The White Castel 4

The White Castel Karya Orhan Pamuk Bagian 4


banyakan orang yang berhasil kami dapatkan, termasuk orang yang berhasil mengatasi rasa takutnya dan bersedia masuk ke dalam gundukan besi itu, tak lama kemudian melarikan diri, tidak sanggup menjalankan roda ketika dia dijejalkan masuk ke dalam mesin penggorengan serangga yang aneh dan panas itu. Ketika kami berhasil membuat mesin itu berjalan pada akhir musim panas, semua uang yang dikumpulkan selama bertahun-tahun untuk membiayai proyek itu telah habis. Senjata itu bergetar dengan kakunya di bawah tatapan mata orangorang yang bingung dan ketakutan, dan dengan diiringi seruan kemenangan, mesin itu bergerak ke kiri dan kanan, menyerang benteng khayalan, menembakkan pelurunya, kemudian diam tak bergerak. Uang masih terus mengalir masuk dari desa dan kebun zaitun kami, tetapi tim yang kami kum Orhan Pamuk 228 pulkan terbukti terlalu mahal dan Hoja terpaksa memecat mereka.
Musim dingin berlalu. Sultan berhenti di Edirne yang dicintainya dalam perjalanan pulang dari ekspedisinya. Tidak ada yang mencari kami, dan kami dibiarkan sendiri. Karena tidak ada seorang pun di pagi hari di istana yang hendak kami hibur dengan cerita kami, dan tidak ada orang yang perlu kuhibur di gedung mewah di malam harinya, kami benar-benar tidak punya kegiatan apa pun. Pada hari-hari itu, aku membayar seorang pelukis dari Venesia untuk melukis diriku dan belajar musik dengan menggunakan oud (semacam gitar). Hoja sering sekali ke Kuledibi di dekat dinding tua untuk melihat senjatanya yang selalu dijaga oleh seorang penjaga. Dia tidak bisa menahan godaan untuk menambahkan ini-itu di sana-sini, tetapi tak lama kemudian, dia pun merasa bosan. Pada malammalam hari di musim dingin terakhir yang kami lalui
bersama-sama, dia tidak pernah menyebutnyebut tentang senjata ataupun rencananya untuk benda itu. Dia menjadi amat lemas, tetapi bukan karena telah kehilangan rasa cintanya pada senjata itu dia menjadi seperti ini karena aku tidak lagi mampu memberikan inspirasi kepadanya.
Pada malam hari, kami menghabiskan waktu untuk menunggu, menunggu angin atau salju untuk berhenti bertiup atau turun, menunggu tidak terdengarnya lagi suara penjual makanan yang melewati rumah kami di larut malam, menunggu api perapian mati agar kami bisa menambahkan kayu lagi ke dalamnya. Pada salah satu malam di musim dingin tersebut, di saat kami tidak begitu banyak bicara, dan sering terbuai dalam khayalan kami sendiri, Hoja tiba-tiba berkata bahwa aku sudah sangat berubah, bahwa aku akhirnya telah menjadi orang yang sangat berbeda. Perutku terasa mulas, aku mulai berkeringat; aku ingin melawannya, mengatakan bahwa dia salah, mengatakan bahwa aku sama dengan aku yang dulu, bahwa kami serupa, bahwa dia seharusnya memerhati-kanku seperti dulu, bahwa kami masih memiliki banyak hal untuk dibicarakan, tetapi dia memang benar. Mataku tergambarkan dalam lukisan diriku yang kubawa ke rumah pagi itu dan disandarkan di dinding. Aku telah berubah: aku telah menjadi gemuk karena melahap terlalu banyak makanan di berbagai pesta itu. Sekarang daguku mulai bergelambir, kulitku tampak tebal, pergerakanku melambat. Yang lebih buruk lagi, wajahku sekarang sungguh berbeda; kerutan kasar muncul dari sudut mulutku karena kebanyakan minum dan bercinta di rumah pelacuran, mataku tampak kuyu karena sering tidur tidak teratur, karena pingsan akibat mabuk. Dan, seperti orang-orang bodoh yang merasa nyaman dengan hidupnya, dengan
dunianya, dengan dirinya sendiri, tampak keangkuhan di lirikan mataku, tetapi aku tahu bahwa aku merasa nyaman dengan keadaanku sekarang: aku tidak berkata apa-apa.
Kemudian, sebelum kami dan senjata kami dipanggil oleh sultan ke Edirne untuk mengikuti perjalanannya, aku mendapatkan mimpi yang sama berulang kali: kami berada di sebuah pesta topeng di Venesia yang mirip dengan perayaan di Istanbul. Ketika para pelacur tingkat tinggi melepaskan topeng mereka, aku mengenali ibu dan tunanganku di antara para tamu, dan aku melepaskan topengku dengan harapan mereka juga akan mengenaliku. Tetapi, entah mengapa mereka tidak mengenalku, mereka menunjuk dengan topeng mereka ke seseorang yang berdiri di belakangku. Aku menoleh untuk melihat, ternyata orang yang pasti tahu bahwa aku adalah aku, adalah Hoja. Lalu, ketika aku mendekatinya, dengan harapan dia akan mengenaliku, orang yang sebenarnya Hoja itu melepaskan topengnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dari balik topengnya, yang membuatku ngeri karena perasaan bersalah sehingga aku terbangun dari mimpi ini, muncullah diriku sewaktu muda dulu.#
SEPULUH HOJA AKHIRNYA kembali bertindak di awal musim panas, ketika dia mendengar kabar bahwa sultan menghendaki kehadiran kami dan senjata itu di Edirne. Saat itulah aku baru tahu bahwa dia telah mempersiapkan semuanya, terus berhubungan sepanjang musim dingin dengan tim yang mengoperasikan mesin itu. Dalam waktu tiga hari,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
kami telah siap untuk perjalanan itu. Hoja melewatkan malam terakhir seakan-akan kami hendak pindah ke rumah baru, membuka-buka koleksi bukunya yang jilidnya sudah lusuh, berbagai risalah yang baru setengah selesai, beberapa draf pertama yang sudah menguning, berbagai barang milik pribadinya, dan seterusnya. Dia mengupayakan agar jam salatnya yang sudah berkarat itu bisa berfungsi, membersihkan berbagai instrumen astronominya sehingga tidak lagi berdebu. Dia tidak tidur sampai subuh untuk memeriksa berbagai draf buku, model, dan sketsa senjata hasil karyanya selama dua puluh lima tahun. Pada saat matahari terbit, aku melihatnya membolak-balik halaman buku catatan butut yang kertasnya berwarna kuning yang telah kupenuhi dengan hasil pengamatan dari berbagai eksperimen untuk pertunjukan kembang api dulu. Dia bertanya malu-malu: apakah kita harus membawa berbagai catatan ini" Apakah
menurutku catatan itu akan berguna" Ketika dia melihatku menatapnya dengan kebingungan, dia melemparkan semua barang itu ke sudut ruangan dengan sebal.
Meskipun demikian, dalam perjalanan sepuluh hari ke Edirne ini, kami merasa sangat akrab seperti di masa lalu. Lagi pula, Hoja terlihat optimis. Senjata kami yang mereka sebut si aneh, serangga, iblis, pemanah kura-kura, menara berjalan, tumpukan besi, ayam jantan merah, tungku beroda, raksasa, si mata satu, monster, babi, gipsi, makhluk aneh bermata biru, berjalan dengan lambatnya dengan suara mendecit dan erangan aneh menakutkan yang membahana dengan kerasnya, membuat semua orang yang melihatnya ketakutan seperti yang diinginkan Hoja, dan bergerak dengan lebih cepat daripada dugaannya. Hatinya senang sekali melihat kerumunan orang yang penasaran berkumpul dari desa-desa yang kami lalui dan berbaris menyusuri perbukitan di sepanjang jalanan, berusaha melihat mesin yang mereka sendiri takut mendekatinya. Pada malam hari, dalam keheningan yang ditingkahi suara jangkrik, saat tim kami tertidur lelap di dalam tenda setelah mencucurkan darah dan air mata sepanjang hari, Hoja menceritakan padaku daya hancur ayam jantan merahnya atas musuh kami. Memang, dia tidak terlihat begitu ceria seperti sebelumnya, dan seperti aku, dia mengkhawatirkan reaksi orang-orang di sekeliling sultan dan para tentara terhadap senjata itu, di mana posisi senjata itu pada formasi penyerangan. Tetapi, dia masih mampu mengungkapkan kepuasan dan kepastian tentang "kesempatan terakhir" kami, bahwa kami telah mampu mengubah nasib kami menjadi lebih baik, dan yang lebih penting lagi, tentang "mereka dan kami" yang tidak pernah hilang dari benaknya.
Senjata itu memasuki Erdine dengan upacara yang hanya disambut hangat oleh sultan dan beberapa orang penjilat yang tidak tahu malu. Sultan menyambut Hoja seperti teman lama, ada kabar burung bahwa kemungkinan akan pecah perang, tetapi tidak tampak persiapan atau ketergesa-gesaan. Mereka mulai menghabiskan hari-hari mereka bersama-sama. Aku juga bergabung dengan mereka, aku selalu bersama mereka ketika mereka menunggang kuda dan mengendarainya menuju hutan lebat di dekat situ untuk mendengarkan kicau burung, atau ketika menggunakan perahu menyusuri Sungai Tunja dan Merich untuk melihat kodok, atau ketika pergi menonton burung stork yang sedang berkelahi dengan elang dan menjerit-jerit di halaman Masjid Selimiye, atau ketika menyaksikan senjata itu melakukan sejumlah manuver sekali lagi. Tetapi, kusadari bahwa aku tidak bisa ikut dalam obrolan mereka, tidak ada yang bisa kukatakan pada mereka dengan sejujurnya atau yang mereka anggap menarik. Mungkin aku cemburu pada keakraban mereka. Yang jelas, aku tahu bahwa aku muak dengan semua ini. Hoja masih juga membacakan puisi yang sama dan sungguh mengejutkan saat kulihat sultan masih terkesan oleh berbagai kisah kemenangan yang sudah usang itu, oleh keunggulan "mereka", bahwa sudah saatnya bagi kami untuk bertindak, oleh masa depan dan misteri pikiran kami.
Pada suatu hari, di tengah-tengah musim panas yang dipenuhi kabar burung tentang akan meletusnya perang, Hoja berkata bahwa dia memerlukan seorang rekan yang kuat dan memintaku menemaninya. Kami berjalan dengan cepat melalui Edirne, melewati perkampungan orang gipsi dan Yahudi, menyusuri jalanan beraspal yang
pernah kulewati dulu dengan perasaan tertekan yang sekarang kurasakan lagi, melewati perumahan kaum Muslim yang miskin yang tampak tidak berbeda satu sama lain. Akhirnya, ketika aku menyadari bahwa rumah-rumah yang ditutupi oleh tumbuhan merambat yang waktu itu kulihat berada di sebelah kiri sekarang berada di sebelah kanan, aku menyadari bahwa kami sedang menyusuri jalan yang tadi kami lewati. Aku bertanya dan dijawab bahwa kami sedang berada di daerah Fildami. Hoja tiba-tiba mengetuk salah satu pintu rumah. Seorang anak bermata hijau sekitar delapan tahun membuka pintu. "Singa," ujar Hoja padanya, "beberapa ekor singa telah kabur dari istana sultan, dan kami sedang mencarinya." Dia mendorong anak kecil itu ke samping dan masuk ke dalam rumah diikuti aku yang menguntitnya dari belakang. Kami bergegas di tengah keremangan ruangan yang berbau serbuk gergaji dan sabun, menaiki tangga yang berdecit menuju ke lorong panjang di lantai atas. Hoja mulai membuka pintu yang keluar dari ruangan itu. Dalam ruangan pertama tampak seorang laki-laki tua yang sedang terkantuk-kantuk, mulutnya yang tak bergigi terbuka lebar, dan dua orang anak yang sedang tertawa dan meraih janggutnya langsung meloncat saat mereka melihat pintu terbuka. Hoja menutup pintu itu dan membuka pintu lainnya; tampak setumpuk selimut dan bahan pembuat selimut di dalamnya. Anak yang membukakan pintu depan meraih pegangan pintu yang ketiga sebelum Hoja sempat menyentuhnya, dan berkata, "Tidak ada singa di sini, hanya ada ibu dan bibiku." Tetapi, Hoja tetap membuka pintu itu dan melihat dua orang wanita memunggungi kami, sedang salat di temaramnya pelita ruangan. Dalam ruangan keempat, seorang lelaki sedang menjahit selimut, yang lebih
mirip denganku karena dia tidak berjanggut, bangkit saat melihat Hoja. "Dasar orang gila, apa yang kamu lakukan di sini?" teriaknya. "Apa yang kamu inginkan dari kami?" "Di mana Semra?" tanya Hoja. "Dia ke Istanbul sepuluh tahun yang lalu," jawab lelaki itu. "Kami dengar dia mati terserang wabah. Kenapa kamu tidak ikut mati?" Tanpa berkata sepatah pun, Hoja berjalan menuruni tangga dan meninggalkan rumah itu. Saat aku mengikutinya, kudengar anak itu berteriak di belakang kami dan seorang wanita menjawabnya: "Singasinga itu ke sini, Bu!" "Bukan Nak, itu pamanmu dan saudara lelakinya!"
