Pencarian

The Fall of Five 6

The Fall of Five Karya Pittacus Lore Bagian 6

tidak nyata, seharusnya goresan baru di kakiku tidak

muncul. Namun, aku merasakan kulitku perih luar biasa,

sakitnya membakar menembus kulit.

Ternyata ada bagian yang benar-benar terjadi dari

mimpi buruk tersebut?kami kehilangan seseorang.

Aku tidak punya waktu untuk merenungkannya

ataupun menilai situasiku.

Sam berteriak, "JOHN! MENUNDUK!"

Satu Mogadorian berdiri di depan jendela kamar

tidur?jendela pecah, dan angin dingin bertiup masuk dari

luar. Kapan itu terjadi? Dia membidikkan meriam ke arahku.

Naluriku mengambil alih dan aku berguling ke kiri, tepat

pada saat Mogadorian itu menembak tempatku terbaring

tadi. Dari lantai di samping tempat tidur, aku mendorong

Mogadorian tadi dengan menggunakan telekinesis. Dia

terjengkang, keluar dari jendela ke udara kosong, lalu terjun

bebas ke jalan di bawah.

Keadaan gempar. Kekacauan di dunia nyata ini lebih

intens daripada mimpi buruk Setrakus Ra yang bagai

kenyataan. Kamar ini hancur lebur terkena tembakan

blaster. Sarah berdiri di ambang pintu, berlindung di balik

rak buku rusak. Dia memeluk Ella yang masih pingsan

dengan satu lengan, sementara tangannya yang satu lagi

digunakan untuk menembakkan pistol mesin secara

membabi buta ke koridor. Di antara kegaduhan tembakan,

aku mendengar Mogadorian menyerbu apartemen dengan

~312~

pendengaran superku. Jumlah mereka begitu banyak, tapi

sepertinya mereka tidak membalas tembakan Sarah.

Aku tersadar itu karena Sarah memegang Ella.

Setrakus Ra menginginkan?aku tidak percaya aku

memikirkan ini, tak sempat memahami maksudnya

keturunannya hidup-hidup. Karena itulah, para Mogadorian

tidak menembak Sarah. Mereka takut mengenai Ella.

Sam duduk di lantai di sampingku. Dia memeluk

Malcolm yang luka parah akibat terkena tembakan blaster.

Ay

ah Sam bernapas pendek-pendek dan dalam keadaan

setengah sadar. Sepertinya waktunya tidak lama lagi.

"Apa yang terjadi?" aku berteriak ke arah Sam.

"Mereka menemukan kita," jawab Sam. "Ada yang

berkhianat." Aku ingat melihat Nomor Lima mengenakan

seragam Mogadorian, dan seketika itu juga aku mengerti.

"Yang lain mana?"

"Mereka pergi ke Everglades, menjalankan misi."

Sam menunjuk kakiku dengan mata membelalak ngeri. "Aku

melihat pergelangan kakimu menyala. Apa?apa artinya?"

Sebelum sempat menjawab, aku mendengar Sarah

menjerit. Pistolnya mengeluarkan bunyi klik kosong.

Menyadari Sarah kehabisan peluru, para Mogadorian

mendekatinya. Salah satu dari mereka mengulurkan tangan

melewati ambang pintu itu, lalu membenamkan belati dalam-

dalam ke bahu Sarah dan menyebabkannya roboh ke lantai

sambil memegangi bahu. Mogadorian lain meraih dan

merenggut Ella dari pelukan Sarah.

Aku menyalakan Lumen, tapi terlalu berbahaya

melontarkan bola api karena bisa mengenai Ella. Para

Mogadorian pergi dengan cepat lalu lenyap di koridor,

melarikan diri. Aku meraih dengan telekinesis dan menyeret

Sarah ke dekat kami.

"Kau baik-baik saja?" aku bertanya sambil

~313~

memeriksa cepat luka di bahunya. Cukup parah, tapi tidak

fatal. Sarah tampak kaget sekaligus lega melihatku terjaga.

"John!" serunya sambil menyentakkanku mendekat

dengan lengannya yang sehat. Setelah setengah memelukku

sekejap, Sarah mendorongku menjauh karena menyadari

gentingnya saat ini. "Pergi! Kau harus menghentikan

mereka!"

Aku melompat berdiri, siap merobek-robek para

Mogadorian yang melarikan diri. Namun, aku berhenti dan

memandangi Sam serta ayahnya. Malcolm masih hidup, tapi

kesadarannya memudar cepat. Sam membungkuk sambil

memegangi tangan ayahnya, membuatku teringat kejadian

pada malam hari di SMA Paradise waktu itu, saat aku begitu

tak berdaya karena tidak sanggup mencegah kematian Henri.

Aku tahu aku dapat menyelamatkan Malcolm.

Namun, menyembuhkan Malcolm berarti

membiarkan para Mogadorian kabur bersama Ella. Itu

berarti apa yang Setrakus Ra inginkan akan segera terwujud

masa depan yang belum kupahami sepenuhnya, tapi di masa

depan itu Ella mendampingi Setrakus Ra menjadi penguasa

umat manusia.

Sam mendongak memandangku, pipinya basah

karena air mata. "John! Tunggu apa lagi? Pergi dan

selamatkan Ella!"

Aku teringat Sam yang kulihat dalam mimpi burukku,

yang wajahnya begitu lelah dan pasrah, yang semangat

juangnya lenyap. Aku ingat betapa sakitnya hatiku saat

kehilangan Henri. Aku tidak bisa membiarkan sahabatku

melewati itu semua, apalagi Sam dan Malcolm baru saja

bertemu kembali.

Aku membiarkan Ella pergi, dengan masa depan yang

akan menimpanya?tidak, kami pasti dapat mencegahnya,

aku berkata kepada diriku. Sekarang, aku harus menolong

~314~

Malcolm.

Aku berlutut dan menekankan tangan ke perut

Malcolm. Lukanya mulai menutup di bawah tanganku, dan

tak lama kemudian wajahnya kembali merona dan matanya

membuka.

Sam memandangiku. "Kau membiarkan mereka

mengambil Ella."

"Aku membuat pilihan," jawabku. "Mereka tidak

akan menyakiti Ella."

"Bagaimana?bagaimana kau tahu?" tanya Sarah.

"Karena Ella?" Aku menggeleng. "Kita akan

menyelamatkan Ella. Kita akan menghentikan mereka. Kita

semua, bersama-sama, aku janji."

Sam meremas bahuku. "Terima kasih, John."

Begitu selesai menyembuhkan Malcolm, aku

berkonsentrasi untuk menyembuhkan Sarah. Luka di

bahunya bersih. Dia mengusap pipiku, sementara Pusakaku

bekerja.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya. "Apa yang kau

lihat?"

Aku menggeleng, tidak ingin membicarakan visi

tersebut sebelum memahami apa yang terjadi. Tidak seperti

Sam, aku rasa Sarah tidak sadar di pergelangan kakiku ada

goresan baru, dan aku tidak ingin mengungkitnya.

Suasana di panthouse hening. Para Mogadorian

sudah kabur bersama Ella. Namun tetap saja kami harus

keluar dari sini. Para polisi tidak mungkin tak mengetahui

pertempuran ini. Saat ini, aku hanya ingin menyembuhkan

Sarah dan membawa kami semua ke tempat yang aman.

"Sepertinya kau menghajar mereka saat aku pingsan,"

kataku.

"Kami berusaha sebaik mungkin," jawabnya. Setelah

luka Sarah sembuh, aku memandang berkeliling. "Kita harus

~315~

pergi. BK mana?"

Aku melihat Sarah dan Sam saling pandang dengan

muram. Hatiku mencelus.

"Tadi BK ke atap untuk menahan mereka," Sam

menjelaskan. "Dia tidak kembali."

"BK itu kuat. Dia pasti masih hidup," kata Sarah. "Ya,

pasti," tambah Sam, meski suaranya terdengar tidak yakin.

Hatiku hancur memikirkan BK dan Garde mana pun

yang meninggal di Everglades. Aku menggigit bagian dalam

pipi kuat-kuat dan memusatkan pikiran terhadap rasa

sakitnya. Kemudian aku berdiri?akan ada waktu untuk

berduka. Saat ini, kami harus pergi sebelum para Mogadorian

memutuskan untuk kembali dan membunuh kami.

"Saatnya pergi," kataku sambil membantu Malcolm

berdiri.

"Terima kasih telah menyelamatkan nyawaku, John,"

katanya. "Ayo, kita pergi dari sini."

Kami berempat bergegas keluar dari kamar. Sam

membantu Malcolm berjalan. Lampu-lampu mati, mungkin

aliran listriknya putus akibat pertempuran tadi. Di ruang

duduk tidak ada Mogadorian yang menunggu kami, tapi

dilihat dari kerusakannya, jelas mereka telah mendekorasi

ulang ruangan itu. Sesaat, aku membayangkan Nomor

Sembilan yang akan mengamuk begitu kembali. Kalau dia

masih hidup. Lalu aku sadar, kami tidak akan pernah kembali

ke tempat ini. Tempat ini telah menjadi rumah kami selama

beberapa waktu. Namun, sekarang tempat ini bukan rumah

kami lagi, karena dihancurkan oleh Mogadorian, seperti

banyak hal lainnya.

Aku mendengar raungan sirene dari jalan di bawah

sana melalui jendela yang rusak. Serangan Mogadorian ini

lebih berani daripada biasanya. Mungkin akan sulit

menyelinap keluar tanpa ketahuan.

~316~

Hebatnya, lift apartemen masih berfungsi. Aku

mendorong Sarah, Sam, dan Malcolm ke dalam lift, lalu

menekan tombol menuju garasi, tapi aku sendiri tidak

masuk.

"Apa yang kau lakukan?" teriak Sarah sambil

mencengkeram lenganku.

"Kita tidak mungkin kembali ke sini lagi. Tempat ini

akan dipenuhi polisi dan mungkin juga FBI yang bekerja

sama dengan Mogadorian. Aku harus mengambil Peti Loric

dan mencari BK."

Sam maju. "Aku bisa membantu."

"Jangan," jawabku. "Pergilah bersama Sarah dan

ayahmu. Aku sanggup membawa Peti-Peti itu dengan

menggunakan telekinesis."

"Kau sudah janji kita akan terus bersama," kata Sarah

dengan suara parau.

