Pencarian

Pendekar Pengejar Nyawa 13

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 13


Kata Oh Thi hoa tertawa sambil menyeka mulut "Arak bagus, arak bagus, cuma sayang bukan saja terlalu sedikit, arak inipun rada tawar."
Ketiga Busu itu cekikikan, sahutnya "Apa Oh ya merasa arak ini rada tawar?"
"Ya, menurut perasaanku minum biar akan lebih segar dan nikmat dari arak ini."
"Tapi biar tidak akan bisa bikin orang mabuk atau mampus."
Oh Thi hoa tertawa lebar "Memangnya rak setawar ini bisa bikin orang mabuk sampai mampus?"
"Tidak bisa mabuk sampai mampus, tapi kira-kira hampir sama."
"Tapi sekantong penuh sudah kuhabiskan, kenapa sedikitpun aku tidak merasakan pening memangnya takaran minumku tambah berlipat ganda?"
Busu itu mendadak tidak tertawa, matanya melotot, katanya "Apa benar sedikitpun Oh ya tidak merasa pening atau mabuk?"
Oh Thi hoa mengerling mata, katanya tertawa "Arak sebanyak ini masa bikin aku mabuk hehe!
Tujuh delapan kantong lagi juga tidak menjadi soal bagiku.
Melotot ketiga biji mata Busu itu, mulut mereka terkancing kencang.
"Kalau kalian tidak percaya, biar kalian lihat dan buktikan apa benar aku ini sudah mabuk."
Bahwasanya dia bisa berkata demikian itu berarti dia sudah mabuk, seorang yang tetap segar bugar dan tidak mabuk selamanya takkan pernah berpikir dalam benaknya untuk membuktikan di hadapan orang lain bahwa dirinya tidak mabuk.
Tapi ketiga Busu itu teramat kejut sampai mulutnya terbuka melompong, matapun terbelalak.
Tampak dengan berdiri limbung pelan-pelan Oh Thi hoa membuat satu garis di tanah berpasir lalu sebuah dengkul ditekuk, dengan sebelah kaki yang lain ia melompat dari sebelah sini ke sebelah sana melewati garis melintang itu.
Dua kali beruntun dia lakukan pulang pergi, lalu katanya tertawa lebar "Kalian sudah jelas, orang yang sudah mabuk masakah mampu bermain lompatan seperti ini?"
Berputar biji mata seorang Busu, katanya tertawa, "Seorang yang benar-benar tidak mabuk setelah minum arak dia masih mampu bersalto."
"Bersalto" Oh Thi hoa bergelak tawa, "Apa sih sukarnya?" mulut bicara badannya tahu-tahu sudah melambung ke tengah udara dan bersalto dua kali, dengan bekal kepandaiannya yang tinggi, jangan kata cuma bersalto satu dua kali, seumpama tujuh delapan puluh kali, dianggapnya seperti dia makan kacang saja, bisa dan gampang dilakukan.
Siapa tahu baru saja badannya setengah berputar, tiba-tiba melorot turun dan meluncur jatuh
"bluk" terbanting keras di tanah berpasir sampai melegak-legok ke dalam.
Oh Thi hoa geleng-geleng kepala, kucek-kucek mata, ketika menyeringai "Kali ini urat pinggangku nyasar, tidak masuk hitungan."
"Ya, benar, boleh diulang sekali lagi." si Busu menganjurkan dengan senang.
Oh Thi hoa meronta bangun tertatih-tatih, kembali ia enjot badan dan berusaha bersalto lagi, terdengar "Blak" kali ini lebih keras, seolah-olah dari tengah-tengah angkasa tahu-tahu sebuah batu besar melayang jatuh. Kali ini dia tidak mampu bergerak dan merangkak bangun lagi, katanya meringis "Aneh, kenapa hari ini badanku menunjukkan gejala yang tidak normal?"
Bersinar biji mata Busu itu, tanyanya "Apa Oh ya tahu apa sebabnya?"
"Mungkin terjemur sinar matahari yang amat terik tadi."
"Tidak, bukan!"
Oh Thi hoa miringkan kepala berpikir sebentar, katanya "Mungkin dalam dua hari belakangan aku terlalu penat,"
"Juga tidak benar."
Kau hanya tahu tidak benar, mata Oh Thi hoa melotot. Kau hanya tahu kentut!
Busu itu tertawa besar, ujarnya "Sudah tentu aku tahu, karena aku sendirilah yang turun tangan memasukkan obat ke dalam arak itu."
"Menaruh obat?" Oh Thi hoa melongo "Kau taruh obat apa?"
Busu itu berseri tawa ujarnya "Negeri Kui je kita memang negara kecil tapi yang menjadi raja seperti juga kalian, tidak mungkin tidak suka main perempuan benar tidak?"
"Kalau benar kenapa?"
"Oleh karena itu didalam istana kami, juga ada menyediakan semacam obat khusus diperuntukkan menghadapi perempuan-perempuan yang anggap dirinya suci dan gagah perwira, Arak macam itu manis, wangi tapi tawar, tak ubahnya seperti air manis tapi siapapun yang meminumnya, seluruh badan seketika bakal lemas tak punya sedikit tenagapun."
"Jadi, kau.... arak yang kau berikan kepadaku tadi.... itu?"
"Benar, arak yang kuberikan kepada Oh ya tadi adalah arak berobat seperti yang saya katakan tadi, dengan susah payah aku berhasil mencuri sekantong dari dalam. Oh ya malah merasa kurang banyak, kalau minta tambah lagi akupun tak bisa memberi lagi!"
Sekian lama Oh Thi hoa melongo, mendadak ia tertawa lebar, katanya "Aku inikan bukan perempuan suci yang galak mempertahankan kebersihan badannya, bapak kalianpun takkan sudi melihat tampangku ini, kenapa kalian gunakan arak macam ini untuk mencekoki aku, bukankah aku ini celaka dua belas?"
"Konyol, konyol! Ucapanmu itu lucu dan menyenangkan, seseorang yang sudah dekat ajalnya ternyata masih bisa bicara membanyol seperti kau ini, sukar dicari keduanya.
Oh Thi hoa semakin lebar tawanya ujarnya "Aku sih belajar kepada si Ular busuk itu, seseorang baru saja jebrol dilahirkan lantas menangis dikala hidup kesempatan untuk ketawa pun belum tentu banyak, maka dikala menjelang ajal bila tidak bergelak tawa sepuasnya tidak sia-sia kau hidup selama ini?" "Aha Oh ya sudah tahu bahwa jiwamu sudah menjelang ajal?"
"Aku malah tahu bahwa kalian berbuat demikian lantaran mengincar harta di atas onta-onta itu bukan?"
"Tidak nyana otak Oh ya bisa selekas ini sadar dan pikiran menjadi jernih. Tidak salah, memang itulah tujuan kita. Oh ya terusir dari istananya, hidup dan kekuasaannya terhitung sudah ludes, memangnya kita selama hidup harus tetap menghamba kepadanya ditempat setan seperti ini, lebih baik berusaha menggasak harta sebanyak ini untuk modal datang ke tempat lain yang lebih makmur."
"Masuk akal, masuk akal. Tapi masakah tidak kalian pikirkan, bahwa harta itu untuk barter dengan Ciok koan im, bukan mustahil sebentar sudah datang, masakah dia berpeluk tangan saja membiarkan kalian semua membawanya pergi?"
"Apakah Oh ya berpendapat ditempat inikah alamat pertemuan dengan Ciok koan im itu?"
"O, masa bukan di sini?"
"Lima puluh li ke arah barat barulah tempat perjanjian itu, benar tidak?"
"Masa kita belum sampai?"
Busu itu tertawa, katanya "Waktu berangkat memang betul kita menuju ke arah barat, tapi sepuluh li kemudian arah yang kita tempuh sudah berubah, Ditengah gurun pasir seluas ini, sedikit kau keliru menentukan arah, tujuannya menjadi banyak bedanya, tempat ini sedikitnya terpaut tiga sampai dua puluh li dari tempat yang dijanjikan itu.
OH Thi hoa tertawa ujarnya "Tak heran setelah menempuh jalan sepuluh li tadi, kalian lantas minta aku istirahat, jadi waktu itu kalian pada bermaksud mencekoki arak obat itu kepadaku."
"Ya, karena Oh ya tidak mau istirahat, terpaksa kami sengaja membuat salah arahnya, Oh ya anggap kami ini kuda tua yang sudah tahu jalan ditengah padang pasir, dengan hati tentram dan tanpa curiga mengikuti petunjuk dan perjalanan ini, maka kau sendiripun tak pernah memperhatikan arah lagi." tertawa senang lalu si Busu menambahkan lagi "Tapi Oh ya tidak perlu menyesal banyak orang sering kesasar ditengah padang pasir."
Seorang Busu yang lain segera menimbrung dengan olok-olok "Lain kali bila Oh ya hendak menitis hidup kembali, lebih baik kau pilih dan tentukan arahnya lebih dulu, jangan sampai sudah menitis ke kandungan, ternyata masuk ke kandang babi, tentu hidupmu bakal penasaran." tak pernah terpikir olehnya bahwa dirinya pandai humor dan mengeluarkan kata-kata yang lucu ini, semakin bicara, hati semakin senang dan semakin lucu, tak tahan dia sendiri malah terbahak-bahak sendiri.
"Sekarang kalian sudah siap hendak membunuh aku?" tanya Oh Thi hoa.
"Kalau Oh ya tidak dihabisi jiwanya, bila kadar racun dalam badanmu sudah punah tentu kau akan mengudak kita.... ya, apa boleh buat, harap Oh ya suka memaafkan tindakan kita yang terpaksa ini."
Oh Thi hoa memicingkan mata, katanya tertawa "Tapi siapa diantara kalian yang berani turun tangan?"
"Siapa saja diantara kami bertiga yang turun tangan sama saja." sahut seorang Busu.
"Kau kira aku ini betul-betul sudah tak punya tenaga" Jangan kalian hendak membunuh aku malah kugorok leher kalian lho." sikap Oh Thi hoa semakin adem-ayem.
Sebetulnya ketiga busu itu sudah melangkah maju bersama, mendengar ancaman ini mendadak mereka berhenti, betapa hebat dan kelihaian kepandaian Oh Thi hoa mereka cukup tahu dan sudah pernah merasakan sendiri.
Berkata Oh Thi hoa tertawa "Bukan mustahil kadar racun dalam arak itu tidak selihai yang kalian bayangkan, bukan mustahil arak ini tidak akan banyak manfaatnya untuk seorang lelaki seperti berguna untuk melumpuhkan seorang perempuan, benar tidak?"
Ketiga Busu itu jadi beradu pandang, batinnya "Benar, bukan mustahil dia masih membekal sedikit tenaga, kalau tidak masakah dia masih mampu bicara dan tertawa begitu riang gembira?"
"Baiklah, sekarang siapa diantara kalian yang berani turun tangan, silahkan maju!" tantang OH
Thi hoa malah. Kembali ketiga Busu berpandangan, tiada seorangpun yang berani tampil ke muka.
"Menurut pendapatku." ujar Oh Thi hoa tertawa lebar. "Lebih baik lekas kalian bawa harta benda itu dan melarikan diri sipat kuping saja"
Seorang busu tiba-tiba berkata "Jikalau orang ini masih punya tenaga, masakah dia sudi membiarkan kita membawa harta benda itu pergi?"
"Benar." Teman-temannya bertepuk kegirangan. "Tentu dia sedang menggertak kita."
Orang ketiga bergelak tawa, serunya "Kau ingin aku turun tangan, biarlah aku lakukan!"
"Sret" dari pinggangnya ia loloskan golok sabit, sekali golok yang kemilau itu sudah terangkat ke atas, agaknya dia benar-benar hendak menabas kutung batok kepala orang seperti membela semangka.
Walau Oh Thi hoa masih tertawa, tapi tawanya sudah dipaksakan, mendadak ia berkata pula
"Untuk seorang diri memang harta benda itu cukup untuk foya-foya seumur hidup, tapi kalau dibagi tiga... hehe. Masakah kalian tidak merasa terlalu sedikit bagiannya nanti?" selama hidup pernah dia melakukan perbuatan adu domba, kini dalam keadaan gawat, terpaksa dia gunakan akalnya, harapannya ketiga orang sudah saling gasak dan membunuh sendiri sebelum dirinya ajal.
Tak nyana Busu itu malah terloroh-loroh serunya "Seumpama kita masing-masing ingin melalap sendiri harta sebanyak itu, sekali-kali tidak akan saling bunuh lebih dulu di hadapanmu, sehingga kau punya kesempatan melarikan diri, kukira tiada manusia setolol itu dalam dunia ini."
Busu yang lain terkekeh kekeh pula, katanya "Agaknya Oh ya sudah terlalu kenyang mendengar dongeng."
Dengan tertawa mengira orang ketiga sudah ayun goloknya pula membacok, serunya
"Tertawalah kau, jikalau sekarang kau masih mampu berseri tawa, sungguh aku kagum kepadamu!" mendadak suaranya tersendat seperti tenggorokannya tersumbat sehingga napasnya sesak golokpun teracung tinggi ditengah udara tak mampu diayunkan ke bawah.
Karuan temannya mengerutkan alis, katanya "Melongo apa kau, hati tidak tega?"
"Kapal....." seru Busu itu terkesima "Aku melihat sebuah kapal."
"Kapal?" Busu yang lain tertawa geli, padang pasir masa ada kapal, mungkin matamu .....
mimik tawanya tiba-tiba menjadi kaku, matanyapun melotot kesima.
Orang ketiga seketika menginsapi keadaan yang ganjil ini, waktu ia berpaling seketika ia menjerit kaget "Kapal... di sana memang ada sebuah kapal yang sedang laju ke arah kita.
Ketiga Busu seketika pucat pias dan menampilkan rasa ketakutan, mulut terbuka, lidah melelet badan kaku tak mampu bergerak.
Kejut dan girang hati Oh Thi hoa, batinnya "Mungkin tiga orang ini melihat setan, jikalau kapal bisa melaju di padang pasir, bukankah orangpun bisa naik kuda ditengah lautan?" Tapi waktu ia berpaling kesana, seketika iapun terkejut melongo.
