Pencarian

Penghisap Darah 3

Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap Bagian 3



"Oh. ayah dan ibu. Oh, setan yang diusir dari syurga. yang menghuni neraka. Biarkan aku hirup darahnya, darah turunannya, darah...."

Suara lirih mengerikan itu, terdiam tiba-tiba.

Jam dinding di ruang duduk berdentang lima kali. Mata Herman terpentang lagi. Desah nafasnya terkejut, ketika ia tidak melihat Eyang Mahmudin. Yang ia lihat cuma Lurah Joko seorang, tengah sibuk menggeser kursi besar dan berat ke pintu, lantas menghenyakkan pantat di situ. Duduk mematung. bagaikan ranjau penghalang. Tetapi dengan kepala dan dada dipenuhi ketakutan.

Tetapi ini perintah.

Perintah Eyang Mahmudin agar ia menahan Herman selama ia mampu. Lurah Joko mencoba santai di kursi. Berlagak berani, sambil mengumpat bekas gurunya yang menghilang entah ke mana.

Eyang pengecut, pasti Lurah Joko memaki, kalau tak sadar tentulah eyangnya telah pergi ke sumur yang dimaksud Nurjanah. Tetapi astaga.

Tahukah eyang bahwa Sumur itu telah ditimbun?

Ketakutan kian menjadi-jadi menghantui Lurah Joko.

Lebih-lebih ketika kelopak mata Herman terbuka menampakkan bola mata kelabu, disusul Suara rintihan marah:

"Mengapa kau menghalangi jalanku?"

Lurah Joko mengumpulkan keberaniannya.

Menjawab, bukan main! Seenak perut;

"Emangnya kau mau ke mana, Nurjanah?"

"Pulang!"

"Pulang ke mana?"

"Rumahku."

"Ini juga rumah. Mengapa tidak tinggal di sini. Hangat pula."

"Aku merindukan kelembaban dasar sumur itu. Merindukan kesejukan dan persahabatan abadi yang telah ia berikan selama lima belas tahun. Ayo menyingkirlah. Hari sudah pagi. Aku tak dapat menunggu lama-lama."

"Pergilah. Tetapi tinggalkan Herman di sini."

"Tidak!"

"Apa susahnya?"

Lurah Joko makin berani. Tak percuma ia pernah berguru pada Eyang Mahmudin.

"Tanpa tubuh ini aku tak dapat pergi. Aku melihat garam mentah. Aku mencium bau laut. Dengan mempergunakan tubuh ini, aku akan mampu melaluinya...."

Lalu membentak tiba-tiba:

"Minggir!"

Kaget, Lurah joko menciut di kursi.

"Tunggu. Masih ada yang ingin kutanyakan."

Tubuh Herman dengan roh Nurjanah di dalamnya. emoh menunggu. Hanya tiga kali lompatan tangkas dan cepat. Disusul gerakan membungkuk yang lebih cepat lagi. Tahu-tahu saja kursi di mana Lurah Joko duduk telah terangkat tinggi melayang sebentar dan kemudian terhempas di lantai kamar duduk.

Lurah joko terguling.

Pingsan.

Herman beranjak keluar. Tergetar sebentar menyambut datangnya pagi yang berkabut. Kemudian melangkah pasti ke jalan. Beberapa orang tetangga berpapasan dengannya. Mereka menyapa lalu mereka tercengang. Herman tak menyahuti, melirik pun tak sudi.

"Pasti kesurupan." bisik seseorang.

Herman lebih dari sekedar kesurupan!



****



Laila telah menguasai dirinya kembali. Ia ingin menjerit. Ingin menangis meraung raung. Namun yang mampu ia keluarkan adalah desah cemas, kuatir. Seakan tidak menyadari kehadiran Rosida di sebelahnya. mobil langsung dikebut.

"Bang Herman. Bang Herman. Ia pasti sedang dilanda dukacita yang menyedihkan...."

Hanya itu yang ada di benak Laila.

Tiba di rumah keluarga Herman, Laila menghambur turun dari mobil. Berlari-larian masuk, dan waktu keluar ia tampak malu sekali. Kemudian masuk ke mobil, sekilas ia menampak Rosida duduk dengan wajah menekuri sepatu.

Laila tak perduli.

Rosida begitu tak berperasaan tadi.

Laila pun bisa!

Setengah gila ia memacu kendaraan di jalan sempit berlubang-lubang itu menuju rumah Saripah. Mereka terhanting-banting dalam mobil. Laila tidak merasakannya. Dan aneh, Rosida pun diam saja.

Lalu Laila melihatnya.

Jalan yang ditempuh mobil Laila terletak lebih tinggi dari desa di bawah sana. Menepi sejenak ke pinggir tebing terbuka, Laila sudah dapat melihat rumah Saripah. Tampak menyolok di antara rumah-rumah lainnya. karena modelnya yang mutakhir dan atap asbes-nya yang berwarna hijau tua. Seseorang baru saja keluar dari dalam rumah itu. Samar-samar memang, karena udara pagi masih diselaputi kabut tipis.

Laila segera mengenalinya. Mengenali perawakan tinggi besar dan cara berjalannya yang gagah. setengah tak acuh.

"Herman. Pasti dia.

Bukan begitu. Kak Ida?" tanya Laila lirih sambil memacu mobil kembali menempuh jalan menurun dan berbelok panjang.

Rosida yang tetap duduk menekuri sepatu, tak menyahut sepatah pun. Melirik sekilas, Laila melihat wajah perempuan itu berubah pucat dengan cepat, dan tampak agak kering.

"Tuhanku, aku telah membuat dia ini sakit!"

Laila menjerit dalam hatinya lantas mengeluh:

"Aku tidak sebiadab yang kau duga, Kak ida. Selagi Bang Herman menetapkan ia tetap akan menikahimu, aku akan segera berlalu...."

Berlalu.

Ke mana?

