Pencarian

Pendekar Pengejar Nyawa 17

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 17


Oh Thi-hoa mengucek-ucek hidung, katanya: "Kalau tahu banyolanku bakal terdengar kalian, tentu aku tak berani mengeluarkan kata-kataku ini."
Coh Liu-hiang tiba-tiba bersuara: "Kaum Kang-ouw sama tahu, di dalam Bulim pada jaman ini terdapat tiga keluarga besar persilatan, ketenaran dan kebesaran ketiga keluarga besar ini tidak lebih asor dari tiga Pang besar dan Chat pay atau tujuh partai, dan lagi setiap keluarga dari ketiga keluarga besar persilatan, masing-masing mewariskan ilmu silat ajaran leluhurnya turun temurun merupakan tradisi keluarga, tingkat kepandaian silatnya cukup setimpal dijajarkan dengan Lo han sin kun dari Siao lim pay dan setanding dengan Liang gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay. Cuma para anak didik dan keturunan dari ketiga keluarga besar persilatan ini masing-masing amat memasuki dan terkekang oleh undang-undang keluarga, maka jarang sekali mereka mondar-mandir di kalangan Kangouw." Di luar dugaan mendadak Coh Liu-hiang mengobral tentang situasi dunia persilatan pada jaman itu, orang lain tadi kemek-kemek tak tahu bagaimana harus ikut bicara, terpaksa mereka tinggal diam mendengarkan uraiannya lebih lanjut.
"Puluhan tahun belakangan ini," Coh Liu-hiang meneruskan uraiannya, "tunas-tunas muda yang berbakat dari masing-masing anak didik ketiga keluarga besar persilatan ini saling bermunculan walau mereka jarang di Kang-ouw, namun bak umpama seekor naga setiap kali menampakkan diri, pasti ada-ada saja yang dilakukan, dan pasti menggemparkan seluruh dunia umpamanya."
Tak tahan Oh Thi-hoa segera menyeletuk: "Umpamanya, Lamkiong Ping dari Lam-kiong si-keh dulu pernah di dalam satu malam saja menyapu bersih delapan belas pangkalan berandal dari puncak Thay-hang san yang malang melintang selama empat puluhan tahun di dunia persilatan disapunya habis keakar-akarnya dan lenyap dari permukaan bumi."
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Itu kejadian lima puluhan tahun yang lalu, sudah Lamkiong koncu yang mud belia dan gagah itu, sepuluh tahun yang lalu sudah berpulang ketanah asalnya, khabarnya menjadi dewa dua tiga puluh tahun..."
"Dua tiga puluh tahun mendatang," Oh Thi-hoa kembali menyela, "Peristiwa besar yang menggetarkan Bulim adalah peristiwa Hong-cui san-ceng yang dipimpin oleh Li Boan-hu Locianpwe, beliau mengundang tiga puluh satu ahli pedang yang ternama di seluruh dunia berkumpul di puncak datar di Kiam-ti "telaga pedang" dimana mereka minum teh mendemonstrasikan ilmu pedang, dan Li-locianpwe dengan sebatang pedang Koh bu-yang-kiam yang mempunyai sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus, mengalahkan ketiga satu ahli-ahli pedang itu, sehingga mereka tunduk lahir batin, beliau diangkat sebagai tokoh pedang nomor satu di seluruh jagat."
"Benar." ujar Coh Liu-hiang menepuk tangan, "Akan tetapi ilmu silat dari keluarga besar persilatan ini masing-masing mempunyai kebolehan dan kebagusannya sendiri-sendiri, tapi tiga puluh tahun belakangan ini, Yong-cui-san-ceng yang berada di Hay-yang-san yang terletak di Koh so hin sebagai puncak dari kebesarannya."
Sampai disini dia tersenyum pula, mendadak dia berpaling kepada Li Giok-ham, katanya tetap tersenyum lebar: "Li-heng masih muda dan gagah, betapa tinggi kepandaian silatmu jarang terlihat ada tandingannya di kalangan Kangouw kalau dugaan Cayhe tidak meleset tentulah kau salah satu anak didik dari Yong cui san cheng itu."
"Sungguh harus disesalkan", sahut Li Giok-ham, "Siaute tidak belajar dengan tekun dalam bidang ilmu silat, sehingga merendahkan derajat ketenaran keluarga yang sudah dijunjung tinggi sejak puluhan tahun yang lalu."
"Li-heng terlalu merendah, entah pernah apa Li heng dengan Li Koan hu, Li locianpwe?"
"Beliau adalah ayahku." sahut Li Giok ham dengan hormat dan hikmat.
Sejak tadi Oh Thi-hoa sudah mendengarkan dengan mata terbelalak dan alis tegak, tak tahan segera dia bersorak sambil tepuk tangan. "Tak heran kalian suami istri begini hebat, begini jempolan, anak didik keluarga besar kaum persilatan memang lain dari pada yang lain."
Li Giok-ham tertawa, ujarnya: "Patah tumbuh hilang berganti, selama puluhan tahun ini generasi muda saling bermunculan di seluruh pelosok dunia, jadi bukan melulu Yong-cui-san-cheng saja yang tetap di puncak ketenarannya, dan lagi kebesaran kita sudah mulai pudar dan tersapu oleh ketidak becusan dari generasi muda seperti tingkatanku ini, sampai pun ayah kini tidak berani mengagulkan diri lagi sebagai jago pedang nomor satu di seluruh jagat."
Tanpa menunggu Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang buka suara, segera dia menambahkan: "Para tokoh-tokoh ahli pedang yang dulu ikut menjajal kepandaian pedang di gardu teh di pesisir Kiam-ti itu, kini sudah banyak yang sudah meninggal dunia. Akan tetapi ahli-ahli pedang dari generasi muda yang muncul di Kang-ouw belakangan ini banyak yang jauh lebih unggul daripada para cianpwe yang terdahulu. Menurut penilaian ayahku, tokoh-tokoh ternama pada jaman ini, kami hanya menilai dalam bidang ilmu pedangnya saja, terhitung Sia-ih-jin tayhiap sebagai jago nomor satu di seluruh muka bumi ini."
Coh Liu-hiang segera menanggapi: "Itu hanya pujian Li-locianpwe kepada generasi muda yang berbakat saja, Cayhe memang pernah dengar katanya ilmu pedang Sia-ih jiu hebat luar biasa dan seperti mainan sulapan belaka dan tak kentara gerak bentuknya tapi bicara soal pengalaman dan kematangan latihannya, dibanding Li-locianpwe, tak perlu disangsikan lagi masih jauh sekali jaraknya, kenapa Li-heng terlalu merendah?"
Oh Thi-hoa tertawa, selanya: "Tidak salah rendah hati memang watak seorang yang berbudi luhur, tapi kalau terlalu berkelebihan malah kebalikannya pura-pura belaka."
Li Giok-ham menarik napas panjang, katanya: "Ada hal-hal yang tidak kalian ketahui beberapa tahun yang lalu secara tak terduga ayah mendadak terserang semacam penyakit aneh yang tak dapat disembuhkan lagi sampai sekarang masih tetap rebah di atas pembaringan. juga sudah sepuluh tahun tak pernah pegang pedang lagi."
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sama-sama tertegun, mereka tak tahu cara bagaimana harus menghibur dan menghela napas gegetun belaka.
Sesaat kemudian Li Giok-ham malah berseri tawa pula, katanya: "Melulu dinilai dari ilmu sebagai jagoannya, tapi kalau bicara soal kecerdikan, ilmu silat, pengalaman menghadapi musuh dan mengalahkannya, dikolong langit ini, siapa pula yang bisa menandingi Coh Liu-hiang?"
Oh Thi-hoa terloroh-loroh, meski dia cukup baik, tapi jangan kau mengagulkan dia terlalu tinggi yang jelas dia tidak sungkan dan rendah hati seperti kau."
"Bicara apa peristiwa besar belakangan ini yang menggemparkan Bulim, tentunya harus diakui hanya Coh Liu-hiang pula yang harus dinobatkan ke tempat teratas dalam usahanya menumpas intrik antara Lamkiang Ling dan Biau ceng Bu Hoa, sekaligus menolong dan menegakkan kembali nama baik Siau lim pay dan Kay-pang."
Coh Liu-hiang tertawa-tawa, katanya: "Itu hanya kejadian kecil saja, kenapa harus dibuat pujian."
"Kaupun tidak usah sungkan-sungkan" sela Oh Thi-hoa, "Kalau peristiwa itu kejadian kecil, lain peristiwa yang bagaimana baru boleh terhitung kejadian besar?"
Liu Bu-bi mendadak tertawa, timbrungnya: "Kalau dinilai kecerdikan, ilmu silat dan pengalaman menghadapi musuh serta mengalahkannya, sudah jelas tiada orang yang mampu menandingi Coh Liu-hiang, tapi kalau bicara keluhuran jiwa, ke lapangan dada serta wataknya suka bebas merdeka, memangnya siapa pula yang bisa dibandingkan Hoa-ouw hiap atau kupu-kupu kembang Oh Thi-hoa, Oh Tayhiap?"
"Tepat sekali ucapan ini." seru Oh Thi-hoa tertawa lebar, "Kalau dibanding minum arak memang tiada orang yang betul-betul bisa dibandingkan dengan aku."
"Benar" ujar Coh Liu-hiang pula, "Dikolong langit ini, memang tiada orang yang dapat mabuk lebih cepat daripada kau."
Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri sambil berkaok-kaok: "Bocah keparat, berani kau ugal-ugalan di hadapan seorang ahli" Akan datang suatu ketika, akan kuadu kekuatan dengan kau, coba saja buktikan siapa yang roboh lebih dulu."
"Ugal-ugalan di depan seorang ahli," ujar Liu Bu-bi tersenyum manis, "kata-kata yang tepat sekali, jauh lebih mengasyikkan daripada permainan badut didalam panggung sandiwara."
"Kecuali setan arak seperti dia ini, siapapun takkan sudi mengeluarkan kata-kata seperti itu, itulah yang dikatakan tiga patah kata tidak lepas dari kepintarannya." demikian Coh Liu-hiang mengolok-ngolok.
"Kalian benar-benar sahabat baik yang berjiwa besar dan luhur budi." kata Li Giok-ham.
"Siaute dapat berkenalan dengan kalian sungguh merupakan rejeki yang tiada taranya bagi kami, ingin rasanya kami bila berkumpul lebih lama lagi."
Liu Bu-bi menambahkan: "Oleh karena itu sungguh besar harapan kami untuk mengundang kalian untuk bertamu sepuluh hari di Yongcun san-ceng, sumber air disana merupakan salah satu dari tiga sumber air abadi yang terkenal di seluruh dunia, bukan saja nikmat untuk menyeduh teh, buat bikin arakpun tak kalah enaknya."
Seketika bersinar biji mata Oh Thi-hoa, katanya menepuk paha: "Sudah lama kudengar Yongcui san-ceng dibangun membelakangi gunung menghadap keair, sejak lama ingin rasanya aku bertamasya ke tempat nan indah permai itu, sekaligus untuk berkenalan dengan jago pedang nomor satu di seluruh jagat ini." diliriknya Coh Liu-hiang sebentar, lalu menambahkan dengan menghela napas: "Namun sayang aku harus temani dia pergi mencari beberapa orang lagi."
Coh Liu-hiang segera menambahkan: "Betapa Cayhe tidak ingin memberi sembah hormat kepada Li-locianpwe, cuma tugas berat melibat diri, kali ini belum bisa kesana, untunglah hari masih panjang, kelak aku pasti mencari kesempatan."
Bergerak kerlingan mata Liu Bu-bi katanya: "Sungguh harus disesalkan, dalam rumah kami ada beberapa orang yang ingin benar berhadapan dengan Coh Liu-hiang."
"O?" Coh Liu-hiang bersuara heran bertanya-tanya.
"Kau tak perlu tanya," timbrung Oh Thi-hoa, "Yang mau bertemu dengan kau tentu gadis berusia tujuh belasan, persoalan apapun tidak tahu, entah darimana mereka pernah dengar segala julukan muluk seperti Maling romantis meninggalkan bebauan wangi! Pemuda tampan diantara gerombolan bajingan segala! Maka mereka yakin kau pasti seorang laki-laki yang luar biasa. Liheng, coba katakan benar tidak?"
Liu Bu-bi cekikikan geli, katanya: "Mereka memang gadis-gadis perawan yang baru saja mekar, tapi jikalau kau katakan mereka tak tahu urusan, salah besar ucapanmu."
"O?" ganti Oh Thi-hoa bersuara heran.
"Beberapa nona itu bukan saja pandai ilmu silat, pintar menulis dan ahli seni lukis dan sastra, pintar dan cantik-cantik, malah satu diantaranya seorang jenius yang pernah mengikuti ujian pemerintah dan mendapat anugerah tinggi dari ilmu sastra."
"O! Siapakah namanya?"
Liu Bu-bi tertawa tawar, sahutnya: "Namanya Soh Yong yong."
Cuaca cerah, hawa segar. Tiga buah kereta yang dipajang indah dan megah tengah berlari di jalan raya yang dipagari pepohonan rindang.
Kereta terdepan kelihatannya kosong tanpa muatan seorangpun, namun kereta ini tanpa kuda, sebaliknya ditarik enam laki-laki yang berbadan tegap tinggi dan kekar, sinar mata mereka berkilat-kilat, sekilas pandang orang akan tahu bahwa ke enam orang ini adalah ahli silat yang berkepandaian tinggi, namun mereka terima diperbudak, maka dapatlah dibayangkan bagaimana majikan mereka, tentulah seorang tokoh Bulim yang amat kosen.
Kereta terbelakang, sering terdengar suara cekikikan genit seorang perempuan semerdu kicauan burung kenari, sayang jendela kereta tertutup rapat, siapapun takkan bisa melihat atau tahu muka si penunggang kereta.
Kereta yang ditengah sebaliknya lebih besar dan lebar, keadaanyapun paling mewah, jendela kereta terpentang lebar, namun kerai menjuntai turun, dari balik kerai itu sering terdengar gelak tawa riang gembira. Gelak tawa gembira yang keluar dari mulut Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa, mendengar Soh Yong-yong berada di Yong-cui-san-cheng, masakah mereka tidak sudi ikut Li Giok-ham pulang kesana"
Memang kereta ini tidak dibuat sebagus kereta Ki Ping-yan itu, tapi kereta ini lebih luas dan lebar, lebih nyaman dan segar, membuat orang tak merasa letih meski menempuh perjalanan jauh. Bukan hanya sekali saja Coh Liu-hiang bertanya-tanya: "Cara bagaimana Yong ji bertiga bisa tahu-tahu berada di Yong cui san ceng"
Liu Bu-bi selalu menjawab dengan tertawa: "Sekarang terpaksa aku harus jual mahal, yang terang setelah kau bertemu dengan nona Soh kau akan jelas duduknya perkara."
Berhari-hari lamanya mereka kembali ke Tiong-goan lalu lintas jalan raya semakin banyak, orangpun lebih banyak hilir mudik, melihat ketiga buah kereta ini, sudah tentu tiada satupun yang tidak memperhatikan.
Hari itu mereka sampai di Kayhong, hari sudah magrib, terpaksa rombongan mereka masuk kota dan mencari penginapan.
Setelah makan malam dan menenggak arak habis beberapa cawan arak, semua orang kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Hanya Oh Thi-hoa menuruti kebiasaannya, dia tetap duduk di kamar Coh Liu-hiang tidak mau kembali ke kamarnya sendiri.
Masih segar dalam ingatan Coh Liu-hiang akan kejadian masa lalu yang penuh bahaya dan serba misterius yang menimpa dirinya dikota ini, sehingga pikirannya berkecamuk dan tidak bisa tidur. Maka kebetulan juga kehadiran Oh Thi-hoa di kamarnya.
