Pencarian

The Power of Six 4

The Power of Six Karya Pittacus Lore Bagian 4

ibumu pendiam dan mungkin agak pemalu. Aku

menyampaikan ini karena aku ingin kau tahu siapa dirimu

dan siapa orangtuamu. Kau berasal dari sebuah keluarga

sederhana. Dan kebenaran yang ingin kusampaikan

kepadamu adalah kita pergi dari Lorien bukan karena

kebetulan dengan apa yang terjadi pada hari itu. Kita berada

di lapangan terbang hari itu bukanlah kebetulan. Kita ada di

sana karena para Garde bergegas membawamu ke sana saat

serangan dimulai. Banyak yang mengorbankan jiwa mereka

dalam prosesnya. Seharusnya kalian bersepuluh, tapi, seperti

yang kau ketahui, hanya sembilan yang berhasil tiba.

Air mata mengaburkan pandanganku. Aku

menggerakkan jariku ke atas nama ibuku. Lara. Lara dan Liren.

Aku bertanya-tanya siapa namaku dalam bahasa Loric, apakah

juga berawal dengan huruf L? Aku bertanya-tanya, jika tak

ada perang, apakah aku akan memiliki adik laki-laki atau

mungkin adik perempuan? Begitu banyak kehidupanku yang

hilang. Saat kalian bersepuluh dilahirkan, Lorien melihat

kalian memiliki tekad yang kuat, keteguhan hati, dan juga

sifat welas asih. Karena itu, Lorien menganugerahkan peran

yang akan kalian emban: peran sepuluh Tetua. Ini berarti,

seiring dengan waktu, kalian akan memiliki kekuatan yang

jauh lebih besar daripada yang pernah ada di Lorien, jauh

lebih kuat daripada kekuatan sepuluh Tetua yang

memberikan Warisan kalian. Para Mogadorian mengetahui

ini. Itulah sebabnya, mereka memburu kalian dengan

tergesa-gesa. Mereka begitu putus asa sehingga membanjiri

planet ini dengan mata-mata. Aku tak pernah mengatakan

yang sebenarnya kepadamu karena aku takut kau jadi

sombong dan salah jalan. Bahaya di luar sana terlalu besar

sehingga aku tak mau ambil risiko. Aku memintamu jadilah

kuat agar bisa menjalankan peran yang harus kau emban, lalu

cari yang lainnya. Kalian yang tersisa masih bisa

memenangkan peperangan ini.

Hal terakhir yang harus kusampaikan kepadamu

adalah kita pindah ke Paradise bukan karena kebetulan.

Pusakamu terlambat muncul dan aku cemas. Saat goresan

ketiga muncul, rasa cemas itu berubah jadi panik?karena

sadar berikutnya giliranmu. Karena itu, aku memutuskan

untuk mencari seorang laki-laki yang mungkin memiliki kunci

untuk menemukan yang lainnya.

Saat kita tiba di Bumi dulu, ada sembilan manusia

yang menunggu kita. Mereka memahami situasi kita dan juga

mengapa kita harus berpencar. Mereka itu para sekutu Loric.

Saat Loric ada di Bumi lima belas tahun yang lalu, para

manusia ini mendapatkan alat pemancar yang bisa menyala

saat berhubungan dengan salah satu pesawat kita. Pada

malam itu, manusia-manusia ini ada di sana untuk memandu

transisi dari Lorien ke Bumi, untuk membantu kita memulai

kehidupan di Bumi. Kita belum pernah ke sini sebelumnya.

Saat turun dari pesawat, kita mendapatkan dua setel pakaian,

sebuah paket berisi petunjuk untuk membantu kita

mempelajari cara-cara di planet ini, dan selembar kertas

berisi alamat. Alamat itu merupakan tempat untuk mulai,

titik awal kita, bukan tempat untuk tinggal. Kita semua tak

saling tahu ke mana yang lain pergi. Alamat yang diberikan

kepada kita mengantarkan kita ke sebuah kota kecil di utara

California. Tempat itu indah dan sepi, lima betas menit dari

pantai. Aku mengajarimu bersepeda, menerbangkan

layangan, dan juga hal-hal sederhana lainnya, seperti

mengikat sepatumu setelah aku sendiri belajar melakukan

semua itu. Kita tinggal di sana selama enam bulan. Setelah

itu, kita pergi dan menjalani hidup kita dengan cara kita

sendiri, seperti yang seharusnya.

Orang yang bertemu dengan kita, pemandu kita,

berasal dari sini, dari Paradise. Aku mencarinya karena

benar-benar ingin tahu ke mana tujuan pertama para Loric

yang lain. Tapi sayangnya, saat kita tiba di sini, bintang

kegelapan jatuh, karena laki-laki itu sudah tak ada.

Laki-laki yang menemui kita pada hari pertama itu,

yang memberikan pedoman mengenai budaya serta

mencarikan rumah pertama untuk kita, bernama Malcolm

Goode. Ayah Sam.

Jadi yang ingin kusampaikan kepadamu, adalah aku

percaya Sam benar. Aku percaya ayahnya diculik. Aku

berharap Malcolm Goode masih hidup. Jika Sam masih

bersamamu, tolong sampaikan informasi ini, dan kuharap dia

terhibur karenanya.

Penuhilah takdirmu, John. Jadilah kuat dan jangan

lupakan hal-hal yang sudah kau pelajari selama ini. Jadilah

orang yang berbudi luhur, percaya diri, dan berani. Hiduplah

dengan gagah dan terhormat seperti ayahmu, dan percayalah

pada hati dan nalurimu, seperti Lorien hingga saat ini. Jangan

pernah kehilangan keyakinan terhadap dirimu sendiri, dan

jangan pernah berputus asa. Ingat, walaupun segalanya

terasa buruk dan dunia seperti melupakanmu, selalu ada

harapan.

Dan aku yakin, suatu hari nanti, kalian akan pulang.

Dengan penuh kasih, Cepan sekaligus temanmu,

-H

Darah bergemuruh di telingaku. Terlepas dari apa

yang Henri tulis, aku yakin jika kami meninggalkan Paradise

seperti yang dia minta waktu itu, pasti seka rang dia masih

hidup dan kami masih tetap bersama. Henri ke sekolah untuk

menyelamatkanku, karena itu tugasnya, dan juga karena dia

menyayangiku. Sekarang, dia sudah tiada.

Aku menarik napas dalam, mengusap wajahku

dengan punggung tangan, lalu keluar dari kamar dan menuju

kamar Sam. Walaupun kakinya sakit, Sam bersikeras untuk

tidur di kamar di lantai dua. Aku menaiki tangga, lalu

mengetuk pintu kamarnya. Kemudian, aku masuk dan

menyalakan lampu samping tempat tidurnya, serta melihat

kacamata tua ayahnya di meja samping tempat tidur. Sam

berguling.

"Sam? Sam. Maaf membangunkanmu, tapi ada hal

penting yang harus kau ketahui."

Dia bangun dan menyingkapkan selimutnya. "Apa?"

"Pertama, kau harus janji tak bakal marah. Aku ingin

kau tahu bahwa selama ini aku sama sekali tidak tahu-

menahu tentang masalah yang akan kusampaikan kepadamu

ini. Dan apa pun alasan Henri untuk tidak mengatakannya

kepadamu, kau harus memaafkannya."

Sam beringsut mundur hingga akhirnya bersandar di

kepala tempat tidur. "Aduh, John. Katakan saja."

"Janji?"

"Oke, aku janji,"

Aku menyerahkan surat itu. "Seharusnya aku

membaca ini lebih cepat, Sam. Aku benar-benar menyesal

tidak membacanya cepat-cepat."

Aku keluar dari kamar Sam dan menutup pintu untuk

memberinya privasi. Aku tak bisa menduga reaksinya. Tak

mungkin mengetahui bagaimana reaksi seseorang saat

memperoleh jawaban atas pertanyaan yang mereka tanyakan

seumur hidup, pertanyaan yang menghantui mereka.

Aku menuruni tangga dan menyelinap keluar melalui

pintu belakang bersama Bernie Kosar, yang langsung berlari

ke hutan. Kemudian, aku duduk di atas meja piknik dan bisa

melihat uap napasku di udara bulan Februari yang dingin.

Kegelapan menyingkir ke barat, sementara cahaya pagi

merembes dari timur. Aku menatap bulan setengah dan

berpikir apakah Sarah melihatnya, atau apakah yang lain

melihatnya. Aku dan yang lainnya, lima yang masih hidup,

ditakdirkan untuk melanjutkan peran para Tetua. Aku masih

tak mengerti maksudnya. Lalu, aku menutup mata,

mendongakkan wajah ke langit, dan tetap seperti itu hingga

pintu di belakangku dibuka. Aku berbalik, menduga akan

melihat Sam, tapi ternyata yang muncul justru Nomor Enam.

Dia naik ke meja piknik dan duduk di sampingku. Aku

tersenyum lemah ke arahnya, tapi dia tak membalas.

"Aku mendengarmu keluar. Kau baik-baik saja?

Apakah kau dan Sam bertengkar?" tanyanya.

"Apa? Tidak. Kenapa?"

"Dia menangis di sofa di bawah dan tak mau bicara

denganku."

Aku terdiam sejenak, lalu memberitahunya. "Tadi

aku membaca surat dari Henri. Ada beberapa hal tentang Sam

yang belum kami ceritakan kepadamu. Mengenai ayahnya."

"Kenapa dengan ayahnya? Apa ada masalah?"

Aku memutar tubuh sehingga lutut kami

bersentuhan. "Dengar, saat aku bertemu Sam di sekolah, dia

sangat terobsesi dengan ayahnya yang hilang, yang tidak

pulang setelah pergi ke toko. Mereka menemukan truknya

dan juga kacamatanya di tanah di samping truk itu. Kau lihat

kan, kacamata yang selalu Sam bawa?"

Nomor Enam menoleh untuk melihat ke dalam

melalui pintu belakang. "Tunggu. Itu kacamata ayahnya?"

"Yeah. Sam sangat yakin ayahnya diculik alien, dan

aku selalu menganggap itu gila. Tapi aku, entahlah, aku

membiarkannya terus memercayai itu karena kurasa aku tak

berhak menghancurkan harapan Sam untuk menemukan

ayahnya. Aku menunggu Sam memberitahukan ini

kepadamu. Tapi, aku baru saja membaca surat Henri, dan kau

tak akan percaya apa yang tertulis di sana."

"Apa?"

Aku menceritakan segalanya, mengenai ayah Sam

yang ternyata merupakan sekutu Loric serta pernah bertemu

denganku dan Henri saat pesawat mendarat, mengenai

mengapa Henri membawa kami ke Paradise.

Nomor Enam merosot turun dari meja piknik dan

mendarat canggung di bangku. "Tapi kan, Sam hanya

kebetulan berada di sini. Terlibat."

"Kurasa tidak juga. Maksudku, coba pikir ..., apa

mungkin hanya kebetulan aku bersahabat dengan Sam,

padahal ada banyak orang di Paradise? Menurutku kami

memang ditakdirkan untuk bertemu."

"Mungkin kau benar."

"Lagi pula, luar biasa kan, karena ayahnya membantu

kita malam itu?"

"Benar-benar luar biasa. Ingat saat Sam bilang dia

merasa lebih baik bersama kita?"

Aku ingat. "Tapi masalahnya, dalam suratnya Henri

mengatakan bahwa mungkin ayah Sam benar-benar diculik,
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau mungkin malah dibunuh, oleh para Mogadorian."

Kami duduk diam sambil memandangi matahari yang

perlahan-lahan muncul di cakrawala. Bernie Kosar berlari

keluar dari hutan dan berguling hingga terlentang, minta

perutnya digaruk. "Halo, Hadley." Dia langsung berguling

kembali dan berdiri saat aku mengatakan itu, memiringkan

kepalanya. "Yeah," kataku sambil melompat turun untuk

menggaruk dagunya dengan kedua tangan. "Aku tahu."

Sam keluar. Matanya merah. Dia duduk di bangku 'di

samping Nomor Enam.

"Hai, Hadley," kata Sam kepada Bernie Kosar. Sebagai

jawaban, Bernie Kosar menyalak dan menjilat tangan Sam.

"Hadley?" tanya Nomor Enam.

Anjing itu menyalak lagi untuk mengiyakan. "Sudah

kuduga," kata Sam. "Aku selalu berpikir begitu sejak Ayah

menghilang."

"Selama ini, ternyata kau benar," kataku.

"Boleh kubaca suratnya?" tanya Nomor Enam. Sam

memberikan surat itu kepadanya. Aku mengarahkan tangan

kananku ke kertas dan menyorotinya dengan cahaya dari

tanganku. Nomor Enam membaca surat itu di bawah sinar

dari tanganku, melipat kertasnya, lalu mengembalikannya.

"Aku turut berduka, Sam," kata Nomor Enam. Lalu,

aku menambahkan, "Aku dan Henri tak mungkin selamat jika

bukan karena ayahmu."

Nomor Enam menoleh ke arahku. "Kau sadar betapa

anehnya karena orangtuamu ternyata Liren dan Lara. Atau

mungkin ini aneh karena aku yang tak menyadarinya. Kau

ingat aku waktu kita masih di Lorien, John? Orangtuamu dan

orangtuaku?Arun dan Lynmereka sahabat karib. Aku tahu

kita tidak selalu ada di dekat orangtua kita, tapi aku ingat

pernah ke rumahmu beberapa kali. Kurasa waktu itu kau baru

belajar berjalan."

Aku teringat kata-kata Henri pada hari ketika Sarah

baru pulang dari Colorado, ketika kami menyatakan perasaan

kami masing-masing. Setelah Sarah pulang, aku dan Henri

makan malam dan dia bekata, Walaupun aku tidak tahu

nomornya dan juga tidak tahu di mana dia berada, salah satu

dari anak-anak Loric yang datang bersama kita adalah anak

perempuan sahabat orangtuamu. Mereka sering bercanda

kalian berdua sudah ditakdirkan untuk bersama.

Aku hampir saja menyampaikan apa yang Henri

katakan itu kepada Nomor Enam. Namun, begitu teringat

bahwa perasaanku kepada Sarah-lah yang menyebabkan

percakapan itu, rasa bersalah yang kurasakan sejak aku dan

Nomor Enam jalan-jalan muncul kembali.

"Yeah, itu benar-benar aneh. Tapi, aku tak bisa

mengingatnya," kataku.

"Omong-omong, masalah mengenai para Tetua dan

bagaimana kita harus melanjutkan peran mereka itu benar-

benar serius. Tak heran, para Mogadorian jadi tergesa-gesa,"

katanya.

"Sekarang, semuanya masuk akal."

"Kita harus kembali ke Paradise," sela Sam.

"Yang benar saja," Nomor Enam tertawa. "Yang harus

kita lakukan sekarang adalah menemukan yang lain, entah

bagaimana caranya. Kita harus kembali menyusuri internet

serta berlatih lagi."