Mungkin, karena aku tidak bisa membiarkan diriku melupakan masa lalu, atau mungkin untuk mempersiapkan kehidupan baruku dan buku yang masih terus Anda baca dengan sabarnya ini, dua minggu kemudian aku kembali ke tempat itu pada waktu subuh. Mula-mula, karena tidak bisa melihat dengan jelas di cahaya pagi, aku mendapatkan kesulitan untuk menemukan rumah itu. Ketika akhirnya berhasil menemukannya, aku mencoba pulang dengan melewati jalan yang menurut dugaanku adalah jalan pintas tercepat ke rumah sakit di Masjid Beyasit. Mungkin karena aku salah menduga bahwa Hoja dan ibunya pasti telah mengambil jalan tercepat, aku tidak bisa menemukan jalan pendek yang diteduhi oleh deretan pohon poplar yang menuju ke jembatan. Aku memang menemukan jalanan yang di pinggirnya berderet pohon poplar, tetapi tidak ada sungai di dekat situ yang mungkin pernah digunakan oleh mereka untuk beristirahat sambil makan hal-va bertahun-tahun yang lalu. Di rumah sakit pun tidak tampak berbagai hal yang kubayangkan. Halamannya tidak becek, bahkan bersih sekali, tidak ada suara air mengalir, ataupun botol berwarna. Ketika melihat seorang
pasien yang dirantai, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya kepada dokter tentang pasien itu: pasien lelaki itu pernah jatuh cinta, menjadi gila, dan mengira bahwa dia itu orang lain seperti kebanyakan orang gila pada umumnya. Dokter itu bisa saja bercerita lebih banyak lagi, tapi aku beranjak pergi.
Keputusan untuk memulai perang yang menurut dugaan kami tidak akan terjadi ternyata diputuskan di akhir musim panas, pada hari yang tidak pernah kami sangka sebelumnya. Bangsa Polandia, yang tidak pernah mau mengakui kekalahan di tahun sebelumnya dan pajak berat yang diberlakukan kemudian, mengirimkan pesan: "Datanglah dan tagih pajak dengan pedangmu," Ketika formasi penyerangan direncanakan, tidak ada seorang pun dalam armada itu yang memikirkan penggunaan senjata tersebut, dan Hoja menghabiskan waktu beberapa hari berikutnya dengan geram. Tidak ada seorang pun yang ingin berjalan mengiringi onggokan besi tempa ini; tidak ada seorang pun yang mengharapkan manfaat dari tungku raksasa ini; bahkan yang lebih buruk lagi, mereka berpendapat benda itu pembawa sial. Pada hari sebelum keberangkatan, ketika Hoja mengkaji senjatanya untuk dilibatkan dalam perang itu, kami mendengar bahwa saingan kami mulai angkat bicara dan secara terbuka mengatakan bahwa senjata itu bisa dengan mudahnya mendatangkan kesialan, sama mudahnya dengan menghasilkan kemenangan. Ketika Hoja mengatakan padaku bahwa orang-orang beranggapan bahwa tanggung jawab untuk menyingkirkan kesialan ini berada di pundakku dan bukan di pundaknya, aku sangat ngeri. Sultan mengumumkan bahwa dia percaya pada Hoja dan senjata itu, dan untuk mencegah munculnya pertikaiaan yang berkepanjangan,
memerintahkan agar senjata itu berada di sisinya selama perang berlangsung, mendampingi pasukan yang akan dipimpinnya sendiri. Pada awal September, di hari yang panas, kami berangkat meninggalkan Erdine.
Semua berpendapat bahwa saat itu sudah terlambat waktunya untuk melakukan persiapan perang, tetapi hal itu tidak diperdebatkan lebih lanjut. Aku baru tahu bahwa selama persiapan perang, para tentara takut pada berbagai pertanda buruk sama seperti takut pada musuh, bahkan kadang-kadang lebih takut pada pertanda buruk itu, sehingga mereka harus memerangi juga perasaan takut ini. Pada malam pertama, setelah berjalan ke arah utara melalui sejumlah desa yang makmur dan melintasi sejumlah jembatan yang berderak saat dilewati senjata yang kami bawa, kami terkejut saat dipanggil ke dalam tenda sultan. Seperti tentaranya, sultan tiba-tiba terlihat seperti anak kecil. Dia menebarkan aura seorang anak laki-laki yang bersemangat dan gembira karena akan mulai memainkan sebuah permainan baru. Dia baru saja akan bertanya pada Hoja, seperti yang dilakukan tentaranya, tentang arti pelbagai pertanda tersebut: awan merah yang tampak sebelum matahari terbenam, burung elang yang terbang rendah, cerobong rumah yang hancur di salah sebuah desa, bangau yang terbang ke selatan, apakah arti semua itu" Hoja tentu saja menafsirkan semua itu secara positif.
Tetapi, rupanya tugas kami belum selesai; kami baru saja tahu bahwa dalam perjalanan itu sultan senang sekali jika didongengi berbagai cerita aneh yang menakutkan pada malam hari. Hoja teringat pada gambar gelap dari puisi yang bergelora dalam buku kami yang paling kusukai, gambar gelap yang pernah kami sajikan kepada sultan
dahulu kala gambar kejahatan yang dipenuhi dengan mayat, peperangan yang bersimbah darah, kekalahan, pengkhianatan, dan kesengsaraan tetapi, Hoja mengarahkan mata sultan yang terbelalak itu ke arah api kemenangan yang bersinar-sinar di sudut rangkaian gambar ini. Kami harus mengobarkan api milik kami". Kami menyadari rahasia kebenaran di balik pemikiran kami dan semua hal yang pernah diceritakan Hoja padaku selama bertahun-tahun yang sekarang ingin kulupakan kami harus melepaskan diri dari keadaan memabukkan ini secepat mungkin! Aku sudah lelah mendengarkan berbagai kisah yang getir ini, tetapi setiap malam Hoja membuat kisah itu menjadi semakin kelam, semakin buruk, semakin mengerikan, mungkin karena menurut pendapatnya sultan sekarang sudah benarbenar terpikat oleh semua kisah tersebut. Sekali lagi aku merasa sultan merasakan kenikmatan ketika Hoja mengemukakan isi pikiran kami.
Kegiatan berburu dimulai seminggu setelah keberangkatan kami. Sekelompok orang yang ikut dengan armada perang, khusus untuk kegiatan ini, setelah menjelajahi daerah tersebut, melewati tanah yang subur dan membangunkan rakyat pedesaan, maka sultan, kami, dan para pemburu mulai menjauh dari armada perang menuju sebuah hutan yang terkenal karena kawanan kijangnya, di lereng gunung yang penuh dengan babi liar, atau ke dalam hutan yang dipenuhi serigala dan sejenis kelinci. Setelah kegiatan pengalihan perhatian yang menyenangkan ini, yang berlangsung selama beberapa jam, kami kembali ke armada perang dengan sorak-sorai yang berlebihan seakan-akan kami kembali dari sebuah peperangan dengan membawa kemenangan. Dan, ketika para tentara mengelu-elukan sultan, kami hanya menonton sambil
berdiri di belakangnya. Hoja mengikuti semua upacara ini dengan geram dan rasa benci, tetapi aku sangat menyukainya. Aku senang mengobrol dengan sultan di malam hari tentang perburuan itu, lebih menyukainya daripada perjalanan yang kami lakukan, sejumlah desa yang kami lewati, atau kondisi kota dan berita terbaru tentang musuh. Lalu, Hoja yang kesal mendengarkan obrolan yang dinilainya bodoh dan tolol ini, mulai menceritakan kisahnya dan mengajukan berbagai ramalan yang selalu terdengar semakin kejam setiap malam. Seperti orang lain di sekelilingnya, bahkan aku pun prihatin melihat sultan memercayai berbagai kisah yang dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan ini, berbagai cerita hantu tentang bagian yang gelap dalam benak kita,
Tetapi, aku menyaksikan sesuatu yang bahkan lebih buruk lagi! Kami sedang berburu lagi. Sebuah desa telah dikosongkan penduduknya, warganya menyebar ke dalam hutan, memukul-mukul panci untuk mengusir babi liar dan menjangan dengan suara berisik ini, menuju tempat kami yang sudah menunggu dengan kuda dan senjata kami. Namun, sampai tengah hari kami masih belum melihat seekor binatang pun. Untuk melepaskan lelah dan ketidak nyamanan di siang hari yang terik ini, sultan menyuruh Hoja menceritakan cerita yang membuat dirinya ketakutan di malam hari. Kami sedang bergerak dengan sangat perlahan, mendengarkan suara kentungan panci sayup-sayup di kejauhan ketika, di saat kami memasuki sebuah desa orang Kristen, kami berhenti. Saat itulah aku melihat Hoja dan sultan menunjuk ke salah satu rumah kosong di desa itu dan membujuk seorang lelaki tua kurus yang sedang menggaruk kepalanya di luar rumahnya agar menghampiri kami. Sesaat sebelumnya mereka sedang
membicarakan "mereka" dan isi dari kepala mereka. Sekarang, ketika aku melihat wajah mereka yang terpukau dan mendengar Hoja mengajukan beberapa pertanyaan kepada si lelaki tua melalui bantuan seorang penerjemah, aku datang mendekat, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Hoja bertanya padanya, menyuruhnya langsung menjawab tanpa berpikir panjang: apakah kesalahan terbesarnya, hal terburuk yang pernah dilakukannya" Si penduduk desa, dengan dialek Slavia yang sulit diterjemahkan oleh penerjemah kami, bergumam dengan suara serak bahwa dia adalah lelaki tua lugu yang tidak punya salah apaapa. Tetapi, Hoja terus memaksa dengan penuh tekanan yang aneh bahwa orang tua itu harus bercerita tentang dirinya. Barulah ketika si orang tua itu melihat bahwa sultan memerhatikan dirinya sama seperti Hoja, dia mengakui kesalahannya: ya, dia memang bersalah, dia juga seharusnya meninggalkan rumahnya seperti semua orang di desanya, dia seharusnya bergabung dalam perburuan itu bersama kakak dan adiknya yang sedang mengejar binatang buruan, tetapi dia sedang sakit, dia punya alasan, dia tidak sehat sehingga tidak sanggup berlari-lari di dalam hutan sepanjang hari. Ketika dia memegang dadanya, tanda meminta maaf, Hoja menjadi marah dan berteriak bahwa yang ditanyakannya adalah dosa-dosanya, bukan tentang hal itu. Namun, lelaki tua itu tidak mengerti pertanyaan yang terus diulangi oleh penerjemah kami. Dia terus menekan dadanya dengan mimik wajah penuh duka, tidak mampu berkata apa-apa lagi, Mereka membawa pergi lelaki tua itu. Saat orang berikutnya mengatakan hal yang sama, wajah Hoja langsung berubah menjadi merah padam. Dia bercerita pada orang kedua ini tentang kesalahan yang kulakukan pada masa kanak-
kanakku, kebohongan yang kuceritakan agar lebih dicintai daripada kakak dan adikku, dan semua larangan seksual yang pernah kulakukan ketika belajar di universitas, seakan-akan dia sedang menceritakan kejahatan seorang pendosa tak dikenal, memberikan contoh tentang kelicikan dan kejahatan agar orang itu mau bicara. Sementara itu, aku terus mendengarkan, mengingat dengan sebal dan malu hari-hari yang kami lalui saat wabah itu berjangkit, namun yang sekarang aku ingat kembali dengan kerinduan yang dalam saat sedang menulis buku ini. Ketika penduduk desa terakhir yang mereka bawa, seorang penyandang cacat, mengakui dengan berbisik bahwa dia diam-diam pernah mengintip wanita mandi di sungai, Hoja terlihat lebih tenang. Nah, sekarang Anda tahu, beginilah perilaku mereka saat dihadapkan pada dosa yang pernah mereka lakukan, mereka mampu menghadapinya. Tetapi kami, yang sekarang seharusnya sudah tahu apa yang terjadi di dalam pikiran kami, tidak berkutik. Aku ingin percaya bahwa sultan tidak terkesan oleh semua ini.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Tetapi, ketertarikannya telah bangkit; dua hari kemudian, dia memejamkan matanya ketika mendengar pengulangan drama yang sama saat sedang berburu rusa, mungkin karena dia tidak sudah tahan pada kegigihan Hoja dalam acara tanya-jawab itu, atau mungkin karena dia menyukai semua interogasi ini lebih dari yang kuduga. Saat itu kami telah menyeberangi Sungai Danube; lagi-lagi kami sampai di sebuah desa orang Kristen. Tidak ada perubahan dalam berbagai pertanyaan yang ditekankan Hoja pada mereka. Penduduk desa itu mengingatkanku pada kekerasan yang terjadi pada beberapa malam saat wabah berkecamuk dulu, saat aku berhasil membuat Hoja menuliskan semua dosanya. Mula-mula, aku bahkan tidak
ingin mendengar jawaban penduduk desa itu, yang takut pada pertanyaan itu dan si penanya, si hakim tanpa nama yang secara diam-diam didukung oleh sultan. Aku merasakan mual yang aneh; aku lebih menyalahkan sultan dari pada menyalahkan Hoja, karena beliau seakan-akan sudah terbius oleh Hoja atau tidak mampu menolak suguhan permainan yang menyeramkan ini. Tetapi, tak berapa lama kemudian, aku juga mulai tertarik. Kita tidak akan rugi jika hanya mendengarkan, pikirku, lalu berjalan menghampiri mereka. Kebanyakan dosa dan kesalahan, yang mereka ceritakan dalam bahasa halus yang terdengar lebih sejuk di telingaku, saling bermiripan: kebohongan sederhana, tipu daya kecil, satu atau dua kelicikan, satu atau dua perselingkuhan; dan yang terberat paling-paling mencuri.