Pada siapa?

Sumarna telah mati.

Apakah papa dan mama masih mau memaafkan Laila?

Memasuki mulut desa, sejumlah anak kecil sudah mulai bermain main di jalan, campur baut dengan ternak yang berkeliaran. Kecepatan mobil ia turunkan sedikit demi sedikit. Lalu mendadak ia berhenti. Pas di ujung jalan yang dipotong jalan membujur ke kiri ke kanan. Simpang tiga siku siku. Dan di seberang, berhadapan lurus dengan mobil, tegak rumah Herman yang hampir jadi Itu.

Rumah itu tidak selengang biasa .

Tampak beberapa orang lelaki bertubuh kekar tengah sibuk membersihkan pekarangan. Menyingkirkan segala macam bekas reruntuhan lama. potongan-potongan balok kayu dan berteriak-teriak pula menyuruh sekelompok anak-anak yang ingin ikut ambil bagian agar enyah sejauh mereka dapat. Disertai umpatan-umpatan kotor dan kasar sehingga kelompok anak-anak itu

ngacir serabutan. Halaman depan yang tadinya acak-acakan itu sebentar saja sudah tampak jauh lebih luas dan bersih lapang.

Mau apa mereka itu?

Dan siapa laki-laki tua bangka bertubuh kurus kecil yang ribut memerintah ini itu. sambil tak henti hentinya menaburkan bubuk putih yang aneh di pintu masuk dan di seputar halaman?

Tak puas tampaknya. orang tua itu kemudian mengangkat sebuah jeriken besar dibantu salah seorang laki-laki kekar itu. Lalu menumpahkan isinya mengitari pojok kanan pekarangan.

"Kau tahu siapa mereka itu, Kak Ida?"

Laila nyeletuk.

Bingung.

Rosida mengangkat muka. Ikut memperhatikan. Jawab yang keluar dari bibirnya tidak relevan.

"Aku mencium bau busuk"

Lantas ia terpekur lagi.

"Perhatikan baik-baik, Kak Ida. Beberapa dari mereka kukenali sebagai tetangga Kak Ipah. Aku lihat pula dua orang kerabat Bang Herman. lalu... ah, kalau tak salah yang sedang membawa ember ember itu adalah tangan kanan pak lurah. Orang tua kurus itu, asing buatku. Kau kenal, Kak Ida?"

Desah Rosida semakin getir:

"Busuk. Aku mencium bau busuk,"

Lalu Rosida tampak gemetar dan semakin pucat.

"Kak Ida mungkin betul. Tetapi sebaiknya kudatangi saja mereka itu...." gumam Laila tanpa memahami nada suara Rosida.

Laila baru saja akan membuka pintu mobil ketika dari simpang kanan, datang berlari-larian seorang laki-laki lain. Mereka berbicara cepat. Menunjuk-nunjuk ke arah lelaki itu barusan datang. Sikap mereka segera berubah. Kesibukan terhenti. Digantikan wajah wajah gelisah sambil saling berbisik-bisik.

Laila segera tahu apa sebabnya. . Dari arah orang terakhir tadi muncul. tampak sejumlah orang pula datang bergegas. Mereka semua bergabung di tengah halaman dan memperlihatkan sikap tengah menunggu sesuatu.

Kemudian, Herman muncul.

Laila tersentak. Dan kerumunan orang di halaman, semakin gelisah. Laila turun dari mobil. Ragu-ragu. Kemudian berjalan mendekat. Paman Herman yang ada di tengah kerumunan orang itu, melihatnya lantas bergegas mendatangi:

"Pergilah. Mau apa kau di sini, Nak?"

Ia melirik ke mobil.

"Ah. Dengan si ida pula lagi. Wah!"

Paman Herman tampak cemas dan ketakutan.

Laila tak mau pergi.

"Aku mau bertemu Bang Herman," gumamnya. keras kepala.

"Herman, Anakku? Kau kira Herman yang muncul di depan kita itu?"

Laila menatap paman Herman dengan bingung.

Ia mau bertanya. Tak jadi. Perhatiannya keburu tertarik pada orangtua bangka tadi, yang dengan langkah-langkah tenang menyongsong kedatangan Herman.

"Siapa dia, Paman?"

"Eyang Mahmudin. Dan ia akan menyelamatkan Herman."

"Ia akan apa?"

"Ssstt!'

Kabut tipis sudah menghilang. Matahari belum muncul, namun Laila dengan takjub menyaksikan Herman terus saja memasuki pekarangan tanpa mengacuhkan semua orang yang ada di situ. Ia langsung bergerak kesebelah kanan pekarangan. Melewati Eyang Mahmudin yang kemudian merasa tersinggung dan berteriak membentak:

"Berhenti kau di situ, Anakku!"

Herman tertegun. Tubuhnya tetap membelakangi Eyang Mahmudin.

Tetapi kepalanya!

Kepalanya berputar 90 derajat. Menghadap lurus pada eyang itu.

Laila membelalak Ngeri.

"... kau mempecundangi aku, Kakek tua!"

Terdengar suara lirih. tajam bermusuhan. Dan itu bukan suara serak parau laki-laki melainkan suara seorang perempuan. .

Bulu roma Laila berdiri tegak .

Tangannya menggapai ke samping. Setelah menemukan tangan paman Herman tanpa malu malu lagi ia langsung merangkulnya kuat-kuat.

Kepala Heman berputar lagi. Bukan kembali. Tetapi berputar terus mengikuti putaran semula. berhenti sesaat mengawasi sejumlah laki-laki yang berkumpul ketakutan di depannya.

"Kau mempecundangi aku. Kakek tua,"

Suara mengerikan itu mengulangi kata-kata tadi.

"Mengapa membawa begitu banyak orang?"

Eyang Mahmudin bergerak ke depan, menghadapi Herman.

"Kau pun mempecundangi aku, Anakku,"

Suaranya lebih lembut. Bersahabat.

