Pencarian

Sirkuit Kemelut 2

Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar Bagian 2

seorang lagi berkumis seperti Hitler. Hakim wanita itulah ketua

di situ. Dia banyak bertanya, dan semua pertanyaan dijawab oleh

Alex sambil lalu saja.

"Benarkah yang dituduhkan jaksa?"

"Benar," jawab Alex.

Tetapi, hakim masih harus mendengarkan pernyataan para

saksi. Ah, bertele-tele, pikir Alex. Mau dihukum berapa tahun pun

aku tak keberatan. Itulah kenapa sewaktu sidang dimulai Alex

menolak tawaran pengadilan untuk mendatangkan pembela. Dia

hanya menginginkan sidang ini cepat selesai. Dan, lebih baik jika

kepadanya dijatuhkan hukuman. Jika ternyata dibebaskan, malah repot nanti.

Dua orang saksi diajukan oleh jaksa. Orang-orang yang pernah baku hantam dengan Alex. Dan. Alex masih ingat wajah

mereka. Keterangan-keterangan mereka dibenarkan oleh Alex.

Mereka memang menceritakan kebenaran. Korban penusukan

sendiri tak bisa diajukan sebagai saksi sebab tak bisa dihubungi.

Yang jelas, tukang parkir ini hanya sempat dirawat selama seminggu di rumah sakit.

Maka sidang ini berjalan cepat. Hakim senang, dan jaksa juga

79

senang. Alex mengantuk sebab tadi malam kurang tidur. Maka

dia tersentak ketika hakim wanita itu berkata,

"Saudara Lexi, apakah Saudara menyesali perbuatan Saudara?"

Alex tergagap. Dia menoleh ke arah jaksa. Jaksa tersenyum

dan mengerdipkan mata.

"Ya," kata Alex.

Hakim wanita itu membuka-buka lembar-lembar kertas di

hadapannya. Kemudian dia menatap Alex lekat-lekat. Ruangan

sidang hening sejenak.

"Bagaimana keadaan Saudara selama di tahanan?" tanya hakim wanita itu kemudian.

""Ya? Baik-baik saja. Senang."

"Senang di tahanan?" Hakim wanita itu mengernyitkan kening.

"Ya, sangat senang."

"Kenapa senang?"

""Sebab lebih enak daripada di luar tahanan."

Hakim wanita itu mengangkat alis. Dia berpandangan dengan

dua hakim lainnya.

""Jadi, Saudara akan senang kalau dikembalikan ke dalam tahanan?" tanyanya lagi.

"Ya, ya, ya."

"Lho?"

Kening jaksa berkerut. Sebelumnya dia sudah berunding dengan Kepala LP Karenanya tadi dia menuntut agar Alex dijatuhi

hukuman sejumlah masa tahanan sementaranya. Ini berarti Alex

80

bebas. Tetapi, kenapa anak muda ini malah ingin masuk tahanan

lagi?

"Tapi, tempat Saudara tidak seharusnya di dalam tahanan,"

kata hakim wanita itu.

"Tak ada tempat bagi saya di luar tahanan," kata Alex.

Maka suasana sidang itu tak lagi seperti pengadilan. Keangkeran mimbar lenyap. Yangtinggal hanyalah keramahan seorang

ibu. Wajah hakim wanita itu melembut. Sorot matanya melunak.

"Banyak tempat di luar tahanan, Lexi. Asal kamu mau bertingkah laku balk."

Alex mengangkat bahu. Tak acuh terhadap sekeliling.

"Apa kamu tak ingin jadi orangyang dipuji orang?"

"Dipuji? Buat apa?"

"Menjadi orang terpuji. Punya reputasi baik."

""Wah!" Alex tertawa kecil.

"'Tahu bagaimana orang yang punya reputasi?" Semakin keibuan suara hakim wanita itu. Alex menggeleng.

"Punya prestasi yang mengagumkan orang banyak. Punya karya, dan karya itu berupa keberhasilan dalam satu usaha yang

terpuji."

Alex diam. Dia menoleh ke arah jaksa. Jaksa sedang mengawasi hakim wanita. Barangkali dia heran kenapa sidang berjalan

seperti obrolan santai. Dia yang biasanya menuntut agar si tertuduh masuk penjara, kini dihadapkan pada sikap hakim yang

lemah lembut, yang memperhatikan pesakitannya bagai seorang

ibu terhadap anaknya.

"Prestasi itulah yang menjadikan seorang manusia berarti di

81

tengah-tengah masyarakat," lanjut hakim wanita itu.

"Dengan

reputasi yang baik, kamu bisa menebus diri kamu yang pernah

tak punya arti. Kamu bisa menunjukkan diri kamu kepada orang

banyak bahwa inilah Lexi. Inilah Lexi yang berprestasi dan menimbulkan kekaguman bagi setiap orang. Bukan lagi Lexi yang

disepelekan orang, melainkan Lexi yang bisa menebus hinaan

orang. Ini kalau Lexi pernah merasa tak berharga. Nah, tebuslah

harga Lexi dengan jalan menunjukkan prestasi yang terpuji. Ibu

percaya, Lexi sanggup melakukan itu semua."

Alex terdiam.

Ruangsidang bertambah hening.

Dan, begitulah! belakangan majelis hakim menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan jaksa: lima bulan potong masa

tahanan!

Maka Alex bebas menghirup udara luar.

Perpisahan memang menyedihkan bagi Alex. Terlebih berpisah dari orang yang sangat dekat dengan dirinya. Berpisah dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan, yang bagi Alex adalah

orang terbaik yang pernah dikenalnya. Bahkan lebih baik dari

papanya sendiri. Lalu, Zulkifli, penodong yang berhati emas itu.

Kasih sayang dari seorang abang, yang tak pernah dikecapnya,

didapatkan dari lelaki ini. Rahyo, walau bego, justru memiliki

kesetiaan yang tulus. Dan, masih banyak orang-orang baik yang

harus ditinggalkan Alex.

Meninggalkan para napi di situ, bagi Alex sama sekali tak terasa meninggalkan para penjahat. Baginya, mereka adalah lelakiIelaki keras tetapi berjiwa selembut kelinci.

82

Semuanya harus ditinggalkan. Selamat tinggal, Kawan. Kita

pasti bertemu suatu ketika. kata Alex dalam hati saat meninggalkan gerbang lembaga itu. Lewat jendela pengintai, beberapa

orang napi mengawasi kepergiannya. Mereka dibatasi pintu tebal

dan berat. Yang lain terkungkung di balik tembok dan satu orang

berada di luar tembok menghirup udara bebas.

Udara bebas? Alex mengawasi kendaraan-kendaraan yang

melintas. Dia berdiri dengan canggung. Dia meraba lembar-lembar uang kertas yang diperoleh dari Kepala LP tadi. Masih terlipat

rapi di kantongnya.

Mau ke mana sekarang? Beberapa saat dia termangu-mangu.

Sampai kemudian sebuah bus kota.yang kondekturnya berteriakteriak, melintas di dekatnya. Lalu Alex naik. Dia duduk di kursi

yang masih kosong, di samping seorang gadis yang ketiaknya

menguarkan harum deodoran.

Gadis itu memeluk tasnya erat-erat begitu Alex mengenyakkan pantat. Bus kota itu menuju Banteng. Gadis itu merapatkan

tubuhnya ke dinding bus. Padahal Alex sudah menjaga agar mereka tidak bersentuhan.

Manusia berseliweran di Terminal Banteng. Di sini berkumpul orang yang diburu kesibukan. Juga orang yang tidak tahu ke

mana harus pergi.

Alex minum Saparilla sejuk. Tak tahu berapa lama dia duduk

di bangku tinggi bar peron itu. Pelayan sudah berkali-kali melap

meja di depan Alex. Maksudnya mengusir secara halus, tentunya.

Lalu Alex pindah ke peron bus antarkota. Di sini juga minum

Saparilla dingin. Lima bulan dia tak melihat kesibukan semacam

83

ini, begitu melihat kembali memang membuat pening kepala.

Ada seorang kenek bus yang berteriak-teriak,

"Bogor! Bogor! Bogor!"

Alex tersentak. Ya, Bogor. Di sana tentu lebih nyaman. Udara

tengik kota Jakarta ini memang harus ditinggalkan saja dulu. Bogor memang lebih menyenangkan.

Lantas Alex memikir-mikir, dan tiba-tiba meninju telapak tangannya. Kenapa aku lupa? rutuknya dalam hati sambil melompat dari bangku ke tempat pembayaran. Cepat-cepat dia membayar minumannya, lalu naik ke bus yang menuju Bogor.

Dan, dia menghela napas panjang-panjang manakala bus itu

mulai bergerak meninggalkan terminal. Ya, kenapa aku lupa? Padahal seseorang yang amat baik tinggal di sana. Seorang Tionghoa tua yang mengusahakan peternakan babi secara keciI-kecilan

sambil membuat taoco dan tahu.

Ke sana tujuan Alex. Tionghoa tua itu tinggal di sebuah desa

di pinggiran kota Bogor. Dia pernah mengajari Alex silat Tiongkok. Mereka berkenalan ketika Alex main-main ke Cibodas. Ketika itu Alex sendirian. Teman-temannya entah berada di sebelah

mana. Alex sedang duduk melangut seperti sapi malas. Tak jauh

darinya, serombongan anak muda laki-laki dan perempuan sedang bercanda. Seorang gadis yang rambutnya diekor kuda menjadi perhatian Alex.

Kuduk gadis itu sesekali mengintai. Mulus. Gadis itu menjadi

bulan-bulanan teman-temannya. Tas kecil miliknya direbut temannya. Gadis itu mau meminta, tetapi oleh temannya tas itu

dilemparkan ke arah teman lain, sehingga gadis itu harus lari ke

84

sana-sini untuk mengejar tas itu. Dalam acara saling melempar

tas inilah tiba-tiba tas kecil itu jatuh di dekat kaki Alex.

Alex memijak tas itu. Gadis itu datang mendekat.

"Maaf," katanya. Matanya tertuju pada tas yang diinjak Alex.

Alex berpura-pura tidak mendengar. Teman-teman gadis itu

datang. Seseorang menendang kaki Alex. Alex membalas. Lalu

mereka baku hantam. Alex tak tahan menerima keroyokan. Dia

lari tunggang langgang. Anak-anak muda itu menertawakannya.

Dengan membawa kejengkelan, Alex berjalan di sela-sela pohon. Dia tiba di sebuah anak sungai. Di situ seorang lelaki tua

sedang nongkrong. Melihat badan lelaki tua yang gemuk itu,

juga pantatnya yang menyentuh air, timbul keinginan Alex untuk

menggodanya.

Alex melemparkan kerikil ke arah lelaki tua itu. Tak kena, tapi

air muncrat. Laki-laki itu buru-buru memakai celananya dan keluar dari anak sungai itu.

Tionghoa tua itu hanya menatap Alex sejenak, lalu pergi.

"Nggak jadi berak, Mpek?" kata Alex menggoda. Tionghoa tua

itu tersenyum.

"'Bagaimana bisa berak kalau kamu intip!" katanya.

"Sialan! Siapa yang mau ngintip lu?"

Lelaki gemuk itu tak menimpali. Dia duduk di sebuah batu

besar

"Enak ya udara di sini?" katanya sambil menghirup udara sepenuh dada. Alex mengawasi perut lelaki itu. Lelaki gendut itu

hanya mengenakan kaus.

"Ya," kata Alex sambil duduk di batu yang lain.

85

Burung-burung mencicit di pohon. Angin menggemersikkan

daun-daun.

"Sendiri saja?" tanya lelaki tua itu.

""Tidak. Dengan teman-teman."

Lantas mereka berbincang-bincang. Lalu lelaki tua itu mengundang Alex datang ke rumahnya. Alex senang.

Ternyata Tionghoa tua itu tinggal bersama beberapa orang

pembantunya di pinggiran Bogor, di sebuah desa. Dia tak punya

istri, tak punya anak. Menurut ceritanya, dulu dia punya anak IeIaki, tetapi mati waktu perang kemerdekaan. Istrinya meninggal

sepuluh tahun yang lalu. Famili-familinya tersebar di berbagai

kota di Indonesia ini. Tak pernah dia pulang ke tanah leluhurnya,

sebab dia tak tahu di mana sesungguhnya daerah asalnya. Dia,

bahkan ayahnya, lahir di Indonesia.

Suatu keunikan bahwa Tionghoa tua itu dan Alex cepat bisa

menjadi akrab. Alex sendiri tidak tahu kenapa dia senang mengobrol dengan lelaki tua ini. Padahal, biasanya dia paling ogah

berbincang-bincang dengan orang-orang tua.

Itu kejadian ketika Alex masih duduk di kelas satu SMA. Walaupun harus menempuh puluhan kilometer, Alex sering datang

mengunjungi Tionghoa tua itu. Kepada lelaki tua itu, Alex menceritakan bahwa dia tinggal kelas, sedangkan papanya sendiri tak

pernah mau tahu perkembangan pelajaran di sekolahnya.

Babi mendengus-dengus di kandang. Tionghoa tua itu sedang

mencampur dedak dengan rajahan batang keladi untuk makanan

babi. Beberapa saat Alex tegak di luar kandang babi. Tubuh lelaki

tua itu masih segempal dulu, pikir Alex. Entah sudah berapa bu

86

Ian berlalu, tetapi tak ada perubahan dalam diri lelaki itu. Wajah

tetap kemerah-merahan dengan rambut yang jarang-jarang. Lelaki tua itu sedang membungkuk mengawasi babi-babinya yang

sedang melahap makanan.

"Pak," panggil Alex.

Lelaki gemuk itu menoleh, dan matanya yang sipit agak membelalak. Seekor babi menyeruduk kakinya, dan dia meloncat dengan gesit, menjauhi kerumunan babi-babi itu.

Sembari memperhatikan muka Alex, dia berkata,

"Banyak perubahan terjadi pada dirimu." Suaranya hanya dalam wujud gumaman sehingga seolah tertuju kepada dirinya sendiri.

"Saya tidak tinggal sama orangtua saya sekarang," kata Alex

pelan-pelan.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti saja ceritakan. Kau sudah makan?"

"'Saya ingin tinggal di sini," lanjut Alex.

Lelaki itu mengerutkan kening. Lalu katanya lebih lunak lagi,

"Aku tak pernah keberatan kau tinggal di sini. Tapi, nanti saja

kita bicarakan. Ayo, ke rumah dulu."

Langkah mereka berendeng. Seekor babi bule mengikuti jejak

mereka. Suaranya mendengus-dengus. Lelaki tua itu mengusir

babi itu.

"'Saya tak punya tempat tinggal sekarang," kata Alex.

"Jadi, kau mau beternak babi?"

Alex tak menjawab. Dia sibuk mengunyah sepotong daging

berlemak dalam mulutnya.

Lemak itu mencair. Terasa hangat dan asin.

87

"'Tempatmu bukan di sini," kata lelaki tua itu. Lama dia mengawasi muka Alex.

"Dari wajahmu, aku melihat bahwa kau hanya

bisa kaya dari pekerjaan yang banyak bergerak. Pekerjaan beternak bukan macamnya. Kau hanya berhasil di tempat yang ramai,

bukan yang sepi seperti di sini. Kau harus tinggal di kota besar.

Shio kelahiranmu yang bilang."

Tempat itu memang sepi. Di pojok ruangan ada sebuah meja

sembahyang. Di dinding, tergantung potret besar yang sudah kuningsakingtuanya. Di dekat gambar Dewi Kwan Im.ada lambang

Yin-Yang. Meja perabuan tersebut membuat ruangan yang hanya

diterangi lampu teplok itu berkesan angker pada senja yang semakin menggesersinar matahari.

"Kau masih tetap berlatih?" tanya lelaki tua itu.

""Masih. Terutama selama di penjara," jawab Alex dengan mulut penuh berisi nasi.

"Penjara?"

