Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
rak karena menang. Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali lasso dan menahan, menariknya dengan kuat. Kuda itu tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan mengerahkan tenaga, melawan tenaga tarikan itu. Tali itu tadi agak turun mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia menarik sekuat tenaga, ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi dengan tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia berhasil, kini dia mengadu tenaga dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu. Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang agak merendah dan mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli ginkang, maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!
Kembali Ci Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak membantu kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang, tertarik antara dua kekuatan besar dan akhirnya, orang tinggi besar itu menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan! Ci Sian sekali ini tidak dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh sehingga suara ketawanya tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi, dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan tangan mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka kuda itu. Dan kuda hitam itu berbangkis-bangkis, meringkik dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyung-huyung seperti mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya gemetaran.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring! "Pencuri- pencuri kuda busuk!" Dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda. "Tar-tar-tarr!" Cambuk kudanya diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia menghampiri dua orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia tahu bahwa dua orang yang berusaha menangkap kuda hitam itu adalah pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu karena ia melihat betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ, sedangkan Si Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan permainan tali lassonya.
Pencuri kuda yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak karena pengaruh obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi tempat itu sedangan kawannya yang lihai menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah, berdiri sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut marah seperti seorang dewasa melihat kenakalan seorang anak-anak saja.
"Eh, maling Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini" bentak Ci Sian dengan suaralantang. Ia melihat bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan kecil, bahkan kalah tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah agak berkeriput itu, tentu tidak kurang dari lima puluh tahun.
Orang pendek kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang menghadangnya hanyalah seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa senjata dan tidak menunjukkan seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar. Ci Sian heran melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai mulut yang besar. Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah mukanya robek di tengah-tengah sampai ke telinga.
"Heh, gadis manis, minggilah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai pipimu yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah, anak baik, biarkan kakekmu lewat!"
"Hemm, maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!" kata Ci Sian dan memang apa yang dikatakannya itu benar. Di antara kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling rendah sekalipun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling paling busuk di dunia bagi maling kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan seorang perantau, jadi kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.
Kiranya Si Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba berobah merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena marah, "Bocah setan, engkau memang bosan hidup agaknya!" Dan tubuhnya dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci Sian dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh kecil ini memandang rendah kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan tetapi, dia kecelik bukan main karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya malah tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah!
Akan tetapi, dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh dara remaja itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, dia merangkak bangun dan mencabut sebatang ruyung dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan ganasnya. Akan tetapi, kalau hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci Sian. Gadis ini melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biarpun ia tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai kecepatan yang lebih daripada orang biasa. Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan begitu tangan kirinya menyambar, terdengar suara "plakkk!" dan kepala maling itu telah kena tampar di pangkal telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini agak hebat. Ruyungnya terlepas dan dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia melihat betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!
Sementara itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar itu terjadi dengan serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar dan lebih kuat, Si Kakek terdesak dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali lasso itu. Ketika Ci Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dann tidak dapat bangkit lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar telah berhasil melasso kakek pemilik kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali tasso itu tidak membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!
Kakek itu kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan dengan tangan kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian dengan suatu sentakan tiba-tiba sambil membentak nyaring, ia membuat Si Tinggi Besar itu terpelantlng dan terbanting keras!Si Tinggi Besar terkejut dan marah sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja itu, tentu dara itu takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja membiarkan orang itu menubruk dekat dan tiba-tiba saja, tubuhnya menyelinap pergi.
"Brukkk....!" Si Tinggi Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu, menubruk tempat kosong dan tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka merah, membalik dan melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat itu. Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar tubuh miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia menggunakan jari tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.
"Tukk....!" Perlahan saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya Si Tinggi Besar itu mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja merajadi kaku dan kejang, pada saat itu, Si Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah lari menghampiri.
"Siauw-te, mari kita bekuk dulu bocah setan ini!" kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar yang juga sudah bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak mengusir kepeningannya karena terbanting tadi. Si Katai telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga mencabut sebatang goiok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang pencuri kuda itu menghampiri Ci Sian yang masih berdiri dengan tenang dan bertolak pinggang. Melihat ini, pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunva, segera membentak. "Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!"
Akan tetapi Ci Sian berkata halus, "Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi hajaran keras agar kelak tidak berani lagi mencuri kuda." Melihat sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu, Si Kakek pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap membantu kalau gadis itu terancam bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.
Dua orang yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang menggagalkan usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi, dengan marah menerjang dari kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan ganasnya. Akan tetapi, dengan annat mudah Ci Sian mengelak ke sana-sini, ke kanan-kiri dan kadang-kadang melompat tinggi dan semua sambaran senjata itu tidak ada yang mangenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!
"Lepas senjata!" Tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu menyaksikan hal yang aneh. Dua orang itu, seperti anggauta pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya, melepaskan senjata mereka masing-masing! Sebenarnya, tidak terjadi keanehan atau sihir seperti yang disangka oleh kakek itu, melainkan karena kecepatan gerakan Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir, melainkan dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak tadi, menotok pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat mengenai jalan darah, maka seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang itu terlepas. Dan selagi mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh, tiba-tiba Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya tinggi-ttnggi dan melontarkannya ke arah Si Tinggi Besar.
"Brussss....!" Kaki Si Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang hendak menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya terpelanting bergulingan.
"Eh, Siauw-te, kenapa kau memukulku" Si Kecil mengomel.
"Dan engkau menendang dadaku!" Si Tinggi Besar juga membentak.
Keduanya bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang amat kuat mencengkeram tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakan kedua tangan, kepala dua orang itu bertumbukan.
"Brukkkk....!" Dan keduanya menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda hitam di sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu membawa mereka ke tempat itu dan melemparkan mereka di antara tumpukan tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!
"Nah, pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!" katanya sambil tertawa gembira.
"Tar-tar-tarrr....!" Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya meledak-ledak dan ujung pecut itu menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian. "Pencuri-pencuri kuda! harus merasakan lecutan cambuk kuda!" katanya sambil tertawa gembira pula. Sengatan-sengatan ujung pecut itu membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan mempercepat mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan pinggul yang disambar lecutan cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng, terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti suara ketawa Ci Sian yang merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang dikaguminya ltu.
"Li-hiap, terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu."
Ci Sian memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh jangkung kurus akan tetapi wajahnya nampak segar seperti biasa wajah orang-orang tua yang biasa hidup di tempat terbuka, banyak terkena hawa segar dan sinar matahari yang panas.
"Engkaukah yang mempunyai kuda-kuda itu, Lo-pek" tanya Ci Sian sambil memandang kepada kuda hitam yang masih berdiri dengan kepala tergantung.
"Benar, Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri tadi bukanlah pencuri kuda biasa, Nona. Andaikata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak akan sudi menyentuh kuda."
Ci Sian mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu hanya kuda hitam itu saja.
"Hek-liong-ma...." Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk yang keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit....."
"Tidak, tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasa dipergunakan orang untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya. Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa mereka tadi adalah pencuri-pencuri kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa."
"Ah, pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau sudah sebelum berhasil mencuri Hek-liong-ma."
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ah, sungguh aneh pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku.... caba saja bayangkan.... kuda ini hanya ditukar untuk makan selama dua hari dan pengobatan kuda yang tidak berapa banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku terlalu mencinta kuda.... dan celakanya, selama berada bersamaku selalu menarik datangnya penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap."
Ci Sian terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan memperhatikan apakah orang itu tidak berobah gila. Kuda seperti ini hendak diberikan begitu saja kepadanya" Dan juga orang itu menerimanya begitu saja dari pemberian orang lain"
"Siapakah yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek" Sungguh aneh sekali kalau ada orang memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja."
"Seorang pendekar! Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun mata tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa, tentu seorang pendekar sakti!"
"Siapa dia, Paman" Bagaimana ceritanya"
"Aku tidak tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda hitam yang sakit cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan kurang baik terpelihara. Dia menyerahlam kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia lenyap dan tak pernah datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda hitam itu telah sembuh dan kaulihat sendiri, Li-hiap. Kuda itu memang hebat. Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang ingin mencurinya."
"Tapi...., tapi kuda itu mahal sekali tentu...."Memang, sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor kuda yang baik, dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan sekarang aku pun hendak menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan kuda ini kalau berada padaku hanya akan mendatangkan maling-maling belaka, dan memang sudah sepatutnya menjadi tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dsngan Tai-hiap yang memberi kuda ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak dan penurut sekali."
Kakek itu lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke dalam semangkok air dan memberi minum kuda hitam itu. Tak lama kemudian, kuda hitam itu berbangkis-bangkis dan seger kembali. Ia tidak meronta ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.
Ketika kakek itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang lengkap, dara itu menerimanya. "Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik sekali."
"Tidak lebih baik daripada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah, selamat jalan, Li-hiap, aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang dibawa orang. Habis perkara."
Ci Sian meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama sekali tidak liar atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana perlakuan kasar dan mana yang tidak kasar.
Ci Sian memandang kepada kakek itu. "Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh sepertimu. Dan sekali lagi terima kasih."
