Pencarian

Mustika Gaib 3

Mustika Gaib Karya Buyung Hok Bagian 3


Karena gerakan lompatan itu, maka pedang yang masih terjepit pada leher orang hutan tadi juga turut terbawa naik.
Dan saat itu Kang Hoo sudah dibuat bingung dengan gerakan aneh orang hutan perem?puan tadi, ia melepaskan cekalan pedang dan lompat mundur.
Berbarengan dengan gerak kaki Kang Hoo yang lompat mundur, mendadak saja sepasang kaki orang hutan perempuan yang lompat ke atas tiba- tiba menendang ke muka Kang Hoo.
Si pemuda yang sedang kebi?ngungan, mendapat tendangan kaki orang hutan perempuan tadi ia tak dapat meng?elak, dan keningnya terhajar tendangan kaki berbulu itu.
Kang Hoo mundur sem-poyongan lalu jatuh terguling.
SEMENTARA itu dari angkasa kembali terdengar suara tawa, gadis Biauw, memecahkan suara irama suling yang masih terus terdengar bercampur aduk dengan suara gerengan-gerengan binatang buas disusul suara teriakan Goat Khouw, "Toa-sianseng, kau kawinilah! Ia masih perjaka ......" Orang hutan perempuan yang sudah mabok kepingin kawin, mendengar suara perintah dari majikannya, begitu ia kem?bali lompat turun ke tanah, mengeluarkan pekik kegirangan.
Lalu ia menghampiri Kang Hoo yang sudah rebah terlentang.
Sedang kedua tangannya masih menggaruk-garuk terus.
Dan pedang yang tadi dijepit di lehernya, telah terlempar jatuh ke tanah.
Saat itu Kang Hoo, sedang merasakan bagaimana sakit kepalanya ditendang oleh kaki orang hutan* perempuan itu begitu pula punggungnya terasa perih karena tertusuk beberapa duri rumput.
Dengan masih terlentang ia dapat melihat bagaimana sikap orang hutan tadi mendatanginya sambil cengar cengir menggaruk-garuk.
Beng Cie sianseng menghadapi orang hutan bulu kuning, begitu ia melihat sang murid sudah roboh terkena tendangan kaki orang hutan tadi, ia juga jadi kaget.
Sebenarnya kepandaian Beng Cie sianseng juga tidak rendah, tapi menghadapi orang hutan berbulu kuning ini, ia agak kewalahan, karena beberapa kali pentungan batang kayunya berhasil menggebuk badan orang hutan bulu kuning itu, hanya bisa membuat si kuning memekik mundur, kemudian dengan gesit binatang itu kembali melakukan serangan.
Dan ketika ia menampak orang hutan berbulu hitam sedang mendatangi Kang Hoo yang masih menggeletak, cepat-cepat ia menggunakan satu potong kayu, diluncurkan ke arah Toa sianseng! Orang hutan betina tadi tidak menge?tahui datangnya serangan dari Beng Cie sianseng, lebih- lebih ia telah terbenam dalam arus nafsu kebinatangannya, hingga tidak mau memperhatikan keadaan sekelilingnya lagi, terus melangkah maju.
Kang Hoo bergulingan di atas tumput menjauhi langkah kaki orang hutan hitam itu.
Berbarengan mana, potongan kayu yang dilempar oleh Beng Cie sianseng berhasil membentur iga kiri si hitam.
Orang hutan itu kaget, ia memekik, dan ketika ia melihat yang membentur itu adalah sebatang kayu, ia tidak mau memperdulikan, rupanya benturan tadi tidak dirasakannya.
Kang Hoo juga melihat bagaimana suhunya melemparkan itu potongan kayu, ke arah orang hutan betina, ia juga melihat bagaimana sang suhu di bawah sinar bulan itu kewalahan menghadapi serangan-serangan Ui-jie yang memiliki gerakan sangat gesit, Meskipun sang suhu telah berhasil menggebuk beberapa kali badan si kuning, tapi sang binatang masih memiliki kegesitan yang luar biasa.
Kalau saja suhunya menggunakan pedang pastilah, binatang itu sudah sejak tadi berhasil dirobohkan.
Sewaktu luncuran potongan kayu itu berhasil membentur iga kiri si hitam yang kenyataannya tak digubris oleh orang hu?tan besar itu, hati Kang Hoo mencelos.
Betapa tebalnya kulit orang hutan ini.
Tapi Kang Hoo tidak sempat berpikir ba?nyak, karena telinganya kini sudah mendengar suara garukkan orang hutan perempuan itu pada selangkangannya yang penuh bulu.
"Kraosss .... kraos, kraos, kraas . . ." Mendengar suara garukan itu Kang Hoo mengeluarkan keringat dingin, karena sambil rebah demikian ia dapat melihat jelas apa yang sedang digaruk-garuk oleh orang hu?tan bulu hitam tadi, sampai mengeluarkan suara keraosan.
Kembali Kang Hoo menggeser badan ke belakang menjauhi binatang hutan perem?puan dan akhirnya ia terpojok pada lamping batu di bawah goa dimana tadi ia lompat turun.
"Ya Allah!" keluh Kang Hoo dalam hati, kini ia melihat orang hutan bulu hitam itu melangkah sambil membungkukkan badannya, dari mulut binatang orang hutan itu menetes air liur.
Beng Cie sianseng melihat kejadian itu jadi menggeram, mempercepat gerakan serangannya.
Seluruh kepandaiannya dikeluarkan untuk menghajar binatang yang bulu kuning.
Bertempur tiga jurus kemudian, barulah ia berhasil menghajar batok kepala belakang Ui-jie.
Membuat si orang hutan bulu kuning terhuyung ke depan, lalu ambruk di tanah.
Begitu ia berhasil merobohkan orang hutan bulu kuning, Beng Cie sianseng lompat ke tempat dimana si Hitam akan menerkam Kang Hoo.
Tapi baru saja kakinya melompat ke depan, mendadak di depannya meluncur lagi sinar kuning emas.
Menampak sinar kuning emas itu Beng Cie sianseng yang sedang lompat jadi kaget, cepat ia menjatuhkan dirinya rebah di tanah.
Dan tepat ketika itu, sinar kuning emas tadi lewat di atas badannya.
Si orang hutan betina yang sudah menge?luarkan air liur dari mulutnya, dengan se?kali lompat ia sudah berada di atas tubuh Kang Hoo.
Kang Hoo jadi gelagapan, ia berusaha berdiri, tapi perut berbulu dari orang hutan itu mendadak menggencet mukanya dan ia kembali jatuh duduk.
Dan orang hutan betina berhasil duduk di atas paha Kang Hoo.
Begitu Kang Hoo jatuh duduk, tangan si orang hutan perempuan berbulu yang terus-terus menggaruk itu, mendadak diangkat keatas, tangan berbulu tadi meraba pipi Kang Hoo.
Kang Hoo jadi kelenger dibuatnya.
Betapa tidak, tangan bekas menggaruk-garuk tadi, ber?bau tidak enak, jari-jari orang hutan itu terasa gemeteran di pipi si pemuda.
Setelah Kang Hoo merasakan bagaimana baunya tangan orang hutan betina yang bergeme?taran mengelus wajahnya Kang Hoo jatuh pingsan.
Tubuhnya menggeloso ke bawah.
Berbarengan dengan pingsannya Kang Hoo di bawah perut orang hutan itu, men?dadak saja suara seruling yang sejak tadi terdengar di dalam hutan berubah iramanya.
Suara seruling yang semula terdengar sayup-sayup halus itu mulai terdengar sangat aneh, dan suaranya terdengar keras, pantulan suara suling tadi seperti membuat ke?adaan hutan dimalam hari jadi bergetar keras.
Di atas angkasa malam si gadis Biauw yang duduk di punggung burungnya memandang ke atas, ia memperhatikan dari mana munculnya itu suara seruling.
Kemudian gadis itu mengeluarkan siulan panjang, memerintahkan burungnya terbang tinggi ke atas, untuk melihat siapakah yang meniup suling di puncak gunung.
Tapi sang burung mendadak tidak mau terbang tinggi, begitu telinganya mendengar suara seruling tadi, Malah burung itu telah merosot terbang turun semakin ren?dah.
Mengetahui kalau suara seruling itu te?lah membuat semangat burungnya jadi kuncup, si gadis Biauw berteriak, "Toa sianseng, Ui-jie, kau bunuh orang peniup seruling di atas sana." Toa sianseng, itu orang hutan betina yang sudah mabok perjaka, bulu-bulunya meriap bangun, ia belum berhasil melampiaskan napsu binatangnya pada diri Kang Hoo, mendadak mendengar suara perintah itu ia jadi melengak kaget.
Sebenarnya ketika orang hutan perempuan itu mendengar suara suling aneh, mendadak saja ia juga jadi kaget, dan nafsu birahinya mendadak buyar, begitu mendengar suara perintah sang majikan maka ia cepat lompat ke atas merambat tebing, Begitu pula si kuning Ui-jie, saat itu baru saja bangkit berdiri, begitu mendengar suara perintah sang majikan ia berlompatan ke arah atas gunung.
Setelah memberi perintah pada kedua orang hutan itu, gadis Biauw tadi lompat turun dari atas punggung burung, sambil mengeluarkan siulan dan desisan.
Maka di dalam hutan itu terdengar suara gerengan-gerengan binatang buas semakin santer, begitu pula suara desisan ular-ular berbisa semakin ramai, mereka pada bergerak maju mengurung Beng Cie sianseng dan Kang Hoo.
Saat mana Beng Cie sianseng sudah lari mendatangi Kang Hoo dan baru saja memeriksa keadaan Kang Hoo yang pingsan, be?gitu ia mendengar suara gerengan binatang buas dan suara desisan ular berbisa sema?kin ramai mengurung mereka berdua, hatinya mencelos kaget, ia lompat ke arah mana pedangnya menggeletak di tanah, dengan menggenggam pedang itu, ia lompat lagi ke samping Kang Hoo.
Sementara itu gadis Biauw yang sudah berdiri di tanah berada di luar kurungan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa ia men?dongakkan kepala ke atas puncak gunung menyaksikan kedua orang hutannya me?nyatroni si peniup seruling dan dengan suara keras ia berteriak, "Manusia darimana berani menganggu ketenangan di sini" Ayo hentikan suara suling yang membuat burungku jadi terkejut!" Suara suling masih terus menggetarkan isi rimba.
Sejenak kemudian setelah men dengar suara teriakan si gadis Biauw, suara suling itu sirap, dan terdengar suara orang berkata, "Terhadap kedua belah pihak, aku tidak ada permusuhan apa-apa, maka akupun tidak bermaksud untuk mencelakai salah satu pihak, tetapi karena aku telah datang lebih dulu ke tempat ini, dan binatang-binatang buas dan ular berbisa yang terus-terusan menggereng dan mendesis membuat ketenanganku jadi terganggu, karena mengingat binatang-binatang itu ada yang menggerakkan, maka aku tak dapat sembarang membunuh.
Kalau saja me?reka itu tak ada pemiliknya, maka sejak tadi-tadi tentu aku sudah bunuh semua.
Tapi memandang dirimu aku tak sampai membunuh mereka, begitu pula aku tak berhak mengusirmu dari hutan ini karena gunung adalah kepunyaan bersama bukan milik seseorang, oleh karena sifat manusia itu ti?dak mau mengalah satu sama lain, maka akupun merasa tak baik untuk menyuruh orang lain mengalah padaku, tapi suara-suara binatang buas dan ular-ular berbisa sangat memuakkan, mengganggu ketenanganku, maka terpaksa aku meniup seruling dengan irama yang aneh guna menekan suara gerengan-gerengan binatang buas dan desisan-desisan ular berbisa.
Maka bila kau suruh binatang-binatang itu berlalu dari tempat ini, dan tidak mengganggu keindahan rembulan malam di atas gunung, akupun akan meniup seruling dengan irama yang enak didengar." Setelah kata-kata dari atas ganung itu ber?akhir, suara seruling kembali terdengar lagi suara itu lebih santer, sehingga seluruh gunung memperdengarkan suara nyaring, seolah-olah menggetarkan udara.
Sementara itu, si gadis Biauw bersiul dan mendesis kembali, maka sekalian binatang-binatang buas itu mengeluarkan suara gerengan yang lebih buas lagi, begitu pula ular-ular mendesis-desis tiada hentinya.
Begitu suara gerengan binatang buas dan desisan ular berbisa terdengar semakin hebat, suara seruling dari atas gunung itupun terdengar lebih hebat lagi, iramanya berobah-obah, dan yang lebih aneh lagi akibat suara seruling itu, keadaan hutan yang tenang mendadak seperti digulung oleh badai angin yang datang tiba-tiba ranting, pohon bergoyang keras, daun terbang ber-guguran, begitu pula, suara-suara gerengan bi?natang buas dan ular-ular berbisa seolah-olah mereka tidak sanggup menahan serangan suara suling, suara gerengan-gerengan mereka semakin lama jadi semakin lemah.
Macan, binatang buas dan ular- ular berbisa jadi pada lesu, suara gerengan mereka tidak begitu ramai lagi.
Beng Cie sianseng sedang terkurung oleh binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa, ia men?dengar bagaimana suara seruling itu menundukkan gerengan-gerengan binatang buas juga merasakan bagaimana di dalam hutan itu mendadak timbul angin topan, hatinya jadi heran.
Tokoh manakah yang telah muncul di atas puncak gunung ini" Ketika itu kedua orang hutan yang mendaki ke atas, sudah tak tampak bayangannya, sedang suara seruling terdengar semakin lama semakin aneh, sebentar mengeluarkan suara seperti bumi ambles, sebentar lagi terdengar seperti suara ombak laut mengamuk, sebentar lagi suara seruling itu ber?ubah seperti naga malaikat berkelahi mengeluarkan gerengan di angkasa, dan men-dadak berubah lagi seperti suara ratusan ribu tambur yang dipukul santer.
Perobahan suara seruling itu, membuat binatang- binatang buas yang pada mengurung Beng Cie sianseng dan Kang Hoo, pada serabutan mundur ke belakang, mereka seperti di?usir pergi oleh suara seruling tadi.
Sedang suara gerengannya sudah tak terdengar lagi.
Sedangkan Beng Cie sianseng yang men?dengar suara seruling tadi hatinya juga jadi berdebaran keras, begitu pula si gadis Bauw yang berdiri di dalam gerombolan pohon ia tidak kalah kagetnya, mendengar suara suling itu, terasa jantungnya hampir mau copot.
Lain halnya keadaan Kang Hoo yang sedang pingsan, ia tidak terpengaruh oleh suara seruling tadi.
Sementara itu suara seruling terus terdengar, mendadak saja terjadi lagi keanehan, angin besar yang menggoyang-goyangkan ranting-ranting pohon tambah kuat, kalau semula hanya daun- daun pohon yang berguguran, kini pasir dan batu- batu gunung berterbangan, cabang-cabang pohon bergoyang-goyang keras mengeluarkan suara kerosokan, sehingga daun-daunnya terus terbang berguguran tiada hentinya, sedangkan itu binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa yang pada lari menjauhkan diri, mendadak saja jatuh lemas di atas tanah, ular-ular berbisa meringkel, masing-masing melepotkan kepalanya.
Keganasan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa mendadak lenyap, bahkan kini tampak badan mereka gemetaran keras, seperti minta dikasihani.
Keadaan gadis Biauw tidak berbeda se?perti juga keadaannya binatang-binatang peliharaannya, tubuhnya sudah gemetaran, dan mulutnya terkancing rapat, wajahnya seperti tidak sanggup menahan penderitaan, tapi wajahnya masih menunjukkan sikap tidak mau kalah.
Tidak terkecuali keadaan Beng Cie sianseng, dengan lemas ia bersandar di lamping tebing di bawah lubang goa.
Dan Kang Hoo masih terus melingkar pingsan.
Saat itu mendadak suara seruling jadi sirap, dan keadaan hutan yang diamuk badai jadi tenang kembali kemudian terdengar lagi suara orang bicara dari atas gunung.
"Kau, membawa ini binatang-binatang buas untuk mencelakai orang, itu sebenarrya urusanmu sendiri, tapi bagaimana ketika aku sedang meniup seruling kau perintahkan dua orang hutanmu untuk menyerang diriku.
