Pencarian

Pendekar Naga Dan Harimau 15

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 15


Di hadapannya, seseorang berpakaian jubah imam warna kuning berdiri sambil menjulurkan tangan ke arah Kiongwan Hok seolah-olah hendak mencekik.

Dan meskipun imam itu berkepala, namun kepalanya dipegang dengan-tangan satunya lagi, sementara lehernya buntung dan meneteskan cairan merah yang mirip darah.

Dan wajah di kepala itu memang benar wajah Giok-seng Tojin.

Sesaat Auyang Seng tergetar perasaannya, sejak ia lahir dari perut ibunya sampai sekarang usianya mencapai hampir empatpuluh lima tahun, ia memang sering mendengar dongeng tentang hantu tapi tidak pernah mempercayainya.

Apalagi setelah la mendapat banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tetapi kali ini perasaananya memang terguncang keras.

Benarkah bahwa arwah kakak seperguruannya, Giok-seng Tojin berkeliaran sebagai hantu penasaran.

Untunglah nyali Auyang Seng tidak mudah menjadi ciut hanya karena melihat pemandangan di depan matanya itu.

Akal sehatnya yang sudah terlalu lama menguasai dirinya dalam mengambil segala tindakan, segera mendesak keluar segala pikiran-pikiran tidak masuk akal tentang hantu.

Dilihatnya pintu itu terbuka karena dirusak, padahal bukankah kabarnya hantu itu berbadan halus sehingga dapat masuk ke ruangan manapun tanpa harus merusak pintu? Juga dilihatnya sepasang kaki "Giok-seng Tojin"

Itu menapak tanah, bukannya melayang seperti cerita-cerita hantu yang pernah didengarnya.

Karena itu kemarahan Auyang Seng segera berkobar menggantikan rasa kagetnya tadi.

Marah karena orang ini telah berani mengacau di Hoa-san-pay, berusaha membunuh seorang murid Hoa-san- pay dan berani menyamar sebagai Giok-seng Tojin yang semasa hidupnya dihormati oleh Auyang Seng itu.

Geram Auyang Seng.

"Bangsat bernyali besar, lebih baik serahkan dirimu secara baik- baik daripada aku harus turun tangan meringkusmu!"

"Hantu Giok-seng Tojin"

Yang tangannya hampir mencapai leher Kiongwan Hok itu menoleh, tepatnya memutar tubuhnya menghadap Auyang Seng, lalu dengan langkah perlahan-lahan dengan gaya seseram mungkin ia berjalan mendekati Auyang Seng dengan tangan terjulur seperti hendak mencekik, tangan satunya masih menjinjing batok kepala yang berlumuran darah itu.

Dari rongga perut "hantu"

Itu terdengar suara menggeram seram.

"Siapa kau? Apakah kau ingin aku mencekikmu sekalian dan menyeretmu ke neraka?"

Auyang Seng tertawa dingin.

"Hentikan permainan hantu-hantuanmu itu, sobat, tidak akan berguna kau menakut-nakuti aku. Dan jika kau benar-benar hantu, coba tunjukkan kepadaku. Terjang tembok itu sebab badan hantu kabarnya bisa menembus apapun tanpa. merusakkannya."

Langkah "hantu"

Itu nampak tertegun, agaknya ia mulai sadar bahwa orang yang dihadapinya itu berbeda dengan murid-murid Hoa-san-pay yang menggigil ketakutan melihat penampilannya tadi. Namun kali ini si "hantu"

Menghadapi seseorang yang tidak bisa digertak dengan gaya hantu-hantuannya.

Sadar bahwa tugasnya untuk membunuh Kiongwan Hok, atau paling tidak membuatnya terus gila, telah digagalkan oleh munculnya Auyang Seng, maka orang yang menyamar sebagai hantu itu menjadi nekad.

Kepala "Giok- seng Tojin"

Yang dibawanya dengan tangan kiri itu tiba-tiba dibantingkan ke tanah, dan ternyata "kepala"

Itu adalah semacam senjata peledak yang langsung meledak dan menyemburkan api dan asap yang memenuhi seluruh ruangan.

Auyang Seng terkejut, namun segera sadar bahwa bom asap itu tentu hanya bertujuan untuk mengejutkan dirinya dan orang itu akan mencari kesempatan untuk kabur.

Maka Auyang Seng di tengah tengah asap yang memenuhi ruangan itu segera meloncat ke pintu, jalan satu-satbnya bagi orang itu apabila hendak keluar.

Tapi Orang itupun cukup cerdik, tanpa melihat ia sudah dapat menduga bahwa Auyang Seng tentu akan menjaga pintu lebih dulu, maka orang itu segera menggunakan kekuatan pukulannya untuk menjebol tembok dan dari situlah ia menerobos keluar.

Murid-murid Hoa-san-pay yang berjaga-jaga di luar menjadi terkejut ketika mendengar ledakan dari dalam ruang penyekapan disusul dengan berkobarnya api.

Mereka hendak menyerbu masuk, tapi ragu-ragu, bagaimana kalau bertemu dengan "hantu tanpa kepala"

Itu? Baru saja mereka memikir hantu tanpa kepala, maka si "hantu"

Benar-benar muncul di hadapan mereka dengan cara menjebol tembok.

Dua orang murid segera jatuh pingsan saking takutnya begitu melihat hantu tanpa kepala itu, lain-lainnya tidak pingsan melainkan gemetar ketakutan tanpa dapat berbuat apa-apa, bahkan ada yang celananya menjadi basah karena terkencing-kencing.

Saat itulah Auyang Seng menyusul memburu keluar dengan pedang terhunus dan berteriak kepada murid-muridnya.

"Kantong- kantong nasi yang tak berguna, bernyali tikus! Cepat padamkan api di dalam dan selamatkan Kiongwan Hok!"

Sementara "hantu tanpa kepala"

Itu telah meloncati dinding halaman itu dengan gerakan yang lincah, namun Auyang Seng lebih lincah lagi. Bagaikan seekor burung rajawali yang menyambar di udara, tubuhnyapun meloncat menyusul "hantu"

Itu sambil membentak.

"Sobat, berhenti dan menyerahlah! Atau kulobangi punggungmu dengan pedangku ini?!"

Namun hantu itu agaknya cukup bandel dan ternyata la memiliki ilmu silat yang bisa di andalkan juga.

Tubuhnya tiba-tiba berputar di udara dan tahu-tahu sepasang tangannya telah memegang sepasang pedang pendek.

Ketika Auyang Seng memperhatikan, diam- diam ia tertawa mengejek sebab sepasang tangan "hantu itu"

Tidak tumbuh dari pundaknya melainkan tumbuh dari rusuk, sekepala dibawah pundak.

Dengan demikian Auyang Seng tahu bahwa orang yang menyamar sebagal hantu Itu adalah seorang yang bertubuh pendek, lalu kedua pundaknya diganjal tinggi sehingga kepalanya "tenggelam", dan jika diberi jubah panjang sebagai pakaiannya akan nampaklah sekilas seolah ia hantu tanpa kepala.

"Buka jubahmu dan pengganjal pundakmu sobat.!"

Kata Auyang Seng ketika keduanya sudah berdiri berhadapan di atas tanah.

"Kita akan bertempur dan gerak-gerikmu tentu terganggu oleh pengganjal pundakmu yang begitu tinggi itu, sementara matamupun tertutup oleh jubahmu sendiri."

Sadar dirinya sudah tidak dapat mengelabuhi Gin-hoa-kiam Auyang Seng yang terkenal itu, maka "si hantu"

Itu-pun merobek- robek jubahnya dan membuang pengganjal pundaknya yang terbuat dari kain berisi kapas yang dijahit dan dibentuk secara khusus untuk main hantu-hantuan itu.

Dan muncullah wajah aslinya.

Ia seorang seusia setengah abad yang bertubuh kecil pendek, dan berwajah mirip tikus, baik matanya yang kecil bulat maupun kumisnya dan hidungnya.

Ternyata Auyang Seng cukup kenal wajah itu, dan ia terkejut karenanya.

Serunya kaget.

"Jian-kiam-hui-ci(Tikus Terbang Seribu Pedang)"

Kakek kecil pendek itu tertawa terkekeh- kekeh, sahutnya.

"Gin-hoa-ki-am Auyang Seng memang bukan nama kosong belaka. Hari ini biarlah aku jajal kehebatanmu!"

Sementara itu Auyang Seng merasa bahwa persoalan yang terjadi hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiongwan Hok itu ternyata semakin lama bukannya semakin sederhana tapi malahan semakin ruwet.

Kenapa si tikus terbang dari perguruan Jing-sia-pay ini ikut terlibat pula? Terhadap Ho-li-an-pay boleh saja memandang ringan, tetapi terhadap Jing-sia-pay akan lain lagi soalnya.

Jing-sia-pay adalah perguruan yang terkenal kuat pula dan banyak memiliki Jago-jago lihai, sehingga hubungan dengan perguruan itu harus dijaga kelestariannya.

Maka sebelum mulai bertempur.

Auyang Seng berkata.

"Kiranya saudara Ki dari Jing-sia-pay. Selama ini hubungan antara kedua perguruan kita sangat baik, antara Ketua kedua belah pihak juga terjalin persahabatan akrab berpuluh tahun lamanya, kini apa sebabnya saudara Ki mendadak bersikap begitu buruk kepada Hoa-san-pay kami. Menakut-nakuti seorang murid Hoa-san-pay yang sedang kami usahakan kesembuhannya dari goncangan Jiwa nya?"

Sahut Ki Peng-sian dingin, ketus dan singkat.

"Tidak bisa kuterangkan. Aku harus membunuhmu karena kau telah membongkar rahasiaku!"

"Saudara Ki, kita masih bisa bicara dengan baik dan... ."

Ternyata Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian tidak menunggu sampai Auyang Seng selesai berbicara, tubuhnya yang kecil itu tiba-tiba saja benar-benar terbang menerkam ke arah Auyang Seng dengan gerakan Liu-soat-hong-san (Awan Mengalir Menyelimuti Bukit).

Pedangnya yang hanya sepasang itu tiba-tiba terlihat seolah-olah menjadi berribu-ribu, seperti segumpal awan pembawa maut yang mengurung seluruh bagian tubuh Auyang Seng dari pinggang ke atas.

Agaknya inilah yang membuat Ki Peng-sian mendapat julukannya sebagai Jian-kiam-hui-ci.

Yang terkejut adalah Auyang Seng, tidak diduganya Ki Peng-sian akan segarang itu, baru diajak berbicara beberapa kalimat saja sudah langsung mengajak bertempur.

Selain itu juga tingkat ilmu yang ditunjukkan sungguh mengejutkan, jauh lebih tinggi dari ilmu Ki Peng-sian yang diketahui oleh Auyang Seng beberapa tahun yang lalu.

Beberapa tahun yang lalu Auyang Seng dapat mengalahkan Ki Peng- sian kurang dari waktu limapuluh jurus, dalam suatu pertandingan persahabatan antara Hoa- san-pay dan Jing-sia-pay, namun melihat ilmu Ki Peng-sian sekarang, maka Auyang Seng bahkan menjadi ragu-ragu apakah la bisa mengalahkan si kerdil ini atau tidak? Pedangnya yang hanya sepasang itu tiba tiba terlihat seolah-olah menjadi berribu-ribu, seperti segumpal awan pembawa maut yang mengurung seluruh bagian tubuh Auyang Seng dari...

Gebrakan pertama sebelum Auyang Seng sempat menggerakkan pedangnya dengan baik, maka jago Hoa-san-pay itu sudah lebih dulu dipaksa mundur tiga tindak.

Setelah itu barulah la mendapat ruang untuk mengembangkan pedangnya dengan jurus serangan Tan-hong- tiau-yang (Burung Hong Menghadap Sang Surya).

Keduanya segera bertempur sengit tanpa banyak bicara lagi.

Ki Peng-sian menerjang seperti angin ribut, tubuhnya yang kecil itu tak terlihat lagi karena "terbungkus"

Oleh cahaya pedang sepasangnya yang melingkupinya, dan "gumpalan pedang"

Yang diciptakannya itu beterbangan kian kemari bersamaan dengan tubuhnya yang berloncatan pula.

Sesungguhnya, tanpa perlu main hantu-hantuan, cukup dengan ilmu pedang dan ilmu meringankan tubuhnya itu si Tikus Terbang Seribu Pedang ini sudah cukup menakutkan.

Dalam waktu duapuluh jurus Auyang Seng telah dipaksa mengeluarkan seluruh kepandaiannya tanpa sisa se-dikitpun.

Dan kalau seorang Gin-hoa-kiam bertempur dengan sekuat tenaga, maka nampaklah "bunga-bunga perak"

Yang terbentuk dari getaran-getaran ujung pedangnya itu memenuhi udara.

Auyang Seng tidak menyerang dengan bergulung seperti angin ribut, kadang-kadang bergeser atau meloncat sedikit, namun setiap "bunga perak"nya selalu mengincar dengan tenang di tempatnya sambil memainkan pedang, kadang- kadang bergeser dengan tepat ke titik kelemahan musuhnya sehingga memaksa sang musuh untuk membatalkan serangannya dan harus berganti dengan serangan lain.

Begitulah dua gaya dalam ilmu pedang telah bertemu di arena itu.

Ki Peng-sian yang cepat, ganas dan berusaha menggulung lawan dalam pusaran pedang-pedang pendeknya tanpa ampun.

Lawannya adalah Auyang Seng yang tenang, dingin, rapat dan kokoh, ibarat sepotong batu karang yang tak tergetar sedikitpun meskipun gelombang samudera menerpa tak henti-hentinya.

Bagi pandangan orang biasa, nampaknya Auyang Seng bakal kalah dalam pertarungan itu, sebab ia nampak selalu bertahan dan kadang- kadang ia terdesak oleh serangan lawan yang bergulung-gulung itu.

Namun setelah limapu- luh jurus lewat, makin nampak bahwa Ki Peng- sian lah yang sebenarnya sudah di ambang pintu kekalahan.

Serangan-serangannya yang dahsyat itu telah menguras banyak tenaganya, sementara Auyang Seng yang dengan cerdik menyimpan tenaganya dengan bertahan serapat-rapatnya selama puluhan jurus itu, masih menyimpan tenaga yang lebih segar dari lawannya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sang gelombang bagaikan mulai kelelahan menghantam sang batu karang yang tak bergeming sedikitpun, bahkan setiap gelombang yang datang malah dipukul balik sehingga pecah berserakan.

Auyang Seng memahami keadaan itu dan tahu bahwa kini sudah tiba gilirannya untuk menghantam balik.

Gerakan pedangnya dipercepat, bukan hanya bertahan tapi juga balas menyerang.

