Pendekar Sakti Suling Pualam 12
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 12
kutangkap, tentunya dia tidak akan tiba di markas pusat Kay
Pang. Nah, bukankah itu akan mencemaskan pihak Kay
Pang?" "Maksud Kauwcu menyanderanya?" tanya Pat Pie Lo Koay.
"Kira-kira begitulah," Seng Hwee Sin Kun manggutmanggut.
"Setelah itu, barulah kita kirim berita ke markas
pusat Kay Pang, agar mereka datang ke mari. Di saat itulah
kita membantai mereka."
"Betul." Pek Bin Kui mengangguk. "Kita harus bertindak
begitu." "Tapi...." Pat Pie Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu pasti akan mengundang kemarahan pihak Pulau Hong
Hoang To, yang tentunya akan membahayakan Seng Hwee
Kauw." "Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bhak.
"Aku justru ingin memancing mereka ke mari, kalian harus
tahu. Kepandaianku kini boleh dikatakan sudah tiada tanding
di kolong langit. Nah, apa yang harus ditakuti?"
Pat Pie Lo Koay diam, sedangkan yang lain justru tertawa
gembira. Berselang sesaat Seng Hwee Sin Kun berkata.
"Kalian berempat cepat pergi menangkap Siang Koan Goat
Nio, tapi jangan melukainya! Pergunakan bom asap agar dia
pingsan, barulah kalian tangkap!"
"Ya, Kauwcu," sahut mereka berempat, lalu berangkat pergi
untuk menangkap Siang Koan Goat Nio.
-oo0dw0oo- Siang Koan Goat Nio terus melakukan perjalanan menuju
markas pusat Kay Pang. Ketika sampai di tempat yang sepi,
mendadak melayang turun beberapa orang di hadapannya.
Mereka ternyata Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay
dan Tok Chiu Ong.
"Ha ha ha!" Leng Bin Hoatsu tertawa seraya berkata.
"Nona, kita bertemu lagi!"
"Kalian mau apa?" tanya Siang Koan Goat Nio dingin sambil
mengeluarkan sulingnya.
"Nona," sahut Pat Pie Lo Koay memberitahukan. "Kami ke
mari bermaksud mengundangmu ke markas kami, itu adalah
perintah Kauwcu kami "
"Bagaimana kalau aku menolak?"
"Kami terpaksa harus menggunakan kekerasan," ujar Leng
Bin Hoatsu. "Oleh karena itu, kami harap Nona menurut!"
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin. "Aku tidak
akan menurut, pokoknya aku akan melawan mati-matian!"
"Baik!" Leng Bin Hoatsu tertawa dan berseru. "Mari kita
serang Nona Siang Koan ini!"
Seketika mereka berempat langsung menyerang Siang
Koan Goat Nio dengan tangan kosong. Gadis itu bergerak
cepat berkelit, kemudian balas menyerang dengan sulingnya,
menggunakan ilmu Cap Pwee Kim Siauw Ciat Hoat (Delapan
Belas Jurus Maut Suling Emas).
Akan tetapi, belasan jurus kemudian Siang Koan Goat Nio
tampak mulai berada di bawah angin. Di saat itulah ia
menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh
Keliling) ciptaan Tio Cie Hiong.
Begitu Siang Koan Goat Nio menggunakan ilmu tersebut,
Leng Bin Hoatsu dan lainnya segera meloncat ke belakang.
Pek Bin Kui merogoh ke dalam bajunya, mengeluarkan suatu
benda ber- bentuk bulat, lalu dilemparkannya ke arah gadis
itu. Daaar! Benda itu meledak dan mengeluarkan asap.
"Haaah...?" Siang Koan Goat Nio terperanjat.
Ia tahu asap itu mengandung racun, tapi sudah tidak
sempat menutup pernafasannya, akhirnya ia terkulai pingsan.
"Ha ha ha!" Pek Bin Kui tertawa. "Kita berhasil, Kauwcu
pasti gembira sekali!"
"Mari kita bawa dia pulang!" sahut Leng Bin Hoatsu.
"Jangan membuang waktu di sini!"
"Baik." Pat Pie Lo Koay mengangguk, kemudian
membopong Siang Koan Goat Nio.
"Ha ha ha!" Leng Bin Hoatsu tertawa gelak.
"Mari kita kembali ke markas!"
-ooo0dw0oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Betapa gembiranya Seng Hwee Sin Kun karena Siang Koan
Goat Nio sudah tertangkap. Pat Pie Lo Koay menaruh gadis itu
ke bawah. Ternyata gadis itu masih dalam keadaan pingsan.
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun terus tertawa terbahakbahak.
"Kini gadis itu berada di tangan kita, pihak Kay Pang
pasti cemas sekali!"
"Kauwcu," tanya Pat Pie Lo Koay. "Kapan Kauwcu akan
mengutus orang ke markas Kay Pang?"
"Tidak perlu begitu cepat," sahut Seng Hwee Sin Kun. "Aku
ingin membuat pihak Kay Pang dan pihak Pulau Hong Hoang
To dicekam rasa gelisah terutama kedua orang tua gadis itu!
Ha ha ha...!"
"Kauwcu,"ujar Pek Bin Kui mengusulkan,
"Bagaimana kita musnahkan kepandaiannya?"
"Itu ..."Seng Hwee Sin Kun tampak ragu,
"Tidak perlu,"sela Pat Pie Lo Koay cepat.
"Kalau kita memusnahkan kepandaian gadis itu, sama juga
mempermalukan Seng Hwee kauw, bukan?"
"Benar," Seng Hwee kauwcu manggut-manggut. "Kalau
begitu,kurung saja dia dan biarkan dia sadar sendiri."
"Ya" PatPie Lo Koay mengangguk,sekaligus membopong
Siang Koan Goat Nio lalu dibawa ke dalam. Berselang sesaat,
Pat Pie Lo Koay sudah kembali ke ruang depan.
"Bagaimana?"tanya Seng Hwee Sin Kun.dis itu sudah
dikurung?"
"Sudah, Kauwcu" Pat Pie Lo Koay mengangguk.
"Baiklah" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut.
"Sekarang kalian boleh beristirahat."
"Terimakasih, Kauwcu!"ucap mereka sentak, kemudian
pergi ke kamar masing-masing
Begitu memasuki kamar, Pat Pie Lo Koay berjalan mondarmandir
dengan kening berkerut-kerut, kelihatannya ia sedang
memikirkan sesuatu, berselang beberapa saat kemudian ia
manggut-manggut epertinya sudah mengambil suatu
keputusan. Malam harinya, Pat Pie Lo Koay berjalan berendap-endap
menuju halaman belakang, lalu melesat ke atas sebuah
pohon. Sungguh di luar dugaan, ternyata ada seekor burung
merpati di atas pohon itu.
Pat Pie Lo Koay mengikat sesuatu di kaki burung merpati
itu, kemudian menepuk kepala burung merpati tersebut seraya
berkata "Cepatlah engkau terbang ke markas Ngo Tok Kauw, tapi
harus berhati-hati!" Burung merpati itu manggut-manggut,
lalu terbang meluncur ke angkasa. Pat pie Lo Koay menghela
nafas lega, dan segera kembali ke kamarnya.
-ooo0dw0ooo- Perlahan-lahan Siang Koan Goat Nio membuka matanya,
ternyata gadis itu telah sadar dan tampak tercengang karena
mendapatkan dirinya berada di dalam kamar batu.
"Eh" Aku berada dimana?" gumamnya sambil menengok ke
sana ke mari. "Apakah aku sudah ditangkap?"
Siang Koan Goat Nio mencoba menghimpun lweekangnya,
namun tidak berhasil karena sekujur badannya masih lemas.
"Haaah?" Gadis itu terkejut bukan main. "Aku telah
kehilangan hawa murni?"
Mendadak pintu kamar batu itu terbuka, Pat Pie Lo Koay
berjalan ke dalam. Begitu melihat Pat Pie Lo Koay itu, Siang
Koan Goat Nio menudingnya.
"Cepat lepaskan aku! Cepaaat!"
"Tenang, Nona!" sahut Pat Pie Lo Koay. "Kauwcu kami ingin
menemuimu, mari ikut aku ke ruang depan!"
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin. "Aku tidak
sudi menemui Seng Hwee Sin Kun yang licik itu!"
"Nona...." Pat Pie Lo Koay menatapnya dalam- dalam. "Mari
ikut aku agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan!"
Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening, lama sekali
barulah mengangguk, lalu bersama Pat Pie Lo Koay menuju
ruang depan. "Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Apa kabar,
Nona Siang Koan" Tentunya engkau baik-baik saja, bukan?"
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin.
"Silakan duduk, Nona Siang Koan!" ucap Seng Hwee Sin
Kun. Siang Koan Goat Nio duduk, Seng Hwee Sin Kun
menatapnya tajam, kemudian tertawa seraya berkata.
"Ha ha ha! Tahukah engkau kenapa kami menangkapmu?"
"Tahu," sahut Siang Koan Goat Nio. "Pertanda kalian semua
pengecut!"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kalau kami
pengecut, engkau pasti sudah jadi mayat!"
"Oh?" Siang Koan Goat Nio tertawa dingin. "Kalau begitu,
cepatlah bunuh aku!"
"Bunuh engkau?" Seng Hwee Sin Kun tertawa lagi. "Kami
tidak akan membunuhmu, hanya mengurungmu di sini saja."
"Seng Hwee Sin Kun, lebih baik engkau segera melepaskan
aku!" bentak Siang Koan Goat Nio. "Kalau tidak...."
"He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh.
"Engkau harus tahu apa sebabnya aku mengurungmu di sini!
Itu agar pihak Kay Pang dan pihak Pulau Hong Hoang To ke
mari, karena aku ingin membunuh mereka semua!"
"Oh?" Siang Koan Goat Nio tidak terkejut, sebaliknya malah
tertawa dingin dan berkata. "Seng Hwee Sin Kun, jangan
menyombongkan diri! Mungkin engkau yang akan mati di
tangan Kakak Bun Yang!"
"Maksudmu Giok Siauw Sin Hiap itu?"
"Ya."
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kalau
waktu itu monyet bulu putih tidak menangkis pukulanku, Giok
Siauw Sin Hiap pasti sudah mati!"
"Hm!" dengus Siang Koan Goat Nio, kemudian bertanya
mendadak. "Seng Hwee Sin Kun, kenapa engkau begitu
dendam kepada kami?"
"Karena aku memang punya dendam dengan pihak Kay
Pang dan pihak Pulau Hong Hoang To!" Seng Hwee Sin Kun
memberitahukan. "Terutama terhadap Kou Hun Bijin itu,
karena gara- gara dia kakak seperguruanku mati di tangan
Kwan Gwa Siang Koay dan Ngo Kui!"
"Oh?" Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening. Ia
memang cerdik maka tidak membocorkan identitas dirinya.
"Pat Pie Lo Koay, bawa dia ke dalam kamar batu itu!" ujar
Seng Hwee Sin Kun. "Dan jangan lupa beri dia minum racun
pelemas badan!"
"Ya, Kauwcu." Pat Pie Lo Koay mengangguk, kemudian
membawa Siang Koan Goat Nio ke kamar batu.
Gadis itu menurut, karena tahu bahwa melawan pun
percuma, bahkan akan membahayakan dirinya. Namun ia
tetap berharap Tio Bun Yang akan muncul menolongnya.
-oo0dw0ooo- Sementara itu, Tio Bun Yang telah sampai di markas pusat
Kay Pang. Akan tetapi, Siang Koan Goat Nio tidak berada di
markas itu. "Jadi...." Lim Peng Hang menatapnya. "Engkau tidak
bertemu Goat Nio di Gunung Thian San?"
"Tidak." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Menurut Ngo Tok Kauwcu, Goat Nio tidak ke Gunung Thian
San." "Kenapa Ngo Tok Kauwcu mengatakan begitu?" Lim Peng
Hang heran. "Sebab siapapun yang pergi ke Gunung Thian San, harus
melalui Kota Kang Shi," jawab Tio Bun Yang memberitahukan.
"Tapi para anggota Ngo Tok Kauw sama sekali tidak melihat
Goat Nio di kota itu. Maka Ngo Tok Kauwcu berkesimpulan,
bahwa Goat Nio tidak pergi ke Gunung Thian San."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kalau begitu,
pergi ke mana Goat Nio?"
"Mungkinkah..." ujar Gouw Han Tiong dengan kening
berkerut-kerut, "telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Goat Nio berkepandaian cukup tinggi, tidak mungkin akan
terjadi sesuatu atas dirinya," sahut Lim Peng Hang.
"Lalu kenapa tiada kabar beritanya?" Gouw Han Tiong
menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan. "Bun Yang,
lebih baik engkau tunggu disini. Engkau jangan ke manamana,
jadi kalian tidak akan selisih jalan lagi!"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku merasa heran,
sebetulnya dia pergi ke mana" Kenapa tiada jejaknya sama
sekali?" "Begini," ujar Lim Peng Hang sungguh-sungguh. "Kakek
akan menyuruh beberapa orang menyelidiki jejak Goat Nio,
engkau tinggal di sini saja,"
"Ya, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk. Wajahnya tampak
cemas dan muram sekali. "Seandainya Goat Nio terjadi
sesuatu...."
"Bun Yang!" Gouw Han liong tersenyum. ''Jangan
memikirkan yang bukan-bukan! Goat Nio tidak akan terjadi
apa-apa. Percayalah!"
"Mudah-mudahan!" ucap Tio Bun Yang. Kemudian
mendadak ia teiingat sesuatu. "Oh ya, apakah Kakek pernah
mendengar tentang Bu Ceng Sianli?"
"Bu Ceng Sianli?" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Kakek tidak pernah mendengar tentang dia.
Mungkinkah dia adalah pendekar wanita yang baru muncul di
rimba persilatan! Engkau bertemu dia?"
"Aku memang telah bertemu Bu Ceng Sianli tu." Tio Bun
Yang memberitahukan sambil menghela nafas. "Dia cantik
jelita berusia dua puluhan, namun berhati kejam. Dia
membunuh orang seperti membunuh semut."
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Dia
membunuh siapa?"
"Membunuh Hek Sim Popo...." Tio Bun Yang menutur
tentang kejadian itu dan menambahkan. "Bahkan dia pun
ingin membunuh para anggota Seng Hwee Kauw, tapi aku
mencegahnya."
"Kenapa dia membunuh pihak Seng Hwee Kauw?" Gouw
Han Tiong heran. "Apakah dia punya dendam dengan pihak
Seng Hwee Kauw?"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebetulnya dia tidak punya dendam apa pun dengan pihak
Seng Hwee Kauw, hanya dikarenakan para anggota Seng
Hwee Kauw menggodanya, maka dia membunuh mereka."
"Engkau bentrok dengan Bu Ceng Sianli itu?" tanya Lim
Peng Hang sambil menatapnya.
"tidak" Tio Bun Yang menghela nafas. "Ketika aku
mencegahnya membunuh para anggota Seng Hwee Kauw, dia
tampak gusar tapi kemudian malah menuruti perkataanku."
"Engkau tahu namanya dan bagaimana kepandaiannya?"
tanya Gouw Han Tiong.
"Dia bernama Tu Siao Cui kepandaiannya tinggi sekali,"
jawab Tio Bun Yang memberitahukan. "Hanya Belasan jurus
dia telah berhasil membunuh Hek Sim Popo."
"Oh?" Lim Peng Hang terperanjat. "Kalau begitu,
kepandaiannya memang tinggi sekali."
"Bun Yang," tanya Gouw Han Tiong. "Enakau tahu siapa
gurunya?" "Tidak tahu." Tio Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala.
"Aku justru bingung memikirkannya."
"Kenapa bingung?" Lim Peng Hang menatapnya tajam.
"Kakek jangan salah paham!" ujar Tio Bun Yang dengan
wajah agak kemerah-merahan. "Yang kupikirkan adalah
identitasnya, sebab aku pernah bertemu Thian Gwa Sin Hiap
di dalam goa, di Gunung Hong San...."
Tio Bun Yang menutur tentang itu. Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong mendengar dengan penuh peihatian.
"Thian Gwa Sin Hiap..." gumam Lim Peng liang seusai Tio
Bun Yang menutur, kemudian bertanya kepada Gouw Han
Tiong. "Engkau pernah mendengar tentang Thian Gwa Sin
Hiap dan Tu Siao Cui?"
"Tidak pernah" Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.
"Kalau begitu..." ujar Lim Peng Hang. "Bu Ceng Sianli-Tu
Siao Cui itu bukan Tu Siao Cui, murid Thian Gwa Sin Hiap itu.
Mungkin kebetulan nama mereka sama, sebab Tu Siao Cui
murid Thian Gwa Sin Hiap itu sudah berusia delapan puluhan,
sedangkan Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui baru berusia dua
puluhan." "Kakek, aku pun berpikir begitu." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Tapi Bu Ceng Sianli justru mengaku, bahwa
dirinya adalah Tu Siao Cui murid Thian Gwa Sin Hiap itu."
"Menurut aku..." ujar Lim Peng Hang setelah berpikir
sejenak. "Gadis itu pasti bercanda denganmu."
"Aku pun beranggapan begitu. Tidak mungkin Bu Ceng
Sianli itu adalah Tu Siao Cui murid Thian Gwa Sin hiap." Tio
Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala. "Tapi dia justru
mengatakan, kelak aku akan mengetahuinya."
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening dan berpesan.
"Bun Yang, engkau harus berhati- hati terhadapnya. Kakek
yakin dia berasal dari golongan sesat."
"Benar, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk. "Gadis itu
memang memiliki ilmu sesat. Dia... dia menggunakan ilmu
sesat itu untuk merangsang diriku."
"Bagaimana engkau?" tanya Lim Peng Hang tegang.
"Apakah engkau terangsang olehnya?"
"Tidak." Tio bun Yang tersenyum. "Kakek sudah lupa ya"
Aku memiliki ilmu Penakluk Iblis "
"Oooh!" lim Peng Hang manggut-manggut sambil menarikk
nafas lega. "Kakek melupakan itu."
"Kakek," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Kalau aku
tidak memiliki ilmu Penakluk Iblis, mungkin akan terangsang."
"Bun Yang," tanya Gouw Han Tiong mendadak. "Bagaimana
cara gadis itu merangsangmu?"
"Caranya... " Tio Ban Yarg memberitahukan dengan wajah
agak kemerah-merahan, kemudian menambahkan. "Aku
mengeluarkan sulingku sekaligus meniupnya, akhirnya dia
tersentak sadar."
"Bukan main!" Gouw Han Tiong menggeleng- gelengkan
kepala "lelaki mana yang tidak akan terangsang?"
"Tapi?" Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Menurut aku,
dia cuma ingin mcncoba dirimu."
"Kenapa Kakek mengatakan begitu?" Tio Ban Yang heran.
"Coba engkau pikir, para anggota Seng Hwee Kauw
menggodanya, dia langsung membunuh mereka tanpa ampun!
Berarti dia bukan gadis yang bukan-bukan. Namun
terhadapmu, dia malah...." Lim Peng Hang menjelaskan. "Nah,
bukankah dia ingin mencoba bagaimana keteguhan imanmu?"
"Benar juga, Kakek." 'Tio Bun Yang tersenyum. "Aku sama
sekali tidak berpikir sampai ke situ, tapi dia bilang suka
kepadaku. Itu sungguh memusingkan pikiranku'"
"Tidak apa-apa," sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.
"Mungkin dia telah menganggapmu sebagai adik, maka berani
mencetuskan ucapan itu."
"Kakek, aku memang berharap begitu. Kalau tidak, repotlah
aku," ujar Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Karena Goat Nio akan menaruh salah paham padaku."
"Jangan khawatir!" Lim Peng Hang tersenyum. "Kakek akan
menjelaskan kepada Goat Nio."
"Terimakasih, Kakek! Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
"Tapi entah kapan Goat Nio akan muncul di sini! Aku... aku
mengkhawatirkannya."
"Tenang saja!" ujar Lim Peng Hang menghiburnya.
"Percayalah Goat Nio tidak akan terjadi apa-apa."
"Yaaah!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. Mudahmudahan
dia tidak akan terjadi apa- apa!"
-ooo0dw0ooo- Bagian ke empat puluh tiga
Berkumpul di Markas Pusat Kay Pang
Kini kepandaian Kam Hay Thian sudah maju pesat dan
lweekangnya pun bertambah tinggi Oleh karena itu, ia
memohon pamit kepada Tio Cie Hiong.
"Paman, aku ingin kembali ke Tionggoan."
"Ngmm!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Memang sudah
waktunya engkau kembali ke Tionggoan, tapi engkau harus
ingat! Jangan terlampau gampang membunuh orang, sebab
akan menimbulkan karma buruk bagi dirimu sendiri! Ingatlah
itu!" "Ya, Paman." Kam Hay Thian mengangguk.
"Hay Thian!" Lim Ceng Im menatapnya seraya berkata.
"Hui San adalah gadis yang baik, bahkan sangat mencintaimu.
Oleh karena itu, janganlah engkau menyia-nyiakannya!"
"Bibi...." Kam Hay Thian mengerutkan kening.
"Engkau tidak mencintainya?" tanya Lim Ceng Im sambil
menatapnya tajam.
"Aku...." Kam Hay Thian menundukkan kepala. "Aku...."
"Hay Thian!" Lim Ceng Im menghela nafas panjang. "Kalau
menolak cintanya, engkau pasti akan menyesal."
Kam Hay Thian tidak menyahut.
Tio Cie Hiong memandangnya, kemudian menggelenggelengkan
kepala. "Cinta memang tidak bisa dipaksakan, namun... Hui San
merupakan gadis yang lemah lembut, bahkan boleh dikatakan
dia yang menyelamatkan nyawamu. Engkau harus ingat itu!"
katanya. "Aku pasti ingat, Paman," ujar Kam Hay Thian. "Tapi
mengenai soal cinta, memang tidak bisa dipaksa."
"Baiklah." Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Besok pagi
engkau boleh kembali ke Tionggoan."
Dalam waktu bersamaan, muncullah Lie Ai Ling dan Sie
Keng Hauw. Keduanya lalu menghampiri Kam Hay Thian
sambil tersenyum.
"Hay Thian," ujar Sie Keng Hauw sambil memandangnya.
"Adikku mencarimu ke mana- mana, ternyata engkau berada
di sini!" "Aku mohon pamit kepada Paman dan Bibi." Kam Hay
Thian memberitahukan. "Besok pagi aku akan kembali ke
Tionggoan!"
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Besok pagi engkau akan
kembali ke Tionggoan?"
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Lalu bagaimana Hui San?" tanya Lie Ai Ling tanpa sadar.
"Engkau tidak mengajaknya?"
"Aku...." Kam Hay Thian menundukkan kepala.
"Ai Ling," ujar Sie Keng Hauw. "Bagaimana kalau kita dan
Hui San juga berangkat ke Tionggoan?"
"Setuju," sahut Lie Ai Ling dengan wajah berseri.
"Ai Ling," ujar Lim Ceng Im sambil menatapnya. "Lebih baik
engkau minta ijin kepada kedua orang tuamu dulu, Keng
Hauw juga harus ikut menghadap!"
"Ya, Bibi," sahut Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling serentak,
lalu bermohon diri.
Mereka berdua pergi menemui Lie Man Chiu dan Tio Hong
Hoa, sedangkan Kam Hay Thian masih tetap berdiri di tempat.
"Hay Thian, pergilah engkau menemui Hui San!" ujar Tio
Cie Hiong. "Beritahukan kepadanya, bahwa engkau akan
kembali ke Tionggoan esok! Kalau dia mau ikut, ajaklah!"
"Ya, Paman," Kam Hay Thian mengangguk, lalu melangkah
pergi dengan kepala tertunduk.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im saling memandang,
kemudian mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil
menghela nafas panjang.
"Aku khawatir..." ujar Tio Cie Hiong perlahan, "di antara
mereka akan terjadi sesuatu kelak."
"Maksudmu Kam Hay Thian dan Lu Hui San?" tanya Lim
Ceng Im. "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Sebab Kam Hay Thian
sangat dendam pada Lu Thay Kam, sedangkan Lu Hui San
adalah anak angkat Lu Thay Kam itu. Nah, itu...."
"Mudah-mudahan tidak akan terjadi suatu apa pun!" ucap
Lim Ceng Im. "Ya, mudah-mudahan!" sahut Tio Cie Hiong. "Namun
semua itu sudah merupakan takdir."
-ooo0dw0ooo- Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa terbelalak ketika
mendengar putrinya menyatakan ingin berangkat ke
Tionggoan. "Apa?" Lie Man Chiu menatap mereka. "Kalian berdua ingin
berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Kami ingin ke markas pusat
Kay Pang, mungkin Kakak Bun Yang dan Goat Nio berada di
sana." "Tapi...." Lie Man Chiu mengerutkan kening. "Ayah,
ijinkanlah kami ke Tionggoan!" desak Lie Ai Ling. "Sebab
besok pagi Hay Thian juga akan kembali ke Tionggoan."
"Oh?" Tio Hong Hoa tertegun. "Dia sudah mengambil
keputusan itu?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Dia sudah minta ijin kepada
paman dan bibi, kami ingin berangkat bersamanya."
"Bagaimana Hui San?" tanya Tio Hong Hoa. "Dia pasti ikut,"
sahut Lie Ai Ling. "Ibu, ijinkanlah kami ke Tionggoan!"
"Itu...." Tio Hong Hoa memandang Lie Man Chiu seraya
bertanya. "Bagaimana" Engkau memperbolehkan mereka ke
Tionggoan?"
"Kita memang tidak bisa terus menahan mereka di sini,
karena itu kita harus memperbolehkan mereka ke Tionggoan,"
sahut Tio Hong Hoa sambil tersenyum.
"Terimakasih, Ibu!" ucap Lie Ai Ling. "Terimakasih, Bibi!"
ucap Sie Keng Hauw dengan wajah berseri dan
menambahkan. "Aku pasti baik-baik menjaga Ai Ling."
"Ngmm!" Tio Hong Hoa manggut-manggut. "Bibi
mempercayaimu, tapi kalian harus langsung menuju ke
markas pusat Kay Pang!"
"Ya, Ibu." Lie Ai Ling mengangguk.
"Ingat!" pesan Lie Man Chiu. "Ada apa-apa, harus
berunding dengan Kakek Lim dan Kakek Gouw."
"Ya." Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw mengangguk. Mereka
berdua lalu pergi menemui Lu Hui San yang berada di
halaman belakang.
Sampai di tempat itu, mereka melihat Kam Hay Thian,
Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa, sedangkan Lu Hui San
menundukkan kepala.
"Ternyata kalian berkumpul di sini!" seru Lie Ai Ling sambil
tertawa. "Oh ya! Besok kami akan berangkat ke Tionggoan."
"Ai Ling," tanya Lu Hui San. "Ayah dan ibumu
memperbolehkannya?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Kalau begitu..." ujar Lu Hui San sambil memandang Sie
Keng Hauw. "Aku ikut!"
"Kami memang ingin mengajakmu." Sie Keng Hauw
tersenyum. "Besok pagi kita berempat berangkat bersama."
"Yaaah!" keluh Bokyong Sian Hoa. "Tinggal aku dan
Yatsumi di sini, sepi deh!"
"Sian Hoa!" Lie Ai Ling tersenyum. "Kalau engkau sudah
menguasai semua ilmu yang diturunkan paman, boleh
menyusul ke markas pusat Kay Pang."
"Benar." Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Kita akan
berkumpul di sana. Kakak Bun Yang dan Kakak Goat Nio pasti
berada di sana."
"Aku yang celaka," sela Yatsumi sambil menggelenggelengkan
kepala. "Akan tinggal aku seorang diri di sini. Aku
pasti kesepian."
"Begini," ujar Lie Ai Ling. "Alangkah baiknya engkau dan
Bokyong Sian Hoa berangkat bersama ke Tionggoan."
"Benar." Bokyong Sian Hoa tertawa gembira. "Yatsumi, kita
berangkat bersama nanti."
"Baik." Yatsumi mengangguk.
Keesokan harinya, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling, Sie Keng
Hauw dan Lu Hui San berpamit kepada semua orang. Setelah
itu, barulah mereka berangkat ke Tionggoan.
Dalam perjalanan menuju Tionggoan, yang paling gembira
adalah Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw. Mereka berdua terus
bersenda gurau sambil tertawa gembira.
Sebaliknya Lu Hui San dan Kam Hay Thian terus
membungkam. Itu tidak terlepas dari mata Sie Keng Hauw.
Diam-diam pemuda itu menghela nafas panjang,
"Hei!" seru Lie Ai Ling. "Kenapa kalian berdua terus
membungkam seperti orang bisu" Ber-cakap-cakaplah!"
"Aku...." Lu Hui San tersenyum getir.
"Hay Thian!" Sie Keng Hauw memandangnya. "Kenapa
engkau diam saja" Ada sesuatu terganjel dalam hatimu?"
"Tidak," sahut Kam Hay Thian sambil meng- gelenggelengkan
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala. "Aku... aku rindu sekali pada ibuku."
"Oh?" Sie Keng Hauw tersenyum. "Jadi engkau ingin pulang
menengok ibumu!"
"Entahlah." Kam Hay Thian menghela nafas panjang. "Aku
bingung sekali."
"Kenapa bingung?" tanya Lie Ai Ling sambil menatapnya.
"Apa yang engkau bingungkan" Bolehkah kami tahu?"
"Itu...." Kam Hay Thian mengerutkan kening, kelihatannya
dia tidak mau memberitahukan.
"Beritahukanlah!" desak Lie Ai Ling.
"Ai Ling, jangan mendesaknya!" cegah Sie Keng Hauw. "Itu
tidak baik."
"Aaaa...!" Mendadak Lu Hui San menghela nafas panjang.
"Mungkin dikarenakan aku."
"Kenapa dikarenakan engkau?" Lie Ai Ling tercengang.
"Karena...." Mata Lu Hui San mulai basah. "Yaaah,
sudahlah!"
"Adik!" Sie Keng Hauw memandangnya, kemudian
memandang Kam Hay Thian seraya berkata, "Apa kekurangan
adikku, sehingga engkau bersikap begitu dingin terhadapnya?"
"Kak!" Lu Hui San memandang Sie Keng Hauw sambil
menggelengkan kepala, itu agar Sie Keng Hauw diam.
"Memang," sela Lie Ai Ling sambil memandang Kam Hay
Thian dengan wajah tidak senang. "Engkau sungguh
keterlaluan, Hui San begitu baik dan amat mencintaimu, tapi
engkau malah...."
"Kalian harus tahu perasaanku," sahut Kam Hay Thian,
kemudian menghela nafas panjang. "Aku...."
"Kenapa engkau?" tanya Lie Ai Ling ketus.
"Terlampau banyak yang kupikirkan, sehingga membuat
diriku...." Kam Hay Thian menggeleng- gelengkan kepala.
"Aku mohon maaf!"
"Sudahlah!" Sie Keng Hauw tersenyum. "Biar bagaimana
pun, kita semua tetap kawan baik!"
"Terimakasih!" ucap Kam Hay Thian.
Mereka berempat melanjutkan perjalanan lagi menuju
markas pusat Kay Pang. Malam harinya mereka bermalam di
rumah penginapan. Sie Keng Hauw sekamar dengan Kam Hay
Thian, Lie Ai Ling sekamar dengan Lu Hui San.
Keesokan harinya ketika hari baru mulai terang, Lie Ai Ling
dan Lu Hui San dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Kedua
gadis itu segera meloncat bangun seraya bertanya.
"Siapa?"
"Aku!" suara sahutan Sie Keng Hauw.
Lie Ai Ling cepat-cepat membuka pintu kamar. Dilihatnya
wajah Sie Keng Hauw agak lain.
"Keng Hauw, apa yang terjadi?"