Kalau melihat kelakuanmu ini, seharusnya aku menurunkan tangan kejam membunuhmu, tapi karena urusan disebabkan karena kau ingin mendapatkan suami, dan hatimu terlalu pendek serta kurang pikir, maka aku hanya memberi peringatan padamu, dan kalau kau tahu gelagat, cepatlah bawa ini binatang-binatang buas menyingkir dari tempat ini!" Berbarengan dengan akhir ucapan orang itu di atas udara terdengar suara jeritan halus terbawa angin dari dua orang hutan yang diperintah gadis Biauw menyerang si peniup seruling, kedua orang hutan itu mengeluarkan suara jeritan, lalu badannya terpental dan jatuh menggelinding ke bawah.
Kemudian terdengar suara mendebuk dari dua badan orang hutan yang jatuh di tanah.
Kedua orang hutan itu jatuh di tanah tidak berkutik lagi.
Menyaksikan jatuhnya kedua orang hutan dari atas tebing, Beng Cie sianseng jadi kaget bercampur kagum, ia sendiri tadi telah melakukan pertempuran sampai beberapa puluh jurus menghadapi serangan seorang hutan bulu kuning.
Dan dari hasil pertempuran itu, ia juga tahu kalau orang hutan ini memiliki ketebalan kulit yang luar biasa dan kekuatan sangat hebat, tapi bagaimana orang peniup seruling itu sambil bicara sanggup merobohkan dua ekor binatang hutan sekaligus hingga jatuh mampus ke bawah.
MATAHARI mencorong tepat di tengah langit.
Suara angin menderu. Puncak-puncak gunung menjulang tinggi ke angkasa.
Diantara suara deruan angin dan menco?rongnya sinar matahari, melesat sesosok bayangan putih menembusi awan ke atas puncak gunung paling tinggi.
Begitu kepulan awan mengambang di tengah lereng gunung dilewati, bayangan tadi melesat terus bagaikan anak panah terlepas dari busurnya memasuki sebuah goa.
Di dalam goa, bayangan putih itu mengembangkan tangannya, dan dari dalam balik jubah putihnya, keluar terhuyung-huyung mundur seorang pemuda tampan.
"Hmmm." Gumam bayangan putih tadi, "Di sini goa Hoa-ie-tong di atas puncak gunung Hong-tong- san, kau istirahatlah!" Pemuda tadi bukan lain adalah jago muda kita Kang Hoo, begitu ia terlepas dari kempitan orang tua jubah putih sudah lantas terhuyung-huyung, kemudian begitu ia berhasil mengendalikan dirinya, ia memandang pada orang tua berjubah putih.
Di tangan orang tua itu masih memegang sebuah seruling peraknya.
"Kau...... aki-aki....... siapa?" Tanya Kang Hoo heran.
"Bocah," seru si orang tua jubah putih, "Kau istirahatlah, setengah hari lebih kau dalam kempitan jubahku.
Nah! makanlah buah-buah yang tersedia.
Goa ini tempat per?tapaanku." "Mana suhuku?" Tanya Kang Hoo.
"Si tua tak berguna itu, ketika kau ku?bawa ke tempat ini ia masih tidur di bawah kaki gunung.
Mungkin saat ini ia sudah meninggalkan tempat itu." "Dan gadis Biauw itu?" "Eh, kau mencintai gadis liar itu?" Tanya si orang tua.
Kang Hoo menundukkan kepala, ia tidak bisa menjawab tegas pertanyaan orang tua itu.
Hatinya bingung, dan tiba-tiba saja ia bertanya lagi "Bagaimana binatang buas dan ular-ular berbisa dan mereka itu bisa pada tidur kepulasan?" "Kau makan dulu." kata orang tua ju?bah putih, kemudian ia membalikkan tubuh lalu keluar goa.
Meskipun waktu itu perut Kang Hoo sudah dirasa lapar, tapi karena menghadapi persoalan aneh itu, ia tidak segera mencari makan, lari keluar goa.
Di lubang goa angin dingin santer meniup dari sobekan-sobekan bajunya terasa angin itu menusuk bekas luka-luka di badan Kang Hoo bahkan mata Kang Hoo sendiri terasa perih.
Sejauh mata memandang, di sana hanya tampak beberapa buah puncak gunung tinggi, sedang kaki gunung tak kelihatan, karena diantara celah-celah gunung di bawah sana tampak mengambang awan putih menebal bagaikan kapas.
Badan Kang Hoo sedikit gemetaran me?mandang ke bawah, ia menyurutkan langkahnya masuk kembali ke dalam goa.
Sedang itu bayangan si orang tua bersuling entah sudah kemana lenyapnya.
Di dalam goa, Kang Hoo memperhatikan sekitarnya, ternyata bagian itu terdiri dari dua ruangan, ruangan depan dan ruangan belakang, di bagian belakang terdapat sebuah pembaringan terbuat dari kayu, ke?adaannya lebih luas dari bagian luar.
Meskipun keadaan di dalam goa itu agak gelap remang-remang tapi Kang Hoo sudah bisa melihat kalau dalam goa itu keadaannya bersih.
Di sudut pojok goa depan terdapat sebuah paso berisi beberapa butir buah kemerah-merahan.
Kang Hoo mengambil sebutir buah, dicium-ciumnya sebentar, buah itu wangi seperti buah apel maka segera juga digigitnya.
Terasa garing manis. Baru saja ia menghabiskan sebutir buah, si orang tua berambut putih sudah balik kembali.
Datang dan perginya orang tua berambut putih tadi sangat cepat, membuat Kang Hoo kagum, kalau dibandingkan dengan Beng Cie sianseng, orang tua ini tentunya lebih tua dua kali lipat.
Tapi gerakannya sungguh gesit luar biasa.
Orang tua itu, begitu berada di dalam goa, ia memandang sejenak pada si pemuda, kemudian dengan melangkah ringan ia berjalan ke goa belakang.
Sambil jalan orangtua itu berkata, "Setelah selesai makan kau masuklah ke goa belakang, aku hendak bicara!" Sebenarnya perut Kang Hoo masih dirasa lapar, tapi mendengar kata orang tua ram?but putih itu, ia segera berjalan mengikuti langkah si orangtua memasuki goa belakang di mana terdapat pembaringan kayu.
Begitu Kang Hoo tiba dalam kamar goa itu, si orang tua telah duduk bersila di atas pembaringan, dan begitu ia meiihat Kang Hoo sudah menyusul datang, tangannya menunjuk ke arah sudut goa, katanya, "Kau ambillah tikar di pojok sana, gelar di bawah, lalu duduk bersila." Kang Hoo menuruti kehendak orang tua baju putih itu.
berjalan ke pojok goa, dan sana ia mengambil sebuah tikar anyam, kemudian dibawanya ke depan pembaringan kayu dimana si orang tua duduk bersila, ti?kar anyam itu digelarnya, ia lalu duduk bersila menghadapi si orang tua.
"Aku tidak kenal padamu!" seru si orang tua rambut putih.
"Tapi karena kelakuan liarnya si gadis Biauw dan suhunya, aku merasa tertarik pada kekukuhan hatimu.
Nah sekarang kau ceritakan, bagaimana kau sampai terlihat urusan asmara dengan gadis liar bangsa Biauw itu, dan siapakah orang tuamu?" Mendapat pertanyaan demikian, dengan rasa sedih, Kang Hoo menceritakan asal usul dirinya, dan bagaimana sang ayah telah dibunuh mati oleh orang-orang seragam hitam yang tak dikenal.
Hingga akhirnya ia berada di dalam hutan di lereng gunung itu, bersama gadis liar bangsa Biauw yang menuntut ia agar bersedia menjadi suaminya.
Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas dan panjang lebar.
Oang tua berambut putih manggut-manggut kemudian katanya, "Jadi kau menganut agama baru itu" Hmmm, tak kusangka! Tak kusangka! Agama itu masih bisa merembes masuk ke dataran Tionggoan, dan orang golongan aneh itu juga tidak mau berhenti menum?pas, belum bisa menerima kehadirannya agama baru." "Cianpwee," potong Kang Hoo "Apakah mengetahui tentang agama baru itu?" "Islam!" kata si orang tua tegas, "Aku bukan saja tahu, bahkan aku pernah mengem?bara ke negeri asal dimana agama itu mun?cul, dan aku juga telah mempelajari agama itu boleh dikata sempurna." "Aaaaaa......jadi cianpwe ini beragama Islam." seru Kang Hoo kaget.
"Heee, heee . . . ." Orang tua rambut putih tertawa riang, "Sejak kecil aku mendapat didikan agama Budha, aku anak yatim piatu hidup dan dibesarkan dalam vihara, setelah dewasa aku mengembara mencari guru silat, dan pada beberapa tahun aku berhasil mendapatkan nama daerah utara dan selatan sungai Hong-ho, orang-orang mem?beri aku julukan Pek kut Ie-su, dan namaku sendiri Kong sun But Ok hampir kulupakan karena tenggelam oleh nama julukanku yang menakutkan itu.
Memang keadaan manusia itu sewaktu-waktu bisa berubah.
Setelah aku berusia tigapuluh lima tahun, mendadak kembali aku rindu akan ajaran Budha maka kembali aku mengasingkan diri bertapa mempelajari agama, sejak itu aku tidak mau turut campur lagi urusan dunia.
Tambah lama aku mempelajari agama Budha itu, bertapa di tempat sunyi hatiku tambah tenang, keadaan jiwakupun tambah kuat.
Entah bagaimana pada suatu hari terbetik satu pikiran, bukankah Budha itu di bawa oleh sarjana kita diantaranya sarjana Hwei Hseng dan Sung Yud dari negeri India, kedua sarjana itu membawa bermacam-macam buku Budha Mahayana, semua itu aku telah pelajari.
Mengingat akan asal agama itu timbul niatku untuk mengun?jungi India.
Maka segera juga aku berangkat mengambil jalan darat, tapi di tengah jalan aku mendengar tentang adanya agama baru yang merembes di perbatasan Tiongkok, asal agama baru dari negeri Arabia.
Men-dengar itu, hatiku berubah, ingin aku mengunjungi negara Arabia dan mempelajari seni bentuk dan ragamnya agama itu, lalu niat itu kulaksanakan.
Tanpa memperdulikan penderitaan.
Aku akhirnya mengembara ke negeri orang, itulah benua Arabia asal dari agama yang kau anut.
Hampir dua puluh tahun aku di sana, mengembara dari pojok ke pojok dunia Arab.
Dan kini kau boleh panggil aku Haji ..." berkata sampai di situ, si orang tua menghela napas, memandangi Kang Hoo yang duduk ber?sila mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kongsun But Ok berkata lagi, "Setelah aku kembali ke negeri kita, aku bertapa di tempat ini, menghubungkan kedua macam agama yang pernah aku pelajari.
Dari penyelidikanku, aku dapat menyimpulkan bahwa dari kedua agama itu mengandung inti sari kejiwaan yang sangat dalam dan kalau saja manusia berhasil menguras inti sari ilmu kejiwaan dari dua ajaran agama itu digabung menjadi satu.
Maka akan timbul satu kekuatan tenaga bathin yang sangat luar biasa dan aneh.
Sejak berpikir begitu aku memperdalam kedua ajaran agama itu dalam segi kerohanian.
Dan akhirnya setelah memakan waktu belasan tahun kemudian berhasillah aku menciptakan satu ilmu kekuatan bathin yang ber?sumber dari kemurnian jiwa!" Sampai di situ, Kongsun But Ok Pek-kut Ie-su menatap wajah Kang Hoo yang duduk bersila di bawah pembaringannya.
Kang Hoo sendiri yang mendengarkan cerita si orang tua, ia mendengarkan dengan melompongkan mulut, dan takkala si orang tua menatap wajahnya, ia bertanya, "Jadi cianpwe, adalah Kongsun But Ok Pek-kut Ie- su yang pernah menggemparkan rimba persilatan pada tiga puluhan tahun yang lalu?" "Nnnggg, kau jangan sebut lagi julukan Pek kut Ie-su, julukan itu sudah tidak co?cok dengan keadaanku sekarang.
Kau boleh panggil saja aku Haji Kong-sun But Ok, aku lebih senang mendengar sebutan itu, bukan?" Kang Hoo mengangguk-angguk katanya, "Hamba, pernah mendengar nama itu dari suhu.
Harap cianpwe jangan gusar." "Anak tolol!" seru Kong-sun But Ok.
"Kau panggil aku Haji Kong-sun But Ok apa, sudah paham." "Hamba paham." seru Kang Hoo.
"Paham apa?" tanya Haji Kong-sun But Ok.
"Hamba sedang berhadapan dengan Pak Haji Kong sun But Ok." kata Kang Hoo.
"Ha, . . . ha . . . haaaaa, haaaaaa . . .hua ... a....." tertawa berkakakan Kong sun But Ok, "Begitu, begitu, kau mesti panggil aku Haji Kong-sun But Ok.
Hua haa . . . haaaaa .... aaaa bocah apa kau sudah sembahyang Dhuhur, hmmm, ehe heee.....heee....." Mendengar pertanyaan itu, Kang Hoo kelabakan, hatinya berdebar keras, bukankah sembahyang itu wajib bagi dirinya tapi selama ini ia tidak pernah melakukan sembahyang itu, maka dengan gugup ia berkata, "Pak .
. . haji , . . selama ini ......hamba tidak lagi melakukan sembahyang, ini karena keadaan hamba yang terus-terusan dikejar-kejar orang jahat, tapi hati sanu?bari hamba tetap yakin kepada Nya dan utusan Nya Nabi besar Nuhammad!" "Heheee .
. . he . . heeee . . . heeeees . . . ?" Kong- sun But Ok tertawa terke-keh, "Mengapa kau mesti takut mengakui kenyataan, aku sendiri tidak pernah mela?kukan sembahyang .
..." "Eh, tapi ....
tapi . . . bukankah pak Haji wajib melakukan lima waktu itu, itu?lah wajib dalam rukun agama", tanya Kang Hoo.
"Heheee . . . aku tahu." kata Kong-sun But Ok, "Karena sejak aku kembali dari negeri Arabia, aku sibuk dengan menyeli?diki persamaan dan perbedaan antara agama yang lama dan agama yang baru, hingga aku tak sempat melakukan sembahyang tapi aku yakin Allah itu Pemurah dan Pengasih.
Semoga Ia mengampuni dosaku, dan hal yang wajib itu, bukanlah hanya sembahyang lima waktu, kau tentunya juga tahu mencari ilmu dan menolong orang sengsara itu juga wajib.
Nah aku telah menjalankan kewajiban mencari ilmu itu, se?lama ini waktu kuhabis untuk mencari ilmu.
Dan akhirnya aku berhasil, heeehee heeee .
. . heeee . . . ?" Kembali si orang tua tertawa berkakakan.
Mendengar dan menyaksikan sikap orang tua itu hati Kang Hoo jadi kebingungan, mengapa ucapan orang tua ini agak melantur, dan suara tertawanya tadi, bukankah seperti suara tertawa orang gila.
Maka pikir Kang Hoo dalam hati, "Apakah aku ini berhadapan dengan se?orang Haji gila?" "Eheee ....
heeee ..." Kong sun But Ok terus tertawa melihat perobahan wajah Kang Hoo, lalu katanya, "Mungkin hatimu mengatakan aku ini seorang gila.
Heeeheee . . . ?" "Ah. Mana berani," seru Kang Hoo terkejut.
"Hmmm, huaaheeeee......." kembali Kong-sun But Ok tertawa lagi, "Nah mulai hari ini kau akan kujadikan muridku, aku akan menurunkan ilmu bathin yang selama puluhan tahun ini kuciptakan, nanti setelah kau menerima ilmu itu kau bisa malang melintang di atas dunia ini.
Tapi sebelumnya kau harus membaca dulu surat Al- faatihah, sebanyak tujuh kali di hadapanku.
Apa kau bisa?" Kang Hoo mengangguk kepala, lalu ia mulai membacakan apa yang diminta oleh orang tua itu.
Tapi setelah Kang Hoo membaca surat Al Faatihah, sebanyak satu kali, menda?dak Haji Kong-sun But Ok mengerutkan kening, katanya dingin, "Aku tidak butuh lagu suara itu.