"Pandanganmu memang jitu." kata Oh Thi-hoa, "Li Giok ham suami istri memang pandai menggunakan Kim si bian ciang. Pui san khek biasanya tidak punya murid, namun beliau sahabat kental Li Koan bu laksana saudara sepupu, bukan mustahil bila dia menurunkan keahliannya kepada anak sahabatnya."
Coh Liu-hiang menghela napas panjang: "Yang berada di luar dugaan, jago kosen nomor satu pada masa lalu, kini sudah jadi orang tanpa daksa, para Bulim Cianpwe satu persatu sudah menemui ajalnya, sungguh harus dibuat sayang dan mengenaskan."
"Untungnya dia masih punya seorang putra sebaik itu, sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus Ling-hong-kiam ditambah Kim-si-biau-ciang, memangnya Yong cui-san-ceng kuatir tidak bisa diperkembang luaskan?"
Menurut pandanganku, kepandaian silat Liu Bu-bi bukan saja lebih tinggi dari suaminya, terutama ilmu Ginkangnya terang lebih tinggi."
"Khabarnya kepandaian silat dari ketiga keluarga besar persilatan khusus diturunkan kepada menantu tanpa diteruskan kepada anak gadisnya, jikalau dia sudah menjadi menantu Li Koan hu, sudah tentu ilmu silatnya tidak lemah."
"Umpama kata benar dia menikah dan masuk ke dalam keluarga Li, yang terang tak akan lebih lama dari sepuluh tahu, sementara anak didik dari ketiga keluarga besar persilatan, sejak umur tiga atau lima sudah mulai diajarkan ilmu silat, kukira Li Giok-ham tidak menyimpang dari kebiasaan ini."
"Benar, kulihat sedikitnya dia sudah sepuluh tahun belajar dengan tekun."
"Kalau demikian maka tidak pantas bila kepandaian Liu Bu-bi justru lebih tinggi dari suaminya.
Kecuali asal-usul keluarganyapun dari kau persilatan, tapi seluruh dunia ini, berapa banyak tokoh-tokoh silat yang bisa mendidik muridnya jauh lebih jempolan dari murid didik Li Koau-hu?"
Oh Thi-hoa mengerut kening, tanyanya: "Memangnya kau mulai curiga akan asal-usulnya?"
"Beberapa kali aku ingin menanyakan asal-usul perguruannya, selalu dia menyimpang kelain persoalan, dari sini aku mendapat kesimpulan, jelas dia pasti bukan anak murid dari empat Pang besar, tujuh partai tak habis kupikir di dalam Bulim kapan pernah ada tokoh silat kosen dari tingkatan tua yang punya nama she Liu?"
"Bagaimana juga, pendek kata kau tidak akan mencurigai bahwa menantu Li Koan hu ini adalah si Burung Kenari itu." Dan lagi umpama kata benar dia, adalah Burung Kenari memangnya mau apa" Burung Kenari pernah menanam budi kepada kita, tiada punya ganjelan hati tidak bermusuhan, malah jiwaku ini pun pernah ditolong! Jika bertemu Burung Kenari, aku hanya akan berterima kasih kepadanya."
Coh Liu-hiang hanya menyeringai tawa saja tak bersuara lagi.
Pada saat itulah, suara teriakan-teriakan berkumandang dari kamar sebelah.
Oh Thi-hoa mengerut alis, katanya tertawa: "Suami istri yang begitu akrab dan kasih sayang apakah juga sering perang mulut?"
Terdengar suara jeritan semakin keras melengking, dan lagi kedengarannya teramat menderita dan kesakitan, terang itulah suara Li Bu-bi. Maka tanpa ayal mulut bicara, secepat kilat Oh Thi-hoa sudah menerjang ke luar.
Terpaksa Coh Liu-hiang ikut memburu keluar, tampak pekarangan sunyi senyap, para pelayan dan kacung-kacung yang mengikuti perjalanan suami istri, tiada seorangpun yang nampak keluar untuk menjenguk keadaan majikan mereka.
Jikalau mereka tidak tuli, pasti mereka sudah mendengar suara keluh kesakitan yang melengking dimalam gelap nan sunyi ini, tapi kenapa tiada satupun diantara mereka yang keluar"
Apa mereka sudah biasa mendengar jerit kesakitan seperti ini"
Sinar pelita masih kelihatan menyala dari kamar Liu Bu-bi. Terdengar suara Liu Bu-bi sedang merintih-rintih kesakitan: "Kau bunuh aku saja! Bunuh aku saja!"
Berubah air muka Oh Thi-hoa, baru saja ia hendak menerjang masuk, didengarnya pula suara Li Giok-ham sedang membujuk: "Tahanlah sebentar, tahan sebentar, jangan kau ribut membangunkan orang lain!"
Suara Liu Bu-bi serak merintih: "Aku tidak tahan lagi, dari pada tersiksa seperti ini, lebih baik mampus saja."
Baru saj Oh Thi-hoa tahu bahwa kedua suami istri ini bukan sedang perang mulut tak tahan dia berkata: "Mungkin mendadak dia terserang penyakit?"
Coh Liu-hiang lebih prihatin, sahutnya: "Rasa sakit ini kukira bukan kumat mendadak, pastilah penyakit lama yang sudah mengeram dibadannya, dan lagi memang sering kumat dalam jangka waktu tertentu, oleh karena itu sampai kaum hambapun sudah biasa mendengar keributan ini, kalau tidak mana mungkin mereka tetap sembunyi di dalam kamar masing-masing saja."
"Begitu penyakit itu kumat rasa sakitnya tentu amat menyiksa, kalau tidak orang seperti Liu Bu-bi pasti tak nanti menjerit-jerit dan merintih-rintih, entah penyakit apa yang menghinggapi dirinya."
Kelihatan keadaannya segar bugar seperti orang lain, tak nyana begitu kumat ternyata begitu menyiksa dan menakutkan, kulihat mungkin bukan terjangkit suatu penyakit apa apa, tapi terkena semacam racun apa yang amat lihai."
"Racun-racun" berubah rona muka Oh Thi-hoa. "Jikalau dia terkena racun, masakan Li Koan-hu tidak mencari daya untuk menyembuhkan, sudah lama kudengar ilmu ketabiban Li Koan-hu amat tinggi, orang yang keluar masuk di Yong-cui-san-ceng kebanyakan adalah para Cianpwe. Pui san-khek justru seorang ahli dalam memunahkan racun, memangnya orang sebanyak itu tidak mampu menawarkan racun dalam badannya" Begitu tega melihat dia tersiksa demikian rupa?"
Coh Liu-hiang menghela napas, dia tidak banyak bicara lagi.
Dari dalam rumah masih terus kedengaran suara rintihan Liu Bu-bi dengan lemah lembut dan penuh kesabaran Li Giok-ham membujuk dan menghibur, terdengar pula suara kerenyut-kerenyut dari papan ranjang yang bergerak-gerak. Dari suara ini dapatlah dirasakan bahwa kesakitan Liu Bu-bi tak menjadi reda sebaliknya semakin jadi dan saking tak tahan dia meronta-ronta, sedang Li Giok ham sekuat tenaga menahan dan mengekang dirinya.
"Kenapa tidak kau masuk menengoknya, bukan mustahil kau dapat tolong menawarkan racunnya itu?"
"Liu Bu-bi adalah perempuan yang berwatak keras dan punya pambek, jelas dia takkan senang orang lain melihat keadaannya yang runyam, ada omongan apa, biarlah tunggu sampai besok pagi dibicarakan pula."
Sekonyong-konyong "Beeerrr!" seekor burung yang bermalam dipucuk pohon di pekarangan terkejut dan terbang, dari ujung mata Coh Liu-hiang dapat melihat diantara sela-sela dedaunan pohon di atas sana ada bintik sinar perak berkelebat. Tepat pada saat itu juga serumpun hujan perak tahu-tahu memberondong ke bawah dari celah-celah rumpun dedaunan di pucuk pohon, sasarannya langsung Coh Liu-hiang, betapa cepat daya luncurannya, sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Jikalau burung di pucuk pohon tidak terkejut terbang, kali ini Coh Liu-hiang pasti mampus di bawah berondongan hujan bintik-bintik perak ini, karena begitu dia mendengar samberan angin, untuk berkelitpun sudah terlambat.
Pada saat-saat yang gawat itulah, sekali jotos dia bikin Oh Thi hoa roboh terjengkang, berbareng dia menubruk tengkurap ke atas badan Oh Thi-hoa. Maka terdengar suara tang ting yang ramai, seperti hujan lebat mengetuk genteng, puluhan bintik perak itu seluruhnya sudah memaku amblas ke dalam tanah tempat dimana tadi dirinya berdiri.
Disusul bayangan orang tiba-tiba melambung tinggi ke tengah udara dari gerombolan bayang-bayang pohon yang gelap, bersalto sekaligus terus membelok turun, melesat keluar pagar tembok yang gelap gulita.
Belum lagi Oh Thi-hoa menyadari apa yang telah terjadi, bayangan Coh Liu-hiang sudah melesat keluar pagar tembok pula, melihat bintik-bintik perak yang tersebar disekitar kakinya, mendadak Oh Thi hoa seperti teringat sesuatu, seketika berubah air mukanya, teriaknya: "Ulat busuk, hati-hati kau, ini seperti Ban-hi-li-ba-ting atau Hujan paku galak, ditengah gema suaranya, badannya pun sudah ikut mengudak kesana.
Ditengah malam nan kelam, kabut tipis memenuhi jagat, bayangan Coh Liu-hiang samar-samar masih kelihatan di depan sana, sementara bayangan hitam di sebelah depan lagi sudah tidak kelihatan.
Kabut semula masih tipis dan tawar, namun sekejap mata sudah berubah begitu tebal seperti asap putih bergulung-gulung, lambat laun bayangan Coh Liu-hiang sudah tidak kelihatan lagi.
Dikejauhan sana sebetulnya terlihat sinar api yang kelap-kelip, namun sinar lampu itu pun sudah lenyap tertelan kabut yang tebal ini, terasa hampir gila Oh Thi hoa dibuatnya saking gelisah dan bingung, namun dia tak berani bersuara dan berisik.
Karena di dalam keadaan seperti ini, dia bersuara kemungkinan dirinya menjadi sasaran empuk untuk sambitan senjata rahasia, Oh Thi-hoa insaf pada saat seperti ini ada senjata rahasia menyerang dirinya, jelas dia takkan bisa meluputkan diri. Tak urung diapun gelisah dan gugup bagi keselamatan Coh Liu-hiang, karena keadaan Coh Liu-hiang terang lebih berbahaya dari dirinya.
Beberapa langkah lagi, tiba-tiba dilihatnya di atas tanah disamping sana ada sinar putih berkelebat, waktu dia dekati dan menjemputnya, ternyata itulah sebuah kotak gepeng yang terbuat dari perak. Kotak gepeng dari perak ini, panjang tujuh dim, tebal tiga dim, buatannya amat halus dan baik sekali, pada samping kotak ini berderet tiga baris lobang kecil sebesar jarum, setiap barisnya ada sembilan lobang. Bagian atas dari kotak ini ada diukir dengan lukisan kembang yang lembut, setelah diamat-amati dengan seksama baru terlihat ditengah lukisan kembang ini terdapat dua baris tulisan huruf-huruf yang liku-liku.
Sekian lamanya Oh Thi-hoa mengamat-amatinya, namun dia tidak tahu tulisan apakah itu, tak tahan dia menarik napas panjang, mulutpun menggumam: "Agaknya kelak aku harus lebih banyak latihan Gingkang, tapi juga harus belajar membaca mengenal tulisan."
Baru saja dia hendak berangkat lebih lanjut, sekonyong-konyong terasa deru angin kencang menerpa datang dari samping, sebuah telapak tangan menebas ke bawah ketiaknya, sementara tangan yang lain berusaha merebut kotak perak di tangannya.
Diam-diam Oh Thi-hoa mencaci: "Keparat, aku memang sedang kebingungan mencari kau, kau malah mengantar jiwa sendiri." ditengah berkelebatannya pikiran ini, tangannya tiba-tiba sudah balas menjotos dan kakipun melayang menendang kaki orang.
Sukar dilukiskan betapa lihai dan hebatnya jotosan dan tendangan kakinya ini, memang gampang dikatakan, namun prakteknya justru amat sukar, karena orang itu menubruk datang dari samping kiri, berarti dia harus memutar badan menggeser langkah baru bisa mengegos diri dari rangsangan lawan, sekaligus baru bisa balas menyerang, dari sini dapatlah dibuktikan meski Oh Thi-hoa terlalu banyak menenggak air kata-kata, tapi gerak gerik badan dan Pinggangnya masih cukup lincah dan cekatan, setangkas ular sakti.
Siapa nyana gerak-gerik si penyerang justru lebih lincah, lebih gesit, sekali berkelebat dengan enteng tahu-tahu orang sudah berada di belakangnya, baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul kaget, baru saja dia putar badan, penyerang itu sudah bersuara dengan nada berat tertahan: "Siau Oh, kau?"
Mendadak Oh Thi-hoa menghela napas lega, katanya tertawa kecut: "Kenapa sekarang kau pun meniru aku, tanpa memberi peringatan kau lantas menyerang saja?"
"Kulihat sinar perak yang kau pegang ini, sudah kusangka kau adalah si pembokong dengan alat senjata rahasianya, siapa menduga bahwa benda ini bakal terjatuh ke tanganmu."
Oh Thi-hoa mengedip-ngedip mata, katanya: "Masakah kau sendiripun tidak menduga"
Dengan dua kali pukul dan tiga kali tendang kubikin keparat itu ngacir mencawat ekor, sudah tentu benda ini dengan gampang kudapatkan."
Coh Liu-hiang melengak, "Apa benar?" tanyanya sangsi.
"Tidak benar!"
Coh Liu-hiang tertawa geli, "Sebetulnya akupun menduga bagaimana juga pasti takan berhasil mengudaknya."
"Aku tak berhasil membekuknya masih boleh diterima dengan nalar, si Maling romantis yang Ginkangnya nomor satu di seluruh dunia, kenapa setengah harian tidak berhasil menyandak si pembokong itu malah kehilangan orangnya?"
"Jikalau kabut tak setebal ini, mungkin aku bisa membekuknya, tapi ginkang orang itu memang tidak lemah, waktu aku mengudak keluar pagar tembok orang itu sudah empat lima tombak jauhnya."
"Di dalam waktu sekejap itu, dia sudah dapat terbang ke empat lima tombak, kalau demikian bukankah Ginkangnya lebih tinggi dari Li Giok-ham suami istri?"
"Mungkin setingkat lebih tinggi."
"Dibanding aku?"
Tak tertahan Coh Liu-hiang tertawa pula, katanya menahan geli: "Kalau kau rada mengurangi minum arak, mungkin Ginkangnya tidak unggul dari kau, tapi sekarang..."
"Sekarang kenapa?" Oh Thi-hoa menarik muka. "Memangnya sekarang aku tidak lebih unggul dari Giok ham suami istri?" tanpa menunggu jawaban Coh Liu-hiang, dia sudah tertawa pula, "Tak perlu kau jawab pertanyaanku ini, supaya hatiku tidak sedih."
"Sebetulnya Ginkangmu kira-kira sebanding dengan Li Giok-ham suami istri, Setitik merah dan Lamkiong Lim, boleh terbilang ilmu tingkat tinggi. Tapi Ginkang orang ini kira-kira setarap dengan Bu Hoa, saat ini kalau bukan dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat tenggorokan Bu Hoa terhujam panah, mungkin aku bakal mengira pembokong tadi adalah Bu Hoa yang hidup kembali."
"Kalau demikian, tokoh-tokoh Kang-ouw sekarang yang memiliki Ginkang setingkat itu tidak banyak lagi, benar tidak?"
"Ya, memang tidak banyak!"
