Oliver Twist 3

Oliver Twist Karya Charles Dickens Bagian 3


kaca, dan kurasa kau akan memerlukan botol kaca yang sangat
besar." "Sssttt ", Tuan Sikes," kata Fagin sambil gemetaran. "Jangan
bicara terlalu keras."
"Tidak usah memanggilku "Tuan"," jawab si berandal. "Kau
selalu berniat buruk ketika kau mulai bicara seperti itu. Kau
tahu namaku!" "Yah, yah, kalau begitu " Bill Sikes," kata Fagin, merendahkan
diri menghina dina. "Kau kelihatannya kehilangan kesabaran,
Bill." "Barangkali memang begitu," timpal Sikes. "Menurutku kau
keterlaluan juga, kecuali kau bermaksud melukai waktu kau
lempar panci pewter itu, sama seperti waktu kau mengoceh dan
"." "Apa kau gila?" kata Fagin sambil merenggut kerah lelaki itu,
dan menunjuk kedua anak laki-laki.
122~ OLIVER TWIST Tuan Sikes mengikat simpul khayalan di bawah telinga kiri"
nya, dan mengedikkan kepalanya ke bahu kanan. Sebuah kode
yang tampaknya dipahami sepenuhnya oleh Fagin. Dia kemu"
dian menuntut segelas minuman keras dengan bahasa slang,
yang sesungguhnya berlimpah dalam percakapan ini, tapi akan
sulit dipahami apabila dicatat di sini.
"Dan jangan kauracuni," kata Tuan Sikes sambil meletakkan
topinya di atas meja. Ini diucapkan dengan bergurau, tapi jika Sikes bisa melihat
seringai keji di bibir pucat Fagin saat dia membalikkan badan ke
lemari, Sikes mungkin saja mengira bahwa dia memang perlu
mengeluarkan peringatan tersebut.
Setelah menenggak dua atau tiga gelas alkohol, Tuan Sikes
merendahkan diri untuk memperhatikan kedua anak muda mu"
rid Fagin itu. Tindakan murah hati ini berlanjut dengan per"bin"
cangan yang memerinci penyebab dan peristiwa penangkapan
Oliver, disertai perubahan dan perbaikan terhadap kejadian
yang sebenarnya, seperti yang menurut Dodger paling sesuai
dalam situasi tersebut. "Aku khawatir," kata Fagin, "dia mungkin mengucapkan se"
su"atu yang akan melibatkan kita dalam masalah."
"Itu sangat mungkin," timpal Sikes sambil menyeringai ke"
jam. "Tamatlah riwayatmu, Fagin."
"Dan begini, aku khawatir," imbuh Fagin, bicara seolah dia
tidak menyadari interupsi tersebut, dan menatap Tuan Sikes
baik-baik, "aku khawatir jika permainan kita tamat, banyak hal
lain yang akan terbawa-bawa, dan keadaan bakal lebih buruk
bagimu daripada bagiku, Sobat."
Lelaki itu terkesiap, lalu berbalik menghadap Fagin. Namun,
pria tua tersebut sudah angkat bahu dan matanya menatap
kosong ke dinding seberang.
Ada jeda panjang. Masing-masing anggota kelompok kecil
terhormat ini terbenam dalam renungannya sendiri; tak terke"
cuali si anjing, yang lewat gerak menjilat bibir yang buas tam"
CHARLES DICKENS ~123 paknya sedang mempertimbangkan serangan pada kaki pria atau
wanita pertama yang mungkin ditemuinya di jalanan ketika ia
keluar. "Seseorang harus mencari tahu apa yang mesti dilakukan di
kantor," kata Tuan Sikes dengan nada suara yang jauh lebih ren"
dah daripada yang telah digunakannya sejak dia masuk.
Fagin mengangguk tanda setuju.
"Kalau anak itu belum menyanyi dan ada di pihak kita,
tidak ada yang perlu ditakutkan sampai dia keluar lagi," kata
Tuan Sikes. "Dia harus diurus. Kau harus menangkapnya, bagai"
manapun caranya." Lagi-lagi Fagin mengangguk.
Jelas bahwa langkah ini adalah tindakan bijaksana. Namun
sayangnya, ada penghalang besar yang menyebabkannya sangat
sulit dilaksanakan. Penyebabnya adalah Dodger, Charley Bates,
Fagin, dan Tuan William Sikes, kebetulan sama-sama memiliki
antipati berurat-berakar yang mencegah mereka mendekati kan"
tor polisi atas dasar atau alasan apa pun.
Sampai berapa lama mereka duduk dan saling pandang dalam
ketidakpastian yang tak menyenangkan, sulit ditebak. Namun,
tidak ada perlunya membuat tebakan dalam topik tersebut se"
bab kemunculan tiba-tiba dua orang wanita muda yang pernah
dilihat Oliver pada kesempatan sebelumnya, menyebabkan
percakapan mengalir kembali.
"Pas sekali!" kata Fagin. "Bet akan pergi. Mau, kan, Sayang?"
"Ke mana?" tanya si wanita muda.
"Cuma ke kantor, Sayang," kata Fagin membujuk.
Sang wanita muda tak serta-merta menegaskan bahwa dia
ti"dak bersedia, tapi dia semata-mata mengekspresikan hasrat em"
pati dan tulus agar "terberkati" seandainya dia mau. Pengelakan
sopan dan halus terhadap permintaan tersebut menunjukkan
bahwa sang wanita muda secara alami terdidik dengan baik
se"hing"ga tidak sanggup membebani sesama manusia dengan
sakitnya penolakan lugas dan ketus.
124~ OLIVER TWIST Wajah Fagin tertekuk. Dia memalingkan mukanya dari si
wanita muda yang berpakaian seronok"dalam balutan gaun
merah, sepatu bot hijau, serta kertas pengeriting rambut warna
kuning"kepada perempuan yang satu lagi.
"Nancy, Sayangku," kata Fagin dengan sikap merayu, "bagai"
mana menurut-mu?" "Tidak bisa, jadi tidak ada gunanya mencoba, Fagin," jawab
Nancy. "Apa maksudmu?" kata Tuan Sikes, mendongak dengan si"
kap kasar. "Persis seperti yang kukatakan, Bill," jawab wanita itu dengan
tenang. "Tapi, kau orang yang tepat sekali untuk itu," Tuan Sikes ber"
argumen. "Tidak seorang pun di sini yang tahu tentangmu."
"Dan, aku memang tidak ingin mereka tahu," balas Nancy
dengan sikap tenang yang sama. "Aku cenderung menolak, bu"
kannya setuju, Bill."
"Dia akan ke sana, Fagin," kata Sikes.
"Tidak, tidak akan, Fagin," kata Nancy.
"Ya, dia akan ke sana, Fagin," kata Sikes.
Tuan Sikes benar. Berkat ancaman, janji-janji, dan bujukan
silih berganti, wanita tersebut akhirnya berhasil dibujuk untuk
melaksanakan tugas itu. Nancy memang tidak dikekang oleh
pertimbangan-pertimbangan seperti Bet. Dia baru saja pindah
ke wilayah Field Lane dari daerah pinggiran Ratcliffe yang jauh
tapi asri sehingga tidak khawatir dikenali oleh satu di antara
sekian banyak kenalannya.
Demikianlah, dengan celemek putih bersih diikat di atas
gaunnya, dan kertas pengeriting rambut diselipkan di balik topi
jaring"kedua busana ini tersedia dari stok melimpah Fagin"
Nona Nancy bersiap berangkat untuk mengerjakan urusannya.
"Berhenti sebentar, Sayang," kata Fagin sambil mengeluarkan
sebuah keranjang kecil yang tertutup. "Bawa itu di satu tangan.
Kelihatan lebih terhormat, Sayang."
CHARLES DICKENS ~125 "Beri dia kunci pintu untuk dibawa di tangan satunya lagi,
Fagin," kata Sikes. "Kelihatan asli dan tulen."
"Ya, ya, Sayang, memang begitu," kata Fagin sambil meng"
gantungkan kunci pintu depan ke telunjuk kanan wanita muda
itu. "Nah, bagus sekali! Bagus sekali, Sayang!" kata Fagin sambil
menggosok-gosokkan kedua belah tangannya.
"Oh, adikku! Adik laki-lakiku tersayang yang malang, manis,
dan polos!" seru Nancy, tangisnya meledak sembari memuntir
keranjang kecil dan kunci pintu depan dengan sedih karena ter"
tekan. "Apa jadinya dia! Ke mana mereka membawanya! Oh,
kasihanilah saya, dan beri tahu saya apa yang telah dilakukan
kepada anak itu, Tuan-Tuan. Tolong, jika Anda sekalian berke"
nan, Tuan-Tuan!" Setelah mengucapkan kata-kata ini dengan nada sangat me"
milukan dan patah hati yang membuat senang para pendengar"
nya, Nona Nancy berhenti, berkedip kepada rekan-rekannya,
mengangguk sambil tersenyum, kemudian berputar dan meng"
hilang. "Ah, dia gadis yang pintar, Sobat," kata Fagin, menoleh ke"
pada teman-teman mudanya, dan menggeleng-gelengkan kepala
dengan khidmat seolah-olah menegur mereka tanpa suara agar
mengikuti contoh cemerlang yang baru saja ditampilkan.
"Dia adalah sebuah kehormatan bagi kaumnya," kata Tuan
Sikes, mengisi gelasnya, dan menggebrak meja dengan kepala"n"
nya yang luar biasa besar. "Ini untuk kesehatannya, dan harapan
semoga semua wanita seperti dirinya!"
Sementara mereka memuji-muji kelihaian Nancy, wanita
muda itu tengah menempuh perjalanan ke kantor polisi. Meski"
pun ada sedikit keengganan dalam dirinya karena menyusuri
jalanan sendirian dan tak terlindung, akhirnya dia tiba dengan
selamat tidak lama setelah itu.
Dia masuk lewat jalan belakang, mengetuk lembut salah satu
pintu sel menggunakan kunci, dan mendengarkan. Tidak ada
126~ OLIVER TWIST suara di dalam, jadi dia batuk-batuk dan mendengarkan lagi.
Tetap saja tak ada jawaban, jadi dia berbicara.
"Nolly, Sayang?" gumam Nancy dengan suara lembut.
"Nolly?" Tidak ada siapa-siapa di dalam kecuali seorang pelaku kri"
minal menyedihkan tak bersepatu, yang telah ditangkap karena
mengamen dengan seruling. Dia diberi hukuman setimpal
oleh Tuan Fang, yaitu dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan
selama sebulan, disertai komentar yang menggelikan bahwa ka?"
rena dia punya banyak sekali napas yang bisa dibuang-buang,
lebih baik kiranya bila napasnya dihabiskan di tangga berjalan
daripada untuk alat musik. Dia tidak menjawab karena sedang
sibuk meratap dalam hati gara-gara kehilangan serulingnya, yang
telah disita untuk digunakan oleh pemerintah daerah. Nancy
melan"jutkan ke sel berikutnya dan mengetuk di sana.
"Ya!" seru sebuah suara yang samar dan lemah.
"Apakah ada anak laki-laki di sana?" tanya Nancy, didahului
sedu sedan. "Tidak," jawab suara itu. "Semoga saja takkan pernah ada."
Dia adalah gelandangan berusia enam puluh lima tahun, yang
masuk penjara karena tidak memainkan seruling atau de"ngan
kata lain, karena mengemis di jalanan dan tidak berbuat apa-apa
untuk mencari nafkah. Di sel berikutnya ada seorang laki-laki
lagi yang masuk penjara karena menjajakan wajan timah tan"pa
izin; jadi, dia dijebloskan ke penjara karena bekerja untuk men"
ca"ri nafkah, tapi melakukan pembangkangan terhadap Kantor
Pajak. Namun, karena tak satu pun pelaku kriminal ini bernama
Oliver, atau mengetahui sesuatu tentangnya, Nancy langsung
meng?"hampiri petugas riang berompi garis-garis; dan disertai
ta"ngis"an serta ratapan yang sangat mengharukan, dibuat lebih
mengharukan berkat penggunaan kunci pintu depan dan keran"
jang kecil yang tepat serta efisien, menuntut agar dipertemukan
dengan adik laki-lakinya tersayang.
CHARLES DICKENS ~127 "Aku tidak menahannya, Sayang," kata lelaki tua itu.
"Di mana dia?" jerit Nancy dengan sikap risau.
"Pria itu membawanya," jawab si petugas.
"Pria apa! Oh, demi Tuhan Yang Maha Pemurah! Pria apa?"
seru Nancy. Sebagai jawaban atas interogasi yang tak jelas ini, sang lelaki
tua memberitahukan gadis yang gundah ini bahwa Oliver jatuh
sakit di kantor polisi, dan dilepas berkat tampilnya seorang saksi
yang membuktikan bahwa perampokan dilakukan oleh anak
laki-laki lain, yang tidak ditahan. Petugas itu juga menjelaskan
bahwa sang penuntut telah membawa anak itu pergi dalam kon"
disi tak sadarkan diri, ke kediamannya sendiri. Yang diketahui
sang informan hanyalah bahwa kediaman tersebut terletak
di suatu tempat di Pentonville sebab dia mendengar kata itu
disinggung ketika memberi petunjuk arah kepada sais.
Dalam kondisi penuh keraguan dan ketidakpastian yang me"
milukan, sang wanita muda yang nelangsa terhuyung-huyung
ke gerbang, kemudian mengubah jalannya yang sempoyongan
menjadi lari cepat, kembali melewati rute paling berliku-liku
dan paling rumit yang bisa dipikirkannya, ke kediaman Fagin.
Segera setelah Tuan Bill Sikes mendengar paparan menge"nai
misi tersebut, dia buru-buru memanggil si anjing putih, dan
sesudah mengenakan topinya, seketika pergi tanpa menyisihkan
waktu untuk berbasa-basi mengucapkan selamat tinggal kepada
rekan-rekannya. "Kita harus tahu di mana dia berada, Sobat. Dia harus dite"
mu"kan," kata Fagin penuh semangat. "Charley, jangan lakukan
apa pun selain menjelajah ke sana kemari, sampai kau membawa
pulang berita tentang Oliver! Nancy, Sayangku, dia harus
ditemukan. Kupercayakan segalanya kepadamu, Sayangku"
kau dan Artful! Tinggallah, tinggallah," imbuh Fagin sambil
memutar kunci laci dengan tangan gemetar, "di sini ada uang,
Sobat. Akan kututup toko malam ini. Kalian tahu di mana bisa
menemukanku! Jangan mampir di sini barang semenit pun.
Sesaat pun jangan, Sobat!"
128~ OLIVER TWIST Disertai kata-kata ini, dia mendorong mereka keluar ruang"
an, dan setelah dengan hati-hati mengunci ganda serta menyelot
pintu di belakang mereka, mengeluarkan kotak yang tanpa sengaja
dia tunjukkan kepada Oliver dari tempat persembunyiannya.
Lalu, dia buru-buru melanjutkan dengan melempar jam serta
perhiasan ke balik pakaiannya.
Ketukan di pintu membuatnya terperanjat di tengah-tengah
kesibukannya. "Siapa di sana?" serunya dengan nada meleng"
king. "Aku!" jawab suara Dodger, lewat lubang kunci.
"Apa lagi?" seru Fagin tak sabaran.
"Nancy bertanya, apa dia perlu diculik ke tempat satunya
lagi?" tanya Dodger.
"Ya," jawab Fagin, "di mana pun Nancy mendapatkannya.
Temukan dia, temukan dia, itu saja. Aku akan tahu harus ber"
buat apa selanjutnya. Jangan takut."
Si anak laki-laki menggumamkan kata-kata dan bergegas tu"
run mengejar rekannya.

Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia belum "menyanyi" sejauh ini," kata Fagin sambil melan"
jutkan pekerjaannya. "Jika dia bermaksud buka mulut kepada
teman-teman barunya, kita mungkin berkesempatan mem"
bungkamnya."[] Prediksi Tuan Grimwig etelah Oliver siuman dari pingsan akibat seruan mendadak
Tuan Brownlow, topik mengenai lukisan tersebut dengan
hati-hati dihindari, baik oleh Tuan Brownlow maupun
Nyonya Bedwin. Selanjutnya, topik percakapan mereka tidak
mengacu pada riwayat Oliver, hanya terbatas pada topik-topik
yang menyenangkan dan tidak mengejutkan Oliver. Dia masih
terlalu lemah sehingga tidak mampu bangun untuk sarapan.
Ketika dia turun ke kamar pembantu rumah tangga keesokan
harinya, tindakan pertamanya adalah melemparkan pandang"
an antusias ke dinding, dengan harapan dapat melihat wajah
si wanita cantik lagi. Akan tetapi, Oliver kecewa sebab lukisan
tersebut telah dipindahkan.
"Ah!" kata sang pembantu rumah tangga, memperhatikan
arah pandangan Oliver. "Lukisan itu sudah tidak ada."
"Saya tahu, Nyonya," kata Oliver. "Kenapa lukisan itu dico"
pot?" "Lukisan itu diturunkan, Nak, sebab Tuan Brownlow bilang,
karena lukisan itu tampaknya membuatmu cemas, beliau kha"
watir lukisan itu akan mencegah keadaanmu membaik," jawab
sang wanita tua. "Oh, tidak, sungguh. Lukisan itu tidak membuat saya cemas,
Nyonya," kata Oliver. "Saya senang melihatnya. Saya cukup me"
nyu"kainya." 130~ OLIVER TWIST "Wah, wah!" kata wanita tua itu ramah. "Kalau keadaanmu
cepat membaik, Sayang, lukisan itu akan digantung di atas lagi.
Nah! Aku janji! Sekarang, mari kita bicarakan hal lain."
Hanya inilah informasi yang dapat Oliver peroleh mengenai
lukisan tersebut saat itu. Karena sang wanita tua telah sangat
baik kepadanya saat dia sakit, Oliver berusaha untuk tidak me"
mikirkan subjek tersebut pada saat itu. Dia pun mendengarkan
baik-baik cerita-cerita hebat yang dikisahkan wanita tua itu:
tentang anak perempuannya yang menikahi seorang pria ramah
dan tampan dan tinggal di pedesaan; dan tentang anak lakilakinya, yang menjadi kerani seorang saudagar di Hindia Barat
yang juga merupakan seorang pemuda sangat baik dan dengan
patuh mengirim surat ke rumah empat kali setahun sehingga
membuat wanita tua itu terharu dan tidak kuasa menahan air
mata saat dia membicarakan surat-surat tersebut. Sang wanita
tua telah memaparkan panjang lebar, lama sekali, keistimewaan
anak-anaknya dan juga kehebatan suaminya yang baik, yang su"
dah meninggal dunia pada usianya yang baru dua puluh enam
tahun"hingga tibalah saat minum teh. Setelah minum teh,
wanita itu mulai mengajari Oliver permainan kartu yang dise"
but cribbage, yang dipelajari Oliver secepat yang bisa diajarkan
Nyonya Bedwin, dengan minat dan keseriusan besar, sampai tiba
waktunya bagi Oliver untuk minum anggur dan air hangat de"
ngan seiris roti panggang kering, kemudian pergi tidur dengan
nyaman. Ini adalah hari-hari bahagia, hari-hari saat Oliver memulih"
kan diri. Semuanya begitu tenang, rapi, dan teratur. Semua
orang begitu baik dan lembut sehingga setelah semua keributan
dan kerusuhan di tempat-tempat yang ditinggali Oliver selama
ini, rasanya seperti tinggal di surga. Dia baru saja cukup kuat
untuk mengenakan pakaian sendiri dengan pantas ketika Tuan
Brownlow memerintahkan agar setelan baru, topi baru, dan
sepasang sepatu baru disediakan untuknya. Karena Oliver diberi
tahu bahwa dia boleh melakukan apa saja sesukanya pada pa"
CHARLES DICKENS ~131 kaian lamanya, dia memberikan pakaian lamanya kepada seorang
pelayan yang sangat baik kepadanya, dan meminta sang pelayan
menjual pakaian tersebut, untuk kemudian menyimpan uang"
nya sendiri. Ini dilakukan sang pelayan dengan siap sedia. Saat
Oliver melihat ke luar jendela ruang tamu dan menyaksikan si
pembeli menggulung pakaiannya dalam tas dan berjalan pergi,
dia merasa cukup lega saat memikirkan bahwa pakaian itu
sudah disingkirkan dengan aman, dan ancaman bahwa dia harus
mengenakannya kembali kini tidak ada lagi. Sejujurnya, pakaian
tersebut adalah gombal compang-camping yang menyedihkan,
dan Oliver tidak pernah punya pakaian baru sebelumnya.
Suatu malam, kira-kira seminggu setelah insiden lukisan, saat
dia sedang duduk sambil berbincang dengan Nyonya Bedwin,
datanglah pesan dari Tuan Brownlow bahwa jika Oliver Twist
sudah merasa cukup sehat, dia diminta menemui pria itu di ru"
ang kerjanya dan berbincang-bincang dengannya sebentar.
"Terberkatilah kita! Cuci tanganmu, dan biar kusisir belahan
rambutmu supaya bagus, Nak," kata Nyonya Bedwin. "Ya, am"
pun! Seandainya kita tahu Tuan akan memanggilmu, kita pasti
akan memakaikanmu kerah bersih dan merapikanmu!"
Oliver berbuat sesuai yang diperintahkan Nyonya Bedwin.
Meskipun Nyonya Bedwin meratap sedih karena tidak sempat
mengeriting renda kecil di pinggir kerah bajunya, Oliver keli"
hatan demikian rapi dan tampan. Sambil memandangi Oliver
dengan teramat puas dari kepala hingga kaki, wanita tua itu
bahkan mengatakan bahwa tidaklah mungkin menjadikan
Oliver lebih rapi daripada sekarang.
Disemangati oleh kata-kata ini, Oliver pun mengetuk pintu
ruang kerja. Setelah Tuan Brownlow mempersilakannya masuk,
dia mendapati dirinya dalam sebuah ruang belakang berukuran
kecil, dipenuhi buku, dengan sebuah jendela yang menghadap ke
taman kecil indah. Ada sebuah meja yang dirapatkan ke jendela,
dan tampak Tuan Brownlow sedang duduk sambil membaca di
balik meja tersebut. Ketika melihat Oliver, dia menyingkirkan
132~ OLIVER TWIST buku yang tengah dibacanya, lalu menyuruh Oliver mendekat
dan duduk. Oliver menurut. Dia mengagumi ruangan tempat
orang-orang bisa ditemukan tengah membaca sejumlah besar
buku sebanyak yang tampaknya pernah ditulis sepanjang masa
untuk menjadikan dunia lebih bijaksana. Ini masih terasa me?"nga"
gumkan bagi orang-orang yang lebih berpengalaman daripada
Oliver Twist, setiap hari dalam hidup mereka.
"Ada banyak buku, bukan begitu, Nak?" kata Tuan Brownlow,
melihat rasa penasaran Oliver saat mengamati rak-rak yang te"
rentang dari lantai hingga langit-langit.
"Banyak sekali, Tuan," jawab Oliver. "Saya tidak pernah meli"
hat buku sebanyak ini."
"Kau boleh membacanya jika kau bersikap baik," kata sang
pria tua dengan ramah, "dan kau akan menyukainya, lebih baik
daripada sekadar melihat bagian luarnya"begitulah paling ti"
dak pada beberapa kasus; sebab ada juga buku-buku yang hanya
bagus sampulnya saja."
"Saya tebak buku itu berat, Tuan," kata Oliver sambil me"
nunjuk sejumlah buku besar berukuran kuarto, yang sepuhan
emas di penjilidnya cukup banyak.
"Tak selalu yang seperti itu," kata sang pria tua, menepuk
kepala Oliver sambil tersenyum. "Ada buku-buku lain yang sa"
ma beratnya meskipun berukuran lebih kecil. Apa kau ingin
tum"buh dewasa menjadi pria pintar dan menulis buku?"
"Saya rasa saya lebih memilih membacanya, Tuan," jawab
Oliver. "Apa" Tidakkah kau ingin menjadi penulis buku?" kata sang
pria tua. Oliver mempertimbangkannya sebentar, dan akhirnya ber"
kata, menurutnya lebih baik menjadi penjual buku. Jawaban
itu membuat sang pria tua tertawa terbahak-bahak, dan dia
menyatakan Oliver telah mengucapkan hal yang sangat bagus.
Oliver lega telah mengucapkan hal tersebut walaupun dia tidak
tahu apakah hal yang bagus dari ucapannya tersebut.
CHARLES DICKENS ~133 "Nah, nah," kata sang pria tua, setelah tawanya reda. "Ja"ngan
takut! Kita takkan menjadikanmu penulis, sementara ada bidang
usaha halal yang dapat dipelajari dan dipilih. Keahlian membuat
bata, misalnya." "Terima kasih, Tuan," kata Oliver. Melihat caranya menja"
wab yang sungguh-sungguh, sang pria tua tertawa lagi, lalu me"
ngatakan sesuatu tentang insting ganjil, yang tidak diindahkan
Oliver karena tidak memahaminya.
"Nah," kata Tuan Brownlow, berbicara dengan sikap yang
lebih ramah sekaligus lebih serius, "aku ingin kau memperhati"kan
baik-baik hal yang akan kukatakan, Nak. Aku akan bicara kepa"
damu secara terbuka sebab aku yakin kau dapat memahamiku,
layaknya orang dewasa."
"Oh, jangan katakan kepada saya bahwa Anda akan mengi"rim
saya pergi, Tuan, saya mohon!" seru Oliver, waswas mende"ngar
nada serius dalam kata-kata pendahuluan pria tua itu! "Jangan
usir saya sehingga harus keluyuran di jalanan lagi. Biarkan saya
ting"gal di sini dan menjadi pelayan. Jangan kirim saya kembali
ke tempat terkutuk tempat saya berasal. Kasihanilah bocah
malang ini, Tuan!" "Anak baik," kata sang pria tua, tersentuh melihat kehangatan
dalam permohonan Oliver yang tiba-tiba, "kau tidak perlu takut
aku akan menelantarkanmu, kecuali kau memberiku alasan
untuk melakukannya."
"Saya takkan pernah melakukannya, Tuan," sela Oliver.
"Kuharap tidak," timpal sang pria tua. "Aku pun berpen"
dapat kau takkan melakukannya. Aku pernah dikelabui sebe"
lumnya dalam usaha yang kukira akan menguntungkan. Tapi,
aku merasakan kecenderungan kuat untuk memercayaimu. Aku
lebih tertarik kepadamu daripada yang bisa kujelaskan, bahkan
kepada diriku sendiri. Orang-orang yang paling kusayangi, ter"
baring jauh di dalam kubur mereka. Namun, walaupun keba"
hagiaan dan kegembiraan dalam hidupku terkubur di sana juga,
aku belum lagi mengubur kasih sayang terbaik dalam hatiku,
134~ OLIVER TWIST dan menyegelnya selamanya. Musibah mendalam semata-mata
menguatkan dan menjernihkan perasaanku."
Selagi sang pria tua mengatakan ini dengan suara rendah"
lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada rekan bicaranya"
dan selagi dia terdiam sebentar setelahnya, Oliver duduk tanpa
bergerak dan bersuara. "Nah, nah!" kata sang pria tua pada akhirnya, dengan nada
yang lebih ceria. "Aku semata-mata mengatakan ini karena
hatimu masih muda, dan kau sudah mengetahui bahwa aku
telah menderita kepedihan dan duka yang hebat sehingga kau
akan lebih berhati-hati untuk membuatku sedih. Kau bilang
kau anak yatim piatu, tanpa teman di dunia. Semua penyeli"
dikan yang berhasil kulaksanakan, mengonfirmasi pernyataan
itu. Biar kudengar ceritamu. Dari mana kau berasal, siapa yang
membesarkanmu, dan bagaimana kau sampai bertemu orangorang yang membuatmu terlibat masalah. Bicaralah sejujurnya,
dan kau takkan pernah sendirian di dunia ini selama aku masih
hidup." Isak tangis Oliver menyela ceritanya selama beberapa menit.
Ketika sudah mulai menceritakan bagaimana dia dibesarkan di
"peternakan" dan dibawa ke rumah sosial oleh Tuan Bumble,
ketukan ganda kecil yang tak sabaran terdengar di pintu depan.
Seorang pelayan lari ke lantai atas, mengumumkan kedatangan
Tuan Grimwig. "Apa dia sudah naik?" tanya Tuan Brownlow.
"Ya, Tuan," jawab si pelayan. "Dia bertanya apakah ada
muffin di rumah sini. Dan, ketika saya bilang ya kepada beliau,
bel"iau bilang akan datang untuk minum teh."
Tuan Brownlow tersenyum. Sambil berpaling kepada Oliver,
dia mengatakan bahwa Tuan Grimwig adalah teman lamanya,
dan jangan pedulikan sikap temannya yang sedikit kasar itu
sebab di lubuk hatinya pria itu adalah orang yang baik. Tuan
Brownlow punya alasan untuk meyakini itu.
"Haruskah saya pergi ke lantai bawah, Tuan?" tanya Oliver.
CHARLES DICKENS ~135 "Tidak perlu," jawab Tuan Brownlow, "sebaiknya kau tetap
di sini." Pada saat ini, sambil bertelekan tongkat tebal, masuklah
seorang pria tua gempal yang salah satu kakinya agak pincang.
Pria itu mengenakan jas biru, rompi garis-garis, celana dan pe"
lindung kaki dari kain katun kuning pucat, dan topi bertepi
lebar yang pinggirannya ditekuk ke atas sehingga menampakkan
warna hijau. Kemeja berenda kepang kecil-kecil mencuat dari
rompinya, dan sebuah jam baja berantai sangat panjang"
tanpa apa pun kecuali anak kunci di ujungnya"berayun-ayun
longgar di bawah kemejanya. Ujung-ujung saputangan putihnya
dipuntir menjadi bola seukuran jeruk; aneka ragam raut muka
yang ditunjukkannya sulit digambarkan.
Pria itu punya kebiasaan menelengkan kepalanya ke sam"ping
saat bicara dan kebiasaan memandang dari ekor matanya pada
saat bersamaan, mau tidak mau mengingatkan orang pada bu"
rung nuri. Dengan sikap seperti inilah dia menampakkan diri
pada saat masuk. Sambil mengulurkan sepotong kecil kulit
jeruk sepanjang lengan, dia berseru dengan suara menggeram
tak puas. "Lihat ini! Apa kau lihat ini! Bukankah ini benda paling
menakjubkan dan luar biasa yang tidak bisa kudapatkan di
rumah seorang pria, tapi kutemukan di tangga rumah temanku
si ahli bedah" Aku jadi pincang gara-gara kulit jeruk suatu kali,
dan aku tahu kulit jeruk akan mendatangkan ajalku, atau aku
rela makan kepalaku sendiri, Tuan!"
Ini adalah saran memikat yang dipertegas dan dikonfirmasi
Tuan Grimwig dalam setiap pernyataan yang dibuatnya. Saran
ini semakin istimewa dalam kasusnya, sebab sekalipun kemajuan
ilmiah yang memungkinkan seseorang memakan kepalanya
sendiri telah lahir, kepala Tuan Grimwig sangatlah besar sehingga
pria paling optimis sekalipun takkan berani berharap dirinya
sanggup menghabiskan kepala itu dalam sekali duduk"belum
lagi ditambah wig yang sangat tebal.
136~ OLIVER TWIST "Akan kumakan kepalaku, Tuan," ulang Tuan Grimwig sam"
bil mengetukkan tongkatnya ke lantai. "Halo! Apa itu!" sambil
memandangi Oliver, dan mundur satu atau dua langkah.
