Suling Emas Dan Naga Siluman 25
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
alah para hwesio dan orang yang ingin menipelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio. Peraturan ini dahulunya dijaga keras, karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio sajalah yang patut mempelajari ilmu silat. Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan semacam kekuasaan pula.
Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Akan tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.
Akan tetapi, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berobahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyakmurid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.
Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Akan tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biarpun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak. Oleh karena itu, mereka lalu mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka. Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.
Para pimpinan Siauw-lim-pai juga diam-diam mengadakan ujian dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja. Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.
Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini. Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana setiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggauta Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.
Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak-belian! Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu merupakan pelajaran pokok atau dasar bagi mereka! Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sin-kang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sin-kang yang amat kuat.
Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.
Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu.
Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya. Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa.
Bermacam-macam cara latihan yang diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut "mengasah pedang bermata dua" karena hasilnya ada dua macam. Pertama si murid tanpa disadarinya telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.
Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat.
Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka. Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda! Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga kalau ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya, seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah.
Bermacan ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali. Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justeru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri. Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas ketika bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang mencontoh gerakan binatang pada dasarnya itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.
Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyusup dan menyelundup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.
Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bersikap angker dan galak.
"Apa yang kalian lakukan di sini!" bentak hwesio tinggi besar itu. Dua orang pemuda itu terkejut sekali dan seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.
"Dukk!" Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iwee-kang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.
"Dukk.... plakk!" Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tidak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah,
"Siapa kalian sebenarnya" Hpa yang kalian lakukan di sini!"
Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia, atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.
"Kalian pengkhianat....!" bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang. Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.
"Hui Sian Hwesio!" kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, "Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!"
"Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio," sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi. "Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi."
"Mungkinjugamenjadijenderal, mengingat akan kemampuanmu."Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, dia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri. Kini, terbuka kesempatan baginya! Dan memang dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah tidak setuju dan sering menentang keputusan suhunya, Ketua Siauw-lim-pai yang menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat dan menjadi kaki tangan Kaisar!
Hui Sian Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya dan membantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan untuk membasmi Siauw-lim-si!
Sayang sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar, dan mengalah. Ada beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio, namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh, lagi. Mereka hanya diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai membela Siauw-lim-pai. Adapun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergunakan kekerasan. Yang bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri.
Demikianlah keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuaan rahasia dengan para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian.
Sekali ini, pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota! Hal ini tentu saja merupakan fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang berdasar. Bukankah lenyapnya Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci" Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai" Tentu saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal.
Ketika pasukan menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini, terkejut dan tentu saja hendak menghalangi, akan tetepi dengan senjata tombak kapaknya, Hui Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu! Mulailah Hui Sian Hwesio memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya!
Seorang pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk membela Siauw-lim-pai, melihat ini mereka cepat mengejar dan menyerang Hui Sian Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah menyerbu bagaikan gelombang samudera. Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh semangat dan bagaikan harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah, di pekarang, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang. Banjir darah di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemulaan bagi para biarawan itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh hebat. Biarpun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga orang murid baru dari Siauw-lim-pai. Juga Sang Pangeran yang memimpin penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang buas.
Para murid Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di ruang sembahyang, duduk bersila dan bersamadhi, menerima kematian dengan sikap tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun tangan, biarpun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan.
Pertempuran hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari. Melihat betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggauta pasukan dengan cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke biara! Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka sebentar saja biara itu menjadi lautan api!
Melihat ini, para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main, merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang amat dahsyat. Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai.
Akhirnya, melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru, telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andaikata tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu. Sungguh mengerikan sekali dan juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka!
Melihat penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang herada di belakang pasukan, beberapa kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran. Di dalam terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Pangeran akan dapat menyelamatkan diri" Untuk melindungi Pangeran di antara pertempuran yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat berbahaya dan sukar. Maka Ci Sian mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir turun di atas sepasang pipinya yang pucat.Ci Sian sendiri merasa ngeri menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat daripada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun memandang semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa saja, dan sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai. Manusianya sama, penderitaan mereka pun sama. Dan dasar yang mendorong mereka sampai berbunuh-bunuhan itu pun sama, walaupun namanya saja mungkin berbeda. Para tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa kematian di pihak mereka adalah kematian gagah perkasa, kematian seorang pahlawan, seorang tentara yang jantan! Di lain pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada suatu citacita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat, untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati! Dan kedua pihak dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini!
Dan yang lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh di belakang sana. Baik gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah maupun yang dijajah, yang diserang maupun yang menyerang, pendeknya pihakpihak yang saling bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman. Dengan berbagai cara rakyat telah dapat ditariknya untuk menjadi perajurit, untuk menjadi pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk lagi. Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu. Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil daripada kemenangan itu, lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biarpun keluar sebagai pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong. Dan kalau kalah" Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih dulu, menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa, meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan! Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana pun di dunia ini. Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian, mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam slogan-slogan kosong.
Tidak ada rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras otaknya sajalah yang mau untuk perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalahgunakan kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di seluruh dunia ini. Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya, membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala slogan kosong, menolak perang" Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti itu!
Ketika pertempuran sudah mendekati akhirnya, ketika delapan orang pendekar yang menjadi sisa dari kurang lebih seratus lima puluh orang murid Siauw-limpai yang melawan itu masih melawan, sedangkan para pendeta yang bersamadhi di dalam menjadi makanan api yang berkobar, barulah Ci Sian membiarkan Pangeran dengan pengawalannya menerobos masuk ke dalam pekarangan luar itu. Delapan orang pendekar itu telah terkurung rapat dan agaknya betapapun lihai mereka, namun mereka sudah amat lelah, dan tak lama lagi mereka ini pun tentu akan roboh mandi darah dan tewas.
"Berhenti! Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang bicara!" Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa oleh Ci Sian ke tempat itu.
Para perajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang sederhana itu, lalu mereka memberi hormat. "Hidup Sang Pangeran!" mereka berseru.
Delapan orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju, hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah, dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa. Tubuh pemuda-pemuda yang tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan dan senjata mereka berlepotan darah pula.
Sejenak Sang Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri, seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya dia melihat pemandangan seperti ini, walaupun ia pernah menyaksikan peperangan di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.
"Aku, Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk pergi dari sini tanpa diganggu!"
Mendengar perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula. Maka, mendengar perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka masing-masing. Delapan oang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan dara yang mengawaninya itu, pandang mata tajam penuh kebencian, penuh permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini lain daripada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula menghaturkan terima kasih, walaupun mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja menyelamatkan nyawa mereka.
"Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!" Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.
Sang Pangeran tersenyum. "Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat membayangkan keadaan hati mereka" Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran. Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya, dibunuh, dibakar hidup-hidup dan Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu, setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi mereka"
"Tapi, bukan Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!"
"Apa bedanya bagi mereka" Yang melakukan pembantaian adalah pasukan pemerintah, dan aku adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap pengampunan atau penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka."
"Aihh....!" Ci Sian terkejut sekali. "Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka"
Pangeran itu menarik napas panjang. "Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri."
Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang. "Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya."
"Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan," kata Sang Pangeran yang, lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggauta pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.
"Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!" Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran.
Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja. Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah, ia seolah-olah melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua daripada Kam Hong sekalipun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.
Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.
Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus, "Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu"
Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.
"Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!"
"Benarkah itu" Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya" Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu."
Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang kesemuanya itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan pernah dilihatnya. Dan pandangannya tanpa menilai, tanpa, membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar ia mengatakan apa itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya seperti hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.
"Aihhh.... Pangeran...." keluhnya.
"Eh" Apa yang kaulihat" Apa yang kaurasakan"
"Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!"
Sang Pangeran tersenyum, "Mengapa takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona" Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu" Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segalagalanya" Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.
"Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu"
Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum. "Bahagia" Apakah bahagia itu" Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona."
Kemndian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.
"Kebahagiaan....
semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda"
di mana gerangan Anda"
Seakan tampak dalam cahaya bulan tersenyum di antara kelopak mawar rupawan
menyelinap di antara bayan-bayangbeterbangan di antara hembusan anginKuraih dan kupeluk mesrahanya untuk sadar kecewabahwa semua itu hanyabayangan hampadan sama sekali bukan Anda!
Seperti nampak Anda menggapaimenunggang cahaya matahari pagiseperti nampak Anda mengintaidi balik senyum kekasih jelitadi antara gelak tawa sahabatdi dalam sorak-sorai kanak-kanak"
Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, akan tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu" Dan di manakah adanya" Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!
"Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari," kata Ci Sian.
"Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona" itulah justeru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini" Siapakah yang pernah mengenal bahagia" Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya"
"Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran"
"Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!"
"Mana mungkin" Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!"
"Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia" Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita" Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal" Yang penting adalah menyelidiki. MENGAPA batin kita sengara, MENGAPA kita tidak berbahagia! itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita TIDAK sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi" Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu"
Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti! "Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya"
Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang. "Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya" Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu."
"Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran."
Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang. "Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona"
"Mana aku tahu, Pangeran" Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagaimana saya dapat tahu bahwa itu adalah cinta kasih kalau sekali waktu saya merasakannya"
"Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, sungguh mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku, mengetahuinya. Nah, dengarlah nyanyian ini, Nona Bu." Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.
"Cinta, kata keramat penuh rahasia bahan renungan para seniman dan pujangga Antara anak dan orang tua ada kebaktian antara warga dan negara ada kesetiaan antara pria dan wanita ada kemesraan antara manusia dan Tuhannya ada enyembahan.
Itukah cinta"
Namun, semua itu mengandung keinginan menguasai, memiliki, menikmati, eselamatan, kebahagiaan, kepuasan, sekali gagal yang diinginkan timbullah edurhakaan, pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta"
Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.
"Wah, kalau begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran" Akhirnya Ci Sian bertanya, akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum.
"Aku pun tidak tahu, Nona Bu."
Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu" Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya" Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian kalau sekali waktu si anak tidak menurut dan tidak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya" Begitukah yang dinamakan cinta"
Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih"
Kita dengan mudah saja, dengan mulut maupun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan! Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita INGIN MEMPEROLEH SESUATU, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta"
Kalau kita mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih daripada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!
Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada" Begitu terangnya sinar cinta kasih....! Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada aku "aku", cinta kasih pun tiada!
Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama dengan Pangeran Mahkota menyelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.
Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang. Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu. Biarpun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tidak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah dua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, mereka lalu diam-diam membayangi Sang Pangeran. Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik. Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu" Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka.
Akan tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yangmengagumkan. Ia pun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi kalau di situ terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat ia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, kemudian tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.
"Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!" kata Ci Sian.Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang.
Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya. "Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami, menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok," kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.
"Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia lain saja!" kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya. Ia sengaja mengerahkan khi-kangnya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khi-kang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biarpun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan oleh suhengnya, Kam Hong, ketika bersama suhengnya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sin-kang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.
Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka pun tahu bahwa untuk dapat menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khi-kang dan sin-kang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung. Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini dan merampas putera mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.
"Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!" kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran. Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapapun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tidak akan dibunuh, melainkan ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu. Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya. Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar semakin meninggi.
"Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!" Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas! Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Oleh karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok!
Melihat betapa Toa-ok terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.
Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapapun dicobanya. Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biarpun Toa-ok telah memiliki sin-kang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling, ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia sudah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini. Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang tadi telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.
Betapapun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sin-kang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka. Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok. Adapun Ji-ok, wanita yang bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari-jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sin-kang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot. menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu. Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biarpun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut.
Ci Sian harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia. Ilmu Pedang Suling Emas aseli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu dengan tenaga khi-kang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu sin-kang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, betapapun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat, dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka, ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi repotsekali. Ia harus montang-manting ke sana-sini, melalui jarak yang agak lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai seorang di antara mereka mempergunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran. Dan karena itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tidak mungkin dapat mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus membagi-bagi serangannya itu. Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari suling di tangan Ci Sian.