Lalu Alex menceritakan seluruh kemelut yang melihatnya,

membuat lelaki gemuk itu berkali-kali menghela napas dan

menggeleng-gelengkan kepala.

"Kenapa sehabis diusir dari rumah kau tidak langsung kemari

saja?"

"'Segalanya berlalu begitu cepat, Pak. Saya tak sempat berpikir

ke situ. Saya bingung."

""Jadi, itukah yang membuat mukamu codet?"

Alex mengusap mata kirinya.

"Kelihatan jelek ya, Pak?" tanyanya.

""Yangjelas, kau kelihatan seperti samseng, jagoan Cina. Bukan

seperti anak Manado lagi."

88

"Setelah tidak diakui Papa sebagai anak, saya memang bukan

orang Manado lagi."

"Bagaimana pun kau tetap anak Manado, berdarah Minahasa.

Kedua orangtuamu kan asli Minahasa."

"Begitulah ceritanya. Tapi, saya tak tahu jelas. Sebab, selain

papa saya, famili-famili saya banyak orang Manado."

""Sampai kapan pun kau harus tetap sebagai keturunan Wenas,

dari darah papamu. Kita tak boleh mengingkari leluhur."

"'Bagaimana kalau kita sudah tidak diakui?" kata Alex.

"'Yang tak mengakui hanya papamu. Tapi, dia tak berhak

menghilangkan hubunganmu dengan nenek moyangmu. Secara

duniawi, dia boleh saja membuangmu. Tapi, di langit, kau tetap

tercatat sebagai anaknya, sebagai keturunan leluhurmu. Leluhurmu akan tetap melihatmu sebagai keturunan mereka, apa pun

yang terjadi. Mereka akan melindungimu dan menunjukkan jalan rezeki kepadamu."

Rumah itu dikelilingi pohon-pohon. Maka suara angin mendesau. Lalu jangkrik berderik-derik. Udara di situ sejuk. Sesekali

ada babi yang menguik.

Betulkah leluhurku masih hidup di langit sana? Di manakah

langit itu sebenarnya? Bukankah satelit orang Amerika dan Soviet sudah menjelajahi langit sana? Dan, aneka pikiran menyembut-nyembul di benak Alex setelah membaringkan tubuhnya di

dipan. Terdengar suara kaleng beradu di luar. Tentunya pak tua

itu sedang merendam kacang kedelai. Alangkah ulet dia. Hidup

sendirian membanting tulang.

"'Kau boleh tinggal di sini," kata lelaki tua itu pada pagi hari

89

nya.

""Tapi. kau hanya akan berhasil di tempat lain. Pekerjaan apa

yang kausenangi?"

"Montir," jawab Alex tanpa berpikirterlebih dahulu.

"Hm. Montir," ulang lelaki tua itu.

"'Kau tidak ingin jadi pedagang?"

"'Tidak. Saya tak suka berhitung-hitung."

"Aku juga tak suka. Aku suka mengurus babi. Mungkin karena

kami sama-sama gemuk." Lelaki tua itu memandangi sekumpulan babi yang sedang mengerubuti makanan. Babi-babi itu rupanya hanya memikirkan makan melulu. Atau kalau sedang muncul

berahinya, yang jantan terus menguntiti yang betina. Kelihatan

lucu dengan tubuh yang gemuk serta mata kecil kalau sedang

mengendus-endus bagian belakang betinanya.

"Atau kau tak mau sekolah kembali?"

"Wah, tidak. Saya tak suka sekolah."

"Baiklah. Kalau kau memang mau jadi montir, akan kuantar

kau ke tempat saudaraku. Dia punya bengkel besar di Jakarta. Di

situ kau bisa bekerja."

Wajah Alex berseri-seri.

"Tapi," kata lelaki tua itu,

"'kuharap kau tidak berkelahi lagi."

Alex mengangguk.

"Kau ingat apa yang kubilang dulu? Silat bukan untuk berkelahi, tapi untuk membikin badan sehat. Kaulihat aku? Umurku

sudah tujuh puluh, tapi aku lebih sehat dari orang tua yang sebaya denganku. Orang-orang seumurku sudah loyo semua. Silat

bagiku untuk memelihara diriku. Bukan untuk berkelahi. Sejak

muda aku menghindari berkelahi. Biar kita bisa silat, kalau sudah

90

berkelahi akan mengurangi umur dan kesehatan kita. Silat hanya

untuk membuat badan kuat dan jiwa tabah. Silat untuk melawan

angin malam yang dingin, siang yang panas, dan hujan yang deras. Percayalah, betapa pun jagonya ilmu silatmu, tapi sekali kau

berkelahi, itu akan merusak dirimu sendiri. Pertama karena kau

marah. Rasa marah sangat buruk untuk diri kita. Kau terpaksa

memaksakan tenaga sebesar-besarnya. Memaksakan keluarnya

tenaga sebesar-besarnya, itu juga akan mengurangi umurmu."

"'Saya memang tak ingin hidup lama-lama," kata Alex.

"Hah.| Tapi, merusak diri sendiri, menggerogoti dirimu sendiri,

akan menyebabkan tubuhmu nanti seperti kayu yang dimakan bubuk. Kelihatan gagah, tapi sebenarnya lapuk. Mati muda memang

takjadi soal. Tapi, kalaujadi lapuk, buat apa hidup lama-lama?"

Alex mengawasi wajah tua di depannya. Kendati tua, warna

kemerahan di muka itu menyimpan semangat yang berkobarkobar. Wajah lelaki tua itu mengingatkan Alex pada tomat yang

matang dan segar.

Lalu mereka menuju Jakarta. Lelaki tua itu membawa Alex

ke sebuah bengkel di Grogol. Dia memperkenalkan Alex kepada

pemilik bengkel itu, seorang Tionghoa yang juga gemuk. Cuma,

wajahnya agak pucat, seperti wajah yang jarang terkena sinar

matahari. Pemilik bengkel itu hanya mengangguk menerima perkenalan Alex.

"Hm," gumamnya ketika Alex menunjukkan surat rekomendasi dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan.

"Jadi, lima bulan untuk perkelahian," katanya.

"Ya, aku juga

butuh orang yang bisa berkelahi di sini."

91

"Dia untuk kerja, bukan untuk berkelahi!" kata engkohnya.

lelaki dari Bogor itu, dengan berang.

"Ya,ya, ya, kamu kerja di sini," kata pemilik bengkel, seolah tak

mendengar keberangan engkohnya.

Lelaki tua itu pulang ke Bogor. Dan, pemilik bengkel itu memperkenalkan Alex kepada beberapa orang montir di bengkel itu.

Seorang anak muda, sebaya dengan Alex, berdiri tenangtenang di dekat drum berisi oil.

"Sini!" panggil pemilik bengkel.

Anak muda itu mendekat. Pemilik bengkel mendekati Alex.

"'lni Lexi Wenas. Kamu mendampingi dia beberapa hari ini,

sampai dia biasa di sini. Lexi, ini Sunliang. Kamu bisa tanya-tanya

sama dia kalau ada yang kurang tahu soal-soal di bengkel ini."

Lalu pemilik bengkel itu, yang belakangan diketahui oleh Alex

bernama Kho Bun Hwa, kembali ke kantornya.

""Di mana kau tinggal?" tanya Sunliang.

Alex mengangkat bahu.

"Aku tak punya tempat tinggal," katanya.

Sunliang mengangguk sambil memperhatikan tas yang tersandang di bahu Alex.

"Kalau begitu, tinggal di gudang belakang saja bersamaku.

Ayo, simpan tasmu."

Walaupun disebut gudang, ruangan yang ditinggali Sunliang

ini cukup bersih. Tak ada dipan. Di sini hanya tersedia lantai

dilapisi papan dan tertutup sehelai terpal. Di dinding tertempel

poster-poster penyanyi pop yang berasal dari majalah.

"'Orangtuaku di Demak." kata Sunliang.

"Om Bun Hwa itu ma

sih familiku. Tapi, famili agak jauh."

92

Terdengar suara memanggil Sunliang dari luar.

"Yaaa!" balas Sunliang sembari menghambur keluar, diikuti

Alex.

Om Bun Hwa berkacak pinggang menunggu Sunliang.

"'ltu mobil belum selesai sudah kamu tinggal!" kata Om Bun

Hwa lantang.

Terburu-buru Sunliang kembali ke pekerjaannya yang terbengkalai. Sambil mencuci karburator dengan bensin, dia berkata

kepada Alex yang sedang membuka penyaring udara, '"Om Bun

Hwa itu cerewet. Tapi, kalau hatinya lagi senang, dia baik sekali.

Agak angin-anginan dia."

Alex tak menimpali. Dia menuang oli bekas dari saringan udara.

"Sudah lama kau kenal Om Bun Leng?" tanya Sunliang. Kho

Bun Leng adalah lelaki tua yang mengantarkan Alex.

"Sudah," jawab Alex.

Ternyata Sunliang tergolong orang yang suka bicara. Ada-ada

saja yang ditanyakan kepada Alex. Dan, banyak pula yang diceritakannya. Bahkan cerita tentang pacarnya yang tak jauh tinggalnya dari bengkel itu.

Baru beberapa jam mereka bertemu, Alex sudah tahu mendetail tentang Sunliang. Adapun Sunliang hanya tahu sedikit sekali

tentang diri Alex. Baginya, Alex masih merupakan misteri. Masa

lalu Alex tetap kelam baginya, namun dia senang bergaul dengan

anak muda yang pendiam ini.

Dari hari ke hari, bau minyak pelumas dan bensin menyung

kup kehidupan Alex. Dan, pada pagi yang cerah, ketika Alex

93

sedang memperbaiki mesin mobil Corolla, tiba-tiba Sunliang

menghentikan pekerjaannya dan berkata,

"'Kauteruskan dulu, ya?"

Lalu, separo berlari dia menuju jalan raya. Di situ telah menunggu seorang gadis. Keduanya berbicara. Tampak-tampaknya

serius. BerkaIi-kali gadis itu mengentakkan kaki. Sunliang tampak

kebingungan.

Rambut gadis itu tergerai ke jidat. Wajahnya mengingatkan

Alex kepada bintang Film Mila Karmila. Kelembutan terpancar

dari wajah itu. Hanya persoalan yang begitu rumit tentunya yang

bisa membuat gadis itu gelisah. Tetapi, buat apa dipusingkan?

Alex kembali menekuni pekerjaannya. Dia menyetel platina.

Lalu pekerjaan itu selesai. Dia mencoba menghidupkan mesin

itu. Sekali starter, mesin itu hidup. Alex bernapas lega. Tiap kali

dia berhasil mengatasi gangguan pada mesin, dia merasa jantungnyalah yang selesai diperbaiki. Dan, itu pula yang menyebabkan dia sesak napas bila mesin yang diperbaikinya tak juga

beres. Hal ini bahkan bisa mengganggu tidurnya.

Seorang pegawai bengkel memanggil Alex agar datang ke

kantor. Om Bun Hwa menyambutnya dengan,

""Ada telepon. Kau berangkat bersama Sunliang ke alamat ini."

Om Bun Hwa menyodorkan alamat rumah seseorang. Alex tak
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanyakan ini-itu. Dia memang sudah biasa menjalankan tugas panggilan ke rumah-rumah untuk memperbaiki mobil yang

macet. Orang-orang kaya memang sering tak bisa mengurus barang-barang milik mereka. Kadang-kadang kerusakan kecil pun,

busi mati misalnya, mereka buru-buru memanggil montir.

94

Lantas Alex mengemasi alat-alat yang diperlukannya. Dia mengeluarkan Colt dan mengklakson Sunliang. Masih dalam keadaan bingung, Sunliang berpamitan kepada gadisnya. Ketika menghentikan Colt di dekat gadis itu, Alex melihat air di mata gadis itu.

Sunliang mengempaskan pintu mobil dan berdesah. Alex melepas kopling dan menancap gas dalam-dalam. Colt meluncur.

"Kacau nih," kata Sunliang.

Alex cuma melirik sekejap.

"'Orangtuanya sudah mengetahui hubungan kami," lanjut

Sunliang.

Pasti cerita ala Siti Nurbaya, pikir Alex.

"Apakah karena aku Cina dan dia Jawa, cinta kami harus putus?"

Wah, apa-apaan ini? kata Alex dalam hati.

"Payah!" sungut Sunliang.

Alex tetap membisu. Mobil meluncur mendahului mobil yang

lain. Lalu terhenti karena dihadang lampu merah.

"Kau pernah jatuh cinta, Lex?"

"'Tidak."

"Cinta itu indah, Lex. Bisa membuat aku lupa bahwa aku ini

Cina. Cina yang miskin lagi."

Lampu kuning, dan kemudian hijau.

"Karena kau Tionghoa, dia tidak mau sama kau?" tanya Alex

hati-hati.

"'Bukan dia! Cinta dia setinggi Gunung Merbabu. Eh, itu tak

terlalu tinggi. Setinggi Gunung Himalaya.| Tapi, orangtuanya... ah,

aku benci!"

95

Keduanya tiba di rumah yang mereka tuju. Seorang perempuan berusia sekitar empat puluh duduk di teras. Dia membaca

nama bengkel yang tertulis di dinding Colt. Alex memperhatikan

rumah yang indah itu. yang disertai taman penuh bunga aneka

warna.

Alex mengeluarkan kertas dari kantongnya.

"Nyonya Burhan?" tanyanya sambil membaca tulisan pada

kertas itu.

"Ya, saya," kata perempuan itu.

"Kami dari bengkel..."

""Ya, ya, ya," putus Nyonya Burhan.

"Mari," lanjutnya seraya melangkah.

Mereka berjalan menuju garasi. Sunliang menjinjing tempat

alat-alat. Mukanya masih berkerut seperti orang selesai makan asam.

"Nyonya tak punya sopir?" tanya Sunliang.

"Ada, tapi cuma satu. Sekarang sedang ikut suami saya ke

Bandung."

"'lni mobil baru. Kok mogok ya?" kata Sunliang.

"Sudah lama jadi montir?"tanya Nyonya Burhan.

"Lumayan. Sebelum mobil tipe ini keluar, saya sudah bekerja

di bengkel."

""Yang satunya juga?"

"Ya. Dia juga," kata Sunliang sambil memandang Alex yang

sedang memeriksa kabel-kabel.

Nyonya Burhan berdiri di dekat Alex. Parfumnya teruar lunak.

Alex merasa dadanya lebih nyaman. Sementara itu, Sunliang berdiri di seberang mobil.

96

Cantik, pikir Sunliang sambil memperhatikan profil Nyonya

Burhan. Bibir perempuan itu mungil. Sayang agak pucat. Dia tak

memakai lipstik. Rambutnya yang tergerai membuat lehernya

tampak jenjang. Hidungnya yang bangir bernapas takut-takut

karena bau minyak pelumas. Matanya agak sayu seperti mata

orang kurang tidur, seperti mata yang ditayang ganja.

"'Apa kerusakannya?" tanya Nyonya Burhan, menghentikan lamunan Sunliang.

Buru-buru Sunliang membantu Alex mengetes aki.

"Sebentar, sebentar, kita akan tahu apa yang rusak," katanya.

Nyonya Burhan memperhatikan jarum pengetes aki yang bergerak-gerak. Kemudian dia memperhatikan codet di wajah Alex.

Montir yang satu ini pendiam sekali, pikirnya. Lalu dia mengawasi bibir Alex yang terkatup rapat. Mulutyang seperti membenci

dunia.

Kedua montir itu mulai berkeringat. Nyonya Burhan keluar

dari garasi. Dia memanggil pelayan dan menyuruh agar membuat minuman.

Setelah mengotak-atik sana-sini, akhirnya Alex menemukan

juga kesalahan mesin itu. Sunliang melapor kepada Nyonya Burhan yang berdiri tegak tanpa suara.

""AC-nya yang tidak beres.

Kalau AC dipasang, arus listrik tersedot ke sini."

"Lantas, bagaimana baiknya?"

