harus bertahan hidup, maka ia hanya
berdiri terlongong tanpa bertindak lebih jauh. Meresapi
kekalahan ini dengan rasa sedih dan pilu, dalam hati ia
mengharap Siau Ma juga menghajar dirinya biar roboh
semaput daripada menanggung malu.
Pelan-pelan Siau Ma membalik tubuh ke arah orang yang
bercokol di kursi di kejauhan itu. Dengan seksama ia
mengawasi tanpa berkedip, kelihatannya orang itu tidak
bergeming sedikit pun, namun dari kejauhan masih kelihatan
angker dan agung.
Bab 15 Mendadak Siau Ma berseru lantang, "Kenapa kau bersikap
begini?" "Begini bagaimana?"
"Kau dapat mencegah mereka, mempertahankan mereka,
tapi kau sengaja membiarkan mereka hancur, kau tahu
mereka tak mampu mengalahkan aku."
Cu Ngo Thay-ya diam saja. Setelah Wanyan bersaudara
gagal memukul Siau Ma dan malah tinju mereka beradu
sendiri, bahwasanya ia sudah tahu bahwa kakak beradik
raksasa ini hakikatnya bukan tandingan Siau Ma.
"Betul tidak, kau sengaja ingin menghancurkan mereka?"
Dingin suara Cu Ngo Thay-ya, "Mereka sudah tidak
berguna, kenapa harus dipertahankan, biar hancur juga tidak
jadi soal."
Gemas Siau Ma dibuatnya, ingin rasanya menerjang ke
sana dan memukul ringsek hidungnya. Tapi Siau Ma sadar,
meski hati panas, kepala tetap dingin, aksinya hari ini
menanggung beban beberapa jiwa orang, kalau hanya dia
seorang diri, Siau Ma berani berbuat apa saja mesti harus
mempertaruhkan jiwa raga, tapi saat ini ia tidak boleh
bertindak gegabah.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Tadi sebetulnya mereka mampu
menghancurkan engkau."
Siau Ma tidak menyangkal.
"Perbedaan kalah menang hanya sekejap mata, terus
terang tidak kuduga kau menggunakan cara yang berani dan
jurus yang begitu berbahaya."
"Dalam keadaan kepepet demi mempertahankan hidup,
seorang akan berusaha melakukan sesuatu yang berbahaya."
"Besar benar nyalimu."
"Sudah biasa, nyaliku memang tidak kecil."
Lama Cu Ngo Thay-ya berdiam diri, di tengah keheningan
itu berkumandang suaranya yang bergema, "Duduk!"
Maka Siau Ma duduk.
Waktu Siau Ma membalik dan duduk di kursinya, baru ia
tahu Wanyan bersaudara entah sejak kapan sudah tidak
kelihatan lagi, entah pergi kemana, noda darah yang
berceceran di lantai juga sudah dibersihkan.
Anak buah Cu Ngo Thay-ya serba cekatan dan selalu beres
melakukan tugas, mereka bekerja secara reflek, tanpa
perintah tapi cepat.
Siau Ma menunggu cukup lama di tempat duduknya,
terdengar Cu Ngo Thay-ya berkata lagi, "Kusuruh kau duduk
lagi bukan karena perbuatanmu yang dulu terpuji, tetapi untuk
menghargai sepasang tinjumu."
"Aku maklum."
"Kau boleh duduk di sini, belum tentu kau dapat
mempertahankan hidupmu."
"Agaknya kau masih segan menerima sepasang tinjuku?"
"Barusan sudah kusaksikan, sepasang tinjumu memang
gaman yang ampuh dan berguna untuk membunuh orang."
"Terima kasih."
"Di medan laga, gaman untuk membunuh orang, jadi
belum tentu gaman itu merupakan kawan setia," suaranya
kalem, "air dapat membuat kapal terapung, tapi air juga bisa
membuat kapal tenggelam. Kalau aku menyimpan gaman
yang dapat membunuh orang, apalagi masih harus
disangsikan apakah gaman itu setia dan tunduk padaku,
apakah kehadirannya di sampingku tidak berbahaya?"
"Cekak-aos saja, apa kehendakmu" Cara bagaimana aku
harus meyakinkan dirimu untuk percaya kepadaku?"
"Paling tidak aku perlu waktu untuk
mempertimbangkannya."
"Sudah tak ada waktu lagi, tak usah kau pertimbangkan
lagi." "Kenapa tidak perlu pertimbangan?"
"Kau perlu waktu mempertimbangkan, sebaliknya waktuku
amat mendesak, kalau kau tak mau membantu, biar aku
keluar saja."
"Apa kau bisa keluar dari sini?"
"Akan kucoba."
Tiba-tiba Cu Ngo Thay-ya tertawa, "Kenapa tergesa-gesa,
apa kau tidak perlu menunggu temanmu" Nah, tengoklah dulu
keadaan temanmu, belum terlambat kalau kau ingin pergi."
Kaku dingin sekujur badan Siau Ma, perasaan pun
membeku. Kawan-kawannya ada di sini"
Maka Siau Ma bertanya, "Siapa yang harus kulihat?"
Tawar suara Cu Ngo Thay-ya, "Kecuali dirimu, ada seorang
lain juga ingin menemui aku dengan maksud yang sama
seperti engkau, ingin memberi kado kepadaku?"
"Siapa dia" Kado apa yang ingin diberikan kepadamu?"
"Sebilah pedang."
"Siang Bu-gi maksudmu?" teriak Siau Ma.
"Betul."
"Dia juga ada di sini?"
"Kedatangannya lebih dini darimu, tapi aku menerimamu
lebih dulu, aku tahu kau tidak pandai membual."
Siau Ma melenggong.
"Duduk," kembali Cu Ngo Thay-ya menyuruhnya duduk.
Terpaksa Siau Ma duduk pula. Kalau Siang Bu-gi juga di
tempat ini, mana boleh ia pergi" Mendadak Siau Ma sadar
bahwa dirinya sudah tercengkeram di tangan orang, dalam
posisi seperti dirinya, kecuali menyerah tiada jalan lain yang
dapat ia pilih.
Ketika suara tabur berkumandang, pintu besar pelan-pelan
terbuka. Siang Bu-gi sudah berada di luar pintu, wajahnya
berkeriput, kelihatan lebih tua sepuluh tahun.
Selama semalam ini entah apa yang dialaminya" Kesulitan
apa yang dihadapinya" Betapa bahaya yang mengancam
jiwanya" Dalam keadaan bahaya di tempat ini, mendadak melihat
Siang Bu-gi, kawan seperjuangannya, Siau Ma bagai melihat
sanak kadang yang sudah lama tidak bertemu di rantau, entah
bagaimana perasaan hatinya"
Siau Ma menatapnya, hampir saja tak kuasa menahan
linangan air mata.
Sebaliknya Siang Bu-gi tetap bersikap dingin, tak acuh,
menyapa dengan suara tawar, "Kau pun di sini?"
"Ya, aku di sini," hambar suara Siau Ma.
"Baik-baik saja kau?"
"Tetap segar."
Perlahan Siang Bu-gi beranjak masuk, setiba dalam
pendopo ia mengancing rapat mulutnya, jangan kata bicara,
melirik pun tidak kepada Siau Ma.
Terpaksa Siau Ma juga bungkam. Dia tahu watak Siang Bugi,
temannya ini mirip batu bara, kelihatannya dingin, hitam
dan keras, tetapi menyala dan membara, maka dia akan
menyala dan berkobar lebih besar dan panas dibanding kayu
atau arang, lebih hebat lagi, suhu panasnya dapat bertahan
cukup lama. Di saat dia menyala, cahayanya mungkin tidak seterang
obor, tapi secara nyata, suhu panasnya dapat membuat orang
yang kedinginan merasa hangat.
Kini Siang Bu-gi juga ada di sini, entah bagaimana dengan
yang lain" Disekap dalam bahaya dan kedinginan atau dalam
keadaan aman dan hangat"
Siang Bu-gi berdiri menghadap ke arah kerai mutiara,
dalam jarak tertentu ia berhenti dan tidak maju lagi, biasanya
Siang Bu-gi memang lebih tabah daripada orang lain.
Orang yang bercokol di balik kerai itu tidak kelihatan
bergerak, tetap duduk di tempatnya, seumpama patung
malaikat yang dipuja orang dan membiarkan orang-orang
yang memujanya berubah sujud kepadanya.
Siang Bu-gi berdiri diam dan tenang, sabar menunggu
orang bicara. Betul juga, mendadak Cu Ngo Thay-ya bertanya, "Kau
dapat membunuh orang?"
"Bukan hanya membunuh, aku juga menguliti orang,"
mantap suara Siang Bu-gi.
"Orang macam apa yang kau bunuh?" tanya Cu Ngo Thayya.
"Orang-orang yang tidak boleh dibunuh, aku bisa
membunuhnya, termasuk anak buahmu yang pembunuh itu."
"Rasanya kau amat yakin pada kemampuanmu sendiri?"
"Ya, aku yakin dapat menunaikan tugas dengan baik."
"Sayang sekali, seorang yang mempunyai lidah tajam juga
dapat membunuh orang."
"Tetapi aku juga punya pedang."
"Mana pedangmu?"
"Kusimpan di tempat yang tidak mudah dilihat orang, tapi
bila tiba saatnya aku harus membunuh, maka pedangku akan
menusuk tenggorokan orang itu."
Lama Cu Ngo Thay-ya menepekur, akhirnya ia berteriak
dengan suara kaku dan kereng, "Baiklah, duduk!"
Siau Ma duduk di kursi yang empuk. Yang dimaksud
dengan kursi empuk di sini bukan kursi biasa, tapi juga bukan
kursi kebesaran, namun kursi empuk ini keadaannya tidak
banyak beda dengan kursi kebesaran yang diduduki oleh raja,
atau seorang pemimpin besar.
Kursi empuk umumnya besar dan lebar, di kanan kirinya
ada gagang tangan, berukir dan antik serta nyaman, biasanya
orang yang sudah duduk di kursi empuk ini akan merasa
seperti duduk di tengah mega, tergantung di awang-awang.
Mega itu terbang, mega itu terapung di udara. Tidak
demikian dengan kursi yang ini, kursi jenis apapun di dunia ini
tidak ada yang terapung di udara.
Tapi kursi yang satu ini ternyata sedang terbang di udara,
melayang masuk seperti segumpal mega yang terapung, tiada
orang melihat ada orang membawa, menggotong atau
memikulnya, tapi kenyataan kursi ini bergerak maju dan
terapung di udara.
Ternyata kursi ini bergerak karena diangkat seorang,
bukan orang biasa, tapi seorang kate, laki-laki cebol,
perawakannya amat kecil, mirip anak-anak, orang hanya
melihat kursi besar empuk berlapis kulit harimau itu bergerak,
tapi tak melihat orang yang mengangkatnya.
Yang mengangkat kursi ternyata dua orang, dua orang
cebol, pinggang mereka tidak lebih besar dibanding kaki kursi
empuk itu, perawakan mereka mirip anak-anak berusia tujuh
tahun, karena wajah mereka sudah keriput, malah berjenggot.
Ada tiga jenis sabuk melingkar di pinggang kedua orang
cebol ini, yang di atas sabuk warna kuning emas, yang di
bawah sabuk perak, sabuk emas maupun sabuk perak
mengkilap dan menyilaukan mata. Setelah kursi besar itu
diletakkan di lantai, orang baru melihat jelas bentuk badan
kedua pemikul kursi itu.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Pedang adalah gaman untuk
melukai atau memhunuh orang."
"Betul," sahut Siang Bu-gi.
"Lebih panjang lebih kuat, makin pendek makin
berbahaya."
"Betul."
"Sebatang pedang, apakah dia menakutkan tergantung
dari panjang pendek bentuknya!"
"Tidak salah."
"Demikian juga manusia pemakainya."
Kali ini Siang Bu-gi hanya mengiakan dalam mulut.
"Dua orang ini cebol, sejak usia 10, mereka sudah
meyakinkan ilmu pedang, sekarang usia mereka sudah empat
puluh satu tahun."
Tiga puluh tahun meyakinkan ilmu pedang, berarti tiga
puluh tahun pula mereka mengasah pedang, maka dapat
dibayangkan bahwa pedang mereka adalah gaman yang
tajam, lalu bagaimana kepandaian ilmu pedang orang yang
telah belajar selama tiga puluh tahun"
"Aku kenal mereka," ucap Siang Bu-gi.
"O, kau tahu?"
"Yan Lam-thian adalah jago pedang nomor satu di seluruh
jagat raya ini, perawakannya satu tombak tujuh dim, meski
bertubuh besar dan kekar, namun kelincahan dan kehebatan
permainan ilmu pedangnya tiada tandingan di kolong langit."
Setiap insan persilatan tidak ada yang tidak kenal siapa itu
Yan Lam-thian, tiada kaum persilatan yang tidak menaruh
hormat dan segan kepadanya.
Seorang tokoh silat kalau bertahun-tahun difokuskan,
dijadikan bahan cerita, sebagai bahan bicara seperti dalam
dongeng atau legenda, maka segi kebenaran dari cerita atau
dongeng itu lama kelamaan menjadi kabur dan lepas dari
kenyataan. Demikian halnya dengan Yan Lam-thian,
kenyataan dia tidak berperawakan setinggi satu tombak tujuh
dim, tapi kebesaran jiwanya, kegagahan dan keperkasaannya,
sepanjang sejarah persilatan tiada orang yang pernah
menandinginya. "Jago pedang yang paling kosen zaman ini, berjuluk Ki-bupa,
tapi kiam-hoatnya ternyata bukan tandingan Pek Giokseng."
"Ya, memang benar, tiga belas kali dia dikalahkan oleh
Tiang-seng-kiam."
"Tapi satu hal kau harus tahu. Jago pedang terkosen dan
terbesar di zaman ini pasti bukan dia."
"Ya, aku tahu."
"Tapi di kalangan kangouw, orang cebol yang meyakinkan
ilmu pedang pasti adalah Ling-liong-siang-kiam."
"Hm, agaknya tidak sedikit seluk-beluk dunia persilatan
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kau ketahui?"
"Kedua orang cebol ini adalah Ling-liong-siang-kiam,
sedikitnya sudah seratus tujuh belas jago silat yang mati di
bawah pedang mereka."
"Ya, kira-kira begitu."
"Sabuk mereka adalah pedang mereka. Ling-liong-siangkiam
merupakan perpaduan pedang emas dan pedang perak,
panjang pedang emas tiga kaki tujuh dim, panjang pedang
perak empat kaki satu dim. Orang pendek pedang panjang,
menyerang secara terapung di udara, jarang ada lawan yang
selamat dari rangsekan bersama pedang mereka."
"Ya, memang jarang ada lawan yang selamat."
"Hanya ada satu cara untuk mengalahkan ilmu pedang
mereka." "Cara apa?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
Siang Bu-gi menjelaskan, "Diserang gencar sebelum
mereka sempat mencabut pedang."
Seluruhnya Siang bu-gi mengucap delapan patah kata.
Kata pertama diucapkan, pedangnya terlolos, saat kata kedua
terlontar dari mulutnya, pedang di tangannya sudah
mengancam tenggorokan pedang emas. Demikianlah bolakbalik
pedangnya bergerak, secara beruntun mengancam
tenggorokan kedua orang cebol itu hingga kata yang ketujuh,
ketika kata terakhir lepas dari bibir Siang Bu-gi, pedangnya
sudah kembali ke sarungnya.
Ling-liong-siang-kiam berdiri melenggong. Pedang
memang tidak sempat dicabut, umpama mereka nekat
mencabut pedang, leher mereka tentu bolong dan jiwa pun
melayang. Padahal meski cebol, kedua orang ini bukan manusia
sederhana, otaknya tidak tumpul, gerak-gerik mereka cekatan
dan tangkas, Wanyan bersaudara merupakan contoh nyata
bagi mereka, maka mereka pun pantang menjadi korban
secara konyol, tidak mau mampus secara sia-sia dan
penasaran. Keringat dingin membuat badan mereka basah.
Sesaat lamanya, pendopo besar itu menjadi hening.
Bukti di depan mata, maka Cu Ngo Thay-ya berkata,
"Bagus, ilmu pedang luar biasa."
Siang Bu-gi tidak sungkan, namun ia diam saja menerima
pujian, dia bukan orang yang pandai bertata-krama.
Siau Ma juga tidak sungkan, maka ia buka suara, "Tinjuku
juga tidak lambat, tidak kalah dibanding ilmu pedangnya."
"Lalu tinjumu lebih cepat atau pedangnya lebih lihai?"
tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Entah," Siau Ma geleng kepala.
"Kenapa kalian tidak mencobanya?"
"Ya, suatu ketika kelak kami ingin mencobanya, tapi bukan
sekarang ...."
"Kenapa kalau sekarang?"
"Sekarang aku sedang berusaha, berjuang untuk
melindungi teman-teman lewat gunung ini dengan aman dan
sampai ke tujuan dengan selamat."
"Jadi kalau teman-temanmu lewat gunung dan sampai
tujuan dengan selamat, pedang dan sepasang tinju kalian
akan menjadi milikku?"
Siau Ma menoleh dan mengawasi Siang Bu-gi.
Siang Bu-gi lantas menjawab, "Ya, demikian."
Cu Ngo Thay-ya tertawa besar, "Bagus, sahabat baik, tidak
malu kalian menjadi sahabat baik." Gelak tawanya
berkumandang secara mendadak, tapi juga berhenti dan sirap
secara mendadak. Waktu gelak tawanya bergema dalam
pendopo, kerai mutiara tampak bergoncang seperti dihembus
angin deras hingga gemerisik ramai, setelah gelak tawa
berhenti, suara gemerisik kerai mutiara itu masih terdengar.
Siau Ma menoleh pula ke arah Siang Bu-gi, kemudian
mereka manggut bersama. Mereka maklum Khi-kang raja
Long-san sudah diyakinkan secara sempurna, mencapai taraf
tertinggi dan mengejutkan. Umpama tinju Siau Ma dan pedang
Siang Bu-gi menyerang serempak juga belum tentu dapat
menandingi kepandaian orang.
Mendadak Cu Ngo Thay-ya bertanya pula, "Rombongan
kalian berjumlah 9 orang, tiga di antaranya pergi ke danau
Surya, kalian berdua di sini, lalu dimana empat teman kalian?"
"Di suatu tempat yang aman," Siang Bu-gi menjawab
tegas. "Apa betul tempat itu aman?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
Terkancing mulut Siang Bu-gi, dia tidak yakin ada suatu
tempat di gunung ini yang aman.
"Di seluruh wilayah Long-san, hanya ada satu tempat yang
aman." "Hotel Damai maksudmu?" tanya Siau Ma.
Cu Ngo Thay-ya tertawa dingin.
"Kecuali hotel Damai, memangnya ada tempat lain yang
aman di sini?" tanya Siau Ma.
"Ya, ada, di sini," tegas suara Cu Ngo Thay-ya. "Di seluruh
kolong langit, tiada orang berani membuat onar atau perkara
apapun di pendopo ini. Biar Ting Si atau Teng Ting-hou juga
tidak berani kurangajar di tempat ini."
"Kecuali itu?" Siau Ma menegas.
"Kecuali kedua tempat ini, dimana pun mereka berada,
setiap saat jiwanya dapat terancam bahaya."
Rasa kuatir terbayang pada mimik muka Siau Ma. Ia
maklum Cu Ngo Thay-ya tidak main gertak, pengalaman juga
sudah membuktikan warga gunung serigala yang serba liar ini
memang ganas dan buas, maka Siau Ma berkata pada Siang
Bu-gi, "Apa betul mereka aman?"
"Ya, pasti."
Bukan Siang Bu-gi yang menjawab pertanyaan Siau Ma,
tapi raja yang berkuasa di Long-san, Cu Ngo Thay-ya.
Membeku perasaan Siau Ma.
Ujung jari Siang Bu-gi juga kelihatan gemetar, telapak
tangan dan kaki berkeringat dingin. Biasanya tangannya itu
memegang gagang pedang, mantap lagi tenang, meski sering
kali berkeringat, namun tidak pernah goyah atau gemetar.
Gelagatnya ia tidak kuasa mengendalikan gejolak perasaan
setelah mendengar pernyataan Cu Ngo Thay-ya, Siang Bu-gi
juga maklum apa arti ucapan Cu Ngo Thay-ya.
Sudah tentu Siau Ma juga maklum. Kalau hanya di hotel
Damai dan di pendopo ini saja tempat yang paling aman di
seluruh wilayah Long-san, apalagi sebagai orang yang
berkuasa di sini, Cu Ngo Thay-ya sudah memberi pernyataan
secara terbuka, maka itu berarti bahwa keselamatan Thiogongcu,
Hiang-hiang, Lan Lan dan adiknya tidak perlu
dikuatirkan lagi. Padahal mereka jelas sudah meninggalkan
hotel Damai, maka tempat satu-satunya yang aman dan dapat
menyelamatkan jiwa mereka tentu di pendopo ini. Jadi Lan
Lan berempat kini juga sudah berada di tempat ini.
Agak lama kemudian Siau Ma menghembus napas lega,
"Bagaimana mereka bisa berada di sini?"
"Aku yang membawa mereka kemari."
Siang Bu-gi tidak buka suara, Cu Ngo Thay-ya juga tidak
bicara, tapi daun pintu terbuka perlahan, seorang menyelinap
masuk lalu melangkah dengan enteng, orang ini bukan lain
adalah juragan Jik.
Terkepal kencang tinju Siau Ma, "Agaknya kau
memperoleh keuntungan besar dalam usahamu yang lihai ini."
Juragan Jik menyengir getir, "Sebagai pedagang, aku
selalu mencari dan mendapat obyek, tapi obyekku kali ini
mengundang rugi yang tidak sedikit. Memang aku tidak perlu
keluar modal, tapi tenaga yang harus kucurahkan tidak
setimpal dengan hasil yang kudapatkan."
"Masa dagang yang merugikan juga mau kau lakukan?"
jengek Siau Ma.
"Selama aku berdagang tidak pernah rugi, hanya sekali ini,
yakin lain kali tidak akan terjadi lagi," demikian oceh juragan
Jik sambil menghela napas. "Mereka adalah tamu-tamuku
yang baik, betapapun tidak tega aku melihat mereka menjadi
korban secara konyol dalam gua itu."
"Gua apa?" tanya Siau Ma.
"Yang mana lagi" Gua yang terletak di belakang Hwi-huncwan
itu." "Bagaimana kau tahu kalau mereka berada di sana?"
"Siang-siansing ini menganggap gua itu aman, terlindung
dan juga tersembunyi, padahal dia orang luar, di luar tahunya
orang-orang yang masuk ke gua itu justru akan mampus
secara konyol dan tak bakal memperoleh liang kubur yang
layak," setelah menghela napas ia menambahkan, "setiap
warga Long-san tahu dan kenal tempat itu, mulut gua
memang tersumbat atau tertutup oleh air terjun, Batu
berlumut amat licin, orang tidak mudah menyerbu masuk ke
sana, tapi gua itu buntu, tak mungkin orang lari lewat pintu
belakang, kalau musuh berkepandaian tinggi dan berhasil
menyerbu ke dalam, mana mungkin mereka menyelamatkan
diri?" Membesi hijau selebar wajah Siang Bu-gi.
Siau Ma bertanya, "Tempat itu tersembunyi, kau dapat
menemukannya, hebat juga kau ini." Siau Ma memuji Siang
Bu-gi. Juragan Jik manggut-manggut, "Warga gunung ini sukar
menemukan tempat itu kalau tidak ditunjukkan orang yang
tahu tempatnya. Apalagi orang luar, tapi temanmu ini dapat
menemukan gua itu, dia memang patut dipuji."
"Lalu siapakah yang menunjukkan tempat itu?" tanya Siau
Ma. Siang Bu-gi anggap tidak mendengar pertanyaan Siau Ma.
"Mungkin anjing pemburu," ucap juragan Jik kalem.
"Anjing pemburu?"
"Pemburu biasanya melepas seekor anjing untuk
memancing harimau ke tempat dimana perangkap sudah
diatur, maka dengan mudah harimau itu tertangkap, di sini
anjing itu dinamakan anjing pemburu."
"Tahukah kau siapa anjing pemburu itu?"
"Sudah tentu aku tahu."
"Siapa?" sengit suara Siau Ma.
"Aku," sahut juragan Jik tertawa.
Di luar dugaan, tinju Siau Ma yang sudah terkepal kencang
pelan-pelan diturunkan. Tinju Siau Ma hanya untuk memukul
orang, bukan untuk menghajar anjing. Juragan Jik memang
pantas menjadi anjing, kalau dinilai, dia malah lebih rendah
dibanding anjing.
Dasar anjing, juragan Jik masih juga berani mengoceh,
"Aku pernah berjanji kepada nenek peyot itu untuk membalas
budinya sekali saja, tapi aku juga pernah berjanji kepada Cu
Ngo Thay-ya, selama aku hidup dan mencari nafkah di gunung
serigala, mutlak aku tunduk dan patuh pada perintahnya,
sekarang kedua-duanya sudah kulaksanakan dengan baik."
"O?" Siau Ma bersuara pendek dalam mulut.
"Kalian sendiri minta kepadaku supaya kubawa kalian
menemui Cu Ngo Thay-ya, sekarang aku sudah memenuhi
harapan kalian, secara kebetulan Cu Ngo Thay-ya juga minta
padaku supaya membawa kalian menemui beliau. Jadi secara
tuntas sudah kubalas kebaikan nenek peyot itu kepadaku,
dengan tanpa melanggar pantangan Cu Ngo Thay-ya," setelah
menghela napas lega, juragan Jik menyambung dengan
tertawa, "maklum, aku ini pedagang yang selalu mencari
untung dan tidak mau rugi, untuk mencapai sukses supaya
dagangan laris, kepada kedua pihak aku harus mencari muka,
menanam kepercayaan, terhadap siapa pun aku tidak boleh
berbuat salah."
"Kalau begitu kenapa kau membunuh Liu Kim-lian?" tanya
Siau Ma. "Bukan aku ingin membunuh dia," sahut juragan Jik.
"Lalu siapa yang menyuruh kau membunuhnya?"
"Hanya Cu Ngo Thay-ya yang bisa memerintah aku
membunuh orang di sini."
"Liu Kim-lian berbuat dosa terhadapnya?"
"Tadi sudah kujelaskan, aku orang dagang yang selalu
mencari untung, urusan tetek-bengek aku tidak mau tahu."
"Membunuh orang juga termasuk dagang?"
"Ya, tapi bukan dagang biasa, membunuh orang adalah
dagang luar biasa, bayarannya cukup tinggi."
Mendadak Siang Bu-gi menyeletuk, "Dagang yang kau
maksud juga sering kulakukan."
Juragan Jik tertawa, "Ya, aku tahu, sebagai pembunuh
bayaran kau sering membunuh orang."
"Ya, aku sering membunuh orang, tapi belum pernah
membunuh anjing," ujar Siang Bu-gi ketus.
Mengejang raut muka juragan Jik, ia merasa adanya
sindiran serius dari ucapan Siang Bu-gi, maka suaranya
berubah sengau, "Di daerah pegunungan ini belum pernah
ada anjing, yang ada hanya serigala."
"Serigala memang banyak, tapi anjing hanya seekor,"
suara Siang Bu-gi mendesis datar.
Bab 16 Juragan Jik mundur beberapa langkah, katanya dengan
menyengir lucu, "Tadi kau bilang tidak pernah membunuh
anjing, kuyakin kau tidak akan melanggar pantangan sendiri."
"Sebagai pembunuh, aku harus bekerja menurut gelagat,
bila perlu dan terpaksa harus melanggar pantangan juga tidak
menjadi soal."
Pucat muka juragan Jik, setelah menyurut mundur agak
jauh, mendadak ia putar badan lalu menerjang keluar. Tapi
sebelum tangannya menarik daun pintu, pedang di tangan
Siang Bu-gi sudah disambitkan, pedang lemas sepanjang
empai kaki itu meluncur laksana lembing, juragan Jik baru
menegakkan badan sambil menarik daun pintu, tahu-tahu
pedang lemas itu menusuk punggung tembus ke dada dan
"Trap", suara ini tidak begitu keras, tapi nyata, tanpa menjerit
tubuh juragan Jik terpantek di pintu.
Mungkin juragan ini mati penasaran, penasaran karena
tidak pernah menyangka di tempat kekuasaan Cu Ngo Thay-ya
ada orang luar berani membunuh orang, celakanya yang
menjadi korban adalah dirinya.
Tanpa jeritan tiada keluhan, ujung pedang tajam lagi tipis
itu menembus jantung, mengantar sukmanya ke alam baka.
Beberapa saat lamanya suasana amat hening dalam
pendopo besar itu, agak lama kemudian baru berkumandang
suara Cu Ngo Thay-ya, "Besar sekali nyalimu."
Sebelum Siang Bu-gi menjawab, Siau Ma bersuara lebih
dulu, "Temanku ini memang bernyali besar."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berani kau membunuh orang di tempatku ini," kereng
suara Cu Ngo Thay-ya.
"Meski besar nyalinya, sebetulnya ia tidak ingin membunuh
orang di sini, tapi dia juga tidak mau melanggar aturannya
sendiri," demikian Siau Ma menjelaskan.
"Aturannya sendiri" Aturan apa?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Dia pantang ditipu orang, orang yang menipunya tidak
ada yang diberi ampun, tidak ada orang yang menipunya
bertahan hidup setengah jam."
"Kau tahu aturanku di sini?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Coba jelaskan," tanya Siau Ma.
"Hukuman mati bagi setiap pembunuh."
"Aturanmu memang bagus."
"Sebagai orang yang berkuasa dan disegani, aku tidak
ingin ada orang melanggar aturanku."
"Sebetulnya aku tidak suka melanggar aturan."
"Bagus, sekarang kau mewakili aku membunuhnya."
"Boleh," sahut Siau Ma sambil membalik badan pelan-pelan
berhadapan dengan Siang Bu-gi, "sejak lama aku sudah ingin
mencobanya, apakah tinjuku lebih cepat atau pedangnya lebih
lihai." * * * * * Waktu Siang Bu-gi mencabut pedang, darah menetes di
ujung pedangnya.
Tinju Siau Ma sudah terkepal siap beraksi.
Wajah Siang Bu-gi membesi hijau, kaku dan dingin tidak
menunjukan perasaan.
Siau Ma berkata, "Bersihkan dulu noda darah di
pedangmu."
"Kenapa harus dibersihkan?" tanya Siang Bu-gi.
"Kalau tinjuku tidak mampu membunuhmu, aku tidak suka
mati di ujung pedang yang berlumuran darah anjing."
"Alasan bagus," ucap Siang Bu-gi sambil membalik badan,
lalu ia membersihkan noda darah di ujung pedangnya dengan
kulit harimau yang melapisi kursi empuk itu.
Mendadak Siau Ma membalik ke arah kerai mutiara,
"Batalkan saja, mendadak aku sadar, hal ini tidak boleh
kulakukan."
"Soal apa tidak boleh kau lakukan?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Aku tidak boleh membunuhnya," sahut Siau Ma lantang.
