Pencarian

Gaun Sutra Warna Biru 2

Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono Bagian 2



"Tahu tentang apa?" Aku menjinjitkan alis

mataku dengan sikap serius.

"Jangan main teka-teki lho, Mbak. Aku memang tidak tahu apaapa."

"Tetapi tentunya kau tahu bahwa Pak Tomi

sudah lama menaruh hati kepadamu, kan?"

"Ya, aku tahu."

"Bahkan sejak sebelum kau menjalin hubungan dengan Dik Arya?"

"Ya, itu pun aku tahu. Soalnya kentara sekali

sih, Mbak. Bukan dari sikapnya saja tetapi juga

dari perkataan-perkataannya yang sering menyiratkan perasaannya," jawabku.

"Tetapi apa kai

82

tannya dengan Tatik?"

"Begini, Aster. Ketika kau mulai berhubungan

dengan Dik Arya, Pak Tomi mengalihkan perhatiannya darimu kepada Tatik."

"itu artinya, mereka berdua pernah menjalin hubungan khusus," gumamku.

"Begitu, kan,

Mbak?"

"Ya."

"Sampai sekarang?"

"Tidak. Hubungan mereka putus hampir dua

bulan yang lalu. Entah karena apa, persisnya aku

tidak tahu. Tetapi mungkin saja ada ketidakcocokan di antara keduanya. Tatik itu kan agak keras

dan kekanakan."

"Terus terang aku baru mendengar hal itu,"

komentarku.

"Rupanya, waktu itu aku terlalu

sibuk dengan urusan pribadiku sendiri. Tetapi,

sekarang aku mengerti kenapa sikap Tatik kepadaku seperti itu. Mas Tomi juga keterlaluan

sih, belum dua bulan putus hubungan sudah mulai mengejar-ngejarku lagi."

"Menurutku, Tatik juga keterlaluan."

"Keterlaluannya kenapa, Mbak?"

"Pak Tomi kan sudah bukan kekasihnya lagi.

Dia sudah bebas. Nah, dia mau berpacaran denganmu atau dengan yang lain, itu kan terserah

yang bersangkutan. Apalagi sudah sejak lama

Pak Tomi menaruh hati kepadamu. Maka ya

tak heran, begitu mengetahui kau lepas dari Dik

Arya, langsung saja dia melihat peluang itu..."

"Mungkin Tatik masih mengharapkan hubun

83

gannya dengan Mas Tomi pulih kembali, Mbak."

Aku bergumam lagi.

"Makanya dia merasa cemburu."

"itu jelas terbaca, Aster. Dengan kecemburuan yang tampakjelas itu pula dia telah melakukan

suatu kesalahan dalam taktiknya merebut kembali hati Pak Tomi. Peristiwanya terjadi sebelum

hubungan mereka benar-benar putus."

"Kesalahan seperti apa, Mbak?"

"Dia bermaksud menyalakan api cemburu

Pak Tomi dengan cara yang tidak dewasa. Hari

ini dia pergi dengan Anton, misalnya. Besoknya

pergi dengan si Anu atau si Polan, misalnya pula.

Tetapi melihatnya seperti itu, Pak Tomi malah

semakin menjauhinya. itu kan salah langkah, namanya."

"Jadi tak ada peluang lagi bagi mereka?"

"Ya, apalagi sekarang. Peluang untuk memulihkan hubungan itu semakin mustahil dengan

masuknya dirimu. Makanya sikapnya kepadamu

jadi begitu!"

"Kasihan Tatik..."

"Yah, memang sih. Tetapi kalau itu terjadi

padaku, aku justru akan mengambil hikmahnya. Dia harus berpikir, ketika Pak Tomi dulu

mendekatinya, itu bukanlah disebabkan cinta

yang sesungguhnya. Itu hanyalah cinta pelarian.

Bahwa cintanya yang sebenarnya, ada padamu..."

"Ah, belum tentu, Mbak!" Aku memotong

perkataan Mbak Asih. Perasaanku jadi tak enak.

Mas Tomi tidak boleh mencintaiku. Aku tak

84

mungkin membalas cintanya.

"Itu kenyataan, Aster."

Aku menarik napas panjang.

"Seandainya memang demikian, aku tidak

mungkin bisa membalas perasaannya," kataku

kemudian.

"Hatiku sudah beku, Mbak. Kalau

sampai aku menyambut pendekatan Mas Tomi,

sungguh tidak adil baginya. Sebab, pastilah itu

cuma sebagai pelarian dari luka hatiku."

"Kau memiliki kesetiaan yang kuat, Aster

Mbak Asih meraih tanganku.

"Dik Arya itu buta,

tidak bisa melihat emas dalam genggaman tangannya. Belum tentu yang didapatnya sekarang

itu juga emas. Mungkin malah tembaga!"

Aku tersenyum sedih. Mbak Asih hanya tahu

bahwa Mas Arya memilih gadis lain yang disodorkan kedua orangtuanya. Tak kuceritakan

kepadanya mengenai alasan yang sebenarnya.

Aku harus menjaga nama dan perasaan kedua

orangtua angkatku. Keduanya tidak mempunyai

perasaan dan pikiran bahwa aku ini bukan anak

kandung mereka.

"Masalah itu tak ada kaitannya dengan kesetiaan cintaku kepadanya, Mbak," sahutku kemudian.

"Hatiku yang tertutup inijuga bukan karena

masih ditempati olehnya. Jadi kenapa hatiku sekarang tertutup, itu disebabkan karena aku sudah

kapok. Benar-benar kapok, Mbak."

"Tetapi Pak Tomi itu orangnya baik lho, Aster.

Jangan hanya karena pernah disakiti seorang lelaki, kau lalu menganggap laki-laki lainnya sama

',,

85

brengseknya seperti dia. Kurasa tak ada salahnya kalau sekarang kau mulai membuka hatimu

sedikit demi sedikit."

"Saranmu akan kupikirkan, Mbak. Tetapi

tidak dalam waktu dekat ini. Untuk apa sih tergesa-gesa mencari pengganti Mas Arya? Lagi pula,

hidup tanpa kekasih begini ternyata malah lebih

bebas dan lebih tenang kok, Mbak!"

Tentu saja tidak kukatakan kepada Mbak Asih

bahwa alasan utama mengapa aku tidak ingin

menjalin hubungan baru dengan lelaki mana pun

itu karena dua hal yang tak mungkin bisa mengubah kenyataan. Pertama, aku ini seorang anak angkat yang tak punya masa lalu. Entah siapa kedua

orangtuaku, siapa pula keluargaku yang lain, aku

tidak tahu. Bahkan kelahiranku saja pun tidak

dikehendaki oleh mereka.

Alasanku kedua, aku ini sudah cacat. Bukan

diriku sebagai subjek dan bukan diriku sebagai

makhluk yang memiliki martabat, tetapi tubuhku

yang sudah kehilangan keperawanan. Meskipun

aku tahu bahwa fisik tidak identik dengan inti

kemanusiaan, tetapi karena sadar aku tinggal di

negara belahan Timur, kehilangan itu pasti akan

mempengaruhi kebahagiaanku. Dan itulah mengapa gaun biruku yang ternoda itu kusurukkan

jauh-jauh di rak paling bawah lemari pakaian,

tertindih tumpukan pakaian lamaku yang lain.

Semula gaun itu akan kubuang ke sungai, tetapi kemudian niat itu kuurungkan. Pikirku, daripada gaun itu kubuang ada baiknya kalau benda itu

86

kusimpan sebagai peringatan padaku agar tidak

lagi membiarkan diriku terlena perasaan cinta.

Kisah cintaku yang berakhir dengan noda pada

gaun sutraku yang berwarna biru itu harus menjadi tanda tertutupnya hatiku dari kemungkinan

jatuh cinta lagi.

Tetapi bagaimana mungkin Tatik mengetahui kenyataan itu, bukan? Aku toh tak mungkin

menceritakan perihal keadaanku itu kepadanya.

Dengan demikian kedekatanku dengan Mas Tomi

selalu dipandanginya dengan penuh rasa curiga

dan tak rela, lupa bahwa dia adalah atasanku.

Mau ataupun tidak, aku akan sering berhubungan

dengan Iaki-laki itu. Oleh sebab itu sikap cemburunya yang sudah lewat takaran, sering membuatku merasa jengkel. Dan akhirnya puncak dari

kejengkelanku itu pun terjadi di suatu hari, pada

jam istirahat makan siang.

Ketika itu aku baru saja pulang dari makan siang di luar. Kali itu aku tidak pergi dengan Mbak Asih. Dia tidak masuk. Jadi aku pergi

bersama Andy, rekan kerjaku yang belum lama

bekerja di kantor kami. Andy masih muda sekali, baru saja menginjak umur dua puluh tiga tahun. Begitu menyelesaikan kuliah, dia langsung

mendapat pekerjaan. Orang akan mengatakan,

nasib anak itu baik. Tetapi aku lebih melihatnya

dari sisi yang lain, bahwa ia mendapat pekerjaan

karena dirinya sendiri. Andy seorang anak muda

penuh semangat yang memancarkan Vitalitas

tinggi. Otaknya cemerlang dan kepribadiannya

87

memperlihatkan kematangan yang tidak banyak

dipunyai teman-teman sebayanya. Sudah begitu, sikapnya selalu hangat terhadap siapa saja.

Semua orang menyukainya. Terutama aku. Dia

mengingatkanku pada impian masa kecilku dulu,

ketika aku menginginkan seorang adik laki-Iaki

namun tak pernah terwujud.

Ketika aku kembali ke meja kerjaku setelah

berpisah dari Andy yang masuk ke ruangan lain,

tiba-tiba saja Tatik muncul di hadapanku. Wajahnya yang cantik itu sama sekali tidak menarik.

Matanya manyala dan bibirnya yang diberi lipstik warna merah tua itu merapat.

"Kalau mau membangkitkan rasa cemburu

Mas Tomi, jangan dengan anak kecil. Keterlaluan sekali kau, Aster!" Begitu dia mengejutkanku dengan semburan kata-katanya yang pedas.

"Anak itu masih hijau!"

Aku merasa bersyukur, ruang besar tempat

mejaku terletak itu masih sepi. Jam istirahat makan siang masih tersisa seperempat jam lebih.

Teman-temanku belum ada yang kembali. Kalau

tidak, alangkah malunya aku. Perkataan Tatik itu

bisa menimbulkan pikiran yang bukan-bukan.

Sungguh menyebalkan sekali dia. Sifat aslinya

keluar semua. Percuma saja dia pernah mengikuti

kursus keluwesan berbulanbulan lamanya.

"Jangan menyamakan perbuatanku dengan

taktik murahan yang pernah kaulakukan untuk

membangkitkan cemburu orang," aku membalas

semburan Tatik, tak kalah pedasnya dengan sem

88

burannya tadi.

Memang, dalam pergaulanku bersama orang

lain aku selalu ingin menjalin persahabatan yang

hangat dengan siapa saja. Tetapi kalau untuk itu

aku harus membiarkan kepalaku diinjak orang

seperti yang dilakukan Tatik tadi, aku harus memikirkannya seribu kali lebih dulu untuk melihat

kelayakannya. Untuk sesuatu yang bernilaikah

pengorbananku itu?

Mendengar jawabanku yang pedas, Tatik
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyandarkan tubuhnya ke meja di hadapanku

dengan kedua belah tangan berada di pinggangnya. Wajahnya tampak galak sekali.

"Apa maksud bicaramu itu?" Dia membentakku.

"Kau tahu apa yang kumaksudkan, Tik. Tak

usah pura-pura!"

Tatik menjawab perkataanku dengan menampar pipiku keras-keras sambil memuntahkan kemarahannya.

"Kau memang gadis gatal yang tak bisa hidup

tanpa laki-laki, Aster!" Begitu dia memakiku.

"Putus dengan yang satu, lalu menggoda yang

lain, tanpa peduli apakah laki-laki itu sudah punya kekasih atau belum!"

Ditampar dan dilontari perkataan kasar seperti

itu, aku tidak terima. Dalam hidupku sehari-hari,

aku tak pernah diperlakukan sekasar itu oleh siapa pun. Orangtua Mas Arya yang memandangku

rendah pun tidak berkata dan bersikap sekasar itu

kepadaku. Maka dengan penuh rasa harga diri,

89

kubalas tamparannya tadi dengan sama kerasnya.

"Jangan menampar anak orang kalau kau

tidak ingin ditampar," begitu aku membentaknya sambil melayangkan telapak tanganku ke arah

pipinya.

Tampaknya, Tatik tidak suka menerima balasan dariku. Wajahnya tampak memerah. Kedua

alis mata palsunya, bertaut menjadi satu. Dan

di bawah alis itu, matanya yang manyala-nyala

dipenuhi rasa benci. Lalu secara tiba-tiba tangannya yang berkuku panjang dan dicat merah itu

terjulur ke mukaku, siap mencakar pipiku.

Tentu saja aku tidak ingin kulit wajahku yang

halus dan mulus itu terluka dan meninggalkan

noda yang menetap di situ. Dengan sigap, tangannya kutangkap. Tetapi ternyata dengan sama

sigapnya, dia menjulurkan tangan yang lain ke

mukaku untuk menggantikan cakarannya yang

gagal tadi. Cepatcepat, untuk menghindari perbuatannya itu, kupalingkan wajahku sambil

menangkisnya dengan kedua belah tangan yang

kusilangkan. Bagaimanapun caranya, aku harus melindungi wajahku dari cakaran tangannya.

Tetapi tepat pada saat itu, aku mendengar langkah kaki berjalan tergesa ke arah kami berdua.

"Apa-apaan sih kalian berdua!"

Perutku menegang. Suara yang berkumandang di ruangan itu adalah suara Mas Tomi. Dengan perasaan tak menentu karena dipergoki sedang dalam keadaan yang paling memalukan itu,

lekas-lekas aku melangkah mundur. Kulihat, wa

90

jah Tatik semakin memerah. Persis seperti udang

rebus. Seperti diriku, pasti dia merasa malu sekali dipergoki Mas Tomi sedang berkelahi. Bahkan

aku yakin, rasa malu yang dideritanya lebih besar

daripada yang kurasakan. Sebab dengan melihatnya berada di ruangan ini, siapa pun akan tahu

bahwa bukan aku yang memulainya.

"Ada apa?" Mas Tomi mengulangi lagi pertanyaannya tadi.

"Tidak ada apa-apa," aku yang menjawab.

"Cuma suatu kesalahpahaman. Tatik menegurku, tentu dengan caranya sendiri, mengira aku

sedang berusaha membuatmu cemburu dengan

memanfaatkan anak yang masih sehijau Andy.

Tentu saja aku tidak terima. Sebab buat apa sih

membangkitkan rasa cemburu pada seseorang

yang bukan apa-apaku. Memangnya aku gila?"

Selesai menyemburkan perasaan, aku

langsung pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah kaki lebar dan dagu terangkat tinggi. Aku berharap, mereka berdua secara cermat

mendengar setiap patah kata yang kuucapkan tadi

sehingga mampu menangkap apa yang tersirat di

dalamnya. Yaitu, bahwa Tatik telah bersikap melebihi takaran semestinya terhadapku. Dan bahwa

Mas Tomi dan aku tidak mempunyai hubungan

khusus. Alias, dia bukan kekasihku.