Ditengah debu pasir yang membumbung tinggi ke tengah angkasa, betul juga dilihatnya sebuah kapal sedang meluncur secepat angin ke arah sini. Sebetulnya kapal ini melaju mengikuti arah angin, tapi semakin dekat semakin lambat, ditengah suara pekik burung elang riuh rendah, akhirnya kapal itu semakin lambat dan akhirnya berhenti tak jauh di depan mereka.
Debu pasir yang berterbangan ditengah udara lambat laun hilang terhembus angin, di ujung kapal pelan-pelan muncul sesosok bayangan putih kaki tangan, badan dan raut mukanya tersembunyi didalam pakaiannya yang serba putih dan tutup muka yang putih pula, sampai matanya pun tidak kelihatan.
Sekilas ketiga busu saling pandang, pelan-pelan kaki mereka menggeser mundur, raut muka mereka dihiasi butiran-butiran keringat sebesar kacang, dengan menarik kendali onta, mereka hendak melarikan diri.
Tiba-tiba orang serba putih itu tertawa dingin, jengeknya "Aku sudah tiba disini, kalian masih ingin lari?" suaranya merdu nyaring, ternyata dia seorang perempuan.
Walau matanya tertutup, tapi gerak gerik orang lain ternyata tak bisa mengelabuhi dirinya, seketika gemetar sekujur badan ketiga Busu itu, tali kendali yang baru saja terangkat tiba-tiba meluncur jatuh pula. Seru salah seorang busu itu "Kau ..... siapakah kau sebetulnya?"
Tanpa hiraukan pertanyaan orang serba putih berkata "Memangnya aku sedang heran, kenapa kalian tidak menepati janji, baru sekarang aku tahu, ternyata kalian bertiga inilah yang membuat gara-gara." Tanpa kelihatan badannya bergerak, badannya tahu-tahu sudah melayang turun dari ujung kapal, bentaknya bengis, "Tapi barang yang sudah menjadi hak milikku masih berani kalian hendak mengangkanginya?"
Ketiga Busu itu sudah kaget dan ketakutan melihat ilmu Ginkang orang yang begitu tinggi, sesaat lamanya baru kuasa bersuara dengan tergagap "Siaujin sih tidak...tidak bermaksud jahat."
"Koan im Posat sudah tentu punya ribuan mata ribuan tangan, berani kalian mengelabuhi aku?" jengek orang serba putih itu.
Tak tertahan Oh Thi hoa menyeletuk sambil menghela napas "Ciok koan im, Ciok koan im, tak nyana akhirnya aku bisa bertemu dengan kau, Cuma dalam keadaanku seperti ini bertemu dengan kau sungguh menyebalkan dan memakan semangatku."
"Memangnya kenapa dalam keadaan seperti ini?" tanya orang serba putih "Memangnya kau ingin coba kepandaian dengan aku?"
"Benar, memang aku punya maksud demikian."
"Kukira masih terpaut jauh sekali kau ini, sampaipun budak-budak yang tak becus seperti merekapun dapat menipu dan mengingusi kau, Oh Thi hoa yang tenar dan punya nama besar ternyata hanya begini saja, sungguh amat mengecewakan aku, sambil bicara sekarang dia sudah berhadapan dengan Oh Thi hoa, ketika Busu itu segera saling memberi tanda, cepat sekali tangan mereka terbalik mencabut golok bagai baling-baling yang berputar kencang ketiga bilah golok mereka serempak membacok ke arah orang serba putih dari belakang.
Orang serba putih mandah menggendong tangan tanpa berpaling kepala pula, seolah-olah tidak menyadari bahwa jiwanya terancam mara bahaya, tapi begitu ketiga bilah golok hampir saja, mengenai badannya kesepuluh jari jarinya mendadak menyentil dari dalam lengan bajunya.
"Trang benturan keras menusuk kuping, sinar golok laksana bianglala serentak terbang menjulang ke angkasa. Hakekatnya ketiga Busu ini tidak melihat jelas cara bagaimana musuh turun tangan, tahu-tahu pergelangan tangan tergetar separoh badannya seketika kesemutan, golok ditangan mereka berbareng mencelat lepas dari cekalannya.
Saking kaget dan ketakutan ketiga Busu serasa copot arwahnya, mana sempat hiraukan harta benda lagi, tanpa berani berpaling ke arah si orang serba putih, putar badan segera mereka berlomba lari cepat, sipat kuping. Sebetulnya mereka tidak pernah latihan ilmu Ginkang, tapi disaat genting yang bakal menentukan hidup mati jiwa mereka, ternyata lari mereka tidak kalah cepat dari seorang juara lari yang dapat menandingi kecepatan kuda, kira-kira sepuluh tombak kemudian, baru golok-golok mereka melayang jatuh dari tengah udara.
Pelan-pelan saja orang serba putih melambaikan tangan, ketiga batang golok itu diraihnya katanya tawar, "Golok ini milik kalian nih kukembalikan kepadamu!" dia tetap tidak berpaling, tangannya terayun balik ke belakang ternyata ketiga bilah golok ini seperti tumbuh mata, dalam sekejap mata, masing-masing mengejar pemiliknya sendiri. Maka terdengarlah tiga lolong jeritan yang menyayangkan hati darah muncrat ke tengah udara laksana kembang api, ketiga batang golok itu tahu-tahu sudah menusuk tembus ke ulu hati mereka, seperti paku raksasa ke tiganya terpantek di tanah.
Oh Thi hoa tertawa ewa, katanya "Manusia mati lantaran harta burung mampus karena makanan, tapi kenapa harus begini jadinya..."
"Kau sudah ketakutan?" cemooh orang serba putih.
"Aku takut apa?" seketika melotot mata Oh Thi hoa.
"Sudah tentu kau takut aku membunuhmu."
"Apa kau lihat tampangku ini seperti orang yang takut mati?"
"Kulihat lahirmu memang sedang unjuk gagah, tampangmu seperti Eng hiong, namun harinya sudah kebat-kebit dan ketakutan setengah mati." tanpa menunggu reaksi Oh Thi hoa tiba-tiba berputar badan dan bertepuk tangan, dari atap kapal setan itu segera melompat turun beberapa laki-laki seluruh muatan di atas onta dibongkar ke atas kapal.
"Hai! Jangan kau lupa barang-barang itu kubawa kemari untuk barter dengan Ki loh ci sing itu."
"Kau ingin bawa Ki loh ci sing itu pulang?" tanya orang serba putih membalik badan menghadapinya lagi.
"Sudah tentu harus kubawa pulang."
"Dengan anggapan apa kau kira aku tidak akan membunuhmu?"
"Umpama harus mampus di sini akupun akan membawa Ki loh ci sing kembali."
"Aneh kalau begitu, seorang yang sudah ajal jiwanya mana bisa membawa pulang sesuatu?"
Terbelalak besar biji mata Oh Thi hoa, mulutnya tidak banyak kata lagi.
Disaat Oh Thi hoa menunggu ajal, mimpipun tidak pernah terpikir olehnya bahwa Coh Liu hiang dan Ki Ping yan sedang mengintip ke arah dirinya tak jauh dari tempatnya. Coh Liu hiang dan Ki Ping yan ternyata berada dalam kapal setan puluhan tombak disampingnya itu.
Dari sebuah kapal yang lain mereka di pindah ke kapal yang ini, lantaran Ciok koan im ingin memberi service secara istimewa kepada mereka, maka mereka masih tetap hidup sampai sekarang, Cuma mereka sejauh ini belum pernah melihat Ciok koan im.
Oh Thi hoa sendiripun menyangka bahwa orang serba putih ini adalah Ciok koan im pribadi, di luar tahunya bahwa dia bukan lain hanya salah seorang muridnya saja, sudah lama Ciok koan im berlalu. Jejaknya memang serba rahasia dan tersembunyi, bukan saja pergi datang tak menentu, malah selamanya tiada orang yang tahu darimana dan kemana arah datang dan perginya.
Kini Coh Liu hiang dan Ki Ping yan berada didalam kapal setan ini, malah sedang duduk diambang pintu yang tertutup kerai, dari tempat mereka dengan jelas mereka bisa melihat keluar ke arah Oh Thi hoa.
Namun mereka cukup tahu diri, sudah tentu mereka tak berani bersuara dan tak bisa bergerak, karena mereka tahu keadaan Oh Thi hoa saat ini tak mungkin kuat menolong mereka, apa lagi orang serba putih itu pernah memberi peringatan "Jikalau kalian bersuara minta tolong, sedikitpun tiada gunanya, tidak lebih kalian malah bikin kematian Oh Thi hoa lebih cepat saja, karena itu kuanjurkan kalian lebih baik tutup mulut saja."
Bahwasanya hal ini tidak perlu disinggung Coh Liu hiang berdua sudah cukup tahu diri. Tapi mereka tidak bisa tutup mulut terus terusan. Melihat keadaan Oh Thi hoa, sungguh hati mereka merasa mendelu dan patah semangat.
Tak tahan Coh Liu hiang buka mulut lebih dulu "Dilihat gelagatnya, mungkin dia dibikin celaka lagi oleh arak keparat itu."
"Kalau dia tidak mampus lantaran arak, barulah merupakan hal yang aneh." Jengek Ki Ping yan.
"Tapi dia baik dan harus dipuji." timbrung Setitik merah. "Dia tidak takut mati."
"Apa, tidak takut mati lantas baik?" cemooh Ki Ping yan pula. "Orang pikun selamanya memang tidak takut mati."
Setitik merah balas mendebat "Betapapun orang yang tidak takut mati jauh lebih baik dari yang takut mampus."
Coh Liu hiang tersenyum, ujarnya "Kalian berdebat apa, kali ini aku tanggung dia takkan mati."
"Mengandalkan apa au begitu yakin bahwa orang tidak akan membunuhnya?" tanya Ki Ping yan. Kata-kata ini hampir dia ucapkan bersama, pertanyaan si orang serba putih kepada Oh Thi hoa, bukan saja pertanyaan yang sama, malah nadanya pun hampir mirip.
"Jikalau dia membunuhnya, lalu siapa yang dia suruh untuk membawa pulang Ki loh ci sing itu?" kata Coh Liu hiang.
Maka mendengar orang serba putih itu berkata demikian kembali ia menambahkan dengan tertawa "kau sudah dengar" Orang mati mana bisa membawa pulang suatu barang"
"Darimana kau bisa tahu bahwa dia hendak suruh Oh Thi hoa membawa pulang Ki loh ci sing?" tanya Ki ping yan
Coh Liu hiang tersenyum ujarnya "Jikalau tiada orang yang membawa pulang Ki loh ci sing, cara bagaimana bisa menipu raja dogal itu membuka rahasianya?"
Meski hati Ki Pinig yan masih kurang percaya omongan Coh Liu hiang, mau tidak mau dia harus percaya juga, karena saat dimana dilihatnya orang serba putih itu sedang melangkah balik kearah kapal.
Oh Thi hoa masih tetap hidup.
Coh Liu hiang menghela napas, ujarnya "Semoga saja raja dogol itu jangan membocorkan rahasia itu, kalau tidak bukan saja jiwanya sendiri bakal berkorban, mungkin Oh Thi hoa juga mampus mengiringinya."
"Kenapa begitu?" tanya Ki Ping yan.
"Sekarang Ciok koan im sendiri mungkin sudah insaf dirinya takkan mungkin memaksa raja dogol itu membeberkan rahasia ini, tapi dia beranggapan bukan mustahil raja dogol itu kemungkinan bisa minta bantuan kepada Oh Thi hoa, jikalau sekarang dia anggap OH Thi hoa cukup berguna untuk mencapai keinginannya, sudah tentu dia takkan membunuhnya."
Ki Ping yan bungkam, namun dalam hati ia berdo'a "Semoga raja dogol itu jangan membocorkan rahasianya sendiri."
Orang serba putih itu pergi, kapal setan itupun berlalu.
Baru sekarang hati Oh Thi hoa benar-benar mulai takut. Sungguh dia sendiripun tak pernah menduga bahwa dirinya masih bisa bertahan hidup. Sebetulnya tiada alasan, kenapa Ciok koan im tak membunuhnya. Tapi kenyataan Ciok koan im memang tak mengganggu usik seujung rambutnya, bukan saja tidak membunuhnya, malah Ki lo ci sing itu benar-benar diberikan kepada dirinya, apa benar Ciok koan im seorang yang benar-benar dapat dipercaya dan bisa pegang janji!"
"Bagaimanapun Oh Thi hoa tidak mau percaya, tapi mau tidak mau dia harus percaya karena kenyataan sudah di abuktikan sendiri.
Malam semakin berlarut hawa dingin semakin dingin hampir membeku badan, saking kedinginan gemetar sekujur badan Oh Thi hoa.
Sekarang kadar racun dalam tubuhnya pelan-pelan punah, meski lambat laun dia sudah dapat bergerak, tapi sekujur badannya masih lemas lunglai, untapun sudah digebah pergi ketakutan. Oh Thi hoa insaf walau dalam keadaan biasa dirinya jangan harap bisa menempuh perjalanan lima puluh li ditengah gurun pasir ini, apa lagi kini dalam keadaan lumpuh sama sekali.
Kalau hari terang tanah, disaat dia punya kekuatan apa dia kuat berjalan masih merupakan tanda tanya besar, apa lagi kini malam sudah larut hawa begini dingin lwekangnya boleh dikata sudah mogok tak mau bekerja sama sekali.
Ki Loh ci sing berada didalam kantong bajunya, betapapun dia tidak bisa menempuh bahaya.
Tapi belakangan sungguh tak tahu lagi dia kedinginan, dengan merangkak segera ia mencari ranting kering di semak-semak sekelilingnya, ditemukan sebuah tempat di sela-sela batu yang tersembunyi untuk berteduh, di sini dia menyalakan api unggun.
Ada manfaatnya pula berada ditengah gurun pasir yaitu gampang sekali untuk membuat api, karena tetumbuhan yang hidup ditengah gurun pasir ini, tentu kering dan gampang termakan api, seorang diri Oh Thi hoa menggumam "Mungkin disinilah satu-satunya tempat berteduh paling baik." kata-katanya tiba-tiba terhenti, pelan-pelan bangkit melangkah maju lalu jongkok lagi, pandangan lurus mengawasi sebuah batu di depannya, umpama yang dia hadapi dan yang dia pandangi ini adalah seorang perempuan cantik yang telanjang bulat diapun takkan begitu tertarik dan perhatian.
