Pencarian

Pendekar Pengejar Nyawa 22

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 22


"Ah, masakah Cianpwe belum jelas, menangkap juntrungannya?" Oh Thi-hoa tertawa.
Cay Tok hing tertawa, Oh Thi-hoa melanjutkan: "Kionglam Yan adalah orang yang diutus mencari Coh Liu-hiang, kalau Im-ki suruh dia menemui Coh Liu-hiang yang kenamaan, dapatlah dibayangkan dia pasti salah satu tokoh kepercayaan yang berkepandaian tinggi dari Sin cui kiong, tapi ke enam orang itu toh kaum keroco belaka, tak perlu susah-susah dia sendiri yang turun tangan."
Coh Liu-hiang mendelik kepadanya katanya: "Hari ini aku jadi heran kenapa kau banyak bicara, sedikit minum arak?"
"Tapi kata-kata ini jangan disalah-artikan." ujar Cay Tok hing: "Orang yang diutus pihak Sin cui kiong untuk menemui Coh Liu-hiang pasti kedudukan dan tingkat kepandaiannya di dalam lembah amat tinggi, pasti bukan khusus untuk menghadapi keenam orang itu."
"Kalau demikian kedatangan Kionglam Yan dikota kecil ini memangnya khusus hendak menghadapi Coh Liu-hiang" Tapi darimana mereka bisa tahu bila Coh Liu-hiang sudah berada di sini?"
Coh Liu-hiang menepekur, sementara Cay Tok hing sudah mengukuti hidangan diatas meja dan masukan ke dalam sebuah karung lalu memadamkan lilin lagi. Katanya dengan suara kereng:
"Sinar api dimalam nan gelap, dapat menjadi perhatian orang lain, kalau Oh-heng bisa menemukan tempat ini, bukan mustahil orang lainpun bisa kemari, marilah kita mencari tempat lain saja."
Baru saja Coh Liu-hiang putar badan sampai diambang pintu, tiba-tiba dia hentikan langkahnya. Oh Thi-hoa yang sedang berdiri diambang jendela harus makan waktu beberapa lamanya lagi baru bisa melihat jelas, ditengah keremangan malam itu melayang datang dua sosok bayangan orang.
Gerakan kedua bayangan ini begitu enteng dan cepat serta aneh lagi, terutama orang yang di sebelah kiri dengan perawakan agak pendek. Coh Liu-hiang dan Tok hing merupakan ahli di bidang ilmu Ginkang, sekali pandang lantas mereka tahu, bukan saja Ginkang orang ini amat tinggi, malah gerak-geriknya selalu dapat bergaya dengan gemulai dan indah serta lembut, seolah-olah sedang menari ditengah angkasa mengikuti irama musik yang dibawa lalu oleh hembusan angin malam.
Oh Thi-hoa melirik kepada Cay Tok hing lalu melirik pula kepada Coh Liu-hiang, tak tahan ida menghela napas, biasanya diapun amat bangga akan ilmu Ginkangnya sendiri tapi setiap orang yang dia lihat malam ini, ilmu Ginkangnya justru jauh lebih tinggi dari dirinya, seolah-olah seluruh tokoh Ginkang yang paling top di seluruh dunia malam ini sama meluruk dan tumplek di kota ini.
Diam-diam Cay Tok hing memberi tanda dengan ulapan tangan, serempak mereka bertiga segera mengundurkan diri lewat jendela di sebelah belakang, kebetulan di luar jendela adalah lereng gunung yang lebat ditumbuhi rumput liar.
Mereka tidak menyingkir jauh, namun terpencar tidak berjauhan menyembunyikan diri didalam semak-semak rumput yang gelap, hati masing-masing sama menerka dan menebak-nebak, Siapa kedua orang itu" Untuk apa dia kemari" Mereka berkeputusan untuk mencari tahu sampai jelas duduknya persoalan.
Bukan saja kedua bayangan orang itu langsung menuju ke sekolahan itu, agaknya mereka bukan untuk sekali ini datang ke tempat ini, agaknya mereka sudah tahu dan apal benar akan situasi daerah sekitar ini. Ala kadarnya mereka berputar memeriksa keadaan sekitarnya lalu masuk kelas, begitu masuk ke belakang pintu orang yang bertubuh rada pendek itu lantas berkata dengan suara berat: "Kenapa pintu ini tidak ditutup?"
Seorang yang lain tertawa, katanya: "Anak-anak kecil biasanya terburu-buru ingin lekas pulang, masakah mereka ingat untuk menutup pintu lagi?"
"Tapi Ong-siansing yang memberi pelajaran di sini itu, aku tahu adalah seorang tua yang kolot dan keras terhadap murid-muridnya, kerjanya selalu hati-hati dan rajin, mana bisa..."
"Bukan mustahil dia sudah dibikin pusing kepala oleh kenakalan murid-muridnya, apalagi pintu tertutup atau tidak apa sih halangannya, yang terang tempat seperti ini tiada sesuatu benda berharga yang bisa menarik perhatian orang lain untuk datang kemari." Suara orang ini serak kalem dan tua, kedengarannya seperti sudah amat dikenal.
Dalam waktu dekat sulit Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang teringat siapa gerangan laki tinggi yang dikenal suaranya ini. Laki-laki yang bertubuh rada pendek itu sudah beranjak mendekati jendela, tapi waktu mereka mengundurkan diri, juga lupa menutup lagi. lapat-lapat masih kelihatan raut muka orang ini, kontan Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang melengak keheranan dibuatnya. Ternyata orang ini bukan lain adalah laki-laki berperawakan sedang berpakaian serba hitam sebagai ahli pedang yang berkedok dan tak dikenal asal usulnya itu, kini pakaiannya sudah ganti warna tidak seperti waktu berada di Yong cui san cheng tempo hari. Maka tak perlu diragukan lagi bahwa seorang yang lain pasti adalah Kuncu-kiam Ui Loh-ce.
Tengah malam buta rata kedua orang ini datang ke tempat sunyi ini, malah gerak-geriknya sembunyi-sembunyi seperti takut dilihat orang, memangnya apa pula tujuan mereka" Sudah tentu Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati.
Ditengah keremangan malam kelihatan sikap dan mimik muka laki-laki sedang itu amat prihatin, sinar matanya aneh dan terang kelihatannya amat haru dan terlalu emosi.
Mengawasi tabir malam di luar jendela orang ini terlongong beberapa kejap lamanya, katanya setelah menghela napas panjang: "Selama beberapa tahun ini hidupku seolah-olah selalu dibayangi setan dan ketakutan akan bayanganku sendiri, mungkin kau..."
Ui Loh ce menghampiri menepuk pundaknya, ujarnya: "Aku tidak menyalahkan kau, didalam situasi dan keadaan seperti ini, berhati-hati dan selalu waspada memang jamak."
Laki-laki itu menunduk, katanya rawan: "Setiap orang dalam dunia ini sama ingin membunuhku, hanya kau... sejak mula sampai kini sikapmu tidak berubah dan tidak pernah meninggalkan aku, sebaliknya bukan saja aku tidak bisa membalas kebaikanmu, malah selalu bikin susah dan ikut terembet urusanku."
"Bersahabat mengutamakan setia kawan perduli bagaimana sikapmu terhadap orang lain, terhadap aku, kau tetap setia dan akrab, didalam pandangan mataku, kau dibanding siapapun dalam dunia ini kau jauh lebih boleh dipercaya." sampai di sini dia tersenyum lalu meneruskan:
"Dalam jaman sekarang sahabat sejati memang sukar didapat, teman seperti kau, mungkin selama hidupku takkan bisa kucari yang keduanya."
Laki-laki sedang itu amat haru, katanya tersenyum: "Seharusnya akulah yang berkata demikian, kalau kaum persilatan tahu Kuncu-kiam sudi bersahabat dengan orang seperti aku ini, mungkin bakal merupakan berita gempar yang paling aneh daripada Thian Long Taysu dari Siauwlim itu kembali preman mempersunting bini." suaranya riang dengan tertawa, namun raut mukanya tetap kaku.
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa beradu pandang, dalam hati masing-masing tanpa berjanji sama membatin: "Ternyata orang ini memang memakai kedok muka."
Tapi siapakah sebenarnya orang ini" Kenapa setiap insan persilatan ingin membunuhnya"
Pada tengah malam buta rata seperti ini mendatangi sekolahan yang kosong ini, apa sih sebetulnya maksud tujuannya"
Hampir tak tertahan ingin rasanya Oh Thi-hoa menerjang keluar, merenggut kedok muka orang ini, ingin dia melihat jelas muka orang yang sebenarnya.
Hening sebentar, terdengar Ui Loh ce buka suara pula: "Malam ini, aku seharusnya tidak perlu kemari."
"Aku justru ingin kau kemari, karena aku ingin kau bisa melihatnya." sorot matanya menampilkan emosi hatinya, tak tertahan dia tertawa riang, katanya pula "Mungkin selama hidupmu kau takkan pernah melihat gadis rupawan secantik itu."
Ui Loh-ce tertawa ujarnya: "Tak usah melihat, aku sudah tahu, dia pasti seorang nona pintar, cerdik, cantik, aku cuma... mungkin dengan kehadiranku di sini, kalian tidak akan leluasa bicara."
"Apanya yang tidak leluasa, sejak lama dia sudah tahu tentang dirimu, hari ini bila berhadapan dengan kau, pasti dia akan merasa amat senang." tiba-tiba dia tertawa pula, katanya lebih lanjut
"Hari ini aku pastikan minum sepuasku, sudah lama aku belum pernah seriang malam ini, kelak mungkin takkan kualami..."
Ui Loh ce kembali menukas: "Hari-hari gembira seperti ini jangan kau mengeluarkan kata-kata yang mematahkan semangat, kini waktunya sudah hampir tiba, lekaslah kau keluarkan arak hidangannya."
Ternyata kedua orang ini memang sedang menunggu kedatangan seseorang, malah hendak minum merayakan pertemuan ini.
Tak urung berpikir Oh Thi-hoa dalam benaknya: "Tak kira ruang sekolahan ini menjadi warung arak, malah dagangannya cukup laris, siapapun yang datang kemari sama ingin menikmatinya dengan riang hati."
Coh Liu-hiang bertambah heran, mendengar pembicaraan mereka, agaknya laki-laki sedang ini seperti sedang menunggu kedatangan kekasihnya, tapi kenapa mereka janji pertemuan didalam ruang sekolahan ini" Memangnya perempuan itu juga malu dilihat orang"
Tampak laki-laki sedang itu memang membawa sebuah kantongan besar, satu persatu dia keluarkan terus ditaruh di atas meja, katanya dengan tertawa: "Kacang bawang meski makanan kecil yang paling biasa, tapi dia justru merasa jauh lebih nikmat dari segala maskan restoran yang paling mahal, tempo hari seorang diri dia menghabiskan dua kati."
"Benar, barang yang paling biasa, justru ada orang menganggapnya sebagai barang berharga."
Laki-laki sedang itu menepekur sebentar, tiba-tiba dia memutar badan, katanya seperti menggumam: "Aku memang salah terhadapnya, seharusnya kubawa pergi tapi aku ini jadi orang yang lemah tak punya keteguhan hati, seakan-akan aku jadi tega melihat dia hidup didalam suasana kesepian yang mencekam sanubari." kini dia sudah membelakangi Ui Loh ce, agaknya dia segan dilihat oleh Ui Loh ce bila tangannya sedang menyeka airmata, di luar tahunya bahwa tiga orang di luar jendela yang gelap itu menyaksikan gerak-geriknya dengan jelas.
Waktu itu Ui Loh ce sudah menyulut sebatang lilin, meski dalam rumah sudah bertambah penerangan namun suasana menjadi hening dan dingin, penerangan api lilin sedikitpun tak merubah suasana yang sepi dan menekan perasaan ini. Karena mereka sedang menunggu, memangnya tiada sesuatu yang bisa merubah suasana lebih meriah didalam keadaan sedang menunggu seperti ini, lama kelamaan Ui Loh ce kelihatan tak sabar lagi. Kembali lelaki sedang itu berdiri diambang jendela, dengan mendelong memandang ke tempat nan jauh. Tabir malam dikejauhan terasa semakin pekat, akhirnya dia menghela napas, mulutnya mengigau: "Sekarang mungkin sudah lewat kentongan ketiga."
"Kukira waktu belum selarut itu."
Laki-laki itu, geleng-geleng kepala katanya: "Coba pikir, malam ini mungkinkah dia kemari?"
Ui Loh ce tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Pasti tidak datang."
Laki-laki itu membalik badan, katanya: "Sebetulnya memang baik juga bila dia tidak kemari, kalau aku jadi dia belum tentu aku mau datang, aku..."
Tiba-tiba terdengar suara "Tok" di luar pintu serempak laki-laki itu dan Ui Loh ce memutar badan, maka terlihat sesosok bayangan putih semampai tahu-tahu sudah berdiri di luar pintu.
Keadaan di luar pintu masih gelap, Oh Thi-hoa tidak melihat jelas raut muka bayangan putih ini, namun waktu dia melirik dilihatnya mulut Coh Liu-hiang terpentang lebar, seperti kakinya tiba-tiba diinjak orang. Soalnya dia sudah jelas melihat bayangan putih di luar pintu itu, dilihatnya sorot matanya yang dingin dan jeli itu, orang ini ternyata adalah Kionglam Yan.
Sungguh mimpipun dia tidak pernah menduga lelaki sedang itu ternyata sedang menunggu kedatangan Kionglam Yan di sini. Kionglam Yan yang bersikap dingin kasar itu, ternyata adalah kekasih yang selalu diimpikan oleh lelaki sedang. Selama ini dia berpendapat Kionglam Yan adalah gadis suci dan rupawan yang agung dan bersih, gadis yang tak boleh dijamah atau disentuh oleh sembarang orang, siapa tahu ternyata diapun punya kekasih gelap yang malu dilihat orang lain.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas seolah-olah merasa gegetun bahwa dirinya telah ditipu mentah-mentah umpama orang di luar itu adalah bininya diapun takkan seheran dan melengak begitu rupa. Karena sesuatu yang bisa bikin lelaki dongkol dan marah, adalah perempuan yang tak bisa dia miliki namun dengan gampang dimiliki orang lain malah, sungguh laki manapun takkan bisa menerima kekalahan seperti ini secara konyol.
Tampak laki-laki itu menyongsong dengan kegirangan, namun tiba-tiba dia hentikan langkahnya di depan pintu, teriaknya tertahan: "Nona King, kau!"
Dengan langkah gemetar Kionglam Yan melangkah masuk, katanya tawar: "Tiba-tiba aku disibukkan urusan lain, maka datang terlambat, maaf ya." mulutnya minta maaf, namun sikapnya dingin, siapapun dapat merasakan sedikitpun dia tidak punya perasaan minta maaf. Coh Liu-hiang justru diam-diam menghela napas lega. Karena dari sikap dan pembicaraan ini dia sudah melihat bahwa Kionglam Yan dan laki-laki itu sedikitpun tak punya hubungan mesra dan kasih, memangnya bukan dia orang yang ditunggu oleh laki-laki ini" Kalau bukan dia, kenapa Kionglam Yan datang kesini"
Setelah melenggong sekian saat, akhirnya laki-laki itu menunduk dan berkata: "Sian King dia...
dia tidak bisa datang, betulkah?"
"Kalau dia bisa datang akupun takkan kemari, betul tidak?"
Lelaki itu manggut dengan hambar, "Tak datang juga baik, memang sudah kukatakan lebih bagus ia tak usah kemari."
"Apakah waktunya diubah?" tanya Ui Loh ce penuh perhatian dan harapan sambil mengawasi Kionglam Yan.
Kionglam Yan tidak acuh akan pertanyaannya, katanya tawar: "Selanjutnya dia takkan bisa kemari lagi selamanya takkan datang kemari."
Kedua tangan lelaki sedang itu tiba-tiba gemetar dan saling genggam dengan kencang, suaranya beringas: "Adakah dia... adakah dia menulis surat buat aku?"
"Tiada!" sahut Kionglam Yan.
Sekujur badan lelaki sedang gemetar semakin keras, mendadak dia menggembor seperti kalap: "Kenapa" Suhunya pernah berjanji kepadaku, setiap lima tahun memberi izin untuk menemui aku di sini, kenapa sekarang dia ingkar janji, kenapa?"
"Guruku tak pernah ingkar janji, omongan yang pernah terucap oleh beliau selamanya tak pernah diubah lagi."
"Memangnya kenapa dia tidak kemari menemui aku" Aku tidak percaya bila dia tidak mau menemui aku."
"Bukannya dia tak mau bertemu dengan kau, yang terang kau sudah tidak bisa bertemu lagi dengan dia."
Mendadak seperti kena aliran strom sekujur badan laki-laki sedang itu mengejang, kakinya menyurut mundur, suaranya gemetar: "Dia... apakah.. apakah dia sudah..."
Ternyata Kionglam Yan menghela napas, katanya pelan-pelan: "Selanjutnya dia sudah takkan pernah mengecap derita kehidupan di dunia fana ini, sungguh dia jauh lebih beruntung dari pada kau, dan aku." belum habis dia bicara, laki-laki sedang itu sudah meloso jatuh dengan badan lemas lunglai.
Lekas Ui Loh-ce memburu maju memapahnya, suaranya meratap: "Entah sudikah nona memberitahu kepada kami, cara bagaimana dia menemui ajalnya?"
Sesaat Kionglam Yan berdiri diam. katanya pelan-pelan: "Aku hanya bisa bilang, dia gugur demi melindungi gengsi dan kewibawaan Sin cui kiong kami, karena dia memang seorang gadis yang punya nama besar, luhur dan bakti, kami sama merasa bangga oleh pengorbanannya."
Dengan hambar laki-laki sedang itu manggut-manggut, gumamnya: "Terima kasih kau beritahu ini kepadaku, aku... aku amat senang." tak tertahan airmata bercucuran deras.
Kembali Kionglam Yan menepekur sekian lamanya, katanya dengan suara tangkas: "Kau punya seorang putri yang patut dipuji, sungguh merupakan keberuntungan, karena sebetulnya kau tidak setimpal."
Mendengar sampai di sini, kembali hati Coh Liu-hiang menyesal dan mendelu. Baru sekarang disadarinya bahwa segala rekaannya tadi ternyata salah semua, yang ditunggu laki-laki sedang ini bukan kekasihnya namun adalah putrinya.
