Pencarian

Panji Wulung 8

Panji Wulung Karya Opa Bagian 8


dapat dilihatnya.
Terpaksa ia berjalan maju sambil meraba-raba dinding
goa, entah berapa jauh ia sudah melakukan perjalanan
dengan cara demikian, dengan tiba-tiba di sebelah kirinya
rasa hembusan angin yang meniup kencang. Meskipun
kepandaian ilmu silatnya sudah musnah, tetapi daya
pendengarannya masih cukup baik. Ia dapat membedakan
bahwa hembusan angin tadi timbul dari seorang
berkepandaian tinggi yang sedang mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Maka ia lalu berjalan menuju ke
samping kirinya dari mana angin tadi mendesir. Diamdiam
ia merasa heran, hingga tanpa disadari sudah menarik
napas panjang. Dalam hatinya bertanya-tanya kepada diri
sendiri, apakah perlu ia bersuara untuk memanggil"
Tarikan napasnya tadi agaknya menarik perhatian orang
yang sedang mengerahkna ilmunya meringankan tubuh,
dan selanjutnya hembusan angin itu berhenti di
sampingnya. Touw Liong agak bingung, dengan sendirinya
mengangkat kedua tangannya untuk berjaga-jaga.
Mungkin karena gerakan tangannya itu yang
menunjukkan ilmu silat golongannya, maka suara seorang
tua dengan terheran-heran berseru, "Haa," selanjutnya
lantas bertanya, "Anak, apakah kau bukan Kie-jie?"
Jelas orang yang bertanya kepadanya itu adalah seorang
tua. "Siapakah Kie-ji itu?" demikian Touw Liong bertanyatanya
kepada diri sendiri, tetapi ia menggeleng-gelengkan
kepala untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah orang yang
disebut Kie-ji oleh orang tua tadi.
Orang tua itu bertanya pula,
"Kau toh murid golongan Kiu-hwa?"
Mungkin orang tua itu sudah mengetahui asal-usul Touw
Liong dari gerakan tangannya tadi.
Touw Liong menganggukkan kepala dan kemudian
berkata sambil menghormat,
"Boanpwee Touw Liong."
"Wajahmu ini memang asalnya begitu, ataukah sedang
menyamar?"
"Wajah boanpwee sudah begini sejak dilahirkan,"
menjawab Touw Liong dengan tetap hormat.
Orang tua itu berpikir sejenak, kemudian bertanya pula,
"Kenalkah kau dengan Kang Kie?"
"Kang Kie?" Touw Liong menggelengkan kepala.
Orang tua itu diam sejenak, kemudian bertanya pula
dengan suara perlahan,
"Bagaimana kau bisa kesasar masuk ke dalam goa ini?"
"Boanpwee mengejar engko, sehingga kesasar jalan."
Orang tua itu menganggukkan kepala dan berkata
kepada dirinya sendiri, "Tidak salah lagi! Tentunya dia!"
Kemudian ia menarik tangan Touw Liong dan berkata
dengan ramah-tamah,
"Mari ikut aku!"
Touw Liong yang digandeng tangannya oleh orang tua
itu, ia merasa seperti hanya berputar-putar di dalam goa, di
bawa ke sebuah kamar batu.
Di dalam kamar batu itu tampak sinar yang remangremang,
namun dapat membedakan dan dapat melihat
benda-benda yang ada di situ, ia dongakkan kepalanya, di
atas kepalanya ternyata terdapat lubang yang menuju ke
angkasa, dari lubang-lubang itulah sinar dan udara
menerobos masuk ke dalam kamar batu itu.
Touw Liong pasang mata, kini ia dapat kenyataan bahwa
orang tua itu keadaannya sangat aneh, mukanya merah,
matanya menonjol, ia mengenakan pakaian jubah panjang
berwarna kuning, jenggot dan kumisnya putih meletak,
orang tua itu usianya barangkali sekitar seratus tahunan.
Kamar itu hanya seluas lima tombak, kecuali sebuah tempat
tidur batu, tidak terdapat apa-apa lagi.
Orang tua itu menunjuk tempat tidur batu itu,
memerintahkan Touw Liong duduk. Ia mengamat-amati
diri Touw Liong dari atas sampai ke bawah, dan
mengangguk-anggukkan kepala, setelah itu ia berkata secara
blak-blakan. "Aku si orang tua, dalam seumur hidupku ini paling
gemar dan paling bangga mendapat murid seperti Kang Kie
yang mempunyai bakat dari golongan orang kelas satu.
Dengan memandang muka Kie-ji, kita meskipun baru
bertemu muka juga terhitung ada jodoh, maka aku bersedia
memberikan kau sesuatu sebagai hadiah perkenalan."
Dari sinar mata orang tua itu Touw Liong dapat
mengetahui bahwa orang tua itu memiliki ilmu kekuatan
tenaga dalam yang sudah tak ada taranya, dengan
kediamannya yang sangat dirahasiakan dari golongan Pakbong
ini, maka secepat kilat ia telah teringat kepada diri
seseorang. Ia segera berlutut di hadapan orang tua itu dan berkata
dengan sungguh-sungguh,
"Jikalau mata boanpwee tidak salah lihat, cianpwee ini
tentunya adalah salah seorang dari tiga sesepuh golongan
dari golongan Pak-bong yang dahulu namanya pernah
menggemparkan rimba persilatan..."
Orang tua itu berkata dengan terus terang,
"Aku si orang tua Hui Eng."
Touw Liong tidak begitu terkejut mendengar nama itu,
karena ia sudah menduga siapa adanya orang tua itu.
Dalam hatinya tiba-tiba timbul suatu pikiran .... ialah untuk
memulihkan kepandaian ilmu silatnya. Orang tua itu
menganggukkan kepala dan mendekat lagi,
"Lekas jawab! Apa yang kau kehendaki?"
Touw Liong menghela napas, bibirnya bergerak-gerak
hendak mengatakan sesuatu, tetapi beberapa kali
membatalkan maksudnya, tetapi akhirnya berkata juga
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya:
"Sudah! Perguruan boanpwee dan locianpwee tidak ada
perhubungan, urusan ini sebaiknya boanpwe tidak sebutkan
saja!" Orang tua itu agaknya tertarik oleh ucapan Touw Liong,
maka ia bertanya pula:
"Coba kau katakan! Tidak perduli soal apa, asal aku
sanggup, kau boleh sebutkan, tiada yang tak akan
kulaksanakan."
"Touw Liong masih tetap menggeleng-gelengkan
kepalanya dan berkata:
"Jika boanpwee sebutkan rasanya agak keterlaluan,
biarlah tidak usah saja."
Orang tua itu agaknya sudah tidak sabaran, katanya
dengan suara agak keras:
"Kau bocah ini tidak ada gunanya, bicara saja gelagapan,
sedikitpun tidak berlaku terus terang, lekas kau katakan!"
Kata-kata orang tua itu rupanya sangat berpengaruh,
Touw Liong sejenak merasa ragu-ragu, akhirnya ia berkata
juga sambil menghela napas:
"Kepandaian ilmu silat boanpwee sekarang ini telah
dimusnahkan oleh orang, boanpwee hanya pikir...."
Wajah orang tua itu sedikit berubah, ia bertanya dengan
suara terkejut:
"Apa kau ingin aku memulihkan kepandaian ilmu
silatmu?" Touw Liong menganggukkan kepala.
"Inilah merupakan suatu pekerjaan besar yang sangat
memboroskan kekuatan tenaga dalam, sedikitnya harus
menggunakan setengah dari kekuatan tenaga dalamku.
Apalagi masih memerlukan waktu dua belas jam lamanya."
"Maka itu boanpwee tadi sudah menganggp bahwa
permintaan boanpwee ini agak keterlaluan," berkata Touw
Liong sambil tertawa getir.
Ia perlahan-lahan menundukkan kepalanya, seolah-olah
semua harapannya sudah kosong.
Alis yang panjang dari Hui Eng bergerak-gerak,
kemudian berkata:
"Aku si orang tua seumur hidupku belum pernah
melanggar hati nuraniku. Aku tadi sudah berjanji akan
menerima permintaanmu, maka aku harus
melaksanakannya. Apalagi urusan ini dapat kulakukan
dengan kekuatan tenagaku sendiri. Barangkali inilah yang
oleh kaum golongan Buddha disebut jodoh! Kau tidak
datang lebih pagi atau lebih lambat, pada saat aku habis
waktu pertapaanku kau menerjang masuk!"
Touw Liong hanya bisa tergugu, ia sebetulnya ingin
memberitahukan kepada orang tua itu apa yang terjadi di
markas Pak-bong-san, tetapi ia juga khawatir apabila Hui
Eng keluar, Pek Thian Hiong dan lain-lainnya pasti akan
binasa di tangannya semua.
Ia mempertimbangkan baik-baik suasananya. Pelajar
Seribu Muka meskipun terluka, tetapi ada Lo Yu Im yang
mengikuti dan mungkin bisa melindunginya, jadi tidak
sampai terjadi bahaya bagi dirinya. Sementara mengenai
orang yang masih di dalam rimba buah Tho, kekuatan dan
kepandaian Kakek Seribu Muka berimbang dengan Anak
Sakti dari Gunung Bu-san, sedangkan Sepasang Burung
Hong dapat mengimbangi orang yang lainnya. Pek Thian
Hiong meskipun sudah terluka, tetapi jikalau empat
pelindung hukum Golongan Pak-bong mau turun tangan,
Pek Thian Hiong rasanya masih sanggup menghadapi.
Maka dari itu keadaan di dalam rimba buah Tho untuk
sementara mungkin masih bisa dipertahankan dalam
keadaan berimbang, sedangkan ia sendiri justru dapat
menggunakan kesempatan itu untuk menahan Hui Eng
supaya jangan keluar dari tempat pertanyaannya di goa.
Setelah Touw Liong mengambil keputusan demikian,
maka ia berlutut di tanah seraya berkata:
"Jika locianpwee sudi memberikan pertolongan, budi ini
seumur hidupku tidak akan kulupakan."
"Dalam soal bakat, kau dengan Kie-jie hampir tidak
berbeda jauh, tetapi dalam soal kepandaian kau sebagai
murid dari golongan Kiu-hwa di kemudian hari mungkin
bisa lebih tinggi daripadanya. Mengenai soal budi aku tak
mengharap pembalasanmu, hanya di kemudian hari saja,
terhdap orang-orang golonganku, aku harap supaya kau
mengingat tindakanku yag sudah memulihkan
kepandaianmu ini, kalau dapat disudahi, sudahilah saja,
dengan demikian tidak akan mengecewakan jerih payahku
ini." Touw Liong terima baik permintaan itu. Orang tua itu
lalu menarik bangun Touw Liong, suruh dia duduk di atas
pembaringan batu, pada saat itu sinar matahari menerobos
masuk lewat lubang-lubang di atas kepalanya.
Orang tua itu berkata sendiri dengan suara pelahan:
"Tengah hari, darah dan pikiran sedang mengalir ke atas,
inilah waktu yang sangat tepat untuk membangkitkan hawa
murnimu." Touw Liong duduk bersila mengatur pernapasannya.
Orang tua itu mengeluarkan sebuah botol yang terbuat dari
bahan tanah liat, lalu mengeluarkan dua buah pil warna
merah. Sebutir dimasukkan ke dalam mulut Touw Liong,
dan suruh ia menelannya. Sebutir lagi dimasukkan ke
dalam mulutnya sendiri. Setelah itu ia menyedot napasnya,
kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan kepada jari
tangannya. Jari itu bergerak di bagian jalan darah di dada
Touw Liong, untuk memeriksa keadaan luka pemuda itu.
Ia terus menyusuri sekujur badan Touw Liong,
kemudian berkata sambil mengerutkan alisnya:
"Cara memutuskan urat nadi seperti ini merupakan salah
satu cara yang paling ganas di dalam dunia. Jikalau itu
dilakukan terhadap orang lain, barangkali sudah binasa!
Kau boleh dikata masih panjang umurmu."
Touw Liong mengerti, bahwa Hui Eng bertapa ialah
untuk mempelajari ilmu Tay-lo-kim-kong-kiam. Untuk
mempelajari ilmu pedang yang tertinggi itu harus memiliki
dasar kekuatan tenaga dalam yang sempurna sekali, dengan
lain perkataan, ia sekarang sudah paham betul tentang ilmu
Tay-lo-kim-kong-sian-kang, kekuatan tenaga dalamnya
sudah pasti sangat sempurna. Touw Liong yang mendapat
bantuannya untuk memulihkan kekuatan dan
kepandaiannya sesungguhnya merupakan suatu hal yang
tak terduga-duga, yang sangat menguntungkan baginya.
Sebab, di dalam dunia pada waktu itu kecuali ilmu dari
Tay-lo-kim-kong-sin-kang, hanya ilmu dari Thay-it Cinkeng
yang rasanya dapat mengimbangi.
Sedangkan dua macam ilmu yang tak ada taranya itu,
jikalau harus digunakan untuk memulihkan kekuatan
tenaga dan kepandaian seseorang, tidak mungkin kalau
pada dirinya sendiri tidak memiliki kekuatan tenaga dalam
yang cukup sempurna. Jika kekuatan tenaga dalamnya
masih belum sempurna dan digunakan untuk memulihkan
kekuatan orang lain, bukan saja tidak bisa menyembuhkan
luka-lukanya, bahkan membawa bencana bagi dirinya
sendiri. Seringan-ringannya akan terluka parah, dan
seberat-beratnya akan binasa seketika itu juga. Maka bagi
orang yang melatih ilmu silat tidak boleh sembarangan
memulihkan kekuatan tenaga orang lain.
Mari sekarang kita balik kepada Hui Eng yang
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
memulihkan kekuatan Touw Liong.
Dalam enam jam yang pertama, mulai tengah hari
hingga malam hari sudah berhasil menyembuhkan lukaluka
di dalam urat nadi Touw Liong. Dari malam hari
sampai tengah malam ia memusatkan ilmu sinkangnya
sepenuh tenaga, dimasukkan ke jalan darah Leng-in-hiat
Touw Liong supaya kekuatan tenaga Touw Liong pulih
kembali, sementara itu Touw Liong juga menggunakan
ilmu dari golongannya untuk membantu melekaskan
hasilnya. Dengan usaha Hui Eng dan dibantu oleh usahanya
sendiri, dalam waktu enam jam, Touw Liong dari seorang
biasa telah berubah menjadi seorang kuat dari golongan
kelas satu. Ini bukanlah suatu pekerjaan gampang, boleh
dikata suatu usaha gaib.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari pertama dilewatkan dengan cepat. Hari kedua
ketika sinar matahari menyusup masuk melalui lubang di
atas goa, kembali sudah waktunya tengah hari. Keringat di
jidatnya Hui Eng sebesar kacang kedele bertetes-tetes
membasahi mukanya, wajahnya yang merah perlahanlahan
berubah menjadi pucat, sepasang tangannya yang
kurus kering perlahan-lahan merosot turun dari punggung
Touw Liong. Ia mengawasi wajah Touw Liong yang sudah
mulai segar. Hatinya merasa puas, hingga unjukkan
senyumnya. Setelah itu ia menarik napas panjang, dan
buru-buru memejamkan sepasang matanya untuk mengatur
pernapasannya sendiri. Touw Liong yang duduk di atas
pembaringan batu, juga sedang memusatkan semua
pikirannya untuk memulihkan kepandaiannya sendiri.