Kau baca dengan bahasa kita!" "Tafsirnya?" tanya Kang Hoo.
"Ya. Tafsirnya, tidak guna kau melagukan ayat demi ayat, bila kau tidak mengerti bagaimana bunyi tafsirnya." kata Haji Kong-sun But Ok.
Maka setelah memandang sang guru, Kang Hoo membacakan tafsir dari Al Faatihah di depan sang guru.
Ucapnya dengan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan, 1.
Dengan nama Allah yang Pemurah dan Pengasih.
2. Segala puji bagi Allah Tuhan se?mesta alam.
3. Yang Maha Pemurah dan Pengasih, 4.
Yang memerintah di hari Qiamat.
5. Engkaulah yang kami sembah dan Engkaulah yang kami minta tolong.
6. Tunjukkanlah kami ke jalan yang benar.
Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula jalannya orang yang sesat.
Terimalah ya Tuhanku. Sambil duduk bersila di atas pembaringan kayunya, Kong-sun But Ok mendengarkan terus Kang Hoo membacakan tafsir dari ayat Al Faatihah sebanyak tujuh kali.
Setelah selesai Kang Hoo membacakan ayat itu, Haji Kong-sun But Ok, manggut-manggut, ia tersenyum, "Bagus, bagus .
. . . mulai detik ini kau kuangkat jadi muridku, menerima gemblengan lahir bathin.
Nah kau bangkitlah." Mendenpar perintah itu, Kang Hoo se?gera bangkit berdiri di depan sang guru agamanya.
Kong-sun But Ok masih duduk bersila di atas pembaringannya.
Ia memandang Kang Hoo, lalu katanya,'" "Pelajaran pertama.
Pusatkan seluruh perhatianmu! Ciptakan hawa amarahmu!" Mendapat perintah latihan pertama yang demikian rupa Kang Hoo, jadi berdiri bengong memandang sang guru.
"Ah, Ayo! Jangan mematung begitu," bentak Kong- sun But Ok.
"Guru, .... ini mana mungkin," kata Kang Hoo memandang gurunya, "Menciptakan hawa amarah, bukankah itu berten?tangan dengan ajaran agama.
Kita harus menjauhkan sifat-sifat jelek, melenyapkan perasaan sirik dengki, menciptakan situasi damai pada jiwa kita.
Hari ini guru meme?rintah aku menciptakan hawa amarah.
Mana bisa." Mata Kong-sun But Ok, berputaran memperhatikan Kang Hoo, yang berani membantah perintahnya, tampak begitu pipi tuanya yang keriput itu bergerak-gerak, entah perasaan apa yang dikandung dalam dada si orangtua aneh itu.
Sementara itu Kang Hoo masih terus berdiri mematung, hatinya sedikit bergidik menyaksikan sikap gurunya yang demikian rupa.
Tanpa disadari, kakinya bergeser mundur ke belakang dua tindak.
"Nggg ..." menggereng Kong-sun But Ok menyaksikan sang murid mundur ke belakang, lalu katanya, "Kau maju dua langkah!"
Mendengar perintah maju dua langkah, sepasang kaki Kang Hoo, bergerak maju lagi dua langkah, mendekati sang guru.
"Apakah kau masih ingin mengangkat aku menjadi guru?" tanya Haji Kong-sun But Ok.
Kang Hoo mengangguk kepala.
Tapi mulutnya bungkam. Kong-sun But Ok masih duduk bersila di atas pembaringan kayunya, ia mengang?guk angguk kepala lalu katanya, "Dengarlah! Pusatkan perhatianmu! Ciptakan hawa amarah." Kembali Kang Hoo mendapat perintah latihan demikian, hatinya jadi gelisah mengapa gurunya ini memerintahkan ia menciptakan hawa amarah Bukankah itu bertentangan dengan ajaran agama.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun ia mesti melanggar ajaran agama itu.
Tapi bagaimana secara mendadak tanpa hujan tanpa angin bisa timbul hawa ama?rahnya.
Maka cepat-cepat ia berkata, "Guru.
sebenarnya...... hamba bagaimana bisa menciptakan bawa amarah itu.
Ini sulit." Mendengar jawaban Kang Hoo demikian rupa, Kong-sun But Ok tertawa terbahak-bahak, lalu sambil menunjuk-nunjuk dengan suling peraknya, ia berkata, "Aku tahu, aku tahu, jawabanmu ini benar nah, begitulah harusnya kau menja?wab, jangan sok pintar soal agama.
Aku ini Haji, bertahun-tahun mengembara di tanah suci Mekah, aku lebih tahu darimu.
Hmm. Untuk menciptakan hawa amarah, sebenarnya itu mudah kulakukan dengan meniup seruling ini, aku bisa membuat kau marah seperti kerbau gila.
Tapi itu tidak sempurna, ilmu yang akan kuturunkan harus dipupuk dari semangatmu sendiri tanpa bantuan suara suling.
Apa kau mengerti maksudku?" Meskipun ia tidak mengerti akan apa yang diucapkan sang guru.
Kang Hoo menganggukkan kepala, jawabnya, "Ya." Jawaban singkat Kang Hoo itu terpaksa, ia kuatir kalau gurunya nanti menunjukkan wajah seperti tadi, Wajah itu sangat menakutkan.
Maka meskipun ia sendiri kurang mengerti apa maksud kata gurunya tadi la menjawab saja "Ya." Urusan belakang bagaimana nanti saja.
"Apa kau sudah mulai memusatkan pikiranmu?" tanya Haji Kong-sun But Ok.
"Teecu akan mulai." jawab Kang Hoo tergetar.
"Nah cobalah," seru sang guru.
Kang Hoo memejamkan sepasang mata?nya, ia memusatkan pikirannya mengum?pulkan hawa amarah.
Otaknya diperas guna menciptakan hawa marah tadi.
Pikirannya diarahkan pada lawan- lawan yang pernah melu?kainya.
Dibayangkannya manusia-manusia seragam hitam beselubung muka yang membunuh ayahnya serta melukai dirinya.
Tapi yang timbul bukanlah hawa amarah sebaliknya, rasa sedih yang mempengaruhi jiwanya, sedih ia teringat bagaimana sang ayah binasa di tangan musuh gelap, dan bagaimana ia melihat sendiri mayat ayah itu mencair.
Tanpa dirasa matanya yang dipejamkan itu mulai membasah.
Kong-sun But Ok memperhatikan keadaan Kang Hoo, ia melihat sepasang mata si pemuda yang terpejam itu mengembang air, cepat ia membentak, "Anak tolol! Aku bukan suruh kau bersedih hati." Mendengar suara bentakan sang guru, Kang Hoo jadi kaget, ia tersentak, mata?nya dibuka, dengan lengan bajunya ia menggosok air mata tadi.
Katanya gemetar, "Teecu teringat akan ayah." "Hmm.
Kalau kau tidak mampu memusatkan pikiranmu," kata Kong-sun But Ok, "Baiklah aku akan mengambil cara lain.
Nah sekarang kau robek baju rombengmu itu." Kembali Kang Hoo dibuat bingung mendengar perintah sang guru.
Tapi ia tidak mau banyak pikir, cepat ia merobek bajunya yang sudah rombeng.
Maka di dalam goa itu terdengar suara memberebet yang panjang.
Dan berbarengan dengan sirapnya suara koyakan baju itu, di tangan Kang Hoo sudah memegang sobekan kain bajunya.
"Kurang lebar." seru sang guru.
"Kurang lebar?" Kang Hoo berkata dalam hatinya.
Lalu ia membuang sobekan itu di lantai goa.
Kemudim membuka bajunya dan baju yang telah dibuka itu, dirobek-robeknya menjadi beberapa lembar.
Lalu ditunjukkan di depan sang guru.
Menampak kelakuan gila Kang Hoo.
Dengan masih duduk bersila di atas ranjang kayu Kong sun But Ok tersenyum, katanya, "Berikan aku salah satu sobekan itu." Kang Hoo memberikan selembar koyak-koyakan kain bajunya yang terlebar pada sang guru, sedang sisa yang lainnya masih dipe?gangnya di tangan kiri.
Sambil manggut-manggut, Kong sun But Ok menerima sobekan baju Kang Hoo, lalu ia meletakkan suling peraknya di atas pangkuan, sobekan baju tadi, diperas-perasnya berulang kali.
Tampak wajah Haji Kong sun But Ok serius, seperti ia sedang mengerahkan tenaganya untuk menghancurkan sobekan kain tadi, Tapi sobekan kain tadi bukan dihancurkan setelah diperas-perasnya, lalu ia membuat tiga buah ikatan simpul.
Setelah itu baru ia memandang Kang Hoo katanya, "Perhatikan!'' Berbarengan dengan kata-katanya, Kong-sun But Ok melemparkan sobekan baju Kang Hoo, ke atas langit-langit goa, maka sobekan baju itu meluncur terbang ke atas, berbareng mana, setelah ia melemparkan sobekan baju tadi, tangannya cepat mengambil itu seruling perak, lalu seruling tadi dilempar ke atas menyusul meluncurnya sobekan kain baju.
Luncuran suling perak yang cepat itu membentur sobekan baju di tengah udara, kemudian terangkat naik ke atas lalu membentur langit- langit goa.
Kang Hoo yang terus memperhatikan kelakuan gurunya, ia mempelototkan sepasang matanya, hatinya tidak mengerti, tapi ia tidak sempat bertanya apa maksud gurunya berbuat demikian, jelas sekali bagai?mana suling perak itu meluncur menerjang sobekan kain bajunya lalu menancap membentur langit-langit goa batu.
Dan sobekan baju tadi ditembusi suling, tiga simpul ikatan pada kain baju itu terjuntai ke ba?wah.
"Hmm. Dengar!" seru Haji Kong-sun But Ok.
Mendengar seruan sang guru, Kang Hoo memandang wajah gurunya dengan penuh perhatian.
"Untuk melatih menciptakan hawa amarah.
Kau pukullah tiga simpul kain itu di atas langit-langit goa." Mendengar keterangan gurunya demikian rupa Kang Hoo menengadah ke atas, ia memperhatikan tiga simpulan sobekan kain baju itu di atas langit- langit goa.
Meskipun la?ngit-langit goa itu tingginya lebih dari tiga meter, tapi dengan mengandalkan latihan lompat tinggi yang ia pernah latih di bawah asuhan Beng Cie sianseng, baginya tidaklah sulit untuk dapat melakukan serangan di atas tadi.
Tapi ia masih bingung, apakah dengan cara demikian benar bisa menciptakan hawa amarahnya.
Sesaat ia masih memandangi ke atas langit-langit goa batu, gurunya sudah berkata lagi, "Sebelum kau berhasil melakukan latihan ini, kau dilarang meninggalkan goa, kecuali waktu makan dan waktu kau sembah?yang, selainnya kau harus terus berlatih memukul tiga simpulan kain di atas sana." "Sembahyang?" seru Kang H o o.
"Ya." jawab sang guru tersenyum.
"Lima waktu. Ingat jangan kau lalaikan.
Sebenar?nya, latihan ini harus diiringi dengan la?tihan semadhi, tapi semadhi itu mirip dengan ajaran Budha.
Maka dengan jalan melakukan sembahyang lima waktu, itu sama saja kau bersemadhi memusatkan pikiran pada Tuhan Yang Maha Esa.
Inilah ciptaan ilmuku. Kau nanti akan tahu bagaimana hasil dari latihan ini.
Di bawah goa ini ter?dapat sebuah goa merupakan mata air, kau boleh turun ke sana menggunakan akar rotan untuk kau membersihkan dirimu, dan mengambil wudlu (air sembahyang).
Ingat goa ini menghadap ke timur, jika kau hendak ?melaksanakan lima waktu kau harus menghadap ke barat.
Mengerti?" Kang Hoo nengangguk.
"Ayo mulai!" perintah sang guru.
Kang Hoo memandang ke atas langit-langit goa lalu ia melempar sisa sobekan bajunya di lantai kemudian ia mengempos tenaganya lalu lompat melambung ke atas memukul sobekan kain bersimpul tiga itu.
Gerakan pukulan pertama tadi berhasil dengan baik, Kang Hoo dengan mudahnya memukul sasarannya, kemudian tubuhnya kembali turun ke bawah.
Lalu ia memandang sang guru.
"Lihat apa?" Tanya Kong-sun But Ok, ketika melihat muridnya itu memandang dirinya.
"Kau pukul benda di atas itu, pu?satkan perhatianmu, anggap benda itu musuhmu.
Ingat jangan berhenti kalau aku tidak memberi perintah.
Kalau kau masih bego saja, kulempar kau keluar goa.
Anak tolol!" Mendengar makian sang guru, Kang Hoo tidak berani membantah, ia cepat melakukan serangan lagi pada simpulan kain di atas langit-langit goa.
Kali ini gerakannya di?lakukan berulang-ulang, bila ia telah tiba kembali di lantai goa, kembali melejit me?mukul ke atas.
Latihan berlangsung terus, mataharipun mulai doyong ke barat, hari menjadi sore.
Kang Hoo yang melakukan latihan aneh itu, napasnya sudah tersengal, badannya sudah mandi keringat, bahkan pada badannya sudah terdapat luka-luka.
Karena dalam latihan itu, tidak jarang Kang Hoo mesti jatuh terguling di lantai dan membuat badannya yang sudah tak berbaju itu mesti merasakan bagaimana tajamnya batu-batu gunung di dalam goa.
Tapi ia tidak mau memperdulikan itu semua, tambah ia mendapat luka tambah semangatnya terbangun.
Untuk mengulangi menyerang sobekan kain di atas langit-langit goa.
Ketika napasnya sedang memburu melakukan gerakan latihan aneh itu, mendadak saja terdengar sang guru berkata, "Berhenti! Waktu Ashar! Kau harus sembahyang empat raka'at." Mendengar perintah suhunya, Kang Hoo cepat menghentikan latihan.
Tubuhnya su?dah basah mandi keringat! Melihat kalau Kang Hoo sudah basah kuyup dengan keringat juga napasnya tersengal-sengal Kong-sun But Ok berkata.
"Kau makan dulu buah di dalam kuali batu itu di luar sana.
Setelah itu kau boleh merambat turun mencuci dirimu mengam?bil wudhu.
Kau harus melakukan sembah?yang di tempat ini." Kang Hoo tidak berani membantah perintah gurunya, ia berjalan keluar meng?ambil buah di atas kuali tanah.
Dengan napas ngos-ngosan ia melahap buah tadi.
Setelah itu baru dengan menggunakan akar rotan ia merosot lurun ke arah goa dimana terdapat mata air.
Tak lama Kang Hoo sudah merambat kembali naik ke atas goa.
Lecet-lecet pada kulit badannya sudah dicuci bersih.
Ia mengha?dap sang guru. Kong-sun But Ok mengetahui kalau sang murid sudah kembali ke dalam goa.
Dengan masih duduk bersila ia berkata, "Nah, tunggu apa lagi, ini waktu Ashar jangan sampai terlambat!" "Ya, ya, teecu tahu," jawab Kang Hoo, ia memperhatikan letak tempat dalam goa itu, pintu goa menghadap ke timur jadi ia harus menghadap ke barat ke arah qiblat.
Yang berarti ia mesti menghadapi gurunya yang masih duduk bersila di atas pemba?ringan kayu.
Selagi Kang Hoo memperhatikan keadaan tempat itu, sang guru sudah bertanya lagi, "Apa celanamu sudah kau cuci bersih?" Kang Hoo mengangguk.
"Nah sembahyanglah, gunakan tikar anyam itu!" Mendapat perintah itu, Kang Hoo tidak berani membantah ia mulai berdiri tegak menghadap qiblat lalu hatinya berniat.
Sementara itu Kong-sun But Ok masih terus duduk di atas pembaringan kayunya memperhatikan Kang Hoo yang mulai me?lakukan sembahyang.
Kang Hoo tahu kalau gurunya Haji itu masih duduk di depannya, tapi ia tidak mau perduli terus melakukan sembahyang hingga selesai empat rakaat.
Setelah mana barulah ia berdiri.
"Bagus!" kata Kong sun But Ok.