"AC ini akan kami buka, akan kami perbaiki di bengkel, sementara Nyonya pakai mobil tanpa AC dulu."

Nyonya Burhan mengangguk.

"'Walau tanpa AC, kalau berjalan pelan-pelan di tempat ramai,

sebaiknya kaca jendela ditutup saja," kata Alex.

97

"Oh ya?"

"Atau jangan pakai perhiasan. Banyak tukangjambret," lanjut

Alex, tetap dengan suara datar.

"O, terima kasih," ujar Nyonya Burhan.

Sunliang berkutet dengan mur-mur yang mengunci AC mobil

itu. Alex mengambil generator portabel dari Colt, kemudian menyetrum aki mobil sedan itu.

Nyonya Burhan tetap berdiri diam-diam. Tangannya mengangkat roknya yang maksi agar tidak menyentuh lantai garasi

yang kotor.

"'Lusa AC ini akan kami pasang kembali," kata Sunliang sebelum Colt yang mereka tumpangi meninggalkan halaman rumah

itu.

Dan, malam harinya, perempuan itu menjadi bahan pembicaraan Sunliang dan Alex. Tentu saja setelah sebelumnya Sunliang

bercerita mengenai Diana, pacarnya yang menurutnya selangit

cantiknya.

Nyonya Burhan hampir seawan indahnya. Alex telentang memandangi asap rokoknya yang membentuk bulatan-bulatan.

"Jarang ada perempuan secantik itu," kata Sunliang.

"Kaulihat

alisnya? Seperti ranting pohon liu."

"Pohon liu itu kayak apa sih?"

"Aku juga tak tahu. Aku cuma baca di buku cerita silat." Lalu

Sunliang menungging, dengan kaki terjulur ke atas. Salah satu

asanayoga.

"Perempuan cantik selamanya..."

"'Sedang latihan jangan ngomong!" pintas Alex.

98

Tetapi Sunliang tak peduli.

"'Selamanya menimbulkan pesona," lanjutnya dengan napas

terengah.

Sunliang kembali duduk. Dia melap keringat.

"Hei, bagaimana pendapatmu, kalau bapaknya Diana mengawinkan dia?" katanya kemudian.

"'Mengawinkan sama siapa?"

"Entah sama siapa. Yang jelas, orang tua itu tidak menyukaiku."

"Dia tak suka pada kau, itu sudah berulang-ulang kaubilang."

"Lantaran aku Cina, Kalau aku Cina kaya, barangkali lain lagi

pandangannya. Ya?"

"Mana aku tahu?"

"'Bagaimana kalau Diana kubawa lari saja ya?"

""Baik juga. Asal dia mau."

"Pasti dia mau. Tapi, ah, mana mungkin?"

"'Kenapa?"

"'Risikonya. Kalau aku sempat melakukan itu, aku tak bisa

membayangkan apa yang bakal menimpa diriku. Mungkin aku

akan ditangkap. diadili. Kalau aku kaya tentu lain soalnya. Cina

kaya sangat disenangi kalau berbuat kesalahan. Sebab, bisa jadi

bulan-bulanan, diporoti duitnya. Tapi, kalau aku? Paling banter

digebuki sebab tak ada yang diperas dari aku. Bisa-bisa mati

begitu saja, tak ketahuan kuburku. Nasib. Entah kenapa aku dilahirkan sebagai Cina miskin."

"'Bukan karena Tionghoa saja. Siapa saja kalau miskin jadi sa

saran penindasan. Tionghoa, Jawa, sama saja. Yang ada di dunia

99

ini cuma dua macam: yang kaya bisa memperoleh apa saja yang

diinginkan, dan yang miskin menjadi bulan-bulanan orang yang

kuat."

Beberapa saat ruangan itu sepi. Radio transistor mengalunkan

lagu Barat yang lembut. Suara penyiarnya pun lunak sehingga

pendengar membayangkan bibir yang sedang berbicara itu tentu

milik seorang gadis cantik.

"Tamat SMA, aku ingin meneruskan ke fakultas teknik. Tapi,

karena aku Cina, semua mengira aku banyak uang. Uang masuk

yang diminta dariku tak bisa kupenuhi. Padahal aku lulus tes,"

kata Sunliang perlahan.

Radio menyiarkan iklan. Sunliang mengganti gelombang,

mencari pemancaryang menyiarkan lagu-lagu.

"Mobil mewah yang kita perbaiki tadi lima belas juta harganya," kata Sunliang.

"Traktor, berapa harganya?"

"Entah. Kok mikirin traktor?"

Alex tertawa kecil.

"'Bagaimana pendapatmu tentang perempuan tadi?"

"PendapatkuPAku tak punya pendapat."

"Bego! Cantikkah, menarikkah, atau bagaimana?"

"Ya, dia cantik," jawab Alex.

"Kau seperti tak pernah tertarik sama perempuan cantik?"

"Kalaupun tertarik, lantas untuk apa?"

"Wah, wah, wah. Sudahlah. Tiap ngomong dengan kau, aku

jadi bingung. Selamanya kau bertanya 'buat apa'. Segala hal kau

tanyakan 'buat apa.

100

"Habis, buat apa memikirkan perempuan cantik?"

"'Hei, kau punya nafsu nggak sama perempuan?"

Alex tak menjawab. Sebagai gantinya dia cuma mengeluarkan

suara hidung.

Joice perempuan cantik, pikirnya. Mamaku juga cantik. Cina

Lollobrigida juga cantik. Sophia Loren, tentu saja cantik. Tapi, apa

artinya buat diriku?

Lusa yang dijanjikan Sunliang kepada Nyonya Burhan itu pun

datang. Sunliang sedang mengerjakan perbaikan sebuah Volvo

yang pemiliknya mendesak-desak. Oleh karena itu, Alex berangkat sendirian memasang AC mobil milik Nyonya Burhan.

Seperti beberapa hari yang lalu, Nyonya Burhan menunggu di

teras. Sekelumit senyum terkuak begitu melihat Colt yang dikendarai Alex merapat ke garasi. Seorang pelayan membuka pintu

garasi.

Perempuan cantik itu mendekat. Langkahnya gontai sehingga pinggulnya tampak bergoyang ke kiri-kanan. Tetapi, Alex tak

sempat memperhatikan goyang pinggul itu sebab dia sedang

mengeluarkan AC dari dalam Colt. Tolol dia! Kalau tidak, dia akan

dapat melihat bagaimana tubuh itu bergerak bagai bunga lili. Ya,

sebab perempuan itu langsing.

"'Sudah baik?" tanya Nyonya Burhan.

"Hm," gumam Alex. Dia membuka pintu mobil Nyonya Burhan

dan memasang AC itu kembali. Nyonya Burhan tegak di dekat

pintu mobil. Matanya terus mengawasi wajah Alex.

Alex sedang menguncikan muryang ketiga ketika Nyonya Bur

han tiba-tiba berkata,

"Rasa-rasanya saya pernah ketemu kamu."

101

Alex menoleh. Kelopak matanya agak terangkat. Dia memperhatikan raut muka perempuan itu. Ya, rasanya dia juga pernah

melihat perempuan ini. Tetapi, di mana?
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex kembali menekuni mur.

"Kamu orang Tionghoa?" tanya Nyonya Burhan.

"Bukan," kata Alex tanpa mengangkat kepala.

"Dari mana asalmu?"

"Dan sini. Dari Jakarta ini juga."

"Maksud saya, asli dari mana?

Alex tak menjawab.

"Dari Manado?"

Alex tetap diam. Cuma kegelisahan merayap-rayap di dadanya. Kenapa perempuan ini begini cerewet?

"Kamu kenal Philip Wenas?"

Pertanyaan itu seperti beliung yang menghunjam jantung

Alex. Jantung Alex meronta sehingga obeng kembang yang sedang ditekannya meleset dan menusuk jari tangan. Betapa tidak

kaget! Philip Wenas adalah lelaki yang telah mengusirnya ketika

mukanya berlumuran darah. Philip Wenas adalah papa Alex.

"Ya, ya, ya. Saya sudah ingat," kata Nyonya Burhan.

"Saya pernah lihat kamu di rumah Broer Philip. Kamu anaknya, kan?"

Alex tak menimpali, tetapi tangannya mengentak ketika mengunci mur yang belum ketat terpasang. Mata perempuan itu

nanap memperhatikan wajah Alex.

"'Kenapa kamu jadi montir? Kamu tak sekolah lagi?"

Alex tetap diam.

"Kamu tidak kenal saya?"

102

Alex menggeleng.

"'Saya kenal papa kamu, juga mama kamu."

Alex menahan napas.

"Mama saya?" tanyanya kemudian.

"Mama kamu. Zus Fanni teman satu arisan saya."

Alex melepaskan napas berat. Nyonya Fanni adalah mama

tirinya. Maka kemudian perhatiannya surut. Dia kembali bersikap

tak peduli.

"Saya sudah lama kenal keluarga kamu."

"Nyonya kenal sejak kapan?" tanya Alex. Dia heran suaranya

bergetar.

"Sejak kapan, ya? Pokoknya lama."

"'Sebelum saya lahir?"

"'Tentu. Sejak papa kamu masih muda."

"'Nyonya...?"

"Sebut saja "Tante". Tante Liana. Nama saya Rosliana."

"Tante kenal... eh, maksud saya... eh," kata Alex terputus.

Tante Liana tersenyum samar. Matanya yang teduh mengamati kegelisahan yang merayapi diri lelaki muda itu.

Keringat membasahi kuduk Alex. Di garasi itu udara memang

pengap, masih ditambah hunjaman resah di dadanya. Dia kenal

papaku, pikir Alex. Tentu juga kenal Mama. Ya, kenalkah dia?

Tahukah dia di mana Mama sekarang? Maka rentetan pertanyaan

yang menuntut penyelesaian menyeruak di benak Alex.

Dia telah selesai memasang mur terakhir. Dia menatap Tante Liana. Di mata perempuan itu, dia menemukan kelembut

an, membuat jantungnya menggelepar. Kelembutan semacam

103

itu belum pernah dihadapinya. Kelembutan semacam ini hanya

mungkin datang dalam mimpi. Maka Alex merasa ludahnya seret untuk ditelan. Ya, mata itu menyimpan pesona yang sangat

memukau.

Ketika mereka duduk berhadapan di teras, Alex kian dilibat

benang-benang halus. Benang itu bernama nurani seorang ibu.

Rasanya sejuk. Rasanya nyaman. Beginikah tatapan seorang

mama? Selembut inikah tatapan seorang ibu kepada anaknya?

Itu pikiran Alex. Akan halnya mulut, tetap terkunci.

Seandainya mamaku yang duduk di situ, akankah dia menatapku tanpa berkedip? Ataukah, mamakukah dia ini? Bah, alangn

kah tololnya! Bagaimana mungkin dia mamaku! Jika benar dia

mamaku, mana mungkin dia mau datang ke rumah Papa! Bah,

pikiran apa yang hinggap di kepalaku ini? Pikiran apa? Ah, siapa

tahu? Bukankah kehidupan ini penuh misteri?

"Jadi, namamu Lexi?" kata Tante Liana kemudian.

"Ayo, diminum, Lexi."

Alex mengangkat gelas. Jari-jari tangannya terasa kejang. Setiap pertanyaan perempuan itu dijawabnya hampir-hampir tanpa disadari. Entah sudah berapa kalimat mereka bertukar tanda

tanya, tetapi Alex masih merasa sedang dalam mimpi. Seperti

sedang fly. Kira-kira seperti orang yang baru mengadakan perjalanan jauh dengan mobil, lalu setiba di tujuan merasa kaki agak

melayang dan kepala agak aneh rasanya. Ya, begitulah kira-kira.

"Kamu tinggal di gudang bengkel?" tanya Tante Liana selanjutnya.

"Apa sehat tinggal di situ?"

"'Kamarnya bersih," kata Alex.

104

"Betul-betul kamu tidak akan kembali ke rumah papamu?"

Alex cuma mengangguk.

"'Sejak muda, papamu itu memang agak aneh. Tante sendiri

tak pernah bisa mengetahui sifatnya yang sesungguhnya. Kami

satu sekolah, dulu." Dan Tante Liana mengamati wajah Alex Iebih

cermat.

"Kamu agak mirip dengan dia."

Lantas, pikir Alex, kenapa dia begitu membenciku?

"Besok kamu kerja?"

Besok hari Minggu. Maka Alex menggeleng.

"'Alex mau menemani Tante ke gereja?"

"'Saya tak pernah ke gereja."

"Menemani Tante. Tante tak punya teman. Mau, kan?"

Alex berpikir-pikir.

"Lexi pernah dipermandikan, bukan?"

"Saya tak tahu. Dan, saya juga tak peduli apakah pernah dipermandikan atau tidak."

"Tapi, tak ada salahnya ke gereja. Juga..."

"Juga tidak ada gunanya ke gereja," sahut Alex tak acuh.

Mata Tante Liana terbelalak. Tetapi, kemudian dia berkata,

"Mau kan menemani Tante?"

Mata perempuan ini, ah! Matanya alangkah lunak. Bibirnya

yang pucat, alangkah sepi. Tulang pipinya agak menoniol sehingga wajahnya yang lonjong kelihatan menyimpan derita.

Maka Alex mengangguk.

105

Pagi hari menjelang pukul sembilan, matahari menimpakan sin

narnya yang hangat. Kebaktian pertama telah berakhir. Alex baru

saja memarkirkan mobil di deretan panjang mobil-mobil yang Iebih dulu tiba. Ketika dia berjalan menuju pintu gereja, dia mulai

merasa kikuk. Semula kurang dirasakannya, tetapi kian lama kian

sadar bahwa mata banyak orang tertuju kepadanya.

Dia canggung. Tiap kali matanya bentrok dengan pandang

mata seseorang, ternyata orang itu sedang memperhatikannya.

Apakah lantaran aku berjalan dengan Tante Liana? Atau, apakah

orang-orang itu tahu bahwa ini pertama kalinya aku datang ke gereja? Atau, apakah sebenarnya mereka sedang mengagumi Tante

Liana yang cantik? Alex berpikir-pikir sambil mencoba memperhatikan Tante Liana. Dengan gaunnya yang panjang sampai ke

mata kaki, Tante Liana memang kelihatan anggun. Apalagi ditambah dengan sanggul yang agak tinggi sehingga lehernya yang

indah tampak menawan.

Dan, seperti disentakkan, tiba-tiba darah Alex tersirap. Matanya berbentrok pandang dengan Paul, abangJOice. Otomatis Alex

106

memperhatikan rombongan itu. Benar, ada Joice, mama, dan papanya. Darah Alex membilas-bilas. Lebih-Iebih ketika menerima

tatapan tajam mata Paul. Maka kecanggungannya tambah menjadi-jadi.

Rupanya Tante Liana bisa merasakan kekikukan Alex. Tetapi,

apa yang disangkanya tidak benar seratus persen. Oleh sebab itu

dia berkata,

"Tak usah ragu-ragu, Lexi. Di mata Tuhan, semua manusia

sama. Gereja memang seperti ajang pamer pakaian masa kini."

Baru Alex menyadari bahwa dia hanya mengenakan jins yang

biasa dikenakannya sehari-hari. Cuma, kali ini celana itu lebih

bersih, sebab semenjak dicuci belum pernah dipakai tiduran di

bawah mobil lagi. Jadi, karena pakaianku aku menjadi perhatian

orang tadi, pikirnya.

Tetapi, persoalannya bukan pakaian sekarang. Mata Joice menimbulkan persoalan baru. Mata itu sedang meliriknya. Bah, menikam sampai ulu hati. Galawan kekacawan di otak membuat Alex

tak bisa tenang duduk di bangkunya. Lagu-Iagu kebaktian tak

sepotong pun singgah di telinganya. Apalagi khotbahnya.l

Kenapa mereka tidak ke gereja HKBP? Bukankah mereka

orang Batak? Kenapa mereka ke gereja yang berbahasa Indonesia? Kenapa harus ke sini? Kenapa harus melihatku?