Suasana dalam goa itu sepi sunyi, seandainya ada jarum
jatuh di atas tanah dapat didengar dengan nyata.
Sang waktu sedetik-sedetik berlalu tanpa dirasa, kira-kira
dua jam kemudian dua orang yang tadi duduk di atas
pembaringan batu itu masih tampak belum ada gerakannya
apa-apa. Dengan tiba-tiba, dalam kamar batu dalam goa itu
terdengar suara. Itu adalah suara langkah kaki yang sangat
halus, jika tidak diperhatikan benar-benar, hampir tidak
kedengaran. Suara itu dari jauh semakin dekat, dan perlahan-lahan
mendekati kamar tadi.
Tepat pada saat itu Touw Liong membuka lebar
matanya, saat itu ia hampir menjadi silau oleh sinar
matahari yang masuk melalui lubang. Ia memandang
kepada orang tua yang sedang duduk di depannya sambil
mengatur pernapasannya. Dari wajahnya menunjukkan
rasa bersyukurnya. Pada saat itu ia telah mengerti bahwa
kekuatan tenaga dan kepandaiannya sudah pulih kembali.
Sungguh tak dapat dibayangkan, betapa girang perasaannya
pada waktu itu. Sinar matanya bergerak-gerak berputaran
ditujukan ke luar kamar.
Pada saat itu matanya tertumbuk pada suatu
pemandangan yang sangat mengerikan hingga badannya
bergidik. Di luar kamar sejarak kira-kira lima tombak,
berdiri seorang tua berbadan bongkok, wajahnya keriputan,
rambutnya yang panjang putih bagaikan perak terurai di
kedua bahunya, namun orang itu sepasang matanya
memancarkan sinar sangat tajam. Dengan sepasang tangan
kosong ia berjalan masuk ke dalam kamar.
Dari sinar matanya yang demikian tajam, Touw Liong
dapat menduga bahwa kekuatan tenaga dalam orang tua itu
pasti tidak di bawah Hui Eng sendiri.
Entah kawan atau lawan, saat itu ia masih belum dapat
menentukan. Sedang orang tua berambut panjang itu
pelahan-lahan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Begitu
tiba di ambang pintu lantas berhenti. Kepada Touw Liong
ia membuka mulutnya dan memperdengarkan suara
tawanya yang aneh. Suara tertawanya itu telah
mengejutkan Hui Eng yang sedang mengatur
pernapasannya. Hui Eng membuka lebar sepasang matanya, berputaran
ke wajah orang tua berambut panjang itu, setelah itu ia
membentak dengan nada dingin:
"Kukira siapa, kiranya sahabat lama yang datang
berkunjung."
Orang tua berambut panjang itu tertawa terbahak-bahak,
kemudian berkata:
"Selamat bertemu! Kita masih tetap dengan cara yang
lama, seperti juga pertandingan di atas gunung Thay-san
pada enam puluh tahun berselang, dengan satu pukulan,
menentukan siapa yang menang siapa yang kalah."
"Satu pukulan!" demikianlah Touw Liong berkata
kepada diri sendiri sambil mengerutkan alisnya. Ia lalu
maju menghampiri orang tua itu, setelah itu ia
menganngkat tangan memberi hormat seraya berkata:
"Boanpwee tidak tahu diri, ingin menyambut serangan
cianpwee."
"Kau..." Orang tua berambut panjang itu mendelikkan
matanya, menatap wajah Touw Liong sejenak, kemudian
dengan skap menghina berkata kepada Hui Eng:
"Apakah dia boleh?"
Hui Eng tertawa dan menganggukkan kepala, kemudian
berkata: "Anak ini jika sudah mencapai usia seperti aku sekarang
ini, kita berdua semuanya bukan tandingannya."
Jawaban itu sangat cerdik, maksudnya ialah Touw Liong
saat itu masih bukan tandingan orang tua berambut
panjang. Orang tua berambut panjang itu mengacungkan jarinya,
dan berkata dengan pujiannya:
"Bocah ini ada harapan, baiklah! Aku berjanji akan
bertanding satu jurus dengannya, tetapi aku jamin tidak
akan melukainya. Melukai seujung rambutpun tidak."
Hui Eng pegang kencang ucapannya, ia berkata:
"Apa itu perjanjianmu?"
'Ya!" Kemudian orang tua itu tiba-tiba mengerutkan alisnya
dan bertanya: "Bocah ini pernah apa dengan kau?"
"Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa," jawab Hui
Eng sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Orang tua berambut panjang itu agaknya terheran-heran,
ia berpaling dan bertanya kepada Touw Liong:
"Kau anak murid dari golongan mana?"
"Kiu-hwa," jawab Touw Liong dengan sikap
menghormat. Orang tua berambut panjang itu tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Tuhan benar-benar memberi kesempatan kepadaku.
Orang yang kucari-cari di mana-mana ternyata
didapatkannya secara tak terduga-duga, aku justru hendak
mencari Kiu-hwa Lojin untuk memperhitungkan dendaman
lama kita."
Tpuw Liong tercengang, ia bertanya dengan sikap tetap
menghormat: "Cianpwee dari golongan mana?"
Bab 31 Si orang tua berambut panjang itu balas menanya:
"Apakah kau pernah dengar nama Ngo-gak Sin-kun?"
Touw Liong yang sudah pernah dengar nama itu hanya
menganggukkan kepala dan katanya:
"O, kiranya adalah Ngo-gak locianpwee."
"Bocah! Tadi kau kata bersedia menyambuti seranganku
satu kali, itulah bagus! Dahulu waktu aku mendaki
Gunung Bu-tong-san, suhumu telah membantu kawanan
hidung kerbau itu. Antara aku dengannya juga pernah
mengadu kekuatan satu kali pukulan. Tak disangka enam
puluh tahun kemudian kau telah mewakili dia menjadi
setan penasaran, ini sesungguhnya suatu hal yang sudah
sepantasnya."
JILID 12 Dari nada dan kata-katanya, Ngo-gak Sin-kun seolaholah
sudah memastikan bahwa Touw Liong hari itu pasti
mati, tidak boleh tidak.
Sementara itu Hui Eng berkata dengan nada suara
dalam: "Iblis tua, bagaimana, kata-katamu tadi, apakah tidak
berlaku lagi" Toh kau sudah berjanji tidak akan melukai
seujung rambutnya, bagaimana kau yang sudah demikian
lanjut, kata-katamu masih belum dapat dipercaya?"
"Baiklah!" demikian Ngo-gak Sin-kun berkata: "Tetapi
hari ini terkecualian, biarlah hari ini aku tidak akan ambil
jiwanya, tetapi di lain waktu jikalau bertemu lagi tidak akan
dapat lagi mengampuni dirinya."
Setelah mendengar janjinya itu, Hui Eng lantas berkata
sambil mengibaskan lengan jubahnya:
"Mari jalan!"
Ngo-gak Sin-kun membalikkan badan dan keluar dari
dalam goa, Hui Eng mengikuti dengan diiringi oleh Touw
Liong. Di luar goa, keadaan di rimba buah Tho masih sama,
gedung-gedung di dekat rimba itu yang semula nampak
megah, diganti dengan runtuhan puing, sedang asap masih
belum padam. Hui Eng menjerit dan menyerbu.
Touw Liong terperanjat, ia bertanya kepada Ngo-gak
Sin-kun sambil menunjuk ke gedung itu:
"Apakah itu cianpwee yang bakar?"
Ngo-gak Sin-kun menganggukkan kepala dan menjawab
dengan sombongnya:
"Membunuh orang, membakar rumah, itu tak berarti
apa-apa! Kau jangan merasa heran."
"Berapa orang yang mati terbakar?" bertanya Touw
Liong sambil menggertak gigi.
"Waktu aku membakar bangunan itu, satu setanpun
tidak tertampak!" berkata Ngo-gak Sin-kun sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Hati Touw Liong merasa lega, tetapi ia tak habis
mengerti, Anak Sakti dari Gunung Bu-san dan Sepasang
Burung Hong yang tadi bertempur sengit entah kemana
perginya, dan lagi Pek Thian Hiong dan orang-orangnya
bagaimana meloloskan diri"
Selagi masih memikirkan kejadian itu, Hui Eng sudah
balik kembali, dengan sepasang matanya yang beringas, ia
menatap wajah Ngo-gak Sin-kun, kemudian ia mendekati
Touw Liong dan berkata kepadanya:
"Touw Liong, lekas kau layani dia sejurus saja, aku akan
menunggu untuk memperhitungkan perbuatannya dan
kejahatan itu."
Touw Liong merasa heran, kenapa Hui Eng berlaku
demikian sabar, sambil berpikir, ia geser kakinya
menghampiri Ngo-gak Sin-kun.
Ngo-gak Sim-kun berulang-ulang memperdengarkan
suara tertawa dinginnya, dengan sikapnya yang sangat
jumawa menantikan serangan Touw Liong.
Touw Liong mengempos semangatnya kekuatan
tenaganya dikerahkan kepada kedua tangannya sambil
mengeluarkan perkataan "maaf" ia mulai memasang kudakudanya.
Hui Eng kembali berjalan ke sampingnya, dan berpesan
dengan suara perlahan:
"Hati-hati! Ngo-gak Sin-kun tidak dapat dibandingkan
dengan orang biasa!"
Pesan itu mengandung arti, suruh ia jangan berlaku
merendah, harus menyerang dengan sepenuh tenaga. Touw
Liong terima baik. Selagi Ngo-gak Sin-kun masih tertawa
mengejek, Touw Liong pelahan-lahan sudah mendorong
tangannya. Hui Eng menggunakan kesempatan itu minggir lima
langkah. Kekuatan tenaganya dipusatkan kepada kedua
tangannya, ia berlaku seperti hendak melindungi Touw
Liong. Sepasang telapak tangan Touw Liong dirapatkan,
ilmunya sian-kang yang dinamakan "membuka pintu
langit" terforsir penuh, dengan suatu gerakan "anak kecil
menyembah patung batu", sepasang tangannya
dirangkapkan, tiba-tiba dipentang dan dengan kekuatan
tenaganya yang sangat hebat menerang Ngo-gak Sin-kun.
Ngo-gak Sin-kun sudah tentu tidak tinggal diam, ia
menyambuti serangan tersebut, ketika dua kekuatan itu
saling beradu, Touw Liong terpental mundir tiga langkah!
Ngo-gak Sin-kun tertawa terbahak-bahak, selagi ia merasa
sangat bangga, Hui Eng menggunakan kesempatan itu
menyerang dengan hebatnya.
Serangan itu dilakukan dengan sepenuh tenaga meskipun
kekuatan tenaganya agak berkurang karena habis digunakan
memulihkan kekuatan tenaga Touw Liong, tetapi sisa
tenaganya itu ditumplek seluruhnya, dapat dibayangkan
betap hebat serangannya itu!
Ngo-gak Sin-kun yang lebih dahulu menyombongkan
dirinya dan agak lalai kepada keadaannya sendiri, ketika
serangan Hui Eng tiba ia baru mulai sadar. Tetapi
serangannya itu sudah menyentuh tubuhnya, ia hendak
merubah gerakannya untuk menyambuti serangan itu sudah
terlambat. Jalan satu-satunya hanya mengelak atau lari.
Untuk lari sudah tidak mudah lagi, sebab kepandaian
ilmu meringankan tubuh Hui Eng masih jauh di atasnya,
begitu serangannya diluncurkan, bagaikan bayangan terus
mengikuti jejak Ngo-gak Sin-kun, kemana saja Ngo-gak Sinkun
lari, serangannya itu masih tetap ditujukan ke belakang
dirinya. Ngo-gak Sin-kun menggertek gigi, ia mengeluarkan
seruan tertahan, terpaksa menyambut serangan hebat yang
dilancarkan oleh Hui Eng.
Walaupun demikian, Ngo-gak Sin-kun masih tidak mau
menerima mentah-mentah begitu saja, selagi ia tidak bisa
melarikan diri dan terpaksa menerima gebukan itu,
sepasang tangannya dengan tergesa-gesa menggunakan
kekuatan tenaganya yang masih ada diluncurkan kepada
Hui Eng. Pada saat Ngo-gak Sin-kun mengeluarkan seruan
tertahan, Hui Deng sendiri juga kena serangan balasan Ngogak
Sin-kun, hingga mundur terhuyung-huyung sampai
lima langkah baru bisa injakkan kaki.
Ngo-gak Sin-kun dengan mata merah mengawasi Hui
Eng tanpa berkata sepatahpun juga, buru-buru memutar
tubuhnya dan lari meninggalkan rimba buah Tho hingga
dalam sekejap mata sudah menghilang di balik bukit.
Terjadinya perubahan itu terlalu besar sekali, Touw
Liong tahu bahwa Ngo-gak Sin-kun terluka parah, ia juga
mengerti perasaan Hui Eng pada hari ini, jika ia tidak
menggunakan akal dan cara menyerang secara tidak jujur
itu, Ngo-gak Sin-kun hari itu pasti akan mendapat
kemenangan. Hui Eng yang sudah kurang kekuatan
tenaganya, pasti akan mengalmi nasib sangat buruk,
bagaimanapun juga Ngo-gak Sin-kun pasti akan


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membinasakan dirinya.
Pada saat itu Touw Liong baru merasakan dadanya
mulai merasa sesak, matanya berkunang-kunang, dan
kemudian jatuh rubuh di tanah, tidak ingat orang lagi.
- O - Ketika siuman kembali, telah kedapatan dirinya sedang
berada di dalam kamar batu itu lagi. Ia rebah terlentang di
atas pembaringan batu, matahari masuk ke dalam lewat
lubang gua di atasnya, dalam hati Touw Liong mengerti,
saat itu satu hari sudah berlalu. Ia mengenangkan kembali
apa yang telah terjadi, ia masih ingat dirinya terluka dan
jatuh pingsan, ia buru-buru menggerakkan kaki dan
tangannya, kini ia dapat kenyataan bahwa keadaannya
sendiri masih segar bugar, tidak ada perasaan sakit, maka
seketika itu juga ia lantas melompat bangun. Dan apa yang
disaksikannya" Seketika itu ia hampir menjerit. Di bawah
tanah, di hadapan pembaringan, Hui Eng sedang duduk
bersila sambil menundukkan kepala, wajahnya pucat pasi,
Touw Liong buru-buru lompat turun dan menghampirinya,
ia mengulurkan tangannya untuk meraba hidung Hui Eng,
buru-buru ditariknya kembali, dan seketika itu matanya
merah, butiran air mata mengalir turun, dan setelah itu ia
jatuh berlutut di hadapan Hui Eng.
Touw Liong mengerti, apabila Hui Eng tidak
menggunakan tenaganya untuk memulihkan
kepandaiannya, dalam pertempuran dengan Ngo-gak Sinkun,
masih belum diketahui siapa yang akan menang atau
kalah. Touw Liong juga mengerti bahwa Hui Eng pasti terluka
parah sekali, tetapi masih membawa dirinya ke dalam gua
dan memberikan obat untuknya, bahkan mungkin juga
masih menyembuhkan lukanya.
Ia tidak berani memikir lagi, Hui Eng agaknya agak
tinggi hati dan berbuat menuruti kesukaan hatinya, tetapi
terhadap dirinya boleh dihitung sangat sayang.