91

Empat

TIGA menit lagi jam kantor bubar. Meja-meja di

ruang kerjaku sudah tampak rapi. Dengan terburuburu, rekan-rekan sekerjaku sudah meninggalkan

tempatnya masing-masing. Juga Mbak Asih.

Mereka takut kehujanan di jalan. Awan-awan

hitam tampak menggantung di langit kota J akarta

yang pada sore hari itu tampak gelap.

Kulayangkan pandang mataku keluar jendela kaca ke arah langit yang tampak kelam.

Tanda-tanda akan datangnya hujan lebat sudah

kelihatan. Sesekali langit hitam di kejauhan

sana tampak seperti terbelah lidah api yang panjang-panjang. Seram sekali kelihatannya.

Sudah seminggu ini musim hujan berada di

puncak kejayaannya. Setiap hari hujan lebat

mengguyur bumi nusantara ini. Ada daerah-daerah tertentu, juga di Jakarta ini, mengalami banjir

musiman.

Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, hari

ini pun hujan. Bahkan sudah dimulai sejak menjelang subuh tadi. Memang bukan hujan yang

lebat, tetapi sungguh tidak menyenangkan rasanya. Di mana-mana basah. Di mana-mana becek

dan di mana-mana pula banyak terdapat kuban

92

gan berisi air kotor. Dan bila hujannya tidak deras

tetapi mendung di langit merata seperti itu, biasanya matahari akan bersembunyi di sepanjang

hari nanti.

Aku teringat bagaimana tadi pagi, Mas Bondan dan Ibu merasa khawatir ketika melihatku

bersiap-siap berangkat ke kantor. Sejak menjelang subuh tadi, hujan sudah turun dan membubuhkan warna kelabu di hari baru itu. Saat itu

aku sedang berdiri di teras depan. Sejujurnya,

agak segan juga aku meninggalkan rumah.

"Hari ini aku tidak memberi kuliah, Aster!"

Begitu Mas Bondan berkata kepadaku sambil

mendekati tempatku berdiri.

"Pakailah mobilku."

Tawaran Mas Bondan itu sungguh menggiurkan. Tetapi aku tahu betul, meskipun hari ini dia

tidak mempunyai jadwal mengajar, tetapi menjelang sore nanti ia harus pergi ke tempat kerjanya yang lain. Yaitu sekolah kursus musik yang

sangat laris di daerah Kebayoran. Dari [bu, aku

mengetahui bahwa Mas Bondan mendapat kepercayaan memegang pengelolaannya sekaligus

memberi pelajaran piano untuk kelas-kelas tingkat lanjutan. Dan sekarang dia bermaksud meminjamkan mobilnya yang nyaman itu kepadaku.

Padahal siang nanti ia harus mengarungi perjalanan yang cukup jauh dari rumah kami ke tempat kerjanya. Dan untuk sampai ke sana, ia harus

berganti-ganti kendaraan umum. Pada jam-jam

bubar kantor pula. Sudah begitu aku tidak bisa

meramalkan apakah sore nanti hujan sudah ber

93

henti atau belum. Membayangkan dia harus naik

dan turun kendaraan umum di bawah guyuran

hujan seperti itu membuatku tak ingin menerima

tawarannya.

"Terima kasih, Mas," begitu aku mulai menolak tawarannya itu.

"Tetapi tak usahlah. Bus

patas masih setia menungguku di terminal kok."

Apa yang kukatakan itu tidak salah. Aku

memang termasuk orang yang beruntung. Rumah

kedua orangtuaku di daerah Rawamangun ini, tak

jauh dari terminal. Dari rumah, hanya lima atau

enam menit perjalanan jauhnya.

"Ayolah jangan sungkan, Aster. Pakai saja

mobilku itu." Mas Bondan mendesakku. Tangannya menyerahkan kunci mobilnya ke tanganku.

"Aku tidak merasa sungkan kepada orang

yang kuanggap sebagai kakakku sendiri," aku

tersenyum manis kepadanya. Tetapi kunci mobil yang ada di tanganku kukembalikan lagi ke

telapak tangannya.

"Tawaranmu itu kutolak karena aku tidak senang membayangkan sore nanti

kau harus pergi dengan bus yang penuh sesak dan

turun-naik berganti-ganti kendaraan, sementara

aku enak-enakan memakai mobilmu yang bagus

itu!"

Biasanya kalau hari hujan atau badanku

kurang fit, Bapak akan meminjamiku mobil. Lalu

beliau ikut mobil Oom Dahlan, teman sekantornya yang tinggal takjauh dari rumah kami. Tetapi

siang nanti Bapak akan pergi ke Bandung untuk

urusan kantor. Mas Bondan tahu itu. Kunci mobil

94

yang sudah berada kembali di telapak tangannya

itu dijejalkan ke kantongjaketku.

"Jangan membayangkan yang macam-macam,

Aster. Pakai sajalah mobilku. Aku mempunyai

banyak kendaraan di terminal!" Mas Bondan

masih tetap mendesakku. Matanya dibelalakkannya.

"Memangnya, siapa takut?"

Melihat wajahnya yang lucu dan kata-kata

"siapa takut" yang ditirunya dari iklan yang pernah populer itu, aku tertawa.

"Sudahlah, Mas," kataku kemudian. Kunci

yang dijejalkannya ke dalam saku jaketku tadi

kukeluarkan dan kuulurkan kepadanya.

"Hujannya tidak terlalu deras kok."

"Ditawari mobil kok tidak mau," ibu yang

tibatiba muncul dari ambang pintu, ikut berbicara.

"Pakai sajalah mobil kakakmu itu, Aster. Lihat, mendungnya merata begitu."

"Aster kalau sudah bilang tidak mau ya tidak

mau, Tante." Mas Bondan menyeringai.

"Sekarang aku akan mengambil jalan tengahnya saja.

Aster akan kuantar sampai ke kantornya. Jam

sembilan nanti aku harus bertemu dengan seseorang untuk urusan bisnis. Tak apa aku berangkat

lebih pagi."

"Janji pertemuannya di mana?"

"Pokoknya bukan di daerah yang berlawanan

dengan letak kantormu. Nah, bagaimana? Oke?"

"Kalau memang begitu, oke." Tidak sepantasnya aku terus-menerus menolak kebaikan hati

Mas Bondan yang begitu tulus itu. Lagi pula,

95

dengan ikut Mas Bondan, hati Ibu akan lebih

tenang melepaskanku pergi.

Betapa beruntungnya aku mempunyai keluarga seperti keluarga besar ibu angkatku. Mereka semua menyayangiku. Air hujan menimpaku

saja, Ibu tidak rela. Dan demi hal itu pula Mas

Bondan mau berangkat pada jam setengah tujuh

kurang, kendati pertemuan dengan temannya

masih jam sembilan nanti.

Sekarang, hari sudah sore. Hujan sepanjang

pagi hingga siang tadi, pergi dan datang seperti anak kecil main petak umpet. Tetapi sejak

jam setengah tiga tadi, hujan mulai berhenti dan

matahari sempat mengintip sebentar di balik

awan. Namun menjelang sore, awan gelap justru

mulai berarak-arak memenuhi langit.

Melihat kemungkinan lebatnya hujan yang

sebentar lagi akan turun itu, aku tersenyum sendiri. Pagi tadi, Ibu dan Mas Bondan ribut mempersoalkan keberangkatanku ke kantor, seolah aku

belum pernah bersentuhan dengan air hujan.

Tetapi sekarang sudah dapat dipastikan aku akan

berhujan-hujan juga dalam perjalananku pulang

ke rumah nanti. Bahkan kelihatannya, curah hujan akan lebih deras daripada tadi pagi. Kulihat,

kilat sambar-menyambar masih terus saja berlangsung nun di ujung langit sana yang tampak

semakin hitam.

Merasa tidak mungkin menghindari kehujanan di jalan, aku mulai bersiap-siap pulang

tanpa terburuburu seperti yang dilakukan re

96
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan-rekanku tadi. Di luar ruangan, aku masih

mendengar langkah-langkah tergesa dari kaki

rekan-rekanku yang bekerja di ruangan-ruangan

lain. Sambil berjalan cepat dan bercanda, mereka mempercakapkan datangnya hujan yang tak

mungkin terelakkan itu.

"Kok belum pulang?" Suara seseorang dari

arah pintu, menyela kesibukanku memasukkan

dompet, pulpen, dan buku agenda ke dalam tas

tanganku. Tanpa menoleh pun, aku tahu itu suara

Mas Tomi.

"Ini, aku mau pulang." sahutku, tanpa menoleh.

"Kelihatannya, hujannya akan lebat sekali."

"Ya..." Aku masih enggan menolehkan kepala.

Sejak Mas Tomi memergokiku dan Tatik sedang bertengkar beberapa waktu yang lalu, aku

selalu menghindarinya. Kalaupun kami terpaksa

berbicara, aku tak mau menatap matanya. Untungnya dia memahami perasaanku. Dia tidak

berani bercakap-cakap denganku kecuali mengenai hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Bahkan

muncul harapan dalam dadaku, mudah-mudahan

dia sudah menyadari pendirianku bahwa bagiku

hubungan yang ada di antara kami berdua hanyalah sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih dari

itu. Tetapi sore ini, entah kenapa dia mulai lagi

mendekatiku dan membicarakan hal-hal yang tak

ada kaitannya dengan pekerjaan. Dan itu memupuskan harapanku. Aku sudah lama mengenaln

97

ya, jadi aku tahu beberapa kebiasaan-kebiasaannya. Justru karena itulah aku mulai khawatir.

"Kau membawa mobil?" Mas Tomi bersuara

lagi.

"Tidak." sahutku terus terang.

Padahal aku ingin sekali berbohong dengan

mengatakan "ya". Sebab aku yakin, dia akan

menawarkan jasanya, mengantarku sampai ke

rumah. Tetapi karena tekadku sudah bulat untuk

menghindarinya, apa pun tawaran baik yang disodorkannya kepadaku akan kutolak mentah-mentah. Bagiku, lebih baik basah kuyup kehujanan

daripada duduk di sampingnya, di dalam mobilnya yang bagus itu. Akujuga lebih memilih sakit

Hu karena kehujanan daripada berada di dekatnya.

"Kuantar pulang, ya?" Nah, benar apa yang

sudah kuduga itu.

"Terima kasih, Mas. Tetapi maaf, tawaranmu

terpaksa kutolak. Aku masih ada urusan lain..."

"Aku akan mengantarkanmu ke mana pun kau

mau pergi," Mas Tomi memotong perkataanku

sebelum aku selesai bicara.

"Rasanya sungguh

tidak enak bagiku, duduk di dalam mobil sendirian sementara terbayang kau sedang berebut

kendaraan umum di bawah siraman hujan lebat."

"Terima kasih atas tawaran dan perhatianmu,

Mas," sahutku cepat-eepat.

"Tetapi percayalah

aku sudah biasa begitu, kau tak usah mencemaskanku. Aku bukan terbuat dari bahan-bahan

rapuh. Lagi pula, saudara sepupuku akan men

98

jemput. Dia sudah berjanji akan mengantarkanku."

Kalimat yang terakhir itu hanya akal-akalanku. Berbohong demi menghindarinya kurasa bukan dosa besar.

"Mudah-mudahan dia datang sebelum hujan

turun," kata Mas Tomi.

"Ya, mudah-mudahan..."

Belum selesai aku bicara, tiba-tiba hujan mulai turun. Dan dalam waktu sebentar saja, kaea-kaea jendela ruangan mulai tampak buram

diempas air dan angin. Sementara pueuk-pucuk

pohon di sepanjang jalan di bawah sana, meliuk-liuk dipermainkan angin.

"Hm, diharapkan jangan hujan dulu malah

lebih cepat datangnya." Mas Tomi tersenyum

kecut sambil menatap keluar jendela.

"Tetapi

mudah-mudahan saja tidak ada jalan-jalan yang

kebanjiran. Aku tidak suka terjebak dalam kemacetan di bawah guyuran hujan lebat."

"Kalau begitu, cepat-cepatlah pulang. Aku

masih mau membereskan meja dulu," sahutku

eepat-cepat.

Mejaku sudah kubereskan tadi. Apa yang

kukatakan itu hanya alasan supaya Mas Tomi

lebih dulu turun. Aku tidak ingin dia tahu aku

membohonginya. Sebab tak ada sepupuku yang

akan menjemputku pulang. Para sepupuku tentu

saja mempunyai kesibukan lain yang jauh lebih

penting daripada menjemputku hanya karena alasan hujan.

99

"Ayolah kita turun bersama-sama saja, Dik

Aster. Sudah hampirjam setengah lima lho."

"Turunlah dulu. Sepupuku pasti belum datang," dustaku.

"Dia mau mengambil sesuatu

lebih dulu di rumah temannya."

"Tetapi daripada menunggu di sini, kan lebih

baik menunggu di bawah sana. Temannya banyak."

Perkataan Mas Tomi menyadarkan diriku

bahwa saat ini kantor kami sudah sepi. Bahkan

kulihat, di ruangan-ruangan lain lampunya sudah

dipadamkan. Terus terang saja, aku ini tergolong

penakut. Sendirian di lantai lima yang sudah sepi

begini, tentu saja sangat tidak menyenangkan.

"Baiklah..." akhirnya kuputuskan untuk cepat-cepat meninggalkan kantor.

"Kita turun sekarang."

Di dalam lift, Mas Tomi berdiri dekat sekali

denganku. Lengannya hampir menempel pada

lenganku sehingga aku merasa risih. Maka pelanpelan tanpa kentara, aku mencoba menggeser

tubuhku agar sedikit lebih jauh dari tempatnya

berdiri. Tetapi tiba-tiba dia berkata.

"Dik Aster, kau harus tahu bahwa di antara

diriku dan Tatik tidak ada hubungan apa-apa,"

katanya, mengagetkanku.

"Kalaupun pernah ada,

itu sudah berlalu dan telah berakhir. Jadi janganlah kau menjauhiku..."

"Aku menjauhimu bukan karena soal itu,

Mas." Aku memotong perkataannya dengan

sikap tegas.

"Tetapi karena aku memang tidak

100

suka kaudekati. Putusnya hubunganku dengan

Mas Arya baru tiga bulan berlalu. Hatiku sudah

tertutup untuk urusan cinta atau semacamnya.

Jadi Mas, akan lebih baik bagimu kalau kau

mulai memperhatikan Tatik kembali. Dia masih

mencintaimu. Sikapnya yang tidak manis terhadapku, dasarnya ya karena cintanya kepadamu

itu. Jadi harap maklum..."

"Aku tak pernah mencintainya, Aster. Hubungan yang pernah terjalin di antara kami berdua waktu itu adalah suatu kesalahan besar. Dia

masuk saat aku sedang kecewa karena gadis yang

sesungguhnya kucintai sudah menjadi kekasih laki-laki lain."

Perasaanku langsung saja tidak enak demi

mendengar perkataannya. Aku tahu dari Mbak

Asih, Mas Tomi menjalin hubungan dengan Tatik

ketika mengetahui aku menjalin hubungan serius dengan Mas Arya. Tetapi, aku pura-pura tidak

tahu masalah itu. Air mukaku kubuat agar tampak polos.

Karena aku tidak memberi komentar atas perkataannya itu, Mas Tomi meraih tanganku.

"Dan sekarang, aku berharap agar apa yang

dulu tak bisa kudapatkan itu, akan teraih jua di

masa mendatang," katanya sambil menggenggam tanganku.