Sam berdiri. "Aku serius. Kita harus kembali. Jika

ayahku memang meninggalkan sesuatu, alat pemancar itu,

kurasa aku tahu bagaimana menemukannya. Saat aku tujuh

tahun, dia berkata bahwa masa depanku sudah tergambar di

jam matahari. Aku bertanya apa maksudnya. Lalu, dia bilang

jika bintang kegelapan jatuh, aku harus menemukan Ennead

dan membaca peta tanggal kelahiranku di jam matahari."

"Apa itu Ennead?" tanyaku.

"Itu sembilan dewa dalam mitologi Mesir."

"Sembilan?" tanya Nomor Enam. "Sembilan dewa?"

"Lalu, jam matahari apa?" tanyaku.

"Aku mulai paham," kata Sam. Dia mulai berjalan

mondar-mandir di dekat meja piknik sambil berpikir. Bernie

Kosar mengekorinya. "Aku merasa sangat frustrasi karena

ayahku selalu mengatakan hal-hal aneh yang hanya dia

pahami sendiri. Beberapa bulan sebelum menghilang,

ayahku menggali sumur di halaman belakang dan

mengatakan bahwa sumur itu berguna untuk menampung air

hujan dari parit. Setelah semen dituang, dia meletakkan jam

matahari yang tampak rumit di atas tutup batunya.

Kemudian, dia berdiri dan memandangi sumur itu, lalu

berkata kepadaku. 'Masa depanmu tergambar di jam

matahari, Sam.?"

"Kau pernah memeriksanya?" tanyaku.

"Tentu saja. Aku memutar-mutar jam matahari itu,

mencoba tanggal dan waktu kelahiranku dan segala macam,

tapi tak terjadi apa-apa. Setelah beberapa lama, akhirnya aku

pikir itu cuma sumur konyol dengan jam matahari di atasnya.

Tapi sekarang, setelah membaca surat Henri, bagian

mengenai bintang kegelapan, aku tahu itu pasti semacam

petunjuk. Aku merasa dia memberitahuku tanpa

memberitahuku," kata Sam dengan berseri-seri. "Dia benar-

benar pintar."

"Kau juga," kataku. "Kembali ke Paradise itu sama

saja dengan bunuh diri, tapi kurasa saat ini kita tak punya

pilihan lain."

19

AKU BANGUN DENGAN GIGI TERKATUP DAN MULUT yang

terasa asam. Sepanjang malam aku bergulingguling. Bukan

raja karena akhirnya berhasil mendapatkan Peti Loric dan

ingin segera bicara dengan Adelina agar membuka Peti itu

bersamaku pagi ini, melainkan juga karena aku

mengungkapkan terlalu banyak hal pada terlalu banyak

orang. Aku mempertontonkan Pusakaku. Berapa banyak yang

mereka ingat? Akankah kedokku terkuak sebelum sarapan?

Aku duduk dan me. lihat Ella di tempat tidurnya. Semua

orang di kamar itu masih tidur, kecuali Gabby, La Gorda,

Delfina, dan Bonita. Tempat tidur mereka kosong.

Kakiku hampir menyentuh lantai saat Suster Lucia

muncul di ambang pintu sambil berkacak pinggang dan

mengerucutkan bibir. Kami saling pandang dan aku menahan

napas. Tapi kemudian, dia mundur dan mengizinkan empat

gadis dari panti umat masuk ke kamar dengan terhuyung-

huyung, linglung, dan memarmemar, serta pakaian kotor dan

sobek-sobek. Gabby menubruk tempat tidurnya dan

menjatuhkan diri ke depan, lalu menutupi kepalanya dengan

bantal. La Gorda meraba dagunya yang tebal, lalu berbaring

terlentang sambil mengerang. Bonita dan Delfina merayap

masuk ke bawah selimut. Begitu keempat gadis itu tak

bergerak, Suster Lucia berseru bahwa sudah saatnya bangun.

"Semuanya!"

Ketika aku berusaha melewati Gabby saat berjalan ke

kamar mandi, dia tersentak.

La Gorda berdiri di depan cermin untuk memeriksa

kulitnya yang memar. Saat melihat bayanganku di

belakangnya, dia langsung menyalakan keran dan berusaha

berkonsentrasi mencuci tangan. Aku suka ini. Sebenarnya,

aku tak suka mengintimidasi orang, tapi aku suka dibiarkan

sendiri.

Ella keluar dari salah satu toilet di kamar mandi dan

menanti giliran menggunakan wastafel untuk mencuci muka.

Aku khawatir dia takut kepadaku setelah apa yang kulakukan

di panti umat. Tapi begitu melihatku, Ella langsung

menggoyangkan tangan kanannya di atas kepala. Aku

membungkuk ke telinganya. "Kau baik-baik saja?"

"Berkat dirimu," serunya.

Aku melihat mata La Gorda di cermin. "Hei," bisikku.

"Yang semalam itu rahasia. Semua yang terjadi tadi malam itu

rahasia, oke? Jangan bilang siapa-siapa."

Dia meletakkan jari di bibirnya yang tertutup dan aku

merasa lebih baik, tapi cara La Gorda memandangku tidak

membuatku tenang. Mungkin perseteruan kami belum

berakhir.

Aku begitu sibuk memikirkan isi Peti Loric sehingga

lupa mencari berita John dan Henri Smith di internet. Aku tak

sabar menanti Misa pagi agar bisa cepatcepat bertemu

Adelina sehingga aku berjalan dari kamar ke kamar

mencarinya. Namun, aku tak menemukannya di mana pun.

Lonceng panggilan Misa pagi berdentang.

Aku bergegas duduk di bangku belakang di samping

Ella, lalu mengedipkan mata ke arahnya. Kulihat Adelina di

baris depan. Saat Misa sedang setengah jalan, Adelina

menoleh ke belakang dan menatap mataku. Aku menunjuk

ke arah relung di panti umat tempatnya menyembunyikan

Peti Loric bertahun-tahun lalu. Alisnya terangkat.

"Aku tak mengerti apa maksudmu," kata Adelina

setelah Misa usai. Kami berdua berdiri di bawah jendela kaca

patri bergambar Santo Yusuf di sebelah kiri panti umat

sehingga bermandikan warna kuning, cokelat, dan merah.

Adelina menatap dengan mata dan tubuh serius.

"Aku menemukan Peti Loric."

"Di mana?"

Aku menganggukkan kepala ke atas dan ke kanan.

"Akulah yang berhak memutuskan apakah kau sudah

siap atau belum, dan kau belum siap. Sama sekali belum

siap," katanya marah.

Aku menegakkan tubuh dan menggertakkan rahang.

"Aku tak akan pernah siap di matamu karena kau sudah tidak

lagi percaya, Emmalina."

Nama itu membuatnya terperangah. Dia membuka

mulut dan langsung berhenti sebelum menyemburkan

kemarahannya.

"Kau tak tahu apa yang kualami dengan gadis-gadis

lain di tempat ini. Kau berjalan sambil membawa-bawa

Alkitab dan berdoa, serta menghitung manik-manik di

rosariomu, tapi kau sama sekali tak peduli aku ditindas. Aku

hanya punya satu orang teman, dan semua Suster

membenciku, serta di luar sana ada dunia yang seharusnya

kubela! Sebenarnya malah dua dunia! Lorien dan Bumi

membutuhkanku dan juga dirimu, tapi aku terkurung di sini

seperti hewan di kebun binatang dan kau tak peduli sama

sekali."

"Tentu saja, aku peduli!"
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mulai menangis. "Tidak! Kau tidak peduli!

Mungkin dulu iya, ketika kau masih jadi Odetta atau mungkin

ketika masih jadi Emmalina. Tapi, sejak kau jadi Adelina dan

aku jadi Marina, kau tak lagi peduli terhadapku atau delapan

Loric lainnya, atau apa yang seharusnya kita lakukan di sini.

Maaf, tapi aku muak mendengarmu bicara tentang

keselamatan, padahal justru hanya itu yang ingin kuraih. Aku

berusaha melindungi kita. Aku berusaha melakukan hal-hal

baik, tapi kau bersikap seakan-akan aku ini jahat!"

Adelina melangkah maju dengan tangan terbentang

untuk memelukku, tapi sesuatu menahannya dan

membuatnya mundur. Bahunya berguncang seolah akan

menangis. Aku langsung merangkulnya dan kami pun

berpelukan.

"Ada apa? Kenapa Marina tidak ke kantin?"

Kami berbalik dan melihat Suster Dora dengan lengan

bersilang di depan dada. Salib tembaga tergantung dari

pergelangan tangannya.

"Pergilah," bisik Adelina. "Nanti kita bicara."

Aku mengusap wajahku dan bergegas melewati

Suster Dora. Saat meninggalkan panti umat, aku mendengar

Suster Dora dan Adelina mulai berdebat dengan sengit, suara

mereka bergema di langit-langit berkubah. Aku mengusap

rambutku sambil berharap.

Sebelum menyelinap masuk ke kamar tidur tadi

malam, aku menerbangkan Peti Loric ke sebuah koridor gelap

yang sempit di sebelah kiri panti umat, melewati patung

kuno di dinding batu. Sekarang, Peti itu ada di atas menara

lonceng utara, tersembunyi dengan aman di balik pintu kayu

ek bergembok. Untuk sementara, Peti itu aman di sana.

Namun, jika aku gagal membujuk Adelina untuk

membukanya, aku harus mencari tempat persembunyian

lain.

Ella tak ada di kantin. Aku khawatir ada yang salah

dengan Pusakaku sehingga dia terluka dan masuk rumah

sakit.

"Dia ada di kantor Suster Lucia," kata salah satu gadis

saat aku bertanya kepada gadis-gadis di meja dekat pintu.

"Ada pasangan suami istri di sana. Mungkin mereka akan

mengadopsinya atau semacam itu." Dia menuangkan

sesendok orak-arik telur ke piringnya. "Beruntung sekali."

Lututku lemas dan aku mencengkeram tepi meja agar

tak jatuh ke lantai. Seharusnya aku tidak marah jika Ella

meninggalkan panti asuhan, tapi dia satu-satunya temanku.

Aku tabu dia ada dalam daftar gadisgadis yang bisa diadopsi.

Ella baru tujuh tahun, manis, menggemaskan, dan juga teman

yang menyenangkan. Aku harap dia mendapatkan rumah,

apalagi karena orangtuanya meninggal. Aku belum bisa

merelakannya, walaupun mungkin terkesan egois.

Sejak aku dan Adelina tiba di tempat ini, sudah

ditetapkan bahwa aku tak akan diadopsi. Namun sekarang,

aku berpikir mungkin keadaan akan lebih baik jika aku bisa

diadopsi. Mungkin ada orang yang menyukaiku.

Aku sadar seandainya pun Ella diadopsi hari ini, perlu

waktu agar semua suratnya diperiksa dan disahkan, yang

berarti dia masih di sini satu minggu lagi, atau dua, atau

mungkin tiga. Tapi aku tetap merasa sedih dan tekadku

semakin kuat untuk meninggalkan tempat ini begitu berhasil

membuka Peti Loric.

Aku meninggalkan kantin dan mengambil mantel,

lalu menyelinap keluar melewati pintu ganda dan berjalan

menuruni bukit tanpa peduli hari ini aku bolos sekolah. Aku

berusaha menghindari laki-laki dengan buku Pittacus,

dengan berjalan di trotoar di belakang para pedagang di Calle

Principal dan bersembunyi dalam bayangan.

Saat melewati El Pescador, restoran desa itu, aku

memandang ke arah gang berbatu kerikil dan melihat sebuah

tempat sampah terguling jatuh. Tempat sampah itu

bergoyang dan berguncang, terdengar sesuatu menggaruk-

garuk bagian dalamnya. Sepasang cakar hitam dan putih

muncul di bibir tempat sampah. Kucing. Saat kucing itu

bersusah-payah memanjat tepi tempat sampah lalu

mendarat di gang, aku melihat luka di sepanjang sisi kanan

tubuhnya. Salah satu matanya tertutup karena bengkak.

Hewan itu tampak seperti akan pingsan karena kelelahan

atau kelaparan dan hanya berbaring di atas tumpukan

sampah seakan putus asa.

"Makhluk malang," kataku. Sebelum melangkah ke

gang itu pun aku tahu bahwa aku akan menyembuhkannya.

Kucing itu mendengkur saat aku berlutut di sampingnya. Dia

juga tidak tegang saat aku meletakkan tanganku di tubuhnya.

Rasa dingin mengalir cepat dari diriku ke kucing itu, lebih

cepat daripada saat menyembuhkan Ella atau pipiku sendiri.

Aku tak tahu apakah Pusakaku semakin kuat ataukah

memang prosesnya lebih cepat pada binatang. Kucing itu

meluruskan kaki dan meregangkan cakar, napasnya makin

cepat hingga akhirnya berubah jadi dengkuran keras. Aku

membalikkan kucing itu perlahan-lahan untuk memeriksa

bagian kanan tubuhnya yang ternyata sudah sembuh dan

terbalut bulu hitam tebal. Mata yang tadinya tertutup karena

bengkak, sekarang terbuka dan memandangku. Aku

menamainya Pusaka dan berkata, "Jika ingin ikut pergi dari

kota ini, Pusaka, kita harus bicara. Karena kupikir aku akan

segera pergi, dan aku akan senang jika ada teman."

Satu sosok muncul di ujung gang itu dan membuatku

terkejut, tapi ternyata itu cuma Hector yang mendorong kursi

roda ibunya.

"Ah, Marina si Putri Laut!" serunya.

"Hai, Hector Ricardo." Aku menghampiri mereka. Ibu

Hector tampak bungkuk dan pandangannya tampak kosong.

Aku khawatir penyakitnya makin parah.

"Siapa temanmu? Halo, Sobat Kecil." Hector

membungkuk untuk menggaruk dagu Pusaka.

"Hanya teman yang kupungut sambil jalan."

Kami berjalan pelan-pelan, berbicara mengenai cuaca

dan Pusaka, hingga tiba di pintu depan rumah Hector dan

ibunya. "Hector? Apa akhir-akhir ini kau melihat lelaki

dengan kumis dan buku di kafe?"

"Belum," katanya. "Kenapa kau penasaran sekali

dengan laki-laki itu?"

Aku terdiam sejenak. "Dia seperti seseorang yang

kukenal."

"Itu saja?"

"Ya." Hector tahu aku berbohong, tapi dia juga tahu

untuk tidak ikut campur. Aku tahu Hector akan mengawasi

laki-laki yang kuyakini sebagai Mogadorian itu. Kuharap dia

tak terluka karenanya.