Touw Liong seorang yang berperasaan dalam, ia teringat
kembali bagaimana kebaikan Hui Eng terhadap dirinya,
sehingga sesaat itu perasaan sedih tidak terkendalikan lagi,
ia menangis dan menjatuhkan diri di tanah seperti anak
kecil. Bagaimana juga manusia yang sudah mati tidak bisa
hidup kembali. Touw Liong setelah merasa puas menangis,
akhirnya tenang kembali. Begitu membuka mata terlihat di
hadapan dirinya terdapat segumpal darah. Dengan darah
itu, jari tangan Hui Eng menulis huruf-huruf yang
bermaksud: BUNUH NGO.
Ngo, agaknya sudah menggunakan tenaga terlalu
banyak, tidak dapat digunakan lagi.
Ngo, yang dimaksudkan sudah tentu adalah Ngo-gak
Sin-kun. Dalam pesan terakhir ini, maksudnya minta Touw
Liong membunuh Ngo-gak Sin-kun untuk membalas
dendam sakit hatinya. Ini memang logis.
Touw Liong dengan hati sedih diam-diam bersumpah di
hadapan jenasah Hui Eng:
"Locianpwee, tenanglah di dalam surga! Boanpwee pasti akan
menggunakan batok kepala Ngo-gak Sin-kun untuk berziarah di
hadapan makam locianpwee."
Ia memandang keadaan sekitar goa itu sebagai kenangkenangan
sebelum meninggalkan tempat tersebut.
Pada saat itu ia baru tahu bahwa di bagian dinding kiri
kamar itu terdapat sebuah lemari dinding setinggi tiga kaki,
lebar setengah kaki.
Touw Liong menganggukkan kepala, dalam hati
mengerti, bahwa dalam lemari itu pasti tersimpan barangbarang
berharga peninggalan Hui Eng, tetapi sekarang telah
terbuka. Jikalau bukan dibuka oleh orang luar, tentu
dibuka sendiri oleh Hui Eng sebelum menutup mata. Ia
lalu berjalan menghampiri, setelah diperiksanya saat itu ia
berdiri terpaku di hadapan lemari.
Di dalam lemari itu terdapat sebilah pedang tanpa
sarung, namun memancarkan sinarnya yang berkilauan. Di
depan pedang panjang itu terdapat empat jilid kitab.
Jilid pertama ternyata adalah kitab ilmu Thay-it sin-kang,
dan yang menjadi idam-idaman tiap orang dalam rimba
persilatan. Jilid kedua masih merupakan bagian dari kitab
Thay-it cin-keng, tetapi memuat ilmu mengganti rupa. Jilid
ketiga adalah ilmu silat yang ditulis sendiri oleh Hui Eng,
yang dinamakan Hui Eng pat-sek atau Delapan Gerakan
Garuda Terbang. Dalam kitab itu ditulis tentang ilmunya
yang membuat ia menjagoi seluruh dunia. Ilmu itu adalah
ilmunya meringankan tubuh.
Jilid keempat masih merupakan ilmu simpanan Siaoliem-
pay, dalam jilid itu ditulis tulisan-tulisan yang
mengenai ilmu silat Taylo Sin-kong-lok yang ditulis oleh
jago pedang Liu Kiam-liong.
Touw Liong memeriksa satu persatu dari empat jilid
kitab itu, semuanya merupakan pelajaran-pelajaran ilmu
silat yang menjagoi rimba persilatan pada dewasa itu, salah
satu saja jikalau muncul dalam rimba persilatan, sudah
cukup menimbulkan kegemparan bagi rimba persilatan.
Touw Liong bukanlah seorang yang tamak meskipun dalam
tangannya menggenggam empat jilid kitab rahasia ilmu silat
tertinggi, tetapi ia sedikitpun tidak tertarik untuk memiliki.
Ia mengawasi buku ajaib itu, untuk mempelajari maksud
Hui Eng membuka lemari itu.
Sudah tentu maksud dan tujuan Hui Eng membuka
lemari itu adalah ditujukan kepada dirinya, maksudnya
ialah memberitahukan padanya bahwa di dalam itu
tersimpan empat jilid kitab rahasia, tetapi ia tidak
memperhatikan pesan-pesan mengenai empat jilid kitab itu,
dengan demikian, Touw Liong menjadi serba salah, ia tidak
tahu betul maksud Hui Eng yang sebenarnya, bagaimana
sebetulnya terhadap empat jilid kitab tertinggi itu"
Tidak kecewa Touw Liong menjadi seorang cerdik dan
berbakat pada masa itu. Ia telah masukkan buku itu ke
dalam sakunya, terhadapa empat jilid kitab itu telah
mengambil suatu keputusan.
Ia tahu bahwa Dewa Arak Taysu Gila adalah murid
generasi ketiga dari jago pedang Liu Kiam Hiong, sedang ia
sendiri seharusnya murid generasi ke empat. Tentang kitab
Taylo Sin-kang ia sendiri berhak untuk menerimanya,
sedangkan ilmu Delapan Gerakan Garuda Terbang, di
kemudian hari apabila bertemu anak murid golongan Pakbong,
ia akan memberikan kepadanya.
Thay-it Cin-keng, kitab itu sudah seratus tahun lamanya
menimbulkan permusuhan beruntun-runtun, sebetulnya
menjadi hak milik siapa" Masih merupakan suatu soal yang
sangat pelik. Menurut sejarah, kitab ini paling dahulu
merupakan milik dari Bu-tong, kemudian terjatuh ke tangan
orang Siao-lim-pay, pada akhirnya diambil oleh orang
golongan Thian-san, sehingga menjadi milik golongan
Thian-san. Oleh karena Kiu-hwa termasuk pecahan dari
golongan Thian-san, maka golongan Kiu-hwa juga berhak
memiliki kitab itu.
Namun demikian, ia tidak berani menetapkan untuk
siapa, diam-diam ia telah mengambil keputusan, di
kemudian hari apabila ia pulang ke gunung Kiu-hwa, ia
akan berikan kepada suhunya Kiu-hwa Lojin, biarlah
diputuskan oleh Kiu-hwa Lojin sendiri.
Touw Liong setelah menyimpan empat jilid bukunya,
lalu mengambil pedang panjang dari dalam lemari. Melihat
gagang pedangnya, sesaat itu ia tertegun. Apakah
sebetulnya pedang itu" Di gagang pedang itu ternyata
diukir dengan tulisan dua huruf: KHUN-NGO. Begitu
melihat dua huruf itu, ia sudah hampir menjerit karena
terkejut. Ia sungguh tak menduga bahwa pedang itu adalah
pedang yang terbuat dari batu giok Khun-ngo-giok.
Dengan pedang pusaka yang tajam di tangan boleh
malang melintang di seluruh jagat. Banyak jago-jago dan
pendekar-pendekar sejak dahulu kala, berhasilnya untuk
meningkatkan kedudukannya, tiada satu yang tidak
mengandalkan pedang tajam di tangannya. Touw Liong
kalau memikirkan pedang itu adalah pedang sakti yang
membuat perhatian semua orang rimba persilatan, dalam
hati merasa bersyukur dan berterima kasih kepada Hui Eng.
Untuk mencoba ketajaman pedang itu, ia segera gunakan
untuk memapas batu di goa itu.
Batu itu lantas terbelah, bagaikan pisau memotong tahu.
Touw Liong tanpa sadar sudah berseru memuji
ketajaman pedang itu, maka saat itu juga ia lantas bertindak
dengan menggunakan pedangnya untuk memotong batu,
batu itu dibuat sebuah peti mati untuk mengubur jenasah
Hui Eng. Setelah meletakkan peti mati yang terbuat dari
batu itu, di dalam gua tersebut, ia lantas tutup pintu gua,
setelah itu ia meninggalkan tempat tersebut.
Begitu keluar dari gua, ia mencari pohon rotan, dengan
rotan yang panjang itu ia gunakan untuk turun ke bawah
gunung. Ketika ia tiba di kota Lak-yang ia buatkan sarungnya
dengan kulit ular untuk pedangnya yang luar biasa itu,
selanjutnya dengan membawa pedang itu ia mendaki ke
gunung Kiu-hwa.
Touw Liong langsung menuju ke puncak tertinggi
gunung Kiu-hwa-san, di mana ada berdiam suhunya Kiuhwa
Lojin. Akan tetapi sebegitu jauh ia mendaki gunung,
bayangan suhunya tiada tertampak olehnya, hingga dalam
hatinya berdebaran. Buru-buru ia mempercepat langkahnya
memasuki daerah pohon cemara, ia lalu pasang mata,
gubuk kediaman suhunya masih tetap, begitu pula keadaan
di sekitarnya. Firasat tidak baik timbul dalam hati Touw
Liong, segera masuk ke dalam gubuk sambil memanggilmanggil
suhunya. Tetapi gubuk itu sepi sunyi, tiada
terdengar suara sahutan orang. Lama sekali dan berulangulang
ia memanggil suhunya, tiada terdapat jawaban sama
sekali. Ia lalu memeriksa keadaan dalam rumah dan dalam
kamar, dan gubuk itu ternyata kosong melompong, seolaholah
sudah lama tidak ada orang yang mendiami.
Firasat buruk kembali terlintas dalam otaknya, Touw
Liong buru-buru memeriksa bagian dalam, namun di situ
juga tidak mendapatkan suhunya; hanya keadaan barangbarang
nampak morat-marit tidak karuan. Ia lalu berkata
kepada diri sendiri: "Mungkin suhu ada urusan perlu turun
gunung, atau pergi ke bagian dalam untuk memetik daun
obat.... Tiba-tiba ia ingat bahwa dugaan itu tidak benar, Kiu-hwa
Lojin seumur hidupnya pegang teguh janjinya sendiri, ia
kata bahwa seumur hidupnya tidak akan turun gunung lagi,
ucapan itu sudah pasti akan ditaati selama hidupnya tidak
akan dirubah setengah jalan. Maka itu tidak mungkin kalau
gurunya turun gunung. Lagi pula kalau mau dikata pergi
mencari daun obat, agaknya juga tidak mungkin, sebab
kalau pergi mencari daun obat sudah tentu membawa
keranjang-keranjang atau alat-alat yang diperlukan,
sedangkan alat-alat itu masih terdapat di atas dinding. Oleh
karena itu suhunya juga tidak mungkin pergi untuk
memetik daun obat.
Berpikir demikian, dengan cepat Touw Liong
membalikkan dirinya dan keluar dari gubuk.
Di belakang gubuk terdapat sebuah gundukkan tanah, itu
merupakan satu makam yang belum lama, di situ terdapat
sebuah batu nisan. Di atas batu nisan itu ditulis suatu katakata:
MAKAM KIU-HWA LOJIN, sedangkan di
bawahnya ditulis dengan kata-kata: KANG KIE DARI
GOLONGAN PAK-BONG.
Dua baris huruf yang sangat singkat itu, seolah-olah
geledek yang menyambar di kepala Touw Liong, hingga
seketika itu ia lantas rubuh di hadapan makam sambil
berlutut dan menangis tersedu-sedu.
Suara tangisan itu sangat memilukan hati, semakin lama
suaranya semakin hampir tidak kedengaran, suaranya
semakin hampir tidak kedengaran, suaranya juga sudah
mulai serak. Pada akhirnya oleh karena terlalu sedih
hingga ia jatuh pingsan di depan makam.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat setengah bulan
saja, ia telah mengalami kematian dua orang tua yang
menyedihkan hatinya.
Entah berapa lama di dalam keadaan demikian, ketika ia
sadar kembali dan merangkak bangun dari depan kuburan,
ia mulai memikirkan dan hendak mengusut sebab-sebab
kematian suhunya.
Ia tahu bahwa orang yang mengetahui sebab kematian
suhunya mungkin hanya Kang Kie seorang.
"Kang Kie!" demikian ia berkata kepada diri sendiri.
Kang Kie adalah anak muridnya Hui Eng. Sudah tentu
merupakan salah seorang murid dari golongan Pak-bong.
Dia itu mungkin adalah pemuda yang mempunyai nama
julukan Pelajar Seribu Muka yang wajahnya mirip dengan
ia sendiri, juga yang dianggapnya sebagai saudara
kandungnya sendiri.
Dia! Sekarang kemana dia pergi"
Mungkin karena sewaktu bertanding dengan Pek Thian
Hiong di markas Pak-bong-san, ia terluka oleh serangan Pek
Thian Hiong, sehingga luka parah. Ketika itu ia lari ke
dalam goa, maksudnya tentu hendak minta kepada Hui Eng
menyembuhkan lukanya, tetapi karena jalanan ke goa kuno
itu banyak liku-likunya, mungkin dia kesalahan ingat
tujuannya, sehingga keluar lagi dari goa.
Ada kemungkinan juga, dia jatuh pingsan lagi di luar goa
dan dapat ditolong oleh Lo Yu im yang mengikuti jejaknya.
Mungkin dari situ ia dibawa ke gunung Kiu-hwa, dan
setelah tiba di gunung Kiu-hwa terjadi perubahan, hingga ia
membuatkan suhunya batu nisan di atas kuburannya....
Semakin dipikir, dianggap bahwa pikirannya itu benar.
Ia tahu bahwa saat itu kalau ia hendak menyelidiki sebab
kematian suhunya, satu-satunya jalan ialah pergi mencari
Kang Kie. Tetapi kemana Kang Kie pergi" Kemungkinan yang
paling besar ialah dibawa pulang ke gunung Kun-lun-san
oleh Lo Yu Im.

Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk melakukan perjalanan ke gunung Kun-lun, bagi
Lo Yu Im sudah tentu bukan soal apa-apa. Tetapi apakah
sebab sebetulnya yang menyebabkan kematian suhunya"
Andaikata ketemu dengan musuh besar misalnya, siapakah
musuh besar itu" Sebab dalam rimba persilatan dewasa ini,
kalau dihitung-hitung orang yang kekuatannya dapat
mengimbangi kekuatan Kiu-hwa Lojin dapat dihitung
dengan jari. Kecuali Panji Wulung yang merupakan diri
nenek tua yang berkerudung itu, Ngo-gak Sin-kun dan Pek
Thian Hiong, yang lain-lainnya tidak mungkin dapat
menandingi kepandaian suhunya. Sekalipun ketemu
dengan musuh lamanya, tetapi menghadapi Kiu-hwa Lojin
boleh dikata hampir tidak berdaya sama sekali.
Karena mengingat bahwa musuhnya yang dapat
membinasakan suhunya sudah psti merupakan seorang
yang memiliki kepandaian luar biasa, maka ia telah
mengambil keputusan bahwa mulai saat itu ia akan berdiam
di dalam gunung Kiu-hwa tiga bulan lamanya untuk
menunggui makam suhunya, selama tiga bulan itu ia akan
mempelajari beberapa ilmunya yang baru ditemukan.
-0- Waktu tiga bulan dengan cepat sudah dilalui. Touw
Liong setiap hari di waktu siang dengan tekun mempelajari
pelajaran-pelajaran dalam kitab dan di waktu malam ia
bersemedi untuk memperkuat kekuatan rohaninya. Selama
tiga bulan itu ia sudah berhasil mempelajari ilmunya yang
tidak ada taranya ialah Thay-it-sing-kang.