Terdengar Kionglam Yan berkata dingin: "Sekarang dia sudah meninggal, dengan Sin cui kiong kau sudah tiada sangkut paut atau ikatan apa-apa lagi, maka suhu harap selanjutnya kau jangan berada disekitar tempat ini."
"Tapi... tapi jenazahnya..."
"Jenazahnya, kami sudah mengebumikan dengan baik."
"Bolehkah aku menengok pusaranya?"
"Tidak boleh." agaknya dia enggan bicara berlarut-larut dengan laki-laki sedang ini, segera dia putar badan. Tapi setiba di depan pintu, tiba-tiba berpaling dan berkata dengan suara merdu:
"Tahukah kau di kalangan Kangouw ada seorang yang bernama Coh Liu-hiang?"
Laki-laki itu hanya manggut-manggut saja.
"Bagus, kalau kau berhadapan sama dia lebih baik kau bunuh saja, karena Sutouw King mati di tangannya."
Saking marah sampai pucat muka Coh Liu-hiang, namun tak pernah terpikir olehnya nona Kionglam Yan yang dipandangnya suci agung ini ternyata pandai membual seperti tukang jual sayuran yang menjajakan dagangannya, lebih celaka lagi karena jiwanya yang diincar dan jadi sasaran. Kecuali itu diapun melengak heran. Karena Sutouw King yang menjadi korban asmara dan permainan Bu Hoa itu ternyata adalah putri dari laki-laki perawakan sedang ini.
"Blang" sebuah meja tahu-tahu remuk redam oleh gaplokan telapak tangan lelaki sedang.
Sekian lama Ui Loh-ce melongo, mulutnya mengigau: "Ada kejadian itu" Apa benar dalam dunia ada kejadian seperti ini?"
Tiba-tiba lelaki itu berjingkrak berdiri "Bluk" tiba-tiba jatuh terduduk pula, seluruh badannya seolah sudah lemas lunglai dan kosong melompong, tanpa jiwa tanpa sukma, kedua tangan yang tergenggam tadipun sudah terlepas. Sesaat lagi, tiba-tiba dia menengadah bergelak tawa seperti orang kesurupan setan.
"Kau... kau..." berobah air muka Ui Loh-ce.
Lelaki sedang itu tertawa menggila serunya: "Aku tak apa-apa, aku sedang mentertawakan diriku sendiri, selama hidupku aku Hiong nio-cu entah pernah menodai beberapa banyak anak gadis dan bini orang, sekarang orang hanya membunuh putri tunggalku kenapa aku harus membenci dia, mungkin inilah yang dinamakan karma, Yang Maha Esa memberi hukuman setimpal kepada diriku." gelak tawanya yang menggila sudah berubah jadi ratapan tangis yang memilukan.
Tapi Cay Tok-hing, Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang begitu terkejut sampai sekian lamanya melenggong tak bisa bersuara, malam ini mereka sama kebentur berbagai kejadian yang aneh di luar dugaan tapi kejadian apapun takkan jauh lebih mengejutkan daripada kejadian ini, laki-laki sedang yang serba misterius ini kiranya adalah Hiong nio cu. Tak heran dia sendiri bilang: "Orang di seluruh kolong langit ini masa hendak membunuhnya untuk melampiaskan dendam." Tak heran pula buatan kedok muka yang digunakannya itu begitu halus dan baik sekali, gerak-gerik dan tindak-tanduknya pun serba sembunyi-sembunyi. Demikian pula ilmu Ginkangnya amat tinggi. Tak heran dia bilang: "Siapapun pasti tidak mau percaya Kun-cu-kiam sudi bersahabat dengan dirinya."
Kuncu-kiam dipandang laki-laki sejati nomor wahid di kalangan Kangouw, ternyata benar-benar bersahabat karib dengan maling pemetik kembang nomor wahid pula di dunia ini, memangnya siapapun takkan menduga dan mau percaya, tak heran bagai bayangan mengikuti bentuknya saja hubungan intim mereka, ternyata memang dengan kedudukan dan kewibawaan Ui Loh-ce dia hendak menyembunyikan dirinya.
Tak heran Ui Loh ce berkata wanti-wanti: "Dia mempunyai kesulitan yang tak bisa dijelaskan kepada orang lain, harap Coh Liu-hiang tak menyelidiki asal-usulnya." kiranya orang memang kuatir bila Coh Liu-hiang membongkar kedok aslinya. Semua persoalan yang tak terpecahkan itu, kini sudah pecah sendiri oleh pengakuan yang bersangkutan.
Akan tetapi, bukankah Hiong nio cu sudah mampus" Orang-orang Kangouw sama tahu bila dia sudah menemui ajalnya oleh majikan Sin cui kiong, kenapa justru sekarang masih hidup" Sin cui kiong cu yang tak pernah menjilat ludahnya sendiri, kenapa harus membual dan menyebar kabar bohong demi manusia durjana ini" Sin cui kiong cu yang selama hidupnya amat membenci laki-laki kenapa pula harus mengelabui orang lain demi laki-laki cabul manusia hina dina ini" Hal ini sungguh membuat Coh Liu-hiang bertiga tak habis mengerti.
Disaat Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang melenggong, tiba-tiba terdengar suara dengusan keras, tahu-tahu Cay Tok hing sudah menerjang keluar lewat samping mereka, belum lagi badannya mencapai jendela ditengah udara dia sudah membentak dengan bengis: "Hiong nio cu kenalkah kepadaku Cay Tok hing" Dua puluh tahun yang lalu, aku sudah bertekad membabat kejahatan bagi insan persilatan, hari ini apa pula yang ingin kau katakan?"
Hong nio cu duduk mematung seperti linglung, dengan mendelong dia awasi sinar api yang kelap-kelip di depannya, seolah-olah tak mendengar makian Cay Tok hing. Sebaliknya Ui Loh-ce lekas memapak selangkah berhadapan dengan Cay Tok hing, katanya dengan kereng: "Dia bukan Hiong nio-cu, Hiong nio cu sudah lama mati."
Cay Tok hing berkakakan, serunya: "Sudah lama kudengar Kuncu kiam selama hidupnya tidak membual, tak nyana kau ini tak lebih hanya manusia ringan lidah dan pandai menipu orang melulu, orang yang suka mencatut kebaikan orang lain belaka, pada detik-detik seperti ini kau masih berani berbohong?"
Teguh tekad Ui Loh-ce, katanya tegas: "Losiu bukan membual, Hiong nio-cu yang jahat dan durjana itu sudah lama mati, yang duduk di sini ini adalah laki-laki yang harus dikasihani karena dengan segala derita dia sudah bertobat dua puluh tahun lamanya, seorang yang mesti dikasihani karena selama ini tak pernah bisa tidur dan makan dengan tentram, seorang ayah yang baru tahu bahwa putrinya telah dibunuh orang."
"Kasihan?" jengek Cay Tok hing, "Para gadis-gadis suci yang dia nodai dan berkorban jiwanya itu apakah tidak lebih kasihan" Dosa-dosa selama hidupnya apakah himpas begitu saja?"
"Umpama derita dan siksa yang dia alami ini belum setimpal buat menebus dosanya, tapi sejak lama ia sudah bertobat dan memperbaiki kesalahan, sekarang sudah berubah menjadi teman karibku yang paling berbudi, luhur jiwa dan laki-laki yang tahu aturan, maka bila sekarang kau membunuhnya, kau bukan membunuh seorang maling cabul tapi kau membunuh seorang luhur, bajik dan penuh cinta kasih." sampai disini Ui Loh-ce menghela napas, katanya pula:
"Setelah kau dapat memahami hal ini, jikalau masih ingin membunuhnya silahkan turun tangan!
Bukan saja dia tidak akan melawan akupun tak akan merintangi, cuma..."
"Cuma apa?"
"Cuma bila aku melihat teman karibku ini menemui ajal di hadapanku, akupun takkan tinggal hidup seorang diri."
Sekilas Cay Tok hing tertegun, serta merta matanya melirik keluar jendela, agaknya ingin minta pertimbangan Coh Liu-hiang. Tapi Coh Liu-hiang tak ingin unjuk diri! Sudah tentu dia tidak mau dituduh dan dijatuhi dosa sebagai pembunuh Sutouw King, diapun tahu didalam waktu seperti ini, siapapun takkan bisa memberi penjelasan mengenai liku-liku peristiwa itu.
Tampak sikap kereng dan tegang Ui Loh-ce semakin mengendor dan kembali pada wajah welas asihnya, sorot matanya sebaliknya lebih tegas, siapapun akan tahu orang seperti dia terang takkan bisa bicara bohong.
Cay Tok hing menghela napas, katanya: "Hiong nio cu dapat bersahabat dengan orang seperti kau, sungguh merupakan keberuntungan besar, anehnya, orang macam dia itu, bagaimana bisa bersahabat dengan laki-laki sejati seperti kau ini?" tak memberi kesempatan Ui Loh-ce bersuara, segera dia meneruskan: "Sebetulnya akupun sudah mengira, seorang yang jahat dan cabul, pasti tak mungkin menaruh kasih sayang begitu besar terhadap putrinya sendiri seperti sikapnya itu..."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang merasakan suara bicaranya berubah sumbang, lama kelamaan kata-katanya semakin tak lancar dan kurang jelas malah makin lama makin pelan. Tapi Cay Tok hing sendiri agaknya tidak menyadari, katanya lebih lanjut: "Bahwa Hiong nio cu begitu besar kasih sayangnya terhadap putrinya sendiri, sungguh suatu hal yang sukar dipercaya oleh siapapun, dan untuk hal ini, aku memang patut memberi kebebasan kepadanya." belum lagi kata-katanya terakhir terucapkan, tiba-tiba berubah hebat air mukanya tepat pada pada kata-kata "memberi kebebasan kepadanya", dia sudah menubruk kedepan Hiong nio cu serta menggenjot sekuat tenaga.
Hiong nio cu tetap tenang-tenang ditempatnya, tidak berkelit tidak pula menangkis, karena pukulan dahsyat dari Jian-li-tok-hing hiap yang sudah kenamaan pada enam puluhan tahun yang lalu, ternyata tidak membawa tenaga sedikitpun.
Ui Loh-ce berubah air mukanya, katanya mendelik kepada Hiong-nio-cu: "Kau... kenapa kau..."
Suara Cay Tok hing serak tersendat: "Kau masih bisa apa, matamu dan mataku memangnya tidak salah menilainya."
Baru sekarang Oh Thi-hoa menyadari bahwa Hiong-nio-cu secara diam-diam tengah menyebar semacam racun tak berbau tak berwarna, memabukkan, maka Cay Tok-hing dan sahabatnya sendiri Ui Loh-ce sama-sama keracunan dan roboh terkapar. Orang begitu baik terhadapnya, ada sebaliknya membokong dan merobohkan kawannya, memang Hiong nio cu tak bernama kosong, manusia rendah budi yang hina dina dalam dunia ini.
Terasa darah memuncak keatas kepala, Oh Thi-hoa sudah bergerak hendak menerjang keluar, tak kira Coh Liu-hiang sudah menarik dan menahannya, malah mulutpun didekap.
Dalam pada itu Hiong nio cu sudah bangkit berdiri, airmata bercucuran dengan deras, kelihatan amat kontras dengan kedok mukanya yang kaku dan aneh itu. Tampak dia menjura kepada Cay Tok-hing, seraya berkata: "Banyak terima kasih, akan budi Cay-siansing membatalkan niatnya membunuh aku, selama hidup Cayhe takkan lupa, tapi Cay-siansing boleh lega hati, Cayhe pasti tidak akan bikin kau kecewa karena kau batal membunuhnya." lalu dia berputar menghadapi Ui Lih-ce, katanya dengan kepala tertunduk "Tentang kau, aku sungguh tiada omongan apa-apa yang perlu ku utarakan, kau... kau.." sampai disini tenggorokkannya seolah-olah tersumbat buntu, kata-katanya terputus, sementara Cay Tok hing dan Ui Loh ce saat itu memang sudah tidak dengar apa-apa lagi, mereka sudah sama-sama roboh.
Setelah rebah terlentang Ui Loh ce masih sempat mengucapkan sepatah dua patah kata, meski suaranya lemah dan lirih, tapi setiap patah katanya diucapkan dengan jelas, terdengar dia berkata: "Aku pasti tidak akan salah menilaimu!"
Airmata yang berkaca-kaca di kelopak mata Hiong nio cu tak tertahan sudah berderai membasahi pipinya dengan deras. Dengan menjublek dia awasi Ui Loh ce yang jatuh pingsan dan rebah di atas lantai, tiba-tiba dia berlutut lalu menyembah tiga kali, lalu ditanggalkannya jubah luarnya yang serba hitam itu ditutupkan ke atas badan Ui Loh ce. Tangannya kelihatan gemetar menahan emosi, katanya: "Aku memang keterlaluan terhadap kau." beberapa patah kata yang pendek ini entah mengandung betapa getirnya hati dan remuknya perasaannya. Betapa besar persahabatan. Sungguh siapapun yang melihat dan mendengar akan terkejut sanubarinya dan ikut pilu dan simpatik.
Dilain saat dengan sigap dia sudah putar badan berlari-lari kencang menyongsong kepekatan malam.
Oh Thi-hoa mengucek-ngucek hidung, katanya: "Dia... apakah maksudnya?"
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Dia hanya ingin masuk kedalam Sin cui kiong karena peduli putrinya itu masih hidup atau sudah mati, betapapun dia harus melihatnya untuk penghabisan kali, tapi dia toh tahu bila Ui Loh-ce pasti akan menentang dan tidak membiarkan dirinya pergi.
"Karena kepergiannya ini tak ubahnya mengantar jiwa melulu." ujar Oh Thi-ho. "Ui Loh ce agaknya tidak tega dia pergi mengantar kematian."
"Ya, memang begitulah, maka aku harus menguntitnya ikut dia masuk ke Sin cui kiong, terpaksa Cay-locianpwe dan Ui-locianpwe berdua kuserahkan kepadamu." sekali enjot kaki badannya seketika melejit dengan enteng melampaui wuwungan rumah. Terdengar suaranya berkumandang dikejauhan: "Jangan lupa masih ada Yong-ji."
Entah Oh Thi-hoa mendengar seruannya ini, yang terang mulutnya mengigau. "Ternyata Hiong nio cu memang sudah bertobat dan membina diri kembali, ternyata dia tidak bermaksud jahat terhadap Ui Loh ce dan Cay Tok hing, tapi jikalau aku tadi tak tertahan benar-benar menerjang keluar, jikalau kesalahan tangan sampai membunuh dia, tanpa memberi kesempatan dia memberi penjelasan, bukankah selamanya dia akan mati penasaran dan tidak tentram dialam baka"
Sebaliknya bukan mustahil aku akan tepuk dada dan merasa bangga." dia tidak berani berpikir lebih lanjut. Keringat dingin gemerobyos membasahi badannya.
Untuk menguntit dan mengikuti jejak Hion nio cu bukan suatu hal yang sepele, bukan saja gerak-geriknya cekatan, cepat, malah setiap langkah dan tindak-tanduknya kelihatan amat waspada dan hati-hati, semua ini sudah dia latih dengan matang didalam kehidupan menjadi pelarian yang dikejar-kejar oleh setiap manusia, maka untuk menguntit dia secara diam-diam serta tak konangan olehnya, dalam dunia ini kecuali Coh Liu-hiang, mungkin sukar dicari orang keduanya.
Karena kecuali ilmu Ginkang Coh Liu-hiang yang tinggi luar biasa, diapun memiliki sepasang mata yang jeli dan tajam sekali, oleh karena itu dia tak perlu mengejar terlalu dekat, terlalu ketat.
Heran Coh Liu-hiang dibuatnya karena orang yang dikuntitnya ini tak berlari menuju ke atas pegunungan, sebaliknya orang berlari masuk kota langsung mendatangi salah satu hotel, memangnya dia tak ingin pergi ke Sin cui kiong" demikian Coh Liu-hiang bertanya tanya dalam hati. Coh Liu-hiang sudah yakin rekaannya meleset lagi.
Tempat penginapannya sendiri tak jauh dari sini, sebetulnya diapun ingin pulan menengok keadaan Soh Yong-yong akan tetapi dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menguntit jejak Hiong-nio cu, karena lapat-lapat dia sudah merasakan Hion nio cu pasti mempunyai hubungan atau suatu ikatan yang erat dengan Sin cui kiong, malah suatu hubungan yang lain dari yang lain, maka dia ingin menggunakan Hion nio cu sebagai batu lompatan karena dia berpendapat hanya inilah satu-satunya jalan yang harus dia tempuh.
Tak lama lagi hari mendekati subuh dan bakal terang tanah, kota pegunungan yang kecil ini kelihatannya bercokol tenang diselimuti hawa dingin dan bertabirkan malam dengan kabutnya yang tebal, sinar bulan yang redup menyinari jagat raya, semua penghuni rumah-rumah didalam kota masih lelap didalam tidurnya, meski kehidupan mereka sederhana dan tawar, tapi bukankah kehidupan yang biasa dan sederhana itu merupakan perlambang kehidupan yang bahagia dan makmur"
Boleh dikata Coh Liu-hiang sudah hampir lupa betapa nikmatnya tidur nyenyak didalam kamar berselimut tebal memeluk guling. Walau keindahan malam hari nan permai ini, ditengah malam buta sembunyi di wuwungan rumah mengintip dan mencari lihat rahasia pribadi orang lain, sungguh bukannya suatu pekerjaan enak menggembirakan hati.
Untung tak lama kemudian Hiong nio cu sudah melompat keluar dari kamarnya, sorot matanya berkelebat ditengah malam, selincah kucing sigap sekali dia orang sudah menyelinap dan menghilang ditengah malam nan gelap ini. Terlihat oleh Coh Liu-hiang meski hanya sekilas saja orang kini seperti ada membawa sebuah buntalan kulit warna hitam, jadi tujuannya kembali dulu ke dalam hotel agaknya untu mengambil kantong kulit itu.
