Han Bu Kong 3

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 3


yang aneh, tadi kau bilang dandanannya tidak ada sangkut pautnya dengan
ilmu pedang," Liong Hui juga tertawa senang.
Kening Ciok Tim bekerenyit, gumamnya, "Untuk mematahkan jurus ini harus
memakai cara lain daripada cara biasa .... Apa artinya kata-kata ini?"
Giok-he melirik Liong Hui sekejap, lalu memandang Ciok Tim pula, katanya,
"Letak kehebatan ilmu padang ini rasanya sukar dipecahkan biarpun kita peras
otak tiga hari tiga malam lagi."
"Tapi aku ...." kata Liong Hui.
"Biarpun secara kebetulan dapat kau terka sebagian, tapi dapatkah kau
ketahui di mana letak keajaiban sepatunya ini?" potong Giok-he.
Liong Hui jadi melenggong.
"Masih ada sesuatu yang mencurigakan, tapi tidak kalian lihat," kata Giok-he.
"Hal apa?" tanya Liong Hui.
"Dapatkah kalian menerka cara bagaimana huruf ini ditulis di sini?"
"Seperti dengan tenaga jari," ujar Ciok Tim setelah mengamati lagi.
"Ini kan tidak perlu diherankan, tenaga jari Suhu memang mahakuat," kata
Liong Hui. "Hm, bagaimana dengan kau?" jengek Giok-he.
"Aku mana sanggup," sahut Liong Hui.
"Setelah Suhu menyusutkan tenaganya tujuan bagian, kekuatannya bukankah
sebanding denganmu?"
"Ah, betul," seru Liong Hui sambil menepuk dahi sendiri. "Jika begitu, pada
waktu menulis ini kekuatan Suhu tentu sudah pulih. Sungguh aneh dan sukar
dimengerti" Dalam keadaan begini dan di tempat seperti ini siapakah yang
membuka Hiat-to Suhu yang tertutuk itu?"
Giok-he menghela napas, lalu bertutur, "Urusan bertanding Kungfu sebenarnya
adalah kejadian biasa, sebelum mendaki Hoa-san kukira urusan ini pasti tidak
ada sesuatu keajaiban meski ada bahayanya juga. Tapi setelah naik ke atas
gunung, setiap kejadian yang kita lihat ternyata melampaui kewajaran umum,
dari zaman dulu hingga sekarang rasanya tidak ada urusan pertandingan yang
lebih aneh daripada apa yang kita alami ini."
Ia berhenti sejenak dan memandang sekelilingnya, lalu menyambung,
"Perempuan she Yap itu menggunakan berbagai jalan agar Suhu mau
menyusutkan tenaga dalam sendiri dan Suhu ternyata menyanggupi, begitu
saja, inilah kejadian aneh yang belum pernah terdengar di dunia persilatan.
Lalu si Tojin berjubah hijau yang berusaha rebut sebuah peti mati kosong juga
tidak kurang anehnya. Semua ini sudah membuat hatiku tidak enak, siapa
tahu kemudian timbul lagi hal-hal aneh yang lebih banyak lagi. Jika kupikirkan
sekarang, di balik pertandingan di Hoa-san ini pasti terkandung macammacam
lika-liku dan rahasia, bisa jadi ada sementara orang telah mengatur
rencana sekian lama dan memasang sesuatu perangkap untuk menjebak
Suhu, tapi Tan-hong Yap Jiu-pek yang ditonjolkan sebagai pelakunya. Coba
kalian pikirkan ...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Liong Hui berlari ke depan sana.
"He, ada apa?" seru Giok-he.
Liong Hui menjawab sambil menoleh, "Kita sudah berada di sini, biarpun bicara
tiga hari lagi juga tidak ada gunanya, yang penting lekas kita mencari dan
membantu Suhu. Pantaslah Suhu suka bilang engkau memang pintar, cuma
terlalu banyak bicara dan sedikit berbuat."
Air muka Giok-he berubah kecut.
"Tunggu, Toako?" seru So-so dan segera ikut berlari ke sana.
Ciok Tim ragu sejenak dan memandang Giok-he sekejap, lalu menyusul juga
ke sana. Giok-he mencibir memandangi bayangan punggung mereka, cepat ia pun
menyusulnya, Siapa tahu, mendadak Liong Hui berhenti lagi.
Kiranya beberapa tombak jauhnya di depan situ terdapat lagi sepotong batu
karang dan juga terukir gambar seorang Tokoh, hanya gayanya agak berbeda.
Jika gambar yang pertama tadi bergaya bertahan, gambar yang ini bergaya
menyerang. Juga gambar yang pertama berdiri kukuh, gambar yang ini
mengapung di udara dengan pedang menebas, lalu di samping gambar ada
tulisan: "Liong Po-si, jika jurus bertahan tadi dapat kau patahkan, dapatkah
kau hindarkan jurus serangan ini?"
Liong Hui hanya membaca sekadarnya dan segera memutar lagi ke sana,
benar juga, di belakang batu ada tulisan lagi.
"Huh, lagu lama!" jengek Ciok Tim yang menyusul tiba.
"Untuk apa membacanya?" Liong Hui pun mengejek dan segera mendahului
melangkah lagi ke depan.
Sementara itu Giok-he telah menyusul sampai di sebelah sang suami. Liong
Hui memandangnya sekejap sambil menghela napas, katanya, "Tadi aku
telanjur omong, jangan kau marah padaku."
Giok-he seperti mau bicara, tapi segera terlihat ada gambar lagi di batu karang
di depan sana, cuma gambarnya sudah dirusak orang, batu kerikil bertebaran
di sekitar situ.
Liong Hui saling pandang sekejap dengan Giok-he, waktu ia memutar lagi ke
balik batu, tulisan di belakang juga telah dirusak dan tak terbaca lagi.
Kening Liong Hui bekerenyit, "Suhu ...."
"Ya, selain Suhu siapa pun tidak memiliki Lwekang sehebat ini," kata Giok-he.
"Mengapa beliau berbuat demikian, mungkinkah beliau tidak ... tidak mampu
mematahkan jurus serangan ini?" ucap Liong Hui setengah bergumam.
Giok-he hanya menggeleng tanpa bicara, mereka coba menuju ke depan lagi,
tanah batu mulai curam, beberapa tombak lagi jauhnya kembali sepotong batu
karang mengadang di depan, di atas batu ada tulisan besar: "Kakek usia 61
Liong Po-si berdendang sampai di sini!"
Tulisan ini jelas terukir dengan tenaga jari, di bawahnya terdapat lagi empat
huruf yang mengejutkan, bunyinya: "Tidak pulang untuk selamanya!"
Goresan keempat huruf ini tidak sama dengan tulisan di atas, goresannya lebih
halus, tenaganya lebih tajam, jelas diukir dengan senjata sebangsa pedang
atau golok. Dengan beringas mendadak Liong Hui menghantam, "blang", batu kerikil
munerat, Liong Hui juga tergetar mundur dan jatuh terduduk. Meski dia
terkenal Sebagai "Si kepalan besi", apa pun juga tubuhnya terdiri dari darah
dan daging. "Ai, kenapa kau marah terhadap sepotong batu, simpan tenaga saja untuk
menghadapi musuh nanti," kata Giok-he sambil menarik bangun sang suami.
"Hm, kau ...." karena mendongkol Liong Hui jadi tidak sanggup bicara.
Segera Giok-he mendahului menuju ke depan sana.
"Toako sangat baik terhadap siapa pun, terutama terhadap Toaso," kata So-so
sambil melirik Ciok Tim sekejap.
Muka Ciok Tim menjadi merah dan menunduk.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara seruan Giok-he di balik batu sana,
cepat mereka memburu maju.
Di balik batu karang ini adalah tepi jurang, justru di tepi tebing yang curam ini
dibangun sebuah gubuk bambu secara gaib. Warna bambu sudah berubah
kuning kering, waktu angin meniup bambu lantas menerbitkan suara keriatkeriut
dan bergoyang seperti mau runtuh.
Di depan pintu gubuk tidak ada sesuatu tanda apa pun, di kanan kiri juga tidak
ada sesuatu hiasan, gubuk ini berdiri menyendiri di puncak tebing yang terjal.
Liong Hui berhenti di samping Giok-he dengan melenggong, mendadak ia
berteriak, "Suhu!"
Secepat kilat ia menerjang maju dan mendorong pintu gubuk.
"Toako! ...." seru Ciok Tim khawatir dan segera bermaksud menyusulnya.
Tapi Giok-he lantas menarik baju Ciok Tim dan berkata, "Tunggu dulu!"
"Tunggu apa?" jengek So-so. "Jika Toako menghadapi bahaya apakah kita juga
mesti menunggu?"
Dia bicara dengan tajam, nona yang lembut ini mendadak bisa bicara ketus
begini, hal ini membikin Giok-he jadi terkesiap. Tanpa menghiraukan orang
lagi segera So-so memburu maju.
Dilihatnya Liong Hui berdiri di ambang pintu dengan termangu, di dalam
rumah gubuk tiada terlihat seorang pun, yang aneh adalah di tengah rumah
gubuk yang luang ini terlihat ada lima biji mutiara, gubuk ini ada empat pintu,
tiga comot noda darah, dua bekas kaki dan sebuah kasur bundar yang biasa
digunakan orang berduduk semadi.
Kelima biji mutiara terbingkai di atap rumah yang dianyam dengan bambu
hijau, keempat buah pintu tidak sama besarnya, pintu tempat Liong Hui masuk
itu paling kecil dan sukar dimasuki dua orang berjajar.
Di kanan kiri gubuk juga ada pintu yang lebih besar, sedangkan pintu yang
terbesar berada di seberang Liong Hui berdiri, dan kasur bundar yang sudah
butut itu terletak di depan pintu.
Yang paling tidak sepadan dengan kelima butir mutiara mestika itu adalah
kasur butut ini, kasur bundar ini sudah pipih saking lamanya dipakai, di
samping kasur tua inilah terdapat tiga comot darah segar, secomot darah
segar itu terletak di samping bekas telapak kaki sana.
Bekas darah lain terletak di sebelah kiri bekas kaki dan ada lagi bekas darah di
belakang kasur butut, dari situ ada lagi tetesan darah yang menuju ke pintu
paling besar itu. Sedangkan daun pintu semuanya tertutup rapat sehingga
orang yang semula berada di dalam gubuk ini seolah-olah menerobos keluar
begitu saja melalui celah bambu.
Ketika angin meniup masuk melalui celah bambu, tanpa terasa Liong Hui
menggigil, di bawah cahaya mutiara yang kontras suasana demikian terasa
cukup seram, semuanya serbamisterius, terutama tiga comot darah itu
semakin menambah seramnya keadaan rumah gubuk ini.
Setelah melenggong sejenak, mendadak Liong Hui melompat ke pintu sebelah
kiri, pintu ditariknya terbuka, tertampaklah sebuah jalan berliku menuju ke
bawah tebing. So-so juga coba membuka pintu sebelah kanan, di luar juga terdapat sebuah
jalan berliku menuju ke bawah. Lebar jalan berliku ini sama sempitnya, hanya
berbeda derajat kelandaiannya.
Tiba-tiba terpikir oleh Liong Hui, "Kedua jalan ini mungkin adalah jalan yang
dimaksudkan pada tulisan di dinding tebing tadi. Tempat tujuan cuma satu,
tapi jalan untuk mencapainya ada tiga, tentulah penghuni rumah gubuk ini
sengaja menggunakan cara ini untuk menjajaki Kungfu Suhu, begitu beliau
masuk rumah gubuk ini, tanpa bergebrak pun penghuni di sini sudah dapat
mengukur sampai di mana kelihaian Kungfu Suhu."
Hendaklah maklum, watak Liong Hui cuma jujur dan lugu, tapi bukan bodoh,
meski ceroboh, tapi tidak kasar. Dalam hal-hal tertentu bukannya dia tidak
mengerti melainkan cuma tidak mau menggunakan pikiran saja.
Kini setelah dipikirnya berulang, mau tak mau ia menjadi prihatin, pikirnya
pula, "Jika penghuni gubuk ini ialah Yap Jiu-pek, mengingat hubungannya
dengan Suhu serta kedudukannya di dunia persilatan, tentu dia takkan
menjebak Suhu dengan cara licik dan keji. Lantas apa maksud tujuannya
berbuat demikian" Bila penghuni gubuk ini bukan Yap Jiu-pek, lalu siapa lagi"
Melihat kasur butut ini, dia pasti sudah lama tinggal di sini, bangunan gubuk
bambu ini juga sangat kasar, bahkan hujan angin pun tidak tahan ...."
Begitulah dia terus berpikir kian kemari dan tetap tidak menemukan
kesimpulan. Dilihatnya So-so telah mendekati pintu yang paling besar itu,
segera ia hendak membuka pintu.
Sambil memandang bayangan punggung So-so, Giok-he menjengek dengan
suara tertahan, "Hm, apa yang diketahui genduk ini sudah terlalu banyak ...."
"Jika Toaso tahu ...." suara Ciok Tim menjadi gemetar dan tidak sanggup
meneruskan. "Orang yang tahu terlalu banyak terkadang suka mengalami bencana tibatiba,"
gumam Giok-he. Sekilas lirik Ciok Tim melihat sorot mata Giok-he penuh nafsu membunuh,
tanpa terasa ia berseru, "Toaso ...."
Giok-he menoleh, ucapnya, "Aku masih tetap Toasomu?"
"Aku ... aku takut ...." Ciok Tim menunduk dan bergemetar.
Mendadak Giok-he tertawa cerah, ucapnya dengan lembut, "Takut apa" Tidak
perlu takut, biarpun banyak yang diketahuinya pasti tak berani disiarkannya
sepatah kata pun."
"Tapi ...." Ciok Tim tampak ragu.
"Jangan khawatir, ia sendiri pun ada rahasia yang tidak ingin diketahui orang
lain, asalkan kugunakan sedikit akal lagi .... Hmk!" jengek Giok-he dengan
menyeringai. Ciok Tim termangu memandangi wajahnya yang cantik itu, entah bingung dan
entah takut. Sekonyong-konyong terdengar jeritan So-so di dalam rumah gubuk itu.
"Lekas!" seru Giok-he sambil mendahului menerobos ke dalam gubuk.
Dilihatnya So-so berdiri di samping Liong Hui menghadapi sebuah pintu yang
besar dan sama menunduk ke bawah. Di ambang pintu situ ada sebuah
telapak tangan kurus kering berwarna hitam.
Dari celah kaki Liong Hui dan So-so dapatlah Giok-he dan Ciok Tim melihat
tangan yang kurus kering itu mencengkeram erat ambang pintu terbuat dari
bambu, kuku jari sama amblas ke dalam bambu, kuku yang putih kelabu
terembes darah.
Cepat Giok-he memburu maju dan menyelinap ke tengah Liong Hui dan So-so,
serunya, "He, sia ... siapakah dia?"
Di luar sana adalah tebing yang terjal dengan gumpalan awan membelit di
pinggang tebing, sesosok tubuh yang kurus kering tampak bergelantungan di
luar pintu, bilamana tangannya tidak meraih ambang pintu, mungkin sudah
terjerumus ke jurang yang tak terkirakan dalamnya.
Orang ini mendongak ke atas, matanya melotot, kulit daging pada wajahnya
berkerut dan beringas, penuh rasa dendam dan juga memohon, rasa dendam
dan memohon sebelum ajalnya ini lantas terukir pada wajahnya lantaran
membekunya darah dan otot daging, serupa juga telapak tangannya yang
masih tetap mencengkeram ambang pintu sebelum dia mati.
Liong Hui berempat memandangi wajah yang beringas ini dengan tercengang,
sampai sekian lama barulah Liong Hui bersuara, "Dia sudah mati!"
Lalu ia berjongkok untuk menarik mayat ini ke atas setelah lebih dulu jari
orang yang mencengkeram ambang pintu itu dilepaskan, mayat itu lantas
diletakkan di lantai.
Tertampaklah tubuhnya yang kurus kering itu memakai baju hitam ringkas,
meski wajah beringas, namun jelas usianya belum lanjut, paling-paling baru
30-an tahun saja.