"Ini Oliver Twist muda, yang kita bicarakan waktu itu," kata
Tuan Brownlow. Oliver membungkuk. "Kau tidak bermaksud mengatakan bahwa ini adalah bocah
yang terkena demam, kan?" kata Tuan Grimwig, menghindar
sedikit lagi. "Tunggu sebentar! Jangan bicara! Stop "." lanjut


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan Grimwig tiba-tiba, sepenuhnya kehilangan rasa takutnya
pada penyakit demam, bergairah karena merasa telah menemu"
kan sesuatu, "itu bocah yang makan jeruk! Kalau bukan bocah
itu yang makan jeruk dan melemparkan potongan kulitnya ke
tangga, Tuan, akan kumakan kepalaku, dan kepalanya juga."
"Tidak, tidak, dia tidak makan jeruk," kata Tuan Brownlow
sambil tertawa. "Ayolah! Letakkan topimu dan bicaralah kepada
teman mudaku." "Firasatku tentang hal ini sangatlah kuat, Tuan," kata si pria
tua yang mudah naik darah itu sambil melepas sarung tangan?"
nya. "Selalu saja ada kulit jeruk di trotoar di jalan kami dan
aku tahu kulit jeruk itu dibuang di sana oleh anak ahli bedah di
sudut jalan. Seorang wanita muda terpeleset kulit itu kemarin
malam, dan jatuh ke pagar tamanku. Tepat pada saat wanita
muda itu bangun, pria itu langsung memandang lampu merah
mengerikan dengan cahaya konyol miliknya. "Jangan temui dia,"
seruku dari jendela, "dia pembunuh! Perangkap manusia!" Dan
dia memang begitu. Kalau dia bukan "."
Sang pria tua mudah marah itu menumbuk lantai keraskeras dengan tongkatnya; yang dipahami oleh teman-temannya
sebagai sebuah pernyataan tanpa kata-kata. Lalu, masih sambil
memegang tongkat di tangannya, dia pun duduk. Dan sambil
memakai kacamatanya yang tersambung dengan pita hitam le"
bar, dia menatap Oliver yang menyadari bahwa dirinya menjadi
objek pemeriksaan, merona, dan membungkuk lagi.
CHARLES DICKENS ~137 "Itu anaknya, ya?" kata Tuan Grimwig, pada akhirnya.
"Itu anaknya," jawab Tuan Brownlow.
"Bagaimana keadaanmu, Bocah?" tanya Tuan Grimwig.
"Jauh lebih baik. Terima kasih, Tuan," jawab Oliver.
Tuan Brownlow, yang tampaknya menangkap bahwa teman"
nya yang aneh bin ajaib hendak mengatakan sesuatu yang ku"
rang pantas, minta Oliver pergi ke lantai bawah dan memberi
tahu Nyonya Bedwin bahwa mereka siap minum teh. Oliver
yang tidak terlalu menyukai sikap sang tamu segera melakukan
perintah Tuan Brownlow dengan senang hati.
"Dia anak laki-laki yang rupawan, bukan?" tanya Tuan
Brownlow. "Aku tidak tahu," jawab Tuan Grimwig kesal.
"Tidak tahu?" "Tidak. Aku tidak tahu. Menurutku, anak-anak lelaki tidak
ada bedanya. Aku cuma tahu dua macam anak laki-laki. Anak
laki-laki tirus dan anak laki-laki tembam."
"Dan yang manakah Oliver?"
"Tirus. Aku kenal seorang teman yang punya anak laki-laki
tembam. Menurut orang-orang, dia anak laki-laki yang sehat;
dengan kepala bundar, pipi merah, dan mata melotot. Anak
yang mengerikan, dengan tubuh dan tungkai yang terlihat me"
nyembul karena bengkak dari pinggiran baju birunya, dengan
suara sekeras nakhoda, dan selera makan seekor serigala. Aku
tahu dia! Berandal!"
"Ayolah," kata Tuan Brownlow, "bukan seperti itu sifat
Oliver Twist muda. Jadi, dia tidak seharusnya membangkitkan
ama"rahmu." "Memang bukan," jawab Tuan Grimwig. "Dia mungkin saja
punya sifat-sifat yang lebih buruk."
Di sini, Tuan Brownlow terbatuk-batuk tak sabaran, yang
tampaknya membuat Tuan Grimwig kesenangan.
"Dia mungkin saja punya sifat-sifat lebih buruk, kataku,"
ulang Tuan Grimwig. "Dari mana asalnya" Siapa dia" Apakah
138~ OLIVER TWIST dia" Dia terkena demam, Tuan. Bagaimana dengan itu" Demam
tidak lazim menyerang orang-orang baik, bukan" Orang-orang
jahat kena demam sesekali, bukan" Aku tahu seorang laki-laki
yang digantung di Jamaika karena membunuh majikannya.
Dia terkena demam enam kali dan dia tidak direkomendasikan
untuk menerima pengampunan berdasarkan fakta itu. Huh!
Omong kosong!" Nah, faktanya adalah bahwa dalam relung hatinya yang ter"
dalam, Tuan Grimwig punya kecenderungan kuat untuk menga"
kui bahwa penampilan dan perilaku Oliver memang sangat
memikat, tapi dia teramat menyukai kontradiksi. Terlebih lagi
dipertajam karena menemukan kulit jeruk dalam kesempatan
ini. Dalam hati, Tuan Grimwig bertekad bahwa tak seorang pun
boleh mendiktenya. Entah Oliver bocah rupawan atau tidak, dia
telah bertekad sejak awal untuk menentang temannya.
Ketika Tuan Brownlow mengakui bahwa dia belum bisa
memberi jawaban memuaskan atas satu pun pertanyaan yang
diajukan, dan bahwa dia telah menunda investigasi lebih lanjut
mengenai riwayat Oliver sebelumnya sampai dia merasa anak
laki-laki itu sudah cukup kuat untuk mendengarnya, Tuan
Grimwig terkekeh kejam. Dan dia menuntut, disertai seringai
mengejek, ingin tahu apakah pembantu rumah tangga memiliki
kebiasaan menghitung perlengkapan makan di malam hari.
Sebab, jika sang pembantu tidak menemukan satu sendok
makan atau kehilangan dua piring pada suatu pagi yang cerah,
yah, dia sudah cukup puas"dan seterusnya.
Semua ini ditanggapi dengan santai oleh Tuan Brownlow
yang tahu keanehan temannya meskipun dia sendiri adalah
pria yang impulsif. Sementara Tuan Grimwig dengan murah
hati mengekspresikan kepuasannya pada muffin yang disajikan,
keadaan berjalan sangat mulus pada waktu minum teh. Oliver,
yang dijadikan bagian dalam acara ini, mulai merasa lebih rileks
di dekat pria tua galak itu daripada sebelumnya.
CHARLES DICKENS ~139 "Dan, kapankah kau akan mendengar kisah sejati istimewa
yang seutuhnya mengenai kehidupan dan petualangan Oliver
Twist?" tanya Tuan Grimwig kepada Tuan Brownlow pada peng"
hujung acara makan sambil melirik Oliver saat dia kembali
mengemukakan subjek pembicaraannya.
"Besok pagi," jawab Tuan Brownlow. "Lebih baik pada saat
dia sendirian denganku saat itu. Temui aku besok pagi pukul
sepuluh, Nak." "Baik, Tuan," timpal Oliver. Dia menjawab dengan raguragu sebab bingung melihat Tuan Grimwig memandanginya
lekat-lekat. "Kuberi tahu kau," bisik pria itu kepada Tuan Brownlow,
"dia takkan menemuimu besok pagi. Kulihat dia ragu-ragu. Dia
mengelabuimu, Kawan Baikku."
"Aku bersumpah dia tidak mengelabuiku," jawab Tuan
Brownlow hangat. "Jika tidak," kata Tuan Grimwig, "akan ku "." dan dike"
tuknyalah tongkatnya. "Kupertaruhkan kejujuran anak laki-laki itu dengan nyawa"
ku!" kata Tuan Brownlow sambil memukul meja.
"Dan kupertaruhkan kebohongannya dengan kepalaku!"
Tuan Grimwig turut serta, memukul meja juga.
"Kita lihat saja nanti," kata Tuan Brownlow, mengendalikan
amarahnya yang mulai bangkit.
"Akan kita lihat," timpal Tuan Grimwig, disertai senyum
yang memprovokasi, "akan kita lihat."
Sesuai yang ditentukan takdir, pada saat itu Nyonya Bedwin
kebetulan membawa masuk sepaket kecil buku yang telah di"
beli Tuan Brownlow pagi itu dari penjaga kios buku yang sama,
tempatnya dahulu dicopet yang akhirnya membuat dia bertemu
Oliver. Setelah meletakkan paket tersebut di meja, Nyonya
Bedwin bersiap meninggalkan ruangan.
"Hentikan pemuda itu, Nyonya Bedwin!" kata Tuan Brown"
low. "Ada yang ketinggalan."
140~ OLIVER TWIST "Dia sudah pergi, Tuan," jawab Nyonya Bedwin.
"Panggil dia," kata Tuan Brownlow. "Ini penting. Dia lelaki
miskin dan buku-buku ini belum dibayar. Ada juga sejumlah
buku yang harus dibawa kembali."
Pintu depan dibuka. Oliver lari ke satu arah, si gadis pelayan
lari ke arah lain, sedangkan Nyonya Bedwin berdiri di undakan
dan berteriak memanggil si pemuda, namun tak ada seorang
pemuda pun yang terlihat. Oliver dan si gadis pelayan kembali
sambil tersengal-sengal, melaporkan bahwa tidak ada tandatanda keberadaan laki-laki itu.
"Ya, ampun, aku sungguh menyesal atas hal itu," seru Tuan
Brownlow. "Aku teramat berharap agar buku-buku itu dapat
dikembalikan malam ini."
"Suruh Oliver membawanya," kata Tuan Grimwig sambil
tersenyum ironis. "Dia pasti akan mengantarkan buku-buku itu
dengan aman." "Betul, Tuan, biarkan saya yang mengembalikannya, jika
Anda berkenan, Tuan," kata Oliver. "Saya akan lari sepanjang
jalan, Tuan." Sang pria tua baru saja hendak mengatakan bahwa Oliver
sama sekali tidak perlu pergi ketika batuk yang terdengar kejam
dari Tuan Grimwig, membuat Tuan Brownlow seketika bertekad
bahwa Oliver harus pergi sehingga lewat tugasnya mengantarkan
buku yang dilaksanakan dengan sigap, dia dapat membuktikan
betapa tak adilnya kecurigaan Tuan Grimwig, dengan kepala
pria itu sebagai taruhannya.
"Pergilah, Nak," kata sang pria tua. "Buku-bukunya ada di
kursi dekat mejaku. Tolong diambil."
Oliver merasa senang karena bisa berguna. Dia mengepit
buku-buku itu di bawah ketiaknya dengan terburu-buru dan
menunggu, dengan topi di tangan, untuk mendengar pesan
yang harus disampaikannya.
"Katakan," kata Tuan Brownlow sambil melirik Grimwig
tak gentar, "katakan bahwa kau bermaksud mengembalikan
CHARLES DICKENS ~141 buku-buku itu dan untuk membayar utang empat pound-ku ke"
padanya. Ini uang lima pound, jadi kau harus membawakanku
kembalian sepuluh shilling."
"Saya takkan pergi lebih dari sepuluh menit, Tuan," kata
Oliver bersemangat. Setelah mengancingkan saku jasnya yang
berisi uang kertas dan mengepit buku-buku dengan hati-hati,
dia membungkuk sopan, lalu meninggalkan ruangan. Nyonya
Bedwin mengikutinya ke pintu depan sambil memberinya ba"
nyak petunjuk arah mengenai jalan terdekat dan nama si penjual
buku. Menurut Oliver, semua dapat dipahaminya dengan jelas.
Setelah menambahkan banyak perintah agar menjaga diri
dan jangan sampai kena pilek, sang wanita tua pada akhirnya
mengizinkan Oliver berangkat.
"Terberkatilah wajahnya yang manis!" kata sang wanita tua,
mem"perhatikannya pergi. "Entah kenapa, aku tidak sanggup
mem?"bi"arkannya lepas dari pandanganku."
Pada saat ini, Oliver melihat ke sana kemari dengan riang
gembira, dan mengangguk sebelum berbelok di pojok jalan.
Sang wanita tua membalas salam hormatnya sambil tersenyum,
dan sesudah menutup pintu, kembali ke kamarnya sendiri.
"Biar kulihat, dia akan kembali dua puluh menit lagi, pa"ling
lama," kata Tuan Brownlow, mengeluarkan jamnya, dan me"le"
takkannya di meja. "Bakalan sudah gelap pada saat itu."
"Oh! Kau benar-benar berharap dia akan kembali, ya?" tanya
Tuan Grimwig. "Memangnya kau tidak?" tanya Tuan Brownlow sambil
tersenyum. Semangat kontradiksi sedemikian kuat dalam dada Tuan
Grimwig pada saat itu, dan semakin diperkuat oleh senyum per"
caya diri temannya. "Tidak," katanya sambil menggebrak meja dengan kepa"
lannya, "menurutku tidak. Bocah itu punya satu setel pakaian
baru di badannya, satu set buku berharga di bawah ketiaknya,
dan uang lima pound di sakunya. Dia akan bergabung dengan
142~ OLIVER TWIST teman-teman lamanya, para pencuri, dan menertawakanmu.
Sean"dainya bocah itu kembali ke rumah ini, Tuan, akan ku"
makan kepalaku." Disertai kata-kata ini ditariknya kursinya mendekat ke meja.
Di sanalah kedua kawan ini duduk, diam sambil berharap-harap,
dengan jam di antara mereka.
Penting kiranya disinggung"untuk mengilustrasikan beta"
pa kita menganggap penting penilaian kita sendiri, dan perasaan
berbangga diri yang mendorong kita mengemukakan kesim"
pulan paling sembrono dan tergesa-gesa"bahwa meskipun Tuan
Grimwig sama sekali bukan lelaki berhati jahat, dan meskipun
dia pasti betul-betul menyesal melihat temannya yang terhormat
ditipu dan dikelabui, dia sungguh-sungguh berharap sedemikian
rupa pada saat itu, semoga Oliver Twist tidak kembali.
Saat itu sudah sedemikian gelap sehingga angka-angka pada
jam nyaris tak terlihat. Namun, di sanalah kedua orang pria tua
tersebut terus duduk dalam keheningan, dengan jam di antara
mereka.[] Pertemuan yang Tak Terduga alam sebuah ruangan remang-remang di bar ren?"dah?"?"
an, di bagian terjorok Little Saffron Hill; tempat yang
ge"lap dan suram"yang disinari nyala lampu gas se"ha?"
rian di kala musim dingin; dan yang tak pernah ditembus berkas
cahaya mata"hari pada musim panas"duduklah, membungkuk
di atas takaran pewter kecil dan gelas mungil, berkubang bau
minuman keras yang kuat, seorang laki-laki berjas beledu imi"
tasi, celana pendek kelabu kusam, sepatu bot, dan kaus kaki,
yang bahkan di tengah cahaya redup sekalipun akan dikenali
agen polisi berpengalaman tanpa ragu-ragu sebagai Tuan William
Sikes. Di kakinya, duduk seekor anjing berbulu putih dan ber"
mata merah yang menyibukkan dirinya, silih berganti, dengan
cara mengedipkan kedua matanya sekaligus kepada tuannya
dan menjilat luka sayat baru yang besar di sisi mulutnya, yang
tampaknya merupakan hasil dari sebuah konflik baru-baru ini.