Aku menariknya mendekat. "Kau sopir untuk

pelarian kita," kataku kepadanya. "Ambil mobil Nomor
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembilan yang paling kencang dan temui aku di kebun

binatang. Kalian seharusnya bisa keluar dengan mudah, tapi

mereka mungkin mencariku. Aku dapat melompat ke atap

gedung sebelah dan turun lewat sana." Aku mundur dari lift,

lalu memajukan tubuh untuk mengecup Sarah. "Aku

mencintaimu," kataku.

"Aku juga mencintaimu," jawabnya.

Pintu lift berdesis menutup. Aku berpacu melintasi

apartemen yang hancur dan masuk ke ruang kerja. Tempat

itu juga luluh lantak?setelah semua upaya kami, Aula Kuliah

tidak akan pernah digunakan lagi. Aku berusaha berpikir

praktis. Apa yang harus kubawa? Yang pertama-tama kuraih

adalah tablet penunjuk lokasi. Empat titik masih berada di

Florida?sialan, jumlahnya berkurang satu. Aku belum siap

memikirkan siapa di antara kami yang telah tiada, apa yang

~317~

harus dilakukan dengan masalah Ella, ataupun fakta bahwa

Setrakus Ra mungkin seorang Loric.

Aku meraih tas samsak kosong dari bawah meja yang

terguling, lalu masuk ke Aula Kuliah untuk memenuhi tas

tersebut dengan senjata. Aku memasukkan tablet tadi, lalu

menyampirkan tas tersebut ke bahuku. Karena ingin

tanganku tetap bebas, kalau-kalau ada Mogadorian yang

masih mengintai, aku membuat semua Peti kami melayang

dengan menggunakan telekinesis. Karena semua jendela

sudah hancur, aku dapat mendengar sirene yang meraung-

raung dari bawah dengan mudah. Hanya ini yang sanggup

kubawa. Saatnya melarikan diri lagi.

Dengan Warisan yang melayang mengikuti, aku

berlari keluar dari ruang kerja dan kembali melintasi

apartemen. Aku harus ke atap untuk melihat apakah BK

masih hidup.

Namun, sebelum aku mencapai tangga, terdengar

suara "ding" yang mengiringi lift membuka. Sialanaku terlalu

lama.

Aku menoleh, menanti kemunculan polisi Chicago

dengan pistol terhunus. Namun, ternyata yang muncul

hanyalah seorang Mogadorian. Pucat seperti biasa, rambut

hitam menutupi wajah, lebih muda daripada biasanya, serta

tampak berbeda dibandingkan Mogadorian lain yang pernah

kulihat. Dia lebih mirip manusia. Mogadorian itu

mengacungkan pistol?ke arahku .

Semua Peti berdebam di lantai saat aku mengalihkan

telekinesisku untuk merebut pistol dari tangannya.

"Hei!" dia berseru. Kalau dia mengucapkan kata-kata

lain, aku tidak mendengarnya. Aku memikirkan kawan-

kawanku yang hilang malam ini. Masa depan suram yang

harus kulalui. Membunuh Mogadorian yang tersesat tidak

akan mengubah itu semua, tapi setidaknya ini awalnya.

~318~

Aku melemparkan bola api ke arahnya, tapi dia

melemparkan diri menjauh dan bersembunyi di balik sofa

kulit yang hancur. Aku mengangkat sofa itu dengan

telekinesis, lalu mencampakkannya. Si Mogadorian

mengangkat tangan, menyerah. Mungkin aku akan merasa

tindakannya itu aneh, seandainya aku berpikir.

"Terlambat," aku menggeram.

Tepat pada saat aku akan melontarkan bola api lain

ke arahnya, si Mogadorian menjejakkan kaki ke lantai.

Seluruh ruangan berguncang, perabotan terguling, karpet

beriak seakan-akan ada ombak yang lewat di bawahnya.

Sentakan gempa itu membuatku terhuyung ke belakang, dan

aku merasakan dingin udara mencakar punggungku. Bodoh

?aku berdiri tepat di depan jendela yang kacanya sudah

pecah. Dengan putus asa, aku memutar-mutar lengan

berusaha menyeimbangkan diri. Namun, aku tidak jatuh. Si

Mogadorian memegangku. Dia mencengkeram bagian depan

kausku.

"Aku tidak ingin melawanmu!" dia berteriak di

wajahku. "Berhenti menyerangku!"

Begitu dia menarikku kembali ke dalam, aku

mendorongnya menjauh. Dia tidak mendekat, tapi tetap

merunduk, siap mengelak dari apa pun yang mungkin

kulemparkan kepadanya.

"Kau Nomor Empat," katanya.

"Tahu dari mana?"

"Mereka mengenali wajahmu, John Smith. Mengenali

wajah kalian semua. Begitu juga aku?" dia diam sejenak.

"Tapi aku juga ingat pernah melihatmu waktu kau masih

anak-anak. Berlari menuju satu pesawat, sementara orang-

orangku membunuhi orang-orangmu."

"Kau yang dibicarakan Malcolm dan Sam," suaraku

keluar dari balik gigi yang terkatup. Aku tidak dapat

~319~

mengenyahkan perasaan bahwa seharusnya aku lari atau

melawan saat menghadapi Mogadorian. Perasaan itu sudah

terpatri di benakku, tapi aku berusaha menguasainya.

"Adamus Sutekh," si Mogadorian memperkenalkan

diri. "Tapi aku lebih suka dipanggil Adam."

"Orang-orangmu membunuh seorang kawanku

malam ini, Adam," aku meludah. Meski sadar kemarahanku

ini tak berdasar, aku tidak bisa menahan diri. "Dan mereka

menculik kawanku yang lain."

"Maaf," katanya. "Aku kemari secepat mungkin:

Apakah Malcolm dan Sam selamat?"

"Aku?" aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi

terhadap pertanyaan itu. Mogadorian yang memiliki belas

kasihan. Bahkan, walaupun Sam dan Malcolm bilang itu

benar, aku belum pernah membayangkannya. "Ya, mereka

baik-baik saja."

"Syukurlah," jawab Adam. Suaranya kasar, khas

Mogadorian. "Kita harus pergi dari sini."

"Kita?"

"Kau sakit hati dan marah," ajar Adam sambil

bergerak hati-hati menghampiriku, seakan-akan aku bakal

melayangkan tinju ke arahnya kapan saja. "Aku mengerti.

Tapi kalau kau ingin membalas mereka, aku bisa membantu."

"Aku mendengarkan."

Adam mengulurkan tangan ke arahku. "Aku tahu di

mana mereka tinggal."

Hatiku kecut saat melihat tangan pucat yang menanti

tanganku. Namun, jika apa yang kulihat dalam visi itu benar

?kalau Nomor Lima memang bekerja untuk Mogadorian?

mengapa kami tidak bekerja sama dengan salah satu dari

mereka? Aku menyambut tangan Adam dan meremasnya

kuat-kuat. Dia tidak meringis, hanya menatap mataku lurus-

lurus.

~320~

"Baiklah, Adam," kataku. "Kau akan membantuku

memenangkanperangini."

~321~

Pertempuran Pemicu Peperangan

THE LOST FILES: THE LAST DAYS OF LORIEN

1 IN

I LORIEN. DI SINI "SEMPURNA". SETIDAKNYA, itulah

yang mereka katakan.

Mungkin mereka benar. Selama bertahun-tahun, Biro

Eksplorasi Antar-Planet di Lorien telah mengirimkan banyak

misi pelopor ke hampir semua planet yang bisa dihuni di

alam semesta, dan semua sepertinya mengerikan.

Planet yang disebut Bumi, misalnya. Planetnya

tercemar, padat, terlalu panas, dan semakin panas tiap hari.

Dari cerita para pelopor yang melakukan misi, semua orang

yang tinggal di bumi menyedihkan. Orang bumi sering saling

bunuh hanya karena sepele, dan nyaris sepanjang hidup

mereka berjuang agar tidak terbunuh.

Baca saja salah satu buku sejarah mereka?kami

punya banyak di Pusat Penyimpanan Informasi Lorien?dan

kau akan tahu bahwa sejarah mereka hanyalah perang demi

perang. Rasanya aku seperti mau teriak, Hei, manusia bumi,

dasar bodoh! Gunakan otak kalian!

Masalahnya, selain Lorien, Bumi bisa dibilang sebagai

tempat terbaik yang ada di semesta. Aku bahkan tak akan

menyebut planet Mogadorian. Tempat itu sampah.

Di Lorien tidak ada perang. Tak pernah. Cuaca selalu

sempurna, dan ada banyak variasi di ekosistem sehingga kau

selalu bisa menemukan tempat yang sesuai dengan versi

sempurnamu sendiri tentang cuaca. Sebagian besar wilayah

Lorien adalah hutan perawan, pantai nan indah, dan

pegunungan dengan pemandangan yang menakjubkan.

Bahkan, di beberapa kota yang kami punya, masih banyak

~322~

tempat terbuka dan tak ada kejahatan sama sekali.

Penduduk Lorien bahkan nyaris tak pernah

bertengkar.

Apa yang harus dipertengkarkan? Planet ini

sempurna, jadi semua orang bahagia setiap saat. Kalau kau

berjalan-jalan di jalanan Capital City, kau akan melihat semua

orang tersenyumseperti zombie.

Namun, tak ada yang sempurna, bukan? Bahkan

kalaupun ada, aku harus bilang bahwa "sempurna" itu

membosankan.

Aku benci bosan. Aku selalu berusaha menemukan

ketidaksempurnaan. Karena di situlah, biasanya ada

kesenangan.

Kalau dipikir-pikir, menurut sebagian besar orang

terutama orangtuaku?aku adalah ketidaksempurnaan yang

paling besar.

Benar-benar tidak Loric.

Klub Chimera penuh sesak malam itu. Musik

berdentam, aroma keringat menguar di udara, dan?kejutan!

?semua orang bahagia dan meringis senang sembari

melompat-lompat berputar dan berdansa bersenggolan.

Malam ini, aku juga bahagia. Aku berdansa selama

berjam-jam. Sering kali sendiri, tapi sesekali aku menyenggol

seorang gadis dan kami pun berdansa bersama beberapa

menit. Tersenyum dan tertawa, tapi tak menganggapnya

serius hingga salah satu dari kami terbawa irama musik dan

berdansa menjauh. Tak masalah.

Oke, ternyata malamini hebat juga.

Fajar hampir menjelang sebelum akhirnya aku lelah
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan siap istirahat, setelah berjam-jam berdansa. Aku

bersandar di salah satu jajaran pilar yang mengelilingi lantai

dansa. Saat kuperhatikan sekeliling, ternyata aku berdiri di

dekat Paxton dan Teev. Aku tidak terlalu mengenal mereka,

~323~

tapi mereka pelanggan Chimaera dan aku cukup sering pula

ke sini sehingga kami saling kenal.