"Senang melihatmu, Marina. Ingat, hari ini hari

sekolah." Dia mengedipkan sebelah mata. Aku mengangguk

dengan malu-malu. Lalu, Hector membuka kunci pintu depan

rumahnya dan berjalan mundur sambil menarik ibunya yang

sakit.

Tak ada orang di sekitar situ. Aku kembali

berjalanjalan, berpikir mengenai Peti Loric dan kapan bisa

berbicara dengan Adelina lagi. Aku juga memikirkan John

Smith yang sedang melarikan diri, Ella dan kemungkinannya

diadopsi, perkelahianku di panti umat tadi malam. Saat

mencapai ujung Calle Principal, aku menatap bangunan

sekolah, merasa benci terhadap pintu depan dan jendela-

jendelanya, merasa marah mengingat betapa banyak waktu

yang kuhabiskan dalam gedung itu, padahal seharusnya aku

terus bergerak dan mengganti namaku setiap kali berada di

negara baru. Aku bertanya-tanya siapa namaku di Amerika.

Pusaka mengeong di kakiku saat aku berjalan kembali

ke desa. Aku terus melangkah di bawah bayangan sambil

mengawasi jalan di depan. Aku mengintip ke jendela kafe,

berharap melihat sekaligus juga tidak berharap melihat

Mogadorian dengan kumis tebal. Mogadorian itu tak ada di

dalam, tapi Hector sudah ada di dalam dan sedang

menertawakan sesuatu yang diucapkan perempuan di meja

sebelah. Aku akan merindukan Hector seperti aku

merindukan Ella. Aku punya dua orang teman, bukan hanya

satu.

Sambil merunduk saat lewat di bawah jendela, aku

melihat bulu hitam-dan-putih Pusaka yang lebat. Kurang dari

satu jam yang lalu, kucing itu terbaring di sebuah gang,

berdarah di atas tumpukan sampah. Tapi sekarang, dia begitu

bersemangat. Kemampuanku untuk menyembuhkan dan

menghidupkan tumbuhan, hewan, dan manusia merupakan

tanggung jawab yang sangat besar. Menyembuhkan Ella

membuatku merasa lebih istimewa daripada sebelumnya,

dan itu bukan karena aku merasa seperti pahlawan,

melainkan karena aku menolong seseorang yang

membutuhkan pertolongan. Aku menyelinap melewati

sejumlah pintu di jalan itu. Suara tawa Hector membahana

menembus jendela kafe dan menyelimuti bahuku. Aku tahu

apa yang harus kulakukan.

Pintu depan dikunci, jadi aku berjalan ke belakang

rumah Hector. Ternyata jendela pertama yang kupegang bisa

dibuka dengan mudah. Pusaka menjilat cakarnya saat aku

memanjat masuk melalui jendela. Aku gugup. Aku belum

pernah menerobos rumah orang.

Rumah itu kecil dan gelap, udaranya juga pengap.

Semua permukaan dipenuhi patung-patung Katolik. Tak perlu

waktu lama untuk menemukan kamar ibu Hector. Dia

berbaring di sebuah ranjang besar, selimutnya terangkat

setiap kali menarik napas. Kakinya tertekuk tak wajar, dan dia

tampak rapuh. Botol-botol berisi obat berderet di sebuah

meja samping tempat tidur kecil, bersama rosario, salib,

patung Bunda Maria kecil dengan tangan dalam posisi

berdoa, dan sepuluh atau lebih orang suci yang namanya tak

kukenal. Aku berlutut di samping Carlotta yang sedang tidur.

Matanya berkedip-kedip terbuka, lalu dia menatap udara.

Aku terdiam dan menahan napas. Aku belum pernah bicara

dengannya, tapi sepertinya dia mengenaliku saat melihatku

berlutut di sampingnya. Dia membuka mulut untuk

berbicara.

"Ssst," kataku. "Aku teman Hector, Senora Ricardo.

Aku tak tahu apakah kau bisa memahamiku, tapi aku di sini

untuk menolongmu."

Dia memahami apa yang kukatakan dengan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerjap-ngerjapkan matanya. Aku mengulurkan tangan

dan membelai pipinya dengan punggung tangan kiriku. Lalu,

aku meletakkan tangan kiriku di dahinya. Rambut

berubannya kering dan kasar. Dia menutup mata.

Jantungku berdebar-debar. Tanganku gemetar saat

aku mengangkat dan meletakkannya di perut ibu Hector. Saat

itulah, aku merasakan betapa lemah dan sakitnya dia. Rasa

dingin menjalar naik dari tulang punggungku, menyebar ke

tanganku, lalu ke ujung-ujung jariku. Aku merasa pusing.

Napasku memburu, jantungku berdetak kencang. Aku mulai

berkeringat dan bukannya merasa dingin seperti biasanya.

Mata Carlotta terbuka. Dia mengerang pelan.

Aku menutup mata. "Ssst. Tidak apa-apa. Tidak apa-

apa," kataku menenangkan kami berdua. Saat rasa dingin

memancar dari diriku ke dirinya, aku mulai menarik penyakit

itu dari tubuhnya. Penyakit itu keras kepala, bercokol dengan

kuat- di dalam sana, enggan melepaskan cengkeramannya.

Namun, akhirnya dia menyerah.

Tubuh Carlotta bergetar serta berguncang, dan aku

berusaha sebisa mungkin untuk menahannya. Saat aku

membuka mata, wajah Carlotta yang kelabu dirambati rona

segar.

Pusing luar biasa menerpaku. Aku mengangkat

tangan dari tubuhnya dan jatuh terlentang di lantai.

Jantungku berdegup sangat kencang seolah ingin mendobrak

keluar dari tubuhku, membuatku takut. Tapi kemudian, detak

jantungku melambat. Saat akhirnya bisa berdiri, aku melihat

Carlotta duduk kebingungan, seolah berusaha mengingat di

mana dia berada dan bagaimana dia bisa berada di sini.

Aku bergegas ke dapur dan minum tiga gelas air. Saat

aku kembali, Carlotta masih berpikir keras. Aku segera

mengambil keputusan lain?aku berjalan ke meja samping

tempat tidur dan memeriksa botol-botol obat itu sampai

menemukan label yang kucari: PERHATIAN; DAPAT

MENYEBABKAN KANTUK. Aku membuka botol, mengambil

empat tablet, lalu memasukkan tablet itu ke dalam saku.

"Apa yang terjadi?" tanya Carlotta. Dia kebingungan.

"Di mana aku? Siapa kamu?"

Aku tak berbicara dengan ibu Hector dan langsung

berjalan keluar kamar. Tapi sebelum pergi, aku menoleh dan

memandang Carlotta satu kali lagi. Dia memandangiku,

kakinya yang sudah sembuh dan lurus tergantung di tempat

tidur, seolah dia akan berdiri.

Aku bergegas keluar rumah dan menemukan Pusaka

tidur di bawah jendela belakang. Sambil terus mengawasi

gang dan jalan kecil, aku kembali ke panti asuhan sambil

menggendong kucing itu seraya memikirkan seperti apa

reaksi Hector saat menemukan ibunya sudah sembuh.

Namun, di desa kecil seperti Santa Teresa, tak ada rahasia

yang bertahan lama. Satu-satunya harapanku hanyalah

semoga tak ada orang yang melihatku mengunjungi rumah

itu dan semoga Carlotta tak ingat apa yang sebenarnya

terjadi.

Saat berada di depan pintu ganda, aku membuka

ritsleting mantelku hingga setengahnya, lalu memasukkan

Pusaka dengan hati-hati. Aku tabu tempat yang bagus

untuknya. Di atas menara lonceng utara, bersama Peti Loric.

Peti Loric, pikirku. Aku harus membukanya.

20

JATUH CINTA ITU ANEH. APA PUN YANG KAU lakukan, orang

itu selalu terbayang-bayang. Saat kau mengambil gelas dari

lemari dapur atau menggosok gigi, atau mendengarkan cerita

seseorang, pikiranmu melayang, lalu kau membayangkan

wajahnya, rambutnya, aromanya, dan kau memikirkan

pakaian apa yang dia kenakan dan apa yang akan dia katakan

saat berjumpa denganmu lagi. Lalu dalam keadaan seperti

melayang dalam mimpi itu, perutmu seakan terikat tali karet,

lalu naik dan turun selama berjam-jam hingga akhirnya

berhenti di dekat jantungmu.

Itulah yang kurasakan sejak pertama kali bertemu

Sarah Hart. Saat berlatih dengan Sam atau mencari sepatu di

bagian belakang mobil, aku membayangkan wajah, bibir, dan

kulit gading Sarah. Saat memberikan petunjuk arah mana

yang harus dituju dari kursi belakang, aku terkenang saat aku

memeluk Sarah dan daguku menyentuh kepalanya. Dan bisa

jadi, saat dikelilingi dua puluh Mogadorian atau saat

tanganku mulai bersinar, aku teringat semua percakapan

pada saat makan malam Thanksgiving di rumah Sarah.

Namun, yang lebih gila lagi, saat kami meluncur

dengan kecepatan tinggi menuju Paradise pada pukul

sembilan malam, saat kami semakin mendekati Sarah dan

rambut pirang serta mata birunya, aku juga memikirkan

Nomor Enam. Aku teringat aromanya, seperti apa dirinya saat

mengenakan baju olahraga, dan saat kami hampir berciuman

di Florida. Perutku juga sakit karena Nomor Enam. Bukan

hanya karena dirinya, melainkan juga karena sahabatku juga

naksir dia. Aku perlu membeli obat maag saat berhenti nanti.

Sementara Sam menyopir, kami membahas surat

Henri. Kami juga membicarakan betapa luar biasanya ayah

Sam karena, selain membantu orang-orang Lorien, dia juga

memberikan teka-teki kepada anaknya untuk menemukan

alat pemancar itu seandainya sesuatu menimpanya. Dan

tetap saja, aku masih terus bolak-balik memikirkan Sarah dan

Nomor Enam.

Saat jarak kami tinggal dua jam lagi dari Paradise,

Nomor Enam bertanya, "Bagaimana jika ternyata tak ada apa-

apa? Maksudku, bagaimana jika ternyata di sumur itu tak ada

apa-apa, selain hadiah ulang tahun aneh atau benda lainnya

dan bukan alat pemancar? Kita mengambil risiko besar,

benar-benar besar, dengan muncul di Paradise seperti ini."

"Percayalah kepadaku," kata Sam. Dia

mengetukngetukkan ibu jari di atas setir, lalu menyalakan

radio mobil. "Seumur hidupku, baru kali ini aku merasa be

nar-benar yakin. Padahal nilaiku A semua, terima kasih

banyak."

Kupikir para Mogadorian menunggu di sana, dengan

jumlah yang jauh lebih banyak daripada yang kami hadapi di

Florida, mengawasi segala hal yang mungkin bisa

menunjukkan di mana kami berada. Seandainya aku harus

jujur, satu-satunya alasanku berani mengambil risiko seperti

ini adalah karena mungkin saja aku bisa bertemu Sarah.

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan menepuk

bahu kanan Sam. "Sam, apa pun yang nanti terjadi di sumur

dengan jam matahari itu, aku dan Nomor Enam berutang

banyak atas apa yang ayahmu lakukan untuk kami. Tapi aku

benar-benar dan sungguh-sungguh berharap kita bisa

menemukan alat pemancar itu."

"Jangan khawatir," kata Sam.

Lampu jalan berkelebat. Telinga Bernie Kosar yang

terkulai menjuntai dari tepi kursi, dia tidur. Aku gugup

karena akan berjumpa dengan Sarah. Gugup karena dekat

dengan Nomor Enam.

"Eh, Sam?" tanyaku. "Mau main?"

"Oke."

"Menurutmu siapa nama Bumi Nomor Enam?"

Nomor Enam menyentakkan kepalanya ke arahku,

rambut hitamnya menampar pipi kanannya, lalu

mengerutkan dahi sambil pura-pura marah.

"Memangnya dia punya?" Sam tertawa.

"Tebak sajalah," kataku.

"Ya, Sam," kata Nomor Enam. "Tebak."

"Em, Stryker?"

Aku tertawa terbahak-bahak hingga Bernie Kosar

tersentak dan memandang keluar dari jendela. "Stryker?"

seru Nomor Enam.

"Bukan Stryker, ya? Oke, oke. Entahlah, mungkin

Persia atau Eagle atau ..."

"Eagle?" teriak Nomor Enam. "Kenapa Eagle?"

"Soalnya, kamu itu keren," Sam tertawa. "Aku rasa

namamu itu mungkin seperti Starfire atau Thunder Clap atau

nama lain yang benar-benar keren."

"Betul!" aku berseru. "Aku pikir juga begitu!"

"Jadi apa, dong?" tanya Sam.

Nomor Enam menyilangkan lengan dan memandang

ke luar jendela. "Tak akan kuberi tahu sampai kau menebak

dengan nama perempuan sungguhan. Eagle, Sam? Yang

benar saja."

"Kenapa? Aku sendiri akan menamai diriku Eagle

seandainya bisa," kata Sam. "Eagle Goode. Terdengar keren,

kan?"

"Terdengar seperti merek keju," kata Nomor Enam.

Kami semua tertawa mendengarnya.

"Oke. Hm, Rachel?" tanya Sam. "Britney?"

"Ih, jijik," balas Nomor Enam.

"Oke. Rebecca? Claire? Oh, aku tahu. Beverly"

"Kau gila," Nomor Enam tertawa. Dia meninju pa- ha

Sam, membuat Sam melolong dan menggosok-gosok

pahanya secara dramatis. Sam membalas, meninju biseps kiri

Nomor Enam dua kali, dan Nomor Enam pura-pura kesakitan.

"Namanya Maren Elizabeth," kataku. "Maren

Elizabeth."

"Yah, kenapa kau bilang?" kata Sam. "Alm tadi mau

menebak Maren Elizabeth."

"Ah, masa?" kata Nomor Enam.

"Betul! Aku mau menebak itu. Maren Elizabeth keren

juga. Kau mau dipanggil dengan nama itu? Empat dipanggil

John, iya, kan Empat?"

Aku menggaruk kepala Bernie Kosar. Kurasa aku tak

akan bisa memanggilnya Hadley, tapi mungkin aku bisa

memanggil Nomor Enam dengan Maren Elizabeth. "Kurasa

kau harus punya nama manusia," kataku. "Kalau bukan Maren

Elizabeth, ya nama lain. Setidaknya saat berada di dekat

orang asing."

Semua diam. Aku meraih ke belakang ke dalam Peti

Loric dan mengambil kantung beledu berisi sistem tata surya

Lorien. Aku meletakkan enam planet dan mataharinya di

telapak tanganku, lalu memandangi ketujuh bola itu bersinar

hidup dan melayang. Saat planet-planet itu mulai

mengelilingi mataharinya, ternyata aku bisa meredupkan

sinar bola-bola itu dengan pikiranku. Aku membiarkan diriku

terlena. Selama beberapa saat, aku berhasil melupakan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa sebentar lagi aku bisa bertemu Sarah.