"Kenapa?" desak Cu Ngo Thay-ya.
"Mendadak aku ingat sesuatu."
"Sesuatu apa?"
"Tadi kau bilang, aturanmu yang berlaku di sini adalah
'hukuman mati bagi pembunuh orang', betul tidak?"
"Ya, betul."
"Tapi temanku ini barusan tidak membunuh orang, dia
membunuh seekor anjing."
Seseorang setelah menyatakan diri sendiri adalah seekor
anjing, kenapa orang lain harus menganggapnya sebagai
manusia" Siau Ma berkata lebih jauh, "Kukira tidak pernah ada
aturan 'hukuman mati bagi pembunuh anjing' yang berlaku di
tempatmu ini, benar tidak?"
Dimana pun tidak pernah ada aturan atau larangan
demikian. Mendadak Cu Ngo Thay-ya bergelak tawa, begitu keras
dan tinggi nada tawanya hingga kerai mutiara bergoncang
seperti ditiup angin puyuh, suaranya yang gemericik berpadu
dengan bunyi tambur yang bertalu-talu.
Maka terpentanglah pintu besar di belakang mereka.
Terbuka pelan-pelan.
Empat orang memikul dua tandu beranjak masuk, dua
orang lagi berjalan di belakang tandu. Dua orang yang
berjalan di belakang bukan lain adalah Hiang-hiang dan Thiogongcu.
Sementara yang berada dalam tandu sudah pasti
adalah Lan Lan dan adiknya yang sakit.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Memang tidak malu kalian
menjadi sahabat baik, peduli apapun yang terjadi, adalah
pantas kalau aku mempertemukan kalian terakhir kali."
"Memangnya kenapa kalau kami sudah bertemu lagi?"
demikian tanya Siau Ma dalam hati, pertanyaan tidak ia ajukan
secara terbuka. Soalnya ia merasa urusan yang dihadapinya
cukup ruwet, faktor-faktor penentu amat banyak dan berbelitbelit,
semua segi persoalan yang dihadapinya belum atau tidak
terpikir olehnya sebelum mereka naik gunung, celakanya
keadaan yang mereka hadapi selalu berubah setiap saat,
semua perubahan yang terjadi juga di luar dugaan. Sekarang
mereka sudah ada di atas gunung, dengan tekad dan
keberanian yang tidak dimiliki orang lain, seolah-olah mereka
telanjur duduk di punggung harimau, naik turun serba salah.
Tapi satu hal sudah jelas, kehadirannya bersama temanteman
yang lain atas dasar suka rela, oleh karena itu, dia
dipaksa untuk tetap bercokol di punggung harimau, bertindak
menurut perubahan yang akan terjadi, umpama akhirnya jiwa
melayang dan badan dicaplok harimau juga menjadi suratan
takdir. Meski harus mati, tapi harus mati secara berharga, dengan
gagah dan perkasa, mati pun takkan menyesal.
Demi teman dan untuk gadis yang dicintai, ia harus
berusaha bertahan hidup, meski hanya sehari juga harus
berjuang untuk keselamatannya.
Oleh karena itu, Siau Ma belum boleh mati, dia harus
bertahan dan berjuang untuk membela dan melindungi
mereka. * * * * * Hiang-hiang berjalan dengan lambat, agaknya
kesehatannya belum pulih benar, kondisinya masih lemah.
Thio-gongcu mendampinginya, selangkah pun tidak
berpisah, sorot matanya tidak pernah berpisah dengan wajah
jelita sang gadis yang dipujanya. Tapi Hiang-hiang menunduk,
melirik pun tidak, seakan-akan tiada orang di sampingnya.
Tapi Thio-gongcu tidak peduli, hidupnya hanya untuk Hianghiang,
demi keselamatannya.
Banyak ragam perasaan, banyak macam cinta di dunia ini,
semua sukar dijelaskan secara terperinci, demikian cinta yang
merasuk hati Thio-gongcu, cintanya terhadap Hiang-hiang
merupakan salah satu ragam dari sekian banyak jenis cinta
yang suci dan murni.
Sejak lama Thio-gongcu menjadi gelandangan di Kangouw,
hidup sebatangkara, merana dan terlunta-lunta, kini usia
menanjak tua. Thio-gongcu maklum dengan usianya yang
sudah setengah baya, dirinya tidak cocok, tidak patut
mempersunting gadis belia semuda Hiang-hiang. Akan tetapi,
meskipun jelek dia adalah manusia, laki-laki lumrah, setelah
meresapi arti kehidupan selama setengah abad dalam
lingkaran hampa, dia mendambakan hiburan ketenteraman
hidup, kehangatan keluarga dengan semangat baru yang tidak
bergantung oleh keadaan.
Memang cinta kasih Thio-gongcu terhadap Hiang-hiang
tidak seratus persen merupakan cinta seorang laki-laki
terhadap perempuan umumnya, juga bukan cinta monopoli,
bukan hak milik pribadi, tapi lebih tepat kalau cinta Thiogongcu
terhadap Hiang-hiang merupakan pujaan, sebagai
pengorbanan. Siau Ma paham dan menyelami perasaan hati temannya, di
samping kagum, ia pun menghormati harga dirinya. Karena
Siau Ma tahu hal itu merupakan kenyataan, yang ditelurkan
secara nyata dan gamblang, secara murni, maka ia patut
dihargai, pantas dihormati.
* * * * * Empat orang pemikul tandu adalah laki-laki yang bertubuh
kekar berotot, berbaju hitam bercelana putih, tampak kereng,
gagah dan kuat, mereka bukan naik tandu semula yang
dibawa Lan Lan dari bawah gunung.
Ketika tandu diturunkan, Hiang-hiang mempercepat
langkah memburu ke depan tandu lalu menyingkap kerai. Lan
Lan segera beranjak turun sambil berpegang pada tangan
Hiang-hiang. Setelah mengalami perjalanan jauh beberapa hari yang
melelahkan, mengalami banyak rintangan yang mengancam
jiwa, nona jelita ini tidak kelihatan lesu atau lelah, wajahnya
malah kelihatan cerah, cantik rupawan dan segar. Waktu
tandu diusung ke tempat ini, ia sudah berdandan dan bersolek
dalam tandu, maka keadaannya tetap kelihatan semangat dan
segar. Gadis ini cukup cerdas, dalam menghadapi mara
bahaya, senjata paling ampuh bagi seorang perempuan adalah
wajah ayu dengan tubuh yang montok menggiurkan.
Selama mengenal Lan Lan, Siau Ma mengaguminya, tiada
sesuatu pada gadis yang satu ini membuat hatinya kurang
puas, semua serba baik dan sempurna, gadis ini memang
pandai menempatkan dirinya dalam keadaan atau situasi yang
paling buruk sekalipun.
Setelah turun dari tandu, hanya sekilas Lan Lan mengerling
ke arah Siau Ma, lalu beranjak maju beberapa langkah
menghadap kerai mutiara, dengan laku hormat dan gayanya
yang lembut menarik ia membungkuk tubuh, serta bersuara
dengan nada merdu mengasyikkan, "Lan Lan menyampaikan
sembah sujud kepada Cu Ngo Thay-ya," suaranya lembut dan
halus, gayanya juga mempesona.
Biar Cu Ngo Thay-ya sudah lanjut usia, betapapun beliau
adalah laki-laki, Lan Lan percaya, asal dia laki-laki normal,
peduli usia lanjut atau masih bocah, pasti tertarik pada
dirinya. Memang daya tarik inilah senjata ampuh yang
dimilikinya untuk menghadapi Cu Ngo Thay-ya.
Cu Ngo Thay-ya tidak memberi reaksi.
"Aku hanya seorang perempuan lemah yang tak berguna,
namun aku yakin suatu ketika akan datang saatnya dapat
mendharma baktikan tenagaku untuk kepentingan kau orang
tua, kapan saja cukup kau orang tua memberi perintah
sepatah kata, pasti akan kulaksanakan," tutur katanya tidak
menyolok, namun mengandung daya tarik nan romantis,
setiap laki-laki akan maklum kemana arah maksud
perkataannya. Lan Lan yakin Cu Ngo Thay-ya tidak akan menolak
permintaannya, ia terlalu yakin, urusan apapun bila dirinya
yang mengajukan tentu ada harapan dan bisa terkabul.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Lan Lan, bahwa gaman
terpercaya yang dimilikinya selama ini tidak manjur, karena
tidak memperoleh reaksi yang diharapkan, Lan Lan bergerak
maju ke depan. Maka didengarnya Cu Ngo Thay-ya bersuara dengan nada
dingin dan kaku, "Berhenti!"
Terpaksa Lan Lan berhenti, namun ia belum putus asa,
katanya pula lebih halus, "Aku ingin melihat dan berhadapan
langsung dengan kau orang tua, apakah sekedar permintaan
ini pun tidak kau kabulkan?"
Kereng suara Cu Ngo Thay-ya, "Kau lihat undakan batu di
depanmu itu?"
Undakan batu yang dimaksud tak jauh berada di depan
Lan Lan, sudah tentu dilihatnya dengan jelas. Dua tombak
jaraknya dari pintu besar, ada beberapa tingkat undakan batu
yang mengkilap bersih seperti kaca.
Suara Cu Ngo Thay-ya berkumandang keras, "Siapa berani
menginjak undakan batu kaca itu, meski hanya selangkah,
tanpa pandang bulu, akan kupenggal kepalanya tanpa
perkara." Baris depan dari undakan batu itu jaraknya ada dua
puluhan tombak dari kerai mutiara. Kenapa Cu Ngo Thay-ya
mempertahankan jarak sejauh itu untuk berbicara dengan
orang" Lan Lan tidak bertanya, tidak berani bertanya. Gaman
yang diandalkan sudah tidak berfungsi lagi, babak pertama
adu keahlian sudah kalah total.
Setelah hening sesaat, suara Cu Ngo Thay-ya
berkumandang lagi, "Apa benar saudaramu sakit?"
Sebelum bicara, Lan Lan menghela napas, suaranya pun
rawan, "Ya, sakit parah sekali, mohon sudilah kau orang tua
...." Di saat Lan Lan bicara, diam-diam Thio-gongcu beranjak
ke depan hampir mencapai undakan batu, tiada orang
memperhatikan gerak-geriknya.
Lan Lan tidak sempat bicara habis, karena mendadak Cu
Ngo Thay-ya menghardik dengan lantang, "Berhenti!" begitu
keras suaranya sampai menggoncang kerai mutiara, tidak
terkecuali Siau Ma, Siang Bu-gi dan Lan Lan merasa pekak
oleh hardikan keras itu.
Tapi Thio-gongcu seorang tuli, bukan saja tidak
terpengaruh oleh bentakan keras itu, malah menerjang ke
depan seraya membentak juga, "Jangan kau menipu aku, kau
...." Biasanya Thio-gongcu bergerak lamban, malas-malasan,
padahal Ginkangnya amat tinggi, belum habis ia bicara,
tubuhnya meluncur belasan tombak ke depan.
Pada saat yang sama, dari belakang kerai mutiara yang
bergoncang itu menyelinap keluar bayangan seorang, gerakgerik
bayangan ini mirip hantu, begitu berhadapan langsung
menyergap dengan serangan keji lagi dahsyat. Siau Ma dan
Siang Bu-gi belum sempat memperhatikan bentuk maupun
wajahnya, tubuh penyergap yang terapung di udara
menggerakkan kaki menendang dada Thio-gongcu.
Padahal kungfu Thio-gongcu tidak lemah, selama ini ia
cukup disegani di Kangouw, ternyata menghadapi sergapan
yang tidak terduga ini, ia tidak mampu menyelamatkan diri,
kenyataan tendangan penyergap memang hebat luar biasa.
Tubuh Thio-gongcu mencelat jungkir balik, waktu tubuhnya
terbanting di undakan batu, terus berguling-guling ke bawah
lalu berhenti di depan Siau Ma dan Siang Bu-gi.
Hiang-hiang menjerit kuatir, langsung ia menubruk maju
serta memeluknya, suaranya memekik setengah kalap,
"Kenapa kau berbuat begini?"
Thio-gongcu mengertak gigi menahan sakit, tulang
dadanya tertendang remuk, isi perutnya hancur luluh, dipeluk
Hiang-hiang rasa sakit yang terbayang di wajahnya seketika
sirna, berubah menjadi perasaan lega dan damai, ingin
berbicara, tapi begitu mulutnya terbuka, darah segar
menyembur mengotori muka dan pakaian di dada Hianghiang.
Hiang-hiang menyeka noda darah di mukanya dengan
lengan baju, sambil menyeka, tak tertahan air mata
bercucuran, air matanya membasahi muka Thio-gongcu yang
baru saja ia bersihkan.
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Napas Thio-gongcu tersengal-sengal, dengan hambar ia
mengawasinya, batuk membuat dadanya sakit sekali, namun
ia memaksakan diri tersenyum, beberapa kali ia meronta
untuk berbicara, namun gagal, pelukan Hiang-hiang yang
kencang menenteramkan gejolak hatinya, setelah napasnya
agak teratur baru ia dapat bersuara gagap, "Sungguh tak
nyana ... menjelang ada orang yang mau mencucurkan air
mata untukku ...."
Siau Ma juga berjongkok di sampingnya, dengan lirih ia
bertanya, "Kenapa kau berbuat senekad ini?"
Napas Thio-gongcu mendadak berpacu seperti kereta uap
yang kehabisan air, pertanyaan Siau Ma membuatnya emosi,
perasaannya bergolak, namun ia hanya sempat mengucap
sepatah kata, "Karena ...." Lalu napas putus, jiwa pun
melayang. Hiang-hiang menjerit sesambatan, isak tangisnya amat
memilukan. Hiang-hiang maklum, betapa besar cinta Thiogongcu
terhadap dirinya, namun sebagai gadis remaja yang
masih punya masa depan, Hiang-hiang tak berani memberi
harapan secara nyata, maklum Thio-gongcu tidak lebih hanya
seorang tua yang hidup sebatang kara, betapapun umur
mereka berbeda cukup banyak, Hiang-hiang patut menjadi
anaknya, Thio-gongcu hanya seorang tua tukang sepatu yang
hidup serba kekurangan.
Kini baru Hiang-hiang sadar, untuk menerima cinta
seseorang tidak tergantung pada kedudukan atau usia, tapi
harus dinilai apakah cintanya suci dan murni. Sayang sekali
Hiang-hiang sadar setelah terlambat, sadar setelah Thiogongcu
menemui ajal dalam pelukannya.
Siau Ma tidak menangis, Siang Bu-gi hanya menggreget
saja. Dengan seksama mereka mengawasi seorang yang
berdiri di luar kerai mutiara, orang yang barusan menyergap
Thio-gongcu dengan tendangan mautnya.
Ternyata orang ini berperawakan cebol, meski bertubuh
pendek dan kecil, tapi perawakannya cukup kekar, tegap lagi
berotot, walau panjang kakinya tidak ada dua kaki, tapi besar
dan kasar seperti dahan pohon.
Mendadak Siang Bu-gi mengejek dingin, "Hwi-hun-ga
(tendangan mega terbang) yang lihai."
Orang cebol itu menyeringai, mulutnya terbuka lebar tapi
suara tidak keluar dari mulutnya.
Suara Cu Ngo Thay-ya berkumandang dari belakang kerai,
"Orang ini tidak bisa bicara, dia seorang gagu."
Siang Bu-gi berkata, "Di kalangan Kangouw konon ada dua
orang gagu yang lihai kepandaiannya, julukannya adalah Saypak-
siang-gah."
"Betul," seru Cu Ngo Thay-ya.
"Orang ini adalah Bu-ci-thong-cu murid Thian-jan-te-coat
dari Sing-siok-hay barat?"
"Luas juga pengalamanmu, patut dipuji."
"Thio-gongcu mampus di bawah kaki seorang ternama,
kuharap dia tidak mati penasaran."
"Kan sudah kuperingatkan, siapa berani menginjak
undakan batu kaca itu, hukumannya adalah mati."
"Kuingat tadi kau juga bilang sepatah kata."
"Aku bilang apa?"
"Hukuman mati bagi pembunuh yang membunuh orang di
sini." "Hehe, agaknya kau ingin menuntut balas karena kematian
temanmu?" "Kan lumrah aku menuntut balas."
"Banyak kesempatan untuk menuntut balas, namun kalau
kau berani menginjak undak-undakan batu di depanmu itu,
aku dapat membuatmu mampus seketika dengan sekujur
badan ditembus panah."
Peringatan Cu Ngo Thay-ya disertai munculnya dua baris
jendela kecil yang memanjang di atas dinding kanan kiri kerai
mutiara, ujung anak panah yang mengkilap tak terhitung
jumlahnya terbidik ke arah Siang Bu-gi.
Kaku mengejang sekujur badan Siang Bu-gi. Pendopo
besar yang kelihatan kosong melompong, ternyata
menyembunyikan berbagai macam perangkap dengan alatalat
pembunuh yang kejam.
Lan Lan menghela napas, katanya lembut, "Thio-siansing
terbunuh oleh seorang ternama, mati dengan tenteram dalam
pelukan gadis yang dipujanya, kukira dia sudah memperoleh
apa yang didambakan selama ini, mati pun takkan penasaran."
Mendadak Siau Ma bergelak tertawa, "Tepat sekali, aku
pun berpendapat demikian." Nada tawa Siau Ma dapat
membuat orang yang mendengar mengkritik merinding, nada
tawanya lebih jelek dari isak tangis orang yang ditimpa
musibah. Lan Lan berkata pula, "Orang mati takkan hidup kembali,
bukankah setiap manusia di dunia ini akhirnya akan
meninggal?"
Mendadak Siau Ma menghentikan gelak tawanya, raungan
gusar terlontar dari mulutnya, "Kalau demikian, kenapa tidak
adikmu saja yang mampus?"
"Karena dia adalah adikku," sahut Lan Lan, suaranya
tenang, sedikitpun tidak gugup, "Justru aku mempercayaimu,
maka aku serahkan nasib kami kepadamu, aku yakin kau
dapat melindungi kami lewat gunung dan selamat sampai
tujuan." Akhirnya Siau Ma bungkam.
"Adikku adalah anak yang harus dikasihi, sejak kecil
dihinggapi penyakit yang tak bisa diobati, sampai usianya
sekarang, belum pernah merasakan hidup senang, tenteram
dan bahagia, kalau dia harus mati, apalagi mati dirantau
dengan cara yang tidak layak, sebagai tacinya yang mengasuh
sejak kecil, bagaimana hatiku bisa tenteram, bagaimana aku
tega membiarkan dia menderita lagi?" Sampai di sini suaranya
mulai terisak, bola matanya yang selalu mengerling tajam
mulai berkaca-kaca. Dengan laku hormat Lan Lan menjura ke
arah kerai mutiara, suaranya agak sendu, "Kalau kau orang
tua juga ingin menuntut jiwa adikku, semudah kau menginjak
mati seekor semut, maka aku mohon sudilah kiranya
membebaskan kami turun gunung, supaya jiwa adikku lekas
tertolong."
Dingin suara Cu Ngo Thay-ya, "Sebetulnya aku boleh
melepas dia pergi, namun satu hal kau lupakan, adikmu bukan
semut, semut tidak akan duduk dalam tandu!"
"Adikku memang harus sembunyi dalam tandu,
penyakitnya tidak boleh kena angin, tidak boleh kena sinar
matahari, terpaksa ia tidak bisa keluar menyampaikan sembah
sujud kepadamu, jadi bukan karena alasan lain ia berani
kurangajar terhadap kau orang tua."
"Hanya karena alasan itu dia tidak mau keluar?"
"Tapi dia memang tidak boleh kena angin, batuknya akan
lebih parah."
"Apa dalam pendopo ini ada angin?"
"Rasanya tidak ada."
"Kenapa adikmu tidak keluar?"
"Karena ... di luar hawa lebih dingin."
Cu Ngo Thay-ya bergelak tawa, "Benar, alasan bagus."
Mendadak gelak tawanya putus, suaranya berubah bengis,
"Siaaap! Seret bocah itu keluar dari tandu, buktikan apakah
dia mampus kalau kena angin."
Belum lenyap suara Cu Ngo Thay-ya, ada empat daun
pintu menjeplak terbuka di dinding kanan kiri pendopo, dari
empat pintu yang terbuka itu melompat keluar empat orang.
Empat orang ini adalah Ling-liong-siang-kiam, Pok can dan
orang tua penyapu kembang.
Bu-ci-thong-cu yang berdiri di depan kerai mutiara
mendahului melompat ke udara, tubuhnya menerjang lebih
dulu. Siang Bu-gi sudah siap siaga dan menunggu serbuan
musuh, begitu Bu-ci-thong-cu melayang lewat undakan batu
kaca, langsung ia memapak ke depan dengan sabetan pedang
lemasnya, dimana sinar perak berkelebat, leher orang
diincarnya. Gerak pedang di tangannya aneh lagi
menakjubkan, permainannya menyimpang dari ilmu pedang
umumnya, tidak saja cepat tapi ganas.
Ternyata murid Siang-siok-hay juga memiliki kungfu luar
biasa, kungfu Siang-siok-pay berbeda dengan ilmu silat yang
berkembang di Tionggoan, di tengah udara Bu-ci-thong-cu
mampu menggeliatkan pinggang sehingga tubuhnya
mengendap turun lalu menyelinap pergi.
Keruan tusukan pedang Siang Bu-gi luput, sementara
tendangan mega terbang Bu-thong-cu mengancam dadanya.
Dalam sekejap dua orang saling serang belasan jurus, jurus
demi jurus lebih lihai dan mematikan. Dalam hati kedua lawan
ini sama maklum, setelah mereka terlibat dalam pertarungan
sengit, sebelum salah satu gugur, pertempuran ini tidak akan
berakhir begitu saja.
Siau Ma menyongsong orang tua penyapu kembang.
Begitu berhadapan, orang tua itu berkata, "Kau memang
laki-laki jantan, aku tidak ingin membunuhmu."
"Terima kasih."
"Sebetulnya aku tidak tega membunuhmu."
"Ah, kenapa sungkan."
"Lho, kenapa kau bilang begitu?"
"Setiap pagi kerjamu menyapu kembang, lalu apa kerjamu
di waktu malam?"
"Coba kau terka, apa kerjaku kalau malam?"
"Kerjamu membunuh orang," tawar suara Siau Ma,
"mungkin kau tidak turun tangan, tapi kau senang melihat
orang lain saling bunuh."
Waktu serigala malam meluruk datang, rombongan mereka
terkepung rapat, seorang timpang berdiri di atas batu cadas,
berpeluk tangan menyaksikan pertarungan adu jiwa itu.
Siau Ma berkata, "Pagi hari kau menyapu kembang, kalau
malam membantai orang, hidup cara begitu apa tak terlalu
repot" Apa kau tidak pernah merasa lelah?"
"Tidak, sudah terbiasa. Sebaliknya apa kerjamu selama
ini?" tanya orang tua penyapu kembang.
"Aku suka menghajar hidung orang, sekali pukul tidak
kena, kupukul lagi sampai lawan roboh terkapar, umpama
harus memukul tiga ribu enam ratus kali juga akan kulakukan,
aku tidak pernah lelah kalau menghajar hidung orang."
Belum habis mulutnya bicara, kedua tinjunya sudah
memukul delapan kali. Setelah delapan kali tinjunya memukul,
baru Siau Ma menyadari kepandaian kakek tua ini memang
amat hebat, gerakannya selincah tupai, selicin belut, untuk
memukul ringsek hidungnya jelas bukan pekerjaan yang
mudah. Tapi Siau Ma tidak mudah putus asa, tidak pernah merasa
lelah, sebelum tugas dan maksudnya tercapai, dia jarang
berhenti di tengah jalan. Memukul hidung orang adalah salah
satu hobinya selama ini, namun dalam situasi dan kondisi
seperti ini, ia tahu dirinya tidak boleh terlalu mengumbar
nafsu, lawan tangguh, padahal dia harus memperhatikan juga
keselamatan Lan Lan dan adiknya, melindungi mereka menjadi
kewajibannya. Meski Siau Ma lebih banyak menyerang si kakek, tapi
untuk melepaskan diri bukan soal gampang, padahal ujung
matanya menangkap gerakan Ling-liong-siang-kiam yang
mendekati tandu. Serigala tua Pok Can menonton saja sambil
berpeluk tangan, meski gelisah, Siau Ma tidak dapat berbuat
apa-apa, apalagi dua baris panah siap membidik mereka.
Meski posisi agak terjepit, Siau Ma yang tidak takut mati,
tidak gentar atau gugup, Siau Ma tahu musuh yang benarbenar
harus ditakuti bukan kakek tua yang dihadapinya ini,
juga Pok Can atau Ling-liong-siang-kiam, barisan panah itu
pun tidak akan membuatnya jeri. Musuh yang menakutkan
hanya seorang, yaitu Cu Ngo Thay-ya yang belum pernah
menampakkan hidungnya. Orang di belakang layar ini amat
berkuasa, setiap patah katanya adalah perintah, perkataannya
adalah kekuasaan, selama hidup dan mengembara di
Kangouw, Siau Ma mengakui hanya Cu Ngo Thay-ya saja
seorang yang memiliki Lwekang sehebat itu, getaran suaranya
saja mampu membuat kerai mutiara bergoncang seperti
tertimpa gempa.
Khikang orang ini amat menakutkan, hal ini terbukti dari
gemericiknya kerai mutiara dengan gema suaranya yang
memekak telinga, juga ketenangan dan keculasan orang ini
perlu dipikirkan.
"Kalian adalah sahabat baik, apapun yang akan terjadi,
ingin kupertemukan kalian untuk yang terakhir kali."
Sekarang Siau Ma paham apa makna perkataannya itu.
Memangnya kenapa setelah mereka bertemu terakhir kali"
MATI! Mati banyak caranya, tapi yang dipilih adalah cara yang
paling menakutkan, paling kejam dan mengerikan.
Sejak biji catur mulai melangkah, hakikatnya orang ini
tidak pernah mau menerima tinju Siau Ma, juga tidak ingin
memiliki pedang Siang Bu-gi.
Sejak persoalan ini berkembang, Cu Ngo Thay-ya sudah
memperhitungkan takkan memberi peluang, tak akan
membiarkan orang-orang ini lolos, pergi dengan hidup. Kalau
orang sudah mampus mana bisa pergi.
* * * * * Adik Lan Lan yang sakit masih berada dalam tandu, Lan
Lan berjaga di pinggir tandu, selangkah pun tidak pernah
meninggalkannya. Dengan nanar ia mengawasi Ling-liongsiang-
kiam menghampiri tandu di sampingnya.
Siau Ma sedang bergelut dengan kepalannya, Siang Bu-gi
juga sedang mengadu jiwa dengan pedangnya, dua orang ini
sedang berduel mempertahankan hidup mereka, membela
kakak dan adik. Tapi Lan Lan seperti tidak peduli, apakah
nasib mereka jelek atau baik, seolah-olah tidak melihat
keadaan mereka.
Dalam situasi setegang ini, Lan Lan masih tersenyum
menggiurkan, suaranya juga merdu merayu, "Adik-adik cilik,
berapa usia kalian tahun ini?" Lan Lan tahu Ling-liong-siangkiam
tidak akan menjawab pertanyaannya, orang cebol
umumnya tidak senang ada orang bertanya berapa usia
mereka, sudah tentu mereka juga tidak akan menjelaskan.
Titik berat pertanyaan Lan Lan memang bukan pada
tempatnya. Maka sebelum memperoleh jawaban, ia bertanya
pula, "Pernahkah kalian melihat perempuan cantik" Apalagi
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis montok yang bugil?"
Dalam usia setua mereka, mesti cebol, ia yakin Ling-liongsiang-
kiam pernah main perempuan, adalah logis kalau
mereka pernah melihat perempuan bugil, namun hanya
perempuan berparas lumayan saja yang mau melayani
mereka, kapan mereka pernah berhadapan dengan gadis
secantik Lan Lan, sebagai laki-laki normal, siapa pun dia kalau
tiba-tiba berhadapan dengan perempuan cantik telanjang di
hadapannya, pasti laki-laki itu akan berdiri melongo, napas
memburu dan lutut goyah.
"Hiang-hiang," seru Lan Lan dengan kalem.
Hiang-hiang masih terisak memeluk jenazah Thio-gongcu,
namun ia mengiakan.
Bab 17 Lan Lan bertanya, "Coba katakan, apa kau ini gadis jelek?"
Hiang-hiang geleng kepala.
"Kalau kau anggap dirimu cantik dan elok, kenapa tidak
kau perlihatkan kecantikanmu di hadapan mereka?"
Air mata masih membasahi pipi, pelan Hiang-hiang
membaringkan jenazah Thio-gongcu di lantai, lalu berdiri dan
maju beberapa langkah ke depan, dengan gaya yang
mempesona, pelan-pelan ia mencopot pakaian satu per satu
hingga tubuhnya telanjang tanpa selembar benang melekat di
tubuhnya. Dalam keadaan telanjang, sebagai gadis terhormat, bugil
di depan umum, sudah tentu gerak-geriknya tidak enak
dipandang mata. Tapi postur tubuhnya memang indah,
montok semampai dan menggiurkan, payudaranya tumbuh
tegak, montok lagi padat dan kenyal, pinggang yang ramping,
pinggul nan bulat besar, pahanya yang jenjang mulus, tidak
setiap laki-laki bisa menyaksikan tubuh semulus dan seelok ini.
Lan Lan juga perempuan cantik, namun ia pun kesemsem
melihat kemontokan Hiang-hiang, katanya kemudian,
"Bagaimana, cantik tidak dia?"
"Cantik sekali," Ling-liong-siang-kiam menjawab bersama.
"Coba kalian perhatikan lebih seksama."
"Kami puas melihat tubuhnya, tapi kami juga ingin melihat
tubuhmu," ucap Ling-liong-siang-kiam bersaudara dengan
tersenyum nakal.
Lan Lan pun tertawa manis, "Usiaku sudah tua, seperti
nenek-nenek, tubuhku tidak bagus untuk dipamerkan, tapi
kalau kalian ingin menyaksikan, ya, aku ...." Kepalanya
menunduk, jari-jarinya mulai membuka kancing. Dalam
kancing bajunya ini tersimpan senjata rahasia yang lihai lagi
ganas. Namun sebelum senjata rahasia dalam kancing menyerang
musuh, pedang Ling-liong-siang-kiam bergerak lebih dulu.
Bahwasanya kedua bersaudara cebol ini tidak lagi
memperhatikan tangan Lan Lan yang membuka kancing,
karena sedikit curiga, jago silat yang banyak pengalaman ini
segera bersiaga.
Lan Lan menghela napas, "Agaknya aku keliru menilai
kalian, dari yang cebol sampai yang gede, dari tua sampai
muda, laki-laki yang ada di pendopo ini semua bukan
pejantan, agaknya kalian sudah dikebiri oleh tua bangka
laknat itu." Karena sudah telanjur, terpaksa Lan Lan tetap
menyerang dengan senjata rahasia yang tersembunyi dalam
kancing bajunya. Namun dengan mudah senjata rahasianya
disampuk jatuh oleh pedang Ling-liong-siang-kiam.