"Kenapa kau selalu kebentur dengan musuh-musuh yang begini tangguh?"
Coh Liu-hiang menepekur sekian lamanya, akhirnya dia balas bertanya: "Benda di tanganmu itu kau dapatkan dari mana?"
"Ku temukan ditengah jalan, diatasnya ada ukiran huruf, coba kau lihat bisa tidak kau baca?"
Coh Liu-hiang terima kotak perak itu, setelah meneliti sebentar, kontan berubah rona mukanya,
"Inilah tulisan kuno!"
Oh Thi-hoa jadi uring-uringan: "Benda ini terang jahat dan peranti membunuh orang kenapa harus diukir dengan huruf-huruf yang tak bisa dibaca, boleh dikata mirip benar bahwa ia itu terang adalah lonte "pelacur", justru dia mengenakan tujuh delapan celana!"
"Ini bukan disengaja hendak mempermainkan orang, soalnya alat senjata rahasia ini merupakan benda keramat peninggalan orang dahulu, malah dibuat oleh seorang tanpa daksa yang sedikitpun tidak pandai main silat."
"Benar, akupun pernah dengar asal-usul mengenai Bau-li-hoa-ting ini, tapi huruf apa terukir diatasnya itu?"
"Huruf-huruf yang terukir ini berbunyi: Keluar pasti melihat darah, kembali kosong pertanda celaka. Kecepatan diantara kesibukan, sang raja diantara senjata rahasia!"
"Kaum sastrawan memang pandai omong besar, agaknya ucapan ini memang tidak salah!"
ujar Oh Thi-hoa tertawa geli.
"Kukira bukan sengaja hendak omong besar, hanya untuk menakuti orang belaka." kata Coh Liu-hiang menghela napas. "Betapa halus dan pintar buatan alat senjata rahasia ini, daya pegasnya yang meluncur amat kuat dan kencang, memang tidak malu disebut sebagai raja diantara senjata rahasia. Berbagai alat senjata yang ada pada Bulim jaman sekarang, bila dibanding dengan alat senjata rahasia ini, kecepatannya sudah terang terpaut dua bagian, sebaliknya senjata rahasia umumnya digunakan untuk melukai orang dan mencapai kemenangan terakhir, meski hanya terpaut setengah dim saja, bedanya sudah terlalu jauh."
"Apakah alat ini jauh lebih kuat dari bumbung jarum buatan Ciok koan-im itu?"
"Jarum sambitan dari bumbung jarum buatan Ciok Koan-im itu memang sudah cukup keras, tapi kau masih sempat berkelit setelah orang menyambitkan kepadamu. Sebaliknya bila Bau-li-hoa-ting sudah disambitkan, aku berani bertaruh tiada seorang tokoh lihai dalam dunia ini yang mampu menyelamatkan diri."
"Tapi kau tadi toh mampu meluputkan diri?"
"Itulah nasib baikku, karena sebelum paku-paku didalam alat ini disambitkan aku telah terkejut dan waspada walau demikian jikalau jarak sambitan orang itu beberapa kaki lebih hebat lagi aku tetap takkan terhindar dari malapetaka."
"Kalau demikian bukankah alat senjata rahasia ini teramat tinggi nilainya!"
"Didalam pandangan kaum persilatan, alat ini memang barang mestika yang tak ternilai harganya."
"Kalau demikian, kenapa orang itu membuang begitu saja di tanah" Jikalau dia memiliki kepandaian setinggi itu, masakan kotak sekecil dan seenteng ini tak mampu memeganginya?"
"Ya, kejadian ini memang rada ganjil"
Sinar pelita dikamar Lin Bu-bi sudah padam, kedua suami istri itu agaknya sudah tidur lelap.
Secara diam diam Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa kembali ke kamarnya, pelita didalam kamar mereka masih menyala, cuma sumbunya sudah hampir terbakar habis.
Lekas Oh Thi-hoa memuntir putaran sehingga sumbunya keluar lebih besar, kamar menjadi lebih terang pula katanya: "Sia-sia kami bekerja setengah malaman, bayangan orang pun tak dilihat jelas, kalau tidak segera menenggak arak, aku sudah hampir gila dibuatnya."
Diatas meja terdapat sebuah poci teh dan sebuah poci arak, Oh Thi-hoa merasa cangkir arak terlalu kecil, sembari mengoceh dia menuang penuh cawan tehnya dengan arak.
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, katanya: "Terlambat minum arak toh kan tidak bakal mampus, marilah kita keluar dulu lihat Bau-hi-li-hoa-ting itu apakah masih berada di tempatnya semula." sebelah tangan menjunjung pelita tangan yang lain menarik Oh Thi-hoa mereka melangkah keluar.
Didalam rumah ada seekor tabuhan yang sedang terbang, melingkar mengikuti sinar pelita yang bergerak, akan tetapi dikala tabuhan ini terbang lewat di atas cawan yang berisi penuh arak itu, tiba-tiba jatuh dan kecemplung ke dalam cawan arak itu.
Apakah tabuhan itu mabuk juga oleh bau arak sehingga tak bisa terbang lagi" Tapi bau arak masakan ada yang begitu keras"
Jikalau Coh Liu-hiang belum melangkah keluar, tentu dia akan melihat serangga kecil seperti tabuhan begitu terjatuh ke dalam cawan arak itu, arak dalam cawan itu mengeluarkan suara "Ces", disusul asap hijau yang tipis mengepul keluar. Ternyata tabuhan yang kecemplung ke dalam arak itu sudah lenyap tanpa bekas, di dalam waktu sesingkat itu tabuhan itu sudah lumer dan mencair terbaur didalam arak menjadi buih-buih putih. Kejap lain buih-buih kecil itupun sudah pecah dan hilang, secawan arak tetap secawan arak, malah kelihatannya begitu bening dan enak rasanya, sedikitpun tidak menunjukkan sedikitpun kotoran apa saja.
Jikalau semacam arak ini diminum masuk ke perut Oh Thi-hoa, maka isi perut Oh Thi-hoa tanggung bakal meledak dan membusuk hancur tanpa meninggalkan bekas !
Kota Kayhong jarang turun hujan, maka tanah di pekarangan amat kering dan keras, hampir sekeras batu, umpama dikeduk menggunakan linggis, orangpun akan bekerja memeras keringat, setengah harian orang baru bisa membenamkan sebatang paku, dengan pukulan palu besar.
Tapi dibawah penerangan pelita ditangan Coh Liu-hiang, didapatinya kedua puluh tujuh batang Bau-hi-li-hoa-ting seluruhnya menancap amblas ke dalam tanah, yang nampak hanya lobang-lobang saja yang berjajar.
Berkata Coh Liu-hiang: "Lihatlah tempat dimana senjata rahasia ini disambitkan, berapa jauh menurut pikiranmu?"
"Kira kira ada empat lima tombak." Sahut Oh Thi-hoa menerawang sebentar.
"Jadi Li Hoa-ling atau paku dari kembang ini disambitkan dari jarak empat lima tombak, namun masih bisa menancap amblas ke dalam tahan berapa kuat dan deras daya luncuran senjata rahasia ini, dapatlah kau bayangkan sendiri"
"Ingin aku membongkar kotak gepeng ini untuk melihat keadaan dalamnya seolah-olah kotak ini bisa membidikkan kedua puluh tujuh batang jarum itu seperti orang menarik busur panah saja."
mulutnya bicara, lekas dia berjongkok, dengan sebuah pisau kecil, satu persatu dia korek kedua puluh tujuh Li-hoa-ling itu, namanya saja paku, bahwasanya tidak ubahnya seperti jarum sulaman, cuma pangkalnya saja yang rada membesar, tapi kalau ditekan diatas telapak tangannya rasa enteng bisa terbang dihembus angin kencang.
Mencelos hati Oh Thi-hoa, katanya: "Paku sekecil dan enteng ini dapat juga menancap amblas ke dalam tanah sekeras ini, jikalau kau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapapun aku tidak mau percaya."
"Karena kecepatannya luar biasa, maka kekuatannya besar luar biasa pula."
"Paku sekecil ini menghantam tanah amblas seluruhnya, jikalau sampai mengenai badan manusia, masakah jiwanya dapat diselamatkan... aku pasti akan memasukkannya kembali ke dalam kotak itu, ingin aku menjajal betapa kecepatannya sambutannya" "lalu kerjanya dipercepat, sebentar saja dia sudah selesai mengorek keluar kedua puluh tujuh batang jarum itu. "Ujung paku ini begitu runcing dan tajam kau harus hati hati"
"Tidak apa-apa aku tahu Bua-hi- li-hoat ting selamanya tidak pernah dilumuri racun, karena tanpa dilumuri racun, kekuatan paku sekecil ini cukup berkelebihan untuk menamatkan jiwa orang."
Mereka kembali ke dalam rumah, Oh Thi-hoa tuang seluruh paku-paku itu di atas meja, lalu diangkatnya cawan arak sambil tertawa, katanya: "Sekarang aku boleh minum bukan ! Apa kaupun ingin minum secawan ?"
Coh Liu-hiang tertawa tawa, sahutnya: "Aku minum teh saja." Pelita diletakkan, lalu menyambar cawan tehnya.
* Bersambung jilid 30 *
JILID 30 Takkala itu Oh Thi hoa sudah angsurkan cawan araknya ke depan mulutnya. Dia tidak menyaksikan tabuhan kecil yang terjatuh ke dalam araknya karena keracunan oleh bau arak, sudah tentu dia tidak tahu bila arak itu dia minum masuk ke perutnya, maka dalam dunia ini bakal tidak ada manusia yang bernama Oh Thi hoa lagi.
Inilah secawan terakhir yang bakal diminumnya, disaat arak hampir tertenggak ke mulutnya.
Sungguh tidak pernah terduga olehnya mendadak Coh Liu-hiang layangkan sebelah tangannya, kontan cawan itu tersampok terbang dan jatuh kerontangan pecah berantakan, arakpun tercecer di lantai. Bukan kepalang kejut Oh Thi-hoa, teriaknya penasaran: "Apa kau mendadak terserang penyakit anjing gila?"
Tanpa perduli caci maki orang, Coh Liu-hiang malah berkata: "Kau lihat poci teh ini".
"Mataku tidak picak, sudah tentu aku melihatnya".
"Pandanglah tanganku ini!"
"Kau memangnya sudah gila, kenapa harus memandang tanganmu, memangnya tanganmu mendadak bisa tumbuh sekuntum kembang mawar?"
Berkata Coh Liu-hiang tawar: "Tanganku yang ini, semula kugunakan untuk mengambil poci teh, tapi pernahkah kau perhatikan pegangan poci teh ini sekarang sudah beringset ke arah lain, tidak terletak pada sebelah tanganku ini".
"Tidak terletak sebelah tangan kirimu" Memangnya kenapa?"
"Tadi aku duduk di sini, pernah aku menuang secawan teh dan kuminum habis lalu kukembalikan poci ini pada letaknya semula, tapi pegangan poci ini sekarang tidak pada posisi semula".
"Memangnya kenapa harus dibuat ribut, bukan mustahil tadi kau sudah ganti menggunakan tanganmu yang lain".
"Selamanya aku menggunakan tangan kiri untuk menuang teh, sejak dulu sudah menjadi kebiasaan, selamanya takkan berubah".
"Me.....memangnya kenapa?"
"Itu berarti, setelah aku minum tehku tadi poci teh ini pernah disentuh orang, dan kau kecuali terserang penyakit demam, selamanya tak pernah menyentuh poci teh".
"Umpamanya aku sakit demam batuk juga tak kau bisa menyentuh poci teh, karena orang lain setelah mabuk arak harus minum teh, untuk menghilangkan mabuknya, aku sebaliknya begitu mengendus bau teh, mabukku bakal menjadi-jadi".
"Nah itulah, jikalau kau sendirian tidak pernah menyentuh poci teh ini, poci teh ini sendiripun tak bisa bergerak, lalu kenapa letak posisinya berpindah"
Oh Thi-Hoa melengak heran, katanya: "Setelah mendengar uraianmu akupun jadi heran."
"Itu berarti di kala kami berdua keluar tadi, pasti ada orang masuk ke mari menyentuh poci teh ini. Tanpa sebab untuk apa dia masuk ke mari menyentuh poci teh ini?"
Tersirap darah Oh Thi Hoa, serunya: "Apakah dia sudah menaruh racun di dalam poci teh ini?"
"Benar, orang itu sudah memperhitungkan begitu kembali mulut kita tentu kering dan pasti menuang teh atau arak untuk minum maka dia taruh racun di dalam poci teh, tapi agaknya tak pernah terpikir olehnya bahwa selamanya aku menuang air teh menggunakan tangan kiriku, maka setelah dia masukkan racun seenaknya saja dia taruh poci teh ini tidak pada posisi semula, sehingga pegangan poci ini berpindah arah yang berlawanan."
Oh Thi-Hoa menjublek di tempatnya. Sesaat lamanya baru ia bersuara, "Kalau dalam teh ini beracun, tentu araknyapun berbisa."
"Kalau tidak masa aku sudah gila menyampok cawan arakmu tanpa sebab" Meski banyak ragam setan arak di kolong langit ini, tapi setiap arak dipandangnya lebih berharga dari jiwanya sendiri, umpama kau membakar rumah dan harta bendanya, mungkin dia tidak akan marah, tapi bila kau menumpahkan araknya, pasti dia akan marah seperti orang gila."
"Caci maki yang bagus, bagus makianmu."
"Bukan aku ingin memakimu, aku hanya ingin supaya kau tahu bahwa aku tidak terjangkit anjing gila." Lalu dia tuang sisa setengah air the ke dalam poci arak, "Ces" seketika asap hijau mengepul naik, seperti orang menuang air dingin ke dalam wajan yang minyaknya sedang mendidih.
Merinding Oh Thi-hoa dibuatnya, katanya: "Racun yang lihay sekali, agaknya setanding dengan racun yang pernah digunakan Ciok-koan-im."
Coh Lu-hiang membenamkan rona mukanya dengan mimik kaku tanpa bicara.
"Kalau dilihat gelagatnya , orang yang menyambitkan senjata rahasia dan orang yang menaruh racun di sini pasti satu komplotan bukan?"
Coh Lu-hiang hanya mengiakan dan mengangguk.
Sesaat lamanya Oh Thi-hoa tercenung diam, katanya kemudian dengan tertawa: "Sungguh tidak pernah aku memperhatikan kau selalu menggunakan tangan kiri mengambil teh, setiap mengerjakan apa saja kau selalu menggunakan tangan kanan, kenapa melulu tangan kiri saja yang kau gunakan mengambil air teh"
"Karena selama beberapa tahun ini kau bertempat tinggal di antara kapal, sebesar kapal itu tempatnya tentu terbatas, demikian juga kamarku itu tidak terlalu besar, maka setiap benda harus ditaruh pada letak masing-masing yang tepat serasa, terutama poci arak atau poci teh, jikalau meletakkan di tempat yang salah, maka pasti sering menjatuhkan atau menyentuh benda-benda lainnya, oleh karena itu Yong-ji lantas membuat sebuah rak khusus untuk menaruh poci teh di sebelah kiri di pinggir kursi yang sering kududuki, cukup mengulur tangan dengan mudah aku bisa mengambilnya." Dia tertawa-tawa lalu meneruskan, "Setelah kebiasaan sekian lamanya, maka selalu aku mengambil teh dengan tangan kiriku."
"Lucu, lucu, tapi kenapa Yong-ji tak menaruh rak poci teh itu di sebelah kananmu saja?"
"Soal ini gampang dibereskan karena di sebelah kanan tiada tempat kosong untuk menaruh poci teh itu."