Nomor Enam menoleh untuk melihat sistem tata

surya yang melayang di depan dadaku, kemudian berkata,

"Entahlah, aku suka nama Enam. Maren Elizabeth itu namaku

yang dulu, saat aku bukan diriku yang sekarang. Saat ini,

Enam rasanya pas. Lagi pula itu kependekan dari sesuatu, jika

ada yang bertanya."

Sam menoleh. "Kependekan dari apa? Enam puluh?"

Aku mengeluarkan tujuh cangkir dan meletakkan

cerek di atas kompor. Sambil menunggu air mendidih, aku

menggerus tiga tablet, yang tadi kucuri dari ibu Hector,

menggunakan punggung sendok hingga jadi bubuk. Ella

berdiri di sampingku dan mengamati, seperti yang biasa dia

lakukan saat giliranku membuatkan teh malam untuk para

Suster.

"Sedang apa?" dia bertanya.

"Sesuatu yang mungkin akan kusesali," kataku. "Tapi

harus kulakukan."

Ella meratakan selembar kertas kusut di meja, lalu

meletakkan ujung pensilnya di atas kertas itu. Segera saja dia

menggambar sebuah lukisan tujuh cangkir teh yang

kuderetkan. Dari yang berhasil kukorek, di kantor Suster

Lucia tadi, Ella bertemu dengan sepasang suami istri yang

katanya "memiliki banyak kasih sayang". Aku 'tak tahu berapa

lama pertemuan itu berlangsung, tapi Ella bilang mereka

akan kembali lagi besok. Aku tahu artinya. Jadi, aku

menuangkan air mendidih dari cerek sepelan mungkin,

berusaha memperlama waktuku bersama Ella.

"Ella? Kau sering memikirkan orangtuamu?" tanyaku.

Mata cokelatnya membesar. "Hari ini?"

"Ya. Hari ini, atau hari lainnya?"

"Aku tak tahu ...," kata-katanya melirih. Setelah diam

sejenak, dia berkata, "Sejuta kali?"

Aku membungkuk dan memeluknya, tak tahu apakah

itu karena kasihan kepadanya atau karena kasihan kepada

diriku sendiri. Orangtuaku juga sudah meninggal. Korban

perang yang suatu hari nanti akan kulanjutkan.

Aku memasukkan pil yang sudah hancur itu ke dalam

cangkir teh Adelina, menyesal karena terpaksa membiusnya.

Tak ada pilihan lain. Adelina boleh berdiri menanti kematian

jika memang itu pilihannya, tapi aku tak mau menyerah

tanpa perlawanan, tanpa melakukan apa pun yang bisa

kulakukan untuk bertahan hidup.

Aku mengangkat nampan dan meninggalkan Ella di

meja, lalu berkeliling mengantarkan teh. Satu per satu

cangkir teh itu kuberikan ke seluruh panti asuhan. Saat

masuk ke tempat para Suster untuk mengantarkan teh

Adelina, aku mendorong cangkirnya ke depan dengan hati-

hati. Dia mengambil cangkir itu sambil mengangguk sopan.

"Suster Camila tidak enak badan dan aku diminta untuk

menggantikannya tidur di tempat anak-anak malam ini."

"Oke," jawabku. Aku memandanginya meneguk teh

dari cangkir sambil memikirkan kemungkinan berada satu

kamar dengan Adelina malam Mi. Aku tak tahu apakah

membiusnya merupakan suatu kesalahan besar atau justru

membantu rencanaku.

"Sampai jumpa lagi," katanya. Lalu dia mengedipkan

mata ke arahku. Aku kaget, hampir menjatuhkan dua cangkir

yang ada di nampan ke lantai.

"I-iya," aku tergagap.

Setengah jam kemudian, waktu tidur tiba. Semua

orang tidak langsung tidur, malah banyak gadis yang berbisik

satu sama lain dalam gelap. Aku mengangkat kepala setiap

beberapa menit untuk melihat Adelina berbaring di tempat

tidurnya di seberang kamar. Kedipan matanya tadi

membuatku bingung.

Sepuluh menit berlalu. Sebagian besar orang masih

terjaga, termasuk Adelina. Biasanya dia cepat tidur saat

bertugas. Karena sampai saat ini dia masih bangun, berarti

dia juga menunggu semua orang tidur. Sekarang, aku merasa

kedipan matanya tadi berarti dia ingin melanjutkan

pembicaraan kami. Akhirnya kamar pun hening. Aku

menunggu sekitar sepuluh menit sebelum mengangkat

kepala. Setengah jam terakhir ini Adelina tak bergerak, jadi

aku sedikit menggoyangkan ranjangnya. Tiba-tiba, dia

mengangkat tangan kiri seakan mengibarkan bendera putih

tanda menyerah, lalu menunjuk ke ambang pintu.

Aku menyibakkan selimut, turun dari tempat tidur,

lalu berjingkat-jingkat keluar kamar. Saat tiba di koridor, aku

menyelinap ke bawah bayangan, menahan napas, dan

berharap semoga ini bukan suatu perangkap buatan Adelina

dan Suster Dora. Tiga puluh detik kemudian, Adelina muncul

di koridor. Dia berjalan dengan susah payah dan limbung.

"Ikuti aku," bisikku sambil meraih tangannya. Sudah

lama aku tidak memegang tangan Adelina. Aku teringat saat

kami berdempetan di perahu menuju Finlandia, saat aku

sakit dan dia kuat. Dulu kami begitu dekat dan tak

terpisahkan. Sekarang menyentuh tangannya saja terasa

aneh.

"Aku ngantuk sekali," kata Adelina saat kami naik ke

lantai dua, setengah jalan menuju sayap utara dan menara

lonceng yang digembok. "Aku tak tahu kenapa."

Aku tahu kenapa. "Mau digendong?"

"Kau tak bisa menggendongku."

"Tidak dengan lenganku, dengan Pusakaku,"

jawabku.

Adelina terlalu mengantuk untuk membantah. Aku

memusatkan perhatian pada kaki serta tungkainya, dan

beberapa detik kemudian, aku mengangkat Adelina dari

lantai dan melayangkannya di koridor berdebu. Kami

melewati patung kuno yang dipahat di dinding batu, lalu

memasuki koridor sempit tanpa bersuara. Aku khawatir

Adelina tertidur, tapi kemudian dia berkata, "Aku tak percaya

kau menggunakan telekinesis untuk menerbangkan

perempuan tua sepertiku di koridor. Kita ke mana?"

"Aku harus menyembunyikannya," bisikku. "Sebentar

lagi sampai, sungguh."

Aku membuka gembok menggunakan telekinesis dan

gembok itu jatuh dari pegangan pintu kayu ek. Segera saja

aku menerbangkan Adelina ke atas tangga batu melingkar di

menara utara yang mengarah ke tempat lonceng bergantung.

Terdengar suara Pusaka mengeong pelan dari atas.

Aku membuka pintu tempat lonceng, lalu

menurunkan Adelina pelan-pelan di samping Peti Loric. Dia

meletakkan lengan kirinya di atas tutup Peti Loric dan

menyandarkan kepalanya di sana. Aku bisa melihat pil tidur

tadi hampir mengalahkannya, dan aku marah terhadap diriku

sendiri karena mengakalinya. Pusaka naik ke pangkuan

Adelina dan menjilat tangan kanannya. "Kenapa ada kucing di

sini?" gumam Adelina.

"Jangan tanya. Dengar, Adelina, kau hampir tertidur,

dan aku perlu bantuanmu membuka Peti ini sebelum kau

tidur, oke?"

"Aku rasa aku tidak ..."

"Tidak apa?" tanyaku.

"Tak punya keyakinan lagi, Marina." Matanya

menutup.

"Ya, kau masih punya."

"Letakkan tanganmu di gembok Peti. Letakkan

tanganku di sisi yang lain."

Aku menekankan telapak tanganku di samping

gembok dan gembok itu terasa hangat. Dengan telekinesis,

aku mengangkat tangan kanan Adelina, menjauhi lidah si

kucing, dan meletakkannya di sisi lain gembok itu. Adelina

menautkan jari-jarinya dengan jari-jariku. Satu detik berlalu.

Gembok terbuka.

"Eh, Teman-teman! Ada yang, eh, aneh di belakang

sini." Ketujuh bola yang melayang di depan dadaku di kursi

belakang mobil bergerak semakin cepat, dan aku tak bisa

mengontrolnya. Cahayanya semakin terang sehingga aku

harus menutupi mata.

"Hei! Hei! Hentikan!" bentak Sam. "Aku sedang

nyetir, nih."

"Aku tak tahu apa yang terjadi!"

"Minggir!" teriak Nomor Enam.

Sam membanting setir dan menginjak rem,

menyebabkan batu dan kerikil berderak serta berloncatan.

Keenam planet dan mataharinya bersinar terang. Planet-

planet itu bergerak mengelilingi matahari dengan begitu

cepat sehingga tampak kabur. Keenam planet itu seakan

menyatu dengan matahari dan membentuk globe seukuran

bola basket. Globe itu berputar pada porosnya, lalu

memancarkan sinar yang begitu terang menyilaukan.

Perlahan-lahan sinar itu meredup, dan bagian-bagian di

permukaan globe itu menaik dan menurun sehingga

terbentuk replika Bumi yang sempurna, dengan tujuh benua

dan tujuh lautan.

"Itu ...?" tanya Sam. "Itu tampak seperti Bumi."

Planet itu berputar di dekat kepalaku, dan pada rotasi

ketiga atau keempat, aku melihat sebuah cahaya kecil yang

berkedap-kedip.

"Kalian lihat sinar kecil itu?" tanyaku. "Di Eropa."

"Oh, yeah," kata Sam. Dia menunggu globe itu

berotasi sekali lagi, lalu memicingkan mata. "Kurasa itu ada

di mana? Spanyol atau Portugal? Bisa ambilkan laptop?

Cepat."

Sambil menatap globe dan sinar kecil yang berkedap-

kedip itu, aku meraba-raba ke belakang hingga menemukan

laptop. Aku memberikan laptop itu kepada Nomor Enam

yang kemudian menyerahkannya kepada Sam. Sam

memandang globe yang melayang di kursi belakang,

mengetik, lalu memandang globe itu lagi. "Yah, itu Spanyol,

dan tampaknya ada di dekat .... Yang paling dekat dengan

sinar itu sepertinya Kota Leon. Tapi tidak persis juga. Yang

kita lihat ini adalah Picos de Europa atau Puncak Eropa. Kalian

pernah dengar nama itu?"

"Belum pernah sama sekali," kataku.

"Sama," kata Nomor Enam.

"Apa itu pesawat kita?" tanyaku.

"Tak mungkin. Tidak mungkin di Spanyol. Yah, aku

sangat meragukannya," kata Nomor Enam. "Maksudku, jika
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu pesawat kita, kenapa baru sekarang ia bersinar dan

menunjukkan di mana ia berada? Tak masuk akal. Lagi pula

sudah berapa kali kau melihat benda ini?"

"Selusin kali," kataku. "Mungkin lebih."

Sam memeluk sandaran kursinya dan mengangkat

alis. "Oke. Jadi, mungkin ada sesuatu yang

mengaktifkannya."

Aku dan Nomor Enam saling pandang.

"Pasti salah satu Loric," kata Sam.

"Bisa jadi," kata Nomor Enam. "Atau ini mungkin

perangkap." Dia memandang Sam. "Apa pernah ada berita

mencurigakan dari Spanyol?"

Sam menggelengkan kepala. "Lima jam yang lalu sih

tak ada. Tapi biar aku cek sekarang." Sam mulai mengetik di

atas keyboard.

"Sebelum itu, sebaiknya kita menjauhi jalan utama

ini sebelum ada yang melihat Planet Bumi bersinar melayang

di dalam mobil," kataku. "Ingat bahwa kita dekat Paradise?"

Adelina mendengkur dan aku merasa bersalah.

Namun untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat

Warisan yang seharusnya sudah kuterima bertahun-tahun

lalu. Batu dan permata beraneka warna, dengan berbagai

bentuk dan ukuran. Sepasang sarung tangan hitam dan

kacamata hitam, keduanya terbuat dari bahan yang belum

pernah kulihat. Ada ranting pohon yang kulitnya sudah

dikelupas dan di bawahnya ada sebuah alat aneh berbentuk

bundar dengan lensa kaca dan jarum yang mengambang,

mirip kompas. Tapi menurutku yang paling aneh adalah

kristal merah bercahaya. Begitu melihatnya, aku tak dapat

mengalihkan pandangan dan perlahan-lahan mengulurkan

tanganku untuk meraihnya. Kristal itu terasa hangat dan

menggelitik telapak tanganku. Cahaya merah itu makin

terang, kemudian memudar dan mulai berdenyut-denyut

seirama napasku.

Kristal itu semakin panas, semakin terang, dan mulai

mengeluarkan dengungan pelan. Aku panik, khawatir salah

satu Pusakaku mengaktifkan semacam granat Loric.

"Adelina!" teriakku. "Bangun! Ayo, bangun!"

Adelina mengerutkan dahi dan dengkurannya

semakin keras.

Aku mengguncang bahunya dengan tangan yang satu

lagi. "Adelina!"

Aku mengguncangnya lebih keras, menyebabkan

kristal itu jatuh. Kristal itu memantul di lantai batu menara

lonceng dengan keras, lalu berguling ke ambang pintu. Saat

kristal itu jatuh dari anak tangga pertama ke anak tangga

kedua, cahaya merah tadi tak lagi berdenyut. Saat jatuh dari

anak tangga kedua ke anak tangga ketiga, kristal itu tak lagi

bersinar. Dan saat kristal itu jatuh ke anak tangga keempat,

aku mengejarnya.

Sam membelokkan mobil ke jalan tanah yang gelap.

Globe itu terus berputar di depanku. Cahaya kecil itu terus

berdenyut-denyut seakan ingin menyampaikan sesuatu.

Akhirnya mobil berhenti. Sam mematikan mesin dan lampu.

"Menurutku itu salah satu dari kalian," kata Sam

sambil berbalik. "Nomor lain. Dia di Spanyol."

"Kita tak tahu pasti," kata Nomor Enam.

Sam mengangguk ke arah globe. "Oke, dengar. Saat

kalian tiba di Bumi untuk pertama kalinya, kalian diharuskan

berjauhan, kan? Begitulah caranya. Kalian semua pergi ke

persembunyian masing-masing hingga Pusaka kalian muncul,

berlatih, dan segala macam. Lalu apa? Lalu, kalian semua

berkumpul dan bertempur bersama-sama. Jadi, cahaya ini

mungkin semacam sinyal untuk berkumpul atau mungkin

juga semacam sinyal bahaya dari salah satu nomor yang

tersisa. Atau, mungkin Nomor Lima atau Nomor Sembilan

baru saja membuka Peti Loric untuk pertama kalinya, dan

karena pada saat yang sama, benda ini sedang aktif, kita bisa

berkomunikasi."