Sebagai pendekar terkenal ia bukan cuma mahir adu otot tapi juga mempunyai otak yang cemerlang, dan siasatnya kali inipun ternyata berhasil dengan baik.

Ki Peng-sianlah yang sekarang terdesak dan terkurung oleh pedang peraknya.

Percuma saja Ki Peng-sian menunjukkan kelincahan tubuhnya, sebab ujung pedang Auyang Seng yang mengejar bagaikan seekor ular bersisik perak tak pernah terpisah dari sejengkal dari kulit tubuhnya.

Ia benar-benar telah terkurung.

Namun di saat terjepit, tiba-tiba terdengar Ki Peng-sian menggumamkan beberapa kata- kata dengan nada yang asing, dan bayangan tubuhnya segera kabur karena seolah-olah telah muncul beberapa Ki Peng-sian yang bergerak bersama-sama.

Dengan pengalamannya yang luas, Auyang Seng segera sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan ilmu yang tidak berasal dari golongan lurus, melainkan dari golongan sesat, ilmu sihir.

Tetapi Auyang Seng yang rajin berlatih semedi dan memiliki ketajaman mata batin itu segera dapat membedakan mana Ki Peng-sian yang asli dan mana yang hanya bayangan semua saja.

Dan ujung pedangnya terus memburu ke arah Ki Peng-sian yang asli, tidak peduli bagaimanapun membingungkannya tingkah polah bayangan- bayangan semunya.

Namun dalam hati Auyang Seng timbul juga sepercik keheranan, Jing-sia- pay adalah perguruan yang termasuk dalam golongan putih, tetapi kenapa seorang tokohnya seperti Kl Peng-sian ini memiliki ilmu yang dikutuk kaum pendekar itu? Sementara itu Ki Peng-sian sendiri sedang dalam kebingungan, ilmu sihirnya itu ternyata tidak dapat menolongnya membebaskan dari kejaran ujung pedang Auyang Seng.

Di saat gugupnya itulah tiba-tiba pedang Auyang Seng berhasil menyentuh jalan darah Kin-ceng-hiat di tubuhnya, hanya menotok tapi tidak melukai, inilah keahlian seorang pemain pedang yang hampir mencapai tahap kesempurnaan.

Seketika itu Ki Peng-sian merasakan pundaknya lemas dan sepasang pedangnyapun jatuh ke tanah.

Tepat pada saat Ki Peng-sian sudah jatuh ke tangan Auyang Seng dalam keadaan hidup- hidup seperti itu, maka beberapa murid Hoa- san-pay yang mulai timbul keberaniannya, telah berlari-larian datang ke tempat itu.

Kepada murid-murid itu Auyang Seng berkata.

"Lihat, yang kalian takuti sebagai hantu itu ternyata adalah manusia biasa seperti kalian juga. Lain kali jangan mudah percaya hal-hal yang tidak masuk akal. Sekarang lekas ikat erat- erat tamu kita yang suka bergurau dengan hantu-hantuan ini, nanti akan kita hadapkan kepada sidang para sesepuh untuk dikorek keterangannya."

Beberapa murid segera mengerjakan perintah itu, sementara salah seorang telah melapor.

"Susiok, di tempat penyimpanan buku juga telah terjadi perkelahian sengit antara beberapa sesepuh dengan beberapa pengacau."

"Siapa saja yang berkelahi di sana?"

"Tiga orang sesepuh Kiau, Lim dan Yo, sementara Hui-im Sucou menjaga ruang penyimpanan buku tanpa berani meninggalkan selangkahpun. Sebun Susiok dan Beng Susiok juga ikut bertempur di sana... ."

Auyang Seng terkejut mendengar laporan itu di antara Hoa-san-su-lo (Empat sesepuh Hoa-san) sudah turun ke gelanggang, padahal setiap Hoa-san-su-lo itu memiliki kepandaian yang amat tinggi sebab mereka berada diatas angkatan Auyang Seng dan teman-temannya, merekalah paman-paman guru dan uwa-uwa guru dari angkatannya Auyang Seng.

Kalau sampai mereka turun ke gelanggang tiga orang sekaligus maka berarti penyerang itu memang luar biasa kepandaiannya.

Mungkinkah mereka berasal dari pihak yang sama dengan si kerdil Ji- an-kiam-hui-ci Ki Peng-sian? Auyang Seng tidak mau hanya menebak- nebak saja, dengan menentang pedangnya ia segera menuju ke arah ruangan penyimpanan buku.

Di tempat itulah kata murid tadi tengah terjadinya sebuah pertarungan sengit dengan para pengacau.

Ruangan penyimpanan buku adalah bangunan berbentuk pagoda lima tingkat yang indah bentuknya dan terletak di tengah-tengah kolam teratai yang luas, dari tepi kolam untuk menuju ke pagoda hanya ada sebuah jembatan sempit dari batu berukir indah yang menghubungkannya.

Sedang orang tidak mungkin meloncati lebar kolam untuk mencapai pagoda, bagaimanapun tinggi ilmu meringankan tubuhnya.

Ketika Auyang Seng tiba di situ, di tepi kolam sudah berdiri banyak murid-murid Hoa- san-pay dengan pedang-pedang terhunus, namun mereka sama sekali tidak dapat ikut campur dalam pertempuran yang tengah berlangsung, sebab pertempuran-pertempuran itu berlangsung di tempat-tempat yang tidak sewajarnya.

Dua orang saudara seperguruan Auyang Seng, yaitu Sebun Siang dan Beng Ko-yan dengan bersenjata pedang, tengah mengeroyok seorang musuh yang bertubuh kurus, berjubah merah dan berambut merah pula.

Di bawah cahaya obor-obor yang diangkat tinggi-tinggi oleh murid-murid Hoa-san-pay, nampaklah bahwa orang itu memainkan sebatang tongkat panjang terbuat dari besi yang bentuknya dibuat seperti seekor ular, lengkap dengan ukiran sisik-sisiknya.

Orang itu memainkan tongkat panjangnya dengan gaya permainan yang keji, cepat, tak kenal ampun.

Auyang Seng sudah berpengalaman di dunia persilatan sejak ia masih muda, sejak masa di mana Hwe-liong-pang masih malang-melintang di dunia persilatan baik dengan tokoh-tokohnya yang baik seperti, dewa maupun jahat seperti iblis.

Karena itu, begitu melihat tokoh dengan ciri khas yang menyolok itu, dia segera berdesis kaget "Ang-Mo-Coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dari Hwe-liong-pang.

Ternyata bangsat tua ini masih hidup setelah menghilang sekian lama, bahkan ilmu silatnya bertambah hebat!"

Mereka bertiga bertempur di bawah cahaya obor, namun di tengah-tengah jembatan sempit yang menghubungkan tepi kolam teratai dengan pintu pagoda.

Jembatan itu amat sempit, kalau dua orang berjalan di atasnya maka paling banyak hanya dapat berjajar dua orang.

Dengan cara bertempur yang hebat dari ketiga orang itu, bersambar-sambaran seperti tiga ekor elang yang berlaga di angkasa, kadang-kadang berloncatan atau menyusuri pagar jembatan yang besarnya hanya selengan orang itu, maka jelaslah pertempuran itu bukan pertempuran yang bisa diikuti oleh sem-barangan orang.

Harus orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang dapat ikut bertempur.

Dan Auyang Seng melihat, walaupun Sebun Siang dan Beng Ko-yan telah bertempur dengan gigih dengan mengeroyok pula, tapi tidak ada tanda-tanda mereka akan menguasai kemenangan.

Lawan mereka terlampau kuat.

Auyang Seng menarik napas panjang dan membatin.

"Malam ini Hoa-san-pay benar-benar kebanjiran musuh-musuh tangguh... ."

Ada yang jauh lebih hebat dari tokoh golongan hitam berambut merah Ang-mo-coa- ong itu.

Dia adalah seorang berpakaian serba hitam dengan mantel lebar yang hitam pula, dengan sebuah topeng perunggu yang kehijau- hijauan melekat di wajahnya, topeng yang ber- bentuk tengkorak yang menyeringai menyeramkan.

Orang ini menghadapi tiga orang dari Hoa-san-su-lo, yaitu Ciang-bunjin Pat-hong- kiam-kong Kiau Bun-han yang merupakan orang nomor satu di Hoa-san-pay yang berjenggot dan berambut keperak-perakan, serta dua sesepuh lainnya, Lim Sin dan Yo Ciong-wan yang juga nampak sudah berambut putih.

Tapi pertarungan satu lawan tiga itu jauh lebih dahsyat dari pertarungan di tengah jembatan kecil.

Keempatnya bagaikan tak berbobot, berkelahi di atas atap pagoda yang miring, licin dan bertingkat-tingkat itu.

Ketiga sesepuh itu seperti dewa-dewa yang turun dari langit, dengan rambut yang putih keperak-perakan dan jubah yang setiap kali melambai apabila mereka bergerak dengan keringanan tubuh yang menakjubkan.

Namun lawan dari para "dewa"

Itu agaknya sesosok iblis yang dengan tangguhnya sanggup menghadapi ketiga batang pedang itu hanya dengan sepasang tangan kosongnya, tanpa nampak terdesak sedikitpun.

Kadang-kadang mereka berkejaran mengitari emperan atap pagoda, atau berloncatan dari satu tingkat ke tingkat lainnya bolak-balik dengan gerakan sebebas seperti berada di lantai yang datar saja.

Lalu saling menukar serangan dahsyat apabila mendapat kesempatan.

Jarang sekali murid-murid Hoa-san-pay melihat para sesepuh mereka bersilat dengan sepenuh hati, sebab tugas melatih lebih banyak dipercayakan kepada angkatan yang lebih muda, yaitu angkatannya Sebun Siang atau Auyang Seng.

Tapi malam ini murid-murid Hoa- san-pay berkesempatan melihat bagaimana para sesepuh yang rambutnya sudah putih itu dapat gerak dengan tangkas luar biasa, dengan kecepatan yang kadang-kadang membuat tubuh mereka bagaikan tak terlihat jelas dan hanya mirip segumpal bayangan yang kabur, sementara pedang-pedang mereka gemerlapan bagaikan petir bersambung di udara.

Terutama adalah Ciangbunjin Hoa-san-pay sendiri, Kiau bun-han yang digelari sebagai Pat-hong-kiam- kong (Cahaya Pedang di Delapan Penjuru) itu.

Bayangan pedangnya benar-benar memenuhi seluruh arena, seolah tak seekor nyamukpun bisa lolos dari jaringan pedangnya.

Tapi malam itu murid-murid Hoa-san pay juga dipaksa melihat suatu kenyataan bahwa ketiga orang sesepuh yang dibangga-banggakan itu ternyata belum mampu mengatasi seorang lawan yang tidak bersenjata.

Untunglah bahwa secara bisik-bisik murid Hoa-san-pay sudah mendengar bahwa orang bertopeng perunggu itu adalah Te-liong Hiangcu, gembong iblis dari Hwe-liong-pang yang malang-melintang jarang tandingannya dalam rimba persilatan.

Dan para murid Hoa-san-pay pun maklum bahwa melawan iblis besar itu para sesepuh mereka memang harus bekerja keras sekali.

Di rimba persilatan barangkali hanya beberapa gelintir manusia yang sanggup berhadapan satu lawan satu dengan Te-liong Hiangcu, dan sayang sekali bahwa para sesepuh itu belum terhitung ke dalam yang beberapa gelintir itu, biarpun ilmu mereka cukup disegani pula.

Sementara itu Auyang Seng merasa bahwa diapun harus ikut terjun ke gelanggang untuk ikut mempercepat selesainya perkelahian itu.

Ia memutuskan bahwa sesepuh tidak usah dibantu, sebab keadaan tidak berbahaya buat mereka.

Dengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pengalaman yang bertumpuk-tumpuk dalam diri para sesepuh itu, tidak mudah bagi Te-liong Hiangcu untuk mengalahkan mereka bertiga, betapapun menakutkannya iblis bertopeng perunggu itu.

Maka Auyang Seng merasa lebih baik ia menggabungkan tenaganya dengan Beng Ko-yan dan Sebun Him untuk meringkus Tang Kiau-po lebih dulu.

Sambil bersuit nyaring seperti seekor elaog vang menerkam mangsanya Auyang-seng segera terjun ke gelanggang, tubuhnya melayang dan langsung menikam dengan gerakan Ngo-eng-bok-tho (Elang Lapar Menerkam Kelinci) dengan ujung pedang tertuju ke tenggorokan lawan.

Ia tidak merasa malu mengeroyok Ang-mo-coa-ong, sebab Ang- mo-coa-ong bagi Auyang Seng dan saudara- saudaranya masih sebagai murid remaja di Hoa- san-pay, maka Ang-mo-coa-ong sudah memiliki nama besar sebagai tokoh tua golongan hitam dari gunung Thay-san, sehingga derajatnyapun berbeda dengan ketiga pendekar Hoa-san-pay itu.

Apalagi kini Ang-mo-coa-ong telah melakukan tindakan yang melanggar kedaulatan Hoa-san-pay dengan cara menerobos masuk sampai ke dalam pusat perguruan itu, sehingga pertempuran- itu adalah pertempuran mempertahankan kehormatan Hoa-san-pay.

Namun demikian, Auyang Seng sebagai pendekar terkenal masih enggan juga untuk dituduh melakukan sergapan secara licik, karena itulah sambil menyerang ia mendahului bersuit keras sebagai peringatan kepada lawan akan kedatangannya .

Dengan datangnya Auyang Seng ke tengah gelanggang segera terasa bahwa pekerjaan Ang- Mo-coa-ong Tang Kiau-po menjadi lebih serat.

Auyang Seng memang seperguruan dengan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, namun tingkatan ilmunya justru jauh di atas kedua saudara seperguruannya itu, berkat ketekunannya dalam menciptakan cara-cara baru untuk berlatih.

Dalam usia yang belum mencapa? setengah abad Auyang Seng sudah mencapai kematangan ilmu pedang hampir setingkat dengan paman-paman gurunya yang menjadi para sesepuh itu.

Maka terjunnya ia ke gelanggang seketika membuat Ang-mo-coa-ong terdesak hebat.

"Bagus! Inilah Hoa-san-pay yang hebat itu?"

Teriak Ang-mo-coa-ong untuk menyindir.

"Tokoh-tokohnya yang bernama harum ternyata hanya pandai main keroyok seperti buaya-buaya di daerah-daerah lampu merah!"

Ucapan itu memang cukup menyakitkan hati, namun Auyang Seng membalas dengan tajam pula.

"Tang Lo-eng-hiong yang terhormat, apakah kau sendiri juga menjaga martabatmu sebagai seorang tokoh angkatan tua, bahkan seorang tokoh angaktan tua sejak jaman aku masih remaja dulu? Malam-malam menyelundup ke sini dan berkelakuan seperti maling ayam?"