Malam harinya, Hoja berkata bahwa para penduduk desa belum mengungkapkan semuanya, mereka menyembunyikan kebenaran. Aku sudah semakin jauh menulis: mereka pasti telah melakukan dosa yang lebih besar, lebih nyata, yang membedakan mereka dengan kami. Untuk meyakinkan sultan, agar bisa mengetahui semua kebenaran ini, untuk membuktikan jenis manusia apakah "mereka" ini dan terlebih lagi siapa "kami" ini, bila diperlukan, Hoja akan menggunakan kekerasan dalam interogasinya tersebut.
Kekejaman yang memuakkan ini semakin hari semakin ganas dan tidak berperikemanusiaan. Pada awalnya, segala sesuatunya lebih sederhana; kami seperti anak-anak yang sedang bermain, melontarkan gurauan kasar, tetapi tidak berbahaya di antara beberapa ronde permainan. Setiap jam dalam proses interogasi tersebut seperti sebuah parodi di antara beberapa adegan sandiwara di
saat kami beristirahat setelah melakukan perburuan yang panjang dan menyenangkan. Tetapi, dengan berlalunya waktu, interogasi itu berubah menjadi sebuah ritual yang menguras semua keinginan kami, kesabaran kami, yang entah mengapa tidak bisa kami kesampingkan. Aku melihat penduduk desa terkesima dengan penuh rasa takut oleh berbagai pertanyaan yang diajukan Hoja dan kemurkaannya yang sulit dimengerti. Kalau saja mereka bisa memahami apa yang ditanyakan pada mereka, mungkin mereka akan mampu menjawabnya: aku melihat beberapa orang lelaki tua yang sudah ompong dan lelah digiring ke alunalun desa. Sebelum mereka sempat mengungkapkan kesalahan mereka dengan gagap, baik yang nyata maupun yang mereka khayalkan, mereka memohon pertolongan dari orang-orang di sekeliling mereka, dan dari kami, dengan pandangan putus asa, Aku melihat para pemuda disiksa, dipukuli sampai terjungkal, dan dipaksa untuk berdiri lagi ketika semua pengakuan dan dosa mereka dianggap tidak memuaskan. Aku masih ingat bahwa setelah membaca apa yang kutuliskan di meja dulu, Hoja berkata, "Dasar bajingan," dan memukulkan kepalan tangannya ke punggungku, bergumam dan membuat dirinya cemas karena tidak bisa memahami mengapa aku bisa seperti itu. Tetapi sekarang, dia sudah lebih tahu apa yang dicarinya, kesimpulan yang ingin diraihnya, meskipun mungkin tidak terlalu persis. Dia juga mencoba berbagai metode lain: beberapa kali dia memotong ucapan si penduduk desa dan menuduh mereka telah berbohong; lalu tentara kami memukuli orang itu. Pada kali lainnya Hoja memotong pembicaraan orang itu, lalu mengatakan bahwa teman orang itu mengatakan hal yang sebaliknya. Dalam beberapa kesempatan, Hoja menginterogasi dua orang sekaligus.
Ketika dia melihat pengakuan mereka itu dibuat-buat, dan para penduduk desa merasa malu atas kehadiran orang lain, walaupun harus berhadapan dengan kekejaman tentara kami, Hoja langsung murka.
Pada saat hujan besar turun tak henti-hentinya mengguyur kami, aku juga mulai merasa terbiasa oleh apa yang sedang terjadi. Aku masih ingat ada penduduk desa yang tidak banyak bicara, dan tidak berniat mengungkapkan lebih jauh lagi, dipukuli dengan membabi-buta dan diperintahkan untuk berdiri dan menunggu dalam kondisi basah kuyup di alun-alun desa yang berlumpur selama berjamjam. Seiring dengan bergulirnya waktu, keasyikan berburu pun menyurut dan ekspedisi kami menjadi semakin jarang. Sesekali kami membunuh kijang bermata-sayu atau babi liar yang gemuk, yang membuat sultan sedih. Tetapi sekarang kami disibukkan bukan oleh berbagai hal yang terjadi dalam perburuan, melainkan oleh interogasi gencar yang persiapannya, seperti untuk berburu, harus dimulai jauh sebelum interogasi itu dilakukan. Pada malam hari, seakan-akan merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukan pada siang harinya, Hoja menumpahkan berbagai perasaannya kepadaku. Dia juga merasa terganggu oleh apa yang terjadi pada hari itu, oleh kekejaman yang dilakukannya, tetapi dia ingin membuktikan sesuatu, sesuatu yang bermanfaat bagi kami semua: dia juga ingin menunjukkannya pada sultan. Lagi pula, mengapa penduduk desa itu menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi" Lalu, dia mengatakan bahwa kami harus melakukan eksperimen yang sama di desa berpenduduk Muslim sebagai perbandingan. Tetapi, ternyata hal ini tidak memberikan hasil yang diinginkannya: walaupun dia menginterogasi mereka tanpa disertai pemukulan, mereka ternyata
memberikan pengakuan dan cerita yang lebih-kurang sama seperti tetangga mereka yang beragama Kristen. Saat itu adalah hari-hari sengsara ketika hujan tidak mau berhenti. Hoja menggumamkan beberapa kata yang menyiratkan bahwa mereka bukanlah Muslim sejati, tetapi pada malam hari saat sedang mendiskusikan apa yang terjadi di siang harinya, kuamati, dia menyadari bahwa kenyataan ini juga teramati oleh sultan.
Mengetahui hal ini, malah memperbesar amarahnya dan memaksanya untuk melakukan kekerasan yang lebih hebat lagi dari yang sanggup disaksikan sultan yang, mungkin seperti aku, mengikuti semuanya dengan rasa penasaran yang diiringi rasa ngeri. Saat kami terus bergerak semakin jauh ke utara, kami kembali tiba di sebuah daerah berhutan yang penduduknya berbicara dengan dialek Slavia. Di sebuah desa kecil, kami melihat Hoja meninju sendiri seorang pemuda yang tidak bisa mengingat kesalahannya selain bahwa dia pernah berbohong sewaktu kecil. Hoja bersumpah untuk tidak akan melakukannya lagi. Pada malam harinya, dia diliputi perasaan bersalah yang bahkan menurutku terlalu berlebihan. Pada kesempatan lain, ketika hujan kekuningan mengguyur bumi, rasanya aku melihat para wanita di sebuah desa menangis dari kejauhan saat melihat apa yang menimpa para lelaki dari desanya. Bahkan para tentara pun, yang sudah menjadi mahir melakukan pemukulan itu, merasa muak atas apa yang terjadi. Kadang-kadang mereka memilih lelaki berikutnya untuk mengaku sebelum kami menanyainya dan membawanya ke hadapan kami, dan si penerjemah langsung mengajukan pertanyaannya sendiri, bukan Hoja, yang terlihat penat karena nafsu amarahnya. Bukannya kami tidak pernah menjumpai korban yang menarik yang
mengungkapkan pelbagai dosa yang telah dilakukannya dengan teperinci, seakan-akan jauh di lubuk hatinya mereka sudah menunggu bertahun-tahun untuk tibanya hari interogasi ini, yang ketakutan dan bingung oleh berbagai cerita tentang kekejaman kami, yang konon telah menyebar dari satu desa ke desa lainnya dan menjadi legenda, atau takut oleh misteri keadilan yang tidak bisa mereka pahami. Tetapi sekarang, Hoja sudah tidak tertarik lagi oleh perselingkuhan yang dilakukan para suami atau istri, cerita penduduk desa miskin yang iri dengan kekayaan tetangganya. Dia terus mengulangi pendapatnya bahwa ada kebenaran yang lebih dalam lagi, tetapi menurutku dia kadang-kadang ragu, seperti yang juga kami rasakan, apakah kami akan mampu mengetahui kebenaran tersebut. Atau, setidaknya dia merasakan keraguan kami dan langsung menjadi murka, tetapi kami dan sultan merasa bahwa Hoja belum akan mau menyerah. Mungkin karena inilah kami berhenti menjadi penonton, yang menyaksikan dirinya mengambil-alih kendali ke tangannya sendiri. Sekali waktu, saat berlindung di bawah atap rumah dari guyuran hujan yang turun tiba-tiba, harapan kami tumbuh saat melihat sekujur tubuh Hoja basah kuyup sambil terus saja menginterogasi seorang remaja yang membenci ayah tiri dan saudara tirinya yang memperlakukan ibunya dengan buruk. Tetapi, di malam harinya, Hoja menutup bahan pembicaraan ini dengan mengatakan bahwa remaja itu hanyalah remaja biasa yang tidak ada gunanya diingat-ingat.
Kami terus bergerak ke utara dan terus ke utara. Perjalanan itu, yang berkelok-kelok membelah pegunungan, maju perlahan di jalanan berlumpur melalui hutan lebat yang gelap. Aku suka udara dingin pekat yang muncul dari
hutan yang sarat dengan pohon cemara dan pohon birch, keheningan kabut yang menimbulkan keraguan dalam hati, semuanya terasa tidak jelas, Walaupun tidak ada seorang pun yang menyebutnya dengan nama ini, aku yakin bahwa kami sedang berada di lereng Pegunungan Carpathian, yang pernah kulihat di sebuah peta Eropa milik ayahku sewaktu masih kecil dulu, peta yang digambar oleh seorang seniman yang kepandaiannya biasa-biasa saja, yang menghiasinya dengan gambar rusa dan istana bergaya Gothic. Hoja terserang flu di tengah hujan itu, tetapi kami masih suka masuk ke dalam hutan setiap pagi, menjauhkan diri dari armada perang yang merayap di sepanjang jalanan yang berkelokkelok, seakan-akan tidak ingin mencapai ujung.
Kami sekarang sepertinya telah melupakan acara berburu: seakan-akan kami berleha-leha di tepi danau atau di ujung sebuah ngarai, bukan untuk menembak rusa, tetapi membuat penduduk desa yang sedang menunggu kami untuk menunggu lebih lama lagi! Saat kami memutuskan bahwa sudah tiba waktunya, kami masuk ke sebuah desa, dan setelah melalui ritual yang biasa kami lakukan, kami mengikuti Hoja yang bergegas untuk segera mengunjungi desa berikutnya, tidak pernah mampu menemukan harta karun yang dicarinya, tetapi selalu berusaha melupakan orang-orang yang telah disiksanya, dan kegetirannya sendiri. Pada sebuah kesempatan, dia ingin melakukan sebuah eksperimen: sultan, yang kesabarannya sungguh mengagumkanku, menyuruh dua puluh abdinya membantu Hoja. Dia mengajukan pertanyaan yang sama kepada mereka, kemudian kepada penduduk desa berambut pirang yang berdiri dengan tercengang di depan rumah mereka. Kali lainnya, dia membawa penduduk desa
ke hadapan armada perang, menunjukkan senjata kami yang berderit dan mengerang ketika berusaha mengimbangi jalan tentara sultan di jalanan yang berlumpur. Hoja menanyakan pendapat mereka tentang senjata itu dan menyuruh para pencatat untuk mencatat jawaban yang diberikan, tetapi tenaga Hoja mulai habis. Mungkin karena, seperti yang diutarakannya, kami tidak tahu tentang kebenaran itu, atau mungkin karena dia juga merasa terintimidasi oleh berbagai kekerasan yang tidak ada gunanya ini. Mungkin karena, perasaan bersalah yang menghantuinya pada malam hari, atau karena dia merasa sebal mendengar pasukan tentara dan para pasha menggumamkan ketidaksetujuan mereka tentang senjata itu dan berbagai kejadian di dalam hutan. Atau mungkin hanya karena dia sakit, entahlah. Suaranya yang serak tidak meledak-ledak lagi seperti dulu; dia telah kehilangan semangatnya yang dulu saat mengajukan berbagai pertanyaan yang jawabannya sudah diketahuinya. Di malam hari, ketika dia berbicara tentang kemenangan, masa depan, bahwa kami harus bangkit dan menyelamatkan diri, sepertinya seakan-akan bahkan suaranya sendiri, yang melemah dengan berjalannya waktu, tidak memercayai ucapannya. Bayangan terakhir yang kuingat tentang dirinya adalah ketika dia menginterogasi beberapa orang dari desa Slav yang kebingungan tanpa keyakinan, sementara hujan kuning yang seperti warna asap belerang mulai turun kembali. Kami tidak ingin mendengarkannya lagi dan menjaga jarak dari dirinya. Melalui cahaya remangremang yang ditelan derasnya hujan, kami melihat pandangan kosong mereka menatap permukaan cer min besar berbingkai emas yang dibawa Hoja ke hadapan mereka satu per satu.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Kami tidak melakukan ekspedisi "berburu" ini lagi; kami menyeberangi sungai dan memasuki tanah bangsa Polandia. Senjata kami tidak bisa berjalan melalui jalanan yang telah berubah menjadi tanah liat yang basah kuyup akibat hujan deras, yang semakin hari semakin deras, dan membuat pasukan perang bergerak dengan perlahan, padahal kami menginginkannya bergerak lebih cepat. Saat itulah berkembang desas-desus bahwa mesin perang kami yang memang sudah dibenci oleh para pasha membawa pertanda buruk, bahkan kutukan terhadap kami. Semua ini dibumbui gosip dari para abdi yang berpartisipasi dalam berbagai "eksperimen" Hoja. Seperti biasa, bukan Hoja, tetapi akulah, si kafir, yang disalahkan. Ketika Hoja memulai ocehannya, yang dibumbui dengan berbagai kalimat yang bahkan membuat sultan kesal, dan berbicara tentang betapa pentingnya senjata itu, tentang kekuatan musuh, bahwa kami semua harus meningkatkan moral dan melakukan sesuatu, para pasha yang mendengarkannya dari dalam tenda sultan merasa semakin yakin bahwa kami adalah pengkhianat dan senjata kami akan membawa nasib buruk. Mereka menilai Hoja sebagai orang sakit yang sudah gila, tapi masih bisa diselamatkan. Orang yang benar-benar berbahaya dan bersalah adalah aku, yang telah menipu Hoja dan sultan dan merupakan sumber semua gagasan buruk ini. Pada malam harinya, ketika kami masuk ke dalam tenda masing-masing, Hoja mengutuk para pasha dengan berangnya seperti yang biasa dilakukannya, ketika mengomentari orang-orang bodoh itu beberapa tahun yang lalu, tetapi tidak ada kegembiraan dan harapan yang kukira akan bisa terus bertahan selama bertahun-tahun itu.
