Suling Emas Dan Naga Siluman 15
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
akan tetapi sedikit pun tidak nampak perobahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. "Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia."
"Kalau kami tidak mau melepaskan dia" tanya Su-ok juga tersenyum.
Bu-taihiap tertawa. "Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat."
"Ha, sobat, bagaimana kalau kami bunuh Pangeran ini" Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!" Su-ok kini menggunakan gertakan.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. "Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati" Hidup pun akhirnya akan mati juga! He, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kaukira hidup lebih enak daripada mati" Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!"
Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu" Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat di ucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.
"Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah kita menggunakan dia sebagai taruhan" kata Bu-taihiap.
"Taruhan" Kini Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari "atas" dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.
"Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian"
Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua" Siapasih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok"
"Hemm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!" kata Ngo-ok marah. "Ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun tidak bisa mempertahankan kepalaku lagi. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!"
Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh, dengan hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.
Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, "Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Mari kita layani dia." Mereka lalu mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang sama sekali tidak mempedulikan Sang Pangeran, maka tidak ada gunanya untuk mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera. Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir dengan harapan akan menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan dapat melanjutkan siasat mereka merusak nama baik pangeran.
Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biarpun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat dia melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. "Nah, kalian mulailah!" tantangnya sambil tersenyum. Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya, lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati-hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.
"Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama," tiba-tiba Su-ok berkata untuk membalas pandangan ringan itu. "Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!"
Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. "Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu" Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian" Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya sheku saja yang masih kuingat. Aku she Bu."
Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan, dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu"
"Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu" Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!"
Bu-taihiap merasa disindir. Agaknya permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.
"Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi" bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi. Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.
Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan kedua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!
Biarpun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas!
Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigapnya sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.
"Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus" Yang pendek menjadi semakin pendek mau merobah diri menjadi katak, yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!" Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah. Dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!
Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, akan tetapi sudah berbeda dari aselinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi juga tidak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal. Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sin-kang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.
Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia mengenal betul, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, "Apakah kalian hendak terus melawak di sini"
Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok! Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara "kekk!" dan tengkuknya sudah dicekik kuat. Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan kini tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biarpun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!
Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan kedua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.
"Heii, hati-hati....!" Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.
"Apa ini...." Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan kedua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.
"Plakk!" Kedua tangannya, seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.
"Brukkk....!" Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih. Kiranya ketika Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia "berdiri" di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tinding seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.
"Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!"
"Bedebah!" bentak Su-ok.
"Keparat sombong!" Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas daripada tadi. Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah! Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini" Lawan mereka duduk bersila. Mana ada orang berkelahi duduk bersila seperti arca" Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya. Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mujijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah. Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa. Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biarpun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, dan di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan kedua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya. Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.
Ketika dua orang lawan itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat, dari perutnya keluar bunyi dan melalui muulutnya dia mengeluarkan suara melengking, "Hiiaaaattt....!" Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.
"Dessss! Dessss!"
Akibatnya hebat bukan main. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biarpun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang dan terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!
Kini tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, "Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!" Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sialan karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!
"Ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!" Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar. Melihat ini, Bu-taihiap cepat menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran melihat seorang pria setengah tua membersihkan bibir dan dagunya dengan saputangan.
"Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran."
Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. "Ah, apa yang terjadi" Bukankah tadi terjadi pibu di sini" Mana mereka yang telah menculikku tadi"
"Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat."
Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. "Benar, kulihat tadi engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aih, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini"
Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan. "Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan mereka ini adalah keluarga hamba...." Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga, "mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba." Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat.
"Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh...." Sang Pangeran memuji.
Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. "Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat."
Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun. "Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!"
Souw Kee An terkejut dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. "Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang telah menyelamatkan Pangeran."
Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran. Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, kemudian Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, "Pangeran, hamba kira ucapan Souw-ciangkun ini tepat, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapapun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka.
Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tidak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Kim-coa-to.
Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa.
Manusia agaknya merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam daripada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tidak dapat terjangkau oleh alam pikirannya, kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, dunia dan bintang-bintang, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak maupun yang tidak. Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa daripada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau tradisi atau agama masing-masing.
Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu" Apakah kalau kita sudah mempersiapkan di bibir selalu sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan"
Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Namun pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu!
Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya. Kita mengagungkan sebutannya belaka sehingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku. Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan demikian selanjutnya.
Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan" Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah" Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan sebagainya. Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi akibat daripada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu.
Mengapa demikian" Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan" Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan" Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya" Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata sebenarnya, yaitu manusia yang berperikemanusiaan"
Manusia ber-Tuhan, berperikemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperikemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkiniah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya. Kalaupun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, maka itu hanyalah ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula. Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing" Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masing-masing" Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan. Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan akan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil" Apa artinya kalau hanya mulut mengaku berperikemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lain" Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani!
"Harap Paduka suka hati-hati, karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, sebaliknya kalau Paduka memperoleh pengawalan yang kuat." Bu-taihiap memberi nasihat.
Pangeran itu tertawa. "Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to."
"Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka."
"Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to" Akan ramai di sana."
"Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran"
Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. "Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!" Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik. Tidak mengherankan apabila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar! Memang nafsu, apapun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tak pernah mengenal puas. itulah nafsu! Karena itu, sekali menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.
"Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung...." Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari tiga orang isterinya! "Ehh.... ohh berkunjung ke sana megawal Paduka...." sambungnya cepat.
"Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik" Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.
"Huh, tak ada puasnya!" sambung Gu Cui Bi.
"Dasar mata keranjang!" Nandini juga mengomel.
Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berobah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, akan tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, "Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah banyak dan kurasa mereka tidak berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi."
Betapapun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap mempergunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niatnya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.
"Jenderal Kao Cin Liong" Ahh, dia adalah seorang sahabatku!" Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan tiga orang isterinya memandang girang. "Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi."
Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
"Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran." kata Bu-taihiap. "Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana."
Demikianlah, setelah mengawal pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.
Biarpun berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Pulau Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah. Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.
Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Ketika perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini. Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapapun juga, pangeran mahkota itu mempunyai nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota" Suatu persaingan yang tidak adil!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau sukur-sukur kalau dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.
Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang kiranya patut menjadi calon jodoh murid atau sahabatnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi. Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.
Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi lampu-lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana tiga orang itu duduk menikmati hidangan, minuman sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.
Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui lalu berkata dengan penuh hormat, "Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti...."
"Ah, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja...." Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.
Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. "Kehendak siapapun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan" Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami."
Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah merah.
"Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau dengar sendiri, Adikku." Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. "Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Biarpun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini" Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini "memancing" pendapat Pangeran tentang hal itu.
Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini...."
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, "Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu...."
"Enci Hui....!" Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.
Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. "Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu" Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio."
Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.
"Betapapun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasihat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih."
Pangeran itu tersenyum lebar. "Ah, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguhpun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasihat" Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih."
Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, maka dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan dua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.
Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludu hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, sehingga dipandang sepintas lalu seolah-olah pohon itu berubah benda-benda berkilauan.
Agaknya kedua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.
Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.
"Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya."
"Ah, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia."
"Ah, tidak apa, Enci. Akan tetapi kalau engkau memang tidak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja"
"Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ah saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!"
"Ah, aku tidak percaya!" pangeran itu berseru heran.
"Tidak percaya yang mana, Pangeran"
"Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!"
Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. "Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya...."
"Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!"
Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, "Jangan khawatir Pangeran, Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka."
"Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun"
"Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!"
"Ah, masa...." Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!"
"Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India."
Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andaikata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.
"Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh" Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami"
Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya pada saat itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah, jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.
"Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati...." Kemudian Syanti Dewi memberi isarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar. Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus.
"Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya. Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.
Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.
"Tapi.... agaknya pria yang kaucinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu"
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, "Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya, bagiku...."
"Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci"
Sampai lama Syanti Dewi tidak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan daripada jawaban, "Entahlah.... bagaimana, ya" Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapapun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tidak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ah, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi...."
Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!
"Kalau memang engkau sudah mengambil keputusan, nah, besok kaulakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar kepada Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci."
Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. "Ah, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Biarpun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan prikemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat" Rasanya.... tidak mungkiniah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain...."
Pangeran Kian Liong memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, lalu menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. "Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!"
"Pangeran, harap ampunkan dia...."
"Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, dan juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tidak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa mengecewakan hati Ouw-toanio, dan setelah engkau ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu"
Syanti Dewi terkejut dan juga merasa terharu, sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang amat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!
"Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan...."
"Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya" Tidak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andaikata aku mengambil sepuluh orang wanita sekalipun."
"Ah, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran."
"Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi"
Pada saat itu nampak dua orang pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.
Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. "Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran." kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu. Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu.
Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, tiba-tiba ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.
"Tringgg....!" Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi nyaring.
"Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini" Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.
"Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka." Syanti Dewi lalu mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, kemudian dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.
Biarpun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat di dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria yang bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.
"Mari, Pangeran!" Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya. Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih maupun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu, walaupun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, namun dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya bercepat-cepat meninggalkan taman.
"Ahhh....!" Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya. Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu itu, yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.
Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok maupun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan ketika diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.
"Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi." komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. "Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan. untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu...." Komandan itu menggeleng kepalanya. "Sungguh berbahaya sekali, yang kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran."
Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. "Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tidak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi."
Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.
Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang-orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!
Akan tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. "Aku tidak khawatir." katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. "Biarpun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan" Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat. Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang yang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya! Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersendau-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu. Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah dia mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke pulau itu Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!
*** Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar dan ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.
Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justeru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya! Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.
Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.
Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan! Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula! Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapapun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.
Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berobah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah. Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar Sang Pangeran dapat menang. Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berobah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi, dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu kalau saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.
Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena kalau hal itu dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu pernah diculik dan tidak dibunuh" Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi!
Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu" Cara satu-satunya yang terbaik baginya, adalah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentu mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, dia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.
"Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran...." bisik Tek Hoat.
Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, "Baik, cepat kaugantikan aku dan aku...." Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!
"Ah, kenapa Paduka...."
"Ssasttt...., aku mau nonton!" bisik Pangeran itu yang sudah beraembunyi di kolong pembaringan! Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggeleng kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton, dan bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk beebantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti. Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biarpun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar. Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia, sudah siap siaga. Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.
Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar. Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. itulah pukulan, jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.
"Wuuuttt.... cettt....!" Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan dapat membunuh lawan seketika! Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thai-houw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya" Tak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka. Maka ketika tiba-tiba "Pangeran" itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!
"Huh!" Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya. Pertempuran sengit terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu. Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, akan tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap!
Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.
"Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!" teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.
Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, akan tetapi dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.
"Paduka Pangeran...."
Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.
"Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa."
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. "Paduka selamat, Pangeran" Aihh, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran"
Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, "Souw-ciangkun, suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut." Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.
"Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Akan tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi.
Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tidak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. "Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!"
"Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung." kata Syanti Dewi.
"Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti" Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini."
"Biarkan hamba saja yang menjaga dalam kamar Pangeran." kata Souw Kee An. Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tidak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal!
*** Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing. Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Oran ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama ketika diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu. Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua daripada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar. Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah daripada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya.
"Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu dan di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku."
Syanti Dewi tersenyum pahit. "Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak" Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biarpun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, namun hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia dapat memilih seorang di antara mereka, maka dia sudah mengambil keputusan untuk "memilih" Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui. Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri.
"Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon"
"Mengapa tidak, Enci" Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan"
Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri!
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum. Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda.
Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kuih kering. Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu. Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlumba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu. Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas dan memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.
"Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!" demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan. Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekalipun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki tingkat paling atas dan hal ini saja sudah menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.
Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam. Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampaknya menyuram apabila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita dan mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan berahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerakgeriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan.
Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguhpun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong.
Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biarpun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal daripada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu. Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.