Tetapi sebagaimana tekadku semula, aku harus bersikap tegas. Dia tidak boleh menyimpan

suatu harapan yang tak mungkin tergapai. Dia

juga harus melihat kenyataan sebenarnya. Maka

101

tanganku segera kutarik dari genggaman tangannya.

"Mas, jangan mengharapkan sesuatu yang

tidak mungkin. Dalam hal ini, aku sungguh-sungguh serius. Aku bukan gadis yang suka bersikap

jinak-jinak merpati, mendekat kalau dijauhi dan

terbang kalau didekati. Aku juga bukan gadis

yang sok jual mahal hanya biar tidak disangka gadis gampangan. Jadi maafkanlah aku atas

keterusteranganku ini, Mas. Bagiku lebih baik

kita bicara pahit di depan daripada menyodorkan

harapan manis yang cuma sia-sia..."

Suaraku terhenti karena lift sudah tiba di lantai

dasar, kemudian pintunya terbuka. Mas Tomi tak

mempunyai kesempatan untuk menjawab perkataanku tadi. Tetapi aku sudah tidak memedulikannya. Sebab saat pintu lift terbuka, pandang

mataku langsung saja menubruk sosok tubuh

Mas Bondan yang sedang duduk di lobby kantorku itu. Tiba-tiba melihatnya di situ dan tanpa

sedikit pun terlintas pikiran bahwa dia akan datang menjemputku, rasanya aku seperti mendapat

lotre besar sekali.

Dengan gembira, kuhampiri tempat Mas

Bondan sedang menungguku. Kuberi dia isyarat

agar segera berdiri dan meninggalkan tempat itu.

Tanpa berkata apa pun, Mas Bondan langsung

menuruti keinginanku. Dengan berdampingan,

kami berdua berjalan ke arah parkiran di luar

gedung. Tubuhnya yang tinggi dan tangannya

yang membawa payung membuatku terlindung

102

dari hujan, kendati angin sempat mengirimkan

percikan air hujan ke wajahku. Aku yakin, di belakangku Mas Tomi pasti sedang memperhatikan

kami berdua.

Sesudah aku dan Mas Bondan berada di dalam mobilnya, tiba-tiba saja laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang sama sekali tak kuduga.

"Apa yang terjadi tadi, Aster?" Begitu dia bertanya sambil menyalakan mesin mobil. Ah, seperti biasanya, laki-laki yang pengertian itu tidak

langsung bertanya padaku ketika kami masih di

lobby tadi.

Aku menoleh kepadanya sambil mengibaskan

air hujan dari payung yang tadi dipegang Mas

Bondan. Kemudian payung itu kututup dan kutarik masuk ke dalam mobil. Barulah sesudah itu

pertanyaannya kutanggapi.

"Kenapa kau bertanya seperti itu, Mas?"

Mas Bondan tersenyum, kemudian melirikku

beberapa saat lamanya. Setelah mobilnya mulai

bergerak, barulah dia menjawab pertanyaanku

tadi. Masih dengan senyum manisnya itu.

"Tidak tahukah kau bahwa wajahmu itu seperti buku terbuka bagiku?" sahutnya kemudian.

"Keluar dari lift wajahmu tampak begitu aneh.

Wajah antara marah dan bingung, atau semacam

itulah. Tetapi begitu melihatku duduk di lobby,

wajahmu tiba-tiba saja berubah cerah."

Mendengar perkataannya itu, aku jadi tertawa. Aku tidak ingin menyembunyikan sesuatu

dari Mas Bondan. Apalagi katanya aku ini bagai

103

kan buku terbuka baginya.

"Lelaki yang keluar dari lift bersamaku tadi

mengira bisa meraih hatiku dengan mudah," kataku.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Meskipun sudah kukatakan secara terus

terang kepadanya bahwa hatiku sudah tertutup,

eh dia tetap saja meraih tanganku dan menggenggamnya. Dikiranya aku pura-purajual mahal, barangkali..."

"Hm, pantaslah wajahmu waktu keluar dari

lift tadi, gelapnya menyaingi gelapnya cuaca sore

ini." Mas Bondan tersenyum penuh pengertian.

"Dan pantaslah pula air mukamu tiba-tiba seperti

orang yang baru saja dapat lotre besar."

Aku tertawa. Sebab memang itulah yang

kurasakan tadi.

"Tentu saja. Kau seperti malaikat penolongku, Mas. Lebih-lebih karena aku tak menyangka

sedikit pun, kau akan menjemputku. Dan itu bukan saja karena kau telah menyelamatkanku dari

kebohongan tetapi juga menyelamatkanku dari

desakannya untuk mengantarkanku pulang."

"Kebohongan apa?"

"Waktu orang itu berulangkali mendesakku

agar ikut mobilnya, aku membohonginya dengan

mengatakan bahwa kakak sepupuku akan datang

menjemputku," sahutku sambil tertawa.

"Rupanya kau tukang bohongjuga, ya!"

"Kalau perlu, apa salahnya, kan?" Aku tertawa lagi.

"Tetapi omong-omong nih, kenapa kau

menjemputku, Mas? ibu yang menyuruhmu, ya?"

"Sebetulnya aku tidak punya rencana untuk

104

menjemputmu, Aster." Mas Bondan menyahuti

perkataanku tadi.

"Tetapi di jalan tadi, waktu

aku melihat mendung begitu tebal dan kilat sambar-menyambar, kuputuskan untuk berbelok arah

ke kantormu ini. Sebab tak enak rasanya membayangkanmu mengejarngejar kendaraan yang

penuh sesak di bawah curahan hujan dengan

guntur yang menggelegar, sementara aku duduk

nyaman sambil menikmati musik."

Perkataan senada baru saja kudengar dari

mulut Mas Tomi kira-kira sepuluh menit yang

lalu. Hatiku tidak suka mendengarnya. Tetapi

sekarang, perkataan yang sama tetapi diucapkan

Mas Bondan dengan sikap wajar, justru membuat

perasaanku tersentuh.

"Sungguh senang rasanya punya kakak sebaik

dirimu, Mas!" Aku tersenyum kepada laki-laki

yang duduk di sampingku itu.

"Terima kasih atas

perhatianmu."

"Terima kasih kembali," sahut Mas Bondan

sambil membalas senyumku. Kemudian dia rnenoleh ke arahku sesaat lamanya sebelum melanjutkan bicaranya.

"Tetapi kapan-kapan aku akan

menagih kebaikan serupa darimu."

"Oh,jadi kebaikanmu ini ada pamrihnya, ya?"

aku menggerutu.

"Begitulah, Non." Mas Bondan terbahak.

"Tahujuga kau!"

"Konkretnya, apa yang harus kulakukan untukmu?" aku menggerutu lagi.

"Konkretnya apa, aku sendiri masih belum

105

tahu." Mas Bondan masih saja tertawa-tawa.

Tampaknya senang sekali bisa menggodaku.

"Tetapi dalam hatiku aku telah mencatat bahwa

kau sudah beberapa kali berutang padaku."

"Hm, begitu...." aku ingin menggerutu lagi.

Tetapi melihat mimik mukanya yang lucu, aku

malahan tawa.

"Jadi kau selalu mencatat semua

jasa baikmu. Alangkah bangganya aku punya

kakak yang setulus itu hatinya!"

"itu belum dihitung dengan bunganya lho.

Jadi ingat-ingat sajalah kalau aku nanti menemanimu ke tempat perkawinan Dik Arya!"

Diingatkan tentang hari pernikahan Mas

Arya yang akan dilangsungkan tak lama lagi,

aku langsung terdiam. Mengetahui itu kepala

Mas Bondan langsung menoleh ke arahku, sadar

bahwa dia telah mengucapkan kata-kata yang

tidak dipikir lebih dulu. Yah, betapa pun matang

kepribadian Mas Bondan, usianya yang masih

muda itu ikut mewarnai pemikirannya. Sepandai-pandainya bajing meloncat, dia akan tergelincirjuga di suatu ketika.

"Maafkanlah aku, Aster," katanya kemudian

dengan nada penyesalan yang amat kental.

"Aku

tak sengaja bicara seperti itu..."

"Aku tahu," sahutku.

"Lupakanlah. Aku juga

tidak ingin mengingatnya."

Bicara memang mudah. Tetapi kenyataannya,

bagaimana mungkin aku bisa melupakan bahwa

sebentar lagi Mas Arya akan memasuki kehidupan perkawinan dengan gadis lain? Apalagi tanpa

106

kuduga, sepuluh hari sesudah sore itu Mas Arya

meneleponku ke kantor.

Sesudah berbasa-basi sejenak, dia menanyakan lagi kesediaanku untuk datang ke pesta pernikahannya.

"Undangan untukmu sudah kukirim ke rumah, Aster. Aku betul-betul sangat berharap kau

bisa hadir di pestaku nanti," begitu dia berkata.

"Mau, kan?"

"Akan kuusahakan...." dengan susah-payah

aku menjawab pertanyaannya. Sakit sekali menahan perasaan yang menyengat ini. Tidakkah Mas

Arya mempunyai sedikit saja tenggang rasa?

"Danjangan lupa, gaun birumu yang..."

"Ya," sahutku memotong perkataannya. Tidak

sadar pulakah Mas Arya bahwa pemintaannya itu

menusuk lagi luka di dadaku yang masih belum

sembuh ini?

"Terima kasih, Aster. Kau sungguh sangat

baik..."

"Terima kasih kembali," aku memotong perkataannya lagi. Ingin sekali aku menghentikan

pembicaraan secepatnya.

"Sampaikan salamku

buat adikmu, ya, Mas?"

"Akan kusampaikan. Ani pasti akan senang sekali menerima salammu. ia sangat menyukaimu.

Sampai hari ini masih saja dia sering membicarakan dirimu, Aster. Dia sangat menyesal kenapa

kita tidak bisa bersatu dan "

"Katakan padanya, dia harus melihat kenyataan yang ada di hadapannya!" Lagi-lagi aku

107

memotong perkataannya yang belum selesai.

"Kehidupan ini berjalan ke depan, Mas. Jadi tidak

semestinya kita menoleh ke belakang terus."

"Tetapi tetapi... aku masih mencintaimu,

Aster..."

"Kaujuga harus melihat kenyataan dan bukannya menoleh ke belakang. Jadi lupakanlah semua

hal yang berkaitan dengan masa lalu kita." Untuk

ke sekian kalinya aku memotong lagi perkataan

Mas Arya yang belum selesai. Bahkan lekas-lekas pembicaraan yang membuat perasaanku sakit

lagi itu kuputuskan.

"Nah, sampai ketemu, ya,

Mas."

Lupakanlah semua hal yang berkaitan dengan

masa lalu kita? Hah, mudahnya aku bicara. Tetapi yah, lidah memang tak bertulang, bukan? Pada

kenyataannya, semakin dekat harinya, dan terutama setelah kartu undangan itu berada di tanganku, semakin perasaanku tak menentu. Kecewa, sedih, tersiksa, marah, dan pelbagai macam

perasaan lainnya bercampur menjadi satu.

Kalau menuruti kata hati, aku pasti akan

memilih tidak datang ke pestanya. Sebab pada

perasaanku, pesta itu seperti mengingatkan kegagalan diriku dan terutama keadaanku yang yatim-piatu tanpa orangtua kandung, tanpa keluarga,

tanpa masa lalu, dan tanpa latar belakang sejarah

hidup pribadi. Siapa saudara sedarah denganku,

aku tak pernah tahu. Benar-benar sebatang kara.

Dan justru karena keadaanku itulah maka Mas

Arya bersanding dengan gadis lain yang jelas

108

asal-usulnya, yang tahu secara pasti sejarah keluarganya.

Tetapi apa boleh buat. Aku sudah terlanjur

berjanji untuk hadir di pestanya. Oleh sebab itu

meskipun dengan sangat berat hati, pada Minggu

malam yang sudah ditentukan itu, aku terpaksa

mempersiapkan diri untuk datang ke pestanya.

Dan meskipun dengan perasaan tercabik-cabik,

aku terpaksa mengeluarkan kembali gaun biruku yang kusurukkan di bagian paling bawah lemari pakaianku. Kusetrika sendiri gaun itu. Dan

dengan mata basah, dengan hati tersayat, kulihat

kembali noda di bagian dalam lapisan gaun biruku.

Begitulah, petang itu aku mulai mempersiapkan diriku untuk pergi ke pesta pernikahan

Mas Arya bersama Mas Bondan. Kukenakan

gaun biru yang diminta Mas Arya. Meskipun

perasaanku amat sangat tertekan, aku berusaha mendandani diriku sepatutpatutnya. Kupakai

sepatu dan tas pesta yang senada dengan warna

gaunku. Kulengkapi pakaianku itu dengan seperangkat perhiasan emas bermata berlian yang

terdiri dari kalung, giwang, dan gelang. Barang

itu hadiah kedua orangtuaku sebulan yang lalu

ketika usiaku menginjak angka dua puluh enam

tahun.

"Kau sungguh memesona, Aster!" komentar

lbu begitu melihatku keluar dari kamarku.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Bapak yang sedang membaca harian sore

109

di sudut ruang, menurunkan koran yang semula

ada di hadapannya. Dan dengan kacamata yang

sengaja dipelorotkan dari pucuk hidungnya, beliau menatapku.

"ibumu benar, Nduk. Kau tampak luar biasa

cantik," pujinya.

"Aster, apakah perhiasan yang

kau kenakan itu hadiah dari kami pada hari ulang

tahunmu bulan lalu?"

"Ya, Pak."

"Pantas sekali kaukenakan, Ndak. Sepertinya

perhiasan itu memang dibuat khusus untukmu."

"Yang bagus itu perhiasannya, Pak. Barang

mahal dan dibeli dengan kasih sayang adalah perhiasan yang sangat indah. Terima kasih, Bu, terima kasih, Pak ." Aku mencoba tersenyum lagi.

Sepanjang usiaku yang sudah dua puluh enam

tahun ini, memang baru sekali ini Bapak dan ibu

menghadiahi sesuatu yang amat mahal. Mereka

mengatakan, seharusnya mereka ingin memberi

hadiah itu satu tahun yang lalu ketika usiaku

menginjak dua puluh lima. Kata mereka, umur

dua puluh lima adalah umur kedewasaan yang

menyeluruh. Lahir dan batin. Jadi patut diberi
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadiah istimewa sebagai tanda kasih mereka.

Tetapi baru sekarang mereka mempunyai uang

yang cukup untuk membeli hadiah itu. Dan baru

petang ini pula aku mempunyai kesempatan untuk mengenakannya.

"Sayang, barang mahal tidak menjamin kebagusan dan kepantasan pemakainya. Tetapi perhiasan yang kaupakai itu justru menjadi bagus ka

110

ki rasa humor yang tinggi. Ada-ada saja bahan

canda mereka. Suasana rumah kami jadi terasa

hangat sehingga tekanan batinku mulai sedikit

berkurang. Diam-diam aku merasa terharu. Sungguh, aku harus berterima kasih kepada mereka

bertiga. Aku kenal ketiganya dengan baik sekali.

Karenanya aku tahu, saling melempar goda dan

canda itu adalah sesuatu yang memang disengaja. Mereka semua memahami bagaimana berat

hatiku untuk datang ke tempat perkawinan Mas

Arya. Mereka juga memahami betapa terkoyakkoyaknya hatiku harus menyaksikan perkawinan

MasArya dengan gadis lain.