"Mungkin mereka bisa melihat bahwa kita ada di

Ohio?" tanyaku.

"Sial. Mungkin. Bisa jadi. Tapi, pikirkan ini. Jika para

Tetua memberikan semua barang di dalam Peti itu untuk

kalian, mereka pasti memberi suatu alat agar kalian bisa

berkomunikasi. Iya, kan? Mungkin secara tak sengaja kita

menemukan caranya, dan kita mendapatkan lokasi orang

yang membutuhkan bantuan kita," kata Sam.

"Atau mungkin salah satu dari yang lain sedang

disiksa dan dipaksa untuk menghubungi kita. Bisa jadi ini

perangkap," kata Nomor Enam.

Saat aku akan mengiyakan pendapatnya, permukaan

Bumi itu memudar dan globe itu bergetar seiring dengan

suara perempuan yang berkata, "Adelina! iDespierta!

iDespierta, por favor! Adelina!"

Saat aku mau menjawabnya, globe itu tiba-tiba

menyusut, dan kembali menjadi tujuh bola kaca biasa.

"Wah, woi, woi! Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Kupikir sinyalnya terputus," kata Sam.

"Siapa gadis tadi? Siapa Adelina?" tanya Nomor

Enam.

Aku berhasil menangkapnya setelah batu itu

memantul di anak tangga kesembilan, tapi apa pun yang

kulakukan batu itu tidak bersinar seperti tadi. Aku

mengguncangnya. Aku meniupnya. Aku meletakkan batu itu

di tangan Adelina. Batu itu tetap tak berubah dan tetap

berwarna biru pucat. Aku khawatir aku merusaknya. Dengan

hati-hati, aku memasukkan batu itu ke dalam Peti dan

mengambil ranting pohon pendek.

Sambil menarik napas dalam, aku menjulurkan

ranting itu keluar dari salah satu dua jendela, lalu

berkonsentrasi di ujung yang kupegang. Ada semacam gaya

magnet, tapi sebelum sempat menguji atau memahaminya,

aku mendengar pintu kayu ek di bawah menara berderit

terbuka.

21

SAAT MOBIL MELUNCUR, AKU MENCOBA BEBERAPA kali untuk

mendapatkan kembali sinyal dengan globe, tapi yang

kudapat hanyalah sistem tata surya yang melayang dan

berputar seperti biasa. Sudah hampir tengah malam. Saat

akan mengaduk-aduk Peti untuk memeriksa batu-batu dan

benda lain, aku melihat sekumpulan cahaya dari kota di

cakrawala. Sebuah papan tanda berkelebat di sebelah

kananku, seperti beberapa bulan lalu saat Henri menyetir:

SELAMAT DATANG DI PARADISE, OHIO

JUMLAH PENDUDUK 5.243

"Kita pulang," bisik Sam.

Aku menempelkan dahi ke jendela dan mengenali

gudang bobrok, papan tua untuk apel, pickup hijau yang

masih untuk dijual. Perasaan hangat menyelimutiku. Dari

semua tempat yang pernah kutinggali, Paradise-lah yang

paling kusuka. Di tempat ini, aku memiliki sahabat untuk

pertama kalinya. Di tempat inilah, Pusaka pertamaku muncul.

Di sinilah, aku jatuh cinta. Tapi di tempat ini juga aku

bertemu Mogadorian untuk pertama kalinya. Di sinilah aku

mengalami pertarungan pertamaku dan juga merasakan sakit

sungguhan. Di sinilah Henri meninggal.

Bernie Kosar melompat naik ke kursi di sampingku,

ekornya dikibas-kibaskan dengan kencang. Dia menyurukkan

hidungnya melalui celah kecil di jendela, lalu mengendus-

endus udara yang dia kenal.

Kami belok kiri di belokan pertama, lalu berbelok

beberapa kali lagi, bolak-balik beberapa kali untuk

memastikan tak ada yang membuntuti sambil mencari

tempat paling bagus dan paling tidak mencolok untuk

menyimpan mobil. Kemudian, kami mengulangi rencana

sekali lagi.

"Setelah mendapatkan alat pemancarnya, kita

langsung balik ke mobil dan meninggalkan Paradise," kata

Nomor Enam. "Oke?"

"Oke," kataku.

"Kita tidak menemui siapa pun. Kita pergi. Kita

langsung pergi."

Aku tahu yang dia maksud adalah Sarah, dan aku

menggigit bibir. Setelah berminggu-minggu melarikan diri,

akhirnya aku kembali ke Paradise. Tapi aku dilarang

menemui Sarah.

"Mengerti, John? Kita pergi? Langsung pergi?"

"Iya. Iya. Aku paham maksudmu."

"Maaf."

Sam memarkirkan SUV di sebuah jalan gelap di

bawah pohon maple, tiga kilometer dari rumahnya. Sepatuku

menyentuh aspal. Paru-paruku menghirup udara Paradise.

Aku ingin segalanya kembali seperti dulu, pada saat

Halloween, pada saat pulang ke rumah bersama Henri, pada

saat duduk di sofa bersama Sarah.

Karena tak mau meninggalkan Peti Loric dalam mobil

yang tak dijaga, jadi Nomor Enam membuka pintu belakang

dan memanggul Peti itu. Begitu terasa nyaman, dia membuat

dirinya tak terlihat.

"Tunggu," kataku. "Aku ingin mengambil sesuatu.

Enam?"

Nomor Enam muncul kembali. Aku membuka Peti

dan mengambil belati, lalu menyelipkannya ke saku

belakang celana jinsku. "Oke. Sekarang aku siap. Siap, Bernie

Kosar?"

Bernie Kosar berubah wujud menjadi burung hantu

cokelat kecil, lalu terbang ke dahan rendah pohon maple.

"Ayo, kita lakukan." Nomor Enam mengambil Peti

Loric, lalu kembali tak terlihat.

Kemudian kami berlari. Sam mengikuti di belakang

dengan cepat. Aku melompati pagar dan mempercepat lariku

saat berada di tepi ladang terdekat. Setelah sekitar satu

kilometer, aku berbelok ke hutan. Aku menyukai bagaimana

ranting-ranting pohon patah di dada dan lenganku, dan

bagaimana rumput tinggi mencambuk jinsku. Aku sering

menengok ke belakang. Sam hanya empat puluh meter di

belakangku, melompati batang pohon, melesat di bawah

ranting pohon. Aku mendengar suara-suara di sampingku.

Sebelum aku sempat meraih belati, Nomor Enam berbisik

memberi tahu bahwa itu dirinya. Aku melihat jalur dengan

rumput terbelah di tengah dan mengikutinya.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untungnya Sam tinggal di pinggiran Kota Paradise

dengan tanah luas yang memisahkan masing-masing

tetangga. Aku berhenti di tepi hutan saat melihat rumah

Sam. Rumah itu kecil dan sederhana, dengan dinding

aluminium putih dan atap hitam, di sebelah kanannya ada

cerobong asap kecil, dan pekarangan belakangnya dikelilingi

pagar kayu tinggi. Nomor Enam memunculkan diri dan

menurunkan Peti Loricku.

"Yang itu?" tanyanya.

"Ya."

Tiga puluh detik kemudian, Bernie Kosar mendarat di

bahuku. Empat menit kemudian, Sam berjalan tertatih-tatih

melewati sederet semak lalu berdiri di samping kami,

kehabisan napas, membungkuk memegangi pahanya erat-

erat. Dia memandang rumahnya dari kejauhan.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyaku.

"Seperti buronan. Seperti anak yang tak berbakti."

"Pikirkan betapa bangganya ayahmu setelah kita

berhasil," kataku.

Nomor Enam membuat dirinya tak terlihat, lalu

melakukan pengintaian. Dia memeriksa bagian-bagian gelap

dari rumah-rumah yang ada di dekat situ dan kursi belakang

setiap mobil yang ada di jalan. Kemudian dia kembali dan

berkata segalanya tampak aman, tapi ada semacam sinar

sensor gerak di rumah sebelah kanan. Bernie Kosar terbang,

lalu bertengger di puncak atap.

Nomor Enam meraih tangan Sam, lalu mereka

menjadi tak terlihat. Aku mengepit Peti di bawah lengan, lalu

mengikuti mereka ke pagar belakang dengan diamdiam.

Mereka muncul kembali. Nomor Enam memanjat pagar

kemudian Sam. Aku melemparkan Peti dan segera memanjat

menyusul mereka. Kami merunduk di balik belukar. Aku

mengamati halaman belakang beserta pohon-pohonnya,

rumput tinggi, tunggul pohon besar, ayunan berkarat, dan

gerobak antik yang terguling. Di kiri rumah ada pintu

belakang, dan di bagian kanan ada dua jendela gelap.

"Di sana," bisik Sam sambil menunjuk.

Setelah diamati dengan saksama, benda di tengah

pekarangan yang tadinya kusangka tunggul pohon itu,

ternyata sebuah silinder batu yang besar. Aku menyipitkan

mata dan melihat segitiga mencuat di atasnya.

"Kami segera kembali," bisik Nomor Enam kepada

Sam.

Aku memegang tangan Nomor Enam dan menjadi tak

terlihat, lalu berkata, "Oke, Eagle Goode. Jaga Peti itu seolah

hidupku bergantung padanya. Karena memang begitu."

Aku dan Nomor Enam berjalan dengan hati-hati

melintasi rumput tinggi ke arah sumur, lalu berlutut di

depannya. Angka-angka mengelilingi tepi jam matahari itu?

angka satu sampai dua belas di sisi kiri dan juga sisi kanan,

angka nol di bagian atas?dan angkaangka itu dikelilingi

serangkaian garis. Begitu akan memegang segitiga di bagian

tengah dan memutarnya secara acak, aku mendengar Nomor

Enam terkesiap.

"Apa?" bisikku sambil memandang ke arah jendela

belakang yang gelap.

"Lihat tengahnya. Simbol-simbol itu."

Aku mengamati jam matahari itu lagi dan aku pun

terkesiap. Di bagian tengah lingkaran ada sembilan simbol

Loric yang tak kentara dan mudah terabaikan. Aku mengenali

angka satu hingga tiga karena bentuknya sama dengan

goresan di pergelangan kakiku, tapi yang lainnya tidak.

"Berapa tanggal lahir Sam?" tanyaku.

"Empat Januari, sembilan belas sembilan lima."

Segitiga itu berbunyi "klik" seperti jam saat aku

memutarnya ke kanan, ke angka satu Loric. Aku memutarnya

ke kiri, menelan ludah dengan keras saat mengarahkannya ke

simbol yang pastilah angka empat. Angkaku. Lalu, aku

memutar segitiga itu ke angka satu, angka sembilan, kembali

ke angka sembilan lagi, lalu ke angka lima. Tak ada sesuatu

yang terjadi, tapi beberapa saat kemudian, jam matahari itu

mulai berdesis dan berasap. Aku dan Nomor Enam mundur

serta menyaksikan tutup batu sumur itu terangkat dan

terbuka dengan bunyi berderak yang bergema keras. Saat

asap itu lenyap, aku melihat tangga di bagian dalam sumur.

Sam melompat-lompat di dekat pagar. Dia menutup

mulutnya dengan tangan yang satu, sedangkan tangan yang

lain diangkat dengan tinju dikepalkan.

Salah satu jendela gelap rumah itu berubah jadi

kuning. Di atas atap, Bernie Kosar bersuara huuu panjang dua

kali. Sebelum sempat berpikir, Nomor Enam

menyentakkanku ke depan. Segera saja aku terlihat kembali

dan menuruni tangga memasuki sumur. Nomor Enam

mengikuti sambil menarik tutup sumur hingga hampir

tertutup. Aku menyalakan tanganku dan melihat kami berada

sekitar enam meter dari dasar ruangan rahasia itu.

"Bagaimana dengan Sam?" bisikku.

"Dia akan baik-baik saja. Bernie Kosar ada di sana.

Kami mencapai lantai dan mendapati diri kami

berada di sebuah lorong pendek yang berkelok ke kiri.

Udaranya pengap. Aku menyorotkan sinar ke depan dan ke

belakang sambil berjalan menyusuri kelokan itu. Saat lorong

lurus kembali, ternyata di ujungnya ada sebuah ruangan

dengan meja yang berantakan dan ratusan kertas yang

ditempelkan ke dinding. Saat akan berlari ke ruangan itu,

sinar dari tanganku menyorot sebuah benda putih panjang di

ambang pintu.

"Itu ...," suara Nomor Enam melirih.

Aku berhenti melangkah. Itu tulang yang luar biasa

besar. Nomor Enam mendorongku maju dan aku

mengeluarkan belati dari saku belakang.

"Perempuan duluan?" aku menawarkan.

"Kali ini tidak."

Aku berlari lalu melompati tulang dan langsung

menerangi ruangan itu dengan tanganku. Aku berteriak saat

menghantam kerangka yang duduk bersandar di tembok.

Nomor Enam melompat ke dalam. Saat melihat kerangka itu,

dia mundur dan menabrak meja.

Kerangka itu tingginya dua setengah meter, dengan

kaki dan tangan berukuran besar. Rambut pirang tebal

terjuntai dari atas tengkoraknya melewati tulang belikat yang

lebar. Di lehernya tergantung sebuah liontin biru yang serupa

dengan liontinku.

"Itu bukan ayah Sam," kata Nomor Enam.

"Jelas bukan."

"Jadi, siapa dia?"

Aku melangkah maju dan memeriksa liontin itu. Batu

Loralite birunya agak lebih besar daripada punyaku, tapi yang

lainnya sama persis. Aku menatap liontin itu dan merasakan

koneksi yang sangat besar dengan siapa pun kerangka ini

sebenarnya. "Entahlah, tapi kupikir dia ini teman." Aku

mengulurkan tangan ke kepala si kerangka dan mengambil

liontinnya, lalu mem. berikan liontin itu kepada Nomor

Enam.

Kami menghampiri meja. Aku tak tahu hams mulai

dari mana. Debu tebal menutupi tumpukan kertas dan alat

tulis. Kertas-kertas yang ada di dinding di atas meja berisi

tulisan dalam berbagai bahasa selain bahasa Inggris. Aku

mengenali beberapa angka Loric, tapi yang lainnya tidak.

Sebuah tablet elektronik putih bertengger di kursi kayu

bobrok. Aku mengambil tablet itu dan menekan layar

hitamnya dengan jari. Tak terjadi apa pun.

Nomor Enam membuka laci atas dan menemukan

lebih banyak kertas. Saat dia meraih pegangan laci yang

kedua, pijakan kami goyah akibat ledakan di atas. Retakan

panjang muncul dan merambat di sepanjang langit-langit

hingga ke dinding semen. Bongkahan semen berjatuhan.