"Hay Thian pergi tanpa pamit," sahut Sie Keng Hauw sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?" Lie Ai Ling tertegun. "Maksudmu Hay Thian pergi
secara diam-diam?"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk sambil melirik Lu Hui
San. Wajah gadis itu nampak murung sekali.
"Dia... dia telah pergi seorang diri?" tanya Lu Hui San
seakan bergumam. "Kenapa dia memisahkan diri dengan
kita?" "Dia memang keterlaluan," ujar Lie Ai Ling dengan wajah
tidak senang. "Bahkan juga tak tahu diri."
"Sudahlah!" Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
"Biarlah dia pergi, mungkin itu akan membebaskan beban
pikirannya."
"Aku sungguh tidak mengerti," ujar Sie Keng Hauw dengan
kening berkerut-kerut. "Kenapa dia begitu macam" Aaaah...!"
"Keng Hauw, mungkinkah dia pergi ke Gunung Hek Ciok
San (Gunung Batu Hitam) untuk bertarung dengan Seng Hwee
Sin Kun?" tanya Lie Ai Ling dengan wajah berubah.
"Itu...." Pikir Sie Keng Hauw sejenak, kemudian
menggelengkan kepala seraya berkata. "Mungkin tidak,
kemungkinan besar dia pulang ke rumahnya menengok
ibunya. Bukankah kemarin dia bilang rindu sekali kepada
ibunya?" "Benar." Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kalau begitu,
bagaimana kalau kita ke rumahnya?"
"Engkau tahu rumahnya?" tanya Sie Keng Hauw.
"Tidak tahu," sahut Lie Ai Ling sambil memandang Lu Hui
San seraya bertanya. "Engkau tahu?"
"Aku pun tidak tahu," jawab Lu Hui San.
"Yaah!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Kita
bertiga tidak tahu rumahnya, lalu apa langkah kita?"
"Melanjutkan perjalanan, ke markas pusat Kay Pang, lalu
kita berunding dengan Kakek Lim dan Kakek Gouw," ujar Sie
Keng Hauw. "Benar." Lie Ai Ling mengangguk. "Kalau begitu, mari kita
berangkat! Jangan membuang- buang waktu di sini!"
Sie Keng Hauw dan Lu Hui San mengangguk. Mereka
bertiga lalu berangkat ke markas pusat Kay Pang. Lu Hui San
membungkam dengan wajah murung sepajang jalan, Sie Keng
Hauw menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik, sudahlah!" ujarnya lembut. "Jangan terus
memikirkan Hay Thian, dia begitu macam, tiada guna
memikirkannya!"
"Aku...." Lu Hui San menundukkan kepala. "Tidak disangka,
hatinya begitu dingin!" "Hmm!" dengus Lie Ai Ling. "Dia
memang tak tahu diri dan tak kenal budi. Engkau yang
membopongnya sampai ke Pulau Hong Hoang To, bahkan
demi dirinya engkau pun tahan lapar dan ngantuk terus
membopongnya. Tapi sebaliknya dia...."
"Aaaah...!" Lu Hui San menghela nafas panjang. "Jangan
mempersalahkannya! Dia adalah kawan baik kita, maka aku...
aku harus membopongnya sampai di Pulau Hong Hoang To
itu." "Hui San...." Li Ai Ling menatapnya iba, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah! Mulai sekarang
engkau tidak perlu memikirkannya lagi!"
"Ng!" Lu Hui San mengangguk. "Aku akan berusaha
melupakannya."
"Benar." Lie Ai Ling manggut-manggut. "Engkau memang
harus melupakannya, tiada artinya engkau memikirkannya."
-ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, mereka bertiga sudah tiba di
markas pusat Kay Pang.
Betapa gembiranya Lie Ai Ling ketika melihat Tio Bun Yang
berada di situ. Kemudian gadis itu berseru-seru.
"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling langsung
mendekap di dadanya. "Kakak Bun Yang...."
"Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang membelainya dengan penuh
kasih sayang. "Oh ya, pemuda itu...."
"Dia adalah Sie Keng Hauw. Kakak Bun Yang pasti ingat
dia," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa gembira.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Dia putra Sie
Kuang Han! Bagus! Bagus!"
"Saudara Tio!" Sie Keng Hauw memberi hormat.
"Terimakasih atas budi pertolonganmu yang telah
menyelamatkan nyawa ayahku, bahkan mempertemukan Hui
San dengan ayahku pula!"
"Saudara Sie!" Tio Bun Yang tersenyum. "Engkau tidak
usah berterimakasih kepadaku. Kita semua adalah kawan baik,
jadi... harus tolong- menolong dalam hal apa pun."
"Saudara Tio, engkau sungguh berjiwa besar!" ujar Sie
Keng Hauw, kemudian memberi hormat kepada Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong. "Kakek Lim, Kakek Gouw!"
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Silakan duduk!
Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Sie Keng Hauw sambil duduk, Lie Ai
Ling duduk di sebelahnya.
"Eeeh?" Gadis itu menengok ke sana ke mari, seperti
sedang mencari sesuatu. "Kok Goat Nio tidak kelihatan"
Apakah dia berada di dalam?"
"Dia belum kembali," sahut Tio Bun Yang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sudah ke Gunung Thian
San, namun tidak bertemu dia."
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Jadi hingga saat ini dia
belum kembali" Apakah telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Itulah yang ku khawatirkan," Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala lagi. "Kakak Bun Yang," tanya Lie Ai Ling. "Kenapa engkau tidak
pergi mencarinya?"
"Aku memang ingin pergi mencarinya, tapi...." Tio Bun
Yang memandang Lim Peng Hang. "Kakek melarangku pergi
mencarinya."
"Lho" Kenapa?" Lie Ai Ling heran.
"Percuma Bun Yang pergi mencari Goat Nio, sebab kita
sama sekali tidak tahu dia berada di mana. Lalu Bun Yang
harus ke mana mencarinya" Bukankah lebih baik menunggu di
sini, agar tidak terjadi selisih jalan lagi?" ujar Lim Peng Hang,
kemudian bertanya, "Oh ya, bagaimana keadaan Kam Hay
Thian, Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa di sana?"
"Mereka baik-baik saja. Tapi Kam Hay Thian...." Lie Ai Ling
menghela nafas panjang.
"Kenapa dia?" tanya Tio Bun Yang tegang,
"Sebetulnya dia ke mari bersama kami, tapi di tengah jalan
dia pergi secara diam-diam," jawab Lie Ai Ling
memberitahukan. "Dia memang sengaja memisahkan diri
dengan kami."
"Kenapa begitu?" Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Apakah kalian bertengkar?"
Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Hui San sangat
mencintainya, tapi dia malah bersikap dingin dan acuh tak
acuh terhadap Hui San...."
"Ai Ling!" panggil Lu Hui San, agar Lie Ai Ling tidak
melanjutkan ucapannya. "Sudahlah! Jangan membicarakan
tentang itu lagi!"
"Hui San...." Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Terus terang, aku... aku bersimpati dan merasa kasihan
kepadamu."
"Ai Ling!" Lui Hui San tersenyum getir. "Mungkin sudah
nasibku, mau bilang apa?"
"Kalau aku bertemu Kam Hay Thian, aku pasti akan
menasihatinya." ujar Tio Bun Yang berjanji.
"Bun Yang!" Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Percuma engkau menasihatinya."
"Kenapa, Kakek?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Sebab...." Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Cinta
tidak bisa dipaksa, maka percuma engkau menasihatinya."
"Tapi...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Hui
San...." "Terimakasih atas maksud baikmu, Kakak Bun Yang!" ucap
Lu Hui San dan menambahkan. "Memang tidak salah, cinta
tidak bisa dipaksa. Maka engkau tidak usah menasihatinya
mengenai ini, percuma!"
"Tio Bun Yang manggut-manggut, kemudian mengalihkan
pembicaraan tentang Bu Ceng Sianli.
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak setelah mendengar penuturan
itu. "Bidadari Tanpa Perasaan merupakan gadis yang cantik
jelita?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi dia sadis sekali."
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Kalau dia tidak sadis,
bagaimana mungkin memperoleh julukan itu" Namun orangorang
yang dibunuhnya itu adalah para penjahat."
"Walau para penjahat, tapi seharusnya dia memberi ampun
kepada mereka. Dia tidak perlu membunuh, cukup melukai
mereka saja," ujar Tio Bun Yang.
"Saudara Tio!" Sie Keng Hauw tersenyum. "Kalau kita
memberi ampun kepada para penjahat, justru akan membuat
mereka semakin jahat."
"Itu belum tentu," sahut Tio Bun Yang. "Mungkin mereka
akan kembali ke jalan yang benar."
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Engkau
memang seperti ayahmu, berhati bajik, bijak dan selalu
mengampuni orang."
"Kakak Bun Yang memang begitu," sela Lie Ai Ling lalu
memandang Sie Keng Hauw seraya berkata, "Engkau harus
belajar seperti Kakak Bun Yang lho!"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk sambil tersenyum. "Aku
menuruti perkataanmu."
"Keng Hauw!" Lie Ai Ling tersenyum manis. "Sungguh baik
engkau, mudah mudahan selamanya engkau tetap begini
terhadapku!"
"Jangan khawatir!" Sie Keng Hauw menggenggam
tangannya erat-erat. "Cintaku terhadapmu takkan luntur
selama-lamanya."
"Terimakasih, Keng Hauw!" ucap Lie Ai Ling, kemudian
mendadak mengecup pipinya.
"Haaah...?" Wajah Sie Keng Hauw kemerah-merahan,
namun bergirang dalam hati. Kalau hanya berduaan, pemuda
itu pasti balas mengecupnya.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertawa
terbahak-bahak. "Bukan main kecupan itu, sungguh
mengesankan!"
Wajah Lie Ai Ling langsung memerah. Gadis itu tidak
menyangka Lim Peng Hang akan menggodanya.
"Kakek Lim...." Lie Ai Ling cemberut. "Memangnya aku
tidak boleh mengecupnya?"
"Tentu boleh, tapi...." Lim Peng Hang tertawa lagi.
"Alangkah baiknya di saat berduaan saja."
"Kakek Lim...." Lie Ai Ling membanting- banting kaki.
Sementara Gouw Han Tiong terus memandang Lu Hui San,
berselang beberapa saat kemudian ia pun bertanya.
"Hui San, apa rencanamu selanjutnya?"
"Aku ingin pergi ke ibu kota menengok ayah angkatku,"
jawab Lu Hui San. "Aku rindu kepadanya."
"Kapan engkau akan berangkat?" tanya Lim Peng Hang.
"Sekarang," sahut Lui Hui San singkat.
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Engkau mau berangkat
sekarang" Tidak bisa tunggu besok atau lusa?"
"Ai Ling!" Lu Hui San menghela nafas panjang. "Lebih baik
aku berangkat sekarang."
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Tapi engkau
harus berhati-hati menjaga diri!" pesannya.
"Ya, Kakek Lim." Lu Hui San mengangguk.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berpamit, barulah ia meninggalkan markas pusat
Kay Pang. Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Sie Keng Hauw dan
Lie Ai Ling mengantar gadis itu sampai di luar markas.
"Adik!" Sie Keng Hauw menggenggam tangannya. "Kapan
engkau akan kembali ke sini lagi?"
"Entahlah." Lu Hui San menggelengkan kepala. "Oh ya,
kapan kalian punya waktu, kalian boleh ke ibu kota
menemuiku."
"Baik." Sie Keng Hauw mengangguk. "Adik, selamat jalan!"
"Kak!" Mata Lu Hui San mulai basah. "Sampai jumpa!"
"Hui San...." Mata Lie Ai Ling sudah bersimbah air.
"Selamat jalan!"
"Ai Ling!" Lu Hui San tersenyum getir. "Selamat tinggal,
sampai jumpa kelak!"
Lu Hui San melangkah pergi. Setelah gadis itu tidak
kelihatan, barulah Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling kembali ke
dalam markas sambil menghela nafas panjang.
"Kasihan dia!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia betul-betul patah hati."
"Mudah-mudahan Hay Thian akan mencintainya kelak!"
sahut Sie Keng Hauw dan menambahkan. "Aku justru masih
merasa heran."
"Heran kenapa?"
"Menurut aku...." Sie Keng Hauw mengerutkan kening.
"Sesungguhnya Kam Hay Thian juga mencintai Hui San, hanya
saja ada sesuatu terganjal di dalam hatinya yang membuatnya
bersikap dingin dan acuh-tak acuh terhadap Hui San."
"Oh?" Lie Ai Ling tertegun. "Kira-kira apa yang terganjel di
dalam hati Kam Hay Thian?"
"Entahlah." Sie Keng Hauw menggelengkan kepala. "Aku
tidak mengetahuinya."
"Mungkinkah...." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Kam Hay
Thian tahu Hui San adalah putri angkat Lu Thay Kam?"
"Iya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Mungkin karena itu,
maka dia bersikap begitu terhadap Hui San."
"Tapi tiada seorang pun memberitahukan pada Kam Hay
Thian, bahwa Lu Thay Kam adalah ayah angkat Hui San. Jadi
bagaimana mungkin Kam Hay Thian mengetahuinya?"
"Ai Ling!" Sie Keng Hauw tersenyum. "Engkau harus tahu,
Kam Hay Thian sangat cerdas, tentunya dia sudah menduga
sampai ke situ."
"Kalau begitu...." Kening Lie Ai Ling berkerut-kerut. "Bukan
karena Goat Nio?"
"Pasti bukan," sahut Sie Keng Hauw. "Sebab dia tahu Goat
Nio tidak mencintainya, lagi pula dia telah berhutang budi
kepada Paman Cie Hiong, tentunya dia tidak berani
memikirkan yang bukan- bukan."
"Benar." Lie Ai Ling mengangguk. "Kalau begitu...."
Di saat bersamaan, muncullah Tio Bun Yang sambil
memandang mereka, kemudian tersenyum seraya berkata.
"Maaf! Aku telah mengganggu kalian!"
"Kakak Bun Yang," sahut Lie Ai Ling. "Jangan berkata
begitu ah! Masa sih engkau akan mengganggu kami."
"Kelihatannya kalian sedang asyik bercakap- cakap,
maka...." "Kami sedang membicarakan Lu Hui San dan Kam Hay
Thian," potong Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Kupikir. Hay
Thian mungkin sudah tahu Hui San adalah putri angkat Lu
Thay Kam, maka dia menolak cintanya. Padahal Hay Thian
pun mencintai Hui San, tapi...."
"Kakak Bun Yang," ujar Lie Ai Ling. "Kami pun berpikir
begitu. Kini Hui San telah kembali ke ibu kota, kita harus
bagaimana?"
"Kita tidak bisa turut campur," sahut Tio Bun Yang dan
menambahkan. "Biar dia yang menyelesaikan urusan itu.
Kalau kita turut campur, mungkin akan mengeruhkan urusan
itu." "Benar." Sie Keng Hauw manggut-manggut. "Tapi belum
tentu Hay Thian akan ke ibu kota. Aku justru khawatir dia
akan pergi menantang Seng Hwee Sin Kun."
"Itu pun mungkin. Sebab...." Tio Bun Yang mengerutkan
kening. "Dia sangat dendam kepada Seng Hwee Sin Kun."
"Kalau begitu...." Wajah Lie Ai Ling agak pucat. "Bagaimana
kalau kita pergi membantu dia?"
"Aku bukan tidak mau pergi bantu dia, melainkan...." Tio
Bun Yang menghela nafas panjang. "Adik Ai Ling, aku harus
menunggu Goat Nio."
"Tapi Hay Thian...."
"Ai Ling!" Sie Keng Hauw memandangnya seraya berkata,
"Engkau tidak usah cemas, sebab belum tentu Kam Hay Thian
akan pergi mencari Seng Hwee Sin Kun, dia tidak akan
bertindak sebodoh itu."
Lie Ai Ling manggut-manggut. Tio Bun Yang memandang
mereka lalu berkata,
"Mari kita masuk dulu!"
Mereka bertiga masuk. Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong masih duduk di situ.
"Bun Yang," tanya Lim Peng Hang. "Hui San sudah pergi?"
"Sudah, Kek," jawab Tio Bun Yang sambil menggelenggelengkan
kepala. "Dia kelihatan berduka sekali."
"Yaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Entah
apa yang akan terjadi?"
"Sesungguhnya," ujar Gouw Han Tiong. "Kam Hay Thian
pun mencintainya. Mungkin dia tahu Hui San adalah putri
angkat Lu Thay Kam, maka Kam Hay Thian menolak
cintanya."
"Kami juga berpikir begitu, tapi...." Tio Bun Yang
mengerutkan kening. "Yang kami cemaskan adalah Kam Hay
Thian, mungkin dia pergi menantang Seng Hwee Sin Kun."
"Itu belum tentu," sahut Lim Peng Hang. "Sebab kalian
sudah memberitahukan, bahwa Kam Hay Thian pernah bilang
rindu sekali kepada ibunya. Karena itu, dia pasti pulang ke
rumahnya untuk menengok ibunya."
"Setelah itu...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia pasti akan pergi ke Gunung Hek Ciok San. Aku
tidak bisa pergi membantunya, sebab harus menunggu Goat
Nio." "Kakek Lim," tanya Lie Ai Ling mendadak. "Bolehkah kami
berdua pergi membantu Kam Hay Thian?"
"Tidak boleh." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Itu
sama juga pergi mencari mati."
"Tapi Kam Hay Thian...." Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Dia adalah kawan baik kami."
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Dia memang
kawan baik kalian, namun belum tentu dia akan pergi ke
Gunung Hek Ciok San. Lagi pula sementara ini belum ada
kabar beritanya mengenai Seng Hwee Sin Kun, karena itu, aku
yakin Kam Hay Thian tidak pergi ke Gunung Hek Ciok San,
melainkan akan ke ibu kota."
"Kalau begitu...," ujar Lie Ai Ling. "Hui San dan dia pasti
akan bertemu di ibu kota."
"Ada baiknya mereka bertemu. Mudah-mudahan urusan itu
dapat diselesaikan dengan baik!" ujar Lim Peng Hang dan
melanjutkan. "Sementara ini kalian bertiga tetap di sini
menunggu Goat Nio, jangan ke mana-mana!"
Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling mengangguk.
Di saat itulah Lim Peng Hang teringat sesuatu. Kemudian
ketua Kay Pang itu berkata sambil mengerutkan kening.
"Kelihatannya rimba persilatan akan semakin kacau karena
kemunculan Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka Setan) yang
misterius itu."
"Oh ya, apakah Kakek Lim sudah berhasil menyelidiki
tentang Kui Bin Pang tu?" tanya Lie Ailng.
"Belum." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Sebab
sulit sekali melacak Kui Bin Pang itu."
"Kui Bin Pang?" Sie Keng Hauw tampak terkejut.
"Bagaimana perkumpulan itu muncul di rimba Persilatan lagi?"
"Keng Hauw!" Lie Ai Ling tercengang. "Engkau tahu
tentang Kui Bin Pang itu?"
"Tahu sedikit," jawab Sie Keng Hauw memberitahukan.
"Guruku pernah menceritakan kepadaku, perkumpulan itu
merupakan perkumpulan misteri sekitar seratus tahun yang
silam. Tapi perkumpulan itu tidak pernah memasuki daerah
Tionggoan, hanya bergerak di daerah Gurun Sih lh dan
sekitarnya. Ketua dan para anggota perkumpulan itu
berkepandain tinggi sekali, namun pada waktu itu,
perkumpulan tersebut mendadak bubar."
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang menatapnya tajam.
"Gurumu pasti punya hubungan dengan Kui Bin Pang itu."
"Entahlah." Sie Keng Hauw menggelengkan kepala. 'Aku
tidak mengetahuinva."
"Keng Hauw," tanya Gouw Han Tiong. "Bolehkah Kami tahu
siapa gurumu?"
"Itu...." Sie Keng Hauw menghela nafas panjang. "Maaf,
Kakek Gouw! Guruku melarangku menyebut nama maupun
julukannya, aku tidak berani melanggarnya."
"Ooon!" Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Tidak apaapa.
Tap, bolehkah engkau menceritakan lagi tentang Kui Bin
Pang :tu?"
Sie Keng Hauw mengangguk, kemudian mulai menceritakan
berdasarkan apa yang didengar dari gurunya.
"Kata guruku, ketua perkumpulan itu memiliki ilmu hitam
yang sangat hebat, semacam hipnotis. Siapa yang
memandang sepasang matanya, pasti akan terpengaruh oleh
ilmu hitamnya itu."
"Oh?" Lim Peng Kang mengerutkan kei .ng.
"Tapi kira-kira seratus tahun silam, mendadak ketua
perkumpulan itu hilang tiada jejaknya sama sekali. Sudah
barang tentu perkumpulan itu jadi bubar. Bagaimana mungkin
kini muncul lagi?" ujar Sie Keng Hauw kurang percaya.
"Aku dan Goat Nio pernah melihat mereka...," sahut Lie Ai
Ling dan menutur tentang itu.
"Oh?" Sie Keng Hauw tertegun. "Kalau begitu, mereka
memang para anggota Kui Bin Pang. Tapi siapa ketua baru
itu" Tidak mungkin ketua lama itu masih hidup."
"Kui Bin Pang itu masih belum resmi muncul di rimba
persilatan. Mungkin ketua baru itu sedang menghimpun
kekuatan, memanggil para anggota yang bubar itu," ujar Lim
Peng Hang sambil menghela nafas panjang. "Aaaah! Itu
merupakan ancaman bagi rimba persilatan."
"Kalau begitu memang tidak salah," ujar Tio Bun Yang
memberitahukan. "Aku pun pernah mendengar tentang Kui
Bin Pang dari para pedagang. Mereka bilang melihat setan iblis
naik kuda, berpakaian serba putih dan wajah menyerupai
setan iblis, bahkan juga mengeluarkan siulan aneh yang
menyeramkan."
"Betul." Lie Ai Ling manggut-manggut. "Mereka memang
mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan, memakai
kedok setan dan berpakaian serba putih."
"Aaaah...." Gouw Han Tiong menghela nafas panjang.
"Rimba persilatan sudah tidak aman karena Seng Hwee Kauw
dan Hiat Ih Hwe, kini malah muncul Kui Bin Pang lagi!"
"Kalau aku sudah bertemu Goat Nio, aku ingin
mengajaknya pulang ke Pulau Hong Hoang To," ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh. "Aku sudah jenuh akan rimba
persilatan yang tak pernah aman, tenang dan damai. Ada saja
pertikaian."
"Lalu bagaimana dengan Seng Hwee Sin Kun?" tanya Lim
Peng Hang mendadak sambil menatapnya.
"Dia memang telah membunuh kauw heng, tapi perlukah
aku menuntut balas kepadanya?" Tio Bun Yang mengerutkan
kening. "Kalau kita balas-membalas kapan akan berakhir?"
"Bun Yang...." Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Engkau bersifat seperti Cie Hiong ayahmu, namun kalian
justru berkepandaian sangat tinggi."
"Kakek...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang!" Gouw Han Tiong menatapnya tajam seraya
berkata, "Kauw heng menyuruhmu ke goa es belajar ilmu Kan
Kun Taylo Im Kang, itu agar engkau dapat melawan Seng
Hwee Sin Kun, sekaligus membalaskan dendamnya."
"Tentang itu, bagaimana nanti saja," sahut Tio Bun Yang.
Pemuda itu memang tiada nafsu untuk membalas dendam.
"Itu terserah kepadamu," ujar Gouw Han Tiong. "Kami
tidak akan mendesakmu menuntut balas kepada Seng Hwee
Sin Kun. Tapi...."
"Bun Yang," sambung Lim Peng Hang. "Kelihatannya tidak
lama lagi, suatu bencana akan melanda rimba persilatan,
apakah engkau mau tinggal diam?"
"Kakek!" Tio Bun Yang tersenyum. "Itu urusan nanti, lebih
baik dibicarakan nanti saja. Kini aku cuma memikirkan Goat
Nio." "Kakak Bun Yang," usul Lie Ai Ling. "Bagaimana kalau kita
bertiga pergi mencari Goat Nio?"
"Kakekku sudah bilang tadi, kita harus menunggu di sini
agar tidak selisih jalan dengan Goat Nio," sahut Tio Bun Yang.
"Jadi kita tidak boleh pergi mencari Goat Nio."
"Memang lebih baik kita menunggu di sini saja," sela Sie
Keng Hauw dan menambahkan. "Kita lihat bagaimana
perkembangan selanjutnya, setelah itu barulah kita
membahasnya."
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Sekarang
kalian pergi beristirahat saja."
"Ya," sahut Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling
serentak, lalu semuanya pergi ke ruangan belakang.
---o0dw0ooo- Bagian ke empat puluh empat
Kedukaan yang memuncak
Ke mana Kam Hay Thian" Apakah ia pergi ke Gunung Hek
Ciok San" Ternyata tidak, melainkan pulang ke rumahnya
karena sangat rindu kepada ibunya. Kenapa ia memisahkan
diri dengan Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Lu HuiSan"
Memang tidak salah, ia sudah tahu bahwa Lu Hui San adalah
putri angkat Lu Thay Kam. Tanpa sengaja ia mendengar
percakapan mereka, maka ia tahu Lu Thay Kam adalah ayah
angkat Lu Hui San. Oleh karena itu, ia menolak cinta dari
gadis tersebut. Padahal sesungguhnya, ia mulai mencintai
gadis itu. Tapi ada selapis tembok menghalanginya, yakni Lu
Thay Kam itu. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpisah dengan Lu Hui San.
Kurang lebih sepuluh hari kemudian, Kam Hay Thian sudah
sampai di rumahnya. Ia berlari- lari memasuki halaman rumah
sambil berseru-seru dengan penuh kegembiraan.
"Ibu! Ibu! Aku sudah pulang! Ibu...!"
Seorang tua berhambur ke luar menyambutnya. Ia adalah
pembantu tua di rumah itu.
"Tuan muda...."
"Paman tua!" panggil Kam Hay Thian sambil tersenyum. "Di
mana ibuku" Aku sudah rindu sekali kepadanya."
"Tuan muda...." Pembantu tua itu menundukkan kepala,
kemudian menangis terisak-isak.
"Paman tua...." Wajah Kam Hay Thian pucat pias.
"Tuan muda...." Air mata pembantu tua itu sudah
bercucuran. "Ibumu sudah meninggal beberapa bulan yarg
lalu." "Apa?" Sekujur badan Kam Hay Thian menggigil, kemudian
menjerit. "Ibu! Ibu...!"
"Tuan muda! Tuan muda...!" panggil pembantu t ua itu.
Kam Hay Thian berdiri diam, sepasang matanya mendelik
lalu terkulai dan pingsan seketika.
"Tuan muda' Tuan muda.. !" Kalutlah pembantu tua itu, ia
berusaha menyadarkannya.
Berselang beberapa saat kemudian, sepasang mata Kam
Hay Thian terbuka per lahan-lahan, maka legalah hati
pembantu tua itu.
"Tuan muda...."
"Paman tua...." Kam Hay Thian berlutut di depan meja
sembahyarg dan menangis meraung- raung. "Ibu! Ibu...!"
Pembantu tua itu membiarkannya terus menangis. Itu
memang lebih baik dari pada Kam Hay Thian menahan duka
dalam hati, akan membahayakan dirinya.
"Ibu! Ibu...!" Kam Hay Thian terus menangis meraungraung
Lama sekali barulah Kam Hay Thian berhenti menangis, lalu
memandang pembantu tua itu seraya bertanya.
"Paman tua! Apa yang terjadi" Apa yang terjadi?" teriak
Kam Hay Thian sambil berlari ke dalam rumah.
Sesampainya di dalam rumah, ia melihat sebuah meja
sembayang di ruang depan, dan sebuah tempat abu di atas
meja itu. "Bagaimana ibuku meninggal?"
"Nyonya.... nyonya dibunuh," jawab pembantu tua itu
dengan air mata berderai-derai.
"Apa?" Kam Hay Thian meloncat bangun. "Ibuku mati
dibunuh" Siapa yang membunuh?"
"Para anggota Hiat Ih Hwe."
"Para anggota Hiat Ih Hwe?" Sepasang mata Kam Hey
Thian langsung berapi-api. "Kenapa mereka membunuh
ibuku?" "Malam itu..." tutur pembantu tua itu. "Beberapa orang
memasuki halaman rumah. Nyonya mendengar suara itu maka
segera membuka pintu. Nyonya melihat beberapa orang itu
terluka parah. Mereka ternyata para pejuang yang dikejar Hiat
Ih Hwe. Nvonya menyembunyikan mereka didalam rumah."
"Kemudian bagaimana?"
"Tak lama muncullah belasan orang berpakaian merah.
Mereka adalah para anggota Hiat Ih Hwe. Nyonya melarang
menggeledah, namun salah seorang anggota Hiat Ih Hwe
mengayunkan goloknya, dan kepala nyonya terpenggal jatuh
menggelinding di lantai."
"Haaah...?" Kam Hay Thian nyaris pingsan lagi. Ia
menggenggam ujung meja sembayang erat-erat.
Braaaak! Tiba-tiba ujung meja sembayang itu hancur
menjadi debu. Ternyata tanpa sengaja Kam Hay Thian
mengerahkan Iweekangnya
"Tuan muda...." Pembantu tua itu terkejut bukan main.
"Setelah itu bagaimana?" tanya Kam Hay Thian dengan
wajah kehijau-hijauan.
"Para anggota Hiat Ih Hwe mulai menggeledah, akhirnya
mereka menemukan pejuang-pejuang itu, dan kemudian
mereka bunuh secara sadis sekali." Pembantu tua itu
memberitahukan. "Untung mereka tidak menemukan aku,
maka aku terhindar dari kematian."
"Aku harus menuntut balas! Aku harus membunuh Lu Thay
Kam itu!" ujar Kam Hay Thian dengan mata membara. "Walau
dia ayah angkat Hui San, namun aku tetap harus
membunuhnya!"
"Tuan muda!" Pembantu tua itu terisak-isak. "Sungguh
mengenaskan kematian nyonya!"
"Aku bersumpah, akan membunuh Lu Thay Kam dan
membasmi Hiat Ih Hwe!" ucap Kam Hay Thian mengangkat
sumpah itu dengan mata berapi-api. Kemudian ia memasang
hio dan bersujud di depan tempat abu itu.
-ooo0dw0ooo- Sementara itu, Lu Hui San juga sudah tiba di ibu kota.
Dapat dibayangkan, betapa gembiranya Lu Thay Kam.
"Nak..." panggilnya dengan suara tergetar- getar.
"Ayah...." Lu Hui San mendekap di dada Lu Thay Kam.
"Ayah, aku sudah kembali."
"Nak!" Lu Thay Kam membelainya dengan penuh kasih
sayang. "Syukurlah engkau sudah kembali, ayah gembira
sekali!" "Ayah...." Lu Hui San terisak-isak.
"Nak!" Lu Thay Kam menatapnya heran. "Kenapa engkau
tampak berduka" Apa yang telah terjadi?"
"Ayah...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala, lalu
duduk dengan kepala tertunduk.
"Nak...." Lu Thay Kam duduk di hadapannya.
"Beritahukanlah! Apa yang membuatmu berduka?"
"Ayah, aku sudah bertemu Sie Keng Hauw," Lu Hui San
memberitahukan. "Tentunya Ayah masih ingat kepadanya,
kan?" "Sie Keng Hauw...." Lu Thay Kam manggut- manggut.
"Putra Sie Kuang Han kan?"
"Betul, Ayah." Lu Hui San mengangguk. "Kepandaiannya
sangat tinggi."
"Oh?" Lu Thay Kam tersenyum. "Bagus! Mungkin dia akan
ke mari menuntut balas, bukan?"
"Ayah telah salah menerka." Lu Hui San menggelengkan
kepala. "Pamanku melarang kami membalas dendam."
"Oh?" Lu Thay Kam menatapnya, kemudian menghela
nafas panjang. "Syukurlah kalau begitu!"
"Tapi...." Lu Hui San menghela nafas panjang.