Oh Thi-hoa geleng-geleng kepala, ujarnya: "Tak nyana tinggal di atas kapal juga ada kegunaannya yang serba melit, tinggal di kapal adakalanya memang terasa terkekang dan kurang bebas, tapi semakin kecil tempat tinggalmu, maka semakin membiasakan dirimu untuk tidak sembarangan menyentuh barang-barang lain yang bukan tujuanmu, maka setiap melakukan pekerjaan apapun, kau akan bekerja menurut aturan, kebiasaan seperti ini mungkin jarang terlihat dan takkan menunjukkan manfaatnya, tapi dikala kau menghadapi bahaya sering tanpa kau sadari tahu sudah menolong jiwamu."
"Kalau demikian jikalau aku pindah ke dalam kurungan burung dara bukankah aku bakal manusia paling punya aturan dalam cara kehidupanku". Mendadak seperti teringat apa-apa, senyuman yang menghias mukanya seketika beku, teriaknya: "Kamar Li Giok-ham sepi lenggang tanpa kedengaran sedikit suara bukan mustahil mereka berdua sudah menjadi korban keganasan orang."
Tidak mungkin, siapapun yang mengincar jiwa kedua suami istri ini, bukan soal sepele."
"Tapi waktu mereka datang Lu Ba bi sedang kumat penyakitnya, mungkin mereka tidak mampu melawan....bagaimana juga, aku harus menjenguk mereka."
"Menjenguk mereka pun baik, mungkin mereka ada mendengar sesuatu apa yang mencurigakan."
Tanpa menunggu kata Coh Liu-hiang berakhir, Oh Thi hoa sudah berlari keluar.
Waktu itu cuaca masih gelap meski menjelang fajar, dikejauhan sudah terdengar kokok ayam jago.
Dua kali Oh Thi hoa memanggil , Li Giok-ham sudah menyulut api di dalam kamar dan membuka pintu dengan mengenakan mantel ia keluar, roman mukanya masih unjuk rasa kantuk dan keheranan serta kaget, namun ia tetap tersenyum menyapa: "Kalian begini pagi sudah bangun !"
Melihat orang keluar dengan segar bugar barulah Oh Thi-hoa mengelus dada lega, katanya tertawa: "Bukan kami bangun pagi-pagi tapi semalam suntuk kami tidak tidur."
Berkilat sorot mata Li-Gok-ham, tanyanya: "Apakah terjadi sesuatu?"
"Panjang kalau dibicarakan kalau kau sudah bangun, marilah duduk ke kamar, kami mengobrol disana."
Li Giok-ham berpaling ke dalam kamar, lalu pelan-pelan menutup pintu dari luar, katanya menghela nafas: "Istriku pada kurang enak badan, sebetulnya siaute pun baru saja pulas."
"Apakah penyakit istrimu tidak berat?" Tanya Oh -Thi-hoa.
"Ya penyakit lama saja yang kumat, setiap bulan pasti kumat dua kali, namun tak mengganggu kesehatannya, Cuma rada menyulitkan saja."
Sekaligus Oh Thi-hoa melirik pada Coh Liu-hiang, seperti hendak bilang: "rekaanmu meleset, dia tidak terkena racun, cuma penyakit lama saja yang kumat."
Coh Liu-hiang mandah tertawa, katanya malah: Kalau Li-heng baru saja tertidur, entah adakah kau mendengar sesuatu yang mencurigakan ?"
"Istriku terus merintih-rintih kesakitan sambil meronta-ronta, seperti anak kecil saja, terpaksa aku harus cari akal untuk membujuk dan menghiburnya, kejadian lain sampai tidak pernah kuperhatikan." Baru berhenti mendadak dia bertanya:" Sebetulnya apakah yang telah terjadi, apakah ?"
"Bukan kejadian apa-apa, Cuma ada orang berusaha mencelakai jiwa Coh Liu-hiang ini pun penyakitnya sejak lama, setiap bulan malah kumat sering kali. "
Oh Thi-hoa mengolok-olok jenaka.
Li Giok-ham terkejut "Ada orang hendak mencelakai Coh- heng" Siapakah orangnya yang punya nyali begitu besar?"
"Aku mengejarnya setengah harian dia, namun bayangan orangpun tak berhasil kecandak, tokoh-tokoh kosen yang lihay dalam Kangouw, agaknya hari-kehari lebih banyak lagi".
"Waktu itu mereka sudah kembali ke dalam kamar, begitu melihat paku-paku perak diatas meja, seketika berubah air muka Li Giok-ham, katanya: "Senjata rahasia diatas meja ini bukankah alat orang untuk mencelakai Coh heng?"
Coh Liu-hiang menatap muka orang lekat-lekat sahutnya; ?"Apa Liheng juga kenal asal-usul senjata rahasia ini?"
"Agaknya mirip dengan Bau hi-li hoa ting."
"Tepat!" ujar Coh Liu-hiang
"Coh Liu-hiang memang tidak bernama kosong, menurut yang Siaute ketahui, kekuatan daya luncur serangan Ban hi-li hoa ting ini boleh terhitung nomor satu di seluruh muka bumi, setiap kali disambitkan mesti melihat darah, sampai sekarang belum ada seorang tokoh kosen manapun yang bisa berkelit atau meluputkan diri dari incarannya, It-seng Totiang yang dulu malang melintang di Lam-hoa, akhirnya mati karena senjata rahasia ini. Sebaliknya Coh-heng tetap tak kurang suatu apa. Hal ini membuktikan, bahwa kepandaian silat Coh-heng masih setingkat lebih tinggi dari tokoh besar ahli pedang yang pernah menjagoi daerah selatan itu".
Oh Thi-hoa tertawa ujarnya: "Cuma nasibnya saja selalu lebih beruntung dan orang lain".
"Di bawah incaran Bau-hi li-hoa ting tidak pernah ada orang yang bernasib baik kecuali Coh-heng. umpama nasib orang berlipat, lebih baik sekali-kali tak akan bisa lolos dari brondongan dua puluh tujuh batang paku perak ini".
"Agaknya kau amat paham mengenai senjata rahasia yang keji ini, tanya Oh Thi-hoa.
"Inilah senjata rahasia yang paling terkenal dimuka bumi ini dulu waktu ayah mulai mengajarkan ilmu silat kepada kami, pernah pula menuturkan tentang segala seluk beluk senjata rahasia, disuruhnya supaya selanjutnya aku lebih waspada, menurut kata beliau. Dikolong langit ini ada enam benda yang paling menakutkan. Bau-hi-li-hoa-ting ini adalah salah satu diantaranya.
"Pengetahuan Li-locianpwe amat luas" timbrung Coh Liu-hiang, "tentunya asal usul pembuatan alat senjata ini juga pernah diceritakan kepada Li-heng".
"Pembuat alat senjata ini adalah anak dari keluarga persilatan juga, namanya Cin Si-bing, ayahnya adalah Lam-ouw siang kiam yang jaya dan disegani pada zaman dulu".
"Menurut apa yang kami ketahui, pembuat alat senjata ini, sedikitpun tidak bisa main silat, putra dari Lam-ouw siang kiam cara bagaimana tidak pandai main silat" Apakah khabar ini kurang benar?" sela Oh Thi-hoa.
Apa yang Oh-heng dengar tidak salah, Cin Si bing memang tidak bisa main silat, karena sejak kecil dia sudah terserang kelumpuhan dan tak terobati sehingga tidak leluasa bergerak, bukan saja tidak bisa belajar silat, malah tenaga untuk berdiripun tak bisa".
"Kasihan!" Ujar Oh Thi-hoa.
"Mereka adalah lima laki-laki bersaudara. Cin Si bing nomor tiga, mungkin karena tanpa daksa sehingga otaknya jauh lebih cerdik dan pintar dari ke empat kakak adiknya, sayang badan cacat.
Sementara saudara-saudaranya sudah malang melintang menegakkan nama di kalangan kang ouw. Sudah tentu hatinya amat iri, jelus dan penasaran, maka dia lantas bersumpah pada suatu ketika dia hendak melakukan sesuatu yang cukup menggemparkan dunia supaya orang-orang lain melek matanya bahwa orang cacatpun tak boleh dipandang rendah".
"Ke empat saudaranya itu bukankah Kam lam su-gi yang amat terkenal dulu?"
"Ya" Li Giok-ham mengiakan, "setahun penuh hidup Cin Si-bing hanya rebah saja di atas pembaringan, kecuali membaca buku, maka dia menghabiskan waktu membuat mainan dari ukuran kaya, dasar otaknya emang pintar dan berbakat lagi, lama kelamaan sepasang tangannya itu menjadi begitu ahli, khabarnya rumahnya dipasang alat-alat rahasia yang dibuatnya sendiri dengan amat lihay dan beraneka ragamnya meniru alat kerbau, dan kuda kayu buatan Cukat Liang pada zaman Sam-kok dulu, diapun membuat banyak sekali orang-orangan dari kayu yang bisa bergerak sendiri, cukup asal dia menyentuh tombol rahasianya, orang-orangan kayu dapat melayani segala makan minumnya dengan baik".
Oh Thi-hoa tertawa, katanya: "Kalau begitu rumahnya itu tentu amat menyenangkan kalau Cin-siansing itu belum meninggal, ingin aku menemui beliau".
"Begitulah beberapa tahun telah berselang, dengan kayu dia berhasil membuat sebuah kotak rahasia yang dilengkapi alat-alat pegas dan sebagainya, lalu dia suruh saudara-saudaranya pergi mencari pandai besi untuk membuatkan kotak yang mirip kayunya itu dari bahan perak, saudaranya menyangka hanya mainan anak-anak belaka maka tidak pernah mengambil perhatian, di Koh-so berhasil mencarikan pandai besi yang paling terkenal pada waktu itu dipanggil pulang ke rumahnya, kalau tidak salah pandai besi itu bernama Kiau jiu song".
Sampai di sini ia menghela napas, lalu melanjutkan: "Kiau jiu song bertempat tinggal di rumah Cin Si-bing itu selama tiga tahun, siapapun tiada yang tahu apa saja kerja kedua orang ini didalam rumah serba rahasia itu, cuma setiap bulannya Cin Si-bing menyuruh prang mengantar honor yang berjumlah besar ke rumah Kiau jiu song untuk ongkos hidup sehari-hari bagi keluarganya, oleh karena itu meski tiga tahun tidak pulang, istri dan anaknya tidak perlu kuatir".
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Mungkin istrinya itu tidak tahu bahwa uang yang mereka makan itu adalah uang jaminan yang diberikan Cin Si-bing untuk membeli nyawa suaminya".
"Benar, tiga tahun kemudian, begitu Kiau jiu ong keluar dari rumah itu, kontan dia terjungkal jatuh terus tak bangun lagi. Kontan lantaran dia sudah kehabisan tenaga, daya otak dan hatinya sudah keropos, jiwanyapun tak tertolong lagi. Tapi bagaimana duduk perkara yang sebenarnya siapapun tiada yang tahu Keluarga Ciu dibilangan Ouw-lam selatan waktu itu merupakan keluarga besar yang punya kekayaan dan kekuasaan, amat disegani dan terkenal, oleh karena itu keluarga Kiau jiu songpun tiada yang menarik perkara akan kematian yang aneh itu".
Coh Liu-hiang menghela napas pula, ujarnya: "Kalau Kiau Jiu song sudah tahu kunci rahasia cara pembuatan alat Bau-hi-li-hoa-ting, Cin Si-bing pasti tidak akan membiarkannya hidup dan membocorkan kepada orang lain, mungkin Kiau jiu song si pembuat alat itu sendiri yang menjadi korban pertama kali oleh Bau-hi-li-hoa-ting".
"Setengah bulan kemudian, mendadak Ciu Si-bing menyebar banyak undangan dia undang seluruh tokoh-tokoh ahli senjata rahasia yang berkepandaian tinggi, hari itu kebetulan hari Tiong-chiu, bulan sedang purnama, orang-orang Kangouw itu memandang muka Kam lam su gi, yang hadir ternyata tidak sedikit jumlahnya, disaat para hadirin sedang kebingungan, entah apa maksud Ciu kongcu yang cacat dan belum pernah berkelana di Kangouw ini menyebar undangan sekian banyaknya".
Ingin Oh Thi-hoa menimbrung, akhirnya dia telan kembali kata-katanya.
Terdengar Li Giok-ham melanjutkan: "Tak nyana setelah minum arak berputar tiga kali, mendadak Ciu Si-bing mohon kepada Hou Lam-hwi untuk bertanding senjata rahasia".
Akhirnya Oh Thi-hoa tak sabar lagi, selanjutnya: "Apakah Hou Lam-hwi yang dijuluki Pat-pi-sin-wan atau lutung sakti delapan tangan itu?"
Benar, seluruh badan orang ini dari atas sampai ke bawah penuh ditaburi alat-alat senjata rahasia, khabarnya didalam waktu yang bersamaan dia bisa menyambitkan delapan macam senjata rahasia yang berlainan, sudah tentu kepandaian menyambit serangan senjata rahasiapun luar biasa, seolah-olah badannya tumbuh delapan tangan, memang sesungguhnya dia boleh dipandang sebagai ahli senjata rahasia yang kosen di Bulim pada jaman itu, sudah tentu tokoh semacam dia mana suci melayani tantangan seorang tanpa daksa untuk bertanding. Apalagi dia cukup kental berhubungan dengan Kang Lam su-gi".
"Benar, umpama dia menang. Kemenangannya itupun tak perlu dipuji", ujar Oh Thi-hoa.
"Seluruh hadirinpun menduga Ciu Si-bing hanya berkelakar saja, tak kira Ciu Si-bing berkukuh untuk bertanding dengan Hou Lam-hwi malah dia memancing dengan perkataan tajam yang kotor, Hou Lam-hwi terpaksa turun gelanggang karena penasaran".
"Akhirnya bagaimana?"
"Kusingkat saja ceritanya, akhirnya Hou Lam-hwi mati di bawah berondongan Bau-hi-li-hoating itu, malah beberapa tokoh ahli senjata rahasia yang lainpun ikut jadi korban. Semua orang tahu bahwa Ciu Si-bing menyambit senjata rahasia dari kotak perak gepeng di tangannya itu, namun tiada orangpun yang bisa berkelit menyelamatkan diri".
"Telengas benar Cin-kongcu itu" Coh Liu-hiang menghela napas.
"Sejak kecil orang ini sudah cacad jasmani sudah tentu tabiatnya jadi eksentrik, tapi apakah Lam ouw siang kiam dan Kang lam su gi tidak mengurus anak dan saudaranya itu".
"Waktu itu Lam ouw siang kiam dan bersaudara sudah wafat, Kam lam su gi sebaliknya mempunyai tujuan licik tertentu".
"Tujuan licik apa?"


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Melihat saudaranya dapat membuat alat senjata rahasia selihay itu, maka mereka berangan-angan untuk menegakkan lebih cemerlang nama kebesaran keluarga Ciu mereka di kalangan mayapada ini, namun tak pernah terpikir oleh mereka, karena ambisi yang keterlaluan ini, kaum persilatan di Kangouw sudah pandang mereka sebagai musuh umum kaum persilatan, siapapun tak ingin alat rahasia sekejam itu terjatuh ke tangan para saudara Ciu itu, maka siapapun ingin melenyapkan saja itu baru lega hatinya, karena siapa yang tidak takut bila alat senjata rahasia itu digunakan memusuhi dirinya?"
"Terutama orang-orang yang biasanya sengketa dengan keluarga Ciu itu", timbrung Oh Thi-hoa. "Tahu musuh mereka memiliki alat senjata rahasia yang begitu lihay, sudah tentu setiap malam tidak bisa tidur".
"Oleh karena itu mereka berpikir turun tangan lebih dulu tentu menguntungkan, maka dengan berbagai daya upaya satu per satu mereka sikat Kang lam su gi, lalu Ciu keh ceng dibakarnya habis seluruhnya, sudah tentu Ciu Si-bing pun mati ditengah kobaran api itu".
Sampai sekarang baru Coh Liu-hiang bertanya: "Lalu belakangan Bau-hi-li-hoa-ting ini terjatuh ke tangan siapa?"
