Pencarian

Delusi 1

Delusi Karya Mira W Bagian 1

Mira W.

DELUSI

(DEVIASI 2)

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2006

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

LEMBAR PEMBUKA

PINTU berterali besi yang berat itu terbuka.

Deritnya menimbulkan bunyi yang tidak

menyenangkan telinga. Tetapi pasien laki-laki

separo baya itu tidak bergerak sama sekali.

Seolah-olah dia tidak mendengar apa-apa.

Sesaat Dokter Sendang menatap pasiennya

dari ambang pintu. Tetapi pasien itu tidak

menoleh. Dia masih tetap menatap ke luar

melalui jendela berterali besi yang terletak di

atas dinding kamarnya.

Dokter Sendang melangkah masuk. Penjaga

berseragam putih yang mengawalnya, pria

berbobot hampir delapan puluh kilogram,

langsung menutup pintu dan menguncinya

sekali. Lalu dia tegak mengawasi di luar pintu.

"Rivai," panggil Dokter Sendang sambil

menghampiri pasiennya.

Tetapi pasien itu tidak menoleh. Bergerak

saja tidak.

Sekali lagi Dokter Sendang memanggil

pasiennya. Kali ini lebih keras. Dan kali ini,

pasien itu menoleh. Tatapan matanya kosong.

Sekosong air mukanya.

"Apa yang sedang kau lamunkan, Rivai?"

Sepi. Tak ada sahutan. Rivai hanya

memandang dokternya seolah-olah dia sedang

menatap sebuah lukisan.

Dokter Sendang menarik sebuah kursi. Dan

duduk di dekat pembaringan Rivai. Ditatapnya

pasiennya dengan cermat.

"Masih memikirkan kakakmu?"

Rivai tidak menyahut. Dia menatap

dokternya dengan hampa.

"Atau... mantan istrimu?"

Sekarang mata Rivai tiba-tiba berubah

menyeramkan. Ada gairah sakit yang memancar

dari matanya. Mata yang membuat gentar orang

yang melihatnya. Tetapi bagi Dokter Sendang,

tatapan Rivai justru membangkitkan sensasi

yang aneh di hatinya.

"Arneta...," bisik Rivai penuh gairah.

"Arneta-

ku sangat cantik...."

"Ceritakan lagi, Rivai," pinta Dokter Sendang

dengan suara ganjil.

"Ceritakan lagi tentang

Arneta-mu!"

BAB I

"ARNETA!" teriak Taufan dari ambang pintu

depan.

"Lihat siapa yang datang!"

Lekas-lekas Arneta menyemprotkan parfum

kesayangan suaminya sebelum melangkah

keluar dari kamarnya.

"Hai, Cantik!" sapa Taufan mesra.

"Hai," sapa Arneta lembut sambil mengulum

senyum manis walaupun sebenarnya dia sedang

tidak ingin tersenyum.

Taufan melemparkan tas kantornya ke kursi.

Lalu merengkuh istrinya ke dalam pelukannya.

"Tidak tanya siapa yang datang?" bisiknya

sambil mengecup pipi Arneta dengan lembut.

"Siapa lagi," Arneta balas mencium.

"Kalau

bukan suamiku?"

"Tidak kamu tanya barangkali aku membawa

seorang fans baru untukmu?"

"Fans apa?" Arneta tersenyum pahit.

"Tahu

berapa umurku sekarang?"

"Di awal empat puluh pun kamu masih tetap

cantik!"

"Tentu saja," Arneta melepaskan diri dari

pelukan suaminya.

"Untukmu. Karena kamu

sudah tidak punya pilihan lain!"

"Eh, siapa bilang?" Taufan merengkuh

istrinya dari belakang dan mengecup lehernya

dengan mesra.

"Kamu masih tetap salah

seorang perempuan yang paling memikat yang

pernah diciptakan Tuhan! Penggemarmu pasti

masih antre kalau loket dibuka lagi!"

Arneta menggeliat melepaskan diri. Tetapi

Taufan malah mengetatkan pelukannya.

Bi Acih yang sedang melangkah masuk

membawa sepiring pepaya dingin langsung

mengundurkan diri dengan tersipu-sipu.

Bukan baru sekali-dua dia memergoki

majikannya sedang bermesraan. Tetapi entah

mengapa setiap kali melihat adegan seperti

itu, dia merasa malu dan parasnya langsung

memerah.

Majikannya memang sudah tidak muda lagi.

Empat puluhan. Dan katanya, mereka sudah

menikah lima belas tahun lebih. Tapi Tuan

Taufan amat memuja istrinya. Dan dia tidak

malu-malu menyatakan kekagumannya kepada

istrinya di depan siapa saja. Sampai orang yang

melihat mereka merasa rikuh.

"Perlu kubuktikan?" Taufan mendekap

tubuh istrinya lebih erat. Dan membawanya ke

kamar mereka.

"Tidak usah," Arneta memutar tubuhnya

dalam pelukan suaminya.

"Nanti malam saja.

Sekarang kamu harus mandi dulu supaya

baumu tidak merusak aroma parfumku!"

Taufan tertawa lebar sambil melepaskan

pelukannya. Dia membuka bajunya dan

mengambil baju bersih yang telah disediakan

istrinya.

"Sekarang ceritakan padaku apa yang

membuatmu kesal," katanya sabar.

Arneta tersenyum pahit.

"Rupanya aku tetap masih belum dapat

mengelabuimu."

"Tidak mungkin selama kita masih memakai

frekuensi saluran yang sama. Apa yang kamu

rasakan, pasti kurasakan juga. Apa lagi? Putri

Candra Kirana-ku yang cantik jelita? Dia belum

pulang? Atau sudah muncul Pangeran Inu

Kertapati lain?"

Arneta menghela napas berat. Wajahnya

muram.

"Aku sudah bosan menasihatinya. Kamu

juga harus ikut ngomong dong! Makin hari

pergaulannya makin tidak keruan!"

"Tidak keruan bagaimana?" Taufan

tersenyum sabar.

"Putri kan lagi puber. Biasa

kan kalau pulang terlambat, pacaran berjam-

jam lewat telepon, ngomong ngalor-ngidul Via

internet sama orang yang kenal saja tidak...."

"Bukan cuma itu!" potong Arneta kesal.

"Kamu tahu nggak, barusan dia telepon, minta"!

izin ikut temannya ikut syuting buat sinetron

***

Putri memang cantik. Sejak kecil dia telah

memperlihatkan kecantikan alamiah yang amat

memikat.

Ayahnya sangat bangga padanya.

"Sekarang aku punya dua orang ratu

kecantikan di rumah!"

"Dan tugasmu tambah berat!" Arneta

tersenyum tipis.

"Tugas apa?"

"Mengawal mereka!"

"Kalau perlu, aku akan mulai belajar ilmu

bela diri!"

Tetapi semakin besar Putri, semakin banyak

juga yang harus dipelajari Taufan.

"Kamu sudah harus mulai belajar

mendidiknya," keluh Arneta.

"Jangan terlalu

memanjakannya! Putri bisa rusak!"

Tetapi bagaimana Taufan tidak memanjakan

anaknya? Putri anak tunggal. Dan dia terlalu

cantik, terlalu menarik untuk diabaikan!

Tidak heran kalau Putri sangat dekat dengan

ayahnya. Dia selalu lari minta perlindungan

ayahnya kalau dimarahi ibunya. Dan hal itu

membuat Arneta semakin sulit mendidik

anaknya.

"Jangan halangi aku kalau sedang

memarahinya!" gerutu Arneta kesal.

10

"Kamu bukan hanya memarahi," bantah

Taufan sabar.

"Kamu memukulnya!"

"Tapi pukulan juga diperlukan kalau kata-

kataku sudah tidak didengarnya lagi!"

"Jangan di depanku. Aku tidak tega
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihatnya!"

"Nah, menyingkirlah! Biarkan aku mendidik

anak kita!"

Taufan memang menyingkir. Tapi dia

membawa putrinya.

"Kenapa sih kamu nakal sekali?" gerutunya

lembut.

"Kamu selalu bikin Mama jengkel!"

Ketika masih kecil, Putri hanya

menyelusupkan kepalanya di dada ayahnya

sambil menangis. Tetapi sesudah memasuki

masa puber, dia sudah dapat membantah.

Sudah dapat menggugat. Sudah dapat bertanya.

"Kenapa sih Mama kayaknya benci banget

sama Uti, Pa?"

"Siapa bilang?" Taufan membelai kepala

anaknya sambil tertawa sabar.

"Mama sangat

sayang padamu! Kayak Papa juga!"

"Mama cemburu sama Uti, ya Pa? Karena

Uti kesayangan Papa? Atau... karena Uti cantik?

Nyaingin Mama?"

"Ngomong apa kamu!" Taufan tertawa

lebar. Dipeluknya anaknya dengan penuh

kasih sayang. Kadang-kadang kalau sedang

memanjakan anaknya, Taufan lupa, Putri sudah

11

tumbuh menjadi seorang gadis remaja. Dia

memperlakukan Putri sama seperti ketika dia

masih berumur tujuh tahun. Dan kedekatan

hubungan mereka malah menyebabkan hampir

tak ada hari yang lewat tanpa pertengkaran

antara Putri dengan ibunya.

Tentu saja Arneta pun sangat menyayangi

anaknya. Membanggakannya. Mengagumi

kecantikan dan kecerdasannya. Dalam usia dua

tahun saja, Putri sudah mampu menyebutkan

nama dua puluh ekor binatang dalam bahasa

Inggris. Pada umur empat tahun, dia sudah

dapat membaca buku. Dan pada hari ulang

tahunnya yang ketujuh, dia sudah dapat

menggunakan alat make up ibunya untuk merias

wajahnya sendiri.

Taufan tertawa geli bercampur kagum

melihat betapa sempurnanya make up itu untuk

seorang anak berumur tujuh tahun. Tetapi

Arneta mulai merasa ngeri. Bukan karena iri.

Bukan karena takut disaingi.

Ibu mana yang tidak merasa bangga melihat

kecantikan dan kepandaian anaknya? Tetapi di

balik kebanggaan itu terselip kekhawatiran. Dan

kecemasan itu makin hari makin bertambah.

Putri bukan hanya sangat dekat dengan

ayahnya. Tetapi dia selalu bersembunyi di balik

perlindungan ayahnya kalau sedang dimarahi

ibunya.

12

"Kamu akan merusak Uti kalau terlalu

memanjakannya, Fan!" keluh Arneta kesal.

Dan kekhawatiran Arneta memang

beralasan. Putri tumbuh bukan hanya menjadi

seorang gadis cantik dan cerdas. Dia tumbuh

menjadi seorang remaja pembangkang.

Kalau ibunya melarang sesuatu, dia malah

berkeras ingin melakukannya.

"Makin dilarang dia malah makin ngotot,"

bujuk Taufan ketika Arneta melarang Putri ikut

main sinetron.

"Itu memang adat remaja. Dalam

masa topan dan badai seperti ini, membangkang

merupakan salah satu cara mereka mencari

identitas."

"Jadi kita harus bagaimana? Diam saja

mengikuti kemawan mereka?"

"Uti perlu didekati. Bukan dimarahi terus

setiap hari!"

"Dia ngotot mau ikut main sinetron! Aku

melarangnya karena takut mengganggu

pelajarannya! Uti kan baru kelas tiga SMP!

Umurnya baru lima belas tahun, Fan!"

"Biar nanti aku bicara padanya," bujuk

Taufan lembut.

"Tapi sekarang kan lagi libur, Pa!" kilah

Putri ketika Taufan melarang keinginannya.

"Apa salahnya sih ikut syuting? Dapat banyak

kenalan baru, bisa nongol di TV, dapat duit,

lagi!"

13

"Mama takut pelajaranmu terganggu!"

"Ala, Mama tahunya cuma sekolah, sekolah,

sekolah aja!"

"Lho, itu memang tugasmu satu-satunya,

kan? Papa nggak suruh Uti kerja. Itu bagian

Papa!"

"Tapi Uti ingin main sinetron, Pa!" Putri

merangkul ayahnya dengan manja.

"Boleh

ya, Pa? Kan lagi libur! Papa percaya Uti, kan?

Pelajaran Uti pasti nggak bakal jebol!"

"Papa bukan cuma mengharapkan nggak

jebol! Papa menuntut Uti jadi ranking satu lagi!

Sanggup?"

"Kalau Uti janji, Papa izinkan Uti main

sinetron?" Putri menatap ayahnya dengan

tatapan yang membuat Taufan tidak mampu

menolak. Dan dimarahi istrinya di tempat tidur.

"Tatapan matanya mengingatkanku pada

tatapan matamu kalau sedang mendambakan

sesuatu," keluh Taufan.

"Bagaimana aku dapat

menolak?"

Dan itulah kesalahan Taufan yang kedua.

Dari satu sinetron, Putri berpindah ke sinetron

berikutnya. Meskipun masih tetap bukan

sebagai pemain utama. Dan meskipun dia masih

tetap dapat mengutamakan pelajarannya.

Putri pun masih mampu menepati janjinya

pada ayahnya. Dia berhasil lulus ujian sebagai

ranking pertama di sekolahnya.

14

Tetapi dia tidak berhasil lolos dari jerat Sonny

Turangga, lawan mainnya dalam sinetronnya

yang terbaru.