Namun, aku tahu bahwa dia belum mau menyerah.
Dua hari kemudian, ketika senjata kami terjebak lumpur di tengah pasukan, aku sudah putus asa, tetapi Hoja terus berusaha, walaupun sedang sakit. Tidak ada yang mau membantu, bahkan seekor kuda pun tidak disediakan untuk membantu kami. Hoja pergi menemui sultan dan menemukan hampir empat puluh ekor kuda, melepaskan mereka dari meriam, dan mengumpulkan beberapa orang. Menjelang senja, setelah berusaha sepanjang hari di bawah tatapan orang-orang yang berharap senjata kami akan tetap terjebak dalam lumpur, dia mencambuk kuda-kuda itu dengan murka dan membuat serangga raksasa kami bergerak maju. Dia menghabiskan sepanjang malam berdebat dengan para pasha, yang ingin menyingkirkan kami dan mengatakan bahwa senjata itu menguras kekuatan tentara, selain juga membawa pertanda buruk. Tetapi, aku merasa bahwa dia sudah mulai tidak yakin bisa meraih kemenangan.
Malam itu di tenda kami, ketika aku mencoba memainkan lagu dengan oud yang kubawa untuk perjalanan itu, Hoja merebut alat musik itu dari tanganku dan melemparkannya. Apakah kau tahu bahwa mereka menginginkan kepalaku" Aku tahu. Katanya, dia akan senang bila kepalanya yang diincar mereka dan bukan kepalaku. Aku juga tahu itu, tetapi tidak mengatakan apa pun. Aku baru saja hendak memungut oud itu saat dia mencegahku, dan memintaku untuk bercerita tentang tempat itu, kampung halamanku. Ketika aku menceritakan beberapa karangan kecilku seperti yang kuceritakan pada sultan, dia menjadi marah. Dia menginginkan kebenaran, fakta yang nyata: dia bertanya tentang ibuku, tunangan, kakak, dan adikku. Ketika aku mulai menceritakan "kebenaran" padanya, dia mulai ikut bergabung, menggumamkan
kata-kata kasar dalam bahasa Italia yang diajarkan olehku, beberapa kalimat pendek yang tidak lengkap yang tidak bisa kupahami artinya.
Selama beberapa hari berikutnya, ketika dia melihat reruntuhan benteng yang telah ditaklukkan oleh pasukan yang terdahulu, aku merasa bahwa kepalanya dipenuhi berbagai pemikiran yang aneh dan jahat. Pada suatu pagi, saat kami berjalan melalui sebuah desa yang telah terkena gempuran meriam, dia turun saat melihat orang orang sekarat yang kesakitan di kaki dinding rumah, dan berlari mendekati mereka. Sambil mengamatinya dari kejauhan, mula-mula aku mengira dia hendak menolong mereka, seakan-akan dia hendak bertanya pada mereka tentang luka-luka mereka kalau saja dia membawa seorang penerjemah. Kemudian, aku menyadari bahwa dia sedang merasakan antusiasme yang sepertinya bisa kupahami; ada hal lainnya yang ingin dia tanyakan pada mereka. Hari berikutnya, ketika kami pergi bersama sultan untuk memeriksa sejumlah benteng dan menara kecil di kedua sisi jalan, dia tampak penuh semangat seperti kemarin. Dia melihat seorang lelaki yang terluka dengan kepala yang masih menempel di tubuhnya, sedang berbaring di antara reruntuhan bangunan yang sudah diratakan dengan tanah dan barikade kayu yang hancur oleh peluru meriam, dan berlari ke sisinya. Aku mengikutinya, mencegahnya agar tidak melakukan tindakan yang kejam, takut bahwa mereka akan mengira akulah yang menyuruhnya melakukan hal itu, atau mungkin karena aku penasaran saja. Dia seakan-akan yakin bahwa orangorang yang terluka itu, yang tubuhnya terkoyak-koyak akibat sambaran peluru dan meriam, akan mengatakan sesuatu padanya sebelum mereka mengenakan topeng kematian di
wajah mereka. Hoja sudah siap menginterogasi mereka sehingga mereka mungkin akan mengungkapkan isi hati mereka. Dari merekalah dia akan mengetahui kejujuran yang mendalam itu, yang bisa mengubah segalanya dalam sekejap mata. Tetapi, aku melihat dia langsung merasakan bahwa kepedihan pada wajah-wajah yang sekarat itu adalah kepedihan dirinya sendiri, dan saat berada di dekat mereka, Hoja tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Saat hari menjelang senja, sewaktu dia tahu bahwa sultan marah karena Istana Doppio masih belum dapat direbut padahal sudah dilakukan segala daya dan upaya, Hoja langsung menemui sultan, dengan suasana hati penuh semangat. Dia tampak gelisah saat kembali, tetapi sepertinya tidak tahu mengapa. Dia mengatakan pada sultan bahwa dia ingin mengirimkan senjatanya ke medan pertempuran, bahwa untuk hari inilah dia bekerja keras selama bertahun-tahun membuat senjata itu. Sang sultan, di luar dugaanku, sependapat bahwa waktunya telah tiba, namun mengatakan bahwa ia masih ingin memberikan kesempatan kepada Huseyn Pasha Si Pirang, yang telah diberinya tanggung jawab untuk menyerang istana tersebut. Mengapa sultan berkata demikian" Ini adalah salah satu pertanyaan yang selama bertahun-tahun tidak pernah bisa kuyakini apakah dia menanyakan pada dirinya sendiri atau padaku. Entah mengapa, aku tidak lagi merasa dekat dengannya, aku sudah jemu dengan kegelisahan ini. Hoja menjawab sendiri pertanyaan itu: karena mereka takut dia akan mencuri kemenangan ini.
Sampai sore hari berikutnya, saat kami tahu bahwa Huseyn Pasha Si Pirang masih belum mampu menaklukkan istana tersebut, Hoja mengumpulkan semua kekuatannya
untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memang benar. Semenjak beredarnya gosip bahwa aku pembawa sial dan seorang mata-mata, aku tidak pernah lagi mengunjungi tenda sultan. Malam itu, ketika dia pergi mengunjungi sultan untuk menafsirkan semua kejadian di hari ini, Hoja punya kesempatan untuk menceritakan kisah kemenangan dan ramalan yang bagus yang sepertinya dipercayai oleh sultan. Ketika kembali ke tenda kami, dia mengembuskan aura optimisme seorang lelaki yang yakin bahwa akhirnya dia akan berhasil mematahkan kaki si Setan. Saat aku mendengarkan ceritanya, aku tidak begitu terkesan oleh optimismenya; yang lebih mengesankan adalah usaha kerasnya untuk menjaga agar optimisme itu tetap bertahan.
Dia terus saja mengulangi cerita yang sama tentang kami dan mereka, tentang kemenangan yang akan segera kami raih, tetapi ada kesedihan yang dulu tidak pernah kudengar menyelip dalam suaranya, meningkahi semua cerita ini seperti sebuah nada memilukan, seakan-akan dia sedang membicarakan kenangan masa kanak-kanak yang telah kami ketahui dengan amat baik karena kami pernah menjalani kehidupan bersama-sama. Dia tidak memprotes saat aku meraih oud, saat aku memetik dawainya dengan canggung. Dia berbicara tentang masa depan, tentang hari-hari indah yang akan kami nikmati setelah kami berhasil mengubah aliran sungai ini ke arah yang kami inginkan, tetapi kami sama-sama tahu bahwa dia sedang membicarakan masa lalu. Visi ketenangan muncul di depan mataku, pepohonan yang indah dalam taman yang tersembunyi di belakang sebuah rumah, beberapa ruangan hangat yang gemerlap oleh cahaya, sebuah keluarga bahagia berkumpul di meja makan. Dia
memberikan perasaan damai untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun. Aku mengerti apa yang dirasakannya saat dia mengatakan akan terasa berat untuk pergi, karena dia mencintai orang-orang di sini. Lalu, dengan mengingat orang-orang itu sejenak, dia teringat pada orang-orang bodoh itu dan mulai marah, dan kurasa amarahnya beralasan. Tampaknya, perasaan optimisnya bukan pura-pura, mungkin karena kami merasakannya bersama-sama perasaan tentang akan munculnya kehidupan baru ini, atau karena aku mengira bahwa aku akan melakukan hal yang sama bila berada pada posisinya, entahlah.
Pagi hari berikutnya, ketika kami meluncurkan senjata itu, mengujinya, terhadap sebuah benteng kecil milik musuh yang berada di dekat pasukan terdepan, kami sama-sama memiliki perasaan aneh yang sama bahwa hal ini tidak akan terlalu sukses, Sekitar seratus tentara yang diperintahkan sultan untuk membantu kami melarikan diri tercerai-berai pada serangan pertama senjata tersebut. Beberapa di antara mereka bahkan mati terkena senjata itu sendiri; beberapa orang lainnya, setelah beberapa tembakan yang tidak efektif, terkena tembakan saat bagian-bagian senjata itu terjebak di dalam lumpur dan tutupnya terlepas. Kebanyakan mereka lari karena takut mendapatkan nasib sial, dan kami tidak mampu mengumpulkan mereka kembali untuk menyiapkan serangan berikutnya. Kami berdua tentulah telah memikirkan hal yang sama.
Lalu, saat Hasan Pasha si Kekar bersama pasukannya menguasai istana itu dengan hanya memakan sedikit korban dalam waktu satu jam, Hoja ingin menguji senjata itu sekali lagi, kali ini dengan harapan yang menurutku bisa kupahami dengan jelas. Tetapi, semua tentara kafir
di dalam benteng itu sudah mati; tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup di antara reruntuhan barikade yang terbakar itu. Dan, ketika dia melihat tumpukan kepala yang akan dibawa ke hadapan sultan, aku langsung tahu apa yang ada dalam pikirannya. Aku bahkan bisa merasakan bahwa kekagumannya masuk akal, tetapi sekarang aku tidak bisa melihat hal itu dilaksanakan sampai sejauh itu; maka aku pun membelakanginya. Sesaat kemudian, ketika aku menoleh kembali, karena penasaran, dia sedang menjauhi tumpukan kepala itu; aku tidak pernah tahu seberapa jauh dia melakukannya.