Ling-liong-siang-kiam adalah saudara kembar, lahir dan
batin bersatu padu, katakanlah dwi-tunggal, maka permainan
Kim-gin-siang-kiam (sepasang pedang emas dan perak)
saudara kembar ini amat rapat, ketat dan lihai.
Dalam menghadapi keadaan yang kritis ini, Lan Lan
dipaksa menampakkan diri sebagai jago kungfu yang tidak
lemah kepandaiannya, gadis ini memang pandai silat, namun
menghadapi rangsekan sepasang pedang emas dan perak
saudara kembar cebol ini, ia terdesak di bawah angin.
Hanya beberapa gebrak saja, sanggul kepalanya
tersampuk lepas, pedang emas menyilaukan seperti membelit
tubuhnya, sementara cahaya pedang perak beberapa kali
hampir menusuk bolong lehernya. Namun Lan Lan terus
bertahan dan melawan sekuat tenaga meski napasnya sudah
mulai ngos-ngosan. Karena kewalahan dan terdesak, terpaksa
ia berteriak minta tolong, "Siau Ma, lekas bantu aku."
Siau Ma ingin menolongnya, dalam beberapa gebrak
tinjunya sudah berulang kali mematahkan serangan kakek
penyapu kembang yang timpang, tapi pipa cangklong Pok Can
selalu mengacau dari pinggir, beberapa kali gaman orang
mengetuk mukanya. Pipa cangklong ini berat lagi besar,
tembakaunya juga menyala dan panas, sebelum berhasil
merobohkan lawan, terpaksa Siau Ma harus menyelamatkan
diri. Padahal Lan Lan sudah terdesak di bawah angin, jiwanya
terancam, namun karena dirinya juga terlibat dalam keroyokan
dua lawan tangguh, jangan kata menolong Lan Lan, untuk
mempertahankan diri sendiri saja sukar, mana mungkin
membantu si nona.
Lan Lan berteriak pula dengan suara gemetar, "Apa kalian
tega membunuh aku?"
Agaknya Ling-liong-siang-kiam sudah tergembleng sebagai
algojo yang tidak kenal kasihan terhadap korban yang harus
dibunuhnya, meski sang korban adalah seorang gadis jelita
yang molek. Cahaya pedang emas berputar kencang serapat
jala, jalan mundur Lan Lan tercegat dan buntu, sementara
cahaya pedang perak menusuk turun naik dengan gerakan
lurus seperti ular mematuk, gelagatnya dada Lan Lan yang
montok kenyal itu bakal tertusuk bolong oleh pedangnya.
Untunglah pada saat kritis itu, mendadak suara Cu Ngo
Thay-ya berkumandang, "Pertahankan jiwanya."
Begitu suara majikan berkumandang, pedang perak pun
berhenti, bukan mengancam dada tapi menungging ke atas
mengancam tengah alis Lan Lan.
Suara Cu Ngo Thay-ya berkumandang lagi, "Yang
kuinginkan adalah orang dalam tandu itu."
Ling-liong-siang-kiam bertanya berbareng, "Ingin mati atau
yang masih hidup?"
Hanya sepatah kata jawaban Cu Ngo Thay-ya, "Bunuh!"
* * * * * Sesuai namanya gunung serigala, maka warga atau
penduduk yang bertempat tinggal di Long-san adalah
manusia-manusia liar dan buas, jiwa sesama manusia mereka
anggap sebagai rumput liar yang tumbuh dimana-mana,
apalagi Cu Ngo Thay-ya sudah bilang "bunuh", maka jiwa
orang itu tidak ada ampun lagi.
Demikian halnya nasib yang menimpa Lan Lan dan
adiknya. Dalam keadaan awak sendiri terdesak, Siau Ma hanya
dapat menonton meski harus mempertahankan diri dari
rangsekan kakek penyapu kembang yang dibantu Pok Can.
Padahal ia sudah berjanji dan bertanggung jawab untuk
mengawal, melindungi Lan Lan dan adiknya melewati Longsan.
Untuk keselamatan gadis ayu dan adiknya ini, Siau Ma
sudah banyak mengucurkan keringat dan mengalirkan darah.
Namun betapapun perkasa dirinya, tidak lebih hanya sebagai
manusia biasa, bukan manusia super, bukan malaikat apalagi
dewa. Sebagai manusia biasa, betapapun tenaganya terbatas,
dalam tata kehidupan manusia di dunia ini, sering kali
menghadapi masalah pelik dan kejadian yang apa boleh buat.
Kalau orang menghadapi persoalan seperti ini, mengucurkan
keringat tidak berguna, mengalirkan air mata tidak berfaedah,
apalagi menumpahkan darah, jelas juga tidak bermanfaat.
* * * * * Perintah Cu Ngo Thay-ya disambut keempat pemikul tandu
yang kekar besar itu dengan mencabut senjata masingmasing.
Di tengah gerungan murka keempat orang gede ini, empat
batang golok dan dua pedang serempak menusuk dan
membacok tandu, tusukan dilakukan dari empat sudut yang
berlawanan, bacokan dilakukan dari dua arah sisi kanan dan
kiri. Ke arah mana pun si pasien dalam tandu menyingkir,
disergap serangan serempak serapat itu, jelas sukar
menyelamatkan diri, umpama pasien itu segagah naga dan
segarang harimau juga takkan mungkin menghindari enam
batang senjata tajam yang menyerang sekaligus. Apalagi
pasien dalam tandu mengidap sakit yang parah, keadaannya
payah, mengangkat tangan sendiri saja tidak mampu lagi,
mana mungkin menyelamatkan dirinya.
Lan Lan yang terdesak mundur menjadi lunglai, dengan
dua tangannya ia mendekap muka, tidak tega melihat nasib
adiknya yang sekarat dalam tandu dihujani serangan segencar
itu, umpama tidak mati seketika, keadaannya tentu amat
mengenaskan dengan tubuh yang tidak utuh lagi.
Biasanya perempuan mendekap muka karena tidak tega
menyaksikan sesuatu peristiwa yang mengerikan atau
menakutkan, lucu cara Lan Lan mendekap muka, jari-jari
tangannya ternyata tidak rapat, dari sela-sela jari yang
renggang, diam-diam matanya mengintip keluar. Hatinya
menduga setelah dihujani serangan golok dan pedang, darah
tentu muncrat dan mengalir keluar dari tandu, namun
kenyataan tidak demikian, setelah golok dan pedang membuat
tandu itu berantakan, keadaan ternyata tetap sunyi, tiada
jeritan juga tidak tampak adanya darah yang meleleh keluar.
Keruan para penyergap yang bersenjata golok dan pedang itu
tercengang, berubah air muka mereka, kaki tangan menjadi
kaku. Sekejap kemudian, terdengar suara 'pletak pletok' dari
dalam tandu, lalu enam orang yang menyergap dengan
serangan ganas itu menyurut mundur seraya menarik senjata
masing-masing. Empat golok besar lagi tebal itu terbuat dari baja murni
dan terasah tajam dan runcing, namun ujung golok mereka
kini sudah buntung menjadi tumpul, sudah patah bagian
ujungnya. Demikian pula sepasang pedang Ling-liok-siangkiam
juga buntung. Maka berkumandanglah tawa dingin Cu Ngo Thay-ya, "Hm,
tidak luput dugaanku, kau pura-pura sakit, padahal memiliki
kungfu yang hebat dan tinggi." Lalu suaranya menjadi kereng
dan keras, "Panah!"
Begitu suara menjepret terdengar, anak panah pun
berhamburan selebat hujan deras, seluruhnya memberondong
ke arah tandu. Keadaan amat gawat, namun dari dalam tandu tetap tidak
kelihatan reaksi apa-apa, secara nyata, anak panah yang
menancap di tandu mendadak mencelat jatuh berhamburan,
panah itu ternyata patah, ujung anak panah yang terbuat dari
baja ternyata sudah putus seluruhnya. Entah dimana anak
panah yang terbuat dari baja campur tembaga itu"
Sekonyong-konyong ramailah suara "Ser, ser", yang
melengking memecah udara keluar dari tandu, lalu tampak
puluhan larik sinar dingin meluncur dengan kecepatan kilat
melaju ke arah deretan jendela kecil di atas dinding di kanan
kiri kerai mutiara itu. Lalu terdengarlah jeritan mengerikan dari
balik dinding, darah muncrat dan bola mata pun terpanah
buta. Mereka yang hadir dalam pendopo menyaksikan secara
nyata seluruh kejadian dari awal hingga akhir. Terutama Siau
Ma menyaksikan dari jarak yang paling dekat, sesaat dia
berdiri melenggong, sukar ia menjelaskan bagaimana
perasaan hatinya saat itu.
Baru sekarang Siau Ma sadar, dengan mencucurkan
keringat dan mengalirkan darah, ia bersama kawan-kawannya
melindungi seorang yang dikatakan sakit keras, demi
menunaikan tugas, adu jiwa pun sudah dilakoni, ternyata si
pasien yang dilindunginya seorang kosen yang memiliki
kemampuan luar biasa, kenyataan sudah membuktikan, bocah
yang dikatakan sedang sakit ternyata memiliki ilmu silat yang
tiada taranya. * * * * * Siau Ma menjadi tidak mengerti, orang memiliki kungfu
setinggi ini, kenapa pura-pura sakit keras dan terima
mendekam dalam tandu tanpa kena angin" Dengan Lan Lan
yang ayu jelita sebagai umpan, Siau Ma dipancing menjadi
pengawal dan melindunginya naik ke Long-san dengan alasan
mencari obat di negeri barat, ada rencana apa di balik semua
kejadian ini"
Lamunan Siau Ma mendadak terjaga oleh bentakan Cu Ngo
Thay-ya yang keras menggelegar, "Berhenti!"
Pertarungan sengit yang tengah berlangsung pun berhenti.
Setelah melihat kenyataan dan sadar apa yang telah terjadi,
dirinya ditipu dan dijadikan alat belaka, sudah tentu Siau Ma
tidak mau menjual jiwa dan berkorban percuma. Beberapa
hari ini, dirinya mirip seekor keledai yang ditutup matanya dan
digiring berputar-putar menggiling beras.
Siang Bu-gi juga menghentikan aksinya, gejolak
perasaannya tidak banyak beda dengan rasa penasaran yang
menggelitik sanubari Siau Ma.
Di Long-san, apa yang diucapkan Cu Ngo Thay-ya adalah
perintah, maka anak buahnya tiada yang berani
membangkang, mereka pun berhenti bergerak dan mundur ke
pinggir. Pendopo besar itu menjadi hening lelap, agak lama
kemudian baru Lan Lan menghela napas dan berkata, "Tadi
sudah kuperingatkan kepada kalian, jangan mengganggu
adikku yang ada dalam tandu, kenapa kalian mengabaikan
peringatanku?"
Orang dalam tandu terdengar sedang batuk.
Cu Ngo Thay-ya menjengek dingin, "Nah, sang naga
terpaksa menampakkan ekornya, kenapa masih pura-pura
sakit?" "Kenyataan dia memang sakit," ujar Lan Lan tegas.
"Sakit apa?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Sakit hati."
"Parahkah penyakitnya?"
"Sudah tentu parah, tapi ada obat mujarab yang dapat
mengobatinya."
"0, obat apa yang diinginkan?"
"Obat mujarab yang kumaksud ada di seberang gunung di
sebelah barat sana."
"Tepatnya dimana?"
"Baiklah, agaknya sudah tiba saatnya aku berterus terang
dan bicara secara gamblang. Obat mujarab yang kami
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inginkan sebenarnya berada di sini, bahwa kita terima kau
sudutkan hingga kedudukan kita sekarang dalam posisi yang
tersudut ini memang sudah kami rencanakan, supaya kau
beranggapan, kami hanyalah lawan lemah dan terpaksa
mandah kau giring kemari."
"Ehm, kau merancang muslihat dengan tujuan menemui
aku?" Lan Lan manggut-manggut.
"Kini kalian sudah di sini, sudah berhadapan denganku,"
demikian ucap Cu Ngo Thay-ya. "Kenapa masih main
sembunyi, cobalah suruh dia keluar."
"Baik, akan kutanya kepadanya," kata Lan Lan sambil
mendekati tandu, lalu bertanya dengan suara perlahan, "Cu
Ngo Thay-ya minta kau keluar menemuinya, bagaimana
pendapatmu?"
Orang dalam tandu bersuara perlahan, tidak jelas apa yang
diucapkannya, namun Lan Lan mengulur tangannya sehingga
tangan orang ini memegang tangannya, lalu ia memapahnya
turun dari tandu. Yang keluar memang pemuda yang dilihat
Siau Ma dalam kamar di hotel Damai kemarin. Wajahnya
kelihatan pucat seperti tidak berdarah sedikitpun. Di bulan
sembilan yang panas ini, tubuhnya dibungkis mantel tebal
berbulu rase, namun tidak kelihatan merasa gerah atau
berkeringat. Mantel bulu itu amat lebar dan panjang sehingga
separoh wajahnya tertutup, namun orang dapat melihat
sepasang matanya yang jeli dan tajam dinaungi sepasang alis
yang tegak dan gagah, meski pucat, wajahnya kelihatan
bersih. Lan Lan mengawasinya penuh iba dan lembut, katanya
dengan nada prihatin, "Dapatkah kau berjalan?"
Pemuda itu manggut-manggut sambil beranjak maju
beberapa langkah, perlahan pula ia mengangkat kepala
memandang ke arah kerai mutiara, lalu berkumandang
suaranya yang lemah, "Kau sudah melihatku?"
"Kelihatannya kau memang sedang sakit," bergema suara
Cu Ngo Thay-ya, bagaimana reaksi mimik mukanya, orang
tidak melihat jelas karena jarak teramat jauh, namun dari
suaranya, orang merasakan haru dan kasihan, ucapan untuk
menenteramkan dan menahan gejolak hati.
Pemuda itu berkata, "Sayang sekali, kau sudah melihatku,
sebaliknya aku tidak melihat dirimu."
"Kenapa kau tidak kemari saja?"
"Ya, aku ingin bicara denganmu dari dekat," sembari
bicara, kakinya beranjak ke depan, meski perlahan namun
langkahnya tidak berhenti setiba di undakan batu.
Siapa berani menginjak undakan batu, bunuh habis semua.
Seakan-akan pemuda ini tidak peduli, atau memang tidak
pernah mendengar larangan serius ini.
Padahal dari jendela kecil di deretan dua sisi kerai mutiara
itu, bermunculan ujung anak panah yang siap dibidikkan ke
arahnya, tapi pemuda ini seperti tidak sadar bahwa bahaya
tengah mengancam jiwanya, dengan tak acuh ia tetap
melangkah ke sana.
Pok Can, Bu-ci-thong-cu, Ling-liong-siang-kiam dan para
pemikul tandu siap bertindak bila diperintah sang majikan,
seperti tidak dianggap kehadirannya di pendopo ini.
Ternyata Pok Can dan kawan-kawannya tidak berani
bereaksi, tanpa perintah Cu Ngo Thay-ya, mereka tidak berani
sembarang bertindak. Diam-diam mereka menduga, apakah
Cu Ngo Thay-ya akan melabrak sendiri pemuda ini" Mereka
maklum, di Long-san, Cu Ngo Thay-ya diakui sebagai jago
kosen yang tiada bandingnya, adalah logis kalau hanya Cu
Ngo Thay-ya saja yang mampu menghadapi pemuda
penyakitan yang lihai ini.
Pada masa ini, rasanya susah dicari tokoh silat yang
memiliki Khikang setaraf yang dikuasai oleh Cu Ngo Thay-ya.
Tapi dari kekuatan si pemuda mematahkan senjata dan
panah, dapat dibayangkan bahwa bocah ini memiliki Lwekang
yang amat tangguh pula, pemuda yang satu ini ibarat seekor
naga sakti yang jarang menampakkan diri, betapa tinggi ilmu
silatnya, sukar orang menjajakinya.
Siapakah pemenang duel antara Cu Ngo Thay-ya dengan
pemuda penyakitan ini" Tiada orang bisa meramalkan. Tapi
telapak tangan setiap hadirin berkeringat karena tegang.
Mereka boleh tidak peduli pihak mana yang akan menang
dalam duel nanti, yang pasti pertarungan kedua jago kosen ini
tentu amat seru, dahsyat dan menegangkan, selama
berkecimpung di Kangouw, belum pernah mereka mengalami
atau menyaksikan pertarungan hebat yang susah dibayangkan
sebelumnya. Kini pemuda penyakitan itu sudah tak jauh di luar kerai
mutiara, anehnya Cu Ngo Thay-ya tetap bercokol di
tempatnya tanpa gerak, tidak bersuara. Naga-naganya raja
serigala ini sudah membuat perhitungan dan yakin bahwa
dirinya pasti menang, maka ia bersikap kalem saja.
Tinju Siau Ma tergenggam erat, dalam hati ia bertanya
pada diri sendiri, "Pemuda ini berani ke sana dan tidak apaapa,
kenapa aku harus takut" Kenapa aku terima dijadikan
keledai dungu yang diperalat belaka?"
Persoalan lain, Siau Ma boleh bersabar, harus menekan
emosi, umpama perutnya harus kelaparan, badan babak belur
dihajar orang, kantong kempes, ia bisa bersabar, tidak peduli.
Tapi penasaran karena merasa dirinya dikibuli sungguh tidak
terlampias sebelum dirinya berkelahi dengan sengit.
Ada sementara orang di dunia ini, meski jiwa harus
melayang dan badan hancur, dirinya tidak mau diremehkan,
tidak mau diabaikan, Siau Ma adalah identik orang sejenis ini.
Mendadak Siau Ma melompat jauh ke depan lalu
menerjang ke arah kerai mutiara. Selincah kijang lompatannya
yang jauh dan tangkas itu, hingga ia mendahului si pemuda
menerobos kerai mutiara dan masuk ke sana, menubruk ke
belakang meja besar lagi panjang itu. Orang banyak tidak
menduga juga tidak memperhatikan aksi Siau Ma, karena
pandangan mereka tertuju ke arah si pemuda penyakitan. Siau
Ma bereaksi secara kilat, tahu-tahu ia sudah menerobos
masuk dan berdiri di hadapan Cu Ngo Thay-ya.
Manusia kalau usianya sudah lanjut, wajah, suara, watak
dan tingkah lakunya sering berubah, adakalanya seorang tua
berubah menjadi eksentrik, berjiwa sempit dan senang
menyendiri. Demikian halnya yang terjadi pada Cu Ngo Thayya,
perubahannya juga terjadi secara menyolok. Beberapa
tahun belakangan ini, kecuali Bu-ci-thong-cu yang bisu tuli
menjadi pembantunya yang setia dan dipercaya, Pok Can yang
tertua di antara kawanan serigala dan bergaul paling lama
dengan raja yang berkuasa ini, dia toh tidak berani gegabah
atau bertingkah di hadapannya, tanpa perintah jelas ia pun
tidak berani masuk ke balik kerai mutiara itu.
Ada larangan yang berbunyi, 'Masuk selangkah tanpa ijin,
hukumannya cacah hancur tubuhnya'.
Betapa keras dan kukuh watak Cu Ngo Thay-ya, pasti tidak
memberi ampun kepada Siau Ma yang berani melanggar
pantangan ini. Mampukah Siau Ma melawan jurus
serangannya yang dahsyat"
Siang Bu-gi juga siap menerjang ke sana bila perlu, biar
dirinya bukan tandingan lawan, biar gugur di medan laga, ia
lebih suka gugur bersama teman sejati.
Setelah Siau Ma menerobos masuk ke dalam kerai mutiara
dan berdiri di depan meja, ternyata Cu Ngo Thay-ya tetap
duduk mematung di tempatnya tanpa bergerak. Ternyata
setelah menerobos masuk Siau Ma malah berdiri kaku mirip
patung, seperti kena sihir atau takjub melihat sesuatu di
hadapannya, sesuatu yang ajaib atau kejadian yang amat
mengejutkan hatinya.
Adakah kekuatan gaib yang mengandung magis
terselubung dalam kamar di balik kerai mutiara, maka Siau Ma
yang kurang ajar dan main terobos menjadi kaku seperti batu"
Mungkinkah Cu Ngo Thay-ya meyakinkan ilmu mukjizat yang
dapat melumpuhkan lawannya tanpa ia sendiri bergerak"
Banyak kejadian di dunia kadang sukar diterima secara
wajar oleh nalar manusia, namun secara nyata terjadi dan
sukar ditelaah dan dijelaskan perkaranya.
Demikian kejadian yang menimpa Siau Ma, mereka yang
masih berada jauh di luar pasti berprasangka buruk dan
menduga-duga secara negatif, rasa tegang dan takut
menghantui sanubari mereka.
Sambil menggenggam gagang pedangnya, Siang Bu-gi
beranjak ke sana, selangkah demi selangkah ia berjalan
dengan mantap dan berat, tidak cepat tapi tegap dan
waspada. Hatinya takut setengah mati, badannya basah kuyup
oleh keringat dingin saking tegang, tapi Siang Bu-gi bertekad
dan nekad, apapun yang akan terjadi meski awak harus
mampus dengan badan hancur juga tidak akan mundur.
Tapi beberapa tindak menjelang ia menyelinap ke dalam
kerai mutiara, mendadak dilihatnya Siau Ma mulai bergerak.
Siau Ma bukan disihir, juga tidak menjadi patung,
keadaannya masih segar bugar, bebas dan wajar bergerak.
Bahwa dia berdiri mematung sekian saat di depan meja bukan
karena dibekuk musuh dengan ilmu mujizat, soalnya secara
nyata dan tak terduga ia menghadapi peristiwa besar yang
luar biasa, kejadian yang sukar diterima oleh nalar sehat.
Begitu menerobos ke dalam kerai mutiara, Siau Ma melihat
dan mendapatkan tokoh persilatan yang disegani dan ditakuti
kaum Bu-lim ternyata sudah ajal, bukan saja orang ini sudah
mati, tubuh orang malah sudah kaku, sudah kering, namun
tidak membusuk, ini menandakan bahwa kematian orang ini
sudah cukup lama berselang.
Asap dupa wangi mengepul dalam ruang di balik kerai
mutiara, Cu Ngo Thay-ya terus bercokol dengan gayanya yang
angker di singgasananya, tidak bergerak tidak bisa bersuara,
karena sekujur badan sudah kaku dan mengering. Demikian
pula kulit mukanya sudah mengering, mengkeret dan
berkerut-merut. Wajah yang dahulu kereng berwibawa kini
menjadi seram menakutkan.
Sukar orang menentukan sudah berapa lama orang ini
meninggal, bahwa jenazahnya masih utuh dan tidak
membusuk, karena sekujur jasadnya dipoles sejenis obat
khusus, hingga tubuhnya tetap utuh meski kematian sudah
merenggut nyawanya sejak beberapa waktu yang lalu.
Bahwa jenazah Cu Ngo Thay-ya dipertahankan utuh dan
bercokol di singgasana untuk memberikan perintah, ini
menandakan di balik peristiwa ini ada dalangnya, seseorang
menggunakan kedok Cu Ngo Thay-ya untuk memberi perintah
dan memegang tampuk pimpinan dan kekuasaan di seluruh
wilayah Long-san.
Suara orang yang menirukan suara Cu Ngo Thay-ya tadi
jelas adalah tokoh misterius yang memegang peranan di
belakang layar, bukan mustahil dialah perencana kejahatan
dengan tewasnya Cu Ngo Thay-ya sebagai langkah pertama
untuk mengejar cita-citanya menguasai gunung serigala.
Untuk menjaga dan mempertahankan rahasia dirinya yang
berperan di belakang layar, dan supaya kematian Cu Ngo
Thay-ya tidak diketahui orang lain, maka orang dilarang
mendekati dirinya dalam jarak dua tombak, mulai undakan
batu kaca, ruang dimana jenazah Cu Ngo Thay-ya masih
kelihatan bercokol juga ditutup dengan kerai mutiara,
sehingga dalam jarak dua puluhan tombak orang sukar
melihat jelas keadaan sebenarnya.
Orang yang dipercaya adalah Bu-ci-tong-cu, sesuai nama
julukannya, orang bisu tuli ini jelas tidak akan membocorkan
rahasianya, apalagi dia buta huruf, celakanya orang bisu tuli
ini berotak tumpul, kecuali belajar ilmu silat, dia tidak punya
keinginan, cita-cita maupun nafsu.
Sekarang Siau Ma maklum, kenapa Thio-gongcu nekat
menerjang ke depan meski besar sekali resiko yang harus
dihadapinya. Kenyataan jiwanya melayang sebelum berhasil
membongkar rahasia busuk ini.
Sejak dilahirkan Thio-kongcu memang memiliki
pembawaan luar biasa, terutama sepasang bola matanya,
makin tumbuh dewasa ia memperoleh gemblengan luar biasa,
maklum sepasang telinganya tuli, maka ia melatih kedua
matanya lebih tajam dari mata manusia umumnya.
Di kala kerai mutiara terguncang karena suara "berhenti"
Cu Ngo Thay-ya yang lantang tadi, mata Thio-gongcu yang jeli
menangkap adanya muslihat di balik permainan sandiwara
yang belum diketahui orang.
Manusia kalau bicara pakai mulut menggerakkan bibir, tapi
orang bercokol di kursi kebesaran di balik kerai mutiara tidak
kelihatan bergerak, mulutnya tetap bungkam, bibir pun tetap
tidak bergerak. Padahal untuk mengucap sepatah kata
"berhenti" orang harus membuka lebar mulutnya, apalagi
suaranya yang begitu lantang dan mendengung.
Berhasil membuka rahasia orang, Thio-gongcu lantas sadar
bahwa orang yang bercokol di kursi di balik kerai mutiara itu
hanyalah sesosok mayat manusia yang sengaja dibuat
pajangan untuk mengelabui orang banyak. Saking terburu
nafsu ingin membongkar kedok dan rahasia orang, Thiogongcu
lupa kalau benar orang yang duduk di kursi itu sudah
mati, mana mungkin bisa bicara, namun kenyataan suara
lantang itu bergema dalam pendopo ini, itu berarti ada
seseorang bersembunyi dan memegang rol dalam kasus ini.
Karena Thio-gongcu tahu rahasia orang, sudah tentu orang itu
tidak memberi ampun kepadanya.
Lama Siau Ma menjublek tanpa bergerak atau bersuara,
hatinya sedih dan pilu, perasaannya sukar dilukiskan dan
dilimpahkan, sedih bagi nasib sang raja yang berkuasa di
Long-san, pilu demi kematian kawan sejati, penasaran bagi
manusia umumnya.
Betapapun besar kekuasaan seseorang di masa hidup,
setelah mati dengan mudah ia akan dibuat mainan oleh orang
hidup. Setelah menghela napas Siau Ma bergerak perlahan,
membalik tubuh, waktu ia mengangkat kepala lagi,
pandangannya bentrok dengan mata seseorang, rona mata
orang ini menampilkan rasa duka lara yang men-dalam.
Pemuda penyakitan yang masih teka-teki asal-usulnya ini
berdiri mematung di belakangnya, berdiri menjublek
mengawasi jenazah Cu Ngo Thay-ya, wajah yang pucat dan
bersih tampak basah oleh air mata yang bercucuran.
Tidak kuat Siau Ma menahan rasa ingin tahu hatinya, maka
ia bertanya, "Siapa kau sebetulnya?"
Pemuda itu diam saja, seperti tidak mendengar
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertanyaannya. "Aku menduga kau bukan she Lan sebagaimana yang
dikatakan Lan Lan, apalagi adik kandungnya. Nama aslimu
juga pasti bukan Lan Ki-hun," mendadak bersinar bola mata
Siau Ma. "Apa kau bukan she Cu?"
Pemuda itu tetap diam, tidak menanggapi pertanyaan Siau
Ma, tapi perlahan bertekuk lutut lalu menyembah di hadapan
Cu Ngo Thay-ya.
Melihat kelakuannya, Siau Ma sadar dan mengerti, "He,
kiranya kau adalah putranya."
"Betul," seorang berkata perlahan di belakang Siau Ma.
"Memang dia putra tunggal Cu Ngo Thay-ya, namanya Cu
Hun." Bab 18 - TAMAT Dipandang dari jauh, Cu Ngo Thay-ya kelihatan angker dan
berwibawa mirip patung yang dipuja dalam kelenteng, apalagi
teraling kerai mutiara sehingga dari jauh tidak kelihatan nyata
keadaan sebenarnya.
Kini putra tunggalnya berlutut dan menyembah di
depannya, menangis sedih penuh penyesalan.
Pok Can masih berdiri di tempat semula, menyaksikan dari
kejauhan, lambat laun mulai tampak perubahan air muka dan
sorot matanya, air mata juga seperti berkaca-kaca di pelupuk
matanya, kalau tidak ditahan tentu sudah bercucuran dengan
deras. Siau Ma bertanya sambil mengawasi orang tua ini, "Kau
adalah kawan seperjuangan Cu Ngo Thay-ya sejak puluhan
tahun yang lalu bukan?"
"Ya, sejak banyak tahun lalu. Waktu kami masih samasama
muda," sahut Pok Can.
"Tapi kau tidak kenal bahwa Cu Hun ini adalah putra
tunggalnya?" tanya Siau Ma.
"Sejak berumur tiga belas Cu Hun sudah meninggalkan
Long-san, selama sepuluh tahun belakangan ini, dia tidak
pernah pulang, tiada kabar beritanya."
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, bagi umat
manusia, jangka sepuluh tahun merupakan masa yang
panjang, cukup lama untuk membawa perubahan pada diri
seseorang. "Kenapa dia pergi" Kenapa tidak mau pulang?"
"Bocah ini anak jenius, sejak dilahirkan seperti dibekali
bakat luar biasa untuk meyakinkan ilmu silat. Waktu berusia
tiga belas, ia tahu kungfu yang dia yakinkan tarafnya sudah
tidak di bawah sang ayah, maka timbul keinginan hatinya
untuk berkelana mencari pengalaman, menyesuaikan cara
hidupnya dengan gayanya sendiri di kolong langit ini."
"Tetapi sang ayah tidak sependapat dan sepandangan,
beliau melarang dia meninggalkan keluarga."
"Seorang laki-laki dalam usia lanjut baru dikarunia seorang
putra, adalah logis kalau dia merasa berat ditinggal pergi
putranya, tidak tega membiarkan anaknya menderita di
rantau." "Maka Cu Hun minggat dari rumah?"
"Meski usianya masih muda, anak ini punya pambek,
mengemban cita-cita tinggi, wataknya juga kukuh seperti sang
bapak, kalau sudah timbul niatnya untuk melakukan sesuatu,
siapa pun takkan bisa merubah niatnya, termasuk sang ayah
sendiri," setelah menghela napas Pok Can melanjutkan,
"sepuluh tahun sejak ia meninggalkan rumah, tiada orang
tahu dimana dia pergi dan dimana dirinya berada. Namun aku
dan ayahnya juga maklum, dengan wataknya yang kukuh,
mengembara di Kangouw, tentu tidak sedikit penderitaan yang
dialaminya."
Siau Ma membalik tubuh ke arah Lan Lan, "Selama sepuluh
tahun apa saja yang telah dia lakukan" Kukira hanya kau saja
yang dapat menjelaskan."
