Iblis Dari Gunung Wilis 1
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat Bagian 1
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
IBLIS DARI GUNUNG WILIS
( karya : WIDI WIDAYAT )https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
SUARA gaduh terdengar jelas terbawa angin lalu, bersama jerit, tangis, pekik dan
ratap orang dari desa Samakaton. Asap mengepul tinggi, dan suara letusan kecil dari
bambu yang terbakar menambah keadaan desa itu makin geger.
"Tolong. . . .aduuuhhh, . . .tolong . .. ! Rumahku.....aduhh. ....!"
"Ya Tuhan. .
.ampunn.. . . ! Dimana anakku. . . .ya Allah, ... .ampun......."
"Aduhh. . . .mati aku.....Aduhh. . . . hem, jangan engkau mnangis..... ihh .... mana
Warti.....?
"Ibuuu. . . .hu-hu-huu. . . .ibuu. . . .hoa-hoa-hoa ........!"
Derap kuda dalam jumlah banyak meninggalkan desa itu. Dan jalan pegunungan
yang berdebu itu, debu mengepul tinggi diterjang kaki-kaki kuda. Diantara derap kaki
kuda ini, terdengar pula pekik perempuan. "Tolong. . .! Aiuhh. . . .tolong. . . .! Lepaskan
aku.....! Aduhh. . . . hepp. . . .!"
"Ha-ha-ha-ha.....rasakan sekarang engkau!" ejek seorang laki-laki tinggi besar dan
berewok sambil mempererat pelukannya kepada seorang gadis. "Dapatkah engkau
sekarang berteriak lagi?"
Akan tetapi sekalipun mulut gadis itu sudah tersumbat dan tidak dapat berteriak
lagi, namun gadis itu masih berusaha memberontak. Walaupun demikian sesungguhnya
usaha gadis itu sia-sia belaka. Laki-laki itu bertenaga jauh lebih kuat dibanding dirinya.
Usahanya memberontak ini hanya akan menghabiskan tenaganya saja.
"Engkau memang tolol.." ejek kawannya. "Mengapa tidak engkau ikat?
perempuan yang aku tawan ini. Sedikitpun tidak dapat berkutik."
Makin lama suara derap kuda itu makin jauh. Dan tidak lama kemudian lenyap
sudah suara derap kuda itu. Yang masih tampak sekarang hanya asap kebakaran yang
membubung tinggi dalam desa Samakaton. Mayat bergelimpangan di sana sini dalam
keadaan mengerikan. Tak sampai hati pengarang melukiskan keadaan mayat- mayat itu.
Sebab para penduduk yang tewas itu, keadaannya amat menyedihkan.
Agak jauh di sana, di pinggang gunung Slamet. Seekor kuda putih laksana anak
panah lepas dari busur, berlarian cepat sekali mendaki gunung ini. Seakan kuda itu
berlarian tanpa penunggang, karena penunggangnya seorang pemuda yang mengenakan
pakaian putih pula. Makin dekat jaraknya dengan desa Samakaton, makin cepatlah lari
kuda ini.
Sepasang mata pemuda berpakaian putih ini terbelalak menyaksikan mengepulnya
asap kebakaran, dan mayat bergelimpangan di sana sini. Kemudian ia melompat turun
dari punggung kuda, langsung masuk ke dalam pekarangan yang cukup luas berpagar batu
gunung yang bertumpuk. Untuk sejenak sepasang mata pemuda ini menebarkan pandang
mata ke sekitarnya. Dan ketika melihat bekas kaki kuda dalam jumlah banyak di halaman
rumah ini, pemuda itu tampak gugup, kemudian masuk ke dalam rumah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ayah.....!" pekik pemuda ini, dan wajahnya berobah pucat. Dan seperti kalap
pemuda ini telah melompat dan menubruk kepada sesosok mayat laki-laki tua, yang
terlentang tidak bergerak di atas tanah.
"Ayah.......mengapa bisa begini....?" ratap pemuda ini dengan bibir yang
gemetaran dan tubuh menggigil.
Jenazah ayahnya yang berlumuran darah kering itu, kemudian diangkat dan
dibaringkan di atas balai. Sepasang mata pemuda itu merah karena marah, akan tetapi
juga berkaca-kaca mau menangis. Tubuh ayahnya yang telah tua itu menderita banyak
luka senjata tajam. Agaknya tadi telah terjadi perkelahian yang hebat dalam rumah ini,
dan ayahnya dikeroyok orang. Tikaman yang melobangi dada dan melanggar jantung
itulah agaknya yang menyebabkan ayahnya tewas.
Timbul pula rasa heran dalam hati pemuda. Siapakah musuh yang membunuh
ayahnya itu, dan apa pulakah sebabnya? Dan adakah ayahnya mempunyai musuh?
Berkecamuk pertanyaan dalam dada pemuda ini, namun tidak dapat dijawabnya sendiri.
Ingin ia menangis! Ingin ia meratapi ayahnya. Akan tetapi ia merasa malu, justru tidak
pantas seorang pemuda harus menangis, berhadapan dengan peristiwa dan keadaan ini.
Betapapun sedih kehilangan ayah tercinta, ia harus pandai pula menahan tangis itu.
Tetapi tiba-tiba pemuda ini berjingkrak seperti baru sadar. Apakah sebabnya
rumah ini sepi dan tidak tampak seorangoun? Di manakah ibunya? Di manakah adik
perempuannya? Dan di manakah pula para pembantu rumah tangganya? Mengapa pula
jenazah ayahnya tadi dibiarkan menggeletak tanpa seorangpun berusaha merawat?
Berdebar tegang jantung pemuda ini. Ia membalikkan tubuh, kemudian meneliti keadaan
dalam rumah. Keadaan rumah ini morat-marit tidak keruan. Sebagian dinding rumah
ambrol, dan darah kering berceceran di sana sini.
"Irma.....! Ibuuu ....!" pemuda ini berteriak memanggil adik perempuan dan
ibunya. Akan tetapi tidak terdengar suara penyahutan. Ia mengulangi dan mengulangi
lagi beberapa kali dan teriakannya itu semakin keras. Namun sungguh sayang, semua
panggilan dan teriakannya itu hanva terbawa angin lalu. Tidak seorangpun menjawab
teriakannya itu.
Tiba-tiba pemuda ini menjadi sadar. Ibu maupun keluarga yang lain tentu
melarikan diri, disaat ayahnya sedang berkelahi dengan musuh itu. Namun pikiran ini
kemudian dibantah sendiri. Kalau toh melarikan diri, ibu dan Irma Sulastri tentu telah
pulang meninjau keadaan. Kemanakah ibu dan adik perempuannya? Mungkinkah diculik
musuh yang telan membunuh ayahnya itu?
Sambil bertanya-tanya dan berpikir ini, kakinya telah melangkah menuju rumah
belaktang. Tetapi ahh .... hampir saja sesosok tubuh yang tergolek melintang di depan
pintu terinjak oleh kakinya. Jenazah seorang perempuan tua, dalam keadaan mandi darah
kering, melintang di depan pintu rumah belakang yang menuju dapur. Pemuda ini
berjingkrak kaget dan pucat wajahnya. Lalu, dengan air mata bercucuran, ia telah menu-
bruk sambil menciumi wajah jenazah ini.
Tadi, ia masih kuat menahan cucuran air matanya, ketika menemukan ayahnya
telah menjadi jenazah. Akan tetapi sekarang menemukan ibunya telah mati dibunuhhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
orang pula ini, ia tidak kuasa lagi menahan tangisnya. Dan sekarang sambil menciumi
wajah perempuan ini, ia meratap. "Ibuuu .... mengapa bisa begini? Siapa ....... siapakah
yang sudah membunuhmu? Ibuu .....siapa yang pembunuh biadab ini ... .?"
Hampir saja pemuda ini pingsan oleh goncangan perasaan yang amat sedih.
Beberapa kali pemuda ini meratap, memanggil-manggil nama ibunya, akan tetapi
perempuan yang telah menjadi jenazah ini tidak dapat memberikan jawabannya.
Untung sekali, bahwa bagaimanapun ia seorang pemuda gemblengan. Seorang
pemuda yang sudah terlatih. Walaupun demikian sedih, tidak lama kemudian ia telah
berhasil menguasai perasaan. Teringatlah kembali ia akan adik perempuannya, yang
belum tampak. Ia bangkit berdiri, dan pandangannya mencari-cari. Kemudian
kakinyapun melangkah menjelajah dalam rumah. Namun Irma Sulastri, tak juga dapat
diketemukan.
"Irma . . . .! Irma . . . !" panggilnya. Akan tetapi sepi tiada jawaban.
"Irma . . . .! Irma ....!" ia berteriak lagi, namun orang yang dipanggil tidak juga
menyahut maupun muncul.
Untuk beberapa saat lamanya ia berdiam diri. Jantung pemuda ini bergoncang
keras dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam keadaan sesunyi ini, mendadak
terdengarlah suara isak tangis dari rumah tetangga. Tangis perempuan sambil meratap-
ratap amat memilukan.
Mendengar tangis dan ratap dari rumah tetangga itu, barulah sadar pemuda ini
bahwa bukan keluarganya melulu yang dimusuhi orang. Para tetangga pun menjadi
korban pula. Kalau demikian halnya, apakah yang datang kemari dan datang hari itu,
gerombolan perampok yang merampok sambil main bunuh?
Ia berusaha menenangkan perasaan. Jenazah ibunya yang mandi darah kering itu
diangkat, kemudian dibaringkan pula di atas balai, berdampingan dengan jenazah
ayahnya. Setelah beberapa saat lamanya mengamati jenazah ayah bundanya ini dengan
hati yang hancur, pemuda ini melangkahkan kaki keluar rumah. Timbullah niatnya untuk
bertanya kepada tetangga terdekat. Apakah arti dari semua peristiwa ini?
Akan tetapi baru saja ia muncul di jalan desa seorang perempuan setengah tua
mendadak memeluk tubuhnya. Perempuan ini menangis terisak-isak, dan sebelum ia
sempat bertanya, perempuan itu sudah meratap. "Fajar .... ohh, Fajar ....... tolonglah aku.
Ohh.....anakku perempuan .....anakku diculik orang . . . .! Tolong. . . kejarlah mereka ...
.!"
Hati sedang sedih dan risau memikirkan adik perempuannya, sekarang datang
seorang ibu yang meratap-ratap. Hatinya mendongkol juga, namun tetap berusaha
menekan perasaan. Tanyanya kemudian. "Banyakkah musuh yang datang itu....?"
"Banyak sekali . . . . ! Mereka merampok dan membunuh .... ohh, Fajar .....anakku
diculik orang. Anakku .... diculik perampok ..."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pemuda ini menghela napas sedih, sambil menebarkan pandang-mata ke
sekitarnya. Ia tidak melibat seorangpun. Desa ini seperti kosong. Dan dari rumah tetangga
yang terdekat, masih terdengar tangis perempuan. Ketika meruntuhkan pandang mata ke
tepi jalan, tergoleklah dua sosok mayat laki-laki yang mandi darah dan belum dirawat.
Timbul pertanyaan pemuda ini, apakah semua laki-laki dalam desa ini telah habis dijagal
oleh perampok itu? Kalau tidak dibunuh semua, mengapa tidak tampak seorangpun?
Disaat dalam dadanya timbul aneka macam pertanyaan ini, tiba-tiba perempuan
ini melepaskan pelukannya. Kemudian sambil menatap Fajar Legawa, perempuan ini
berkata lagi. "Fajar ..... para perampok itu sudah melarikan diri. Orang-orang desa ini
tidak kuasa .... melawan dan banyak dibunuh . . . . ! Anakku .... anakku diculik perampok
. . . .. ! Fajar .... mengapa engkau tidak segera mengejar perampok itu .......untuk menolong
anakku . . . .? Fajar ....... tolonglah anakku .... Ohhh .... anakku hanya seorang saja ....
Tolong .... kejarlah para perampok itu .... dan tolonglah anakku . . . "
Jengkel dan mendongkol juga Fajar Legawa mendengar ratap dan tangis
perempuan ini. Dirinya sendiri tertimpa malapetaka. Ayah-bundanya tewas dibunuh
orang, dan adik perempuannya tidak diketemukan. Akan tetapi perempuan ini hanya
memikirkan kepentingan sendiri, meratap-ratap. Untung bahwa pemuda ini cukup sadar.
Sebabnya perempuan ini sedemikian rupa, bukan lain akibat penderitaan.
"Mengapa .... engkau diam saja . ...?"desak perempuan itu.
Dalam usahanya untuk menekan rasa jengkel, marah dan sedih ini, kemudian
Fajar Legawa melompat. Kemudian langsung duduk di atas kuda si putih, dan kuda itu
dipacunya keluar dari desa. Ia sudah bertekat, harus mengejar para perampok ganas yang
berani mengganggu desa dan membunuh keluarganya itu di siang hari. Sebab menurut
dugaannya, perampok itu tentu belum jauh pergi.
Dalam keadaan pikiran kalut, kisruh sekarang ini, Fajar Legawa menjadi lupa
bahwa jenazah ayah-bundanya memerlukan perawatan dan penguburan. Yang terpikir
sekarang, secepatnya harus dapat menolong adik perempuannya dari tangan perampok
itu.
Si Putih kabur, bagai terbang. Sudah cukup jauh ia mengejar, namun tak juga dapat
bertemu dengan rombongan perampok itu. Kemanakah para perampok itu pergi, ia tidak
dapat menentukan. Ia menebarkan pandang-mata ke tempat jauh. Dari tempat yang
cukup tinggi ini, pandang matanya dapat mencapai tempat yang amat jauh. Namun
demikian, tidak juga tampak rombongan orang berkuda.
Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini menghentikan kudanya sambil berpikir.
Cukup banyak saat sekarang ini orang yang lupa daratan bergerombol dan menjadi
perampok. Sultan Agung tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memelihara
keamanan dan memberantas kejahatan. Dan raja Mataram yang ketiga ini, lebih banyak
mencurahkan perhatian kepada urusan yang lebih besar. Tentang berontaknya para
bupati dan adipati yang tak mau tunduk lagi. Juga tentang Kumpeni Belanda yang
secepatnya harus diusir dari bumi Pertiwi.
Namun sungguh sayang bahwa usaha Sultan Agung menyerang Betawi, bertemu
dengan kegagalan. Yang pertama pada tahun 1628 penyerangannya gagal. Yang keduahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
setahun kemudian, pada tahun 1629, akan tetapi juga tertumbuk oleh kegagalan lagi
karena pasukan Mataram berhadapan dengan kekurangan makan.
Dalam keadaan seperti ini, orang-orang tidak bertanggung jawab menggunakan
kesempatan melakukan kejahatan-kejahatan. Memeras dan melakukan perbuatan
sewenang-wenang. Dan sungguh celaka para kawula kecil. Aparat Mataram yang
berkuasa di daerahpun memanfaatkan kesempatan ini. Mereka tidak membela si-kecil,
tetapi malah ikut memeras dan berbuat sewenang wenang untuk mengumpulkan
kekayaan. Orang-orang yang mempunyai kekuasaan walaupun kecil, menggunakan
kekuasaannya untuk kepentingan diri. Dan orang-orang yang berani membuka mulut dan
menentang tindakan penguasa, dengan gampang akan dituduh sebagai pemberontak,
sebagai mata-mata Kumpeni, kemudian ditangkap tanpa pemeriksaan. Dan akibatnya
banyak orang celaka menjadi korban fitnah.
"Kemana aku harus pergi?" desisnya sambil tetap menebarkan pandang-mata ke
sekitarnya.
Cukup banyak ia mengenal gerombolan-gerombolan perampok. Akan tetapi kalau
seorang diri. bagaimanakah dirinya dapat berbuat? Apakah harus lapor kepada gurunya?
Akan tetapi walaupun ragu, kemudian pemuda ini menggerakkan kudanya,
menuruni pinggang gunung Slamet sebelah utara. Di desa Tuwel ia menyelidik dan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanya kepada para penduduk desa. Namun sayang sekali, keterangan yang diharapkan
itu tidak juga bisa didapat. Ia menghela napas berat.
Kudanya tampak lelah dan peluh membasahi tubuh. Dilepaskan kuda itu di tepi
sungai Gung, memberi kesempatan kuda itu minum sambil makan rumput yang tumbuh
subur di tepi sungai. Sedang dirinya sendiri, kemudian menjatuhkan diri duduk di atas
sebuah batu sambil menghela napas panjang.
Tetapi pemuda ini menjadi kaget ketika mendengar suara orang ketawa terkekeh. Belum
juga lenyap suara ketawa itu, meniuplah seorang pemuda, melompat turun dari dahan
pohon.
"Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, ki sanak. Aku sedang membutuhkan seekor
kuda untuk teman perjalanan!" kata pemuda itu sambil melangkah menghampiri.
"Pinjamkanlah kudamu padaku. Dan berapa saja engkau minta ganti, akan aku bayar
harganya."
Merah wajah Fajar Legawa mendengar kata-kata orang ini, yang nadanya
merendahkan. Apakah dirinyadisangka seorang penjual kuda? Untung sekali Fajar
Legawa kuasa menahan hati. Jawabnya dengan nada ramah. "Maafkanlah aku ki sanak,
aku sendiri amat membutuhkan kuda itu."
"Apa?" tiba-tiba saja pemuda itu membentak. "Engkau berani membantah
kemauanku? Dengar, aku membutuhkan kuda itu. Dan apabila engkau pelit, apakah
engkau menghendaki aku rebut dengan kekerasan?"
Hampir meledak kemarahan Fajar Legawa yang masih berdarah panas ini.
Namun demikian ia masih menekan perasaan dan kesabarannya. Jawabnya halus. "Ki
sanak, kasihanilah aku yang sedang melakukan perjalanan jauh ini. Kuda itu amat penting
bagiku, dan kiranya lebih tepat apabila ki sanak berusaha kepada orang lain.''https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi sikap Fajar Legawa yang mengalah dan tidak ingin berselisih ini,
diterima secara salah oleh pemuda itu. Dia ketawa terkekeh. "Heh, heh-heh, jangan
engkau berusaha membantah kehendakku. Tahukah siapa aku ini?"
"Tuan siapa?"
"Aku?" sahut pemuda itu dengan sikapnya yang makin menjadi sombong.
"Dengar baik-baik. Aku bernama Wanengbaya, murid pertapa sakti Gajah Seta, yang
bermukim di lereng Merbabu."
Terkejut juga Fajar Legawa mendengar disebutnya nama Gajah Seta. Siapa yang
tidak kenal dengan pertapa itu? Tetapi sepanjang berita yang pernah ia dengar. Gajah Seta
seorang pertapa sakti yang gagah perwira dan budiman pula. Mengapa sebabnya murid
Gajah Seta yang bernama Wanengbaya ini, sedemikian congkak dan mau berbuat
sewenang-wenang, merampas milik orang?
Sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba Wanengbaya sudah melompat dan
berusaha menyambar tongkat yang dipegang tangan kiri. Untung Fajar Legawa waspada.
Ia menghindarkan diri, dan sambaran itu luput.
Wanengbaya mendelik sambarannya luput. Bentaknya kemudian. "Berikan tongkat itu
padaku. Tongkatmu bagus sekali, ingin sekali aku memiliki tongkat seperti itu."
Kesabaran manusia ada batasnya. Sejak tadi ia sudah berusaha mengalah dan
menghindari perselisihan, justeru berselisih kurang baik. Akan tetapi mengapa sebabnya
pemuda ini mendesak .sedemikian rupa?
Saat ini dirinya justeru sedang dilanda oleh perasaan gelisah, akibat adik perempuannya
hilang tidak diketahui rimbanya. Sekarang murid Gajah Seta datang untuk menghina.
Siapakah yang dapat berdiam diri dan mengalah? Karena itu sambil mendelik Fajar
Legawa mendengus marah. "Hemm, apakah maksudmu sebenarnya?"
"Heh-heh-heh, maksudku jelas. Aku membutuhkan kuda dan tomgkatmu yang
bagus itu. Kau berikan atau tidak?"
"Kalau aku tak mau menyerahkan?" tantang Fajar Legawa.
"Bagus!" sahut Wanengbaya. "Tanganku sudah gatal, dan sambutlah
seranganku."
Hampir berbareng dengan selesainya ucapan itu, Wanengbaya telah melompat dan
langsung menyerang dengan sepasang golok. Sambaran golok itu cukup cepat disamping
bertenaga.
Heran juga Fajar Legawa mendapat serangan ini. Apakah pemuda yang bernama
Wanengbaya dan murid Gajah Seta ini sedang dalam keadaan mabuk ataukah berobah
menjadi gila? Menurut pantas seseorang akan membuka serangan tidak akan langsung
menggunakan senjata semacam ini. Ataukah Wanengbaya ini memang seorang yang
hanya ingin memperoleh kemenangan tanpa kenal kesopanan lagi?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Untuk beberapa saat lamanya Fajar Legawa berlompatan ke sana ke mari
menghindarkan diri tanpa membalas. Ia masih berusaha mengalah dan menyabarkan diri,
kemudian teriaknya. "Tahan! Tahan!"
Namun celakanya Wanengbaya tak perduli. Ia tak juga menghentikan
serangannya, malah sambaran sepasang golok itu tambah cepat. Golok pada tangan
kanan menyambar ke arah kepala, sedang golok di tangan kiri menyambar dada. Fajar
Legawa melompat jauh ke belakang, sambil berteriak lagi. "Tahan kisanak, tahan!"
Wanengbaya tidak menyahut dan tidak pula menghentikan serangannya. Teriakan
Fajar Legawa seakan malah merupakan aba-aba agar menyerang lebih ganas.
Serangan yang makin lama menjadi ganas ini, tidak mungkin Fajar Legawa dapat
mengalah terus. Ketika golok di tangan kanan menabas tongkat, dan golok tangan kiri
menyambar pundak, Fajar Legawa surut selangkah, merendahkan tubuh sambil menyabet
kaki lawan. Atas balasan ini Wanengbaya ketawa dingin sambil melenting ke atas.
Makin lama panas juga perut Fajar Legawa, atas serangan Wanengbaya. Tetapi
diam-diam memuji juga akan ketangkasan dan ketangguhan murid Gajah Seta ini. Pantas
saja menjadi congkak, sombong dan suka menghina orang. Pada suatu kesempatan di saat
Wanengbaya lengah, dengan gerakannya tak terduga Fajar Legawa telah menyodok
perut.
Tidak disadari oleh pemuda ini, bahwa bagian yang tidak terjaga itu memang se-
ngaja sebagai umpan. Secepat kilat golok Wanengbaya menyambar dengan gerak silang.
Fajar Legawa kaget dan berusaha menarik kembali tongkatnya. Sayang sudah terlambat,
dan terdengarlah suara.
"Krak !" golok Wanengbaya secara tepat, berhasil menghantam tongkat.
"Ahh. . . . !" Wanengbaya berteriak tertahan dan terhuyung mundur dengan mata
terbelalak.
Apa yang terjadi? Bukan tongkat Fajar Legawa yang patah menjadi dua potong.
Tetapi malah sepasang golok Wanengbaya yang tadi menghantam sekuatnya.
Fajar Legawa sendiri berdiri terpaku keheranan. Apakah sebabnya tongkat kayu
pemberian gurunya ini, yang terbikin dari kayu pohon asam sanggup mematahkan senjata
lawan? Ia menggunakan kesempatan memeriksa tongkat itu. Tongkat itu tidak cacat, dan
hanya terdapat bekas goresan. Ajaib! Fajar Legawa sendiri tidak menduga mengapa
sebabnya.
Merah wajah Wanengbaya berhadapan dengan peristiwa ini. Akan tetapi
walaupun kasar, murid Gajah Seta ini telah terdidik kejujuran. Setelah mengamati Fajar
Legawa beberapa saat lamanya, dan pemuda itu tidak ingin bermusuhan. Tiba-tiba saja
timbul rasa sesalnya dalam hati. mengapa ia sudah gegabah mencari perkara.
"Maafkan aku sahabat, aku tidak sengaja merusakkan senjatamu," kata Fajar
Legawa dengan nada yang merendah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Akulah yang bersalah," sahut Wanengbaya sambil menghela napas. "Siapa
engkau, dan siapa pula gurumu?"
"Aku Fajar Legawa. Sedang guruku, adalah seorang pertapa yang bermukim di
lembah Galunggung."
"Aihh...." Wanengbaya berjingkrak kaget. "Engkau murid pertapa sakti Suria
Kencana?"
"Benar," sahut Fajar Legawa sambil mengangguk. Dan diam-diam heran juga,
mengapa pemuda ini sudah dapat menebak secara tepat hanya dengan menyebut tempat
tinggai gurunya?
Tidak terduga-duga, Wanengbaya telah maju dan memeluk sambil berkata halus.
"Maafkan aku yang kasar dan lancang!"
Fajar Legawa melepaskan pelukan Wanengbaya dengan gerakan yang halus.
Tetapi sesungguhnya, ia curiga dan khawatir kalau Wanengbaya akan menyerang dirinya
secara curang, dengan pura-pura bersikap sebagai seorang sahabat.
"Tidak apa," sahutnya halus. "Aku malah gembira, justeru pertemuan tak sengaja
ini, menjadi sarana kita berkenalan."
"Engkau benar," sahut Wanengbaya. Dan tanpa diminta, kemudian Wanengbaya
telah menceritakan perjalanannya kali ini, untuk mengunjungi calon isterinya yang
bertempat tinggal di desa Margasari, yang bernama Ayu Kedasih. Ia mengatakan bahwa
ia tadi tertarik kepada kuda Fajar Legawa yang berbulu putih bersih bagai kapas. Dan
dengan mengendarai kuda sebagus itu, betapa gembira Ayu Kedasih menyambut kedata-
ngannya.
Sekarang setelah berbicara, Fajar Legawa sudah mulai mengenal, bahwa
sesungguhnya Wanengbaya seorang pemuda jujur. Sayang sedikit, mempunyai watak
yang sombong dan tinggi hati. Dari nada bicaranyapun Fajar Legawa segera dapat
menduga maksud hati pemuda ini. Agaknya Wanengbaya dalam kunjungannya kepada
calon isterinya ini, ingin mendapatkan puji sanjung dan tambah gagah, apabila
mengendarai kuda putih miliknya itu.
Di dunia tidak terhitung jumlahnya kuda yang besar dan bagus. Akan tetapi tidak
gampang bisa memperoleh kuda seperti Si Putih ini. Di samping kuat, Si Putih-pun dapat
lari seperti terbang.
Entah mengapa sebabnya, tiba-tiba saja timbul rasa iba dalam hati Fajar Legawa.
Walaupun saat sekarang ini dirinya sendiri membutuhkan kuda itu untuk mencari adik
perempuannya, namun ia merasa tidak enak hati menolak permintaan Wanengbaya.
Katanya kemudian. "Kalau demikian, agaknya engkau memang tergesa kakang. Pakailah
Si Putih untuk meneruskan perjalanan."
"Terima kasih, tidak jadi," sahut Wanengbaya yang merendah. Dan karena Fajar
Legawa telah memanggil kakang, maka kemudian Wanengbaya membalas denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
panggilan adi. "Adi Fajar, maafkanlah kekasaranku tadi. Dan kiranya engkau lebih
penting dengan kudamu, dibanding engkau pinjamkan padaku."
"Pakailah. Agar secepatnya engkau dapat bertemu dengan calon isterimu."
Wanengbaya mengamati Si Putih yang besar dan gagah. Diam-diam ia membayangkan
betapa gagahnya apabila dirinya memperoleh kesempatan mengendarai kuda ini. Betapa
gembira calon isterinya, disaat menyambut kedatangannya.
"Tetapi adi, bagaimanakah caraku mengembalikan kudamu ini?"
"Berapa harikah engkau di sana?"
"Mungkin agak lama."
"Aku akan datang ke Margasari, agar aku dapat berkenalan pula dengan mbakyu
Ayu Kedasih."
"Bagus, aku senang sekali apabila engkau sudi berkunjung ke sana, dan berkenalan
dengan Ayu Kedasih. Tetapi....." pemuda ini tampak meragu.
"Pakailah ! Biarkan aku meneruskan perjalanan tanpa kuda."
Akhirnya dengan tertawa gembira sekali, Wanengbaya pergi sambil mengendarai
Si Putih. Fajar Legawa mengamati kepergian pemuda itu dengan hati yang tidak tega. Si
Putih adalah kuda kesayangannya, hadiah yang diperoleh dari ayahnya. Mengapa
sedemikian mudah ia melepaskan kuda itu kepada seseorang yang baru saja ia kenal. Dan
tiba-tiba saja timbul rasanya yang agak khawatir. Apakah pemuda itu tidak menipu?
"Ahhh, sudahlah," desisnya. "Aku sendiri yang meminjamkan kuda itu. Mengapa
aku akan menelan lagi ludah yang sudah aku buang? Kalau toh sudah menjadi takdir
Tuhan bahwa Si Putih harus lepas dari tanganku, siapakah yang dapat menghindar?"
Dan sesudah menghela napas panjang sekali lagi, kemudian Fajar Legawa telah
meneruskan perjalanan, langsung menuju ke arah barat. Tiba-tiba saja timbullah dugaan
pemuda ini, bahwa penjahat yang telah mengganas dan membunuh ayah-bundanya itu,
gerombolan Juru Demung yang bertempat tinggal di pinggang Rogojembangan.
Dugaannya itu erat hubungannya dengan peristiwa yang pernah terjadi, bahwa puluhan
tahun yang lalu ayahnya pernah bermusuhan dengan Juru Demung. Agaknya tidak
meleset dugaannya, bahwa sekarang ini Juru Demung menggunakan kesempatan untuk
membalas dendam lama.
Hari telah senja ketika Fajar Legawa masuk daerah sarang penjahat itu. Namun
timbul juga keheranan dalam hati pemuda ini, mengapakah sebabnya desa-desa
gerombolan penjahat itu nampak sepi? Rumah-rumah tertutup rapat. Dan ia tidak
berjumpa, dengan seorangpun.
Hatinya tercekat. Ia menghentikan langkah, bersembunyi dalam semak sambil
menebarkan pandang-matanya ke sekitarnya. Dalam hatinya timbul dugaan, mungkinkah
keadaan sesepi ini, karena mata-mata perampok itu sudah mengetahui kehadirannya, dan
kemudian sengaja menjebak?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mendadak saja timbullah rasa sesalnya. Mengapa ia terlalu berani datang ke sarang
gerombolan perampok ini seorang diri? Gerombolan Juru Demung berjumlah banyak.