Tapi batu itu tidak lebih hanya batu cadas yang sudah terkikis halus oleh desingan pasir dengan tempaan panas dingin, tiada sesuatu yang istimewa dari bentuk batu ini. Tapi sinar api berkelap-kelip, sorot matanya pun bercahaya terang.
Ternyata di atas batu cadas yang licin dan sedikit berdebu ini ada berlepotan bahan-bahan hitam dan kuning, terdapat pula beberapa tetes lem karet yang sudah membeku kering kelihatannya adalah lem kulit sapi yang bermutu paling baik. Sebetulnya apa yang dia lihat atau ketemukan ini bukannya barang-barang yang luar biasa dan harus dibuat aneh, tapi ditengah padang pasir, di suatu pojok tempat yang tersembunyi ini, ditemukan barang-barang yang tak mungkin bisa ada di situ, disitulah letak keanehannya.
Apa lagi, betapapun OH thi hoa seorang kawakan Kang ouw, meski dia sendiri tidak pernah belajar ilmu tata rias, namun dia cukup tahu bahwa bahan-bahan dan lem itu adalah bahan-bahan vital untuk merias muka.
Siapa orangnya yang berada ditempat seperti ini, untuk merias diri berubah bentuk" Ia tahu Coh Liu hiang selalu membawa bahan-bahan seperti ini.
Oh Thi hoa menghirup napas panjang, katanya seorang diri "Ternyata Ulat busuk pernah berada di sini, kenapa pula dia harus merias diri menyaru ke bentuk muka lain" Dari warna bahan yang digunakan ini kuning dan hitam, mungkinkah dia ketakutan dikejar-kejar perempuan, maka dia menyaru seorang yang bermuka buruk menakutkan?" berpikir sampai di sini, tak urung dia tertawa geli sendiri.
Tapi urusan sedikitpun tidak mengerikan, Coh Liu hiang pasti sedang menghadapi mara bahaya, kalau tidak apa perlunya dia menyamar dan ganti rupa, apa lagi setelah menyamar, jejaknya lantas menghilang dan tiada beritanya.
Oh Thi hoa mengerut kening, dia dorong batu ini, sedikitpun tak bergeming tapi dia tidak putus asa, kembali dia mendorong ke batu-batu lain di sekitarnya, suatu ketika ia berhasil angkat sebuah batu, pasir di bawah batu amat empuk dan longgar sehingga dia mengeduk dengan jarinya, tak lama kemudian berhasil dikeduknya keluar sebuah bungkusan besar yang membuatnya amat bergirang dan kejut sekali.
Didalam buntalan ini terdapat sebuah handuk ada diukir satu huruf "Ki", botol kecil terbuat dari kayu, waktu dia buka tutupnya terenduslah bau harum yang merangsang hidung "Maling romantis meninggalkan bau harum ditengah malam "Coh Liu hiang biasanya memang selalu membawa bahan-bahan wangi seperti ini.
Kecuali itu masih ada sebutir mutiara hitam sepasang Boan koan pit, sebungkus mas dan berlian, serenteng kunci, sebuah pipa rokok yang terbuat dari batu pualam, sebatang pisau perak.
Kan lebih aneh lagi didalam bungkusan ini terdapat pula sepatu perempuan peranti tidur berwarna merah jingga yang bersulam sepasang teratai, sebuah kutang "BH" warna merah lombok yang tersulam masing-masing sekuntum kembang seruni pada kanan kirinya.
Oh Thi hoa tersenyum geli. "Botol kayu kecil mutiara hitam dan handuk ini sudah tentu adalah milik Ulat busuk, tapi huruf "Ki" yang tersulam di ujungnya ini siapa" Mungkin.... mungkinkah nama kecil dari tuan putri yang romantis itu....Ha! Ulat busuk memang pintar dan lihai dengan sedikit permainan pat-gu-li-pat, dengan mudah dia sudah mendapatkan barang tanda matanya."
Sepasang Boan koan pit itu berkilauan ditimpah sinar api, sepasang potlot baja ini bukan saja jauh lebih berat bobotnya dari senjata jenis yang pernah dilihatnya, di kalangan Kang ouw, malah buatnyapun lebih halus dan mungil.
Kembali Oh Thi hoa menggumam "Boan koan pit pipa rokok, kunci, pisau perak dan sebungkus berlian ini tentu adalah milik Jago mampus, dia ini memang brengsek seperti nyonya galak, sampai gantungan kuncipun dibawa-bawa kemari, memangnya takut setelah dia pergi orang lain bakal menggerayangi kamar dan menguras habis harta miliknya! Hehehe! Agaknya dia harus diberi julukan lain yang lebih serasi, yaitu si Brengsek yang kikir!"
Selamanya dia sendiri tidak pernah bawa kunci, maka begitu melihat orang membawa serenteng kunci jadi merasa geli, terpikir olehnya bahwa Coh Liu hiang akhirnya berhasil menemukan Ki Ping yan, hatinya sungguh senang. Bertepuk tangan, katanya pula tertawa "Kalau kedua orang ini sudah kumpul jadi satu, langit ambrukpun bisa mereka sanggah dan atasi, kenapa aku harus kuatir bagi mereka?"
"Tapi sepatu tidur dan kutang ini milik siapa lagi" Oh Thi hoa mengerut kening "Memangnya Ulat busuk berhasil mendapat kekasih baru" Walau demikian masakah dia sudi minta pakaian dalam orang. Ulat busuk ini masakah sudah berubah sedemikian cabul?" diangkatnya kutang itu serta diciumnya, lalu melelet-lelet lidah, katanya tertawa geli "Wangi benar!"
Tiba-tiba ia merasa bau wangi seperti ini sudah amat dikenalnya benar, segera terpikir olehnya dengan malam itu, waktu dirinya menggusur dua bidadari dari rumah Ki Ping yan itu. Ternyata Ki Ping yan selalu membawa bawa pakaian dalam gundik kesayangannya kemanapun dia pergi, mungkin untuk menghibur hati, tak tertahan Oh Thi hoa terloroh-loroh, katanya "Ternyata Ki siau sing teman kita yang buruk rupa ini adalah seorang laki-laki romantis!"
Tiba-tiba didengarnya seorang berkata "Romantis lebih baik dari pada tidak punya rasa cinta, benar tidak?"
Romantis lebih baik dari pada tak punya rasa asmara, betapa indah dan mesra kata-kata seperti ini, apa lagi kata-kata ini diucapkan oleh suara yang merdu nyaring seperti kicauan burung bukankah jauh lebih menarik dan serasa menyedot sukmanya.
Tapi dalam keadaan sekarang ditempat ini pula Oh Thi hoa mendengar kata-kata ini bukan kepalang kagetnya, teriaknya tertahan "Siapa?"
Suara orang serba putih tadi juga merdu genit dan aleman, tapi begitu turun tangan jiwa manusia direnggutnya dengan kejam, maka dalam pendengaran Oh Thi hoa, suaranya yang merdu ini jadi lebih jelek dan menusuk kuping dari suara gembreng bobrok.
Suara yang merdu nyaring berkata pula "Oh to enghiong yang bernama besar dan kenamaan, kenapa hari ini menjadi begini penakut dan bernyali kecil?" seiring dengan kata-kata ini dari balik gundukan batu di sana muncullah bayangan orang, dai bukan lain adalah Pipop kongcu.
Oh Thi hoa menghela napas lega, katanya getir "Ternyata kau, tidak dirumah kau memetik harpamu, buat apa kau lari ke tempat seperti ini?"
"Tanpa didengar seorang ahli musik yang benar-benar bisa menikmati petikan harpaku, buat apa aku harus buang-buang tenaga."
"Tanpa memetik harpa apa kau tiada punya urusan lain?"
Pipop kongcu melotot kepadanya, katanya "Jangan kau kira aku terlalu iseng lalu kelayapan kemari, waktu seperti ini memangnya aku tidak ingin tidur dirumah saja. Tapi permaisuri bilang kepadaku "Oh-congsu itu meski punya kepandaian tinggi tapi otaknya dogol dan sederhana, bukan mustahil bakal ditipu orang, lebih baik lekas kau susul dia untuk mengawasi dan bila perlu menolongnya!" oleh karena itu aku lantas susul kemari.
Jikalau tidak kena tipu mentah-mentah mungkin Oh Thi hoa tidak akan marah, tapi dia benar-benar ditipu dengan konyol, mendengar olok-olok ini rasanya seperti dikorek boroknya yang sudah mulai sembuh. Belum lagi Pipop kongcu bicara habis raut mukanya sudah merah padam, otot merongkol di lehernya katanya dengan suara keras "
"Kalau aku ini dogol, memangnya kau ini apa" Bantal sulaman?"
"Tidak perlu kau marah-marah dan unjuk perbawa di hadapanku, kau bukan aku yang bilang demikian, kalau tidak terima boleh kau buat perhitungan kepada orang yang mengatakannya?"
tiba-tiba ia tertawa manis, katanya pula "Mungkin begitu kau berhadapan sama dia, mulutmu sudah terkancing tak kuasa bicara lagi.
Saking gusar napas Oh Thi hoa sampai memburu, benar-benar tak mampu bicara lagi.
"Tapi aku langsung menuju ke arah barat, jejak kalian tidak kutemukan dengan menempuh jarak jauh ditengah malam buta rata yang dingin ini aku berputar mengelilingi daerah seluas ini, kebetulan kulihat sinar api di sini. Aku kuatir orang lain yang berada di sini, maka kusuruh orang-orangku menunggu ditempat yang rada jauh seorang diri diam-diam aku merunduk kemari."
"Tidak perlu kau memberi penjelasan kepadaku, yang terang aku sudah tahu bahwa kau punya penyakit seperti itu, tiap kali selalu kau merunduk-runduk untuk menemui orang."
Pipop kongcu naik pitam katanya keras "Tidak perlu kau mengumbar adatmu di hadapanku memangnya aku pernah berbuat sesuatu kesalahan terhadap kau?"
"Hm.." OH Thi hoa menggeram.
Lama juga Pipop kongcu melototinya, tiba-tiba wajahnya dihiasi senyuman manis, katanya halus "Seumpama aku tidak jadi nikah sama kau, masakah ketemu lantas kau marah-marah kepadaku!"
Merah pula selebar muka Oh Thi hoa, otot merongkol pula di lehernya.
"Semakin galak sikapmu ini, semakin membuktikan kau diam-diam mencintai aku oleh karena itu baru kau naik pitam lantaran aku tak kawin dengan kau, maka kau merasa jelus dan iri hati terhadap Ulat busuk temanmu itu."
Oh Thi hoa balas pelototi, mendadak ia bergelak tawa, serunya "Perempuan seperti kau ini, jikalau benar-benar kawin dengan aku, orang akan heran kalau aku tidak bikin mati karena jengkel."
Pipop kongcu mencibir bibir katanya "Tak bisa makan anggur, lantas bilang anggur itu kecut, sungguh tak tahu malu."
Kisah anggur kecut, memang adalah dongeng yang amat disenangi oleh rakyat negeri Kui je, hakekatnya Oh Thi hoa tidak tahu kisah ini, maka diapun tidak marah, cuma dia ingin ceritakan pengalamannya untuk mengembalikan Ki loh ci sing itu, kini niatnya batal, sebetulnya ingin dia segera berlalu, niatnya inipun dia urungkan.
Pipop kongcupun tidak banyak tanya namun diapun tidak berlalu malah mencari tempat duduk di atas sebuah batu, dari dalam bajunya dirogohnya keluar sebuah botol perak berisi arak dengan tutup botol sebagai cangkir dia minum seorang diri, mulutnya mengoceh sendiri "Hawa sedingin ini, kalau tidak minum arak menghangatkan badan untuk menghilangkan rasa dingin, mungkin bisa mati kaku."
Oh Thi hoa sendiripun sedang menggerutu seorang diri "Jikalau ada orang hendak bikin aku marah karena arak, sekarang begitu mengendus bau arak, kepalaku lantas terasa pening." mulut berkata demikian hakekatnya sedikitpun kepalanya tidak pening hati terasa keri seperti dikili-kili, cacing dalam perutnya sedang bergelak dan mau berontak. Tapi baru saja dirinya perang mulut sama orang, masakah enak minta arak kepadanya" Terpaksa Oh Thi hoa menahan diri melirikpun tidak kesana.
Sebaliknya bukan saja cara minum Pipop kongcu sengaja dibikin-bikin begitu rupa, malah mulutnya sering mengoceh pula "Baik sekali arak ini, sekali tenggak saja seluruh badannya terasa hangat."
Tak tahan lagi Oh Thi hoa segera berseru keras "Anak perempuan minum arak sampai kecap-kecap begini keras, begini rakus kau ini, sungguh tak punya aturan."
Pipop kongcu tersenyum, katanya "Memangnya aku sengaja melanggar aturan, dengan demikian baru aku bisa bikin orang yang punya aturan jengkel sampai mati."
Mendadak darah terasa mendidih di kepalanya, memang hampir saja Oh Thi hoa dibikin marah sekali, waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya sapu tangan yang berhuruf "Ki" itu, seketika bersinar sorot matanya, dijemputnya sapu tangan itu lalu di beber di bawah cahaya api, mulutnya pun menggumam "Secarik kain si kumal ini, rasanya cocok untuk membersihkan ingus saja."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba Pipop kongcu sudah berjingkrak berdiri serta menubruk maju, bentaknya keras "Kau.... dari mana kau peroleh sapu tangan ini?"
Oh Thi hoa tertawa berseri, sahutnya "Ku temukan!"
"Lekas.... lekas kembalikan kepadaku." suara Pipop kongcu gemetar.
"Kembalikan kau" Kenapa aku harus kembalikan kepadamu. memangnya milikmu?"
Merah muka Pipop kongcu, sahutnya tergagap "Ya... kalau milikku bagaimana?"
"Aneh kalau begitu!" "Apanya yang aneh?"
"Jelas sekali aku dengar Ulat busuk itu berkata "Kuntilanak itu suka main romantis, dikiranya aku sudi menyimpan secarik kain kumal seperti ini!" Memangnya kau ini kuntilanak yang dia maksudkan itu?"