Pada tengah hari, kami kembali ke pasukan untuk mendengar berita bahwa Istana Doppio masih belum bisa ditaklukkan. Tentu saja sultan sangat murka, dan mempertimbangkan untuk menghukum Huseyn Pasha Si Pirang. Kami semua, seluruh pasukan, akan turut serta dalam peperangan itu! Sultan berkata pada Hoja bahwa bila istana itu belum juga bisa direbut pada malam hari itu, senjata kami akan digunakan saat penyerangan di pagi harinya. Saat itulah sultan memerintahkan agar para pemimpin yang tidak cakap, yang sepanjang hari ini tidak mampu menguasai benteng kecil itu, harus dipenggal saja kepalanya. Sultan tidak peduli pada kegagalan senjata kami di benteng itu, berita yang sekarang sudah menyebar ke seluruh pasukan. Sultan juga tidak menggubris desas-desus bahwa senjata itu membawa pertanda buruk. Hoja tidak lagi berbicara tentang berbagi kemenangan. Walaupun dia tidak mengatakannya, aku tahu bahwa dia memikirkan kematian peramal istana yang terdahulu. Dan, ketika aku membayangkan beberapa peristiwa di masa kanak-kanak atau binatang di tanah kami, aku tahu bahwa hal yang sama ini juga ada dalam benaknya. Aku juga
tahu bahwa dia sedang memikirkan bahwa berita kemenangan merebut istana itu adalah kesempatan kami yang terakhir, bahwa dia sebenarnya tidak yakin bisa memanfaatkan kesempatan ini, tidak menginginkannya. Aku tahu ada sebuah gereja kecil yang menara gentanya terbakar di sebuah desa yang dihancurkan dalam kemurkaan, karena istana itu tidak bisa ditaklukkan. Dan, di dalam gereja itu, doa yang dikumandangkan oleh seorang pendeta yang pemberani mengimbau kami memasuki kehidupan baru. Saat kami bergerak ke utara, matahari yang mulai terbenam di balik perbukitan telah membangkitkan dalam dirinya seperti juga dalam diriku, sebuah perasaan bahwa sesuatu sedang diam-diam dan penuh hatihati tengah dituntaskan menjadi sempurna.
Setelah matahari terbenam dan kami mendengar kabar bahwa Huseyn Pasha Si Pirang bukan saja telah gagal,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
tetapi bangsa Austria, Hongaria, dan Kazak telah bergabung dengan bangsa Polandia dalam pengepungan Doppio, akhirnya kami melihat istana itu. Bangunan itu berdiri di puncak bukit, menara-menaranya yang dihiasi banyak bendera tampak diterpa cahaya kemerahan dari matahari yang terbenam, dan istana itu berwarna putih; benar-benar putih dan sungguh indah! Entah mengapa aku berpendapat bahwa kita hanya bisa melihat sesuatu yang sedemikian cantik dan tak terjangkau itu dalam mimpi. Dalam mimpi itu, kita akan berlari di sepanjang jalan yang berkelok-kelok menembus hutan lebat, berusaha mencapai puncak bukit itu, bangunan dari gading itu; seakan-akan ada sebuah pesta dansa besar yang kita dambakan untuk bisa kita hadiri, sebuah kesempatan meraih kebahagiaan yang tidak ingin kita sia-siakan, tetapi walaupun kita mengira bisa segera tiba di ujung
jalan itu, ternyata jalan itu tidak pernah berakhir, Ketika aku mendapat kabar bahwa sungai yang meluap telah membentuk rawa-rawa berbau busuk di dataran rendah di antara hutan lebat dan kaki bukit, dan bahwa seluruh pasukan infantri, walaupun mampu melintasi rawa-rawa itu, tidak bisa mendaki bukit itu walaupun telah berusaha sekuat tenaga dengan bantuan tembakan meriam, aku membayangkan jalan yang telah membawa kami ke tempat ini. Seakan-akan semuanya sempurna seperti pemandangan istana putih itu dengan kawanan burung beterbangan di sekeliling menaranya, sama sempurnanya seperti lereng bukit berbatu itu dan keheningan hutan yang lebat. Sekarang, aku tahu bahwa banyak peristiwa kebetulan yang telah kualami selama bertahun-tahun ini ternyata tidak bisa dihindari, bahwa tentara kami tidak akan pernah berhasil mencapai menara putih istana itu, bahwa Hoja juga memikirkan hal yang sama. Aku sudah sangat menyadari bahwa pada saat kami bergabung dengan pengepungan itu di pagi hari, senjata kami akan terbenam di dalam rawa-rawa dan menewaskan semua tentara yang berada di dalam dan di sekelilingnya, dan akibatnya pasti akan muncul suara-suara yang menginginkan kepalaku untuk memadamkan kabar burung tentang kutukan, rasa takut, dan gerutuan di antara pasukan, dan aku tahu Hoja juga menyadari hal ini. Aku ingat bahwa di suatu waktu, bertahun-tahun yang lalu, dalam usaha memprovokasinya untuk bercerita tentang dirinya, aku mengungkapkan teman masa kecilku yang dengannya aku menumbuhkan kebiasaan untuk memikirkan hal yang sama pada saat yang bersamaan. Aku yakin bahwa dia juga memikirkan hal yang sama.
Ketika malam sudah agak larut, Hoja pergi ke tenda
sultan dan sepertinya dia tidak akan pernah kembali lagi, Untuk sejenak, karena aku bisa menerka dengan mudah apa yang akan dikatakannya pada sultan, yang pasti memintanya menafsirkan kepada para pasha berbagai peristiwa yang terjadi pada hari itu dan di masa yang akan datang, aku membayangkan kemungkinan bahwa dia dibunuh di sana saat itu juga dan para algojo itu akan segera mencariku. Kemudian, aku membayangkan dia meninggalkan tenda itu dan, tanpa mampir untuk menga-bariku, langsung menuju menara putih istana yang berkilauan dalam kegelapan malam, bahwa setelah menyelinap melewati para penjaga, melalui rawa-rawa dan hutan, dia sudah mencapai tempat itu. Aku sedang menunggu tibanya pagi, memikirkan kehidupan baruku tanpa antusiasme sedikit pun ketika dia kembali. Baru di kemudian hari, bertahun-tahun kemudian, setelah berbicara panjang lebar dengan mereka yang berada di dalam tenda sultan pada waktu itu, aku baru tahu bahwa Hoja mengatakan semua hal yang menurut dugaanku akan dikatakan olehnya. Waktu itu, dia tidak mengatakan apa-apa padaku, dia bergegas seperti orang yang hendak melakukan perjalanan jauh. Katanya ada kabut tebal di luar. Aku mengerti.
Sampai menjelang subuh aku berbicara dengannya tentang apa saja yang kutinggalkan di negeriku, mengatakan padanya cara menemukan rumahku, membicarakan ibu, ayah, kakak, dan adikku, bahwa kami dihormati di Empoli dan Florence. Aku menyebutkan beberapa hal kecil yang merupakan ciri khusus agar dia mudah mengenali anggota keluargaku. Saat berbicara, aku baru ingat bahwa aku pernah menceritakan semua ini padanya, sampai soal tahi lalat di punggung adik lelakiku. Sesekali, saat menghibur sultan, atau sekarang saat menulis buku ini,
semua cerita ini sepertinya hanya khayalanku saja, bukanlah kenyataan, tetapi saat itu aku meyakininya: gagap yang dialami adik perempuanku memang benar adanya, begitu juga dengan banyaknya kancing pada pakaian kami dan berbagai hal yang kulihat dari jendela yang menghadap ke kebun di belakang rumah kami. Menjelang pagi, aku mulai berpikir bahwa aku telah terbuai oleh berbagai cerita ini karena aku percaya semua itu akan terus berlanjut, mungkin dimulai saat aku tidak lagi mengalaminya, atau bahkan mungkin beberapa waktu kemudian. Aku tahu bahwa Hoja juga memikirkan hal yang sama, bahwa dengan senang dia memercayai semua ceritanya.
Kami saling bertukar pakaian tanpa ragu-ragu dan tanpa mengatakan apa-apa. Aku memberinya cincin dan kalung yang berhasil kusembunyikan darinya selama bertahun-tahun. Di dalamnya ada gambar buyutku dan sejumput rambut tunanganku yang sudah memutih. Tampaknya dia menyukai pemberianku itu, dan mengalungkannya di leher. Lalu, dia meninggalkan tenda dan pergi. Aku mengamatinya pelan-pelan menghilang ditelan kabut yang sunyi itu. Hari mulai terang, Dengan kelelahan, aku berbaring di tempat tidurnya dan tidur dengan damai.#
SEBELAS SEKARANG AKU sudah mencapai akhir buku ini. Mungkin para pembaca yang mengerti, yang memutuskan bahwa ceritaku sudah usai sejak beberapa bab yang lalu, sudah melemparkannya. Adakalanya aku pun ingin melakukannya. Aku memasukkan berkas naskah ini ke dalam laci beberapa tahun yang lalu, dan bertekad untuk tidak akan pernah membacanya lagi. Pada hari-hari itu, aku sudah berniat untuk mengalihkan pikiranku ke cerita lain yang kukarang, bukan untuk sultan, tetapi untuk kesenanganku sendiri: kisah cinta yang terjadi di negeri yang tidak pernah kulihat, di gurun terpencil dan hutan yang beku, melibatkan saudagar culas yang merambah daerah itu seperti seekor serigala. Pokoknya, aku ingin melupakan buku ini, cerita ini. Aku tahu tidak akan mudah setelah mendengar dan mengalami semua itu, namun mungkin aku akan bisa melupakannya kalau saja tidak ada tamu yang datang mengunjungiku dua minggu lalu, dan membujukku untuk mengeluarkan buku itu lagi. Sekarang akhirnya, aku tahu bahwa dari semua buku yang kutulis, cerita inilah yang paling kusukai. Aku akan menyelesaikannya sebagaimana seharusnya diselesaikan, sebagaimana yang kuinginkan, sebagaimana yang kukhayalkan akan kulakukan.
Dari meja tua tempatku menyelesaikan buku ini, aku
bisa melihat sebuah kapal laut kecil mengarungi lautan dari Jennethisar ke Istanbul, sebuah penggilingan di kejauhan di antara kebun zaitun, anak-anak yang saling mendorong ketika bermain di taman di bawah pohon fig, jalanan berdebu dari Istanbul ke Gebze. Selama musim dingin, salju turun di tempat ini. Pada musim semi dan musim panas, aku melihat rombongan karavan bergerak ke timur, ke Anatolia, bahkan ke Baghdad, dan Damaskus. Aku sering melihat kereta sapi yang sudah rusak bergerak dengan lambatnya, dan sesekali aku gembira ketika melihat seorang pengendara kuda di kejauhan yang memakai baju yang tidak bisa kukenali, tetapi ketika pengembara itu sudah dekat, aku sadar bahwa dia bukan datang untuk menemuiku. Pada hari-hari ini, tidak ada orang yang suka bertamu, dan sekarang aku tahu tak seorang pun akan bertamu,
Tapi, aku tidak mengeluh, dan tidak merasa kesepian: aku sudah menabung banyak uang selama menjadi peramal istana. Aku menikah, punya empat orang anak. Aku meramalkan kesulitan yang akan datang dan mengundurkan diri dari kedudukanku pada waktunya, mungkin berkat wawasan yang kudapatkan setelah mempraktikkan profesiku. Sebelum tentara sultan bertolak menuju Wina, sebelum para badut penjilat dan peramal istana penggan-tiku dijatuhi hukuman mati setelah mengalami kekalahan beruntun, sebelum sultan kami yang sangat mencintai binatang peliharaannya itu ditumbangkan, aku melarikan diri ke sini, ke Gebze. Aku membangun rumah ini dan pindah ke sini sambil membawa semua buku yang kucintai, anak-anakku, dan beberapa orang pembantu. Istriku, yang kunikahi ketika aku masih memegang jabatan sebagai peramal istana, jauh lebih muda dariku, seorang ibu
rumah tangga yang baik yang mampu menangani seluruh rumah dan melakukan beberapa tugas kecil untukku, dan membiarkanku menulis buku dan berkhayal, menua mendekati usia tujuh puluh tahun, sendirian sepanjang hari di dalam ruangan ini. Jadi, untuk menemukan akhir yang cocok untuk cerita dan kehidupanku, aku memikirkan "nya" dengan sepenuh hati.