Tay-it-cin-kang digabung dengan ilmunya dahulu, ilmu
Membuka Pintu Langit, membuat Touw Liong merupakan
seorang yang hampir sukar dicari tandingannya.
Meskipun waktu mempelajari ilmu itu sangat singkat,
tetapi sudah cukup baginya untuk mengimbangi kekuatan
orang-orang yang terkuat dalam rimba persilatan pada
dewasa itu. Kini ia perlu turun gunung. Dengan perasaan berat ia
meninggalkan tempat yang pernah didiami sejak masih
kanak-kanak. Cinta, sayang dan perasaan terhadap Kiuhwa
Lojin hampir seperti ayahnya sendiri. Sebabnya ialah
sejak masih anak-anak ia dipungut dan dibesarkan oleh Kiuhwa
Lojin, perhubungan semacam itu sudah merupakan
perhubungan antara ayah dengan anak.
Setelah meninggalkan gunung Kiu-hwa, tujuannya yang
pertama sudah tentu menuju ke gunung Kun-lun-san. Di
sana ia hendak mencari jejak Kang Kie.
Lima hari kemudian, ia harus melewati kembali tembok
kota Keng-siang. Touw Liong tiba-tiba teringat beberapa
soal.... Kesatu, dari pelbagai petunjuk yang didapatkan, Kang
Kie kemungkinan besar adalah saudara sekandung sendiri,
menurut ucapannya dengan Pek Thian Hiong ketika berada
di markas Pak-bong-pay, Kang Kie pernah melakukan
pembunuhan terhadap sebelas orang kuat, tap perbuatannya
itu semata-mata hanya menuntut balas. Jikalau Kang Kie
itu adalah saudara sekandungnya sendiri, maka Bu-tongpay
dengan sendirinya juga merupakan musuh besarnya.
Kedua, Thay-it-cin-keng semula memang menjadi milik
Bu-tong, sudah seharusnya kalau ia pergi ke Bu-tong-san
untuk menjernihkan persoalan itu.
Ketiga, orang dari golongan Bu-tong-pay apakah tidak
ada kemungkinan lantaran salah satu sebab pergi
menyerang suhunya Kiu-hwa Lojin"
Begitu mengingat persoalannya dengan Bu-tong-pay,
maka ia lalu merubah tujuannya semula, kini ia menuju ke
gunung Bu-tong.
Kota Siang-yang meskipun masih terpisah jauh dengan
Bu-tong-san tapi bagi orang-orang berkepandaian sangat
tinggi seperti Touw Liong, jarak seperti itu bukan soal apaapa.
Ia hanya menggunakan waktu perjalanan satu hari
sudah tiba di gunung Bu-tong.
Hari kedua, ketika tengah hari, udara cerah, Touw Liong
dengan membawa pedang Khun-ngo-kiamnya yang
merupakan pedang pusaka tidak ada taranya dalam rimba
persilatan, tiba di kuil Cin-bu-tian di kaki gunung Bu-tongsan.
Dari dalam kuil itu lompat keluar delapan imam yang
usianya sudah pada setengah umur.
Imam itu masing-masing menyoren sebilah pedang
panjang yang sangat menyolok.
Delapan imam itu dengan delapan bilah pedangnya
lantas mengurung Touw Liong, satu di antaranya lantas
menegurnya dengan suara geram:
"Apakah sicu tidak tahu aturan gunung ini, hingga kau
berani masuk dengan kekerasan?"
Touw Liong menyapu delapan imam itu sejenak, tampak
delapan imam itu semuanya menunjukkan sikap galak dan
keren, tidak seperti orang-orang dari golongan Budha, maka
dalam hati agak mendongkol, dengan suara dingin
bertanya: "Peraturan apa?"
Delapan imam itu juga tak menjawab, hanya
memainkan pedangnya, hingga pedang itu menimbulkan
angin hebat dan sinar yang berkilauan, memang benar
tampangnya sangat menakutkan. Apalagi di bawah sinar
matahari, sinar pedang itu berkilauan menusuk mata.
Touw Liong membiarkan delapan imam itu memainkan
pedangnya di hadapan matanya, sedikitpun tidak bergerak.
Satu di antaranya yang usianya agak tua, dengan nada
suara mengejek berkata:
"Percuma saja kau membawa-bawa pedang, sedangkan
peraturan golongan kita yang turun-temurun selama seratus
tahun kau belum mengerti. Jadi apa perlunya kau masih
berani mendaki gunung Bu-tong?"
Imam itu berhenti sejenak, kemudian berkata kepada
seorang imam yang berada di sampingnya, "Turunkan
pedangnya."
Imam itu menerima baik perintah itu, kemudian dengan
satu tangan menenteng pedang, tangan yang lain hendak
menurunkan pedang dari punggung Touw Liong.
Sebagai orang keturunan golongan Kiu-hwa, bagaimana
ia tidak tahu peraturan gunung Bu-tong-san" Golongan Butong-
san pada dua tiga ratus tahun berselang karena
kepandaiannya yang paling tinggi telah menjagoi rimba
persilatan. Dalam suatu pertandingan besar antara orangorang
dari pelbagai golongan, Bu-tong-pay berhasil merebut
juara dan mendapat tanda kepercayaan yang disebut Citliong-
leng. Selanjutnya orang-orang rimba persilatan untuk
menghormat kepada Beng-cu, maka mulai saat itu bagi
setiap orang yang hendak mendaki gunung Bu-tong-san,
begitu tiba di kuil bawah bukit Bu-tong harus menurunkan
pedangnya. Lama kelamaan, ketentuan itu dianggap suatu
peraturan bagi Bu-tong-pay, maka di bagian masuk di kuil
itu, di atas sebuah batu besar ditulis kata-kata dengan huruf
besar, yang maksudnya ialah TEMPAT UNTUK
MENANGGALKAN PEDANG, suatu pemberitahuan
bagi orang-orang rimba persilatan, supaya di situ
menanggalkan pedangnya, barulah boleh mendaki gunung.
Tetapi Touw Liong yang hari itu mendaki gunung Butong-
san ada sedikit kecualian, sebabnya ialah jikalau benar
Bu-tong-san ada menjadi musuhnya karena membunuh
ayahnya, maka menurunkan pedang terhadap musuh, itu
bukanlah seharusnya. Bagaimana nanti jika ketemu
suhunya di alam baka" Sebab lain dan yang lebih penting
ialah pedang yang dibawa Touw Liong adalah sebilah
pedang luar biasa yang dibuat incaran oleh orang-orang
rimba persilatan, maka diam-diam ia sudah mengambil
keputusan, pedang itu tak akan sembarangan ditunjukkan di
depan mata orang, kecuali jika ketemu dengan musuh besar
atau musuh tangguh, jika tidak, ia tak akan menggunakan
pedang pusaka itu secara sembarangan.
Ketika orang itu hendak mengulurkan tangannya untuk
menurunkan pedangnya, Touw Liong lantas berkata sambil
menggelengkan kepala dan tertawa:
"Tunggu dulu sahabat?"
Tangan imam yang diulurkan itu terkatung di tengah
udara, dan ia balas bertanya sambil tertawa dingin:
"Apakah sicu hendak menurunkan sendiri?"
Touw Liong mengangguk dan berkata:
"Sudah tentu! Sudah tentu! Bagaimana aku berani
merepotkan totiang?"
Meskipun mulutnya mengatakan hendak menurunkan
sendiri, tetapi ia sedikitpun tidak bergerak, sehingga imam
itu menjadi naik darah, dan berseru padanya:
"Mengapa kau tidak turunkan?"
"Sudah tentu akan kuturunkan! Aku hanya menunggu
seseorang, apabila orang tiba, aku akan menurunkan
sendiri, dengan kedua tanganku aku akan serahkan kepada
dia," berkata Touw Liong yang masih tetap tertawa.
Imam yang usianya lebih tua berkata dengan suara
dingin: "Sicu tunggu siapa?"
"Ciangbunjin kalian!" jawab Touw Liong dengan
sungguh-sungguh.
"Ciangbunjin kami?" berkata imam yang usianya lebih
tua itu sambil menatap Touw Liong. Setelah itu ia tertawa
terbahak-bahak dan berkata pula:
"Sombong benar perkataanmu!"
Bab 32 Imam itu kembali tertawa terbahak-bahak kemudian
bertanya pula: "Ada hubungan apa Ciangbunjin kami dengan kau?"
"Tidak ada," jawab Touw Liong.
"Apakah sahabat lama?"
"Bukan."
Imam itu sudah tak dapat mengendalikan hawa
amarahnya, kata-katanya juga diucapkan dengan nada
suara keras: "Kalau begitu kedatanganmu ini sengaja mencari onar!
Hm! Dengan orang seperti cecongormu ini juga ada muka
untuk bertemu dengan Ciangbunjin kami?"
"Haa..." Touw Liong yang sudah marah
memperdengarkan suara tertawanya. Tertawa itu sungguh
hebat, hingga delapan imam yang tadi memandang rendah
dirinya ketika mndengar suara ketawa Touw Liong pada
berubah wajahnya. Semula para imam itu mengeluarkan
keringat di jidatnya, gigi mereka pada bergeretakkan,
agaknya sedang menderita sangat hebat, dan pada akhirnya,
mereka sudah tidak sanggup bertahan lagi, sehingga pada
lari serabutan mendekap telinga dan kepalanya.
Mereka lari jauh-jauh bersembunyi ke dalam kuil, dan
tidak berani unjuk muka lagi. Imam yang tadi sikapnya
sangat galak-galak, kini satupun tidak berani berkutik.
Touw Liong yang sesungguhnya sudah marah, bahkan
kemarahannya itu merupakan kemarahannya yang paling
besar selama ia berkelana di dunia Kang-ouw, semua itu
disebabkan karena makian para imam tadi yang sungguh
sangat menyinggung perasaannya.
Touw Liong berbuat demikian, bukanlah hendak
menunjukkan kehebatan tenaga dalamnya, maka sesudah
merasa puas, dengan langkah lebar ia melalui batu tanda
pemberitahuan itu, dengan melalui jalan di atas gunung,
langsung menuju ke markas Bu-tong-pay.
Ia berjalan belum berapa langkah, kuil di bawah bukit
tadi, memperdengarkan suara tanda bahaya yang sangat
riuh, suara itu disusul satu demi satu sehingga menggema di
seluruh gunung.
Touw Liong berpaling, menengok kuil di bawah bukit
tadi, ia bahkan tertawa merasa bangga. Katanya:
"Kalian ini sebetulnya mencari penyakit sendiri, berlaku
demikian congkak?"
Suara tanda bahaya di kaki gunung baru berhenti, dari
kuil di puncak gunung terdengar suara genta, genta itu
menggema di tengah udara sekian lama.
Suara genta semacam itu, dalam sejarah Bu-tong-pay
jarang sekali dibunyikan.
Touw Liong tahu bahwa suara genta itu sangat aneh,
dan di luar kebiasaan, tetapi keadaan sudah menjadi
demikian rupa ia juga tak menghiraukan lagi.
Genta tua itu berbunyi sembilan kali, dan sembilan lagi
dengan beruntun sembilan kali sembilan. Di atas Bu-tongsan,
dalam waktu sekejap seolah-olah kedatangan musuh
besar. Para imam dari atas sampai ke bawah diliputi oleh
nafsu pembunuhan.
Touw Liong dengan langkah lebar, dan membusungkan
dada berjalan tiba di perut gunung, ia berhenti di hadapan
sebuah kuil yang tidak terhitung kecil. Dari jauh Touw
Liong sebetulnya sudah melihat gelagat tidak beres, tetapi ia
lihat bahwa di pintu kuil itu terpancang papan merek yang
ditulis HIAN THIAN TIAN, di lapangan yang berada di
bagian depan, berdiri banyak orang.
Orang-orang itu semuanya terdiri dari para imam, di
tangan masing-masing membawa pedang panjang yang
berkilauan. Usia para imam itu ada yang tua juga ada yang
muda, jubah mereka terdiri dari berbagai warna, ada yang
hitam ada yang hijau, kuning, dan merah.
Imam yang berjubah warna merah hanya seorang saja,
begitu juga yang berjubah warna kuning juga seorang saja.
Touw Liong begitu melihat imam berjubah warna kuning
itu, buru-buru menurunkan pedangnya dan diserahkan
dengan kedua tangan.
Para imam yang berdiri berbaris di kedua samping,
meskipun jumlahnya ratusan jiwa, tetapi mereka menjadi
kalut. Imam berjubah merah yang berdiri di tengah-tengah,
sedangkan di samping kiri imam berjubah merah itu
seorang imam tua berjenggot putih berjubah kuning, tangan
imam itu memegang kebutan. Meskipun usianya sudah
lanjut tetapi nampaknya masih sangat gagah dan sikapnya
masih sangat agung! Dari bawah imam berjubah kuning,
berturut-turut ada berdiri imam berjubah hijau, hitam dan
coklat. Para imam itu pada berdiri dengan sikap tenang, hanya


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata mereka memandang Touw Liong tanpa berkedip.
Sesaat ketika Touw Liong menginjakkan kakinya di
tengah lapangan, di antara banyak imam tua itu, imam
berjubah merah itu tampak sangat marah, dengan nada
suara dingin ia berkata:
"Sicu orang dari mana" Bagaimana berani memandang
rendah kepada golongan kami, dan berani mendaki gunung
dengan membawa pedang?"
Imam yang berbicara itu mulutnya tajam, usianya sudah
enampuluh tahun ke atas, sinar matanya tajam. Dengan
sinar matanya yang tajam itu memandang Touw Liong dari
atas sampai ke bawah. Baik sikap maupun nada suara
imam itu nampaknya sangat sombong, hingga Touw Liong
yang mendengarkan merasa tidak senang.
Meskipun dalam hati Touw Liong merasa tidak senang,
tetapi sebagai murid golongan partay ternama, harus
pegang teguh peraturan. Ia tidak buru-buru menjawab,
sebaliknya dengan tergesa-gesa berjalan ke hadapan
rombongan banyak orang itu, dan lantas berhenti sejarak
lima tombak, dengan kedua tangannya menyongsong
pedang, ia membungkukkan dirinya ke hadapan imam
berjubah merah, kemudian berkata:
"Ketua golongan Kiu-hwa generasi kedua, TOUW
LIONG, atas kelancangan yang mendaki gunung Bu-tong,
harap supaya ciangbunjin memaafkan sebesar-besarnya."
"Ciangbunjin golongan Kiu-hwa generasi kedua...?"
demikian imam berjubah merah balas bertanya sambil
tertawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata pula: "Siapa
yang mengangkat kau?"
Pertanyaan imam itu bagaikan pedang tajam menusuk
ulu hati Touw Liong, sehingga membangkitkan
kemarahannya. Saat itu darahnya dirasakan bergolak
hampir saja meledak.
Kemarahan Touw Liong sudah sampai di puncaknya,
kalau ia memikirkan sakit hati suhunya, memikirkan
suhunya pada empatpuluh tahun berselang, oleh karena
perbuatan Ngo-gak Sin-kun yang menimbulkan huru-hara
di gunung Bu-tong, dan ia harus turun tangan untuk
membela keutuhan Bu-tong-pay, dalam pertempuran itu ia
berhasil mengusir Ngo-gak Sin-kun.