"Memang dia banyak menderita, namun dari penderitaan
itu, tidak sedikit kungfu yang berhasil diserapnya. Untuk
mempelajari kungfu dan berhasil, perbuatan apapun pernah ia
lakukan." Seorang pesilat yang berhasil gemilang dengan nama
besar yang menonjol memang bukan diperoleh secara
kebetulan. Bahwa seseorang memiliki kungfu setinggi itu,
sudah pasti harus melalui gemblengan yang cukup panjang,
latihan yang cukup keras dan menyiksa.
Lan Lan bercerita lebih jauh, "Sebagai manusia biasa,
akhirnya ia merasa bosan, tiba-tiba ia sadar, umpama
seseorang memiliki kungfu yang tiada taranya, tiada lawan
yang mampu menandingi dirinya, akan datang suatu saat ia
akan meresapi kegetiran hidup, kesepian dan kehampaan
dalam hidupnya," sikap Lan Lan juga kelihatan rawan,
suaranya makin pelan dan tertekan, "Masih muda hidup di
rantau, jauh dari keluarga, kehilangan kasih sayang ayah
bunda, karena terlalu asyik meyakinkan kungfu, tidak pernah
punya teman lagi, meski makin tinggi kungfu yang berhasil dia
yakinkan, namun jiwanya justru makin tertekan."
Siau Ma adalah identik manusia gelandangan, ia dapat
meresapi kegetiran hidup seorang yang jauh dari kasih sayang
keluarga, tidak pernah ada orang memperhatikan
kehidupannya, entah dia gagal atau sukses dalam mengejar
karir, yang pasti kesuksesan itu akhirnya berubah menjadi
tidak berarti sama sekali.
Dengan lekat Siau Ma menatap Lan Lan, "Kau tidak
memperhatikannya?"
"Aku ingin memperhatikan dia, memberikan kasih sayang
kepadanya, tapi dalam keadaan seperti itu, aku juga sadar,
seorang diri aku takkan bisa memenuhi harapannya, bukan
aku saja yang bisa memberi perhatian dan hiburan
kepadanya."
"Maksudmu hanya ayah bundanya?"
Lan Lan memanggut, "Ya, hanya ayah bundanya saja
orang yang dia hormati, ayahnya adalah tulang punggung
kehidupannya, namun wataknya memang kukuh dan terlalu
keras kepala, meski sadar, namun sampai mati ia takkan mau
mengaku salah, padahal ia sadar bahwa dirinya berdosa
terhadap sang ayah, setelah minggat mana ada muka dia
pulang ke rumah."
Mendadak Pok Can menimbrung, "Kita pernah turun
gunung mencarinya, tapi tidak berhasil menemukannya."
"Dalam tahun permulaan sejak ia meninggalkan rumah, dia
belum meresapi betapa agung dan luhurnya hubungan
kekeluargaan, maka ia menyingkir dan selalu menghindar
meski tahu ayahnya menyuruh orang mencarinya. Beberapa
tahun kemudian, setelah ia merasa rindu, kangen kepada
orang tua, kalian sudah tidak pernah mencarinya lagi, dia pun
malu untuk pulang."
Bukankah banyak peristiwa seperti itu dalam kehidupan
manusia banyak" Kalau tidak, mana mungkin sering terjadi
tragedi kehidupan dalam dunia ini hanya lantaran sedikit salah
paham dan kontrakdiksi.
Salah paham dan kontrakdiksi sering kali jadi pangkal
pertikaian keluarga, penyebab utama tragedi kehidupan yang
menyedihkan. Sayang sekali, sedikit kesalahan itu justru tak
mungkin ditebus dengan apapun selama hayat masih di
kandung badan. "Suatu ketika dia menolong keluargaku, setelah aku tahu
dan menyadari keadaannya, untuk membalas budi kebaikan
dan pertolongannya, aku tidak boleh berpeluk tangan, aku pun
tidak tega menyaksikan penderitaan batinnya, secara diamdiam
aku menulis sepucuk surat untuk orang tuanya, dengan
akal dan cara yang ruwet aku menitipkan atau kusuruh orang
mengirimnya ke Long-san, dengan harapan setelah menerima
suratku, Cu Ngo Thay-ya sudi mengirim seorang untuk
menjemput putranya pulang."
"Lho, kenapa kita tidak tahu adanya kejadian ini?"
demikian tanya Pok Can melenggong.
"Mungkin orang yang kusuruh mengirim surat itu bukan
orang baik, atau mungkin terjadi sesuatu di tengah jalan,
mungkin juga surat itu terjatuh di tangan seorang jahat," Lan
Lan berhenti sejenak lalu meneruskan, "namun waktu itu kami
tidak memikirkan hal ini, tidak lama setelah surat kukirim,
seseorang datang dari Long-san membawa surat balasan dari
Cu Ngo Thay-ya."
"Apa bunyi balasan itu?" tanya Pok Can.
"Utusan itu bernama Song Sam, kelihatannya orang jujur
dan setia, dia mengaku sebagai orang kepercayaan Cu Ngo
Thay-ya," demikian Lan Lan menjelaskan.
"Belum pernah kudengar nama orang ini," kata Pok Can
dengan menggeleng.
"Sudah tentu kalian tidak mengenalnya karena nama itu
palsu, sayang sekali kami tidak sempat bertanya lebih banyak
dan dia pun tak dapat memberi keterangan apa-apa."
"Lho, kenapa?" tanya Po Can melenggong.
"Mungkin sekarang jenazahnya sudah membusuk,"
demikian Lan Lan menjelaskan lebih jauh. "Surat rahasia yang
dia bawa disimpan dalam butiran malam putih, jadi mirip
sebutir pulung obat. Song Sam bilang, menurut pesan
ayahnya supaya Cu Hun sendiri yang menerima dan membaca
surat ayahnya, orang ketiga dilarang ikut membacanya."
Antara ayah dan anak adalah pantas kalau menyimpan
rahasia, untuk hal yang lumrah ini, siapa pun takkan merasa
curiga. "Tak pernah terpikir oleh kami, bahwa butiran malam
sebesar buah kelengkeng itu, berisi segumpal asap dan tiga
batang jarum lembut."
"Wah," kata Siau Ma gugup. "Cu Hun terbokong
karenanya?" Lan Lan tertawa getir, "Siapa pun takkan
menyangka bahwa seorang ayah membokong dan berniat
membunuh putranya dengan cara selicik dan sejahat itu.
Syukur Cu Hun adalah tunas muda luar biasa, seorang jenius
dalam ilmu silat, dengan Lwekang latihannya ia berhasil
mendesak keluar separoh lebih racun dalam tubuhnya."
"Lalu bagaimana dengan Song Sam?" tanya Pok Can.
"Waktu Song Sam tiba di rumahku, keadaannya juga
sudah payah, terkena racun yang jahat, tidak banyak
keterangan yang bisa dia jelaskan, jiwanya sudah melayang
lebih dulu. Tragisnya mayatnya hancur luluh dalam sekejap
mata, tulang belulangnya pun membusuk habis menjadi
cairan." Siau Ma menggeram gusar sambil mengepal tinjunya,
"Manusia kejam, perbuatan culas."
"Betapapun liar dan buas seekor harimau tak pernah
makan anaknya sendiri. Menghadapi peristiwa yang tidak
terduga ini, kita lantas berpikir, orang yang menyuruh Song
Sam mengirim surat pasti orang lain, bukan ayah kandungnya
yaitu Cu Ngo Thay-ya, orang ketiga ini punya niat jahat dan
tidak ingin mempertemukan ayah dan anak, apalagi dia juga
sadar, kalau Cu Hun pulang, kelak pasti mewarisi kedudukan
dan kekuasaan ayahnya," sampai di sini Lan Lan menelan liur
seperti menahan gejolak perasaan hatinya, lalu sambungnya,
"Di samping itu, kita juga memikirkan persoalan lain yang
lebih menakutkan."
"Persoalan apa?" tanya Siau Ma.
"Kalau orang ketiga ini berani bertindak sejahat dan sejauh
ini, tentu dia sudah punya posisi yang lebih baik, dan keadaan
Cu Ngo Thay-ya mungkin dalam bahaya, umpama belum mati,
keadaannya tentu sedang kritis."
Pok Can memanggutkan kepala tanda sependapat,
desisnya penuh kebencian, "Sejak masih muda Cu Ngo Thayya
adalah jenius ilmu silat yang hebat dan digdaya, dalam
keadaan sehat dan aman, umpama orang itu punya
kemampuan dan keberanian besar juga takkan berani
bertindak demikian."
"Ayah memperhatikan anak dan anak berbakti terhadap
orang tua adalah hubungan lahir batin manusia. Setelah
urusan berkembang sejauh ini, maka Cu Hun tidak boleh
bersikap kukuh, dia harus segera merubah sikap dan segera
pulang melihat keadaan ayahnya," dengan gegetun Lan Lan
melanjutkan, "tapi kita juga tahu, kalau orang ini berani
membokong dan berusaha membunuh putra tunggal Cu Ngo
Thay-ya, tentu orang ini bukan tokoh sembarangan, bukan
mustahil di Long-San dia punya kedudukan dan posisi yang
kuat serta mampu mengerahkan sekelompok orang yang
menjadi kaki tangannya. Kalau kita langsung meluruk ke atas
gunung, bukan saja tidak dapat bertemu dengan Cu Ngo
Thay-ya, mungkin sekali malah mempercepat kematiannya."
Tiba-tiba Pok Can menimbrung, "Waktu itu kalian belum
tahu mati hidup Cu ngo-Thay-ya, meski Cu Hun membekal
kungfu setinggi langit, namun racun di tubuhnya belum
berhasil dibersihkan secara tuntas, berarti kepandaiannya
masih terbatas dan tak mungkin bertindak secara maksimal,
kalau harus menghadapi lawan tangguh, kemampuannya
tentu amat terbatas."
"Namun waktu sudah sangat mendesak, demi keselamatan
Cu Ngo Thay-ya, kita tidak boleh mengulur waktu, maka
dalam waktu singkat kita harus berusaha dengan akal yang
sempurna."
"Untuk melaksanakan rencana itu, maka kalian mencari
diriku?" tanya Siau Ma.
Lan Lan manggut, "Bukan maksudku hendak menipu
engkau, soalnya peristiwa ini amat besar artinya bagi masa
depan Cu Hun dan nasib seluruh warga di Long-san, maka
rencana harus dirahasiakan, tidak boleh bocor."
Siau Ma menghela napas, "Aku tidak menyalahkan engkau,
bukankah aku menunaikan tugas secara suka rela?"
Mendadak Siang Bu-gi menimbrung pula dengan suara
dingin, "Aku ingin tahu satu hal."
"Soal apa yang ingin kau ketahui?" tanya Siau Ma.
"Siapa biang keladi kasus ini?"
Siau Ma tidak menjawab, demikian pula Pok Can dan Lan
Lan juga tidak memberi tanggapan, tapi dalam hati mereka
sudah terbayang wajah seseorang, yaitu Long-kun-cu Un
Liang-giok. Long-kun-cu Un Liang-giok adalah salah seorang
kepercayaan Cu Ngo Thay-ya, di saat sang junjungan
menghadapi saat genting dan tegang seperti tadi, ternyata
batang hidungnya tidak pernah kelihatan.
Di belakang singgasana Cu Ngo Thay-ya ternyata ada
sebuah lubang rahasia, orang yang memalsukan suara Cu Ngo
Thay-ya dan memberi perintah tadi tentu berasal dari sini dan
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melarikan diri lewat lorong bawah tanah.
Apakah betul orang itu Un Liang-giok" Kemana ia
melarikan diri"
"Biar dia sudah lari, aku yakin tidak akan lolos dari
tanganku," demikian desis Siau Ma geram.
"Kita harus mengejarnya, namun tidak lewat lorong ini."
"Kenapa?"
"Orang itu kejam dan telengas, bukan mustahil dalam
lorong ia memasang jebakan, kalau tidak waspada kita yang
celaka malah," demikian ucap Pok Can yang berpengalaman
menenteramkan suasana yang panas. "Untuk selanjutnya
marilah kita bekerja dengan kepala dingin, jangan diburu
emosi hingga melakukan kesalahan, akibatnya tentu amat
fatal." Namun Siau Ma tak sabar menunggu, dalam kedudukan
Siau Ma sekarang, ia tidak mau dan tidak boleh menunggu,
waktu amat berharga bagi dirinya, terlambat berarti maut bagi
dirinya, maka ia mendahului menerjang keluar.
Lan Lan memburu sambil bertanya, "He, kemana kau" Apa
yang akan kau lakukan?"
"Mencari seorang."
"Seorang siapa?"
"Orang itu selalu menyembunyikan mukanya di belakang
topeng." Bercahaya mata Lan Lan, "Maksudmu orang bertopeng itu
adalah Un Liang-giok?"
"Aku yakin dugaanku tidak meleset."
Di luar cahaya mentari terang benderang. Sinar surya
sedang menyinari permukaan danau.
* * * * * Tanggal 14 bulan 9, hampir petang.
Sang surya sudah terbenam di ufuk barat, pancaran
cahayanya yang kemuning menyinari permukaan danau yang
tenang bening bagai kaca, cahaya menyinari topeng kuning
emas berbentuk seram seperti setan dedemit.
"Apakah dia?" tanya Lan Lan.
"Betul," desis Siau Ma penuh keyakinan, "kecuali Un Lianggiok
susah aku menduga orang lain."
Cu Hun diam saja, tidak menampakkan reaksi.
Kejadian yang menggembirakan sering kali mengundang
rasa lelah, berbeda dengan orang yang sedang bersedih hati.
Rasa duka nestapa justru lebih sering membuat perasaan
orang menjadi beku, hilang kesadarannya dan meluluhkan
ketahanan fisiknya.
Amarah justru dapat mengobarkan semangat, membakar
emosi. Siau Ma menerjang dengan mata melotot ke arah duta
malaikat surya, bentaknya dengan murka, "He, kau tidak
minggat, masih ada di sini?"
"Kenapa aku harus lari?" duta malaikat balas bertanya.
"Memangnya kau masih ingin melakukan kejahatan di
sini?" damprat Siau Ma. "Berkedok di belakang jenazah Cu
Ngo Thay-ya, kau menguasai dan memerintah kawanan
serigala di gunung ini melakukan segala keinginanmu. Kau
berusaha membunuh Cu Hun dan menjebaknya supaya
mereka ayah dan anak tak bisa bertemu. Untuk
menghancurkan generasi muda di gunung ini, kau pura-pura
menjadi duta malaikat surya, memperalat watak anak muda
yang suka berontak untuk merubah zaman, kau bius mereka
dengan daun ganja supaya mereka tenggelam dalam
kehidupan khayal...."
Itulah tuduhan Siau Ma, namun tidak ia paparkan secara
gamblang, karena ia tahu umpama menuduhnya secara
terbuka, duta malaikat surya pasti tidak akan menyangkal
tuduhannya. Siau Ma memang tidak suka bertele-tele, tidak mau banyak
omong, urusan hanya diselesaikan dengan sepasang tinjunya,
menang adalah benar.
"Rencanamu memang sukses untuk sekelompok
lingkungan anak-anak muda saja. Sayang Cu Hun tidak
berhasil kau bunuh, aku pun tidak mampus seperti yang kau
harapkan."
"Cu Hun tidak mati karena nasibnya mujur. Sebaliknya kau
tidak mampus, akulah yang bernasib mujur," demikian jengek
si duta malaikat surya.
"Lho, kau yang mujur malah?" tanya Siau Ma pura-pura
melenggong. "Cu Hun baru kau kenal, hanya seorang teman baru. Tapi
Siau Lin adalah milikmu, Lo-bi adalah kawan karibmu, benar
tidak?" Sian Lin berdiri di belakang duta malaikat surya, demikian
juga Lo-bi ada di sana.
Duta malaikat surya berkata lagi, "Kau masih memiliki
sepasang tinju, punya teman yang pandai menggunakan
pedang, sebaliknya Cu Hun kini tinggal setengah hidup
belaka." "Maksudmu aku harus membunuh Cu Hun untuk menebus
jiwa Siau Lin?" bentak Siau Ma.
"Di dunia ini tidak jarang terjadi adanya seseorang yang
membuang yang lama mencari yang baru, aku yakin kau rela
mengorbankan Siau Lin setelah memperoleh Lan Lan, tapi aku
juga percaya si Kuda Binal bukan laki-laki berjiwa pengecut."
Agaknya duta malaikat pandai menyelami jiwa manusia, ia
maklum bahwa Siau Ma tidak mungkin mengorbankan Siau
Lin, tapi dia lebih senang mengorbankan dirinya sendiri
daripada pujaan hatinya, demi Siau Lin si Kuda Binal berani
berbuat apa saja.
"Aku yakin dengan sepasang tinjumu dan pedang Siang
Bu-gi, kalian dapat mengalahkan dan membunuh Cu Hun."
Tidak seperti biasanya, kalau sedang marah Siau Ma
mengepal tinju, mungkin saking marah dan khawatir, jari-jari
Siau Ma tampak gemetar malah, gejolak hatinya membuat
pemuda ini kehilangan kontrol, tapi dia masih dapat
memikirkan perkembangan yang bakal terjadi.
Batin Siau Ma amat terpukul di kala matanya menangkap
aksi temannya Lo-bi yang merangkak ke depan kaki si duta
malaikat surya serta mencium kakinya. Tapi kejadian
selanjutnya justru tidak pernah ia duga sebelumnya. Mungkin
kejadian ini pun tak pernah di duga oleh duta malaikat surya
sendiri. Mendadak Lo-bi memeluk kencang kedua kakinya
serta mendorongnya jatuh, lalu keduanya terguling-guling ke
bawah batu karang dan terjebur ke dalam danau.
Sebelum kecemplung ke dalam air, Lo-bi yang bergumul
dengan lawannya sempat melontarkan perasaan hatinya, "Kau
menganggapku kawan, aku tidak akan membuatmu malu."
Kawan! Sebuah kata yang sering diucapkan orang, sering
dilontarkan dari mulut ke mulut, namun pada suatu saat
'kawan' itu sendiri mengandung makna yang luhur, arti yang
mendalam. Setelah kejadian berselang beberapa kejap, Cu Hun yang
menyaksikan akhir tragedi ini baru meresapi makna sejati
'kawan' itu, maka ia pun menarik kesimpulan terhadap kata
'kawan' itu, "Sekarang baru aku tahu, baru aku sadar,
betapapun tinggi kungfu seseorang, nilainya tidak setinggi
persahabatan sejati."
Dalam kehidupan manusia bermasyarakat di dunia ini,
kalau satu sama lain tanpa diresapi perasaan, entah apa yang
akan terjadi" Apakah manusia masih bisa dianggap manusia"
Kejadian begitu cepat, hanya berlangsung dalam sekejap,
sang surya masih memancarkan cahayanya yang terakhir.
Siau Ma duduk berhadapan dengan Cu Hun, mereka saling
pandang tanpa membuka suara.
Entah berapa lama kemudian Cu Hun bersuara lebih dulu,
"Sekarang aku sadar, hanya laki-laki seperti dirimulah yang
patut dipuji sebagai orang luar biasa, kau tidak pernah
meninggalkan kawan, percaya kepada kawan yang juga
percaya kepadamu. Kau rela berkorban demi kawan,
kawanmu juga rela berkorban demi dirimu."
Siau Ma bungkam, lidahnya kelu.
"Aku rasa tiada orang menduga bahwa Lo-bi rela
berkorban untuk dirimu, rela gugur bersama musuh demi
kebahagiaanmu, demi masa depanmu," setelah menghela
napas, Cu Hun menyambung dengan suara datar, "Aku sadar,
selama ini aku berbuat salah terhadapmu, tapi aku yakin
dapat melakukan beberapa hal untuk menebus kesalahanku
itu, demi dirimu."
Siau Ma melenggong, tidak mengerti kesalahan apa yang
dimaksud, dengan cara apa orang akan menebus
kesalahannya, namun mulutnya tetap bungkam.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Lan Lan.
Cu Hun menjelaskan, "Aku berjanji, selanjutnya takkan ada
serigala liar, yang buas maupun yang jahat di Long-san.
Takkan ada anak muda yang makan daun lagi."
Siau Ma berdiri. "Terima kasih," katanya haru sambil
menggenggam tangan Cu Hun, lalu mereka berpelukan
dengan tawa riang.
Siau Lin sudah sadar, sudah segar bugar. Sinar surya
masih sempat menyinari wajahnya yang pucat.
Sebagai orang yang sudah ternoda, ia sadar dirinya tidak
setimpal lagi bagi Siau Ma, maka ia tidak berani berhadapan
dengan Siau Ma, katanya perlahan sambil melengos, "Aku
tahu selama ini kau mencariku, aku juga tahu apa saja telah
kau lakukan untuk menemukan diriku."
"Kenapa kau ...."
"Aku berdosa terhadapmu."
"Jangan kau berkata begitu terhadapku."
"Tidak! Aku harus bicara, sudah tidak ada alasan untuk aku
hidup berdampingan dengan engkau, keretakan sudah nyata
dalam hubungan kita, keretakan yang tidak mungkin
dipulihkan seperti sedia kala, keretakan yang mendalam dan
terukir dalam sanubari, kalau kau memaksa aku berkumpul
dengan kau, itu berarti kau hanya akan mengundang derita
batinku saja," air mata bercucuran di pipinya. "Oleh karena
itu, kalau kau masih mencintaiku, kau harus merelakan aku
pergi." Siau Ma mematung, mendelong mengawasi Siau Lin
beranjak pergi, mengawasi bayangan ramping itu makin jauh
dan lenyap di bawah pancaran sinar surya yang sudah buram.
Siau Ma terus bungkam, berdiri mematung dengan perasaan
hampa. Lan Lan menyaksikan dari kejauhan, kini ia mendekati lalu
bertanya dengan suara tegas, "Apa betul ada keretakan yang
tidak bisa dipulihkan di dunia ini?"
"Tidak ada," Siang Bu-gi menjawab dari samping. "Dosa
bisa ditebus, kesalahan bisa diperbaiki, betapapun besar kau
melakukan kesalahan, betapapun lebar keretakan terjadi,
namun cinta murni, cinta sejati dapat menghapusnya sama
sekali." Lan Lan berkata, "Pada siapa kau tujukan komentarmu
itu?" Siang Bu-gi berkata, "Kepada Kuda Binal yang goblok,
segoblok babi yang tidak punya perasaan."
"Siau Lin ...." mendadak Siau Ma memekik panjang, bagai
kuda pingitan yang lepas, sekencang angin ia berlari ke arah
barat, menyongsong sinar surya yang makin terbenam, berlari
mengejar Siau Lin yang tidak kelihatan lagi bayangannya.
Siau Ma harus mengejarnya, Siau Lin harus menjadi
miliknya. Pemandangan alam indah permai, menjelang maghrib,
sebelum sang surya menyembunyikan diri ke peraduannya,
panorama nan molek ini memang tidak boleh disia-siakan,
harus dinikmati, harus diresapi pula.
Kalau seorang masih punya kesempatan, janganlah
kesempatan diabaikan, kesempatan jangan dibuang percuma.
T A M A T Duri Bunga Ju 12 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Bentrok Rimba Persilatan 1
ng melintang dan dikagumi serta
disegani kawan maupun lawan kaum Bu-lim, terutama orangorang
gagah di dunia ini tiada yang tidak memuja mereka, tapi
kalian berhasil mengobrak-abrik serikat itu, menghancurkan
kekuatan dan wibawanya, karena keberhasilan itu maka hari
ini kau boleh duduk di sini."
"Aku tahu," sahut Siau Ma memanggut.
"Aku juga tahu kau berani berkorban tanpa mempedulikan
jiwa raga sendiri."
Siau Ma diam. "Teman-temanmu terjebak, jiwa mereka terancam,
kekasihmu jatuh di tangan duta malaikat surya, mereka yang
kau kawal dan lindungi, tiada yang bisa kau antar lewat
gunung ini."
Siau Ma diam saja, apa yang diucapkan Cu Ngo Thay-ya
memang kenyataan, maka ia tidak perlu banyak bicara.
Apalagi terhadap raja yang berkuasa di Long-san ini, mau
tidak mau Siau Ma harus takluk dan tunduk. Semula Siau Ma
mengira raja yang berkuasa di Long-san ini berwatak aneh
dan eksentrik, hanya seorang tua renta yang dekat ajal dan
bersimaharaja, mengasingkan diri di gunung serigala ini untuk
menikmati kehidupan dewata, orang tua ini berpeluk tangan
membiarkan anak buahnya bertindak sewenang-wenang, raja
yang dikelabui dan dijadikan boneka.
Tapi sekarang Siau Ma sadar, orang tua yang satu ini
adalah manusia yang benar-benar berkuasa di Long-san,
ternyata setiap peristiwa yang terjadi dalam wilayah gunung
serigala, meski hanya urusan kecil sekalipun, tidak terlepas
dari pengawasannya, tiada persoalan yang dapat
mengelabuinya. Cu Ngo Thay-ya berkata, "Kini kau sadar setelah
menghadapi jalan buntu, maka kau terpaksa mencari aku, kau
ingin membarter jiwa belasan orang itu dengan sepasang
tinjumu." Tiba-tiba nadanya berubah jadi seringai dingin,
"Pernahkah kau saksikan seorang yang sembahyang dengan
sebatang dupa wangi di depan patung malaikat pujaannya
dalam kelenteng, dan berhasil menolong jiwa orang itu hingga
mencapai kehidupan bahagia sepanjang hidupnya?"
"Belum pernah aku melihatnya," sahut Siau Ma.
"Dan aku adalah malaikat gunung yang berkuasa di sini."
"Tapi sepasang tinjuku bukan sebatang dupa."
"Macam apa tinjumu itu?"
"Kawan setia, gaman yang ampuh untuk membunuh
orang." "O, apa benar begitu?"
"Aku yakin kau bukan malaikat tulen, kekuatan terbatas,
betapapun besar kau diagungkan, kalau memperoleh seorang
kawan setia, bertambah sebuah gaman yang dapat
memberantas musuhmu, cepat atau lambat tentu amat
berguna," Siau Ma membujuk dan meyakinkan kepercayaan
orang terhadap dirinya, "orang mati jelas tidak berguna,
sepuluh mayat jelas bukan tandingan sebatang golok kilat,
tapi tinjuku lebih cepat dari golok kilat yang paling cepat di
dunia ini."
"Agaknya kau tidak tahu bahwa di tempatku ini juga ada
tinju yang lebih cepat, lebih keras dan lihai dari tinjumu?"
"Aku belum pernah melihatnya, aku perlu bukti."
"Kau ingin bukti...."
"Ingin sekali."
"Coba kau menoleh ke belakang."
Siau Ma menoleh ke kiri kanan, matanya tertumbuk dua
laki-laki gede yang berdiri memeluk dada di belakangnya, lakilaki
kekar berotot dengan telanjang dada ini sedang melotot
kepadanya. Perlahan kedua laki-laki gede ini meluruskan
tangan, jari-jari mereka terkepal, tinju mereka mirip palu
godam. Cu Ngo Thay-ya berkata pula, "Yang berdiri di sebelah
kirimu bernama Wanyan Tiat."
Perawakan orang ini sedikit pendek dibanding temannya,
tapi ukuran badannya sembilan kaki lebih, kulit mukanya kasar
mengkilap, dagingnya menonjol tak keruan, warnanya yang
legam tak menunjukkan perubahan perasaan hatinya, antinganting
gelang emas sebesar mulut cangkir bergantung di
telinga kirinya.
"Wanyan Tiat meyakinkan Thong-cu-kang (ilmu weduk
perjaka, kebal)," Cu Ngo Thay-ya menjelaskan lebih lanjut,
"dia juga meyakinkan Cap-sha-thay-po. Tenaga pukulan tinju
kirinya berbobot lima ratus kati, tenaga pukulan tinju kanan
berbobot tujuh ratus kati."
"Bagus, tinju bagus," Siau Ma memuji berulang-ulang.
"Yang berdiri di kanan bernama Wanyan Kang."
Sesuai namanya, perawakan Wanyan Kang lebih tinggi,
kekar berotot, kulitnya mengkilap bagai baja, ukuran tubuhnya
sepuluh kaki lebih, corak tampangnya tidak banyak beda
dengan orang di sebelahnya, hanya saja anting-anting gelang
emas sebesar mulut cangkir bergantung di telinga kanan.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Sejak kecil Wanyan Kang
meyakinkan Thong-cu-kang, Kim-cong-coh dan Tiat-pou-san
serta ilmu weduk lainnya, badannya kebal senjata, kerasnya
laksana baja. Tenaga pukulan tinju kiri berbobot empat ratus
lima puluh kati."
"Bagus, tinju bagus," Siau Ma memuji pula.
"Mereka dari suku minoritas, lugu lagi sederhana, tumpul
tapi polos dan jujur."
"Ya, aku tahu."
"Bukan hanya tinju saja yang mereka serahkan padaku,
jiwa raga mereka juga tergenggam di tanganku."
"Ya, aku maklum."
"Aku sudah punya mereka, kenapa harus menerimamu?"
"Yang terang aku tidak jujur, tidak sederhana, aku punya
otak cerdas, ada akal dan pandai bertindak menurut gelagat,
aku lebih berguna dari mereka."
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Hm, jangan sok, coba
bayangkan, bagaimana kalau dua pasang tinju mereka
sekaligus memukul tubuhmu?"
"Apa yang akan terjadi aku tidak tahu," sahut Siau Ma, ia
memang tidak tahu, maklum bobot pukulan dua tinju mereka
seluruhnya total dua ribu kati lebih, menghadapi dua lawan
ini, Siau Ma tidak yakin dapat mengalahkan mereka. Tapi Siau
Ma juga sadar bahwa dirinya tidak punya pilihan lagi kecuali
menantang mereka untuk membuktikan kekuatan sendiri.
"Apa kau tidak ingin mencoba tinju mereka?" tanya Cu Ngo
Thay-ya. "Wah, ingin sekali."
* * * * * Tanggal 14 bulan 9. Pagi cuaca cerah.
Pendopo besar itu tidak ada jendela, sinar matahari tidak
kelihatan dari sini. Pendopo besar lagi panjang ini terlindung
dinding panjang yang dikapur bersih, tapi sepanjang tahun
tidak pernah ditingkah sinar matahari. Penerangan dalam
pendopo ini hanya dari cahaya lampu yang redup temarang,
namun darimana arah cahaya redup itu juga susah diketahui,
yang pasti Siau Ma tidak melihat adanya pelita atau obor.
"Apa betul kau ingin menjajal mereka?" tanya Cu Ngo
Thay-ya. "Betul," sahut Siau Ma tegas.
"Tidak menyesal akibatnya?"
"Apa yang sudah kuucapkan pantang kujilat kembali."
"Bagus."
Lenyap suara pujian Cu Ngo Thay-ya, tinju Wanyan
bersaudara lantas bergerak menggenjot dengan kencang,
begitu tangan terayun, deru anginnya yang keras hampir
memekak telinga Siau Ma.