Namun, pada tahun-tahun pertama aku berusaha untuk tidak melakukannya. Sekali atau dua kali ketika sultan ingin berbicara tentang "dia", dia menyadari bahwa hal tersebut sama sekali tidak menarik bagiku. Aku percaya sultan cukup puas untuk membiarkan hal tersebut. Dia hanya penasaran saja, tetapi apa yang sebenarnya membuatnya penasaran dan seberapa besar rasa penasarannya itu, aku tidak pernah tahu. Mulanya, dia berkata bahwa aku tidak usah malu karena telah dipengaruhi oleh "nya", telah belajar dari "nya". Dia sudah tahu sejak awal bahwa semua buku itu, berbagai kalender dan ramalan yang kukemukakan selama bertahun-tahun itu ditulis oleh "nya", dan pernah mengatakan hal itu pada "nya" bahkan ketika aku bekerja keras di rumah membuat desain senjata kami yang akhirnya kandas di rawa-rawa. Sultan juga tahu bahwa "dia" telah mengatakan semua ini padaku, sama seperti aku juga mengatakan semua hal pada "nya." Mungkin saat itu kami belum kehilangan hubungan itu sepenuhnya, tetapi aku menyadari bahwa sultan lebih kokoh dibandingkan denganku. Pada hari-hari itu aku berpikir bahwa sultan lebih cerdas dibandingkan denganku, mengetahui semua hal yang seharusnya dia ketahui, dan mempermainkanku agar bisa menguasaiku dengan lebih mantap. Dan mungkin, aku juga terpengaruh oleh rasa terima kasihku padanya karena telah menyelamatkanku
dari kekalahan akibat mesin yang terbenam di rawa-rawa itu, dan dari amarah para tentara yang sangat mencemaskan gosip tentang kutukan itu. Karena, ketika mereka mengetahui bahwa si kafir itu sudah melarikan diri, sebagian dari tentara itu menginginkan kepalaku. Kalau saja pada tahun pertama dia mengajukan pertanyaan dengan bergurau, pastilah aku akan menceritakan semuanya pada sultan. Pada saat itu, kabar burung bahwa aku bukanlah diriku masih belum muncul. Aku ingin berbicara dengan seseorang tentang apa yang telah terjadi, aku merindukan "nya". "
Tinggal sendirian di rumah yang sudah kami tinggali bersama-sama selama bertahun-tahun membuatku semakin gelisah. Sakuku dipenuhi uang, tak lama kemudian kakiku membawaku ke pasar budak; aku bolak-balik ke situ sampai menemukan apa yang kucari. Pada akhirnya aku membeli seorang budak belian yang sebenarnya tidak mirip denganku ataupun dengan "nya" dan membawanya pulang. Malam itu, aku menyuruhnya mengajariku setiap hal yang diketahuinya, menceritakan negerinya, masa lalunya, bahkan mengakui semua dosa yang pernah dilakukannya. Ketika aku membawanya ke depan cermin, dia tampak takut padaku. Malam itu sungguh mengerikan, aku kasihan pada orang bodoh itu. Aku bermaksud hendak membebaskannya keesokan paginya, tetapi sifat kikirku muncul dan aku membawanya ke pasar budak untuk menjualnya kembali. Setelah itu, aku memutuskan untuk menikah dan membiarkan niatku itu menyebar ke para tetangga. Mereka berdatangan dengan gembira, membayangkan bahwa pada akhirnya mereka bisa membuatku menjadi kerabat mereka, bahwa kedamaian akan muncul di lingkungan perumahan itu. Aku juga merasa ingin
menjadi seperti mereka, aku merasa optimis, aku mengira kabar burung itu sudah berhenti, bahwa aku bisa hidup dengan damai, mengarang berbagai cerita untuk sultan tahun demi tahun. Aku memilih istri dengan sangat berhati-hati; dia bahkan pintar memainkan oud untuk menghiburku di malam hari.
Ketika kabar burung itu mulai berembus lagi, mula-mula aku berpikir bahwa ini pastilah salah satu permainan sultan lagi, karena aku yakin dia senang mengamati kegelisahanku dan mengajukan berbagai pertanyaan yang membuatku tidak nyaman. Pada mulanya aku tidak begitu kaget ketika dia tiba-tiba mengatakan hal seperti, "Apakah kita mengenal diri kita sendiri" Kita pasti memahami siapa diri kita yang sebenarnya." Kurasa sultan mempelajari berbagai pertanyaan aneh itu dari orang-orang berpengetahuan luas yang tertarik pada filosofi Yunani, yakni para penjilat yang mulai dikumpulkannya lagi di sekitarnya. Ketika dia memintaku menuliskan perkara itu,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
kuberikan bukuku yang terakhir tentang kijang dan burung pipit yang merasa damai karena mereka tidak pernah memikirkan diri mereka dan tidak mengetahui siapa diri mereka sebenarnya. Ketika aku menyadari bahwa sultan membaca buku itu dengan sangat serius dan dengan gembira, aku merasa agak tenang, tetapi kabar burung itu mulai mampir di telingaku. Dikabarkan bahwa aku memperlakukan sultan seperti orang bodoh, aku bahkan tidak mirip dengan orang yang kugantikan kedudukannya. "Dia" lebih kurus dan lebih gemulai, sementara aku sudah mulai tambun. Mereka tahu aku berbohong ketika mengatakan bahwa aku tidak mengetahui semua yang "dia" ketahui. Suatu hari kelak, pada saat pecah perang, aku juga pasti akan membawa pertanda buruk, lalu melarikan diri seperti yang dilakukan "nya". Aku pasti akan membocorkan rahasia negara kepada musuh dan menyebabkan kekalahan, dll. Untuk melindungi diriku dari semua kabar burung ini, yang menurutku dimulai oleh sultan, aku menghindari berbagai perayaan dan pesta, tidak terlalu sering terlihat di depan umum, menguruskan badan, dan dengan berhati-hati mencari tahu apa yang didiskusikan di dalam tenda sultan pada malam terakhir itu. Istriku melahirkan anak satu per satu, penghasilanku cukup bagus, aku ingin melupakan semua kabar burung itu, melupakan "dia", melupakan masa lalu, dan melanjutkan pekerjaanku dengan damai.
Aku bertahan selama tujuh tahun lagi. Mungkin bila mentalku lebih kuat, atau yang lebih penting lagi, bila aku tidak merasakan bahwa akan ada lagi pembersihan orang-orang di sekeliling sultan, aku akan terus menduduki jabatan itu sampai masa baktiku selesai. Aku akan melewati berbagai pintu yang dibukakan sultan untukku dan melepaskan kehidupan lama yang ingin kulupakan.
Sekarang, aku tidak malu lagi menjawab berbagai pertanyaan tentang jati diriku yang pada mulanya selalu membuatku waspada: "Apakah yang penting dari seseorang?" Aku akan menjawab, "Yang penting adalah apa yang telah kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan." Aku yakin bahwa melalui pintu inilah sultan memasuki pikiranku! Ketika dia memintaku bercerita tentang Italia, tentang negeri yang menjadi tujuan pelarian "nya", dan aku menjawab bahwa aku tidak begitu tahu tentang ne-geri itu, dia menjadi marah. Sultan tahu bahwa "dia" sudah menceritakan semuanya padaku, mengapa aku takut, sudah cukup bila aku ingat apa yang dikatakan "nya" saja. Jadi, kuceritakan lagi semua hal teperinci pada sultan, tentang masa kanak-kanak "nya" dan berbagai
kenangan indah "nya," yang beberapa di antaranya kumasukkan dalam buku ini. Mula-mula, aku masih belum terlalu gentar, sultan menyimakku seperti yang kuinginkan seakan-akan mendengarkan seseorang yang menceritakan hal-hal yang didengarnya dari orang lain, namun dalam tahun-tahun berikutnya sultan menuntut lebih banyak lagi. Dia mulai mendengarkan ucapanku seakan-akan "dia" lah yang sedang berbicara: dia menanyaiku berbagai perincian yang hanya diketahui oleh "nya," mengatakan padaku untuk tidak takut, untuk memberikan jawaban pertama yang melintas di benakku: kejadian apakah yang menyebabkan saudara perempuan "nya" gagap" Mengapa "dia" tidak diterima di Universitas Padua" Apa warna baju yang dipakai kakak "nya" ketika pertunjukan kembang api pertama yang dilihat "nya" di Venesia" Ketika aku menceritakan dengan teperinci pada sultan seakan-akan semuanya pernah terjadi pada diriku, kami akan menghabiskan waktu sepanjang hari di perairan, atau beristirahat di tepi kolam ditemani kodok dan bunga teratai, mengamati monyet yang tidak tahu malu di dalam sangkar peraknya, atau berjalan di salah satu taman yang, karena mereka pernah berjalan-jalan di sini bersamasama, dipenuhi berbagai kenangan yang mereka alami.
Lalu, karena puas dengan berbagai ceritaku dan bermain-main dengan kenangan kami yang berkembang seperti mekarnya bunga di taman, sultan akan merasa lebih dekat denganku dan membicarakan "dia" seakan-akan sedang mengenang seorang teman lama yang telah mengkhianati kami. Katanya ada bagusnya "dia" melarikan diri, karena walaupun sultan menganggapnya menarik, dia sering kehilangan kesabaran dengan sikap "nya" yang kurang sopan dan pernah berpikir untuk membunuh "nya."
Sultan mengungkapkan berbagai hal yang menakutkanku karena aku tidak yakin siapa yang sedang dibicarakannya, apakah aku atau "dia," tetapi sultan berbicara dengan penuh nada cinta, bukan kekejaman. Ada saat-saat ketika, karena sudah tidak tahan lagi oleh sikap "nya" yang acuh tak acuh, sultan khawatir kalau-kalau dia akan memerintahkan orang membunuh "nya" karena terbawa emosi pada malam terakhir itu, dia hampir saja memanggil algojo! Lalu, dia mengatakan bahwa aku orang yang sopan, aku tidak menilai diriku sebagai orang yang paling cerdas, orang yang paling hebat di dunia, aku tidak sok tahu dalam menafsirkan kegentaran terhadap wabah itu demi kepentinganku sendiri, aku tidak membuat semua orang terjaga di malam hari mendengarkan dongeng tentang raja cilik yang dibunuh di papan salib.
Dan sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa menjadi tempatku mengadu di rumah dan mengulangi serta melecehkan impian sultan setelah mendengarkan semuanya, tidak ada yang bisa menemaniku menuliskan berbagai cerita fiksi konyol dan menarik untuk membuai sultan! Ketika aku mendengarkan semua itu, rasanya aku melihat diriku sendiri, melihat kami berdua, dari luar seperti sebuah mimpi, dan aku pun sadar bahwa kami telah mencapai akhir perjalanan. Tapi, di bulan-bulan akhir, seakan-akan ingin membuatku geram, sultan melangkah lebih jauh lagi: aku tidak seperti "dia", aku tidak menyerahkan pikiranku kepada para filsuf yang ingin membeda-bedakan antara "kami" dan "mereka" seperti yang telah "dia" lakukan! Selama pertunjukan kembang api, sultan yang baru berumur delapan tahun telah mengamati dari seberang pantai sebelum beliau bertemu dengan kami, Setanku telah membawakan kemenangan bagi setan
lainnya di angkasa gelap untuk "nya," dan sekarang telah pergi bersama "nya" ke tanah yang diyakininya akan memberikan kedamaian! Kemudian, ketika berjalan-jalan di taman yang selalu berlangsung sama, sultan mengajukan pertanyaan dengan serius: apakah seseorang harus menjadi sultan untuk memahami bahwa semua manusia, di keempat penjuru dunia dan tujuh benua, saling bermiripan" Karena ketakutan, aku tidak berkata apa-apa. Seakan-akan untuk memecahkan kegigihanku, dia bertanya sekali lagi: bukankah merupakan bukti yang terbaik bila manusia di mana-mana sama dengan manusia lainnya, sehingga mereka bisa saling menggantikan posisi pasangannya itu"
Karena aku berharap bahwa sultan dan aku bisa melupakan "nya" suatu hari kelak, dan karena aku sudah berjaga-jaga dengan semakin rajin menabung, aku bisa menjalani semua siksaan ini dengan penuh kesabaran, karena aku sudah terbiasa dengan rasa takut yang muncul secara samar-samar. Sultan membuka dan menutup pikiranku tanpa belas kasihan, seakan-akan lari dari satu tempat ke tempat lain untuk mengejar seekor kelinci di dalam hutan, di saat kami kehilangan arah. Dan yang lebih parah lagi, sekarang sultan melakukannya di depan orang lain; dia sekarang dikelilingi oleh para penjilat lagi. Aku takut karena menduga pasti akan ada kerusuhan lagi, dan semua harta benda kami pasti disita, karena aku merasakan akan segera muncul masalah. Aku memutuskan untuk untuk melarikan diri dari Istanbul secepat mungkin pada hari itu, ketika sultan menyuruhku bercerita tentang jembatan di Venesia, tentang hiasan di taplak meja yang menjadi tempat sarapan "nya" sewaktu masih kecil, tentang pemandangan melalui jendela yang menghadap
ke taman di belakang rumah "nya" yang diingat "nya" ketika kepala "nya" akan dipenggal karena menolak masuk Islam ketika sultan menyuruhku menuliskan semua cerita ini dalam bentuk buku, seakan-akan semua itu pengalamanku sendiri.
Aku pindah ke rumah lain di Gebze untuk bisa melupakan "nya". Mula-mula aku takut penjaga istana akan mengejarku, tetapi tidak ada seorang pun yang mencariku, dan penghasilanku tidak pernah diganggu gugat, entah karena aku telah dilupakan atau karenasultan diam-diam menyuruh orang mengawasiku. Aku tidak memikirkan hal itu lagi; aku mulai mengerjakan tugasku, membangun rumah ini, menata taman belakang seperti yang kuinginkan, menuruti kata hatiku. Aku mengabiskan waktu dengan membaca buku, menulis cerita untuk memuaskan hatiku sendiri, dan menasihati para pengunjung yang datang untuk berkonsultasi denganku karena mereka tahu aku pernah menjadi peramal istana. Semua itu kulakukan karena aku menyukainya, bukan karena uang yang mereka bayarkan. Mungkin dari merekalah aku belajar mengenal negeri yang kutinggali sejak masa kanak-kanak dulu. Sebelum aku bersedia meramalkan nasib para penyandang cacat, atau orang yang bingung karena kehilangan anak atau saudaranya, orang yang sakit menahun, para ayah yang anak perempuan masih belum juga menikah, kaum lelaki yang tidak pernah mencapai tinggi tubuh yang diinginkannya, para suami yang cemburu, orang buta, pelaut, dan para kekasih tanpa harapan yang bermata liar, aku meminta mereka menceritakan kehidupan mereka dengan panjang lebar. Lalu, pada malam harinya aku menuliskan semua yang kudengar itu dalam buku catatan sehingga bisa digunakan untuk mengarang cerita, seperti
yang kulakukan dengan buku ini.