"Diam, dasar hama! Diam!" kata Tuan Sikes, tiba-tiba me"
me"cah keheningan. Entah perenungannya demikian dalam
sehingga terganggu oleh kedipan si anjing, ataukah perasaan"
nya terpengaruh sedemikian rupa oleh perenungannya sendiri
sehing?"ga harus dilampiaskan dalam bentuk tendangan ke seekor
bina"tang tak bersalah. Apa pun penyebabnya, akibatnya adalah
sebuah tendangan serta sumpah serapah dianugerahkan pada si
anjing secara berurutan. 144~ OLIVER TWIST Para anjing biasanya tidak punya kecenderungan memba"
las luka yang ditimbulkan oleh majikan mereka, tapi anjing
Tuan Sikes, yang berperangai sama jeleknya seperti majikannya,
dan pada saat itu barangkali sedang sengsara karena rasa nyeri
menusuk akibat cederanya, serta-merta menancapkan giginya
ke salah satu sepatu bot majikannya. Setelah mengguncang-gun"


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cangkan sepatu bot tersebut dengan bernafsu, dia pun mundur
ke bawah bangku sambil menggeram, lolos tipis saja dari takaran
pewter yang diarahkan Tuan Sikes ke kepalanya.
"Kau berani, ya?" kata Sikes, mencengkeram pengupak api
di satu tangan, dan dengan sengaja membuka pisau lipat kecil
dengan tangan satunya lagi, yang dia keluarkan dari sakunya.
"Ayo sini, dasar anak setan! Ayo sini! Kau dengar?"
Si anjing tak diragukan lagi mendengarnya sebab Tuan Sikes
bicara dengan suara sangat keras bernada paling kasar. Namun
karena tampaknya si anjing keberatan lehernya digorok, ia diam
di tempat dan menggeram lebih bengis daripada sebelumnya.
Pada saat yang bersamaan, ia mengatupkan giginya ke ujung
pengupak api dan menggigitinya seperti hewan liar.
Pembangkangan ini membuat Tuan Sikes semakin marah.
Dia jatuh berlutut, mulai menyerang hewan itu dengan sangat
ganas. Si anjing melompat dari kanan ke kiri, dan dari kiri ke
kanan; menggigit, menggeram, dan menggonggong; sang lakilaki menyodok dan mengumpat, serta memukul dan menyum"
pah-nyumpah. Pergulatan tersebut tengah mencapai titik paling
kritis bagi salah satu atau yang lainnya ketika pintu tiba-tiba
terbuka. Si anjing pun melesat keluar, meninggalkan Bill Sikes
dengan pengupak api dan pisau lipat di tangannya.
Harus selalu ada dua pihak dalam sebuah pertikaian, konon
begitulah katanya. Tuan Sikes yang dikecewakan karena mun"
durnya si anjing dari keikutsertaannya, seketika mengalihkan
jatahnya dalam pertikaian itu ke si pendatang baru.
"Apa-apaan kau, menjadi penghalang antara aku dan anjing"
ku?" kata Sikes dengan bahasa tubuh ganas.
CHARLES DICKENS ~145 "Aku tidak tahu, Sobat, aku tidak tahu," jawab Fagin sopan
sebab Faginlah pendatang baru itu.
"Tidak tahu, dasar maling pengecut!" geram Sikes. "Tak bi"
sakah kau dengar keributannya sama sekali?"
"Sama sekali tak mendengar keributan, aku bersumpah,
Bill," jawab Fagin. "Oh, tidak! Kau tidak mendengar apa-apa, ya?" sembur Sikes
sambil menyeringai galak. "Mengendap-endap keluar-masuk,
supaya tak seorang pun mendengarmu datang dan pergi! Ku"
harap kaulah anjing itu, Fagin, setengah menit lalu."
"Kenapa?" tanya Fagin sambil tersenyum terpaksa.
"Karena pemerintah, yang memedulikan nyawa laki-laki
yang tidak punya nyali sepertimu, membiarkan seorang lakilaki membunuh seekor anjing sesukanya," jawab Sikes sam"bil
me?"nu?"tup pisau dengan raut wajah yang sangat ekspresif. "Itulah
sebabnya." Fagin menggosokkan kedua belah tangannya dan duduk di
meja, memaksakan diri untuk tertawa mendengar keramahan
temannya. Namun, dia jelas sekali merasa sangat tidak nyaman.
"Cengar-cengir saja terus," kata Sikes sambil meletakkan
pengupak api, dan mengamatinya dengan kebencian menjadijadi, "Tapi, kau takkan pernah bisa menertawakanku, kecuali
kalau sudah mati. Aku punya keuntungan atas dirimu, Fagin.
Dan, sial, aku akan mempertahankannya. Nah! Kalau aku ta"
mat, kau juga tamat, jadi jagalah aku."
"Wah, wah, Sobat," kata Fagin. "Aku tahu semua itu; kita
... kita ... kita punya kepentingan bersama, Bill " kepentingan
bersama." "Huh," kata Sikes, seolah-olah berpendapat kepentingan itu
berada pada pihak Fagin alih-alih pada dirinya. "Nah, apa yang
ingin kaukatakan kepadaku?"
"Semuanya sudah diamankan," jawab Fagin, "dan inilah ja"
tahmu. Jumlahnya lebih daripada yang seharusnya, Sobat. Tapi,
sepengetahuanku kau akan membantuku kali lain, dan "."
146~ OLIVER TWIST "Hentikan omong kosong itu," potong Sikes, tak sabaran.
"Di mana benda itu" Serahkan!"
"Ya, ya, Bill. Beri aku waktu, beri aku waktu," jawab Fagin
menenangkan. "Ini dia! Semua aman!" Selagi bicara, dia me"
ngeluarkan saputangan katun tua dari dadanya. Dan setelah
membuka simpul besar di satu sudut, menampakkan sebuah
bungkusan kertas cokelat kecil. Sikes merebut bungkusan itu
darinya, buru-buru membukanya dan menghitung uang emas
di dalamnya. "Cuma ini, semuanya?" tanya Sikes.
"Semuanya," jawab Fagin.
"Kau belum membuka bungkusan dan menelan satu atau
dua sambil lalu, kan?" tanya Sikes curiga. "Jangan pasang tam"
pang terluka mendengar pertanyaan itu, kau sudah sering
melakukannya. Akui saja."
Kata-kata ini diikuti oleh masuknya seorang pria lain,
lebih muda daripada Fagin, tapi penampilannya hampir sama
menjijikkan dan memuakkannya.
Bill Sikes semata-mata menunjuk takaran yang kosong. Si
pendatang baru sepenuhnya memahami isyarat itu. Dia mundur
untuk mengisinya setelah sebelumnya bertukar pandang penuh
arti dengan Fagin yang mengangkat tatapan matanya sesaat dan
menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Begitu tak kentara
sehingga tindakan tersebut hampir tak terlihat oleh orang ketiga
pengamat. Komunikasi ini tidak disadari Sikes, yang saat itu
tengah membungkuk untuk mengikat tali sepatu bot yang telah
dirobek si anjing. Bisa jadi, jika menyaksikan pertukaran isyarat
singkat tersebut, dia akan beranggapan itu bukan pertanda ba"
gus buatnya. "Apa ada orang di sini, Barney?" tanya Fagin, setelah Sikes
memperhatikan, tanpa mengangkat pandangannya dari lantai.
"Didak seorag pud," jawab Barney, yang kata-katanya"entah
datang dari hati atau tidak"keluar lewat hidungnya.
CHARLES DICKENS ~147 "Sama sekali?" tanya Fagin dengan nada kaget, yang barang?"
kali bermakna bahwa Barney bebas mengatakan yang sebe"
narnya. "Didak ada siaba-siaba gecuali Doda Dadcy," jawab Barney.
"Nancy!" seru Sikes. "Mana" Biar aku disambar petir kalau
aku tak menghormati gadis itu atas bakat alamnya."
"Dia sedag magad dagig rebus di bar," jawab Barney.
"Suruh dia ke sini," kata Sikes sambil menuangkan segelas
minuman keras. "Suruh dia ke sini."
Barney memandang Fagin dengan patuh, seakan minta izin.
Fagin diam saja dan tidak mengangkat pandangan matanya dari
lantai. Barney pun mundur. Saat kembali, dia datang bersama
Nancy yang berhiaskan topi, celemek, keranjang, kunci pintu
depan, lengkap. "Kau sedang melacak jejak, ya, Nancy?" tanya Sikes sambil
menawarkan gelas. "Ya, memang, Bill," jawab sang wanita muda, menghabiskan
isi gelas itu, "dan aku juga sudah cukup lelah. Bocah itu sakit
dan terkurung di tempat tidur, dan "."
"Ah, Nancy, Sayang!" kata Fagin sambil mendongak.
Nah, apakah kedutan aneh di alis merah Fagin dan gerakan
setengah memejamkan matanya yang cekung memperingatkan
Nona Nancy bahwa dia terlalu komunikatif, tidaklah penting.
Hanya fakta yang perlu kita perhatikan di sini; dan faktanya
adalah, bahwa Nancy tiba-tiba menahan diri, dan disertai se"
nyum berlimpah kepada Tuan Sikes, mengalihkan percakapan
ke topik lain. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, Tuan Fagin
diserang batuk; saat itulah Nancy menyelimutkan selendang"
nya ke bahu, dan menyatakan bahwa sudah waktunya untuk
pergi. Tuan Sikes, tahu bahwa dia berjalan searah dengan Nona
Nancy, menunjukkan niatnya untuk menemani wanita muda
itu. Mereka pun pergi bersama-sama diikuti dari agak jauh, oleh
si anjing yang menyelinap keluar dari halaman belakang segera
setelah majikannya hilang dari pandangan.
148~ OLIVER TWIST Fagin menjulurkan kepalanya keluar pintu ruangan ketika
Sikes telah pergi; memperhatikannya saat dia berjalan menyu"
suri lorong gelap, mengayun-ayunkan tinjunya yang terkepal,
menggumamkan umpatan mendalam, kemudian sambil me"
nye"ringai duduk kembali di balik meja tempat dia segera saja
membenamkan perhatiannya dalam-dalam ke halaman majalah
Hue-and-Cry yang menarik.
Sementara itu, Oliver Twist sedang dalam perjalanan menuju
kios buku. Dia tak pernah bermimpi bahwa dia berada pada
jarak begitu dekat dengan sang pria tua periang. Ketika sampai
di Clerkenwell, dia tak sengaja berbelok ke jalan pintas yang
sesungguhnya tidak masuk jalurnya, tapi karena tidak menyadari
kekeliruannya sampai setengah jalan, dan tahu bahwa jalan
tersebut pastilah menuju ke arah yang benar, dia berpendapat
tidaklah layak untuk berbalik. Maka, dia pun terus berjalan
secepat mungkin sambil mengepit buku di ketiaknya.
Oliver sedang berjalan sambil berpikir betapa dia harus
merasa bahagia dan puas, dan betapa dia bersedia memberikan
apa saja untuk menengok si kecil Dick yang malang, yang
kelaparan dan babak belur"mungkin saja sedang menangis
getir pada saat itu"ketika dia dikagetkan oleh seorang wanita
muda yang menjerit sangat nyaring. "Oh, adikku tersayang!"
Dan, dia belum lagi mendongak untuk melihat ada masalah
apa ketika dia dihentikan oleh sepasang lengan yang membelit
lehernya erat-erat. "Jangan!" pekik Oliver sambil meronta-ronta. "Lepaskan
aku. Siapa ini" Kenapa kau menghentikanku?"
Satu-satunya jawaban untuk ini adalah sejumlah besar raung?"
an lantang dari sang wanita muda yang memeluknya, yang mem"
bawa keranjang kecil serta kunci pintu depan di tangan"nya.
"Syukurlah!" kata sang wanita muda. "Aku sudah mene"
mukannya! Oh! Oliver! Oliver! Dasar anak nakal, kau mem"
buatku tertekan karena mencemaskanmu! Pulanglah, Sayang,
pulanglah. Oh, aku sudah menemukannya. Syukur kepada
CHARLES DICKENS ~149 Tuhan, aku sudah menemukannya!" Disertai seruan tak jelas
ini, tangis wanita muda ini meledak lagi dan menjadi teramat
histeris, sampai-sampai dua orang wanita yang mendekat pada
saat itu menanyai seorang bocah tukang daging berambut
mengilap karena berlumur keringat yang juga sedang menonton,
apakah menurutnya tak sebaiknya dia lari menjemput dokter.
Atas pertanyaan ini, si bocah tukang daging"yang tampaknya
berpembawaan santai, jika tidak bisa dibilang malas"menjawab,
bahwa menurutnya tidak. "Oh, tidak, tidak, tak apa-apa," kata sang wanita muda sambil
mencengkeram tangan Oliver. "Keadaanku lebih baik sekarang.
Pulanglah sekarang juga, dasar anak nakal! Ayo!"
"Oh, Nyonya," jawab sang wanita muda, "hampir sebulan
lalu dia kabur dari orangtuanya yang orang-orang terhormat
dan pekerja keras, pergi serta bergabung dengan segerombolan
penjahat dan orang-orang berperangai tak terpuji, dan hampir
membuat ibunya patah hati."
"Anak bandel!" kata salah seorang wanita.
"Pulang kau, dasar begundal kecil," kata wanita yang satu
lagi. "Aku bukan seperti itu," timpal Oliver, teramat waswas. "Aku
tidak mengenalnya. Aku tidak punya saudara perempuan, mau"
pun ibu dan ayah. Aku yatim piatu, aku tinggal di Pentonville."
"Dengarkan betapa membangkangnya dia!" tangis sang wa"
nita muda. "Lho, ini kan Nancy!" seru Oliver yang kini melihat wajahnya
untuk kali pertama dan tersentak karena tak kuasa menahan rasa
terkejut. "Anda lihat, dia mengenalku!" tangis Nancy mengiba kepada
orang-orang yang melintas. "Dia tak bisa menahan diri. Suruh
dia pulang, wahai orang-orang baik, atau dia akan membunuh
ibu dan ayahnya tercinta, dan membuatku patah hati!"
"Apa-apaan ini?" kata seorang laki-laki, merangsek keluar
dari sebuah bar, dengan seekor anjing putih di belakangnya.
150~ OLIVER TWIST "Oliver muda! Pulang dan temui ibumu yang malang, dasar be"
randal kecil! Pulang sekarang juga!"
"Aku bukan keluarga mereka. Aku tak mengenal mereka.
Tolong! Tolong!" pekik Oliver, meronta-ronta dalam cengke"
raman kuat laki-laki itu.
"Tolong!" ulang si laki-laki. "Ya, akan kutolong kau! Bukubuku apa ini" Kau mencurinya, ya" Kemarikan!" Disertai katakata ini, lelaki itu merebut buku-buku tersebut dari genggaman
Oliver dan menghajar kepalanya.
"Benar begitu!" seru seorang penonton dari jendela sebuah
loteng. "Itu satu-satunya cara supaya dia berpikir jernih!"
"Pasti!" seru seorang tukang kayu bermuka mengantuk sam"
bil melemparkan ekspresi setuju ke jendela loteng.
"Begitulah yang bagus buatnya!" kata kedua wanita.
"Dan dia akan mendapatkannya!" si laki-laki turut serta, se"
raya mendaratkan satu lagi pukulan, dan mencengkeram kerah
baju Oliver. "Ayo, dasar penjahat kecil! Sini, Bull"s-eye, awasi
dia, Nak! Awasi dia!"
Lemah karena baru sembuh dari sakit, dibuat linglung oleh
pukulan dan serangan tiba-tiba, takut karena geraman galak si
anjing, serta kebrutalan laki-laki itu, ditambah dengan tuduhan
orang-orang yang menonton bahwa dia adalah benar-benar
berandal kecil keras hati seperti yang digambarkan; apa pula
yang dapat dilakukan oleh seorang anak kecil yang malang!
Kegelapan telah tiba. Itu lingkungan yang kumuh, tak ada
bantuan yang tersedia di dekat sana. Melawan pun sia-sia saja.