"Tiada yang tahu alat senjata rahasia itu jatuh ketangan siapa, karena siapapun yang memperolehnya tentu merahasiakan dan tak mau bilang kepada siapapun, tapi setiap selang tiga lima bulan, pasti ada tokoh Kangouw yang menemui ajalnya karena Bau-hi-li-hoa-ting ini, tapi orang yang membekal alat senjata itu sendiripun takkan berumur panjang, karena begitu ada sedikit kabar dan bocor beritanya, pasti akan ada orang yang berusaha merebutnya."
"Kalau demikian, bukanlah alat senjata rahasia ini menjadi benda yang bertuah?" ujar Coh Liu-hiang. "Selama puluhan tahun, entah berapa kali sudah alat senjata rahasia ini sudah pindah tangan setiap orang yang pernah memilikinya tentu akhirnya ajal, sampai beberapa tahun yang lalu, alat senjata rahasia ini mendadak menghilang tak keruan paran, mungkin orang yang memilikinya tidak pernah menggunakannya oleh karena itu kaum persilatan pada generasi mendatang ini meski sering mendengar cerita mengenai Bau-bi-hi-hoa-ting ini malah tidak sedikit pula orang yang tahu akan bentuk dan pembawanya, namun tiada seorangpun yang pernah melihatnya sendiri.
Oh Thi-hoa mengawasi Coh Liu-hiang katanya tertawa: "Kalau begitu, agaknya nasib kita memang luar biasa." "Kali ini orang itu ternyata hendak menghadapi Coh-heng maka dia berusaha menggunakan alat rahasia yang lihay ini." "Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa orang itu tentu mempunyai dendam kesumat dengan Coh-heng, karena perduli dia pinjam, merebut atau mencurinya, bahwa dia dapat memiliki alat senjata rahasia ini tentulah bukan suatu hal yang gampang." "Kalau begitu lebih aneh lagi " ujar Oh Thi-hoa, "Dengan susah payah dia dapat memiliki alat senjata ini, kenapa pula dibuang begitu saja." "Mungkin karena tidak berhasil mencelakai Coh-heng, tiada gunanya dia simpan alat ini pula, mungkin malah bakal menimbulkan bencana bagi diri sendiri, bila alat ini hasil curian, bukan mustahil pemiliknya akan mencari perhitungan kepadanya, oleh karena itu seenaknya saja dia buang, supaya orang sulit menyelidiki siapakah sebenarnya pencurinya?"
"Benar," Oh Thi-hoa menepuk tangan, pasti ada sebab musababnya".
Berkata Li Giok-ham: "Dan lagi khabarnya setiap senjata rahasia ini disambitkan harus melihat darah, kalau sebaliknya bakal membawa mala petaka bagi pemiliknya, mungkin diapun sudah tahu bahwa alat senjata rahasia tak bertuah, masakah dia berani membawa-bawanya lagi di badannya".
"Benar, itupun kemungkinan, tapi ......"
"Tapi siapakah sebenarnya orang itu" Masakah Coh-heng sedikitpun tidak bisa menduganya?"
Soalnya aku sendiri belum melihat muka asli orang itu, main tebak dan reka tak berguna malah membingungkan saja. Namun bila dia begitu teliti, agaknya sudah direncanakan lebih dulu untuk membunuh aku, sekali gagal pasti ada dua kalinya, akan datang suatu ketika pasti diketahui siapa dia sebenarnya?".
Terdengar suara cekikikan, katanya: "Tepat, selama beberapa tahun belakangan ini, belum pernah kudengar ada siapa yang bisa lolos dari telapak tangan Maling Romantis".
Malam dan seram, senjata rahasia yang aneh dan hebat, pembunuh misterius, cerita berdarah, suasana dalam kamar sebetulnya sudah cukup berat membuat orang seolah-olah susah bernapas. Tapi begitu Liu Bu-bi melangkah masuk, hawa dalam kamar seakan-akan bergolak dan cahaya menjadi terang, kehidupan lebih bergairah, sampaipun api pelita yang sudah guram itupun seperti menyala lebih terang.
Rambutnya yang panjang terurai panjang menyuntai di atas pundaknya, muka halus tanpa pupur dengan alis lentik ini sedikitpun tidak menunjukkan rasa kesakitan, kurus dan keletihan.
Hampir Oh Thi-hoa tidak percaya bahwa perempuan ayu yang berdiri di depannya ini adalah orang yang belum lama berselang meronta-ronta kesakitan bergelut dengan siksa dan derita.
Lebih mengetuk kalbunya lagi karena tangan orang menjinjing sebuah poci arak. Terpancar cahaya terang pada sorot mata Oh Thi-hoa, tak tahan ingin rasanya dia memburu maju merebut poci arak itu.
Tak nyana baru saja tanganya terulur, secepat kilat Coh Liu-hiang mendadak menangkap pergelangan tangannya terus ditelikung ke belakang. Karuan Oh Thi-hoa menjerit kesakitan, makinya: "Kau kejangkitan penyakit apa lagi?" belum habis kata-katanya secepat kilat Coh Liu-hiang beruntun menutuk Thian-cwan, Yiap-pek, Ti-te, Khong-cui dan Tong ling, lima jalan darah besar pada lima tempat yang berlainan.
Bukan saja tak mampu bergerak lagi separoh badan Oh Thi-hoa rasanya linu kemeng dan mati rasa "Bluk" terjatuh duduk kembali ke kursinya semula, dengan kesima dia pandang Coh Liu-hiang.
Li Giok-ham suami-istripun kaget dan melongo.
Liu Bu-bi senyum manis katanya: "Apakah Coh Liu-hiang kuatir poci arakku ini keracunan?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Araknya memang tidak beracun, tapi badannya sudah ada racunnya".
"Apakah Oh-heng sudah meminum arak beracun itu?" ujarnya Li Giok-ham.
"Kali ini bukan arak yang membuat celaka dirinya, tapi tangannya sendiri", sahut Coh Liu-hiang tertawa.
Baru sekarang semua orang tahu bahwa sebelah tangan Oh Thi-hoa sudah bengkak malah kulitnya sudah menghitam bening dan menguap asap hitam.
Li Giok-ham menjerit kaget: "Cara bagaimana Oh-heng bisa keracunan?"
Dengan sebelah tangannya, Oh Thi-hoa menarik-narik hidungnya, katanya getir, "Mungkin aku betul-betul kepergok setan kepala besar tadi".
Coh Liu-hiang bertanya: "Apakah tadi kau mencabuti Bau-hi-li-hoa-ting itu satu-persatu?"
Oh Thi-hoa mengiakan dengan manggut.
"Nah, disitulah letak persoalannya, kau kira bila kulit tanganmu tak pecah atau terluka, hawa beracun tak merembes masuk ke dalam tubuh, tanpa kau sadari bahwa racun di atas paku-paku perak itu bisa melalui celah-celah kuku jarimu merembes ke dalam badan".
Tapi menurut apa yang ku tahu, timbrung Li Giok-ham, "Bau-hi-li-hoa-ting ini selamanya tak pernah dilumuri racun, soalnya kekuatan senjata rahasia ini sendiri sudah begitu keras dan dahsyat meski tak beracun orang yang tersambit pasti mati!"
"Ucapan Li heng memang tak salah, tapi pembunuh itu agaknya kuatir kematianku masih kurang cepat, maka Bau-hi-li-hoa-ting yang sejak mula tidak beracun dia lumuri racun yang paling jahat".
Li Giok-ham suami-istri beradu pandang, mereka tidak bicara lagi, namun pelita digeser ke samping paku-paku perak yang berserakan di atas meja itu, dari sangkul rambutnya Liu Bu-bi menanggalkan sebatang tusuk konde, pelan-pelan dijepitnya sebatang terus diamati-amati dengan seksama didepan mata, roman muka mereka semakin serius dan akhirnya berubah tegang.
Oh Thi-hoa batuk-batuk dua kali, ujarnya: "Apakah benar paku itu beracun?"
Kembali Li Giok-ham suami-istri saling pandang, Liu Bu-bi mengiakan.
"Sudah lama kudengar bahwa Li-locianpwe bukan saja berilmu silat tinggi namun juga seorang terpelajar yang pernah mempelajari ketabiban meski tidak sudi menggunakan senjata rahasia beracun melukai orang, namun dalam bidang ini beliau banyak memeras otak menyelidikinya, sesuai dengan ajaran dan warisan keluarga, tentunya pengetahuan Li-heng dalam bidang inipun amat luas."
"Tidak salah," Oh Thi-hoa menambahkan. "Kalau kalianpun bilang paku itu beracun, tentulah tidak akan salah lagi."
"Oleh karena itu Cayhe mohon petunjuk kepada Li-heng," ujar Coh Liu-hiang, "entah racun macam apa yang dilumuri di atas paku-paku ini?"
Li Giok-ham menarik napas dulu baru menjawab: "Obat racun di dunia ini terlalu banyak ragamnya, sampai ayahkupun mungkin tidak bisa membedakannya satu persatu!"
Coh Liu-hiang menjublek di tempatnya agaknya seperti hendak bicara namun tak bisa membuka mulut.
Mendelik mata Oh Thi-hoa, katanya: "Kalau demikian racun yang mengenai aku ini jadi tidak bisa disembuhkan?"
Liu Bu-bi unjuk tawa yang dipaksakan ujarnya: "Siapa bilang tidak bisa disembuhkan?"
"Buat apa kalian kelabui aku, aku ini memangnya anak kecil" Kalau kalian tidak tahu racun apa yang mengenai aku, cara bagaimana bisa menyembuhkan keracunanku ini?"
Kembali Li Giok-ham suami istri beradu pandang. Mulut mereka terbungkam.
Berputar biji mata Oh Thi-hoa, mendadak dia gelak tawa, ujarnya: "Buat apa kalian sama merenggut dan patah semangat, paling tidak sekarang aku belum mampus! Hayolah, hari ini ada arak hari ini mabuk, marilah kita minum sepuas-puasnya dulu." Sebelah tangannya masih bisa bergerak hendak meraih balik tangannya yang satu ini.
"Kenapa tidak kau beri kesempatan aku banyak minum, mumpung aku masih bisa hidup. Bila aku sudah mampus, umpama kau setiap hari menyiram kuburanku dengan arak setetespun tidak akan bisa kunikmati."
"Tadi aku sudah menutuk Hiat-to dan membendung racun tertutup di lenganmu saja. Asal kau tak minum lagi di dalam jangka setengah hari, kadang racunnya takkan menjalar."
"Setelah setengah hari" Masakah di dalam jangka dua belas jam ini kau dapat mengundang orang yang dapat menawarkan racun di dalam badanku?"
Coh Liu-hiang tertunduk, ujarnya: "Bagaimana juga cara ini jauh lebih baik untuk mengulur jiwamu."
Oh Thi-hoa gelak-gelak, serunya: "Saudara yang baik, kau tak usah pergi mencari orang serta munduk-munduk minta bantuannya. Cukup asal kau berikan poci arak itu, tanggung aku takkan mampus." Mendadak dari balik kulit sepatu panjangnya dia merogoh keluar sebatang pedang kecil, katanya tertawa: "Coba lihat, inilah caraku yang paling praktis untuk menghilangkan racun.
Bukankah cara ini tidak ada bandingannya?"
Terkesiap darah Coh Liu-hiang, serunya: "Apa kau ingin ...."
"Orang sering bilang, ular menggigit tangan orang gagah mengutungi pergelangan tangan.
Apakah hal ini perlu dibuat geger" Kenapa kau ribut tak keruan paran"
Mengawasi pedang kecil yang kemilau di tangan Oh Thi-hoa tanpa terasa keringat bertetes-tetes di atas kepala Coh Liu-hiang. Sebaliknya rona muka Oh Thi-hoa sedikitpun tidak berubah.
Li Giok-ham menghela napas, katanya: "Oh-heng memang tidak malu sebagai orang gagah, cuma ...."
Mendadak Liu Bu-bi menyeletuk: "Cuma kau harus menunggu dua belas jam dulu."
"Kenapa?"
"Karena tiba-tiba teringat olehku seseorang yang dapat menyembuhkan keracunanmu." sahut Liu Bu-bi. Tanpa menunggu orang lain bersuara matanya mengerling ke arah Li Giok-ham, lalu menambahkan: "Apakah kau sudah lupa kepada Cianpwe yang hanya mempunyai tujuh jari tangan itu?"
Berkilat sorot mata Li Giok-ham, serunya riang: "Oh ya, hampir saja kulupakan dua hari yang lalu Su-piaute atau adik nisan ke empat malah masih menyinggung nama Cianpwe itu, katanya beliau sudah pergi ke Ko-siang cheng adu minum arak selama tujuh hari tujuh malam dengan Hiong lopek, sampai sekarang belum berkesudahan, entah siapa yang menang, asal beliau masih disana, Oh-heng pasti masih ada harapan".
Liu Bu-bi tertawa, ujarnya: "Kalau toh belum ada ketentuan siapa bakal menang, Hiong lopek pasti takkan membiarkan dia pergi".
"Dimana letak Ko Siong-cheng?" tanya Oh Thi-hoa, "Siapa pula Hiong Lopek itu" Siapa pula Cianpwe yang hanya punya tujuh jari itu" Orang-orang yang kalian singgung ini, kenapa belum kukenal atau pernah dengar namanya?"
Walaupun Hiong Lopek adalah sahabat kental pada cianpwe yang seangkatan dengan ayahku, namun dia sendiri bukan orang dari kaum persilatan, sudah tentu Oh-heng tentu takkan kenal siapa dia", demikian sahut Li Giok-ham.
Liu Bu-bi menambahkan: "Tentang Cianpwe tujuh jari itu, Oh-heng tentu pernah mendengar nama besarnya, cuma beliau belakangan ini, karena suatu peristiwa yang menyedihkan melarang orang lain menyinggung namanya".
"Perangai Cianpwe ini memang terbuka dan simpatik", Li Giok-ham lebih jauh, namun tabiatnya sangat aneh, jikalau sampai diketahui kami belakangnya melanggar pantangannya, kami suami-istri jangan harap bisa hidup tentram".
Oh Thi-hoa tertawa, katanya: "Kalau tabiat orang itu begini aneh, dengan aku tidak pernah kenal lagi, jikalau sampai aku kebentur tembok dan gagal, bukan lebih-lebih mengenaskan dari pada aku mampus keracunan?"
Liu Bu-bi tersenyum manis, ujarnya: "Tidak perlu kau sendiri harus mengalami kegagalan, biar kami saja yang pergi, cukup asal kumasakkan dua macam sayuran kepadanya, tanggung dia tidak akan menolak permintaanku".
"Benar, tapi kita harus lekas berangkat", timbrung Li Giok-ham, "Letak Ko siong cheng memang tidak jauh, namun tidak dekat, dan lagi disana paling tidak kau harus memakan waktu saja jam lagi untuk memasak hidanganmu itu".
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: "Kalian begini simpatik, jikalau aku masih mengulur-ulur waktu kalian, aku ini bukan manusia lagi, tapi ...... ulur busuk, kaupun perlu mengiringi perjalanan mereka".
"Tidak perlulah", sela Liu Bu-bi, "Lebih baik Coh-heng ......"kata-katanya tiba-tiba terputus karena tiba-tiba dilihatnya Coh Liu-hiang meski tetap duduk di kursinya, namun sekujur badannya sedang gemetar, mukanya menguning seperti kertas emas.
Serasa terbang arwah Oh Thi-hoa saking kaget teriaknya gemetar: "Kau ....... kau .......
sebelum dia kuat bicara, Coh Liu-hiang sudah tersungkur jatuh".
Bergegas Li Giok-ham dan Liu Bu-bi memburu maju memapaknya bangun, dimana jari-jari tangan mereka menyentuh badannya, terasa kulit badannya meski terlapis baju, namun masih terasa panas membara seperti gosokan.
Akhirnya Oh Thi-hoa ikut nimbrung maju teriaknya serak: "Apakah kaupun keracunan?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala dengan lemah.
"Kalau tidak keracunan memangnya apa sih yang terjadi, Li heng kau ...... tolong periksa keadaannya sekarang, lekas ......
Coh Liu-hiang kertak gigi, dengan sekuat tenaga dia tertawa dibuat-buat suaranya mendesis dari sela-sela giginya: "Masakah kau belum pernah melihat orang jatuh sakit" Kenapa dibuat ribut-ribut?"
"Tapi biasanya badanmu sekekar kerbau, beberapa tahun ini belum pernah aku melihat kau jatuh sakit kali ini kok malah sakit?"
"Memang kali ini datangnya penyakitku ini tidak tepat pada waktu semestinya".
Waktu hendak memotong lengan tangannya sendiri tadi, sikap Oh Thi-hoa masih tenang dan wajar, bisa kelakar pula, namun kini kepalanya gemrobyos oleh keringat, teriaknya: "Orang selamanya tidak pernah sakit, sekali sakit tentu berat Li-heng kau ........"
"Kau tidak perlu gugup", bujuk Liu Bu-bi, "Kukira Coh-heng belakangan ini terlalu capai dan bekerja keras, terserang angin dingin lagi ditambah kegugupan hatinya lagi karena tanganmu ini, maka mudah sekali dia terserang sakit".
"Benar," sahut Coh Liu-hiang, "Sakitku ini tidak menjadi soal, kalian lebih ...... lebih baik lekas pergi mencari ...... mencari obat pemunah itu," katanya tidak soal padahal bibirnya gemetar tak bisa bicara lagi.
Kata Oh Thi-hoa: "Keracunan tanganku ini, yang tidak menjadi soal, lebih baik kalian berusaha menyembuhkan penyakitnya dulu.
"Omong kosong," sentak Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menjadi sengit, katanya keras: "Jikalau kau tidak mau mereka mengobati penyakitmu dulu, umpama obat pemunah racunku dibawa pulang, aku tidak sudi makan".
Coh Liu-hiang marah dampratnya: "Usiamu sudah setua ini, kenapa masih belum bisa membedakan berat dan ringan, aku ..... penyakitku umpama harus tertunda tiga hari lagi juga tidak akan apa-apa, sebaliknya racun di tanganmu tidak boleh ditunda," dia meronta sekuat tenaga berusaha berdiri, tapi baru terduduk sudah terperosok jatuh pula. Tersipu Oh Thi-hoa hendak memapahnya, sehingga mulut tidak sampai bicara lagi, terpaksa hanya membanting kaki melulu.
Li Giok-ham tertawa, katanya: "Kalau sama-sama setia kawan dan berjiwa ksatria namun ....
Namun penyakit Coh-heng ini pantang menggunakan tenaga dan tak boleh marah, jikalau kami tidak menurut kemauannya, penyakitnya malah bertambah berat, untunglah aku ada membawa Ceng biau san, puyer ini khusus untuk menyembuhkan penyakit seperti ini dan pasti manjur!".
"Ya, setelah minum puyer ini, harus istirahat pula secukupnya, untuk Oh-heng perlu juga menelan pil ini," demikian kata Li Giok-ham sambil mengangsurkan sebutir pil kuning kepada Oh Thi-hoa: "Khasiat obat ini cukup menahan racun ini menjalar, maka sebelum kami pulang penyakit Coh-heng dan racun di lengan Oh-heng tidak akan memburuk".
Jikalau menggunakan ibarat kata sehari laksana satu tahun untuk melukiskan keadaan Oh Thi-hoa pada waktu itu, memang cukup setimpal dan tepat sekali. Semula didahului oleh penyakit lama Liu Bu-bi kumat lalu pembunuh misterius itu menyerang dengan alat senjata rahasia yang keji, kini bukan saja dirinya keracunan, sampai Coh Liu-hiangpun terserang penyakit dan rebah di atas pembaringan tak bisa bergerak.
Begini banyak persoalan pelit yang menyebalkan ini sekaligus melihat dirinya, dalam keadaan serba risau dan gerah ini arakpun tidak boleh diminum, cara bagaimana Oh Thi-hoa bisa tentram melewatkan waktu sepanas ini"
Dengan susah payah dia menunggu akhirnya dua jam sudah berselang dengan sebelah tangannya yang normal Oh Thi-hoa menjinjing Ceng hiau san dan poci teh menghampiri Coh Liu-hiang, siapa yang nyana memegangi obat saja Coh Liu-hiang sudah tidak kuat lagi sehingga puyer itu jatuh tercecer di lantai. Untung meski tidak makan obat, penyakit Coh Liu-hiang tidak memburuk, lambat laun dia malah terlena didalam tidurnya sementara perut Oh Thi-hoa sudah berontak saking kelaparan maka dia suruh pelayan membawa nasi ke kamar.
Agaknya pelayan ini hendak menjilat dan mencari alem, katanya tertawa: "Kemarin tuan tamu ada pesan arak terbaik buatan kita, kebetulan hari tinggal seguci saja, apakah tuan tamu hendak memesan lagi?"
Untung kalau tidak menyinggung soal arak, memangnya Oh Thi-hoa sedang merasa penasaran dan belum terlampias, seketika meledak amarahnya, hardiknya dengan berjingkrak:
"Bapakmu ini toh bukan setan arak, siang hari bolong begini kenapa minum arak, sundelmu?"
Sungguh mimpipun pelayan itu takkan habis mengerti kenapa tepukan alemnya di pantat kuda bisa mengenai pahanya, saking ketakutan seketika lari ngacir lintang-pukang, waktu antar makanan yang dipesan tak berani masuk lagi.
Tak nyana sekali pulas Coh Liu-hiang bisa tidur lima jam lamanya kira-kira mendekati magrib baru ia siuman Oh Thi-hoa mengira ia jatuh semaput baru sekarang ia merasa lega: "Bagaimana kau rasa lebih baik tidak?"
Coh Liu-hiang tertawa, belum sempat bicara, Oh Thi-hoa sudah menambahkan: "Kau tidak kuatir akan diriku, racunku tidak menjadi soal kecuali lenganku ini tertutuk oleh kau, tak bisa bergerak, makan bisa keyang, seperti orang biasa lazimnya!".
Waktu itu didalam rumah sudah mulai gelap Oh Thi-hoa lantas menyulut api memasang lentera, diberinya Coh Liu-hiang makan semangkuk bubur, dan tangan Coh Liu-hiang masih bergetar, mangkokpun tidak bisa dipegangnya kencang.
Kelihatan lahir Oh Thi-hoa wajar dan masih tertawa-tawa, namun hatinya amat mendelu dan merasa tertekan perasaannya.
"Apa mereka masih belum pulang?" tanya Coh Liu-hiang dengan napas memburu.
Mengawasi tabir malam di luar jendela, sesaat Oh Thi-hoa diam saja, akhirnya tak tahan lagi, sahutnya: "Dalam Kang ouw mana ada Bulim Cianpwe berjari tujuh" Bagaimana juga tak habis kupikirkan" Dulu memang ada Chit cay in tho atau Maling sakti tujuh jari, tapi bukan lantaran dia hanya punya tujuh jari, adalah karena tangan kanannya tumbuh dua jari lebih banyak, kalau ditambahkan seluruhnya berjumlah dua belas jari, dan lagi, bukan saja orang ini tidak bisa menawarkan racun, malah kinipun sudah meninggal dunia".
"Kalau demikian kau anggap kedua suami-istri ini sedang membual?"
"Kenapa mereka harus membual?"
Coh-heng menghela napas, dia pejamkan matanya lagi.
Aku hanya mengharap semoga mereka lekas pulang, kalau tidak bila pembunuh kemarin malam ini datang lagi kami berdua mungkin pasrah nasib saja terima digorok leher kami.
Memang kekuatiran Oh Thi-hoa cukup beralasan, dalam keadaan mereka sekarang, Coh Liu-hiang jatuh sakit, tenaga memegangi mangkok saja sudah tidak kuat, lengan Oh Thi-hoa tinggal satu saja yang bisa bergerak, jikalau pembunuh misterius itu meluruk datang, mereka berdua terang takkan bisa melawan.
"Tapi kalau orang itu sudah bekerja demikian rapi berusaha membunuh aku, sekali gagal pasti akan diusahakan kedua kalinya".
Waktu Coh Liu-hiang mengatakan hal ini, Oh Thi-hoa belum merasakan apa-apa, namun serta dipikir, lama kelamaan hatinya semakin bingung dan takut, jantung berdebar-debar, tanpa sadar kelakuannya menjadi semakin aneh, lekas dia menutup rapat jendela kamarnya.
Didengarnya Coh Liu-hiang berkata: "Kalau dia mau datang, apa gunanya kau tutup jenela?"
Sekian lama Oh Thi-hoa terlongong, keringat dingin sudah membasahi jidatnya. Tak lama kemudian, bulan dan bintang tidak kelihatan muncul, cuaca ternyata semakin mendung dan hujanpun turunlah.
Suara ramai di sekeliling hotel semakin sirap dan malam kembali sunyi lelap, titik air hujan saja yang kedengaran berjatuhan, menyentuh daun jendela, suaranyapun semakin ramai semakin lebat dan semakin nyaring, belakangan malah saling bersahutan seperti genderang dibunyikan di medan laga, membuat orang mendidih darahnya.
Kalau dalam keadaan seperti ini ada orang berjalan malam, bukan saja tidak kedengaran langkah kakinya, sampai lambaian pakaiannyapun takkan bisa terdengar. Memang malam hujan begini adalah saat terbaik bagi orang berjalan malam melaksanakan operasinya.
Oh Thi-hoa tiba-tiba mendorong terbuka jendela, dengan mata terbuka lebar, matanya mendelong tak berkedip mengawasi alam nan gulita di luar jendela, pohon flamboyan di pekarangan berubah menjadi bayangan-bayangan raksasa, sedang balas melotot kepadanya.
Sekoyong-koyong "Serr" sesosok bayangan berkelebat lewat di depan jendela. Oh Thi-hoa berjingkrat kaget, waktu dia tegasi dan melihat jelas hanya seekor kucing hitam saja, keringat dingin sudah membasahi badannya.
Coh Liu-hiang disebelah dalam ikut berteriak kaget: "Ada orang datang?"
Oh Thi-hoa tertawa dipaksakan, sahutnya: "Hanya seekor kucing kelaparan saja," suaranya terdengar wajar dan seenaknya saja, bahwasanya hatinya amat mendelu dan getir.
Berapa tahun sudah mereka berdua malang melintang di Kang ouw, mati hidup dipandangnya sebagai mainan saja, kapan pernah pandang orang-orang jahat dalam mata mereka, seumpama menghadapi laksaan musuh berkudapun mereka tak pernah gentar mengerut ke kening. Tapi sekarang hanya seekor kucing saja, sudah cukup membuatnya kaget mengucurkan keringat dingin.
Malam semakin larut, hujan belum reda juga, api lentera sebesar kacang nan kemilau sang ksatria sedang terbelenggu oleh penyakit didalam kamar sekecil ini, sekilas Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, air mata hampir menetes keluar.
Didalam keheningan malam, kedua puluh tujuh batang Bau-hi-li-hoa-ting tetap menggeletak di atas meja dengan sinar peraknya yang kemilau, seolah-olah sedang unjuk perbawa dan menantang kepada Oh Thi-hoa.
Sekonyong-konyong sorot mata Oh Thi-hoa bersinar tajam, "Kalau senjata rahasia ini dapat membunuh orang, tentunya dapat juga untuk mempertahankan diri, kini kalau dia sudah berada di tanganku, kenapa tidak kumanfaatkan dia untuk membunuh orang itu?"
Meski hanya sebelah tangannya saja yang dapat bergerak, akan tetapi tangan ini sudah digembleng dan dilatih secara berat seperti besi baja yang ditempa, kokoh dan kuat, kelima jari-jarinya dari bergerak dengan lincah dan gesit, semuanya amat berguna. Meskipun dia belum pernah lihat alat senjata rahasia semacam Bau-hi-li-hoa-ting, tapi waktu berusia sepuluh tahun dulu, dia pernah membongkar dan mempelajari konstruksi alat-alat rahasia penyambit panah yang terbuat dari bumbung baja.
Dengan pengalaman yang sudah dibekalinya itu, tidaklah mudah dia mempelajari konstruksi alat penyambit Bau-hi-li-hoa-ting yang terbuat dari kotak perak itu, perlahan-lahan akhirnya berhasil juga, dia memasukkan paku-paku perak itu kedalam tabung masing-masing yang berjumlah duapuluh tujuh lobang. Kira-kira seperminuman teh, kemudian dia sudah selesai dengan pekerjaannya.
Sampai pada waktu itu, baru dia menarik napas lega, mulutpun mengguman: "Baik kalau berani salahkan keparat itu biar datang".
Sekonyong-konyong suara samberan angin meluncur lagi seperti tadi dari luar, sesosok bayangan kini melesat masuk dari luar ke dalam kamar malah. Kali ini Oh Thi-hoa sudah lebih tabah dan mantap, dengan ketajaman matanya dia sudah melihat bayangan itu adalah seekor kucing juga, tapi kucing ini melesat terbang terbuang ke tengah ruangan.
Dengan mengulap tangan Oh Thi-hoa bermaksud mengusir dengan menakut-nakutinya dengan bentakan rendah. Tak nyana kucing yang terbang lurus itu tiba-tiba melorot jatuh dan
"Blug" tepat jatuh ke atas meja, lentera di atas meja sampai bergetar jatuh.
Cepat sekali Oh Thi-hoa memburu maju menyambar lentera sementara matanya mengawasi kucing, dilihat si kucing rebah lemas di atas meja tanpa bergerak, napasnya sudah kempas-kempis, jiwanya tinggal menunggu waktu saja.
Pada leher si kucing malah terikat seutas benang yang membelit secarik kertas. Oh Thi-hoa segera mengambil kertas itu, dilihatnya di atas kertas ada huruf-huruf yang berbunyi: "Coh Liu-hiang ... Coh Liu-hiang, coba kau pandang dirimu sekarang hampir mirip dengan kucing ini" Apa kau masih tetap hidup?"
Kertas itu bukan saja merupakan rekening penagih nyawa mereka, boleh dikata merupakan suatu penghinaan pula, jikalau Coh Liu-hiang sampai melihat beberapa patah kata ini, betapa perasaan hatinya?"
Oh Thi-hoa insaf kalau kertas peringatan ini sudah dikirim dulu, sebentar si pengirimnya tentu akan tiba juga, kali ini mereka tidak menggunakan cara keji yang rendah dan untuk membokong, sebaliknya menantang secara terang-terangan, tentunya sudah memperhitungkan bahwa Coh Liu-hiang bukan saja tiada mampu melawan, malah untuk lari menyelamatkan dirinya tak bisa lagi.
Mengawasi kucing yang kempis-kempis di atas meja, serta mengawasi Coh Liu-hiang yang rebah di atas pembaringan, mendadak dia mengambil kotak perak berisi Bau-hi-li-hoa-ting itu berlari keluar lewat jendela.
Dari pada menunggu musuh datang mencabut nyawa mereka, lebih baik keluar meluruknya ajak adu nyawa, watak dan perbuatan keras Oh Thi-hoa ini, sampai mampuspun takkan bisa dirubah lagi. Terasa olehnya darah mendidih di seluruh badan, sedikitpun tak terpikir olehnya bahwa Coh Liu-hiang sedikitpun tak punya tenaga untuk melawan, jikalau dirinya tinggal pergi melabrak musuh, dengan Coh Liu-hiang sendirian tinggal dalam kamar tanpa ada orang yang menjaga dan melindungi, bukankah berarti memberi umpan musuh untuk membekuk atau membunuhnya dengan gampang.