Perlahan Liong Hui meraba kelopak mata orang yang tak terpejam sampai
mati itu, ucapnya dengan menyesal, "Entah siapa orang ini, mestinya dari dia
dapat diketahui ...."
"Coba geledah bajunya, mungkin ada barang tinggalannya," tukas, Giok-he.
"Jangan," seru Liong Hui sambil berdiri, "kita tidak kenal dia, juga tidak ada
permusuhan apa pun, sekalipun dia musuh kita juga tidak boleh mengganggu
jenazahnya setelah, dia mati. Selama hidup Suhu bertindak luhur dan tetap
mempertahankan kehormatannya, mana boleh kita mengingkari beliau dan
bertindak kurang bijaksana begini?"
Sekali ini dia bicara dengan tegas dan mantap tak terbantahkan.
Terpaksa Giok-he mengalah, "Baiklah menurut padamu!"
Ciok Tim berdehem, lalu berkata, "Menurut tanda-tanda yang terlihat
sepanjang jalan, jelas Suhu sudah datang ke sini. Cukup dilihat dari tapak kaki
ini saja kan jelas bekas kaki beliau .... Jika tenaga Suhu sudah pulih, maka
bekas kaki yang kita lihat di bawah sana pasti juga tinggalan beliau. Namun,
lantas ke mana perginya Suhu sekarang?"
Dia seperti bergumam dan juga lagi bertanya akan pendapat orang. Tapi tidak
seorang pun yang menjawabnya. Seketika ia jadi termangu sendiri.
Di tengah kesunyian kemudian Ciok Tim bergumam pula, "Di sini ada tiga
comot genangan darah, dapat dibayangkan yang terluka di sini tidak cuma
satu orang saja, sebaliknya pada mayat ini tidak terlihat luka, lantas siapakah
yang terluka dan siapa pula yang melukainya" ...."
"Toako," So-so ikut bicara. "Untuk mencari jejak Suhu, kalau kita tidak
memeriksa orang ini ...."
"Tidak, justru demi kebesaran Suhu, kita tidak boleh berbuat sesuatu yang
memalukan beliau." ucap Liong Hui dengan tegas. "Simoay, kutahu, biarpun
banyak urusan yang dapat diperbuat seorang tanpa diketahui orang lain, tapi
hati nurani sendiri tetap tercela, bahkan menanggung sesal selama hidup.
Misalnya menemukan harta karun atas kehilangan orang lain, menemui
perempuan cantik di ruang tersendiri, melihat musuh terancam bahaya, semua
ini adalah batu ujian bagi hati nurani setiap orang. Sebabnya orang jahat
zaman ini sedemikian banyak adalah karena pada waktu orang melakukan
kejahatan selalu berusaha di luar tahu orang lain dan tidak mau tahu apakah
tidak malu terhadap hati nurani sendiri. Simoay, kita adalah anak murid
pendekar luhur budi, mana boleh berbuat sesuatu yang melanggar hati


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nurani"!"
Dia bicara dengan perlahan, mantap dan tegas, meski bicara terhadap So-so,
tapi juga seperti lagi memperingatkan yang lain.
Tangan Ciok Tim terasa gemetar, darah bergolak dalam rongga dadanya,
mendadak ia berseru, "Toako, aku ... aku ingin bicara padamu .... Sungguh
aku ...." Ia tidak sanggup bicara lebih lanjut, air mata berlinang dan menyurut mundur
dengan menunduk. Sesal dan malu hatinya membuatnya tidak berani
mengangkat kepala sehingga tidak diketahuinya wajah Ong So-so yang jauh
lebih menderita daripadanya itu.
Hati So-so seperti terlebih menanggung malu daripada Ciok Tim, bahkan air
matanya lantas menitik.
Keruan Liong Hui tercengang, "Hei, kenapa menangis, Simoay?"
So-so mendekap mukanya dan meratap, "Toako, aku ... aku bersalah padamu,
berdosa terhadap Suhu ...." mendadak ia menuding mayat yang kurus kering
itu dan berkata, "Sebenarnya kukenal orang ini, aku pun kenal banyak orang
lain lagi, juga banyak urusan kuketahui ...."
Karena rangsangan emosi sehingga ucapannya menjadi agak kacau.
"Bicaralah perlahan, Simoay, ada urusan apa boleh kau katakan saja kepada
Toako," ucap Liong Hui.
Ciok Tim terbelalak melihat perubahan sikap So-so itu, sinar mata Giok-he
juga gemerdep, tampak agak gugup.
Perlahan So-so lantas menyambung, "Toako, kau tahu sesungguhnya segenap
anggota keluargaku adalah musuh bebuyutan Suhu, semuanya dendam dan
ingin membunuh Suhu. Sebabnya kumasuk ke perguruan Sin-liong juga
karena bermaksud menuntut balas terhadap Put-si-sin-liong atas kematian
anggota keluargaku."
Ia berganti napas, lalu melanjutkan, "Aku tidak she Ong, juga tidak bernama
So-so, yang benar aku bernama Koh Ih-hong, keturunan Coat-ceng-kiam Koh
Siau-thian yang tewas di bawah pedang Put-si-sin-liong."
Belum habis ucapannya tubuhnya lantas terhuyung-huyung dan begitu
berhenti bicara segera ia jatuh terduduk di atas kasur buntut dan dekil itu.
Dalam sekejap itu dia telah kehilangan beribu kati tekanan batin yang
ditahannya selama ini, perubahan besar ini sukar ditahan oleh lahir-batinnya
sehingga ia jatuh terkulai di tanah, sampai sekian lama .... lalu ia menangis
lagi. Namun tekanan batin itu dengan keras kini telah memukul hati Ciok Tim dan
Kwe Giok-he. Sungguh tak terpikir oleh Ciok Tim bahwa Sisumoay yang biasanya lemah
lembut itu sesungguhnya adalah agen rahasia musuh yang mengemban tugas
sedemikian besar, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa Sisumoaynya yang
paling disayang dan berhubungan paling rapat dengan sang guru sebenarnya
adalah putri musuh yang menanggung dendam kesumat terhadap gurunya itu.
Seketika ia terbelalak dan menyurut mundur ke sudut sana sambil
memandang So-so dengan melongo.
Meski sebelumnya Giok-he juga sudah dapat menduga asal-usul So-so pasti
ada sesuatu rahasia yang belum terungkap, tapi tak terduga olehnya gadis
yang kelihatan lemah ini mempunyai keberanian untuk membeberkan rahasia
pribadinya. Mestinya Giok-he bermaksud menggunakan rahasia orang untuk memerasnya,
tapi sekarang terasa timbul rasa ngeri dalam hatinya, sebab modal yang
diandalkannya sekarang telah berubah tidak berguna sama sekali. Jika So-so
berani membeberkan rahasia pribadi sendiri, mustahil dia tidak berani
membongkar rahasia hubunganku dengan Ciok Tim"
Rasa ngeri yang timbul dari lubuk hatinya ini membuat Kwe Giok-he yang
biasanya cerdas dan cekatan itu menjadi bingung dan berubah menjadi lemah,
mukanya menjadi pusat dan sampai sekian lama tidak sanggup bicara.
Hanya Liong Hui saja, sekarang ia berbalik jauh lebih tenang daripada
biasanya, perlahan ia mendekati Ong So-so alias Koh Ih-hong, ia menghela
napas dan membelai rambutnya perlahan, tidak sedih juga tidak marah, ia
memanggil lirih, "Simoay ...."
Namun panggilan yang lirih ini membuat hati Koh Ih-hong bertambah pedih
dan haru. Dengan menangis ia bertutur pula, "Empat puluh tahun yang lalu,
kakek pulang dengan terluka parah dan akhirnya meninggal dunia. Kasihan
ayahku yang tidak tahan oleh pukulan berat ini, beliau sangat berduka dan
akhirnya kurang waras pikirannya, sepanjang hari dia cuma berduduk
mengelamun di bawah pohon di depan rumah, apa pun tidak dikerjakan dan
juga tidak bicara, berulang-ulang ayah cuma bergumam apa yang diucapkan
kakek sebelum mengembuskan napas penghabisan, yaitu kata, 'Apabila jurus
seranganku Thian-ce-keng-hun (mengejutkan arwah di ujung langit) lebih
keras sedikit ....' Kata-kata inilah berulang-ulang disebutnya. Sejak aku mulai
tahu urusan aku selalu mendengar gumaman ayah itu sampai meninggalnya
ayah. Hatiku sangat sedih setiap kali mendengar ayah mengulangi kata-kata
itu." Suaranya semakin lemah dan agak gemetar, Liong Hui mengikuti ceritanya itu
dengan cermat. Mendadak Giok-he seperti mau bicara, tapi segera dicegah
oleh Liong Hui.
Terdengar Koh Ih-hong menyambung lagi, "Dendam kesumat selama 40 tahun
ini, membuat hati setiap anggota keluarga kami tak pernah lupa untuk
menuntut balas, setiap saat mereka berusaha memperdalam kepandaian,
sebab mereka pun tahu Kungfu Put-si-sin-liong kini sudah tidak ada
tandingannya di dunia ini."
Ia memandang kegelapan malam di luar dan berucap pula, "Sang waktu terus
berlalu dengan cepat dan kami tetap tidak tahu cara bagaimana harus
menuntut balas. Sebab itulah dendam kesumat ini pun kian hari kian tambah
mendalam. Ayah-bundaku loksun (sakit tebece) karena menanggung dendam
tak terbalas ini dan tersia-sia hidupnya, selama hidup mereka merana dan
tidak pernah gembira."
Air matanya bercucuran dan tak diusapnya.
Darah Liong Hui bergolak, sungguh sukar dibayangkan seorang yang hidup
tanpa senyum gembira, tanpa kebahagiaan keluarga, yang ada cuma dendam
dan menuntut balas, betapa pedih dan menakutkan kehidupan demikian"
Dengan tersendat Koh Ih-hong menyambung lagi ceritanya, "Waktu ayahbundaku
meninggal usiaku masih kecil, famili yang dapat kuandalkan cuma
kakak saja, tapi setengah tahun kemudian kakak juga pergi secara mendadak,
maka setiap hari aku pun duduk melamun di bawah pohon yang biasa diduduki
ayah itu untuk menunggu pulangnya kakak dan merenung sakit hati ayah,
hidupnya tidak pernah mendapatkan cinta kasih, tapi telah belajar cara
bagaimana mendendam dan menuntut balas ...."
Hati Liong Hui tergetar, dapat dibayangkan betapa merana anak yang
dibesarkan di tengah keluarga yang penuh dendam itu. Kehidupan anak itu
sendiri sudah cukup dibuat berduka.
Namun So-so alias Ih-hong menyambung lagi, "Setahun kemudian kakak pun
pulang, dia membawa pulang sekian banyak sahabatnya, meski rata-rata usia
mereka masih muda, tapi bentuk rupa dan dandanan mereka sangat berbeda
satu sama lain, logat bicara mereka juga jelas bukan datang dari suatu tempat
yang sama. Namun mereka sama mahir ilmu silat, meski tinggi rendah Kungfu
mereka juga tidak sama, namun selisihnya tidak jauh. Kakak pun tidak
memperkenalkan mereka kepadaku dan langsung membawa mereka ke
sebuah ruangan rahasia, selama tiga hari mereka tidak keluar, selama tiga
hari itu entah apa yang mereka bicarakan dan entah berapa banyak arak yang
telah mereka minum ...."
Tangisnya mulai reda, suaranya juga mulai jelas, cuma sorot matanya tetap
buram serupa orang yang tenggelam dalam lamunan masa lalu, masa lalu
yang memilukan.
"Tiga hari kemudian," sambungnya, "aku menjadi tidak tahan. Kucoba mencuri
dengar di luar pintu ruang rahasia itu, siapa tahu kelakuanku telah diketahui
orang di dalam dan pintu mendadak terbuka. Aku terkejut, kulihat seorang
tinggi kurus berdiri di depan pintu, begitu tinggi perawakannya sehingga
kepalanya hampir menyundul kosen pintu, mukanya juga pucat pasi. Aku
ketakutan dan ingin lari, siapa tahu baru saja aku bergerak segera terpegang
olehnya, gerak tangannya sungguh secepat kilat."
Liong Hui berkerut kening, pikirnya, "Jangan-jangan kakaknya mencari bala
bantuan untuk menuntut balas?"
Terdengar Koh Ih-hong menyambung lagi, "Waktu itu kurasakan tangannya
sekuat tanggam menjepit tanganku, untung kakak lantas keluar dan
memberitahukan dia siapa diriku. Kemudian baru kutahu dia adalah Boh-hunjiu
(si tangan pembelah langit) yang disegani di dunia persilatan. Ayahnya juga
dikalahkan Put-si-sin-liong dan hidup merana. Kecuali dia, semua orang yang
berkumpul di ruang rahasia situ juga keturunan musuh Put-si-sin-liong, semula
mereka tersebar di berbagai tempat dari tidak saling kenal, tapi kakak telah
menghubungi mereka satu per satu dan dikumpulkan."
Kening Liong Hui bekerenyit lagi, pikirnya, "Jika demikian, tentu kakaknya juga
tokoh yang lihai, mengapa tidak terkenal di dunia persilatan?"
"Begitulah mereka telah berunding secara rahasia selama tiga hari dan
memutuskan beberapa hal penting, pertama, akan berusaha mengirim diriku
ke dalam perguruan Sin-liong-bun untuk mengawasi gerak-gerik Put-si-sinliong
serta belajar Kungfunya, jika ada kesempatan juga ...."
"Jika ada kesempatan Suhu akan kau bunuh, begitu bukan?" tanya Giok-he.
Dengan perasaan tertekan Ciok Tim menatap Koh Ih-hong dan dilihatnya nona
itu mengangguk dan berkata, "Ya, memang betul."
Alis Giok-he menegak, bentaknya. "Dosa berkhianat terhadap perguruan tidak
terampunkan, untuk apa orang semacam ini dibiarkan hidup"!"
Segera ia menubruk maju dan bermaksud menghantam batok kepala Koh Ihhong,
dia sudah bertekad akan membunuhnya untuk menjaga segala
kemungkinan, maka pukulannya ini tidak kenal ampun sedikit pun.
Siapa tahu mendadak Liong Hui lantas menangkisnya sambil membentak,
"Nanti dulu!"
Giok-he tercengang dan tergetar mundur, dengan gusar ia menegur, "Toako,
kenapa kau ...."
"Toaso," kata Koh Ih-hong dengan tenang, "jika hari ini kubeberkan selukbeluk
urusan ini, sebelumnya aku memang sudah siap untuk mati bila perlu,
maka hendaknya Toaso jangan tergesa-gesa bertindak."
Han Bu Kong 05 Tangisnya sudah berhenti malah dan berkata dengan sangat tenang,
sambungnya, "Jika aku tidak dapat berbakti kepada ayah-bunda, juga tidak
setia terhadap perguruan, bagiku memang tiada pilihan lain lagi kecuali mati.
Selama beberapa tahun ini boleh dikatakan Suhu sangat baik padaku, tapi
semakin beliau baik padaku, semakin sedih hatiku. Tidak cuma satu kali saja
ingin kubeberkan persoalan ini kepada beliau secara terus terang, namun ...."
Ia menghela napas panjang, lalu menyambung, "Namun aku juga tidak dapat
melupakan wajah ayah sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir."
"Selama ini apakah engkau tidak pernah berbuat sesuatu yang mengkhianati
perguruan?" tanya Giok-he dengan tajam.
Koh Ih-hong menjawab dengan menunduk, "Selama beberapa tahun ini aku
memang sering berbuat hal-hal yang berkhianat, tidak cuma satu kali saja
kuberi tahukan kepada kakak atau orang suruhannya rahasia ilmu silat yang
kubelajar dari Suhu."
"Hm, masa cuma itu saja?" jengek Giok-he.
"Juga pada pertandingan di Hoa-san ini aku pun tahu komplotan kakak telah
merancang perangkap di sini."
"Tapi hal ini sama sekali tidak kau katakan kepada Suhu!" jengek Giok-he.
"Tidak kukatakan sebab antara budi dan dendam mempunyai bobot yang sama
di dalam hatiku," kata Koh Ih-hong. Mendadak ia mendongak dan bertanya
kepada Liong Hui, "Toako, jika engkau menjadi diriku, apa yang akan kau
lakukan?" Kening Liong Hui berkerut, air mula kelam dan tidak menjawab.