"Ada apa, San San?" tanya Lu Thay Kam dan
menambahkan. "Beritahukanlah! Jangan ragu!"
"Aku...."
"Kenapa engkau?" Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam.
"Apakah engkau sudah punya kekasih?"
"Ayah...." Wajah Lu Hui San memerah.
"Beritahukanlah!" desak Lu Thay Kam. "Apakah engkau
sudah punya kekasih?"
"Aku..." jawab Lu Hui San dengan kepala tertunduk. "Aku
mencintainya, namun... dia tidak mencintaiku."
"Oh" Siapa dia" Sungguh berani dia menolak cintamu?" Lu
Thay Kam mengerutkan kening. "Apakah dia tidak tahu aku
adalah ayah angkatmu?"
"Mungkin dia tahu, maka... dia berusaha menjauhi diriku,"
sahut Lu Hui San sambil menghela nafas dan
memberitahukan. "Dia bernama Kam Hay Thian."
"Kam Hay Thian?"
"Julukannya adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi
Penjahat)."
"Ayah pernah mendengar itu. Tapi kenapa dia menjauhi
dirimu, apakah dia punya dendam kepadaku?"
"Aaaah...!" Lu Hui San menghela nafas panjang lagi. "Para
anggota Hiat Ih Hwee membunuh guru silat Lie dan Lie Beng
Cu, maka dia sangat dendam kepada Hiat Ih Hwe, mungkin
dia pun akan membunuh Ayah."
"Dia punya hubungan apa dengan guru silat Lie dan Lie
Beng Cu?" "Dia berhutang budi kepada mereka ayah dan anak. Karena
para anggota Hiat Ih Hwe membunuh mereka, jadi dia pun
ingin membalas dendam."
"Tapi...." Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Ayah sama
sekali tidak kenal guru silat Lie itu, lagi pula ayah tidak pernah
perintahkan para anggota Hiat Ih Hwe membunuh guru silat
Lie maupun putrinya itu."
"Yaaah!" Lu Hui San menghela nafas. "Karena Ayah ketua
Hiat Ih Hwe, maka dia pun akan menuntut balas kepada
Ayah." "Oh?" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala. "Lalu
apa kehendakmu, Nak?"
"Aku mohon kepada Ayah, jangan turun tangan
membunuhnya! Aku.... Aku sangat mencintainya! Aku...."
"Nak!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Baik. Ayah berjanji
tidak akan membunuhnya!"
"Terimakasih, Ayah!" ucap Lui Hui San sambil bersujud di
hadapan Lu Thay Kam, ayah angkatnya itu. "Terimakasih!"
"Bangunlah Nak!" Lu Thay Kam segera membangukannya.
"Engkau memang gadis yang lemah lembut dan
baik hati. Ayah merasa bangga sekali!"
"Ayah...." Lu Hui San mendekap di dada Lu Thay Kam.
"Terimakasih!"
"Nak!" Lu Thay Kam membelai-belainya. "Ayah berjanji,
kalau dia ke mari membalas dendam, ayah pasti tidak akan
membunuhnya. Legakanlah hatimu, Nak!"
Lu Hui San manggut-manggut. Saking terharu gadis itu
menangis terisak-isak.
"Nak, bagaimana sifat pemuda itu?" tanya Lu Thay Kam.
"Agak keras hati, namun dia pemuda baik, jujur dan
tampan." Lu Hui San memberitahukan.
"Ooooh!" Lu Thay Kam manggut-manggut sambil
tersenyum. "Syukurlah kalau begitu!"
"Ayah." ujar Lu Hui San. "Aku kembali justru karena
khawatir dia akan ke mari membalas dendam kepada Ayah.
Aku ingin mendamaikan kalian."
"Nak...." Lu Thay Kam tertawa gembira. "Kalau dia mau
berdamai dengan ayah, itu memang baik sekali."
"Aku berharap begitu, Ayah." Lu Hui San tersenyum. "Oh
ya, bagaimana keadaan Ayah selama ini?"
"Baik-baik saja," sahut Lu Thay Kam. "Tapi...."
"Ada apa, Ayah?"
"Kini dalam istana telah muncul seorang menteri yang
cukup berkuasa, hanya ayah yang mampu menyaingi
kekuasaannya itu." Lu Thay Kam memberitahukan dengan
kening berkerut-kerut. "Belum lama ini, menteri itu mengutus
beberapa orang kepercayaannya ke Manchuria, kelihatannya
menteri itu berniat bersekongkol dengan bangsa liar itu."
"Oh?" Lu Hui San memandang Lu Thay Kam. "Kalau tidak
salah, Ayah pun pernah mengutus orang pergi menemui raja
Manchuria, kan?"
"Benar." Lu Thay Kam mengangguk. "Tapi raja Manchuria
tidak mau bekerja sama dengan ayah."
"Raja Manchuria itu kenal Paman Cie Hiong, maka dia tidak
mau menyerbu ke Tionggoan, otomatis tidak mau bekerja
sama dengan Ayah." Lu Hui San memberitahukan. "Tapi raja
Manchuria itu telah mati dibunuh oleh adik kandungnya, dan
kini yang menjadi raja di Manchuria adalah adik kandungnya
itu." "Oh?" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Kok engkau tahu
begitu jelas tentang itu?"
"Aku tinggal di Pulau Hong Hoang To selama ini. Kemudian
Bokyong Sian Hoa juga muncul di pulau itu," jawab Lu Hui
San. "Bun Yang yang membawanya ke sana, jadi kami pun
berkenalan."
"Siapa Bokyong Sian Hoa itu?"
"Dia putri almarhum raja Manchuria itu..." tutur Lu Hui San
dan menambahkan. "Kini dia masih berada di Pulau Hong
Hoang To!"
"Ooh!" Lu Thay Kam manggut-manggut, kemudian
menghela nafas panjang. "Seandainya para penghuni Pulau
Hong Hoang To bersedia membantu kerajaan, ayah yakin
Dinasti Beng tidak akan runtuh."
"Maksud Ayah?" Lu Hui San tertegun.
"Aaaah...!" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Menteri
itu berniat meminjam pasukan Manchuria, alasannya pada
kaisar yakni demi memberantas para pemberontak yang
dipimpin Lie Tsu Seng. Tapi tujuan menteri itu tidak lain ingin
meruntuhkan dinasti Beng."
"Menteri itu ingin menjadi kaisar?"
"Betul." Lu Thay Kam mengangguk. "Kalau dia berhasil
menjadi kaisar, itu tidak masalah. Namun yang ayah
khawatirkan justru pasukan Manchuria itu akan memberontak
terhadapnya Nah, bukankah kita akan dikuasai oleh Bangsa
Manchuria?"
"Maksud Ayah Bangsa Manchuria akan menjajah negeri
kita?" tanya Lu Hui San dengan wajah berubah.
"Kira-kira begitulah." Lu Thay Kam menghela nafas. "Tapi
kini menteri itu masih tidak berani bertindak, karena masih
merasa segan kepada ayah. Kalau ayah mati, menteri itu pasti
bertindak sewenang-wenang."
"Ayah...." Lu Hui San menatapnya. "Lebih baik Ayah hidup
tenang di suatu tempat saja. Aku bersedia mendampingi
Ayah." "Omong kosong!" sahut Lu Thay Kam sambil tertawa.
"Bagaimana mungkin engkau mendampingi Ayah" Bukankah
engkau harus mendampingi buah hatimu itu?"
"Ayah...." Wajah Lu Hui San langsung memerah.
"Lagi pula..." tambah Lu Thay Kam. "Kalau ayah
mengundurkan diri sekarang, menteri itu yang akan
memperoleh keuntungan, dinasti Beng pasti runtuh di
tangannya!"
"Ayah...." Lu Hui San memandangnya dengan penuh
keheranan. "Aku jadi bingung, sebetulnya Ayah jahat atau
baik?" "Nak...." Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Pada
dasarnya ayah adalah orang baik, tapi dipaksa menjadi orang
jahat." "Kenapa begitu?"
"Nak..." sahut Lu Thay Kam sambil memandang jauh ke
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan. "Ayahku adalah seorang hakim yang sangat bijaksana,
adil dan tidak pernah korupsi. Suatu ketika, ayahku
menghukum berat seorang anak menteri, karena anak menteri
itu memperkosa seorang anak gadis, kemudian membunuhnya
pula. Kedua orang tua gadis itu mengadu di pengadilan, maka
ayahku segera perintahkan beberapa petugas pergi
menangkap anak menteri itu."
"Lalu bagaimana?"
"Para petugas itu tidak berani, sebab terdakwa itu seorang
anak menteri. Ayahku tidak perduli, tetap perintahkan para
petugas pergi menangkap anak menteri itu. Tentunya
membuat gusar menteri itu. Beliau membiarkan para petugas
menangkap anaknya. Akan tetapi, menteri itu justru pergi
menghadap kaisar sekaligus memfitnah ayahku."
"Oh?" Lu Hui San tertegun. "Kemudian bagaimana?"
"Kaisar turunkan perintah penangkapan ayahku
sekeluarga." Lu Thay Kam memberitahukan. "Pada waktu itu,
aku baru berusia tujuh tahun. Salah seorang pengawal ayahku
berhasil membawaku kabur. Namun kedua orang tuaku dan
lainnya ditangkap semua, kemudian dihukum mati."
"Haaah?" Lu Hui San terkejut bukan main.
"Setelah aku berusia sembilan tahun, pengawal ayahku itu
membawaku ke istana." Tutur Lu Thay Kam. "Aku dikebiri jadi
sida-sida istana."
"Kok Ayah mau dikebiri?" tanya Lu Hui San sambil
mengerutkan kening.
"Itu memang atas kemauanku," jawab Lu Thay Kam sambil
menghela nafas panjang. "Tujuanku demi membalas dendam."
"Oooh!" Lu Hui San manggut-manggut.
"Ayah semakin besar, sedangkan kaisar itu semakin tua,"
ujar Lu Thay Kam dan menam-bahkan. "Pada waktu itu, Putra
Mahkota sangat baik terhadap ayah. Setelah kaisar tua wafat,
Putra Mahkota itu naik tahta. Sejak itu, kaisar baru sangat
mempercayai ayah. Mulailah ayah membalas dendam
terhadap keluarga menteri itu."
"Ternyata begitu!" Lu Hui San menghela nafas panjang.
"Pantas Ayah sering memfitnah para menteri dan jenderal,
agar kaisar menghukum mati mereka!"
"Nak," ujar Lu Thay Kam dengan wajah murung. "Ayah
menyesal sekali memfitnah ayah kandungmu. Padahal kami
berdua kawan baik. Hanya dikarenakan salah pendapat
sehingga terjadi suatu perdebatan, akhirnya ayah
memfitnahnya."
"Itu sudah berlalu, tidak usah diungkit kembali," tandas Lu
Hui San. "Lagi pula paman dan aku telah memaafkan Ayah.
Bukankah Ayah bersedia mati di tanganku saat itu?"
"Nak...." Lu Thay Kam tersenyum getir. "Engkau telah
membuka pintu hati nurani ayah. Mulai sekarang ayah harus
menjadi Thay Kam yang baik demi dinasti Beng."
"Kalau begitu, Ayah akan membubarkan Hiat Ih Hwe?"
"Ngmm!" Lu Thay Kam manggut-manggut. "Mungkin ayah
akan perintahkan mereka bergabung dengan Lie Tsu Seng."
"Oh?" Wajah Lu Hui San berseri. "Tapi bukankah Ayah
sudah bekerja sama dengan Seng
Hwee Kauw" Bagaimana kalau Seng Hwee Sin Kun tahu
tentang itu?"
"Tidak ada urusan dengan Seng Hwee Sin Kun. Oh ya, ayah
pun sudah dengar bahwa Seng Hwee Sin Kun dilukai oleh
monyet milik Tio Bun Yang. Engkau tahu tentang itu?"
"Tahu." Lu Hui San mengangguk sekaligus menutur tentang
kejadian itu. "Oooh!" Lu Thay Kam manggut-manggut. "Ternyata
engkau yang membopong Kam Hay Thian ke Pulau Hong
Hoang To! Lalu bagaimana keadaan Tio Bun Yang dan
monyetnya itu?"
"Kepandaian Bun Yang bertambah tinggi, tapi kauw heng
itu sudah mati." Lu Hui San memberitahukan.
"Ngmm!" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Bagaimana
kepandaian Kam Hay Thian?"
"Sudah maju pesat di bawah bimbingan Paman Cie Hiong,
tapi belum tentu mampu melawan Seng Hwee Sin Kun."
"Kalau begitu, dia masih bukan lawanku," ujar Lu Thay
Kam. "Kalau dia ke mari...."
"Ingat Ayah!" Lu Hui San menatapnya. "Ayah telah berjanji
tidak akan membunuhnya, jangan ingkar janji lho!"
"Ayah tidak akan lupa itu," sahut Lu Thay Kam sambil
tertawa gelak. "Maksud ayah kalau dia ke mari, ayah akan
bicara baik-baik dengan dia."
"Oooh!" Lu Hui San langsung berlega hati. "Ayah...."
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa terbahak- bahak. "Ha ha
ha...!" -ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, di saat Lu Hui San sedang duduk
termenung di halaman belakang istana tempat tinggal Lu Thay
Kam, mendadak melayang turun seseorang yang tidak lain
adalah Kam Hay Thian yang mengenakan pakaian berkabung.
"Hay Thian..." panggil Lu Hui San terbelalak dan bergirang
dalam hati. Akan tetapi, Kam Hay Thian menatapnya dengan dingin
sekali, tentunya sangat mengejutkan hati gadis itu.
"Hay Thian, kenapa engkau...."
"Dimana ayah angkatmu" Cepat suruh dia ke luar
bertarung denganku!" sahut Kam Hay Thian dengan mata
berapi-api. "Cepaaat suruh dia keluar!"
"Hay Thian...."
"Diam!" bentak Kam Hay Thian dingin. "Jangan panggil
namaku!" "Kenapa engkau membenciku" Kenapa" Kenapa...?" sahut
Lu Hui San dengan air mata berderai-derai. "Jelaskan! Engkau
harus menjelaskannya!"
"Karena engkau putri angkat Lu Thay Kam!" Kam Hay
Thian memberitahukan. "Semula aku cuma berusaha
menjauhimu, tapi kini aku justru membencimu!"
"Kenapa?" Wajah Lu Hui San pucat pias.
"Karena..." sahut Kam Hay Thian sambil ber- kertak gigi.
"Beberapa bulan lalu, para anggota Hiat Ih Hwe membunuh
ibuku!" "Apa?" Lu Hui San terbelalak. Barulah ia tahu kenapa Kam
Hay Thian mengenakan pakaian kabung.
"Nah, engkau dengar baik-baik! Aku benci padamu dan
harus membunuh ayah angkatmu itu!"
"Hay Thian...." Lu Hui San menghela nafas panjang. "Kami
sama sekali tidak tahu tentang itu. Beberapa bulan lalu,
bukankah kita masih berada di Pulau Hong Hoang To?"
"Benar! Tapi aku tetap benci padamu, karena engkau
adalah putri angkat Lu Thay Kam!"
"Apakah engkau tidak tahu" Sesungguhnya aku putri Sie
Kuang Weng. Ayah kandungku justru mati lantaran fitnahan
Lu Thay Kam, namun aku dan pamanku telah
memaafkannya."
"Hm!" dengus Kam Hay Thian dingin. "Itu karena engkau
ingin hidup senang di sini!"
"Hay Thian! Kalau aku ingin hidup senang di sini, tidak
mungkin aku pergi berkelana!"
"Sudahlah! Jangan banyak bicara, cepatlah panggil ayah
angkatmu itu ke mari!"
"Ha ha ha!" Terdengar suara tawa gelak. "Anak muda,
kenapa engkau begitu bernafsu ingin membunuhku?"
Melayang turun seseorang yang ternyata Lu Thay Kam. la
memandang Kam Hay Thian dengan penuh perhatian.
"Anjing tua!" bentak Kam Hay Thian. "Hari ini adalah hari
kematianmu!"
"Anak muda!" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Kenapa
engkau begitu kurang ajar, padahal San San memuji dirimu di
hadapanku! Engkau Kam Hay Thian kan?"
"Tidak salah! Engkau memang Kam Hay Thian!" sahut
pemuda itu. "Aku ke mari ingin mencabut nyawamu!"
"Hay Thian...." Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Di
antara kita tiada dendam apa pun, kenapa engkau begitu
bernafsu ingin membunuhku?"
"Para anak buahmu membunuh guru silat Lie dan putrinya,
itu masih dapat kumaafkan! Tapi beberapa bulan lalu, para
anak buahmu justru membunuh ibuku secara sadis sekali!"
sahut Kam Hay Thian sengit dengan mata berapi-api. "Leher
ibuku putus terpenggal oleh salah seorang anak buahmu,
sehingga kepala ibuku menggelinding di lantai! Nah, hari ini
aku harus membalas dendam!"
"Hay Thian!" bentak Lu Thay Kam. "Itu perbuatan para
anggota, bukan perbuatan ayah angkatku! Engkau harus tahu
itu!" "Tapi ayahmu ketua Hiat Ih Hwe, maka aku harus
membunuhnya!" sahut Kam Hay Thian dan menambahkan.
"Kalau engkau tidak menyingkir, aku pun akan membunuhmu
pula!" "Bagus! Bagus! Cepat bunuhlah aku! Cepat!" Lu Hui San
maju ke hadapan Kam Hay Thian. Itu membuat pemuda
tersebut terpaksa menyurut mundur beberapa langkah.
"Cepatlah menyingkir!" bentak Kam Hay Thian dengan
kening berkerut-kerut.
"Bukankah engkau ingin membunuhku" Nah, cepat
bunuhlah aku! Tunggu apalagi?" tantang Lu Hui San yang
memang sudah merasa kccewa terhadap pemuda itu.
"Engkau...." Mendadak Kam Hay Thian mengayunkan
tangannya. Plaaak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi gadis itu.
"Aduuuh!" jerit Lu Hui San kesakitan sambil mengusap
pipinya. "Engkau... engkau...."
"Siapa suruh engkau tidak mau menyingkir" Hmmm...!"
dengus Kam Hay Thian.
"Anak muda!" bentak Lu Thay Kam. "Sungguh berani
engkau menampar putriku! Kalau aku tidak berjanji padanya,
engkau pasti sudah mati sekarang!"
"Oh?" Kam Hay Thian tertawa dingin, lalu mendadak
menyerang Lu Thay Kam.
Lu Thay Kam terpaksa berkelit, tapi Kam Hay Thian
menyerangnya lagi. Apa boleh buat, Lu Thay Kam terpaksa
balas menyerangnya. Terjadilah pertarungan sengit, sebab
Kam Hay Thian menyerangnya menggunakan Pak Kek Sin
Ciang yang mengeluarkan hawa dingin.
"San San! Cepat menyingkir!" seru Lu Thay Kam sambil
menangkis serangan Kam Hay Thian.
"Ayah!" ujar Lu Hui San sambil menyingkir. "Jangan ingkar
janji!" "Nak... baiklah! Ayah tidak akan ingkar janji!" sahut Lu
Thay Kam Sementara Kam Hay Thian terus menyerangnya. Lu Thay
Kam tampak kewalahan, akhirnya terpaksa mengeluarkan Ie
Hoa Ciap Bok Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Memindahkan Bunga
Dan Menyambung Pohon).
Lu Hui San menyaksikan pertarungan itu dengan hati
berdebar-debar tegang. Gadis itu sama sekali tidak
menghendaki ada yang mati. Tapi pertarungan itu makin seru,
Kam Hay Thian mati-matian menyerang Lu Thay Kam.
Puluhan jurus kemudian, mendadak Kam Hay Thian bersiul
panjang sekaligus menyerang Lu Thay Kam dengan jurus Swat
Hoa Phiau Phiau (Bunga Salju Berterbangan).
Menyaksikan jurus itu, Lu Thay Kam terpaksa
menangkisnya dengan jurus Hoa Khay Yap Cing (Bunga
Memekar Daun Menghijau).
Tampak tubuh mereka berkelebatan kemudian terdengarlah
suara benturan.
Daaar...! Ternyata Kam Hay Thian telah mengadu pukulan dengan
Lu Thay Kam. Kam Hay Thian terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah, begitu pula Lu Thay Kam.
"Bagus! Bagus!" ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gelak.
"Engkau memang pantas menjadi kekasih putriku!"
"Jangan banyak omong, anjing tua!" bentak Kam Hay
Thian. "Bersiap-siaplah untuk mampus!"
Kam Hay Thian bersiul panjang, kemudian menyerang Lu
Thay Kam dengan jurus Han Thian Soh Swat (Menyapu Salju
Di Hari Dingin). Tampak sepasang tangan Kam Hay Thian
bergerak cepat, sepasang kakinya pun menendang secepat
kilat. "Bagus!" seru Lu Thay Kam sambil menangkis dengan jurus
Ki Yauw Yap Lok (Dahan Bergoyang Daun Rontok)
Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat.
Lu Thay Kam dan Kam Hay Thian sama-sama terpental
beberapa langkah. Lweekang mereka kelihatan seimbang.
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Anak muda,
engkau memang hebat! Tidak heran pilihan putriku jatuh
padamu!" "Anjing tua!" bentak Kam Hay Thian sambil mengerahkan
Pak Kek Sin Kang hingga kepuncaknya, kelihatannya ia ingin
mengeluarkan jurus yang paling dahsyat untuk menyerang Lu
Thay Kam. Namun itu tidak terlepas dari mata Lu Thay Kam, maka ia
pun menghimpun Ie Hoa Ciap Bok Sin Kang sampai pada
puncaknya. "Lihat serangan!" bentak Kam Hay Thian sambil menyerang
dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus Leng Swat Teng
Hai (Salju Menutupi Laut).
Serangan itu sungguh dahsyat dan lihay, bahkan
mengeluarkan hawa yang sangat dingin. Apa boleh buat! Lu
Thay Kam terpaksa menyambut serangan itu dengan jurus Ie
Hoa Ciap Bok (Memindahkan Bunga Menyambung Pohon).
"Ayah...!" Terdengar seruan Lu Hui San, yang tahu jurus
tersebut akan merenggut nyawa Kam Hay Thian.
Suara seruan Lu Hui San membuat Lu Thay Kam teringat
akan janjinya, maka ia cepat-cepat menarik kembali dua
bagian Iweekangnya.
Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat memekakkan
telinga. Kam Hay Thian terhuyung-huyung beberapa langkah,
sedangkan Lu Thay Kam terpental beberapa depa, sekujur
badan menggigil dan mulutnya mengeluarkan darah.
"Anjing tua! Hari ini engkau harus mampus!" teriak Kam
Hay Thian sambil menyerang Lu Thay Kam.
Lu Thay Kam telah terluka dalam, maka bagaimana
mungkin mampu menyambut pukulan yang dilancarkan Kam
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hay Thian" Ia ingin berkelit tapi sudah terlambat.
"Hay Thian, jangan...!" pekik Lu Hui San.
Akan tetapi, pukulan yang dilancarkan Kam Hay Thian telah
menghantam dada Lu Thay Kam.
"Aaaakh...!" jerit Lu Thay Kam. Badannya, terpental
bagaikan layang-layang putus tali kemudian jatuh gedebuk
sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.
"Ayah! Ayah...!" Lu Hui San berlari-lari mendekati Lu Thay
Kam. "Ayah...!"
"Nak...!" panggil Lu Thay Kam sambil tersenyum. "Ayah....
Ayah tidak ingkar janji kan" Ayah....
"Ayah! Ayah...!" Lu Hui San memeluknya erat-erat.
"Ayah...!"
"Nak...!" Lu Thay Kam membelainya. "Ayah merasa puas
sekali, engkau... engkau sangat berbakti kepadaku. Tapi...
tidak lama lagi engkau akan menjadi sebatang kara...."
"Ayah...!" panggil Lu Hui San sambil menangis sedih
dengan air mata berderai derai. "Ayah...!"
Sementara Kam Hay Thian cuma berdiri termangu-mangu
di tempat, sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.
Kenapa mendadak Lu Thay Kam menarik lweekangnya ketika
ia menyerang dengan dahsyat"
"Nak...!" Suara Lu Thay Kam makin lemah. "Nak, ayah...
ayah sudah tidak tahan. Engkau... engkau jangan mendendam
pada... pada pemuda itu...."
"Ayah...!"
"Nak...!" Mendadak kepala Lu Thay Kam terkulai, ternyata
nafasnya sudah putus.
"Ayah! Ayah...!" jerit Lu Hui San sambil menangis meraungraung.
"Ayah, engkau telah berkorban demi janji itu. Aku...
aku yang mencelakaimu, Ayah...."
Mendadak Lu Hui San bangkit berdiri, lalu memandang Kam
Hay Thian dengan mata berapi- api.
"Kini engkau sudah puas kan" Engkau sudah puas kan"
Ayah angkatku tidak membunuh ibumu, tapi engkau malah
membunuhnya. Ketika aku ke mari, aku bermohon kepadanya
agar tidak turun tangan membunuhmu! Ayah angkatku
menyanggupinya, maka ketika ayah angkatku menangkis
dengan jurus Ie Hoa Ciap Bok, ayahku justru menarik kembali
lweekangnya, sehingga terluka oleh pukulanmu! Namun
engkau begitu kejam, ayah angkatku sudah terluka dalam,
engkau masih menyerangnya! Kini ayah angkatku telah mati,
engkau merasa puas" Kalau belum merasa puas, silakan
bunuh aku juga!"
"Hui San...!" panggil Kam Hay Thian dengan suara
bergemetar. "Aku...."
"Jangan panggil namaku!" bentak Lu Hui San sambil
tertawa dan menangis. "Aku benci padamu! Aku benci
padamu...!"
"Hui San!" Kam Hay Thian ingin mendekatinya.
Akan tetapi, Lu Hui San malah melangkah ke belakang
sambil menudingnya.
"Engkau adalah iblis! He he he!" Lu Hui San tertawa
terkekeh-kekeh. "Engkau adalah iblis! Engkau pembunuh ayah
angkatku! Aku benci, engkau aku benci padamu...!"
"Hui San, maafkanlah aku!"
"Aku tidak akan memaafkan mu! Aku benci padamu...!"
sahut Lu Hui San sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Aku benci
padamu...!"
Tiba-tiba Lu Hui San melesat pergi. Kam Hay Thian ingin
mencegahnya, tapi gadis itu langsung menyerangnya.
"Aku benci padamu! Cepat minggir!" bentak Lu Hui San
sambil menangis. "Kalau engkau tidak minggir, aku akan
bunuh diri di sini!"
"Hui San...." Kam Hay Thian terpaksa menyingkir.
Lu Hui San tertawa terkekeh-kekeh, lalu melesat pergi dan
masih terdengar suara tawanya.
"Hui San..." gumam Kam Hay Thian. Mendadak ia melesat
pergi, maksudnya ingin menyusul Lu Hui San. Akan tetapi,
gadis itu sudah tidak kelihatan.
"Aaaah...!" keluh Kam Hay Thian. "Kalau Hui San jadi gila,
itu adalah dosaku! Aku harus mencarinya! Harus mencarinya!"
-oo0dw0oo- Bagian ke empat puluh lima
Tayly Lo Ceng terluka
Di halaman istana Tayli, tampak Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan sedang duduk sambil bercakap-cakap.
"Sudah hampir setahun kita tidak ke Pulau Hong Hoang To,
entah bagaimana keadaan di sana?" ujar Toan Beng Kiat
sambil menggeleng- gelengkan kepala. "Aku rindu sekali pada
mereka." "Sama," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Ingin rasanya
sekarang berangkat ke Hong Hoang To."
"Itu bagaimana mungkin?" Toan Beng Kiat menghela nafas
panjang. "Orang tua kita tidak akan memperbolehkan kita ke
sana, itu sungguh menjengkelkan!"
"Beng Kiat, bagaimana kalau kita pergi secara diam-diam?"
tanya Lam Kiong Soat Lan seakan mengusulkan.
"Aku tidak berani." Toan Beng Kiat menggelengkan kepala.
"Sebab akan membuat gusar orang tua kita. Lebih baik kita
minta ijin saja."
"Tidak mungkin orang tua kita mengijinkan- nya!" Lam
Kiong Soat Lan menghela nafas. "Aku sudah rindu sekali pada
mereka, lagi pula bosan rasanya terus diam di istana ini."
"Soat Lan!" Toan Beng Kiat menatapnya seraya berkata,
"Bagaimana kalau nanti malam kita berunding dengan orang
tua kita?"
"Baik." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Tapi...."
Mendadak ucapan gadis itu terputus, karena terganggu
oleh suara tawa cekikikan. "Hi hi hi! Hi hi hi...!"
"Siapa?" bentak Toan Beng Kiat. "Cepatlah menampakkan
diri, jangan sampai aku bertindak!"
"Bocah! Engkau mau bertindak apa?" tanya orang yang
tertawa tadi, kemudian melayang seseorang.
Begitu melihat orang itu, terbelalaklah Toan Beng Kiat dan
Lam Kiong Soat Lan, karena orang itu merupakan gadis cantik
jelita berusia dua puluhan. Siapa gadis itu" Ternyata Bu Ceng
Sianli - Tu Siao Cui.
"Siapa Kakak?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring sekaligus balik
bertanya. "Kalian berdua siapa?"
"Aku bernama Lam Kiong Soat Lan dan dia bernama Toan
Beng Kiat." sahut Lam Kiong Soat Lan.
"Siapa orang tua kalian?" tanya Tu Siao Cui sambil menatap
mereka dengan tajam.
"Ayahku bernama Lam Kiong Bie Liong, ibuku bernama
Toan Pit Lian," jawab Lam Kiong Soat Lan.
"Ayahku bernama Toan Wie Kie, ibuku bernama Gouw Sian
Eng." Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Aku tidak kenal." Tu Siao Cui menggelengkan kepala. "Oh
ya, kalian punya hubungan dengan Toan Hong Ya?"
"Toan Hong Ya adalah kakek kami," sahut Toan Beng Kiat.
"Oooh!" Tu Siao Cui manggut-manggut. "Kalau begitu,
cepatlah kalian antar aku menemui Toan Hong Ya!"
"Maaf, Kakak!" ucap Lam Kiong Soat Lan. "Kami masih
belum tahu siapa Kakak!".
"Namaku Tu Siao Cui, julukanku adalah Bu Ceng Sianli.
Nah, cepatlah kalian antar aku menemui Toan Hong Ya!"
"Maaf, kami tidak berani!" Lam Kiong Soat Lan
menggelengkan kepala. "Sebab akan dimarahi orang tua
kami." "Kalau begitu...." Tu Siao Cui tertawa. "Aku akan masuk
sendiri menemui Toan Hong Ya."
"Kakak!" Toan Beng Kiat segera menghadang di
hadapannya. "Ini istana Tayli, engkau tidak boleh berlaku
semaumu!" "Oh?" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Hi hi hi! Bocah,
apakah engkau mampu menghadangku?"
"Kenapa tidak?" sahut Toan Beng Kiat sambil menatapnya.
"Kalau Kakak berkeras ingin masuk, aku terpaksa harus
bertindak."
"Bertindak bagaimana?" tanya Tu Siao Cui sambil
tersenyum. "Menghadangmu." Toan Beng Kiat kelihatan sudah bersiap
menghadangnya apabila Tu Siao Cui berkeras menerobos ke
dalam. "Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Aku tahu,
kepandaian kalian berdua cukup tinggi. Tapi kalian berdua
masih tidak mampu menghadangku."
"Kalau Kakak berkeras ingin menerobos ke dalam, kami
terpaksa berlaku kurang ajar terhadap Kakak," ujar Lam Kiong
Soat Lan. "Oh, ya" Hi hi hi...!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan.
Bersamaan itu, muncullah beberapa orang. Mereka adalah
Toan Wie Kie, Gouw Siang Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan
Pit Lian. "Siapa Nona?" tanya Toan Beng Kiat dengan kening
berkerut-kerut "Ada urusan apa Nona ke mari?"