Joice masih tetap cantik. Bahkan, dalam enam bulan ini rasanya bertambah cantik. Tak tampak lagi sifat-sifat kekanakannya.

Ah, dulujuga dia tak pernah kekanak-kanakan. Dia palingdewasa

di antara teman-temannya yang sebaya. Apakah dia sudah naik

ke kelas tiga?

107

Suara orgel menyusup ke telinga, di celah-celah kor kebaktian.

Tante Liana khusuk mengikuti kebaktian. Alex tak sabar sebab

menganggap acara di situ terlampau bertele-tele. Udara panas,

ditambah lagi dengan suara pendeta yang melengking. Sebaiknya pendeta itu bersuara rendah saja agar bisa lebih berwibawa,

pikir Alex. Dia tidak melihat lagi di mana Joice dan keluarganya

berada. Dia tidak melihat di mana mereka mengambil tempat

duduk. Dia kepingin mencari, tetapi celingak-celinguk di dalam

gereja barangkali dipandang tidak baik oleh siapa pun.

Pendeta mengkhotbahkan Noah yang selamat karena patuh

kepada Tuhan.

"Begitu pulalah Saudara-saudara sekalian akan selamat pula

jika tidak terseret oleh kekotoran zaman ini," kata pendeta itu pula.

Ya, apakah akan terjadi banjir besar? Alex menanggapi dalam

hati.

Akhirnya acara bertele-tele itu selesai pula. Di luar gereja, di

antara kerumunan orang banyak, Alex dapat melihat tubuh lampai itu. Joice berjalan berombongan dengan mama dan papanya.

Gadis itu melangkah diam-diam di samping mamanya. Kepalanya menekuri tanah. Di pintu tadi, dia sempat melihat dari dekat

wajah Alex. Dia tidak mengira bahwa sebegitu besar perubahan

pada diri lelaki itu. Wajahnya agak cokelat, dan masih ditambah

dengan codet yang membuat wajahnya tampak kejam. Itukah

bekas tangan Paul? Maka refleks Joice melirik kepalan tangan

abangnya.

Muka Alex yang dulu tampan kini tak tampak lagi. Bagaimana

rasanya muka yang semula bagus lantas menjadi jelek? Apakah

108

membuat jiwanya tertekan? Apakah dia mengalami gangguan

kejiwaan? Siapa perempuan cantik temannya itu? Kabarnya dia

sudah diusir dari rumah papanya. Di rumah perempuan itukah

dia tinggal sekarang? Apakah perempuan itu yang merawatnya

ketika dia terluka dulu? Kalauya, tentu dia sangat berterima kasih

pada perempuan itu. Sudah sepantasnya dia tinggal di rumah

perempuan itu.

Joice duduk tanpa suara di samping mamanya sementara Paul

mengendarai mobil keluar dari deretan mobil-mobil yang masih

parkir.

Andai teman-teman melihatnya, pikir Joice lagi, takkan ada

yang menyangka wajah pemuda itu menjadi cacat. Bekas luka

itu bukan sekadar codet biasa. Pinggiran bekas luka itu kelihatan

hitam. Bisakah hilang cacat seperti itu? Dioperasi plastik mungkin

bisa. Tapi, apakah dia punya uang untuk biaya operasi? Ah, itu

sebabnya barangkali kenapa dia tinggal di rumah perempuan

itu. Kelihatannya perempuan itu kaya. Barangkali dia yang akan

membiayai operasi. Yang salah memang Bang Paul. Kenapa menjatuhkan tangan begitu keras padanya? Bagaimana kalau Bang

Paul sendiri mengalami hal semacam itu? Andai muka Bang Paul

cacat, ih, apakah pacarnya yang di Bandung masih mau dengannya? Tapi, apakah muka cacat harus menyebabkan seseorang kehilangan pacar? Bukankah codet tidak menghilangkan kenormalan seseorang?

Dia tak sekolah sekarang. Lantas, apa kerjanya? Padahal teman-teman sudah tamat. Tentu dia tak tahu aku sudah kelas tiga

sekarang. Malahan aku menempati kelas bekas kelasnya dulu.

109

Tadi dia melihatku. Matanya masih seperti dulu. Tak berani

memandang berlama-lama. Bahkan sekarang lebih tidak berani
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Mungkin karena ingat Bang Paul dan Papa menemaniku.

Atau memang karena dia rendah diri barangkali? Sebab, memandang orang lain pun dia tak berani. Ya, mungkin. Mungkin lantaran dia merasa wajahnya cacat.

Ketika tiba di rumah, Joice tetap memikirkan lelaki itu. Anehnya, tak ada lagi sisa-sisa kebenciannya yang dulu. Dia tak tahu

apakah dia kasihan kepada Alex. Yang jelas, dia merasa bahwa

perlakuan Alex terhadapnya telah impas dengan hukuman yang

diberikan Paul. Muka yang cacat, bagi seorang gadis memang

cukup mengerikan.

Hari itu Joice lebih pendiam dan biasanya. Ketika Linda meneleponnya, hampir saja dia bercerita bahwa baru saja bertemu

dengan Alex. Tetapi, masih bisa ditelannya kembali cerita itu. Dia

khawatir Linda akan mengubernya dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendetail. Padahal Joice ingin melupakan lelaki

itu. Melupakannya? Bah, kenapa memikirkan nasibnya? Kenapa

memikirkan apakah dia sudah bekerja atau belum?

Kenapa memikirkan sekolahnya yang terbengkalai? Bukankah

dia lelaki yang sudah merusak hidup Joice? Joice ingin melupakannya. Joice Pangaribuan memang berhasil melupakannya,

tetapi beberapa hari ini dia sempat diganggu bayangan wajah

lelaki itu.

110

Mobil meluncur ke arah Parung. Pada hari Minggu yang cerah

banyak kendaraan yang dipacu ke luar kota. Alex di belakang

setir sementara Tante Liana duduk di sampingnya. Hanya kepingin makan ikan mas panggang, harus berkendaraan jauh-jauh,

pikir Alex. Orang kaya memang aneh-aneh. Padahal toh bisa saja

menyuruh pelayan membeli ikan mas dan memasaknya sesuai

dengan seleranya. Untuk apa pergi jauh-jauh kalau hanya untuk

makan ikan mas?

ltu menurut Alex. Bagi Tante Liana, duduk di daerah perbukitan itulah yang lebih penting. lkan mas panggang cuma untuk

iseng-iseng. Dia menyukai angin semilir yang bertiup menggoyang daun-daunan. Kehijawan rumpun-rumpun, pondok-pondok

kecil di lereng bukit, jalan setapak yang bertangga-tangga, semua

menyita perhatiannya. Udara yang menyusup ke dalam dada terasa bersih dan nyaman.

Beberapa saat mereka cuma termangu. Di dangau lain, duduk

sekelompok orang, tetapi mereka tidak termangu-mangu. Suara

mereka terbawa angin dalam irama bising dan gembira. Sementara itu, Tante Liana masih juga menyekap lamunan. Entah apa

yang sedang dipikirkannya. Alex hampir kenyang sebab terlalu

banyak minum air kelapa muda.

Pelayan datang membawa pesanan ikan mas panggang mereka. Tante Liana makan lambat-lambat, membuat Alex canggung

sebab dia tidak bisa makan dengan gaya sopan kayak di restoran

besar. Lebih enak makan di restoran Cina. Boleh ribut dan serampangan. Bahkan boleh menyeruput sup. Tetapi, di depan Tante

Liana, terpaksa dia mengunyah dengan hati-hati. Barangkali dia

111

mengunyah tiga puluh tiga kali dalam satu suapan, seperti yang

diperintahkan gurunya sewaktu di sekolah dasar.

"'Kamu tak ingin sekolah kembali, Lexi?" tanya Tante Liana.

Alex tak menjawab. Dia tahu bahwa pertanyaan itu memang

tak memerlukan jawaban. Tadi juga sudah ditanyakan. Mungkin

Tante Liana memangagak linglung. Wah, perempuan secantik ini

kok linglung?

Alex meliriknya. Tante Liana sedang menyobek daging ikan mas.

""Om Burhan paling senang ikan mas," kata Tante Liana.

"Tapi,

dia sering ke luar negeri. Baru pulang dari Bandung, dia sudah

berangkat lagi ke Jepang. Di Jepang, mana bisa dia dapatkan ikan

mas macam ini?"

"'Saya dengar masakan ikan cara Jepang juga enak."

"Ya, enak. Tante juga pernah merasakannya. Tapi, suasana semacam ini, mana ada di sana? Matahari yang hangat, angin yang

lembut, pohon-pohon yang hijau. Om senang sekali ke sini. Kalau

dia ada di Jakarta, pasti dia sempatkan kemari."

Lalu Tante Liana bercerita mengenai kesenangan-kesenangan

suaminya. Om Burhan suka durian, katanya pula. Kalau sedang

musim durian, wah, rumah bau durian sepanjang hari. Mereka bertemu juga waktu musim durian. Waktu itu Om Burhan

membawa durian dalam oplet. Tante Liana duduk di depannya.

Waktu itu Jakarta belum seperti sekarang. Yang sama dengan

sekarang cuma orang duduk berimpitan di dalam oplet. Perempuan-perempuan pada waktu itu lebih pemalu dibandingkan

sekarang. Makanya walau bukan main pusingnya kepala Tante

Liana-gara-gara bau durian-tidak berani menegur Om Burhan.

Malahan Tante Liana bisa dibilang antidurian. Mau berterus te

112

rang, tak cukup keberaniannya. Sebenarnya dia ingin agar durian

itu disingkirkan dari dekat kakinya, tetapi mana berani!

Ditambah lagi bau keringat lelaki tua di sampingnya. Tante Liana mau menyuruh sopir agar menghentikan oplet. Tetapi belum

sempat keluar suaranya, tiba-tiba dia muntah. Penumpang yang

lain panik. Om Burhan, yang ketika itu tentu saja belum dikenal

Tante Liana, berteriak agar oplet berhenti. Tante Liana turun sempoyongan. Om Burhan juga turun, berniat menolongnya. Sebab,

dia melihat muka Tante Liana begitu pucat mirip kertas tik.

"Nyonya hamil?" tanya Om Burhan. Wah, tentu saja darah Tante Liana mendidih. Hilang peningnya. Kurang ajar betul laki-Iaki

ini. Sudah membuat perut mual, masih pula menuduhnya hamil.

Padahal, pada waktu itu, Tante Liana masih orisinal dua puluh

empat karat. Maka meledak kemarahan Tante Liana.

"Bangsat! Itu, durianmu yang bikin kepalaku pusing!" Sebenarnya Tante Liana mau mengeluarkan makian-makian yang paling sadis, tetapi ternyata cuma kata "bangsat" yang keluar.

Kemarahan Tante Liana kendor karena Om Burhan terbengong-bengong. Apalagi kemudian berkata,

"Kalau ini yang bikin gara-gara, biar saya buang." Dan, durian

itu masuk ke got. Lalu Om Burhan mengantarkan Tante Liana

pulang.

"Romantis ya?" kata Tante Liana pada akhir ceritanya.

Alex yang selamanya menjadi pendengar yang baik, mengangguk khidmat.

Masih ada tambahan cerita dari Tante Liana, tetapi masih juga

tentang Om Burhan. Akhirnya dia bertanya,

113

"Lexi ngantuk?"

"Ah, tidak, tidak," kata Alex. Padahal sebenarnya dia memang

mengantuk. Perut kenyang dibelai angin sepoi membuat kelopak

mata berat.

Di dalam kendaraan, rasa mengantuk itu hilang. Suara mesin

selamanya membuat Alex terjaga. Getaran mesin mobil yang paling halus pun membuat matanya bersinar.

Alangkah bahagia menjadi Om Burhan, pikirnya. Dari cerita

Tante Liana tadi, dia memperoleh kesan bahwa lelaki itu hebat,

mengagumkan, dan sangat dicintai istrinya.

Teriakan Om Bun Hwa mengatasi hiruk-pikuk di bengkel itu. Alex

bertukar pandang dengan Sunliang.

"'Bangkit gilanya lagi," kata Sunliang.

"Entah apa lagi yang salah."

"Nanti kan ketahuan," kata Alex.

"Ayo, kita beresin mobil ini

sebelum dia kontrol kemari."

Sunliang kembali menyuruk ke bawah mobil. Samar-samar

terdengar suara Om Bun Hwa mendamprat Mukiyo. Mukiyo memang sering membuat kesalahan. Dia kurang teliti. Padahal, ketelitian yang paling penting di sini. Seperti yang dipesankan Om

Bun Hwa berkali-kali, kerja di bengkel dibutuhkan keahlian dan

ketelitian. Tetapi, bagi Om Bun Hwa ternyata ketelitian yang dinomorsatukan. Keahlian cuma nomor dua. Biarpun keahlian setinggi langit, kalau tidak teliti tidak ada gunanya.

114

"Lexiii! Siniii!" teriak Om Bun Hwa membahana.

"Na, aku lagi yang ketimpa tainya," kata Alex sembari meninggalkan pekerjaannya.

Sunliang tertawa di kolong mobil.

"Ya, Om," kata Alex begitu sampai di dekat Om Bun Hwa.

"Kamu bantu Mukiyo memberesi mobil ini. Sebelum jam tiga harus sudah selesal!" kata Om Bun Hwa sambil bersungut-sungut pergi.

Alex memeriksa mesin. Mukiyo berdiri di sampingnya.

"'Ada apa sih?"

"Ah, nggak tahulah. Rasanya tadi sudah beres semua, tapi kok

masih pincang mesinnya," kata Mukiyo terbata-bata.

Alex membuka kembali platina.

"Habis, kamu melamun saja sih," kata Alex.

"Kepalaku mumet nih, Lex. Banyak pikiran."

"'Mikirin apa?"

"'Macam-macam. Rumahku digusur."

"'Perumahan liar?"

"Ah, mana aku tahu perumahan liar segala macam? Aku cuma

kontrak di situ. Sudali telanjur aku kontrak dua tahun. Yang punya rumah tak mau mengembalikan uangku. Bajingan!"

"Lantas?" tanya Alex sembari menyetel kerenggangan platina.

"Ya kegusur."

"Pindah ke mana?"

"'Nah, itu yang memusingkan kepalaku. Karena aku bukan pemilik rumah itu, aku tak dapat tanah gantinya. Terpaksa harus

cari rumah lain lagi. Padahal, aku tak punya duit. Mana istriku

mau melahirkan. Wah, repot!"

115

"'Sudah dekat bulannya?"

"Ya, mungkin dalam bulan ini juga. Padahal penggusuran seminggu lagi. Coba, siapa orangnya yang tidak pusing menghadapi persoalan kayak begitu?"

Alex memeriksa karburator, kemudian mobil itu dicoba. Ternyata baik.

Mukiyo menghela napas panjang.

Alex kembali membantu Sunliang.

"Apa soalnya?" tanya Sunliang.

"Bini Mukiyo mau beranak."

"'Lho, tapi baru saja melahirkan. Apa manusia bisa beranak

dua kali setahun?"

"Ah, bego! Dia melahirkan kan tahun yang lalu!"

""Setahun yang lalu? Wah. tak terasa waktu berjalan. Kau sudah tiga bulan di bengkel ini. Aku hampir dua tahun. Tambah tua

juga kita."

"Kapan kau kawin?" tanya Alex.

"Kawin? Kepinginnya sih secepatnya."

"'Bagaimana Diana?"

"Sudah seminggu aku tak ketemu."

""Wah, lama."

""Iya. Rinduku sudah ke ubun-ubun." Sebenarnya mobil itu sudah selesai mereka perbaiki, tetapi Sunliang masih pura-pura

mengotak-atik onderdil di kolong. Alex tahu kebiasaan ini. Kalau

sedang dirundung rindu, Sunliang memang biasa melamun di

kolong mobil yang didongkrak. Lalu Alex pun ikut menyuruk ke

kolong mobil.