Koh Ih-hong menuding mayat yang menggeletak di lantai itu dan berkata pula,
"Orang ini adalah keturunan keluarga Peng yang juga menjadi korban pedang
Suhu. Dia, kakak, ada lagi Boh-hun-jiu dari Kun-lun-pay dan murid Tiam-jongpay
serta keturunan keluarga Liu, merekalah yang merencanakan perangkap
di Hoa-san ini, untuk itu entah berapa banyak tenaga dan pikiran yang telah
mereka peras."
"Dan sekarang terkabul juga cita-cita kalian, Suhu ... Suhu benar telah ...."
sampai di sini Giok-he tidak sanggup meneruskan lagi, ia mendekap muka
sendiri dan menangis.
Kembali Ih-hong menunduk, air mata pun bercucuran pula, ratapnya, "O,
Tuhan, mengapa aku dilahirkan menjadi keturunan Coat-ceng-kiam, lalu
membuatku utang budi terhadap Put-si-sin-liong .... O, Thian, betapa pedih
rasa hatiku setiap kali setelah aku berbuat khianat terhadap Suhu, tapi ... tapi
jika hal itu tidak kulakukan, bagaimana pula aku harus berbakti terhadap
kakek, terhadap ayah ...."
Karena terharu, Ciok Tim juga menitikkan air mata.
Mendadak Giok-he mengusap air mata dan membentak, "Jika kau tahu sukar
lagi berbakti terhadap orang tua dan tidak setia terhadap perguruan, untuk
apa lagi hidup di dunia ini?"
"Untuk apa lagi hidup di dunia ini," Ih-hong mengulang kata-kata itu dengan
pedih, kembali ia menengadah, memandang kegelapan malam di luar dengan
nanar, serupa lagi memandang kejap terakhir atas kehidupan yang terasa
berat ditinggalkan ini.
Habis itu mendadak ia meraba bajunya, belati naga emas dilolosnya dan
secepat kilat menikam ke ulu hati sendiri sembari meratap pula, "Suhu, Toako,
maafkan dosaku ...."
Syukurlah pada detik terakhir itu mendadak Liong Hui membentak dan tangan
keburu mengetuk pergelangan tangan Koh Ih-hong yang memegang belati itu,
"trang" belati tergetar jatuh.
"Apa maksudmu ini?" bentak Giok-he dengan beringas. "Apakah sengaja
hendak kau bela murid durhaka ini?"
Hendaknya maklum, menurut hukum persilatan, dosa yang paling besar
adalah berdurhaka terhadap perguruan. Murid yang khianat dianggap tak
terampunkan dan setiap orang Kangouw boleh membunuhnya, sekalipun
sanak famili juga tidak berani membelanya.
Dengan sendirinya sekarang Kwe Giok-he beralasan untuk menyalahkan sikap
Liong Hui yang lunak terhadap Koh Ih-hong.
Liong Hui kelihatan prihatin, dipegangnya tangan Koh Ih-hong, tanpa
memandang Giok-he lagi ia berkata, "Simoay, janganlah terburu nafsu,
dengarkan dulu ...."
"Apa yang ingin kau omong lagi" ...." potong Giok-he, karena merasa
bersalah, ia berharap orang yang mengetahui rahasia perbuatannya ini lekas
mati saja. Tak terduga mendadak Liong Hui berpaling dan membentaknya, "Diam!"
Bentakan keras ini membuat Giok-he melenggong, mukanya berubah pucat.
Sejak menikah hingga sekarang belum pernah Liong Hui bersikap keras
padanya, selalu menurut dan memanjakan dia. Tapi sekarang sang suami
membentaknya sebengis ini, tentu saja hatinya kebat-kebit, disangkanya
mungkin Liong Hui telah mengetahui perbuatannya yang tercela itu.
Koh Ih-hong tampak menggigit bibir, air mata bercucuran, ratapnya sedih,
"Toako, aku memang pantas mampus, perkataan Toaso memang benar,
selama ini aku telah menipu Suhu meski beliau sangat baik padaku ...."
Liong Hui menarik napas panjang, katanya kemudian, "Tidak, engkau tidak
menipu beliau."
Giok-he, Ciok Tim dan Koh Ih-hong sama melengak dan bingung.
Dengan menyesal Liong Hui berkata pula, "Tiga hari setelah kau masuk
perguruan Suhu lantas mengetahui asal-usulmu."
"Hahh?" Koh Ih-hong menjerit kaget.
Giok-he dan Ciok Tim juga melenggong.
Dengan tenang Liong Hui menengadah, air mukanya menampilkan rasa
hormat dan kagum, seperti lagi mengenangkan kebesaran pribadi sang guru,
katanya kemudian dengan perlahan, "Kau tahu biasanya Suhu sangat ketat
dalam hal memilih murid. Aku dan Toasomu adalah anak yatim piatu, bahkan
sejak kecil aku sudah diangkat anak oleh Suhu. Samsute adalah cucu seorang
sahabat karib Suhu, hubungan keluarga Gote dan Suhu juga sangat erat ...."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Maka bilamana Suhu mau, menerima
dirimu tanpa mengusut asal-usulmu adalah karena beliau sebelumnya sudah
mengetahui seluk-beluk dirimu. Waktu Suma-lopiauthau membawamu kepada
Suhu ...."
"Suma-lopiauthau sendiri tidak tahu kepalsuan diriku," sela Koh Ih-hong, "tapi
kakak dan sahabatnya yang merencanakan tipu muslihat ini agar Sumalopiauthau
mengira diriku adalah putri yatim piatu yang telantar dan rebah
kelaparan di depan rumah Suma-lopiauthau. Karena kasihan padaku, Sumalopiauthau


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas membawaku ke Ci-hau-san-ceng."
Air muka Liong Hui yang kereng tiba-tiba menampilkan secercah senyuman,
katanya, "Di dunia ini tidak ada sesuatu urusan yang dapat dirahasiakan
selamanya, juga tidak ada seorang pun yang dapat mendustai orang lain
sekalipun orang lain itu agak lebih bodoh daripadanya."
Tergetar hati Giok-he, diam-diam sebenarnya ia merogoh saku dan tiga batang
jarum siap dihamburkan ke punggung Koh Ih-hong, demi mendengar ucapan
Liong Hui ini, tangannya rada gemetar dan jarum jatuh kembali ke dalam
saku. Perlahan Liong Hui berkata pula, "Jangan kau kira Suma-lopiauthau telah
kalian tipu, yang benar, sebabnya beliau mau membawamu ke Ci-hau-sanceng
adalah karena dia melihat ada sesuatu yang janggal pada keteranganmu.
Coba kau pikir, seorang anak yatim piatu mengaku ingin belajar ilmu silat,
mengapa yang dituju adalah Ci-hau-san-ceng" Padahal Suma-lopiauthau
sendiri juga termasyhur kelihaiannya, bila ingin belajar kenapa tidak kau
angkat guru saja padanya, tapi engkau minta beliau membawamu ke Ci-hausan-
ceng?" Koh Ih-hong jadi melenggong.
Maka Liong Hui menyambung lagi, "Dari dahulu hingga sekarang memang
sering ada orang pintar berbuat keblinger. Kakakmu mengira dirinya teramat
pintar, tapi tak terpikir olehnya akan kejanggalan ini."
Kepala Koh Ih-hong tertunduk terlebih rendah.
Hati Giok-he juga tergetar pula, pikirnya. "Dia sengaja bicara demikian,
apakah ada maksud lain dan sengaja diperdengarkan padaku?"
Didengarnya Liong Hui menghela napas dan bertutur pula, "Setelah engkau
dibawa datang oleh Suma-lopiauthau, beliau lantas mengadakan pembicaraan
rahasia dengan Suhu, akhirnya Suhu menarik kesimpulan engkau pasti putri
musuh. Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab, apalagi Suma-piauthau
memang seorang yang berwatak keras dan tegas, saat itu juga beliau
menyatakan, 'Bila sudah jelas asal-usulnya, bila perlu babat rumput sampai
akar-akarnya'."
Tergetar tubuh Koh Ih-hong.
Liong Hui menggeleng dan menyambung lagi, "Tapi waktu itu Suhu hanya
tersenyum saja dan menyatakan penyesalannya karena selama hidup beliau
telah banyak mengikat permusuhan dan dengan sendirinya akan banyak
menimbulkan sakit hati orang lain, maka beliau menegaskan takkan menyesal
andaikan pada suatu hari ada keturunan musuhnya akan mencari balas
padanya dan bahkan membunuhnya. Ia anggap balas membalas, utang harus
bayar, hal ini sangat lumrah dan adil."
Setelah berhenti sejenak mengenang kebesaran jiwa sang guru, kemudian
Liong Hui menyambung lagi, "Walaupun kuharap janganlah kumati secara
tidak wajar di kemudian hari, tapi aku pun tidak mau bertindak membabat
rumput sampai akar-akarnya, membunuh keturunan musuh habis-habisan.
Kuharap permusuhan dapat diakhiri, maka tidak peduli anak perempuan ini
putri musuhku yang mana, betapa pun dia adalah anak yang punya cita-cita
tinggi, bakatnya juga tidak jelek, dengan susah payah ia berusaha masuk ke
perguruanku, mana boleh kubikin dia kecewa. Umpama kelak setelah dia
berhasil menguasai ilmu silat ajaranku dan berbalik aku dibunuhnya, tetap aku
takkan menyesal, bahkan kalau dengan demikian akan dapat mengakhiri
dendamnya padaku sehingga permusuhan ini dapat dihapus, kan semuanya
jadi baik?"
Mendengar sampai di sini, tangis Koh Ih-hong yang tak bersuara mendadak
pecah lagi menjadi tangis keras.
Liong Hui berkata pula dengan menyesal, "Waktu itu kuladeni Suhu di
samping, maka semua percakapan mereka dapat kudengar dan kuingat benar.
Malam itu juga Suhu menerimamu sebagai murid dan pada malam itu juga
beliau ...."
Tanpa terasa ia memandang Giok-he sekejap, lalu menyambung, "Malam itu
juga beliau mengumumkan pernikahanku dengan Toasomu."
Ia termenung pula sejenak seperti lagi mengenangkan kebahagiaan pada
malam itu, kemudian lanjutnya, "Apakah engkau masih ingat pada esok pagi
berikutnya Suhu lantas berangkat pergi, pada malam ketiga Suhu baru pulang
dan mengatakan padaku bahwa dirimu adalah keturunan Koh Siau-thian Kohlocianpwe,
aku disuruh menjaga rahasia ini dan menyuruhku harus
memperlakukan dirimu dengan baik."
Tambah sedih tangis Koh Ih-hong, banyak isi hatinya yang ingin
diungkapkannya, tapi sepatah kata saja tidak sanggup berucap.
Dalam pada itu pikiran Kwe Giok-he tambah kusut dan gelisah, maklum, ia
merasa bersalah, perempuan yang tidak setia terhadap sang suami betapa pun
tetap menanggung tekanan batin.
Demikian pula dengan Ciok Tim, ia pun menyadari betapa kotor dan rendah
perilakunya itu, terutama hal ini menyangkut istri Suheng yang dihormatinya.
Cuma hati nuraninya sering terpengaruh oleh bujuk rayu yang memabukkan
dan membuatnya lupa daratan.
Liang Hui tidak menghiraukan mereka, perlahan ia bertutur lagi, "Pada suatu
hari, malam sudah larut kulihat engkau menyelinap keluar taman belakang
perkampungan, kutahu Ginkangku tidak mampu mengimbangi dirimu, maka
aku cuma mengintai dari kejauhan, kulihat engkau mengadakan pembicaraan
rahasia di dalam hutan dengan seorang lelaki jangkung. Sekarang dapat
kuterka orang itu tentulah kakakmu."
Koh Ih-hong mengangguk perlahan.
"Semua itu sudah kuketahui sejak dulu, cuma ada sesuatu yang sukar
kupahami, entah .... Ai, sudahlah, kutahu keadaanmu yang serbasusah, sesuai
pesan Suhu, tidak perlu kudesak ...."
Mendadak Ih-hong mengusap air mata dan berucap tegas, "Urusan apa pun
pasti akan kukatakan dan akan kuanggap Toako yang memaksaku bicara."
"Kukira tidak perlu, engkau ...."
"Aku memang tidak pernah melupakan sakit hati orang tua," tukas Ih-hong.
"Tapi ... tapi Suhu ... kini Suhu sudah ...."
"Suhu pasti takkan mati," tukas Liong Hui dengan penuh keyakinan.
"Apa pun juga kini sudah tiba saatnya harus kubalas budi kebaikan Suhu,"
kata Ih-hong. "Tapi bila akibat tindakanmu ini akan membikin susah kakakniu sendiri" ...."
"Sedapatnya akan kuusahakan menghapuskan permusuhan ini, bukankah
Suhu sudah menyatakan permusuhan lebih baik dihapus dan jangan
diperdalam."
"Dan kalau tidak dapat dihapus, lantas bagaimana?"
"Jika tidak kuselesaikan, biarlah kumati di depan kakak, biarlah kugunakan
darahku untuk mencuci permusuhan kedua pihak," kata Ih-hong dengan
tegas. Mendadak Liong Hui menengadah dan terbahak, "Haha, bagus, bagus! Tidak
percuma Suhu menerimamu sebagai murid. Bakti dan setia memang sukar
terlaksana sekaligus, budi dan benci juga sulit terselesaikan bersama.
Menghadapi perkara serbasulit begini, bagi seorang lelaki sejati hanya mati
saja yang dapat menyelesaikan tugas ini."
Mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung sambil menatap Koh Ih-hong,
"Jika aku menjadi dirimu, tentu demikian pula tindakanku."
Kedua orang lantas saling pandang dengan penuh saling pengertian.
Melihat itu, hati Giok-he tambah tidak enak, bilamana di antara mereka
tambah akrab, bukan mustahil pada suatu hari rahasianya pasti akan
dibeberkan oleh Koh Ih-hong. Ia menjadi serba susah. Ia coba memandang
Ciok Tim, anak muda itu kelihatan menunduk, tampaknya juga tertekan
batinnya. Pada saat itulah sekonyong-konyong di atas rumah ada suara orang bergelak
tertawa nyaring, "Hahaha! Sungguh lelaki yang gagah dan perempuan yang
bijaksana!"
Semua orang sama kaget.
"Siapa?" bentak Liong Hui.
Waktu ia berpaling, tahu-tahu sesosok bayangan kelabu melayang tiba.
Agaknya orang ini sudah sekian lama berada di atas rumah bambu ini, namun
tiada seorang pun yang mengetahuinya, gerak tubuhnya yang ringan waktu
melayang turun juga sedemikian gesitnya, tentu saja semua orang tambah
terkejut. Waktu Liong Hui berempat mengamatinya, terlihat orang yang melayang tiba
ini masih muda, berdahi lebar bersinar mata tajam, meski wajahnya tidak
terlalu cakap, tapi cukup cerah dan menarik. Perawakannya juga tidak terlalu
tinggi, kelihatan agak gemuk, namun gerak-geriknya tangkas dan cekatan.
Wajahnya yang agak kehitaman selalu mengulum senyum dan membuat setiap
orang yang baru bertemu tidak merasa jemu padanya.
Sekali pandang saja Liong Hui lantas berkesan baik juga terhadap orang ini.
Pemuda cerah ini pun langsung mendekati Liong Hui dan memberi hormat,
katanya, "Selamat, Toako!"
Nada dan sikapnya seakan-akan sudah kenal baik kepada Liong Hui.
Tentu saja Giok-he dan Ciok Tim merasa heran, mereka sama memandang
Liong Hui. Waktu Koh Ih-hong mengenali pendatang ini, air mukanya juga berubah.
Meski sangsi, Liong Hui adalah seorang yang simpatik, cepat ia balas hormat
orang dan menjawab, "Selamat, sama-sama selamat!"
Dengan tertawa cerah pemuda itu berucap pula, "Kutahu Toako tidak kenal
diriku, tapi aku justru kenal Toako, dan ...." mendadak ia berpaling dan
menatap Koh Ih-hong dengan tajam, lalu menyambung, ".... juga adik cilik
ini." "Kau ... kau ...." Ih-hong tampak gugup, tanpa terasa menyurut mundur.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentak Ciok Tim.