Tak lama kemudian dia diseret menyusuri labirin yang terdiri
dari pekarangan-pekarangan sempit dan gelap, dan dipaksa
mengikuti mereka secepat kilat sehingga segelintir teriakan yang
berani dia ucapkan menjadi tak dapat dimengerti. Sebenarnya
tak ada bedanya apakah teriakannya dapat dimengerti atau
tidak sebab tak ada seorang pun yang akan peduli, sekalipun
teriakannya terdengar jelas sekali.
CHARLES DICKENS ~151 **** Lampu gas sudah dinyalakan. Nyonya Bedwin menanti de"
ngan risau di depan pintu yang terbuka. Pelayan sudah berlari
menyusuri jalan sebanyak dua puluh kali untuk melihat apakah
ada jejak keberadaan Oliver. Dan kedua pria tua masih duduk,
dengan gigih, di ruang tamu gelap dengan jam di antara me"
reka.[] Kembali ke Dunia yang Gelap alan-jalan dan pekarangan-pekarangan sempit itu berujung
di sebuah ruang terbuka yang lapang. Di sana sini berte"
bar"an kandang hewan dan pertanda lain yang menandakan
sebu"ah pasar ternak. Sikes memperlambat langkahnya ketika
me"reka sampai di sana, sementara si gadis tidak sanggup lagi


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meng?"imbangi laju berjalan mereka yang cepat. Sikes dengan
kasar memerintahkan Oliver untuk menggandeng tangan
Nancy. "Apa kau dengar?" geram Sikes, selagi Oliver ragu-ragu dan
me"lihat ke sekeliling.
Mereka berada di pojok gelap yang jarang dilewati pejalan
kaki. Oliver tahu bahwa melawan akan sia-sia saja. Dia meng"
ulurkan tangan, yang dicengkeram Nancy kuat-kuat.
"Ulurkan tanganmu yang satunya lagi," kata Sikes sambil
me"nangkap tangan Oliver yang kosong. "Sini, Bull"s-eye!"
Si anjing mendongak dan menggeram.
"Lihat ini!" kata Sikes pada anjing itu sambil mencekik leher
Oliver dengan tangannya yang satu lagi. "Kalau dia bicara satu
patah kata saja, sepelan apa pun, tahan dia! Dengar!"
Si anjing menggeram lagi. Sambil menjilat bibirnya, ia
mengamati Oliver seolah tak sabar menempelkan dirinya ke
saluran napas Oliver dengan segera.
CHARLES DICKENS ~153 "Ia penganut Kristen yang baik, biar aku disambar petir kalau
bukan!" kata Sikes, menatap binatang itu dengan pandangan
setuju yang suram dan ganas. "Nah, kau tahu apa yang bakal
kaudapatkan, Tuan, jadi menjerit saja sekencang yang kau suka,
anjing ini akan segera menghentikan permainan. Ayo, Nak!"
Bull"s-eye mengibaskan ekornya saat mendengar ucapan pe"
nuh kasih sayang yang tak biasa ini. Dan sambil melontarkan
satu lagi geraman peringatan untuk Oliver, ia maju memimpin
jalan. Smithfield-lah yang sedang mereka seberangi. Malam
itu gelap dan berkabut. Lampu di toko-toko nyaris tak bisa
menembus kabut tebal yang kian pekat dan menyelubungi
jalan-jalan, serta rumah-rumah dalam keremangan menjadikan
tempat tersebut semakin asing di mata Oliver dan membuat
perasaan galaunya kian menyedihkan dan memilukan.
Mereka sudah bergegas-gegas beberapa langkah ketika lon?"
ceng gereja berdentang menandakan waktu. Mendengar den"
ting pertama lonceng, kedua penculik Oliver berhenti dan
memalingkan kepala mereka ke arah bunyi tersebut berasal, lalu
meneruskan perjalanan. "Pukul delapan, Bill," kata Nancy saat lonceng berhenti.
"Apa gunanya memberitahuku, aku juga mendengarnya!"
tim?"pal Sikes. "Aku bertanya-tanya apakah MEREKA bisa mendengarnya,"
kata Nancy. "Tentu saja mereka mendengarnya," timpal Sikes. "Saat itu
waktunya Bartlemy, waktu aku dikhianati; dan sama sekali tidak
ada tukang mengadu di pasar raya itu sebab aku tidak bisa men"
dengar ocehannya. Setelah dikurung malam itu, hiruk pikuk di
luar membuat penjara tua berisik itu begitu sepi, sampai-sampai
aku hampir saja memukulkan kepalaku sampai babak belur ke
pelat besi pintu." "Pria malang!" kata Nancy, yang masih memalingkan wajah"
nya ke arah lapangan tempat lonceng tersebut berbunyi. "Oh,
Bill, pemuda-pemuda sebaik mereka!"
154~ OLIVER TWIST "Ya, cuma itu yang dipikirkan kalian para perempuan,"
komentar Sikes. "Pemuda-pemuda baik! Yah, mereka sama saja
seperti sudah mati, maka tak jadi soal."
Dengan kata-kata penghiburan ini, Tuan Sikes tampaknya
menekan kecenderungan kuat munculnya kecemburuan, dan
sambil mencengkeram pergelangan Oliver lebih erat, menyu"
ruhnya melangkah lagi. "Tunggu sebentar!" kata si gadis. "Aku takkan buru-buru jika
yang akan digantung adalah kau. Aku akan terus berjalan menge"
lilingi tempat itu sampai jatuh meskipun salju menumpuk di
tanah dan tidak punya selendang untuk menyelimutiku."
"Dan apa gunanya itu?" tanya Tuan Sikes yang tidak senti"
mental. "Kecuali kau bisa melemparkan dua puluh meter tali ke
sana, tidak ada bedanya apakah kau berjalan lima puluh mil atau
tidak berjalan sama sekali karena itu semua takkan ada gunanya
bagiku. Ayo, dan jangan berdiri sambil berceramah di sana."
Gadis itu tertawa, merapatkan selendang ke tubuhnya, dan
mereka pun berjalan menjauh. Namun, Oliver merasa tangan"
nya gemetaran. Dan saat menengadah untuk memandangi wajah
Nancy selagi mereka melintasi sebuah lampu gas, ia melihat
bahwa wajah gadis itu telah berubah menjadi sepucat mayat.
Mereka berjalan terus, melewati jalan-jalan kotor yang jarang
dilewati selama setengah jam, berpapasan dengan sangat sedikit
orang, dan orang-orang yang terlihat dari rupa mereka, tam"
paknya berasal dari posisi yang sama dalam masyarakat seperti
Tuan Sikes sendiri. Pada akhirnya mereka berbelok ke sebuah
jalan sempit yang sangat kotor, dipenuhi toko pakaian bekas.
Si anjing berlari maju, seolah-olah menyadari bahwa tidak ada
perlunya lagi bersikap awas, berhenti di depan sebuah toko
tutup yang tampaknya tidak berpenghuni. Rumah itu sendiri
berada dalam kondisi bobrok, dan di pintu dipakulah sebuah
papan, memberitahukan bahwa rumah tersebut dijual"yang
tampaknya sudah bertahun-tahun digantung di sana.
"Baiklah," seru Sikes sambil melirik waspada ke sana ke"mari.
CHARLES DICKENS ~155 Nancy membungkuk ke bawah kerai, lalu terdengar bunyi
bel. Mereka menyeberangi jalan dan berdiri beberapa saat di
bawah lampu. Sebuah bunyi, seolah-olah jendela geser sedang
diangkat pelan-pelan, terdengar; dan segera setelahnya pintu
pun terbuka dengan lembut. Tanpa basa-basi, Tuan Sikes men"
cengkeram kerah baju si bocah yang ketakutan, dan mereka
bertiga cepat-cepat masuk ke rumah.
Beranda yang mereka masuki gelap gulita. Mereka menung"
gu, sementara orang yang membiarkan mereka masuk tengah
merantai dan memalang pintu.
"Ada orang di sini?" tanya Sikes.
"Tidak," jawab suara itu. Oliver rasa pernah mendengar sua"
ra itu sebelumnya. "Apa si tua ada di sini?" tanya si perampok.
"Ya," jawab suara itu, "dan dia mengoceh terus sedari tadi.
Bukankah dia akan senang bertemu kau" Oh, tentu tidak!"
Gaya jawaban ini, begitu juga suaranya, terasa tak asing di
telinga Oliver. Namun, untuk melihat samar-samar sosok si
pem?""bicara di kegelapan tersebut amatlah mustahil.
"Ambilkan lilin," kata Sikes, "atau kita bakal patah leher
atau menginjak anjing. Hati-hati dengan kakimu kalau kau
melakukannya!" "Berdiri diamlah sebentar, dan akan kuambilkan," jawab
suara itu. Terdengarlah bunyi langkah kaki si pembicara yang
menjauh. Semenit kemudian, sosok Tuan John Dawkins, alias
Artful Dodger pun tampak. Dia membawa lilin lemak sapi
yang dijejalkan ke ujung sebatang tongkat bercelah di tangan
kanannya. Selain menganugerahkan sebuah seringai humoris, dia tidak
menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengenali Oliver. Namun
sambil berbalik, dia melambaikan tangan agar para tamu meng"
ikutinya menuruni tangga. Mereka menyeberangi sebuah dapur
kosong dan setelah membuka sebuah pintu menuju ruangan
rendah berbau tanah, yang tampaknya dibangun di halaman be"
lakang kecil, mereka disambut tawa gaduh.
156~ OLIVER TWIST "Oh, ya, ampun, ya, ampun!" pekik Tuan Charles Bates,
manu"sia yang paru-parunya menghasilkan tawa tersebut. "Ini
dia! Oh, ampun, ini dia! Oh, Fagin, lihat dia! Fagin, coba lihat
dia! Aku tidak tahan. Ini permainan yang lucu sekali, aku tidak
tahan. Siapa saja, pegangi aku, selagi aku tertawa habis-habisan."
Didahului curahan rasa geli yang tak tertahankan ini, Tuan
Bates lalu menggeletakkan tubuhnya di lantai dan menendangnendang seperti orang kejang selama lima menit, dilanda kenik?"
matan tawa terpingkal-pingkal. Kemudian, sesudah melompat
berdiri, dia merebut tongkat bercelah dari Dodger dan meng"
hampiri Oliver, mengamatinya sambil berputar-putar. Semen"
tara itu, Fagin telah melepas topi tidurnya, membung"kuk
rendah berkali-kali kepada si anak laki-laki yang kebingungan.
Artful, sementara itu, yang berpembawaan serius dan jarang
membiarkan dirinya bersikap riang ketika terkait urusan bisnis,
merogoh saku Oliver dengan ketekunan yang mantap.
"Lihat bajunya, Fagin!" kata Charley, memosisikan lilin
dekat sekali dengan jas baru Oliver sehingga hampir membakar"
nya. "Lihat bajunya! Kain superbagus dan potongan trendi!
Oh, mataku, hebatnya permainan ini! Dan juga buku-bukunya!
Seperti pria terhormat, Fagin!"
"Senang melihatmu tampak begitu sehat, Sobat," kata
Fagin sambil membungkuk, pura-pura sopan. "Artful akan
memberimu setelan lain, Sobat, karena khawatir kau akan
mengotori pakaian Minggu-mu itu. Kenapa kau tidak menulis
surat, Sobat, dan menyampaikan kau akan datang" Kami pasti
akan menyiapkan sesuatu yang hangat untuk makan malam."
Mendengar ini, Tuan Bates terbahak-bahak lagi dengan sa"
ngat keras, sampai-sampai Fagin sendiri bersikap lebih santai,
dan bahkan Dodger pun tersenyum. Namun karena Dodger me"
narik uang lima pound pada saat yang sama, diragukan apakah
kelakar cerdik ini yang membuatnya tersenyum.
"Halo, apa itu?" tanya Sikes, melangkah maju saat Fagin
merebut uang tersebut. "Itu punyaku, Fagin."
CHARLES DICKENS ~157 "Tidak, tidak, Sobat," kata Fagin. "Punyaku, Bill, punyaku.
Kau boleh ambil buku-bukunya."
"Kalau itu bukan punyaku!" kata Bill Sikes sambil menge"
nakan topinya dengan sikap penuh tekad. "Punyaku dan Nancy,
akan kubawa kembali anak laki-laki ini."
Fagin terkesiap. Oliver terkesiap juga walaupun dengan ala"
san yang sangat berbeda sebab dia berharap agar perselisihan itu
diakhiri dengan dirinya yang dikembalikan.
"Ayo, serahkan! Mau, tidak?" tanya Sikes.
"Ini tidak adil, Bill, tidak adil. Bukan begitu, Nancy?" tanya
Fagin. "Adil, atau tidak adil," bentak Sikes, "serahkan, kataku! Apa
kau pikir Nancy dan aku tidak punya pekerjaan lain untuk meng?"
isi waktu kami yang berharga, selain dengan cara menghabiskan"
nya untuk mengintai ke sana kemari, dan menculik setiap anak
laki-laki yang bersimpang jalan denganmu" Serahkan sini, dasar
tengkorak tua pelit, serahkan sini!"
Disertai sanggahan halus ini, Tuan Sikes pun merebut
uang itu dari tangan Fagin, dan sambil memandang wajah
pria itu dengan dingin, melipat uang kertas itu kecil-kecil, dan
menyimpan u"ang tersebut dalam ikatan saputangan di lehernya.
"Itu untuk kerepotan yang sudah kami alami," kata Sikes,
"dan bahkan untuk setengahnya saja tidak cukup. Kau boleh
menyimpan buku-buku itu kalau kau suka membaca. Kalau
tidak, jual saja." "Bagus sekali," kata Charley Bates yang, sambil cengarcengir, pura-pura membaca salah satu volume tersebut, "tulisan
yang indah, bukan begitu, Oliver?" Melihat ekspresi tertekan
yang ditujukan Oliver kepada para penyiksanya, Tuan Bates
lagi-lagi tertawa geli, lebih nyaring daripada sebelumnya.
"Buku-buku itu milik seorang pria tua," kata Oliver sambil
meremas-remas tangannya, "milik pria tua baik dan ramah yang
menampungku di rumahnya dan memerintahkan agar aku di"
rawat waktu hampir meninggal karena demam. Oh, kumohon
158~ OLIVER TWIST kirim kembali semuanya. Kembalikan buku-buku dan uang
kepadanya. Tahan aku di sini seumur hidupku, tapi kumohon
" kumohon kembalikan semuanya. Dia akan mengira aku
mencuri buku-buku dan uang itu. Sang wanita tua itu, mer"
eka semua yang sudah begitu baik kepadaku, akan mengira aku
mencurinya. Oh, kasihanilah aku, dan kembalikan semuanya!"
Diiringi kata-kata ini, yang diucapkan dengan seluruh ener"
gi dari duka yang membuncah, Oliver jatuh berlutut di kaki
Fagin, dan memukul-mukulkan kedua belah tangannya dalam
keputusasaan total. "Anak ini benar," komentar Fagin, melihat ke sekeliling
sembunyi-sembunyi, dan mengerutkan alis lebatnya hingga
tertaut. "Kau benar, Oliver, kau benar. Mereka PASTI mengira
kau mencuri buku dan uang ini. Ha! ha!" kekeh Fagin sambil
menggosok-gosokkan kedua belah tangannya. "Kejadiannya
tak"kan mungkin berjalan lebih baik sekalipun kita memilih
wak"tunya!" "Tentu saja tidak," timpal Sikes. "Aku tahu itu, tepat saat ku?"
lihat dia berjalan di Clerkenwell sambil mengepit buku. Semua
berjalan lancar sekali. Mereka orang-orang berhati lunak karena
sudah menampungmu. Mereka takkan bertanya-tanya tentang"
nya, takut kalau-kalau mereka berkewajiban menuntut, dan
oleh sebab itu, membuat anak ini dikejar-kejar. Keadaan cukup
aman bagi anak ini."