"Hai," anggukku, tak yakin apakah mereka masih

mengingatku.

"Sandor, sobatku," kata Paxton menepuk bahuku.

"Bukankah ini sudah lewat waktu tidurmu?"

Aku seharusnya tersinggung karena dia mengejekku,

tapi aku malah senang karena dikenali. Menurut Paxton

sangat lucu karena aku selalu bisa masuk ke klub ini meski

sebenarnya usiaku masih terlalu muda.

Aku tak tahu kenapa umur jadi masalah?Chimra

hanyalah ldub untuk berdansa dan mendengarkan musik.

Tapi di Lorien, peraturan adalah peraturan.

Paxton hanya beberapa tahun lebih tua dariku dan

belajar di Universitas Lorien. Pacarnya, Teev, bekerja di

sebuah butik fashion di East Crescent. Yang aku tahu, mereka

berdua punya gaya hidup yang kuimpikan. Nongkrong di

kafe saat siang, berdansa di tempat seperti Chimwra

sepanjang malam, dan tak seorang pun yang ambil pusing.

Aku tak harus menunggu lama untuk sampai ke usia

mereka, tapi rasanya aku sudah menunggu selamanya. Aku

bosan jadi remaja, harus pergi ke sekolah, mematuhi guru,

dan aturan orangtuaku. Tak lama lagi, aku tak perlu pura-

pura jadi dewasa. Aku akan jadi dewasa dan bisa hidup

sesukaku.

Untuk sekarang, Chimeera adalah satu-satunya

tempat yang bisa membuatku menjadi diri sendiri. Semua

orang di sini bisa dibilang mirip denganku. Mereka

mengenakan baju aneh, dengan tatanan ram- but aneh, dan

melakukan semuanya sesuka mereka. Bahkan, di planet

seperti Lorien, masih ada orangorang yang merasa takpas.

Dan orang-orang itu datang ke klub ini.

Terkadang, meski tak sering, kau bahkan akan

~324~

melihat orang cemberut. Bukan karena tak bahagia atau apa,

tapi karena menyenangkan. Karena ingin tahu bagaimana

rasanya cemberut, kurasa.

Teev menatapku dengan ekspresi geli, dan Paxton

menunjuk ke gelang identitas di pergelangan tanganku.

"Bukankah seharusnya benda itu tak bisa dipalsukan?"

tanyanya sambil nyengir. "Setiap kali kita ketemu, kau

menemukan cara baru agar bisa masuk dari pintu depan

bangunan ini."

Pintu-pintu di Chimera memindai identitas semua

pelanggan yang masuk untuk mencegah pelanggan di bawah

umur seperti aku agar tidak masuk. Dulu, aku kadang

menyelinap dari pintu belakang atau menyelinap di antara

pengunjung yang ramai. Tapi malam ini, aku melangkah lebih

jauh. Aku memodifikasi kode umur di gelang identitasku

sehingga mesin pemindai mengira aku lebih tua dari usiaku

yang sebenarnya. Aku lumayan bangga pada hasil kerjaku

sebenarnya, tapi aku tak akan mengumbar rahasiaku. Jadi,

aku hanya mengangkat bahu kepada Paxton.

"Inilah aku, Sandor, Ahli Teknologi dan Pria

Misterius."

"Bukan hanya tentang pemindaian di pintu, Paxton,"

kata Teev. "Bagaimana dengan Catatan Absen sekolahnya?

Kau masih sekolah, bukan? Sebaiknya kau segera pergi atau

kau akan ditangkap karena membolos. Ini sudah larut, lho."

"Maksudmu pagi," aku mengoreksi Teev. Matahari

akan terbit sebentar lagi. Tapi Teev benar juga.

Teev punya tahi lalat di atas bibirnya dan tanda lahir

kemerahan di pipinya hingga ke garis batas rambutnya. Garis

tato samar melingkari tahi lalatnya, lalu melekuk menjadi

sebuah anak panah yang mengarah ke tanda lahir di pipinya.

Dia pendek dan manis. Menarik. Dia suka menjadi dirinya

sendiri dan dia tak mau menutupinya. Aku mengagumi Teev

~325~

karenanya.

Aku tergoda untuk bercerita bagaimana caraku

mengakali Catatan Absen, yang lebih mudah dilakukan

daripada mengakali pemindaian gelang identitas. Aku

memang ahli. Yang kulakukan hanyalah meminjam gelang

identitas temanku, Rax, dan menyelundupkan salinan

penanda biodigitalku ke dalamnya. Sekarang, setiap aku

bolos, sistem sekolah tetap mencatatku "masuk" asalkan Rax

masuk sekolah.

Aku berhasil menemukan trik itu secara tak sengaja.

Beberapa bukan lalu, aku kena masalah di sekolah dan

dihukum bekerja sukarela di bagian penerima tamu di

sekolah. Di sana, aku menemukan kelemahan dalam sistem

Catatan Absen. Sistem itu tidak mendeteksi redundansi. Jadi,

setiap kali Rax absen dengan gelangnya dan aku ikut tercatat,

sistem tak mendeteksi adanya keganjilan. Sempurna.

"Aku tak bisa mengungkap semua rahasiaku, dong,"

kataku sok.

"Hebat juga kamu," kata Paxton, kekagumannya

sedikit dinodai sarkasme. Aku merona.

"Makasih," kataku dengan gaya tak peduli. Tapi

sebelum aku sempat berkata-kata lagi, aku terpaku. Di dekat

pintu masuk, aku melihat seseorang yang kukenal. Dan

bukan seseorang yang ingin kutemui.

Endym, Profesor Budaya Antar-Planet di Akademi

Lorien.

Endym orangnya lumayan asyik. Mungkin dia satu-

satunya guru yang aku suka. Tapi suka atau tidak, kalau dia

melihatku di klub, padahal aku masih di bawah umur dan

mungkin akan terlambat ke sekolah, dia tak punya pilihan

selain melaporkanku.

Aku menyeringai kepada Paxton dan Teev. "Teev,

Paxton, senang bertemu kalian," kataku sembari menjauh

~326~

dari jangkauan pandang Endym dan bergabung dengan

kerumunan yang sedang berdansa. Dengan kerumunan

sebagai pelindung, aku mengintip ke pintu depan dan melihat

Endym didekati oleh salah satu pelayan klub. Dia mengambil

salah satu ampul yang ditawarkan dan meminumnya,

sementara matanya menatap ke arah lantai dansa. Lalu, dia

masuk ke lantai dansa. Aku yakin Endym belum melihatku,

tapi dia langsung mengarah kepadaku.

Sial. Aku buru-buru sembunyi di balik salah satu

pilar.

Chimaera adalah klub yang besar, tapi tak cukup

besar. Kalau aku tetap tinggal di sini, aku harus bersusah

payah menghindari Endym dan kemungkinan besar dia akan

melihatku.

Aku harus keluar sekarang, mumpung perhatian

Endym sedang teralihkan. Dia baru saja mulai ngobrol

dengan seorang wanita di tengah lantai dansa dan

merayunya habis-habisan. Aku memutar mata tak percaya.

Melihat guruku di Chimera, tiba-tiba membuat klub ini tak

sekeren sebelumnya di mataku.

Satu-satunya jalan keluar adalah masuk lebih dalam

ke klub. Aku belum pernah masuk ke ruang rias di belakang

panggung, tapi para penampil pasti muncul dari sana. Satu-

satunya masalah, Endym sepertinya memilih tempat yang

paling tidak pas. Aku harus melewatinya untuk menuju

pintu, dan dia juga dengan mudah bisa melihat ke arah tangga

belakang.

Aku melihat-lihat sekeliling, mencoba tidak panik

karena panik hanya membuat orang memperhatikanku,

sementara aku harus cepat menemukan solusi dari dilema

ini. Lalu aku melihat mereka, masih berdiri beberapa langkah

jauhnya: Teev dan Paxton. Mereka akan membantuku.

Setidaknya, kuharap begitu.

~327~

"Bagaimana menurut kalian," kataku sembari

mendekat dengan senyum penuh sekongkol, "kalau kubilang

priadisanaadalahguruku?"

Pasangan itu menatap Endym, lalu menoleh lagi ke

arahku.

"Kurasa reputasi tempat ini Idan merosot," kata

Teev."Merekamemperbolehkangurumasuk?"

"Kaukurangberuntung,Sobat," Paxtontertawa."Kau

sudah susah payah menyelinap ke sini dan sekarang kau

akantepergok."

"Ayolah, Teman, jangan tertawakan aku. Bagaimana

kalau kau membantuku saja?" Saat mereka hanya saling

pandang skeptis, aku mengangkat bahu malu-malu. "Aku

mohon..."

Teev mengibaskan rambutnya dan memutar bola

matanya. "Okelah, Sobat Kecil," katanya sambil menepuk

pipiku. Memang agak memalukan sih, tapi aku bisa apa?

"Kamiakanmengurusmu," janjinya,"segerapergidarisini."

Aku mengamati beberapa lama ketika Teev serta

Paxton mendekati Endym dan wanita yang diajaknya

berdansa. Pasangan itu bergabung dengan keduanya. Teev

berdansa dengan Endym dan Paxton berdansa dengan

pasanganEndym.

Setelah aku yakin mereka berhasil mengalihkan

perhatian Endym, aku segera mengambil kesempatan. Aku

menyelusup di antara kerumunan sembari menunduk

menyembunyikanwajah.

Aku nyaris bebas ketika seseorang berteriak

kepadaku. "Hei!" Aku berpaling, terkejut melihat seraut

wajah yang marah dan seorang pria yang berusaha

mendekatiku. Rupanya tak sengaja, aku menjatuhkan ampul

priaitudandiatak senangkarenanya.

Terjebak dalam perkelahian di lantai dansa, jelas

~328~

adalah hal yang harus kuhindari. Aku lari menuju pinggir

panggung dan meraba-raba di keremangan hingga

menemukan sebuah pintu kecil.

Pintu itu terkunci, tentu saja.

"Hei! Kau!" teriak pria tadi. Dia semakin mendekat.

"Kau harus mengganti minumanku!"
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menggerak-gerakkan gagang pintu dengan tak

sabar. Saat pintu tetap tak terbuka, aku menanggalkan

kepura-puraanku dan mulai berusaha mendobrak pintu

dengan menabraknya. Kuharap dengan tenaga dorongan

yang cukup?dan sedikit keberuntungan pintu akan terbuka.