Apakah yang terisi didalam kantong kulit itu" Kenapa begitu besar perhatiannya terhadap kantong ini sampai susah-susah harus kembali dulu mengambilnya" Baru kali ini Hiong niu cu langsung berlari ke arah pegunungan, setengah jam kemudian, dia sudah tiba di kaki gunung, tapi dia tak memanjat ke atas, menyusuri kaki gunung laksana terbang dia tetap berlari-lari cukup lama. Tempat-tempat yang dilalui semakin belukar dan liar, ada kalanya harus melompati semak-semak berduri pula. ada kalanya pula harus menyelinap melalui celah-celah batu gunung.
Walau Coh Liu-hiang amat memperhatikan tapi bila lain kali dia harus datang sendiri, belum tentu dia bisa menemukan jalan-jalan yang sudah dilalui tai. Hiong nio cu sebaliknya sudah apal betul mengenai segala letak batu, pohon dan rumput di sepanjang jalan-jalan ini dia berhenti atau merandek untuk menemukan arah, seolah-olah sudah puluhan kali atau ratusan kali dia pernah melewati jalan-jalan ini, umpama memejamkan mata diapun bisa berjalan mencapai tujuannya.
Tapi setelah memasuki bilangan gunung sebelah dalam, gerak-geriknya tampak semakin berhati-hati, disaat badannya terapung ditengah udara, secara tiba-tiba dia sering celingukan kian kemari atau berpaling ke belakang, maka untuk menguntit dan supaya tidak konangan oleh orang Coh Liu-hiang harus bertindak lebih hati-hati, dan juga lebih payah. Apa lagi cuaca sudah semakin terang, dan mega berwarna sudah muncul di belakang puncak sebelah sana, ketiban sinar matahari, air embun di atas daun-daun pohon pun mulai memancarkan sinar kemilau. Begitu terang tanah jelas sekali, Coh Liu-hiang takkan mampu menguntitnya lagi. Tatkala itu suryapun sudah terbit didalam lembah pegunungan nan sunyi dan liar serta dingin ini, seperti diselimuti sari halus nan ringan, sehingga panorama seolah-olah hanya terpandang didalam gambar lukisan yang serba misterius.
Tapi Coh Liu-hiang jadi was-was dan kuatir, bila kabut terlalu tebal bukan saja dia bisa kehilangan jejak Hiong nio cu, malah bukan mustahil bisa kehilangan arah. Jikalau ditempat seperti ini tersesat jalan, sungguh suatu hal yang amat menakutkan sekali.
Hembusan angin yang sepoi membawa suara gemericiknya air yag mengalir ditempat nan sunyi laksana perpaduan suara musik dewata, sungguh suara irama yang mengasyikkan dan mengetuk kalbu. Teringat akan kisah yang diceritakan oleh Soh Yong-yong, diam diam Coh Liu-hiang membatin dengan senang: "Mungkinkah tempat ini merupakan mulut permulaan untuk masuk ke dalam Sin cui kiong"
Akan tetapi setiba ditempat ini Hong nio cu malah berhenti. Ia jelajahkan pandangannya ke sekitarnya lalu melambung tinggi melesat ke arah sebuah ngarai. Lereng gunung di sebelah sini bentuknya curam dan berbahaya, bagian bawahnya lurus tegak setinggi puluhan tombak di sebelah atasnya batu-batu runcing mencuat keluar, ditengah menongol keluar sebuah batu ngarai merupakan sebuah panggung dasar. Setiba di ngarai menyerupai batu panggung ini Hiong nio-cu malah berhenti dan menghilang.
Ternyata di atas ngarai ini terdapat sebuah goa, soalnya teraling batu-batu runcing yang mencuat keluar dengan berbagai bentuk yang beraneka ragamnya itu, maka dipandang dari bagian bawah, lobang goa ini tidak bisa terlihat dengan jelas.
Apakah goa ini merupakan salah satu jalan rahasia yang bisa tembus ke Sin cui kiong" Coh Liu-hiang tidak segera ikut melesat naik, sedikitpun dia tidak berani bertindak secara gegabah soalnya keadaan di sekitarnya teramat berbahaya, bila sedikit lena bukan saja seketika jejaknya konangan oleh orang, kemungkinan dirinya terpojok pada posisi yang berbahaya, bila lawan segera melontarkan serangan maut bahwasanya jalan untuk mundur pun tiada lagi.
Seperti cecak, Coh Liu-hiang tempelkan badannya pada dinding gunung terus merayap naik ke atas berputar ke sebelah sana, menyembunyikan diri di atas ngarai yang berbentuk seperti panggung ini, lalu dia tempelkan pula telinganya pada dinding gunung, mendengar dengan seksama.
Sayup-sayup didengarnya suara aneh dari dalam goa, seperti benturan logam keras, seperti pula Hiong nio cu sedang menjajar beberapa senjata besi yang kecil-kecil di atas batu keras, suaranya lirih namun jelas. Terang Hiong nio cu masih berada didalam goa ini dan belum berlalu.
Tak lama kemudian Coh Liu-hiang mendengar pula suara air tertuang masuk tenggorokan serta kecap mulut yang sedang menggerogoti sesuatu, kadang kala diselingi helaan napas berat, langkah kaki yang mondar-mandir.
Sebetulnya Coh Liu-hiang sedang bertanya-tanya untuk apa dia menyembunyikan diri di dalam gua ini, baru sekarang dia menyadari bahwa orang sengaja menghabiskan waktu didalam goa ini untuk menunggu hari menjadi gelap. Lebih gamblang lagi bahwa Hiong nio cu ternyata tidak berani masuk ke dalam Sin cui kiong pada siang hari bolong.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, terpaksa diapun menunggu di luar, kalau Hiong nio cu agaknya sudah mempersiapkan segalanya, terutama ransum dan air sudah tersedia, sebaliknya Coh Liu-hiang tidak membawa apa-apa, terpaksa dia menunggu di luar serba kekeringan. Untuk menunggu sampai gelap kira-kira harus lima enam jam lagi, menunggu selama ini sungguh merupakan suatu hal yang menyiksa, terpaksa dia mencari tempat yang tersembunyi dan teraling di lereng gunung untuk merebahkan diri, tapi sekejappun ia tidak berani memejamkan mata.
Soalnya umpama Hiong nio cu sudah keluar sebelum menjadi gelap, maka dia bakal kehilangan kesempatan, walau sejak dulu Coh Liu-hiang suka menyerempet bahaya, tapi bahaya seperti ini dia tak berani menempuhnya. Menunggu orang apalagi dalam keadaan serba kering dan lapar, sudah tentu merupakan suatu derita siksa yang luar biasa.
Orang macam Coh Liu-hiang yang memang sudah gemlengan umpama kelaparan tiga atau lima hari dia tak akan roboh lemas, tapi kelaparan bukan merupakan masalah kondisi badan melulu, soalnya kelaparan bisa mengakibatkan suatu kekosongan semangat pada lahiriah seseorang, mana sedapat mungkin Coh Liu-hiang giat memikirkan banyak persoalan supaya dirinya tak terlalu kesepian, untung memang banyak persoalan yang harus dia pikirkan. Selama hidupnya terdapat beraneka ragam kenangan yang patut dia pikirkan kembali, meski diantara sekian kenangan itu ada pula yang membuat hatinya terketuk dan menderita, tapi kebanyakan pengalaman hidupnya sering membawa perasaan hangat dan ketentraman bagi jiwanya.
Teringat olehnya pula masa silam disaat-saat dirinya masih kecil merupakan bocah belasan tahu, itulah suatu kehidupan serba emas, kehidupan yang berlimpah-limpah.
Memangnya para enghiong besar yang kenamaan, dikala meyakinkan ilmu dan menggembleng diri datang menempuh pelajaran ilmu silat sering menderita dan sengsara, diri Coh Liu-hiang sendiri dan selamanya juga tidak pernah merasakan adanya siksaan atau derita. Walau dia pernah mengalami tidak tidur tak pernah istirahat, pernah pula berlari lari di atas pegunungan yang penuh bertaburan bunga salju, untuk melatih kekuatan kondisi badan serta ilmu Ginkangnya, pernah juga di bawah terik matahari mengucurkan keringat, malah mengalirkan darah, tapi dia sendiri tak pernah anggap sebagai derita karena semua itu memang hoby dan kesenangannya, maka dimanakah dan dalam keadaan bagaimana juga dia selalu bisa menemukan kesenangan hatinya.
Kembali terbayang para sahabatnya yang kental sejak masa kecilnya dulu, yaitu Ki Ping yan, Oh Thi-hoa... teringat akan Oh Thi-hoa hampir saja tak tahan dia hendak tertawa selama ini dia beranggapan Oh Thi-hoa bukan laki-laki yang betul-betul gemar minum arak yang disukai hanyalah suasana romantis bila seseorang sedang menikmati araknya.
Dia mempunyai banyak teman yang beraneka ragam, terasa olehnya semua teman-teman itu tiada yang jelek bagi dirinya, maka didalam lubuk hatinya yang paling dalam selalu diliputi kehangatan persahabatan, dan kehangatan persahabatan ini membuat hatinya nyaman dan segar perasaannya. Karena arak biasanya membawakan suasana riang ramai dalam kehidupan manusia.
Maka diapun terkenang pula kepada Setitik merah dan Ki Bu-yong, kedua orang ini lahiriahnya laksana gunung salju, dingin dan beda tak berperasaan, namun relung hatinya sebaliknya sepanas api membara. Entah kemana kedua orang ini sekarang, apakah Setitik merah masih melanjutkan pelariannya untuk menghindari cengkeraman sindikat gelap yang dikuasai oleh si "tangan" yang serba misterius dan menakutkan itu. Dia hanya berdoa secara diam-diam.
Tatkala itu didalam suasana kosong dan sunyi ditengah pegunungan ini, terdengar suara gemericik aliran air, suara kicauan burung yang merdu serta suara serangga yang bersahutan, suara desiran angin yang menarikan rerumputan, suara daun-daun pohon yang keresekan, dari jauh kedengaran pula lolong binatang liar yang sedang mencari mangsa.
Waktu Coh Liu-hiang angkat kepala melihat cuaca, tiba-tiba didapatinya sang surya sudah doyong ke arah barat. Memangnya sering orang menghabiskan waktu didalam kenangan masa lalu, oleh karena banyak orang-orang tua sebatangkara yang hanya hidup didalam kenangan melulu, baru bisa dia menghabiskan waktu hari-hari nan sunyi selama beberapa tahun.
Sekarang masih dua jam kira-kira untuk menunggu hari menjadi gelap, Coh Liu-hiang ulurkan kaki tangan menggeliat, baru saja ia hendak berdiri menggerakkan badan melemaskan otot, siapa tahu pada saat itu pula dari dalam lobang goa di sebelah atas itu menongol keluar seseorang.
Orang ini bukan Hiong nio cu. Kecuali Hiong nio cu ternyata masih ada orang lain yang berada didalam goa itu, menunggunya sejak tadi, dia memang sudah menunggu kedatangan Hiong nio cu didalam gua.
Itulah seorang gadis cantik berpakaian serba putih laksana salju, berdiri di atas batu yang mencuat keluar di pinggir ngarai, rambut panjangnya yang mayang kehitam-hitaman yang halus sama melambai-lambai tertiup angin, kelihatannya begitu rupawan bak bidadari dari kahyangan.
Dan itulah Kionglam Yan. Bagaimana Kionglam Yan bisa berada disini" Lalu kemanakah Hiong-nio cu"
Jantung Coh Liu-hiang mulai berdebar debar tapi setelah dia amat-amati dengan lebih cermat, baru dia sadar bahwa perempuan ini ternyata bukan Kionglam Yan, namun sikapnya mirip sekali dengan Kionglam Yan. Sikap, gerak-gerik, pakaian dan dandanannya, demikian sabuk di pinggangnya itu, semuanya ini merupakan pertanda dan sebagai pemberian tahu kepada khalayak ramai bahwa dia orang adalah anak didik dari Sin cui kiong yang menggetarkan dunia.
Memangnya kenapa dia tiba-tiba bisa berada didalam goa itu" Apakah gua itu tembus kesalah satu jalan rahasia yang menuju ke Sin cui kiong" Masakah Hiong nio cu sudah sampai di Sin cui kiong" Mau tidak mau hati Coh Liu-hiang rada gelisah, tampak gadis itu melayang turun dengan enteng dari atas ngarai, ilmu Ginkangnya begitu hebat demikian pula gayanya begitu mempesonakan. Waktu melayang inilah kelihatan sebelah tangannya menjinjing sebuah kantong kulit.
Ternyata gadis cantik ini bukan lain adalah Hiong nio cu.
Coh Liu-hiang hanya tertawa getir secara diam-diam. Hiong nio cu memang tidak bernama kosong, ilmu tata-rias serta amarahnya jauh lebih hebat pula, hampir saja Coh Liu-hiang pun kena dia kelabui. Lebih menakjubkan adalah, setelah dia menyalin muka menjadi seorang gadis, dari atas sampai kaki, tiada sedikitpun memperlihatkan gerak-gerik atau gaya seorang laki-laki, sekejap mata, setiap gerak tangan dan kakinya, demikian gemulai badannya, seratus persen mirip dengan perempuan asli. Meski Coh Liu-hiang sendiri juga, bisa menyaru naga seperti naga, menjiplak harimau seperti harimau, tapi menyaru jadi perempuan semirip ini, seumur hidupnya jangan harap dapat dia lakukan dengan baik.
Setelah tiba di bawah ngarai, Hiong nio cu celingukan pula sekian lamanya, rada lama dia berdiam di sini tidak segera bergerak. Tiba-tiba terlihat oleh Coh Liu-hiang, di ujung alis dan di pinggir mata orang sudah dihiasi banyak keriput, dilihat dari kejauhan memang dia mirip seorang gadis cantik, tapi usianya terang sudah cukup lanjut.
Apakah ini wajah asli Hiong nio cu"
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, tak heran terhadap raut wajahnya biasanya Hiong nio cu amat bangga, boleh dikata dia memang seorang laki-laki tampan yang paling cakep di seluruh jagat ini.
Walaupun usianya sudah rada tua, tapi kecantikannya masih jauh lebih elok dari gadis-gadis muda lainnya, seorang laki-laki ternyata jauh lebih cantik dari perempuan aslinya, sungguh suatu hal yang luar biasa. Akan tetapi bila dia toh sudah menyaru jadi perempuan dari perempuan aslinya" Hal ini membuat Coh Liu-hiang bingung dan tak habis mengerti.
Mimpipun tak pernah terpikir olehnya bahwa Hiong nio cu ternyata mirip sekali dengan Kionglam Yan. Memangnya antara Hiong nio cu dan Kionglam Yan mempunyai hubungan kental yang tak diketahui orang luar"
Mungkin pembaca bisa bertanya: "Kalau Hiong nio cu sudah menyaru jadi murid Sin cui kiong untuk menyelundup ke dalam Sin cui kiong, kenapa tidak sekaligus dia menyaru jadi Kionglam Yan saja?"
Tapi Coh Liu-hiang tahu jelas pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan yang paling dogol, karena tata rias ilmu menyamar bukan ilmu gaib dan menyaru sudah tentu dengan mudah merubah bentuk raut wajahnya sendiri sehingga orang lain tak mengetahui rahasia samarannya, tapi sekali kali tak mungkin menyaru menjadi duplikat seseorang, bahwa Coh Liu-hiang pernah menyaru jadi Thio Sian-lim dengan baik, itulah karena tiada orang disana yang kenal siapa sebenarnya Thio Siau-lim itu!
Oleh karena itu bila benar Hiong nio cu didalam waktu sesingkat itu bisa menyaru seperti Kionglam Yan, menyelundup masuk ke dalam Sin cui kiong, maka orang-orang Sin cui kiong takkan ada seorangpun yang mengetahui, hal ini bukan merupakan sebuah cerita namun merupakan sebuah dongeng.
Jikalau Hiong nio cu diberikan waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri, menyiapkan diri untuk meniru dan berbuat seperti gerak-gerik, sikap dan tutur bicaranya, itu sih mungkin saja.
Akan tetapi Hiong nio cu tiba-tiba menggali sebuah liang di tanah bawah kakinya, isi kantong kulit hitam itu dituang seluruhnya ke dalam lobang galian ini, dari kantong kulit itu terang adalah bahan-bahan untuk tata rias itu. Kini tangannya hanya menenteng kantong kulit yang sudah kosong itu.
Kantong kosong apa pula gunanya" Kembali Coh Liu-hiang terheran heran dibuatnya.
Waktu itu meski menjelang magrib, namun sinar matahari masih memancarkan terang benderang di ufuk barat, Hiong nio cu menengadah melihat cuaca, kakinya lantas beranjak pelan-pelan. Agaknya dia jauh lebih gelisah dari Coh Liu-hiang, tak sabar menunggu hari menjadi gelap segera dia sudah bertindak.
Setelah menunggu orang membelok ke sebuah lekukan gunung, baru Coh Liu-hiang berani bergerak mengejar ke arah sana, siap tahu setelah dia sendiri tiba di lekukan gunung itu, ternyata bayangan dan jejak Hiong nio cu sudah menghilang tanpa bekas.
Yang terang lekuk gunung ini merupakan jalan buntu, kedua sisinya berdinding tinggi lurus, sementara bagian tengah dihadang sebuah dinding gunung pula, seolah olah sebuah kotak persegi yang hilang sebagian pinggirannya. Jikalau Hiong nio cu sudah memasuki kotak dinding ini, cara bagaimana bisa mendadak hilang" Akan tetapi tempat ini dikelilingi dinding gunung yang tinggi, umpama tumbuh sayappun jangan harap bisa terbang ke atas, memangnya dia bisa menyelusup masuk ke bumi"
Sungguh kejadian aneh yang luar biasa, tapi rasa heran dan kejut Coh Liu-hiang cepat sekali sudah hilang, dengan seksama dan teliti selangkah demi selangkah dia mengamati tanah di sekitarnya, akhirnya dia temukan dinding sebelah kiri dengan dinding ditengah. Lebar celah-celah dinding ini hanya satu kaki dan lagi penuh ditumbuhi dan dijalari rumput dan lumut serta kayu-kayu rotan kalau tidak dengan mata kepalanya sendiri Coh Liu-hiang saksikan Hiong nio cu menghilang ditempat ini, sudah diduga bahwa ditempat ini pasti ada jalan rahasia untuk dirinya menghilang umpama dia mencari dan meraba-raba satu hari penuhpun jangan harap dapat menemukan celah-celah dinding gunung yang penuh tertutup dedaunan dan ranting-ranting pohon ini.