"Guru," seru Kang Hoo, "Mengapa guru tidak sembahyang?" "Anak setan?" bentak haji Kong-sun But Ok, "Kau jangan banyak cerewet turut saja perintahku.
Nah sekarang mulai kau berlatih lagi, nanti waktu Magrib kau mesti melakukan sembahyang lagi.
Kalau kau masih berani banyak mulut akan kucekik batang lehermu." Mendengar kalau sang guru menjadi marah besar.
Kang Hoo jadi merengket ia cepat membalik badan memulai latihannya, dalam hati Kang Hoo berkata, "Haji gila! Orang dipaksa sembahyang ia sendiri duduk nongkrong di atas tempat tidur!" Hatinya berkata demikian, tangan dan kaki Kang Hoo bergerak melakukan latihan mengerahkan hawa amarah.
Latihan tadi berlangsung sampai malam, waktu Maghrib dilewati.
Menyusul mana waktu Isya berlalu.
Kang Hoopun tidak lupa pada setiap waktu itu melakukan sembanyang tapi sang guru, haji Kong- sun But Ok masih terus saja duduk nongkrong di atas pembaringan kayunya ia tidak pernah melakukan sembahyang.
Pengalaman satu hari itu di bawah didikan guru barunya, Kang Hoo mendapatkan pengalaman baru yang sangat aneh, karena di dalam goa pada malam hari itu, keadaan tampak terang, sinar terang mana ternya?ta keluar dari suling perak sang guru di atas langit-langit batu.
Siang tadi Kang Hoo tidak melihat ada?nya cahaya pada suling perak itu, tapi ketika hari memasuki waktu Magrib, pada batang seruling tampak titik- titik mengkilat yang memantulkan cahaya.
"Beginilah setiap hari kau mesti mela?tih," kata Kong-sun But Ok, "Setelah lewat waktu Isya kau baru boleh berhenti berla?tih.
Dan itu suling perak mengandung titik sinar di malam hari.
Kau jangan heran di dataran Tiongkok negeri kita ini, bukankah banyak benda mustika seperti itu.
Tapi suling ini kudapatkan dari negeri Bagdad.
Rupanya dunia ini sangat luas, dan sangat banyak dengan keanehan-keanehan, bukan saja negeri kita yang memiliki banyak benda-benda aneh, tapi negeri lain juga tidak kurang terdapat benda-benda' antik.
Nah, seperti suling itu, ku dapat hadiah dari seorang Arab di tanah Bagdad.
Negeri dari seribu satu malam," Kang Hoo mendengar cerita gurunya yang pernah mengembara ke benua Arabia itu.
Meskipun telinganya mendengarkan semua kata-kata gurunya, tapi pikirannya masih di buat bingung.
Bukankah gurunya ini se?orang Haji" Mengapa ia tidak melakukan sembahyang lima waktu" Terus- terusan duduk nongkrong di atas ranjang kayunya.
Juga Kang Hoo sedikit heran, sang guru itu setahunya sejak ia berada dalam goa belum pernah makan barang sedikitpun apa ia tidak merasa lapar" Berpikir bolak-balik akhirnya hati kecil Kang Hoo berkata, "Apakah aku benar-benar telah mendapatkan seorang guru otak miring" Apakah ia ini seorang Haji gila?" Tapi kata hati kecilnya itu ia tak berani utarakan di depan gurunya.
Kuatir kalau sang guru timbul marahnya.
"Nah, kau istirahat di goa depan, besok subuh, setelah kau melakukan sembahyang dua rakaat, kau mulai lagi melatih menge?rahkan hawa amarahmu.
Ingat diwaktu malam jangan ganggu aku!" Mendengar perintah gurunya, Kang Hoo membalikkan badan ia jalan keluar goa depan, lalu karena lelahnya terus saja membaringkan diri dan tak lama kemudian ia sudah tidur menggeros.
HARI PAGINYA. Sehabisnya sembahyang subuh, Kang Hoo memulai lagi latihannya.
Haji Kong-sun But Ok masih duduk ber?sila di atas ranjang kayu, memperhatikan sang murid yang lompat ke atas memukul-mukul ikatan simpul sobekan baju di atas langit-langit goa.
Gerakan lompatan Kang Hoo, dalam melakukan serangan pukulan ke atas itu begitu indahnya, ia menggunakan jurus-jurus ilmu silat yang pernah ia pelajari dari Beng Cie sianseng.
Tapi pagi ini setelah beberapa kali, ia melakukan serangan pukulan itu, ia tidak dapat berdiri tegak lagi begitu turun di bawah, badannya seringkali terguling ro?boh di atas lantai batu goa.
Begitu ia jatuh roboh, terasa bagaimana kulit badannya dibikin lecet oleh benturan pada lantai goa tadi.
Tapi mendadak saja semangatnya terbangun, ia bangkit berdiri lagi dan melakukan serangan pukulan ke atas.
Berulang kali gerakan itu dilakukannya, berulang kali pula tubuhnya terguling jatuh di lantai.
Sementara itu Kong-sun But Ok terus memperhatikan dari atas pembaringan kayu.
Sang matahari di timur menggelusur naik mengikuti putaran bumi.
Dan ketika sinar matahari berada empatpuluh derajat di ti?mur keadaan Kang Hoo sudah demikian rupa.
Ia seperti tidak sanggup lagi untuk melakukan serangan pukulan ke atas.
Begitu kakinya lompat dan tangannya bergerak memukul, mendadak badannya roboh terguling.
Kang Hoo merasakan keanehan itu muncul tiba- tiba, ia mengerutkan kening, pikirnya, "Apakah aku sudah kehabisan tenaga?" Setelah berpikir begitu, kembali ia lompat menerjang ke atas, tapi gerakkannya kini tak dapat lompat tinggi, begitu ia bangun dan mengayun tangan tubuhnya mendadak terguling lagi.
Kong-sun But Ok yang menyaksikan kalau muridnya terus-terusan jatuh terguling, ia tersenyum-senyum sambil mengangguk kepala.
Sementara itu Kang Hoo tambah sengit, begitu ia roboh terguling, tanpa merasakan lagi sakitnya luka-luka pada kulit, ia segera meletik, menggunakan jurus Ikan Gabus Meletik ia lompat ke atas.
Tapi sungguh aneh, jurus Gabus meletik yang biasanya begitu hatinya bergerak lantas badannya bisa meletik lompat bangun, kini tak berguna, karena begitu sang hati ingin menggunakan jurus itu, begitu keadaan tubuhnya menjadi kaku tak dapat digerakkan hingga ia hanya berkutetan di lantai goa.
"Cukup!" mendadak Haji Kong-sun But Ok berseru.
Waktu itu Kang Hoo masih rebah di atas lantai goa, ia baru saja berkutetan ingin meletik bangun, begitu mendengar perintah sang suhu, maka dengan tersengat ia bangkit duduk.
Kini terasa bagaimana seluruh badannya terasa perih karena lukanya.
"Bangun!" perintah sang guru.
"Latihanmu sudah selesai!" Mendengar kalau latihan Kang Hoo sudah selesai, ia jadi heran, bukankah tam?bah lama Kang Hoo tambah tak becus untuk melakukan serangan pada tiga ikatan simpul sobekan baju.
Mengapa kini sang suhu mengatakan latihannya sudah selesai, dengan membawa rasa herannya, ia bangun berdiri menghadapi gurunya, lalu tanyanya, "Guru, apa maksudnya?" "Anak tolol!" seru Haji Kong-sun But Ok, "Dengan latihanmu yang terakhir itu kau telah berhasil menciptakan hawa ama?rah!" "Aaaaaa....." teriak Kang Hoo, ia memandang ke atas langit goa dimana terdapat sobekan kain bersimpul tiga yang menancap di batang suling perak gurunya.
"Nah, kau dengarlah," kata Kong sun But Ok.
Kang Hoo kembali memandang gurunya dengan sinar mata heran.
Sementara itu sang guru sudah berkata lagi, "Bukankah pada akhir-akhir latihanmu, begitu kau niat hendak melakukan serang?an, seperti ada sesuatu yang membuat ba?danmu menjadi kaku hingga kau tak dapat melakukan gerakan serangan.
Bukankah begitu?" Mendengar pertanyaan sang guru Kang Hoo mengkerutkan kening, kemudian ia mengingat- ingat kejadian selama ia melakukan latihan, lalu mengangguk kepala, katanya perlahan, "Benar, memang aneh, pertama kali dengan mudah aku bisa memukul tiga simpul sobekan kain di atas ini, tapi mengapa tambah lama seperti ada sesuatu kekuatan yang membuat gerakanku jadi kaku dan aku roboh terguling.
Bagaimana bisa jadi begitu?" Mendengar ocehan sang murid, Kong-sun But Ok tersenyum, katanya, "Itulah karena kau telah berhasil menciptakan hawa amarahmu." "Jadi?" tanya Kang Hoo masih tidak mengerti.
"Sulit untuk kau pahami." kata sang guru di atas pembaringan kayu, "Karena inilah dasar ilmu tenaga dalam yang akan kuturunkan padamu.
Ilmu itu kuambil dari dua intisari kekuatan bathin, yang diambil dari kekuatan ilmu bathin Islam dan kekuatan ilmu bathin Budha." "Guru." potong Kang Hoo, "Guru mengatakan kalau guru seorang haji, tentunya menganut agama Islam itu, tetapi bagaimana selama dua hari ini teecu tidak pernah melihat guru melakukan sembahyang lima waktu.
Tapi menyuruh teecu melaksanakannya, sedang guru sendiri hanya nongkrong di atas pembaringan." "Nggg ..." Kong-sun But Ok menggereng.
"Sudah kubilang, kedua ajaran agama itu telah kupelajari matang, Budha sudah menjadi darah dagingku.
Islam sudah mengelotok dalam kepalaku, hingga aku tak perlu mesti bersusah payah melaksanakan ajaran agama itu.
Kalau aku mati tentunya aku juga bisa memilih masuk sorga atau masuk nirwana" Dengan hasil penyelidikanku selama bertahun-tahun aku telah berhasil menemukan sesuatu.
Itulah perpaduan dari intisari kekuatan bathin.
Itulah suatu ilmu yang sangat luar biasa.
Tentunya ilmu itu adalah ilmu dari aliran putih.
Selama kau dalam didikanku, kau harus melakukan sembahyang lima waktu menurut agama yang kau anut, sebenarnya latihan itu bisa juga diiringi dengan latihan semadhi, tapi dengan melaksanakan sembahyang lima waktu itu, itu lebih dari cukup.
Bersemadhi dan berolah raga melancarkan jalan darah di tubuhmu.
Bukankah setiap rakaat yang kau lakukan dalam sembahyang itu, mela?kukan gerakan dan pemusatan pikiran, dengan demikian, berarti sekaligus kau sudah melakukan semadhi dan mengatur membuka jalan darahmu yang beku." Kang Hoo mendengarkan penuturan sang guru aneh itu, dengan penuh perhatian, sementara sang guru masih terus berkata, "Latihan pukulanmu pada sobekan kain di atas langit-langit goa ini, adalah merupakan latihan pertama, kau sendiri merasakan bagaimana pada hari ini mendadak badanmu terasa tertekan oleh sesuatu kekuatan, bila kau melakukan serangan.
Nah aku tanya, apakah dalam kau melakukan pukulan itu hatimu marah, penuh angkara murka?" Mendengar pertanyaan sang guru, Kang Hoo mengangguk, katanya, "Benar, tambah lama, teecu jadi tambah sengit, lebih-lebih setelah hamba jatuh menda?pat lecet, mendadak kemarahan teecu muncul tiba-tiba, dan ketika itu mulainya adanya keanehan tambah teecu bernafsu tambah tak dapat bergerak." "Hehebeeeheeeeeee......" Kong sun But Ok tertawa terkekeh, "Nah dari pe-lajaran pertama itu kau mesti dapat me?narik satu kesimpulan" Apa kau sudah dapat memahami?" Mendengar pertanyaan demikian Kang Hoo melompongkan mulut, ia tidak bisa menjawab pertanyaan sang guru, kesimpul?an apakah yang telah dihasilkan dari hasil latihan pertama itu.
Setelah lama ia ber?pikir, akhirnya ia menggeleng kepala.
Kong-sun But Ok menyaksikan kebi?ngungan yang murid ia tersenyum katanya, "Mungkin otakmu terlalu tolol! Bukankah dengan hawa amarahmu kau tak bisa berbuat apa-apa.
Nah setiap manusia mempu?nyai itu kelemahan.
Kelemahan itulah yang menghancurkan diri mereka.
Kemarah?an dan hawa amarah yang menggelora dalam dirinya sebenarnya melenyapkan tenaganya.
Merusak susunan syaraf. Tinggal sekarang apakah kita bisa menggunakan kesempatan itu untuk merobohkan mereka dengan mudah.
Tanpa senjata tanpa banyak mengeluarkan tenaga" Hmmmm.
Puluhan tahun umurku kukorbankan untuk mencari rahasia ini, dan setelah aku mengembara ke negeri Arabia, kasrak kusruk ke negara Bagdad akhirnya aku menemukan sesuatu dari ajaran agama Islam.
Kemudian kupadukan penemuanku itu dengan ajaran Budha akhirnya terciptalah ilmu yang akan kuterapkan dalam dirimu." Berkata sampai di situ, haji Kong-sun But Ok, menatap ke atas langit-langit goa dimana terdapat kain bersimpul tiga.
Lalu ia berkata lagi, "Sobekan kain itu telah kubuatkan tiga simpul apa kau tahu maksudnya?" Kang Hoo memandang ke atas langit-langit goa kemudian ia menatap wajah sang guru lalu katanya, "Tidak tahu!" "Hmm.
Sobekan baju itu telah kuisi dengan satu kekuatan bathin." kata sang gu?ru "Itulah ilmu bathin yang kuciptakan, dan karena ilmu bathin itu berdasar atas kejiwaan, maka ilmu itu kuberi nama ilmu Karakhter." "Ilmu Karakhter?" guman Kang Hoo "Apakah ilmu itu bukan semacam ilmu Hoat-sut?" "Tidak!" jawab tegas Haji Kong-sun But Ok, "Ilmu Karakhter bukan ilmu Hoat-sut.
Itulah ilmu bathin yang paling murni bersumber dari jiwa dan darah daging manusia itu sendiri, dan ilmu itu sebenarnya sudah ada sejak manusia itu lahir ke atas dunia." Mendengar keterangan sang guru, kem?bali Kang Hoo melompongkan mulutnya, tambah lama ucapan sang guru tambah tak bisa dimengerti.
"He .... heee....." Kong-sun But Ok tertawa, "Kau tambah lama kelihatan tambah tolol.
Apa yang membuatmu itu jadi tolol?" "Guru," kata Kang Hoo memandang gurunya, "Ilmu Karakhter itu menurut guru sudah ada pada setiap manusia lahir ke dunia, kalau begitu, untuk apa perlu dila?tih.
Dan tentunya setiap manusia itu ada?lah jago-jago yang luar biasa." "Hmmm.
Kalau setiap manusia itu bisa mengerahkan kekuatan Karakhter yang diwariskan sejak ia lahir, di dunia ini tidak akan ada kekacauan.
Dunia ini tidak akan ada pembunuhan, saling fitnah dan saling caci maki .
Karena setiap orang yang betul-betul ingin mengerahkan kekuatan Karakhter yang ada pada dirinya ia mesti melenyapkan hawa amarahnya Me?nenangkan pikiran.
Menjauhi segala angkara murka.
Maka kekuatan itu akan muncul melindungi dirinya.
Kalau ti?dak, huh. Iblis dan setanlah yang akan mengeram dalam jiwa orang itu!" Mendengar ucapan guru ini, kembali Kang Hoo dibikin pusing, dalam penjelasan itu dikatakan kalau ilmu Karakhter itu mesti melenyapkan hawa amarah dan angkara murka, tapi bagaimana sang guru ini, melatih ia melakukan serangan pukulan pada sobekan kain guna menciptakan hawa amarah, maka sambil menggaruk kepala, Kang Hoo bertanya, "Guru.
Kalau begitu untuk apa guru melatih aku menciptakan hawa amarah.
Dan itu kekuatan Karakhter sebenarnya kekuatan apa dari mana sumbernya?" "Anak tolol." kata Kong-sun But Ok.