"Ha-ha, dan jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih, karena kalau tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang tadi. Selamat jalan!" Dan kakek itu lalu membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.
Ci Sian lalu membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat dan berlari seperti terbangsaja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan terdengar suara desir angin di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu seolah-olah tidak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak dan mudah sekali mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah dimengerti oleh Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor kuda tunggangan yang baik sekali! Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari pemiliknya.
Maka ia menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat rumah-rumah pedusunan, di tengah jalan di luardusun, ia melihat tiga orang laki-laki berdiri di depan. Melihat cara mereka berdiri, terang mereka itu sengaja menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan. Kalau ia melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya. Akan tetapi, Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya meloncat ke atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa dua di antara tiga orang itu adalah Si Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai tadi! Biarpun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi, namun pakaian mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda, tentu masih keras melekat pada tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena orang ini adalah searang yang berpakaian seperti pendeta, jubah yang lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang pendeta saikong yang memelihara cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan alis yang amat tebal menyeramkan.
"Bocah setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!" kata Si Tinggi Besar dengan nada menantang.
"Hemm, kiranya kalian mengundang paman guru kalian" kata Ci Sian dan memperhatikan saikong itu. Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh tahun, tubuhnya gemuk tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu menjelajahi seluruh tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.
"Hei, mata iblis! Engkau memandang apa" bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali kuda di batang pohon.
"Ha-ha-ha, memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha! Biarpun murid-murid keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka, akan tetapi melihat kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!"
Ci Sian adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang. Biasanya, ia suka menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka kini mendengar pendeta brewok itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa marah bukan main. Betapapun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.
"Hei, engkau ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau ini yang bernama Ti Pat Kai itu" Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan yang hebat karena Ti Pat Kai adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan malas dan suka sekali makan. Mendengar ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah bukan main.
Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya. "Kalian larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi hajaran agar ia kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita cantik!" Setelah berkata demikian, saikong itu mengeluarkan suara gerengan yang nyaring. Suara itu mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah dari ilmu Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara. Sai-cu Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa dan ilmu yang berdasarkan tenaga khi-kang ini memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan yang ada pada auman singa atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah mampu melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mujijat yang membuat calon korbannya menjadi lumpuh. Dan kini, saikong itu juga mempergunakan ilmu ini, walaupun tingkatnya masih rendah akan tetapi suara gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat. Akan tetapi, sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justeru dara ini memperoleh kesaktiannya berdasarkan latihan khi-kang tingkat tinggi melalui suulingnya, justeru ilmu meniup suling dan Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Ho-kang dari saikong itu seperti anak main-main saja bagi Ci Sian!
"Hi-hik, gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara babi yang hendak disembelih!" Ci Sian mengejek.
Kakek itu menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu berahinya melihat dara jelita ini, sekarang, ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu dan yang tinggal hanyalah nafsu kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu berobah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi merah padam. Sambil menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, dia sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan jari-jari kedua tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan yang mudah saja Ci Sian mengelak.
Kakek itu membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk cakar setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat mengelak lagi dan sebelum ia membalas, kakek itu dengan cepatnya sudah dapat membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah kecepatan menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.
Pada saat itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh dua orang penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga kuda hitamnya mau saja dibawa kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan tangannya dari samping.
"Wuuuuttt.... plakkk!" Dan saikong itu terpelanting. Biarpun saikong itu memiliki gerakan cepat untuk menyambung serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi sehingga biarpun dia sudah berusaha mengelak, tetap aja pundaknya kena ditampar tangan kecil halus itu akan tetapi yang mengandung tenaga kuat,sehingga dia terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat dan langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.
"Plak-plak-dukkk!" Ci Sian kini tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar berbulu dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa kali Si Saikong menyeringai kesakitan dan akhirnya kembali dia kena ditampar dan terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan remuk rasanya."Singgg....!" Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Amat besar, lebar berkilauan tajam mengerikan sekali.
Ci Sian menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia merasa kaget dan kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi oleh dua orang masih mampu lari secepat itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti. Maka begitu melihat sinar golok menyambar, ia cepat menghindar. Seperti juga ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong iru memiliki keistimewaan yang sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa berhenti bergerak telah membalek dan menyambung serangan pertama tadi dengan serangan selanjutnya. Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari kekuatan khi-kangnya. Saikong itu tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah cukup bagi Ci Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, terdengar suara "plakk" dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling oiehnya. Kakek itu terpelanting ke kiri dan roboh tak bergerak lagi, pingsan dan goloknya terlempar. Ci Sian tidak mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya kuda hitam yang kini tidak nampak bayangannya lagi.
Kuda itu sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti jejaknya karena kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang nyata. Jejak itu membawanya keluar dari dusun, bahkan tidak memasuki dusun melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput lain yang agak tandus. Ketika ia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja berloncatan kurang lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka itu semua memegang sebatang golok. Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman dua orang pencuri kuda tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia melihat pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.
"Singgg....!" Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian mencabut sulingnya. Akan tetapi, mereka segera tertawa geli.
"Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!"
"Aih, sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!"
Teriakan-teriakan itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka bahwa mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh seorang pendekar wanita yang lihai. Oleh karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi dan kini muncul untuk mengurung. Akan tetapi, ketika melihat dara yang remaja dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa melihat bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang suling emas yang indah! Tentu saja mereka memandang ringan dan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek. Si Tinggi Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololain teman-temannya yang memandang rendah gadis itu. Akan tetapi dia sendiri pun menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini menempelkan suling pada bibiirnya yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini" Tadi, gadis itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk menghibur teman-temannya dengan nyanyi dan tari"
Memang Ci Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar ini, apalagi melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke dalam hutan. Maka ia pun tidak mau membuang banyak waktu dan terus saja ia meniup sulingnya. Mula-mula memang terdengar nada-nada merdu yang membuat dua puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan membuat mereka merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum. Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masah saja menembus masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh pingsan semua! Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak kaki kudanya.
Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari.
Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di aekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya! Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah! Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga sinkang maupun khi-kang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!
Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang- lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja! Ci Sian yang masih memegang sulingnyaa cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makinmerosot ke bawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang ia tidak sudi lakukan. Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali!
Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya. "Ih, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara seperti itu"
Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tidak nampak seorang pun manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!
Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya! Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah! Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-oraag yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun!
Ci Sian msnjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang.
Ci Sian sudah marah dan sudah Memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi ketika orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya. Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya, "Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!"
Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat! Ci Sian menjadi terkejut dan marah, ia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya! Maka tahulah, Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat. Menurut petunjuk suhengnya, suara yang mengandung getaran khi-kang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekalipun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya.
Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Dan ketika dia menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana, dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma. Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!
"Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!" terdengar bisikan aneh seperti tadi dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama sekali bukan Hek-liong-ma, juga bukan hitam melainkan kuda coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.
"Ihhh....!" Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran. Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma" Apa yang telah terjadi" Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia terjebak dalam lumpur.
Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.
Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti patung tak jauh dari situ. Ia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja. Seorang laki-laki yang tidak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia merasa curiga. Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda,pikirnya. Ia harus berhati-hati. Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang kini menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu. Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari. Tentu seorang laki-laki telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua.
AKAN tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda. Setelah tiba agak dekat sekalipun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapapun juga, karena ia harus melewati orang itu dan tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka ia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu.
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya, "Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu."
Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya. "Mengapa" tanyanya dengan nada suara tidak puas. "Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa"
"Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana." kata orang itu tanpa menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.
"Kenapa" tanya Ci Sian penasaran. Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua.
"Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau akan menghadapi kesukaran."
Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia harus ikut-ikut merasa takut" Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya. Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.
"Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!" Ci Sian menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut. Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang Laki-laki yang berwajah nampak tampan dan gagah, melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suhengnya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan! Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu menggerakkan tangan kirinya.
"Pergilah, Hek-liong-ma!" katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih, Ci Sian terkejut.
"Apakah hubunganmu dengan kuda ini" Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu" Tiba-tiba ia teringat akan cerita kakek itu.
Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh. "Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik."
Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya, akan tetapi Laki-laki ini memperlakukan ia seolah olah ia tidak nampak olehnya. Laki-laki sombong, pikirnya dan ia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.
Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke bawah. Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu. Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walaupun wajahnya nampak cantik manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan. Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah dekat, ia melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.
"Berhenti! Berhenti dan turun kau!" Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.
"Apa.... apa katamu...." tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.
"Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!" kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya. Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.
"Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!" kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian. "Masih muda sudah belajar mencuri, ya" Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!"
Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkangnya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan telunjuknya.
"Siluman betina! Jangan sembarangan saja menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!"
"Eh, eh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi" Engkau patut dihajar!" Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.
"Plakkk!" Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.
"Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya" Pantas berani kurang ajar kepadaku!"
"Perempuan galak, siapa takut kepadamu" Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya. Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.
"Ah, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!" Suara wanita itu berobah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru. Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!
"Bagus!" Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khi-kang, dan sekaligus Ia menangkis tiga kali.
Wanita itu memandang kagum karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian, "Cukup, jangan berkelahi!"
Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama ganasnya.
"Aih, dua-duanya keras kepala!" terdengar laki-laki itu berseru dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal, suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan ia bahwa ia telah terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma! Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, sedemikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!
"Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur." kata pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.
"Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan menyerangnya"
Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras. "Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya"
"In-moi....! Kau.... cemburu" Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!" Pria itu berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka, akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah prla itu. Waajah seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah pula. Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak berduka" Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.
"Tai-hiap.... bukankah Tai-hiap ini.... Pendekar Siluman Kecil" akhirnya dia memberanikan diri bertanya.
Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walaupun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona" Suara pendekar itu halus, namun mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.
"Saya sering mendengar nama besar Tai-hiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan seringkali bercerita tentang Tai-hiap."
"Siapa Suhengmu itu, Nona"
"Suheng saya she Kam bernama Hong...."
"Ah, kiranya Siauw Hong" Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas"
"Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas." kata Ci Sian dengan bangga.
"Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita bertemu dengan orang sendiri" Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat sendiri."
Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, menarik napas dan menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian. "Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu"
Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian merasa terharu dan balas merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.
"Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi."
"Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!" Wanita itu tertawa dan dan ia nampak manis bukan main. "Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang nama kami...."
"Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah"
"Memang Suhengmu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia...." suaranya mengandung keluhan lagi.
"Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi" Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini"
"Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat, untuk membasmi Hek-i-mo." katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya.
Suami isteri itu saling pandang. "Hek-i-mo" Dan bagaimana hasilnya" tanya pendekar itu.
"Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan diri." Kata Ci Sian dengan bangga.
Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk. "Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan Pendekar Suling Emas."
Para pembaca ceritaKisah Sepasang RajawalidanJodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalamkisah Jodoh Rajawali , Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma.
Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka. Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri. Akhirnya, suami isteri itu tidak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguhpun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibunya mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka tiba di daerah barat dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.
Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.
"Di mana sekarang Suhengmu yang perkasa itu" tanya Kian Bu kepada Ci Sian. Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, dia telah meninggalkanku dan aku sekarang justeru sedang mencarinya, Tai-hiap." jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan.
Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka ia pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong daripada hubungan suheng dan sumoi belaka.
"Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apapun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah."
Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat menyambung, "Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran."
Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suhengnya itu setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka.
Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih. "Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami."
Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, ia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh.
Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.
"Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang"
Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.
"Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal sekali.
Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit. "Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu."
"Salah paham apa" Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. "Sudah jelas ada teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!"
Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya serem.
"Aha, agaknya kesalahpahaman ini berasal darimu, Nona." tosu itu berkata sambil tersenyum.
"Apa" Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau hendak menyangkalnya, Totiang" Ci Sian berkata lagi, penasaran.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalahpahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!"
"Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku mencuri pula. Huh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!" Ci Sian membentak.
"Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!" Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang. "Hek-liong-ma adalah kuda kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!"
Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!
"Ah, kiranya Hek-liong-ma ini kudamu Enci" Ci Sian bertanya heran.
"Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukan pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan." kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.
"Ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walaupun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma."
"Omongan apa itu" Ci Sian membentak. "Bukan pencuri akan tetapi mencuri!"
"Siancai.... Nona muda amat keras hati." tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. "Agar jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Kami melihat Hek-liong-ma dan kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya." Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang "terpaksa" mencuri kuda terbaik.
Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan didapatnya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya. Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu, bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa sekalipun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguhpun penguasa-penguasa ini membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil. Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena berlumba kedudukan dan kekuasaan.Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan. Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlumbaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain. Kini bukan perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, perlombaan kuda dan ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang menang merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang kalah!
Yang paling sering diadakan perlumbaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang amat mahal. Setiap tahun sekali tentu diadakan perlumbaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu. raja-raja kecil ini juga berlumba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlumbaan mencari kuda terbaik.
Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Ketika mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlumbaan beberapa hari yang akan datang. Namun, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian orang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat disewakan atau dipinjamkannya. Inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.
"Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka maklum keadaan kami." Sambung tosu itu."Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlumbaan berlangsung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi kesulitan sekarang."
"Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah" Ci Sian bertanya, sikapnya menantang.
Tosu itu tersenyum. "Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!" Dan tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!
"Hemm, permainan kanak-kanak saja!" Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In. Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.
"Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!"
Ci Sian terkejut sekali karena ketika ia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi dan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja!
Melihat ini, kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!" Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, lalu terbentuklah seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk Siang In!
Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata. "Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau" Dan sungguh aneh, tangan kirinya itu seperti berobah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!
"Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!" kata tosu itu dan kini ia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada tanah tercokel tongkat dan tanah itu berhamburan berobah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berobah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu, memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat kuatnya.
"Asal tanah kembali jadi tanah!"
Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berobah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran. "Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu sihir"
Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu ia menjawab. "Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini" Dari merekalah aku mempelajari sihir."
Tiba-tiba saja sikap tosu itu berobah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura. "Ah, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!" Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata. "Ah, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak boleh diganggu...." Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur"
"Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang" Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!" kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.
"Habis, kalian mau apa" Mau merampas kudaku ini" Ci Sian membentak dan melangkah maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.
Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus. "Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja."
"Hemm, kalau aku menolak"
"Terpaksa kami akan manggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak kami kembalikan bersama uang sewanya." kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya, juga sudah siap dengan senjata masing-masing, untuk menggertak agar nona itu suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan.
Akan tetapi sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si Pendekar Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan tetapi begitu melihat sikap Si Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda, timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat dilihat dari kerutan kedua alisnya. "Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!" Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan orang-orang itu hendak mempertahankan senjata masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki pendekar itu dengan serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan kedua goloknya itu terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana! Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kian Bu telah meloncat ke depan tosu itu dan menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah. Terdengar bunyi berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang menjadi pemimpin atau juga guru mereka!
Diam-diam Ci Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi belasan orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui bahwa gerakan pendekar itu sungguh amat luar biasa, seperti kilat saja berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil ini sungguh merupakan seorang yang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh!
Juga tosu itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Siancai...." katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada, "Kami orang-orang kasar seperti buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di depan mata. Sesungguhnya, orang yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma itu tentu saja seorang pendekar sakti. Betapa bodohnya kami.... harap Cu-wi para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang terpaksa oleh keadaan bersikap kasar."
"Ah, celaka! Sekali ini hancurlah kita!" kata Si Botak. "Kuda mana lagi yang akan mampu menandingi kuda hitam milik Si Topi Merah itu" Hayaaaa....!" Dia mengeluh panjang pendek.
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu berkata, "Coba ceritakan tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam yang bagaimanakah yang dimilikinya"
Tosu itu menarik napas panjang. "Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang menjadi saingan terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan rumah yang jahat dan sewenang-wenang, karena itu majikan kami memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai tukang jual beli wanita yang amat kejam."
"Hemm, setiap orang tentu membela majikan masing-masing." kata Kian Bu tertawa.
"Siancai, agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Tai-hiap tentu mengerti bahwa seorang tosu seperti pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gajih besar dan hadiah. Sama sekali tidak, kalau pinto membela majikan kami, yaitu Thio-wangwe, adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan tanah di daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan bijaksana, juga amat mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw."
"Teruskanlah cerita tentang kuda hitam itu." Siang In mendesak karena ia merasa tertarik sekali mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.
"Kami tidak tahu banyak, Toanio." Tosu itu melanjutkan. "Yang kami dengar hanya baru-baru ini, Bouw-thicu (Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar biasa, sama dengan Hek-liong-ma ini, bahkan juga memperoleh ahli penunggangnya, yaitu seorang wanita cantik yang amat terkenal. Wanita itu memang amat lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai sekali."
"Hemm...." Siang In saling pandang dengan suaminya. "Dan kuda hitam yang sama dengan Hek-liong-ma itu tentu seekor kuda betina, bukan"
"Benar sekali, Toanio."
"Itu adalah kuda kami pula yang hilang dicuri orang!" Siang In berkata dan bukan saja orang-orangnya Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi juga Ci Sian terkejut mendengar ini.
"Kami tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami memasuki daerah Sin-kiang, pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina kami hilang dicuri orang. Kami sudah berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil menemukan kuda itu. Dan karena hilangnya kawannya itulah maka Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya kepada pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu."
"Kakek pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan kalian." Ci Sian menyambung.
"Ah, kalau begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!" Si Botak berseru keras.
"Biarlah kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami." kata Siang In.
"Dan biarkan Hek-liong-ma berlumba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk mengalahkannya. Aku mau menjadi penunggang Hek-liong-ma." kata pula Ci Sian.
"Bagus, dan dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kaukalahkan." Siang In berseru gembira. Tentu saja tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal majikan mereka, yaitu Thio-thicu.