"Kentut!" damprat Pipop kngcu marah-marah sampai biji matanya merah, "Kau.... kau bukan manusia!" saking jengkel ia membanting-banting kakinya.
Kenapa kau marah-marah kepadaku, toh bukan aku yang bilang demikian, kalau kau tidak terima kau cari orang yang bicara."
Oh Thi hoa bergelak tawa lalu menambahkan "Mungkin begitu kau berhadapan dengan orang itu, bicarapun mulutmu takkan bisa!"
Mendadak Pipop kangen menjatuhkan diri ke atas pasir, pecah tangisnya gerung-gerung.
Tingkah laku orang yang tak pernah diduganya ini membuat oh Thi hoa melongo malah, tujuannya semula hendak bikin orang marah saja, melihat orang benar-benar begitu sedih, terpaksa Oh Thi hoa maju mendekati katanya tertawa "Sudah jangan kau terlalu bersedih, aku cuma ngapusi kau saja."
Pipop kongcu sibuk dengan tangisnya, bujukan kata orang tidak dihiraukan sama sekali.
Memang akulah yang terlalu, aku patut mampus, bahwasanya Ulat busuk tidak pernah mengatakan kau ini seperti kuntilanak, semua itu adalah karangan bualanku yang keparat ini."
Dengan sesengukan berkata Pipop kongcu "Tapi... kenapa barang yang kuberikan kepadanya sembarangan dibuang?"
"Itulah karena...." hampir saja lidah Oh Thi hoa putus baru berakhir dia ceritakan persoalan itu.
Setelah menghela napas, dia menambahkan "Sekarang, terserah bagaimana kau hendak makipun tak jadi soal, cuma kumohon jangan kau menangis lagi!"
Pipop kongcu kucek mata, katanya "Kalau kau mengakui bahwa dirimu keparat istimewa aku takkan nangis lagi."
"Bukankah tadi sudah ku akui... ai...!"
Kata Pipop kongcu setelah gigit bibir "Kalau sudah mengaku kenapa menghela napas panjang pendek, memangnya kau tak rela?"
Oh Thi hoa elus-elus hidung, gumamnya "Secara suka rela aku mau mengakui aku ini keparat istimewa, sudah cukup belum.... ai! celaka memang aku ini seorang laki-laki, kalau laki-laki memaki perempuan lantas dia ikut keparat, seumpama perempuan memaki laki-laki dogol atau telur busuk juga tidak menjadi soal, karena perempuan pandai menangis, kepandaian seperti ini, laki-laki manapun tak ada yang bisa pandai."
"Apa katamu?" damprat Pipop kongcu, mendelik, "Coba katakan sekali lagi!"
"Aku... kukatakan laki-laki semua adalah bedebah, perempuan adalah.... adalah orang baik."
"Lumayan juga ucapanmu ini." ujar Pipop kongcu tertawa. Lalu ia sesalkan botol araknya ke tangan Oh Thi hoa, tapi disaat sorot matanya bentrok dengan setumpukan barang-barang, seketika kunci seri tawanya, roman mukanya tegang kaku.
Oh Thi hoa sedang melongo tawa dan menggumam "Jikalau mengakui dirinya sendiri sebagai bedebah lantas diberi arak, setiap hari kuakui sekalipun tak menjadi soal" baru saja dia hendak menuang arak ke dalam botol ke dalam perutnya, tiba-tiba Pipop kongcu merebut balik botol arak itu, serunya "Aku sudah merubah niatku semula, arak ini sekali-kali takkan kuberikan kepadamu."
"Kau... apakah perubahanmu tidak terlalu mendadak?"
"Barang-barang ini semua adalah milik Ulat busuk bukan?"
"Sepatu tidur dan kutang itu milik Jago mampus, sekali-kali jangan kau cemburu kepadanya, sekali jelas, arak takkan bisa kuminum lagi."
"Bukan begitu maksudku." katanya Pipop kongcu menghela napas, "Coba kau pikir barang-barang ini biasanya selalu digembol di atas badan Ulat busuk, tapi sekarang dia pendam di sini..............."
"Itulah lantaran dia menyamar dan menyaru, jikalau barang ini dia bawa, kuatir membocorkan asal usulnya."
"Tapi coba kau pikir lagi, kalau barang-barang ini dia simpan di atas badannya, cara bagaimana bisa tahu" Kecuali dia menginsyapi bahwa... perjalanannya kali ini kemungkinan bisa ditawan oleh musuh."
Berubah roman muka Oh Thi hoa. "Benar memang aku tak boleh minum lagi, jikalau mereka sudah pada tahu perjalanan yang ditempuh ini teramat bahaya, sekali-kali jago mampus takkan sudi mengeluarkan barang-barang pribadinya yang dia rahasiakan kepada orang lain yang ditinggal di sini."
"Ya, memang begitulah"
Oh Thi hoa menepuk-nepuk batok kepalanya, katanya "Perempuan memang lebih cermat dari laki-laki, persoalan begini penting kenapa tidak pernah terpikir olehku."
"Bukan lantaran perempuan lebih cermat dari laki-laki, soalnya terhadap orang yang dia sukai, biasanya perempuan jauh lebih prihatin dari keadaan diri sendiri."
Tiba-tiba Oh Thi hoa mencelat bangun dikeluarkan Ki loh ci sing lalu diserahkan ke tangan Pipop kongcu, katanya Inilah Ki loh ci sing lekas kau bawa pulang!"
"Kau mau kemana?"
"Aku harus menemukan ulat busuk lebih dahulu."
"Tapi kau sudah berjanji kepada Permaisuri untuk membawa pulang barang ini."
"Benar, malah banyak persoalan pula yang pernah kujanjikan kepadanya tapi setelah aku tahu Ulat busuk dan jago mampus mengalami bahaya, urusan setinggi langit juga harus ku sampingkan dulu."
"Kalau toh kita sudah tahu bahwa dia sedang menghadapi bahaya, memangnya aku bisa tentram tinggal pulang?"
"Jadi kau hendak ikut aku?" tanya Oh Thi hoa melongo.
"Sudah tentu!"
"Lalu.... bagaimana dengan Ki loh di sing ini?"
"Kau sendiri sudah bilang, urusan sebesar langitpun boleh dikesampingkan dulu, benar tidak?"
Sebentar Oh Thi hoa menepekur, baru saja dia hendak mengangguk, lekas geleng-geleng pula, katanya "Tidak mungkin aku tak bisa bawa kau!"
"Kenapa?"
"Kalau perjalanan kali ini amat berbahaya, kau sebaliknya gadis besar putri raja yang suka aleman tak pernah kerja berat, kalau sampai terjadi........."
"Jangan kau lupa, di sini adalah gurun pasir, di sini aku jauh lebih berguna dari pada kau."
tukas Pipop kongcu. "Dan lagi, seumpama benar kau tak mau bawa aku pergi, aku toh bisa mengintil di belakangmu."
Kembali Oh Thi hoa mengelus-elus bidangnya katanya tertawa getir "Tiada perempuan terasa sepi dingin, sebaliknya setelah ada perempuan, anjing dan itikpun tak merasa tentram, ucapan ini memang sedikitpun tak salah.
Di sana adalah lautan cadas, besar kecil berserakan dengan bentuk dan model yang warna warni pula, yang besar menjulang tinggi laksana menembus langit mengarungi mega, paling kecilpun ada puluhan tombak, dengan corak seperti binatang-binatang purba yang liar dan buas, sedang mendekam diam-diam saja menunggu mangsanya untuk ditelan. Di sini bukan saja seolah-olah sudah tercapai ujung dari gurun pasir, hampir terasa ujung dunia yang berpadu dengan sengit, kalau perjalanan dilanjutkan ke depan, kau akan terjungkal jatuh ke dalam jurang yang tak terhitung dalamnya.
Waktu fajar menyingsing kapal setan itupun sudah berlabuh ditempat ini, melepas pandang dari jendela, tampak puncak-puncak gunung berjajar dan tersebar luas tak berujung pangkal kalau diteruskan ke depan, kapal setan ini bakal menerjang dinding-dinding gunung.
Walau biasanya Coh Liu hiang berlaku tabah dan tenang tak urung hatinya terkejut juga tampak sebuah puncak batu gunung yang aneh dan menjulang tinggi ditelan mega, tahu-tahu laksana mulut binatang purba ukuran raksasa menubruk dari depan menyongsong ke arah mereka.
Siapa tahu tiba-tiba kapal ini membelok dengan angler dan pelan-pelan menyusup ke dalam celah-celah batu itu. Coh Liu hiang menghela napas katanya dalam hati "Sungguh suatu daerah yang berbahaya mungkin disinilah pusat pangkalan Ciok koan im." sedang pikirannya bekerja, tiba-tiba hatinya melonjak kaget kegirangan. Terasa kapal semakin lambat dan akhirnya berhenti dilekukan sebuah batu besar.
Maka terdengar orang serba putih itu berkata "Kaki kalian masih mampu bergerak tidak?"
Dengan terdorong Coh Liu hiang masih mengawasinya, mulut tidak bicara.
Orang serba putih itu menjadi gusar, dampratnya "Apa kau ingin aku korek keluar biji matamu?"
Baru sekarang Coh Liu hiang tertawa, ujarnya "Supaya orang mengira nona adalah Ciok hujin, maka sejak tadi nona mengenakan kerudung, tapi sekarang kalau Cayhe sudah tahu bahwa nona bukan Ciok hujin, kenapa nona tidak lekas."
Orang serba putih tiba-tiba terkial-kial, nada tawanya kedengaran begitu perih memilukan wajahku?"
"Sudah lama kami dengar bahwa setiap murid Ciok hujin semuanya cantik-cantik laksana bidadari, jikalau nona sudi memperlihatkan wajahmu yagn rupawan, meskipun mampus, terhitung setimpallah sepasang mataku ini."
"Diam-diam Ki Ping yan sedang membatin "Agaknya dia sedang menggunakan ketampanannya hendak menipu orang, tapi bagaimanapun manis dan pandai tutur katamu, memangnya dia bakal melepaskan kau?"
Terdengar nona serba putih itu terkial-kial seperti orang kesurupan setan serunya "Cantik rupawan.... baik, biar kuberi kesempatan kepadamu melihat rupaku yang cantik rupawan ini!"


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelan pelan jari-jari tangannya menanggalkan kerudung yang menutupi kepala dan raut wajahnya, senyuman Coh Liu hiang seketika membeku kaku.
Masakah itu raut muka manusia, boleh dibilang mirip wajah gembong iblis yang ganas. Takkan pernah terpikir oleh Coh Liu hiang gadis yang punya perawakan langsing padat menggiurkan ini, ternyata memiliki seraut wajah yang seram, bengis dan begitu menakutkan.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatannya, akan wajah Jin hujin Chi Ling siok itu, bukankah muka orang mirip seperti ini jadinya, apakah lantaran jelus menghadapi kecantikan gadis ini, maka Ciok koan im lantas merusak wajahnya.
Didengarnya gadis itu berkata dengan tertawa menyeringai "Sekarang kau sudah melihat jelas" Memang matamu cukup beruntung maka selanjutnya kau harus selalu ingat Ki Buyong adalah perempuan yang paling jelek di seluruh jagat raya ini, tiada orang yang akan bisa menandingi keburukannya."
Tapi Coh Liu hiang malah tersenyum, ujarnya "Buruk atau cantik wajah seseorang tergantung penilaian manusia, kalau wajah nona tidak cantik molek masakah mukamu dibikin cacat sedemikian rupa, jikalau nona semula memang rupawan, apa pula halangannya bila mukamu memang sudah rusak.... karena meski orang lain bisa merusak wajah nona, namun keagungan dan keluwesan nona akan tetap abadi, siapapun takkan kuasa merusaknya."
Sesaat Ki Buyong termenung mendadak ia memaki pula dengan "Turun... turun di sini tiada tempat untuk kau banyak mulut."
Setelah menjura Coh Liu hiang segera beranjak turun. Setitik merah mengikuti di belakangnya.
Waktu tiba di hadapan Ki Buyong mendadak Setitik merah menghentikan langkahnya, katanya
"Kau tidak jelek kau amat cantik." meski dia hanya mengucapkan enam patah kata, tapi enam patah kata yang keluar dari mulut seperti dirinya, sungguh jauh lebih kuat dan punya pengaruh lebih besar dari sanjung puji orang lain.
Agaknya Ki Bu-yong sendiripun tidak menyangka, orang yang biasanya jarang mau mengeluarkan sepatah kata ini, hari ini mendadak melontarkan kata-kata seperti itu, sekilas tampak badannya bergetar, tanyanya tergagap "Kau... apa katamu"
Setitik merah tak mau banyak kata lagi, dengan langkah lebar dia memburu ke belakang Coh Liu hiang yang sudah tiba di bawah. Dengan terlongong Ki Bu-yong mengawasinya, kerlingan mata nan dingin dan bekuk tak berperasaan itu, kini menampilkan gelombang perubahan yang tak pernah terjadi selama ini.
Diantara puncak-puncak batu itu, ternyata ada sebuah jalan kecil yang berliku-liku berputar kian kemari, amat rumit dan bisa menyesatkan. Yang menggusur Coh Liu hiang bertiga adalah seorang laki-laki besar, tanyanya kepada Ki Bu Yong sambil menjura "Apakah sekarang juga kita ikat mata mereka?"
Ki Bu yong kembali bersikap dingin dan keren, katanya dingin "Tak perlu banyak urusan lembah rahasia dengan jalanan setan seperti ini seumpama aku bawa mereka mondar mandir beberapa kali, merekapun takkan bisa membedakan arah, dalam kolong langit ini, siapa pun bila dia berada di sini, jangan harap dia bisa keluar sendiri dengan tetap hidup, beberapa patah kata-katanya yang terakhir sudah tentu dia tujukan kepada Coh Liu hiang.
"Masa benar?" ujar Coh Liu hiang tertawa. "Kalau kau ingin keluar dari sini, kecuali kau digotong keluar!" jengek Ki Bu-yong dingin.