Tang Kiau-po menggeram tidak menyahut, dengan tangan kanannya ia putar tongkatnya yang berbentuk ular itu untuk menjaga serangan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, lalu tangan kirinya dengan telapakan terbuka angsung menghantam kepada Auyang Seng dengan gerakan Se-ceng-pay-hud (Se-ceng Menyembah Buddha).

Auyang Seng terkejut ketika melihat pukulan lawan yang ditujukan kepada dirinya itu membawa sambaran angin yang dahsyat sekali, dan telapak tangan Ang-mo-coa-ong itu nampak merah membara.

Itulah Ang-se-tok-Jiu (Tangan Beracun Pasir Merah), ilmu andalan Ang-mo-coa-ong sejak puluhan tahun yang lalu.

Puluhan tahun yang lalu, dengan ilmunya itu dia berhasil mendudukkan dirinya dalam deretan "sepuluh tokoh sakti sejagad"

Meskipun hanya pada nomor buncit, yaitu nomor sepuluh, maka sekarang setelah ilmunya itu disempurnakan secara tekun dengan latihan-latihan keras, tentu saja kedahsyatannya luar biasa.

Auyang Seng merasa dadanya sesak dan matanya berkunang- kunang, padahal pukulan lawan belum mengenainya dan baru tekanan anginnya saja.

Tidak berani menyambut serangan itu, cepat Auyang Seng meloncat mundur dengan gerak Yan-cu-coan-in (Walet Menerabas Mega).

Telapak tangan Ang-mo-coa ong menghantam pagar batu jembatan kecil itu, dan salah satu bagian dari pagar yang indah dan menjadi kesayangan orang-orang Hoa-san-pay itupun muncrat hancur sebagal pasir yang lembut.

Demikian hebatnya pukulan tokoh tua dari gunung Thay-san itu.

Tapi Auyang Seng tidak gentar, meskipun ia harus lebih berhati-hati lagi.

Selagi lawan sempat mengerahkan kembali tenaga Ang-se- tok-jiunya yang hebat itu, maka pedang perak Auyang Seng tiba-tiba telah berkeredep memenuhi angkasa.

Tiba-tiba, saja yang nampak bukan cuma sebatang pedang melainkan berpuluh-puluh pedang yang "mengerumuni Ang-mo-coa-ong dari segala penjuru, membentuk puluhan "kembang perak"

Yang- menghambur mengincar tigapuluh enam buah urat nadi kematian di tubuh Ang-mo-coa-ong.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Murid-murid Hoa-san-pay yang berdiri berderet-deret di tepi kolam teratai dengan membawa obor-obor yang diangkat tinggi- tinggi itu ketika melihat gerakan Auyang Seng itu tanpa diperintah telah berteriak kagum serempak.

Mereka seolah melihat sebuah "tarian pedang"

Yang sangat indah, namun mereka juga tahu bahwa paman guru mereka itu bukan sedang menari melainkan sedang memainkan sebuah jurus maut.

Dari arah lain Beng Ko-yan dan Se-bun Siang juga menggempur Ang-mo-coa-ong seperti angin ribut.

Bagaimanapun tangguhnya Ang-mo-coa-ong namun ia tidak dapat menyelamatkan diri sepenuhnya dari serangan-serangan itu.

Pedang Sebun Siang berhasil dipukul ke samping dengan tongkatnya sehingga hampir lepas dari tangan pemiliknya, pedang Beng Ko-yan pun dapat dielakkan dengan beberapa langkah kecil, tapi pedang Auyang Seng yang mencurah seperti hujan itu hanya dapat dielakkan sebagian.

Ujung jubahnya tetap saja terbabat putus, rambutnya yang merah itupun terpapas sebagian kecil, bahkan kulit dadanya tergores melintang sehingga berdarah.

Hal itu bukan saja menimbulkan rasa pedih di hatinya tapi juga marah sekali.

Berpuluh tahun Ang-mo-coa-sng malang-melintang, kini di Hoa-san-pay ia telah mengalami hal yang begitu nemalukan dihadapan begitu banyak orang, apalagi ketika mendengar murid-murid Hoa-san-pay itu bersorak-sorai....Dengan geram Ang-mo-coa-ong mengerahkan Ang-se-tok-jiu ke tangan kirinya dan kembali menghantam Auyang Seng dengan sekuat tenaga.

Tapi Auyang Seng biasa berkelahi bukan hanya dengan tenaga juga dengan otaknya, dia tahu bahwa Ang Ang-se- tok-jiu memang hebat namun gerakannya tidak cepat.

Dari segi usia juga telah mempengaruhi jalannya pertempuran, Ang-mo-coa-ong yang hampir tigapuluh tahun lebih tua dari Auyang Seng itupun dari kesegaran tubuhnya tentu tidak dapat menandingi Auyang Seng yang masih di bawah empat-puluh lima tahun itu.

Kembali pukulan Ang-se-tok-jiunya hanya menghancurkan pagar jembatan, sementara Auyang Seng masih sanggup menghindari seperti seekor burung camar menjauhi hantaman gelombang lautan, dan seperti seekor burung pula ia menyambar lawan dengan ujung-ujung pedangnya.

Begitulah terjadi berulangkali, sampai Ang- mo-coa-ong mulai kelihatan kelelahan.

Diam- diam Ang-mo-coa-ong mengutuk dalam hati, nasibnya memang kurang beruntung.

Auyang Seng seorang diri sebenarnya masih bisa diatasinya, namun karena dia dibantu Sebun Siang dan Beng Ko-yan yang betapapun Juga tidak bisa dipandang ringan, maka kewalahan Ang-mo-coa-ong.

Ia juga mengumpat empat orang yang ditugaskan untuk mencekik Kiongwan Hok itu kenapa belum juga memperdengarkan isyarat? apakah orang itu sudah gagal atau bahkan mampus dikekoyok orang-orang Hoa-san-pay? Keheranan yang sama juga muncul di hati Te-liong Hlangcu yang tengah bertempur dengan tiga orang Hoa-san-pay itu.

Isyarat yang ditunggunya belum juga terdengar, sementara ia sendiri tidak dapat mengingkari bahwa diapun akan kehabisan tenaga juga jika terus- menerus melawan ketiga pendekar tua itu.

Kegelisahan Ang-mo-coa-ong terasa juga oleh Auyang Seng, maka dicobanya untuk secara untung-untungan memecahkan semangat tempur lawannya.

Kata Auyang Seng nyaring.

"Kau gelisah, Tang Lo-eng-hiong? Kalau kau menunggu rekanmu yang menyamar sebagal hantu tanpa kepala dan ternyata dia adalah Jian-ki-am-hui-ci Ki Peng-sian, maka Lo- eng-hiong menunggu sia-sia. Orang itu sudah tertawan dan kedoknya sebagai hantu gadungan sudah terlucuti... ."

Ucapan Auyang Seng itu memang mengejutkan Te-liong Hiangcu maupun Ang- mo-coa-ong isyarat dari Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian itulah yang sedang mereka tunggu dan kini mereka mendengar bahwa Ki Peng- sian sudah tertangkap dan bahkan sudah dilucuti kedoknya, tentu saja tidak berguna meneruskan pertempuran di tempat itu.

rencana sudah berantakan dan tidak perlu dilanjutkan lagi.

"Mundur!"

Teriak Te-liong Hiangcu kepada Ang-mo-coa-ong. Tapi untuk mundurpun tidak mudah, sebab Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han, tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itupun telah memberi perintah.

"Kepung rapat semua jalan keluar!"

Murid-murid Hoa-san-pay yang bertebaran di pinggir kolam teratai itu serempak mencabut pedang masing-masing, dan membentuk barisan-barisan kecil yang tiap barisannya terdiri dari enam orang.

Itulah barisan Liok- hap-tin, biarpun kepandaian murid-murid itu tidak berarti dibandingkan dengan Ang-mo-coa- ong, apalagi Te-liong Hiangcu, tapi dengan berkelompok enam-enam seperti itu mereka akan menjadi kekuatan yang cukup berarti kalau hanya sekedar untuk menahan jalan lari dari kedua tokoh golongan hitam itu.

Namun tanpa disadari oleh orang-orang Hoa-san-pay, bahwa dalam tubuh perguruan mereka sendiri ada seorang musuh dalam selimut, Justru seorang yang berkedudukan terhormat sebagai seorang sesepuh perguruan.

Nampak Yo Ciong-wan menusuk ke dada Te-liong Hiangcu dengan sebuah gerakan yang amat ceroboh, sehingga Te-liong Hiangcu dengan mudah dapat mengelakkannya.

Saat itulah Yo Ciong-wan berbisik "Sanderalah aku, Hiangcu."

Te-liong Hiangcu paham betul maksud bisikan Yo Ciong-wan itu.

Dengan tangkas ia mencengkeram lengan Yo Ciong-wan yang memegang pedang itu dan langsung memutarnya ke atas, dan tahu-tahu Yo Ciong- wan sudah kena ditelikung dengan leher yang ditempeli pedang miliknya sendiri yang berhasil dirampas Te-liong Hiangcu.

Kejadian itu menang mengejutkan orang- orang Hoa-san-pay, dari para sesepuh sampai murid-murid paling rendah tingkatannya.

Kiau Bun-han dan Lim Sin sebagai dua sesepuh, merasa heran bahwa Yo Ciong-wan sampai bisa melakukan kecerobohan seperti itu, namun hati mereka yang bersih sama sekali belum menduga bahwa sebenarnya Yong Ciong-wan telah sengaja berbuat demikian untuk memberi kesempatan agar Te-liong Hiangcu Ang-mo-coa- ong dapat keluar.

Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong- wan sambil berteriak.

"Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka lebih dulu kepala sesepuh kalian ini akan menggelinding ke tanah!"

Ancaman itu tentu saja sangat manjur.

Tanpa mendapat rintangan apa-apa, Te-liong Hiang-cu meloncat dari pucuk pagoda itu dengan tetap membawa Ciong-wan, diikuti oleh Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong-wan sambil berteriak.

"Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka Ang-mo-coa-ong yang juga bebas dari lawan- lawannya, meskipun pakaiannya sudah robek- robek kena pedang Auyang Seng. Dengan tetap menempelkan pedang di leher Yo Ciong-wan, Te-liong Hiang-cu berkata lagi, Sekarang, bebaskan pula temanku yang menyamar sebagal hantu tadi!"

Demi keselamatan Yo Ciong-wan maka tidak bisa tidak memang perintah Te-liong Hiangcu itu harus terkabul semuanya.

Tak lama kemudian muncullah beberapa murid Hoa-san- pay menggiring Ji-an-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bertubuh kerdil itu dalam keadaan terikat.

Namun kemudian di hadapan Te-liong Hiangcu semua ikatannya dibebaskan, dan tubuhnya yahg kecil itu bagaikan terbang meloncat bergabung dengan Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong.

Sementara itu, Yo Ciong-wan sendiri pura- pura berteriak penasaran.

"Ciang-kun Suheng! Jangan hiraukan keselamatanku, tangkap saja mereka!"

Sandiwara yang diimainkannya berhasil dengan baik, Kiau Bun-han dan orang orang Hoa-san-pay lainnya setelah mendengar ucapan itu tentu saja menjadi terharu akan "kegagah- beranian"

Yo Ciong-wan, sehingga malahan semakin tidak sampai hati untuk meneruskan pertempuran dengan mengabaikan nyawa sesepuh itu.

Dengan demikian, tanpa daya orang-orang Hoa-san-pay yang sekian banyak itu melihat Te- liong Hiangcu, Ang-mo-coa-ong dan Jian-kiam- hui-ci Ki Pang-sian berlalu didepan hidung mereka dengan berlenggang-kangkung, sambil membawa Yo Ciong-wan sebagai "sandera".

Kiau Bun-han dan Lim-sin menatap kepergian mereka dengan hati penuh gejolak, Auyang Seng menarik napas dalam-dalam berulangkali karena menyesal bahwa komplotan rahasia yang hampir terbongkar itu tertutup rapat kembali, sementara Sebun Siang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan gemasnya.

Sementara itu, Yo Ciong-wan yang "tertawan"

Itu dibawa oleh Te-liong Hi-angcu sampai ke pinggang gunung yang sepi. Disitu barulah dilepaskan dan kata Te-liong Hiangcu.

"Bagus sekali sandiwaramu tadi. Kalau tidak, untuk lepas dari pagoda itu tentunya kami harus memeras keringat lebih dahulu. Nah, kembalilah."

Yo Ciong-wan mengangguk hormat kepada Te-liong Hiangcu dan menyahut.

"Semuanya hanya demi berhasilnya Kui-kiong kita menguasai dunia persilatan, dan mendukung Hiangcu untuk menjadi Bu-lim Bengcu (Ketua Rimba Persilatan)."

Te-liong Hiangcu tertawa pendek.

"Bagus kalau menyadari itu, seluruh anggota Kui-kiong kita memang harus bekerja sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita bersama kita. Belakangan ini makin banyak penghalang- penghalang yang bermunculan belum lagi si gila Siangkoan Hong berhasil kita bereskan, tahu- tahu sudah muncul pula seorang hweshio kurus yang menggagalkan pekerjaan kita di beberapa tempat, dan menurut dugaan, hwesio kurus itu adalah Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin. Huh!"

"Jadi dia muncul kembali?"

"Benar. Mulai sekarang, semua langkah- langkah kita harus terpadu agar tidak mudah dicerai-beraikan musuh. Aku sudah kehilangan Sat-jiu-hong-kui Han Kiam-to, Say-ya-jat Tong King-bun dan Hwe-tan Seng Cu-bok yang tewas di medan pertempuran di Tay-tong, dan aku tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Yo Ciong-wan, bulan depan ada pertemuan lengkap seluruh orang-orang kita di Kui-kiong, kau harus hadir."

"Baik, Hiangcu. Dan perlu juga kulaporkan satu hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Hlangcu."

"Katakan."

"Sejak Auyang Seng pulang ke gunung, maka pikiran orang-orang Hoa-san agaknya mulai terbuka dalam memandang keanehan-keanehan dunia persilatan belakangan ini. Meskipun belum diputuskan secara pasti, tapi agaknya Kiau Suheng sudah punya rencana untuk mengirimkan orang-orang terpercayanya untuk mulai menyelidiki asal-mula hilangnya Giok- seng Tojin dan gilanya Kiong-wan Hok. Pihak kita harus bersiap menghadapi langkah-langkah ini."

Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya yang tertutup topeng perunggu itu. Ia menggeram dengan suara yang bergulung- gulung dalam perutnya.

"Lolosnya Kiongwan Hok yang sudah tahu banyak tentang sarang kita, memang sebuah kesalahan besar yang patut kita sesali, dan lebih patut kita sesali bahwa sampai sekarang ternyata kita belum berhasil membungkam si gila itu. Untunglah dia masih gila sehingga tidak dapat banyak berbicara tentang apa yang diketahuinya tentang Kui-kiong kita."