Di dalam perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan berkata terus terang. "Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari Kam-suheng, ternyata memang hebat sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik sekali dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya"
"Jenderal Kao Cin Liong" Ah, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah belasan tahun kami tidak berhubungan dengan keluarga Kao." kata Kian Bu. Bicara tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan akan isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu. Banyak sudah yang dialaminya dengan para tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga mengingatkan dia akan keadaannya sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga mempunyai keturunan. Hal ini mendatangkan duka. Semua orang sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah mempunyai seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia sendiri sampai hampir berusia empat puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justeru karena urusan ingin mempunyai anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah Sin-kiang. Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga seringkali sakit-sakitan. Dia tahu bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan gelisah. Seolah-olah kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup sama sekali, dan wataknya yang dahulunya amat riang jenaka itu tenggelam dan lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.Oleh karena itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan menghadapi urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi pendekar ini, urusan perlumbaan kuda itu merupakan urusan kekanak-kanakan, dan andaikata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat bergembira, tentu dia langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi hajaran, dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih kembali kegembiraan hidupnya.
Thio-wangwe atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan. Memang dia ini berpotongan cukong, akan tetapi sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan hati orang yang diajaknya bicara. Ketika mendengar bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan Liang Go Tosu kepadanya, datang mengunjungi dan bersedia membantunya dalam perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang akan mampu bersaing dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambutnya dengan segala kehormatan. Dia bersama isterinya dan lima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggauta keluarga lain.
Tiga orang pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam ruangan yang luas dan berperabot mewah. Kuda Hek-liong-ma tadi sudah disambut oleh para tukang kuda, dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan rapi, dipimpin sendiri oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali.
Dalam perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang Gi Tosu yang tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu menjelaskan kesemuanya kepada Siang In dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini daripada Kian Bu yang nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak diam saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa, dan terutama sekali sinar matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan untuk bertemu pandang terlalu lama dengan pendekar ini.
"Sungguh menyesal sekali bahwa kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang berbahaya ini dan karenanya merepotkan Sam-wi, saja." antara lain tuan tanah Thio itu berkata. "Akan tetapi, orang she Bouw itu sungguh selalu mencari perkara. Sesungguhnya, pada dasarnya dia itu hendak menentang campur tangan pemerintah, hendak, memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang menentang pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu yang paling berkuasa di daerah ini. Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini mulai berkembang kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol. Biarpun sekarang belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh bahwa kalau kelak terjadi pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali dari Sin-kiang inilah pecahnya."
Mendengar ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah menyangkut gejala pemberontakan, maka penting juga. Dia sendiri, seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau Es, tidak melibatkan diri dengan politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan. Akan tetapi bukan itu saja, sesungguhnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk mencegah terjadinya perang lagi karena perang hanya berakibat mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini maklum bahwa biarpun ibunya adalah puteri Mancu, namun ayahnya adalah seorang Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh bangsa Mancu. Dia maklum pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah bangsa Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa daripada penjajahan. Dan dia tidak menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu, apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak sewenang-wenang seperti yang didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini. Akan tetapi, dia sendiri bingung tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya dalah puteri Mancu! Dan ayahnya adalah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua keluarga Pulau Es, dia tidak mau mencampuri, hanya sedapat mungkin harus mencegah terjadinya perang karena yang jelas, perang mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat, apa pun alasan perang itu.
Akan tetapi Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak kepada penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini memburukkan nama tuan tanah yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Thio-wangwe, apakah alasannya maka engkau menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, jahat dan hendak memberontak"
Sikap dan nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap sungguh-sungguh dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini dengan tajam. "Harap Toanio jangan salah mengerti dan mengira saya memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu, dua tiga tahun yang lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan untuk itu kami semua masing-masing memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun tangan melarang segala macam pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan untuk mencari keunggulan dalam perlumbaan-perlumbaan, terutama sekali lumba kuda. Kami semua telah sadar hahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah memang amat tidak baik dan membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orang-orang pandai dari golongan hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya melakukan penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu. Akan tetapi, semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan dan penculikan-penculikan yang terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang luar biasa itu, dia pun menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!"
"Hemm, bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja" pancing Siang In.
"Penjinak kuda" Memang, akan tetapi ia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan ia kejam bukan main. Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan wanita itu saya pernah mempunyai hubungan baik. Ia pernah membantu kami di sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya, terpaksa kami mengeluarkannya."
Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti dan waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan sepihak. "Baiklah, kita lihat saja nanti, Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak ada lain kuda betina yang serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu bahwa wanita she Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she Bouw itu sewenang-wenang dan jahat, kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi, kuharap saja engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe." Ucapan terakhir ini mengandung ancaman halus.Thio-wangwe tertawa dan mengangkat cawan araknya. "Kalau aku berbohong, biarlah aku menerima hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa." Setelah berkata demikian, dia menuangkan arak cawannya ke dalam perut melalui mulutnya.
Tiga orang tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi Siang In dan Ci Sian tidak meu tinggal diam. Mereka tidak mau bertindak sembrono membela orang yang belum mereka ketahui benar bagaimana keadaannya. Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Oleh karena itu, mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua. Keluarlah mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh dan yang hendak beritirahat di dalam kamarnya.
Hari telah menjelang senja dan dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan bertanya-tanya kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe. Dan hati mereka puas karena setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek yang mereka tanyai semua memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa Thio-wangwe adalah serang hartawan yang dermawan dan tidak pernah bertindak sewenang-wenang. Namun mereka masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan melihat keadaan rumah tangga mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka sederhana, namun mereka itu sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira. Pada senja hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarang luar dengan gembira, ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan makan dan tidak dicekam rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan yang membuktikan adanya dugaan mereka, kedua orang wanita ini merasa puas dan yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang patut dibela.
"Cici, sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu." kata Ci Sian ketika Siang In mengajaknya kembali.
"Eh, beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu baru tujuh belas tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku patut menjadi Bibimu."
"Aihh, engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak menyebut Bibi kepadamu, Enci Siang In" kata Ci Sian tertawa. "Pula, engkau belum mempunyai anak, belum pantas disebut Bibi...."
Tiba-tiba wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan kata-kata yang mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar wanita ini memejamkan matanya dan berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.
"Cici! Engkau kenapakah...." Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya itu tiba-tiba saja menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh orang lain.
Siang In tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai beberapa lama ia menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. "Maafkan, Ci Sian.... ah, baru sekarang aku dapat menangis, seolah-olah aku bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan kesedihanku.... aku.... aku sungguh lemah...."
"Ah, tidak mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau bersedih" Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari Pendekar Siluman Kecil Sakti dan tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih."
"Ci Sian, kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum mempunyai anak itulah yang menusuk perasaanku dan membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku."
"Ohh.... kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu...."
"Tidak mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang isteri yang bodoh. Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau Es hanya karena kebodohanku inilah, karena kami tidak punya anak. Sudah belasan tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku sampai merasa malu sekali kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia mau mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi, merantau sampai di tempat ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh keturunan."
"Kasihan engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu...."
"Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau tahu di mana adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jengliong-cu (Mustika Naga Hijau) saja yang dapat memberikan keturunan kepada suami-Isteri."
"Jeng-liong-cu...." Di mana kita bisa mendapatkan itu" Ci Sian bertanya heran.
"Kabar angin yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena itulah kami tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku merasa kecewa dan sengsara!" Nyonya yang masih cantik jelita itu menarik napas panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih.
Ci Sian termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu ia menjadi bengong, dan termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya ia pun mengeluarkan kata-kata bersama taikan napas panjang. "Aihhh....siapa kira...."
Siang In mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja. "Apa maksudmu, Ci Sian"
"Sungguh keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira hanya aku seorang saja yang dirundung duka, tadinya kusangka bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang lebih kebingungan dan berduka daripada aku. Apalagi Cici yang nampak hidup demikian bahagia, di samping suami yang mencinta, berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku mgnjadi semakin bingung. Apakah kehidupan ini hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka"
Memang demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan. Kecewa menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda duka selalu beranggapan bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka. Inilah sebabnya mengapa orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar daripada yang dideritanya sendiri.
Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai macam hiburan berupa kesenangan maupun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan maupun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan taluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, bunuh diri menjadi gila dan sebagainya. Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa" Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke manapun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah maupun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.
Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka" Terbebas dari pada kecewa" Tanpa menyerah dan taluk" Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.
Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali. Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani maupun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir maupun batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.
KITA akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justeru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, menambah subur keinginan-keinginan si aku.
Habis bagaimana" Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita" Sama sekali tidak demikian, karena sikap "menerima nasib" ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup!
Kalau datang kecewa" Kalau datang rasa duka" Pernahkah kita MENGHADAPINYA" Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan, kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari daripadanya" Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada" Bukan si aku yang mengamati luka, karena kalau begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam iingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan. Maukah dan beranikah kita mencobanya" Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing.
Kini Ci Sian yang merenungkan keadaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri, wajahnya lesu, pandang matanya layu, merenung ke tempat jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi lamunan dan kesenangannya sendiri saja.
Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In. "Adikku, Ci Sian, kenapakah engkau yang semuda ini dirundung duka" Ketika aku sebaya denganmu, hidup ini rasanya penuh kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka"
"Ah, Enci, aku sungguh bingung sekali...." Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri pendekar Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia hatinya, Ci Sian yang selama ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung, kini se
Golok Halilintar 2 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Super Sakti 15
rak karena menang. Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali lasso dan menahan, menariknya dengan kuat. Kuda itu tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan mengerahkan tenaga, melawan tenaga tarikan itu. Tali itu tadi agak turun mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia menarik sekuat tenaga, ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi dengan tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia berhasil, kini dia mengadu tenaga dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu. Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang agak merendah dan mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli ginkang, maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!