Sebetulnya lapat-lapat Coh Li hiang sudah dapat merasakan dari keadaan puncak-puncak batu di sekelilingnya, disamping tumbuh secara alamiah, ditata dan dilengkapi pula dengan tenaga manusia, diantaranya jalanan yang liku-liku dan berputar ini, terasa mengandung sesuatu rahasia barisan yang serba rumit perubahannya, seakan-akan mirip Pat tin toh ciptaan Cukat Liang, disampingnya ditambal oleh penataan dari buah karya otak manusia, terutama mementingkan situasi alamiah yang serba berbahaya, sungguh suatu proyek besar karya gabungan tenaga manusia dan kekuatan alam.
Hembusan angin keras menggulung pasir kuning bergulung-gulung di celah-celah selat yang sempit itu, menambah suasana yang seram semakin menakutkan, dua puncak gunung jajar berdiri, langit dan bumi seolah olah menempel jadi satu.
Berjalan ditengah selat sempit itu, yang kelihatan hanya pasir kuning melulu, sampai langitpun tak kelihatan lagi.
Coh Liu hiang menghela naps, katanya "Tempat yang amat berbahaya, bahwasanya Ciok hujin tidak perlu memeras keringat mengerahkan tenaga besar-besaran untuk membuat bentuk barisan sesukar dan serumit ini."
"Apa tempat seperti ini sudah terhitung berbahaya" Tempat yang betul-betul berbahaya belum lagi kalian lihat dan alami sendiri lho!" goda Ki Bu yong.
"Dimana?" tanya Coh Liu hiang.
Ternyata Ki Bu-yong tidak hiraukan pertanyaannya, segera ia pimpin di depan, belok ke timur menikung ke barat, tiba-tiba menjurus ke utara, tahu-tahu sudah menuju ke selatan, langkahnya enteng dan gampang saja seperti berjalan di lapangan luas, sedikitpun tidak nampak dimana letak bahayanya.
Tapi Coh Liu hiang cukup tahu bila mereka tidak ditunjukkan jalannya, umpama setahun lamanya, mungkin sampai jiwamu mendekati ajal, kau akan tetap berada dalam lingkungan tempat-tempat ini juga.
Dari tengah-tengah hembusan angin yang membawa taburan pasir kuning itu, tiba-tiba muncul bayangan beberapa orang, agaknya mereka sedang membawa sapu dan menyapu tanah, gerak-gerik mereka sedemikian lambatnya, namun setiap gerakan sapu mereka sedemikian teratur pula, selintas pandang mereka tak lebih adalah mayat-mayat hidup, seakan-akan sejak jaman dulu kala, mereka sudah bekerja disini, terus menyapu tanah berpasir sampai dunia kiamat.
Setelah mereka beranjak lebih dekat, pandangan Coh Liu hiang lebih jelas, tampak budak-budak mayat hidup ini, meski rambutnya awut-awutan dan pakaian kumal, tapi tiada satupun diantara mereka yang tak berparas ganteng dan tampan. Cuma raut muka dan sorot mata mereka menampilkan warna yang beku kaku, sorot matanya guram dan kehilangan sinar kehidupan, agaknya bukan saja sudah melupakan asal usul dirinya bahwa mereka itu adalah manusia.
Namun Coh Liu hiang cukup tahu, laki-laki tampan dan ganteng seperti mereka-mereka ini dahulu kala tentu mereka mempunyai lembaran hidup masing-masing yang cemerlang dan sukses, mereka mempunyai kehidupan yang bahagia, senang punya gengsi dan pamor yang tinggi pula.
Tapi sekarang mereka justru sudah beku sama sekali, tapi yang jelas pasti masih memiliki banyak orang yang tidak akan melupakan mereka, orang lain sedang merindukan kedatangannya, sedang meneteskan air mata dengan pilu. Tiba-tiba Coh Liu hiang merasa hatinya amat tertekan dan batinpun ikut prihatin. Manusia jikalau pada memiliki watak welas asih dan tahu kasihan terhadap sesamanya yang sedang ditimpa kemalangan, masakah dia setimpal dipandang sebagai orang gagah, seorang pendekar" Tapi orang-orang ini justru terus menyapu pasir, terus menyapu takkan henti-hentinya, seolah-olah mereka hidup untuk menyapu pasir, menyapu pasir untuk hidup.
Tak tertahan Coh Liu hiang segera menghampiri orang terdekat lalu menepuk pundaknya katanya "Saudara kenapa tidak berhenti istirahat dulu?"
Orang itu angkat kepala dengan pandangan kosong hambar dia awasi Coh Liu Hiang, cepat sekali kepalanya sudah tertunduk pula, sahutnya "Tidak perlu istirahat!" kembali tangannya bekerja menyapu pasir.
"Saudara ini apa kau memang senang menyapu?" tanya Coh Liu hiang tertawa.
"Ya, senang!" sahut orang itu pula tanpa angkat kepala.
Coh Liu hiang tertegun, katanya menghela nafas "Tapi pasir di sini, selamanya takkan bisa disapu habis!"
"Yang ku sapu bukan pasir lho!" tiba...tiba... kata orang itu.
"Lalu apa yang kau sapu?" tanya Coh Liu hiang.
"Tulang-belulang orang mati!" sahut orang itu setelah berpikir sebentar.
"Tapi disini tiada orang itu, apa lagi tulang belulang mereka."
Kembali orang itu angkat kepala mengawasi dirinya, tiba-tiba tersimpul senyuman di raut mukanya, senyuman yang mengerikan katanya pelan-pelan "Walau sekarang tiada, sebentar akan banyak tercecer di sini."
Entah kenapa, sekonyong-konyong terasa segulung hawa dingin timbul dalam benak Coh Lliu hiang, sebetulnya banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan kepada orang ini, menanyakan siapakah dia sebenarnya"
* Bersambung Jilid 23 *
Jilid 23 Kenapa bisa berubah begini rupa" Tapi mendadak ia sadar hakikatnya tidak berguna dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Karena dari bayangan orang ini, seolah-olah diapun ada melihat bayangan Ciok Tho, kecuali bentuk muka dan perawakannya yang berbeda, apa pula bedanya kelakuan orang ini dengan Ciok Tho" Mereka sudah lupa masa silam, lupa segalanya, bahwa badan kasar mereka masih utuh, namun jiwa mereka sebetulnya sudah mati, mereka tidak lebih cuma mayat-mayat yang masih hidup belaka. Karena mereka sudah mempersembahkan jiwa raga mereka kepada Ciok koan im.
Seketika terasa oleh Coh Liu hiang kaki tangannya mendadak berkeringat dingin, diam-diam hatinya membatin "Ciok koan im, Ciok koan im, apa benar kau mempunyai kekuatan iblis yang begini besar?" entah berapa jauh berapa lama mereka berputar-putar ditengah hembusan angin yang sepoi-sepoi tiba-tiba terendus bau kembang yang harum semerbak. Yang jelas bau kembang ini bukan Seruni, bukan kembang melati, bukan mawar juga bukan kembang padma, begitu harum dan menusuk hidung, bau kembang ini seolah-olah kembang yang cuma ada di sorga.
Hawa di sini semakin hangat, malah hampir boleh dikata hampir panas, seluruh lembah sempit ini seolah-olah berubah menjadi sebuah tungku, disinilah tempat jagal manusia, tungku untuk merenggut nyawa atau sukma manusia. Diantara tumpuan ribuan puncak-puncak batu di sana ternyata tersebar luas lautan kembang warna warni yang sedang mekar. Selayang pandang, seolah-olah dunia ini diliputi kembang yang sedang mekar dan segar, sampaipun Coh Liu hiang yang banyak pengalaman dan tukang kelana inipun tidak tahu nama dan jenis kembang-kembang apa yang tertanam subur di sini.
Tapi terasa olehnya kembang mekar itu begitu segar, semarak dan elok, tak tahan dia menghela nafas ujarnya "Siapa akan mau percaya ditengah-tengah gurun pasir, ternyata terdapat lautan kembang yang sejenis lain seperti ini."
Ki Bu yong tiba-tiba mengejek "Memangnya kembang-kembang seperti ini takkan bisa dimiliki dan diimpikan oleh sembarang manusia."
"Apakah kembang ini hasil petikan dari sorga?" tanya Coh Liu hiang.
Tak nyana Ki Bu yong manggut-manggut sahutnya "Ya memang dipetik dari langit."
Coh Liu hiang melirik kepada KI Ping yan "Kalau demikian beruntung sekali biji mata kami bisa menikmati lautan kembang seperti ini!."
Ki Ping yan diam saja.
Karena terasa olehnya, kedua kakinya tiba-tiba terasa lemas, mata berkunang-kunang, otak serasa gelap dan mata rasanya ingin tidur, seolah-olah sedang mabuk arak, namun lebih nikmat dari orang mabuk arak.
Akhirnya Ki Ping yan menyadari lebih dulu bahwa dalam bau kembang ini ada gejala gejala yang tidak normal, tapi meski sudah tahupun sudah terlambat, sementara Coh Liu hiang masih mengoceh, dia lantas membanting betapapun Lwe-kangmu memang lebih tinggi ketabahanmu lebih kuat...."
Terdengar Coh Liu hiang sedang berkata "Tadi nona bilang tempat yang benar-benar berbahaya belum lagi sampai, tentunya sekarang sudah sampai bukan?"
Ki Bu-yong terdiam sesaat lamanya, lalu bertanya kalem "Menurut kau apa tempat ini amat berbahaya?"
Dengan tersenyum berkatalah Coh Liu hiang "Pada suatu benda yang terlalu cantik, kadang kala sering mengandung mara bahaya aroma bau harum yang luar biasa, kemungkinan besar mengandung racun..." belum habis ia bicara, badannya tiba-tiba meloso jatuh ke tanah lemas lunglai.
Ki Ping yan kembali tertawa getir dalam hati, katanya "Ternyata dia tidak selihai apa yang pernah kubayangkan." Waktu dia melirik kepada Setitik merah, terpasang mata yang dingin dan teguh itu, kini sudah mulai pudar dan kacau.
Ki Ping yan merasa dirinya seolah-olah kembali menjadi anak-anak kecil, bermimpi buruk karena biasanya cuma anak-anak kecil saja yang benar-benar bisa menikmati mimpinya yang begini nyaman, segar dan nikmat.
Waktu dia siuman, didapatinya dirinya berada dalam sebuah rumah yang megah seperti dialam mimpi saja, Ki Bu yong sedang duduk dihadapannya, dengan termenung sedang mengawasi dirinya. Tapi orang yang dia pandang bukan Ki Ping yan, tapi adalah Setitik merah, begitu pesona dan kesima sorot pandangannya, sedikitpun tidak menyadari bahwa Ki Ping yan sejak tadi sudah siuman dan memperhatikan dirinya.
Melihat sepasang biji matanya yang kaku dan seperti linglung ini, hati Ki Ping yan mencelos kaget, namun merasa aneh dan ketarik batinnya "Masakah budak liar ini sudah jatuh cinta kepada manusia batu ini?"
Sayang sekali Coh Liu hiang tidak melihat apa-apa, dia masih tidur nyenyak, malah mulutnya kadang-kadang mengigau. Dari luar beranjak masuk dua orang gadis lainnya. Salah seorang yang berpakaian atas bawah serba kuning berkata mengawasi dirinya "Apakah dia ini perampok ganteng, atau bajingan romantis yang kenamaan dalam dongeng itu.
Gadis yang lain pakai gaun panjang dengan baju panjang pula, katanya berseri tawa "Dalam dongeng tentunya dikatakan betapa tinggi dan besar kelihaiannya, jikalau ia benar-benar selihai itu, masakah kini rebah di sini?"
Gadis baju kuning itu berkata pula "Tapi kelihatannya dia lebih mempesonakan dan lebih tampan dari apa yang pernah kudengar dari dongeng itu. Tak heran banyak gadis-gadis remaja yang khawatir dia tidak menggerayangi barang-barang milik keluarganya, ternyata maksudnya hanya untuk bisa berkesempatan bertemu muka sama dia."
Disanjung puji oleh seorang perempuan boleh dikata merupakan peristiwa yang paling menggembirakan bagi seorang laki-laki dalam dunia ini. Tapi jikalau perempuan itu begitu buruknya, rasa senang dan gembira itu dengan sendirinya menjadi sirna dan menjadikan dingin hatinya.
Memang pakaian kedua gadis ini serba mewah dengan mode yang mutakhir, terbuat dari bahan yang mahal harganya, tapi raut mukanya justru memualkan setiap orang yang memandangnya, oleh karena itu Coh Liu hiang jadi patah semangat, cuma dalam hati diam-diam dia tertawa getir, batinnya "Untung raut muka kalian terlalu biasa, sehingga tidak sampai dibikin cacad seperti Ki Bu yong, sering aku dengar orang suka bilang gadis yang bermuka buruk katanya jauh lebih besar rejekinya, baru sekarang aku tahu dan membuktikan kenyataan ini."
Karena pikirannya ini, hati menjadi geli dan tak tertahan dia unjuk senyuman kepada kedua gadis ini. Seketika berobah rona muka gadis berpakaian kuning, mimik wajah yang wajar tadi kini berubah sinar tajam dan sikapnya menjadi kikuk dan genit. Sebaliknya gadis yang lain tetap berseri tawa, seakan-akan dia tak pernah berhenti tertawa. Ki Bu yong mengerut alis, tanpa bicara tiba-tiba ia berpaling muka terus tinggal pergi.
Gadis pakaian kuning mencibir bibir, jengeknya "Budak jelek, tahu bahwa dirinya disukai orang, lantas pura-pura unjuk harga diri. Hm..! Kau merasa sebal terhadap kami, kami justru pandang sepele kepadamu!."
Berputar biji mata Coh Liu hiang, sengaja merendahkan suaranya "Nona kalau bicara lebih baik pelan-pelan dan lirih saja, jangan sampai kedengaran oleh dia."
"Memangnya kenapa kalau didengar olehnya" Aku tidak takut! jengek gadis baju kuning.
"Menurut pandangan Cayhe, nona Ki itu adalah orang penting ditempat kalian ini, sebaliknya nona berdua agaknya belum lama masuk perguruan, jikalau sampai berbuat kesalahan dan membuatnya marah, bukankah tidak leluasa."