Tinju kanan Wanyan Tiat mengincar rahang Siau Ma,
berbareng tinju kiri Wanyan Kang menggenjot rusuk kanan
Siau Ma. Ternyata Wanyan bersaudara hanya menyerang
dengan sebelah tangan masing-masing. Tapi bobot atau
kekuatan tinju mereka ada ribuan kati beratnya.
Siau Ma berlaku tenang, tidak bergerak.
Tinju kilat pasti berat, pukulan berat pasti cepat. Kalau
tenaga kedua pukulan ini berbobot ribuan kati, maka
kecepatannya tentu bagai kilat. Begitu tinju menjotos tenaga
pun disalurkan, umpama kuda pingitan yang lepas dari
kandang, atau panah yang terlepas dari busurnya, sukar
ditarik kembali.
Sebagai ahli tinju, bukan Siau Ma tidak tahu arti kekuatan
tinju lawan. Tapi Siau Ma adalah pemuda sederhana, otoknya
cerdik tapi berpikir secara sederhana, ditunjang pengalaman
segudang, maka menghadapi serangan lawan, ia tetap berlaku
tenang. Melihat Siau Ma tidak bergerak, lebih bernafsu Wanyan
bersaudara mengayunkan tinjunya, namun sedetik sebelum
tinju Wanyan bersaudara yang sebesar kelapa itu mengenai
tubuhnya, mendadak Siau Ma bergerak, selicin belut dan
selincah tupai ia menyelinap ke bawah terus melejit ke pinggir,
padahal angin pukulan lawan sudah membuat mukanya perih.
Memang beginilah kebiasaan Siau Ma, detik-detik gawat
beginilah yang dia nantikan, saat yang menentukan kalah
menang hanya dalam segebrak saja. Siau Ma memang suka
membuat kejutan, bila jiwanya terancam bahaya baru ia
memberi reaksi, kecuali pengalaman segudang, Siau Ma
memang ditunjang ketahanan dan keberanian.
"Blang", di luar dugaan, bukan tubuh Siau Ma yang
terhajar oleh kedua tinju Wanyan bersaudara, tapi tinju kanan
Wanyan Tiat beradu dengan tinju kiri Wanyan Kang malah.
Tiada orang bisa melukiskan betapa mengerikan suara
benturan kedua tinju gede bagai godam ini. Kecuali kerasnya
benturan dua tinju yang mengerikan, disertai juga suara
tulang patah dan remuk.
Dapat dibayangkan betapa sakit kedua tangan Wanyan
bersaudara yang remuk ini, tapi dua raksasa ini ternyata
bungkam tak mengeluh atau menjerit. Seperti tidak merasa
apa-apa, mereka tetap berdiri sekokoh gunung di tempatnya,
hanya raut muka mereka saja yang kelihatan bergetar dan
berkeringat, berkerut-merut menahan sakit.
Begitu menyelinap keluar, sebat sekali Siau Ma membalik
tubuh, secepat kilat tinjunya menjotos tulang rusuk kanan
Wanyan Tiat. Hebat memang laki-laki raksasa ini, meski tulang
rusuk terpukul patah, Wanyan Tiat ternyata tidak roboh,
tubuhnya hanya sedikit tergeliat, namun secepat kilat pula
tinjunya yang utuh balas menghajar perut Siau Ma.
Menghadapi serangan balasan lawan, Siau Ma tidak
menyingkir atau merubah gerakan, sebagai pemuda berdarah
panas, ia suka membereskan perkara secara singkat dan
cepat, dan Siau Ma bukan pesilat yang menggunakan tinju
dengan ngawur. "Blang", dua tinju beradu, tinju berhantam dengan tinju,
suara benturan adu tinju ini mengerikan, yang mendengar
pasti mengkirik dan berdiri bulu romanya, akibatnya ternyata
lebih mengenaskan lagi.
Siau Ma mencelat mumbul ke atas oleh benturan tinju
yang keras itu, di udara ia bersalto dua kali baru meluncur
turun. Wanyan Tiat tetap berdiri di tempatnya, namua sedetik
kemudian mendadak ia terjengkang mundur lalu meringkuk di
lantai. Saking menahan sakit, mulutnya meringis, tubuhnya
mengejang dan gemetar, mukanya basah oleh keringat dingin.
Kedua lengannya lunglai dan lemas tak mampu
digerakkan, tulang jari-jarinya remuk. Betapa sakitnya, namun
ternyata merintih pun tidak. Mungkin ajal pun ia tidak akan
mengeluh, karena mengeluh dianggap memalukan.
Di hadapan sang majikan, meski kedua lengannya lumpuh,
ia pantang menyerah, sambil mengertak gigi ia meronta
bangun, biar jiwa melayang seketika juga akan ia hadapi
dengan badan berdiri.
Melihat betapa tabah dan kuat fisik orang ini, tak urung
Siau Ma berseru memuji, "Laki-laki gagah!"
Melotot gusar mata Wanyan Kang, selangkah demi
selangkah dia menghampiri. Wanyan Kang masih ada tinju,
dengan sisa tinju yang satu ini dia masih mampu mengadu
jiwa, meski ia tahu tinjunya itu ibarat telur menghadapi batu,
namun sebelum bertempur sampai titik darah terakhir, dia
pantang mundur, tidak mau menyerah. Wanyan bersaudara
memang berhati baja, berani dan tabah, lebih penting lagi,
mereka setia terhadap sang junjungan, loyalitas mereka teruji
di saat mereka menghadapi saat-saat kritis seperti ini.
Siau Ma menghela napas. Siau Ma berjiwa luhur, bajik dan
cinta kasih terhadap sesama, ia paling menghargai manusia
jantan, laki-laki sejati, sayang sekali lawan yang terpuji ini
harus dihadapinya di medan laga, terdesak oleh keadaan,
tiada pilihan lain, maka ia harus bertindak tanpa kenal
kasihan. Keadaan menuntut Siau Ma mengadu jiwa, kalau
bukan aku yang mati kaulah yang mampus, bertarung sampai
babak terakhir dan bertempur hingga ada pihak yang kalah
dan menang. Kali ini Siau Ma tidak sabar lagi, sebelum Wanyan Kang
melabraknya, ia bertindak lebih dulu. Tinjunya menjotos lurus
ke depan, lurus seperti tombak menusuk, tinjunya bukan
memukul tinju Wanyan Kang, tapi memukul hidungnya.
Padahal untuk memukul hidung orang yang berperawakan
lebih tinggi dan dilindungi tinju raksasa itu, sungguh sukar dan
berbahaya. Tapi Siau Ma berani menyerempet bahaya, bukan karena
Siau Ma sengaja mengincar hidung orang, tapi dia menghargai
kesetiaan orang ini, loyalitasnya patut dihargai, maka Siau Ma
tidak menghancurkan tinju orang, melainkan menghajar
hidungnya. "Duk", darah muncrat dan meleleh di muka Wanyan Kang,
hidungnya pecah dan ringsek, walau mata berkunang-kunang,
lawan tidak terlihat, tapi dia menggerung kalap sambil
menyerang serabutan, dia masih ingin mengadu jiwa.
Siau Ma tidak memberi kesempatan pada lawannya, Siau
Ma tidak ingin menghancurkan karir orang hanya karena dia
mengabdi kepada kepentingan orang lain, berkorban secara
sia-sia. Waktu Siau Ma melompat sambil berputar, tinjunya
menghajar Thay-yang-hiat di pelipis Wanyan Kang dengan
telak. Wanyan Kang ambruk seperti pohon tumbang, Wanyan
Tiat masih berdiri diam, mengawasi saudaranya roboh tanpa
dapat berbuat apa-apa, mukanya basah entah karena keringat
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau air mata. Air mata kesedihan, air mata putus asa, karir mereka dapat
dipertahankan kalau bekal masih utuh, kini kekalahan sudah
nyata, daripada mendapat malu lebih baik mati. Wanyan Tiat
sudah bertekad untuk mati, tapi Cu Ngo Thay-ya, sang
majikan tidak sependapat, kalau sang raja tidak ingin mereka
mati, maka mereka harus bertahan hidup, maka ia hanya
berdiri terlongong tanpa bertindak lebih jauh. Meresapi
kekalahan ini dengan rasa sedih dan pilu, dalam hati ia
mengharap Siau Ma juga menghajar dirinya biar roboh
semaput daripada menanggung malu.
Pelan-pelan Siau Ma membalik tubuh ke arah orang yang
bercokol di kursi di kejauhan itu. Dengan seksama ia
mengawasi tanpa berkedip, kelihatannya orang itu tidak
bergeming sedikit pun, namun dari kejauhan masih kelihatan
angker dan agung.
Bab 15 Mendadak Siau Ma berseru lantang, "Kenapa kau bersikap
begini?" "Begini bagaimana?"
"Kau dapat mencegah mereka, mempertahankan mereka,
tapi kau sengaja membiarkan mereka hancur, kau tahu
mereka tak mampu mengalahkan aku."
Cu Ngo Thay-ya diam saja. Setelah Wanyan bersaudara
gagal memukul Siau Ma dan malah tinju mereka beradu
sendiri, bahwasanya ia sudah tahu bahwa kakak beradik
raksasa ini hakikatnya bukan tandingan Siau Ma.
"Betul tidak, kau sengaja ingin menghancurkan mereka?"
Dingin suara Cu Ngo Thay-ya, "Mereka sudah tidak
berguna, kenapa harus dipertahankan, biar hancur juga tidak
jadi soal."
Gemas Siau Ma dibuatnya, ingin rasanya menerjang ke
sana dan memukul ringsek hidungnya. Tapi Siau Ma sadar,
meski hati panas, kepala tetap dingin, aksinya hari ini
menanggung beban beberapa jiwa orang, kalau hanya dia
seorang diri, Siau Ma berani berbuat apa saja mesti harus
mempertaruhkan jiwa raga, tapi saat ini ia tidak boleh
bertindak gegabah.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Tadi sebetulnya mereka mampu
menghancurkan engkau."
Siau Ma tidak menyangkal.
"Perbedaan kalah menang hanya sekejap mata, terus
terang tidak kuduga kau menggunakan cara yang berani dan
jurus yang begitu berbahaya."
"Dalam keadaan kepepet demi mempertahankan hidup,
seorang akan berusaha melakukan sesuatu yang berbahaya."
"Besar benar nyalimu."
"Sudah biasa, nyaliku memang tidak kecil."
Lama Cu Ngo Thay-ya berdiam diri, di tengah keheningan
itu berkumandang suaranya yang bergema, "Duduk!"
Maka Siau Ma duduk.
Waktu Siau Ma membalik dan duduk di kursinya, baru ia
tahu Wanyan bersaudara entah sejak kapan sudah tidak
kelihatan lagi, entah pergi kemana, noda darah yang
berceceran di lantai juga sudah dibersihkan.
Anak buah Cu Ngo Thay-ya serba cekatan dan selalu beres
melakukan tugas, mereka bekerja secara reflek, tanpa
perintah tapi cepat.
Siau Ma menunggu cukup lama di tempat duduknya,
terdengar Cu Ngo Thay-ya berkata lagi, "Kusuruh kau duduk
lagi bukan karena perbuatanmu yang dulu terpuji, tetapi untuk
menghargai sepasang tinjumu."
"Aku maklum."
"Kau boleh duduk di sini, belum tentu kau dapat
mempertahankan hidupmu."
"Agaknya kau masih segan menerima sepasang tinjuku?"
"Barusan sudah kusaksikan, sepasang tinjumu memang
gaman yang ampuh dan berguna untuk membunuh orang."
"Terima kasih."
"Di medan laga, gaman untuk membunuh orang, jadi
belum tentu gaman itu merupakan kawan setia," suaranya
kalem, "air dapat membuat kapal terapung, tapi air juga bisa
membuat kapal tenggelam. Kalau aku menyimpan gaman
yang dapat membunuh orang, apalagi masih harus
disangsikan apakah gaman itu setia dan tunduk padaku,
apakah kehadirannya di sampingku tidak berbahaya?"
"Cekak-aos saja, apa kehendakmu" Cara bagaimana aku
harus meyakinkan dirimu untuk percaya kepadaku?"
"Paling tidak aku perlu waktu untuk
mempertimbangkannya."
"Sudah tak ada waktu lagi, tak usah kau pertimbangkan
lagi." "Kenapa tidak perlu pertimbangan?"
"Kau perlu waktu mempertimbangkan, sebaliknya waktuku
amat mendesak, kalau kau tak mau membantu, biar aku
keluar saja."
"Apa kau bisa keluar dari sini?"
"Akan kucoba."
Tiba-tiba Cu Ngo Thay-ya tertawa, "Kenapa tergesa-gesa,
apa kau tidak perlu menunggu temanmu" Nah, tengoklah dulu
keadaan temanmu, belum terlambat kalau kau ingin pergi."
Kaku dingin sekujur badan Siau Ma, perasaan pun
membeku. Kawan-kawannya ada di sini"
Maka Siau Ma bertanya, "Siapa yang harus kulihat?"
Tawar suara Cu Ngo Thay-ya, "Kecuali dirimu, ada seorang
lain juga ingin menemui aku dengan maksud yang sama
seperti engkau, ingin memberi kado kepadaku?"
"Siapa dia" Kado apa yang ingin diberikan kepadamu?"
"Sebilah pedang."
"Siang Bu-gi maksudmu?" teriak Siau Ma.
"Betul."
"Dia juga ada di sini?"
"Kedatangannya lebih dini darimu, tapi aku menerimamu
lebih dulu, aku tahu kau tidak pandai membual."
Siau Ma melenggong.
"Duduk," kembali Cu Ngo Thay-ya menyuruhnya duduk.
Terpaksa Siau Ma duduk pula. Kalau Siang Bu-gi juga di
tempat ini, mana boleh ia pergi" Mendadak Siau Ma sadar
bahwa dirinya sudah tercengkeram di tangan orang, dalam
posisi seperti dirinya, kecuali menyerah tiada jalan lain yang
dapat ia pilih.
Ketika suara tabur berkumandang, pintu besar pelan-pelan
terbuka. Siang Bu-gi sudah berada di luar pintu, wajahnya
berkeriput, kelihatan lebih tua sepuluh tahun.
Selama semalam ini entah apa yang dialaminya" Kesulitan
apa yang dihadapinya" Betapa bahaya yang mengancam
jiwanya" Dalam keadaan bahaya di tempat ini, mendadak melihat
Siang Bu-gi, kawan seperjuangannya, Siau Ma bagai melihat
sanak kadang yang sudah lama tidak bertemu di rantau, entah
bagaimana perasaan hatinya"
Siau Ma menatapnya, hampir saja tak kuasa menahan
linangan air mata.
Sebaliknya Siang Bu-gi tetap bersikap dingin, tak acuh,
menyapa dengan suara tawar, "Kau pun di sini?"
"Ya, aku di sini," hambar suara Siau Ma.
"Baik-baik saja kau?"
"Tetap segar."
Perlahan Siang Bu-gi beranjak masuk, setiba dalam
pendopo ia mengancing rapat mulutnya, jangan kata bicara,
melirik pun tidak kepada Siau Ma.
Terpaksa Siau Ma juga bungkam. Dia tahu watak Siang Bugi,
temannya ini mirip batu bara, kelihatannya dingin, hitam
dan keras, tetapi menyala dan membara, maka dia akan
menyala dan berkobar lebih besar dan panas dibanding kayu
atau arang, lebih hebat lagi, suhu panasnya dapat bertahan
cukup lama. Di saat dia menyala, cahayanya mungkin tidak seterang
obor, tapi secara nyata, suhu panasnya dapat membuat orang
yang kedinginan merasa hangat.
Kini Siang Bu-gi juga ada di sini, entah bagaimana dengan
yang lain" Disekap dalam bahaya dan kedinginan atau dalam
keadaan aman dan hangat"
Siang Bu-gi berdiri menghadap ke arah kerai mutiara,
dalam jarak tertentu ia berhenti dan tidak maju lagi, biasanya
Siang Bu-gi memang lebih tabah daripada orang lain.
Orang yang bercokol di balik kerai itu tidak kelihatan
bergerak, tetap duduk di tempatnya, seumpama patung
malaikat yang dipuja orang dan membiarkan orang-orang
yang memujanya berubah sujud kepadanya.
Siang Bu-gi berdiri diam dan tenang, sabar menunggu
orang bicara. Betul juga, mendadak Cu Ngo Thay-ya bertanya, "Kau
dapat membunuh orang?"
"Bukan hanya membunuh, aku juga menguliti orang,"
mantap suara Siang Bu-gi.
"Orang macam apa yang kau bunuh?" tanya Cu Ngo Thayya.
"Orang-orang yang tidak boleh dibunuh, aku bisa
membunuhnya, termasuk anak buahmu yang pembunuh itu."
"Rasanya kau amat yakin pada kemampuanmu sendiri?"
"Ya, aku yakin dapat menunaikan tugas dengan baik."
"Sayang sekali, seorang yang mempunyai lidah tajam juga
dapat membunuh orang."
"Tetapi aku juga punya pedang."
"Mana pedangmu?"
"Kusimpan di tempat yang tidak mudah dilihat orang, tapi
bila tiba saatnya aku harus membunuh, maka pedangku akan
menusuk tenggorokan orang itu."
Lama Cu Ngo Thay-ya menepekur, akhirnya ia berteriak
dengan suara kaku dan kereng, "Baiklah, duduk!"
Siau Ma duduk di kursi yang empuk. Yang dimaksud
dengan kursi empuk di sini bukan kursi biasa, tapi juga bukan
kursi kebesaran, namun kursi empuk ini keadaannya tidak
banyak beda dengan kursi kebesaran yang diduduki oleh raja,
atau seorang pemimpin besar.
Kursi empuk umumnya besar dan lebar, di kanan kirinya
ada gagang tangan, berukir dan antik serta nyaman, biasanya
orang yang sudah duduk di kursi empuk ini akan merasa
seperti duduk di tengah mega, tergantung di awang-awang.
Mega itu terbang, mega itu terapung di udara. Tidak
demikian dengan kursi yang ini, kursi jenis apapun di dunia ini
tidak ada yang terapung di udara.
Tapi kursi yang satu ini ternyata sedang terbang di udara,
melayang masuk seperti segumpal mega yang terapung, tiada
orang melihat ada orang membawa, menggotong atau
memikulnya, tapi kenyataan kursi ini bergerak maju dan
terapung di udara.
Ternyata kursi ini bergerak karena diangkat seorang,
bukan orang biasa, tapi seorang kate, laki-laki cebol,
perawakannya amat kecil, mirip anak-anak, orang hanya
melihat kursi besar empuk berlapis kulit harimau itu bergerak,
tapi tak melihat orang yang mengangkatnya.
Yang mengangkat kursi ternyata dua orang, dua orang
cebol, pinggang mereka tidak lebih besar dibanding kaki kursi
empuk itu, perawakan mereka mirip anak-anak berusia tujuh
tahun, karena wajah mereka sudah keriput, malah berjenggot.
Ada tiga jenis sabuk melingkar di pinggang kedua orang
cebol ini, yang di atas sabuk warna kuning emas, yang di
bawah sabuk perak, sabuk emas maupun sabuk perak
mengkilap dan menyilaukan mata. Setelah kursi besar itu
diletakkan di lantai, orang baru melihat jelas bentuk badan
kedua pemikul kursi itu.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Pedang adalah gaman untuk
melukai atau memhunuh orang."
"Betul," sahut Siang Bu-gi.
"Lebih panjang lebih kuat, makin pendek makin
berbahaya."
"Betul."
"Sebatang pedang, apakah dia menakutkan tergantung
dari panjang pendek bentuknya!"
"Tidak salah."
"Demikian juga manusia pemakainya."
Kali ini Siang Bu-gi hanya mengiakan dalam mulut.
"Dua orang ini cebol, sejak usia 10, mereka sudah
meyakinkan ilmu pedang, sekarang usia mereka sudah empat
puluh satu tahun."
Tiga puluh tahun meyakinkan ilmu pedang, berarti tiga
puluh tahun pula mereka mengasah pedang, maka dapat
dibayangkan bahwa pedang mereka adalah gaman yang
tajam, lalu bagaimana kepandaian ilmu pedang orang yang
telah belajar selama tiga puluh tahun"
"Aku kenal mereka," ucap Siang Bu-gi.
"O, kau tahu?"
"Yan Lam-thian adalah jago pedang nomor satu di seluruh
jagat raya ini, perawakannya satu tombak tujuh dim, meski
bertubuh besar dan kekar, namun kelincahan dan kehebatan
permainan ilmu pedangnya tiada tandingan di kolong langit."
Setiap insan persilatan tidak ada yang tidak kenal siapa itu
Yan Lam-thian, tiada kaum persilatan yang tidak menaruh
hormat dan segan kepadanya.
Seorang tokoh silat kalau bertahun-tahun difokuskan,
dijadikan bahan cerita, sebagai bahan bicara seperti dalam
dongeng atau legenda, maka segi kebenaran dari cerita atau
dongeng itu lama kelamaan menjadi kabur dan lepas dari
kenyataan. Demikian halnya dengan Yan Lam-thian,
kenyataan dia tidak berperawakan setinggi satu tombak tujuh
dim, tapi kebesaran jiwanya, kegagahan dan keperkasaannya,
sepanjang sejarah persilatan tiada orang yang pernah
menandinginya. "Jago pedang yang paling kosen zaman ini, berjuluk Ki-bupa,
tapi kiam-hoatnya ternyata bukan tandingan Pek Giokseng."
"Ya, memang benar, tiga belas kali dia dikalahkan oleh
Tiang-seng-kiam."
"Tapi satu hal kau harus tahu. Jago pedang terkosen dan
terbesar di zaman ini pasti bukan dia."
"Ya, aku tahu."
"Tapi di kalangan kangouw, orang cebol yang meyakinkan
ilmu pedang pasti adalah Ling-liong-siang-kiam."
"Hm, agaknya tidak sedikit seluk-beluk dunia persilatan
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kau ketahui?"
"Kedua orang cebol ini adalah Ling-liong-siang-kiam,
sedikitnya sudah seratus tujuh belas jago silat yang mati di
bawah pedang mereka."
"Ya, kira-kira begitu."
"Sabuk mereka adalah pedang mereka. Ling-liong-siangkiam
merupakan perpaduan pedang emas dan pedang perak,
panjang pedang emas tiga kaki tujuh dim, panjang pedang
perak empat kaki satu dim. Orang pendek pedang panjang,
menyerang secara terapung di udara, jarang ada lawan yang
selamat dari rangsekan bersama pedang mereka."
"Ya, memang jarang ada lawan yang selamat."
"Hanya ada satu cara untuk mengalahkan ilmu pedang
mereka." "Cara apa?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
Siang Bu-gi menjelaskan, "Diserang gencar sebelum
mereka sempat mencabut pedang."
Seluruhnya Siang bu-gi mengucap delapan patah kata.
Kata pertama diucapkan, pedangnya terlolos, saat kata kedua
terlontar dari mulutnya, pedang di tangannya sudah
mengancam tenggorokan pedang emas. Demikianlah bolakbalik
pedangnya bergerak, secara beruntun mengancam
tenggorokan kedua orang cebol itu hingga kata yang ketujuh,
ketika kata terakhir lepas dari bibir Siang Bu-gi, pedangnya
sudah kembali ke sarungnya.
Ling-liong-siang-kiam berdiri melenggong. Pedang
memang tidak sempat dicabut, umpama mereka nekat
mencabut pedang, leher mereka tentu bolong dan jiwa pun
melayang. Padahal meski cebol, kedua orang ini bukan manusia
sederhana, otaknya tidak tumpul, gerak-gerik mereka cekatan
dan tangkas, Wanyan bersaudara merupakan contoh nyata
bagi mereka, maka mereka pun pantang menjadi korban
secara konyol, tidak mau mampus secara sia-sia dan
penasaran. Keringat dingin membuat badan mereka basah.
Sesaat lamanya, pendopo besar itu menjadi hening.
Bukti di depan mata, maka Cu Ngo Thay-ya berkata,
"Bagus, ilmu pedang luar biasa."
Siang Bu-gi tidak sungkan, namun ia diam saja menerima
pujian, dia bukan orang yang pandai bertata-krama.
Siau Ma juga tidak sungkan, maka ia buka suara, "Tinjuku
juga tidak lambat, tidak kalah dibanding ilmu pedangnya."
"Lalu tinjumu lebih cepat atau pedangnya lebih lihai?"
tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Entah," Siau Ma geleng kepala.
"Kenapa kalian tidak mencobanya?"
"Ya, suatu ketika kelak kami ingin mencobanya, tapi bukan
sekarang ...."
"Kenapa kalau sekarang?"
"Sekarang aku sedang berusaha, berjuang untuk
melindungi teman-teman lewat gunung ini dengan aman dan
sampai ke tujuan dengan selamat."
"Jadi kalau teman-temanmu lewat gunung dan sampai
tujuan dengan selamat, pedang dan sepasang tinju kalian
akan menjadi milikku?"
Siau Ma menoleh dan mengawasi Siang Bu-gi.
Siang Bu-gi lantas menjawab, "Ya, demikian."
Cu Ngo Thay-ya tertawa besar, "Bagus, sahabat baik, tidak
malu kalian menjadi sahabat baik." Gelak tawanya
berkumandang secara mendadak, tapi juga berhenti dan sirap
secara mendadak. Waktu gelak tawanya bergema dalam
pendopo, kerai mutiara tampak bergoncang seperti dihembus
angin deras hingga gemerisik ramai, setelah gelak tawa
berhenti, suara gemerisik kerai mutiara itu masih terdengar.
Siau Ma menoleh pula ke arah Siang Bu-gi, kemudian
mereka manggut bersama. Mereka maklum Khi-kang raja
Long-san sudah diyakinkan secara sempurna, mencapai taraf
tertinggi dan mengejutkan. Umpama tinju Siau Ma dan pedang
Siang Bu-gi menyerang serempak juga belum tentu dapat
menandingi kepandaian orang.
Mendadak Cu Ngo Thay-ya bertanya pula, "Rombongan
kalian berjumlah 9 orang, tiga di antaranya pergi ke danau
Surya, kalian berdua di sini, lalu dimana empat teman kalian?"
"Di suatu tempat yang aman," Siang Bu-gi menjawab
tegas. "Apa betul tempat itu aman?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
Terkancing mulut Siang Bu-gi, dia tidak yakin ada suatu
tempat di gunung ini yang aman.
"Di seluruh wilayah Long-san, hanya ada satu tempat yang
aman." "Hotel Damai maksudmu?" tanya Siau Ma.
Cu Ngo Thay-ya tertawa dingin.
"Kecuali hotel Damai, memangnya ada tempat lain yang
aman di sini?" tanya Siau Ma.
"Ya, ada, di sini," tegas suara Cu Ngo Thay-ya. "Di seluruh
kolong langit, tiada orang berani membuat onar atau perkara
apapun di pendopo ini. Biar Ting Si atau Teng Ting-hou juga
tidak berani kurangajar di tempat ini."
"Kecuali itu?" Siau Ma menegas.
"Kecuali kedua tempat ini, dimana pun mereka berada,
setiap saat jiwanya dapat terancam bahaya."
Rasa kuatir terbayang pada mimik muka Siau Ma. Ia
maklum Cu Ngo Thay-ya tidak main gertak, pengalaman juga
sudah membuktikan warga gunung serigala yang serba liar ini
memang ganas dan buas, maka Siau Ma berkata pada Siang
Bu-gi, "Apa betul mereka aman?"
"Ya, pasti."
Bukan Siang Bu-gi yang menjawab pertanyaan Siau Ma,
tapi raja yang berkuasa di Long-san, Cu Ngo Thay-ya.
Membeku perasaan Siau Ma.
Ujung jari Siang Bu-gi juga kelihatan gemetar, telapak
tangan dan kaki berkeringat dingin. Biasanya tangannya itu
memegang gagang pedang, mantap lagi tenang, meski sering
kali berkeringat, namun tidak pernah goyah atau gemetar.
Gelagatnya ia tidak kuasa mengendalikan gejolak perasaan
setelah mendengar pernyataan Cu Ngo Thay-ya, Siang Bu-gi
juga maklum apa arti ucapan Cu Ngo Thay-ya.
Sudah tentu Siau Ma juga maklum. Kalau hanya di hotel
Damai dan di pendopo ini saja tempat yang paling aman di
seluruh wilayah Long-san, apalagi sebagai orang yang
berkuasa di sini, Cu Ngo Thay-ya sudah memberi pernyataan
secara terbuka, maka itu berarti bahwa keselamatan Thiogongcu,
Hiang-hiang, Lan Lan dan adiknya tidak perlu
dikuatirkan lagi. Padahal mereka jelas sudah meninggalkan
hotel Damai, maka tempat satu-satunya yang aman dan dapat
menyelamatkan jiwa mereka tentu di pendopo ini. Jadi Lan
Lan berempat kini juga sudah berada di tempat ini.
Agak lama kemudian Siau Ma menghembus napas lega,
"Bagaimana mereka bisa berada di sini?"
"Aku yang membawa mereka kemari."
Siang Bu-gi tidak buka suara, Cu Ngo Thay-ya juga tidak
bicara, tapi daun pintu terbuka perlahan, seorang menyelinap
masuk lalu melangkah dengan enteng, orang ini bukan lain
adalah juragan Jik.
Terkepal kencang tinju Siau Ma, "Agaknya kau
memperoleh keuntungan besar dalam usahamu yang lihai ini."
Juragan Jik menyengir getir, "Sebagai pedagang, aku
selalu mencari dan mendapat obyek, tapi obyekku kali ini
mengundang rugi yang tidak sedikit. Memang aku tidak perlu
keluar modal, tapi tenaga yang harus kucurahkan tidak
setimpal dengan hasil yang kudapatkan."
"Masa dagang yang merugikan juga mau kau lakukan?"
jengek Siau Ma.
"Selama aku berdagang tidak pernah rugi, hanya sekali ini,
yakin lain kali tidak akan terjadi lagi," demikian oceh juragan
Jik sambil menghela napas. "Mereka adalah tamu-tamuku
yang baik, betapapun tidak tega aku melihat mereka menjadi
korban secara konyol dalam gua itu."
"Gua apa?" tanya Siau Ma.
"Yang mana lagi" Gua yang terletak di belakang Hwi-huncwan
itu." "Bagaimana kau tahu kalau mereka berada di sana?"
"Siang-siansing ini menganggap gua itu aman, terlindung
dan juga tersembunyi, padahal dia orang luar, di luar tahunya
orang-orang yang masuk ke gua itu justru akan mampus
secara konyol dan tak bakal memperoleh liang kubur yang
layak," setelah menghela napas ia menambahkan, "setiap
warga Long-san tahu dan kenal tempat itu, mulut gua
memang tersumbat atau tertutup oleh air terjun, Batu
berlumut amat licin, orang tidak mudah menyerbu masuk ke
sana, tapi gua itu buntu, tak mungkin orang lari lewat pintu
belakang, kalau musuh berkepandaian tinggi dan berhasil
menyerbu ke dalam, mana mungkin mereka menyelamatkan
diri?" Membesi hijau selebar wajah Siang Bu-gi.