"Kalian tentu para orang tua mereka berdua," sahut Tu
Siao Cui sambil menunjuk Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan. "Ya, kan?"
"Betul." Toan Wie Kie mengangguk. "Ada masalah?"
"Aku menyuruh mereka mengantarku menemui Toan Hong
Ya, tapi nereka tidak mau," ujar Tu Siao Cui memberitahukan.
"Sebaliknya malah ingin menghadangku."
"Mereka berdua memang harus menghadangmu," sahut
Toan Pit Lian dan menambahkan. "Sebab orang luar tidak
boleh memasuki istana ini semaunya."
"Kalau aku ingin memasuki istana Tayli ini semauku, kalian
mau apa?" tanya Tu Siao Cui menantang.
"Eh?" Toan Pit Lian mengerutkan kening. "Engkau berani
menghina kami?"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa geli. "Sungguh lucu sekali
Siapa yarg menghina kalian?"
"Engkau ingin memasuki istana ini semaumu! Berarti
menghina kami." sahut Toan Pit Lian.
"Hi hi hi...!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Engkau harus
tahu, aku mau memasuki istana ini, sebetulnya merupakan
suatu kehormatan bagi Toan Hong Ya."
"Omong kosong!" bentak Toan Pit Lian. "Cepat
beritahukan, siapa engkau!"
"Namaku Tu Siao Cui, julukanku adalah Bu Ceng Sianli.
Engkau sudah tahu aku siapa, cepatlah antar aku ke dalam
menemui Toan Hong Ya!"
"Ada urusan apa engkau ingin menemui ayah?" tanya Toan
Wie Kie sambil menatapnya tajam.
"Aku ingin menanyakan sesuatu kepadanya," jawab Tu Siao
Cui dan menambahkan sambil tersenyum. "Kalian tidak usah
khawatir, aku tidak berniat jahat terhadap Toan Hong Ya.
Percayalah!"
"Baiklah." Toan Wie Kie manggut-manggut. "Kebetulan
ayahku berada di ruang tengah, silakan Nona ikut kami ke
sana!" "Terimakasih!" ucap Tu Siao Cui.
Mereka masuk ke dalam menuju ruang tengah. Toan Hong
Ya memang sedang duduk di ruang itu membaca buku. Ketika
melihat Tu Siao Cui, terbelalaklah Toan Hong Ya. Itu tidak
usah heran. Sebab Tu Siao Cui sangat cantik sekali, bahkan
juga memiliki daya tarik yang luar biasa, maka membuat Toan
Hong Ya terpukau menyaksikan kecantikannya.
"Ayah!" Toan Wie Kie memberitahukan. "Nona Tu ingin
bertemu Ayah."
"Oh?" Toan Hong Ya tercengang. "Ada urusan apa Nona Tu
ingin bertemu aku" Siapa yang mengutusmu ke mari?"
"Toan Hong Ya," sahut Tu Siao Cui tanpa memberi hormat.
"Aku harus dipersilakan duduk dulu."
"Nona jangan kurang ajar terhadap ayahku!" bentak Toan
Pit Lian. "Cepatlah beri hormat!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Kenapa aku harus
memberi hormat kepadanya?"
"Nona!" Toan Pit Lian mengerutkan kening. "Ayahku adalah
raja Tayli, maka engkau harus memberi hormat kepadanya!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa lagi. "Aku adalah Bu Ceng
Sianli, seharusnya ayahmu yang memberi hormat kepadaku."
"Kurang ajar!" bentak Toan Pit Lian gusar.
"Ha ha ha!" Toan Hong Ya tertawa sambil memberi isyarat
kepada Toan Pit Lian agar putrinya itu jangan gusar dan
melanjutkan. "Nona Tu, engkau masih muda, aku sudah
berusia lanjut. Oleh karena itu, engkau tidak boleh kurang ajar
terhadapku."
"Berapa usiamu, Toan Hong Ya?" tanya Tu Siao Cui
mendadak. "Tujuh puluh satu," sahut Toan Hong Ya sambil tersenyum.
"Engkau harus memanggilku kakek lho!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Toan Hong Ya,
tahukah engkau berapa usiaku?"
"Dua puluhan."
"Salah." Tu Siao Cui tersenyum sambil memberitahukan.
"Usiaku sudah hampir sembilan puluh."
"Nona Tu!" Toan Hong Ya menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau jangan berhumor, itu tidak baik!"
"Toan Hong Ya, aku berkata sesungguhnya," sahut Tu Siao
Cui sungguh-sungguh. "Sama sekali tidak berhumor."
"Dasar sinting!" sela Toan Pit Lian dan menambahkan.
"Engkau harus segera enyah dari sini!"
"Apa?" Tu Siao Cui melotot. "Perempuan cerewet, engkau
berani mengusirku?"
"Kenapa tidak?" sahut Toan Pit Lian gusar. "Apabila perlu,
aku akan menghajarmu!"
Tiba-tiba Tu Siao Cui bergerak cepat, tampak badannya
berkelebat laksana kilat ke arah Toan Pit Lian.
Plaaak! Terdengar suara tamparan.
Ternyata pipi Toan Pit Lian yang terkena tampar,
membuatnya menjerit kesakitan.
"Aduuuh!"
"Engkau...." Lam Kiong Bie Liong menudingnya. "Akan
kuhajar engkau!"
"Kakak!" bentak Lam Kiong Soat Lan. "Engkau berani
menampar ibuku" Akan kubalas...."
"Soat Lan!" seru Toan Hong Ya. "Diam di tempat, jangan
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurang ajar!"
"Kakek," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Dia menampar ibu,
aku harus membalasnya."
"Sudahlah!" Toan Hong Ya mengerutkan kening, kemudian
menatap Tu Siao Cui tajam. "Nona Tu, engkau ingin cari garagara
di sini?" "Aku ke mari secara baik-baik, tapi...." Tu Siao Cui
menunjuk Toan Pit Lian seraya berkata, "Dia yang cari garagara
denganku, maka aku memberi pelajaran kepadanya."
"Nona Tu," tanya Toan Hong Ya. "Sebetulnya ada urusan
apa engkau datang ke mari menemuiku?"
"Aku ke mari ingin bertanya sesuatu kepadamu." sahut Tu
Siao Cui sekaligus bertanya, "Di mana Tayli Sin Ceng-Kong
Sun Hok?" "Apa?" Toan Hong Ya tampak tertegun, sebab orang lain
tidak tahu bahwa itu adalah julukan Tayli Lo Ceng ketika
masih muda, Kong Sun Hok adalah namanya. Bukankah
mengherankan sekali Tu Siao Cui mengetahui tentang itu"
"Engkau kenal Tayli Lo Ceng?"
"Aku tidak kenal Tayli Lo Ceng, hanya kenal Tayli Sin
Ceng," sahut Tu Siao Cui. "Aku akan membuat perhitungan
dengan padri sialan itu!"
"Nona...." Toan Hong Ya terbelalak. "Kapan engkau
bertemu Tayli Sin Ceng (Padri Sakti Tayli) itu?"
"Kira-kira delapan puluh tahun lalu."
"Haaah...?" Mulut Toan Hong Ya ternganga lebar, begitu
pula yang lain.
"Ayah," ujar Toan Wie Kie. "Dia gadis gila, tidak usah
diladeni! Biar kuusir dia!"
"Wie Kie!" Toan Hong Ya menatapnya. "Diamlah!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa. "Bagus! Bagus! Sebentar
lagi kita boleh bertanding!"
"Sekarang pun boleh!" tantang Toan Wie Kie yang mulai
kesal terhadap Tu Siao Cui itu.
"Oh, ya?" Tu Siao Cui tertawa. "Kalau begitu, keluarkanlah
senjatamu!"
Ketika Toan Wie Kie ingin mengeluarkan kipasnya, Gouw
Sian Eng berkata setengah berbisik.
"Jangan emosi, akan merusak suasana!"
"Tapi...." Toan Wie Kie mengerutkan kening. "Gadis itu
terlampau kurang ajar!"
"Biarkan saja!" sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum
lembut. "Yang penting engkau jangan emosi."
Toan Wie Kie manggut-manggut, sedangkan Tu Siao Cui
terus memandangnya, kemudian tertawa seraya berkata.
"Bagus! Bagus! Suami memang harus menurut pada isteri!
Hi hi hi!"
"Engkau...." Wajah Toan Wie Kie tampak kemerahan.
"Engkau sungguh kurang ajar!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa geli. "Engkau merasa malu
karena aku mengatakan, bahwa suami harus menurut pada
isteri?" 'Aku...." Toan Wie Kie tergagap.
"Nona Tu," u;ar Toan Hong Ya ssmbil menatapnya dengan
penuh perhatian. "Betulkah delapan puluh tahun lalu engkau
bertemu Tayli Sin Ceng?"
"Toan Hong Ya." sanut Tu Siao Cui. "Apa gunanya aku
bohong" Kalau Toan Hong Ya tidak percaya, tunggu padri
sialan itu ke mari!"
"jangan mencaci guru kami!' seru Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan dengan nada gusar.
"Oh?" Tu Siao Cui menatap mereka. "Padri sialan itu guru
kalian?" "Betul." sahut Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
serentak. 'Maka Kakak jangan menghina dan mencaci guru
kami!" "Aku justru ingin menghajar guru kalian itu," ujar Tu Siao
Cui sambil tertawa.
-ooo0dw0ooo- Jilid : 10 "Kakak...." Ketika Toan Beng Kiat ingin mengatakan
sesuatu, namun keburu di dahului oleh Toan Hong Ya.
"Nona Tu, Tayli Lo Ceng tidak berada di sini, lebih baik
engkau pergi saja, jangan membuat onar di tempat ini!"
"Jadi...." Tu Siao Cui mengerutkan kening. "Toan Hong Ya
mengusirku" Begitu kan?"
"Bukan mengusir, melainkan...."
"He he he!" Tu Siao Cui tertawa terkekeh-kekeh. "He he
he! Toan Hong Ya, engkau telah membuat hatiku tersinggung.
Oleh karena itu, akupun tak ingin membuat kalian susah."
"Nona Tu...." Toan Hong Ya terkejut. "Eng-kau mau apa?"
"Aku ingin bertanding dengan jagoan di sini." sahut Tu Siao
Cui memberitahukan. "Putra dan menantumu boleh bertanding
Menganku! Kalau aku kalah, aku akan meninggalkan istana ini.
Sebaliknya apabila mereka yang kalah, maka akulah yang
berkuasa di sini."
"Apa?" Toan Hong Ya terbelalak. "Engkau menghendaki
tahta kerajaan ini?"
"Tentu tidak." Tu Siao Cui tersenyum. "Aku hanya ingin
berkuasa di sini, sekaligus menikmati kesenangan dan
kemewahan. Kalau ada orang yang dapat mengalahkan aku,
barulah aku akan meninggalkan istana ini."
"Jadi engkau ingin bertanding dengan Toan Wie Kie dan
Lam Kiong Bie Liong?" tanya Toan Hong Ya.
"Ya." Tu Siao Cui mengangguk.
"Itu...." Toan Hong Ya memandang pulra dan menantunya
seraya bertanya, "Bagaimana menurut kalian?"
"Baik." Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong
mengangguk. "Kami menerima tantangannya."
"Bagus! Bagus!" Tu Siao Cui tertawa. "Kalau begitu,
cepatlah keluarkan senjata kalian!"
"Nona ingin melawan kami berdua dengan tangan kosong?"
tanya Toan Wie Kie dengan kening berkerut-kerut.
"Betul." Tu Siao Cui mengangguk sambil tersenyum.
"Dengan tangan kosong, aku tetap mampu merobohkan
kalian." "Baik." Toan Wie Kie manggut-manggut, lalu memandang
Lam Kiong Bie Liong seraya berkata, "Mari kita bertanding
dengan dia menggunakan senjata, dia yang menghendaki
begitu." "Ng!" Lam Kiong Bie Liong mengangguk sambil bertanya
kepada Tu Siao Cui. "Nona, engkau tidak akan menyesal?"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Terus terang,
dalam dua puluh jurus, kalian berdua pasti roboh."
"Oh?" Lam Kiong Bie Liong menatapnya dingin. "Engkau
terlampau sombong, justru engkau yang akan roboh dalam
dua puluh jurus."
"Mari kita buktikan!" ujar Tu Siao Cui. "Jangan membuangbuang
waktu lagi!"
Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong saling memandang,
kemudian mereka mengeluarkan senjata masing-masing, yaitu
sebuah kipas dan sebilah pedang.
"Kalian dengar baik-baik!" seru Toan Hong Ya serius. "Ini
cuma merupakan pertandingan persahabatan, jadi kularang
kalian saling melukai."
"Toan Hong Ya," sahut Tu Siao Cui. "Kalau tidak saling
melukai, tentu tidak akan tahu siapa yang berkepandaian lebih
tinggi. Karena itu haluslah saling melukai, namun tidak saling
membunuh."
"Itu...." Toan Hong Ya tampak gelisah. "Kalau begitu...."
"Jangan khawatir, Ayah!" ujar Toan Wie Kie. "Kami berdua
tidak akan terluka, percayalah!"
"Ayah," ujar Toan Beng Kiat. "Biar aku dan Soat Lan yang
bertanding dengan dia."
"Benar," sambung Lam Kiong Soat Lan. "Kami berdua saja
yang melawan dia, sebab dia lelah mencaci guru kami."
"Kalian jangan turut campur!" Toan Wie Kie mengibaskan
tangannya, agar mereka berdua menyingkir.
"Ayah...." Toan Beng Kiat tampak penasaran.
"Nak!" Gouw Sian Eng menariknya menyingkir. "Itu urusan
mereka, engkau dan Soat Lan jangan turut campur!"
"Ibu...." Toan Beng Kiat mengerutkan kening.
"Turutilah perkataan ibu, jangan bikin kacau pikiran
ayahmu!" bisik Gouw Sian Eng.
Sementara Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong sudah
berdiri di hadapan Tu Siao Cui. Suasana pun mulai tegang.
"Nona Tu!" Toan Wie Kie menatapnya. "Betulkah engkau
ingin melawan kami dengan tangan kosong?"
"Betul," sahut Tu Siao Cui sambil tersenyum. "Aku tidak
omong besar, kalian berdua boleh mulai menyerang aku!"
"Baik!" Toan Wie Kie mengangguk. "Bie Liong, mari kita
serang dia!"
Toan Wie Kie mulai menyerang Tu Siao Cui dengan
kipasnya, menggunakan ilmu Bu Ceng San Hoat (Ilmu Kipas
Tanpa Perasaan), sedangkan Lam Kiong Bie Liong menyerang
Tu Siao Cui dengan pedang, menggunakan Thay Yang Kiam
Hoat (Ilmu Pedang Surya).
Serangan-serangan itu tidak membuat Tu Siao Cui gugup,
sebaliknya ia malah tertawa nyaring sambil berkelit, sekaligus
balas menyerang dengan sepasang telapak tangannya.
Badannya melayang-layang ke sana ke mari menghindari
serangan-serangan yang dilancarkan Toan Wie Kic dan Lam
Kiong Bie Liong, bahkan amat penasaran, karena senjata
mereka sama sekali tidak dapat menyentuh pakaian Tu Siao
Cui. Namun diam-diam mereka sangat kagum akan
kepandaiannya. Walau dengan tangan kosong, tapi Tu Siao
Cui sama sekali tidak kelihatan terdesak.
Belasan jurus kemudian, malah Toan Wie Kie dan Lam
Kiong Bie Liong yang tampak berada di bawah angin.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Kepandaian kalian
cuma begitu saja" Hi hi hi! liga jurus lagi kalian pasti roboh!"
"Jangan sombong!" bentak Toan Wie Kie dan mulai
menyerangnya dengan jurus-jurus andalannya.
Begitu pula Lam Kiong Bie Liong, ia pun mulai
mengeluarkan jurus andalannya untuk merobohkan Tu Siao
Cui. Ketika Toan Wie Kie mengeluarkan jurus Hai Lang Soh Ngai
(Ombak Menyapu Daratan), Lam Kiong Bie Liong
mengeluarkan jurus Jit Liak Sauh Te (Terik Surya Membakar
Bumi). Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya kedua jurus
serangan itu. Tu Siao Cui diserang dari dua arah. Itu
membuatnya cukup repot juga. Akan tetapi, mendadak
badannya berputar-putar meluncur ke atas, jari telunjuknya
bergerak-gerak ke arah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie
Liong. Ternyata Tu Siao Cui mulai balas menyerang dengan ilmu
Hian Goan Ci, menggunakan jurus Hung Sui Soh Te (Air Bah
Menerjang Bumi).
Casss! Cessss! Terdengar benturan suara halus, kemudian
terdengar pula suara jeritan.
Aaaakh! Aaaakh...! Yang menjerit itu ternyata Toan Wie Kie
dan Lam Kiong Bie Liong.
Mereka berdua terkulai di lantai. Gouw Sian Eng dan Toan
Pit Lian segera berlari mendekati mereka dengan wajah
cemas. "Kakak Kie, bagaimana engkau?" tanya Gouw Sian Eng
pada suaminya. "Kakak Liong! Engkau... engkau terluka?" tanya Toan Pit
Lian cemas. "Bagaimana keadaan lukamu?"
"Kami... kami..." sahut Toan Wie Kie lemah. "Badanku tak
bisa bergerak, mungkin... mungkin aku sudah lumpuh."
"Apa?" Bukan main terkejutnya Gouw Sian Eng. "Coba
kerahkan lweekangmu!"
"Sudah kucoba, tapi...." Toan Wie Kie menggelenggelengkan
kepala. "Hawa murniku tidak dapat dihimpun."
"Jadi...." Wajah Gouw Sian Eng memucat. "Kepandaianmu
telah musnah?"
"Kira-kira begitulah." Toan Wie Kie menghela nafas
panjang. "Aku...."
"Kakak Kie...." Air mata Gouw Sian Eng mulai meleleh.
Bagaimana keadaan Lam Kiong Bie Liong" Keadaannya
juga seperti Toan Wie Kie, sama sekali tidak bisa bergerak.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Tadi aku sudah
bilang, dalam dua puluh jurus kalian berdua pasti roboh di
tanganku, sudah kubukti-kan. Hi hi hi!"
"Perempuan jahat!" bentak Lam Kiong Soat Lan. "Engkau
kejam! Kenapa melukai ayahku?"
"Aku tidak kejam," sahut Tu Siao Cui. "Kalau aku kejam,
mereka berdua sudah jadi mayat."
"Soat Lan...." Lam Kiong Bie Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Diamlah!"
"Ayah, aku dan Beng Kiat harus melawannya," ujar Lam
Kiong Soat Lan sambil memandang loan Beng Kiat. "Ayoh, kita
serang dia!"
"Baik." Toan Beng Kiat mengangguk.
"Soat Lan, Beng Kiat!" bentak Toan Hong
Ya. "Kalian berdua tidak boleh menyerangnya!"
"Kakek," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Dia telah melukai
ayah, aku harus membalas."
"Kakek," sambung Toan Beng Kiat. "Kami berdua akan
bertanding dengan dia."
"Tidak boleh!" bentak Toan Hong Ya lagi sambil
mengerutkan kening, kemudian memandang Tu Siao Cui
seraya berkata, "Nona Tu, aku harap engkau segera
menyembuhkan mereka!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa. "Sesuai dengan perjanjian,
kalau aku menang, aku berkuasa di sini. Apabila kalah, aku
akan pergi. Nah, buktinya aku yang menang. Maka akulah
yang berkuasa di sini. Hi hi hi...!"
"Omitohud!" Terdengar suara pujian Budha yang
menggetarkan hati. Tak lama muncullah seorang padri tua,
yang tidak lain adalah Tayli Lo Ceng.
Begitu melihat padri tua itu, bcrserilah wajah Toan Hong
Ya, sekaligus bersujud.
"Bangunlah!" Tayli Lo Ceng tersenyum lembut.
Toan Hong Ya bangun dan kembali ke tempat duduknya.
Segeralah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan berlutut di
hadapan padri tua itu.
"Guru!" panggil mereka.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangunlah murid-muridku!" ucap Tayli Lo Ceng.
"Ya, Guru." Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
bangkit berdiri.
Sementara Tu Siao Cui terus memandang Tayli Lo Ceng.
Ketika padri tua itu mengarah padanya, wanita itu berkata
sambil tertawa dingin.
"Padri sialan! Kebetulan engkau muncul, aku memang
sedang mencarimu!"
"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Nona, cepatlah
sembuhkan mereka!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Kenapa aku harus
menyembuhkan mereka?"
"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil menatapnya tajam.
"Siapa engkau" Kenapa hatimu begitu kejam?"
"Padri sialan?" sahut Tu Siao Cui. "Dengarlah baik-baik! Aku
bernama Tu Siao Cui. Apakah engkau sudah lupa?"
"Tu Siao Cui! Tu Siao Cui..." gumam Tayli Lo Ceng. "Aku
memang sudah lupa."
"Padri sialan, bukankah engkau sangat mahir meramal"
Cobalah ramal siapa diriku ini!" ujar Tu Siao Cui sambil
tertawa dan menambahkan. "Aku tidak berhati kejam lho!
Buktinya aku tidak membunuh mereka, hanya melumpuhkan
mereka." "Itu membuktikan engkau berhati kejam," sahut Toan Beng
Kiat. "Engkau ke mari mencari guruku, tapi justru melukai
ayahku." "Bocah!" Tu Siao Cui tertawa. "Mereka berdua bertanding
denganku, bahkan aku melawan iiu-rcka dengan tangan
kosong. Aku menang ka-n-na kepandaianku lebih tinggi.
Bagaimana kalau tadi aku yang terluka" Apakah engkau akan
mengatai ayahmu berhati kejam?"
"Aku...." Toan Beng Kiat menundukkan kepala.
"Nah!" Tu Siao Cui tersenyum. "Makanya jadi orang
haruslah bertindak adil dan bijaksana seperti Tio Bun Yang!"
"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng. "Sebetulnya ada urusan
apa engkau ke mari mencari aku?"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Tentunya engkau
sudah tahu akan kehadiranku di sini. Kalau tidak, bagaimana
mungkin engkau muncul tepat pada waktunya?"
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng tersenyum. "Engkau masih
muda, tapi mulutmu sungguh tajam!"
"Padri sialan, kini engkau sudah tua sehingga jadi pikun.
Masa engkau tidak mengenali aku lagi" Cobalah ingat!"
"Aku betul-betul tidak ingat lagi." Tayli Lo Ceng
menggeleng-gelengkan kepala.
"Padri sialan, kita pernah bertemu."
"Kita pernah bertemu" Kapan dan di mana?"
"Delapan puluh tahun lampau, pada waktu itu aku dituntun
oleh Thian Gwa Sin Hiap-Tan Liang Tie. Nah, sudah ingatkah
sekarang?"
"Apa?" Tayli Lo Ceng terbelalak. "Engkau adalah gadis kecil
itu" Bagaimana mungkin?"
"Aku memang gadis kecil itu, namaku Tu Siao Cui. Thian
Gwa Sin Hiap adalah guruku."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa engkau menyamar sebagai dirinya" Apakah Tu Siao
Cui itu gurumu?"
"Aku adalah Tu Siao Cui. Hi hi hi! Engkau lidak percaya
kan" Tapi aku masih ingat apa yang engkau pesankan kepada
Thian Gwa Sin Hiap delapan puluh tahun yang lampau."
"Omitohud! Aku sudah lupa. Beritahukan-lah!"
"Engkau berpesan kepada Thian Gwa Sin Hiap harus
berhati-hati padaku. Padri sialan, engkau sudah ingat itu?"
"Jadi...." Tayli Lo Ceng tertegun. "Betul engkau adalah
gadis kecil itu?"
"Betul." Tu Siao Cui mengangguk. "Pada waktu itu
julukanmu adalah Tayli Sin Ceng, bernama Kong Sun Hok. Ya,
kan?" "Tidak salah." Tayli Lo Ceng menatapnya tajam, kemudian
menghela nafas panjang. "Engkau memang serupa dengan
gadis itu, tapi...."
"Padri sialan!" Tu Siao Cui tertawa. "Tentu M'iupa karena
aku memang dia."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-plengkan kepala.
"Engkau kok masih tampak begitu muda, padahal usiamu
sudah delapan puluh lebih."
"Aku mengalami suatu kemujizatan, maka membuat diriku
jadi muda kembali seperti gadis berusia dua puluhan." Tu Siao
Cui memberitahukan. "Namun enam puluh tahun lebih aku
tersiksa dan menderita di dalam goa. Belum lama ini aku baru
bebas sekaligus memunculkan diri di rimba persilatan."
"Omitohud! Syukurlah kalau begitu!" ucap Tayli Lo Ceng.
Kini padri tua itu sudah yakin, bahwa gadis yang berdiri di
hadapannya itu adalah Tu Siao Cui, murid adik
seperguruannya yang memiliki kitab pusaka Hian Goan Cin
Keng. "Oh ya, bagaimana keadaan Thian Gwa Sin Hiap adik
seperguruanku itu?"
"Dia sudah mati," sahut Tu Siao Cui dingin dan menutur.
"Setelah aku berusia dua puluh lebih, aku pergi menyelidiki
kematian kedua orang tuaku. Ternyata guruku yang
membunuh mereka."
"Oh?" Tayli Lo Ceng mengerutkan kening. "Jelaskanlah!"
"Sebetulnya kedua orang tuaku adalah perampok budiman.
Mereka merampok demi menolong orang-orang miskin," sahut
Tu Siao Cui dengan wajah dingin. "Akan tetapi, Thian Gwa Sin
Hiap justru membunuh kedua orang tuaku karena membela
seorang hartawan yang selalu bertindak sewenang-wenang."
"Omitohud!"
"Mungkin Thian Gwa Sin Hiap merasa menyesal, maka
datang ke rumahku sekaligus membawaku pergi. Di saat itulah
bertemu engkau padri sialan."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Adik
seperguruanku tidak sengaja membunuh kedua orang tuamu."
"Sengaja atau tidak, dia tetap pembunuh kedua orang
tuaku!" sahut Tu Siao Cui gusar. "Seharusnya dia selidiki dulu,
barulah turun tangan! Namun dia tidak bertanya ini itu,
langsung membunuh kedua orang tuaku! Karena itu, aku
membalas dendam!"
"Engkau membunuh adik seperguruanku itu?" Tayli Lo
Ceng terbelalak.
"Ya." Tu Siao Cui mengangguk. "Tapi dia pun berhasil
memukulku sehingga membuat aku jadi lumpuh puluhan
tahun lamanya."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala
dan bertanya, "Lalu ada urusan apa engkau ke mari
mencariku?"
"Ingin menghukummu!"
"Oh?" Tayli Lo Ceng mengerutkan kening. "Apa salahku
maka engkau ingin menghukumku?"
"Delapan puluh tahun lampau, engkau menyuruh Thian
Gwa Sin Hiap berhati-hati padaku, secara tidak langsung
engkau menyuruhnya melenyapkan diriku." sahut Tu Siao Cui
menam-liahkan. "Seharusnya di saat itu engkau bertanya
kepadanya tentang diriku, kemudian engkau pun harus
menghukumnya. Tapi engkau tidak melakukan itu, sebaliknya
malah menyuruhnya berhati-liati terhadapku. Oleh karena itu,
hari ini aku harus menghukummu."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Tu
Siao Cui, engkau telah membunuh Thian Gwa Sin Hap, dan
kini engkau pun telah melukai mereka berdua. Apakah engkau
belum merasa puas?"
"Hi hi hi!" sahut Tu Siao Cui dengan tawa cekikikan. "Thian
Gwa Sin Hiap pernah bilang, engkau adalah padri sakti.
Karena itu, aku ingin menjajal kesaktian apa yang engkau
miliki." "Omitohud!" Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.
"Tu Siao Cui, itu tidak perlu. Engkau harus ingat akan dirimu
yang muda kembali, itu merupakan suatu berkah.
Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa, jangan membuat
dosa!" "Padri sialan, aku ingin bertanya," Tu Siao Cui menatapnya.
"Pernahkah engkau berbuat suatu dosa?"
"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Setiap manusia tidak
akan terlepas dari suatu dosa. Kalau tahu pernah berbuat
dosa, haruslah bertobat sekaligus menebusnya dengan
perbuatan baik."
"Bagus! Bagus! Kalau begitu, engkau harus bertanding
denganku!" ujar Tu Siao Cui sungguh-sungguh. "Apabila
engkau mampu mengalahkan aku, tentu aku akan
menyembuhkan mereka, bahkan juga akan meninggalkan
istana Tayli ini. Tapi seandainya engkau kalah, maka akulah
yang berkuasa di sini. Hi hi hi...."
"Tu Siao Cui!" Tayli Lo Ceng mengerutkan kening. "Asal
engkau tidak berlaku sewenang-wenang di sini, aku bersedia
mengaku kalah terhadapmu. Bagaimana?"
"Dasar licik!" sahut Tu Siao Cui. "Aku pun bersedia
mengaku kalah terhadapmu, asal aku berkuasa di sini."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Tu
Siao Cui...."
"Guru," ujar Toan Beng Kiat yang sangat penasaran. "Biar
aku dan Soat Lan bertanding dengan nenek sombong itu!"
"Beng Kiat, jangan turut campur!" sahut Tayli Lo Ceng
berwibawa. "Engkau diam saja."
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa dan berkata, "Kalian berdua
bukan tandinganku, jangan sok jago!"
"Nenek jahat!" bentak Lam Kiong Soat Lan. "I ngkau telah
melukai ayahku, aku harus membalas!"
"Gadis kecil!" Tu Siao Cui tertawa. "Hi hi hi! Apakah aku ini
mirip nenek jahat?"
"Wajahmu masih muda, tapi usiamu sudah delapan puluh
lebih! Aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil saja kakak!"
"Kakak jahat sekali!" Lam Kiong Soat Lan menudingnya.
"Aku harus membalas!"
"Suruhlah gurumu bertanding dengan aku, bukankah dia
akan mewakili kalian membalasku?" sahut Tu Siao Cui sambil
tersenyum, kemudian memandang Tayli Lo Ceng. "Padri
sialan! Aku dengar engkau memiliki Hud Bun Pan Yok Sin
Kang dan Kim Kong Cap Sah Ciang, karena itu aku ingin
menjajal ilmu-ilmumu itu!"
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.
"Apakah aku tiada pilihan lain lagi?"
"Pilihanmu hanya bertanding denganku!"
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan
kepala. "Kalau begitu apa boleh buat!"
"Bagus! Bagus!" Tu Siao Cui tampak gembira sekali. "Kalau
aku kalah, aku pasti menyembuhkan mereka dan
meninggalkan istana ini. Namun seandainya engkau yang
kalah, maka akulah yang berkuasa di sini. Toan Hong Ya juga
harus menuruti perintahku, ini merupakan pertandingan
bersyarat. Bagaimana?"
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng memandang Toan Hong Ya.
"Aku setuju," sahut Toan Hong Ya cepat.
"Tidak akan menyesal?" tanya Tu Siao Cui.
"Ha ha ha!" Toan Hong Ya tertawa gelak. "Apabila Tayli Lo
Ceng kalah, engkau boleh berkuasa di sini dan duduk di
singgasanaku ini!"
"Oh, ya?" Tu Siao Cui tertawa gembira. "Baik. Tapi engkau
jangan menyesal!"
"Aku tidak akan menyesal," sahut Toan Hong Ya sungguhsungguh.
"Nah, kalian boleh mulai bertanding!"
"Bagus! Bagus!" Tu Siao Cui tertawa lgi. "Padri sialan,
tentunya kita bertanding tanpa senjata kan?"