Oliver menoleh dari orang yang satu ke yang lain, selagi katakata ini diucapkan, seolah dia kebingungan dan nyaris tak dapat
memahami apa yang diperbincangkan. Namun ketika Bill Sikes
menutup pembicaraan, Oliver tiba-tiba melompat berdiri dan
kabur dengan liar dari ruangan tersebut sambil mengeluarkan
pekikan minta tolong, yang menghasilkan gema di rumah kosong itu sampai ke atap.
"Tahan anjingmu, Bill!" seru Nancy, meloncat ke depan
pin?""tu, dan menutupnya, saat Fagin dan dua muridnya melesat
un"tuk mengejar. "Tahan anjingmu, ia akan mengoyak-ngoyak
anak itu." CHARLES DICKENS ~159 "Pantas baginya!" seru Sikes sambil berjuang melepaskan diri
dari pegangan gadis itu. "Lepaskan aku, atau akan kutumbukkan
kepalamu ke dinding."
"Aku tak peduli, Bill, aku tak peduli," jerit si gadis, bergulat
ganas dengan lelaki itu. "Anak kecil itu tidak diboleh dikoyakkoyak oleh anjingmu, kecuali kau bunuh aku lebih dahulu."
"Tidak boleh!" kata Sikes sambil menggertakkan gigi. "Aku
sendiri yang akan melakukan itu kalau kau tidak mundur."
Sikes melemparkan gadis itu ke ujung jauh ruangan, tepat
saat Fagin dan kedua anak laki-laki kembali sambil menyeret
Oliver ke tengah-tengah mereka.
"Ada masalah apa di sini!" kata Fagin sambil menoleh ke sana
kemari. "Gadis itu jadi gila, kurasa," jawab Sikes galak.
"Tidak, gadis itu tidak gila," kata Nancy, pucat dan kehabisan
napas karena pergumulannya dengan Sikes, "tidak, dia tidak
gila, Fagin. Jangan pikir begitu."
"Kalau begitu tutup mulutmu, bisa tidak?" kata Fagin
dengan ekspresi mengancam.


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, aku tak mau melakukan itu juga," jawab Nancy,
bicara sangat lantang. "Ayo! Bagaimana menurutmu?"
Tuan Fagin sudah kenal baik dengan perilaku serta kebiasaan
jenis manusia seperti Nancy sehingga merasa cukup yakin bah"
wa tidaklah aman meneruskan perbincangan lebih lanjut de"
ngan"nya, pada saat ini. Dengan tujuan mengalihkan perhatian
rekan"nya itu, dia menoleh kepada Oliver.
"Jadi, kau ingin kabur, ya, Sobat?" kata Fagin sembari meng"
ambil sebatang pentungan bergerigi yang tergeletak di sudut
perapian. "Begitu, ya?"
Oliver tak menjawab, tapi dia memperhatikan gerakan Fagin.
Napasnya tersengal-sengal.
"Ingin mencari bantuan, memanggil polisi, begitukah?"
cemooh Fagin sambil mencengkeram lengan anak laki-laki itu.
"Akan kami sembuhkan kau dari keinginan itu, Tuan Muda."
160~ OLIVER TWIST Fagin menjatuhkan pukulan menyakitkan ke bahu Oliver
dengan pentungan dan mengangkatnya untuk kali kedua ketika
si gadis bergegas maju, merenggut pentungan tersebut dari
tangan Fagin. Nancy melemparkan pentungan ke api dengan
kekuatan yang membuat sejumlah arang membara meloncat
keluar ruangan. "Aku takkan diam saja dan melihat yang seperti itu dilakukan,
Fagin," pekik gadis itu. "Kau sudah mendapatkan anak itu, dan
apa lagi yang kauinginkan?"Biarkan dia"biarkan dia"atau
akan kuhajar kalian, yang akan membawaku ke tiang gantungan
sebelum waktuku." Gadis itu menjejakkan kakinya dengan keras ke lantai selagi
dia melampiaskan ancamannya. Dengan bibir dirapatkan dan
tangan terkepal, dipandangnya Fagin dan Sikes silih berganti,
wajahnya pucat karena emosi yang pelan-pelan menumpuk.
"Wah, Nancy!" kata Fagin, dengan nada menghibur setelah
jeda sejenak, yang dihabiskan dirinya dan Tuan Sikes dengan
cara saling pandang tak tenang. "Kau ... kau lebih pintar daripa"
da sebelumnya malam ini. Ha! ha! Sayang, sikapmu sungguh
luar biasa." "Memang!" kata gadis itu. "Hati-hati saja, jangan sampai
aku lepas kendali. Kau akan merasakan dampaknya yang paling
buruk, Fagin, kalau sampai itu terjadi. Dan, kuberi tahu kau
sekarang juga agar menyingkir dariku."
Ada sesuatu dalam diri perempuan yang sedang murka, ter"
utama jika ini ditambahkan pada emosi kuat menggebu yang
lain, yaitu impuls ganas yang diakibatkan oleh kesembronoan
dan keputusasaan. Hanya segelintir laki-laki yang berani memicu
hal ini. Fagin melihat bahwa sia-sia saja berpura-pura salah
mengenali realitas kemarahan Nona Nancy. Sambil berjengit
mundur beberapa langkah secara spontan, Fagin melemparkan
lirikan"setengah memohon dan setengah takut-takut layaknya
seorang pengecut"ke arah Sikes, seolah-olah menyiratkan bah"
wa dialah yang paling pas meneruskan dialog tersebut.
CHARLES DICKENS ~161 Tuan Sikes, yang telah dimintai pertolongannya tanpa suara
dan mungkin merasa bahwa kebanggaan dan pengaruh pribadi"
nya dipertaruhkan dalam rangka mengendalikan Nona Nancy
sehing"ga mau kembali berpikir dengan akal sehat, mengucapkan
serang"kaian umpatan serta ancaman selama beberapa detik.
Namun, karena kata-kata tersebut tak menghasilkan efek nyata,
dia memilih untuk melontarkan argumen yang lebih jelas.
"Apa maksudmu?" kata Sikes. "Apa maksudmu" Biar badanku
terbakar! Apa kau tahu siapa dirimu, dan apa dirimu?"
"Oh, ya, aku tahu segalanya tentang itu," jawab gadis itu
sam"bil tertawa histeris, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya
diser"tai lagak tak peduli yang betul-betul tidak meyakinkan.
"Nah, kalau begitu, tutup mulut," ujar Sikes disertai geraman
yang biasanya dia gunakan ketika bicara kepada anjingnya, "atau
akan kubungkam kau sampai lama sekali."
Gadis itu tertawa lagi, semakin tak terkendali dibandingkan
sebelumnya. Sambil melemparkan tatapan singkat kepada Sikes,
dia memalingkan wajahnya ke samping, dan menggigit bibirnya
sampai berdarah. "Kau baik sekali," imbuh Sikes, saat dia mengamati Nancy
dengan sikap benci, "berlaku manusiawi dan ber-bu-di! Orang
yang manis untuk dijadikan teman oleh anak kecil itu, seperti
kau sebut dia tadi!"
"Tuhan yang Mahabesar, tolonglah aku, tolong!" jerit gadis
itu berapi-api. "Kuharap aku mati tersambar petir di jalanan
atau bertukar tempat dengan orang-orang yang tadi kita lewati,
sebelum aku mengulurkan tangan untuk membantu membawa
dia ke sini. Dia akan jadi pencuri, pembohong, iblis, semua yang
jahat, mulai malam ini dan seterusnya. Bukankah itu sudah
cukup bagi si bajingan tua, tanpa perlu memukul?"
"Sudah, sudah, Sikes," Fagin berkata kepadanya dengan nada
memprotes dan memberi isyarat kepada para anak lelaki yang
dengan penuh semangat memperhatikan semua yang terjadi.
"Kita harus bicara dengan kata-kata yang sopan, Bill."
162~ OLIVER TWIST "Kata-kata yang sopan!" pekik si gadis yang emosi menggebugebunya menyeramkan untuk dilihat. "Kata-kata yang sopan,
dasar penjahat! Ya, kau layak menerima kata-kata sopan dariku.
Aku mencuri untukmu waktu aku masih kanak-kanak. Umurku
belum ada separuh umurnya waktu itu!" katanya sambil me"
nunjuk Oliver. "Aku bekerja dalam bidang usaha yang sama,
dan bidang jasa yang sama, selama dua belas tahun sejak saat
itu. Tak tahukah kau" Ayo bicara! Tak tahukah kau?"
"Nah, nah," jawab Fagin, berusaha menenangkan, "tapi, itu"
lah pekerjaanmu!" "Iya, memang!" balas gadis itu, bukan bicara, melainkan
menumpahkan kata-kata tersebut dalam satu jeritan yang ber"
kelanjutan dan berapi-api. "Itu pekerjaanku! Dan jalanan dingin,
basah, kotor adalah rumahku. Kaulah orang berengsek yang
mendorongku ke sana dahulu kala, dan itu akan membuatku
terus terjebak di sana, siang-malam, siang-malam, sampai aku
mati!" "Aku akan memberimu pelajaran!" potong Fagin, terpancing
oleh sikap menyalahkan tersebut. "Pelajaran yang lebih buruk
daripada itu, kalau kau berkata-kata lebih banyak lagi!"
Gadis itu tidak berkata-kata lagi. Namun, sambil menariknarik rambut dan pakaiannya untuk melampiaskan emosinya,
Nancy menyerbu Fagin sehingga mungkin saja akan mening"
galkan bekas pembalasan pada diri pria itu jika saja pergelangan
tangannya tidak ditangkap oleh Sikes pada saat yang tepat, yang
dilawannya tanpa hasil. Kemudian dia pun pingsan.
"Dia tidak apa-apa sekarang," kata Sikes sambil membaring"
kan Nancy di pojok. "Lengannya luar biasa kuat saat mengamuk
seperti ini." Fagin mengelap keningnya dan tersenyum, seolah dia lega
me"lihat gangguan telah berakhir. Namun baik dia, Sikes, si an"
jing, maupun para anak laki-laki tampaknya menganggap hal
ter"sebut sebagai kejadian biasa saja dalam bisnis mereka.
CHARLES DICKENS ~163 "Berurusan dengan perempuan paling menyusahkan," kata
Fagin sambil meletakkan pentungannya, "tapi mereka pintar,
dan kita tidak bisa maju dalam bidang usaha kita tanpa mereka.
Charley, antar Oliver ke tempat tidur."
"Kurasa dia sebaiknya tak mengenakan pakaian terbaiknya
besok, Fagin, bukan begitu?" tanya Charley Bates.
"Tentu saja tidak," jawab Fagin sambil membalas seringai
yang dilemparkan Charley saat mengajukan pertanyaan tersebut.
Tuan Bates, yang tampaknya sangat menyenangi tugasnya,
membawa tongkat bercelah dan membimbing Oliver ke dapur
sebelah, tempat terdapatnya dua atau tiga tempat tidur yang diti"
durinya sebelumnya. Di sanalah, disertai banyak gelak tawa tak
terkendali, dia mengeluarkan sesetel pakaian tua yang identik
dengan yang Oliver syukuri saat ditinggalkannya di rumah Tuan
Brownlow. Ternyata, secara tak sengaja pakaian itu ditunjukkan
kepada Fagin oleh orang yang membelinya dan saat itulah Fagin
mendapatkan petunjuk pertama mengenai keberadaan Oliver.
"Lepaskan pakaianmu," kata Charley, "dan akan kuberikan
kepada Fagin untuk disimpan. Menyenangkan sekali!"
Oliver yang malang menurut dengan enggan. Tuan Bates
menggulung pakaian baru di bawah ketiaknya, keluar dari
ruang"an, meninggalkan Oliver di kegelapan, dan mengunci
pintu di belakangnya. Bunyi tawa Charley dan suara Nona Betsy, yang baru saja
tiba untuk mengguyur temannya dengan air dan melaksanakan
tugas-tugas lain untuk memulihkannya, mungkin saja membuat
banyak orang terjaga pada keadaan yang lebih menggembirakan
daripada kondisi Oliver saat ini. Namun, Oliver sakit dan lelah.
Dia segera jatuh tertidur.[]
Kesaksian Tuan Bumble erupakan kebiasaan dalam semua pementasan melo"
drama bagus penuh pembunuhan, untuk menya"
jikan adegan-adegan tragis dan kocak silih berganti,
layaknya lapisan-lapisan merah dan putih pada bagian samping
daging berurat. Sang pahlawan terkulai di ranjang jeraminya,
dibebani oleh rintangan dan kemalangan. Pada adegan selan"
jutnya, pembantunya yang setia tapi tak tahu apa-apa menghi"
bur hadirin dengan sebuah lagu kocak. Kita menyaksikan, de"
ngan dada berdebar-debar, sang tokoh utama perempuan dalam
cengkeraman seorang baron yang sombong dan keji; kehormatan
dan nyawanya sama-sama dalam bahaya, ditariknya belati untuk
melindungi yang satu meskipun harus mengorbankan yang lain.
Dan tepat saat pengharapan kita ditarik ke titik tertinggi, sebuah
siulan didengar di dalam kastel, dan kita seketika dibawa ke aula
agung kastel tersebut tempat kepala rumah tangga berambut
kelabu menyanyikan lagu lucu dengan sekelompok anak buah
yang bahkan lebih lucu, yang bergerak bebas ke segala macam
tempat, dari kubah gereja ke istana, dan keluyuran ke sana ke"
mari, melantunkan tembang tanpa henti.
Perubahan semacam itu terasa absurd, tapi sesungguhnya
tidak seaneh yang tampak pada awalnya. Transisi dalam ke"
hidupan nyata dari makanan berlimpah ke ranjang kematian,
dan dari tangisan dukacita ke busana hari raya, tidaklah kurang
mencengangkan. Hanya saja, di sana kita adalah para aktor yang
CHARLES DICKENS ~165 sibuk, alih-alih sekadar penonton pasif sehingga terasa be"sar
bedanya. Para aktor yang melakonkan kehidupan di teater, buta
terhadap transisi besar-besaran dan dorongan emosi atau pera"
saan yang tiba-tiba, ditampilkan di depan mata para penonton
semata, seketika divonis sebagai sesuatu yang konyol dan tidak
masuk akal. Karena pergantian adegan yang tiba-tiba dan perubahan
cepat waktu serta tempat, bukan saja diharuskan dalam bukubuku sedari dulu, melainkan juga dipandang oleh banyak orang
sebagai bagian dari seni kepenulisan yang hebat"keahlian si
penulis dalam bidangnya, menurut para kritikus, terutama dini"
lai berdasarkan kemampuannya meninggalkan para karakternya
dalam dilema di penghujung setiap bab"pendahuluan singkat
dalam bab ini barangkali dianggap tak perlu. Jika demikian,
anggap saja bahwa penulis riwayat ini punya alasan sentimental
untuk kembali ke kota tempat Oliver Twist dilahirkan, sementara
pembaca semata-mata mengabaikan alasan bagus dan substan?"sial
untuk perjalanan ini sebab tidak mungkin dia diundang dalam
ekspedisi semacam ini tanpa alasan.
Tuan Bumble keluar pagi-pagi sekali dari gerbang rumah
sosial dan berjalan menyusuri High Street, dengan pembawaan
gempal dan langkah pasti. Kebanggaannya sebagai seorang sekre"
taris desa sedang mencapai puncaknya. Topi tinggi dan jasnya
cemerlang diterpa sinar matahari pagi dan dia mencengkeram
tongkatnya kuat-kuat layaknya orang sehat dan berkuasa. Tuan
Bumble senantiasa mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, tapi
pagi ini kepalanya terangkat lebih tinggi daripada biasanya. Ada
gagasan di matanya, semangat dalam sikapnya, yang mungkin
saja memperingatkan pengamat asing bahwa pemikiran yang
melintas dalam benak seorang sekretaris desa, semata-mata ter"
lalu hebat untuk diucapkan.