Gadis baju kuning mendelik, tiba-tiba ia tertawa lebar, katanya "Tak perlu kuatir bagi kami, suhu selamanya bertindak adil terhadap para muridnya, kami tidak perlu takut kepadanya."
Gadis yang lain ikut menimbrung dengan malu-malu "Asal kau bersikap baik terhadap kami, kamipun bisa saja bikin kau hidup nikmat dan bersenang-senang disini."
Coh Liu hiang menatapnya bulat-bulat, tiba-tiba ia menghela nafas.
"Kenapa kau menghela nafas?" tanya gadis gaun panjang ini.
"Sayang sekali Cayhe tidak punya tenaga sama sekali, kalau tidak...." dengan sikap yang dibuat-buat dia hentikan kata-katanya, matanya dengan nanar menatap mereka.
Merah muka gadis bergaun panjang, pelan-pelan bibirnya digigit lalu katanya kalem "Kau tidak perlu gelisah, akan datang suatu hari...."
"Masakah kau sendiri tidak gelisah, dan ingin lekas...?" tanya Coh liu hiang.
"Memangnya kau sendiri" Kau ini memang kau tidak bernama kosong, kau memang seorang bangsat romantis yang manis mungil dan menyenangkan."
Coh Liu hiang memancing "Sungguh aku tidak mengerti sebetulnya aku ini terkena obat bius apa, kenapa begini lihai?" mendadak ia hentikan kata-katanya, lalu tertawa getir lalu katanya lebih lanjut "Tentunya nona berdua pun tidak tahu obat bius apa yang meracuni badanku, seharusnya tadi aku bertanya kepada nona yang ke satu tadi."
"Kau kira hanya dia saja yang tahu" ejek gadis gaun panjang.
"Jadi nonapun ada tahu?" seru Coh Liu hiang unjuk senyum girang.
Tiba-tiba gadis baju kuning sadar, sejak tadi sepasang mata Coh Liu hiang hanya mengawasi temannya yang satu ini, lama sudah tidak melirik kepadanya. Maka segera ia menimbrung "Apa kau sudah melihat kembang-kembang itu?"
"Jikalau Cayhe tidak melihat, masakah sekarang sudah bisa rebah tak bertenaga seperti ini?"
"Tahukah kau apa nama kembang-kembang itu?" tanya gadis baju kuning.
Coh Liu hiang gelengkan kepala, sahutnya "Jenis kembang seperti ini, selama hidupku belum pernah melihatnya."
Gadis baju kuning tersenyum puas dan bangga, katanya "Baik..baik kuberi tahu kepada kau, kembang itu dinamakan Eng siok hoa, sedang rumput-rumput kembang di bawahnya adalah Toa ma hasil cangkokan suhu yang dibawanya dari negeri asing. Thian tiok, hanya ditempat yang bersuhu panas seperti ini baru bisa tumbuh subur."
Diam-diam tersirap darah Coh Liu hiang namun mulutnya berkata "Eng siok.. toa ma!
Namanya aneh benar."
"Obat bius yang kau sadap adalah hasil perpaduan Eng siok hoa dan rumput Toa ma itu, kalau orang terlalu banyak makan bahan-bahan obat ini, orang akan dibikin gila, tapi kalau makannya secara pas-pasan, boleh dikata bisa memabukkan seperti hidup di kahyangan, jauh lebih nyaman, segar dan nikmat dari apa saja."
"Apa kalau makan terlalu banyak bisa gila?" tanya Coh Liu hiang terkejut.
"Kalau makan terlalu banyak, bukan saja bisa gila, malah pandanganmu bakal menciptakan berbagai khayalan-khayalan muluk, hakikatnya yang kau lihat itu adalah gambaran-gambaran kosong yang tidak pernah ada."
Kini gadis gaun panjang juga sadar bahwa temannya sedang berebutan sama dirinya, segera ia merebut kesempatan menimbrung lebih dulu "Ditambah kesadaran mereka sudah pudar, pikiran tidak genah lagi, maka ada kalanya mereka berloncatan menari-nari seperti sedang berkelahi dengan lawan yang tidak kelihatan, begitu besar napsu mereka merobohkan lawan, sampai akhirnya kehabisan tenaga dan binasa." sampai di sini ia tersenyum genit lalu menambahkan pula.
"Suatu yang tak pernah ada, siapapun tak bisa merobohkannya, meski dia itu seorang tokoh silat maha sakti, berkepandaian setinggi langit, jikalau terkena obat bius ini, paling-paling kuat bertahan beberapa kejap saja, cepat atau lambat akhirnya roboh juga."
Gadis baju kuning segera menyela "Oleh karena itu bila kaupun bisa memanfaatkan obat bius ini, berarti kau berubah dirimu sebagai orang yang takkan dapat dirobohkan oleh siapa saja, coba kau katakan bukankah khasiatnya jauh lebih besar daripada kepandaian silat betapapun lihainya?"
Serasa copot jantung Ki Ping yan mendengar hal-hal yang luar biasa ini, Coh Liu hiang malah tertawa "Tapi dalam pandangan mata Cayhe sekarang, yang kulihat hanyalah dua nona cantik molek yang manis dan mesra, tak pernah kulihat musuh yang menakutkan...semoga kedua nona jangan bikin pikiranku melayang kealam khayalan."
Gadis gaun panjang terkikik geli, katanya "Soal obat bius yang kau sedap tidak banyak, oleh karena itu paling hanya badanmu saja yang lemas lunglai."
Gadis baju kuning menimbrung pula "Letak dari pada kemujaraban obat ini, adalah khasiatnya, menurut kadar dan dosis dari penggunaannya dapat merubah keadaan si korban, kalau dosisnya terlalu banyak, obat ini adalah racun obat dewa kesenangan.
Coh Liu hiang menarik napas panjang, katanya "Nona berdua sungguh pintar dan banyak pengetahuan....."
Tiba-tiba seseorang menyeletuk dingin "Cuma sayang mereka terlalu banyak bicara."
Suara ini kedengaran amat tawar dan dingin tapi merasuk pendengaran. Daya tarik yang luar biasa seperti ini, jauh lebih besar dari pada suara merdu dari pada rayuan genit yang sedang kehausan cinta.
Coh Liu hiang sudah banyak pengalaman dalam bidang ini dan sudah bisa mendengar suara genit dan rayuan halus, mendengar suara ini seketika terbangkit semangatnya.
Sebaliknya mendengar kata-kata ini kedua nona dihadapannya seketika berubah rona mukanya, begitu pucat dan ketakutan setengah mati.
Tampak sesosok bayangan putih tinggi semampai, seiring dengan kata-katanya beranjak masuk ke dalam kamar dengan langkah gemulai. Gayanya berjalan sebetulnya tidak luar biasa, tapi cukup membuat setiap laki-laki merasa betapa cantik elok dan menawan serta menggiurkan, tanggung kata-kata paling manis dan muluk-muluk dari segala bahasa di dunia ini takkan bisa melukiskan keindahannya.
Badannya tertutup kain sari panjang yang putih merah, dalam rumah tiada angin, tapi siapapun merasakan orang seperti datang menunggang mega menyetir angin setiap saat kemungkinan bisa lenyap terhempas oleh angin besar.
Wajahnyapun tertutup cadar yang terbuat dari kain sari putih pula. Walaupun tiada orang yang bisa melihat raut wajahnya, tapi orang pasti menduga bahwa seorang perempuan cantik ayu tiada bandingannya sejagat ini.
Perawakan Ki Bu yong sudah cukup cantik dan menggiurkan, bentuk badannya kira-kira sebanding tapi jikalau Ki Bu yong yang mengenakan model pakaian seperti ini, dengan mengenakan cadar kain sari pula, sekali pandang orang bisa membedakan dengan jelas. Karena gaya dan keagungan dirinya tanggung takkan ada orang yang bisa menjiplaknya, itulah buah karya dari Yang Maha Kuasa yang mengkaruniai badan elok dan rupawan hasil gemblengan dari pengalaman dan tempaan bertahun-tahun lamanya.
Tiada orang yang bakal mempunyai pengalaman seaneh dan setinggi itu, oleh karena itu selintas pandangan dia selamanya akan selalu berada di puncak tertinggi, tiada orang yang bisa menandinginya, tiada orang yang bisa mencapainya.
Coh Liu hiang menarik napas panjang pula katanya "Ciok koan im, akhirnya aku bisa berhadapan juga dengan kau! Seorang laki-laki sejati bisa berhadapan dengan perempuan macammu ini, sungguh besar rejeki sepasang mataku ini, tapi aku lebih suka lebih baik tiada manusia seperti kau ini saja."
Sementara itu kedua gadis itu sudah mendekam di lantai dan menyapa "Menghadap Suhu."
Berkata Ciok koan im dingin "Selamanya aku pandang kalian sama tingkat dan kedudukan, kalian sendiri tadi sudah bilang, benar tidak?"
Dengan mendekam kedua gadis ini manggut-manggut sahutnya gemetar "Itulah kebijaksanaan kau orang tua!"
"Bagus sekali!" ujar Ciok koan im, tiba-tiba dia menggape tangan kepada Ki Bu yong yang tadi mengikuti langkahnya katanya tawar "Jikalau kau tidak bisa membunuh mereka, biar mereka saja yang membunuh kau!" dengan suara tawar yang dingin dia tentukan mati hidup jiwa orang lain, nilai jiwa orang lain didalam sanubarinya, seolah-olah lebih murah dari jiwa anjing atau babi.
Pelan-pelan Ki Bu yong melangkah keluar raut mukanya sedikitpun tidak menampilkan perubahan apa-apa, katanya dingin "Tidakkah lekas kalian berdiri dan turun tangan?"
Tak tahan Coh Liu hiang segera berkata "Mereka hanya bilang dua tiga patah kata Hujin lantas hendak mencabut jiwa mereka, apakah tindakan ini tidak terlalu kejam?"
"Kalau toh aku selalu selalu berlaku adil kepada mereka, maka adu jiwa ini merupakan keputusan yang adil pula, mana boleh dikatakan aku kejam?" kata-katanya datar dan kalem, tapi orang yang mendengar takkan bisa mendebatnya lagi.
Coh Liu hiang mengelus hidung katanya tertawa getir "Bagaimana juga, mohon Hujin suka mengampuni jiwa mereka."
"Tahukah kau, kenapa mereka sendiri tidak mohon ampun kepadaku?" tanya Ciok koan im.
Benar juga kedua gadis itu sudah berbangkit ternyata tanpa banyak bicara, dengan badan gemetar segera mereka turun tangan. Coh Liu hiang menghela napas, belum lagi bicara, Ciok koan im sudah menyambung dengan kalem "Itulah lantaran mereka tahu setiap patah kata yang pernah kuucapkan, selamanya takkan dirubah lagi."
"Kalau demikian bukankah mereka jadi berkorban lantaran aku?" ujar Coh Liu hiang menghela napas pula.
"Kau tidak perlu bersedih dan merasa salah aku ingin mereka mati, bukan lantaran mereka sudah membocorkan rahasiaku! Jikalau aku tidak ingin kau tahu rahasia ini, sejak tadi aku sudah sikap mulut mereka!"
"Benar, seseorang yang toh harus menghadapi kematian, peduli rahasia apapun yang dia dengar, juga tidak menjadi soal."
"Nah, begitulah!"
"Kalau demikian, kenapa pula Hujin menghendaki mereka mati?"
"Mereka sendiri yang ingin mati?" seru Coh Liu hiang melongo.
Ciok koan im tidak menjawab. Ki Ping yan justru membatin "Kenapa kau jadi pikun" Kalau toh dia sudah naksir kepadamu para budak ini justru berani main-main dihadapannya lebih dulu, bukankah mereka sendiri mencari mampus?"
Tatkala itu gadis baju kuning dan gadis gaun panjang serempak menggerakkan kaki tangan menyerang dengan sengit dan kalap. Lwekang mereka masih terlalu rendah, karena itu tadi Coh Liu hiang mengatakan bahwa mereka masuk perguruan belum lama tapi serangan kerja sama kedua orang ini ternyata cukup lihai dan aneh serta cepat, di luar dugaan orang.
Maklumlah pertempuran ini bukan merebut harta benda, juga bukan demi gengsi dan pamor tapi demi mempertahankan jiwa raga mereka, menang adalah hidup, kalah tentu mati, betapa mereka tidak bertempur mati-matian dan nekad.
Tampak sepuluh jari-jari gadis gaun panjang runcing-runcing setajam cakar-cakar serigala yang ganas dan buas, kertak gigi dan menjerit sengit mencengkeram ke tenggorokan Ki Bu yong.
Kedua biji mata gadis baju kuningpun membara beringas, telapak tangan kanan laksana golok, dengan seluruh kekuatan membelah ke dada Ki Bu yong pula, kepalan kiri digenggamnya kencang sampai memutih, sekali jotos ia serang ke bawah perut Ki Bu yong.
Serangan telapak tangan jotosan kepalannya ini kelihatannya memang biasa tak mengandung perubahan apa-apa, tapi posisi serangan dan gayanya yang aneh, sungguh sulit orang menyelamatkan diri arah mana orang menyerang.
Coh Liu hiang diam-diam membatin "Ilmu silat Ciok koan im memang hebat, aneh dan lihai, orang-orang seperti mereka saja sudah mampu melancarkan serangan dengan perbawa yang begitu dahsyat, bila dia sendiri yang mempraktekkan, tentu lebih luar biasa."
Tampak Ki Bu yong bergerak lincah dan tangkas, sekali berkelebat, sekaligus ia luputkan diri dari tiga jurus serangan kedua lawannya. Kelihatannya kepandaian silatnya memang jauh lebih tinggi dari kedua lawannya namun agaknya dia tidak rela main kekerasan dengan cara serangan musuh yang ganas dan nekad, oleh karena itu begitu berkelit dia tak bertindak lebih jauh hanya bertahan saja tanpa balas menyerang.
Sebaliknya jurus demi jurus serangan kedua gadis lawannya semakin gencar, makin ganas dan berbahaya dan aneh-aneh pula, sampaipun orang seperti Coh Liu hiangpun sukar mengikuti dan tak melihat asal-usul dari tipu-tipu permainan mereka.