"Latihan mengerahkan hawa amarah itu penting, dengan kau dapat mengerahkan hawa amarahmu maka kau juga bisa memadamkan hawa marah itu dan melenyapkan seketika.
Dan sumber kekuatan Karakhter itu adalah merupakan kekuatan tersembunyi yang terdapat pada diri tiap-tiap manusia sejak ia lahir.
Bukankah kau dalam kandungan ibumu meronta-ronta ingin keluar dari rahim ibumu.
Bagaimana waktu itu kau tahu, bahwa di luar perut ibumu itu masih ada dunia yang mesti kau masuki.
Apakah ketika kau masih bayi itu sudah merasakan kehendak hatimu untuk keluar dari dalam kandung?an itu" Setiap manusia tentu tidak! Gerakan bayi itulah membuktikan adanya kekuatan Karakhter.
Itulah kekuatan Karakhter.
Dan kekuatan itu begitu sang bayi lahir, lambat-lambat tertutup oleh kekotoran dunia, lenyap hari tambah hari, tahun ke tahun.
Hingga kekuatan Karakhter itu bagaikan sebuah permata terpendam dalam lumpur.
Nah, dengan hasil penyelidikanku itu aku berhasil menemukan cara membersihkan permata itu agar bersinar kembali.
Dan kekuatan Karakhter itu muncul lagi dalam diri manusia.
Itupun kalau kau menghendakinya.
Syarat pertama tentunya kau mesti mentaati ajaran agama.
Tidak perduli agama apa, Budha ataukah agama yang kau anut.
Itu sama saja. Apa kau mengerti?" Kang Hoo menggarukkan kepala, ia tidak bisa menjawab mengerti apa tidak.
"Sudahlah, waktu ini sudah waktu Dhuhur nah lakukanlah ibadahmu." kata Kong sun But Ok.
"Setelah itu kau boleh istirahat.
Dan besok pagi kau akan mendapat latihan yang kedua!" Dengan membawa perasaan herannya, Kang Hoo keluar goa, menggunakan akar rotan menuruni tebing.
Membersihkan diri. SINAR KUNING EMAS SANG surya memancar di ufuk timur.
Di dalam goa, pagi itu Kang Hoo duduk bersila menghadap sang guru yang duduk bersila di atas pembaringannya.
Di tangan Kong-sun But Ok telah meme?gang seruling peraknya.
Batang seruling digosok- gosokannya dengan jari-jari tangannya, ke?mudian ditiup-tiupnya beberapa kali.
Setelah itu, baru ia berkata pada sang murid.
"Pagi ini, kau mulai melatih tahap kedua dalam menciptakan kekuatan Karakhter pada dirimu.
Nah berdirilah!" Mendengar perinlah sang guru, Kang, Hoo cepat- cepat berdiri.
"Maju dua langkah!" seru Kong sun But Ok.
Kang Hoo mengikuti perintah itu.
Ia maju dua langkah mendekati sang guru, hingga tepat benar berada di depan guru?nya.
"Keraskan otot perutmu." kata lagi sang guru.
Kang Hoo melakukan apa yang diperin?tah, ia mengeraskan otot perutnya dengan mengembungkan perut itu ke depan.
"Tahan begitu!" Kata Kong-sun But Ok, "Tapi kau jangan tahan napas, aturlah ja?lan napasmu sebaik mungkin!" Si murid mengangguk.
"Hmmmm. Awas aku akan mulai melatih perutmu ini." seru Haji Kong-sun But Ok.
Setelah berkata begitu, Kong-sun But Ok menggunakan seruling peraknya, me?mukul- mukul perut Kang Hoo yang bundar mengembung tanpa baju itu.
Suara pukulan saling pada perut Kang Hoo terdengar bedebak bedebuk memenuhi ruangan goa.
Semula Kang Hoo dapat menahan rasa sakit pukulan batang suling pada perutnya, tapi tambah lama rasa sakit itu kian me?nyiksa dirinya, keringat dingin menetes di kening.
But Ok menyaksikan kalau sang murid sudah tak tahan menerima pu?kulan batang suling.
Ia lalu menghentikan gerakan pukulannya Lalu katanya, "Cukup!" Begitu sang guru menghentikan gerakan pukulan pada perut Kang Hoo ia bernapas lega, tapi ia masih merasakan bagaimana panasnya pukulan suling itu.
"Nah, setiap pagi. Kau mesti menerima latihan itu.
Dan selanjutnya kau harus melakukan latihan itu sendiri, pada setiap kali sebelum kau mengambil air wudhu (air sembahyang) gunakan punggung tapak tanganmu untuk memukul perutmu.
Seka?rang kau siaplah untuk melakukan latihan tahap ketiga, itulah melatih kekuatan matamu!" Kang Hoo mendengarkan keterangan sang guru, belum lagi ia sempat bertanya, sang guru sudah berkata lagi, "Latihan mata! Pergilah kau ke pintu lubang goa, pandanglah sinar matahari pagi yang baru mencorot keluar.
Buka lebar-lebar matamu. Kau mesti dapat mengalahkan pengaruh sinar matahari itu.
Ayo jalan." "Latihan gila?" pikir Kang Hoo mem?balik badan.
Ia berjalan keluar goa. Hatinya terus menggerutu.
"Mataku bisa rusak memandang sinar matahari.
Apa ia ini memang benar-benar ahli ilmu tenaga dalam ataukah seorang yang kebanyakan belajar agama hingga otaknya jadi rusak?" Tapi semua itu hanya dikata dalam hati ia tidak berani mencetuskan keluar.
Apa boleh buat. Belakangan ini hidupnya selalu mendapat gangguan.
Jalan ke sana menemukan bahaya, lari kemari mendapat celaka.
Dan kini ia mesti mengalami siksaan dari latihan gila ilmu Karakhter.
Begitu ia tiba di pintu goa, Kang Hoo terus duduk di pinggir tebing, kakinya ter?juntai ke bawah, sedang sepasang matanya melotot memandang sinar matahari yang baru saja mencorot keluar.
Dalam pandangan mata Kang Hoo, mata?hari pagi itu tampak memerah, ia dapat menyaksikan bagaimana bundaran matahari pagi itu perlahan- lahan menggelusur naik dari balik bumi kian lama sinar merah itu ber?ubah putih memerak, membentur kedua biji matanya.
Terasa kedua biji matanya mulai kabur, dan dari kelopak mata tadi mengalir air mata mengucur ke kedua pipinya.
Kang Hoo terus berusaha bertahan, agar sepasang matanya bisa terus memandang matahari itu.
Tapi begitu matanya sudah banyak mengucurkan air mata, ia tak tahan lagi, cepat memejamkan kedua matanya.
Guna melenyapkan rasa tidak enak akibat mengucurkan air mata tadi, dan pantulan matahari yang menyerang kedua biji mata?nya.
"Anak tolol!" seru sang guru dari dalam goa.
"Kau memejamkan mata.
Huh sinar matahari begitu saja kau tak bisa lawan.
Nah kau jalan kemari." Mendengar suara gurunya, Kang Hoo heran, bagaimana guru ini mengetahui kalau ia sudah memeramkan sepasang matanya, bukankah sang guru berada di belakang dirinya, juga goa bagian belakang itu, dipisahkan sebuah dinding batu, dari dalam sana sang guru tentunya tak dapat melihat apa yang terjadi di uar, tapi bagaimana haji itu bisa berkata tepat.
Maka begitu ia mendengar suaranya, ia tak berani berlaku ayal, segera ia bangun berdiri membalik badan memasuki goa.
Tapi matanya masih tetap dipejamkan.
Berjalan tiga langkah, barulah Kang Hoo membuka sepasang matanya, begitu sang mata melotot melek, ia kaget tidak kepalang karena pandangannya menjadi gelap, di sana ia tidak dapat melihat apapun.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semuanya gelap gulita. "Hmmm. Ayo jalan. Buka matamu lebar-lebar! Jalan! Jangan sampai timbul jengkelku! Huh akan kukorek biji mata tak berguna itu!" Meskipun matanya belum bisa melihat akibat memandang sinar matahari tadi, Kang Hoo terus melangkah maju, berulang kali ia hampir jatuh membentur tembok goa.
Akhirnya sambil merayap dengan tangannya, ia memasuki kamar sang guru.
"Berhenti!" perintah sang guru.
"Guru. Ini bagaimana?" teriak Kang Hoo "Mataku gelap.
Tak bisa melihat" Apa aku buta?" "Anak tolol!" bentak sang guru.
"Kau tenangkan pikiranmu.
Tak lama matamu itu kembali normal!" Mendengar perkataan gurunya itu hati Kang Hoo sedikit lega, ia berdiri, memusatkan pikirannya, agar sang mata kembali bisa melihat sebagaimana biasa.
Berulang kali ia memejamkan sepasang matanya, dan akhirnya ia kembali bisa melihat sinar keremangan di dalam goa itu, yang kian lama kian jelas juga.
"Hmmm. Apa penglihatan matamu sudah normal kembali?" tanya sang guru.
Kang Hoo mengangguk. Kong-sun But Ok masih duduk bersila, ia memperhatikan wajah Kang Hoo, lalu menggeleng-geleng kepala katanya, "Latihan matamu cukup untuk hari ini, besok kau mesti tahan sampai waktu Dhuhur (tengah hari) dan bilamana kau sudah sanggup melawan sinar matahari dari pagi sampai waktu itu, matamu boleh dikata sudah memenuhi syarat untuk mendapat latihan tahap berikutnya.
Karena waktu itu sinar matamu sudah sanggup mengalahkan silaunya serangan sinar matahari.
Dan kau akan menampak matahari itu hanya merupakan bulatan seperti rembulan dimalam hari!" Kang Hod masih berdiri di depan gurunya, ia mendengarkan kata demi kata ucapan sang guru.
Sementara itu Kong-sun But Ok sudah berkata lagi.
"Kau rebahlah di lantai.
Aku akan mem?buka jalan darah di tubuhmu!" Mendapat perintah itu, Kang Hoo segera menggeletak rebah di atas lantai di bawah pembaringan gurunya.
Sinar matahari menyorot masuk ke dalam goa menerangi keadaan kedua manusia tua dan muda.
Si tua sedang menggembleng si muda.
Si muda menerima gemblengan itu, tanpa ia sendiri mengerti apa maunya si tua bangka.
Begitu melihat sang murid telah rebah di bawah pembaringan, Kong-sun But Ok lompat turun dari atas pembaringan.
Ia langsung lompat ke atas sepasang kaki sang murid yang membujur, kakinya menginjak kedua tulang kering kaki Kang Hoo.
Sambil rebah, Kang Hoo memperhatikan tingkah laku sang guru yang mulai mengin?jak kedua kakinya.
Ia heran, latihan macam apa lagi yang akan dikerjakan oleh gurunya ini dengan berbuat demikian" Jalan darah apa yang mesti dibuka" Kong-sun But Ok yang telah berada di atas sepasang kaki Kang Hoo, mulai bergerak berjalan naik ke atas paha, lalu naik lagi ke perut dada sampai pada tulang pundaknya.
Kang Hoo meringis menahan bobot berat sang guru yang menginjak-injak dirinya lebih-lebih dari kedua tapak kaki sang guru terasa getaran- getaran yang seperti menusuk-nusuk lubang pori- pori pada kulitnya membuat hati si pemuda tambah gelisah.
Sementara itu sang guru masih terus jalan mundar-mandir menginjak badannya.
Dan mendadak saja sang guru berkata, "Atur jalan napasmu.
Pusatkan seluruh pikiran kepada satu tujuan!" Mendengar perintah itu, Kang Hoo me?ngerti, sang guru menyuruhnya memusatkan pikiran.
Maka otaknya segera dikosongkan dari segala macam ingatan.
Semua ingatannya ditujukan pada Tuhan yang Esa, dadanya mulai turun naik mengatur pernapasan.
Kong-sun But Ok menyaksikan sang murid telah melakukan mengatur jalan napasnya mempercepat gerak menginjak-injak badan sang murid, tambah lama kian cepat dan tambah aneh ia mulai bergerak melompat-lompat di atas sekujur badan Kang Hoo.
Kang Hoo telah memusatkan pikirannya Pada Tuhan Yang Maha Esa dan mengatur pernapasannya, seakan ia tidak merasakah bagaimana dirinya diinjak-injak sambil berlompatan oleh sang guru.
Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama, karena meskipun bagai?mana kuatnya pikiran seorang muda seperti ia, tidak sanggup menahan rasa sakit yang ditimbulkan dari gerak lompat-lompatannya sang guru, lebih-lebih getaran-getaran yang keluar dari sepasang tapak kaki gurunya seperti menekan, menusuk dan menyedot itu seakan melumerkan daging dan tulang tubuhnya.
Cepat ia membuka matanya, mulutnya mengeluarkan suara keluhan.
Sang guru yang mendengar kalau si murid sudah tak sanggup, menahan injakan lompatan itu ia lalu lompat ke atas pembaringan dan kembali duduk bersila.
"Bangun!" katanya kemudian.
Dengan lemah Kang Hoo bangkit berdiri, ia masih merasakan bagaimana sakitnya seluruh tulang yang diinjak lompat-lompatan oleh sang guru.
Lebih-lebih keadaan perutnya, perut itu terasa mulas, hampir saja ia tak kuat berdiri.
"Hmmm. Itulah cara membuka jalan darah buntu menurut ajaran Bagdad.
Beda dengan cara yang biasa dilakukan oleh jago-jago tua rimba persilatan dari negeri kita.
Tapi faedahnya sama. Dengan cara menginjak-injak tubuhmu, maka saluran tenaga murni dapat mengalir ke dalam jalan darahmu melalui tapak kakiku.
Selanjutnya kau masih harus melakukan latihan itu.
Terlentang dan tengkurap.
Nah sekarang kau makanlah.
Hari hampir waktunya dhuhur!"
DENGAN GIGIH DAN SEJAK semalam suntuk Siong In mem?bantu Kang Hoo dari kekangan orang- orang topeng hitam, Dipagi hari itu dikala Kang Hoo telah dibawa terbang oleh gadis Biauw.
Dan dikala ia menghadapi keroyokan orang-orang topeng hitam, mendadak muncul sang ayah.
Tapi sikap dan gerak-gerik sang ayah yang selama beberapa belas tahun lenyap dari rumah, kini sangat aneh dan misterius.
Setelah sang ayah kembali lenyap men?dadak, di dalam rimba, Siong In berdiri mematung, baju merahnya berkibar-kibar ditiup angin, otak si gadis penuh terisi pikiran bercabang tiada ujung pangkal.
Mengetahui kalau di dalam hutan itu sudah tak kedapatan seorang manusiapun, ia menengadahkan kepalanya ke langit, mengenang akan wajah Kang Hoo yang terluka sejak satu malam itu dilindunginya dari tangan jahat orang seragam-hitam, dan kini telah lenyap, Siong In tidak tahu, bagaimana perkembangan nasib Kang Hoo yang telah dibawa lari oleh gadis Biauw.
Hati Siong In kecewa, karena pemuda itu telah dibawa kabur oleh lain gadis yang memelihara burung raksasa.
Setelah menghela napas Siong In melesat meninggalkan hutan itu, melanjutkan? pengembaraannya.
Hari demi hari dilewatkan dalam kesepian, jalan gunung dan rimba bukan halangan baginya, dan tanpa dirasa akhirnya dua tahun telah dilewati.
Selama dua tahun mengembara, pengalaman si nona bertambah banyak, pedang pemberian ibunya entah sudah melukai berapa banyak orang jahat dan kaum berandal, hingga dalam dua tahun itu telah tersiar berita tentang munculnya satu nona baju merah gagah perkasa yang tak mau dikenal namanya.
Karena pada setiap kali Siong In turun tangan membantu yang lemah menghancurkan kaum penjahat dan berandal- berandal ia tak pernah menyebut-nyebut namanya.
Manakala dipagi hari Siong In keluar dari jalan pegunungan, ia memasuki propinsi Ouw-lam.
Pemandangan alam dalam propinsi Ouw lam sebenarnya tidak beda dengan keadaan pemandangan di kampung halamannya sendiri, tapi bagi pendatang asing, tentunya pemandangan alam yang baru dilihatnya itu terasa indah dan menyenangkan hati.