Pada tahun-tahun itu jugalah aku berkenalan dengan lelaki tua yang membawa kepiluan yang amat sangat ke dalam ruanganku, Dia mungkin sepuluh atau lima belas tahun lebih tua dariku. Begitu aku melihat kesedihan pada wajah lelaki yang dikenal sebagai Evliyal ini, aku langsung tahu bahwa kesepian adalah masalahnya yang terutama, tetapi dia tidak mengakuinya. Sepertinya dia membaktikan seluruh kehidupannya untuk mengembara dan menulis kisah pengembaraannya setebal sepuluh jilid yang sebentar lagi akan selesai ditulis. Sebelum mati, dia berniat untuk melakukan perjalanan ke tempat yang paling dekat dengan Allah, ke Makkah dan Madinah, dan menulis tentang kedua tempat itu pula. Tapi, ada sesuatu yang hilang dalam bukunya, dan hal itu mengganggu pikirannya. Tadinya, dia ingin bercerita kepada para pembacanya tentang pegunungan dan jembatan di Italia yang kecantikannya sudah sering didengarnya, dan dia bertanya-tanya apakah aku, yang ditemuinya karena kemasyhuran namaku di Istanbul, bisa menceritakan semua itu padanya" Ketika kukatakan bahwa aku belum pernah melihat Italia, dia mengatakan bahwa dia sudah tahu tentang hal itu, sama seperti orang lain, tetapi pernah mendengar bahwa aku pernah memiliki seorang budak yang berasal dari tempat itu, yang pernah menceritakan semuanya padaku. Bila aku kemudian menceritakannya pada Evliya, dia akan memberikan imbalan kepadaku berupa sejumlah lelucon yang mencengangkan: bukankah men-ciptakan dan mendengarkan berbagai cerita yang aneh adalah bagian kehidupan yang paling menyenangkan"
lEvliya Chelebi (sekitar 1611-1682) adalah pengarang buku masyhur Book of Travels (Seyathaname),
Ketika dengan malu-malu dia mengeluarkan sebuah map dari dalam tas kerjanya, peta Italia paling jelek yang pernah kulihat, aku memutuskan untuk menceritakan semua yang ingin diketahuinya.
Dengan tangannya yang gemuk dan kekanak-kanakan, dia mulai menunjuk berbagai kota di peta itu dan setelah mengeja setiap nama kota itu satu demi satu suku kata, dengan berhati-hati dia menuliskan setiap kisah yang kuceritakan. Untuk setiap kota itu, dia juga ingin diceritai kisah yang menimbulkan rasa penasaran. Dengan menghabiskan waktu tiga belas malam di tiga belas kota dengan cara ini, kami menyusuri daratan yang baru kulihat untuk pertama kalinya ini dari utara ke selatan, kemudian kembali ke Istanbul melalui Sisilia. Begitulah kami menghabiskan waktu sepanjang pagi itu. Dia sangat puas dengan semua ceritaku, sehingga memutuskan untuk memberikan imbalan berupa aneka cerita yang juga menarik: pemain akrobat yang pintar meniti tali yang menghilang ke langit di Acre, wanita Konya yang melahirkan seekor gajah, banteng bersayap biru di pantai Sungai Nil, kucing berwarna merah muda, menara jam di Wina, gigi seri palsu yang dibuatnya di sana dan sekarang dipamerkannya sambil menyeringai, gua yang bisa bicara di pantai Laut Azov, semut merah dari Amerika, Entah mengapa semua cerita ini menimbulkan rasa pilu sehingga aku merasa ingin menangis. Cahaya merah dari matahari yang terbenam menyorot masuk ke dalam kamarku. Ketika Evliya bertanya apakah aku juga punya kisah-kisah menarik seperti itu, kurasa aku bisa mengejutkannya dan mengajaknya serta para pembantunya untuk menginap: aku punya sebuah cerita yang pasti membuatnya kegirangan, tentang dua orang lelaki yang bertukar kehidupan.
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
Pada malam setelah semua orang masuk ke kamarnya masing-masing, setelah keheningan yang kami nantikan itu menyelimuti rumah, kami kembali ke kamar itu. Itulah saat pertama kalinya aku membayangkan cerita yang akan Anda selesaikan ini! Cerita yang kukisahkan sepertinya tidak dibuat-buat, melainkan benar-benar nyata, seakan-akan ada orang lain yang membisikkan semua kata ini ke telingaku, kalimat demi kalimat secara berurutan: "Kami sedang berlayar dari Venesia ke Napoli ketika armada Turki muncul
Lama setelah tengah malam, ketika ceritaku sudah usai, ruangan hening untuk beberapa saat lamanya. Aku merasakan bahwa kami berdua memikirkan "dia", tapi "dia" dalam pikiran Evliya sangat berbeda dengan "dia" dalam pikiranku. Aku yakin sekali bahwa dia sedang memikirkan kehidupannya sendiri! Sementara aku, aku memikirkan kehidupanku, kehidupan "nya," bahwa aku sangat menyukai cerita yang kuciptakan ini, dan merasa bangga dengan semua yang kujalani dan kuimpikan. Ruangan tempat kami duduk dipenuhi dengan berbagai kenangan sedih tentang kehidupan yang kami inginkan dan kehidupan kami saat ini. Saat itulah aku benar-benar menyadari untuk pertama kalinya bahwa aku tidak akan mampu melupakan "nya", bahwa hal ini akan membuatku merasa sedih seumur hidup. Aku tahu saat itu bahwa aku tidak mampu hidup sendirian: seakan-akan di keheningan malam itu, seiring dengan ceritaku, bayangan sebuah ruh yang menarik hati merasuki seluruh ruangan itu, memunculkan rasa penasaran yang membuat kami terus siaga. Menjelang subuh, tamuku membuatku senang dengan mengatakan bahwa dia sangat menyukai ceritaku, tetapi menambahkan bahwa dia tidak menyetujui beberapa hal kecil. Mungkin
untuk menyingkirkan kenangan tentang kembaranku dan agar bisa kembali secepat mungkin ke kehidupanku yang sekarang, aku memberikan perhatian sepenuhnya padanya.
Dia sependapat bahwa kami harus mencari berbagai keanehan dan hal yang mengejutkan, seperti dalam ceritaku. Ya, mungkin inilah salah satu hal yang bisa kami lakukan untuk memerangi dunia menjemukan dan melelahkan ini. Karena dia telah menyadari hal ini sejak masa kecil dan masa sekolahnya yang monoton, seumur hidup dia tidak pernah berniat untuk mengurung diri dibatasi empat dinding. Karena itulah dia menghabiskan seluruh hidupnya bertualang, mencari cerita yang tidak pernah ada habis-habisnya. Tetapi, kita harus mencari berbagai hal aneh dan mengejutkan di dunia ini, bukan yang ada di dalam diri kita sendiri! Jika kita hanya mencari ke dalam diri sendiri, menghabiskan waktu lama dan bekerja keras memikirkan diri sendiri kita tidak akan penah bahagia. Inilah yang terjadi pada berbagai tokoh dalam ceritaku: karena inilah para pahlawan tidak pernah puas menjadi dirinya sendiri, karena inilah mereka selalu ingin menjadi orang lain. Marilah kita berandai-andai bahwa ceritaku itu memang nyata. Apakah aku yakin bahwa kedua orang lelaki yang saling menjalani kehidupan kembarannya itu bisa hidup bahagia dalam kehidupan barunya" Aku terdiam. Lalu, entah karena alasan apa, dia mengingatkanku tentang satu hal dalam ceritaku: kami tidak boleh membiarkan diri kami dibuai dengan harapan seorang budak Spanyol bertangan satu! Bila kami membiarkannya, maka sedikit demi sedikit, dengan menuliskan berbagai dongeng tersebut, dengan mencari-cari keanehan dalam diri kami, maka kami pun akan menjadi orang lain, dan amit-amit,
para pembaca cerita ini pun akan mengalami hal yang sama. Dia bahkan tidak mau memikirkan tentang betapa mengerikannya dunia ini bila orang selalu membicarakan dirinya sendiri, membicarakan keunikan dirinya sendiri, bila semua buku dan cerita mereka selalu menceritakan hal ini. Tetapi, aku ingin begitu! Jadi, ketika lelaki tua yang pada akhirnya sangat kusukai hanya dalam waktu sehari ini mengumpulkan pembantunya di saat subuh untuk berangkat menuju Makkah, dan mulai beranjak ke jalan, aku langsung duduk dan menuliskan ceritaku ini. Demi para pembaca di dunia yang akan seperti itu, aku berusaha keras agar aku maupun diri "nya", yang tidak bisa kupi-sahkan dari diriku, menjadi benar-benar hidup nyata dalam cerita ini. Tetapi, akhir-akhir ini, ketika melihat kembali tulisan yang telah kusingkirkan enam belas tahun yang lalu, kurasa aku belum terlalu berhasil. Jadi, aku minta maaf kepada pembaca yang tidak suka ketika seseorang membicarakan dirinya sendiri, khususnya ketika dia terjebak dalam emosi yang sedemikian membingungkan dan menambahkan berbagai halaman ini ke dalam bukuku.
Aku menyayangi "dia", aku menyayangi "nya" seperti aku mencintai hantu memilukan tak berdaya yang mewakili sosok diriku, yang muncul dalam mimpiku, seakan-akan terbelenggu oleh perasaan malu, amarah, perasaan berdosa, dan melankolis yang dirasakan oleh sosok hantu itu, seakan-akan merasa malu ketika melihat binatang liar sekarat yang sedang kesakitan, atau yang geram karena keegoisan anakku yang sangat manja. Dan, mungkin aku menyayangi "nya" karena kegembiraan konyol dan rasa muak yang konyol karena mengenali diriku sendiri. Cintaku kepada "nya" mirip dengan caraku yang menjadi terbiasa dengan berbagai gerakan tangan dan kakiku yang mirip
dengan gerakan serangga, seperti caraku memahami berbagai pemikiran yang setiap hari menggema di dinding benakku dan kemudian menghilang, seperti caraku mengenali bau unik keringat tubuhku yang memilukan ini, rambutku yang menipis, mulutku yang jelek, tanganku yang merah muda yang memegang pena. Karena semua alasan inilah mereka tidak mampu menipuku. Setelah aku menuliskan buku ini dan, agar aku bisa melupakan "nya" dengan menyingkirkan buku itu, aku tidak pernah terpengaruh lagi oleh berbagai kabar burung yang beredar, permainan orang-orang yang pernah mendengar kemasyhuran kami dan ingin memetik keuntungan dari kemasyhuran kami itu sama sekali tidak pernah! Beberapa orang pasha di Kairo melindungi "nya" dan sekarang "dia" sedang merancang senjata baru! Dia berada di dalam dinding kota Wina ketika berlangsung pengepungan yang tidak berhasil, menasihati musuh tentang cara mengalahkan kami! Dia pernah terlihat di Edirne ketika menyamar menjadi seorang pengemis, dan dalam pertengkaran yang dipicunya di antara para saudagar, "dia" menusuk seorang pembuat selimut, lalu menghilang! Dia menjadi imam di masjid di sebuah desa di Anatolia, mendirikan ruangan jam orang-orang yang menceritakan hal ini bersumpah bahwa semuanya itu benar, dan "dia" mulai mengumpulkan dana untuk membangun ruangan jam! Dia menjadi kaya dengan menulis sejumlah buku di Spanyol, tempat yang ditujunya setelah wabah itu melanda! Orang-orang bahkan mengatakan bahwa "dia"lah yang merencanakan penggulingan sultan kami dari singgasananya! Dia tinggal di desa-desa Slav, dan di situ dia diperlakukan dengan penuh penghormatan sebagai pendeta epilepsi yang legendaris, menulis sejumlah buku yang dipenuhi kesedihan berdasarkan berbagai
pengakuan yang akhirnya bisa "dia" dapatkan! Dia berjalan-jalan di sekitar Anatolia, mengatakan bahwa dia akan menyingkirkan para abdi bodoh sultan, memimpin sekelompok orang yang dibuainya dengan berbagai ramalan dan puisi, dan mengimbauku untuk bergabung dengan "nya"! Selama enam belas tahun ketika aku menulis berbagai cerita untuk melupakan "nya", untuk mengalihkan perhatianku dengan mengotak-atik orang-orang yang mengerikan dan dunia masa depan mereka yang mengerikan itu, untuk mengalami kesenangan sepenuhnya dari khayalanku, aku mendengar berbagai variasi kabar burung ini, tetapi aku sama sekali tidak memercayai satu pun di antaranya. Aku tidak tahu, apakah semua ini pernah terjadi pada orang lain: kadang-kadang, ketika kam merasa terkungkung oleh keempat dinding di Tanduk Emas, kadang-kadang, sambil menunggu undangan yang sepertinya tidak pernah datang dari gedung atau istana, kami memelihara rasa benci kami terhadap yang lain, atau saling tersenyum ketika kami menulis risalah baru untuk sultan, dalam pernak-pernik kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama, kami memusatkan perhatian pada sebuah perincian kecil: seekor anjing basah-kuyup yang pernah kami lihat bersama-sama di pagi hari itu ketika hujan sedang turun, geometri yang tersembunyi dalam aneka warna dan bentuk tali cucian yang tergantung di antara dua batang pohon, salah ucap yang memunculkan kesamaan kehidupan kami! Inilah saat-saat yang paling kurindukan! Dan untuk alasan inilah aku kembali ke buku bayanganku, dan membayangkan bahwa akan ada orang yang penasaran yang bersedia membacanya bertahuntahun kemudian, mungkin ratusan tahun setelah kematian "nya", dan membayangkan kehidupannya sendiri, bukan kehidupan
kami. Buku ini sebenarnya tidak ada pengaruhnya bagiku seandainya tidak seorang pun mau membacanya. Di dalamnya aku menyembunyikan nama "nya" jauh di dalamnya, terkubur sangat dalam, sehingga mungkin aku akan bisa sekali lagi memimpikan malam-malam wabah itu, tentang masa kecilku di Edirne, tentang saat-saat menyenangkan yang kualami di taman istana sultan, ketika pertama kali aku melihat "nya" tanpa janggut di depan pintu rumah pasha, tentang berdirinya bulu kudukku. Untuk bisa merasakan kembali kehidupan dan mimpi kami yang telah hilang, karena semua orang pasti memahami kebutuhan untuk memimpikan semua hal ini lagi, aku memercayai ceritaku ini!