"Siapa aku, rasanya sulit untuk kujawab," kata pemuda cerah itu. "Tadi adik
Koh ini mengatakan kakaknya telah menghimpun serombongan keturunan
musuh Liong-loyacu, aku termasuk satu di antaranya, aku pun ikut bersama
mereka merencanakan cara bagaimana menuntut balas."
"Jika sahabat ini ternyata lawan dan bukan kawan, harap bicara terus terang
apa maksud kedatanganmu ini," kata Liong Hui segera sambil membusungkan
dada. "Anak murid Ci-hau-san-ceng sudah siap menghadapi segala sesuatu."
"Haha, lawan dan bukan kawan," pemuda cerah itu mengulangi ucapan Liong
Hui. "Bilamana aku lawan, mana mungkin kupanggil Toako padamu. Jika
lawan, mana kusediakan obor dan memasang tali panjang bagimu."
Mendadak sikapnya berubah kereng dan menyambung pula, "Meski aku ikut
serta dalam muslihat mereka, tapi aku tidak pernah ikut bicara, tidak
mengajukan sesuatu usul .... Haha, makanya mereka menganggap diriku ini
sebagai orang tolol, orang linglung yang tidak berguna lagi."
"Obor, tali, semua itu ...." Liong Hui berkerut kening, ia coba berpaling ke arah
Koh Ih-hong, kelihatan nona itu mengangguk perlahan.
Pemuda cerah tadi bergelak tertawa dan berkata pula, "Namun bagiku justru
mereka itulah kawanan orang tolol, mereka tidak mau berpikir bahwa tokoh
yang pernah menggetarkan dunia Kangouw Kiu-ih-hui-eng (elang terbang
bersayap sembilan) Tik Bong-peng masakah bisa mempunyai seorang anak
yang goblok."
"O, kiranya Tik-kongcu," cepat Liong Hui memberi hormat. "Sering kudengar
cerita guruku bahwa di antara lawannya dahulu, tokoh yang paling dihormati
dan disegani beliau adalah Tik-locianpwe?"
Wajah pemuda cerah itu tampak prihatin ia membalas hormat dan berucap,
"Mendiang ayahku ...."
"O, apakah Tik-locianpwe sudah wafat" Mengapa tidak terdengar berita ini di
dunia Kangouw?" kata Liong Hui.
Pemuda itu tersenyum murung, jawabnya, "Belasan tahun ayah mengasingkan
diri di Thian-san yang jauh sana, dengan sendirinya tidak ada kabar berita
mengenai beliau di dunia Kangouw."
Liong Hui tahu sejak Kiu-ih-sin-eng Tik Bong-peng dikalahkan oleh gurunya,
nama kebesarannya lantas runtuh dan sejak itu menghilang dari dunia
Kangouw. Dilihatnya pemuda cerah itu bicara pula dengan bersemangat, "Sebelum
meninggal, ayah juga sering bicara tentang kegagahan Put-si-sin-liong, beliau
tidak pernah menyesal karena kalah di bawah pedang si naga tak termatikan."
"Tapi guruku juga sering mengatakan seharusnya Tik-locianpwe menang
dalam pertarungan itu, sebab lebih dulu guruku telah tertusuk oleh pedang
Tik-locianpwe," kata Liong Hui.
"Salah, bukan begitu halnya," ujar si pemuda cerah. "Ayah telah menceritakan
semua kejadian pada waktu itu. Waktu itu Liong-loyacu berkunjung ke Thiansan
di bawah hujan salju dan angin badai, beliau menunggu lagi sehari
semalam di puncak Thian-san. Padahal Liong-loyacu datang dari daerah
Kanglam yang beriklim hangat, mana tahan akan dingin salju dan angin di
puncak Thian-san, karena itulah kaki dan tangan beliau tentu saja kaku
kedinginan, dengan begitu barulah ayahku bisa menarik keuntungan. Tapi
ketika ujung pedang ayah menyentuh badan Liong-loyacu, pedang Liongloyacu
juga sudah mengancam di dada ayah. Apabila Liong-loyacu tidak
bermurah hati, tentu .... Ai!"
Diam-diam Koh Ih-hong menghela napas, terpikir olehnya betapa sempit jalan
pikiran kakek sendiri dibandingkan kebesaran jiwa Kiau-ih-sin-eng Tik Bongpeng.
Didengarnya pemuda she Tik itu bertutur pula, "Sebelum ayah meninggal,
berulang beliau memberi pesan padaku bahwa Liong-loyacu sesungguhnya
berbudi kepada beliau, maka kelak aku harus membalas budi dan bukannya
membalas dendam. Pesan ini setiap saat selalu kuingat dengan baik. Setelah
ayah wafat, aku lantas meninggalkan Thian-san dan datang ke Tionggoan sini,
waktu itu aku gemar minum ...." ia tersenyum, lalu menyambung, "Sampai
saat ini aku tetap suka minum arak hingga lupa daratan."
Liong Hui tersenyum, ia tertarik kepada pemuda yang suka terus terang ini.
Terdengar pemuda she Tik menyambung lagi, "Suatu hari aku mampir minum
arak di sebuah rumah minum kecil di luar kota Tai-beng-hu, sekaligus
kuhabiskan dua guci Tik-yap-jing simpanan pemilik rumah minum itu. Tik-yapjing
memang arak yang sedap, waktu diminum tidak terasa keras, sesudah
masak perut, bekerjanya justru sangat lama. Aku sudah terbiasa minum arak
keras daerah Kwan-gwa, maka sekali ini aku terperangkap, tidak jauh
meninggalkan rumah minum itu aku lantas mabuk dan mengaco-belo tak
keruan ...."
Sampai di sini, ia tertawa kikuk, lalu melanjutkan, "Kemudian baru kuketahui,
dalam keadaan mabuk aku telah membual tentang ilmu pedangku yang tidak
ada tandingan, kubilang Put-si-sin-liong juga bukan tandinganku, kukatakan
pula Thian-san-kim-hoat tidak ada tandingannya di dunia, ilmu pedang daerah
Tionggoan sama sekali tidak ada artinya bagiku."
Liong Hui tersenyum, ia tambah senang terhadap anak muda yang suka bicara
blak-blakan ini.
"Esok harinya ketika aku sadar, kulihat di sampingku seorang pemuda ganteng
sibuk melayani diriku," tutur lagi pemuda she Tik. "Dia itulah kakak adik Koh
ini, Koh Kang. Selama tiga hari kami pesiar bersama dan menghabiskan lagi
beberapa guci Tik-yap-jing. Akhirrya Koh Kang membeberkan rencananya
kepadaku, katanya dia telah mengumpulkan, segenap keturunan musuh Putsi-
sin-liong dan bermaksud menagih utang berdarah kepada jago nomor satu
itu." Malam tambah larut, cahaya mutiara semakin terang, semua orang seakanakan
lupa lapar dan lelah dan asyik mendengarkan ceritanya.
"Waktu itu aku terkejut, sebab dari keterangannya kutahu orang-orang yang
telah dikumpulkannya adalah keturunan jago-jago terkemuka belasan tahun
yang lalu, betapa tinggi kepandaian Put-si-sin-liong pasti juga akan repot
menghadapi jago muda yang dihimpunnya ini."
Ia terdiam sejenak, lalu menyambung, "Mau tak mau mengiang lagi pesan
ayahku bahwa aku harus membalas budi kepada Liong-loyacu, maka ajakan
Koh Kang kuterima. Adapun apa yang terjadi selanjutnya tentu sudah
dituturkan oleh adik Koh tadi yang tidak diketahui oleh Toako mungkin adalah
mengapa orang-orang ini bisa berkaitan dengan pertandingan antara Tan-hong
dan Sin-liong di Hoa-san ini dan cara bagaimana disiapkan perangkap ini?"
"Ya, memang urusan ini membuatku bingung ...." kata Liong Hui. "Tapi
sebelum kau bicara lagi, maukah kau beri tahukan lebih dulu namamu?"
"Tik Yang!" kata si pemuda cerah sambil memberi gerakan melayang-layang di
udara. "Namaku Yang, yang melayang. Nama ini tidak menonjol di dunia
Kangouw sebab beberapa tahun ini aku selalu berlagak bodoh dan pura-pura
dungu." Liong Hui tersenyum, juga Koh Ih-hong merasa geli. Hanya Ciok Tim saja yang
bungkam dengan muka cemberut.
Giok-he memandangnya beberapa kejap, katanya kemudian, "Tik Yang,
sungguh nama bagus!"
"Terima kasih, Toaso," Tik Yang memberi hormat.
Pemuda ini ternyata pandai bergaul dengan siapa pun, dalam suasana


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana pun dia dapat menempatkan dirinya secara riang dan penuh
humor. Diam-diam Ciok Tim mendongkol, ia melengos ke sana dan tidak mau
memandangnya lagi.
Sebenarnya watak Ciok Tim tidaklah jelek, hanya dalam hal urusan perempuan
telah membuatnya kehilangan pribadinya. Sikap Tik Yang terhadap Koh Ihhong
tadi telah membuatnya mendongkol, sekarang Giok-he bersikap manis
lagi kepada Tik Yang, tentu saja dia tambah cemburu, tapi tidak dapat berbuat
sesuatu. Terdengar Tik Yang bicara lagi, "Meski ada maksudku hendak bekerja bagi
Liong-loyacu, tapi mengingat ada persekutuanku dengan Koh Kang dan lainlain,
terpaksa aku tidak dapat tampil melainkan cuma berusaha secara diamdiam
saja." "Sudah banyak bantuanmu dengan obor, tali dan sebagainya," kata Liong Hui.
"Semula kami tidak tahu orang kosen dari mana yang diam-diam memberi
bantuan, tak tersangka adalah jasa baik Tik-hiante. Sungguh kami sangat
gembira dapat bertemu denganmu."
Tik Yang menghela napas, "Sejak berkelana di daerah Tionggoan lantas
kudengar cerita di dunia Kangouw bahwa murid utama Sin-liong-bun, si lelaki
baja Liong Hui adalah kesatria yang jujur dan berbudi luhur, hari ini dapat
bertemu sendiri dengan Toako, ternyata memang tidak bernama kosong."
"Ah, Tik-hiante terlalu memuji," kata Liong Hui.
Dengan serius Tik Yang berucap pula, "Bilamana tadi aku tidak menyaksikan
sendiri tindak tanduk Toako, tentu aku takkan menemui Toako di sini."
Ia berpaling dan memandang sekejap mayat menggeletak di lantai itu, lalu
berkata pula dengan menyesal, "Meski orang ini tidak ada hubungan erat
denganku, tapi jelek-jelek kami sudah berkawan. Walau dia sudah mati Toako
tetap menghormatinya tanpa memperlakukan kasar padanya. Kupikir bilamana
terhadap orang mati saja Toako bersikap demikian, apalagi terhadap yang
hidup. Kalau dapat bersahabat dengan kesatria semacam ini sungguh tidak
sia-sia kunjunganku ke Tionggoan ini. Sebab itulah aku lantas melompat turun
kemari ...."
"Kiranya sejak mula Tik-hiante sudah bersembunyi di atas rumah, sungguh
tidak becus kami ini, ternyata tidak ada seorang pun yang mengetahui
jejakmu," kata Liong Hui dengan tersenyum.
"Memangnya siapa yang tidak pernah mendengar Sam-hun-sin-kiam dan Jitkim-
sin-hoat dari Thian-san-pay, setelah melihat Ginkang Tik-hiante tadi nyata
Kungfu Thian-san yang termasyhur itu memang tidak omong kosong," kata
Giok-he dengan tersenyum, agaknya ganjalan hati tadi sudah terlupakan.
"Ah, Sam-hun-kiam-hoat dan Jit-kim-sin-hoat hanya kupelajari serba sedikit
saja, kalau ada sedikit kemajuanku, paling-paling lantaran setiap hari berlarian
di tanah pegunungan bersalju sehingga tubuhku lebih ringan dan kakiku lebih
kuat, mana pantas dipuji oleh Toaso. Apalagi kalau dibandingkan Sin-liongkiam-
hoat, sungguh aku merasa malu sendiri."
"Sin-liong-kiam-hoat memang cukup membanggakan, namun sayang di antara
anak muridnya seperti kami ini tidak ada seorang pun mampu mewarisi
kepandaian Suhu," kata Liong Hui dengan gegetun. "Hanya Gote saja yang
berbakat dan punya dasar yang kuat, cuma sayang dia belum lama belajar
dengan Suhu dan belum kelihatan sesuatu yang menonjol. Sebaliknya diriku
yang paling lama ikut Suhu justru teramat bodoh."
"Gote yang disebut Toako itu apakah keturunan keluarga Lamkiong yang kaya
raya dan belum lama masuk perguruan Sin-liong itu" tanya Tik Yang.
Liong Hui membenarkan.
"Pernah juga kudengar pemimpin grup hartawan Lamkiong cuma mempunyai
seorang putra tunggal yang sejak kecil gemar belajar silat dan entah berapa
banyak mengangkat guru serta membuang biaya, cuma sayang yang
didapatkan semuanya bukan tokoh yang tepat. Baru akhir-akhir ini ia diterima
ke dalam perguruan Sin-liong. Heran juga putra keluarga hartawan yang
biasanya cuma suka foya-foya ternyata mau tekun belajar silat segala."
"Hubungan keluarga Lamkiong dengan perguruan kami memang sangat erat
dan cukup panjang untuk diceritakan," tutur Liong Hui. Lalu ia mengacungkan
ibu jari dan berkata pula, "Meski Gote kami ini putra keluarga hartawan
ternama, tapi dia bukan pemuda keluarga kaya umumnya. Selain bakatnya
tinggi dan otaknya cerdas, dia juga berbakti kepada orang tua, setia terhadap
guru dan berbudi terhadap kawan. Tidak bingung menghadapi perempuan
cantik, tidak gugup menghadapi bahaya. Ia pun serba pandai dan giat belajar.
Kuyakin hanya dia saja yang dapat mengembangkan nama baik Sin-liong-bun
kelak." Biasanya Liong Hui tidak pandai bicara, tapi apa yang diuraikan ini adalah
sesuatu yang menjadi kebanggaannya, maka nadanya lantang dan wajah
berseri. Ciok Tim tetap berdiri menghadap ke sana. Sedangkan Giok-he ikut
mendengarkan dengan tersenyum simpul.
Koh Ih-hong lagi memandang langit-langit rumah, entah asyik mendengarkan
atau sedang melamun.
"Dan berada di manakah Lamkiong-toako itu sekarang?" demikian Tik Yang
bertanya. "Gote saat ini seharusnya juga berada di sini, tapi ...." segera Liong Hui
menceritakan apa yang terjadi dan yang telah dilakukan Lamkiong Peng.
Tik Yang tampak tertarik, katanya, "Wah, bila mendengar cerita Toako ini,
sungguh rasanya aku ingin segera menyusul ke bawah gunung untuk menemui
Lamkiong-heng yang hebat itu ...."
"Bukan cuma engkau saja, kami juga ingin segera bertemu lagi dengan Gote,"
kata Liong Hui. "Tapi urusan di sini tentu saja lebih penting, apalagi kalau Tikhiante
tidak menjelaskan lebih lanjut persoalan ini, ke mana lagi akan kami
cari jejak guru kami?"
"Ya, betul juga." ucap Tik Yang dengan tertawa. "Kita asyik bicara urusan lain
sehingga melupakan urusan penting."
Ia menengadah dan memandang kelima biji mutiara yang terbingkai di
belandar rumah bambu itu, lalu berkata pula, "Toako, engkau sudah lama
berkelana di dunia Kangouw, apakah kau tahu asal-usul kelima biji mutiara ini"
Liong Hui tertegun, jawabnya, "Tidak."
"Dahulu, setelah pertemuan Wi-san, nama Tan-hong Yap Jiu-pek sangat
termasyhur, tatkala mana beliau belum pindah ke Hoa san sini melainkan
tinggal di kaki gunung Wi itu dengan perkampungan yang bernama Sip-tioksan-
ceng ...."