Dapatkah seorang diri menolong adiknya?
Akan tetapi disaat timbul keraguan ini, telinganya yang sudah terlatih, mendengar suara
riuh yang sayup-sayup terbawa angin. Riuh suara sorak, kadang terdengar dan kadang
menghilang.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apakah mereka bersorak-sorak?" desisnya sambil mempertajam
pendengarannya. "Aku harus kesana?" desisnya lagi, setelah membulatkan tekat. Lalu,
tanpa ragu sedikitpun. Fajar Legawa telah berlarian lewat jalan desa yang sepi itu menuju
ke tempat sorak itu terdengar.
Makin dekat, sorak yang riuh itu terdengar semakin jelas. Kemudian terbelalaklah
sepasang sepasang mata Fajar Legawa, melihat tembok batu yang cukup tinggi dan kokoh
membentang di depannya. Pintu yang lebar dan kokoh itu tertutup rapat. Di dalam
terdengar jelas suara yang riuh orang bersorak, dan berseling dengan suara senjata
berbenturan.
"Ahh.....siapakah yang berkelahi di dalam?" desisnya kaget. Fajar Legawa
menjadi gelisah dan tidak sabar. Di luar tembok yang tinggi itu tidak tampak seorangpun.
Agaknya memang di tempat inilah Juru Demung bertempat tinggal dan sekaligus me-
rupakan sarang. Kagum juga hati pemuda ini, bahwa di pinggang gunung dapat dibangun
tembok batu yang kokoh kuat, melindungi sarang.
Tanpa kesulitan sedikitpun Fajar Legawa telah berhusil melompat ke atas tembok,
lewat sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari tembok. Akan tetapi tiba-tiba saja
jantung pemuda ini bergoocang keras dan darahnya tersirap. Di tengah halaman yang
cukup luas itu, kini sedang berlangsung perkelahian curang. Seorang gadis muda berbaju
biru, hanya seorang diri menghadapi keroyokan belasan laki-laki bersenjata. Dan
gelanggang perkelahian itupun dipagari manusia ketat sekali, agaknya untuk menjaga agar
gadis itu tidak dapat lolos.
Gadis itu gerakannya lincah dan tidak tampak gentar sedikitpun dalam
menghadapi keroyokan banyak penjahat. Pedang gadis itu sudah berlepotan darah, dan
tidak jauh dan tempat itu, tampak pula beberapa orang menggeletak mandi darah.
Agaknya orang-orang itu telah menjadi korban pedang gadis baju biru ini.
Gadis itu disamping wajahnya cantik, usianya masih muda, dan mungkin baru
sembilan belas tahun. Akan tetapi walaupun muda, gadis itu tangkas dan ilmu
kepandaiannya cukup tinggi. Gerakannya cepat disamping gesit, dan sepasang pedang
yang sudah berlepotan darah bergerak-gerakan indah, tampaknya seperti seorang gadis
yang sedang menari dengan pedang.
Diam-diam Fajar Legawa terpesona juga, menonton perkelahian ini.
Tetapi walaupun gagah dan kepandaiannya cukup tinggi, gadis itu hanya seorang diri.
Manakah mungkin ia dapat bertahan menghadapi ratusan orang yang berkumpul di
tempat ini? Sekarang Fajar Legawa dapat menduga mengapa sebabnya desa-desa dalam
wilayah gerombolan Juru Demung tadi nampak sepi. Agaknya setiap laki-laki berkumpul
di tempat ini, dan yang berdiam di dalam rumah tinggal anak-anak dan perempuan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Timbul pertanyaan dalam hati Fajar Legawa, sengajakah gidis ini datang kemari seperti
dirinya? Atau, gadis ini semula menjadi tawanan Juru Demung, namun dapat lolos dan
sekarang mengamuk dalam usahanya mencari kebebasan?
Di saat gadis berbaju biru itu masih mengamuk dengan sepasang pedangnya, dan
benturan senjata terdengar berturut-turut, terdengarlah suara ketawa orang yang terkekeh-
kekeh dari dalam rumah yang bangunannya kokoh dan besar itu. Dan belum juga lenyap
gema ketawa yang terkekeh itu. sudah terdengar suara yang parau. "Heh heh-heh, sampai
dimanakah kemampuanmu, gadis liar? Meskipun engkau berkulit tembaga dan bertulang
besi, tidak mungkin engkau mampu melawan kami dan lolos. Heh-heh-heh, sebaiknya
kita berdamai saja. Bukankah orang yang rukun itu baik? Di tempat ini engkau akan
diangkat sebagai seorang ratu. Sebagai permaisuri yang terhormat....."
Fajar Legawa memandang ke arah suara itu terdengar. Tak lama kemudian
muncullah seorang laki laki tinggi besar berkumis tebal, tetapi tidak berjenggot. Pakaian
laki-laki itu dari bahan sutera yang mahal harganya, dan berkembang-kembang indah. Di
belakang laki-laki ini, tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan kuat, kemudian berdiri
berjajar.
"Juru Demung?" tanya Fajar Legawa kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba terdengarlah suara lengking nyaring. Dan berbareng itu, tubuh gadis baju
biru ini telah berkelebat lebih cepat, disusul teriakan kesakitan beberapa orang yang
langsung roboh di atas tanah. Tahu-tahu gadis itu telah menerjang kearah Juru Demung.
Akan tetapi tujuh orang pmguwal itu, dengan serempak segera maju dan mengeroyok.
Kagum sekali Fajar Legawa menyaksikan semua itu. Kecepatan gerak dan
sambaran pedangnya sedemikian hebat, sehingga belasan orang dalam segebrakan
telah kocar-kacir.
Sekarang gadis baju biru ini harus berhadapan dengan tujuh orang pengawal Juru
Demung. Para pengawal ini justeru bukan orang sembarangan. Mereka jauh lebih kuat
apabila dibandingkan dengan para pengeroyok tadi, yang hanya memiliki kepandaian
lumayan. Maka walaupun gagah, gerakannya tertahan juga.
"Heh-heh-heh, engkau cantik bagai bidadari," kata Juru Demung sambil tertawa,
"Jangan engkau nekat sayang, mari kita berdamai dan jadilah engkau isteriku yang
tersayang."
"Tutup mulutmu!" teriak gadis ini, tetapi pedangnya tetap menyambar-nyambar.
"Trang-trang-trang.....!" sambaran sepasang pedang gadis ini tertahan dan tertangkis oleh
senjata pengeroyoknya.
"Ahhh.....!" tanpa sesadarnya Fajar Legawa berseru tertahan ketika melihat,
pedang di tangan kiri gadis itu lepas dari tangan dan terbang ke atas. Namun rasa kagetnya
itu, kemudian berganti dengan rasa kagum. Dengan bersiul nyaring, gadis itu sudah
melenting tinggi, dan sekali sambar pedang telah terpegang di tangan kiri.
Di saat tubuhnya masih terapung di udara ini, tujuh orang itu sudah datang
menyerbu. Akan tetapi sedikitpun gadis ini tidak gentar, dan terdengar lagi suara benturanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
senjata berturut-turut. Dua orang di antara pengeroyok berteriak kesakitan dan terhuyung.
Ketika Fajar Legawa memperhatikan, ternyata gadis itu sudah berhasil melukai pundak
dan lengan orang, kemudian sekarang dia dapat berdiri dengan bebas.
"Nawang Wulan!" seru Juru Demung. "Tidak lama lagi engkau akan roboh
kehabisan tenaga. Apakah keuntungan yang kau peroleh dengan keliaranmu ini?"
"Nawang Wulan?" desis Fajar Legawa. "Pantas dia cantik seperti bidadari, ibu
pernah bercerita, bahwa bidadari yang bernama Nawang Wulan itu, isteri Ki Ageng
Tarub. Tetapi gadis cantik ini, calon isteri siapakah?"
"Bangsat Juru Demung!" teriak Nawang Wulan. "Jangan engkau biarkan
begundalmu mengeroyok aku. Mari, lawanlah aku dan kita tentukan siapakah yang
lebih unggul antara aku dan engkau!"
"Heh-beh-heh," Juru Demung terkekeh. "Melawan anak-buahku saja engkau tak
mampu, mengapa engkau congkak dan menantang aku? Jika engkau mau mendengar
nasihatku, lebih baik sarungkanlah pedangmu. Kemudian engkau malam ini akan aku
angkat sebagai ratu, dan akan dihormati sekalian orang."
Nawang Wulan tidak sempat menjawab. Tujuh orang pengawal itu telah kembali
menerjang maju dan mengeroyok. Yang seorang telah terluka, lengannya, dan yang
seorang telah terluka pundaknya. Akan tetapi luka itu hanya ringan, maka luka tersebut
tidak mempengaruhi gerakannya. Lebih lagi tujuh orang pengawal kepercayaan Juru
Demung ini bukanlah orang-orang tolol. Setelah dua orang di antara mereka terluka me-
reka berhati-hati.
Mereka sekarang tidak berani terlalu mendesak, lebih mempererat kerja-sama,
menyerang dan menangkis. Gadis ini sudah cukup lama menggunakan tenaga dan
berkelahi. Mereka sekarang hanya mengurung secara rapat, tidak memberi kesempatan
gadis itu lolos, tetapi hanya berusaha membuat Nawang Wulan kelelahan dan kehabisan
tenaga.
Melihat perobahan ini, Fajar Legawa terkesiap. Apabila gadis itu sampai kelelahan
dan kemudian tertawan, akan sulitlah dirinya memberi pertolongan. Apapun yang terjadi
ia takkan rela membiarkan gadis cantik itu celaka di tangan para penjahat. Ia sekarang
telah menetapkan hati. Walaupun ia tidak kenal dengan gadis itu, dan tidak tahu ada
kepentingan apa gadis ini masuk ke sarang singa, ia telah memutuskan harus segera
menyerbu dan membantu.
"Nona, aku bantu kerepotanmu!" sambil berteriak nyaring, Fajar Legawa telah
melompat turun dari tembok batu, dengan gerakannya amat indah. Tiga orang datang
menyambut, menyerang dengan senjata masing-rmsing disaat tubuh Fajar Legawa masih
terapung di udara.
"Trang trang trang..... . .plak buk pok.........aughh. . . .!" Sambaran tiga batang
senjata para perampok itu ditangkis dengan tongkat, dan sekali bentur senjata-senjata itu
patah. Sebelum para penjahat itu dapat berbuat sesuatu, tongkat Fajar Legawa telah
menyambar cepat sekali dan terdengar pekik tiga kali berturut-turut, disusul robohnya tiga
orang itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Gempar para penjahat ini, melihat munculnya seorang pemuda, yang sekali gebrak
telah berhasil mematahkan senjata-senjata kawannya, disusul robohnya tiga orang itu.
Nawang Wulan menggunakan kesempatan disaat para penjahat itu kaget dan gempar,
memalingkan muka ke arah Fajar Legawa. Tetapi gadis ini merasa heran, karena belum
merasa kenal. Namun demikian, kehadiran pemuda ini, bagaimanapun dapat
mempengaruhi keadaan.
Dan bantuan Fajar Legawa ini, membangkitkan semangat Nawang Wulan. Tanpa
menjawab gadis ini sudah menggerakkan sepasang pedangnya lagi dan mengamuk.
Sementara itu Fajar Legawapun segera diterjang oleh belasan orang penjahat.
Mereka mengeroyok dengan macam-macam senjata. Namun sedikitpun Fajar Legawa
tidak gentar. Hatinya menjadi besar setelah mengetahui tongkatnya bukan senjata
sembarangan. Setiap senjata yang berbenturan dengan tongkatnya akan segera patah. Ma-
ka sambil memutarkan tongkat ini, Fajar Legawa sudah mengamuk. Benturan senjata
terdengar berdencingan, diseling oleh pekik kaget dan pekik kesakitan. Dalam Waktu
singkat telah berserakan senjata yang patah dan pemiliknya berloncatan mundur dengan
wajah pucat. Dan yang tidak sempat melompat mundur, akan segera roboh terluka atau
tewas saat itu juga.
Gegerlah para penjahat ini menyaksikan kegagahan pemuda bersenjata tongkat ini.
Tetapi mereka memang bukan manusia-manusia yang mempunyai cadangan nyawa.
Mereka tidak lagi menerjang dan menyerang. Para penjahat itu sekarang hanya berusaha
mengurung, dan apabila salah satu bagian didesak oleh Fajar Legawa, penjahat itu segera
ketakutan dan bergerak mundur. Makin lama jarak Fajar Legawa dengan Nawang Wulan
menjadi semakin dekat. Tidak lama lagir pemuda ini tentu sudah dapat mempersatukan,
kekuatan dengan gadis berbaju biru itu.
Melihat perobahan keadaan yang tidak terduga-duga ini, Juru Demung amat
marah. Kepala penjahat ini menggeram keras, kemudian melompat sambil menyerang
dengan senjatanya.
Ketika itu cuaca sudah menjadi gelap. Melihat pemimpinnya telah turun tangan,
para penjahat ini berbesar hati. Beberapa orang segera lari dan masuk ke dalam sarang
lewat pintu samping. Tidak lama kemudian beberapa orang itu telah kembali lagi sambil
membawa obor-obor kayu. Dan oleh penerangan obor kayu yang belasan jumlahnya ini,
halaman yang luas itu tidak gelap lagi.
Dengan senjata rantai baja berkepala besi bulat sebesar kepala, Juru Demung telah
terlibat perkelahian dengan Fajar Legawa, yang dibantu oleh empat orang pembantunya.
Sambaran senjata Juru Demung yang dapat menjangkau jarak agak jauh ini dahsyat
sekali, sesuai dengan tenaganya yang amat kuat. Namun demikian sedikitpun Fajar
Legawa tidak gentar, lebih-lebih ia tahu bahwa tongkat pemberian gurunya ini,
mempunyai kekuatan yang mujijat dapat mematahkan senjata lawan.
Fajar Legawa tahu, bahwa sekarang ini harus dapat bertindak cepat. Maka sambil
melayani serangan Juru Demung dan empat orang pembantunya ini, ia banyak kali
menghindar sambil bergeser. Tujuan satu-satunya, ia secepatnya harus dapat mendekati
Nawang Wulan, kemudian bekerja-sama menggempur kekuatan para penjahat ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Trang trang trang.....aihhh. . . . !!" benturan senjata yang nyaring terdengar tiga
kali berturut-turut, dan disusul oleh pekik tertahan dari pemilik senjata itu. Sekali bentur
senjata mereka telah patah, terpaksa mereka harus melompat mundur, menyambar senjata
anak-buah dan kemudian kembali maju lagi.
Namun ternyata usaha Fajar Legawa ini tidak semudah ia kira. Para penjahat
itupun kiranya dapat menduga kandungan hati pemuda ini. Maka baik Juru Demung dan
pembantunya, berusaha melihat dan menghalangi.
Ketika Nawang Wulan harus mengerahkan kepandaian dan tenaganya, dalam
menghadapi keroyokan tujuh orang pengawal Juru Demung. Gadis berbaju biru ini
memang gagah, berilmu cukup tinggi disamping tabah. Akan tetapi bagaimanapun tenaga
manusia ini hanya terbatas. Maka setelah berkelahi dalam waktu lama menghadapi
keroyokan para penjahat, makin lama tenaga gadis ini semakin berkurang. Tubuhnya
telah mandi peluh dan pakaiannnya telah basah, dan berbareng dengan berkurangnya
tenaga Nawang Wulan, kelincahan dan kecepatan gerak gadis inipun makin menurun.
Para pengeroyoknya tambah gembira dan berbesar hati. Mereka makin hati-hati
dan setiap gerakan maupun serangan, tujuan yang utama hanya ingin membuat gadis itu
habis tenaga kemudian dapat menawan dengan mudah.
Justeru waktu itu, Fajar Legawa sempat memperhatikan keadaan Nawang Wulan.
Melihat gerakan Nawang Wulan yang makin berkurang kegesitannya ini, diam-diam ia
khawatir.
Juru Demung adalah seorang kepala penjahat yang sudah berpengalaman. Disaat
Fajar Legawa sedikit lengah ini, Juru Demung tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bola
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besi sebesar kelapa itu akan sanggup meremukkan bagian tubuh manusia yang bisa
dihantam. Malah Juru Demung sudah memastikan bahwa lawan ini tidak mungkin dapat
menyelamatkan diri.
"Mampuslah!" teriaknya nyaring.
Fajar Legawa yang tidak menduga memang kaget. Akan tetapi walaupun kaget pemuda
ini tidak kehilangan kewaspadaan.
"Trang ..." tongkatnya membentur rantai baja itu.
"Ahhh.........!" Fajir Legawa kaget sekali. Ia tadi sudah mematikan, bahwa rantai
baja itu akan segera putus apabila berbenturan dengan tongkatnya.
Namun ternyata dugaannya keliru. Rantai baja itu tidak menjadi putus, malah
sekarang melibat tongkatnya. Justeru disaat tongkatnya terlibat bola rantai baja itu,
sebatang pedang telah menyelonong dari kiri.
"Trang .......!" tendangannya secara tepat berhasil mementalkan pedang lawan.
Akan tetapi dari arah lain, golok sudah menyerampang kaki.
Disaat sedang mempertahankan tongkatnya dari libatan rantai baja itu, memang
tidak gampang menghindari sambaran senjata yang menyerampang kaki. Untung sekali
bahwa Fajar Legawa tetap tenang. Apabila dirinya harus melompat tinggi, kedudukannyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akan menjadi rugi dan tongkatnya bisa direbut lawan. Maka jalan yang paling aman,
dengan tangan kiri ia menangkis sambaran pedang yang menyambar punggungnya, dan
berbareng itu ia sudah melompat ke depan satu langkah.
Dan lompatannya ke depan itupun bukan melulu menghindari serangan orang.
Akan tetapi ia menggunakan kesempatan disaat Juru Demung lengah. Lompatannya ke
depan menyebabkan rantai baja itu kendor. Kesempatan ini dipergunakan secara tepat,
untuk menyabet rantai bagian lain dengan tongkatnya.
"Trang . . . .!" dan putuslah rantai baja, senjata yang dibanggakan oleh Juru
Demung.
Juru Demung melompat ke belakang dengan wajah berobah pucat. Sepasang
matanya terbelalak hampir tidak percaya akan pandang-matanya sendiri. Apa sebabnya
hanya terpukul oleh tongkat saja, rantai baja itu sudah putus? Padahal rantai baja
senjatanya ini bukan baja sembarang-an. Rantai ini dibuat dari baja pilihan, dan di-
kerjakan oleh seorang ahli yang takkan dapat putus oleh bacokan golok. Dan dengan
senjatanya ini, belasan tahun ia malang-melintang dan berhasil merobohkan belasan
orang musuh. Akan tetapi mengapakah sebabnya sekarang ini, diputuskan orang hanya
dengan tongkat dari kayu?
Akan tetapi Juru Demung adalah seorang yang cerdik dan banyak tipu-
muslihatnya. Dan apabila tidak cerdik, manakah ia dapat memimpin gerombolan yang
jumlahnya ratusan orang? Secepat kilat ia sudah mencabut pedangnya. Dan dengan
pedang ini pula, pemimpin penjahat itu menyerang Fajar Legawa. Dan karena sadar
bahwa tongkat lawan itu dapat mematahkan senjata, maka dalam menyerang ini Juru
Demung amat berhati-hati. Ia selalu menghindari benturan senjata, dan mengandalkan
kecepatannya bergerak.
Di saat memperoleh kesempatan, Fajar Legawa melirik lagi ke arah Nawang
Wulan. Gadis itu memang masih dapat bertahan dan sepasang pedangnya masih terus
bersambaran. Tetapi menjadi semakin jelas bahwa gadis itu sudah lelah. Padahal jumlah
pengeroyok tidak makin berkurang, akan tetapi malah bertambah. Sekarang, Nawang
Wulan harus berhadapan dengan sepuluh orang penjahat yang menyerang dari seluruh
penjuru. Diam-diam pemuda ini gelisahjuga. Namun sayang sekali ia dihambat oleh Juru
Demung dan para penjahat yang lain, sehingga belum juga dirinya mendekati gadis itu
dan menggabungkan diri.
"Aihh....!" Nawang Wulan menjerit nyaring. Fajar Legawa kaget sekali sambil
menyambarkan tongkatnya untuk menangkis. Namun kemudian pemuda ini menjadi
heran ketika sempat melihat, gadis itu masih tetap memberikan perlawanan. Mengapa
gadis itu tadi memekik?
Kiranya pekik Nawang Wulan tadi akibat rasa kaget. Secara tak terduga senjata
lawan berhasil mampir pada pundaknya dan merobek baju. Untung tikaman lawan itu
meleset, dan walaupun baju pada pundak itu robek namun pundak itu tidak terluka.
"Trang ....!" dan Nawang Wulan kaget. Pedang pada tangan kanan terjepit oleh
gencetan dua batang golok lawan. Disaat pedang pada tangan kiri akan menolong,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
punggungnya merasa disambar angin dingin. Ia mengurungkan gerakannya, kemudian
memutarkan pedang itu kebelakang.
"Aughh ....!" dua orang penjahat melompat mundur dan kesakitan. Tetapi disaat
itu seorang penjahat menyerampang kaki, sedang lehernyapun disambar angin dingin.
Untung juga bahwa gadis ini seorang perempuan tabah. Dalam kesulitan tidak
lekas menjadi gugup. Pedang pada tangan kanan yang terjepit dilepaskan, berbareng itu
ia sudah meloncat agak tinggi sambil penyabetkan pedang pada tangan kiri.
Ia dapat menolong diri walaupun sekarang harus kehilangan sebatang pedang.
Dalam penasarannya gadis ini melengking nyaring, dan walaupun sekarang hanya
bersenjata sebatang pedang, namun gerakan gadis ini tidak menjadi kendor.
Dalam keadan Nawang Wulan menjadi tambah kesulitan, dan Fajar gelisah
karena belum dapat mendekati Nawang Wulan itu, tiba-tiba terdengarlah suara ketawa
perempuan yang merdu. Belum juga lenyap gema suara ketawa itu, telah disusul oleh
teriakan nyaring yang mengejek.
"Tidak tahu malu! Dua orang muda dikeroyok ratusan orang. Hi-hi-hik, engkau
Juru Demung! Tidak sadarkah engkau bahwa malam ini, ajalmu sudah tiba?!"
Hanya terdengar desiran angin yang halus. Tahu-tahu terdengarlah jerit beberapa
orang. Dan disusul oleh tubuh Juru Demung yang berkelebat melarikan diri. Fajar
Legawa tidak mau melepaskan penjahat itu. Tetapi sayang sekali, beberapa orang
penjahat menghalangi. Walaupun Ffcjar Legawa berhasil merobohkan beben pa orang,
namun pemimpin penjahat itu telah terlanjur dapat melarikan diri.
Larinya Juru Demung merobah keadaan. Para pembantu Juru Demung menjadi
runtuh semangatnya, dan kemudian merekapun berserabutan melarikan diri. Nawang
Wulan yang penasaran masih belum mau berhenti. Pedangnya berkelebat ke-sana ke-
mari, sehingga berturut-turut terdengar pekik nyaring. Beberapa orang segera roboh mati.
Dan kemudian, Nawang Wulan sudah melompat untuk masuk ke-dalam rumah.
"Wulan ! Jangan !" teriak perempuan ini, dan ketika tubuhnya bergerak, lengan
Nawang Wulan sudah tertangkap.
"Anak muda, engkau datang dari mana?" tanya perempuan tua ini dengan
suaranya merdu.
"Saya Fajar Legawa, murid bapa Suria Kencana," sahutnya sambil membungkuk
memberi hormat.
"Uahh.....pantas engkau hebat !" puji perempuan itu. Dan tentunya engkau belum
kenal aku maupun muridku ini, bukan? Ini muridku dan juga anakku Nawang Wulan.
Aihhh.....Nawang Wulan, mengapa engkau tidak lekas mengucapkan terimakasihmu,
atas pertolongan dia?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dan walaupun agak malu, Nawang Wulan menghampiri Fajar Legawa dalam
jarak dekat. Kemudian dengan nada yang agak gemetar, gadis ini berkata. "Terimakasih
atas pertolongan saudara."
"Salah!" sahut Fajar Legawa dengan tersenyum. "Akulah seharusnya yang
mengucapkan terimakasih atas pertolongan nona."
Nawang Wulan dan ibunya terbelalak heran. Kemudian terdengar kata perempuan tua
itu. "Wulan, siapakah yang berkelahi lebih dahulu?"
"Aku berkelahi lebih dulu, dan kemudian ..... aku ditolong," sahut gadis ini sambil
menundukkan muka, tampak malu dan likat.
"Akan tetapi aku datang kemari kalah dahulu dengan nona." bantah Fajar
Legawa. "Padahal dengan perkelahian yang nona mulai, berarti pula meringankan aku."
Wanita tua itu tertawa mendengar perbantahan Fajar Legawa dengan anaknya,
yang saling berebut untuk mengucapkan terima kasih itu. Katanya kemudian. "Sudahlah,
sudah! Agaknya masing-masing mempunyai kepentingan sendiri. O ya, aku tadi belum
menjawab pertanyaanmu. Ketahuilah, bahwa gurumu Suria Kencana itu, dahulu sahabat
suamiku dikala masih hidup. Apakah gurumu tidak pernah menyinggung seorang janda
yang dirundung duka, yang bertempat tinggal di goa Sermin Gunung Kidul?"
Mendengar ini Fajar Legawa terbelalak. Sejenak kemudian pemuda ini dengan
agak gugup berkata. "Apakah.....apakah ibu yang disebut oleh guruku, pertapa sakti
Dewayani?"
Perempuan itu tertawa merdu. Jawabnya kemudian. "Ah, gurumu pandai
berkelakar. Mengapa sebutan dan namaku ditambah dengan pertapa sakti segala?"
Untuk sejenak mereka berdiam diri. Tetapi kemudian Dewayani menegur. "Aihh,
mengapa kalian hanya saling pandang?"
Teguran itu membuat mereka kaget. Nawang Wulan malu dan menundukkan kepalanya.
Dan dua orang muda ini sama-sama tidak tahu bagaimana harus membuka mulut dan
bicara.
Dewayani menghela napas pendek. Kemudian. "Anak muda, anakku Wulan
memang nakal. Aku kelabakan mencari kesana kemari, ternyata diam-diam telah pergi
sampai kemari. Goa Sermin dan tempat ini bukan jarak yang dekat, dan untung juga aku
seperti dituntun tangan Tuhan, sehingga aku dapat menyusul kemari. Kalau tidak apakah
jadinya?"
Setelah terjadi perkelahian tadi, dua orang muda ini merasa sadar. Bahwa apa yang
sudah mereka lakukan memang amat berbahaya. Mereka tadi, bagaimanapun merasakan
kesulitan. Mereka telah mengerahkan tenaga dan kepandaian yaug dimiliki. Namun
mereka tidak juga berhasil mengalahkan lawan yang jumlahnya banyak itu, dan baru Juru
Demung melarikan diri, sesudah Dewayani muncul.
"Ibu selalu melarang aku saja!" protes gadis ini sambil memandang ibunya. "Itulah
sebabnya secara diam-diam aku pergi kemari."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa kaget mendengar percakapan ibu dan anak ini. Pada mulanya ia
mengira bahwa ibu dan anak ini datang bersama-sama. Ternyata Dewiyani datang ke
tempat ini dalam usahanya mencari anaknya. Dan ternyata pula Nawang Wulan datang
ke sarang penjahat ini hanya seorang diri.
Ketika Fajar Legawa akan membuka mulut untuk bertanya, telah didahului oleh
Dewayani. "Anak muda, demikianlah watak seorang muda. Banyak kali bertindak tanpa
perhitungan dan hanya terdorong oleh keinginan menurutkan hati. Wulan datang ke
tempat yang jauh ini dengan dua maksud. Pertama, dia ingin membalas sakit hati atas
tewasnya ayahnya, tiga tahun yang lalu, akibat perangkap juru Demung yang curang. Dan
yang kedua, Wulan merasa terhina oleh Juru Dcmung yang kurang ajar. Coba engkau
bayangkan, ayahnya mati dibunuh dengan cara licik dan curang.
Tetapi dia masih juga tidak tahu malu, berani melamar Wulan untuk isteri."
"Ibuuu....!" Nawang Wulan berusaha mencegah ibunya menceritakan persoalan
pribadinya. Akan tetapi ibunya hanya tertawa saja.
Usia Dewayani saat sekarang ini sekitar lima-puluh tahun. Akan tetapi Fajar Legawa
dapat menduga, bahwa disaat mudanya Dewayani seorang perempuan cantik jelita bagai
bidadari. Buktinya walaupun sekarang rambut itu sudah campur dengan putih, namun
kulitnya belum juga berkeriput. Dan kalau toh sekarang Dewayani rambutnya cepat
berobah menjadi putih sebagian, bukan lain adalah akibat derita batin setelah suaminya
tewas ditangan orang.
"Anak muda," Dewayani berkata lagi. "Meskipun kurang perlu namun agaknya
patut juga engkau ketahui, bahwa mendiang suamiku termasuk seorang penegak
Mataram. Dulu ia banyak ikut berperang mengikuti Ingkang Sinuhun Sultan Agung."
"Guru juga pernah menceritakan hal itu, ibu, bahwa suami ibu adalah seorang
perwira Mataram yang bernama Tumenggung Yudokenoko," sahut Fajar Legawa.
"Engkau benar. Memang dialah suamiku!" kata Dewayani. "O ya, lalu apakah
sebabnya engkau datang juga kemari?"
Fajar Legawa seperti sadar dari mimpi mendengar pertanyaan ini. Baru ingatlah ia
sekarang akan tujuannya datang kemari. Dengan agak gugup ia segera menceritakan
malapetaka yang telah menimpa keluarga dan para tetangganya. Dan kemudian ia
menduga bahwa Juru Demunglah yang sudah melakukan perbuatan terkutuk itu.
"Perkenankan saya minta diri untuk mencari adik Irma Sulastri," kata pemuda ini
kemudian, dan tanpa menunggu jawaban Fajar Legawa telah masuk ke dalam sarang
penjahat itu.
"Nanti dulu !" tiba-tiba Dewayani menahan. "Mengapa engkau tidak minta diri
kepada anakku?"
Melengak untuk sejenak, atas teguran Dewayani ini. Saat sekarang dirinya sedang
gelisah memikirkan adik perempuannya. Mengapa hanya sekecil ini saja, harus
dipikirkan? Akan tetapi Fajar Legawa memang tidak ingin membuat orang kecewa. Ia
kembali dan mendekati Nawang Wulan sambil berkata. "Nona, ijinkan....."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Nanti dulu!" tukas Dewayani. "Janganlah kamu mempersulit diri dengan macam
sebutan. Wulan lebih muda, maka pantas memanggil kakang. Dan engkau yang lebih tua,
pantas pula menyebut adik."