Seruling Samber Nyawa 11 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pendekar Bayangan Setan 11
kutangkap, tentunya dia tidak akan tiba di markas pusat Kay
Pang. Nah, bukankah itu akan mencemaskan pihak Kay
Pang?" "Maksud Kauwcu menyanderanya?" tanya Pat Pie Lo Koay.
"Kira-kira begitulah," Seng Hwee Sin Kun manggutmanggut.
"Setelah itu, barulah kita kirim berita ke markas
pusat Kay Pang, agar mereka datang ke mari. Di saat itulah
kita membantai mereka."
"Betul." Pek Bin Kui mengangguk. "Kita harus bertindak
begitu." "Tapi...." Pat Pie Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu pasti akan mengundang kemarahan pihak Pulau Hong
Hoang To, yang tentunya akan membahayakan Seng Hwee
Kauw." "Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bhak.
"Aku justru ingin memancing mereka ke mari, kalian harus
tahu. Kepandaianku kini boleh dikatakan sudah tiada tanding
di kolong langit. Nah, apa yang harus ditakuti?"
Pat Pie Lo Koay diam, sedangkan yang lain justru tertawa
gembira. Berselang sesaat Seng Hwee Sin Kun berkata.
"Kalian berempat cepat pergi menangkap Siang Koan Goat
Nio, tapi jangan melukainya! Pergunakan bom asap agar dia
pingsan, barulah kalian tangkap!"
"Ya, Kauwcu," sahut mereka berempat, lalu berangkat pergi
untuk menangkap Siang Koan Goat Nio.
-oo0dw0oo- Siang Koan Goat Nio terus melakukan perjalanan menuju
markas pusat Kay Pang. Ketika sampai di tempat yang sepi,
mendadak melayang turun beberapa orang di hadapannya.
Mereka ternyata Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay
dan Tok Chiu Ong.
"Ha ha ha!" Leng Bin Hoatsu tertawa seraya berkata.
"Nona, kita bertemu lagi!"
"Kalian mau apa?" tanya Siang Koan Goat Nio dingin sambil
mengeluarkan sulingnya.
"Nona," sahut Pat Pie Lo Koay memberitahukan. "Kami ke
mari bermaksud mengundangmu ke markas kami, itu adalah
perintah Kauwcu kami "
"Bagaimana kalau aku menolak?"
"Kami terpaksa harus menggunakan kekerasan," ujar Leng
Bin Hoatsu. "Oleh karena itu, kami harap Nona menurut!"
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin. "Aku tidak
akan menurut, pokoknya aku akan melawan mati-matian!"
"Baik!" Leng Bin Hoatsu tertawa dan berseru. "Mari kita
serang Nona Siang Koan ini!"
Seketika mereka berempat langsung menyerang Siang
Koan Goat Nio dengan tangan kosong. Gadis itu bergerak
cepat berkelit, kemudian balas menyerang dengan sulingnya,
menggunakan ilmu Cap Pwee Kim Siauw Ciat Hoat (Delapan
Belas Jurus Maut Suling Emas).
Akan tetapi, belasan jurus kemudian Siang Koan Goat Nio
tampak mulai berada di bawah angin. Di saat itulah ia
menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh
Keliling) ciptaan Tio Cie Hiong.
Begitu Siang Koan Goat Nio menggunakan ilmu tersebut,
Leng Bin Hoatsu dan lainnya segera meloncat ke belakang.
Pek Bin Kui merogoh ke dalam bajunya, mengeluarkan suatu
benda ber- bentuk bulat, lalu dilemparkannya ke arah gadis
itu. Daaar! Benda itu meledak dan mengeluarkan asap.
"Haaah...?" Siang Koan Goat Nio terperanjat.
Ia tahu asap itu mengandung racun, tapi sudah tidak
sempat menutup pernafasannya, akhirnya ia terkulai pingsan.
"Ha ha ha!" Pek Bin Kui tertawa. "Kita berhasil, Kauwcu
pasti gembira sekali!"
"Mari kita bawa dia pulang!" sahut Leng Bin Hoatsu.
"Jangan membuang waktu di sini!"
"Baik." Pat Pie Lo Koay mengangguk, kemudian
membopong Siang Koan Goat Nio.
"Ha ha ha!" Leng Bin Hoatsu tertawa gelak.
"Mari kita kembali ke markas!"
-ooo0dw0oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Betapa gembiranya Seng Hwee Sin Kun karena Siang Koan
Goat Nio sudah tertangkap. Pat Pie Lo Koay menaruh gadis itu
ke bawah. Ternyata gadis itu masih dalam keadaan pingsan.
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun terus tertawa terbahakbahak.
"Kini gadis itu berada di tangan kita, pihak Kay Pang
pasti cemas sekali!"
"Kauwcu," tanya Pat Pie Lo Koay. "Kapan Kauwcu akan
mengutus orang ke markas Kay Pang?"
"Tidak perlu begitu cepat," sahut Seng Hwee Sin Kun. "Aku
ingin membuat pihak Kay Pang dan pihak Pulau Hong Hoang
To dicekam rasa gelisah terutama kedua orang tua gadis itu!
Ha ha ha...!"
"Kauwcu,"ujar Pek Bin Kui mengusulkan,
"Bagaimana kita musnahkan kepandaiannya?"
"Itu ..."Seng Hwee Sin Kun tampak ragu,
"Tidak perlu,"sela Pat Pie Lo Koay cepat.
"Kalau kita memusnahkan kepandaian gadis itu, sama juga
mempermalukan Seng Hwee kauw, bukan?"
"Benar," Seng Hwee kauwcu manggut-manggut. "Kalau
begitu,kurung saja dia dan biarkan dia sadar sendiri."
"Ya" PatPie Lo Koay mengangguk,sekaligus membopong
Siang Koan Goat Nio lalu dibawa ke dalam. Berselang sesaat,
Pat Pie Lo Koay sudah kembali ke ruang depan.
"Bagaimana?"tanya Seng Hwee Sin Kun.dis itu sudah
dikurung?"
"Sudah, Kauwcu" Pat Pie Lo Koay mengangguk.
"Baiklah" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut.
"Sekarang kalian boleh beristirahat."
"Terimakasih, Kauwcu!"ucap mereka sentak, kemudian
pergi ke kamar masing-masing
Begitu memasuki kamar, Pat Pie Lo Koay berjalan mondarmandir
dengan kening berkerut-kerut, kelihatannya ia sedang
memikirkan sesuatu, berselang beberapa saat kemudian ia
manggut-manggut epertinya sudah mengambil suatu
keputusan. Malam harinya, Pat Pie Lo Koay berjalan berendap-endap
menuju halaman belakang, lalu melesat ke atas sebuah
pohon. Sungguh di luar dugaan, ternyata ada seekor burung
merpati di atas pohon itu.
Pat Pie Lo Koay mengikat sesuatu di kaki burung merpati
itu, kemudian menepuk kepala burung merpati tersebut seraya
berkata "Cepatlah engkau terbang ke markas Ngo Tok Kauw, tapi
harus berhati-hati!" Burung merpati itu manggut-manggut,
lalu terbang meluncur ke angkasa. Pat pie Lo Koay menghela
nafas lega, dan segera kembali ke kamarnya.
-ooo0dw0ooo- Perlahan-lahan Siang Koan Goat Nio membuka matanya,
ternyata gadis itu telah sadar dan tampak tercengang karena
mendapatkan dirinya berada di dalam kamar batu.
"Eh" Aku berada dimana?" gumamnya sambil menengok ke
sana ke mari. "Apakah aku sudah ditangkap?"
Siang Koan Goat Nio mencoba menghimpun lweekangnya,
namun tidak berhasil karena sekujur badannya masih lemas.
"Haaah?" Gadis itu terkejut bukan main. "Aku telah
kehilangan hawa murni?"
Mendadak pintu kamar batu itu terbuka, Pat Pie Lo Koay
berjalan ke dalam. Begitu melihat Pat Pie Lo Koay itu, Siang
Koan Goat Nio menudingnya.
"Cepat lepaskan aku! Cepaaat!"
"Tenang, Nona!" sahut Pat Pie Lo Koay. "Kauwcu kami ingin
menemuimu, mari ikut aku ke ruang depan!"
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin. "Aku tidak
sudi menemui Seng Hwee Sin Kun yang licik itu!"
"Nona...." Pat Pie Lo Koay menatapnya dalam- dalam. "Mari
ikut aku agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan!"
Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening, lama sekali
barulah mengangguk, lalu bersama Pat Pie Lo Koay menuju
ruang depan. "Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Apa kabar,
Nona Siang Koan" Tentunya engkau baik-baik saja, bukan?"
"Hmm!" dengus Siang Koan Goat Nio dingin.
"Silakan duduk, Nona Siang Koan!" ucap Seng Hwee Sin
Kun. Siang Koan Goat Nio duduk, Seng Hwee Sin Kun
menatapnya tajam, kemudian tertawa seraya berkata.
"Ha ha ha! Tahukah engkau kenapa kami menangkapmu?"
"Tahu," sahut Siang Koan Goat Nio. "Pertanda kalian semua
pengecut!"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kalau kami
pengecut, engkau pasti sudah jadi mayat!"
"Oh?" Siang Koan Goat Nio tertawa dingin. "Kalau begitu,
cepatlah bunuh aku!"
"Bunuh engkau?" Seng Hwee Sin Kun tertawa lagi. "Kami
tidak akan membunuhmu, hanya mengurungmu di sini saja."
"Seng Hwee Sin Kun, lebih baik engkau segera melepaskan
aku!" bentak Siang Koan Goat Nio. "Kalau tidak...."
"He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh.
"Engkau harus tahu apa sebabnya aku mengurungmu di sini!
Itu agar pihak Kay Pang dan pihak Pulau Hong Hoang To ke
mari, karena aku ingin membunuh mereka semua!"
"Oh?" Siang Koan Goat Nio tidak terkejut, sebaliknya malah
tertawa dingin dan berkata. "Seng Hwee Sin Kun, jangan
menyombongkan diri! Mungkin engkau yang akan mati di
tangan Kakak Bun Yang!"
"Maksudmu Giok Siauw Sin Hiap itu?"
"Ya."
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kalau
waktu itu monyet bulu putih tidak menangkis pukulanku, Giok
Siauw Sin Hiap pasti sudah mati!"
"Hm!" dengus Siang Koan Goat Nio, kemudian bertanya
mendadak. "Seng Hwee Sin Kun, kenapa engkau begitu
dendam kepada kami?"
"Karena aku memang punya dendam dengan pihak Kay
Pang dan pihak Pulau Hong Hoang To!" Seng Hwee Sin Kun
memberitahukan. "Terutama terhadap Kou Hun Bijin itu,
karena gara- gara dia kakak seperguruanku mati di tangan
Kwan Gwa Siang Koay dan Ngo Kui!"
"Oh?" Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening. Ia
memang cerdik maka tidak membocorkan identitas dirinya.
"Pat Pie Lo Koay, bawa dia ke dalam kamar batu itu!" ujar
Seng Hwee Sin Kun. "Dan jangan lupa beri dia minum racun
pelemas badan!"
"Ya, Kauwcu." Pat Pie Lo Koay mengangguk, kemudian
membawa Siang Koan Goat Nio ke kamar batu.
Gadis itu menurut, karena tahu bahwa melawan pun
percuma, bahkan akan membahayakan dirinya. Namun ia
tetap berharap Tio Bun Yang akan muncul menolongnya.
-oo0dw0ooo- Sementara itu, Tio Bun Yang telah sampai di markas pusat
Kay Pang. Akan tetapi, Siang Koan Goat Nio tidak berada di
markas itu. "Jadi...." Lim Peng Hang menatapnya. "Engkau tidak
bertemu Goat Nio di Gunung Thian San?"
"Tidak." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Menurut Ngo Tok Kauwcu, Goat Nio tidak ke Gunung Thian
San." "Kenapa Ngo Tok Kauwcu mengatakan begitu?" Lim Peng
Hang heran. "Sebab siapapun yang pergi ke Gunung Thian San, harus
melalui Kota Kang Shi," jawab Tio Bun Yang memberitahukan.
"Tapi para anggota Ngo Tok Kauw sama sekali tidak melihat
Goat Nio di kota itu. Maka Ngo Tok Kauwcu berkesimpulan,
bahwa Goat Nio tidak pergi ke Gunung Thian San."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kalau begitu,
pergi ke mana Goat Nio?"
"Mungkinkah..." ujar Gouw Han Tiong dengan kening
berkerut-kerut, "telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Goat Nio berkepandaian cukup tinggi, tidak mungkin akan
terjadi sesuatu atas dirinya," sahut Lim Peng Hang.
"Lalu kenapa tiada kabar beritanya?" Gouw Han Tiong
menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan. "Bun Yang,
lebih baik engkau tunggu disini. Engkau jangan ke manamana,
jadi kalian tidak akan selisih jalan lagi!"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku merasa heran,
sebetulnya dia pergi ke mana" Kenapa tiada jejaknya sama
sekali?" "Begini," ujar Lim Peng Hang sungguh-sungguh. "Kakek
akan menyuruh beberapa orang menyelidiki jejak Goat Nio,
engkau tinggal di sini saja,"
"Ya, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk. Wajahnya tampak
cemas dan muram sekali. "Seandainya Goat Nio terjadi
sesuatu...."
"Bun Yang!" Gouw Han liong tersenyum. ''Jangan
memikirkan yang bukan-bukan! Goat Nio tidak akan terjadi
apa-apa. Percayalah!"
"Mudah-mudahan!" ucap Tio Bun Yang. Kemudian
mendadak ia teiingat sesuatu. "Oh ya, apakah Kakek pernah
mendengar tentang Bu Ceng Sianli?"
"Bu Ceng Sianli?" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Kakek tidak pernah mendengar tentang dia.
Mungkinkah dia adalah pendekar wanita yang baru muncul di
rimba persilatan! Engkau bertemu dia?"
"Aku memang telah bertemu Bu Ceng Sianli tu." Tio Bun
Yang memberitahukan sambil menghela nafas. "Dia cantik
jelita berusia dua puluhan, namun berhati kejam. Dia
membunuh orang seperti membunuh semut."
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Dia
membunuh siapa?"
"Membunuh Hek Sim Popo...." Tio Bun Yang menutur
tentang kejadian itu dan menambahkan. "Bahkan dia pun
ingin membunuh para anggota Seng Hwee Kauw, tapi aku
mencegahnya."
"Kenapa dia membunuh pihak Seng Hwee Kauw?" Gouw
Han Tiong heran. "Apakah dia punya dendam dengan pihak
Seng Hwee Kauw?"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebetulnya dia tidak punya dendam apa pun dengan pihak
Seng Hwee Kauw, hanya dikarenakan para anggota Seng
Hwee Kauw menggodanya, maka dia membunuh mereka."
"Engkau bentrok dengan Bu Ceng Sianli itu?" tanya Lim
Peng Hang sambil menatapnya.
"tidak" Tio Bun Yang menghela nafas. "Ketika aku
mencegahnya membunuh para anggota Seng Hwee Kauw, dia
tampak gusar tapi kemudian malah menuruti perkataanku."
"Engkau tahu namanya dan bagaimana kepandaiannya?"
tanya Gouw Han Tiong.
"Dia bernama Tu Siao Cui kepandaiannya tinggi sekali,"
jawab Tio Bun Yang memberitahukan. "Hanya Belasan jurus
dia telah berhasil membunuh Hek Sim Popo."
"Oh?" Lim Peng Hang terperanjat. "Kalau begitu,
kepandaiannya memang tinggi sekali."
"Bun Yang," tanya Gouw Han Tiong. "Enakau tahu siapa
gurunya?" "Tidak tahu." Tio Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala.
"Aku justru bingung memikirkannya."
"Kenapa bingung?" Lim Peng Hang menatapnya tajam.
"Kakek jangan salah paham!" ujar Tio Bun Yang dengan
wajah agak kemerah-merahan. "Yang kupikirkan adalah
identitasnya, sebab aku pernah bertemu Thian Gwa Sin Hiap
di dalam goa, di Gunung Hong San...."
Tio Bun Yang menutur tentang itu. Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong mendengar dengan penuh peihatian.
"Thian Gwa Sin Hiap..." gumam Lim Peng liang seusai Tio
Bun Yang menutur, kemudian bertanya kepada Gouw Han
Tiong. "Engkau pernah mendengar tentang Thian Gwa Sin
Hiap dan Tu Siao Cui?"
"Tidak pernah" Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.
"Kalau begitu..." ujar Lim Peng Hang. "Bu Ceng Sianli-Tu
Siao Cui itu bukan Tu Siao Cui, murid Thian Gwa Sin Hiap itu.
Mungkin kebetulan nama mereka sama, sebab Tu Siao Cui
murid Thian Gwa Sin Hiap itu sudah berusia delapan puluhan,
sedangkan Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui baru berusia dua
puluhan." "Kakek, aku pun berpikir begitu." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Tapi Bu Ceng Sianli justru mengaku, bahwa
dirinya adalah Tu Siao Cui murid Thian Gwa Sin Hiap itu."
"Menurut aku..." ujar Lim Peng Hang setelah berpikir
sejenak. "Gadis itu pasti bercanda denganmu."
"Aku pun beranggapan begitu. Tidak mungkin Bu Ceng
Sianli itu adalah Tu Siao Cui murid Thian Gwa Sin hiap." Tio
Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala. "Tapi dia justru
mengatakan, kelak aku akan mengetahuinya."
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening dan berpesan.
"Bun Yang, engkau harus berhati- hati terhadapnya. Kakek
yakin dia berasal dari golongan sesat."
"Benar, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk. "Gadis itu
memang memiliki ilmu sesat. Dia... dia menggunakan ilmu
sesat itu untuk merangsang diriku."
"Bagaimana engkau?" tanya Lim Peng Hang tegang.
"Apakah engkau terangsang olehnya?"
"Tidak." Tio bun Yang tersenyum. "Kakek sudah lupa ya"
Aku memiliki ilmu Penakluk Iblis "
"Oooh!" lim Peng Hang manggut-manggut sambil menarikk
nafas lega. "Kakek melupakan itu."
"Kakek," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Kalau aku
tidak memiliki ilmu Penakluk Iblis, mungkin akan terangsang."
"Bun Yang," tanya Gouw Han Tiong mendadak. "Bagaimana
cara gadis itu merangsangmu?"
"Caranya... " Tio Ban Yarg memberitahukan dengan wajah
agak kemerah-merahan, kemudian menambahkan. "Aku
mengeluarkan sulingku sekaligus meniupnya, akhirnya dia
tersentak sadar."
"Bukan main!" Gouw Han Tiong menggeleng- gelengkan
kepala "lelaki mana yang tidak akan terangsang?"
"Tapi?" Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Menurut aku,
dia cuma ingin mcncoba dirimu."
"Kenapa Kakek mengatakan begitu?" Tio Ban Yang heran.
"Coba engkau pikir, para anggota Seng Hwee Kauw
menggodanya, dia langsung membunuh mereka tanpa ampun!
Berarti dia bukan gadis yang bukan-bukan. Namun
terhadapmu, dia malah...." Lim Peng Hang menjelaskan. "Nah,
bukankah dia ingin mencoba bagaimana keteguhan imanmu?"
"Benar juga, Kakek." 'Tio Bun Yang tersenyum. "Aku sama
sekali tidak berpikir sampai ke situ, tapi dia bilang suka
kepadaku. Itu sungguh memusingkan pikiranku'"
"Tidak apa-apa," sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.
"Mungkin dia telah menganggapmu sebagai adik, maka berani
mencetuskan ucapan itu."
"Kakek, aku memang berharap begitu. Kalau tidak, repotlah
aku," ujar Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Karena Goat Nio akan menaruh salah paham padaku."
"Jangan khawatir!" Lim Peng Hang tersenyum. "Kakek akan
menjelaskan kepada Goat Nio."
"Terimakasih, Kakek! Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
"Tapi entah kapan Goat Nio akan muncul di sini! Aku... aku
mengkhawatirkannya."
"Tenang saja!" ujar Lim Peng Hang menghiburnya.
"Percayalah Goat Nio tidak akan terjadi apa-apa."
"Yaaah!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. Mudahmudahan
dia tidak akan terjadi apa- apa!"
-ooo0dw0ooo- Bagian ke empat puluh tiga
Berkumpul di Markas Pusat Kay Pang
Kini kepandaian Kam Hay Thian sudah maju pesat dan
lweekangnya pun bertambah tinggi Oleh karena itu, ia
memohon pamit kepada Tio Cie Hiong.
"Paman, aku ingin kembali ke Tionggoan."
"Ngmm!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Memang sudah
waktunya engkau kembali ke Tionggoan, tapi engkau harus
ingat! Jangan terlampau gampang membunuh orang, sebab
akan menimbulkan karma buruk bagi dirimu sendiri! Ingatlah
itu!" "Ya, Paman." Kam Hay Thian mengangguk.
"Hay Thian!" Lim Ceng Im menatapnya seraya berkata.
"Hui San adalah gadis yang baik, bahkan sangat mencintaimu.
Oleh karena itu, janganlah engkau menyia-nyiakannya!"
"Bibi...." Kam Hay Thian mengerutkan kening.
"Engkau tidak mencintainya?" tanya Lim Ceng Im sambil
menatapnya tajam.
"Aku...." Kam Hay Thian menundukkan kepala. "Aku...."
"Hay Thian!" Lim Ceng Im menghela nafas panjang. "Kalau
menolak cintanya, engkau pasti akan menyesal."
Kam Hay Thian tidak menyahut.
Tio Cie Hiong memandangnya, kemudian menggelenggelengkan
kepala. "Cinta memang tidak bisa dipaksakan, namun... Hui San
merupakan gadis yang lemah lembut, bahkan boleh dikatakan
dia yang menyelamatkan nyawamu. Engkau harus ingat itu!"
katanya. "Aku pasti ingat, Paman," ujar Kam Hay Thian. "Tapi
mengenai soal cinta, memang tidak bisa dipaksa."
"Baiklah." Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Besok pagi
engkau boleh kembali ke Tionggoan."
Dalam waktu bersamaan, muncullah Lie Ai Ling dan Sie
Keng Hauw. Keduanya lalu menghampiri Kam Hay Thian
sambil tersenyum.
"Hay Thian," ujar Sie Keng Hauw sambil memandangnya.
"Adikku mencarimu ke mana- mana, ternyata engkau berada
di sini!" "Aku mohon pamit kepada Paman dan Bibi." Kam Hay
Thian memberitahukan. "Besok pagi aku akan kembali ke
Tionggoan!"
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Besok pagi engkau akan
kembali ke Tionggoan?"
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Lalu bagaimana Hui San?" tanya Lie Ai Ling tanpa sadar.
"Engkau tidak mengajaknya?"
"Aku...." Kam Hay Thian menundukkan kepala.
"Ai Ling," ujar Sie Keng Hauw. "Bagaimana kalau kita dan
Hui San juga berangkat ke Tionggoan?"
"Setuju," sahut Lie Ai Ling dengan wajah berseri.
"Ai Ling," ujar Lim Ceng Im sambil menatapnya. "Lebih baik
engkau minta ijin kepada kedua orang tuamu dulu, Keng
Hauw juga harus ikut menghadap!"
"Ya, Bibi," sahut Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling serentak,
lalu bermohon diri.
Mereka berdua pergi menemui Lie Man Chiu dan Tio Hong
Hoa, sedangkan Kam Hay Thian masih tetap berdiri di tempat.
"Hay Thian, pergilah engkau menemui Hui San!" ujar Tio
Cie Hiong. "Beritahukan kepadanya, bahwa engkau akan
kembali ke Tionggoan esok! Kalau dia mau ikut, ajaklah!"
"Ya, Paman," Kam Hay Thian mengangguk, lalu melangkah
pergi dengan kepala tertunduk.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im saling memandang,
kemudian mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil
menghela nafas panjang.
"Aku khawatir..." ujar Tio Cie Hiong perlahan, "di antara
mereka akan terjadi sesuatu kelak."
"Maksudmu Kam Hay Thian dan Lu Hui San?" tanya Lim
Ceng Im. "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Sebab Kam Hay Thian
sangat dendam pada Lu Thay Kam, sedangkan Lu Hui San
adalah anak angkat Lu Thay Kam itu. Nah, itu...."
"Mudah-mudahan tidak akan terjadi suatu apa pun!" ucap
Lim Ceng Im. "Ya, mudah-mudahan!" sahut Tio Cie Hiong. "Namun
semua itu sudah merupakan takdir."
-ooo0dw0ooo- Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa terbelalak ketika
mendengar putrinya menyatakan ingin berangkat ke
Tionggoan. "Apa?" Lie Man Chiu menatap mereka. "Kalian berdua ingin
berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Kami ingin ke markas pusat
Kay Pang, mungkin Kakak Bun Yang dan Goat Nio berada di
sana." "Tapi...." Lie Man Chiu mengerutkan kening. "Ayah,
ijinkanlah kami ke Tionggoan!" desak Lie Ai Ling. "Sebab
besok pagi Hay Thian juga akan kembali ke Tionggoan."
"Oh?" Tio Hong Hoa tertegun. "Dia sudah mengambil
keputusan itu?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Dia sudah minta ijin kepada
paman dan bibi, kami ingin berangkat bersamanya."
"Bagaimana Hui San?" tanya Tio Hong Hoa. "Dia pasti ikut,"
sahut Lie Ai Ling. "Ibu, ijinkanlah kami ke Tionggoan!"
"Itu...." Tio Hong Hoa memandang Lie Man Chiu seraya
bertanya. "Bagaimana" Engkau memperbolehkan mereka ke
Tionggoan?"
"Kita memang tidak bisa terus menahan mereka di sini,
karena itu kita harus memperbolehkan mereka ke Tionggoan,"
sahut Tio Hong Hoa sambil tersenyum.
"Terimakasih, Ibu!" ucap Lie Ai Ling. "Terimakasih, Bibi!"
ucap Sie Keng Hauw dengan wajah berseri dan
menambahkan. "Aku pasti baik-baik menjaga Ai Ling."
"Ngmm!" Tio Hong Hoa manggut-manggut. "Bibi
mempercayaimu, tapi kalian harus langsung menuju ke
markas pusat Kay Pang!"
"Ya, Ibu." Lie Ai Ling mengangguk.
"Ingat!" pesan Lie Man Chiu. "Ada apa-apa, harus
berunding dengan Kakek Lim dan Kakek Gouw."
"Ya." Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw mengangguk. Mereka
berdua lalu pergi menemui Lu Hui San yang berada di
halaman belakang.
Sampai di tempat itu, mereka melihat Kam Hay Thian,
Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa, sedangkan Lu Hui San
menundukkan kepala.
"Ternyata kalian berkumpul di sini!" seru Lie Ai Ling sambil
tertawa. "Oh ya! Besok kami akan berangkat ke Tionggoan."
"Ai Ling," tanya Lu Hui San. "Ayah dan ibumu
memperbolehkannya?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Kalau begitu..." ujar Lu Hui San sambil memandang Sie
Keng Hauw. "Aku ikut!"
"Kami memang ingin mengajakmu." Sie Keng Hauw
tersenyum. "Besok pagi kita berempat berangkat bersama."
"Yaaah!" keluh Bokyong Sian Hoa. "Tinggal aku dan
Yatsumi di sini, sepi deh!"
"Sian Hoa!" Lie Ai Ling tersenyum. "Kalau engkau sudah
menguasai semua ilmu yang diturunkan paman, boleh
menyusul ke markas pusat Kay Pang."
"Benar." Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Kita akan
berkumpul di sana. Kakak Bun Yang dan Kakak Goat Nio pasti
berada di sana."
"Aku yang celaka," sela Yatsumi sambil menggelenggelengkan
kepala. "Akan tinggal aku seorang diri di sini. Aku
pasti kesepian."
"Begini," ujar Lie Ai Ling. "Alangkah baiknya engkau dan
Bokyong Sian Hoa berangkat bersama ke Tionggoan."
"Benar." Bokyong Sian Hoa tertawa gembira. "Yatsumi, kita
berangkat bersama nanti."
"Baik." Yatsumi mengangguk.
Keesokan harinya, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling, Sie Keng
Hauw dan Lu Hui San berpamit kepada semua orang. Setelah
itu, barulah mereka berangkat ke Tionggoan.
Dalam perjalanan menuju Tionggoan, yang paling gembira
adalah Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw. Mereka berdua terus
bersenda gurau sambil tertawa gembira.
Sebaliknya Lu Hui San dan Kam Hay Thian terus
membungkam. Itu tidak terlepas dari mata Sie Keng Hauw.
Diam-diam pemuda itu menghela nafas panjang,
"Hei!" seru Lie Ai Ling. "Kenapa kalian berdua terus
membungkam seperti orang bisu" Ber-cakap-cakaplah!"
"Aku...." Lu Hui San tersenyum getir.
"Hay Thian!" Sie Keng Hauw memandangnya. "Kenapa
engkau diam saja" Ada sesuatu terganjel dalam hatimu?"
"Tidak," sahut Kam Hay Thian sambil meng- gelenggelengkan
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala. "Aku... aku rindu sekali pada ibuku."
"Oh?" Sie Keng Hauw tersenyum. "Jadi engkau ingin pulang
menengok ibumu!"
"Entahlah." Kam Hay Thian menghela nafas panjang. "Aku
bingung sekali."
"Kenapa bingung?" tanya Lie Ai Ling sambil menatapnya.
"Apa yang engkau bingungkan" Bolehkah kami tahu?"
"Itu...." Kam Hay Thian mengerutkan kening, kelihatannya
dia tidak mau memberitahukan.
"Beritahukanlah!" desak Lie Ai Ling.
"Ai Ling, jangan mendesaknya!" cegah Sie Keng Hauw. "Itu
tidak baik."
"Aaaa...!" Mendadak Lu Hui San menghela nafas panjang.
"Mungkin dikarenakan aku."
"Kenapa dikarenakan engkau?" Lie Ai Ling tercengang.
"Karena...." Mata Lu Hui San mulai basah. "Yaaah,
sudahlah!"
"Adik!" Sie Keng Hauw memandangnya, kemudian
memandang Kam Hay Thian seraya berkata, "Apa kekurangan
adikku, sehingga engkau bersikap begitu dingin terhadapnya?"
"Kak!" Lu Hui San memandang Sie Keng Hauw sambil
menggelengkan kepala, itu agar Sie Keng Hauw diam.
"Memang," sela Lie Ai Ling sambil memandang Kam Hay
Thian dengan wajah tidak senang. "Engkau sungguh
keterlaluan, Hui San begitu baik dan amat mencintaimu, tapi
engkau malah...."
"Kalian harus tahu perasaanku," sahut Kam Hay Thian,
kemudian menghela nafas panjang. "Aku...."
"Kenapa engkau?" tanya Lie Ai Ling ketus.
"Terlampau banyak yang kupikirkan, sehingga membuat
diriku...." Kam Hay Thian menggeleng- gelengkan kepala.
"Aku mohon maaf!"
"Sudahlah!" Sie Keng Hauw tersenyum. "Biar bagaimana
pun, kita semua tetap kawan baik!"
"Terimakasih!" ucap Kam Hay Thian.
Mereka berempat melanjutkan perjalanan lagi menuju
markas pusat Kay Pang. Malam harinya mereka bermalam di
rumah penginapan. Sie Keng Hauw sekamar dengan Kam Hay
Thian, Lie Ai Ling sekamar dengan Lu Hui San.
Keesokan harinya ketika hari baru mulai terang, Lie Ai Ling
dan Lu Hui San dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Kedua
gadis itu segera meloncat bangun seraya bertanya.
"Siapa?"
"Aku!" suara sahutan Sie Keng Hauw.
Lie Ai Ling cepat-cepat membuka pintu kamar. Dilihatnya
wajah Sie Keng Hauw agak lain.
"Keng Hauw, apa yang terjadi?"
"Hay Thian pergi tanpa pamit," sahut Sie Keng Hauw sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?" Lie Ai Ling tertegun. "Maksudmu Hay Thian pergi
secara diam-diam?"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk sambil melirik Lu Hui
San. Wajah gadis itu nampak murung sekali.