"Dengan caramu

yang lihai, kau kentuti rintangan rintangan yang kupasang di rumah itu. Mengenai orang-orang ini, Lurah Joko yang memberi perintah .Sebelum kau menyatroni kamar mandi Saripah, lurah telah menyuruh orang-orangnya berjaga-jaga di sekeliling rumah."

"Kalian bermaksud menjebakku?"

Terdengar tawa meringkik.

"Air lautmu tidak lagi membuatku mabuk. Kakek tua. Dengan mempergunakan tubuh ini, aku malah akan mengencinginya!"

"Aku tahu. Bubuk garam itu pekerjaan sia-sia saja,"

Eyang Mahmudin mengakui, pelan. Lalu:

"Kumohon, Nurjanah. Kumohon. pergilah dengan cara baik-baik. Aku bermaksud menolongmu, bukan mencelakakan engkau. Pergilah. Tinggalkan jasad yang tak berdosa ini!"

"Menyingkir dari jalanku, Tua bangka!"

Mulut kaku Herman megap-megap mengeluarkan suara jerit lengking Nurjanah

"Aku akan tetap menguasai jasad ini. Membawanya ke tempatku berkubang. Menyingkirlah!"

"Sekali lagi kumohon. Nurjanah. Atau kau terpaksa harus enyah dengan penuh kesengsaraan!"

Suara Eyang Mahmudin meninggi.

Marah.

Mulut Herman terbuka lebar.

Mengeluarkan ringkik kematian. Sambil meringkik, tangannya menjangkau ke depan. Eyang Mahmudin tidak keburu berkelit. Tubuhnya yang kecil tahu-tahu saja sudah terangkat tinggi di atas kepala Herman. Tidak seorang pun mampu membuka mulut, apalagi untuk bergerak menolong tubuh kecil yang memelaskan hati itu. Malah ada yang jatuh pingsan seketika itu juga.

Terdengar suara angin bersiul.

Tangan Herman yang terangkat tegak lurus ke atas, bagaikan batang asa baling-baling helikopter, berputar cepat di persendiannya. Dengan tubuh kecil kurus dan peot itu, sebagai pengganti baling-baling. Makin lama makin cepat, sampai bayangan tubuh Eyang Mahmudin tinggal bayangan samar belaka.

Putaran itu menyebabkan angin bertiup lebih keras.

Laila menggigil dengan pegangan paman Herman, lantas menjerit-jerit histeris:

"Herman. Abang Herman. Jangaaaaan!"

Herman tidak berpaling.

Pamannya yang berdiri rapat di samping Laila. kumat kamit membaca ayat-ayat kitab suci. Dengan wajah dibanjiri peluh dingin. Entah karena do'a suci itu, entah karena jerit histeris Laila, atau karena memang sudah puas mempermainkan mangsanya. putaran baling-baling di atas kepala Herman melemah, melemah dan bayangan tubuh Eyang Mahmudin semakin jelas dan jelas. Lalu tibatiba dilontarkan begitu saja. Langsung ke tempat kelompok laki-laki kekar yang telah menciut hatinya itu. Mereka semua jatuh tunggang langgang ditimpa tubuh Eyang Mahmudin yang hinggap tanpa pemberitahuan itu.

Terdengar lagi suara meringkik.

Seram.

Lalu acuh tak acuh Herman melangkah panjang menuju pojok. Ia menuju bekas sumur tua yang sudah ditimbuni segala macam sampah itu. Tertegun sejenak.

Mencium-cium.

"Bau apa... ini?"

Nurjanah menceracau, bingung

Eyang Mahmudin bergerak bangkit. Terhuyung-huyung. Limbung. Yang lain mengikuti. Orang tua itu berteriak terputus-putus:

"A... yooo. Bakar. Bakar!"

Kaum lelaki itu mulai bertindak.

Dua tiga buah batu bensin dan korek api menyala seketika .Dilemparkan susul menyusul. Tanah di sekitar sumur tua itu lembab becek. Tetapi di situ sebelumnya telah mereka taburkan sampah sampah kering. Telah pula disirami bensin.

Huuuuuppp...!

Api menjilati sampah berbau bensin. Mula mula kecil dan lemah saja. Tetapi dengan segera Sudah berkobar menyala-nyala. membentuk lingkaran api dengan tubuh Herman terperangkap di tengah-tengahnya.

Terdengar jerit kaget dari mulut Herman.

"Neraka! Api neraka! Tidak. tidak, tidaaak."

Herman berputar-putar dalam lingkaran api berusaha mencari lubang untuk lolos. Tampak salah seorang dari kerumunan lelaki itu mengambil jeriken dan menumpahkan bensin yang masih tersisa ke kobaran api yang segera saja tambah bernyala-nyala.

Laila menjerit lagi. Menjerit dan menjerit:

"Jangaaaan! Ya Tuhan,"

Ia meronta-ronta dari pegangan paman Herman yang membetotnya kuat-kuat.

"Oh kalian akan membunuh Hermanku. Kalian membakar kekasihku!"

Laila menangis meraung raung.

Dari kobaran api, terdengar suara tangis lain.

Tangisan perih, menyayat hati.

Kemudian tubuh Herman samar-samar tampak limbung. Jatuh terkulai di tanah lembab basah. Sebelah kakinya tergeletak tak jauh dari lidah api.

"Air. Air. Air...."

Entah siapa yang berteriak

Lalu ember-ember tadi memperlihatkan kegunaannya. Dari ember ember itu. setiap orang yang memeganginya dengan tergopoh-gopoh dan kacau balau menyiramkan air sebanyak mungkin. Sebagian disiramkan ke api. Sebagian lain ke tengah lingkaran api itu, langsung membasah kuyupkan Herman.

Belum lagi api padam. Laila sudah berhasil lepas.