"Ya, ini kutahu," kata Liong Hui.
"Dan Toako pasti juga tahu peristiwa besar yang terjadi di Sip-tiok-san-ceng
pada sepuluh tahun yang lalu?"
"Apakah yang kau maksudkan itu adalah pertemuan besar orang persilatan
yang disebut 'Pek-niau-tiau-hong' (beratus burung menghadap Hong) itu?"
"Betul," kembali Tik Yang tertawa cerah. "Waktu itu aku masih kecil, meski
jauh tinggal di daerah perbatasan sana, tapi kudengar juga keramaian pada
pertemuan besar itu. Konon senjata setiap tamu harus ditanggalkan, arak
yang disuguhkan kalau dituang ke Thay-oh akan menambah air danau itu naik
pasang tiga senti ...."
"Aku sendiri hadir dalam pertemuan itu, meski sangat ramai, tapi juga tidak
terlalu luar biasa," ujar Liong Hui dengan tersenyum.
"Betul juga ucapan Liong-toako mengingat jauh 30 tahun sebelumnya
pertemuan besar yang diadakan Liong-loyacu di Sian-he-nia ketika
meresmikan nama gelar beliau."
Tersembul senyuman bangga pada ujung mulut Liong Hui, katanya "Dalam
pertemuan itu, Suhu tidak menyediakan pondokan, juga tidak ada perjamuan,
setiap tamu yang hadir sama membawa arak dan makanan sendiri dan
diperbolehkan membawa senjata ...."
"Haha, hadir dengan membawa arak dan santapan sendiri, juga tidak dilarang
membawa senjata, pertemuan bebas begini sungguh tidak pernah terjadi
dalam sejarah dunia persilatan. Orang yang mengusulkan pertemuan cara ini
pasti seorang kesatria perkasa, sayang usiaku terlalu muda dan tidak
dilahirkan pada zaman itu," seru Tik Yang dengan tertawa.
"Peristiwa itu disponsori oleh 13 jago tua dari ke-13 propinsi, tapi yang
memimpin pertemuan itu adalah Thian-ah Tojin yang paling disegani waktu
itu." "Thian-ah Tojin?" Tik Yang menegas. "Hah, sungguh luar biasa."
"Pertemuan yang disebut Ho-ho-tai-tian (pesta pengukuhan) itu berlangsung
sehari semalam, sampai fajar keesokannya, beribu hadirin sama
mengacungkan pedang sambil bersorak Put-si-sin-liong, naga sakti tak
termatikan. Betapa semarak pertemuan itu jelas tidak dapat disamakan
dengan Pek-niau-tiau-hong, apalagi sifat dan nilainya juga tidak sama."
"Oo"!" Tik Yang jadi ingin tahu.
"Ho-ho-tai-tian ini diadakan oleh orang persilatan demi menghormati jasa
guruku, jadi guruku termasuk orang undangan, sebelumnya tidak mengetahui
akan urusan ini. Sedangkan Pek-niau-tiau-hong diselenggarakan sendiri oleh
Yap Jiu-pek, setiap tokoh dunia persilatan yang terkenal, baik lelaki maupun
perempuan, semua diundang hadir ke Sip-tiok-san-ceng. Di antara hadirin ini
tentu juga ada yang enggan datang, tapi karena jeri terhadap Yap Jiu-pek
sehingga terpaksa hadir. Pertemuan demikian mana dapat dipersamakan
dengan Ho-ho-tai-tian bagi guruku itu?"
Tik Yang tersenyum, ia tahu antara Tan-hong dan Sin-liong sudah retak,
makanya Liong Hui dapat bicara seperti ini.
Tiba-tiba Kwe Giok-he menyela dengan tertawa, "Eh, sesungguhnya apa yang
kalian perbincangkan tadi, kenapa melantur hingga urusan Ho-ho tai-tian
segala?" "Haha, betul juga, maaf Toaso," seru Tik Yang dengan tertawa. "Tentang asalusul
kelima biji mutiara ini, yaitu merupakan kado yang dibawa lima saudara
perempuan Hing-san-pay ketika ikut hadir di Sip-tiok-san-ceng."
"Hah, kiranya begitu, jadi rumah bambu ini memang tempat kediaman Yap
Jiu-pek?" seru Liong Hui.
"Betul," kata Tik Yang.
"Aneh juga," ujar Giok-he dengan kening bekerenyit. "Asalnya Yap Jiu-pek
juga putri keluarga kaya, mengapa dia sudi tinggal di tempat seburuk ini?"
"Memang sangat sedikit orang Bu-lim yang mengetahui urusan ini," tutur Tik
Yang dengan gegetun. "Bahwa Yap Jiu-pek dan Liong-loyacu dahulu
sebenarnya, adalah pasangan pendekar yang dikagumi di dunia Kangouw
zaman itu ...."
"Antara guru kami dan Yap Jiu-pek memang sudah kenal sejak kecil, cuma
keduanya tidak pernah terikat menjadi suami-istri, malahan karena sesuatu
urusan sepuluh tahun yang lalu kedua orang lantas bersengketa dan tidak
pernah bertemu lagi," tukas Giok-he. "Karena sengketa itu, terjadilah janji
bertanding pedang sepuluh tahun kemudian, hal ini cukup diketahui oleh
setiap orang persilatan."
"Betul, karena janji pertandingan itu, Yap Jiu-pek berkeras ingin mengalahkan
Liong-loyacu, maka dia giat berlatih, untuk itu dia sedang meyakinkan
semacam Lwekang dari negeri Thian-tiok (Hindu), konon tanpa sengaja ia
menemukan sejilid kitab pelajaran Lwekang, karena hasratnya ingin menang,
tanpa bimbingan ia berlatih sendiri secara cepat, siapa tahu akibatnya setelah
berlatih dua tahun dia mengalami kelumpuhan ...."
"Hah, rupanya setelah Yap Jiu-pek menghabiskan harta bendanya di Sip-tioksan-
ceng dan menyerahkan tempat kediamannya itu kepada sahabatnya si
Nikoh sakti Ji-bong Taysu, lalu dia mengasingkan diri di sini, tak tersangka
lantaran dia mengalami kesesatan dalam latihan ilmunya."
"Ya, dengan wataknya yang angkuh, terutama bila teringat kepada janji
pertandingan dengan Liong-loyacu, dengan sendirinya sukar dilukiskan betapa
penderitaan batinnya setelah mengalami kelumpuhan itu," tutur Tik Yang.
"Kebetulan waktu itu Ji-bong Taysu berkunjung padanya, melihat sahabat
tersiksa, anak murid yang meladeni juga selalu mendapat omelan,
perangainya menjadi pemarah, maka Ji-bong lantas membujuknya berpindah
ke suatu tempat tirakat yang terpencil untuk istirahat, bukan mustahil sebelum
sepuluh tahun kesehatannya akan pulih dan mungkin juga sekaligus akan
berhasil meyakinkan semacam Lwekang yang mahasakti."
"Ternyata selama sepuluh tahun dia tinggal di gubuk buruk ini di bawah tiupan
angin dingin dan hujan salju, tujuannya tidak lebih hanya ingin mengungguli
guruku saja," kata Liong Hui dengan gegetun.
Malam hampir berakhir, hawa tambah dingin, semua orang sama
membayangkan betapa siksa derita yang dialami Yap Jiu-pek selama hampir
sepuluh tahun tinggal di gubuk reyot.
Terdengar Tik Yang menyambung ceritanya lagi, "Yap Jiu-pek menerima
nasihat Ji-bong Taysu, dibawanya murid kecil yang baru diterimanya serta
empat pelayan pribadi ke Hoa-san sini dan hidup terpencil di rumah gubuk ini,
kasur inilah tempat ia duduk bersemadi, setiap hari cuma muridnya itu datang
mengawani dia selama beberapa jam, mengantarkan makanan dan juga
belajar ilmu silat."
"O, jadi perangkap ini memang dipasang oleh Yap Jiu-pek sendiri." kata Liong
Hui. Tik Yang menggeleng dan bertutur pula, "Dengan susah payah Koh Kang
berusaha menuntut balas, setelah dia menyelundupkan adik perempuannya ke
Ci-hau-san-ceng, lalu bersama kami mendatangi Sip-tiok-san-ceng yang kini
telah menjadi tempat kediaman Ji-bong Taysu itu untuk minta bantuan ...."
Kening Liong Hui bekerenyit terlebih erat, dengan heran ia menyela pula,
"Masakah Ji-bong Taysu juga ada permusuhan dengan guruku?"
Kembali Tik Yang menggeleng, katanya, "Meski Ji-bong Taysu tidak ada
permusuhan dengan Liong-loyacu, tapi dia ada hubungan erat dengan murid
Kun-lun-pay, Boh-hun-jiu Tok Put-hoan. Mungkin Liong-toako juga tidak tahu
seluk-beluk hubungan mereka?"
"Ya, tidak tahu," kata Liong Hui.
"Pernahkah Toako mendengar seorang murid Kun-lun-pay pada beberapa
puluh tahun yang lalu, seorang pendekar pedang perempuan bernama Li Ping."
Dengan tersenyum Giok-he menimbrung, "Memang pernah kami dengar nama
ini, menurut cerita Suhu, tingkah-laku Li Ping ini terlebih kejam daripada Lenghiat
Huicu yang terkenal pada 30 tahun yang lalu itu, cuma setelah membikin
geger dunia Kangouw, kemudian orang ini lantas lenyap secara mendadak."
"Ya, orang Kangouw tak ada yang menyangka Li Ping yang cantik dan berhati
kejam itu dapat mencukur rambut dan menjadi Nikoh, bahkan terkenal
sebagai Ji-bong Taysu yang saleh. Rupanya Li-locianpwe itu sengaja
menghindari pencarian musuh dan mengasingkan diri. Ia merasa segala
perbuatan masa lampau serupa orang mimpi, maka setelah menjadi Nikoh ia
memakai gelar Ji-bong, artinya serupa mimpi."
"O, jadi Ji-bong Taysu dan Boh-hun-jiu Tok Put-hoan berasal dari perguruan
Kun-lun," kata Giok-he.
"Ya, makanya Ji-bong Taysu telah menyarankan kepada Tok Put-hoan agar
bersama kami datang saja ke Hoa-san sini untuk mencari Yap Jiu-pek," tutur
Tik Yang. "Waktu itu Yap Jiu-pek sedang tersiksa dan penuh rasa benci tak
terlampiaskan, setelah mendengar maksud kedatangan kami, tanpa bicara ia
terus melancarkan pukulan terhadap Koh Kang dan Tok Put-hoan. Meski tokoh
kosen ini dalam keadaan lumpuh tapi tenaga pukulannya tetap sangat
dahsyat, meski aku berdiri jauh di belakang juga merasakan angin pukulannya
yang keras."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Ketika angin pukulan dahsyat itu
menyambar tiba, segera Koh Kang menghindar, sebaliknya Tok Put-hoan tetap
berdiri di tempatnya dan menerima pukulan itu. Kulihat Tok Put-hoan tetap
berdiri tegak, kusangka iwekangnya mampu melawan pukulan Yap Jiu-pek
yang lihai itu, tak terduga dia lantas jatuh terduduk di lantai."
"Rupanya meski Tok Put-hoan sanggup menahan pukulan Yap Jiu-pek itu, tapi
juga telah menguras seluruh tenaganya sehingga tidak sanggup berdiri lagi. Ia
lantas mencaci maki Yap Jiu-pek yang kejam itu, bilamana tidak mau
membantu juga tidak layak menyerang kaum muda yang jelas bukan
tandingannya."
"Diam-diam kami siap siaga kalau-kalau Yap Jiu-pek menyerang lagi oleh
karena caci maki Tok Put-hoan itu. Tak terduga Yap Jiu-pek tidak meladeni
makian orang, ia cuma menghela napas dan berucap, 'Hanya mengandalkan
kepandaian kalian ini mana mungkin dapat menuntut batas kepada Liong Posi.'"
"Lalu ia memberi tanda agar kami pergi saja sambil memejamkan mata dan
tidak menggubris kami lagi. Tapi Koh Kang lantas menjelaskan tujuan kami
yang cuma ingin menuntut batas kepada Put-si-sin-liong dan bukan untuk
bertanding dengan dia, maka kami akan menggunakan segala macam cara
asalkan tujuan tercapai. Ia beberkan pula rencana yang telah kami atur,
terutama agen yang sudah diatur di Ci-hau-san-ceng, jadi setiap gerak-gerik
Liong Po-si dapat diketahui dengan jelas, terutama bila ada Kungfu baru yang
berhasil diciptakannya."
"Bagaimana ilmu silat Koh-toako kita ini tidak kuketahui, yang jelas dalam hal


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putar lidah memang dia nomor satu. Rupanya Yap Jiu-pek jadi tertarik,
perlahan ia membuka mata dan memancarkan sinar mata yang aneh. Semua
itu dapat kulihat dari samping, tahulah aku urusan pasti beres."
Liong Hui menghela napas, katanya, "Watak Yap Jiu-pek angkuh dan suka
menang, tak tersangka dia juga mau menggunakan cara yang tak jujur untuk
mencapai maksud tujuannya."
"Maklumlah, sudah sekian tahun Yap Jiu-pek duduk bersemadi dan setiap hari
tersiksa oleh hawa dingin yang merasuk tulang, sedangkan jangka waktu
bertanding dengan Liong Po-si sepuluh tahun kemudian sesuai perjanjian
sudah semakin dekat, sebaliknya kesehatannya tidak tampak ada harapan
akan pulih, dengan sendirinya pikirannya waktu itu menjadi agak kurang
normal, maka dia telah terima gagasan yang diajukan Koh Kang."
"Apa gagasannya?" tanya Liong Hui.
"Selama lima tahun kami berdiam di Hoa-san, selama itu kami bergiliran turun
gunung untuk mencari berita keadaan dan kemajuan Kungfu Liong-loyacu, di
samping itu kami juga giat berlatih di atas gunung. Ai, tak kusangka dendam
kesumat Koh Kang terhadap Liong-loyacu ternyata sedemikian mendalam,
hidupnya seolah-olah hanya untuk menuntut balas saja. Padahal dia masih
muda, tapi dia rela hidup terasing di pegunungan sunyi. Nama, kedudukan,
kekayaan, segala kenikmatan hidup seakan-akan telah dilupakan olehnya. Dan
begitulah kehidupan selama lima tahun yang kesepian itu telah kami lalui
dengan susah payah. Akhirnya mereka mengatur suatu rencana yang rapi,
rencana yang mutlak harus berhasil dan tidak boleh gagal."
Akhirnya dia bercerita mengenai titik pokoknya, semua orang sama
mendengarkan dengan cermat.
"Rencana ini secara terperinci berdasarkan enam titik," tutur Tik Yang
perlahan. "Pertama, menggunakan berita kematian Yap Jiu-pek untuk
membikin kacau pikiran Liong-loyacu, untuk melemahkan kewaspadaannya.
Semua orang tahu kisah masa lalu antara Liong-loyacu dengan Yap Jiu-pek,
bila mendadak Liong-loyacu menerima berita duka itu, dengan sendirinya
hatinya akan sedih dan menyesal sehingga melengahkan segala kemungkinan
lain." "Kedua, murid Yap Jiu-pek diminta menggunakan kata-kata tajam dan sikap
angkuh untuk memancing kemarahan Liong-loyacu, dengan watak Liongloyacu
yang tidak sudi dipandang rendah, dengan sendirinya akan terpancing
oleh usul Yap Man-jing yang minta Liong-loyacu menyusutkan tenaga sendiri.
Dan bila usul ini diterima Liong-loyacu berarti rencana kami sudah tercapai
separuh." Giok-he menunduk dan menghela napas, "Waktu itu memang sudah kurasakan
keadaan tidak menguntungkan, maka kubujuk Suhu agar jangan mau
terjebak, siapa tahu Gote ...."
"Bilamana Gote tidak melakukannya waktu itu, tentu akulah yang akan
melakukannya," teriak Liong Hui tegas. "Seorang lelaki sejati mana boleh takut
ini dan khawatir itu serupa orang perempuan. Terkadang sekalipun tahu akan
ditipu orang juga tetap akan kuterjang daripada terhina. Apalagi biarpun
dibodohi orang satu kali apakah mungkin akan tertipu lagi untuk kedua
kalinya." Tik Yang mengangguk tanda memuji akan kegagahan orang, Giok-he
menunduk pula dan berucap, "Dan yang ketiga?"