"Dia... dia telah pergi seorang diri?" tanya Lu Hui San
seakan bergumam. "Kenapa dia memisahkan diri dengan
kita?" "Dia memang keterlaluan," ujar Lie Ai Ling dengan wajah
tidak senang. "Bahkan juga tak tahu diri."
"Sudahlah!" Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
"Biarlah dia pergi, mungkin itu akan membebaskan beban
pikirannya."
"Aku sungguh tidak mengerti," ujar Sie Keng Hauw dengan
kening berkerut-kerut. "Kenapa dia begitu macam" Aaaah...!"
"Keng Hauw, mungkinkah dia pergi ke Gunung Hek Ciok
San (Gunung Batu Hitam) untuk bertarung dengan Seng Hwee
Sin Kun?" tanya Lie Ai Ling dengan wajah berubah.
"Itu...." Pikir Sie Keng Hauw sejenak, kemudian
menggelengkan kepala seraya berkata. "Mungkin tidak,
kemungkinan besar dia pulang ke rumahnya menengok
ibunya. Bukankah kemarin dia bilang rindu sekali kepada
ibunya?" "Benar." Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kalau begitu,
bagaimana kalau kita ke rumahnya?"
"Engkau tahu rumahnya?" tanya Sie Keng Hauw.
"Tidak tahu," sahut Lie Ai Ling sambil memandang Lu Hui
San seraya bertanya. "Engkau tahu?"
"Aku pun tidak tahu," jawab Lu Hui San.
"Yaah!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Kita
bertiga tidak tahu rumahnya, lalu apa langkah kita?"
"Melanjutkan perjalanan, ke markas pusat Kay Pang, lalu
kita berunding dengan Kakek Lim dan Kakek Gouw," ujar Sie
Keng Hauw. "Benar." Lie Ai Ling mengangguk. "Kalau begitu, mari kita
berangkat! Jangan membuang- buang waktu di sini!"
Sie Keng Hauw dan Lu Hui San mengangguk. Mereka
bertiga lalu berangkat ke markas pusat Kay Pang. Lu Hui San
membungkam dengan wajah murung sepajang jalan, Sie Keng
Hauw menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik, sudahlah!" ujarnya lembut. "Jangan terus
memikirkan Hay Thian, dia begitu macam, tiada guna
memikirkannya!"
"Aku...." Lu Hui San menundukkan kepala. "Tidak disangka,
hatinya begitu dingin!" "Hmm!" dengus Lie Ai Ling. "Dia
memang tak tahu diri dan tak kenal budi. Engkau yang
membopongnya sampai ke Pulau Hong Hoang To, bahkan
demi dirinya engkau pun tahan lapar dan ngantuk terus
membopongnya. Tapi sebaliknya dia...."
"Aaaah...!" Lu Hui San menghela nafas panjang. "Jangan
mempersalahkannya! Dia adalah kawan baik kita, maka aku...
aku harus membopongnya sampai di Pulau Hong Hoang To
itu." "Hui San...." Li Ai Ling menatapnya iba, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah! Mulai sekarang
engkau tidak perlu memikirkannya lagi!"
"Ng!" Lu Hui San mengangguk. "Aku akan berusaha
melupakannya."
"Benar." Lie Ai Ling manggut-manggut. "Engkau memang
harus melupakannya, tiada artinya engkau memikirkannya."
-ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, mereka bertiga sudah tiba di
markas pusat Kay Pang.
Betapa gembiranya Lie Ai Ling ketika melihat Tio Bun Yang
berada di situ. Kemudian gadis itu berseru-seru.
"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling langsung
mendekap di dadanya. "Kakak Bun Yang...."
"Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang membelainya dengan penuh
kasih sayang. "Oh ya, pemuda itu...."
"Dia adalah Sie Keng Hauw. Kakak Bun Yang pasti ingat
dia," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa gembira.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Dia putra Sie
Kuang Han! Bagus! Bagus!"
"Saudara Tio!" Sie Keng Hauw memberi hormat.
"Terimakasih atas budi pertolonganmu yang telah
menyelamatkan nyawa ayahku, bahkan mempertemukan Hui
San dengan ayahku pula!"
"Saudara Sie!" Tio Bun Yang tersenyum. "Engkau tidak
usah berterimakasih kepadaku. Kita semua adalah kawan baik,
jadi... harus tolong- menolong dalam hal apa pun."
"Saudara Tio, engkau sungguh berjiwa besar!" ujar Sie
Keng Hauw, kemudian memberi hormat kepada Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong. "Kakek Lim, Kakek Gouw!"
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Silakan duduk!
Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Sie Keng Hauw sambil duduk, Lie Ai
Ling duduk di sebelahnya.
"Eeeh?" Gadis itu menengok ke sana ke mari, seperti
sedang mencari sesuatu. "Kok Goat Nio tidak kelihatan"
Apakah dia berada di dalam?"
"Dia belum kembali," sahut Tio Bun Yang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sudah ke Gunung Thian
San, namun tidak bertemu dia."
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Jadi hingga saat ini dia
belum kembali" Apakah telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Itulah yang ku khawatirkan," Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala lagi. "Kakak Bun Yang," tanya Lie Ai Ling. "Kenapa engkau tidak
pergi mencarinya?"
"Aku memang ingin pergi mencarinya, tapi...." Tio Bun
Yang memandang Lim Peng Hang. "Kakek melarangku pergi
mencarinya."
"Lho" Kenapa?" Lie Ai Ling heran.
"Percuma Bun Yang pergi mencari Goat Nio, sebab kita
sama sekali tidak tahu dia berada di mana. Lalu Bun Yang
harus ke mana mencarinya" Bukankah lebih baik menunggu di
sini, agar tidak terjadi selisih jalan lagi?" ujar Lim Peng Hang,
kemudian bertanya, "Oh ya, bagaimana keadaan Kam Hay
Thian, Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa di sana?"
"Mereka baik-baik saja. Tapi Kam Hay Thian...." Lie Ai Ling
menghela nafas panjang.
"Kenapa dia?" tanya Tio Bun Yang tegang,
"Sebetulnya dia ke mari bersama kami, tapi di tengah jalan
dia pergi secara diam-diam," jawab Lie Ai Ling
memberitahukan. "Dia memang sengaja memisahkan diri
dengan kami."
"Kenapa begitu?" Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Apakah kalian bertengkar?"
Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Hui San sangat
mencintainya, tapi dia malah bersikap dingin dan acuh tak
acuh terhadap Hui San...."
"Ai Ling!" panggil Lu Hui San, agar Lie Ai Ling tidak
melanjutkan ucapannya. "Sudahlah! Jangan membicarakan
tentang itu lagi!"
"Hui San...." Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Terus terang, aku... aku bersimpati dan merasa kasihan
kepadamu."
"Ai Ling!" Lui Hui San tersenyum getir. "Mungkin sudah
nasibku, mau bilang apa?"
"Kalau aku bertemu Kam Hay Thian, aku pasti akan
menasihatinya." ujar Tio Bun Yang berjanji.
"Bun Yang!" Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Percuma engkau menasihatinya."
"Kenapa, Kakek?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Sebab...." Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Cinta
tidak bisa dipaksa, maka percuma engkau menasihatinya."
"Tapi...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Hui
San...." "Terimakasih atas maksud baikmu, Kakak Bun Yang!" ucap
Lu Hui San dan menambahkan. "Memang tidak salah, cinta
tidak bisa dipaksa. Maka engkau tidak usah menasihatinya
mengenai ini, percuma!"
"Tio Bun Yang manggut-manggut, kemudian mengalihkan
pembicaraan tentang Bu Ceng Sianli.
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak setelah mendengar penuturan
itu. "Bidadari Tanpa Perasaan merupakan gadis yang cantik
jelita?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi dia sadis sekali."
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Kalau dia tidak sadis,
bagaimana mungkin memperoleh julukan itu" Namun orangorang
yang dibunuhnya itu adalah para penjahat."
"Walau para penjahat, tapi seharusnya dia memberi ampun
kepada mereka. Dia tidak perlu membunuh, cukup melukai
mereka saja," ujar Tio Bun Yang.
"Saudara Tio!" Sie Keng Hauw tersenyum. "Kalau kita
memberi ampun kepada para penjahat, justru akan membuat
mereka semakin jahat."
"Itu belum tentu," sahut Tio Bun Yang. "Mungkin mereka
akan kembali ke jalan yang benar."
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Engkau
memang seperti ayahmu, berhati bajik, bijak dan selalu
mengampuni orang."
"Kakak Bun Yang memang begitu," sela Lie Ai Ling lalu
memandang Sie Keng Hauw seraya berkata, "Engkau harus
belajar seperti Kakak Bun Yang lho!"
"Ya." Sie Keng Hauw mengangguk sambil tersenyum. "Aku
menuruti perkataanmu."
"Keng Hauw!" Lie Ai Ling tersenyum manis. "Sungguh baik
engkau, mudah mudahan selamanya engkau tetap begini
terhadapku!"
"Jangan khawatir!" Sie Keng Hauw menggenggam
tangannya erat-erat. "Cintaku terhadapmu takkan luntur
selama-lamanya."
"Terimakasih, Keng Hauw!" ucap Lie Ai Ling, kemudian
mendadak mengecup pipinya.
"Haaah...?" Wajah Sie Keng Hauw kemerah-merahan,
namun bergirang dalam hati. Kalau hanya berduaan, pemuda
itu pasti balas mengecupnya.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertawa
terbahak-bahak. "Bukan main kecupan itu, sungguh
mengesankan!"
Wajah Lie Ai Ling langsung memerah. Gadis itu tidak
menyangka Lim Peng Hang akan menggodanya.
"Kakek Lim...." Lie Ai Ling cemberut. "Memangnya aku
tidak boleh mengecupnya?"
"Tentu boleh, tapi...." Lim Peng Hang tertawa lagi.
"Alangkah baiknya di saat berduaan saja."
"Kakek Lim...." Lie Ai Ling membanting- banting kaki.
Sementara Gouw Han Tiong terus memandang Lu Hui San,
berselang beberapa saat kemudian ia pun bertanya.
"Hui San, apa rencanamu selanjutnya?"
"Aku ingin pergi ke ibu kota menengok ayah angkatku,"
jawab Lu Hui San. "Aku rindu kepadanya."
"Kapan engkau akan berangkat?" tanya Lim Peng Hang.
"Sekarang," sahut Lui Hui San singkat.
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Engkau mau berangkat
sekarang" Tidak bisa tunggu besok atau lusa?"
"Ai Ling!" Lu Hui San menghela nafas panjang. "Lebih baik
aku berangkat sekarang."
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Tapi engkau
harus berhati-hati menjaga diri!" pesannya.
"Ya, Kakek Lim." Lu Hui San mengangguk.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah berpamit, barulah ia meninggalkan markas pusat
Kay Pang. Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Sie Keng Hauw dan
Lie Ai Ling mengantar gadis itu sampai di luar markas.
"Adik!" Sie Keng Hauw menggenggam tangannya. "Kapan
engkau akan kembali ke sini lagi?"
"Entahlah." Lu Hui San menggelengkan kepala. "Oh ya,
kapan kalian punya waktu, kalian boleh ke ibu kota
menemuiku."
"Baik." Sie Keng Hauw mengangguk. "Adik, selamat jalan!"
"Kak!" Mata Lu Hui San mulai basah. "Sampai jumpa!"
"Hui San...." Mata Lie Ai Ling sudah bersimbah air.
"Selamat jalan!"
"Ai Ling!" Lu Hui San tersenyum getir. "Selamat tinggal,
sampai jumpa kelak!"
Lu Hui San melangkah pergi. Setelah gadis itu tidak
kelihatan, barulah Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling kembali ke
dalam markas sambil menghela nafas panjang.
"Kasihan dia!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia betul-betul patah hati."
"Mudah-mudahan Hay Thian akan mencintainya kelak!"
sahut Sie Keng Hauw dan menambahkan. "Aku justru masih
merasa heran."
"Heran kenapa?"
"Menurut aku...." Sie Keng Hauw mengerutkan kening.
"Sesungguhnya Kam Hay Thian juga mencintai Hui San, hanya
saja ada sesuatu terganjal di dalam hatinya yang membuatnya
bersikap dingin dan acuh-tak acuh terhadap Hui San."
"Oh?" Lie Ai Ling tertegun. "Kira-kira apa yang terganjel di
dalam hati Kam Hay Thian?"
"Entahlah." Sie Keng Hauw menggelengkan kepala. "Aku
tidak mengetahuinya."
"Mungkinkah...." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Kam Hay
Thian tahu Hui San adalah putri angkat Lu Thay Kam?"
"Iya." Sie Keng Hauw mengangguk. "Mungkin karena itu,
maka dia bersikap begitu terhadap Hui San."
"Tapi tiada seorang pun memberitahukan pada Kam Hay
Thian, bahwa Lu Thay Kam adalah ayah angkat Hui San. Jadi
bagaimana mungkin Kam Hay Thian mengetahuinya?"
"Ai Ling!" Sie Keng Hauw tersenyum. "Engkau harus tahu,
Kam Hay Thian sangat cerdas, tentunya dia sudah menduga
sampai ke situ."
"Kalau begitu...." Kening Lie Ai Ling berkerut-kerut. "Bukan
karena Goat Nio?"
"Pasti bukan," sahut Sie Keng Hauw. "Sebab dia tahu Goat
Nio tidak mencintainya, lagi pula dia telah berhutang budi
kepada Paman Cie Hiong, tentunya dia tidak berani
memikirkan yang bukan- bukan."
"Benar." Lie Ai Ling mengangguk. "Kalau begitu...."
Di saat bersamaan, muncullah Tio Bun Yang sambil
memandang mereka, kemudian tersenyum seraya berkata.
"Maaf! Aku telah mengganggu kalian!"
"Kakak Bun Yang," sahut Lie Ai Ling. "Jangan berkata
begitu ah! Masa sih engkau akan mengganggu kami."
"Kelihatannya kalian sedang asyik bercakap- cakap,
maka...." "Kami sedang membicarakan Lu Hui San dan Kam Hay
Thian," potong Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Kupikir. Hay
Thian mungkin sudah tahu Hui San adalah putri angkat Lu
Thay Kam, maka dia menolak cintanya. Padahal Hay Thian
pun mencintai Hui San, tapi...."
"Kakak Bun Yang," ujar Lie Ai Ling. "Kami pun berpikir
begitu. Kini Hui San telah kembali ke ibu kota, kita harus
bagaimana?"
"Kita tidak bisa turut campur," sahut Tio Bun Yang dan
menambahkan. "Biar dia yang menyelesaikan urusan itu.
Kalau kita turut campur, mungkin akan mengeruhkan urusan
itu." "Benar." Sie Keng Hauw manggut-manggut. "Tapi belum
tentu Hay Thian akan ke ibu kota. Aku justru khawatir dia
akan pergi menantang Seng Hwee Sin Kun."
"Itu pun mungkin. Sebab...." Tio Bun Yang mengerutkan
kening. "Dia sangat dendam kepada Seng Hwee Sin Kun."
"Kalau begitu...." Wajah Lie Ai Ling agak pucat. "Bagaimana
kalau kita pergi membantu dia?"
"Aku bukan tidak mau pergi bantu dia, melainkan...." Tio
Bun Yang menghela nafas panjang. "Adik Ai Ling, aku harus
menunggu Goat Nio."
"Tapi Hay Thian...."
"Ai Ling!" Sie Keng Hauw memandangnya seraya berkata,
"Engkau tidak usah cemas, sebab belum tentu Kam Hay Thian
akan pergi mencari Seng Hwee Sin Kun, dia tidak akan
bertindak sebodoh itu."
Lie Ai Ling manggut-manggut. Tio Bun Yang memandang
mereka lalu berkata,
"Mari kita masuk dulu!"
Mereka bertiga masuk. Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong masih duduk di situ.
"Bun Yang," tanya Lim Peng Hang. "Hui San sudah pergi?"
"Sudah, Kek," jawab Tio Bun Yang sambil menggelenggelengkan
kepala. "Dia kelihatan berduka sekali."
"Yaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Entah
apa yang akan terjadi?"
"Sesungguhnya," ujar Gouw Han Tiong. "Kam Hay Thian
pun mencintainya. Mungkin dia tahu Hui San adalah putri
angkat Lu Thay Kam, maka Kam Hay Thian menolak
cintanya."
"Kami juga berpikir begitu, tapi...." Tio Bun Yang
mengerutkan kening. "Yang kami cemaskan adalah Kam Hay
Thian, mungkin dia pergi menantang Seng Hwee Sin Kun."
"Itu belum tentu," sahut Lim Peng Hang. "Sebab kalian
sudah memberitahukan, bahwa Kam Hay Thian pernah bilang
rindu sekali kepada ibunya. Karena itu, dia pasti pulang ke
rumahnya untuk menengok ibunya."
"Setelah itu...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia pasti akan pergi ke Gunung Hek Ciok San. Aku
tidak bisa pergi membantunya, sebab harus menunggu Goat
Nio." "Kakek Lim," tanya Lie Ai Ling mendadak. "Bolehkah kami
berdua pergi membantu Kam Hay Thian?"
"Tidak boleh." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Itu
sama juga pergi mencari mati."
"Tapi Kam Hay Thian...." Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Dia adalah kawan baik kami."
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Dia memang
kawan baik kalian, namun belum tentu dia akan pergi ke
Gunung Hek Ciok San. Lagi pula sementara ini belum ada
kabar beritanya mengenai Seng Hwee Sin Kun, karena itu, aku
yakin Kam Hay Thian tidak pergi ke Gunung Hek Ciok San,
melainkan akan ke ibu kota."
"Kalau begitu...," ujar Lie Ai Ling. "Hui San dan dia pasti
akan bertemu di ibu kota."
"Ada baiknya mereka bertemu. Mudah-mudahan urusan itu
dapat diselesaikan dengan baik!" ujar Lim Peng Hang dan
melanjutkan. "Sementara ini kalian bertiga tetap di sini
menunggu Goat Nio, jangan ke mana-mana!"
Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling mengangguk.
Di saat itulah Lim Peng Hang teringat sesuatu. Kemudian
ketua Kay Pang itu berkata sambil mengerutkan kening.
"Kelihatannya rimba persilatan akan semakin kacau karena
kemunculan Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka Setan) yang
misterius itu."
"Oh ya, apakah Kakek Lim sudah berhasil menyelidiki
tentang Kui Bin Pang tu?" tanya Lie Ailng.
"Belum." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Sebab
sulit sekali melacak Kui Bin Pang itu."
"Kui Bin Pang?" Sie Keng Hauw tampak terkejut.
"Bagaimana perkumpulan itu muncul di rimba Persilatan lagi?"
"Keng Hauw!" Lie Ai Ling tercengang. "Engkau tahu
tentang Kui Bin Pang itu?"
"Tahu sedikit," jawab Sie Keng Hauw memberitahukan.
"Guruku pernah menceritakan kepadaku, perkumpulan itu
merupakan perkumpulan misteri sekitar seratus tahun yang
silam. Tapi perkumpulan itu tidak pernah memasuki daerah
Tionggoan, hanya bergerak di daerah Gurun Sih lh dan
sekitarnya. Ketua dan para anggota perkumpulan itu
berkepandain tinggi sekali, namun pada waktu itu,
perkumpulan tersebut mendadak bubar."
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang menatapnya tajam.
"Gurumu pasti punya hubungan dengan Kui Bin Pang itu."
"Entahlah." Sie Keng Hauw menggelengkan kepala. 'Aku
tidak mengetahuinva."
"Keng Hauw," tanya Gouw Han Tiong. "Bolehkah Kami tahu
siapa gurumu?"
"Itu...." Sie Keng Hauw menghela nafas panjang. "Maaf,
Kakek Gouw! Guruku melarangku menyebut nama maupun
julukannya, aku tidak berani melanggarnya."
"Ooon!" Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Tidak apaapa.
Tap, bolehkah engkau menceritakan lagi tentang Kui Bin
Pang :tu?"
Sie Keng Hauw mengangguk, kemudian mulai menceritakan
berdasarkan apa yang didengar dari gurunya.
"Kata guruku, ketua perkumpulan itu memiliki ilmu hitam
yang sangat hebat, semacam hipnotis. Siapa yang
memandang sepasang matanya, pasti akan terpengaruh oleh
ilmu hitamnya itu."
"Oh?" Lim Peng Kang mengerutkan kei .ng.
"Tapi kira-kira seratus tahun silam, mendadak ketua
perkumpulan itu hilang tiada jejaknya sama sekali. Sudah
barang tentu perkumpulan itu jadi bubar. Bagaimana mungkin
kini muncul lagi?" ujar Sie Keng Hauw kurang percaya.
"Aku dan Goat Nio pernah melihat mereka...," sahut Lie Ai
Ling dan menutur tentang itu.
"Oh?" Sie Keng Hauw tertegun. "Kalau begitu, mereka
memang para anggota Kui Bin Pang. Tapi siapa ketua baru
itu" Tidak mungkin ketua lama itu masih hidup."
"Kui Bin Pang itu masih belum resmi muncul di rimba
persilatan. Mungkin ketua baru itu sedang menghimpun
kekuatan, memanggil para anggota yang bubar itu," ujar Lim
Peng Hang sambil menghela nafas panjang. "Aaaah! Itu
merupakan ancaman bagi rimba persilatan."
"Kalau begitu memang tidak salah," ujar Tio Bun Yang
memberitahukan. "Aku pun pernah mendengar tentang Kui
Bin Pang dari para pedagang. Mereka bilang melihat setan iblis
naik kuda, berpakaian serba putih dan wajah menyerupai
setan iblis, bahkan juga mengeluarkan siulan aneh yang
menyeramkan."
"Betul." Lie Ai Ling manggut-manggut. "Mereka memang
mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan, memakai
kedok setan dan berpakaian serba putih."
"Aaaah...." Gouw Han Tiong menghela nafas panjang.
"Rimba persilatan sudah tidak aman karena Seng Hwee Kauw
dan Hiat Ih Hwe, kini malah muncul Kui Bin Pang lagi!"
"Kalau aku sudah bertemu Goat Nio, aku ingin
mengajaknya pulang ke Pulau Hong Hoang To," ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh. "Aku sudah jenuh akan rimba
persilatan yang tak pernah aman, tenang dan damai. Ada saja
pertikaian."
"Lalu bagaimana dengan Seng Hwee Sin Kun?" tanya Lim
Peng Hang mendadak sambil menatapnya.
"Dia memang telah membunuh kauw heng, tapi perlukah
aku menuntut balas kepadanya?" Tio Bun Yang mengerutkan
kening. "Kalau kita balas-membalas kapan akan berakhir?"
"Bun Yang...." Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Engkau bersifat seperti Cie Hiong ayahmu, namun kalian
justru berkepandaian sangat tinggi."
"Kakek...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang!" Gouw Han Tiong menatapnya tajam seraya
berkata, "Kauw heng menyuruhmu ke goa es belajar ilmu Kan
Kun Taylo Im Kang, itu agar engkau dapat melawan Seng
Hwee Sin Kun, sekaligus membalaskan dendamnya."
"Tentang itu, bagaimana nanti saja," sahut Tio Bun Yang.
Pemuda itu memang tiada nafsu untuk membalas dendam.
"Itu terserah kepadamu," ujar Gouw Han Tiong. "Kami
tidak akan mendesakmu menuntut balas kepada Seng Hwee
Sin Kun. Tapi...."
"Bun Yang," sambung Lim Peng Hang. "Kelihatannya tidak
lama lagi, suatu bencana akan melanda rimba persilatan,
apakah engkau mau tinggal diam?"
"Kakek!" Tio Bun Yang tersenyum. "Itu urusan nanti, lebih
baik dibicarakan nanti saja. Kini aku cuma memikirkan Goat
Nio." "Kakak Bun Yang," usul Lie Ai Ling. "Bagaimana kalau kita
bertiga pergi mencari Goat Nio?"
"Kakekku sudah bilang tadi, kita harus menunggu di sini
agar tidak selisih jalan dengan Goat Nio," sahut Tio Bun Yang.
"Jadi kita tidak boleh pergi mencari Goat Nio."
"Memang lebih baik kita menunggu di sini saja," sela Sie
Keng Hauw dan menambahkan. "Kita lihat bagaimana
perkembangan selanjutnya, setelah itu barulah kita
membahasnya."
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Sekarang
kalian pergi beristirahat saja."
"Ya," sahut Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling
serentak, lalu semuanya pergi ke ruangan belakang.
---o0dw0ooo- Bagian ke empat puluh empat
Kedukaan yang memuncak
Ke mana Kam Hay Thian" Apakah ia pergi ke Gunung Hek
Ciok San" Ternyata tidak, melainkan pulang ke rumahnya
karena sangat rindu kepada ibunya. Kenapa ia memisahkan
diri dengan Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Lu HuiSan"
Memang tidak salah, ia sudah tahu bahwa Lu Hui San adalah
putri angkat Lu Thay Kam. Tanpa sengaja ia mendengar
percakapan mereka, maka ia tahu Lu Thay Kam adalah ayah
angkat Lu Hui San. Oleh karena itu, ia menolak cinta dari
gadis tersebut. Padahal sesungguhnya, ia mulai mencintai
gadis itu. Tapi ada selapis tembok menghalanginya, yakni Lu
Thay Kam itu. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpisah dengan Lu Hui San.
Kurang lebih sepuluh hari kemudian, Kam Hay Thian sudah
sampai di rumahnya. Ia berlari- lari memasuki halaman rumah
sambil berseru-seru dengan penuh kegembiraan.
"Ibu! Ibu! Aku sudah pulang! Ibu...!"
Seorang tua berhambur ke luar menyambutnya. Ia adalah
pembantu tua di rumah itu.
"Tuan muda...."
"Paman tua!" panggil Kam Hay Thian sambil tersenyum. "Di
mana ibuku" Aku sudah rindu sekali kepadanya."
"Tuan muda...." Pembantu tua itu menundukkan kepala,
kemudian menangis terisak-isak.
"Paman tua...." Wajah Kam Hay Thian pucat pias.
"Tuan muda...." Air mata pembantu tua itu sudah
bercucuran. "Ibumu sudah meninggal beberapa bulan yarg
lalu." "Apa?" Sekujur badan Kam Hay Thian menggigil, kemudian
menjerit. "Ibu! Ibu...!"
"Tuan muda! Tuan muda...!" panggil pembantu t ua itu.
Kam Hay Thian berdiri diam, sepasang matanya mendelik
lalu terkulai dan pingsan seketika.
"Tuan muda' Tuan muda.. !" Kalutlah pembantu tua itu, ia
berusaha menyadarkannya.
Berselang beberapa saat kemudian, sepasang mata Kam
Hay Thian terbuka per lahan-lahan, maka legalah hati
pembantu tua itu.
"Tuan muda...."
"Paman tua...." Kam Hay Thian berlutut di depan meja
sembahyarg dan menangis meraung- raung. "Ibu! Ibu...!"
Pembantu tua itu membiarkannya terus menangis. Itu
memang lebih baik dari pada Kam Hay Thian menahan duka
dalam hati, akan membahayakan dirinya.
"Ibu! Ibu...!" Kam Hay Thian terus menangis meraungraung
Lama sekali barulah Kam Hay Thian berhenti menangis, lalu
memandang pembantu tua itu seraya bertanya.
"Paman tua! Apa yang terjadi" Apa yang terjadi?" teriak
Kam Hay Thian sambil berlari ke dalam rumah.
Sesampainya di dalam rumah, ia melihat sebuah meja
sembayang di ruang depan, dan sebuah tempat abu di atas
meja itu. "Bagaimana ibuku meninggal?"
"Nyonya.... nyonya dibunuh," jawab pembantu tua itu
dengan air mata berderai-derai.
"Apa?" Kam Hay Thian meloncat bangun. "Ibuku mati
dibunuh" Siapa yang membunuh?"
"Para anggota Hiat Ih Hwe."
"Para anggota Hiat Ih Hwe?" Sepasang mata Kam Hey
Thian langsung berapi-api. "Kenapa mereka membunuh
ibuku?" "Malam itu..." tutur pembantu tua itu. "Beberapa orang
memasuki halaman rumah. Nyonya mendengar suara itu maka
segera membuka pintu. Nyonya melihat beberapa orang itu
terluka parah. Mereka ternyata para pejuang yang dikejar Hiat
Ih Hwe. Nvonya menyembunyikan mereka didalam rumah."
"Kemudian bagaimana?"
"Tak lama muncullah belasan orang berpakaian merah.
Mereka adalah para anggota Hiat Ih Hwe. Nyonya melarang
menggeledah, namun salah seorang anggota Hiat Ih Hwe
mengayunkan goloknya, dan kepala nyonya terpenggal jatuh
menggelinding di lantai."
"Haaah...?" Kam Hay Thian nyaris pingsan lagi. Ia
menggenggam ujung meja sembayang erat-erat.
Braaaak! Tiba-tiba ujung meja sembayang itu hancur
menjadi debu. Ternyata tanpa sengaja Kam Hay Thian
mengerahkan Iweekangnya
"Tuan muda...." Pembantu tua itu terkejut bukan main.
"Setelah itu bagaimana?" tanya Kam Hay Thian dengan
wajah kehijau-hijauan.
"Para anggota Hiat Ih Hwe mulai menggeledah, akhirnya
mereka menemukan pejuang-pejuang itu, dan kemudian
mereka bunuh secara sadis sekali." Pembantu tua itu
memberitahukan. "Untung mereka tidak menemukan aku,
maka aku terhindar dari kematian."
"Aku harus menuntut balas! Aku harus membunuh Lu Thay
Kam itu!" ujar Kam Hay Thian dengan mata membara. "Walau
dia ayah angkat Hui San, namun aku tetap harus
membunuhnya!"
"Tuan muda!" Pembantu tua itu terisak-isak. "Sungguh
mengenaskan kematian nyonya!"
"Aku bersumpah, akan membunuh Lu Thay Kam dan
membasmi Hiat Ih Hwe!" ucap Kam Hay Thian mengangkat
sumpah itu dengan mata berapi-api. Kemudian ia memasang
hio dan bersujud di depan tempat abu itu.
-ooo0dw0ooo- Sementara itu, Lu Hui San juga sudah tiba di ibu kota.
Dapat dibayangkan, betapa gembiranya Lu Thay Kam.
"Nak..." panggilnya dengan suara tergetar- getar.
"Ayah...." Lu Hui San mendekap di dada Lu Thay Kam.
"Ayah, aku sudah kembali."
"Nak!" Lu Thay Kam membelainya dengan penuh kasih
sayang. "Syukurlah engkau sudah kembali, ayah gembira
sekali!" "Ayah...." Lu Hui San terisak-isak.
"Nak!" Lu Thay Kam menatapnya heran. "Kenapa engkau
tampak berduka" Apa yang telah terjadi?"
"Ayah...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala, lalu
duduk dengan kepala tertunduk.
"Nak...." Lu Thay Kam duduk di hadapannya.
"Beritahukanlah! Apa yang membuatmu berduka?"
"Ayah, aku sudah bertemu Sie Keng Hauw," Lu Hui San
memberitahukan. "Tentunya Ayah masih ingat kepadanya,
kan?" "Sie Keng Hauw...." Lu Thay Kam manggut- manggut.
"Putra Sie Kuang Han kan?"
"Betul, Ayah." Lu Hui San mengangguk. "Kepandaiannya
sangat tinggi."
"Oh?" Lu Thay Kam tersenyum. "Bagus! Mungkin dia akan
ke mari menuntut balas, bukan?"
"Ayah telah salah menerka." Lu Hui San menggelengkan
kepala. "Pamanku melarang kami membalas dendam."
"Oh?" Lu Thay Kam menatapnya, kemudian menghela
nafas panjang. "Syukurlah kalau begitu!"
"Tapi...." Lu Hui San menghela nafas panjang.