Ia menghambur tanpa dapat dicegah. Menghambur ke pekarangan, melompati sisa-sisa kobaran api yang kian mengecil lalu memeluk tubuh Herman yang basah kuyup oleh air dan lumpur. Meraung lagi:

"Bangunlah, Herman. Bangunlah! Katakanlah kau masih hidup. Ayo Herman. Sayangku!"

Herman menggeliat.

Mengaduh.

Setengah gila.

Laila mengangkat wajah Herman yang tertelungkup. Ia melihat kelopak mata Herman terbuka. Mendengar suara Herman merintih:

"Apa yang... siapa."

Suara Herman. Herman yang sesungguh sungguhnya.

Saking Sukacita. Laila menciumi Herman. Menciumi wajah berselemak lumpur itu bertubi tubi.

Matahari mulai bersinar di ufuk Timur. Satu dua orang yang baru saja terlepas dari pengaruh gaib yang mengerikan itu, berpaling menyaksikan pemandangan yang jauh berbeda. Bibir Laila masih terus mengulum bibir Herman.

Kemudian orang-orang itu berpaling ke arah lain. Berlagak tidak melihat apa-apa.

Mereka maklum.

Hati mereka semua memang masih tergoncang oleh peristiwa sebelumnya.

Coba, kalau mereka berpikir sedikit lebih jernih. Maka mereka akan terperanjat: Laila yang tadinya mereka kenal sebagai calon istri Sumarna, menciumi Herman. Dan Rosida yang mereka ketahui sebagai calon istri Herman, duduk diam-diam saja di dalam mobil.

Coba, kalau mereka juga mengawasi Rosida dengan seksama.

Perhatikan sinar matanya.

Mata itu merah.

Berapi-api.

Hanya satu orang saja yang melihat nyala api di mata Rosida. Orang itu adalah Eyang Mahmudin. Masih mabok karena sempat dijadikan baling baling bernyawa, ia sangat berharap seseorang datang menawarkan obat sakit kepala .Syukur syukur diberi obat gosok sekalian. karena tulang tulangnya pun masih terasa linu.

Tetapi tidak seorang pun memperdulikan Eyang Mahmudin. Semua orang yang ada di tempat itu berkumpul dalam beberapa kelompok dan ribut menceritakan perasaan, pengalaman dan malah ada juga kehebatan dirinya menumpas

roh jahat penghuni api neraka itu. Laila dan Herman jangan dikata lagi. Kedua anak muda itu punya kesibukan tersendiri.
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecewa, Eyang Mahmudin memandang berkeliling.

Ah. itu sebuah mobil. Biasanya di mobil bagus seperti itu ada tersedia kotak obat. lalu Eyang Mahmudin bertindak maju. Dua tiga langkah cuma Kemudian berhenti. Sekujur tubuhnya tegang lagi.

Lewat kaca depan mobil, di dalam ia lihat seraut wajah yang asing baginya. Tetapi sinar mata itu....

Sinar mata itu pernah dilihatnya .



*****



Empat belas



Rosida memperhatikan wajahnya di cermin.

"Aku masih tetap muda dan cantik,"

Ia bergumam, mengagumi diri sendiri. Namun tanpa nada kebahagiaan. Malah sebaliknya. Gumaman itu pedih.

Menderita.

Gadis itu mendekatkan bibir ke kaca.

Parit di bawah hidungnya semakin menggurat nyata. Tetapi lekuk sebelah dalam, masih belum sempurna. Kurang dalam.

Gusi bengkak?

Ia tersenyum, pahit. Sampai kapan ia selalu mengemukakan omong kosong yang sama: gusi bengkak!

Dirabanya lekukan tipis itu.

Terasa keras.

Dan panas menggigit. Bibirnya yang atas. tetap saja masih mencuat ganjil. Benar, tidak semenonjol hari-hari sebelumnya. Namun toh tetap tampak tidak menarik dan jelas merusak keindahan wajahnya yang elok.

"Biarlah. Tak lama lagi,"

Kembali Rosida bergumam.

"Besok atau lusa, akan elok lagi. Aku pun bertambah cantik. Bertambah muda Hem. hem. Berapa ya usiaku sekarang?"

Rosida mereka-reka.

Lantas ia mengalah pada diri sendiri. Buat apa dihitung hitung. Dari dulu juga tidak. Rosida tak pernah takut pada ketuaan. Karena tiap kali parit bibirnya lenyap kemudian muncul kembali. ia merasa jauh bertambah muda saja.

Dan Herman, hanya satu dari sekian ratus orang.

Herman tak perlu mengkuatirkan Rosida bakal jadi perawan tua.Herman tak perlu berdo'a semoga Rosida dapat jodoh yang lebih sesuai dan lebih bertanggungjawab atas perbuatannya. Suatu ketika kelak, bila roh-roh nenek moyang sudah memberi ijin, Rosida tertawa kecil. jodohnya akan datang sendiri. Seorang lakilaki yang sepadan dengannya. Seketurunan dengannya. Dan mereka akan melahirkan keturunan-keturunan yang lebih baik.

Sungguh tolol si Herman.

Berpura-pura menyesal, ketika ia menelpon tadi siang.

Ah apa saja pembicaraan mereka tadi?

"... luka-luka bakar di tubuhku belum sembuh benar, Ida. Maaf. aku belum sempat datang langsung."

Begitu antara lain kata Herman di telepon. Luka-luka bakar.

Hem. Rosida tahu benar. Tak lebih dari luka lecet belaka. Dan sudah hilang berkat rawatan telaten dan kuatir tangan tangan halus Laila.

"Kau baik-baik saja, Ida?" tanya Herman pula.

"Ah. Biasa"

Ia jawab.

"Bagaimana gusimu?"

"Infeksinya sudah hilang."

"Syukurlah. Dan eh. Ida...."

"Mmh?"

"jadi pulang kampung?"