Setelah melewati celah-celah gunung, maka suara gemericiknya air mengalir yang sayup-sayup sampai tadi kedengaran lebih jelas, air gemerincik bening dan merdu seperti tetesan air dipinggir telinga, kabut putih masih tebal belum buyar, sehingga seluruh lembah gunung yang belukar dan belum diinjak manusia ini serasa sepi lenggang dan menakjubkan.
Coh Liu-hiang segera membungkuk badan, dengan merunduk-runduk pelan-pelan dia maju ke arah datangnya suara air, dia insaf setiap langkah kakinya lebih mendekat berarti selangkah lebih dekat ke arah rahasia yang bakal dibongkarnya. Akan tetapi selangkah menambah mara bahaya yang bakal mengancam jiwanya pula.
Bersambung ke jilid 40
Jilid 40 Sekonyong-konyong terdengar suara mendesis aneh seperti sesuatu benda yang semakin melembung. Segera Coh Liu-hiang menghentikan langkah, pelan-pelan dia rebahkan badan, laksana seekor ular dengan kedua tangannya dia merambat maju kira-kira dua tiga kaki lagi, dari tempat sembunyinya dibalik rumput alang-alang, inilah dilihatnya Hiong nio cu.
Suara gemericik air tepat berada di bawah kaki Hiong nio cu, saat mana kedua tangannya sedang memegangi kantong kulit itu, sementara mulutnya sedang meniupkan angin sekuat-kuatnya ke dalam kantong kulit itu.
Seperti balon cepat sekali kantong kulit itu sudah melembung besar, bundar mirip benar dengan sebuah ban dalam sebuah truk.
Baru sekarang Coh Liu-hiang sadar dan paham, batinnya: "Kiranya kantong kulit itu dia gunakan sebagai rakit, lalu naik rakit kulit ini berdayung ke dalam Sin cui kiong mengikuti arus air."
betul juga dilihatnya Hiong nio cu sudah menaruh rakit kulit itu diatas air, lalu diulurkan sebelah kakinya untuk mencoba kekuatan daya tahan rakit kulit ini, lalu pelan-pelan dia melangkah masuk dan duduk didalamnya.
Kejap lain kulit ini terang akan bergerak mengikuti arus air yang mengalir cukup deras, disaat Coh Liu-hiang kebingungan dan kehabisan akal, cara bagaimana dirinya harus menguntit lebih jauh, tak nyana tiba-tiba terdengar cuara "Cesss" sigap sekali Hiong nio cu mencelat keluar dari rakit kulitnya, pakaian sarinya yang serba putih laksana salju itu beterbangan terhembus angin seolah-olah sudah senyawa dengan kabut putih yang memenuhi udara.
Sementara rakit kulit itu berputar-putar secepat roda di permukaan air, semakin putar semakin kecil, kira-kira setelah berputar tujuh delapan belas kali, lalu terdengar "blup" rakit kulit itu mencelat naik ke udara.
Agaknya secara diam-diam ada seseorang yang bertangan jahil menyambit dengan sesuatu sehingga rakit kulit yang penuh diisi hawa itu bocor, seperti ban yang bocor maka rakit kulit itu lantas berputar-putar dengan cepat.
Dalam pada itu Hiong nio cu sudah mencelat naik ke daratan, sorot matanya memancarkan rasa kaget dan keheranan, tiba-tiba dia membanting kaki, baru saja dia hendak putar tubuh melarikan diri, ditengah-tengah tebalnya kabut di sebelah depan sana tiba-tiba terdengar suara tawa yang lirih merdu. Sebuah suara yang genit aleman berkata: "Kau sudah kemari, kenapa harus berlalu?"
Maka terdengar pula suara air tersiak, tahu-tahu sebuah sampan meluncur mendatangi melawan arus muncul ditengah-tengah kabut tebal, di ujung sampan berdiri sesosok bayangan putih yang berperawakan ramping menggiurkan, di tangannya memegang sebuah galah panjang, cepat sekali sampan itu sudah merapat ke daratan, maka seringan burung walet badannya melayang naik kehadapan Hiong nio cu.
Hiong nio cu menghela napas, ujarnya: "Ternyata kau."
Gadis baju putih itu tersenyum, katanya: "Benar, kau tak menduga bukan" Tapi aku sudah tahu pasti kau akan datang, maka siang-siang sudah kutunggu kau disini!"
Lembah nan tersembunyi, kabut tebal, air mengalir, seperti perempuan kenyataan laki-laki, benggolan jahat kalangan Kangouw bangkit kembali dari liang kuburnya, semua ini sungguh merupakan serangkaian kejadian yang misterius dan sukar diterima oleh nalar sehat.
Tahu-tahu ditengah kabut tebal itu muncul pula sebuah sampan dengan perempuan cantik laksana bidadari, sehingga Coh Liu-hiang yang menyaksikan ditempat sembunyinya merasa kaki tangan menjadi dingin.
Apakah semua yang disaksikan ini kenyataan" Atau khayalan" Siapapun sukar membedakan.
Terasa olehnya perempuan serba putih ini sedemikian berisi, cantik dan montok gemulai lagi, seolah-olah indah tiada bandingan lagi keayuannya, tapi kabut terlalu tebal, dari jarak di tempatnya sembunyi, sukar melihat jelas siapa gerangan gadis jelita ini.
Lama Hiong nio cu berdiam diri, lalu katanya menghela napas. Sebetulnya aku tak ingin kemari, tapi aku dipaksa untuk datang kemari.
Tiba-tiba gadis itu menghentikan tawanya katanya: "Memangnya kau sudah lupa akan sumpahmu sendiri pada masa lalu?" Mendengar suara ini terasa oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sudah kenal betul dengan suara ini. Maka dilihatnya gadis itu berdiri berhadapan dengan Hiong nio cu yang sama serba putih, dinilai dandanan, gaya dan kecantikannya dua-duanya laksana pinang dibelah dua.
"Aku tak pernah lupa." sahut Hiong nio cu rawan. "Tapi aku hanya ingin menengok kuburan putriku saja."
Gadis baju putih itu berkata: "Apa sih yang patut kau lihat, toh hanya segundukan tanah kuning melulu, kalau kau ingin melihat pergilah tengok kuburan-kuburan para gadis yang pernah kau nodai, bukankah kuburan di kolong langit ini sama saja?" kata-katanya ini mendadak runcing dan menusuk pendengaran, setelah mendengar kata ini baru Coh Liu-hiang sadar bahwa perempuan ini ternyata adalah Kionglam Yan, karena mimpipun Coh Liu-hiang tak pernah membayangkan, perempuan kaku dingin disaat mengatakan kata-katanya yang pedas itu masih bisa tertawa.
Tak kira didengarnya Kionglam Yan cekikikan lagi katanya lembut: "Maaf ya, bukan sengaja aku hendak melukai hatimu dengan kata-kata sekasar itu, jangan kau marah padaku! Aku...
selanjutnya pasti takkan kukatakan lagi!"
Kembali Coh Liu-hiang dibuat sangsi akan pendengaran kupingnya. Betapapun dia takkan percaya Kionglam Yan bakal mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi perempuan ini terang adalah Kionglam Yan, dengan langkah gemulai dia mendekati Hiong nio cu, Hiong nio cu hanya berdiri mematung di tempatnya, entah apa yang sedang berkecamuk didalam benaknya"
Kionglam Yan unjuk senyuman mekar, katanya lembut: "Apakah aku berhadapan dengan muka aslimu" Tak heran dia selalu mengatakan wajahku hampir mirip dengan mukamu, malah jauh lebih mirip kau dari putrimu sendiri."
Mendadak Hiong nio cu angkat kepala, tanyanya: "Dia... dia sering menyinggung diriku di hadapanmu?"
"Hm! Kionglam Yan menjawab dengan suara aleman. Pelan-pelan dia bergerak jalan mengelilingi Hiong nio cu, satu putaran lalu berhenti di depannya pula, sepasang mata yang jeli dan bening bundar tanpa berkedip menatap muka orang, katanya pelan-pelan: "Apa kau pun sering teringat kepadanya?"
Hiong nio cu menghela napas, katanya: "Beberapa tahun belakangan ini, siapapun sudah kulupakan semua."
Kionglam Yan cekikikan lagi, katanya: "Tipis sekali cintamu, tidakkah kau tahu betapa orang memikirkan kau sampai pergi mati datang hidup, kau sebaliknya melupakan orang sama sekali, memangnya tiada seorangpun dalam jagat ini yang benar-benar dapat menggerakkan atau menimbulkan seleramu?"
"Tidak ada." sahut Hiong nio cu. Pelan-pelan dia menggigit bibir, sikap dan gayanya mirip benar dengan seorang gadis aleman yang malu-malu.
"Baru sekarang aku tahu kau sebetulnya memang seorang siluman yang pandai memelet orang, tak perlu heran bahwa sekian banyak gadis-gadis cantik yang rela menjadi korban keisenganmu, sampai aku... akupun..." agaknya mukanya menjadi merah, kepala tertunduk kedua tangan mengucek-ngucek ujung bajunya.
Terpancar sinar terang dari biji mata Hiong nio cu, katanya lembut: "Kaupun kenapa?"
Tertunduk semakin dalam kepala Kionglam Yan, katanya: "Orang lain sering bilang kau paling memahami keinginan perempuan, memangnya kau belum tahu akan keinginanku" Memangnya kau belum tahu akan isi hatiku?"
Pelan-pelan Hiong nio cu menarik tangannya tiba-tiba dia lepas tangan pula, katanya menghela napas panjang: "Lebih baik kalau aklu tidak mengerti saja."
"Kenapa?"
"Karena kau berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya, aku tidak bisa... tidak bisa menodai kau."
"Tapi aku inipun seorang perempuan, akupun ingin... ingin..."
"Dalam pandanganku, selamanya kau adalah sedemikian halus, hangat, suci dan agung begitu molek dan lincah, asal bisa mengawasimu dari kejauhan hatiku sudah puas."
Umpamanya gadis-gadis remaja sama suka mendengar omongan seperti ini, setiap gadis pasti mengharap pandangan laki-laki terhadapnya pasti berbeda dengan pandangan orang lain, semua sama mengharap laki-laki memuja mencintainya. Gadis remaja yang sedang mekar bila setelah mendengar bujuk rayu sehalus ini dia masih kuasa menolak keinginannya, sungguh merupakan suatu kejadian yang aneh. Diam-diam Coh Liu-hiang merasa beruntung dan terhibur juga, untung bahwa tiada seorang hidung belang yang sedang mencuri dengar percakapan ini. Jikalau para hidung belang mencuri belajar kata-kata rayuan selembut itu, entah berapa banyak gadis-gadis suci dalam dunia ini yang bakal menjadi korban.
Tapi setelah berpikir-pikir lagi, mau tidak mau Coh Liu-hiang tertawa getir sendiri, pikirnya:
"Seorang laki-laki bila dia berbakat dinamakan hidung belang, dengan sendirinya dia sudah pandai merangkai kata-kata mutiara yang lebih mengasyikkan, buat apa harus mencuri belajar dari orang lain?"
Bintang-bintang sudah kelap-kelip di cakrawala. Di bawah pancaran sinar bintang sesejuk ini, perempuan yang paling kuat imannya pun akhirnya pasti runtuh, dan menjadi lemas, saat itu Kionglam Yan sudah rebah didalam pelukan Hiong nio cu.
Sambil mengelus rambutnya berkata Hiong nio cu pelan-pelan: "Tentunya kau tahu, kita tak mungkin hidup berdampingan selamanya."
"Aku tahu."
"Kau tidak menyesal?"
"Aku pasti tak menyesal, asal bisa menikmati sekali saja, sehingga meninggalkan kenangan abadi sepanjang masa, umpama aku harus segera mampus akupun suka rela."
Hiong nio cu tidak banyak kata lagi, jari-jarinya sudah masuk ke dalam pakaian tipis orang, mulai menggeremet dari satu ke lain tempat, menyelusuri tanah tandus yang halus terus naik ke lembah hangat merambat ke atas bukit dan memelintir puting nan bundar kenyal laksana buah anggur.
Coh Liu-hiang meski bukan seorang Kuncu, namun dia tidak tega melihat adegan romantis yang merangsang ini, pelan-pelan dan hati-hati dia membalik badan rebah terlentang, bintang-bintang seperti sedang berkedip-kedip main mata sama dia.
Kionglam Yan gadis yang di pandangannya suci agung ternyata perempuan cabul yang rela menyerahkan kemurniannya sendiri. Akan tetapi gadis remaja setelah menanjak dalam usia ini, memangnya siapa pula yang tak mendambakan buaian asmara"
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, mengelus dada, diam-diam tertawa getir, Seolah-olah dia sendiri amat menyesal, kenapa dirinya dulu melepas kesempatan yang baik itu.
Tak tahan Coh Liu-hiang menoleh lihat ke arah sana, tampak Hiong nio cu sedang bangkit berduduk di atas sampan kecil itu, sahutnya menghela napas: "Akupun merasa berat untuk pergi, tapi waktu amat mendesak, aku harus pergi."
"Kau hendak mencari kuburan anak King mu...?"
"Bagaimana juga jelek-jelek aku ini ayahnya, adalah pantas aku menengok keadaannya terakhir kali."
Tak usah kau tergesa-gesa, nanti ku ajak kau kesana, hayolah... sekarang..." sebuah tangan putih halus tampak terulur keluar dari dalam sampan, Hiong nio cu tertarik rebah lagi memang sejak tadi dia menunggu ucapan Kionglam Yan ini.
Sudah tentu Coh Liu-hiang cukup tahu bahwa Hiong nio cu memang sedang memperalat dia, sedang memancing kata-katanya ini, tapi bukan saja dia tak bisa membongkar isi hati orang, diapun tak kuasa mencegah adegan romantis berlangsung, karena Kionglam Yan sendiri yang menyerahkan diri secara suka rela.
Dia cukup tahu bila seorang gadis sudah bertekad untuk menjajal atau menikmati yang ingin dia rasakan itu, siapapun jangan harap bisa mencegah keinginannya itu, kalau tidak umpama dia tak membunuhmu, maka dia akan membencimu seumur hidup.
Sampan kecil yang berlabuh itu tiba-tiba bergoyang-goyang, dari pelan semakin keras seolah-olah ada gempa bumi atau riak air yang gemericik itu menjadi bergolak, angin malam yang menghembus sepoi-sepoi diselingi suara rintihan dan keluhan yang merangsang hati dan membaurkan pikiran.
Sinar bintang semakin redup. Terpaksa Coh Liu-hiang sudah memejamkan mata. Tapi kedua telinganya tak bisa dicegah untuk mendengarkan. Sesaat kemudian terdengar bisikan Kionglam Yan, berkata: "Kau sungguh... hebat, tak heran para gadis rela mati untuk kau, tak heran selamanya dia tak bisa melupakan kau, mungkin sampai ajalnyapun takkan melupakan kau."
Mendengar sampai di sini, Coh Liu-hiang dibuat heran pula, Si dia yang dimaksud oleh Kionglam Yan sebenarnya siapa" Apakah kekasih Hiong-nio cu"
Deru napas Hiong nio cu semakin memburu terdengar suaranya mendengus-dengus "Kau pun pintar sekali!"
"Apa aku lebih baik dari dia?"
"Kenapa kau selalu menyinggung dia, memangnya kau dan diapun..."
Tiba-tiba Kionglam Yan tertawa terpingkal-pingkal, katanya: "Tahukah kau kenapa aku ingin bergaul dengan kau?"
Agaknya Hiong nio cu melengak, katanya: "Memangnya kau lantaran dia?"
"Benar, lantaran dia memilikimu, maka aku pun harus memilikimu." baru saja lenyap kata-katanya ini, sekonyong-konyong Hiong nio cu mengeluarkan jeritan yang menyayat hati.
Keruan kaget Coh Liu-hiang bukan kepalang, sigap sekali dia membalik badan dan melongok kesana, tampak dengan badan telanjang bulat Hiong nio cu tengah berdiri dari atas sampan, dengan sekujur badan gemetar dia menyurut mundur keujung sampan.
Dibawah pancaran sinar bintang, ditengah kabut tebal, tampak kulit dadanya yang putih halus dan bidang itu, berlepotan darah, dan masih menyembur dengan deras.
Terdengar Kionglam Yan masih tertawa-tawa terkekeh-kekeh, katanya: "Kenapa kau kaget, aku hanya ingin memiliki hatimu, akan kukorek hatimu untuk kulihat biar jelas."
Dengan kedua tangan Hiong nio cu mendekap luka-luka di dadanya, suaranya gemetar:
"Kau... kenapa kau harus berbuat demikian?"
"Masa kau belum tahu" Kau masih kira aku betul-betul menyukai kau?" tanyanya masih terkekeh-kekeh, tiba-tiba diapun mencelat berdiri, di bawah penerangan bintang, potongan badan gadis yang ramping montok kelihatannya laksana tembus cahaya seperti terbuat batu jade. Akan tetapi raut mukanya justru dilumuri hawa siluman yang sadis, pancaran sinar matanya yang indah penuh diliputi kebencian dan nafsu membunuh yang sadis, ditatapnya Hiong nio cu lekat-lekat, katanya: "Biar kuberitahu kepadamu terus terang, sejak lama aku sudah ingin membunuhmu, aku tak tahan setiap kali mendengar dia menyinggung dirimu di hadapanku, dikatakan betapa miripku dengan kau setiap kali dia menyinggung dirimu, serasa aku hampir gila dibuatnya."
Hiong nio cu berkata terputus putus dengan gemetar: "Kau... kau cemburu" Memangnya kau benar-benar jatuh cinta kepadanya?"
"Kenapa aku tak boleh mencintainya?" sentak Kionglam Yan. "Kenapa tidak boleh?"
Hiong nio cu mengawasinya dengan pandangan kesima dan kaget! Pelan-pelan ia roboh.
Kini Coh Liu-hiang lebih kebingungan lagi, si "dia" yang diperbincangkan oleh kedua orang ini entah lelaki atau perempuan, susah dimengerti oleh Coh Liu-hiang, kalau dia lelaki, masakah mungkin dia orang adalah kekasih Hiong nio cu" Memangnya Hiong nio cu juga sering main homoseks" Sebaliknya kalau dia adalah perempuan, kenapa pula Kionglam Yan bisa jatuh hati kepadanya" Memangnya Kionglam Yan biasa bermain lesbian dengan sesama jenis"
Sungguh sukar Coh Liu-hiang untuk menentukan hubungan satu sama lain diantara kedua orang ini dengan si dia itu. Sungguh hubungan yang misterius dan rumit serta sukar dijajagi hubungan ketiga orang ini.