Kembali Ci Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak membantu kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang, tertarik antara dua kekuatan besar dan akhirnya, orang tinggi besar itu menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan! Ci Sian sekali ini tidak dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh sehingga suara ketawanya tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi, dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan tangan mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka kuda itu. Dan kuda hitam itu berbangkis-bangkis, meringkik dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyung-huyung seperti mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya gemetaran.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring! "Pencuri- pencuri kuda busuk!" Dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda. "Tar-tar-tarr!" Cambuk kudanya diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia menghampiri dua orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia tahu bahwa dua orang yang berusaha menangkap kuda hitam itu adalah pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu karena ia melihat betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ, sedangkan Si Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan permainan tali lassonya.
Pencuri kuda yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak karena pengaruh obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi tempat itu sedangan kawannya yang lihai menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah, berdiri sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut marah seperti seorang dewasa melihat kenakalan seorang anak-anak saja.
"Eh, maling Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini" bentak Ci Sian dengan suaralantang. Ia melihat bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan kecil, bahkan kalah tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah agak berkeriput itu, tentu tidak kurang dari lima puluh tahun.
Orang pendek kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang menghadangnya hanyalah seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa senjata dan tidak menunjukkan seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar. Ci Sian heran melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai mulut yang besar. Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah mukanya robek di tengah-tengah sampai ke telinga.
"Heh, gadis manis, minggilah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai pipimu yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah, anak baik, biarkan kakekmu lewat!"
"Hemm, maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!" kata Ci Sian dan memang apa yang dikatakannya itu benar. Di antara kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling rendah sekalipun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling paling busuk di dunia bagi maling kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan seorang perantau, jadi kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.
Kiranya Si Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba berobah merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena marah, "Bocah setan, engkau memang bosan hidup agaknya!" Dan tubuhnya dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci Sian dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh kecil ini memandang rendah kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan tetapi, dia kecelik bukan main karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya malah tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah!
Akan tetapi, dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh dara remaja itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, dia merangkak bangun dan mencabut sebatang ruyung dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan ganasnya. Akan tetapi, kalau hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci Sian. Gadis ini melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biarpun ia tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai kecepatan yang lebih daripada orang biasa. Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan begitu tangan kirinya menyambar, terdengar suara "plakkk!" dan kepala maling itu telah kena tampar di pangkal telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini agak hebat. Ruyungnya terlepas dan dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia melihat betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!
Sementara itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar itu terjadi dengan serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar dan lebih kuat, Si Kakek terdesak dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali lasso itu. Ketika Ci Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dann tidak dapat bangkit lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar telah berhasil melasso kakek pemilik kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali tasso itu tidak membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!
Kakek itu kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan dengan tangan kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian dengan suatu sentakan tiba-tiba sambil membentak nyaring, ia membuat Si Tinggi Besar itu terpelantlng dan terbanting keras!Si Tinggi Besar terkejut dan marah sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja itu, tentu dara itu takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja membiarkan orang itu menubruk dekat dan tiba-tiba saja, tubuhnya menyelinap pergi.
"Brukkk....!" Si Tinggi Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu, menubruk tempat kosong dan tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka merah, membalik dan melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat itu. Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar tubuh miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia menggunakan jari tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.
"Tukk....!" Perlahan saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya Si Tinggi Besar itu mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja merajadi kaku dan kejang, pada saat itu, Si Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah lari menghampiri.
"Siauw-te, mari kita bekuk dulu bocah setan ini!" kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar yang juga sudah bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak mengusir kepeningannya karena terbanting tadi. Si Katai telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga mencabut sebatang goiok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang pencuri kuda itu menghampiri Ci Sian yang masih berdiri dengan tenang dan bertolak pinggang. Melihat ini, pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunva, segera membentak. "Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!"
Akan tetapi Ci Sian berkata halus, "Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi hajaran keras agar kelak tidak berani lagi mencuri kuda." Melihat sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu, Si Kakek pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap membantu kalau gadis itu terancam bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.
Dua orang yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang menggagalkan usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi, dengan marah menerjang dari kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan ganasnya. Akan tetapi, dengan annat mudah Ci Sian mengelak ke sana-sini, ke kanan-kiri dan kadang-kadang melompat tinggi dan semua sambaran senjata itu tidak ada yang mangenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!
"Lepas senjata!" Tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu menyaksikan hal yang aneh. Dua orang itu, seperti anggauta pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya, melepaskan senjata mereka masing-masing! Sebenarnya, tidak terjadi keanehan atau sihir seperti yang disangka oleh kakek itu, melainkan karena kecepatan gerakan Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir, melainkan dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak tadi, menotok pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat mengenai jalan darah, maka seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang itu terlepas. Dan selagi mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh, tiba-tiba Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya tinggi-ttnggi dan melontarkannya ke arah Si Tinggi Besar.
"Brussss....!" Kaki Si Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang hendak menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya terpelanting bergulingan.
"Eh, Siauw-te, kenapa kau memukulku" Si Kecil mengomel.
"Dan engkau menendang dadaku!" Si Tinggi Besar juga membentak.
Keduanya bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang amat kuat mencengkeram tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakan kedua tangan, kepala dua orang itu bertumbukan.
"Brukkkk....!" Dan keduanya menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda hitam di sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu membawa mereka ke tempat itu dan melemparkan mereka di antara tumpukan tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!
"Nah, pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!" katanya sambil tertawa gembira.
"Tar-tar-tarrr....!" Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya meledak-ledak dan ujung pecut itu menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian. "Pencuri-pencuri kuda! harus merasakan lecutan cambuk kuda!" katanya sambil tertawa gembira pula. Sengatan-sengatan ujung pecut itu membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan mempercepat mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan pinggul yang disambar lecutan cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng, terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti suara ketawa Ci Sian yang merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang dikaguminya ltu.
"Li-hiap, terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu."
Ci Sian memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh jangkung kurus akan tetapi wajahnya nampak segar seperti biasa wajah orang-orang tua yang biasa hidup di tempat terbuka, banyak terkena hawa segar dan sinar matahari yang panas.
"Engkaukah yang mempunyai kuda-kuda itu, Lo-pek" tanya Ci Sian sambil memandang kepada kuda hitam yang masih berdiri dengan kepala tergantung.
"Benar, Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri tadi bukanlah pencuri kuda biasa, Nona. Andaikata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak akan sudi menyentuh kuda."
Ci Sian mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu hanya kuda hitam itu saja.
"Hek-liong-ma...." Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk yang keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit....."
"Tidak, tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasa dipergunakan orang untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya. Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa mereka tadi adalah pencuri-pencuri kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa."
"Ah, pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau sudah sebelum berhasil mencuri Hek-liong-ma."
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ah, sungguh aneh pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku.... caba saja bayangkan.... kuda ini hanya ditukar untuk makan selama dua hari dan pengobatan kuda yang tidak berapa banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku terlalu mencinta kuda.... dan celakanya, selama berada bersamaku selalu menarik datangnya penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap."
Ci Sian terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan memperhatikan apakah orang itu tidak berobah gila. Kuda seperti ini hendak diberikan begitu saja kepadanya" Dan juga orang itu menerimanya begitu saja dari pemberian orang lain"
"Siapakah yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek" Sungguh aneh sekali kalau ada orang memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja."
"Seorang pendekar! Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun mata tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa, tentu seorang pendekar sakti!"
"Siapa dia, Paman" Bagaimana ceritanya"
"Aku tidak tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda hitam yang sakit cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan kurang baik terpelihara. Dia menyerahlam kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia lenyap dan tak pernah datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda hitam itu telah sembuh dan kaulihat sendiri, Li-hiap. Kuda itu memang hebat. Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang ingin mencurinya."
"Tapi...., tapi kuda itu mahal sekali tentu...."Memang, sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor kuda yang baik, dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan sekarang aku pun hendak menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan kuda ini kalau berada padaku hanya akan mendatangkan maling-maling belaka, dan memang sudah sepatutnya menjadi tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dsngan Tai-hiap yang memberi kuda ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak dan penurut sekali."
Kakek itu lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke dalam semangkok air dan memberi minum kuda hitam itu. Tak lama kemudian, kuda hitam itu berbangkis-bangkis dan seger kembali. Ia tidak meronta ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.
Ketika kakek itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang lengkap, dara itu menerimanya. "Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik sekali."
"Tidak lebih baik daripada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah, selamat jalan, Li-hiap, aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang dibawa orang. Habis perkara."
Ci Sian meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama sekali tidak liar atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana perlakuan kasar dan mana yang tidak kasar.
Ci Sian memandang kepada kakek itu. "Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh sepertimu. Dan sekali lagi terima kasih."
