Pencarian

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 17

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 17


Sirnadirasa atau sebelah selatannya. Artinya, Banyak Sumba
tidak akan mengambil jalan yang sesuai dengan yang
dijanjikannya. Lebih baik, Jasik menunggu di Kutabarang, di
Perguruan Gan Tunjung. Maka, berangkatlahjasik sambil
mengendarai kudanya mengikatkan kendali kuda Banyak
Sumba ke pelana.
Tanpa tergesa-gesa, Jasik melarikan kudanya ke arah
Kutabarang. Ia tidak takut kemalaman karena ia tahu jalan
memotong. Pada suatu kampung, dilihatnya pula dua orang
siswa Padepokan Sirnadirasa memacu kuda menuju arah
Kutabarang. Dan ketika Jasik berhenti memberi minum
kudanya di kampung itu, peristiwa yang terjadi dengan
majikannya sudah diketahui orang. Jasik pura-pura tidak tahu
apa-apa tentang segala yang terjadi. Kemudian, ia bertanya
kepada pedagang makanan tempat ia singgah.
"Seorang siswa Padepokan Sirnadirasa karena begitu keras
keinginannya untuk menguasai ilmu kepuragabayaan telah
menyerang calon puragabaya yang datang ke sana.
Perkelahian terjadi dengan sendirinya. Siswa itu ternyata
mahir sekali sehingga kemudian dapat meloloskan diri dari
kepungan siswa lain. Orangnya tinggi besar, kulitnya hitam
manis, alisnya tebal, dan matanya jernih sekali. Tingkah laku
dan tutur katanya lemah lembut. Demikian kata siswa-siswa
padepokan yang lewat tadi.",
"Apa yang harus kita lakukan kalau kita melihat dia?" tanya
Jasik, pura-pura bodoh.
Penunggu warung itu tertawa, lalu berkata, "Kalau dapat
kita menangkapnya, kalau tidak, segera melaporkannya
kepada jagabaya."
Berabe juga, pikir Jasik. Tapi, ia yakin, majikannya sudah
memperhitungkan segalanya. Jasik tidak lama berhenti, ia
segera melanjutkan perjalanan. Di kampung yang kemudian
dilaluinya, didengarnya pula kisah majikannya dari orangorang
yang berkumpul-kumpul di pertigaan. "Bayangkan,
mula-mula melawan calon puragabaya itu, kemudian ia
melawan tiga puluh orang kawan-kawan sepadepokannya, lalu
masih dapat meloloskan diri. Tentu ia perwira yang luar biasa.
Bagaimana kita dapat menangkapnya?" kata yang seorang
sambil tertawa.
"Bagaimana kalau kita mempergunakan jaring?" tanya
seorang berwajah badut.
"Jaring?"
"Wah, tentu jaringnya harus dipegang oleh lima puluh
orang siswa padepokan," kata yang lain.
"Bagaimana rupa siswa itu?"
"Pokoknya, ia tidak akan sukar mencari persembunyian
selama di dunia ini banyak gadis," kata yang berwajah badut.
"Hahaha"kata kawannya, bingung lagi.
"Gadis-gadis akan berbahagia sekali kalau dapat
menyembunyikannya," kata yang wajahnya seperti badut
reog. Kawan-kawannya memandang ke arah dia, mungkin
mereka ingin mendapat hadiah kalau bernasib baik dapat
menemukan dan menunjukkan Banyak Sumba kepada para
jagabaya. Si badut, setelah melihat ke sekelilingnya, berkata,
"Tinggi, berdada bidang, berkulit hitam manis, matanya jernih
sekali, tutur kata dan tindak tanduknya lemah lembut,
senyumnya akan menyebabkan gadis-gadis mabuk kepayang
seperti kebanyakan minum madu. Kalau ia mencoba ilmu
keperwiraannya, seratus orang seperti kita akan lumat seperti
seratus ekor lalat dalam satu pukulan."
"Berapa hadiah yang akan kita terima kalau dapat
menunjukkannya?" tanya seseorang.
"Tapi, bukankah kewajiban dan kepentingan kita juga
untuk melaporkan orang yang berani mengganggu calon
puragabaya?"
"Ya," kata si badut, "dan kewajiban kita pula lumat seperti
lalat kalau kita mencoba-coba menangkapnya."
Jasik meninggalkan orang-orang yang bercakap-cakap itu.
Sekarang, makin jelas apa yang telah terjadi dengan Banyak
Sumba. Ketika seorang diri di tengah-tengah padang antara
dua buah kampung, ia tertawa keras membayangkan apa
yang dilakukan majikannya itu. Ia mempercepat lari kudanya
dan ketika senja tiba, tampaklah bukit tempat Perguruan Gan
Tunjung berada.
Di sana, Jasik memberitahukan apa yang terjadi kepada
Kang Arsim. Kang Arsim tenang-tenang saja. Ia menganggukangguk
tanda mengerti apa-apa yang dilakukan putra
pangerannya. "Saya tidak takut. Ia akan lebih cemas tentang nasib kita
daripada tentang dirinya," katanya. Jasik pun, seperti ketika
perpisahannya yang terdahulu dengan Banyak Sumba, mulai
bekerja kembali sebagai pelatih pada Perguruan Gan Tunjung.
Minggu berganti bulan dan bulan pun menjadi tahun.
Akhirnya, berkatalah Kang Arsim kepada Jasik, "Kita tidak
dapat tinggal diam, Sik. Semalam saya bermimpi, Den Sumba
datang ke sini. Ia tersenyum kepadaku seraya berkalung
bunga-bungaan. Ketika ia kutanya, ia tidak menjawab."
"Apakah itu impian buruk atau impian baik, Kang Arsim?"
tanya Jasik. Arsim menyatakan tidak tahu. Kemudian, ia
mengajak Jasik berunding. Ia mengusulkan agar Jasik mencari
keterangan ke Pakuan Pajajaran. Untuk itu, ia menyediakan
segala perbekalan yang diperlukan.
"Sebenarnya, saya bermaksud demikian juga, Kang Arsim.
Akan tetapi, bekal saya sudah tipis sekali."
"Jadi soalnya selesai, dan besok kau berangkat, Sik."
Keesokan harinya, kira-kira tengah hari, Jasik sudah berada
di Kutabarang. Ia mencari keterangan tentang seorang siswa
Padepokan Sirnadirasa yang dikabarkan pernah menyerang
seorang calon puragabaya. Akan tetapi, orang-orang sudah
lupa akan peristiwa itu. Bagaimanapun, sudah lama sekali
peristiwa itu terjadi dan perhatian orang sekarang berpindah
kepada berita-berita tentang merajalelanya si Colat.
"Ya," kata Jasik, "siswa itu dulu menyerang seorang calon
puragabaya yang mendapat tugas memimpin pasukan untuk
memburu si Colat,"
"Saudara dapat menanyakan kepada dia, tetapi banyak
sekali pasukan yang dikerahkan untuk mencari si Colat," kata
tukang warung. "Siapakah orang itu, masih ada pertalian keluarga?" tanya
tukang kuda yang ditanyanya.
"Ia majikan saya," kata Jasik tanpa ragu-ragu. Tukang kuda
itu memandangnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Mungkin beberapa belas orang telah ditanyanya, bukan
untuk mencari jawaban yang jelas, melainkan ia ingin
mendapat kabar angin yang mungkin akan memberikan
petunjuk di mana majikannya berada. Namun, akhirnya ia
berpendapat bahwa usahanya.sia-sia. Ia harus pergi ke
Pakuan Pajajaran. Ia yakin, Banyak Sumba sudah berada di
sana karena di sanalah Pangeran Anggadipati yang dicarinya
berada. Maka, dilengkapinya perbekalan untuk perjalanan satu
minggu. Ia berulang-ulang masuk pasar, membeli berbagai
perlengkapan untuk perjalanan itu. Dan keesokan harinya,
ketika matahari belum menyembulkan wajahnya, ia sudah siap
di jalan besar Kota Kutabarang, menunggu gerbang kota
dibuka. Akan tetapi, ketika itu dilihatnya kesibukan yang lain daJ
ripada biasa. Dalam kota, banyak sekali pasukan jagabaya. Di
samping itu, tampak pula pasukan sukarelawan yang
berjumlah lebih besar. Jasik bertanya kepada orang pertama
yang lewat di dekatnya:
"Ada apa begini banyak pasukan bersenjata dalam kota?"
"Di luar kota lebih banyak lagi, Jang. Di sebelah selatan
kota, kau dapat melihat gubuk-gubuk dan kuda mereka," kata
yang ditanyanya.
"Mau apa mereka berada di sini?"
"Wah, kau belum mendengar seratus lima puluh jagabaya
hilang dalam hutan" Si Colat telah memakannya, menelannya
bulat-bulat!" kata orang itu seraya membelalakkan matanya.
Jasik merasa, ia tidak akan mendapat jawaban yang jelas
dari orang itu. Maka, ditanyanya orang lain. Akhirnya, dapat
disusunnya suatu gambaran tentang apa yang terjadi di
belakang peristiwa berkumpulnya pasukan itu. Seratus lebih
orang jagabaya ditugaskan untuk mencari si Colat. Pasukan ini
tidak kembali pada saat yang sudah ditentukan, padahal
pasukan ini tidak mungkin tersesat. Kerajaan memutuskan
bahwa pasukan ini telah dihancurkan atau sekurangkurangnya
diikat oleh pasukan si Colat di suatu tempat. Oleh
karena itu, diputuskan untuk mengirim pasukan lain yang lebih
besar. Akan tetapi, menurut kabar, Pangeran Anggadipati
menyampaikan usul yang lain. Puragabaya sangat termasyhur
ini secara sukarela mengusulkan agar ia diserahi pimpinan
pasukan kecil yang akan mencari jejak para jagabaya yang
hilang itu. Anggota-anggota pasukan adalah para jagabaya
pilihan, sukarelawan yang terdiri dari para pemuda dari
berbagai perguruan keprajuritan dan beberapa orang
puragabaya serta calon puragabaya. Pasukan yang ada di
Kutabarang besar sekali jumlahnya. Pasukan tersebut, tidak
termasuk pasukan Pangeran Anggadipati, tetapi pasukan yang
akan bertugas di kampung-kampung. Menurut berita, si Colat
dengan pasukannya telah memperlakukan penduduk kampung
dengan kasar dan kejam.
Mendengar berita itu, tertegunlah Jasik. Majikannya pernah
mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk bertemu dengan
Pangeran Anggadipati. Ia akan membuntutinya ke mana pun.