Imam berjubah merah itu adalah ketua golongan Bu-tong
yang sekarang, gelarnya It-tiem totiang. Touw Liong
marah kepada It-tiem, karena perkataan It-tiem yang
menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Menurut
aturan, setelah Touw Liong mengatakan dirinya sebagai
ketua generasi kedua dari golongan Kiu-hwa, ia seharusnya
sudah mengerti kalau Kiu-hwa Lojin sudah mangkat. Ittiem
dengan kedudukannya sebagai ciangbunjin, atau ketua
golongan Bu-tong-pay, seharusnya ia mengenal budi dan
kebaikan orang, seharusnya ia menghibur beberapa patah
kata kepada Touw Liong. Tak disangka ia bukan saja tidak
menghibur, malah mengejek dan memaki Touw Liong,
apakah itu tidak membangkitkan kemarahan Touw Liong"
Touw Liong yang sudah marah, selagi hendak bertindak,
tiba-tiba melihat imam tua berbaju kuning itu maju
selangkah dan memberi hormat kepada ciangbunjinnya
seraya berkata dengan suara perlahan:
"Hamba ada sepatah dua patah kata hendak menanya
kepada lotayhiap."
Touw Liong terpaksa menahan sabar, matanya dialihkan
kepada imam tua berjubah kuning.
Kata-kata yang keluar dari mulut imam tua berjubah
kuning tadi, seolah-olah sangat berwibawa, maka imam
berjubah merah itu buru-buru menjawab sambil
membungkukkan badan:
"Susiok, silahkan."
Imam tua berjubah kuning itu lalu berpaling dan
memberi hormat kepada Touw Liong, setelah itu ia
berbicara dengan nada suara sedih:
"Touw tayhiap! Bagaimana" Apakah suhumu sudah
mangkat?" Mendengar pertanyaan itu, mata Touw Liong berkacakaca,
ia maju beberapa langkah menghampiri imam tua itu,
kemudian jatuhkan diri berlutut di hadapannya, dan
menjawab dengan nada suara sedih:
"Boanpwee seorang murid yang tidak berbakti, ketika
urusan boanpwee melakukan perjalanan ke gunung Pakbong-
san, suhu telah mangkat hingga tidak dapat
menyaksikan dan mengurus sendiri jenasah suhu."
"Oh?" demikian imam tua berjubah kuning mengeluh,
lalu mendongakkan kepala memandang awan-awan di
langit, setelah itu ia menarik napas panjang, dan terkenang
kembali pada kejadian di masa yang lampau. Empat puluh
tahun berselang, waktu itu Ngo-gak Sin-kun setelah
melakukan pembakaran penyimpanan kitab di gereja Siaolim-
sie, lalu mengirim utusan ke Bu-tong-san untuk
mengirim surat tantangan. Waktu itu, oleh karena
kekuatan Bu-tong-pay sudah banyak berkurang, sebab
dalam pertempuran perebutan kitab Thay-it-cim-keng
dengan Tiga Garuda dari golongan Pak-bong, banyak dari
tujuh pahlawannya yang terluka atau meninggal dunia,
hanya tinggal ciangbunjinnya Giok-ceng-cu dan lima
sutenya Thian-hian-cu yang lukanya waktu itu masih belum
sembuh, maka di dalam keadaan demikian, Bu-tong-pay
terpaksa mengirim orang dengan membawa surat ketua
Giok-ceng-cu ke gunung Kiu-hwa.
Kiu-hwa Lojin setelah menerima surat itu buru-buru
pergi ke gunung Bu-tong. Apa mau, ketika Kiu-hwa Lojin
tiba di gunung Bu-tong, Ngo-gak Sin-kun sudah mengobrakabrik
sedemikian rupa kuil Bu-tong-san. Kuil yang
merupakan markas besar Bu-tong-pay sudah terbakar
musnah, masih untung dalam peristiwa itu tak ada korban
manusia. Begitu Kiu-hwa Lojin tiba, Ngo-gak Sin-kun sangat
marah, sementara itu Giok-cin-cu yang berhadapan sendiri
dengan Ngo-gak Sin-kun, baru dua jurus sudah dikalahkan.
Kiu-hwa Lojin segera turun tangan, ia menerangkan
kepada Ngo-gak Sin-kun bahwa ia sanggup menyambuti
serangan lima jurus dari Ngo-gak. Apabila Ngo-gak yang
menang, ia boleh berbuat sesuka hatinya, tetapi apabila
kalah, ia harus berlalu dari situ, dan selanjutnya tak boleh
lagi mengganggu partay Bu-tong.
Dalam pertandingan itu Kiu-hwa Lojin menggunakan
ilmunya yang terampuh Kiu-hwa sin-kiam. Dengan
ilmunya itu ia dapat menyambuti serangan Ngo-gak Sinkun
yang orang lain tidak sanggup menyambuti.
Selesai pertandingan, Kiu-hwa Lojin sudah merasa letih
sekali, jika pertandingan dilangsungkan, dia pasti akan
kalah. Oleh karena sudah ditetapkan di muka, maka Ngogak
Sin-kun terpaksa berlalu sambil menggertek gigi.
Dengan demikian, Bu-tong-san juga terjamin
keselamatannya.
Bu-tong-pay karena merasa menanggung budi besar
kepada Kiu-hwa Lojin, maka menghadiahkan Kiu-hwa
Lojin suatu kehormatan yang tertinggi. Setiap anak murid
Kiu-hwa Lojin, di kemudian hari apabila mendaki gunung
Bu-tong boleh langsung menuju ke pendopo Sam-ceng-tian
dengan membawa pedang, tidak terikat peraturan yang
harus menanggalkan pedang sebelum mendaki gunung.
Orang-orang rimba persilatan yang mendapat
kehormatan seperti itu jumlahnya tidak banyak, waktu itu
hanya dua orang saja, kecuali Kiu-hwa Lojin, yang lain
adalah ketua dari Siau-lim-pay.
Dan imam tua berjubah kuning itu justru Thian-hiang-cu
yang pada empat puluh tahun berselang pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika Ngo-gak
Sinkun menguasai pendopo Sam-ceng-tiam. Teringat jasa
Kiu-hwa Lojin yang berhasil menyelamatkan Bu-tong-pay
dari malapetaka, imam tua berbaju kuning itu mengucurkan
air mata. Dengan hati sedih ia membangunkan Touw
Liong. "Susiok!" demikian It-tiem maju menghampiri,
memanggilnya dengan nada suara tidak senang.
"Ciangbunjin ada keperluan apa?" bertanya Thian-hiancu
sambil berpaling.
"Tit-jie ada suatu permintaan yang kurang patut, bocah
she Touw ini...."
Thian-hian-cu mengulurkan tangannya, melarang
Ciangbunjin itu melanjutkan kata-katanya. Ia berkata
sambil mengangguk-anggukkan kepala:
"Sebagai murid, harus melanjutkan tugas gurunya,
begitu pun jasa-jasanya. Touw tayhiap sudah menjadi
ciangbunjin generasi kedua golongan Kiu-hwa, ia berhak
mendaki gunung dengan membawa pedang."
Kata-kata Thian-hian-cu ini jelas membela kedudukan
Touw Liong. It-tiem totiang menunjukkan sikap kurang senang. Ia
membantah ucapan Thian-hian-cu, katanya:
"Sepuluh partay dalam rimba persilatan belum pernah
dengar ada golongan Kiu-hwa termasuk di dalamnya, maka
orang she Touw ini belum boleh terhitung sebagai
ciangbunjin. Ia secara lancang mendaki gunung membawa
pedang, bagaimanapun juga kita tidak boleh tinggal diam."
Thian-hian-cu terpaksa diam. Jelas bahwa ucapan tadi
membuat tidak senang kepada sutitnya yang kini menjabat
ketua golongan Bu-tong. Karena ia mengingat bahwa It-tim
meskipun tingkatannya sebagai sutit, kemenakan dalam
seperguruan, tetapi karena kedudukannya sebagai ketua,
maka ia tidak berani membantah. Ia buru-buru
menundukkan kepala dan berdiri tegak kemudian ia balik
kembali ke rombongannya.
It Tiem melihat susioknya sudah menyerah wajahnya
menunjukkan perasaan bangga. Ia perdengarkan suara
tertawa dingin kepada Touw Liong, kemudian berkata:
"Bawa kemari! Serahkan pedangmu! Kemudian,
hmmm! Dengan memandang muka gurumu,
kuperintahkan kau segera meninggalkan gunung ini."
Meskipun Touw Liong bersifat baik, tetapi karena
kelakuan It Tiem yang kurang ajar terhadap suhunya dan
tidak mengenal budi orang, maka saat itu hawa amarahnya
lantas timbul. Ia mendongakkan kepala dan mengeluarkan
siulan panjang, dengan satu tangan menggenggam gagang
pedang, dan satu tangan menggenggam sarungnya, ia
hendak menghunus keluar pedang pusakanya.
It Tiem seolah-olah tidak sadar, ia miringkan kepala,
sesaat kemudian delapan imam berbaju hijau berputaran
dengan pedangnya dan maju mengurung Touw Liong.
Suasana menjadi gawat, Touw Liong sudah tak dapat
mengendalikan hawa amarahnya lagi, dengan tiba-tiba
melihat jenggot perak dari Thian-hian-cu, hingga hatinya
lemas kembali. Ia menarik napas panjang sementara dalam
hatinya berpikir: Apakah aku boleh menempatkan
kedudukan yang menyulitkan bagi imam tua ini"
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, katanya
perlahan-lahan:
"Semua orang dari rimba persilatan tahu bahwa Kiu-hwa
masih merupakan sedarah daging dengan golongan Thiansan,
dan kini golongan Thian-san sudah mulai rontok,
sehingga kedudukannya diteruskan oleh Kiu-hwa, ini
memang sudah selayaknya dalam rimba persilatan.
Sewaktu suhu masih ada, baik ilmu kepandaiannya maupun
kepribadiannya, semua berada di atas sepuluh partay. Oleh
karena suhu tiada maksud untuk menjagoi di dunia Kangouw,
maka suhu jarang sekali menyampuri urusan dunia
Kang-ouw, hal ini merupakan suatu kenyataan. Kalau mau
dikatakan bahwa Kiu-hwa tidak termasuk salah satu partay,
kalau begitu aku numpang tanya kepada totiang, ilmu
pedang Kiu-hwa kiam-hwat dari golongan kami, itu
keluaran dari golongan mana?"
It Tiem totiang tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Semua orang rimba persilatan, siapa yang tidak tahu
bahwa ilmu pedang Kiu-hwa kiam-hwat gurumu berasal
dari ilmu pedang Bwan-leng-kim-kwat-kiam-hwat dari
golongan Thian-san!"
"Apakah Thian-san termasuk dalam sepuluh partay yang
totiang maksudkan?" bertanya Touw Liong.
Pertanyaan itu telah membuat It Tiem diam tidak
sanggup menjawab. Ini disebabkan karena golongan Thiansan
pada seratus tahun berselang sudah terhitung salah satu
partay besar dalam rimba persilatan.
"Totiang ternyata seorang yang kurang pengetahuan,
pantas! Pantas! Semua orang rimba persilatan tahu, kami
golongan Kiu-hwa, sebaliknya totiang berpendirian lain,
dan tidak kenal, ini benar-benar sangat mengherankan
orang," berkata Touw Liong sambil tertawa.
Kata-kata Touw Liong itu sangat pedas, maka It-tiem
sesaat itu mendapat malu besar. Dalam murkanya maka ia
berlaku nekad, ia berkata sambil tertawa dingin berulangulang:
"Sekalipun kalian orang-orang golongan Kiu-hwa, dalam
rimba persilatan mendapat satu kedudukan, kau orang she
Touw kalau menjabat sebagai ketuanya, sudahkah kau
memberitahukan kepada rimba persilatan?"
Touw Liong mengertilah, bahwa imam itu memang
sengaja mencari onar. Ia juga tak mau meladeni orang
semacam itu. Kenyataannya ketika Kiu-hwa Lojin wafat,
Touw Liong justru berada di gunung Pak-bong. Dari
tempat yang begitu jauh, sedangkan kematian suhunya saja
masih belum tahu, bagaimana harus memberitahukan
kepada dunia rimba persilatan"
"Touw Liong kali ini mendaki gunung Bu-tong justru
hendak memberitahukan kepada semua partay dan
golongan rimba persilatan, dan mengabarkan mangkatnya
suhu kepada totiang sekalian. Kenyataannya memang
begitu, aku tidak suka banyak membantah, terserah
bagaimana anggapan totiang. Bagaimanapun juga pedang
di atas punggungku ini, jika aku tak suka menyerahkan,
apakah totiang hendak...?"
It-tiem perlihatkan tertawa iblisnya, ia memotong
perkataan Touw Liong:
"Pada dewasa ini, kecuali bintang di atas langit yang kita


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak bisa mengambil, jangankan hanya sebilah pedang di atas
punggung sicu, sekalipun batok kepala sicu, pinto yakin
juga bisa mengambilnya."
Betapapun sabarnya Touw Liong, juga tidak sanggup
menerima kata-kata It-tiem yang keterlaluan itu, maka
sesaat itu lantas naik darah, ia berseru: "Bagus!" dengan
suara nyaring kemudian berkata:
"Aku orang she Touw ingin tahu apa yang Totiang bisa
perbuat terhadapku?"
Ia berdiri di tempatnya dengan sikap gagah, sedikitpun
tidak bergerak.
Sepasang mata It-tiem memancarkan sinarnya yang
tajam dan dingin, terus berputaran pedang di atas punggung
Touw Liong. Dengan tiba-tiba ia mengebut-ngebutkan lengan
jubahnya, delapan imam berbaju hijau segera bergerak
untuk kembali ke tempatnya.
It-tiem melambaikan tangannya, seorang kacung berbaju
hijau muncul dari rombongan imam, dengan sepasang
tangan ia menyerahkan sebuah pedang kuno kepada It-tiem
sambil berlutut.
It-tiem dengan tangan memegang pedang, kemudian
perintahkan kacung itu kembali.
Sambil membawa pedangnya, It-tiem menunjuk sebuah
puncak gunung yang menjulang tinggi ke langit, kemudian
berkata: "Di atas puncak gunung itu, ada makam suhu. Hari ini
apakah kau da hak mendaki gunung dengan membawa
pedang, apakah kau bisa undurkan diri dalam keadaan
utuh" Biarlah arwah suhu yang menjadi saksi, kalau kau
bisa mengalahkan aku, aku tak bisa berkata apa-apa, karena
itu aadalah maksud suhu, It-tiem terpaksa menyerah, tetapi
jikalau aku yang menang, tidak bisa lain, dengan menurut
peraturan kami sejak seratus tahun, aku minta kau Touw
tayhiap meninggalkan pedangmu."
Touw Liong menerima baik perjanjian itu. It-tiem lalu
mengibaskan tangannya, rombongan imam itu pada
bubaran hanya tinggal imam tua berbaju kuning yang masih
berdiri di tempatnya tidak bergerak.
Touw Liong berjalan menghampiri, memberi hormat
kepada imam tua itu seraya berkata:
"Harap locianpwe pinjamkan pedang locianpwee untuk
boanpwee pakai!"
Thian-hian-cu menyerahkan pedangnya kepada Touw
Liong sambil mengangguk-anggukkan kepala: "Bocah ini
seorang yang jujur, tidak kalah dengan gurunya. Dalam
suasana begini sekalipun dihina demikian rupa, ia masih
tidak lekas menggunakan pedang pusakanya sendiri untuk
menghadapi lawan...."