Hari itu masih pagi, jalan rimba yang sempit di propinsi Ouw-lam, penuh dengan serakan daun- daun tua yang rontok ditiup angin malam tadi, di kiri kanan jalan merupakan semak-semak belukar dan batang batang pohon besar berjejer tiada teratur.
Keadaan jalan yang senpit dan sunyi kian siang tambah ramai, satu-satu ia bertemu dengan orang yang lewat, kadang-kadang mereka jalan berombongan, bergegas.
Ada pula yang menunggang kuda.
Gerakan mereka seperti sedang memburu sesuatu, dan corak dandanan mereka bermacam ragam.
Melihat keramaian itu, hati Siong In jadi gembira, karena tak lama lagi tentu ia akan tiba di sebuah kampung atau kota.
Seumur hidupnya belum pernah Siong In keluar pintu rumah, dalam dua tahun itu ia mengembara dengan membekal ilmu si?lat dan sebatang pedang.
Pengalaman yang telah didapatnya dalam dua tahun ini membuat hatinya tambah mantap karena ilmu silat yang ia pelajari dari gurunya, nikho aneh itu dapat diandalkan untuk menjaga diri.
Siong In yang pakaian merahnya sudah dekil, dan wajahnya yang kotor penuh de?bu, menutupi kecantikannya Tapi keadaan itu lebih menguntungkan dirinya.
Karena setiap mata laki- laki yang memandang wajah si nona yang kotor itu mereka hanya ter?senyum lalu bergegas menuju tujuan masing-masing.
Di pinggir jalan di dalam rimba itu, de?ngan langkah kaki ringan Siong In terus menuju ke arah orang-orang yang lewat.
Selagi ia memperhatikan keadaan jalan dan menikmati cahaya matahari di timur, mendadak saja kembali ia mendengar suara langkah kaki kuda yang ramai di belakang dirinya.
Siong In menoleh ke belakang, tidak jauh di belakangnya berlari sembilan ekor kuda dengan kencangnya.
"Gila, jalan begini sempit mereka melarikan kuda semau-maunya!" pikir si nona sambil lompat masuk ke dalam semak-semak belukar, menghindari tubrukan kuda-kuda yang berlari kencang itu.
Bertepatan dengan lompatnya Siong In rombongan berkuda lewat, dan salah seorang penunggang kuda menoleh ke arah semak belukar dimana Siong In lompat masuk.
Dari mulut orang itu terdengar berkata, "Potongannya bagus, tapi tampangnya sedikit kumal." Siong In mendengar suara itu yang kemudian lenyap ditelan derapnya kaki kuda.
"Hidung belang!" gerutu Siong In, sambil lompat kembali ke pinggir jalan.
Yang beberapa lie lagi, Siong In tiba di tepi sebuah telaga.
Dari tepi ia memandang jauh ke tengah telaga, diantara riaknya air telaga, berlayar hilir mudik beberapa perahu layar.
Di seberang telaga tampak deretan pegunungan nan menghijau, di seberang sana juga tampak samar-samar sebuah bagunan berloteng.
Siong In asyik menikmati keindahan pemandangan di tengah tefaga, mendadak ia teringat akan rombongan orang-orang yang menuju ke arah ini, seingat si nona jalan yang dilewati tak bercabang, tentunya mereka semua menuju ke tempat ini, tapi di tepi telaga ini mengapa sunyi dan rombongan orang-orang itu kemana perginya" Selagi Siong In bertanya-tanya dalam hatinya mendadak dari sebelah kiri pantai berlari seseorang mendatangi.
Mendengar suara langkah kaki orang itu.
Siong In menoleh, ternyata itulah seorang muda berusia duapuluh tahunan, mengenakan baju dan celana pendek hitam.
Wajahnya sedikit kehitam-hitaman.
Pemuda tadi begitu tiba di samping Siong In, ia segera bertanya, "Nona, apa hendak menyeberang" Mari naik perahuku." Siong In belum tahu nama telaga itu, ia bertanya, "Ini telaga apa?" "Eh, apa nona tidak tahu?" balik tanya tukang perahu.
"Inilah telaga Tong-Seng, tempat yang paling indah dalam propinsi Ouw-lam.
Di seberang telaga terdapat loteng Gak-yang-louw yang terkenal, dari atas loteng orang bisa menikmati pemandangan di sekitar telaga sambil minum arak." Mendengar keterangan tukang perahu, Siong In memandang ke seberang telaga, kemudian katanya sambil menunjukkan jari, "Bukankah loteng itu disebut Gak yang-louw.
Dan apa kau melihat beberapa rombongan orang berkuda datang kemari?" Si tukang perahu mengkerut kening, berpikir sebentar kemudian katanya, "Hari ini sejak pagi, banyak orang berkuda menyeberang ke sana.
Rombongan mana yang nona maksud?" Mendengar ucapan tukang perahu, Siong In sudah tahu kalau orang-orang yang tadi lewat menuju ke seberang telaga, maka ia tidak segera menjawab, tapi memandang ke tengah telaga dimana tampak aneka warna kain layar perahu sedang berkembang melaju mengikuti angin turutan.
Setelah memandang aneka warna layar-layar perahu yang bergerak ke seberang, baru Siong In berkata, "Mana perahumu?" Si tukang perahu, menunjuk ke arah kiri, katanya, "Di sana aku bersama ayahku hidup dari penghasilan ini." Siong In mengikuti arah yang ditunjuk tukang perahu muda, benar saja diujung kiri tepi telaga di bawah pohon terdapat sebuah perahu layar yang sedang ber?goyang dimainkan riak air.
Siong In yang ingin menambah pengalamannya sekalian bertamasya menikmati pemandangan, tanpa banyak pikir lagi lalu meminta si tukang perahu menyebrangkan dirinya.
Dengan girang si tukang perahu membawa Siong In ke tempat perahunya, di sana sudah menunggu tukang perahu tua, kemudian ia lebih dulu menarik perahu tadi ke tepi agar si nona dengan mudah naik ke atas perahu..
Tapi Siong In yang pandai silat, mendadak dengan ringannya telah lompat ke atas dek perahu.
Dua orang tukang perahu menyaksikan gerakan Siong In mereka memandang me?longo, setelah Siong In lompat ke atas dek perahu, si tukang perahu tua, segera me?masang layar.
Sementara tukang perahu muda memba?wa masuk Siong In ke dalam gubuk perahu.
Siong In yang telah duduk di dalam gubuk perahu, ia memperhatikan kedua ayah anak tukang perahu, mereka memiliki wajah jujur dan manis budi.
Tukang perahu yang muda baru berusia 20 tahun bernama Sam Su.
Di dalam gubuk perahu, sambil melayani Siong In, si tukang perahu muda Sam Su bercerita tentang pengalaman hidupnya.
Ia menceritakan bahwa sejak kecil ia sudah biasa hidup di atas ombak, dan sebelum mereka menjadi tukang perahu, pekerjaan mereka memancing atau menjala untuk menyambung hidup.
Dan baru pada beberapa tahun belakangan ini, mereka ayah dan anak membuat sebuah perahu untuk mengangkut penum?pang dan barang, mereka telah paham seka1i dengan perjalanan air di tempat propinsi sekitarnya.
Juga mereka memiliki silat pengagum pada keindahan alam.
Sam Su Juga menceritakan, bagaimana indahnya pemandangan dari atas loteng Gak yang louw yang tersohor, pulau-pulau kecil tampak seperti terapung-apung di tengah air, telaga biru muda yang ber?ombak-ombak.
Siong In yang mendengar kalau si tukang perahu telah mengenal daerah sekitarnya, juga Sam Su pandai bercerita, maka timbul rasa girangnya, dalam perjalanan itu ia tak merasa kesepian, ia yang baru saja mengembara di rimba persilatan, senang sekali mendengar cerita-cerita yang terjadi di atas muka bumi, dan saking girangnya maka ia menyatakan untuk pesiar ke sekeliling telaga dan sebelumnya minta diantar dulu ke loteng Gak- yang-louw ia ingin melihat bagaimana loteng Gak- yang-louw yang sering disohorkan orang.
Si tukang perahu mendengar kalau muatannya hendak pesiar, maka ia telah jadi bersemangat, dan mengatakan suka menjadi penunjuk jalan.
Siong In yang merasa kuatir kalau biaya perjalanannya kurang, maka ia telah mengeluarkan beberapa belas tail perak dan diserahkan pada si tukang perahu, katanya, "Apa dengan jumlah uang ini cukup untuk pesiar?" Sam Su yang melihat si nona menyodor?kan uang, ia jadi gugup katanya, "Nona, separuh dari itu sudah cukup untuk satu hari pesiar, dan biasanya pem?bayaran selalu dibayar belakangan." "Hmmm.
Kalau begitu kau simpan se?paruh uang ini" seru Siong In.
Sam Su semula menolak, tapi karena si nona memaksa maka sambil mengaturkan terima kasih ia menerima uang sewa perahu.
Di sepanjang perjalanan mereka mengobrol, maka Siong In tidak merasa kesepian.
Siong In yang mendadak teringat akan rombongan orang-orang berkuda, dan beberapa orang-orang rimba persilatan yang ia temui di tengah jalan maka ia bertanya, "Apa orang-orang yang sejak pagi tadi berduyun- duyun kemari itu juga menyeberang kesana untuk minum arak di atas loteng Gak-yang-lauw?" Sam Su mendengar pertanyaan si nona, ia tidak menjawab, menoleh ke arah belakang kemudi, memandang sang ayah.
Melihat kelakuan Sam Su, si nona sedikit curiga, ia juga mengikuti pandangan Sam Su menoleh ke arah si tukang perahu tua.
Si tukang perahu tua sambil mengangguk kepala berkata, "Apa salahnya, ceritakanlah!" Mendengar itu Sam Su lalu menghadapi Siong In, katanya, "Nona rupanya datang dari tempat jauh tidak heran bila tidak mengetahui keadaan tempat di sini dan apa yang terjadi.
Aku yang seumur hidup tinggal di daerah ini sedari kecil bila ada waktu senggang suka kasrak kusruk ke gunung-gunung dan ke hutan-hutan, tapi selama hidup belum pernah menemukan suatu kejadian yang aneh, tapi pada beberapa hari ini telah muncul satu peristiwa yang sangat mengherankannya, suatu peristiwa yang sangat menggemparkan telah terjadi." "Peristiwa apa?" potong Siong In.
"Ah . . itu . . itu . . ." jawab Sam Su, "Sebenarnya aku sendiri hanya mendengar kabar burung, kalau di puncak Kun san te?lah muncul beberapa hweeshio jahat, hweeshio itu telah merampas beberapa buah kelenteng, Tapi selama itu mereka belum sanggup merampas satu kelenteng, itulah kelenteng Tiok-san-koan.
Dan itu hweeshio- hweeshio jahat sebenarnya bersarang pa?da kelenteng Ceng-hie-koan." Mendengar cerita sampai di situ Siong In memotong, tanyanya, "Mau apa itu hweeshio-hweeshio jahat merampas kelenteng orang?" "Itulah." kata Sam Su "Sejak dahulu kala di atas Kun-san, para Lama dan Tosu, selain mendapatkan hasil dari uang hio da?lam kelenteng, mereka juga bercocok ta?nam.
Para hweeshio jahat ada kemungkinan tertarik oleh uang hio kelenteng, mereka mengacau dan merampas kelenteng yang ada di Kun-san.
Tapi sampai hari ini kelenteng Tiok- san koan merupakan satu-satunya kelenteng yang tak mampu mereka rebut.
Telah terjadi beberapa kali para tosu jahat datang mencari onar, dan bermaksud merebut kelenteng itu dengan kekerasan.
Tetapi, tanpa terjadi perkelahian apapun, tidak perduli bagaimana galaknya para tosu jabat yang mencoba membunuh ketua kelenteng Tiok-san-koan, tapi buntutnya tosu-tosu jahat yang hendak mencari onar mendadak ngelepot balik dengan lesu.
Hingga kelenteng Tiok- tan-koan tidak bisa direbut oleh go?longan tosu jahat.
Kejadian itu sesungguhnya sangat membingungkan orang, karena semua orang tahu ketua kelenteng Tiok-san-koan adalah seorang tosu yang betul-betul memegang aturan agama, dan kalau dilihat gerak-geraknya setiap hari, sedikitpun ia tidak mempunyai sedikit kepandaian, tapi herannya bagaimanapun galaknya tosu-tosu jahat yang akan merebut kelenteng, begitu berhadapan dengan ketua kelenteng Tiok-san- koan, mereka mundur teratur.
Bukan?kah kejadian itu sangat aneh?" Mendengar sampai di situ Siong In berkata, "Apa bubungannya kejadian itu dengan orang- orang yang pagi ini datang ke tempat ini?" "Inilah." kata Sam Su "Entah bagaimana berita itu bisa tersebar luas?" "Berita apa?" tanya Siong Ia mendesak' "Coba ceritakan yang jelas." "Begini," jawab Sam Su.
"Di dalam kelenteng Tiok- san koan, tinggal seorang tosu, ia selalu mengenakan pakaian rombeng.
Dia tidak seperti tosu-tosu lain membaca kitab, tetapi pekerjaannya sehari-hari minum arak sampai mabuk.
Kadang- kadang ia sampai satu atau dua tahun lamanya meninggalkan kelenteng, baru balik kembali.
Karena ketua kelenteng orangnya baik, dan tosu- tosu lainnya kebanyakan jujur dan baik hati, maka mereka tidak mau ambil pusing atas kelakuan tosu pemabukan itu, malah kerap kali ketua kelen- teng sendiri membelikan seguci arak baik, dihadiahkan untuk dia mabuk-mabukan.
Menurut penduduk Kun-san, tosu pemabukan itu tidak mempunyai she, dan namapun tidak punya, karena ia sering mabuk-mabukan orang-orang menyebutnya Cui tojin.
Cui tojin tinggal dalam kelenteng Tiok-san-koan bu?kan sedikit tahun, usianya juga sudah tua, tapi wajahnya sama seperti ketika ia muda dulu, dan tidak pernah kelihatan menjadi tua.
Dia sering keluar kelenteng mabuk mabukan di luaran, Kadang-kadang ia pergi juga ke Gak-ciu, pesiar di jalan jalan .
. . ." Selanjutnya Sam Su menceritakan bahwa, Pada suatu malam ketika di dalam kelenteng diadakan keramaian menyembahyangi orang mati, mendadak Cui tojin lari masuk, dan di depan banyak orang ia menjadi gila dengan berjingkrakan kaki dan tangan memeta-meta, sambil memaki-maki dengan rupa sengit.
Ketua kelenteng Tiok-san-koan nampak kesal dan dongkol, tapi ia hanya bisa mengucapkan maaf pada sekalian tamu, tidak mau menegor kelakuannya Cui tojin.
Dua orang murid kelenteng itu melihat kelakuan Cui tojin demikian rupa di depan orang sembahyang dan melihat cara mabuk Cui tojin terlalu gila, sedang para tamu sudah jadi gusar, maka mereka menghampiri dan menasehati sepatah dua patah, Cui to?jin mula-mula tidak ambil perduli dengan nasehat kedua orang tosu itu, tetapi dalam mabuknya mendadak ia jadi gusar dan memaki dengan suara keras, "Bangsat dogol! Kalian sudah bosan padaku, beberapa puluh tahun kelenteng ini selamat dari bencana, itulah karena aku ada di sini, malam ini kalian berani memaki diriku.
Bagus, aku juga sudah bosan tinggal di sini.
Nah, mana koan cu, hei! Mana itu ketua kelenteng, cepat! Kau kembalikan barangku.
Tempo dulu kau bilang kau hanya ingin menyimpan barang itu agar tidak menjadi keributan di atas dunia.
Sekarang aku sudah bosan tinggal di sini ayo kembalikan barang itu.
Mana itu Patung angsa Emas berkepala Naga Heeheeeee......aku sendiri akan membuka rahasia Patung angsa Emas berkepala Naga itu, aku akan mendapatkan satu mustika luar biasa hua- aaaaaaaaaaa ........