Setelah merasa cukup bercanda, tiba-tiba Mas

Bondan melihat arlojinya.

"Nah bidadariku, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?" usulnya.

"Apanya yang seperti bidadari," aku bergumam pelan.

"Bidadari sedang sakit gigi, barangkali."

"Aduh Non, jangan berpikir seperti itu. Dalam setiap kepahitan pasti ada manisnya kalau

kita mau mencarinya. Sebaliknya, dalam setiap

kegembiraan pun selalu ada celah kelemahannya. Maka kita tidak boleh terlena." Mas Bondan

melingkarkan lengannya ke bahuku.

"Nah, sebaiknya kita pergi sekarang saja, Aster."

Di sepanjang perjalanan menjemput Mbak

Astri, tak henti-hentinya Mas Bondan mengajakku bicara. Adaada saja yang dioeehkannya. Adaada saja pula yang dikomentarinya. Tetapi aku

112

tahu apa maksudnya. Dia tidak ingin aku tenggelam dalam kegalawan perasaanku.

Namun karena perasaanku mulai tertekan

kembali mengingat sebentar lagi aku akan menyaksikan pemandangan yang amat menyakitkan,

aku enggan mengikuti obrolan Mas Bondan. Lama-lama Mas Bondan merasajuga. Dia menoleh

ke arahku.

"Aster, ayolah bangkitkan kekuatan hatimu,"

katanya.

"Jangan jadi orang yang lemah hati.

Dan hadapilah realitas yang ada ini dengan sikap

kompromis."

"Omong sih gampang, Mas!" Aku mendengus.

"Betul sekali, aku setuju. Omong itu memang

gampang sekali," Mas Bondan menanggapi perkataanku dengan sikap sabar.

"Tetapi kalau segala sesuatu itu tidak diomongkan, hanya dirasakan,

hanya dipendam dalam hati, bagaimana itu bisa

diatasi atau diselesaikan secara konkret, Aster?"

Aku terdiam. Mas Bondan memakai kesempatan itu untuk melanjutkan bicaranya.

"Aster, kuharap di sana nanti kau mampu

menunjukkan sikap yang tegar dan penuh harga diri. Apa pun yang kaurasakan di dalam hati,

hadapilah apa yang ada di depan mata dengan

sikap anggun dan manis," katanya.

Aku masih diam saja. Tetapi semua perkataannya menembus telinga dan hatiku.

"Aster, secara lahiriah penarnpilanmu

memang memesona. Kau tampak amat cantik

113

dan menawan. Semua yang kaukenakan, tampak

pas melekat pada tubuhmu. Baik gaunmu, perhiasanmu, maupun tata rias wajah dan rambutmu,"

Mas Bondan berkata lagi.

"Tetapi kalau semua

itu hanya ada pada permukaannya, kau akan tampak seperti boneka belaka. Jadi Aster, sayangilah

dirimu. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam

kesedihan yang sia-sia. Oke?"

Kupejamkan mataku sesaat lamanya. Kemudian lambat-lambat kepalaku kuanggukkan.

"Akan kucoba, Mas."

"Bagus. Kau harus sadar bahwa kita tidak

akan dihargai orang kalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri. Dan percayalah, aku akan selalu memberimu support kapan saja kau membutuhkannya. Jadi, nanti pun kalau kita berhadapan

dengan pasangan pengantin, kau tahu aku berada

di sampingmu. Oke?"

"Oke." Aku menoleh sebentar ke arah Mas

Bondan yang kebetulan juga sedang menoleh ke

arahku. Mata kami bertemu.

"Terima kasih banyak atas segala-galanya, ya, Mas?"

Harus kuakui, tanpa dukungan Mas Bondan,

tanpa saran-saran dan nasihatnya, belum tentu

aku akan sekuat itu ketika memberi selamat kepada pasangan pengantin dan kedua belah pihak

orangtua mereka. Tetapi ketika kami menghadapi makanan, seluruh selera rnakanku mati. Aku

tidak ingin makan apa pun. Mas Bondan dan

M bak Astri mengapitku.

"Makanlah, Aster. Aku tahu kau kehilangan

114

selera makan. Tetapi jangan perlihatkan itu di

hadapan orang. Ada banyak kenalan dan keluarga Dik Arya yang mengetahui siapa dirimu. Kau

tidak ingin dipandangi orang dengan rasa kasihan, kan?"

"Tidak "

"Makanya biar sedikit makanlah, Dik Aster!"

Mbak Astri ikut mendorongku.

"Ayo kutemani."

Begitulah akhirnya, hari yang paling berat

dalam hidupku berlalu. Berkat kedua orang itu,

terutama Mas Bondan, aku mampu melewati hari itu dengan sikap anggun. Bahkan ketika

dari pelaminan pandang mataku bertubrukan

dengan pandang mata Mas Arya yang dipenuhi

kerinduan, aku masih sanggup menyembunyikan

kegalawan hatiku dengan sikap yang terkendali.

Ketika Mas Bondan menurunkan Mbak Astri di

depan rumah orangtuanya, rasa terima kasih itu

kusampaikan kepadanya dengan hati yang tulus.

"Terima kasih atas dukungan, pengertian, dan

pengorbananmu, ya, Mbak," kataku sambil mencium pipinya.

"Pengorbanan apa sih?" Mbak Astri

tersenyum.

"Kau telah membiarkan aku menyita perhatian Mas Bondan yang seharusnya diberikan untukmu," sahutku.

"Maafkan aku, ya, Mbak."

"Tak apa, Dik Aster. Aku mengerti kok."

Begitu aku dan Mas Bondan tiba di rumah

kembali, gaun biru yang ikut menyaksikan akhir

kisah cintaku dengan Mas Arya itu langsung ku

115

tanggalkan. Setelah membersihkan wajah, kuempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Seluruh

diriku, lahir maupun batin, terasa begitu letih.

Seperti sudah tidak tersisa tenaga apa pun lagi.

Barangkali seperti itulah perasaan seorang prajurit yang baru pulang dari medan perang dengan

membawa kekalahan mutlak. Saat itu baru kusadari betul, Mas Arya benar-benar sudah lenyap

dari kehidupanku. Kepedihan-kepedihan hati dan

rasa kehilangan yang selama ini datang dan pergi

di selasela kesibukanku sehari-hari, kini mengumpul jadi satu di dalam dada. Sesak sekali rasanya.

Mulai hari ini Mas Arya sudah memiliki kehidupannya sendiri, kehidupan rumah tangga

bersama istri yang diterima dan direstui keluarganya. 'Dan sejak malam ini pula, Mas Arya akan

memulai perjalanan malam pengantinnya, untuk

selanjutnya ia akan tidur bersama sang istri. ia

tidak akan tidur seorang diri lagi.

Mengingat itu semua, sekejap pun aku tidak

bisa tidur. Detik dan menit yang berlalu tidak

membuatku mengantuk. Bahkan semakin lama

semakin bayangan pahit itu terbayang di mataku,

bagaikan film cerita yang sedang di putar di mukaku. Ah, ternyata penderitaan yang kurasakan selama bulan-bulan terakhir ini bukan apa-apajika

dibandingkan dengan apa yang kualami malam

ini. Membayangkan Mas Arya sedang berkasih

mesra dengan istrinya di malam pengantin ini,

menyebabkan tubuhku menggigil kedinginan dan

116

perutku terasa kaku. Sulit dipercaya bahwa beberapa bulan sebelumnya hanya diriku yang ada

di dalam kehidupan pribadi laki-laki itu.

Ketika jam dinding di ruang makan berbunyi

dua kali, aku merasa tak tahan lagi berada dalam

keadaan tersiksa seperti itu. Pelan-pelan aku keluar dari kamarku. Di dapur, aku membuat segelas cokelat susu untuk menghangatkan seluruh

tubuhku yang terasa dingin. Tetapi sebelum aku

sempat meminumnya, tiba-tiba telepon berbunyi.

Aku kaget. Tetapi mengingat telepon itu

berdering bukan pada waktu yang semestinya,

lekas-lekas sebelum dering berikutnya membangunkan orang, aku mengangkatnya. Diam-diam

aku berdoa agar jangan ada berita buruk dari

mana pun. Baik dari pihak keluarga Bapak maupun dari pihak keluarga Ibu.

Dengan perasaan tegang, kupegang erat-erat

gagang telepon yang sudah berada di tanganku

itu.

"Halo...?" aku berbisik pelan, takut terdengar

lbu atau Bapak. Kalau ada berita buruk memang

sebaiknya akulah yang pertama kali mendengarnya. Keduanya sudah tidak muda lagi, jadi jangan sampai mereka mengalami kejutan yang dapat mengganggu kesehatan mereka.

"Syukurlah kau yang menerimanya, Aster!"

ltu suara Mas Arya. Bukan suara salah seorang

keluarga besar kami. Tetapi ketegangan perasaanku justru meningkat meskipun bukan berita

buruk yang kuterima.

"Seandainya suara yang

117

kudengar ini bukan suaramu, aku akan langsung

menutupnya tanpa bicara sepatah kata pun."

"Tetapi teleponmu ini mengagetkanku. Kusangka ada berita buruk dari salah seorang sanak

keluarga kami. Aku baru saja terbangun dan mau

ke kamar kecil ketika dering teleponmu kudengar." Kalimat terakhir itu hanya dustaku.

"Kenapa

menelepon pada jam seperti ini sih?"

"Aku cuma mau mencurahkan isi hatiku..."

Suara Mas Arya terdengar sedih.

"Baru saja...

aku aku menunaikan tugasku sebagai suami.

Aduh, Aster, berat sekali rasanya. Kalau saja aku

tidak membayangkan dirimu yang sedang kupeluk... entah apakah malam pengantin ini bisa

kulewati dengan selamat.... Selama bersamanya, berulang kali namamu kusebut di dalam hati

dan "

"Aduh, Mas Ary... kau sungguh keterlaluan.

" kupenggal perkataan Mas Arya yang

masih mengambang di udara itu. Mendengar kata-katanya, napasku seperti tersangkut-sangkut

rasanya. Menurutku, tidak sepantasnya dia menceritakan mengenai malam pengantinnya kepada

seseorang. Apalagi kepadaku.

"Jangan kaulanjutkan ceritamu itu."

"Tetapi aku ingin kau tahu itu, Aster. Sebab

ketahuilah, hanya karena membayangkan betapa cantik dan menawannya dirimu dengan gaun

birumu tadi, aku mampu menunaikan tugasku sebagai suami yang hangat "

"Cukup, Mas Ary!" Lagi-lagi aku memotong

118

perkataan yang tak pantas diucapkan oleh laki-laki yang baru saja menikah itu.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak semestinya

kau bicara begitu kepadaku. Sejarah hubungan

di antara kita berdua telah tamat. Dan mulai hari

ini, tamatnya kisah itu benar-benar sudah mutlak.

Maka apa pun yang kawalami dan apa pun perasaan yang mengganggumu, itu adalah urusanmu

sendiri. Artinya, kau sendirilah yang seharusnya

berusaha mengatasi dan menyelesaikannya. Jangan pernah lagi membicarakan hal-hal yang paling pribadi, terutama yang terjadi di balik pintu

kamar tidurmu, denganku. Kau sudah memiliki

kehidupanmu sendiri, kehidupan yang telah kaupilih sendiri pula. Dan itu sama sekali tidak ada

kaitannya dengan diriku. Sekarang ini aku ini

cuma orang luar bagimu. Jadi Mas, selamat rnenempuh hidup baru dan selamat pagi!"

Setelah aku bicara panjang lebar dengan cepat

dan nyaris tanpa bernapas agar tidak ada kesempatan buat Mas Arya untuk memotong, lekas-lekas gagang telepon kuletakkan kembali ke ternpatnya. Belum pernah aku bersikap setegas itu

kepadanya. Pengalaman telah mengajariku untuk

tidak memberi peluang buat Mas Arya ataupun

bagi Iaki-Iaki lain untuk memanfaatkan kelemahan hatiku.

Tetapi sebagai akibat dari sikap tegas itu,

seluruh tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung jemari kakiku, gemetar tak terkendali.

Kedua belah kakiku terasa lemas seperti dicabuti tulang-tulangnya. Maka sambil memeluk tu

119

buhku sendiri dan dengan langkah kaki terhuyung-huyung, aku menghambur ke atas sofa.

Tangis yang sejak tadi hanya mengganjal dan

menyesakkan dadaku itu kuturnpahkan di sana.

Sungguh, tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa Mas Arya bisa sesempit itu wawasannya. Bahkan terkesan, dia hanya melihat

permasalahan yang dihadapinya itu dari sudut

pandangnya sendiri. Bisa-bisanya dia mengira

aku akan senang mendengar pengakuannya tadi.

120

Lima

"ASTER..." Seseorang yang tiba-tiba berada

di dekatku, menyebut namaku. Itu suara Mas

Bondan.

Suaranya terdengar amat lembut, menembus

telinga dan hatiku. Mendengar suara itu, aku

mencoba menahan isak tangisku. Tetapi sulit

sekali. Meskipun agak berkurang, isak tangisku

masih saja tetap keluar dari sela-sela bantalan

kursi yang kutelungkupi.

"Aster... kenapa menangis...?" Suara Mas

Bondan yang tadi terdengar dari ujung sofa, kini

lebih mendekat. Nyaris berada di atas kepalaku

yang masih tertelungkup di atas bantalan kursi.

Seperti tadi, karena mendengar suara Mas Bondan yang mengandung kekhawatiran, aku mencoba lagi menghentikan tangisku. Tetapi juga

seperti tadi, usahaku itu sia-sia saja.

"Baiklah, Aster, kalau memang menangis itu

perlu bagimu, keluarkanlah sepuas hatimu. Tetapi jangan di sini, ya? Nanti kedua orangtuamu

terbangun," Mas Bondan berkata lagi, setengah

berbisik.

"Jadi ayolah kuantar kau masuk ke

kamarmu."

Mendengar kedua orangtuaku disebut-sebut,

121

tangisku berhasil kuhentikan meskipun dengan

susah-payah. Aku tidak ingin mereka mengetahui kesusahanku. Sudah cukup banyak persoalan

yang harus mereka selesaikan. Aku tidak ingin

menambahi pikiran mereka dengan urusanku.

"Ayolah, Aster, masuk ke kamarmu. Berdoalah atau dengarkan musik, atau apa sajalah yang

sekiranya dapat menenangkan dirimu!" Untuk

ke sekian kalinya Mas Bondan berkata lagi. Kini

lebih sebagai bujukan.

"Lalu cobalah untuk tidur.

Masih ada waktu beberapa jam untuk beristirahat. Atau, kau mau membolos? Kalau ya, nanti

kubantu kau mengabari ke kantormu bahwa hari

ini kau agak kurang sehat. Bagaimana?"

"Tak usah " sahutku pelan. Satu-dua isakanku masih terdengar.

"Bolehkah aku membantumu, Aster?"

Aku tidak segera menjawab. Kepalaku yang

tertelungkup di ujung sofa itu kuangkat, lalu kusandarkan ke belakang setelah rambut yang rnenutupi wajahku kusibak ke samping.

"Membantu apa...?" tanyaku dengan suara

serak. Kuhapus pipiku yang basah dengan sehelai

tisu yang dieabutkan Mas Bondan dari meja di

dekat kami.