116

"He, beberapa hari ini kau sering pergi dengan Nyonya Burhan

ya?" kata Sunliang.

"Kok tahu?"

"Aku pernah lihat. Soalnya, aku curiga melihat kau. Beberapa

soresetdah bengkeltutup,kau cepavcepatmandi hu bukan

kebiasaan kau. Makanya kuikuti kau. Rupanya ke rumah Nyonya

Burhan.VVahV

"Bahngan!Ngapah1kaumengunehaku?

"Habis, kau tak pernah cerita. Asyik dia?"

"Asyik apanya?"

"Dia tante girangya?"

"'Husss! Tante girang kepalamu! Dia orang baik-baik."

"prabHangdthakbmk?

"DmbMGanegmng"

'Ah.yangbenaraa"

"Sungguh mati!"

"Dmtakpunyaanak?

"hAenurutcentanya,duh1adasatu,tapinneninggal"

"Nah, itulah. Kenapa cuma satu dibuat? Kalau aku, inginnya

punya anak banyak. Mati satu masih ada sisa."

"Melahirkan yang satu itu juga sulit dia. Harus operasi segala.

Caesar atau apa namanya."

"Diacentasanapaikesoaluu?"

"'lya. Dia gampang sedih. Ingat anaknya, dia sedih. Ingat suaminya, dia sedih."

"Apakenasumnuwa?

"Pengusaha."

117
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sayangya, kaya tapi tak punya anak."

Beberapa saat mereka diam. Suara-suara besi beradu berdentang keras. Bengkel itu bising, tetapi kedua orang muda itu tetap

berbaring tenang-tenang di kolong mobil. Bau oli mengambang.

Sengit diterima hidung.

""Nanti sore kau ke rumahnya lagi?" tanya Sunliang.

"Hm, hm," gumam Alex.

"Ke mana saja sih kalian pergi?"

"Kadang-kadang di rumah saja."

"'Di rumah? Ah,yang benar, Lex. Ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapain. Sering mendengarkan musik. Dia punya banyak pelat lagu klasik."

""Itu saja?"

""Ya, itu saja. Lantas, kaupikir ngapain?"

""Dia cantik. Suaminya jarang di rumah. Lantas, ngapain lagi?"

"Hah!" sergah Alex.

"Kalau makan jangan diam-diam saja dong."

"Ah, tai! Otakmu kotor!" kata Alex. Lalu dia merayap keluar

dari kolong mobil.

Sore itu sulit mencari tempat parkir di Pasar Baru. Alex sudah

menyusuri jalan yang sempit itu, tetapi tak ditemukannya tempat

luang untuk Volvo yang dikendarainya. Sampai di ujung jalan

tetap penuh. Terpaksa mobil diparkir jauh dari toko yang dituju

Tante Liana.

118

"Tak apalah," kata Tante Liana.

"Hitung-hitung melemaskan

urat-urat kaki."

Alex membisu. Langkahnya terus merendengi Tante Liana.

Tante Liana memegang tangan Alex sebab orang-orang lalulalang di sepanjang trotoar, mirip situasi di Jakarta Fair.

Tante Liana membeli kosmetika. Alex seperti kerbau yang dituntun, berjalan mengekor Tante Liana dari toko yang satu ke

toko yang lain. Sesungguhnya dia merasa sangat canggung memasuki toko-toko yang lampunya gemerlapan itu. Apalagi masuk

ke toko yang hanya menyediakan perlengkapan perempuan. Dia

merasa dirinya jorok berada di celah-celah para perempuan yang

menguarkan wangi parfum. juga mendesirkan pakaian-pakaian

mahal.

Maka dia akan lebih canggung lagi andai tahu bahwa Joice

dan rombongannya juga berada di tengah keramaian itu. Untunglah dia tidak melihat Joice. Tetapi, Joice dan konco-konconya

melihat Alex. Linda lebih dulu menggamit temannya.

"Itu kan Alex?" katanya.

Kelima orang gadis itu berhenti melangkah.

"Itu bukan mamanya," kata Rita.

"'Barangkali dia jadi gigolo," kata Linda.

"Itu tante girang?"

"Mana gua tahu?"

"Cantikya?"

"Sanggul kayak begitu pernah gua lihat di majalah Femina."

"Kayak Ratu Sirikit."

Cadis-gadis itu berkicau. Hanya Joice yang tak mengeluarkan

sepatah kata pun.

119

Serombongan lelaki muda berjalan seperti tak melihat kelompok gadis itu. Dua kelompok bertabrakan. Gadis-gadis itu menjerit dan berusaha menyingkir. Rombongan anak muda itu berjalan

terus seakan tidak terjadi apa-apa. Mereka meninggalkan begitu

saja para gadis yang misuh-misuh sebab ada tangan jail yang

sempat meraba dada mereka.

"jadi enggak belanjanya?" tanya Joice.

"'Kenapa enggak jadi?" kata teman-temannya.

Mereka ke tempat itu mau membeli kado. Ada bu guru mereka

yang akan menikah.

Alex sudah lenyap di antara orang banyak. Di toko, gadis-gadis

itu berdebat lagi. Padahal tadi sudah diputuskan bahwa mereka

akan membeli satu setel cangkir sebagai kado untuk bu guru.

Tetapi, Rita berkata, '"Barangkali sudah banyak yang memberikan

kado cangkir. Lebih baik kita pilih barang yang istimewa. Tidak

terlalu mahal, tapi unik."

"Apa? Apa? Apa?" tanya teman-temannya.

"Kita pikirkan dulu."

Lantas mereka memperhatikan barang-barang yang terpajang di etalase.

"Atau rice cooker itu saja?" kata Joice.

Teman-temannya memperhatikan faktur.

"Hiii, harganya merk!" kata Linda.

"Atau, Intex saja?" kata seseorang.

"Ah, gila lu!"

"Kalau dia hamil, itu kan nggak diperlukan lagi," kata Rita.

Mereka tertawa-tawa sambil menyusuri etalase.

120

"Eh, Alex kabarnya nggak sekolah. Kenapa ya?" kata Linda tibatiba.

"Tau! Teman-temannya yang dulu juga tak ketahuan juntrungannya," kata Rita.

"Kulman... gua dengar kerja di perusahaan omnya di Priok,"

kata gadis yang lain.

"'Aaah, daripada repot-repot, beli cangkir saja deh," kata Joice

tak sabar.

"Iya, beli cangkir saja. Sudah diputuskan tadi, kok malah diubah," kata temannya.

Maka mereka membeli satu set cangkir yang bergambar bunga, dari bahan keramik halus.

"Kalau lu kawin, kita kasi kado yang lebih hebat," kata Linda

kepada Rita.

"'Huuu, mikirin kawin. SMA saja belum beres!" balik Rita.

Lagu-lagu tumpang-tindih masuk ke telinga. Lagu-lagu dari tokotoko yang memasang loudspeaker sekeras-kerasnya. Suara bising

itu masuk ke mobil-mobil, tetapi Alex mana mau peduli? Dia sudah memasukkan persneling dua. Mobil meluncur semakin jauh

meninggalkan Pasar Baru.

"Ke mana sekarang, Tante?" tanya Alex.

"Pulang."

Lampu-lampu di jalan sudah mulai menyala. Tante Liana bersenandung kecil. Dia senang karena besok suaminya pulang.

121

"Besok kamu mau ikut ke airport, Lexi?"

"'Saya kerja, Tante."

"Sore?"

"'Pesawatnya mendarat sore?"

""Ya. Lexi ikut ya, menjemput Om."

Alex tak menjawab.

"Besok Tante singgahi. Oke?"

Alex tetap membisu. Tetapi, seperti biasanya, diam berarti setuju. Alex takkan sanggup menolak permintaan Tante Liana. Ada

semacam kenyamanan di hatinya berada di dekat perempuan

itu. Rasanya, waswas yang berkepanjangan selama ini bisa reda

manakala dia berhadapan dengan mata Tante Liana. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Jangan mengira bahwa Tante Liana seperti

gambaran seorang perempuan di novel-novel picisan. Andaipun

gairah yang timbul, tentu akan lain sekali sifat hubungan mereka.

Bagi Alex, perempuan itu menyebabkan ketidakpastian yang menyun gkupnya tersibak sedikit demi sedikit. Keredaan rasa waswas

itu bagaikan keredaan tangis anak kecil yang sekian lama ditinggalkan ibunya.

"Lexi, kamu senang ini?" tanya Tante Liana sambil memasang

pelat.

Alex membaca sampul pelat itu. F. Chopin, Grande Valse Brillante, opus 18, dan opus yang lain-lain.

Lalu keduanya diam. Di ruangan yang hening itu hanya ada

suara musik yang diantarkan oleh salon stereo. Alex menyandarkan kepalanya ke kursi yang empuk itu. Alangkah nyaman di sini,

pikirnya. Rumah sepi milik seorang ibu. Berbeda sekali dengan

122

rumah Papa. Kendati sama-sama diperlengkapi dengan furniture

mahal, suasana sejuk tidak pernah dijumpainya di rumah itu.

Di sana hanya ada kepengapan. Pengap dalam rumah yang berair-condition. Di sini, di rumah Tante Liana, bahkan macan yang

diawetkan di pojok ruangan pun tampak ramah.

"'Kamu tak kepingin ketemu mama kamu, Lexi?" tiba-tiba Tante Liana bertanya di sela-sela alunan musik.

"Ya? Ah, saya tak tahu," kata Alex terbata-bata.

"Tante kenal mama kamu," kata Tante Liana. Suaranya datar,

tanpa nada menghukum, tanpa nada mempersalahkan perempuan yang selama ini hanya menerima kutuk itu.

"Di mana dia sekarang?" tanya Alex. Suaranya agak memburu

sebab napasnya agak terengah.

"Papamu tak pernah menceritakannya?"

Alex menggeleng kuat-kuat.

"Kalau begitu, Tante pun tak boleh mengatakannya. Seharusnya papamu yang menceritakan segalanya dengan jujur. Jadi, bukan Tante yang harus bercerita. Sebab, bagaimanapun juga Tante

hanya orang luar. Tak boleh Tante mengurusi urusan kalian."

"Tapi, Tante tahu di mana dia sekarang?"

Tante Liana tersenyum lunak.

"Lexi mau ketemu dengan dia?"

"Ah!" Alex tertunduk. Kepalanya dirasa berat. Inginkah aku

bertemu dengan perempuan yang tak pernah mengingatku?Jika

dia memang mencintaiku, tentulah dia akan mencariku. Paling

tidak, dia akan mencari kabar apakah aku masih hidup atau sudah mati.

123

Alex bergulat dengan kata hatinya sendiri. Akhirnya, dendamlah yang keluar sebagai pemenang. Maka katanya,

"Buat apa?"

Kelopak mata Tante Liana bergerak sekejap, kemudian kembali menatap nanap wajah Alex.

"Berapa umurmu sekarang, Lex?"

"'Dua puluh satu," jawab Alex.

"Itu kalau memang betul saya

lahir seperti yang tertulis dalam akte kelahiran saya."

"'Dua puluh satu," ulang Tante Liana pelan-pelan.

"Alangkah

cepatnya waktu berjalan," lanjutnya. Dan, dia lebih meneliti gurat-gurat pada wajah lelaki muda itu. Wajah yang mendahului

usia yang sebenarnya. Wajah yang bagai menyimpan puluhan tahun pengalaman orang biasa. Pada usia dua puluh satu, anak lelaki lain masih dilonjak-lonjakkan oleh kegembiraan masa muda.

Masih dibakar nyala semangat bersih dari kegetiran terhadap

hidup. Tetapi, lelaki ini seolah disentakkan dari masa mudanya.

Apakah bekas luka itu yang menyebabkannya? Ataukah matanya

yang kelihatan menyimpan keletihan itu? Ya, matanyalah. Mata

itu seolah menyimpan keletihan. Keletihan seorang lelaki yang

porak-poranda hidupnya.

"Papamu tahu di mana mama kamu berada sekarang ini," kata

Tante Liana kemudian.

"000," kata Alex. Bukan main datarnya suara itu. Maka Tante

Liana segera tahu bahwa pembicaraan tentang mama Alex ini harus ditutup. Lalu dia menceritakan masa mudanya sendiri. Waktu

itu di Jakarta masih ada trem yang loncengnya berisik sekali. Ketika itu kendaraan belum sebanyak sekarang. Lalu lintas sering macet kendati pun pemerintah kota sudah memperlebarjalan-jalan.

124

Perjalanan ke Halim terhambat hampir setengah jam. Tetapi,

mendekati Halim sudah lancar kembali. Pesawat dari Tokyo belum mendarat.

Mereka minum di ruang tunggu. Suara attention-attention sudah berkali-kali terdengar. Suara yang diperuntukkan bagi para

penumpang yang akan berangkat. Pengumuman pesawat yang

datang dari Tokyo belum juga terdengar.

Tante Liana duduk tenang-tenang. Tak tampak tanda-tanda

bahwa dia sedang menunggu seseorang. Tidak seperti tingkah

kebiasaan orang yang sedang menunggu. Wajah Tante Liana tetap teduh. Cuma matanya sesekali melayang ke lapangan.

"Tante pernah menceritakan bagaimana Om Burhan makan durian di Bangkok sampai terpaksa dirawat dokter?" tanya Tante Liana.

Alex menggeleng.

"Muangthai terkenal duriannya. Nah, Om tak bisa menahan

diri. Dia beli tiga buah. Di sini, makan tiga buah memang belum

apa-apa. Tapi, di Muangthai, Om betul-betul dibikin takluk."

"Tante sendiri tak suka durian?"

""Dulu bukan hanya tak suka. Bahkan anti. Tapi, lama-lama ya

terpaksa menyesuaikan diri. Cinta membuat kita harus saling menyesuaikan diri. Mula-mula Om mengurangi makan durian. Tak

pernah Om membawa pulang durian. Tapi, orang makan durian

toh tidak bisa menyembunyikan baunya. Nah, lama-lama Tante

biasa membaui durian. Masa gara-gara durian harus pisah tidur?

Tak pantas, bukan? Karena cinta, bau durian tak lagi membuat

Tante pening."

125
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tante Liana tertawa riang. Matanya mengerjap seperti bintang.

Pesawat JAL mendarat. Tante Liana berdiri di dekat pagar. Dia

melambai-lambaikan tangan. Dibalas lambaian oleh seorang lelaki berbadan tegap.

Lalu mereka berpelukan. Nah, ini baru seperti film, pikir Alex.

Dia tegak tanpa suara, menyaksikan pertemuan suami-istri itu.

Dan, rasa sepi menyelinap di hatinya. Di tengah keramaian itu dia

merasa dirinya terasing. Menyaksikan pelukan di sana, dekapan

di sini, dia semakin merasa tersudut dalam kemelut kesendiriannya. Tetapi, itu tak berlangsung lama sebab kemudian Tante

Liana teringat kehadiran Alex.

"Sini, Lex!" panggilnya.

Alex mendekat dengan langkah ragu-ragu. Tatapan Om Burhan tajam menyeruak. Tak jelas diterima telinga Alex apa yang

dikatakan Tante Liana kepada suaminya. Alex canggung berada di

bawah hunjaman mata lelaki bertubuh besar itu.

Om Burhan tersenyum, dan hunjaman itu pun mereda. Bahkan akhirnya berganti tatapan yang lunak. Mereka berjabat tangan.

"'Selama kau pergi, dia menemaniku." kata Tante Liana.

Om Burhan cuma mengangguk-angguk. Dia merangkul bahu

istrinya, dan kemudian mereka berjalan keluar. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Alex mengangkat koper-koper dan memasukkan ke bagasi mobil.

** :'c

126

Om Bun Hwa memperhatikan Volvo yang masuk ke halaman

bengkelnya. Dua orang berada dalam mobil itu, yaitu Tante Liana

dan suaminya. Seorang montir menyambut mobil itu, menanyakan kerusakan, tetapi Tante Liana menggeleng. Dia malah menanyakan Lexi.