Koan-cu penipu mana ...." Ketua kelenteng mendengar ucapan Cui-tojin demikian rupa ia tadi kaget, wajahnya pucat pasi, sedang orang banyak jadi terheran-heran.
Selagi ketua kelenteng dibikin kaget oleh ucapan Cui tojin yang mabok itu para tamu juga dibikin terheran-heran, mendadak saja Cui jojin sudah lari keluar kelenteng.
Ketua kelenteng Tiok san-koan melihat Cui tojin lari keluar, dengan gugup ia berteriak, "Susiok, kau jangan pergi.
Teecu masih ada omongan yang hendak dibicarakan!" Sambil berteriak demikian si ketua kelenteng Tiok- san koan mengejar Cui tojin.
Orang-orang yang hendak melakukan upacara sembahyang kematian, mereka baru tahu kalau Cui tojin adalah susiok dari ketua kelenteng, dan mereka juga baru sadar kalau ketua kelenteng memiliki ilmu kepandaian silat.
Karena ketika ketua kelenteng lari mengejar Cui tojin, ia bisa lari sangat cepat seperti bayangan setan di tengah malam berlarian melewati jalan hutan di pinggir kelenteng menuju ke belakang gunung.
Kalau dilihat dari cara larinya Cui tojin yang sudah mabuk, sempoyongan kelihatannya tidak cepat, tapi entah bagaimana ketua kelenteng tidak bisa mengejar, ia kehilangan jejak Cui tojin.
Baru setelah sekian lama, ketua kelenteng Tiok- san-koan kembali dengan napas tersengal-sengal.
Para tamu yang hendak melakukan sembahyang begitu melihat ketua kelenteng itu sudah balik kembali mereka mengaju?kan banyak pertanyaan, diantaranya salah seorang berkata, "Orang begitu gila kelakuannya, untuk apa disesalkan kepergiannya, meskipun ia menjadi susiok.
Apa yang perlu disayangkan.
Tadi ia berkata tentang Patung Angsa Emas Berkepala Naga.
Mengapa selama ini tidak pernah diperlihatkan pada orang-orang yang pesiar ke dalam kelenteng?"
Mendengar pertanyaan itu ketua kelenteng tampak gugup, katanya, "Jangan dengar ucapan orang mabok, tapi meskipun begitu, terus terang aku banyak menerima budi darinya, tidak sedikit pertolongan yang ia telah berikan.
Atas semua pertolongannya aku tidak bisa membalas apa-apa.
Tentang itu patung angsa emas.
Memang ada, aku di sini sebagai se?orang suci tak bisa berkata bohong, sebenarnya telah duapuluh tahun patung itu disimpan di sini.
Cui tojin susiok telah membuka rahasianya dalam keadaan mabok ia tidak sadar......." "Boleh kami lihat!" serentak para tamu berteriak- teriak.
"Maaf, meskipun kepalaku dipenggal, aku tak dapat menunjukkan benda tersebut.
Nah sekarang kita lanjutkan sembahyang orang mati." Dengan penuh perhatian Siong In di dalam gubuk perahu yang digoyang ombak, mendengarkan cerita Sam Su.
Dan ketika ia mendengar cerita sampai di situ, ia bertanya, "Siapa nama ketua kelenteng itu dan patung angsa emas berkepala Naga itu benda apa?" Sam Su menyambung ceritanya, "Ketua kelenteng bernama Ceng Hong tojin, tentang itu patung angsa emas ber?kepala Naga, menurut kabar-kabar belakangan di dalamnya terdapat satu peta tempat dimana terdapat Satu Mustika.
"Mustika?" Ulang Siong In.
"Hmmm." gumam Sam Su "Sejak Cut tojin lari malam itu.
Keadaan kelenteng jadi berubah.
Dua hari kemudian, kelenteng tersebut berhasil direbut oleh golongan padri jahat.
Dan Ceng Hong tojin kedapatan mati terbunuh!" "Apa selama itu Cui tojin tak pernah muncul lagi.." "Tidak ada orang yang tahu." jawab Sam Su "Dan sejak kelenteng Tiok-san-koan di rebut oleh tosu jahat, maka di dalam ke?lenteng itu sering tampak orang-orang pertapaan laki-laki perempuan yang beroman jahat dan bengis, mereka sedikit juga tidak memegang aturan agama.
Serta kejadian aneh sering terjadi." Siong In duduk di dalam gubuk perahu mendengarkan cerita Sam Su, ia tambah tertarik lalu memajukan pertanyaan, "Apa mereka menemukan Patung angsa Emas berkepala naga itu?" "Tidak," jawab Sam Su.
"Sudah berapa lama kejadian itu?" ta?nya Siong In.
"Baru beberapa hari berselang," jawab Sam Su "Dan dari beberapa rombongan orang yang aku seberangkan mereka hen?dak pergi ke Kun-san untuk melihat sendiri keadaan kelenteng Tiok-san- koan.
Dan menyelidiki tentang Patung angsa Emas berkepala Naga!" "Hmmm .
. ." gumam Siong In "Setelah istirahat di atas loteng Gak-yang-louw, kau antar aku ke Kun- san.
Tentunya di sana akan terjadi keramaian." "Ah, waktu ini tempat itu sangat berbahaya." seru Sam Su kaget "Para tosu jahat tentunya telah memasang jebakan-jebakan di sekitar kelenteng, maka melarang orang luar masuk dan orang-orang yang muncul hari ini, memiliki roman buas dan bengis, kalau nona seorang diri ke sana jangan- jangan bisa celaka." "Apa kau tidak berani mengantar?" tanya Siong In "Aku tokh hanya mau melihat-lihat saja!" "Kami bersedia sampai di bawah kaki Kun san.
Selanjutnya nona boleh pergi sendiri.
Aku hanya pesan hati-hatilah!" "Baik.
Asal kau bisa antarkan aku jalan air, sambil melihat-lihat pemandangan apa salahnya.
Aku juga tidak ada niat merebut patung itu.
Hanya ingin melihat keramaian." Di dalam gubuk perahu Siong In terus me?ngobrol bersama Sam Su, sementara itu angin turutan yang mengembuskan layar perahu terasa dingin meniup muka si nona, sedang air telaga berwarna biru muda berombak menggoyang-goyangkan lajunya perahu.
Karena berlayarnya perahu mengikuti angin turutan, maka dalam tempo setengah jam mereka telah sampai di seberang telaga.
Manakala Siong In lompat ke darat, ia ingin segera untuk mengunjungi itu loteng Gak-yang-lauw yang begitu disohorkan orang.
Semula Siong In sangka entah bagaimana bagusnya loteng tempat minum arak Gak-yang- lauw, tesapi setelah sampai di tempat yang dituju, nyatanya loteng itu biasa saja, hanya karena didirikan di tepi dan meng?hadap telaga Tong teng, maka para pengun?jung dapat melihat pemandangan bagian telaga yang jauh.
Tapi kebagusan loteng Gak-yang-louw kalau dibandingkan dengan loteng-loteng yang didirikan di tepi telaga Liu-ouw, tentunya kalah jauh.
Siong In, yang ingin pesiar dan menik?mati pemandangan, ia segera melangkah memasuki halaman bawah loteng Gak-yang-louw.
Di dalam ruangan bawah loteng, tampak beberapa orang tamu berdandan bermacam corak ragam pakaian, mereka bicara meng?gunakan bahasa daerah masing-masing, mereka asik mengobrol satu sama lain.
Siong In yang tidak mengerti bahasa-bahasa daerah mereka dan melihat dari dandanan mereka yang kebanyakan terdiri dari kaum pedagang-pedagang,yang sudah biasa jalan mondar mandir di daerah itu menjual hasil dagangannya.
Memang di sekitar daerah telaga Tong-teng dalam propinsi Ouw lam merupakan pusat perdagangan yang penting, tidak heran kalau di sana banyak saudagar dan para pedagang singgah di loteng Gak-yang-louw untuk istirahat sambil minum arak.
Setelah memperhatikan keadaan dalam ruangan bawah, Siong In, jalan ke tangga loteng, ia menaiki undakan tangga menuju ke atas.
Begitu ia tiba di depan pintu loteng, tampak keadaan di dalam ruangan itu sudah penuh, meja dan kursi terisi semua, Siong In sejenak berdiri di depan pintu, ia men?cari meja kosong.
Ia mengharapkan dapat tempat di pinggir loteng, agar bisa duduk menghadap telaga Tong teng.
Manakala Siong In sedang memperhatikan tempat duduk, seorang pelayan segera datang menghampiri, memberi hormat dan berkata, "Maaf siocia, keadaan loteng Gak-yang-louw hari ini penuh sesak, harap bisa menunggu sebentar." "Ah, lotiang!" seru Siong In memperhatikan perawakan si pelayan.
Pelayan itu berusia empat puluh tahunan, kedua pipi?nya kempot, sepasang matanya sipit, tapi rambutnya masih hitam, ia mengenakan baju pendek warna hitam dan celana gerombongan.
Setelah memperhatikan si pelayan, Siong In berkata lagi, "Sebenarnya, aku tidak butuh banyak tempat, cukup satu kursi untuk duduk di pinggir loteng menghadap telaga." Mendengar permintaan si nona, pelayan tua tadi nampak kebingungan, dan beberapa orang tamu yang sedang duduk di depan meja mereka masing-masing, pada menolehkan kepala memandang Siong In.
Sebaliknya, sudut mata si nona juga bisa melihat adanya beberapa orang tamu me?mandang dirinya, tapi ia tidak mau perdulikan mereka.
Dari antara sekian banyak tamu-tamu, rombongan tamu yang duduk menghadap meja di pinggir loteng, setelah mereka memandang Siong In yang berdiri di depan pintu, mereka tampak berbisik- bisik kemudian salah seorang berdiri memanggil pelayan.
Pelayan tua mendapat panggilan sang tamu segera menghampiri, sebelumnya ia berkata pada Siong In.
"Maaf ......" Siong In menyaksikan berlalunya pelayan tadi, menuju meja di pinggir loteng yang diduduki empat orang lama.
Empat tamu yang duduk di meja di pinggir loteng, tampak mereka bicara perlahan pada si pelayan, kemudian mereka berdiri dan meninggalkan meja.
Si pelayan segera membersihkan meja.
Sementara itu empat orang tamu tadi, sudah jalan di depan si nona, mereka tidak mengucapkan sepatah kata, hanya sudut mata mereka memperhatikan keadaan Siong In.
"Kebetulan." pikir Siong In.
Melangkah maju menuju pinggir loteng.
Di mana meja telah kosong.
Pelayan tua yang melihat si nona sudah datang ia segera mempersilahkan duduk, kemudian jalan membawa piring mangkok, berlalu dari sana.
Sementara itu Siong In, yang baru pertama kali pesiar ke tempat indah, begitu ia mendapat tempat yang diharapkan sambil duduk matanya terus memandang jauh ke depan, dimana terbentang air telaga Tong teng yang biru muda ditimpa sinar matahari, riak-riak air berbusa membuat gelom?bang.
Layar perahu aneka warna simpang siur kian kemari menambah keindahan telaga disiang hari itu.
Di empat penjuru pinggiran telaga me?rupakan bukit-bukit pegunungan menghijau.
Selagi Siong In menunggu hidangan dan memandang keindahan telaga Tong-teng dari pinggir loteng, mendadak saja ia di?kejutkan oleh suara ribut-ribut yang datangnya dari pintu masuk.
Siong In segera menoleh, di sana tampak pelayan tua yang tadi menerima dirinya, sedang membentak-bentak seorang tamu yang sedang berdiri di ambang pintu.
Terdengar si pelayan tua membentak, "Pengemis buta dari mana muncul di tempat ini, tempat kita sedang repot, harap lain kali datang kemari." Dari tempat duduknya, Siong In dapat melihat wajah si pengemis, ia jadi mengkerutkan kening, karena orang yang dikatakan pengemis itu adalah seorang pemuda kumel mengenakan baju putih kasar, rambutnya digelung ke atas, tapi sudah tak teratur susunannya, sedang kedua matanya meskipun terbuka lebar, tapi warna mata itu putih seluruhnya, melihat itu Siong In tahu kalau pengemis itu adalah seorang pengemis buta.
Di tangan kanannya memegang sebuah tongkat baja.
Meskipun pelayan tua itu bicara sambil membentak-bentak, tapi tampaknya pengemis buta itu memiliki sikap tenang, bahkan ia masih bisa tersenyum sebelum menjawab kata-kata si pelayan yang sedikit kasar.
"Aku sanggup bayar. Bukannya mau minta sedekah!" jawab si pengemis buta.
Pelayan itu mana mau mengerti, ia tetap kukuh mengusir pengemis muda buta dari atas loteng, ia tidak mau perduli apa si pengemis buta bisa bayar atau tidak, yang perlu dalam loteng Gak-yang- louw harus bersih, tak boleh ada seorang tamu yang demikian kumel, lebih-lebih sepasang matanya buta.
Siong In yang terus memperhatikan ke arah si pengemis dari mejanya di pinggir loteng, setelah berpikir sekian saat, ia jadi memeriksa keadaan dirinya sendiri, betul pakaiannya yang dipakai terbuat dari ba?han sutera merah, tapi pakaian itu juga sudah dekil demikian rupa, kalau di?bandingkan dengan keadaan pakaian pe?ngemis buta itu, keadaan dirinya hamper sama, hanya pemuda buta itu mengenakan pakaian putih dari bahan kasar.
Tapi meskipun sudah begitu kotornya tapi pakaian yang dikenakan pemuda buta itu belum ada tambalannya.
Maka si nona berpikir, "Apakah ia ini juga datang dari tempat jauh seperti aku?" Berbarengan dengan jalan pikirannya, Siong In sudah bangkit dari kursinya, lalu dengan langkah terburu-buru ia jalan melewati beberapa meja tamu menghampiri ke pintu, kemudian berkata, "Lotiang, biarlah dia duduk bersamaku.
Di sana masih ada beberapa bangku kosong.
Urusan pembayaran kau jangan kuatir." Setelah berkata demikian Siong In mengeluarkan beberapa tail perak dari dalam sakunya disodorkan di depan pelayan.
Pelayan menyaksikan kalau si nona menyodorkan uang, dengan wajah berubah ia membungkuk badan memberi hormat katanya, "Nona, harap jangan keluarkan uang, kalau memang kehendak nona demikian, nah silahkan ajak dia?"" Si pelayan tidak meneruskan kata-kata, ia memandang pemuda buta kumel di depannya.
Sikap yang diperlihatkan oleh pelayan tua loteng Gak-yang-louw terhadap diri Siong In sangat mengherankan dirinya, mengapa pelayan loteng ini begitu menghormatinya, kalau dilihat keadaan dirinya sebenarnya tidak bedanya dengan keadaan pemu?da yang baru datang, hanya yang beda dari sepasang mata pemuda itu yang buta tidak dapat melihat, tapi selanjutnya Siong In tidak banyak dipikir, ia telah mengajak pemuda buta itu jalan ke mejanya di pinggir loteng.
Ia juga tidak lupa menambah pesanan makanan pada pelayan.
Para tamu yang duduk di meja-meja di atas loteng, mereka memandang Siong In, mana kala Siong In jalan melewati meja mereka kepala mereka berputar mengikuti gerak si nona bersama pemuda pengemis buta, dan ketika ia jalan melewati sebuah meja di sebelah kirinya yang diduduki oleh lima orang laki-laki berbaju kembang terdengar salah seorang berkata, "Pengemis buta, apa gunanya, mengapa tidak mengajak aku saja minum bersama, sampai mabok huaaaaa .
.ha . . haa . . ." Mendengar kata-kata kotor dan suara terta?wa dari meja itu, Siong In melirikkan matanya ke sebelah kiri, dimana duduk lima orang laki-laki berbaju kembang di atas kepala mereka melibat kain merah, begitu mereka melihat si nona memandang, mereka pada mengedip-ngedipkan matanya lalu tertawa berkakakan.
"Huh!" Siong In mengeluarkan suara dari hidung, "Mari," ia mengajak pemuda buta di belakangnya.
"Jangan hiraukan mereka.
Aku datang ke tempat ini bukan un?tuk cari keributan, tapi ingin menikmati pemandangan alam." "Sekalian menikmati orang buta." terdengar lagi salah seorang laki-laki berbaju kembang berkata.