Itulah semuanya. Herman telah membuka belangnya Sendiri. Herman yang belum lama berselang, mati matian menahannya.

Oh, Herman-ku yang baik hati!

"Kukira aku akan tetap pulang, Herman."

"Kau akan kuantar,"

Suara Herman terdengar mengambang.

"Ah. Terimakasih. Tetapi lebih baik jangan!"

"Kenapa?"

'Tidak pantas. Kau masih dalam suasana berkabung. Biarlah segala sesuatunya berjalan lancar dan senang. Baru pikirkan hal hal lainnya,"

Ia dorong pemuda itu supaya enyah jauh jauh dari sisinya.

"Kau penuh pengertian. Ida."

Terdengarnya sih penuh haru, pernyataan Herman itu.

"Selalu begitu, bukan?" jawab Rosida, kalem.

Sudah berapa kali ia mengutarakan pengertian itu. Sekali aku mengerti. kenapa kau tidak mau mendekati ayahmu. Lain kali aku mengerti. kenapa kau tidak sehebat adik-adikmu. Lain kali lagi aku mengerti, betapa sedihnya orang masuk bui. Dan kemaren dulu itu. Ketika ia melihat Laila menciumi Herman. Rosida pun, telah berusaha mengerti.

"Ida?"

"Mmh?"

"Segera setelah aku sembuh benar...."

"Aku tahu," potong Rosida, memperdengarkan tertawa menggembirakan.

"Aku tahu, kau akan datang. Tetapi ah, tidak usahlah hiraukan betul diriku ini. Aku sudah dewasa, Herman. Aku

dapat menjaga diri."

"Apa maksudmu?"

Herman terkejut. Pura pura, jelas.

"Sudahlah. Kirim saja salamku pada Laila,"

Suara Rosida datar-datar saja.

"Ida, aku.... Ah. Bagaimana aku harus mengatakannya padamu. Aku telah... dan aku tidak...?"

"Tak usah gugup, Sayang. Apa yang telah kita perbuat selama hubungan kita yang manis, sudah biasa dilakukan orang-orang lain bukan? Nah. Mereka akhirnya dapat berpisah baik-baik. Mengapa kita tidak?"

Lama, baru Herman membuka mulutnya.

"Betapa mulia hatimu. ida."

"Semoga!"

Rosida mengangguk sendiri.

Sepi lagi.

Rosida tak suka dengan kesepian itu. Lalu:

"Bagaimana keadaan di sana?"

"Baik. Sehari yang lalu. jenasah Saripah sudah dikuburkan. Juga tulang belulang Nurjanah, yang ditemukan di dasar sumur tua itu. Tulang belulangnya telah dikuburkan semestinya. dengan upacara semestinya pula. Rohnya tidak lagi...!"

"Hehhh!"

Rosida mendengus.

Seram.

"Jangan bicara soal roh macam itu lagi, Herman. Kau tahu."

Rosida tercekat.

"Aku tak tahan!"

Dan itu sesungguhnyalah, memang benar.

"Kita obrolkan saja tentang mereka yang masih hidup."

Herman bergumam setuju. Riang gembira ia memberitahu:

"Oh ya. Noni sudah pulang. Kini ia bersamaku. Di rumah Saripah. Kau tahu? Ia lebih segar bugar sekarang...!"

Rosida meletakkan cerminnya.

Parit bibir di bawah hidungnya terasa panas lagi. Perih menggigit. Bagai ditusuk beribu-ribu jarum. Ia sudah lupa apalagi yang tadi siang diomongkan Herman di telepon. Tersengal-sengal ia berjalan ke tempat tidur. Darahnya menggelegak.

Ia mulai menyusun bantal dan guling. Serapih mungkin.



****



Hari itu Kamis Kliwon. Angin musim penghujan minggu ketiga bulan Januari bertiup basah. Ramalan Eyang Mahmudin mengenai curah hujan, rupanya mirip ramalam jawatan meteorologi sering-sering meleset. langit yang menutupi pedesaan di pinggir kota tampak biru jernih. Ribuan bintang berkontes, siapa yang paling cemerlang.

Hanya rembulan saja yang tampak menyendiri. Berwajah suram. Barangkali cemas melihat gumpalan awan pekat masih mengancam dari beberapa jurusan. Atau barangkali juga, karena berpikir prihatin: mengapa sepanjang umur bumi, rembulan tidak pernah memperoleh pasangan.

Dari masjid. terdengar suara orang mengaji.

Bergaung ramai. Maklum, malam Jumat. Mana Sekalian tahlilan untuk mendo'akan sejumlah arwah yang belum lama berangkat dengan sengsara

dari desa mereka. .

Rumah Saripah tampak tenang dari luar.

Tak ada kesibukan yang menyolok. Bi Ijah telah menyapu bersih garam dapur dari tubuhnya. Tetapi setelah Eyang Mahmudin minta disediakan semangkok penuh bawang putih yang sudah diiris-iris halus, Bi Ijah kembali repot lagi. Setelah memenuhi permintaan tamu mereka, Bi Ijah cepat-cepat mengunci diri. Ke kamar tidurnya ia bawa batu penggilingan dan seonggok bawang putih. Bawang putih digiling sampai lumat. Dioleskan ke setiap sudut tubuhnya.

Lalu ia berbaring ketakutan di dipan.

Tak ayal lagi, sampai pagi esoknya ia tidak dapat terpejam. Selain karena perasaan takutnya. juga karena polesan bawang putih yang luar biasa melebihi ukuran itu membuat sekujur tubuhnya bagai terpanggang dalam bara api.

Di tengah rumah, tiga orang lain sibuk bekerja. Herman, Eyang Mahmudin dan Lurah Joko. Lurah Joko sesekali mengeluh. Sambil melirik dongkol pada Herman, tentu. Sakit pinggangnya masih terasa linu. Habis dibanting Herman dua malam yang lalu.