Terasa malu juga dua orang muda ini mendengar kata-kata Dewayani. Namun
kemudian walaupun agak likat dan canggung, Fajar Legawa segera minta diri dan dengan
gerakannya yang cepat, ia menerobos masuk ke dalam sarang penjahat ini.
Rumah yang luas ini ternyata sepi. Ia tidak menjumpai seorangpun. Ia menduga
bahwa Juru Demung telah sempat mengosongkan rumah ini dalam waktu singkat. Akan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi setelah ia masuk semakin dalam sambil meneliti keadaan, tiba-tiba saja darah
pemuda ini tersirap, ketika melihat tubuh seorang perempuan muda yang menggeletak di
lantai. Hatinya berdebar tegang karena sudah menduga, bahwa perempuan itulah
adiknya.
"Aihh...!" Fajar Legawa berseru tertahan, ketika melihat keadaan perempuan ini.
Wajah perempuan ini telah rusak dan tidak mungkin lagi dapat ia kenal. Darah kering
memenuhi wajah itu, jelas perempuan ini mati akibat siksaan hebat. Hidung teriris, mulut
sobek, telinga hilang dan pada pipi tampak luka yang bersilang. Dan ketika meruntuhkan
pandang-mata ke arah dada, ternyata sebatang pisau belati menancap di sela bukan.
Namun setelah meneliti dengan seksama, pemuda ini menjadi lega. Perempuan
muda yang tewas akibat siksaan ini sekalipun mempunyai potongan tubuh yang mirip
dengan Irma Sulastri, akan tetapi perempuan ini kulitnya hitam, sedang adiknya berkulit
kuning.
Kasihan juga Fajar Legawa melihat keadaan perempuan ini, yang tidak terurus.
Namun saat sekarang ini dirinya sendiri sedang gelisah. Dalam waktu yang cepat, ia harus
segera dapat menemukan adiknya.
Cukup lama Fajar Legawa menggeledah isi rumah dan keluar masuk dalam kamar.
Tetapi walaupun berusaha tidak kenal lelah, adiknya yang dicari tak juga dapat
ketemukan. Dan ketika ia baru saja mau masuk ke-dalam sebuah kamar yang paling besar
dalam rumah itu, tiba-tiba saja pemuda ini memekik tertahan sambil melenting tinggi, dan
kemudian ia bergantungan pada penglari rumah. Di bawahnya sekarang tampak lobang
yang amat gelap, dan sesaat kemudian lobang itu menutup sendiri sambil menimbulkan
suara gemeratak.
Tanpa terasa telah dinihari. Ketika Fajar Legawa keluar dari rumah ini, halaman
yang luas itu telah kosong. Yang masih tampak hanya puluhan mayat yang berserakan
bersama macam-macam senjata, sedang Dewayani maupun Nawang Wulan, juga tidak
tampak lagi, entah kemana.
Dengan langkah yang agak lesu karena kecewa dan letih, ia meninggalkan sarang penjahat
itu. Sambil berjalan mi tiba-tiba ia teringat kepada tongkat yang sanggup mematahkan
senjata orang itu. Ia mengamati dan menimang-nimang. Akan tetapi tak juga pemuda ini
bisa menduga, apakah sebabnya tongkat ini hebat sedemikian rupa.
Terpikir kemudian, bahwa secepatnya ia harus pergi menemui gurunya, untuk
melaporkan malapetaka yang menimpa keluarganya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Perjalanan Fajar Legawa menuju tempat tinggal gurunya ini kurang perlu
diceritakan. Ia telah berhasil menghadap gurunya, dan di depan guru yang bijaksana ini
Fajar Legawa menangis tersedu-sedu.
"Fajar, apa yang sudah terjadi? Dan apa kabar adi Kusen?" tanya gurunya yang
merasa heran melihat muridnya menangis.
Dengan ucapan yang tersendat-sendat, diceritakan apa yang telah terjadi atas
keluarganya. Suria Kencana menghela napas dalam mendengar penuturan ini. Kemudian
katanya halus. "Fajar, tenangkanlah hatimu. Kehendak dan kekuasaan Tuhan tidak
terbantah oleh manusia. Apa yang terjadi atas diri tiap manusia, sudab sesuai dengan garis
yang ditentukan Tuhan. Ya, aku mengerti Fajar, betapa derita hatimu oleh malapetaka
yang menimpa keluargamu itu. Ayah-bundamu tewas dan adikmu hilang. Akan tetapi
juga berbangga hati bahwa engkau mempunyai seorang ayah yang gagah perkasa, sebagai
kesatrya sejati yang sanggup mengorbankan jiwa-raganya demi tugas yang dipikulnya.
Demi sumpah dan demi janji yang pernah diucapkan."
Keheranan Fajar Legawa mendengar kata-kata gurunya ini. Mengapa ayahnya
disebut sebagai seorang gagah-perkasa, sebagai ksatrya sejati yang sanggup
mengorbankan jiwa raga demi tugas?
Tugas apakah itu? Jasa apakah yang telah dilakukan oleh ayahnya, sebagai seorang petani
yang hidup di gunung?
"Bapa," katanya kemudian sambil menyeka air matanya. "Ayah hanya seorang
petani yang hidup di pegunungan. Mengapa bapa menyebut sedemikian tinggi?"
"Kiranya tidak mengherankan apabila engkau kurang percaya," kata Suria
Kencana sambil mengusap-usap jenggotnya yang agak panjang. "Soalnya bukan lain
karena ayahmu selalu merahasiakan dengan tertib, keadaannya yang sebenarnya. Hingga
engkau menjadi buta akan tugas berat yang dipikulkan atas pundak ayahmu. Dan oleh
tugas berat yang dibebankan pada pundaknya itulah, maka ayahmu harus hidup
menderita sebagai petani di pegunungan."
Suria Kencana berhenti, ia mengamati muridnya seperti mencari kesan. Dan
setelah menghela napas pendek, barulah kakek ini meneruskan. "Ayahmu bukanlah
petani seperti dugaanmu. Dan nama Kusen-pun baru dikenal orang sesudah ayahmu
berdiam di tempat itu. Tetapi Fajar, saat sekarang aku belum bersedia membuka rahasia
seluruhnya, siapakah engkau yang sebenarnya. Dan belum tiba saatnya pula, anak
siapakah sesungguhnya engkau ini? Yang jelas orang yang menamakan diri Kusen itu
bukan ayahmu. Kiranya saat itu cukup aku singkapkan sedikit rahasia, bahwa ayahmu
yang bernama Kusen itu seorang petugas yang menyelamatkan sebilah keris pusaka dari
rumah Kadipaten Ukur, yang bernama "Tilam Upih". Keris pusaka itu, dahulu besar
sekali jasanya kepada pemiliknya, yang bernama Dipati Ukur."
Dipati Ukur yang dimaksud oleh Suria Kencana ini, adalah seorang Adipati
Mataram yang berkuasa di wilayah Ukur. Yang sekarang dikenal dengan nama wilayah
Bandung.
Heran Fajar Legawa mendengar penuturan gurunya ini. Apakah sebabnya
gurunya ini menyinggung-nyinggung tentang Dipati Ukur? Dan kalau Kusen bukan ayahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kandungnya, lalu siapakah sesungguhnya ayah-bundanya itu? Akan tetapi ia tahu bahwa
gurunya tidak mungkin bersedia menerangkan, diluar kemauannya sendiri.
"Bapa, dimanakah keris pusaka "Tilam Upih" itu sekarang?" tanya Fajar Legawa
tiba-tiba. Sebab mendadak saja timbul kekhawatirannya, keris itu dirampas orang.
"Fajar, sabarlah!" Suria Kencana berusaha menyabarkan muridnya. "Pada
akhirnya engkau akan tahu juga tentang keris itu."
Suria Kencana batuk-batuk kecil, dan kemudian terusnya. "Fajar, pada akhirnya
tentang keris pusaka "Tilam Upih" itu bocor juga. Entah, aku sendiri tidak tahu akan
sebabnya, mengapa sampai rahasia itu bocor. Anakku, orang hanya tahu bahwa Dipati
Ukur dibunuh mati oleh algojo Mataram di Karta. Sedang pusaka keris itu tidak
didapatkan orang. Dengan bukti-bukti itu, akhirnya orang sampai kepada kesimpulan
bahwa keris puska yang amat terkenal itu disembunyikan orang. Dan berita tentang
lenyapnya keris itupun kemudian sampai pula ke te!inga para penjahat. Lalu timbullah
selera orang, untuk mencari di manakah keris pusaka "Tilam Upih" itu sekarang, berada."
Fajar Legawa memandang gurunya, dan dari pandang matanya itu jelas bahwa
pemuda ini tampak tidak sabar.
Suria Kencana kembali batuk-batuk kecil, baru kemudian ia melanjutkan. "Fajar,
untunglah bahwa agaknya ayahmu jauh sebelumnya sudah memperhitungkm persoalan
bocornya masalah ini. Dan itulah sebabnya semenjak engkau masih kecil, engkau telah
dititipkan kepadaku, dengan harapan agar aku dapat mendidikmu sebagai anak. sendiri.
Mengapa demikian? Karena di dalam penyamarannya sebagai petani itu, sulitlah ayahmu
mendidik engkau seperti apa yang telah aku lakukan untukmu. Karena, hal itu akan
menimbulkan kecurigaan orang."
"Fajar," kata gurunya lagi setelah sejenak berhenti, "sesudah tentang keris pusaka
Gusti Adi pati Ukur itu bocor, maka para penjahat berusaha untuk bisa memperoleh keris
yang bertuah itu. Mereka saling berlomba dan dahulu mendahului. Berakibat pula tidak
terhitung jumlahnya korban yang jatuh oleh perbuatan orang-orang yang tidak
bertanggung-jawab. Dan kemudian agaknya, terdapat pula penjahat yang bisa mencium
bahwa sesungguhnya Kusenlah yang menyimpan pusaka itu. Hemmm, ayahmu akhirnya
gugur dalam mengemban tugas berat itu. Dan aku percaya pula, bahwa sebabnya ayahmu
gujur, bukan lain dalam usahanya untuk menyelamatkan keris pusaka itu."
Suria Kencana menghela napas berat. Untuk beberapa saat lamanya kakek ini tidak
membuka mulut, dan menundukkan kepalanya. Tampak sebali Suria Kencana tercekam
oleh rasa haru, sehubungan dengan gugurnya Kusen bersama isterinya. Dan sesudah ia
berhasil menekan perasaan, barulah ia meneruskan. "Sesudah berhasil membunuh
ayahmu, agaknya mereka kemudian berusaha memperoleh rahasia itu dari ibumu. Na-
mun ternyata ibumu pun seorang wanita sejati. Ia tak mau membuka rahasia itu, dan
akibatnya ibumu pun dibunuh. Tak juga puas dengan membunuh ayah-bundamu,
kemudian mereka masih juga menculik adikmu, Irma Sulastri."
"Apakah maksudnya menculik Irma?" tanya Fajar Legawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Agar kemudian orang berusaha mencari Irma Sulastri." Suria Kencana
menerangkan. "Dan dengan meminjam adikmu itu sebagai jaminan, dengan gampang
penjahat itu akan berhasil menemukan kunci rahasianya."
"Jadi menurut dugaan bapa, Irma takkan diganggu orang?"
"Semua itu kiranya tergantung oleh keadaan. Dan aku sulit menduga, mereka
masih menganggap Irma mempunyai kedudukan menentukan atau tidak. Namun dalam
waktu yang terbatas, keselamatan adikmu tidak perlu dikhawatirkan."
Agak tenteram hati Fajar Legawa mendengar keterangan ini. Dan dengan
demikian berarti masih dapat mengharapkan bertemu dengan adiknya. Akan tetapi
kapankah harapan ini bisa terwujud?
Setelah beberapa saat lamanya orang-tua ini berdiam diri, kemudian terdengar ia
berkata lagi. "Fajar, dengan menawan adikmu itu, diharapkan orang-orang yang
mempunyai hubungan akan dapat dijebak dengan gampang. Oleh sebab itu anakku, di
dalam usaha mencari adikmu itu, bahaya akan selalu mengancam dirimu, dan setiap
kelengahan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak kita harapkan. Maka berhati-hatilah eng-
kau dalam setiap gerak dan langkahmu, dimanapun juga."
"Bapa, murid menjadi bingung." kata pemuda ini kemudian.
"Apakah yang membuat bingung?" gurunya bertanya.
"Bapa mengatakan bahwa ayah Kusen bukan ayahku yang sebenarnya. Lalu
siapakah diri murid ini? Apakah murid anak jadah?"
"Hemm, jangan engkau merasa diri serendah itu anakku. Bukan, engkau bukan
anak jadah atau anak haram. Akan tetapi maafkan aku, saat sekarang ini belum saatnya
aku menerangkan."
"Tetapi, mengapakah sebabnya keris pusaka "Tilam Upih" milik Adipati Ukur itu,
dititipkan kepada ayah Kusen? Mengapa tidak dititipkan kepada orang lain?"
"Itu jawabannya gampang dan singkat. Sebab ayahmu Kusen itu, disaat Gusti
Adipati Ukur masih hidup dan berkuasa, adalah salah seorang kepercayaannya. Ayahmu
Kusenlah pengurus rumah tangganya."
Fajar Legawa merasakan kepalanya seperti mau meledak, dan dadanya penuh
pertanyaan kemudian. "Dimanakah keris itu sekarang, bapa? Tadi bapa mengatakan
bahwa keris itu tidak di tangan ayah Kusen,"
"Hemm, akhirnya rahasia itu tidak dapat aku tutup lagi, Fajar." Suria Kencana
menyahut sambil menganggukkan kepalanya. "Dan sebenarnya engkaulah yang
membawa keris pusika "Tilam Upih" dan diperebutkan orang itu."
Fajar Legawa berjingkrak saking kaget. Dirinya tidak merasa membawa keris iiu.
Tetapi mengapa sebabnya gurunya ini mengatakan dirinya yang membawa? Oleh sebab
itu pemuda ini mengamati gurunya dengan pandang mata yang curiga. Katanyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kemudian. "Bapa. Murid tidak memiliki sebilah kerispun. Mengapa bapa mengatakan
bahwa keris pusaka itu di tangan murid?"
Terdengar Suria Kencana ketawa lembut. Kemudian. "Aku sudah menduga
bahwa engkau tidak merasa menyimpan keris pusaka itu. Akan tetapi anakku, aku tidak
berkelakar. Engkau benar-benar menyimpan keris itu. Apakah engkau tidak merasa,
bahwa di dalam tongkat itulah keris pusaka "Tilam Upih" itu tersimpan? Ya, aku memang
sengaja tidak memberitahukan kepadamu tentang keris itu. Namun sekarang aku telah
berterus-terang."
"Celaka!" seru pemuda itu kaget.
"Mengapa?"
"Karena kecerobohan murid, orang segera dapat menduga-duga bahwa pusaka itu
di tangan murid." Fajar Legawa berusaha memberi penjelasan. "Murid telah
menggunakan tongkat ini untuk mengobrak-abrik sarang penjahat Juru Demung. Setiap
senjata yang berbenturan dengan tongkat murid akan segera patah atau rusak. Dan dengan
kenyataan ini mau tidak mau orang akan segera curiga dan menduga-duga. Bahwa di
dalam tongkat murid, tentu tersimpan senjata pusaka. Ahhh, semula saya keheranan.
Akan tetapi teka-teki itu sekarang sudah terjawab. Bapa murid menjadi khawatir sekali.
Khawatir kalau murid tidak dapat menyelamatkan keris pusaka "Tilam Upih" ini. Maka
murid sekarang mohon agar bapa sudi menyimpan keris ini."
"Ha-ha-ha," Suria Kencana tertawa. "Engkau tidak perlu gelisah, anakku.
Mengapa engkau harus khawatir? Bukankah engkau percaya akan kekuasaan Tuhan dan
takdirnya? Kalau percaya, maka serahkanlah semua itu bulat-bulat kepada Tuhan."
Gurunya berhenti dan memandang Fajar Legawa penuh perhatian. Sejenak
kemudian guru ini meneruskan. "Fajar, engkau menduga bahwa aku lebih pantas
menyimpan keris pusaka itu? Apakah engkau lupa bahwa segala sesuatu terjadi sesuai
dengan garis Tuhan? Setiap orang kenal belaka bahwa aku sahabat ayahmu Kusen. Siapa
tahu kalau kemudian hari orang datang ke mari dan memaksa padaku agar menyerahkan
keris itu? Aku sudah tua, baik tenaga maupun keadaanku sudah banyak menurun. Maka
jalan yang paling tepat apabila keris itu tetap pada tanganmu, dan semuanya serahkan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulat-bulat di tangan Tuhan."
Untuk beberapa saat lamanya guru dan murid ini tidak membuka mulut. Masing-
masing seperi sedang berpikir.
"Baiklah bapa, murid akan selalu menjaga keselamatan keris ini," kata Fajar
Legawa kemudian. "Akan tetapi setujukah bapa, bahwa keris ini ditempatkan pada benda
lain agar lebih gampang menjaganya?"
Suria Kencana menghela napas pendek. Kemudian. "Fajar, kiranya pada saat
sekarang belum dipandang perlu berbuat demikian. Biarkan keris itu dalam tongkatmu.
Namun demikian juga menuntut padamu untuk lebih berhati-hati. Batasilah engkau
menggunakan tongkat itu, apabila tidak dibutuhkan benar-benar. Sebab dengan sekali
bentur senjata orang patah akan menimbulkan kerigaan orang. Engkau bukan anak kecil
lagi Fajar, aku percaya engkau sudah dapat berpikir mana yang lebih baik."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Kakek ini berhenti dan menundukkan kepalanya seperti sedang berpikir. Dan
kemudian terdengar lagi kata orang tua ini. "Ada sesuatu yang tidak kurang pentingnya
aku beritahukan padamu."
"Tentang apakah bapa?" tanya Fajar Legawa sambil mengambil mengangkat
kepalanya.
"Telah berlangsung belasan tahun lamanya, bahwa didalam pergaulan masyarakat
timbul pendapat tentang pentingnya dapat memiliki pusaka-pusaka yang bertuan. Di
samping orang berlomba ingin memiliki keris pusaka "Tilam Upih", ada pula pusaka lain
yang diincar tiap orang. Pusaka itu bernama pedang pusaka "Sokayana" ."
"Pedang Sokayana?" Fajar Legawa terbelalak. "Milik siapakah pedang itu pada mulanya
bapa?"
"Tidak seorangpun dapat memberi penjelasan. Namun yang terang pedang itu
sudah berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan orang lain. Dan perpindahan itupun
menimbulkan korban cukup banyak. Akan tetapi yang jelas, apabila pusaka bertuah itu
jatuh ke tangan orang jahat, akan menimbulkan bencana dalam masyarakat. Ada orang
mengatakan pedang itu merupakan benda peninggalan Maha Patih Gajah Mada. Ada
pula orang yang merasa yakin peninggalan Ronggo Lawe. Tetapi lain pihak ada pula yang
mengatakan pedang itu semula milik Raden Gajah, pahlawan Majapahit. Macam-
macamlah kata orang. Sehingga sulit mengetahui mana yang benar. Aku hanya tahu
bahwa pedang itu tajam sekali, dan orang berlomba memiliki."
Banyak pengetahuan yang diberikan oleh guru bijaksana ini untuk muridnya.
Hanya satu persoalan, siapakah dirinya yang sesungguhnya, gurunya tetap belum juga
mau menerangkan, dengan alasan "belum waktunya".
Pemuda ini telah berpisah dengan gurunya lagi. Hilangnya Irma Sulastri
menyebabkan pemuda ini ingin meneruskan lagi penyelidikannya. Namun mengingat
bahwa perjalanan selanjutnya akan banyak membutuhkan tenaga, maka terpikirlah untuk
pergi ke Margasari dahulu, bertemu dengan Wanengbaya, untuk mengambil kudanya.
Ketika itu sudah siang. Matahari hampir di tengah jagad dan memancarkan
cahayanya yang cukup terik. Gunung Pandantelu sudah tidak jauh lagi, dan ia melewati
jalan pedesaan yang berdebu. Akan tetapi Fajar Legawa menjadi kaget dan mengerutkan
alisnya ketika tiba-tiba menangkap teriakan anak kecil. "Lepaskan. . . .lepaskan. . . !
Bangsat. . . .anjing . . ! Lepaskan aku. . ...!"
"Tutup mulutmu. Kupukul engkau jika rewel!" bentak seorang laki-laki yang sedang
mencengkeram lengan bocah itu sambil mendelik.
"Apakah engkau ingin aku tempeleng?" katanya lagi. Dan baru ancaman ini
diucapkan tangannya telah bergerak dan menempeleng. Kontan saja bocah kecil itu
memekik kesakitan, menangis sejadinya dan jatuh tersungkur di atas tanah berdebu.
Mereka itu empat orang. Mereka gembira sekali dapat menyiksa bocah itu dan
ketika bocah itu tersungkur, mereka sambut dengan ketawa mereka yang bergelak-gelak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tidak seorangpun berusaha menolong anak kecil itu. Malah mereka yang melihat, cepat-
cepat pergi dan bersembunyi, agar tidak ikut memikul akibatnya.
Tadi, bocah itu memang menangis sejadinya. Tetapi ketika mendengar
ditertawakan, tiba-tiba saja bocah ini bangkit dan tangisnya berhenti mendadak. Bocah ini
secara tidak terduga telah menubruk. Dan salah seorang berhasil digigit tangannya.
"Aduhh.......... anjing kecil!" teriak yang digigit, "Kau ingin mampus?"
Tangan yang lain menempeleng mulut bocah itu, sehingga gigitannya lepas. Disaat
tubuh ini masih terhuyung, tendangan telah bersarang pada perut. Kontan saja bocah cilik
ini terlempar beberapa meter jauhnya, lalu roboh terguling.
Tetapi begitu jatuh bocah ini sudah bangkit lagi, tidak perduli mulutnya
berdarahan pakaiannya kotor. Mata yang kecil itu berapi-api menyapu kepada mereka.
Agaknya kesakitan yang diderita, menyebabkan bangkit keberanian bocah ini.
Melihat ini Fajar Legawa tertegun. Apakah sebabnya empat orang dewasa
menganiaya bocah cilik? Dan mengapa pula sebabnya orang tidak berusaha menolong
dan menyelamatkan bocah itu.
Salah seorang dari empat orang itu mendelik sambil membentak. "Anjing kecil!
Engkau berani menantang kami? Apakah engkau ingin kupukul biar pecah kepalamu?"
"Biar aku yang menghajar!" sambut salah seorang di antara mereka, kemudian dia
telah melompat dan mengayunkan pukulannya.
Tetapi sebelum pukulannya itu sempat mengenai si bocah, sesosok bayangan yang
gesit telah menyambut. Terdengar pekik kesakitan, kemudian terlemparlah tubuh laki-laki
yang pada mulanya ingin menghajar bocah itu. Laki-laki itu tidak segera bangun, dan dia
merintih-rintih.
"Hai babi!" damprat seorang diantara mereka, "Apakah engkau mencari mampus,
berani mengganggu pekerjaan kami?"
"Tidak tahu malu!" kata Fajar Legawa. "Mengapa kamu menghajar bocah cilik?"
"Apa? Engkau ingin membela?" salah seorang diantara mereka bertolak pinggang.
"Nih, sambutlah pukulanku!"
Orang tersebut sudah menerjang maju. Dan Fajar Legawa tersenyum. Ia tidak
bergerak dari tempatnya berdiri, dan baru menghindar setelah pukulan itu hampir
menyentuh tubuhnya. Namun demikian ia belum membalas, karena ia tahu bahwa
sesungguhnya orang ini hanyalah garang di luar. Sesungguhnya orang ini hanyalah
gentong kosong saja. Dan agaknya serangannya yang luput itu, telah memberi alasan bagi
orang ini untuk mencabut senjatanya. Dan iapun kemuaian memberi isyarat kepada
kawannya untuk maju dan mengeroyok.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tring tring plak.....!" tiga orang laki-laki itu terbelalak kaget ketika senjata mereka
menyeleweng oleh sentilan pemuda itu. Tetapi hanya sejenak saja, kemudian mereka telah
kembali menyerang secara ganas.
Akan tetapi sayang sekali bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang
pandai menekan, memeras dan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk yang lemah.
Sekarang walaupun mereka mengeroyok tiga, dan bersenjata pula, mereka tidak mampu
berbuat apa-apa menghadapi Fajar Legawa.
"Tring tring plak buk hek .....!"dengan sentilan jari tangan senjata mereka dapat
disentil menyeleweng. Belum juga mereka dapat berbuat sesuatu, berturut-turut Fajar
Legawa telah membagi pukulan dan tendangan. Akibatnya tiga orang itu terlempar dan
mengaduh-aduh kesakitan. Kegarangan mereka lenyap, kemudian mereka meratap-ratap
dan minta ampun.
"Horee .... paman hebat sekali. . . ..!" anak kecil itu kagum sekali, lupa rasa sakit
akibat penganiayaan mereka tadi, dan sekarang sudah bersorak.
Fajar Legawa memalingkan muka kepada bocah itu. Hatinya terharu melihat
mukanya berlepotan darah dan pakaiannya kotor di samping robek sana-sini. Dan
agaknya bocah itu menjadi makin berani. Ia sudah menghampiri Fajar Legawa sambil
memegang lengan, katanya. "Paman, bolehkah aku membalas memukul mereka?"
"Engkau berani?" tanyanya sambil tersenyum.
"Mengapa tidak berani?" jawabnya tegas.
"Baiklah anak baik, pukullah mereka. Tetapi masing-masing tidak boleh lebih dua kali
saja."
"Bagus," bocah ini bertepuk tangan gembira sekali. Kemudian, ia telah mendekati si tinggi
besar yang tadi sudah memukul mulutnya.
"Tak dess .... aughh ....!" si tinggi besar kelabakan dan memekik kesakitan. Oleh dupakan
tumit, hidungnya sudah mengeluarkan kecap. Dan di samping itu, dadanya juga terasa
sesak tiba-tiba, oleh dupakan bocah ini pula.
Bocah kecil itu senang dan berjingkrakan. Kemudian ia membagi pukulan kepada
mereka dengan caranya sendiri. Setelah empat orang itu mengaduh-aduh kesakitan oleh
balasannya, bocah ini puas.
Fajar Legawa iba dan kasihan. Dibersihkan noda darah pada muka bocah itu, di
samping obat untuk menyembuhkan luka pada bibir dan dalam mulut.
"Mengapa mereka memusuhi engkau? Apakah engkau nakal?"
"Tidak! Aku tidak bersalah paman. Dan orang-orang tidak berani menolong aku."
Di saat Fajar Legawa sedang bicara dengan bocah itu, maka empat orang tadi
diam-diam telah pergi karena ketakutan,
"Ohh . . . . kak Karni .... kak Karni . . " teriak bocah ini tiba-tiba, setelah ingat akan
keadaan, dan bocah ini berusaha lari.
''Ada apa?" tanya Fajar Legawa sambil memegang lengan bocah itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Lepas .... lepaskan aku. Aduhh .... kak Karni .... hu-hu-huuu . . . ."
"Ada apa?" desaknya sambil tetap memegang lengan kecil itu.
"Tadi .... tadi kak Karni diambil orang . ."
"Siapa yang mengambil?"
"Orang orang Singamurda . . . tadi aku .... tidak boleh ikut. Dan aku dipukuli . . ."
Tiba-tiba saja bocah ini menangis terisak-isak. Dan Fajar Legawa tambah iba.
"Apa sebabnya diambil?"
"Tak tahu .... hu-hu-huuu.....tapi kak Karni tadi tidak mau dan melawan . . . .."
"Di manakah rumah dia?" tanya Fajar Legawa dengan hati tegang. Walaupun
keterangan ini kurang jelas, namun ia sudah dapat menduga bahwa kakak-perempuan
bocah ini diambil orang secara paksa.
"Sana....!" bocah itu menunjuk kearah selatan.
"Mari kita ambil," ajak Fajar Legawa kemudian, sambil membimbing bocah itu.
Anak itu menengadahkan kepalanya untuk menatap Fajar Legawa. Lalu, "Tetapi paman
.... tidak seorangpun tetanggaku yang berani menolong .... Apakah paman berani?"
Mendengar pertanyaan bocah ini, tahulah ia mengapa para penduduk lebih senang
bersembunyi dan tidak mau campur-tangan. Agaknya orang yang disebut bernama
Singamurda itu seorang kaya, atau setidak-tidaknya seorang yang ditakuti oleh para
penduduk maupun kepala desa. Dan sebabnya orang-orang desa ini tidak berani membela,
bukan lain karena mereka takut akan akibatnya.
"Ha .... ternyata pamanpun takut juga?" sindir bocah ini.
Tetapi Fajar Legawa tidak marah, malah tersenyum. Jawabnya kemudian. "Siapa
yang takut? Anak baik, aku tidak takut kepada Singamurda, seperti para penduduk desa
ini. Mari, tunjukkan aku di manakah rumah dia."
Wajah bocah ini tiba-tiba berobah berseri gembira. Kemudian ia telah berlari-lari
mendahului Fajar Legawa.
"Jauhkah rumah orang itu?" tanya Fajar Legawa.
"Rumahnya terletak di-ujung sana."
"Mari aku dukung, agar lebih cepat." Dan tanpa menunggu jawaban, bocah ini
sudah didukung.
"Ahh, paman baik sekali."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Apanya yang baik?"
"Paman toh belum kenal aku maupun kakakku. Tetapi paman sudah sedia
menolong. Sebaliknya walaupun para tetanggaku telah kenal, mereka malah tutup pintu."
Fajar Legawa tersenyum. Kemudian tanyanya. "Siapakah namamu?"
"Namaku Sasongko! Dan paman?"
"Aku Fajar Legawa."
"Ahhh .... bagus......"
"Apanya yang bagus?"
"Nama paman."
Tiba-tiba pemuda ini teringat kepada ayah bocah ini. Tanyanya. "Sasongko,
mengapa ayahmu tidak menolong kak Karni?"
"Ayah? Ayahku? Aku dan kak Karni sudah tidak punya ayah dan ibu lagi."