Jurus silat yang dimainkan ketiga orang ini ternyata jauh berbeda dari seluruh golongan silat di Tionggoan yang pernah dia selami, permainan gadis gaun panjang agaknya rada mirip dengan Eng jiau kang, tapi lebih mirip ke Kim na jiu pula, setelah diteliti lebih cermat, ternyata lebih mirip ilmu gumul dan gulat dari kepandaian orang-orang Mongol tapi tidak sekasar dan sekeras itu.
Ilmu pukulan telapak tangan yang dimainkan gadis baju kuning, kelihatannya seperti menggunakan tipu-tipu ilmu pukul telapak tangan dari aliran Lwekeh, tapi cara gerak dan serangannya secara praktek jelas sekali amat berbeda. Bukan menabas atau membacok, tapi telapak tangannya itu selalu memotong, padahal ilmu pukulan dari aliran manapun dalam bilangan Tionggoan tiada jurus-jurus pukulan yang menggunakan tipu-tipu memotong ini. Cuma orang-orang yang bersenjata golok saja baru ada yang menggunakan tipu memotong ini.
Makin lama makin tersirap darah Coh Liu hiang menonton pertempuran ini. "Dilihat dari permainan mereka ini, jadi kepandaian silat Ciok koan im bukan mustahil dipelajari dari negeri seberang"
Tatkala itu kedua pihak sudah bergebrak puluhan jurus. Selama ini Ki Bu yong tetap bertahan belum pernah balas menyerang.
Tiba-tiba Ciok koan im tertawa dingin "Bu yong kapan sih hatimu sudah mulai lemah"
Masakah kau tidak tega turun tangan?"
Belum habis kata-kata Ciok koan im tiba-tiba Ki Bu yong sudah lancarkan serangan balasan.
Sejurus serangannya ini ternyata jauh berbeda pula dengan gaya permainan kedua lawannya.
Sudah tentu gadis baju kuning tidak berani melawan pukulan ini secara keras, dengan lemas pinggangnya gemulai tertekuk, badan terbalik kaki berkisar, tahu-tahu badannya menyusup lewat dari samping pundak kiri orang terus menggeser ke belakangnya, tahu-tahu telapak tangannya membelah ke punggung Ki Bu yong.
Kali ini gerakan kakinya amat lincah dan cekatan serba wajar dan gemulai lagi, langkah-langkah kaki mereka yang berseliweran, cepat lagi tepat sehingga tidak saling tumbuk ditengah jalan, begitu tiba di belakang Ki Bu yong telapak tangannya sudah membelah dengan gempuran dahsyat laksana dampratan ombak, sedikitpun tidak kelihatan gerakan kaku atau tidak dipaksakan, dari permainan silatnya dapat dinilai, bahwa gadis baju kuning ini memang berbakat menjadi tokoh kenamaan.
Maklumlah didalam mempraktekkan suatu ajaran silat yang diperlakukan adalah keluwesan dan kewajaran dari gerak-gerik badan serta kaki tangan yang kerja serasi, kalau tidak meski tipu silat itu sendiri amat lihay dan aneh kalau dilancarkan tentu menunjukkan gerakan yang sedikit dipaksakan, maka dari sini dapat dinilai bahwa orang ini belum boleh dikategorikan sebagai tokoh kosen.
Bahwa gadis bermuka biasa, tindak-tanduknya genit dan kasaran ini ternyata dapat melancarkan jurus-jurus ilmu silat tingkat tinggi yang begini menakjubkan, Coh Liu hiang menonton menjadi bersorak dan memuji dalam hati.
Ciok Koan im sendiripun sedikit mengangukkan kepala, katanya "Dapat melancarkan jurus ini sebaik itu, tiga tahun pelajaran silatmu tidak terhitung sia-sia." tapi waktu ucapan kata-katanya ini selesai, tampak gadis baju kuning itu sudah terkapar di atas lantai.
Ternyata dikala telapak tangan gadis baju kuning membelah ke punggung Ki Bu yong, telapak tangan kiri Ki Bu-yong tetap mengincar urat nadi pergelangan tangan gadis gaun panjang, memaksanya menarik mundur serangan dan terdesak mundur, tahu-tahu telapak tangan kanan mendadak menyelonong lewat dari bawah ketiaknya ke belakang, dimana kelima jari-jarinya rada tertekuk tapi pukulan telapak tangan dirubah menjadi cakar, maka tebasan telapak tangan gadis baju kuning berarti disodorkan ke depan dan tepat berhasil dengan digenggamnya. "Krak"
lengannya seketika teremas remuk dengan menjerit ngeri seketika ia terkapar roboh tak bergerak.
Tak terasa Coh Liu hiang sampai berseru memuji "Bagus, hebat sekali."
Memang cengkeraman Ki Bu yong dari depan menyelonong ke belakang ini siapapun dikolong langit ini bila melihat permainannya ini takkan tahan pasti memuji. Maklumlah betapa sulit sebelah tangan menyelonong ke belakang melalui ketiak merupakan gerakan yang amat sulit dilakukan dan serangan balasan yang terlalu dipaksakan pula demi menyelamatkan jiwa sendiri.
Tapi kali ini Ki Bu yong bisa mempraktekkan dengan seenaknya dan wajar, lengan tangannya itu seolah-olah tidak bertulang, dapat ditekuk atau diputar ke arah mana saja menurut sesuka hatinya, sedikitpun tidak menunjukkan gejala-gejala yang menyangsikan.
Gadis bergaun panjang seketika berobah roman mukanya, mendadak dia berpekik nyaring terus menubruk kalap seperti serigala buas kelaparan menubruk mangsanya, meski serangannya tidak begitu menakjubkan, tapi bahwa serangan ini cukup mengejutkan juga.
Berkilauan sorot mata Setitik merah, mukanya yang kaku dingin selama ini tiba-tiba memancarkan cahaya cemerlang.
Sebat sekali Ki Bu yong tutulkan kaki mencelat menyingkir seenteng burung walet, sembari berkelit lekas telapak tangannya terayun balas membelah. Sebetulnya gadis gaun panjang paling ketat melindungi batok kepalanya sejak permulaan gebrak tadi siapa tahu begitu telapak tangan Ki Bu yong terayun, dengan telak dia masih tepat membelah batok kepalanya.
Ternyata Ki Bu yong yang berkepandaian tinggi dan apal juga akan ilmu silat lawannya sudah memperhitungkan dengan cepat gerak perubahan tipu-tipu lawannya, di sela-sela antara bersilangnya kedua tangan, telapak tangannya segera membelah dengan sekuat tenaga tangannya, waktu dan sasarannya tepat sekali.
Jadi menggunakan cara atau tipu serangan gadis baju kuning ki Bu yong membunuh gadis gaun panjang, demikian pula sebaliknya menggunakan tipu serangan yang digunakan gadis gaun panjang dia bunuh gadis baju kuning malah didalam angkat tangan menggetarkan kaki saja, cepat sekali dia sudah berhasil merobohkan kedua lawannya. Agaknya kalau dia mau, sejak gebrak pertama tadi, sebelum kedua gadis lawannya ini menyerang dirinya sebetulnya dia sudah bisa mencabut jiwa mereka.
Setitik merah dan Ki Ping yan saling berpandangan dengan terkesima, cuma Coh Liu hiang sebaliknya mengerut kening seolah-olah sedang memikirkan pemecahan suatu masalah yang mempersulit dirinya.
Terasa oleh Coh Liu hiang gerakan Ki Bu yong yang dipraktekkan barusan agaknya sudah amat apal sekali, dalam pandangan matanya tapi satu persatu dia bayangkan semua ajaran silat seluruh cabang atau aliran di seluruh cabang atau aliran di seluruh dunia ini, tapi tak terpikir olehnya dari cabang persilatan yang mana ada jurus-jurus silat yang mirip dan sama dengan permainan silat yang dilakukan Ki Bu yong barusan.
Dilihatnya sikap Ki Bu yong tetap kaku dingin, mimik wajahnya tidak berobah, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu apa, pelan-pelan dia menghampiri ke depan Ciok koan im katanya sambil membungkuk "Kau orang tua masih ada pesan apa?"
Ternyata Ciok koan im, termenung lama sekali, mendadak dia terkikik geli, katanya "Lama sekali tidak melihat kau bersilat, tak nyana ilmu silatmu sudah maju demikian pesat, sungguh harus dipuji."
Sahut Ki Bu yong menunduk "Bukan kepandaian silat Tecu ada kemajuan, soalnya mereka berdua biasanya kurang giat berlatih."
Ciok koan im berkata tawar "Sampaipun Maling romantis Coh Liu hiangpun memberi pujian tinggi kepandaianmu, buat apa kau merendah dan sungkan?"
"Ya, berkat didikan dan ajaran kau orang tua yang benar dan besar manfaatnya."
Kembali Ciok Koan im terbenam dalam lamunannya sampai lama tiba-tiba ia tertawa pula dan berkata "Buka mulut tutup mulut kau selalu panggil aku orang tua, apa benar aku ini sudah tua?"
Tertunduk kepala Ki Bu yong, tak berani banyak bicara lagi.
Ciok koan im menghela nafas, ujarnya "Memang, aku sudah tua, dalam beberapa tahun lagi kau tentu dapat membunuhku, benar tidak?"
"Tecu tidak berani!" tersipu-sipu Ki Bu yong menjawab sambil menjura.
"Apanya yang kau tidak berani, dinilai dari kepandaian silatmu sekarang, sampaipun Tiang sun Hongpun takkan kuat melawan tiga ratus jurus seranganmu, beberapa tahun lagi, untuk membunuh aku bukankah segampang kau mengangkat tangan?"
Lama juga KI Bu yong berdiam diri, tiba-tiba dari dalam lengan bajunya, dia merogoh keluar sebilah pisau perak seperti milik Tiangsun Hong itu sekali iris kontan ia kutungi pergelangan tangan kanannya sendiri. Darah segar menyembur dengan deras, menyemprot sederas bidikan anak panah."
Tanpa menunjukkan perubahan perasaannya, berkata Ki Bu yong pelan-pelan. "Sekarang suhu kau... kau tentunya sudah percaya... percaya kepada Tecu?" belum habis bicara, air mata sudah bercucuran, namun kulit mukanya sudah pucat pasi tak berdarah, akhirnya pelan-pelan badannya meloso jatuh dan semaput.
Coh Liu hiang, Ki Ping yan sama menghela napas, mata dipejamkan, tak tega melihat kejadian tragis ini, selain halnya Setitik merah matanya malah terbelalak lebar, dengan tajam dia mendelik kepada Ciok koan im.
"Budak bodoh ini sendiri yang memotong tangannya, kenapa kau mendelik kepadaku?" kata Ciok koan im dengan suara merdu "Apa kau beranggapan aku sedang memaksa dia?"
"Hmm!" Setitik merah hanya menggeram dengan suara berat.
"Tak nyana Setitik merah yang kenamaan dan sudah banyak membunuh manusia ternyata punya hati welas dan tahu belas kasihan, apa kau sudah jatuh cinta kepadanya..."
Sepatah demi sepatah Setitik merah berkata "Aku hanya ada maksud terhadap kau, aku bermaksud membunuhmu."
"Sayang sekali, selamanya kau tidak akan bisa melaksanakan cita-citamu ini." tanpa hiraukan Setitik merah, Ciok koan im berpaling dan menambahkan "Coh Liu hiang, apa kau masih mampu berjalan?"
Coh Liu hiang tersenyum, sahutnya "Kalau Hujin ingin aku berjalan seumpama aku tak mampu bergerak, akupun akan bisa berjalan."
"Kalau demikian, silahkan Coh Liu hiang pindah tempat, mari silahkan ikut aku, dengan langkah gmulai dia beranjak keluar pintu, tiba-tiba ia berpaling pula kepada Setitik merah katanya
"Adakah kau membawa obat untuk menyembuhkan luka-luka terpotong?"
Setitik merah hanya mendelik kepadanya tanpa menjawab.
"Orang yang suka membunuh orang, tentu sewaktu-waktu bersiaga supaya dirinya tidak terbunuh orang, jadi selalu pasti membawa obat luka-luka, kalau kau sudah punya maksud terhadap budak bodoh, kenapa tidak segera kau tolong mengobati dia?"
Coh Liu hiang tersenyum ujarnya "Tidak salah, sekarang dia selamanya takkan mungkin bisa unggul dari kau, tentunya kau masih memerlukan tenaganya."
"Maling romantis ternyata memang dapat menyelami isi hati orang lain, disitulah letaknya kenapa banyak gadis-gadis rupawan sama jatuh hati kepadamu!"
Setitik merah benar-benar menolong Ki Bu yong membubuhi obat pada pergelangan tangannya yang kutung, biasanya dia membunuh orang tanpa banyak membuang tenaga, namun hanya untuk mengerjakan tugas seringan ini dia malah merasa amat berat dan tersipu-sipu.
Ki Ping yan menghela napas, serunya "Eng siok hoa.... eng siok hoa.... tak nyana kembang yang begini elok dan indah ternyata adalah racun berbisa yang dapat menghilangkan daya ingatan manusia, tanpa disadari oleh manusia sedikit demi sedikit jiwanya dan sukmanya digerogotinya sampai binasa."
Setitik merah segera menyambung "Aku sebaliknya tidak menduga bahwa dia sudi pergi mengikuti Ciok koan im"
"Kau anggap dia tidak punya pambek?"
"Hm!"
"Jikalau kau, seumpamanya Ciok koan im akan membunuhmu, kaupun takkan sudi ikut dia, benar tidak?"
"Hm!"
"Orang seperti kau ini selamanya takkan bisa memahami dan menyelami karakter dan martabat Coh Liu hiang, tapi boleh aku memberi tahu kepadamu sesungguhnya, dalam dunia ini tiada orang yang bisa memaksanya untuk melakukan sesuatu yang dia sendiri tidak mau melakukannya."
Setitik merah tidak bicara.
Berkata pula Ki Ping yan "Boleh juga aku jelaskan lebih jauh, kelihatannya ia amat sembarangan, tapi selama hidupnya belum pernah dia melakukan sesuatu yang membuat seseorang temannya malu atau dirugikan, bahwa kau bisa berkenalan dengan kawan seperti dia, boleh kau mengelus dada senang, bahwa kau punya rejeki, sebesar ini."