Pedang pusaka Khun-ngo-kiam di punggung Touw
Liong adalah pedang pusaka luar biasa. Sebagai pedang
pusaka sudah tentu ada tanda-tandanya, sedikit saja keluar
dari sarungnya, menimbulkan sinar berkilauan, meskipun
bagi orang lain dianggapnya biasa saja, tetapi bagi seorang
ahli pedang kenamaan seperti Thian Yan Cu, segera dapat
mengenali barang pusaka itu.
Selagi Thian Yan Cu masih memikiri pemuda itu, It-tiem
dan Touw Liong sudah bergerak meninggalkan kuil, lari
menuju ke puncak gunung tertinggi. Maka imam tua itu
hanya dapat mengawasi berlalunya dua orant itu sambil
menghela napas.
-0- Di atas puncak gunung yang ditunjuk oleh It-tiem tadi
diliputi oleh kabut tebal. Puncak gunung yang menjulang
tinggi ke langit, keadaannya sangat berbahaya.
Puncak itu tidak begitu luas, hanya kira-kira tiga bau
saja. Di bagian utara terdapat sebuah makam, di atas batu
nisannya tertulis dengan beberapa huruf, yang
menunjukkan bahwa makam itu adalah makam Giok Ceng
Cu, ketua generasi kedua belas dari partay Bu-tong-pay. Di
kedua sisi makam itu terdapat dua buah bangunan batu. Di
sebelah selatan ada kira-kira sepuluh lebih pohon cemara.
Tempat itu keadaannya rindang, di bawahnya tumbuh
rumput tebal. Sedang di hadapan makam itu terdapat
sebidang tanah rumput yang cuup luas.
It-tiem yang lebih dahulu tiba di puncak gunung itu,
begitu tiba lalu langsung menuju ke depan makam.
Tindakannya disusul oleh Touw Liong, maka keduanya
lalu berlutut ke hadapan makam. Setelah selesai
sembahyang, It-tiem melompat bangun dengan membawa
pedangnya. Tanpa berkata apa-apa, ia sudah mulai
membuka serangannya dengan satu gerak tipu yang belum
pernah dilihat oleh Touw Liong.
Touw Liong sangat terperanjat, sehingga mengeluarkan
seruan di mulutnya.
It-tiem berkata sambil tertawa mengejek:
"Orang she Touw! Sebaiknya kau mengunakan
pedangmu sendiri, sebab ilmu pedangku ini tak ada duanya
di dalam dunia. Begitu kumainkan, kau barangkali tidak
dapat mempertahankan kepalamu sendiri."
Kata-kata It-tiem itu seolah-olah sudah memastikan
bahwa Touw Liong pasti akan mati di bawah serangan
pedangnya. Touw Liong yang beradat tinggi hati dan keras kepala,
ketika mendengar ucapan jumawa It-tiem tadi, ia malah
tidak mau menggunakan pedang pusakanya sendiri, sebab
jikalau ia berbuat demikian, sekalipun menang juga akan
menjadi tertawaan lawannya, dikatakannya kemenangan
itu karena mengandalkan senjatanya yang tajam. Selain
daripada itu, hingga saat itu ia masih belum tahu benar
perangai dan kelakuan It-tiem, setidak-tidaknya It-tiem
masih belum merupakan seorang yang terlalu jahat dan
tidak boleh diampuni dosanya. Maka ia tidak mau
menggunakan pedang saktinya untuk menghadapi
lawannya. Touw Liong dengan pedang di tangan, setelah
mengetahui lawannya sudah siap, iapun menyiapkan diri
dengan gerakan pembukaan dari golongan Kiu-hwa.
Setelah itu ia mempersilahkan It-tiem melakukan serangan
lebih dahulu. It-tiem memperlihatan ketawa iblisnya, sepatah katapun
tidak menjawab, dengan tangan kiri menuding Touw
Liong, dan pedang di tangan kanan secepat kilat sudah
menyerang Touw Liong.
Serangannya itu dilihat sepintas lalu hanya merupakan
suatu gerakan biasa saja, sebetulnya di dalamnya
mengandung banyak sekali perubahan, dari satu gerakan
bisa berubah menjadi tiga, tiga berubah lagi menjadi
sembilang, dan demikian seterusnya. Seolah-olah
meluncurnya air sungai, hingga membuat Touw Liong
terdesak dan terpaksa mundur berulang-ulang, dengan
pedangnya ia berusaha menutup dan melindungi diri
sendiri, dengan demikian ia hanya berusaha dulu untuk
memperkuat kedudukannya, sedikitpun tidak memperoleh
kesempatan untuk melakukan serangan pembalasan.
Dengan tiba-tiba Touw Liong teringat gerak tipu yang
digunakan oleh It-tiem itu bukanlah gerak tipu ilmu pedang
dari golongan Bu-tong. Ia mulai menganalisa setiap
gerakan yang dilancarkan oleh It-tiem dari beberapa ahli
pedang kenamaan dalam rimba persilatan. Ilmu pedang
seganas dan sekejam itu hanya terdapat dalam kitab Thay-it
Cin-keng. Hanya ilmu pedang itulah yang dapat disamakan
dengan ilmu pedang yang digunakan oleh It-tiem.
Setelah mengetahui benar dari mana asal-usul ilmu
pedang itu, maka ia lantas berseru:
"Thay-it Sin-kiam!"
It-tiem merasa sangat bangga mendengar disebutnya
ilmu pedang itu, maka ia terbahak-bahak dan kemudian
berkata: "Tepat, Thay-it Sin-kiam, dalam rimba persilatan pada
dewasa ini, merupakan ilmu pedang yang tidak ada taranya,
hanya satu-satunya dan tak ada duanya."
Touw Liong karena dalam babak pertama itu sudah
meleset perhitungannya, maka ia terdesak mundur dan
tidak dapat membalas sama sekali tapi setelah mengetahui
dari mana asal-usul ilmu pedang itu, ia buru-buru
menggunakan ilmunya Thay-it Sin-kang kepada lengan
tangan kanannya, lalu disalurkan ke ujung pedangnya dan
dengan sangat hati-hati sekali ia menggunakan ilmu pedang
perguruannya ialah ilmu pedang Kiu-hwa Kiam-hoat,
untuk membendung serangan ganas lawannya.
Dalam hal ilmu silat, sedikit saja selisih, bisa
menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Memang
benar, Touw Liong sudah pernah mempelajari ilmu Thay-it
Sin-kang, tetapi ilmu pedang Kiu-hwa kiam-hoat yang
digunakan kalau dibanding dengan ilmu pedang Thay-it
Sin-kiam, yang tersebut belakangan ini lebih unggul, baik
keganasannya atau keistimewaannya. Apalagi It-tiem yang
sudah mempelajari bertahun-tahun, ia telah memainkan
dengan baik sekali. Betapapun hebatnya ilmu pedang yang
digunakan Touw Liong, juga masih berbeda jauh. Masih
untung, ilmunya Thay-it Sin-kang sudah mempunyai
latihan yang cukup sempurna, hingga untuk sementara ia
masih sanggup menahan serangan It-tiem.
It-tiem setelah melakukan serangan yang hebat, ia telah
mengetahui bahwa ilmu pedangnya yang luar biasa itu
merupakan ilmu pedang tertinggi dalam rimba persilatan,
maka seketika itu semangatnya lantas terbangun. Katanya
sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bocah, apakah kau kuajak datang ke sini ini benarbenar
untuk menghadap ke makam suhu untuk
menentukan, hari ini kau akan meninggalkan pedang atau
akan mengundurkan diri dalam keadaan utuh?"
Touw Liong diam saja tidak menjawab.
It-tiem berkata pula:
"Ilmu pedangku ini telah kulatih dengan susah payah
selama duapuluh tahun, barulah kulatih sempurna dengan
secara diam-diam. Aku pernah bercita-cita, setelah ilmu
pedangku ini berhasil, aku akan menggunakan kepala
orang-orang yang pertama-tama menghadapi ilmu
pedangku untuk menyembahyangi pedangku. Oleh karena
itu, hari ini kau sudah ditentukan harus mati, sudah tak ada
harapan untuk bisa hidup lagi. Kau jangan timbul pikiran
bisa turun gunung dalam keadaan hidup."
Selama berbicara itu, ia sudah melancarkan serangannya
lagi sampai lima jurus.
Touw Liong sudah tentu tidak berani berlaku gegabah,
seluruh perhatiannya dipusatkan untuk menggunakan
pedangnya guna memunahkan serangan lawannya.
Tetapi dia sekarang juga mengerti, bahwa It-tiem adalah
seorang yang berjiwa kerdil. Imam itu berhati licik,
merupakan seorang yang sangat berbahaya. Dengan secara
diam-diam mempelajari ilmu pedang Thay-it Sin-kiam
selama dua puluh tahun, di sini sudah dapat dilihat bahwa
ilmu pedang yang termuat dalam kitab itu pada duapuluh
tahun berselang sudah berada dalam tangannya, tetapi ia
telah sembnyikan tanpa memberitahukan kepada kawankawannya
bahkan kepada ciangbunjinnya waktu itu, dan
suhunya sendiri Giok-ceng-cu juga tidak diberitahu, apalagi
Thian-hian-cu sudah tentu semakin tidak tahu.
Apabila hal itu diketahui oleh mereka berdua sudah tentu
It-tiem tak perlu mempelajari dengan secara diam-diam.
Touw Liong mengerti, bagaimana sifat It-tiem. Oleh
karena sudah mengetahui perangai imam itu, maka ia diamdiam
mawas diri dan bertekad hendak menjatuhkan
lawannya itu. Baru saja ia mengambil keputusan demikian, It-tiem
sudah berkata lagi sambil ketawa dingin:
"Jika aku menjadi kau, sudah tentu akan menggunakan
pedang saktimu utuk melawan, perlu apa kau harus
menyiksa dirimu sendiri?"
"Jika aku menggunakan pedang pusakaku ini, aku takut
akan merusakkan pedangmu, dan totiang akan mengatakan
bahwa aku tidak tahu diri."
"Mana! Betapapun tidak gunanya pinto, juga tak akan
mengatakan kau kalau aku tidak sanggup menyambuti
beberapa jurus ilmu pedang golongan Kiu-hwa yang tidak
berarti itu. Jikalau kau tak percaya, boleh coba saja!"
berkata It-tiem sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Baiklah!" berkata Touw Liong, "Daripada menolak,
sebaiknya kuiringi saja kehendakmu!"
Sehabis berkata, dengan pedangnya ia menutup jalan
pedang lawannya, sedang tangan kirinya melancarkan
serangan tenaga dalam yang sangat hebat, sehingga
mendesak It-tiem mundur sampai tiga langkah.
Secepat kilat pedang di tangan kanan dipindahkan ke
tangan kiri, dan tangan kanannya dengan cepat pula
menghunus pedang pusakanya sendiri. Sesaat pada waktu
pedang Khun-ngo-kiamnya itu terhunus keluar, pedang itu
memancarkan sinar yang berkilauan, dan pada saat itulah
dalam tangan Touw Liong tampak pedang pusakanya yang
buat pertama kali hendak dipergunakan.
"Sungguh hebat pedangmu ini!" demikian It-tiem
memberikan pujiannya.
Dengan sebetulnya It-tiem menyuruh Touw Liong
mengeluarkan pedang pusakanya, maksudnya ialah hendak
melihat pedang apa yang dibawa oleh Touw Liong itu"
Kini setelah ia mengetahui pedang pusaka yang luar biasa
itu, maka semakin bernafsu untuk menjatuhkan lawannya,
agar dapat mengambil alih senjata Touw Liong yang tidak
ada taranya itu. Ia tahu bahwa ilmu pedang yang
digunakan oleh Touw Liong merupakan ilmu pedang biasa
dalam matanya, karena ia menganggap ilmu pedangnya
sendiri sudah mencapai ke taraf yang tak ada taranya, maka
ia tidak menghiraukan pedang apa yang digunakan oleh
lawannya, oleh karenanya ia masih tak begitu khawatir
untuk menghadapi pedang pusaka itu.
Bab 33 Setelah pedang dalam genggamannya tangannya,
semangat Touw Liong berkobar lagi. Sambil mengeluarkan


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siulan panjang, ia memutar pedangnya hingga
menimbulkan hembusan angin dan percikan api, kemudian
ia berkata dengan suara nyaring:
"Harap berlaku hati-hati, pedangku ini adalah pedang
sakti yang dapat memapas segala besi bagaikan tanah,
kuharap kau suka berhati-hati menjaga pedangmu!"
"Pedang pusaka perlu diimbangi dengan ilmu pedangnya
yang luar biasa, barulah sempurna dan tampak hebatnya.
Meskipun kau memiliki pedang sakti di tangan, tapi aku
menganggapmu sebagai memegang pedang yang terbuat
dari besi rongsokan saja. Kau boleh mengeluarkan
serangan sesuka hatimu, jangan kau simpan kepandaianmu,
semua ilmu pedang golongan Kiu-hwa boleh kau keluarkan
seluruhnya," berkata It-tiem dengan nada suara dingin, juga
mengandung hinaan dan memandang rendah kepada Touw
Liong. Touw Liong yang mendengar ucapan sombong imam
itu, lantas naik darah, hingga sekujur badannya gemetaran.
Ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan,
pedang di tangan kirinya dilemparkan sejauh tujuh tombak
lebih. Tepat pada saat itu pedang It-tiem sudah menekan
dirinya. Ia lalu menggerakkan pedang pusakanya untuk
menangkis serangan pedang lawannya yang sangat ganas.
Tangkisannya itu menimbulkan suara "sreeeg". Percikan
api semburat di sekitarnya, dan dua orang itu masingmasing
mundur selangkah.
Dalam tangan It-tiem hanya menggenggam pedang yang
sudah kutung. Pedang pusaka di tangan Touw Liong
meskipun tidak mendapat kerusakan apa-apa, tetapi lengan
bajunya telah robek, sebagian bajunya terdapat banyak
lubang oleh serangan pedang luar biasa dari It-tiem tadi.
Itu masih belum cukup, di beberapa bagian tangan Touw
Liong sudah mengeluarkan darah, ini suatu bukti bahwa ia
juga mendapat sedikit luka.
Touw Liong menghela napas, masukkan kembali
pedangnya ke dalam sarungnya.
Di lain pihak, It-tiem setelah lompat mundur ia berdiri
terpaku tidak bisa mengeluarkan suara.
Dalam pertempuran hebat itu kedua-duanya telah
terluka. It-tiem lebih unggul dalam ilmu pedangnya yang
luar biasa, tetapi pedang di tangannya telah terbabat putung
oleh pedang pusaka di tangan Touw Liong, maka sudah
dihitung kalah. Sebaliknya dengan Touw Liong, kekuatan
tenaga dalamnya cukup sempurna, ditambah dengan
pedang pusakanya yang tiada taranya, meskipun berhasil
membabat putung pedang lawannya, tetapi ia sendiri robek
lengan bajunya, bahkan mendapat sedikit luka, bagaimana
kalau ia tidak merasa gentar"
Lama dalam keheningan, akhirnya It-tiem membuka
mulut sambil tetap berdiri termangu-mangu.