Yo Ciong-wan menundukkan kepalanya.

"Aku minta maaf bahwa aku belum berhasil membereskan si gila itu, Hiangcu, sehingga sampai membuat repot Hiangcu sendiri.Namun penjagaan terhadap si gila itu benar-benar ketat. Aku masih belum menemukan cara bagaimana membunuhnya tanpa jejak."

Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian yang baru saja mengalami sendiri bagaimana ketatnya penjagaan atas diri Kiongwan Hok itu, juga mengangguk-anggukkan kepalanya yang kecil itu untuk mendukung ucapan Yo Ciong-wan itu.

"Sudahlah,"

Kata Te-liong Hiangcu sambil mengibaskan tangannya.

"Untuk sementara kita tinggalkan dulu urusan si gila itu, ia tidak berbahaya selama masih giia. Kita akan pusatkan perhatian kita kepada hal-hal yang lebih penting. Ingat pertemuan bulan depan, hubungi semua orang-orang kita."

"Baik,Hiangcu,"

Sahut Ang-mo-coa-ong, Ki Peng-sian dan Yo Ciong-wan serempak.

"Yo Ciong-wan, kembali ke gunung."

"Baik."

Lalu sesepuh Hoa-san-pay yang ternyata berkomplot secara diam-diam dengan Te-liong Hiangcu.

Te-liong Hiangcu sendiri segera pergi pula dari tempat itu.

Hoa-san-pay menjadi sunyi kembali, dan keesokan harinya kegiatanpun berlangsung lagi seperti hari-hari biasanya.

Murid-murid yang berlatih di lereng-lereng gunung dengan kaki dibebani gelang besi atau kantong pasir, tetap nampak seperti biasanya, atau yang berlatih ilmu pedang di halaman atau ruang-ruang latihan.

Namun di balik suasana yang biasa itu, terasa ada sesuatu yang mencengkam perasaan, kini orang-orang Hoa-san-pay mulai menyadari bahwa persoalan hilangnya Giok-seng Tojin dan murid-muridnya ataupun gilanya Kiongwan Hok bukan persoalan sederhana.

Kalau hanya persoalan sederhana, tidak akan Te-liong Hlangcu dan Ang-mo-coa-ong yang termasuk tokoh-tokoh tingkat tinggi golongan hitam itu sampai terpancing keluar untuk urusan itu.

Masih ditambah lagi dengan Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bersahabat baik dengan Hoa-san-pay itu.

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . AM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid BAGIAN KE DUA BELAS ARA sesepuh mulai berunding, dan akhirnya diputuskan bahwa Hoa-san-pay tidak boleh tinggal diam saja.

Selama ini Hoa-san-pay hanya mengamoil sikap "bertahan", tapi karena masalahnya semakin lama semakin ruwet, maka harus diambil tindakan keluar.

Urusan harus dibikin terang.

"Saudara-saudaraku dan murid-murid sekalian,"

Demikian kata Kiau Bun-han dalam suatu pertemuan yang dihadiri semua sesepuh dan murid-murid angkatan kedua, yaitu angkatannya Auyang Seng.

"Akhirnya kita putuskan bersama bahwa kita akan P menganggap persoalan hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiong-wan Hok itu ternyata telah meluas di luar dugaan kita. Tadinya kita sangka hanya antara kita dengan Ho-lian-pay, ternyata malam itu bermunculan pula tokoh- tokoh puncak golongan hitam seperti Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong yang sudah lama menghilang, jelas ini bukan lagi masalah kecil. He Keng-liang bisa dianggap ringan, tapi Te- liong Haingcu dan Ang-mo-coa-ong tidak. Maka, kita akan mengirim utusan ke Ho-lian-pay untuk minta penjelasan sekalian mengadakan penyelidikan. Sudah aku tetapkan keponakan murid Sebun Siang dan puteranya Sebun Him yang akan menuju ke Ho-lian-pay."

Sebun Siang dan anaknya cepat-cepat berlutut dan menyatakan sanggup. Lalu Kiau Bun-han berkata lagi.

"Selain itu, keponakan murid Auyang Seng akan menuju ke Jing-sia-san untuk menjumpai Ciangbunjin Jing- sia-pay, Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin dan Petir) Kongsun Tiau, mencari penjelasan tentang Ki Peng-sian yang tiba-tiba saja menyatroni tempat kita, Padahal selama ini hubungan antara Hoa-san-pay dan Jiang-sia-pay sangat baik. Setelah meninggalkan Jing-sia-san, kau langsung ke Siong-san untuk minta bantuan Siau-lim-pay sebagal sesepuh rimba persilatan. Kau paham apa yang harus kau katakan di sana?"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Paham, susiok,"

Sahut Ayang Seng dengan hormat.

Maka di satu pagi yang hangat, orang-orang yang ditugaskan itupun meninggalkan gunung menuju arah perjalanannya masing-masing.

Ayah dan anak Sebun Siang dan Sebun Him yang sama-sama bertubuh tinggi besar itu menuju ke arah timur.

Sang ayah menggantungkan pedangnya di pinggang kiri seperti umumnya para pemain pedang, sedangkan anaknya mengantungkan pedang di pinggang kanan karena dia kidal.

Sedang Au- yang Seng menuju ke arah selatan.

Menjelang Sebun Siang dan Sebun Him mencapai kaki gunung, tiba-tiba seseorang muncul menghadang langkah mereka.

Seorang tua yang berwajah berwibawa dengan jubah kuning gading yang menjadi ciri-ciri Hoa-san- pay, berdiri tegap di depan mereka.

Sebun Siang dan anaknya terkejut karena melihat orangtua itu adalah Yo Ciong-wan sendiri, salah seorang dari Hoa-san-su-lo yang berkedudukan tertinggi dalam Hoa-san-pay jaman itu.

Karena Itu, serempak ayah dan anak itu-pun menekuk lutut mereka untuk memberi hormat.

Sikap Yo Ciong-wan sangat ramah, katanya.

"Anak-anakku, tugas yang kalian pikul sangat berat, karena itu aku sebagai seorang tua ingin memberi pesan kepada kalian. Mudah-mudahan kalian suka mendengarnya."

Agak heran juga Sebun Siang berdua, tadi diaula Yo Ciong-wan ini sudah ikut memberi nasehat panjang lebar bersama dengan sesepuh-sesepuh lainnya, sekarang nasehat apa lagi yang akan diberikan? Namun sebagai angkatan yang lebih muda, mereka berdua bersikap hormat juga dan menyatakan siap mendengar Ternyata nasehat Yo Ciong-wan singkat saja dan terdengar agak aneh.

"Berhubung yang kalian hadapi adalah sebuah komplotan yang berbahaya, bahkan dalam komplotan itu terlibat pula orang-orang semacam Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong yang ilmunya lebih tinggi dari kalian, maka aku ingin berkata satu hal kepada kalian. Jika kalian menemui bahaya, lebih baik kalian tidak usah memaksakan diri untuk menerjang bahaya, supaya nasib kalian tidak usah menjadi seperti Giok-seng To-Jin dan Kiongwan Hok. Lebih baik cepat-cepat pulang ke Hoa-san dan kita akan bersama-sama mencari jalan lain yang lebih aman. Paham?"

Sebun Him dan ayahnya tercengang mendengar nasehat itu. Nasehat apa-apaan ini? Bukankah tadi di aula itu Yo Ciong-wan juga bicara panjang lebar agar "maju terus pantang mundur"

Atau "siap korbankan nyawa untuk kehormatan Hoa-san-pay'!? Kenapa sekarang malah menganjurkan sikap yang begitu lembek dan mengecilkan semangat? "Kalau ketemu bahaya terus pulang saja ka Hoa-san"? Yo Clong-wan agaknya dapat menangkap rasa heran yang terpancar dari wajah ayah dan anak itu, maka sambil tertawa kikuk ia buru- buru memperbaiki ucapannya tadi.

"Maksudku.. maksudku bukan mengajari kalian menjadi pengecut-pengecut yang tidak berani menghadapi kesulitan betapapun kecilnya, tapi hanya menyuruh kalian bertindak amat berhati- hati, sebab aku menguatirkan kalian. Aku merasa bahwa komplotan yang melenyapkan Giok-seng dan membuat gila Kiongwan Hok itu kini pasti akan mengincar kepada kalian..."

Demikianlah, bukannya membuat semangat Sebun Siang dan Sebun Him bertambah berkobar, tapi Yo Ciong-wan malah berusaha menakut-nakuti atau membuat ciut hati ayah dan anak itu.

Ayah dan anak itu memang tergetar Juga hatinya kalau mengingat nasib Giok-serig Tojin yang hilang tak tentu rimbanya itu, namun mereka sudah bertekad untuk menjalankan tugas dipundak mereka sebaik-baiknya demi kejayaan Hoa-san-pay.

Maka Sebun Siang menjawab.

"Terima-kasih atas segala petunjuk- petunjuk susiok. Kami akan bertindak dengan sangat hati-hati agar tidak mengalami nasib seburuk itu."

"Jadi kalian bertekad untuk maju terus?"

Tanya Yo Ciong-wan.

"Benar, susiok, tugas perguruan tidak dapat dielakkan dan kamipun rela menerima semua akibatnya demi keharuman nama Hoa-san-pay."

Yo Ciong-wan pura-pura menarik napas panjang.

"Ah, keharuman nama? Berapa banyak nyawa berkorban sia-sia hanya untuk yang disebut keharuman nama? Kalau seseorang hilang lenyap tanpa jejak, dan seorang lagi menjadi gila, apakah itu mengharumkan nama Hoa-san-pay? Sungguh sayang. Sebun Siang, kau dan puteramu adalah orang-orang berbakat dalam perguruan kita, kini rasanya aku tidak akan bertemu dengan kalian lagi, seolah kalian sedang masuk ke dalam kegelapan yang tanpa batas dan kita sama-sama tidak tahu ada apa di balik kegelapan itu. Firasat orang tua seperti aku ini sering cengeng kedengarannya, tapi sering juga menjadi kenyataan ......."

Sebun Siang dan Sebun Him semakin tidak sabar mendengar ocehan Yo Ciong-wan yang bukannya membangkitkan semangat tapi malahan meruntuhkannya itu. Sebun Him yang masih muda dan berwatak keras itu segera berkata.

"Susiok, andaikata kami pikul tugas dari Ciang-bunjin ini. Tindakan Ciangbunjin itu kami anggap tepat, sebab tanpa kita berusaha membikin jelas persoalannya, maka kita memang hanya akan berputar-putar dalam kebingungan sementara orang lain mempermainkan kita dengan permainan hantu- hantuan dan sebagainya. Hoa-san-pay akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia, bukan lagi sebuah perguruan yang berwibawa dan dihormati orang. Inginkah susiok melihat Hoa- san-pay seperti itu?"

Wajah Yo Ciong-wan berubah sekejap, daiam hatinya ia memaki-maki anak muda itu.

Tahulah ia bahwa usahanya untuk menggertak dan menakut-nakuti ayah dan anak itu agaknya kurang berhasil.

Maka Yo Ciong-wan-pun tidak berusaha merintanginya lagi, setelah diucapkannya beberapa kata-kata perpisahan yang nadanya seperti hendak berpisah selama- lamanya, maka iapun naik kembali ke gunung.

Dari atas gunung, orangtua sesepuh Hoa- san-pay itu sempat menengok ke arah tubuh kedua ayah dan anak yang semakin lama terlihat semakin kecil itu.

Yo Ciong-wan tertawa dingin dan bergumam sendirian.

"Huh, tidak tahu diri. Ada bahaya maut di depan mata kalian terjang saja, bukan salahku kalau kalian kelak kehilangan kepala kalian. Kalian kira dengan ilmu kalian itu sudah cukup untuk mencoba menentang dan menyelidiki Kui-kiong? Kalian tidak lebih hanya mencari mati saja. Semangat yang tinggi saja tidak cukup untuk menyelamatkan kalian."

Waktu itu, semangat Sebun Him memang sedang berkobar sehebat-nebatnya, ia merasa tugas yang terbaban dipundaknya kali itu adalah kesempatan baginya untuk mengaangkat nama, membuat nama besar sebagai kebanggaan pribadinya.

selama ini, rekan-rekan seperguruan dan orang-orang dl sekitar Hoa- san telah memberi Julukan "Se-him" (Beruang dari Barat) kepadanya.

Meskipun Julukan itu diucapakan setengah bergurau, namun lama- kelamaan Sebun Him bangga juga dengan Julukan itu, dan ia bertekad akan mentenarkan Julukannya sendiri itu, sampai sejajar dengan Julukan-julukan yang sudah terkenal dirimba persilatan lainnya.

Ia mendengar kabar angin bahwa di kalangan anakmuda telah muncul sepasang anakmuda yang menggetarkan dengan sebutan "Pak-liong" (Naga dari Utara) dan "Lam-hou" (Harimau dari Selatan), dan Sebun Him amat berharap suatu saat nanya akan disebut sejajar dengan nama-nama besar itu.

Kehausan akan nama besar dan ketenaran, Itulah yang mendorong Sebun Him melangkah meninggalkan gunung Hoa-san dengan semangat menyala.

Ketika matahari turun ke cakrawala barat, maka ayah dan anak itu sudah berjalan cukup Jauh meninggalkan gunung Hoa-san.

Kini mereka berada di sebuah jalan panjang yang amat sepi.

Di kiri kanan jalan hanya ada hutan- hutan atau tebing-tebing batu.

Hampir saja Sebun Him bertanya kepada ayahnya dimana ia akan menginap, namun kemudian dibatalkannya pertanyaannya itu karena malu sendiri.

Seorang petualang dapat tidur di mana saja, ia tidak memanjakan tubuhnya, begitu ia pernah mendengar cerita orang.

Karena itu Sebun Him bertekad sanggup tidur di manapun juga malam itu.

Namun di saat ayah dan anak itu hampir saja untuk memutuskan tidur di atas pohon, tiba-tiba di kejauhan kelihatan sehelai kain dicantelkan pada sebatang bambu yang ditancapkan di tanah.

Di atas helai kain itu tergores huruf-huruf tebal sederhana yang menarik para pejalan kaki, ketiga huruf itu berbunyi Makan, Minum dan Penginapan.

"Ayah, lihat!"

Seru Sebun Him kegirangan sambil menunjuk ke tulisan itu.

Meskipun ia tidak gentar tidur di pohon sambil menahan lapar semalam suntuk, namun kalau ada makanan yang hangat dan tempat tidur yang empuk, apa salahnya? Ayahnya tersenyum saja, karena sebenarnya diapun sudah ingin beristirahat menghilangkan dahaga.