"Menjadi tempat tumpahan dukamu," sahut

Mas Bondan dengan suara tulus.

Aku menarik napas panjang. Dengan mataku yang masih berair, kupandang wajah tulus di

dekatku itu.

"Setelah kutumpahkan tangisku tadi, duka itu

122

tak lagi terlalu mengimpitku kok, Mas...." sahutku kemudian.

"Terima kasih... atas segala perhatianmu."

"Siapa yang baru meneleponmu tadi...?" Pertanyaan Mas Bondan kali itu menunjukkan bukti

padaku bahwa entah sedikit entah banyak, ia tahu

tangisku tadi ada kaitannya dengan si penelepon.

Berarti, ia mendengar deringnya meskipun cuma

sekali berbunyi. Aku tadi langsung melompat

ke meja telepon sebelum dering berikutnya berbunyi. Dan sedikit atau banyak, ia pasti mendengar suaraku. Percakapan melalui telepon tadi

cukup lama.

"Mas Ary!" Karena tahu aku tak bisa membohonginya, terpaksa kukatakan hal yang sebenarnya.

"Untuk apa dia meneleponmu?" Suara Mas

Bondan kali itu bernada marah.

"Masih belum

cukupkah kesusahan yang ditimpakannya kepadamu? Tidak punya perasaankah dia bahwa malam

ini adalah malam yang amat berat bagimu?"

"Dia dia menceritakan tentang malam pengantinnya, Mas " Suaraku mulai bergelombang

lagi.

"Katanya, kalau saja dia tidak membayangkan sedang memelukku, akan sulit baginya untuk... untuk... memenuhi kewajibannya sebagai

seorang suami di di malam pertamanya ini."

"Dan kau jadi sedih karena omongan tak bermutu itu?" Nada suara Mas Bondan semakin

meninggi. Ia tampak marah sekali.

"Ya. Tetapi kesedihan itu lebih disebabkan ka

123

rena kesadaranku tentang siapa sebenarnya lelaki

itu. Aku menyesal sekali karena pernah j atuh cinta setengah mati kepadanya. Sebab, terus terang

saja, dia mulai membuatku merasa muak. Muak

pada dirinya dan bahkan juga muak pada diriku

sendiri ." kujawab pertanyaan Mas Bondan itu

dengan separuh kebenaran. Yang separuhnya

lagi, cuma dalih. Sebab yang membuatku muak

pada diriku sendiri adalah kebodohanku, keteledoranku, yang mengakibatkan gaun biruku ternoda darah keperawananku yang kini telah hilang.

"Kenapa...?" suara Mas Bondan mulai melunak.

"Tega-teganya dia berkata seperti itu kepadaku. Padahal Mas, aku belum tidur barang sekejap

pun karena menyadari kehilangan yang sudah

mutlak menjadi kenyataan ini. Bahwa kini di

antara diriku dengan dia benar-benar sudah tak

ada kaitannya sama sekali, kecuali hanya sebagai

teman..." Ini pun separuh benar dan separuhnya

lagi cuma dalih. Sebab yang lebih kupikirkan tadi

adalah malam pengantinnya bersama perempuan

lain. Malam pengantin yang dulu pernah menjadi

cita-cita kami berdua. Dan bahwa dalam kehidupan ini ternyata di antara cita-cita dan kenyataan

sering kali seperti bumi dan langit. Jauh sekali

bedanya.

"Aku tahu malam ini kau tidak bisa tidur...."

Mas Bondan menyela bicaraku.

"Kau tahu?" Mataku yang masih juga belum

kering itu melebar menatap matanya yang sedang

124

memandangku.

"Tentu saja aku tahu. Sejak pulang dari pesta pernikahannya tadi, aku tahu hatimu sangat

kacau. Lalu sebelum telepon berdering tadi, aku

mendengar pintu kamarmu kau buka, lalu terdengar olehku suara-suara dari arah dapur. Pikirku,

kalau tidak sedang membuat teh panas tentu kau

sedang membuat susu hangat, berharap supaya

minuman itu bisa mengantarmu tidur. Dari dalam

kamarku, diam-diam aku berharap agar usahamu

itu berhasil. Tetapi sayangnya, telepon sialan itu

tiba-tiba berdering..."

Aku mencoba menguakkan senyum terima

kasih kepada Mas Bondan yang nyata-nyata begitu berpihak kepadaku. Bahkan tampaknya tanpa kompromi apa pun pula. Tak bisa kupungkiri,

hatiku menjadi hangat karenanya.

"Bukankah kau pernah mengajariku untuk

mencari hikmah atau segi positif di antara yang

pahit-pahit dan menyusahkan?" kataku kemudian. Perkataanku yang ini juga masih dalam ukuran separuh. Separuh benar dan separuhnya lagi

bukan.

"Makanya Mas, setelah tangisku kukuras tadi, hatiku menjadi lebih ringan. Seolah,

air mata telah membasuh luka-luka hatiku agar

segera bertaut kembali."

"Tetapi melihatmu menangis seperti tadi, hatiku benar-benar sangat prihatin, Aster. Kusangka

patah hatimu kambuh lebih parah lagi!"

"Tidak kok, Mas. Aku tadi menangis untuk

melepaskan seluruh sisa-sisa tangis yang masih

125

ada di dadaku. Biar habis sama sekali!"

"Syukurlah kalau memang begitu. Mudah-mudahan kau berhasil."

Kuanggukkan kepalaku. Kemudian kucoba

lagi untuk tersenyum kepadanya.

"Hari sudah menjelang dini hari lho, Mas.

Tidurlah kembali!" kataku dengan penuh rasa

syukur atas ketulusan hatinya.

"Sekali lagi terima

kasih atas perhatianmu."

Mas Bondan membalas senyumku, rnenepuk-nepuk lembut kedua belah telapak tanganku yang saling bertaut di pangkuanku, kemudian

berdiri.

"Kau juga tidurlah, Aster," katanya kemudian.

"Masuklah kau ke kamarmu dulu, Mas!" sahutku.

"Sebentar lagi akujuga akan tidur kok."

"Tetapi jangan lama-lama duduk dalam gelap,

Aster. Selain banyak nyamuknya, juga akan

membuat hatimu ikut menjadi gelap."

"Aku tidak apa-apa, Mas. Jangan khawatir.

Lagi pula aku tidak akan bunuh diri kok."

Mas Bondan tersenyum penuh pengertian

mendengar canda yang kulontarkan dengan rasa

pahit itu. Kemudian dia menghilang di balik pintu kamarnya.

Kukatakan kepada Mas Bondan tadi bahwa

aku tidak apa-apa dan jangan khawatir. Tetapi ah,

bicara memang mudah. Lidah yang tak bertulang

ini bisa bersilat, bisa berputar-balik, bisa menari,

bisa berkata semanis gula. Tetapi kenyataannya,

apa yang terjadi? Dan aku bisa saja mengatakan

126
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa tangisku sudah tumpah ruah, terkuras

semua sehingga kepenuhan dadaku hilang. Tetapi

apakah memang demikian yang terjadi?

Kalau ditanya orang apa persisnya yang

menyebabkan aku sampai menangis terisak-isak

tadi, terus terang saja aku sendiri pun tak bisa

menjawabnya. Di dadaku, seluruh perasaan tak

enak berdesakan dan menggumpal menjadi satu.

Sakit hati, rasa terbuang rasa terhina, rasa muak,

rasa kehilangan, rasa cemas menghadapi masa

depan, dan perasaan-perasaan lainnya, datang silih berganti menerpa diriku. Terutama rasa terhina yang berulang kali meneubiti hatiku.

Ya, rasa terhina. Sebab baru sekarang setelah

mataku terbuka lebar begini aku mampu rnernandang segala sesuatunya dengan lebih jelas

dan lebih menyeluruh. Mas Arya tadi mengatakan bahwa ia begitu mencintaiku sehingga memesrai istri yang baru dinikahinya saja pun harus membayangkan diriku lebih dulu. Sungguh,

bukannya aku menjadi senang karenanya. Tetapi

justru merasa muak mendengarnya. Sebab di balik kenyataan seperti itu, sesungguhnya ia telah

menghinaku habis-habisan tanpa ia menyadarinya. Kasarnya, aku ini objek perangsang nafsunya.

Sekarang sepeninggal Mas Bondan yang telah

masuk ke dalam kamarnya, aku termenung sendirian. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri. Dengan rasa terhina tadi, benarkah gumpalan

berbagai perasaan yang menyatu itu sudah lepas

terurai semua tanpa tersisa sedikit pun? Tentu

127

saja tidak semudah dan sesederhana itu. Terutama

karena rasa terhina itu masih saja timbul-tenggelam di dalam batinku. Bahkan semakin terpikir

olehku dan semakin mata hatiku terbuka lebar,

semakin pula kulihat dimensi kenyataan yang

terpampang di hadapanku. Kenyataan bahwa

Mas Arya mengambil keputusan untuk menikah

dengan gadis lain padahal ia hanya mencintaiku, itu artinya ia mengalami dualisme perasaan.

Baginya, cinta tidak sejalan dengan rasa hormat

atau rasa penghargaan. Ia tidak meletakkan gadis

yang dicintainya pada tempat yang semestinya.

Dengan kata lain, aku hanyalah perempuan yang

dicintainya, tetapi bukan perempuan yang dianggapnya pantas untuk di jadikan istri maupun rnenjadi ibu dari anak-anaknya.

Barangkali saja secara sadar, Mas Arya sendiri akan menolak mati-matian kalau penemuan

hatiku itu kukatakan kepadanya. Sebab secara sadar dia pasti tidak menyukai pandangan sekerdil

itu. Tetapi secara tak sadar, entah karena represi

mekanisme jiwanya atau entah karena apa pun,

sesungguhnya memang seperti itulah kenyataannya. Sebab kalau tidak, tak mungkin dia meninggalkan diriku. Apalagi dia tahu, tak mungkin orangtuanya akan mengambil suatu tindakan yang

kejam andaikata ia tetap melanjutkan hubungan

denganku. Sebab, selain kawin paksa sudah bukan zamannya lagi, Mas Arya juga bukan anak

kecil yang belum tahu memilih mana yang benar

dan mana yang salah. Ia seorang lelaki dewasa,

128

lelaki yang berhak dan mampu menentukan dirinya sendiri tanpa campur tangan dari siapa pun.

Aku menarik napas panjang, memejamkan

mataku beberapa saat lamanya, kemudian melalui mulutku kuembuskan udara dengan cepat

dan kuat. Seolah dengan perbuatan itu aku ingin

memuntahkan perasaan yang tadi menekan dadaku. Sekarang, aku harus bisa memulai kehidupanku yang baru, yang mengarah ke masa depan

tanpa harus mengingatingat semua hal yang berkaitan dengan Mas Arya.

Sambil mencoba tersenyum pada diriku

sendiri demi meraih semangat, aku bangkit dari

sofa. Kubawa tubuhku yang masih terasa letih itu

masuk ke dalam kamarku kembali. Lalu bisikku

di dalam hati, selamat tinggal masa laluku. Selamat tinggal Mas Arya. Dan selamat datang masa

depan.

Dengan pemikiran baru yang mulai berhasil

kuraih meskipun itu baru merupakan kerlip kecil, kubaringkan tubuhku ke atas tempat tidur.

Namun ketika pandang mataku menatap ke arah

lantai tempat gaun biruku teronggok setelah kulepas tadi, titik nyala semangat yang baru muncul

itu padam kembali dengan tiba-tiba.

Sesungguhnya, betapa besar pun keinginanku

untuk meninggalkan masa lalu, namun gaun sutra

berwarna biru yang teronggok di lantai itu tak

mungkin pernah bisa kulupakan. Gaun itu telah

menjadi saksi bisu dari suatu perbuatan yang

akan selalu kusesali di sepanjang sejarah kehidu

129

panku. Hanya satu kali aku terpeleset tetapi luka

yang diakibatkannya tak akan pernah tersembuhkan. Terlebih setelah kusadari bahwa laki-laki

yang kubiarkan mengambil keperawananku itu

adalah laki-laki yang tidak seistimewa sangkaanku semula. Baru sekarang kumengerti betul apa

makna peribahasa yang berbunyi "sesal kemudian tak berguna" dan "nasi telah menjadi bubur".

Biarpun aku menangis sampai air mata darah

keluar dari mataku, apa yang telah hilang itu tak

mungkin kembali.

Meskipun aku sudah minum segelas susu

hangat, tetapi karena kepalaku terus menghadirkan rekaman masa lalu, maka tetap saja aku

dalam keadaan seperti semula, tak bisa tidur.

Lama sesudah berguling ke kiri dan ke kanan,

terlentang dan tertelungkup, baru kemudian aku

bisa tertidur. Itu pun karena Hsik dan mentalku

terlalu letih. Tetapi sayangnya, belum lama aku

memasuki alam impian, kudengar pintu kamarku

diketuk orang.

"Non," itu suara Bik Popon, pembantu rumah

tangga orangtuaku. Dia tidak tahu pintunya lupa

kukunci.

"Bangun, Non. Sudah siang lho. Nanti

terlambat masuk kantor."

Dengan perasaan enggan kubuka mataku. Bik

Popon pasti tak akan pernah melupakan kejadian

beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku kesiangan

bangun. Dan tak seorang pun membangunkanku. Akibatnya, aku hanya sempat mandi asalasalan. Bahkan untuk minum secangkir teh saja

130

pun waktunya tak ada. Setelah kejadian itu, Bik

Popon selalu mengetuk pintu kamarku kalau aku

belum juga keluar pada waktunya.

"Non Aster tidak masuk hari ini, Bik!" Aku

mendengar suara Mas Bondan menyela kata-kata

Bik Popon.

"Dia merasa kurang sehat..."

"Oh, ya sudah kalau begitu, Pak Bondan.

Ah, kasihan anak itu..." Suara Bik Popon yang

semakin jauh menunjukkan padaku bahwa perempuan itu sedang berjalan ke belakang kembali.

Jam-jam begini, dia sibuk menyiapkan sarapan.

Kasihan, anak itu. Begitu ucapan Bik Popon

yang usianya sepantar dengan umur Ibu. Sering

kali dia memperlakukan diriku seperti anak kecil.

Aku yakin, ia tahu bahwa tadi malam aku pergi

ke resepsi pernikahan Mas Arya. Ketika aku baru

saja putus hubungan dengan lelaki itu, dialah

yang pertama-tama mengetahuinya. Sebab ketika

aku pulang dengan berurai air mata setelah pertemuan terakhirku dengan Mas Arya, dialah yang

membukakan pintu untukku.

Tetapi meskipun demikian, aku tidak ingin dikasihani olehnya ataupun oleh yang lain.

Mas Bondan juga tidak boleh seenaknya sendiri

memutuskan bahwa aku tak perlu masuk kantor

hanya karena kurang tidur. Jadi meskipun kepalaku terasa berat, kupaksa tubuhku untuk bangkit

dari tempat tidur. Aku bukan perempuan lemah.

Rasanya aku masih cukup kuat untuk pergi ke

kantor dan bekerja seharian meskipun tadi hanya

tidur selama dua atau tiga jam. Tetapi keinginan

131

ku masuk kantor itu luruh seketika. Waktu meraih sisir untuk mengikat rambut, tanpa sengaja

aku menatap wajahku yang terpantul dari cermin.