"Ada apa, San San?" tanya Lu Thay Kam dan
menambahkan. "Beritahukanlah! Jangan ragu!"
"Aku...."
"Kenapa engkau?" Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam.
"Apakah engkau sudah punya kekasih?"
"Ayah...." Wajah Lu Hui San memerah.
"Beritahukanlah!" desak Lu Thay Kam. "Apakah engkau
sudah punya kekasih?"
"Aku..." jawab Lu Hui San dengan kepala tertunduk. "Aku
mencintainya, namun... dia tidak mencintaiku."
"Oh" Siapa dia" Sungguh berani dia menolak cintamu?" Lu
Thay Kam mengerutkan kening. "Apakah dia tidak tahu aku
adalah ayah angkatmu?"
"Mungkin dia tahu, maka... dia berusaha menjauhi diriku,"
sahut Lu Hui San sambil menghela nafas dan
memberitahukan. "Dia bernama Kam Hay Thian."
"Kam Hay Thian?"
"Julukannya adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi
Penjahat)."
"Ayah pernah mendengar itu. Tapi kenapa dia menjauhi
dirimu, apakah dia punya dendam kepadaku?"
"Aaaah...!" Lu Hui San menghela nafas panjang lagi. "Para
anggota Hiat Ih Hwee membunuh guru silat Lie dan Lie Beng
Cu, maka dia sangat dendam kepada Hiat Ih Hwe, mungkin
dia pun akan membunuh Ayah."
"Dia punya hubungan apa dengan guru silat Lie dan Lie
Beng Cu?" "Dia berhutang budi kepada mereka ayah dan anak. Karena
para anggota Hiat Ih Hwe membunuh mereka, jadi dia pun
ingin membalas dendam."
"Tapi...." Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Ayah sama
sekali tidak kenal guru silat Lie itu, lagi pula ayah tidak pernah
perintahkan para anggota Hiat Ih Hwe membunuh guru silat
Lie maupun putrinya itu."
"Yaaah!" Lu Hui San menghela nafas. "Karena Ayah ketua
Hiat Ih Hwe, maka dia pun akan menuntut balas kepada
Ayah." "Oh?" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala. "Lalu
apa kehendakmu, Nak?"
"Aku mohon kepada Ayah, jangan turun tangan
membunuhnya! Aku.... Aku sangat mencintainya! Aku...."
"Nak!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Baik. Ayah berjanji
tidak akan membunuhnya!"
"Terimakasih, Ayah!" ucap Lui Hui San sambil bersujud di
hadapan Lu Thay Kam, ayah angkatnya itu. "Terimakasih!"
"Bangunlah Nak!" Lu Thay Kam segera membangukannya.
"Engkau memang gadis yang lemah lembut dan
baik hati. Ayah merasa bangga sekali!"
"Ayah...." Lu Hui San mendekap di dada Lu Thay Kam.
"Terimakasih!"
"Nak!" Lu Thay Kam membelai-belainya. "Ayah berjanji,
kalau dia ke mari membalas dendam, ayah pasti tidak akan
membunuhnya. Legakanlah hatimu, Nak!"
Lu Hui San manggut-manggut. Saking terharu gadis itu
menangis terisak-isak.
"Nak, bagaimana sifat pemuda itu?" tanya Lu Thay Kam.
"Agak keras hati, namun dia pemuda baik, jujur dan
tampan." Lu Hui San memberitahukan.
"Ooooh!" Lu Thay Kam manggut-manggut sambil
tersenyum. "Syukurlah kalau begitu!"
"Ayah." ujar Lu Hui San. "Aku kembali justru karena
khawatir dia akan ke mari membalas dendam kepada Ayah.
Aku ingin mendamaikan kalian."
"Nak...." Lu Thay Kam tertawa gembira. "Kalau dia mau
berdamai dengan ayah, itu memang baik sekali."
"Aku berharap begitu, Ayah." Lu Hui San tersenyum. "Oh
ya, bagaimana keadaan Ayah selama ini?"
"Baik-baik saja," sahut Lu Thay Kam. "Tapi...."
"Ada apa, Ayah?"
"Kini dalam istana telah muncul seorang menteri yang
cukup berkuasa, hanya ayah yang mampu menyaingi
kekuasaannya itu." Lu Thay Kam memberitahukan dengan
kening berkerut-kerut. "Belum lama ini, menteri itu mengutus
beberapa orang kepercayaannya ke Manchuria, kelihatannya
menteri itu berniat bersekongkol dengan bangsa liar itu."
"Oh?" Lu Hui San memandang Lu Thay Kam. "Kalau tidak
salah, Ayah pun pernah mengutus orang pergi menemui raja
Manchuria, kan?"
"Benar." Lu Thay Kam mengangguk. "Tapi raja Manchuria
tidak mau bekerja sama dengan ayah."
"Raja Manchuria itu kenal Paman Cie Hiong, maka dia tidak
mau menyerbu ke Tionggoan, otomatis tidak mau bekerja
sama dengan Ayah." Lu Hui San memberitahukan. "Tapi raja
Manchuria itu telah mati dibunuh oleh adik kandungnya, dan
kini yang menjadi raja di Manchuria adalah adik kandungnya
itu." "Oh?" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Kok engkau tahu
begitu jelas tentang itu?"
"Aku tinggal di Pulau Hong Hoang To selama ini. Kemudian
Bokyong Sian Hoa juga muncul di pulau itu," jawab Lu Hui
San. "Bun Yang yang membawanya ke sana, jadi kami pun
berkenalan."
"Siapa Bokyong Sian Hoa itu?"
"Dia putri almarhum raja Manchuria itu..." tutur Lu Hui San
dan menambahkan. "Kini dia masih berada di Pulau Hong
Hoang To!"
"Ooh!" Lu Thay Kam manggut-manggut, kemudian
menghela nafas panjang. "Seandainya para penghuni Pulau
Hong Hoang To bersedia membantu kerajaan, ayah yakin
Dinasti Beng tidak akan runtuh."
"Maksud Ayah?" Lu Hui San tertegun.
"Aaaah...!" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Menteri
itu berniat meminjam pasukan Manchuria, alasannya pada
kaisar yakni demi memberantas para pemberontak yang
dipimpin Lie Tsu Seng. Tapi tujuan menteri itu tidak lain ingin
meruntuhkan dinasti Beng."
"Menteri itu ingin menjadi kaisar?"
"Betul." Lu Thay Kam mengangguk. "Kalau dia berhasil
menjadi kaisar, itu tidak masalah. Namun yang ayah
khawatirkan justru pasukan Manchuria itu akan memberontak
terhadapnya Nah, bukankah kita akan dikuasai oleh Bangsa
Manchuria?"
"Maksud Ayah Bangsa Manchuria akan menjajah negeri
kita?" tanya Lu Hui San dengan wajah berubah.
"Kira-kira begitulah." Lu Thay Kam menghela nafas. "Tapi
kini menteri itu masih tidak berani bertindak, karena masih
merasa segan kepada ayah. Kalau ayah mati, menteri itu pasti
bertindak sewenang-wenang."
"Ayah...." Lu Hui San menatapnya. "Lebih baik Ayah hidup
tenang di suatu tempat saja. Aku bersedia mendampingi
Ayah." "Omong kosong!" sahut Lu Thay Kam sambil tertawa.
"Bagaimana mungkin engkau mendampingi Ayah" Bukankah
engkau harus mendampingi buah hatimu itu?"
"Ayah...." Wajah Lu Hui San langsung memerah.
"Lagi pula..." tambah Lu Thay Kam. "Kalau ayah
mengundurkan diri sekarang, menteri itu yang akan
memperoleh keuntungan, dinasti Beng pasti runtuh di
tangannya!"
"Ayah...." Lu Hui San memandangnya dengan penuh
keheranan. "Aku jadi bingung, sebetulnya Ayah jahat atau
baik?" "Nak...." Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Pada
dasarnya ayah adalah orang baik, tapi dipaksa menjadi orang
jahat." "Kenapa begitu?"
"Nak..." sahut Lu Thay Kam sambil memandang jauh ke
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan. "Ayahku adalah seorang hakim yang sangat bijaksana,
adil dan tidak pernah korupsi. Suatu ketika, ayahku
menghukum berat seorang anak menteri, karena anak menteri
itu memperkosa seorang anak gadis, kemudian membunuhnya
pula. Kedua orang tua gadis itu mengadu di pengadilan, maka
ayahku segera perintahkan beberapa petugas pergi
menangkap anak menteri itu."
"Lalu bagaimana?"
"Para petugas itu tidak berani, sebab terdakwa itu seorang
anak menteri. Ayahku tidak perduli, tetap perintahkan para
petugas pergi menangkap anak menteri itu. Tentunya
membuat gusar menteri itu. Beliau membiarkan para petugas
menangkap anaknya. Akan tetapi, menteri itu justru pergi
menghadap kaisar sekaligus memfitnah ayahku."
"Oh?" Lu Hui San tertegun. "Kemudian bagaimana?"
"Kaisar turunkan perintah penangkapan ayahku
sekeluarga." Lu Thay Kam memberitahukan. "Pada waktu itu,
aku baru berusia tujuh tahun. Salah seorang pengawal ayahku
berhasil membawaku kabur. Namun kedua orang tuaku dan
lainnya ditangkap semua, kemudian dihukum mati."
"Haaah?" Lu Hui San terkejut bukan main.
"Setelah aku berusia sembilan tahun, pengawal ayahku itu
membawaku ke istana." Tutur Lu Thay Kam. "Aku dikebiri jadi
sida-sida istana."
"Kok Ayah mau dikebiri?" tanya Lu Hui San sambil
mengerutkan kening.
"Itu memang atas kemauanku," jawab Lu Thay Kam sambil
menghela nafas panjang. "Tujuanku demi membalas dendam."
"Oooh!" Lu Hui San manggut-manggut.
"Ayah semakin besar, sedangkan kaisar itu semakin tua,"
ujar Lu Thay Kam dan menam-bahkan. "Pada waktu itu, Putra
Mahkota sangat baik terhadap ayah. Setelah kaisar tua wafat,
Putra Mahkota itu naik tahta. Sejak itu, kaisar baru sangat
mempercayai ayah. Mulailah ayah membalas dendam
terhadap keluarga menteri itu."
"Ternyata begitu!" Lu Hui San menghela nafas panjang.
"Pantas Ayah sering memfitnah para menteri dan jenderal,
agar kaisar menghukum mati mereka!"
"Nak," ujar Lu Thay Kam dengan wajah murung. "Ayah
menyesal sekali memfitnah ayah kandungmu. Padahal kami
berdua kawan baik. Hanya dikarenakan salah pendapat
sehingga terjadi suatu perdebatan, akhirnya ayah
memfitnahnya."
"Itu sudah berlalu, tidak usah diungkit kembali," tandas Lu
Hui San. "Lagi pula paman dan aku telah memaafkan Ayah.
Bukankah Ayah bersedia mati di tanganku saat itu?"
"Nak...." Lu Thay Kam tersenyum getir. "Engkau telah
membuka pintu hati nurani ayah. Mulai sekarang ayah harus
menjadi Thay Kam yang baik demi dinasti Beng."
"Kalau begitu, Ayah akan membubarkan Hiat Ih Hwe?"
"Ngmm!" Lu Thay Kam manggut-manggut. "Mungkin ayah
akan perintahkan mereka bergabung dengan Lie Tsu Seng."
"Oh?" Wajah Lu Hui San berseri. "Tapi bukankah Ayah
sudah bekerja sama dengan Seng
Hwee Kauw" Bagaimana kalau Seng Hwee Sin Kun tahu
tentang itu?"
"Tidak ada urusan dengan Seng Hwee Sin Kun. Oh ya, ayah
pun sudah dengar bahwa Seng Hwee Sin Kun dilukai oleh
monyet milik Tio Bun Yang. Engkau tahu tentang itu?"
"Tahu." Lu Hui San mengangguk sekaligus menutur tentang
kejadian itu. "Oooh!" Lu Thay Kam manggut-manggut. "Ternyata
engkau yang membopong Kam Hay Thian ke Pulau Hong
Hoang To! Lalu bagaimana keadaan Tio Bun Yang dan
monyetnya itu?"
"Kepandaian Bun Yang bertambah tinggi, tapi kauw heng
itu sudah mati." Lu Hui San memberitahukan.
"Ngmm!" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Bagaimana
kepandaian Kam Hay Thian?"
"Sudah maju pesat di bawah bimbingan Paman Cie Hiong,
tapi belum tentu mampu melawan Seng Hwee Sin Kun."
"Kalau begitu, dia masih bukan lawanku," ujar Lu Thay
Kam. "Kalau dia ke mari...."
"Ingat Ayah!" Lu Hui San menatapnya. "Ayah telah berjanji
tidak akan membunuhnya, jangan ingkar janji lho!"
"Ayah tidak akan lupa itu," sahut Lu Thay Kam sambil
tertawa gelak. "Maksud ayah kalau dia ke mari, ayah akan
bicara baik-baik dengan dia."
"Oooh!" Lu Hui San langsung berlega hati. "Ayah...."
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa terbahak- bahak. "Ha ha
ha...!" -ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, di saat Lu Hui San sedang duduk
termenung di halaman belakang istana tempat tinggal Lu Thay
Kam, mendadak melayang turun seseorang yang tidak lain
adalah Kam Hay Thian yang mengenakan pakaian berkabung.
"Hay Thian..." panggil Lu Hui San terbelalak dan bergirang
dalam hati. Akan tetapi, Kam Hay Thian menatapnya dengan dingin
sekali, tentunya sangat mengejutkan hati gadis itu.
"Hay Thian, kenapa engkau...."
"Dimana ayah angkatmu" Cepat suruh dia ke luar
bertarung denganku!" sahut Kam Hay Thian dengan mata
berapi-api. "Cepaaat suruh dia keluar!"
"Hay Thian...."
"Diam!" bentak Kam Hay Thian dingin. "Jangan panggil
namaku!" "Kenapa engkau membenciku" Kenapa" Kenapa...?" sahut
Lu Hui San dengan air mata berderai-derai. "Jelaskan! Engkau
harus menjelaskannya!"
"Karena engkau putri angkat Lu Thay Kam!" Kam Hay
Thian memberitahukan. "Semula aku cuma berusaha
menjauhimu, tapi kini aku justru membencimu!"
"Kenapa?" Wajah Lu Hui San pucat pias.
"Karena..." sahut Kam Hay Thian sambil ber- kertak gigi.
"Beberapa bulan lalu, para anggota Hiat Ih Hwe membunuh
ibuku!" "Apa?" Lu Hui San terbelalak. Barulah ia tahu kenapa Kam
Hay Thian mengenakan pakaian kabung.
"Nah, engkau dengar baik-baik! Aku benci padamu dan
harus membunuh ayah angkatmu itu!"
"Hay Thian...." Lu Hui San menghela nafas panjang. "Kami
sama sekali tidak tahu tentang itu. Beberapa bulan lalu,
bukankah kita masih berada di Pulau Hong Hoang To?"
"Benar! Tapi aku tetap benci padamu, karena engkau
adalah putri angkat Lu Thay Kam!"
"Apakah engkau tidak tahu" Sesungguhnya aku putri Sie
Kuang Weng. Ayah kandungku justru mati lantaran fitnahan
Lu Thay Kam, namun aku dan pamanku telah
memaafkannya."
"Hm!" dengus Kam Hay Thian dingin. "Itu karena engkau
ingin hidup senang di sini!"
"Hay Thian! Kalau aku ingin hidup senang di sini, tidak
mungkin aku pergi berkelana!"
"Sudahlah! Jangan banyak bicara, cepatlah panggil ayah
angkatmu itu ke mari!"
"Ha ha ha!" Terdengar suara tawa gelak. "Anak muda,
kenapa engkau begitu bernafsu ingin membunuhku?"
Melayang turun seseorang yang ternyata Lu Thay Kam. la
memandang Kam Hay Thian dengan penuh perhatian.
"Anjing tua!" bentak Kam Hay Thian. "Hari ini adalah hari
kematianmu!"
"Anak muda!" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Kenapa
engkau begitu kurang ajar, padahal San San memuji dirimu di
hadapanku! Engkau Kam Hay Thian kan?"
"Tidak salah! Engkau memang Kam Hay Thian!" sahut
pemuda itu. "Aku ke mari ingin mencabut nyawamu!"
"Hay Thian...." Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Di
antara kita tiada dendam apa pun, kenapa engkau begitu
bernafsu ingin membunuhku?"
"Para anak buahmu membunuh guru silat Lie dan putrinya,
itu masih dapat kumaafkan! Tapi beberapa bulan lalu, para
anak buahmu justru membunuh ibuku secara sadis sekali!"
sahut Kam Hay Thian sengit dengan mata berapi-api. "Leher
ibuku putus terpenggal oleh salah seorang anak buahmu,
sehingga kepala ibuku menggelinding di lantai! Nah, hari ini
aku harus membalas dendam!"
"Hay Thian!" bentak Lu Thay Kam. "Itu perbuatan para
anggota, bukan perbuatan ayah angkatku! Engkau harus tahu
itu!" "Tapi ayahmu ketua Hiat Ih Hwe, maka aku harus
membunuhnya!" sahut Kam Hay Thian dan menambahkan.
"Kalau engkau tidak menyingkir, aku pun akan membunuhmu
pula!" "Bagus! Bagus! Cepat bunuhlah aku! Cepat!" Lu Hui San
maju ke hadapan Kam Hay Thian. Itu membuat pemuda
tersebut terpaksa menyurut mundur beberapa langkah.
"Cepatlah menyingkir!" bentak Kam Hay Thian dengan
kening berkerut-kerut.
"Bukankah engkau ingin membunuhku" Nah, cepat
bunuhlah aku! Tunggu apalagi?" tantang Lu Hui San yang
memang sudah merasa kccewa terhadap pemuda itu.
"Engkau...." Mendadak Kam Hay Thian mengayunkan
tangannya. Plaaak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi gadis itu.
"Aduuuh!" jerit Lu Hui San kesakitan sambil mengusap
pipinya. "Engkau... engkau...."
"Siapa suruh engkau tidak mau menyingkir" Hmmm...!"
dengus Kam Hay Thian.
"Anak muda!" bentak Lu Thay Kam. "Sungguh berani
engkau menampar putriku! Kalau aku tidak berjanji padanya,
engkau pasti sudah mati sekarang!"
"Oh?" Kam Hay Thian tertawa dingin, lalu mendadak
menyerang Lu Thay Kam.
Lu Thay Kam terpaksa berkelit, tapi Kam Hay Thian
menyerangnya lagi. Apa boleh buat, Lu Thay Kam terpaksa
balas menyerangnya. Terjadilah pertarungan sengit, sebab
Kam Hay Thian menyerangnya menggunakan Pak Kek Sin
Ciang yang mengeluarkan hawa dingin.
"San San! Cepat menyingkir!" seru Lu Thay Kam sambil
menangkis serangan Kam Hay Thian.
"Ayah!" ujar Lu Hui San sambil menyingkir. "Jangan ingkar
janji!" "Nak... baiklah! Ayah tidak akan ingkar janji!" sahut Lu
Thay Kam Sementara Kam Hay Thian terus menyerangnya. Lu Thay
Kam tampak kewalahan, akhirnya terpaksa mengeluarkan Ie
Hoa Ciap Bok Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Memindahkan Bunga
Dan Menyambung Pohon).
Lu Hui San menyaksikan pertarungan itu dengan hati
berdebar-debar tegang. Gadis itu sama sekali tidak
menghendaki ada yang mati. Tapi pertarungan itu makin seru,
Kam Hay Thian mati-matian menyerang Lu Thay Kam.
Puluhan jurus kemudian, mendadak Kam Hay Thian bersiul
panjang sekaligus menyerang Lu Thay Kam dengan jurus Swat
Hoa Phiau Phiau (Bunga Salju Berterbangan).
Menyaksikan jurus itu, Lu Thay Kam terpaksa
menangkisnya dengan jurus Hoa Khay Yap Cing (Bunga
Memekar Daun Menghijau).
Tampak tubuh mereka berkelebatan kemudian terdengarlah
suara benturan.
Daaar...! Ternyata Kam Hay Thian telah mengadu pukulan dengan
Lu Thay Kam. Kam Hay Thian terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah, begitu pula Lu Thay Kam.
"Bagus! Bagus!" ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gelak.
"Engkau memang pantas menjadi kekasih putriku!"
"Jangan banyak omong, anjing tua!" bentak Kam Hay
Thian. "Bersiap-siaplah untuk mampus!"
Kam Hay Thian bersiul panjang, kemudian menyerang Lu
Thay Kam dengan jurus Han Thian Soh Swat (Menyapu Salju
Di Hari Dingin). Tampak sepasang tangan Kam Hay Thian
bergerak cepat, sepasang kakinya pun menendang secepat
kilat. "Bagus!" seru Lu Thay Kam sambil menangkis dengan jurus
Ki Yauw Yap Lok (Dahan Bergoyang Daun Rontok)
Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat.
Lu Thay Kam dan Kam Hay Thian sama-sama terpental
beberapa langkah. Lweekang mereka kelihatan seimbang.
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Anak muda,
engkau memang hebat! Tidak heran pilihan putriku jatuh
padamu!" "Anjing tua!" bentak Kam Hay Thian sambil mengerahkan
Pak Kek Sin Kang hingga kepuncaknya, kelihatannya ia ingin
mengeluarkan jurus yang paling dahsyat untuk menyerang Lu
Thay Kam. Namun itu tidak terlepas dari mata Lu Thay Kam, maka ia
pun menghimpun Ie Hoa Ciap Bok Sin Kang sampai pada
puncaknya. "Lihat serangan!" bentak Kam Hay Thian sambil menyerang
dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus Leng Swat Teng
Hai (Salju Menutupi Laut).
Serangan itu sungguh dahsyat dan lihay, bahkan
mengeluarkan hawa yang sangat dingin. Apa boleh buat! Lu
Thay Kam terpaksa menyambut serangan itu dengan jurus Ie
Hoa Ciap Bok (Memindahkan Bunga Menyambung Pohon).
"Ayah...!" Terdengar seruan Lu Hui San, yang tahu jurus
tersebut akan merenggut nyawa Kam Hay Thian.
Suara seruan Lu Hui San membuat Lu Thay Kam teringat
akan janjinya, maka ia cepat-cepat menarik kembali dua
bagian Iweekangnya.
Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat memekakkan
telinga. Kam Hay Thian terhuyung-huyung beberapa langkah,
sedangkan Lu Thay Kam terpental beberapa depa, sekujur
badan menggigil dan mulutnya mengeluarkan darah.
"Anjing tua! Hari ini engkau harus mampus!" teriak Kam
Hay Thian sambil menyerang Lu Thay Kam.
Lu Thay Kam telah terluka dalam, maka bagaimana
mungkin mampu menyambut pukulan yang dilancarkan Kam
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hay Thian" Ia ingin berkelit tapi sudah terlambat.
"Hay Thian, jangan...!" pekik Lu Hui San.
Akan tetapi, pukulan yang dilancarkan Kam Hay Thian telah
menghantam dada Lu Thay Kam.
"Aaaakh...!" jerit Lu Thay Kam. Badannya, terpental
bagaikan layang-layang putus tali kemudian jatuh gedebuk
sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.
"Ayah! Ayah...!" Lu Hui San berlari-lari mendekati Lu Thay
Kam. "Ayah...!"
"Nak...!" panggil Lu Thay Kam sambil tersenyum. "Ayah....
Ayah tidak ingkar janji kan" Ayah....
"Ayah! Ayah...!" Lu Hui San memeluknya erat-erat.
"Ayah...!"
"Nak...!" Lu Thay Kam membelainya. "Ayah merasa puas
sekali, engkau... engkau sangat berbakti kepadaku. Tapi...
tidak lama lagi engkau akan menjadi sebatang kara...."
"Ayah...!" panggil Lu Hui San sambil menangis sedih
dengan air mata berderai derai. "Ayah...!"
Sementara Kam Hay Thian cuma berdiri termangu-mangu
di tempat, sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.
Kenapa mendadak Lu Thay Kam menarik lweekangnya ketika
ia menyerang dengan dahsyat"
"Nak...!" Suara Lu Thay Kam makin lemah. "Nak, ayah...
ayah sudah tidak tahan. Engkau... engkau jangan mendendam
pada... pada pemuda itu...."
"Ayah...!"
"Nak...!" Mendadak kepala Lu Thay Kam terkulai, ternyata
nafasnya sudah putus.
"Ayah! Ayah...!" jerit Lu Hui San sambil menangis meraungraung.
"Ayah, engkau telah berkorban demi janji itu. Aku...
aku yang mencelakaimu, Ayah...."
Mendadak Lu Hui San bangkit berdiri, lalu memandang Kam
Hay Thian dengan mata berapi- api.
"Kini engkau sudah puas kan" Engkau sudah puas kan"
Ayah angkatku tidak membunuh ibumu, tapi engkau malah
membunuhnya. Ketika aku ke mari, aku bermohon kepadanya
agar tidak turun tangan membunuhmu! Ayah angkatku
menyanggupinya, maka ketika ayah angkatku menangkis
dengan jurus Ie Hoa Ciap Bok, ayahku justru menarik kembali
lweekangnya, sehingga terluka oleh pukulanmu! Namun
engkau begitu kejam, ayah angkatku sudah terluka dalam,
engkau masih menyerangnya! Kini ayah angkatku telah mati,
engkau merasa puas" Kalau belum merasa puas, silakan
bunuh aku juga!"
"Hui San...!" panggil Kam Hay Thian dengan suara
bergemetar. "Aku...."
"Jangan panggil namaku!" bentak Lu Hui San sambil
tertawa dan menangis. "Aku benci padamu! Aku benci
padamu...!"
"Hui San!" Kam Hay Thian ingin mendekatinya.
Akan tetapi, Lu Hui San malah melangkah ke belakang
sambil menudingnya.
"Engkau adalah iblis! He he he!" Lu Hui San tertawa
terkekeh-kekeh. "Engkau adalah iblis! Engkau pembunuh ayah
angkatku! Aku benci, engkau aku benci padamu...!"
"Hui San, maafkanlah aku!"
"Aku tidak akan memaafkan mu! Aku benci padamu...!"
sahut Lu Hui San sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Aku benci
padamu...!"
Tiba-tiba Lu Hui San melesat pergi. Kam Hay Thian ingin
mencegahnya, tapi gadis itu langsung menyerangnya.
"Aku benci padamu! Cepat minggir!" bentak Lu Hui San
sambil menangis. "Kalau engkau tidak minggir, aku akan
bunuh diri di sini!"
"Hui San...." Kam Hay Thian terpaksa menyingkir.
Lu Hui San tertawa terkekeh-kekeh, lalu melesat pergi dan
masih terdengar suara tawanya.
"Hui San..." gumam Kam Hay Thian. Mendadak ia melesat
pergi, maksudnya ingin menyusul Lu Hui San. Akan tetapi,
gadis itu sudah tidak kelihatan.
"Aaaah...!" keluh Kam Hay Thian. "Kalau Hui San jadi gila,
itu adalah dosaku! Aku harus mencarinya! Harus mencarinya!"
-oo0dw0oo- Bagian ke empat puluh lima
Tayly Lo Ceng terluka
Di halaman istana Tayli, tampak Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan sedang duduk sambil bercakap-cakap.
"Sudah hampir setahun kita tidak ke Pulau Hong Hoang To,
entah bagaimana keadaan di sana?" ujar Toan Beng Kiat
sambil menggeleng- gelengkan kepala. "Aku rindu sekali pada
mereka." "Sama," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Ingin rasanya
sekarang berangkat ke Hong Hoang To."
"Itu bagaimana mungkin?" Toan Beng Kiat menghela nafas
panjang. "Orang tua kita tidak akan memperbolehkan kita ke
sana, itu sungguh menjengkelkan!"
"Beng Kiat, bagaimana kalau kita pergi secara diam-diam?"
tanya Lam Kiong Soat Lan seakan mengusulkan.
"Aku tidak berani." Toan Beng Kiat menggelengkan kepala.
"Sebab akan membuat gusar orang tua kita. Lebih baik kita
minta ijin saja."
"Tidak mungkin orang tua kita mengijinkan- nya!" Lam
Kiong Soat Lan menghela nafas. "Aku sudah rindu sekali pada
mereka, lagi pula bosan rasanya terus diam di istana ini."
"Soat Lan!" Toan Beng Kiat menatapnya seraya berkata,
"Bagaimana kalau nanti malam kita berunding dengan orang
tua kita?"
"Baik." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Tapi...."
Mendadak ucapan gadis itu terputus, karena terganggu
oleh suara tawa cekikikan. "Hi hi hi! Hi hi hi...!"
"Siapa?" bentak Toan Beng Kiat. "Cepatlah menampakkan
diri, jangan sampai aku bertindak!"
"Bocah! Engkau mau bertindak apa?" tanya orang yang
tertawa tadi, kemudian melayang seseorang.
Begitu melihat orang itu, terbelalaklah Toan Beng Kiat dan
Lam Kiong Soat Lan, karena orang itu merupakan gadis cantik
jelita berusia dua puluhan. Siapa gadis itu" Ternyata Bu Ceng
Sianli - Tu Siao Cui.
"Siapa Kakak?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring sekaligus balik
bertanya. "Kalian berdua siapa?"
"Aku bernama Lam Kiong Soat Lan dan dia bernama Toan
Beng Kiat." sahut Lam Kiong Soat Lan.
"Siapa orang tua kalian?" tanya Tu Siao Cui sambil menatap
mereka dengan tajam.
"Ayahku bernama Lam Kiong Bie Liong, ibuku bernama
Toan Pit Lian," jawab Lam Kiong Soat Lan.
"Ayahku bernama Toan Wie Kie, ibuku bernama Gouw Sian
Eng." Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Aku tidak kenal." Tu Siao Cui menggelengkan kepala. "Oh
ya, kalian punya hubungan dengan Toan Hong Ya?"
"Toan Hong Ya adalah kakek kami," sahut Toan Beng Kiat.
"Oooh!" Tu Siao Cui manggut-manggut. "Kalau begitu,
cepatlah kalian antar aku menemui Toan Hong Ya!"
"Maaf, Kakak!" ucap Lam Kiong Soat Lan. "Kami masih
belum tahu siapa Kakak!".
"Namaku Tu Siao Cui, julukanku adalah Bu Ceng Sianli.
Nah, cepatlah kalian antar aku menemui Toan Hong Ya!"
"Maaf, kami tidak berani!" Lam Kiong Soat Lan
menggelengkan kepala. "Sebab akan dimarahi orang tua
kami." "Kalau begitu...." Tu Siao Cui tertawa. "Aku akan masuk
sendiri menemui Toan Hong Ya."
"Kakak!" Toan Beng Kiat segera menghadang di
hadapannya. "Ini istana Tayli, engkau tidak boleh berlaku
semaumu!" "Oh?" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Hi hi hi! Bocah,
apakah engkau mampu menghadangku?"
"Kenapa tidak?" sahut Toan Beng Kiat sambil menatapnya.
"Kalau Kakak berkeras ingin masuk, aku terpaksa harus
bertindak."
"Bertindak bagaimana?" tanya Tu Siao Cui sambil
tersenyum. "Menghadangmu." Toan Beng Kiat kelihatan sudah bersiap
menghadangnya apabila Tu Siao Cui berkeras menerobos ke
dalam. "Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Aku tahu,
kepandaian kalian berdua cukup tinggi. Tapi kalian berdua
masih tidak mampu menghadangku."
"Kalau Kakak berkeras ingin menerobos ke dalam, kami
terpaksa berlaku kurang ajar terhadap Kakak," ujar Lam Kiong
Soat Lan. "Oh, ya" Hi hi hi...!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan.
Bersamaan itu, muncullah beberapa orang. Mereka adalah
Toan Wie Kie, Gouw Siang Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan
Pit Lian. "Siapa Nona?" tanya Toan Beng Kiat dengan kening
berkerut-kerut "Ada urusan apa Nona ke mari?"