Maka langkahnyapun ditujukan ke tempat itu.

Tempat itu agaknya didirikan terlalu tergesa-gesa, mungkin belum sampai satu hari.

Bambu-bambu yang ditancapkan ke tanah kelihatan masih baru, bangku-bangku dan mejanya juga masih baru, dan yang disebut "penginapan"

Itu hanyalah sederetan gubuk- gubuk yang agaknya masih baru pula.

Memang jauh dari memadai, namun cukup kalau hanya untuk berteduh semalam bagi para pengelana, paling tidak bisa menahan angin dan hujan sehingga tidak kedinginan.

Ketika melihat ayah dan anak itu melangkah mendekat, si pengusaha warung itu menyambut sambil menyeringai seramah mungkin.

Mulutnya segera menyerocos menyebutkan sederetan nama makanan-makanan yang ada di warungnya.

Dikatakannya juga bahwa warungnya itu menyediakan penginapan pula dengan tarip yang amat murah.

Kebetulan warung itu memang sedang sepi ketika Sebun Siang dan puteranya masuk ke situ, hanya ada mereka sendiri, yang langsung menduduki dua buah bangku kayu kasar.

"Makan apa, tuan-tuan? tanya si pengusaha warung dan lagi-lagi ia menyeringai mempertontonkan giginya yang coklat.

"Untuk sementara ini dulu cukup,"

Kata Sebun Siang sambil mengambil sebuah roti bundar berwarna kekuning-kuningan yang terletak di atas sebuah piring di meja.

"Sediakan saja minuman. Teh."

"Baik, tuan,"

Sahut sl pengusaha warung sambil bergegas pergi.

Sebun Siang dan anaknya tidak melihat ketika tiba di bagian belakang warung itu maka si pengusaha warung melepaskan kain lap yang selalu tersampir di pundaknya, dan kemudian mengibarkannya tiga kali ke suatu arah.

Barangkali hanya dia sendiri yarig mengerti arti dari perbuatannya itu.

Setelah berbuat demikian, pengusaha itupun balik ke depan dengan membawa nampan dengan poci dan cawan-cawan teh di atasnya.

Wajahnya tetap saja ramah-tamah, bahkan ia menawarkan untuk menginap di "penginapan"nya dengan sewa yang sangat murah.

"Lebih baik tidur di gubukku malam ini, tuan, daripada kemalaman di tengah Jalan dan tidur di atas pohon,"

Kata pemilik warung itu.

Sebun Siang akhirnya menyetujuinya juga, apalagi karena anaknya ikut mendesak pula.

Si pengusaha warung itu nampak gembira dan berkata ia akan membersihkan satu kamar untuk ayah dan anak itu.

Tengah ayah dan anak itu dengan lahapnya menggigit roti bundar yang cukup harum itu, diselingi dengan teh hangat yang membuat perut terasa nyaman, maka di warung itu kedatangan pula dua orang tamu.

Keduanya adalah seorang tua dan seorang muda pula, sebaya dengan Sebun Siang dan Sebun Him, dan membawa senjata pula yang tua membawa pedang, yang muda membawa senjata yang disebut Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala), sejenis toya yang salah satu ujungnya dihias dengan gerigi-gerigi tajam yang mirip dengan taring serigala, sehingga senjata itu disebut demikian.

Yang membawa pedang itu ternyata memiliki sepasang mata yang mengerikan, merah menyala seolah memancarkan api.

Baik Sebun Siang maupun anak laki-lakinya dalam pandangan pertama saja langsung menyadari bahwa orangtua itu bukan orang sembarangan.

Namun mereka tidak merasa heran, sebab di dunia ini toh banyak orang berilmu tinggi yang berkeliaran di mana-mana, apa anehnya kalau salah seorang dari mereka kebetulan lewat dan mampir di warung kecil ini? Kedua orang itu mengambil tempat di sebelah barat dari Sebun Siang dan Sebun Him, lalu keduanyapun makan minum tanpa berkata- kata sepatahpun.

Tak lama kemudian, datang lagi seorang tamu.

Kali ini seorang pendeta Buddha bertubuh tegap dan tangannya menjinjing sebatang toya dari besi yang di tangannya nampak ringan sekali.

Langkah-langkahnya mantap, dan lagi-lagi Sebun Siang menebak bahwa pendeta inipun seorang yang berilmu tinggi.

Yang aneh adalah pakaian pendeta ini.

Biasanya rahib-rahib Buddha berpakaian sederhana, namun pendeta yang ini justru berpakaian amat mewah.

Jubah kuningnya adalah kain satin persis yang tidak terbeli oleh sembarangan orang, tasbih yang melingkari lehernya butiran-butiran hitam yang harga setiap bijinya saja amat mahal, apalagi dalam jumlah banyak yang dirangkai menjadi seuntai tasbeh macam itu.

Sedangkan kedua tangannya, terutama jari-jarinya, dipenuhi dengan cincin- cincin beraneka ragam bentuknya dengan intan berlian sebagai mata-cincinnya.

Sungguh apa yang ada di tubuh hweshio itu menjadikan para perampok menelan liur, namun toya besi serta sikap garang hweshio itu membuat para perampok hanya berani sekedar menelan air liurnya.

Hweshio ini duduk di sebelah timur dari Sebun Siang dan puteranya.

"Suatu kebetulan yang kedua,"

Desis Sebun Slang dalam hati, namun ia sedikitpun belum mempunyai kecurigaan apa-apa terhadap kehadiran orang-orang itu yang berturut-turut.

Warung itu adalah sebuah tempat umum, dan suatu hal yang wajar kalau warung itu banyak dikunjungi orang, apalagi saat itu sudah hampir malam sehingga para pengembara tentu membutuhkan tempat penginapan.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika selesai makan minum, Sebun Siang segera memasuki kamar yang akan digunakannya untuk menginap.

Ruangan itu terletak dibagian belakang dari warung Itu, terpisah sebidang tanah yang tadinya kelihatannya berilalang namun dibersihkan dengan tergesa-gesa.

Kamar itu sendiri terbuat dari papan-papan kayu yang kuat, dengan pintu yang kuat pula, dan dua buah pembaringan kayu yang kasar.

Begitu masuk, terdorong oleh rasa lelahnya setelah melakukan perjalanan sehari suntuk, maka ayah dan anak itu pun segera membaringkan tubuhnya masing masing dengan santainya.

Meskipun usia Sebun Siang hampir setengah abad, namun ia jarang sekali meninggalkan Hoa-san-pay, sehingga dalam hal pengalaman dunia petualangan ia mirip dengan seorang yang masih hijau sama sekali, Apalagi Sebun Him yang turun gunungpun baru kali ini.

Andaikata saja mereka sedikit cermat, mereka tentu akan merasakan banyak kejanggalan di warung yang terpencil itu.

Semua bangunannya yang serba baru dan nampaknya dibangun secara tergesa-gesa, dan jika bangunan itu terpencil lalu dariraana warung itu mendapatkan bahan-bahan mentahnya? Sesunguhnya ayah dan anak itu sudah masuk dalam sebuah perangkap, sebab ada pihak tertentu yang merasa tidak senang apabila Hoa- san-pay mengirimkan orang-orangnya untuk menyelidiki ke sana kemari.

Dan pihak yang tidak senang itu sudah memutuskan bahwa setiap usaha penyelidikan untuk membongkar rahasia komplotan mereka harus ditumpas habis.

Ketika malam mulai turun dan dari kamar ayah dan anak itu sudah terdengar dengkuran keras, maka pemilik warung itupun mendekati tamu-tamunya yang masih duduk di warungnya itu, dan berkata sambil tertawa.

"Rasanya kita tidak perlu mengeluarkan keringat setetespun. Kedua kelinci gemuk itu sudah berada dalam perangkap dan kita tinggal membantainya."

Orang tua yang matanya bercahaya seperti bara api itu menoleh kepada si hweshio berpakaian mewah, dan bertanya.

"Bagaimana' pendapat Sin-bok Hweshio?"

Hweshio berpakaian mewah yang bernama Sin-bok Hweshio itu menyahut.

"Kalau semuanya berlangsung tanpa susah-payah, kenapa harus membuang tenaga untuk bertempur segala? Kita bakar saja kamarnya dari luar, biar mereka menjadi daging bakar, dan kalau mereka berhasil menerobos keluar, nah, baru kita bersusah payah sedikit untuk menggorok mereka. Bukankah begitu saudara Lamkiong ?"

Para tetamu di warung itu memang bukan lain adalah orang-orang berhati hitam yang pernah dikalahkan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di gunung Tiam-Jong-san dulu.

Si Hweshio adalah rahib murtad dari kuil Jing- liang-si di Ngo-tay-san, bernama Sin-bok Hweshio, meskipun masih memakai nama agama dan masih berpakaian seperti Hweshio, tapi kelakuannya sudah tidak mencerminkan agamanya sedikitpun.

Bahkan belakangan ini la sudah bergabung dengan Kui-kiong di bawah pimpinan Te-liong Hiangcu, sebuah komplotan rahasia dunia persilatan yang berambisi menguasai dunia persilatan, dan Te-liong Hlangcu sendiri selalu bermimpi untuk menjadi Bu-lim Bengcu (Ketua Umum Dunia Persilatan) yang kekuasaannya meliputi ribuan jago-Jago silat seluruh Tlonggoan.

Suatu kekuasaan yang amat besar, yang jika dibelokkan sedikit saja akan sanggup mengguncangkan pemerintah Kerajaan.

Sedangkan orangtua yang matanya seperti bara api itu adalah sahabat karib si hweshio gadungan, yaitu Lamkiong Siang yang lebih dikenal dengan Julukannya sebagai Hwe-gan-lo- long (Serigala Tua Bermata Api).

Ia punya tiga murid yang disebut Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala dari Kun-lun), tapi dua di antara murid- muridnya sudah tewas di tangan Tong Lam-hou dan yang sekarang berjalan bersamanya itu adalah satu-satunya muridnya yang masih hidup.

Namanya Mo Wan-seng dan Julukannya cukup seram, Tat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), namun nyalinya sekecil nyali tikus sehingga julukan seramnya itu hanya berguna untuk menakut-nakuti kaum keroco.

Guru dan murid itupun sudah bergabuhg dengan Kui- kiongnya Te-liong Hiangcu.

Sedang si pemilik warung itupun bukan orang sembarangan.

Dia orang Kui-kiong juga, namun dulunya bekas orang golongan hitam bernama Leng Hok-hou dan berjulukan Kiu- bwe-coa (Si Ular Berekor Sembilan).

Baik ilmu silatnya maupun kedudukannya dalam Kui- kiong, dia lebih tinggi dari Sin-bok Hweshio maupun Lamkiong Siang, meskipun tampangnya sama sekali tidak berarti dan tidak seram sedikitpun.

Begitulah, keempat orang anakbuah Te- liong Hiangcu itu sudah siap menjalankan tugasnya, membantai Sebun Siang ayah beranak.

Kata Kiu-bwe-coa Leng Hok hou.

"Kalian jaga sekeliling kamarnya, aku akan membakar kamarnya. Mudah-mudahan itu sudah cukup memampuskan mereka. Tapi kalau belum mampus juga, adalah tugas kalian untuk membereskan mereka. Paham ?"

"Sangat paham,"

Sahut Lamkiong Siang sambil menghunus pedangnya.

Sementara itu, Sebun Siang dan anaknya yang tengah terlelap itu tiba-tiba merasa ruangan itu menjadi sesak dengan asap, dan hawa udara dalam kamar pun terasa semakin lama semakin panas.

Dengan kaget Sebun Siang meloncat bangur.

dari pembaringannya sambil berteriak.

"Celaka, A-him, kamar kita terbakar !"

Memangnya tidur Sebun Him juga sudah gelisah, maka ketika mendengar teriakan itu diapun meloncat bangun sambil menyambar pedangnya.

Ruangan sudah penuh dengan asap sehingga mereka merasa mata menjadi pedas dan pernapa-sanpun sesak.

Dinding sudah menyala di empat penjuru, dan menilik begitu mudahnya dinding kayu yang tebal-tebal itu menyala, agaknya ruangan itu memang sudah dipersiapkan untuk dibakar.

Sesaat ayah dan anak itu hanya terbatuk- batuk sambil kebingungan dalam kamar yang makin sesak itu, baru kemudian Sebun Siang berteriak.

"A-him, terjang keluar!"

"Pintunya dipalang dari luar, ayah Dengan palang yang cukup besar dan aku tidak sangup mematahkannya !"

"Jebol dindingnya!"

"Dinding itupun amat kuat, meskipun hanya terbuat dari kayu-kayu kasar! "Gila!"

Teriak Sebun Siang hampir putus-asa.

"Apakah kita berdua harus menjadi daging panggang pada saat permulaan dari tugas penyelidikan kita?!"

Saat itulah tiba-tiba Sebun Him menemukan jalan keluar.

Dilihatnya atap ruangan itu hanya terbuat dari ijuk dan papan yang tidak seberapa kuat agaknya di sinilah kelemahannya, maka Sebun Him memutuskan untuk menerjang keluar lewat atap itu meskipun atap itupun sudah menyala pula.

"Ayah, kita loncat ke atas untuk menjebol atap! Biar aku meloncat lebih dulu untuk menjaga di luar "

Teriak Sebun Him.

"Jangan, A-him, atap itu sudah menyala... ."

"Tidak ada jalan lain, ayah, daripada kita terbakar hidup-hidup dalam ruangan keparat ini!"

Lalu tanpa menunggu persetujuan ayahnya lagi, tubuh Sebun Him yang besar dan tegap itu telah melayang ke atas sambil membolang- balingkan pedangnya dengan tangan kirinya.

Atap gubuk itu ternyata memang tidak cukup kuat untuk menahan terjangan pemuda Hoa- san-pay itu, sehingga tubuh Sebun Him berhasil menerobos keluar meskipun ujung-ujung pakaiannya terbakar.

Pecahan papan kayu maupun ijuk yang terbakar itupun beterbangan ke segala arah seperti kembang api....Di luar gubuk, sudah menunggu orang- orangnya Te-liong Hiangcu yang siap untuk turun tangan.

Begitu melihat Sebun Him muncul, yang lebih dulu menyambut adalah Tiat-ge-long Mo Wan-seng yang ingin berjasa bagi Kui-kiong itu.

Toya long-ge-pangnya segera diayun ke pinggang Sebun Him dengan gerakan Ceng-sau-jian-kun (Menyapu Seribu Pasukan).

Dengan gegabah Mo Wan-seng menganggap bahwa Sebun Him yang tampak masih muda itu tentu ilmunya tidak seberapa tinggi dan dengan mudah pinggangnya akan dapat dihantam patah.