Pria itu semakin dekat, dan masih berteriak. Orang

berengsek! Seheboh itu hanya karena segelas minuman? Di

seluruh klub, kepala-kepala mulai menengok ke arahku. Aku

mungkin tertangkap kapan saja.

Satu kali lagi. Dengan sekuat tenaga, aku

menabrakkan diri ke pintu kecil itu.

Kali ini, pintu itu menyerah.

~329~

2 D

ORONGAN TENAGA DAN BERAT BADANKU MEMBUATKU

terhuyung ke ruangan lain di sisi pintu. Aku terjungkal,

menabrak lapis, demi lapis kain. Aku tersandung dan

terjatuh, kepalaku menghantam lantai.

Lalu, aku mendengar suara. Suara seorang gadis.

"Nah, itu baru lucu."

Terbaring di lantai, aku baru menyadari bahwa aku

tadi menabrak deretan gantungan pakaian. Pakaian wanita.

Sekarang, aku terbaring di lantai di antara tumpukan baju

wanita. Seakan-akan, aku baru saja terkena ledakan manik-

manik dan batu-batuan.

Di dekatku, seorang pria mengenakan celana hitam

metalik dan kaus tak berkerah sedang berusaha menutup

dan mengunci pintu yang baru saja kudobrak.

"Yah, lucu," katanya sarkastis. "Aku suka saat anak

bau kencur nyelonong ke ruang ganti."

Aku berdiri dengan canggung dan mencoba

membereskan baju-baju wanita yang tadi kujatuhkan. Jelas

aku tak pernah membayangkan malamku akan jadi seperti

ini.

"Sangat. Sangat. Lucu." Aku berbalik dan melihat

seorang gadis dengan rambut putih elektrik duduk di atas

bangku rendah di pojok ruangan. Dia mengenakan celana

yang sangat pendek dan sedang membungkuk. Dia sedang

menggambari tubuhnya sendiri dengan semacam pena rias,

menandai betisnya dengan pola-pola lingkaran dan

lengkungan.

"Tidak," kataku.

Mungkin seharusnya aku meminta maaf. Atau

setidaknya menjelaskan siapa diriku. Tapi aku tak bisa. Aku

terlalu terpana. Yang muncul dari mulutku hanya tidak.

~330~

"Oh, ya," kata si gadis, sambil terus menggambari

kakinya. Dia semakin membungkuk dan sedikit

memanyunkan bibirnya, meniup-niup goresan di betisnya

agarcepatkering.

Akutak percaya.Tapiininyata.

DiaDevektra.

Kebanyakan orang Lorien mungkin tak tahu siapa

dia. Tapi aku bukan orang kebanyakan, dan aku telah

mendengarkan musik Devektra selama berbulan-bulan. Bagi

orang-orang yang tahu, Devektra adalah Garde penampil

paling ditunggu-tunggu di Lorien. Dengan kecantikannya

yang memukau, lirik-lirik lagunya yang puitis dan bijak, jauh

di atas usianya?karena bisa dibilang Devektra masih anak-

anak, hanya beberapa tahun lebih tua dariku?dan pusaka

Gardenya yang tak biasa. Dia bisa menciptakan display

cahaya yang memukau dan hipnotis selama penampilannya.

Para penggemarnya yakin bahwa dia akan jadi bintang besar

tak lamalagi.Saatinijalanpopularitaskianterbukabaginya.

"Apa? Belum pernah lihat gadis pakai make up di

kakinya,ya?" kataDevektradenganbinarjaildimatanya.

Aku mencoba menguasai diri. "Kau pasti penampil

rahasia malam ini," kataku akhirnya sedikit terpatah-patah

karena gugup. "Aku, mu... aku penggemar fanatikmu." Aku

mengernyit dalam hati saat mengatakannya. Klise sekali.

Pecundang.

Devektra menilai goresandi kakinya, lalu berdiri dan

menatapku, seakan-akan tak tahu apakah dia harus marah

atautertawa. Akhirnya, diamelakukankeduanya. "Makasih,"

katanya. "Tapi tahu tidak, mereka mengunci pintu itu untuk

satualasan?agarpenggemarfanatik tetapdiluar."

Melangkah maju, Devektra merangkul bahuku

dengan gaya dramatis dan menjewer telinga kananku.

Mendekatkannya ke bibirnya. "Nah, apa yang kau lakukan di

~331~

ruang gantiku?" bisiknya. "Aku tak harus memanggil petugas

keamanan, kan?"

"Erm ...," gagapku, "sebenarnya, begini ...," aku

berusaha mencari penjelasan yang masuk akal di otakku, tapi

tak bisa menemukannya. Kurasa aku lebih jago meretas

peranti lunak daripada bicara dengan gadis. Terutama gadis

seksi dan terkenal lagi.

Devektra melangkah mundur. Mengamatiku dari

ujung kaki sampai ujung kepala dengan binar nakal di

matanya. "Kau tahu apa yang kupikir, Mirkl?" tanyanya.

"Apa?" tanya pria yang keberadaannya nyaris

kulupakan dengan suara bosan. Sepertinya dia malah

terdengar muak dengan Devektra.

"Kupikir," kata Devektra pelan, "sobat kecil ini masih

terlalu muda untuk masuk ke sini. Bagiku dia kelihatan

seperti akan diusir keluar karena umurnya belum

mencukupi, lalu dia menyelinap ke sini untuk sembunyi. Kita

kedatangan kriminal, nih. Dan kau tahu kan, bagaimana

pendapatku tentang kriminal ...?"

Aku menunduk menatap lantai. Sekarang aku benar-

benar terpojok. Ini memang bukan pertama kalinya aku

dapat masalah seperti ini. Atau kedua kali. Tapi kali ini,

konsekuensinya akan benar-benar serius.

Namun, Devektra mengejutkanku.

Dia tersenyum jail dan mulai terkikik. Gadis ini agak

gila rupanya, batinku. "Aku menyukainya!" katanya.

Devektra menyipitkan, mata dan menggerak-gerakkan

telunjuknya di depan wajahku. Kuku jemarinya berkilau

dengan berbagai warna pelangi. "Cepan kecil yang nakal."

Untuk kedua kalinya hanya dalam beberapa detik,

gadis ini mengejutkanku. "Bagaimana kau tahu aku seorang

Cepan?" tanyaku.

Seperti sebagian besar publik figur di Lorien?atlet,

~332~

penampil, tentara?Devektra adalah seorang Garde.

Aku seorang Cepan. Sekelompok Cepan terpilih

menjadi mentor para Cepan, pendidik para Garde, tapi

sebagian besar dari kami menjadi birokrat, guru, pengusaha,

penjaga toko, dan petani. Aku belum tahu, aku akan menjadi

Cepan seperti apa setelah lulus sekolah nanti, tapi pilihan-

pilihan yang kumiliki memang tak ada yang keren. Mengapa

aku tidak terlahir sebagai Garde dan bisa melakukan hal yang

menyenangkan?

Devektra mencibir. "Pusaka ketigaku. Pusaka yang

membosankan. Aku tak suka menyebutkannya. Aku selalu

bisa membedakan antara Garde dan Cepan."

Seperti Garde lainnya, Devektra punya kekuatan

telekinesis. Dia juga mempunyai kemampuan untuk

membelokkan dan memanipulasi gelombang cahaya dan

suara. Keahlian yang dia gunakan saat tampil dan

membuatnya terus meroket sebagai bintang. Itu sebuah

Pusaka yang lumayan langka, tapi Pusaka ketiga yang baru

dia sebutkan?bisa membedakan antara Garde dan Cepan?

aku belum pernah mendengarnya.

Entah kenapa, aku merasa agak rendah diri. Aku tak

tahu kenapa, tak ada yang salah menjadi Cepan. Meskipun

aku sering berpikir menjadi Garde sepertinya lebih

menyenangkan, aku tak pernah merasa kurang percaya diri

tentang diriku sebelumnya.

Alasan pertama, aku sejak dulu adalah orang yang

percaya diri. Alasan kedua, memang seperti itulah kondisi di

Lorien. Meski Garde dihormati sebagai "anugerah" bagi

planet kami, ada keyakinan yang dipercaya para Garde

maupun Cepan bahwa kemampuan menakjubkan para Garde

bukan hanya dimiliki oleh mereka, melainkan juga oleh

semua penghuni Lorien.

Namun, berdiri di ruang ganti ini, berhadapan dengan

~333~

gadis tercantik yang pernah kulihat. Gadis yang sebentar lagi

naik panggung dan mendemonstrasikan bakatnya yang

menakjubkan kepada semua orang di Chimera. Tiba-tiba, aku

merasa sangat biasa. Dan dia bisa merasakannya. Dia adalah

Devektra, sang Devektra, dan aku cuma Cepan bau kencur

yang tak keren sama sekali. Aku bahkan tak tahu kenapa

Devektra repot-repot mengajakku bicara.

Aku berbalik hendak pergi. Ini tak ada gunanya. Tapi,

Devektra menarik sikuku.

"Yang ceria, dong," katanya. "Aku tak peduli kalau

kau seorang Cepan. Lagi pula, aku tadi cuma bercanda,

syukur pada para Tetua. Kalau memang ada Pusaka semacam

itu, pasti sangat membosankan. Pusaka ketigaku yang

sebenarnya jauh lebih menarik."

"Apa?" tanyaku curiga. Aku mulai merasa bahwa

Devektra mempermainkanku.

Mata gadis itu berbinar. "Bukankah sudah jelas? Aku

bisa membuat pria jatuh cinta padaku."

Kali ini, aku tahu dia bercanda. Tapi wajahku

langsung memerah saat aku menyadari kebenarannya. "Kau

bisa membaca pikiran," kataku.

Devektra tersenyum, terkesan. Dia bersandar ke

Mirkl yang cemberut. "MirId," katanya, "kurasa dia mulai

mengerti."

~334~

Sekutu yang Terlupakan

THE LOST FILES: THE SEARCH FOR SAM

1 A

KU TAK YAKIN BISA.

Aku terlalu lemah untuk bicara, jadi aku hanya

mengucapkannya dalam hati. Tapi, Nomor Satu bisa

mendengarku. Dia selalu bisa mendengarku.

"Harus," katanya. "Kau harus bangun. Kau harus
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjuang."

Aku di dasar jurang, kakiku tertekuk ganjil di bawah

tubuhku, bahuku menghantam batu besar. Aliran air

membasahi pahaku. Aku tak bisa melihat apa-apa karena

mataku terpejam dan aku tak bisa membukanya karena

kekuatanku habis.