"Suheng...." Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka. Mendengar lengkingan suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu, membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan pada saat itu, pukulan Kiam-ci yang dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untung pada detik terakhir Ci Sian dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan tubuhnya.
"Brett!" Ujung leher bajunya terobek.
Ci Sian terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya. Sementara itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya. Kiranya suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian.
Ci Sian maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi. Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan suhengnya mendatangkan kegembiraan sedemikian besarnya bercampur keharuan yang mendalam sehingga ketika ia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih besar karena timbul semangatnya, kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok! Dua orang datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau.
Toa-ok maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang datuk itu lalu melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar, bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke kiri.
"Suheng....!" serunya memanggil karena dari kiri tadi datangnya suara suling melengking itu. Dan muncullah Kam Hong!
Mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun membasahi pipi Ci Sian semakin deras.
"Sumoi....!"
"Suheng....!" Ci Sian lari dan Kam Hong juga melangkah maju, kedua lengan mereka berkembang. "Suheng.... ah, Suheng....!"
Mereka saling tubruk dan, saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.
"Suheng...., Suheng...., kenapa kautinggalkan aku begini lama...." Ci Sian mengeluh dengan suara diselingi isak tangisnya.
"Sumoi, kaumaafkan aku...."
Keduanya tidak bicara lagi. Apa perlunya bicara" Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka sudah mengucapkan seribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara kalau saling berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini,
"Suheng...., berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi...., selamanya...." Ci Sian berbisik, merasa betapa tangan suhengnya mengelus rambut kepalanya dan ia memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan suhengnya agar tidak sampai saling terpisah lagi,
"Tidak, Sumoi, tidak lagi...."
Ci Sian mengangkat mukanya. Mereka saling berpandangan, penuh rindu. Kasih sayang terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam Hong menunduk untuk mencium!, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu, Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari tangan untuk mengusap air mata itu. jari-jari tangannya gemetar dan hatinya terharu sekali. Sudah lama ia sengaja menjauhkan diri dari sumoinya ini, karena kesadarannya tidak mau menerima kalau dia jatuh cinta kepada sumoinya yang sepatutnya menjadi keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sungguh amat mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ah, ini tidak boleh terjadi, pikirnya dan dengan halus dia melepaskan rangkulannya.
"Sumoi, bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan Ngo-ok itu"
"Karena mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok."
"Ah, engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu"
"Ya, bersama dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai, dan selain itu, mereka juga hendak menangkap Pangeran.... eh, mana dia...." Ci Sian baru sekarang teringat kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.
"Siapa yang kaucari"
"Pangeran Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia" Ci Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar jawaban.
"Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi."
"Ah, celaka. Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!" Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.
"Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kauketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kauceritakan semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinnya bersama."
Ci Sian yang masih terlalu gembira oleh pertemuanini, segea melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali. Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlumba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa.
Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong menarik napas panjang. "Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sin-kang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas saja tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sin-kangnya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sin-kang dari Pulau Es. Hebat, hebat.... dan aku kagum sekali"
Ci Sian rnelanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain.
Kam Hong menarik napas panjang. "Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan."
"Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang amat bijaksana." Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan telah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkurung dan terancam maut.
Mendengar suara ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada sumoinya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoinya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoinya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum.
Melihat keadaan suhengnya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanitaannya merasa betapa pandang mata suhengnya itu penuh dengan kekaguman. "Aih, Suheng, apa sih yang kaupandang" tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya.
Dan Kam Hong pun tersadarlah. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang dengan jujur dia berkata, "Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... eh, luar biasa cantiknya!"
Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling. "Ihh, Suheng.... jangan memperolokku....!"
"Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut."
"Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian"
"Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan." Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan oleh kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai. Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu lalu menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.
Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.
"Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya." Lalu dia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana dia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, akan tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf.
Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu. "Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng"
Kam Hong menggeleng kepala. "Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi."
"Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu."
"Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi."
"Juga rindu...."
"Juga rindu...."
Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.
"Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi."
"Pertanyaan yang mana"
"Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri" Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.
Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya. Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suhengnya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu, "Suheng, mengapakah"
Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoinya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoinya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.
"Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suhengmu ini"
Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.
"Suhengku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa"
"Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoiku, engkau menyebutku paman"
"Habis, mengapa"
"Tahukah engkau berasa usiamu sekarang, Sumoi"
"Usiaku" Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suhengnya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. "Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa"
"Dan aku hampir tiga puluh dua tahun!" kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.
"Habis mengapa"
"Usia kita selisih tiga belas tahun!"
"Lalu, mengapa"Kam Hong meremas-remas jari tangan itu, tanpa disadarinya karena hatinya terguncang, "Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua"
Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suhengnya. "Wah, dengar ini kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!"
"Harap jangan memperolokku, Sumoi."
"Siapa mengolokmu" Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua" Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua."
"Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!"
"Suheng!" Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. "Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak" Siapa bilang aku masih kanak-kanak" Aku berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak" Suheng, apakah engkau hendak menghinaku"
"Maaf, Sumoi....!" Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. "Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri...."
Ci Sian memandang bengong. "Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tidak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian" Mengapa engkau meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Hong Bu" Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya" Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu daripada di samping siapapun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri."
"Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan."
"Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!"
"Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan kita harus saling berpisah."
"Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi...."
Kam Hong memegang kedua tangan itu lag! dan sampai lama keduanya hanya berdirik saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata, "Mari kita cari Sang Pangeran jangan sampai beliau tertimpa malapetaka...."
"Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng."
"Aku berjanji."
"Sumpah"
"Sumpah!"
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi dttunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu.
Betapa anehnya asmara! Membuat dua orang manusia, seorang wanita dan seorang pria, merasa saling tertarik dan saling terikat oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui apa. Yang terasa hanyalah bahwa mereka itu ingin selalu saling berdekatan, saling bermesraan, dan merasa sengsara kalau berpisah. cinta asmara antara pria dan wanita adalah sesuatu yang penuh rahasia, dan di dalam cinta asmara ini, mereka berdua hanyalah manusia-manusia, pria dan wanita, yang saling tertarik dan saling mengasihi. Cinta tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal perbedaan suku atau kedudukan, tidak mengenal agama atau paham kepercayaan yang berbeda. Pendeknya, cinta meniadakan semua perbedaan antara mereka, yang penting bagi cinta adalah manusianya. Sedangkan semua yang lain hanyalah embel-embel saja.
Kebijaksanaan yang membuat Kam Hong meragu, melihat perbedaan usia di antara mereka. Akan tetapi, mampukah kebijaksanaan menandingi cinta" Cinta membuat segala hal mungkin saja terjadi. Bukan usia, bukan harta, bukan agama yang menentukan, melainkan manusianya. Dan dua insan yang saling mencinta itu pun tertarik oleh manusianya, bukan embel-embelnya karena kalau tertarik oleh embel-embelnya, maka itu bukan cinta namanya!
*** Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong" Toa-ok telah melihat berkelebatnya beberapa orang yang disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran. Dan memang benar demikianlah. Selagi tiga orang datuk kaum sesat itu mengeroyok Ci Sian, muncullah tiga orang yang bergerak cepat, lalu mereka itu menyambar tubuh Sang Pangeran, menotoknya dan melarikannya dengan cepat sekali. Mereka bertiga ternyata mempergunakan ilmu berlari cepat, membuat Pangeran Kian Liong merasa seperti diterbangkan saja. Pangeran ini tahu bahwa kembali dia telah ditawan dan dilarikan orang, entah dari golongan mana. Akan tetapi Pangeran ini tidak merasa takut.
Kiranya yang menculik Pangeran itu adalah tiga di antara para pendekar Siauw-lim-pai yang delapan orang banyaknya itu, yang telah diselamatkan oleh Sang Pangeran dari kepungan pasukan pada waktu Siauw-lim-si dibakar. Mereka membawa Sang Pangeran kepada sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh kawan-kawan mereka, lalu melarikan Pangeran menuju ke timur.
"Harap Paduka tidak khawatir. Kami memang menawan Paduka, akan tetapi hal ini kami lakukan bukan karena kebencian pribadi. Kami adalah patriot-patriot bangsa Han, harap Paduka memaklumi keadaan kami," kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat.
Pangeran Kian Liong hanya tersenyum mengangguk. "Ke manakah kalian hendak membawaku" tanyanya.
"Kepada pimpinan kami di kota Cin-an, jawaban singkat ini diterima oleh Sang Pangeran tanpa banyak cakap lagi. Malah kebetulan, pikirnya. Dia kelak akan menjadi kaisar, maka dia pun harus tahu benar tentang seluk-beluk mereka yang menganggap diri mereka sebagai para patrtiot ini. Kelak, mau tidak mau, dialah yang akan berhadapan dengan mereka ini. Dan dia pun perlu melakukan pendekatan, agar selain mengetahui keadaan mereka lahir batin, juga dia akan dapat bicara dengan mereka, terutama sekali para pemimpinnya. Jadi Cin-an, di Propinsi Shantung itu sarang mereka"
Perjalanan ke Cin-an itu bukan dekat, akan tetapi di sepanjang perjalanan, tiga orang pendekar Siauw-lim-pai itu bersikap sopan dan baik. Diam-diam Sang Pangeran memperhatikan dan dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka yang menamakan dirinya para patriot Han itu belumlah meluas, yaitu belum memperoleh banyak dukungan rakyat. Buktinya, di sepanjang perjalanan mereka itu merahasiakan perjalanan itu dan tidak pernah mereka menghubungi rakyat yang membantu mereka. Namun, harus diketahui bahwa mereka itu bersikap hati-hati sekali dan agaknya banyaknya teman-teman mereka yang diam-diam menjadi penyelidik dan pelindung sehingga perjalanan kereta itu tidak pernah mendapat gangguan.
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, akhirnya kereta memasuki kota Cin-an di Propinsi Shantung, langsung memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar dan kuno. Kereta itu terus bergerak masuk ke belakang melalui jalan samping sehingga tidak nampak lagi dari depan. Sang Pangeran dipersilakan turun, lalu diiringkan memasuki rumah besar melalui pintu belakang.
Ruangan di dalam rumah besar kuno itu luas sekali. Ketika Pangeran Kian Liong memasuki ruangan itu, dia memandang ke kanan kiri dengan penuh perhatian. Ruangan itu nampak sunyi karena tidak ada suara, akan tetapi ternyata di situ duduk banyak orang. Laki-laki dan wanita-wanita yang kelihatan penuh semangat dan gagah perkasa. Lima orang pendekar Siauw-lim-pai yang lain hadir pula di situ, jadi lengkap delapan orang dengan yang membawanya ke situ. Nampak pula beberapa orang hwesio, bahkan ada pula yang berpakaian seperti tosu. Akan tetapi yang terbanyak adalah pria-pria berpakaian seperti pendekar. Mereka duduk di atas bangku-bangku tidak teratur, akan tetapi semua menghadap kepada seorang laki-laki setengah tua yang usianya kira-kira lima puluh tahun namun masih nampak tampan dan gagah. Ada beberapa orang duduk di dekat pria ini, termasuk tiga orang wanita cantik setengah tua. Pangeran Kian Liong segera mengenal pria gagah ini, dan dia pun dipersilakan untuk duduk berhadapan dengan pria gagah yang agaknya menjadi pimpinan para patriot di tempat itu. Di antara orang-orang yang duduk di dekat pria gagah itu, nampak pula seorang pemuda yang kelihatan lebih gagah lagi, bersama seorang dara yang menggunakan pakaian pria sehingga nampaknya sebagai seorang pemuda yang amat tampan. Akan tetapi sekali pandang saja tahulah Sang Pangeran bahwa pemuda yang amat tampan itu adalah seorang gadis.