Wajahku pagi itu tampak menakutkan. Pucat, mata sembap habis menangis dan bayangan

hitam yang samar melingkari bagian bawah mataku. Kepalaku juga terasa semakin berat, berdenyut-denyut. Sungguh, menyebalkan sekali.

Mana mungkin aku bisa bekerja dalam keadaan

seperti itu.

Kulempar sisirku ke meja rias kembali. Aku

tidak peduli walaupun ulahku itu telah menyebabkan jatuhnya botol body lotion-ku dan menimbulkan suara.

"Aster kau kenapa?" Suara Mas Bondan

terdengar di depan pintu kamarku, menggantikan

suara Bik Popon.

"Botol body lolion-ku jatuh...." jawabku enggan.

"Kau tidak pergi ke kantor, kan?"

"Tidak. Kepalaku sakit...."

"Kalau begitu, tidurlah. Obat sakit kepalamu

itu cuma tidur kok." Mas Bondan berkata lagi.

"Nanti aku yang akan menelepon kantormu."

"Terima kasih...."

"Kalau setelah bangun nanti kepalamu masih

sakit, aku punya obat sakit kepala yang aman.

Kuletakkan di sebelah gelas minummu, ya?"

"Ya...." sahutku.

"Terima kasih."

Beberapa saat kemudian setelah kudengar

mobilnya pergi, aku masih juga belum bisa tidur.

132

Tetapi ketika dua kali dengan diam-diam ibuku

mengintipku melalui celah pintu yang ia buka

pelan-pelan, aku pura-pura tidur sehingga ia menutup kembali pintunya dengan hati-hati. Aku

tahu, sebentar lagi beliau akan pergi.

lni hari Kamis. Biasanya, Ibu akan

menumpang mobil Bapak untuk pergi ke tempat

senam. Biasanya pula, setelah itu bersama teman

senamnya yang membawa mobil, ia akan pergi

ke salon untuk cream bath. Lalu bersama teman

itu juga, 1er akan pergi berbelanja mingguan.

ltu acara rutinnya setiap hari Kamis yang sudah

menjadi kebiasaannya sejak bertahun-tahun yang

lalu.

Dengan demikian, rumah ini akan kosong.

Hanya ada aku dan Bik Popon. Dugaanku itu

tidak salah. Tak berapa lama kemudian aku tidak

mendengar suara apa pun lagi. Rumah terasa sepi.

Dan karena aku belum juga bisa tidur, kupaksakan diriku keluar dari kamar meskipun kepalaku terasa berat. Dari atas meja makan, kucomot

sebuah kentang rebus sisa sarapan Bapak yang

disarankan mengurangi makan nasi oleh dokter.

Kentang itu cuma untuk alas perutku sebelum

minum obat. Sebab seperti yang dikatakannya,

Mas Bondan telah meletakkan obat di sebelah

gelas minumku. Dalam kondisiku saat ini, aku

memang membutuhkan obat sakit kepala.

Setelah minum obat, aku kembali ke kamar

tidurku. Kubuka jendelanya lebar-lebar dan kubiarkan angin pagi menyerbu masuk dari arah

133

taman mini di samping rumah. Di tanah kesayangannya itu, Ibu menanam berbagai macam tanaman hias yang berbunga maupun yang berdaun

indah. Yang beraroma harum maupun yang hanya tampak cantik. Dari taman itu, tercium olehku

bau bunga melati.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah karena pengaruh obat, atau entah karena udara segar yang mengganti udara di dalam

kamarku, beberapa saat setelah itu aku bisa tertidur kembali. Dengan nyenyak pula. Jam sepuluh

lewat baru aku terbangun. Dan syukurlah, kepalaku tidak begitu terasa sakit lagi.

Merasa lega atas kemajuan itu, lekas-Iekas

aku masuk ke kamar mandi. Lalu sesudah itu

kucoba pula untuk mengisi perut. Setidaknya,

setangkup roti isi keju berhasil pindah ke dalam

perutku. Baru kemudian aku masuk kembali ke

dalam kamar. Aku ingin membereskan kamarku

yang berantakan. Pikirku, dengan menyibukkan

diri aku tidak akan terlalu tenggelam lagi di dalam persoalan yang tak menyenangkan itu.

Ketika lagi-lagi aku melihat gaun berwarna biru itu, kukedikkan kepala kuat-kuat untuk

mengusir pelbagai kenangan yang diakibatkannya. Aku tidak mau lagi memikirkan gaun biruku.

Tanpa kumasukkan ke dalam cucian lebih dulu,

gaun sutra itu kulipat dan kumasukkan ke dalam

lemari kembali setelah membungkusnya dengan

kertas sampul. Mudah-mudahan saja setelah ini

aku tidak akan lagi mengingat-ingat apa pun tentang gaun itu atau apa pun yang berkaitan dengan

134

si pemberinya.

Tetap saja ternyata, apa pun yang dinamakan

noda, sering kali sulit dihapus begitu saja. Begitu pun noda yang kubuat bersama Mas Arya.

Meskipun aku ingin mengelupasnya dari kenanganku, noda itu selalu saja muncul dan muncul

lagi dalam ingatanku. Dan itulah yang kualami

ketika aku duduk di muka piano sesudah selesai

membereskan kaluar. Tetapi bagaimana tidak?

Begitu aku duduk di muka piano, begitu pula

pandang mataku tertumbuk pada kertas-kertas

milik Mas Bondan yang tertumpuk di atas piano.

Di bagian atas lembaran kertas-kertas itu, aku

melihat teks lagu Gaun Biru yang diciptakannya

beberapa minggu lalu. Lagu yang diilhami puisiku.

Terus terang saja, aku belum pernah memainkannya meskipun sudah berulang kali mendengar lagu itu dimainkan oleh Mas Bondan. Harus

kuakui, lagu itu indah dan aku ingin mempelajarinya. Tetapi keinginan saja tanpa kekuatan

mental untuk menghadapi kembali trauma psikis

yang pernah kurasakan, mana mungkin, bukan?

Jadi sampai hari ini belum sekali pun aku berani

mencoba untuk mempelajari dan memainkannya

dengan piano. Bahkan menyentuh teksnya pun,

aku tidak berani.

Tetapi sekarang dalam kesendirianku dan

didorong keinginan untuk bermain piano, teks

lagu Gaun Biru itu kutimang-timang beberapa

saat lamanya. Kucoba untuk melepaskan peras

135

aan dari kepahitan masa laluku. Dan kucoba pula

untuk tidak menyesapi kata demi kata apa yang

pernah kucurahkan pada saat proses kelahirannya. Lalu kubuat diriku berada di luar itu semua.

Sebagai gantinya, aku mencoba untuk hanya

meresapi lagunya, iramanya, dan permainan nada-nadanya. Dan syukurlah, dalam kesendirianku ini aku berhasil mengakrabi lagu ciptaan Mas

Bondan itu.

Maka mulailah aku mempelajari lagu itu dengan permainan tanganku. Semakin kuulangi, semakin tanganku menjadi lancar. Dan akhirnya tak

sampai sejam lamanya, aku sudah bisa memainkan lagu itu dengan sempurna tanpa melakukan

kesalahan.

Merasa senang karena mampu mempelajari

lagu indah itu, tanpa sadar aku mulai menyanyikan lagu Gaun Biru dengan sepenuh hatiku.

"Ketika sebait lagu indah mengumandang di

selumh penjuru rumah dan mengangkat kalbuku ke langit berawan kenangan...." begitu kudendangkan lagu itu dengan iringan piano sebisa-bisaku, hingga lagunya selesai.

Suara tepuk tangan di belakangku menghentikan suasana yang menurutku amat menakjubkan.

Sebab tak pernah kubayangkan, aku akan sanggup memainkan dan bahkan menyanyikan lagu

itu sekaligus.

"Luar biasa," terdengar suara Mas Bondan

sesudah tepuk tangannya berhenti.

"Luar biasa,

Aster. Aku benar-benar tidak menyangka, suara

136

mu sebagus itu. Kita bergaul sekian lamanya tetapi baru hari ini aku mengetahui bahwa suaramu

ternyata bagus. Suara soprano yang bening dan

indah..."

"Aduh, Mas!" Aku memotong pujiannya dengan kemalu-maluan.

"Jangan berlebihan memujiku. Kalau Ibu mendengar pujianmu, pasti beliau

akan tertawa. Sebab dibandingkan suaranya, suaraku seperti suara burung gagak sedang marah!"

"Hm, begitukah menurutmu?" Mas Bondan

menatapku dengan tatapan serius.

"Apakah Tante

Pur pernah mendengarmu menyanyi?"

"Sering."

"Di mana dan kapan?"

"Yah, waktu aku masih kecil, waktu aku menyanyi di kamar mandi dan semacamnya!"

"Pernahkah dia mendengarmu ketika kau

menyanyi secara serius?"

"Belum. Untuk apa aku harus menyanyi secara serius!" Aku tertawa mendengar pertanyaannya yang bertubi-tubi itu.

"Aku toh bukan penyanyi. Lagi pula, aku malu."

"Malu? Kenapa?"

"Malu karena suara Ibu bagus sekali!"

"Aster, tahukah kau bahwa suaramu juga bagus sekali?"

Aku tertawa lagi mendengar pujian Mas Bondan.

"Jangan mengada-ada, Mas!" kataku kemudian.

"Kalau perkataanmu didengar orang, kita

berdua bisa menjadi bahan tertawaan lho!"

137

Mas Bondan menatapku lagi dengan pandangan serius.

"Aku tidak mengada-ada, Aster. Suaramu

benar bagus!" katanya dengan suara yang sama

seriusnya dengan pandangan matanya.

"Aku

akan membuktikannya. Tetapi sebelum itu, izinkan aku mengatakan bahwa siang ini aku merasa

amat lega melihatmu sudah pulih kembali. Kau

sudah bisa membantah perkataan orang, sudah

bisa tertawa pula."

"Kan kemarin sudah kukatakan, air mata telah

membasuh Iuka-Iukaku, Mas!" sahutku.

"Tidak semudah itu, Aster. Aku tahu lho!"

Mas Bondan menggelengkan kepalanya.

"Tadi

pagi waktu kau bilang sakit kepala, aku merasa cemas. Janganjangan penyakit patah hatimu

kambuh lagi dengan lebih berat. Dan itulah alasanku mengapa hari ini aku cepat pulang ke rumah begitu selesai memberi kuliah."

"Kau terlalu memanjakanku, Mas."

"Habis siapa lagi yang akan kumanjakan, Aster? Kau tahu sendiri kan, aku tidak mempunyai

adik. Tak enak lho menjadi anak bungsu."

"Apa bukan sebaliknya? Anak bungsu kan

biasanya menjadi tumpahan kasih sayang keluarga!" kataku.

"Tidak selalu demikian walaupun aku meman g

mengalami hal itu. Tetapi setelah aku sadar bahwa keadaan seperti itu bisa menghalangi kemandirianku karena sering dibantu dan dilayani,

aku memisahkan diri dari keluarga untuk men

138

coba hidup mandiri." Mas Bondan tersenyum.

"Tetapi sudahlah, aku tadi kan ingin membuktikan padamu bahwa suaramu benar bagus!"

"Dengan cara apa, Mas?"

"Tunggu sebentar!" sambil berkata seperti

itu, Mas Bondan melepas sepatunya. Kemudian

masuk ke kamarnya. Ketika beberapa saat kemudian dia keluar, kemejanya sudah berganti dengan kaus oblong dengan gambar-gambar buatan

anak-anak muda kreatif dari Yogya yang terkenal. Sementara itu, tangannya menjinjing tape

recorder miliknya.

Aku tersenyum sendiri. Rupanya lelaki itu

mau merekam suaraku!

"Ada-ada saja kau, Mas!" gumamku.

"Sudahlah, jangan banyak komentar. Menurut

sajalah!" sahutnya sambil menempatkan tape recorder di ujung piano dan menyerahkan mikrofon kepadaku. Kemudian dia menyuruhku berdiri

dari bangku piano yang sejak tadi kududuki.

Seperti yang ia minta, aku menuruti saja apa

kehendaknya itu.

"Aku yang akan memainkan piano, kau yang

akan menyanyi!" kata Mas Bondan lagi.

"Ayo,

langsung saja, ya!"

Sesudah menyalakan tombol rekaman, mulailah ia memainkan intro lagunya kemudian

memberiku isyarat untuk mulai menyanyi. Demi

memenuhi keinginannya dan sebagai ungkapan

rasa terima kasihku atas segala perhatiannya kepadaku selama ini, aku pun mulai menyanyi. Mu

139

la-mula memang dengan agak malu-malu tetapi

karena lagu itu begitu menawan ketika dimainkan olehnya, aku tak tahan lagi untuk tidak menyanyi dengan sepenuh hatiku sampai selesai.

"Ayo kita dengar rekamannya, Aster," ajak

Mas Bondan setelah mematikan tape recorder,

kemudian menyalakan hasil rekamannya.

Kujawab ajakannya dengan duduk di kursi panjang yang terletak di belakangnya. Terus

terang saja aku kaget ketika mendengar hasil

rekaman itu. Rasanya seperti mendengar suara

penyanyi sungguhan. Tetapi akhirnya aku merasa

malu karena mengagumi suaraku sendiri.

"Bagaimana?" tanya Mas Bondan setelah

lagu itu selesai.

"Permainan pianomu bagus sekali, Mas!" sahutku mengelak.

"Kau itu!" Mas Bondan tertawa.

"Yang kutanya, suaramu!"

"Oh, itu. Yah, lumayanlah berkat alat perekamnya yang bagus!"

Mas Bondan tertawa lagi. Tetapi sesudah itu

ia pindah duduk di sampingku dengan air muka

serius.

"Aster, maukah kau menyanyi bersamaku?"

tanyanya kemudian.

"Untuk apa?"

"Untuk memenuhi permintaan orang yang

membutuhkan pemusik dan penyanyi untuk hotelnya. Hotel berbintang empat, Aster."

"Dibayar?"

140

"Tentu saja."

"Kalau begitu, aku tak mau!" sahutku tegas.

"Pertama, karena aku bukan seorang penyanyi.

Aku masih belum bosan bekerja di belakang

meja kantor. Kedua, aku tak mau menjadi tontonan orang. Apalagi di hotel!"

Mas Bondan menatapku agak lama.

"Jadi, kau memandang profesi pemusik dan

penyanyi di hotel sebagai pekerjaan yang kurang

terhormat?" tanyanya.

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Wah, kau keliru mengerti!" sahutku cepat-cepat.

"Aku cuma mau mengatakan bahwa

cukup banyak orang yang menganggap hotel itu

bukan hanya melulu tempat persinggahan atau
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat orang dari luar kota yang ingin menginap,

tetapi juga tempat pertemuan orang-orang iseng

dan tempat memadu cinta semusim. Nah, aku tak

mau ditonton oleh orang-orang semacam itu. Sebab rasanya..."

"Aduh, Aster, jangan mengambil kesimpulan umum dan peristiwa partial," Mas Bondan

memotong perkataanku.

"Kalau kau keberatan

menyanyi bersamaku di hotel, ya sudah. Tetapi

jangan menduga yang bukanbukan. Lebih banyak hotel yang mempunyai reputasi baik dan

bersih lho."

Mendengar perkataan Mas Bondan, aku tertegun.

"Aku tidak bermaksud begitu," sahutku cepatcepat.

"Tetapi apakah kau sungguh-sungguh akan

141

menyanyi di sana, Mas? Kau serius?"