"Lari!" teriakku.

Dengan liontin di lehernya, Nomor Enam merenggut

kertas-kertas dari dinding dan aku menyelipkan tablet putih

itu ke belakang ikat pinggangku. Kami bergegas menaiki

tangga dan mengintip dari celah di antara sumur dan jam

matahari. Lusinan Mogadorian. Api membara. Bernie Kosar

sudah berubah wujud menjadi harimau dengan tanduk

domba yang melingkar. Dia menggigit lengan Mogadorian.

Sam tak ada di dekat pagar. Petiku juga.

Saat aku akan melompat keluar dari sumur, Nomor

Enam menerjang melewatiku dalam awan tornado. Tutup

jam matahari itu terpental ke belakang, Nomor Enam

membelah kerumunan lima Mogadorian, melontarkan

mereka melintasi pekarangan. Aku keluar dari sumur dan

menutupnya saat Nomor Enam mengambil sebuah pedang

berkilau Mogadorian, lalu menjadi tak terlihat.

Tiga Mogadorian bersenjata yang berdiri di dekat

sumur kuempaskan ke rumah dengan menggunakan

telekinesis. Mereka meledak jadi abu tebal. Saat berbalik,

aku melihat seorang lelaki bertelanjang dada terpaku di

pintu belakang dengan senapan di tangan. Di belakangnya,

ibu Sam yang mengenakan baju tidur berdiri ketakutan.

Nomor Enam muncul di dekat dua Mogadorian yang

berlari ke arahku dengan meriam tangan yang siap

menembak, lalu mengayunkan pedang menembus leher

mereka. Kemudian dengan telekinesis, dia melemparkan

gerobak ke arah Mogadorian lain, mengubahnya jadi abu.

Aku membenturkan dua Mogadorian satu sama lain. Nomor

Enam menusuk tiga Mogadorian dengan satu gerakan cepat.

Bernie Kosar melompat ke tengah pekarangan dan

menghunjamkan giginya ke beberapa Mogadorian yang

berusaha berdiri.

"Di mana Sam?!" teriakku.

"Di sini!"

Aku berputar dan melihat Sam berbaring telungkup

di bawah semak-semak hangus. Darah mengalir dari

kepalanya.

"Sam!" jerit ibunya dari ambang pintu.

Sam berusaha berdiri. "Mom!"

Ibunya berteriak lagi, tapi satu Mogadorian meraih

dan menarik kaus Sam hingga dia terangkat. Aku

berkonsentrasi dan mencabut ayunan berkarat. Sebelum

salah satu tiang logam ayunan itu menancap di dada

Mogadorian tersebut, Sam sudah dilemparkan ke atas pagar.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan kecepatan luar biasa yang baru kali itu

kulihat, Nomor Enam menebas sejumlah Mogadorian yang

tersisa. Dia berselimutkan abu mayat Mogadorian saat

melompati pagar mengejar Sam. Aku melompat ke Bernie

Kosar, lalu menyusul mereka.

Sam terbaring terlentang di halaman rumah sebelah.

Tubuhnya diselimuti banyak sekali cahaya sensor gerak. Aku

melompat turun dari Bernie Kosar dan mengangkat Sam.

"Sam? Kau baik-baik saja? Di mana Petiku?"

Dia membuka matanya sedikit. "Mereka

mengambilnya. Maaf, John."

"Itu!" kata Nomor Enam sambil menunjuk ke arah

beberapa Mogadorian yang berlari melintasi ladang ke arah

hutan.

Aku menaikkan Sam ke punggung Bernie Kosar, tapi

dia menolak. "Aku baik-baik saja. Sungguh."

Dari balik pagar, ibu Sam berseru, "Sam!"

"Aku akan kembali, Mom! Aku menyayangimu!" Lalu,

Sam-lah yang pertama kali berlari mengejar para

Mogadorian. Aku dan Nomor Enam menyusulnya dengan

mudah, tapi Nomor Enam berbelok ke kanan untuk

menancapkan pedangnya ke tubuh Mogadorian yang

mendekat. Tiga puluh meter di depannya ada empat

Mogadorian lain. Dengan liontin terayun-ayun di lehernya,

Nomor Enam menyerbu, Bernie Kosar menempel di

belakangnya.

Aku dan Sam masuk ke lapangan berlumpur. Dua

Mogadorian menghadang. Aku menengok ke belakang dan

melihat dua Mogadorian lain berpencar dan berderap ke arah

kami dengan sudut strategis. Mogadorian yang kami kejar

tadi berpencar memasuki hutan, aku tak bisa melihat yang

mana yang membawa Peti Loric. Aku menarik belati dari saku

belakang. Gagangnya langsung membelit tanganku.

Aku berlari. Dua Mogadorian yang ada di depanku

juga berlari. Pedang mereka berayun dan menggores ladang

kosong di belakang mereka. Saat jarak kami kurang dari

empat meter, aku melompat sambil mengacungkan belati

tinggi-tinggi. Saat aku mulai turun, sebuah pohon besar

melesat di bawahku, menabrak kedua Mogadorian tadi dan

menghabisi mereka. Nomor Enam. Begitu menjejak tanah,

aku berbalik dan melihat Nomor Enam berlari ke arah Sam

yang dikepung dua Mogadorian.

Mogadorian di sebelah kiri menerjang pinggang Sam.

Nomor Enam merenggut Mogadorian itu, lalu

melemparkannya jauh-jauh, tapi si Mogadorian langsung

berdiri dan menyerbu kembali.

Aku mengendap-endap mendekati Mogadorian lain

dari belakang, lalu menikamkan belatiku ke batang lehernya,

menariknya miring dan membelah tulang belikatnya. Dia

roboh jadi abu yang menutupi sepatuku.

Bernie Kosar menerjang Mogadorian lain dan

lidahnya langsung diselimuti abu tebal.

"Kita harus kembali ke mobil dan pergi," kata Nomor

Enam. "Pasti ada banyak Mogadorian yang ke sini?mereka

menunggu kita."

"Kita harus ambil Petiku dulu," kataku.

"Kalau begitu, kita berpencar," kata Nomor Enam.

Dengan pedang yang dikotori abu, dia menunjuk ke dua arah

di hutan tempat Mogadorian tadi lenyap. "Kau ikut aku,

Bernie Kosar." Bernie Kosar menciut menjadi elang, lalu

pergi ke arah kid bersama Nomor Enam.

Aku dan Sam pergi ke arah yang satu lagi. Tak lama

kemudian, kami mendengar derak ranting patah dan berlari

ke sana. Aku berlari di depan, melewati serangkaian pohon

mati, dan melihat empat Mogadorian berlari di tanah lapang

di hutan. Walaupun malam itu terang bulan, aku tetap tak

bisa melihat yang mana yang membawa Petiku.

Aku meluncur miring menuruni bukit,

menghancurkan pohon muda, menyebabkan longsoran

batubatu kecil. Aku mendengar Sam menyusulku.

Para Mogadorian sudah setengah jalan di tanah

lapang itu. Rumput di tanah lapang itu lebat dan tingginya

dua meter. Aku berlari menembusnya dengan kecepatan

penuh. Sam berteriak agar aku memberitahunya ke arah

mana aku pergi, tapi aku terus berlari dan hanya

mengarahkan sinar di tanganku ke langit. "Oke! Aku lihat!"

teriaknya.

Akhirnya, tepat sebelum tanah lapang itu berubah

jadi hutan lagi, aku hampir bisa meraih satu Mogadorian. Aku

menerjang membidik kakinya, mengiris bagian bawah celana

khaki berlumpurnya dan memutuskan urat Achillesnya,

menyebabkan Mogadorian itu meraung dan terjungkal ke

belakang. Aku memanjat tubuhnya yang jatuh itu, lalu

menikam dadanya, membunuhnya.

Sam tersandung kakiku dan jatuh dengan wajah

terlebih dahulu. "Dapat?"

"Tidak. Ayo!"

Dengan menggunakan tangan yang satu sebagai

senter dan tangan yang lain sebagai parang, aku berlari

menembus hutan dengan mudah, tanpa memikirkan apakah

Sam ada di dekatku. Kurang dari satu menit kemudian, aku

melihat Mogadorian lain berusaha berjalan di atas batang

pohon yang jatuh. Dari jarak dua puluh meter, aku

mengangkat batang pohon itu tinggitinggi, memiringkannya,

membuat Mogadorian itu lirnbung dan jatuh dengan kepala

terlebih dahulu. Aku menembus rumput dan mendapati

Mogadorian itu tertelungkup tak bergerak. Dia tak membawa

Petiku. Aku membunuhnya dengan dua tikaman.

"John?!" teriak Sam dari kegelapan. "John?!"

Sekali lagi aku menyorotkan sinarku ke udara. Aku

sedang mengamati pepohonan saat Sam tiba.

"Sudah dapat?"

"Belum," kataku.

"Belum," gumam Sam.

"Kuharap Nomor Enam lebih beruntung." Aku meraih

ke belakang dan menarik tablet putih, lalu menunjukkannya

kepada Sam. "Tapi, aku dapat ini."

Dia merebutnya. "Dari sumur?"

"Bukan hanya itu. Tunggu sampai aku ceritakan apa

lagi yang?"tiba-tiba, aku tahu di mana kami berada. Aku

berhenti melangkah. Aku bahkan berhenti bernapas.

Sam meraih bahuku dan berkata, "Hei, ada apa? Kau

merasakan sesuatu? Ada orang yang membuka Petimu?"

Sejauh yang kutahu, Petiku belum dibuka. Apa yang

kurasakan sekarang sama sekali bukan itu. "Kita di dekat

rumah Sarah!"

22

SETELAH PINTU DI BAWAH MENARA BERDERIT terbuka, aku

mendengar langkah kaki. Lalu terdengar suara napas. Siapa

pun itu, aku tak mungkin menyembunyikan Adelina yang

terbius, kucing, serta sebuah Peti berisi berbagai senjata dan

artefak alien. Perlahan-lahan aku memasukkan ranting itu ke

dalam Peti dan menutupnya. Pusaka merangkak ke tepi

lantai menara lonceng, lalu duduk dan menunduk

memandang kegelapan. Kami diam. Tapi kemudian, Adelina

mendengkur panjang.

Langkah kaki di tangga melingkar itu semakin cepat.

Aku mengguncang Adelina untuk membangunkannya, tapi

dia malah berguling ke samping.

Apa yang harus kulakukan? kataku tanpa suara pada

Pusaka. Kucing itu melompat ke atas Peti, lalu melompat

turun dan mendengkur di kakiku. Itu bukan jawaban, tapi aku

mendapat gagasan. Aku membungkuk dan meletakkan

Pusaka di atas Peti, lalu merayap pelan ke salah satu dari dua

jendela. Udara dingin menembus piyamaku dan langsung

membuat gigiku bergemeletuk. Langkah kaki itu semakin

dekat.

Aku mengangkat Peti itu tinggi-tinggi dengan

menggunakan telekinesisku. Pusaka mencakar tutup Peti

dengan gugup. Aku harus menunduk saat melayangkan Peti

ke atasku, lalu keluar jendela. Begitu Peti itu sampai di

rumput dingin di bawah yang berjarak sepuluh lantai, Pusaka

langsung melompat turun dan berlari ke kegelapan.

Kemudian, aku melayangkan Adelina ke atas, gaun malamnya

membelai kepalaku, dan menurunkannya dengan hati-hati di

samping Peti.

Langkah kaki itu semakin keras. Aku mengayunkan

kaki menaiki tepi jendela. Sambil berkonsentrasi sekuat

mungkin, aku berhasil membuat diriku sendiri melayang

beberapa senti dari batu dingin. Aku keluar menuju angin

yang berputar-putar. Sebelum turun cukup jauh dari menara,

aku melihat Mogadorian berkumis yang ada di kafe menaiki

belokan terakhir dan masuk ke ruang lonceng.

Konsentrasiku goyah dan buyar. Aku terjun bebas.

Namun, pada detik terakhir aku mengulurkan tangan di

depan dada dan berkonsentrasi memikirkan melayang bagai

bulu. Lutut kananku mendarat tepat di samping tubuh

Adelina yang menggigil.

Aku panik. Pilihanku hanyalah membawa Adelina dan

Peti ke kota, lalu bersembunyi di sana?tapi ini tengah

malam, kami hanya memakai baju tidur, dan aku hanya bisa

melihat beberapa jendela yang menyalaatau mencari tempat

persembunyian di panti asuhan. Mogadorian itu pasti bisa

turun lebih cepat dibanding kan saat berlari ke atas tadi, tapi

tetap saja masih ada koridor panjang yang harus dilalui dan

juga tangga lain yang harus dituruninya sebelum sampai di

lantai pertama. Aku melongok melalui pintu ganda. Begitu

melihat keadaan aman, aku menaikkan Adelina ke atas Peti

dan menerbangkan keduanya ke panti umat. Kekuatanku

melemah, tapi entah bagaimana aku berhasil mengumpulkan

cukup kekuatan untuk menaikkan Peti, Adelina, dan diriku

sendiri ke pojok terdalam di relung yang dingin, berangin,

dan lembap tempat Peti itu disembunyikan dulu.

Aku berpikir bahwa Mogadorian itu datang karena

aku membuka Peti. Mungkin kristal dengan sinar merah

berdenyut yang kujatuhkan itu merupakan suatu alat

pemancar. Adelina pasti tahu apa itu, apa kegunaannya.

Untuk melawan rasa takut karena ada alien jahat yang

mencariku, untuk meminta maaf kepada Adelina karena

membiusnya, dan agar hangat, aku menyandarkan kepala ke

dada Adelina dan memeluk pinggangnya.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berjam-jam kemudian, aku mendengar Adelina

mendengus dan menggeser kakinya di bawah kakiku.

"Adelina?" bisikku. "Sudah bangun?"

"Siapa? Marina?"

Aku berbisik, "Adelina, jangan berisik."

"Kenapa?" bisiknya. "Kita di mana?"

"Kita di panti umat, di tempat Peti Loric yang kau

sembunyikan dulu. Tolong dengarkan aku. Mereka di sini.

Semalam, setelah aku membuka Peti, para Mogadorian

datang, dan kita harus sembunyi."

"Bagaimana caramu membuka Peti sendirian?

Caranya kan, bukan begitu."

"Kau memberitahuku. Kau mengigau," aku

berbohong. Aku bisa mengatakan bahwa aku membiusnya,

tapi aku tak ingin mengatakan alasannya.

Adelina bingung, dan itu terdengar dari suaranya.

"Aku tak ingat Aku, aku ingat turun dari tempat tidur, lalu Itu

saja, kurasa. Kau membuka Peti Loric? Apa isinya?"