"Sudah meninggal?" ulang Fajar Legawa. Dan tiba-tiba saja ia merasa iba, bahwa
bocah sekecil ini sudah tidak berayah dan ibunda lagi. Bocah yang usianya baru antara
delapan tahun ini sesungguhnya masih amat memerlukan perlindungan orang-tua.
"Paman," kata bocah ini, "aku tadi sedang bermain-main ketika orang-orang
Singamurda itu datang ke rumahku. Dan aku hanya menyaksikan bahwa kakakku
memekik dan menangis di samping berusaha memberontak. Tetapi walaupun kakakku
memberontak, mereka jauh menang kuat. Kakakku tidak berdaya, dan tidak seorangpun
berani menolongnya. Aku mengejar sampai ke rumah Singamurda. Tetapi kemudian aku
ditangkap dan digelandang pulang sambil dicaci dan dipukuli. Nih paman .... bibirku
pecah dan kepalaku benjol-benjol, rasa tubuhku sakit semua."
"Tadi engkau sudah aku beri obat, nanti akan sembuh anak baik."
Bujukan Fajar Legawa ini berhasil. Kemudian dengan tangannya yang kecil
Sasongko telah menunjuk ke depan, ke arah pekarangan itu yang bertembok tinggi. "Tuh,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tembok tinggi itulah rumah Singamurda, tetapi awas paman, rumahnya selalu dijaga
orang-orang bersenjata."
"Jangan khawatir, anak baik- Aku akan berhati-hati dalam usahaku menolong
kakakmu. Dan kau, tunggu saja di tempat agak jauh."
"Mengapa harus jauh?" bantah bocah ini. "Aku ingin bisa menyaksikan usahamu
merebut kakakku. Aihh, paman, celaka! Perutku lapar sekali. Nih, sudah bunyi. Perut ini
sudah minta isi paman."
Fajar Legawa tersenyum tetapi juga merasa iba. Untung juga bahwa ia masih
menyimpan nasi jagung dan dendeng ikan rusa. Bocah ini diturunkan dari dukungannya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
diberi sebungkus nasi jagung berikut ikan dendeng bakar, seraya berkata. "Anak,
makanlah nasi jagung dan ikan ini. Tetapi engkau harus tunduk pada perintahku, engkau
harus bersembunyi di tengah rumpun pisang itu, dan tidak boleh pergi. Apakah engkau
mengerti?"
Sasongko memandang dengan matanya yang bening. Kemudian mengangguk
sambil menjawab. "Ya paman, aku akan tunduk perintahmu,"
Pekarangan rumah itu bertembok cukup tinggi dan pada pintu masuk tertutup
rapat. Terdapat pintu kecil terbuka yang biasa dilewati orang dengan membungkuk.
Tetapi pintu itu dijaga dua orang bersenjata tombaks tidak bedanya dengan rumah seorang
bangsawan atau pembesar tinggi.
Namun Fajar Legawa tidak perduli. Ia langsung menghampiri dua orang penjaga
itu. Dengan sikap mengancam dua orang penjaga itu mengacungkan tombak dan salah
seorang sudah membentak. "Hai, apa kerjamu di sini? Mau merampok?"
Fajar Legawa tidak menjawab teguran penjaga itu, hanya tersenyum. Kemudian
dengan gerakan yang seperti kilat cepatnya, dua tangan sudah bekerja. Tombak terlempar,
dan dua orang itu roboh tanpa suara. Serangan yang cepat tidak terduga ini tidak memberi
kesempatan orang membela diri. Secepat kilat ia sudah melompat dan menerobos masuk.
Dua batang tombak menyerang dari kiri dan kanan. Akan tetapi dengan tangkisan,
tombak itu terpental.
"Rampok! Rampok!" teriak si penjaga.
Dalam waktu singkat halaman yang luas itu sudah dikurung puluhan orang
bersenjata. Namun tidak sedikitpun gentar pemuda ini, dan berdiri bersiaga. "Beritahukan
kepada Singamurda. Aku datang dan ingin bicara!"
Beberapa orang menyambut teriakan ini dengan ketawa mengejek. Tak lama
kemudian muncullah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, bersikap
gagah dan pakaiannya indah. Pedang bersarung indah tergantung pada pinggang,
gerakannya gesit. Ketika berhadapan dengan Fajar Legawa, laki-laki itu sudah memaki.
"Bangsat! Butakah matamu bahwa di dalam rumah ini terdapat peraturan? Setiap tamu
harus melapor dahulu kepada penjaga dan minta ijin masuk. Tetapi engkau sudah
menerobos masuk seperti maling. Apakah engkau memang datang untuk merampok?"
"Hemm, aku ingin berhadapan dengan Singamurda."
"Heh-heh-heh, jangan engkau membuka mulut sembarangan di sini. Tahu?"
hardik laki-laki ini. "Hari ini beliau tidak menerima tamu! Hah-huh, masuk memang
mudah. Tetapi untuk keluar, tinggalkan dahulu nyawamu."
Terdengar suara sambutan yang mengejek dari beberapa orang. Malah ada pula
yang sudah menganjurkan, agar tamu kurang ajar itu segera di cincang sampai mati.
Fajar Legawa tetap tenang. Kemudian katrnya. "Jika Singamurda tidak sempat
menemui aku di luar, biarlah aku sekarang yang masuk."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sekali melompat dengan gerakan yang gesit, Fajar Legawa telah dapat melampaui laki-
laki yang menghadang ini. Akan tetapi sebelum ia sempat masuk kedalam pendapa,
sambaran angin tajam menyentuh punggung, ia melompat kesamping sambil
membalikkan tubuh, dan sekali sambar tombak yang dilemparkan orang sudah dapat ia
tangkap.
Sungguh kebetulan. Ia tidak dapat menggunakan tongkatnya sembarangan dan
membutuhkan senjata. Dengan tombak ini, walaupun tidak biasa akan dapat menahan
terjangan musuh.
Tetapi justeru tertundanya langkah ini, ia kembali terkepung rapat sekali. Mereka
sudah tidak mau bicara lagi, langsung menerjang dengan senjata masing-masing.
Benturan senjata segera terdengar berturut-turut, halaman itu segera terjadi hiruk-pikuk.
Pengeroyokan ini dipimpin oleh laki-laki yang menghadang tadi, bernama Singa Warih.
Dia merupakan pemimpin yang ketiga. Lengkapnya mereka empat orang. Ialah
Singamurda, Singawana, Singawarih dan Lamdahur.
Beruntung tak lama kemudian Fajar Legawa berhasil merampas sebatang pedang.
Dengan senjata pedang ini, gerakannya justeru lebih gesit dan leluasa dibanding dengan
tombak yang tidak biasa.
Dalam waktu singkat Fajar Legawa telah terkurung amat rapat. Dan keroyokan ini
tambah hebat lagi setelah Singawana terjun ke gelanggang. Singawarih bersenjata pedang,
dan Singawana bersenjata golok. Pedang Fajar Legawa menyambar-nyambar dahsyat dan
setiap bergerak menikam atau menbabat, akan terdengarlah pekik kesakitan. Meskipun
demikian yang ia hadapi sekarang ini banyak sekali. Patah tumbuh hilang berganti.
Apa yang terjadi di tempat ini, tidak jauh bedanya dengan ketika dirinya masuk ke
dalam sarang Juru Demung. Walaupun ia berkulit tembaga dan bertulang besi, akhirnya
ia repot juga. Sebab ia tidak berani menggunakan tongkatnya yang ampuh itu, yang dapat
mematahkan senjata lawan dengan sekali bentur.
Di saat perkelahian sedang berlangsung sengit ini, tiba-tiba terdengarlah suara
ketawa bekakakan, dan disusul kata-kata seperti kaleng pecah. "Ha-ha-ha, menangkap
tikus cilik saja, mengapa harus main keroyokan? Kakang Singawana! Kakang Singawarih!
Kalian mundurlah, serahkan tikus itu kepadaku."
Berbareng dengan selesainya ucapan itu, sesosok tubuh telah melayang turun dari
atap. Dia inilah Lamdahur, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa, dan
merupakan orang termuda dalam gerombolan ini. Akan tetapi walaupun paling muda,
tenaganya kuat sekali seperti raksasa. Dan sesuai dengan tenaganya yang kuat itu, maka
penggadanya menyeramkan dan amat besar, dan malah sepasang pula.
Singawana dan Singawarih dan mereka semua yang tadi mengeroyok sudah
melompat mundur. Mereka semua percaya bahwa Lamdahur akan sanggup membereskan
pemuda liar dan sombong ini. Dan tanpa bicara ini dan itu, Lamdahur sudah pula
menerjang ke arah Fajar Legawa. Sepasang penggadanya bergerak cepat menerbitkan
angin menderu-deru. Namun Fajar Legawa menghadapi dengan tenang.
Perkelahian seorang lawan seorang ini dalam waktu singkat telah menjadi sengit.
Pada saat tidak terduga, Fajar Legawa mendapat kesempatan menikamkan pedangnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tetapi dengan tenang Lamdahur sudah menggerakkan penggadanya secara bersilang.
Fajar Legawa menarik kembali pedangnya cepat-cepat, dan gerakan itu diteruskan untuk
membabat leher. Lamdahur yang tidak menduga kaget, dan menggerakkan penggadanya
untuk menangkis dan membabat kaki. Tetapi dengan loncatan yang ringan, sambaran
sepasang penggada itu luput.
"Bret!" Lamdahur terhuyung ke belakang, dan terdengar seruan tertahan dari mulut
beberapa orang. Baju Lamdahur yang indah terbikin dari sutera mahal itu sudah robek
berikut daging pundaknya terluka.
Lamdahur marah sekali dan menggeram marah sekali, terluka pada pundaknya.
Dengan sepasang penggadanva itu menerjang maju. Tetapi dengan lincahnya Fajar
Legawa selalu berhasil menghindari.
"Kakang Singawana. Kakang Singawarih. Bantulah aku!" akhirnya Lamdahur tak dapat
menahan diri lagi, dan minta bantuan saudaranya.
Tiga orang itu segera mengeroyok Fajar Legawa. Pedang pemuda ini menyambar
kearah Siagawana. Akan tetapi senjata Singawarih menyambar dari arah kiri. Tanpa
menunda gerakan pedangnya, Fajar Legwa menggunakan tangan kiri untuk mementil
senjata lawan. Akan tetapi pada saat itu Lamdahur tidak berdian diri. Penggada pada
tangan kanan menyerampang kaki dan penggada tangan kiri dipergunakan menyontek
pedang. Fajar Legawa tidak berani gegabah, dan terpaksa melompat menghindari.
Di saat perkelahian sedang terjadi dengan sengitnya ini, terdengar seruan beberapa
orang yang gempar. Fajar Legawa melompat mundur, demikian pula tiga orang
pengeroyok itu. Apa yang tampak kemudian ketika Fajar Legawa mengamati ke atas
tembok. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Mengapa sebabnya
Sasongko Jati yang kecil itu, dapat naik ke tembok setinggi itu?
Akan tetapi kegemparan dan keheranan orang-orang itu hanya sejenak. Sambil
berteriak marah, anak-buah Singamurda ini sudah menghujani sambitan ke arah
Sasongko Jati. Namun walaupun itu seperti hujan, tidak sebutirpun yang dapat
menyentuh tubuh bocah itu.
"Ha-ha-ha. tidak tahu malu!' teriak bocah ini kemudian. "Mengeroyok seorang
saja tidak becus. Paman, engkau jangan khawatir. Aku bantu engkau dari tempat ini,
dengan pukulan "lebur jagad!"
Terkejut Fajar Legawa mendengar ini. Namun demikian, pemuda ini seperti
disadarkan. Mengapa sejak tadi ia hanya mengandalkan kepada senjata pedang, dan tidak
menggunakan Aji "Lebur Jagad"? Namun di samping itu heran pula hati pemuda ini. Dari
siapakah bocah itu tahu tentang aji itu? Hanya saja Fajar Legawa tidak sempat untuk
menduga-duga tentang bocah itu. Sambil menyalurkan tenaga sakti ke tangan kanan,
pedang itu sudah dipindah ke tangan kiri. Sambil membentak keras pemuda ini sudah
meloncat sambil memukul dengan telapak yang dimiringkan ke arah Singawana.
"Brak.....!" dan tubuh Singawana sudah terlempar lebih dua tombak jauhnya,
walaupun pukulan Fajar Legawa tidak menyentuh tubuh lawan. Limdahur dan
Singawarih kaget dan terbelala, menyaksikan saudaranya roboh di atas tanah tidak
berkutik lagi. Belum juga tahu apa yang harus dilakukan, mendadak terdengarlah suarahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
ribut dan pekik kesakitan dari beberapa orang, Dari atas tembok telah terjadi hujan se-
rangan dengan batu kerikil, yang disambitkan oleh Sasongko Jati yang kecil. Akan tetapi
walaupun hanya disambitkan oleh bocah cilik, mereka yang terkena sambitan itu gulung
koming.
Saat itu juga terjadilah geger. Bukan saja para anak buah itu, tetapi Lamdahur dan
Singawarih sendiri menjadi hancur semangatnya, melihat akibat dari pukul lawan. Untuk
menyelamatkan diri, dua orang ini sudah melompat dan melarikan diri.
Sayang sekali Fajar Legawa saat ini sudah marah. Pukulan "Lebur Jagad" yang
kedua kalinya menyambar ke arah Singawarih, dan tidak ampun lagi tubuh orang itu
terpental lebih dua meter jauhnya, terguling roboh kemudian tidak berkutik lagi.
Pada saat itu, melayanglah Sasongko Jati dari atas tembok bersama seorang
pemuda gagah, mengenakan ikat kepala berwarna hijau muda.
"Kakang Tumpak!" seru Fajar Legawa yang kegirangan, bertemu dengan kakak-
seperguruannya ini.
Tumpak Denta tertawa lebar, sambil menurunkan Sasongko Jati dari
pondongannya. Bocah ini ketawa gembira sekali, kemudian berkata, "Paman Fajar, aku
tadi dapat terbang!"
Semestinya, bocah, sekecil ini akan takut diajak melayang dari tembok setinggi itu.
Namun Sasongko Jati bukan takut, malah merasa bangga. Akan tetapi belum juga Fajar
Legawa sempat berkata, Tumpak Denta sudah mendahului. "Adi, jangan menunda
waktu. Selekasnya kita harus masuk ke dalam."
"Betul!" sambut bocah itu, "Kita tolong kak Karni!"
Bergegas mereka segera masuk ke dalam rumah. Namun rumah itu sepi, dan Singamurda
tidak tampak batang hidungnya. Pengalamannya di sarang Juru Demung menyebabkan
Fajar Legawa tidak berani gegabah dan bergerak sembarangan. Rumah yang tampaknya
kosong ini tentu sudah dilengkapi dengan perangkap dan jebakan. Dengan gerakan yang
hati-hati mereka terus masuk makin dalam.
"Aihhh .... kak Karni . . . .!" teriak Sasongko Jati tiba-tiba.
Tumpak Denta dan Fajar Legawa segera melihat pula, bahwa dalam ruangan rumah yang
cukup luas itu, tampak seorang perempuan duduk pada kursi tidak bergerak. Wajah
perempuan itu tampak pucat, dan kepalanya bersandar.
Tiba-tiba saja Sasongko Jati sudah melompat menghampiri perempuan itu, untuk
kemudian menubruk. Namun di saat tangan kecil itu hampir menyentuh kakaknya, segera
terdengarlah suara gemerisik halus dan mencurigakan. Tumpak Denta dengan
lompatannya yang ringan telah berhasil menyambar tubuh Sasongko Jati. Sebaliknya,
dengan tangan kiri, Fajar Legawa juga sudah berhasil menyambar tubuh perempuan itu.
Namun berbareng dengan itu, segera berdesinglah anak-panah, menyambar dari
seluruh penjuru. Untung juga dua orang muda ini sudah bersiap diri, dan sambil
berloncatan untuk keluar dari ruangan ini, menggunakan senjata untuk menangkis.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Celaka!" seru Fajar Legawa tiba-tiba dan wajah pemuda itu berobah pucat.
Tumpak Denta terkejut. Dan ketika melihat ke arah perempuan itu. tahulah ia sekarang
bahwa perempuan yang ditolong itu sudah tewas. Tampak sekali bahwa perempuan itu
amat menderita oleh siksaan kejam. Baju pada punggung robek-robek, dan kulit yang
kuning itu tampak adanya luka-luka terbakar. Sedang di samping itu masih ada bagian-
bagian tubuh lain yang terluka bakar maupun terluka tusukan senjata tajam. Mudah
diduga bahwa perempuan ini menolak bujukan Singamurda, dan karena jengkel
Singamurda tidak segan-segan menurunkan tangan kejam.
Sasongko Jati menangis melo1ong-lolong sambil memeluk tubuh kakaknva.
Melihat ini dua orang pemuda itu iba disamping pilu. Untuk beberapa saat lamanya dua
orang muda ini t:dak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga dibiarkan saja bocah itu
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis sedih sekali.
Mendadak terdengarlah suara sorak gemuruh di luar di samping suara api, di-
susul pula oleh runtuhnya sementara bangunan. Dua orang muda ini kaget. Secepat kilat
dua orang muda ini sudah menyambar jenazah Karni maupun tubuh Sasongko untuk
diselamatkan. Namun ah, terlambat! Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dari
bahaya api tertutup oleh puluhan orang bersenjata. Lamdahur dan Singamurda memberi
aba dari belakang, agar dua orang muda itu tidak dapat lolos dari api.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Fajar Legawa.
"Tidak bisa tidak kita harus menyerbu!" sahut Tumpak Denta tegas.
"Tetapi. . . .mungkinkah?" Fajar Legawa merasa ragu. Kemudian pemuda ini
meruntuhkan pandang matanya kepada jenazah Karni yang dikepit di bawah ketiaknya.
"Adi, apa boleh buat! Keadaan mendesak dan berbahaya. Tinggalkanlah jenazah
itu agar engkau dapat melawan mereka dengan baik."
Diam-diam pemuda ini mengeluh mendengar pendapat kakak seperguruannya itu.
Akan tetapi karena keadaan memaksa, meskipun merasa tidak tega harus dilakukan juga.
Fajar Legawa masuk kembali ke dalam rumah, dengan maksud agar jenazah Karni
terbakar bersama dengan rumah.
Sasongko Jati memekik dan melarang. Tumpak Denta membujuk. "Diamlah anak
baik, jangan menangis."
"Tapi .... tapi mengapa kak Karni dibakar?"
"Dia akan sempurna dalam menghadap Tuhan. Dia sudah meninggal, dan kita
harus dapat menyelamatkan diri dari bahaya." Tumpak Denta membujuk.
Namun bocah ini tidak mau mengerti. Ia berusaha memberontak. Terpaksa
Tumpak Denta memukul tengkuk bocah itu dengan tenaga yang diperhitungkan. Dan
oleh pukulan ini, Sasongko Jati pingsan.
Demikianlah, dua orang muda ini kemudian berusaha ke luar selekasnya. Fajar
Legawa di-depanf dan Tumpak Denta mengikuti di belakangnya. Sadar akan bahaya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dalam usahanya membebaskan diri ini, Fajar Legawa langsung menggunakan aji pukulan
"Lebur Jagad". Walaupun dengan aji pukulan ini, akan banyak menggunakan tenaganya.
Pekik ngeri segera terdengar dalam rombongan orang-orang itu, ketika Fajar
Legawa telah memukul dengan aji "Lebur Jagad". Sekali pukul beberapa orang telah
roooh tak berkutik. Dan gegerlah orang-orang yang berusaha membuntu jalan ini.
"Terus maju! Jangan biarkan lolos!" teriak Singamurda memberi perintah kepada
anak-buahnya. Akan tetapi celakanya, walaupun ia berteriak-teriak memerintah, anak-
buahnya ketakutan dan tidak berani mendesak maju. Malah kemudian orang-orang ini
berbalik arah, dengan maksud melarikan diri.
"Goblok! Mengapa mundur?? bentak Lamdahur sambil mendorong. Lamdahur
yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa itu memang bertenaga kuat. Akibat dorongan
ini orang yang semula berbalik tertahan. Akan tetapi celakanya bagian depan ketakutan
menghadapi Fajar Legawa, dan berusaha mendesak mudur.
Terjadilah keributan dan pekik kesakitan terdengar di sana-sini akibat gencetan
yang menyesakkan napas. Sementara itu Fejar Legawa terus mengamuk dan melancarkan
pukulan-pukulan yang membinasakan. Memang dalam menghadapi bahaya ini, Fajar
Legawa, tidak tanggung-tanggung lagi. Walaupun sesungguhnya kurang tega, dilakukan
juga. Sebab tanpa menggunakan kekerasan dirinya sendiri akan mati terbakar.
Lamdahur dan Singamurda yang berusaha menahan arus mundurnya anak buah
itu, tidak urung kalah kuat juga. Kemudian, kakak-beradik ini terpaksa mundur dan
selanjutnya melarikan diri.
Akhirnya berhasil juga Fajar Legawa dan Tumpak Denta menghindari bahaya.
Dan setiba di luar, kakak-beradik perguruan ini melihat, bahwa rumah yang semula
megah itu sekarang telah diamuk oleh api yang berkobar. Diam-diam kagum hati dua
orang muda ini. Bahwa dalam usahanya menyelamatkan diri, mereka tidak segan-segan
untuk menghancurkan rumah sendiri yang megah itu.
Kemudian terbelalaklah dua orang muda ini, ketika terjadi pekik dan jerit
perempuan. Ternyata mereka itu keluar dari rumah ketakutan, sambil membawa apa yang
bisa dibawa. Mereka merupakan perempuan-perempuan muda usia. Maka baik Fajar
Legawa maupun Tumpak Denta segera dapat menduga, bahwa kiranya para wanita muda
itu adalah hasil paksaan oleh penjahat ini.
Dua orang muda ini menghela napas jaga. Agak masygul bahwa usaha mereka
memberantas kejahatan, tidak berhasil seluruhnya. Singamurda dan Lamdahur masih
berhasil menyelamatkan diri.
Tak lama kemudian Sasongko Jati yang semula pingsan itu, telah sadar. Bocah ini
menanyakan tentang kakak perempuannya. Dan bocah ini menangis dan meratap-ratap
lagi, setelah memperoleh penjelasan. Fajar Legawa maupun Tumpuk Denta menjadi
sibuk dalam usahanya untuk menghibur bocah ini. Yang akhirnya berhasil juga
mempengaruhi bocah ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aku rela kakakku tewas. Akan tetapi kemudian hari aku akan menuntut balas!"
kata bocah ini kemudian dengan nada sungguh-sungguh.
"Engkau berani menghadapi mereka?" tanya Tumpuk Denta.
"Mengapa tidak? Kalau aku sudah besar, aku-pun akan pandai seperti paman
berdua."
"Siapakah yang akan mengajar engkau?"
"Paman berdua!"
"Ahh, mengapa aku?" Tumpak Denta kaget.
"Baiklah jika paman tidak sedia melindungi aku. Sekarang juga kita berpisah
pamitan dan sampai ketemu lagi."
Bocah itu benar-benar melangkah pergi. Untuk sejenak Fajar Legawa dan Tumpak
Denta berpandangan. Tiba-tiba saja timbullah rasa iba dalam hati Tumpak Denta. setelah
mendapat keterangan dari Fajar Legawa, bahwa bocah yang baru berusia delapan tahun
itu sudah sebatang-kara.
Dengan dua kali melompat, Tumpak Denta telah berhasil menghadang bocah itu
dan berkata. "Engkau mau ke-mana?"
"Kemanapun siapa yang melarang?" sahut bocah ini tegas dan menentang
pandang Tumpak Denta. Agaknya bocah ini menjadi kurang senang ketika dirinya ditolak
oleh Tumpak Denta dan Fajar Legawa. Dan Tumpak Denta menghela napas panjang.
Namun diam-diam dalam hatinya merasa kagum kepada bocah ini, yang menunjukkan
calon seorang pemuda pemberani.
"Aku tadi hanya berkelakar saja Sasongko," bujuk Tumpak Denta kemudian.
"Mari sekarang engkau ikut aku, dan engkau akan aku serahkan kepada guruku agar
kemudian hari engkau menjadi pemuda perkasa, dan dapat membalas sakit hatimu."
"Apa? Benarkah itu, paman? Engkau tidak menipu?"
Tumpak Deta mengangguk. Dan tiba-tiba saja bocah ini berlutut sambil
mengucapkan terima kasih. Tumpak Denta cepat membangunkan bocah ini sambil
tertawa senang dan memuji.
Setelah banyak yang dibicarakan oleh dua pemuda ini, kemudian mereka berpisah.
Tumpak Denta pergi menuju lembah Galunggung untuk menyerahkan Sasongko Jati
kepada gurunya, sedang Fajar Legawa meneruskan perjalanan menuju desa Margasari.
Ketika itu hari telah sore, dan untuk menuju desa Mergosari, Fajar Legawa harus
menyeberang sungai Pemali. Akan tetapi ia menjadi kaget ketika mendengar suara
lengking perempuan dan benturan senjata yang nyaring, tidak jauh. Dan ketika pemuda
ini sudah berhasil menyeberang sungai, maka tampak olehnya pada tepian sungai yang
berpasir itu, sedang terjadi perkelahian antara seorang gadis cantik dengan seorang
pemuda kurus. Gadis itu bersenjata sepasang golok. Golok pada tangan kiri agak pendek,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dan golok pada tangan kanan lebih panjang. Sebaliknya pemuda lawannya itu bersenjata
pedang.
Fajar Legawa mengamati untuk sebentar. Gadis itu bertubuh denok (tubuh tegap,
tidak ramping dan tidak gemuk), berkulit kuning dan berwajah bundar seperti bulan
purnama. Alisnya yang menaungi sepasang mata bintang itu agak tebal, pipinya montok
sedang bibir itu memerah jambu. Gerakan sepasang golok itu cukup cepat dan cukup
tangguh. Namun jelas bahwa gadis itu bukan lawan si pemuda. Perlahan-lahan tetapi
pasti, pada akhirnya gadis itu akan berhasil dikalahkan lawan.
Diam-diam timbul rasa heran dalam hati Fajar Legawa. Mengapa sebabnya, dalam
beberapa hari ini, dirinya selalu dihadapkan kepada manusia-manusia yang saling
bermusuhan? Dan mengapa pula sebabnya, gadis dan si pemuda ini saling labrak seperti
itu? Untuk beberapa saat lamanya ia mengamati perkelahian yang berlangsung itu dengan
hati tegang. Untuk menerjunkan diri dan mencampuri mereka, tentu saja pemuda ini tidak
berani. Salah-salah, akan timbul salah-faham yang menimbulkan runyam!
Ia kemudian menempatkan diri di belakang sebuah batu besar sambil mengintip.
Dan perkelahian antara pemuda kurus dengan gadis bertubuh denok itu, masih terus
berlangsung sengit sekali. Sepasang golok itu menyambar-nyambar dahsyat. Namun
pertahanan pemuda itu kuat sekali sehingga sulit diterobos.
Tiba-tiba terdengarlah suara parau dari balik rumpun ilalang. "Kalau saja aku
tidak terluka oleh kecuranganmu, apakah engkau bisa menjual kesombongan?"
"Ha-ha-ha," pemuda itu ketawa mengejek. "Salahmu sendiri sahabat, mengapa engkau
memiliki bunga secantik ini?"
"Bangsat. Tutup mulutmu!" lengking gadis itu sambil mempercepat serangannya,
"Trang trang.....!" golok perempuan itu terpental menyeleweng oleh tangkisan
pedang. Akan tetapi pemuda itu tak mau menggunakan kcsempatan sebaik itu untuk
menyerang, melainkan menyeringai sambil berusaha menangkap lengan. Ketika golok
gadis itu membacok, pemuda ini melompat mundur sambil terkekeh mengejek.
"Aduhh .... engkau galak sekali!" goda pemuda itu. "Tetapi ahhh, galakpun tak
mengapa......sebab engkau memang cantik menarik! Dan aku .... heh heh-heh, aku jatuh
cinta padamu manis."
Gadis ini melengking nyaring sambil menerjang dengan sepasang goloknya. Tetapi
sayang sekali, dengan gampangnya dihindari pemuda itu.
Mendengar ucapan pemuda ini, jelaslah sekarang persoalannya. Fajar Legawa sekarang
mengerti, bahwa pemuda berpedang ini seorang pemuda hidung belang yang sengaja
menggoda orang. Dan dalam usahanya untuk mendapatkan gadis denok ini, kawan si
gadis telah dilukai dahulu, sehingga tidak dapat membantu lagi.
Dengan gerakan yang hati-hati dan tanpa suara, Fajar Legawa menyelinap untuk
melihat, siapakah pemuda yang sudah terluka itu? Rasanya ia pernah kenal dengan suara
itu. Akan tetapi ia lupa, entah dan di manakah suara itu dikenalnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Kakang Wanengbaya. Apa yang terjadi?" serunya kaget setelah mengetahui,
bahwa pemuda yang terluka itu, adalah Wanengbaya. Agaknya dia menderita luka
cukup berat. Buktinya ia duduk bersila dan wajahnya nampak pucat.
Orang yang terluka itu memang Wanengbaya. Ia membuka mata dan terbelalak
ketika melihat Fajar Legawa. Bibirnya yang pucat itu tersenyum, kemudian katanya
tergagap: "Adi .... ah kau. Tolonglah usir pemuda jahat itu ... .."
"Kakang, siapa dia?" tanya Fajar Legawa agak ragu.
"Maksudmu, perempuan itu?"
Fajar Legawa mengangguk. Dan Wanengbaya cepat menerangkan. "Dialah Ayu
Kedasih, calon isleri yang aku ceritakan itu ....."
"Akan tetapi engkau menderita luka berat."
"Tolong dahulu dia ....!" ratap Wanengbaya setengah memerintah. Kemudian
teriaknya kepada Ayu Kedasih. "Asih, mundurlah. Adi Fajar telah datang, dan akan
menghajar "pemuda bangsat itu."
Bagaimanapun gadis itu telah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
mengusir pemuda kurus ini, namun tidak juga dapat berhasil. Maka tanpa menjawab, Ayu
Kedasih telah melompat mundur.
"Bagus!" seru pemuda ini, kemudian mengejek. "Undanglah sekalian kawan sahabatmu.
Bagus Lantung takkan takut menghadapi kamu!"