Hujan rintik-rintik, sehingga tabir yang sudah gelap ini semakin kelam, di pekarangan sebelah sana sayup-sayup kedengaran tawa perempuan yang cekikikan genit, lebih menambah suasana yang hening lelap dan dingin ini terasa seram.
Begitu tiba di pekarangan langsung Oh Thi-hoa lompat ke wuwungan rumah, bentaknya bengis: "Sahabat sudah kemari, kalau berani silahkan unjuk diri dan bertanding sampai ajal dengan aku orang she Oh, sembunyi ditempat gelap terhitung orang gagah macam apa?"
Kuatir membuat Coh Liu-hiang kaget, suaranya tidak berani keras-keras, namun diapun kuatir orang yang dicarinya tidak mendengar maka sambil bicara tak henti-hentinya dia membanting kaki.
Tak nyana belum lagi kata-katanya terucap habis, di belakangnya tiba-tiba terdengar suara tawa geli yang tertahan, berkata dingin seseorang: "Sejak tadi sudah kutunggu kau di sana siapa suruh matamu tak melihatku".
Sigap sekali Oh Thi-hoa putar badan, tampak sesosok bayangan orang berkelebat, tahu-tahu orang sudah melompat ke wuwungan rumah yang lain, orang ini mengenakan pakaian serba hitam, kepala dan mukanya berkerudung serba hitam, kepala dan mukanya tertutup kain hitam, katanya pula dengan tertawa dingin: "Jikalau kau ingin gebrak aku, kenapa tidak berani kemari?"
Dengan menggeram gusar Oh Thi-hoa segera menubruk kesana, tapi begitu ia tiba di wuwungan sebelah sana, orang itu sudah melesat sejauh tujuh delapan tombak jauhnya diiringi diawasi dengan tertawa dingin.
Begitu kejar mengejar berlangsung dengan cepat, kejap lain mereka sudah jauh meninggalkan penginapan itu, tangan Oh Thi-hoa kencang-kencang memegang alat senjata rahasia yang ganas dan hebat itu, apa boleh buat orang itu berlari seperti dikejar setan, jarak mereka masih tetap bertahan tujuh delapan tombak, kalau Oh Thi-hoa tak berhasil memperpendek jarak kedua pihak, ia kuatir senjata rahasianya takkan bisa mencapai sedemikian jauh dengan serangan telak yang mematikan, kalau senjata rahasia ini merupakan alat senjata titik terakhir yang bakal menentukan mati hidupnya, betapapun ia tak berani sembarangan bergerak, bertaruh dengan nasib dan mengejar kemenangan yang belum dapat dipastikan.
Harus diketahui ilmu ginkang Oh Thi-hoa sebetulnya tak rendah, namun sebelah lengannya kini masih tertutuk Hiat-tonya dan tak bisa bergerak, bukan saja darah tidak normal dan lancar dalam saluran badannya, dikala berlari tanpa adanya imbangan gerak-gerik tangannya larinya menjadi kurang cepat dan gerak-geriknya kurang leluasa.
Seluruh kekuatan sudah dia kerahkan, namun jarak mereka malah semakin jauh. Tiba-tiba orang itu lompat turun ke jalan raya tapi tidak melalui jalan besar, malah memilih ke jalan-jalan kecil-kecil, dari lorong-lorong sempit membelok ke gang sempit, segesit ikan berenang, selicin belut menyusup, belok ke timur lalu menikung ke selatan, tiba-tiba bayangannya tak kelihatan lagi.
Keruan Oh Thi-hoa semakin naik pitam dampratnya sengit: "Kalau kau datang hendak bunuh aku, biar aku berdiri di sini saja, kenapa kau tidak kemari membunuhku?"
Belum lenyap caci makinya, pada tikungan di depan sana kembali ia dengar cekikikan tawa orang yang geli tertahan. Tampak orang itu melongokkan kepalanya katanya tertawa dingin: "Aku masih sedang menunggu kau kenapa tidak kemari saja".
Sebelum orang bicara habis, dengan sisa setaker tenaganya Oh Thi-hoa menubruk kesana, baru saja badannya berputar menyelinap ke ujung tembok, tampak seorang kakek tua yang memikul jualan mi dan bakpao sedang berengsot-engsot mendatangi dengan pikulannya turun naik keberatan.
Saking bernafsu mengejar musuh, langkahnya begitu tergopoh-gopoh dan cepat sekali seperti mobil yang remnya blon, tak terkendali lagi "Brak krompyang!" pikulan si orang tua ditumbuknya sampai putus dan barang dagangannya pontang-panting tercecer kemana, bukan soal kalau mi dan bakpao sama jatuh dan hancur, celaka adalah kuah dan minyak goreng di atas wajan sama tumpah membasahi Oh Thi-hoa, sudah tentu seluruh badannya gebes-gebes basah dan kepanasan, jalan kampung dari batu-batu keras yang memangnya licin setelah hujan, ditambah kuah dan minyak yang tercecer ditanah menambah licin permukaan jalan pula, begitu menumbuk pikulan langkah Oh Thi-hoa masih sempoyongan ke depan dan akhirnya terpeleset terguling-guling.
Orang baju hitam yang dikejarnya sekarang sudah berhenti dan membalik badan, serunya tepuk tangan sambil mengolok-olok senang, "Bagus baik sekali, hari ini Hoa ou tiap atau kupu-kupu kembang, menjadi ayam pilek kecebur ke sungai".
Dengan menggerung gusar Oh Thi-hoa mencak-mencak merangkak bangun, tapi kakek tua penjual mi itu sudah menggelinding datang, sekali raih ditariknya baju belakang tengkuknya terus menubruk ke atas badannya, serunya dengan suara serak kalap: "Kau jalan apa tidak pakai mata"
Keluarga besar kecil menggantungkan barang daganganku ini, kau sebaliknya bikin putus sumber kehidupanku, adu jiwa dengan kau"
Kalau mau gampang saja Oh Thi-hoa kipaskan kakek tua ini ke samping, namun dia tahu yang salah memang dirinya, terpaksa dia tumpahkan amarah, katanya: "Lepaskan tanganmu barang-barangmu yang rusak seluruhnya kuganti".
"Baik" seru kakek tua, "Ganti ya ganti, keluarkan uangmu, pikulan Mie ini kubuat dengan ongkos tujuh tahil perak, ditambah dua puluh delapan mangkuk dan Mi, bakpao kuah dan lain-lain paling tidak berjumlah sepuluh tail".
"Baik sepuluh tail ya sepuluh tail, kuganti seluruhnya," dengan lantang Oh Thi-hoa berkata kedengarannya ia bicara dengan enak saja bahwasanya diam-diam dia mengeluh dalam hati, Karena dia ini memang seorang laki-laki yang rudin pembawaan sejak kecil, umpama kantongnya memiliki selaksa tail perak dalam tiga haripun bisa dipakainya sampai habis, demikian pula sekarang satu peserpun kantongnya tidak punya uang.
Sementara kakek tua itu masih mendesaknya dengan sengit: "Sepuluh tail ya sepuluh tail, lekas keluarkan emasmu?"
"Aku ..... besok pasti kubayar kepadamu," seru Oh Thi-hoa tergagap.
Kakek itu jadi gusar: "Memangnya aku tahu bahwa aku ini tulang miskin, kalau sepuluh tail perak tidak kau bayar sekarang juga, jangan harap kau lepas dari tanganku".
Bersambung ke Jilid 31
Jilid 31 Orang baju hitam itu masih belum berlalu dari kejauhan, dia masih menonton pertengkaran ini dengan berseri riang, sudah tentu Oh Thi-hoa semakin keripuhan, belakangan diapun naik pitam, serunya: "Kukatakan besok ya besok pasti kubayar, lepas tanganmu" dia membalik badan hendak melempar badan si kakek tua ini, siapa tahu cekalan kakek tua ini ternyata kencang dan kuat sekali, tahu-tahu pergelangan tangannya malah dipegang begitu keras seperti kacip.
Baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul terkejut, ternyata si kakek tua penjual mi inipun seorang tokoh kosen, gelagatnya orang malah sehaluan dan sejalan dengan orang baju hitam itu.
Kalau dalam keadaan biasa, Oh Thi-hoa tak perlu gentar, tapi bukan saja dirinya tinggal sebelah tangan yang bisa bergerak, malah Lwekangnya paling tidak sudah susut tujuh delapan puluh persen. Tangannya dicengkeram lagi, bergerakpun tidak bisa, orang baju hitam seorang saja dirinya kewalahan dan tak mampu menghadapinya, bila ditambah kakek tua ini, masakah dia bisa memilih jalan hidup.
Kakek tua itu masih merengek-rengek: "Tidak keluarkan uang peraknya, biar aku adu jiwa dengan kau."
Oh Thi-hoa tertawa dingin, jengeknya: "Kau tidak tahu kau...." belum habis dia berkata tiba-tiba kakek tua dekap mulutnya, lalu berbisik di pinggir telinganya: "Bocah itu masih berdiri di sana, biar kubantu kau, dia tak akan bisa lolos."
Begitu Oh Thi-hoa melongo, kakek tua itu sudah mencaci lagi lebih keras dengan mulut berkaok-kaok, matanya berulang kali memberi tanda lirikan kepada Oh Thi-hoa supaya dirinya siap-siap.
Sebat sekali Oh Thi-hoa meronta dan membalik berbareng kakek tua itu pegang bahu dan pundaknya ikut menggelundung terus dorong kedua tangannya dengan kuat, meminjam kekuatan dorongan ini badan Oh Thi-hoa laksana anak panah mencelat terbang sejauh enam tujuh tombak.
Sudah tentu orang baju hitam itu kaget, teriaknya tertahan: "Kau...."
Baru sepatah kata keluar dari mulutnya, tiba-tiba Oh Thi-hoa sudah terbang di atas kepalanya dan tancap kaki, di belakangnya satu tombak mencegat jalan larinya, dengan mengacungkan alat Bau-hi-li-hoa-ting Oh Thi-hoa membentak dengan bengis: "Barang apa yang ku pegang di tanganku ini, tentunya kau sudah tahu seujung jarimu saja berani bergerak, dua puluh tujuh batang paku perak ini akan kutancapkan ke atas badanmu!"
Orang baju hitam itu menarik napas panjang, katanya dengan suara sember: "Kau... apa yang kau inginkan?"
"Sebetulnya ada dendam permusuhan apakah dengan Coh Liu-hiang, kenapa kau berbuat serendah itu dengan membokongnya?"
"Aku tidak punya dendam sakit hati apa-apa dengan dia" sahut orang baju hitam.
"Jadi kau mendapat tugas dan perintah majikanmu untuk membunuh dia?"
"Bukan!"
"Kalau demikian tanggalkan kedok mukamu biar kulihat jelas siapa kau sebenarnya?"
Bergetar badan orang baju hitam, agaknya dia kaget menjublek.
Oh Thi-hoa tertawa gelak-gelak, katanya: "Aku sudah menduga, aku pasti kenal baik sama kau, oleh karena itu kau berusaha menyembunyikan kepala tidak berani dilihat orang, sekarang kalau kau sudah terjatuh ke tanganku, masakah kau ingin mengelabui aku lebih lanjut?"
Tiba-tiba orang baju hitam itu tertawa besar sambil menengadah, tangan bertolak pinggang.
Oh Thi-hoa gusar, dampratnya: "Apa yang kau tertawakan?"
"Aku hanya menertawakan diriku sendiri, kenapa suka turut campur urusan tetek bengek, beberapa kali berusaha menolong jiwamu, kini bukan membalas budi pertolonganku, kau malah hendak membalas dengan dendam penasaran, menggunakan alat senjata rahasia sekeji itu pula untuk menghadapi aku."
Keruan Oh Thi-hoa melongo, tanyanya: "Kau pernah menolong jiwaku?"
"Waktu kau terkurung oleh Ciok-koan-im, siapa yang menolong kau dengan membunuh para murid Ciok-koan-im" Waktu kau minum arak beracun Ciok-koan-im, siapa pula yang memberi obat penawar kepadamu" Masakah kejadian belum lama ini sudah kau lupakan?"
Belum habis kata-katanya, Oh Thi-hoa sudah berjingkrak kaget, teriaknya: "Burung Kenari, jadi kau inilah Burung Kenari?"
"Hmm." orang baju hitam mendengus hidung.
"Kau, beberapa kali menolong jiwaku" Kenapa pula sekarang kau hendak mencabut jiwaku?"
"Jikalau aku benar-benar menginginkan jiwamu, memangnya kau masih bisa hidup sampai sekarang?"
Kembali Oh Thi-hoa tertegun dibuatnya, tanyanya: "Tapi kau, kau kenapa?"
"Tidak usah kau banyak tanya." sentak orang baju hitam beringas. "Sekarang juga aku hendak pergi, jikalau hendak membalas air susu dengan air tuba, kebaikan kau bayar dengan kejahatan, silahkan kau sambitkan Bau-hi-li-hoa-ting itu kepadaku." mulut bicara, badanpun berputar, habis kata-katanya kakinya sudah berlari beberapa langkah.
"Tunggu dulu, aku ingin omong." Oh Thi-hoa berkaok-kaok.
Tanpa menoleh dan tidak dihiraukan seruannya, orang baju hitam itu lari ketempat gelap dan sekejap saja telah menghilang, terpaksa Oh Thi-hoa mengawasi bayangan orang pergi dengan mendelong sedikitpun dia tidak memperoleh akal cara bagaimana dirinya harus bertindak. Karena dia memang bukan manusia rendah diri yang membalas kebaikan orang dengan perbuatan jahat, betapapun misterius dan serba tersembunyi sepak terjang si Burung Kenari ini, betapapun orang pernah menolong jiwanya.
Tengah dia terlongo, didengarnya orang batuk-batuk di belakangnya, berkata seseorang dengan tertawa: "Koan-hucu, Koan Kong, di jalan raya Hoa-yong pernah juga melepas Coh Bing-tik, sikap Oh Tayhiap hari ini, tak ubahnya seperti pambek Koan-hucu pada jaman Sam Kok dulu, yang patut dipuji dan dibanggakan karena keluhuran budi dan kebijaksanaannya, setia dan dapat dipercaya." Ternyata kakek tua itu masih berada disitu, belum berlalu!
Lekas Oh Thi-hoa membalik badan terus menjura, sapanya tertawa getir: "Cayhe selamanya belum kenal dengan Lotiang, terima kasih akan bantuan Lotian barusan."
"Meski Oh Tayhiap tidak kenal Losiu, sebaliknya sejak lama Losiu sudah kenal baik nama besar Oh Tayhiap."
"Sungguh memalukan, harap tanya sukalah Lotiang memberitahukan namanya yang mulia?"
"Losiu Cay-tok-hiang, atau si sebatangkara!"
"O, kiranya Ban-li-tok-hing "jalan sendirian laksaan li" Cay-loyacu dari angkatan tua Kaypang, tak heran sedikit jinjing dan lempar Cayhe laksa laksana naik awan menunggang kabut, Cayhe sungguh berlaku kurang hormat."
"Tidak berani, tidak berani."
"Tapi bagaimana Cianpwe bisa... bisa..."
"Kau ingin tanya bagaimana pengemis bangkotan seperti aku tahu-tahu ganti objek jadi penjual Mi, benar tidak?"
Oh Thi-hoa menyengir geli, katanya: "Cayhe memang sedikit heran."
"Sejak Coh Liu-hiang Maling romantis berhasil membongkar perbuatan jahat Lamkiong Ling, maka pandangan kaum persilatan terhadap pengemis aku ini berubah, setiap kaum persilatan melihat orang-orang pengemis malah amat menyolok mata, oleh karena itu bagi orang yang suka kelana di Kang-ouw seperti aku bila berpakaian seperti pengemis bukan saja tidak leluasa, kemungkinan bisa menimbulkan banyak kesulitan."