"Ha-ha, dan jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih, karena kalau tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang tadi. Selamat jalan!" Dan kakek itu lalu membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.
Ci Sian lalu membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat dan berlari seperti terbangsaja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan terdengar suara desir angin di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu seolah-olah tidak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak dan mudah sekali mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah dimengerti oleh Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor kuda tunggangan yang baik sekali! Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari pemiliknya.
Maka ia menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat rumah-rumah pedusunan, di tengah jalan di luardusun, ia melihat tiga orang laki-laki berdiri di depan. Melihat cara mereka berdiri, terang mereka itu sengaja menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan. Kalau ia melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya. Akan tetapi, Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya meloncat ke atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa dua di antara tiga orang itu adalah Si Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai tadi! Biarpun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi, namun pakaian mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda, tentu masih keras melekat pada tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena orang ini adalah searang yang berpakaian seperti pendeta, jubah yang lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang pendeta saikong yang memelihara cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan alis yang amat tebal menyeramkan.
"Bocah setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!" kata Si Tinggi Besar dengan nada menantang.
"Hemm, kiranya kalian mengundang paman guru kalian" kata Ci Sian dan memperhatikan saikong itu. Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh tahun, tubuhnya gemuk tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu menjelajahi seluruh tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.
"Hei, mata iblis! Engkau memandang apa" bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali kuda di batang pohon.
"Ha-ha-ha, memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha! Biarpun murid-murid keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka, akan tetapi melihat kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!"
Ci Sian adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang. Biasanya, ia suka menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka kini mendengar pendeta brewok itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa marah bukan main. Betapapun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.
"Hei, engkau ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau ini yang bernama Ti Pat Kai itu" Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan yang hebat karena Ti Pat Kai adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan malas dan suka sekali makan. Mendengar ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah bukan main.
Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya. "Kalian larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi hajaran agar ia kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita cantik!" Setelah berkata demikian, saikong itu mengeluarkan suara gerengan yang nyaring. Suara itu mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah dari ilmu Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara. Sai-cu Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa dan ilmu yang berdasarkan tenaga khi-kang ini memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan yang ada pada auman singa atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah mampu melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mujijat yang membuat calon korbannya menjadi lumpuh. Dan kini, saikong itu juga mempergunakan ilmu ini, walaupun tingkatnya masih rendah akan tetapi suara gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat. Akan tetapi, sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justeru dara ini memperoleh kesaktiannya berdasarkan latihan khi-kang tingkat tinggi melalui suulingnya, justeru ilmu meniup suling dan Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Ho-kang dari saikong itu seperti anak main-main saja bagi Ci Sian!
"Hi-hik, gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara babi yang hendak disembelih!" Ci Sian mengejek.
Kakek itu menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu berahinya melihat dara jelita ini, sekarang, ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu dan yang tinggal hanyalah nafsu kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu berobah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi merah padam. Sambil menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, dia sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan jari-jari kedua tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan yang mudah saja Ci Sian mengelak.
Kakek itu membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk cakar setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat mengelak lagi dan sebelum ia membalas, kakek itu dengan cepatnya sudah dapat membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah kecepatan menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.
Pada saat itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh dua orang penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga kuda hitamnya mau saja dibawa kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan tangannya dari samping.
"Wuuuuttt.... plakkk!" Dan saikong itu terpelanting. Biarpun saikong itu memiliki gerakan cepat untuk menyambung serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi sehingga biarpun dia sudah berusaha mengelak, tetap aja pundaknya kena ditampar tangan kecil halus itu akan tetapi yang mengandung tenaga kuat,sehingga dia terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat dan langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.
"Plak-plak-dukkk!" Ci Sian kini tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar berbulu dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa kali Si Saikong menyeringai kesakitan dan akhirnya kembali dia kena ditampar dan terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan remuk rasanya."Singgg....!" Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Amat besar, lebar berkilauan tajam mengerikan sekali.
Ci Sian menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia merasa kaget dan kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi oleh dua orang masih mampu lari secepat itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti. Maka begitu melihat sinar golok menyambar, ia cepat menghindar. Seperti juga ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong iru memiliki keistimewaan yang sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa berhenti bergerak telah membalek dan menyambung serangan pertama tadi dengan serangan selanjutnya. Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari kekuatan khi-kangnya. Saikong itu tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah cukup bagi Ci Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, terdengar suara "plakk" dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling oiehnya. Kakek itu terpelanting ke kiri dan roboh tak bergerak lagi, pingsan dan goloknya terlempar. Ci Sian tidak mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya kuda hitam yang kini tidak nampak bayangannya lagi.
Kuda itu sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti jejaknya karena kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang nyata. Jejak itu membawanya keluar dari dusun, bahkan tidak memasuki dusun melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput lain yang agak tandus. Ketika ia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja berloncatan kurang lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka itu semua memegang sebatang golok. Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman dua orang pencuri kuda tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia melihat pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.
"Singgg....!" Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian mencabut sulingnya. Akan tetapi, mereka segera tertawa geli.
"Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!"
"Aih, sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!"
Teriakan-teriakan itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka bahwa mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh seorang pendekar wanita yang lihai. Oleh karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi dan kini muncul untuk mengurung. Akan tetapi, ketika melihat dara yang remaja dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa melihat bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang suling emas yang indah! Tentu saja mereka memandang ringan dan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek. Si Tinggi Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololain teman-temannya yang memandang rendah gadis itu. Akan tetapi dia sendiri pun menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini menempelkan suling pada bibiirnya yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini" Tadi, gadis itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk menghibur teman-temannya dengan nyanyi dan tari"
Memang Ci Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar ini, apalagi melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke dalam hutan. Maka ia pun tidak mau membuang banyak waktu dan terus saja ia meniup sulingnya. Mula-mula memang terdengar nada-nada merdu yang membuat dua puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan membuat mereka merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum. Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masah saja menembus masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh pingsan semua! Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak kaki kudanya.
Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari.
Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di aekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya! Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah! Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga sinkang maupun khi-kang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!
Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang- lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja! Ci Sian yang masih memegang sulingnyaa cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makinmerosot ke bawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang ia tidak sudi lakukan. Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali!
Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya. "Ih, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara seperti itu"
Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tidak nampak seorang pun manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!
Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya! Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah! Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-oraag yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun!
Ci Sian msnjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang.
Ci Sian sudah marah dan sudah Memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi ketika orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya. Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya, "Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!"
Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat! Ci Sian menjadi terkejut dan marah, ia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya! Maka tahulah, Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat. Menurut petunjuk suhengnya, suara yang mengandung getaran khi-kang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekalipun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya.
Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Dan ketika dia menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana, dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma. Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!
"Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!" terdengar bisikan aneh seperti tadi dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama sekali bukan Hek-liong-ma, juga bukan hitam melainkan kuda coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.
"Ihhh....!" Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran. Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma" Apa yang telah terjadi" Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia terjebak dalam lumpur.
Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.
Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti patung tak jauh dari situ. Ia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja. Seorang laki-laki yang tidak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia merasa curiga. Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda,pikirnya. Ia harus berhati-hati. Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang kini menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu. Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari. Tentu seorang laki-laki telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua.
AKAN tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda. Setelah tiba agak dekat sekalipun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapapun juga, karena ia harus melewati orang itu dan tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka ia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu.
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya, "Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu."
Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya. "Mengapa" tanyanya dengan nada suara tidak puas. "Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa"
"Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana." kata orang itu tanpa menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.
"Kenapa" tanya Ci Sian penasaran. Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua.
"Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau akan menghadapi kesukaran."
Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia harus ikut-ikut merasa takut" Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya. Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.
"Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!" Ci Sian menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut. Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang Laki-laki yang berwajah nampak tampan dan gagah, melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suhengnya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan! Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu menggerakkan tangan kirinya.
"Pergilah, Hek-liong-ma!" katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih, Ci Sian terkejut.
"Apakah hubunganmu dengan kuda ini" Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu" Tiba-tiba ia teringat akan cerita kakek itu.
Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh. "Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik."
Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya, akan tetapi Laki-laki ini memperlakukan ia seolah olah ia tidak nampak olehnya. Laki-laki sombong, pikirnya dan ia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.
Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke bawah. Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu. Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walaupun wajahnya nampak cantik manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan. Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah dekat, ia melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.
"Berhenti! Berhenti dan turun kau!" Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.
"Apa.... apa katamu...." tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.
"Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!" kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya. Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.
"Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!" kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian. "Masih muda sudah belajar mencuri, ya" Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!"
Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkangnya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan telunjuknya.
"Siluman betina! Jangan sembarangan saja menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!"
"Eh, eh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi" Engkau patut dihajar!" Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.
"Plakkk!" Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.
"Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya" Pantas berani kurang ajar kepadaku!"
"Perempuan galak, siapa takut kepadamu" Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya. Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.
"Ah, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!" Suara wanita itu berobah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru. Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!
"Bagus!" Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khi-kang, dan sekaligus Ia menangkis tiga kali.
Wanita itu memandang kagum karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian, "Cukup, jangan berkelahi!"
Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama ganasnya.