Agak kaget juga Fajar Legawa mendengar disebutnya nama Bagus Lantung. Nama
Drama Di Ujung Pisau Bedah Surgeon Trio Detektif 26 Misteri Kuda Tanpa Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
IBLIS DARI GUNUNG WILIS
( karya : WIDI WIDAYAT )https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
SUARA gaduh terdengar jelas terbawa angin lalu, bersama jerit, tangis, pekik dan
ratap orang dari desa Samakaton. Asap mengepul tinggi, dan suara letusan kecil dari
bambu yang terbakar menambah keadaan desa itu makin geger.
"Tolong. . . .aduuuhhh, . . .tolong . .. ! Rumahku.....aduhh. ....!"
"Ya Tuhan. .
.ampunn.. . . ! Dimana anakku. . . .ya Allah, ... .ampun......."
"Aduhh. . . .mati aku.....Aduhh. . . . hem, jangan engkau mnangis..... ihh .... mana
Warti.....?
"Ibuuu. . . .hu-hu-huu. . . .ibuu. . . .hoa-hoa-hoa ........!"
Derap kuda dalam jumlah banyak meninggalkan desa itu. Dan jalan pegunungan
yang berdebu itu, debu mengepul tinggi diterjang kaki-kaki kuda. Diantara derap kaki
kuda ini, terdengar pula pekik perempuan. "Tolong. . .! Aiuhh. . . .tolong. . . .! Lepaskan
aku.....! Aduhh. . . . hepp. . . .!"
"Ha-ha-ha-ha.....rasakan sekarang engkau!" ejek seorang laki-laki tinggi besar dan
berewok sambil mempererat pelukannya kepada seorang gadis. "Dapatkah engkau
sekarang berteriak lagi?"
Akan tetapi sekalipun mulut gadis itu sudah tersumbat dan tidak dapat berteriak
lagi, namun gadis itu masih berusaha memberontak. Walaupun demikian sesungguhnya
usaha gadis itu sia-sia belaka. Laki-laki itu bertenaga jauh lebih kuat dibanding dirinya.
Usahanya memberontak ini hanya akan menghabiskan tenaganya saja.
"Engkau memang tolol.." ejek kawannya. "Mengapa tidak engkau ikat?
perempuan yang aku tawan ini. Sedikitpun tidak dapat berkutik."
Makin lama suara derap kuda itu makin jauh. Dan tidak lama kemudian lenyap
sudah suara derap kuda itu. Yang masih tampak sekarang hanya asap kebakaran yang
membubung tinggi dalam desa Samakaton. Mayat bergelimpangan di sana sini dalam
keadaan mengerikan. Tak sampai hati pengarang melukiskan keadaan mayat- mayat itu.
Sebab para penduduk yang tewas itu, keadaannya amat menyedihkan.
Agak jauh di sana, di pinggang gunung Slamet. Seekor kuda putih laksana anak
panah lepas dari busur, berlarian cepat sekali mendaki gunung ini. Seakan kuda itu
berlarian tanpa penunggang, karena penunggangnya seorang pemuda yang mengenakan
pakaian putih pula. Makin dekat jaraknya dengan desa Samakaton, makin cepatlah lari
kuda ini.
Sepasang mata pemuda berpakaian putih ini terbelalak menyaksikan mengepulnya
asap kebakaran, dan mayat bergelimpangan di sana sini. Kemudian ia melompat turun
dari punggung kuda, langsung masuk ke dalam pekarangan yang cukup luas berpagar batu
gunung yang bertumpuk. Untuk sejenak sepasang mata pemuda ini menebarkan pandang
mata ke sekitarnya. Dan ketika melihat bekas kaki kuda dalam jumlah banyak di halaman
rumah ini, pemuda itu tampak gugup, kemudian masuk ke dalam rumah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Ayah.....!" pekik pemuda ini, dan wajahnya berobah pucat. Dan seperti kalap
pemuda ini telah melompat dan menubruk kepada sesosok mayat laki-laki tua, yang
terlentang tidak bergerak di atas tanah.
"Ayah.......mengapa bisa begini....?" ratap pemuda ini dengan bibir yang
gemetaran dan tubuh menggigil.
Jenazah ayahnya yang berlumuran darah kering itu, kemudian diangkat dan
dibaringkan di atas balai. Sepasang mata pemuda itu merah karena marah, akan tetapi
juga berkaca-kaca mau menangis. Tubuh ayahnya yang telah tua itu menderita banyak
luka senjata tajam. Agaknya tadi telah terjadi perkelahian yang hebat dalam rumah ini,
dan ayahnya dikeroyok orang. Tikaman yang melobangi dada dan melanggar jantung
itulah agaknya yang menyebabkan ayahnya tewas.
Timbul pula rasa heran dalam hati pemuda. Siapakah musuh yang membunuh
ayahnya itu, dan apa pulakah sebabnya? Dan adakah ayahnya mempunyai musuh?
Berkecamuk pertanyaan dalam dada pemuda ini, namun tidak dapat dijawabnya sendiri.
Ingin ia menangis! Ingin ia meratapi ayahnya. Akan tetapi ia merasa malu, justru tidak
pantas seorang pemuda harus menangis, berhadapan dengan peristiwa dan keadaan ini.
Betapapun sedih kehilangan ayah tercinta, ia harus pandai pula menahan tangis itu.
Tetapi tiba-tiba pemuda ini berjingkrak seperti baru sadar. Apakah sebabnya
rumah ini sepi dan tidak tampak seorangoun? Di manakah ibunya? Di manakah adik
perempuannya? Dan di manakah pula para pembantu rumah tangganya? Mengapa pula
jenazah ayahnya tadi dibiarkan menggeletak tanpa seorangpun berusaha merawat?
Berdebar tegang jantung pemuda ini. Ia membalikkan tubuh, kemudian meneliti keadaan
dalam rumah. Keadaan rumah ini morat-marit tidak keruan. Sebagian dinding rumah
ambrol, dan darah kering berceceran di sana sini.
"Irma.....! Ibuuu ....!" pemuda ini berteriak memanggil adik perempuan dan
ibunya. Akan tetapi tidak terdengar suara penyahutan. Ia mengulangi dan mengulangi
lagi beberapa kali dan teriakannya itu semakin keras. Namun sungguh sayang, semua
panggilan dan teriakannya itu hanva terbawa angin lalu. Tidak seorangpun menjawab
teriakannya itu.
Tiba-tiba pemuda ini menjadi sadar. Ibu maupun keluarga yang lain tentu
melarikan diri, disaat ayahnya sedang berkelahi dengan musuh itu. Namun pikiran ini
kemudian dibantah sendiri. Kalau toh melarikan diri, ibu dan Irma Sulastri tentu telah
pulang meninjau keadaan. Kemanakah ibu dan adik perempuannya? Mungkinkah diculik
musuh yang telan membunuh ayahnya itu?
Sambil bertanya-tanya dan berpikir ini, kakinya telah melangkah menuju rumah
belaktang. Tetapi ahh .... hampir saja sesosok tubuh yang tergolek melintang di depan
pintu terinjak oleh kakinya. Jenazah seorang perempuan tua, dalam keadaan mandi darah
kering, melintang di depan pintu rumah belakang yang menuju dapur. Pemuda ini
berjingkrak kaget dan pucat wajahnya. Lalu, dengan air mata bercucuran, ia telah menu-
bruk sambil menciumi wajah jenazah ini.
Tadi, ia masih kuat menahan cucuran air matanya, ketika menemukan ayahnya
telah menjadi jenazah. Akan tetapi sekarang menemukan ibunya telah mati dibunuhhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
orang pula ini, ia tidak kuasa lagi menahan tangisnya. Dan sekarang sambil menciumi
wajah perempuan ini, ia meratap. "Ibuuu .... mengapa bisa begini? Siapa ....... siapakah
yang sudah membunuhmu? Ibuu .....siapa yang pembunuh biadab ini ... .?"
Hampir saja pemuda ini pingsan oleh goncangan perasaan yang amat sedih.
Beberapa kali pemuda ini meratap, memanggil-manggil nama ibunya, akan tetapi
perempuan yang telah menjadi jenazah ini tidak dapat memberikan jawabannya.
Untung sekali, bahwa bagaimanapun ia seorang pemuda gemblengan. Seorang
pemuda yang sudah terlatih. Walaupun demikian sedih, tidak lama kemudian ia telah
berhasil menguasai perasaan. Teringatlah kembali ia akan adik perempuannya, yang
belum tampak. Ia bangkit berdiri, dan pandangannya mencari-cari. Kemudian
kakinyapun melangkah menjelajah dalam rumah. Namun Irma Sulastri, tak juga dapat
diketemukan.
"Irma . . . .! Irma . . . !" panggilnya. Akan tetapi sepi tiada jawaban.
"Irma . . . .! Irma ....!" ia berteriak lagi, namun orang yang dipanggil tidak juga
menyahut maupun muncul.
Untuk beberapa saat lamanya ia berdiam diri. Jantung pemuda ini bergoncang
keras dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam keadaan sesunyi ini, mendadak
terdengarlah suara isak tangis dari rumah tetangga. Tangis perempuan sambil meratap-
ratap amat memilukan.
Mendengar tangis dan ratap dari rumah tetangga itu, barulah sadar pemuda ini
bahwa bukan keluarganya melulu yang dimusuhi orang. Para tetangga pun menjadi
korban pula. Kalau demikian halnya, apakah yang datang kemari dan datang hari itu,
gerombolan perampok yang merampok sambil main bunuh?
Ia berusaha menenangkan perasaan. Jenazah ibunya yang mandi darah kering itu
diangkat, kemudian dibaringkan pula di atas balai, berdampingan dengan jenazah
ayahnya. Setelah beberapa saat lamanya mengamati jenazah ayah bundanya ini dengan
hati yang hancur, pemuda ini melangkahkan kaki keluar rumah. Timbullah niatnya untuk
bertanya kepada tetangga terdekat. Apakah arti dari semua peristiwa ini?
Akan tetapi baru saja ia muncul di jalan desa seorang perempuan setengah tua
mendadak memeluk tubuhnya. Perempuan ini menangis terisak-isak, dan sebelum ia
sempat bertanya, perempuan itu sudah meratap. "Fajar .... ohh, Fajar ....... tolonglah aku.
Ohh.....anakku perempuan .....anakku diculik orang . . . .! Tolong. . . kejarlah mereka ...
.!"
Hati sedang sedih dan risau memikirkan adik perempuannya, sekarang datang
seorang ibu yang meratap-ratap. Hatinya mendongkol juga, namun tetap berusaha
menekan perasaan. Tanyanya kemudian. "Banyakkah musuh yang datang itu....?"
"Banyak sekali . . . . ! Mereka merampok dan membunuh .... ohh, Fajar .....anakku
diculik orang. Anakku .... diculik perampok ..."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Pemuda ini menghela napas sedih, sambil menebarkan pandang-mata ke
sekitarnya. Ia tidak melibat seorangpun. Desa ini seperti kosong. Dan dari rumah tetangga
yang terdekat, masih terdengar tangis perempuan. Ketika meruntuhkan pandang mata ke
tepi jalan, tergoleklah dua sosok mayat laki-laki yang mandi darah dan belum dirawat.
Timbul pertanyaan pemuda ini, apakah semua laki-laki dalam desa ini telah habis dijagal
oleh perampok itu? Kalau tidak dibunuh semua, mengapa tidak tampak seorangpun?
Disaat dalam dadanya timbul aneka macam pertanyaan ini, tiba-tiba perempuan
ini melepaskan pelukannya. Kemudian sambil menatap Fajar Legawa, perempuan ini
berkata lagi. "Fajar ..... para perampok itu sudah melarikan diri. Orang-orang desa ini
tidak kuasa .... melawan dan banyak dibunuh . . . . ! Anakku .... anakku diculik perampok
. . . .. ! Fajar .... mengapa engkau tidak segera mengejar perampok itu .......untuk menolong
anakku . . . .? Fajar ....... tolonglah anakku .... Ohhh .... anakku hanya seorang saja ....
Tolong .... kejarlah para perampok itu .... dan tolonglah anakku . . . "
Jengkel dan mendongkol juga Fajar Legawa mendengar ratap dan tangis
perempuan ini. Dirinya sendiri tertimpa malapetaka. Ayah-bundanya tewas dibunuh
orang, dan adik perempuannya tidak diketemukan. Akan tetapi perempuan ini hanya
memikirkan kepentingan sendiri, meratap-ratap. Untung bahwa pemuda ini cukup sadar.
Sebabnya perempuan ini sedemikian rupa, bukan lain akibat penderitaan.
"Mengapa .... engkau diam saja . ...?"desak perempuan itu.
Dalam usahanya untuk menekan rasa jengkel, marah dan sedih ini, kemudian
Fajar Legawa melompat. Kemudian langsung duduk di atas kuda si putih, dan kuda itu
dipacunya keluar dari desa. Ia sudah bertekat, harus mengejar para perampok ganas yang
berani mengganggu desa dan membunuh keluarganya itu di siang hari. Sebab menurut
dugaannya, perampok itu tentu belum jauh pergi.
Dalam keadaan pikiran kalut, kisruh sekarang ini, Fajar Legawa menjadi lupa
bahwa jenazah ayah-bundanya memerlukan perawatan dan penguburan. Yang terpikir
sekarang, secepatnya harus dapat menolong adik perempuannya dari tangan perampok
itu.
Si Putih kabur, bagai terbang. Sudah cukup jauh ia mengejar, namun tak juga dapat
bertemu dengan rombongan perampok itu. Kemanakah para perampok itu pergi, ia tidak
dapat menentukan. Ia menebarkan pandang-mata ke tempat jauh. Dari tempat yang
cukup tinggi ini, pandang matanya dapat mencapai tempat yang amat jauh. Namun
demikian, tidak juga tampak rombongan orang berkuda.
Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini menghentikan kudanya sambil berpikir.
Cukup banyak saat sekarang ini orang yang lupa daratan bergerombol dan menjadi
perampok. Sultan Agung tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memelihara
keamanan dan memberantas kejahatan. Dan raja Mataram yang ketiga ini, lebih banyak
mencurahkan perhatian kepada urusan yang lebih besar. Tentang berontaknya para
bupati dan adipati yang tak mau tunduk lagi. Juga tentang Kumpeni Belanda yang
secepatnya harus diusir dari bumi Pertiwi.
Namun sungguh sayang bahwa usaha Sultan Agung menyerang Betawi, bertemu
dengan kegagalan. Yang pertama pada tahun 1628 penyerangannya gagal. Yang keduahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
setahun kemudian, pada tahun 1629, akan tetapi juga tertumbuk oleh kegagalan lagi
karena pasukan Mataram berhadapan dengan kekurangan makan.
Dalam keadaan seperti ini, orang-orang tidak bertanggung jawab menggunakan
kesempatan melakukan kejahatan-kejahatan. Memeras dan melakukan perbuatan
sewenang-wenang. Dan sungguh celaka para kawula kecil. Aparat Mataram yang
berkuasa di daerahpun memanfaatkan kesempatan ini. Mereka tidak membela si-kecil,
tetapi malah ikut memeras dan berbuat sewenang wenang untuk mengumpulkan
kekayaan. Orang-orang yang mempunyai kekuasaan walaupun kecil, menggunakan
kekuasaannya untuk kepentingan diri. Dan orang-orang yang berani membuka mulut dan
menentang tindakan penguasa, dengan gampang akan dituduh sebagai pemberontak,
sebagai mata-mata Kumpeni, kemudian ditangkap tanpa pemeriksaan. Dan akibatnya
banyak orang celaka menjadi korban fitnah.
"Kemana aku harus pergi?" desisnya sambil tetap menebarkan pandang-mata ke
sekitarnya.
Cukup banyak ia mengenal gerombolan-gerombolan perampok. Akan tetapi kalau
seorang diri. bagaimanakah dirinya dapat berbuat? Apakah harus lapor kepada gurunya?
Akan tetapi walaupun ragu, kemudian pemuda ini menggerakkan kudanya,
menuruni pinggang gunung Slamet sebelah utara. Di desa Tuwel ia menyelidik dan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanya kepada para penduduk desa. Namun sayang sekali, keterangan yang diharapkan
itu tidak juga bisa didapat. Ia menghela napas berat.
Kudanya tampak lelah dan peluh membasahi tubuh. Dilepaskan kuda itu di tepi
sungai Gung, memberi kesempatan kuda itu minum sambil makan rumput yang tumbuh
subur di tepi sungai. Sedang dirinya sendiri, kemudian menjatuhkan diri duduk di atas
sebuah batu sambil menghela napas panjang.
Tetapi pemuda ini menjadi kaget ketika mendengar suara orang ketawa terkekeh. Belum
juga lenyap suara ketawa itu, meniuplah seorang pemuda, melompat turun dari dahan
pohon.
"Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, ki sanak. Aku sedang membutuhkan seekor
kuda untuk teman perjalanan!" kata pemuda itu sambil melangkah menghampiri.
"Pinjamkanlah kudamu padaku. Dan berapa saja engkau minta ganti, akan aku bayar
harganya."
Merah wajah Fajar Legawa mendengar kata-kata orang ini, yang nadanya
merendahkan. Apakah dirinyadisangka seorang penjual kuda? Untung sekali Fajar
Legawa kuasa menahan hati. Jawabnya dengan nada ramah. "Maafkanlah aku ki sanak,
aku sendiri amat membutuhkan kuda itu."
"Apa?" tiba-tiba saja pemuda itu membentak. "Engkau berani membantah
kemauanku? Dengar, aku membutuhkan kuda itu. Dan apabila engkau pelit, apakah
engkau menghendaki aku rebut dengan kekerasan?"
Hampir meledak kemarahan Fajar Legawa yang masih berdarah panas ini.
Namun demikian ia masih menekan perasaan dan kesabarannya. Jawabnya halus. "Ki
sanak, kasihanilah aku yang sedang melakukan perjalanan jauh ini. Kuda itu amat penting
bagiku, dan kiranya lebih tepat apabila ki sanak berusaha kepada orang lain.''https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Akan tetapi sikap Fajar Legawa yang mengalah dan tidak ingin berselisih ini,
diterima secara salah oleh pemuda itu. Dia ketawa terkekeh. "Heh, heh-heh, jangan
engkau berusaha membantah kehendakku. Tahukah siapa aku ini?"
"Tuan siapa?"
"Aku?" sahut pemuda itu dengan sikapnya yang makin menjadi sombong.
"Dengar baik-baik. Aku bernama Wanengbaya, murid pertapa sakti Gajah Seta, yang
bermukim di lereng Merbabu."
Terkejut juga Fajar Legawa mendengar disebutnya nama Gajah Seta. Siapa yang
tidak kenal dengan pertapa itu? Tetapi sepanjang berita yang pernah ia dengar. Gajah Seta
seorang pertapa sakti yang gagah perwira dan budiman pula. Mengapa sebabnya murid
Gajah Seta yang bernama Wanengbaya ini, sedemikian congkak dan mau berbuat
sewenang-wenang, merampas milik orang?
Sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba Wanengbaya sudah melompat dan
berusaha menyambar tongkat yang dipegang tangan kiri. Untung Fajar Legawa waspada.
Ia menghindarkan diri, dan sambaran itu luput.
Wanengbaya mendelik sambarannya luput. Bentaknya kemudian. "Berikan tongkat itu
padaku. Tongkatmu bagus sekali, ingin sekali aku memiliki tongkat seperti itu."
Kesabaran manusia ada batasnya. Sejak tadi ia sudah berusaha mengalah dan
menghindari perselisihan, justeru berselisih kurang baik. Akan tetapi mengapa sebabnya
pemuda ini mendesak .sedemikian rupa?
Saat ini dirinya justeru sedang dilanda oleh perasaan gelisah, akibat adik perempuannya
hilang tidak diketahui rimbanya. Sekarang murid Gajah Seta datang untuk menghina.
Siapakah yang dapat berdiam diri dan mengalah? Karena itu sambil mendelik Fajar
Legawa mendengus marah. "Hemm, apakah maksudmu sebenarnya?"
"Heh-heh-heh, maksudku jelas. Aku membutuhkan kuda dan tomgkatmu yang
bagus itu. Kau berikan atau tidak?"
"Kalau aku tak mau menyerahkan?" tantang Fajar Legawa.
"Bagus!" sahut Wanengbaya. "Tanganku sudah gatal, dan sambutlah
seranganku."
Hampir berbareng dengan selesainya ucapan itu, Wanengbaya telah melompat dan
langsung menyerang dengan sepasang golok. Sambaran golok itu cukup cepat disamping
bertenaga.
Heran juga Fajar Legawa mendapat serangan ini. Apakah pemuda yang bernama
Wanengbaya dan murid Gajah Seta ini sedang dalam keadaan mabuk ataukah berobah
menjadi gila? Menurut pantas seseorang akan membuka serangan tidak akan langsung
menggunakan senjata semacam ini. Ataukah Wanengbaya ini memang seorang yang
hanya ingin memperoleh kemenangan tanpa kenal kesopanan lagi?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Untuk beberapa saat lamanya Fajar Legawa berlompatan ke sana ke mari
menghindarkan diri tanpa membalas. Ia masih berusaha mengalah dan menyabarkan diri,
kemudian teriaknya. "Tahan! Tahan!"
Namun celakanya Wanengbaya tak perduli. Ia tak juga menghentikan
serangannya, malah sambaran sepasang golok itu tambah cepat. Golok pada tangan
kanan menyambar ke arah kepala, sedang golok di tangan kiri menyambar dada. Fajar
Legawa melompat jauh ke belakang, sambil berteriak lagi. "Tahan kisanak, tahan!"
Wanengbaya tidak menyahut dan tidak pula menghentikan serangannya. Teriakan
Fajar Legawa seakan malah merupakan aba-aba agar menyerang lebih ganas.
Serangan yang makin lama menjadi ganas ini, tidak mungkin Fajar Legawa dapat
mengalah terus. Ketika golok di tangan kanan menabas tongkat, dan golok tangan kiri
menyambar pundak, Fajar Legawa surut selangkah, merendahkan tubuh sambil menyabet
kaki lawan. Atas balasan ini Wanengbaya ketawa dingin sambil melenting ke atas.
Makin lama panas juga perut Fajar Legawa, atas serangan Wanengbaya. Tetapi
diam-diam memuji juga akan ketangkasan dan ketangguhan murid Gajah Seta ini. Pantas
saja menjadi congkak, sombong dan suka menghina orang. Pada suatu kesempatan di saat
Wanengbaya lengah, dengan gerakannya tak terduga Fajar Legawa telah menyodok
perut.
Tidak disadari oleh pemuda ini, bahwa bagian yang tidak terjaga itu memang se-
ngaja sebagai umpan. Secepat kilat golok Wanengbaya menyambar dengan gerak silang.
Fajar Legawa kaget dan berusaha menarik kembali tongkatnya. Sayang sudah terlambat,
dan terdengarlah suara.
"Krak !" golok Wanengbaya secara tepat, berhasil menghantam tongkat.
"Ahh. . . . !" Wanengbaya berteriak tertahan dan terhuyung mundur dengan mata
terbelalak.
Apa yang terjadi? Bukan tongkat Fajar Legawa yang patah menjadi dua potong.
Tetapi malah sepasang golok Wanengbaya yang tadi menghantam sekuatnya.
Fajar Legawa sendiri berdiri terpaku keheranan. Apakah sebabnya tongkat kayu
pemberian gurunya ini, yang terbikin dari kayu pohon asam sanggup mematahkan senjata
lawan? Ia menggunakan kesempatan memeriksa tongkat itu. Tongkat itu tidak cacat, dan
hanya terdapat bekas goresan. Ajaib! Fajar Legawa sendiri tidak menduga mengapa
sebabnya.
Merah wajah Wanengbaya berhadapan dengan peristiwa ini. Akan tetapi
walaupun kasar, murid Gajah Seta ini telah terdidik kejujuran. Setelah mengamati Fajar
Legawa beberapa saat lamanya, dan pemuda itu tidak ingin bermusuhan. Tiba-tiba saja
timbul rasa sesalnya dalam hati. mengapa ia sudah gegabah mencari perkara.
"Maafkan aku sahabat, aku tidak sengaja merusakkan senjatamu," kata Fajar
Legawa dengan nada yang merendah.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Akulah yang bersalah," sahut Wanengbaya sambil menghela napas. "Siapa
engkau, dan siapa pula gurumu?"
"Aku Fajar Legawa. Sedang guruku, adalah seorang pertapa yang bermukim di
lembah Galunggung."
"Aihh...." Wanengbaya berjingkrak kaget. "Engkau murid pertapa sakti Suria
Kencana?"
"Benar," sahut Fajar Legawa sambil mengangguk. Dan diam-diam heran juga,
mengapa pemuda ini sudah dapat menebak secara tepat hanya dengan menyebut tempat
tinggai gurunya?
Tidak terduga-duga, Wanengbaya telah maju dan memeluk sambil berkata halus.
"Maafkan aku yang kasar dan lancang!"
Fajar Legawa melepaskan pelukan Wanengbaya dengan gerakan yang halus.
Tetapi sesungguhnya, ia curiga dan khawatir kalau Wanengbaya akan menyerang dirinya
secara curang, dengan pura-pura bersikap sebagai seorang sahabat.
"Tidak apa," sahutnya halus. "Aku malah gembira, justeru pertemuan tak sengaja
ini, menjadi sarana kita berkenalan."
"Engkau benar," sahut Wanengbaya. Dan tanpa diminta, kemudian Wanengbaya
telah menceritakan perjalanannya kali ini, untuk mengunjungi calon isterinya yang
bertempat tinggal di desa Margasari, yang bernama Ayu Kedasih. Ia mengatakan bahwa
ia tadi tertarik kepada kuda Fajar Legawa yang berbulu putih bersih bagai kapas. Dan
dengan mengendarai kuda sebagus itu, betapa gembira Ayu Kedasih menyambut kedata-
ngannya.
Sekarang setelah berbicara, Fajar Legawa sudah mulai mengenal, bahwa
sesungguhnya Wanengbaya seorang pemuda jujur. Sayang sedikit, mempunyai watak
yang sombong dan tinggi hati. Dari nada bicaranyapun Fajar Legawa segera dapat
menduga maksud hati pemuda ini. Agaknya Wanengbaya dalam kunjungannya kepada
calon isterinya ini, ingin mendapatkan puji sanjung dan tambah gagah, apabila
mengendarai kuda putih miliknya itu.
Di dunia tidak terhitung jumlahnya kuda yang besar dan bagus. Akan tetapi tidak
gampang bisa memperoleh kuda seperti Si Putih ini. Di samping kuat, Si Putih-pun dapat
lari seperti terbang.
Entah mengapa sebabnya, tiba-tiba saja timbul rasa iba dalam hati Fajar Legawa.
Walaupun saat sekarang ini dirinya sendiri membutuhkan kuda itu untuk mencari adik
perempuannya, namun ia merasa tidak enak hati menolak permintaan Wanengbaya.
Katanya kemudian. "Kalau demikian, agaknya engkau memang tergesa kakang. Pakailah
Si Putih untuk meneruskan perjalanan."
"Terima kasih, tidak jadi," sahut Wanengbaya yang merendah. Dan karena Fajar
Legawa telah memanggil kakang, maka kemudian Wanengbaya membalas denganhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
panggilan adi. "Adi Fajar, maafkanlah kekasaranku tadi. Dan kiranya engkau lebih
penting dengan kudamu, dibanding engkau pinjamkan padaku."
"Pakailah. Agar secepatnya engkau dapat bertemu dengan calon isterimu."
Wanengbaya mengamati Si Putih yang besar dan gagah. Diam-diam ia membayangkan
betapa gagahnya apabila dirinya memperoleh kesempatan mengendarai kuda ini. Betapa
gembira calon isterinya, disaat menyambut kedatangannya.
"Tetapi adi, bagaimanakah caraku mengembalikan kudamu ini?"
"Berapa harikah engkau di sana?"
"Mungkin agak lama."
"Aku akan datang ke Margasari, agar aku dapat berkenalan pula dengan mbakyu
Ayu Kedasih."
"Bagus, aku senang sekali apabila engkau sudi berkunjung ke sana, dan berkenalan
dengan Ayu Kedasih. Tetapi....." pemuda ini tampak meragu.
"Pakailah ! Biarkan aku meneruskan perjalanan tanpa kuda."
Akhirnya dengan tertawa gembira sekali, Wanengbaya pergi sambil mengendarai
Si Putih. Fajar Legawa mengamati kepergian pemuda itu dengan hati yang tidak tega. Si
Putih adalah kuda kesayangannya, hadiah yang diperoleh dari ayahnya. Mengapa
sedemikian mudah ia melepaskan kuda itu kepada seseorang yang baru saja ia kenal. Dan
tiba-tiba saja timbul rasanya yang agak khawatir. Apakah pemuda itu tidak menipu?
"Ahhh, sudahlah," desisnya. "Aku sendiri yang meminjamkan kuda itu. Mengapa
aku akan menelan lagi ludah yang sudah aku buang? Kalau toh sudah menjadi takdir
Tuhan bahwa Si Putih harus lepas dari tanganku, siapakah yang dapat menghindar?"
Dan sesudah menghela napas panjang sekali lagi, kemudian Fajar Legawa telah
meneruskan perjalanan, langsung menuju ke arah barat. Tiba-tiba saja timbullah dugaan
pemuda ini, bahwa penjahat yang telah mengganas dan membunuh ayah-bundanya itu,
gerombolan Juru Demung yang bertempat tinggal di pinggang Rogojembangan.
Dugaannya itu erat hubungannya dengan peristiwa yang pernah terjadi, bahwa puluhan
tahun yang lalu ayahnya pernah bermusuhan dengan Juru Demung. Agaknya tidak
meleset dugaannya, bahwa sekarang ini Juru Demung menggunakan kesempatan untuk
membalas dendam lama.
Hari telah senja ketika Fajar Legawa masuk daerah sarang penjahat itu. Namun
timbul juga keheranan dalam hati pemuda ini, mengapakah sebabnya desa-desa
gerombolan penjahat itu nampak sepi? Rumah-rumah tertutup rapat. Dan ia tidak
berjumpa, dengan seorangpun.
Hatinya tercekat. Ia menghentikan langkah, bersembunyi dalam semak sambil
menebarkan pandang-matanya ke sekitarnya. Dalam hatinya timbul dugaan, mungkinkah
keadaan sesepi ini, karena mata-mata perampok itu sudah mengetahui kehadirannya, dan
kemudian sengaja menjebak?https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mendadak saja timbullah rasa sesalnya. Mengapa ia terlalu berani datang ke sarang
gerombolan perampok ini seorang diri? Gerombolan Juru Demung berjumlah banyak.
Dapatkah seorang diri menolong adiknya?