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka terdengar "Byuur!" badan Hiong nio cu yang telanjang itu tercebur ke dalam air, penyesalan dan bertobat selama dua puluh tahun, akhirnya tetap tak bisa mencuci bersih dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Betapapun akhirnya dia mampus ditangan seorang perempuan.
Berdiri di ujung sampan, dengan mendelong Kionglam Yan mengawasi aliran air di bawah penerangan sinar bintang. Dilain saat diapun terjun ke dalam air, setiap jengkal setiap senti kulit badan dari rambut sampai ke kaki dia cuci dengan teliti dan bersih, setelah dia mengenakan pakaiannya lagi, dia kelihatan tetap agung dan suci.
Malam semakin berlarut, kabut malah menipis. Suara air tersiak pula, sampan kecil itu mulai berlaju di permukaan air terus mengalir cepat mengikuti aliran air.
Tanpa banyak pikir lagi, dengan hati-hati Coh Liu-hiang sedang membenamkan diri ke dalam ini, Orang sering bilang ilmu Ginkangnya tiada tandingan di seluruh kolong langit, dia sendiri sebaliknya berpendapat kepandaian renang didalam airnya justru jauh lebih sempurna dari ilmu Ginkangnya di daratan. Umpama ikan-ikan yang pandai berlompatan selulup ke dalam airpun takkan bergerak selincah dan secepat dia.
Sampan itu berlalu di depan permukaan air, dia selulup didalam air menguntit di belakang secara diam-diam, dia yakin dan percaya, Kionglam Yan pada saat dan dalam keadaan seperti ini tak menyadari bahwa dirinya sedang dikuntit seseorang. Maklumlah siapapun orangnya setelah selesai menikmati surga dunia perasaannya pasti berobah rada kebal dan kurang peka.
Sepanjang jalan dari pinggiran aliran sungai kecil ini pasti dihiasi pemandangan yang mengasyikkan ditimpah sinar bintang diselimuti kabut tebal, meski Coh Liu-hiang berada didalam air, dan tak bisa menikmati keindahan panorama ini, namun dia bisa membayangkan, memangnya sesuatu yang dibayangkan itu selamanya jauh lebih cantik, indah dari kenyataannya itu sendiri.
Entah berapa lama dan betapa jauh kejar mengejar secara diam-diam itu berlangsung, tahu-tahu didapati oleh Coh Liu-hiang sampan kecil itu membelok ke sebuah selokan gunung, rumput-rumput air di dasar selokan gunung ini lebih banyak, malah terasa lebih dingin dan mengeluarkan semacam bau yang menyeramkan. Sebetulnya ingin dia menongolkan kepalanya di permukaan air untuk melihat beberapa kejap lagi dia lantas mendengar suara sampan itu sudah mendekati dermaga dan orangnya pun sudah mendarat.
Dia tetap tak menongolkan kepalanya, memang Coh Liu-hiang belum pernah mencoba tahu berapa lama sebenarnya dirinya tahan berada didalam air, yang terang Song Thiam-ji selalu beranggapan bahwa dirinya bisa mendunia di bawah air, memang jauh lebih tenang dan tentram daripada di daratan. Lama pula dia menunggu, masih tetap tak mendengar suatu apa-apa. maka dia mencomot sebongkah rumput air untuk menutupi kepalanya, pelan-pelan dia pentang kedua matanya yang masih sedikit di bawah permukaan air untuk melihat keadaan di atas.
Dia akhirnya melihat Sin cui kiong. Ini bukan lembah gunung didalam kehidupan manusia lebih mirip kalau dikatakan sebuah gambar lukisan panorama yang paling indah dikolong langit ini.
Teringat oleh Coh Liu-hiang akan cerita Soh Yong-yong, bahwa didalam lembah gunung ini terdapat ratusan jenis burung-burung besar kecil, kini burung-burung sedang tertidur, namun orang-orang penghuni lembah ini justru belum tertidur. Diantara celah-celah dedaunan di dalam hutan laksana lukisan itu, kelihatan titik titik sinar api yang membayangkan bentuk bangunan pondok-pondok berloteng dan gubuk-gubuk mini yang dibangun dengan bentuk yang berseni, pagar bambu dan atap alang-alang, terbayang pula panorama indah dari curahan air yang tumpah dari langit.
Air terjun itu tumpah dari tempat ketinggian sehingga jatuhnya air yang berhamburan laksana benang sutra dan butiran-butiran mutiara itu amat deras, anehnya air terjun yang begitu besar seperti dituang dari langit ini setelah airnya tumpah memenuhi danau kecil di sebelah bawahnya, getaran tumpahnya air tak menimbulkan suara berisik, malah kedengarannya seperti irama petikan harpa yang merdu sehingga amat mengasyikkan dan menyejukkan kalbu, terang sekali didalam danau itu pasti dipasangi apa sehingga mengurangi tekanan derasnya air mengerojok dari atas.
Ditengah hembusan angin lalu, sayup-sayup terdengar pula suara rengketan bambu yang melambai ditiup angin, dikombinasi dengan suara gemericiknya air, sehingga lembah gunung nan indah laksana sebuah lukisan gambar ini terasa begitu aman tentram dan sejuk.
Tapi teringat pula oleh Coh Liu-hiang akan peringatan bibi Soh Yong-yong yang bilang:
"Jikalau kau sembarang mondar-mandir didalam lembah ini, seketika kau akan ketimpa kemalangan" ditempat aman dan tentram seperti ini, darimana pula datangnya malapetaka"
Lapat-lapat Coh Liu-hiang sudah mendapat firasat kelihatannya lembah ini memang tenang dan tentram, hakikatnya Sin cui kiong bukanlah sebuah tempat suci bersih seperti yang tersiar diluaran. Pasti di lembah ini tersembunyi suatu rahasia besar yang menakutkan dan mengejutkan masyarakat umumnya bila segalanya sudah terbongkar.
Kedatangan ini bukan saja hendak memberi penjelasan salah paham kepada Cui bo "induk air"
im ki, diapun sudah bertekad untuk menyelidiki rahasia yang terpendam itu, maka segala gerak-gerik dan langkahnya harus amat hati-hati dan perhitungan dengan seksama.
Sampan kecil itu masih terapung di atas air terikat seutas tali yang ditambatkan pada sebuah pohon. namun Kionglam Yan pula sudah tak kelihatan bayangannya. Lembah sebesar ini, tenggelam didalam suasana hening tak kelihatan bayangan seorangpun, Coh Liu-hiang jadi ragu-ragu dan kebingungan dari mana dia harus mulai bergerak atau turun tangan.
Setelah menimang-nimang sebentar, tiba-tiba teringat akan pengalaman Bu Hoa seperti yang diceritakan Cay Tok hing menurut buku catatan Bu Hoa sendiri, setiap persoalan yang terjadi, semuanya bersumber dari sebuah kuil Nikoh kecil didalam lembah ini. Waktu dia mendongak ke atas sana, benar juga d ikaki bukit sana memang terdapat sebuah kuil kecil.
Apakah induk air bersemayam didalam kuil kecil itu" Coh Liu-hiang sudah bertekad apapun yang terjadi dia akan masuk terlebih dulu ke kuil kecil itu.
Sinar pelita didalam kuil amat guram, mata apinya yang kelap-kelip sebesar kacang laksana kunang-kunang yang kelap-kelip dimalam hari.
Hampir setengah jam Coh Liu-hiang menghabiskan waktu untuk menyusup tiba kearah kuil kecil itu, dia yakin dirinya pasti tak mengeluarkan suara yang lebih keras dari bunyi nyamuk terbang. Meski dari pinggir sungai ke kuil kecil itu bukan jarak yang jauh, tapi di kolong langit ini kecuali Coh Liu-hiang seorang, mungkin tiada orang kedua mencapai ketempat tujuannya.
Kuil kecil ini terbenam didalam kesunyian tak kelihatan bayangan seorangpun, segalanya bersih tak berdebu, sampai pun undakan batu di luar pintu kuilpun tercuci bersih sampai mengkilap laksana kaca, sehingga orang bisa bercermin di sana. Sebuah pelita dengan mata api sebesar kacang, kelap-kelip di depan sebuah kain gordyn yang menjuntai turun menutup pemujaan di sebelah dalamnya. Cukup lama Coh Liu-hiang sudah memeriksa keadaan sekelilingnya dengan cermat, setelah yakin di sekitarnya memang tiada orang, baru dia berani mencelat masuk ke dalam.
Dia tahu didalam kuil kecil ini pasti terdapat sebuah jalan rahasia di bawah tanah, bukan mustahil menembus ke tempat kediaman induk air Im ki, tapi dimanakah letak dari mulut jalan rahasia itu" Di depan meja pemujaan terdapat dua buah kasur bundar ini" Dengan hati-hati Coh Liu-hiang memindahkan kedua kasur bundar tempat duduk samadhi itu. tapi bawah kasur itu dan ini merupakan batu yang rata pula, dengan menghela napas dia merasa kecewa dan putus asa, pelan-pelan sorot matanya beralih ke arah tempat pemujaan yang teraling kain gordyn. Tak tahan dia sudah ulurkan tangan hendak menyingkap kain gordyn itu.
Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar helaan napas. Helaan napas ini amat lirih, tetapi bagi pendengaran Coh Liu-hiang sekarang helaan napas ini laksana guntur yang menggelegar di pinggir telinganya, ingin dia mundur, tapi dia insaf sudah tak keburu lagi mengundurkan diri.
Di bawah penerangan api kuning itu, tampak olehnya sesosok bayangan putih laksana sukma gentayangan saja tahu-tahu orang mucul dari bawah tanah, kini orang sedang berdiri tegak di tempatnya mengawasi Coh Liu-hiang. Terdengar orang menghela napas serta berkata: "Sudah dua puluh tahun tempat ini tak pernah mengalirkan darah, buat apa kau ingin mati di sini?"
Dengan tertawa getir Coh Liu-hiang kucek-kucek hidungnya, sahutnya: "Bicara terus terang, aku sih tidak ingin mati." kini dilihatnya dengan jelas orang adalah perempuan yang amat cantik, cuma sang waktu yang tak kenal kasihan sudah meninggalkan bekas yang tak kenal perasan, sungguh amat kasihan.
Walaupun sorot matanya dingin kaku, namun tidak mengandung nafsu membunuh atau maksud jahat. Apakah dia ini induk air Im Ki yang amat ditakuti oleh tokoh-tokoh silat di seluruh jagat itu" Nyonya cantik pertengahan umur yang berpakaian serba putih ini tengah berdiri tenang mengawasinya.
Coh Liu-hiang unjuk tawa dibuat-buat, katanya pula: "Kedatangan Wanpwe kemari tidak lebih hanya ingin berhadapan langsung dan melihat muka Kiong-cu sekali saja."
Nyonya ayu serba putih itu geleng-geleng kepala, ujarnya: "Aku bukan orang yang ingin kalian temui, kalau tidak masakah kau sekarang masih bisa hidup?"
Berkilat mata Coh Liu-hiang, tanyanya : "Lalu Cianpwe adalah..."
"Orang yang sudah dekat ajal, buat apa kau tanyakan nama orang lain?"
"Kalau Cianpwe hendak bunuh aku, kenapa tidak segera turun tangan?"
"Aku tak bisa turun tangan. Didalam dunia ini aku hanya punya seorang famili, masakah aku tega membunuh lelaki pujaan hatinya?"
Tergerak hati Coh Liu-hiang, tanyanya: "Cianpwe tahu aku adalah..."
Tertawa getir nyonya ayu itu, ujarnya pula: "Kecuali Coh Liu-hiang si maling romantis, dalam dunia ini siapa yang mampu mendatangi tempat ini" Memangnya siapa pula yang bernyali begitu besar"
Coh Liu-hiang menjura dengan hormat, katanya: "Sudah lama Wanpwe dengan Yong-ji mengatakan tentang kau orang tua, hari ini dapat berhadapan dengan kau orang tua sungguh merupakan keberuntungan dan nasib baik Wanpwe."
"Akupun pernah dengar Yong-ji bercerita tentang dirimu, jikalau bukan kau, entah Yon-ji bakal keluyuran kemana dan jadi apa sekarang, untuk membalas budi kebaikanmu itu maka sekarang akupun tidak akan mempersulit dirimu." lalu dia celingukan ke sekeliling, katanya lebih lanjut:
"Untung hari ini giliranku berjaga dan meronda, orang lain tidak akan datang kemari, lekas kau menyingkir."
"Wanpwe sudah berada di sini, betapapun Wanpwe ingin berhadapan dengan Im-kiong cu."
Nyonya setengah umur itu seketika menarik muka, katanya bengis: "Selamanya kau takkan bisa menemuinya, kecuali kau memang sudah bertekad hendak mati disini."
"Mohon kau orang tua suka memberi penerangan jalan, Wanpwe sudah amat berterima kasih, soal lain, sekali kali Wanpwe takkan berani mohon bantuan dan mencapaikan Cianpwe."
Bahwasanya nyonya setengah umur tidak hiraukan dirinya, katanya mengulap tangan: "Lekas pergi, terlambat sedikit, kau tidak akan bisa lolos lagi, lekas."
Seolah-olah Coh Liu-hiang tidak mengerti apa yang dianjurkan orang, katanya sambil bersoja:
"Wanpwe tahu di sini ada sebuah jalan rahasia."
"Jalan rahasia?" berubah muka nyonya pertengahan umur, "Jalan rahasia apa?"
Melihat dirinya menyinggung "jalan rahasia" muka orang lantas berubah hebat. Coh Liu-hiang tahu bahwa jalan rahasia itu pasti mempunyai arti yang amat besar sekali. Maka dia semakin membandel, katanya unjuk tawa: "Kalau di sini tiada jalan rahasia, kau orang tua muncul darimana?"
Agaknya nyonya pertengahan umur menjadi gusar, dampratnya: "Memangnya kau sudah bosan hidup?"
"Kalau Cianpwe tak mau menerangkan, terpaksa Wanpwe biar mati di sini saja."
Dengan tajam nyonya setengah tua ini menatap Coh Liu-hiang lekat-lekat, sungguh belum pernah dia berhadapan dengan lelaki sekukuh ini, lebih tak pernah terbayang olehnya dalam keadaan genting ada orang masih dapat tersenyum simpul seriang itu.
Tapi Coh Liu-hiang memang amat tabah dan berani, orang tak menjawab, diapun berdiri diam dan menunggu dengan sabar. Pada saat itulah suara paduan musik yang mengalun sayup-sayup itu seperti menjadi cepat dan keras laksana butiran air hujan yang berjatuhan di atas daun pisang, seperti mutiara yang bergelimpangan di atas nampan berderai cepat tak putus-putus.
Rona muka nyonya tua ini seketika berubah pula, tanyanya dengan kereng: "Siapa lagi yang datang bersama kau?"
"Hanya Wanpwe seorang saja, tiada..."
Gelisah dan gugup air muka nyonya setengah tua ini tukasnya: "Irama musik memberi tanda ada orang luar yang menerjang masuk ke dalam lembah, jikalau bukan teman-temanmu memangnya siapa mereka?"
Baru sekarang Coh Liu-hiang betul-betul terkejut, baru sekarang pula dia tahu betapa kuat penjagaan pihak Sin cui kiong, sampaipun irama musik laksana lagu-lagu dewata itupun merupakan alat pertanda untuk memberi isyarat bagi mereka.
Cepat sekali nyonya setengah tua ini melangkah ke ambang pintu, lalu melongok keluar, cepat sekali dia sudah mundur kembali, katanya bengis: "Meski sekarang orangnya belum tiba tapi begitu isyarat musik mengalun tinggi, semua petugas akan segera menempati pos-pos penjagaan masing-masing siapapun kalau berani masuk selangkah ke dalam lembah, jangan harap dia dapat kembali pula, kenapa tak lekas kau berlalu, kau tetap tinggal di sini memangnya kaupun ingin menyeret aku ke dalam jurang nista?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Kalau lembah ini sudah menjadi lembah buntu, mungkin burungpun takkan bisa terbang lolos, lalu Wanpwe harus menyingkir kemana?"
"Kau... boleh kau mencari sesuatu tempat dulu untuk sembunyi sementara, setelah kejadian berlalu, akan ku usahakan bantu kau keluar."
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya sambil mengucek-ngucek hidung: "Jikalau Wanpwe sembarangan bertindak, mungkin setiap langkah bakal menghadapi mara bahaya. Wanpwe juga tak tahu kemana menyembunyikan diri lebih baik, kecuali Cianpwe mau memberitahu jalan rahasia itu, biarlah Wanpwe sembunyi disana sementara."
"Jalan rahasia, jalan rahasia apa?" dengus nyonya setengah tua membanting kaki gegetun.
"Kau hanya tahu di sini ada jalan rahasia, tahukah kau sentral daripada jalan rahasia ini berada di kamar tidur Kiongcu, orang hanya bisa keluar dari dalam, tak bisa masuk dari luar."
Coh Liu-hiang tertegun, seketika hatinya mencelos.
Tatkala itu, irama musik yang cepat mulai lamban lagi tapi Coh Liu-hiang sudah tahu didalam irama musik yang kalem ini, setiap langkah orang yang memasuki lembah ini selalu diincar oleh mara bahaya yang menantikan, diapun tahu sikap gelisah nyonya setengah tua dihadapannya ini jelas bukan pura-pura belaka, pihak Sin cui kiong bila tahu dia bersekongkol dengan musuh menghianati perguruan, dapatlah dibayangkan akibat yang harus dia terima.
Maka Coh Liu-hiang tak banyak bicara lagi, katanya dengan menjura: "Terima kasih akan petunjuk Cianpwe." belum habis ucapannya badannya sudah berputar, melesat keluar.
Nyonya setengah tua agaknya hendak mengejar keluar, tapi segera dia hentikan langkah pula, dari sorot kedua matanya yang indah itu terpancar rasa derita yang tak terperikan, katanya seperti menyesal: "Yong-ji jangan kau salahkan aku, bukan aku tak ingin menolongnya, sebetulnya aku sendiripun tak kuasa lagi menolongnya." dia tahu begitu Coh Liu-hiang melangkah keluar dari kuil kecil ini itu berarti dia melangkah ke arah kematiannya.