Siau Ma bertanya, "Tempat itu tersembunyi, kau dapat
menemukannya, hebat juga kau ini." Siau Ma memuji Siang
Bu-gi. Juragan Jik manggut-manggut, "Warga gunung ini sukar
menemukan tempat itu kalau tidak ditunjukkan orang yang
tahu tempatnya. Apalagi orang luar, tapi temanmu ini dapat
menemukan gua itu, dia memang patut dipuji."
"Lalu siapakah yang menunjukkan tempat itu?" tanya Siau
Ma. Siang Bu-gi anggap tidak mendengar pertanyaan Siau Ma.
"Mungkin anjing pemburu," ucap juragan Jik kalem.
"Anjing pemburu?"
"Pemburu biasanya melepas seekor anjing untuk
memancing harimau ke tempat dimana perangkap sudah
diatur, maka dengan mudah harimau itu tertangkap, di sini
anjing itu dinamakan anjing pemburu."
"Tahukah kau siapa anjing pemburu itu?"
"Sudah tentu aku tahu."
"Siapa?" sengit suara Siau Ma.
"Aku," sahut juragan Jik tertawa.
Di luar dugaan, tinju Siau Ma yang sudah terkepal kencang
pelan-pelan diturunkan. Tinju Siau Ma hanya untuk memukul
orang, bukan untuk menghajar anjing. Juragan Jik memang
pantas menjadi anjing, kalau dinilai, dia malah lebih rendah
dibanding anjing.
Dasar anjing, juragan Jik masih juga berani mengoceh,
"Aku pernah berjanji kepada nenek peyot itu untuk membalas
budinya sekali saja, tapi aku juga pernah berjanji kepada Cu
Ngo Thay-ya, selama aku hidup dan mencari nafkah di gunung
serigala, mutlak aku tunduk dan patuh pada perintahnya,
sekarang kedua-duanya sudah kulaksanakan dengan baik."
"O?" Siau Ma bersuara pendek dalam mulut.
"Kalian sendiri minta kepadaku supaya kubawa kalian
menemui Cu Ngo Thay-ya, sekarang aku sudah memenuhi
harapan kalian, secara kebetulan Cu Ngo Thay-ya juga minta
padaku supaya membawa kalian menemui beliau. Jadi secara
tuntas sudah kubalas kebaikan nenek peyot itu kepadaku,
dengan tanpa melanggar pantangan Cu Ngo Thay-ya," setelah
menghela napas lega, juragan Jik menyambung dengan
tertawa, "maklum, aku ini pedagang yang selalu mencari
untung dan tidak mau rugi, untuk mencapai sukses supaya
dagangan laris, kepada kedua pihak aku harus mencari muka,
menanam kepercayaan, terhadap siapa pun aku tidak boleh
berbuat salah."
"Kalau begitu kenapa kau membunuh Liu Kim-lian?" tanya
Siau Ma. "Bukan aku ingin membunuh dia," sahut juragan Jik.
"Lalu siapa yang menyuruh kau membunuhnya?"
"Hanya Cu Ngo Thay-ya yang bisa memerintah aku
membunuh orang di sini."
"Liu Kim-lian berbuat dosa terhadapnya?"
"Tadi sudah kujelaskan, aku orang dagang yang selalu
mencari untung, urusan tetek-bengek aku tidak mau tahu."
"Membunuh orang juga termasuk dagang?"
"Ya, tapi bukan dagang biasa, membunuh orang adalah
dagang luar biasa, bayarannya cukup tinggi."
Mendadak Siang Bu-gi menyeletuk, "Dagang yang kau
maksud juga sering kulakukan."
Juragan Jik tertawa, "Ya, aku tahu, sebagai pembunuh
bayaran kau sering membunuh orang."
"Ya, aku sering membunuh orang, tapi belum pernah
membunuh anjing," ujar Siang Bu-gi ketus.
Mengejang raut muka juragan Jik, ia merasa adanya
sindiran serius dari ucapan Siang Bu-gi, maka suaranya
berubah sengau, "Di daerah pegunungan ini belum pernah
ada anjing, yang ada hanya serigala."
"Serigala memang banyak, tapi anjing hanya seekor,"
suara Siang Bu-gi mendesis datar.
Bab 16 Juragan Jik mundur beberapa langkah, katanya dengan
menyengir lucu, "Tadi kau bilang tidak pernah membunuh
anjing, kuyakin kau tidak akan melanggar pantangan sendiri."
"Sebagai pembunuh, aku harus bekerja menurut gelagat,
bila perlu dan terpaksa harus melanggar pantangan juga tidak
menjadi soal."
Pucat muka juragan Jik, setelah menyurut mundur agak
jauh, mendadak ia putar badan lalu menerjang keluar. Tapi
sebelum tangannya menarik daun pintu, pedang di tangan
Siang Bu-gi sudah disambitkan, pedang lemas sepanjang
empai kaki itu meluncur laksana lembing, juragan Jik baru
menegakkan badan sambil menarik daun pintu, tahu-tahu
pedang lemas itu menusuk punggung tembus ke dada dan
"Trap", suara ini tidak begitu keras, tapi nyata, tanpa menjerit
tubuh juragan Jik terpantek di pintu.
Mungkin juragan ini mati penasaran, penasaran karena
tidak pernah menyangka di tempat kekuasaan Cu Ngo Thay-ya
ada orang luar berani membunuh orang, celakanya yang
menjadi korban adalah dirinya.
Tanpa jeritan tiada keluhan, ujung pedang tajam lagi tipis
itu menembus jantung, mengantar sukmanya ke alam baka.
Beberapa saat lamanya suasana amat hening dalam
pendopo besar itu, agak lama kemudian baru berkumandang
suara Cu Ngo Thay-ya, "Besar sekali nyalimu."
Sebelum Siang Bu-gi menjawab, Siau Ma bersuara lebih
dulu, "Temanku ini memang bernyali besar."
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berani kau membunuh orang di tempatku ini," kereng
suara Cu Ngo Thay-ya.
"Meski besar nyalinya, sebetulnya ia tidak ingin membunuh
orang di sini, tapi dia juga tidak mau melanggar aturannya
sendiri," demikian Siau Ma menjelaskan.
"Aturannya sendiri" Aturan apa?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Dia pantang ditipu orang, orang yang menipunya tidak
ada yang diberi ampun, tidak ada orang yang menipunya
bertahan hidup setengah jam."
"Kau tahu aturanku di sini?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Coba jelaskan," tanya Siau Ma.
"Hukuman mati bagi setiap pembunuh."
"Aturanmu memang bagus."
"Sebagai orang yang berkuasa dan disegani, aku tidak
ingin ada orang melanggar aturanku."
"Sebetulnya aku tidak suka melanggar aturan."
"Bagus, sekarang kau mewakili aku membunuhnya."
"Boleh," sahut Siau Ma sambil membalik badan pelan-pelan
berhadapan dengan Siang Bu-gi, "sejak lama aku sudah ingin
mencobanya, apakah tinjuku lebih cepat atau pedangnya lebih
lihai." * * * * * Waktu Siang Bu-gi mencabut pedang, darah menetes di
ujung pedangnya.
Tinju Siau Ma sudah terkepal siap beraksi.
Wajah Siang Bu-gi membesi hijau, kaku dan dingin tidak
menunjukan perasaan.
Siau Ma berkata, "Bersihkan dulu noda darah di
pedangmu."
"Kenapa harus dibersihkan?" tanya Siang Bu-gi.
"Kalau tinjuku tidak mampu membunuhmu, aku tidak suka
mati di ujung pedang yang berlumuran darah anjing."
"Alasan bagus," ucap Siang Bu-gi sambil membalik badan,
lalu ia membersihkan noda darah di ujung pedangnya dengan
kulit harimau yang melapisi kursi empuk itu.
Mendadak Siau Ma membalik ke arah kerai mutiara,
"Batalkan saja, mendadak aku sadar, hal ini tidak boleh
kulakukan."
"Soal apa tidak boleh kau lakukan?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Aku tidak boleh membunuhnya," sahut Siau Ma lantang.
"Kenapa?" desak Cu Ngo Thay-ya.
"Mendadak aku ingat sesuatu."
"Sesuatu apa?"
"Tadi kau bilang, aturanmu yang berlaku di sini adalah
'hukuman mati bagi pembunuh orang', betul tidak?"
"Ya, betul."
"Tapi temanku ini barusan tidak membunuh orang, dia
membunuh seekor anjing."
Seseorang setelah menyatakan diri sendiri adalah seekor
anjing, kenapa orang lain harus menganggapnya sebagai
manusia" Siau Ma berkata lebih jauh, "Kukira tidak pernah ada
aturan 'hukuman mati bagi pembunuh anjing' yang berlaku di
tempatmu ini, benar tidak?"
Dimana pun tidak pernah ada aturan atau larangan
demikian. Mendadak Cu Ngo Thay-ya bergelak tawa, begitu keras
dan tinggi nada tawanya hingga kerai mutiara bergoncang
seperti ditiup angin puyuh, suaranya yang gemericik berpadu
dengan bunyi tambur yang bertalu-talu.
Maka terpentanglah pintu besar di belakang mereka.
Terbuka pelan-pelan.
Empat orang memikul dua tandu beranjak masuk, dua
orang lagi berjalan di belakang tandu. Dua orang yang
berjalan di belakang bukan lain adalah Hiang-hiang dan Thiogongcu.
Sementara yang berada dalam tandu sudah pasti
adalah Lan Lan dan adiknya yang sakit.
Cu Ngo Thay-ya berkata, "Memang tidak malu kalian
menjadi sahabat baik, peduli apapun yang terjadi, adalah
pantas kalau aku mempertemukan kalian terakhir kali."
"Memangnya kenapa kalau kami sudah bertemu lagi?"
demikian tanya Siau Ma dalam hati, pertanyaan tidak ia ajukan
secara terbuka. Soalnya ia merasa urusan yang dihadapinya
cukup ruwet, faktor-faktor penentu amat banyak dan berbelitbelit,
semua segi persoalan yang dihadapinya belum atau tidak
terpikir olehnya sebelum mereka naik gunung, celakanya
keadaan yang mereka hadapi selalu berubah setiap saat,
semua perubahan yang terjadi juga di luar dugaan. Sekarang
mereka sudah ada di atas gunung, dengan tekad dan
keberanian yang tidak dimiliki orang lain, seolah-olah mereka
telanjur duduk di punggung harimau, naik turun serba salah.
Tapi satu hal sudah jelas, kehadirannya bersama temanteman
yang lain atas dasar suka rela, oleh karena itu, dia
dipaksa untuk tetap bercokol di punggung harimau, bertindak
menurut perubahan yang akan terjadi, umpama akhirnya jiwa
melayang dan badan dicaplok harimau juga menjadi suratan
takdir. Meski harus mati, tapi harus mati secara berharga, dengan
gagah dan perkasa, mati pun takkan menyesal.
Demi teman dan untuk gadis yang dicintai, ia harus
berusaha bertahan hidup, meski hanya sehari juga harus
berjuang untuk keselamatannya.
Oleh karena itu, Siau Ma belum boleh mati, dia harus
bertahan dan berjuang untuk membela dan melindungi
mereka. * * * * * Hiang-hiang berjalan dengan lambat, agaknya
kesehatannya belum pulih benar, kondisinya masih lemah.
Thio-gongcu mendampinginya, selangkah pun tidak
berpisah, sorot matanya tidak pernah berpisah dengan wajah
jelita sang gadis yang dipujanya. Tapi Hiang-hiang menunduk,
melirik pun tidak, seakan-akan tiada orang di sampingnya.
Tapi Thio-gongcu tidak peduli, hidupnya hanya untuk Hianghiang,
demi keselamatannya.
Banyak ragam perasaan, banyak macam cinta di dunia ini,
semua sukar dijelaskan secara terperinci, demikian cinta yang
merasuk hati Thio-gongcu, cintanya terhadap Hiang-hiang
merupakan salah satu ragam dari sekian banyak jenis cinta
yang suci dan murni.
Sejak lama Thio-gongcu menjadi gelandangan di Kangouw,
hidup sebatangkara, merana dan terlunta-lunta, kini usia
menanjak tua. Thio-gongcu maklum dengan usianya yang
sudah setengah baya, dirinya tidak cocok, tidak patut
mempersunting gadis belia semuda Hiang-hiang. Akan tetapi,
meskipun jelek dia adalah manusia, laki-laki lumrah, setelah
meresapi arti kehidupan selama setengah abad dalam
lingkaran hampa, dia mendambakan hiburan ketenteraman
hidup, kehangatan keluarga dengan semangat baru yang tidak
bergantung oleh keadaan.
Memang cinta kasih Thio-gongcu terhadap Hiang-hiang
tidak seratus persen merupakan cinta seorang laki-laki
terhadap perempuan umumnya, juga bukan cinta monopoli,
bukan hak milik pribadi, tapi lebih tepat kalau cinta Thiogongcu
terhadap Hiang-hiang merupakan pujaan, sebagai
pengorbanan. Siau Ma paham dan menyelami perasaan hati temannya, di
samping kagum, ia pun menghormati harga dirinya. Karena
Siau Ma tahu hal itu merupakan kenyataan, yang ditelurkan
secara nyata dan gamblang, secara murni, maka ia patut
dihargai, pantas dihormati.
* * * * * Empat orang pemikul tandu adalah laki-laki yang bertubuh
kekar berotot, berbaju hitam bercelana putih, tampak kereng,
gagah dan kuat, mereka bukan naik tandu semula yang
dibawa Lan Lan dari bawah gunung.
Ketika tandu diturunkan, Hiang-hiang mempercepat
langkah memburu ke depan tandu lalu menyingkap kerai. Lan
Lan segera beranjak turun sambil berpegang pada tangan
Hiang-hiang. Setelah mengalami perjalanan jauh beberapa hari yang
melelahkan, mengalami banyak rintangan yang mengancam
jiwa, nona jelita ini tidak kelihatan lesu atau lelah, wajahnya
malah kelihatan cerah, cantik rupawan dan segar. Waktu
tandu diusung ke tempat ini, ia sudah berdandan dan bersolek
dalam tandu, maka keadaannya tetap kelihatan semangat dan
segar. Gadis ini cukup cerdas, dalam menghadapi mara
bahaya, senjata paling ampuh bagi seorang perempuan adalah
wajah ayu dengan tubuh yang montok menggiurkan.
Selama mengenal Lan Lan, Siau Ma mengaguminya, tiada
sesuatu pada gadis yang satu ini membuat hatinya kurang
puas, semua serba baik dan sempurna, gadis ini memang
pandai menempatkan dirinya dalam keadaan atau situasi yang
paling buruk sekalipun.
Setelah turun dari tandu, hanya sekilas Lan Lan mengerling
ke arah Siau Ma, lalu beranjak maju beberapa langkah
menghadap kerai mutiara, dengan laku hormat dan gayanya
yang lembut menarik ia membungkuk tubuh, serta bersuara
dengan nada merdu mengasyikkan, "Lan Lan menyampaikan
sembah sujud kepada Cu Ngo Thay-ya," suaranya lembut dan
halus, gayanya juga mempesona.
Biar Cu Ngo Thay-ya sudah lanjut usia, betapapun beliau
adalah laki-laki, Lan Lan percaya, asal dia laki-laki normal,
peduli usia lanjut atau masih bocah, pasti tertarik pada
dirinya. Memang daya tarik inilah senjata ampuh yang
dimilikinya untuk menghadapi Cu Ngo Thay-ya.
Cu Ngo Thay-ya tidak memberi reaksi.
"Aku hanya seorang perempuan lemah yang tak berguna,
namun aku yakin suatu ketika akan datang saatnya dapat
mendharma baktikan tenagaku untuk kepentingan kau orang
tua, kapan saja cukup kau orang tua memberi perintah
sepatah kata, pasti akan kulaksanakan," tutur katanya tidak
menyolok, namun mengandung daya tarik nan romantis,
setiap laki-laki akan maklum kemana arah maksud
perkataannya. Lan Lan yakin Cu Ngo Thay-ya tidak akan menolak
permintaannya, ia terlalu yakin, urusan apapun bila dirinya
yang mengajukan tentu ada harapan dan bisa terkabul.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Lan Lan, bahwa gaman
terpercaya yang dimilikinya selama ini tidak manjur, karena
tidak memperoleh reaksi yang diharapkan, Lan Lan bergerak
maju ke depan. Maka didengarnya Cu Ngo Thay-ya bersuara dengan nada
dingin dan kaku, "Berhenti!"
Terpaksa Lan Lan berhenti, namun ia belum putus asa,
katanya pula lebih halus, "Aku ingin melihat dan berhadapan
langsung dengan kau orang tua, apakah sekedar permintaan
ini pun tidak kau kabulkan?"
Kereng suara Cu Ngo Thay-ya, "Kau lihat undakan batu di
depanmu itu?"
Undakan batu yang dimaksud tak jauh berada di depan
Lan Lan, sudah tentu dilihatnya dengan jelas. Dua tombak
jaraknya dari pintu besar, ada beberapa tingkat undakan batu
yang mengkilap bersih seperti kaca.
Suara Cu Ngo Thay-ya berkumandang keras, "Siapa berani
menginjak undakan batu kaca itu, meski hanya selangkah,
tanpa pandang bulu, akan kupenggal kepalanya tanpa
perkara." Baris depan dari undakan batu itu jaraknya ada dua
puluhan tombak dari kerai mutiara. Kenapa Cu Ngo Thay-ya
mempertahankan jarak sejauh itu untuk berbicara dengan
orang" Lan Lan tidak bertanya, tidak berani bertanya. Gaman
yang diandalkan sudah tidak berfungsi lagi, babak pertama
adu keahlian sudah kalah total.
Setelah hening sesaat, suara Cu Ngo Thay-ya
berkumandang lagi, "Apa benar saudaramu sakit?"
Sebelum bicara, Lan Lan menghela napas, suaranya pun
rawan, "Ya, sakit parah sekali, mohon sudilah kau orang tua
...." Di saat Lan Lan bicara, diam-diam Thio-gongcu beranjak
ke depan hampir mencapai undakan batu, tiada orang
memperhatikan gerak-geriknya.
Lan Lan tidak sempat bicara habis, karena mendadak Cu
Ngo Thay-ya menghardik dengan lantang, "Berhenti!" begitu
keras suaranya sampai menggoncang kerai mutiara, tidak
terkecuali Siau Ma, Siang Bu-gi dan Lan Lan merasa pekak
oleh hardikan keras itu.
Tapi Thio-gongcu seorang tuli, bukan saja tidak
terpengaruh oleh bentakan keras itu, malah menerjang ke
depan seraya membentak juga, "Jangan kau menipu aku, kau
...." Biasanya Thio-gongcu bergerak lamban, malas-malasan,
padahal Ginkangnya amat tinggi, belum habis ia bicara,
tubuhnya meluncur belasan tombak ke depan.
Pada saat yang sama, dari belakang kerai mutiara yang
bergoncang itu menyelinap keluar bayangan seorang, gerakgerik
bayangan ini mirip hantu, begitu berhadapan langsung
menyergap dengan serangan keji lagi dahsyat. Siau Ma dan
Siang Bu-gi belum sempat memperhatikan bentuk maupun
wajahnya, tubuh penyergap yang terapung di udara
menggerakkan kaki menendang dada Thio-gongcu.
Padahal kungfu Thio-gongcu tidak lemah, selama ini ia
cukup disegani di Kangouw, ternyata menghadapi sergapan
yang tidak terduga ini, ia tidak mampu menyelamatkan diri,
kenyataan tendangan penyergap memang hebat luar biasa.
Tubuh Thio-gongcu mencelat jungkir balik, waktu tubuhnya
terbanting di undakan batu, terus berguling-guling ke bawah
lalu berhenti di depan Siau Ma dan Siang Bu-gi.
Hiang-hiang menjerit kuatir, langsung ia menubruk maju
serta memeluknya, suaranya memekik setengah kalap,
"Kenapa kau berbuat begini?"
Thio-gongcu mengertak gigi menahan sakit, tulang
dadanya tertendang remuk, isi perutnya hancur luluh, dipeluk
Hiang-hiang rasa sakit yang terbayang di wajahnya seketika
sirna, berubah menjadi perasaan lega dan damai, ingin
berbicara, tapi begitu mulutnya terbuka, darah segar
menyembur mengotori muka dan pakaian di dada Hianghiang.
Hiang-hiang menyeka noda darah di mukanya dengan
lengan baju, sambil menyeka, tak tertahan air mata
bercucuran, air matanya membasahi muka Thio-gongcu yang
baru saja ia bersihkan.
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Napas Thio-gongcu tersengal-sengal, dengan hambar ia
mengawasinya, batuk membuat dadanya sakit sekali, namun
ia memaksakan diri tersenyum, beberapa kali ia meronta
untuk berbicara, namun gagal, pelukan Hiang-hiang yang
kencang menenteramkan gejolak hatinya, setelah napasnya
agak teratur baru ia dapat bersuara gagap, "Sungguh tak
nyana ... menjelang ada orang yang mau mencucurkan air
mata untukku ...."
Siau Ma juga berjongkok di sampingnya, dengan lirih ia
bertanya, "Kenapa kau berbuat senekad ini?"
Napas Thio-gongcu mendadak berpacu seperti kereta uap
yang kehabisan air, pertanyaan Siau Ma membuatnya emosi,
perasaannya bergolak, namun ia hanya sempat mengucap
sepatah kata, "Karena ...." Lalu napas putus, jiwa pun
melayang. Hiang-hiang menjerit sesambatan, isak tangisnya amat
memilukan. Hiang-hiang maklum, betapa besar cinta Thiogongcu
terhadap dirinya, namun sebagai gadis remaja yang
masih punya masa depan, Hiang-hiang tak berani memberi
harapan secara nyata, maklum Thio-gongcu tidak lebih hanya
seorang tua yang hidup sebatang kara, betapapun umur
mereka berbeda cukup banyak, Hiang-hiang patut menjadi
anaknya, Thio-gongcu hanya seorang tua tukang sepatu yang
hidup serba kekurangan.
Kini baru Hiang-hiang sadar, untuk menerima cinta
seseorang tidak tergantung pada kedudukan atau usia, tapi
harus dinilai apakah cintanya suci dan murni. Sayang sekali
Hiang-hiang sadar setelah terlambat, sadar setelah Thiogongcu
menemui ajal dalam pelukannya.
Siau Ma tidak menangis, Siang Bu-gi hanya menggreget
saja. Dengan seksama mereka mengawasi seorang yang
berdiri di luar kerai mutiara, orang yang barusan menyergap
Thio-gongcu dengan tendangan mautnya.
Ternyata orang ini berperawakan cebol, meski bertubuh
pendek dan kecil, tapi perawakannya cukup kekar, tegap lagi
berotot, walau panjang kakinya tidak ada dua kaki, tapi besar
dan kasar seperti dahan pohon.
Mendadak Siang Bu-gi mengejek dingin, "Hwi-hun-ga
(tendangan mega terbang) yang lihai."
Orang cebol itu menyeringai, mulutnya terbuka lebar tapi
suara tidak keluar dari mulutnya.
Suara Cu Ngo Thay-ya berkumandang dari belakang kerai,
"Orang ini tidak bisa bicara, dia seorang gagu."
Siang Bu-gi berkata, "Di kalangan Kangouw konon ada dua
orang gagu yang lihai kepandaiannya, julukannya adalah Saypak-
siang-gah."
"Betul," seru Cu Ngo Thay-ya.
"Orang ini adalah Bu-ci-thong-cu murid Thian-jan-te-coat
dari Sing-siok-hay barat?"
"Luas juga pengalamanmu, patut dipuji."
"Thio-gongcu mampus di bawah kaki seorang ternama,
kuharap dia tidak mati penasaran."
"Kan sudah kuperingatkan, siapa berani menginjak
undakan batu kaca itu, hukumannya adalah mati."
"Kuingat tadi kau juga bilang sepatah kata."
"Aku bilang apa?"
"Hukuman mati bagi pembunuh yang membunuh orang di
sini." "Hehe, agaknya kau ingin menuntut balas karena kematian
temanmu?" "Kan lumrah aku menuntut balas."
"Banyak kesempatan untuk menuntut balas, namun kalau
kau berani menginjak undak-undakan batu di depanmu itu,
aku dapat membuatmu mampus seketika dengan sekujur
badan ditembus panah."
Peringatan Cu Ngo Thay-ya disertai munculnya dua baris
jendela kecil yang memanjang di atas dinding kanan kiri kerai
mutiara, ujung anak panah yang mengkilap tak terhitung
jumlahnya terbidik ke arah Siang Bu-gi.
Kaku mengejang sekujur badan Siang Bu-gi. Pendopo
besar yang kelihatan kosong melompong, ternyata
menyembunyikan berbagai macam perangkap dengan alatalat
pembunuh yang kejam.
Lan Lan menghela napas, katanya lembut, "Thio-siansing
terbunuh oleh seorang ternama, mati dengan tenteram dalam
pelukan gadis yang dipujanya, kukira dia sudah memperoleh
apa yang didambakan selama ini, mati pun takkan penasaran."
Mendadak Siau Ma bergelak tertawa, "Tepat sekali, aku
pun berpendapat demikian." Nada tawa Siau Ma dapat
membuat orang yang mendengar mengkritik merinding, nada
tawanya lebih jelek dari isak tangis orang yang ditimpa
musibah. Lan Lan berkata pula, "Orang mati takkan hidup kembali,
bukankah setiap manusia di dunia ini akhirnya akan
meninggal?"
Mendadak Siau Ma menghentikan gelak tawanya, raungan
gusar terlontar dari mulutnya, "Kalau demikian, kenapa tidak
adikmu saja yang mampus?"
"Karena dia adalah adikku," sahut Lan Lan, suaranya
tenang, sedikitpun tidak gugup, "Justru aku mempercayaimu,
maka aku serahkan nasib kami kepadamu, aku yakin kau
dapat melindungi kami lewat gunung dan selamat sampai
tujuan." Akhirnya Siau Ma bungkam.
"Adikku adalah anak yang harus dikasihi, sejak kecil
dihinggapi penyakit yang tak bisa diobati, sampai usianya
sekarang, belum pernah merasakan hidup senang, tenteram
dan bahagia, kalau dia harus mati, apalagi mati dirantau
dengan cara yang tidak layak, sebagai tacinya yang mengasuh
sejak kecil, bagaimana hatiku bisa tenteram, bagaimana aku
tega membiarkan dia menderita lagi?" Sampai di sini suaranya
mulai terisak, bola matanya yang selalu mengerling tajam
mulai berkaca-kaca. Dengan laku hormat Lan Lan menjura ke
arah kerai mutiara, suaranya agak sendu, "Kalau kau orang
tua juga ingin menuntut jiwa adikku, semudah kau menginjak
mati seekor semut, maka aku mohon sudilah kiranya
membebaskan kami turun gunung, supaya jiwa adikku lekas
tertolong."
Dingin suara Cu Ngo Thay-ya, "Sebetulnya aku boleh
melepas dia pergi, namun satu hal kau lupakan, adikmu bukan
semut, semut tidak akan duduk dalam tandu!"
"Adikku memang harus sembunyi dalam tandu,
penyakitnya tidak boleh kena angin, tidak boleh kena sinar
matahari, terpaksa ia tidak bisa keluar menyampaikan sembah
sujud kepadamu, jadi bukan karena alasan lain ia berani
kurangajar terhadap kau orang tua."
"Hanya karena alasan itu dia tidak mau keluar?"
"Tapi dia memang tidak boleh kena angin, batuknya akan
lebih parah."
"Apa dalam pendopo ini ada angin?"
"Rasanya tidak ada."
"Kenapa adikmu tidak keluar?"
"Karena ... di luar hawa lebih dingin."
Cu Ngo Thay-ya bergelak tawa, "Benar, alasan bagus."
Mendadak gelak tawanya putus, suaranya berubah bengis,
"Siaaap! Seret bocah itu keluar dari tandu, buktikan apakah
dia mampus kalau kena angin."
Belum lenyap suara Cu Ngo Thay-ya, ada empat daun
pintu menjeplak terbuka di dinding kanan kiri pendopo, dari
empat pintu yang terbuka itu melompat keluar empat orang.
Empat orang ini adalah Ling-liong-siang-kiam, Pok can dan
orang tua penyapu kembang.
Bu-ci-thong-cu yang berdiri di depan kerai mutiara
mendahului melompat ke udara, tubuhnya menerjang lebih
dulu. Siang Bu-gi sudah siap siaga dan menunggu serbuan
musuh, begitu Bu-ci-thong-cu melayang lewat undakan batu
kaca, langsung ia memapak ke depan dengan sabetan pedang
lemasnya, dimana sinar perak berkelebat, leher orang
diincarnya. Gerak pedang di tangannya aneh lagi
menakjubkan, permainannya menyimpang dari ilmu pedang
umumnya, tidak saja cepat tapi ganas.
Ternyata murid Siang-siok-hay juga memiliki kungfu luar
biasa, kungfu Siang-siok-pay berbeda dengan ilmu silat yang
berkembang di Tionggoan, di tengah udara Bu-ci-thong-cu
mampu menggeliatkan pinggang sehingga tubuhnya
mengendap turun lalu menyelinap pergi.
Keruan tusukan pedang Siang Bu-gi luput, sementara
tendangan mega terbang Bu-thong-cu mengancam dadanya.
Dalam sekejap dua orang saling serang belasan jurus, jurus
demi jurus lebih lihai dan mematikan. Dalam hati kedua lawan
ini sama maklum, setelah mereka terlibat dalam pertarungan
sengit, sebelum salah satu gugur, pertempuran ini tidak akan
berakhir begitu saja.
Siau Ma menyongsong orang tua penyapu kembang.
Begitu berhadapan, orang tua itu berkata, "Kau memang
laki-laki jantan, aku tidak ingin membunuhmu."
"Terima kasih."
"Sebetulnya aku tidak tega membunuhmu."
"Ah, kenapa sungkan."
"Lho, kenapa kau bilang begitu?"
"Setiap pagi kerjamu menyapu kembang, lalu apa kerjamu
di waktu malam?"
"Coba kau terka, apa kerjaku kalau malam?"
"Kerjamu membunuh orang," tawar suara Siau Ma,
"mungkin kau tidak turun tangan, tapi kau senang melihat
orang lain saling bunuh."
Waktu serigala malam meluruk datang, rombongan mereka
terkepung rapat, seorang timpang berdiri di atas batu cadas,
berpeluk tangan menyaksikan pertarungan adu jiwa itu.
Siau Ma berkata, "Pagi hari kau menyapu kembang, kalau
malam membantai orang, hidup cara begitu apa tak terlalu
repot" Apa kau tidak pernah merasa lelah?"
"Tidak, sudah terbiasa. Sebaliknya apa kerjamu selama
ini?" tanya orang tua penyapu kembang.
"Aku suka menghajar hidung orang, sekali pukul tidak
kena, kupukul lagi sampai lawan roboh terkapar, umpama
harus memukul tiga ribu enam ratus kali juga akan kulakukan,
aku tidak pernah lelah kalau menghajar hidung orang."