"Ya. Aku serius. Apalagi aku sudah terlanjur

mengiyakan. Dan sudah dikontrak selama enam

bulan, pula. Terus terang aku mengiyakan permintaan itu karena aku kenal baik manager hotel itu. Selain itu, honornya juga menarik sekali.

Lagi pula, aku cuma bermain organ sambil menyanyi selama beberapa jam. Dan tidak setiap hari.

Setiap dua malam sekali. Selain menghibur tamu,

akujuga bisa menghibur diriku sendiri. Kau tahu

kan, aku suka bermain musik. Dan organ di hotel itu jenis yang paling lengkap dan keluaran

terakhir pula. Jelas sekali, aku tak mungkin bisa

membelinya. Asli dari Jepang lho. Kudengar,

harganya di atas lima puluh juta rupiah."

"Dari mana mereka mengetahui tentang dirimu, Mas?"

"Ketika mereka mencari ke sekolah-sekolah

musik, kebetulan manager hotel yang kukenal

itu berjumpa denganku. Dia tahu betul aku suka

menyanyi di zaman mahasiswa dulu. Maka begitulah, setelah ia memintaku untuk memamerkan

kebolehanku bermain musik dan menyanyi di

hadapan para pimpinan hotel, tawaran itu disodorkannya kepadaku."

Aku terdiam. Mas Bondan juga tidak berkata

apaapa lagi. Tetapi tak lama kemudian sesudah

menentukan suatu keputusan, aku berkata,

"Mas,

kalau kau memang betul-betul membutuhkan aku

untuk membantumu menyanyi, aku bersedia."

Mas Bondan menatapku dengan cermat, men

142

cari kesungguhan dari kedua belah mataku.

"Aku tidak mau memaksamu, Aster. Dan kau

juga tak boleh memaksa dirimu sendiri untuk

menyenangkan hatiku!" katanya kemudian.

"Tidak ada yang memaksaku. Diriku sendiri

pun tidak. Sebab aku berpikir, kau yang mempunyai wawasan luas saja mau menyanyi di hotel, masak aku merasa malu. Biar saja ditonton

orang. Bersamamu, siapa takut?"

M endengar perkataanku, Mas Bondan tertawa

gembira. Secara spontan, ia memeluk bahuku dan

mencium ubun-ubunku. Posisi seperti itu menyebabkan dadaku menempel ke dadanya dan pipiku

menempel ke lehernya. Tercium olehku aroma

segar dari lehernya itu.

Tiba-tiba saja, tanpa kuduga sama sekali,

hatiku berdesir ketika menyadari kedekatan itu.

Bagiku, ini adalah sesuatu yang teramat aneh dan

mengagetkan diriku sendiri. Bukan saja karena

aku tak mengiranya sama sekali. Tetapi juga karena aku menganggap hal itu tak semestinya terjadi. Bahkan memalukan. Sebab bukankah Mas

Bondan itu kakakku sendiri?

143

Enam

ADA apa dengan diriku? Sungguh, aku tak

mengerti perubahan apa yang sedang terjadi di

relung batinku. Tetapi apa pun itu, aku benarbenar membencinya. Sebab perubahan yang

terjadi ini, menyangkut pandanganku terhadap

Mas Bondan yang tiba-tiba berubah akhir-akhir

ini.

Mula-mula, aku menyangka desir hatiku ketika berada dalam pelukannya itu bukan diakibatkan sesuatu yang serius. Bahkan mungkin saja

itu cuma bersifat fisiologis, sesuatu yang bersifat

manusiawi. Dan meskipun aku marah pada diriku sendiri dan malu karenanya, aku menganggap

itu hanyalah sesuatu yang bersifat kebetulan. Dan

tak akan terulang lagi.

Tetapi ketika kami berdua sudah mulai menyanyi bersama di sebuah hotel berbintang empat

dan mendapat pujian di sana-sini, aku memiliki

semacam keterikatan batin pada Mas Bondan

yang rasa-rasanya tidak lagi bersifat kekeluargaan atau persaudaraan sebagaimana yang terjadi

selama ini. Kehangatan hati yang kurasakan jika

bersamanya, sudah lain sifatnya. Sekarang, ada

semacam gairah yang manyala dalam hatiku set

144

E-Booh by syauqy_arr

iap kali melihat kehadirannya. Bagiku, ini suatu

malapetaka.

Aku bukan anak kecil lagi. Dalam sejarah

kehidupanku sebagai gadis remaja, kemudian

menjadi gadis dewasa, jatuh cinta bukanlah sesuatu yang asing. Sebelum aku berpacaran dengan

Mas Arya, aku pernah dua kali berpacaran. Yang

pertama memang masih berbau cinta remaj a atau

malah boleh dibilang cinta monyet karena ketika

itu terjadi, aku masih duduk di awal SMA. Yang

kedua, sudah bisa dikatakan memang itulah cinta

walaupun yang kami lakukan cuma sebatas nonton dan jalan-jalan bersama. Paling banter, mencuri-curi ciuman di ruang-ruang kuliah yang kosong. Itu pun kami lakukan dengan canggung dan

terburu-buru, karena takut kalau-kalau ada orang

yang melihat kebersamaan kami. Lalu hubungan

cinta itu putus begitu saja ketika akhirnya aku

menyadari bahwa perasaanku kepada pacarku

itu semakin lama semakin tawar. Oleh karena itu

ketika ada gadis lain yang mencoba-coba meraih

perhatiannya, aku ikut mendorong terjadinya

hubungan baru di antara mereka.

Yang ketiga adalah hubungan cintaku dengan

Mas Arya. Baru dengan lelaki itulah kualami percintaan yang sebenarnya. Tiga tahun kami menjalin hubungan yang manis sampai akhirnya ia

menikah dengan gadis lain.

Singkat kata, mengalami getar cinta dalam

hati terhadap seorang pemuda bukanlah hal baru.

Karenanya aku merasa takut setengah mati keti

145

ka kusadari pandangan dan perasaanku terhadap

Mas Bondan yang selama ini hanya bersifat persaudaraan mulai mengalami pergeseran. Sebab

rasa-rasanya, aku mulai menaruh hati kepada

kakak sepupu angkatku. Itulah sebabnya mengapa hal ini kuanggap sebagai suatu malapetaka.

Namun terlepas dari semua itu, perubahan

yang sedang terjadi di dalam hatiku itu benar-benar kuanggap aneh. Bahkan mustahil rasanya.

Sebab menurut pengalamanku yang sudah-sudah, cinta itu datang bersamaan dengan kehadiran orangnya. Artinya, perasaan dekat itu sudah

muncul di awal-awal perkenalan kami. Sepasang

muda-mudi tiba-tiba merasa cocok dan akhirnya

berlanjut ke arah percintaan, apa pun kadar atau

mutu hubungan yang disebut percintaan itu.

Tetapi tidak demikian halnya dengan perasaanku terhadap Mas Bondan. Aku mengenal lelaki itu sudah sejak masih kecil sekali. Bahkan

bagiku, dia adalah kakak lelakiku. Tak masuk di

akal kalau sekarang ini ada yang berubah di hatiku. Dan itulah sebenarnya yang membuat perasaanku tersiksa.

Satu-satunya yang masih bisa mengurangi

perasaan malu dan rasa tertekan itu adalah munculnya pemikiran yang lebih mendalam mengenai perubahan hatiku yang sedang terjadi saat

ini. Pemikiran tersebut mengatakan bahwa perubahan perasaanku terhadap Mas Bondan ini dilandasi kondisiku yang sedang labil. Tatkala aku

ditinggalkan oleh Mas Arya, Mas Bondan-lah

146

yang membantuku untuk tetap tegar dan mengarahkan perhatianku kepada hal-hal lain terutama

pada musik. Ketika aku merasa tercampak, dialah

yang mengembalikan harga diriku yang sempat

terpuruk. Dengan begitu, timbullah kedekatan

khusus dalam hatiku terhadapnya. Bagiku ia bukan sekadar pahlawan hati tetapi lebih dari itu.

Ia telah mendorongku untuk menghargai diriku

sendiri dan menyadarkan diriku sebagai manusia

bermartabat.

ltu pemikiran lainku yang pertama. Analisaku yang kedua adalah terjadinya semacam perpindahan perasaan cintaku dari Mas Arya yang

kini kuanggap tak berharga, kepada Mas Bondan

yang menempati nilai tinggi di dalam batinku.

Ketika menyaksikan perkawinan Mas Arya, aku

sadar bahwa ikatan yang masih tersisa di antara

diriku dengannya telah terenggut putus sama sekali. Dan dalam keadaan limbung tanpa pegangan seperti itu kuraihlah tangan orang yang saat

itu berada paling dekat di hatiku. Dan orang itu

adalah Mas Bondan.

Entah benar entah salah analisisku itu, yang

pasti aku tak lagi merasa ragu ketika diajak Mas

Bondan untuk bernyanyi di bawah tatapan orang

banyak. Sebab yang kurasakan saat aku menyanyi itu, hanyalah kebersamaanku dengan Mas

Bondan dan keserasian yang ada di antara kami

berdua.

Selama ini aku cuma tahu bahwa suaraku

tergolong dalam kategori hanya lumayan. Teta

147

pi bahwa ternyata suaraku bisa terdengar" bagus ketika menyanyi dengan iringan musik dan

keluar melalui mikrofon, aku benar-benar baru

menyadarinya sekarang. Apalagi ketika berulang

kali aku menangkap kata-kata pujian dan tepuk

tangan meriah dari para pengunjung tatkala aku

sedang melantunkan lagu. Lebih-lebih lagi waktu

aku berduet dengan Mas Bondan sementara dia

memainkan organ dengan jemarinya yang lincah

itu. Kami berulang kali menerima aplaus.

Senang rasanya mendapat penghargaan seperti itu. Tetapi bukan karena penghargaan itu sendiri yang membuat hatiku menjadi senang. Melainkan karena kebersamaanku dengan Mas Bondan

telah menyadarkan diriku bahwa kami berdua

merupakan satu persekutuan yang harmonis.

"Tampaknya kau sudah mulai bisa merasakan

senangnya menjadi seorang penyanyi, ya," komentar Mas Bondan di suatu malam setelah kami

berdua baru saja menyanyikan lagi lagu Gaun

Biru ciptaannya. Saat itu kami sedang beristirahat sejenak sambil minum secangkir cokelat susu

hangat. Mata lelaki itu mengandung tawa ketika

menatapku dan menunggujawaban dari mulutku.

"Ya. Aku baru tahu bahwa menjadi penyanyi

di hotel tidaklah sejelek yang kusangka. Bahkan

ternyata bisa menyenangkan," aku tersenyum,

menjawab pertanyaannya.

"Apalagi menyanyi

bersamamu, Mas!"

"Memangnya kenapa kalau menyanyi bersamaku?"

148

"Suaraer yang bagus itu menutupi suaraku yang pas-pasan. Dan permainan organmu

memang sudah sepantasnya diberi acungan jempol. Aku bangga bisa menyanyi bersamamu!"

Mas Bondan tertawa.

"Kau selalu saja memandang orang lain terlalu tinggi. Kapan sih kau bisa menghargai dirimu sendiri?" tegurnya setelah tawanya lenyap.

"Ketahuilah, Aster, rendah hati itu sangat terpuji.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi merendahkan diri sendiri di luar kenyataan

sebenarnya,jangan sekali-kali itu kaulakukan!"

"Bagaimana kalau yang ada padaku itu bukan

keduanya, Mas?"

"Maksudmu?"

"Aku tidak rendah hati juga tidak rendah diri !"

"Lalu...?"

"Yang kumiliki ini adalah pengertian dan kesadaran akan ukuranku sendiri!" Aku tertawa lembut.

"Jadi ya memang cuma segini inilah kemampuanku. Dan aku menerima itu sebagai bagian

dari diriku. Tanpa rasa kecewa. Tanpa iri kepada

mereka yang memiliki lebih. Tanpa rasa rendah

diri."

"Aku mengerti itu, Aster. Tetapi kau telah

melupakan satu hal!"

"Apa itu?"

"Bahwa sering kali, seseorang tidak bisa mengukur dirinya sendiri sehingga keliru mengukurnya. Dengan kata yang lebih jelas, orang lainlah yang dapat mengukurmu secara lebih baik.

Setidaknya dalam hal-hal tertentu. Maka, kalau

149

para pengunjung di tempat ini memuji suaramu,

itu artinya memang suaramu patut dipuji. Oke?"

Mas Bondan tersenyum manis kepadaku.

"Aku

tak mau mendengar bantahanmu lagi, Aster. Nah

sekarang ayolah, sudah saatnya kita memulai

pertunjukan kembali."

Kuanggukkan kepalaku. Kami pun mulai

menyanyi lagi. Hatiku senang, merasa lebih yakin atas kemampuanku menyanyi setelah mendengar kata-kata Mas Bondan tadi. Kuakui, sudah

sejak masa kecilku dulu lelaki itu mempunyai

pengaruh besar terhadap diriku.

Ketika lagu yang baru kunyanyikan berakhir

dan giliran Mas Bondan menyanyi solo dengan

iringan permainan organnya sendiri, aku melihat

Mbak Astri datang bersama kedua orangtuanya.

Ini bukanlah kebiasaan mereka.

Melihat kehadirannya yang tak terduga itu,

perasaanku menjadi kacau dengan tiba-tiba. Sejak Mbak Astri ikut mendampingiku ketika aku

menghadiri resepsi perkawinan Mas Arya, baru

sekarang aku melihatnya kembali. Dan sekaligus

mengingatkan pada diriku bahwa gadis itu adalah kekasih Mas Bondan. Atau dengan perkataan

yang lebih jelas, Mas Bondan sudah ada yang punya. Dia mempunyai seorang kekasih yang tak

lama lagi akan menjadi istrinya. Dan sang kekasih itulah yang sekarang hadir di ruangan ini.

Karena tidak sedang menyanyi, aku menghampiri ketiga orang yang baru datang itu. Kutunggu sampai ketiganya menempati kursi yang

150

ditarikkan oleh seorang r-vcriler.

"Selamat malam, Oom dan Tante," sapaku

kepada mereka.

"Selamat malam, Mbak Astri.

Tumben datang ke sini?"

"Kami baru saja mengunjungi keluarga dekat

yang sudah lama tidak berjumpa, Aster!" ibu

Mbak Astri yang menjawab.

"Kebetulan rumahnya tak jauh dari hotel ini. Jadi kami mampir untuk melihat pertunjukan kalian. Sekalian ingin

mencicipi makan malam di sini."

"Sekali-sekali merasakan kemewahan, tak

apa, kan, Dik Aster!" Mbak Astri menyela sambil

tertawa renyah.

"Apalagi sambil memandang Arjuna-nyal"

sambung ayah Mbak Astri.

Kami berempat tertawa. Tetapi karena tawaku tidak tulus dan bahkan terpaksa kulakukan,

aku merasa malu kepada diriku sendiri. Sebab

alangkah jahatnya aku, berani-beraninya menaruh perasaan khusus kepada lelaki yang sudah

mempunyai seorang kekasih. Apalagi, kekasih

lelaki itu sangat manis dan baik hati. Merasa tak

enak, aku tak ingin berlamalama di dekat Mbak

Astri. Karenanya lekas-lekas kucari alasan yang

paling bisa diterima.