Tak terduga Sebun Him tengah marah karena kelicikan orang-orang yang berusaha membakar ia dan ayahnya itu, maka dengan pedangnya yang berukuran lebih besar dan lebih tebal dari pedang-pedang biasa itu ia menangkis long-ge-pang musuhnya dengan keras lawan keras.

Suatu gaya tangkisan yang andaikata dilihat oleh paman gurunya Auyang Seng pasti akan dikecam pedas.

Tapi saat itu Sebun Him sedang marah besar dan la lupa "bagaimana seorang seniman pedang harus menangkis"

Seperti ajaran paman gurunya.

Pedang dan toya long-ge-pang berbenturan keras lawan keras, dan Mo Wan-seng terkejut ketika merasa tangannya tergetar hebat oleh tenaga lawan yang luar biasa.

Tidak percuma Sebun Him dijuluki "Se-him" (Beruang dari Barat) oleh teman-teman seperguruannya, meskipun sudah barang tentu ia belum dapat disejajarkan dengan Pak-liong ataupun Lam- hou.

Terdengar Sebun Him membentak menggelepar.

"Bangsat licik yang suka main bakar, inilah hari ajalmu"

Tanpa menarik pedangnya dan sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada Tiat-ge-long Mo Wan-seng untuk menguatkan kedudukannya, maka Sebun Him langsung menggerakkan pedangnya dengan gerakan Sun-sui-tui-cou (menolak perahu mengikut aliran sungai).

Pedangnya begitu membentur toya lawan langsung saja "menyusur"

Sepanjang toya lawan dan menikam ke depan.

Terdengar si Serigala Bertaring Besi itu menjerit kesakitan karena kesepuluh Jari-Jari tangannya yang menggenggam toya long-ge- pang itu telah terpapas putus oleh pedang Sebun Him.

Dan sesaat kemudian jerit kesakitan itu berubah jadi jerit kematian karena ujung pedang Sebun Him tanpa ampun meluncur terus ke depan dan amblas telak di ulu hati Mo Wan-seng.

Begitulah, dalam kemarahannya ternyata Sebun Him telah berhasil membunuh sisa terakhir dari Kun-lun-sam-iong itu hanya dalam beberapa gebrakan saja.

Sementara itu, dari atap gubuk yang terbakar itu kembali muncul seseorang yang di beberapa bagian pakaiannya ada nyala apinya.

Dialah Sebun Siang yang telah meloncat keluar pula karena menguatirkan keselamatan anak laki-lakinya yng sudah keluar lebih dulu.

Dengan sekali berguling di embun malam yang melekat di rerumputan, padanlah api yang membakar pakaiannya itu.

Untunglah api itu belum sampai mengenai kulitnya sehingga melepuh.

Begitu menginjakkan kaki di luar gubuk ia segera berteriak.

"A-him, tidak apa-apakah kau?"

Sebun Him yang tengah menikmati kemenangan pertamanya atas musuh- musuhnya itupun segera menjawab lantang.

"A- ku tidak apa-apa, ayah. Malahan baru saja kubereskan seorang cecungkuk, dan cecunguk, dan cecunguk-cecunguk lainnya pun akan segera kita bereskan, ayah!"

Yang paling marah melihat keadaan lltu adalah Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang.

Muridnya yang tinggal satu itu terbunuh mampus di depan hidungnya, dan terbunuhnyapun tanpa melalui sebuah pertempuran yang seru melainkan hanya dalam beberapa gebrakan, oleh seorang muda yang umurnya agaknya lebih muda dari muridnyaa.

Maka dihunusnya pedangnya dan iapun menerjang ke arah Sebun Him sambil berteriak.

"Membunuh murid di hadapan gurunya secara terang-terangan adalah suatu penghinaan yang harus ditebus dengan nyawa pula. Bangsat kecil, aku ingin nyawamu!"

Sebun Him yang tengah berbesar hati dan bersemangat tinggi karena kemenangan pertamanya tadi, menyongsong Lamkiong Siang dengan beraninya, sambil menyahut.

"Dan aku juga ingin nyawa keroposmu, bangsat tua, sebab kau dan teman-temanmu telah berusaha membunuh aku dan ayahku dengan cara yang amat licik!"

Ketika ujung pedang Lamkiong Siang mengancam tenggorokannya, maka dengan tangkas Sebun Him melangkah kesamping sambil membabatkan pedangnya ke lambung musuh.

Dan ketika Lamkiong Siang mengubah serangannya dengan gerakan tangkisan Tay- peng-tian-ci (Garuda Mem buka Sayap), maka Sebun Him menambahkan tenaga kepada lengannya dengan harapan pedang lawan akan terbentur sehingga lepas dari tangannya.

Meskipun Sebun Him sudah menerima banyak petunjuk dari paman-gurunya, Auyang Seng, agar dalam permainanan pedang tidak terlalu mengandalkan tenaganya seperti dalam permaianan golok, tapi kadang-kadang Sebun Him masih terbawa oleh ke biasaan lamanya Begitu pula kali ini Kedua batang pedang berbenturan keras sehingga memercikkan bunga api Tangan Lamkiong Siang tergetar dan di terkejut akan kekuatan musuhnya yan masih muda itu, namun yang lebih terkejut lagi adalah Sebun Him.

Telapak tangan kirinya yang menggenggam pedang itu tersengat oleh rasa pedih yang hampir saja membuat pedangnya terlempar lepas dari genggaman, sadarlah la bahwa si Serigala Tua Bermata Api ini tidak bisa disamakan dengan muridnya yahg tidak becus tadi.

Cepat Sebun Hlm meloncat mundur untuk mendapat kesempatan memperbaiki pegangannya atas tangkai pedangnya.

Diam- diam ia memperingatkan diri sendiri bahwa menghadapi orangtua bermata seperti bara ini ia harus lebih berhati-hati.

Tak lama kemudian berkobarlah kembali pertarungan antara Lamkiong Siang yang marah karena kehilangan murid, melawan Sebun Him yang tengah mabuk kemenangan dan sedang haus akan nama besar sejajar dengan Naga Utara dan Harimau Selatan itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pertarungan antara seorang pembunuh bayaran yang pernah bekerja untuk pihak manapun juga asal taripnya cocok, melawan seorang tunas muda berbakat dari Hoa-san-pay yang dikemudian hari diharapkan bisa menjunjung tinggi nama perguruannya.

Lam-klong Siang dengan pengalaman dan ilmunyapun lebih tinggi beberapa lapis, namun ia harus tetap berhati-hati menghadapi musuhnya yang jauh lebih muda dan memainkan pedang dengan tangan kiri itu.

Seorang kidal memang membutuhkan perhitungan tersendiri, sebab banyak gerakannya yang merupakan kebalikan dari gerak orang-orang bukan kidal.

Sebun Siang tidak tinggal diam membiarkan anaknya bertempur sendiri.

Diapun telah terlibat pertempuran melawan dua orang sekaligus, yaitu Sin-bpk Hweshio dari Ngo-tay- san yang mengamuk dengan toya besinya bagaikan dewa Locia mengaduk samudera, yang dibantu oleh Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dengan pecutnya yang berjuntai sembilan helai itu.

Senjata pecut berjuntai sembilan itu agaknya yang membuatnya mendapat julukkan Ular Berekor Sembilan.

Dan ternyata juntai pecutnya yang banyak itu bukan sekedar untuk gagah- gagahan melainkan dapat dimanfaatkan sebaik- baiknya.

Kini Sebun Siang harus menghadapi dua orang lawan yang bertolak-belakang dalam gaya permalanan silatnya.

Sin-bok Hweshio dengan toya besinya bergaya keras, cepat dan langsung, tongkat panjangnya menderu-deru seperti gelombang menghantam pantai.

Sedang Leng Hok-hou dengan pecut berekor sembilannya bermain dengan lemas tapi sangat berbahaya.

Ujung-ujung cambuknya seperti sembilan ekor ular berbisa yang menari-nari dan mematuk dengan patukan-patukan mautnya.

Sebun Slang menilai bahwa si "pemilik warung"

Itu lebih berbahaya daripada Sin-bok Hweshio, dan sesungguhnya memang demikian.

Gerakan toya besi Sin-bok Hweshio yang bagaimanapun kencangnya masih bisa terlihat dan diduga arahnya, namun kesembilan Juntai cambuk yang meliuk-liuk dan menyambar dari segala arah itu benar-benar sulit dijaga ataupun ditangkis.

Menangkispun harus hati-hati, sebab kadang-kadang juntai-juntai cambuk itu malahan membelit ke batang pedang yang tentunya akan mengganggu gerakan pedang selanjutnya.

Maka kemudian Sebun Siang memutuskan untuk bertahan lebih dulu sambil menghemat tenaganya, dan untuk membalas menyerang ia harus menunggu sampai lawan- lawannya membuat kesalahan-kesalahan langkah.

Untunglah sendiri bahwa Sebun Siang adalah murid angkatan kedua dari Hoa-san-pay yang ilmu pedangnya maupun tenaga dalamnya tidak rendah.

Meskipun la tidak setenar adik seperguruannya, Gin-hoa-kiam Auyang Seng, namun ia merupakan seorang pendekar tangguh pula.

Dengan sikap bertahan yang serapat-rapatnya, maka pertanyaannya benar- benar sulit ditembus oleh kedua lawannya meskipun Sebun Siang sendiripun jarang menyerang.

Hal Itu membuat Sin-bok Hwe-shio dan Leng Hok-hou mengumpat-umpat tak habis-habisnya, mereka mempergencar serangan mereka namun Sebun Siang mengimbanginya dengan memperkokoh pertahanannya.

"Gila! Gila! Beginikah mutu para pendekar dari Hoa-san-pay?"

Teriak Sln-bok Hweshio penasaran.

"Hanya berani menyembunyikan kepalanya seperti kura kura ?!"

Tapi Sebun Siang tidak terbakar hatinya dan ia tetap bertempur dengan caranya sendiri.

Barangkali perhitungan Sebun Siang akan memenangkan pertempuran itu adalah perhitungan yang tepat apabila di situ tidak ada Sebun Him, anaknya.

Sebun Siang sendiri akan dapat bertahan rapat-rapat dan kemudi akan balik memukul pada saat yang tepat, namun adanya Sebun Him di tempat itu telah mengganggu semua rencana yang tersusun itu.

Sebun Him yang masih muda itu ternyata tidak sangup mengimbangi Lamkiong Siang yang berilmu tinggi dan lebih banyak pengalamannya itu.

Melulu mengandalkan tenaganya saja, ternyata Sebun Him tidak bisa berbuat banyak, ia terdesak terus-menerus, dipaksa untuk seialu menangkis, mengelak, meloncat atau berguling-guling di bawah sambaran-sambaran pedang lawannya yang marah.

Ada juga kesempatan balas menyerang beberapa kali, tapi serangannya selalu dapat dipunahkan oleh Lamkiong Siang dan ia balik ditekan untuk bertahan saja.

Namun sebagai anakmuda berwatak angkuh, Sebun Him tidak berusaha untuk berteriak minta tolong kepada ayahnya, la malu jika itu didengar oleh musuh- musuhnya.

Ia juga malu kepada diri sendiri.

Bukankah ia dengan bangga sudah menerima Julukan "se him"

Dari teman-temannya? Dari malu berubah menjadi nekad, maka Sebun Him tidak peduli lagi keselamatan dirinya dan ia pun bertekad untuk berkelahi mengadu nyawa.

Kenekadannya inilah yang memaksa Lamkiong Siang harus lebih berhati-hati.

Keadaan Sebun Him yang sulit itulah yang membuat ayahnya merasa tidak tenteram, dan ketika perhatiannya sedikit bercabang itulah maka cambuk Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou berhasil menghajar punggungnya.

Membuat pakaiannya robek dan bahkan di kulit punggungnya muncul sembilan jalur merah biru yang terasa pedih dan panas.

"Setan!"

Teriak Sebun Siang marah. Sin-bok Hweshio dan Leng Hok-hou tertawa mengejek berbareng. Kata Sin-bok Hweshio.

"Ha-ha-ha, kau sudah seperti tikus kecemplung air, sebentar lagi bukan hanya cambuk saudara Leng yang bakal kau nikmati, tapi toya besiku inipun akan berkenalan dengan tengkorak kepalamu!"

Berantakanlah pertahanan rapat Sebun Siang karena kemarahannya mulai terpancing.

Dengan pedangnya ia menyerang semakin hebat, namun serangannya itu hanya membuka Dengan pedangnya ia menyerang semakin hebat, namun serangannya itu hanya membuka peluang bagi musuh-musuhnya saja.

peluang bagi musuh-musuhnya saja.

Kalau ia menyerang Sin-bok Hweshio, maka Kiu-bwe- coa Leng Hok hou berhasil melukai dengan cambuknya, sebaliknya kalau ia menerjang ke arah Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou, maka toya besi Sin-bok Hweshio menyambar dengan dahsyatnya dan jika kena bisa membuat rontok tulang-belulangnya.

Demikianlah keadaan ayah dan anak itu bagaikan telur di ujung tanduk.

Firasat Yo Ciong-wan yang diutarakannya sebelum ayah dan anak itu meninggalkan Hoa- san, agaknya kini akan menjadi kenyataan.

"A-him, larilah!"

Teriak Sebun Siang yang sudah luka-luka itu kepada anaknya.

Bajunya sudah robek-robek dan kulitnya dipenuhi jalur- jalur biru akibat cambukan Ki-bwe-coa Leng Hok-nou, sementara langkahnyapun sudah pincang karena pahanya tersambar telak oleh toya besi Sin-bok Hweshio dan agaknya tulangnya sudah retak.

Namun Sebun Siang masih saja bertempur seperti kesurupan setan dan ia masih saja berteriak.

"A-him, selamatkan dirimu! Demi Hoa-san- pay aku ingin kau selamat! Kita tidak boleh mati semua, salah satu harus hidup untuk membalas dendam!"

Namun Sebun Him yang juga sama kalapnya dengan ayahnya itu mana mau mendengarkan seman untuk menyelamatkan diri sendiri itu. Bahkan dengap mengentakkan gigi ia memperhebat seranganya kepada Lamkiong Siang, dan la pun balas berteriak.

"Ayah saja yang pergi! Biar aku yang bertahan di sini!"

Waktu itu boleh dikata tak ada bagian kulit Sebun Siang yang masih utuh, namun pendekar Hoa-san-pay itu masih berkelahi dengan garangnya, membuat kedua lawannya merasa agak ngeri juga. Teriak Sebun Slang.

"Aku tidak bisa lari cepat, kakiku sudah luka. Kau saja yang lari, a- him!"

"Ayah saja yang lari. Aku harus bertahan di sini!l"

Sebun Siang menjadi habis kesabarannya.