"Pertandingan kita hari ini, hitung seri saja, di lain waktu
apabila ada jodoh kita boleh melakukan pertandingan lagi,
sekarang pergilah kau!"
Apa Touw Liong bisa kata" Hanya mengucapkan apa
yang perlu, setelah itu ia menghampiri pedang Thian-hiancu
yang dilemparkan dan kini menancap di sebuah pohon
cemara, setelah itu ia turun dari puncak gunung.
Kedatangannya itu disambut oleh Thian-hian-cu yang
menunggu di bawah puncak. Touw Liong mengembalikan
pedangnya kepada imam tua itu. Thian-hian-cu menghiburi
padanya beberapa patah kata, setelah itu Touw Liong minta
diri dan berlalu meninggalkan gunung Bu-tong.
Waktu itu ia berjalan menuju ke belakang gunung.
Ia juga tidak tahu kemana harus pergi, hatinya seolaholah
dibebani oleh besi berat, ia sendiri juga tak tahu,
perasaan itu suatu perasaan sedih atau apa" Dengan
menurut langkah kakinya, ia berjalan terus, dan tanpa
disadari ia sudah tiba di sebuah kupel. Selagi hendak
masuk ke dalam kupel untuk beristirahat sebentar, di
belakang dirinya seperti ada hembusan angin.
Dengan cepat ia berpaling, saat itu baru tahu bahwa ada
orang telah melompat masuk ke dalam kupel itu. Orang itu
adalah ketua Bu-tong-pay It-tiem totiang, di belakangnya
diikuti oleh delapan imam berpakaian hijau. Pada saat itu
di tangan It-tiem membawa pedang Ceng-kong-kiam.
Dalam hati Touw Liong terkejut, tetapi ia sudah
mengerti apa artinya itu. Sampai di situ, ia baru menyesali
dirinya sendiri, tidak seharusnya kukuh dengan
pendiriannya. Ia sebetulnya mendapatkan beberapa jilid
kitab mukzizat, namun tidak mau mempelajarinya, dan
sekarang setelah berjumpa dengan musuh yang lebih
tangguh dari dirinya sendiri, lalu tidak berdaya sama sekali.
Sementara itu terdengar suara desiran angin, delapan
imam berbaju hijau dengan pedang terhunus mengurung
Touw Liong di tengah-tengah.
Kali ini Touw Liong sangat berhati-hati, begitu delapan
imam itu mengurung dirinya, ia lantas menghunus pedang
pusakanya. Waktu itu meskipun dalam hatinya terkejut, namun
sikapnya masih tenang-tenang saja, sedikitpun tidak
menunjukkan kegugupannya, sebaliknya dengan delapan
orang imam berbaju hijau itu, sikap mereka nampak sangat
tegang. It-tiem yang berada di luar kurungan, berkata dengan
sikap menghina:
"Orang she Touw! Apa kau kira kau boleh berkeluyuran
seenakmu di atas gunung Bu-tong dengan membawa
pedang?" "Kau mau apa?" bertanya Touw Liong dengan sikap
gagah. "Tinggalkan pedang pusakamu itu, kita akan melepaskan
kau pergi," berkata It-tiem sambil menunjuk pedang Khunngo-
kiam di tangan Touw Liong.
"Jika aku berkata tidak?" demikian Touw Liong balas
bertanya dengan suara bengis.
"Akan kita bunuh kau dalam sejarak lima langkah,"
berkata It-tiem sepatah demi sepatah.
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Bagi seorang laki-laki tidak perlu takut mati, kalau kau
hendak berbuat demikian, berbuatlah!"
It-tiem berpikir sejenak, tiba-tiba membuka matanya dan
berkata sambil menunjuk delapan imam berbaju hijau:
"Orang she Touw, tahukah kau apa namanya barisan
pedang ini?"
"Dalam rimba persilatan siapakah yang tidak tahu
barisan pedang Pat-kwa-kiam-tin dari golongan Bu-tongpay?"
It-tiem tertawa dan mengangguk-anggukkan kepala,
kemudian berkata:
"Luas pengetahuanmu. Hanya, barisan pedangku ini
bukan hanya melulu barisan pedang Pat-kwa-tin yang
sederhana, di sampingnya masih ada nama lain lagi!"
"Apalagi, coba kau sebutkan!"
"Ditambah dengan pinto, menjadi sembilan bilah
pedang...."
"Tidak perlu kau berputar-putaran, ditambah dengan kau
siapa tidak tahu, golongan Bu-tong sudah lama memiliki
barisan pedang yang dinamakan Kiu-kiong-pat-kwa-tin
yang dahulu pernah menggemparkan rimba persilatan?"
It-tiem menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Bukan! Bukan! Barisan pedang Kiu-kiong-pat-kwa-tin
sudah ketinggalan jaman, sebab sekarang sudah tidak sesuai
lagi." Touw Liong tercengang, sementara itu It-tiem berkata
pula dengan bangganya:
"Barisan pedangku ini adalah barisan Pat-kwa
bercampur Kiu-kiong, di luarnya ditambah Thay-it Sinkiam,
yang mempunyai perubahan tak ada habisnya. Di
dalamnya ada su-chio, di luarnya ngo-heng; dari kiu-kiong
membentang menjadi pat-kwa; di depan adalah sam-cay, di
belakang adalah liok-hap; tetapi dengan sebetul-betulnya
barisan-barisan pedang ini seharusnya dinamakan kiu-pengthay-
it-tin." Dalam hati Touw Liong bergidik, kalau mendengar
nama-nama yang disebutkan itu, barisan pedang ini
sesungguhnya memang hebat.
It-tiem yang menampak Touw Liong diam berpikir, lalu
berkata pula sambil tertawa:
"Orang she Touw, pinto tak akan berbuat keterlaluan,
asal kau mau meninggalkan pedangmu, pinto yang
bertujuan welas asih kepada sesama manusia akan memberi
kau suatu jalan hidup."
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Boleh! Tidak susah kau menghendaki pedang tetapi
harus tanya dia dulu, mau apa tidak mengikuti kau?"
It-tiem tertawa terbahak-bahak, kemudian
mengacungkan pedang panjangnya, dalam sekejap imam
berbaju hijau masing-masing mengacungkan pedangnya
berputar mengitari Touw Liong. Gerakan delapan imam
itu semakin lama semakin cepat, semakin memutar semakin
gesit. Sebentar-sebentar pedangnya diangkat tinggi,
sebentar-sebentar disodorkan. Touw Liong yang terkurung
di tengah-tengah yang menyaksikan perbuatan itu matanya
menjadi kabur. It-tiem yang bertindak sebagai komando dan berdiri di
luar, dengan tiba-tiba mengacungkan lagi pedang di
tangannya, dua di antara delapan imam yang lari
berputaran itu dengan tiba-tiba melangkah kakinya ke
kanan, tangannya digerakkan, masing-masing menikam
depan dan belakang diri Touw Liong.
Tikaman itu baru setengah jalan, dengan mendadak
ditariknya kembali.
Touw Liong nampak gerakan itu hanya gerakan
pancingan saja, maka ia tetap berdiri di tempatnya,
sedikitpun tidak bergerak.
Barisan pedang itu berputar seperti semula, ketika itu
untuk kedua kali mengangkat pedangnya barisan pedang itu
mendadak berubah. Bagian depan, belakang, kiri dan
kanan, dalam waktu yang bersamaan, empat bilah pedang
ditujukan ke empat bagian jalan darah terpenting anggota
badan Touw Liong. Empat bilah pedang yang lainnya,
dengan satu gerakan yang sama, memotong Touw Liong
dari tiga jalan.
Namun gerakan itu masih merupakan pancingan saja,
serangan yang dilancarkan setengah jalan sudah ditariknya
kembali. Tetapi Touw Liong yang diserang dari empat
penjuru saat itu sudah mengeluarkan keringat dingin, sebab
di bawah keadaan demikian, betapapun hebat kekuatan
tenaga orang, betapapun tajam senjata di tangannya,
bagaimanapun dengan dua tangan tidak sanggup melayani
empat orang. Seandainya delapan imam itu menyerang
sungguh-sungguh dengan serentak, maka bagi Touw Liong
merupakan suatu tanda tanya, ia harus mengelakkan dari
empat pedang yang pertama ataukah menangkis serangan
pedang yang belakangan" Di samping itu juga masih ada Ittiem
yang berlaku sebagai komando yang tetap mengawasi
gerak-geriknya.
Empat bilah pedang yang menyerang bagian atasnya,
tidak peduli mana satu asal mengenai sasarannya, oleh
karena empat bagian jalan darah yang diincar itu
merupakan jalan darah terpenting, maka jikalau terkena
sudah pasti binasa. Empat bilah pedang yang dilancarkan
ke bagian bawahnya meskipun tidak sampai
membahayakan jiwanya, tetapi empat anggota kaki dan
tangan merupakan modal bagi manusia untuk bergerak dan
bertindak, apabila kedua tangan atau kedua kakinya terluka
bukankah seperti juga sudah mati"
Delapan imam itu seolah-olah sudah pernah dilatih
dengan keras oleh It-tiem, setidak-tidaknya, latihan itu juga
sudah mencapai delapan atau sepuluh tahun. Dan imamimam
itu terdiri dari imam-imam pilihan dari anak buah
Bu-tong-pay. Touw Liong dengan seksama memperhatikan keadaan
barisan itu. Satu-satunya jalan baginya untuk melepaskan
diri hanya di suatu bagian yang dinamakan Pintu Langit.
Tetapi di bagian itu It-tiem berdiri sebagai palang pintu,
dan maksudnya ialah untuk mengawasi Touw Liong jangan
sampai lolos dari bagian itu.
Oleh karena itu hanya satu-satunya jalan untuk keluar,
maka kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Touw Liong.
Ia tidak menantikan sampai barisan pedang itu bergerak
lagi, lalu mendahului bertindak, pedang panjangnya
diputar, ilmunya Thay-it sin-kang dipusatkan ke ujung
pedangnya, hingga barisan pedang itu digempur oleh
hembusan kekuatan tenaga dalamnya. Delapan imam
berbaju hijau itu pada berubah wajahnya, sedang It-tiem
yang bertindak sebagai komando, mengacungkan
pedangnya dua kali.
Touw Liong memperdengarkan suara siulan nyaring,
kedua kakinya menjejak ke tanah, dan badannya melesat
tinggi ke tengah udara.
It-tiem sudah menduga tindakan Touw Liong itu, maka
begitu Touw Liong bergerak, ia sudah bertindak lebih
dahulu, badannya melesat naik dengan gerakan miring,
sebelum tiba orangnya, pedangnya digerakkan lebih dahulu
untuk menyerang dan mencegat jalan mundurnya Touw
Liong. Sesaat kemudian terdengar suara benturan senjata tajam,
pedang di tangan It-tiem sedikitpun tidak terluka, hal ini
sesungguhnya di luar dugaan Touw Liong.
Masih untung bagi Touw Liong, karena kekuatan tenaga
dalamnya masih lebih tinggi setingkat dari lawannya,
sehingga It-tiem terpental mundur dan jatuh kembali ke
tanah. Bagi Touw Liong sendiri juga tak mendapatkan hasil
apa-apa, meskipun ia berhasil mendorong mundur
lawannya, tetapi ia sendiri juga mendapat beberapa tusukan
di lengan bajunya, hingga di beberapa bagian terdapat
banyak lubang. Touw Liong yang sudah berhasil
mendorong mundur lawannya, tidak berani ayal lagi, sekali


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi ia memperdengarkan suaranya yang nyaring, dengan
suatu gerakan miring ia meluncur ke suatu jalan kecil, yang
terletak di sebelah kiri kupel. Begitu kaki menginjak tanah,
ia melesat lagi, hanya tiga kali lompatan orangnya sudah
berada sejauh sepuluh tombak. It-tiem ketika menyaksikan
hal itu, tidak bisa berbuat lain, hanya menghunjamkan
kakinya di tanah sambil menghela napas, setelah itu ia
mengacungkan lagi pedangnya dan memerintahkan anak
buahnya untuk kembali mengejar.
JILID 13 Sembilan sosok bayangan orang bergerak dengan
serentak untuk mengejar Touw Liong.
Touw Liong terus kabur tanpa memilih tujuan dengan
dikejar oleh sembilan orang imam.
Dalam waktu sekejap mata, ia sudah kabur sejauh
beberapa puluh pal, sedangkan di belakangnya, sembilan
imam itu masih mengejarnya. Saat itu kedua pihak hanya
terpisah tiga puluh tombak lebih.
Touw Liong yang terus lari tanpa memilih jalan, di
bawah suatu tempat dimana terhalang oleh sebuah sungai
selebar delapan tombak lebih, Touw Liong terpaksa
merandak dan menghela napas. Ketika ia berpaling,
sembilan imam yang mengejar dirinya itu terpisah dengan
dirinya semakin lama semakin dekat. Ia mengetahui bahwa
perjalanannya sudah terputus, maka ia mendongakkan
kepala dan menyebut nama Tuhan!
Di hadapannya terhalang oleh sungai lebar, di
belakangnya ada musuh mengejar, kini ia seolah berada di
tepi maut. Sungai itu airnya dalam, dengan kepandaian Touw
Liong pada saat itu, ia mungkin masih dapat menyeberangi
dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh.
Sekalipun ia belum dapat mencapai ke taraf yang bisa
menginjak air sungai, setidak-tidaknya ia dapat
menggunakan ranting kayu kering atau sejenisnya untuk
injakan kakinya.
Apa mau, air sungai itu mengalirnya terlalu deras,
hingga Touw Liong hanya dapat mengawasi air sungai
yang deras itu sambil menghela napas.
Dalam keadaan demikian, ia terpaksa putar otak untuk
mencari akal, tidak jauh dari tempanya berdiri, ada sebuah
pohon tua yang sudah tak ada daunnya, dalam girangnya,
ia segera lompat menghampiri pohon itu dan
memotongnya. Pohon tua itu lantas rubuh , untuk kedua
kali ia menggunakan pedangnya memotong pohon kering
itu sekira tiga kaki panjangnya, ia angkat pohon itu dan
dilemparkan ke tengah sungai.
Potongan pohon itu mengambang di atas sungai. Touw
Liong secepat kilat lompat melesat dan kakinya menginjak
ke potongan pohon tadi, beberapa kali ia bergerak lagi,
dengan demikian ia berhasil menyeberang ke tepi.
Begitu tiba di seberang, ia baru merasa lega, tetapi ketika
ia berpaling, celaka! It-tiem juga sedang menggunakan cara
yang sama untuk menyeberangi sungai.
Touw Liong yang menyaksikan itu wajahnya berubah
seketika, ia sesalkan perbuatannya sendiri tadi yang agak
gegabah, jikalau ia tadi melemparkan semua potongan
pohon itu ke dalam sungai, sudah tentu tidak dapat
digunakan oleh It-tiem.
Kini ia terpaksa mengawasi It-tiem dan delapan anak
buahnya melemparkan potongan pohon ke dalam sungai
dan hendak digunakan untuk menyeberang. Pada saat itu
suatu pikiran aneh timbul dalam otaknya, seandainya ia
menggunakan kesempatan itu ia lantas sambut It-tiem
dengan tikaman pedang, dan paksa padanya untuk terjun ke
dalam sungai, bukankah Bu-tong-san akan menjadi aman"
Ia kira pikiran itu cukup baik, tetapi ketika ia hendak
menyergap It-tiem dengan pedang terhunus, tiba-tiba
menggelengkan kepala dan kembali berpikir lain. Tindakan
semacam ini bukanlah perbuatan seorang ksatria. Akhirnya
ia tidak laksanakan pikirannya tadi, sebab perbuatan itu
sangat memalukan dirinya sendiri. Ia hanya berdiri tegak di
tepi sungai untuk menantikan datangnya musuhnya.
