Pedang Darah Bunga Iblis 10
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 10
baginda. Harap suka diizinkan kedua Tongcu itu memberikan
keterangan untuk membela diri, kalau memang kenyataan mereka
bersalah barulah hukuman dijalankan!"
"Baik, kululusi permohonanmu!" "Terima kasih!" Komisaris luar
Teng Tiong cwan ter-sipu2 mengundurkan
diri, kepala dan badannya basah kuyup oleh keringat. Tidak lama
kemudian, dia kembali lagi membawa dua orang laki2
pertengahan umur terus berlutut dan menyembah dilantai.
Suara Te kun terdengar berat lantang: "Silahkan Sim tong Tongcu
membela diri!"
Terdengar salah satu dari dua laki2 pertengahan umur itu
mengiakan dan berkata gemetar: "Sim tong Tongcu Song Lip hong
memberi keterangan sebagai berikut: Hamba terima perintah
khusus untuk menyelidikl Suma Bing Hu ma yang sudah ditunjuk.
Menurut apa yang telah hamba selidiki. Sebelum ini Hu ma
memang benar2 belum menikah. Dia mempunyai tiga kawan
wanita yaitu: Siang Siau hun, Ting Hoan dan Phoa Kin sian.
Diantaranya seluk-beluk Phoa Kin
sian ini paling mencurigakan, dia pernah berhubungan lebih
mendalam dengan Huma, tapi belum diadakan ikatan jodoh!"
"Tap i Hu ma s end i r i me ny a ng k a l k e t e r ang a nmu
i ni " " "Ha r ap b ag i n d a r a j a s uk a meme r i k s a s e c a r a
j e l a s ! " Me no nt o n s amb i l me nd e ng a r k an h a t i
Suma Bi ng s ema k i n
kebat kebit, ternyata sedemikian jelas mereka2 ini mengetahui
tentang segala seluk beluknya dikalangan Kangouw, kalau dirinya
masih tetap mengukuhi pendapatnya yang terdahulu, maka kedua
Tongcu ini pasti akan dipenggal kepalanya dan mati secara konyol.
Meskipun sifatnya angkuh dingin, namun hakikatnya wataknya
welas asih dan jujur, mana tega dia melihat kedua orang ini
dihukum mati karena dirinya, maka segera ia campur bicara: "Aku
yang rendah berani menjadi saksi bahwa apa yang diucapkan oleh
Tuan ini memang benar adanya."
Sebutan diri dengan istilah 'aku yang rendah' ini, bagi
pendengaran kuping Teng Tiong cwan dan lain2 sangat menusuk
telinga, sebagai Hu ma atau menantu raja mengapa sedemikian
merendahkan derajat.
Te kun tambah gusar, semprotnya: "Suma Bing, mengapa kau
begini plin plan menjilat ludahmu sendiri?"
Suma Bing tertawa ejek, sahutnya: "Upacara pernikahan kami
terjadi sejam sebelum aku tertawan oleh kalian kemari?"
"Apa betul demikian?" "Kenyataan memang begitu!" Rona
wajah Te kun be-robah2 tak menentu, tangannya
diangkat serta berseru: "Kalau begitu, hal ini bukan menjadi
kesalahan kalian berdua, kalian boleh mengundurkan diri."
Komisaris luar bersama kedua Tongcu itu berlutut ber- ulang2
sambil menyatakan rasa terima kasih se-besar2nya akan kebajikan
dan keadilan sang raja. Segera mereka
mengundurkan diri. Sebelum pergi entah sengaja atau tidak sinar
mata Sim tong Tongcu Song Lip hong melirik kearah Suma Bing
cahaya matanya menyatakan syukur dan terima kasih yang tak
terhingga. Sekian lama Te kun terpekur dan berpikir, air mukanya berobah
sungguh2, serunya dengan suara rendah dan kuat: "Kalau
kenyataan sudah terjadi, tidak bisa diganggu gugat..."
Dengan penuh perasaan, segera Suma Bing menukas: "Aku yang
rendah tidak sudi menjadi manusia yang tidak mengenal budi.
Phoa Kin sian dengan cayhe sudah mengikat jodoh terlebih
dahulu!" "Tentu Lohu akan mengambil keputusan yang sempurna untuk
kebaikan kedua belah pihak, kalian berdua boleh mengundurkan
diri!" Sebenarnya Suma Bing masih hendak mengucapkan apa2, tapi
sejak dia mengetahui sedikit persoalannya, sirap dan tenanglah
gejolak hatinya, apalagi janji Pit Yau ang yang bersedia membantu
dan takkan menolak apapun yang diajukan olehnya, maka
mulutnya ditutup rapat, tanpa bersuara ia ikuti Pit yau ang
mengundurkan diri keluar dari ruang istana belakang ini.
Begitu sampai dikamar sendiri, tanpa membuang waktu segera
Suma Bing bertanya: "Kau masih ingat janjimu sendiri?"
"Sudah tentu ingat!" sahut Pit Yau ang tertegun. "Kalau begitu,
aku mengajukan satu permintaan!" "Coba katakan!" "Dalam
waktu dekat ini aku harus segera meninggalkan
perkampungan ini." Berobah sedih air muka Pit Yau ang,
tanyanya,: "Kau
hendak pergi?"
"Kenapa aku harus tinggal disini?" "Apa tidak kau pikir2 lagi?"
"Tidak!" "Tapi..." "Kau hendak mengingkari janji?" Merah mata
Pit Yau ang, ujarnya: "Engkoh Bing, memang
ini sudah nasib, aku tak kuasa menentang kehendak Allah, tapi
aku sudah menjadi milikmu, meskipun kau tidak sudi pandang dan
membuang aku, tapi isi hatiku hanya Tuhan yang tahu. Aku berani
menempuh bahaya dan membangkang terhadap orang tua untuk
mengantarmu keluar. Tapi ayah pasti tidak mau melepaskan kau,
dikalangan Kangouw setiap langkahmu pasti selalu terancam
bahaya..."
"Itu urusanku selanjutnya!" Kata Pit Yau-ang sambil menggigit
bibir: "Baik, selama tiga
hari ini biarlah aku coba membujuk pada ayah baginda supaya kau
boleh keluar, tentang aku ini, ai..." betapa sedih dan perih
perasaan hatinya semua tercurahkan dalam helaan napas panjang
ini. Manusia tidak bisa disamakan batu atau kayu, betapapun masih
mempunyai perasaan, sampai saat itu Suma Bing sendiri juga
merasa menyesal, memang bagaimanapun juga mereka sudah
menjadi suami istri secara resmi, tapi, apa yang dapat
diperbuatnya, tak mungkin dia mengabaikan begitu saja pada
istrinya yang pertama, yaitu Phoa Kin sian yang tidak lama lagi
bakal melahirkan anaknya! Dia menggelengkan kepala dengan
hampa. "Engkoh Bing," ujar Pit Yau ang sambil tersenyum getir, "Maukah
kau dengar sedikit penjelasanku?"
"Baik, ceritakanlah!"
Sejenak Pit Yau ang ragu2 lalu katanya dengan rasa berat:
"Engkoh Bing, ini merupakan rahasia dari perkampungan kita,
tapi tidak bisa tidak harus kuajukan kepadamu..."
"Kalau ada kesukaran, kau boleh tidak usah mengatakan, aku
tidak minta kau membocorkan rahasia!"
Rona wajah Pit Yau ang agak berobah, tapi sekuat mungkin ia
menahan perasaannya dan telan segala hinaan dan kedongkolan
hatinya, mulailah dia memberikan penjelasan: "Menurut tradisi
majikan dari perkampungan bumi ini dinamakan Te kun (raja
bumi), semua punggawa atau hulubalangnya juga turun temurun
adalah keturunan asli dari perkampungan ini, demikian juga
pangkat dan pakaian dinas mereka sudah tertentu tidak gampang2
dirobah, hal2 ini kau sendiri sudah melihat, bukan kita sengaja
hendak main sandiwara dihadapanmu. Tentang cara penggantian
Te kun, disini ada suatu undang2 tersendiri, yaitu bahwa
kedudukan raja harus diturunkan kepada putranya yang terbesar,
tapi bila tidak mempunjai putra, maka anak putrinya diperbolehkan
mencari calon suaminya sendiri dikalangan Kangouw, calon Hu ma
ini harus seorang ksatria yang gagah perwira dan mempunyai
pambek besar untuk diselundupkan masuk Perkampungan bumi
untuk menjabat kedudukan Te kun ini. Ini adalah undang2 keras
dari kakek moyang kita maka terpaksa aku harus berbuat begitu..."
"Betapa besar kalangan Kangouw ini, bagaimana bisa memilih
aku?" "Ini..." "Ini apa?" "Adalah aku sendiri yang menaruh hati kepada
siangkong..." "Jadi jelasnya adalah kau yang
penujui aku?" "Ya, begitulah jelasnya!"
"Gambar dalam bola kaca bundar itu, bagaimana pula kau hendak
menerangkan?"
"Itu hanya sebuah lukisan belaka!" "Sebuah lukisan?" "Benar,
aku sedikit pandai menggambar, maksudku semula
hanya hendak menyimpan gambar lukisan itu sebagai peringatan
saja." Sedikit banyak akhirnya Suma Bing paham dan maklum sudah
akan duduk semua peristiwa ini. Sungguh tak terkirakan
sebelumnya bahwa dirinya bakal terpilih sebagai calon Hu ma atau
majikan dari perkampungan bumi ini.
Setelah mendengar semua penjelasan itu, rasa gusar dan tidak
puas hatinya lambat laun sudah lumer dan tenanglah hatinya.
Kalau mereka tidak bermaksud jahat dan sengaja mau menipu,
tiada alasan lagi ia harus memusuhi atau dendam kepada mereka.
Sebaliknya, ia harus menerima satu kenyataan bahwa Pit Yau ang
adalah istrinya.
Kenyataan ini benar2 membuat dia serba runyam, tidak bisa tidak
harus mengakui istri kedua ini, tapi, terhadap Phoa Kin sian serta
gurunya, bagaimana dia mesti memberi penjelasan dan
pertanggungan jawabnya. Bukan saja sudah resmi menjadi istrinya
malah dia sekarang sudah mengandung, tinggal tunggu waktu
melahirkan... Karena pikirannya ini tanpa terasa ia menghela napas
panjang, katanya gemas: "Adik Ang, kau salah pilih orang!"
Panggilan 'adik Ang' ini membuat lega perasaan Pit Yau ang,
suaranya gemetar: "Engkoh Bing, mengapa kau katakan aku salah
memilih kau?"
"Sebab aku sudah mempunyai istri!" "Semua ini terjadi diluar
dugaan, sebab menurut keadaan
semula apa yang kami tahu tentang kau belum pernah menikah,
sekarang beras sudah menjadi nasi, jangan kata
seorang wanita dari semula sampai akhir selamanya akan setia
kepada suaminya, tapi entah bagaimana aku harus memberikan
pertanggungan jawabku kepada Te po atau seluruh penghuni
perkampungan ini. Tapi Engkoh Bing, aku tetap masih menepati
janjiku semula kepada kau, tiga hari lagi kau pasti dapat berada
lagi dikalangan Kangouw, tentang selanjutnya..." tak kuasa ia
melanjutkan kata2nya, airmata semakin deras meleleh keluar.
Sepasang kemanten baru yang bahagia seharusnya merasa riang
gembira, ini merupakan saat yang paling menggembirakan selama
hidup ini, adalah sebaliknya mereka lewatkan saat2 yang bahagia itu
digenangi airmata yang memilukan hati.
Tengah mereka ber-cakap2 inilah mendadak terdengar suara
seorang dayang berkata: "Lapor Kiongcu, Coh yu hu pit tengah
menanti kedatangan Hu ma diluar ruangan istirahat!"
"Sudah tahu, segera kita datang!" Alis Suma Bing berkerut
dalam, katanya: "Mau pergi kau
pergilah sendiri, aku tiada minat bertemu dengan mereka."
"Engkoh Bing, tidak dapat tidak kau harus temui mereka."
"Tidak!" "Engkoh Bing, kedudukan Coh yu hu pit ini hanya lebih
rendah dibawah ayah baginda, kalau dia minta bertemu, pasti ada
urusan apa2 yang sangat penting, harap kau suka menyusahkan
diri sebentar untuk bertemu dengan mereka!" " wajahnya
mengunjuk rasa memohon yang harus dikasihani.
Apa boleh buat terpaksa Suma Bing mengangguk juga. Dibimbing
dan diiringi serombongan para dayang2 be-ramai2 mereka
menuju ruang istirahat yang terletak disebelah kamar mereka.
Dua orang tua yang masing2 tangan kiri kanan mereka membekal
lencana gading mengenakan pakaian kebesaran lengkap sudah
menanti ditengah ruang istirahat ini.
"Coh hu Si Kong teng. Yu pit Ciu Goan tiong menghadap Hu ma dan
Kiongcu!" kedua orang tua ini berbareng memperkenalkan diri
sambil membungkuk hormat!"
Sikap Suma Bing tetap dingin, tangan diulapkan dan berkata:
"Kalian tidak perlu banyak peradatan, ada kepentingan apakah?"
Co hu Si Kong teng berkata dengan sikap serius: "Kami dapat
perintah dari Te kun untuk mempersembahkan arak kepada Hu
ma!" "Memberi arak?" - dengan penuh keheranan dan tak mengerti
Suma Bing melirik kearah Pit Yau ang.
Pit Yau ang berkata lirih: "Nyatakan terima kasih akan pemberian
arak ini!"
Sekian lama Suma Bing ragu2, akhirnya berkata ogah2an:
"Terima kasih!"
Dia tidak tahu persoalan apalagi tentang pemberian arak ini,
pikirnya, apa mungkin ada muslihat apalagi"
Yu pit Ciu Goan tiong segera mengeluarkan sebuah cangkir kecil
yang terbuat dari batu giok dari balik jubahnya yang besar
kedodoran, serta sebuah poci kecil berwarna putih kehijau2an,
dengan hati2 dan penuh hormat dituangkannya secangkir penuh,
lalu Coh hu Si Kong teng maju mempersembahkan dengan kedua
tangannya seraya berkata: "Hu ma silahkan minum!"
Suma Bing menyambuti dan melihat isi dari cangkir itu seketika
berobah airmukanya. Arak apa ini yang terang adalah darah kental
dengan warna merahnya yang menyolok mata, tanpa sadar
bergidik tubuhnya.
Sebaliknya Pit Yau ang malah mengunjuk rasa girang luar biasa,
katanya lemah lembut: "Pemberian dari orang tua tidak bisa
ditolak. Engkoh Bing, lekaslah minum!"
Suma Bing menjadi nekad sekali tenggak ia habiskan isi cangkir
itu. Siapa tahu begitu masuk tenggorokan, arak itu terasa dingin
dan berbau wangi, beruntun tiga cangkir ia habiskan sehingga
seluruh isi poci kecil itu kering.
Coh hu Yu pit berseru berbareng: "Selamat Hu ma." sambil
membungkuk hormat segera mereka mengundurkan diri.
Tidak lama setelah Coh hu Yu pit keluar, Suma Bing lantas
rasakan kepalanya berat, pandangannya kabur, terasa dimana
tempat dia berpijak berputar jungkir balik, diam2 ia mengeluh
celaka pasti aku terjebak pula dalam tipu muslihat mereka. Maka
tanpa banyak pikir lagi segera dia membentak keras: "Bangsat
rendah, kubunuh kau!" tangannya sudah terangkat memukul
kearah Pit Yau ang, namun baru saja tenaganya dikerahkan,
kepalanya terasa berat dan kakinya lemas kontan dia roboh
terkapar tak ingat diri.
Entah sudah berselang berapa lama, pelan2 Suma Bing siuman dari
tidurnya, didapatinya dirinya rebah diatas ranjang gading dalam
kamarnya. Terlihat Pit Yau ang tengah bertopang dagu duduk
diatas kursi, entah apa yang tengah direnungkan.
Diam2 Suma Bing juga tengah berpikir dan mengenang kembali
akan pemberian arak dari Te kun itu lantas dirinya jatuh mabuk.
Masak sedemikian besar khasiat tiga cangkir arak itu, seketika
membuat dirinya mabuk dan jatuh pingsan"
Pelan2 dicobanya mengerahkan tenaga murni dalam tubuh, begitu
dikerahkan sungguh kejutnya tidak kepalang, jantungnya berdetak
sangat keras. Terasa hawa murninya penuh padat bergelora
ber-gulung2 bagai gelombang badai, sehingga terasa tubuhnya
ringan bagai terapung ditengah udara.
Apakah yang telah terjadi, bagaimana bisa Lwekangnya mendadak
tambah dalam satu kali lipat lebih" Sekian lama dia ter-longong2
mematung rebah dipembaringan, kedua matanya melotot kesima
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang langit2, perasaannya hampa semangatnya lesu. Apa
mungkin ini hasil khasiat dari arak berwarna merah darah itu...
"Adik Ang!" Ter-sipu2 Pit Yau ang bangkit berdiri terus ber-lari2
kecil mendekati pembaringan, matanya tajam penuh kasih mesra
memandang Suma Bing, tanyanya: "Engkoh Bing, kau sudah
bangun, ada apakah?"
"Aku... agaknya merasa..." "Merasa apa?" "Tenaga dalamku
maju berlipat ganda!" Pit Yau ang lantas unjuk senyum berseri,
katanya: "Engkoh
Bing, silahkan kau coba2 tembusi jalan darah mati hidupmu!"
"Apa jalan darah mati hidup?" seru Suma Bing berjingkrak
kaget. "Benar, coba2 adakah gejala2 yang aneh?" Suma Bing
masih tidak mengerti namun dia menurut
mengerahkan tenaga murni terus disalurkan keseluruh tubuh,
begitu satu putaran sudah selesai, tanpa terasa dia menjerit
kaget: "Jalan darah mati hidupku sudah tembus?"
"Tidak salah." "Bagaimana sebenarnya..." "Ayah baginda
memberikan tiga cangkir Te liong po hiat
kepadamu, apa kau sudah lupa?" Suma Bing berjingkrak bangun
dari atas pembaringan,
kagetnya belum hilang: "Apa Te liong po hiat" (darah pusaka
naga bumi)"
"Benar, dalam perkampungan bumi ada sebuah sumber alam yang
keluar dari nadi bumi dinamakan Te liong atau naga bumi, setiap
bulan pada malam terang bulan dari sumber nadi ini menetes
keluar setitik getah berwarna merah darah, maka itu dinamakan
darah pusaka naga bumi!"
"Setiap bulan hanya satu titik saja?" "Ya, setiap bulan hanya
keluar setitik saja!" Hampir2 Suma Bing tidak percaya akan
pendengaran kupingnya, ini benar2 suatu keajaiban dalam dunia, maka katanya
penuh haru: "Jadi aku sudah minum sebanyak tiga..."
"Tiga cangkir darah pusaka, itu sudah disimpan selama enam
puluh tahun!"
"O, mengapa ayahmu mau menghadiahkan barang pusaka yang
tak ternilai itu untuk..."
Wajah Pit Yau ang berobah sungguh: "Ini juga merupakan
undang2 dari Te po!"
"Undang2 lagi" Aku tidak paham!" "Sebab kau adalah ahli
waris raja yang akan datang, maka
dalam waktu dekat tenaga dalammu harus segera disempurnakan!"
Pucat wajah Suma Bing, sungguh dia menyesal telah minum tiga
cangkir arak itu, kalau tahu demikian halnya tidak bakal dia mau
minum darah pusaka naga bumi itu. Berbagai tugas berat menuntut
balas tengah mengikat dirinya. Mati hidup ibundanya juga belum
diketahui, masa depan selanjutnya susah diraba, mana mungkin...
Karena pikirannya ini berkatalah dia dengan lesu: "Tapi aku
belum setuju untuk menjadi ahli waris Raja bumi kalian..."
Pit Yau ang menarik muka, katanya: "Engkoh Bing, upacara
menurut undang2 kakek moyang sudah berlaku dan tak mungkin
dirobah lagi. Kalau kau berkukuh tidak mau terima
aliran Te po ini mungkin untuk selanjutnya juga akan ludas, tapi
aku sudah berjanji sebelumnya, kau tak usah kuatir aku
menggunakan segala daya upaya untuk membujuk dan
menahanmu disini, setelah besok hari, kalau memang aku tidak
bisa membujuk ayah Baginda supaya kau diluluskan keluar
perkampungan, aku... tetap akan mengantarmu keluar. Tentang
akibatnya, ai, engkoh Bing, kuharap selalu kau ingat seorang
sengsara yang pernah tidur semalam dengan kau!" suaranya sedih
memilukan. Suma Bing juga merasa sesak tenggorokannya, katanya penuh
penyesalan: "Adik Ang, maafkan aku, aku terpaksa berbuat
demikian!"
"Aku paham, tidak perlu maaf apa segala, agaknya kita berjodoh
dalam khayalan belaka, nasib manusia tidak bisa ditentang!"
"Adik Ang, kalau aku mengabaikan seorang istri, aku lebih tidak
berbudi, dendam perguruan dan sakit hati orang tua kalau tidak
kubalaskan lebih2 aku tidak berbakti, cinta kasihmu adik Ang, akan
kukenang dalam lubuk hatiku sepanjang masa!"
Didalam Perkampungan bumi tidak kenal perbedaan siang dan
malam, selalu terang benderang, setiap kali berganti pelita atau
menambah minyak lampu itu menandakan hari kedua mulai
mendatang. Begitulah dalam kamar tidurnya Suma Bing tengah berjalan mondar
mandir tidak tenang, hatinya berdebar tidak tentram menanti
jawaban dari Pit Yau ang. Apakah ia dapat membujuk ayahnya
supaya dirinya keluar dan muncul lagi di Kangouw" Kalau dia
membangkang dan berani ambil resiko mengantarkan dirinya
keluar, apakah yang bakal dialaminya" Setelah dirinya bebas
dikalangan Kangouw, apakah Te po mandah saja membiarkan
dirinya bebas berkelana" Tidak dapat disangkal lagi bahwa dirinya
sudah ada ikatan sebagai
suami istri dengan Pit Yau ang, tidakkah perbuatannya ini
keterlaluan"
Te kun sendiri pernah mengatakan hendak mengatur sedemikian
rupa terhadap Phoa Kin sian, cara bagaimana dia bisa mengatur
sesempurna mungkin" Tengah pikirannya me- layang2 terlihat Pit
Yau ang bergegas mendatangi, mimik wajahnya menunjukkan
urusan tidak menyenangkan seperti apa yang diharapkan
sebelumnya! "Bagaimana adik Ang?" "Ayah tidak mengijinkan!" "Tidak
diijinkan!" "Dia orang tua berkata, setelah kau dapat
mempelajari seluruh kepandaian tunggal dari Te po baru boleh dirundingkan
apakah kau boleh keluar atau tidak!"
Dingin perasaan Suma Bing. Wajah Pit Yau ang penuh
kesedihan, airmata berlinang
dikelopak matanya, katanya lagi: "Engkoh Bing, biar kuantar kau
keluar!" "Kau..." "Ya, terpaksa aku membangkang pada ayah baginda,
habis tiada cara lain yang lebih sempurna." 'Ucapan membangkang
kepada orang tua' benar2 membuat
Suma Bing ragu2 dan terpukul batinnya. Pit Yau ang sudah
melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri kepada
suaminya, masa sedikitpun dirinya tiada rasa cinta kasih antara
suami istri. Untuk dirinya tidak kepalang tanggung dia berani
membangkang kepada orang tua, sebaliknya dirinya tidak
memikirkan untuk menghindarkan segala akibat buruk yang bakal
terjadi. Tak peduli cara bagaimana mereka telah menikah,
hakikatnya dia sudah menjadi istrinya, betapa luhur dan bajik hati
istrinya, benar2 diluar dugaannya.
Begitulah akhirnya dia berkata: "Adik Ang, aku tidak bisa
mem-bawa2 kau, biarlah aku langsung berhadapan dengan Te
kun untuk mohon..."
"Kalau begitu selamanya kau takkan dapat keluar lagi, kata2 ayah
selamanya keras sekokoh gunung tak dapat diganggu gugat, dia
takkan merobah maksudnya semula."
"Tapi setelah aku pergi, kau akan..." "Engkoh Bing, kau dapat
berkata demikian, hatiku sudah
terhibur. Sekarang gantilah pakaianmu yang semula, biar kuantar
kau keluar dari jalan rahasia!"
Bahwasanya memang tidak bisa tidak Suma Bing harus keluar lagi
dikalangan Kangouw berbagai tugas suci tengah menunggu
penyelesaiannya. Maka pada saat2 sebelum berpisah ini baru dia
sadar, sebenarnya bahwa hatinya juga mencintai Pit Yau ang. Sejak
mengetahui seluk beluk duduk perkara sesungguhnya, rasa
gusarnya sudah lenyap seluruhnya, dan kini berganti suatu
perasaan berat dan menderita, pukulan batin yang kontras.
Tapi dia tidak bisa tidak harus berpisah, sebab lebih banyak
atasan yang harus memisahkan dengan istrinya ini.
Pit Yau ang mengeluarkan pakaian asal Suma Bing terus
diangsurkan kepadanya, lalu membantunya berganti dan katanya:
"Engkoh Bing, apa kau benci aku?"
Suma Bing menjawab sungguh: "Memang begitulah sebelum ini.
Tapi sekarang tidak!"
"Kau tidak membenci aku?" "Malah aku harus berterima kasih
akan bantuanmu ini, ini
takkan terjadi pada wanita umumnya."
"Kuharap kau tetap ingat kepadaku..." "Aku
pasti!" Tanpa terasa dipeluknya Pit Yau ang, bibir bertemu bibir mereka
berciuman dengan gairahnya. Selama tiga hari setelah mereka
menikah baru sekali inilah mereka sama2 merasakan kenikmatan
dan kemesraan yang takkan terlupakan lagi.
Tapi bagi Pit Yau ang ciuman ini merupakan ciuman perpisahan
yang sedih dan meluluhkan hatinya. Sebab saat itu juga sang
suami harus meninggalkan dirinya.
Tangan bergandeng tangan mereka sudah melewati berbagai
penjagaan ketat dari tempat2 terlarang, lahirnya mereka
ber-cakap2 dan bersendau gurau bersenang hati, tapi batin mereka
sangat tertekan. Tidak lama kemudian mereka tiba disebuah kamar
buku yang penuh rak2 yang berjajar.
Pit Yau ang langsung ulurkan sebuah tangan menekan salah
sebuah buku yang ber-jajar2 itu, seketika rak buku itu bergeser
mundur dan terluanglah sebuah pintu.
Tanpa membuka suara Suma Bing mengintil terus dibelakang Pit Yau
ang, mereka terus memasuki sebuah lorong panjang yang belak
belok, melewati undakan yang menanjak naik me-lingkar2 semakin
tinggi, kira2 sepeminuman teh kemudian baru mereka sampai
diujung lorong. Begitu menggerakkan alat2 rahasianya, diatas lorong
itu segera terbuka sebuah lobang sebesar dua kaki persegi. Sekali
loncat Pit Yau ang melesat keluar. Bergegas Suma Bing juga ikut
loncat keluar, seketika ia berdiri mematung kesima.
Ternyata tempat dimana mereka berada sekarang ini adalah
didalam ruang sembahyang sebuah kelenteng yang bobrok dan
tidak terurus lagi, dan lobang itu tepat berada dibawah patung
pemujaan yang kini sudah bergeser kesamping.
Suma Bing menjadi heran, tanyanya: "Apa disini tiada orang
jaga?" "Tidak, jalan rahasia ini hanya para Tongcu dan pejabat lebih tinggi
saja yang mengetahui, selamanya jarang
digunakan, maka tidak gampang diketemukan. Apalagi tempat ini
berada dialas pegunungan yang jarang didatangi manusia!"
"Jadi perkampungan bumi dibangun dibawah tanah?" "Tidak
salah, didalam bumi!" "Bagi kaum persilatan, dipandangnya
Te po sebagai tekateki!"
"Ini tidak dapat menyalahkan mereka, selamanya
perkampungan kita jarang turut campur dalam segala pertikaian
didunia persilatan. Seumpama petugas kita kelana di kalangan
Kangouw juga tidak pernah memperkenalkan diri, maka yang
mengetahui boleh dikata sangat jarang!"
Pada saat itulah, sebuah suara berat dan kereng mendadak
terdengar dibelakang mereka: "Budak kurang ajar, sungguh besar
nyalimu!" Kontan berobah pucat wajah Pit Yau ang, beruntun mundur tiga
langkah, matanya ketakutan memandang kearah pintu kelenteng.
Suma Bing juga cepat2 membalik tubuh dan memandang kedepan,
tidak terasa semangatnya juga serasa terbang. Entah kapan
datangnya ternyata Te kun sudah berdiri diambang pintu, sinar
matanya memancarkan kegusaran yang me-nyala2.
Ter-sipu2 Pit Yau ang menekuk lutut menyembah, mulutnya
berseru: "Ayah!"
Agaknya Te kun benar2 murka sekali, serunya: "Budak, apakah
maksudmu sebetulnya, berani terang2an melanggar pantangan
undang2 perkampungan, juga berani mendurhakai orang tua?"
"Yah, anak terpaksa berbuat begini..."
"Maksudmu dia menekan kau?"
Sinar mata Te kun bagai kilat menyapu kearah Suma Bing, tanpa
terasa bergidik Suma Bing dipandang sedemikian rupa.
Pit Yau ang menjawab gemetar: "Dia tidak menekan anak!"
"Jadi ini keluar dari tujuanmu sendiri?" "Anak pernah melulusi
mengantar dia keluar di kalangan
Kangouw untuk menyelesaikan tugas sucinya menuntut balas bagi
perguruan dan orang tuanya!"
Wajah Te kun semakin membesi: "Bagaimana bunyi undang2
ketiga?" Seketika pucat pasi wajah Pit Yau ang, pekiknya menyedihkan:
"Ayah!"