Tiba-tiba terdengar Ki Bu yong mengeluarkan rintihan, pelan-pelan dia siuman dari pingsannya. Diwaktu tak sadarkan diri raut mukanya menampilkan rasa derita yang luar biasa tapi begitu dia sadar raut mukanya seketika berubah dingin kaku, tanpa menunjukkan ekspresi wajahnya.
"Kau... kau masih kesakitan tidak?" tanya Setitik merah.
Tak nyana sikap dan reaksi Ki Bu yong ternyata jauh lebih kaku dinginnya "Aku sakit atau tidak apa sangkut pautnya dengan kau" Menyingkirlah jauh sedikit!"
Sesaat lamanya setitik merah tertunduk diam akhirnya pelan-pelan dia menyingkir ke samping.
Dengan menahan sakit pelan-pelan Ki Bu yong merangkak berdiri, mendadak dilihatnya perban membalut kutungan tangannya, tiba-tiba dia menjerit beringas "Kaukah yang membalutnya?"
"Ya!" sahut setitik merah pendek.
"Siapa suruh kau bertingkah?"
"Tidak ada."
Tiba-tiba Ki Bu yong renggut kain perban itu lalu dicopotnya dengan cepat, lalu diapun bersihkan pula bubuk obat yang melekat pada luka-lukanya sampai bersih, bahwasanya luka-lukanya itu belum rapat, seketika darah bercucuran pula.
Walaupun kesakitan sampai kepalanya basah keringat dingin, namun mukanya bersikap dingin dan tawar, segera ia membanting perban putih itu katanya sambil mendelik kepada Setitik merah
"Urusanku sendiri, selamanya tidak perlu orang lain turut campur," habis berkata, tanpa memandang kepala Setitik merah pula, dengan menahan sakit dia meronta keluar.
Ki Ping yan geleng-geleng kepala dan menghela napas, katanya "Perempuan sekeras dan setabah ini, jarang kulihat."
Sesaat berdiam diri, akhirnya Setitik merah berkata "Dia baik sekali!"
"Baik sekali!" kembali setitik merah ulangi pujiannya.
"Bagaimana juga, apa yang kau lakukan adalah baik baginya, seumpama dia tidak sudi terima kebaikanmu tiada sepantasnya sikapnya begitu galak."
Setitik merah pejamkan mata, selanjutnya dia tidak bicara lagi.
Ki Ping yan mengawasinya sebentar, akhirnya tertawa, batinnya "Jikalau kedua orang ini dapat menjadi jodoh, tentunya memangnya pasangan yang setimpal."
Tiada toilet, tiada lemari, tiada kelambu, juga tiada segala perabot antik atau pajangan yang mewah-mewah didalam kamar ini. Tapi keadaan kamar ini sudah cukup baik dan mungil, seumpama perempuan cantik yang dikaruniai Thian, jikalau dia merias diri berkelebihan, malah melunturkan kecantikan dan keagungannya.
Duduk di kamar ini, Coh Liu hiang merasa nyaman dan segar, selama hidup boleh dikata belum pernah dia berada dirumah senikmat ini, dalam hati diam-diam dia sedang berkeluh kesah.
Bagaimanapun juga Ciok koan im manusia yang satu ini memang bukan manusia sembarangan. Sekarang terpikir oleh Coh Liu hiang hanya ingin selekasnya melihat wajah asli Ciok koan im. Sekarang masih belum bisa ia bayangkan sebetulnya betapa cantik molek wajah perempuan aneh yang serba misteri ini. Akan tetapi sesudah dia berhadapan dan melihatnya, diapun sudah membayangkannya.
Kecantikan dan keelokan Ciok koan im, ternyata sukar dibayangkan oleh siapa saja yang pernah melihatnya, karena keelokannya, boleh dikata sudah mempengaruhi seluruh daya pikiran untuk membayangkannya.
Banyak pujangga menggunakan, bintang kejora, untuk melukiskan keelokan biji mata perempuan cantik, tapi sinar bintang masakah dapat dibandingkan sepasang sorot matanya yang bercahaya bening dan lembut.
Tak tahan Coh Liu hiang menghela napas panjang untuk melapangkan dadanya.
Ciok koan im tersenyum simpul, ujarnya "Bukankah kau selalu ingin bertemu muka dengan aku, kini kalau toh keinginanmu sudah terlaksana, mengapa kau menghela napas setelah melihat mukaku?" suara memang amat merdu menarik, kini setelah melihat raut mukanya lagi, mendengar tutur katanya, orang lebih terpesona dan semangat seolah-olah copot dari badan kasarnya.
"Aku menghela napas lantaran kuatir orang bisa menganggap aku membual."
Sekilas CIok koan im tertegun, lalu tanyanya tertawa "Membual".. selamanya aku selalu bisa memahami setiap patah kata-kata orang lain, tapi omonganmu ini sungguh aku tidak paham."
"Kelak kalau ada orang bertanya kepadaku "Pernahkah kau melihat Ciok hujin?" sudah tentu kujawab sudah pernah, kalau orang itu bertanya lebih lanjut "Bagaimana bentuk muka Ciok Hujin?" tentunya aku tidak bisa menjawabnya," dia tertawa getir, lalu melanjutkan "Melihat aku mendadak kelakep, tentu orang itu anggap aku sedang membual, di luar tahunya bahwa kecantikan wajah Hujin, bahwasanya tiada seorang ahli tulis yang pandaipun yang mampu melukiskannya dengan kata-kata."
Ciok koan im tertawa manis, katanya "Selama hidupku tidak jarang aku mendengar kata-kata puji sanjung yang muluk-muluk tapi selamanya tak pernah ku dengar kata-kata yang betul-betul membuat hatiku riang."
Sudah tentu didalam kamar ini ada sebuah ranjang, lebar empuk dan nyaman. Pelan-pelan CIok koan im duduk di pinggir ranjang dengan tenang tanpa banyak gerakan dia mengawasi Coh Liu hiang. Dia hanya duduk tenang dan diam saja, mengawasi dengan sorot matanya yang redup, tiada gerakan tidak menggunakan kata-kata pancingan, tapi ketenangan dirinya ini justru lebih besar daya tariknya dari gerak-gerik yang genit dan bujuk rayu yang menggiurkan.
Badannya mengenakan kain sari panjang yang tipis untuk menutupi seluruh badannya, hanya sepasang lengan tangan dan sepasang telapak kakinya saja yang menongol di luar. Tapi keadaannya ini jauh lebih menggerakkan sanubari setiap laki-laki yang melihat perempuan molek yang telanjang. Demikianlah keadaan Coh Liu hiang, tanpa berkedip matanya mendelong mengawasinya seperti orang linglung.
Ciok koan im tersenyum manis pula, katanya "Sudah sejak lama kau pernah mendengar namaku bukan?"
"Em..!" Coh Liu hiang menjawab dengan suara dalam tenggorokan.
"Tapi sampai sekarang, baru kau dapat melihat muka asliku."
"Em..!"
"Apa kau kecewa?"
"Apa Hujin melihat keadaanku seperti orang kecewa?"
"Kau tidak merasa aku terlalu tua?"
"Bagi perempuan, "Tua" memang merupakan musuh yang paling ditakuti, tapi agaknya Hujin sudah berhasil menundukkan musuhmu itu."
Ciok koan im tertawa-tawa, katanya pula. "Tahukah kau tempat apakah ini?"
"Kecuali kamar tidur Hujin, masalah ada tempat ini seperti ini di dunia ini?"
"Tahukan kau kenapa aku mengundangmu kemari?"
Kali ini Coh Liu hiang hanya manggut-manggut.
Kerlingan mata Ciok Koan im tiba-tiba jadi redup, katanya lembut "Kalau kau sudah tahu, kenapa tidak kemari dan lekas mulai?"
Dalam dunia ini tanggung takkan ada laki-laki yang kuasa menahan diri untuk melawan rayuan ini bukan" Akhirnya Coh Liu hiang sudah mendekap dan memeluknya kencang-kencang. Ternyata badannya selembut dan sehalus kaca yang bisa menari-nari di atas telapak tangannya yang mulai nakal. Sorot matanya seolah-olah ditaburi selaput kabut tebal, suaranya berbisik lembut dan mengasyikkan "Perduli bagaimana kejadian selanjutnya, dengan adanya kejadian malam ini, selamanya kau tidak akan menyesal."
"Selamanya aku memang tidak pernah menyesal, mendadak dia kerahkan sisa tenaganya dia angkat badan orang terus dilempar sejauh-jauhnya.
Maka badan Ciok koan im lantas melayang seperti daun melambai, mesti dilempar dengan keras, namun meluncur turun dengan enteng, Cuma air matanya berubah.
Bukan saja marah, diapun kaget dan heran selama hidupnya belum pernah dia mengalami mimpi seaneh dan sebrutal ini, tapi mimpipun tidak pernah terpikir olehnya bahwa Coh Liu hiang bakal melakukan ini, melemparkan dirinya.
Coh Liu hiang tertawa meringis mengawasi dirinya, katanya "Melihat sikapmu agaknya kau kira aku ini orang edan, ya toh?"
Sekilas itu cepat sekali Ciok koan im sudah pulih dalam sikap dan gayanya yang molek katanya tawar "Memangnya kau bukan orang edan?"
Coh Liu hiang tertawa besar katanya "Aku hanya gegetun, kenapa sekarang aku tidak punya tenaga untuk melemparmu lebih jauh."
"Masa kau tega?" ujar Ciok koan im lembut aleman. Dengan gemulai dia melangkah beberapa tindak lalu berdiri tegak pasang gaya kain sari laksana salju yang menutupi badannya itu pelan-pelan melorot ke bawah, maka terpampanglah sebentuk badan yang padat montok menggiurkan dengan kulit putih halus laksana gading.
Tiba-tiba napas Coh Liu hiang menjadi berat dan memburu, agaknya dia tidak mau percaya dalam dunia ini ada bentuk badan yang seelok dan menggiurkan seperti ini, pinggangnya yang ramping, dada yang montok dengan lekuk-lekuk badan yang jelas serta pahanya yang ...."
Kulit badan yang segar halus hangat dan licin ini, kini sudah mendekapnya kencang-kencang seperti ulat membelitnya, sepasang bukit yang kenyal tahu-tahu sudah menindih dadanya, suara nan merdu sedang berbisik di pinggir telinganya "Kau adalah laki-laki sejati yang hebat dan berpengalaman, bukan?"
"Ehm..!"
Seperti sedang mengigau bisikan Ciok koan im "Tentunya kau sudah tahu, bahwa sekarang aku amat memerlukan kau, masakah kau tega menolak keinginanku?" Jari-jari Coh Liu hiang mulai nakal lagi, pelan-pelan merambat dan menggeremet dari atas punggungnya terus melorot turun, sekujur badan Ciok koan im mulai gemetar, tiada sesuatu peristiwa dalam dunia ini yang benar-benar dapat menyedot sukma jiwa seorang laki-laki lantaran adanya getaran badan yang wajar ini.
Matanya memincing, kepalanya rebah di atas pundak Coh Liu hiang, katanya gemetar "Di sini sudah termasuk sorga, apalagi yang sedang kau tunggu?"
Coh Liu hiang menghela napas, mulutnya menggumam "Benar badan telanjang seorang perempuan molek, memang adalah sorga dunia bagi laki-laki.... cuma sayang letak sorga itu terlalu dekat dengan akherat." Mendadak jarinya mencubit pada tempat yang paling halus licin, paling empuk dan paling menarik di atas badannya, lalu sekeras-kerasnya pula dia dorong badan orang sampai rebah terlentang ke atas ranjang.
Ciok koan im rebah terlentang di atas ranjang di bawah sinar pelita yang redup, menyoroti seluruh kulit badannya yang putih laksana susu namun pada sela-sela tertentu masih juga meninggalkan bayangan-bayangan hitam yang tak terpandang oleh mata telanjang. Itulah bayangan yang menarik dan menyedot sukma, biasa membuat laki-laki gila dan kehausan.
Dia tetap menunggu, itulah gaya sedang menunggu, gaya mengundangmu untuk segera mencemplak naik ke punggung kuda. Tak nyana Coh Liu hiang mendadak meraih cangkir emas yang berada di ujung ranjang, diangkatnya tinggi, lalu pelan-pelan dituangnya arak yang berada dalam cangkir, arak merah dadu yang berada dalam cangkir segera mengalir turun laksana benang sutra, bercucuran di atas badannya, tepat di atas bayangan gelap itu sampai ke atas pusar dan dadanya.
Coh Liu hiang tertawa besar, katanya "Sekarang kau tentu lebih yakin bahwa aku ini benar-benar orang edan, benar tidak?"


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciok koan im masih tetap rebah diam saja, tidak bergerak, dia diamkan saja arak itu membasahi badannya, mengalir melalui celah bukit di atas dadanya terus turun ke perutnya yang cekung dan datar, membasahi kasur. Akhirnya dia menarik napas panjang, katanya "Kau bukan edan, paling-paling kau ini seorang pikun yang tak tertolong lagi."
Coh Liu hiang tersenyum, ujarnya "Kau kira seorang laki-laki yang normal, selamanya takkan kuasa menolak keinginanmu ya?"
"Ya, selamanya takkan pernah terjadi."
"Jadi budak-budak didalam lembah itu, mungkin lantaran mereka terlalu normal."
Mendadak Ciok koan im bergegas duduk teriaknya "Apa katamu?"
"Jikalau aku tidak menolak keinginanmu, akupun bakal seperti mereka, menyapu pasir yang selamanya takkan bersih, sampai ajalnya tiba baru berhenti. Karena setiap kali kau melihat seorang laki-laki yang luar biasa, maka kau lantas ingin menundukkan dia, memilikinya akan kau peras supaya sukma dan raganya, dia persembahkan demi kepuasanmu, tetapi setelah laki-laki itu betul-betul sudah mencurahkan segala miliknya kepadamu, maka kau akan segera merasa bahwa semua laki-laki ini terlalu rendah dan tak berguna lagi, paling berharga mereka cuma cocok menjadi kacungmu untuk menyapu pasir belaka."
Ciok koan im menatapnya tajam, lama dan lama sekali tidak bersuara.
Istana Pulau Es 5 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 6
^