Bukankah majikannya akan mempergunakan kesempatan
yang sangat baik, yaitu bertemu di medan pertempuran" Jasik
tiba-tiba saja mendapat pikiran, siapa tahu Banyak Sumba
telah menggabungkan diri dengan si Colat. Pertama, memang
telah berulang-ulang dikatakannya kepadajasik bahwa si Colat
berilmu sangat tinggi. Oleh karena itu, sebelum menghadapi
Anggadipati, Banyak Sumba ingin sekali belajar kepada orang
ini. Kedua, si Colat sedang dikejar-kejar pasukan kerajaan,
termasuk Pangeran Anggadipati. Dengan pikiran seperti itu,
Jasik pun memutuskan untuk menggabungkan diri dengan
para sukarelawan yang akan mencari jejak para jagabaya
yang hilang itu.
Dicarinya keterangan. Akhirnya, ia sampai di gubuk tempat
Pangeran Anggadipati berada. Akan tetapi, ketika Jasik
menghadap, Pangeran Anggadipati sedang menghadapi
penguasa Kota Kutabarang. Jasik diterima oleh seorang
puragabaya muda yang dipanggil Rangga.
"Saudara terlambat," kata puragabaya itu dengan wajah
yang memperlihatkan penyesalan, 'Akan tetapi, Saudara dapat
menggabungkan diri dengan pasukan lain yang tugasnya lebih
ringan. Umumnya, para pemuda menggabungkan diri dengan
pasukan kedua, yaitu yang bertugas melindungi kampungkampung,"
kata purabaya itu melanjutkan.
"Sebenarnya, saya hendak mencari saudara saya," ujar
Jasik berdusta dengan harapan puragabaya itu salah
mengerti. "O," ujar puragabaya itu, "memang beberapa orang
anggota pasukan adalah ipar atau saudara jagabaya yang
hilang itu," kata puragabaya itu. Kemudian, ia termenung,
"Tapi Anom telah memutuskan, lima puluh orang adalah batas
jumlah pasukan kita ini," puragabaya itu kemudian
memandang kepada Jasik untuk beberapa lama.
"Saudara siswa perguruan mana?" tanyanya seraya melihat
ke arah otot-otot Jasik.
"Saya pelatih di Perguruan Gan Tunjung, sebelah selatan
Kutabarang," jawab Jasik.
"Sayang. Banyak siswa yang datang dari perguruan yang
kurang terkenal daripada perguruan Saudara, tetapi mereka
datang lebih dulu!"
Puragabaya itu termenung lagi, tampaknya ia ingin sekali
membantu Jasik. Setelah beberapa lama, ia berkata lagi,
"Mungkin Saudara harus datang kembali ke sini, menghadap
Anom. Maksud saya, menghadap Pangeran Anggadipati,
panglima pasukan ini."
"Kalau tidak ada tempat sebagai prajurit, barangkali saya
dapat mengerjakan hal-hal lain. Saya pandai mengurus kuda
dan tahu sedikit ilmu obat-obatan serta ilmu otot dan tulang."
Rangga, puragabaya itu tersenyum, lalu berkata. "Bagus,
mengapa tidak dikatakan dari tadi?" katanya. Ia memberi
isyarat kepada salah seorang sukarelawan yang bertugas jaga
di ruangan itu, "Paman Minda, apakah beliau ada di sana?"
Sukarelawan itu memberi hormat, lalu keluar.
"Kami membutuhkan orang seperti Saudara, bukan
pengurus kuda, tetapi yang tahu obat-obatan dan mengurus
luka atau sendi terkilir," kata puragabaya itu.
Ketika itu, masuklah seorang puragabaya setengah baya
yang segera dipersilakan oleh Rangga. "Paman Minda, ini
Saudara..."
"Jasik," ujar Jasik.
"Ini Saudara Jasik, tahu obat-obatan dan cara-cara
meramunya, bukan?" tanya Rangga. Jasik mengangguk.
"Ia tahu cara membetulkan tulang-tulang dan otot-otot
yang terkilir. Kita membutuhkannya, tapi pasukan sudah lima
puluh orang. Bagaimana pendapat Paman?" -
"Memang saya membutuhkannya," kata Paman Minda.
"Tunggulah di sini sampai Anom datang," lanjut puragabaya
setengah baya itu.
"Kau sangat saya butuhkan. Kita ini bukan saja butuh juru
obat-obatan untuk pasukan, tetapi orang-orang kampung pun
banyak yang luka. Banyak pekerjaan ramu-meramu,
sedangkan tenaga ahli sangat kurang dalam soal itu. Kita pun
harus mencari akar-akaran dan daun-daunan dalam hutan,
karena kalau membawa dari kota, berapa banyak harus kita
bawa" Berapa ekor kuda yang harus kita sediakan?" kata
Puragabaya Minda itu.
Jasik pun disuruh menunggu. Sore itu, Pangeran
Anggadipati tiba. Mereka berunding sebentar, kemudian
ketiga-tiganya, yaitu Rangga, Pangeran Anggadipati, dan
Paman Minda datang ke tempat Jasik menunggu.
"Kau boleh ikut pasukan kami, Anak Muda," kata Paman
Minda. Jasik merasa lega dan pandangannya segera tertuju
kepada Pangeran Anggadipati yang selama ini telah hidup


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam khayalnya. Seorang bangsawan yang berumur antara
dua puluh tujuh dan tiga puluh tahun ini tampak menyorotkan
wibawa yang besar dari air muka dan gerak-geriknya yang
halus. "Rangga mendukung usulnya karena melihat otot-ototmu,
juga karena kau tahu mengurus kuda dan mengobati orangorang,
sedangkan Anom ini lebih memikirkan nasibmu sebagai
orang yang kehilangan saudara," kata Paman Minda.
"Terima kasih," ujar Jasik seraya pandangannya tidak lepas
dari Pangeran Anggadipati yang tersenyum kepadanya.
"Begitu tampan, begitu sempurna dalam gerak-geriknya
sebagai kesatria Pajajaran, begitu berwibawa. Mungkinkah
orang ini memendam maksud yang begitu jahat terhadap
wangsa Banyak Citra?" demikian Jasik berkata-kata dalam
hatinya. Ia pun sekarang mengerti, mengapa majikannya,
Banyak Sumba, dulu tidak jadi melemparnya dengan pisau
beracun itu. "Pekerjaanmu akan berat sekali, Saudara," tiba-tiba
Pangeran Anggadipati berkata. "Tidak diketahui berapa
banyak jagabaya yang luka dan juga orang-orang kampung,"
lanjutnya, "Oleh karena itu, kedatanganmu sungguh-sungguh
suatu anugerah bagi kami."
"Paman Minda akan senang sekali mendapat bantuan
tanganmu," lanjutnya.
Ketika itu, beberapa orang puragabaya lagi datang.
Walaupun mereka berpakaian hitam, tampak dari gerak-gerik
mereka bahwa mereka kawan-kawan Pangeran Anggadipati.
Pangeran Anggadipati minta diri, lalu menghilang dari ruangan
itu. Jasik diajak Paman Minda ke gubuknya. Di sana terdapat
berbagai alat pengolah obat-obatan dan kantong-kantong kulit
yang penuh dengan berbagai macam ramuan.
"Kau tahu tentang daun-daunan yang berkhasiat, bukari?"
"Ayah saya juru obat juga dan sejak kecil saya biasa
membantunya."
"Bagus," kata Paman Minda, "Tapi perlu kau ketahui, Anak
Muda, kita akan banyak sekali membetulkan tulang-tulang
yang terkilir, terutama dari pasukan lawan. Siapa tahu kita
akan membetulkan tangan si Colat yang terkilir nanti, atau
tulang belikatnya. Mudah-mudahan, anak-anak tidak usah
merusak atau melukainya, kecuali si Colat ini sudah benarbenar
gila." Sementara itu, Paman Minda mulai mengurus ramuanramuan.
Jasik membantunya. Paman Minda terus berkata-kata
dan dari kata-katanya itu, Jasik mengambil kesimpulan bahwa
pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Anggadipati itu akan
bertindak sebagai pasukan pemukul, yang menyerang
langsung ke pusat persembunyian si Colat. Ini dimaksudkan
agar kerajaan tidak kehilangan jagabaya lebih banyak dan
agar persoalan si Colat segera diselesaikan.
Jasik menganggap cara pengepungan dengan
mempergunakan sedikit puragabaya ini adalah cara
pengepungan yang baik. Bukan saja korban tidak akan terlalu
banyak jatuh dari kedua pihak, melainkan kampung-kampung
pun akan ikut terlindung dari bahaya pertempuran. Sungguh
buah pikiran yang sangat baik dari Pangeran Anggadipati, pikir
Jasik. Dan, ia mulai membayangkan kembali pangeran yang
mengagumkannya itu. Sementara itu, ia terus membantu
Paman Minda memilih daun-daun terbaik untuk obat.
SETELAH tiga hari Jasik berada di perkemahan pasukan,
pasukan pun berangkat menuju hutan di sebelah selatan
Kutabarang, antara Kutabarang dan Pakuan Pajajaran. Jumlah
anggota pasukan seluruhnya tidak kurang dari seribu orang.
Sebagian besar dikerahkan untuk menduduki kampungkampung
sebagai pelindung rakyat setempat dari gangguan
anak buah si Colat yang merajalela. Sebagian lagi akan
mencari jejak si Colat dan menghancurkannya pada saat
pasukan bertemu dengan pasukan si Colat.
Pasukan terdiri dari para sukarelawan perguruan di bawah
pimpinan jagabaya. Pasukan penyerang yang terdiri dari
sukarelawan pilihan dan jagabaya-jagabaya, langsung
dipimpin oleh lima orang puragabaya. Pasukan ini terdiri dari
lima puluh satu orang, panglimanya Pangeran Anggadipati.
Dalam pasukan inilah, Jasik bertugas sebagai pembantu
Puragabaya Minda yang ahli dalam hal obat-obatan dan
mengurus otot-otot serta tulang-tulang yang patah atau
terkilir. Pasukan berjalan perlahan-lahan, tidak hanya karena jalan
sukar, tetapi juga karena perbekalan yang banyak. Akan
tetapi, gerakan pasukan makin lama makin cepat juga. Lamakelamaan,
pasukan makin kecil karena di setiap kampung
ditinggalkan sebagian. Kampung yang besar biasanya diberi
lima belas sampai dua puluh sukarelawan yang bersenjata
lengkap dipimpin seorang atau dua orang jagabaya. Kampung
kecil mendapat lima sampai sepuluh orang sukarelawan
dengan seorang jagabaya sebagai pemimpin. Sukarelawan itu
besar artinya karena penduduk kampung yang bangkit
semangat perlawanannya siap mengangkat senjata di samping
mereka. Setelah berminggu-minggu masuk hutan keluar hutan,
menyeberangi perhumaan dan beristirahat dari kampung ke
kampung, anggota pasukan tinggal yang lima puluh satu
orang itu. Berbeda dengan pasukan-pasukan lain, pasukan ini
tidak akan menempati kedudukan atau kampung tertentu.