"Katakan, bagaimana bunyi peraturan ketiga?" "Apa ayah
tidak mengingat hubungan ayah dan anak lagi?" "Peraturan
tidak boleh dilanggar!"
34 KANG KUN LOJIN BERKISAH.
Suma Bing menjadi serba salah dan runyam keadaannya,
tidak enak pula dia turut campur bicara. Wajah Pit Yau ang yang
pucat pasi itu mendadak berubah
merah membara mengandung tekad yang besar, sekilas ia lirik
Suma Bing, lalu berkata sepatah demi sepatah: "Peraturan ketiga
berbunyi: Barang siapa sengaja melanggar harus dihukum mati!"
Tiba2 gemetar tubuh Suma Bing, apa Te kun sudah tidak peduli
lagi akan hubungan antara ayah dan anak dan benar2 hendak
menghukum Pit Yau ang menurut undang2 dari Te po. Kalau ini
sampai terjadi, pangkal dari semua peristiwa ini
adalah karena dia yang menjadi biang keladi, mana bisa dirinya
tinggal berpeluk tangan saja.
Dengan nada suara yang mendebarkan orang Te kun berkata:
"Kau sudah tahu itulah baik..."
"Yah, anak ada satu permintaan!" "Katakan!" "Anak rela dihukum
karena batas2 undang2
perkampungan, tapi aku harap ayah dapat melepaskan Suma
Bing, meskipun mati anak juga sangat berterima kasih..."
"Tidak mungkin terjadi!" Suma Bing melangkah setindak,
jengeknya dingin: "Akulah
yang memaksanya berbuat demikian." Te kun menggeser tubuh
menghadapi Suma Bing, sinar
matanya mencorong setajam ujung pedang, bentaknya bengis:
"Kau yang paksa dia?"
"Tidak salah!" "Cara bagaimana kau paksa dia?" "Mengandal
kekuatanku!" "Tutup mulut, berani kau berbohong
dihadapanku?" "Apa yang kau anggap aku berbohong?" Te kun
mendengus lalu berkata: "Tentang ilmu silat kau
masih terpaut sangat jauh dibanding budak kurangajar ini, setelah
kau minum Te liong po hiat, meskipun tenaga dalammu bertambah
berlipat ganda, tapi latihan dan kepandaian sejati kau masih bukan
tandingannya. Berani kau membual hendak menipu aku, dengan
kemampuanmu pasti tidak mungkin menundukkan dia, apalagi
jalan rahasia ini penuh jebakan dan alat2 rahasia, dimana2
dipasang peluit tanda bahaya, kalau dia tidak sengaja hendak
membangkang,
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat terbang
keluar!" Saking malu merah padam wajah Suma Bing bantahnya: "Lalu Te
kun hendak apa?"
"Kedudukanmu saat ini sudah jadi salah satu dari kerabat
perkampungan bumi, kalian berdua harus menjalani hukuman
yang sama."
Suma Bing mengertak gigi, semprotnya: "Aku yang rendah
sekarang hendak menentang"
"Sekali lagi kau berani mengatakan 'aku yang rendah' biar Pun te
kun (aku sang raja) membunuhmu lebih dulu!"
"Aku yang..." "Bedebah!" dibarengi bentakan makian ini, Te
kun langsung memukul kearah Suma Bing. Tercekat hati Suma Bing, baru saja
tangannya diangkat... "Ayah!" ditengah pekikan yang memilukan
ini secepat kilat
mendadak Pit Yau ang melesat menghadang dan memapak
kearah angin pukulan Te kun.
Perbuatan nekad ini benar2 diluar dugaan siapapun. Dalam
gusarnya Te kun melancarkan pukulan sepenuh tenaga mana
mungkin dapat ditarik kembali.
'Blang!' terdengar pekik kesakitan yang menusuk telinga tubuh Pit
Yau ang yang ramping itu kontan terbang jauh keluar halaman
kelenteng. Tampak sebuah bayangan berkelebat, ternyata Suma Bing
gunakan gerak kelit dari Bu siang sin hoat, sekali berkelebat tiba
diluar kelenteng dan tepat menyambuti tubuh Pit Yau ang yang
hampir terbanting keras ditanah.
"Gerak tubuh yang hebat!"
Seorang tua berpakaian sebagai pertapa tiba-tiba muncul bagai
bayangan setan!
"Engkoh Bing," panggil Pit Yau ang lantas mulutnya menguak
menyemprotkan darah segar, orangnya juga segera jatuh pingsan.
Hati Suma Bing seperti di-sayat2, tubuhnya bergetar dan hampir
mengejang. "Pit lote, begitu tega kau turun tangan terhadap anakmu sendiri?"
Waktu Suma Bing berpaling, terlihat seorang tua berjenggot
panjang menjulai sampai diperutnya, mengenakan baju bersulam
patkwa, kepalanya diikat kain sutera, di tangannya menggenggam
sebuah kipas, sikapnya angker laksana seorang pertapa sakti siapa
berdiri lima kaki dibelakangnya.
Seruan memuji bernada kagum tadi agaknya keluar dari mulut
orang tua ini. Sebab seluruh perhatiannya ditujukan kepada Pit
Yau ang, maka dia tidak hiraukan seruan tadi. Dilihat dari cara
orang berpakaian dan sikapnya ini diam2 benak Suma Bing tidak
tentram. Siapa dia" Te kun raja yang dipertuan agung dari Te po ternyata
dipanggilnya saja sebagai Lote (adik tua).
Saat mana rona wajah Te kun tidak menentu susah diselami, dia
berdiri mematung tanpa mampu buka suara.
Pikiran Suma Bing berkelebat cepat, batinnya, apa mungkin dia
ini" Teringat olehnya waktu dulu si maling bintang Si Ban cwan
menyamar menjadi Kang kun Lojin menggebah lari Si tiau khek
itu. Konon kabarnya bahwa Kang kun Lojin sudah meninggal dunia
pada empat puluh tahun yang lalu, tapi bentuk wajah dan cara
berpakaian orang tua ini benar2 serupa dan persis benar dengan
penyamaran si maling bintang dulu. Apa
mungkin kabar di kalangan Kangouw itu adalah bohong belaka,
dan ternyata si orang tua ini masih sehat waalfiat hidup didunia
ini" Karena pikirannya ini, tercetus seruan mulutnya: "Apakah
nama julukan Lo cianpwe adalah Kang kun Lojin?"
Orang tua berjenggot putih itu bergelak tawa sekian lamanya, lalu
ujarnya: "Buyung, pengalamanmu luas juga!"
Sebaliknya Suma Bing malah tertegun, tidak terduga olehnya
bahwa orang tua ini ternyata betul2 adalah Kang kun Lojin yang
sangat kenamaan diseluruh dunia.
Situasi ketegangan mulai mereda setelah Kang kun Lojin
mendadak muncul.
Dengan tajam Kang kun Lojin pandang Pit Yau ang yang rebah
dalam pelukan Suma Bing, lalu alis dikerutkan katanya kepada Te
kun: "Lote, apakah yang telah terjadi?"
Te kun menghela napas panjang, sahutnya: "Loko (saudara tua),
dia inilah menantu dan ahli waris raja Suma Bing yang terpilih
menurut undang2 tradisi kita!"
"Tepat, berbakat dan bertulang bagus, pandanganmu benar2
hebat!" "Budak itu sendirilah yang memilihnya!" "O, jeli dan tajam
benar pandangan budak ini!" Agaknya Te kun enggan
mempersoalkan semua apa yang
sudah terjadi dihadapan Suma Bing, maka lantas digunakan ilmu
Coan im jip bit bercerita kepada Kang kun Lojin yang terakhir baru
dia berkata keras: "Loko urusan ini biarlah kuserahkan kepadamu
bagaimana?"
Kang kun Lojin menggoyang2 kipas, katanya: "Aku juga ada
sedikit urusan dengan engkoh kecil ini. Baiklah, biarlah urusan ini
engkoh tuamu ini yang tanggung."
"Kalau begitu terima kasih!" "Tidak perlu, bawalah budak kecil
itu pulang, lukanya tidak
ringan!" Dari samping Suma Bing semakin keheranan, agaknya
dengan beberapa patah kata saja Kang kun Lojin sudah dapat
membujuk Te kun.
Kang kun Lojin maju memayang tubuh Pit Yau ang dengan sebuah
tangannya dia raba pernapasannya sebentar lalu diserahkan
kepada Te kun, berputar lalu menghadap Suma Bing, katanya:
"Buyung, aku orang tua tidak memaksa kau, kalau kau rela,
berlutut dan minta maaflah kepada mertuamu!"
Selamanya sifat Suma Bing sangat angkuh dari pembawaan lahir,
sebenarnya hatinya hendak membangkang, tapi karena budi Pit
Yau ang terhadapnya sedemikian besar serta memandang muka
Kang kun Lojin maka terpaksa dia menurut berlutut dan berseru:
"Harap Te kun suka memberi ampun!"
Dia tidak mau menyebut 'Gak tio' atau mertua dan menyebut diri
pribadi sebagai siau say atau menantu. Terang bahwa permintaan
maafnya ini adalah sangat terpaksa.
Te kun ulapkan sebelah tangan dan berseru: "Sudahlah, bangun!"
Kang kun Lojin mengebutkan kipasnya dan berkata: "Buyung, mari
kita pergi!"
Habis berkata ringan sekali tubuhnya melayang keluar kelenteng.
Penuh keheranan dan tak mengerti Suma Bing kesima memandang
bayangan punggung Kang kun Lojin. Lalu dipandangnya Pit Yau
ang yang masih pingsan itu lekat2, sekali berkelebat tubuhnya juga
melenting keluar kelenteng.
Kelenteng bobrok ini dibangun diatas gundukan tanah gundul
dilamping sebuah gunung, empat penjuru adalah semak belukar,
tempat ini benar2 sangat liar dan sunyi tersembunyi.
Kang kun Lojin sudah menanti diluar kelenteng tangannya
menunjuk kepuncak sebelah kiri sana serta berkata: "Buyung mari
kita kepuncak gunung itu untuk bicara!"
Suma Bing manggut2 tanpa bersuara. Dua bayangan secepat
kilat terbang menuju kepuncak
gunung yang ditunjuk tadi. Dengan kehebatan ilmu ringan tubuh
mereka dalam sekejap saja mereka sudah tiba di puncak gunung
itu. Ternyata puncak ini merupakan puncak tertinggi dari puncak2
tetangga sekelilingnya.
Mereka mencari duduk diatas sebuah batu. Suma Bing
membuka mulut lebih dulu: "Entah Locianpwe
ada petunjuk apa?" Sambil me-ngelus2 jenggotnya, Kang kun
Lojin berkata sungguh: "Buyung, apa kau tahu mengapa orang tua reyot seperti
aku yang sudah lama mengasingkan diri ini, mau muncul lagi
didunia Kangouw?"
"Hal ini wanpwe tidak tahu!" "Karena masih ada sebuah angan2
yang belum terlaksana!" "Angan-angan?" "Benar, inilah buah
yang kutanam secara tidak sengaja,
sehingga sampai sekarang masih belum bisa dibikin terang,
terpaksa maka aku harus berkelana lagi di Kangouw untuk
menyelesaikan urusan itu. Ini boleh dikata suatu akibat, aku
orang tua bukan dari agama Buddha, tapi mengenai hukum sebab
dan akibat atau juga dinamakan hukum karma hitung2 sekarang
aku sudah mulai melek dan dapat menyelaminya!"
Suma Bing manggut2 hampa, entah mengapa dia tidak tahu orang
tua dihadapannya ini kok berbicara persoalan sebab musabab
dengan dirinya.
Setelah merandek sebentar lantas Kang kun Lojin melanjutkan:
"Buyung, apa kau sudi melakukan sesuatu untuk aku orang tua?"
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Urusan apakah yang harus
wanpwe lakukan?"
"Menyelesaikan sebab dan akibat ini!" "Coba Locianpwe
terangkan!" "Itulah tentang hilangnya Bu siang po liok dari Siau
lim sie!" Suma Bing melonjak kaget, serunya: "Bu siang po
liok?" "Sedikitpun tidak salah!" "Ini... wanpwe masih belum
jelas!" "Buyung, dihadapanku jangan kau pura2 main tidak
tahu dan main sembunyi." "Apakah yang Locianpwe maksudkan?"
"Yang kumaksudkan adalah Bu siang po liok itu?" "Hakekatnya
memang wanpwe tidak mengetahui!" Mata Kang kun Lojin
dipentang lebar, sorot matanya nanap
mengawasi wajah Suma Bing, sampai sekian lama tidak berkedip,
agaknya tengah menyelami hati kecilnya, lama dan lama kemudian
baru dia pejamkan mata dan berkata: "Apa benar2 kau tidak tahu
menahu tentang persoalan ini?"
"Memang aku tidak tahu!" jawab Suma Bing sejujurnya. Kang
kun Lojin manggut2, seperti menggumam ia berkata
seorang diri: "Ai, mungkin peristiwa itu belum pernah dia tuturkan
kepada anak muridnya..."
Dari Bu siang po liok empat huruf ini sedikit banyak Suma Bing
sudah dapat menebak persoalannya, maka tercetus pertanyaan dari
mulutnya: "Siapakah yang Locianpwe maksudkan?"
Mendadak Kang kun Lojin berkata penuh haru: "Buyung
bagaimanapun juga, urusan ini hanya kau seorang yang dapat
menyelesaikan, sudah tentu, harus kulihat apakah kau rela
melakukannya!"
"Mengapa Locianpwe tidak jelaskan lebih terang?" Kang kun
Lojin mendongak kelangit, janggut panjangnya
bertebaran dihembus angin pegunungan, katanya dengan suara
rendah: "Buyung, dengarkanlah sebuah cerita pada seabad yang
lalu..." Suma Bing mengangguk dengan bersemangat, dia maklum bahwa
cerita itu pasti mengenai suatu kejadian rahasia di Bulim, mungkin
ada sedikit atau banyak dirinya tersangkut didalamnya akibat dari
ekor peristiwa itu.
Kedua mata Kang kun Lojin mendelong mengawasi langit,
mulailah dia bercerita: "Seabad yang lalu, didunia persilatan
muncul tiga muda mudi yang berkepandaian sangat tinggi dan
malang melintang tiada tandingan, mereka dinamakan Bu lim sam
ki. Sebenarnya Sam ki berpencar dan kenamaan didaerah
masing2. Dalam suatu kesempatan yang tidak disengaja Sam ki
bertemu tanpa berjanji sebelumnya. Sungguh diluar dugaan
bahwa salah satu dari Sam ki atau tiga aneh itu ternyata adalah
seorang perempuan yang cantik..."
Sampai disini tidak tahan lagi segera Suma Bing ajukan
pertanyaan: "Setelah Sam ki kenamaan, apa dalam dunia,
persilatan masih belum ada yang tahu bahwa salah satu dari
mereka adalah perempuan?"
"Kau berkata benar, sebelum Sam ki bertemu memang betul2
tiada seorang jua yang tahu, sebab biasanya dia menyamar
sebagai pemuda!"
"Waktu dua yang lain mengetahui bahwa seorang yang lain
ternyata adalah perempuan, mulailah mereka berlomba hendak
mengambil hatinya maka terjadilah percintaan segitiga yang
merisaukan. Kedua pemuda itu sama2 ganteng dan cakapnya, ilmu
silatnya juga sudah sempurna. Maka perempuan itu susah
mengambil keputusan positip diantara mereka berdua. Maka
akhirnya kedua pemuda itu mengadakan perundingan rahasia untuk
menyelesaikan urusan secara jantan dengan pertempuran adu silat,
bagi yang kalah harus bersumpah untuk tidak muncul lagi didunia
persilatan selama hidup ini...
"Waktu pertempuran berjalan dengan seru, masing2 bertempur
mati2an untuk merobohkan lawannya, tiada salah satu pihak yang
mau mengalah, hampir saja waktu mereka bakal gugur bersama,
mendadak perempuan itu muncul dan menghentikan pertempuran
berdarah itu akhirnya perempuan itu mengajukan cara2 bijaksana
untuk menyelesaikan pertikaian ini..."
"Cara apakah itu?" "Perempuan itu berharap dapat melatih
semacam ilmu gerak tubuh yang hebat tiada taranya, untuk menambal
kekurangannya sebagai perempuan. Menurut kabarnya bahwa
dalam perpustakaan rahasia dikuil Siau lim si ada sejilid buku yang
dinamakan Bu siang po liok, buku ini khusus mencatat tentang
ilmu gerak tubuh yang diharapkan itu. Karena arti dalam buku
catatan itu sangat dalam dan susah dimengerti, maka sampai
pemiliknya sendiri yaitu para padri Siau lim si juga tiada seorang
juga yang mampu mempelajari, sudah berabad lamanya tiada
orang yang sempurna mempelajari ilmu ini. Justru perempuan itu
minta kedua pemuda itu menuju ke Siau lim si untuk mencuri buku
pelajaran itu, siapa mendapatkan lebih dulu, dia rela menjadi
istrinya untuk se- lama2nya...
"Lalu bagaimana akhirnya?" tanya Suma Bing ketarik
benar. Agaknya Kang kun Lojin harus memeras keringat untuk mengenang
lagi cerita masa silam itu, setelah berhenti sekian lamanya baru dia
menyambung lagi: "Karena 'cinta' kedua pemuda itu rela dan tega
melakukan perbuatan rendah yang paling dipandang hina oleh
kaum persilatan, mereka menyamar dan mengenakan kedok,
masing2 menggunakan caranya sendiri menuju ke Siau lim si..."
"Akhirnya salah satu diantara mereka mendapat hasil?"
"Memang, salah satu diantara mereka berhasil dengan
gemilang, tapi salah seorang yang lain bukan saja tidak berhasil
malah terkepung dan mendapat luka berat dibawah keroyokan
padri2 Siau lim sie, walaupun akhirnya dapat melarikan diri tapi
sejak itu dia menjadi tanpa daksa alias cacat seumur hidup!"
Sudah tentu pemuda yang berhasil itu dengan perempuan..."
"Kau dengar saja ceritaku. Waktu pemuda yang berhasil itu
mengetahui bahwa saingannya itu sampai terluka berat dan
menjadi tanpa daksa, hatinya turut berduka dan menyesal, dia
merubah tujuannya yang semula, bukan saja ia menyesal akan
perbuatannya yang gila2an dan hina dina ini, disamping itu dia
juga tidak puas akan sikap dan tindakan perempuan itu yang
menggunakan cara demikian keji untuk menguji mereka. Maka
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diberikan Bu siang po liok yang berhasil dicurinya itu kepada
pemuda saingannya yang cacat itu, terus tinggal pergi dan tidak
pernah muncul lagi..."
Tanpa terasa Suma Bing memuji kagum: "Sungguh mengagumkan
sikap gagah dan kebajikan hati pemuda itu."
"Ya, tapi waktu dia mengambil kepastian ini betapa pahit getir dan
berduka hatinya"
"Selanjutnya bagaimana?"
"Sudah tentu pemuda cacat itu menikah dengan perempuan itu.
Mereka mengundurkan diri untuk mempelajari isi dari pelajaran Bu
siang po liok itu. Maka sejak itu kalangan Kangouw kehilangan jejak
Bu lim sam ki, lambat laun ketenaran nama Bu lim sam ki menjadi
luntur dan hilang dilupakan orang ditelan masa..."
Baru sekarang Suma Bing paham, pasti perempuan diantara Bu lim
sam ki itu adalah Bu siang sin li itu. Maka tidak heran waktu dirinya
meluruk ke Siau lim si hendak mencari ibunya tanpa sengaja ia
pertunjukkan Bu siang sin hoat, para pendeta Siau lim si itu lantas
hendak meringkus dan mengompresnya, mereka menuduh dirinya
ada tersangkut paut dengan peristiwa ter-katung2 tanpa
penyelesaian pada ratusan tahun yang lalu, ternyata semua ini ada
latar belakang yang belum dimengerti oleh dirinya.
Kang kun Lojin merendahkan kepalanya, kedua matanya menatap
tajam kearah Suma Bing, katanya: "Setelah pemuda dan
perempuan itu menikah, setahun kemudian lahirlah seorang anak
perempuan. Tidak lama setelah anak itu lahir, terjadi perpecahan
diantara suami istri itu lantas masing2 berpisah hidup sendiri2. Dan
selanjutnya lantas muncul didunia persilatan seorang perempuan
yang misterius dia menyebut dirinya sebagai Bu siang sin li..."
"Selama puluhan tahun tidak henti2nya pihak Siau lim si mengutus
para jagoan silatnya untuk mengejar dan mencari jejak Bu siang
sin li, mereka berharap dapat merebut kembali buku pelajaran
yang paling berharga itu. Tapi, Bu siang sin li sendiri sudah
merupakan teka teki, munculnya dikalangan Kangouw hanya
merupakan bayangan belaka."
Tergerak kesadaran Suma Bing, tanyanya mencari tahu: "Jadi
karena urusan ini maka Locianpwe merasa menyesal dan
mengganjal dalam sanubari?"
"Ya, memang begitulah!"
"Kalau begitu pasti Locianpwe adalah salah satu dari Bu lim sam
ki itu, yaitu pemuda yang berhasil mendapatkan buku Bu siang po
liok itu?"
Mata Kangkun Lojin memancarkan sinar aneh, sahutnya penuh
haru: "Sedikitpun tidak salah, memang akulah orang tua adanya!"
"Lalu bagaimana wanpwe harus membantu?" "Apa sangkut
pautmu dengan Bu siang sin li?" "Tiada sangkut paut apa2."
sahut Suma Bing tertegun. "Lalu Bu siang sin hoatmu itu kau
pelajari darimana?" "Ini, mungkin karena jodoh secara kebetulan
aku memperoleh pelajaran ini!" "Siapa orang itu?" Mengingat
sumpahnya kepada Giok li Lo Ci, terpaksa dia
menjawab: "Dalam hal ini maaf wanpwe tidak bisa menerangkan!"
Agaknya Kangkun Lojin sangat terpengaruh oleh perasaannya
sendiri, tiba2 ia bergegas berdiri, katanya keras: "Buyung, katakan
alasanmu?"
Suma Bing juga bangkit berdiri, sikapnya ragu2 dan serba susah,
sahutnya: "Locianpwe, wanpwe pernah bersumpah untuk tidak
menceritakan persoalan ini kepada siapapun"
"Tapi, terhadap aku orang tua..." "Sungguh aku sangat
menyesai!" "Apa kau betul2 bukan anak murid Bu siang sin li"
"Hal ini dapat wanpwe jawab sejujurnya, bukan!" Janggut
panjang Kangkun Lojin ber-gerak2, perasaan
harunya masih belum lenyap katanya menegasi: "Jadi
jelasnya kau menolak membantu aku orang tua untuk menyelesaikan
urusan ini?"
"Wanpwe tidak akan mampu melakukannya." "Baiklah, coba
katakan dimana Bu siang sin li
mengasingkan diri?" "Ini..." sebetulnya Suma Bing hendak
mengatakan bahwa
Bu siang sin li sudah meninggal dunia pada sepuluh tahun yang
lalu, tapi teringat akan sumpahnya akhirnya ia telan kembali
maksudnya. "Bagaimana?" "Maaf wanpwe tidak dapat memberitahu!"
"Kenapa?" "Karena sumpah!" "Buyung, kau harus beritahu
kepada aku orang tua!" seru
Kangkun Lojin gugup sambil mencengkram pergelangan tangan
Suma Bing, begitu jarinya mengerahkan tenaga seketika Suma
Bing rasakan tubuhnya lemah lunglai, hawa murni dalam tubuhnya
buyar lenyap. "Buyung, katakan!" "Wanpwe takkan menurut!" Jari2 Kangkun
Lojin mencengkram semakin keras,
gertaknya bengis: "Katakan!" Suma Bing rasakan seolah2 tulang2
dan seluruh nadinya
sungsang sumbel dan terlepas dari ruas2nya, hawa murni susah
dihimpun, keringat dingin sebesar kacang merembes keluar. Tapi
dasar wataknya memang keras kepala, sedikitpun dia tidak
kerutkan alis atau mengeluh kesakitan, malah katanya menjengek
dingin: "Apa Locianpwe memaksa wanpwe melanggar sumpah dan
kepercayaan?"
"Mengingat akan nama kebesaranku, pasti Bu siang sin li tidak
akan salahkan kau."
"Tidak mungkin terjadi." "Kau... harus katakan dimana alamat
Bu siang sin li?" "Tidak!" "Kau ingin mati?" Suma Bing
mendengus ejek, katanya: "Kalau Locianpwe
beranggapan begitu, silahkan turun tangan, aku Suma Bing tidak
akan mengerut alis."
Akhirnya Kangkun Lojin menghela napas panjang dan melepaskan
cengkramannya, sikapnya lesu dan tidak bersemangat, tangannya
diulapkan seraya berkata: "Kau boleh pergi."
Kini ganti Suma Bing sendiri merasa tidak enak dan risi, hitung2 ia
adalah seorang Cianpwe angkatan tua, malah dari cerita itu
dapatlah dinilai sepak terjang orang tua ini sangat gagah perwira,
hatinya sangat mengaguminya. Tapi seorang laki2 harus menepati
janji dan sumpahnya mana dia boleh menjilat ludahnya sendiri
akan sumpahnya kepada Giok li Lo Ci dan membocorkan rahasia
lembah kematian, maka berkatalah ia sejujurnya: "Locianpwe,
meskipun wanpwe tidak dapat sepenuhnya membantu, tapi dalam
batas2 tertentu dimana wanpwe dapat melakukan, mungkin kelak
aku bisa memberikan jawabanku!"
"Buyung, kau pergilah!" Suma Bing membungkuk hormat terus
memutar tubuh lari
turun gunung, hatinya terasa seperti kehilangan sesuatu.
Mendadak terpikirkan suatu akal dalam benaknya, diam2 ia
manggut2 girang.
Pikirnya saat ini memang dirinya tengah akan menuju ke Lembah
kematian, mengandal Pedang darah dia hendak minta
Bunga iblis. Jikalau Kangkun Lojin menguntit dirinya dan
menemukan rahasia lembah kematian itu, ini tidak terhitung
dirinya melanggar sumpah. Tapi dengan kedudukan dan ketenaran
nama Kangkun Lojin, apa dia bakal berbuat begitu"
Memang besar hasratnya hendak melakukan sesuatu untuk
membantu kesukaran orang tua ini, namun hakikatnya kenyataan
ini tidak mengijinkan ia berbuat begitu.
Pengalamannya kali ini se-akan2 dialami dalam mimpi belaka.
Bahwa dirinya bisa terpilih sebagai ahli waris Raja didalam
perkampungan bumi benar2 suatu hal yang aneh diluar tahunya.
Ber-hari2 kemudian tibalah dia dijalan raya, setelah mencari tahu
baru diketahui tempat dimana sekarang dia berada kira2 terpaut
ribuan li jauhnya dari tempat pertempuran waktu melawan Rasul
penembus dada dulu, diam2 ia melelet lidah.
Setelah menimang2 bergegas dia mengambil jalan yang langsung
menuju ke Bu kong san. Membekal Pedang darah untuk mohon
Bunga iblis, ini bukan saja tujuan utama yang tengah di-impi2kan,
juga merupakan pesan terakhir dari Gurunya Sia sin Kho Jiang
sebelum ajal, dan yang lebih tepat boleh dikatakan sebagai cita2
yang belum terlaksana oleh ayahnya yaitu Su hay yu hiap Suma
Hong. Setelah Pedang darah dan Bunga iblis dapat disatu padukan pasti
dirinya dapat mempelajari ilmu yang tiada taranya, kelak pastilah
terkabul cita2nya untuk menuntut balas dendam perguruan dan
sakit hati orang tua pasti dapat dihimpas. Lantas dari sini terpikir
juga akan ibundanya San hoat li Ong Fan lan yang belum diketahui
mati hidupnya. Jikalau ibundanya belum ketemu, maka para
musuhnya yang dulu kala ikut mengeroyok ayahnya pasti susah
diselidiki jejaknya.
Sumber berita yang paling utama dapat diandalkan hanya Iblis
timur seorang, namun Iblis timur sudah mati dibawah
cundrik Rasul penembus dada. Dan orang kedua adalah Loh Cu gi.
Tapi saat ini mungkin dirinya masih bukan tandingannya Loh Cu
gi. Apalagi Loh Cu gi belum tentu mau memberi keterangan
siapa2 saja yang ikut serta dalam pengeroyokan dan perebutan
Pedang darah itu, ini merupakan suatu soal juga.
Teringat akan Loh Cu gi, mendidih darahnya, murid murtad
perguruan, algojo pembunuh ayahnya, bajingan besar yang
memperkosa ibundanya, rasanya hanya dibunuh saja manusia
durhaka ini masih belum dapat melunasi kejahatan yang sudah
diperbuatnya. Tengah kakinya melangkah, tiba2 teringat olehnya akan tiga
cangkir darah pusaka naga bumi yang telah diminumnya itu,
menurut kata Pit Yau ang Lwekangnya sekarang sudah bertambah
dalam seumpama berlatih enam puluh tahun. Jikalau menurut
Lwekangnya sekarang dikombinasikan sebagai landasan dari ilmu
Kiu yang sin kang entah dapat mencapai tingkat keberapa, apakah
dapat menandingi latihan Loh Cu gi"
Otaknya bekerja matanya pun menjelajah keempat penjuru,
tampak rimba lebat disebelah depan sana membelakangi sebuah
bukit kecil, maka segera ia putar haluan menuju kepinggir bukit,
disitu ia hendak mencari suatu tempat tersembunyi, untuk melebur
kekuatan dari darah pusaka naga bumi kedalam Kiu yang sin kang.
Tidak lama kemudian tibalah dia diluar rimba lebat itu, sekian lama
dia belak belok menerobos semak belukar didapatinya dibawah
bukit sebelah sana terdapat sebuah gua, pikirnya, tempat ini sangat
tersembunyi tentu tiada sembarangan orang dapat menerobos
datang mengganggu.