Sonny Turangga baru berumur dua puluh

dua tahun. Tetapi namanya telah berkibar dalam

dunia pertelevisian. Bermula dari bintang iklan,

Sonny mulai merambah dunia sinetron sejak

dua tahun yang lalu. Dan kini, dia telah menjadi

salah satu aktor dengan bayaran termahal.

Sonny Turangga merupakan aktor idola,

bukan karena aktingnya. Tetapi karena

kebanyakan remaja putri akan memekik

setengah histeris kalau dia muncul dengan

gayanya yang meyakinkan.

Bagaimanapun penampilannya, peran

apa pun yang disandangnya, mereka tidak

peduli. Tetapi semua yang dipakainya akan

segera diikuti. Gayanya menjadi acuan remaja.

Penggemar potongan rambutnya merebak dari

sekolah sampai mal.

Dan ketika pemuda itu sudah berhasil

memikat hati Putri, Taufan segera merasa,

tempatnya di hati putrinya akan segera

tersingkir. Sudah datang sang pangeran tampan.

Dia harus mulai menyisih memberi tempat.

Bahkan ketika dia membawa keluarganya

berlibur seperti yang selalu mereka lakukan

sejak Putri masih bayi, semuanya sudah tidak

15

seperti dulu lagi. Taufan merasa, Putri ikut

berlibur bersama orangtuanya, hanya untuk

tidak mengecewakan ayahnya. Hatinya sudah

lama tidak berada bersama mereka lagi.

16

BAB II

"LIMA belas tahun telah berlalu," keluh Dokter

Winarto sambil mengawasi status pasien

Rivai Maringka yang disodorkan oleh Dokter

Sendang, asistennya.

"Tapi dia tetap belum

dapat melupakan mantan istrinya."

"Perempuan itu pasti cantik," ujar Dokter

Sendang bersemangat.

"Sangat," sahut Dokter Winarto sambil

merenung.

"Saya pernah melihatnya ketika

Rivai mulamula dirawat di sini. Arneta Basuki

memang sangat cantik. Tapi bukan hanya

kecantikannya yang menjadi obsesi bagi Rivai.

Dia masih merasa memiliki wanita itu. Padahal

Arneta sudah menjadi istri orang lain."

"Mengapa Arneta Basuki tidak pernah

mengunjunginya lagi?"

"Saya yang melarangnya. Dengan harapan

Rivai Maringka dapat melupakan masa lalunya.

Sepuluh tahun setelah Rivai membunuh

kakaknya sendiri, orang yang paling dekat

dengannya sejak kecil, saya tidak mampu

menghadirkan kembali kepribadiannya yang

semula."

"Maksud Dokter, Rizal-lah yang selalu
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

17

ditampilkannya? Pribadi kedua yang diserahi

tanggung jawab oleh Rivai untuk semua

perbuatan jahatnya?"

Dokter Winarto menghela napas panjang

sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas

meja.

"Baru lima tahun terakhir ini saya berhasil

memunculkan Rivai kembali. Tetapi berbareng

dengan munculnya kepribadiannya yang

pertama, muncul pulalah keyakinannya yang

sakit."

"Bahwa Arneta masih tetap miliknya?"

"Karena itu saya belum dapat melepaskannya.

Saya masih menganggapnya berbahaya kalau

dia tetap berkeyakinan Arneta adalah miliknya!"

"Tapi bukankah kata Dokter, kita harus

sudah mulai mengajarnya bersosialisasi?

Dikurung terus seorang diri dalam sel dalam

waktu bertahun-tahun dapat mengubah

manusia menjadi monster!"

"Beberapa kali grup terapi dalam seminggu

sudah cukup untuk permulaan. Tapi kita

harus memberi pengawasan ketat untuknya.

Saya merasa, Rivai Maringka masih sangat

berbahaya!"

Rivai duduk menyendiri di sudut ruangan

rekreasi. Matanya menatap kosong pada televisi

yang tergantung tinggi di atas sana. Pikirannya

18

seperti sebuah kotak hampa. Tidak berisi apa-

apa walaupun indra penglihatannya mencerna

sebuah gambar.

Di tengah ruangan, seorang pria muda

berumur dua puluh lima tahun sedang

mengoceh sendirian. Dia sedang meyakinkan

mitra bisnisnya betapa menguntungkan proyek

yang sedang digarapnya.

Tetapi lelaki yang duduk di hadapannya

saat itu, bukan pelaku bisnis yang bonafid.

Yang punya modal miliaran rupiah. Yang akan

ditanamkannya dalam proyek masa depan yang

sedang ditawarkan.

Dia cuma seorang lelaki tua yang sudah tujuh

kali dirawat dalam lima belas tahun terakhir ini

karena mengamuk di jalanan, melempari rumah

tetangga dengan batu, atau naik ke atap rumah

dan berpidato di tengah malam buta.

"Bapak pasti tidak bakal kecewa, Pak,"

kata Indra sambil tersenyum.

"Jika Bapak

berani menanamkan modal dalam proyek ini,

keuntungan berlipat ganda sudah di depan

mata!"

Ketika Indra melihat orang yang diajaknya

omong melongo saja menatapnya tanpa

berkedip, ditepuknya lengannya dengan

tepukan yang sopan bersahabat.

"Bapak mau lihat proposalnya? Mau, Pak?

Mau, ya?"

19

"Pak Alim jangan terlalu didesak-desak,

Indra," peringatan Suster Ninin yang ditugasi

mengawasi pasien-pasien di ruang rekreasi

rumah sakit jiwa itu.

"Tapi beliau mesti lihat proposal saya,

Suster!" berkeras Indra dengan tampang serius.

"Mana ada proyek yang begini menjanjikan?

Beliau bakal kecewa berat kalau tidak ikut!"

"Lain kali saja, Indra. Pak Alim sudah capek.

Biar dia istirahat dulu."

"Lain kali kapan, Suster?" suara Indra

melengking hampir sampai ke nada marah.

"Proyek ini keburu diserobot orang lain! Suster

tahu berapa untungnya? Berapa untungnya?

Tiga ratus M! Tiga ratus satu M! Tiga ratus

sepuluh M! Suster bisa hitung berapa bagian

saya? Berapa bagian saya? Berapa?"

Dasar sinting, keluh Suster Ninin sambil

meninggalkan pasiennya. Lama-lama di sini

janganjangan aku bisa ikut miring!

"Hai!" sapa seorang wanita muda sambil

menepuk bahu Suster Ninin kuat-kuat sampai

Suster Ninin terlonjak kaget.

"Boleh minta

gunting?"

"Buat apa?"

"Lihat nih!" Perempuan itu menjulurkan

lidahnya sepanjang-panjangnya.

"Lihat nih!"

"Ada apanya lidahmu, Yun?"

"Kepanjangan! Saya nggak bisa lagi nutup

mulut!"

20

"Apanya yang kepanjangan?"

"Leher saya nih!" Yuyun memanjang-

manjangkan lehernya.

"Leher saya nih!"

"Lehermu kepanjangan?" Suster Ninin

menghela napas sabar.

"Si Ratna sudah gila, Suster! Dia ngomong

sendiri tuh! Ngomongnya jorok banget! Ih,

amitamit deh!"

Lalu Yuyun mulai menirukan kata-kata

Ratna dengan gaya dan intonasi yang persis

sama. Katakata yang membuat Suster Ninin

membentaknya dengan kesal.

"Sudah! Sudah!"

"Ada masalah, Nin?" sapa Husni, perawat

pria yang bertubuh tinggi besar.

"Ah, nggak ada apa-apa, Bang. Biasa saja.

Mereka lagi bergembira kok. Kecuali Pak Rivai

yang sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.

Dan Pak Ali yang bengong terus."

"Si Indra masih ngoceh proyeknya terus?"

"Kasihan anak muda itu. Proyeknya gagal

total. Dia frustrasi. Karena angan-angannya

terlalu tinggi, trauma psikisnya kelewat berat.

Ke sinilah akhirnya dia jatuh terbanting."

"Dia masih bisa sembuh, Nin?"

"Kata Dokter Sendang sih prognosisnya

masih lebih baik dari yang lain. Kalau yang

seperti Pak Alim itu kan sudah kronis. Sudah

belasan tahun mengidap skizoprenia. Kalau

21

halusinasi auditoriknya lagi muncul, dia bisa

ngamuk, menimpuki rumah orang, macam-

macamlah."

"Pasti tidak enak sekali hidup dengan suara-

suara di telinga seperti itu," keluh Husni sambil

mendampingi Suster Ninin melangkah ke

sudut ruangan.

"Makanya dia sering ngomong

sendiri, kadang-kadang malah ngamuk!"

"Penyakit jiwa memang macam-macam ya,

Bang. Lihat saja Pak Rivai itu. Dulunya dia

direktur lho! Orang terhormat. Kaya. Istrinya

cantik. Rumahnya bagus. Sekarang? Seumur

hidup terkubur di sini! Pembunuh yang punya

kepribadian ganda dan penyimpangan seksual!

Ih, ngeri kalau dengar ceritanya, Bang!"

"Makanya dia termasuk salah satu pasien

yang harus diawasi ketat."

"Tapi kelihatannya sih tidak berbahaya kalau

lagi diam saja begitu ya, Bang. Asal jangan

menyebut-nyebut istrinya...."

"Suster!" seru seorang pria muda di dekat

Suster Ninin. Dia menunjuk ke layar televisi.

"Itu saya!"

"Yang mana?"

"Tuh, yang ituuuuu!!!"

"Itu kan kuda!"

"Di bawahnya! Yang di bawahnya

"Jangan diladeni, Nin," bisik Husni sambil

menahan senyumnya.

"Namanya juga orang

22

nggak waras!"

"Boleh minta rokok, Suster?"

"Buat apa? Kamu kan nggak merokok?"

"Nyalain api."

"Buat apa menyalakan api?"

"Buat nyulut rokok!"

"Ada apa, Ramon?"

"Tolong berikan kotak ini pada Dokter

Winarto!"

"Apa isinya?"

"Korek api yang sudah dipakai. Dua puluh

tujuh ribu batang dari dua puluh tujuh propinsi

di Indonesia!"

"Buat apa korek api sebanyak itu? Kan sudah

tidak bisa menyala?"

"Buat bikin pagar! Satu, dua, tiga, empat

puluh, empat puluh satu, tiga puluh lima, tiga

puluh enam, tiga puluh tujuh..."

"Bang Husni!" panggil Suster Aida dari

ambang pintu.

"Dipanggil Dokter Sendang!

Ada pasien baru tuh!"

Husni mengeluh berat.

"Mengapa di dunia ini makin banyak saja
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang gila?"

"Supaya rumah sakit kita nggak kosong,

Bang!"

23

BAB III

RUMAH peristirahatan itu terletak di daerah

Gadog. Jaraknya kira-kira dua kilometer dari

jalan raya. Terletak di tengah-tengah area

perbukitan dan sawah. Sebuah rumah tua yang

tidak terlalu besar, dengan arsitektur tahun lima

puluhan bergaya pendopo.

Di sekelilingnya terbentang kebun luas yang

penuh ditumbuhi pepohonan yang rindang.

Rumah itu terpencil sendirian. Agak jauh dari

rumah penduduk. Menyatu dengan alam

sekitarnya.

Karena letaknya agak tinggi, jika menatap

ke kejauhan, Gunung Gede seolah berada lebih

rendah. Udaranya tidak terlalu dingin. Tetapi

sejuk menyegarkan.

Sejak masih gadis, Arneta amat suka berlibur

di tempat peristirahatan milik ayahnya itu.

Setiap tahun, hampir tak ada liburan yang

terlewati tanpa singgah di sana.

Ketika Putri masih kecil, mereka bisa tinggal

sampai dua minggu di pesanggrahan itu.

Semakin besar, waktu tinggal mereka semakin

singkat, karena Putri selalu ingin cepat-cepat

kembali ke Jakarta.

24

Sekarang, sesudah Sonny merajai hatinya,

Putri semakin tidak betah lagi berkurung di

sana.

"Pulang yuk, Pa," rengeknya hampir tiap

hari.

"Uti kan banyak kerjaan di Jakarta.

"

"Kerjaan apa?" Taufan tersenyum pahit.

"Main internet? Atau... main sinetron? Sudah

ada kontrak baru?"

"Ah, Papa!" Putri memukul lengan ayahnya

dengan manja.

"Papa ngeledek melulu sih!"

"Kerasan dikit!" Taufan menyodorkan

lengannya.

"Kebetulan, lagi pegal nih!"

"Papa minta dipijat melulu sih! Bayar

dong!"

"Minta dipijat sama anak sendiri mesti

bayar?"

"Tapi janji, Pa, besok kita pulang, ya?"

"Mmm, Uti mesti tanya Mama dulu."

"Huuu, Mama pasti nggak mau!" Putri

memukul lengan ayahnya sekali lagi. Keras dan

gemas.

"Mama kan paling betah ngumpet di

sini!"

"Pijat terus," Taufan tersenyum sambil

mencubit pipi anaknya.

"Yang keras! Punya

anak sudah besar masa tidak bisa disuruh-

suruh! Percuma dikasih makan!"

"Aaah... Papa!" Putri mencubit lengan

ayahnya sampai Taufan berteriak antara sakit

dan geli.

25

"Kenapa dicubit? Papa kan suruh kamu

pijat! Jahat ya! Awas, mulai besok uang jajanmu

dikurangi!"

"Pa, serius nih!" Putri bergayut manja di

lengan ayahnya.

"Ajak Mama pulang besok ya,

Pa?"