"Kalian tentu para orang tua mereka berdua," sahut Tu
Siao Cui sambil menunjuk Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan. "Ya, kan?"
"Betul." Toan Wie Kie mengangguk. "Ada masalah?"
"Aku menyuruh mereka mengantarku menemui Toan Hong
Ya, tapi nereka tidak mau," ujar Tu Siao Cui memberitahukan.
"Sebaliknya malah ingin menghadangku."
"Mereka berdua memang harus menghadangmu," sahut
Toan Pit Lian dan menambahkan. "Sebab orang luar tidak
boleh memasuki istana ini semaunya."
"Kalau aku ingin memasuki istana Tayli ini semauku, kalian
mau apa?" tanya Tu Siao Cui menantang.
"Eh?" Toan Pit Lian mengerutkan kening. "Engkau berani
menghina kami?"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa geli. "Sungguh lucu sekali
Siapa yarg menghina kalian?"
"Engkau ingin memasuki istana ini semaumu! Berarti
menghina kami." sahut Toan Pit Lian.
"Hi hi hi...!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Engkau harus
tahu, aku mau memasuki istana ini, sebetulnya merupakan
suatu kehormatan bagi Toan Hong Ya."
"Omong kosong!" bentak Toan Pit Lian. "Cepat
beritahukan, siapa engkau!"
"Namaku Tu Siao Cui, julukanku adalah Bu Ceng Sianli.
Engkau sudah tahu aku siapa, cepatlah antar aku ke dalam
menemui Toan Hong Ya!"
"Ada urusan apa engkau ingin menemui ayah?" tanya Toan
Wie Kie sambil menatapnya tajam.
"Aku ingin menanyakan sesuatu kepadanya," jawab Tu Siao
Cui dan menambahkan sambil tersenyum. "Kalian tidak usah
khawatir, aku tidak berniat jahat terhadap Toan Hong Ya.
Percayalah!"
"Baiklah." Toan Wie Kie manggut-manggut. "Kebetulan
ayahku berada di ruang tengah, silakan Nona ikut kami ke
sana!" "Terimakasih!" ucap Tu Siao Cui.
Mereka masuk ke dalam menuju ruang tengah. Toan Hong
Ya memang sedang duduk di ruang itu membaca buku. Ketika
melihat Tu Siao Cui, terbelalaklah Toan Hong Ya. Itu tidak
usah heran. Sebab Tu Siao Cui sangat cantik sekali, bahkan
juga memiliki daya tarik yang luar biasa, maka membuat Toan
Hong Ya terpukau menyaksikan kecantikannya.
"Ayah!" Toan Wie Kie memberitahukan. "Nona Tu ingin
bertemu Ayah."
"Oh?" Toan Hong Ya tercengang. "Ada urusan apa Nona Tu
ingin bertemu aku" Siapa yang mengutusmu ke mari?"
"Toan Hong Ya," sahut Tu Siao Cui tanpa memberi hormat.
"Aku harus dipersilakan duduk dulu."
"Nona jangan kurang ajar terhadap ayahku!" bentak Toan
Pit Lian. "Cepatlah beri hormat!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Kenapa aku harus
memberi hormat kepadanya?"
"Nona!" Toan Pit Lian mengerutkan kening. "Ayahku adalah
raja Tayli, maka engkau harus memberi hormat kepadanya!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa lagi. "Aku adalah Bu Ceng
Sianli, seharusnya ayahmu yang memberi hormat kepadaku."
"Kurang ajar!" bentak Toan Pit Lian gusar.
"Ha ha ha!" Toan Hong Ya tertawa sambil memberi isyarat
kepada Toan Pit Lian agar putrinya itu jangan gusar dan
melanjutkan. "Nona Tu, engkau masih muda, aku sudah
berusia lanjut. Oleh karena itu, engkau tidak boleh kurang ajar
terhadapku."
"Berapa usiamu, Toan Hong Ya?" tanya Tu Siao Cui
mendadak. "Tujuh puluh satu," sahut Toan Hong Ya sambil tersenyum.
"Engkau harus memanggilku kakek lho!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Toan Hong Ya,
tahukah engkau berapa usiaku?"
"Dua puluhan."
"Salah." Tu Siao Cui tersenyum sambil memberitahukan.
"Usiaku sudah hampir sembilan puluh."
"Nona Tu!" Toan Hong Ya menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau jangan berhumor, itu tidak baik!"
"Toan Hong Ya, aku berkata sesungguhnya," sahut Tu Siao
Cui sungguh-sungguh. "Sama sekali tidak berhumor."
"Dasar sinting!" sela Toan Pit Lian dan menambahkan.
"Engkau harus segera enyah dari sini!"
"Apa?" Tu Siao Cui melotot. "Perempuan cerewet, engkau
berani mengusirku?"
"Kenapa tidak?" sahut Toan Pit Lian gusar. "Apabila perlu,
aku akan menghajarmu!"
Tiba-tiba Tu Siao Cui bergerak cepat, tampak badannya
berkelebat laksana kilat ke arah Toan Pit Lian.
Plaaak! Terdengar suara tamparan.
Ternyata pipi Toan Pit Lian yang terkena tampar,
membuatnya menjerit kesakitan.
"Aduuuh!"
"Engkau...." Lam Kiong Bie Liong menudingnya. "Akan
kuhajar engkau!"
"Kakak!" bentak Lam Kiong Soat Lan. "Engkau berani
menampar ibuku" Akan kubalas...."
"Soat Lan!" seru Toan Hong Ya. "Diam di tempat, jangan
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurang ajar!"
"Kakek," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Dia menampar ibu,
aku harus membalasnya."
"Sudahlah!" Toan Hong Ya mengerutkan kening, kemudian
menatap Tu Siao Cui tajam. "Nona Tu, engkau ingin cari garagara
di sini?" "Aku ke mari secara baik-baik, tapi...." Tu Siao Cui
menunjuk Toan Pit Lian seraya berkata, "Dia yang cari garagara
denganku, maka aku memberi pelajaran kepadanya."
"Nona Tu," tanya Toan Hong Ya. "Sebetulnya ada urusan
apa engkau datang ke mari menemuiku?"
"Aku ke mari ingin bertanya sesuatu kepadamu." sahut Tu
Siao Cui sekaligus bertanya, "Di mana Tayli Sin Ceng-Kong
Sun Hok?" "Apa?" Toan Hong Ya tampak tertegun, sebab orang lain
tidak tahu bahwa itu adalah julukan Tayli Lo Ceng ketika
masih muda, Kong Sun Hok adalah namanya. Bukankah
mengherankan sekali Tu Siao Cui mengetahui tentang itu"
"Engkau kenal Tayli Lo Ceng?"
"Aku tidak kenal Tayli Lo Ceng, hanya kenal Tayli Sin
Ceng," sahut Tu Siao Cui. "Aku akan membuat perhitungan
dengan padri sialan itu!"
"Nona...." Toan Hong Ya terbelalak. "Kapan engkau
bertemu Tayli Sin Ceng (Padri Sakti Tayli) itu?"
"Kira-kira delapan puluh tahun lalu."
"Haaah...?" Mulut Toan Hong Ya ternganga lebar, begitu
pula yang lain.
"Ayah," ujar Toan Wie Kie. "Dia gadis gila, tidak usah
diladeni! Biar kuusir dia!"
"Wie Kie!" Toan Hong Ya menatapnya. "Diamlah!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa. "Bagus! Bagus! Sebentar
lagi kita boleh bertanding!"
"Sekarang pun boleh!" tantang Toan Wie Kie yang mulai
kesal terhadap Tu Siao Cui itu.
"Oh, ya?" Tu Siao Cui tertawa. "Kalau begitu, keluarkanlah
senjatamu!"
Ketika Toan Wie Kie ingin mengeluarkan kipasnya, Gouw
Sian Eng berkata setengah berbisik.
"Jangan emosi, akan merusak suasana!"
"Tapi...." Toan Wie Kie mengerutkan kening. "Gadis itu
terlampau kurang ajar!"
"Biarkan saja!" sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum
lembut. "Yang penting engkau jangan emosi."
Toan Wie Kie manggut-manggut, sedangkan Tu Siao Cui
terus memandangnya, kemudian tertawa seraya berkata.
"Bagus! Bagus! Suami memang harus menurut pada isteri!
Hi hi hi!"
"Engkau...." Wajah Toan Wie Kie tampak kemerahan.
"Engkau sungguh kurang ajar!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa geli. "Engkau merasa malu
karena aku mengatakan, bahwa suami harus menurut pada
isteri?" 'Aku...." Toan Wie Kie tergagap.
"Nona Tu," u;ar Toan Hong Ya ssmbil menatapnya dengan
penuh perhatian. "Betulkah delapan puluh tahun lalu engkau
bertemu Tayli Sin Ceng?"
"Toan Hong Ya." sanut Tu Siao Cui. "Apa gunanya aku
bohong" Kalau Toan Hong Ya tidak percaya, tunggu padri
sialan itu ke mari!"
"jangan mencaci guru kami!' seru Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan dengan nada gusar.
"Oh?" Tu Siao Cui menatap mereka. "Padri sialan itu guru
kalian?" "Betul." sahut Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
serentak. 'Maka Kakak jangan menghina dan mencaci guru
kami!" "Aku justru ingin menghajar guru kalian itu," ujar Tu Siao
Cui sambil tertawa.
-ooo0dw0ooo- Jilid : 10 "Kakak...." Ketika Toan Beng Kiat ingin mengatakan
sesuatu, namun keburu di dahului oleh Toan Hong Ya.
"Nona Tu, Tayli Lo Ceng tidak berada di sini, lebih baik
engkau pergi saja, jangan membuat onar di tempat ini!"
"Jadi...." Tu Siao Cui mengerutkan kening. "Toan Hong Ya
mengusirku" Begitu kan?"
"Bukan mengusir, melainkan...."
"He he he!" Tu Siao Cui tertawa terkekeh-kekeh. "He he
he! Toan Hong Ya, engkau telah membuat hatiku tersinggung.
Oleh karena itu, akupun tak ingin membuat kalian susah."
"Nona Tu...." Toan Hong Ya terkejut. "Eng-kau mau apa?"
"Aku ingin bertanding dengan jagoan di sini." sahut Tu Siao
Cui memberitahukan. "Putra dan menantumu boleh bertanding
Menganku! Kalau aku kalah, aku akan meninggalkan istana ini.
Sebaliknya apabila mereka yang kalah, maka akulah yang
berkuasa di sini."
"Apa?" Toan Hong Ya terbelalak. "Engkau menghendaki
tahta kerajaan ini?"
"Tentu tidak." Tu Siao Cui tersenyum. "Aku hanya ingin
berkuasa di sini, sekaligus menikmati kesenangan dan
kemewahan. Kalau ada orang yang dapat mengalahkan aku,
barulah aku akan meninggalkan istana ini."
"Jadi engkau ingin bertanding dengan Toan Wie Kie dan
Lam Kiong Bie Liong?" tanya Toan Hong Ya.
"Ya." Tu Siao Cui mengangguk.
"Itu...." Toan Hong Ya memandang pulra dan menantunya
seraya bertanya, "Bagaimana menurut kalian?"
"Baik." Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong
mengangguk. "Kami menerima tantangannya."
"Bagus! Bagus!" Tu Siao Cui tertawa. "Kalau begitu,
cepatlah keluarkan senjata kalian!"
"Nona ingin melawan kami berdua dengan tangan kosong?"
tanya Toan Wie Kie dengan kening berkerut-kerut.
"Betul." Tu Siao Cui mengangguk sambil tersenyum.
"Dengan tangan kosong, aku tetap mampu merobohkan
kalian." "Baik." Toan Wie Kie manggut-manggut, lalu memandang
Lam Kiong Bie Liong seraya berkata, "Mari kita bertanding
dengan dia menggunakan senjata, dia yang menghendaki
begitu." "Ng!" Lam Kiong Bie Liong mengangguk sambil bertanya
kepada Tu Siao Cui. "Nona, engkau tidak akan menyesal?"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Terus terang,
dalam dua puluh jurus, kalian berdua pasti roboh."
"Oh?" Lam Kiong Bie Liong menatapnya dingin. "Engkau
terlampau sombong, justru engkau yang akan roboh dalam
dua puluh jurus."
"Mari kita buktikan!" ujar Tu Siao Cui. "Jangan membuangbuang
waktu lagi!"
Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong saling memandang,
kemudian mereka mengeluarkan senjata masing-masing, yaitu
sebuah kipas dan sebilah pedang.
"Kalian dengar baik-baik!" seru Toan Hong Ya serius. "Ini
cuma merupakan pertandingan persahabatan, jadi kularang
kalian saling melukai."
"Toan Hong Ya," sahut Tu Siao Cui. "Kalau tidak saling
melukai, tentu tidak akan tahu siapa yang berkepandaian lebih
tinggi. Karena itu haluslah saling melukai, namun tidak saling
membunuh."
"Itu...." Toan Hong Ya tampak gelisah. "Kalau begitu...."
"Jangan khawatir, Ayah!" ujar Toan Wie Kie. "Kami berdua
tidak akan terluka, percayalah!"
"Ayah," ujar Toan Beng Kiat. "Biar aku dan Soat Lan yang
bertanding dengan dia."
"Benar," sambung Lam Kiong Soat Lan. "Kami berdua saja
yang melawan dia, sebab dia lelah mencaci guru kami."
"Kalian jangan turut campur!" Toan Wie Kie mengibaskan
tangannya, agar mereka berdua menyingkir.
"Ayah...." Toan Beng Kiat tampak penasaran.
"Nak!" Gouw Sian Eng menariknya menyingkir. "Itu urusan
mereka, engkau dan Soat Lan jangan turut campur!"
"Ibu...." Toan Beng Kiat mengerutkan kening.
"Turutilah perkataan ibu, jangan bikin kacau pikiran
ayahmu!" bisik Gouw Sian Eng.
Sementara Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong sudah
berdiri di hadapan Tu Siao Cui. Suasana pun mulai tegang.
"Nona Tu!" Toan Wie Kie menatapnya. "Betulkah engkau
ingin melawan kami dengan tangan kosong?"
"Betul," sahut Tu Siao Cui sambil tersenyum. "Aku tidak
omong besar, kalian berdua boleh mulai menyerang aku!"
"Baik!" Toan Wie Kie mengangguk. "Bie Liong, mari kita
serang dia!"
Toan Wie Kie mulai menyerang Tu Siao Cui dengan
kipasnya, menggunakan ilmu Bu Ceng San Hoat (Ilmu Kipas
Tanpa Perasaan), sedangkan Lam Kiong Bie Liong menyerang
Tu Siao Cui dengan pedang, menggunakan Thay Yang Kiam
Hoat (Ilmu Pedang Surya).
Serangan-serangan itu tidak membuat Tu Siao Cui gugup,
sebaliknya ia malah tertawa nyaring sambil berkelit, sekaligus
balas menyerang dengan sepasang telapak tangannya.
Badannya melayang-layang ke sana ke mari menghindari
serangan-serangan yang dilancarkan Toan Wie Kic dan Lam
Kiong Bie Liong, bahkan amat penasaran, karena senjata
mereka sama sekali tidak dapat menyentuh pakaian Tu Siao
Cui. Namun diam-diam mereka sangat kagum akan
kepandaiannya. Walau dengan tangan kosong, tapi Tu Siao
Cui sama sekali tidak kelihatan terdesak.
Belasan jurus kemudian, malah Toan Wie Kie dan Lam
Kiong Bie Liong yang tampak berada di bawah angin.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Kepandaian kalian
cuma begitu saja" Hi hi hi! liga jurus lagi kalian pasti roboh!"
"Jangan sombong!" bentak Toan Wie Kie dan mulai
menyerangnya dengan jurus-jurus andalannya.
Begitu pula Lam Kiong Bie Liong, ia pun mulai
mengeluarkan jurus andalannya untuk merobohkan Tu Siao
Cui. Ketika Toan Wie Kie mengeluarkan jurus Hai Lang Soh Ngai
(Ombak Menyapu Daratan), Lam Kiong Bie Liong
mengeluarkan jurus Jit Liak Sauh Te (Terik Surya Membakar
Bumi). Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya kedua jurus
serangan itu. Tu Siao Cui diserang dari dua arah. Itu
membuatnya cukup repot juga. Akan tetapi, mendadak
badannya berputar-putar meluncur ke atas, jari telunjuknya
bergerak-gerak ke arah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie
Liong. Ternyata Tu Siao Cui mulai balas menyerang dengan ilmu
Hian Goan Ci, menggunakan jurus Hung Sui Soh Te (Air Bah
Menerjang Bumi).
Casss! Cessss! Terdengar benturan suara halus, kemudian
terdengar pula suara jeritan.
Aaaakh! Aaaakh...! Yang menjerit itu ternyata Toan Wie Kie
dan Lam Kiong Bie Liong.
Mereka berdua terkulai di lantai. Gouw Sian Eng dan Toan
Pit Lian segera berlari mendekati mereka dengan wajah
cemas. "Kakak Kie, bagaimana engkau?" tanya Gouw Sian Eng
pada suaminya. "Kakak Liong! Engkau... engkau terluka?" tanya Toan Pit
Lian cemas. "Bagaimana keadaan lukamu?"
"Kami... kami..." sahut Toan Wie Kie lemah. "Badanku tak
bisa bergerak, mungkin... mungkin aku sudah lumpuh."
"Apa?" Bukan main terkejutnya Gouw Sian Eng. "Coba
kerahkan lweekangmu!"
"Sudah kucoba, tapi...." Toan Wie Kie menggelenggelengkan
kepala. "Hawa murniku tidak dapat dihimpun."
"Jadi...." Wajah Gouw Sian Eng memucat. "Kepandaianmu
telah musnah?"
"Kira-kira begitulah." Toan Wie Kie menghela nafas
panjang. "Aku...."
"Kakak Kie...." Air mata Gouw Sian Eng mulai meleleh.
Bagaimana keadaan Lam Kiong Bie Liong" Keadaannya
juga seperti Toan Wie Kie, sama sekali tidak bisa bergerak.
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa nyaring. "Tadi aku sudah
bilang, dalam dua puluh jurus kalian berdua pasti roboh di
tanganku, sudah kubukti-kan. Hi hi hi!"
"Perempuan jahat!" bentak Lam Kiong Soat Lan. "Engkau
kejam! Kenapa melukai ayahku?"
"Aku tidak kejam," sahut Tu Siao Cui. "Kalau aku kejam,
mereka berdua sudah jadi mayat."
"Soat Lan...." Lam Kiong Bie Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Diamlah!"
"Ayah, aku dan Beng Kiat harus melawannya," ujar Lam
Kiong Soat Lan sambil memandang loan Beng Kiat. "Ayoh, kita
serang dia!"
"Baik." Toan Beng Kiat mengangguk.
"Soat Lan, Beng Kiat!" bentak Toan Hong
Ya. "Kalian berdua tidak boleh menyerangnya!"
"Kakek," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Dia telah melukai
ayah, aku harus membalas."
"Kakek," sambung Toan Beng Kiat. "Kami berdua akan
bertanding dengan dia."
"Tidak boleh!" bentak Toan Hong Ya lagi sambil
mengerutkan kening, kemudian memandang Tu Siao Cui
seraya berkata, "Nona Tu, aku harap engkau segera
menyembuhkan mereka!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa. "Sesuai dengan perjanjian,
kalau aku menang, aku berkuasa di sini. Apabila kalah, aku
akan pergi. Nah, buktinya aku yang menang. Maka akulah
yang berkuasa di sini. Hi hi hi...!"
"Omitohud!" Terdengar suara pujian Budha yang
menggetarkan hati. Tak lama muncullah seorang padri tua,
yang tidak lain adalah Tayli Lo Ceng.
Begitu melihat padri tua itu, bcrserilah wajah Toan Hong
Ya, sekaligus bersujud.
"Bangunlah!" Tayli Lo Ceng tersenyum lembut.
Toan Hong Ya bangun dan kembali ke tempat duduknya.
Segeralah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan berlutut di
hadapan padri tua itu.
"Guru!" panggil mereka.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangunlah murid-muridku!" ucap Tayli Lo Ceng.
"Ya, Guru." Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
bangkit berdiri.
Sementara Tu Siao Cui terus memandang Tayli Lo Ceng.
Ketika padri tua itu mengarah padanya, wanita itu berkata
sambil tertawa dingin.
"Padri sialan! Kebetulan engkau muncul, aku memang
sedang mencarimu!"
"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Nona, cepatlah
sembuhkan mereka!"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Kenapa aku harus
menyembuhkan mereka?"
"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil menatapnya tajam.
"Siapa engkau" Kenapa hatimu begitu kejam?"
"Padri sialan?" sahut Tu Siao Cui. "Dengarlah baik-baik! Aku
bernama Tu Siao Cui. Apakah engkau sudah lupa?"
"Tu Siao Cui! Tu Siao Cui..." gumam Tayli Lo Ceng. "Aku
memang sudah lupa."
"Padri sialan, bukankah engkau sangat mahir meramal"
Cobalah ramal siapa diriku ini!" ujar Tu Siao Cui sambil
tertawa dan menambahkan. "Aku tidak berhati kejam lho!
Buktinya aku tidak membunuh mereka, hanya melumpuhkan
mereka." "Itu membuktikan engkau berhati kejam," sahut Toan Beng
Kiat. "Engkau ke mari mencari guruku, tapi justru melukai
ayahku." "Bocah!" Tu Siao Cui tertawa. "Mereka berdua bertanding
denganku, bahkan aku melawan iiu-rcka dengan tangan
kosong. Aku menang ka-n-na kepandaianku lebih tinggi.
Bagaimana kalau tadi aku yang terluka" Apakah engkau akan
mengatai ayahmu berhati kejam?"
"Aku...." Toan Beng Kiat menundukkan kepala.
"Nah!" Tu Siao Cui tersenyum. "Makanya jadi orang
haruslah bertindak adil dan bijaksana seperti Tio Bun Yang!"
"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng. "Sebetulnya ada urusan
apa engkau ke mari mencari aku?"
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Tentunya engkau
sudah tahu akan kehadiranku di sini. Kalau tidak, bagaimana
mungkin engkau muncul tepat pada waktunya?"
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng tersenyum. "Engkau masih
muda, tapi mulutmu sungguh tajam!"
"Padri sialan, kini engkau sudah tua sehingga jadi pikun.
Masa engkau tidak mengenali aku lagi" Cobalah ingat!"
"Aku betul-betul tidak ingat lagi." Tayli Lo Ceng
menggeleng-gelengkan kepala.
"Padri sialan, kita pernah bertemu."
"Kita pernah bertemu" Kapan dan di mana?"
"Delapan puluh tahun lampau, pada waktu itu aku dituntun
oleh Thian Gwa Sin Hiap-Tan Liang Tie. Nah, sudah ingatkah
sekarang?"
"Apa?" Tayli Lo Ceng terbelalak. "Engkau adalah gadis kecil
itu" Bagaimana mungkin?"
"Aku memang gadis kecil itu, namaku Tu Siao Cui. Thian
Gwa Sin Hiap adalah guruku."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa engkau menyamar sebagai dirinya" Apakah Tu Siao
Cui itu gurumu?"
"Aku adalah Tu Siao Cui. Hi hi hi! Engkau lidak percaya
kan" Tapi aku masih ingat apa yang engkau pesankan kepada
Thian Gwa Sin Hiap delapan puluh tahun yang lampau."
"Omitohud! Aku sudah lupa. Beritahukan-lah!"
"Engkau berpesan kepada Thian Gwa Sin Hiap harus
berhati-hati padaku. Padri sialan, engkau sudah ingat itu?"
"Jadi...." Tayli Lo Ceng tertegun. "Betul engkau adalah
gadis kecil itu?"
"Betul." Tu Siao Cui mengangguk. "Pada waktu itu
julukanmu adalah Tayli Sin Ceng, bernama Kong Sun Hok. Ya,
kan?" "Tidak salah." Tayli Lo Ceng menatapnya tajam, kemudian
menghela nafas panjang. "Engkau memang serupa dengan
gadis itu, tapi...."
"Padri sialan!" Tu Siao Cui tertawa. "Tentu M'iupa karena
aku memang dia."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-plengkan kepala.
"Engkau kok masih tampak begitu muda, padahal usiamu
sudah delapan puluh lebih."
"Aku mengalami suatu kemujizatan, maka membuat diriku
jadi muda kembali seperti gadis berusia dua puluhan." Tu Siao
Cui memberitahukan. "Namun enam puluh tahun lebih aku
tersiksa dan menderita di dalam goa. Belum lama ini aku baru
bebas sekaligus memunculkan diri di rimba persilatan."
"Omitohud! Syukurlah kalau begitu!" ucap Tayli Lo Ceng.
Kini padri tua itu sudah yakin, bahwa gadis yang berdiri di
hadapannya itu adalah Tu Siao Cui, murid adik
seperguruannya yang memiliki kitab pusaka Hian Goan Cin
Keng. "Oh ya, bagaimana keadaan Thian Gwa Sin Hiap adik
seperguruanku itu?"
"Dia sudah mati," sahut Tu Siao Cui dingin dan menutur.
"Setelah aku berusia dua puluh lebih, aku pergi menyelidiki
kematian kedua orang tuaku. Ternyata guruku yang
membunuh mereka."
"Oh?" Tayli Lo Ceng mengerutkan kening. "Jelaskanlah!"
"Sebetulnya kedua orang tuaku adalah perampok budiman.
Mereka merampok demi menolong orang-orang miskin," sahut
Tu Siao Cui dengan wajah dingin. "Akan tetapi, Thian Gwa Sin
Hiap justru membunuh kedua orang tuaku karena membela
seorang hartawan yang selalu bertindak sewenang-wenang."
"Omitohud!"
"Mungkin Thian Gwa Sin Hiap merasa menyesal, maka
datang ke rumahku sekaligus membawaku pergi. Di saat itulah
bertemu engkau padri sialan."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Adik
seperguruanku tidak sengaja membunuh kedua orang tuamu."
"Sengaja atau tidak, dia tetap pembunuh kedua orang
tuaku!" sahut Tu Siao Cui gusar. "Seharusnya dia selidiki dulu,
barulah turun tangan! Namun dia tidak bertanya ini itu,
langsung membunuh kedua orang tuaku! Karena itu, aku
membalas dendam!"
"Engkau membunuh adik seperguruanku itu?" Tayli Lo
Ceng terbelalak.
"Ya." Tu Siao Cui mengangguk. "Tapi dia pun berhasil
memukulku sehingga membuat aku jadi lumpuh puluhan
tahun lamanya."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala
dan bertanya, "Lalu ada urusan apa engkau ke mari
mencariku?"
"Ingin menghukummu!"
"Oh?" Tayli Lo Ceng mengerutkan kening. "Apa salahku
maka engkau ingin menghukumku?"
"Delapan puluh tahun lampau, engkau menyuruh Thian
Gwa Sin Hiap berhati-hati padaku, secara tidak langsung
engkau menyuruhnya melenyapkan diriku." sahut Tu Siao Cui
menam-liahkan. "Seharusnya di saat itu engkau bertanya
kepadanya tentang diriku, kemudian engkau pun harus
menghukumnya. Tapi engkau tidak melakukan itu, sebaliknya
malah menyuruhnya berhati-liati terhadapku. Oleh karena itu,
hari ini aku harus menghukummu."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Tu
Siao Cui, engkau telah membunuh Thian Gwa Sin Hap, dan
kini engkau pun telah melukai mereka berdua. Apakah engkau
belum merasa puas?"
"Hi hi hi!" sahut Tu Siao Cui dengan tawa cekikikan. "Thian
Gwa Sin Hiap pernah bilang, engkau adalah padri sakti.
Karena itu, aku ingin menjajal kesaktian apa yang engkau
miliki." "Omitohud!" Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.
"Tu Siao Cui, itu tidak perlu. Engkau harus ingat akan dirimu
yang muda kembali, itu merupakan suatu berkah.
Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa, jangan membuat
dosa!" "Padri sialan, aku ingin bertanya," Tu Siao Cui menatapnya.
"Pernahkah engkau berbuat suatu dosa?"
"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Setiap manusia tidak
akan terlepas dari suatu dosa. Kalau tahu pernah berbuat
dosa, haruslah bertobat sekaligus menebusnya dengan
perbuatan baik."
"Bagus! Bagus! Kalau begitu, engkau harus bertanding
denganku!" ujar Tu Siao Cui sungguh-sungguh. "Apabila
engkau mampu mengalahkan aku, tentu aku akan
menyembuhkan mereka, bahkan juga akan meninggalkan
istana Tayli ini. Tapi seandainya engkau kalah, maka akulah
yang berkuasa di sini. Hi hi hi...."
"Tu Siao Cui!" Tayli Lo Ceng mengerutkan kening. "Asal
engkau tidak berlaku sewenang-wenang di sini, aku bersedia
mengaku kalah terhadapmu. Bagaimana?"
"Dasar licik!" sahut Tu Siao Cui. "Aku pun bersedia
mengaku kalah terhadapmu, asal aku berkuasa di sini."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Tu
Siao Cui...."
"Guru," ujar Toan Beng Kiat yang sangat penasaran. "Biar
aku dan Soat Lan bertanding dengan nenek sombong itu!"
"Beng Kiat, jangan turut campur!" sahut Tayli Lo Ceng
berwibawa. "Engkau diam saja."
"Hi hi hi!" Tu Siao Cui tertawa dan berkata, "Kalian berdua
bukan tandinganku, jangan sok jago!"
"Nenek jahat!" bentak Lam Kiong Soat Lan. "I ngkau telah
melukai ayahku, aku harus membalas!"
"Gadis kecil!" Tu Siao Cui tertawa. "Hi hi hi! Apakah aku ini
mirip nenek jahat?"
"Wajahmu masih muda, tapi usiamu sudah delapan puluh
lebih! Aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil saja kakak!"
"Kakak jahat sekali!" Lam Kiong Soat Lan menudingnya.
"Aku harus membalas!"
"Suruhlah gurumu bertanding dengan aku, bukankah dia
akan mewakili kalian membalasku?" sahut Tu Siao Cui sambil
tersenyum, kemudian memandang Tayli Lo Ceng. "Padri
sialan! Aku dengar engkau memiliki Hud Bun Pan Yok Sin
Kang dan Kim Kong Cap Sah Ciang, karena itu aku ingin
menjajal ilmu-ilmumu itu!"
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.
"Apakah aku tiada pilihan lain lagi?"
"Pilihanmu hanya bertanding denganku!"
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan
kepala. "Kalau begitu apa boleh buat!"
"Bagus! Bagus!" Tu Siao Cui tampak gembira sekali. "Kalau
aku kalah, aku pasti menyembuhkan mereka dan
meninggalkan istana ini. Namun seandainya engkau yang
kalah, maka akulah yang berkuasa di sini. Toan Hong Ya juga
harus menuruti perintahku, ini merupakan pertandingan
bersyarat. Bagaimana?"
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng memandang Toan Hong Ya.
"Aku setuju," sahut Toan Hong Ya cepat.
"Tidak akan menyesal?" tanya Tu Siao Cui.
"Ha ha ha!" Toan Hong Ya tertawa gelak. "Apabila Tayli Lo
Ceng kalah, engkau boleh berkuasa di sini dan duduk di
singgasanaku ini!"
"Oh, ya?" Tu Siao Cui tertawa gembira. "Baik. Tapi engkau
jangan menyesal!"
"Aku tidak akan menyesal," sahut Toan Hong Ya sungguhsungguh.
"Nah, kalian boleh mulai bertanding!"
"Bagus! Bagus!" Tu Siao Cui tertawa lgi. "Padri sialan,
tentunya kita bertanding tanpa senjata kan?"
Seruling Samber Nyawa 11 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pendekar Bayangan Setan 11