"Aih, dua-duanya keras kepala!" terdengar laki-laki itu berseru dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal, suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan ia bahwa ia telah terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma! Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, sedemikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!
"Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur." kata pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.
"Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan menyerangnya"
Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras. "Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya"
"In-moi....! Kau.... cemburu" Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!" Pria itu berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka, akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah prla itu. Waajah seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah pula. Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak berduka" Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.
"Tai-hiap.... bukankah Tai-hiap ini.... Pendekar Siluman Kecil" akhirnya dia memberanikan diri bertanya.
Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walaupun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona" Suara pendekar itu halus, namun mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.
"Saya sering mendengar nama besar Tai-hiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan seringkali bercerita tentang Tai-hiap."
"Siapa Suhengmu itu, Nona"
"Suheng saya she Kam bernama Hong...."
"Ah, kiranya Siauw Hong" Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas"
"Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas." kata Ci Sian dengan bangga.
"Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita bertemu dengan orang sendiri" Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat sendiri."
Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, menarik napas dan menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian. "Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu"
Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian merasa terharu dan balas merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.
"Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi."
"Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!" Wanita itu tertawa dan dan ia nampak manis bukan main. "Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang nama kami...."
"Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah"
"Memang Suhengmu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia...." suaranya mengandung keluhan lagi.
"Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi" Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini"
"Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat, untuk membasmi Hek-i-mo." katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya.
Suami isteri itu saling pandang. "Hek-i-mo" Dan bagaimana hasilnya" tanya pendekar itu.
"Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan diri." Kata Ci Sian dengan bangga.
Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk. "Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan Pendekar Suling Emas."
Para pembaca ceritaKisah Sepasang RajawalidanJodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalamkisah Jodoh Rajawali , Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma.
Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka. Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri. Akhirnya, suami isteri itu tidak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguhpun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibunya mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka tiba di daerah barat dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.
Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.
"Di mana sekarang Suhengmu yang perkasa itu" tanya Kian Bu kepada Ci Sian. Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, dia telah meninggalkanku dan aku sekarang justeru sedang mencarinya, Tai-hiap." jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan.
Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka ia pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong daripada hubungan suheng dan sumoi belaka.
"Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apapun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah."
Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat menyambung, "Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran."
Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suhengnya itu setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka.
Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih. "Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami."
Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, ia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh.
Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.
"Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang"
Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.
"Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal sekali.
Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit. "Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu."
"Salah paham apa" Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. "Sudah jelas ada teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!"
Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya serem.
"Aha, agaknya kesalahpahaman ini berasal darimu, Nona." tosu itu berkata sambil tersenyum.
"Apa" Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau hendak menyangkalnya, Totiang" Ci Sian berkata lagi, penasaran.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalahpahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!"
"Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku mencuri pula. Huh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!" Ci Sian membentak.
"Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!" Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang. "Hek-liong-ma adalah kuda kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!"
Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!
"Ah, kiranya Hek-liong-ma ini kudamu Enci" Ci Sian bertanya heran.
"Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukan pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan." kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.
"Ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walaupun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma."
"Omongan apa itu" Ci Sian membentak. "Bukan pencuri akan tetapi mencuri!"
"Siancai.... Nona muda amat keras hati." tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. "Agar jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Kami melihat Hek-liong-ma dan kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya." Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang "terpaksa" mencuri kuda terbaik.
Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan didapatnya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya. Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu, bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa sekalipun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguhpun penguasa-penguasa ini membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil. Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena berlumba kedudukan dan kekuasaan.Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan. Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlumbaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain. Kini bukan perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, perlombaan kuda dan ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang menang merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang kalah!
Yang paling sering diadakan perlumbaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang amat mahal. Setiap tahun sekali tentu diadakan perlumbaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu. raja-raja kecil ini juga berlumba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlumbaan mencari kuda terbaik.
Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Ketika mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlumbaan beberapa hari yang akan datang. Namun, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian orang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat disewakan atau dipinjamkannya. Inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.
"Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka maklum keadaan kami." Sambung tosu itu."Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlumbaan berlangsung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi kesulitan sekarang."
"Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah" Ci Sian bertanya, sikapnya menantang.
Tosu itu tersenyum. "Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!" Dan tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!
"Hemm, permainan kanak-kanak saja!" Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In. Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.
"Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!"
Ci Sian terkejut sekali karena ketika ia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi dan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja!
Melihat ini, kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!" Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, lalu terbentuklah seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk Siang In!
Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata. "Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau" Dan sungguh aneh, tangan kirinya itu seperti berobah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!
"Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!" kata tosu itu dan kini ia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada tanah tercokel tongkat dan tanah itu berhamburan berobah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berobah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu, memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat kuatnya.
"Asal tanah kembali jadi tanah!"
Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berobah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran. "Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu sihir"
Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu ia menjawab. "Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini" Dari merekalah aku mempelajari sihir."
Tiba-tiba saja sikap tosu itu berobah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura. "Ah, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!" Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata. "Ah, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak boleh diganggu...." Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur"
"Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang" Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!" kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.
"Habis, kalian mau apa" Mau merampas kudaku ini" Ci Sian membentak dan melangkah maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.
Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus. "Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja."
"Hemm, kalau aku menolak"
"Terpaksa kami akan manggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak kami kembalikan bersama uang sewanya." kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya, juga sudah siap dengan senjata masing-masing, untuk menggertak agar nona itu suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan.
Akan tetapi sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si Pendekar Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan tetapi begitu melihat sikap Si Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda, timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat dilihat dari kerutan kedua alisnya. "Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!" Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan orang-orang itu hendak mempertahankan senjata masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki pendekar itu dengan serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan kedua goloknya itu terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana! Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kian Bu telah meloncat ke depan tosu itu dan menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah. Terdengar bunyi berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang menjadi pemimpin atau juga guru mereka!
Diam-diam Ci Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi belasan orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui bahwa gerakan pendekar itu sungguh amat luar biasa, seperti kilat saja berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil ini sungguh merupakan seorang yang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh!
Juga tosu itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Siancai...." katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada, "Kami orang-orang kasar seperti buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di depan mata. Sesungguhnya, orang yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma itu tentu saja seorang pendekar sakti. Betapa bodohnya kami.... harap Cu-wi para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang terpaksa oleh keadaan bersikap kasar."
"Ah, celaka! Sekali ini hancurlah kita!" kata Si Botak. "Kuda mana lagi yang akan mampu menandingi kuda hitam milik Si Topi Merah itu" Hayaaaa....!" Dia mengeluh panjang pendek.
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu berkata, "Coba ceritakan tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam yang bagaimanakah yang dimilikinya"
Tosu itu menarik napas panjang. "Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang menjadi saingan terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan rumah yang jahat dan sewenang-wenang, karena itu majikan kami memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai tukang jual beli wanita yang amat kejam."
"Hemm, setiap orang tentu membela majikan masing-masing." kata Kian Bu tertawa.
"Siancai, agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Tai-hiap tentu mengerti bahwa seorang tosu seperti pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gajih besar dan hadiah. Sama sekali tidak, kalau pinto membela majikan kami, yaitu Thio-wangwe, adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan tanah di daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan bijaksana, juga amat mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw."
"Teruskanlah cerita tentang kuda hitam itu." Siang In mendesak karena ia merasa tertarik sekali mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.
"Kami tidak tahu banyak, Toanio." Tosu itu melanjutkan. "Yang kami dengar hanya baru-baru ini, Bouw-thicu (Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar biasa, sama dengan Hek-liong-ma ini, bahkan juga memperoleh ahli penunggangnya, yaitu seorang wanita cantik yang amat terkenal. Wanita itu memang amat lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai sekali."
"Hemm...." Siang In saling pandang dengan suaminya. "Dan kuda hitam yang sama dengan Hek-liong-ma itu tentu seekor kuda betina, bukan"
"Benar sekali, Toanio."
"Itu adalah kuda kami pula yang hilang dicuri orang!" Siang In berkata dan bukan saja orang-orangnya Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi juga Ci Sian terkejut mendengar ini.
"Kami tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami memasuki daerah Sin-kiang, pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina kami hilang dicuri orang. Kami sudah berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil menemukan kuda itu. Dan karena hilangnya kawannya itulah maka Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya kepada pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu."
"Kakek pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan kalian." Ci Sian menyambung.
"Ah, kalau begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!" Si Botak berseru keras.
"Biarlah kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami." kata Siang In.
"Dan biarkan Hek-liong-ma berlumba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk mengalahkannya. Aku mau menjadi penunggang Hek-liong-ma." kata pula Ci Sian.
"Bagus, dan dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kaukalahkan." Siang In berseru gembira. Tentu saja tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal majikan mereka, yaitu Thio-thicu.