Belum habis mulutnya bicara, kedua tinjunya sudah
memukul delapan kali. Setelah delapan kali tinjunya memukul,
baru Siau Ma menyadari kepandaian kakek tua ini memang
amat hebat, gerakannya selincah tupai, selicin belut, untuk
memukul ringsek hidungnya jelas bukan pekerjaan yang
mudah. Tapi Siau Ma tidak mudah putus asa, tidak pernah merasa
lelah, sebelum tugas dan maksudnya tercapai, dia jarang
berhenti di tengah jalan. Memukul hidung orang adalah salah
satu hobinya selama ini, namun dalam situasi dan kondisi
seperti ini, ia tahu dirinya tidak boleh terlalu mengumbar
nafsu, lawan tangguh, padahal dia harus memperhatikan juga
keselamatan Lan Lan dan adiknya, melindungi mereka menjadi
kewajibannya. Meski Siau Ma lebih banyak menyerang si kakek, tapi
untuk melepaskan diri bukan soal gampang, padahal ujung
matanya menangkap gerakan Ling-liong-siang-kiam yang
mendekati tandu. Serigala tua Pok Can menonton saja sambil
berpeluk tangan, meski gelisah, Siau Ma tidak dapat berbuat
apa-apa, apalagi dua baris panah siap membidik mereka.
Meski posisi agak terjepit, Siau Ma yang tidak takut mati,
tidak gentar atau gugup, Siau Ma tahu musuh yang benarbenar
harus ditakuti bukan kakek tua yang dihadapinya ini,
juga Pok Can atau Ling-liong-siang-kiam, barisan panah itu
pun tidak akan membuatnya jeri. Musuh yang menakutkan
hanya seorang, yaitu Cu Ngo Thay-ya yang belum pernah
menampakkan hidungnya. Orang di belakang layar ini amat
berkuasa, setiap patah katanya adalah perintah, perkataannya
adalah kekuasaan, selama hidup dan mengembara di
Kangouw, Siau Ma mengakui hanya Cu Ngo Thay-ya saja
seorang yang memiliki Lwekang sehebat itu, getaran suaranya
saja mampu membuat kerai mutiara bergoncang seperti
tertimpa gempa.
Khikang orang ini amat menakutkan, hal ini terbukti dari
gemericiknya kerai mutiara dengan gema suaranya yang
memekak telinga, juga ketenangan dan keculasan orang ini
perlu dipikirkan.
"Kalian adalah sahabat baik, apapun yang akan terjadi,
ingin kupertemukan kalian untuk yang terakhir kali."
Sekarang Siau Ma paham apa makna perkataannya itu.
Memangnya kenapa setelah mereka bertemu terakhir kali"
MATI! Mati banyak caranya, tapi yang dipilih adalah cara yang
paling menakutkan, paling kejam dan mengerikan.
Sejak biji catur mulai melangkah, hakikatnya orang ini
tidak pernah mau menerima tinju Siau Ma, juga tidak ingin
memiliki pedang Siang Bu-gi.
Sejak persoalan ini berkembang, Cu Ngo Thay-ya sudah
memperhitungkan takkan memberi peluang, tak akan
membiarkan orang-orang ini lolos, pergi dengan hidup. Kalau
orang sudah mampus mana bisa pergi.
* * * * * Adik Lan Lan yang sakit masih berada dalam tandu, Lan
Lan berjaga di pinggir tandu, selangkah pun tidak pernah
meninggalkannya. Dengan nanar ia mengawasi Ling-liongsiang-
kiam menghampiri tandu di sampingnya.
Siau Ma sedang bergelut dengan kepalannya, Siang Bu-gi
juga sedang mengadu jiwa dengan pedangnya, dua orang ini
sedang berduel mempertahankan hidup mereka, membela
kakak dan adik. Tapi Lan Lan seperti tidak peduli, apakah
nasib mereka jelek atau baik, seolah-olah tidak melihat
keadaan mereka.
Dalam situasi setegang ini, Lan Lan masih tersenyum
menggiurkan, suaranya juga merdu merayu, "Adik-adik cilik,
berapa usia kalian tahun ini?" Lan Lan tahu Ling-liong-siangkiam
tidak akan menjawab pertanyaannya, orang cebol
umumnya tidak senang ada orang bertanya berapa usia
mereka, sudah tentu mereka juga tidak akan menjelaskan.
Titik berat pertanyaan Lan Lan memang bukan pada
tempatnya. Maka sebelum memperoleh jawaban, ia bertanya
pula, "Pernahkah kalian melihat perempuan cantik" Apalagi
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis montok yang bugil?"
Dalam usia setua mereka, mesti cebol, ia yakin Ling-liongsiang-
kiam pernah main perempuan, adalah logis kalau
mereka pernah melihat perempuan bugil, namun hanya
perempuan berparas lumayan saja yang mau melayani
mereka, kapan mereka pernah berhadapan dengan gadis
secantik Lan Lan, sebagai laki-laki normal, siapa pun dia kalau
tiba-tiba berhadapan dengan perempuan cantik telanjang di
hadapannya, pasti laki-laki itu akan berdiri melongo, napas
memburu dan lutut goyah.
"Hiang-hiang," seru Lan Lan dengan kalem.
Hiang-hiang masih terisak memeluk jenazah Thio-gongcu,
namun ia mengiakan.
Bab 17 Lan Lan bertanya, "Coba katakan, apa kau ini gadis jelek?"
Hiang-hiang geleng kepala.
"Kalau kau anggap dirimu cantik dan elok, kenapa tidak
kau perlihatkan kecantikanmu di hadapan mereka?"
Air mata masih membasahi pipi, pelan Hiang-hiang
membaringkan jenazah Thio-gongcu di lantai, lalu berdiri dan
maju beberapa langkah ke depan, dengan gaya yang
mempesona, pelan-pelan ia mencopot pakaian satu per satu
hingga tubuhnya telanjang tanpa selembar benang melekat di
tubuhnya. Dalam keadaan telanjang, sebagai gadis terhormat, bugil
di depan umum, sudah tentu gerak-geriknya tidak enak
dipandang mata. Tapi postur tubuhnya memang indah,
montok semampai dan menggiurkan, payudaranya tumbuh
tegak, montok lagi padat dan kenyal, pinggang yang ramping,
pinggul nan bulat besar, pahanya yang jenjang mulus, tidak
setiap laki-laki bisa menyaksikan tubuh semulus dan seelok ini.
Lan Lan juga perempuan cantik, namun ia pun kesemsem
melihat kemontokan Hiang-hiang, katanya kemudian,
"Bagaimana, cantik tidak dia?"
"Cantik sekali," Ling-liong-siang-kiam menjawab bersama.
"Coba kalian perhatikan lebih seksama."
"Kami puas melihat tubuhnya, tapi kami juga ingin melihat
tubuhmu," ucap Ling-liong-siang-kiam bersaudara dengan
tersenyum nakal.
Lan Lan pun tertawa manis, "Usiaku sudah tua, seperti
nenek-nenek, tubuhku tidak bagus untuk dipamerkan, tapi
kalau kalian ingin menyaksikan, ya, aku ...." Kepalanya
menunduk, jari-jarinya mulai membuka kancing. Dalam
kancing bajunya ini tersimpan senjata rahasia yang lihai lagi
ganas. Namun sebelum senjata rahasia dalam kancing menyerang
musuh, pedang Ling-liong-siang-kiam bergerak lebih dulu.
Bahwasanya kedua bersaudara cebol ini tidak lagi
memperhatikan tangan Lan Lan yang membuka kancing,
karena sedikit curiga, jago silat yang banyak pengalaman ini
segera bersiaga.
Lan Lan menghela napas, "Agaknya aku keliru menilai
kalian, dari yang cebol sampai yang gede, dari tua sampai
muda, laki-laki yang ada di pendopo ini semua bukan
pejantan, agaknya kalian sudah dikebiri oleh tua bangka
laknat itu." Karena sudah telanjur, terpaksa Lan Lan tetap
menyerang dengan senjata rahasia yang tersembunyi dalam
kancing bajunya. Namun dengan mudah senjata rahasianya
disampuk jatuh oleh pedang Ling-liong-siang-kiam.
Ling-liong-siang-kiam adalah saudara kembar, lahir dan
batin bersatu padu, katakanlah dwi-tunggal, maka permainan
Kim-gin-siang-kiam (sepasang pedang emas dan perak)
saudara kembar ini amat rapat, ketat dan lihai.
Dalam menghadapi keadaan yang kritis ini, Lan Lan
dipaksa menampakkan diri sebagai jago kungfu yang tidak
lemah kepandaiannya, gadis ini memang pandai silat, namun
menghadapi rangsekan sepasang pedang emas dan perak
saudara kembar cebol ini, ia terdesak di bawah angin.
Hanya beberapa gebrak saja, sanggul kepalanya
tersampuk lepas, pedang emas menyilaukan seperti membelit
tubuhnya, sementara cahaya pedang perak beberapa kali
hampir menusuk bolong lehernya. Namun Lan Lan terus
bertahan dan melawan sekuat tenaga meski napasnya sudah
mulai ngos-ngosan. Karena kewalahan dan terdesak, terpaksa
ia berteriak minta tolong, "Siau Ma, lekas bantu aku."
Siau Ma ingin menolongnya, dalam beberapa gebrak
tinjunya sudah berulang kali mematahkan serangan kakek
penyapu kembang yang timpang, tapi pipa cangklong Pok Can
selalu mengacau dari pinggir, beberapa kali gaman orang
mengetuk mukanya. Pipa cangklong ini berat lagi besar,
tembakaunya juga menyala dan panas, sebelum berhasil
merobohkan lawan, terpaksa Siau Ma harus menyelamatkan
diri. Padahal Lan Lan sudah terdesak di bawah angin, jiwanya
terancam, namun karena dirinya juga terlibat dalam keroyokan
dua lawan tangguh, jangan kata menolong Lan Lan, untuk
mempertahankan diri sendiri saja sukar, mana mungkin
membantu si nona.
Lan Lan berteriak pula dengan suara gemetar, "Apa kalian
tega membunuh aku?"
Agaknya Ling-liong-siang-kiam sudah tergembleng sebagai
algojo yang tidak kenal kasihan terhadap korban yang harus
dibunuhnya, meski sang korban adalah seorang gadis jelita
yang molek. Cahaya pedang emas berputar kencang serapat
jala, jalan mundur Lan Lan tercegat dan buntu, sementara
cahaya pedang perak menusuk turun naik dengan gerakan
lurus seperti ular mematuk, gelagatnya dada Lan Lan yang
montok kenyal itu bakal tertusuk bolong oleh pedangnya.
Untunglah pada saat kritis itu, mendadak suara Cu Ngo
Thay-ya berkumandang, "Pertahankan jiwanya."
Begitu suara majikan berkumandang, pedang perak pun
berhenti, bukan mengancam dada tapi menungging ke atas
mengancam tengah alis Lan Lan.
Suara Cu Ngo Thay-ya berkumandang lagi, "Yang
kuinginkan adalah orang dalam tandu itu."
Ling-liong-siang-kiam bertanya berbareng, "Ingin mati atau
yang masih hidup?"
Hanya sepatah kata jawaban Cu Ngo Thay-ya, "Bunuh!"
* * * * * Sesuai namanya gunung serigala, maka warga atau
penduduk yang bertempat tinggal di Long-san adalah
manusia-manusia liar dan buas, jiwa sesama manusia mereka
anggap sebagai rumput liar yang tumbuh dimana-mana,
apalagi Cu Ngo Thay-ya sudah bilang "bunuh", maka jiwa
orang itu tidak ada ampun lagi.
Demikian halnya nasib yang menimpa Lan Lan dan
adiknya. Dalam keadaan awak sendiri terdesak, Siau Ma hanya
dapat menonton meski harus mempertahankan diri dari
rangsekan kakek penyapu kembang yang dibantu Pok Can.
Padahal ia sudah berjanji dan bertanggung jawab untuk
mengawal, melindungi Lan Lan dan adiknya melewati Longsan.
Untuk keselamatan gadis ayu dan adiknya ini, Siau Ma
sudah banyak mengucurkan keringat dan mengalirkan darah.
Namun betapapun perkasa dirinya, tidak lebih hanya sebagai
manusia biasa, bukan manusia super, bukan malaikat apalagi
dewa. Sebagai manusia biasa, betapapun tenaganya terbatas,
dalam tata kehidupan manusia di dunia ini, sering kali
menghadapi masalah pelik dan kejadian yang apa boleh buat.
Kalau orang menghadapi persoalan seperti ini, mengucurkan
keringat tidak berguna, mengalirkan air mata tidak berfaedah,
apalagi menumpahkan darah, jelas juga tidak bermanfaat.
* * * * * Perintah Cu Ngo Thay-ya disambut keempat pemikul tandu
yang kekar besar itu dengan mencabut senjata masingmasing.
Di tengah gerungan murka keempat orang gede ini, empat
batang golok dan dua pedang serempak menusuk dan
membacok tandu, tusukan dilakukan dari empat sudut yang
berlawanan, bacokan dilakukan dari dua arah sisi kanan dan
kiri. Ke arah mana pun si pasien dalam tandu menyingkir,
disergap serangan serempak serapat itu, jelas sukar
menyelamatkan diri, umpama pasien itu segagah naga dan
segarang harimau juga takkan mungkin menghindari enam
batang senjata tajam yang menyerang sekaligus. Apalagi
pasien dalam tandu mengidap sakit yang parah, keadaannya
payah, mengangkat tangan sendiri saja tidak mampu lagi,
mana mungkin menyelamatkan dirinya.
Lan Lan yang terdesak mundur menjadi lunglai, dengan
dua tangannya ia mendekap muka, tidak tega melihat nasib
adiknya yang sekarat dalam tandu dihujani serangan segencar
itu, umpama tidak mati seketika, keadaannya tentu amat
mengenaskan dengan tubuh yang tidak utuh lagi.
Biasanya perempuan mendekap muka karena tidak tega
menyaksikan sesuatu peristiwa yang mengerikan atau
menakutkan, lucu cara Lan Lan mendekap muka, jari-jari
tangannya ternyata tidak rapat, dari sela-sela jari yang
renggang, diam-diam matanya mengintip keluar. Hatinya
menduga setelah dihujani serangan golok dan pedang, darah
tentu muncrat dan mengalir keluar dari tandu, namun
kenyataan tidak demikian, setelah golok dan pedang membuat
tandu itu berantakan, keadaan ternyata tetap sunyi, tiada
jeritan juga tidak tampak adanya darah yang meleleh keluar.
Keruan para penyergap yang bersenjata golok dan pedang itu
tercengang, berubah air muka mereka, kaki tangan menjadi
kaku. Sekejap kemudian, terdengar suara 'pletak pletok' dari
dalam tandu, lalu enam orang yang menyergap dengan
serangan ganas itu menyurut mundur seraya menarik senjata
masing-masing. Empat golok besar lagi tebal itu terbuat dari baja murni
dan terasah tajam dan runcing, namun ujung golok mereka
kini sudah buntung menjadi tumpul, sudah patah bagian
ujungnya. Demikian pula sepasang pedang Ling-liok-siangkiam
juga buntung. Maka berkumandanglah tawa dingin Cu Ngo Thay-ya, "Hm,
tidak luput dugaanku, kau pura-pura sakit, padahal memiliki
kungfu yang hebat dan tinggi." Lalu suaranya menjadi kereng
dan keras, "Panah!"
Begitu suara menjepret terdengar, anak panah pun
berhamburan selebat hujan deras, seluruhnya memberondong
ke arah tandu. Keadaan amat gawat, namun dari dalam tandu tetap tidak
kelihatan reaksi apa-apa, secara nyata, anak panah yang
menancap di tandu mendadak mencelat jatuh berhamburan,
panah itu ternyata patah, ujung anak panah yang terbuat dari
baja ternyata sudah putus seluruhnya. Entah dimana anak
panah yang terbuat dari baja campur tembaga itu"
Sekonyong-konyong ramailah suara "Ser, ser", yang
melengking memecah udara keluar dari tandu, lalu tampak
puluhan larik sinar dingin meluncur dengan kecepatan kilat
melaju ke arah deretan jendela kecil di atas dinding di kanan
kiri kerai mutiara itu. Lalu terdengarlah jeritan mengerikan dari
balik dinding, darah muncrat dan bola mata pun terpanah
buta. Mereka yang hadir dalam pendopo menyaksikan secara
nyata seluruh kejadian dari awal hingga akhir. Terutama Siau
Ma menyaksikan dari jarak yang paling dekat, sesaat dia
berdiri melenggong, sukar ia menjelaskan bagaimana
perasaan hatinya saat itu.
Baru sekarang Siau Ma sadar, dengan mencucurkan
keringat dan mengalirkan darah, ia bersama kawan-kawannya
melindungi seorang yang dikatakan sakit keras, demi
menunaikan tugas, adu jiwa pun sudah dilakoni, ternyata si
pasien yang dilindunginya seorang kosen yang memiliki
kemampuan luar biasa, kenyataan sudah membuktikan, bocah
yang dikatakan sedang sakit ternyata memiliki ilmu silat yang
tiada taranya. * * * * * Siau Ma menjadi tidak mengerti, orang memiliki kungfu
setinggi ini, kenapa pura-pura sakit keras dan terima
mendekam dalam tandu tanpa kena angin" Dengan Lan Lan
yang ayu jelita sebagai umpan, Siau Ma dipancing menjadi
pengawal dan melindunginya naik ke Long-san dengan alasan
mencari obat di negeri barat, ada rencana apa di balik semua
kejadian ini"
Lamunan Siau Ma mendadak terjaga oleh bentakan Cu Ngo
Thay-ya yang keras menggelegar, "Berhenti!"
Pertarungan sengit yang tengah berlangsung pun berhenti.
Setelah melihat kenyataan dan sadar apa yang telah terjadi,
dirinya ditipu dan dijadikan alat belaka, sudah tentu Siau Ma
tidak mau menjual jiwa dan berkorban percuma. Beberapa
hari ini, dirinya mirip seekor keledai yang ditutup matanya dan
digiring berputar-putar menggiling beras.
Siang Bu-gi juga menghentikan aksinya, gejolak
perasaannya tidak banyak beda dengan rasa penasaran yang
menggelitik sanubari Siau Ma.
Di Long-san, apa yang diucapkan Cu Ngo Thay-ya adalah
perintah, maka anak buahnya tiada yang berani
membangkang, mereka pun berhenti bergerak dan mundur ke
pinggir. Pendopo besar itu menjadi hening lelap, agak lama
kemudian baru Lan Lan menghela napas dan berkata, "Tadi
sudah kuperingatkan kepada kalian, jangan mengganggu
adikku yang ada dalam tandu, kenapa kalian mengabaikan
peringatanku?"
Orang dalam tandu terdengar sedang batuk.
Cu Ngo Thay-ya menjengek dingin, "Nah, sang naga
terpaksa menampakkan ekornya, kenapa masih pura-pura
sakit?" "Kenyataan dia memang sakit," ujar Lan Lan tegas.
"Sakit apa?" tanya Cu Ngo Thay-ya.
"Sakit hati."
"Parahkah penyakitnya?"
"Sudah tentu parah, tapi ada obat mujarab yang dapat
mengobatinya."
"0, obat apa yang diinginkan?"
"Obat mujarab yang kumaksud ada di seberang gunung di
sebelah barat sana."
"Tepatnya dimana?"
"Baiklah, agaknya sudah tiba saatnya aku berterus terang
dan bicara secara gamblang. Obat mujarab yang kami
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inginkan sebenarnya berada di sini, bahwa kita terima kau
sudutkan hingga kedudukan kita sekarang dalam posisi yang
tersudut ini memang sudah kami rencanakan, supaya kau
beranggapan, kami hanyalah lawan lemah dan terpaksa
mandah kau giring kemari."
"Ehm, kau merancang muslihat dengan tujuan menemui
aku?" Lan Lan manggut-manggut.
"Kini kalian sudah di sini, sudah berhadapan denganku,"
demikian ucap Cu Ngo Thay-ya. "Kenapa masih main
sembunyi, cobalah suruh dia keluar."
"Baik, akan kutanya kepadanya," kata Lan Lan sambil
mendekati tandu, lalu bertanya dengan suara perlahan, "Cu
Ngo Thay-ya minta kau keluar menemuinya, bagaimana
pendapatmu?"
Orang dalam tandu bersuara perlahan, tidak jelas apa yang
diucapkannya, namun Lan Lan mengulur tangannya sehingga
tangan orang ini memegang tangannya, lalu ia memapahnya
turun dari tandu. Yang keluar memang pemuda yang dilihat
Siau Ma dalam kamar di hotel Damai kemarin. Wajahnya
kelihatan pucat seperti tidak berdarah sedikitpun. Di bulan
sembilan yang panas ini, tubuhnya dibungkis mantel tebal
berbulu rase, namun tidak kelihatan merasa gerah atau
berkeringat. Mantel bulu itu amat lebar dan panjang sehingga
separoh wajahnya tertutup, namun orang dapat melihat
sepasang matanya yang jeli dan tajam dinaungi sepasang alis
yang tegak dan gagah, meski pucat, wajahnya kelihatan
bersih. Lan Lan mengawasinya penuh iba dan lembut, katanya
dengan nada prihatin, "Dapatkah kau berjalan?"
Pemuda itu manggut-manggut sambil beranjak maju
beberapa langkah, perlahan pula ia mengangkat kepala
memandang ke arah kerai mutiara, lalu berkumandang
suaranya yang lemah, "Kau sudah melihatku?"
"Kelihatannya kau memang sedang sakit," bergema suara
Cu Ngo Thay-ya, bagaimana reaksi mimik mukanya, orang
tidak melihat jelas karena jarak teramat jauh, namun dari
suaranya, orang merasakan haru dan kasihan, ucapan untuk
menenteramkan dan menahan gejolak hati.
Pemuda itu berkata, "Sayang sekali, kau sudah melihatku,
sebaliknya aku tidak melihat dirimu."
"Kenapa kau tidak kemari saja?"
"Ya, aku ingin bicara denganmu dari dekat," sembari
bicara, kakinya beranjak ke depan, meski perlahan namun
langkahnya tidak berhenti setiba di undakan batu.
Siapa berani menginjak undakan batu, bunuh habis semua.
Seakan-akan pemuda ini tidak peduli, atau memang tidak
pernah mendengar larangan serius ini.
Padahal dari jendela kecil di deretan dua sisi kerai mutiara
itu, bermunculan ujung anak panah yang siap dibidikkan ke
arahnya, tapi pemuda ini seperti tidak sadar bahwa bahaya
tengah mengancam jiwanya, dengan tak acuh ia tetap
melangkah ke sana.
Pok Can, Bu-ci-thong-cu, Ling-liong-siang-kiam dan para
pemikul tandu siap bertindak bila diperintah sang majikan,
seperti tidak dianggap kehadirannya di pendopo ini.
Ternyata Pok Can dan kawan-kawannya tidak berani
bereaksi, tanpa perintah Cu Ngo Thay-ya, mereka tidak berani
sembarang bertindak. Diam-diam mereka menduga, apakah
Cu Ngo Thay-ya akan melabrak sendiri pemuda ini" Mereka
maklum, di Long-san, Cu Ngo Thay-ya diakui sebagai jago
kosen yang tiada bandingnya, adalah logis kalau hanya Cu
Ngo Thay-ya saja yang mampu menghadapi pemuda
penyakitan yang lihai ini.
Pada masa ini, rasanya susah dicari tokoh silat yang
memiliki Khikang setaraf yang dikuasai oleh Cu Ngo Thay-ya.
Tapi dari kekuatan si pemuda mematahkan senjata dan
panah, dapat dibayangkan bahwa bocah ini memiliki Lwekang
yang amat tangguh pula, pemuda yang satu ini ibarat seekor
naga sakti yang jarang menampakkan diri, betapa tinggi ilmu
silatnya, sukar orang menjajakinya.
Siapakah pemenang duel antara Cu Ngo Thay-ya dengan
pemuda penyakitan ini" Tiada orang bisa meramalkan. Tapi
telapak tangan setiap hadirin berkeringat karena tegang.
Mereka boleh tidak peduli pihak mana yang akan menang
dalam duel nanti, yang pasti pertarungan kedua jago kosen ini
tentu amat seru, dahsyat dan menegangkan, selama
berkecimpung di Kangouw, belum pernah mereka mengalami
atau menyaksikan pertarungan hebat yang susah dibayangkan
sebelumnya. Kini pemuda penyakitan itu sudah tak jauh di luar kerai
mutiara, anehnya Cu Ngo Thay-ya tetap bercokol di
tempatnya tanpa gerak, tidak bersuara. Naga-naganya raja
serigala ini sudah membuat perhitungan dan yakin bahwa
dirinya pasti menang, maka ia bersikap kalem saja.
Tinju Siau Ma tergenggam erat, dalam hati ia bertanya
pada diri sendiri, "Pemuda ini berani ke sana dan tidak apaapa,
kenapa aku harus takut" Kenapa aku terima dijadikan
keledai dungu yang diperalat belaka?"
Persoalan lain, Siau Ma boleh bersabar, harus menekan
emosi, umpama perutnya harus kelaparan, badan babak belur
dihajar orang, kantong kempes, ia bisa bersabar, tidak peduli.
Tapi penasaran karena merasa dirinya dikibuli sungguh tidak
terlampias sebelum dirinya berkelahi dengan sengit.
Ada sementara orang di dunia ini, meski jiwa harus
melayang dan badan hancur, dirinya tidak mau diremehkan,
tidak mau diabaikan, Siau Ma adalah identik orang sejenis ini.
Mendadak Siau Ma melompat jauh ke depan lalu
menerjang ke arah kerai mutiara. Selincah kijang lompatannya
yang jauh dan tangkas itu, hingga ia mendahului si pemuda
menerobos kerai mutiara dan masuk ke sana, menubruk ke
belakang meja besar lagi panjang itu. Orang banyak tidak
menduga juga tidak memperhatikan aksi Siau Ma, karena
pandangan mereka tertuju ke arah si pemuda penyakitan. Siau
Ma bereaksi secara kilat, tahu-tahu ia sudah menerobos
masuk dan berdiri di hadapan Cu Ngo Thay-ya.
Manusia kalau usianya sudah lanjut, wajah, suara, watak
dan tingkah lakunya sering berubah, adakalanya seorang tua
berubah menjadi eksentrik, berjiwa sempit dan senang
menyendiri. Demikian halnya yang terjadi pada Cu Ngo Thayya,
perubahannya juga terjadi secara menyolok. Beberapa
tahun belakangan ini, kecuali Bu-ci-thong-cu yang bisu tuli
menjadi pembantunya yang setia dan dipercaya, Pok Can yang
tertua di antara kawanan serigala dan bergaul paling lama
dengan raja yang berkuasa ini, dia toh tidak berani gegabah
atau bertingkah di hadapannya, tanpa perintah jelas ia pun
tidak berani masuk ke balik kerai mutiara itu.
Ada larangan yang berbunyi, 'Masuk selangkah tanpa ijin,
hukumannya cacah hancur tubuhnya'.
Betapa keras dan kukuh watak Cu Ngo Thay-ya, pasti tidak
memberi ampun kepada Siau Ma yang berani melanggar
pantangan ini. Mampukah Siau Ma melawan jurus
serangannya yang dahsyat"
Siang Bu-gi juga siap menerjang ke sana bila perlu, biar
dirinya bukan tandingan lawan, biar gugur di medan laga, ia
lebih suka gugur bersama teman sejati.
Setelah Siau Ma menerobos masuk ke dalam kerai mutiara
dan berdiri di depan meja, ternyata Cu Ngo Thay-ya tetap
duduk mematung di tempatnya tanpa bergerak. Ternyata
setelah menerobos masuk Siau Ma malah berdiri kaku mirip
patung, seperti kena sihir atau takjub melihat sesuatu di
hadapannya, sesuatu yang ajaib atau kejadian yang amat
mengejutkan hatinya.
Adakah kekuatan gaib yang mengandung magis
terselubung dalam kamar di balik kerai mutiara, maka Siau Ma
yang kurang ajar dan main terobos menjadi kaku seperti batu"
Mungkinkah Cu Ngo Thay-ya meyakinkan ilmu mukjizat yang
dapat melumpuhkan lawannya tanpa ia sendiri bergerak"
Banyak kejadian di dunia kadang sukar diterima secara
wajar oleh nalar manusia, namun secara nyata terjadi dan
sukar ditelaah dan dijelaskan perkaranya.
Demikian kejadian yang menimpa Siau Ma, mereka yang
masih berada jauh di luar pasti berprasangka buruk dan
menduga-duga secara negatif, rasa tegang dan takut
menghantui sanubari mereka.
Sambil menggenggam gagang pedangnya, Siang Bu-gi
beranjak ke sana, selangkah demi selangkah ia berjalan
dengan mantap dan berat, tidak cepat tapi tegap dan
waspada. Hatinya takut setengah mati, badannya basah kuyup
oleh keringat dingin saking tegang, tapi Siang Bu-gi bertekad
dan nekad, apapun yang akan terjadi meski awak harus
mampus dengan badan hancur juga tidak akan mundur.
Tapi beberapa tindak menjelang ia menyelinap ke dalam
kerai mutiara, mendadak dilihatnya Siau Ma mulai bergerak.
Siau Ma bukan disihir, juga tidak menjadi patung,
keadaannya masih segar bugar, bebas dan wajar bergerak.
Bahwa dia berdiri mematung sekian saat di depan meja bukan
karena dibekuk musuh dengan ilmu mujizat, soalnya secara
nyata dan tak terduga ia menghadapi peristiwa besar yang
luar biasa, kejadian yang sukar diterima oleh nalar sehat.
Begitu menerobos ke dalam kerai mutiara, Siau Ma melihat
dan mendapatkan tokoh persilatan yang disegani dan ditakuti
kaum Bu-lim ternyata sudah ajal, bukan saja orang ini sudah
mati, tubuh orang malah sudah kaku, sudah kering, namun
tidak membusuk, ini menandakan bahwa kematian orang ini
sudah cukup lama berselang.
Asap dupa wangi mengepul dalam ruang di balik kerai
mutiara, Cu Ngo Thay-ya terus bercokol dengan gayanya yang
angker di singgasananya, tidak bergerak tidak bisa bersuara,
karena sekujur badan sudah kaku dan mengering. Demikian
pula kulit mukanya sudah mengering, mengkeret dan
berkerut-merut. Wajah yang dahulu kereng berwibawa kini
menjadi seram menakutkan.
Sukar orang menentukan sudah berapa lama orang ini
meninggal, bahwa jenazahnya masih utuh dan tidak
membusuk, karena sekujur jasadnya dipoles sejenis obat
khusus, hingga tubuhnya tetap utuh meski kematian sudah
merenggut nyawanya sejak beberapa waktu yang lalu.
Bahwa jenazah Cu Ngo Thay-ya dipertahankan utuh dan
bercokol di singgasana untuk memberikan perintah, ini
menandakan di balik peristiwa ini ada dalangnya, seseorang
menggunakan kedok Cu Ngo Thay-ya untuk memberi perintah
dan memegang tampuk pimpinan dan kekuasaan di seluruh
wilayah Long-san.