Pasukan ini akan terus-menerus bergerak hingga akhirnya
menemukan dan menyerang pasukan inti si Colat. Itu berarti,
mereka tidak akan beristirahat. Setiap hari, mereka melakukan
perjalanan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh matamata
yang datang dan pergi dari pasukan, atau petunjuk dari
para sukarelawan yang telah lebih dahulu menduduki
kampung-kampung yang ditemukan dalam perjalanan.
Salah satu petunjuk yang dijadikan pegangan pasukan
adalah jejak pasukan yang terdiri dari seratus lima puluh
jagabaya yang dikirimkan dari Kutabarang beberapa bulan
sebelumnya. Mula-mula keterangan tentang pasukan yang
hilang ini cukup banyak diberikan oleh orang-orang kampung,
tetapi makin jauh pasukan masuk ke selatan, makin sukar
mencari jejak pasukan yang hilang itu. Para puragabaya
terpaksa melakukan penyelidikan sendiri. Mereka memeriksa
tanah dan dari tanah itu mereka mencari petunjuk.
Pada suatu hari, Jasik mendengar Pangeran Anggadipati
berkata, "Pertama, para jagabaya itu berpakaian zirah dan
membawa senjata sebanyak-banyaknya beserta perbekalan
lain-lainnya. Itu berarti, tapak kaki kuda mereka akan lebih
dalam daripada tapak kaki kuda pasukan lain. Kedua, ladam
kuda pasukan itu baru karena dipersiapkan lama sebelum
mereka berangkat. Di samping itu, hutan-hutan yang mereka
lewati dan mereka jadikan tempat menginap akan
memperlihatkan daun-daun muda karena mereka akan banyak
memotong dahan-dahan untuk kayu bakar dan keperluankeperluan
lain." Dengan cara berpikir demikian itu, pasukan ternyata tidak
tersesat dalam mengikuti jejak pasukan yang hilang itu. Makin
lama, makin banyak keterangan yang didapat dari kampungkampung.
Sementara itu, tanah, hutan, sungai seolah-olah
menunjukkan jalan kepada pasukan Pangeran Anggadipati, ke
mana pasukan itu harus mengejar pasukan yang hilang. Jasik
sangat kagum akan keahlian para puragabaya itu. Sementara
itu, perjalanan makin lama makin masuk hutan belantara.
Jalan-jalan mulai sukar. Sekali-sekali, pasukan harus
membuat jembatan sendiri untuk dapat melintasi sungai dan
jurang. Kadang-kadang, berhari-hari mereka tidak bertemu
dengan kampung. Kalau kehabisan bekal, terpaksa mereka
makan daun-daunan muda, atau kalau beruntung, daging
binatang perburuan. Tidak jarang pasukan tidak mendapat
makanan dan minuman sepanjang hari, tetapi tak ada seorang
pun yang mengeluh.
Pada suatu hari, tibalah mereka di sebuah kampung yang
terpencil. Pasukan berhenti dan orang-orang kampung segera
datang menyambut.
"Selamat datang, Juragan. Di kampung kami, ada seorang
jagabaya yang terluka parah. Kami sudah dua hari
menyembunyikannya. Kebetulan Juragan tiba. Di kampung
tidak ada orang yang dapat mengurus orang luka seperti itu."
Pangeran Anggadipati dengan Paman Minda segera
menengok jagabaya itu. Jasik diminta ikut serta membawa
perlengkapan obat-obatan Paman Minda. Setiba di dalam
sebuah gubuk, terbaringlah di hadapan mereka seorang lakilaki
yang sangat pucat karena banyak mengeluarkan darah
dari luka di dadanya. Paman Minda segera memeriksa luka
jagabaya itu, lalu berkata kepada Pangeran Anggadipati,
"Untung tidak kena racun," katanya. Kemudian, kepada kepala
kampung yang berdiri di sampingnya ia berkata, "Carikan
madu sebanyak-banyaknya dan kalau kalian menyembelih
binatang, tangguklah darahnya untuk prajurit itu."
Jasik diminta meramu dan menggodok beberapa macam
tepung, daun-daunan, dan akar-akaran. Jasik segera
mengerjakannya di luar gubuk. Dari dalam gubuk, terdengar
Pangeran Anggadipati bertanya kepada orang yang luka itu:
"Panglimamu bernama Jaya, bukan?"
"Ya," jawab orang luka itu dengan lemah.
"Baiklah, beristirahatlah. Kau akan segera sembuh," lanjut
Pangeran Anggadipati.
Sore itu dan dua hari selelahnya, pasukan beristirahat di
kampung itu. Bukan saja memang pasukan sudah sangat
kelelahan dan kehabisan bekal, tetapi Pangeran Anggadipati
memutuskan untuk menunggu hingga jagabaya itu cukup
kuat. Maksudnya agar dapat memberikan keterangan panjang
lebar tentang apa yang terjadi terhadap pasukannya. Pada
hari ketiga, jagabaya itu sudah dapat bangun dan duduk.
Dari keterangan jagabaya itu diambil kesimpulan bahwa
pasukan yang terdiri dari seratus lima puluh orang itu
dihancurkan oleh pasukan si Colat. Mula-mula, pasukan
diserang dari depan oleh kira-kira lima puluh orang anggota
pasukan si Colat. Pasukan berkuda mengejar musuh dan
memasuki suatu lembah yang sempit. Tiba-tiba, mulut lembah
tertutup oleh ikatan-ikatan ranting yang digelundungkan dari
tebing bukit sebelah menyebelah. Tak lama kemudian,
berkobarlah api besar di mulut lembah, sementara pasukan
berkuda terkurung di dalamnya. Ketika itulah, tampak oleh
pasukan jagabaya bagaimana dari bukit-bukit sekeliling
lembah, bagaikan semut, muncul pasukan si Colat dengan
panah, tombak, dan pelanting.
Pasukan jalan kaki jagabaya maju dan bermaksud
memadamkan api yang menutup mulut lembah tempat
pasukan berkuda terkurung. Akan tetapi, baru saja mereka
mencoba menarik dan memisahkan gulungan ranting-ranting
yang berminyak dan berkobar-kobar itu, menderulah sekeliling
mereka pasukan berkuda si Colat dengan pedang terhunus.
Dalam keadaan kalang kabut itulah, penderita terluka dadanya
oleh pedang dan jatuh tak sadarkan diri. Ia sadar malam hari
dan melihat bagaimana mayat teman-temannya diperebutkan
oleh segerombolan besar serigala, harimau, dan binatang buas
lainnya. Ia berusaha menghindar dan memanjat pohon.
Keesokan harinya, ia berjalan dan tiba di kampung terdekat,
kemudian pingsan di depan -lawang kori.
"Sempatkah engkau melihat atau mengetahui adanya si
Colat di antara musuh?"
"Ya, jelas sekali. Ia berdiri di puncak bukit, di antara
beberapa orang pembantu utamanya, di samping seorang
yang membawa panji-panji. Panglima kami berseru, serbu
bukit itu, tetapi ia tidak pernah kelihatan lagi karena kami
sudah benar-benar terkepung dengan rapi," jawab jagabaya
itu. "Kalau begitu, sudah tiga hari si Colat meninggalkan tempat
ini," kata Pangeran Anggadipati.
"Lebih satu hari," kata jagabaya itu.
"Kita terpaksa melakukan perjalanan malam, Paman Minda,
sekurang-kurangnya saya dengan teman-teman," kata
Pangeran Anggadipati.
Paman Minda mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata,
"Hati-hatilah."
Ketika itu juga, Pangeran Anggadipati berangkat dengan
tiga orang puragabaya yang lain, termasuk Rangga. Mereka
mengambil kuda terbaik, mengenakan pakaian hitam-hitam,
membawa tambang kecil, tabung obat-obatan, dan alat lain
yang aneh-aneh yang baru dilihat oleh Jasik. Setelah
segalanya siap, tanpa memerhatikan kelelahan mereka, para
puragabaya itu berangkat.
Keesokan harinya, sisa pasukan dipimpin Paman Minda
bergerak dari kampung itu. Sepanjang jalan, mereka melihat
tanda-tanda sebagai petunjuk yang ditinggalkan para
puragabaya yang berangkat lebih dahulu. Semua petunjuk itu
sangat banyak membantu hingga pasukan dapat bergerak
dengan cepat, walaupun jalan sangat sukar dilalui.
Ketika matahari mulai condong dan hari sangat terik,
pasukan menemukan sebuah kampung yang hancur, mayat
bergelimpangan di sana sini. Pasukan segera bergerak ke arah
yang ditunjukkan oleh jejak yang banyak sekali. Baru saja
pasukan bergerak, Paman Minda sudah memerintahkan agar
pasukan merunduk dan menyebar. Kuda-kuda dibawa ke
belakang, senjata disiapkan. Dari jauh, tampak oleh Jasik
sepasukan besar sedang melakukan upacara, entah upacara
apa. Ketika pasukan mereka sedang bersembunyi, muncullah
dari balik semak-semak Pangeran Anggadipati diikuti Rangga.
"Malam ini, kami akan menyerang si Colat. Pasukannya kita
urus besok. Kita akan menyerangnya setelah selesai upacara
pembakaran mayat yang akan mereka lakukan."
"Apakah penduduk kampung semuanya dibunuh?" tanya
Paman Minda. "Tampaknya demikian," ujar Rangga, "kami berusaha
mencari sisa penduduk kampung itu, karena mayatnya tidak
sebanyak yang diperkirakan dari rumah-rumah yang ada
dalam kampung. Kami curiga ...," lanjut Rangga. Akan tetapi,
ia tidak meneruskan kata-katanya. Ia berpaling ke arah musuh
yang jumlahnya banyak sekali yang tampak dalam remang
senja itu. Ketika mereka berbisik-bisik dalam semak itu, muncullah
puragabaya yang biasa dipanggil Jalu.
'Anom!" kata Jalu terengah-engah, "Si Colat berkelahi
dengan seseorang yang sebelumnya tidak kita lihat di antara


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Pemuda itu baru saja datang, kemudian
memadamkan api obor yang akan digunakan untuk membakar
jenazah. Kemudian perkelahian terjadi."
"Hasilnya bagaimana?" tanya Pangeran Anggadipati.
"Ginggi berada di sana, saya diminta memberi tahu Anom."
"Paman Minda, tunggulah. Mungkin kita harus mengubah
rencana semula," kata Pangeran Anggadipati, kemudian
menyelinap bersama puragabaya yang biasa dipanggil Jalu itu.
Untuk beberapa lama, Jasik dengan Paman Minda
merunduk saja dalam semak-semak bersama kawankawannya.
Tak lama kamudian, muncullah Ginggi.
"Paman Minda, Anom memerintahkan penyerangan
sekarang juga, selagi si Colat menghadapi kesatria itu."