"... aku masih belum memahami satu hal, Aki Udin." gumam Herman seraya menaburkan hati hati sejumput irisan bawang putih di tempat tempat mana sebelumnya Eyang Mahmudin pernah menaburkan garam mentah.

"Katakan saja. Tak usah malu-malu." sahut Eyang Mahmudin sopan.

Orangtua itu tengah sibuk menggantungkan beberapa helai benang benang hitam di bagian dalam pintu kamar mandi

yang terbuka. Agak curiga, melirik juga si kecil kurus itu ke bak mandi. Siapa tahu dari lubang pembuangan yang sudah licin dibersihkan itu ia kena dipecundangi lagi.

"Mengapa Aki menduga dia orangnya yang kita tunggu?"

"Berkat pengalaman, Anakku. Pengalaman sepanjang hidupku yang sudah 80.an tahun ini."

"Itu bukan jawaban," rungut Herman, kecil hati.

Melirik ke tempat tidur di mana Noni tertidur pulas. Si kecil itu sebenarnya belum sembuh benar. Memang wajahnya sudah kemerah merahan lagi. Tetapi kulit tubuhnya masih mengelupas kering di beberapa tempat. Terbayang di matanya wajah dokter yang menahan marah karena Noni diambil dari rumah sakit .

Jam dinding berdentang dua belas kali.

Dan Eyang Mahmudin mematikan lampu kamar mandi, sehingga gelap gulita seketika di tempat itu.

"Kau dengar aku, Joko?"

Orangtua itu berbisik .

Lurah Joko yang tengah mengurut pinggang di kamar duduk, menjawab tersengal:

"Ya, Eyang."

"Sudah waktunya!" .

Lurah Joko dengan enggan berjalan keluar rumah. Menyusuri kegelapan di sepanjang tembok kemudian duduk diam diam di balik lindungan rumpun mawar. Angin malam melecut wajahnya. Nyamuk datang pula menggigit. Dan bawang putih di telapak tangannya, benar-benar membuatnya mau muntah.

"Selalu aku yang kebagian sialnya,"

Ia menggerutu pelan, seraya menengadah mengawasi

langit biru temaram, mengawasi sekeliling atap mengawasi pepohonan rambutan.

Apakah nanti ia bakal terkencing lagi di celana?

Bergidik.

Lurah Joko mengintai ke jendela kamar tidur Saripah.

Serupa apa kali ini, yang akan muncul?

Lurah Joko seterusnya menekuri rerumputan di sekitarnya. Rerumputan basah itu tampak kecoklatan dijilat rembulan. Lurah joko melotot:

jangan-jangan itu bukan rumput!

Betapa sunyi sepinya desa itu sekarang.

Ronda malam pun, sudah tak berani keluar. Biar dibayar berapapun juga.

Lantas mengapa Lurah joko mau disiksa serupa ini?

Tanggungjawab?

Bukan.

Ia harap roh itu muncul dan Eyang Mahmudin memusnahkannya. Dengan begitu, Lurah Joko tidak perlu lagi mencemaskan keselamatan Legoh.

"Aki?"

Herman berbisik pelan di dalam kegelapan kamar mandi Saripah.

"Heh?"

"Benang-benang ini. Untuk apa?"

"Menyerap pengaruh sihir yang mungkin membuatku kau tertidur tanpa kau sadari."

"Aki?"

"Mengapa tidak kau tutup saja mulutmu? Biarkan aku berdo'a dengan tenang!" rungut Eyang Mahmudin, hilang sabar.

Herman terdiam.

Tadi ia sudah diberitahukan mengenai semua itu. Tetapi karena gelisah, ia ingin saja membuka mulut. Ia begitu letih. Herman telah melalui hari-hari yang tidak saja melelahkan tetapi juga

menakutkan .

Ketakutan itu pun menjalarinya kini. Dalam bentuk lain.

Ia tidak takut menghadapi kematian. Sudah terlalu banyak ia saksikan.Arpan, ibunya, Sumarna lalu Saripah.

Hantu?

Hantu berupa apapun tidak pula membuatnya cemas sekarang. Ia telah kebal semanjak ia terkesima memandangi mayat Saripah di kamar mandi ini dengan makhluk terkutuk di haribaan adiknya, tegak menatap lurus ke mata Herman. Makhluk itu. ditambah ribuan lagi yang menggempur di sekelilingnya, merupakan puncak kecerahan yang pernah dialami Herman. Keseraman itu tidak terasa melecut malam ini. Selain kebal, juga karena ia sudah tahu.

Yang ditakutkan Herman cuma satu. Sarafnya.

Ia ingin semua ini cuma mimpi buruk yang terus menerus menteror. Dan begitu ia sadar semua ini memang kenyataan. barulah Herman merasakannya. Merasakan takut. Takut. ia telah gila. Buktinya ada di depan biji mata. Tubuh Noni kecil malang. Noni yang sudah yatim piatu. Kalau Herman masih waras, ia tidak akan mengambil Noni dengan paksa dari tangan dokter yang merawatnya .

Bukan seperti sekarang merelakan Noni sebagai umpan.

Herman merintih. Ngeri membayangkan Arpan dan Saripah menggeliat marah di kubur mereka.

Hampir putus asa pula, Herman mengamati di kegelapan kamar mandi ke tangan Eyang Mahmudin yang mengepal sesuatu hati-hati. Tidak

tampak jelas. Tetapi Herman sudah melihatnya sebelum lampu di situ dipadamkan. Ngilu tulang tulangnya mengetahui sebilah kulit tipis dari bambu. Sembilu itu mau rasanya ia rampas. karena sadar untuk apa dan siapa dipergunakan.

Kemudian ia menyesal dengan niat buruk itu.

Setelah ia melihat apa yang mereka tunggu, muncul pada saat Eyang Mahmudin memperlihatkan perasaan kecewa karena waktu terus berlalu tanpa ada pertanda apa apa.