"Ah, selamat datang, Pangeran!" kata pria tua yang gagah itu sambil bangkit berdiri memberi hormat, suaranya halus dan ramah, juga sikapnya menghormat. "Maafkan kalau kami membuat Paduka banyak kaget dan lelah, akan tetapi kami girang bahwa Paduka tiba di sini dalam keadaan sehat dan selamat."
Pangeran Kian Liong tersenyum, seperti biasa sikapnya tenang sekali dan yang mengagumkan para patriot adalah bahwa Pangeran ini biarpun masih amat muda, namun sikapnya seperti seorang dewasa yang menghadapi sekelompok anak nakal saja.
"Silakan duduk, Pangeran," kata pula pria tua gagah itu.
"Terima kasih, Bu-taihiap," jawab Sang Pangeran sambil duduk dan memandang ke sekeliling. Sedikitnya ada dua puluh lima orang di dalam ruangan yang luas itu, kesemuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah. Diam-diam dia merasa amat sayang bahwa orang-orang gagah seperti ini sekarang berdiri berhadapan dengan dia sebagai orang-orang yang memusuhinya, atau setidaknya memusuhi kerajaan ayahnya. "Kalau boleh aku bertanya, mengapa dalam waktu singkat saja terjadi perubahan besar dan sikap Bu-taihiap menjadi berlawanan" Ketika aku hendak ditangkap Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap melindungiku, dan sekarang Bu-taihiap menawanku sebagai musuh. Apa artinya semua ini"
Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, tersenyum lebar dan kelihatan semakin ganteng biarpun usianya sudah setengah abad. "Tidak perlu diherankan, Pangeran, karena semua itu hanya menjadi akibat dari keadaan Pangeran dan Kaisar yang juga berlawanan. Kalau tempo hari kami menyelamatkan Paduka, hanyalah karena kami hendak menolong seorang pangeran yang bijaksana dari ancaman penjahat-penjahat macam Im-kan Ngo-ok. Dan kalau sekarang kami terpaksa menawan Paduka adalah karena kami adalah patriot-patriot dan Paduka adalah putera mahkota."
Pangeran muda itu mengangguk-angguk. "Aku dapat mengerti, Bu-taihiap. Lalu, setelah aku ditawan dan dibawa sini, apakah yang hendak kalian lakukan terhadap diriku"
"Tentu Paduka tidak mau menerima kalau kami mengatakan bahwa ayah Paduka, Sri Baginda Kaisar Yung Ceng, telah melakukan banyak sekali kejahatan dan kelaliman, bertindak sewenang-wenang terhadap para orang gagah"
"Aku maklum apa yang kaumaksudkan, akan tetapi bagaimanapun juga, pada waktu ini, aku hanya seorang Pangeran Mahkota dan seluruh kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar."
"Kaisar telah melakukan tindakan sewenang-wenang, bahkan baru-baru ini telah membasmi dan membakar biara Siauw-lim-si. Tentu Paduka mengetahuinya, bahkan juga Paduka menyaksikannya dan Paduka pula yang menyelamatkan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai."
"Aku sudah tahu akan semua itu. Lalu apa kehendakmu"
"Kaisar bukan seorang penguasa yang baik, dan menambah dendam dan sakit hati para pendekar yang sejak dahulu tidak rela membiarkan tanah air dan bangsa dicengkeram penjajah Mancu. Harap Paduka maafkan kalau kami bicara sejujurnya, karena Paduka adalah seorang yang juga memiliki kegagahan dan kebijaksanaan."
Pangeran Kian Liong kembali tersenyum, bukan tersenyum pahit, sama sekali tidak membayangkan perasaan sakit mendengar ucapan itu, melainkan tersenyum maklum akan "kenakalan" anak-anak di sekelilingnya.
"Nanti dulu, Bu-taihiap. Yang dinamakan penjajah itu adalah kalau satu negara menjajah negara lain, satu bangsa menjajah bangsa lain. Akan tetapi kurasa bangsa Mancu tidak mempunyai negara lain kecuali di sini, dan bangsa Mancu sekarang pun sudah tidak ada dan menjadi satu dengan bangsa Han! Aku sendiri, sebagai Pangeran, sama sekali tidak merasa sebagai bangsa Mancu, tanah airku di sini dan negaraku juga di sini. Memang pada mulanya, bangsa Mancu yang merupakan bangsa Nomad itu menyerbu ke selatan dan karena kelemahan dan kesalahan bangsa Han sendirilah, yang tidak ada persatuan, sering berkelahi sendiri, dan Kaisar amat lemah, para pembesarnya tidak ada yang jujur dan setia, semua tukang korup, maka akhirnya bangsa Mancu menjatuhkan Kaisar yang berkuasa dan selanjutnya sampai sekarang memimpin bangsa Han untuk membangun negara. Akan tetapi aku bukan membela kerajaan Ayahku, sama sekali tidak, hanya bicara menurut kenyataan saja. Memang, Ayahku telah menyeleweng, menyerbu Siauw-lim-si dan semua itu dilakukan hanya karena urusan-urusan pribadi. Ayah telah menjadi lemah pula dan hal ini amat kusesalkan. Kalau aku menjadi kaisar, semua hal yang bengkok pasti akan kubikin lurus, dan niatku hanya ingin memajukan bangsa, membangun negara dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata."
Semua patriot mendengarkan dengan alis berkerut. Mereka semua tahu bahwa Pangeran ini memang amat bijaksana dan andaikata Pangeran ini yang menjadi kaisar, agaknya keadaan pun akan berubah. Akan tetapi kenyataannya sekarang, Kaisar Yung Ceng telah menimbulkan dendam di hati para pendekar dan patriot.
"Kami dapat percaya apa yang Paduka katakan, akan tetapi kenyataan sekarang ini amat pahit bagi kami, dan Paduka masih belum menjadi kaisar. Oleh karena itu, kami harus bertindak, dan tidak mungkin kami diam saja membiarkan Kaisar melakukan kelaliman sambil menanti Paduka menggantikannya."
"Hemm, Bu-taihiap, katakan saja. Apa yang hendak kalian lakukan kepadaku" Membunuhku" Aku tidak takut mati. Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku memberontak terhadap Ayah dan pemerintahku sendiri."
Bu Seng Kin tertawa. "Kami pun tidak begitu bodoh, Pangeran. Mana mungkin kami mengharapkan Paduka, seorang Pangeran Mancu, memberontak terhadap Kerajaan Mancu sendiri" Tidak, kami cukup menghargai sikap Paduka yang baik dan kami percaya bahwa Paduka akan menjadi kalsar yang paling bijaksana di antara semua Kaisar Mancu yang pernah ada."
"Lalu apa kehendak kalian sekarang"
"Kami tidak akan mengganggu Paduka, hanya untuk sementara ini terpaksa Paduka kami tahan dulu sebagai sandera. Dengan Paduka sebagai sandera, kami hendak mengajukan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar, dan sebelum tuntutan kami dipenuhi, Paduka tidak akan kami bebaskan."
Pangeran itu tetap saja bersikap tenang. "Apakah adanya tuntutan-tuntutan kalian, kalau boleh aku tahu"
"Tuntutan pertama, agar biara Siauw-lim-si yang telah dibakar itu dibangun kembali. Ke dua, agar semua pendekar Siauw-lim-pai dan para pendekar lain, patriot-patriot bangsa, tidak dikejar-kejar dan dibebaskan dari tuduhan memberontak. Ke tiga, agar bangsa Han diperlakukan sama rata dengan orang-orang Mancu dan ke empat, agar para pendekar diberi kebebasan untuk membawa senjata guna bekal dan perlindungan diri di waktu mengadakan perjalanan jauh."
Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. "Tuntutan yang cukup patut, hanya yang nomor dua itu harus ada pelaksanaan timbal-balik. Kalau para patriot tidak ingin dikejar dan dianggap memberontak tentu saja mereka jangan melakukan gerakan memberontak. Aku akan ikut membujuk Kaisar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan kalian itu."
Semua patriot yang berkumpul di situ merasa lega dan girang. Kalau tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi, tentu saja tidak ada alasan bagi mereka untuk memberontak. Pemberontakan bukanlah soal yang mudah. Untuk memberontak terhadap kerajaan yang demikian kuatnya, harus mempunyai ratusan ribu orang pasukan dan perlengkapan yang besar. Kalau hanya sekelompok pendekar saja, mana mungkin dapat melakukan pemberontakan"
Demikianlah, mulai hari itu, Sang Pangeran diperlakukan sebagai seorang agung walaupun dia tidak mempunyai kebebasan dan menjadi tawanan. Siang malam dikawal dan dijaga, dan Bu-taihiap lalu mengirim utusan dan surat kepada Kaisar untuk menyampaikan tuntutannya. Tentu saja tempat di mana Pangeran ditahan itu amat dirahasiakan.Pemuda gagah perkasa dan gadis berpakaian pria yang duduk di dekat Bu-taihiap ketika Pangeran Mahkota dihadapkan itu adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In! Bagaimanakah kedua orang dari Lembah Suling Emas yang kini berubah nama menjadi Lembah Naga Siluman itu dapat tiba di tempat itu dan bergabung dengan para patriot" Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti perjalanan pemuda Sim Hong Bu, pewaris dari ilmu mujijat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Pemuda inilah satu-satunya orang yang mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hebat, bahkan pedang pusaka itu pun kini berada di tangannya, lalu disembunyikan di balik bajunya yang panjang
Seperti telah kita ketahui, Sim Hong Bu secara kebetulan bertemu dengan Ci Sian ketika dia muncul membantu dara itu menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai itu. Kemudian, karena diam-diam Kam Hong pergi, maka Ci Sian melakukan perjalanan bersama Sim Hong Bu. Akan tetapi, sebentar saja terjadi percekcokan ketika Ci Sian mendengar bahwa Sim Hong Bu yang mewakili Lembah Naga Siluman dan keluarga Cu, kalau bertemu dengan Kam Hong hendak menantang Kam Hong mengadu ilmu, yaitu mengadu Ilmu Padang Kim-siauw Kiam-sut melawan ilmunya, Koai-liong Kiam-sut, Mendengar ini, Ci Sian marah-marah dan menantang Hong Bu, bahkan lalu menyerangnya sehinga terjadi pertandingan seru di mana Hong Bu mengalah.
Ci Sian meninggalkannya dan pemuda ini berduka sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak perjumpaannya dahulu, beberapa tahun yang lalu ketika Ci Sian masih seorang dara kecil di pegunungan yang tertutup salju. Semenjak itu dia tidak pernah dapat melupakan Ci Sian, dan pertemuan terakhir ini menimbulkan kekaguman hebat melihat betapa dara itu telah menjadi seorang pendekar wanita. yang amat lihai. Kekaguman yang mempertebal cintanya dan yang membuatnya tanpa ragu-ragu lagi menyatakan cintanya kepada dara itu. Akan tetapi, dara itu agaknya membencinya! Karena dia adalah pewaris Koai-liong Po-kiam dan dia dianggap musuh besar dari Kam Hong, suheng dara itu, Hong Bu merasa sedih sekali.
Perasaan duka delam hati seorang pemuda yang merasa ditolak cintanya memang amat menyiksa. Segala sesuatu tampak hampa dan hidup rasanya hambar. Kegembiraan lenyap dan yang ada hanya perasaan iba duka yang semakin besar. Dalam keadaan seperti ini, Hong Bu melanjutkan perjalanannya. Dia merasa seperti sebuah boneka hidup yang hidupnya hanya untuk melaksanakan tugas belaka. Tugasnya adalah pertama-tama, menyelamatkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam agar jangan sampai terampas oleh utusan Kaisar yang mencari dan mengejarnya sebagai buronan. Ke dua, dia harus mencari Kam Hong untuk mempertahankan nama keluarga Cu dan untuk menyatakan bahwa Ilmu Koai-liong Kiam-sut tidak kalah oleh Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Dan juga, dia harus menebus kekalahan para gurunya itu dari tangan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Pada suatu hari yang amat panas, lewat tengah hari, Hong Bu duduk beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Keteduhan di bawah sebatang pohon terasa nikmat sekali setelah dia tadi terpanggang di dalam terik matahari, membuatnya mengantuk. Akan tetapi dia tidak tidur, melainkan melamun. Terbayanglah di pelupuk matanya tentang perubahan dirinya dan keadaannya. Dahulu, ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, tanpa ilmu yang tinggi, hanya seorang pemburu kasar biasa, kehidupannya selalu penuh dengan kegembiraan. Menyusuri jejak binatang saja sudah mendatangkan kegembiraan tersendiri. Lalu dalam keadaan berburu sudah mendatangkan ketegangan dan kegembiraan yang penuh harapan. Apalagi kalau dia berhasil merobohkan binatang buruannya, girangnya bukan main. Dilanjutkan dengan penjualan hasil buruan, juga mendatangkan kegembiraan tertentu. Dan sekarang"
Sekarang jauh berbeda daripada dahulu. Dia kini bukan seorang pemburu kasar biasa lagi. Dia seorang ahli waris ilmu silat tinggi yang tiada keduanya di dunia. Dia telah menjadi seorang berilmu, seorang pendekar! Katakanlah dia telah maju! Akan tetapi bagaimana jadinya" Lenyaplah kegembiraan hidup seperti yang dirasakannya ketika dia masih menjadi seorang pemburu kasar dan bodoh. Kini dia menjadi seorang yang mempunyai banyak musuh! Lenyaplah semua kebahagiaan, Lenyaplah semua ketenteraman. Dia dikejar-kejar dan dibebani tugas berat. Dan lebih dari itu malah, dia berjumpa dengan Ci Sian hanya untuk patah hati! Sedih hatinya, dan orang yang berduka biasanya memang selalu mudah mengantuk. Dalam kedukaan, orang membuang dan menghamburkan banyak sekali kekuatan batin, maka mudah membuatnya mengantuk. Tanpa disadarinya, sambil bersandar batang pohon, Hong Bu pun tertidur.
Kebanyakan dari kita saling berlumba untuk mengejar yang kita namakan KEMAJUAN. Semenjak masih kecil sekali, sejak duduk di kelas nol, kita didorong dan dibentuk oleh orang-orang tua kita dan oleh guru-guru kita untuk mencari kemajuan. Angka-angka di buku laporan sekolah menunjukkan apakah kita maju ataukah tidak, dan kemajuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang amat baik, menjadi tujuan kita sejak kecil sehingga setelah kita dewasa, tak mungkin lagi kita terlepas dari kehausan akan apa yang kita namakan kemajuan itu.
Apakah yang sesungguhnya yang kita namakan kemajuan" Dalam buku laporan sekolah, angka-angka kita menunjukkan bahwa kemajuan adalah apabila angka-angka kita lebih baik daripada yang sudah. Jadi kemajuan tampak setelah ada perbandingan. Sekarang kelas satu, lain tahun kelas dua, itu namanya maju. Sekarang berpenghasilan sepuluh rlbu rupiah sebulan, lain waktu dua puluh lima ribu rupiah, itu namanya kemajuan! Si A lebih maju daripada si B dan si C lebih maju lagi. Semua orang berlari, berlumba untuk mencapai apa yang kita namakan kemajuan. Jadi kemajuan adalah suatu keadaan yang kita anggap lebih baik daripada keadaan lain yang sudah ada. Bukankah demikian" Lebih dari itu. Kemajuan kita anggap sebagai sesuatu yang jauh lebih baik, lebih menyenangkan, lebih enak, pendeknya lebih mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Oleh karena itulah maka kita berlumba untuk mengejar kemajuan.
Akan tetapi, benarkah demikian keadaannya" Benarkah kemajuan akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan" Memang, tujuan yang tercapai mendatangkan kepuasan dan kesenangan, akan tetapi hanya sejenak saja. Penyakit yang sudah mendarah daging pada diri kita, yaitu mencari kemajuan, akan timbul pada saat kita telah mencapai sesuatu yang kita kejar-kejar itu, yaitu mencari kemajuan lain yang lebih menyenangkan daripada apa yang kita capai. Diberi sejengkal ingin sehasta, ingin sedepa, ingin yang lebih panjang lagi. Dan kita terseret ke dalam saluran keinginan untuk maju ini sampai kita masuk lubang kubur. Ini pun tidak menjadi soal kalau saja kita tidak melihat bahwa dalam pelaksanaan pengejaran suatu cita-cita, pengejaran ambisi, pengejaran sesuatu atau suatu keadaan yang kita inginkan, menimbulkan tindakan-tindakan yang kadang-kadang merupakan penyelewengan. Untuk dapat maju, kadang-kadang kita tidak segan untuk mendorong orang lain, untuk melangkahi orang lain, mendahului orang lain. Bahkan tidak jarang, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, apa yang menjadi tujuan kita, maka kita mempergunakan segala daya upaya, tidak peduli lagi apakah daya upaya itu benar ataukah tidak. Maka, dapatlah kita lihat keadaan di sekeliling kita. Mengejar "kemajuan dalam harta" menimbulkan korupsi, penyelundupan, perdagangan morphin dan sejenisnya, perdagangan gelap, pencopetan dan banyak lagi pekerjaan kotor lain. Pengejaran "kemajuan dalam kedudukan" menimbulkan perebutan kekuasaan yang menyeret orang banyak ke dalam permusuhan, jegal-menjegal, bahkan dapat memuncak sampai berbunuh-bunuhan.
Mengapa kita harus mengejar kemajuan" Sampai di manakah batas kemajuan itu" Kalau kita mempelajari sesuatu, kalau kita mengerjakan sesuatu, mengapa harus ada dorongan untuk memperoleh kemajuan" Apakah untuk memperoleh hasil baik dalam sesuatu yang kita kerjakan itu harus didasari hasrat untuk maju" Ke manakah minat dan rasa cinta kita kepada apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan" Dengan minat dan rasa cinta, maka pikiran untuk memperoleh kemajuan tidak dipedulikan lagi!
Si A dan si B berdagang kuih yang mereka buat sendiri. Usaha mereka serupa, dengan modal yang sama. Si A membuat kuih dengan penuh minat dan penuh rasa cinta kepada pekerjaannya. Si B membuat kuih dengan penuh keinginan untuk memperoleh "kemajuan" yang dalam hal ini tentu saja agar banyak laku dan banyak untung, terutama sekali banyak untung dan lekas memperoleh hasil besar. Siapakah di antara mereka yang akan menghasilkan kuih yang baik" Si A tentu saja. Minatnya dan rasa cintanya terhadap pekerjaannya akan membuat dia melakukan pekerjaannya, membuat kuih dengan tekun, sebaik mungkin, selezat mungkin atau dalam istilah dagangannya, menjaga mutu yang utama, sedangkan soal keuntungan tidak membuat dia buta. Sebaliknya si B yang ingin lekas mendapatkan hasil banyak, mungkin saja mengurangi gulanya, mengurangi mutu bahannya, agar kalkulasi lebih rendah, agar untung lebih banyak, dan tentu saja dia akan membuat secepat dan sebanyak mungkin. Nah, jelas nampak perbedaan antara perbuatannya yang didorong oleh keinginan maju dan pekerjaan atau perbuatan yang didorong oleh minat dan cinta terhadap apa yang dilakukannya.
Mengapa kita tidak menanamkan cinta ini kepada anak-anak, agar mereka itu mencintai apapun yang mereka lakukan atau kerjakan" Mengapa selalu mengiming-imingi mereka dengan pujian, kemajuan, lebih pintar daripada anak lain, lebih menang daripada anak lain" Mengapa menanamkan benih persaingan dan, ingin selalu paling tinggi dalam batin mereka yang masih bersih dan murni itu"
Hong Bu yang tertidur pulas di bawah pohon menjadi terkejut, seolah-olah ada yang menggugahnya. Dia terkejut oleh kenyataan bahwa dia tertidur tanpa disadarinya itu, suatu hal yang amat tidak baik bagi seorang ahli silat, apalagi kalau di mana-mana terdapat musuh dan bahaya. Dia pun meloncat dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba telinganya mendengar suara beradunya senjata. Ada orang-orang sedang berkelahi, pikirnya. Cepat dia pun menyambar bungkusan pakaiannya dan larilah dia ke arah suara itu, suara orang-orang berkelahi, di dalam hutan.
Ketika dia tiba di tempat itu, dia semakin terkejut mengenal seorang pemuda yang amat tampan sedang dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang daun telinga sebelah kirinya buntung. Tentu saja dia mengenal pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Cu Pek In! Dia terheran mengapa Cu Pek In dapat berada di tempat itu, padahal jaraknya dari lembah di mana dara itu tinggal terpisah ribuan lie jauhnya. Cu Pek In menggunakan sebatang pedang untuk melawan. Semenjak lembah itu meninggalkan nama Lembah Suling Emas dan berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, Cu Pek In juga tidak lagi mau mempergunakan suling emas untuk senjata. Ia sudah mengganti suling emasnya dengan sebatang pedang yang baik karena memang di lembah itu banyak terdapat senjata yang baik, dan ia tidak kaku memainkan pedang karena selain sejak kecil Pek In menerima gemblengan ayahnya sendiri dengan berbagai macam ilmu silat dengan senjata apapun, juga gerakan sulingnya sesungguhnya merupakan gerakan pedang pula.
Akan tetapi, belasan laki-laki yang mengeroyok Pek In itu adalah orang-orang kasar yang semua memiliki kepandaian lumayan dan tenaga besar. Terutama sekali pemimpin mereka yang buntung daun telinga kirinya itu, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Dara yang berpakaian pria itu mulai terdesak dan terkurung rapat. dan karena Si Telinga Buntung itu memainkan sepasang goloknya dengan hebat, maka Pek In tidak diberi kesempatan lagi untuk merobohkan anak buahnya, melainkan terpaksa memutar pedang hanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan senjata para pengeroyoknya itu. Melihat sumoinya terdesak dan terancam bahaya, apalagi melihat Si Telinga Buntung itu lihai sekali, Hong Bu menjadi marah. Cepat dia mencabut Koai-liong-kiam yang tersembunyi di balik jubahnya dan sekali dia meloncat dan menggerakkan senjata pusakanya, nampak sinar biru yang menyilaukan mata dan biarpun, kepala perampok telinga buntung itu berusaha memapakinya dengan sepasang goloknya, seketika goloknya itu terbabat putus dan sinar biru yang menyambar itu menembus lehernya. Sinar itu terus menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja, robohnya kepala rampok yang lehernya tertembus sinar pedang itu disusul oleh enam orang anak buahnya. Melihat ini, sisa para perampok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi Pek In mengamuk dan merobohkan mereka semua. Hong Bu cepat mencegahnya, akan tetapi dalam amukannya, dara itu telah membunuh lima orang, dan hanya ada empat orang lagi saja yang sempat diselamatkan Hong Bu dan mereka hanya mengalami luka-luka oleh pedang Pek In!
Setelah semua perampok roboh, barulah Pek In membalik dan menghadapi Hong Bu. Mereka berdiri saling berpandangan, dan kemudian terdengar Pek In terisak menangis. "Suheng, kau.... kau kejam sekali.... uhu-hu-huuuuh...."
Hong Bu memandang heran. Baru saja dia hendak menegur dan mengatakan betapa kejamnya sumoinya hendak memb
Pukulan Si Kuda Binal 4 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Panji Sakti 2
alah para hwesio dan orang yang ingin menipelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio. Peraturan ini dahulunya dijaga keras, karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio sajalah yang patut mempelajari ilmu silat. Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan semacam kekuasaan pula.
Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Akan tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.
Akan tetapi, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berobahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyakmurid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.
Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Akan tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biarpun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak. Oleh karena itu, mereka lalu mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka. Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.
Para pimpinan Siauw-lim-pai juga diam-diam mengadakan ujian dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja. Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.
Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini. Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana setiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggauta Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.
Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak-belian! Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu merupakan pelajaran pokok atau dasar bagi mereka! Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sin-kang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sin-kang yang amat kuat.
Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.
Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu.
Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya. Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa.
Bermacam-macam cara latihan yang diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut "mengasah pedang bermata dua" karena hasilnya ada dua macam. Pertama si murid tanpa disadarinya telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.
Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat.
Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka. Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda! Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga kalau ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya, seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah.
Bermacan ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali. Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justeru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri. Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas ketika bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang mencontoh gerakan binatang pada dasarnya itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.
Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tidak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyusup dan menyelundup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.
Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bersikap angker dan galak.
"Apa yang kalian lakukan di sini!" bentak hwesio tinggi besar itu. Dua orang pemuda itu terkejut sekali dan seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.
"Dukk!" Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iwee-kang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.
"Dukk.... plakk!" Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tidak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah,
"Siapa kalian sebenarnya" Hpa yang kalian lakukan di sini!"
Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia, atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.
"Kalian pengkhianat....!" bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang. Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.
"Hui Sian Hwesio!" kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, "Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!"
"Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio," sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi. "Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi."
"Mungkinjugamenjadijenderal, mengingat akan kemampuanmu."Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, dia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri. Kini, terbuka kesempatan baginya! Dan memang dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah tidak setuju dan sering menentang keputusan suhunya, Ketua Siauw-lim-pai yang menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat dan menjadi kaki tangan Kaisar!
Hui Sian Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya dan membantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan untuk membasmi Siauw-lim-si!
Sayang sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar, dan mengalah. Ada beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio, namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh, lagi. Mereka hanya diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai membela Siauw-lim-pai. Adapun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergunakan kekerasan. Yang bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri.
Demikianlah keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuaan rahasia dengan para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian.
Sekali ini, pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota! Hal ini tentu saja merupakan fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang berdasar. Bukankah lenyapnya Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci" Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai" Tentu saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal.
Ketika pasukan menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini, terkejut dan tentu saja hendak menghalangi, akan tetepi dengan senjata tombak kapaknya, Hui Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu! Mulailah Hui Sian Hwesio memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya!
Seorang pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk membela Siauw-lim-pai, melihat ini mereka cepat mengejar dan menyerang Hui Sian Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah menyerbu bagaikan gelombang samudera. Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh semangat dan bagaikan harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah, di pekarang, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang. Banjir darah di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemulaan bagi para biarawan itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh hebat. Biarpun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga orang murid baru dari Siauw-lim-pai. Juga Sang Pangeran yang memimpin penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang buas.
Para murid Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di ruang sembahyang, duduk bersila dan bersamadhi, menerima kematian dengan sikap tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun tangan, biarpun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan.
Pertempuran hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari. Melihat betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggauta pasukan dengan cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke biara! Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka sebentar saja biara itu menjadi lautan api!
Melihat ini, para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main, merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang amat dahsyat. Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai.
Akhirnya, melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru, telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andaikata tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu. Sungguh mengerikan sekali dan juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka!
Melihat penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang herada di belakang pasukan, beberapa kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran. Di dalam terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Pangeran akan dapat menyelamatkan diri" Untuk melindungi Pangeran di antara pertempuran yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat berbahaya dan sukar. Maka Ci Sian mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir turun di atas sepasang pipinya yang pucat.Ci Sian sendiri merasa ngeri menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat daripada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun memandang semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa saja, dan sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai. Manusianya sama, penderitaan mereka pun sama. Dan dasar yang mendorong mereka sampai berbunuh-bunuhan itu pun sama, walaupun namanya saja mungkin berbeda. Para tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa kematian di pihak mereka adalah kematian gagah perkasa, kematian seorang pahlawan, seorang tentara yang jantan! Di lain pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada suatu citacita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat, untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati! Dan kedua pihak dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini!
Dan yang lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh di belakang sana. Baik gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah maupun yang dijajah, yang diserang maupun yang menyerang, pendeknya pihakpihak yang saling bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman. Dengan berbagai cara rakyat telah dapat ditariknya untuk menjadi perajurit, untuk menjadi pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk lagi. Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu. Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil daripada kemenangan itu, lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biarpun keluar sebagai pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong. Dan kalau kalah" Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih dulu, menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa, meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan! Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana pun di dunia ini. Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian, mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam slogan-slogan kosong.
Tidak ada rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras otaknya sajalah yang mau untuk perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalahgunakan kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di seluruh dunia ini. Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya, membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala slogan kosong, menolak perang" Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti itu!
Ketika pertempuran sudah mendekati akhirnya, ketika delapan orang pendekar yang menjadi sisa dari kurang lebih seratus lima puluh orang murid Siauw-limpai yang melawan itu masih melawan, sedangkan para pendeta yang bersamadhi di dalam menjadi makanan api yang berkobar, barulah Ci Sian membiarkan Pangeran dengan pengawalannya menerobos masuk ke dalam pekarangan luar itu. Delapan orang pendekar itu telah terkurung rapat dan agaknya betapapun lihai mereka, namun mereka sudah amat lelah, dan tak lama lagi mereka ini pun tentu akan roboh mandi darah dan tewas.
"Berhenti! Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang bicara!" Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa oleh Ci Sian ke tempat itu.
Para perajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang sederhana itu, lalu mereka memberi hormat. "Hidup Sang Pangeran!" mereka berseru.
Delapan orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju, hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah, dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa. Tubuh pemuda-pemuda yang tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan dan senjata mereka berlepotan darah pula.
Sejenak Sang Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri, seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya dia melihat pemandangan seperti ini, walaupun ia pernah menyaksikan peperangan di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.
"Aku, Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk pergi dari sini tanpa diganggu!"
Mendengar perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula. Maka, mendengar perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka masing-masing. Delapan oang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan dara yang mengawaninya itu, pandang mata tajam penuh kebencian, penuh permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini lain daripada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula menghaturkan terima kasih, walaupun mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja menyelamatkan nyawa mereka.
"Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!" Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.
Sang Pangeran tersenyum. "Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat membayangkan keadaan hati mereka" Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran. Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya, dibunuh, dibakar hidup-hidup dan Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu, setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi mereka"
"Tapi, bukan Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!"
"Apa bedanya bagi mereka" Yang melakukan pembantaian adalah pasukan pemerintah, dan aku adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap pengampunan atau penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka."
"Aihh....!" Ci Sian terkejut sekali. "Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka"
Pangeran itu menarik napas panjang. "Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri."
Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang. "Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya."
"Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan," kata Sang Pangeran yang, lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggauta pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.
"Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!" Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran.
Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja. Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah, ia seolah-olah melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua daripada Kam Hong sekalipun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.
Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.
Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus, "Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu"
Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.
"Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!"
"Benarkah itu" Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya" Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu."
Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang kesemuanya itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan pernah dilihatnya. Dan pandangannya tanpa menilai, tanpa, membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar ia mengatakan apa itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya seperti hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.
"Aihhh.... Pangeran...." keluhnya.
"Eh" Apa yang kaulihat" Apa yang kaurasakan"
"Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!"
Sang Pangeran tersenyum, "Mengapa takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona" Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu" Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segalagalanya" Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.
"Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu"
Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum. "Bahagia" Apakah bahagia itu" Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona."
Kemndian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.
"Kebahagiaan....
semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda"
di mana gerangan Anda"
Seakan tampak dalam cahaya bulan tersenyum di antara kelopak mawar rupawan
menyelinap di antara bayan-bayangbeterbangan di antara hembusan anginKuraih dan kupeluk mesrahanya untuk sadar kecewabahwa semua itu hanyabayangan hampadan sama sekali bukan Anda!
Seperti nampak Anda menggapaimenunggang cahaya matahari pagiseperti nampak Anda mengintaidi balik senyum kekasih jelitadi antara gelak tawa sahabatdi dalam sorak-sorai kanak-kanak"
Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, akan tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu" Dan di manakah adanya" Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!
"Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari," kata Ci Sian.
"Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona" itulah justeru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini" Siapakah yang pernah mengenal bahagia" Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya"
"Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran"
"Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!"
"Mana mungkin" Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!"
"Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia" Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita" Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal" Yang penting adalah menyelidiki. MENGAPA batin kita sengara, MENGAPA kita tidak berbahagia! itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita TIDAK sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi" Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu"
Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti! "Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya"
Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang. "Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya" Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu."
"Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran."
Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang. "Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona"
"Mana aku tahu, Pangeran" Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagaimana saya dapat tahu bahwa itu adalah cinta kasih kalau sekali waktu saya merasakannya"
"Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, sungguh mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku, mengetahuinya. Nah, dengarlah nyanyian ini, Nona Bu." Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.
"Cinta, kata keramat penuh rahasia bahan renungan para seniman dan pujangga Antara anak dan orang tua ada kebaktian antara warga dan negara ada kesetiaan antara pria dan wanita ada kemesraan antara manusia dan Tuhannya ada enyembahan.
Itukah cinta"
Namun, semua itu mengandung keinginan menguasai, memiliki, menikmati, eselamatan, kebahagiaan, kepuasan, sekali gagal yang diinginkan timbullah edurhakaan, pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta"
Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.
"Wah, kalau begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran" Akhirnya Ci Sian bertanya, akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum.
"Aku pun tidak tahu, Nona Bu."
Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu" Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya" Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian kalau sekali waktu si anak tidak menurut dan tidak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya" Begitukah yang dinamakan cinta"
Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih"
Kita dengan mudah saja, dengan mulut maupun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan! Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita INGIN MEMPEROLEH SESUATU, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta"
Kalau kita mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih daripada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!
Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada" Begitu terangnya sinar cinta kasih....! Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada aku "aku", cinta kasih pun tiada!
Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama dengan Pangeran Mahkota menyelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.
Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang. Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu. Biarpun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tidak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah dua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, mereka lalu diam-diam membayangi Sang Pangeran. Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik. Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu" Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka.
Akan tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yangmengagumkan. Ia pun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi kalau di situ terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat ia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, kemudian tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.
"Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!" kata Ci Sian.Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang.
Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya. "Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami, menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok," kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.
"Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia lain saja!" kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya. Ia sengaja mengerahkan khi-kangnya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khi-kang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biarpun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan oleh suhengnya, Kam Hong, ketika bersama suhengnya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sin-kang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.
Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka pun tahu bahwa untuk dapat menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khi-kang dan sin-kang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung. Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini dan merampas putera mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.
"Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!" kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran. Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapapun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tidak akan dibunuh, melainkan ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu. Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya. Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar semakin meninggi.
"Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!" Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas! Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Oleh karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok!
Melihat betapa Toa-ok terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.
Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapapun dicobanya. Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biarpun Toa-ok telah memiliki sin-kang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling, ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia sudah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini. Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang tadi telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.
Betapapun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sin-kang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka. Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok. Adapun Ji-ok, wanita yang bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari-jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sin-kang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot. menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu. Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biarpun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut.
Ci Sian harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia. Ilmu Pedang Suling Emas aseli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu dengan tenaga khi-kang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu sin-kang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, betapapun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat, dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka, ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi repotsekali. Ia harus montang-manting ke sana-sini, melalui jarak yang agak lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai seorang di antara mereka mempergunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran. Dan karena itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tidak mungkin dapat mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus membagi-bagi serangannya itu. Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari suling di tangan Ci Sian.
"Suheng...." Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka. Mendengar lengkingan suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu, membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan pada saat itu, pukulan Kiam-ci yang dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untung pada detik terakhir Ci Sian dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan tubuhnya.
"Brett!" Ujung leher bajunya terobek.
Ci Sian terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya. Sementara itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya. Kiranya suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian.
Ci Sian maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi. Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan suhengnya mendatangkan kegembiraan sedemikian besarnya bercampur keharuan yang mendalam sehingga ketika ia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih besar karena timbul semangatnya, kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok! Dua orang datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau.
Toa-ok maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang datuk itu lalu melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar, bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke kiri.
"Suheng....!" serunya memanggil karena dari kiri tadi datangnya suara suling melengking itu. Dan muncullah Kam Hong!
Mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun membasahi pipi Ci Sian semakin deras.
"Sumoi....!"
"Suheng....!" Ci Sian lari dan Kam Hong juga melangkah maju, kedua lengan mereka berkembang. "Suheng.... ah, Suheng....!"
Mereka saling tubruk dan, saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.
"Suheng...., Suheng...., kenapa kautinggalkan aku begini lama...." Ci Sian mengeluh dengan suara diselingi isak tangisnya.
"Sumoi, kaumaafkan aku...."
Keduanya tidak bicara lagi. Apa perlunya bicara" Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka sudah mengucapkan seribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara kalau saling berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini,
"Suheng...., berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi...., selamanya...." Ci Sian berbisik, merasa betapa tangan suhengnya mengelus rambut kepalanya dan ia memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan suhengnya agar tidak sampai saling terpisah lagi,
"Tidak, Sumoi, tidak lagi...."
Ci Sian mengangkat mukanya. Mereka saling berpandangan, penuh rindu. Kasih sayang terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam Hong menunduk untuk mencium!, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu, Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari tangan untuk mengusap air mata itu. jari-jari tangannya gemetar dan hatinya terharu sekali. Sudah lama ia sengaja menjauhkan diri dari sumoinya ini, karena kesadarannya tidak mau menerima kalau dia jatuh cinta kepada sumoinya yang sepatutnya menjadi keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sungguh amat mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ah, ini tidak boleh terjadi, pikirnya dan dengan halus dia melepaskan rangkulannya.
"Sumoi, bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan Ngo-ok itu"
"Karena mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok."
"Ah, engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu"
"Ya, bersama dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai, dan selain itu, mereka juga hendak menangkap Pangeran.... eh, mana dia...." Ci Sian baru sekarang teringat kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.
"Siapa yang kaucari"
"Pangeran Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia" Ci Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar jawaban.
"Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi."
"Ah, celaka. Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!" Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.
"Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kauketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kauceritakan semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinnya bersama."
Ci Sian yang masih terlalu gembira oleh pertemuanini, segea melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali. Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlumba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa.
Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong menarik napas panjang. "Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sin-kang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas saja tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sin-kangnya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sin-kang dari Pulau Es. Hebat, hebat.... dan aku kagum sekali"
Ci Sian rnelanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain.
Kam Hong menarik napas panjang. "Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan."
"Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang amat bijaksana." Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan telah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkurung dan terancam maut.
Mendengar suara ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada sumoinya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoinya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoinya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum.
Melihat keadaan suhengnya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanitaannya merasa betapa pandang mata suhengnya itu penuh dengan kekaguman. "Aih, Suheng, apa sih yang kaupandang" tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya.
Dan Kam Hong pun tersadarlah. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang dengan jujur dia berkata, "Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... eh, luar biasa cantiknya!"
Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling. "Ihh, Suheng.... jangan memperolokku....!"
"Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut."
"Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian"
"Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan." Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan oleh kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai. Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu lalu menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.
Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.
"Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya." Lalu dia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana dia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, akan tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf.
Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu. "Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng"
Kam Hong menggeleng kepala. "Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi."
"Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu."
"Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi."
"Juga rindu...."
"Juga rindu...."
Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.
"Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi."
"Pertanyaan yang mana"
"Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri" Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.
Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya. Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suhengnya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu, "Suheng, mengapakah"
Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoinya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoinya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.
"Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suhengmu ini"
Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.
"Suhengku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa"
"Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoiku, engkau menyebutku paman"
"Habis, mengapa"
"Tahukah engkau berasa usiamu sekarang, Sumoi"
"Usiaku" Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suhengnya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. "Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa"
"Dan aku hampir tiga puluh dua tahun!" kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.
"Habis mengapa"
"Usia kita selisih tiga belas tahun!"
"Lalu, mengapa"Kam Hong meremas-remas jari tangan itu, tanpa disadarinya karena hatinya terguncang, "Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua"
Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suhengnya. "Wah, dengar ini kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!"
"Harap jangan memperolokku, Sumoi."
"Siapa mengolokmu" Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua" Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua."
"Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!"
"Suheng!" Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. "Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak" Siapa bilang aku masih kanak-kanak" Aku berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak" Suheng, apakah engkau hendak menghinaku"
"Maaf, Sumoi....!" Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. "Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri...."
Ci Sian memandang bengong. "Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tidak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian" Mengapa engkau meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Hong Bu" Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya" Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu daripada di samping siapapun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri."
"Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan."
"Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!"
"Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan kita harus saling berpisah."
"Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi...."
Kam Hong memegang kedua tangan itu lag! dan sampai lama keduanya hanya berdirik saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata, "Mari kita cari Sang Pangeran jangan sampai beliau tertimpa malapetaka...."
"Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng."
"Aku berjanji."
"Sumpah"
"Sumpah!"
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi dttunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu.
Betapa anehnya asmara! Membuat dua orang manusia, seorang wanita dan seorang pria, merasa saling tertarik dan saling terikat oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui apa. Yang terasa hanyalah bahwa mereka itu ingin selalu saling berdekatan, saling bermesraan, dan merasa sengsara kalau berpisah. cinta asmara antara pria dan wanita adalah sesuatu yang penuh rahasia, dan di dalam cinta asmara ini, mereka berdua hanyalah manusia-manusia, pria dan wanita, yang saling tertarik dan saling mengasihi. Cinta tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal perbedaan suku atau kedudukan, tidak mengenal agama atau paham kepercayaan yang berbeda. Pendeknya, cinta meniadakan semua perbedaan antara mereka, yang penting bagi cinta adalah manusianya. Sedangkan semua yang lain hanyalah embel-embel saja.
Kebijaksanaan yang membuat Kam Hong meragu, melihat perbedaan usia di antara mereka. Akan tetapi, mampukah kebijaksanaan menandingi cinta" Cinta membuat segala hal mungkin saja terjadi. Bukan usia, bukan harta, bukan agama yang menentukan, melainkan manusianya. Dan dua insan yang saling mencinta itu pun tertarik oleh manusianya, bukan embel-embelnya karena kalau tertarik oleh embel-embelnya, maka itu bukan cinta namanya!
*** Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong" Toa-ok telah melihat berkelebatnya beberapa orang yang disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran. Dan memang benar demikianlah. Selagi tiga orang datuk kaum sesat itu mengeroyok Ci Sian, muncullah tiga orang yang bergerak cepat, lalu mereka itu menyambar tubuh Sang Pangeran, menotoknya dan melarikannya dengan cepat sekali. Mereka bertiga ternyata mempergunakan ilmu berlari cepat, membuat Pangeran Kian Liong merasa seperti diterbangkan saja. Pangeran ini tahu bahwa kembali dia telah ditawan dan dilarikan orang, entah dari golongan mana. Akan tetapi Pangeran ini tidak merasa takut.
Kiranya yang menculik Pangeran itu adalah tiga di antara para pendekar Siauw-lim-pai yang delapan orang banyaknya itu, yang telah diselamatkan oleh Sang Pangeran dari kepungan pasukan pada waktu Siauw-lim-si dibakar. Mereka membawa Sang Pangeran kepada sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh kawan-kawan mereka, lalu melarikan Pangeran menuju ke timur.
"Harap Paduka tidak khawatir. Kami memang menawan Paduka, akan tetapi hal ini kami lakukan bukan karena kebencian pribadi. Kami adalah patriot-patriot bangsa Han, harap Paduka memaklumi keadaan kami," kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat.
Pangeran Kian Liong hanya tersenyum mengangguk. "Ke manakah kalian hendak membawaku" tanyanya.
"Kepada pimpinan kami di kota Cin-an, jawaban singkat ini diterima oleh Sang Pangeran tanpa banyak cakap lagi. Malah kebetulan, pikirnya. Dia kelak akan menjadi kaisar, maka dia pun harus tahu benar tentang seluk-beluk mereka yang menganggap diri mereka sebagai para patrtiot ini. Kelak, mau tidak mau, dialah yang akan berhadapan dengan mereka ini. Dan dia pun perlu melakukan pendekatan, agar selain mengetahui keadaan mereka lahir batin, juga dia akan dapat bicara dengan mereka, terutama sekali para pemimpinnya. Jadi Cin-an, di Propinsi Shantung itu sarang mereka"
Perjalanan ke Cin-an itu bukan dekat, akan tetapi di sepanjang perjalanan, tiga orang pendekar Siauw-lim-pai itu bersikap sopan dan baik. Diam-diam Sang Pangeran memperhatikan dan dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka yang menamakan dirinya para patriot Han itu belumlah meluas, yaitu belum memperoleh banyak dukungan rakyat. Buktinya, di sepanjang perjalanan mereka itu merahasiakan perjalanan itu dan tidak pernah mereka menghubungi rakyat yang membantu mereka. Namun, harus diketahui bahwa mereka itu bersikap hati-hati sekali dan agaknya banyaknya teman-teman mereka yang diam-diam menjadi penyelidik dan pelindung sehingga perjalanan kereta itu tidak pernah mendapat gangguan.
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, akhirnya kereta memasuki kota Cin-an di Propinsi Shantung, langsung memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar dan kuno. Kereta itu terus bergerak masuk ke belakang melalui jalan samping sehingga tidak nampak lagi dari depan. Sang Pangeran dipersilakan turun, lalu diiringkan memasuki rumah besar melalui pintu belakang.
Ruangan di dalam rumah besar kuno itu luas sekali. Ketika Pangeran Kian Liong memasuki ruangan itu, dia memandang ke kanan kiri dengan penuh perhatian. Ruangan itu nampak sunyi karena tidak ada suara, akan tetapi ternyata di situ duduk banyak orang. Laki-laki dan wanita-wanita yang kelihatan penuh semangat dan gagah perkasa. Lima orang pendekar Siauw-lim-pai yang lain hadir pula di situ, jadi lengkap delapan orang dengan yang membawanya ke situ. Nampak pula beberapa orang hwesio, bahkan ada pula yang berpakaian seperti tosu. Akan tetapi yang terbanyak adalah pria-pria berpakaian seperti pendekar. Mereka duduk di atas bangku-bangku tidak teratur, akan tetapi semua menghadap kepada seorang laki-laki setengah tua yang usianya kira-kira lima puluh tahun namun masih nampak tampan dan gagah. Ada beberapa orang duduk di dekat pria ini, termasuk tiga orang wanita cantik setengah tua. Pangeran Kian Liong segera mengenal pria gagah ini, dan dia pun dipersilakan untuk duduk berhadapan dengan pria gagah yang agaknya menjadi pimpinan para patriot di tempat itu. Di antara orang-orang yang duduk di dekat pria gagah itu, nampak pula seorang pemuda yang kelihatan lebih gagah lagi, bersama seorang dara yang menggunakan pakaian pria sehingga nampaknya sebagai seorang pemuda yang amat tampan. Akan tetapi sekali pandang saja tahulah Sang Pangeran bahwa pemuda yang amat tampan itu adalah seorang gadis.
"Ah, selamat datang, Pangeran!" kata pria tua yang gagah itu sambil bangkit berdiri memberi hormat, suaranya halus dan ramah, juga sikapnya menghormat. "Maafkan kalau kami membuat Paduka banyak kaget dan lelah, akan tetapi kami girang bahwa Paduka tiba di sini dalam keadaan sehat dan selamat."
Pangeran Kian Liong tersenyum, seperti biasa sikapnya tenang sekali dan yang mengagumkan para patriot adalah bahwa Pangeran ini biarpun masih amat muda, namun sikapnya seperti seorang dewasa yang menghadapi sekelompok anak nakal saja.
"Silakan duduk, Pangeran," kata pula pria tua gagah itu.
"Terima kasih, Bu-taihiap," jawab Sang Pangeran sambil duduk dan memandang ke sekeliling. Sedikitnya ada dua puluh lima orang di dalam ruangan yang luas itu, kesemuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah. Diam-diam dia merasa amat sayang bahwa orang-orang gagah seperti ini sekarang berdiri berhadapan dengan dia sebagai orang-orang yang memusuhinya, atau setidaknya memusuhi kerajaan ayahnya. "Kalau boleh aku bertanya, mengapa dalam waktu singkat saja terjadi perubahan besar dan sikap Bu-taihiap menjadi berlawanan" Ketika aku hendak ditangkap Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap melindungiku, dan sekarang Bu-taihiap menawanku sebagai musuh. Apa artinya semua ini"
Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, tersenyum lebar dan kelihatan semakin ganteng biarpun usianya sudah setengah abad. "Tidak perlu diherankan, Pangeran, karena semua itu hanya menjadi akibat dari keadaan Pangeran dan Kaisar yang juga berlawanan. Kalau tempo hari kami menyelamatkan Paduka, hanyalah karena kami hendak menolong seorang pangeran yang bijaksana dari ancaman penjahat-penjahat macam Im-kan Ngo-ok. Dan kalau sekarang kami terpaksa menawan Paduka adalah karena kami adalah patriot-patriot dan Paduka adalah putera mahkota."
Pangeran muda itu mengangguk-angguk. "Aku dapat mengerti, Bu-taihiap. Lalu, setelah aku ditawan dan dibawa sini, apakah yang hendak kalian lakukan terhadap diriku"
"Tentu Paduka tidak mau menerima kalau kami mengatakan bahwa ayah Paduka, Sri Baginda Kaisar Yung Ceng, telah melakukan banyak sekali kejahatan dan kelaliman, bertindak sewenang-wenang terhadap para orang gagah"
"Aku maklum apa yang kaumaksudkan, akan tetapi bagaimanapun juga, pada waktu ini, aku hanya seorang Pangeran Mahkota dan seluruh kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar."
"Kaisar telah melakukan tindakan sewenang-wenang, bahkan baru-baru ini telah membasmi dan membakar biara Siauw-lim-si. Tentu Paduka mengetahuinya, bahkan juga Paduka menyaksikannya dan Paduka pula yang menyelamatkan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai."
"Aku sudah tahu akan semua itu. Lalu apa kehendakmu"
"Kaisar bukan seorang penguasa yang baik, dan menambah dendam dan sakit hati para pendekar yang sejak dahulu tidak rela membiarkan tanah air dan bangsa dicengkeram penjajah Mancu. Harap Paduka maafkan kalau kami bicara sejujurnya, karena Paduka adalah seorang yang juga memiliki kegagahan dan kebijaksanaan."
Pangeran Kian Liong kembali tersenyum, bukan tersenyum pahit, sama sekali tidak membayangkan perasaan sakit mendengar ucapan itu, melainkan tersenyum maklum akan "kenakalan" anak-anak di sekelilingnya.
"Nanti dulu, Bu-taihiap. Yang dinamakan penjajah itu adalah kalau satu negara menjajah negara lain, satu bangsa menjajah bangsa lain. Akan tetapi kurasa bangsa Mancu tidak mempunyai negara lain kecuali di sini, dan bangsa Mancu sekarang pun sudah tidak ada dan menjadi satu dengan bangsa Han! Aku sendiri, sebagai Pangeran, sama sekali tidak merasa sebagai bangsa Mancu, tanah airku di sini dan negaraku juga di sini. Memang pada mulanya, bangsa Mancu yang merupakan bangsa Nomad itu menyerbu ke selatan dan karena kelemahan dan kesalahan bangsa Han sendirilah, yang tidak ada persatuan, sering berkelahi sendiri, dan Kaisar amat lemah, para pembesarnya tidak ada yang jujur dan setia, semua tukang korup, maka akhirnya bangsa Mancu menjatuhkan Kaisar yang berkuasa dan selanjutnya sampai sekarang memimpin bangsa Han untuk membangun negara. Akan tetapi aku bukan membela kerajaan Ayahku, sama sekali tidak, hanya bicara menurut kenyataan saja. Memang, Ayahku telah menyeleweng, menyerbu Siauw-lim-si dan semua itu dilakukan hanya karena urusan-urusan pribadi. Ayah telah menjadi lemah pula dan hal ini amat kusesalkan. Kalau aku menjadi kaisar, semua hal yang bengkok pasti akan kubikin lurus, dan niatku hanya ingin memajukan bangsa, membangun negara dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata."
Semua patriot mendengarkan dengan alis berkerut. Mereka semua tahu bahwa Pangeran ini memang amat bijaksana dan andaikata Pangeran ini yang menjadi kaisar, agaknya keadaan pun akan berubah. Akan tetapi kenyataannya sekarang, Kaisar Yung Ceng telah menimbulkan dendam di hati para pendekar dan patriot.
"Kami dapat percaya apa yang Paduka katakan, akan tetapi kenyataan sekarang ini amat pahit bagi kami, dan Paduka masih belum menjadi kaisar. Oleh karena itu, kami harus bertindak, dan tidak mungkin kami diam saja membiarkan Kaisar melakukan kelaliman sambil menanti Paduka menggantikannya."
"Hemm, Bu-taihiap, katakan saja. Apa yang hendak kalian lakukan kepadaku" Membunuhku" Aku tidak takut mati. Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku memberontak terhadap Ayah dan pemerintahku sendiri."
Bu Seng Kin tertawa. "Kami pun tidak begitu bodoh, Pangeran. Mana mungkin kami mengharapkan Paduka, seorang Pangeran Mancu, memberontak terhadap Kerajaan Mancu sendiri" Tidak, kami cukup menghargai sikap Paduka yang baik dan kami percaya bahwa Paduka akan menjadi kalsar yang paling bijaksana di antara semua Kaisar Mancu yang pernah ada."
"Lalu apa kehendak kalian sekarang"
"Kami tidak akan mengganggu Paduka, hanya untuk sementara ini terpaksa Paduka kami tahan dulu sebagai sandera. Dengan Paduka sebagai sandera, kami hendak mengajukan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar, dan sebelum tuntutan kami dipenuhi, Paduka tidak akan kami bebaskan."
Pangeran itu tetap saja bersikap tenang. "Apakah adanya tuntutan-tuntutan kalian, kalau boleh aku tahu"
"Tuntutan pertama, agar biara Siauw-lim-si yang telah dibakar itu dibangun kembali. Ke dua, agar semua pendekar Siauw-lim-pai dan para pendekar lain, patriot-patriot bangsa, tidak dikejar-kejar dan dibebaskan dari tuduhan memberontak. Ke tiga, agar bangsa Han diperlakukan sama rata dengan orang-orang Mancu dan ke empat, agar para pendekar diberi kebebasan untuk membawa senjata guna bekal dan perlindungan diri di waktu mengadakan perjalanan jauh."
Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. "Tuntutan yang cukup patut, hanya yang nomor dua itu harus ada pelaksanaan timbal-balik. Kalau para patriot tidak ingin dikejar dan dianggap memberontak tentu saja mereka jangan melakukan gerakan memberontak. Aku akan ikut membujuk Kaisar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan kalian itu."
Semua patriot yang berkumpul di situ merasa lega dan girang. Kalau tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi, tentu saja tidak ada alasan bagi mereka untuk memberontak. Pemberontakan bukanlah soal yang mudah. Untuk memberontak terhadap kerajaan yang demikian kuatnya, harus mempunyai ratusan ribu orang pasukan dan perlengkapan yang besar. Kalau hanya sekelompok pendekar saja, mana mungkin dapat melakukan pemberontakan"
Demikianlah, mulai hari itu, Sang Pangeran diperlakukan sebagai seorang agung walaupun dia tidak mempunyai kebebasan dan menjadi tawanan. Siang malam dikawal dan dijaga, dan Bu-taihiap lalu mengirim utusan dan surat kepada Kaisar untuk menyampaikan tuntutannya. Tentu saja tempat di mana Pangeran ditahan itu amat dirahasiakan.Pemuda gagah perkasa dan gadis berpakaian pria yang duduk di dekat Bu-taihiap ketika Pangeran Mahkota dihadapkan itu adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In! Bagaimanakah kedua orang dari Lembah Suling Emas yang kini berubah nama menjadi Lembah Naga Siluman itu dapat tiba di tempat itu dan bergabung dengan para patriot" Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti perjalanan pemuda Sim Hong Bu, pewaris dari ilmu mujijat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Pemuda inilah satu-satunya orang yang mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hebat, bahkan pedang pusaka itu pun kini berada di tangannya, lalu disembunyikan di balik bajunya yang panjang
Seperti telah kita ketahui, Sim Hong Bu secara kebetulan bertemu dengan Ci Sian ketika dia muncul membantu dara itu menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai itu. Kemudian, karena diam-diam Kam Hong pergi, maka Ci Sian melakukan perjalanan bersama Sim Hong Bu. Akan tetapi, sebentar saja terjadi percekcokan ketika Ci Sian mendengar bahwa Sim Hong Bu yang mewakili Lembah Naga Siluman dan keluarga Cu, kalau bertemu dengan Kam Hong hendak menantang Kam Hong mengadu ilmu, yaitu mengadu Ilmu Padang Kim-siauw Kiam-sut melawan ilmunya, Koai-liong Kiam-sut, Mendengar ini, Ci Sian marah-marah dan menantang Hong Bu, bahkan lalu menyerangnya sehinga terjadi pertandingan seru di mana Hong Bu mengalah.
Ci Sian meninggalkannya dan pemuda ini berduka sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak perjumpaannya dahulu, beberapa tahun yang lalu ketika Ci Sian masih seorang dara kecil di pegunungan yang tertutup salju. Semenjak itu dia tidak pernah dapat melupakan Ci Sian, dan pertemuan terakhir ini menimbulkan kekaguman hebat melihat betapa dara itu telah menjadi seorang pendekar wanita. yang amat lihai. Kekaguman yang mempertebal cintanya dan yang membuatnya tanpa ragu-ragu lagi menyatakan cintanya kepada dara itu. Akan tetapi, dara itu agaknya membencinya! Karena dia adalah pewaris Koai-liong Po-kiam dan dia dianggap musuh besar dari Kam Hong, suheng dara itu, Hong Bu merasa sedih sekali.
Perasaan duka delam hati seorang pemuda yang merasa ditolak cintanya memang amat menyiksa. Segala sesuatu tampak hampa dan hidup rasanya hambar. Kegembiraan lenyap dan yang ada hanya perasaan iba duka yang semakin besar. Dalam keadaan seperti ini, Hong Bu melanjutkan perjalanannya. Dia merasa seperti sebuah boneka hidup yang hidupnya hanya untuk melaksanakan tugas belaka. Tugasnya adalah pertama-tama, menyelamatkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam agar jangan sampai terampas oleh utusan Kaisar yang mencari dan mengejarnya sebagai buronan. Ke dua, dia harus mencari Kam Hong untuk mempertahankan nama keluarga Cu dan untuk menyatakan bahwa Ilmu Koai-liong Kiam-sut tidak kalah oleh Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Dan juga, dia harus menebus kekalahan para gurunya itu dari tangan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Pada suatu hari yang amat panas, lewat tengah hari, Hong Bu duduk beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Keteduhan di bawah sebatang pohon terasa nikmat sekali setelah dia tadi terpanggang di dalam terik matahari, membuatnya mengantuk. Akan tetapi dia tidak tidur, melainkan melamun. Terbayanglah di pelupuk matanya tentang perubahan dirinya dan keadaannya. Dahulu, ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, tanpa ilmu yang tinggi, hanya seorang pemburu kasar biasa, kehidupannya selalu penuh dengan kegembiraan. Menyusuri jejak binatang saja sudah mendatangkan kegembiraan tersendiri. Lalu dalam keadaan berburu sudah mendatangkan ketegangan dan kegembiraan yang penuh harapan. Apalagi kalau dia berhasil merobohkan binatang buruannya, girangnya bukan main. Dilanjutkan dengan penjualan hasil buruan, juga mendatangkan kegembiraan tertentu. Dan sekarang"
Sekarang jauh berbeda daripada dahulu. Dia kini bukan seorang pemburu kasar biasa lagi. Dia seorang ahli waris ilmu silat tinggi yang tiada keduanya di dunia. Dia telah menjadi seorang berilmu, seorang pendekar! Katakanlah dia telah maju! Akan tetapi bagaimana jadinya" Lenyaplah kegembiraan hidup seperti yang dirasakannya ketika dia masih menjadi seorang pemburu kasar dan bodoh. Kini dia menjadi seorang yang mempunyai banyak musuh! Lenyaplah semua kebahagiaan, Lenyaplah semua ketenteraman. Dia dikejar-kejar dan dibebani tugas berat. Dan lebih dari itu malah, dia berjumpa dengan Ci Sian hanya untuk patah hati! Sedih hatinya, dan orang yang berduka biasanya memang selalu mudah mengantuk. Dalam kedukaan, orang membuang dan menghamburkan banyak sekali kekuatan batin, maka mudah membuatnya mengantuk. Tanpa disadarinya, sambil bersandar batang pohon, Hong Bu pun tertidur.
Kebanyakan dari kita saling berlumba untuk mengejar yang kita namakan KEMAJUAN. Semenjak masih kecil sekali, sejak duduk di kelas nol, kita didorong dan dibentuk oleh orang-orang tua kita dan oleh guru-guru kita untuk mencari kemajuan. Angka-angka di buku laporan sekolah menunjukkan apakah kita maju ataukah tidak, dan kemajuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang amat baik, menjadi tujuan kita sejak kecil sehingga setelah kita dewasa, tak mungkin lagi kita terlepas dari kehausan akan apa yang kita namakan kemajuan itu.
Apakah yang sesungguhnya yang kita namakan kemajuan" Dalam buku laporan sekolah, angka-angka kita menunjukkan bahwa kemajuan adalah apabila angka-angka kita lebih baik daripada yang sudah. Jadi kemajuan tampak setelah ada perbandingan. Sekarang kelas satu, lain tahun kelas dua, itu namanya maju. Sekarang berpenghasilan sepuluh rlbu rupiah sebulan, lain waktu dua puluh lima ribu rupiah, itu namanya kemajuan! Si A lebih maju daripada si B dan si C lebih maju lagi. Semua orang berlari, berlumba untuk mencapai apa yang kita namakan kemajuan. Jadi kemajuan adalah suatu keadaan yang kita anggap lebih baik daripada keadaan lain yang sudah ada. Bukankah demikian" Lebih dari itu. Kemajuan kita anggap sebagai sesuatu yang jauh lebih baik, lebih menyenangkan, lebih enak, pendeknya lebih mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Oleh karena itulah maka kita berlumba untuk mengejar kemajuan.
Akan tetapi, benarkah demikian keadaannya" Benarkah kemajuan akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan" Memang, tujuan yang tercapai mendatangkan kepuasan dan kesenangan, akan tetapi hanya sejenak saja. Penyakit yang sudah mendarah daging pada diri kita, yaitu mencari kemajuan, akan timbul pada saat kita telah mencapai sesuatu yang kita kejar-kejar itu, yaitu mencari kemajuan lain yang lebih menyenangkan daripada apa yang kita capai. Diberi sejengkal ingin sehasta, ingin sedepa, ingin yang lebih panjang lagi. Dan kita terseret ke dalam saluran keinginan untuk maju ini sampai kita masuk lubang kubur. Ini pun tidak menjadi soal kalau saja kita tidak melihat bahwa dalam pelaksanaan pengejaran suatu cita-cita, pengejaran ambisi, pengejaran sesuatu atau suatu keadaan yang kita inginkan, menimbulkan tindakan-tindakan yang kadang-kadang merupakan penyelewengan. Untuk dapat maju, kadang-kadang kita tidak segan untuk mendorong orang lain, untuk melangkahi orang lain, mendahului orang lain. Bahkan tidak jarang, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, apa yang menjadi tujuan kita, maka kita mempergunakan segala daya upaya, tidak peduli lagi apakah daya upaya itu benar ataukah tidak. Maka, dapatlah kita lihat keadaan di sekeliling kita. Mengejar "kemajuan dalam harta" menimbulkan korupsi, penyelundupan, perdagangan morphin dan sejenisnya, perdagangan gelap, pencopetan dan banyak lagi pekerjaan kotor lain. Pengejaran "kemajuan dalam kedudukan" menimbulkan perebutan kekuasaan yang menyeret orang banyak ke dalam permusuhan, jegal-menjegal, bahkan dapat memuncak sampai berbunuh-bunuhan.
Mengapa kita harus mengejar kemajuan" Sampai di manakah batas kemajuan itu" Kalau kita mempelajari sesuatu, kalau kita mengerjakan sesuatu, mengapa harus ada dorongan untuk memperoleh kemajuan" Apakah untuk memperoleh hasil baik dalam sesuatu yang kita kerjakan itu harus didasari hasrat untuk maju" Ke manakah minat dan rasa cinta kita kepada apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan" Dengan minat dan rasa cinta, maka pikiran untuk memperoleh kemajuan tidak dipedulikan lagi!
Si A dan si B berdagang kuih yang mereka buat sendiri. Usaha mereka serupa, dengan modal yang sama. Si A membuat kuih dengan penuh minat dan penuh rasa cinta kepada pekerjaannya. Si B membuat kuih dengan penuh keinginan untuk memperoleh "kemajuan" yang dalam hal ini tentu saja agar banyak laku dan banyak untung, terutama sekali banyak untung dan lekas memperoleh hasil besar. Siapakah di antara mereka yang akan menghasilkan kuih yang baik" Si A tentu saja. Minatnya dan rasa cintanya terhadap pekerjaannya akan membuat dia melakukan pekerjaannya, membuat kuih dengan tekun, sebaik mungkin, selezat mungkin atau dalam istilah dagangannya, menjaga mutu yang utama, sedangkan soal keuntungan tidak membuat dia buta. Sebaliknya si B yang ingin lekas mendapatkan hasil banyak, mungkin saja mengurangi gulanya, mengurangi mutu bahannya, agar kalkulasi lebih rendah, agar untung lebih banyak, dan tentu saja dia akan membuat secepat dan sebanyak mungkin. Nah, jelas nampak perbedaan antara perbuatannya yang didorong oleh keinginan maju dan pekerjaan atau perbuatan yang didorong oleh minat dan cinta terhadap apa yang dilakukannya.
Mengapa kita tidak menanamkan cinta ini kepada anak-anak, agar mereka itu mencintai apapun yang mereka lakukan atau kerjakan" Mengapa selalu mengiming-imingi mereka dengan pujian, kemajuan, lebih pintar daripada anak lain, lebih menang daripada anak lain" Mengapa menanamkan benih persaingan dan, ingin selalu paling tinggi dalam batin mereka yang masih bersih dan murni itu"
Hong Bu yang tertidur pulas di bawah pohon menjadi terkejut, seolah-olah ada yang menggugahnya. Dia terkejut oleh kenyataan bahwa dia tertidur tanpa disadarinya itu, suatu hal yang amat tidak baik bagi seorang ahli silat, apalagi kalau di mana-mana terdapat musuh dan bahaya. Dia pun meloncat dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba telinganya mendengar suara beradunya senjata. Ada orang-orang sedang berkelahi, pikirnya. Cepat dia pun menyambar bungkusan pakaiannya dan larilah dia ke arah suara itu, suara orang-orang berkelahi, di dalam hutan.
Ketika dia tiba di tempat itu, dia semakin terkejut mengenal seorang pemuda yang amat tampan sedang dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang daun telinga sebelah kirinya buntung. Tentu saja dia mengenal pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Cu Pek In! Dia terheran mengapa Cu Pek In dapat berada di tempat itu, padahal jaraknya dari lembah di mana dara itu tinggal terpisah ribuan lie jauhnya. Cu Pek In menggunakan sebatang pedang untuk melawan. Semenjak lembah itu meninggalkan nama Lembah Suling Emas dan berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, Cu Pek In juga tidak lagi mau mempergunakan suling emas untuk senjata. Ia sudah mengganti suling emasnya dengan sebatang pedang yang baik karena memang di lembah itu banyak terdapat senjata yang baik, dan ia tidak kaku memainkan pedang karena selain sejak kecil Pek In menerima gemblengan ayahnya sendiri dengan berbagai macam ilmu silat dengan senjata apapun, juga gerakan sulingnya sesungguhnya merupakan gerakan pedang pula.
Akan tetapi, belasan laki-laki yang mengeroyok Pek In itu adalah orang-orang kasar yang semua memiliki kepandaian lumayan dan tenaga besar. Terutama sekali pemimpin mereka yang buntung daun telinga kirinya itu, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Dara yang berpakaian pria itu mulai terdesak dan terkurung rapat. dan karena Si Telinga Buntung itu memainkan sepasang goloknya dengan hebat, maka Pek In tidak diberi kesempatan lagi untuk merobohkan anak buahnya, melainkan terpaksa memutar pedang hanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan senjata para pengeroyoknya itu. Melihat sumoinya terdesak dan terancam bahaya, apalagi melihat Si Telinga Buntung itu lihai sekali, Hong Bu menjadi marah. Cepat dia mencabut Koai-liong-kiam yang tersembunyi di balik jubahnya dan sekali dia meloncat dan menggerakkan senjata pusakanya, nampak sinar biru yang menyilaukan mata dan biarpun, kepala perampok telinga buntung itu berusaha memapakinya dengan sepasang goloknya, seketika goloknya itu terbabat putus dan sinar biru yang menyambar itu menembus lehernya. Sinar itu terus menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja, robohnya kepala rampok yang lehernya tertembus sinar pedang itu disusul oleh enam orang anak buahnya. Melihat ini, sisa para perampok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi Pek In mengamuk dan merobohkan mereka semua. Hong Bu cepat mencegahnya, akan tetapi dalam amukannya, dara itu telah membunuh lima orang, dan hanya ada empat orang lagi saja yang sempat diselamatkan Hong Bu dan mereka hanya mengalami luka-luka oleh pedang Pek In!
Setelah semua perampok roboh, barulah Pek In membalik dan menghadapi Hong Bu. Mereka berdiri saling berpandangan, dan kemudian terdengar Pek In terisak menangis. "Suheng, kau.... kau kejam sekali.... uhu-hu-huuuuh...."
Hong Bu memandang heran. Baru saja dia hendak menegur dan mengatakan betapa kejamnya sumoinya hendak memb
Pukulan Si Kuda Binal 4 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Panji Sakti 2