Kemudian hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan diumumkan nama para penyumbangnya. Ketika nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra. Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, "Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!"
Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu, "Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri."
Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadap dia, maka dia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi hening, maka terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus, "Memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!"
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah dan dengan muka yang berobah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu. Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu membacakan sajaknya terdengar satu-satu dengan jelas.
"Cantik Indah bagai bunga anggrek harum semerbak bagaikan bunga mawar merdu merayu bagaikan sumber air,Gilang gemilang seperti fajar menyingsingredup syahdu seperti sang senjakaladuhai Bunga Pulau Ular Emas!
Tiada sesuatu mampu kupersembahkan kecuali seuntai sajak bisikan kalbudisertai hati yang subur basahtempat Sang Bunga mekar berseri."
Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukan sepenuhnya perasaannya sehingga seolah-olah dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih menjadi hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji. Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biarpun bunganya sendiri telah lama layu! Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal" Kemudian dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senjakala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri-seri, dan keredupan senjakala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat. Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa-apa kecuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!
Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil "memperkenalkan" dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu. Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak "melupakan" Syanti Dewi sehinga hanya beberapa orang saja yang dapat melihat ketika wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam.
Setelah beberapa macam tarian disajikan, tiba-tiba Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, "Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!"
Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung. Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini sehingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu mulailah dia menari!
Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka ketika dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening. Tari-tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum. Kalau para tamu itu terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.
"Syanti.... Syanti.... kekasihku...." demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu. Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok kepada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu! Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, dia tuduh telah berjina dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri (baca ceritaJodoh Rajawali )! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun.
Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak ketika Syanti Dewi mengakhiri tariannya.
Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran.
Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, "Atas permintaan dari Ouwyang-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!" Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan. Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, "Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi." Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut.
Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Kemudian, dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya. Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang karena mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan makn! Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi!
Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya seperti terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata. Maka meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Dan kini terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang amat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu percintaan yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati. Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biarpun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tak dapa
Hikmah Pedang Hijau 7 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Duri Bunga Ju 2
akan tetapi sedikit pun tidak nampak perobahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. "Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia."
"Kalau kami tidak mau melepaskan dia" tanya Su-ok juga tersenyum.
Bu-taihiap tertawa. "Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat."
"Ha, sobat, bagaimana kalau kami bunuh Pangeran ini" Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!" Su-ok kini menggunakan gertakan.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. "Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati" Hidup pun akhirnya akan mati juga! He, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kaukira hidup lebih enak daripada mati" Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!"
Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu" Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat di ucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.
"Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah kita menggunakan dia sebagai taruhan" kata Bu-taihiap.
"Taruhan" Kini Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari "atas" dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.
"Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian"
Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua" Siapasih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok"
"Hemm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!" kata Ngo-ok marah. "Ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun tidak bisa mempertahankan kepalaku lagi. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!"
Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh, dengan hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.
Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, "Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Mari kita layani dia." Mereka lalu mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang sama sekali tidak mempedulikan Sang Pangeran, maka tidak ada gunanya untuk mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera. Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir dengan harapan akan menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan dapat melanjutkan siasat mereka merusak nama baik pangeran.
Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biarpun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat dia melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. "Nah, kalian mulailah!" tantangnya sambil tersenyum. Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya, lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati-hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.
"Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama," tiba-tiba Su-ok berkata untuk membalas pandangan ringan itu. "Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!"
Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. "Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu" Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian" Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya sheku saja yang masih kuingat. Aku she Bu."
Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan, dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu"
"Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu" Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!"
Bu-taihiap merasa disindir. Agaknya permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.
"Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi" bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi. Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.
Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan kedua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!
Biarpun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas!
Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigapnya sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.
"Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus" Yang pendek menjadi semakin pendek mau merobah diri menjadi katak, yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!" Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah. Dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!
Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, akan tetapi sudah berbeda dari aselinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi juga tidak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal. Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sin-kang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.
Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia mengenal betul, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, "Apakah kalian hendak terus melawak di sini"
Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok! Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara "kekk!" dan tengkuknya sudah dicekik kuat. Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan kini tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biarpun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!
Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan kedua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.
"Heii, hati-hati....!" Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.
"Apa ini...." Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan kedua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.
"Plakk!" Kedua tangannya, seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.
"Brukkk....!" Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih. Kiranya ketika Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia "berdiri" di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tinding seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.
"Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!"
"Bedebah!" bentak Su-ok.
"Keparat sombong!" Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas daripada tadi. Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah! Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini" Lawan mereka duduk bersila. Mana ada orang berkelahi duduk bersila seperti arca" Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya. Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mujijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah. Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa. Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biarpun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, dan di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan kedua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya. Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.
Ketika dua orang lawan itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat, dari perutnya keluar bunyi dan melalui muulutnya dia mengeluarkan suara melengking, "Hiiaaaattt....!" Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.
"Dessss! Dessss!"
Akibatnya hebat bukan main. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biarpun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang dan terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!
Kini tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, "Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!" Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sialan karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!
"Ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!" Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar. Melihat ini, Bu-taihiap cepat menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran melihat seorang pria setengah tua membersihkan bibir dan dagunya dengan saputangan.
"Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran."
Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. "Ah, apa yang terjadi" Bukankah tadi terjadi pibu di sini" Mana mereka yang telah menculikku tadi"
"Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat."
Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. "Benar, kulihat tadi engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aih, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini"
Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan. "Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan mereka ini adalah keluarga hamba...." Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga, "mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba." Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat.
"Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh...." Sang Pangeran memuji.
Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. "Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat."
Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun. "Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!"
Souw Kee An terkejut dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. "Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang telah menyelamatkan Pangeran."
Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran. Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, kemudian Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, "Pangeran, hamba kira ucapan Souw-ciangkun ini tepat, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapapun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka.
Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tidak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Kim-coa-to.
Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa.
Manusia agaknya merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam daripada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tidak dapat terjangkau oleh alam pikirannya, kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, dunia dan bintang-bintang, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak maupun yang tidak. Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa daripada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau tradisi atau agama masing-masing.
Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu" Apakah kalau kita sudah mempersiapkan di bibir selalu sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan"
Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Namun pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu!
Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya. Kita mengagungkan sebutannya belaka sehingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku. Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan demikian selanjutnya.
Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan" Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah" Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan sebagainya. Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi akibat daripada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu.
Mengapa demikian" Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan" Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan" Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya" Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata sebenarnya, yaitu manusia yang berperikemanusiaan"
Manusia ber-Tuhan, berperikemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperikemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkiniah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya. Kalaupun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, maka itu hanyalah ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula. Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing" Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masing-masing" Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan. Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan akan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil" Apa artinya kalau hanya mulut mengaku berperikemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lain" Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani!
"Harap Paduka suka hati-hati, karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, sebaliknya kalau Paduka memperoleh pengawalan yang kuat." Bu-taihiap memberi nasihat.
Pangeran itu tertawa. "Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to."
"Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka."
"Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to" Akan ramai di sana."
"Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran"
Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. "Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!" Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik. Tidak mengherankan apabila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar! Memang nafsu, apapun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tak pernah mengenal puas. itulah nafsu! Karena itu, sekali menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.
"Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung...." Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari tiga orang isterinya! "Ehh.... ohh berkunjung ke sana megawal Paduka...." sambungnya cepat.
"Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik" Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.
"Huh, tak ada puasnya!" sambung Gu Cui Bi.
"Dasar mata keranjang!" Nandini juga mengomel.
Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berobah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, akan tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, "Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah banyak dan kurasa mereka tidak berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi."
Betapapun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap mempergunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niatnya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.
"Jenderal Kao Cin Liong" Ahh, dia adalah seorang sahabatku!" Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan tiga orang isterinya memandang girang. "Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi."
Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
"Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran." kata Bu-taihiap. "Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana."
Demikianlah, setelah mengawal pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.
Biarpun berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Pulau Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah. Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.
Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Ketika perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini. Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapapun juga, pangeran mahkota itu mempunyai nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota" Suatu persaingan yang tidak adil!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau sukur-sukur kalau dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.
Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang kiranya patut menjadi calon jodoh murid atau sahabatnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi. Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.
Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi lampu-lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana tiga orang itu duduk menikmati hidangan, minuman sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.
Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui lalu berkata dengan penuh hormat, "Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti...."
"Ah, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja...." Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.
Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. "Kehendak siapapun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan" Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami."
Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah merah.
"Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau dengar sendiri, Adikku." Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. "Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Biarpun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini" Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini "memancing" pendapat Pangeran tentang hal itu.
Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini...."
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, "Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu...."
"Enci Hui....!" Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.
Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. "Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu" Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio."
Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.
"Betapapun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasihat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih."
Pangeran itu tersenyum lebar. "Ah, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguhpun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasihat" Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih."
Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, maka dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan dua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.
Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludu hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, sehingga dipandang sepintas lalu seolah-olah pohon itu berubah benda-benda berkilauan.
Agaknya kedua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.
Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.
"Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya."
"Ah, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia."
"Ah, tidak apa, Enci. Akan tetapi kalau engkau memang tidak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja"
"Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ah saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!"
"Ah, aku tidak percaya!" pangeran itu berseru heran.
"Tidak percaya yang mana, Pangeran"
"Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!"
Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. "Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya...."
"Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!"
Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, "Jangan khawatir Pangeran, Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka."
"Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun"
"Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!"
"Ah, masa...." Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!"
"Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India."
Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andaikata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.
"Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh" Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami"
Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya pada saat itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah, jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.
"Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati...." Kemudian Syanti Dewi memberi isarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar. Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus.
"Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya. Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.
Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.
"Tapi.... agaknya pria yang kaucinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu"
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, "Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya, bagiku...."
"Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci"
Sampai lama Syanti Dewi tidak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan daripada jawaban, "Entahlah.... bagaimana, ya" Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapapun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tidak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ah, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi...."
Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!
"Kalau memang engkau sudah mengambil keputusan, nah, besok kaulakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar kepada Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci."
Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. "Ah, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Biarpun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan prikemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat" Rasanya.... tidak mungkiniah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain...."
Pangeran Kian Liong memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, lalu menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. "Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!"
"Pangeran, harap ampunkan dia...."
"Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, dan juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tidak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa mengecewakan hati Ouw-toanio, dan setelah engkau ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu"
Syanti Dewi terkejut dan juga merasa terharu, sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang amat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!
"Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan...."
"Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya" Tidak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andaikata aku mengambil sepuluh orang wanita sekalipun."
"Ah, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran."
"Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi"
Pada saat itu nampak dua orang pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.
Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. "Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran." kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu. Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu.
Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, tiba-tiba ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.
"Tringgg....!" Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi nyaring.
"Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini" Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.
"Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka." Syanti Dewi lalu mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, kemudian dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.
Biarpun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat di dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria yang bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.
"Mari, Pangeran!" Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya. Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih maupun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu, walaupun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, namun dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya bercepat-cepat meninggalkan taman.
"Ahhh....!" Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya. Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu itu, yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.
Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok maupun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan ketika diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.
"Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi." komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. "Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan. untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu...." Komandan itu menggeleng kepalanya. "Sungguh berbahaya sekali, yang kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran."
Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. "Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tidak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi."
Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.
Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang-orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!
Akan tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. "Aku tidak khawatir." katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. "Biarpun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan" Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat. Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang yang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya! Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersendau-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu. Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah dia mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke pulau itu Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!
*** Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar dan ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.
Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justeru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya! Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.
Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.
Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan! Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula! Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapapun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.
Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berobah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah. Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar Sang Pangeran dapat menang. Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berobah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi, dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu kalau saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.
Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena kalau hal itu dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu pernah diculik dan tidak dibunuh" Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi!
Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu" Cara satu-satunya yang terbaik baginya, adalah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentu mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, dia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.
"Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran...." bisik Tek Hoat.
Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, "Baik, cepat kaugantikan aku dan aku...." Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!
"Ah, kenapa Paduka...."
"Ssasttt...., aku mau nonton!" bisik Pangeran itu yang sudah beraembunyi di kolong pembaringan! Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggeleng kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton, dan bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk beebantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti. Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biarpun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar. Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia, sudah siap siaga. Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.
Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar. Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. itulah pukulan, jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.
"Wuuuttt.... cettt....!" Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan dapat membunuh lawan seketika! Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thai-houw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya" Tak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka. Maka ketika tiba-tiba "Pangeran" itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!
"Huh!" Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya. Pertempuran sengit terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu. Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, akan tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap!
Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.
"Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!" teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.
Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, akan tetapi dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.
"Paduka Pangeran...."
Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.
"Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa."
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. "Paduka selamat, Pangeran" Aihh, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran"
Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, "Souw-ciangkun, suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut." Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.
"Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Akan tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi.
Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tidak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. "Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!"
"Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung." kata Syanti Dewi.
"Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti" Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini."
"Biarkan hamba saja yang menjaga dalam kamar Pangeran." kata Souw Kee An. Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tidak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal!
*** Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing. Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Oran ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama ketika diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu. Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua daripada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar. Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah daripada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya.
"Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu dan di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku."
Syanti Dewi tersenyum pahit. "Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak" Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biarpun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, namun hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia dapat memilih seorang di antara mereka, maka dia sudah mengambil keputusan untuk "memilih" Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui. Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri.
"Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon"
"Mengapa tidak, Enci" Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan"
Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri!
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum. Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda.
Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kuih kering. Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu. Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlumba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu. Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas dan memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.
"Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!" demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan. Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekalipun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki tingkat paling atas dan hal ini saja sudah menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.
Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam. Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampaknya menyuram apabila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita dan mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan berahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerakgeriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan.
Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguhpun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong.
Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biarpun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal daripada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu. Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.
Kemudian hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan diumumkan nama para penyumbangnya. Ketika nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra. Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, "Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!"
Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu, "Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri."
Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadap dia, maka dia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi hening, maka terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus, "Memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!"
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah dan dengan muka yang berobah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu. Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu membacakan sajaknya terdengar satu-satu dengan jelas.
"Cantik Indah bagai bunga anggrek harum semerbak bagaikan bunga mawar merdu merayu bagaikan sumber air,Gilang gemilang seperti fajar menyingsingredup syahdu seperti sang senjakaladuhai Bunga Pulau Ular Emas!
Tiada sesuatu mampu kupersembahkan kecuali seuntai sajak bisikan kalbudisertai hati yang subur basahtempat Sang Bunga mekar berseri."
Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukan sepenuhnya perasaannya sehingga seolah-olah dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih menjadi hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji. Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biarpun bunganya sendiri telah lama layu! Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal" Kemudian dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senjakala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri-seri, dan keredupan senjakala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat. Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa-apa kecuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!
Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil "memperkenalkan" dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu. Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak "melupakan" Syanti Dewi sehinga hanya beberapa orang saja yang dapat melihat ketika wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam.
Setelah beberapa macam tarian disajikan, tiba-tiba Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, "Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!"
Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung. Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini sehingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu mulailah dia menari!
Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka ketika dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening. Tari-tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum. Kalau para tamu itu terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.
"Syanti.... Syanti.... kekasihku...." demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu. Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok kepada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu! Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, dia tuduh telah berjina dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri (baca ceritaJodoh Rajawali )! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun.
Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak ketika Syanti Dewi mengakhiri tariannya.
Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran.
Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, "Atas permintaan dari Ouwyang-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!" Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan. Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, "Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi." Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut.
Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Kemudian, dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya. Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang karena mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan makn! Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi!
Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya seperti terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata. Maka meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Dan kini terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang amat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu percintaan yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati. Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biarpun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tak dapa
Hikmah Pedang Hijau 7 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Duri Bunga Ju 2