"Lihat!"

Eyang Mahmudin berbisik rapat ke telinga Herman.

Sesuatu berkelebat di luar jendela kaca.

Apakah itu Lurah Joko?

Ah. Bukan.

Itu adalah seraut wajah samar-samar yang mengintip ke dalam kamar. Wajah pucat sepucat mayat. Menempel kuat di jendela, seolah ingin mendobraknya.

Bau busuk memasuki kamar tidur.

Noni menggeliat.

Resah.

Dan Herman semakin gelisah dan panik.

Ia biarkankah Noni sengsara dalam tidurnya?

Mengapa ia tidak menyerbu saja sekarang.

Menyerbu langsung ke jendela!

Bayangan wajah itu menghilang dari kaca.

"Ke...."

Herman mau bertanya, ke mana makhluk itu?

Tetapi mulutnya lekas lekas ditutupi telapak tangan Eyang Mahmudin. Herman tercekat. Bukan dikarenakan nafasnya tersumhat telapak tangan kurus kecil itu. Herman tercekat, waktu bau busuk menyerang semakin hebat, mendesak isi perut, mendatangkan mual yang amat sangat. Lalu sesuatu muncul melalui ventilasi jendela. Sesuatu yang bentuknya pipih dan lebar.

Namun sesudah lolos dari lubang ventilasi bentuk pipih lebar itu kembali pada bentuknya semula.

Wajah yang tadi mengintip di jendela.

Wajah pucat. keriput mengerikan, dengan sepasang mata memancarkan titik api melayang mengitari kamar tidur, tertegun sebentar di depan pintu kamar mandi.

Menatap curiga.

Lantas menyeringai seram.

Herman merungkut di belakang tubuh Eyang Mahmudin.

Tetapi disertai rambutnya yang panjang berkibar-kibar, bayangan itu melesat dengan cepat menuju tempat tidur. Hinggap di dada Noni yang mulai merengek. Herman tidak kuasa menahan diri. Bukannya maju menyerbu ke tempat tidur. Tubuhnya malah lunglai, jatuh terkulai ke lantai sebelum Eyang Mahmudin sempat menahannya. Herman terkulai, begitu melihat wajah yang barusan menyeringai ke arahnya. Biar pucat dan kisut mengeriput. ia dapat mengenalinya samar samar.

Betapa tidak.

Ia telah mengenal pemilik wajah itu dalam rupa yang lebih halus dan elok.

Mengenalnya luar dalam!

Suara berisik di kamar mandi membuat makhluk tanpa tubuh itu bangkit seketika dari tempatnya hinggap, meninggalkan Noni merengek semakin kuat. Terdengar rintihan tajam menusuk. Dari mulut yang menyeringai itu keluar uap busuk yang membius.
Penghisap Darah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Mahmudin mengumpat.

Ia poles hidung dengan irisan bawang putih, lantas melompat keluar. Makhluk itu lebih cepat lagi. Meringkik liar, makhluk itu melayang ke arah

pintu. Irisan bawang putih merintangi jalannya Bagaikan kilat makhluk itu melayang ke jendela, darimana tadi ia masuk .Tetapi sambil berteriak teriak seperti orang gila saking ketakutan, di luar sana lurah joko telah pula menaburkan bawang putih ke kaca jendela dan ventilasi di atasnya .

"Hiii...!"

Melengking keras suara pilu. Kepala perempuan tanpa tubuh itu menggelepar-gelepar di lantai, menggelinding kian ke mari dan dengan cepat terbang berpindah pindah arah untuk menghindari serbuan tangan Eyang Mahmudin yang memegang sembilu.

Suatu saat yang mencekam, kepala itu merapat ke langit langit. Tubuh kurus kecil di bawahnya, mau tak mau harus melompat-lompat ke atas untuk mencapai sasarannya. Malang, tak kesampaian juga dan akhirnya Eyang Mahmudin terpeleset dan jatuh terjerembab di lantai.

Tiba-tiba ada suara berderak pelan.

Dari kamar mandi, setengah sadar setengah mimpi Herman menyaksikan bagaimana makhluk terkutuk itu mendorong ke atas. Berusaha memecahkan langit-langit yang terbuat dari teak-wood. Suara berderak yang semakin keras membuat Eyang Mahmudin juga terdongak, lalu berusaha bangkit dengan sebelah kaki keseleo.

Ia tidak akan sesusah payah itu, kalau Herman tidak membikin ribut. Ia dapat melontarkan senjatanya dengan tenang dan hatihati dari kamar mandi bilamana wajah itu masih melekat di dada Noni. Sekarang, ia terpaksa untung-untungan. Kalau semula ia bermaksud menembus ubun

ubun makhluk terkutuk itu, maka sasarannya kini ditujukan ke bagian bawah kepala makhluk itu.

Bagian yang tampak kemerahan memperlihatkan seonggok daging bergelimang darah. bagian itu saja yang tertinggal karena selebihnya sudah menerobos langit-langit.

Eyang Mahmudin mengucap Bismillah.

Lalu melontarkan sembilunya, dengan gerakan berputar. Hanya untung untungan. Tetapi sembilu itu melayang dan berputar dengan gerakan mengiris pada bagian bawah kepala itu. Terdengar suara jerit kesakitan yang memelas. Lalu suara berdetak yang keras waktu makhluk itu terus melesat ke atas. menghantam kaso-kaso, mendobrak atap genteng dan kemudian suara itu menghilang semakin jauh dan jauh lalu tak terdengar lagi sama sekali.

Lurah Joko menghambur masuk.

"Kau baik baik saja, Eyang?"

"Baik nenekmu. Lihat kakiku!"

Eyang Mahmudin memijiti kakinya yang keseleo, membengkak. Tak jauh dari tempat Eyang Mahmudin duduk terhenyak kesakitan, tergelimpang sembilu miliknya.

Sembilu itu berlumur darah.