Suara orang yang menirukan suara Cu Ngo Thay-ya tadi
jelas adalah tokoh misterius yang memegang peranan di
belakang layar, bukan mustahil dialah perencana kejahatan
dengan tewasnya Cu Ngo Thay-ya sebagai langkah pertama
untuk mengejar cita-citanya menguasai gunung serigala.
Untuk menjaga dan mempertahankan rahasia dirinya yang
berperan di belakang layar, dan supaya kematian Cu Ngo
Thay-ya tidak diketahui orang lain, maka orang dilarang
mendekati dirinya dalam jarak dua tombak, mulai undakan
batu kaca, ruang dimana jenazah Cu Ngo Thay-ya masih
kelihatan bercokol juga ditutup dengan kerai mutiara,
sehingga dalam jarak dua puluhan tombak orang sukar
melihat jelas keadaan sebenarnya.
Orang yang dipercaya adalah Bu-ci-tong-cu, sesuai nama
julukannya, orang bisu tuli ini jelas tidak akan membocorkan
rahasianya, apalagi dia buta huruf, celakanya orang bisu tuli
ini berotak tumpul, kecuali belajar ilmu silat, dia tidak punya
keinginan, cita-cita maupun nafsu.
Sekarang Siau Ma maklum, kenapa Thio-gongcu nekat
menerjang ke depan meski besar sekali resiko yang harus
dihadapinya. Kenyataan jiwanya melayang sebelum berhasil
membongkar rahasia busuk ini.
Sejak dilahirkan Thio-kongcu memang memiliki
pembawaan luar biasa, terutama sepasang bola matanya,
makin tumbuh dewasa ia memperoleh gemblengan luar biasa,
maklum sepasang telinganya tuli, maka ia melatih kedua
matanya lebih tajam dari mata manusia umumnya.
Di kala kerai mutiara terguncang karena suara "berhenti"
Cu Ngo Thay-ya yang lantang tadi, mata Thio-gongcu yang jeli
menangkap adanya muslihat di balik permainan sandiwara
yang belum diketahui orang.
Manusia kalau bicara pakai mulut menggerakkan bibir, tapi
orang bercokol di kursi kebesaran di balik kerai mutiara tidak
kelihatan bergerak, mulutnya tetap bungkam, bibir pun tetap
tidak bergerak. Padahal untuk mengucap sepatah kata
"berhenti" orang harus membuka lebar mulutnya, apalagi
suaranya yang begitu lantang dan mendengung.
Berhasil membuka rahasia orang, Thio-gongcu lantas sadar
bahwa orang yang bercokol di kursi di balik kerai mutiara itu
hanyalah sesosok mayat manusia yang sengaja dibuat
pajangan untuk mengelabui orang banyak. Saking terburu
nafsu ingin membongkar kedok dan rahasia orang, Thiogongcu
lupa kalau benar orang yang duduk di kursi itu sudah
mati, mana mungkin bisa bicara, namun kenyataan suara
lantang itu bergema dalam pendopo ini, itu berarti ada
seseorang bersembunyi dan memegang rol dalam kasus ini.
Karena Thio-gongcu tahu rahasia orang, sudah tentu orang itu
tidak memberi ampun kepadanya.
Lama Siau Ma menjublek tanpa bergerak atau bersuara,
hatinya sedih dan pilu, perasaannya sukar dilukiskan dan
dilimpahkan, sedih bagi nasib sang raja yang berkuasa di
Long-san, pilu demi kematian kawan sejati, penasaran bagi
manusia umumnya.
Betapapun besar kekuasaan seseorang di masa hidup,
setelah mati dengan mudah ia akan dibuat mainan oleh orang
hidup. Setelah menghela napas Siau Ma bergerak perlahan,
membalik tubuh, waktu ia mengangkat kepala lagi,
pandangannya bentrok dengan mata seseorang, rona mata
orang ini menampilkan rasa duka lara yang men-dalam.
Pemuda penyakitan yang masih teka-teki asal-usulnya ini
berdiri mematung di belakangnya, berdiri menjublek
mengawasi jenazah Cu Ngo Thay-ya, wajah yang pucat dan
bersih tampak basah oleh air mata yang bercucuran.
Tidak kuat Siau Ma menahan rasa ingin tahu hatinya, maka
ia bertanya, "Siapa kau sebetulnya?"
Pemuda itu diam saja, seperti tidak mendengar
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertanyaannya. "Aku menduga kau bukan she Lan sebagaimana yang
dikatakan Lan Lan, apalagi adik kandungnya. Nama aslimu
juga pasti bukan Lan Ki-hun," mendadak bersinar bola mata
Siau Ma. "Apa kau bukan she Cu?"
Pemuda itu tetap diam, tidak menanggapi pertanyaan Siau
Ma, tapi perlahan bertekuk lutut lalu menyembah di hadapan
Cu Ngo Thay-ya.
Melihat kelakuannya, Siau Ma sadar dan mengerti, "He,
kiranya kau adalah putranya."
"Betul," seorang berkata perlahan di belakang Siau Ma.
"Memang dia putra tunggal Cu Ngo Thay-ya, namanya Cu
Hun." Bab 18 - TAMAT Dipandang dari jauh, Cu Ngo Thay-ya kelihatan angker dan
berwibawa mirip patung yang dipuja dalam kelenteng, apalagi
teraling kerai mutiara sehingga dari jauh tidak kelihatan nyata
keadaan sebenarnya.
Kini putra tunggalnya berlutut dan menyembah di
depannya, menangis sedih penuh penyesalan.
Pok Can masih berdiri di tempat semula, menyaksikan dari
kejauhan, lambat laun mulai tampak perubahan air muka dan
sorot matanya, air mata juga seperti berkaca-kaca di pelupuk
matanya, kalau tidak ditahan tentu sudah bercucuran dengan
deras. Siau Ma bertanya sambil mengawasi orang tua ini, "Kau
adalah kawan seperjuangan Cu Ngo Thay-ya sejak puluhan
tahun yang lalu bukan?"
"Ya, sejak banyak tahun lalu. Waktu kami masih samasama
muda," sahut Pok Can.
"Tapi kau tidak kenal bahwa Cu Hun ini adalah putra
tunggalnya?" tanya Siau Ma.
"Sejak berumur tiga belas Cu Hun sudah meninggalkan
Long-san, selama sepuluh tahun belakangan ini, dia tidak
pernah pulang, tiada kabar beritanya."
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, bagi umat
manusia, jangka sepuluh tahun merupakan masa yang
panjang, cukup lama untuk membawa perubahan pada diri
seseorang. "Kenapa dia pergi" Kenapa tidak mau pulang?"
"Bocah ini anak jenius, sejak dilahirkan seperti dibekali
bakat luar biasa untuk meyakinkan ilmu silat. Waktu berusia
tiga belas, ia tahu kungfu yang dia yakinkan tarafnya sudah
tidak di bawah sang ayah, maka timbul keinginan hatinya
untuk berkelana mencari pengalaman, menyesuaikan cara
hidupnya dengan gayanya sendiri di kolong langit ini."
"Tetapi sang ayah tidak sependapat dan sepandangan,
beliau melarang dia meninggalkan keluarga."
"Seorang laki-laki dalam usia lanjut baru dikarunia seorang
putra, adalah logis kalau dia merasa berat ditinggal pergi
putranya, tidak tega membiarkan anaknya menderita di
rantau." "Maka Cu Hun minggat dari rumah?"
"Meski usianya masih muda, anak ini punya pambek,
mengemban cita-cita tinggi, wataknya juga kukuh seperti sang
bapak, kalau sudah timbul niatnya untuk melakukan sesuatu,
siapa pun takkan bisa merubah niatnya, termasuk sang ayah
sendiri," setelah menghela napas Pok Can melanjutkan,
"sepuluh tahun sejak ia meninggalkan rumah, tiada orang
tahu dimana dia pergi dan dimana dirinya berada. Namun aku
dan ayahnya juga maklum, dengan wataknya yang kukuh,
mengembara di Kangouw, tentu tidak sedikit penderitaan yang
dialaminya."
Siau Ma membalik tubuh ke arah Lan Lan, "Selama sepuluh
tahun apa saja yang telah dia lakukan" Kukira hanya kau saja
yang dapat menjelaskan."
"Memang dia banyak menderita, namun dari penderitaan
itu, tidak sedikit kungfu yang berhasil diserapnya. Untuk
mempelajari kungfu dan berhasil, perbuatan apapun pernah ia
lakukan." Seorang pesilat yang berhasil gemilang dengan nama
besar yang menonjol memang bukan diperoleh secara
kebetulan. Bahwa seseorang memiliki kungfu setinggi itu,
sudah pasti harus melalui gemblengan yang cukup panjang,
latihan yang cukup keras dan menyiksa.
Lan Lan bercerita lebih jauh, "Sebagai manusia biasa,
akhirnya ia merasa bosan, tiba-tiba ia sadar, umpama
seseorang memiliki kungfu yang tiada taranya, tiada lawan
yang mampu menandingi dirinya, akan datang suatu saat ia
akan meresapi kegetiran hidup, kesepian dan kehampaan
dalam hidupnya," sikap Lan Lan juga kelihatan rawan,
suaranya makin pelan dan tertekan, "Masih muda hidup di
rantau, jauh dari keluarga, kehilangan kasih sayang ayah
bunda, karena terlalu asyik meyakinkan kungfu, tidak pernah
punya teman lagi, meski makin tinggi kungfu yang berhasil dia
yakinkan, namun jiwanya justru makin tertekan."
Siau Ma adalah identik manusia gelandangan, ia dapat
meresapi kegetiran hidup seorang yang jauh dari kasih sayang
keluarga, tidak pernah ada orang memperhatikan
kehidupannya, entah dia gagal atau sukses dalam mengejar
karir, yang pasti kesuksesan itu akhirnya berubah menjadi
tidak berarti sama sekali.
Dengan lekat Siau Ma menatap Lan Lan, "Kau tidak
memperhatikannya?"
"Aku ingin memperhatikan dia, memberikan kasih sayang
kepadanya, tapi dalam keadaan seperti itu, aku juga sadar,
seorang diri aku takkan bisa memenuhi harapannya, bukan
aku saja yang bisa memberi perhatian dan hiburan
kepadanya."
"Maksudmu hanya ayah bundanya?"
Lan Lan memanggut, "Ya, hanya ayah bundanya saja
orang yang dia hormati, ayahnya adalah tulang punggung
kehidupannya, namun wataknya memang kukuh dan terlalu
keras kepala, meski sadar, namun sampai mati ia takkan mau
mengaku salah, padahal ia sadar bahwa dirinya berdosa
terhadap sang ayah, setelah minggat mana ada muka dia
pulang ke rumah."
Mendadak Pok Can menimbrung, "Kita pernah turun
gunung mencarinya, tapi tidak berhasil menemukannya."
"Dalam tahun permulaan sejak ia meninggalkan rumah, dia
belum meresapi betapa agung dan luhurnya hubungan
kekeluargaan, maka ia menyingkir dan selalu menghindar
meski tahu ayahnya menyuruh orang mencarinya. Beberapa
tahun kemudian, setelah ia merasa rindu, kangen kepada
orang tua, kalian sudah tidak pernah mencarinya lagi, dia pun
malu untuk pulang."
Bukankah banyak peristiwa seperti itu dalam kehidupan
manusia banyak" Kalau tidak, mana mungkin sering terjadi
tragedi kehidupan dalam dunia ini hanya lantaran sedikit salah
paham dan kontrakdiksi.
Salah paham dan kontrakdiksi sering kali jadi pangkal
pertikaian keluarga, penyebab utama tragedi kehidupan yang
menyedihkan. Sayang sekali, sedikit kesalahan itu justru tak
mungkin ditebus dengan apapun selama hayat masih di
kandung badan. "Suatu ketika dia menolong keluargaku, setelah aku tahu
dan menyadari keadaannya, untuk membalas budi kebaikan
dan pertolongannya, aku tidak boleh berpeluk tangan, aku pun
tidak tega menyaksikan penderitaan batinnya, secara diamdiam
aku menulis sepucuk surat untuk orang tuanya, dengan
akal dan cara yang ruwet aku menitipkan atau kusuruh orang
mengirimnya ke Long-san, dengan harapan setelah menerima
suratku, Cu Ngo Thay-ya sudi mengirim seorang untuk
menjemput putranya pulang."
"Lho, kenapa kita tidak tahu adanya kejadian ini?"
demikian tanya Pok Can melenggong.
"Mungkin orang yang kusuruh mengirim surat itu bukan
orang baik, atau mungkin terjadi sesuatu di tengah jalan,
mungkin juga surat itu terjatuh di tangan seorang jahat," Lan
Lan berhenti sejenak lalu meneruskan, "namun waktu itu kami
tidak memikirkan hal ini, tidak lama setelah surat kukirim,
seseorang datang dari Long-san membawa surat balasan dari
Cu Ngo Thay-ya."
"Apa bunyi balasan itu?" tanya Pok Can.
"Utusan itu bernama Song Sam, kelihatannya orang jujur
dan setia, dia mengaku sebagai orang kepercayaan Cu Ngo
Thay-ya," demikian Lan Lan menjelaskan.
"Belum pernah kudengar nama orang ini," kata Pok Can
dengan menggeleng.
"Sudah tentu kalian tidak mengenalnya karena nama itu
palsu, sayang sekali kami tidak sempat bertanya lebih banyak
dan dia pun tak dapat memberi keterangan apa-apa."
"Lho, kenapa?" tanya Po Can melenggong.
"Mungkin sekarang jenazahnya sudah membusuk,"
demikian Lan Lan menjelaskan lebih jauh. "Surat rahasia yang
dia bawa disimpan dalam butiran malam putih, jadi mirip
sebutir pulung obat. Song Sam bilang, menurut pesan
ayahnya supaya Cu Hun sendiri yang menerima dan membaca
surat ayahnya, orang ketiga dilarang ikut membacanya."
Antara ayah dan anak adalah pantas kalau menyimpan
rahasia, untuk hal yang lumrah ini, siapa pun takkan merasa
curiga. "Tak pernah terpikir oleh kami, bahwa butiran malam
sebesar buah kelengkeng itu, berisi segumpal asap dan tiga
batang jarum lembut."
"Wah," kata Siau Ma gugup. "Cu Hun terbokong
karenanya?" Lan Lan tertawa getir, "Siapa pun takkan
menyangka bahwa seorang ayah membokong dan berniat
membunuh putranya dengan cara selicik dan sejahat itu.
Syukur Cu Hun adalah tunas muda luar biasa, seorang jenius
dalam ilmu silat, dengan Lwekang latihannya ia berhasil
mendesak keluar separoh lebih racun dalam tubuhnya."
"Lalu bagaimana dengan Song Sam?" tanya Pok Can.
"Waktu Song Sam tiba di rumahku, keadaannya juga
sudah payah, terkena racun yang jahat, tidak banyak
keterangan yang bisa dia jelaskan, jiwanya sudah melayang
lebih dulu. Tragisnya mayatnya hancur luluh dalam sekejap
mata, tulang belulangnya pun membusuk habis menjadi
cairan." Siau Ma menggeram gusar sambil mengepal tinjunya,
"Manusia kejam, perbuatan culas."
"Betapapun liar dan buas seekor harimau tak pernah
makan anaknya sendiri. Menghadapi peristiwa yang tidak
terduga ini, kita lantas berpikir, orang yang menyuruh Song
Sam mengirim surat pasti orang lain, bukan ayah kandungnya
yaitu Cu Ngo Thay-ya, orang ketiga ini punya niat jahat dan
tidak ingin mempertemukan ayah dan anak, apalagi dia juga
sadar, kalau Cu Hun pulang, kelak pasti mewarisi kedudukan
dan kekuasaan ayahnya," sampai di sini Lan Lan menelan liur
seperti menahan gejolak perasaan hatinya, lalu sambungnya,
"Di samping itu, kita juga memikirkan persoalan lain yang
lebih menakutkan."
"Persoalan apa?" tanya Siau Ma.
"Kalau orang ketiga ini berani bertindak sejahat dan sejauh
ini, tentu dia sudah punya posisi yang lebih baik, dan keadaan
Cu Ngo Thay-ya mungkin dalam bahaya, umpama belum mati,
keadaannya tentu sedang kritis."
Pok Can memanggutkan kepala tanda sependapat,
desisnya penuh kebencian, "Sejak masih muda Cu Ngo Thayya
adalah jenius ilmu silat yang hebat dan digdaya, dalam
keadaan sehat dan aman, umpama orang itu punya
kemampuan dan keberanian besar juga takkan berani
bertindak demikian."
"Ayah memperhatikan anak dan anak berbakti terhadap
orang tua adalah hubungan lahir batin manusia. Setelah
urusan berkembang sejauh ini, maka Cu Hun tidak boleh
bersikap kukuh, dia harus segera merubah sikap dan segera
pulang melihat keadaan ayahnya," dengan gegetun Lan Lan
melanjutkan, "tapi kita juga tahu, kalau orang ini berani
membokong dan berusaha membunuh putra tunggal Cu Ngo
Thay-ya, tentu orang ini bukan tokoh sembarangan, bukan
mustahil di Long-San dia punya kedudukan dan posisi yang
kuat serta mampu mengerahkan sekelompok orang yang
menjadi kaki tangannya. Kalau kita langsung meluruk ke atas
gunung, bukan saja tidak dapat bertemu dengan Cu Ngo
Thay-ya, mungkin sekali malah mempercepat kematiannya."
Tiba-tiba Pok Can menimbrung, "Waktu itu kalian belum
tahu mati hidup Cu ngo-Thay-ya, meski Cu Hun membekal
kungfu setinggi langit, namun racun di tubuhnya belum
berhasil dibersihkan secara tuntas, berarti kepandaiannya
masih terbatas dan tak mungkin bertindak secara maksimal,
kalau harus menghadapi lawan tangguh, kemampuannya
tentu amat terbatas."
"Namun waktu sudah sangat mendesak, demi keselamatan
Cu Ngo Thay-ya, kita tidak boleh mengulur waktu, maka
dalam waktu singkat kita harus berusaha dengan akal yang
sempurna."
"Untuk melaksanakan rencana itu, maka kalian mencari
diriku?" tanya Siau Ma.
Lan Lan manggut, "Bukan maksudku hendak menipu
engkau, soalnya peristiwa ini amat besar artinya bagi masa
depan Cu Hun dan nasib seluruh warga di Long-san, maka
rencana harus dirahasiakan, tidak boleh bocor."
Siau Ma menghela napas, "Aku tidak menyalahkan engkau,
bukankah aku menunaikan tugas secara suka rela?"
Mendadak Siang Bu-gi menimbrung pula dengan suara
dingin, "Aku ingin tahu satu hal."
"Soal apa yang ingin kau ketahui?" tanya Siau Ma.
"Siapa biang keladi kasus ini?"
Siau Ma tidak menjawab, demikian pula Pok Can dan Lan
Lan juga tidak memberi tanggapan, tapi dalam hati mereka
sudah terbayang wajah seseorang, yaitu Long-kun-cu Un
Liang-giok. Long-kun-cu Un Liang-giok adalah salah seorang
kepercayaan Cu Ngo Thay-ya, di saat sang junjungan
menghadapi saat genting dan tegang seperti tadi, ternyata
batang hidungnya tidak pernah kelihatan.
Di belakang singgasana Cu Ngo Thay-ya ternyata ada
sebuah lubang rahasia, orang yang memalsukan suara Cu Ngo
Thay-ya dan memberi perintah tadi tentu berasal dari sini dan
Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melarikan diri lewat lorong bawah tanah.
Apakah betul orang itu Un Liang-giok" Kemana ia
melarikan diri"
"Biar dia sudah lari, aku yakin tidak akan lolos dari
tanganku," demikian desis Siau Ma geram.
"Kita harus mengejarnya, namun tidak lewat lorong ini."
"Kenapa?"
"Orang itu kejam dan telengas, bukan mustahil dalam
lorong ia memasang jebakan, kalau tidak waspada kita yang
celaka malah," demikian ucap Pok Can yang berpengalaman
menenteramkan suasana yang panas. "Untuk selanjutnya
marilah kita bekerja dengan kepala dingin, jangan diburu
emosi hingga melakukan kesalahan, akibatnya tentu amat
fatal." Namun Siau Ma tak sabar menunggu, dalam kedudukan
Siau Ma sekarang, ia tidak mau dan tidak boleh menunggu,
waktu amat berharga bagi dirinya, terlambat berarti maut bagi
dirinya, maka ia mendahului menerjang keluar.
Lan Lan memburu sambil bertanya, "He, kemana kau" Apa
yang akan kau lakukan?"
"Mencari seorang."
"Seorang siapa?"
"Orang itu selalu menyembunyikan mukanya di belakang
topeng." Bercahaya mata Lan Lan, "Maksudmu orang bertopeng itu
adalah Un Liang-giok?"
"Aku yakin dugaanku tidak meleset."
Di luar cahaya mentari terang benderang. Sinar surya
sedang menyinari permukaan danau.
* * * * * Tanggal 14 bulan 9, hampir petang.
Sang surya sudah terbenam di ufuk barat, pancaran
cahayanya yang kemuning menyinari permukaan danau yang
tenang bening bagai kaca, cahaya menyinari topeng kuning
emas berbentuk seram seperti setan dedemit.
"Apakah dia?" tanya Lan Lan.
"Betul," desis Siau Ma penuh keyakinan, "kecuali Un Lianggiok
susah aku menduga orang lain."
Cu Hun diam saja, tidak menampakkan reaksi.
Kejadian yang menggembirakan sering kali mengundang
rasa lelah, berbeda dengan orang yang sedang bersedih hati.
Rasa duka nestapa justru lebih sering membuat perasaan
orang menjadi beku, hilang kesadarannya dan meluluhkan
ketahanan fisiknya.
Amarah justru dapat mengobarkan semangat, membakar
emosi. Siau Ma menerjang dengan mata melotot ke arah duta
malaikat surya, bentaknya dengan murka, "He, kau tidak
minggat, masih ada di sini?"
"Kenapa aku harus lari?" duta malaikat balas bertanya.
"Memangnya kau masih ingin melakukan kejahatan di
sini?" damprat Siau Ma. "Berkedok di belakang jenazah Cu
Ngo Thay-ya, kau menguasai dan memerintah kawanan
serigala di gunung ini melakukan segala keinginanmu. Kau
berusaha membunuh Cu Hun dan menjebaknya supaya
mereka ayah dan anak tak bisa bertemu. Untuk
menghancurkan generasi muda di gunung ini, kau pura-pura
menjadi duta malaikat surya, memperalat watak anak muda
yang suka berontak untuk merubah zaman, kau bius mereka
dengan daun ganja supaya mereka tenggelam dalam
kehidupan khayal...."
Itulah tuduhan Siau Ma, namun tidak ia paparkan secara
gamblang, karena ia tahu umpama menuduhnya secara
terbuka, duta malaikat surya pasti tidak akan menyangkal
tuduhannya. Siau Ma memang tidak suka bertele-tele, tidak mau banyak
omong, urusan hanya diselesaikan dengan sepasang tinjunya,
menang adalah benar.
"Rencanamu memang sukses untuk sekelompok
lingkungan anak-anak muda saja. Sayang Cu Hun tidak
berhasil kau bunuh, aku pun tidak mampus seperti yang kau
harapkan."
"Cu Hun tidak mati karena nasibnya mujur. Sebaliknya kau
tidak mampus, akulah yang bernasib mujur," demikian jengek
si duta malaikat surya.
"Lho, kau yang mujur malah?" tanya Siau Ma pura-pura
melenggong. "Cu Hun baru kau kenal, hanya seorang teman baru. Tapi
Siau Lin adalah milikmu, Lo-bi adalah kawan karibmu, benar
tidak?" Sian Lin berdiri di belakang duta malaikat surya, demikian
juga Lo-bi ada di sana.
Duta malaikat surya berkata lagi, "Kau masih memiliki
sepasang tinju, punya teman yang pandai menggunakan
pedang, sebaliknya Cu Hun kini tinggal setengah hidup
belaka." "Maksudmu aku harus membunuh Cu Hun untuk menebus
jiwa Siau Lin?" bentak Siau Ma.
"Di dunia ini tidak jarang terjadi adanya seseorang yang
membuang yang lama mencari yang baru, aku yakin kau rela
mengorbankan Siau Lin setelah memperoleh Lan Lan, tapi aku
juga percaya si Kuda Binal bukan laki-laki berjiwa pengecut."
Agaknya duta malaikat pandai menyelami jiwa manusia, ia
maklum bahwa Siau Ma tidak mungkin mengorbankan Siau
Lin, tapi dia lebih senang mengorbankan dirinya sendiri
daripada pujaan hatinya, demi Siau Lin si Kuda Binal berani
berbuat apa saja.
"Aku yakin dengan sepasang tinjumu dan pedang Siang
Bu-gi, kalian dapat mengalahkan dan membunuh Cu Hun."
Tidak seperti biasanya, kalau sedang marah Siau Ma
mengepal tinju, mungkin saking marah dan khawatir, jari-jari
Siau Ma tampak gemetar malah, gejolak hatinya membuat
pemuda ini kehilangan kontrol, tapi dia masih dapat
memikirkan perkembangan yang bakal terjadi.
Batin Siau Ma amat terpukul di kala matanya menangkap
aksi temannya Lo-bi yang merangkak ke depan kaki si duta
malaikat surya serta mencium kakinya. Tapi kejadian
selanjutnya justru tidak pernah ia duga sebelumnya. Mungkin
kejadian ini pun tak pernah di duga oleh duta malaikat surya
sendiri. Mendadak Lo-bi memeluk kencang kedua kakinya
serta mendorongnya jatuh, lalu keduanya terguling-guling ke
bawah batu karang dan terjebur ke dalam danau.
Sebelum kecemplung ke dalam air, Lo-bi yang bergumul
dengan lawannya sempat melontarkan perasaan hatinya, "Kau
menganggapku kawan, aku tidak akan membuatmu malu."
Kawan! Sebuah kata yang sering diucapkan orang, sering
dilontarkan dari mulut ke mulut, namun pada suatu saat
'kawan' itu sendiri mengandung makna yang luhur, arti yang
mendalam. Setelah kejadian berselang beberapa kejap, Cu Hun yang
menyaksikan akhir tragedi ini baru meresapi makna sejati
'kawan' itu, maka ia pun menarik kesimpulan terhadap kata
'kawan' itu, "Sekarang baru aku tahu, baru aku sadar,
betapapun tinggi kungfu seseorang, nilainya tidak setinggi
persahabatan sejati."
Dalam kehidupan manusia bermasyarakat di dunia ini,
kalau satu sama lain tanpa diresapi perasaan, entah apa yang
akan terjadi" Apakah manusia masih bisa dianggap manusia"
Kejadian begitu cepat, hanya berlangsung dalam sekejap,
sang surya masih memancarkan cahayanya yang terakhir.
Siau Ma duduk berhadapan dengan Cu Hun, mereka saling
pandang tanpa membuka suara.
Entah berapa lama kemudian Cu Hun bersuara lebih dulu,
"Sekarang aku sadar, hanya laki-laki seperti dirimulah yang
patut dipuji sebagai orang luar biasa, kau tidak pernah
meninggalkan kawan, percaya kepada kawan yang juga
percaya kepadamu. Kau rela berkorban demi kawan,
kawanmu juga rela berkorban demi dirimu."
Siau Ma bungkam, lidahnya kelu.
"Aku rasa tiada orang menduga bahwa Lo-bi rela
berkorban untuk dirimu, rela gugur bersama musuh demi
kebahagiaanmu, demi masa depanmu," setelah menghela
napas, Cu Hun menyambung dengan suara datar, "Aku sadar,
selama ini aku berbuat salah terhadapmu, tapi aku yakin
dapat melakukan beberapa hal untuk menebus kesalahanku
itu, demi dirimu."
Siau Ma melenggong, tidak mengerti kesalahan apa yang
dimaksud, dengan cara apa orang akan menebus
kesalahannya, namun mulutnya tetap bungkam.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Lan Lan.
Cu Hun menjelaskan, "Aku berjanji, selanjutnya takkan ada
serigala liar, yang buas maupun yang jahat di Long-san.
Takkan ada anak muda yang makan daun lagi."
Siau Ma berdiri. "Terima kasih," katanya haru sambil
menggenggam tangan Cu Hun, lalu mereka berpelukan
dengan tawa riang.
Siau Lin sudah sadar, sudah segar bugar. Sinar surya
masih sempat menyinari wajahnya yang pucat.
Sebagai orang yang sudah ternoda, ia sadar dirinya tidak
setimpal lagi bagi Siau Ma, maka ia tidak berani berhadapan
dengan Siau Ma, katanya perlahan sambil melengos, "Aku
tahu selama ini kau mencariku, aku juga tahu apa saja telah
kau lakukan untuk menemukan diriku."
"Kenapa kau ...."
"Aku berdosa terhadapmu."
"Jangan kau berkata begitu terhadapku."
"Tidak! Aku harus bicara, sudah tidak ada alasan untuk aku
hidup berdampingan dengan engkau, keretakan sudah nyata
dalam hubungan kita, keretakan yang tidak mungkin
dipulihkan seperti sedia kala, keretakan yang mendalam dan
terukir dalam sanubari, kalau kau memaksa aku berkumpul
dengan kau, itu berarti kau hanya akan mengundang derita
batinku saja," air mata bercucuran di pipinya. "Oleh karena
itu, kalau kau masih mencintaiku, kau harus merelakan aku
pergi." Siau Ma mematung, mendelong mengawasi Siau Lin
beranjak pergi, mengawasi bayangan ramping itu makin jauh
dan lenyap di bawah pancaran sinar surya yang sudah buram.
Siau Ma terus bungkam, berdiri mematung dengan perasaan
hampa. Lan Lan menyaksikan dari kejauhan, kini ia mendekati lalu
bertanya dengan suara tegas, "Apa betul ada keretakan yang
tidak bisa dipulihkan di dunia ini?"
"Tidak ada," Siang Bu-gi menjawab dari samping. "Dosa
bisa ditebus, kesalahan bisa diperbaiki, betapapun besar kau
melakukan kesalahan, betapapun lebar keretakan terjadi,
namun cinta murni, cinta sejati dapat menghapusnya sama
sekali." Lan Lan berkata, "Pada siapa kau tujukan komentarmu
itu?" Siang Bu-gi berkata, "Kepada Kuda Binal yang goblok,
segoblok babi yang tidak punya perasaan."
"Siau Lin ...." mendadak Siau Ma memekik panjang, bagai
kuda pingitan yang lepas, sekencang angin ia berlari ke arah
barat, menyongsong sinar surya yang makin terbenam, berlari
mengejar Siau Lin yang tidak kelihatan lagi bayangannya.
Siau Ma harus mengejarnya, Siau Lin harus menjadi
miliknya. Pemandangan alam indah permai, menjelang maghrib,
sebelum sang surya menyembunyikan diri ke peraduannya,
panorama nan molek ini memang tidak boleh disia-siakan,
harus dinikmati, harus diresapi pula.
Kalau seorang masih punya kesempatan, janganlah
kesempatan diabaikan, kesempatan jangan dibuang percuma.
T A M A T Duri Bunga Ju 12 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Bentrok Rimba Persilatan 1