Sejujurnya, aku tak ingin membuka mata. Aku ingin

menyerah, melepas semua.

Membuka mata berarti aku harus menghadapi

kenyataan.

Itu artinya menyadari bahwa aku terjatuh di tepi

sungai kering. Bahwa basah yang kurasakan di pahaku

bukanlah air sungai, tapi darah. Akibat kaki kananku yang

patah dan tulang keringku yang mencuat keluar.

Itu artinya menyadari bahwa aku dibiarkan mati

oleh ayahku sendiri, ribuan kilometer dari rumah. Dan

bahwa Ivanick, orang yang kuanggap seperti saudaraku

sendiri, justru yang nyaris membunuhku. Dia mendorongku

dengan brutal hingga aku jatuh ke jurang terjal

Itu artinya menghadapi kenyataan bahwa aku adalah

seorang Mogadorian, anggota ras alien yang bertekad

memusnahkan bangsa Lorien dan mendominasi Bumi.

~335~

Kupaksa mataku tetap terpejam. Berusaha sekuatnya

bersembunyi dari kenyataan.

Dengan mata masih terpejam, aku bisa

membayangkan tempat yang lebih indah. Sebuah pantai di

California, kaki telanjangku terbenam di pasir. Nomor Satu

duduk di sampingku, menatapku sembari tersenyum. Ini

adalah tempat dari kenangan Nomor Satu, sebuah pantai di

California yang belum pernah kudatangi. Tapi, kami sudah

berbagi kenangan itu sekian lama. Sepanjang tiga tahun

memori kami menyatu, sehingga rasanya seperti kenanganku

sendiri sekaligus kenangannya.

"Aku betah di sini seharian," kataku. Matahari

menghangatkan kulitku.

Nomor Satu menatapku dengan senyum lembut,

seakan-akan dia setuju. Tapi saat dia membuka mulut untuk

bicara, kata-katanya tak serasi dengan ekspresinya. Kata-

katanya keras, tegas, dan memerintah.

"Kau tak bisa tinggal di sini," katanya. "Kau harus

bangun. Sekarang ...."

Mataku terbuka. Aku terbaring di ranjang lipat di

kamp sukarelawan. Nomor Satu berdiri di ujung ranjang.

Seperti dalam mimpiku, dia tersenyum. Tapi

sekarang bukan senyum lembut, senyum mengejek.

"Ya ampun," katanya, memutar mata, "kau ini tidur

melulu."

Aku tertawa dan duduk. Akhir-akhir ini, aku memang

banyak tidur. Tujuh minggu berlalu sejak aku merangkak

keluar dari jurang. Dan selain rasa lunglai di kaki kananku,

aku sudah nyaris pulih seluruhnya. Tapi jadwal tidurku

belum normal: aku masih tidur sepuluh jam semalam.

Aku memandang sekeliling dan melihat ranjang-

ranjang lain kosong. Teman-teman sukarelawan sudah

~336~

bangun dan melakukan tugas mereka. Aku berdiri dengan

kaki kanan sedikit goyah. Nomor Satu tersenyum mengejek

lagi melihat kecanggunganku.

Kuabaikan dia. Kupakai sandalku dan kaus, lalu aku

keluar.

Di luar, terik matahari dan kelembapan langsung

menyerbu. Aku masih setengah mengantuk dan ingin sekali

mandi, tapi Marco dan sukarelawan lain sudah sibuk

melakukan tugas pagi. Aku kehilangan kesempatan.

Pagi hari para sukarelawan sibuk mengurus tugas-

tugas di kamp: memasak sarapan, mencuci baju dan

peralatan makan. Setelah itu, sebuah jip akan menjemput

kami dan membawa kami ke desa. Kami saat ini sedang

mengerjakan proyek pengairan di sana, memodernisasi

sumur desa yang sudah kuno. Sukarelawan lain mengajar

anak-anak desa di kelas di sebelah kamp. Aku mencoba

belajar bahasa Swahili, tapi masih butuh usaha keras dan

waktu sebelum aku siap mengajar anak-anak itu.

Aku meleburkan diri dengan kehidupan di kamp. Aku

sangat senang membantu penduduk desa. Tapi sebenarnya,

aku bekerja keras juga sebagai ungkapan terima kasih.

Setelah menyeret tubuhku yang remuk keluar jurang

dan menembus hutan sejauh satu kilometer, aku akhirnya

ditemukan oleh seorang nenek penduduk desa. Dia mengira

aku adalah salah seorang sukarelawan. Penyamaran yang

kulakukan saat aku melacak jejak Hannu, si Nomor Tiga.

Nenek itu pergi ke kamp sukarelawan dan kembali sejam

kemudian bersama Marco dan seorang dokter yang sedang

berkunjung. Aku dibawa kembali ke kamp dengan tandu. Di

sana, dokter mengembalikan tulang kakiku ke posisi semula,

menjahit lukanya, dan memasang gips yang baru-baru ini

raja dilepas.

Marco mengizinkanku tinggal di sini, pertama agar

~337~

aku pulih dan kedua agar aku bisa membantu kerja

sukarelawan. Dia tak bertanya, yang dia inginkan hanyalah

aku melakukan tugasku dan memenuhi persyaratan kerja

seperti sukarelawan lainnya.

Aku tak tahu apa yang dia pikirkan tentang

kondisiku. Aku mengira bahwa Marco pasti sudah menduga

bahwa Ivan-lah yang mencelakakanku, berdasarkan fakta

bahwa Ivan menghilang di hari yang sama saat terjadinya

kecelakaanku. Mungkin kedermawanan Marco didorong

oleh rasa iba. Dia mungkin tak tahu pasti apa yang terjadi,

tapi dia tahu aku telah dibuang keluargaku. Dan karena

dugaan Marco bisa dibilang ada benarnya, aku tak keberatan

dia merasa iba kepadaku.

Kau mau tahu hal yang lucu akibat ditinggalkan oleh

keluargaku, seluruh bangsaku?

Aku malah tak pernah sebahagia ini.

Memperbaiki pengairan desa adalah pekerjaan yang

panjang dan membuatmu berkeringat. Tapi aku punya

keuntungan yang tidak dipunyai sukarelawan lain. Aku

punya Nomor Satu. Aku selalu berbincang dengannya saat

bekerja. Meskipun otot-ototku dan punggungku sakit, waktu

berjalan laksana terbang.

Seringnya, Nomor Satu memberiku semangat dengan

mengejek. "Kau salah melakukannya." "Kau sebut itu

menyekop?" "Kalau aku punya tubuh, aku pasti sudah selesai

mengerjakannya sekarang." Dia mengejek pekerjaanku

sembari berbaring santai seperti nyonya yang berjemur

matahari.

Kau mau coba? bentakku dalam hati.

"Nggak," katanya. "Nanti kukuku patah."

Tentu saja, aku harus berhati-hati untuk tidak benar-

benar bicara dengannya saat bekerja. Tidak di depan orang

~338~

lain. Aku sudah mendapat reputasi sebagai orang aneh gara-

gara sering bicara sendiri selama minggu-minggu awal

tinggal di sini. Lalu, aku belajar untuk bicara dengan Nomor

Satu dalam diam. Bicara dengannya lewat pikiran dan tak

perlu mengucapkan kata-kata. Untungnya, reputasiku

membaik dan yang lain tak lagi menganggapku gila.

Malam itu aku bertugas di dapur bersama Elswit,

penghuni terbaru kamp. Kami memasak githeri, sebuah

masakan sederhana berbahan jagung dan buncis. Elswit

melepaskan biji-biji jagung, sementara aku mencuci buncis.

Aku suka Elswit. Dia banyak bertanya tentang dari

mana asalku dan apa yang membawaku ke sini. Pertanyaan

yang jelas tak kujawab dengan sebenarnya. Untungnya, dia

tak keberatan mendengarkan jawabanku yang kabur atau

malah tak ada sama sekali. Elswit suka ngobrol, sudah sibuk

dengan pertanyaan selanjutnya, bahkan tanpa

memperhatikan bahwa aku belum menjawab

pertanyaannya. Dia suka menyisipkan kisah hidupnya

sendiri di sela-sela pertanyaannya. Dan obrolannya, aku bisa

menyimpulkan bahwa dia anak seorang bankir kaya di

Amerika, yang tak setuju dengan keputusan Elswit

bergabung dengan organisasi kemanusiaan.

Berusaha mencapai standar yang diinginkan ayahku

sangatlah sulit saat aku masih kecil. Tapi dengan keberadaan

Nomor Satu di pikiranku, standar itu menjadi mustahil

bagiku. Aku menjadi lemah, mudah bersimpati, serta

mencemaskan hal-hal yang tak akan mungkin dipahami dan

ditoleransi oleh ayahku. Elswit dan aku punya kesamaan.

Kami sama-sama mengecewakan ayah kami.

Namun, dengan cepat, aku menyadari bahwa

kesamaan kami tak benar-benar serupa. Meskipun Elswit

berkisah bahwa dia "dikucilkan" dari keluarganya, dia masih

~339~

berhubungan dengan orangtuanya yang kaya dan bisa

mengakses kekayaan keluarganya. Ayahnya bahkan sudah

mengatur agar sebuah jet pribadi menjemputnya di Nairobi

beberapa minggu lagi agar Elswit bisa pulang ke rumah saat

ulang tahun. Sementara itu, ayahku mengira aku sudah mati

dan kurasa dia senang dengan itu.

Setelah makan malam, aku bisa mandi dan tidur.

Nomor Satu meringkuk di kursi rotan di pojok ruangan.

"sudah mau tidur, nih?" godanya.

Aku memeriksa ruangan ini sekali lagi. Tak ada

orang, jadi aku bisa bicara asalkan aku menjaga nada suaraku

tetap pelan. Bicara langsung terasa lebih alami daripada

berkomunikasi lewat pikiran.

"Aku ingin bangun pagi bersama yang lain mulai

besok."

Nomor Satu menatapku penuh tanya.

"Kenapa? Gipsku sudah dilepas, pincangku sudah

hampir hilang aku hampir sembuh. Sudah waktunya bagiku

untuk mendapatkan beban yang sama dengan yang lain."

?Nomor Satu mengerutkan dahi dan meremas-remas

kemejanya. Tentu saja, aku tahu apa yang mengganggunya.

Bangsanya ada di luar sana, menjadi target bangsaku.