Malam sudah berlarut lagi, setiap tempat sama gelap semua kelihatan adalah tempat baik untuk menyembunyikan diri, tapi Coh Liu-hiang tahu ditempat tempat gelap itulah bukan mustahil tersembunyi perangkap-perangkap yang bisa merenggut jiwa orang, setiap tempat yang kelihatannya amat tersembunyi mungkin pula bakal memancing orang masuk ke dalam jebakan, selangkah saja bila dia salah injak, bukan mustahil jiwa bakal melayang seketika.
Akan tetapi dia tak bisa berdiri demikian saja, lembah nan indah dan permai ini, boleh dikata tiada suatu tempat yang cocok untuk dirinya berpijak.
Hembusan angin melambaikan daun-daun pohon, seolah-olah didengarnya lambaian pakaian orang yang mendatangi terhembus angin tiba-tiba tampak oleh Coh Liu-hiang dari kejauhan sesosok bayangan putih berkelebat, tujuannya adalah tempatnya ini.
Bila dirinya sedikit ayal, jejak dan bayangannya pasti dilihat orang itu.
Di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang bertaburan diangkasa raya, permukaan air danau yang tenang itu laksana sebongkah cermin besar nan memutih perak amat semarak.
Cepat sekali tiba-tiba Coh Liu-hiang meluncur kearah danau kecil itu. Permukaan danau yang tenang itu hanya menimbulkan riak tak berarti dari pusaran air yang berkembang semakin membesar, belum lagi riak air kembali menjadi tenang, tahu-tahu sesosok bayangan putih sudah melayang datang.
Bayangan putih ini boleh dikata hampir sama cantiknya dengan Kionglam Yan gaya luncuran badannya begitu gemulai dan indah, biji matanya yang bening mengerling tajam sekilas dia mengerut kening, serunya perlahan: "Sam-ci."
Nyonya setengah tua dalam kuil segera melangkah keluar menyongsong kedatangannya, sahutnya : "Ada apa?"
"Barusah seperti kulihat ada sesosok bayangan orang, adakah Sam-ci mendengar sesuatu suara di sini?"
"Lho, kok tidak." sahut nyonya setengah tua tertawa. "irama musik memberi peringatan jelas orang luar belum lagi masuk lembah mana bisa tiba di sini."
Berkilat tajam pandangan gadis ini, mulutnya menggumam: "Memangnya aku yang salah lihat"
Aneh juga."
Nyonya tua setengah umur tertawa dingin katanya: "Kio-moay, meski sepasang mata malammu amat lihay, tapi aku toh bukan orang picak atau tuli, jikalau di sini ada orang, masakah sedikitpun aku tidak melihat atau mendengar suara?"
Gadis itu segera unjuk tawa, katanya: "Sam-ci kenapa marah, aku hanya bertanya sambil lalu saja."
Baru sekarang nyonya setengah tua unjuk tawa juga katanya: "Hati-hati memang baik, cuma kalau benar disini ada orang luar, kemanakah dia" Memangnya dia bisa menghilang?"
"Memangnya! Kecuali dia terjun ke dalam danau, kalau tidak kapanpun dia menyembunyikan diri pasti akan menyentuh tombol peringatan, tapi, bila benar dia berani terjun ke danau, sedikitnya toh mengeluarkan suara, kecuali ida memang siluman ikan." lalu dia mengulap tangan kepada nyonya setengah tua, katanya pula: "Tamunya mungkin segera akan tiba, biar aku pergi periksa ke tempat lain, Sam-ci boleh kau mulai mempersiapkan diri. Kalau orang berani menerjang masuk kemari, betapapun kita jangan mengecewakan mereka." tampak laksana burung bangau melayang cepat sekali bayangan putihnya sudah melesat lewat dari permukaan danau, dalam sekejap sudah menghilang tak kelihatan lagi.
Mengawasi permukaan danau nyonya setengah tua ini melongo sekian lamanya, katanya seorang diri: "Melarikan diri dari kematian, terhitung nasibmu baik, mara bahaya masih selalu mengintai, hati-hati dan waspadalah."
Begitu selulup ke dalam air, jantung Coh Liu-hiang masih berdetak dengan keras. Dalam waktu sesingkat tadi, boleh dikata antara mati dan hidup sudah tiada jaraknya lagi, tapi sekarang dia sudah selamat, paling tidak selamat sementara waktu.
Aneh benar air danau ini, luar biasa bening, seolah-olah dirinya berada di dunia kaca, sinar bintang-bintang diangkasa dengan jelas dapat terlihat dari dasar danau. Dasar danau ini ditaburi pasir putih seperti berlomba dengan bintang-bintang diangkasa, pasir-pasir inipun kelap-kelip memancarkan sinar.
Di dasar danau boleh dikata Coh Liu-hiang sebebas di atas daratan menghirup hawa nan segar. Entah di lautan teduh, sungai atau kali, danau, sampaipun danau air asin, serta air keruh di Kanglam, terhadap sifat-sifat setiap air yang berbeda satu sama lain ini, boleh dikata Coh Liu-hiang sudah amat paham seperti memahami jari-jarinya.
Dunia indah yang aneh-aneh di dasar air, justru merupakan tempat tamasya paling disenangi.
Setiap tetumbuhan atau binatang yang hidup di dasar air, seolah-olah sudah menjadi teman baiknya, sembarang waktu dia bisa menyebut atau memanggil satu persatu nama-nama yang pernah dilihatnya.
Akan tetapi saat ini didalam relung hatinya seperti mendapat firasat jelek, hatinya tidak tentram. Danau kecil didalam lembah permai ini ternyata merupakan danau mati, didalam air ternyata tiada satupun binatang atau tetumbuhan yang hidup, tiada ikan, udang atau keong dan sebangsanya, sampaipun rumput-rumput airpun tidak kelihatan.
Coh Liu-hiang merasa seolah-olah dirinya berada di dalam kota yang asing dan sunyi tak berbentuk meski kota ini serba rapi, bersih dan teratur namun bayangan seorang pendudukpun tidak kelihatan.
Danau kecil ini sekelilingnya ditaburi atau dipagari batu-batu raksasa warna putih dan hijau, air terjun yang tercurah dari atas berjatuhan di permukaan air hingga menimbulkan banyak buih-buih besar kecil yang berenceng seperti mutiara. Kalau orang lain dapat selulup dan sembunyi didalam dasar danau yang tenang dan seindah ini pasti merasa dirinya amat aman takkan mengalami gangguan apapun. Tapi Coh Liu-hiang justru merasa tempat ini rada ganjil dan menunjukkan gejala-gejala yang kurang benar, setelah dia berhasil menemukan suatu tempat sembunyi yang dirasa aman dan terahasia diantara celah-celah batu-batu besar barulah deburan jantungnya mulai mereda dan legalah hatinya.
Selanjutnya teringat olehnya dua hal yang terasa amat aneh sekali. Kalau toh rahasia di sini hanya bisa masuk tak bisa keluar, lalu untuk apa Induk air Im Ki membikin jalan rahasia di bawah tanah ini" Bertepatan dengan kehadiran dirinya, ada lain orang pula yang menerjang masuk ke dalam Sin cui kiong, memangnya siapakah mereka"
Badan Coh Liu-hiang kebetulan persis bisa menyusup masuk ke celah-celah batu itu, kedua batu raksasa ini masing-masing ada sebagian yang menongol keluar di permukaan air, tak tahan Coh Liu-hiang juga ingin menongolkan kepalanya keluar untuk melihat keadaan di daratan.
Dengan rebah miring memiringkan badan hanya kedua matanya saja yang menongol ke luar, bayangan gelap kedua batu besar ini kebetulan melindungi dirinya, terasa olehnya bahwa keadaan dan tempat persembunyiannya ini amat tepat dan baik sekali, orang takkan gampang menemukan persembunyiannya.
Bahwasanya dia memang amat getol ingin tahu siapa sebenarnya orang lain yang berani meluruk ke dalam Sin cui kiong ini. Suasana dalam lembah tetap tenang dan tentram, dengan rebah didalam air, hanya memperlihatkan separo mukanya saja untuk memandang lembah ini, perasaannya sungguh jauh berbeda dengan perasaan waktu dirinya berada didalam lembah tadi.
Segala pemandangan yang terlihat dari sini seolah-olah berada ditempat yang jauh, lebih samar-samar, seluruhnya seperti bukan pemandangan yang nyata, hanya mirip sebuah lukisan, sebuah impian belaka.
Tapi Coh Liu-hiang tiada selera untuk menikmati keindahan panorama laksana lukisan atau impian ini, dia hanya memperhatikan tempat-tempat gelap yang amat misterius dan ganas itu.
Sampai detik ini, dia masih belum membayangkan seorang manusiapun.
Agaknya ia tak perlu menunggu terlalu lama, tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang laksana anak panah pesatnya dari tempat yang berjauhan dimulut lembah sana menerjang masuk, ilmu Ginkang ketiga orang ini sama-sama tinggi dan hebat. Agaknya ketiganya sama-sama nekad dan merasa tak perlu main sembunyi-sembunyi lagi, langsung mereka kembangkan kemahiran masing-masing, dengan gesit dan enteng serta cepat sekali meluncur ke arah air terjun itu.
Di bawah penerangan cahaya bintang, raut muka mereka hanya kelihatan berkelebat sekejap ditengah kegelapan, tiba-tiba terkesiap darah Coh Liu-hiang, hampir saja dia menenggak sekumur air danau. Ternyata ketiga bayangan orang itu adalah Ui Loh-ce, Oh Thi-hoa dan Cay Tok-hing.
Bertepatan dengan kedatangan mereka, dari empat penjuru serempak bermunculan puluhan bayangan serba putih, ada yang berdiri dibawah pohon, ada pula yang melambai lambai berterbangan terhembus angin laksana serombongan setan gentayangan.
Agaknya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing bertigapun amat kaget, cepat sekali mereka anjlok turun dari tengah udara, serempak tancap kaki di salah satu batu besar yang berada di sisi danau. Tiga orang sama berdiri beradu punggung, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Tapi orang-orang serba putih itu tidak menubruk maju menyerang mereka, mereka hanya berdiri dikejauhan dan mengawasi mereka diam saja, keheningan yang aneh mencekam perasaan sehingga napaspun segera sesak.
Dasar berangasan akhirnya Oh Thi-hoa yang nyeletuk lebih dulu dengan lantang: "Apakah tempat ini adalah Sin cui kiong?"
Entah siapa yang menjawab dari tempat kejauhan dengan nada dingin: "Kalau kalian sudah berani masuk kemari, memangnya masih belum tahu tempat apa di sini sebenarnya?"
Oh Thi-hoa ngakak dulu baru menjawab: "Bagi orang pertama yang datang bertandang ke tempat orang, adalah jamak kalau pakai basa-basi lebih dulu apakah tidak salah tempat yang didatanginya."
"Kau tepat mencari tempat yang kau tuju." jawab seseorang.
Seorang yang lain menambahkan: "Kalian orang dari mana" Untuk keperluan apa dan ada petunjuk apa pula?"
Suara pembicara orang terakhir rada lembut dan tahu sopan santun, dari tempat persembunyiannya Coh Liu-hiang tahu bahwa suara terakhir ini diucapkan nyonya setengah umur yang dihadapinya tadi didalam kuil.
Agaknya Oh Thi-hoa masih ragu-ragu. Ui Loh-ce lantas berkata lantang: "Cayhe Ui Loh-ce dari Liu-ciu yang ini adalah angkatan tertua dari Kaypang Cay Toh-hing Cay-loyacu dan yang termuda ini adalah Oh Thi-hoa yang menggemparkan seluruh jagat."
Diam-diam Coh Liu-hiang tertawa geli ditempat persembunyiannya, batinnya: "Memang tidak malu orang ini disebut seorang Kuncu, setiap kata-katanya jujur dan sesuai dengan kenyataan."
Memangnya Ui Loh ce, Cay Tok hing dan Oh Thi-hoa masing-masing merupakan tokoh-tokoh silat yang sama-sama menjagoi didalam bidangnya masing-masing, mereka adalah para tokoh-tokoh besar yang pernah menggetarkan dunia persilatan, boleh dikata sebagai orang gagah yang dapat menggemparkan sebuah kota meski mereka cukup hanya membanting-banting kaki saja.
Akan tetapi mendengar perkenalan nama-nama mereka, murid-murid Sin cui kiong itu tiada yang memberikan reaksi apa-apa, nyonya setengah umur yang serba putih juga hanya mengiakan sekali, katanya: "Bagus sekali, silahkan kalian menanggalkan senjata, tunggulah hukuman yang kita putuskan!"
Oh Thi-hoa terloroh-loroh dengan menengadah, serunya: "Meletakkan senjata terima di hukum" Apa-apaan ucapanmu ini" Sungguh aku tidak tahu apa maksudmu?"
Berkerut alis nyonya setengah umur itu, katanya menghela napas ringan: "Semutpun takut mati, memangnya kalian memang ingin mampus?"
Agaknya Ui Loh-ce kuatir Oh Thi-hoa terlalu kurang ajar, segera dia menyela dengan bersoja:
"Kedatangan Cayhe bertiga tak bermaksud jahat, kami hanya ingin mencari dua teman kami"
"Teman apa?" kedengaran bengis dan berwibawa teriakan nyonya setengah umur, "Tahukah kau tempat apa ini" Darimana ada dua temanmu di sini?"
"Sudah tentu mereka bukan murid-murid perguruan kalian, namu..."
Berobah rona muka nyonya setengah umur, tukasnya: "Disini terang tak ada orang luar yang berani kemari, di seluruh kolong langit siapapun tiada yang punya nyali sebesar gunung seperti kalian berani ditengah malam buta rata ini menyelundup ke dalam Sin Cui kiong.
Ui Loh-ce dan Oh Thi-hoa beradu pandang sebentar, raut muka mereka amat prihatin dan rada tegang. Berkata Ui Loh-ce dengan kereng: "Mungkin mereka belum kemari."
Oh Thi-hoa ikut menimbrung dengan tawa dingin: "Kau kira mereka seperti kau, ini adalah Kongcu, memangnya mereka mau bicara dengan jujur dan blak-blakan seperti kau?"
Gadis yang meronda di sepanjang pinggiran danau itu tiba-tiba mencelat keluar, bentaknya bengis: "Kalian orang-orang yang sudah dekat ajal, hakekatnya kita tak perlu banyak bicara lagi dengan kalian."
Belum sempat Ui Loh ce buka suara, Cay Tok hing sudah tak kuasa menahan gusar, bentaknya: "Aku orang tua memangnya malas bicara dengan kalian, lekas panggil Induk air Im Ki keluar untuk berhadapan dengan kami."
Gadis itu tertawa dingin, ejeknya: "Baik setelah mampus, akan kubawa kalian menghadap kepada Beliau."
Belum lagi gadis ini bicara habis, Coh Liu-hiang sudah tahu perkelahian takkan dapat dielakkan lagi, karena orang lain mungkin bisa merasa dongkol dan marah oleh kekasaran pihak Sin cui kiong, tapi Oh Thi-hoa justru terhadap siapapun dia tidak mau dibikin marah. Betul juga belum lagi ucapan gadis berakhir, tiba-tiba terdengar dua kali hardikan laksana geledek. Oh Thi-hoa dan Cay Tok hing tanpa berjanji serentak menerjang maju.
Cay Toh hing menggunakan sebatang pentung pendek, memang bagi murid-murid Kaypang yang biasa kelana di Kangouw, kecuali bergaman Pak-kau-pang "pentung penggebuk anjing"
dilarang menggunakan alat senjata macam lainnya. Itulah undang-undang dan peraturan tradisi sejak cikal bakal pendiri Kaypang dulu.
Sementara Oh Thi-hoa bisanya teramat agulkan diri dengan sepasang telapak tangannya, setiap kali berhadapan bergebrak dengan musuh belum pernah dia menggunakan senjata, tapi sekarang entah darimana dia memperoleh sebilah golok lepit. Golok lepit ini selalu tersembunyi dibalik lengan bajunya kini begitu sinar golok berkelebat, jurus Pat hong hing ih ternyata dilancarkan dengan perbawa yang hebat luar biasa, jelas permainan dan tipu-tipu goloknya takkan lebih asor dari tokoh ahli golok yang manapun dikolong langit.
Coh Liu-hiang tahu orang memang sengaja hendak pamer sekaligus hendak mengatasi dan menundukkan gerak-gerik gemulai pihak Sin cui kiong yang lincah laksana air mengalir dengan kekerasan ilmu goloknya yang kuat, jadi dia menampilkan keunggulan kepandaiannya untuk menandingi ilmu lunak mengatasi kekerasan pihak Sin cui kiong.
Nyonya setengah tua serba putih itu jadi naik pitam, bentaknya: "Selama duapuluh tahun, selamanya tak ada orang yang berani main senjata ditempat ini, sungguh tidak kecil nyali kalian."
ditengah seruan aba-abanya, tahu-tahu tujuh delapan gadis yang serba putih pula serentak terjun ke dalam gelanggang, masing-masing menyerang kepada Cay Tok hing dan Oh Thi-hoa. Gerak-gerik mereka ternyata memang sangat lincah dan gemulai seperti orang sedang menari, tapi kegesitan dengan ilmu Ginkang yang tinggi sungguh amat luar biasa.
Ui Loh ce lekas berteriak: "Ada omongan marilah dibicarakan, kenapa harus main kekerasan?"
Sayang belum lagi habis kata-katanya tahu-tahu tiga orang sudah mengelilingi dirinya, bayangan telapak tangan laksana kupu-kupu yang menari-nari diantara rumpun kembang, dari delapan penjuru angin serempak sama menepuk dan menghajar ke atas badannya. Apa boleh buat terpaksa Ui Loh-ce melolos pedangnya, "Sring" laksana naga berpekik, sebatang pedang panjang yang kemilau dengan sinarnya yang mencorong terang berubah selarik bianglala. Meski ilmu silatnya mengutamakan mantap dan berat, tapi tidak malu dia dinamakan sebagai seorang Sosiawan, tapi jurus dan tipu permainan pedangnya sungguh tak kalah ganas dan keji.