"Ketiga, bila Lwekang Liong-loyacu sudah susut, selanjutnya harus
melemahkan kekuatannya, dalam hal ini diusahakan agar beliau terpencar
dengan kalian ...."
Liong Hui memandang sekejap kepada sang istri, ia pikir dugaannya ternyata
juga tidak salah.
Maka terdengar Tik Yang menyambung lagi, "Apabila ketiga titik pokok ini
sudah berhasil, tiga titik rencana selanjutnya jelas akan berjalan dengan baik,
keadaan Liong-loyacu berarti lebih banyak celaka daripada selamatnya.
Semula aku berjaga di tengah jalan, ku lihat Yap Man-jing itu benar telah
berhasil membawa Liong-loyacu sendirian ke atas gunung. Diam-diam aku
merasa ngeri, kupikir sekarang inilah saatnya kubalas budi kebaikan Liongloyacu.
Segera kusiap membereskan Yap Man-jing dan menuturkan duduk
perkara yang sebenarnya kepada Liong-loyacu."
"Atas maksud baik Tik-hiante ini kami harus berterima kasih padamu," kata
Liong Hui. "Ah, Liong-toako jangan tergesa mengucapkan terima kasih padaku, yang
harus menerima penghormatanmu ini justru ialah nona Yap Man-jing itu," kata
Tik Yang. "O, mengapa begitu?" Liong Hui merasa bingung.
"Sebab pada waktu timbul maksudku akan menyerang nona Yap itu, siapa
tahu begitu berhadapan denganku tanpa bicara nona Yap itu lantas
mendahului menusukku dengan cara tanpa kenal ampun, tentu saja aku kaget,
untung sempat kuhindari serangannya. Aku menjadi sangsi jangan-jangan
nona Yap itu dapat mengetahui maksudku dan mendahului hendak
membinasakanku?"
"Nona Yap melancarkan serangan lagi terus-menerus, setiap tusukan selalu
mengincar tempat mematikan, kukhawatir kawan yang lain keburu datang,
maka sembari mengelak kubeberkan tipu muslihat mereka kepada Liongloyacu
dan minta beliau lekas bertindak. Siapa tahu, setelah kubongkar
rahasia ini, nona Yap berbalik berhenti menyerang."
Liong Hui menghela napas, "Jangan-jangan nona Yap itu juga bermaksud
membantu guruku?"
"Memang betul," tutur Tik Yang. "Kiranya orang tua nona Yap ini dahulu juga
pernah mendapat pertolongan Liong-loyacu, dia juga tidak menyetujui tipu
muslihat keji mereka, mestinya dia belum mengambil sesuatu keputusan, tapi
setelah berhadapan dengan kalian dan mengetahui pribadi Liong-loyacu, ia
bertekad akan membantu Liong-loyacu melepaskan diri dari perangkap ini
sekalipun dia akan dituduh berkhianat kepada gurunya."
"Ai, sungguh tidak kuduga nona Yap itu adalah gadis berbudi luhur," ucap
Liong Hui. Tik Yang tersenyum, "Ya, dan yang paling terkejut ialah Liong-loyacu sendiri.
Beliau seorang jujur dan berhati lapang, mana diketahuinya orang akan
bertindak keji dan curang padanya. Begitulah kami lantas mengajak beliau ke
tempat kediaman kami sehari-hari di pinggang gunung, di situ kami ceritakan
seluk-beluk urusan ini."
"Siapa tahu, setelah mendengarkan keterangan kami, segera Liong-loyacu
minta alat tulis kepada kami, beliau menulis sepucuk surat wasiat dan
diserahkan kepada Yap Man-jing dengan pesan agar diserahkan kepada kalian,
kemudian Liong-loyacu minta kubawa beliau ke atas gunung lagi."
"Tentu saja aku dan nona Yap melenggong, melihat keraguan kami, Liongloyacu
bergelak tertawa dan berkata, 'Biarpun di atas sana ada sarang
harimau atau kubangan naga tetap juga akan kuterjang. Hidup setua ini, mati
bagiku sudah bukan soal lagi. Justru persoalan budi dan benci yang belum
terselesaikan ini harus kubereskan dengan tuntas, aku tidak ingin membawa
urusan yang belum selesai ini ke akhirat.'"
"Berbareng dengan ucapan beliau itu, mendadak kudengar ruas tulang Liongloyacu
sama berkeriat-keriut, perawakan beliau yang memang kekar itu
mendadak seakan-akan bertambah lebih tinggi besar. Aku tidak berani
menatap wajahnya, aku tertunduk, tapi sudah kulihat di tengah gelak
tertawanya dia telah membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk sehingga pulih
seluruh Lwekangnya. Sungguh tidak kepalang rasa kagumku terhadap
kegagahan dan kehebatan Kungfu beliau."
Setiap anak murid Liong Po-si yang mendengar ucapan Tik Yang ini sama ikut
merasa bangga, rumah gubuk yang sunyi dan dingin ini seketika seperti
berubah menjadi hangat.
Sambil membusungkan dada Tik Yang menyambung lagi, "Melihat kegagahan
Liong-loyacu itu, aku dan nona Yap tidak berani mencegahnya lagi. Ketika
nona Yap mau pergi, Liong-loyacu menyerahkan pula pedangnya agar
diserahkan kepada kalian. Nona Yap tampak tertegun, aku sendiri juga tidak
sanggup bicara apa pun."
"Nona Yap itu ternyata seorang yang simpati, semula kusangka dia berhati
dingin," ucap Liong Hui.
"Kami terharu menyaksikan keperkasaan Liong-loyacu, sungguh kami tidak
ingin Liong-loyacu menghadapi bahaya, meski Kungfu beliau tidak ada
tandingan, tapi di atas gunung sedang menanti berbagai jeratan yang licik
yang khusus dirancang sesuai dengan watak Liong-loyacu yang luhur itu,
sampai lama akhirnya nona Yap membalik tubuh dan melangkah pergi,
memandangi bayangan punggung nona Yap, tertampil juga perasaan haru dan
duka Liong-loyacu yang sukar ditutupi ...."
"Termangu kupandang orang tua itu, kulihat Liong-loyacu juga sedang
menatap tajam padaku, sampai sekian lama mendadak beliau berkata dengan
tegas, 'Seorang lelaki sejati, hidup dan bekerja bagi sesamanya, asalkan
meraba perasaan sendiri tidak bersalah, andaikan mati juga tidak perlu
disesalkan. Ayahmu juga seorang tokoh besar, engkau dilahirkan di keluarga
kaum kesatria, seharusnya kau pun tahu apa artinya menepati janji bagi
seorang kesatria.'"
"Habis berucap, beliau mengentak kaki perlahan, lalu perawakannya yang
tinggi besar itu melayang ke atas gunung dan akhirnya lenyap dalam
kegelapan. Ketika aku menunduk, kulihat sebuah bekas kaki tercetak dengan
jelas di atas batu, kupandang bekas kaki ini dan mengingat lagi ucapan Liongloyacu
sebelum pergi, sampai lama kurasakan suara beliau masih mengiang di
tepi telingaku ...."
"Ya, bekas kaki itu pun sudah kami lihat," ucap Liong Hui dengan nada berat.
"Tapi sejauh ini kami tidak tahu mengapa Suhu meninggalkan bekas kaki
seperti itu," tukas Giok-he.
"Banyak urusan di dunia ini sukar dimengerti sekalipun oleh orang yang
pandai," ujar Tik Yang dengan pandangan hampa. "Misalnya saja, sekarang
juga aku tidak tahu apa yang terjadi setelah Liong-loyacu naik ke atas gunung
dan di mana beliau berada saat ini."
"Hah, engkau pun tidak tahu?" seru Liong Hui terkesiap.
"Ya, aku pun tidak tahu," Tik Yang menggeleng. "Setelah beliau pergi, sampai
lama aku menimbang, akhirnya kuputuskan turun ke bawah untuk mencari
kalian. Tapi waktu itu kalian sudah mendaki ke atas malah, maka diam-diam
kukuntit perjalanan kalian dan banyak mendengar macam-macam percakapan
kalian. Ketika kudengar kalian bicara tentang obor, segera kukembali ke
tempat tinggal kami untuk mengambil obor dan tali, kuputar ke depan dan
menyalakan obor, kunaik lagi ke atas tebing dari jalan lingkar yang lain dan
menjulurkan tali ke bawah. Adapun mengenai apa yang terjadi di rumah gubuk
ini, seperti juga kalian, aku pun tidak tahu sama sekali."
Suasana menjadi sunyi, semua orang saling pandang dengan termenung.
Namun apa yang dipikirkan mereka tidak sama.
Liong Hui dan Koh Ih-hong berpikir sesungguhnya apa yang terjadi di sini" Ke
mana perginya Suhu" Selamat atau celaka"
Sedangkan yang dipikirkan Ciok Tim dan Giok-he justru mengenai urusan
pribadi mereka, timbul keraguan mereka jangan-jangan apa yang dilakukan
mereka tadi telah dilihat juga oleh Tik Yang.
Malahan Ciok Tim berpendapat sebabnya Tik Yang bersikap ketus padanya
jelas lantaran orang telah melihat perbuatannya tadi.
Tiba-tiba Giok-he bertanya, "Tik-siauhiap, apa yang terjadi di rumah gubuk ini
tentu kau lihat juga, mengapa engkau bilang tidak tahu?"
Mendadak Tik Yang menengadah dan tertawa, "Haha, bagus, bagus, maksud
baikku agaknya telah menimbulkan salah sangka kalian."
"Tik-siauhiap, jangan engkau menyesal bila kusalah omong," kata Giok-he pula
dengan tersenyum. "Cuma engkau jelas sudah datang ke sini lebih dulu, kami
ketinggalan lantaran cukup lama menyelidiki ukiran pada ketiga potong batu
karang itu. Apalagi waktu engkau masuk kemari tiada kelihatan rasa kaget
atau heran sedikit pun, memangnya apa sebabnya?"
Ciok Tim berdehem dan juga menatap Tik Yang dengan tajam. Agaknya Liong
Hui juga mempunyai pikiran yang sama.
Namun Tik Yang cuma tersenyum saja.
Perlahan Giok-he menyambung, "Ketiga langkah yang kalian rancang sudah
kau jelaskan tadi. Lalu ketiga perangkap selanjutnya belum kau katakan,
namun tanpa kau jelaskan juga kutahu. Pertama kalian sengaja mengukir
tulisan di dinding tebing untuk memancing guruku naik kemari, supaya tenaga
guru kami terkuras habis sebelum bertanding. Malahan bukan mustahil ada
pikiran kalian semoga beliau tidak sanggup mendaki ke atas dan jatuh
tergelincir, dengan begitu kalian menjadi tidak perlu turun tangan lagi."
Tik Yang tetap diam saja, bahkan lantas memejamkan mata.
Maka Giok-he bicara lagi, "Kedua, selama beberapa tahun ini kalian sudah
menerima info dari Simoay kami ini dan cukup mengetahui kehebatan Kungfu
guru kami, sebab itulah kalian sengaja menciptakan tiga jurus istimewa dan
diukir pada batu karang. Agaknya cuma teori saja ketiga jurus ciptaan kalian
ini dapat diterima, tapi bila digunakan dalam praktik belum tentu dapat
dimainkan dengan baik. Dengan demikian tujuan kalian hanya untuk menguji
Suhu, supaya sebelum berhadapan dengan Yap Jiu-pek beliau sudah patah
semangat lebih dulu."
la berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kukatakan ketiga jurus ciptaan kalian
itu pada hakikatnya cuma teori belaka dan sukar dipraktikkan, sebagai seorang
tokoh kelas top tentu saja Suhu dapat menyelaminya, sebab itulah dengan
gusar beliau telah menghantam remuk batu karang itu."
"Dan ketiga" sambung Giok-he, "tiga jalan tembus dan empat daun pintu,
inilah cara kalian menjajaki betapa tinggi Kungfu guru kami. Ada lagi satu hal
yang jelas sangat aneh bahwa Yap Jiu-pek diketahui sudah lumpuh, lantas ke
mana perginya dia sekarang?"
Liong Hui juga menatap Tik Yang dengan sangsi.
Dilihatnya Tik Yang membuka mata perlahan lalu berkata, "Liong-toaso,
engkau memang sangat pintar, ketiga hal ini ternyata dapat kau terka dengan
tepat." Dia bicara dengan dingin, sikapnya juga kaku, sambungnya, "Memang, ketiga
jurus yang terukir di batu karang itu memang cuma bicara secara teori saja,
praktiknya memang sukar dimainkan."
Tiba-tiba tersembul senyumannya yang mengejek, "Apa yang kalian bicarakan
di depan ketiga potong batu karang itu dapat kudengar dengan jelas. Cuma
sayang waktu itu terlalu banyak urusan yang dipikirkan Toaso sehingga tidak
tahu di atas batu ada orang bersembunyi."
Hati Giok-he terkesiap.
Liong Hui lantas berkata dengan menyesal, "Karena berbagai kejadian yang
membikin bingung kami ini, bilamana Toaso salah omong mengenai dirimu
hendaknya engkau jangan marah."
"Aku mengerti, jika aku jadi Toaso tentu juga akan merasa sangsi," ujar Tik
Yang dengan tertawa. "Kedatanganku ke rumah gubuk ini memang lebih dini
daripada kalian, tapi apa yang terjadi di sini sudah lalu, apa yang disangsikan
Toaso serupa juga apa yang sangsikan. Jejak Liong-loyacu dan juga Yap Jiupek,
Koh Kang, Tok Put-hoan dan lain-lain saat ini telah menjadi teka-teki ...."
Pandangannya perlahan beralih ke lantai, katanya sambil membalik mayat
yang menggeletak itu, "Di sini ada bekas darah, tapi pada satu-satunya mayat
ini tidak ada sesuatu tanda luka cara bagaimana kematiannya ...."
Waktu semua orang mengawasi lagi mayat itu, tertampak kulit daging pada
wajah mayat itu berkerut serupa mati ngeri dan kaget, juga serupa mati oleh
karena semacam Lwekang yang lihai yang menggetar putus urat nadinya.
"Ya, semua ini memang teka-teki, kuharap Tik-laute sudi bekerja sama dengan
kami untuk menyingkap tabir teka-teki ini," kata Liong Hui.
Tik Yang tersenyum, ia angkat mayat itu dan berkata, "Teka-teki ini pada
suatu hari pasti akan terjawab, tatkala mana tentu semua orang baru akan
percaya bahwa apa yang kuceritakan memang betul."
Ia pandang Liong Hui sekejap, tiba-tiba ia berseru, "Toako, sampai berjumpa
pula." Habis berkata ia terus melayang keluar.
"Nanti dulu, Tik-laute ...." teriak Liong Hui sambil memburu keluar, namun
bayangan jago muda ahli waris Thian-san-pay ini sudah menghilang dalam
sekejap, meski mengangkat sesosok mayat, namun Ginkangnya sungguh luar
biasa cepatnya.
Liong Hui berdiri termangu sambil memandang jauh ke sana, gumamnya,
"Sungguh pemuda yang suka terus terang ...."
"Tapi menurut pandanganku, tampaknya ada sesuatu yang tidak beres ...."
Belum lanjut ucapan Giok-he, mendadak Liong Hui berpaling dan membentak,
"Tutup mulut!"
Selagi Giok-he melenggong, didengarnya Liong Hui berucap pula dengan
bengis, "Semuanya gara-garamu, jika bukan karena cara bicaramu yang
menyinggung perasaannya, mana bisa dia pergi begitu saja. Tampaknya
kehormatan Ci-hau-san-ceng selanjutnya bisa tamat di tanganmu."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biasanya Liong Hui jarang sekali marah, kini dia kelihatan marah benar, Ciok
Tim dan Koh Ih-hong sama sekali tidak berani ikut bicara.
Giok-he tercengang sejenak, mendadak ia menjerit sambil mendekap mukanya
terus berlari keluar.
"Toaso!" seru Ciok Tim dan Ih-hong bersama.