Paman Minda memanggil semua jagabaya yang memimpin
kelompok-kelompok kecil, lalu mulai menyanyikan lagu
peperangan "Akeul ku kayu samida". Nyanyian puragabaya
setengah baya itu meremangkan bulu roma. Seolah
menggelorakan darah dalam nadi Jasik. Para jagabaya mulai
bernyanyi, makin lama nyanyian makin tinggi temponya, dan
tanpa sadar mereka sudah menghambur meneriakkan nama
sang Prabu. Jasik menghantamkan goloknya ke kanan dan ke kiri, ke
arah pasukan si Colat yang kebingungan dan bercerai-berai
itu. Kebingungan mereka bukan, terutama, karena mereka
tidak siap siaga, tetapi karena si Colat ternyata tidak dapat
memimpin mereka. Tak lama kemudian, pertempuran berhenti
dan pasukan kembali ke lapangan kecil tempat akan dilakukan
upacara pembakaran jenazah salah seorang anggota pasukan
si Colat. Para jagabaya dan para sukarelawan sibuk mengurus
tawanan dan orang-orang luka, Jasik sibuk di antara mereka
itu. Ia tahu bahwa lawan yang melarikan diri akan kehilangan
semangat untuk menyerang kembali, setelah mendapat
pukulan yang keras itu. Di samping itu, lawan akan sukar
sekali menyatukan diri, setelah dihalau ke dalam hutan dalam
gelap gulita itu. Maka, Jasik pun dengan tenang membantu
para sukarelawan membebat luka-luka tidak peduli apakah
yang terluka itu anggota pasukan sendiri atau anak buah si
Colat. Selagi ia hendak beristirahat, seorang sukarelawan datang
menyampaikan pesan Paman Minda yang meminta Jasik untuk
membantunya. Jasik segera berangkat. Ia menuju tanah
lapang tempat berdiri unggun pembakaran yang tinggi. Ketika
tiba di sana, ia merasa keheranan melihat pembongkaran
unggun itu. Keheranannya bertambah juga ketika dari bawah
tumpukan kayu samida keluar orang-orang yang diikat satu
sama lain. Laki-laki, wanita, kakek-kakek, nenek-nenek, anakanak,
hingga bayi. Mengertilah Jasik bahwa si Colat
bermaksud membakar hidup-hidup orang-orang kampung
dengan jenazah anak buahnya yang tewas itu.
Sungguh buas si Colat ini, pikir Jasik seraya berjalan ke
arah Paman Minda yang berlutut di samping seseorang yang
terbaring di rumput. Rumput itu basah oleh darah yang
tampak hitam di bawah cahaya obor.
"Si Colat sudah dingin, Anom, ia sudah tiada. Tapi, pemuda
ini masih hangat dan pergelangan tangannya berdenyut,
walaupun perlahan," kata Paman Minda. Pangeran
Anggadipati berlutut memandangi wajah pemuda itu.
"Ketika si Colat hendak mulai membakar kami, pemuda ini
datang mencegah. Si Colat menyerangnya, lalu terjadi
perkelahian singkat, keduanya roboh," kata kepala kampung
yang baru dilepaskan dari ikatannya.
Orang-orang kampung yang keluar dari bawah tumpukan
kayu samida berkumpul mengelilingi para puragabaya yang
sedang memeriksa mayat si Colat dan tubuh satunya lagi yang
terbaring di dekatnya.
"Ia menyelamatkan jiwa kami dengan jiwanya sendiri," kata
seseorang. Suara bayi menangis terdengar dari kelompok
orang-orang kampung itu.
"Ia masih hidup," kata Paman Minda seraya menundukkan
kepalanya, mendengarkan detak jantung di dada pemuda itu.
Ketika itulah, lutut Jasik serasa hendak lepas. Ia melihat, yang
terbaring dan sedang didengarkan detak jantungnya oleh
Paman Minda adalah Banyak Sumba. Hatinya begitu sedih
hingga air matanya tidak tertahan menitik. Ia berjalan, tapi
lututnya lemah. Ia duduk di rumput, di belakang orang-orang
kampung yang berkumpul.
"Paman Minda, selamatkanlah nyawanya," kata Pangeran
Anggadipati di tengah-tengah keheningan.
"Hanya Sang Hiang Tunggal yang akan
menyelamatkannya."
"Kami akan berdoa. Kalau perlu, sepanjang malam kami
tidak akan tidur, kami akan terus berdoa," kata seorang
kampung "Kami berutang nyawa kepadanya, ia terlalu baik untuk
mati." "Cepat cari pembebat supaya darahnya tidak habis," kata
Paman Minda. Jasik membuka ikat pinggang kainnya, lalu
berjalan walaupun lututnya masih lemah.
"Buatlah usungan yang rata. Ambil dua buah tombak,
letakkan ranting-ranting lurus atau pedang di atasnya.
Tumpukkan sarung di atasnya, cepat!" Paman Minda berteriak
seperti marah. Orang sibuk melakukan perintahnya, seolah-olah nyawa
Banyak Sumba bergantung pada mereka itu. Tak lama
kemudian, di samping tubuh Banyak Sumba sudah terbuat
satu usungan yang terdiri dari dua buah tombak yang disilang
dengan ranting-ranting lurus. Di atas ranting-ranting
diletakkan tumpukan kain-kain penduduk kampung.
"Sik, Jasik!" seru Paman Minda. Jasik maju.
"Mari angkat perlahan-lahan! Ingat, kesalahan dalam
mengangkatnya, berarti kematian baginya, hati-hati. Hati-hati!
Perlahan-lahan!" seru Paman Minda.
Tubuh Banyak Sumba dengan hati-hati sekali dipindahkan
ke atas usungan itu. Usungan diangkat perlahan-lahan oleh
Jasik dan seorang sukarelawan, kemudian mereka bergerak ke
arah kampung. Sepanjang jalan Jasik menangis, tetapi dalam gelap malam
remang-remang cahaya obor, tidak ada orang yang melihat air
matanya. Banyak Sumba dibaringkan dalam ruangan terbesar
di kampung itu. Orang-orang kampung mula-mula berkumpul
di sana, tetapi Paman Minda mengusir mereka dengan lemah
lembut, "Kesatria ini memerlukan udara bersih, pergilah dari
sini untuk sementara."
"Tapi, kami ingin berdoa di dekatnya, Paman."
"Berdoalah di rumah masing-masing," ujar Paman Minda.
Mereka menurut. Akhirnya malam larut, hanya tiga orang
yang tinggal di dalam ruangan besar itu, yaitu Paman Minda,
Jasik, dan Pangeran Anggadipati. Pangeran Anggadipati tak
henti-hentinya memandangi wajah Banyak Sumba.
Mungkinkah Pangeran Anggadipati mengenalnya, tanya Jasik
di dalam hatinya.
Sementara itu, Paman Minda sibuk memisahkan serbukserbuk
halus yang terbuat dari daun-daunan, kemudian
memerintahkan kepada Jasik untuk menyeduhnya. Dirabarabanya
tulang-tulang Banyak Sumba, kemudian Paman Minda
berkata kepada Pangeran Anggadipati, "Satu rusuk kanannya
patah oleh trisula si Colat, belakang kepalanya kena pukulan
gada, inilah yang menyebabkan ia tidak sadarkan diri.
Sedangkan yang paling membahayakan jiwanya adalah
lukanya yang terlalu lama mengeluarkan darah. Dan saya
takut, trisula si Colat itu disepuh dengan racun yang keras."
"Usahakanlah supaya dia hidup, Paman," kata Pangeran
Anggadipati. Dalam suaranya, bergetar permohonan yang
keluar dari hati nuraninya.
"Saya tidak dapat menjamin," kata Paman Minda. Ia
memperbaiki bebat luka Banyak Sumba di beberapa tempat
seraya menambah obat-obatannya.
Hari berikutnya, Banyak Sumba belum juga sadarkan diri.
Penduduk kampung duduk di halaman di depan ruangan besar
itu. Mereka berdoa dan setiap kalijasik keluar untuk
melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Paman Minda,
mereka bertanya. Jasik tidak dapat menjawab apa-apa.
Sementara itu, Jasik pun harus mengurus para sukarelawan
yang luka dalam pertempuran dan juga anak buah si Colat
yang tertawan. Dari keterangan orang-orang kampung dan
anak buah si Colat, jelaslah bagi Jasik bahwa Banyak Sumba
mencoba mencegah kekejaman yang hendak dilakukan si
Colat terhadap penduduk kampung.
Dari para tawanan didapat pula penjelasan bahwa Banyak
Sumba bersama si Colat itu sudah lama, yaitu karena Banyak
Sumba hendak belajar ilmu keperwiraan kepada si Colat itu.
Pada hari ketiga, berkatalah Paman Minda kepada
Pangeran Anggadipati, "Pengobatan yang lebih baik dapat
dilakukan di Kutabarang."
"Apakah perjalanan tidak membahayakan jiwanya?" tanya
Pangeran Anggadipati.
"Tidak, luka-lukanya sudah tertutup, kecuali rusuknya yang
patah yang masih belum menyambung kembali. Yang
menyebabkan dia tidak sadar adalah pukulan gada di
kepalanya. Itu akan memakan waktu lama sekali dan
pengobatan hanya dapat dilakukan di Kutabarang atau Pakuan
Pajajaran," ujar Paman Minda.
"Kalau begitu, marilah kita kembali ke Kutabarang, para
utusan kita sudah tiba di sana sekarang," ujar Pangeran
Anggadipati. "Kita harus berjalan perlahan-lahan sekali. Bagaimana
dengan kemungkinan penyerangan sisa-sisa pasukan si
Colat?" tanya Paman Minda.
"Sebagian telah menyerahkan diri, sisanya tidak akan
bergerak," jawab Pangeran Anggadipati.
Pada hari keempat, dengan membawa beberapa usungan,
di antaranya usungan Banyak Sumba, pasukan pun kembali ke
Kutabarang. Perjalanan pulang tidak memakan waktu banyak karena
pasukan tidak perlu melalui jalan-jalan yang sukar. Sepanjang
jalan, penduduk yang telah mendengar kisah pertempuran
dan kematian si Colat berjajar, untuk menghormati pasukan,
terutama menghormati Banyak Sumba yang namanya belum
mereka ketahui. Mereka berdoa atau menangis ketika mereka
diberi tahu bahwa pahlawan yang membunuh si Colat adalah
yang diusung paling depan.
Berulang-ulang, Jasik hampir tidak dapat menahan air
matanya, kalau ia mendengar perkataan orang-orang
kampung yang sebelumnya telah diperlakukan dengan
sewenang-wenang oleh anak buah si Colat.
Kutabarang bersuasana aneh, setengah berpesta setengah
berkabung. Mereka tahu bahwa riwayat si Colat sudah tamat.