Akan tetapi disaat timbul keraguan ini, telinganya yang sudah terlatih, mendengar suara
riuh yang sayup-sayup terbawa angin. Riuh suara sorak, kadang terdengar dan kadang
menghilang.
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apakah mereka bersorak-sorak?" desisnya sambil mempertajam
pendengarannya. "Aku harus kesana?" desisnya lagi, setelah membulatkan tekat. Lalu,
tanpa ragu sedikitpun. Fajar Legawa telah berlarian lewat jalan desa yang sepi itu menuju
ke tempat sorak itu terdengar.
Makin dekat, sorak yang riuh itu terdengar semakin jelas. Kemudian terbelalaklah
sepasang sepasang mata Fajar Legawa, melihat tembok batu yang cukup tinggi dan kokoh
membentang di depannya. Pintu yang lebar dan kokoh itu tertutup rapat. Di dalam
terdengar jelas suara yang riuh orang bersorak, dan berseling dengan suara senjata
berbenturan.
"Ahh.....siapakah yang berkelahi di dalam?" desisnya kaget. Fajar Legawa
menjadi gelisah dan tidak sabar. Di luar tembok yang tinggi itu tidak tampak seorangpun.
Agaknya memang di tempat inilah Juru Demung bertempat tinggal dan sekaligus me-
rupakan sarang. Kagum juga hati pemuda ini, bahwa di pinggang gunung dapat dibangun
tembok batu yang kokoh kuat, melindungi sarang.
Tanpa kesulitan sedikitpun Fajar Legawa telah berhusil melompat ke atas tembok,
lewat sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari tembok. Akan tetapi tiba-tiba saja
jantung pemuda ini bergoocang keras dan darahnya tersirap. Di tengah halaman yang
cukup luas itu, kini sedang berlangsung perkelahian curang. Seorang gadis muda berbaju
biru, hanya seorang diri menghadapi keroyokan belasan laki-laki bersenjata. Dan
gelanggang perkelahian itupun dipagari manusia ketat sekali, agaknya untuk menjaga agar
gadis itu tidak dapat lolos.
Gadis itu gerakannya lincah dan tidak tampak gentar sedikitpun dalam
menghadapi keroyokan banyak penjahat. Pedang gadis itu sudah berlepotan darah, dan
tidak jauh dan tempat itu, tampak pula beberapa orang menggeletak mandi darah.
Agaknya orang-orang itu telah menjadi korban pedang gadis baju biru ini.
Gadis itu disamping wajahnya cantik, usianya masih muda, dan mungkin baru
sembilan belas tahun. Akan tetapi walaupun muda, gadis itu tangkas dan ilmu
kepandaiannya cukup tinggi. Gerakannya cepat disamping gesit, dan sepasang pedang
yang sudah berlepotan darah bergerak-gerakan indah, tampaknya seperti seorang gadis
yang sedang menari dengan pedang.
Diam-diam Fajar Legawa terpesona juga, menonton perkelahian ini.
Tetapi walaupun gagah dan kepandaiannya cukup tinggi, gadis itu hanya seorang diri.
Manakah mungkin ia dapat bertahan menghadapi ratusan orang yang berkumpul di
tempat ini? Sekarang Fajar Legawa dapat menduga mengapa sebabnya desa-desa dalam
wilayah gerombolan Juru Demung tadi nampak sepi. Agaknya setiap laki-laki berkumpul
di tempat ini, dan yang berdiam di dalam rumah tinggal anak-anak dan perempuan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Timbul pertanyaan dalam hati Fajar Legawa, sengajakah gidis ini datang kemari seperti
dirinya? Atau, gadis ini semula menjadi tawanan Juru Demung, namun dapat lolos dan
sekarang mengamuk dalam usahanya mencari kebebasan?
Di saat gadis berbaju biru itu masih mengamuk dengan sepasang pedangnya, dan
benturan senjata terdengar berturut-turut, terdengarlah suara ketawa orang yang terkekeh-
kekeh dari dalam rumah yang bangunannya kokoh dan besar itu. Dan belum juga lenyap
gema ketawa yang terkekeh itu. sudah terdengar suara yang parau. "Heh heh-heh, sampai
dimanakah kemampuanmu, gadis liar? Meskipun engkau berkulit tembaga dan bertulang
besi, tidak mungkin engkau mampu melawan kami dan lolos. Heh-heh-heh, sebaiknya
kita berdamai saja. Bukankah orang yang rukun itu baik? Di tempat ini engkau akan
diangkat sebagai seorang ratu. Sebagai permaisuri yang terhormat....."
Fajar Legawa memandang ke arah suara itu terdengar. Tak lama kemudian
muncullah seorang laki laki tinggi besar berkumis tebal, tetapi tidak berjenggot. Pakaian
laki-laki itu dari bahan sutera yang mahal harganya, dan berkembang-kembang indah. Di
belakang laki-laki ini, tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan kuat, kemudian berdiri
berjajar.
"Juru Demung?" tanya Fajar Legawa kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba terdengarlah suara lengking nyaring. Dan berbareng itu, tubuh gadis baju
biru ini telah berkelebat lebih cepat, disusul teriakan kesakitan beberapa orang yang
langsung roboh di atas tanah. Tahu-tahu gadis itu telah menerjang kearah Juru Demung.
Akan tetapi tujuh orang pmguwal itu, dengan serempak segera maju dan mengeroyok.
Kagum sekali Fajar Legawa menyaksikan semua itu. Kecepatan gerak dan
sambaran pedangnya sedemikian hebat, sehingga belasan orang dalam segebrakan
telah kocar-kacir.
Sekarang gadis baju biru ini harus berhadapan dengan tujuh orang pengawal Juru
Demung. Para pengawal ini justeru bukan orang sembarangan. Mereka jauh lebih kuat
apabila dibandingkan dengan para pengeroyok tadi, yang hanya memiliki kepandaian
lumayan. Maka walaupun gagah, gerakannya tertahan juga.
"Heh-heh-heh, engkau cantik bagai bidadari," kata Juru Demung sambil tertawa,
"Jangan engkau nekat sayang, mari kita berdamai dan jadilah engkau isteriku yang
tersayang."
"Tutup mulutmu!" teriak gadis ini, tetapi pedangnya tetap menyambar-nyambar.
"Trang-trang-trang.....!" sambaran sepasang pedang gadis ini tertahan dan tertangkis oleh
senjata pengeroyoknya.
"Ahhh.....!" tanpa sesadarnya Fajar Legawa berseru tertahan ketika melihat,
pedang di tangan kiri gadis itu lepas dari tangan dan terbang ke atas. Namun rasa kagetnya
itu, kemudian berganti dengan rasa kagum. Dengan bersiul nyaring, gadis itu sudah
melenting tinggi, dan sekali sambar pedang telah terpegang di tangan kiri.
Di saat tubuhnya masih terapung di udara ini, tujuh orang itu sudah datang
menyerbu. Akan tetapi sedikitpun gadis ini tidak gentar, dan terdengar lagi suara benturanhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
senjata berturut-turut. Dua orang di antara pengeroyok berteriak kesakitan dan terhuyung.
Ketika Fajar Legawa memperhatikan, ternyata gadis itu sudah berhasil melukai pundak
dan lengan orang, kemudian sekarang dia dapat berdiri dengan bebas.
"Nawang Wulan!" seru Juru Demung. "Tidak lama lagi engkau akan roboh
kehabisan tenaga. Apakah keuntungan yang kau peroleh dengan keliaranmu ini?"
"Nawang Wulan?" desis Fajar Legawa. "Pantas dia cantik seperti bidadari, ibu
pernah bercerita, bahwa bidadari yang bernama Nawang Wulan itu, isteri Ki Ageng
Tarub. Tetapi gadis cantik ini, calon isteri siapakah?"
"Bangsat Juru Demung!" teriak Nawang Wulan. "Jangan engkau biarkan
begundalmu mengeroyok aku. Mari, lawanlah aku dan kita tentukan siapakah yang
lebih unggul antara aku dan engkau!"
"Heh-beh-heh," Juru Demung terkekeh. "Melawan anak-buahku saja engkau tak
mampu, mengapa engkau congkak dan menantang aku? Jika engkau mau mendengar
nasihatku, lebih baik sarungkanlah pedangmu. Kemudian engkau malam ini akan aku
angkat sebagai ratu, dan akan dihormati sekalian orang."
Nawang Wulan tidak sempat menjawab. Tujuh orang pengawal itu telah kembali
menerjang maju dan mengeroyok. Yang seorang telah terluka, lengannya, dan yang
seorang telah terluka pundaknya. Akan tetapi luka itu hanya ringan, maka luka tersebut
tidak mempengaruhi gerakannya. Lebih lagi tujuh orang pengawal kepercayaan Juru
Demung ini bukanlah orang-orang tolol. Setelah dua orang di antara mereka terluka me-
reka berhati-hati.
Mereka sekarang tidak berani terlalu mendesak, lebih mempererat kerja-sama,
menyerang dan menangkis. Gadis ini sudah cukup lama menggunakan tenaga dan
berkelahi. Mereka sekarang hanya mengurung secara rapat, tidak memberi kesempatan
gadis itu lolos, tetapi hanya berusaha membuat Nawang Wulan kelelahan dan kehabisan
tenaga.
Melihat perobahan ini, Fajar Legawa terkesiap. Apabila gadis itu sampai kelelahan
dan kemudian tertawan, akan sulitlah dirinya memberi pertolongan. Apapun yang terjadi
ia takkan rela membiarkan gadis cantik itu celaka di tangan para penjahat. Ia sekarang
telah menetapkan hati. Walaupun ia tidak kenal dengan gadis itu, dan tidak tahu ada
kepentingan apa gadis ini masuk ke sarang singa, ia telah memutuskan harus segera
menyerbu dan membantu.
"Nona, aku bantu kerepotanmu!" sambil berteriak nyaring, Fajar Legawa telah
melompat turun dari tembok batu, dengan gerakannya amat indah. Tiga orang datang
menyambut, menyerang dengan senjata masing-rmsing disaat tubuh Fajar Legawa masih
terapung di udara.
"Trang trang trang..... . .plak buk pok.........aughh. . . .!" Sambaran tiga batang
senjata para perampok itu ditangkis dengan tongkat, dan sekali bentur senjata-senjata itu
patah. Sebelum para penjahat itu dapat berbuat sesuatu, tongkat Fajar Legawa telah
menyambar cepat sekali dan terdengar pekik tiga kali berturut-turut, disusul robohnya tiga
orang itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Gempar para penjahat ini, melihat munculnya seorang pemuda, yang sekali gebrak
telah berhasil mematahkan senjata-senjata kawannya, disusul robohnya tiga orang itu.
Nawang Wulan menggunakan kesempatan disaat para penjahat itu kaget dan gempar,
memalingkan muka ke arah Fajar Legawa. Tetapi gadis ini merasa heran, karena belum
merasa kenal. Namun demikian, kehadiran pemuda ini, bagaimanapun dapat
mempengaruhi keadaan.
Dan bantuan Fajar Legawa ini, membangkitkan semangat Nawang Wulan. Tanpa
menjawab gadis ini sudah menggerakkan sepasang pedangnya lagi dan mengamuk.
Sementara itu Fajar Legawapun segera diterjang oleh belasan orang penjahat.
Mereka mengeroyok dengan macam-macam senjata. Namun sedikitpun Fajar Legawa
tidak gentar. Hatinya menjadi besar setelah mengetahui tongkatnya bukan senjata
sembarangan. Setiap senjata yang berbenturan dengan tongkatnya akan segera patah. Ma-
ka sambil memutarkan tongkat ini, Fajar Legawa sudah mengamuk. Benturan senjata
terdengar berdencingan, diseling oleh pekik kaget dan pekik kesakitan. Dalam Waktu
singkat telah berserakan senjata yang patah dan pemiliknya berloncatan mundur dengan
wajah pucat. Dan yang tidak sempat melompat mundur, akan segera roboh terluka atau
tewas saat itu juga.
Gegerlah para penjahat ini menyaksikan kegagahan pemuda bersenjata tongkat ini.
Tetapi mereka memang bukan manusia-manusia yang mempunyai cadangan nyawa.
Mereka tidak lagi menerjang dan menyerang. Para penjahat itu sekarang hanya berusaha
mengurung, dan apabila salah satu bagian didesak oleh Fajar Legawa, penjahat itu segera
ketakutan dan bergerak mundur. Makin lama jarak Fajar Legawa dengan Nawang Wulan
menjadi semakin dekat. Tidak lama lagir pemuda ini tentu sudah dapat mempersatukan,
kekuatan dengan gadis berbaju biru itu.
Melihat perobahan keadaan yang tidak terduga-duga ini, Juru Demung amat
marah. Kepala penjahat ini menggeram keras, kemudian melompat sambil menyerang
dengan senjatanya.
Ketika itu cuaca sudah menjadi gelap. Melihat pemimpinnya telah turun tangan,
para penjahat ini berbesar hati. Beberapa orang segera lari dan masuk ke dalam sarang
lewat pintu samping. Tidak lama kemudian beberapa orang itu telah kembali lagi sambil
membawa obor-obor kayu. Dan oleh penerangan obor kayu yang belasan jumlahnya ini,
halaman yang luas itu tidak gelap lagi.
Dengan senjata rantai baja berkepala besi bulat sebesar kepala, Juru Demung telah
terlibat perkelahian dengan Fajar Legawa, yang dibantu oleh empat orang pembantunya.
Sambaran senjata Juru Demung yang dapat menjangkau jarak agak jauh ini dahsyat
sekali, sesuai dengan tenaganya yang amat kuat. Namun demikian sedikitpun Fajar
Legawa tidak gentar, lebih-lebih ia tahu bahwa tongkat pemberian gurunya ini,
mempunyai kekuatan yang mujijat dapat mematahkan senjata lawan.
Fajar Legawa tahu, bahwa sekarang ini harus dapat bertindak cepat. Maka sambil
melayani serangan Juru Demung dan empat orang pembantunya ini, ia banyak kali
menghindar sambil bergeser. Tujuan satu-satunya, ia secepatnya harus dapat mendekati
Nawang Wulan, kemudian bekerja-sama menggempur kekuatan para penjahat ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Trang trang trang.....aihhh. . . . !!" benturan senjata yang nyaring terdengar tiga
kali berturut-turut, dan disusul oleh pekik tertahan dari pemilik senjata itu. Sekali bentur
senjata mereka telah patah, terpaksa mereka harus melompat mundur, menyambar senjata
anak-buah dan kemudian kembali maju lagi.
Namun ternyata usaha Fajar Legawa ini tidak semudah ia kira. Para penjahat
itupun kiranya dapat menduga kandungan hati pemuda ini. Maka baik Juru Demung dan
pembantunya, berusaha melihat dan menghalangi.
Ketika Nawang Wulan harus mengerahkan kepandaian dan tenaganya, dalam
menghadapi keroyokan tujuh orang pengawal Juru Demung. Gadis berbaju biru ini
memang gagah, berilmu cukup tinggi disamping tabah. Akan tetapi bagaimanapun tenaga
manusia ini hanya terbatas. Maka setelah berkelahi dalam waktu lama menghadapi
keroyokan para penjahat, makin lama tenaga gadis ini semakin berkurang. Tubuhnya
telah mandi peluh dan pakaiannnya telah basah, dan berbareng dengan berkurangnya
tenaga Nawang Wulan, kelincahan dan kecepatan gerak gadis inipun makin menurun.
Para pengeroyoknya tambah gembira dan berbesar hati. Mereka makin hati-hati
dan setiap gerakan maupun serangan, tujuan yang utama hanya ingin membuat gadis itu
habis tenaga kemudian dapat menawan dengan mudah.
Justeru waktu itu, Fajar Legawa sempat memperhatikan keadaan Nawang Wulan.
Melihat gerakan Nawang Wulan yang makin berkurang kegesitannya ini, diam-diam ia
khawatir.
Juru Demung adalah seorang kepala penjahat yang sudah berpengalaman. Disaat
Fajar Legawa sedikit lengah ini, Juru Demung tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bola
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besi sebesar kelapa itu akan sanggup meremukkan bagian tubuh manusia yang bisa
dihantam. Malah Juru Demung sudah memastikan bahwa lawan ini tidak mungkin dapat
menyelamatkan diri.
"Mampuslah!" teriaknya nyaring.
Fajar Legawa yang tidak menduga memang kaget. Akan tetapi walaupun kaget pemuda
ini tidak kehilangan kewaspadaan.
"Trang ..." tongkatnya membentur rantai baja itu.
"Ahhh.........!" Fajir Legawa kaget sekali. Ia tadi sudah mematikan, bahwa rantai
baja itu akan segera putus apabila berbenturan dengan tongkatnya.
Namun ternyata dugaannya keliru. Rantai baja itu tidak menjadi putus, malah
sekarang melibat tongkatnya. Justeru disaat tongkatnya terlibat bola rantai baja itu,
sebatang pedang telah menyelonong dari kiri.
"Trang .......!" tendangannya secara tepat berhasil mementalkan pedang lawan.
Akan tetapi dari arah lain, golok sudah menyerampang kaki.
Disaat sedang mempertahankan tongkatnya dari libatan rantai baja itu, memang
tidak gampang menghindari sambaran senjata yang menyerampang kaki. Untung sekali
bahwa Fajar Legawa tetap tenang. Apabila dirinya harus melompat tinggi, kedudukannyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
akan menjadi rugi dan tongkatnya bisa direbut lawan. Maka jalan yang paling aman,
dengan tangan kiri ia menangkis sambaran pedang yang menyambar punggungnya, dan
berbareng itu ia sudah melompat ke depan satu langkah.
Dan lompatannya ke depan itupun bukan melulu menghindari serangan orang.
Akan tetapi ia menggunakan kesempatan disaat Juru Demung lengah. Lompatannya ke
depan menyebabkan rantai baja itu kendor. Kesempatan ini dipergunakan secara tepat,
untuk menyabet rantai bagian lain dengan tongkatnya.
"Trang . . . .!" dan putuslah rantai baja, senjata yang dibanggakan oleh Juru
Demung.
Juru Demung melompat ke belakang dengan wajah berobah pucat. Sepasang
matanya terbelalak hampir tidak percaya akan pandang-matanya sendiri. Apa sebabnya
hanya terpukul oleh tongkat saja, rantai baja itu sudah putus? Padahal rantai baja
senjatanya ini bukan baja sembarang-an. Rantai ini dibuat dari baja pilihan, dan di-
kerjakan oleh seorang ahli yang takkan dapat putus oleh bacokan golok. Dan dengan
senjatanya ini, belasan tahun ia malang-melintang dan berhasil merobohkan belasan
orang musuh. Akan tetapi mengapakah sebabnya sekarang ini, diputuskan orang hanya
dengan tongkat dari kayu?
Akan tetapi Juru Demung adalah seorang yang cerdik dan banyak tipu-
muslihatnya. Dan apabila tidak cerdik, manakah ia dapat memimpin gerombolan yang
jumlahnya ratusan orang? Secepat kilat ia sudah mencabut pedangnya. Dan dengan
pedang ini pula, pemimpin penjahat itu menyerang Fajar Legawa. Dan karena sadar
bahwa tongkat lawan itu dapat mematahkan senjata, maka dalam menyerang ini Juru
Demung amat berhati-hati. Ia selalu menghindari benturan senjata, dan mengandalkan
kecepatannya bergerak.
Di saat memperoleh kesempatan, Fajar Legawa melirik lagi ke arah Nawang
Wulan. Gadis itu memang masih dapat bertahan dan sepasang pedangnya masih terus
bersambaran. Tetapi menjadi semakin jelas bahwa gadis itu sudah lelah. Padahal jumlah
pengeroyok tidak makin berkurang, akan tetapi malah bertambah. Sekarang, Nawang
Wulan harus berhadapan dengan sepuluh orang penjahat yang menyerang dari seluruh
penjuru. Diam-diam pemuda ini gelisahjuga. Namun sayang sekali ia dihambat oleh Juru
Demung dan para penjahat yang lain, sehingga belum juga dirinya mendekati gadis itu
dan menggabungkan diri.
"Aihh....!" Nawang Wulan menjerit nyaring. Fajar Legawa kaget sekali sambil
menyambarkan tongkatnya untuk menangkis. Namun kemudian pemuda ini menjadi
heran ketika sempat melihat, gadis itu masih tetap memberikan perlawanan. Mengapa
gadis itu tadi memekik?
Kiranya pekik Nawang Wulan tadi akibat rasa kaget. Secara tak terduga senjata
lawan berhasil mampir pada pundaknya dan merobek baju. Untung tikaman lawan itu
meleset, dan walaupun baju pada pundak itu robek namun pundak itu tidak terluka.
"Trang ....!" dan Nawang Wulan kaget. Pedang pada tangan kanan terjepit oleh
gencetan dua batang golok lawan. Disaat pedang pada tangan kiri akan menolong,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
punggungnya merasa disambar angin dingin. Ia mengurungkan gerakannya, kemudian
memutarkan pedang itu kebelakang.
"Aughh ....!" dua orang penjahat melompat mundur dan kesakitan. Tetapi disaat
itu seorang penjahat menyerampang kaki, sedang lehernyapun disambar angin dingin.
Untung juga bahwa gadis ini seorang perempuan tabah. Dalam kesulitan tidak
lekas menjadi gugup. Pedang pada tangan kanan yang terjepit dilepaskan, berbareng itu
ia sudah meloncat agak tinggi sambil penyabetkan pedang pada tangan kiri.
Ia dapat menolong diri walaupun sekarang harus kehilangan sebatang pedang.
Dalam penasarannya gadis ini melengking nyaring, dan walaupun sekarang hanya
bersenjata sebatang pedang, namun gerakan gadis ini tidak menjadi kendor.
Dalam keadan Nawang Wulan menjadi tambah kesulitan, dan Fajar gelisah
karena belum dapat mendekati Nawang Wulan itu, tiba-tiba terdengarlah suara ketawa
perempuan yang merdu. Belum juga lenyap gema suara ketawa itu, telah disusul oleh
teriakan nyaring yang mengejek.
"Tidak tahu malu! Dua orang muda dikeroyok ratusan orang. Hi-hi-hik, engkau
Juru Demung! Tidak sadarkah engkau bahwa malam ini, ajalmu sudah tiba?!"
Hanya terdengar desiran angin yang halus. Tahu-tahu terdengarlah jerit beberapa
orang. Dan disusul oleh tubuh Juru Demung yang berkelebat melarikan diri. Fajar
Legawa tidak mau melepaskan penjahat itu. Tetapi sayang sekali, beberapa orang
penjahat menghalangi. Walaupun Ffcjar Legawa berhasil merobohkan beben pa orang,
namun pemimpin penjahat itu telah terlanjur dapat melarikan diri.
Larinya Juru Demung merobah keadaan. Para pembantu Juru Demung menjadi
runtuh semangatnya, dan kemudian merekapun berserabutan melarikan diri. Nawang
Wulan yang penasaran masih belum mau berhenti. Pedangnya berkelebat ke-sana ke-
mari, sehingga berturut-turut terdengar pekik nyaring. Beberapa orang segera roboh mati.
Dan kemudian, Nawang Wulan sudah melompat untuk masuk ke-dalam rumah.
"Wulan ! Jangan !" teriak perempuan ini, dan ketika tubuhnya bergerak, lengan
Nawang Wulan sudah tertangkap.
"Anak muda, engkau datang dari mana?" tanya perempuan tua ini dengan
suaranya merdu.
"Saya Fajar Legawa, murid bapa Suria Kencana," sahutnya sambil membungkuk
memberi hormat.
"Uahh.....pantas engkau hebat !" puji perempuan itu. Dan tentunya engkau belum
kenal aku maupun muridku ini, bukan? Ini muridku dan juga anakku Nawang Wulan.
Aihhh.....Nawang Wulan, mengapa engkau tidak lekas mengucapkan terimakasihmu,
atas pertolongan dia?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Dan walaupun agak malu, Nawang Wulan menghampiri Fajar Legawa dalam
jarak dekat. Kemudian dengan nada yang agak gemetar, gadis ini berkata. "Terimakasih
atas pertolongan saudara."
"Salah!" sahut Fajar Legawa dengan tersenyum. "Akulah seharusnya yang
mengucapkan terimakasih atas pertolongan nona."
Nawang Wulan dan ibunya terbelalak heran. Kemudian terdengar kata perempuan tua
itu. "Wulan, siapakah yang berkelahi lebih dahulu?"
"Aku berkelahi lebih dulu, dan kemudian ..... aku ditolong," sahut gadis ini sambil
menundukkan muka, tampak malu dan likat.
"Akan tetapi aku datang kemari kalah dahulu dengan nona." bantah Fajar
Legawa. "Padahal dengan perkelahian yang nona mulai, berarti pula meringankan aku."
Wanita tua itu tertawa mendengar perbantahan Fajar Legawa dengan anaknya,
yang saling berebut untuk mengucapkan terima kasih itu. Katanya kemudian. "Sudahlah,
sudah! Agaknya masing-masing mempunyai kepentingan sendiri. O ya, aku tadi belum
menjawab pertanyaanmu. Ketahuilah, bahwa gurumu Suria Kencana itu, dahulu sahabat
suamiku dikala masih hidup. Apakah gurumu tidak pernah menyinggung seorang janda
yang dirundung duka, yang bertempat tinggal di goa Sermin Gunung Kidul?"
Mendengar ini Fajar Legawa terbelalak. Sejenak kemudian pemuda ini dengan
agak gugup berkata. "Apakah.....apakah ibu yang disebut oleh guruku, pertapa sakti
Dewayani?"
Perempuan itu tertawa merdu. Jawabnya kemudian. "Ah, gurumu pandai
berkelakar. Mengapa sebutan dan namaku ditambah dengan pertapa sakti segala?"
Untuk sejenak mereka berdiam diri. Tetapi kemudian Dewayani menegur. "Aihh,
mengapa kalian hanya saling pandang?"
Teguran itu membuat mereka kaget. Nawang Wulan malu dan menundukkan kepalanya.
Dan dua orang muda ini sama-sama tidak tahu bagaimana harus membuka mulut dan
bicara.
Dewayani menghela napas pendek. Kemudian. "Anak muda, anakku Wulan
memang nakal. Aku kelabakan mencari kesana kemari, ternyata diam-diam telah pergi
sampai kemari. Goa Sermin dan tempat ini bukan jarak yang dekat, dan untung juga aku
seperti dituntun tangan Tuhan, sehingga aku dapat menyusul kemari. Kalau tidak apakah
jadinya?"
Setelah terjadi perkelahian tadi, dua orang muda ini merasa sadar. Bahwa apa yang
sudah mereka lakukan memang amat berbahaya. Mereka tadi, bagaimanapun merasakan
kesulitan. Mereka telah mengerahkan tenaga dan kepandaian yaug dimiliki. Namun
mereka tidak juga berhasil mengalahkan lawan yang jumlahnya banyak itu, dan baru Juru
Demung melarikan diri, sesudah Dewayani muncul.
"Ibu selalu melarang aku saja!" protes gadis ini sambil memandang ibunya. "Itulah
sebabnya secara diam-diam aku pergi kemari."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Fajar Legawa kaget mendengar percakapan ibu dan anak ini. Pada mulanya ia
mengira bahwa ibu dan anak ini datang bersama-sama. Ternyata Dewiyani datang ke
tempat ini dalam usahanya mencari anaknya. Dan ternyata pula Nawang Wulan datang
ke sarang penjahat ini hanya seorang diri.
Ketika Fajar Legawa akan membuka mulut untuk bertanya, telah didahului oleh
Dewayani. "Anak muda, demikianlah watak seorang muda. Banyak kali bertindak tanpa
perhitungan dan hanya terdorong oleh keinginan menurutkan hati. Wulan datang ke
tempat yang jauh ini dengan dua maksud. Pertama, dia ingin membalas sakit hati atas
tewasnya ayahnya, tiga tahun yang lalu, akibat perangkap juru Demung yang curang. Dan
yang kedua, Wulan merasa terhina oleh Juru Dcmung yang kurang ajar. Coba engkau
bayangkan, ayahnya mati dibunuh dengan cara licik dan curang.
Tetapi dia masih juga tidak tahu malu, berani melamar Wulan untuk isteri."
"Ibuuu....!" Nawang Wulan berusaha mencegah ibunya menceritakan persoalan
pribadinya. Akan tetapi ibunya hanya tertawa saja.
Usia Dewayani saat sekarang ini sekitar lima-puluh tahun. Akan tetapi Fajar Legawa
dapat menduga, bahwa disaat mudanya Dewayani seorang perempuan cantik jelita bagai
bidadari. Buktinya walaupun sekarang rambut itu sudah campur dengan putih, namun
kulitnya belum juga berkeriput. Dan kalau toh sekarang Dewayani rambutnya cepat
berobah menjadi putih sebagian, bukan lain adalah akibat derita batin setelah suaminya
tewas ditangan orang.
"Anak muda," Dewayani berkata lagi. "Meskipun kurang perlu namun agaknya
patut juga engkau ketahui, bahwa mendiang suamiku termasuk seorang penegak
Mataram. Dulu ia banyak ikut berperang mengikuti Ingkang Sinuhun Sultan Agung."
"Guru juga pernah menceritakan hal itu, ibu, bahwa suami ibu adalah seorang
perwira Mataram yang bernama Tumenggung Yudokenoko," sahut Fajar Legawa.
"Engkau benar. Memang dialah suamiku!" kata Dewayani. "O ya, lalu apakah
sebabnya engkau datang juga kemari?"
Fajar Legawa seperti sadar dari mimpi mendengar pertanyaan ini. Baru ingatlah ia
sekarang akan tujuannya datang kemari. Dengan agak gugup ia segera menceritakan
malapetaka yang telah menimpa keluarga dan para tetangganya. Dan kemudian ia
menduga bahwa Juru Demunglah yang sudah melakukan perbuatan terkutuk itu.
"Perkenankan saya minta diri untuk mencari adik Irma Sulastri," kata pemuda ini
kemudian, dan tanpa menunggu jawaban Fajar Legawa telah masuk ke dalam sarang
penjahat itu.
"Nanti dulu !" tiba-tiba Dewayani menahan. "Mengapa engkau tidak minta diri
kepada anakku?"
Melengak untuk sejenak, atas teguran Dewayani ini. Saat sekarang dirinya sedang
gelisah memikirkan adik perempuannya. Mengapa hanya sekecil ini saja, harus
dipikirkan? Akan tetapi Fajar Legawa memang tidak ingin membuat orang kecewa. Ia
kembali dan mendekati Nawang Wulan sambil berkata. "Nona, ijinkan....."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Nanti dulu!" tukas Dewayani. "Janganlah kamu mempersulit diri dengan macam
sebutan. Wulan lebih muda, maka pantas memanggil kakang. Dan engkau yang lebih tua,
pantas pula menyebut adik."