Om Bun Hwa mendekat.

"Mencari Lexi?" tanyanya.

"O, dia tugas ke luar kota."

"Ke luar kota? Ah, kok nggak bilang-bilang?" kata Tante Liana

lemah.

"'Berapa lama?" tanya Om Burhan.

"Seminggu. Tiga hari sudah dia pergi. Ada keperluan penting?"

"0, tak terlalu penting. Cuma, sudah lima hari dia tidak ke rumah. Saya kira sakit," kata Tante Liana.

"Biasanya, paling lama tiga

hari dia sudah ke rumah."

"'Dia dipinjam perusahaan asembling motor. Mengetes motor

yang akan dipasarkan tahun depan. Lumayan juga bayarannya.

Itu sebabnya saya suruh dia berangkat. Cuma mengadakan perjalanan, dan mencatat gangguan pada mesin selama perjalanan

pulang-pergi ke Surabaya."

Tante Liana mengangguk. Om Burhan mengetuk-ngetuk setir.

""Ada pesan?" kata Om Bun Hwa.

"Oh, tidak. Cuma, kalau dia sudah datang, tolong disampaikan

bahwa tantenya mencarinya. Dia akan tahu."

Kemudian Om Burhan memundurkan mobil, keluar dari halaman bengkel. Sejenak Tante Liana memperhatikan corengmoreng minyak pelumas kotor di dinding bengkel. Juga memperhatikan montir-montir yang berpakaian dekil.

127

"Jadi, dia anaknya Zus Elsa?" tanya Om Burhan.

"'Ya. Tapi, dia sama sekali tak sempat mengenali mamanya."

Tante Liana menatap lurus ke depan. Kendaraan-kendaraan berpacu di Bypass. Om Burhan menyelipkan rokok ke bibirnya.

"Anak

itu mengalami komplikasi jiwa," lanjut Tante Liana.

"Ya, menurut penglihatanku juga begitu. Dia tak pernah berani memandang mata orang lebih dari lima detik."

"Papanya yang salah. Philip memang keterlaluan."

"Kudengar bisnis Philip kacau sekarang."

"Ya."

"'Dia memang terkenal keras."

"Tapi, anaknya yang tak berdosa jadi korban."

"Zus Elsa juga salah. Kenapa bukan dia yang mengurus anak

itu?"

"Ah, mana dia berani! Kau tahu sendiri, dia sangat lemah."

"Lemah apa! Nyatanya sanggup meninggalkan suaminya, pergi dengan laki-laki lain."

"'Kau tak tahu kejadian yang sebenarnya, Bur."

"'Kan kau yang bilang? Dia lari, kawin dengan laki-laki, meninggalkan suaminya."

"Aku ikut menghasutnya."

"Bah! Kau?"

Tante Liana membisu. Om Burhan meliriknya. Di sudut mata

perempuan itu dia melihat air bening tergenang.

"'Rupanya ada yang belum kauceritakan," kata Om Burhan.

Tante Liana hanya menghela napas. Lama kemudian dia baru

berkata,

128

"Anak itu menjadi korban kemelut yang diciptakan orangorang tua. Kalau kaulihat bagaimana dia dulu, kau tentunya sepakat denganku, bahwa anak itu pantas dikasihani. Dia hidup

dengan perasaan bahwa tak seorang pun mencintainya. Hidup

tanpa bayangan cinta."

Mesin mobil mendengung. Kecepatan mobil itu lebih dari delapan puluh kilometer per jam. Om Burhan melirik istrinya lagi.

Tante Liana sedang memandang bangunan-bangunan yang berlari cepat ke arah belakang. Tetapi, yang tampak hanya bayangbayang baur.

129

alex dan temannya, Karim, dari perusahaan asembling motor, baru saja meninggalkan Tasikmalaya. Mereka pergi

hanya berdua. Masing-masing mengendarai motor 250 cc. Pada

bagian belakang mereka, terikat ransel berisi pakaian. Perjalanan

masih jauh. Dari Jakarta mereka melewati Bandung, menyusuri

jalan-jalan yang membelah Jawa Barat: Ujungberung, Cicalengka, Carut, lalu bermalam di Tasikmalaya.

Di sini mereka memeriksa motor mereka. Lalu mencatat kondisi mesinnya. Dengan balutan jaket pada tubuh dan helm di

kepala, mereka tak merasakan tamparan angin. Dari Tasikmalaya

mereka menempuh jalan menuju utara. Tetapi, di mana pun keadaan hampir serupa. Di kiri-kanan terhampar sawah. Gunung

seperti menghadang di depan.

Tasikmalaya dan Ciamis tertinggal di belakang. Sekarang mereka menuju Cirebon. Inilah kota asal Kulman, pikir Alex. Mereka

hanya minum dan makan sebentar, kemudian bertolak kembali

menuju arah timur. Mereka berpacu menanggulangi edaran ma

tahari. Sebelum malam hari tiba, mereka harus sudah berada di

130

E-Booh by :yauqy_arr

Semarang. Maka mereka hanya melintas saja di Brebes, Tegal,

Pemalang, Pekalongan, Batang, dan Kendal. Persetan lubang di

jalan. Persetan tikungan maut. Alex terus menancap gas dalamdalam, membuat motor bersilinder 250 cc itu melayang di jalan.

Tambah mendengung suara mesin, tambah bergairah si pengendara. Karim mengikuti Alex dengan keahliannya sebagai pengetes motor.

Mereka tiba di Semarang. Rupanya Karim sudah biasa di kota

ini. Kini dia yang memimpin di depan. Jalan-jalan di kota ini

semrawut. Lubang-lubangnya, wah, minta ampun. Masih ditambah lagi dengan tukang becak yang seenaknya membawa becak.

Sungguh-sungguh membuat kota menjadi tidak menyenangkan.

Alex kepingin secepatnya tiba di penginapan. Karim membawanya ke hotel.

Sesaat Alex memperhatikan bentuk bangunan yang tidak mirip hotel itu. Lebih menyerupai rumah yang tak terurus. Pada

temboknya banyak kapur yang sudah terkelupas. Hanya plang namanya saja yang menandakan bahwa bangunan itu sebuah hotel.

Di depan hotel banyak becak mangkal. Alex ingat, jalan yang

terbentang di muka hotel itu bernama Jalan Ciptomangunkusumo. Seperti nama rumah sakit di Jakarta. Gampang mengingatnya. Dan, hotel itu sendiri mengingatkan Alex pada laut. Bukan

lantaran hotel itu bercat biru muda, melainkan lantaran kehidupan di situ mirip kehidupan di pelabuhan: berisik!

Alex heran, kenapa Karim memilih hotel yang bising begini.

Tetapi, Karim hanya tersenyum sambil memberikan kunci ka

mar Alex.

131

"'Lho, untuk apa menyewa dua kamar?" tanya Alex. Karim menyeringai. Ciginya yang cokelat karena nikotin mengintip. Dia

mengangkat ranselnya dan membawanya ke kamar. Alex pun ma

suk ke kamarnya.

Ada tiga dipan di kamar itu. Bah, apa-apaan ini? Kenapa harus

memboroskan uang untuk menyewa dua kamar padahal tempat

tidur berlebihan di sini? pikir Alex.

Alex meletakkan ranselnya di meja reyot. Dia menggelenggeleng. Di luarterdengar teriakan perempuan, disusul suara cekakakan lelaki. Hotel brengsek! Bagaimana bisa tidur nyenyak kalau

semalaman sebising ini?

Karim mengintai di pintu kamar.

"Kalau mau mandi, di sana kamar mandinya," katanya. Alex

diam saja. Dia mendongkol. Inikah hotel yang dipuji-puji Karim

kemarin itu? Kamar mandi pun agak jauh dari kamar. Harus berjalan lewat pelataran baru sampai di kamar mandi. Dan, perempuan-perempuan berlomba mengintip di sini.

Hotel itu juga tak menyediakan makanan. Hanya kopi yang

menyerupai rendaman arang yang disuguhkan. Makan terpaksa

pergi ke warung. Padahal hujan gerimis mulai turun. Ah!

Sepulang dari restoran, Karim berkata,

"Kalau mau pijat, panggil saja perempuan-perempuan itu."

"Ha?"

'"Atau kalau kau mau seterusnya, juga bisa. Semua perempuan

itu bisa dipakai."

132

Alex melongo.

"Jadi, ini rumah bordil?" katanya terbata-bata.

"'Husss! Ini hotel yang terbaik."

Lalu Karim berjalan ke arah perempuan-perempuan yang duduk mengelompok. Dia berbicara dengan mereka, dan tertawatawa. Alex menyendiri di kamarnya. Tak lama kemudian Karim

mengetuk pintu kamarnya. Alex malas membukakannya.

"Lex, aku tidur," kata Karim.

"Hm," dengus Alex.

Penerangan di kamar itu barangkali hanya sepuluh watt. Atau

barangkali spanning listriknya memang rendah.

Alex menatap langit-Iangit. Langit-langit itu kotor oleh sarang

laba-laba. Terdengar ketukan di pintu.

"Siapa?" tanya Alex.

Tak ada jawaban, tetapi seseorang masih terus mengetuk di

luar pintu. Dengan jengkel Alex bangkit dan membuka pintu. Di

depan pintu, tegak seorang perempuan muda. Dia berkata,

"Teman Mas bilang, Mas kepingin dipijit."

"Ya, kepingin. Tapi, tapi "

Perempuan itu tersenyum. Dia yakin bahwa senyumannya

bisa membuat kecantikannya kian menyala. Hidung perempuan

itu mirip hidung Tanty Yosepha. Cuma, dia ini hitam manis.

"Saya perlu tukang pijat."

"Saya bisa mijit," kata perempuan itu. Lalu dia mendorong

tubuh Alex memasuki kamar. Dia pula yang menutup pintu. Dan

bersandar di pintu dengan sikap menantang.

Alex memperhatikan tubuh perempuan itu. Dadanya besar,

133

pinggangnya genting, pinggulnya selebar dadanya. Ini bentuk

yang bagus. Riak mulai menyumpal tenggorokan Alex. Lebihlebih setelah perempuan itu mendekatinya.

"'Buka bajunya, Mas, biar saya pijit," katanya.

Alex terbengong-bengong, tetapi dia menurut. Dia duduk di

pinggir dipan. Perempuan itu duduk di sampingnya dan memijat

bahu Alex. Wah, telapak tangannya halus. Parfumnya lumayan.

Entah Avon atau Brut.

Perempuan itu tegak bersitumpu pada lututnya. Dia memijat

dari arah belakang punggungAlex. Tubuhnya rapat menempel di

punggung Alex. Bukan itu saja. Selain memijat bahu lelaki itu, dia

juga merapatkan mukanya hingga pipinya bergesekan dengan

pipi Alex. Alex merasa seluruh jaringan darahnya kejang.

Pupur perempuan itu wangi. Tenggorokan Alex sesak, dada

berdebur-debur. Lalu, entah bagaimana mula kejadiannya, Alex

sudah terbaring dan perempuan itu menciuminya. Pandangan

Alex nanar. Napasnya berat manakala melihat perempuan itu

membuka pakaian. Dada perempuan itu memang besar dan menantang. Pinggangnya memang ramping. Tetapi, pantatnya tipis.

Beginilah tubuh perempuan, pikirAlex.

Mereka bergumul. Darah Alex menjilam-jilam. Otot-ototnya

kejang. Wajah perempuan itu merah membakar. Napasnya memburu. Baginya, Alex bukan sekadar penyewa. Lebih dari itu, dia

memang menginginkan. Kendatipun lekuk-lekuk tubuhnya bisa disewa, tetap saja dia menyimpan kehausan terhadap lelaki yang disukainya. Dan, menghadapi kekikukan lelaki itu, dia tambah berse

mangat. Namun, saat akan berlangsung, perempuan itu terenyak.

134

"Eh, kenapa? Kenapa? Kenapa?"

Alex mengeluh.

"Nggak apa-apa. Nanti tentu bisa," hibur perempuan itu.

Untuk beberapa saat Alex mencoba meredakan jalan napas

yang tidak beraturan. Perempuan itu kembali mengelus-elusnya,
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha membangkitkan gairah lelaki itu lagi. Perempuan itu

menciumi seluruh tubuh Alex hingga dia merasa tiba saatnya

mereka melakukannya, tetapi kesudahannya sama saja.

Malu, kecewa, rusuh, segalanya bercampur-aduk dalam diri

Alex. Lalu dia merentak bangun, dan dengan sempoyongan dia

mengenakan pakaian.

"Aku tak bisa!" geramnya. Lalu dia membuka pintu dengan

kasar dan membantingnya kuat-kuat. Hotel itu terguncang. Alex

tak peduli. Dia melangkah seperti anjing yang sedang diuber,

meninggalkan hotel itu. Perempuan itu terpana. Cepat-cepat dia

mengenakan bajunya. Dia mengetuk karmar Karim dan menceritakan perihal Alex.

Karim keluar dengan pakaian masih belum rapi.

"'Kenapa? Kenapa? Kenapa?" bentaknya.

"Pasti kamu tak pandai melayaninya!"

"Tidak!" kata perempuan itu hampir menangis.

"Dia marah."

"Iya, dia marah. Tapi, kenapa?"

Perempuan itu tak menjawab. Dia tertunduk.

"Saya sudah bilang, kamu harus melayaninya sebaik-baiknya,"

kata Karim.

"'Saya sudah berusaha." kata perempuan itu perlahan.

""Tapi, kenapa dia marah? Brengsek semua!" kata Karim.

135

Lalu dia membayar perempuan yang dipakainya, juga membayar perempuan yang dipakai Alex. Tetapi, perempuan itu menolak. Karim tercengang.

"Kami belum sempat apa-apa," kata perempuan itu hampir

tak terdengar.

Karim meneliti wajah perempuan itu. Dia menemukan lipstik

yang kabur dan pupur yang terhapus.

"Biar belum sempat, tak apa-apa. Nih," kata Karim sembari

menyodorkan uang.

Perempuan itu menggeleng lemah.

Selera Karim pun jadi padam. Edan semua! Dia merutuk dalam hati. Pelacur sentimental! Masa hanya karena tak jadi lantas

matanya berlinangan! Bahkan menolak uang yang kuberikan!

Lalu, ke mana pula harus kucari Alex? Ke mana mencarinya

tengah malam begini?

Karim mengunci kamar mereka. Lalu dia keluar. Di halaman,

dia bertemu dengan pelayan.

"Lihat teman saya?" tanyanya.

"'Yang marah-marah tadi? Ke sana tadi," kata pelayan itu seraya

menunjuk bar yang terletak berhadapan dengan hotel itu.

Alex duduk menghadapi meja bar. Musik sangat keras mengisi ruangan itu. Lampu warna-warni menyala hidup-mati. Beberapa pasangan melantai.

Alex merenungi minumannya. Dia hanya menoleh sedikit ketika Karim menepuk bahunya.

"'Ada apa sih?" tanya Karim lunak. Alex hanya mengeluh.

Karim melirik gelas Alex, lalu dia memberikan isyarat kepada

136

pelayan agar diambilkan minuman yang sama. Pelayan dengan

cepat menyuguhkan minuman yang dipesan. Karim menenggak

seteguk. Kerongkongannya terasa panas.

"'Apa ini?"

"Gin,"jawab pelayan.

"Kenapa kau marah. Lex?" tanya Karim dengan suara rendah.

Alex meneguk minumannya, lalu memberi isyarat kepada pelayan agar diisi lagi gelasnya.

"Aku tak bisa, aku tak bisa," kata Alex.

"Ah, masa? Aku tak percaya ada orang yang tak bisa begitu."

"Mulanya keras. Tapi, saat mau digunakan, jadi lemah. Apa

kau pernah mengalami begitu?"

Karim diam. Dia belum pernah mengalami hal semacam itu.