"Banyak, Adelina. Banyak sekali. Ada batu-batu dan

permata. Salah satunya menyala saat kupegang dan mulai

berdenyut-denyut, dan kupikir karena itulah Mogadorian itu

muncul."

"Mogadorian apa? Apa yang terjadi?" Adelina

mencoba untuk duduk, tapi aku menghentikannya agar

kepalanya tak membentur langit-langit yang rendah.

Aku berbisik, "Beberapa hari yang lalu, aku melihat

seorang laki-laki di kafe. Dia memiliki buku tentang Pittacus

dan memandangiku. Dia pakai topi dan kumisnya tebal. Aku

yakin dia itu dari Mogadore. Lalu tadi malam, setelah aku

membuka Peti di menara lonceng utara, dia muncul."

"Bagaimana cara kita kabur?"

"Aku menggunakan telekinesis untuk menerbangkan

kita lewat jendela, turun ke halaman, lalu ke atas sini."

"Kita harus pergi dari sini," bisiknya. "Kita harus

meninggalkan Santa Teresa secepatnya."

Aku senang sekali dan langsung memeluknya dalam

kegelapan. Aku kaget karena dia membalas pelukanku.

Adelina merangkak ke tepi relung. Aku mengikutinya dengan

Peti melayang di belakangku. Saat panti umat tampak

kosong, Adelina memintaku menurunkan nya ke lantai.

Setelah itu, aku menurunkan Peti dan meletakkannya

dengan pelan di samping kaki telanjang Adelina. Saat aku

akan melayang turun, Suster Dora muncul dari belakang panti

umat dan menghampiri Adelina.

"Dari mana saja kau?!" bentaknya. "Kau

meninggalkan posmu sepanjang malam. Kenapa kau

melakukan itu? Lalu, kenapa Peti ini ada di sini?"

"Aku mencari udara segar, Suster Dora," jawab

Adelina dengan lembut. "Maaf, karena aku meninggalkan

posku."

Aku bisa melihat mata Suster Dora menyipit.

"Bersama Marina?"

"Apa?"

"Ada empat gadis yang membangunkanku tengah

malam tadi. Mereka bilang Marina menyelinap keluar dan

kau pergi bersamanya."

Saat Adelina akan menjawab, Ella tiba-tiba muncul di

belakang Suster Dora dan menarik gaunnya.

"Suster Dora, aku melihat Marina," dia berbohong.

"Di mana?"

"Di kamar, sedang tidur."

Suster Dora membungkuk, lalu mencengkeram

lengan Ella. Wajah Ella yang ketakutan menyebabkan

perasaanku tersentuh. "Pembohong kecil! Aku barn saja dari

kamar tidur, dan tidak ada seorang pun di sana. Kau

berbohong untuknya."

"Suster Dora, cukup," kata Adelina.

Namun, Suster Dora sudah menyeret Ella pergi

dengan begitu keras sehingga kaki Ella nyaris tak menyentuh

lantai. "Kita ke kantor, dan kau akan belajar bahwa di sini

tidak ada yang boleh berbohong."

Air mata mengalir menuruni pipi Ella. Dari bibir

relung itu, aku memusatkan kekuatan pikiranku ke tangan

Suster Dora dan menarik jari-jarinya dari lengan Ella. Suster

Dora menjerit kesakitan, lalu menunduk memandangi Ella

dengan ekspresi kaget dan bingung. Dia mencengkeram Ella

lagi.

Adelina berlari mengejar mereka. Sebelum aku

sempat menarik Suster Dora di sepanjang lorong utama,

Adelina sudah menyambar pergelangan tangannya.

Suster Dora menyentakkan tangannya. Jantungku

meloncat ke tenggorokan saat menyadari Adelina adalah

sekutu sekaligus temanku.

"Jangan pernah menyentuhku lagi," Suster Dora

memperingatkan. "Kau bahkan tak pantas berada di sini,

Adelina. Begitu juga dengan anak setan yang kau bawa itu."

Adelina tersenyum dengan tenang. "Kau benar,

Suster Dora. Mungkin aku dan Marina tak pantas berada di

sini, dan mungkin kami akan pergi pagi ini. Tapi bisakah kau

lepaskan Ella dulu?" suara Adelina, walaupun ramah dan

tenang, terdengar tajam.

"Beraninya kau!" cemooh Suster Dora. "Padahal, kau

sendiri yatim piatu. Kami menerimamu karena tak ada orang

lain yang mau!"

"Kita semua sama di hadapan Tuhan. Tentunya kau

tabu itu?"

Suster Dora melangkah pergi, tapi Adelina meraih

tangannya lagi. Kedua perempuan itu bertatapan.

"Aku akan menyampaikan ini kepada Suster Lucia.

Kau akan dikeluarkan dari sini, bahkan sebelum sempat

berdoa memohon pengampunan."

"Sudah kubilang aku akan pergi pagi ini. Dan aku

selalu bisa berdoa memohon pengampunan." Adelina

mengulurkan tangannya ke arah Ella, dan Ella

menyambutnya. Suster Dora ragu sesaat sebelum akhirnya

melepaskan lengan Ella dengan enggan. "Aku tidak hanya

berdoa semoga Marina memaafkanku karena telah menjadi

wali yang buruk, tapi aku juga akan berdoa semoga Tuhan

mengampunimu karena lupa dengan tujuanmu berada di

sini."

Mereka saling melotot beberapa saat dan akhirnya

Suster Dora berbalik dan meninggalkan panti umat sambil

mendengus keras. Begitu dia hilang dari pandangan, dan

sementara Ella masih memunggungiku, aku melayang turun.

"Hai, Ella," kataku.

"Marina!" Dia melepaskan tangan Adelina, lalu

berlari dan memelukku. "Selama ini kau ke mana?"

"Aku dan Adelina harus bicara berdua," kataku sambil

melepaskan pelukannya. Aku mendongak memandang

Adelina. "Kami harus membicarakan masa depan kami."

Adelina memicingkan mata, menunduk memandang

gaun tidurnya yang kotor, lalu merasa malu. "Marina, kemasi

barang-barangmu dan simpan Peti itu di tempat yang aman.

Kita pergi secepatnya."

Saat Adelina menjauh, Ella menggenggam dan

meremas tanganku. "Semalam orang-orang jahat itu di sini,

Marina."

"Aku tahu. Aku melihatnya. Karena itulah, kami

pergi." Saat mengatakan itu, aku tahu aku harus bertanya

kepada Adelina apakah kami bisa membawa serta Ella.

"Aku lihat ada tiga orang," bisik Ella.

Aku terkesiap. "Ada tiga orang?"

"Tadi malam mereka ada di jendela, memandangi

tempat tidurmu."

Aku bergidik. Aku menerbangkan Peti ke relung dan

berlari ke kamar tidur sambil menghindari kerumunan gadis

di koridor yang sibuk berbisik-bisik mengenai suatu kejadian

di desa.

"Mereka ada di situ," kata Ella sambil menunjuk ke

jendela.

"Kau yakin ada tiga orang?"

Ella mengangguk. "Ya. Mereka melihatku

memandangi mereka. Setelah itu, mereka pergi."

"Seperti apa tampang mereka?" tanyaku.

"Tinggi dan rambutnya sangat panjang. Jaket mereka

panjang hingga hampir menyentuh sepatu," jawabnya.

"Mereka juga berkumis, kan? Mereka punya kumis?"

"Entahlah. Aku tak ingat ada kumis," katanya.

Aku bingung. Aku tahu waktuku tak banyak sebelum

Adelina muncul dengan tas berisi barang-barang yang dia

kumpulkan selama lebih dari sebelas tahun. Saat aku akan

berlari ke kamar mandi, Analee, gadis lain, menghentikanku.

"Hari ini sekolah libur. Miranda Marquez ditemukan

mati dicekik di sekolah pagi ini."

Aku duduk di tempat tidur, terguncang. Miranda

Marquez itu gadis berambut hitam yang tinggal di desa dan

duduk di sampingku saat pelajaran sejarah Spanyol. Guru

kami, Maestra Munoz, sering salah mengenali kami karena

Miranda itu tinggi dan kurus sepertiku, dan rambutnya juga

sepanjang rambutku. Perlu beberapa saat sebelum akhirnya

aku sadar bahwa pembunuhnya pastilah salah mengira

Miranda itu aku. Seseorang mencoba membunuhku tadi

malam.

"Ini benar-benar ... ini buruk sekali," bisikku.

Analee berkata, "Aku juga mendengar salah satu

Suster berkata bahwa tadi malam ada sejumlah penduduk

desa yang melihat orang terbang. Sekarang semua mobil

berita ada di sana, membuat laporan."

Segalanya terjadi begitu cepat. Para Mogadorian

menemukanku. Mereka menemukan guaku. Aku

menggunakan Pusakaku dengan sembrono, lalu ada yang

melihatku dan Adelina keluar dari jendela tempat lonceng.

Seorang gadis di sekolah mungkin mati karena aku. Lalu, aku

dan Adelina akan meninggalkan panti asuhan ini di tengah

musim dingin, padahal kami tak punya tempat tinggal lain.

Aku mandi cepat-cepat, baru kali ini aku mandi

secepat itu, kemudian menunggu Adelina.

23

"KITA TIDAK BOLEH KE RUMAH SARAH," KATA Sam sambil

mengikutiku di sepanjang tepi hutan. "Kita sudah

mendapatkan tablet ini, mungkin ini alat pemancar yang kita
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cari, dan kita harus kembali untuk menolong Nomor Enam."

Aku mendekatinya. "Enam bisa mengurus dirinya

sendiri. Aku di sini dan Sarah di sana. Aku cinta dia, Sam, dan

aku akan menemuinya. Apa pun yang kau katakan."

Sam mundur, dan aku terus berjalan menghampiri

rumah Sarah. Sam berkata, "Apa kau benar-benar

mencintainya, John? Atau apakah kau justru jatuh cinta

dengan Nomor Enam? Yang mana?"

Aku menoleh ke belakang dan menyorotkan

tanganku ke wajah Sam. "Kau pikir aku tidak mencintai

Sarah?"

"Hei!"

"Maaf," gumamku sambil menurunkan tangan.

Sam menggosok-gosok matanya. "Ini pertanyaan

serius. Aku melihat kau dan Nomor Enam saling goda,

sepanjang waktu, dan kau melakukannya di depan mataku.

Kau tahu aku suka dia, tapi kau tak peduli sama sekali. Lalu

yang paling parah, kau sudah punya pacar paling oke di

Ohio."

"Aku peduli," jawabku.

"Soal apa?"

"Aku sadar kau suka Nomor Enam, Sam. Tapi kau

benar?aku juga menyukainya. Seandainya saja tidak begitu,

tapi aku menyukainya. Mungkin menurutmu ini konyol dan

kejam, tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya. Dia itu

keren, cantik, Loric pula, yang bikin tambah keren. Tapi aku

cinta Sarah. Karena itulah, aku harus menemuinya."

Sam mencengkeram sikuku. "Tidak boleh. Kita harus

kembali dan menolong Nomor Enam. Coba pikir, jika mereka

menunggu kita di rumahku, pasti ada lebih banyak

Mogadorian yang menunggu kita di rumah Sarah."

Aku menarik sikuku dengan pelan dari

genggamannya. "Kau melihat ibumu, kan? Kau lihat dia di

halaman belakang?"

"Yeah," jawab Sam sambil menghela napas. Dia

menunduk menatap sepatunya.

"Kau melihat ibumu, jadi aku harus menemui Sarah."

"Ini sama sekali tak masuk akal walaupun kau pikir

begitu. Kita sudah mendapat alat pemancarnya, ingat? Kita

ke Paradise karena ini. Hanya karena ini." Sam menyerahkan

tablet itu kepadaku dan aku menatap monitornya yang

hitam. Aku menyentuh semua bagian tablet itu. Aku

mencoba menggunakan telekinesis. Aku menempelkannya

ke dahiku. Tablet itu tetap mati.

"Coba," kata Sam. Saat Sam mengotak-atik tablet itu,

aku bercerita mengenai tangga, kerangka besar dengan

liontin, dan meja serta dinding penuh kertas.

"Nomor Enam mengambil banyak kertas, tapi

mungkin kita tak bisa membacanya," kataku.

"Jadi, ayahku punya kamar bawah tanah rahasia?"

untuk pertama kalinya sejak berjam-jam, Sam tersenyum. Dia

mengembalikan tablet itu kepadaku. "Dia keren sekali. Aku

ingin melihat kertas-kertas yang diambil Enam."

"Tentu," kataku. "Setelah aku menemui Sarah." Sam

mengangkat tangan heran. "Apa yang bisa kulakukan agar kau

berubah pikiran? Katakan."

"Tak ada. Kau tak bisa menghentikanku."

Terakhir kali aku ada di rumah Sarah pada hari

Thanksgiving. Aku ingat berjalan di depan rumah dan melihat

Sarah melambai dari jendela depan.

"Halo, Tampan," katanya sambil membuka pintu, lalu

aku berputar dan menoleh ke belakang, berpura-pura

mengira Sarah berbicara dengan orang lain.

Pada pukul dua dini hari, rumahnya tampak sangat

berbeda. Semua jendela gelap dan pintu garasi ditutup

sehingga rumah itu tampak dingin dan kosong. Tidak ramah.

Aku dan Sam tiarap di bawah bayangan rumah di sudut jalan.

Aku tak tahu bagaimana agar bisa berbicara dengan Sarah.

Aku menarik ponsel prabayar yang selama ini

kumatikan dari jinsku. "Aku bisa kirim SMS hingga dia

bangun."

"Itu ide yang sangat bagus. Cepatlah supaya kita bisa

segera pergi dari sini. Aku jamin Nomor Enam akan

membunuh kita. Atau yang lebih parah, mungkin saat ini dia

akan dibunuh segerombolan Mogadorian, sementara kita

tidur-tiduran di rumput bersiap melakukan adegan Romeo

dan Juliet."

Aku menyalakan ponsel dan mengetik: Aku janji

bakal kembali. Km bangun?

Setelah mengirimkannya, kami menghitung sampai

tiga puluh, kemudian aku mengetik: I love you. Aku di sini.

"Mungkin dia pikir kau mengerjainya," bisik Sam

setelah kami menunggu tiga puluh detik. "Tulis sesuatu yang

cuma kalian yang tahu."

Aku mencoba: Bernie Kosar kangen kamu.

Jendela Sarah menyala. Lalu, ponselku bergetar dan

ada pesan: Ini benar-benar kamu? Kau di Paradise?

Aku mencabut segenggam rumput karena sangat

senang.

"Kalem," bisik Sam.

"Maaf."

Aku menjawab: Aku di luar. Ketemu di taman 5 menit

lagi?