"Bangsat kecil, kau berani membangkang perintah ayahmu?! Kalau kau menolak untuk menyelamatkan dirimu sekali lagi, aku akan menggorok leherku di depanmu, tidak peduli apa yang terjadi! Kau ingin menjadi anak durhaka yang membuat marga Sebun kita habis keturunannya?"

Dalam alam pikiran orang-orang Han di daratan Cina, memang tidak ada dosa terhadap leluhur yang lebih besar daripada membikin putus keturunan sehingga tidak ada yang melanjutkan nama keluarga.

Karena itulah ancaman ayahnya itu cukup membuat sebun Him mau tidak mau harus mempertimbangkannya.

Ia tidak mau dikutuk arwah leluhurnya sebagai anak yang tidak dapat melanjutkan keturunan.

"Cepat lari, tunggu apa lagi?!"

Teriak Sebun Siang sambil terhuyung, sebab sekali lagi sebuah cambukan keras dar! Kiu-bwe-coa Leng Hok-bou menghajar dadanya.

"Cepat lari! Kau ingin membuat ayahmu mati sia-sia di sini ?!"

Apa boleh buat, Sebun Him terpaksa menuruti kata ayahnya itu.

Tapi matanya menjadi basah juga, ia tahu bahwa sekali ia melangkah pergi dari tempat, itu maka berarti itulah saat terakhir ia melihat ayahnya dalam keadaan hidup.

Namun sisa-sisa kesadarannya masih memperingatkan juga bahwa itu adalah jalan satu-satunya yang meskipun terasa amat pahit tapi merupakan jalan yang terbaik.

Lebih baik ada satu orang lolos daripada dua-duanya tertumpas ditempat itu.

Karena itu, sebelum meloncat pergi, Sebun Him masih sempat berteriak dengan suara.parau.

"Ayah, kalau kelak aku tidak mencincang bangsat-bangsat ini, aku adalah binatang yang paling rendahi"

"Bagus, anakku, pergilah!"

Teriak Sebun"Siang dengan suara terharu pula, karena apa yang dirasakannya adalah sama dengan apa yang dirasakan oleh anaknya.

Lalu dilampiaskannya perasaannya dengan gerakan- gerakan pedangnya yang semakin gencar dan nekad.

Tapi bagi Sebun Him sendiri sesungguhnya tidak gampang untuk melarikan diri seperti anjuran ayahnya itu, sebab Lamkiong Siang sudah bertekad untuk membunuh anakmuda itu.

Bukun saja karena tugas dari Te-liong Hiangcu memerintahkan demikian, tapi Juga karena ia ingin membalaskan sakit hati muridnya, karena itu ia tidak akan membiarkan Sebun Him lolos begitu saja, katanya mengejek.

"Kalian ayah dan anak tidak usah kuatir, kami akan terbaik hati untuk menolong kalian agar kalian bisa berkumpul bersama di akherat!"

Baru saja mulutnya terkatup, tiba-tiba Sebun Siang telah meloncat ke arahnya dengan meninggalkan kedua orang musuhnya.

Tidak peduli bagian belakang punggungnya tersabet cambuk Leng Hok-hou, tapi Sebun Siang sudah bertekad membunuh atau setidak-tidaknya melukai lawan dari anaknya itu agar anaknya mendapat kesempatan untuk melarikan diri.

Lamkiong Siang terkejut ketika melihat sebatang pedang berkilauan ke arah lehernya, padahal la sedang sibuk meladeni amukan Sebun Him.

Maka cepat-cepat ia membantingkan tubuhnya dengan gerak Koan- long-ta-kun (Serigala Bergulingan), namun tak urung pedang Sebun Siang menyerempet pundaknya sehingga Lamkiong Siang berteriak kesakitan.

Hampir bersamaan waktunya, Sebun Siang sendiripun berteriak kesakitan karena toya Sin- bok Hweshio juga berhasil menghantam punggungnya secara telak, sehingga pendekar Hoa-san-pay memuntahkan segumpal darah sambil terhuyung-huyung ke depan.

Namun dengan mengeraskan kepala Sebun Siang telah berdiri tegak kembali dengan pedang melintang didepan dada, sambil berseru.

"Cepat, A-him!"

Sebun Him tahu bahwa kesempatan sebaik itu tak mungkin berulang lagi, apa boleh buat, dengan mengeraskan hati dan menahan keluarnya air matanya ia meloncat pergi ke rumpun pepohonan yang gelap karena cahaya api dari gubuk yang terbakar tidak mencapai tempat itu.

Ia masih berteriak sekali lagi.

"Kelak aku akan membuat perhitungan untuk semuanya ini, ayah!"

Melihat anaknya berhasil meloloskan diri, semangat Sebun Siang berkobar hebat.

Keselamatan dirinya sendiri sudah tidak dikuatirkan lagi.

Ketika melihat Lamkiong Siang hendak mengejar anaknya, maka Sebun Siangpun mengejar Lamkiong Siang dengan kalapnya, memaksa orangtua dari Kun-lun-san yang berjulukan Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api) itu harus membalik tubuh dan terpaksa bertahan dari amukan si pendekar Hoa-san-pay itu.

Pada suatu ketika Lamkiong Siang menyerang dengan sebuah sabetan pedang ke arah pundak kiri Sebun Siang, dan ternyata lawan sama sekali tidak menghiraukan sabetan itu, bahkan membarenginya dengan sebuah tusukan ke ulu hati Lamkiong Siang.

Alangkah terkejutnya Lamkiong Siang, biarpun dia bernyali besar dan sudah sering melakukan perbuatan-perbuatan kejam, namun diajak adu nyawa seperti itu ia merasa ngeri juga.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang keterkejutannya itu membuat segala-galanya terlambat.

Ia terlambat menarik pedangnya sehingga pedang itu tetap saja menabas pundak Sebun Siang dengan telak, tapi ulu hatinya sendiripun menembus pedang Sebun Siang.

Demikianlah, Hwe-gan-lo-long Lamklong Slang, itu bukannya berhasil membalaskan sakit hati murid-muridnya, malahan jiwanya sendiri ikut amblas malam itu juga.

Berakhirlah riwayat seorang pembunuh bayaran yang sudah banyak mencabut nyawa orang hanya karena upah setahil dua tahil itu.

Sebun Siang membiarkan saja pedang lawan amblas di pundaknya dan tetap terjepit di situ ketika si pemilik pedang sendiri sudah roboh mampus.

Lalu Kebun Siang meloncat menghadang Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hon yang hendak mengejar anaknya itu, sambil membentak.

"Sebelum kau kejar anakku, langkahi dulu mayatku!"

Sin-bok Hweshio sudah bertahun-tahun berteman dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang, dan la melihat betapa temannya itu mati di tangan Sebun Siang Karena itu Sin-bok Hweshio menjadi ciut nyalinya.

Ia tahu bahwa kepandaian-sendiri tidak lebih tinggi dari kepandaian temannya itu, Jika temannya itu dapat dibunuh oleh Sebun Siang meskipun dengan jurus nekad-nekadan seperti tadi, maka Sln-bok Hweshiopun tidak yakin dirinya bisa lolos dari maut apabila diajak bertempur cara itu oleh Sebun Siang.

Karena itu, begitu melihat Sebun Siang yang berlumuran darah dan matanya mencorong mengerikan itu menghadang langkahnya, Sin-bok Hweahio dengan licik berkata.

"Saudara Leng, kau bereskan dulu orang ini, biar aku ang mengejar anjing cilik satunya itu. Kita bagi-bagi tugas !"

Tak terduga Kiu-bwe-coa Leng Hok-bu juga gentar kepada Sebun Siang yang bertempur tanpa menghiraukan nyawa sendiri itu, maka Leng Hok-hou cepat menjawab "tidak.

Kau saja yang hadapi yang ini, biar aku yang mengejar.

Orang ini sudah luka-luka dan kau tentukan mudah untuk membereskannya!"

Demikianlah keduanya berebutan mencari bagian yang paling aman, sementara bagian yang berbahaya hendak mereka timpakan ke kepala orang lain, padahal bila mereka mau menggunakan otak sedikit saja, tentu tahu bahwa melawan Sebun Siang yang sudah luka- luka seluruh tubuhnya itu tentu jauh lebih ringan dibandingkan kalau melawan Sebun Him yang masih muda, dan sedang dimabuk dendam itu.

Memang benar kata pepatah bahwa orang yang paling kejam, biasanya juga orang yang berwatak pengecut! Baru saja keduanya saling tuding siapa yang akan membereskan Sebun Siang, maka Sebun Siang sendiri tiba-tiba roboh ke tanah.

Bagaimanapun keras hatinya dan besar tekadnya, namun luka-luka luar dan dalam yang telah muncul di tubuhnya membuat la tidak mampu bertahan lebih lama lagi.

Apalagi karena ia menduga bahwa anaknya tentu sudah lari jauh dan berhasil menyelamatkan diri, maka semangat tempurnyapun luntur dan ambruklah badannya.

Melihat itu, Sin-bok Hweshio dan Leng Hok- hou saling bertukar pandangan sambil menyeringai kecut.

Orang yang mereka takuti itu ternyata telah roboh sendiri karena luka- lukanya, membuat mereka agak malu juga karena tadi telah menunjukkan rasa gentar mereka satu sama lain.

"Apakah kita masih sempat mengejar anjing cilik satunya lagi ?"

Tanya Sin-bok Hweshio. Klu-bwe-coa Leng Hok-hou nampak bimbang, lalu menyahut.

"Sudah agak terlambat. Kita tertahan agak lama di sini oleh Sebun Siang, sehingga bangsat cilik itu tentu sudah lari cukup jauh. Tapi baiklah kita coba cari di sekitar sini, barangkali dapat kita temukan dia."

"Kita jalan bersama-sama atau berpencar ?"

Sesaat Leng Hok-hou tidak menjawab pertahyaan Sin-bok Hweshio itu.

Rasa malunya karena ketakutan kepada Sebun Siang tadi masih belum hilang, dan kini ia menjadi serba susah untuk menjawab pertanyaan Sin-bok Hweshio itu.

Jika ia menjawab "bersama-sama"

Maka ia kuatir ditertawakan Sin-bok Hweshio karena dianggap penakut, tapi kalau menjawab "berpencaran"

Sebenarnya diapun agak takut.

Mereka tadi sudah melihat kehebatan Sebun Him, dan untuk menghadapi anakmuda seperti itu tentu lebih aman jika berdua daripada seorang diri.

Sln-bok Hweshio yang memang ingin membuat rekannya kehilangan muka dengan pertanyaannya itu, diam-diam mentertawakan dalam hati ketika melihat kebimbangan rekannya itu.

Tapi paderi gadungan itu terkejut bukan kepalang ketika mendengar Jawaban Leng Hok-hou yang tegas.

"Kita berpencar. Kau ke utara, aku ke selatan. Nanti berkumpul di tempat ini."

Sesaat Sin-bok Hweshio kebingungan harus menjawab bagaimana, sebab sebenarnya dia sendiripun takut kalau disuruh berpencaran.

Dalam segala hal dia harus memilih kemungkinan yang paling aman, dan mengejar musuh sendirian dalam hutan yang gelap itu adalah hal yang sangat tidak disukainya.

Tapi diapun malu mengutarakan perasaannya, maka akhirnya ia mengeraskan kepala dan berkata.

"Baik, berpencaran-pun baik, memangnya aku takut? Tapi kalau salah satu dari kita menjumpai musuh, kita harus saling memperdengarkan suitan untuk saling membantu."

Suaranya dibuat agar kedengaran cukup garang, namun tidak dapat menutupi kegelisahannya. Dan Leng Hok-hou justru merasa mendapat kesempatan untuk mempermainkan rekan gundulnya itu.

"Ah, buat apa saling bersuit segala? Toh buruan kita cuma tikus kecil dari Hoa-san-pay yang tak berarti. Salah seorang dari kita sudah cukup berlebihan untuk menghabisi nyawanya."

Sin-bok Hweshio menyeringai canggung.

"Baik, kalau ketemu langsung kita bereskan saja. Tapi bagaimana kalau masih ada orang Hoa-san-pay lainnya yang seangkatan dengan Sebun Siang ini? Tentu kita harus saling bantu."

"Tidak ada. Kalau orang itu ada, tentu sudah muncul dari tadi dan tidak akan membiarkan Sebun Siang terbunuh."

Sin-bok Hweshio mengumpat dalam hatinya.

Tapi apa boleh buat, daripada dicap sebagai penakut, akhirnya dengan langkah gagah diapun memanggul toya besinya dan menjalankan tugasnya.

Begitu pula Leng Hok- hou.

Sementara itu, dengan perasaan yang hancur bagaikan disayat-sayat, Sebun Him terus berlari kencang meninggalkan gelanggang.

Ia membayangkan tubuh ayahnya yang sudah berlumuran darah ketika ditinggalkannya tadi, dan ia berharap mudah-mudahan ayahnya dapat menyelamatkan dirinya, meskipun ia sadar bahwa harapannya itu terlalu berlebihan.

Mana bisa ayahnya yang luka-luka itu menghadapi musuh-musuh yang berjumlah lebih dari satu dan masih segar semuanya ? Tiba di sebuah bukit batu yang sepi, Sebun Him berlari ke atas bukit batu seperti orang kesetanan, dan di atas bukit itulah dia menangis meraung-raung sepuasnya.

Semuanya kesesakan hatinya tertumpah lwat air matanya, diku-tuknya musuh-musuhnya, dikutuknya dirinya sendiri yang tidak becus dan berilmu rendah sehingga tidak dapat menyelamatkan ayahnya.

Setelah berbuat demikian, barulah perasaannya terasa agak lega, dan iapun tergeletak begitu saja di atas bukit kecil itu, setengah terlelap, namun setiap kali ia bangkit kembali dan menjerit kaget apabila terbayang kembali ayahnya yang berlumuran darah.

Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk kembali ke arena tadi dan mengadu jiwa dengan musuh-musuhnya tidakk peduli apapun yang akan terjadi, tapi kesadarannya memperingatkan bahwa jika dirinya sampai mati pula di situ, maka sia-sialah pengorbanannya ayahnya itu.

Ayah dan anak akan sama-sama terkubur di tempat terpencil itu, tidak ada yang bakal membalas dendam, dan tidak ada pula yang akan memberitahukan ke Hoa-san-pay tentang apa yang terjadi, sehingga paling-paling orang Hoa-san-pay hanya akan menganggapnya hilang begitu saja seperti Giok-seng Tojin.

Sebun Him tersadar kembali dari tidurnya ketika cahaya matahari pagi yang hangat menyentuh tubuhnya, dan kicau burung yang merdu bagaikan membangunkannya.

Namun kemudian la pun menjadi tenang, meskipun kesan sedih belum terhapus dari hatinya sama sekali.