Melongo juga Liong Hui melihat istri tereinta lari pergi dengan marah, betapa
pun timbul juga rasa menyesalnya.
"Lekas kau susul Toaso dan membujuknya, Toako," kata Ih-hong.
Liong Hui menunduk, "Memang perkataanku tadi agak keras!" ia berpaling dan
berkata kepada Ciok Tim, "Kukira Samte saja yang menyusul dan
membujuknya."
Tanpa disuruh lagi segera Ciok Tim melompat keluar.
Sampai lama Liong Hui termenung, lalu menghela napas dan berkata pula,
"Ya, perkataanku memang terlalu keras. Padahal maksudnya juga demi
kebaikan orang banyak ...."
Dia tidak menyalahkan orang lain, tapi mencela diri sendiri lebih dulu.
Memandangi wajah Liong Hui yang lesu, tiba-tiba timbul rasa kasihan Koh Ihhong
padanya. Lantaran inilah, mestinya dia merasa malu lagi tinggal dalam
perguruan Sin-liong, tapi entah mengapa sekarang sukar untuk menyatakan
niatnya untuk pergi.
Akhirnya ia bersuara perlahan, "Toako, apakah kita akan tetap tinggal di sini
atau turun gunung saja?"
"Ya, pergi saja," jawab Liong Hui sesudah berpikir sejenak, "Kukira Toaso toh
pasti akan pulang ke Ci-hau-san-ceng, pula ... saat ini Gote mungkin sedang
menunggu kita di kaki gunung. Ai, kejadian hari ini memang serba aneh, untuk
apakah Tojin itu membawa lari peti mati itu" Sungguh hal ini pun sukar untuk
dimengerti atau ... atau akulah yang terlalu bodoh ...."
Koh Ih-hong diam saja tanpa menanggapi.
"Tapi semua teka-teki ini akhirnya pasti akan tersingkap ...." demikian Liong
Hui teringat kepada ucapan Tik Yang tadi.
Ufuk timur sudah remang-remang, fajar hampir tiba, kabut tipis mengelilingi
lereng gunung, perlahan mereka meninggalkan puncak Hoa-san yang sunyi ini
.... ***** Di kaki gunung sana Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat lagi saling tatap, sudah
sekian lamanya kedua sama-sama tidak bergerak.
Akhirnya Bwe Kim-soat menjulurkan tangan untuk membetulkan rambut yang
kusut pada pelipisnya, katanya, "Apakah engkau harus menunggu mereka?"
Lamkiong Peng mengiakan tanpa sangsi.
Ia tidak tahu bilamana orang perempuan meraba rambut sendiri, biasanya
pikiran tentu lagi resah.
"Baik, kuturut padamu," kata Bwe Kim-soat kemudian, segera ia melayang ke
peti mati sana, lalu berpaling pula dan menambahkan, "Cuma sekali ini saja!"
Di bawah kerlip bintang peti mati tidak terlihat sesuatu perubahan, Bwe Kimsoat
duduk bersandar pohon. Sedangkan Lamkiong Peng berdiri tegak di sana,
lalu berjalan mondar-mandir, jelas pikirannya juga kusut.
Mendadak ia berhenti di depan Bwe Kim-soat dan berkata, "Ingin kutanya
padamu ...."
"Urusan apa?" berputar bola mata Bwe Kim-soat.
"Tadi ... waktu kubuka peti mati itu, mengapa kulihat kosong?"
Bwe Kim-soat tertawa, "Di dasar peti ada satu lapisan rahasia, masa tidak
dapat kau lihat?"
"Oo!?" Lamkiong Peng melenggong.
"Kukira yang hendak kau tanya bukanlah urusan ini," kata Kim-soat pula.
Kembali Lamkiong Peng melenggong, katanya kemudian, "Betul, tapi ... tapi
sekarang kutidak ingin tanya lagi."
Ia lantas menyingkir lagi ke sana.
Tampak Bwe Kim-soot juga termenung, lalu berucap dengan sayu. "Tadi kalau
aku tidak bercermin di air sungai, pasti kukira diriku sudah tua."
Dilihatnya Lamkiong Peng berpaling, tapi tidak memandang ke arahnya, maka
ia bergumam pula, "Pada usia 14 aku sudah berkelana di dunia Kangouw,
setiap orang yang bertemu denganku tidak pernah ada seorang yang tak acuh
padaku seperti dirirnu sekarang ...."
Lamkiong Peng mendengus sambil meraba tutup peti mati kayu cendana yang
berukir indah itu, bilamana saat ini tutup peti itu dibukanya, maka dunia
persilatan pasti takkan terjadi macam-macam persoalan lagi. Tapi ia cuma
meraba tutup peti dengan perlahan, sama sekali tiada maksud hendak
membukanya. "Sudah banyak kulihat anak muda yang sok anggap dirinya lain daripada yang
lain," kata Kim-soat pula sambil membelai rambut sendiri. "Aku pun banyak
melihat jago, dan tokoh ternama yang anggap dirinya luar biasa. Sampai
sekarang aku masih ingat dengan jelas sorot mata mereka yang memandang
padaku, sungguh aku merasa geli dan juga kasihan kepada mereka ...."
"Blang", mendadak Lamkiong Peng menghantam tutup peti dengan keras,
jengeknya, "Kisah masa lampau yang membuatmu bangga ini kenapa tidak
kau simpan saja dalam hatimu?"
Karena hantamannya itu, peti mati itu berguncang cukup keras, di dalam peti
ada suara keluhan yang sangat lirih, karena anak muda itu lagi kesal dan
gelisah sehingga suara keluhan itu tak didengarnya.
"Jika engkau tidak suka mendengarkan, boleh menyingkir agak jauh ke sana,"
ujar Bwe Kim-soat dengan tersenyum dan tetap menyambung ucapannya. "Di
mana-mana orang selalu menyanjung puji diriku, di mana-mana selalu kulihat
wajah dari sorot mata yang menggelikan dan pantas dikasihani. Hampir
sepuluh tahun aku berkelana, banyak juga lelaki iseng yang tergila-gila
padaku, banyak pula yang mengalirkan darah dan duel lantaran diriku hanya
disebabkan karena kupernah melirik dan tersenyum kepadanya. Akibatnya
mulailah orang persilatan sama mencaci maki diriku, katanya aku ini gadis
berdarah dingin dan pembuat onar. Padahal bukan salahku, kawanan lelaki itu
yang mau berbuat begitu, kenapa aku yang disalahkan" Coba, betul tidak?"
Lamkiong Peng hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Bwe Kim-soat tertawa, semakin mendongkol Lamkiong Peng, semakin senang
dia. "Sepuluh tahun yang lalu, akhirnya dapat kutemukan seorang yang sangat
istimewa," tutur pula Kim-soat. "Jika lelaki lain, suka memandangku seperti
orang linglung, dia tidak. Bila orang lain suka mengintil di belakangku, dia
tidak. Kebanyakan orang kalau bukan menyanjung puji padaku tentu mencaci
maki padaku, namun dia hanya bicara denganku sewajarnya, bahkan cukup
memahami pribadiku. Ia sendiri gagah dan ganteng, ilmu silatnya tinggi,
perguruannya terhormat, ditambah lagi serba pintar dalam berbagai bidang,
baik kesusastraan, seni lukis, seni catur, seni musik dari lain-lain juga dia
seorang penyair. Namanya di dunia Kangouw juga cukup gemilang, suka
melarai perselisihan orang lain dan berbuat sesuatu yang luhur dan menolong
sesamanya. Maka, lambat-laun aku mengikat persahabatan dengan dia."
Dia bercerita dan penuh pujian terhadap orang itu sehingga mau tak mau
Lamkiong Peng juga tertarik, pikirnya. "Tokoh hebat seperti itu, bila bertemu
denganku pasti juga aku akan bersahabat dengan dia."
Karena pikiran itu, tanpa terasa ia bertanya. "Siapa dia" Apakah sekarang dia
masih berkelana di dunia Kangouw?"
"Kau kenal orang ini," jawab Bwe Kim-soat dengan tersenyum manis. "Cuma
sayang, untuk selamanya dia takkan muncul lagi di dunia ini ...."
Lamkiong Peng ikut menghela napas menyesal.
Dilihatnya senyum Bwe Kim-soat hilang mendadak, sebaliknya menyambung
ucapannya dengan dingin, "Sebab orang ini telah mati di bawah pedangmu!"
Lamkiong Peng terkesiap, dadanya serupa dihantam orang satu kali. "Ap ...
apa katamu?" ia menegas dengan tergegap.
Bwe Kim-soat seperti tidak mendengar pertanyaannya dan menyambung
ucapan sendiri, "Meski lahiriah orang ini kelihatan orang baik, padahal, hmk!
Pada satu hari ketika hujan salju lebat, aku bersama dia dan seorang
sahabatnya yang juga cukup terkenal di dunia persilatan asyik minum arak di
rumah orang, setelah dua-tiga cawan arak kuminum bara kurasakan ada yang
tidak beres di dalam arak, kulihat gerak-gerak mereka juga tidak baik, Maka
aku lantas berlagak mabuk, kudengar sahabatnya berkeplok tertawa, 'Aha,
roboh, robohlah dia! Sebentar bila berhasil kau tunggangi kuda binal ini,
jangan kau lupakan jasaku.' Kudengar dengan jelas ucapannya, maka aku
sengaja berlagak tidak sadar, ingin kulihat apa yang akan dilakukan mereka
atas diriku."
Jelas kisah ini cukup menarik perhatian Lamkiong Peng, ia tidak menyela lagi
melainkan cuma mendengarkan.
Terdengar Bwe Kim-soat bercerita lagi, "Keparat berwajah manusia dan
berhati binatang ini tertawa senang, aku diangkatnya ke tempat tidur, baru
saja dia mau membuka pakaianku, aku tidak tahan lagi, begitu melompat
bangun segera kuhantam mukanya. Namun orang yang berjiwa kotor ini
memiliki ilmu silat yang tinggi, pukulanku tidak mampu mengenai sasaran, dia
sempat membuka jendela dan kabur.
"Waktu itu sebenarnya aku sudah minum arak bius dua-tiga cawan, sekujur
badan kehilangan tenaga, maka pukulanku tidak mampu melukai dia dan
dengan sendirinya juga tidak dapat mengejarnya," ia pandang tangan sendiri
lalu menyambung dengan penuh rasa benci, "Dengan Lwekangku dapatlah
kudesak keluar racun dalam arak yang kuminum itu, sungguh tidak kepalang
gemas hatiku, kulari keluar, kubinasakan kawannya yang kotor itu, kutikam
tujuh-delapan kali tubuhnya dengan pedangku pada bagian-bagian yang
mematikan!"
"Keji amat!" ucap Lamkiong Peng.
"Keji?" jengek Bwe Kim-soat. "Hm, bilamana aku kurang berpengalaman dan
tubuhku jadi dinodai oleh mereka, lalu orang Kangouw siapa yang akan
percaya kepada keteranganku" Semua orang tentu akan menganggap aku
yang memikat mereka. Lalu siapa yang akan dikatakan keji?"
Lamkiong Peng tercengang, tanpa bersuara ia menunduk dan merasa
menyesal. Maka Bwe Kim-soat bicara lagi, "Esoknya aku lantas menyiarkan berita bahwa
bila orang itu kulihat lagi, lebih dulu akan kucungkil matanya dan memotong
daun telinganya, lalu mencencang tubuhnya. Dan karena orang Kangouw tidak
tahu sebab musababnya, seketika timbul macam-macam desas-desus, dengan
sendirinya desas-desus itu sama merugikan nama baikku."
Mendengar sampai di sini, kembali Lamkiong Peng merasa penasaran,
serunya, "Sebenarnya siapakah orang ini?"
"Dengan sendirinya orang ini cukup ternama di dunia Kangouw," jengek Kimsoat.
"Dia terkenal sebagai 'Kongcu-kiam-khek' atau 'Kiam-khek-kongcu'
(pemuda jago pedang atau jago pedang muda) ...."
Lamkiong Peng terkesiap, "Hah, bukankah dia ...."
"Ya, dia saudara sepupu Tan-hong Yap Jiu-pek yang terkenal itu," jengek Kimsoat
pula. "Aku tidak menghadiri pertemuan yang diprakarsai Yap Jiu-pek
sendiri secara tidak tahu malu itu sudah dipandang sebagai kesalahan yang
tak terampunkan, apalagi sekarang aku hendak membunuh saudara sepupu
Yap Jiu-pek, orang lain masih mendingan, orang pertama yang tidak dapat
menerima ialah Put-si-sin-liong Liong Po-si."
"Di dunia Kangouw kebanyakan adalah manusia yang lebih suka menjilat yang
tinggi dan memuja yang besar, siapa yang mau tahu pihak mana yang benar,
dengan sendirinya mereka lebih percaya kepada Kongcu-kiam-khek yang jujur
dan berbudi itu, siapa yang mau percaya kepada 'iblis perempuan' macam
diriku ini" Apalagi satu-satunya saksi hidup juga telah kubunuh, tentu lebih
sulit lagi bagiku untuk membuktikan kebersihanku. Maka Put-si-sin-liong
lantas mengeluarkan Sin-liong-tiap (kartu naga sakti) dan mengundang
kedatanganku ke Kiu-hoa-san untuk menyerahkan nyawa kepadanya."
Makin emosional suaranya, sedangkan kepala Lamkiong Peng tertunduk lebih
rendah. Terdengar Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Tentu saja kupenuhi
undangannya. Waktu itu usiaku baru 20-an, tinggi hati dan bersikap angkuh,
kuyakin Kungfuku tidak ada tandingannya, biarpun jago nomor satu Put-si-sinliong
juga tidak terpandang olehku. Maka setiba di Kiu-hoa-san serentak
kuajukan empat macam cara bertanding. Tanpa pikir dia lantas terima
tantanganku. Kau tahu, waktu itu ilmu silatku belum pernah menemukan
tandingan, bahkan jago pedang ternama seperti Kongcu-kiam-khek itu juga
kabur menghadapiku, tentu saja aku sangat senang tantanganku itu diterima
begitu saja oleh Put-si-sin-liong."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Siapa tahu, pertandingan pada babak
pertama aku lantas kalah, bahkan kalah secara mengenaskan. Dalam babak
kedua, kuminta bertanding kekuatan lunak, kupikir dia tinggi besar, tentu tak
bisa bergerak lunak, siapa tahu kembali aku kalah lagi."
"Babak ketiga kutantang, bertanding Am-gi (senjata rahasia), karena gelisah
lantaran sudah kalah dua babak, pada babak ketiga ini aku berbuat curang,
selagi dia tidak berjaga, kuhamburkan Am-gi dulu. Siapa tahu sekujur badan
Put-si-sin-liong seolah-olah penuh tumbuh mata, meski kusergap tetap tiada
gunanya." Pujian yang datang dari mulut lawan dengan sendirinya adalah pujian yang
paling berharga. Diam-diam Lamkiong Peng merasa bangga, pikirnya, "Nyata
gelaran Suhu sebagai jago nomor satu yang tak termatikan memang tidak
bernama kosong."
Didengarnya Bwe Kim-soat bertutur lebih lanjut, "Ketika babak keempat
dimulai lagi, jelas Put-si-sin-liong menjadi gusar dam menyatakan tidak
memberi ampun lagi padaku, sebab aku telah main sergap, hal ini lebih
membuktikan desas-desus yang tersiar tentang tindakanku terhadap Kongcukiam-
khek itu pasti tidak salah lagi dan aku dipandangnya sebagai perempuan
kotor, rendah, hina dina dan jahat."
Mendadak Lamkiong Peng tergerak, teringat olehnya makian si Tojin berjubah
hijau kepada Bwe Kim-soat, juga teringat akan ...."
Han Bu Kong Jilid 6 Terdengar Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Walaupun begitu dia tetap
mengalah lagi tiga jurus padaku, aku tetap diberinya kesempatan untuk
menyerang lebih dulu, habis itu barulah dia balas menyerang, melulu tujuh
jurus, ya, cuma tujuh jurus saja pedangku lantas tergetar lepas, aku terdesak
di batang pohon, pedangnya lantas menusuk ke mukaku, kulihat sinar pedang
menyambar tiba, karena tidak berdaya, kupejamkan mata ...."