Di dalam perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan berkata terus terang. "Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari Kam-suheng, ternyata memang hebat sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik sekali dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya"
"Jenderal Kao Cin Liong" Ah, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah belasan tahun kami tidak berhubungan dengan keluarga Kao." kata Kian Bu. Bicara tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan akan isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu. Banyak sudah yang dialaminya dengan para tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga mengingatkan dia akan keadaannya sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga mempunyai keturunan. Hal ini mendatangkan duka. Semua orang sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah mempunyai seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia sendiri sampai hampir berusia empat puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justeru karena urusan ingin mempunyai anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah Sin-kiang. Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga seringkali sakit-sakitan. Dia tahu bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan gelisah. Seolah-olah kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup sama sekali, dan wataknya yang dahulunya amat riang jenaka itu tenggelam dan lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.Oleh karena itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan menghadapi urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi pendekar ini, urusan perlumbaan kuda itu merupakan urusan kekanak-kanakan, dan andaikata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat bergembira, tentu dia langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi hajaran, dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih kembali kegembiraan hidupnya.
Thio-wangwe atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan. Memang dia ini berpotongan cukong, akan tetapi sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan hati orang yang diajaknya bicara. Ketika mendengar bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan Liang Go Tosu kepadanya, datang mengunjungi dan bersedia membantunya dalam perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang akan mampu bersaing dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambutnya dengan segala kehormatan. Dia bersama isterinya dan lima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggauta keluarga lain.
Tiga orang pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam ruangan yang luas dan berperabot mewah. Kuda Hek-liong-ma tadi sudah disambut oleh para tukang kuda, dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan rapi, dipimpin sendiri oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali.
Dalam perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang Gi Tosu yang tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu menjelaskan kesemuanya kepada Siang In dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini daripada Kian Bu yang nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak diam saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa, dan terutama sekali sinar matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan untuk bertemu pandang terlalu lama dengan pendekar ini.
"Sungguh menyesal sekali bahwa kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang berbahaya ini dan karenanya merepotkan Sam-wi, saja." antara lain tuan tanah Thio itu berkata. "Akan tetapi, orang she Bouw itu sungguh selalu mencari perkara. Sesungguhnya, pada dasarnya dia itu hendak menentang campur tangan pemerintah, hendak, memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang menentang pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu yang paling berkuasa di daerah ini. Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini mulai berkembang kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol. Biarpun sekarang belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh bahwa kalau kelak terjadi pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali dari Sin-kiang inilah pecahnya."
Mendengar ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah menyangkut gejala pemberontakan, maka penting juga. Dia sendiri, seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau Es, tidak melibatkan diri dengan politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan. Akan tetapi bukan itu saja, sesungguhnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk mencegah terjadinya perang lagi karena perang hanya berakibat mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini maklum bahwa biarpun ibunya adalah puteri Mancu, namun ayahnya adalah seorang Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh bangsa Mancu. Dia maklum pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah bangsa Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa daripada penjajahan. Dan dia tidak menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu, apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak sewenang-wenang seperti yang didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini. Akan tetapi, dia sendiri bingung tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya dalah puteri Mancu! Dan ayahnya adalah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua keluarga Pulau Es, dia tidak mau mencampuri, hanya sedapat mungkin harus mencegah terjadinya perang karena yang jelas, perang mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat, apa pun alasan perang itu.
Akan tetapi Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak kepada penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini memburukkan nama tuan tanah yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia mengerutkan alisnya dan bertanya, "Thio-wangwe, apakah alasannya maka engkau menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, jahat dan hendak memberontak"
Sikap dan nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap sungguh-sungguh dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini dengan tajam. "Harap Toanio jangan salah mengerti dan mengira saya memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu, dua tiga tahun yang lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan untuk itu kami semua masing-masing memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun tangan melarang segala macam pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan untuk mencari keunggulan dalam perlumbaan-perlumbaan, terutama sekali lumba kuda. Kami semua telah sadar hahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah memang amat tidak baik dan membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orang-orang pandai dari golongan hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya melakukan penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu. Akan tetapi, semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan dan penculikan-penculikan yang terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang luar biasa itu, dia pun menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!"
"Hemm, bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja" pancing Siang In.
"Penjinak kuda" Memang, akan tetapi ia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan ia kejam bukan main. Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan wanita itu saya pernah mempunyai hubungan baik. Ia pernah membantu kami di sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya, terpaksa kami mengeluarkannya."
Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti dan waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan sepihak. "Baiklah, kita lihat saja nanti, Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak ada lain kuda betina yang serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu bahwa wanita she Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she Bouw itu sewenang-wenang dan jahat, kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi, kuharap saja engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe." Ucapan terakhir ini mengandung ancaman halus.Thio-wangwe tertawa dan mengangkat cawan araknya. "Kalau aku berbohong, biarlah aku menerima hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa." Setelah berkata demikian, dia menuangkan arak cawannya ke dalam perut melalui mulutnya.
Tiga orang tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi Siang In dan Ci Sian tidak meu tinggal diam. Mereka tidak mau bertindak sembrono membela orang yang belum mereka ketahui benar bagaimana keadaannya. Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Oleh karena itu, mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua. Keluarlah mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh dan yang hendak beritirahat di dalam kamarnya.
Hari telah menjelang senja dan dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan bertanya-tanya kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe. Dan hati mereka puas karena setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek yang mereka tanyai semua memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa Thio-wangwe adalah serang hartawan yang dermawan dan tidak pernah bertindak sewenang-wenang. Namun mereka masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan melihat keadaan rumah tangga mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka sederhana, namun mereka itu sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira. Pada senja hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarang luar dengan gembira, ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan makan dan tidak dicekam rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan yang membuktikan adanya dugaan mereka, kedua orang wanita ini merasa puas dan yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang patut dibela.
"Cici, sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu." kata Ci Sian ketika Siang In mengajaknya kembali.
"Eh, beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu baru tujuh belas tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku patut menjadi Bibimu."
"Aihh, engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak menyebut Bibi kepadamu, Enci Siang In" kata Ci Sian tertawa. "Pula, engkau belum mempunyai anak, belum pantas disebut Bibi...."
Tiba-tiba wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan kata-kata yang mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar wanita ini memejamkan matanya dan berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.
"Cici! Engkau kenapakah...." Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya itu tiba-tiba saja menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh orang lain.
Siang In tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai beberapa lama ia menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. "Maafkan, Ci Sian.... ah, baru sekarang aku dapat menangis, seolah-olah aku bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan kesedihanku.... aku.... aku sungguh lemah...."
"Ah, tidak mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau bersedih" Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari Pendekar Siluman Kecil Sakti dan tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih."
"Ci Sian, kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum mempunyai anak itulah yang menusuk perasaanku dan membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku."
"Ohh.... kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu...."
"Tidak mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang isteri yang bodoh. Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau Es hanya karena kebodohanku inilah, karena kami tidak punya anak. Sudah belasan tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku sampai merasa malu sekali kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia mau mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi, merantau sampai di tempat ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh keturunan."
"Kasihan engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu...."
"Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau tahu di mana adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jengliong-cu (Mustika Naga Hijau) saja yang dapat memberikan keturunan kepada suami-Isteri."
"Jeng-liong-cu...." Di mana kita bisa mendapatkan itu" Ci Sian bertanya heran.
"Kabar angin yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena itulah kami tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku merasa kecewa dan sengsara!" Nyonya yang masih cantik jelita itu menarik napas panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih.
Ci Sian termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu ia menjadi bengong, dan termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya ia pun mengeluarkan kata-kata bersama taikan napas panjang. "Aihhh....siapa kira...."
Siang In mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja. "Apa maksudmu, Ci Sian"
"Sungguh keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira hanya aku seorang saja yang dirundung duka, tadinya kusangka bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang lebih kebingungan dan berduka daripada aku. Apalagi Cici yang nampak hidup demikian bahagia, di samping suami yang mencinta, berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku mgnjadi semakin bingung. Apakah kehidupan ini hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka"
Memang demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan. Kecewa menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda duka selalu beranggapan bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka. Inilah sebabnya mengapa orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar daripada yang dideritanya sendiri.
Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai macam hiburan berupa kesenangan maupun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan maupun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan taluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, bunuh diri menjadi gila dan sebagainya. Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa" Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke manapun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah maupun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.
Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka" Terbebas dari pada kecewa" Tanpa menyerah dan taluk" Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.
Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali. Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani maupun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir maupun batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.
KITA akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justeru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, menambah subur keinginan-keinginan si aku.
Habis bagaimana" Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita" Sama sekali tidak demikian, karena sikap "menerima nasib" ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup!
Kalau datang kecewa" Kalau datang rasa duka" Pernahkah kita MENGHADAPINYA" Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan, kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari daripadanya" Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada" Bukan si aku yang mengamati luka, karena kalau begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam iingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan. Maukah dan beranikah kita mencobanya" Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing.
Kini Ci Sian yang merenungkan keadaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri, wajahnya lesu, pandang matanya layu, merenung ke tempat jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi lamunan dan kesenangannya sendiri saja.
Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In. "Adikku, Ci Sian, kenapakah engkau yang semuda ini dirundung duka" Ketika aku sebaya denganmu, hidup ini rasanya penuh kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka"
"Ah, Enci, aku sungguh bingung sekali...." Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri pendekar Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia hatinya, Ci Sian yang selama ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung, kini se
Golok Halilintar 2 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Super Sakti 15