"Kenapa bukan kamu saja yang bilang sama

Mama?" Taufan menahan tawanya.

"Kan kamu

yang mau pulang!"

"Kalau Papa yang ngajak pulang, Mama kan

pasti mau!"

"Belum tentu! Nanti Mama kira Papa punya

simpanan di Jakarta! Mau buru-buru ngajak

pulang! Kamu nggak mau lihat Papa-Mama

bertengkar, kan?"

"Ah, Papa bercanda melulu! Mana pernah

sih Papa-Mama bertengkar? Saban hari juga

main cubit-cubitan!"

"Siapa bilang?" Taufan mengulum senyum.

"Setiap bicara soal kamu, pasti Papa-Mama

bertengkar!"

"Iya sih!" wajah putri berubah cemberut.

"Mama emang alergi banget sama Uti!"

"Bukan alergi! Cuma kamu dan Mama

punya kutub listrik yang persis sama, jadi selalu

saling tolak-menolak! Padahal sih kalian saling

menyayangi. Iya, kan?"

"Bukan karena berebut menarik kutub listrik

Papa?"

26

Dan Taufan belum sempat menjawab. Deru

mesin sebuah motor besar memekakkan telinga.

Mesin motor itu meraung-raung di depan

pintu gerbang. Kemudian suara klaksonnya

meningkahi polusi suara yang menodai

keheningan suasana pegunungan.

Putri sudah melompat ke depan sebelum

Taufan sempat menggerutu. Dia berlari-lari

ke bawah dengan wajah sumringah. Hampir

bertubrukan dengan ibunya yang sedang

bergegas naik.

"Ada orang di depan, Fan!" cetus Arneta

cemas.

"Naik motor!"

"Pangeran Inu Kertapati," sahut Taufan

sambil menghela napas panjang.

Wajah Arneta yang melukiskan kecemasan

langsung berubah masam.

"Dia berani menyusul kemari?"

"Dia bukan tipe pemuda yang gampang

ditakuti," sahut Taufan sabar.

"Di satu sisi, aku

suka tipe anak muda yang pantang menyerah

seperti itu. Tetapi di sisi lain..."

"Kamu takut kehilangan anak

kesayanganmu?"

"Dan aku tidak suka kalau ada orang yang

mengganggu waktuku bersama keluarga, siapa

pun dia."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Usir dia!"

"Dan membuat Putri sedih?"

27

"Tapi sekarang waktunya Putri berkumpul

dengan ayah-ibunya, Fan! Kalau sekarang pun

waktu ini diambilnya juga, kapan kita punya

waktu berkumpul dengan anak kita?"

Dan Putri sudah muncul diiringi seorang

pemuda tampan yang bertubuh tinggi atletis.

"Selamat siang, Pak, Bu," sapa Sonny

Turangga sopan. Baik wajahnya maupun tutur

katanya sama sekali tidak menampilkan rasa

takut atau rikuh. Dia tampak begitu yakin akan

dirinya, tampil begitu menguasai keadaan,

sampai mau tak mau Taufan merasa kagum.

Pantas saja Uti begitu tergila-gila padanya,

keluh Taufan dalam hati. Anak muda ini

memang punya sesuatu!

"Sonny jemput Uti, Pa. Boleh ya Uti pergi

sekarang?" Putri menoleh ke arah ibunya

dengan segan.

"Boleh ya, Ma?"

"Tidak!" jawab Arneta tegas.

"Hari ini kamu

harus di sini. Berkumpul bersama orangtuamu.

Papa khusus mengambil cuti supaya kita dapat

menikmati liburan ini bersama-sama."

"Tapi Uti sudah bosan di sini, Ma!" cetus

Putri kesal.

"Mama kan nggak bisa mengurung

Uti terus di sini!"

"Mama tidak mau dibantah, Uti!" sergah

Arneta tegas.

"Kamu tidak boleh pergi. Titik."

Dengan langkah-langkah yang mantap

Arneta meninggalkan mereka.

28

"Pa, gimana dong nih?" Putri berpaling

kepada ayahnya sambil merengek manja.

Taufan menghela napas berat.

"Kamu sudah dengar perintah Mama,"

sahutnya murung.

"Tapi Mama nggak boleh gitu dong, Pa!"

protes Putri antara kecewa dan marah.

"Mama

nggak bisa penjarain Uti di sini!"

"Mama cuma ingin kita berkumpul bersama-

sama. Seperti dulu."

"Tapi Uti kan bukan anak kecil lagi, Pa

bantah Putri sengit.

"Uti sudah punya dunia

sendiri! Mama nggak boleh egois! Mau memiliki

anaknya seorang diri seperti dulu!"

"Jangan mencela ibumu di depan Papa, Uti!"
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara Taufan berubah tegas. Datar.

"Sekarang

Papa tidak mau berdebat lagi. Kamu tidak boleh

pergi!"

"Huuu! Papa jahat!" Putri mengentakkan

kakinya dengan jengkel. Lalu dia memutar

tubuhnya dan menghambur ke luar.

Dengan tenang Sonny mengangguk ke arah

Taufan. Lalu berbalik hendak mengikuti Putri.

"Lain kali jangan datang kemari kalau tidak

diundang," kata Taufan tawar.

"Kau merusak

suasana liburan kami."

Sonny menoleh dengan tenang. Air mukanya

sama sekali tidak berubah.

"Baik, Pak," suaranya maupun tatapan

29

matanya tidak menyiratkan perasaan segan atau

rikuh. Apalagi jera. Sikap dan gerak-geriknya

malah cenderung acuh tak acuh walau tidak

melecehkan.

Sonny pergi meninggalkan tempat itu

setengah jam kemudian. Seorang diri. Raung

mesin motornya menderu-deru membahana ke

seluruh tebing.

Dari jendela, Taufan melihat ke bawah.

Sonny melambai ke arah Putri dari atas sadel

motornya. Lalu motornya yang besar dan

berisik itu menghilang di kelokan.

Putri melangkah masuk dengan gontai. Dia

memang tidak jadi pergi. Tetapi Taufan tahu,

suasana liburan mereka telah rusak.

***

Sejak siang sampai malam, Putri tidak

muncul. Dia mengurung diri terus di kamarnya.

Seolaholah dia ingin menghukum orangtuanya.

Ingin menyatakan kepada mereka, percuma

menahan badannya di sini kalau jiwanya sudah

tidak berada di tempat ini lagi.

Mama ingin dia berkumpul bersama

orangtuanya di sini? Oke. Yang ada di sini

hanya namanya saja! Kenyataannya? Mereka

tidak pernah bersama lagi!

30

"Biar aku yang panggil Uti," Taufan buru-

buru mencegah Arneta memanggil Putri, ketika

dilihatnya wajah istrinya diliputi mendung

tebal.

"Kamu! siapkan makanan saja."

"Tidak!" bantah Arneta tegas. Kering.

"Dia

harus membantu aku menyiapkan makanan!

Aku ibunya, bukan babu!"

"Sudahlah! Kenapa sih mesti mencari ribut

lagi? Suasana bisa tambah rusak!"

"Suasana memang sudah rusak sejak bajul

itu datang! Jangan salahkan aku!"

"Tapi jangan ditambah keruh lagi. Sudahlah.

Kita harus merangkulnya. Bukan malah

mendorongnya semakin jauh!"

"Apa yang harus kulakukan? Minta maaf

padanya? Merengek minta dia ikut makan

malam bersama kita?"

"Jangan begitu dong, Sayang! Uti kan anak

kita, bukan musuhmu! Kenapa sih kamu begitu

geram padanya?"

"Dia harus dididik, Fan! Kamu terlalu lembek

padanya!"

"Dan kamu terlalu keras. Hampir tiap hari

kalian bertengkar."

"Kalau bukan aku, siapa lagi yang

memarahinya? Kamu selalu tidak tega!"

"Sudahlah. Beri aku kesempatan untuk

bicara padanya. Oke?"

31

"Halo, Manis," sapa Taufan dari ambang

pintu kamar Putri.

"Papa boleh masuk?"

Putri tidak menyahut. Menoleh saja tidak.

Dia cuma mengangguk. Wajahnya segelap

langit di luar sana.

Taufan melangkah masuk. Duduk di sisi

tempat tidur anaknya.

Putri menggeser menjauhi ayahnya. Tetap

dalam posisi semula. Berbaring tertelungkup

di tempat tidur. Mengawasi sebuah buku yang

terbuka lebar di hadapannya. Buku yang pasti

tidak dibacanya.

"Papa tahu perasaanmu," kata Taufan sabar.

"Tapi Papa mau, Uti juga mengerti perasaan

Papa dan Mama."

Sepi. Tidak ada jawaban. Putri seperti tidak

mendengar apa-apa. Parasnya kosong.

"Mama bukan tidak sayang padamu. Justru

karena sayang pada Uti, kami selalu ingin dekat

padamu...."

"Tapi caranya kan bukan begitu, Pa!" Putri

meledak dalam ke geraman.

"Boleh saj a kepingin

dekat! Tapi bukan berarti sewenang-wenang

berkuasa menentukan ke mana dan kapan Uti

boleh pergi!"

"Uti ingin pulang besok, kan? Papa sudah

janji akan membujuk Mama supaya kita bisa

pulang bersama-sama. Tapi belum juga Papa

sempat ngomong, Uti mendadak kepingin

32

pulang sekarang juga! Nah, siapa yang

melanggar perjanjian kita?"

"Masa bodoh ah! Pokoknya kalau Uti

kepingin pulang, jangan dilarang! Uti kan

sudah besar! Tidak bisa lagi dikurung seperti

anak kecil!"

"Kapan Uti dikurung? Sejak kecil juga tidak

pernah! Kita di sini kan berlibur! Bukan main

kurungan!"

"Tapi Uti kayak napi! Nggak boleh pergi

sekehendak Uti!"

"Tentu saja! Itu kewajiban seorang anak!

Harus patuh pada perintah orangtua! Apa sih

susahnya berlibur di sini sehari lagi dengan

Papa-Mama? Apa itu terlalu berat bagimu?"

"Uti sudah bosan di sini!"

"Karena pemuda itu? Karena ingin berada di

dekatnya, kamu bosan di dekat Papa?" ketika

mengucapkan kata-kata itu, suara Taufan

terdengar pedih.

Mau tak mau terbit secuil sesal dan iba di

sudut hati Putri.

Selama ini, Papa selalu baik padanya.

Lemahlembut dan sabar. Kapan Papa pernah

tidak mengabulkan permintaannya? Papa

selalu ada setiap kali Putri membutuhkannya.

Benarkah sekarang dia merasa tersingkir karena

kehadiran Sonny?

"Ayo, kita makan," cetus Taufan ketika

33

dilihatnya wajah anaknya sedikit berubah.

Kemarahannya menghilang separonya. Dan api

di matanya tampak agak meredup.

"Mumpung

Papa masih bisa makan bersamamu...." Taufan

tersenyum pahit.

"Tanpa harus minta izin."

34

BAB IV

"BAWA masuk pasien baru itu, Suster," kata

Dokter Winarto melalui niphone di atas mejanya.

"Siapa namanya? Murtini?"

Dokter Winarto mengawasi status pasien

yang terletak di hadapannya. Diperbaikinya

letak kacamatanya yang miring.

Hm, wanita lajang berumur tiga puluh

tujuh tahun, wiraswasta, jebolan fakultas

ilmu komunikasi, punya rumah sendiri, tiba-

tiba membuat pengaduan pada ketua RT,

tetangganya membuka rumah pelacuran.

Ketika pengaduannya diabaikan karena

memang tidak ada buktinya, dia menulis surat

berkali-kali kepada ketua RT. Ketua RW, lurah,

camat, bahkan polisi.

Terakhir dia menuduh para tetangganya

mengejeknya sebagai pelacur. Ketika

sepulangnya dari kantor dia melihat dua orang

ibu tetangga sedang mengobrol di dekathalaman

rumahnya, tiba-tiba dia menyerang mereka

dengan tuduhan mereka sedang mengata-

ngatai dia. Murtini menjambak rambut kedua

ibu itu dan mendorong mereka ke selokan.

Dokter Winarto membalik status pasiennya

35

sambil menghela napas panjang. Penyakit

jiwa memang dapat menyerang siapa saja

tanpa pandang bulu. Kaya-miskin, tua-muda,

terpelajar atau tidak, sama saja.

Pintu diketuk dua kali. Suster Aida

mengantarkan seorang wanita masuk ke kamar

kerja Dokter Winarto.

"Tinggalkan saja, Suster," perintah Dokter

Winarto sambil mengawasi pasiennya dengan
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cermat.

Seorang wanita berumur tiga puluhan,

bertubuh sedang, berwajah dingin dan kosong,

pucat seperti mayat hidup.

"Baik, Dok," sahut Suster Aida sambil

melepaskan tangannya yang mencekal lengan

pasiennya. Kemudian dia mengundurkan diri

dan menutup pintu.

Murtini masih tegak bagai patung di

tempatnya. Bahkan lengannya yang bekas

dibimbing Suster Aida masih berada dalam

posisi semula. Menggantung di udara. Tidak

turun ke sisi tubuhnya.

Wajahnya kosong dan datar. Tanpa emosi.

Matanya menatap lurus ke depan. Terpaku

pada jendela di belakang kursi Dokter Winarto.

"Saya memang ditakdirkan untuk

membersihkan dunia yang fana ini dari pelacur-

pelacur kotor!" cetusnya dingin. Tubuhnya

membeku. Tidak bergerak sama sekali.