Sekali berkelebat tubuhnya melesat kearah mulut gua. Mendadak
Suma Bing menjerit kaget dan menghentikan luncuran tubuhnya,
matanya mendelong mengawasi lepotan darah yang berceceran
menjurus kedalam gua.
Darah manusia ataukah darah binatang" Dilihat dari warnanya,
darah yang berlepotan diatas tanah
ini pasti belum lama ini saja. Se-konyong2 terdengar suara napas
ngos2an dari dalam
gua diselingi keluhan kesakitan yang luar biasa, karena ditekan
maka suara itu hampir tidak terdengar.
Itulah suara manusia! Pasti seseorang terluka berat didalam gua
ini, begitulah setelah me-nimbang2, kakinya melangkah maju dan
berseru keras kearah gua: "Sahabat manakah yang berada
didalam gua?"
Suara keluhan dan napas memburu itu seketika berhenti, tapi
tanpa terdengar reaksi apa2.
Sekali lagi Suma Bing berseru: "Siapa itu yang didalam?"
"Siapakah yang diluar?" terdengar suara penyahutan yang
lirih tapi nyaring. Tanpa terasa Suma Bing melengak, ternyata
orang didalam itu adalah seorang perempuan. Entah bagaimana dia terluka
didalam gua di tengah2 hutan belukar begini" Maka serunya lagi
lebih lantang: "Agaknya nona terluka berat?"
"Tidak!" "Tidak" Bukankah kau tadi mengeluh kesakitan dan
darah..." "Aku..." "Kau bagaimana?" "Tidak... apa2, silahkan kau
menyingkir." Karena tertarik dan ingin tahu, Suma Bing
berkeputusan hendak mengetahui kejadian sebenarnya secara jelas, alisnya
dikerutkan, katanya: "Dapatkah kiranya aku yang rendah
menyumbangkan tenagaku?"
Ber-kali2 terdengar pula suara keluhan dan gerengan sakit yang
tertahan, se-akan2 dia sangat menderita menahan rasa sakitnya
itu. Maka lebih besar rasa curiga Suma Bing, lantas serunya sekali
lagi: "Sudah terang kalau nona terluka berat, mungkin cayhe
dapat membantu?"
Suara perempuan itu terdengar agak mendongkol: "Ketahuilah...
bukan... terluka. Kau! Mengapa begitu cerewet... bertanya saja?"
Suaranya lemah menggagap ter-putus2, ini menandakan suara
hatinya bertentangan dengan keadaannya, tapi mengapa dia
menolak bantuan orang lain" Ini tentu ada latar belakangnya yang
mencurigakan"
Orang itu adalah seorang perempuan, sudah tentu Suma Bing
tidak bisa memaksa harus berbuat bagaimana. Walaupun hatinya
penuh tanda tanya, tapi apa boleh buat. Maka pikirnya, kalau kau
menolak bantuanku, baiklah aku tinggal pergi saja!
Baru saja ia hendak mengundurkan diri, tiba2 suara perempuan itu
balik bertanya: "Siapakah tuan ini?"
"Cayhe Suma Bing!" "Apa" Jadi kau adalah Suma Siau hiap
yang kenamaan itu?" "Tidak berani aku terima puji
sanjunganmu yang berlebihan
itu, memang itulah Cayhe." "Kalau begitu..." "Nona siapa?" "Aku
bernama... Thong Ping..." lalu disusul suara keluhan
dan gerengan yang menghebat. Alis Suma Bing dikerutkan
semakin dalam, tak tertahan lagi
ia bertanya: "Apakah nona terluka berat?"
"Ti... dak..."
"Lalu apakah yang terjadi?" "Aku... aku..." "Kau kenapa?"
"Aku... aduh..." "Bolehkah cayhe masuk untuk memeriksa?"
"Jangan... sekali2 kau... jangan masuk... aduh!" Suma Bing
menjadi serba susah dan garuk2 kepala. Entah
perempuan yang mengaku bernama Thong Ping ini tengah
bermain sandiwara apa.
"Sebenarnya nona kenapa?" "Tidak... apa!" "Kalau nona
memang ada kesukaran yang sulit untuk
dibantu, terpaksa cayhe minta diri..." "Tidak... Suma Siau hiap,
kau... jangan pergi!" "Tapi nona harus menjelaskan yang
sebenarnya kepada..." "Aduh... Suma Siau hiap... harap kau...
menunggu sebentar
diluar... aku... aduh!" lagi2 terdengar suara pekik kesakitan lebih
keras, sedemikian menusuk hati suara kesakitan itu sehingga mendirikan
bulu roma. Terpaksa Suma Bing berdiri diluar gua dengan bingung
keadaannya serba runyam.
Se-konyong2 terdengar suara tangis bayi yang nyaring dari dalam
gua.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika merinding seluruh tubuh Suma Bing. Ternyata
perempuan bernama Thong Ping ini bersembunyi dalam gua untuk
melahirkan. Lalu dia minta dirinya menunggu sebentar untuk apa"
Ya, betul, mungkin dia akan minta dirinya panggil dokter dan beli
obat, atau mungkin...
35. RACUN DIRACUN MANUSIA LAKNAT.
Sepeminuman teh kemudian baru terdengar suara Thong
Ping yang lemah tak bertenaga: "Suma Siau hiap silahkan kau
masuk!" Sekarang Suma Bing menjadi ragu2 malah, tapi akhirnya
mengeraskan kepala dia memasuki gua itu.
Diujung gua sebelah sana, tampak seorang wanita duduk
menggelendot didinding batu, rambutnya awut2an, tangannya
mengemban seorang orok yang baru lahir.
Satu tombak dihadapan perempuan itu Suma Bing menghentikan
langkahnya, wajahnya merah jengah, katanya: "Nona Thong
bagaimana bisa..."
Thong Ping angkat kepala, sebelah tangannya menyingkap rambut
yang menutupi mukanya, terlihatlah wajahnya yang pucat tapi ayu
menggiurkan, katanya lemah: "Suma Siangkong, ada satu urusan
hendak kuminta bantuanmu?"
"Silahkan katakan!" Sepasang mata Thong Ping yang jeli itu
mendadak memancarkan cahaya dingin yang menakutkan, katanya sambil
kertak gigi: "Aku minta kau membunuh seorang!"
"Membunuh orang?"!" Jantung Suma Bing me-lonjak2 keras,
serta merta dia
mundur selangkah. "Benar, membunuh seorang, tidak, dia bukan
terhitung manusia, seekor binatang yang kejam dengan kedok manusia!"
"Siapa dia?"
"Ayah dari orok celaka ini." Lagi2 Suma Bing terkejut, tanyanya
berjingkrak: "Apa, kau
ingin aku membunuh suamimu?" Air mata meleleh dengan
derasnya dikelopak mata Thong
Ping katanya sesenggukan: "Dia bukan suamiku, kita belum
pernah menikah, dia hanya mempermainkan aku..."
"Siapakah dia?" "Racun diracun!" "Siapa?" "Racun diracun!"
Suma Bing bagai mendengar geledek dipinggir telinganya
tanpa kuasa tubuhnya terhuyung hampir roboh. Sungguh tidak
kira Racun di racun bisa mempermainkan seorang perempuan
yang tidak berdosa. Memang sepak terjang Racun diracun susah
dijajaki, sudah beberapa kali dia menanam budi atas dirinya,
malah tanpa syarat mengembalikan Pedang darah kepada dirinya.
Menurut apa yang dikatakan Hui Kong Taysu dari Siau lim si
bahwa Racun diracun ternyata adalah sealiran dengan Pek Kut
Hujin, sedang Pek Kut Hujin juga sudah berulangkali memberi
bantuan yang tidak ternilai kepada dirinya. Haruskah dia melulusi
permintaan Thong Ping. Tapi, perbuatan Racun diracun kali ini
benar2 mendirikan bulu roma.
Kata Thong Ping membesut airmata: "Suma Siau hiap apa kau
kenal Racun diracun?"
"Begitulah seorang manusia aneh dengan seluruh badan hitam
legam, manusia paling beracun diseluruh dunia!"
"Itu bukan wajahnya yang asli."
"O!" "Dia berkepandaian suatu tenaga dalam yang dapat merubah
bentuk wajahnya dalam sekejap mata..."
Diam2 Suma Bing manggut2, memang dia pernah dengar akan
ilmu Kun goan tay hoat ih sek suatu ilmu yang paling susah
dipelajari. Kata Thong Ping lagi: "Wajah aslinya walaupun tidak begitu
ganteng tapi juga cukup gagah, siapa tahu, dia... hatinya jahat
melebihi serigala."
"Dia menelantarkan nona?" Air mata, meleleh lagi lebih deras
kata Thong Ping dengan
nada kebencian yang ber-limpah2: "Dia menipu cintaku menodai
tubuhku, waktu aku sadar kalau aku sudah mengandung dan minta
supaya segera kita menikah, dia..."
"Dia bagaimana?" "Dia berkata bahwa aku bukan calon istri
yang diangan2kan
dia minta aku melupakan dia..." Suma Bing ikut gusar dibuatnya,
dengusnya: "Lalu dia
menelantarkan nona?" "Tidak sampai disitu saja!" "Masih ada
ekornya?" "Akhirnya kejadian ini diketahui oleh ibuku, kontan dia
dicaci maki. Dalam gusar dan malunya, ternyata..." "Bagaimana?"
"Dia bunuh ibuku menggunakan racun tanpa bayangan!"
Bercerita sampai disini Thong Ping tak kuat menahan duka
dan keperihan hatinya, seketika ia muntah darah. "Keparat kejam
yang harus dibunuh!" teriak Suma Bing
dengan gemesnya.
Terbayang juga kematian adik Siang Siau hun dengan Li Bun siang
yang juga dibunuh oleh Racun diracun yang menggunakan Racun
tanpa bayangan juga, memang Racun diracun harus ditumpas dan
dilenyapkan dari alam semesta ini.
Tapi, teringat pula akan hutang budinya yang belum sempat
terbalas, seketika dingin perasaan hatinya.
Agaknya Thong Ping ini sangat teliti dan cermat sekali, dia sudah
melihat kesukaran2 yang bakal dialami Suma Bing maka katanya
lagi: "Suma Siau hiap, kalau kau ada kesukaran, permohonanku
itu anggaplah omong kosong saja!"
Suma Bing berpikir cepat, manusia yang tidak berperikemanusiaan
ini mana boleh dibiarkan tinggal hidup didunia ini, budi dan dendam
harus dibedakan, melenyapkan kejahatan adalah tugas utama bagi
kaum ksatria, maka sahutnya sambil kertak gigi: "Nona Thong,
baiklah aku akan bunuh dia"
Tubuh Thong Ping mendadak membungkuk maju mendekam diatas
tanah dan berkata: "Suma Siangkong, harap terimalah hormatku
ini!" "Tidak... tidak... mana boleh begitu!" Suma Bing mencak2
menyingkir, karena tidak leluasa dia
membimbing bangun maka dia minggir kesamping. Thong Ping
duduk seperti semula, katanya sambil tertawa
pahit: "Suma Siau hiap, konon kabarnya bahwa Siau hiap tidak
takut akan segala racun berbisa. Maka selain kau seorang Siau
hiap, mungkin tiada seorangpun dalam Bu lim yang dapat
membunuh Racun diracun. Memang Tuhan maha adil, dia
mengutus Siau hiap kemari..."
Kata Suma Bing menegaskan: "Nona Thong, pasti aku dapat
menyelesaikan urusan ini."
"Siau hiap walaupun harus mati aku Thong Ping juga sangat
berterima kasih akan budimu ini"
"Nona jangan berkata demikian, manusia jahat berhati binatang
seperti dia itu, siapapun wajib melenyapkannya."
Thong Ping sesenggukkan lagi, ujarnya: "Siau hiap semua sudah
kusampaikan, silahkan berangkat"
Alis Suma Bing berkerut, hatinya tidak tega tinggal pergi begitu
saja, katanya: "Nona bagaimana dengan kalian ibu beranak?"
"Kami ibu beranak" hahahahaha..." "Nona kau..." Thong Ping
menghentikan tawanya, katanya: "Suma Siau
hiap, apa kau beranggapan aku Thong Ping masih ada harganya
tetap hidup?"
Tanpa terasa bergidik tubuh Suma Bing: "Nona, yang sudah lalu
anggaplah sebuah mimpi yang paling buruk dilupakan sajalah."
"Ini, dapatkah dilupakan?" "Tapi nona, masih ada bayi ini..."
"Hehehe... hihihi... bayi, anak celaka ini biar kubunuh saja
dengan tanganku sendiri!" nada ucapannya sedemikian seram
dan menyayat hati, mendirikan bulu roma.
Ber-ulang2 Suma Bing bergidik seram, katanya penuh haru:
"Nona, sebuas2 macan dia takkan menelan anaknya sendiri jelek2
dia adalah anak yang kau lahirkan?"
Thong Ping agak tercengang. lalu katanya menggigit gigi: "Dia
anak haram!"
"Kau salah nona Thong, anak ini tidak berdosa, dosa orang tua
mana dapat kau limpahkan ketubuh orok kecil yang baru lahir
ini." Pada saat itulah mendadak sang bayi itu menangis dengan
kerasnya, se-olah2 dia tengah meronta dan menentang akan
nasib jeleknya yang bakal dihadapinya.
Dengan berlinang airmata Thong Ping menggumam: "Anak ini
tidak berdosa?"
Suma Bing manggut2, katanya: "Nona Thong bagaimana juga dia
adalah anak yang kau lahirkan, kau adalah ibu dari bayi ini!"
Thong Ping menunduk lekat2 mengawasi bayi dalam buaiannya,
sinar matanya memancarkan cahaya cerlang cemerlang yang aneh,
sedemikian tenang dan welas asih sedikit juga tidak mengandung
kebencian lagi, itulah cinta ibunda pertanda dari kemajuan
perikemanusiaan.
Diam2 Suma Bing menghela napas lega, tanyanya: "Nona Thong
masih ada kerabat siapa lagi dalam rumahmu?"
"Masih ada adik laki2 yang masih belum dewasa!" "Lebih baik
nona pulang saja, kalau bundamu sudah
meninggal secara mengenaskan, janganlah adikmu sampai
terlunta2 dan hidup sengsara!"
Mendengar bujukan yang menusuk hati ini seketika
menggerung2lah tangis Thong Ping.
Suma Bing diam saja tanpa suara membiarkan orang menangis
sepuas2nya. Memang dia perlu menangis perlu akan mencuci
bersih segala dukacita dan keputusasaannya, melampiaskan
kesedihan dan kedongkolan hatinya. Lama dan lama kemudian
baru Thong Ping menghentikan tangisnya.
"Nona Thong dimanakah kau tinggal?" "Aku tinggal di Thong
keh kip jalan Kip bwe nomor dua
dalam wilayah Su cwan!" "Baiklah, nona Thong sekarang aku
minta diri, kelak kalau
ada kesempatan pasti aku mampir kerumahmu!"
"Siau hiap, terima kasih akan keluhuran budimu ini..." "Ini tidak
terhitung budi apa segala, nona terlalu berat
berkata!" "Kata2 emas Siau hiap tadi menyadarkan kesesatan
pikiranku, itu berarti kau telah menolong jiwa kita ibu beranak..."
"Nona jangan kau berkata demikian, harap jagalah dirimu dan
anakmu baik2, cayhe minta diri."
Habis berkata segera ia mengundurkan diri keluar gua sebetulnya
tujuannya semula adalah hendak mencari suatu tempat untuk
melebur Kiu yang sin kang dengan tenaga barunya, sungguh tidak
diduga disini ia menghadapi kejadian yang paling menyedihkan
dalam dunia ini. Sekian lama dia termangu memandang mulut gua,
lalu menghela napas panjang, batinnya: 'Seorang wanita yang
harus dikasihani.'
Sekali melejit, secepat terbang dia berlari menuju kepuncak bukit
dibelakang rimba sebelah sana. Dia harus segera mencari suatu
tempat untuk berlatih diri. Beruntun dia lewati tiga puncak bukit,
namun sebegitu jauh belum menemukan tempat yang strategis
untuk latihannya, diam2 hatinya mulai gugup.
Karena latihan Kiu yang sin kang ini paling mudah Cap hwe ji mo
atau tersesat, sedikitpun tidak boleh sampai terganggu. Begitulah
setelah celingukan kesana kesini, dilihatnya tidak jauh disebelah
bawah sana terdapat sebuah selokan tersembunyi, bangkitlah
semangatnya. Selokan ini jauh dibawah sana kira2 sedalam ratusan tombak,
seumpama jagoan kelas satu dari kalangan Kang ouw juga sukar
dapat turun kesana, sejenak setelah diukur2 segera ia
kembangkan ilmu gerak naik dari Bu siang sin kang, tubuhnya
sedemikian enteng bagai daun melayang pelan2 menurun, tidak
lama kemudian dengan ringannya kakinya menginjak tanah
didasar selokan sempit itu. Dipilihnya sebuah
batu cadas besar yang menonjol keluar seperti sayap seekor
burung, mulailah dia berlatih diri.
Te liong po hiat atau darah pusaka naga bumi itu betul2 mustajab
dan mandraguna sedikit saja ia kerahkan tenaga hawa murni
dalam tubuhnya segera bergejolak dengan kerasnya bagai sumber
air yang ber-gulung2 menyemprot keluar. Menurut teori pelajaran
Kiu yang sin kang pelan2 dia tuntun hawa murni itu meresap
masuk kedalam pusar dan mulai dilebur dan digodok bersama.
Kira2 setengah hari kemudian, seluruh tubuhnya sudah tertutup
oleh kabut tebal yang berwarna merah menyolok mata, hawa
panas ber-gulung2 melingkupi lima tombak sekitarnya.
Pada saat itulah sebuah bayangan manusia bagai bayangan
malaikat saja melayang tiba menghampiri kedekat Suma Bing.
Sudah sedemikian dekat tapi sedikit juga Suma Bing tidak
mengetahui, latihannya sedang mencapai titik terakhir.
"Ha, Kiu yang sin kang!" mendadak bayangan itu berpekik
ke-gila2an. Kontan buyar dan hilang kabut merah itu lalu disusul jeritan yang
menyayat hati. Seketika Suma Bing roboh terkapar tanpa
bergerak, dari panca indranya mengalir darah segar dengan
derasnya. Bayangan itu agaknya juga sangat kaget, sekali lagi dia berseru
kejut: "Tersesat!"
Untung Lwekang Suma Bing sudah mencapai kesempurnaannya
apalagi jalan darah mati hidup sudah tembus, cepat2 ia tutup sendiri
jalan2 darah penting untuk merintangi darah berputar dan
menerjang balik. Walaupun demikian tidak urung separuh badannya
sudah kaku tak dapat bergerak lagi.
Mimpi juga dia tidak mengira bahwa diselokan dibawah jurang
begini bakal ada orang lain yang datang kemari.
Waktu dia pentang matanya memandang, terlihat tiga tombak
disebelah sana berdiri seorang pemuda yang berwajah putih
ganteng, matanya mendelong mengawasi dirinya.
Dia insaf karena seruan kaget yang mendadak tadi sehingga
membuat latihannya tersesat, meskipun dia dapat segera
mencegah akan akibat yang lebih mengenaskan sehingga jiwanya
tertolong dari kematian, tidak urung separuh tubuhnya sudah
menjadi cacat, ini sudah terang menjadi kenyataan. Betapa sedih
dan pilu hatinya beratus kali lebih sengsara dari kematian.
Seandainya lantas mati malah akan beres dan tidak bikin kapiran,
paling celaka kini badannya mati separuh malah harus menghadapi
lagi kenyataan hidup dengan pahit getir ini, benar2 lebih baik mati
daripada hidup menderita begini. Seketika airmata ber-linang2,
hatinya seperti di-sayat2 dukanya luar biasa. Hampir saja dia
melupakan biang keladi atau durjana yang menyebabkan semua
kecelakaan ini.
Pemuda itu berkerut alis, lalu membuka mulut: "Karena
keteledoran cayhe sehingga saudara tersesat dalam latihan,
sungguh aku sangat menyesal dan beribu2 maaf!"
Suma Bing melotot beringas mengawasi pemuda itu, katanya:
"Sekarang aku sudah celaka, cukup dengan minta maaf saja
pertanggungan jawabmu?"
Sikap pemuda itu acuh tak acuh, sahutnya: "Lalu saudara maunya
bagaimana?"
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Darah semakin merangsang dijantung Suma Bing, gusarnya bukan
kepalang, serunya gemetar: "Sebenarnya ada permusuhan atau
dendam apa aku dengan kau?"
"Permusuhan atau dendam sakit hati sih tidak ada"
"Kau juga seorang persilatan, masa pengetahuan umum yang
cetek begini saja tidak tahu?"
"Tadi sudah kukatakan keteledoran yang tidak disengaja."
"Gampang dan ogah2an benar sikapmu ini?" Si pemuda
menarik muka, katanya mendesis: "Seumpama
memang aku sengaja mencelakai kau, kenapa harus diributkan?"
Hampir meledak jantung Suma Bing, ingin benar rasanya sekali
pukul dia hancurkan pemuda kurangajar ini, namun badannya
sudah tidak mampu bergerak terpaksa dia kertak gigi: "Karena
kata2mu itu kau setimpal untuk dibunuh!"
"Siapa berani membunuh aku" Siapa bisa membunuh aku"
Hahahahaha!"
"Dengan perbuatanmu ini, cepat atau lambat pasti ada orang yang
bakal membunuhmu!"
"Kau ingin mati?" "Kau berani?" Si pemuda tertawa
menyeringai, ejeknya: "Membunuh
orang terhitung apa, apa perlu dipersoalkan berani atau tidak
berani apa segala. Ketahuilah, tanpa menggerakkan tangan aku
dapat..." "Bagaimana?" "Eh, kau... yang kau latih tadi adalah Kiu yang
sin kang, bukankah kau ini yang bernama Suma Bing?" Suma Bing tertegun,
tanyanya: "Kalau benar kau mau
apa?" Berubah air muka si pemuda, suaranya gemetar: "Benar
kau adalah Suma Bing?"
"Tidak salah!"
"Wah ini benar2 celaka!" Suma Bing menjadi melengak heran,
entah apa maksudnya
dengan ucapan celakanya itu, maka tanyanya tak mengerti:
"Apanya yang celaka?"
Agaknya kaget si pemuda masih belum hilang, matanya termangu
dan mulutnya menggumam: "Kesalahan sudah sudah terjadi, ini...
bagaimanakah baiknya?"
Suma Bing tambah tidak paham, suaranya semakin gemetar:
"Siapakah kau ini?"
"Aku" Lebih baik jangan kau tanyakan, mungkin akan datang
suatu hari kau bisa tahu. Suma Bing, selamanya aku membunuh
orang tanpa banyak pikir, tapi terhadap kau aku tak bisa turun
tangan. Mengenai urusan kali ini benar2 aku sangat menyesal dan
minta maaf. Kira2 satu jam lagi pasti ada orang datang, aku harus
segera pergi!"
Habis suaranya tubuhnya melesat terbang dalam sekejap mata
saja bayangannya sudah menghilang, kecepatan gerak tubuhnya
itu benar2 sangat menakjubkan.
Suma Bing termangu memandangi bayangan orang menghilang
dari penglihatannya, sepatah katapun tidak mampu diucapkan lagi.
Sifat pemuda itu bukan saja kejam juga licik banyak tipu
muslihatnya, ini dapat didengar dari nada perkataannya.
Dia mengatakan satu jam lagi bakal datang seseorang, orang
macam apakah yang bakal tiba" Latihannya sudah tersesat,
separuh tubuhnya juga sudah mati kaku, seumpama orang datang
apalagi gunanya.
Badan Suma Bing serasa lemas tak bertenaga, begitu mata
dipejamkan, bayangan pengalaman lalu segera berkelebatan
dalam benaknya, diantaranya rasa dendam sakit hati, cinta,
menuntut balas dan budi kebaikan para kawan, seumpama
ujung pedang menusuk ulu hatinya, 'Kalau aku tidak mati, aku
harus membunuhnya!' demikian ia bertekad dalam hati.
Tiba2 dia tertawa keras menggila dengan suara serak, kegelapan
dan keputus-asaan tanpa berujung pangkal mulai mendatang
melingkupi dirinya, dapatkah dirinya sembuh lagi seperti sedia
kala" Ini benar2 merupakan angan2 kosong dalam impian belaka,
bahwa dia masih helum mati karena latihannya ini tersesat sudah
merupakan untung yang paling besar.
Tengah pikirannya me-layang2 ini, sebuah bayangan berkelebat
lagi didepan matanya.
Kiranya pemuda licik itu lagi yang muncul. Waktu pandangan
Suma Bing beradu pandang dengan
sinar mata si pemuda yang berjelalatan tak henti2nya itu, tanpa
terasa dia bergidik gemetar, dia pergi dan kembali lagi, pasti ada
maksud2 jahat apalagi yang hendak diperbuatnya.
Si pemuda menyeringai dingin, katanya: "Suma Bing, aku teringat
sesuatu..."
"Sesuatu apa?" bentak Suma Bing bengis. "Bukankah Pedang
darah berada ditanganmu?" Suma Bing semakin murka dan
berputus asa, kiranya dia
kembali lagi karena ingin merebut Pedang darah dari tangannya.
Setelah mengalami berbagai rintangan baru Pedang darah ini
diserahkan oleh Racun diracun kepadanya, jikalau hilang lagi,
semua angan2nya bakal kandas seluruhnya. Memang keadaan
dirinya sekarang ini mana mungkin dapat melindungi Pedang darah
itu sehingga tidak sampai terebut oleh lawan.
Tentang Pedang darah berada ditangannya, selain pihak Bwe hwa
hwe tiada orang lain yang tahu. Apa mungkin pemuda licik ini
adalah dari pihak Bwe hwa hwe"
Kalau dia memang benar dari Bwe hwa hwe mengapa tidak
segera mencabut jiwanya" Ini tidak benar. Lalu bagaimana bisa
dia mengetahui kalau dirinya menyimpan Pedang darah"
Pelan2 si pemuda mendekat kehadapan Suma Bing, tangan
diulurkan dan katanya: "Suma Bing, serahkan kepadaku!"
"Siapakah kau sebenarnya?" "Aku, tiada halangannya
kuberitahu, aku bernama Phoa Cu
giok!" "Phoa Cu giok?" "Benar!" Rasa kebencian yang me-luap2
merangsang hati Suma
Bing, serunya beringas: "Phoa Cu giok, akan datang satu hari
kubeset dan kucacah tubuhmu."
Phoa Cu giok ganda menyeringai, katanya tertawa: "Selama
hidupmu kau takkan mampu berbuat apa2, tapi, meskipun
mulutmu kurangajar, aku tetap segan membunuh kau. Kau sendiri
tahu, setelah latihanmu tersesat kau tidak akan dapat hidup lama
lagi!" Suma Bing menjerit kalap seperti orang gila, darah menyemprot
dari mulutnya. Phoa Cu giok maju lagi dua langkah, secepat kilat ia cengkram
tangan Suma Bing yang masih dapat bergerak, sedang tangan
yang lain mencengkram kebaju didepan dadanya. 'Bret!' sebilah
pedang kecil sepanjang satu kaki sudah berada ditangan Phoa Cu
giok. Duka dan gusar merangsang bersamaan, kontan Suma Bing
jatuh pingsan. Entah sudah berselang berapa lamanya, akhirnya Suma Bing baru
tersadar. Perasaan pertama yang dirasakannya adalah se-akan2
dirinya berada dipelukan seseorang, bau wangi juga segera
merangsang hidung, dipinggir telinganya
terdengar sebuah suara halus mesra tengah memanggil dirinya:
"Engkoh Bing, engkoh Bing!"
Waktu dia membuka mata keruan kejutnya luar biasa,
dihadapannya berdiri bibinya Ong Fong jui, ternyata dirinya rebah
dipangkuan istrinya Phoa Kin sian.
Mereka guru dan murid bisa muncul ditempat itu benar2 diluar
sangkanya. Pertama kali melihat keluarga terdekat setelah
mengalami bencana, tak urung Suma Bing yang terkenal berhati
baja dan keras kepala juga akhirnya mengucurkan air mata.
"Nak," ujar Ong Fong jui sambil mengerutkan alis dalam2, "Kau
tersesat dalam latihanmu?"
"Ya, begitulah!" "Bagaimana ini bisa terjadi?" "Kalau diceritakan
sangat panjang!" "Ceritakanlah pelan2!" Dengan sapu tangan
sutra Phoa Kin sian membesut
keringat diatas jidat Suma Bing, sehingga terasa kasih mesra
yang menghangatkan badannya.
"Bi, aku... dapatkah aku sembuh kembali?" "Nak, bibimu akan
sekuat tenaga membantumu sembuh
kembali, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai keadaanmu
jadi sedemikian rupa!"
Maka mulailah Suma Bing bercerita sejak dari mereka berpisah
tempo hari, ditengah jalan bersua dengan Rasul penembus dada
dan tertolong oleh pihak Perkampungan bumi dimana dia
dicalonkan sebagai ahli waris raja mereka begitulah dari mula
sampai akhir ia ceritakan dengan ringkas dan jelas. Selanjutnya,
dia mendongak memandang Phoa Kin sian dan berkata: "Adik Sian,
aku berbuat salah terhadapmu!"
Sahut Phoa Kin sian lemah lembut: "Ini tidak bisa salahkan kau!"
Ong Fong jui menghela napas ringan, katanya: "Nak,
pengalamanmu didalam Te po aku dan Kin sian sudah
mengetahui!"
"Apa, bibi Jui sudah tahu" Darimana bibi bisa tahu?" "Tengah
hari yang lalu aku sudah bertemu dengan
Kangkun Lojin!" Suma Bing terperanjat: "Apa bibi Jui kenal
dengan Kangkun Lojin?" "Tidak kenal, sudah lama kudengar ketenarannya!"
"Bagaimana bisa..." "Mata telinga pihak Te po sangat awas dan
jeli, siang2 mereka sudah tahu hubunganmu dengan Kin sian. Adalah Sim
tong Tongcu Song Liep hong dari perkampungan bumi itulah yang
menuntun orang tua itu menemui aku!"