Terasa malu juga dua orang muda ini mendengar kata-kata Dewayani. Namun
kemudian walaupun agak likat dan canggung, Fajar Legawa segera minta diri dan dengan
gerakannya yang cepat, ia menerobos masuk ke dalam sarang penjahat ini.
Rumah yang luas ini ternyata sepi. Ia tidak menjumpai seorangpun. Ia menduga
bahwa Juru Demung telah sempat mengosongkan rumah ini dalam waktu singkat. Akan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi setelah ia masuk semakin dalam sambil meneliti keadaan, tiba-tiba saja darah
pemuda ini tersirap, ketika melihat tubuh seorang perempuan muda yang menggeletak di
lantai. Hatinya berdebar tegang karena sudah menduga, bahwa perempuan itulah
adiknya.
"Aihh...!" Fajar Legawa berseru tertahan, ketika melihat keadaan perempuan ini.
Wajah perempuan ini telah rusak dan tidak mungkin lagi dapat ia kenal. Darah kering
memenuhi wajah itu, jelas perempuan ini mati akibat siksaan hebat. Hidung teriris, mulut
sobek, telinga hilang dan pada pipi tampak luka yang bersilang. Dan ketika meruntuhkan
pandang-mata ke arah dada, ternyata sebatang pisau belati menancap di sela bukan.
Namun setelah meneliti dengan seksama, pemuda ini menjadi lega. Perempuan
muda yang tewas akibat siksaan ini sekalipun mempunyai potongan tubuh yang mirip
dengan Irma Sulastri, akan tetapi perempuan ini kulitnya hitam, sedang adiknya berkulit
kuning.
Kasihan juga Fajar Legawa melihat keadaan perempuan ini, yang tidak terurus.
Namun saat sekarang ini dirinya sendiri sedang gelisah. Dalam waktu yang cepat, ia harus
segera dapat menemukan adiknya.
Cukup lama Fajar Legawa menggeledah isi rumah dan keluar masuk dalam kamar.
Tetapi walaupun berusaha tidak kenal lelah, adiknya yang dicari tak juga dapat
ketemukan. Dan ketika ia baru saja mau masuk ke-dalam sebuah kamar yang paling besar
dalam rumah itu, tiba-tiba saja pemuda ini memekik tertahan sambil melenting tinggi, dan
kemudian ia bergantungan pada penglari rumah. Di bawahnya sekarang tampak lobang
yang amat gelap, dan sesaat kemudian lobang itu menutup sendiri sambil menimbulkan
suara gemeratak.
Tanpa terasa telah dinihari. Ketika Fajar Legawa keluar dari rumah ini, halaman
yang luas itu telah kosong. Yang masih tampak hanya puluhan mayat yang berserakan
bersama macam-macam senjata, sedang Dewayani maupun Nawang Wulan, juga tidak
tampak lagi, entah kemana.
Dengan langkah yang agak lesu karena kecewa dan letih, ia meninggalkan sarang penjahat
itu. Sambil berjalan mi tiba-tiba ia teringat kepada tongkat yang sanggup mematahkan
senjata orang itu. Ia mengamati dan menimang-nimang. Akan tetapi tak juga pemuda ini
bisa menduga, apakah sebabnya tongkat ini hebat sedemikian rupa.
Terpikir kemudian, bahwa secepatnya ia harus pergi menemui gurunya, untuk
melaporkan malapetaka yang menimpa keluarganya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Perjalanan Fajar Legawa menuju tempat tinggal gurunya ini kurang perlu
diceritakan. Ia telah berhasil menghadap gurunya, dan di depan guru yang bijaksana ini
Fajar Legawa menangis tersedu-sedu.
"Fajar, apa yang sudah terjadi? Dan apa kabar adi Kusen?" tanya gurunya yang
merasa heran melihat muridnya menangis.
Dengan ucapan yang tersendat-sendat, diceritakan apa yang telah terjadi atas
keluarganya. Suria Kencana menghela napas dalam mendengar penuturan ini. Kemudian
katanya halus. "Fajar, tenangkanlah hatimu. Kehendak dan kekuasaan Tuhan tidak
terbantah oleh manusia. Apa yang terjadi atas diri tiap manusia, sudab sesuai dengan garis
yang ditentukan Tuhan. Ya, aku mengerti Fajar, betapa derita hatimu oleh malapetaka
yang menimpa keluargamu itu. Ayah-bundamu tewas dan adikmu hilang. Akan tetapi
juga berbangga hati bahwa engkau mempunyai seorang ayah yang gagah perkasa, sebagai
kesatrya sejati yang sanggup mengorbankan jiwa-raganya demi tugas yang dipikulnya.
Demi sumpah dan demi janji yang pernah diucapkan."
Keheranan Fajar Legawa mendengar kata-kata gurunya ini. Mengapa ayahnya
disebut sebagai seorang gagah-perkasa, sebagai ksatrya sejati yang sanggup
mengorbankan jiwa raga demi tugas?
Tugas apakah itu? Jasa apakah yang telah dilakukan oleh ayahnya, sebagai seorang petani
yang hidup di gunung?
"Bapa," katanya kemudian sambil menyeka air matanya. "Ayah hanya seorang
petani yang hidup di pegunungan. Mengapa bapa menyebut sedemikian tinggi?"
"Kiranya tidak mengherankan apabila engkau kurang percaya," kata Suria
Kencana sambil mengusap-usap jenggotnya yang agak panjang. "Soalnya bukan lain
karena ayahmu selalu merahasiakan dengan tertib, keadaannya yang sebenarnya. Hingga
engkau menjadi buta akan tugas berat yang dipikulkan atas pundak ayahmu. Dan oleh
tugas berat yang dibebankan pada pundaknya itulah, maka ayahmu harus hidup
menderita sebagai petani di pegunungan."
Suria Kencana berhenti, ia mengamati muridnya seperti mencari kesan. Dan
setelah menghela napas pendek, barulah kakek ini meneruskan. "Ayahmu bukanlah
petani seperti dugaanmu. Dan nama Kusen-pun baru dikenal orang sesudah ayahmu
berdiam di tempat itu. Tetapi Fajar, saat sekarang aku belum bersedia membuka rahasia
seluruhnya, siapakah engkau yang sebenarnya. Dan belum tiba saatnya pula, anak
siapakah sesungguhnya engkau ini? Yang jelas orang yang menamakan diri Kusen itu
bukan ayahmu. Kiranya saat itu cukup aku singkapkan sedikit rahasia, bahwa ayahmu
yang bernama Kusen itu seorang petugas yang menyelamatkan sebilah keris pusaka dari
rumah Kadipaten Ukur, yang bernama "Tilam Upih". Keris pusaka itu, dahulu besar
sekali jasanya kepada pemiliknya, yang bernama Dipati Ukur."
Dipati Ukur yang dimaksud oleh Suria Kencana ini, adalah seorang Adipati
Mataram yang berkuasa di wilayah Ukur. Yang sekarang dikenal dengan nama wilayah
Bandung.
Heran Fajar Legawa mendengar penuturan gurunya ini. Apakah sebabnya
gurunya ini menyinggung-nyinggung tentang Dipati Ukur? Dan kalau Kusen bukan ayahhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kandungnya, lalu siapakah sesungguhnya ayah-bundanya itu? Akan tetapi ia tahu bahwa
gurunya tidak mungkin bersedia menerangkan, diluar kemauannya sendiri.
"Bapa, dimanakah keris pusaka "Tilam Upih" itu sekarang?" tanya Fajar Legawa
tiba-tiba. Sebab mendadak saja timbul kekhawatirannya, keris itu dirampas orang.
"Fajar, sabarlah!" Suria Kencana berusaha menyabarkan muridnya. "Pada
akhirnya engkau akan tahu juga tentang keris itu."
Suria Kencana batuk-batuk kecil, dan kemudian terusnya. "Fajar, pada akhirnya
tentang keris pusaka "Tilam Upih" itu bocor juga. Entah, aku sendiri tidak tahu akan
sebabnya, mengapa sampai rahasia itu bocor. Anakku, orang hanya tahu bahwa Dipati
Ukur dibunuh mati oleh algojo Mataram di Karta. Sedang pusaka keris itu tidak
didapatkan orang. Dengan bukti-bukti itu, akhirnya orang sampai kepada kesimpulan
bahwa keris puska yang amat terkenal itu disembunyikan orang. Dan berita tentang
lenyapnya keris itupun kemudian sampai pula ke te!inga para penjahat. Lalu timbullah
selera orang, untuk mencari di manakah keris pusaka "Tilam Upih" itu sekarang, berada."
Fajar Legawa memandang gurunya, dan dari pandang matanya itu jelas bahwa
pemuda ini tampak tidak sabar.
Suria Kencana kembali batuk-batuk kecil, baru kemudian ia melanjutkan. "Fajar,
untunglah bahwa agaknya ayahmu jauh sebelumnya sudah memperhitungkm persoalan
bocornya masalah ini. Dan itulah sebabnya semenjak engkau masih kecil, engkau telah
dititipkan kepadaku, dengan harapan agar aku dapat mendidikmu sebagai anak. sendiri.
Mengapa demikian? Karena di dalam penyamarannya sebagai petani itu, sulitlah ayahmu
mendidik engkau seperti apa yang telah aku lakukan untukmu. Karena, hal itu akan
menimbulkan kecurigaan orang."
"Fajar," kata gurunya lagi setelah sejenak berhenti, "sesudah tentang keris pusaka
Gusti Adi pati Ukur itu bocor, maka para penjahat berusaha untuk bisa memperoleh keris
yang bertuah itu. Mereka saling berlomba dan dahulu mendahului. Berakibat pula tidak
terhitung jumlahnya korban yang jatuh oleh perbuatan orang-orang yang tidak
bertanggung-jawab. Dan kemudian agaknya, terdapat pula penjahat yang bisa mencium
bahwa sesungguhnya Kusenlah yang menyimpan pusaka itu. Hemmm, ayahmu akhirnya
gugur dalam mengemban tugas berat itu. Dan aku percaya pula, bahwa sebabnya ayahmu
gujur, bukan lain dalam usahanya untuk menyelamatkan keris pusaka itu."
Suria Kencana menghela napas berat. Untuk beberapa saat lamanya kakek ini tidak
membuka mulut, dan menundukkan kepalanya. Tampak sebali Suria Kencana tercekam
oleh rasa haru, sehubungan dengan gugurnya Kusen bersama isterinya. Dan sesudah ia
berhasil menekan perasaan, barulah ia meneruskan. "Sesudah berhasil membunuh
ayahmu, agaknya mereka kemudian berusaha memperoleh rahasia itu dari ibumu. Na-
mun ternyata ibumu pun seorang wanita sejati. Ia tak mau membuka rahasia itu, dan
akibatnya ibumu pun dibunuh. Tak juga puas dengan membunuh ayah-bundamu,
kemudian mereka masih juga menculik adikmu, Irma Sulastri."
"Apakah maksudnya menculik Irma?" tanya Fajar Legawa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Agar kemudian orang berusaha mencari Irma Sulastri." Suria Kencana
menerangkan. "Dan dengan meminjam adikmu itu sebagai jaminan, dengan gampang
penjahat itu akan berhasil menemukan kunci rahasianya."
"Jadi menurut dugaan bapa, Irma takkan diganggu orang?"
"Semua itu kiranya tergantung oleh keadaan. Dan aku sulit menduga, mereka
masih menganggap Irma mempunyai kedudukan menentukan atau tidak. Namun dalam
waktu yang terbatas, keselamatan adikmu tidak perlu dikhawatirkan."
Agak tenteram hati Fajar Legawa mendengar keterangan ini. Dan dengan
demikian berarti masih dapat mengharapkan bertemu dengan adiknya. Akan tetapi
kapankah harapan ini bisa terwujud?
Setelah beberapa saat lamanya orang-tua ini berdiam diri, kemudian terdengar ia
berkata lagi. "Fajar, dengan menawan adikmu itu, diharapkan orang-orang yang
mempunyai hubungan akan dapat dijebak dengan gampang. Oleh sebab itu anakku, di
dalam usaha mencari adikmu itu, bahaya akan selalu mengancam dirimu, dan setiap
kelengahan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak kita harapkan. Maka berhati-hatilah eng-
kau dalam setiap gerak dan langkahmu, dimanapun juga."
"Bapa, murid menjadi bingung." kata pemuda ini kemudian.
"Apakah yang membuat bingung?" gurunya bertanya.
"Bapa mengatakan bahwa ayah Kusen bukan ayahku yang sebenarnya. Lalu
siapakah diri murid ini? Apakah murid anak jadah?"
"Hemm, jangan engkau merasa diri serendah itu anakku. Bukan, engkau bukan
anak jadah atau anak haram. Akan tetapi maafkan aku, saat sekarang ini belum saatnya
aku menerangkan."
"Tetapi, mengapakah sebabnya keris pusaka "Tilam Upih" milik Adipati Ukur itu,
dititipkan kepada ayah Kusen? Mengapa tidak dititipkan kepada orang lain?"
"Itu jawabannya gampang dan singkat. Sebab ayahmu Kusen itu, disaat Gusti
Adipati Ukur masih hidup dan berkuasa, adalah salah seorang kepercayaannya. Ayahmu
Kusenlah pengurus rumah tangganya."
Fajar Legawa merasakan kepalanya seperti mau meledak, dan dadanya penuh
pertanyaan kemudian. "Dimanakah keris itu sekarang, bapa? Tadi bapa mengatakan
bahwa keris itu tidak di tangan ayah Kusen,"
"Hemm, akhirnya rahasia itu tidak dapat aku tutup lagi, Fajar." Suria Kencana
menyahut sambil menganggukkan kepalanya. "Dan sebenarnya engkaulah yang
membawa keris pusika "Tilam Upih" dan diperebutkan orang itu."
Fajar Legawa berjingkrak saking kaget. Dirinya tidak merasa membawa keris iiu.
Tetapi mengapa sebabnya gurunya ini mengatakan dirinya yang membawa? Oleh sebab
itu pemuda ini mengamati gurunya dengan pandang mata yang curiga. Katanyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
kemudian. "Bapa. Murid tidak memiliki sebilah kerispun. Mengapa bapa mengatakan
bahwa keris pusaka itu di tangan murid?"
Terdengar Suria Kencana ketawa lembut. Kemudian. "Aku sudah menduga
bahwa engkau tidak merasa menyimpan keris pusaka itu. Akan tetapi anakku, aku tidak
berkelakar. Engkau benar-benar menyimpan keris itu. Apakah engkau tidak merasa,
bahwa di dalam tongkat itulah keris pusaka "Tilam Upih" itu tersimpan? Ya, aku memang
sengaja tidak memberitahukan kepadamu tentang keris itu. Namun sekarang aku telah
berterus-terang."
"Celaka!" seru pemuda itu kaget.
"Mengapa?"
"Karena kecerobohan murid, orang segera dapat menduga-duga bahwa pusaka itu
di tangan murid." Fajar Legawa berusaha memberi penjelasan. "Murid telah
menggunakan tongkat ini untuk mengobrak-abrik sarang penjahat Juru Demung. Setiap
senjata yang berbenturan dengan tongkat murid akan segera patah atau rusak. Dan dengan
kenyataan ini mau tidak mau orang akan segera curiga dan menduga-duga. Bahwa di
dalam tongkat murid, tentu tersimpan senjata pusaka. Ahhh, semula saya keheranan.
Akan tetapi teka-teki itu sekarang sudah terjawab. Bapa murid menjadi khawatir sekali.
Khawatir kalau murid tidak dapat menyelamatkan keris pusaka "Tilam Upih" ini. Maka
murid sekarang mohon agar bapa sudi menyimpan keris ini."
"Ha-ha-ha," Suria Kencana tertawa. "Engkau tidak perlu gelisah, anakku.
Mengapa engkau harus khawatir? Bukankah engkau percaya akan kekuasaan Tuhan dan
takdirnya? Kalau percaya, maka serahkanlah semua itu bulat-bulat kepada Tuhan."
Gurunya berhenti dan memandang Fajar Legawa penuh perhatian. Sejenak
kemudian guru ini meneruskan. "Fajar, engkau menduga bahwa aku lebih pantas
menyimpan keris pusaka itu? Apakah engkau lupa bahwa segala sesuatu terjadi sesuai
dengan garis Tuhan? Setiap orang kenal belaka bahwa aku sahabat ayahmu Kusen. Siapa
tahu kalau kemudian hari orang datang ke mari dan memaksa padaku agar menyerahkan
keris itu? Aku sudah tua, baik tenaga maupun keadaanku sudah banyak menurun. Maka
jalan yang paling tepat apabila keris itu tetap pada tanganmu, dan semuanya serahkan
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulat-bulat di tangan Tuhan."
Untuk beberapa saat lamanya guru dan murid ini tidak membuka mulut. Masing-
masing seperi sedang berpikir.
"Baiklah bapa, murid akan selalu menjaga keselamatan keris ini," kata Fajar
Legawa kemudian. "Akan tetapi setujukah bapa, bahwa keris ini ditempatkan pada benda
lain agar lebih gampang menjaganya?"
Suria Kencana menghela napas pendek. Kemudian. "Fajar, kiranya pada saat
sekarang belum dipandang perlu berbuat demikian. Biarkan keris itu dalam tongkatmu.
Namun demikian juga menuntut padamu untuk lebih berhati-hati. Batasilah engkau
menggunakan tongkat itu, apabila tidak dibutuhkan benar-benar. Sebab dengan sekali
bentur senjata orang patah akan menimbulkan kerigaan orang. Engkau bukan anak kecil
lagi Fajar, aku percaya engkau sudah dapat berpikir mana yang lebih baik."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Kakek ini berhenti dan menundukkan kepalanya seperti sedang berpikir. Dan
kemudian terdengar lagi kata orang tua ini. "Ada sesuatu yang tidak kurang pentingnya
aku beritahukan padamu."
"Tentang apakah bapa?" tanya Fajar Legawa sambil mengambil mengangkat
kepalanya.
"Telah berlangsung belasan tahun lamanya, bahwa didalam pergaulan masyarakat
timbul pendapat tentang pentingnya dapat memiliki pusaka-pusaka yang bertuan. Di
samping orang berlomba ingin memiliki keris pusaka "Tilam Upih", ada pula pusaka lain
yang diincar tiap orang. Pusaka itu bernama pedang pusaka "Sokayana" ."
"Pedang Sokayana?" Fajar Legawa terbelalak. "Milik siapakah pedang itu pada mulanya
bapa?"
"Tidak seorangpun dapat memberi penjelasan. Namun yang terang pedang itu
sudah berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan orang lain. Dan perpindahan itupun
menimbulkan korban cukup banyak. Akan tetapi yang jelas, apabila pusaka bertuah itu
jatuh ke tangan orang jahat, akan menimbulkan bencana dalam masyarakat. Ada orang
mengatakan pedang itu merupakan benda peninggalan Maha Patih Gajah Mada. Ada
pula orang yang merasa yakin peninggalan Ronggo Lawe. Tetapi lain pihak ada pula yang
mengatakan pedang itu semula milik Raden Gajah, pahlawan Majapahit. Macam-
macamlah kata orang. Sehingga sulit mengetahui mana yang benar. Aku hanya tahu
bahwa pedang itu tajam sekali, dan orang berlomba memiliki."
Banyak pengetahuan yang diberikan oleh guru bijaksana ini untuk muridnya.
Hanya satu persoalan, siapakah dirinya yang sesungguhnya, gurunya tetap belum juga
mau menerangkan, dengan alasan "belum waktunya".
Pemuda ini telah berpisah dengan gurunya lagi. Hilangnya Irma Sulastri
menyebabkan pemuda ini ingin meneruskan lagi penyelidikannya. Namun mengingat
bahwa perjalanan selanjutnya akan banyak membutuhkan tenaga, maka terpikirlah untuk
pergi ke Margasari dahulu, bertemu dengan Wanengbaya, untuk mengambil kudanya.
Ketika itu sudah siang. Matahari hampir di tengah jagad dan memancarkan
cahayanya yang cukup terik. Gunung Pandantelu sudah tidak jauh lagi, dan ia melewati
jalan pedesaan yang berdebu. Akan tetapi Fajar Legawa menjadi kaget dan mengerutkan
alisnya ketika tiba-tiba menangkap teriakan anak kecil. "Lepaskan. . . .lepaskan. . . !
Bangsat. . . .anjing . . ! Lepaskan aku. . ...!"
"Tutup mulutmu. Kupukul engkau jika rewel!" bentak seorang laki-laki yang sedang
mencengkeram lengan bocah itu sambil mendelik.
"Apakah engkau ingin aku tempeleng?" katanya lagi. Dan baru ancaman ini
diucapkan tangannya telah bergerak dan menempeleng. Kontan saja bocah kecil itu
memekik kesakitan, menangis sejadinya dan jatuh tersungkur di atas tanah berdebu.
Mereka itu empat orang. Mereka gembira sekali dapat menyiksa bocah itu dan
ketika bocah itu tersungkur, mereka sambut dengan ketawa mereka yang bergelak-gelak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tidak seorangpun berusaha menolong anak kecil itu. Malah mereka yang melihat, cepat-
cepat pergi dan bersembunyi, agar tidak ikut memikul akibatnya.
Tadi, bocah itu memang menangis sejadinya. Tetapi ketika mendengar
ditertawakan, tiba-tiba saja bocah ini bangkit dan tangisnya berhenti mendadak. Bocah ini
secara tidak terduga telah menubruk. Dan salah seorang berhasil digigit tangannya.
"Aduhh.......... anjing kecil!" teriak yang digigit, "Kau ingin mampus?"
Tangan yang lain menempeleng mulut bocah itu, sehingga gigitannya lepas. Disaat
tubuh ini masih terhuyung, tendangan telah bersarang pada perut. Kontan saja bocah cilik
ini terlempar beberapa meter jauhnya, lalu roboh terguling.
Tetapi begitu jatuh bocah ini sudah bangkit lagi, tidak perduli mulutnya
berdarahan pakaiannya kotor. Mata yang kecil itu berapi-api menyapu kepada mereka.
Agaknya kesakitan yang diderita, menyebabkan bangkit keberanian bocah ini.
Melihat ini Fajar Legawa tertegun. Apakah sebabnya empat orang dewasa
menganiaya bocah cilik? Dan mengapa pula sebabnya orang tidak berusaha menolong
dan menyelamatkan bocah itu.
Salah seorang dari empat orang itu mendelik sambil membentak. "Anjing kecil!
Engkau berani menantang kami? Apakah engkau ingin kupukul biar pecah kepalamu?"
"Biar aku yang menghajar!" sambut salah seorang di antara mereka, kemudian dia
telah melompat dan mengayunkan pukulannya.
Tetapi sebelum pukulannya itu sempat mengenai si bocah, sesosok bayangan yang
gesit telah menyambut. Terdengar pekik kesakitan, kemudian terlemparlah tubuh laki-laki
yang pada mulanya ingin menghajar bocah itu. Laki-laki itu tidak segera bangun, dan dia
merintih-rintih.
"Hai babi!" damprat seorang diantara mereka, "Apakah engkau mencari mampus,
berani mengganggu pekerjaan kami?"
"Tidak tahu malu!" kata Fajar Legawa. "Mengapa kamu menghajar bocah cilik?"
"Apa? Engkau ingin membela?" salah seorang diantara mereka bertolak pinggang.
"Nih, sambutlah pukulanku!"
Orang tersebut sudah menerjang maju. Dan Fajar Legawa tersenyum. Ia tidak
bergerak dari tempatnya berdiri, dan baru menghindar setelah pukulan itu hampir
menyentuh tubuhnya. Namun demikian ia belum membalas, karena ia tahu bahwa
sesungguhnya orang ini hanyalah garang di luar. Sesungguhnya orang ini hanyalah
gentong kosong saja. Dan agaknya serangannya yang luput itu, telah memberi alasan bagi
orang ini untuk mencabut senjatanya. Dan iapun kemuaian memberi isyarat kepada
kawannya untuk maju dan mengeroyok.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Tring tring plak.....!" tiga orang laki-laki itu terbelalak kaget ketika senjata mereka
menyeleweng oleh sentilan pemuda itu. Tetapi hanya sejenak saja, kemudian mereka telah
kembali menyerang secara ganas.
Akan tetapi sayang sekali bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang
pandai menekan, memeras dan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk yang lemah.
Sekarang walaupun mereka mengeroyok tiga, dan bersenjata pula, mereka tidak mampu
berbuat apa-apa menghadapi Fajar Legawa.
"Tring tring plak buk hek .....!"dengan sentilan jari tangan senjata mereka dapat
disentil menyeleweng. Belum juga mereka dapat berbuat sesuatu, berturut-turut Fajar
Legawa telah membagi pukulan dan tendangan. Akibatnya tiga orang itu terlempar dan
mengaduh-aduh kesakitan. Kegarangan mereka lenyap, kemudian mereka meratap-ratap
dan minta ampun.
"Horee .... paman hebat sekali. . . ..!" anak kecil itu kagum sekali, lupa rasa sakit
akibat penganiayaan mereka tadi, dan sekarang sudah bersorak.
Fajar Legawa memalingkan muka kepada bocah itu. Hatinya terharu melihat
mukanya berlepotan darah dan pakaiannya kotor di samping robek sana-sini. Dan
agaknya bocah itu menjadi makin berani. Ia sudah menghampiri Fajar Legawa sambil
memegang lengan, katanya. "Paman, bolehkah aku membalas memukul mereka?"
"Engkau berani?" tanyanya sambil tersenyum.
"Mengapa tidak berani?" jawabnya tegas.
"Baiklah anak baik, pukullah mereka. Tetapi masing-masing tidak boleh lebih dua kali
saja."
"Bagus," bocah ini bertepuk tangan gembira sekali. Kemudian, ia telah mendekati si tinggi
besar yang tadi sudah memukul mulutnya.
"Tak dess .... aughh ....!" si tinggi besar kelabakan dan memekik kesakitan. Oleh dupakan
tumit, hidungnya sudah mengeluarkan kecap. Dan di samping itu, dadanya juga terasa
sesak tiba-tiba, oleh dupakan bocah ini pula.
Bocah kecil itu senang dan berjingkrakan. Kemudian ia membagi pukulan kepada
mereka dengan caranya sendiri. Setelah empat orang itu mengaduh-aduh kesakitan oleh
balasannya, bocah ini puas.
Fajar Legawa iba dan kasihan. Dibersihkan noda darah pada muka bocah itu, di
samping obat untuk menyembuhkan luka pada bibir dan dalam mulut.
"Mengapa mereka memusuhi engkau? Apakah engkau nakal?"
"Tidak! Aku tidak bersalah paman. Dan orang-orang tidak berani menolong aku."
Di saat Fajar Legawa sedang bicara dengan bocah itu, maka empat orang tadi
diam-diam telah pergi karena ketakutan,
"Ohh . . . . kak Karni .... kak Karni . . " teriak bocah ini tiba-tiba, setelah ingat akan
keadaan, dan bocah ini berusaha lari.
''Ada apa?" tanya Fajar Legawa sambil memegang lengan bocah itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Lepas .... lepaskan aku. Aduhh .... kak Karni .... hu-hu-huuu . . . ."
"Ada apa?" desaknya sambil tetap memegang lengan kecil itu.
"Tadi .... tadi kak Karni diambil orang . ."
"Siapa yang mengambil?"
"Orang orang Singamurda . . . tadi aku .... tidak boleh ikut. Dan aku dipukuli . . ."
Tiba-tiba saja bocah ini menangis terisak-isak. Dan Fajar Legawa tambah iba.
"Apa sebabnya diambil?"
"Tak tahu .... hu-hu-huuu.....tapi kak Karni tadi tidak mau dan melawan . . . .."
"Di manakah rumah dia?" tanya Fajar Legawa dengan hati tegang. Walaupun
keterangan ini kurang jelas, namun ia sudah dapat menduga bahwa kakak-perempuan
bocah ini diambil orang secara paksa.
"Sana....!" bocah itu menunjuk kearah selatan.
"Mari kita ambil," ajak Fajar Legawa kemudian, sambil membimbing bocah itu.
Anak itu menengadahkan kepalanya untuk menatap Fajar Legawa. Lalu, "Tetapi paman
.... tidak seorangpun tetanggaku yang berani menolong .... Apakah paman berani?"
Mendengar pertanyaan bocah ini, tahulah ia mengapa para penduduk lebih senang
bersembunyi dan tidak mau campur-tangan. Agaknya orang yang disebut bernama
Singamurda itu seorang kaya, atau setidak-tidaknya seorang yang ditakuti oleh para
penduduk maupun kepala desa. Dan sebabnya orang-orang desa ini tidak berani membela,
bukan lain karena mereka takut akan akibatnya.
"Ha .... ternyata pamanpun takut juga?" sindir bocah ini.
Tetapi Fajar Legawa tidak marah, malah tersenyum. Jawabnya kemudian. "Siapa
yang takut? Anak baik, aku tidak takut kepada Singamurda, seperti para penduduk desa
ini. Mari, tunjukkan aku di manakah rumah dia."
Wajah bocah ini tiba-tiba berobah berseri gembira. Kemudian ia telah berlari-lari
mendahului Fajar Legawa.
"Jauhkah rumah orang itu?" tanya Fajar Legawa.
"Rumahnya terletak di-ujung sana."
"Mari aku dukung, agar lebih cepat." Dan tanpa menunggu jawaban, bocah ini
sudah didukung.
"Ahh, paman baik sekali."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Apanya yang baik?"
"Paman toh belum kenal aku maupun kakakku. Tetapi paman sudah sedia
menolong. Sebaliknya walaupun para tetanggaku telah kenal, mereka malah tutup pintu."
Fajar Legawa tersenyum. Kemudian tanyanya. "Siapakah namamu?"
"Namaku Sasongko! Dan paman?"
"Aku Fajar Legawa."
"Ahhh .... bagus......"
"Apanya yang bagus?"
"Nama paman."
Tiba-tiba pemuda ini teringat kepada ayah bocah ini. Tanyanya. "Sasongko,
mengapa ayahmu tidak menolong kak Karni?"
"Ayah? Ayahku? Aku dan kak Karni sudah tidak punya ayah dan ibu lagi."