36

Dokter Winarto yang sudah biasa

menghadapi orang sakit jiwa, mengawasi

pasiennya dengan tenang.

"Kenapa punya pendapat begitu, Tini?"

tanyanya sabar, dengan nada bersahabat.

"Lihat jendela itu! Satu jendelanya terbuka,

kan? Satu lagi tertutup! Artinya saya memang

ditakdirkan untuk membersihkan dunia yang

fana ini dari pelacur-pelacur kotor!"

Dokter Winarto menyimpan senyumnya. Dia

mencatat sesuatu di bukunya. Delusi, tulisnya.

Delusi atau waham adalah keyakinan yang

salah karena bertentangan dengan realita.

Keyakinan itu tidak dapat dikoreksi walaupun

telah tersedia bukti yang obyektif tentang

ketidakbenarannya.

Dokter Winarto mengerti sekali, percuma

membantah keyakinan orang yang sakit itu.

Karena makin dibantah, biasanya delusinya

makin hebat. Dan dia bisa mengamuk membabi-

buta.

"Duduk sini, Tini," Dokter Winarto menepuk

sebuah kursi di dekatnya.

"Mari kita bicarakan

pelacur-pelacur jahat itu."

Dengan patuh Murtini mengikuti perintah

dokternya. Dia duduk tegak seperti patung.

Sebelah lengannya tetap tergantung di udara.

Tiba-tiba dia menggeram marah. Matanya

membeliak mengerikan. Tinjunya terkepal erat.

37

"Ada apa, Tini?"

"Apa katamu?" Murtini memperlihatkan

sikap waspada, seperti sedang mendengarkan

orang yang sedang bicara padanya.

"Perek?

Kau yang perek! Mati kau!"

Tiba-tiba dia bangkit dengan cepat. Dokter

Winarto tidak bergerak menjauh. Tapi dia

sudah berjaga-jaga.

Tetapi Murtini tidak menyerangnya. Dia lari

ke tembok. Dan menempelkan telinganya ke

dinding.

Tiba-tiba mukanya berubah merah padam.

Dipukulinya tembok itu dengan sengit.

"Kau yang perek! Kau yang perek! Kau yang

perek! Mati kau!"

Halusinasi auditorik, tulis Dokter Winarto di

bawah catatannya yang tadi. Lalu dia memberi

tanda menggandengkan kedua gejala itu.

Skizoprenia paranoid?

Murtini diangkat anak ketika masih bayi.

Sehingga Dokter Winarto tidak dapat mencari

faktor keturunan dalam keluarganya.

Setelah melakukan beberapa kali

psikoanalisa, hanya satu hal yang dapat

diduganya menjadi trauma psikis bagi Murtini.

Dia telah mengalami pelecehan seksual sejak

usia yang masih sangat dini.

Ayahnya menjadi pemabuk sejak di-PHK.

38

Ibunya yang harus bekerja keras menghidupi

keluarganya, tampaknya juga tidak mempunyai

hubungan yang mesra dengan Murtini. Dia

menjadi anak yang ditelantarkan oleh kasih

sayang ibu. Salah satu faktor penting yang

melatarbelakangi penyakit jiwa.

Tidak heran kalau Murtini tumbuh sebagai

pribadi yang senang menyendiri, tidak

mudah bergaul, boleh dikatakan hampir tidak

mempunyai teman.

Perasaan ditelantarkan oleh ibu sejak masa

anak-anak, diperberat dengan tumbuhnya

perasaan benci kepada ibunya, karena Ibu

dianggapnya diam saja walau tahu apa yang

dilakukan Ayah padanya.

Ketika perasaan benci itu kemudian berbaur

dengan rasa bersalah karena mengambil hak Ibu,

jiwa Murtini semakin dirusak oleh ambivalensi.

"Ibu benci saya!" cetusnya dalam sebuah

psikoterapi dengan Dokter Winarto.

"Kenapa

Ibu benci kamu?"

"Ibu diam saja!"

"Harusnya Ibu bagaimana?"

"Saya berdosa! Dosa sama Ibu!"

"Apa yang kamu lakukan, Tini?"

"Ayah mab...." Tiba-tiba Murtini terdiam.

Wajahnya berubah kaku. Dan dia tetap membisu

seribu bahasa walaupun di desak-desak terus

oleh Dokter Winarto. Seolah-olah ada blocking

39

yang mendadak menghambat pikirannya.

Terpaksa Dokter Winarto menyudahi pe-

meriksaannya.

"Saya kira dia menjadi korban pelecehan

seksual ayah angkatnya sejak kecil," kata

Dokter Winarto kepada asistennya, ketika

mereka sedang mendiskusikan kasus Murtini.

"Ibunya tahu, tapi diam saja. Karena itu Murtini

dibebani perasaan bersalah bercampur benci. Di

alam bawah sadarnya, dia menganggap dirinya

pelacur, karena mengambil suami ibunya.

Selama egonya masih utuh, perasaan itu

direpresikan ke alam bawah sadarnya, sehingga

dia masih dapat hidup seperti layaknya orang

normal."

"Apa yang menyebabkan keruntuhan egonya

sehingga perasaan itu kini menyembul ke alam

sadarnya, Dok?" tanya Dokter Sendang.

"Sebuah trauma psikis yang hebat? Atau

memang dia sudah memiliki gen skizoprenia?"

"Itu yang masih harus kita selidiki.

Murtini merejeksikan perasaannya sebagai

pelacur kepada orang-orang di sekitarnya.

Kalau baru sampai di sana, oke. Tapi kalau

delusinya bertambah hebat sehingga dia

berniat memberantas mereka... ini yang sangat

berbahaya!"

"Maksud Dokter... dia bisa mencelakakan

orang?"

40

"Jangan campurkan dia dengan pasien

lain sebelum kita bisa meredakan delusinya.

Terutama dengan pasien seperti Ratna, bekas

pelacur dari Kramat Tunggak itu."

41

BAB V

PESTA berlangsung sangat meriah. Ulang

tahun keenam belas Putri dirayakan dalam

kegembiraan bersama teman-temannya.

Taufan dan Arneta hanya kebagian berfoto

dua kali bersama Putri dengan kue ulang

tahunnya. Sesudah itu, mereka seperti tersingkir

ke sudut.

"Sudahlah," hibur Arneta sambil tersenyum

pahit, merasakan kepedihan sang ayah.

"Kan

kamu yang selalu bilang, Uti bukan anak kecil

lagi. Dia sudah memiliki dunianya sendiri."

Taufan melingkarkan lengannya ke bahu

istrinya sambil mengawasi putrinya dari jauh.

Tak pelak lagi. Putri-lah sang bintang malam

itu. Kecantikannya seperti bintang kejora.

Gemerlapan membagikan sinarnya. Cemerlang

dalam gaun pestanya yang serba memikat.

"Kadang-kadang aku lupa Uti sudah

remaja," bisik Taufan terharu.

"Aku bangga

melihatnya. Tapi kadang-kadang, aku tidak

dapat mengingkari, aku ingin dia seperti dulu

saja. Gadis kecilku yang lucu. Yang dapat

kumiliki hanya bersamamu...."

Arneta memeluk suaminya dengan hangat.

42

Seakan-akan ingin menabahkan sang ayah yang

merasa kehilangan permata hatinya. Dia tahu

betapa dekatnya Taufan dengan Putri. Dia juga

dapat merasakan kepedihan suaminya. Karena

menyadari, bersama datangnya kedewasaan,
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putri bukan hanya milik mereka lagi.

Ketika melihat Sonny mengecup pipi Putri

dengan mesra, tak sadar Taufan meraba pipinya.

Kecupan hangat putrinya masih terasa di sana.

"Selamat ulang tahun, Manis," bisik Taufan

sambil mengecup pipi anaknya.

"Terima kasih, Pa," Putri membalas ciuman

ayahnya dengan terharu. Matanya berbinar

penuh kebahagiaan. Tetapi Taufan tahu,

kebahagiaan yang dirasakannya saat itu,

bukan lagi kebahagiaan putri kecilnya yang

memperoleh hadiah ulang tahun yang istimewa

dari ayahnya.

Di depan mata Taufan terbayang kembali

tahuntahun yang telah lewat. Ketika Putri

merayakan tahun demi tahun hari ulang

tahunnya.

Seorang bocah perempuan yang manis, lucu,

dan lincah. Meniup lilin ulang tahunnya bersama

ibunya, sementara ayahnya menjepretkan

kamera.

Tak terasa air mata Taufan berlinang. Dalam

beningnya air mata suaminya, Arneta membaca

keharuan Taufan yang sedang dilibat nostalgia.

43

"Kita tidak kehilangan Putri, kan?" bisik

Arneta sambil membelai punggung suaminya.

"Kita hanya harus membaginya dengan orang

lain."

"Kamu ingat ketika pada hari ulang tahunnya

yang ketujuh dia memakai make up-mu?" bibir

Taufan menyunggingkan sepotong senyum

haru.

"Rasanya kejadian itu baru kemarin!"

"Sudahlah," hibur Arneta sambil mengajak

suaminya ke dapur.

"Mau kuambilkan hidangan

favoritmu? lstrimu khusus membuatnya

untukmu! Jadi aku ingin kamu mencicipinya

lebih dulu sebelum tamu-tamu yang lain!"

Taufan mengecup pipi istrinya dengan

hangat.

"Kamu tidak tahu betapa beruntungnya aku

memilikimu, N eta "

"Lebih beruntung lagi karena kamu dapat

memilikiku seorang diri, selamanya!" Arneta

tersenyum masam.

"Tidak perlu membagiku

dengan orang lain!"

Malam itu, seusai pesta, Putri minta izin pergi

dengan teman-temannya ke disko. Meskipun

pada mulanya Arneta keberatan, dia terpaksa

mengizinkan atas bujukan suaminya.

"Biarlah, kan cuma malam ini saja. Malam

ulang tahunnya."

"Tapi aku khawatir..."

44

"Kan dia pergi bersama teman-temannya.

Bukan hanya berduaan saja dengan Sonny."

"Tapi siapa yang tahu kalau di suatu tempat

mereka berpisah?"

"Sudahlah, jangan terlalu curiga. Di hari

ulang tahunnya, aku tidak ingin Uti sedih."

"Aku juga tidak! Aku cuma khawatir!"

Dan kekhawatiran seorang ibu ternyata

beralasan. Karena enam minggu sesudahnya,

Arneta mendapati putrinya hamil.

Hamil? Mulut Taufan telah terbuka. Tetapi

tidak ada suara yang keluar. Dia terkulai

lemas di kursi. Menatap bengong pada Arneta

yang sedang duduk tepekur dengan air mata

berlinang.

Anak kesayangannya hamil? Gadis

kebanggaannya mengandung seorang bayi

tanpa ayah? Ya Tuhan! Runtuhlah sudah

menara kebahagiaan yang dibangunnya selama

enam belas tahun!

Tidak ada yang bicara saat itu. Tidak ada

yang merasa ingin membuka mulut. Hanya

keheningan yang menyelimuti ruangan. Dan

ketika Putri melihat keadaan ayahnya, dia

merasa sangat terpukul.

Ketika mengetahui dia hamil, Putri merasa

panik. Merasa takut. Tidak tahu bagaimana

harus mengatakannya kepada orangtuanya.

Tetapi ketika melihat ayahnya, ada perasaan

45

sedih yang lebih besar dari rasa takutnya. Dia

melihat runtuhnya kebanggaan ayahnya. Dia

bahkan dapat merasakan sakitnya hati Papa.

Putri tidak menangis ketika mendengar dia

hamil. Dia tidak menitikkan air mata ketika

Sonny mengelakkan tanggung jawabnya. Tetapi

ketika melihat air mata ayahnya berlinang, Putri

merasa hatinya hancur.

Dia menghambur ke kamarnya. Dan tidak

keluar lagi dari sana sampai tengah malam.

Putri melihat ibunya tertidur di sofa. Pipinya

masih basah bekas air mata. Tetapi Papa tidak

ada di sana.

Ketika Putri melangkah ke pintu depan, dia

melihat ayahnya duduk di teras. Merenung

seorang diri sambil minum.

Putri tidak pernah melihat ayahnya meneguk

minuman keras. Kalau sekarang dia minum,

sakit hatinya pasti sudah tidak tertahankan lagi.

Dengan air mata berlinang Putri memeluk

ayahnya. Dan untuk pertama kalinya, Putri

tidak merasakan sambutan ayahnya. Tubuh

Papa seperti membeku. Tatapannya yang

kosong menghunjam jauh ke depan.

"Pa ," desah Putri lirih.

"Masuklah," sela Taufan singkat. Datar.

"Hukumlah Uti, Pa!" pinta Putri getir.

"Uti

memang salah! Tapi jangan siksa diri Papa

sendiri!"

46

"Masuk," perintah Taufan lebih tegas. Belum

pernah Putri mendengar suara ayahnya setawar

dan setegas itu.

"Tidak kalau Papa masih di sini!" bantah

Putri sama tegasnya.

Taufan menyentakkan anaknya dengan

kasar dan mendorongnya pergi. Sekejap Putri

tertegun. Mengawasi ayahnya separo tidak

percaya. Belum pernah dia dikasari ayahnya

seperti itu. Belum pernah!

Dengan menahan tangis Putri memutar

tubuhnya. Dan menghambur masuk. Taufan

melemparkan gelasnya dengan sengit ke

halaman. Gelas pecah berderai dengan

menerbitkan suara berisik di keheningan tengah

malam.

Tetapi Arneta tidak terjaga. Dia baru

membuka matanya ketika Taufan mengangkat

tubuhnya dari sofa dan menggendongnya ke

kamar. Diletakkannya tubuh istrinya dengan

hati-hati di tempat tidur.

Mencium bau alkohol dari mulut suaminya,

air mata Arneta meleleh lagi. Dipeluknya

Taufan erat-erat. Seolah-olah ingin membagi

sakit hati mereka.

Taufan tidak berkata apa-apa. Dia hanya

membaringkan tubu hnya di dekat istrinya. Dan

menyelusupkan kepalanya ke dada Arneta.

Lalu mereka sama-sama menangis.

47

Tidak ada yang bicara ketika Putri melangkah

masuk ke ruang makan keesokan paginya.

Papa sedang duduk membaca koran sambil

menghirup kopinya. Mama sedang membuat

jusjeruk.

Tidak ada yang menoleh kepadanya. Tidak

ada yang menyapa selamat pagi seperti biasanya.

Ketika Putri duduk diam-diam di meja makan,

ayahnya malah membalik korannya.

"Uti tahu, Uti yang salah," cetus Putri datar.

Tidak peduli didengar atau tidak.

"Tapi Uti

menginginkan bayi ini. Uti tidak mau aborsi."

Taufan meremas surat kabarnya dengan

gemas.

"Siapa yang menyuruhmu aborsi? Ayah

bayimu?"

"Sonny tidak menghendaki anak ini."

Taufan meninju meja dengan sengit.

"Siapa yang tanya apa kehendaknya? Tapi

kalau dia tidak mau bertanggungjawab..."

"Papa tidak perlu memaksanya," potong

Putri tegas.

"Sejak kecil Papa mengajar Uti

supaya jangan cengeng! Uti nggak bakal

merengek-rengek tanggung jawabnya! Uti akan

melahirkan anak ini dengan atau tanpa dia!"

"Dan sekolahmu?" Arneta menghela napas

berat.

"Mama nggak usah khawatir! Setelah

melahirkan, Uti akan melanjutkan sekolah!"

48

"Lalu siapa yang akan mengurus bayimu?"
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau Mama keberatan, dia bisa diadopsi!"

49

BAB VI

RIVAI MARINGKA duduk mematung di dalam

selnya. Dokter Winarto dengan diiringi Dokter

Sendang dan beberapa orang mahasiswa

kedokteran yang sedang mengambil kuliah

klinik di bidang psikiatri, mengawasinya

melalui pintu berterali besi.

Rivai hari itu menjadi obyek studi kasus yang

sedang dilakukan para mahasiswa di bawah

bimbingan Dokter Winarto.

"Rivai Maringka adalah contoh kasus

kepribadian ganda dan deviasi seksual

yang klasik," kata Dokter Winarto kepada

mahasiswa-mahasiswanya.

"Jika sedang

menjadi Rivai, kepribadiannya yang pertama,

dia adalah seorang manusia yang terhormat,

punya pekerjaan bagus, berkelakuan nyaris

sempurna, sehingga sering mengecoh orang-

orang yang mengenalnya."

Dokter Winarto melangkah ke luar diiringi

para koasisten yang sibuk mencatat di buku

notes masing-masing.

"Tetapi jika dia ingin mengumbar naluri

primitifnya, dia berubah menjadi Rizal. Pada

pribadi yang kedua ini, di dalam dirinya tidak

50

usah lagi disensor oleh ego dan superego.

lnsting dasarnya dapat diumbar sebebas-

bebasnya tanpa perlu menghiraukan etika dan

moral."

"Apakah ada trauma psikis pada masa

kecilnya, Dok?" tanya salah seorang mahasiswa.

"Atau memang ada faktor keturunan dari

orangtuanya?"

"Tidak diperoleh bukti bahwa salah seorang

dari kedua orangtuanya mengidap kepribadian

ganda. Tetapi mereka memang diduga

merupakan, pasangan sadomasosis."

"Apakah sadisme merupakan kelainan

herediter, Dok?"

"Sebenarnya kepribadian manusia dibentuk

oleh dua faktor. Keturunan. Dan lingkungan.

Dalam hal sadisme, saya lebih cenderung

mengatakan, faktor lingkunganlah yang lebih

dominan."

"Bagaimana dengan dugaan hubungan inses

antara Rivai dengan kakak tirinya, Rana, Dok?"

sela Dokter Sendang.

"Sampai sekarang hubungan itu pun masih

merupakan tanda tanya. Rivai selalu tiba-

tiba berhenti di tengah pembicaraan, kalau

pertanyaan diarahkan kepada kakak tirinya.

Fenomena semacam ini dalam ilmu kedokteran

jiwa disebut sperrung atau blocking of thought."

"Mungkinkah karena Rivai telah membunuh

51

kakak tirinya sendiri, Dok?"

"Rivai tidak pernah mengakui membunuh

Rana. Menurut keyakinannya yang sakit, Rizal-

lah yang membunuhnya. Rizal pula yang telah

membunuh kedua orangtua Rivai ketika dia

berumur tujuh tahun. Dia membakar mereka

dalam gudang yang terkunci."

Salah seorang mahasiswi bergetar sedikit

ketika mendengar kata-kata Dokter Winarto.

Bulu romanya mendadak meremang. Betapa

menyeramkannya pasien sakit jiwa seperti itu!

Dan betapa penuh risikonya menjadi dokter

jiwa yang setiap hari bergaul dengan orang gila!

Murtini mengawasi ibunya dengan penuh

kebencian.

"Kau tahu apa yang dilakukan Ayah

padaku!" dengusnya, sengit.

"Kau tahu dari

mula-mula sekali! Tapi kau diam saja! Diam

saja!"

Ibu M urtini terenyak kaget. Tidak menyangka

menerima tuduhan yang begitu gamblang.

Tentu saja dia tidak dapat menyangkal lagi.

Semua yang dituduhkan Murtini memang

kenyataan. Tapi anaknya berani terang-terangan

menuduhnya benar-benar membuatnya syok!

Bergegas ibu Murtini bangkit dari kursinya.

Sempoyongan dia melangkah ke luar

meninggalkan anaknya. Wajahnya pucat dan

52

merah bergantiganti, menahan malu. Murtini

masih berteriakteriak mencaci ibunya dengan

kata-kata yang sangat jorok.

Suster Ninin membimbing Murtini masuk

kembali ke kamarnya. Ketika melewati ibu

Murtini, dia mengisyaratkan perempuan tua itu

agar menemui Dokter Winarto.

Tetapi ibu Murtini memilih menghilang dari

sana untuk selama-lamanya. Dia tidak mau

menemui anak angkatnya lagi. Anaknya sudah

gila. Buat apa didekati lagi? Cuma bikin malu

saja!

Tentu saja dia tahu apa yang dilakukan

suaminya pada anak angkat mereka sejak kecil.

Tapi selama ini, Murtini tidak pernah terang-

terangan mengungkapkannya!

Dia memendam saja semua itu di dalam

hatinya. Sekarang, setelah dia menjadi

gila, semua yang dipendamnya sejak kecil

ditumpahkannya keluar!

Semua orang dapat mendengar celotehnya.

Tetangga pasti bakal melecehkannya. Padahal

dia tidak bersalah! Suaminyalah yang berbuat

nista! Dan lelaki itu sudah lama pergi entah ke

mana!

Ingatan ibu Murtini kembali kepada

peristiwa tiga puluh tujuh tahun yang lalu.

Ketika suaminya mengajaknya melihat seorang

bayi yang ditunjukkan oleh seorang bidan yang

53

dikenalnya.

Anak perempuan itu memang tidak cantik.

Badannya kecil dan kurus seperti anak cecak.

Rambutnya pun tipis dan merah. Kulitnya

banyak yang terkelupas. Pantatnya merah dan

basah karena kurang perawatan. Sama sekali

jauh dari kesan lucu menggemaskan. Tapi

bukankah karena itu tidak ada orang yang mau

mengambilnya?

"Karena itu kita tidak perlu membayar apa-

apa," bujuk suaminya.

"Asal ada yang mau

mengambilnya saja, mereka sudah senang!"

Mereka memang sudah lama mendambakan

anak. Sepuluh tahun menikah, rahim ibu

Murtini tetap kosong. Suaminya sudah sangat

merindukan kehadiran seorang anak. Karena

itu akhirnya mereka mengangkat anak itu.

Hubungan suaminya dengan anak angkatnya

memang sangat dekat. Sejak kecil, suaminyalah

yang selalu memanjakan Murtini. Sering ibu

Murtini merasa kesal karena suaminya lebih

memperhatikan anak angkatnya daripada

istrinya.

Hidup mereka berubah drastis ketika

suaminya di-PHK. Dan dia melarikan diri ke

minuman keras.

Ibu Murtini harus bekerja keras mencari

nafkah. Sementara suaminya menganggur

di rumah. Sejak itulah dia sering dipergoki

54

mengganggu Murtini. Padahal dia baru

berumur empat tahun.

Meskipun ibu Murtini merasa benci kepada

suaminya, sekaligus kepada anak angkatnya,

dia tidak berani menghalangi perbuatan mereka.

Dipendamnya saja rahasia itu di dalam hatinya.

Baru hari ini tiba-tiba Murtini mencacinya

secara terang-terangan!

"Ibu Murtini sudah pergi?" Dokter Winarto

mengerutkan dahinya di depan niphonc di

kamar kerjanya.

"Dia tidak mau ketemu saya?"

"Dokter!" cetus Indra di depan pintu kamar

kerjanya.

"Boleh saya pinjamfax?"

Dokter Winarto mematikan niphorw-nya dan

menoleh ke arah pasiennya.

"Apa yang mau di-fax, Indra?" tanya Dokter

Winarto sabar.

"RAB dan SPK proyek saya, Dok," Indra

membentangkan selembar kertas yang penuh

coretan di atas meja tulis Dokter Winarto.

"Ini

proyek bernilai tiga ratus satu miliar, Dokter!"

Dokter Winarto tersenyum sabar.

"Oke, tinggalkan saja di situ. Nanti saya fax."

"Dokter! Dokter!" panggil seorang pasien

pria berumur tiga puluh lima tahun yang

berlari-lari masuk.

"Ada apa, Ramon?"

"Boleh saya matikan televisi di ruang
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

55

rekreasi, Dokter?"

"Kenapa?"

"Televisi itu memancarkan sinar yang

menyetel saya!"

" Menyetel kamu?"

"Hidup saya disetel sinar kosmis dari

angkasa luar!"

"Bodoh kau!" cetus Indra setengah

melecehkan.

"Apa hubungannya televisi

dengan sinar kosmis?"

"Sinar kosmis itu energi matahari yang

dipantulkan ke bumi, diserap antena parabola,

disalurkan sinar laser ke dalam otak saya!"

"Wah, ngaco! Televisi itu layar monitor yang

merekam semua kegiatanmu yang ditangkap

kamera mini, dipancarkan ke angkasa luar

menjadi sinar kosmis!"

"Suster Aida," panggil Dokter Winarto

melalui niphone.

"Bisa kemari sebentar? Indra

dan Ramon sedang berdiskusi soal teknologi

canggih. Barangkali mereka perlu tempat yang

lebih nyaman."

Begitu Suster Aida membawa Indra dan

Ramon masuk ke ruang rekreasi, Yuyun

memekik penuh semangat,

"Tangkap bolanya! Tangkap!"

Sambil berteriak, dia melempar ke udara,

seolah-olah melemparkan sebuah bola.

56

Serentak Indra dan Ramon bergerak

menangkap bola. Indra malah sampai berguling-

guling di lantai mengejar bola itu, sementara

Ramon meloncat tinggi seperti sedang memetik

bola dari udara.

Dari kaget, bingung, akhirnya Suster Aida

tersenyum sendiri.

Dasar sinting, keluhnya dalam hati.

Dan dia belum sempat menarik napas

panjang ketika seorang pasien wanita

menghampirinya. Tanpa ba atau bu lagi, pasien

itu menempelkan mulutnya di telinga Suster

Aida. Dan membisikkan sebuah kalimat yang

membuat paras perawat muda itu memerah.

"Ratna!" geram Suster Aida jengkel.

"Awas

ya, kalau berani ngomong jorok lagi!"

Ratna menyingkir sambil tertawa mengikik.

Tangannya masih mengisyaratkan sebuah kode

yang menambah merah paras Aida.

"Suster!" seru Ramon yang sudah selesai

main bola. Sementara Indra masih asyik main

lemparlemparan bola dengan Yuyun.

"Matikan

TV itu!"

Sekilas mata Suster Aida melintas ke layar

televisi yang tergantung tinggi di sudut

ruangan. Rivai dan Pak Alim masih duduk

terpaku di depan TV. Sama-sama tertegun

bengong menatap ke layar.

"Kenapa?" tanya Suster Aida tanpa berniat

57

mematuhi permintaan pasiennya.

"Kan yang

lain lagi nonton!"

"Televisi itu memancarkan sinar yang

menyetel saya, Suster! Saya bisa mendadak

mencekik orang! Sinar kosmis menembus kepala

saya! Melelehkan sel kelabu di otak saya...."

"Nih, pakai helm!" dengan gemas Husni

membenamkan sebuah helm rusak ke kepala

Ramon.

"Biar nggak ribut lagi!"

"Kau masih ingin menemui bekas istrimu,

Rivai?" tanya Dokter Sendang di ruang periksa.

Rivai duduk berlunjur di sofa. Matanya

menatap lurus ke langit-langit kamar. Sama

sekali tidak menoleh ke arah Dokter Sendang

yang duduk di balik meja tulis. Di pintu, duduk

petugas yang ditugasi mengawasi Rivai.

"Kaupikir Arneta masih mau menemuimu?

Dia takut padamu, kan?"

"Arneta takut pada Rizal," sahut Rivai

dingin.

"Tapi sekarang dia sudah tidak pernah

muncul lagi!"

"Ke mana Rizal?"

Rivai tidak menyahut. Wajahnya kosong

seperti topeng.

"Kalau diizinkan pulang, apa yang pertama-

tama ingin kaulakukan, Rivai? Makan di

restoran favoritmu, beli baju baru, mencari

sahabatmu?"

58

"Arneta," desis Rivai kaku.

"Kalau Arneta tidak mau menemuimu?"

"Dia milikku!"

"Arneta bukan istrimu lagi. Dia sudah

menikah dengan lelaki lain!"

"Dia milikku! Milikku!"

"Mengapa kau begitu menginginkannya,

Rivai? Masih banyak perempuan lain...."

"Arneta milikku! MILIKKU!"

Petugas yang mengawasinya sampai

melompat bangun ketika melihat Rivai bangkit

menghampiri Dokter Sendang dengan buas.

"Rivai Maringka belum dapat dibebaskan,

Dok," lapor Dokter Sendang kepada Dokter

Winarto yang sedang mengamat-amati Murtini

yang sedang tegak di tengah-tengah kamarnya

sambil berpidato.

"Dia masih sangat berbahaya."

"Tidak selama kita dapat mencegah

munculnya Rizal," sahut Dokter Winarto

mantap.

"Tapi dia masih sangat menginginkan

Arneta!"

"Rivai sangat mencintai Arneta. Selama

dia masih menjadi Rivai, dia tidak akan

mencelakakan mantan istrinya."

"Bagaimana mencegahnya menjadi Rizal?

Kepribadiannya yang kedua itu bisa mendadak

muncul kalau dia melihat Arneta sudah bersama

lelaki lain, kan?"

59

"Karena itu dia harus terus-menerus minum

obat dan diterapi."

"Artinya sekarang dia belum dapat

meninggalkan rumah sakit."

"Sekarang memang belum waktunya."

"Dan Murtini? Dia juga belum?"

Sejenak mereka sama-sama terdiam

mengawasi Murtini.

"Pelacur-pelacur itu harus dibasmi dari

muka bumi!" teriak Murtini bersemangat sekali,

seolah-olah dia sedang berpidato di depan

massa.

"Mereka mengotori dunia! Menyebarkan

penyakit kelamin! Sifilis, gonore, AIDS! Jika

mereka tidak ada, tidak ada lagi lelaki hidung

belang yang bakal menularkan penyakit kepada

istrinya di rumah!"

"Delusinya masih sistematis," gumam

Dokter Winarto.

"Karena itu, pelacuran harus diberantas

habishabisan! Sundal-sundal itu harus dibantai!

Saya yang harus membasmi mereka! Saya yang

ditugasi Tuhan membersihkan dunia ini dari

dosa...."

"Saya ingin pengawasan lebih ketat

untuknya," cetus Dokter Winarto kepada

asistennya.

"Kalau delusinya masih seperti ini,

dia bisa membahayakan pasien lain. Jauhkan

dia dari Ratna, bekas pelacur itu. Jangan sampai

Murtini tahu apa profesi Ratna!"

60

BAB VII

TAUFAN duduk di lantai, menyangga tubuh

Putri, yang sedang melakukan senam hamil.

Dengan lembut dibantunya anaknya mengikuti

aba-aba yang diberikan oleh pelatih mereka.

"Capek?" bisiknya ketika didengarnya Putri

menarik napas berat.

Putri hanya menggeleng. Berusaha

menghindari tatapannya dari kemesraan yang

diperlihatkan pasangan muda di depannya.

Seperti mengerti perasaan anaknya, Taufan

memijat bahu Putri dengan lembut. Putri

menyandarkan kepalanya di dada ayahnya.

"Ayo, kita mulai lagi," bisik Taufan

membesarkan semangat anaknya.

"Atur

napasmu. Latihan pernapasan ini baik sekali

untuk menambah tenagamu waktu mengejan

nanti."

Tak sadar kenangan tujuh belas tahun yang

lalu singgah di benaknya. Waktu itu, Arneta

sedang mengandung Putri. Kandungannya
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga sudah sebesar kandungan Putri sekarang.

Sudah masuk tiga puluh empat minggu.

Saat itu Taufan juga selalu mendampingi

Arneta jika dia sedang melakukan senam

61

hamil. Ketika dia menjadi malas keluar untuk

menghindari mantan suaminya, Taufan

melatihnya sendiri di rumah.

Meskipun tidak didampingi suaminya,

bagaimanapun Putri lebih beruntung daripada

ibunya. Dia tidak usah dikejar-kejar perasaan

takut seperti Arneta. Tidak ada mantan suami

yang sakit jiwa yang selalu mengejarnya. Sonny

sudah tidak pernah muncul lagi. Dan dia tidak

sakit.

Selama hamil, Putri memang tinggal di

rumah saja. Dia sudah tidak main sinetron,

karena tidak ada rumah produksi yang mau

memakai seorang gadis yang sedang hamil.

Apalagi kalau gadis itu belum menikah.

Putri pun lebih suka mengurung diri di rumah

untuk menghindari gosip. Dan menghindari

kejaran wartawan.

Studinya pun untuk sementara terpaksa

dihentikan, karena kepala sekolah tidak mau

melihat ada salah seorang siswi di sekolahnya

hamil di luar nikah. Itu contoh yang sangat

buruk bagi siswi lain. Dan dampaknya sangat

buruk pula bagi nama sekolah.

"Jangan khawatir, Ma," janji Putri pada

ibunya.

"Setelah melahirkan, Uti akan

melanjutkan sekolah. Uti pun akan tetap main

sinetron untuk mencari nafkah."

"Tidak usah," potong Taufan tegas.

"Papa

62

masih bisa mencari uang. Uti sekolah saja.

Buktikan kepada setiap orang, kamu masih

punya masa depan!"

Putri tahu betapa sayangnya ayahnya

padanya. Papa selalu ada pada saat dibutuhkan.

Dia selalu mendorong semangatnya. Dan dia

selalu mendampingi Putri sedapat mungkin,

bagaimanapun sibuknya dia bekerja. Kecuali

ketika dia harus tugas ke luar kota.

"Papa sudah minta Mama mengantarmu

selama Papa tidak ada," kata Taufan ketika dia

sedang mengendarai mobilnya pulang.

"Ah, nggak usah, Pa! Paling-paling dua

kali nggak ikut latihan kan nggak apa-apa!

Pokoknya Papa cepat pulang aja! Uti takut

keburu beranak!"

Sambil tersenyum Taufan membelai lengan

anaknya.

"Jangan khawatir. Begitu urusan selesai,

Papa pasti pulang secepatnya."

"Kalau Uti sudah sakit perut sebelum urusan

Papa selesai?"

"Itu pasti sakit perut kebanyakan makan

sambal! Bukan sakit perut mau melahirkan!"

"Wah, hebatnya! Kalah dokter kandungan!

Bisa diagnosa dari jauh!"

"Kalau Uti sakit perut mau melahirkan, pasti

Papa sudah sakit perut duluan!"

Taufan meremas tangan anaknya dan mereka

63

sama-sama tertawa.

"Pokoknya janji ya, tunggu Papa pulang!

Papa ingin berada di sampingmu waktu cucu

pertama Papa lahir!"

"Uti juga nggak berani kalau nggak ada

Papa!" Putri tersenyum pahit.

"Mama kan

nggak bisa apa-apa! Paling-paling cuma teriak-

teriak! Bikin Uti tambah senewen aja!"

Putri berlari-lari menuruni tangga. Bayangan

hitam itu mengejarnya dari belakang dengan

pisau terhunus.

Dua tangga lagi sebelum tiba di lantai

bawah, Putri tersandung dan jatuh tergelincir.

Bayangan hitam itu menerkamnya dengan

ganas. Tangannya yang mengenakan sarung

tangan hitam pekat mencengkeram erat leher

Putri. Tangannya yang lain mengayunkan

pisau .....

Jeritan Putri melengking ke seluruh kamar.

Wajahnya yang di closc-up tampil dengan mimik

ketakutan di layar televisi.

Arneta yang sedang menonton TV sambil

berbaring di tempat tidur ikut menutup

mulutnya. Mencegah desah kengerian meluncur

dari celahcelah bibirnya. Matanya membeliak

ngeri ke arah layar.

"Sudah keburu habis?" desis Taufan kecewa.

Dia baru masuk ke kamar setelah mandi. Dan

64

menatap kecewa ke arah televisi.

Layar TV masih menampilkan adegan stop

motion wajah Putri yang sedang membeliak

ketakutan. Tulisan "bersambung" muncul di

layar. Yang segera diikuti rolling credit title.

"Ah, mendingan juga nggak usah lihat

keluh Arneta sambil menyapu keringat dingin

yang membasahi sekujur wajahnya dengan tisu.

Taufan mengawasi istrinya sekejap. Dan

tawanya meledak melihat pucatnya wajah

Arneta.

"Apa yang lucu?" Arneta membuang tisunya

yang sudah basah kuyup dengan gemas.

Theme song yang tegang mendebarkan masih

memacu denyut jantungnya. Wajah Putri yang

ketakutan masih terpampang di layar. Membuat

Arneta serasa tidak ingin lagi melihatnya.

"Kalau takut, kenapa tidak dimatikan saja?"

tangan Taufan sudah terulur hendak menekan

tombol untuk mematikan TV.

Tetapi Arneta sudah keburu berteriak,

"Jangan!"

"Tujuh belas tahun menikah, aku tetap belum

dapat memahami hati istriku!" Taufan tertawa

mengejek.

"Dasar perempuan!"

"Minggir dong," gerutu Arneta kesal.

"Aku

mau lihat Uti bukan dadamu!"

Sengaja Taufan memamerkan dadanya yang

telanjang. Didekatkannya tubuhnya ke muka

'I!

65

istrinya.

"Sudah bosan lihat dadaku? Padahal dulu

kamu begitu keranjingan membelainya!"

"Minggir ah!" Arneta mendorong dada

suaminya pura-pura kesal.

"Katanya takut! Kok malah dilihat!"

"Mau lihat penggalan episode yang akan

datang!"

"Kalau takut, lebih baik minggu depan nggak

usah dilihat! Nonton Mr. Bean saja!"

"Akting Uti kayaknya makin bagus ya, Fan,"

tukas Arneta tanpa menghiraukan kelakar

suaminya.

"Akhirnya kamu mengakui juga, kan,"

Taufan tersenyum bangga sambil merangkul

istrinya.

"Anak kita memang berbakat!"

"Tapi mahal sekali uang sekolah yang harus

dibayarnya," keluh Arneta sedih.

"Dia harus

kehilangan masa depannya, hamil di luar

nikah... padahal dia masih remaja! Masa yang

paling indah untuk dinikmati!"

"Uti memang kehilangan masa remajanya,

tapi kan tidak berarti harus kehilangan masa

depannya. Dia sudah janji akan melanjutkan

sekolah sesudah melahirkan. Dan aku percaya,

dia mampu meraih cita-citanya. Aku kenal

anakku. Dan aku bangga padanya. Dia seorang

gadis yang tabah, tidak cengeng, berani

menghadapi kenyataan."

66

"Kamu setuju kalau cucu kita diadopsi?"

Arneta menghela napas berat.

"Itu hak Uti untuk memutuskannya."

"Tetapi kita harus mengarahkannya, Fan.

Bagaimanapun, dia belum dewasa!"

"Kamu keliru lagi, Sayang," Taufan meraih

istrinya dan mereka berbaring bersebelahan di

tempat tidur.

"Selama dia hamil, aku merasa

begitu dekat dengannya. Rasanya malah tambah

dekat dibandingkan dulu. Dan aku merasa, Uti

sudah jauh berubah. Dia sudah dewasa, walau

umurnya belum genap tujuh belas."

"Mungkin naluri keibuannya sudah timbul,

Fan." Diam-diam air mata meleleh ke pipi

Arneta.

"Padahal rasanya aku belum lama

melahirkannya...."

"Hampir tujuh belas tahun yang lalu...."
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Taufan menyelusupkan lengannya ke bawah

leher Arneta. Dan meraih tubuh istrinya lebih

merapat ke tubuhnya.

"Kamu masih ingat

bagaimana sejarah kelahirannya, kan?"

"Bagaimana aku dapat melupakannya?" Tak

sadar Arneta menggigil sedikit.

"Sampai dua

tahunsesudahnyapunakumasihdihantuimimpi

buruk! Kejadian mengerikan itu selalu datang

dalam mimpiku! Rivai datang mengunjungi

kita... dia memukulimu... memperkosa Tiah

dan... membunuh Kak Rana...."

"Saat itulah Uti lahir," Taufan merengkuh

67

istrinya dan mendekapnya erat-erat.

"Dia

memilih saat yang paling tidak tepat untuk

lahir!"