Saat menghadapi perempuan, dia selalu siap tempur. Dan, selalu

bisa bertempur. Bahkan berulang-ulang bertempur.

"Mungkin lantaran terlalu capek," katanya kemudian.

"'Siapa di antara kita yang lebih capek?"

Karim diam. Sejak di Pekalongan tadi, dia justru yang sering

mengeluh pinggang pegal, perut sakit, dan segala keluhan.

"Atau mungkin kurang latihan? Sudah berapa kali kau melakukannya?"

Alex tak menjawab. Dia merenung-renung. Dia ingat, di kamar Bonar, ketika seorang gadis terbaring, ketika itu tidak seperti

sekarang. Atau karena obatyang diberikan Kulman, dia bisa?

"'Waktu muIa-mula dulu, apa kau juga begitu?" tanya Alex.

"Aku?" Karim memikir-mikir.

"Wah, entah, ya."

Alex meneguk minumannya lagi. Minum lagi dan minum lagi.

137

Di benaknya berkelebat bayangan Joice. Tubuh yang semampai,

yang terbaring tak berdaya. Lama-kelamaan tak mampu dia

membayangkan gadis itu. Kepalanya berat.

Pagi harinya, ludah terasa pahit di tenggorokan Alex. Mata

terasa sepet. Lama Alex berlena-lena di tempat tidur. Dia merenungi kembali pengalamannya tadi malam. Tapi, buat apa memikirkan itu? Motor harus diperiksa. Magnetonya harus diukur lagi.

Matahari di kota Semarang lebih panas dari kota yang lain. Di sini

lebih cepat berkeringat.

Alex menyetel motornya. Karim juga. Bertelanjang dada, hanya dengan celana pendek, dia kelihatan gempal. Kontras dengan

Alex yangjangkung.

"Masih jauh perjalanan kita," kata Karim.

Di Surabaya, Karim mendesak Alex mencoba sekali lagi.

""Siapa tahu suasana Surabaya lain dengan Semarang. Siapa

tahu kau memperoleh kekuatan yang sesungguhnya di sini," katanya.

Namun, Alex menemukan kenyataan yang serupa dengan kenyataan di Semarang. Cuma bedanya sekarang tidak perlu marah-marah lagi. Dia diam saja sambil menghadapi bir. Cuma,

pelacur di tempat itu kurang ajar sekali. Dia menceritakan kegagalan Alex kepada teman-temannya. Mereka tertawa cekikikan,

berbisik-bisik, menatap mencuri-curi, dan menganggap bahwa

kegagalan lelaki di tempat tidur adalah lelucon segar. Kurang

ajar! Benarkah kegagalan memang hal yang lucu? Tidakkah mereka tahu bahwa kegagalan melahirkan kekecewaan yang tak

alang-kepalang? Di Semarang ada pelacur yang lembut hati. Dia

138

hanya menyimpan kenyataan pahit itu sebagai rahasia mereka

berdua. Tetapi, di Surabaya ini, Alex tertunduk di depan pelacur

yang sungguh-sungguh berhati sundal. Maka kekecewaan kian

kuat mendera.

Tante Liana datang ke bengkel. Dia kaget menemukan kemurungan yang melapisi wajah Alex. Alex sedang memegang kunci

pas dengan mulut komat-kamit mengunyah permen karet ketika

Tante Liana datang.

"'Datanglah nanti sore," kata Tante Liana.

Alex diam. Matanya takut-takut menatap lawan bicaranya,

seperti beberapa bulan yang lalu ketika pertama kali datang ke

rumah Tante Liana. Sekarang bahkan lebih parah.

"Datang ya, Lex? Hari ini ulang tahun Om. Om tak suka pesta.

Tapi, kita kan perlu merayakannya. Hanya kita saja. Mau ya, Lex?"

Sekejap Alex mengangkat kepala, tetapi kemudian cepatcepat membuang pandang berkeliling. Mata Tante Liana, mata

yang menyimpan sejuta perhatian, mata yang menyimpan sejuta

kasih sayang membuatnya tak tahan.

Alex tetap termangu-mangu sementara mobil Tante Liana

telah meninggalkan tempat itu. Sunliang mendekatinya sambil

menyiulkan lagu dangdut. Alex tiba-tiba ingat daerah pelacuran di Surabaya. Tenggorokannya kejang. Perasaannya jijik. Lagu

dangdut itu keras sekali berkumandang ketika Alex berada dalam

sebuah kamar di Bangunrejo.

139

Sunliang mengamati mobil Volvo yang makin menjauh. Mulutnya terus bersiuI-siul. Matanya yangjenaka berkedip-kedip.

"Untung kau, punya tante kaya," katanya.

Alex menendang mur bekas. Sunliang tertawa kecil.

"Tante benar, atau tante-tantean?"

Alex diam. Keningnya berkerut lima atau tujuh lapis. Lalu Sunliang berlalu cepat-cepat. Alex mengayun-ayunkan kunci pas di

tangannya dan berjalan cepat-cepat ke mobil yang sedang diperbaikinya.

Sebuah mobil meluncur ke pelataran bengkel. Ada beberapa

gadis di dalamnya. Fiat125 warna cokelat tua. Pengemudinya meminta agar karburatornya disetel. Mukiyo membuka kap mesin

mobil itu. Selintas Alex memandang isi mobil Fiat125 itu. Beberapa gadis sedang tertawa-tawa. Entah apa yang sedang dipercandakan di bawah teriknya matahari itu. Tetapi, tunggu dulu! ltu

Joice. Dan, seperti ada magnet di antara mereka, Joice kebetulan

memandang Alex. Hanya sekejap pandangan itu, tetapi cukup

mengguncang posisi jantung Alex. Begitu pula jantung Joice, sehingga Rita yang duduk di sampingnya ikut menoleh ke arah

Alex. Lalu Rita menyikut Linda. Sopir mobil itu sedang berkutat

dengan slang angin yang bergulungan kacau. Dia mau menambah angin ban. Dari tangki mesin pompa ke mobil jaraknya agak

jauh. Sopir itu mengulur slang agar bisa mencapai ban mobil.

Rita dan Linda mengawasi Alex. Keduanya memperhatikan

baju Alex yang berwarna biru serta bertuliskan merek bengkel.

"'Dia kerja di sini," bisik Rita.

Joice seperti tak acuh mendengarkan bisikan Rita.

140

"'Kok lama bener sih?" keluhnya.

"Dulu kan kamu cintrong sama dia, Jo?" kata Linda.

"Hah!" sergah Joice.

"Sssh!" Rita berdesah ke arah Linda, sebab dia tahu Linda suka

badung. Linda lupa akan affair yang menimpa Joice. Kejadian

pahit itu, walaupun tidak tersebar luas, sempat menjadi gosip di

kalangan mereka. Untungnya Kulman tak pernah membuka mulut atas peristiwa yang menimpa Joice. Cuma penahanan Kulman

dan kawan-kawan yang membuat munculnya gosip. Di Jakarta,

gosip memang mendapat tempat istimewa. Hampir semua orang

pandai membesar-besarkan persoalan. Tetapi, untuk peristiwa

yang menimpa Joice, orang hanya bisa menduga-duga.

Matahari menjadi lebih terik bagi Joice. Maka hilanglah keinginannya untuk mengikuti les tambahan siang itu. Dia ingin pulang. Matahari pukul tiga siang dirasa sangat sengit. Tetapi, kalau

pulang sekarang, bukankah akan menimbulkan tanda tanya bagi

teman-temannya? Lalu dia diam saja, membiarkan peluh mengalir di pelipisnya.

Alex lupa sekrup mana yang sudah dikuncinya tadi. Pikirannya

kacau-balau. Itulah gadis yang sudah kukenal tubuhnya, pikirnya.

Itulah gadis yang rasanya sangat dekat dengan hidupku. Tapi,

dia berada di dalam mobil yang bagus, sedang aku terpanggang

dalam beban hidup ini. Maka ucapan-ucapan lain berputaran di

kepala Alex.

Sebenarnya dia ingin menatap jelas-jelas wajah gadis itu. Masihkah semulus dulu? Dia masih secantik dulu. Dagunya yang

runcing, matanya yang hitam kelam... ah!

Seharusnya aku minta maaf atas perbuatanku tempo dulu.

141

Tentulah dia sangat membenciku. Dengan minta maaf, aku yakin

akan berkurang beban penyesalan yang menggangguku selama

ini. Boleh jadi dia tak mau memaafkanku. Ah, bukan boleh jadi.

Tentu dia tak akan mau memaafkanku. Pasti. Tapi, biarlah. Aku

ingin siksaan yang menderaku beberapa bulan ini berkurang. Pukulan-pukulan abang dan om Joice tak bisa menepiskan penyesalanku. Bagaimana dia bisa tahu bahwa aku sangat menyesali

kebiadabanku yang kuperbuat padanya? Luka-luka di mukaku tak

bisa mengimbangi sesal yang mengimpitku. Bayangan wajahnya

tak bisa hilang dari mataku. Bahkan di kamar perempuan yang

sedang mencumbuku, bayangan wajahnya tetap menghantuiku.

Dalam cumbuan bagaimanapun hangatnya dari perempuan lain,

wajahnya tetap muncul dan membuat kehangatan itu cair dan

buyar. Aku harus minta maaf padanya. Tapi, haruskah kulakukan

sekarang?

Mobil Fiat 125 itu telah bergerak meninggalkan bengkel. Sepi

melilit hati Alex. Nyeri yang menusuk menghunjam ke ulu hati.

Di tengah-tengah kehirukan bengkel, Alex merasa teramat sepi.

Maka Tante Liana-lah yang menangkap sepi itu pada sore harinya. Dia menggenggam telapak tangan Alex dan menyeretnya

masuk rumah. Om Burhan hanya tersenyum cerah.

"Halo, Lexi," sapa Om Burhan.

"Duduklah."

Beberapa saat Om Burhan memperhatikan wajah Alex.

"'Kau baru patah hati?" tanyanya kemudian.

"Tidak," kata Alex bingung. Tante Liana tertawa renyah.

"'Nah, seperti Tante bilang sore tadi, hari ini adalah hari ulang
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun Om," kata Tante Liana.

"Ulang tahun," kata Om Burhan.

"Heh, mari kita peringati ber

142

sama. Mari kita saksikan bagaimana seorang lelaki tua mendekati

masa pikunnya. Empat puluh delapan. Sebentar lagi setengah

abad. Mari kita rayakan peristiwa mendekati masa pikun ini."

"Jangan ironis begitu dong," kata Tante Liana.

"Lha, kan betul apa yang kubilang?"

"Kalau kau merasa sudah sedemikian tua, bagaimana diriku?

Aku masuk empat puluh tiga."

Lalu keduanya tertawa. Mereka berpegangan tangan. Empat

puluh delapan, empat puluh tiga, tetapi tak tampak tanda-tanda

ketuaan pada diri mereka. Hanya ada sedikit kerutan di pinggir

mata mereka. Selebihnya adalah wajah yang segar dan menyimpan kegembiraan hidup.

Lalu mereka makan di salah satu restoran mahal. Duduk melingkar di meja bundar. Minum anggur membuat pipi Tante Liana merona merah. Bibirnya tidak sepucat hari-hari biasanya.

Keceriaan senyumnya membuat bibirnya menyala dalam sapuan

lipstik samar.

"Aku kepingin ke nite club," kata Tante Liana.

"Ah, ngapain di situ?" kata Om Burhan.

"Ngapain? Lha, biasanya orang ngapain di situ?"

"'Dansa."

"Ya, aku kepingin dansa."

"'Di sini juga bisa. Sebentar lagi orang-orang akan dansa."

"Aku ingin di nite club."

Om Burhan bertukar pandang dengan Alex. Keduanya tersenyum. Mereka kemudian pergi ke nite club.

Lampu yang redup, musik yang mengalun, dan Tante Liana

143

dilibat kemanjaan yang agak mengherankan Alex. Dia bergayut

terus pada lengan suaminya. Satu kali turun melantai dengan

suaminya, kemudian Tante Liana mengajak Alex turun.

"'Saya tak bisa dansa," kata Alex.

"Wah, anak Manado tak bisa dansa?" kata Om Burhan.

Alex cuma tersipu.

Tante Liana tertawa renyah. Lalu dia mengajak suaminya berdansa lagi. Tetapi, sebelumnya Om Burhan sempat menemui manajer tempat itu, dan tak lama kemudian manajer itu menyuruh

seorang hostess menemani Alex.

Tante Liana tertawa ringan sembari bergayut di lengan suaminya. Ketika beranjak dari kursi, dia mengedipkan sebelah matanya ke arah Alex.

Maka Alex tersipu lagi

"Nama saya Meity," kata gadis itu

Alex bergumam. Beberapa detik dia menatap wajah perempuan itu. Sekilas dia sudah dapat menyimpulkan: cantik!

Meity memanggil pelayan, menyuruh mengisi gelas Alex. Dia

kemudian bingung, tak tahu apa yang harus dibicarakan. Sementara itu, Alex bertambah kikuk, sebab tiap kali Tante Liana berputar menghadap ke kursi Alex, dia tersenyum. Matanya seperti

menggoda.

Penyanyi nite club itu meniru suara Shirley Bassey. Tentu saja

lidah dan napas Melayu-nya tak bisa menandingi penyanyi Barat.

Tetapi, dengan mengandalkan lekuk-lekuk tubuhnya, penyanyi

itu tetap bisa memesona penonton. Cuma, sebenarnya dia lebih

tepat sebagai penari, bukan penyanyi. Tubuhnya lebih bagus daripada suaranya yang biasa-biasa saja.

144

Satu lagu selesai didendangkan, Tante Liana dan Om Burhan

duduk kembali.

"Kok diam saja?" kata Tante Liana.

Meity tersenyum. Senyum bisa mengatakan,

"Saya malu." Gadis

ini sebenarnya cocok untuk model iklan pasta gigi di televisi. Entah

kenapa produser Film iklan tak menemukannya. Padahal. dibandingkan dengan beberapa bintang Film, gadis ini tak kalah menarik.

"Omong-omong dong," kata Tante Liana.

"'Apa yang mau diomongin? Habis, si mas ini pendiam sekali

sih," kata Meity.

"Ya, dia memang pendiam. Makanya Non yang harus ngajak

dia bicara," kata Om Burhan. Lalu dia menarik tangan Tante Liana

untuk diajak dansa lagi.

"'Tante itu dansanya bagus," kata Meity.

"Hm, hm," gumam Alex.

"'Suami-istri?"

Alex mengangguk

"Kok diam saja sih?" kata Meity sembari memegang jari tangan Alex. Telapak tangan gadis itu licin bagai kain sutra. Karena

kebetulan Tante Liana sedang memandang ke arah mereka, darah membersit di muka Alex. Tetapi. gadis itu tetap memegang

tangannya.

"Ngomong dong," kata gadis itu menirukan Tante Liana.

"Apa yang harus saya omongkan?" ujar Alex terbata-bata.

Meity tertawa. Dia memasang rokok di bibirnya. Alex ingat

cara Om Burhan, maka cepat-cepat dia menyalakan korek api

untuk gadis itu.

145

Meity mendesahkan terima kasih, dan asap pun mengepul.

"Masih kuliah?" tanya Meity.

"'Tidak. Tak pernah kuliah,"jawab Alex.

"'Sering ke sini?"

"'Tidak."

Lantas mereka diam lagi. Gadis itu berusaha membawa Alex

ke dalam percakapan, tetapi hasilnya tetap kecanggungan.

"'Kamu nggak pernah punya pacar, Lex?" tanya Tante Liana ketika mereka meninggalkan tempat itu.

Alex menggeleng. Telapak tangan Tante Liana hangat mencengkeram tangannya. Tangan Tante Liana yang satu lagi tetap

bergayut di lengan Om Burhan.