Akan tetapi, mereka pun tahu bahwa pahlawan yang tidak
mereka kenal belum pasti nasibnya. Sepanjang jalan, rakyat
mengelu-elukan pasukan, mereka tertawa, mereka menangis
melihat usungan-usungan orang luka, terutama melihat
usungan Banyak Sumba. Sementara itu, Pangeran Anggadipati
sendiri tampak sangat murung. Berulang-ulang Jasik
mendengar puragabaya itu berdoa.
Sore itu, seluruh penduduk Kutabarang pergi ke kuil kota.
Mereka mengadakan doa bersama, memohon kepada Sang
Hiang Tunggal agar jiwa Banyak Sumba diselamatkan.
Sementara itu, Paman Minda meminta beberapa orang pergi
ke Padepokan Tajimalela untuk meminta bantuan dari Paman
Rakean yang juga ahli di bidang pengobatan.
Kesibukan luar biasa terjadi di Istana Kutabarang. Para
utusan diberangkatkan ke Pakuan Pajajaran, membawa berita
kepada sang Prabu tentang apa-apa yang terjadi. Sementara
itu, usaha pengobatan terhadap Banyak Sumba makin giai
pula dilakukan.
Suatu ketika, Banyak Sumba bergerak, lalu mengeluh.
Kemudian, diam kembali. Pada suatu kali, matanya terbuka
dan memandang langit-langit istana, kemudian ditutupnya
kembali. Demikianlah keadaannya beberapa hari, sementara Paman
Minda dengan dibantu puragabaya setengah baya lainnya
yang bernama Paman Rakean berusaha sekuat tenaga
menyelamatkan jiwa Banyak Sumba. Selama itu pula,
Pangeran Anggadipati tidak pernah jauh dari bilik Banyak
Sumba dibaringkan. Hanya kalau ada urusan pasukan
sukarelawan yang hendak dibubarkan dan pembagian tandatanda
jasa harus dilakukan, baru ia meninggalkan istana.
Setelah satu pasukan selesai dibubarkan dengan segala tanda
jasa dan ucapan terima kasih sang Prabu ia segera kembali ke
istana menengok Banyak Sumba.
Pada hari keempat, Putra Mahkota tiba dari ibu kota. Beliau
diiringi sejumlah bangsawan pria dan wanita. Di antara para
pendatang, ternyata para kesatria dan putri-putri remaja.
Semua ingin melihat pahlawan yang membunuh si Colat itu.
Semua ingin berdoa untuk keselamatan jiwanya dari dekat.
Seluruh Pajajaran belum pernah melakukan doa bersama
seperti itu. Setiap pagi dan setiap senja, semua kuil dan pura
penuh. Para bangsawan mendapat kesempatan untuk berdoa
di samping orang yang didoakan, yaitu di Istana Kutabarang.
KETIKA itu hampir sore. Sebuah kereta besar yang
berwarna keemasan tiba diiringkan kereta-kereta lainnya yang
lebih kecil. Putra Mahkota turun diiringi para kesatria dan
disambut oleh Pangeran Anggadipati, Rangga, Jalu, dan Paman Minda
serta Paman Rakean.
Putra Mahkota bergegas menuju bilik tempat Banyak
Sumba terbaring, "Saya akan menengok yang lain setelah
yang paling parah ini," kata beliau kepada Pangeran
Anggadipati dan para bangsawan yang lain sewaktu Putra
Mahkota menengok Banyak Sumba.
'Apa yang terjadi, Anom?" Putra Mahkota bertanya sambil
memegang pergelangan tangan Banyak Sumba.
"Dibunuhnya si Colat dalam perkelahian yang berani, tapi
rupanya anak buah si Colat memukulnya dengan gada dari
belakang. Namun, setelah si Colat terbunuh, pasukan kacaubalau.
Saya tidak mengerjakan apa-apa, hanya menangkapi
atau menghalau yang ketakutan. Dialah yang mengerjakan
segala-galanya, seorang diri."
Putra Mahkota memandang wajah Banyak Sumba yang


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan tidur nyenyak terbaring di hadapan beliau. Jasik
berdiri di sudut mendengarkan percakapan mereka.
"Yang mengherankan saya, sampai sekarang kita tidak tahu
siapa sebenarnya kesatria ini."
"Saya seperti mengenalnya, Gusti Anom," kata Pangeran
Anggadipati kepada Putra Mahkota.
Percakapan mereka cuma sampai di situ karena Putra
Mahkota harus menengok para prajurit yang luka lainnya dan
para bangsawan sudah tidak sabar untuk melihat pahlawan
yang tidak dikenal itu. Maka, bergiliranlah mereka masuk
untuk melihat Banyak Sumba, berlutut di sampingnya, dan
memohon kepada Sang Hiang Tunggal agar menyelamatkan
jiwa Banyak Sumba.
Ketika seorang kesatria sedang berlutut, dari arah pintu
ruangan terdengar jeritan seorang putri. Semua berpaling ke
sana. Mereka melihat seorang putri sangat cantik terhuyungTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
huyung menuju pembaringan Banyak Sumba, kemudian
pingsan di dekatnya. Ayahanda putri itu, seorang pangeran,
segera datang. Paman Minda membakar ramuan daun, lalu
menyodorkannya ke bawah hidung Tuan Putri yang segera
sadar. "Ada apa, Anakku?" tanya ayahanda Tuan Putri.
'Ayahanda, Ayahanda, dialah Raden Banyak Sumba yang
saya ceritakan dulu."
"Banyak Sumba!" seru pangeran itu sambil memapah >
putrinya berjalan menuju pembaringan Banyak Sumba.
"Pangeran Anggadipati!" seru pangeran itu sambil mencari
Pangeran Anggadipati dengan matanya. "Inilah Raden Banyak
Sumba, anakku mengenalnya."
"Pamanda Purbawisesa, saya telah menduganya sejak
semula, hanya tidak berani mengatakannya," kata Pangeran
Anggadipati. Ia berjalan ke arah pembaringan, berlutut lalu
berbisik, "Adikku... Adikku," bisiknya. Ketika itulah, Jasik
melihat Pangeran Anggadipati menitikkan air mata sambil
memegang tangan Banyak Sumba yang lemah lunglai.
Putri cantik itu pun berlutut dan sambil menangis terisakisak
memegang tangan kiri Banyak Sumba.
"Saya menunggumu lama sekali dan Kakanda kembali
seperti ini," kata putri itu, sementara Pangeran Purbawisesa
memegang pundak putri itu, melipur hatinya.
Jasik melangkah ke depan, lalu berlutut di depan Pangeran
Anggadipati. Ia berkata, "Pangeran Muda, kesatria ini Raden
Banyak Sumba, putra tertua Pangeran Banyak Citra. Saya
panakawannya dan sesuai dengan pesannya merahasiakan
namanya. Akan tetapi, sekarang namanya sudah diketahui
Jasik tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Pangeran
Anggadipati bangkit, lalu memegang pundaknya, "Tahukah
engkau di mana keluarganya berada?"
'Ayah saya tinggal dengan mereka, Pangeran Muda," ujar
Jasik. Pangeran Anggadipati memandang wajah Jasik, lalu
berkata, 'Jemputlah mereka. Bawalah pasukan pengawal dari
sini, sebanyak yang kau perlukan."
Jasik meminta lima puluh orang jagabaya yang akan
menjemput dan mengawal wangsa Banyak Citra. Keesokan
harinya, subuh-subuh benar, rombongan sudah berangkat.
Sepanjang jalan, Jasik melihat bagaimana kuil-kuil penuh
oleh orang yang berdoa, yang memohon kepada Sang Hiang
Tunggal agar Banyak Sumba diselamatkan. Pemandangan itu
mendorong Jasik segera mencapai wilayah Medang. Maka,
dipaculah kudanya seperti anak panah dan para jagabaya
yang kelelahan di bawah baju zirah berulang-ulang mengeluh.
Akan tetapi, Jasik tidak memedulikannya, beberapa kali ia
mengatakan bahwa tugas mereka terlalu penting untuk
dilambat-lambatkan.
Setelah berganti kuda dua kali, dan setelah perjalanan
dilakukan siang malam, hutan-hutan yang dikenal sekali oleh
Jasik pun tampak. Ia makin mempercepat kudanya. Kemudian,
meninggalkan para jagabaya untuk beristirahat dalam sebuah
kampung di tepi jalan besar. Dengan diiringi tiga orang
jagabaya, Jasik mulai masuk hutan, menuju tempat
persembunyian keluarga Banyak Citra.
Kabar itu diterima di Padepokan Panyingkiran dengan
khidmat dan tabah oleh seluruh anggota keluarga. Walaupun
air mata menitik dari kaum wanita, tak ada ingar-bingar
kesedihan. Keprihatinan yang menekan wangsa Banyak Citra
bertahun-tahun menumbuhkan ketabahan yang khas pada
mereka. Jasik semakin kagum terhadap watak keluarga
majikannya. "Kita semua akan pergi, anak kita membutuhkan kita di
sana. Kita tidak akan bersembunyi lagi, apa pun yang terjadi,"
kata Ayahanda Banyak Citra dengan tenang. Seluruh anggota
keluarga kelihatan lega karena dengan keputusan ini, berbagai
persoalan lain akan terselesaikan pula.
"Sediakan apa yang kita perlukan dan bawa pengawal
sebanyak-banyaknya," lanjut Ayahanda Banyak Citra.
"Pangeran Anggadipati telah memberikan kepada hamba
dua buah kereta dan lima puluh pengawal, Gusti," ujar Jasik
tidak sengaja. Ayahanda Banyak Citra termenung, sementara Jasik
merasa menyesal telah mengucapkan nama itu. Seluruh
ruangan tegang. Ayahanda Banyak Citra kemudian berkata,
"Kau katakan Anggadipati telah menyelamatkan jiwa anakku
dengan merawat dan membawanya ke Kutabarang. Itu tidak
dapat kutolak. Kalau ia memberikan pengawal juga, itu pun
tidak bisa kutolak," kata beliau. Seluruh isi ruangan tampak
lega pula. "Kita pergi sekarang juga," kata Ayahanda Banyak Citra.
Tak lama kemudian, di jalan besar yang membentang
antara Medang dan Kutabarang, berjalan rombongan besar.
Dua buah kereta yang megah didahului dan diiringkan oleh
lima puluh jagabaya yang berpakaian lengkap dan bersenjata.
Umbul-umbul dan panji-panji wangsa Banyak Citra yang telah
bertahun-tahun lenyap dari angkasa Pajajaran tampak
berkibar-kibar kembali.
Rakyat yang mendapat berita dari mulut ke mulut
sebelumnya, tumpah dari kampung-kampung ke tepi jalan
kerajaan. Mereka ingin melihat wajah Pangeran Banyak Citra
yang telah bertahun-tahun menghilang. Mereka memberikan
hormat kepada salah seorang pangeran Pajajaran yang
terkenal itu. Melihat suasana yang tidak disangka-sangkanya, lega dan
lunaklah hati Pangeran Banyak Citra. Beliau mencari-cari Jasik
dengan mata beliau, lalu memanggilnya, "Sik, kemari!"