Baru sekarang Suma Bing paham, kiranya waktu diluar jalan
rahasia itu, tugas yang diserahkan kepada Kangkun Lojin oleh Te
kun itu ternyata adalah soal ini.
Ujar Ong Fong jui lagi: "Kangkun Lojin mendapat pesan dari Te
kun, untuk merembukkan tentang persoalanmu masuk warga
dalam perkampungan bumi, aku sudah melulusi mereka."
Suma Bing melengak: "Bibi sudah melulusi!" "Kayu sudah
menjadi perahu, apalagi Kangkun Lojin sendiri
yang ikut campur, terpaksa aku harus setuju!" "Tapi bagaimana
adik Sian..." "Kin sian paham dan maklum akan keadaanmu, ini
tiada persoalan baginya!"
"Tapi aku... selalu merasa tidak tentram bibi Jui, aku..."
"Kenapa?" "Aku berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke Te
po!" "Tidak bisa, cara memilih menantu sudah merupakan
tradisi bagi mereka, peraturan ini sudah menjadikan undang2 tetap
dikalangan Kangouw. Apalagi kau dengan Pit Yau ang sudah
melangsungkan upacara pernikahan secara resmi, bagaimana
rasa tanggung jawabmu kepadanya?"
Sampai sekarang Suma Bing masih rada dongkol dan jengkel,
sahutnya: "Mereka menipu aku!"
"Nak, kau tidak bisa berkata demikian!" "Lalu adik Sian?"
"Sudah tentu dia ikut kau ke Te po!" "Ini..." "Kin sian sendiri
sudah setuju!" Suma Bing memandang istrinya dengan penuh
penyesalan yang tak terhingga, betapa resah perasaan hatinya susah
dikatakan. Sebenarnya cinta itu sangat egois, adalah sebaliknya bagi Phoa Kin
sian waktu mengetahui suaminya terjatuh kedalam pelukan
perempuan lain, bukan saja tidak mengunjuk perasaan cemburu,
malah sinar wajahnya mengunjuk rasa girang berseri, ini benar2
susah dimengerti.
Ong Fong jui mengalihkan pokok pembicaraan: "Nak, kau masih
belum menceritakan bagaimana kau bisa tiba ditempat selokan
yang tersembunyi ini."
Lagi2 Suma Bing harus dipaksa mengenang kenyataan yang
menyedihkan itu, katanya penuh kebencian: "Tit ji (keponakan)
diberi minum tiga cangkir darah pusaka naga bumi. Aku ingin
melebur tenaga baru ini kedalam ilmu Kiu
yang sin kang, maka akhirnya kupilih tempat selokan yang
tersembunyi ini untuk berlatih, sungguh tak terduga ditengah
jalan aku mendapat gangguan..."
"Siapakah yang mengganggu kau?" tanya Phoa Kin Sian terharu.
Sebaliknya Ong Fong jui segera mendengus dingin: "Tiada orang
lain pasti dia."
Suma Bing menjadi keheranan, naga2nya si pemuda yang
mengaku bernama Phoa Cu giok ada hubungan erat dengan Ong
Fong jui guru dan murid. Kalau tidak sebelum pergi Phoa Cu giok
juga tidak bakal mengatakan satu jam kemudian pasti ada orang
datang, maka pura2 tidak tahu dia bertanya: "Bibi Jui, siapakah
dia?" Mendadak tubuh Phoa Kin sian menggigil gemetar. Suma Bing
terbaring dalam pangkuannya sudah tentu dia merasa akan hal
ini, tanpa terasa tergerak hatinya.
Sejenak Ong Fong jui ragu2, lantas balas bertanya: "Apa kau tahu
siapa dia?"
"Dia mengaku dirinya bernama Phoa Cu giok!" "Hm, dia adalah
adik kandung Kin sian, juga adik iparmu!" Keruan Suma Bing
terperanjat, tidak diketahuinya bahwa
Cu giok ternyata adalah adik istrinya, bagaimana dia harus
membalas perhitungan ini"
Pada saat itu mendadak Phoa Kin sian melelehkan airmata dengan
derasnya. Panjang2 Suma Bing menghela napas katanya: "Adik
Sian, jangan kau berduka karena peristiwa ini, mungkin dia tidak
sengaja, aku... tidak salahkan dia."
"Engkoh Bing kau tidak tahu, kelak... ai, mungkin pada suatu hari
akan kuberitahukan kepada kau!"
"Apa?"
"Sekarang tidak bisa kukatakan!" "Sebenarnya apakah yang
telah terjadi?" "Ai" Mungkin aku berbuat salah, tapi sudah
terlambat!" Wajah Ong Fong jui berubah serius, katanya: "Kin
sian harus cari dia kembali." Tercetus ucapan Suma Bing: "Dia juga
membawa Pedang d a r a h k u ! " P h o a K i n s i a n me r e b a h k a n S uma B i n g
d i a t a s t a n a h , t e r u s
berjingkrak bangun serunya gemetar: "Apa dia membawa Pedang
darah?" Suma Bing mengiakan. Airmuka Ong Fong jui juga berobah
marah, serunya geram:
"Ada kejadian begitu, anak itu sudah tidak dapat ditolong lagi!"
Wajah Phoa Kin sian penuh airmata, katanya penuh duka: "Suhu,
engkoh Bing kuserahkan kepadamu, aku..."
"Kau kenapa?" "Bagaimanapun aku harus mencarinya kembali,
sedikitnya Pedang darah itu harus diminta pulang!" habis berkata tubuhnya
terus melejit terbang menghilang.
"Adik Sian!" "Kin sian!" Ong Fong jui dan Suma Bing berseru
berbareng, tapi Phoa
Kin sian bagai tidak mendengar, pada lain kejap bayangannya
sudah menghilang dikejauhan sana. Terang kalau keadaannya
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat itu sangat berduka dan sedih luar biasa...
Suma Bing menyesal dan menghela napas, katanya: "Hm,
kejadian ini benar2 diluar dugaan"
Wajah Ong Fong jui membesi kehijauan, suaranya mengandung
kebencian: "Phoa Cu giok banyak berbuat jahat dan bertabiat
rendah, akan datang suatu hari dia termakan akan buah
perbuatannya ini, malah mungkin bisa mencelakai cicinya sekalian!"
"Bibi Jui, Phoa Cu giok juga menjadi muridmu?" "Ya,
kupandang muka Phoa Kin sian maka kuterima dia
menjadi murid. Siapa tahu diluar bagus tapi busuk didalam kalau
dia tidak bisa merubah tabiatnya ini, tidak dapat tidak aku harus
menghukumnya menurut undang2 perguruan!"
"O, bibi Jui, bagaimana kau bersama Kin Sian bisa datang
diselokan yang tersembunyi ini?"
"Disinilah tempat aku menetap." "Tempat sepi ditengah alas
pegunungan ini?" "Tak lama lagi kau pasti dapat tahu,
sekarang lebih baik
kita kembali ketempat kediamanku dulu!" sambil berkata ia jinjing
tubuh Suma Bing terus berlari bagai terbang kearah selokan yang
lebih dalam sana, sekejap saja mereka tiba didepan sebuah gua.
Tanpa banyak pikir langsung Ong Fong jui terus menerobos
masuk. Gua ini sedemikian bersih dan nyaman sedikitpun tak
terlihat ada kotoran, ruangan dalam gua itu selebar tiga tombak
persegi, meskipun kecil namun dihias sedemikian rupa bagai
kamar seorang putri raja.
Langsung Ong Fong jui membaringkan Suma Bing diatas sebuah
dipan yang lengkap dengan kasur dan bantal guling.
Menyapu pandang keadaan ruangan ini berkatalah Suma Bing:
"Bibi Jui, disinikah tempat kediamanmu?"
"Bukan, ini hanya tempatku bersemadi." "Bibi Jui, mengenai
kabar ibunda..." Rona wajah Ong Fong jui berubah tak
menentu, katanya:
"Nak, sejak kuketahui riwayat hidupmu, setiap saat setiap
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ waktu selalu aku berusaha mencari... Sekarang jangan kita
perbincangkan soal itu, biar kuperiksa dulu lukamu itu."
"Dapatkah badanku sembuh kembali?" "Sekarang belum bisa
ditentukan, tapi, nak, aku akan
berusaha sekuat tenaga!" Sambil berkata tangannya diulur
menekan dan memeriksa
nadi jalan darah Suma Bing yang sebelah tubuhnya sudah tak
dapat bergerak lagi. Lama dan lama sekali tanpa bersuara.
Suma Bing menjadi risau dan tak sabar: "Bagaimana bibi Jui,
masih dapat ditolong?"
Ong Fong jui terpekur dalam se-olah2 tengah memikirkan
persoalan besar yang susah dipecahkan, begitulah dia berdiam diri
tanpa menyahuti pertanyaan Suma Bing. Kira2 setengah harian
kemudian baru dia menepuk dipinggir ranjang, dan berkata
seperti menggumam: "Terpaksa begitulah!"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Bibi Jui, lebih baik bagaimana?"
"Biar aku menempuh bahaya!" "Menempuh bahaya?" "Benar,
menggunakan tenaga murniku diaduk bersama
dengan Kan goan kay hiat sip meh tay hoat, untuk menjebol jalan
darahmu yang buntu karena latihanmu yang tersesat itu. Selain
dengan cara ini tiada cara lain yang lebih sempurna. Ingat, setelah
tenagamu pulih kembali, kalau melihat keadaanku sangat janggal
jangan kau gugup dan takut, kau harus tenang dan pindahkan saja
aku dikamar dalam disebelah gua ini..."
36. TABI B KEN AMA AN PEK CHI "Terletak dimanakah kamar dalam itu?" tanya Suma Bing penuh
was2. "Kau geser dipan ini tiga senti kekanan, pintu kamar dalam itu
akan membuka sendiri, kalau digeser lima senti kekiri dia akan
menutup sendiri pula..."
"Kenapa ini..." "Dengar, setelah kau pindahkan aku dikamar
sebelah, kau harus segera keluar dari selokan ini pergilah ke Yok ong bio di
Seng toh. kepada Pek Chio Lojin kepala dari biara itu, mintalah
sebutir Hoan hun tan. Dalam jangka waktu sepuluh hari kau sudah
harus kembali disini, masukkan Hoan hun tan itu kedalam
mulutku, lalu dengan Kiu yang sin kang kau bantu bekerjanya obat
itu, mungkin aku bisa selamat tanpa kurang suatu apa..."
Suma Bing berkuatir: "Untuk aku bibi Jui hendak menempuh
bahaya?" "Mana bisa aku melihat kau mati setelah cacat begini?" "Masa
tiada jalan lain?" "Tidak ada!" "Biarpun mati aku juga tidak
setuju!" "Omong kosong, kau sudah lupa dendam dan, sakit
hatimu, masih berapa banyak kebahagiaan orang lain tergantung diatas
tubuhmu, mana boleh kau pandang kematian begitu ringan!"
Suma Bing semakin berduka, airmata mulai meleleh keluar,
katanya: "Tapi kau bibi Jui..."
"Asal dalam sepuluh hari kau bisa mendapatkan Hoan hun tan,
aku tidak bakal mati."
"Kalau terjadi sesuatu..." "Serahkan saja
nasib kita kepada Tuhan!"
"Tidak!" Wajah Ong Fong jui berobah kaku membengis:
"Jangan kau membawa adatmu sendiri." "Bibi, jangan, jangan kau..."
"Jangan bergerak, sekarang mulai!" Beruntun Ong Fong jui
memukul se-keras2nya diduabelas
jalan darah suma Bing, lalu duduk bersila disamping Suma Bing,
kedua tangannya menekan jalan darah Bing bun dan Thian leng,
maka arus hawa hangat mulai disalurkan.
Bagaimana juga Suma Bing tidak rela Ong Fong jui menempuh
bahaya demi jiwanya namun dia tak kuasa melawan dan
mendebat, terpaksa dia mandah saja menerima pengobatan.
Sedemikian keras dan derasnya arus hawa hangat itu mengalir
bagai banjir air bah terus menerjang dan menjebol segala apa saja
yang merintang didepannya demikian juga semua jalan darah
Suma Bing yang buntu bobol pertahanannya.
Setelah menjebol tiga jalan darah besar, karena benturan hawa
hangat ini terlalu keras tak tahan lagi Suma Bing jatuh pingsan.
Waktu dia siuman kembali terasa jalan darahnya sudah normal
dan berjalan seperti biasa, hawa murninya penuh sesak bergairah,
ternyata semua tenaga murninya sudah terbaur didalam Kiu yang
sin kang, dalam berpikir2 itu gelombang panas masih mengalir
deras dalam tubuhnya.
Waktu pandang bibinya disamping, tampak wajahnya pucat pias,
tubuhnya rebah kaku tanpa bergerak, waktu diraba
pernapasannya sudah berhenti, kaki tangan juga sudah dingin,
tinggal jantungnya saja yang masih sedikit berdetak.
Betapa perih perasaan Suma Bing kala itu, sungguh dia tidak
berani membayangkan, kalau bibinya meninggal karena dirinya...
Mematuhi pesan bibinya dia geser dipan itu kekanan, mendadak
dinding sebelah kiri terbuka sebuah pintu, dimana terlihat sebuah
kamar lagi lebih besar dan lebih mentereng, tanpa banyak pikir
segera ia pindah tubuh bibinya kekamar dalam ini dan direbahkan
diatas ranjang lalu mulutnya menggumam: "Bibi, dalam sepuluh
hari, seumpama harus mengorbankan jiwa juga obat itu pasti
dapat kubawa kembali!"
Memandang awan yang terapung bebas ditengah udara hatinya
terasa kecut dan sedih. Sejak dirinya berkelana semua tugas yang
harus dikerjakan satupun belum ada yang membawa hasil. Entah
kapan tugas suci dan angan2nya bisa terkabul.
Perjalanan kali ini sebetulnya hendak menuju ke Lembah
kematian, dengan Pedang darah minta Bunga lblis, besar
harapannya dapat melatih ilmu sakti yang tiada taranya, supaya
leluasa dia menuntut balas, untuk menyumbangkan tenaganya
juga bagi kepentingan dan kesejahteraan kaum persilatan. Akan
tetapi, kenyataan semua berlawanan dengan kekendaknya, selalu
terjadi rintangan2 yang menjengkelkan ini, bukan saja dia
kehilangan Pedang darah, malah jiwa sendiri juga hampir
melayang. Saking marah istri tercinta lari mengejar adiknya yang tidak
berbakti dan banyak melakukan kejahatan, entah bagaimana
keadaannya sekarang"
Sekian lama dia terpekur mengenangkan pengalamannya yang
pahit getir itu, baru akhirnya dia tersadar akan tugas barunya ini,
menuju ke Seng toh minta sebutir Hoan hun tan di Yok ong bio.
Begitu Bu siang sin hoat dikembangkan seenteng burung dia
terbang keluar dari solokan terus menuju jalan raya langsung
menuju ke Seng toh.
Tidak jauh diluar kota Seng toh terdapat sebuah bukit kecil, diatas
bukit ini, dibangun sebuah biara yang kini sudah rusak dan bobrok
tidak terurus. Ditengah belandar diatas pintu
terpancang sebuah papan besar yang bercat merah dan sudah
luntur, samar2 diatas papan ini tertulis 'Yok ong bio' tiga huruf
besar warna kuning.
Waktu matahari sudah doyong kebarat, burung gagak mulai
cecowetan kembali kesarangnya, didepan Yok ong bio ini
mendatangi seorang pemuda berwajah dingin kaku.
Dia bukan lain adalah Suma Bing yang datang hendak minta
sebutir obat. Berdiri diluar biara Suma Bing termangu dan ber-tanya2 dalam
hati, biara ini sudah bobrok tidak terurus masa ada orang yang
mau datang bersembahyang disini, mungkinkah ada orang mau
mengurus biara bobrok ini"
Tapi ucapan bibinya pasti tidak salah, kedatangannya ini adalah
minta bantuan orang tidak boleh berlaku sembrono dan kurang
adat, maka dari tempatnya dia berseru kearah dalam. "Apakah
ada orang didalam, aku Suma Bing minta bertemu!" beruntun
tigakali ia berseru tanpa ada penyahutan.
Dingin perasaan Suma Bing, setelah bimbang segera ia berkelebat
memasuki pintu biara.
Biara ini tidak begitu besar, hanya terdapat sebuah ruang
sembahyang dan dua emperan samping yang memanjang
kebelakang. Rumput alang2 dipekarangan sudah setinggi pinggang
orang, malah undakan batu juga sudah berlumut, suara burung
gagak yang riuh rendah menambah keseraman keadaan
sekelilingnya. Hati Suma Bing kebat-kebit dan berdetak keras, naga2nya
perjalanannya ini menemui kegagalan lagi, sebab agaknya biara
ini tanpa penghuni. Kalau perjalanannya ini benar2 gagal tamatlah
riwayat hidup bibinya. Tengah berpikir itu tubuhnya melesat
menuju ruang tengah tempat sembahyang, begitu tiba melihat
apa yang terpancang didepan matanya, seketika dia menyedot
hawa dingin, tanpa terasa dia mundur satu langkah besar,
badannya gemetar dan merinding.
Ditengah ruang sembahyang ini terletak sebuah peti mati warna
merah, didepan meja peti mati ini tersulut sebuah pelita minyak,
sinar pelita yang redup ber-goyang2 hampir padam terhembus
angin lalu, beberapa batang hio masih tersumat. Waktu
pandangannya menjelajah keringat dingin membanjir keluar,
ternyata didepan peti mati itu menjulai kertas putih yang
bertuliskan: Layon ketua biara Pek chio Lojin.
Habis sudah segala pengharapannya. Ternyata bahwa Pek chio
Lojin sudah mati.
Menghadapi layon Pek chio Lojin ini Suma Bing berdiri mematung
seperti orang linglung yang sakit ingatan, terpikir olehnya akibat
yang menakutkan, bibinya bakal tertidur terus untuk se-lama2nya.
Se-konyong2 timbul sepercik harapan dalam keputus- asaannya,
dilihat dari pelita dan hio yang terpasang itu, ini membuktikan
bahwa masih ada orang lain dalam biara ini, mungkin anak murid
Pek chio Lojin, meskipun Pek chio Lojin sudah meninggal,
obat2annya tentu masih tersimpan dan masih ada harapan dirinya
bisa memperolehnya.
"Adakah orang didalam?" dia berteriak lantang. "Siapa itu?"
Sebuah suara dingin mendadak terdengar dari samping
sebelah sana. Girang hati Suma Bing, dimana pandangannya
menyapu, terlihat dipintu samping pojok sana pelan2 berjalan
seorang gadis jelita berpakaian serba hitam.
Suma Bing tertegun, gadis ini berpakaian sedemikian mentereng,
wajahnya ayu jelita, keadaan ini sangat kontras dengan situasi
yang tengah dihadapinya ini.
Mata gadis baju hitam itu dipentang lebar menatap kearah Suma
Bing, tiba2 berobah airmukanya, serunya kaget.
"Tuan adalah Sia sin kedua?"
Suma Bing melengak, sebat sekali ia melesat masuk keruang
tengah, diam2 ia heran darimana dia bisa mengetahui dirinya,
terdengar mulutnya menyahut: "Benar, itulah cayhe harap tanya
nama nona yang harum?"
Nona serba hitam ini mengerut alis, biji matanya berputar2,
jawabnya: "Aku bernama Siau ling!"
"Siau ling!" "Ya, kenapa?" "Apa nona tidak punya she?" "Siapa
bilang aku tidak punya she?" "Minta, bertanya..." "Aku tidak
ingin memberitahu!" Suma Bing tertawa kecut, sikapnya rada
risi entah apa yang
harus dikatakan. Nona serba hitam itu berkata lagi: "Untuk apa
tuan datang kemari?" "Mengunjungi seorang Cianpwe." "Siapa?" "Pek chio
Lojin!" "Apa kau tidak melihat peti mati ini?" "Sudah lihat, harap
tanya apa hubungan nona dengan Pek
chio Lojin?" "Mendiang guruku." Berjingkrak girang hati Suma
Bing, namun lahirnya tetap
bersikap dingin, katanya: "Sungguh tidak terduga gurumu sudah
mangkat?" Sepasang mata jeli nona serba hitam ini ber-putar2 menatap
kepada Suma Bing, tanyanya: "Maksud kedatangan tuan..."
"Cayhe ingin minta sebutir Hoan hun tan kepada Pek chio
Cianpwe!" "Hoan hun tan?" Suma Bing mengiakan. "Darimana kau tahu
kalau mendiang suhu ada membikin
Hoan hun tan?" "Ini... cayhe hanya menerima pesan orang lain."
"Pesan dari siapa?" "Bibiku Ong Fong jui!" "Untuk apa?" Mau tak
mau Suma Bing harus berpikir, sudah tentu dia
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak bisa memberi penjelasan se-terang2nya, maka samar2 saja
dia menjawab: "Untuk menolong orang!"
"Tapi suhu sudah meninggal!" "Dapatkah kiranya nona
memberi satu butir saja?" "Setelah mengalami jerih payah
selama hidup suhu hanya
membuat tiga butir Hoan hun tan, obat ini dipandang barang
berharga dalam Bu lim..."
"Maksud nona..." "Selamanya kita belum berkenalan,
mengandal ucapanmu
dapatkah aku lantas memberikan Hoan hun tan peninggalan suhu
yang sangat berharga itu?"
Sikap Suma Bing berobah sungguh2: "Tiada halangannya Nona
mengajukan syarat penggantian!"
"Syarat?"
"Begitulah!" "Dapatkah syarat yang kuajukan kau kerjakan?"
"Coba saja nona sebutkan?" "Diganti dengan batok kepalamu,
bagaimana syarat ini?" "Dengan batok kepalaku untuk
mengganti sebutir Hoan hun
tan?" "Kau sendiri mengatakan aku boleh mengajukan syarat
sesuka hatiku." Sekian lama Suma Bing bimbang dan serba salah,
namun demi menolong jiwa bibinya, akhirnya dia menjadi nekad, katanya:
"Apakah nona sedang bergurau?"
"Suma Bing, kau ingin minta Hoan hun tan, ini juga berkelakar
bukan?" Suma Bing benar2 nekad, sahutnya: "Baik, aku setuju!" Sedikit
berobah rona wajah gadis serba hitam ini, agaknya
jawaban tegas Suma Bing ini benar2 diluar sangkanya, tanpa
terasa tercetus seruannya: "Kau setuju?"
"Aku setuju, tapi..." "Tapi apa?" "Kusertai sebuah permintaan!"
"Permintaan ana?" "Kepala cayhe ini setengah tahun kemudian
baru bisa kupersembahkan!" "Mengapa?" "Masih banyak urusan yang harus
cayhe selesaikan!" Nona serba hitam mendengus, katanya dingin:
"Kalau aku
tidak setuju!"
Suma Bing tertegun dan mundur selangkah, katanya terharu:
"Tabib pandai harus mengobati, obat mujarab untuk menolong
orang, bukan untuk membunuh orang?"
"Hm, jadi kau menyesal dan menarik balik ucapanmu?" "Cayhe
tidak bermaksud demikian!" "Kalau begitu ketahuilah, begitu
aku sudah serahkan Hoan
hun tan itu kau harus segera serahkan kepalamu." "Nona
memaksa keterlaluan!" "Kalau kau beranggapan syarat ini terlalu
kejam. Kau tidak
perlu adakan jual-beli ini?" "Cayhe sudah bertekad harus
mendapatkan Hoan hun tan
itu!" "Bagaimana tuan harus mendapatkan?" Sejenak ragu2, lantas
Suma Bing berkata dengan nada
tegas: "Aku minta dengan hormat, kalau terpaksa yah apa boleh
buat!" "Itu berarti tuan hendak menggunakan kekerasan?" "Bila
memang terpaksa apapun akibatnya akan kulakoni!" Tatkala itu
sang surya sudah silam kebarat, sang malam
sudah mulai mendatang, keadaan sekelilingnya sudah mulai gelap
remang2. Mendadak terlihat si gadis baju hitam berubah air mukanya
tubuhnya menggeser maju mendekati layon, matanya mendelong
mengawasi keluar dengan ketakutan.
Suma Bing heran dan tak mengerti dibuatnya menurut arah
pandangan si gadis baju hitam dia melihat seketika bergejolak
darahnya seakan jantungnya hampir pecah, hawa membunuh
menyelubungi wajahnya. Kiranya diatas belandar sebelah barat
sana berdiri seorang berpakaian serba putih dengan kedok kepala
putih pula, sebilah cundrik merah darah
tergambar didepan dadanya, dia bukan lain adalah Rasul
penembus dada. Mata Rasul penembus dada bersinar tajam menyapu keadaan
ruang sembahyang lalu perdengarkan suara lengkingnya yang
menyedot sukma orang: "Pek chio anjing tua, keluarlah serahkan
jiwamu!" "Tuan orang kosen darimana?" tanya gadis baju hitam itu
gemetar. "Akulah Rasul penembus dada!" "Ada permusuhan apakah kau
dengan mendiang guruku?" "Kau tiada harganya bertanya,
suruh anjing tua itu
menggelinding keluar!" "Suhu sudah meninggal dunia!" "Apa
anjing tua sudah mati?" "Tuan bicaralah kenal sopan santun!"
"Cara bagaimana dia mati?" "Sakit keras!" "Hahahaha... Mati sakit"
Pek chio Lojin seorang tabib
kenamaan yang pandai pengobatan, mana bisa dia mati karena
sakit?" "Kalau memang sudah ajal, betapapun mustajap obat dewa juga
tidak mungkin dapat menyembuhkan orang sakit. Seumpama Hoa
toh (tabib kenamaan pada jaman Sam kok) sendiri juga tidak bisa
hidup sepanjang masa."
"Kau ini muridnya!" "Benar, akulah muridnya!"
"Jenazahnya berada didalam peti mati itu?"
"Ya."
"Bongkar kembali!" "Tidak mungkin!" seru gadis baju hitam
beringas. "Terpaksa aku sendiri turun tangan!" hilang suaranya
tiba pula tubuhnya, bagai bayangan malaikat secepat kilat dia
melayang tiba didalam ruang sembahyang.
Sementara itu Suma Bing sendiri sudah tidak kuat menahan sabar,
serta mendengar ucapan orang, pikirnya, 'aku sendiri malah tidak
berpikir sampai disitu, mungkin Pek chio Lojin memang pura2
mati, mengapa aku tidak menonton saja mengikuti suasana.'
Karena pikirannya ini segera ia melejit mundur menyingkir lima
kaki. Sekilas Rasul penembus dada pandang Suma Bing dengan sorot
mata yang me-nyala2, lalu mengalihkan pandangannya kepeti
mati itu. Tiba2 sebelah tangannya diangkat mengarah kepeti mati
itu dan berseru dingin: "Lebih baik kau tahu diri dan buka peti
mati itu?"
Gadis berbaju hitam menggigit gigi sambil mendengus: "Orang
mati dendamnya himpas, apa kau hendak merusak jenazahnya?"
"Sedikitpun tidak salah!" "Kau berani?" Rasul penembus dada
menyeringai seram: "Kau tidak akan
mampu merintangi aku!" Dibarengi sebuah bentakan nyaring
tangannya diayun
memukul kearah gadis baju hitam, pukulannya ini betul2 hebat
dan menakjubkan, diam2 Suma Bing melelet lidah melihat
kelihayan serangan ini. Kontan gadis baju hitam itu terpental
mundur terdesak sampai mepet dinding.
'Blang!' dimana terlihat kayu hancur ber-keping2 begitu peti itu
hancur terlihat sesosok mayat rebah didalam peti mati itu,
itulah seorang tua ubanan yang berbadan kurus kering bagai
kayu. "Iblis laknat, biar nonamu adu jiwa dengan kau!" Gadis baju
hitam menubruk maju sambil melancarkan
sembilan kali pukulan berantai yang menggila. Sekaligus sembilan
pukulan ini dilancarkan perbawanya bagai gelombang badai dan
kilat menyambar. Dibawah serangan lawan yang nekad ini Rasul
penembus dada terdesak mundur lima langkah.
"Kau cari mati!" bentak Rasul penembus dada. Sambil membentak
beruntun ia balas menyerang tiga hantaman. Memangnya
kepandaian gadis baju hitam ini kalah jauh, lagi2 ia terdesak
mundur ber-ulang2.
Dimana terlihat sinar putih berkelebat, tahu2 Rasul penembus dada
sudah mencekal sebilah cundrik yang kemilau bersinar dingin.
Tampak kedua tangan gadis baju hitam bergantian diayun,
seketika berhamburan kabut warna hitam melayang tiba
mengurung Rasul penembus dada.
Tapi sebelum kedua tangan gadis baju hitam berhenti bergerak
terdengar dia berpekik kesakitan terus roboh terkapar tanpa
bergerak lagi. Kiranya kabut hitam itu adalah pasir beracun yang disambitkan.
Sungguh bukan olah2 hebat kepandaian Rasul penembus dada,
sebelum pasir2 beracun itu mengenai tubuhnya, sebat sekali
tubuhnya berkelebat keluar dari kurungan taburan pasir beracun
lawan lalu sekaligus dia kirim sebuah tutukan menutuk jalan darah
gadis baju hitam. Kepandaian, seperti ini benar2 sangat
mengejutkan. Suma Bing ter-longong2 memandangi peti mati yang sudah pecah
berantakan itu. Terbayang olehnya sewaktu dirinya untuk pertama
kali terjun didunia persilatan. Mendapat
perintah gurunya untuk membunuh Bu lim sip yu. Keadaan waktu
berada di Ngo ou pang persis benar seperti hari ini. Kala itu
dirinya juga tidak percaya kalau Ngo ou pangcu Coh Pin sudah
mati dengan kukuh dia minta peti mati dibuka kembali untuk
diperiksa. Sekarang bukan saja Rasul penembus dada sudah
Laron Pengisap Darah 7 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 5
baginda. Harap suka diizinkan kedua Tongcu itu memberikan
keterangan untuk membela diri, kalau memang kenyataan mereka
bersalah barulah hukuman dijalankan!"