Sesaat kemudian It-tiem sudah lompat ke tepi sungai.
Dengan pedang Ceng-hong-kiam di tangan ia terus
menyergap Touw Liong.
Touw Liong masih berdiri tegak tidak memberikan reaksi
apa-apa, matanya hanya ditujukan kepada delapan anak
buah It-tiem yang sedang berusaha menyeberang.
It-tiem pada saat itu juga berpaling mengawasi anak
buahnya yang berusaha hendak menyeberang.
Tetapi delapan imam berbaju hijau itu agaknya tidak
berdaya, jelas bahwa kepandaian mereka belum setinggi itu,
mereka tidak berdaya untuk menyeberangi sungai yang
airnya mengalir deras.
It-tiem perlahan-lahan menghampiri Touw Liong,
katanya dengan suara perlahan:
"Kau bocah, kembali sudah kehilangan suatu
kesempatan baik!"
Touw Liong tahu bahwa yang dimaksudkan oleh
ucapannya itu ialah tadi ia tidak mau menggunakan
kesempatan selagi ia lompat naik ke tepi sungai diserangnya
dengan secara mendadak. Tetapi ia tidak berkata apa-apa
hanya mengangkat pundaknya, kemudian balas bertanya.
"Delapan pembantumu itu tidak bisa menyeberang
kemari, apa kau tidak bersedia membantu mereka?"
It-tiem menggelengkan kepala dan berkata:
"Dengan seorang diri, pinto menghadapi kau sudah lebih
dari cukup, dengan adanya mereka di sini sebaliknya malah
membuat aku repot."
"Bagaimana urusan kita dibereskannya?"
"Pedangku ini dilihat sepintas lalu seperti pedang Cenghong-
kiam, tetapi pedang ini adalah pedang pusaka
simpanan golongan Bu-tong-pay, sebab pedangn ini adalah
peninggalan suhu, tidak gampang-gampang digunakan,
maka kusimpan di dalam lemari, dan hari ini pinto
keluarkan untuk menghadapi kau! Ha ha! Apakah kau
sudah pernah dengar bahwa Bu-tong-pay mempunyai dua
bilah pedang kuno yang dinamakan Ang-hui-kiam?"
"Ang-hui-kiam!" mengulang Touw Liong terkejut.
Pedang kuno Ang-hui-kiam ini memang benar pernah
memberikan banyak jasa bagi Bu-tong-pay dalam beberapa
kali mengadakan pertandingan pedang dahulu.
Kepandaian ilmu pedang orang-orang Bu-tong-pay telah
menundukkan lawan-lawannya, pedang kuno ini
mempunyai andil yang tidak sedikit.
Dan kini, pedang pusaka itu berada di tangan It-tiem,
diimbangi pula dengan ilmu pedangnya Thay-it-sin-kiam,
dalam rimba persilatan pada dewasa ini, barangkali tiada
satupun yang sanggup menandingi.
Seandainya mau dikata ada ilmu pedang yang dapat
mengimbangi ilmu pedang Thay-it-sin-kiam, barangkali
hanya ilmu pedang dari golongan Buddha yang dinamakan
Tay-lo-kim-kong-kiam.
Ilmu pedang Thay-it-sin-kiam unggul dalam gerakannya
yang lincah gesit dan aneh, sedangkan Tay-lo-kim-kongkiam
unggul dalam beratnya dan mantapnya. Kedua
macam ilmu pedang itu sangat berlainan, tetapi semuanya
merupakan ilmu pedang yang tertinggi dalam rimba
persilatan pada masa itu.
Touw Liong terpaksa memperhitungkan kekuatannya
sendiri, kalau ditinjau dari ketajaman, pedang Khun-ngokiam
sudah tentu lebih tajam daripada pedang Ang-huikiam,
tetapi selisihnya tidak jauh.
Dalam hal ilmu pedangnya, ilmu pedangnya sendiri dari
golongan Kiu-hwa, masih jauh jika dibandingkan dengan
ilmu pedang Thay-it-sin-kiam. Tetapi Touw Liong unggul
dalam kekuatan tenaga dalamnya.
"Pertandingan kita hari ini siapa yang kalah dan siapa
yang menang masih belum dapat ditentukan," berkata
Touw Liong sambil menganggukkan kepala.
"Rasanya sudah dapat dipastikan!" berkata It-tiem
sambil tertawa iblis.
"Maksudmu, apa kau sudah yakin benar bahwa
pedangmu dapat menangkan pedang Khun-ngo-kiamku?"
It-tiem tertawa mengejek sambil menganggukkan kepala.
"Kalau begitu mari kita coba," berkata Touw Liong
marah. It-tiem tidak menyahut, ia sudah mulai siap untuk
melakukan pertempuran.
Touw Liong juga memutar pedangnya dan memasang
kuda-kuda. Kedua belah pihak sudah siap, dan pertandingan itu
sudah dimulai. Dengan tiba-tiba, dari seberang bukit
terdengar suara siulan nyaring.
Suara siulan itu belum lenyap, dari balik bukit muncul
dua orang gadis cantik berbaju hijau.
It-tiem mengerutkan alisnya, perlahan-lahan menyimpan
kembali pedangnya. Matanya ditujukan kepada dua gadis
berbaju hijau yang sedang muncul. Touw Liong juga
menyimpan pedangnya, pandangan matanya ditujukan ke
arah dua gadis tadi.
Ketika pandangan matanya tertuju kepada salah seorang
gadis yang berbaju hijau itu, sesaat ia seperti tertegun dan
menghela napas pelahan.
It-tiem lalau bertanya sambil mengerutkan alisnya:
"Apakah kau kenal dengan mereka?"
Touw Liong menganggukkan kepala, kemudian ia
menambahkan keterangan:
"Gadis yang berjalan di sebelah kanan itu adalah adik
seperguruanku."
"Adik seperguruanmu?" bertanya It-tiem kaget, lalu ia
menunjuk kepada gadis yang berjalan di sebelah kiri dan
bertanya pula: "Dan yang sebelah kiri itu?"
Touw Liong mengerutkan alisnya, dengan nada
bertanya-tanya, ia berkata kepada dirinya sendiri: "Gadis
itu mirip dengan Enci Lo. Tetapi usianya lebih muda.
Seharusnya dia itu adalah adiknya."
It-tiem sudah tidak sabar, bertanya dengan nada suara
bengis: "Siapakah sebenarnya gadis itu?"
"Sepasang dara Kun-lun-san bagian barat ....."
Ia hanya secara sembarangan saja menyebut kedua gadis
itu dengan kata-kata Siang-kiauw atau Sepasang Dara.
"Giok Kiauw, ataukan Lian Kiauw?"
Kiranya sepasang dara dari keluarga Lo, yang satu ialah
Lo Yu Im yang dalam keluarganya disebut Giok Kiauw,
dan adiknya adalah Lo Bi Im dengan sebutannya Lian
Kiauw. Dahulu ketua Bu-tong-pay Giok-ceng-cu pernah
mengajak It-tiem mengajukan pertanyaan seperti tadi.
"Giok Kiauw," jawab Touw Liong sekenanya.
Ia sendiri sebenarnya juga tidak tahu, siapa yang disebut
Giok Kiauw dan siapa yang bernama Lian Kiauw"
It-tiem mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
"Giok Kiauw adatnya ramah dan lemah lembut, tetapi
Lian Kiauw agak binal dan agak aneh sifatnya."
Sementara itu dua orang gadis berbaju hijau itu sudah
menghampiri. Touw Liong lantas maju menyambut gadis
yang di sebelah kanan, seraya berkata:
"Sumoy!"
Beberapa bulan tidak bertemu, Kim Yan tampaknya
sudah agak kurus. Sedangkan Lo Bi Im yang di sisinya
sedikitpun tidak menunjukkan sikap apa-apa.
Wajah dan sikap Kim Yan saat itu tampak dingin sekali,
ia berjalan menghampiri Touw Liong. Touw Liong ketika
mengingat ucapan yang pernah dikatakan oleh nenek
berkerudung muka yang mengaku Panji Wulung, diamdiam
bergidik sendiri. Mata Touw Liong hampir
mengeluarkan air mata, tetapi ia berusaha
mengendalikannya, maka ia berkata dengan suara sedih:
"Suhu sudah wafat!"
Di luar dugaannya, jawaban Kim Yan ternyata demikian
dingin: "Aku tahu."
"Dengan cara bagaimana suhu menemui kematiannya?"
bertanya Touw Liong.
"Siapa tahu?" demikian jawab Kim Yan dengan tetap
dingin. Touw Liong agak marah, katanya dengan nada tidak
senang: "Kalau begitu, untuk apa kau datang?"
Kim Yan sedikitpun tidak marah, ia masih dengan sikap
dan nada suaranya yang dingin menjawab:
"Untuk mencari kau!"
Touw Liong merasa heran, tanyanya:
"Ada perlu apa mencari aku?"
"Hendak pinjam pedang Khun-ngo-kiammu untuk
menuntut balas dendam bagi suhu."
Touw Liong memberikan pedangnya, tapi sekujur
badannya gemetar.
"Tahukah kau, siapa musuh kita?" demikian Touw
Liong menanya. "Siapa tahu?" jawab Kim Yan sambil menggelengkan
kepala dan menyambuti pedang Khun-ngo-kiam dari
tangan Touw Liong.
Touw Liong agaknya merasa kecewa, sementara itu Kim
Yan memeriksa dengan teliti pedang di tangannya, sesaat
kemudian ia menggelengkan kepala dan berkata:
"Pedang ini kurang bagus."
:Pedang sakti yang tidak pernah ada di dalam dunia ini
masih kurang bagus?" tanya Lo Bie In heran.
Pandangan mata Kim Yan ditujukan kepada pedang
kuno di tangan It-tiem, katanya sambil menunjuk pedang
tersebut. "Itulah baru pedang bagus."
It-tiem mundur selangkah, mulutnya mengeluarkan
seruan terkejut.
Kim Yan tidak berkata apa-apa lagi, dengan pedangnya
Khun-ngo-kiam menuding It-tiem seraya berkata:


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bawa kemari!"
Bab 34 "Tidak susah nona ingin mendapatkan pedangku ini,
tetapi kau harus mempertunjukkan sedikit kepandaianmu
lebih dulu," jawab It-tim sambil tertawa mengejek.
"Sudah tentu!" kata Kim Yan, "aku sudah menaksir
barang dalam tanganmu, ibarat orang hendak merampas
buah dari tangan monyet, jikalau tidak memiliki
kepandaian benar-benar, bagaimana dapat merampasnya?"
Sementara itu, pedang di tangannya menunjuk ke bawah
dan membuat gerakan lingkaran, kemudian dengan satu
gerakan sangat lambat gagangnya menekan ke bawah,
ujung pedang lalu menunjuk ke atas. Kaki kanannya
berpijak di tanah dan kaki kirinya diangkat, bagaikan ayam
jago yang berdiri dengan sebelah kaki. Sedang jari telunjuk
dan jari tengah tangan kirinya dikatupkan, menunjuk ke
pedang kuno Ang-hui-kiam.
Toue Liong melihat gelagat tidak beres, dari sikap Kim
Yan, benar-benar seperti aksinya orang yang hendak
merampas buah tho dari tangan monyet, sang sumoy ini
agaknya benar-benar sudah akan merampas pedang kuno
itu dari tangan It-tim.
Ia takut sang sumoy itu belum tahu kepandaian It-tim
hingga bertindak secara gegabah, ada kemungkinan
merugikan diri sendiri. Kalau pedang Khun-ngo-giok
sampai terjatuh di tangan musuh, lebih runyam lagi
akibatnya. Tetapi di bawah keadaan demikian, ia sendiri
tidak berdaya mencegah tindakan Kim Yan, tidak sanggup
melarang perbuatannya.
Dalam keadaan cemas, terpaksa menasehatinya dengan
suara lemah lembut.
"Sumoy awas! It-tim totiang sudah berhasil mempelajari
ilmu pedang Thay-it-sin-kiam dari kitab Thay-it-cin-keng."
Dengan maksud baik ia memperingatkan sumoynya,
tetapi Kim Yan tidak menerima baik maksud itu, bahkan
perdelikkan matanya dan berkata:
"Aku tahu. Dia bisa mempelajari ilmu pedang Thay-itsin-
kiam, apakah aku tidak bisa?"
It-tim yang mendengar ucapan itu, agaknya tidak
percaya. Ia menggelengkan kepala dan berkata:
"Mustahil, kitab Thay-it-cin-keng meskipun cuma dua
belas jilid, tetapi yang memuat pelajaran ilmu pedang hanya
sejilid. Siapapun tahu bahwa ilmu pedang Thay-it-sin-kiam
terdiri dari tujuh puluh dua gerak tipu, sedangkan gerak tipu
ini sudah kudapatkan sejak dua puluh tahun berselang.
Kau kata bahwa kau juga pernah mempelajari, bukankah
itu merupakan suatu lelucon besar?"
"Kalau kau tidak percaya, boleh coba sendiri," berkata
Kim Yan. It-tim benar-benar tidak percaya, sambil meletakletakkan
pedangnya dalam pelukan ia berkata dengan suara
lantang: "Gerak pertama: Memeluk Thay-kek ...."
Kim Yan segera menyambut dengan nyanyian,
"Gerak kedua: Kek terbagi menjadi delapan Gie."
Dengan tiba-tiba It-tim menarik kembali gerakannya,
matanya berputaran, memandang Kim Yan dari atas
sampai ke bawah. Ia benar-benar tidak percaya! Kembali
menyebutkan gerak tipu dengan suara nyaring:
"Gie dilebur menjadi Sam-ceng."
Kim Yan tersenyum, sambungnya:
"Ceng membersihkan jagat."
It-tim tidak berani melanjutkan, matanya yang seperti
mata maling, berputaran memandang Kim Yan, tetapi
bagaimanapun juga ia tidak mendapatkan keadaan yang
aneh pada diri gadis itu. Maka hatinya lantas merasa lega,
katanya sambil mempersiapkan pedangnya:
"Kita tidak perlu mengadu mulut lagi, mari bertanding
dengan pedang, siapa yang lebih unggul!"
Kejadian itu sangat mengherankan, tetapi jelaslah sudah
bahwa Kim Yan benar-benar memang sudah pernah
mempelajari ilmu pedang Thay-it-sin-kiam.
Hati Touw Liong yang semula berdebaran, kini mulai
lega. Ia mengerti, Kim Yan yang mendapat didikan
langsung dari Panji Wulung wanita, tentunya tidak berbeda
jauh sifatnya dengan gurunya.
Selagi memikirkan diri adik seperguruannya itu, sudah
terdengar suara jawaban dari mulut Kim Yan:
"Terserah!"
Mendengar jawaban itu, It-tim mulai membuka
serangannya. Kim Yan agaknya sudah siap, ketika It-tim melakukan
Pendekar Kelana 3 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Sepasang Pedang Iblis 10
^