Angin malam menyusup dingin. Suara musik di m'te club telah

mereka tinggalkan jauh di belakang. Alex tetap membisu sementara mobil yang dikemudikannya bergerak perlahan. Mereka bertiga duduk berdesakan di jok depan.

"Sekarang ke mana?" tanya Om Burhan.

Tante Liana yang separo memejam mendesahkan kata "pulang".

Mereka tiba di rumah. Alex tak mau bermalam di situ. Maka

dia pulang, meluncur sendirian di atas motor yang dipinjam dari

bengkel.

Tante Liana dan Om Burhan mengawasi kepergiannya. Embun

sudah mulai turun membasahi bunga-bunga di taman.

"'Andai kita punya anak sebesar dia," kata Tante Liana.

Om Burhan menggumamkan kata-kata yang tak jelas.

"Kita kepingin punya anak, justru orangtuanya menyia-nyiakannya," lanjut Tante Liana.

146

"'Kau tak pernah ke rumah papanya?" tanya Om Burhan.

"Belum lagi."

"Cobalah damaikan mereka."

"Tapi, Lexi sama sekali tak mau menyebut-nyebut papanya.

Pembicaraan menyangkut papanya selamanya membuat mukanya jadi masam."

"Mamanya masih di Singapura?"

"Ya."

"Kapan-kapan kalau aku singgah. akan aku cari."

Lalu Om Burhan merangkul istrinya, dan mereka melangkah

pelan-pelan memasuki rumah.

"Dia kepingin ketemu mamanya?"

Tante Liana mengeluh halus.

"Ah, entahlah," katanya sedih.

Lampu di kamar mereka redup. Tante Liana mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur yang menerawangkan tubuh.

Om Burhan duduk di pinggir ranjang.

"'Kau sangat memperhatikan anak itu," katanya hampir tak

terdengar.

"Ya," desah Tante Liana.

"Aku merasa bersalah ikut menghancurkan hidupnya."

Om Burhan menyalakan rokok.

"Zus Elsa temanku. Aku tahu bagaimana perkawinannya dengan Philip."

Om Burhan mengawasi tubuh istrinya yang duduk menghadap meja rias. Masih selangsing masa mudanya dulu.

"'Aku tahu perkawinan yang terpaksa itu. Sejak lama Philip

kami kenal sebagai lelaki yang kasar. Tapi, bagaimanapun dia

147

orang kaya. Itu kesalahan Zus Elsa. Dia kawin dengan lelaki kaya

yang tidak dicintainya. Oh, itu bukan kemauannya. Itu kemauan

orangtua Zus Elsa. Orangtua Zus Elsa membutuhkan Philip sebab

perusahaan mereka pailit. Lalu, tanpa memedulikan anak gadis

mereka telah mencintai lelaki lain, mereka mengawinkan anak

gadis mereka itu dengan Philip. Mereka merenggut cinta Zus Elsa

dengan kasar. Oh, orangtua yang egois. Hanya karena memikirkan kepentingan diri sendiri mereka menghancurkan hidup anak

mereka. Kau tahu siapa lelaki yang dicintai Zus Elsa? Dialah yang

kemudian membawa Zus Elsa lari. Dia hanya seorang perwira

kapal rendahan waktu itu. Itulah kenapa orangtua Zus Elsa memandang dengan sebelah mata. Kemiskinan menyebabkan cinta

tak dihargai lagi. Cinta pelaut, apa artinya? Begitu yang sering

dikatakan orangtua Zus Elsa."

Untuk beberapa saat Tante Liana diam. Dia menatap suaminya.

"Kemudian, bagaimana mereka bisa lari?" tanya Om Burhan.

"'Setelah lelaki itu jadi kapten kapal, ternyata dia masih menyimpan cintanya bagi Zus Elsa, sekalipun dia tahu Zus Elsa sudah kawin dan punya anak. Zus Elsa sendiri semakin membenci

suaminya. Lalu mereka lari, setelah terlebih dulu Zus Elsa meminta cerai dari Philip. Akulah yang mendorong mereka lari. Akulah

yang memberikan semangat agar mereka bersatu kembali."

"Aaah,"desah Om Burhan seraya menelan ludah.

"Ya, kalau tidak aku dorong, Zus Elsa takkan pernah punya

keberanian. Aku bilang kepadanya, 'Kalau kau tak berani memenangkan cintamu, sampai kapan pun kau takkan pernah mem

perolehnya. Cinta harus diperjuangkan, bukan untuk diratapi!"

148

"Tapi, dia juga egois," kata Om Burhan.

"Ya, setelah aku melihat nasib anaknya, aku juga berpikiran

begitu. Cuma, apakah masih ada pilihan lain? Apakah memang

lebih baik dia tetap hidup dengan suami yang tidak dicintainya?

Sementara itu, ada seorang lelaki yang mencintai dan dicintainya.

Apakah dia harus hidup dalam dua dunia, satu realitas pahit dan

satunya lagi dunia mimpi? Bukankah itu akan membuat jiwanya

terbelah?"

"'Apakah cinta harus selamanya menang?"

"'Kalau tidak, lantas untuk apa cinta itu sebenarnya?"

"Yah, sekadar dikenang," kata Om Burhan perlahan.

Dan, keduanya diam. Jam berdetak halus. Tante Liana beranjak ke ranjang. Kemudian mereka berpelukan, berciuman.

Kemudian.

"Tapi, tak kusangka Zus Elsa melupakan sama sekali anaknya," kata Tante Liana.

"Barangkali dia terlalu sibuk mengurusi anak-anaknya yang

sekarang," ujar Om Burhan.

"Ya, anaknya banyak. Dan, mereka selalu berpindah-pindah

tempat tinggal. Baru sekarang mereka menetap agak lama. Itu

setelah suami Zus Elsa jadi perwakilan kantor kapalnya di Singapura." Tante Liana berbaring telentang, menatap langit-langit

kamar.

Om Burhan memeluknya.

"'Andai dia tak punya anak dulu, andai aku tak menghasutnya,

takkan ada persoalan bagi Lexi," kata Tante Liana.

Om Burhan mencium leher istrinya.

Rasa hangat memang menjalari leher itu. Tetapi, Tante Liana

149

berkata,

"Soalnya waktu itu aku juga sedang dibakar cinta." Tante

Liana mencium bibir suaminya kuat-kuat.

"Aku mencintaimu. Aku

menganggap cinta harus menjadi mahkota hidup. Ya, karena aku

sangat mencintaimu."

"'Sekarang juga?" tanya Om Burhan.

"Sekarangjuga." Tante Liana mendesah.

Dan, dia mencium suaminya lagi. Lebih kuat. Mereka berpagutan. Anggur yang mereka minum di nite club tadi semakin hangat menjalar ke tubuh mereka. Pipi Tante Liana merah manyala.

Ciuman Om Burhan menggelitik urat-urat darahnya. Pakaian tidur yang menerawang itu tergeletak di lantai. Tubuh yang polos
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeliat dalam erangan yang panjang. Tangan Om Burhan

menjalar-jalar. Hanya tangan. Hanya tangan. Hanya tangan. Hanya tangan yang bisa menyelusuri lekuk tubuh perempuan itu.

Tetapi, perempuan itu bergerak seperti jarum pengetes aki yang

meronta ke angka tertinggi, menggeletar, lalu perlahan-lahan turun.

Sesaat Tante Liana meredakan napas.

"'Terima kasih, Bur, terima kasih," katanya hampir dalam bisik.

Om Burhan memeluknya kuat-kuat. Cuma, mata lelaki itu merenung.

Hanya ini yang bisa kuperbuat, pikirnya. Ya, tak lebih. Lantas dia ingat kecelakaan yang menimpanya di dekat Puncak. Dia

ingat ketika mobil slip dan dia diangkut ke rumah sakit. Lalu

sekeluar dari rumah sakit, dia hidup hanya dengan cinta, tidak

dengan lain-lainnya lagi. Dia mencintai istrinya, dan istrinya pun

mencintainya. Tetapi, tak banyak yang bisa dilakukannya seperti

150

yang baru saja terjadi. Segalanya telah terampas oleh bantingan

mobil sepuluh tahun yang lalu. Segalanya telah berakhir justru

ketika dia dalam puncak jayanya sebagai lelaki. Segalanya telah

berakhir. Kadang-kadang dia merasa bahwa hidup ini kelewat

hambar. Sebenarnya, buat apa dipertahankan lebih lama lagi?

Cuma, dia ingat bahwa Liana tetap mencintainya. Frustrasikah

dia dalam tahun-tahun belakangan yang beku ini? Ah, tak tampak gejala itu. Dia tetap mencintai sebagaimana tahun-tahun

sebelumnya. Tapi, apakah itu cinta? Apakah bukan belas kasihan

namanya? Belas kasihan terhadap lelaki yang telah kehilangan

kemampuannya.

Tahun-tahun yang berlalu, ya seperti tadilah. Apakah benar

Liana tetap mencintaiku seperti dulu? Apa yang bisa dijadikan

ukuran? Hangatnya cumbuan? Toh tak bisa dirasakan. Cuma, dia

memang masih sehangat dulu.

"'Apa yang kaupikirkan, Bur?" tanya Tante Liana di dekat telinga

Om Burhan.

"'Tentang cinta."

"'Aku mencintaimu," bisik Tante Liana.

"Aku menyiksamu," kata Om Burhan lemah.

"Ah, berkali-kali kau bilang itu. Dan. berkali-kali pula kubilang

bahwa aku tak pernah tersiksa. Aku selamanya puas."

"Ah!" Om Burhan mengeluh.

"Ya, aku puas. Bahkan lebih puas. Ketika masih melakukan

seperti biasanya, aku malah sering tak mencapai orgasme sebab

keduluan kau. Tapi, sekarang, aku malah bisa memperoleh itu."

"Tapi apakah cukup begitu saja?" gumam Om Burhan takjelas.

151

"'Apa?" tanya Tante Liana.

"Ah, tidak," kata Om Burhan cepat-cepat.

Tante Liana menyurukkan kepalanya ke leher suaminya. Mereka berpelukan. Malam semakin dingin. Tante Liana melabuhkan

keletihannya dalam tidur nyenyak.

Beberapa hari ini Alex tidak bekerja di bengkel. Manajer perusahaan motor yang pernah menyewanya mengetes motor mengajaknya mengisi kekosongan dalam tim pembalap. Rupa-rupanya

manajer itu terkesan pada Alex begitu Alex melaporkan kondisi

motoryangdites tempo hari.

Banyak orang yang bisa kencang mengendarai motor, tetapi

tidak paham mesin. Mesin itu seperti jiwa, yang hanya bisa digunakan dengan baik oleh orang yang menyelaminya. Dan, Alex

bisa menganalisisjiwa motornya. Orangsemacam ini dibutuhkan

oleh perusahaan asembling itu.

Alex mulai berlatih di sirkuit Ancol. Lalu berdiskusi dengan

Karim, ahli mesin perusahaan. Tanpa disadari oleh Alex, Karim

telah menjadi pelatihnya.

Beberapa lap sudah ditempuhnya selama latihan.

"Wah, kau kayak sudah berpengalaman puluhan tahun," kata

Karim.

Alex tersenyum sambil membuka helmnya. Dia mengeluselus tangki bensin motor1oo cc itu.

"Tapi, kayak orang bosan hidup," lanjut Karim.

152

Alex tak menimpali. Dia memperhatikan mobil yang mendekati mereka.

Matahari memanggang sirkuit itu. Cahayanya silau. Mobil itu

parkir di tepi lapangan. Sopirnya seorang lelaki tua. Tetapi, yang

duduk di jok belakang itu tak asing lagi bagi Alex.

Tante Liana tersenyum lebar. Kacamata hitamnya menantang

matahari. Langkahnya berayun lunak.

"Tante tadi ke bengkel."

"'Sudah beberapa hari saya di sini," kata Alex. Karim menyisih,

memeriksa motor yang dipakai pembalap lain.

"Om berangkat lagi. Ke Hong Kong," kata Tante Liana lesu.

Alex membuka jaket kulitnya. Tante Liana memperhatikan tulisan di kaus lelaki muda ini. Merek motor.

"Alex mau jadi pembalap?" tanya Tante Liana. Matanya yang

indah menyorotkan sinar kekhawatiran.

"Ya," kata Alex datar.

"Oh," keluh perempuan itu.

"Lebih menyenangkan dibanding kerja di bengkel," kata Alex.

"Tapi, risikonya?"

"'Sama saja. Di mana pun kita bisa mengalami kecelakaan."

"Jangan, Lex. Jangan. Kalau sampai celaka... ah!"

Maka serta-merta bayangan Om Burhan melintas di benak

perempuan itu. Om Burhan yang kehilangan kemampuan akibat

kecelakaan.

Tante Liana memegang tangan Alex seraya berkata,

"Lebih baik kerja di bengkel saja, Lex. Atau, Lexi mau kerja

yang lain?Akan Tante usahakan. Om bisa carikan kerja yang lain.

Kerja yang tak banyak bahayanya."

153

Alex menggeleng.

"'Saya senang di sini, Tante," katanya sambil memandangi motor di tengah sirkuit.

Tante Liana mengatakan sesuatu, tetapi suaranya ditelan suara motor yang melintas di dekat mereka.

Mata Alex bersinar-sinar memandang motor-motor yang

berpacu di bawah matahari. Suara mesin motor yang meraung

tinggi, yang lalu turun sesaat, lalu tinggi lagi, merangsang semangatnya.

Tante Liana meninggalkan tempat itu. Di dalam mobil, dia

mengempaskan tubuhnya dalam pelukan jok. Dan dalam mobil

yang bergerak perlahan, Tante Liana mengawasi Alex yang mengenakan jaket dan helmnya lagi. Maka perempuan itu menghela

napas berat. Perasaannya terimpit, seperti perasaan seorang ibu

yang melihat anaknya bermain-main di jalan raya. Bedanya cuma

dia tak bisa melarangnya, sehingga dadanya lebih sesak lagi.

Tibalah saat pertarungan di sirkuit itu. Motor-motor telah berjejer. Alex berdiri di dekat motornya, berjejer dengan pembalappembalap yang tergabung dalam tim perusahaan. Dalam balutan jaket kulit dan sungkupan helm di kepala, dia merasa telapak

kakinya gatal. Tak sabar dia menunggu tanda start. Di sekeliling

sirkuit, penonton berdiri tak sabar pula.

Tanda start, dan pembalap-pembalap menyorong motor

masing-masing dengan sekuat tenaga serta melompat ke sadel

motor yang mesinnya meraung-raung. Suara dari loudspeaker

berlomba dengan suara raungan mesin. Dari loudspeaker itu ter

dengar penjelasan tentang nomor-nomor para pembalap.

154

Keringat bersimbah pada tubuh yang dibalut jaket. Alex melarikan motornya hanya dengan tujuan tak seorang pun berada di

depannya. Telapak tangan yang dibungkus sarung tangan mencengkeram setang setir kuat-kuat. Mesin motor kian meraung

tinggi.

Penonton-penonton menahan napas menyaksikan kenekatan

pembalap yang hanya bisa mereka lihat nomor motornya itu. Karim meremas-remas jari-jari tangannya sendiri. Di hatinya telah

timbul simpati yang dalam terhadap pembalap baru itu. Perjalanan mereka menjelajah Pulau Jawa telah membuhulkan persahabatan yang akrab. Menyaksikan kebiadaban Alex di sirkuit,

keringatnya mengucur deras. Kausnya basah. Matanya hampir

tak pernah berkedip.

"Gila! Gila! Gila!" rutuknya berkali-kali."|ni bukan lagi balapan.

Ini cari mati."

Menurut perhitungan Karim, pada tikungan itu pembalap

sahabatnya akan terjatuh karena selip. Tetapi, ternyata dengan

mudah bisa meniti tikungan. Cuma, Karim tak sempat menghela

napas. Raungan mesin menahan jalan napasnya.


Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca Emptiness Of Soul Karya Andros Luvena Sembilan Pembawa Cincin Lord Of Rings
^