Ponselku langsung bergetar: Oke. :)

Aku dan Sam bersembunyi di balik tong sampah di

ujung jalan saat Sarah melangkah ke taman bermain. Begitu

melihatnya, aku tak bisa bernapas, berbagai emosi

melandaku. Jarak kami masih dua puluh meter. Sarah

mengenakan jins berwarna gelap dan jaket bulu hitam. Dia

mengenakan topi musim dingin berwarna putih yang ditarik

menutupi kepalanya, tapi aku masih bisa melihat rambut

pirang panjangnya menyapu bahunya saat tertiup angin.

Kulitnya yang halus bercahaya di bawah siraman sinar lampu

taman itu. Aku langsung teringat diriku yang kotor akibat

terkena tanah dan abu Mogadorian. Aku melangkah

menjauhi tempat sampah, tapi Sam meraih pergelangan

tanganku dan menahanku.

"John, aku tahu ini sangat sulit," bisiknya. "Tapi

sepuluh menit lagi, kita hares kembali ke hutan. Aku serius.

Nomor Enam membutuhkan kita."

"Akan kuusahakan," jawabku tanpa berpikir. Sarah

ada di sana, dan aku sangat dekat sehingga bisa mencium

aroma samponya.

Aku memandangi Sarah menoleh ke depan dan ke

belakang mencariku. Akhirnya, dia duduk di ayunan dan

berputar, tali di atasnya menegang. Sarah mulai berputar

pelan. Aku berjalan pelan di tepi taman itu, berhenti di

belakang pepohonan, memandanginya. Dia tampak sangat

cantik. Begitu sempurna.

Aku menunggu hingga dia membelakangiku, lalu

melangkah keluar dari bayangan. Saat dia berputar lagi, aku

sudah berdiri di depannya.

"John?" Ujung sepatu kets Sarah menggesek semen

dan dia menghentikan putarannya.

"Halo, Cantik," kataku. Aku bisa merasakan diriku

tersenyum lebar.

Sarah membekap mulut dan hidungnya.

Aku menghampirinya. Dia berusaha berdiri, tapi

tertahan tali ayunan yang membelit.

Aku melompat dan menangkap tali ayunan itu. Aku

memutarnya hingga dia menghadapku, lalu mengangkatnya

sekaligus kursi ayunan hingga wajahnya sejajar dengan

wajahku. Aku menunduk dan menciumnya. Rasanya aku

seperti tak pernah pergi dari Paradise.

"Sarah," kataku ke telinganya. "Aku sangat, sangat,

sangat merindukanmu."

"Aku tak percaya kau di sini. Ini tidak mungkin."

Aku menciumnya hingga tali ayunan itu terpisah.

Sarah bangkit dan memelukku, membelai kepalaku dan

memegang rambutku yang pendek.

Aku melepaskannya dan dia berkata, "Ada yang baru

pangkas rambut."

"Yeah, ini tampang pria-kuat-buronan. Bagaimana?

Suka?"

"Suka," jawab Sarah sambil menekankan telapak

tangannya ke dadaku. "Tapi, seandainya kau botak pun aku

tak peduli."

Aku melangkah mundur untuk memahat penampilan

Sarah ke dalam ingatanku. Aku memperhatikan bintang yang

bersinar di belakangnya, topinya yang miring. Hidung dan

pipinya yang memerah karena dingin. Saat dia menggigit

bibir bawahnya dan menatapku, uap kecil keluar dari

mulutnya. "Aku memikirkanmu setiap hari, Sarah Hart."

"Aku yakin aku lebih sering memikirkanmu."

Aku menundukkan kepala hingga dahi kami saling

menempel. Kami terus berdiri sambil tersenyum hingga

akhirnya aku bertanya, "Bagaimana keadaanmu? Bagaimana

keadaan di sekitarmu?"

"Lebih baik."

"Rasanya sulit berjauhan denganmu," kataku sambil

mencium jari-jarinya yang dingin. "Aku selalu memikirkan

seperti apa rasanya menyentuh dan mendengar suaramu.

Setiap malam aku hampir saja meneleponmu."

Sarah menangkupkan tangannya di pipiku. "Aku

sering duduk di mobil ayahku dan berpikir di mana kau

berada. Kalau tahu arahnya, aku pasti sudah menyalakan

mesin dan pergi."

"Sekarang aku di sini. Di depanmu," bisikku.

Sarah menurunkan tangannya. "Aku ingin ikut

denganmu, John. Aku tak peduli. Aku tak bisa terus begini."

"Terlalu berbahaya. Kami baru saja bertarung

melawan lima puluh Mogadorian di rumah Sam. Seperti

itulah hidupku sekarang. Aku tak mau menyeretmu ke dalam

semua itu."

Bahu Sarah berguncang, dan air mata menitik di sudut

matanya. "Aku tak bisa tinggal di sini, John. Kau di luar sana

dan aku tak tahu kau hidup atau mati."

"Sarah, tatap mataku," kataku. Dia mengangkat

kepalanya. "Aku tak mungkin mati. Mengetahui kau ada di

sini menungguku, itu jadi semacam perisai. Kita akan

bersama lagi. Segera."
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibirnya bergetar. "Rasanya berat sekali. Saat ini

segalanya buruk, John."

"Segalanya buruk? Apa maksudmu?"

"Semua orang berengsek. Semua orang mengatakan

yang jelek-jelek tentangmu. Mereka juga mengatakan

banyak hal tentang diriku."

"Seperti apa?"

"Bahwa kau itu teroris serta pembunuh, dan juga kau

benci Amerika Serikat. Anak laki-laki di sekolah

memanggilmu Bom Smith. Orangtuaku bilang kau berbahaya

dan aku tak boleh bicara lagi denganmu. Yang paling parah,

ada imbalan untuk kepalamu dan itu membuat orang-orang

bicara tentang menembakmu."

Sarah menunduk. "Aku tak mengira kau harus

menghadapi semua itu, Sarah," kataku. "Setidaknya kau tahu

yang sebenarnya."

"Aku kehilangan hampir semua temanku. Lalu, aku di

sekolah yang baru dan semua orang berpikir aku ini orang

aneh."

Aku merasa hancur. Dulu Sarah gadis paling populer,

paling cantik, dan paling disukai di Paradise High School.

Sekarang, dia dikucilkan.

"Keadaan tidak akan terus begini," bisikku.

Dia tak sanggup lagi menahan tangisnya. "Aku sangat

mencintaimu, John. Tapi aku tak bisa membayang kan

bagaimana kita bisa keluar dari kekacauan ini. Mungkin

sebaiknya kau menyerahkan diri."

"Aku tak akan menyerahkan diri, Sarah. Aku tak bisa.

Kita akan keluar dari masalah ini. Pasti. Sarah, kaulah satu-

satunya cintaku. Aku janji, jika kau menungguku, keadaan

bakal jadi lebih baik."

Namun, air matanya tak berhenti. "Tapi berapa lama

lagi aku harus menunggu? Dan kalau keadaan memang

membaik, lalu apa? Apa kau akan kembali ke Lorien?"

"Aku tak tahu," akhirnya aku menjawab. "Saat ini aku

hanya ingin berada di Paradise, dan aku hanya ingin

bersamamu di masa depan. Tapi, jika kami bisa mengalahkan

para Mogadorian, ya, aku harus pulang ke Lorien. Tapi, aku

tak tahu kapan itu akan terjadi."

Ponsel Sarah bergetar di sakunya dan dia menariknya

sedikit untuk melihat layarnya.

"Siapa yang kirim SMS selarut ini?" tanyaku.

"Cuma Emily. Mungkin kau sebaiknya menyerahkan

diri dan menjelaskan bahwa kau bukan teroris. Aku tak mau

kehilangan dirimu terus-menerus, John."

"Dengar, Sarah. Aku tak bisa menyerahkan diri. Aku

tak bisa duduk di kantor polisi dan mencoba menjelaskan

mengapa seluruh sekolah hancur dan mengapa lima orang

terbunuh. Bagaimana cara aku menjelaskan tentang Henri?

Dokumen-dokumen yang mereka temukan di rumah kami?

Aku tak boleh tertangkap. Maksudku, Nomor Enam pasti

bakal membunuhku sekarang juga kalau tahu aku di sini dan

bicara denganmu."

Sarah menyeka air mata dengan punggung

tangannya. "Kenapa Nomor Enam bakal membunuhmu kalau

tahu kau di sini?"

"Karena saat ini dia membutuhkanku dan berada di

sini berbahaya bagiku."

"Dia membutuhkanmu? Dia membutuhkanmu? Aku

membutuhkanmu, John. Aku membutuhkanmu di sini untuk

mengatakan segalanya akan baik-baik saja dan semua ini

akan berakhir."

Sarah berjalan pelan ke arah bangku yang ditandai

dengan berbagai inisial. Aku duduk di sampingnya dan

menyandarkan bahuku ke bahunya. Tempat itu agak gelap

dan aku tak bisa melihat wajahnya dengan baik.

Aku tak tahu mengapa, tapi Sarah beringsut menjauh

dariku dan berkata, "Nomor Enam sangat cantik."

"Benar," jawabku. Seharusnya aku tak mengatakan

itu, tapi kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.

"Tapi tidak secantik dirimu. Kau gadis tercantik yang kukenal.

Kau gadis tercantik yang pernah kuli' hat."

"Tapi kau tak perlu menjauh dari Nomor Enam seperti

kau menjauh dariku."

"Saat kami jalan-jalan, kami harus membuat diri kami

tak terlihat, Sarah! Itu bukan berarti kami bisa berjalan

sambil bergandengan tangan begitu saja. Kami harus

bersembunyi dari seluruh dunia. Saat bersamanya, aku juga

bersembunyi seperti saat bersamamu."

Sarah berdiri dan berbalik menghadapku. "Kau jalan-

jalan dengannya? Apakah kau menggandeng tangannya saat

kalian berdua jalan-jalan?"

Aku berdiri dan mendekatinya sambil merentangkan

tangan, lengan jaketku masih ditempeli kotoran. "Memang

harus begitu. Hanya itu satu-satunya cara agar aku tak

terlihat."

"Kau menciumnya?"

"Apa?"

"Jawab!" Ada sesuatu di suaranya. Campuran rasa

cemburu dan rasa sepi, dan sedikit rasa marah untuk

menekankan setiap kata.

Aku menggeleng. "Sarah, aku mencintaimu. Aku tak

tahu harus berkata apa. Maksudku, tak terjadi apaapa."

Gelombang ketidaknyamanan memenuhi dadaku. Aku

memilih kata-kata, berusaha menyusun kalimat yang tepat.

Sarah marah. "Itu pertanyaan sederhana, John.

Apakah kau menciumnya?"

"Aku tidak mencium Nomor Enam, Sarah. Kami tidak

berciuman. Aku cinta kamu," kataku, lalu aku merinding

mendengar apa yang kukatakan. Kata-kataku terdengar jauh

lebih buruk daripada yang kuduga.

"Begitu. Kenapa kau sulit menjawab pertanyaan itu,

John? Oh, ini makin lama makin menyenangkan! Dia suka

kamu?"

"Itu tidak penting, Sarah. Aku cinta kamu, jadi Enam

itu tidak penting. Tak ada gadis lain yang penting!"

"Aku merasa seperti orang tolol," katanya sambil

menyilangkan lengan.

"Sarah, tolong. Kau salah menafsirkannya."

"Oh, ya?" tanyanya sambil memiringkan kepala dan

menatapku tajam dengan mata berkaca-kaca. "Aku

melakukan banyak hal untukmu."

Aku mengulurkan tangan dan berusaha meraih

tangannya, tapi dia langsung menyentakkan tangannya

begitu jari kami bersentuhan.

"Jangan," katanya tajam. Ponselnya bergetar lagi di

saku jaketnya, tapi dia tak bergerak untuk mengecek.

"Aku ingin bersamamu, Sarah," kataku. "Sepertinya

aku tak bisa mengatakan apa pun dengan benar. Tapi, aku

sungguh-sungguh saat mengatakan minggu-minggu terakhir

ini aku sangat merindukanmu, dan setiap hari aku selalu

berpikir untuk meneleponmu atau menulis surat." Aku

merasa goyah. Aku tahu aku kehilangan dirinya. "Aku

mencintaimu. Jangan pernah meragukannya sedetik pun."

"Aku juga mencintaimu," katanya sambil menangis.

Aku menutup mata dan menghirup udara dingin. Aku

merasakan firasat buruk. Perasaan menusuk-nusuk yang

berawal dari tenggorokan dan merayap hingga ke sepatuku.

Saat membuka mata, Sarah sudah menjauhiku.

Terdengar suara di sebelah kiriku, dan aku menoleh

cepat ke arah Sam. Matanya muram, dan dia menggelengkan

kepala seakan ingin menyampaikan kepadaku dan Sarah

bahwa seharusnya dia tidak mendekat, tapi dia merasa harus

mendekat.

"Sam?" tanya Sarah.

"Halo, Sarah," bisiknya.

Sarah memeluk Sam.

"Senang melihatmu," kata Sam kepada Sarah. "Tapi,

Sarah, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku

tahu kalian berdua sudah lama tidak bertemu, tapi aku dan

John harus pergi. Kami dalam bahaya. Kau tak bisa mengira

sebesar apa."

"Kurasa aku tahu." Sarah menjauhkan diri dari Sam.

Saat akan meyakinkan Sarah betapa aku mencintainya, saat

akan mengucapkan selamat tinggal, kekacauan terjadi.

Segalanya berlangsung begitu cepat sehingga aku tak

bisa memahaminya, berbagai adegan berkelebat seperti film

rusak. Sam diterjang dari belakang oleh seseorang yang

mengenakan masker gas dan jaket biru dengan tulisan FBI di

punggungnya. Seseorang memeluk Sarah dan

menjauhkannya dariku. Tabung logam meluncur di atas

rumput dan mendarat di kakiku, asap putih mengepul dari

kedua ujungnya, membakar mata dan tenggorokanku. Aku

tak bisa melihat. Aku mendengar Sam tercekik. Aku

tersandung-sandung menjauhi tabung itu dan jatuh berlutut

di samping seluncuran plastik. Saat mengangkat kepala, lebih

dari selusin polisi mengepungku sambil menodongkan pistol.

Petugas bermasker yang menerjang Sam menekan punggung

Sam dengan lututnya. Terdengar suara keras dari megafon:

"Jangan bergerak! Tangan di kepala dan tiarap! Kalian

ditangkap!" Saat aku meletakkan tangan di kepala, mobil-

mobil yang diparkir di jalan selama kami ada di sana tiba-tiba

menyala. Lampu depannya dinyalakan, lampu merah

berkedap-kedip di atas dasbor. Mobil polisi berdecit di sudut

jalan. Sebuah kendaraan lapis baja dengan tulisan SWAT di

sampingnya naik ke tepi jalan dan berhenti di tengah

lapangan basket. Orang-orang berteriak dan keluar dengan


Claire Karya Phoebe Wiro Sableng 008 Dewi Siluman Bukit Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung
^