Sementara dia terjebak di Kenya. Lebih parah lagi, dia

terjebak di pikiranku, tanpa wujud, tanpa kehendak, dan

tidak mampu melakukan keinginan sendiri. Kalau saja dia
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa, aku tahu Nomor Satu pasti sudah ada di tempat lain?di

mana pun itu?untuk bertempur.

"Berapa lama kita akan di sini?" tanyanya muram.

Aku pura-pura bodoh, pura-pura tak paham apa yang

dia rasakan. Aku mengangkat bahu, menarik selimut dan

berguling miring. "Aku tak harus pergi ke mana-mana."

Aku bermimpi.

~340~

Ini adalah malam saat aku mencoba menyelamatkan

Hannu. Aku lari dari kamp bantuan ke dalam hutan, menuju

ke gubuk Hannu, berusaha sampai sebelum Ivan dan ayahku.

Aku tahu bagaimana ini akan berakhir?Hannu terbunuh,

aku ditinggalkan untuk mati?tapi di mimpi ini semua

desakan kepanikan malam itu kembali lagi. Membuatku

tersaruk-saruk menerobos semak dan tanaman rambat, di

kegelapan yang ditingkahi suara binatang malam.

Alat komunikasi yang kuambil dari gubuk berderak

di pinggangku. Suara mencekam yang memecah keheningan.

Aku tahu para Mogadorian mendekat.

Aku harus sampai duluan. Harus.

Aku tiba di sebuah tempat terbuka di dalam hutan.

Gubuk tempat tinggal Hannu dan Cepannya masih berdiri di

tempat yang kuingat. Mataku berusaha menyesuaikan diri

dengan kegelapan.

Lalu, aku melihat ada yang beda.

Gubuk dan tanah terbuka itu, kini dipenuhi dengan

semak dan tanaman rambat. Setengah bagian depan gubuk

nyaris runtuh karena ledakan dan atapnya miring karena tak

ada dinding yang menahan. Jalur penuh rintangan di pinggir

tanah terbuka yang dulunya pasti digunakan Hannu untuk

berlatih sudah penuh dengan semak sehingga aku tak bisa

melihatnya lagi.

"Maaf," terdengar suara dari hutan.

Aku berbalik sebat. "Siapa di sana?"

Nomor Satu muncul dari balik pepohonan.

"Maaf karena apa?" Aku bingung dan tersengal-

sengal. Kakiku sakit karena berlari.

Lalu aku tersadar. "Aku tidak bermimpi," kataku.

Nomor Satu menggeleng. "Tidak."

"Kau mengambil alih." Kata-kata itu terlontar begitu

saja sebelum aku memahami apa yang kukatakan. Tapi dari

~341~

ekspresi wajah Nomor Satu, aku yakin aku benar: dia

mengambil alih pikiranku saat aku tertidur, membawaku ke

tempat kematian Hannu. Dia belum pernah melakukan ini

sebelumnya. Aku bahkan tak tahu Nomor Satu bisa

melakukan ini. Tapi keberadaannya sudah sangat menyatu

dengan pikiranku saat ini sehingga seharusnya aku tidak

terkejut. "Kau membajak tubuhku."

"Maafkan aku, Adam," katanya. "Tapi aku butuh agar

kau datang kemari, untuk mengingatkanmu ...."

"Yah, ini tak berhasil!" Aku bingung. Marah karena

Nomor Satu memanipulasi kehendakku.

Namun, begitu aku mengatakannya, aku sadar itu

dusta. Nomor Satu memang berhasil.

Adrenalinku melonjak, jantungku berdegup kencang,

dan aku merasakannya: hal sangat penting yang aku coba

lakukan berbulan-bulan lalu dan gagal. Ancaman bangsaku

kepada para Garde dan dunia.

Mereka harus dihentikan.

Aku berbalik agar Nomor Satu tak melihat keraguan

di wajahku.

Namun, kami berbagi pikiran. Aku tak bisa sembunyi

darinya.

"Aku tahu kau juga merasakannya," ucap Nomor

Satu.

Dia benar, tapi aku menyingkirkan jauh-jauh desakan

yang kurasakan dalam hatiku. Desakan bahwa aku punya

sebuah tujuan yang sengaja kuabaikan di Kenya. Hidup mulai

berjalan baik lagi. Aku suka tinggal di Kenya. Aku suka

karena bisa membuat perbedaan dalam kehidupan orang-

orang miskin itu, dan mudah bagiku untuk melupakan

ancaman perang di sini. Hingga Nomor Satu secara paksa

menyeretku ke? sini, ke tempat pembunuhan Hannu dan

mengingatkanku.

~342~

Aku menggelengkan kepala. "Aku melakukan hal baik

di sini, Satu. Aku membantu orang."

"Yah," kata Nomor Satu. "Bagaimana kalau

melakukan hal hebat? Kau bisa membantu Garde

menyelamatkan planet ini. Lagi pula, apa kau pikir

Mogadorian akan membiarkan tempat ini saat rencana akhir

mereka berhasil? Apa kau tidak menyadari bahwa pekerjaan

kemanusiaan yang kau lakukan di desa bagaikan menggali

sebuah kolam pasir isap, kecuali kau bergabung dengan

pertempuran untuk menghentikan bangsamu?"

Merasakan bahwa Nomor Satu mulai bisa

menyadarkanku, dia mendekat. "Adam, kau bisa menjadi

lebih dari

"Aku bukan pahlawan!" teriakku serak. "Aku ini

lemah. Pembelot!"

"Adam," pinta Nomor Satu, suaranya tercekat, "aku

memang suka menggodamu, dan aku tak suka kalau kau

besar kepala. Tapi kau memang satu di antara sejuta. Satu di

antara sepuluh juta. Kau adalah satu-satunya Mogadorian

yang pernah melawan kekuasaan Mogadorian. Kau tak tahu

betapa istimewanya dirimu. Betapa kau penting bagi

perjuangan kami!"

Satu-satunya hal yang kudambakan adalah dianggap

istimewa oleh Nomor Satu, sebagai seorang pahlawan. Aku

berharap aku bisa memercayai kata-katanya sekarang. Tapi

aku tahu dia salah.

"Tidak. Satu-satunya hal yang istimewa dariku

adalah kau. Kalau Dr. Anu tidak menghubungkanku dengan

otakmu, kalau saja selama tiga tahun ini aku tidak tinggal

dalam kenanganmu aku akan menjadi orang yang

membunuh Hannu. Dan mungkin aku akan bangga

karenanya."

Aku melihat Nomor Satu berjengit.

~343~

Bagus, pikirku. Aku bisa memengaruhinya.

"Kau dulu salah satu dari Garde. Kau punya Pusaka,"

kataku. "Sedangkan aku hanyalah mantan Mogadorian yang

kurus dan tak punya kekuatan. Hal terbaik yang bisa

kulakukan adalah bertahan hidup. Maafkan aku."

Aku berbalik dan kembali berjalan menuju kamp.

Nomor Satu tak mengikutiku.

~344~

2 M

ESKIPUN KELELAHAN KARENA BERLARI TENGAH malam

sampai ke gubuk Hannu, aku berhasil bangun pagi bersama

para pekerja kemanusiaan yang lain keesokan paginya.

"Wah, lihat dirimu bangun pagi," canda Elswit.

"Yakin kau tak mau melanjutkan tidur cantikmu?"

Aku nyaris membalas candaan Elswit dengan

memanggilnya pangeran seperti yang sering dilakukan para

pekerja lain. Elswit mendapatkan julukan itu ketika dia

datang ke sini dengan benda-benda mewah tak penting,

terutama yang paling menggelikan adalah piama sutra

berkilau. Tapi tak ada yang berani mengejeknya terang-

terangan, karena Elswit juga membawa laptop canggih

dengan jaringan nirkabel. Dia dengan murah hati

memperbolehkan kami memakai laptopnya dan tak seorang

pun berani mengambil risiko kehilangan akses teknologi

dengan mengejeknya.

Sembari berpakaian, aku menyadari bahwa Nomor

Satu tak ada di mana-mana. Padahal, dia biasanya bangun

sebelum aku. Kurasa dia masih marah karena pertengkaran

kami di hutan semalam.

Dia hanya menghilang sementara. Nomor Satu

kadang memang melakukan itu. Aku pernah bertanya, "Ke

mana kau pergi saat kau tak di sini?" Nomor Satu menjawab

samar, "Nggak ke mana-mana," itu saja katanya.

Kami keluar untuk memulai tugas pagi, tapi gerimis

turun. Bagus bagi desa, tapi ini artinya pembangunan, saluran

air tertunda hari ini: tanahnya sulit diolah saat hujan. Jadi,

setelah melakukan tugas pagi, aku, Marco, dan Elswit punya

waktu bebas untuk berkeliling, membaca, atau menulis surat.

Aku bertanya kepada Elswit, bolehkah aku

menggunakan komputernya selama sejam? Dia langsung

~345~

bilang ya. Elswit mungkin pangeran manja, tapi dia murah

hati.

Aku membawa laptop Elswit ke gubuk kami dan

mulai membuka-buka situs berita. Saat aku mendapatkan

kesempatan untuk menggunakan laptop Elswit, aku selalu

mencari kemungkinan tentang adanya aktivitas Lorien atau

Mogadorian. Aku mungkin sudah melepaskan diri dari

pertempuran, tapi aku masih penasaran dengan nasib para

Garde.

Had ini tak ada berita menarik. Aku mengecek sekali

lagi untuk memastikan bahwa aku sendirian di gubuk, lalu

membuka program buatanku yang kuinstal di laptop Elswit.

Aku meretas sinyal nirkabel dari Estat Ashwood, rumahku

dulu, dan menciptakan sebuah direktori bayangan yang

menyimpan data Instant Messages (IM) dan e-mail yang

keluar masuk dari Ash-wood.

Seandainya saja aku bisa berkilah bahwa risetku ke

situs berita didorong oleh sebuah niatan heroik, tapi

sebenarnya motifku sangatlah menyedihkan sehingga aku

lebih baik mati daripada mengakuinya kepada Nomor Satu;

aku hanya ingin tahu apakah keluargaku merindukanku.

Keluargaku. Mereka mengira aku sudah mati. Dan

mungkin mereka malah senang karenanya.

Aku menghabiskan sebagian besar hidupku di Bumi

di sebuah komunitas tertutup di Virginia yang bernama Estat

Ashwood. Di sini, tempat Mogadorian sejati tinggal di rumah-

rumah normal, mengenakan baju normal, dan hidup dengan

nama samaran normal, bersembunyi di tempat terbuka. Tapi

di bawah tak terlihat oleh manusia, membentang jaringan

laboratorium dan fasilitas latihan yang besar, tempat
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mogadorian sejati serta biakan berlatih dan bersekongkol

untuk merusak serta menguasai alam semesta.