Lwekangnya tinggi pula memang tidak malu dia dijunjung sebagai maha guru silat yang ahli dalam bidang ilmu pedang pada jaman kini.
Irama musik dikejauhan kembali menjadi cepat, agaknya mereka sudah insaf, ketiga orang yang mereka hadapi sulit ditundukkan, maka ditengah irama musik yang sayup-sayup itu hawa pedang dan sinar golok sudah berkelebatan memenuhi seluruh lembah permai ini.
Empat orang yang menghadapi Oh Thi-hoa agaknya yang paling makan tenong dan mati kutu, soalnya Ui Loh ce dan Cay Toh hing tahan gengsi dan anggap kedudukan tinggi dan angkatan tua, maka mereka turun tangan dengan perhitungan dan tak terlalu keji.
Sebetulnya Oh Thi-hoa menguatirkan keselamatan jiwa Coh Liu-hiang, besar niatnya hendak merobohkan semua murid-murid Sin cui kiong, maka serangan goloknya tak mengenal kasihan lagi. Tampak permainan goloknya laksana naga terbang, golok diputar seperti harimau ngamuk, meski permainan telapak tangan murid-murid Sin cui kiong mempunyai perubahan ribuan variasi rumit dan susah dijajagi, namun mereka tetap terdesak di bawah angin.
Maklumlah meski murid-murid perempuan Induk air Im Ki ini mendapat didikan langsung dari ilmu kepandaian gurunya yang tiada taranya itu, apa boleh buat mereka tak punya pengalaman tempur, maka sering mereka selalu kehilangan inisiatif dan kena didahului oleh Oh Thi-hoa.
Sebaliknya Oh Thi-hoa, Cay Tok hing sama-sama merupakan tokoh silat yang entah sudah digembleng berapa ratus atau ribuan kali didalam pertempuran di medan laga, bukan saja mereka pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang paling baik, malah setiap jurus tipu yang dilancarkan pasti diperhitungkan dengan tepat dan telak, setiap orang sama tahu pada detik yang bagaimana harus melontarkan serangan apa, yang diserang adalah titik kelemahan pihak lawan.
Maka menurut situasi pertempuran sekarang ini, meski pihak Oh Thi-hoa unggul di atas angin, akan tetapi umpama nanti mereka benar memperoleh kemenangan, apa pula guna manfaatnya"
Induk air Im Ki sendiri belum lagi unjukan diri, nyonya setengah umur, Kionglam Yan dan mungkin tenag-tenaga andalan yang diutamakan dalam kekuatan Sin cui kiong sekarang belum lagi muncul semua dan ikut turun tangan. Cepat atau lambat yang pasti pihak Oh Thi-hoa bertiga yang akhirnya akan kalah.
Saking tegang hampir saja Coh Liu-hiang lupa diri hendak keluarkan setengah badannya ke permukaan air. Baru sekarang dia benar-benar menyadari, melihat orang lain atau teman baiknya sendiri bergebrak dengan orang, sungguh jauh lebih tegang dari diri sendiri yang turun gelanggang. Maka ingin rasanya segera terjang keluar terjun ke tengah pertempuran, tapi diapun tahu bila dirinya berbuat demikian, maka mereka berempat mungkin bakal sama-sama terkubur ditempat ini.
Untuk mengakhiri pertempuran dan membereskan segala persoalan Coh Liu-hiang berpendapat dia harus selekasnya menemukan titik kelemahan induk air Im Ki lalu secara tak terduga baru menyergap dan membekuknya. Dia sudah memperhitungkan cepat atau lambat Im Ki sendiri pasti akan muncul. Asal orang muncul, maka dia pasti muncul maka dia pasti bisa mencari kesempatan. Kalau Coh Liu-hiang amat gelisah dan gundah ditempat persembunyiannya, sebaliknya murid-murid Sin cui kiong jauh lebih gelisah lagi. Biasanya mereka terlalu mengagulkan diri, selamanya tidak pandang sebelah mata kepada siapapun, mereka sama berpendapat asal salah satu diantara mereka mau turun tangan, dengan mudah akan bisa meringkus musuh satu persatu.
Diluar dugaan hari ini mereka justru kebentur tiga tokoh-tokoh puncak persilatan yang sama memiliki ilmu silat yang tak terukur tingginya, untung mereka terdiri dari murid-murid Sin cui kiong kalau ditempat lain perduli dimanapun, pastilah siang-siang sudah diinjak-injak dan diratakan dengan bumi oleh mereka bertiga. Bila ketiga orang ini bergabung dan berjuang mati-matian, dikolong langit ini mungkin sulit dicari tandingan yang lebih kuat dari kekuatan kerja sama mereka bertiga.
Sekonyong-konyong terdengar suara keluhan kaget, seorang gadis baju putih tiba-tiba bersalto menjerit mundur ke belakang, tangan kirinya memegangi lengan kanan, darah segar mengucur deras dari celah-celah jarinya.
Oh Thi-hoa terloroh-loroh seperti orang kesurupan: "Kalau tidak pandang kau ini seorang perempuan, tebasanku ini sudah merenggut jiwanya."
Gadis yang dipanggil Kin moay itu tertawa dingin: "Golokmu, deras tak bertenaga, berangasan tak punya tipu daya, ilmu silat seperti ini, berani juga buat jual lagak?"
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: "Kalau demikian, ilmu silatmu tentu boleh sekali, hayolah maju, aku ingin melihat."
"Memangnya kau harus melihat kepandaianku." damprat Kin moay. Ditengah hardikannya tahu-tahu dia sudah terjun ke dalam arena pertempuran, tiga gadis yang lain sebenarnya sudah serempak melontarkan serangan, tapi sepasang tangan dengan jari-jari runcing Kiu moay tahu-tahu sudah menyelonong tiba di depan mata Oh Thi-hoa lebih dulu.
Oh Thi-hoa menegakkan goloknya dengan punggung menghadap keluar, tajam goloknya terus membalik dan dipelintir ke arah muka, jikalau serangan Kiu moay ini tidak segera diurungkan atau ditarik kembali, jari-jarinya yang halus dan manis itu bakal memapak tajam golok dan pasti protol seluruhnya.
Tapi gerak perubahan permainan tipu-tipu serangannya sungguh hebat sekali, pergelangan tangan membalik, tahu-tahu tangannya menukik mencengkeram pipi kiri Oh Thi-hoa. Gerak perubahan serangan ini amat wajar, sedikitpun tidak dipaksakan dan bergerak dengan lancar, tetapi justru karena perubahannya ini terlalu lancar dan seperti mengikuti riilnya, maka Oh Thi-hoa yang sudah gemblengan dan pengalaman dimedan laga, siang-siang sudah memperhitungkan dan menduga akan posisi dan sasaran yang diincarnya. Tahu-tahu sudah menunggu pula serangan jari-jari tangan orang.
Kiu moay sendiri tidak tahu dan menginsafi bahwa pengalaman tempurnya sendiri yang terlalu cetek, perhitungan dan ketegasan mengincar sasaran kurang tepat, maka dia mengira lawan sebelumnya sudah amat apal dan tahu gerak permainan serta perubahan tipu-tipu serangannya, keruan hatinya jadi amat kaget, maka gerak-gerik selanjutnya perubahan serangannya tidak selincah dan seganas semula.
Oh Thi-hoa tertawa lebar, katanya: "Tipunya cepat lihai tapi tidak punya tenaga, ada hati tapi kurang berani, ilmu silat seperti ini juga berani pamer di hadapanku. jikalau aku tidak kenal kasihan terhadap dara-dara ayu secantik kau ini, jari-jari landakmu itu sejak tadi sudah protol seluruhnya."
"Jari-jari landak" ibarat ini sungguh amat tepat sekali pemakaiannya, hampir saja Coh Liu-hiang terpingkal-pingkal didalam air mendengar banyolah temannya yang satu ini, tapi dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kali ini bukannya sedang main-main atau kelakar, yang terang dia memang sengaja hendak membuat lawan gusar, perang batin dengan cara yang dipakainya ini memangnya sudah lazim dipergunakan oleh Kangouw.
Bersambung ke jilid 41
JILID 41 Sebagai gadis pingitan yang tidak punya pengalaman Kangouw, sudah tentu dengan gampang Kim-moay ditipunya, saking marah mukanya merah padam, semakin getol keinginannya merobohkan lawan, permainan silatnya jadi kurang mantap dan tak bisa bekerja dengan kepala dingin.
Walau satu lawan empat, sinar golok Oh Thi Hoa tetap berkelebatan kian kemari seperti rangkaian kembang-kembang salju yang beterbangan, dia tetap berada di atas angin.
Sekonyong-konyong terdengar pula sekali keluhan kaget, tampak seorang mencelat mundur pula, maka terdengar Cay Tok Hing berkata dengan gelak tawa:
"Hati-hati sedikit, jikalau lohu tidak ingat usia yang sudah lanjut nanti disangka yang tua menindas si kecil, jari jarimu ini mungkin telah kuketuk jadi untar untar"
"Ha, ha, bagus, bagus sekali !" teriak Oh Thi Hoa tertawa besar. "Golok menabas jari landak pentung mengetuk ular, kini tinggal pedang Ui-loyacu yang akan mengirim cakar ayam"
Ui Loh-ce ternyata berkata dengan kereng dan suara berat: "Usia mereka terlalu muda tak punya pengalaman tempur menghadapi musuh, hati gugup dan gelisah ingin menang lagi kalau diteruskan pasti ada yang terluka atau ajal, sukalah suruh Kiong-cu, kalian keluar saja."
Coh Liu hiang diam-diam menghela napas, katanya: "Memang orang ini seorang sosiawan sejati yang tak mau merugikan orang lain, jujur tak mau menipu, memang kun cu kiam amat sesuai dengan pribadi dan sepak terjangnya.
Diam-diam hatinya jadi gelisah, karena dia tahu sin cui kiong begitu disegani dan dipandang sebagai puncak persilatan, pastilah bukan bernama kosong belaka, kepandaian silat murid yang bergebrak ini sudah termasuk kelas satu di kalangan Kangouw, Induk air Im Ki sendiri pasti mempunyai kepandaian silat yang tiada taranya, begitu dia muncul situasi pasti segera berubah, mungkin kawan kawannya bisa celaka daripada selamat.
Tapi kenapa sebegini jauh Induk air Im Ki bekum kunjung keluar "
Pada saat itulah, tiba-tiba Coh Liu-hiang merasakan air danau yang semula tenang dan tak bergerak itu lambat laun seperti mulai timbul gerakan arus yang berputar, kedua kakinya lapat-lapat sudah mulai merasakan adanya suatu tekanan.
Perasaan sehalus ini kalau orang lain pasti tak gampang disadari, tapi Coh-Liu-hiang bisa bernapas melalui lubang pori-pori di kulitnya sudah tentu perasaan jauh tajam dari segala orang, Cepat dia selulup ke dalam air menyusup ke lobang sebelah kiri dimana terdapat sebuah batu besar yang lain, seluruh badannya meringkel, seolah kulit daging dan tulangnya menyusut kecil, paling tidak satu pertiga lebih kecil dari keadaan badan biasanya.
Selama dirinya malang melintang berkecimpung didalam Kangouw, bahaya yang diserempet dan dihadapinya selama hidup, dibanding dengan seratus orang biasa jikalau reaksinya tidak cepat serta tepat pula menghadapi segala perubahan entah sudah berapa kali jiwanya melayang.
Demikian pula kali ini, reaksi perubahan yang melebihi orang lain ini kembali menolong jiwanya pula.
Tiba-tiba dilihatnya batu besar yang berada di sebelah kanannya tadi kini sudah mulai bergerak, tekanan di kakinya tadi adalah karena batu raksasa ini bergerak dan mendesak air sehingga menimbulkan aliran air yang berputar itu, jikalau tidak cepat dia pindah tempat dan sembunyi ke tempat yang sekarang, kedua batu besar di kanan kirinya itu bakal menggencetnya mampus.
Bahwa batu raksasa ini mulai bergerak terang di bawah dasar danau inipun pasti ada jalan rahasia, rahasia induk air Im Ki jelas terletak di dasar danau ini, betapa girang perasaan hati Coh Liu-hiang saat mana, sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Ternyata kedua batu raksasa itu tidak sampai merapat seluruhnya, di tengahnya masih ketinggalan celah-celah sempit. Dengan miringkan kepala Coh Liu-hiang melongok keluar, tampak serangkaian buih-buih yang bergulung mengalir keluar belakang batu besar, disusul muncullah dua sosok bayangan orang.
Dua orang ini sama mengenakan jubah panjang warna putih, meski berada si dalam air, pakaian yang basah tidak tampak melekat pada kulit badan mereka, malah kelihatan seperti melambai lambai ditiup angin ditengah angkasa.
Coh Liu-hiang sudah mengenal satu diantara kedua orang adalah Kionglam Yan, sorot matanya kelihatan lebih buram, lebih cekung, tapi jauh lebih indah dan cantik. Lambat-lambat tangannya menuntun seorang yang lain beranjak keluar, gerak gerik mereka didalam air hampir sama tenang dan wajar, seperti berjalan gemulai diatas daratan.
Coh Liu-hiang tidak melihat raut wajah seorang yang lain, cuma terasa dia adalah perempuan yang perawakan tinggi besar, Kionglan Yan hanya sepundaknya saja berdiri disampingnya, memangnya orang inikah induk air Im Ki yang amat ditakuti dan serba misteri itu.
Tampak Kionglam Yan menggandengnya, tiba-tiba tangan orang yang digandengnya itu diletakkan pada pipinya serta diletakkan ke kepalanya dan digosok gosokkan sekuat-kuatnya, sorot matanya memancarkan napsu birahi yang memuncak. Dengan sebelah tangannya yang lain orang itu mengelus rambut kepalanya, kelihatannya mirip benar dengan sepasang kekasih yang sedang bermesra-mesraan, sekali-sekali tidak mirip hubungan antara murid dan guru yang pantas melakukan adegan-adegan merangsang seperti itu.
Apakah benar Induk air Im Ki, tapi seorang laki-laki "
Coh Liu-hiang menjadi bingung sendiri, akhirnya Kionglam Yan melepaskan tangan itu, tapi sorot matanya yang diliputi napsu itu masih menatap muka orang itu lekat-lekat.
Kini perlahan-lahan orang itu sudah mulai bergerak menengok ke arah sini, akhirnya Coh Liu-hiang berhasil melihat muka aslinya.
Dia memiliki sepasang mata yang besar, alis yang lentik dan tebal, hidungnya besar dan mancung, bibirnya yang tipis tertutup rapat, menampilkan sorot yang teduh dan watak yang ulet serta tegas.
Itulah raut muka yang jarang terlihat pada muka manusia umumnya, hidungnya yang mancung tegak sehingga kelihatannya dia mempunyai kewibawaan besar yang angker dan seperti menyedot sukma orang, dari sikap dan tindak tanduknya jelas menunjukkan biasanya dia amat angkuh akan kekuasaan dan kebesaran, selamanya tiada orang yang berani melawan dia kecuali Sin Cui Kiong Cu Induk air Im Ki, orang lain jelas tak akan setimpal mempunyai wajah seperti itu.
Akan tetapi muka ini tak sama dengan wajah seorang perempuan, kalau perawakannya jelas menunjukkan bila dia seorang perempuan, hampir saja Coh Lui hiang menyangka Induk Air Im Ki adalah seorang lelaki.
Dan anehnya dia tak segera mumbul ke atas, keluar dari danau malah perlahan-lahan beranjak ke tengah danau, baru sekarang Coh Lui Hiang melihat ditengah-tengah danau sana, terdapat sebuah batu putih, langsung dia duduk di atas batu putih ini.
Apakah maksud dan tujuannya duduk di atas batu putih itu" Di atas sedang terjadi kekacauan dengan pertempuran sengit, kenapa dia masih enak-enakan duduk dalam air"
Baru saja Coh Lui Hiang merasa aneh, Induk air Im Ki sudah memberi tanda dengan ulapan tangan kepada Kionglam Yau segera Kionglam Yau-pun memberi gerakan tangan kearah batu di sebelah sana.
Seketika tampak segulung pusaran air yang berarus tinggi timbul dari bawah batu putih itu terus membumbung naik keatas menyerupai tonggak air, badan Im Ki yang besar itu seketika tersanggah naik pelan-pelan.
Permukaan air danau yang semula tenang-tenang itu mendadak menyemprot keluar sebuah tonggak air yang membumbung setinggi tiga tombak ke tengah udara lalu muncrat ke empat penjuru, tepat di pucuk tonggak air mancur ini tampak duduk bersimpuh seorang berpakaian serba putih.
Sinar bintang kelap-kelip, butiran air yang muncrat itupun berkilauan memancarkan sinar.
Dipandang dari kejauhan seolah-olah dari dasar danau terbang ke atas Dewi Koan-Im yang berpakaian putih duduk tenang di atas alas berkembang teratai dari kembang-kembang air yang muncrat di sekeliling itu, suasana menjadi hikmat angker, orang tak berani mendongak memandang dengan tajam.
Suara musik yang sayup-sayup sampai dikejauhan itu kini berubah kalem dan gagah.
Gadis-gadis baju putih serempak mengundurkan diri, Oh Thi Hoa, Cay Tok Hing dan Ui Loh Ce sama menengadah mengawasi orang yang duduk di atas pancuran air itu, walau mereka luas pengalaman dan pengetahuan kini merasa merinding dan sesak napasnya, serasa terbang arwahnya ke awang-awang.
Sementara itu Kionglam Yan-pun sudah mencelat naik ke daratan, sorot matanya bagai kilat dengan air muka dingin menyapu pandang pada tiga orang dihadapannya. Katanya dingin: "Badan suci Kiongcu sudah muncul. tidak lekas kalian berlutut dihadap kepada beliau?"
Oh Thi Hoa lantas tertawa. Dalam suasana seperti ini ternyata dia masih berani tertawa sungguh tak kecil nyalinya, sampai Kionglam Yan sendiri mengunjuk rasa kaget dan heran.
Terdengar Oh Thi hoa berkata dengan tertawa besar: "Badan suci" Menyembah" Memangnya kau kira dirimu dewi atau malaikat?"
"Siapa kau orang kurang ajar ini"!" bentak Kionglam Yan.