"Aku akan melihat kembali bekas gelanggang pertempuran tadi malam,"

Kata anakmuda itu seorang diri.

"Jika aku tidak bisa melarikan diri bersama-sama dengan ayah, paling tidak aku bisa merawat tubuhnya... ."

Kembali perasaan sedih bergolak di dadanya, namun ditekankannya dalam-dalam, dan lapun melangkah tegap menuruni bukit itu.

Seorang pendekar meneteskan air matanya lebih mahal daripada darahnya, demikian ucapan ayahnya atau paman-paman gurunya di Hoa-san-pay.

Karena itu lapun mengeraskan hati untuk tidak menangis.

Ketika tiba di tempat kejadian semalam, diapun tetap tidak menangis dan hanya mengertakkan giginya.

Dilihatnya bangunan- bangunan bambu yang kemarin masih berujud warung itu kini sudah menjadi arang karena dilahap si jago merah.

Di rerumputan yang berembun, masih bergeletakanlah tiga sosok mayat beku.

Mayat Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang dan muridnya, Tiat-ge-long Mo Wan seng, serta mayat ayah Sebun Him sendiri.

Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya, bahkan mayat teman- teman mereka sendiripun mereka tidak sempat untuk mengurusnya.

Dengan menguatkan hatinya, Sebun Him menggali sebuah lubang untuk memakamkan tubuh ayahnya.

Di atas makam itu diletakkannya sebungkah batu Desar dan diukir dengan pedangnya .

Sebun Siang pendekar besar Hoa-san-pay.

Setelah bersujud di hadapan nisan itu beberapa kali, Sebun Him lalu meninggalkan tempat itu dengan mata menyala penuh dendam.

Makin berkobar semangatnya untuk membongkar komplotan yang selama ini membayangi dunia persilatan, terutama Hoa- san-pay.

Kalau tadinya ia ikut dalam gerakan itu hanya karena ingin berbakti untuk Hoa-san-pay selain untuk mencari nama besar bagi dirinya sendiri, ataka kini pendorong Sabun Him bertambah satu lagi.

Dendam.

Ayahnya justru telah jatuh sebagai korban pada hari pertama la melangkah meninggalkan Hoa-san.

Ya, hari pertama dari perjalananya dia sudah kehilangan seseorang yang paling berarti dalam hidupnya.

Sekilas muncul juga ingatan untuk balik ke Hoa- san dan minta bantuan, sebab Hoa-san belum terlalu jauh ditinggalkannya.

Tapi dibuangnya jauh-jauh ingatan seperti Itu.

Ia akan maju terus, dan hanya maut yang bisa menghentikan langkahnya, demikian tekadnya.

Disebuah desa yang dilewatinya, Sabun Him mengganti pakaian yang dipakainya dengan pakaian yang seluruhnya terbuat dari kain belacu putih yang dijahit terbalik, yang kasar di luar dan yang halus di dalam, sebagai tanda berkabung dan untuk selalu mengenang ayahnya.

Dikenakannya pula secarik kain putih dikepalanya, bahkan sarung pedang dan tangkai pedangnyapun di bebat dengan kain putih.

Dengan wajah yang cekung karena berduka, mata yang dalam dan tajam, bibir yang terkatup rapat penuh dendam, tubuh yang tinggi tegap, dan pakaian serba putihnya yang memancarkan suasana berkabung, maka Sebun Him memang nampak agak seram.

Beberapa hari kemudian, tetap dengan penampilan berkabungnya itu, Sebun Him memasuki kota Tiang-an yang ramai dari arah barat.

Penampilannya menarik perhatian orang, dan barangkali diantara orang-orang itu ada musuh-musuhnya, namun Sebun Him sendiri tak keberatan menghadapi apapun juga.

Bahkan di dadanya di goreskannya sebuah huruf merah dari darahnya "Siu"

Atau ""dendam".

Anakmuda itu jiwanya sudah Keracunan dendam.

Ketika perut Sebun Him mulai keroncongan dan la melangkah masuk ke sebuah iumah makan yang ramal dl pinggir jalan, maka pelayan rumah itu menyambutnya dengan hormat campur takut melihat penampilan Sebun Him.

Apalagi karena beberapa hari ini Sebun Him tidak sempat bercukur sehingga sekitar bibirnya dan rahangnya ditumbuhi cambang pendek kaku.

"Hendak bersantap apa, tuan?"

Tanya pelayan.

"Sediakan saja arak lebih dulu,"

Kata Sebun Him dingin.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Masakannya boleh kau pilihkan sendiri... ."

Kata pelayan itu.

"Meskipun kota ini jauh dari laut, tetapi makanan mi kepiting kami terkenal lezat sehingga orang-orang... ."

"Ambilkan semangkuk buatku,"

Potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya.

Tak lama kemudian, apa yang dipesan oleh Sebun Him itu sudah tersedia di atas meja.

Setelah menenggak beberapa cawan arak yang cukup harum baunya, Sebun Him dapat juga sedikit melupakan kesedihannya.

Dan asap mie kepiting yang mengepul menerobos lubang hidungnya itu membuat perutnya lapar juga.

Ketika habis semangkok, bahkan ia memanggil pelayan untuk ditambah semangkuk besar lagi.

Tengah anakmuda yang sedang bersedih itu melupakan kesedihannya barang sejenak, tiba- tiba di luar rumah makan itu terdengar derap kaki tiga ekor kuda, dan ketiga ekor kuda itupun ternyata berhenti di depan rumah makan itu.

"Ambilkan semangkuk buatku,"

Potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya .

Mereka adalah seorang lelaki setengah baya yang berbaaan tegap dan menggantungkan sebatang golok besar di pinggang kirinya, dengan tampang yang angker.

Seorang lagi adalah seorang wanita setengah baya berpakaian ringkas dan pundaknya tertutup mantel dari bulu yang agaknya cukup mahal namun wanita itu sendiri sederhana dan riasan wajahnya tidak berlebihan.

Yang terakhir seorang gadis berusia kira-kira delapanbelas tahun, berpakaian ringkas pula dan juga mantel penutup pundak dan punggungnya, membawa golok yang lebih tipis dan lebih kecil ukurannya dari lelaki itu di pinggangnya.

Rambutnya dikuncir menjadi dua, sepasang matanya bulat besinar seperti bintang dilangit, sehingga meskipun Sebun Him sedang bersedih tapi matanya tertarik juga oleh gadis itu.

Dan agaknya gadis itupun cukup lincah mengendalikan kudanya.

Begitu tiba di depan rumah makan itu ia menarik keras-keras kendali kudanya sehingga kuda itu meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi- tinggi, namun gadis itu sendiri dapat menguasai keseimbangannya dan bahkan dengan lincahnya la meloncat turun seringan seekor kucing saja.

Kata gadis itu kepada lelaki dan perempuan setengah baya itu.

"Ayah, ibu, rumah makan ini agaknya cukup bersih dan bau masakannyapun sedap. Ayo kita isi perut di sini! Sejak dari rumah paman Wihong di Tay-beng kita hanya makan bakpau melulu !"

Perempuan dan lelaki setengah baya itu agaknya orang tua dari gadis yang lincah itu. Si perempuan setengah baya itupun meloncat turun deri kudanya namun samtfii pura-pura menggerutu ia tertawa Juga.

"kau anak perempuan tetapi yang kau pikirkan hanya makan saja, apa kau tidak takut tubuhmu menjadi bundar seperti babi ?"

Gadis itu nampaknya biasa dimanja, di seretnya tangan ibunya masuk ke rumah makan itu, dan tidak peduli ayahnya sudah setuju atau tidak, ia langsung melambaikan tangan kepada seorang pelayan dan bertanya.

"apa makanan paling enak di tempatmu ini ?"

Bersambung

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid AHUT si pelayan.

"Mie kepiting kami luar biasa lezatnya... ."

"Uh,"

Potong gadis itu.

"Masakan binatang air sudah aku nikmati setiap hari selama aku berada di An-yang-shia yang terletak di danau Po-yang-ou. Coba kau sebutkan masakan lainnya."

Sementara itu, Sebun Him yang mendengarkan percakapan orang sekeluarga itu diam-diam mulai dapat menebal siapakah suami isterl itu berdasarkar ciri-ciri mereka dan ucapan gadis yang mengatakan bahwa ia berasal dari An-yang-shia di tepi danau Po- yang-ou.

S "Mungkinkah mereka keluarga pendekar terkenal itu?"

Demikian Sebun Him mencoba menebak-nebak dalam hati.

Diliriknya mereka sekali lagi dan hatinya tergoncang keras ketika melihat wajai gadis yang amat cantik itu.

Buru- buru Sebun Him mengangkat cawannya dan menenggak araknya untuk memulas sikapnya yang agak gugup itu.

Diam-diam la memaki dirinya sendiri.

"Sungguh keterlaluan aku ini. Belum beberapa hari ayah meninggal dunia dan jejak pembunuhnyapun belum diketemukan, aku sudah hendak, tergoda kecantikan seorang perempuan ?"

Keluarga itu memang keluarga terkenal.

Yang lelaki dengan golok di pinggang nya itu adalah Ting Bun, si pendekar dari An-yang-shia yang terkenal dengan tiga jenis ilmu yang mengutamakan kekuatan gwa-kang (kekuatan luar) itu.

Yaitu Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Menghadang Pintu), Ngo- heng-ciang (Telapak Tangan Lima Unsur) dan Ing-Jiau-kang (Tenaga Kuku Elang) sedang isterinyapun bukan tokoh sembarangan, malah Ilmunya lebih lihai dari suaminya, dialah Tong Wi-lian, adik dari pendekar kota Tay-beng Tong Ui-hong yang berjulukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) itu.

Di masa mudanya, Tong Wi-lian pernah digembleng beberapa tokoh tua dari Siau-lim-pay, sehingga ia disegani di dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya tangan kosong, antara lain Pek-ho-kun (Silat Bangu Putih), Coa- kun (Silat Ular) dan Wan-yo-lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Burung Wan-yo).

Ilmunya tidak kalah dari kakak laki-lakinya yang terkenal dengan julukan Gin-yang-cu itu.

Sedang gadis itu adalah anak tunggal dari suami-isteri pendekar itu bernama Ting Hun- giok, meskipun belum sempurna sekali tetapi telah menguasai ilmu golok ajaran ayahnya dan ilmu tangan kosong maupun tendangan ajaran ibunya.

Karena merupakan anak tunggal yang disayang oleh orang tuanya sejak kecil, maka tingkah lakunya memang agak manja, Meskipun demikian tidak berarti kedua orang tuanya membiarkan anak gadisnya menjadi liar tanpa kendali.

"Kenapa paman dan bibi Ui-hong belum juga kembali dari Tiau-im-hong?"

Terdengar gadis itu bertanya kepada ibunya.

"Ayah dan ibu, kudengar di puncak Tiau-im-hong itu sedang ada keramaian, katanya ada upacara kebangkitan kembali Hwe-liong-pang, kenapa kita tidak ke sana saja untuk melihat keramaian?"

Setelah meneguk minumannya, Ting Bun tertawa dan menyahut.

"A-giok, kau ini benar- benar anak perempuan yang suka cari perkara. Keramaian di Tiau-im-hong itu bukannya keramaian seperti pasar malam atau pesta perahu di danau Po-yang-ou dekat rumah kita, melainkan keramaiannya rimba persilatan yang jika panas sedikit saja akan berubah menjadi banjir-darah."

"Kenapa begitu ?"

"Sebab di antara para tamu yang berjumlah ribuan itu tentu ada yang senang dengan kebangkitan kembali Hwe-liong-pang, tapi tentu tidak sedikit pula yang berusaha mencegahnya. Nah, jika kedua belah pihak berselisih paham dan tidak menemukan jalan keluar, bukankah pedang dan golok yang akan berbicara ?"

"Kalau golok dan pedang berbicara, lalu kenapa? Memangnya kita takut? bukankah kita ini sebenarnya juga termasuk keluarga dari ketua Hwe-liong-pang yang dulu kitapun wajib membela Hwe-liong-pang apabila diperlukan? Paman dan bibi Wi-hong bersama kedua orang piau-ko (Kakak misan) sudah pergi ke Tiau-im hong, baiknya kitapun menyusul ke sana untuk bergabung dengan mereka. Aku rasa ilmu golok Ngo-jiou-toan-bun-to-hoat-ku sudah cukup untuk menghadapi segala kesulitan."

"Hus,"

Kata Tong Wi-lian menukas ucapan puterinya itu.

"Kau jangan terlalu bangga dengan ilmumu yang baru setengah matang itu. Beberapa orang jago silat rendahan memang berhasil kau robohkan, tapi kau kira jago-jago yang hadir di Tiau-im-hong itu juga semacam orang-orang yang sudah kau kalahkan itu? Lagipula, kalau saat ini kita menuju ke Tiau-im- hong, mungkin kita akan kecewa ?"

"Kenapa, ibu? Apakah sudah terlambat ?"

"Ya. Aku dengar upacara pengangkatan Ketua baru Hwe-liong-pang itu batal, karena si calon Ketua yang bernama Tong Lam-hou malah melarikan diri di tengah jalan."

"Apakah Tong Lam-hou yang dijuluki si Harimau dari Selatan yang belakangan ini disejajarkan dengan Pakkiong Liong yang berjulukan Naga dari Utara itu, ibu ?"

"Benar. Sebenarnya Tong Lam-hou itu termasuk piau-ko mu (kakak misanmu) juga, sebab dia adalah putera mendiang paman tuamu Tong Wi-siang yang dulu ingin menguasai dunia dengan mengandalkan Hwe- liong-pang itu."

Sepasang mata Ting Hun-giok bersinar cerah dan bangga, agaknya baru kali ini ia mendengar kalau Si Harimau Selatan yang terkenal itu ternyata adalah saudara sepupunya.

Tapi ia menjadi heran ketika melihat ayah ibunya nampaknya tidak bangga dan tidak gembira akan hal itu, malahan nampak kening mereka berkerut dan mereka menarik napas berulang kali.

Tanya Ting Hun-giok kemudian.

"Ayah, Ibu, kenapa Si Harimau Selatan itu melarikan diri dari kedudukannya sebagai Ketua Hwe-liong- pang ?"

Terhadap anak gadisnya ini agaknya Ting Bun dan Tong Wi-lian ingin berterus-rterang agar kelak tidak kecewa menghadapi kenyataan. Kata Ting Bun.

"Sayang sekali, anakmuda dengan kepandaian setingi dia ternyata lebih suka menjadi kaki tangan penjajah Manchu daripada mejnjmpin Hwe-liong-pang warisan ayahnya. Saat ini paman Wi-hongmu kemungkinan sedang menyusulnya ke Kota-raja Pak-khia untuk mencoba membujuknya agar pendiriannya berubah... ."

Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry
^