Kemudian disusul dengan suara gelak tertawa mereka.
Siong In kembali memandang mereka, tapi ia masih tetap menahan hawa jengkelnya.
Dari roman-roman tampang muka mereka si nona tahu kalau lima orang laki-laki ini ten?tunya sebangsa kaum berandalan.
Lebih-lebih di pinggang mereka semua membawa senjata golok, seorang diantara mereka membawa sebuah senjata rantai berduri yang dilibatkan pada pinggangnya.
Pemuda pengemis buta yang jalan di belakang mengikuti Siong In, ia juga men?dengar suara ejekkan dan tertawaan lima laki-laki tadi, tapi ia tetap bersenyum saja, dengan tongkat bajanya ia mencari jalan mengikuti jejak langkah si nona.
Tak lama setelah melawati beberapa meja lagi, Siong In telah sampai di mejanya ia duduk di satu bangku, kalau ketika tadi ia duduk menghadapi telaga membelakangi meja-meja lainnya, tapi kini karena si pemuda buta mengambil bangku duduk membelakangi telaga menghadap ke dalam ruangan loteng, dan tongkat bajanya digeletakkan di atas meja, maka Siong In kurang enak kalau duduk di bangkunya yang tadi, karena kalau demikian ia jadi duduk tepat meng?hadapi si pemuda buta, maka ia telah meng?ambil bangku duduk di samping kanan si pemuda buta, karena duduknya demikian rupa, maka ia bisa melihat pemandangan sekitar telaga di bawah loteng yang terben-tang di sebelah kirinya dan juga bisa melihat suasana ramainya ruangan di atas loteng, yang berada di sebelah kanan.
Sementara itu kalau melihat dari posisi kedudukan pemuda buta, ia seperti sengaja duduk menghadap ke arah meja di mana duduk lima orang berbaju kembang, yang masih saja terus- terusan tertawa tiada hentinya.
Kadangkala mereka membalik badan me?mandang Siong In dan si buta yang duduk di pinggir loteng.
Meskipun lima orang laki-laki berbaju kembang terus-terusan tertawa berkakakan, kadangkala mereka mengeluarkan ucapan-ucapan kotor, tapi Siong In tidak mau menggubris mereka, sedang tamu-tamu lain yang juga men-dengar lima orang laki-laki baju kembang itu terus-terusan menunjukan sikap tengiknya, mereka hanya bicara bisik-bisik sambil menggeleng-geleng kepala.
Sementara itu Siong In yang duduk di sebelah kanan si pemuda menghadapi telaga, kini ia bisa melihat bentuk tongkat si pemuda buta yang menggeletak di atas meja, tongkat itu berbentuk aneh, terbuat dari baja, panjangnya tiga kaki, bentuknya bulat dan pada batang tongkat terdapat beberapa ruas, seperti ruas-ruas bambu, hanya ruas tongkat itu terbuat juga dari baja seperti sebuah piring kecil melingkari batang tongkat, tampak ruas-ruas tongkat itu hitam tajam.
Siong In yang memperhatikan bentuk tongkat pemuda buta ia jadi heran, ruas-ruas tongkat tersebut berjumlah sem?bilan, dan setiap ruas melingkari tongkat tajamnya seperti pisau, sedang bentuk dari tongkat itu seperti pedang memiliki gagang dan ujung yang tajam.
Sampai saat itu hidangan belum juga datang, bau harumya masakan sudah membuat perut Siong In kerocokan, ia berulang kali menoleh ke arah kamar pengurus loteng, seperti orang yang sudah tidak sabar me?nunggu makanan.
Kesempatan ini juga digunakan oleh si nona untuk meneliti keadaan pemuda buta di depan kirinya.
Dari bawah kaki sampai ke atas kepala Siong In memperhatikan bentuk perawakan pemuda buta di depannya, dilihat dari wa?jah pemuda ini cukup tampan, tidak kalah tampannya dari pada Kang Hoo hanya sepasang matanya tak kelihatan warna hitamnya meskipun biji mata itu terbuka tapi seperti tertutup oleh selaput putih.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda buta yang duduk membelakangi telaga, setelah lama pandangan butanya di tujukan ke arah meja dimana terdengar su?ara menghina dan tertawa, kemudian ia menoleh ke arah Siong In, lalu katanya, "Aku Hong Pin, she Lie." Siong In yang sedang memperhatikan bentuk perawakan pemuda buta Hong Pin, ia jadi keget, segera jawabnya, "Aku, Siong In, she Lo." "Terima kasih," jawab Hong Pin mengangguk.
"Mendengar dari suaramu kau se?orang gadis." Mendengar perkataan itu, wajah Siong In jadi merah bagaimana seorang buta bisa menebak kalau dirinya adalah seorang ga?dis.
Tadi ia mau mengajak Hong Pin du?duk bersama satu meja, karena merasa kasihan melihat keadaan Hong Pin yang buta tentuya ia tak mengetahui kalau orang yang mengajak duduknya adalah seorang gadis.
Tapi kenyataan, Hong Pin dengan hanya mendengar suara kata-kata Siong In sudah bisa menebak jitu.
Ia seorang gadis bukan seorang nenek.
Sementara itu dari rombongan orang berbaju kembang, masih terdengar suara ramai suara tertawa berkakakakan mereka.
Hong Pin kembali mengarahkan pandangan mata butanya ke arah meja dimana terdengar suara tertawa itu, kemudian ia menoleh lagi ke arah Siong In.
"Jangan hiraukan," seru Siong In perlahan.
Sambil memperhatikan tamu lainnya yang duduk dilain meja.
Sebenarnya, siang itu keadaan di atas loteng Gak- yang-louw hampir penuh, karena setiap meja sudah ada orang yang duduk makan minum.
Tapi mereka tampaknya tenang-tenang saja, tidak mau ambil perduli dengan rombongan lima orang berbaju kembang yang duduk mentertawai Siong In dan Hong Pin.
Mereka seperti tidak mau tahu urusan orang lain.
Mengobrol per?lahan-lahan bersama kawan-kawan semeja.
SUASANA di bawah loteng Gak-yang-louw yang tadinya ramai, mendadak menjadi sepi, begitu Siong In dan Hong Pin mengambil sebuah meja dan duduk menghadap telaga.
Satu persatu para tamu membuat perhitungan makanan lalu ngeloyor keluar.
Kalau keadaan di atas loteng ketika setelah terjadinya peristiwa itu, masih ada 3 orang laki- laki tua yang masih berani duduk, tapi di bawah loteng ini yang tamu-tamunya terdiri dari kaum pedagang dan saudagar yang singgah istirahat mereka tidak berani lama-lama berdiam di situ.
Mereka telah mengetahui peristiwa yang terjadi di atas loteng dan mereka juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Empat Macan telaga lari kabur, hati kecil mereka singat bersyukur sudah ada orang yang berani turun tangan menghajar Macan-macan Telaga yang selalu memeras menarik pajak gelap dari hasil dagangan mereka, tapi mereka juga takut menghadapi Hong Pin, kuatir kalau pendekar buta yang tidak bisa melihat itu mendadak mengamuk membabi buta.
Karena semua meja sudah kosong, Siong In mengajak Hong In pindah duduk di meja paling depan, dekat pintu masuk agar ia bisa melihat sekitar pemandangan telaga Tong-teng.
Hidanganpun dipesan kembali.
Sebagai seorang gadis, Siong In tidak mau banyak bicara, ia kuatir kalau pembicaraannya nanti bisa menyinggung perasaan Hong Pin, meskipun dalam hati kecil si nona ia ingin sekali menanyakan dengan cara bagaimana ia bisa menghadapi musuh, sedang kedua matanya dalam keadaan buta.
Hong Pin yang menyantap hidangan di depannya, mendadak saja berkata, "Siocia, apa kedatanganmu ke tempat ini ada hubungan dengan Patung angsa mas berkepala naga?" "Ah .
. ." Siong In kaget, "Kedatanganku ke tempat ini secara kebetulan saja, aku semula mengembara mencari jejak ayahku yang lenyap belasan tahun.
Tidak tahunya di dalam pengembaraan ini aku bisa, tiba di telaga Tong- teng yang disohorkan orang, dan baru mendengar tentang patung angsa emas berkepala naga yang tersimpan dalam kelenteng Tiok sian koan dari tukang perahu.
Memang ada niatanku untuk melihat-lihat kelenteng Tiok sian koan." Mendengar keterangan si nona, Hong Pin menunjukkan rupa heran, ia menoleh memandang wajah si nona dengan kedua mata butanya.
Kemudian berkata, "KaIau begitu kau tak perlu pergi susah-susah ke tempat berbahaya itu.
Karena patung angsa emas berkepala naga sudah lama tak ada di tempatnya." "Dari mana kau tahu?" Tanya Siong In menggeser bangku.
Hong Pin tidak segera menjawab pertanyaan si nona, tangannya menyumpit bakso dalam mangkuk, kemudian sambil mengunyah bakso di mulut, ia berkata, "Sebelum berita ini tersiar, siang-siang aku sudah menyelidiki tempat itu.
Dan ketika diadakan sembahyangan orang mati dalam kelenteng, aku juga turut hadir di sana, juga mendengar bagaimana si tosu pemabukan Ciu tojin mengacau, kemudian membuka rahasia tentang patung angsa emas berkepala naga, kemudian ia lari kabur," Mendengar sampai di situ, Siong In melompongkan mulut, cerita yang dituturkan oleh Hong Pin ia pernah dengar dari tukang perahu.
Kalau Hong Pin sebelumnya telah menyelidiki kelenteng Tiok-sian? koan, berarti telah lama mengetahui kalau dalam kelenteng itu tersimpan itu patung angsa emas berkepala naga.
Juga sikap Hong Pin dimata si nona sangat luar biasa, bukankah pemuda buta ini baru saja melakukan pembunuhan dan melukai tiga orang laki-laki sampai putus lengan kanan mereka, tetapi dalam menuturkan ceriteranya sambil menjejal bakso ia seperti sudah melupakan apa yang baru terjadi di atas loteng Gakyang-louw.
Karena Siong In merasa tertarik dengan rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, ia hanya duduk mendengarkan, sesekali pandangan mata si nona memandang keluar ruangan menikmati keindahan birunya air telaga yang bergelombang.
"Waktu itu malam hari," terdengar Hong Pin melanjutkan ceritanya, "Aku yang memiliki sepasang mata buta, sama sekali tak dapat melihat apapun, meskipun di dalam kelenteng dipasang lilin-lilin besar bahkan siang dan malam aku membedakan dari bergantinya hawa udara dan setiap gerak-gerak serta kelakuan orang di sekitarku, aku bisa tahu dari pendengaran dan perasaan mata bathinku." Berkata sampai di situ, kembali Hong Pin menyumpit bakso, dijejalkan ke dalam mulutnya baru kemudian sambil mengunyah ia berkata lagi, "Ketika Ciu tojin mabok, dan setelah membuka rahasia Angsa Emas berkepala naga di depan orang banyak, yang akan melakukan sembahyang orang mati, ia melarikan diri.
Tapi mendadak saja ketua kelenteng Ceng Hong tojin berteriak memanggilnya dengan sebutan susiok, lalu ia juga lari keluar mengejar.
Para tamu yang akan melakukan sembayang orang mati jadi tambah panik dan terheran-heran dan dari kejadian ini penduduk sekitar Kun-san baru mengetahui kalau Ciu tojin si tosu pemabukan itu adalah susiok dari ketua kelenteng Tiok sian-koan......." Hong Pin menghentikan ceritanya, ia mengangkat cawan menenggak minumannya.
Siong In mulai tertarik dengan cerita itu, ia sudah bertanya, "Bagaimana dengan Ciu tojin, apakah?".?" Ucapan si nona mendadak dipotong oleb Hong Pin, katanya sambil meletakkan cawan di atas meja.
"Begitu Ceng Hong tojin lari keluar mengejar si tosu pemabukan, orang-orang dalam kelenteng serabutan keluar pintu ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Ceng Hong tojin, dan begitu mereka berada di luar kelenteng, mereka melompongkan mulut membelalakkan mata lebar- lebar, karena dari bantuan sinar-sinar bintang di langit, tampak kedua bayangan tosu saling kejar, mereka lari cepat sekali, dari kecepatan lari mereka barulah diketahui kalau ketua kelenteng Ceng Hong tojin juga memiliki ilmu silat yang tidak rendah, sebentar saja kedua bayangan mereka lenyap di belokan jalan gunung.
Aku memang sengaja datang untuk menyelidiki dan mencari rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, begitu mendengar suara Ceng Hong tojin lari cepat-cepat mengambil jalan memutar menguntit mereka dari balik semak-semak belukar dengan mengikuti suara langkah kaki dan kibaran baju mereka yang ditiup angin malam.
Tapi setelah aku mengikuti sampai di belakang gunung, mendadak suara langkah lari mereka tak terdengar.
Aku jadi heran dan berdiri memasang kuping untuk mendengar suara-suara yang mencurigakan, dan benar saja lak lama kemudian aku mendengar lagi suara langkah kaki orang yang jalan balik, orang itu mengeluarkan suara keluhan dan penyesalan dari suara keluhan dan penyesalan orang itu aku tahu kalau itulah suara Ceng Hong tojin yang telah kehilangan jejak sang susiok si tosu pemabukan.
Dan ia dengan napas tersengal kembali ke dalam kelenteng.
Waktu itu suasana di belakang gunung sangat sunyi, suara jangkrikpun tak terdengar, begitu langkah kaki Ceng Hong tojin yang kehilangan jejak sang susiok, aku juga niat balik kembali ke kelenteng, tapi entah bagaimana, setelah jalan beberapa langkah, aku jadi kehilangan arah, aku tak dapat mengenali lagi kemana jalan pulang, dimana tongkatku kutotok- totokan ke depan selalu membentur batang- batang pohon, aku jadi bingung, bagaimana mendadak di kelilingku banyak sekali batang pohon yang tersusun sangat rapat, kejadian itu membuat kepalaku jadi pusing.
Maka otakku berpikir "Apakah aku telah kesalahan masuk ke dalam barisan tin yang sengaja di pasang orang?" Begitu berpikir tentang barisan tin, mendadak hatiku jadi girang.
Karena aku tahu kini, lenyapnya Ciu tojin tentunya telah masuk perangkap barisan tin.
Dan Ceng Hong tojin yang mengejar begitu ia kehilangan jejak susioknya, ia sudah balik kembali ke dalam kelenteng!" Mendengar sampai di situ tiba-tiba Siong In berseru, "Aaaaa .
. . Menurut cerita tukang perahu sejak hari itu Ciu tojin tak muncul-muncul lagi, biasanya setiap hari ia selalu minum arak di atas loteng Gak-yanglouw, apakah kau berhasil menemukan tosu pemabukan itu." Suara kata-kata si nona berkumandang ke seluruh ruangan bawah loteng, tapi karena waktu itu di sana hanya mereka berdua yang masih duduk bersantap dan bicara-bicara, hingga mereka leluasa bicara ke barat ke timur, meskipun Siong In bisa melihat di luar di tepinya telaga Gak-yang- louw beberapa orang lakilaki jalan mondar mandir sambil memperhatikan mereka, tapi si nona tidak mau ambil perduli.
Sementara itu Hong Pin yang ceritanya dipotong oleh seruan si nona, ia menggunakan kesempatan itu menenggak arak, kemudian baru melanjutkan ceritanya, "Hutan di belakang gunung rupanya telah dipasang barisan tin.
Begitu Ciu tojin yang sedang mabuk, lari ke belakang gunung, ia sudah tersesat dan berputarputar di dalam kurungan barisan tin tadi.
Saat itu aku yang juga sudah kesalahan masuk, sedang mencari jalan keluar, dan ketika tongkatku menotok ke depan mendadak saja, sudah dibetot orang.
Berbarengan mana aku mendengar suara bentakan orang memaki, "Apa buta!" dan berbarengan dengan suara bentakan itu, tongkatku ditarik orang......" Siong In terus melompongkan mulut mendengar cerita Hong Pin, dan ketika ia mendengar tentang makian orang itu, ia jadi tersenyum.
Api Di Bukit Menoreh 1 Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan Pedang Asmara 17
^