Kiu Moay segera tampil ke muka dengan menjura. "Orang ini bernama Oh Thi Hoa yang datang bersama dia adalah Kung cu Kiam Ui Loh Ce dan Cay Tok hing dari Kaypang."
Kionglam Yan tertawa dingin: "Kalian mengagulkan diri berkepandaian tinggi berani sembarang keluyuran ditempat terlarang ini?"
Cay Tok hing bergelak tawa sambil menengadah, ujarnya "Walau kepandaian cayhe bertiga tak mengejutkan orang, tapi cukup lumayan juga untuk dinilai."
"Murid siapa orang ini?" tiba-tiba induk air Im Ki bertanya. Pertanyaannya tidak ditunjukkan kepada Cay Tok Hing malah bertanya kepada Kionglam Yan seolah-olah dia tak sudi bicara langsung dengan laki-laki, tak urung Cay Tok hing tertawa pula katanya: "Waktu aku orang tua kelana mencari pengalaman, entah dia malah berada dimana" Kau tanya dia memangnya dia tahu riwayat dan asal usul hidupku?"
Kionglam Yan menunggu setelah dia pas tertawa baru berkata dengan dingin: "Semula orang ini adalah begal besar yang biasa beroperasi dengan mengganas di dua sungai besar setelah tiga puluh tahun baru bertobat dan menuju jalan lurus, menjadi murid kaypang, resminya adalah murid Lu Lam Kaypang Pangcu waktu itu, yang terang Cu Bing murid Lu Lam yang terbesar yang mewakili gurunya mengajar silat kepadanya oleh karena itu meski dia terlambat masuk perguruan, kedudukannya dan tingkatannya di dalam Kaypang cukup tinggi."
"Apa ilmu silatnya sudah mendapat didikan murni dari seluruh kepandaian Cu Bing?" tanya Indu Air Im Ki pula.
"Cu Bing bergelar Kangkun thi ciang "kepalan baja telapak besi" betapa kuat tenaga dalam dan ilmu pukulannya di kalangan Kaypang mereka tiada bandingannya, mana bisa orang ini menandinginya" Cuma semula dia memangnya seorang begal tunggal, maka ilmu ginkangnya setingkat lebih tinggi dari Cu Bing, dan karena gaman yang dia pakai semula adalah pedang, maka didalam permainan ilmu tongkatnya dikombinasikan dengan tujuh kali tujuh empat puluh sembilan jurus Wi-hong bu hu-kiam serta perubahan-perubahannya. Didalam Kaypang jaman ini, boleh terhitung tokoh nomor satu."
Ternyata asal-usul dan ilmu silat Cay Tok Hing seperti menghapal pelajaran saja dengan nyerocos dibeber secara terbuka karuan Cay Tok Hing tak bisa tertawa lagi, batinnya: "Murid-murid Sin cui-kiong biasanya tidak bergaul dengan orang luar, tak kira mereka murid-murid terpelajar tak keluar pintu, tapi tahu segala urusan dan kejadian di dunia luar, gelarnya Sin cui-kiong memang luar biasa."
Terdengar Induk Air Im Ki tertawa dingin: "Walau Cu Bing sendiri selama hidupnya tak berani sembarangan menginjak daerah terlarang Sin cui kiong, tak nyana besar benar nyali orang ini, agaknya melibih Cu Bing keberaniannya. "Berhenti sementara lalu Induk Air menuding Oh Thi hoa, tanya; "Dan orang ini?"
Dengan mendelik Oh Thi-hoa menatap Kionglam Yan, dalam hati membatin: "Jikalau riwayat hidup dan asal usul ilmu silatku kau ketahui aku benar-benar tunduk dan kagum padamu."
Kionglam Yan menepekur sebentar seperti mengingat-ingat, katanya kemudian lebih kalem:
"Orang ini seperti pula Coh Lui-hiang, orang-orang Kangouw dikata tiada orang yang tahu asal usul ilmu silat mereka, yang diketahui hanya bahwa mereka semua dari keturunan keluarga besar yang turun temurun dari kakek moyangnya malah sejak kecil hobinya berlatih silat, maka didalam rumahnya menggandeng banyak sekali guru-guru silat, tapi karena kepandaian silat asli yang mereka bekal sekarang terang bukan hasil didikan guru-guru silat di rumahnya itu."
Oh Thi hoa tersenyum sambil angguk kepala katanya: "Ya, sedikitpun tidak salah."
"Oleh karena itu waktu itu banyak orang curiga bahwa didalam keluarga mereka ada seorang tokoh silat yang amat lihay sembunyi dirumahnya dan secara rahasia mendidik dan mengajar ilmu silat kepada mereka. Tapi ada pula yang curiga bahwa secara kebetulan mereka menemukan buku pelajaran silat peninggalan entah Cianpwe yang mana."
Oh Thi hoa tetap tertawa, ujarnya: "Kau bisa tahu begini banyak, terhitung bukan mudah kau bisa mendapat bahan-bahannya."
Kionglam Yan tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut: "Akan tetapi, meski dia dibesarkan bersama Coh Lui hiang, ilmu silat mereka justru jauh berbeda, ilmu silat yang dipelajarinya mengutamakan kekerasan, agaknya mirip dengan ilmu silat dari Thi-tiat-tay-ki-bun masa lalu."
Kini Oh Thi hoa tidak bisa tertawa lagi kulit mukanya terasa kaku dan mulutpun melongo keheranan.
Tapi melirikpun tidak kepadanya, Kionglam Yan meneruskan uraiannya: "Dulu setelah Thi tiong siang menegakkan perguruan Thi tiat tay bun ki pula, Ya-te ayah beranak lantas pesiar keluar lautan dengan seorang cianpwe yang bernama Ji cu han, mereka pernah lewat di kampung kelahiran orang ini maka menurut dugaan teccu ilmu silat yang dipelajari Coh Lui hiang mendapat didikan langsung dari Ya-te "kaisar malam" sementara Ji-cu-han menerima orang ini sebagai muridnya."
Oh Thi hoa menghela napas, katanya seperti mengigau: "Tebakanmu mesti tak tepat juga meleset tak terlalu jauh dari kebenarannya, tak heran orang-orang Kangouw sama gentar terhadap kalian, agaknya kalian memang punya kebolehan yang lebih unggul dari orang lain."
Mendengar nama-nama Ya-te dan Thi kiat tay ki bun disebut-sebut sampaipun Induk Air Im Ki mengunjuk rasa kaget dan haru, sesaat dia termenung, lalu katanya: "untuk apa tiga orang ini meluruk datang?"
Kiu moay lekas menjura pula, sahutnya: "Teccu sudah beritahu kepada mereka dalam lembah ini pasti takkan ada orang luar, tapi mereka tetap tidak mau percaya."
Induk Air Im Ki menjengek hina, katanya: "Memangnya mereka ingin apa?"
"Apa kalian ingin kami bicara terus terang?" seru Oh Thi-hoa.
"Katakan!" sentak Kionglam Yan.
Oh Thi hoa tertawa-tawa dulu, katanya. "Sebetulnya kami kemari hendak cari orang, kalau orang yang dicari tidak ada di sini, sekarang hendak pergi saja."
Kionglam Yan tertawa dingin, ejeknya: "Agaknya kau memang orang pintar, sayang sekali selamanya tempat suci ini boleh didatangi tak boleh pergi lagi, kau sudah masuk dan tiada orang yang merintangi, jikalau kau hendak keluar lebih sukar dari pada kau manjat ke langit."
Tiba-tiba Induk Air berkata pula: "Beritahu mereka, perduli cara apa yang mereka gunakan bila mereka mampu mendorong aku jatuh dari altar teratai air suci ini, mereka boleh berlalu dengan selamat."
"Asal kalian..."
"Kami bukan orang tuli." tukas Oh Thi hoa dengan tertawa besar, "apa yang diucapkan, kami sudah dengar, tak perlu kau ulangi sekali lagi."
"Tapi harus dicari ketegasan dulu apa ucapannya boleh dipercaya?" sela Cay Tok hing.
Kionglam Yan membesi muka, katanya: "Perintah Kiongcu sekokoh gunung, apa yang pernah beliau ucapakan tak pernah dirobah dan ditarik kembali."
Oh Thi hoa dan Cay Tok hing beradu pandang, roman mukanya menampilkan rasa girang.
Tampak olehnya Induk air duduk angker di pucuk pancuran kembang air yang muncrat ke sekelilingnya, tenang sekokoh gunung, maka mereka insaf bukan saja ginkang orang sudah mencapai taraf yang tiada taranya, Khikang-nyapun sudah amat mendalam, memang mereka bertiga belum tentu kuasa melawan dan menjadi tandingannya, jikalau mereka menantang, dengan tingkat dan kedudukan mereka tidak bisa menolak tantangan ini, malu juga bila satu lawan tiga, kalau demikian gelagatnya hari ini mereka memang tak mungkin bisa keluar dari Sin cui kiong dengan masih hidup. Akan tetapi Induk air ternyata begitu takabur, situasi seratus persen berubah dan agaknya bakal menguntungkan pihak mereka bertiga. Maklumlah dengan gabungan kekuatan mereka bertiga yang merupakan tokoh Kangouw kelas wahid, jikalau tidak mampu mendorong jatuh dari tempat duduk di puncak pancuran air yang kelihatannya tidak kuat itu, sungguh merupakan peristiwa lucu dan aneh yang pernah mereka alami selama hidup.
Kuatir orang merubah putusan semula, sengaja Oh Thi hoa tertawa dingin: "Kalau orang memang demikian keinginannya apa boleh buat kita tinggal menurut saja bukan?"
"Benar," sela Cay Tok Hing. "Itulah yang dinamakan sang tamu mengiringi saja keinginan tuan rumah."
Berputar biji mata Oh Thi hoa. katanya: "Tapi kita perlu berunding dulu, entah boleh tidak?"
Induk air mengulap tangan, Kionglam Yan segera menjengek dingin: "Yang terang kalian berunding juga tak kan berguna, baik silahkan."
Lekas Oh Thi hoa menarik Ui Loh-ce dan Cay Tok hing ke samping, tak terasa dia tertawa, katanya: "Agaknya induk air hari ini pasti aka kecundang ditangan kita bersama."
Ui Loh-ce sebaliknya mengerut kening. katanya: "Tapi, kalaupun dia berani sesumbar, ini bukan mustahil diapun akan mengalahkan kita."
Cay tok Hing tertawa ujarnya: "Kau tak usah mengecil artikan perlawanan kita dengan mengagulkan kekuatan musuh, dengan kekuatan gabungan kita bertiga sekali terjang berbareng umpama kata tonggak air dan dia orang itu terbuat dari besi, memangnya kita tidak kuasa menumbuknya roboh?"
Ui Loh-ce pikir pergi datang, memang dia tak habis mengerti dengan cara apa induk air akan melayani terjangan kekuatan mereka bertiga, tapi dasar wataknya halus dan suka berpikir cermat serta hati-hati maka katanya dengan nada khawatir: "Manusia besi berani mati dia orang justru orang hidup yang dapat bekerja dan berdaya upaya, kita bertiga menerjang dengan segala kekuatan, jikalau dia berhasil menyingkir itu waktu kita sama-sama terapung ditengah udara, ke atas ke samping ke bawah tidak ada tempat untuk berpijak, bukan mustahil kita sendiri bakal terjeblos jatuh ke dalam danau, umpama tak sampai teringkus hidup-hidup oleh mereka, rasanya malu untuk mengulangi kedua kali dengan cara lain."
Tak urung Cay Tok hing mengerut alis pula, katanya: "Memang uraianmu masuk akal."
"Oleh karena itu menurut pendapatku yang bodoh," kata Ui Loh-ce lebih lanjut, "kita bertiga jangan bergerak dan turun tangan bersama, karena kalau bertiga sama sama maju, meski kekuatannya berlipat ganda, tapi bila sekali serang tak mengenai sasaran, tenaga bantuan yang diperlukan belakangan menjadi putus.
"Tapi bila kita bertiga bergerak sendiri-sendiri, bukankah pembawaannya jauh lebih asor?" Cay Toh hing utarakan pendapatnya.
Jawab Ui Loh ce "Biar aku dengan gerakan "Tiong hong goan jit" menerjangnya lebih dulu kalian boleh awasi cara bagaimana dia melayani atau berkelit, Oh-heng harus mengikuti aku dengan ketat, begitu serangan luput Oh-heng segera susulkan seranganmu kala itu gerakannya sudah berubah sekali, betapapun kekuatannya sudah berkurang, dengan sendirinya gerak perubahan selanjutnya menjadi rada kendur, umpama serangan Oh-hengpun menemui kegagalan, dikala Cay-loyacu menyerang dengan gelombang ketiga, dia sendiri sudah kehabisan kekuatan, kukira tidak sulit untuk Cay loyacu merobohkan dia."
Cay Tok hing tepuk tangan serunya: "Benar, cara ini memang amat tepat dan baik."
Oh Thi-hoa sebaliknya geleng-geleng kepala katanya: "Cara ini kurang baik."
"Kenapa kurang baik?" Cay Tok hing menegas. "Yang terang tenaga murninya jauh lebih unggul dari kekuatan kita, apalagi disaat kita menyerang dia, badan harus terapung ke udara tiada tempat untuk kita mengerahkan seluruh kekuatan, sebaliknya duduk di pucuk pancuran air, betapapun dia jauh lebih kalah kedudukannya, oleh karena itu bila kita harus menyerang secara bergelombang, bukan mustahil bisa dipukul jatuh satu persatu oleh kekuatan pukulan telapak tangannya."
Berubah air muka Ui Loh Ce, katanya: "Benar juga, hakekatnya dia tidak perlu merubah gerakan, cukup asal duduk di atas dengan kokoh, dengan siap memancing dan menyerang kita, betapapun kita takkan kuat melawannya."
Cay Toh Hing mengawasi Oh Thi-hoa, katanya tertawa: "Kalau kau bisa berkata demikian, tentunya kau punya cara dan akalyang lebih bagus."
Oh Thi-hoa merendahkan suara, katanya: "Cara yang paling baik tetap kita bertiga menerjang bersama, tapi aku tidak akan menyerang langsung kepadanya, bagian badanku terapung di tengah udara seketika aku akan mengalihkan arah membabat ke tonggak air di bawahnya, tidak ada ruginya kalau pura-pura menerjang dengan nekad dan siapkan tenaga untuk melindungi dan menutupi gerak-gerikku, sudah tentu kalian bergebrak benar-benar dengan dia." sampai di sini dia tertawa lalu meneruskan: "Asal tonggak air itu keterjang bubar dan terputus di tengah-tengah apa dia masih bisa duduk tenang di tempatnya?"
Begitu mendengar cara yang di usulkan Oh Thi-hoa, seketika Ui Loh Ce mengunjuk kegirangan. Sementara Cay Tok-Hing menarik tangan Oh Thi-hoa, Katanya tertawa:" Sudah puluhan tahun aku mengembara di kangouw tak nyana otakku sudah tumpul dan tidak secerdik kau bocah anak ini malah." Ui Loh-ce berkata, "Oh-heng memang cerdik dan berani, serba pintar sukar ditandingi orang lain."
"Itulah yang dinamakan, hendak menjatuhkan orang harus memanah kudanya lebih dulu." kata Cay Tok-hing riang, "kalau kudanya roboh memangnya orangnya masih bisa bercokol terus dipunggungnya?"
Semakin dipikir dan semakin dibicarakan, mereka merasa cara ini amat bagus dan tepat umpama Induk air Im Ki punya kepandaian setinggi langit kalau pancuran air itu diputuskan, betapapun dia akan terjungkal roboh.
Kata Oh Thi-hoa dengan tertawa: "Akal seburuk ini sebetulnya tak bisa kupikirkan, cuma selama dua bulan terakhir ini aku setiap hari bergaul bersama si Ulat busuk itu, lambat laun aku jadi ketularan sifatnya yang buruk itu."


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ui Loh-ce tertegun, tanyanya: "Siapa itu Ulat busuk?"
Cay Tok hing tertawa tertahan, katanya: "Apakah orang itu amat busuk maka dia diberi julukan sejelek itu?"
"Ulat busuk yang lain memang berbau busuk." ujar Oh Thi-hoa tertawa, "sebaliknya ulat busuk yang satu ini malah berbau wangi."
Setelah Kionglam Yan ikut mencelat naik ke daratan, Coh Liu-hiang menunggu sekian lamanya lagi, baru perlahan-lahan dua mendorong sedikit batu raksasa disampingnya tergeser, lalu separuh badannya melongok keluar. Tampak di belakang batu itu memang ada sebuah jalan rahasia, arus air yang mengalir dari jalan rahasia sama dengan air yang berada didalam danau, sama jernih dan bening laksana kaca, selepas mata memandang, tak kelihatan bayangan seorang manusiapun.
Meski Coh Liu-hiang amat menguatirkan keselamatan Oh Thi-hoa bertiga tapi kesempatan yang paling baik ini tidak boleh disia-siakan, agar dirinya berhasil menemukan rahasia induk air Im Ki, dengan gampang dia akan menolong mereka. kalau tidak, sekarangpun bila dia keluar juga tak ada gunanya.
Jalan rahasia ini merupakan sebuah lorong panjang yang kedua sampingnya diapit batu marmer, arus air yang mengalir kelihatannya perlahan, selicin ikan berenang Coh Liu-hiang meluncur ke dalam, belum jauh dia bergerak segera dia mendapat firasat jelek. Baru sekarang teringat olehnya tadi Kionglam Yan ada memberi tanda ulapan tangan ke arah sini, maka air lancar menyemprot keluar dengan deras dan kuatnya, maka di belakang pintu dari jalan air ini, terang ada orang yang mengendalikan kunci rahasia dari semprotan air mancur itu.
Sayang sekali dikala Coh Liu-hiang menyadari akan hal ini, dia sudah terlambat untuk bergerak. Sebuah tombak trisula tahu-tahu sudah meluncur tiba menusuk ke perutnya.
Sudah tentu serangan ini takkan bisa melukai dia, tapi celakanya, bila jejaknya sudah konangan oleh salah satu murid Sin-cui-kiong bukan saja seluruh rencana kerjanya bakal gagal total, nyonya baju putih setengah umur itupun akan terembet perkara, umpama dia berhasil membekuk atau membunuh orang yang menyerangnya ini, betapun jejaknya sudah bocor.
Bentrok Rimba Persilatan 23 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 4
^