Tuan Bumble tidak berhenti untuk bercakap-cakap dengan
penjaga toko kecil serta orang lain yang bicara kepadanya dengan
sopan selagi dia melintas. Dia hanya membalas penghormatan
166~ OLIVER TWIST mereka dengan lambaian tangan dan tidak memperlambat lang"
kahnya yang penuh martabat sampai tiba di peternakan tempat
Nyonya Mann mengurus anak-anak papa dengan santunan
pemerintah desa. "Sialan si sekretaris desa itu!" kata Nyonya Mann, mendengar
guncangan yang sudah dikenal baik di pagar taman. "Buat apa
dia datang pagi-pagi begini! Ya, ampun, Tuan Bumble, ternyata
memang Anda! Wah, sungguh suatu kehormatan! Masuklah ke
ruang tamu, Tuan, silakan."
Kalimat pertama ditujukan kepada Susan; dan seruan gem"
bira diucapkan kepada Tuan Bumble, selagi wanita baik itu
membuka kunci pintu taman, dan mempersilakannya dengan
penuh perhatian dan rasa hormat masuk ke rumah.
"Nyonya Mann," kata Tuan Bumble, tidak mendudukkan
atau menjatuhkan dirinya ke tempat duduk layaknya orang tak
beradab, tapi dengan pelan namun pasti menurunkan dirinya ke
kursi, "Nyonya Mann, selamat pagi, Nyonya."
"Wah, dan selamat pagi untuk Anda, Tuan," jawab Nyonya
Mann disertai banyak senyum, "dan semoga Anda sehat,
Tuan!" "Sama-sama, Nyonya Mann," jawab sang sekretaris desa.
"Kehidupan di desa tidaklah mudah, Nyonya Mann."
"Ah, memang benar, Tuan Bumble," ujar wanita itu. Dan
semua anak papa mungkin akan menyepakati ucapan ini de"
ngan teramat sopan jika mereka mendengarnya.
"Kehidupan di desa, Nyonya," lanjut Tuan Bumble sambil
memukul meja dengan tongkatnya, "adalah kehidupan penuh
kecemasan, kesusahan, dan cobaan. Tapi, semua figur publik,
jika saya boleh mengatakannya, harus menanggung kecaman."
Nyonya Mann, yang tidak tahu pasti apa maksud sang se"
kretaris desa, mengangkat tangan dengan ekspresi simpati dan
mendesah. "Ah! Anda memang pantas mendesah, Nyonya Mann!" kata
sang sekretaris desa. CHARLES DICKENS ~167 Mendapati bahwa dia sudah berbuat benar, Nyonya Mann
mendesah lagi, rupanya memuaskan sang figur publik yang sam"
bil menahan senyum senang dengan cara memandang galak


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke topi tingginya, berkata, "Nyonya Mann, aku akan pergi ke
London." "Ya, ampun, Tuan Bumble!" seru Nyonya Mann, terkesiap.
"Ke London, Nyonya," lanjut sang sekretaris desa yang kaku,
"naik kereta kuda. Aku dan dua orang papa, Nyonya Mann! Akan
ada tindakan hukum mengenai penempatan. Dan dewan telah
menunjukku"aku, Nyonya Mann"untuk mengemukakan
per"kara itu di depan sidang kuartalan di Clerkenwell."
"Dan aku bertanya-tanya sekali," imbuh Tuan Bumble sambil
menegakkan diri, "tidakkah Sidang Clerkenwell akan mendapati
diri mereka berada di tempat yang salah sebelum mereka selesai
menghadapiku." "Oh! Anda tidak boleh terlalu keras kepada mereka, Tuan,"
kata Nyonya Mann membujuk.
"Sidang Clerkenwell sendiri yang mencari-cari masalah,
Nyonya," jawab Tuan Bumble, "dan jika Sidang Clerkenwell
mendapati bahwa keadaan mereka lebih buruk daripada yang
mereka duga, Sidang Clerkenwell harus berterima kasih kepada
diri mereka sendiri."
Ada sedemikian banyak tekad dan kesungguhan dalam sikap
mengancam Tuan Bumble saat mengucapkan kata-kata ini se"
hing"ga Nyonya Mann tampak cukup terpukau olehnya. Pada
akhir?"nya wanita itu berkata, "Anda akan naik kereta kuda, Tuan"
Saya kira biasanya kaum papa selalu dinaikkan ke gerobak."
"Itu ketika mereka sakit, Nyonya Mann," kata sang sekretaris
desa. "Kami tempatkan orang papa yang sakit di gerobak terbuka
saat cuaca hujan, supaya mereka "tidak kena pilek"."
"Oh!" kata Nyonya Mann.
"Gerobak saingan menekan kontrak untuk dua orang ini;
dan menerima mereka dengan biaya murah," kata Tuan Bumble.
"Keadaan mereka berdua sangat memprihatinkan, dan kami
168~ OLIVER TWIST mendapati bahwa memindahkan mereka lebih murah dua pound
daripada mengubur mereka"jika kami bisa melemparkan me"
reka ke desa lain, yang menurutku pasti dapat kami lakukan,
seandainya mereka tidak mati di jalan untuk menyulitkan kami.
Ha! ha! ha!" Ketika Tuan Bumble sudah tertawa sebentar, matanya lagilagi bertemu pandang dengan topi tinggi dan dia menjadi se"rius.
"Kita melupakan urusan bisnis, Nyonya," kata sang sekretaris
desa. "Ini gaji bulanan Anda bulan ini dari desa."
Tuan Bumble mengeluarkan sejumlah uang perak dalam gu"
lungan kertas dari buku sakunya, dan meminta tanda terima
yang dituliskan Nyonya Mann.
"Tintanya meluber, Tuan," kata Nyonya Mann, "tapi sudah
cukup formal, menurut saya. Terima kasih, Tuan Bumble, saya
sangat berutang budi kepada Anda, Tuan, saya yakin."
Tuan Bumble mengangguk tanpa ekspresi untuk membalas
penghormatan Nyonya Mann, lalu menanyakan kabar anakanak.
"Terpujilah jiwa kecil mereka yang tersayang!" kata Nyonya
Mann penuh emosi. "Mereka sehat-sehat saja, anak-anak tersa"
yang itu! Tentu saja, kecuali dua orang yang meninggal minggu
lalu. Dan, si kecil Dick."
"Tidakkah kondisi bocah itu membaik?" tanya Tuan Bumble.
Nyonya Mann menggelengkan kepala.
"Dasar anak tidak tahu adat, jahat, berpembawaan jelek,"
kata Tuan Bumble marah. "Mana dia?"
"Akan segera saya bawakan dia kepada Anda, Tuan," kata
Nyonya Mann. "Ke sini, Dick!"
Setelah dipanggil-panggil, Dick pun ditemukan. Setelah me"
letakkan wajahnya di bawah pompa dan dikeringkan di gaun
Nyonya Mann, dia dituntun ke hadapan Tuan Bumble, sang
sekretaris desa yang mengerikan.
Anak itu pucat dan kurus, pipinya cekung, dan matanya be?""
sar serta cerah. Pakaian kekecilan dari desa menjadi penghias de"
CHARLES DICKENS ~169 ritanya, menggantung longgar di tubuh rapuhnya; dan tungkai
mudanya kecil dan keriput seperti lelaki tua.
Begitulah kondisi makhluk kecil yang berdiri sambil geme?"
taran di bawah tatapan Tuan Bumble. Dia tidak berani mengang"
kat pandangan matanya dari lantai dan ngeri mendengar suara
sang sekretaris desa. "Tak bisakah kau pandang Tuan ini, dasar bocah kepala
batu?" kata Nyonya Mann.
Anak itu mengangkat pandangan matanya takut-takut, dan
bertemu pandang dengan Tuan Bumble.
"Kau kenapa, Dick si anak desa?" tanya Tuan Bumble, diser"
tai kelakar yang dilontarkan tepat pada waktunya.
"Tidak kenapa-kenapa, Tuan," jawab si anak samar-samar.
"Menurut saya juga tidak," kata Nyonya Mann, yang tentu sa"
ja telah tertawa sangat nyaring mendengar lelucon Tuan Bumble.
"Kau tidak menginginkan apa-apa, aku yakin."
"Saya ingin "." anak itu terbata-bata.
"Ya, ampun!" potong Nyonya Mann. "Kurasa kau hendak
me"nga"takan bahwa kau MEMANG menginginkan sesuatu,
begitu" Dasar berandal kecil "."
"Hentikan, Nyonya Mann, hentikan!" kata sang sekretaris
desa sambil mengangkat tangan untuk memamerkan kekuasaan"
nya. "Seperti apa, Bung?"
"Saya ingin," si anak terbata-bata, "jika ada yang bisa menulis,
dia berkenan membubuhkan beberapa patah kata untuk saya
pada selembar kertas, melipat dan menyegelnya, dan menyim"
pankannya untuk saya setelah saya dikebumikan."
"Apa maksud bocah ini?" seru Tuan Bumble, yang terkesan
melihat sikap sungguh-sungguh dan muka pucat pasi si anak
mes"kipun dia sudah terbiasa pada hal-hal semacam itu. "Apa
mak"sudmu, Bung?"
"Saya ingin," kata anak itu, "meninggalkan kasih sayang saya
kepada Oliver Twist yang malang, dan memberi tahunya betapa
saya sering duduk sendirian dan menangis saat memikirkan di"
170~ OLIVER TWIST rinya yang mengembara di malam gelap tanpa siapa pun yang
menolongnya. Dan, saya ingin memberi tahunya," kata si anak
sambil merapatkan kedua belah tangannya, dan bicara dengan
semangat membara, "bahwa saya senang meninggal waktu ma"
sih sangat muda sebab barangkali jika saya hidup hingga jadi
pria dewasa dan jadi tua, adik perempuan saya yang ada di surga
tidak akan mengenal saya, atau jadi tidak mirip saya. Pasti lebih
membahagiakan jika kami berdua bersama-sama sebagai anakanak."
Tuan Bumble mengamati si pembicara kecil, dari kepala
hingga kaki, dengan rasa heran yang tak dapat dijelaskan. Dan
sambil menoleh kepada Nyonya Mann, berkata, "Mereka semua
satu suara, Nyonya Mann. Si Oliver kurang ajar itu telah menye"
satkan mereka semua!"
"Saya sendiri sulit memercayainya, Tuan," kata Nyonya Mann
sambil mengangkat tangan dan menatap Dick dengan bengis.
"Saya tak pernah bertemu berandal kecil sekeras hati ini!"
"Bawa dia pergi, Nyonya!" kata Tuan Bumble memerintah.
"Ini harus disampaikan kepada dewan, Nyonya Mann."
"Saya harap tuan-tuan yang terhormat akan memahami
bahwa ini bukan salah saya, Tuan," kata Nyonya Mann, mere"
ngek menyedihkan. "Mereka akan memahaminya, Nyonya. Mereka akan diberi
tahu mengenai kondisi sebenarnya kasus ini," kata Tuan Bumble.
"Sana, bawa dia pergi, aku tak tahan melihatnya."
Dick seketika dibawa pergi dan dikunci di gudang abu bawah
tanah. Tuan Bumble tak lama kemudian permisi, bersiap-siap
untuk perjalanannya. Pada pukul enam keesokan paginya, Tuan Bumble, yang sudah
menukar topi tingginya dengan topi bundar, dan membalut
tubuhnya dengan mantel biru yang dilengkapi kelepak bahu,
menempati posisinya di bagian luar kereta, ditemani oleh para
pelaku kriminal yang penempatannya diperdebatkan. Dengan
mereka inilah, setelah rentang waktu yang dibutuhkan, dia tiba
di London. CHARLES DICKENS ~171 Dia tidak mengalami masalah dalam perjalanan, selain
yang berasal dari perilaku menyimpang kedua orang papa yang
menggigil terus-menerus dan mengeluhkan hawa dingin de"
ngan sikap yang menurut Tuan Bumble menyebabkan giginya
bergemeletuk di kepala, dan membuatnya merasa tidak nyaman
meskipun dia mengenakan mantel.
Setelah menyingkirkan orang-orang berpikiran jahat itu un"
tuk diinapkan, Tuan Bumble duduk di rumah tempat kereta
tersebut berhenti dan menyantap makan malam sederhana yang
terdiri dari bistik, saus tiram, dan bir hitam. Setelah meletak"
kan segelas gin-dan-air panas di atas rak perapian, dia menarik
kursinya mendekat ke api, memosisikan diri untuk membaca
koran. Paragraf pertama yang dilihat oleh mata Tuan Bumble adalah
iklan berikut ini. "IMBALAN LIMA GUINEA"
Seorang anak laki-laki bernama Oliver Twist melarikan diri
atau dibujuk, pada Kamis malam lalu sehingga meninggalkan
rumahnya di Pentonville, dan sejak saat itu belum terdengar
kabarnya. Imbalan di atas akan dibayarkan kepada siapa saja
yang bersedia menyediakan informasi yang bisa membantu
ditemukannya Oliver Twist yang bersangkutan, atau memberi"
kan informasi tentang riwayat sebelumnya, yang membuat si
pengiklan, karena banyak alasan, amat tertarik."
Dan ini diikuti oleh deskripsi terperinci mengenai pakaian,
ciri-ciri, kemunculan dan hilangnya Oliver, disertai nama serta
alamat lengkap Tuan Brownlow.
Tuan Bumble membuka matanya, membaca iklan tersebut
pelan-pelan dan hati-hati sebanyak tiga kali, dan lima menit
kemudian sudah dalam perjalanan ke Pentonville. Di tengah
kegairahannya ini, dia sampai meninggalkan segelas gin-dan-air
panasnya, belum dicicipi.
"Apa Tuan Brownlow ada di rumah?" tanya Tuan Bumble
kepada gadis yang membukakan pintu.
172~ OLIVER TWIST Atas pertanyaan ini, gadis itu membalas dengan jawaban yang
tidak tak lazim, tapi bisa dibilang mengelak, yaitu, "Entahlah.
Anda dari mana?" Tuan Bumble baru saja mengucapkan nama Oliver untuk
menjelaskan urusannya, ketika Nyonya Bedwin, yang sedang
mendengarkan di pintu ruang tamu, buru-buru memasuki kori"
dor dengan napas tersengal-sengal.
"Masuk, masuk," kata wanita tua itu. "Saya tahu kami akan
segera mendengar tentangnya. Anak malang! Aku tahu kami
akan segera mendapat kabar! Aku yakin itu. Terberkatilah jiwa"
nya! Sudah kubilang begitu sejak semula."
Setelah mendengar hal ini, sang wanita tua yang terpuji
ber"gegas kembali ke ruang tamu, dan sesudah mendudukkan
dirinya di sofa, tangisnya meledak. Si gadis yang tidak seren"
tan itu, lari ke lantai atas, dan kembali dengan permintaan agar
Tuan Bum"ble mengikutinya seketika, yang dituruti pria ini.
Dia dipersilakan ke ruang kerja kecil, tempat Tuan Brownlow
dan temannya, Tuan Grimwig, duduk dengan dekanter dan
ge"las di depan mereka. Pria yang disebut belakangan seketika
menyem"burkan seruan ini, "Pengurus desa. Sekretaris desa, atau
akan kumakan kepalaku."
"Tolong jangan menyela," kata Tuan Brownlow. "Silakan du"
duk." Tuan Bumble pun duduk, cukup terperangah melihat kea"
nehan sikap Tuan Grimwig. Tuan Brownlow memindahkan
lampu supaya dapat melihat raut wajah sang sekretaris desa
dengan jelas, lalu berkata dengan agak tak sabar, "Nah, Tuan,
Anda datang karena sudah melihat iklan itu?"
"Ya, Tuan," kata Tuan Bumble.
"Dan Anda MEMANG seorang sekretaris desa, kan?" tanya
Tuan Grimwig. "Saya memang seorang sekretaris desa, Tuan-Tuan," timpal
Tuan Bumble bangga. "Tentu saja," ujar Tuan Grimwig kepada temannya. "Aku
tahu. Sekretaris desa dari kepala hingga kaki!"