"Baik, kululusi permohonanmu!" "Terima kasih!" Komisaris luar
Teng Tiong cwan ter-sipu2 mengundurkan
diri, kepala dan badannya basah kuyup oleh keringat. Tidak lama
kemudian, dia kembali lagi membawa dua orang laki2
pertengahan umur terus berlutut dan menyembah dilantai.
Suara Te kun terdengar berat lantang: "Silahkan Sim tong Tongcu
membela diri!"
Terdengar salah satu dari dua laki2 pertengahan umur itu
mengiakan dan berkata gemetar: "Sim tong Tongcu Song Lip hong
memberi keterangan sebagai berikut: Hamba terima perintah
khusus untuk menyelidikl Suma Bing Hu ma yang sudah ditunjuk.
Menurut apa yang telah hamba selidiki. Sebelum ini Hu ma
memang benar2 belum menikah. Dia mempunyai tiga kawan
wanita yaitu: Siang Siau hun, Ting Hoan dan Phoa Kin sian.
Diantaranya seluk-beluk Phoa Kin
sian ini paling mencurigakan, dia pernah berhubungan lebih
mendalam dengan Huma, tapi belum diadakan ikatan jodoh!"
"Tap i Hu ma s end i r i me ny a ng k a l k e t e r ang a nmu
i ni " " "Ha r ap b ag i n d a r a j a s uk a meme r i k s a s e c a r a
j e l a s ! " Me no nt o n s amb i l me nd e ng a r k an h a t i
Suma Bi ng s ema k i n
kebat kebit, ternyata sedemikian jelas mereka2 ini mengetahui
tentang segala seluk beluknya dikalangan Kangouw, kalau dirinya
masih tetap mengukuhi pendapatnya yang terdahulu, maka kedua
Tongcu ini pasti akan dipenggal kepalanya dan mati secara konyol.
Meskipun sifatnya angkuh dingin, namun hakikatnya wataknya
welas asih dan jujur, mana tega dia melihat kedua orang ini
dihukum mati karena dirinya, maka segera ia campur bicara: "Aku
yang rendah berani menjadi saksi bahwa apa yang diucapkan oleh
Tuan ini memang benar adanya."
Sebutan diri dengan istilah 'aku yang rendah' ini, bagi
pendengaran kuping Teng Tiong cwan dan lain2 sangat menusuk
telinga, sebagai Hu ma atau menantu raja mengapa sedemikian
merendahkan derajat.
Te kun tambah gusar, semprotnya: "Suma Bing, mengapa kau
begini plin plan menjilat ludahmu sendiri?"
Suma Bing tertawa ejek, sahutnya: "Upacara pernikahan kami
terjadi sejam sebelum aku tertawan oleh kalian kemari?"
"Apa betul demikian?" "Kenyataan memang begitu!" Rona
wajah Te kun be-robah2 tak menentu, tangannya
diangkat serta berseru: "Kalau begitu, hal ini bukan menjadi
kesalahan kalian berdua, kalian boleh mengundurkan diri."
Komisaris luar bersama kedua Tongcu itu berlutut ber- ulang2
sambil menyatakan rasa terima kasih se-besar2nya akan kebajikan
dan keadilan sang raja. Segera mereka
mengundurkan diri. Sebelum pergi entah sengaja atau tidak sinar
mata Sim tong Tongcu Song Lip hong melirik kearah Suma Bing
cahaya matanya menyatakan syukur dan terima kasih yang tak
terhingga. Sekian lama Te kun terpekur dan berpikir, air mukanya berobah
sungguh2, serunya dengan suara rendah dan kuat: "Kalau
kenyataan sudah terjadi, tidak bisa diganggu gugat..."
Dengan penuh perasaan, segera Suma Bing menukas: "Aku yang
rendah tidak sudi menjadi manusia yang tidak mengenal budi.
Phoa Kin sian dengan cayhe sudah mengikat jodoh terlebih
dahulu!" "Tentu Lohu akan mengambil keputusan yang sempurna untuk
kebaikan kedua belah pihak, kalian berdua boleh mengundurkan
diri!" Sebenarnya Suma Bing masih hendak mengucapkan apa2, tapi
sejak dia mengetahui sedikit persoalannya, sirap dan tenanglah
gejolak hatinya, apalagi janji Pit Yau ang yang bersedia membantu
dan takkan menolak apapun yang diajukan olehnya, maka
mulutnya ditutup rapat, tanpa bersuara ia ikuti Pit yau ang
mengundurkan diri keluar dari ruang istana belakang ini.
Begitu sampai dikamar sendiri, tanpa membuang waktu segera
Suma Bing bertanya: "Kau masih ingat janjimu sendiri?"
"Sudah tentu ingat!" sahut Pit Yau ang tertegun. "Kalau begitu,
aku mengajukan satu permintaan!" "Coba katakan!" "Dalam
waktu dekat ini aku harus segera meninggalkan
perkampungan ini." Berobah sedih air muka Pit Yau ang,
tanyanya,: "Kau
hendak pergi?"
"Kenapa aku harus tinggal disini?" "Apa tidak kau pikir2 lagi?"
"Tidak!" "Tapi..." "Kau hendak mengingkari janji?" Merah mata
Pit Yau ang, ujarnya: "Engkoh Bing, memang
ini sudah nasib, aku tak kuasa menentang kehendak Allah, tapi
aku sudah menjadi milikmu, meskipun kau tidak sudi pandang dan
membuang aku, tapi isi hatiku hanya Tuhan yang tahu. Aku berani
menempuh bahaya dan membangkang terhadap orang tua untuk
mengantarmu keluar. Tapi ayah pasti tidak mau melepaskan kau,
dikalangan Kangouw setiap langkahmu pasti selalu terancam
bahaya..."
"Itu urusanku selanjutnya!" Kata Pit Yau-ang sambil menggigit
bibir: "Baik, selama tiga
hari ini biarlah aku coba membujuk pada ayah baginda supaya kau
boleh keluar, tentang aku ini, ai..." betapa sedih dan perih
perasaan hatinya semua tercurahkan dalam helaan napas panjang
ini. Manusia tidak bisa disamakan batu atau kayu, betapapun masih
mempunyai perasaan, sampai saat itu Suma Bing sendiri juga
merasa menyesal, memang bagaimanapun juga mereka sudah
menjadi suami istri secara resmi, tapi, apa yang dapat
diperbuatnya, tak mungkin dia mengabaikan begitu saja pada
istrinya yang pertama, yaitu Phoa Kin sian yang tidak lama lagi
bakal melahirkan anaknya! Dia menggelengkan kepala dengan
hampa. "Engkoh Bing," ujar Pit Yau ang sambil tersenyum getir, "Maukah
kau dengar sedikit penjelasanku?"
"Baik, ceritakanlah!"
Sejenak Pit Yau ang ragu2 lalu katanya dengan rasa berat:
"Engkoh Bing, ini merupakan rahasia dari perkampungan kita,
tapi tidak bisa tidak harus kuajukan kepadamu..."
"Kalau ada kesukaran, kau boleh tidak usah mengatakan, aku
tidak minta kau membocorkan rahasia!"
Rona wajah Pit Yau ang agak berobah, tapi sekuat mungkin ia
menahan perasaannya dan telan segala hinaan dan kedongkolan
hatinya, mulailah dia memberikan penjelasan: "Menurut tradisi
majikan dari perkampungan bumi ini dinamakan Te kun (raja
bumi), semua punggawa atau hulubalangnya juga turun temurun
adalah keturunan asli dari perkampungan ini, demikian juga
pangkat dan pakaian dinas mereka sudah tertentu tidak gampang2
dirobah, hal2 ini kau sendiri sudah melihat, bukan kita sengaja
hendak main sandiwara dihadapanmu. Tentang cara penggantian
Te kun, disini ada suatu undang2 tersendiri, yaitu bahwa
kedudukan raja harus diturunkan kepada putranya yang terbesar,
tapi bila tidak mempunjai putra, maka anak putrinya diperbolehkan
mencari calon suaminya sendiri dikalangan Kangouw, calon Hu ma
ini harus seorang ksatria yang gagah perwira dan mempunyai
pambek besar untuk diselundupkan masuk Perkampungan bumi
untuk menjabat kedudukan Te kun ini. Ini adalah undang2 keras
dari kakek moyang kita maka terpaksa aku harus berbuat begitu..."
"Betapa besar kalangan Kangouw ini, bagaimana bisa memilih
aku?" "Ini..." "Ini apa?" "Adalah aku sendiri yang menaruh hati kepada
siangkong..." "Jadi jelasnya adalah kau yang
penujui aku?" "Ya, begitulah jelasnya!"
"Gambar dalam bola kaca bundar itu, bagaimana pula kau hendak
menerangkan?"
"Itu hanya sebuah lukisan belaka!" "Sebuah lukisan?" "Benar,
aku sedikit pandai menggambar, maksudku semula
hanya hendak menyimpan gambar lukisan itu sebagai peringatan
saja." Sedikit banyak akhirnya Suma Bing paham dan maklum sudah
akan duduk semua peristiwa ini. Sungguh tak terkirakan
sebelumnya bahwa dirinya bakal terpilih sebagai calon Hu ma atau
majikan dari perkampungan bumi ini.
Setelah mendengar semua penjelasan itu, rasa gusar dan tidak
puas hatinya lambat laun sudah lumer dan tenanglah hatinya.
Kalau mereka tidak bermaksud jahat dan sengaja mau menipu,
tiada alasan lagi ia harus memusuhi atau dendam kepada mereka.
Sebaliknya, ia harus menerima satu kenyataan bahwa Pit Yau ang
adalah istrinya.
Kenyataan ini benar2 membuat dia serba runyam, tidak bisa tidak
harus mengakui istri kedua ini, tapi, terhadap Phoa Kin sian serta
gurunya, bagaimana dia mesti memberi penjelasan dan
pertanggungan jawabnya. Bukan saja sudah resmi menjadi istrinya
malah dia sekarang sudah mengandung, tinggal tunggu waktu
melahirkan... Karena pikirannya ini tanpa terasa ia menghela napas
panjang, katanya gemas: "Adik Ang, kau salah pilih orang!"
Panggilan 'adik Ang' ini membuat lega perasaan Pit Yau ang,
suaranya gemetar: "Engkoh Bing, mengapa kau katakan aku salah
memilih kau?"
"Sebab aku sudah mempunyai istri!" "Semua ini terjadi diluar
dugaan, sebab menurut keadaan
semula apa yang kami tahu tentang kau belum pernah menikah,
sekarang beras sudah menjadi nasi, jangan kata
seorang wanita dari semula sampai akhir selamanya akan setia
kepada suaminya, tapi entah bagaimana aku harus memberikan
pertanggungan jawabku kepada Te po atau seluruh penghuni
perkampungan ini. Tapi Engkoh Bing, aku tetap masih menepati
janjiku semula kepada kau, tiga hari lagi kau pasti dapat berada
lagi dikalangan Kangouw, tentang selanjutnya..." tak kuasa ia
melanjutkan kata2nya, airmata semakin deras meleleh keluar.
Sepasang kemanten baru yang bahagia seharusnya merasa riang
gembira, ini merupakan saat yang paling menggembirakan selama
hidup ini, adalah sebaliknya mereka lewatkan saat2 yang bahagia itu
digenangi airmata yang memilukan hati.
Tengah mereka ber-cakap2 inilah mendadak terdengar suara
seorang dayang berkata: "Lapor Kiongcu, Coh yu hu pit tengah
menanti kedatangan Hu ma diluar ruangan istirahat!"
"Sudah tahu, segera kita datang!" Alis Suma Bing berkerut
dalam, katanya: "Mau pergi kau
pergilah sendiri, aku tiada minat bertemu dengan mereka."
"Engkoh Bing, tidak dapat tidak kau harus temui mereka."
"Tidak!" "Engkoh Bing, kedudukan Coh yu hu pit ini hanya lebih
rendah dibawah ayah baginda, kalau dia minta bertemu, pasti ada
urusan apa2 yang sangat penting, harap kau suka menyusahkan
diri sebentar untuk bertemu dengan mereka!" " wajahnya
mengunjuk rasa memohon yang harus dikasihani.
Apa boleh buat terpaksa Suma Bing mengangguk juga. Dibimbing
dan diiringi serombongan para dayang2 be-ramai2 mereka
menuju ruang istirahat yang terletak disebelah kamar mereka.
Dua orang tua yang masing2 tangan kiri kanan mereka membekal
lencana gading mengenakan pakaian kebesaran lengkap sudah
menanti ditengah ruang istirahat ini.
"Coh hu Si Kong teng. Yu pit Ciu Goan tiong menghadap Hu ma dan
Kiongcu!" kedua orang tua ini berbareng memperkenalkan diri
sambil membungkuk hormat!"
Sikap Suma Bing tetap dingin, tangan diulapkan dan berkata:
"Kalian tidak perlu banyak peradatan, ada kepentingan apakah?"
Co hu Si Kong teng berkata dengan sikap serius: "Kami dapat
perintah dari Te kun untuk mempersembahkan arak kepada Hu
ma!" "Memberi arak?" - dengan penuh keheranan dan tak mengerti
Suma Bing melirik kearah Pit Yau ang.
Pit Yau ang berkata lirih: "Nyatakan terima kasih akan pemberian
arak ini!"
Sekian lama Suma Bing ragu2, akhirnya berkata ogah2an:
"Terima kasih!"
Dia tidak tahu persoalan apalagi tentang pemberian arak ini,
pikirnya, apa mungkin ada muslihat apalagi"
Yu pit Ciu Goan tiong segera mengeluarkan sebuah cangkir kecil
yang terbuat dari batu giok dari balik jubahnya yang besar
kedodoran, serta sebuah poci kecil berwarna putih kehijau2an,
dengan hati2 dan penuh hormat dituangkannya secangkir penuh,
lalu Coh hu Si Kong teng maju mempersembahkan dengan kedua
tangannya seraya berkata: "Hu ma silahkan minum!"
Suma Bing menyambuti dan melihat isi dari cangkir itu seketika
berobah airmukanya. Arak apa ini yang terang adalah darah kental
dengan warna merahnya yang menyolok mata, tanpa sadar
bergidik tubuhnya.
Sebaliknya Pit Yau ang malah mengunjuk rasa girang luar biasa,
katanya lemah lembut: "Pemberian dari orang tua tidak bisa
ditolak. Engkoh Bing, lekaslah minum!"
Suma Bing menjadi nekad sekali tenggak ia habiskan isi cangkir
itu. Siapa tahu begitu masuk tenggorokan, arak itu terasa dingin
dan berbau wangi, beruntun tiga cangkir ia habiskan sehingga
seluruh isi poci kecil itu kering.
Coh hu Yu pit berseru berbareng: "Selamat Hu ma." sambil
membungkuk hormat segera mereka mengundurkan diri.
Tidak lama setelah Coh hu Yu pit keluar, Suma Bing lantas
rasakan kepalanya berat, pandangannya kabur, terasa dimana
tempat dia berpijak berputar jungkir balik, diam2 ia mengeluh
celaka pasti aku terjebak pula dalam tipu muslihat mereka. Maka
tanpa banyak pikir lagi segera dia membentak keras: "Bangsat
rendah, kubunuh kau!" tangannya sudah terangkat memukul
kearah Pit Yau ang, namun baru saja tenaganya dikerahkan,
kepalanya terasa berat dan kakinya lemas kontan dia roboh
terkapar tak ingat diri.
Entah sudah berselang berapa lama, pelan2 Suma Bing siuman dari
tidurnya, didapatinya dirinya rebah diatas ranjang gading dalam
kamarnya. Terlihat Pit Yau ang tengah bertopang dagu duduk
diatas kursi, entah apa yang tengah direnungkan.
Diam2 Suma Bing juga tengah berpikir dan mengenang kembali
akan pemberian arak dari Te kun itu lantas dirinya jatuh mabuk.
Masak sedemikian besar khasiat tiga cangkir arak itu, seketika
membuat dirinya mabuk dan jatuh pingsan"
Pelan2 dicobanya mengerahkan tenaga murni dalam tubuh, begitu
dikerahkan sungguh kejutnya tidak kepalang, jantungnya berdetak
sangat keras. Terasa hawa murninya penuh padat bergelora
ber-gulung2 bagai gelombang badai, sehingga terasa tubuhnya
ringan bagai terapung ditengah udara.
Apakah yang telah terjadi, bagaimana bisa Lwekangnya mendadak
tambah dalam satu kali lipat lebih" Sekian lama dia ter-longong2
mematung rebah dipembaringan, kedua matanya melotot kesima
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang langit2, perasaannya hampa semangatnya lesu. Apa
mungkin ini hasil khasiat dari arak berwarna merah darah itu...
"Adik Ang!" Ter-sipu2 Pit Yau ang bangkit berdiri terus ber-lari2
kecil mendekati pembaringan, matanya tajam penuh kasih mesra
memandang Suma Bing, tanyanya: "Engkoh Bing, kau sudah
bangun, ada apakah?"
"Aku... agaknya merasa..." "Merasa apa?" "Tenaga dalamku
maju berlipat ganda!" Pit Yau ang lantas unjuk senyum berseri,
katanya: "Engkoh
Bing, silahkan kau coba2 tembusi jalan darah mati hidupmu!"
"Apa jalan darah mati hidup?" seru Suma Bing berjingkrak
kaget. "Benar, coba2 adakah gejala2 yang aneh?" Suma Bing
masih tidak mengerti namun dia menurut
mengerahkan tenaga murni terus disalurkan keseluruh tubuh,
begitu satu putaran sudah selesai, tanpa terasa dia menjerit
kaget: "Jalan darah mati hidupku sudah tembus?"
"Tidak salah." "Bagaimana sebenarnya..." "Ayah baginda
memberikan tiga cangkir Te liong po hiat
kepadamu, apa kau sudah lupa?" Suma Bing berjingkrak bangun
dari atas pembaringan,
kagetnya belum hilang: "Apa Te liong po hiat" (darah pusaka
naga bumi)"
"Benar, dalam perkampungan bumi ada sebuah sumber alam yang
keluar dari nadi bumi dinamakan Te liong atau naga bumi, setiap
bulan pada malam terang bulan dari sumber nadi ini menetes
keluar setitik getah berwarna merah darah, maka itu dinamakan
darah pusaka naga bumi!"
"Setiap bulan hanya satu titik saja?" "Ya, setiap bulan hanya
keluar setitik saja!" Hampir2 Suma Bing tidak percaya akan
pendengaran kupingnya, ini benar2 suatu keajaiban dalam dunia, maka katanya
penuh haru: "Jadi aku sudah minum sebanyak tiga..."
"Tiga cangkir darah pusaka, itu sudah disimpan selama enam
puluh tahun!"
"O, mengapa ayahmu mau menghadiahkan barang pusaka yang
tak ternilai itu untuk..."
Wajah Pit Yau ang berobah sungguh: "Ini juga merupakan
undang2 dari Te po!"
"Undang2 lagi" Aku tidak paham!" "Sebab kau adalah ahli
waris raja yang akan datang, maka
dalam waktu dekat tenaga dalammu harus segera disempurnakan!"
Pucat wajah Suma Bing, sungguh dia menyesal telah minum tiga
cangkir arak itu, kalau tahu demikian halnya tidak bakal dia mau
minum darah pusaka naga bumi itu. Berbagai tugas berat menuntut
balas tengah mengikat dirinya. Mati hidup ibundanya juga belum
diketahui, masa depan selanjutnya susah diraba, mana mungkin...
Karena pikirannya ini berkatalah dia dengan lesu: "Tapi aku
belum setuju untuk menjadi ahli waris Raja bumi kalian..."
Pit Yau ang menarik muka, katanya: "Engkoh Bing, upacara
menurut undang2 kakek moyang sudah berlaku dan tak mungkin
dirobah lagi. Kalau kau berkukuh tidak mau terima
aliran Te po ini mungkin untuk selanjutnya juga akan ludas, tapi
aku sudah berjanji sebelumnya, kau tak usah kuatir aku
menggunakan segala daya upaya untuk membujuk dan
menahanmu disini, setelah besok hari, kalau memang aku tidak
bisa membujuk ayah Baginda supaya kau diluluskan keluar
perkampungan, aku... tetap akan mengantarmu keluar. Tentang
akibatnya, ai, engkoh Bing, kuharap selalu kau ingat seorang
sengsara yang pernah tidur semalam dengan kau!" suaranya sedih
memilukan. Suma Bing juga merasa sesak tenggorokannya, katanya penuh
penyesalan: "Adik Ang, maafkan aku, aku terpaksa berbuat
demikian!"
"Aku paham, tidak perlu maaf apa segala, agaknya kita berjodoh
dalam khayalan belaka, nasib manusia tidak bisa ditentang!"
"Adik Ang, kalau aku mengabaikan seorang istri, aku lebih tidak
berbudi, dendam perguruan dan sakit hati orang tua kalau tidak
kubalaskan lebih2 aku tidak berbakti, cinta kasihmu adik Ang, akan
kukenang dalam lubuk hatiku sepanjang masa!"
Didalam Perkampungan bumi tidak kenal perbedaan siang dan
malam, selalu terang benderang, setiap kali berganti pelita atau
menambah minyak lampu itu menandakan hari kedua mulai
mendatang. Begitulah dalam kamar tidurnya Suma Bing tengah berjalan mondar
mandir tidak tenang, hatinya berdebar tidak tentram menanti
jawaban dari Pit Yau ang. Apakah ia dapat membujuk ayahnya
supaya dirinya keluar dan muncul lagi di Kangouw" Kalau dia
membangkang dan berani ambil resiko mengantarkan dirinya
keluar, apakah yang bakal dialaminya" Setelah dirinya bebas
dikalangan Kangouw, apakah Te po mandah saja membiarkan
dirinya bebas berkelana" Tidak dapat disangkal lagi bahwa dirinya
sudah ada ikatan sebagai
suami istri dengan Pit Yau ang, tidakkah perbuatannya ini
keterlaluan"
Te kun sendiri pernah mengatakan hendak mengatur sedemikian
rupa terhadap Phoa Kin sian, cara bagaimana dia bisa mengatur
sesempurna mungkin" Tengah pikirannya me- layang2 terlihat Pit
Yau ang bergegas mendatangi, mimik wajahnya menunjukkan
urusan tidak menyenangkan seperti apa yang diharapkan
sebelumnya! "Bagaimana adik Ang?" "Ayah tidak mengijinkan!" "Tidak
diijinkan!" "Dia orang tua berkata, setelah kau dapat
mempelajari seluruh kepandaian tunggal dari Te po baru boleh dirundingkan
apakah kau boleh keluar atau tidak!"
Dingin perasaan Suma Bing. Wajah Pit Yau ang penuh
kesedihan, airmata berlinang
dikelopak matanya, katanya lagi: "Engkoh Bing, biar kuantar kau
keluar!" "Kau..." "Ya, terpaksa aku membangkang pada ayah baginda,
habis tiada cara lain yang lebih sempurna." 'Ucapan membangkang
kepada orang tua' benar2 membuat
Suma Bing ragu2 dan terpukul batinnya. Pit Yau ang sudah
melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri kepada
suaminya, masa sedikitpun dirinya tiada rasa cinta kasih antara
suami istri. Untuk dirinya tidak kepalang tanggung dia berani
membangkang kepada orang tua, sebaliknya dirinya tidak
memikirkan untuk menghindarkan segala akibat buruk yang bakal
terjadi. Tak peduli cara bagaimana mereka telah menikah,
hakikatnya dia sudah menjadi istrinya, betapa luhur dan bajik hati
istrinya, benar2 diluar dugaannya.
Begitulah akhirnya dia berkata: "Adik Ang, aku tidak bisa
mem-bawa2 kau, biarlah aku langsung berhadapan dengan Te
kun untuk mohon..."
"Kalau begitu selamanya kau takkan dapat keluar lagi, kata2 ayah
selamanya keras sekokoh gunung tak dapat diganggu gugat, dia
takkan merobah maksudnya semula."
"Tapi setelah aku pergi, kau akan..." "Engkoh Bing, kau dapat
berkata demikian, hatiku sudah
terhibur. Sekarang gantilah pakaianmu yang semula, biar kuantar
kau keluar dari jalan rahasia!"
Bahwasanya memang tidak bisa tidak Suma Bing harus keluar lagi
dikalangan Kangouw berbagai tugas suci tengah menunggu
penyelesaiannya. Maka pada saat2 sebelum berpisah ini baru dia
sadar, sebenarnya bahwa hatinya juga mencintai Pit Yau ang. Sejak
mengetahui seluk beluk duduk perkara sesungguhnya, rasa
gusarnya sudah lenyap seluruhnya, dan kini berganti suatu
perasaan berat dan menderita, pukulan batin yang kontras.
Tapi dia tidak bisa tidak harus berpisah, sebab lebih banyak
atasan yang harus memisahkan dengan istrinya ini.
Pit Yau ang mengeluarkan pakaian asal Suma Bing terus
diangsurkan kepadanya, lalu membantunya berganti dan katanya:
"Engkoh Bing, apa kau benci aku?"
Suma Bing menjawab sungguh: "Memang begitulah sebelum ini.
Tapi sekarang tidak!"
"Kau tidak membenci aku?" "Malah aku harus berterima kasih
akan bantuanmu ini, ini
takkan terjadi pada wanita umumnya."
"Kuharap kau tetap ingat kepadaku..." "Aku
pasti!" Tanpa terasa dipeluknya Pit Yau ang, bibir bertemu bibir mereka
berciuman dengan gairahnya. Selama tiga hari setelah mereka
menikah baru sekali inilah mereka sama2 merasakan kenikmatan
dan kemesraan yang takkan terlupakan lagi.
Tapi bagi Pit Yau ang ciuman ini merupakan ciuman perpisahan
yang sedih dan meluluhkan hatinya. Sebab saat itu juga sang
suami harus meninggalkan dirinya.
Tangan bergandeng tangan mereka sudah melewati berbagai
penjagaan ketat dari tempat2 terlarang, lahirnya mereka
ber-cakap2 dan bersendau gurau bersenang hati, tapi batin mereka
sangat tertekan. Tidak lama kemudian mereka tiba disebuah kamar
buku yang penuh rak2 yang berjajar.
Pit Yau ang langsung ulurkan sebuah tangan menekan salah
sebuah buku yang ber-jajar2 itu, seketika rak buku itu bergeser
mundur dan terluanglah sebuah pintu.
Tanpa membuka suara Suma Bing mengintil terus dibelakang Pit Yau
ang, mereka terus memasuki sebuah lorong panjang yang belak
belok, melewati undakan yang menanjak naik me-lingkar2 semakin
tinggi, kira2 sepeminuman teh kemudian baru mereka sampai
diujung lorong. Begitu menggerakkan alat2 rahasianya, diatas lorong
itu segera terbuka sebuah lobang sebesar dua kaki persegi. Sekali
loncat Pit Yau ang melesat keluar. Bergegas Suma Bing juga ikut
loncat keluar, seketika ia berdiri mematung kesima.
Ternyata tempat dimana mereka berada sekarang ini adalah
didalam ruang sembahyang sebuah kelenteng yang bobrok dan
tidak terurus lagi, dan lobang itu tepat berada dibawah patung
pemujaan yang kini sudah bergeser kesamping.
Suma Bing menjadi heran, tanyanya: "Apa disini tiada orang
jaga?" "Tidak, jalan rahasia ini hanya para Tongcu dan pejabat lebih tinggi
saja yang mengetahui, selamanya jarang
digunakan, maka tidak gampang diketemukan. Apalagi tempat ini
berada dialas pegunungan yang jarang didatangi manusia!"
"Jadi perkampungan bumi dibangun dibawah tanah?" "Tidak
salah, didalam bumi!" "Bagi kaum persilatan, dipandangnya
Te po sebagai tekateki!"
"Ini tidak dapat menyalahkan mereka, selamanya
perkampungan kita jarang turut campur dalam segala pertikaian
didunia persilatan. Seumpama petugas kita kelana di kalangan
Kangouw juga tidak pernah memperkenalkan diri, maka yang
mengetahui boleh dikata sangat jarang!"
Pada saat itulah, sebuah suara berat dan kereng mendadak
terdengar dibelakang mereka: "Budak kurang ajar, sungguh besar
nyalimu!" Kontan berobah pucat wajah Pit Yau ang, beruntun mundur tiga
langkah, matanya ketakutan memandang kearah pintu kelenteng.
Suma Bing juga cepat2 membalik tubuh dan memandang kedepan,
tidak terasa semangatnya juga serasa terbang. Entah kapan
datangnya ternyata Te kun sudah berdiri diambang pintu, sinar
matanya memancarkan kegusaran yang me-nyala2.
Ter-sipu2 Pit Yau ang menekuk lutut menyembah, mulutnya
berseru: "Ayah!"
Agaknya Te kun benar2 murka sekali, serunya: "Budak, apakah
maksudmu sebetulnya, berani terang2an melanggar pantangan
undang2 perkampungan, juga berani mendurhakai orang tua?"
"Yah, anak terpaksa berbuat begini..."
"Maksudmu dia menekan kau?"
Sinar mata Te kun bagai kilat menyapu kearah Suma Bing, tanpa
terasa bergidik Suma Bing dipandang sedemikian rupa.
Pit Yau ang menjawab gemetar: "Dia tidak menekan anak!"
"Jadi ini keluar dari tujuanmu sendiri?" "Anak pernah melulusi
mengantar dia keluar di kalangan
Kangouw untuk menyelesaikan tugas sucinya menuntut balas bagi
perguruan dan orang tuanya!"
Wajah Te kun semakin membesi: "Bagaimana bunyi undang2
ketiga?" Seketika pucat pasi wajah Pit Yau ang, pekiknya menyedihkan:
"Ayah!"