Jasik yang mengendarai kuda di samping ayahnya, Paman
Wasis, segera melambatkan kudanya, dan melarikannya di
samping kereta yang dikendarai oleh Pangeran Banyak Citra
dan adik-adik Banyak Sumba yang sudah berangkat remaja.
"Sik, tadi kau katakan bahwa Putra Mahkota
menangguhkan perjalanan pulang hanya untuk bertemu
dahulu denganku?"
"Benar, Gusti," ujar Jasik.
"Mudah-mudahan, beliau sudah mendengar banyak tentang
wangsa Banyak Citra," ujar Pangeran Banyak Citra.
"Pasti, Gusti," kata Jasik.
Pangeran Banyak Citra memandang wajah Jasik yang
segera menjawab, "Gusti dan wangsa Banyak Citra menjadi
lebih terkenal setelah Gusti bersembunyi. Apalagi Putra
Mahkota sangat sayang dan sahabat Pangeran Anggadipati
yang sangat karib."
Sekali lagi Jasik terkejut, mengapa telah mengucapkan
nama itu. Ia mencaci maki dirinya sendiri dalam hati.
Bagaimanapun, ia mengakui bahwa Pangeran Anggadipati,
tutur kata dan tingkah laku kesamaannya, telah memesonanya
hingga ia tidak dapat membayangkan ada orang yang dendam
terhadap kesatria seperti itu. Akan tetapi, ia pun merasa tidak
bijaksana untuk menyebut-nyebut namanya terus-menerus di
hadapan Pangeran Banyak Citra.
"Apakah Pangeran Anggadipati selalu dihubung-hubungkan
dengan keluargaku, Sik?"
Jasik sungguh-sungguh gugup mendengar pertanyaan itu.
la menenangkan diri dan memutuskan segala pikirannya. Lalu,
berkata dengan tekad bulat untuk memberikan kesan yang
tepat tentang segala yang dilihat dan didengarnya mengenai
Pangeran Anggadipati.
"Gusti," kata Jasik, "Pangeran Anggadipati sangat bersedih
hati dengan menghilangnya keluarga Banyak Citra. Beliau
sangat bersedih hati karena beliau menyangka bahwa
keluarga Banyak Citra dihancurkan dan dimusnahkan oleh
keluarga Wiratanu."
Belum selesai Jasik berkata, Pangeran Banyak Citra
menyela, "Keluarga Wiratanulah yang hancur lebur, dari
bunga hingga ke akarnya. Lanjutkan, Sik."
"Baik, Gusti," lanjut Jasik. "Waktu Putri Purbamanik datang
dan mengenal Raden Banyak Sumba, hamba terpaksa
membuka rahasia dan mengatakan bahwa yang membunuh si
Colat itu adalah Raden Banyak Sumba. Betapa gembira hamba
lihat Pangeran Anggadipati ketika itu. Beliau memegang
pundak hamba dan memandang mata hamba dalam-dalam.
Setelah beberapa lama, dari matanya yang sebelumnya selalu
redup, bernyalalah sinar yang lain, sinar kegembiraan. Sinar
kegembiraan ini makin gemilang ketika hamba menerangkan
kepada beliau bahwa keluarga Banyak Citra masih hidup dan
sehat sejahtera di tempat persembunyian.
Ketika itu Putra Mahkota datang, menepuk-nepuk bahu
Pangeran Anggadipati dan berkata, "Berkat ketahananmu,
Sang Hiang Tunggal mengembalikan kepadamu segala yang
kau cintai. Bersyukurlah sahabatku," demikian ujar Putra
Mahkota. Ketika itu, Pangeran Anggadipati menitikkan air
mata kegembiraan, lalu memegang tangan Raden Banyak
Sumba sambil membisikkan namanya."
Jasik berhenti berkata karena ia melihat pangeran yang
telah berambut putih itu mengangguk-angguk dan tersenyum.
Tiba-tiba, Jasik sadar bahwa orang tua itu barangkali telah
hampir sepuluh tahun tidak tersenyum.
SELAMA dalam perjalanan, sering sekali Jasik dipanggil dan
ditanyai tentang apa saja yang terjadi, walaupun telah sangat
sering Jasik menceritakannya. Kadang-kadang, ia dipanggil ke
kereta besar tempat Pangeran Banyak Citra berada dengan
Ibunda. Tidak kurang pula seringnya dipanggil ia ke kereta Putri
Yuta Inten bersama adik-adik Banyak Sumba yang masih kecil.
"Jasik, kau mengatakan bahwa yang mula-mula mengenal
adikku adalah putri yang sangat cantik," kata Yuta Inten
kepada Jasik setelah putri itu memanggilnya.
"Ya, Tuan Putri. Putri itu sangat cantik, namanya Nyai Emas
Pubamanik, putri satu-satunya Pangeran Purbawisesa yang
tinggal di Pakuan Pajajaran, tetapi berasal dari Kutabarang.
Putri ini begitu melihat Raden Banyak Sumba, sempoyongan
dan menjatuhkan dirinya di dekatnya sambil menyerunyerukan
nama Raden Banyak Sumba, lalu menangisinya.
Ketika itu, orang-orang mulai mengenal siapa pahlawan yang
dapat membunuh si Colat itu."
"Sik," Yuta Inten menyela.
"Ya, Tuan Putri."
"Kau lihat banyak sekali putri yang datang, bukan?"
"Ya, Tuan Putri," jawab Jasik.
"Adakah,... Putri Ringgit Sari?"
"Saya tidak tahu, Tuan Putri. Saya tidak mengenal nama
mereka," ujar Jasik.
"Putri Ringgit Sari ini Ayunda Pangeran Anggadipati," kata
Yuta Inten, nama yang terakhir diucapkannya dengan cepatcepat.
Setelah tertegun, ia bertanya kembali, "Tentu kau tidak
tahu tentang putri-putri itu, tapi ... adakah putri yang selalu
berdekatan dengan Pangeran Anggadipati... karena ... karena
Putri Ringgit Sari akan selalu berdekatan dengan saudaranya,
bukan?" "Apakah Putri Ringgit Sari ini lebih tua atau lebih muda
daripada Pangeran Anggadipati, Tuan Putri?" Jasik kembali
bertanya. Putri Yuta Inten termenung sejenak, lalu dengan suara
tegang bertanya kembali:
"Jadi yang kaulihat putri yang lebih muda yang selalu dekat
dengan Pangeran Anggadipati itu?"
"Ya" Saya tidak mengatakan ada putri yang selalu
berdekatan duduk atau berdirinya dengan Pangeran
Anggadipati, Tuan Putri," ujar Jasik.
Mula-mula, ia tidak mengerti mengapa percakapan jadi
kacau seperti itu, kemudian dia teringat bahwa sebenarnya
Putri Yuta Inten adalah tunangan Pangeran Anggadipati. Ia
baru menyadari bahwa sebenarnya Putri Yuta Inten ingin
menanyakan sesuatu yang lain, tapi tidak berani. Tiba-tiba,
Jasik tersenyum lebar. Putri Yuta Inten tampak keheranan,
lalu bertanya, "Sik, apa yang kau tertawakan?"
"Tuan Putri, menurut kesan saya, Pangeran Anggadipati itu
masih seorang diri. Saya tidak pernah melihat beliau
menerima kiriman kotak-kotak lontar terukir yang wangi
karena terbuat dari kayu cendana. Beliau pun tidak pernah
membaca helai-helai lontar kecil dan indah di bawah bulan
purnama. Yang saya ketahui adalah surat-surat yang beliau
terima hanyalah surat-surat dari para pemimpin jagabaya
yang melaporkan tentang medan perang dan dihancurkannya
anak-anak buah si Colat."
"Jasik! Jasik! Apa yang kau ucapkan itu" Apakah kau
bermimpi?" seru Putri Yuta Inten seperti marah. "Saya tidak
menanyakan hal itu kepadamu!" lanjutnya.
Betapapun kemarahan yang dibuat-buat itu, kegembiraan
dan kelegaan Putri Yuta Inten tidak lolos dari mata dan hati
Jasik yang mulai mengerti.
Sementara itu, rombongan makin jauh menuju arah barat.
Kampung-kampung besar kecil sudah dilewati dan orangorang
kampung tampak mengetahui bahwa yang lewat adalah
rombongan Pangeran Banyak Citra. Mereka menyambut dan
menghormati rombongan pahlawan mereka. Pada masa-masa
sembahyang sore, rombongan berhenti di sebuah kampung
besar untuk ikut bersembahyang. Dalam sembahyang itu, doa
khusus disampaikan untuk kesembuhan Raden Banyak Sumba,
putra tertua keluarga Banyak Citra.
Jasik melirik ke seluruh keluarga majikannya. Suasana
berdoa, berharap, dan rasa bangga memancar dari keluarga


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. -ooo00dw00ooo- Bab 14 Burung Senja Dalam kesadarannya yang seperti mimpi, Banyak Sumba
merasa dirinya sedang terbaring di atas rumput tempatnya
roboh setelah tukar-menukar tikaman dengan si Colat.
Pandangannya kabur dan rasa sakit berdenyut perlahan-lahan
pada bagian-bagian badannya yang dikenai trisula si Colat. Ia
membuka matanya perlahan-lahan, tapi segera
menutupkannya kembali karena cahaya yang berwarna-warni
menyilaukannya. Ia mendengar bisikan-bisikan, "Kakanda,
Kakanda." "Anakku, Anakku."
"Adinda Banyak Sumba."
Ia mau menjawab, tapi bibirnya sangat berat. Ia
beristirahat, lalu kesadarannya menghilang kembali.
Semuanya gelap dan sepi.
Pada suatu kali, kesadarannya kembali membawa Banyak
Sumba ke atas lapangan rumput di tepi kampung tempat ia
terbaring setelah melawan si Colat.
Ia merasa air hujan yang hangat berjatuhan di wajahnya.
Ia membuka matanya. Yang dilihatnya adalah bunga yang
besar dan indah bentuknya. Keemasan, pualam, merah muda,
hitam, cokelat tua. Ia memejamkan matanya kembali,
"Kakanda, Kakanda," terdengar bisikan yang halus. Ia seperti
kenal suara itu, tetapi ia telah lupa suara siapa itu. Suara itu
didengarnya bertahun-tahun yang lalu. Ia membuka matanya
dan melihat bunga yang besar dan indah itu menitikkan
embun ke wajahnya. Embun itu hangat, menyenangkan.
Bunga yang besar itu menutup wajahnya. Ia mencium baunya
yang lembut. "Kakanda, Kakanda," terdengar lagi bisikan itu. Banyak
Sumba teringat kembali kepada suara itu, ia membuka
matanya. Ia melihat ke arah bunga indah yang ada di
hadapannya. Ia memejamkan pandangannya. Ia melawan
kesuraman dan kesilauan dengan kemauannya. Ia
mengernyitkan keningnya yang dingin agar dapat memandang
dengan jelas. Bunga yang besar dan indah itu berubah bentuk perlahanlahan.