CHARLES DICKENS ~173 Tuan Brownlow menggelengkan kepala dengan lembut un"
tuk menyuruh temannya diam, dan melanjutkan, "Apa Anda
tahu di mana anak laki-laki malang ini berada sekarang?"
"Sama tidak tahunya seperti orang lain," jawab Tuan Bumble.
"Nah, apa yang Anda TAHU tentangnya?" tanya sang pria
tua. "Bicaralah, Kawan, jika ada sesuatu yang harus Anda
katakan. Apa yang Anda TAHU tentangnya?"
"Yang Anda tahu tentangnya kebetulan bukan hal baik, ya?"
kata Tuan Grimwig masam, setelah mengamati wajah Tuan
Bumble dengan saksama. Tuan Bumble menangkap pertanyaan itu dengan sangat
cepat, menggelengkan kepala dengan kekhidmatan yang meng"
isyaratkan pertanda buruk.
"Kau lihat?" kata Tuan Grimwig sambil memandang Tuan
Brownlow penuh kemenangan.
Tuan Brownlow memandang raut cemberut Tuan Bumble
dengan waswas dan memintanya untuk menyampaikan apa
yang diketahuinya mengenai Oliver, seringkas mungkin.
Tuan Bumble meletakkan topinya, membuka kancing jasnya,
bersidekap, dan menelengkan kepalanya dengan sikap seolah
sedang mengenang sesuatu. Setelah merenung beberapa saat,
memulai ceritanya. Menjemukan apabila uraian tersebut disampaikan dengan
kata-kata sang sekretaris desa, yang memakan waktu kira-kira
dua puluh menit. Namun, singkatnya dan intinya adalah bahwa
Oliver adalah anak buangan, dilahirkan oleh orangtua yang ren"
dahan dan kejam. Bahwa dia, sedari lahir, tidak menunjukkan
watak yang lebih baik daripada sifat suka bohong, tidak tahu
terima kasih, dan biadab. Bahwa dia telah mengakhiri karier
singkatnya di tempat kelahirannya, lewat serangan bengis dan
pengecut pada seorang pemuda tak bersalah, dan melarikan diri
di tengah malam dari rumah majikannya. Sebagai bukti bahwa
dia betul-betul merupakan sekretaris desa, Tuan Bumble meng"
hamparkan berkas-berkas yang dibawanya ke kota di atas meja.
Bersidekap lagi, dia lalu menunggu observasi Tuan Brownlow.
174~ OLIVER TWIST "Aku khawatir ini semua benar," kata sang pria tua sedih,
setelah menelaah berkas-berkas. "Ini tidak banyak untuk infor"
masi Anda, tapi aku dengan senang hati akan melipat-tigakan
jumlah uang apabila hal tersebut menguntungkan anak laki-laki
itu."

Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidaklah mustahil bahwa seandainya Tuan Bumble menge"
tahui hal ini lebih awal pada wawancaranya, dia mungkin
saja akan mewarnai riwayat kecilnya dengan sangat berbeda.
Walau begitu, sudah terlambat untuk melakukannya sekarang.
Jadi, dia menggelengkan kepala dengan khusyuk dan sambil
mengantungi uang lima guinea, memohon pamit.
Tuan Brownlow mondar-mandir di ruangan selama beberapa
menit, kentara sekali sangat terusik oleh kisah sang sekretaris
desa, sampai-sampai Tuan Grimwig sekalipun menahan diri se"
hing"ga tak mengganggunya lebih lanjut.
Pada akhirnya dia berhenti, dan membunyikan bel keraskeras.
"Nyonya Bedwin," kata Tuan Brownlow, ketika sang pem"
bantu rumah tangga tiba, "anak laki-laki itu, Oliver, adalah
seorang penipu." "Tidak mungkin, Tuan. Itu tidak mungkin," kata sang wanita
tua menggebu-gebu. "Kukatakan kepadamu bahwa dia seorang penipu," bentak
sang pria tua. "Apa maksudmu tidak mungkin" Kami baru saja
mendengar cerita lengkap tentangnya sejak kelahirannya dan
dia sudah menjadi penjahat kecil tulen seumur hidupnya."
"Saya takkan pernah memercayai hal itu, Tuan," jawab sang
wanita tua dengan tegas. "Takkan pernah!"
"Wanita-wanita tua seperti kalian tidak pernah memercayai
apa pun selain dokter palsu dan buku cerita penuh kebohong"
an," geram Tuan Grimwig. "Aku sudah tahu sejak awal. Kenapa
kau tidak menerima saranku dari semula. Kau pasti akan
menurutinya jika dia tidak kena demam, begitu" Dia menarik,
ya" Menarik! Bah!" Dan, Tuan Grimwig pun mengupak bara api
dengan menggebu-gebu. CHARLES DICKENS ~175 "Dia anak baik, tahu terima kasih, dan lembut, Tuan," balas
Nyonya Bedwin kesal. "Saya tahu seperti apa anak-anak itu,
Tuan, dan sudah mengetahuinya selama empat puluh tahun ini.
Dan, orang-orang yang belum pernah merasakannya, semes"
tinya tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Begitulah pendapat
saya!" Ini adalah pukulan telak bagi Tuan Grimwig yang seorang
bujangan. Karena kata-kata tersebut tak menghasilkan apa-apa
selain senyuman dari pria tua itu, sang wanita tua mengibas"
kan kepalanya, dan merapikan celemeknya untuk bersiap-siap
melon"tarkan ceramah lainnya ketika dia diberhentikan oleh
Tuan Brownlow. "Diam!" kata sang pria tua, berpura-pura marah meskipun
dia sebenarnya tidak merasa seperti itu. "Aku tidak sudi men"
dengar nama anak laki-laki itu lagi. Kupanggil kau untuk mem"
beritahukan hal itu. Jangan pernah sebut namanya lagi dengan
alasan apa pun. Jangan pernah! Kau boleh meninggalkan ru"
angan, Nyonya Bedwin. Ingat! Aku sungguh-sungguh."
Ada hati yang pilu di rumah Tuan Brownlow malam itu.
Hati Oliver berdebar ketika dia memikirkan teman-teman
baiknya. Untunglah dia tidak bisa mengetahui apa yang telah
mereka dengar karena jika tahu, dia pasti patah hati seketika.[]
Bujukan Tuan Fagin ira-kira pada tengah hari keesokan harinya, ketika
Dodger dan Tuan Bates sudah pergi untuk menjalan"kan
kegiatan mereka, Tuan Fagin memanfaatkan kesempa?"t"
an itu untuk membacakan pidato panjang tentang dosa memi"
lukan berupa sikap tak tahu terima kasih. Atas dosa ini dia jelasjelas menunjukkan bahwa Oliver teramat sangat bersalah karena
dengan sengaja menjauhkan diri dari teman-temannya yang
khawatir, terlebih lagi berupaya kabur setelah begitu ba"nyak usa"
ha dan pengeluaran yang mereka curahkan dengan susah payah
untuk mendapatkan Oliver kembali.
Tuan Fagin menekankan kuat-kuat fakta bahwa dia telah
menampung dan merawat Oliver, yang jika bantuannya tak
datang tepat waktu, Oliver pasti sudah mati kelaparan. Dia mengi"
s"ahkan riwayat mengerikan dan mengibakan tentang seorang
a"nak muda yang ditolongnya, berkat kemurahan hatinya dalam
kon"disi serupa. Namun, anak muda itu terbukti tidak layak
menerima kepercayaannya dan memperlihatkan hasrat untuk
berkomunikasi dengan pihak kepolisian. Nasibnya berakhir sial,
yaitu digantung di Old Bailey suatu pagi.
Tuan Fagin tidak kesulitan mengungkapkan perannya dalam
bencana ini, tapi meratap dengan air mata bercucuran bahwa
perilaku khianat dan salah langkah si pemuda yang dibicarakan
ini, mengharuskannya menjadi korban karena memiliki bukti
tertentu yang dibutuhkan pihak berwenang. Meskipun hal ini
CHARLES DICKENS ~177 tak sepenuhnya benar, peristiwa tersebut memang mau tak mau
harus terjadi demi keselamatan dirinya (Tuan Fagin) dan sege"lin"
tir teman pilihan. Tuan Fagin menutup ceramah terse?"but dengan
cara memaparkan penggambaran yang menyeram"kan mengenai
betapa tidak enaknya digantung, disertai sikap ramah dan sopan
luar biasa, harap-harap cemas mengekspre"sikan semoga dia tak"
kan pernah harus menjerumuskan Oliver ke dalam praktik tak
menyenangkan itu. Darah Oliver kecil membeku selagi mendengarkan katakata Fagin. Samar-samar bocah malang itu memahami ancaman
gelap yang disampaikan di dalamnya. Oliver tahu bahwa sangat
mungkin bagi hukum sekalipun untuk menyamakan orang tak
bersalah dengan mereka yang bersalah bilamana tak sengaja
berhubungan dengan para penjahat. Dan, rencana mendetail
dan mendalam demi kehancuran seseorang yang bernasib sial
karena terlalu banyak tahu atau terlalu komunikatif, betulbetul pernah dirancang dan dijalankan oleh Fagin lebih dari
sekali. Bagi Oliver, ini tidaklah mustahil, ketika dia mengingat
suasana penuh perselisihan antara pria itu dan Tuan Sikes, yang
tampaknya terkait dengan semacam persekongkolan di masa lalu.
Saat melirik ke atas takut-takut, dan bertemu pandang dengan
tatapan penuh selidik Fagin, dia merasa bahwa wajah pucat dan
tangannya yang gemetaran tengah dilihat dan dinikmati oleh
pria tua yang penuh waspada itu.
Fagin tersenyum mengerikan dan menepuk kepala Oliver.
Pria tua itu berujar, jika Oliver tutup mulut dan melibatkan
diri dalam bisnis, dia yakin mereka akan jadi teman yang sangat
baik. Lalu, setelah mengambil topi dan menyelubungi tubuh?""nya
de"ngan mantel tua bertambal, dia pun keluar dan mengunci
pintu ruangan di belakangnya.
Maka, begitulah Oliver berdiam sepanjang hari dan selama
berhari-hari berikutnya, tidak menjumpai siapa pun, dari pagi
hingga tengah malam, dan ditinggalkan selama berjam-jam un"
tuk merenungi pemikirannya sendiri. Dalam perenungannya
178~ OLIVER TWIST itu, pikirannya selalu beralih kepada teman-temannya yang baik
hati, dan tentang pendapat yang pasti sudah lama terbentuk
dalam benak mereka tentang dirinya. Sangat menyedihkan.
Setelah jangka waktu sekitar seminggu berlalu, Fagin mening"
gal"kan pintu ruangan dalam keadaan tak terkunci sehingga
Oliver bebas keluyuran di rumah.
Tempat itu sangat kotor. Ruangan-ruangan di lantai atas ber"
perapian kayu tinggi lebar dan berpintu besar, dengan dinding
dilengkapi panel dan lis sampai ke langit-langit yang meskipun
hitam karena debu dan penelantaran, memiliki beragam rupa
hiasan. Berdasarkan semua bukti ini Oliver menyimpulkan
bahwa dahulu kala, sebelum Fagin tua lahir, rumah ini adalah
milik orang-orang yang lebih baik dan barangkali cukup indah,
kendati penampilannya sekarang suram dan sendu.
Laba-laba telah membangun sarang mereka di sudut-sudut
dinding serta langit-langit dan terkadang, ketika Oliver pelanpelan berjalan masuk ke sebuah ruangan, tikus tergopoh-gopoh
menyeberangi lantai dan lari ketakutan kembali ke lubang me"
reka. Selain binatang-binatang ini, tak terlihat atau terdengar
tanda keberadaan makhluk hidup. Sering kali, ketika hari sudah
gelap dan dia lelah keluyuran dari satu ruangan ke ruangan yang
lain, Oliver berjongkok di pojok koridor dekat pintu depan
untuk sebisanya berada sedekat mungkin dengan orang hidup,
mendengarkan dan menghitung jam, sampai Fagin atau anakanak lelaki kembali.
Di semua ruangan, kerai yang berlumut tertutup rapat, palang
penahannya disekrup erat-erat ke kayu. Satu-satunya cahaya yang
bisa masuk lewat lubang-lubang bundar di atas justru membuat
ruangan semakin remang-remang, dan mengisinya dengan ba"
yangan aneh. Ada jendela loteng dengan palang karatan di luar
yang tidak berkerai, dan dari sinilah Oliver acap kali menatap
keluar dengan wajah sendu selama berjam-jam. Namun, tidak
ada yang dapat dilihat dari tempat pengamatannya itu, kecu"
ali kumpulan puncak rumah yang membingungkan, cerobong
CHARLES DICKENS ~179 asap yang menghitam, dan atap segitiga. Memang, terkadang
terlihat kepala beruban, menengok dari dinding pembatas sebu"
ah rumah di kejauhan, tapi kepala tersebut segera saja ditarik
mundur lagi. Selagi jendela pengamatan Oliver mengecil, dan
meredup berkat hujan serta jelaga selama bertahun-tahun,
hanya itulah yang bisa dia lakukan untuk melihat bentuk objekobjek yang berlainan di luar, tanpa berupaya agar dilihat atau
didengar"yang kesempatannya sama saja seperti jika berada di
dalam kubah Katedral St. Paul.
Suatu sore, Dodger dan Tuan Bates akan keluar rumah.
Dodger terlihat sangat mencemaskan penampilannya (ini bu"
kanlah kelemahan yang biasa ditunjukkannya). Dia pun me"me"
rintahkan Oliver dengan sikap meremehkan agar membantunya
berbenah diri, saat itu juga.
Oliver lega sekali karena bisa berguna untuk orang lain.
Saking gembiranya karena bisa memandangi wajah-wajah,
sebu?""ruk apa pun, dan sangat tidak sabar untuk menyenangkan
orang-orang di sekitarnya pada saat dia sungguh-sungguh bisa
melakukannya, Oliver mengenyahkan keberatan apa pun yang
di"rasakannya mengenai tawaran ini. Jadi, dia serta-merta menya"
takan kesiapannya. Maka, berlututlah dia di lantai, sementara
Dodger duduk di meja supaya bisa meletakkan kakinya di
pangkuan Oliver yang segera menyibukkan dirinya dalam proses
yang disebut Tuan Dawkins sebagai "menggarap wadah kaki".
Istilah ini, jika diubah ke bahasa biasa berarti "membersihkan
sepatu botnya". Entah karena perasaan bebas dan merdeka yang konon
dirasakan hewan berakal ketika duduk di meja dengan sikap
san?""tai sembari mengisap pipa, mengayunkan kakinya dengan
tak peduli ke depan dan ke belakang sambil dibersihkan sepatu
bot"nya sepanjang waktu tanpa perlu repot-repot melepas dan
memakainya kembali, ataukah karena bagusnya tembakau yang
meringankan perasaan Dodger, atau sedapnya bir yang mene"
nangkan pikirannya; yang jelas, saat ini kentara sekali dia terbuai
CHARLES DICKENS ~181 oleh sejumput romantika dan antusiasme, sifat yang asing dalam
kodrat alaminya. Dia menunduk memandang Oliver dengan
raut muka serius beberapa lama. Kemudian, sambil mengangkat
kepala dan mendesah lembut, dia berkata, setengah ditujukan
kepada diri sendiri dan setengah kepada Tuan Bates.
"Sayang sekali dia bukan orang yang lurus!"
"Ah!" kata Tuan Charles Bates. "Dia tidak tahu apa yang baik
untuknya." Dodger mendesah lagi, lalu meneruskan mengisap pipanya,
begitu pula Charley Bates. Mereka berdua merokok selama be"
berapa detik dalam keheningan.
"Kurasa kau bahkan tak tahu apa artinya orang yang lurus,"
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 1 Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah Kacamata Berwarna Keemasan 1
^