Sebagai putra dari pejuang legendaris Mogadorian,

~346~

Andrakkus Sutekh, aku diharapkan menjadi prajurit

Mogadorian yang setia dalam perang gerilya ini. Aku

didaftarkan sebagai subjek dalam eksperimen untuk

mengambil memori dari Garde Loric pertama yang terbunuh.

Gadis yang dikenal sebagai Nomor Satu. Rencananya adalah

menggunakan informasi dari memori gadis itu untuk

melawan bangsa Loric, membantu kami melacak dan

memusnahkan sisa Loric lainnya.

Namun, eksperimen transfer ingatan itu berjalan

terlalu baik. Tiga tahun aku koma, terkunci dalam ingatan

seorang Loric yang sudah mati. Menjalani kenangan-

kenangannya yang paling bahagia dan menyakitkan, seakan-

akan itu adalah memoriku sendiri.

Akhirnya, aku terbangun dari koma. Tapi aku

kembali sebagai orang yang berbeda. Aku jadi tak suka

pertumpahan darah, memiliki simpati kepada para Loric

yang diburu, dan hantu Nomor Satu menjadi teman setiaku.

Di awal-awal pengkhianatanku, aku berbohong pada

bangsaku, mengklaim bahwa eksperimennya gagal, dan aku

tak ingat pernah bergabung dengan ingatan Nomor Satu. Aku

mencoba kembali menjadi Mogadorian yang normal dan

haus darah. Tapi dengan hantu Nomor Satu selalu di dekatku,

baik hanya sebagai suara di kepalaku maupun penampakan

di sebelahku, mustahil bagiku untuk membantu bangsaku

menyerang bangsa Loric.

Seakan-akan ditarik oleh sebuah kekuatan yang tak

terlawan, aku menjadi pengkhianat. Memerangi usaha

bangsaku, aku mencoba menyelamatkan Loric ketiga yang

ditargetkan untuk dibunuh.

Namun, Loric ketiga ini tetap mati. Dibunuh oleh

ayahku tepat di depan mataku, Aku gagal

menyelamatkannya. Dan setelah kedokku sebagai

pengkhianat terbongkar, Ivanick melemparku ke jurang dan

~347~

meninggalkanku agar mati.

~348~

Te

rkuaknya Rahasia Mogadorian

THE LOST FILES: THE FORGOTTEN ONES

1 M

ATAKU TERBUKA. TAPI AKU TAK BISA MELIHAT apa pun.

Hanya ada kegelapan. Paru-paruku sesak dan berat, seakan-

akan dilapisi debu tebal, dan saat aku batuk, awan debu

membubung di sekelilingku, membuatku terbatuk-batuk

sehingga rasanya seakan-akan paru-paruku hendak

meloncat ke luar. Kepalaku berdentam, sakit, dan tak bisa

bergerak. Kedua lenganku terpaku di sisi tubuh.

Di mana aku?

Saat debu mulai reda, batukku akhirnya berhenti dan

aku mulai ingat.

Duice, New Mexico. Tunggu?apakah semuanya

benar-benar terjadi?

Namun, aku ingin percaya semuanya hanya mimpi.

Aku tahu, tak ada istilah hanya mimpi. Dan ini bukan mimpi.

Aku adalah orang yang menghancurkan tempat ini, tanpa

tahu bagaimana caranya. Aku mengambil kekuatan yang

diberikan Nomor Satu kepadaku dan menghancurkan sebuah

markas militer pemerintah hingga rata dengan tanah.

Lain kali, kalau aku melakukan itu lagi, aku akan

menunggu hingga aku tidak di tempat itu sebelum aku

menghancurkannya. Rasanya masuk akal. Kurasa masih

banyak yang harus kupelajari tentang Pusaka.

Hening meraja di sekelilingku. Kurasa itu pertanda

bagus. Artinya, tak ada yang mau mencoba membunuhku

lagi. Entah apakah mereka juga terkubur reruntuhan seperti

aku, atau mereka sudah mati. Sekarang, aku sendirian.

Nomor Satu sudah mati. Malcolm dan Sam sudah pergi?

~349~

mereka mungkin juga berpikir aku sudah mati. Sedangkan

keluargaku, pasti mereka lebih suka kalau aku mati.

Tak ada yang tahu kalau aku menyerah di sini,

sekarang, dan sebagian diriku memang menginginkannya.

Aku sudah berjuang sedemikian keras. Bukankah sudah

cukup aku berhasil sampai di sini?

Mudah sekali untuk menyerah di sini: membiarkan

tubuhku terkubur. Terlupakan.

Seandainya Nomor Satu masih di sini, dia pasti akan

mengayunkan rambutnya tak sabar dan menyuruhku segera

bangun. Jangan mengasihani diri sendiri. Dia pasti bilang

bahwa aku belum setengah jalan dengan tugas yang dia

berikan kepadaku, dan masih ada hal-hal yang lebih penting

untuk dipikirkan selain diriku sendiri. Dia pasti

mengingatkanku bahwa bukan hanya nyawaku yang sedang

terancam.

Namun, Nomor Satu tak ada di sini lagi, jadi semua

terserah padaku.

Aku masih hidup. Itu mengagumkan. Aku

meledakkan semua peledak di gudang senjata dengan

kesadaran bahwa mungkin itu adalah hal terakhir yang

kulakukan. Aku melakukan itu agar Malcolm Goode, pria

yang rasanya semakin mirip ayah bagiku, bisa melarikan diri

dengan putra kandungnya, Sam. Aku merasa kalau mereka

berhasil lolos, setidaknya aku mati dengan sudah melakukan

hal baik.

Namun, aku tidak mati, setidaknya sekarang. Dan

kalau aku masih hidup, pasti ada alasannya. Masih ada yang

harus kulakukan.

Jadi aku berusaha menenangkan degup jantungku,

menata napas, dan menganalisis situasi. Aku memang

terkubur, tapi masih ada udara di sini, dan aku bisa

menggerakkan kepala, bahu, bahkan sedikit lenganku. Bagus.

~350~

Napasku membuat debu beterbangan dan aku jadi tahu mana

atas, dan juga ternyata ada sedikit cahaya yang merembes

entah dari mana. Dan kalau ada cahaya, itu artinya aku tak

terkubur terlalu dalam.

Tak ada ruang untuk menggerakkan lenganku, tapi

aku tetap berusaha. Mencoba mendorong reruntuhan batu

dan dinding yang mengungkungku. Sia-sia, tentu saja. Aku

bukanlah Mogadorian biakan dengan kekuatan yang

direkayasa secara genetik, atau seperti Ivan, saudara

adopsiku. Aku memang tinggi, tapi kurus dan posturku

seperti manusia biasa, hanya sedikit lebih kuat. Aku bahkan

tak yakin apakah Mogadorian biakan terlatih bisa menggali

jalan keluar dari sini. Sepertinya aku memang tak punya

kesempatan sama sekali.

Namun kemudian, wajah Nomor Satu muncul di

benakku lagi?sorot matanya yang jail, tapi bersahabat

seakan-akan berkata, Bener nih? Hanya itu yang kamu

punya? Dan aku tersadar. Bukan hanya itu. Tidak lagi. Aku

mungkin tak kuat secara fisik, tapi aku punya kekuatan lain.

Aku berkonsentrasi pada reruntuhan di sekelilingku.

Dengan Pusakaku?Pusaka diberikan Nomor Satu kepadaku

?aku bisa mengguncang dan menggeser reruntuhan yang

menguburku. Kupejamkan mata dan berkonsentrasi,

kubayangkan reruntuhan ini berguncang, bergeser, menjauh

dariku hingga aku bisa bebas.

Tak ada yang terjadi. Tak ada yang bergerak.

Bergeraklah, sialan, umpatku dalam hati. Lalu, aku

menyadari bahwa aku mengumpat keras-keras. Tapi tetap

saja, reruntuhan itu tak mau mengikuti keinginanku.

Tiba-tiba, aku merasa marah. Aku marah pada diriku

sendiri: sudah bersikap begitu bodoh, lemah, dan tidak

mampu menguasai anugerah yang diberikan Nomor Satu

kepadaku. Karena membiarkan diriku pergi ke tempat

~351~

seperti ini.

Namun, itu bukan salahku. Aku hanya mencoba

melakukan hal yang benar. Aku seharusnya tak marah pada

diriku, tapi pada bangsaku. Mogadorian-lah yang

menyebabkan aku ke sini. Bangsa Mogadorian yang memuja

kekuatan kasar dan percaya bahwa perang adalah jalan

hidup.

Bisa kurasakan kemarahan mengalir dalam diriku.

Hidupku tak pernah adil. Aku tak pernah punya kesempatan.

Aku teringat Ivan, yang dulu menjadi sahabat terbaikku.

Kami tumbuh bersama, lalu dia mengkhianatiku. Dia

mencoba membunuhku?lebih dari sekali.

Aku teringat ayahku, yang tak ragu-ragu

membiarkan ilmuwan Mogadorian menjadikanku sebagai

kelinci percobaan untuk mesin yang belum pernah dites dan

nyaris menggoreng otakku sampai gosong. Baginya, tak

masalah mengorbankan anak sendiri demi tujuannya.

Dan apa tujuannya? Untuk menyebabkan lebih

banyak kerusakan, membantai lebih banyak orang, dan

mendapatkan kekuasaan lebih besar untuk dirinya sendiri.

Tapi kekuasaan macam apa? Ketika kami menaklukkan

Lorien, kami meninggalkan planet itu dalam kondisi mati,

tinggal bangkai planet tanpa kehidupan. Apakah itu juga yang

akan kami lakukan pada Bumi?

Bagi orang-orang seperti ayahku, itu bukan masalah.

Yang penting adalah perang. Menang. Baginya, aku hanyalah

potensi senjata untuk digunakan dan dibuang apabila sudah

tak berguna. Itulah nilai semua orang baginya.

Semakin kupikirkan, semakin aku merasa marah.

Aku benci ayahku. Aku benci Ivan. Aku benci Setraus Ra dan

Kitab Agung karena mengajarkan mereka bahwa inilah cara

yang benar untuk hidup. Aku benci mereka semua.