"Bagaimana keadaan Rivai sekarang ya,

Fan?" tubuh Arneta menggigil sedikit dalam

pelukan suaminya.

"Sudah sembuhkah dia?"

"Kamu masih memikirkannya?"

"Aku takut padanya. Tapi kadang-kadang

aku merasa kasihan. Sejak kecil dia sudah

menderita. Karena itu jiwanya sakit."

"Sudahlah, lupakan Rivai. Aku harap dia

tidak pernah muncul lagi dalam hidup kita!"

"Aku ingin menengok Tiah, Fan. Sudah lama

kita tidak pernah mendengar kabar dari dia."

"Dia sudah menikah. Mudah-mudahan

trauma perkosaan itu sudah tidak menyiksanya

lagi. Kalau kamu mau, kita kunjungi dia kalau

aku pulang nanti."

"Rasanya lebih baik kita tunggu sampai Uti

melahirkan, Fan," Arneta melepaskan diri dari

pelukan suaminya.

"Rasanya waktunya sudah

dekat. Aku lebih merasa tenang kalau berada

di Jakarta. Dekat rumah sakit yang sudah

kamu pesan. Dekat dokter kandungan yang

menangani kehamilannya "

"Tidak merasa tenang kalau ada aku?" goda

Taufan sambil membelai punggung istrinya.

"Lupa siapa yang menangani kelahiran Uti?"

"Tentu saja tidak," Arneta tersenyum.

"Tapi

68

lebih banyak dokter, aku merasa lebih tenang!

Makanya lekas pulang! Jangan lama-lama di

Palembang!"

"Aku akan pulang secepatnya sesudah

urusan di sana beres. Kecuali kalau gadis Sungai

Musi cantik-cantik seperti kata orang.

"

Arneta memukul suaminya dengan gemas.

"Dasar lelaki! Sudah tua masih mata keranjang!"

"Tua katamu? Gigi saja belum ompong!"

"Tapi sudah hampir punya cucu!"

"Masih kuat, kan? Biarpun sudah jadi kakek!

Perlu dites?"

Taufan menelungkup di atas tubuh istrinya.

Membelai wajah Arneta dengan hangat. Dalam

jarak yang begitu dekat, mata mereka bertaut

mesra. Dan mereka sama-sama merasakan

gelombang cinta dan gairah yang tak terbendung.

Gelombang yang telah menggulung mereka

dalam kenikmatan yang tak pernah surut walau

belasan tahun telah berlalu.

Taufan mencium Arneta dengan mesra.

Begitu lama dan hangat. Sampai Putri yang

kebetulan melihatnya memalingkan kepala

dengan sedih.

Cinta Papa kepada Mama begitu besar.

Kemesraan hubungan mereka seperti tak

pernah lapuk dimakan waktu. Mengapa dia

tidak dapat memiliki cinta yang begitu indah?

69

Sonny mulanya begitu menawan. Cinta yang

ditawarkannya terasa demikian memabukkan.

Tetapi seperti busa alkohol, cintanya hanya

menggebu ketika sumbat dibuka. Sesudah itu,

segalanya sirna tanpa bekas.

"Aku selalu memakai kondom," ingatan

Putri kembali kepada pertengkaran mereka hari

itu, ketika Putri mengabarkan dia hamil.

"Tapi dokter bilang, kondom tidak menjamin

seratus persen partner seks-mu tidak bakal

hamil!"

"Tapi aku yakin dia bukan anakku

"Ma ksudmu, aku berselingkuh dengan lelaki

lain?" belalak Putri sengit.

Sonny mengangkat bahu. Wajahnya yang

biasanya terlihat tampan dan menawan itu kini

seperti sebuah topeng. Kosong. Tanpa emosi.

"Bukan hakku untuk menjawabnya,"

katanya tenang.

"Lagi pula kata siapa kamu

berselingkuh? Kita kan belum kawin!"

"Jaga dirimu baik-baik, Sayang," kata-kata

Papa membuyarkan lamunan Putri.

"Aku

segera pulang."

"Kalau saja aku bisa ikut...,

lirih.

"Kamu harus menjaga Uti, kan?" Taufan

tersenyum sambil membelai wajah istrinya

dengan lembut.

"Jangan khawatir. Nggak lama

kok."

!"

II

rintih Mama

70

"Jaga dirimu," pinta Arneta sendu.

"Jangan

terlalu capek!"

"Oke! Mana Uti?" Taufan melangkah ke

ruang makan mencari anaknya.

Putri sudah menghampiri sebelum ayahnya

masuk ke ruang makan.

"Papa pergi dulu ya, Manis," Taufan

memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Jaga dirimu... dan jangan lupa, jaga juga cucu

Papa baik-baik.

" Taufan membelai perut

putrinya dengan lembut.

"Minta koboimu

menunggu sampai kakeknya pulang! Oke?"

"Jangan khawatir, Pa," Putri mencium pipi

ayahnya.

"Kami akan baik-baik saja."

"Pasti. Begitu melihatnya di layar USG

saja Papa sudah tahu, koboi ini bakal sehebat

ibunya!"

71

BAB VIII

TELEPON di samping tempat tidur Dokter

Winarto berdering nyaring. Dengan malas

psikiater tua itu membalikkan tubuhnya.

Matanya masih setengah terpejam ketika

tangannya meraba-raba meja mencari telepon.

Istrinya yang sudah terlelap di sampingnya

malah membalikkan tubuhnya menghadap

ke dinding. Dan dengkur halusnya sudah

terdengar kembali sebelum Dokter Winarto

berhasil mengangkat telepon.

Tiga puluh tahun lebih menjadi istri seorang

dokter, dia sudah tidak merasa terlalu terganggu

lagi kalau dibangunkan malam-malam oleh

dering telepon atau ketukan di pintu.

"Halo," suara Dokter Winarto terdengar

berat menyimpan kantuk.

Dia mendengarkan sesaat sebelum tiba-tiba

matanya terbuka lebar, setengah membelalak.

Refleks dia duduk sambil masih mendengarkan.

"Seluruh pasien dari Paviliun Melati?"

desisnya antara cemas dan tidak percaya.

"Termasuk... Rivai Maringka?"

Tergopoh-gopoh Dokter Winarto menelusuri

72

koridor yang menuju ke Paviliun Melati di

rumah sakit jiwa tempat dia bertugas. Kancing

baju dokternya tidak terkancing sempurna,

yang sebelah kiri lebih tinggi daripada yang

kanan. Mungkin saking terburu-burunya dia

datang kemari.

Dokter Sendang yang sudah menunggu di

sana, tampak sedang sibuk memeriksa bersama

Suster Ninin dan Suster Aida. Mereka semua

tampak cemas dan bingung.

"Malam, Dok," sapa Dokter Sendang begitu

melihat seniornya muncul.

"Siapa saja yang melarikan diri?" tanya Dokter

Winarto sambil berusaha menyembunyikan

kepanikan dalam suaranya.

"Hampir semua pasien, Dok," sahut Dokter

Sendang murung.

"Kecuali Pak Alim. Dia

bengong saja di kamarnya. Padahal pintunya
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah terbuka."

"Apa yang terjadi? Siapa yang tugas jaga

malam ini? Ke mana dia?"

"Harun, Dok," sahut Suster Aida ketakutan.

"Dia masih di UGD. Kepalanya berdarah

dipukul seseorang sebelum dia jatuh pingsan."

"Cuma dia yang jaga malam?" geram Dokter

Winarto marah.

"Siapa yang jaga pintu depan?"

"Husni, Dok. Tapi dia tidak mampu menahan

pasien sebanyak itu. Dia hanya mampu

menangkap Yuyun!"

73

"Apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba mereka

kabur semua? Mereka pasien sakit jiwa, bukan

napi! Siapa yang memelopori? Bawa Yuyun

ke kamar kerja saya! Sebelumnya saya ingin

menemui Harun di UGD!"

"Mereka baru selesai grup terapi bersama

Dokter Sendang, Dok," kata Harun yang masih

terbaring di UGD dengan kepala diperban.

"Saya menggiring mereka ke ruang rekreasi.

Semuanya biasa saja. Sebagian pasien nonton

televisi. Wanto dan Indra main pingpong tanpa

bola. Ramon mondar-mandir pakai helm."

"Siapa yang bertugas mengawasi mereka?"

potong Dokter Winarto menahan marah.

"Saya dan Suster Aida, Dok."

"Kalian benar-benar mengawasi gerak-gerik

mereka atau ikut nonton TV? Acaranya bagus?"

"Semuanya tenang-tenang saja, Dok. Kami

menggiring mereka ke kamar masing-masing

jam sembilan. Tiba-tiba kepala saya dipukul

dari belakang. Dan saya tidak ingat apa-apa

lagi...."

Yuyun tertawa terpingkal-pingkal sampai

keluar air mata. Sekali lihat saja, Dokter Winarto

tahu, percuma menanyainya dalam keadaan

seperti ini.

"Saya lari ," katanya di tengah-tengah

74

tawanya.

"Saya lari ke depan... ke luar... ke

WC... ke koridor... ke depan... ke luar... ke..."

"Bawa dia ke kamarnya, Suster," keluh

Dokter Winarto lelah.

"Beri obatnya."

Suster Aida meraih tangan Yuyun dan

membimbingnya ke pintu. Yuyun tidak

melawan. Dia ikut saja sambil masih tertawa-

tawa. Tetapi sampai di pintu, tawanya

mendadak berhenti. Dan dia mendadak mogok

melangkah.

Suster Aida menoleh heran. Mulutnya sudah

terbuka hendak bertanya ketika sekonyong-

konyon g dibatalkannya kembali. Yuyun sedang

menatapnya dengan tatapan yang membuat

bulu roma Aida meremang . tatapan orang gila!

"Dia milikku!" geram Yuyun dengan

suara besar dan berat. Seolah-olah dia sedang

menirukan suara orang lain.

"MlLlKKU!!!"

Kalau Suster Aida terkejut, Dokter Winarto

lebih lagi. Dia kaget setengah mati.

"Yuyun adalah peniru yang ulung," kata

Dokter Winarto di depan stafnya.

"Telinganya

banyak. Mulutnya lebih dari satu. Tapi

malam ini, dia mendadak menirukan ucapan

paling khas dari salah seorang pasien kita

yang melarikan diri. Kalian dengar baik-baik

pertanyaan saya, apa acara televisi saat itu,

ketika mereka berada di ruang rekreasi, antara

75

pukul setengah sembilan sampai sembilan?"

"Sinetron, Dok," sahut Suster Aida gugup.

"Kisahnya tentang apa? Pelacuran?

"Pembunuhan, Dok."

"Siapa yang main?"

"Sonny Turangga dan Putri Kusumanto,

Dok. Yang jadi pembunuhnya kalau tidak

salah... Jodi Apul!"

"Saya ingin melihat episode yang tadi

ditayangkan. Cari tahu siapa produsernya.

Besok saya harus menemui mereka."

Dokter Winarto melangkah lesu

meninggalkan ruangan rapat. Dokter Sendang

memburu dari belakang.

"Dok!" panggilnya tergesa-gesa.

Dokter Winarto menoleh sekejap tanpa

menghentikan langkahnya.

"Apa sebenarnya yang dikatakan Yuyun,

Dok? Salah satu dialog dari sinetron yang

mereka lihat?"

Mendadak Dokter Winarto berhenti

melangkah.

"Kau pernah dengar kata-kata ini? 'Dia

milikku! MILIKKU!"

Sekarang Dokter Sendang yang berhenti

melangkah. Tertegun bengong menatap dokter

seniornya.

Sebenarnya Putri sudah malas pergi. Tidak

76

ada Papa, artinya dia mesti pergi sendiri. Tidak

ada yang mengantarkan.

Mama mungkin mau mengantarkan kalau

diminta. Tapi naik mobil yang disetiri Mama

lebih banyak kagetnya daripada enaknya. Salah-

salah dia malah sakit perut sebelum waktunya

kalau mobil Mama menyenggol bajaj.

jadi Putri memilih naik taksi saja pergi

ke pusat perbelanjaan ini. Dia butuh sepatu

baru. Sepatunya yang biasa sudah terasa sakit.

Mungkin kakinya mulai bengkak. Dia harus

memilih sepatu yang enak untuk jalan. Tanpa

tumit tentu saja. Dan satu nomor lebih besar.

Putri sudah keluar-masuk dua-tiga toko

sepatu ketika mendadak dia merasa kepingin

buang air kecil. Terpaksa dia turun ke lantai

bawah untuk mencari WC. Dan sesampainya

di depan eskalator, matanya mendadak

berkunang-kunang. Pandangannya berputar.

Peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya.

Kakinya terasa lemas. Dan kepalanya pusing.

Dia sempoyongan hampir jatuh, ketika sepasang

lengan yang kuat menopangnya.

Putri tidak ingin jatuh pingsan di sana. Tetapi

dunianya mendadak terasa gelap. Mati-matian

dia mempertahankan dirinya.

Jangan, teriaknya dalam hati. Jangan pingsan!

Kau harus tetap sadar! Ingat bayimu!

Dan tubuhnya terasa dipapah ke sebuah

77

bangku panjang di depan sebuah toko. Orang-

orang mulai datang berkerumun. Sebagian

untuk menonton. Sebagian lagi ingin menolong.

Pemilik toko menyodorkan segelas minuman.

Dalam keadaan biasa, Putri pasti menolaknya.

Tapi sekarang, yang diingatnya hanyalah dia

tidak mau jatuh pingsan!