Aku akan mengakhiri buku ini dengan menceritakan hari ketika aku memutuskan untuk menyelesaikannya. Dua minggu yang lalu, ketika aku duduk lagi di meja kami, mencoba mengkhayalkan cerita baru, aku melihat seorang pengendara kuda mendekat dari jalanan dari arah Istanbul. Akhirakhir ini, tidak ada yang membawakan berita tentang"nya", mungkin karena aku bersikap kasar pada para tamuku sehingga rasanya tidak akan ada yang mau mengunjungiku lagi. Tetapi, segera setelah aku melihat kedatangan penunggang kuda itu, yang memakai jubah dan memegang payung, aku tahu bahwa dia datang untuk menemuiku. Aku sudah bisa mendengar suaranya sebelum dia masuk ke kamar. Dia berbicara dalam bahasa Turki dengan kesalahan yang dulu biasa diucapkan "nya", walaupun tidak sebanyak kesalahan "nya". Tetapi, begitu dia masuk ke kamarku, dia langsung berbicara dalam bahasa Italia.
Ketika dia melihat wajahku menjadi masam dan aku tidak menanggapinya, dia berkata dalam bahasa Turkinya
yang buruk itu bahwa dia mengira setidaknya aku mengenal sedikit bahasa Italia. Lalu, dia menjelaskan bahwa dia mengetahui namaku dan siapa diriku dari "dia". Setelah kembali ke negeri "nya", "dia" menulis setumpuk buku yang menceritakan petualangan "nya" yang menakjubkan di antara bangsa Turki, tentang sultan mereka yang sangat mencintai binatang dan mimpi-mimpinya, tentang wabah dan masyarakat Turki, kebiasaan kami di istana dan dalam perang. Karena rasa penasaran tentang Dunia Timur yang eksotis baru mulai berkembang di antara kaum bangsawan dan khususnya wanita berdarah biru, tulisan "nya" disambut dengan baik, buku-buku "nya" dibaca banyak orang. "Dia" memberikan ceramah di universitas, dan menjadi kaya. Terlebih lagi, mantan tunangan "nya", karena terbuai oleh romantisme tulisan "nya", bersedia menikahi "nya" tanpa memikirkan umurnya atau suaminya yang baru meninggal. Mereka membeli kembali rumah keluarganya yang sudah tercerai-berai dan dijual, dan menetap di sana, mengembalikan kondisi rumah dan tamannya ke kondisi semula. Tamuku mengetahui semua ini karena mengagumi buku-buku "nya", dan kemudian bertamu ke rumah "nya". "Dia" sangat sopan, menemani tamu "nya" sepanjang hari dan menjawab semua pertanyaannya. "Dia" juga menceritakan kembali petualangannya yang telah ditulis dalam beberapa buku "nya". Ketika itulah "dia" berbicara panjang lebar tentang diriku. "Dia" sedang menulis buku tentang diriku dengan judul "Temanku, seorang Turki". Dia baru saja akan menyajikan seluruh kehidupanku kepada para pembacanya di Italia, mulai dari masa kanak-kanakku di Edirne sampai saat "dia" pergi, didukung oleh berbagai tafsiran pribadinya yang ditulis dengan cerdasnya tentang keunikan bangsa Turki. "Anda mencerita-
kan diri Anda sepenuhnya kepada 'nya'!" ujar tamuku itu. Lalu, untuk membuatku semakin penasaran, dia menceritakan sedikit cuplikan yang dibacanya dari buku itu. Aku malu setelah tanpa belas kasihan memukuli salah seorang teman masa kecilku dan menangis dengan penuh penyesalan. Aku orang yang cerdas, dalam waktu enam bulan aku memahami semua ilmu astronomi yang diajarkan "nya". Aku sangat mencintai saudara perempuanku, aku benar-benar patuh pada agamaku, aku rajin salat, aku suka manisan buah ceri, aku tertarik pada kerajinan pembuatan selimut quilt yang menjadi pekerjaan ayah tiriku. Seperti semua orang Turki, aku menyayangi orang, dll. Setelah dia menunjukkan ketertarikan yang begitu besar pada diriku, aku tahu bahwa aku tidak bisa bersikap kasar pada orang bodoh ini dan seorang pengembara seperti dia pasti akan merasa tertarik, sehingga aku menunjukkan rumahku, kamar demi kamar. Lalu, dia tertarik pada permainan yang dimainkan para putraku dengan teman-temannya di kebun. Dia meminta anak-anak menjelaskan aturan permainan tipcat dan mencari orang dengan mata ditutup kain yang kemudian dicatatnya dalam sebuah buku. Dia juga mencatat aturan permainan lompat kodok, walaupun tidak begitu menyukainya. Ketika itulah dia mengatakan bahwa "dia" seorang pengagum bangsa Turki. Ketika aku menunjukkan kebun, karena tidak ada hal lain yang bisa kami lakukan, dan kemudian menunjukkan kota Gebze yang menyebalkan dan rumah yang kutinggali bersama "nya" bertahun-tahun yang lalu, dia mengatakan hal itu lagi. Ketika masuk ke dapur, di antara deretan botol manisan dan acar, botol minyak zaitun dan cuka, yang cukup menarik perhatiannya, dia melihat lukisan diriku yang dulu kupesan dari seorang pelukis Venesia, lalu
mengakui, seakan-akan sedang membocorkan sebuah rahasia, bahwa sebenarnya "dia" bukanlah teman sejati bangsa Turki, bahwa "dia" menulis berbagai hal yang tidak baik tentang mereka. "Dia" menulis bahwa bangsa Turki sedang mengalami kemerosotan, menggambarkan pikiran kami seakan-akan merupakan laci kotor yang dipenuhi barang-barang tua yang tak berguna lagi. "Dia" mengatakan bahwa kami tidak bisa diperbaiki kembali, bahwa bila kami ingin selamat, maka satu-satunya jalan adalah kami harus segera menyerah, dan setelah menyerah, kami tidak akan mampu melakukan apa-apa selama berabad-abad, kecuali meniru bangsa yang menjajah kami. "Tetapi, 'dia' ingin menyelamatkan kami," ujarku, berharap dia menghentikan pembicaraannya, dan dia langsung menanggapi dengan menjawab, ya. Demi kami, "dia" bahkan telah menciptakan sebuah senjata, tetapi kami tidak memahami diri "nya".
Di suatu pagi yang berkabut, mesin itu dibiarkan terjebak di dalam rawa-rawa menjijikkan seperti rongsokan kapal laut pembajak yang terjebak badai. Lalu, dia menambahkan: ya, "dia" memang sangat ingin menyelamatkan kami. Tetapi, tidak berarti bahwa tidak ada kejahatan di dalam diri "nya". Semua orang jenius memang begitu! Ketika dengan saksama mengamati lukisanku, yang diraihnya, dia menggumamkan lagi beberapa hal tentang kege-niusan: bila "dia" tidak terseret ke dalam dunia perbudakan di tangan kami, tetapi menjalani kehidupan di negeri "nya" sendiri, "dia" bahkan mungkin telah menjadi Leonardo abad ketujuh belas. Kemudian, dia kembali ke subjek yang paling disenanginya, yaitu kejahatan, dan menceritakan satu atau dua kabar burung tentang diri "nya" dan uang yang pernah kudengar, tetapi kemudian terlupakan.
"Anehnya," ujarnya kemudian, "Anda sama sekali tidak terpengaruh oleh 'nya'!" Katanya, dia jadi mengenalku dan menyukaiku. Dia mengungkapkan keheranannya: bagaimana dua orang yang tinggal bersama selama bertahun-tahun tidak mirip satu sama lain, bagaimana mereka bisa berbeda satu sama lain, dia tidak bisa memahaminya. Dia tidak meminta lukisan diriku, seperti yang kucemaskan. Setelah meletakkannya kembali, dia bertanya apakah boleh melihat selimut quilt. "Selimut apa?" tanyaku kebingungan. Dia tampak terkejut: bukankah aku mengisi waktu luangku dengan membuat selimut" Ketika itulah aku memutuskan untuk memperlihatkan buku yang sudah tidak pernah kusentuh lagi selama enam belas tahun.
Pada saat itulah dia menjadi gelisah, mengatakan bahwa dia bisa membaca bahasa Turki, bahwa tentu saja dia sangat tertarik pada buku tentang diri "nya". Kami masuk kembali ke dalam ruangan kerjaku yang menghadap ke taman. Dia duduk di meja kami, dan aku menemukan bukuku di tempat yang sama saat aku menaruhnya enam belas tahun yang lalu, seakan-akan baru kemarin aku menaruhnya di situ. Aku membuka buku itu di hadapannya. Dia mampu membaca tulisan berbahasa Turki, walaupun perlahan-lahan. Dia begitu tekun membaca buku itu dengan keinginan untuk terbuai tanpa meninggalkan dunianya yang waras dan aman yang pernah kulihat pada diri para pengembara lain, dan membencinya. Kubiarkan dia sendirian, dan pergi ke taman, lalu duduk di dipan yang ditutupi tikar jerami. Dari situ aku bisa melihatnya dari jendela yang terbuka. Mula-mula, dia tampak gembira dan memanggilku dari jendela, "Sudah jelas Anda tidak pernah menjejakkan kaki di Italia!" Tetapi, dia segera melupakanku; aku duduk di dalam taman selama tiga jam,
TXI/PRC INI DI BUAT KARENA KECINTAAN SAYA MEMBACA NOVEL DI HP/PDA (ottoys@yahoo.com)
sesekali meliriknya sambil menunggunya selesai membaca buku itu. Pada saat itu dia sudah mengerti, walaupun tampak kebingungan di wajahnya. Sesekali, dia menyerukan nama istana putih di belakang rawa-rawa yang telah menenggelamkan senjata kami. Dia bahkan mencoba berbicara dalam bahasa Italia denganku. Lalu, dia memalingkan muka dan menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, beristirahat, dan mencoba mencerna apa yang telah dibacanya. Aku mengamatinya dengan penuh kemenangan, ketika dia mula-mula melihat ke titik-titk yang tidak jelas dalam kehampaan, seperti yang dilakukan orang pada situasi seperti itu, melihat beberapa hal pokok yang tidak nyata keberadaannya. Tapi kemudian, seperti yang kuperkirakan, pandangannya mulai terpusat: sekarang dia melihat kejadian itu melalui bingkai jendela. Para pem-bacaku yang cerdas pastilah telah memahaminya: dia tidaklah sebodoh yang kuduga. Seperti yang kuduga, dia mulai membalik halaman-halaman bukuku dengan rakusnya, mencari, dan aku menunggu dengan penuh harapan sampai akhirnya dia menemukan halaman yang dicarinya dan membacanya. Lalu, dia kembali menatap keluar jendela ke taman di belakang rumahku. Aku tahu persis apa yang dilihatnya. Buah peach dan ceri yang disajikan di nampan bertatahkan mutiara di atas meja, di belakang meja tampak sebuah dipan yang ditutupi tikar jerami, dijahit dengan bantal kursi dari bulu yang warnanya sama dengan bingkai jendela yang berwarna hijau, Aku sedang duduk di situ, sekarang hampir berusia tujuh puluh tahun. Di belakangnya lagi, dia melihat seekor burung pipit hinggap di bibir sumur di antara pohon zaitun dan pohon ceri. Sebuah ayunan bertali panjang diikat di dahan tinggi di sebuah pohon kenari yang berayun perlahan diembus
angin yang hampir tidak terasa.*
Pendekar Sakti Suling Pualam 4 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Pedang Naga Kemala 11
^