Jari tangan dan kakiku mulai kesemutan. Aku

~352~

merasakan reruntuhan di sekelilingku bergetar. Aku

melakukannya. Pusakaku bekerja. Kau bisa membiarkan

kemarahan menghancurkanmu atau menggunakan

kemarahanmu untuk sesuatu yang berguna. Kupejamkan

mata lagi, tanganku mencengkeram dan aku berteriak sekuat

mungkin. Menyemburkan semua kemarahanku. Dan dengan

satu dorongan kekuatan besar, batu, tanah dan reruntuhan di
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitarku mulai bergetar dan runtuh. Tubuhku gemetaran,

dan tanah juga bergetar. Tak lama kemudian, semua

reruntuhan itu menyingkir dan aku bebas. Seakan-akan

semua sekop raksasa telah mencidukku keluar.

Namun, seseorang lain tak seberuntung aku. Sekitar

sembilan meter dariku, seorang prajurit Mogadorian

terlentang ditindih bongkahan pintu baja.

Setelah bongkahan yang menindihnya tersingkir, dia

sekarang mengerang dan bergerak lemah.

Dia hidup, seperti aku. Bagus sekali.

~353~

2 A

KU TERHUYUNG BERDIRI. SELURUH TUBUHKU seakan

remuk seperti habis dijepit tang raksasa. Tapi kurasa tak ada

yang patah. Badanku memang kotor penuh tanah, keringat,

dan debu, juga darah, tapi tak banyak. Entah bagaimana, aku

tak mengalami luka parah. Aku tak tahu kenapa dan tak mau

memikirkannya.

Mogadorian yang masih hidup tak jauh dariku, tak

begitu beruntung. Saat aku berdiri, dia mengerang lemah,

tapi tak menatapku atau bergerak. Dia terluka sangat parah

sehingga tak menyadari bahwa dia sudah tak terkubur lagi.

Kurasa dia bahkan tak menyadari keberadaanku.

Mogadorian itu pasti tertimpa reruntuhan yang

sangat berat, karena dari fisiknya dia terlihat bukan

Mogadorian yang mudah ditaklukkan. Dia sebesar Ivan dan

tubuhnya kekar seperti pemain football, dengan leher besar

dan otot-otot menonjol. Tapi aku yakin, dia bukan

Mogadorian biakan karena garis-garis wajahnya lebih halus

dan simetris tak seperti prajurit rekayasa genetik yang

membentuk sebagian besar pasukan Mogadorian.

Mogadorian yang ini adalah Mogadorian sejati,

seperti aku. Seperti ayahku. Dan tato di dahinya, rupanya dia

seorang perwira, bukan prajurit rendahan. Masuk akal.

Mogadorian biakan dikembangkan untuk menjadi prajurit

suruhan, sementara Mogadorian sejati yang memberi

perintah. Itu mungkin sebabnya, kenapa aku tak ingat

melihatnya saat menghadapi pasukan Mogadorian tadi. Tak

seperti Ivan yang langsung menyerangku dan kehilangan

nyawa karenanya, Mogadorian ini pasti memberi perintah

dari belakang pasukan.

Aku merasa jijik memikirkannya. Seorang komandan

yang baik memimpin dengan teladan, bukan malah

~354~

berlindung di balik punggung anak buahnya. Lagi pula,

ternyata itu tetap tak membuatnya terhindar dari bahaya.

Tapi tak ada gunanya aku memikirkan itu. Aku harus

memikirkan apa yang akan kulakukan kepadanya.

Lakukan hal yang terpenting terlebih dulu: aku

menggeledahnya, mencari tahu apakah dia membawa

senjata. Dia mengerang saat aku menggeledahnya, matanya

berkedip, tapi tak melawan. Aku tak menemukan apa pun

yang berguna padanya?kalaupun dia tadi membawa

bluster, sepertinya sudah hilang sekarang dan dia juga tak

membawa pisau. Bahkan, di sakunya juga tak ada permen

mint untuk sekadar menghilangkan bau buruk napas yang

tersengal-sengal dari mulutnya.

Satu hal yang kuperhatikan adalah darah.

Mogadorian ini berlumuran darah. Darah merembes dari

debu dan tanah yang mengotori kulit pucatnya, menodai

bajunya yang koyak. Aku tak melihat ada luka, tapi

sepertinya kondisinya buruk.

Setelah puas bahwa Mogadorian itu tak akan tiba-

tiba berdiri dan menyerangku, aku memperhatikan sekeliling

mencoba menganalisis. Markas militer Dulce dibangun di

bawah tanah agar tidak menarik perhatian, tapi rupanya

ulahku mengubah semua itu. Aku kini berdiri di kawah

berdiameter setidaknya tiga puluh meter, dan langit biru

terlihat di atasku. Satu-satunya masalah, jarak dari tempatku

berdiri sampai ke ujung atas kawah adalah sekitar sepuluh

meter.

Puing-puing bangunan berserakan?bebatuan,

semen, dan pilar-pilar yang tumbang, komputer yang hancur,

peralatan listrik dengan kabel-kabel berseliweran yang

mengeluarkan percikan api. Saat mencium bau bensin, aku

menyadari bahwa aku bagaikan berdiri di atas tong mesiu.

Tempat ini bisa meledak kapan saja. Ajaib malah kalau

~355~

sekarang belum meledak.

Aku harus segera keluar dari sini. Untungnya, meski

aku berada jauh di bawah permukaan, banyak puing-puing

yang bertumpukan sehingga tak akan sulit memanjat ke atas.

Aku mengira-ngira tumpukan puing mana yang

paling mudah didaki, lalu mulai menuju ke sana. Tapi aku

berhenti. Aku menoleh ke Mogadorian yang terbaring di sana

?yang belum bergerak dan hanya bisa mengerang lemah.

Aku bisa saja meninggalkannya. Lagi pula, aku masih

harus memikirkan diriku, satu lagi Mogadorian yang mati

justru bagus. Tapi sesuatu menghentikanku.

Bukan karena aku ingin bersikap baik. Sudah

terlambat untuk memikirkan masalah benar dan salah

sekarang. Lagi pula, aku sudah membunuh banyak

Mogadorian sejak semua ini terjadi.

Sesaat aku bertanya-tanya, apakah ayahku pernah

mengira bahwa aku mampu menjadi prajurit? Apakah dia

akan bangga melihatku terjun ke pertempuran?

Tentu saja, rasa bangga ayahku adalah hal terakhir

yang kupikirkan sekarang. Tapi bukan itu yang membuatku

berbalik. Aku tahu bahwa seorang perwira Mogadorian

tanpa senjata bisa kumanfaatkan apabila dia hidup.

Setidaknya kalau ditempatkan di sini, dia akan tahu peta

daerah sekitar sini atau bahkan kota-kota terdekat. Di tengah

gurun pasir, tanpa kompas untuk memandu arah,

Mogadorian itu mungkin bisa membantuku bertahan hidup.

Jadi, aku kembali kepadanya, merangkulkan

tanganku ke bawah lengannya dan memapahnya.

Mogadorian ini benar-benar berat dan aku

kewalahan memapahnya menaiki tumpukan puing

menyeberangi lubang hingga ke pinggirnya. Matahari kian

tinggi dan kami terkena panasnya yang tak mengenal ampun.

Keringat membasahi alisku, menetes ke wajah. Tak lama

~356~

kemudian, aku basah kuyup oleh keringat. Aku mencoba

membersihkan jalan kami dengan menendang monitor

komputer, pipa-pipa aluminium, dan apa pun yang

menghalangi jalan.

Tak banyak gunanya juga, sih. Beberapa menit

kemudian, lenganku terasa lunglai, kakiku sakit, dan

punggungku seakan mau patah. Kami belum juga setengah

jalan. Ini tak akan berhasil. Akhirnya, saat aku menjatuhkan

Mogadorian itu ke tanah untuk menarik napas sejenak, dia

bergerak.

"Hei, kau bisa dengar aku?" kataku.

"Uhhhrrrm," katanya. Yah, bukan jawaban yang

membantu, tapi lumayan daripada tak ada.

"Dengar," kataku lagi, "kita harus keluar dari sini.

Kau bisa jalan?"

Mogadorian itu menatapku, alisnya yang tebal

berkerut, dan aku bisa menduga kenapa. Dia mencoba

memahami siapa aku dan apa yang kulakukan di sini. Aku

kotor oleh debu dan tanah, jadi dia mungkin tak bisa

memastikan apakah aku punya tato di tulang kepala yang

menentukan pangkat seorang Mogadorian. Dia menatapku

bingung.

Aku tak mau menunggu sampai dia menyadari siapa

aku. Kami harus segera keluar dari sini sekarang. Aku tak

tahu apakah ada orang lain yang masih hidup di puing

markas ini, atau apakah ada Bala bantuan yang dikirim ke

sini? Lagi pula, aku sadar bahwa tempat ini bisa terbakar

kapan saja. Itu kalau aku tak mati kehausan terlebih dahulu.

Aku mencoba trik lain. Aku bicara kepadanya dengan

bahasa Mogadorian, bahasa yang saat ini sering digunakan

untuk keperluan seremonial saja. Aku mengutip Kitab Kitab

Agung. "Kekuatan itu suci," kataku. Itu adalah salah satu

pedoman paling penting dalam masyarakat Mogadorian.

~357~

Mata Mogadorian itu langsung terfokus.

"Berdiri, Prajurit!" bentakku. Aku agak terkejut

melihat trik itu berhasil, dan si Mogadorian pelan-pelan

berlutut, lalu berdiri. Dasar tipikal Mogadorian?tak ada

yang direspons, lebih antusias oleh bangsaku dari pada

perintah kosong. Dia sedikit terhuyung saat berdiri. Lengan

kirinya tergantung dalam posisi ganjil, dan keringat

membasahi dahi serta atas bibirnya. Tapi setidaknya dia

berdiri.

"Ayo," perintahku sembari menunjuk ke atas, "jalan."

Tanpa berkata sepatah pun, Mogadorian itu berjalan

melewatiku.

Aku mengikutinya, menyadari bahwa kondisiku tak

lebih baik daripada dia. Saat kami memanjat puing menuju ke

tepi kawah, aku teringat pada Sam dan Malcolm. Kuharap

mereka berhasil lolos dari sini. Ponselku remuk tertimpa

reruntuhan, jadi aku tak bisa menelepon Malcolm untuk

mencari tahu apa yang terjadi, mengatur pertemuan, atau

meminta tolong. Aku hanya bisa berharap.

~358~

Tamat


Goosebumps Kisah Kisah Hantu Goosebumps Jiwa Remaja Karya Yos Guwano Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots
^