"Maaf, saya tak bisa menemani Oom dan

Tante duduk di sini. Tugas belum selesai dan

saya harus kembali ke depan," dalihku agar dapat

meninggalkan mereka. Lega hatiku ketika meli

hat r-r'uiter tadi sedang menyerahkan kartu menu.

"Maafkan aku, ya, Mbak Astri."

151

"Silakan, Dik Aster."

"Silakan, silakan, Aster." Kedua orangtuanya

menyambung.

Hatiku semakin lega ketika menyaksikan ketiga orang itu mulai mengalihkan perhatian ke

kartu menu yang sedang mereka hadapi. Namun

ketika giliranku menyanyi tiba lagi, perasaan

tertekan tadi muncul kembali. Untuk menyingkirkan perasaan tertekan yang kurasakan itu, kuhayati kata demi kata syairnya dengan sepenuh

hatiku. Dan kusenandungkan lagunya dengan

sepenuh penjiwaanku.

Tak kusangka, selesai menyanyi aku mendapat tepuk tangan yang meriah. Aku sampai tersipu-sipu karenanya. Untuk tidak terlalu kelihatan bagaimana salah tingkahnya aku ketika itu,

aku berbisik ke telinga Mas Bondan.

"Mas, setelah ini temuilah Mbak Astri di mejanya!" kataku mengingatkan lelaki itu.

"Jauhjauh dia datang untuk melihatmu lho."

"Lalu tugasku di sini kutinggalkan?" Mas

Bondan menaikkan kedua alis matanya.

"Ya," kujawab pertanyaannya itu dengan tegas.

"Dan aku yang akan mengambil alih tugasmu!"

"Mengambil alih tugasku bermain organ?"

Mas Bondan menatapku, agak heran.

"Berani?"

"Ya. Siapa takut, Mas?" Memang benarlah

itu. Siapa yang takut? Daripada perasaanku tertekan, lebih baik aku mencari kesibukan untuk

melupakannya, bukan?

152

"Aku senang mendengar kepercayaan dirimu.

Tetapi pilihlah lagu-lagu yang romantis ya, Non.

Lagu-lagu semacam itu akan lebih enak didengar

di tempat ini." Mas Bondan tertawa mendengar

jawabanku tadi.

"Oke?"

"Setuju. Apalagi itu sesuai dengan suasana

hatimu. Siapa sih yang tidak bahagia dikunjungi

kekasih tanpa rencana sebelumnya?"

Mas Bondan tersenyum mendengar godaanku. Tetapi ia tidak menanggapinya. Setelah memberikan bangku organ yang tadi ia duduki kepadaku, dengan langkah lebar-lebar Mas Bondan

mendekati Mbak Astri. Agar tidak memperhatikan pertemuan lelaki itu dengan sang kekasih,

eepat-cepat aku mencurahkan perhatianku kepada benda yang ada di hadapanku.

Bermain organ dan piano bukan hal baru bagiku. Di rumah orangtuaku, kedua alat musik itu

ada. Meskipun bukan jenis yang paling top, tetapi keduanya termasuk yang berkualitas. Ibuku

mempunyai pendapat yang agak unik. Baginya,

lebih baik perabot rumah tangganya termasuk

barang yang biasa-biasa saja asalkan ada piano

dan organ yang bagus di rumahnya. Begitu pun

halnya dengan Bapak. Lebih baik mempunyai

perangkat sound system yang lengkap dan bagus untuk tapedeck dan C D player-nya daripada

membeli barang-barang lain.

Jadi boleh dikata aku sudah terbiasa memainkan kedua jenis alat musik itu. Aku juga mampu memainkan lagu jenis apa pun. Sejak. bayi,

153

telingaku sudah terbiasa mendengar berbagai

macam jenis musik dan lagu. Dari gending-gending gamelan Jawa, Iagu-lagu Melayu, jaz, sampai lagu-lagu klasik. Dan sudah sejak kecil pula,

aku belajar bermain musik meskipun barangkali bakatku tidak sebesar yang dimiliki keluarga

kedua orangtua angkatku. Kekurangan bakat itu

telah ditunjang dengan ketekunan dan kecintaanku terhadap musik, sehingga bolehlah aku berbangga hati mengenai kemampuanku di bidang

musik.

Demikianlah ketika organ berpindah ke tanganku, aku pun mulai memainkan lagu-lagu

manis dengan berbagai macam irama yang kukenal. Seperti bosanova, irama latin, waltz, dan sebagainya. Pada akhir permainan, aku mencoba

memainkan lagu keroncong. Pikirku, biar komplit sekalian.

Mungkin memang aku sedang mujur atau

entah karena para pengunjung hotel itu sedang

senang hatinya, aku mendapat aplaus lagi setelah

kuakhiri permainanku. Lebih meriah daripada

yang diberikan orang-orang itu kepada Mas Bondan. Padahal aku yakin sekali, permainan Mas

Bondan jauh melebihi kemampuanku. Tangan lelaki itu seperti sudah menyatu dengan alat musik

yang dipegangnya. Entah itu organ, piano, ataupun gitar.

"Telinga mereka maaf... seleranya agak rendah, ya ?" bisikku kepada Mas Bondan ketika

lelaki itu sudah duduk kembali ke tempatnya.

154

"Kenapa?"

"Dibanding permainanmu, apa yang kumainkan tadi kan biasa-biasa saja. Tetapi kok tepuk

tangan mereka meriah sekali!"

Mas Bondan tertawa mendengar perkataanku.

"itu karena mereka tidak menyangka bahwa

kau pun pandai bermain organ," katanya kemudian.

"Jadi, mereka mengagumi keserbabisaanmu."

"Gombal!" Aku nyengir.

"Yang serbabisa itu

kau, Mas!"

"Sst, jangan ngomel. Akuilah, kita berdua

yang serbabisa. Bukan hanya aku atau kau saja.

Nah, puas mendengar pengakuan ini?"

Aku tertawa. Kucubit lengannya dengan

perasaan gemas.

"Sombong!" desisku kemudian.

Mas Bondan menjawab perkataanku dengan memainkan lagi lagu Gaun Biru, kemudian

memberi isyarat padaku agar aku melantunkan

syairnya. Aku menganggukkan kepala sambil melirik arloji. Memang sudah saatnya kami

menghentikan permainan kami. Sekarang sudah

jam sepuluh lewat. Tugas kami kalau bukan hari

libur, hanya sampai jam sepuluh. Dan sudah beberapa saat lamanya, Mas Bondan mempunyai

kebiasaan untuk mengawali tugas kami dengan

lagu Gaun Biru dan mengakhirinya dengan lagu

yang sama. Katanya, agar para pengunjung terbiasa mendengar lagu baru itu. Sebab katanya pula,

hanya di tempat inilah lagu itu bisa dinikmati

orang.

155

Dalam perjalanan pulang kali itu, aku lebih

banyak berdiam diri. Perasaan tertekan dan tak

enak tadi masih saja menggangguku. Apalagi

ketika dengan mata kepalaku aku melihat Mas

Bondan mencium pipi MbakAstri waktu mereka

berpisah tadi. Rasanya, sekarang ini aku seperti

kembali sedang memegang tali rapuh. Tali yang

sewaktu-waktu akan putus terenggut, seperti

rapuhnya tali pengikat yang pernah menghubungkan diriku dengan Mas Arya sebelum lelaki itu

menikah.

"Kok sejak. tadi diam saja sih?" tanya Mas

Bondan setelah sekian lama aku tidak juga bersuara.

"Tumben."

"Mengantuk, Mas...." sahutku berdalih.
Gaun Sutra Warna Biru Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hari ini sambutan pengunjung memang

lebih meriah daripada yang sudah-sudah!" kata

Mas Bondan.

"Rupanya kau belum juga terbiasa

menghadapi itu semua. Letih, ya?"

"Ya.

" aku asal menjawab.

"Kalau begitu, tidurlah. Lumayan, perjalanan

kita masih panjang. Setengah jam tidur, bisa mengurangi rasa letihmu itu," Mas Bondan berkata

lagi dengan manisnya.

"Aku akan mengemudi

dengan hati-hati."

"Terima kasih."

Ya Tuhan, mudah-mudahan Mas Bondan

tidak mendengar getar dalam suaraku. Getar yang

mewarnai kepedihan hatiku itujangan sampai ia

dengar. Dia juga tidak boleh tahu bahwa begitu

aku mendengar perhatiannya yang sedemikian

156

manisnya itu hatiku seperti disayat-sayat. Sebab

kehadiran Mbak Astri tadi telah menyadarkan

diriku bahwa kehangatan, kedekatan, perhatian,

dan kemanisan yang kuterima dari Mas Bondan

seperti yang baru saja kurasakan, akan segera berakhir. Setidaknya, tak akan lagi bisa kunikmati

dengan bebas seperti sekarang.

Seolah masih belum cukup kesedihan yang

kurasakan malam ini, telepon berdering ketika

aku baru saja tiba di rumah dan sedang melangkah menuju ke kamar. Karena jarak meja telepon

dengan tempatku berjalan itu cuma sejangkawan

tangan, terpaksalah aku yang mengangkatnya

meskipun aku ingin segera menyendiri di kamar.

"Halo...?" dengan enggan, kusahuti panggilan

itu.

"Aduh, senangnya hatiku!" Itu suara Mas

Arya.

"Ternyata kau sendiri yang mengangkat

teleponku ini."

Ingin sekali aku membanting gagang telepon

begitu mendengar suara yang paling tak kuinginkan itu. Tetapi demi sopan-santun, terpaksalah

keinginan itu kukekang.

"Mas Ary, ya?" tanyaku pura-pura.

"Memangnya suara siapa lagi yang seperti

ini, Aster?" Kudengar tawa lembut yang pernah

memabukkan hatiku itu.

"Apa kabar?"

"Baik," aku menjawab pendek.

"Dari mana kau, Aster? Dua kali aku tadi meneleponmu, tetapi Bik Popon yang menerimanya!" Kudengar suara Mas Arya lagi.

"Katanya,

157

kau pergi dengan Mas Bondan, ya?"

"Ya."

"Ke mana?" Aduh, tak ingatkah Mas Arya

bahwa ia sudah tak sepantasnya lagi bertanya

seperti itu kepadaku.

"Jalan-jalan...." dustaku.

"Tetapi kata Bik Popon kalian berdua bekerja

di hotel. Betul, ya?"

Ah, Bik Poponl

"Oh, itu!" kujawab pertanyaan itu dengan

nada seakan yang sedang kami bicarakan itu bukan sesuatu yang penting.

"Yah, begitulah..."

"Apa yang kalian kerjakan?"

"Yah, membantu-bantu bagian administrasinya," dustaku lagi.

"Malam-malam begini?"

"Habis, sempatnya malam hari kok!"

"Tetapi kata Bik Popon, kalian berdua bermain musik dan menyanyi!" Kudengar nada

tuduhan dalam suara Mas Arya.

"Kurasa, apa

yang dikatakannya itu lebih masuk akal daripada

jawabanmu tadi."

Ah, Bik Popon. Aku mengeluh lagi, menyesali kejujuran Bik Popon.

"Kalau sudah tahu, kenapa bertanya?" aku

mulai memperdengarkan rasajengkel.

"Aku cuma ingin mendengar ceritamu saja

kok, Aster. Jangan tersinggung. Aku kangen sekali kepadamu..."

"Kau tidak boleh bicara seperti itu kepadaku,

Mas Ary!" kataku memotong.

158

"Oke, kalau memang tidak boleh bicara tentang rasa kangenku padamu. Tetapi bagaimana

ya, Aster, sampai detik ini aku masih saja tak

mampu menghilangkan dirimu dari hatiku. Bahkan semakin besar usahaku, semakin kuat pula

kau tertanam di lubuk..."

"Cukup, Mas Ary. Aku tak mau mendengar

katakata yang sudah tak ada relevansinya dengan masa sekarang ini!" aku memotong lagi perkataan Mas Arya. Ah, lama-kelamaan laki-laki

itu menjemukan. Ataukah pendapatku itu karena

adanya perubahan dalam hatiku?

"Baik, baik...." kudengar Mas Arya berkata

cepateepat, takut kalau-kalau aku akan memutuskan pembicaraan.

"Kembali ke soal pekerjaanmu, di hotel mana kau dan Mas Bondan bermain

musik?"

"Wah, hotel apa ya namanya... aku kok lupa!"

untuk ke sekian kalinya aku berdusta lagi.

"Maklum, aku cuma mengekor Mas Bondan kok."

"Bik Popon mengatakan nama hotel itu Hotel Kapistol.

" Mas Arya tertawa. Tawa lembut

yang juga pernah membuatku mabuk kepayang.

"Pasti yang dia maksud, Hotel Capitol yang belum lama diresmikan itu. Benar, kan?"

Ah, Bik Popon. Lagi-lagi dia yang membocorkan rahasia. Tetapi yah, perempuan itu terlalu

polos untuk menyembunyikan apa yang sebaiknya tak usah dibicarakan dengan orang luar.

Bukankah Mas Arya sekarang sudah termasuk

orang luar?

159

"Kalau sudah tahu kenapa bertanya?" sekarang aku mulai memperdengarkan nada marah

dalam suaraku.

Perasaanku sedang tertekan. Mendengar suara

Mas Arya saja sudah semakin menambah beratnya tekanan batinku. Apalagi dengan pembicaraan

yang tak menyenangkan begini. Ingin sekali aku

berteriak keraskeras di telinganya, mengatakan

padanya bahwa aku ingin segera menyendiri di

kamar dan tak ingin diganggu. Apalagi diganggu

olehnya.

"Aster, kedengarannya kau tak suka kutelepon, ya...?"

"Aku sedang letih, Mas. Sejak berangkat ke

kantor pagi tadi, aku belum sempat beristirahat!"

"Oh, maaf kalau begitu," aku mendengar lagi

suara lembut dan manis itu. Suatu kelembutan

dan kemanisan yang juga pernah membuatku tergila-gila kepadanya.

"Lain kali aku akan meneleponmu lagi. Sekarang beristirahatlah, Sayang..."

Kuletakkan gagang telepon kembali dengan perasaan muak. Rasa muak yang juga pernah kurasakan terhadap orang yang sama itu.

"Sayang",

"sayang"... memangnya aku ini apanya? Memangnya dia itu apaku?

"Siapa yang meneleponmu malam-malam

begini, Aster?" terdengar suara Mas Bondan di

belakangku.

Aku menoleh. Kulihat, lelaki itu berdiri di

ambang pintu kamarnya.

"Oh, telepon dari teman lamaku..." Aku tak

160

mau mengakui kenyataan sebenarnya.

"Teman lama atau kekasih lama...?"

"Sudah tahu kok bertanya!" Perkataan dan

kemarahan yang sama, kulontarkan kepada lelaki

lain. Kepada Mas Bondan. Selesai berkata seperti

itu, dengan langkah lebar-lebar aku segera masuk

ke dalam kamarku.

Tetapi baru saja aku mau menutup pintu

kamar, Mas Bondan mendorong pintu itu sehingga terbuka kembali. Kemudian lelaki itu

menyelinap masuk ke kamarku.

"Aster, kalau ada sesuatu yang mengganggu

perasaanmu, selesaikanlah lebih dulu sebelum

kau masuk ke kamar tidur!" katanya dengan suara

tegas.

"Jangan kau bawa itu ke dalam mimpimu!"


Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Naga Merah Karya Khu Lung Love Latte Karya Phoebe
^