Kerongkongannya terasa sejuk ketika seteguk

air melewatinya. Tenaganya seperti pulih

sepertiganya. Kepalanya terasa ringan. Tetapi

Putri berjuang keras mempertahankan dirinya.

Dibu kanya matanya. Dipaksanya melihat orang-

orang yang datang menolongnya. Terutama,

pria yang masih menyangga tubuhnya.

Pria itu tegak di sisi bangku tanpa sandaran

itu. Menyangga bahunya dari samping. Putri

menoleh ke arahnya untuk mengucapkan

terima kasih. Kalau tak ada lelaki itu, tubuhnya

pasti sudah tergelincir ke bawah tangga....

Dan matanya terbeliak kaget.

Arneta menyiapkan makan malamnya

dengan malas. Kalau tidak ingat Putri, rasanya

dia tidak ingin masak. Buat apa masak kalau

tidak ada Taufan?

Tidak ada yang memuji betapa enaknya

makanannya. Tidak ada desah kenikmatan

merasakan lezatnya makanan buatannya.

Putri tidak peduli makanannya enak atau

78

tidak. Apalagi sejak ayahnya menyuruhnya

mengurangi makan garam.

"Apa enaknya makanan tanpa garam?

Makanan yang paling enak juga jadi mubazir

kalau hambar!" Putri hanya terpaksa makan

karena ingat bayinya. Padahal sejak berat

badannya naik hebat, dia sudah resah.

"Betul pipi Putri nggak melembung kayak

balon, Pa?" tanyanya setiap kali bertemu

ayahnya di meja makan.

"N ggak mau makan

ah! Udah kayak ondel-ondel begini!"

"Apa sih salahnya jadi ondel-ondel sebulan

lagi?" goda Taufan sambil tertawa. Membuat

nafsu makan anaknya makin melorot.

"Asal

anakmu sehat! Jangan jadi ET!"

"Ah, Papa!" Putri menggebuk bahu ayahnya

dengan gemas.
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ngeledek melulu sih!"

"Tapi bener, kan?" Taufan tertawa geli.

"Coba

tanya ibumu tuh! Dia juga jadi ondel-ondel

waktu bunting kamu! Tapi hasilnya prima, kan?

Pengorbanannya tidak sia-sia! Anaknya kece!"

"Bodo ah!" Putri merengut jengkel.

"Uti

nggak mau makan!"

"Rugi! Nasi goreng pete Mama tidak ada

tandingannya! Resep bebuyutan dari nenekmu!

Asal anakmu jangan mabuk saja, kebawan!"

Arneta tersenyum sendiri membayangkan

kelakar suaminya. Taufan memang selalu begitu.

Tapi apa pun yang dilakukannya, melantur

79

bagaimanapun kata-katanya, semuanya

selalu mencerminkan kasih sayangnya pada

keluarganya.

Ah, rasanya tiba-tiba saja hati Arneta terasa

pedih. Segurat kerinduan mengiris sukmanya.

Padahal Taufan baru pergi tadi pagi! Dan dia

sudah menelepon begitu tiba di Palembang.

Mereka mengobrol hampir satu jam, padahal

baru beberapa saat saja berpisah!

Arneta tidak dapat membayangkan hidup

tanpa suaminya! Baru sehari saja kehilangan

dia, hidupnya sudah terasa sangat sepi!

Arneta mengangkat makanannya dan

menghidangkannya di atas meja. Matanya

melintas ke jam dinding di kamar makan.

Hampir jam delapan. Mengapa Taufan

belum menelepon lagi? Apakah dia sedang

makan malam bersama mitra bisnisnya? Dan

mengapa... Putri belum pulang juga?

Seharusnya dia tidak pergi selama ini, gerutu

Arneta cemas. Uti kan sedang hamil! Dan dia

pergi seorang diri! Katanya cuma cari sepatu.

Sebentar saja. Tidak mau ditemani

Arneta menghela napas berat. Putri memang

lebih dekat dengan ayahnya. Sejak dulu. Lebih-

lebih setelah dia membangkang larangan ibunya

untuk main sinetron dan bergaul dengan Sonny.

Di antara Putri dan ibunya memang seperti ada

sebuah jurang yang menganga lebar.

80

Ah, keluh Arneta sambil menutupi

hidangannya dengan tudung saji. Kalau saja

Uti tahu, betapa aku menyayanginya ..... Taufan

lebih tahu bagaimana mengungkapkan kasih

sayangnya kepada anaknya daripada aku!

Padahal sampai sekarang aku belum tahu,

benarkah... Putri anak Taufan?

Taufan tidak pernah mau tahu anak siapa

Putri sebenarnya. Benarkah Rivai mandul,

karena sudah divasektomi pada usia lima belas

tahun atas permintaan kakaknya sendiri? Rana

sendiri tidak waras. Apakah kata-katanya dapat

dipercaya?

"Aku tidak peduli siapa ayahnya," kata

Taufan dulu.

"Apa bedanya? Pokoknya Putri

tetap anakku, siapa pun ayahnya!"

Dan selama tujuh belas tahun, Taufan telah

membuktikan janjinya. Dia mencintai Putri

seperti anak kandungnya sendiri, tidak peduli

siapa ayahnya yang sebenarnya. Dia bahkan

tidak pernah mengungkit-ungkit hal itu lagi.

Tampaknya Taufan memahami sekali betapa

sakit dan terhinanya perasaan Arneta kalau

teringat peristiwa itu.

Rivai Maringka, mantan suaminya yang sakit

jiwa itu menjualnya di meja judi. Taufan yang

memenangkan taruhan itu, mengambil haknya

malam itu juga. Dia memperkosa Arneta pada

saat wanita itu dalam keadaan tidak sadar,

81

akibat obat bius yang dicampurkan Rivai ke

dalam minumannya.

Di sanakah benih Putri bertumbuh? Atau

beberapa malam sebelumnya, ketika Rivai

memaksa Arneta melayaninya, setelah mereka

habis bertengkar karena Arneta pulang

terlambat?

Dan sebuah ketukan di pintu menyadarkan

Arneta dari lamunannya. Dia tersentak kaget.

Siapa yang datang? Mungkinkah Putri?

"Siapa, Bi?" tanya Arneta dari kamar makan.

"Non Uti pulang, Bu!" sahut Bi Acih dari

pintu depan.

Arneta melangkah keluar dari ruang makan

hendak menyambut anaknya. Dan mulutnya

yang telah separo terbuka, terkatup kembali

melihat siapa yang datang.

82

BAB IX

"SIAPA?" Johan Paringian menyipitkan

matanya.

"Dokter Winarto? Saya tidak kenal!"

Dia sudah bergerak untuk menutup teleponnya

ketika suara sekretarisnya terdengar setengah

mendesak.

"Maaf, Pak, kata Dokter Winarto, soal ini

mendesak sekali. Dia kehilangan beberapa

orang pasien sakit jiwa...."

"Kenapa lapor pada saya?" potong Johan

Paringian, amarahnya meledak.

"Keluarga saya

tidak ada yang gila!"

"Katanya kemungkinan mereka melarikan

diri karena dipicu oleh tayangan sinetron kita,

Teror Menjelang Subuh, Pak!"

"Lalu dia mau apa? Menuntut kita?"

"Dokter Winarto ingin melihat episode yang

ditayangkan di TV tadi malam, Pak."

Johan terdiam sejenak. Amarahnya langsung

merosot separonya.

"Oke," katanya datar.

"Kamu urus saja, Tiek.

Saya tidak mau ketemu segala macam dokter

gila. Tidak ada waktu! Bikin pusing kepala saja."

"Boleh saya minta Mbak Della yang

melayaninya, Pak?"

83

"Kalau dia lagi nganggur," sahut Johan

sambil meletakkan teleponnya.

Della Imron, sangat menyukai laki-laki. Tapi

tentu saja bukan yang seperti Dokter Winarto.

Sudah tua, ubanan, rada aneh, lagi!

Begitu melihat Putri Kusumanto muncul

di layar, dia langsung terlonjak bangun dari

kursinya seperti disengat kalajengking.

"Siapa dia?" tanyanya kaget seperti melihat

zombi.

"Putri, pemeran utama," sahut Della malas.

"Mau nonton terus? Atau sampai di sini saja,

Dokter?"

"Dia begitu mirip Arneta Basuki!"

"Iya, memang," desis Della asal saja.

"Dia

tidak mirip Demi Moore!"

"'Dia milikku...!"' gumam Dokter Winarto

hampir berbisik.

"Milikku! Ya Tuhan! Tidak

salah lagi!"

Della mengawasi dokter jiwa itu dengan

bingung. Dari bosan, dia mendadak jadi

waspada. Sakit jugakah dokter ini, seperti

pasien-pasiennya?

Dengan gerakan yang rasanya terlalu cepat

untuk dokter setua dia, Dokter Winarto meraih

sesuatu dari pinggangnya. Refleks Della

bergeser mundur. Untung dia belum kabur

karena keburu melihat benda apa yang diraih

84

dokter itu. Telepon genggam.

"Cari alamat Arneta Basuki," katanya resah.

"Mantan istri Rivai Maringka! Kabari saya

secepatnya kalau sudah tahu alamat atau nomor

teleponnya!"

Terdengar pekikan Putri yang melengking

mengerikan. Dokter Winarto menoleh ke layar

monitor. Dan melihat wajah dengan mimik

ketakutan itu terpampang satu layar penuh....

Arneta terenyak melihat siapa yang datang

bersama Putri.

"Selamat malam, Bu," sapa Sonny Turangga

sopan.

Arneta tidak membalas salam pemuda itu.

Wajahnya berubah dingin.

"Sonny hanya mengantarkan saya pulang,

Ma," cetus Putri begitu melihat sikap ibunya.

"Kami cuma kebetulan ketemu di eskalator."

Arneta tidak menjawab. Dengan sikap yang

sangat tidak ramah, dia meninggalkan mereka

dan masuk ke dalam.

"Ibumu kayaknya lebih sakit hati daripada

kamu, Put," Sonny tersenyum sabar. Sama

sekali tidak merasa tersinggung.

"Apa lagi yang kamu harapkan?" balas

Putri datar.
Delusi Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia menyilakanmu duduk dan

menyuguhi bir?"

"Ya, aku memang salah. Ibumu mengira aku

85

'IJ

yang membuatmu jadi begini

"Siapa lagi kalau bukan kamu?" dengus Putri

mengkal.

"Memang nggak ada orang lain!"

"Sori deh, Put. Aku bersedia periksa darah

kalau anakmu lahir!"

"Nggak perlu!" sanggah Putri dingin.

"Anakku tidak perlu bapak seperti kamu! Nggak

level! Lari dari tanggung jawab! Pengecut!"

Sonny mengulurkan tangannya meraih

bahu Putri. Dia membatalkan niatnya untuk

memeluknya ketika melihat Arneta tegak

dengan tatapan sedingin gunung es.

"Masuk, Uti," katanya tegas, datar.

"Sudah

malam. Kamu harus makan dan istirahat!"

"Nggak usah ngajarin Uti lagi, Ma!" gerutu

Putri tersinggung.

"Uti tahu kok!"

"Masuk kata Mama!" bentak Arneta marah.

"Jangan membantah lagi!"

"Mama kenapa sih?" dumal Putri kesal.

"Mama kira Uti bisa dibohongin lagi sama dia?

Mama nggak usah khawatir deh! Orangtua aja

nggak bakal kehilangan tongkat dua kali!"

"Makanya Mama suruh kamu masuk

sebelum lupa!"

"Uti nggak suka diatur dan diperintah! Uti

sudah dewasa!"

"Aku pulang dulu deh, Put," sela Sonny

sambil mencoba tersenyum.

"Lain kali aku

datang lagi...."

86

"Tidak ada lain kali!" sergah Arneta judes.

"Jangan pernah muncul di sini lagi! Rumah ini

tertutup bagimu!"

"Uti tahu!" geram Putri sengit.

"Mama nggak

usah sok ngatur!"

" Mama cuma memperingatkan! Seperti dulu!

Sebelum kamu..." Arneta tidak melanjutkan

katakatanya. Tetapi Putri sudah keburu

meledak.

"Mama kira Uti ini apaan sih? Perek? Nggak

punya harga diri?"

"Kalau begitu, mengapa kamu mau bergaul

dengan dia lagi?"

"Kami cuma kebetulan ketemu! Dia yang

menolong Uti ketika Uti hampir jatuh!"

"Klise! Buat apa membuka peluang lagi? Dia

sudah mencampakkanmu ke dalam selokan!"

"Mama mau Uti mengusir orang yang telah

menolong Uti?"

"Mama mau kamu menendang orang yang

telah mencelakakanmu!"

"Mama anggap kehamilan Uti ini celaka?"

"Kamu anggap ini berkat?"

"jadi Mama anggap apa anak Uti? Anak

haram jadah?"

"Lelaki itu yang membuatnya jadi begitu,

bukan Mama!"

Kemarahan Putri sudah melampaui ambang

87

batas. Tanpa berkata apa-apa lagi, sambil

mengatupkan rahangnya menahan marah, dia

melangkah ke kamarnya.

Dikeluarkannya kopor kecil yang telah

disiapkannya kalau sewaktu-waktu dia harus

pergi ke rumah sakit. Lalu dijinjingnya kopor

itu keluar.

Arneta menghambur keluar dari kamar


Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis Wiro Sableng 092 Asmara Darah Tua Gila
^