Perlahan ia benar-benar memejamkan mata seperti terbayang pada kejadian
dahulu, bulu matanya yang panjang menghiasi kelopak matanya, ia menghela
napas perlahan dan berucap lagi, "Siapa tahu, sampai sekian lama kutunggu,
hanya kurasakan angin tajam menyambar lewat di sisi telingaku, lalu tidak
terjadi apa-apa lagi. Waktu kupentang mataku, kulihat pedang Put-si-sin-liong
menancap pada batang pohon di belakangku. Pedang itu hampir amblas
seluruhnya serupa menusuk pada benda yang lunak sehingga tidak
menerbitkan sesuatu suara."
Ia membuka mata, bola matanya berputar, lalu menyambung, "Waktu itu aku
tercengang, kudengar Put-si-sin-liong berkata padaku, 'Kukalahkan dirimu
dengan pedangku tentu orang Kangouw akan bilang lumrah, rasanya kau pun
takkan rela mengalami kekalahan ini,', mendadak ia menyimpan pedangnya
dan melompat mundur, ia tepuk tangan dan berkata pula, 'Nah, jika dengan
pedangmu dapat kau kalahkan kedua tanganku ini akan kubiarkan kau pergi
dari sini.'."
"Karena sudah terdesak, tanpa pikir lagi aku menerjang maju, kulancarkan
serangan maut, kutahu akan kelihaiannya, yang kuharapkan adalah luka
bersama dan tidak menaruh ilusi akan mengalahkan dia."
"Siapa tahu, belum ada 20 jurus, tenagaku sudah lemah. Pada saat itulah
tangannya sedang meraih ke mukaku dengan jurus 'In-liong-tam-jiau' (naga
menjulurkan cakar dari balik awan), kulihat iga kirinya tak terjaga, dengan
girang segera kugeser langkah dan melancarkan tusukan ke iganya."
"Padahal tusukanku ini adalah salah satu jurus serangan Kong-jiok-kiam (ilmu
pedang merak) yang disebut Kong-jiok-tian-ih (merak pentang sayap),
serangan keji tanpa kenal ampun. Serangan tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri asalkan dapat melukai musuh, masih ada lagi jurus ikutan lain bila
perlu akan gugur bersama musuh."
"Siapa duga, baru saja pedangku menutuk, mendadak kedua telapak
tangannya digunakan menjepit batang pedangku, berbareng itu ia terus
menggeser maju dan menyodok pinggangku dengan sikunya. Kurasakan
semacam hawa hangat timbul dari bagian pinggang, dalam sekejap lantas
tersalur ke seluruh badan, menyusul lantas terasa enak sekali, badan enteng
seakan-akan terbang, dan akhirnya aku lantas roboh terkulai dengan lemas."
Terkesiap juga Lamkiong Peng, pikirnya, "Waktu itu Suhu sangat membenci
padanya, maka menggunakan Sin-liong-kang (tenaga naga sakti) untuk
membuyarkan seluruh kekuatannya."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar Bwe Kim-soat menghela napas, lalu bertutur pula, "Betapa hebat
dan di mana letak keistimewaan gerak serangannya itu, meski sudah
kurenungkan selama sepuluh tahun di dalam peti mati tetap tidak dapat
kupahami. Sejak kecil aku giat berlatih, dengan susah payah akhirnya berhasil
kukuasai Kungfu setaraf itu, tapi dalam sekejap saja telah dihancurkan
olehnya, tatkala mana hatiku tidak kepalang sedihnya di samping kejut, gusar,
takut dan berduka."
"Sungguh kekalahanku itu jauh lebih menyakitkan hati daripada aku
dibunuhnya saja, aku lantas mencaci maki, dengan sedih kubeberkan pula apa
yang terjadi sebenarnya dan perbuatan kotor Kongcu-kiam-khek itu, kutanya
apakah itu salahku" Dengan hak apa dia bertindak padaku" Berdasarkan apa
dia membela bajingan yang rendah dan kotor itu untuk menganiaya seorang
perempuan macam diriku?"
Sikapnya memperlihatkan rasa dendam dan benci yang tak terhingga, kejadian
yang membuatnya berduka dan murka itu seakan-akan terbayang lagi di
depan matanya. Semakin banyak yang didengar Lamkiong Peng, semakin besar rasa
simpatiknya terhadap orang.
Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Setelah mendengar ucapanku, muka Put-sisin-
liong menjadi pucat, sampai sekian lama baru dia berucap dengan agak
gemetar, 'Mengapa tidak kau katakan sejak tadi"' Kulihat dia sangat menyesal,
ia mengeluarkan obat luka dan suruh kuminum, tapi kutolak. Apa gunanya
kuminum obat lukanya, andaikan sementara takkan mati, tapi selama ini
musuhku sudah sekian banyak, bilamana mereka tahu tenagaku sudah buyar,
ilmu silatku sudah punah, mustahil mereka takkan mencari balas kepadaku?"
"Tapi Put-si-sin-liong memang seorang pendekar yang berhati mulia, ia lantas
memohon dengan sangat kepadaku agar mau minum obatnya, ia bilang bila
aku mati, tentu dia akan menyesal selama hidup, ia ingin menebus dosa, ingin
memperbaiki kesalahannya, akan melindungi diriku selama hidup, juga akan
mencari Kongcu-kiam-khek yang rendah itu untuk membalaskan dendam
bagiku." "Aku masih juga menolak, maka dia mencekoki aku dengan obatnya, lalu
dengan Lwekangnya berusaha menyembuhkan lukaku. Sebab itulah meski
cuma sehari saja dia bertanding denganku, tapi tiga hari kemudian baru turun
gunung. Orang Bu-lim yang menunggu di bawah gunung melihat
kemunculannya dalam keadaan lelah dan lesu sehingga mengira dia bertempur
denganku selama tiga hari tiga malam, semua orang bersorak bagi
kemenangannya .... Ai, padahal siapa yang tahu akan kejadian yang
sebenarnya?"
Diam-diam Lamkiong Peng berpikir, "Wah ketika mendengar sorakan orang
banyak waktu itu, entah betapa pedih perasaan Suhu."
Didengarnya Bwe Kim-soat menyambung lagi, "Sebelum turun gunung dia
telah menutuk Hiat-toku dan disembunyikan di dalam sebuah gua rahasia.
Malam kedua, dia datang lagi dengan dua lelaki kekar yang membawa sebuah
peti mati, aku dimasukkan ke dalam peti mati, maksudnya jelas untuk
menghindari mata-telinga orang, terutama mata telinga Yap Jiu-pek tentunya."
"Sebab apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Masa engkau tidak tahu," Bwe Kim-soat tertawa. "Yap Jiu-pek cantik dan
tinggi ilmu silatnya, dia memang awet muda, maski waktu itu usianya sudah
50-an, tapi tampaknya serupa berumur 30-an, sebab itulah orang Kangouw
menyebutnya sebagai Put-lo-tan-hong (si burung hong yang tidak pernah tua),
dengan tepat merupakan satu pasangan dengan Put-si-sin-liong. Sebenarnya
dia serbabaik, hanya satu hal, yaitu dia terlalu cemburu."
"Berada di suatu ruang yang sempit dan gelap, dari tuturan Put-si-sin-liong
dapat kuketahui banyak urusan yang menyangkut diri Yap Jiu-pek," Kim-soat
meneruskan ceritanya. "Coba kau pikir, apabila bukan lantaran perangai Yap
Jiu-pek kelewat aneh, kan seharusnya dia menikah dengan Put-si-sin-liong.
Yang seorang adalah 'jago nomor satu', yang lain adalah 'perempuan paling
cantik', betapa mengagumkan pasangan ini. Akan tetapi mereka tidak berbuat
demikian, hidup mereka justru berlalu dalam kesepian ...."
Mendadak ia menunduk terharu sehingga wajahnya tertutup oleh rambutnya
yang ikut terurai.
Lamkiong Peng termangu-mangu sejenak, timbul juga perasaan bimbang yang
sukar diuraikan.
"Kesepian", sekejap ini mendadak ia mengerti kesepian yang dialami orang
banyak. Perempuan yang terkenal sebagai "Leng-hiat Huicu" atau si putri
berdarah dingin ini mengalami kesepian. Yap Jiu-pek yang mahacantik itu juga
mengalami kesepian, pendekar nomor satu yang dipujanya selama hidup,
gurunya yang berbudi, Put-si-sin-liong juga menderita kesepian.
Perjalanan orang hidup memang berliku-liku dan panjang, semakin tinggi
menanjak ke atas, semakin besar pula rasa kesepiannya. Bilamana dia sudah
menanjak sampai puncaknya, mungkin baru akan diketahuinya apa yang
terdapat di puncak selain keemasan nama dan kejayaan atas kesuksesannya,
hanya kesepian yang serbakelabu belaka.
Hati Lamkiong Peng terkesiap, mendadak dapat dipahaminya mengapa wajah
sang guru yang berbudi luhur itu selalu membawa semacam sikap yang kereng
dan jarang memperlihatkan senyum gembira.
"Sejak hari itu," demikian Bwe Kim-soat menyambung lagi, "aku tidak
mendarat kesempatan untuk melihat cahaya matahari lagi. Sepuluh tahun ....
selama sepuluh tahun Put-si-sin-liong ternyata tidak melaksanakan janjinya,
dia tidak membersihkan tuduhan orang padaku, tidak menuntut belas bagiku,
dengan sendirinya kutahu apa sebabnya ...."
Mendadak ia berhenti bertutur dan menengadah memandang langit. Kesunyian
yang mendadak ini serupa sebuah godam menghantam hati Lamkiong Peng,
sebab ia tahu di balik kesunyian ini betapa mengandung rasa dendam dan
kecewa orang. Demi Yap Jiu-pek, lantaran Kongcu-kiam-khek itu adalah saudara Yap Jiu-pek,
gurunya, tidak dapat membekuknya dan tidak sanggup mencuci bersih
fitnahan orang terhadap Bwe Kim-soat. Sebaliknya si putri berdarah dingin ini
juga tidak memaksa gurunya melaksanakan janjinya, dengan sendirinya hal ini
disebabkan antara mereka juga telah timbul jalinan perasaan yang mendalam.
Bwe Kim-soat memandangi cahaya bintang di langit, termenung sampai sekian
lamanya, mendadak ia menatap Lamkiong Peng dengan tersenyum, semacam
senyuman yang sukar dimengerti maknanya.
"Tapi apakah ... apakah kau tahu ... apakah kau tahu" ...." dengan tersenyum
berapa kali ia mengulangi perkataannya.
Dengan bingung Lamkiong Peng menegas, "Tahu apa?"
Bwe Kim-soat menatapnya lekat-lekat, katanya perlahan, "Apa yang tidak
dilaksanakan gurumu bagiku itu kini telah kau lakukan, dengan telingaku
sendiri kudengar percakapanmu dengan dia, juga kudengar sendiri jeritannya
ketika dia terluka oleh pedangmu."
"Hah, jadi ... jadi Tojin itulah Kongcu-kiam-khek?" seketika Lamkiong Peng
menjadi gelagapan.
"Tojin" ...." jengek Bwe Kim-soat dengan penuh benci. "Dia sudah menjadi
Tojin" Huh, meski aku tidak tahu saat ini dia telah berubah bagaimana
bentuknya, tapi suaranya, sampai mati pun aku tidak lupa pada suaranya."
Meski biasanya Lamkiong Peng dapat bersikap tenang, tidak urung sekarang ia
pun kelihatan terkejut, sungguh tak tersangka bahwa pendekar pedang yang
termasyhur pada angkatan yang lalu bisa mati di bawah pedangnya. Namun
apa pun juga rasa malu dan menyesal atas kematian Tojin itu kini menjadi
tersapu bersih.
Didengarnya Bwe Kim-soat berkata pula, "Inilah suka-duka antara gurumu dan
diriku, juga apa yang ingin kau ketahui tapi tidak berani kau tanyakan tadi.
Engkau telah membalaskan sakit hatiku, maka perlu kuberi tahukan padamu
bahwa kematian orang itu adalah setimpal. Selama sekian tahun aku tersekap
di dalam peti mati, tidak ada harapanku yang lain kecuali selekasnya pulih
sedikit tenagaku dan dapat menuntut balas padanya. Sebab itulah ketika
kudengar suara jeritannya, meski merasa senang, tapi juga rada kecewa dan
benci juga, malahan terpikir olehku bila dapat kulompat keluar, lebih dulu akan
kubinasakan orang yang membunuh dia itu."
Terkesiap hati Lamkiong Peng, dilihatnya pada ujung mulut Bwe Kim-soat
tersembul secercah senyuman.
"Tapi, entah mengapa ...." dengan tersenyum Kim-soat meneruskan, "bisa jadi
keadaan sekian tahun telah membuat hatiku banyak berubah, aku tidak ingin
lagi membunuhmu, malah berterima kasih padamu, sebab engkau telah
mengurangi kesempatan bagiku untuk berlepotan darah lagi. Bilamana tangan
seorang tidak banyak berlepotan darah kan jadi lebih baik."
Lamkiong Peng tercengang, tak terduga olehnya perempuan yang disebut
orang sebagai "berdarah dingin" ini sekarang dapat bicara demikian.
Ia terdiam sejenak, kemudian berkata di bawah sadar, "Setelah tenagamu
buyar, kenapa sekarang mendadak bisa pulih kembali, sungguh kejadian
aneh." Bwe Kim-soat tersenyum misterius, ucapnya, "Engkau merasa heran" ...."
Ia tidak meneruskan, Lamkiong Peng juga tidak dapat menerka makna
ucapannya itu. Tiba-tiba teringat olehnya ucapan Bwe Kim-soat tadi, "Tanpa
menghiraukan apa pun berusaha memulihkan tenaga ...."
Jangan-jangan caranya memulihkan tenaga ini telah menggunakan sesuatu
jalan yang tidak wajar.
Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba terdengar Bwe Kim-soat menghela napas
dan berucap pula, "Sungguh aneh juga, meski saat ini Kungfuku sudah pulih
kembali, tapi kurasakan tidak ada gunanya sama sekali. Sekarang aku tidak
mempunyai sesuatu hubungan budi dan benci lagi. Ai, sungguh hal ini jauh
lebih baik daripada hati penuh diliputi dendam dan benci."
Dia sebentar gemas, sebentar sedih, lain saat bersemangat, lalu murung lagi,
sekarang dia lantas bersandar di pohon dengan tenang, sembari membelai
rambutnya yang panjang bahkan ia lantas bernyanyi kecil dengan senyum
yang lembut. Melihat keadaannya yang adem ayem itu, agaknya dia sedang mengenang
masa lampau, masa remaja yang bahagia.
Karena kelelahan terpengaruh pula oleh suara nyanyi orang yang merdu,
Lamkiong Peng merasa mengantuk ....
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar orang mendengus, Lamkiong
Peng tersentak sadar, waktu ia memandang ke sana, dari luar hutan
mendadak muncul sesosok bayangan orang.
Serentak Bwe Kim-soat juga berhenti bernyanyi.
"Siapa?" bentak Lamkiong Peng.
Sekali berkelebat, dalam sekejap saja seorang pemuda berbaju kelabu sudah
berada di depan mereka.
Pemuda yang gagah tapi tampak bersikap angkuh dan lagi tertawa dingin dan
memandang hina terhadap Lamkiong Peng.
Tentu saja Lamkiong Peng mendongkol, tegurnya pula, "Siapa kau" Mau apa
datang kemari?"
Dengan sorot mata tajam kembali pemuda baju kelabu mengamat-amati
Lamkiong Peng, lalu menjengek, "Hm, bagus sekali! Murid kesayangan sang
Suhu, Sute yang selalu menjadi pujian Suhengnya ternyata orang begini,
selagi nasib mati-hidup sang guru belum diketahui, bisa juga iseng
mendengarkan perempuan bernyanyi di sini, sungguh hebat!"
"Memangnya ada sangkut paut apa denganmu?" jawab Lamkiong Peng ketus.
Pemuda berbaju kelabu itu terbahak-bahak, "Haha, engkau masih berani
bersikap keras, masa engkau tidak mengaku salah?"
Ksatria Negeri Salju 2 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Harpa Iblis Jari Sakti 2
^