Mula-mula dilihatnya secara samar-samar dua pasang
mata yang jernih, kemudian hidung yang kecil dan bibir yang
merah muda. Rambut lebat yang mengilap dilihatnya
belakangan. Ia lebih mengernyitkan keningnya, lalu berkata,
"Adinda... Purbamanik."
"Kakanda Banyak Sumba," bibir yang merah muda itu
menjatuhkan kata-kata, seperti bunga yang menjatuhkan
daun-daun bunganya pagi hari. Banyak Sumba merasa tangan
lembut meraba dadanya, lalu mendengar suara mengatakan,
"Ia tersadar, ia tersadar."
Suara langkah terdengar dan Banyak Sumba bertanya, "Ia
akan membakar orang-orang kampung itu hidup-hidup, juga
bayi-bayi?"
"Tenanglah, Anakku," kata seseorang. Banyak Sumba
berpaling. "Ibunda!" Ia melihat Ibunda tersenyum. Banyak Sumba
mulai melihat bayangan wajah-wajah lain. Ia memandang
berkeliling, sambil tetap mengernyitkan keningnya karena
masih sukar baginya untuk melihat terang.
Satu per satu muncullah wajah-wajah dari dalam keremangan
itu. Mula-mula wajah Ayahanda.
"Ayahanda," bisik Banyak Sumba.
"Ya, Anakku." Ayahanda berkata.
"Ayunda Yuta Inten," katanya ketika di samping Ayahanda
dilihatnya Ayunda Yuta Inten.
"Sumba, Adinda," kata Putri Yuta Inten sambil menyusut air
matanya. Di samping Yuta Inten dilihatnya seorang kesatria
berdiri. Banyak Sumba termenung untuk beberapa lama.
Kesatria itu tersenyum. Senyumannya begitu tulus, begitu
wajar dan jujur, hingga Banyak Sumba pun tersenyum
kepadanya, lalu berkata, "Kakanda Anggadipati."
"Adinda Banyak Sumba," kata Pangeran Anggadipati.
Banyak Sumba melayangkan matanya perlahan-lahan ke
samping, seseorang berdiri di samping Pangeran Anggadipati.
Ia kenal pada kesatria yang berwajah agung itu. Ia
menghaturkan hormat dengan air mukanya, "Pangeran Putra,
Putra Mahkota."
"Ya, Raden, rupanya kau telah kenal kepadaku," kata Putra
Mahkota. Mata Banyak Sumba mengikuti tangan Putra
Mahkota yang menjulur di pundak seseorang. Banyak Sumba
mengikuti tangan itu ke arah wajahnya, "Sik!"
"Raden, saya menunggu lama sekali dengan dua ekor kuda,
tapi kata para siswa Padepokan Sirnadirasa, Raden masuk
Hutan Larangan. Jadi saya tinggalkan saja. Saya pergi ke
Kutabarang menemui Kang Arsim untuk mencari berita
tentang Raden."
Banyak Sumba mendengar orang tertawa menyambut
penjelasan Jasik itu. Banyak Sumba makin bertambah sadar
akan keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba, ia sadar pula bahwa ia
memegang sesuatu. Ia menarik benda yang dipegangnya itu,
lalu melihatnya. Ternyata, yang dipegang itu tangan yang
sangat indah, yang berkulit halus bersih dan berjari tirus. Ia
memandangi tangan itu untuk beberapa lama, lalu mengikuti
bentuk lengan memandang leher yangjenjang. la melihat bibir
yang menyunggingkan senyum dan mata yang jelita.
"Adinda. Adinda Purbamanik, di manakah kita ini" Saya
mimpi. Saya akan memejamkan mata kembali dan kau akan
menghilang, juga yang lain yang kucintai. Saya bermimpi,"
kata Banyak Sumba, ia memejamkan matanya.
"Kakanda! Kakanda!" Terdengar suara cemas. Banyak
Sumba membuka mata kembali. Begitu nyata yang ada di
hadapannya adalah putri yang dirindukannya, Nyai Emas
Purbamanik. 'Jangan tutupkan mata Kakanda, kami cemas," kata Nyai
Emas Purbamanik.
"Di manakah kita?" tanya Banyak Sumba.
"Di Istana Kutabarang," kata seseorang. Banyak Sumba
melihat ke arah orang itu. Seorang bangsawan, setengah baya
berdiri. "Selamat datang di Kutabarang yang bangga menerima -
kedatangan Raden."
"Pamanda Penguasa Kota," bisik Nyai Emas Purbamanik.
Banyak Sumba tersenyum.
"Bagaimana Kakanda ada di sini?"
"la sudah benar-benar sadar kembali. Kau telah membunuh
si Colat, Anakku," suara Ayahanda terdengar dengan bangga.
Banyak Sumba membuka matanya lebar-lebar. Ia mencoba
mengingat-ingat. Tapi, sukar sekali ia dapat mengerti
keadaannya. Ia memandang berkeliling. Tampak wajah Paman
Wasis. Wajah Paman Wasis yang tersenyum kepadanya inilah
yang membantu Banyak Sumba untuk menyadari diri dan
sekelilingnya. Ia ingat bahwa setelah kematian Kakanda Jante
Jaluwuyung, keluarganya mengungsi ke hutan. Di sana, ia
belajar ilmu keprajuritan dari Paman Wasis. Ia mengembara
mencari guru, kudanya dirampas Bungsu Wiratanu, kemudian
ia tiba di Kutabarang. Ia beberapa kali berkelahi dalam
keramaian hingga bertemu dengan si Colat. Ia ikut si Colat
menyelamatkan Radenjimat dari penculikan. Kemudian
berpisah kembali dengan si Colat. Ia tertarik oleh seorang
gadis di atas benteng Puri Pubawisesa.
Ia mengangkat kembali tangan yang selama ini
dipegangnya. Dipandangnya wajah Nyai Emas Purbamanik
yang duduk di tepi balai-balainya.
"Saya ingat kembali semuanya," kata Banyak Sumba.
Terdengar napas lega dari hadirin.
Banyak Sumba mengingat kembali dengan keras. Ya, ia
menyaksikan perkelahian antara dua perguruan di dalam
hutan, kemudian ia mengikuti si Gojin. Ia belajar kepada si
Gojin hingga si Gojin dikalahkan oleh Eyang Resi Sirnadirasa.
Ia menggabungkan diri dengan siswa Padepokan Sirnadirasa.
Ia bertemu dengan Pangeran Anggadipati, tetapi tidak jadi
melemparnya dengan pisau beracun. Ia pergi ke Pakuan
Pajaja-ran dan mengambil guci abu jenazah KakandaJante. Ia
pulang ke Medang, lalu kembali lagi ke Padepokan Sirnadirasa.
Di sana, ia berkelahi dengan Raden Madea, calon puragabaya
yang akan memimpin sukarelawan dalam pengepungan si
Colat. Ia tersesat dalan hutan dan masuk ke daerah Padepokan
Tajimalela. Ia belajar seorang diri di sana. Kemudian, ia diburu
dan lolos masuk Hutan Larangan. Setelah itu, ia kembali
masuk kampung dan menggabungkan diri dengan si Colat.
Raden Jimat tewas dan ia terpaksa melawan si Colat yang
akan menjadikan penduduk kampung sebagai kayu
pembakaran jenazah Raden Jimat. Kenangannya terhenti
sampai di sana, ia bertanya, "Saya melawan si Colat. Setelah
itu, apa yang terjadi?"
"Engkau menyelamatkan orang-orang kampung yang
hendak dibakar itu, Adinda," kata Pangeran Anggadipati yang
berdiri di samping Ayunda Yuta Inten.
"Si Colat telah berhasil kau bunuh, tetapi engkau terluka.
Kami menyerang dan menemukan kau terbaring berangkulan
dengan si Colat yang sudah meninggal. Kisahmu diceritakan
oleh orang-orang kampung yang kami lepaskan dari ikatanikatan
mereka di bawah tumpukan kayu samida. Kami tidak
mengenalmu hanya Kakanda merasa seolah-olah kita pernah
bertemu. Memang kita pernah bertemu dan berjalan-jalan di
lapangan Kota Medang, ketika kau masih berumur delapan
atau sembilan tahun. Walaupun begitu, karena nadimu masih
berdenyut, kami mencoba menyelamatkan hidupmu. Paman
Minda dan Paman Rakean berusaha sekuat tenaga
menyambung kembali rusukmu yang patah dan urat-uratmu
yang putus. Seluruh Pajajaran berdoa untuk hidupmu dan
engkau selamat. Panakawanmu yang setia, Jasik, tutup mulut
tentang siapa sebenarnya engkau. Kemudian, Adinda
Purbamanik datang. Ternyata, kalian telah berkenalan dan ia
segera mengenal dan menangisi sahabat lamanya. Jasik
terpaksa membuka rahasia dan ia menjemput seluruh
keluarga yang sekarang ada di sini."
Baru ketika itulah Banyak Sumba melihat adik-adiknya yang
kecil-kecil. Ia melambai kepada adik-adiknya itu, yang segera
datang mengelilingi balai-balainya di samping Nyai Emas
Purbamanik. 'Jadi, semuanya sudah selesai?" kata Banyak Sumba.
"Semuanya sudah selesai, Adinda," kata Pangeran
Anggadipati yang berpaling kepada Putri Yuta Inten di
sampingnya. MUNGKIN sudah sebulan atau lebih, dan kesehatan Banyak
Sumba pulih dengan cepat sekali. Senja itu ia berjalan-jalan
dalam taman, di sebelah kanannya bergandeng gadis yang
dicintainya, Nyai Emas Purbamanik. Untuk beberapa lama,
mereka berjalan tanpa mengatakan apa-apa. Mereka hanya
meresapkan apa-apa yang terasa dalam hati masing-masing.
Udara senja yang sejuk setelah panas sepanjang hari,
membiru di atas benteng Kutabarang tempat Banyak Sumba
dan keluarganya tinggal selama ini. Bunga-bunga di taman
menabur wanginya kepada angin kecil yang lewat bermainmain
di sana. Mereka berjalan berdiam diri, hanya alas kaki
mereka berdesir di atas pasir putih yang ditebarkan di taman
itu. Jalan-jalan dalam taman itu banyak yang buntu dan
berakhir pada semak-semak bunga-bungaan yang lebat yang
di tengah-tengahnya dipasang bangku-bangku atau tanahtanah
berumput untuk duduk-duduk. Mereka pun berjalan
menuju tempat seperti itu. Kemudian, Banyak Sumba duduk di
atas rumput. Ia memandang ke arah Nyai Emas Purbamanik
yang mula-mula ragu untuk duduk. Banyak Sumba
memandang sambil tersenyum, kemudian gadis itu duduk pula
di dekatnya, "Kakanda, tadi Kakanda mengatakan bahwa
perundingan telah selesai, tapi mengapa para bangsawan
masih juga menutup diri dalam ruangan persidangan."