"Bangunkan si Herman dari kegilaannya!" rungut Eyang Mahmudin.

"Ayo kita lihat apakah kita berhasil atau gagal."

Noni dititipkan pada istri Lurah Joko.

Bertiga mereka kemudian naik mobil yang dilarikan Herman dengan pikiran kacau balau.

Aku telah menikmati sedikit kebahagiaan dari gadis itu, ia mengerang, dan apa yang kuberikan

sebagai imbalannya?

"Sudah pastikah eyang, dia orangnya?"

Bertanya Lurah Joko.

"Sepasti bahwa kau ini muridku paling bebal."

"Sewot lagi,"

Memberengut Lurah Joko.

"Tetapi bagaimana sampai eyang mengetahuinya? Dan... tolong jangan bilang, berkat pengalaman 80-an tahun."

"Ingat ketika beberapa malam yang lalu aku menaburkan garam mentah ke sekeliling rumah Saripah? Ketika itu aku mencium bau tak sedap. Datangnya dari rimbunan pohon rambutan. Aku terus saja bekerja, tetapi mengintip dari celah ketiak. Kulihat sepasang titik api. Cuma elang. atau kalong. Begitu aku berpikir. Kalong yang sedang menyantap mangsa,"

Eyang Mahmudin bersungut-sungut menyesali ketololannya.

"Habis,"

Ia melanjutkan

"Waktu itu ingatanku hanya terpusat pada makhluk berupa pacat dan lintah. Mahluk yang mundul dari dalam tanah. Bukan dari langit...."

Eyang Mahmudin meringis lagi menahan sakit di kakinya. Bernafas cepat sebentar. menghirup udara segar yang masuk lewat jendela, lalu desah nafasnya kembali normal.

"Sudah baikan."

Ia pijit kakinya.

"Begitulah. Waktu aku dihempaskan Herman di depan rumahnya, aku begitu kesakitan. Ketika mencari apa yang dapat mengobati sakitku, kulihat mobil Laila..."

"Laila?"

Lurah Joko terperanjat

"Kubilang, mobilnya. Dan di mobil itu, muridku yang berotak budek dan bebal. aku lihat sepasang titik api yang sama...."

Mereka tiba di rumah yang dituju.

Rumah besar dan kuno itu terang benderang .Penghuni rumah induk tampak tengah menggedor-gedor pintu masuk pavilyun. Di dalam gelap sekali. Waktu melihat Herman, pemilik rumah datang menyongsong,

"Syukurlah kau muncul, Nak Herman," katanya.

"Barusan tadi kami dengar suara-suara ribut yang menakutkan di pavilyun. Tetapi Rosida tak juga mau membuka pintu."

"Boleh kudobrak?"

"Separah itu benarkah, Nak Herman?"

"Aku akan membayar ganti rugi," kata Herman.

Dan dengan kepala dipenuhi kepenasaran, ia hantam pintu sampai tanggal dari engselnya. Suara menggempur itu sunyi sepi seketika. Pemilik rumah menyalakan lampu depan pavilyun. Memanggil:

"Nak ida?" .

Tetap sunyi sepi.

Lampu dihidupkan lagi. Kali ini, di dalam kamar tidur gadis itu. Di ranjang, hanya ada bantal dan guling terbungkus selimut. Kemudian, genangan darah merembes di lantai, membasahi ujung sprei. Pucat dan gemetar, pemilik rumah menyingkap sprei itu.

Beralas sehelai tikar, Rosida tampak berbaring di kolong ranjang. Lebih banyak darah tergenang. Mengalir keluar dari leher Rosida yang menganga. Wajahnya yang muda dan elok rupawan, dipenuhi goresan luka. Tampak serpihan teak-wood terhunjam pada pipi, dan bubuk genteng melekat di untaian rambutnya.

******

Penutup





Laila terbelalak.

Blouse dan kutangnya terasa hangat, basah kuyup. Noni kecil merem-melek di pelukannya. lantas, seraya membuka mata lebar lebar menatap wajah Laila, Noni kecil tersenyum puas. Dengan suara bocahnya, ia bertanya:

"Aa... gggiii...'nte?"

'Apa dia bilang?"

Laila berpaling pada Herman yang sedang asyik mencorat coret di sehelai kertas. Menyusun daftar undangan.

"Dia bilang," sahut Herman tanpa menoleh.

"Apa kau mau lagi?"

"Dikencingi?"

Herman berpaling kaget.

"Astaga," katanya dengan nada menyesali.

"Dia memipisimu? Di mana?"

"Ini...." laila memperlihatkan dadanya.

"Oh. Oh. Oh. Kasihan. Mari kubuka."

Laila mengulurkan Noni kecil ke depan. Tetapi Herman melampauinya dengan kalem. Tangannya terus terjulur. Ke tempat yang basah.

Laila terpekik.

***

Dan dari kamar kerjanya, Hakim Saroso mengeluh:

"Ada apa lagi, Laila?"

"Ada tangan gentayangan. Papa-'

"Bilang pada yang empunya tangan,'

Terdengar suara Hakim Saroso mengancam:

"Dia harus tunggu sampai bulan April. Atau. ia akan kulemparkan kembali ke dalam bui!"

Dan sekarang baru hari pertama Februari.

Dingin lagi.

"Mertua sadis!"

Herman memberengut.

Dan terpaksa harus menunggu.

April.

Ah. Lama benar!

Mana hujan terus berderai-derai di luar rumah. Berdesah lirih. Meniupkan bisikan halus dari alam gaib.

Kemudian.

Sesuatu tampak menggeliat di rerumputan yang basah.

Seekor lintah.

TAMAT



Tak ada gading yang tak retak begitu pula hasil scan novel misteri ini.Mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam isi cerita novel ini.



Terima Kasih.




Racun Berantai Karya Huang Ying Pendekar Rajawali Sakti 127 Intan Saga Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam
^