"Katakan, bagaimana bunyi peraturan ketiga?" "Apa ayah
tidak mengingat hubungan ayah dan anak lagi?" "Peraturan
tidak boleh dilanggar!"
34 KANG KUN LOJIN BERKISAH.
Suma Bing menjadi serba salah dan runyam keadaannya,
tidak enak pula dia turut campur bicara. Wajah Pit Yau ang yang
pucat pasi itu mendadak berubah
merah membara mengandung tekad yang besar, sekilas ia lirik
Suma Bing, lalu berkata sepatah demi sepatah: "Peraturan ketiga
berbunyi: Barang siapa sengaja melanggar harus dihukum mati!"
Tiba2 gemetar tubuh Suma Bing, apa Te kun sudah tidak peduli
lagi akan hubungan antara ayah dan anak dan benar2 hendak
menghukum Pit Yau ang menurut undang2 dari Te po. Kalau ini
sampai terjadi, pangkal dari semua peristiwa ini
adalah karena dia yang menjadi biang keladi, mana bisa dirinya
tinggal berpeluk tangan saja.
Dengan nada suara yang mendebarkan orang Te kun berkata:
"Kau sudah tahu itulah baik..."
"Yah, anak ada satu permintaan!" "Katakan!" "Anak rela dihukum
karena batas2 undang2
perkampungan, tapi aku harap ayah dapat melepaskan Suma
Bing, meskipun mati anak juga sangat berterima kasih..."
"Tidak mungkin terjadi!" Suma Bing melangkah setindak,
jengeknya dingin: "Akulah
yang memaksanya berbuat demikian." Te kun menggeser tubuh
menghadapi Suma Bing, sinar
matanya mencorong setajam ujung pedang, bentaknya bengis:
"Kau yang paksa dia?"
"Tidak salah!" "Cara bagaimana kau paksa dia?" "Mengandal
kekuatanku!" "Tutup mulut, berani kau berbohong
dihadapanku?" "Apa yang kau anggap aku berbohong?" Te kun
mendengus lalu berkata: "Tentang ilmu silat kau
masih terpaut sangat jauh dibanding budak kurangajar ini, setelah
kau minum Te liong po hiat, meskipun tenaga dalammu bertambah
berlipat ganda, tapi latihan dan kepandaian sejati kau masih bukan
tandingannya. Berani kau membual hendak menipu aku, dengan
kemampuanmu pasti tidak mungkin menundukkan dia, apalagi
jalan rahasia ini penuh jebakan dan alat2 rahasia, dimana2
dipasang peluit tanda bahaya, kalau dia tidak sengaja hendak
membangkang,
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat terbang
keluar!" Saking malu merah padam wajah Suma Bing bantahnya: "Lalu Te
kun hendak apa?"
"Kedudukanmu saat ini sudah jadi salah satu dari kerabat
perkampungan bumi, kalian berdua harus menjalani hukuman
yang sama."
Suma Bing mengertak gigi, semprotnya: "Aku yang rendah
sekarang hendak menentang"
"Sekali lagi kau berani mengatakan 'aku yang rendah' biar Pun te
kun (aku sang raja) membunuhmu lebih dulu!"
"Aku yang..." "Bedebah!" dibarengi bentakan makian ini, Te
kun langsung memukul kearah Suma Bing. Tercekat hati Suma Bing, baru saja
tangannya diangkat... "Ayah!" ditengah pekikan yang memilukan
ini secepat kilat
mendadak Pit Yau ang melesat menghadang dan memapak
kearah angin pukulan Te kun.
Perbuatan nekad ini benar2 diluar dugaan siapapun. Dalam
gusarnya Te kun melancarkan pukulan sepenuh tenaga mana
mungkin dapat ditarik kembali.
'Blang!' terdengar pekik kesakitan yang menusuk telinga tubuh Pit
Yau ang yang ramping itu kontan terbang jauh keluar halaman
kelenteng. Tampak sebuah bayangan berkelebat, ternyata Suma Bing
gunakan gerak kelit dari Bu siang sin hoat, sekali berkelebat tiba
diluar kelenteng dan tepat menyambuti tubuh Pit Yau ang yang
hampir terbanting keras ditanah.
"Gerak tubuh yang hebat!"
Seorang tua berpakaian sebagai pertapa tiba-tiba muncul bagai
bayangan setan!
"Engkoh Bing," panggil Pit Yau ang lantas mulutnya menguak
menyemprotkan darah segar, orangnya juga segera jatuh pingsan.
Hati Suma Bing seperti di-sayat2, tubuhnya bergetar dan hampir
mengejang. "Pit lote, begitu tega kau turun tangan terhadap anakmu sendiri?"
Waktu Suma Bing berpaling, terlihat seorang tua berjenggot
panjang menjulai sampai diperutnya, mengenakan baju bersulam
patkwa, kepalanya diikat kain sutera, di tangannya menggenggam
sebuah kipas, sikapnya angker laksana seorang pertapa sakti siapa
berdiri lima kaki dibelakangnya.
Seruan memuji bernada kagum tadi agaknya keluar dari mulut
orang tua ini. Sebab seluruh perhatiannya ditujukan kepada Pit
Yau ang, maka dia tidak hiraukan seruan tadi. Dilihat dari cara
orang berpakaian dan sikapnya ini diam2 benak Suma Bing tidak
tentram. Siapa dia" Te kun raja yang dipertuan agung dari Te po ternyata
dipanggilnya saja sebagai Lote (adik tua).
Saat mana rona wajah Te kun tidak menentu susah diselami, dia
berdiri mematung tanpa mampu buka suara.
Pikiran Suma Bing berkelebat cepat, batinnya, apa mungkin dia
ini" Teringat olehnya waktu dulu si maling bintang Si Ban cwan
menyamar menjadi Kang kun Lojin menggebah lari Si tiau khek
itu. Konon kabarnya bahwa Kang kun Lojin sudah meninggal dunia
pada empat puluh tahun yang lalu, tapi bentuk wajah dan cara
berpakaian orang tua ini benar2 serupa dan persis benar dengan
penyamaran si maling bintang dulu. Apa
mungkin kabar di kalangan Kangouw itu adalah bohong belaka,
dan ternyata si orang tua ini masih sehat waalfiat hidup didunia
ini" Karena pikirannya ini, tercetus seruan mulutnya: "Apakah
nama julukan Lo cianpwe adalah Kang kun Lojin?"
Orang tua berjenggot putih itu bergelak tawa sekian lamanya, lalu
ujarnya: "Buyung, pengalamanmu luas juga!"
Sebaliknya Suma Bing malah tertegun, tidak terduga olehnya
bahwa orang tua ini ternyata betul2 adalah Kang kun Lojin yang
sangat kenamaan diseluruh dunia.
Situasi ketegangan mulai mereda setelah Kang kun Lojin
mendadak muncul.
Dengan tajam Kang kun Lojin pandang Pit Yau ang yang rebah
dalam pelukan Suma Bing, lalu alis dikerutkan katanya kepada Te
kun: "Lote, apakah yang telah terjadi?"
Te kun menghela napas panjang, sahutnya: "Loko (saudara tua),
dia inilah menantu dan ahli waris raja Suma Bing yang terpilih
menurut undang2 tradisi kita!"
"Tepat, berbakat dan bertulang bagus, pandanganmu benar2
hebat!" "Budak itu sendirilah yang memilihnya!" "O, jeli dan tajam
benar pandangan budak ini!" Agaknya Te kun enggan
mempersoalkan semua apa yang
sudah terjadi dihadapan Suma Bing, maka lantas digunakan ilmu
Coan im jip bit bercerita kepada Kang kun Lojin yang terakhir baru
dia berkata keras: "Loko urusan ini biarlah kuserahkan kepadamu
bagaimana?"
Kang kun Lojin menggoyang2 kipas, katanya: "Aku juga ada
sedikit urusan dengan engkoh kecil ini. Baiklah, biarlah urusan ini
engkoh tuamu ini yang tanggung."
"Kalau begitu terima kasih!" "Tidak perlu, bawalah budak kecil
itu pulang, lukanya tidak
ringan!" Dari samping Suma Bing semakin keheranan, agaknya
dengan beberapa patah kata saja Kang kun Lojin sudah dapat
membujuk Te kun.
Kang kun Lojin maju memayang tubuh Pit Yau ang dengan sebuah
tangannya dia raba pernapasannya sebentar lalu diserahkan
kepada Te kun, berputar lalu menghadap Suma Bing, katanya:
"Buyung, aku orang tua tidak memaksa kau, kalau kau rela,
berlutut dan minta maaflah kepada mertuamu!"
Selamanya sifat Suma Bing sangat angkuh dari pembawaan lahir,
sebenarnya hatinya hendak membangkang, tapi karena budi Pit
Yau ang terhadapnya sedemikian besar serta memandang muka
Kang kun Lojin maka terpaksa dia menurut berlutut dan berseru:
"Harap Te kun suka memberi ampun!"
Dia tidak mau menyebut 'Gak tio' atau mertua dan menyebut diri
pribadi sebagai siau say atau menantu. Terang bahwa permintaan
maafnya ini adalah sangat terpaksa.
Te kun ulapkan sebelah tangan dan berseru: "Sudahlah, bangun!"
Kang kun Lojin mengebutkan kipasnya dan berkata: "Buyung, mari
kita pergi!"
Habis berkata ringan sekali tubuhnya melayang keluar kelenteng.
Penuh keheranan dan tak mengerti Suma Bing kesima memandang
bayangan punggung Kang kun Lojin. Lalu dipandangnya Pit Yau
ang yang masih pingsan itu lekat2, sekali berkelebat tubuhnya juga
melenting keluar kelenteng.
Kelenteng bobrok ini dibangun diatas gundukan tanah gundul
dilamping sebuah gunung, empat penjuru adalah semak belukar,
tempat ini benar2 sangat liar dan sunyi tersembunyi.
Kang kun Lojin sudah menanti diluar kelenteng tangannya
menunjuk kepuncak sebelah kiri sana serta berkata: "Buyung mari
kita kepuncak gunung itu untuk bicara!"
Suma Bing manggut2 tanpa bersuara. Dua bayangan secepat
kilat terbang menuju kepuncak
gunung yang ditunjuk tadi. Dengan kehebatan ilmu ringan tubuh
mereka dalam sekejap saja mereka sudah tiba di puncak gunung
itu. Ternyata puncak ini merupakan puncak tertinggi dari puncak2
tetangga sekelilingnya.
Mereka mencari duduk diatas sebuah batu. Suma Bing
membuka mulut lebih dulu: "Entah Locianpwe
ada petunjuk apa?" Sambil me-ngelus2 jenggotnya, Kang kun
Lojin berkata sungguh: "Buyung, apa kau tahu mengapa orang tua reyot seperti
aku yang sudah lama mengasingkan diri ini, mau muncul lagi
didunia Kangouw?"
"Hal ini wanpwe tidak tahu!" "Karena masih ada sebuah angan2
yang belum terlaksana!" "Angan-angan?" "Benar, inilah buah
yang kutanam secara tidak sengaja,
sehingga sampai sekarang masih belum bisa dibikin terang,
terpaksa maka aku harus berkelana lagi di Kangouw untuk
menyelesaikan urusan itu. Ini boleh dikata suatu akibat, aku
orang tua bukan dari agama Buddha, tapi mengenai hukum sebab
dan akibat atau juga dinamakan hukum karma hitung2 sekarang
aku sudah mulai melek dan dapat menyelaminya!"
Suma Bing manggut2 hampa, entah mengapa dia tidak tahu orang
tua dihadapannya ini kok berbicara persoalan sebab musabab
dengan dirinya.
Setelah merandek sebentar lantas Kang kun Lojin melanjutkan:
"Buyung, apa kau sudi melakukan sesuatu untuk aku orang tua?"
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Urusan apakah yang harus
wanpwe lakukan?"
"Menyelesaikan sebab dan akibat ini!" "Coba Locianpwe
terangkan!" "Itulah tentang hilangnya Bu siang po liok dari Siau
lim sie!" Suma Bing melonjak kaget, serunya: "Bu siang po
liok?" "Sedikitpun tidak salah!" "Ini... wanpwe masih belum
jelas!" "Buyung, dihadapanku jangan kau pura2 main tidak
tahu dan main sembunyi." "Apakah yang Locianpwe maksudkan?"
"Yang kumaksudkan adalah Bu siang po liok itu?" "Hakekatnya
memang wanpwe tidak mengetahui!" Mata Kang kun Lojin
dipentang lebar, sorot matanya nanap
mengawasi wajah Suma Bing, sampai sekian lama tidak berkedip,
agaknya tengah menyelami hati kecilnya, lama dan lama kemudian
baru dia pejamkan mata dan berkata: "Apa benar2 kau tidak tahu
menahu tentang persoalan ini?"
"Memang aku tidak tahu!" jawab Suma Bing sejujurnya. Kang
kun Lojin manggut2, seperti menggumam ia berkata
seorang diri: "Ai, mungkin peristiwa itu belum pernah dia tuturkan
kepada anak muridnya..."
Dari Bu siang po liok empat huruf ini sedikit banyak Suma Bing
sudah dapat menebak persoalannya, maka tercetus pertanyaan dari
mulutnya: "Siapakah yang Locianpwe maksudkan?"
Mendadak Kang kun Lojin berkata penuh haru: "Buyung
bagaimanapun juga, urusan ini hanya kau seorang yang dapat
menyelesaikan, sudah tentu, harus kulihat apakah kau rela
melakukannya!"
"Mengapa Locianpwe tidak jelaskan lebih terang?" Kang kun
Lojin mendongak kelangit, janggut panjangnya
bertebaran dihembus angin pegunungan, katanya dengan suara
rendah: "Buyung, dengarkanlah sebuah cerita pada seabad yang
lalu..." Suma Bing mengangguk dengan bersemangat, dia maklum bahwa
cerita itu pasti mengenai suatu kejadian rahasia di Bulim, mungkin
ada sedikit atau banyak dirinya tersangkut didalamnya akibat dari
ekor peristiwa itu.
Kedua mata Kang kun Lojin mendelong mengawasi langit,
mulailah dia bercerita: "Seabad yang lalu, didunia persilatan
muncul tiga muda mudi yang berkepandaian sangat tinggi dan
malang melintang tiada tandingan, mereka dinamakan Bu lim sam
ki. Sebenarnya Sam ki berpencar dan kenamaan didaerah
masing2. Dalam suatu kesempatan yang tidak disengaja Sam ki
bertemu tanpa berjanji sebelumnya. Sungguh diluar dugaan
bahwa salah satu dari Sam ki atau tiga aneh itu ternyata adalah
seorang perempuan yang cantik..."
Sampai disini tidak tahan lagi segera Suma Bing ajukan
pertanyaan: "Setelah Sam ki kenamaan, apa dalam dunia,
persilatan masih belum ada yang tahu bahwa salah satu dari
mereka adalah perempuan?"
"Kau berkata benar, sebelum Sam ki bertemu memang betul2
tiada seorang jua yang tahu, sebab biasanya dia menyamar
sebagai pemuda!"
"Waktu dua yang lain mengetahui bahwa seorang yang lain
ternyata adalah perempuan, mulailah mereka berlomba hendak
mengambil hatinya maka terjadilah percintaan segitiga yang
merisaukan. Kedua pemuda itu sama2 ganteng dan cakapnya, ilmu
silatnya juga sudah sempurna. Maka perempuan itu susah
mengambil keputusan positip diantara mereka berdua. Maka
akhirnya kedua pemuda itu mengadakan perundingan rahasia untuk
menyelesaikan urusan secara jantan dengan pertempuran adu silat,
bagi yang kalah harus bersumpah untuk tidak muncul lagi didunia
persilatan selama hidup ini...
"Waktu pertempuran berjalan dengan seru, masing2 bertempur
mati2an untuk merobohkan lawannya, tiada salah satu pihak yang
mau mengalah, hampir saja waktu mereka bakal gugur bersama,
mendadak perempuan itu muncul dan menghentikan pertempuran
berdarah itu akhirnya perempuan itu mengajukan cara2 bijaksana
untuk menyelesaikan pertikaian ini..."
"Cara apakah itu?" "Perempuan itu berharap dapat melatih
semacam ilmu gerak tubuh yang hebat tiada taranya, untuk menambal
kekurangannya sebagai perempuan. Menurut kabarnya bahwa
dalam perpustakaan rahasia dikuil Siau lim si ada sejilid buku yang
dinamakan Bu siang po liok, buku ini khusus mencatat tentang
ilmu gerak tubuh yang diharapkan itu. Karena arti dalam buku
catatan itu sangat dalam dan susah dimengerti, maka sampai
pemiliknya sendiri yaitu para padri Siau lim si juga tiada seorang
juga yang mampu mempelajari, sudah berabad lamanya tiada
orang yang sempurna mempelajari ilmu ini. Justru perempuan itu
minta kedua pemuda itu menuju ke Siau lim si untuk mencuri buku
pelajaran itu, siapa mendapatkan lebih dulu, dia rela menjadi
istrinya untuk se- lama2nya...
"Lalu bagaimana akhirnya?" tanya Suma Bing ketarik
benar. Agaknya Kang kun Lojin harus memeras keringat untuk mengenang
lagi cerita masa silam itu, setelah berhenti sekian lamanya baru dia
menyambung lagi: "Karena 'cinta' kedua pemuda itu rela dan tega
melakukan perbuatan rendah yang paling dipandang hina oleh
kaum persilatan, mereka menyamar dan mengenakan kedok,
masing2 menggunakan caranya sendiri menuju ke Siau lim si..."
"Akhirnya salah satu diantara mereka mendapat hasil?"
"Memang, salah satu diantara mereka berhasil dengan
gemilang, tapi salah seorang yang lain bukan saja tidak berhasil
malah terkepung dan mendapat luka berat dibawah keroyokan
padri2 Siau lim sie, walaupun akhirnya dapat melarikan diri tapi
sejak itu dia menjadi tanpa daksa alias cacat seumur hidup!"
Sudah tentu pemuda yang berhasil itu dengan perempuan..."
"Kau dengar saja ceritaku. Waktu pemuda yang berhasil itu
mengetahui bahwa saingannya itu sampai terluka berat dan
menjadi tanpa daksa, hatinya turut berduka dan menyesal, dia
merubah tujuannya yang semula, bukan saja ia menyesal akan
perbuatannya yang gila2an dan hina dina ini, disamping itu dia
juga tidak puas akan sikap dan tindakan perempuan itu yang
menggunakan cara demikian keji untuk menguji mereka. Maka
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diberikan Bu siang po liok yang berhasil dicurinya itu kepada
pemuda saingannya yang cacat itu, terus tinggal pergi dan tidak
pernah muncul lagi..."
Tanpa terasa Suma Bing memuji kagum: "Sungguh mengagumkan
sikap gagah dan kebajikan hati pemuda itu."
"Ya, tapi waktu dia mengambil kepastian ini betapa pahit getir dan
berduka hatinya"
"Selanjutnya bagaimana?"
"Sudah tentu pemuda cacat itu menikah dengan perempuan itu.
Mereka mengundurkan diri untuk mempelajari isi dari pelajaran Bu
siang po liok itu. Maka sejak itu kalangan Kangouw kehilangan jejak
Bu lim sam ki, lambat laun ketenaran nama Bu lim sam ki menjadi
luntur dan hilang dilupakan orang ditelan masa..."
Baru sekarang Suma Bing paham, pasti perempuan diantara Bu lim
sam ki itu adalah Bu siang sin li itu. Maka tidak heran waktu dirinya
meluruk ke Siau lim si hendak mencari ibunya tanpa sengaja ia
pertunjukkan Bu siang sin hoat, para pendeta Siau lim si itu lantas
hendak meringkus dan mengompresnya, mereka menuduh dirinya
ada tersangkut paut dengan peristiwa ter-katung2 tanpa
penyelesaian pada ratusan tahun yang lalu, ternyata semua ini ada
latar belakang yang belum dimengerti oleh dirinya.
Kang kun Lojin merendahkan kepalanya, kedua matanya menatap
tajam kearah Suma Bing, katanya: "Setelah pemuda dan
perempuan itu menikah, setahun kemudian lahirlah seorang anak
perempuan. Tidak lama setelah anak itu lahir, terjadi perpecahan
diantara suami istri itu lantas masing2 berpisah hidup sendiri2. Dan
selanjutnya lantas muncul didunia persilatan seorang perempuan
yang misterius dia menyebut dirinya sebagai Bu siang sin li..."
"Selama puluhan tahun tidak henti2nya pihak Siau lim si mengutus
para jagoan silatnya untuk mengejar dan mencari jejak Bu siang
sin li, mereka berharap dapat merebut kembali buku pelajaran
yang paling berharga itu. Tapi, Bu siang sin li sendiri sudah
merupakan teka teki, munculnya dikalangan Kangouw hanya
merupakan bayangan belaka."
Tergerak kesadaran Suma Bing, tanyanya mencari tahu: "Jadi
karena urusan ini maka Locianpwe merasa menyesal dan
mengganjal dalam sanubari?"
"Ya, memang begitulah!"
"Kalau begitu pasti Locianpwe adalah salah satu dari Bu lim sam
ki itu, yaitu pemuda yang berhasil mendapatkan buku Bu siang po
liok itu?"
Mata Kangkun Lojin memancarkan sinar aneh, sahutnya penuh
haru: "Sedikitpun tidak salah, memang akulah orang tua adanya!"
"Lalu bagaimana wanpwe harus membantu?" "Apa sangkut
pautmu dengan Bu siang sin li?" "Tiada sangkut paut apa2."
sahut Suma Bing tertegun. "Lalu Bu siang sin hoatmu itu kau
pelajari darimana?" "Ini, mungkin karena jodoh secara kebetulan
aku memperoleh pelajaran ini!" "Siapa orang itu?" Mengingat
sumpahnya kepada Giok li Lo Ci, terpaksa dia
menjawab: "Dalam hal ini maaf wanpwe tidak bisa menerangkan!"
Agaknya Kangkun Lojin sangat terpengaruh oleh perasaannya
sendiri, tiba2 ia bergegas berdiri, katanya keras: "Buyung, katakan
alasanmu?"
Suma Bing juga bangkit berdiri, sikapnya ragu2 dan serba susah,
sahutnya: "Locianpwe, wanpwe pernah bersumpah untuk tidak
menceritakan persoalan ini kepada siapapun"
"Tapi, terhadap aku orang tua..." "Sungguh aku sangat
menyesai!" "Apa kau betul2 bukan anak murid Bu siang sin li"
"Hal ini dapat wanpwe jawab sejujurnya, bukan!" Janggut
panjang Kangkun Lojin ber-gerak2, perasaan
harunya masih belum lenyap katanya menegasi: "Jadi
jelasnya kau menolak membantu aku orang tua untuk menyelesaikan
urusan ini?"
"Wanpwe tidak akan mampu melakukannya." "Baiklah, coba
katakan dimana Bu siang sin li
mengasingkan diri?" "Ini..." sebetulnya Suma Bing hendak
mengatakan bahwa
Bu siang sin li sudah meninggal dunia pada sepuluh tahun yang
lalu, tapi teringat akan sumpahnya akhirnya ia telan kembali
maksudnya. "Bagaimana?" "Maaf wanpwe tidak dapat memberitahu!"
"Kenapa?" "Karena sumpah!" "Buyung, kau harus beritahu
kepada aku orang tua!" seru
Kangkun Lojin gugup sambil mencengkram pergelangan tangan
Suma Bing, begitu jarinya mengerahkan tenaga seketika Suma
Bing rasakan tubuhnya lemah lunglai, hawa murni dalam tubuhnya
buyar lenyap. "Buyung, katakan!" "Wanpwe takkan menurut!" Jari2 Kangkun
Lojin mencengkram semakin keras,
gertaknya bengis: "Katakan!" Suma Bing rasakan seolah2 tulang2
dan seluruh nadinya
sungsang sumbel dan terlepas dari ruas2nya, hawa murni susah
dihimpun, keringat dingin sebesar kacang merembes keluar. Tapi
dasar wataknya memang keras kepala, sedikitpun dia tidak
kerutkan alis atau mengeluh kesakitan, malah katanya menjengek
dingin: "Apa Locianpwe memaksa wanpwe melanggar sumpah dan
kepercayaan?"
"Mengingat akan nama kebesaranku, pasti Bu siang sin li tidak
akan salahkan kau."
"Tidak mungkin terjadi." "Kau... harus katakan dimana alamat
Bu siang sin li?" "Tidak!" "Kau ingin mati?" Suma Bing
mendengus ejek, katanya: "Kalau Locianpwe
beranggapan begitu, silahkan turun tangan, aku Suma Bing tidak
akan mengerut alis."
Akhirnya Kangkun Lojin menghela napas panjang dan melepaskan
cengkramannya, sikapnya lesu dan tidak bersemangat, tangannya
diulapkan seraya berkata: "Kau boleh pergi."
Kini ganti Suma Bing sendiri merasa tidak enak dan risi, hitung2 ia
adalah seorang Cianpwe angkatan tua, malah dari cerita itu
dapatlah dinilai sepak terjang orang tua ini sangat gagah perwira,
hatinya sangat mengaguminya. Tapi seorang laki2 harus menepati
janji dan sumpahnya mana dia boleh menjilat ludahnya sendiri
akan sumpahnya kepada Giok li Lo Ci dan membocorkan rahasia
lembah kematian, maka berkatalah ia sejujurnya: "Locianpwe,
meskipun wanpwe tidak dapat sepenuhnya membantu, tapi dalam
batas2 tertentu dimana wanpwe dapat melakukan, mungkin kelak
aku bisa memberikan jawabanku!"
"Buyung, kau pergilah!" Suma Bing membungkuk hormat terus
memutar tubuh lari
turun gunung, hatinya terasa seperti kehilangan sesuatu.
Mendadak terpikirkan suatu akal dalam benaknya, diam2 ia
manggut2 girang.
Pikirnya saat ini memang dirinya tengah akan menuju ke Lembah
kematian, mengandal Pedang darah dia hendak minta
Bunga iblis. Jikalau Kangkun Lojin menguntit dirinya dan
menemukan rahasia lembah kematian itu, ini tidak terhitung
dirinya melanggar sumpah. Tapi dengan kedudukan dan ketenaran
nama Kangkun Lojin, apa dia bakal berbuat begitu"
Memang besar hasratnya hendak melakukan sesuatu untuk
membantu kesukaran orang tua ini, namun hakikatnya kenyataan
ini tidak mengijinkan ia berbuat begitu.
Pengalamannya kali ini se-akan2 dialami dalam mimpi belaka.
Bahwa dirinya bisa terpilih sebagai ahli waris Raja didalam
perkampungan bumi benar2 suatu hal yang aneh diluar tahunya.
Ber-hari2 kemudian tibalah dia dijalan raya, setelah mencari tahu
baru diketahui tempat dimana sekarang dia berada kira2 terpaut
ribuan li jauhnya dari tempat pertempuran waktu melawan Rasul
penembus dada dulu, diam2 ia melelet lidah.
Setelah menimang2 bergegas dia mengambil jalan yang langsung
menuju ke Bu kong san. Membekal Pedang darah untuk mohon
Bunga iblis, ini bukan saja tujuan utama yang tengah di-impi2kan,
juga merupakan pesan terakhir dari Gurunya Sia sin Kho Jiang
sebelum ajal, dan yang lebih tepat boleh dikatakan sebagai cita2
yang belum terlaksana oleh ayahnya yaitu Su hay yu hiap Suma
Hong. Setelah Pedang darah dan Bunga iblis dapat disatu padukan pasti
dirinya dapat mempelajari ilmu yang tiada taranya, kelak pastilah
terkabul cita2nya untuk menuntut balas dendam perguruan dan
sakit hati orang tua pasti dapat dihimpas. Lantas dari sini terpikir
juga akan ibundanya San hoat li Ong Fan lan yang belum diketahui
mati hidupnya. Jikalau ibundanya belum ketemu, maka para
musuhnya yang dulu kala ikut mengeroyok ayahnya pasti susah
diselidiki jejaknya.
Sumber berita yang paling utama dapat diandalkan hanya Iblis
timur seorang, namun Iblis timur sudah mati dibawah
cundrik Rasul penembus dada. Dan orang kedua adalah Loh Cu gi.
Tapi saat ini mungkin dirinya masih bukan tandingannya Loh Cu
gi. Apalagi Loh Cu gi belum tentu mau memberi keterangan
siapa2 saja yang ikut serta dalam pengeroyokan dan perebutan
Pedang darah itu, ini merupakan suatu soal juga.
Teringat akan Loh Cu gi, mendidih darahnya, murid murtad
perguruan, algojo pembunuh ayahnya, bajingan besar yang
memperkosa ibundanya, rasanya hanya dibunuh saja manusia
durhaka ini masih belum dapat melunasi kejahatan yang sudah
diperbuatnya. Tengah kakinya melangkah, tiba2 teringat olehnya akan tiga
cangkir darah pusaka naga bumi yang telah diminumnya itu,
menurut kata Pit Yau ang Lwekangnya sekarang sudah bertambah
dalam seumpama berlatih enam puluh tahun. Jikalau menurut
Lwekangnya sekarang dikombinasikan sebagai landasan dari ilmu
Kiu yang sin kang entah dapat mencapai tingkat keberapa, apakah
dapat menandingi latihan Loh Cu gi"
Otaknya bekerja matanya pun menjelajah keempat penjuru,
tampak rimba lebat disebelah depan sana membelakangi sebuah
bukit kecil, maka segera ia putar haluan menuju kepinggir bukit,
disitu ia hendak mencari suatu tempat tersembunyi, untuk melebur
kekuatan dari darah pusaka naga bumi kedalam Kiu yang sin kang.
Tidak lama kemudian tibalah dia diluar rimba lebat itu, sekian lama
dia belak belok menerobos semak belukar didapatinya dibawah
bukit sebelah sana terdapat sebuah gua, pikirnya, tempat ini sangat
tersembunyi tentu tiada sembarangan orang dapat menerobos
datang mengganggu.
Sekali berkelebat tubuhnya melesat kearah mulut gua. Mendadak
Suma Bing menjerit kaget dan menghentikan luncuran tubuhnya,
matanya mendelong mengawasi lepotan darah yang berceceran
menjurus kedalam gua.
Darah manusia ataukah darah binatang" Dilihat dari warnanya,
darah yang berlepotan diatas tanah
ini pasti belum lama ini saja. Se-konyong2 terdengar suara napas
ngos2an dari dalam
gua diselingi keluhan kesakitan yang luar biasa, karena ditekan
maka suara itu hampir tidak terdengar.
Itulah suara manusia! Pasti seseorang terluka berat didalam gua
ini, begitulah setelah me-nimbang2, kakinya melangkah maju dan
berseru keras kearah gua: "Sahabat manakah yang berada
didalam gua?"
Suara keluhan dan napas memburu itu seketika berhenti, tapi
tanpa terdengar reaksi apa2.
Sekali lagi Suma Bing berseru: "Siapa itu yang didalam?"
"Siapakah yang diluar?" terdengar suara penyahutan yang
lirih tapi nyaring. Tanpa terasa Suma Bing melengak, ternyata
orang didalam itu adalah seorang perempuan. Entah bagaimana dia terluka
didalam gua di tengah2 hutan belukar begini" Maka serunya lagi
lebih lantang: "Agaknya nona terluka berat?"
"Tidak!" "Tidak" Bukankah kau tadi mengeluh kesakitan dan
darah..." "Aku..." "Kau bagaimana?" "Tidak... apa2, silahkan kau
menyingkir." Karena tertarik dan ingin tahu, Suma Bing
berkeputusan hendak mengetahui kejadian sebenarnya secara jelas, alisnya
dikerutkan, katanya: "Dapatkah kiranya aku yang rendah
menyumbangkan tenagaku?"
Ber-kali2 terdengar pula suara keluhan dan gerengan sakit yang
tertahan, se-akan2 dia sangat menderita menahan rasa sakitnya
itu. Maka lebih besar rasa curiga Suma Bing, lantas serunya sekali
lagi: "Sudah terang kalau nona terluka berat, mungkin cayhe
dapat membantu?"
Suara perempuan itu terdengar agak mendongkol: "Ketahuilah...
bukan... terluka. Kau! Mengapa begitu cerewet... bertanya saja?"
Suaranya lemah menggagap ter-putus2, ini menandakan suara
hatinya bertentangan dengan keadaannya, tapi mengapa dia
menolak bantuan orang lain" Ini tentu ada latar belakangnya yang
mencurigakan"
Orang itu adalah seorang perempuan, sudah tentu Suma Bing
tidak bisa memaksa harus berbuat bagaimana. Walaupun hatinya
penuh tanda tanya, tapi apa boleh buat. Maka pikirnya, kalau kau
menolak bantuanku, baiklah aku tinggal pergi saja!
Baru saja ia hendak mengundurkan diri, tiba2 suara perempuan itu
balik bertanya: "Siapakah tuan ini?"
"Cayhe Suma Bing!" "Apa" Jadi kau adalah Suma Siau hiap
yang kenamaan itu?" "Tidak berani aku terima puji
sanjunganmu yang berlebihan
itu, memang itulah Cayhe." "Kalau begitu..." "Nona siapa?" "Aku
bernama... Thong Ping..." lalu disusul suara keluhan
dan gerengan yang menghebat. Alis Suma Bing dikerutkan
semakin dalam, tak tertahan lagi
ia bertanya: "Apakah nona terluka berat?"
"Ti... dak..."
"Lalu apakah yang terjadi?" "Aku... aku..." "Kau kenapa?"
"Aku... aduh..." "Bolehkah cayhe masuk untuk memeriksa?"
"Jangan... sekali2 kau... jangan masuk... aduh!" Suma Bing
menjadi serba susah dan garuk2 kepala. Entah
perempuan yang mengaku bernama Thong Ping ini tengah
bermain sandiwara apa.
"Sebenarnya nona kenapa?" "Tidak... apa!" "Kalau nona
memang ada kesukaran yang sulit untuk
dibantu, terpaksa cayhe minta diri..." "Tidak... Suma Siau hiap,
kau... jangan pergi!" "Tapi nona harus menjelaskan yang
sebenarnya kepada..." "Aduh... Suma Siau hiap... harap kau...
menunggu sebentar
diluar... aku... aduh!" lagi2 terdengar suara pekik kesakitan lebih
keras, sedemikian menusuk hati suara kesakitan itu sehingga mendirikan
bulu roma. Terpaksa Suma Bing berdiri diluar gua dengan bingung
keadaannya serba runyam.
Se-konyong2 terdengar suara tangis bayi yang nyaring dari dalam
gua.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika merinding seluruh tubuh Suma Bing. Ternyata
perempuan bernama Thong Ping ini bersembunyi dalam gua untuk
melahirkan. Lalu dia minta dirinya menunggu sebentar untuk apa"
Ya, betul, mungkin dia akan minta dirinya panggil dokter dan beli
obat, atau mungkin...
35. RACUN DIRACUN MANUSIA LAKNAT.
Sepeminuman teh kemudian baru terdengar suara Thong
Ping yang lemah tak bertenaga: "Suma Siau hiap silahkan kau
masuk!" Sekarang Suma Bing menjadi ragu2 malah, tapi akhirnya
mengeraskan kepala dia memasuki gua itu.
Diujung gua sebelah sana, tampak seorang wanita duduk
menggelendot didinding batu, rambutnya awut2an, tangannya
mengemban seorang orok yang baru lahir.
Satu tombak dihadapan perempuan itu Suma Bing menghentikan
langkahnya, wajahnya merah jengah, katanya: "Nona Thong
bagaimana bisa..."
Thong Ping angkat kepala, sebelah tangannya menyingkap rambut
yang menutupi mukanya, terlihatlah wajahnya yang pucat tapi ayu
menggiurkan, katanya lemah: "Suma Siangkong, ada satu urusan
hendak kuminta bantuanmu?"
"Silahkan katakan!" Sepasang mata Thong Ping yang jeli itu
mendadak memancarkan cahaya dingin yang menakutkan, katanya sambil
kertak gigi: "Aku minta kau membunuh seorang!"
"Membunuh orang?"!" Jantung Suma Bing me-lonjak2 keras,
serta merta dia
mundur selangkah. "Benar, membunuh seorang, tidak, dia bukan
terhitung manusia, seekor binatang yang kejam dengan kedok manusia!"
"Siapa dia?"
"Ayah dari orok celaka ini." Lagi2 Suma Bing terkejut, tanyanya
berjingkrak: "Apa, kau
ingin aku membunuh suamimu?" Air mata meleleh dengan
derasnya dikelopak mata Thong
Ping katanya sesenggukan: "Dia bukan suamiku, kita belum
pernah menikah, dia hanya mempermainkan aku..."
"Siapakah dia?" "Racun diracun!" "Siapa?" "Racun diracun!"
Suma Bing bagai mendengar geledek dipinggir telinganya
tanpa kuasa tubuhnya terhuyung hampir roboh. Sungguh tidak
kira Racun di racun bisa mempermainkan seorang perempuan
yang tidak berdosa. Memang sepak terjang Racun diracun susah
dijajaki, sudah beberapa kali dia menanam budi atas dirinya,
malah tanpa syarat mengembalikan Pedang darah kepada dirinya.
Menurut apa yang dikatakan Hui Kong Taysu dari Siau lim si
bahwa Racun diracun ternyata adalah sealiran dengan Pek Kut
Hujin, sedang Pek Kut Hujin juga sudah berulangkali memberi
bantuan yang tidak ternilai kepada dirinya. Haruskah dia melulusi
permintaan Thong Ping. Tapi, perbuatan Racun diracun kali ini
benar2 mendirikan bulu roma.
Kata Thong Ping membesut airmata: "Suma Siau hiap apa kau
kenal Racun diracun?"
"Begitulah seorang manusia aneh dengan seluruh badan hitam
legam, manusia paling beracun diseluruh dunia!"
"Itu bukan wajahnya yang asli."
"O!" "Dia berkepandaian suatu tenaga dalam yang dapat merubah
bentuk wajahnya dalam sekejap mata..."
Diam2 Suma Bing manggut2, memang dia pernah dengar akan
ilmu Kun goan tay hoat ih sek suatu ilmu yang paling susah
dipelajari. Kata Thong Ping lagi: "Wajah aslinya walaupun tidak begitu
ganteng tapi juga cukup gagah, siapa tahu, dia... hatinya jahat
melebihi serigala."
"Dia menelantarkan nona?" Air mata, meleleh lagi lebih deras
kata Thong Ping dengan
nada kebencian yang ber-limpah2: "Dia menipu cintaku menodai
tubuhku, waktu aku sadar kalau aku sudah mengandung dan minta
supaya segera kita menikah, dia..."
"Dia bagaimana?" "Dia berkata bahwa aku bukan calon istri
yang diangan2kan
dia minta aku melupakan dia..." Suma Bing ikut gusar dibuatnya,
dengusnya: "Lalu dia
menelantarkan nona?" "Tidak sampai disitu saja!" "Masih ada
ekornya?" "Akhirnya kejadian ini diketahui oleh ibuku, kontan dia
dicaci maki. Dalam gusar dan malunya, ternyata..." "Bagaimana?"
"Dia bunuh ibuku menggunakan racun tanpa bayangan!"
Bercerita sampai disini Thong Ping tak kuat menahan duka
dan keperihan hatinya, seketika ia muntah darah. "Keparat kejam
yang harus dibunuh!" teriak Suma Bing
dengan gemesnya.
Terbayang juga kematian adik Siang Siau hun dengan Li Bun siang
yang juga dibunuh oleh Racun diracun yang menggunakan Racun
tanpa bayangan juga, memang Racun diracun harus ditumpas dan
dilenyapkan dari alam semesta ini.
Tapi, teringat pula akan hutang budinya yang belum sempat
terbalas, seketika dingin perasaan hatinya.
Agaknya Thong Ping ini sangat teliti dan cermat sekali, dia sudah
melihat kesukaran2 yang bakal dialami Suma Bing maka katanya
lagi: "Suma Siau hiap, kalau kau ada kesukaran, permohonanku
itu anggaplah omong kosong saja!"
Suma Bing berpikir cepat, manusia yang tidak berperikemanusiaan
ini mana boleh dibiarkan tinggal hidup didunia ini, budi dan dendam
harus dibedakan, melenyapkan kejahatan adalah tugas utama bagi
kaum ksatria, maka sahutnya sambil kertak gigi: "Nona Thong,
baiklah aku akan bunuh dia"
Tubuh Thong Ping mendadak membungkuk maju mendekam diatas
tanah dan berkata: "Suma Siangkong, harap terimalah hormatku
ini!" "Tidak... tidak... mana boleh begitu!" Suma Bing mencak2
menyingkir, karena tidak leluasa dia
membimbing bangun maka dia minggir kesamping. Thong Ping
duduk seperti semula, katanya sambil tertawa
pahit: "Suma Siau hiap, konon kabarnya bahwa Siau hiap tidak
takut akan segala racun berbisa. Maka selain kau seorang Siau
hiap, mungkin tiada seorangpun dalam Bu lim yang dapat
membunuh Racun diracun. Memang Tuhan maha adil, dia
mengutus Siau hiap kemari..."
Kata Suma Bing menegaskan: "Nona Thong, pasti aku dapat
menyelesaikan urusan ini."
"Siau hiap walaupun harus mati aku Thong Ping juga sangat
berterima kasih akan budimu ini"
"Nona jangan berkata demikian, manusia jahat berhati binatang
seperti dia itu, siapapun wajib melenyapkannya."
Thong Ping sesenggukkan lagi, ujarnya: "Siau hiap semua sudah
kusampaikan, silahkan berangkat"
Alis Suma Bing berkerut, hatinya tidak tega tinggal pergi begitu
saja, katanya: "Nona bagaimana dengan kalian ibu beranak?"
"Kami ibu beranak" hahahahaha..." "Nona kau..." Thong Ping
menghentikan tawanya, katanya: "Suma Siau
hiap, apa kau beranggapan aku Thong Ping masih ada harganya
tetap hidup?"
Tanpa terasa bergidik tubuh Suma Bing: "Nona, yang sudah lalu
anggaplah sebuah mimpi yang paling buruk dilupakan sajalah."
"Ini, dapatkah dilupakan?" "Tapi nona, masih ada bayi ini..."
"Hehehe... hihihi... bayi, anak celaka ini biar kubunuh saja
dengan tanganku sendiri!" nada ucapannya sedemikian seram
dan menyayat hati, mendirikan bulu roma.
Ber-ulang2 Suma Bing bergidik seram, katanya penuh haru:
"Nona, sebuas2 macan dia takkan menelan anaknya sendiri jelek2
dia adalah anak yang kau lahirkan?"
Thong Ping agak tercengang. lalu katanya menggigit gigi: "Dia
anak haram!"
"Kau salah nona Thong, anak ini tidak berdosa, dosa orang tua
mana dapat kau limpahkan ketubuh orok kecil yang baru lahir
ini." Pada saat itulah mendadak sang bayi itu menangis dengan
kerasnya, se-olah2 dia tengah meronta dan menentang akan
nasib jeleknya yang bakal dihadapinya.
Dengan berlinang airmata Thong Ping menggumam: "Anak ini
tidak berdosa?"
Suma Bing manggut2, katanya: "Nona Thong bagaimana juga dia
adalah anak yang kau lahirkan, kau adalah ibu dari bayi ini!"
Thong Ping menunduk lekat2 mengawasi bayi dalam buaiannya,
sinar matanya memancarkan cahaya cerlang cemerlang yang aneh,
sedemikian tenang dan welas asih sedikit juga tidak mengandung
kebencian lagi, itulah cinta ibunda pertanda dari kemajuan
perikemanusiaan.
Diam2 Suma Bing menghela napas lega, tanyanya: "Nona Thong
masih ada kerabat siapa lagi dalam rumahmu?"
"Masih ada adik laki2 yang masih belum dewasa!" "Lebih baik
nona pulang saja, kalau bundamu sudah
meninggal secara mengenaskan, janganlah adikmu sampai
terlunta2 dan hidup sengsara!"
Mendengar bujukan yang menusuk hati ini seketika
menggerung2lah tangis Thong Ping.
Suma Bing diam saja tanpa suara membiarkan orang menangis
sepuas2nya. Memang dia perlu menangis perlu akan mencuci
bersih segala dukacita dan keputusasaannya, melampiaskan
kesedihan dan kedongkolan hatinya. Lama dan lama kemudian
baru Thong Ping menghentikan tangisnya.
"Nona Thong dimanakah kau tinggal?" "Aku tinggal di Thong
keh kip jalan Kip bwe nomor dua
dalam wilayah Su cwan!" "Baiklah, nona Thong sekarang aku
minta diri, kelak kalau
ada kesempatan pasti aku mampir kerumahmu!"
"Siau hiap, terima kasih akan keluhuran budimu ini..." "Ini tidak
terhitung budi apa segala, nona terlalu berat
berkata!" "Kata2 emas Siau hiap tadi menyadarkan kesesatan
pikiranku, itu berarti kau telah menolong jiwa kita ibu beranak..."
"Nona jangan kau berkata demikian, harap jagalah dirimu dan
anakmu baik2, cayhe minta diri."
Habis berkata segera ia mengundurkan diri keluar gua sebetulnya
tujuannya semula adalah hendak mencari suatu tempat untuk
melebur Kiu yang sin kang dengan tenaga barunya, sungguh tidak
diduga disini ia menghadapi kejadian yang paling menyedihkan
dalam dunia ini. Sekian lama dia termangu memandang mulut gua,
lalu menghela napas panjang, batinnya: 'Seorang wanita yang
harus dikasihani.'
Sekali melejit, secepat terbang dia berlari menuju kepuncak bukit
dibelakang rimba sebelah sana. Dia harus segera mencari suatu
tempat untuk berlatih diri. Beruntun dia lewati tiga puncak bukit,
namun sebegitu jauh belum menemukan tempat yang strategis
untuk latihannya, diam2 hatinya mulai gugup.
Karena latihan Kiu yang sin kang ini paling mudah Cap hwe ji mo
atau tersesat, sedikitpun tidak boleh sampai terganggu. Begitulah
setelah celingukan kesana kesini, dilihatnya tidak jauh disebelah
bawah sana terdapat sebuah selokan tersembunyi, bangkitlah
semangatnya. Selokan ini jauh dibawah sana kira2 sedalam ratusan tombak,
seumpama jagoan kelas satu dari kalangan Kang ouw juga sukar
dapat turun kesana, sejenak setelah diukur2 segera ia
kembangkan ilmu gerak naik dari Bu siang sin kang, tubuhnya
sedemikian enteng bagai daun melayang pelan2 menurun, tidak
lama kemudian dengan ringannya kakinya menginjak tanah
didasar selokan sempit itu. Dipilihnya sebuah
batu cadas besar yang menonjol keluar seperti sayap seekor
burung, mulailah dia berlatih diri.
Te liong po hiat atau darah pusaka naga bumi itu betul2 mustajab
dan mandraguna sedikit saja ia kerahkan tenaga hawa murni
dalam tubuhnya segera bergejolak dengan kerasnya bagai sumber
air yang ber-gulung2 menyemprot keluar. Menurut teori pelajaran
Kiu yang sin kang pelan2 dia tuntun hawa murni itu meresap
masuk kedalam pusar dan mulai dilebur dan digodok bersama.
Kira2 setengah hari kemudian, seluruh tubuhnya sudah tertutup
oleh kabut tebal yang berwarna merah menyolok mata, hawa
panas ber-gulung2 melingkupi lima tombak sekitarnya.
Pada saat itulah sebuah bayangan manusia bagai bayangan
malaikat saja melayang tiba menghampiri kedekat Suma Bing.
Sudah sedemikian dekat tapi sedikit juga Suma Bing tidak
mengetahui, latihannya sedang mencapai titik terakhir.
"Ha, Kiu yang sin kang!" mendadak bayangan itu berpekik
ke-gila2an. Kontan buyar dan hilang kabut merah itu lalu disusul jeritan yang
menyayat hati. Seketika Suma Bing roboh terkapar tanpa
bergerak, dari panca indranya mengalir darah segar dengan
derasnya. Bayangan itu agaknya juga sangat kaget, sekali lagi dia berseru
kejut: "Tersesat!"
Untung Lwekang Suma Bing sudah mencapai kesempurnaannya
apalagi jalan darah mati hidup sudah tembus, cepat2 ia tutup sendiri
jalan2 darah penting untuk merintangi darah berputar dan
menerjang balik. Walaupun demikian tidak urung separuh badannya
sudah kaku tak dapat bergerak lagi.
Mimpi juga dia tidak mengira bahwa diselokan dibawah jurang
begini bakal ada orang lain yang datang kemari.
Waktu dia pentang matanya memandang, terlihat tiga tombak
disebelah sana berdiri seorang pemuda yang berwajah putih
ganteng, matanya mendelong mengawasi dirinya.
Dia insaf karena seruan kaget yang mendadak tadi sehingga
membuat latihannya tersesat, meskipun dia dapat segera
mencegah akan akibat yang lebih mengenaskan sehingga jiwanya
tertolong dari kematian, tidak urung separuh tubuhnya sudah
menjadi cacat, ini sudah terang menjadi kenyataan. Betapa sedih
dan pilu hatinya beratus kali lebih sengsara dari kematian.
Seandainya lantas mati malah akan beres dan tidak bikin kapiran,
paling celaka kini badannya mati separuh malah harus menghadapi
lagi kenyataan hidup dengan pahit getir ini, benar2 lebih baik mati
daripada hidup menderita begini. Seketika airmata ber-linang2,
hatinya seperti di-sayat2 dukanya luar biasa. Hampir saja dia
melupakan biang keladi atau durjana yang menyebabkan semua
kecelakaan ini.
Pemuda itu berkerut alis, lalu membuka mulut: "Karena
keteledoran cayhe sehingga saudara tersesat dalam latihan,
sungguh aku sangat menyesal dan beribu2 maaf!"
Suma Bing melotot beringas mengawasi pemuda itu, katanya:
"Sekarang aku sudah celaka, cukup dengan minta maaf saja
pertanggungan jawabmu?"
Sikap pemuda itu acuh tak acuh, sahutnya: "Lalu saudara maunya
bagaimana?"
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Darah semakin merangsang dijantung Suma Bing, gusarnya bukan
kepalang, serunya gemetar: "Sebenarnya ada permusuhan atau
dendam apa aku dengan kau?"
"Permusuhan atau dendam sakit hati sih tidak ada"
"Kau juga seorang persilatan, masa pengetahuan umum yang
cetek begini saja tidak tahu?"
"Tadi sudah kukatakan keteledoran yang tidak disengaja."
"Gampang dan ogah2an benar sikapmu ini?" Si pemuda
menarik muka, katanya mendesis: "Seumpama
memang aku sengaja mencelakai kau, kenapa harus diributkan?"
Hampir meledak jantung Suma Bing, ingin benar rasanya sekali
pukul dia hancurkan pemuda kurangajar ini, namun badannya
sudah tidak mampu bergerak terpaksa dia kertak gigi: "Karena
kata2mu itu kau setimpal untuk dibunuh!"
"Siapa berani membunuh aku" Siapa bisa membunuh aku"
Hahahahaha!"
"Dengan perbuatanmu ini, cepat atau lambat pasti ada orang yang
bakal membunuhmu!"
"Kau ingin mati?" "Kau berani?" Si pemuda tertawa
menyeringai, ejeknya: "Membunuh
orang terhitung apa, apa perlu dipersoalkan berani atau tidak
berani apa segala. Ketahuilah, tanpa menggerakkan tangan aku
dapat..." "Bagaimana?" "Eh, kau... yang kau latih tadi adalah Kiu yang
sin kang, bukankah kau ini yang bernama Suma Bing?" Suma Bing tertegun,
tanyanya: "Kalau benar kau mau
apa?" Berubah air muka si pemuda, suaranya gemetar: "Benar
kau adalah Suma Bing?"
"Tidak salah!"
"Wah ini benar2 celaka!" Suma Bing menjadi melengak heran,
entah apa maksudnya
dengan ucapan celakanya itu, maka tanyanya tak mengerti:
"Apanya yang celaka?"
Agaknya kaget si pemuda masih belum hilang, matanya termangu
dan mulutnya menggumam: "Kesalahan sudah sudah terjadi, ini...
bagaimanakah baiknya?"
Suma Bing tambah tidak paham, suaranya semakin gemetar:
"Siapakah kau ini?"
"Aku" Lebih baik jangan kau tanyakan, mungkin akan datang
suatu hari kau bisa tahu. Suma Bing, selamanya aku membunuh
orang tanpa banyak pikir, tapi terhadap kau aku tak bisa turun
tangan. Mengenai urusan kali ini benar2 aku sangat menyesal dan
minta maaf. Kira2 satu jam lagi pasti ada orang datang, aku harus
segera pergi!"
Habis suaranya tubuhnya melesat terbang dalam sekejap mata
saja bayangannya sudah menghilang, kecepatan gerak tubuhnya
itu benar2 sangat menakjubkan.
Suma Bing termangu memandangi bayangan orang menghilang
dari penglihatannya, sepatah katapun tidak mampu diucapkan lagi.
Sifat pemuda itu bukan saja kejam juga licik banyak tipu
muslihatnya, ini dapat didengar dari nada perkataannya.
Dia mengatakan satu jam lagi bakal datang seseorang, orang
macam apakah yang bakal tiba" Latihannya sudah tersesat,
separuh tubuhnya juga sudah mati kaku, seumpama orang datang
apalagi gunanya.
Badan Suma Bing serasa lemas tak bertenaga, begitu mata
dipejamkan, bayangan pengalaman lalu segera berkelebatan
dalam benaknya, diantaranya rasa dendam sakit hati, cinta,
menuntut balas dan budi kebaikan para kawan, seumpama
ujung pedang menusuk ulu hatinya, 'Kalau aku tidak mati, aku
harus membunuhnya!' demikian ia bertekad dalam hati.
Tiba2 dia tertawa keras menggila dengan suara serak, kegelapan
dan keputus-asaan tanpa berujung pangkal mulai mendatang
melingkupi dirinya, dapatkah dirinya sembuh lagi seperti sedia
kala" Ini benar2 merupakan angan2 kosong dalam impian belaka,
bahwa dia masih helum mati karena latihannya ini tersesat sudah
merupakan untung yang paling besar.
Tengah pikirannya me-layang2 ini, sebuah bayangan berkelebat
lagi didepan matanya.
Kiranya pemuda licik itu lagi yang muncul. Waktu pandangan
Suma Bing beradu pandang dengan
sinar mata si pemuda yang berjelalatan tak henti2nya itu, tanpa
terasa dia bergidik gemetar, dia pergi dan kembali lagi, pasti ada
maksud2 jahat apalagi yang hendak diperbuatnya.
Si pemuda menyeringai dingin, katanya: "Suma Bing, aku teringat
sesuatu..."
"Sesuatu apa?" bentak Suma Bing bengis. "Bukankah Pedang
darah berada ditanganmu?" Suma Bing semakin murka dan
berputus asa, kiranya dia
kembali lagi karena ingin merebut Pedang darah dari tangannya.
Setelah mengalami berbagai rintangan baru Pedang darah ini
diserahkan oleh Racun diracun kepadanya, jikalau hilang lagi,
semua angan2nya bakal kandas seluruhnya. Memang keadaan
dirinya sekarang ini mana mungkin dapat melindungi Pedang darah
itu sehingga tidak sampai terebut oleh lawan.
Tentang Pedang darah berada ditangannya, selain pihak Bwe hwa
hwe tiada orang lain yang tahu. Apa mungkin pemuda licik ini
adalah dari pihak Bwe hwa hwe"
Kalau dia memang benar dari Bwe hwa hwe mengapa tidak
segera mencabut jiwanya" Ini tidak benar. Lalu bagaimana bisa
dia mengetahui kalau dirinya menyimpan Pedang darah"
Pelan2 si pemuda mendekat kehadapan Suma Bing, tangan
diulurkan dan katanya: "Suma Bing, serahkan kepadaku!"
"Siapakah kau sebenarnya?" "Aku, tiada halangannya
kuberitahu, aku bernama Phoa Cu
giok!" "Phoa Cu giok?" "Benar!" Rasa kebencian yang me-luap2
merangsang hati Suma
Bing, serunya beringas: "Phoa Cu giok, akan datang satu hari
kubeset dan kucacah tubuhmu."
Phoa Cu giok ganda menyeringai, katanya tertawa: "Selama
hidupmu kau takkan mampu berbuat apa2, tapi, meskipun
mulutmu kurangajar, aku tetap segan membunuh kau. Kau sendiri
tahu, setelah latihanmu tersesat kau tidak akan dapat hidup lama
lagi!" Suma Bing menjerit kalap seperti orang gila, darah menyemprot
dari mulutnya. Phoa Cu giok maju lagi dua langkah, secepat kilat ia cengkram
tangan Suma Bing yang masih dapat bergerak, sedang tangan
yang lain mencengkram kebaju didepan dadanya. 'Bret!' sebilah
pedang kecil sepanjang satu kaki sudah berada ditangan Phoa Cu
giok. Duka dan gusar merangsang bersamaan, kontan Suma Bing
jatuh pingsan. Entah sudah berselang berapa lamanya, akhirnya Suma Bing baru
tersadar. Perasaan pertama yang dirasakannya adalah se-akan2
dirinya berada dipelukan seseorang, bau wangi juga segera
merangsang hidung, dipinggir telinganya
terdengar sebuah suara halus mesra tengah memanggil dirinya:
"Engkoh Bing, engkoh Bing!"
Waktu dia membuka mata keruan kejutnya luar biasa,
dihadapannya berdiri bibinya Ong Fong jui, ternyata dirinya rebah
dipangkuan istrinya Phoa Kin sian.
Mereka guru dan murid bisa muncul ditempat itu benar2 diluar
sangkanya. Pertama kali melihat keluarga terdekat setelah
mengalami bencana, tak urung Suma Bing yang terkenal berhati
baja dan keras kepala juga akhirnya mengucurkan air mata.
"Nak," ujar Ong Fong jui sambil mengerutkan alis dalam2, "Kau
tersesat dalam latihanmu?"
"Ya, begitulah!" "Bagaimana ini bisa terjadi?" "Kalau diceritakan
sangat panjang!" "Ceritakanlah pelan2!" Dengan sapu tangan
sutra Phoa Kin sian membesut
keringat diatas jidat Suma Bing, sehingga terasa kasih mesra
yang menghangatkan badannya.
"Bi, aku... dapatkah aku sembuh kembali?" "Nak, bibimu akan
sekuat tenaga membantumu sembuh
kembali, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai keadaanmu
jadi sedemikian rupa!"
Maka mulailah Suma Bing bercerita sejak dari mereka berpisah
tempo hari, ditengah jalan bersua dengan Rasul penembus dada
dan tertolong oleh pihak Perkampungan bumi dimana dia
dicalonkan sebagai ahli waris raja mereka begitulah dari mula
sampai akhir ia ceritakan dengan ringkas dan jelas. Selanjutnya,
dia mendongak memandang Phoa Kin sian dan berkata: "Adik Sian,
aku berbuat salah terhadapmu!"
Sahut Phoa Kin sian lemah lembut: "Ini tidak bisa salahkan kau!"
Ong Fong jui menghela napas ringan, katanya: "Nak,
pengalamanmu didalam Te po aku dan Kin sian sudah
mengetahui!"
"Apa, bibi Jui sudah tahu" Darimana bibi bisa tahu?" "Tengah
hari yang lalu aku sudah bertemu dengan
Kangkun Lojin!" Suma Bing terperanjat: "Apa bibi Jui kenal
dengan Kangkun Lojin?" "Tidak kenal, sudah lama kudengar ketenarannya!"
"Bagaimana bisa..." "Mata telinga pihak Te po sangat awas dan
jeli, siang2 mereka sudah tahu hubunganmu dengan Kin sian. Adalah Sim
tong Tongcu Song Liep hong dari perkampungan bumi itulah yang
menuntun orang tua itu menemui aku!"
Baru sekarang Suma Bing paham, kiranya waktu diluar jalan
rahasia itu, tugas yang diserahkan kepada Kangkun Lojin oleh Te
kun itu ternyata adalah soal ini.
Ujar Ong Fong jui lagi: "Kangkun Lojin mendapat pesan dari Te
kun, untuk merembukkan tentang persoalanmu masuk warga
dalam perkampungan bumi, aku sudah melulusi mereka."
Suma Bing melengak: "Bibi sudah melulusi!" "Kayu sudah
menjadi perahu, apalagi Kangkun Lojin sendiri
yang ikut campur, terpaksa aku harus setuju!" "Tapi bagaimana
adik Sian..." "Kin sian paham dan maklum akan keadaanmu, ini
tiada persoalan baginya!"
"Tapi aku... selalu merasa tidak tentram bibi Jui, aku..."
"Kenapa?" "Aku berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke Te
po!" "Tidak bisa, cara memilih menantu sudah merupakan
tradisi bagi mereka, peraturan ini sudah menjadikan undang2 tetap
dikalangan Kangouw. Apalagi kau dengan Pit Yau ang sudah
melangsungkan upacara pernikahan secara resmi, bagaimana
rasa tanggung jawabmu kepadanya?"
Sampai sekarang Suma Bing masih rada dongkol dan jengkel,
sahutnya: "Mereka menipu aku!"
"Nak, kau tidak bisa berkata demikian!" "Lalu adik Sian?"
"Sudah tentu dia ikut kau ke Te po!" "Ini..." "Kin sian sendiri
sudah setuju!" Suma Bing memandang istrinya dengan penuh
penyesalan yang tak terhingga, betapa resah perasaan hatinya susah
dikatakan. Sebenarnya cinta itu sangat egois, adalah sebaliknya bagi Phoa Kin
sian waktu mengetahui suaminya terjatuh kedalam pelukan
perempuan lain, bukan saja tidak mengunjuk perasaan cemburu,
malah sinar wajahnya mengunjuk rasa girang berseri, ini benar2
susah dimengerti.
Ong Fong jui mengalihkan pokok pembicaraan: "Nak, kau masih
belum menceritakan bagaimana kau bisa tiba ditempat selokan
yang tersembunyi ini."
Lagi2 Suma Bing harus dipaksa mengenang kenyataan yang
menyedihkan itu, katanya penuh kebencian: "Tit ji (keponakan)
diberi minum tiga cangkir darah pusaka naga bumi. Aku ingin
melebur tenaga baru ini kedalam ilmu Kiu
yang sin kang, maka akhirnya kupilih tempat selokan yang
tersembunyi ini untuk berlatih, sungguh tak terduga ditengah
jalan aku mendapat gangguan..."
"Siapakah yang mengganggu kau?" tanya Phoa Kin Sian terharu.
Sebaliknya Ong Fong jui segera mendengus dingin: "Tiada orang
lain pasti dia."
Suma Bing menjadi keheranan, naga2nya si pemuda yang
mengaku bernama Phoa Cu giok ada hubungan erat dengan Ong
Fong jui guru dan murid. Kalau tidak sebelum pergi Phoa Cu giok
juga tidak bakal mengatakan satu jam kemudian pasti ada orang
datang, maka pura2 tidak tahu dia bertanya: "Bibi Jui, siapakah
dia?" Mendadak tubuh Phoa Kin sian menggigil gemetar. Suma Bing
terbaring dalam pangkuannya sudah tentu dia merasa akan hal
ini, tanpa terasa tergerak hatinya.
Sejenak Ong Fong jui ragu2, lantas balas bertanya: "Apa kau tahu
siapa dia?"
"Dia mengaku dirinya bernama Phoa Cu giok!" "Hm, dia adalah
adik kandung Kin sian, juga adik iparmu!" Keruan Suma Bing
terperanjat, tidak diketahuinya bahwa
Cu giok ternyata adalah adik istrinya, bagaimana dia harus
membalas perhitungan ini"
Pada saat itu mendadak Phoa Kin sian melelehkan airmata dengan
derasnya. Panjang2 Suma Bing menghela napas katanya: "Adik
Sian, jangan kau berduka karena peristiwa ini, mungkin dia tidak
sengaja, aku... tidak salahkan dia."
"Engkoh Bing kau tidak tahu, kelak... ai, mungkin pada suatu hari
akan kuberitahukan kepada kau!"
"Apa?"
"Sekarang tidak bisa kukatakan!" "Sebenarnya apakah yang
telah terjadi?" "Ai" Mungkin aku berbuat salah, tapi sudah
terlambat!" Wajah Ong Fong jui berubah serius, katanya: "Kin
sian harus cari dia kembali." Tercetus ucapan Suma Bing: "Dia juga
membawa Pedang d a r a h k u ! " P h o a K i n s i a n me r e b a h k a n S uma B i n g
d i a t a s t a n a h , t e r u s
berjingkrak bangun serunya gemetar: "Apa dia membawa Pedang
darah?" Suma Bing mengiakan. Airmuka Ong Fong jui juga berobah
marah, serunya geram:
"Ada kejadian begitu, anak itu sudah tidak dapat ditolong lagi!"
Wajah Phoa Kin sian penuh airmata, katanya penuh duka: "Suhu,
engkoh Bing kuserahkan kepadamu, aku..."
"Kau kenapa?" "Bagaimanapun aku harus mencarinya kembali,
sedikitnya Pedang darah itu harus diminta pulang!" habis berkata tubuhnya
terus melejit terbang menghilang.
"Adik Sian!" "Kin sian!" Ong Fong jui dan Suma Bing berseru
berbareng, tapi Phoa
Kin sian bagai tidak mendengar, pada lain kejap bayangannya
sudah menghilang dikejauhan sana. Terang kalau keadaannya
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat itu sangat berduka dan sedih luar biasa...
Suma Bing menyesal dan menghela napas, katanya: "Hm,
kejadian ini benar2 diluar dugaan"
Wajah Ong Fong jui membesi kehijauan, suaranya mengandung
kebencian: "Phoa Cu giok banyak berbuat jahat dan bertabiat
rendah, akan datang suatu hari dia termakan akan buah
perbuatannya ini, malah mungkin bisa mencelakai cicinya sekalian!"
"Bibi Jui, Phoa Cu giok juga menjadi muridmu?" "Ya,
kupandang muka Phoa Kin sian maka kuterima dia
menjadi murid. Siapa tahu diluar bagus tapi busuk didalam kalau
dia tidak bisa merubah tabiatnya ini, tidak dapat tidak aku harus
menghukumnya menurut undang2 perguruan!"
"O, bibi Jui, bagaimana kau bersama Kin Sian bisa datang
diselokan yang tersembunyi ini?"
"Disinilah tempat aku menetap." "Tempat sepi ditengah alas
pegunungan ini?" "Tak lama lagi kau pasti dapat tahu,
sekarang lebih baik
kita kembali ketempat kediamanku dulu!" sambil berkata ia jinjing
tubuh Suma Bing terus berlari bagai terbang kearah selokan yang
lebih dalam sana, sekejap saja mereka tiba didepan sebuah gua.
Tanpa banyak pikir langsung Ong Fong jui terus menerobos
masuk. Gua ini sedemikian bersih dan nyaman sedikitpun tak
terlihat ada kotoran, ruangan dalam gua itu selebar tiga tombak
persegi, meskipun kecil namun dihias sedemikian rupa bagai
kamar seorang putri raja.
Langsung Ong Fong jui membaringkan Suma Bing diatas sebuah
dipan yang lengkap dengan kasur dan bantal guling.
Menyapu pandang keadaan ruangan ini berkatalah Suma Bing:
"Bibi Jui, disinikah tempat kediamanmu?"
"Bukan, ini hanya tempatku bersemadi." "Bibi Jui, mengenai
kabar ibunda..." Rona wajah Ong Fong jui berubah tak
menentu, katanya:
"Nak, sejak kuketahui riwayat hidupmu, setiap saat setiap
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ waktu selalu aku berusaha mencari... Sekarang jangan kita
perbincangkan soal itu, biar kuperiksa dulu lukamu itu."
"Dapatkah badanku sembuh kembali?" "Sekarang belum bisa
ditentukan, tapi, nak, aku akan
berusaha sekuat tenaga!" Sambil berkata tangannya diulur
menekan dan memeriksa
nadi jalan darah Suma Bing yang sebelah tubuhnya sudah tak
dapat bergerak lagi. Lama dan lama sekali tanpa bersuara.
Suma Bing menjadi risau dan tak sabar: "Bagaimana bibi Jui,
masih dapat ditolong?"
Ong Fong jui terpekur dalam se-olah2 tengah memikirkan
persoalan besar yang susah dipecahkan, begitulah dia berdiam diri
tanpa menyahuti pertanyaan Suma Bing. Kira2 setengah harian
kemudian baru dia menepuk dipinggir ranjang, dan berkata
seperti menggumam: "Terpaksa begitulah!"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Bibi Jui, lebih baik bagaimana?"
"Biar aku menempuh bahaya!" "Menempuh bahaya?" "Benar,
menggunakan tenaga murniku diaduk bersama
dengan Kan goan kay hiat sip meh tay hoat, untuk menjebol jalan
darahmu yang buntu karena latihanmu yang tersesat itu. Selain
dengan cara ini tiada cara lain yang lebih sempurna. Ingat, setelah
tenagamu pulih kembali, kalau melihat keadaanku sangat janggal
jangan kau gugup dan takut, kau harus tenang dan pindahkan saja
aku dikamar dalam disebelah gua ini..."
36. TABI B KEN AMA AN PEK CHI "Terletak dimanakah kamar dalam itu?" tanya Suma Bing penuh
was2. "Kau geser dipan ini tiga senti kekanan, pintu kamar dalam itu
akan membuka sendiri, kalau digeser lima senti kekiri dia akan
menutup sendiri pula..."
"Kenapa ini..." "Dengar, setelah kau pindahkan aku dikamar
sebelah, kau harus segera keluar dari selokan ini pergilah ke Yok ong bio di
Seng toh. kepada Pek Chio Lojin kepala dari biara itu, mintalah
sebutir Hoan hun tan. Dalam jangka waktu sepuluh hari kau sudah
harus kembali disini, masukkan Hoan hun tan itu kedalam
mulutku, lalu dengan Kiu yang sin kang kau bantu bekerjanya obat
itu, mungkin aku bisa selamat tanpa kurang suatu apa..."
Suma Bing berkuatir: "Untuk aku bibi Jui hendak menempuh
bahaya?" "Mana bisa aku melihat kau mati setelah cacat begini?" "Masa
tiada jalan lain?" "Tidak ada!" "Biarpun mati aku juga tidak
setuju!" "Omong kosong, kau sudah lupa dendam dan, sakit
hatimu, masih berapa banyak kebahagiaan orang lain tergantung diatas
tubuhmu, mana boleh kau pandang kematian begitu ringan!"
Suma Bing semakin berduka, airmata mulai meleleh keluar,
katanya: "Tapi kau bibi Jui..."
"Asal dalam sepuluh hari kau bisa mendapatkan Hoan hun tan,
aku tidak bakal mati."
"Kalau terjadi sesuatu..." "Serahkan saja
nasib kita kepada Tuhan!"
"Tidak!" Wajah Ong Fong jui berobah kaku membengis:
"Jangan kau membawa adatmu sendiri." "Bibi, jangan, jangan kau..."
"Jangan bergerak, sekarang mulai!" Beruntun Ong Fong jui
memukul se-keras2nya diduabelas
jalan darah suma Bing, lalu duduk bersila disamping Suma Bing,
kedua tangannya menekan jalan darah Bing bun dan Thian leng,
maka arus hawa hangat mulai disalurkan.
Bagaimana juga Suma Bing tidak rela Ong Fong jui menempuh
bahaya demi jiwanya namun dia tak kuasa melawan dan
mendebat, terpaksa dia mandah saja menerima pengobatan.
Sedemikian keras dan derasnya arus hawa hangat itu mengalir
bagai banjir air bah terus menerjang dan menjebol segala apa saja
yang merintang didepannya demikian juga semua jalan darah
Suma Bing yang buntu bobol pertahanannya.
Setelah menjebol tiga jalan darah besar, karena benturan hawa
hangat ini terlalu keras tak tahan lagi Suma Bing jatuh pingsan.
Waktu dia siuman kembali terasa jalan darahnya sudah normal
dan berjalan seperti biasa, hawa murninya penuh sesak bergairah,
ternyata semua tenaga murninya sudah terbaur didalam Kiu yang
sin kang, dalam berpikir2 itu gelombang panas masih mengalir
deras dalam tubuhnya.
Waktu pandang bibinya disamping, tampak wajahnya pucat pias,
tubuhnya rebah kaku tanpa bergerak, waktu diraba
pernapasannya sudah berhenti, kaki tangan juga sudah dingin,
tinggal jantungnya saja yang masih sedikit berdetak.
Betapa perih perasaan Suma Bing kala itu, sungguh dia tidak
berani membayangkan, kalau bibinya meninggal karena dirinya...
Mematuhi pesan bibinya dia geser dipan itu kekanan, mendadak
dinding sebelah kiri terbuka sebuah pintu, dimana terlihat sebuah
kamar lagi lebih besar dan lebih mentereng, tanpa banyak pikir
segera ia pindah tubuh bibinya kekamar dalam ini dan direbahkan
diatas ranjang lalu mulutnya menggumam: "Bibi, dalam sepuluh
hari, seumpama harus mengorbankan jiwa juga obat itu pasti
dapat kubawa kembali!"
Memandang awan yang terapung bebas ditengah udara hatinya
terasa kecut dan sedih. Sejak dirinya berkelana semua tugas yang
harus dikerjakan satupun belum ada yang membawa hasil. Entah
kapan tugas suci dan angan2nya bisa terkabul.
Perjalanan kali ini sebetulnya hendak menuju ke Lembah
kematian, dengan Pedang darah minta Bunga lblis, besar
harapannya dapat melatih ilmu sakti yang tiada taranya, supaya
leluasa dia menuntut balas, untuk menyumbangkan tenaganya
juga bagi kepentingan dan kesejahteraan kaum persilatan. Akan
tetapi, kenyataan semua berlawanan dengan kekendaknya, selalu
terjadi rintangan2 yang menjengkelkan ini, bukan saja dia
kehilangan Pedang darah, malah jiwa sendiri juga hampir
melayang. Saking marah istri tercinta lari mengejar adiknya yang tidak
berbakti dan banyak melakukan kejahatan, entah bagaimana
keadaannya sekarang"
Sekian lama dia terpekur mengenangkan pengalamannya yang
pahit getir itu, baru akhirnya dia tersadar akan tugas barunya ini,
menuju ke Seng toh minta sebutir Hoan hun tan di Yok ong bio.
Begitu Bu siang sin hoat dikembangkan seenteng burung dia
terbang keluar dari solokan terus menuju jalan raya langsung
menuju ke Seng toh.
Tidak jauh diluar kota Seng toh terdapat sebuah bukit kecil, diatas
bukit ini, dibangun sebuah biara yang kini sudah rusak dan bobrok
tidak terurus. Ditengah belandar diatas pintu
terpancang sebuah papan besar yang bercat merah dan sudah
luntur, samar2 diatas papan ini tertulis 'Yok ong bio' tiga huruf
besar warna kuning.
Waktu matahari sudah doyong kebarat, burung gagak mulai
cecowetan kembali kesarangnya, didepan Yok ong bio ini
mendatangi seorang pemuda berwajah dingin kaku.
Dia bukan lain adalah Suma Bing yang datang hendak minta
sebutir obat. Berdiri diluar biara Suma Bing termangu dan ber-tanya2 dalam
hati, biara ini sudah bobrok tidak terurus masa ada orang yang
mau datang bersembahyang disini, mungkinkah ada orang mau
mengurus biara bobrok ini"
Tapi ucapan bibinya pasti tidak salah, kedatangannya ini adalah
minta bantuan orang tidak boleh berlaku sembrono dan kurang
adat, maka dari tempatnya dia berseru kearah dalam. "Apakah
ada orang didalam, aku Suma Bing minta bertemu!" beruntun
tigakali ia berseru tanpa ada penyahutan.
Dingin perasaan Suma Bing, setelah bimbang segera ia berkelebat
memasuki pintu biara.
Biara ini tidak begitu besar, hanya terdapat sebuah ruang
sembahyang dan dua emperan samping yang memanjang
kebelakang. Rumput alang2 dipekarangan sudah setinggi pinggang
orang, malah undakan batu juga sudah berlumut, suara burung
gagak yang riuh rendah menambah keseraman keadaan
sekelilingnya. Hati Suma Bing kebat-kebit dan berdetak keras, naga2nya
perjalanannya ini menemui kegagalan lagi, sebab agaknya biara
ini tanpa penghuni. Kalau perjalanannya ini benar2 gagal tamatlah
riwayat hidup bibinya. Tengah berpikir itu tubuhnya melesat
menuju ruang tengah tempat sembahyang, begitu tiba melihat
apa yang terpancang didepan matanya, seketika dia menyedot
hawa dingin, tanpa terasa dia mundur satu langkah besar,
badannya gemetar dan merinding.
Ditengah ruang sembahyang ini terletak sebuah peti mati warna
merah, didepan meja peti mati ini tersulut sebuah pelita minyak,
sinar pelita yang redup ber-goyang2 hampir padam terhembus
angin lalu, beberapa batang hio masih tersumat. Waktu
pandangannya menjelajah keringat dingin membanjir keluar,
ternyata didepan peti mati itu menjulai kertas putih yang
bertuliskan: Layon ketua biara Pek chio Lojin.
Habis sudah segala pengharapannya. Ternyata bahwa Pek chio
Lojin sudah mati.
Menghadapi layon Pek chio Lojin ini Suma Bing berdiri mematung
seperti orang linglung yang sakit ingatan, terpikir olehnya akibat
yang menakutkan, bibinya bakal tertidur terus untuk se-lama2nya.
Se-konyong2 timbul sepercik harapan dalam keputus- asaannya,
dilihat dari pelita dan hio yang terpasang itu, ini membuktikan
bahwa masih ada orang lain dalam biara ini, mungkin anak murid
Pek chio Lojin, meskipun Pek chio Lojin sudah meninggal,
obat2annya tentu masih tersimpan dan masih ada harapan dirinya
bisa memperolehnya.
"Adakah orang didalam?" dia berteriak lantang. "Siapa itu?"
Sebuah suara dingin mendadak terdengar dari samping
sebelah sana. Girang hati Suma Bing, dimana pandangannya
menyapu, terlihat dipintu samping pojok sana pelan2 berjalan
seorang gadis jelita berpakaian serba hitam.
Suma Bing tertegun, gadis ini berpakaian sedemikian mentereng,
wajahnya ayu jelita, keadaan ini sangat kontras dengan situasi
yang tengah dihadapinya ini.
Mata gadis baju hitam itu dipentang lebar menatap kearah Suma
Bing, tiba2 berobah airmukanya, serunya kaget.
"Tuan adalah Sia sin kedua?"
Suma Bing melengak, sebat sekali ia melesat masuk keruang
tengah, diam2 ia heran darimana dia bisa mengetahui dirinya,
terdengar mulutnya menyahut: "Benar, itulah cayhe harap tanya
nama nona yang harum?"
Nona serba hitam ini mengerut alis, biji matanya berputar2,
jawabnya: "Aku bernama Siau ling!"
"Siau ling!" "Ya, kenapa?" "Apa nona tidak punya she?" "Siapa
bilang aku tidak punya she?" "Minta, bertanya..." "Aku tidak
ingin memberitahu!" Suma Bing tertawa kecut, sikapnya rada
risi entah apa yang
harus dikatakan. Nona serba hitam itu berkata lagi: "Untuk apa
tuan datang kemari?" "Mengunjungi seorang Cianpwe." "Siapa?" "Pek chio
Lojin!" "Apa kau tidak melihat peti mati ini?" "Sudah lihat, harap
tanya apa hubungan nona dengan Pek
chio Lojin?" "Mendiang guruku." Berjingkrak girang hati Suma
Bing, namun lahirnya tetap
bersikap dingin, katanya: "Sungguh tidak terduga gurumu sudah
mangkat?" Sepasang mata jeli nona serba hitam ini ber-putar2 menatap
kepada Suma Bing, tanyanya: "Maksud kedatangan tuan..."
"Cayhe ingin minta sebutir Hoan hun tan kepada Pek chio
Cianpwe!" "Hoan hun tan?" Suma Bing mengiakan. "Darimana kau tahu
kalau mendiang suhu ada membikin
Hoan hun tan?" "Ini... cayhe hanya menerima pesan orang lain."
"Pesan dari siapa?" "Bibiku Ong Fong jui!" "Untuk apa?" Mau tak
mau Suma Bing harus berpikir, sudah tentu dia
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak bisa memberi penjelasan se-terang2nya, maka samar2 saja
dia menjawab: "Untuk menolong orang!"
"Tapi suhu sudah meninggal!" "Dapatkah kiranya nona
memberi satu butir saja?" "Setelah mengalami jerih payah
selama hidup suhu hanya
membuat tiga butir Hoan hun tan, obat ini dipandang barang
berharga dalam Bu lim..."
"Maksud nona..." "Selamanya kita belum berkenalan,
mengandal ucapanmu
dapatkah aku lantas memberikan Hoan hun tan peninggalan suhu
yang sangat berharga itu?"
Sikap Suma Bing berobah sungguh2: "Tiada halangannya Nona
mengajukan syarat penggantian!"
"Syarat?"
"Begitulah!" "Dapatkah syarat yang kuajukan kau kerjakan?"
"Coba saja nona sebutkan?" "Diganti dengan batok kepalamu,
bagaimana syarat ini?" "Dengan batok kepalaku untuk
mengganti sebutir Hoan hun
tan?" "Kau sendiri mengatakan aku boleh mengajukan syarat
sesuka hatiku." Sekian lama Suma Bing bimbang dan serba salah,
namun demi menolong jiwa bibinya, akhirnya dia menjadi nekad, katanya:
"Apakah nona sedang bergurau?"
"Suma Bing, kau ingin minta Hoan hun tan, ini juga berkelakar
bukan?" Suma Bing benar2 nekad, sahutnya: "Baik, aku setuju!" Sedikit
berobah rona wajah gadis serba hitam ini, agaknya
jawaban tegas Suma Bing ini benar2 diluar sangkanya, tanpa
terasa tercetus seruannya: "Kau setuju?"
"Aku setuju, tapi..." "Tapi apa?" "Kusertai sebuah permintaan!"
"Permintaan ana?" "Kepala cayhe ini setengah tahun kemudian
baru bisa kupersembahkan!" "Mengapa?" "Masih banyak urusan yang harus
cayhe selesaikan!" Nona serba hitam mendengus, katanya dingin:
"Kalau aku
tidak setuju!"
Suma Bing tertegun dan mundur selangkah, katanya terharu:
"Tabib pandai harus mengobati, obat mujarab untuk menolong
orang, bukan untuk membunuh orang?"
"Hm, jadi kau menyesal dan menarik balik ucapanmu?" "Cayhe
tidak bermaksud demikian!" "Kalau begitu ketahuilah, begitu
aku sudah serahkan Hoan
hun tan itu kau harus segera serahkan kepalamu." "Nona
memaksa keterlaluan!" "Kalau kau beranggapan syarat ini terlalu
kejam. Kau tidak
perlu adakan jual-beli ini?" "Cayhe sudah bertekad harus
mendapatkan Hoan hun tan
itu!" "Bagaimana tuan harus mendapatkan?" Sejenak ragu2, lantas
Suma Bing berkata dengan nada
tegas: "Aku minta dengan hormat, kalau terpaksa yah apa boleh
buat!" "Itu berarti tuan hendak menggunakan kekerasan?" "Bila
memang terpaksa apapun akibatnya akan kulakoni!" Tatkala itu
sang surya sudah silam kebarat, sang malam
sudah mulai mendatang, keadaan sekelilingnya sudah mulai gelap
remang2. Mendadak terlihat si gadis baju hitam berubah air mukanya
tubuhnya menggeser maju mendekati layon, matanya mendelong
mengawasi keluar dengan ketakutan.
Suma Bing heran dan tak mengerti dibuatnya menurut arah
pandangan si gadis baju hitam dia melihat seketika bergejolak
darahnya seakan jantungnya hampir pecah, hawa membunuh
menyelubungi wajahnya. Kiranya diatas belandar sebelah barat
sana berdiri seorang berpakaian serba putih dengan kedok kepala
putih pula, sebilah cundrik merah darah
tergambar didepan dadanya, dia bukan lain adalah Rasul
penembus dada. Mata Rasul penembus dada bersinar tajam menyapu keadaan
ruang sembahyang lalu perdengarkan suara lengkingnya yang
menyedot sukma orang: "Pek chio anjing tua, keluarlah serahkan
jiwamu!" "Tuan orang kosen darimana?" tanya gadis baju hitam itu
gemetar. "Akulah Rasul penembus dada!" "Ada permusuhan apakah kau
dengan mendiang guruku?" "Kau tiada harganya bertanya,
suruh anjing tua itu
menggelinding keluar!" "Suhu sudah meninggal dunia!" "Apa
anjing tua sudah mati?" "Tuan bicaralah kenal sopan santun!"
"Cara bagaimana dia mati?" "Sakit keras!" "Hahahaha... Mati sakit"
Pek chio Lojin seorang tabib
kenamaan yang pandai pengobatan, mana bisa dia mati karena
sakit?" "Kalau memang sudah ajal, betapapun mustajap obat dewa juga
tidak mungkin dapat menyembuhkan orang sakit. Seumpama Hoa
toh (tabib kenamaan pada jaman Sam kok) sendiri juga tidak bisa
hidup sepanjang masa."
"Kau ini muridnya!" "Benar, akulah muridnya!"
"Jenazahnya berada didalam peti mati itu?"
"Ya."
"Bongkar kembali!" "Tidak mungkin!" seru gadis baju hitam
beringas. "Terpaksa aku sendiri turun tangan!" hilang suaranya
tiba pula tubuhnya, bagai bayangan malaikat secepat kilat dia
melayang tiba didalam ruang sembahyang.
Sementara itu Suma Bing sendiri sudah tidak kuat menahan sabar,
serta mendengar ucapan orang, pikirnya, 'aku sendiri malah tidak
berpikir sampai disitu, mungkin Pek chio Lojin memang pura2
mati, mengapa aku tidak menonton saja mengikuti suasana.'
Karena pikirannya ini segera ia melejit mundur menyingkir lima
kaki. Sekilas Rasul penembus dada pandang Suma Bing dengan sorot
mata yang me-nyala2, lalu mengalihkan pandangannya kepeti
mati itu. Tiba2 sebelah tangannya diangkat mengarah kepeti mati
itu dan berseru dingin: "Lebih baik kau tahu diri dan buka peti
mati itu?"
Gadis berbaju hitam menggigit gigi sambil mendengus: "Orang
mati dendamnya himpas, apa kau hendak merusak jenazahnya?"
"Sedikitpun tidak salah!" "Kau berani?" Rasul penembus dada
menyeringai seram: "Kau tidak akan
mampu merintangi aku!" Dibarengi sebuah bentakan nyaring
tangannya diayun
memukul kearah gadis baju hitam, pukulannya ini betul2 hebat
dan menakjubkan, diam2 Suma Bing melelet lidah melihat
kelihayan serangan ini. Kontan gadis baju hitam itu terpental
mundur terdesak sampai mepet dinding.
'Blang!' dimana terlihat kayu hancur ber-keping2 begitu peti itu
hancur terlihat sesosok mayat rebah didalam peti mati itu,
itulah seorang tua ubanan yang berbadan kurus kering bagai
kayu. "Iblis laknat, biar nonamu adu jiwa dengan kau!" Gadis baju
hitam menubruk maju sambil melancarkan
sembilan kali pukulan berantai yang menggila. Sekaligus sembilan
pukulan ini dilancarkan perbawanya bagai gelombang badai dan
kilat menyambar. Dibawah serangan lawan yang nekad ini Rasul
penembus dada terdesak mundur lima langkah.
"Kau cari mati!" bentak Rasul penembus dada. Sambil membentak
beruntun ia balas menyerang tiga hantaman. Memangnya
kepandaian gadis baju hitam ini kalah jauh, lagi2 ia terdesak
mundur ber-ulang2.
Dimana terlihat sinar putih berkelebat, tahu2 Rasul penembus dada
sudah mencekal sebilah cundrik yang kemilau bersinar dingin.
Tampak kedua tangan gadis baju hitam bergantian diayun,
seketika berhamburan kabut warna hitam melayang tiba
mengurung Rasul penembus dada.
Tapi sebelum kedua tangan gadis baju hitam berhenti bergerak
terdengar dia berpekik kesakitan terus roboh terkapar tanpa
bergerak lagi. Kiranya kabut hitam itu adalah pasir beracun yang disambitkan.
Sungguh bukan olah2 hebat kepandaian Rasul penembus dada,
sebelum pasir2 beracun itu mengenai tubuhnya, sebat sekali
tubuhnya berkelebat keluar dari kurungan taburan pasir beracun
lawan lalu sekaligus dia kirim sebuah tutukan menutuk jalan darah
gadis baju hitam. Kepandaian, seperti ini benar2 sangat
mengejutkan. Suma Bing ter-longong2 memandangi peti mati yang sudah pecah
berantakan itu. Terbayang olehnya sewaktu dirinya untuk pertama
kali terjun didunia persilatan. Mendapat
perintah gurunya untuk membunuh Bu lim sip yu. Keadaan waktu
berada di Ngo ou pang persis benar seperti hari ini. Kala itu
dirinya juga tidak percaya kalau Ngo ou pangcu Coh Pin sudah
mati dengan kukuh dia minta peti mati dibuka kembali untuk
diperiksa. Sekarang bukan saja Rasul penembus dada sudah
Laron Pengisap Darah 7 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 5