"Memang perundingan telah selesai, dan antara keluarga
Banyak Citra dan keluarga Anggadipati tidak ada persoalan
lagi, tidak ada salah mengerti lagi. Sang Prabu sendiri telah
menjelaskan semuanya dan Ayahanda hanya mau percaya
kepada sang Prabu," jawab Banyak Sumba sambil
mempermainkan rambut di kening Nyai Emas Purbamanik.
"Wahai, alangkah besar pengorbanan yang harus diberikan
untuk prasangka dan salah mengerti itu, Kakanda. Pangeran
Anggadipati, Ayunda Yuta Inten, dan Kakanda sendiri hampir
kehilangan nyawa."
"Tapi, karena salah mengerti itu, Kakanda bertemu dengan
kau, Adinda. Jadi, janganlah hanya dihitung pengorbanannya,"
ujar Banyak Sumba berolok-olok.
Nyai Emas Purbamanik menekan tangan Banyak Sumba.
Untuk beberapa lama, mereka hening kembali. Kemudian,
gadis yang tidak lepas dari tatapan Banyak Sumba itu
bertanya kembali, "Tapi, mengapa mereka belum juga keluar
dari ruangan besar itu" Mengapa Adinda lihat tadi Pangeran
Anggadipati yang tua masih juga berbincang-bincang dengan
Ayahanda Banyak Citra dan Ayahanda Purbawisesa?"
Banyak Sumba tertawa. Gadis itu memandangnya tidak
mengerti. Banyak Sumba berkata, "Setelah soal besar
terselesaikan dengan mudah, Ayahanda Banyak Citra tidak
puas. Ia sudah terbiasa menghadapi soal-soal yang sukar.
Oleh karena itu, ketika persoalan salah mengerti dijelaskan
dengan mudah oleh sang Prabu, tenaganya masih terlalu
banyak. Maka, dicari-carinya persoalan untuk diperdebatkan,"
kata Banyak Sumba. Nyai Emas Purbamanik tampak cemas.
"Mungkinkah terjadi lagi salah mengerti" Soal apakah yang
sekarang diperdebatkan?"
Banyak Sumba tertawa dan Nyai Emas Purbamanik yang
tidak sabar menghentikannya dengan cubitan.
"Cepat katakan! Kalau tidak, saya akan lari," kata Nyai
Emas Purbamanik. Banyak Sumba memetik bunga, lalu
diselipkannya di rambut gadis itu.
"Katakanlah, Kakanda, soal apa yang mereka
perdebatkan?"
"Soal kita," ujar Banyak Sumba. Nyai Emas Purbamanik
memandangnya dan menunggu dengan tidak sabar lanjutan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjelasan dari Banyak Sumba. Banyak Sumba tenang-tenang
saja. Baru setelah beberapa lama, ia berkata, "Ayahanda
mengusulkan dan berkeras kepala agar upacara dan pesta
perkawinan kita dan Kakanda Anggadipati dilaksanakan di
Kota Medang, bertepatan dengan penyerahan kekuasaan dari
Pamanda Galih Wangi kepada Ayahanda. Beliau merasa
berhak menuntut karena dari dua pasang calon pengantin,
dua orang adalah putra-putri beliau. Sementara itu, Pangeran
Anggadipati yang tua mengusulkan agar upacara dan pesta
dilakukan di Puri Anggadipati, sedangkan Ayahanda
Purbawisesa mengusulkan agar upacara dan pesta dilakukan
di Kutabarang saja, karena bukankah beliau orang
Kutabarang" Semuanya berkeras."
"Jadi bagaimana?" tanya Nyai Emas Purbamanik, "Di mana
akan dilakukan upacara perkawanan itu?"
"Apakah itu jadi soal besar bagimu, Adinda?" tanya Banyak
Sumba, mengganggu.
Dengan gemas, Nyai Emas Purbamanik mencubit Banyak
Sumba, "Kakanda, jawablah dengan sungguh-sungguh jangan
main-main saja!" katanya sambil tertawa.
"Kakanda menyerah saja, terserah kepadamu, di mana kau
ingin dipelaminkan."
"Bukan begitu, Kakanda, di manakah kira-kiranya akan
diputuskan hari penting itu?"
"Mereka akan sama-sama berkeras hati. Kau tahu Adinda,
ketiga pangeran itu termasyhur karena keras kepalanya. Maaf,
maksud Kakanda, keras hati. Oleh karena itu, sang Prabu
terpaksa memutuskan. Kedua pasangan calon pengantin akan
dibawa ke Pakuan Pajajaran. Di sana, mereka akan dinikahkan
dan dipestakan tujuh hari tujuh malam. Demikianlah
beritanya," kata Banyak Sumba.
"Dari mana Kakanda mendapat berita begitu?" tanya Nyai
Emas Purbamanik yang hampir-hampir tidak percaya karena
Banyak Sumba selalu bermain-main.
'Jasik saya suruh berpura-pura menjaga, padahal ia
ditugaskan untuk menajamkan telinganya di sekitar ruangan
perundingan itu."
"Dasar nakal!" kata Nyai Emas Purbamanik sambil
membaringkan kepalanya di pangkuan Banyak Sumba.
"Dulu juga, Kakanda biasa mengintip, memanjat benteng,
mengapa sekarang tidak boleh?" tanya Banyak Sumba. Ketika
itu, terdengar suara langkah kaki orang.
"Ada orang datang," bisik Nyai Emas Purbamanik seraya
bangkit membetulkan sanggulnya.
Dari salah satu jalan di taman itu, tampaklah dua sejoli
bergandengan tangan. Kepala mereka berlekatan satu sama
lain, sementara mereka berjalan perlahan sekali di bawah
cahaya senja itu.
"Kakanda Anggadipati dan Ayunda Yuta Inten," bisik Nyai
Emas Purbamanik.
'Jangan menegur mereka, sebelum mereka berpisah," kata
Banyak Sumba, lalu ia melirik kepada gadis yang dicintainya
yang duduk di sampingnya. "Jangan mengintip," bisiknya
sambil tersenyum. Gadis itu berpaling ke arah Min sambil
tersenyum. Dua sejoli itu lama sekali berangkulan, kemudian mereka
berpisah dan pandang-memandang untuk beberapa lama.
Banyak Sumba berdeham, lalu berdiri sambil memegang
tangan Nyai Emas Purbamanik. Mereka keluar dari semaksemak
bunga menuju Pangeran Anggadipati dan Putri Yuta
Inten yang berdiri agak berjauhan.
"Sampurasun, Kakanda," kata Banyak Sumba. Mereka
berjalan dan kedua pasangan itu saling menggabungkan diri.
Matahari hampir terbenam dan kedua pasangan itu berjalan
menuju kaputren. Yuta Inten berpegangan tangan dengan
Nyai Emas Purbamanik yang bercakap perlahan-lahan tapi
gembira kedengarannya, Pangeran Anggadipati berjalan di
samping Banyak Sumba dengan tenang.
"Bagaimana lukamu, Adinda?" tanya Pangeran Anggadipati.
"Sudah sembuh benar, Kakanda, hanya kadang-kadang
sambungan tulang rusuk hamba berdenyut, kalau hamba
terlalu banyak mengerakkan tangan kiri atau mengangkat
benda-benda yang agak berat."
"Apakah kau masih sering merasa pening?"
"Tidak lagi, Kakanda," jawab Banyak Sumba.
"Yang lebih mencemaskan Paman Minda dan Paman
Rakean adalah luka di kepalamu itu. Syukurlah kalau sudah
baik. Bagaimana rencanamu setelah kita ke ... Pakuan
Pajajaran?" tanya Pangeran Anggadipati.
Banyak Sumba mengerti apa yang dimaksudkan oleh
Pangeran Anggadipati. Ia sendiri tidak tahu rencana apa yang
akan dilaksanakannya setelah perkawinan di Pakuan
Pajajaran. Mungkin, Ayahanda menyerahkan kekuasaan
kepadanya untuk memerintah di Medang, tetapi sebenarnya ia
harus mempersiapkan diri untuk beberapa tahun.
"Hamba tidak tahu tugas apa yang akan hamba terima dari
Ayahanda, Kakanda," ujar Banyak Sumba.
Pangeran Anggadipati tidak berkata apa-apa lagi. Mereka
berjalan dengan tenang mengikuti kedua putri itu. Banyak
Sumba memandang ke arah Ayunda Yuta Inten dan gadis
yang dicintainya. Gadis itu berceloteh perlahan-lahan dengan
gembira kepada calon iparnya yang lebih tua. Tiba-tiba,
Banyak Sumba menyadari sesuatu.
Bertahun-tahun, selama ia mengembara dan hidup di
hutan, hiburan yang diterimanya adalah dari burung-burung
pagi yang berceloteh membangunkannya dan membukakan
langit biru kepadanya. Ia memandang ke arah Nyai Emas
Purbamanik, tiba-tiba saja ia menyadari betapa beruntung
hidupnya kini. Setelah mendengar burung-burung pagi,
biasanya hidupnya kosong sepanjang hari. Betapa sunyi dan
rindu ia akan kawan yang selalu berada di dekatnya. Dan
sekarang, orang yang dibutuhkannya itu tak akan
dilepaskannya lagi. Ia akan bangun pagi mendengar celoteh
burung-burung pagi, tetapi ia tidak akan sepi sepanjang hari.
Dan senja, seperti senja itu, Nyai Emas Purbamanik akan
berceloteh dengan suara rendah kepadanya. Ia akan
mendengarkan dengan tidak bosan-bosannya, ia akan
memandangi dengan tak henti-hentinya.
Ia memandang kedua putri yang berjalan di depannya,
halus dan megah, dua ekor burung merak putih dalam
sepuhan cahaya senja yang keemasan. Ia mendengar desir
langkah kaki di sampingnya, suara alas kaki Pangeran
Anggadipati. Ia ingin sekali merangkul pangeran itu, tapi ia
tidak berani. Kemudian, dirasakannya tangan pangeran itu
melekat di pundaknya.
"Apa pun yang kau rencanakan, Adinda, gerbang masa
depan terbuka bagimu."
Ketika itu, Putri Yuta Inten dan Nyai Emas Purbamanik
berhenti berjalan dan menunggu mereka di gerbang kaputren.
TAMAT Glossary: Kuncen: juru kunci
Ki Silah: sahabat
Kaliage: semacam kayu hutan yang berduri panjangpanjang
Lahang: tuak aren
Waregu: semacam palem yang batangnya kecil
Ruyung: bagian luar batang enau atau kelapa bagian
kerasnya Laron Pengisap Darah 1 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti 19
^