"Benar, sudah lama kudengar Cayhe paling benci kejahatan, paling suka menegakkan keadilan dan memberantas kelaliman, maka sepanjang tahun kelana kian kemari, sampai perbatasan yang liar dan belukar itu juga pernah dijajahi, tujuannya tidak lain untuk melihat benarkah didalam kehidupan manusia di mayapada ini memang ada kejadian yang tak adil, jikalau ada orang bisa mengetahui asal usul locianpwe, mungkin suara atau kejadian yang tidak adilpun takkan bisa terlihat lagi oleh Cianpwe."
Tertawa dan menyeka kotoran dimukanya, Oh Thi-hoa menambahkan: "Karena setiap orang yang punya nyali berbuat kejahatan di depan Ban-li-tok-hing, tidak berapa banyak dalam dunia ini, tapi si Burung Kenari itu bila tahu orang yang jualan Bakmi ini adalah Ban-li-tok-hing, mungkin sejak tadi telah ngacir."
Cay-tok-hing tersenyum ewa, katanya: "Losiu baru saja tamasya ke perbatasan yang liar dan belukar itu, tahu-tahu kudengar peristiwa besar yang memalukan di dalam Kaypang kami, untunglah Coh Liu-hiang si Maling romantis tanpa pamrih berhasil menolong bencana besar yang terpendam di dalam tampuk pimpinan Kaypang kami, kalau tidak nama baik dan kebesaran Kaypang kami selam berabad-abad bakal dibuat rusak dan runtuh ditangan murid murtad yang celaka itu."
"Seperti Cianpwe, Coh Liu-hiang pun mempunyai watak turut campur urusan orang lain."
Cay-tok-hing si batangkara tertawa: "Sudah lama Losiu dengar bahwa Oh Tayhiap adalah sahabat Coh Liu-hiang yang paling dekat laksana saudara sepupu sendiri, oleh karena itu begitu tadi aku mendengar Burung Kenari menyebut Hoa-ou-tiap, maka campur tangan ini tidak bisa tidak harus kulakukan juga."
Tiba-tiba berkilat sorot mata Oh Thi-hoa, tanyanya: "Cianpwe sudah lama kelana di Kang-ouw, adakah pernah mendengar asal-usul si Burung Kenari?"
"Disitulah letak keheranan Losiu, dinilai dari Ginkang si Burung Kenari ini, walau belum bisa dijajarkan dengan Ginkang Maling Romantis tapi didalam kalangan Kang-ouw sudah termasuk kelas wahid, seharusnya sudah punya nama tenar dan kebesaran di Bulim, tapi nama Burung Kenari, Losiu justru belum pernah mendengarnya."
Oh Thi-hoa mengerut kening, katanya: "Apakah orang ini tokoh muda yang baru saja keluar kandang" Tetapi dilihat dari sepak terjangnya dan perbuatannya yang culas serapi itu, tidak mirip seperti muka baru yang masih berbau pupuk bawang."
"Menurut pendapat Losiu, kemungkinan orang ini adalah samaran tokoh Kangouw kawakan yang menyamar saja. Burung Kenari hanyalah nama tiruan atau julukannya saja. Dan lagi bukan mustahil orang ini memang sudah dikenal oleh Oh Tayhiap, oleh karena itu dia mengenakan kerudung kepala supaya muka aslinya tidak kau kenali."
"Aku sendiripun sudah menduga akan hal ini, tapi sungguh tak pernah kupikirkan, siapakah diantara teman-temanku yang bakal berbuat sedemikian ini?"
"Masih ada satu hal, Losiu amat heran pula."
"Kalau orang ini tiada maksud mencelakai Oh Tayhiap, kenapa dia memancing Oh Thayhiap mengejarnya kemari?"
Seketika Oh Thi-hoa tertegun, tiba-tiba ia rasakan sekujur badannya dingin seperti hampir membeku, teriaknya tertahan dengan terbelalak: "Celaka, mungkin dia tipu aku dengan tipu memancing harimau meninggalkan sarangnya."
"Memancing harimau meninggalkan sarangnya apa?" tanya si Batangkara tak tahu.
Tak sempat menjawab pertanyaan orang, tanpa pamitan lagi Oh Thi-hoa segera berlari bagai terbang, karena baru sekarang benar-benar dia sadari akan keadaan Coh Liu-hiang yang berbahaya. Namun baru sekarang dia sadar, sudah tentu amat terlambat.
Jendela tidak tertutup, kucing sudah mati, hembusan angin malam nan dingin membuat hawa kamar semakin dingin, kertas tulisan di atas meja terhembus melayang jatuh, lentera pun seketika padam.
Dengan penerangan lentera itu, kamar ini masih terasa redup dan gelap, kini lentera padam, keruan suasana terasa dingin gelap dan seram.
Seperti kucing yang sudah mampus di atas meja, Coh Liu-hiang rebah tanpa bergerak diatas pembaringan. Apakah nasibnya begini saja, menunggu ajal karena sakitnya atau bakal direnggut musuh dengan konyol"
Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang muncul diambang jendela. Orang inipun mengenakan pakaian serba hitam yang ketat, kepalanya terbungkus kerudung hitam, gerak-geriknya selincah kucing, seenteng burung walet.
Punggungnya menggendong sarung pedang yang dibelit dengan tali melintang, pedang panjang sudah tersoren di tangannya, disembunyikan di belakang sikutnya, sekali membalik tangan, cepat sekali pedangnya akan dapat menembusi tenggorokan sasarannya.
Sekian lama dia mendekam di bawah jendela, dengan cermat dia memperhatikan keadaan dan pasang kuping. Didengarnya deru pernapasan Coh Liu-hiang berubah-ubah, adakalanya lemah, mendadak berubah berat dan menggeros, kalau lemah seperti napasnya hampir putus, kalau berat menggeros seperti dengus napas sapi.
Orang baju hitam ini mendengarkan sekian lamanya, sepasang matanya yang berkilat tajam dari balik kerudungnya menampilkan rasa puas dan senang, sudah didengarnya dari deru napas Coh Liu-hiang bahwa penyakitnya malah bertambah berat, bukan malah sembuh atau menjadi ringan. Tapi dia cukup sabar untuk tak segera menerobos masuk, terlebih dulu ia bergaya merentang kedua tangan lalu "Sret" menusukkan pedang ditengah udara, sambaran pedang ditengah udara bolong membara sambaran angin yang cukup keras. Kalau dalam keadaan normal biasanya Coh Liu-hiang tentu sudah mendengar dan terjaga bangun. Tapi kini sedikitpun tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Baru sekarang orang baju hitam yang satu ini menongolkan badannya dengan berdiri tegak, ternyata perawakan badannya lebih tinggi dari orang baju hitam yang mengaku sebagai Burung Kenari tadi, badannya lebih kekar pula, namun ilmu Gingkangnya malah setingkat lebih rendah.
Menyadari kekurangan dirinya, maka orang ini bertindak penuh hati-hati dan waspada, dia tidak segera menerobos masuk kekamar, setelah menunggu pula sebentar, baru sebelah tangannya menekan alas jendela terus menyelinap masuk ke dalam.
Begitu gelap keadaan dalam kamar ini sampai lima jari tangan sendiripun tidak kelihatan, orang baju hitam ini seolah-olah sudah membaurkan diri di dalam kegelapan, meski masih berada di luar jendela tadipun sukar dilihat gerak-gerik bayangannya. Berdiri ditempat gelap kembali dia menunggu beberapa saat, deru pernapasan Coh Liu-hiang diatas pembaringan masih tidak teratur, kalau tidak mau dikatakan sudah kempas-kempis tinggal menunggu ajal.
Kembali orang baju hitam menggerakkan langkah pelan-pelan maju ke depan. Langkah kakinya amat enteng dan tenang, hampir tak mengeluarkan suara. Tapi habis hujan, jalanan di luar becek, maka alas sepatu orang inipun basah dan berlepotan lumpur, dua langkah kemudian "Srek"
tiba-tiba sepatunya menggesek lantai mengeluarkan suara lirih.
Walau suara gesekan ini amat lirih, tapi didalam suasana yang hening lelap seperti itu, kedengarannya justru amat nyata dan lebih menusuk pendengaran dari golok karatan yang sedang diasah.
Mungkin terkejut oleh suara gesekan lirih ini, Coh Liu-hiang seperti bergerak di atas pembaringan. Orang baju hitam seketika mematung diam seperti membeku, napaspun tak berani keras. Tak kira Coh Liu-hiang hanya sedikit membalikkan badan saja, kini mukanya menghadap ke sebelah dalam, ke arah dinding, didalam kegelapan orang baju hitam mengelus dada menghela napas lega, menunggu lagi beberapa kejap, mendadak dengan langkah cepat dia menubruk ke arah pembaringan, pedang di tangannya laksana ular sanca yang galak menusuk ke arah Coh Liu-hiang yang rebah di atas pembaringan.
Sembari berlari marathon, seperti berlomba mengejar prestasi, dalam hati Oh Thi-hoa mengumpat caci akan kebodohan dirinya, jikalau Coh Liu-hiang benar-benar sudah terbokong oleh orang, umpama dirinya masih bisa bertahan hidup, selanjutnya juga malu berhadapan dengan orang banyak.
Sungguh ingin rasanya tumbuh sayap dapat segera terbang kembali ke kamarnya. Akan tetapi mendadak dia menghentikan langkah.
Mendadak Oh Thi-hoa sadar dirinya tak berhasil mencari jalan untuk kembali ke penginapannya tadi. Tadi waktu mengejar Burung Kenari, dirinya telah diajak putar kayun putar sana balik sini, ia sendiri tidak tahu dirinya sekarang berada dimana, berapa jauh diri penginapannya, lebih celaka lagi diapun sudah tidak bisa membedakan arah.
Didalam malam nan gelap, sehabis hujan ditengah kota yang masih asing bagi dirinya, setiap jalan raya dan gang-gang sempit serta lorong panjang satu sama lain hampir mirip, demikian pula bangunan dan bentuk drai perumahan dari jalan ini dengan jalan yang itupun tiad bedanya.
Ingin dia menggedor pintu rumah orang, untuk tanya jalan, tapi disadari pula bahwa dia pun tak tahu apa nama penginapan yang ditinggali itu, karena dia lupa tanya dan tak ambil peduli tetek bengek ini, untuk tanya jalanpun tiada gunanya pula.
Sungguh hampir gila Oh Thi-hoa dibuatnya saking gugup, berdiri kehujanan, seluruh badannya sudah basah kuyup, mukanya basah karena air hujan, atau keringat" Mungkin juga air mata"
Tusukan pedang orang baju hitam dilontarkan dengan serangan ganas, bagai ekor kalajengking yang mengatup, cepatnya seperti kilat, dan lagi yang diarah adalah Hiat-to penting dibadan Coh Liu-hiang, dari jurus serangan dapatlah dibayangkan bahwa pembunuh ini sudah pengalaman dan orang yang ahli dialam bidang ini.
Maka terdengarlah "Blus" pedang panjang yang kemilau itu sudah menusuk tembus tapi bukan menghujam ke badan Coh Liu-hiang, ternyata hanya menusuk sebuah bantal.
Ternyata didalam detik-detik yang menentukan itu, Coh Liu-hiang sudah kempas-kempis itu mendadak mencelat berputar badan, dengan bantal dia menangkis tusukan pedang orang. Keruan kejut bukan main si orang baju hitam, menarik pedang, pedang tak bergeming segera terlintas dalam otaknya untuk melarikan diri meninggalkan pedang. Tapi meski reaksinya sudah amat cepat dan cekatan, toh gerakan Coh Liu-hiang lebih cepat lagi, belum lagi dia sempat menarik tangannya, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah pegang pergelangan tangannya.
Namun si orang baju hitam tidak menjadi gugup dan kehilangan akal, telapak tangan kiri tegak seperti golok, membabat pergelangan tangan Coh Liu-hiang. Tak nyana Coh Liu-hiang mendadak menarik tangan kanannya sehingga tebasan tangan kirinya mengenai tangan kanannya sendiri, saking sakitnya mulutnya mendehem keras.
Cepat sekali tangan Coh Liu-hiang yang lain tiba-tiba sudah berada di bawah ketiaknya, menepuk pelan-pelan, separuh badannya seketika kesemutan kemeng dan mati kutu tak bisa bergerak lagi.
Ditengah kegelapan, tampak sepasang biji mata Coh Liu-hiang laksana bintang kejora kelap-kelip, mana ada tanda-tanda sedang sakit dan kempas-kempis hampir mati. Baru sekarang badan si orang baju hitam benar-benar bergidik seram, suaranya serak sumbang: "Kau...." hanya sepatah kata saja yang terucapkan, kata-kata selanjutnya terputus.
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Cayhe sudah perhitungkan bahwa tuan pasti akan datang pula, maka sejak lama sudah aku menunggumu disini."
Keringat gemerobyos membasahi kepala dan muka si orang baju hitam, katanya pula gemetar:
"Kau... tidak sakit?"
"Walau badanku tidak sakit, tapi aku memang punya sakit hati, jikalau aku tidak bikin terang asal-usul dan maksud tujuanmu, penyakit hatiku ini tidak akan dapat disembuhkan!"
Orang itu menarik napas, katanya: "Coh Liu-hiang memang tidak bernama kosong, betul-betul punya kemampuan yang luar biasa, hari ini aku mengaku kalah dan terjungkal di tanganmu, apa keinginanmu", mendadak dia tertawa riang, katanya pula: "Aku tahu Maling romantis selamanya tidak melukai musuhnya, apa benar?"
"Tidak salah, tapi jikalau kau tidak terus terang mengenai asal usul dirimu sendiri, Kenapa berulang kali berusaha membunuhku dengan cara membokong, meski aku tidak merenggut jiwamu, terpaksa aku harus bertindak kasar kepadamu."
"Memangnya aku tidak punya dendam sakit hati dengan kau, kapan pula aku pernah kemari berusaha membunuh kau?"
"Masakah baru pertama kali ini kau hendak membunuh aku?"
"Sudah tentu untuk kedua kalinya."
Berkilat mata Coh Liu-hiang, tanyanya pula: "Apakah kau bukan diutus seseorang kemari untuk melaksanakan tugasmu?"
"Tidak salah, aku hanya..." belum selesai dia bicara, tiba-tiba terdengar suara "Ser!" didalam gelap agaknya ada seulas sinar kecil pendek berkelebat cepat sekali sudah menghilang.


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terasa oleh Coh Liu-hiang pergelangan tangan orang yang dipegangnya seperti mengejang dan kaku. Tiba-tiba badannyapun melonjak gemetar, sorot matanya memancarkan rasa sakit dan ketakutan, suaranya serak terputus-putus. "hanya... adalah..."
Berubah air muka Coh Liu-hiang, sentaknya, "Siapa" lekas katakan!"
Tenggorokan orang baju hitam berbunyi "krok, krok" lalu tak mampu bicara lagi, maka rahasia yang bersemayam direlung hatinya ikut terbawa oleh helaan napas yang terakhir, selamanya takkan terbongkar.
Ketika itulah dari luar terdengar suara teriakan Lu Giok-ham yang gugup dan prihatin.
"Coh-heng, Coh-heng, apa kau terluka?" ditengah teriakannya Li Giok-ham bersama Liu Bu-bi sudah berlari datang terus melesat masuk lewat jendela.
Tak lama kemudian Liu Bu-bi sudah menyalakan lentera, melihat Coh Liu-hiang berdiri segar bugar di depan pembaringan, segera ia menarik napas lega, katanya berseri tawa kegirangan.
"Terima kasih kepada langit dan bumi, terhitung kami sempat menyusul pulang tepat pada waktunya."
Ksatria Negeri Salju 4 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Kisah Pendekar Bongkok 9
^