"Sudah meninggal?" ulang Fajar Legawa. Dan tiba-tiba saja ia merasa iba, bahwa
bocah sekecil ini sudah tidak berayah dan ibunda lagi. Bocah yang usianya baru antara
delapan tahun ini sesungguhnya masih amat memerlukan perlindungan orang-tua.
"Paman," kata bocah ini, "aku tadi sedang bermain-main ketika orang-orang
Singamurda itu datang ke rumahku. Dan aku hanya menyaksikan bahwa kakakku
memekik dan menangis di samping berusaha memberontak. Tetapi walaupun kakakku
memberontak, mereka jauh menang kuat. Kakakku tidak berdaya, dan tidak seorangpun
berani menolongnya. Aku mengejar sampai ke rumah Singamurda. Tetapi kemudian aku
ditangkap dan digelandang pulang sambil dicaci dan dipukuli. Nih paman .... bibirku
pecah dan kepalaku benjol-benjol, rasa tubuhku sakit semua."
"Tadi engkau sudah aku beri obat, nanti akan sembuh anak baik."
Bujukan Fajar Legawa ini berhasil. Kemudian dengan tangannya yang kecil
Sasongko telah menunjuk ke depan, ke arah pekarangan itu yang bertembok tinggi. "Tuh,
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tembok tinggi itulah rumah Singamurda, tetapi awas paman, rumahnya selalu dijaga
orang-orang bersenjata."
"Jangan khawatir, anak baik- Aku akan berhati-hati dalam usahaku menolong
kakakmu. Dan kau, tunggu saja di tempat agak jauh."
"Mengapa harus jauh?" bantah bocah ini. "Aku ingin bisa menyaksikan usahamu
merebut kakakku. Aihh, paman, celaka! Perutku lapar sekali. Nih, sudah bunyi. Perut ini
sudah minta isi paman."
Fajar Legawa tersenyum tetapi juga merasa iba. Untung juga bahwa ia masih
menyimpan nasi jagung dan dendeng ikan rusa. Bocah ini diturunkan dari dukungannya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
diberi sebungkus nasi jagung berikut ikan dendeng bakar, seraya berkata. "Anak,
makanlah nasi jagung dan ikan ini. Tetapi engkau harus tunduk pada perintahku, engkau
harus bersembunyi di tengah rumpun pisang itu, dan tidak boleh pergi. Apakah engkau
mengerti?"
Sasongko memandang dengan matanya yang bening. Kemudian mengangguk
sambil menjawab. "Ya paman, aku akan tunduk perintahmu,"
Pekarangan rumah itu bertembok cukup tinggi dan pada pintu masuk tertutup
rapat. Terdapat pintu kecil terbuka yang biasa dilewati orang dengan membungkuk.
Tetapi pintu itu dijaga dua orang bersenjata tombaks tidak bedanya dengan rumah seorang
bangsawan atau pembesar tinggi.
Namun Fajar Legawa tidak perduli. Ia langsung menghampiri dua orang penjaga
itu. Dengan sikap mengancam dua orang penjaga itu mengacungkan tombak dan salah
seorang sudah membentak. "Hai, apa kerjamu di sini? Mau merampok?"
Fajar Legawa tidak menjawab teguran penjaga itu, hanya tersenyum. Kemudian
dengan gerakan yang seperti kilat cepatnya, dua tangan sudah bekerja. Tombak terlempar,
dan dua orang itu roboh tanpa suara. Serangan yang cepat tidak terduga ini tidak memberi
kesempatan orang membela diri. Secepat kilat ia sudah melompat dan menerobos masuk.
Dua batang tombak menyerang dari kiri dan kanan. Akan tetapi dengan tangkisan,
tombak itu terpental.
"Rampok! Rampok!" teriak si penjaga.
Dalam waktu singkat halaman yang luas itu sudah dikurung puluhan orang
bersenjata. Namun tidak sedikitpun gentar pemuda ini, dan berdiri bersiaga. "Beritahukan
kepada Singamurda. Aku datang dan ingin bicara!"
Beberapa orang menyambut teriakan ini dengan ketawa mengejek. Tak lama
kemudian muncullah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, bersikap
gagah dan pakaiannya indah. Pedang bersarung indah tergantung pada pinggang,
gerakannya gesit. Ketika berhadapan dengan Fajar Legawa, laki-laki itu sudah memaki.
"Bangsat! Butakah matamu bahwa di dalam rumah ini terdapat peraturan? Setiap tamu
harus melapor dahulu kepada penjaga dan minta ijin masuk. Tetapi engkau sudah
menerobos masuk seperti maling. Apakah engkau memang datang untuk merampok?"
"Hemm, aku ingin berhadapan dengan Singamurda."
"Heh-heh-heh, jangan engkau membuka mulut sembarangan di sini. Tahu?"
hardik laki-laki ini. "Hari ini beliau tidak menerima tamu! Hah-huh, masuk memang
mudah. Tetapi untuk keluar, tinggalkan dahulu nyawamu."
Terdengar suara sambutan yang mengejek dari beberapa orang. Malah ada pula
yang sudah menganjurkan, agar tamu kurang ajar itu segera di cincang sampai mati.
Fajar Legawa tetap tenang. Kemudian katrnya. "Jika Singamurda tidak sempat
menemui aku di luar, biarlah aku sekarang yang masuk."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Sekali melompat dengan gerakan yang gesit, Fajar Legawa telah dapat melampaui laki-
laki yang menghadang ini. Akan tetapi sebelum ia sempat masuk kedalam pendapa,
sambaran angin tajam menyentuh punggung, ia melompat kesamping sambil
membalikkan tubuh, dan sekali sambar tombak yang dilemparkan orang sudah dapat ia
tangkap.
Sungguh kebetulan. Ia tidak dapat menggunakan tongkatnya sembarangan dan
membutuhkan senjata. Dengan tombak ini, walaupun tidak biasa akan dapat menahan
terjangan musuh.
Tetapi justeru tertundanya langkah ini, ia kembali terkepung rapat sekali. Mereka
sudah tidak mau bicara lagi, langsung menerjang dengan senjata masing-masing.
Benturan senjata segera terdengar berturut-turut, halaman itu segera terjadi hiruk-pikuk.
Pengeroyokan ini dipimpin oleh laki-laki yang menghadang tadi, bernama Singa Warih.
Dia merupakan pemimpin yang ketiga. Lengkapnya mereka empat orang. Ialah
Singamurda, Singawana, Singawarih dan Lamdahur.
Beruntung tak lama kemudian Fajar Legawa berhasil merampas sebatang pedang.
Dengan senjata pedang ini, gerakannya justeru lebih gesit dan leluasa dibanding dengan
tombak yang tidak biasa.
Dalam waktu singkat Fajar Legawa telah terkurung amat rapat. Dan keroyokan ini
tambah hebat lagi setelah Singawana terjun ke gelanggang. Singawarih bersenjata pedang,
dan Singawana bersenjata golok. Pedang Fajar Legawa menyambar-nyambar dahsyat dan
setiap bergerak menikam atau menbabat, akan terdengarlah pekik kesakitan. Meskipun
demikian yang ia hadapi sekarang ini banyak sekali. Patah tumbuh hilang berganti.
Apa yang terjadi di tempat ini, tidak jauh bedanya dengan ketika dirinya masuk ke
dalam sarang Juru Demung. Walaupun ia berkulit tembaga dan bertulang besi, akhirnya
ia repot juga. Sebab ia tidak berani menggunakan tongkatnya yang ampuh itu, yang dapat
mematahkan senjata lawan dengan sekali bentur.
Di saat perkelahian sedang berlangsung sengit ini, tiba-tiba terdengarlah suara
ketawa bekakakan, dan disusul kata-kata seperti kaleng pecah. "Ha-ha-ha, menangkap
tikus cilik saja, mengapa harus main keroyokan? Kakang Singawana! Kakang Singawarih!
Kalian mundurlah, serahkan tikus itu kepadaku."
Berbareng dengan selesainya ucapan itu, sesosok tubuh telah melayang turun dari
atap. Dia inilah Lamdahur, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa, dan
merupakan orang termuda dalam gerombolan ini. Akan tetapi walaupun paling muda,
tenaganya kuat sekali seperti raksasa. Dan sesuai dengan tenaganya yang kuat itu, maka
penggadanya menyeramkan dan amat besar, dan malah sepasang pula.
Singawana dan Singawarih dan mereka semua yang tadi mengeroyok sudah
melompat mundur. Mereka semua percaya bahwa Lamdahur akan sanggup membereskan
pemuda liar dan sombong ini. Dan tanpa bicara ini dan itu, Lamdahur sudah pula
menerjang ke arah Fajar Legawa. Sepasang penggadanya bergerak cepat menerbitkan
angin menderu-deru. Namun Fajar Legawa menghadapi dengan tenang.
Perkelahian seorang lawan seorang ini dalam waktu singkat telah menjadi sengit.
Pada saat tidak terduga, Fajar Legawa mendapat kesempatan menikamkan pedangnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Tetapi dengan tenang Lamdahur sudah menggerakkan penggadanya secara bersilang.
Fajar Legawa menarik kembali pedangnya cepat-cepat, dan gerakan itu diteruskan untuk
membabat leher. Lamdahur yang tidak menduga kaget, dan menggerakkan penggadanya
untuk menangkis dan membabat kaki. Tetapi dengan loncatan yang ringan, sambaran
sepasang penggada itu luput.
"Bret!" Lamdahur terhuyung ke belakang, dan terdengar seruan tertahan dari mulut
beberapa orang. Baju Lamdahur yang indah terbikin dari sutera mahal itu sudah robek
berikut daging pundaknya terluka.
Lamdahur marah sekali dan menggeram marah sekali, terluka pada pundaknya.
Dengan sepasang penggadanva itu menerjang maju. Tetapi dengan lincahnya Fajar
Legawa selalu berhasil menghindari.
"Kakang Singawana. Kakang Singawarih. Bantulah aku!" akhirnya Lamdahur tak dapat
menahan diri lagi, dan minta bantuan saudaranya.
Tiga orang itu segera mengeroyok Fajar Legawa. Pedang pemuda ini menyambar
kearah Siagawana. Akan tetapi senjata Singawarih menyambar dari arah kiri. Tanpa
menunda gerakan pedangnya, Fajar Legwa menggunakan tangan kiri untuk mementil
senjata lawan. Akan tetapi pada saat itu Lamdahur tidak berdian diri. Penggada pada
tangan kanan menyerampang kaki dan penggada tangan kiri dipergunakan menyontek
pedang. Fajar Legawa tidak berani gegabah, dan terpaksa melompat menghindari.
Di saat perkelahian sedang terjadi dengan sengitnya ini, terdengar seruan beberapa
orang yang gempar. Fajar Legawa melompat mundur, demikian pula tiga orang
pengeroyok itu. Apa yang tampak kemudian ketika Fajar Legawa mengamati ke atas
tembok. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Mengapa sebabnya
Sasongko Jati yang kecil itu, dapat naik ke tembok setinggi itu?
Akan tetapi kegemparan dan keheranan orang-orang itu hanya sejenak. Sambil
berteriak marah, anak-buah Singamurda ini sudah menghujani sambitan ke arah
Sasongko Jati. Namun walaupun itu seperti hujan, tidak sebutirpun yang dapat
menyentuh tubuh bocah itu.
"Ha-ha-ha. tidak tahu malu!' teriak bocah ini kemudian. "Mengeroyok seorang
saja tidak becus. Paman, engkau jangan khawatir. Aku bantu engkau dari tempat ini,
dengan pukulan "lebur jagad!"
Terkejut Fajar Legawa mendengar ini. Namun demikian, pemuda ini seperti
disadarkan. Mengapa sejak tadi ia hanya mengandalkan kepada senjata pedang, dan tidak
menggunakan Aji "Lebur Jagad"? Namun di samping itu heran pula hati pemuda ini. Dari
siapakah bocah itu tahu tentang aji itu? Hanya saja Fajar Legawa tidak sempat untuk
menduga-duga tentang bocah itu. Sambil menyalurkan tenaga sakti ke tangan kanan,
pedang itu sudah dipindah ke tangan kiri. Sambil membentak keras pemuda ini sudah
meloncat sambil memukul dengan telapak yang dimiringkan ke arah Singawana.
"Brak.....!" dan tubuh Singawana sudah terlempar lebih dua tombak jauhnya,
walaupun pukulan Fajar Legawa tidak menyentuh tubuh lawan. Limdahur dan
Singawarih kaget dan terbelala, menyaksikan saudaranya roboh di atas tanah tidak
berkutik lagi. Belum juga tahu apa yang harus dilakukan, mendadak terdengarlah suarahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
ribut dan pekik kesakitan dari beberapa orang, Dari atas tembok telah terjadi hujan se-
rangan dengan batu kerikil, yang disambitkan oleh Sasongko Jati yang kecil. Akan tetapi
walaupun hanya disambitkan oleh bocah cilik, mereka yang terkena sambitan itu gulung
koming.
Saat itu juga terjadilah geger. Bukan saja para anak buah itu, tetapi Lamdahur dan
Singawarih sendiri menjadi hancur semangatnya, melihat akibat dari pukul lawan. Untuk
menyelamatkan diri, dua orang ini sudah melompat dan melarikan diri.
Sayang sekali Fajar Legawa saat ini sudah marah. Pukulan "Lebur Jagad" yang
kedua kalinya menyambar ke arah Singawarih, dan tidak ampun lagi tubuh orang itu
terpental lebih dua meter jauhnya, terguling roboh kemudian tidak berkutik lagi.
Pada saat itu, melayanglah Sasongko Jati dari atas tembok bersama seorang
pemuda gagah, mengenakan ikat kepala berwarna hijau muda.
"Kakang Tumpak!" seru Fajar Legawa yang kegirangan, bertemu dengan kakak-
seperguruannya ini.
Tumpak Denta tertawa lebar, sambil menurunkan Sasongko Jati dari
pondongannya. Bocah ini ketawa gembira sekali, kemudian berkata, "Paman Fajar, aku
tadi dapat terbang!"
Semestinya, bocah, sekecil ini akan takut diajak melayang dari tembok setinggi itu.
Namun Sasongko Jati bukan takut, malah merasa bangga. Akan tetapi belum juga Fajar
Legawa sempat berkata, Tumpak Denta sudah mendahului. "Adi, jangan menunda
waktu. Selekasnya kita harus masuk ke dalam."
"Betul!" sambut bocah itu, "Kita tolong kak Karni!"
Bergegas mereka segera masuk ke dalam rumah. Namun rumah itu sepi, dan Singamurda
tidak tampak batang hidungnya. Pengalamannya di sarang Juru Demung menyebabkan
Fajar Legawa tidak berani gegabah dan bergerak sembarangan. Rumah yang tampaknya
kosong ini tentu sudah dilengkapi dengan perangkap dan jebakan. Dengan gerakan yang
hati-hati mereka terus masuk makin dalam.
"Aihhh .... kak Karni . . . .!" teriak Sasongko Jati tiba-tiba.
Tumpak Denta dan Fajar Legawa segera melihat pula, bahwa dalam ruangan rumah yang
cukup luas itu, tampak seorang perempuan duduk pada kursi tidak bergerak. Wajah
perempuan itu tampak pucat, dan kepalanya bersandar.
Tiba-tiba saja Sasongko Jati sudah melompat menghampiri perempuan itu, untuk
kemudian menubruk. Namun di saat tangan kecil itu hampir menyentuh kakaknya, segera
terdengarlah suara gemerisik halus dan mencurigakan. Tumpak Denta dengan
lompatannya yang ringan telah berhasil menyambar tubuh Sasongko Jati. Sebaliknya,
dengan tangan kiri, Fajar Legawa juga sudah berhasil menyambar tubuh perempuan itu.
Namun berbareng dengan itu, segera berdesinglah anak-panah, menyambar dari
seluruh penjuru. Untung juga dua orang muda ini sudah bersiap diri, dan sambil
berloncatan untuk keluar dari ruangan ini, menggunakan senjata untuk menangkis.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Celaka!" seru Fajar Legawa tiba-tiba dan wajah pemuda itu berobah pucat.
Tumpak Denta terkejut. Dan ketika melihat ke arah perempuan itu. tahulah ia sekarang
bahwa perempuan yang ditolong itu sudah tewas. Tampak sekali bahwa perempuan itu
amat menderita oleh siksaan kejam. Baju pada punggung robek-robek, dan kulit yang
kuning itu tampak adanya luka-luka terbakar. Sedang di samping itu masih ada bagian-
bagian tubuh lain yang terluka bakar maupun terluka tusukan senjata tajam. Mudah
diduga bahwa perempuan ini menolak bujukan Singamurda, dan karena jengkel
Singamurda tidak segan-segan menurunkan tangan kejam.
Sasongko Jati menangis melo1ong-lolong sambil memeluk tubuh kakaknva.
Melihat ini dua orang pemuda itu iba disamping pilu. Untuk beberapa saat lamanya dua
orang muda ini t:dak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga dibiarkan saja bocah itu
Iblis Dari Gunung Wilis Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis sedih sekali.
Mendadak terdengarlah suara sorak gemuruh di luar di samping suara api, di-
susul pula oleh runtuhnya sementara bangunan. Dua orang muda ini kaget. Secepat kilat
dua orang muda ini sudah menyambar jenazah Karni maupun tubuh Sasongko untuk
diselamatkan. Namun ah, terlambat! Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dari
bahaya api tertutup oleh puluhan orang bersenjata. Lamdahur dan Singamurda memberi
aba dari belakang, agar dua orang muda itu tidak dapat lolos dari api.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Fajar Legawa.
"Tidak bisa tidak kita harus menyerbu!" sahut Tumpak Denta tegas.
"Tetapi. . . .mungkinkah?" Fajar Legawa merasa ragu. Kemudian pemuda ini
meruntuhkan pandang matanya kepada jenazah Karni yang dikepit di bawah ketiaknya.
"Adi, apa boleh buat! Keadaan mendesak dan berbahaya. Tinggalkanlah jenazah
itu agar engkau dapat melawan mereka dengan baik."
Diam-diam pemuda ini mengeluh mendengar pendapat kakak seperguruannya itu.
Akan tetapi karena keadaan memaksa, meskipun merasa tidak tega harus dilakukan juga.
Fajar Legawa masuk kembali ke dalam rumah, dengan maksud agar jenazah Karni
terbakar bersama dengan rumah.
Sasongko Jati memekik dan melarang. Tumpak Denta membujuk. "Diamlah anak
baik, jangan menangis."
"Tapi .... tapi mengapa kak Karni dibakar?"
"Dia akan sempurna dalam menghadap Tuhan. Dia sudah meninggal, dan kita
harus dapat menyelamatkan diri dari bahaya." Tumpak Denta membujuk.
Namun bocah ini tidak mau mengerti. Ia berusaha memberontak. Terpaksa
Tumpak Denta memukul tengkuk bocah itu dengan tenaga yang diperhitungkan. Dan
oleh pukulan ini, Sasongko Jati pingsan.
Demikianlah, dua orang muda ini kemudian berusaha ke luar selekasnya. Fajar
Legawa di-depanf dan Tumpak Denta mengikuti di belakangnya. Sadar akan bahaya,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dalam usahanya membebaskan diri ini, Fajar Legawa langsung menggunakan aji pukulan
"Lebur Jagad". Walaupun dengan aji pukulan ini, akan banyak menggunakan tenaganya.
Pekik ngeri segera terdengar dalam rombongan orang-orang itu, ketika Fajar
Legawa telah memukul dengan aji "Lebur Jagad". Sekali pukul beberapa orang telah
roooh tak berkutik. Dan gegerlah orang-orang yang berusaha membuntu jalan ini.
"Terus maju! Jangan biarkan lolos!" teriak Singamurda memberi perintah kepada
anak-buahnya. Akan tetapi celakanya, walaupun ia berteriak-teriak memerintah, anak-
buahnya ketakutan dan tidak berani mendesak maju. Malah kemudian orang-orang ini
berbalik arah, dengan maksud melarikan diri.
"Goblok! Mengapa mundur?? bentak Lamdahur sambil mendorong. Lamdahur
yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa itu memang bertenaga kuat. Akibat dorongan
ini orang yang semula berbalik tertahan. Akan tetapi celakanya bagian depan ketakutan
menghadapi Fajar Legawa, dan berusaha mendesak mudur.
Terjadilah keributan dan pekik kesakitan terdengar di sana-sini akibat gencetan
yang menyesakkan napas. Sementara itu Fejar Legawa terus mengamuk dan melancarkan
pukulan-pukulan yang membinasakan. Memang dalam menghadapi bahaya ini, Fajar
Legawa, tidak tanggung-tanggung lagi. Walaupun sesungguhnya kurang tega, dilakukan
juga. Sebab tanpa menggunakan kekerasan dirinya sendiri akan mati terbakar.
Lamdahur dan Singamurda yang berusaha menahan arus mundurnya anak buah
itu, tidak urung kalah kuat juga. Kemudian, kakak-beradik ini terpaksa mundur dan
selanjutnya melarikan diri.
Akhirnya berhasil juga Fajar Legawa dan Tumpak Denta menghindari bahaya.
Dan setiba di luar, kakak-beradik perguruan ini melihat, bahwa rumah yang semula
megah itu sekarang telah diamuk oleh api yang berkobar. Diam-diam kagum hati dua
orang muda ini. Bahwa dalam usahanya menyelamatkan diri, mereka tidak segan-segan
untuk menghancurkan rumah sendiri yang megah itu.
Kemudian terbelalaklah dua orang muda ini, ketika terjadi pekik dan jerit
perempuan. Ternyata mereka itu keluar dari rumah ketakutan, sambil membawa apa yang
bisa dibawa. Mereka merupakan perempuan-perempuan muda usia. Maka baik Fajar
Legawa maupun Tumpak Denta segera dapat menduga, bahwa kiranya para wanita muda
itu adalah hasil paksaan oleh penjahat ini.
Dua orang muda ini menghela napas jaga. Agak masygul bahwa usaha mereka
memberantas kejahatan, tidak berhasil seluruhnya. Singamurda dan Lamdahur masih
berhasil menyelamatkan diri.
Tak lama kemudian Sasongko Jati yang semula pingsan itu, telah sadar. Bocah ini
menanyakan tentang kakak perempuannya. Dan bocah ini menangis dan meratap-ratap
lagi, setelah memperoleh penjelasan. Fajar Legawa maupun Tumpuk Denta menjadi
sibuk dalam usahanya untuk menghibur bocah ini. Yang akhirnya berhasil juga
mempengaruhi bocah ini.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Aku rela kakakku tewas. Akan tetapi kemudian hari aku akan menuntut balas!"
kata bocah ini kemudian dengan nada sungguh-sungguh.
"Engkau berani menghadapi mereka?" tanya Tumpuk Denta.
"Mengapa tidak? Kalau aku sudah besar, aku-pun akan pandai seperti paman
berdua."
"Siapakah yang akan mengajar engkau?"
"Paman berdua!"
"Ahh, mengapa aku?" Tumpak Denta kaget.
"Baiklah jika paman tidak sedia melindungi aku. Sekarang juga kita berpisah
pamitan dan sampai ketemu lagi."
Bocah itu benar-benar melangkah pergi. Untuk sejenak Fajar Legawa dan Tumpak
Denta berpandangan. Tiba-tiba saja timbullah rasa iba dalam hati Tumpak Denta. setelah
mendapat keterangan dari Fajar Legawa, bahwa bocah yang baru berusia delapan tahun
itu sudah sebatang-kara.
Dengan dua kali melompat, Tumpak Denta telah berhasil menghadang bocah itu
dan berkata. "Engkau mau ke-mana?"
"Kemanapun siapa yang melarang?" sahut bocah ini tegas dan menentang
pandang Tumpak Denta. Agaknya bocah ini menjadi kurang senang ketika dirinya ditolak
oleh Tumpak Denta dan Fajar Legawa. Dan Tumpak Denta menghela napas panjang.
Namun diam-diam dalam hatinya merasa kagum kepada bocah ini, yang menunjukkan
calon seorang pemuda pemberani.
"Aku tadi hanya berkelakar saja Sasongko," bujuk Tumpak Denta kemudian.
"Mari sekarang engkau ikut aku, dan engkau akan aku serahkan kepada guruku agar
kemudian hari engkau menjadi pemuda perkasa, dan dapat membalas sakit hatimu."
"Apa? Benarkah itu, paman? Engkau tidak menipu?"
Tumpak Deta mengangguk. Dan tiba-tiba saja bocah ini berlutut sambil
mengucapkan terima kasih. Tumpak Denta cepat membangunkan bocah ini sambil
tertawa senang dan memuji.
Setelah banyak yang dibicarakan oleh dua pemuda ini, kemudian mereka berpisah.
Tumpak Denta pergi menuju lembah Galunggung untuk menyerahkan Sasongko Jati
kepada gurunya, sedang Fajar Legawa meneruskan perjalanan menuju desa Margasari.
Ketika itu hari telah sore, dan untuk menuju desa Mergosari, Fajar Legawa harus
menyeberang sungai Pemali. Akan tetapi ia menjadi kaget ketika mendengar suara
lengking perempuan dan benturan senjata yang nyaring, tidak jauh. Dan ketika pemuda
ini sudah berhasil menyeberang sungai, maka tampak olehnya pada tepian sungai yang
berpasir itu, sedang terjadi perkelahian antara seorang gadis cantik dengan seorang
pemuda kurus. Gadis itu bersenjata sepasang golok. Golok pada tangan kiri agak pendek,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
dan golok pada tangan kanan lebih panjang. Sebaliknya pemuda lawannya itu bersenjata
pedang.
Fajar Legawa mengamati untuk sebentar. Gadis itu bertubuh denok (tubuh tegap,
tidak ramping dan tidak gemuk), berkulit kuning dan berwajah bundar seperti bulan
purnama. Alisnya yang menaungi sepasang mata bintang itu agak tebal, pipinya montok
sedang bibir itu memerah jambu. Gerakan sepasang golok itu cukup cepat dan cukup
tangguh. Namun jelas bahwa gadis itu bukan lawan si pemuda. Perlahan-lahan tetapi
pasti, pada akhirnya gadis itu akan berhasil dikalahkan lawan.
Diam-diam timbul rasa heran dalam hati Fajar Legawa. Mengapa sebabnya, dalam
beberapa hari ini, dirinya selalu dihadapkan kepada manusia-manusia yang saling
bermusuhan? Dan mengapa pula sebabnya, gadis dan si pemuda ini saling labrak seperti
itu? Untuk beberapa saat lamanya ia mengamati perkelahian yang berlangsung itu dengan
hati tegang. Untuk menerjunkan diri dan mencampuri mereka, tentu saja pemuda ini tidak
berani. Salah-salah, akan timbul salah-faham yang menimbulkan runyam!
Ia kemudian menempatkan diri di belakang sebuah batu besar sambil mengintip.
Dan perkelahian antara pemuda kurus dengan gadis bertubuh denok itu, masih terus
berlangsung sengit sekali. Sepasang golok itu menyambar-nyambar dahsyat. Namun
pertahanan pemuda itu kuat sekali sehingga sulit diterobos.
Tiba-tiba terdengarlah suara parau dari balik rumpun ilalang. "Kalau saja aku
tidak terluka oleh kecuranganmu, apakah engkau bisa menjual kesombongan?"
"Ha-ha-ha," pemuda itu ketawa mengejek. "Salahmu sendiri sahabat, mengapa engkau
memiliki bunga secantik ini?"
"Bangsat. Tutup mulutmu!" lengking gadis itu sambil mempercepat serangannya,
"Trang trang.....!" golok perempuan itu terpental menyeleweng oleh tangkisan
pedang. Akan tetapi pemuda itu tak mau menggunakan kcsempatan sebaik itu untuk
menyerang, melainkan menyeringai sambil berusaha menangkap lengan. Ketika golok
gadis itu membacok, pemuda ini melompat mundur sambil terkekeh mengejek.
"Aduhh .... engkau galak sekali!" goda pemuda itu. "Tetapi ahhh, galakpun tak
mengapa......sebab engkau memang cantik menarik! Dan aku .... heh heh-heh, aku jatuh
cinta padamu manis."
Gadis ini melengking nyaring sambil menerjang dengan sepasang goloknya. Tetapi
sayang sekali, dengan gampangnya dihindari pemuda itu.
Mendengar ucapan pemuda ini, jelaslah sekarang persoalannya. Fajar Legawa sekarang
mengerti, bahwa pemuda berpedang ini seorang pemuda hidung belang yang sengaja
menggoda orang. Dan dalam usahanya untuk mendapatkan gadis denok ini, kawan si
gadis telah dilukai dahulu, sehingga tidak dapat membantu lagi.
Dengan gerakan yang hati-hati dan tanpa suara, Fajar Legawa menyelinap untuk
melihat, siapakah pemuda yang sudah terluka itu? Rasanya ia pernah kenal dengan suara
itu. Akan tetapi ia lupa, entah dan di manakah suara itu dikenalnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
"Kakang Wanengbaya. Apa yang terjadi?" serunya kaget setelah mengetahui,
bahwa pemuda yang terluka itu, adalah Wanengbaya. Agaknya dia menderita luka
cukup berat. Buktinya ia duduk bersila dan wajahnya nampak pucat.
Orang yang terluka itu memang Wanengbaya. Ia membuka mata dan terbelalak
ketika melihat Fajar Legawa. Bibirnya yang pucat itu tersenyum, kemudian katanya
tergagap: "Adi .... ah kau. Tolonglah usir pemuda jahat itu ... .."
"Kakang, siapa dia?" tanya Fajar Legawa agak ragu.
"Maksudmu, perempuan itu?"
Fajar Legawa mengangguk. Dan Wanengbaya cepat menerangkan. "Dialah Ayu
Kedasih, calon isleri yang aku ceritakan itu ....."
"Akan tetapi engkau menderita luka berat."
"Tolong dahulu dia ....!" ratap Wanengbaya setengah memerintah. Kemudian
teriaknya kepada Ayu Kedasih. "Asih, mundurlah. Adi Fajar telah datang, dan akan
menghajar "pemuda bangsat itu."
Bagaimanapun gadis itu telah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
mengusir pemuda kurus ini, namun tidak juga dapat berhasil. Maka tanpa menjawab, Ayu
Kedasih telah melompat mundur.
"Bagus!" seru pemuda ini, kemudian mengejek. "Undanglah sekalian kawan sahabatmu.
Bagus Lantung takkan takut menghadapi kamu!"
Agak kaget juga Fajar Legawa mendengar disebutnya nama Bagus Lantung. Nama
Drama Di Ujung Pisau Bedah Surgeon Trio Detektif 26 Misteri Kuda Tanpa Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal