Pencarian

Playgirl Dari Pak King 1

Playgirl Dari Pak King Karya Batara Bagian 1

(Lanjutan "Playboy Dari Nanking") Karya . Batara Sumber DJVU. Dewi KZ Edit. MCH

Jilid I PAGI nan indah! Burung-burung berkicau di pucuk cemara.

Dedaunan bergoyang lembut dengan embun menempel jernih di setiap daun maupun ranting, putih keperak-perakan memantulkan cahaya berkilau yang penuh pesona.

Dan kutilang, yang pagi itu berkicau riang menyambut pagi yang indah terasa begitu segar dan penuh semangat.

Ada kegembiraan di situ, ada keriangan.

Dan ketika burung pipit maupun gelatik juga bersahut-sahutan bersama pasangannya, menyambut pagi yang indah dan segar maka seorang gadis luar biasa cantiknya keluar dari hutan di kaki bukit Angsa.

Hebat mengagumkan.

Kaum lelaki tentu berdecak melihat lenggang dan gaya gadis ini.

Pakaiannya hitam putih, bercelana masa kini dengan model mutakhir dengan saputangan melilit manis di leher.

Ah, cantik benar.

Penuh pesona dan gaya.

Dan ketika gadis ini melenggang dan belekan di bawah celananya itu3 memperlihatkan sebagian tungkainya yang putih bersih, mulus dan mentakjubkan maka orang akan menahan napas melihat keelokan ini.

Luar biasa, itu komentar mereka pertama.

Dan kaum lelaki, apalagi yang hidung belang pasti akan tergila-gila dan kontan jatuh hati kepada gadis yang amat cantiknya ini.

Ada kesan berani di gerak-geriknya.

Lihat saja lenggangnya yang seperti macan kelaparan itu, juga kepala yang selalu dikedikkan.

Dan kalau orang berani menatap matanya di balik kacamata hitam itu, kacamata model mutakhir maka orang akan tergetar melihat pandangan dingin namun penuh daya tarik di sepasang bola yang amat jernih itu.

Hebat dan luar biasa!, hanya ini komen tar orang.

Selebihnya, mereka akan terbelalak takjub dan bengong sampai gadis itu hilang di tikungan.

Siapakah gadis cantik ini? Siapakah bidadari yang baru keluar dari hutan di kaki bukit Angsa itu? Perikah? Atau jin? Jelas semuanya bukan.

Yang benar gadis itu adalah manusia beneran tapi jangan coba-coba mengganggunya.

Dia adalah murid dari sebelas nenek sakti bekas isteri Dewa Mata Keranjang.

Kepandaiannya hebat sekali karena berbagai ilmu dimiliki.

Mulai dari Bhi- kong-ciang (Pukulan Kilat Biru) sampai kepada permainan senjata yang delapanbelas ragamnya itu.

Juga bagian-bagian tubuhnya mampu pula dikerjakan menjadi senjata ampuh.

Misalnya rambutnya itu, atau kuku jarinya yang panjang lentik namun dapat berubah menjadi tombak-tombak pendek yang amat berbahaya.

Dan belum lagi lengan baju atau saputangannya yang dapat menyambar seperti ular beracun.

Pendeknya, gadis ini benar-benar amat lihai.

Jangan coba-coba main dengannya kalau tidak perlu.

Sebab, di balik pandang4 matanya yang lembut namun dingin itu terdapat sinar berbahaya terutama buat kaum lelaki! Omong-omong, siapakah sesungguhnya gadis ini? Siapakah namanya? Bukan lain Kiok Eng.

Bagi para pembaca yang sudah mengikuti "Playboy Dari Nanking"

Tentu ingat siapa si cantik jelita ini.

Benar, dia adalah puteri Ceng Ceng dengan Fang Fang, cucu atau cucu murid dari Dewa Mata Keranjang bersama si Cambuk Kilat Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok.

Tapi karena Dewa Mata Keranjang mempunyai banyak isteri di mana mereka itu sebelas jumlahnya, cekcok dan sering berkelahi maka kakek ini sering kalang-kabut dan pontang-panting lari ke sana-sini.

Jarang ada yang akur dan suatu hari sebelas isterinya itu melabrak berbareng, membuat si kakek sibuk dan Dewa Mata Keranjang harus bekerja keras mengalahkan isteri-isterinya ini.

Dan karena ia memang berkepandaian amat tinggi dan di situ ada muridnya pula yang hebat, Fang Fang, maka sebelas isterinya kalah tapi dendam dan sakit hati mereka dibawa turun gunung.

Fang Fang sendiri akhirnya bertapa setelah petualangannya bersama gadis-gadis cantik menimbulkan "kecelakaan", hamil dan mereka itu juga melabrak dan mengamuk kepadanya.

Dan karena gadis-gadis itu tak mau disatukan dan masing-masing menuntut tanggung jawab, murid Dewa Mata Keranjang ini kelabakan maka Fang Fang akhirnya merobohkan bekas kekasih-kekasihnya itu dan mengasingkan diri.

Hampir seperti gurunya pemuda inipun mengalami kesulitan gara-gara wanita.

Tapi itu adalah kesalahannya, yang telah berani bermain-main api.

Dan karena di dalam petualangannya pemuda itu juga banyak menderita lahir batin, murid Dewa Mata Keranjang ini mengalami penyesalannya maka dia coba menyucikan5 diri dengan bertapa.

Lalu bagaimana dengan wanita-wanita yang dulu digaulinya itu? Mereka juga menghilang, kecuali satu, yakni CengCeng atau murid Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok ini.

Gadis ini lebih dulu hamil dan lahirlah puterinya yang bernama Kiok Eng itu, dipelihara dan dididik sendiri tapi akhirnya diambil alih oleh nenek gurunya, Dewi Cambuk Kilat Yan Bwee Kiok.

Tapi ketika berturut-turut muncul nenek-nenek yang lain, sepuluh isteri Dewa Mata Keranjang itu maka Kiok Eng tiba-tiba digembleng sebelas orang ini untuk menuntut balas atau sakit hatinya kepada Dewa Mata Keranjang, juga Fang Fang! "Aku tak ingin kehilangan kesempatan.

Biar kuturunkan ilmu-ilmuku kepada gadis ini.

Aku tak mempunyai murid!"

"Benar, aku juga, Ai Ping. Aku masih ingin membalas dendamku kepada guru dan murid itu. Awas mereka, akan kuturunkan semua ilmu-ilmuku kepada cucuku yang manis ini!"

"Dan aku akan mewariskan Sin-mauw-kang kepada Kiok Eng ini. Meskipun aku mempunyai murid tapi muridku itu entah pergi ke mana!"

Tiga nenek, yang berapi-api dan mengepal tinju bicara satu sama lain.

Nenek pertama adalah Ai Ping, isteri kedelapan dari Dewa Mata Keranjang.

Dan nenek kedua, yang bukan lain adalah Bhi Cu juga menimbrung dengan muka merah padam.

Nenek ini adalah nenek yang berpayudara besar dan dulu miliknya itu amatlah dikagumi Dewa Mata Keranjang.

Namun karena Dewa Mata Keranjang adalah laki-laki mata keranjang dan tetap juga dia mencari perempuan lain maka Bhi Cu menggigit jari ketika si kakek meninggalkannya, sepi dan merana.

Sedang nenek ketiga, yang bicara tentang Sin-6 mauw-kang (Ilmu Rambut Sakti) bukan lain adalah Sin- mauw Sin-ni yang mempunyai murid bernama Ming Ming, yang entah ke mana karena sejak marah-marah kepada Fang Fang gadis muridnya itu menghilang.

Dulu, nenek ini amat dikagumi rambutnya,- yang lebat dan harum.

Tapi karena lagi-lagi Dewa Mata Keranjang adalah pria hidung belang maka tetap saja Sin-mauw Sin-ni itu akhirnya dibuat sakit hati.

Dan kini, tiga nenek itu berkumpul.

Mereka sama-sama mendambakan seorang penerus yang akan membalaskan sakit hatinya kepada Dewa Mata Keranjang.

Dan karena kebetulan mereka juga sama-sama tak mempunyai murid, atau kehilangan murid maka tiga nenek ini menggembleng Kiok Eng dengan ilmu-ilmu mereka yang dahsyat, apalagi ketika berturut-turut susul-menyusul datang nenek-nenek lain yang juga pernah disakiti hatinya oleh Dewa Mata Keranjang itu.

"Heh-heh, lengkap sebelas orang!"

Sin-mauw Sin-ni menjeletarkan rambut, tertawa girang.

"bagus sekali, Bhi Cu. Kita dapat menggembleng murid kita ini setaraf Dewa Mata Keranjang. Kalau perlu, lebih!"

"Benar, aku ingin murid kita ini lebih hebat daripada tua bangka itu. Juga Fang Fang. Bocah itu memiliki kesaktian luar biasa di atas gurunya!"

"Tak perlu khawatir,"

Seorang nenek lain berkata, nenek ke enam.

"Fang Fang dan gurunya mengandalkan Im- bian-kunnya (Silat Kapas Dingin), Bhi Cu. Dan aku kebetulan bisa. Dewa Mata Keranjang pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku!"

"Dan aku Pek-in-kang (Pukulan Awan Putih),"

Seorang yang lain lagi berseru.

"Dan aku dapat menurunkan ilmu ini meng hajar si tua bangka!"7

"Dan aku mendapatkan Sin-bian Gin-kangnya (Ginkang Kapas Sakti),"

Bhi-kong-ciang Sia Cen Lin mengibas- ngibaskan kedua lengannya, berkerotok.

"Kalau kalian diwarisi Im-bian-kun dan Pek-in-kang maka aku ilmu meringankan tubuh itu, Bhi Cu. Kita dapat menurunkannya hingga senjata makan tuan. Biar tahu rasa Dewa Mata Keranjang itu, heh-heh!"

Semua berseri.

Ternyata masing-masing memiliki satu dari ilmu andalan kakek lihai itu, membayangkan betapa kakek itu akan penthalitan dihajar murid mereka.

Dan ketika benar saja satu demi satu menurunkan ilmu-ilmu itu, Kiok Eng bcrang-.kat remaja dengan kesaktian guru- gurunya maka gadis ini berkembarg menjadi seorang gadis luar biasa yang amat hebat.

Tak ada jago-jago kelas satu yang mampu menandinginya! "Hm, semua ilmu-ilmu kita telah kita berikan kepadanya.

Bagaimana kalau besok kita suruh ia turun gunung!"

"Benar,"

Bi Giok, nenek yang lain mengangguk.

"Aku telah selesai menurunkan ilmu Kiam-ciangku (Tangan Pedang), Sin-mauw Sin-ni. Besok ia kita panggil dan suruh turun gunung!"

"Dan aku membekalinya dengan gin-ciam dan granat tangan. Kalau ia tak mampu juga mengalahkan tua bangka itu maka ia dapat kembali dan selamat!"

Nenek bercodet, yang mukanya merah mengangguk-angguk.

Ia adalah Bi Hwa enci dari Bi Giok.

Dua nenek ini saudara sekandung dan mereka dulu sama-sama jatuh cinta kepada Dewa Mata Keranjang itu.

Tapi karena Dewa Mata Keranjang menyakiti hati mereka dan sama seperti yang lain mereka lalu menaruh dendam, kini berkumpul di situ maka semua mengharap agar si gadis mampu menyembuhkan luka "bakar"

Itu. Dan keesokannya Kiok Eng benar-benar dipanggil.8

"Kau,"

Bhi Cu mulai pembicaraan.

"Hari ini harus turun gunung, Kiok Eng. Bawa pakaian cukup dan cari dua musuh kami itu. Tangkap atau bunuh mereka!"

"Dan ingat,"

Sin-mauw Sin-ni meledakkan rambut.

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nama mereka adalah Dewa Mata Keranjang dan Fang Fang, Kiok Eng. Bawa kepala mereka ke mari dan jadikan tumbal untuk ketenteraman hati guru-gurumu!"

"Tapi pesanku jangan kaulupakan,"

Bhikong-ciang nenek Lin Lin memberi wewan-ti.

"Musuh-musuhmu amat lihai, Kiok Eng. Jangan sembrono atau memandang rendah. Berhadapan dengan kakek itu kau tentu menang, si tua bangka tentu sudah berkurang tenaganya. Tapi menghadapi muridnya kau harus waspada karena Fang Fang itu sudah lebih tinggi daripada gurunya!"

"Teecu akan mengingat baik-baik,"

Kiok Eng mengangguk.

"Dan teecu tidak gentar, subo. Akan teecu bawa kepala mereka itu. Tapi bagaimana bisa mengenali mereka karena seumur hidup teecu belum melihat!"

"Tak usah khawatir,"

Bhi Cu melempar sebuah gambar.

"Potret ini dapat kaujadikan pegangan, Kiok Eng. Kalau kau bertemu dengan orang tua itu maka dialah gambarnya!"

"Hm, dan Fang Fang?"

Gadis ini menyambar, melihat wajah seorang kakek gagah yang mulutnya tersenyum- senyum.

"Bagaimana dengan laki-laki yang satu itu, subo? Teecu tentu tak dapat menemukan kalau tidak tahu gambarnya!"

"Ibumu tahu,"

Dewi Cambuk Kilat tiba-tiba berkata.

"Minta potret laki-laki itu dari ibumu, Eng-ji. Ibumu menyimpan dan nanti diberi."

"Baik, kalau begitu kapan berangkat?"9

"Sekarang juga!"

"Hm, baiklah, subo. Tapi teecu harus menyiapkan bekal dan uang dulu."

"Bekal pakaianmu sudah cukup. Dan uang, eh... tak usah, Kiok Eng. Nanti di perjalanan kau akan mendapat sendiri!"

"Subo menyuruh aku mencuri?"

"Tak usah mencuri. Laki-laki nanti akan memberimu. Ingat pesan subomu Bhi Cu dan praktekkan nanti di tengah jalan!"

Sang gadis tertegun.

Sebenarnya ia merasa terkejut dan kaget juga ketika pagi-pagi dipanggil menghadap dan harus turun gunung.

Tapi ketika ia tak pernah membantah dan apapun kata guru-gurunya itu selalu diturut, hal inilah yang menyenangkan nenek-nenek itu maka ia agak terkejut juga ketika mendengar kata-kata gurunya Sin-mauw Sin-ni.

Nenek itu menyuruh ia mengingat-ingat pelajaran gurunya Bhi Cu dan ia mengerutkan kening.

Pelajaran yang mana itu, semuanya banyak.

Tapi ketika dua gurunya yang lain tertawa, Bi Giok dan Bi Hwa terkekeh maka ia memandang subonya Bhi Cu dan tiba-tiba nenek itu bangkit berdiri.

"Sudahlah, pamit kepada ibumu dulu dan nanti di luar kuberi tahu!"

Kiok Eng mengangguk.

Akhirnya ia memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, sebelas gurunya memandang dan semua rata-rata kagum.

Gadis ini telah berkembang menjadi wanita sempurna dan mereka mendecak melihat pinggul dan dada muridnya itu, penuh dan membusung.

Penuh tantangan, terutama bagi lelaki.

Dan ketika semua10 tersenyum dan saling lirik penuh arti, Kiok Eng berkelebat dan meninggalkan guru-gurunya maka Bhi Cu juga bergerak dan nenek lain berlompatan menunggu di leher gunung.

"Ingat, pesankan kepadanya untuk merobohkah setiap lelaki. Tekankan agar semua laki-laki di dunia bertekuk lutut di depannya!"

"Tentu,"

Nenek Bhi Cu mengangguk rahasia.

"Nanti akan kuberi tahu, Lin Lin. Dan jangan khawatir ia adalah murid kita yang baik!" ? Sebelas nenek itu menghilang. Mereka berkelebatan dan masing-masing mengintai di leher gunung. Di situlah nanti Bhi Cu akan mengetahui muridnya dan memberi "pelajaran"

Terakhir, tehnik atau akal menjatuhkan leIaki. Dan ketika nenek-nenek itu menghilang sementara Kiok Eng sudah pergi menemui ibunya maka Ceng Ceng, wanita ini, tampak tertegun dan terkejut mendengar kata- kata puterinya.

"Subo menyuruhku turun gunung. Aku akan pergi dan tenanglah ibu di sini. Aku hendak meminta gambar Fang Fang, laki-laki yang telah menyakiti hati ibu itu. Aku akan membunuhnya!"

Ceng Ceng terkejut, tiba-tiba menangis "Kau akan pergi? Kau diperintahkan subomu untuk membalas dendam, Kiok Eng?"

"Benar, ibu, dan kenapa kau menangis. Bukankah ini kaunanti-nantikan juga dan ditunggu-tunggu!"

"Oohh... tapi... tapi jangan bunuh musuhmu itu, Kiok Eng. Tangkap dan bawa saja ia ke mari!"

"Siapa, si Fang Fang itu ataukah Dewa Mata Keranjang."

"Fang Fang itu, Kiok Eng. Dialah yang kumaksud. Bawa11 ia ke mari dan jangan dibunuh!"

"Baik, dan subo menyuruhku meminta gambar laki-laki itu. Katanya ibu menyimpan."

Ceng Ceng tertegun.

Ia memandang puterinya dan dua pasang mata beradu, mata anaknya itu bersinar-sinar namun dingin, tajam dan menusuk.

Dan ketika ia tertegun karena pandang mata puterinya itu beku tak membayangkan apa-apa, bibir tersenyum tapi mata tetap dingin maka wanita ini bergidik dan entah kenapa ia merasa seram juga.

Mata anaknya itu seperti mata hantu betina! "Kiok Eng,"

Sang ibu akhirnya terisak, merangkul dan menahan tangis.

"Kau sekarang sudah dewasa dan cantik benar. Tapi kenapa kau begini dingin, nak? Tidak tampak rasa persahabatan sedikitpun juga pada sikapmu. Kau mengerikan!"

"Hm, subo mengajariku begini, ibu. Dan mereka semua setuju. Aku tak merasa apa-apa dan kupikir sikapku biasa. Ibu barangkali yang terlalu perasa."

"Baik, tapi kau tak akan memusuhi terhadap ibumu sendiri, bukan?" - "Eh, aneh. Kenapa aku harus memusuhi ibu."

"Bagus, terima kasih, nak. Dan selamat jalan.."

"Ibu belum memberikan potret orang itu!"

Sang puteri menegur.

"Mana gambar Fang Fang itu, ibu. Biar kucari dia dan kutemukan. Akan ku bekuk batang lehernya!"

Sang ibu terkejut.

Ceng Ceng tiba-tiba sadar bahwa permintaan puterinya belum dipenuhi.

Ia mengangguk dan menghela napas dalam.

Tapi ketika ia masuk dan mengambil segulung gambar, memberikannya kepada sang puteri maka puterinya tertegun melihat wajah12 tampan seorang pemuda, yang juga selalu tersenyum- senyum.

"Aih, tampan amat. Heran bahwa laki-laki tak bertampang jahat begini bisa dimusuhi ibu!"

"Hm,"

Sang ibu semburat merah.

"Mengukur orang jangan melihat tampangnya, anakku. Wajah tampan tak merupakan jaminan untuk menjadi orang baik-baik. Si Fang Fang itu juga begitu, ia musuh besar ibumu!"

Sang puteri mengangguk-angguk, tak berkomentar.

"Baik, ibu. Aku juga tahu dari subo. Hm, akan kucari si Fang Fang ini dan akan kuseret ia ke depan kaki ibu. Tapi sebelum berangkat bolehkah kutanya satu hal kepada ibu?"

"Kau akan bertanya apa?"

"Tentang ayahku, siapa dia dan di mana!"

Sang ibu tersentak.

Bagai disengat kalajengking tiba-tiba saja Ceng Ceng mundur.

Pertanyaan anaknya penuh tuntutan dan dia berhadapan dengan mata yang dingin tajam itu.

Mata puterinya yang seperti, hantu betina menusuk tajam, sang ibu tergetar.

Tapi ketika Ceng Ceng mengguguk dan menangis pedih maka anaknya itu ditubruk.

"Aduh, aku... aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, Kiok Eng. Ayahmu telah meninggal. Ia... ia dibunuh si Fang Fang itu!"

"Ah!"

Sang puteri terkejut, ganti berjerit.

"Ayah... ayahku dibunuh si Fang Fang ini, ibu? la... ia pembunuh ayahku?"

"Benar,"

Ceng Ceng tak dapat berbuat lain.

"Itulah sebabnya ia musuh besar ibumu, Kiok Eng. Tapi jangan ia dibunuh melainkan bawa saja ke mari. Biar... biar aku13 saja yang membalas sakit hati!"

"Tapi ia perlu dicincang. Ia membunuh ayah!"

"Aku saja yang mencincangnya. Tugasmu hanya menangkapnya dan bawa ia ke mari. Tak boleh lebih!"

Sang ibu tiba-tiba mencengkeram puterinya, membentak dan Kiok Eng terkejut melihat sikap ibunya ini. Sang ibu begitu marah. Namun mengira bahwa kemarahan itu adalah diakibatkan dendam terhadap musuh, teringat kematian suami maka gadis ini mengangguk.

"Baik, ia akan kubawa ke mari, ibu. Aku berjanji tidak akan membunuhnya. Tapi ijinkan nanti aku ikut mencincang kalau kau sudah melampiaskan sakit hatimu."

"Tentu, dan ingat pesan ibu, Kiok Eng. Kau hanya menangkap dan membawanya ke mari, tak boleh lebih. Kalau kau sampai mengganggu dan lecet sedikit saja maka aku akan membunuhmu!"

Sang anak terkejut.

Kiok Eng mendengar ibunya berkata demikian sungguh-sungguh dan tentu saja ia heran.

Tapi mengira bahwa lagi-lagi ibunya ingin membalas dendam dan menjadi orang pertama mencincang laki-laki itu maka gadis ini tersenyum dan mengangguk.

"Baik, ibu. Aku akan mengingat semua kata-katamu."
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Nah, pergilah kalau begitu. Doa ibu menyertaimu. Sekali lagi, tangkap dan seret dia ke mari, jangan dibunuh!"

Gadis ini mengangguk.

Satu ciuman diberikan kepada ibunya dan Ceng Ceng terisak memeluk puterinya ini.

Setelah belasan tahun hidup bersama tiba-tiba saja sekarang harus berpisah, ada rasa tak tega dan haru juga.

Namun karena ibu ini tahu betapa hebatnya anak gadisnya sekarang, kepandaian sebelas nenek sakti14 telah menyatu di tubuh puterinya itu maka Ceng Cengpun mengecup dan merelakan puterinya pergi.

"Pergilah, Eng-ji, dan selamat jalan...."

Sang puteri mengangguk.

Tanpa merasa berat atau haru gadis ini melangkah tenang keluar rumah.

Sikapnya biasa-biasa saja namun kini ada membayang pandang mata yang lebih dingin dan beringas lagi.

Ayahnya dibunuh.

Ia akan membalas dendam! Dan ketika Kiok Eng turun gunung sementara sang ibu memandang kepergiannya dengan air mata bercucuran, bermacam perasaan bergolak di hati wanita ini maka gadis itu menghilang dan lenyap di tikungan.

Ceng Ceng sendiri membalik dan berlari ke kamarnya, menutup pintu dan mengguguk di tempat tidur.

Dan ketika wanita itu tersedu-sedu dan perih serta lain-lain perasaan lagi menusuk hatinya, sesungguhnya ia tak dapat melupakan Fang Fang yang masih dicintainya maka anaknya sendiri sudah melanjutkan perjalanan dan nenek Bhi Cu tiba-tiba terkekeh berkelebat di depan muridnya itu.

"Heh-heh, tunggu sebentar, Kiok Eng. Ada yang masih harus dibereskan!"

Sang murid tidak terkejut.

Kiok Eng telah melihat bayangan gurunya itu dan diam-diam iapun tahu bayangan-bayangan gurunya yang lain, tersenyum mengejek dan tenang-tenang menghadapi gurunya yang ini, Bhi Cu yang terkekeh dan tertawa kagum.

Dan ketika gadis itu bertanya apalagi yang kurang maka nenek ini memandang pakaiannya dan terkekeh, menuding.

"Itu, kau harus merobahnya menjadi gadis kota dan modern. Tanggalkan itu dan salinlah dengan ini!"

Si nenek melempar sebungkus pakaian, membuat sang murid mengerutkan kening tapi gadis ini mengangguk.15 Seperti biasa iapun tak pernah membantah, apa kata gurunya itulah yang dia turut.

Dan ketika ia membalik dan mau berganti pakaian di belakang pohon, gurunya berseru tak usah maka gadis ini tertegun dan sedikit berubah.

"Apa?"

"Di sini saja. Tak usah ke mana-mana, Kiok Eng. Kau perempuan dan akupun perempuan. Buka, dan salin pakaianmu di sini, di depan gurumu!"

Gadis itu kemerah-merahan.

Ia sedikit jengah karena ia tahu bukan hanya gurunya itu yang ada di sini, masih ada sepuluh gurunya yang lain yang mengintai di balik semak-semak rimbun.

Namun karena ia tak pernah membantah dan hal inilah yang menyenangkan guru- gurunya, gadis itu memang selalu penurut dan baik maka tanpa ragu-ragu Kiok Engpun melepas pakaiannya dan satu demi satu ia membuang itu ke tanah.

Tapi ketika ia hendak melepas pakaian dalamnya dan sang guru mencegah, terkekeh berkata tak usah maka Bhi Cu berseru agar biar pakaian dalam itu melekat, kagum dan berseri-seri memandang bentuk tubuh muridnya yang bagus, indah.

"Heh-heh, mengagumkan, Kiok Eng. Dan mata lelaki pasti melotot melihat bentuk tubuhmu ini. Aduh, menggiurkan sekali. Kalah bentuk tubuhku di waktu muda!"

"Hm, sekarang apa yang dikehendaki subo. Dan kenapa subo-subo yang lain harus menyembunyikan diri!"

"Hi-hik, konangan kalian, Bi Giok. Murid kita telah tahu. Ayo, keluar dan terang-terangan saja!"

Sepuluh bayangan berkelebatan keluar.

Mereka itulah Bi16 Giok dan lain-lain, sepuluh nenek yang bersembunyi mengintai tadi.

Tapi ketika berbareng dari sepuluh bayangan itu juga menyambar sepuluh jarum-jarum halus, merah dan hitam berwarna-warni maka Kiok Eng membentak dan mengebutkan lengannya ke kanan kiri.

"Subo, kalian ini aneh sekali. Kenapa mengintai dan sekarang menyerang!"

Sepuluh nenek itu terkekeh.

Mereka kagum karena sepuluh jarum dipukul runtuh, tak-tik-tak-tik dan semua patah-patah disampok murid mereka ini.

Dan ketika mereka tertawa dan sudah berdiri berhadapan, tak dapat menyembunyikan rasa girang maka nenek Bi Giok berseru.

"Kiok Eng, kau hebat sekali. Sekarang kau sudah dapat menghadapi sepuluh serangan sekaligus dari kami!"

"Hm, kalian ini aneh-aneh, subo. Ada apa dan mau apa. Kenapa mengintaiku di sini."

"Hi-hik, kami ingin menyaksikan pelajaran yang diberikan subomu Bhi Cu. Kami ingin menonton. Ayo lihatlah subomu itu dan jangan pandangi kami!"

"Benar,"

Sin-mauw Sin-ni meledakkan rambut, juga tertawa gembira.

"Kami ingin melihat tontonan ini, Kiok Eng. Kau akan disulapnya menjadi gadis modern!"

"Hm, apa maksud subo. Aku tak mengerti...!"

"Lihatlah ke mari!"

Nenek Bhi Cu tiba-tiba berseru.

"Aku telah menyiapkan ini semua untukmu, Kiok Eng. Kenakan dan lihat baik-baik!"

Kiok Eng mengerutkan kening.

Ia melihat gurunya membuka bungkusan itu, yang tadi memang belum dibuka.

Dan ketika ia berturut-turut melihat ikat pinggang dan kacamata hitam, juga saputangan putih dan17 sepasang gelang emas maka ia tertegun melihat subonya itu terkekeh-kekeh mengenakan itu semua di tubuhnya.

"Hi-hik, pantas benar, Kiok Eng. Ah, cantik dan anggun! Dan ini, hmmm... giwang ini juga pas betul di telingamu. Aduh, menyala dan hebring!"

Nenek Bhi Cu tertawa-tawa.

Ia mengenakan semua itu di tubuh muridnya, kagum dan berseri-seri dan sepuluh nenek yang lain juga bertepuk tangan dan riuh.

Kiok Eng yang didandani gurunya tampak begitu hebat dan menggairahkan, lekuk-lengkung tubuhnya menonjol jelas namun Kiok Eng sedikit panas wajahnya.

Ia merasa seperti monyet yang akan disuruh menari, berada di tengah serombongan sirkus dan dialah primadonanya.

Tapi ketika semuanya selesai dan kacamata hitam itu dikenakan terakhir, ia disuruh berkacak pinggang maka sebuah cermin besar diperlihatkan kepadanya.

"Hi-hik... lihat, Kiok Eng. Lihat Apakah dandanan gurumu tidak manyala!"

Kiok Eng tertegun.

Di depan cermin, berkacak pinggang, muncullah seorang gadis lain yang luar biasa eloknya.

Itulah dia yang sudah disulap sang guru.

Cantik dan yahud.

Dan karena tak ada wanita yang tak senang akan kecantikannya sendiri maka Kiok Eng terkekeh dan otomatis bergaya, berputar melempar pinggul.

"Hi-hik, hebat sekali, subo. Aku sampai pangling dengan diriku sendiri. Aih, hebat dan benar-benar menyala!"

"Dan kaisarpun akan roboh melihat kecantikanmu. Heh- heh... tubuhmu sempurna Kiok Eng, kecantikanmu benar-benar cemerlang. Aduh, aku sendiri bisa tergila- gila kalau begini!"18 Kiok Eng tersenyum bangga. Ia berputar dan bagai peragawati berakting di cat-walk ia memamerkan kecantikannya. Sebelas gurunya terkekeh dan masing- masing bertambah kagum. Ada bakat berakting pada diri murid mereka ini, layaknya seorang artis. Namun ketika Bhi Cu meraih dan membuka kancing baju muridnya, menyuruh sang murid memperlihatkan belahan dadanya maka Kiok Eng terkejut dan agak likat juga.

"Eh, ini untuk penyempurna merobohkan lelaki. Buka dua kancing bajumu itu, Kiok Eng. Biarkan belahan dadamu tampak. Ini akan membuat lelaki bakal melotot!"

"Benar,"

Nenek yang lain mengangguk, masing-masing sudah mafhum akan kelemahan lelaki.

"Biarkan dadamu sedikit terbuka, Kiok Eng. Biarkan mata lelaki melotot kehijauan!"

"Tapi ini murahan..."

"Eh, siapa bilang? Berpakaian ada seninya, Kiok Eng. Semakin enak dipandang berarti semakin pintar dia. Nah, aku mengajarimu begini sebagai satu di antara kepandaian-kepandaian kami yang lain. Masalah murahan tergantung yang bersangkutan. Kalau kau tidak menjual diri tentu saja tidak murahan. Nah, biarkan saputangan ini melilit pula dan lihat betapa kecantikanmu semakin mempesona!"

Kiok Eng bersinar-sinar.

Ia telah diajari berpakaian ala kota dan itu menyenangkannya.

Mula-mula, ia berdebar juga dan agak likat.

Tapi ketika gurunya berkata bahwa nanti ada suatu kesenangan dan kenikmatan sendiri kalau sudah dipandangi lelaki, dia akan bangga dan jual mahal maka gadis ini tersenyum melihat lilitan saputangan yang sudah dibetulkan subonya itu, melingkar manis di lehernya yang jenjang.19

"Lihat, ekor saputangan ini harus di belakang, agar mudah berkibar kalau kau bergerak atau tertiup angin. Cara pasangnyapun tak boleh sembarangan. Bukankah kau semakin cantik dan senang?"

"Benar,"

Gadis ini tertawa.

"Kau hebat dan pintar sekali, subo. Aku kagum!"

"Hush, jangan berkata begitu. Kepintaranku tak akan banyak berguna kalau tidak karena kecantikanmu yang menonjol. Bayangkan bagaimana jika aku mendandani seekor beruk biarpun aku pintar!"

"Hi-hik, tentu buruk...!"

"Nah, itulah. Aku dapat mendandanimu seperti ini karena ditunjang kecantikanmu itu. Sekarang berjalan dan melengganglah!"

Kiok Eng tertegun, namun melenggang.

"Hei, jangan menoleh ke sana ke mari, Kiok Eng. Lenggang yang anggun harus kepala dikedikkan dan tidak melihat sana-sini!"

"Hm...!"

"Dan ayunan lenganmu itu, jangan terlalu melebar!"

Gadis ini tersipu, Ia menarik sedikit lengannya itu ketika dikritik, masih juga salah karena ada kesan kaku.

Dan ketika sang guru berseru agar bersikap luwes, tangan dan kaki berirama manis maka Bhi Cu terkekeh ketika muridnya sudah melangkah benar, lenggangnya memikat, pinggangnya patah-patah.

"Hi-hik, lihat, May-may. Adakah penari atau puteri istana yang mampu menandingi murid kita ini!"

"Hebat!"

Nenek May-may, si Dewi Rambut Sakti menjeletarkan rambutnya.

"Kiok Eng luar biasa dan20 mudah hapal, Bhi Cu. Murid kita berbakat. Aihh, ia bagai seekor harimau betina yang kelaparan. Heh-heh, akan diterkamnya setiap mangsa yang ada di depan!"

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul, dan itu dapat dipakai memikat si Dewa Mata Keranjang. Pasti roboh si tua bangka itu!"

"Apa?"

Kiok Eng terkejut, tiba-tiba menghentikan gerakannya.

"Aku disuruh memikat seorang tua bangka? Tak sudi, subo. Lebih baik tak usah!"

"Eh-eh, jangan membantah. Tanpa kaupikat si tua bangka itu pasti akan mendekatimu sendiri. Hayo, sekarang senyum dan pasang senjata itu untuk pelengkap merobohkan lelaki!"

Kiok Eng mengerutkan kening.

Ia masih tak dapat mengeluarkan senyum karena kata-kata tadi, bahwa ia disuruh memikat Dewa Mata Keranjang, seorang kakek- kakek.

Tapi ketika sebuah suara berseru lembut agar dia membayangkan wajah seorang laki-laki tampan, itulah suara subonya Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok maka ia teringat wajah Fang Fang dan tiba-tiba tersenyumlah gadis ini semanis-manisnya, senyum yang memikat namun pandang matanya berkilat-kilat dingin! "Hi-hik, aku akan tersenyum kepada siapa saja, subo.

Tapi semakin besar senyumku berarti semakin dekat Dewa Kematian terhadap orang itu!"

"Bagus., benar, ah, tepat sekali, heh..heh! Senyummu luar biasa mautnya, muridku. Aduh, tak sangka kalau di balik senyum itu kau menyembunyikan Giam-lo-ong (Dewa Kematian)!"

"Subo sendiri yang mengajariku begitu,"

Gadis ini berkata.

"Dan aku akan ingat selamanya, subo. Baik, apalagi yang harus kulakukan dan apalagi yang kurang!"21

"Heh-heh, tak ada. Cukup. Tapi ke sinilah sebentar kuberi minyak bulus!"

"Minyak bulus? Untuk apa?"

"Bodoh, ke sinilah, muridku. Minyak itu untuk merawat kulit terutama buah dada agar selalu kencang. Laki-laki maunya begitu, suka melihat yang kencang-kencang. Ke sinilah, kaukira minyak apa yang selama ini kuberikan kepadamu. Itulah minyak bulus!"

Kiok Eng tertegun.

Ia baru tahu sekarang bahwa kiranya minyak yang sering diusap-usapkan gurunya itu adalah minyak bulus.

Ia tak tahu itu dan mula-mula serasa ingin muntah, karena minyak itu agak amis.

Tapi ketika tahu khasiatnya dan kulitnya memang kencang, juga bagian tubuhnya yang tadi dipuji subonya itu maka ia tersenyum juga dan melangkah maju.

Sang subo menyusupkan tangannya ke balik bajunya dan seperti biasa sudah mengusap-usap miliknya itu, dibiarkan dan Bhi Cu terkekeh kagum melihat kekencangan kulit muridnya ini.

Dari atas sampai ke bawah terlihat kenyal dan kencang, kaum lelaki tentu melotot! Dan ketika ia tertawa selesai mengurut dada muridnya, hal itu sering dilakukan maka nenek ini membetulkan letak baju dan berkata biarlah gadis itu tak usah menutupnya rapat-rapat.

"Ingat, lelaki paling suka melihat bagian tubuh wanita yang mintip-mintip. Jangan diobral. Permainkan mereka dan jadikan dirimu sebagai biang keributan. Kalau sudah begitu, pergilah menghilang dan lihat dari jauh betapa mereka saling bunuh dan gontok-gontokan!"

"Hm, aku sebenarnya tak suka melakukan ini,"

Kiok Eng memprotes.

"Sepertinya wanita murahan saja, subo. Pelacur!"

"Hush! Bodoh dan tolol! Kau dilatih bukan untuk melayani22 atau menyambut pria, Kiok Eng. Kau dilatih untuk mempermainkan dan mengejek mereka. Tubuh dan kecantikanmu hanya sebagai alat. Robohkan mereka dan kalau sudah begitu tinggalkan. Ini perintahku!"

"Kenapa begitu?"

"Kurang ajar. Subo dan semuanya ini sakit hati gara-gara tingkah lelaki, Kiok Eng. Masa kau bertanya lagi. Lihat kami semua, lihat juga ibumu. Bukankah semua menderita karena tingkah lelaki? Nah, kami ingin kau membalaskan ini. Permainkan dan ejek lelaki habis- habisan. Tinggalkan mereka di kala haus dan mendambakan cintamu. Kau bukan wanita murahan atau pelacur karena kau tidak melayani mereka. Kau hanya menggoda, mempermainkan. Titik, itu saja. Mengerti?"

Gadis ini mengangguk-angguk.

"Dan satu lagi,"

Nenek Bhi Cu memperingatkan.

"Jangan kau jatuh cinta, Kiok Eng. Laki-laki mahluk jahat dan mereka itu keji. Tingkah lakunya mau menang sendiri, tindak-tanduknya selalu minta di atas wanita dan menginjak-injak harga diri. Kalau kau sampai jatuh cinta maka ini petaka besar bagimu. Ingat, jangan jatuh cinta!"

Gadis ini mengangguk-angguk lagi.

"Jelas?"

"Jelas, subo."

"Nah, pergilah. Kau boleh buktikan kata-kata subomu ini tentang lelaki. Goda dan permainkan saja mereka. Itu sudah cukup nikmat. Tak usah dilayani dan biarkan mereka mabok oleh kecantikanmu!"

"Baik, teecu sekarang boleh berangkat? "Berangkatlah, tapi..."

Seorang nenek lain meloncat,23 menyuruh tunggu. Dan ketika Kiok Eng menoleh karena itulah gurunya ke lima, nenek Bi Giok maka nenek ini berseru.

"Tunggu, ada sesuatu untukmu, Kiok Eng. Buku seni bercinta. Buku ini ingin kuberikan . kepadamu sebagai bekal saja. Baca dan kau akan mengenal semakin dalam tentang laki-laki!"

Gadis ini terkejut, Ia menerima dan merah mukanya karena buku itu ternyata buku dewasa, gambar-gambar- lelaki banyak terpampang sekaligus dengan ciri-cirinya.

Misalnya, lelaki tinggi besar sukanya begitu, sedang lelaki kecil kurus suka yang begini.

Dan karena di situ juga terdapat, dua belas macam shio atau bulan dari hari-hari kelahiran maka gadis ini ingin tahu juga meskipun sedikit jengah.

"Kau tak usah malu-malu. Bacalah. Berapa usiamu sekarang!"

"Delapanbelas..."

"Nah, kau sudah cukup matang, Kiok Eng. Kau sudah dewasa. Bersikaplah dewasa dan jangan malu-malu baca buku begitu. Toh bukan untuk diambil segi jeleknya melainkan segi positip dan keuntungannya. Lambat atau cepat kau pasti tahu juga. Daripada tahu secara salah lebih baik kami beri tahu dan mengarahkanmu secara benar. Nah, pergilah dan sekarang aku lega!"

Gadis ini mengangguk sekali lagi.

Untung, berkat didikan guru-gurunya yang serba bebas Kiok Eng tak mempunyai rasa malu berkepanjangan.

Ia dapat menguasai diri dan apapun akan disesuaikannya dengan cepat.

Gadis ini gampang beradaptasi.

Dan ketika ia mengangguk dan24 mengucap terima kasih maka iapun melenggang dan mulai turun gunung.

"Ingat,"

Seruan gurunya terakhir bergema.

"Dewa Mata Keranjang itu tinggalnya di Liang-san, Kiok Eng. Kalau kau ke sana dan ketemu tua bangka itu bunuh saja dia. Hati-hati terhadap muridnya yang lebih lihai!"

Gadis ini tersenyum mengejek.

Ia tak menoleh dan mengangguk dari kejauhan, melenggang namun tahu- tahu sudah turun dengan cepat.

Gerakannya gesit bak kijang betina.

Sekali dia melangkah maka pinggul pun naik turun dua kali.

Dan ketika ia lenyap di bawah kaki gunung, sebelas gurunya berseri dan puas mengangguk- angguk maka calon pengguncang sukma lelaki ini sudah keluar hutan di pagi yang indah itu.

Kiok Eng tidak berjalan cepat lagi melainkan kini ingin menikmati kicau burung di pagi yang segar itu.

Pipit dan gelatik bersahut- sahutan, kutilang juga berkicau riang hingga Kiok Eng tersenyum-senyum dan tertawa sendiri.

Tapi ketika ia mulai keluar hutan dan menginjak sebuah dusun kecil, di sini gerak-geriknya terlihat orang kampung maka tua dan muda tiba-tiba melotot, terutama kaum lelakinya.

"Lihat, lelaki itu matanya seperti kucing. Suka mencuri- curi pandang untuk akhirnya melahap rakus. Hati-hati dengan mereka ini, Kiok Eng. Biarkan mereka memandangimu tapi jangan sekali-kali dilayani. Kalau mereka kurang ajar bunuh saja, sikat"

Begitu seorang gurunya yang lain berkata.

Kiok Eng masih ingat nasihat ini baik-baik dan benar saja ia melihat semua mata lelaki baik tua maupun muda seperti kucing.

Mereka itu akan cepat-cepat melengos kalau ia balas memandang, menyergap dan melahap tubuhnya lagi kalau ia kembali menoleh ke arah lain.

Dan ketika hal itu dibuktikannya di kampung ini, dusun kecil itu maka25 bisik-bisik dan decak kagum terdengar di telinganya.

"Ck-ck-ck.... peri ataukah bidadari yang kulihat ini. Astaga, pinggulnya naik turun. Aduh, jakunku juga naik turun. Dan pinggangnya, uwihh... matik aku. Patah-patah bagai petikan yang-khim sorga!"

"Hm, dan aku kagum akan kemulusan tubuhnya itu. Aduh, lihat itu. Sebagian kakinya tersingkap. Matik aku, jantungku serasa terbalik!"

"Dan aku baru kali ini melihat leher sejenjang itu. Sst, lihat lehernya, kawan, seperti leher angsa. Aduh, sekali diperbolehkan mencium saja rela aku menukar dengan nyawaku!"

Kiok Eng tersenyum dingin.

Enam kakek-kakek, serta enam pemuda saling berbisik di tengah pematang.

Mereka menghentikan pekerjaannya untuk melihat dirinya yang lewat.

Semua menyatakan kagum dan ingin mendekat.

Tapi karena Kiok Eng acuh saja dan tak bakal menggubris, ingatannya mulai meluncur ke wajah tampan Fang Fang, musuh besarnya maka ia melenggang terus sampai akhirnya puluhan atau bahkan ratusan orang berdecak di luar rumah.

Masing-masing ingin melihat sang bidadari! "Huwadouh...

tobat, biyung.

Siapa yang lewat ini.

Ck-ck- ck....

cantik dan amat anggunnya.

Aduh, aku tiba-tiba mabok.

Tenaga mudaku serasa bangkit lagi!"

"Hi-hik, kau sudah loyo dan ompong, kakek Kun. Bicara macam apa kau ini. Lihat, kakimu menggigil dan lututmu dengkelen. Awas tongkatmu itu kalau jatuh."

"Brukk!"

Benar saja, seorang kakek renta terpelanting ketika tak sadar menyaksikan si jelita ini, ribut-ribut dan diketawai banyak perempuan karena dianggap sinting.26 Kaki sudah gemetaran begitu masih juga bilang serasa muda kembali, padahal ambruk dan roboh menimpa bale-bale bambu.

Dan ketika Kiok Eng menoleh dan geli juga, tertawa, maka kekehnya membuat si kakek terpaku dan takjub tak merasa sakitnya.

"Aduh tobat... merdu sekali suara tawanya. Ah, aku ingin kawin lagi!"

Orang sekampung tertawa bergelak.

Kiok Eng sendiri tiba-tiba merasa panas mukanya dan berkerut.

Apa bangganya dikagumi orang kampung! Dan ketika ia mendengus dan menggerakkan kakinya, tubuh berkelebat dan lenganpun mendorong mendadak tubuhnya melesat dan hilang dari tempat itu.

Maksud hati yang ingin menggoda mendadak berobah muak.
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kakek itu tua bangka sialan.

Dan ketika ia lenyap dan orang sekampung terbelalak, kaget, maka teriakan atau gaduh terdengar di sana-sini.

Kini ribut-ribut karena takut.

"Ah, ia siluman, Ia menghilang. Celaka, kita kedatangan kuntilanak...!"

"Benar, ia tiba-tiba terbang. He, lihat itu kawan-kawan, Ia melayang di atas pepohonan. Lihat.... lihat itu'"

Penduduk kampung gempar.

Semua tiba-tiba berteriak karena melihat Kiok Eng mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya di atas pohon-pohon tinggil Ia bergerak dengan amat ringannya bagai seekor burung garuda, bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepatnya.

Tapi ketika pemandangan itu hanya sekejap karena Kiok Eng sudah melompat turun dan lenyap di kejauhan sana, semua terbelalak dan pucat maka Kiok Eng puas biarpun disangka siluman, atau kuntilanak.

"Hi-hik, biar tahu rasa. Masa tua bangka macam itu mau kawin lagi!"27 Kiok Eng geli dan sudah meninggalkan kampung itu. Mula-mula ia panas karena ternyata kakek-kakek juga mengaguminya. Bah! Ia tak tahu bahwa justeru semua itu menunjukkan kepadanya betapa hebat daya tariknya. Kalau kakek-kakek sampai melotot apalagi yang muda, ini belum diketahui gadis itu karena maklum ia baru kali ini turun gunung. Tapi ketika semuanya itu merupakan pelajaran pertama dan ia mulai biasa, Kiok Eng meneruskan perjalanannya maka ia ke Liang-san dan siang itu ia sampai di kota kecil An-tien, perut tiba-tiba berkeruyuk karena lapar, pagi tadi ia belum sarapan.

"Hm, itu ada rumah makan bagus. Biar kumasuki."

Kiok Eng tidak ragu-ragu.

Begitu ia datang maka penghuni kotapun takjub, bengong dan terbelalak melihat gadis luar biasa cantiknya ini.

Seperti di kampung tadi maka semua lelakipun melotot.

Mereka terpana oleh gadis yang satu ini, decak dan siul kagumpun pecah.

Tapi ketika Kiok Eng tak perduli dan masuk ke rumah makan itu, lenggang dan kacamata hitamnya memikat semua perhatian maka seorang pelayan tergopoh dan jatuh bangun menyambut gadis ini.

"Huwaduh, selamat datang di rumah makan kami. Selamat siang! Kau mau makan apa, siocia, mau minum apa. Silahkan duduk dan ini meja kursi untukmu. Boleh pilih, di sudut atau di tengah. Mari.... mari, silahkan masuk!"

Kiok Eng melepas kacamata hitamnya.

Geraknya ini diikuti hampir oleh semua lelaki karena gerak ketika melepaskan kacamata itu bukan gerak sembarang gerak.

Kiok Eng menaikkan sikunya sedemikian rupa hingga belahan dadanyapun kian menonjol.

Itulah satu di antara kepandaian gurunya tentang ilmu memikat lelaki.

Gerak langkah atau tangan harus diatur sedemikian rupa,28 anggun dan harus penuh pesona.

Dan ketika benar saja ilmu dari gurunya itu dipraktekkan dan langsung berhasil, semua semakin takjub melihat wajah jelita yang gilang- gemilang ini maka dengan gerak atau gaya memikat kacamata itu diletakkan di sudut meja.

Kiok Eng telah memilih sebuah meja besar di tengah ruangan, sengaja agar semua lelaki dapat mengawasinya dari segala penjuru.

"Hm, aku mau makan dan minum yang paling enak. Apa hidangan restoranmu ini dan bolehkah kutahu."

"Aduh, ada bermacam-macam, nona. Tapi masakan yang paling enak adalah babi saos kecap. Dengan nasi yang hangat-hangat mengepul pasti nona bakal kenyang. Dan minuman kami, ha... buah leci berdaging tebal. Baru musim dan sedang ramai-ramainya!"

"Baik, coba kauhidangkan ke mari. Aku sudah lapar dan haus."

Sang pelayan berjingkrak, Ia gembira bukan main melayani seorang gadis secantik ini.

Seumur hidup, baru kali itulah ia mengalami.

Tapi ketika pesanan mulai datang dan leci atau nasi panas mengebul di sebuah penampan, sebuah cawan indah juga terletak di situ maka Kiok Eng tertegun karena bukan pelayan tadi yang mengantar melainkan seorang laki-laki gemuk setengah baya.

Sang pemilik restoran! "He-he, asam tak pantas melayanimu, nona.

Keberuntungan besar bagi rumah makanku menerima kehadiranmu.

Selamat datang, dan inilah pesanan nona.

Kutambah secawan anggur dari Kang-lam!"

Kiok Eng tersenyum.

Hampir ia ketawa melihat laki-laki gendut ini, terbongkok dan menyuruk-nyurukkan muka untuk melirik sebagian betisnya.

Hm, lelaki memang29 begitu, suka melihat yang mintip-mintip.

Benar kata subonya.

Dan ketika ia mengangguk mengucap terima kasih, senyum dan anggukan Kiok Eng membuat pemilik rumah makan seolah kejatuhan bulan maka laki-laki ini berkata.

"Nona, kalau kurang boleh minta tambah lagi. Gratis. Semua makanan dan minuman ini tak usah bayar. Aku gembira asal nona mau duduk di sini dua tiga jam saja!"

"Terima kasih,"

Senyum ini membuat pemilik restoran ha- ha-he-he.

"Aku kira cukup, lo-ya. Dan sekarang pergilah jangan ganggu aku."

"Baik... baik!"

Dan pemilik restoran yang kembali dan duduk di meja kasirnya, melotot dan berseri-seri melihat tamunya lalu menyaksikan Kiok Eng menghirup buah leci dengan tegukan nikmat.

Bibir yang menempel di cawan itu diikuti semua tamu restoran yang tak mampu mengalihkan perhatiannya.

Gerak-gerik Kiok Eng sungguh penuh daya pikat.

Dan ketika gadis itu meletakkan cawannya untuk meraih sumpit dan nasi panas, juga babi kecap yang ada di mangkok maka satu demi satu kaum lelaki meneguk dan menelan liurnya, melihat betapa dengan nikmat dan penuh gaya gadis itu menikmati hidangannya, tidak tergesa-gesa dan berkesan anggun.

Inilah mungkin seorang puteri, atau bidadari yang kebetulan turun ke bumi.

Dan karena kejadian ini memang amat langka dan jarang ada gadis sendirian masuk restoran, apalagi demikian cantik jelitanya maka seorang tamu tiba-tiba tersedak dan batuk-batuk karena sumpitnya menusuk tenggorokan.

"Aduh!"

Semua meledak.

Tawa yang tak dapat ditahan tiba-tiba pecah di sini, Kiok Eng menoleh dan tersenyum.

Tapi ketika gadis itu melanjutkan makannya kembali dan30 minum dengan tenang, membasahi lagi tenggorokannya maka seorang tamu tiba-tiba berdiri dan tak tahan menghampiri meja gadis ini.

Seorang laki-laki tigapuluhan tahun yang gagah dan cakap, punggungnya menyembul pedang.

"Maaf,"

Laki-laki ini membuka salam.

"Bolehkah aku berkenalan, nona. Siapakah nona dan dari mana. Aneh bahwa seorang diri kau berada di sini."

"Hm!"

Kiok Eng melirik, memberikan senyumnya. Teringat pelajaran gurunya bahwa mempermainkan laki- laki harus dengan senyum dan kesan genit.

"Kau siapakah, tuan gagah. Aku gadis biasa namaku Bu-beng (tak bernama). Silahkan duduk kalau mau duduk!"

"Ah, nona tak keberatan? Aku boleh berdua di sini?"

"Kursiku masih kosong, ditambah empat lagi juga tak apa!"

"Ah, ha-ha. Nona benar-benar terbuka. Terima kasih!"

Dan duduk menyambar kursi di depan Kiok Eng, berseri- seri segera laki-laki ini memperkenalkan dirinya- "Aku Wong Sin Kiam, seorang kelana yang kebetulan beberapa hari ini tinggal di An-tien.

Dan karena tertarik melihat nona yang seorang diri maka aku ingin kenal dan terima kasih bahwa nona menyambut baik.

Aku merasa nona bukan gadis sembarangan, tentu orang kang-ouw atau malah pengawal rahasia istana yang baru!"

"Hm, aku orang biasa-biasa. Dan pedangmu itu, ah., tentu kau punya nama julukan Wong-enghiong. Siapakah kau dan kenalkah kau dengan orang-orang berkepandaian tinggi di dunia kang-ouw ini!"

Kiok Eng memancing, tiba-tiba ingin mempergunakan tenaga orang ini untuk menangkap Dewa Mata Keranjang! Kalau ada orang lain yang dapat disuruh alangkah baiknya31 kalau dia tinggal menonton saja.

Biarlah dia coba-coba.

Dan ketika Kiok Eng bersikap manis dan sikapnya ini memancing kesombongan lawan, laki-laki itu menepuk dada maka dia tertawa memperkenalkan nama julukannya.

"Aku Si Pedang Kilat yang cukup punya nama di selatan ini. Aku banyak merobohkan musuh-musuh tangguh, pedangku cukup teruji. Kalau nona tanya orang-orang terkenal di dunia ini tentu saja aku tahu. Sebut saja mereka itu satu per satu. Ada Si Codet Mata Tunggal, Harimau Hitam dan beberapa yang lain lagi yang sudah pernah kurobohkan! Apakah nona ada persoalan dengan mereka? Jangan khawatir, aku dapat membantu!"

"Hm, aku tak mengenal nama-nama ini,"

Kiok Eng mengerutkan alis, memang belum pernah dengar.

"Apakah mereka itu tokoh-tokoh berkepandaian tinggi? Bagaimana kalau misalnya dengan Dewa Mata Keranjang atau muridnya yang bernama Fang Fang itu?"

"Apa? Dewa Mata Keranjang?"

Wong Sin Kiam terkejut, kaget.

"Ah, kakek itu tak masuk hitungan, nona. Ia sekarang tak setenar dulu. Sekarang yang ditakuti adalah orang-orang yang kusebutkan tadi. Dan namaku Si Pedang Kilat jauh melejit di atas semuanya itu!"

"Hm, tapi baru kali ini aku mendengar namamu,"

Kiok Eng berterus terang.

"Kusangka yang ditakuti orang itu adalah Dewa Mata Keranjang dan muridnya."

"Wah, dua orang itu sudah tak kedengaran lagi namanya. Ngumpet! Dewa Mata Keranjang kakek-kakek gaek dan tentu ia sekarang sudah loyo, atau mungkin malah mati. Apakah nona mencari kakek ini? Ada urusan apa?"

"Hm, aku ingin menangkapnya. Apakah kau berani!"32 Laki-laki ini tertegun. Sekilas wajahnya berubah tapi segera dia tertawa lebar. Dan ketika ia mengangguk dan menjawab tentu saja bisa, apa yang ditakuti dari kakek tua itu maka dia menepuk pedangnya.

"Tidak sombong, tapi kakek macam Dewa Mata Keranjang itu hanya namanya saja yang mengerikan. Dulu memang dia terkenal, menggetarkan. Tapi karena kini tentu sudah tua renta dan tinggal kulit membalut tulang maka aku tak keberatan kalau menangkapnya untuk nona. Tapi maaf? apa imbalannya!"

"Hm, kau minta apa?"

"Aku, he-he.... maaf, nona. Aku sendiri kebetulan masih lajang dan sendiri. Apakah nona, maaf.... juga masih sendiri?"

"Hm, kau menghendaki diriku?"

Kiok Eng tiba-tiba terkekeh, langsung mengerti.

"Baik, kau akan mendapatkannya, Wong-enghiong. Tapi bagaimana kalau kau gagal!"

"Wah..!"

Laki-laki ini hampir bersorak.

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak mungkin gagal, nona. Kalau gagal biarlah kepalaku menggelinding!"

"Baik, tapi apakah kau tahu di mana kakek itu berada?"

Kiok Eng mencoba.

"Tentu saja, dia di Liang-san. Aku tahu."

Kiok Eng mengambil kacamatanya.

Tiba-tiba dia tak ingin banyak bicara karena ia ingin segera membuktikan.

Kalau laki-laki itu tangguh tentu tak akan gagal.

Tapi karena belum tahu sampai di mana kelihaiannya maka suatu rencana tiba-tiba timbul, yakni dia akan menjajal kepandaian laki-laki ini.

Juga timbul ide bahwa sebaiknya ia mempergunakan tenaga orang-orang kang-ouw untuk33 menggempur Dewa Mata Keranjang.

Dengan kecantikannya tentu mudah baginya memikat para pendekar atau orang-orang kang-ouw itu.

Dan untuk pertama kali biarlah dia main-main dulu dengan Si Pedang Kilat Wong Sin Kiam ini.

Kalau ia lihai, bolehlah dijadikan kawan.

Kalau tidak, lebih baik ditendang dan cari lain! Dan ketika Kiok Eng berdiri dan berseri-seri memandang laki-laki ini, Wong Sin Kiam tertegun maka gadis itu mengenakan kacamatanya kembali.

"Wong-enghiong, coba kaubuka dan ambil kacamataku ini. Kalau dapat maka berarti kau pantas menjadi pendampingku. Kalau tidak kau harus menepati janjimu dan coba kubuktikan bagaimana kau menggelindingkan kepalamu!"

Laki-laki ini terkejut.

Ia tadinya mengira Kiok Eng mau buru-buru mengajaknya ke Liang-san, hal yang menggirangkan hati karena segera ia dapat berduaan dengan gadis ini.

Di situ tak leluasa baginya untuk merayu atau bercumbu, banyak para tamu.

Tapi begitu Kiok Eng menantangnya dan ia rupanya akan diuji, tentu saja mudah baginya maka laki-laki she Wong ini berdiri dan tertawa bergelak.

"Nona, kau lucu sekali. Mengambil dan membuka kacamatamu? Ah, gampang. Sekarangpun aku bisa... wut!"

Dan lelaki she Wong yang bergerak dan terus memberi tahu tiba-tiba menjulurkan tangannya menyambar kacamata Kiok Eng.

Tapi Kiok Eng bergerak lebih cepat.

Gadis ini mengelak dan terdengar tawa di sana-sini ketika sambaran Wong Sin Kiam itu luput, tertegun tapi menyambar lagi namun untuk kedua kalinya lagi gagal.

Kiok Eng tetap menghindar lebih cepat.

Dan ketika Si Pedang Kilat terkejut karena tawa semakin riuh, orang-orang di restoran mempermalukannya mendadak34 laki-laki ini melompat dan kedua tangannya bergerak menubruk Kiok Eng.

Kacamata itu disambar.

"Nona, awas sekali ini. Kau pasti kena! Kiok Eng tersenyum mengejek, Ia melihat orang penasaran dan tiba-tiba saja kekecewaannya muncul. Gerakan Si Pedang Kilat ini dirasa lamban, kiranya besar mulut saja tak sebanding kenyataannya. Dan ketika ia ingin mempermainkan dengan mendengar sorakan lebih riuh, biarlah laki-laki itu malu maka dengan Sin-bian Gin-kangnya mendadak Kiok Eng lenyap dan sebagai gantinya ia menyambar dan menyodorkan sebuah sumpit di tangan laki-laki she Wong itu.

"Kena!"

Teriakan atau bentakan ini disusul ke-tawa Wong Sin Kiam.

Sebuah benda hitam disambar dan ia mengira kacamata, meskipun terkejut oleh gerakan Kiok Eng yang hilang.

Tapi begitu sorak dan tepuk tangan meledak di situ, ia melihat dan tertegun bahwa yang ditangkap adalah sebatang sumpit maka laki-laki ini mendengar tawa Kiok Eng di belakangnya.

Tidak, kau bukan menyambar kacamataku, - orang she Wong.

Sayang sekali kau salah!"

Laki-laki ini membalik.

Tiba-tiba ia terbelalak dan merah mukanya bahwa hal gampang itu tak dapat dilakukannya.

Ia terlanjur bicara besar namun kacamata tak berhasil direbut.

Jangankan merebut, menyentuh saja tidak! Dan ketika ia malu dan sadar bahwa seorang gadis berkepandaian amat tinggi berada di depannya, ia tak tahan mendengar sorak dan tepuk tangan riuh-rendah lagi mendadak ia berkelebat dan keluar restoran.

"Nona, aku mengaku kalah. Kau lihai. Biarlah aku pergi dan nanti kita bertemu lagi!"35

"Heii..!"

Pemilik restoran tiba-tiba berteriak, mengejar.

"Kau belum membayar makananmu, Wong-enghiong. Mana itu dan berilah dulu!"

Laki-laki ini menoleh, Ia gusar namun melihat Kiok Eng di situ, merogoh dan melempar sekeping uang emas untuk dilontarkan ke pemilik rumah makan ini.

Dan ketika uang itu menyambar tenggorokan dan Kiok Eng terkejut melihat laki-laki itu bakal roboh, uang tentu akan membinasakan pemilik restoran ini maka Kiok Eng menyambar sumpit kedua dan dengan kecepatan luar biasa ia menimpuk atau membentur uang emas itu.

"Tring!"

Uang itu jatuh di tanah.

Si laki-laki gendut terkejut, mukanya pucat karena jelas ia tahu apa yang akan terjadi.

Nyawanya telah diselamatkan gadis ini.

Tapi ketika ia membungkuk dan mengambil uang emas itu, menyeringai, ia tak mengucap terima kasih atau berkata apa-apa, malah mengutuk atau mengumpat si laki-laki tadi.

"Keparat, kurang ajar. Sudah makan dan minum masih juga mau membunuh!"

"Hm,"

Kiok Eng membalik, kebetulan juga tak butuh ucapan terima kasih.

"Kau sudah selamat, lo-ya, seharusnya kau bersyukur. Apakah aku juga harus bayar atau tidak seperti kata-katamu tadi!"

"Ah-ah.. tak usah. Tapi nona tentunya mau menepati janji pula untuk tinggal di sini dua atau tiga jam lagi!"

"Siapa yang berjanji?"

Kiok Eng tertawa mengejek.

"Yang bilang adalah kau, setan gendut. Bukan aku. Nah, aku tak mau kaukatakan macam-macam dan terima kasih kalau kau benar-benar memberi gratisan. Barangkali36 sepadan dengan pertolonganku tadi!"

"Ya-ya, aku tak akan menagih. Tapi apakah nona benar- benar mau pergi!"

"Sangkamu aku harus menjaga rumah makanmu ini? Phuih, hati-hati kau bicara, gendut. Atau nanti ada sumpit menusuk tenggorokanmu!"

Pemilik restoran ini menyeringai, Ia tentu saja tahu bahwa gadis yang disangka puteri istana ini kiranya adalah gadis kang-ouw yang amat lihai, Ia tentu saja tak berani main-main.

Dan ketika Kiok Eng membalik dan bergerak pergi, sekarang para lelaki tak berani mengganggunya karena si cantik dapat menjadi berbahaya maka dengan tenang dan lenggang memikat Kiok Eng meninggalkan rumah makan ini.

Bisik-bisik tetap ada.

Kaum lelaki juga memandangi tubuhnya dengan seperti biasa, kagum, tapi juga gentar.

Namun ketika gadis ini tiba di jalan dan akan meneruskan langkahnya mendadak sebuah kereta indah berderap dan tepat sekali berhenti di depannya, diiring belasan penunggang kuda yang tegap dan gagah-gagah.

"Siocia, kami utusan Hung-wangwe. ada undangan untukmu agar sudilah datang ke tempatnya. Ini kereta untukmu!"

"Benar,"

Belasan penunggang kuda berlompatan turun, membungkuk memberi hormat.

"Hung-wangwe mengundangmu, siocia. Dan kebetulan akan mengajakmu bicara tentang Dewa Mata Keranjang pula. Barangkali siocia tertarik!"

Kiok Eng tertegun.

Kalau orang tidak bicara tentang nama yang satu ini tentu dia akan meneruskan lenggangnya lagi.

Kiok Eng sengaja ingin membuat jantung lelaki naik turun melihat kecantikannya.

Kalau37 perlu ia akan membuat geger di mana-mana, di istana sekali pun! Tapi begitu mendengar undangan Hung- wangwe dan kereta indah itu dipersiapkan untuknya, padahal ia tak kenal atau tahu siapa Hung-wangwe ini tiba-tiba jiwa petualangan gadis ini muncul.

"Baik,"

Kiok Eng tertawa manis, langsung memasuki kereta. Tidak takut-takut atau gentar! "Aku memenuhi undangan kalian, pengawal. Bawa aku ke Hung-wangwe dan biar kurasakan bagaimana nikmatnya berkereta indah!"

Belasan pengawal kagum.

Mereka tentu saja kagum melihat keberanian gadis ini, juga kecantikannya yang luar biasa.

Tapi ketika mereka menyeringai dan saling pandang dengan yang lain, sais sudah tertawa dan melarikan keretanya maka Kiok Eng membuat bengong pemilik rumah makan dan orang-orang lain yang ada di situ.

"Gampangan! Gadis itu mudah sekali diajak kencan. Aih, beruntung Hung-wangwe yang telah mendapatkannya. Kenapa tadi aku tak melakukan seperti itu'"

"Wah, kau tak memiliki kereta atau pengawal, Put-loya. Kau hanya memiliki perut gendut dan sekedar masakanmu yang enak itu. Kau bukan hartawan!"

"Ha-ha, benar. Aku orang biasa-biasa saja. Aih, beruntung Hung-wangwe itu yang berkedudukan dan kaya-raya!"

Pemilik restoran menepuk-nepuk kepalanya sendiri penuh mawas diri. Ia tak menyalahkan Hung-wangwe lagi karena kedudukannya kalah jauh. Dia kalah martabat dan kaya raya. Padahal wanita-wanita cantik biasanya mudah "disenggol"

Dengan semuanya ini, harta dan kedudukan.

Dan ketika ia masuk kembali sementara38 tamunya bubaran membicarakan itu, Kiok Eng tersenyum-senyum di dalam kereta maka tibalah ia di sebuah gedung besar berhalaman luas.

Kereta berhenti dan di sini belasan penunggang kuda juga turun, mereka berlompatan dan membungkuk ketika gadis itu membuka tirai.

Selama beberapa menit Kiok Eng telah merasakan empuknya menaiki kereta indah.

Bantalan tempat duduknya tak kalah dengan Merci 300 E, menthul- menthul.

Namun ketika sais membuka pintu dan ia dipersilahkan turun, Kiok Eng melompat dan berkacak pinggang maka sebelas pengawal kagum karena gadis itu bagai seorang ratu saja.

Jumawa, namun anggun' "Mari..mari, siocia.

Selanjutnya mereka ini akan mengantarmu ke dalam!"

"Hm, kupikir cukup di sini saja. Suruh Hung-wangwe itu keluar dan menyambut'"

"Apa?"

"Eh, bukankah aku tamu undangan? Tuan rumah yang tahu hormat justeru harus sudah menyambutku di sini, pak tua. Atau aku pergi dan nanti tak akan datang lagi!"

"Ah-ah, jangan begitu!"
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pengawal berkumis tebal berseru, dia rupanya tahu keadaan.

"Baiklah aku ke dalam, nona. Silakan tunggu dan sebentar saja'"

Kiok Eng tak menjawab, Ia tenang-tenang memutarkan pandangannya ke segala penjuru.

Rumah ini besar dan luas, halamannya penuh rumput hijau dan segar-segar.

Mawar dan anggrek warna-warni menggelantung indah di pot-pot bunga.

Sungguh nyaman sekali.

Tapi belum ia menikmati semuanya tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan seorang laki-laki berusia enampuluhan tahun muncul, tersenyum dan bertepuk tangan.

Di kiri kanannya tampak beberapa wanita cantik mengiringi, pakaiannya serba39 indah, gemerlapan! "Ha-ha, mari nona....

silahkan masuk dan perkenalkan aku, Hung Ji Bak.

Kita dapat bicara tentang urusan yang sama di dalam.

Mari...

mari masuk dan inilah pelayan- pelayanku!"

Kiok Eng tertegun.

Ia gemas juga karena lagi-lagi seorang tua bangka dihadapi, setelah tadi agak segar dengan munculnya si orang she Wong, yang sayang besar mulut itu.

Tapi karena Dewa Mata Keranjang dibawa-bawa, inilah yang membuat dia menurut maka meskipun mendongkol mau juga Kiok Eng maju.

Nasihat atau kata-kata subonya terngiang.

"Bandot-bandot tua sebagian besar doyan sekali mencari daun-daun muda, Kiok Eng. Kalau kau kebetulan menemukan mereka dan ingin mempermainkannya maka obrak-abrik sajalah harta bendanya. Mereka itu mengandalkan kekayaan dan pengaruhnya. Nah, kalau bertemu dengan mereka maka buatlah kekacauan di mana harta bendanya kauceraikan. Kalau perlu, jungkir balikkan bandot tua ini sampai lupa anak bini. Mereka itu laki-laki tua yang rakus dan tak tahu diri!"

Kiok Eng mengangguk-angguk.

Sekarang tiba-tiba ia berhadapan dengan satu di antara type-type lelaki yang pernah diceritakan gurunya.

Lihat pelayan-pelayan itu, masa begitu cantik dan berpakaian indah.

Tentu gundik atau selir-selirnya.

Dan ketika Kiok Eng tertawa tapi Hung-wangwe mengira tawanya adalah untuk membalas sambutannya maka dengan tergopoh dan buru-buru hartawan she Hung ini menuruni anak tangga dengan cepat.

Kiok Eng terkejut karena gerak kaki hartawan itu demikian ringan dan cekatan.

Sekali lihat tahulah dia bahwa Hung-wangwe ini rupanya seorang ahli silat, di balik pakaian hartawannya! Dan ketika Kiok Eng tertegun40 dan berhenti, tuan rumah sudah di depannya maka Hung-wangwe tertawa merangkap kan lengan.

Jilid II "SELAMAT datang, nona. Aku Hung Ji Bak sungguh kagum akan keberanianmu. Mari masuk, kita dapat bicara lebih enak dan tidak didengar orang lain!"

"Nanti dulu,"

Kiok Eng tertawa, kacamata sengaja dibuat sedikit miring, gaya.

"Aku belum tahu siapa dirimu, wangwe. Bagaimana tiba-tiba kau menyambutku sedemikian luar biasa dan ramah. Apakah tak ada udang di balik batu."

"Ha-ha, nanti kau akan mengenalku di dalam. Dan masalah sambutan, wah., siapa pun yang mencari Dewa Mata Keranjang adalah sahabatku. Mari masuk, tak perlu khawatir dan ragu karena aku bukanlah musuh!"

"Hm, musuhpun aku tak takut,"

Kiok Eng mengejek, tawa dan gayanya masih memikat.

"Kalau kau berani main- main tentu menyesal nanti, Hung-wangwe. Baiklah, kita ke dalam dan terima kasih!"

Hung Ji Bak tertawa bergelak.

Baru kali' ini seumur hidupnya dia bertemu dengan seorang gadis yang begitu cantiknya dan luar biasa.

Sikapnya memang tidak pernah takut dan hartawan ini percaya.

Seorang yang sudah berani mencari Dewa Mata Keranjang tentu bukanlah orang main-main, dia percaya itu.

Dan ketika dia mempersilahkan gadis ini dan Kiok Eng mengikutinya, sama sekali tidak membalas hormatnya tadi maka kekaguman sang hartawan menjadi bertambah karena Kiok Eng melangkah begitu tenang.

Dan hebatnya, ini yang membuat Hung-wangwe tak berkedip, adalah41 pinggul dan bentuk dada si jelita ini.

Setelah begitu dekat hartawan ini melihat sesuatu yang amat luar biasa dari gadis ini.

Ia sampai lupa menanya nama.

Berjalan beriringan begitu saja rasanya hati tuanya bergetar-getar.

Gadis di sebelahnya ini benar-benar penuh pesona.

Namun karena ia maklum bahwa tamu satu-satunya ini bukanlah gadis sembarangan, ia tak boleh gegabah maka barulah setelah sama-sama duduk ia menanyakan nama, dan Kiok Eng tersenyum.

"Nama bagiku tidaklah berarti. Bagaimana kalau kau panggil saja aku Bu Beng Siocia."

"Bu Beng Siocia (Gadis Tak Bernama)?"

"Ya, bukankah itu juga nama? Sebut saja aku begitu, wangwe. Dan sekarang siapa kau."

"Ha-ha, luar biasa. Sungguh luar biasa. Baru kali ini aku. menemui seseorang yang begitu menariknya. Baik, aku tahu kau menyembunyikan diri. nona. Tapi tak apa, nanti juga kau akan berterus terang. Aku akan menghilangkan kecurigaanmu dengan menceritakan siapakah sebenarnya aku. Baik, kupikir kau harus tahu ini. Hm, kita sebaiknya bicara empat mata"

Hartawan itu menoleh kepada pelayan atau dayang-dayangnya, bertepuk dan menyuruh mereka masuk dan barulah dia memandang gadis ini lagi. Lalu ketika dia tersenyum dan bersinar- sinar, penuh kagum maka hartawan ini berkata, menarik napas dalam.

"Aku adalah sahabat Gok-ciangkun, barangkali kau tahu ini. Dan kalau nona pernah mendengar nama ini maka tentu siapa dia dan siapa aku tak perlu kuceritakan panjang lebar."

"Hm, Gok-ciangkun (panglima Gok)?"

Kiok Eng mengerutkan kening, menggeleng.

"Aku tak kenal siapa dia. Dan di mana dia tinggal."42

"Dia sekarang di akherat, tidak tinggal di bumi lagi."

Hartawan ini tiba-tiba gelap, mukanya keruh.

"Kalau kau tak tahu ini agaknya aku 'harus bercerita panjang lebar, nona. Rupanya kau baru turun gunung!"

"Hm, benar,"

Kiok Eng tak malu-malu.

"Aku baru turun gunung, wangwe. Tapi bukan berarti tak tahu apa-apa. Kalau Gok-ciangkun itu orang terkenal tentu aku tahu. Tapi kalau dia hanya kurcaci murahan tentu saja tak perlu dan tak mungkin aku tahu!"

Hartawan ini tertawa.

Dia tiba-tiba melihat gadis cantik ini tersinggung.

Kiok Eng membalasnya dan berkata memerahkan telinga.

Namun karena bukan maksudnya untuk mengejek atau merendahkan gadis ini, sebagai gadis yang baru turun gunung maka hartawan itu tak marah dan bahkan tertawa lebar.

"Nona, aku minta maaf kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu. Aku tak bermaksud begitu. Yang kumaksudkan adalah bahwa karena agaknya kau baru turun gunung maka nama ini tak kaukenal tapi guru atau orang tuamu pasti kenal. Baiklah, bagaimana kalau dengan Thai-tai-jin ataupun Lauw-taijin, keduanya juga sudah sama-sama meninggal."

"Hm, kau maksud bekas pemberontak-pemberontak itu? Aku kenal, meskipun hanya mendengar namanya. Guruku bersahabat baik dengan mereka!"

"Ah, nona mengatakan guru nona bersahabat baik dengan mereka? Apakah So Yok Bi atau Ok-tu-kwi?"

Kiok Eng terkejut sejenak. Dia kelepasan bicara dan tuan rumah terbelalak memandangnya. Tapi mendengar ia dikira murid So Yok Bi atau Ok-tu-kwi, dua iblis binal dan pemabok yang tentu saja didengar itu maka ia tertawa mengejek.43

"Orang macam mereka mana pantas menjadi guruku? Sudahlah, Setan Pemabok dan isterinya itu tak ada hubungannya denganku, wangwe. Lagi pula mereka sudah mampus. Masa aku berguru pada orang mati!"

Hung-wangwe balik terkejut.

Tiba-tiba ia tertawa sadar akan kebodohannya ini.

Benar, mana mungkin So Yok Bi dan Ok-tu-kwi itu menjadi guru gadis ini.

Mereka sudah mati.

Dan ketika ia tertawa menutupi rasa malunya, muka semburat merah maka hartawan ini berkata, diam-diam berpikir kalau begitu -siapa guru gadis- ini.

"Benar, aku salah menebak, nona. Tapi tak apalah, kau memang betul. Mana orang mati danut menjadi guru orang hidup. Wah, tololnya. Aku sadar dan sekarang terbuka hatiku bahwa kau banyak tahu tentang orang- orang yang kusebut tadi!"

"Hm. lanjutkan bicaramu. Kenapa dengan mendiang Thai-taijin dan Lauw-taijin itu."

"Gok-ciaiigkun adalah bawahan dua orang ini. Dan karena aku sahabatnya maka nona tentu mengerti siapa kiranya aku."

"Bekas pemberontak?"

"Bukan, aku tak pernah memberontak. Kalau mereka kau sebut pemberontak maka gurumupun yang katanya sahabat Thai-taijin tentu juga disebut pemberontak!"

"Hm, kau betul,"

Kiok Eng melihat tuan rumah tertawa, tak perduli.

"Tapi apa maksudmu sekarang mengundang aku, wangwe. Katakan terus terang dan biar kulihat."

"Aku ingin bekerja sama denganmu mencari Dewa Mata Keranjang. Dan karena ini pekerjaan berbahaya maka terus terang aku tak berani sendirian. Aku ingin mencari kawan!"

"Hm, tak jelas bagiku kenapa kau men cari kakek itu. Bukankah kau tak pernah bermusuhan dengannya."44

"Benar, tapi kematian sahabatku Gok-taijin adalah juga disebabkan kakek ini, nona. Dan aku ingin membalas dendam!"

"Nanti dulu, seingatku Dewa Mata Keranjang tak pernah membunuh orang tak terkenal!"

"Benar, Kematian sahabatku bukanlah karena kakek ini, nona, melainkan oleh perbuatan muridnya yang lihai. Kau tentu kenal Fang Fang sebagai murid Dewa Mata Keranjang. Tapi karena kakek itu adalah gurunya maka kuanggap sama saja. Kakek itu juga harus bertanggung jawab!"

"Hm, kalau begitu musuh utamamu adalah Fang Fang."

"Benar, tapi"

Hartawan ini semburat, mukanya lagi-lagi merah.

"Mencari Fang Fang adalah jauh lebih sukar daripada gurunya, nona. Dan aku berpikir siapa dulu yang gampang ditemukan itulah yang kucari."

"Atau karena laki-laki ini lebih lihai daripada gurunya?"

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona tahu?"

"Hi-hik, sejenak bicara ini saja segera aku tahu benak licinmu, wangwe. Kau sengaja mencari yang lemah dulu untuk ditikam, baru setelah itu yang kuat. Tak usah bohong. Dan kau tentu hendak minta aku dulu menghadapi musuh-musuhmu itu, kau sendiri menonton"

"Ah!"

Hartawan ini terkejut, mukanya merah padam.

"Kau... kau cerdas, nona. Tapi tidak sepenuhnya begitu. Aku tidak bermaksud menonton!"

"Kalau begitu kenapa tidak pergi saja sekarang. Bukankah orang-orangmu banyak di sini!"

"Mereka tak dapat diandalkan. Aku tak mungkin berhasil. Maaf, kau jangan buru-buru curiga, nona. Kau jangan45 berpikiran jelek tentang aku. Aku laki-laki lemah yang tak berdaya. Aku bodoh dan tua. aku...."

"Terimalah ini!"

Kiok Eng tiba-tiba melempar secawan arak, memotong dan mengejutkan.

"Kau mampus atau tak usah berpura-pura di depanku, wangwe. Lihat dan awas!"

Hung-wangwe terkejut.

Arak menyambar mukanya dan hebatnya isinya tidak tumpah.

Kiok Eng mengerahkan lweekang-nya hingga arak membeku seperti es.

Dan karena mereka duduk berhadapan dan jarak itu juga dekat, tak mungkin hartawan ini mengelak maka dugaan Kiok Eng bahwa hartawan ini.

seorang ahli silat tiba-tiba dibuktikan dengan seruan keras Hung-wangwe yang cepat menangkap cawan arak itu.

"Wut-plak!"

Hung-wangwe terdorong kursinya.

Hartawan ini berteriak tertahan karena tenaga yang sudah dikerahkan untuk menangkap dan menerima arak ternyata kalah kuat.

Kursinya berderit dan hampir saja hartawan itu terjengkang, kalau tidak cepat-cepat kakinya mencengkeram lantai.

Dan ketika ia pucat dan terbelalak memandang Kiok Eng, yang tertawa dan mengebut manis maka hartawan itu tertegun mendengar kata-kata gadis ini.

"Nah, tak perlu berpura-pura lagi, wangwe. Kau juga seorang ahli silat dan agaknya orang kang-ouw. Kau tak perlu menyembunyikan dirimu karena sejak di luar tadi aku tahu bahwa kau bukan hartawan biasa!"

Hartawan ini berdecak.

Setelah dia diuji dan tak dapat menyembunyikan diri maka tertawalah dia bergelak- gelak.

Gadis ini benar-benar luar biasa dan matanya tajam.

Lagi pula otaknya cerdik hingga diam-diam dia46 berdesir.

Tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya ia ingin meminjam tangan orang lain untuk membunuh Dewa Mata Keranjang.

Ia tinggal menonton dan nanti saja kalau sudah waktunya ia menabas kepala kakek lihai itu.

Tak tahu bahwa akal begini sesungguhnya juga hinggap di pikiran Kiok Eng yang ingin mempergunakan orang-orang lain dulu membunuh lawannya itu.

Diri sendiri akan maju belakangan, kalau perlu.

Maka begitu pikirannya ditebak dan hartawan ini kaget bahwa si gadis seolah memiliki mata di belakang kepala, tahu jalan pikirannya maka sang hartawan diam-diam kaget dan menekan kekagetannya dengan sikap yang amat hati- hati.

Berpura-pura bodoh dan lemah tapi tak tahunya gadis itupun tahu siapa dia, seorang ahli silat di balik pakaian hartawan! Dan ketika ia diuji dan nyaris celaka oleh sambaran arak tadi, harus menyambut namun tetap juga tergetar dan terdorong maka Hung-wangwe diam- diam kaget dan menduga-duga siapa gerangan guru gadis ini.

Berbahaya! "Nona mengagetkan aku,"

Hartawan ini berseru, tertawa, mengusap keringat dinginnya.

"Hampir saja aku celaka, nona. Ah, lweekangmu (tenaga dalam) hebat sekali. Aku tak tahan!"

"Dan jangan coba bohong-bohongan,"

Gadis ini mengejek, bersikap biasa-biasa saja.

"Aku tak suka ditipu, wangwe. Kalau. kau benar-benar beriktikad baik tentu aku akan menyambutnya baik-baik pula. Nah, aku mau bekerja sama tapi jangan coba-coba kau di belakang. Kau tentu berteman banyak dan mereka dapat kaukerahkan. aku juga memusuhi Dewa Mata Keranjang!"

"Hm, baik... baik,"

Hartawan ini salah tingkah, kecut.

"Kau pandai dan cerdas, nona. Tapi tentu saja aku tak akan di47 belakang. Aku juga memusuhi Dewa Mata Keranjang, juga muridnya. Tapi karena mereka orang-orang lihai maka terus terang saja aku sedang berusaha mengum- pulkan orang-orang sepertimu untuk diajak kerja sama. Dan baru kali ini aku merasa cocok. Kau dapat diandalkan!"

"Aku tak perlu pujian,"

Kiok Eng tertawa.

"Kalau kau berkata sedang mengumpulkan orang-orang mana mereka itu, wangwe. Dan sudah seberapa banyak kau- kumpulkan."

"Belum banyak... belum banyak. Baru belasan orang saja di mana mereka sedang menunggu aba-aba dariku!"

"Hm, sudah sekian banyak? Itu kupikir cukup. Masa kurang!"

"Ah, menggempur Dewa Mata Keranjang harus seratus orang, nona. Belasan saja tidak cukup. Kakek itu benar- benar hebat!"

"Kau sudah mencobanya?"

"Belum."

"Kalau begitu kenapa bilang tidak cukup. Kalau mereka bukan bangsa kurcaci-kurcaci tentu bisa. Ayo kerahkan saja dan panggil mereka!"

Kiok Eng berseri, teringat bahwa inilah waktunya dan dengan mudah ia sudah mendapat belasan orang. Di rumah makan tadi ia hanya mendapat Wong Sin Kiam dan di sini sudah ada belasan "serdadu"

Untuk dikerahkan dengan cepat. Tunggu apalagi! Tapi ketika hartawan itu menggoyang-goyang kepala dan tampak terkejut, gadis itu demikian meng- gampangkan maka Hung-wangwe berseru bahwa belasan orang itu benar-benar belum cukup.

"Tunggu, nanti dulu.. nona. Dewa Mata Keranjang benar-48 benar seorang kakek sakti. Ia tak mungkin roboh kalau tidak dikeroyok seratus orang. Kecuali kalau belasan orang itu sudah seperti tingkat kepandai-anmu!"

"Hm!"

Gadis ini berbinar, tak tahan juga oleh pujian.

"Bolehkah aku tahu siapa mereka-mereka itu, wangwe. Coba suruh keluar dan kulihat kepandaiannya. Tapi barangkali ini sebagai yang pertama. awas, aku mengujimu!"

Hung-wangwe terkejut.

Gadis itu tiba-tiba menggerakkan tangannya dan sebuah tamparan kilat menyambar.

Tadi cawan arak sekarang pukulan langsung! Dan ketika hartawan ini berseru kaget namun cepat mengelak, eh...

tamparan itu mengejar dan gadis ini bangkit berdiri tahu- tahu hidung Hung-wangwe siap di-"cium".

"Terima, wangwe. Aku ingin tahu tenaga dalammu!"

Apa boleh buat, sang hartawan harus menangkis.

Ia sudah dikejar dan tentu saja tak mau mukanya ditampar.

Ia bakal terhina kalau begitu.

Dan ketika ia cepat menangkis namun alangkah kagetnya hartawan ini ketika tiba-tiba telapak gadis itu menempel, Kiok Eng menguji tenaga dalamnya maka hartawan ini berseru keras dan iapun marah.

"Plak!"

Sang hartawan tergetar.

Ia sudah mengerahkan semua tenaganya namun masih juga tersentak.

Aliran hawa panas menyengat telapaknya dan kagetlah Hung- wangwe mempertahankan diri.

Ia terdorong dan tiba-tiba membentak menggerakkan tangannya yang lain, menghantam dan mendorong telapak gadis itu namun lawan tertawa aneh.

Kiok Eng sudah menguji bahwa hartawan ini lumayan namun tidak sekuat dirinya.

Dan karena ia melihat bahwa hartawan ini masih lebih baik ketimbang Si Pedang Kilat Wong Sin Kiam, jadi calon49 teman yang dapat diajak untuk menghadapi Dewa Mata Keranjang, apalagi mempunyai belasan teman yang lain maka Kiok Eng tertawa tak bermaksud merobohkan lawan.

Ia tak ingin membuat malu lebih jauh dan hantaman tangan kiri lawan dimakluminya.

Hung- wangwe tak mau kalah.

Maka ketika ia sudah menguji bahwa sinkangnya masih di atas tenaga lawan, kalau mau ia dapat dengan mudah membuat tuan rumah mencelat maka Kiok Eng membentak perlahan dan dorongan dua tangan lawan diusirnya pergi.

"Cukup!"

Hung-wangwe bagai didorong tenaga raksasa.

Ia telah bertahan sekuat tenaga untuk mendorong dan balas membuat lawan mundur.Tapi ketika diri sendiri mendadak terdorong dan tanpa dapat dicegah lagi kedua kakinya bergeser cepat, kuda-kudanya tergempur maka hartawan ini berseru keras dan roboh di atas kursinya lagi.

Kiok Eng sengaja membuatnya begitu.

"Bluk!"

Sang hartawan terbelalak lebar-lebar. Dia dikalahkan dengan mudah dan hampir saja tak percaya. Tapi begitu sadar dan melotot kagum, bangkit berdiri maka hartawan ini tertawa bergelak dan memuji keras.

"Nona, kau luar biasa sekali. Kau hebat. Entah siapa gurumu tapi aku mengaku kalah!"

Kiok Eng tersenyum. Hung-wangwe ternyata mengakui kekalahannya dan itu dinilai menyenangkan, rupanya tuan rumah jujur juga. Dan ketika ia duduk dan meminta maaf, sang hartawan tergelak-gelak maka langsung saja ia bertepuk tangan.

"Hei, panggil sahabat-sahabatku semua ke sini. Undang bahwa Bu Beng Siocia ingin kenal!"50

"Eh!"

Kiok Eng terkejut.

"Apa maksudmu, wangwe? Siapa yang kau panggil?"

"Ha-ha, orang-orang yang kukumpulkan itu, nona. Belasan sahabat yang kusebut-kan tadi. Kalau kau sudah mengujiku tentu kau ingin pula menguji mereka. Nah, itu mereka datang!"

Hung-wangwe sudah memerintahkan pengawal.

Tadi mereka itu sudah mendapat tepukannya den panggilan ini disampaikan cepat' kepada yang bersangkutan.

Kiok Eng baru saja mengerutkan kening ketika tiba-tiba belasan laki-laki gagah muncul.

Dan ketika mereka masuk dan tertegun melihat Kiok Eng, yang dijamu Hung-wangwe maka bayangan-bayangan itu berkelebatan dan menjura.
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Hung-wangwe, kami datang. Dan kami siap memenuhi undangan kenal!"

"Ha-ha, masuklah... duduklah. Ini Bu Beng Siocia yang merupakan sahabat baruku. Mari... mari. Ia baru saja menguji aku dan aku kalah!"

Delapanbelas laki-laki terkejut.

Mereka mengamati Kiok Eng dan gadis cantik jelita yang duduk berhadapan dengan Hung-wangwe itu dipandang seakan tak berkedip.

Di samping tertegun melihat kecantikan luar biasa ini juga karena tertegun dan kaget oleh kata-kata Hung-wangwe.

Gadis selembut dan secantik itu mengalahkan Hung-wangwe? Kapan dan di mana? Tapi ketika mereka terbengong dan rata-rata menjadi kagum, Kiok Eng sungguh cantik jelita maka Hung-wangwe ber- keplok dan menyuruh mereka duduk.

"Aih-aihh... jangan melotot dan bengong saja. Ayo duduk, inilah Bu Beng Siocia dan kalian boleh kenalan. Mari, mendekat dan cari kursi masing-masing!"51 Delapanbelas lelaki bergerak. Kiok Eng tak kikuk atau jengah dipandangi belasan lelaki itu. Pandangan begini sudah mulai biasa, bahkan ia bangga! Dan ketika dengan senyum manisnya ia menggetarkan belasan lelaki itu, inilah calon kerjaan baginya untuk melaksanakan perintah subonya maka Kiok Eng mengangguk dan mendahului mereka, bangkit berdiri. Melihat sorot-sorot mata tajam di balik kekaguman dan ketakjuban lelaki- lelaki gagah itu.

"Mari... mari, cuwi enghiong. Aku telah mendengar dari Hung-wangwe bahwa kalian adalah orang yang sama- sama memusuhi Dewa Mata Keranjang. Bagus, ia juga musuhku dan kita dapat bekerja sama!"

Belasan lelaki itu mendecak.

Setelah Kiok Eng mengeluarkan suaranya dan tawa atau suara merdu gadis ini sungguh mengguncangkan sukma, belasan laki- laki itu berseri tiba-tiba semuanya sudah menyambar tempat duduk dan masing-masing da-hulu-mendahului untuk berdekatan dengan si jelita.

"Ha-ha, perkenalkan, nona. Aku Tangan Guntur dari Cian-bu. Sahabat Hung-wangwe dan sungguh senang sekali berkenalan denganmu. Aduh, kau cantik dan gagah!"

"Dan aku Trisula Sakti Kek Cong. Nona barangkali sudah mendengar namaku!"

"Dan aku Kaki Selatan dari Kwang-tung. Barangkali nona juga pernah dengar! Kiok Eng tertawa. Satu demi satu belasan laki-laki itu memperkenalkan diri. Tanpa diminta mereka sudah berebut untuk duduk di dekatnya. Inilah laki-laki! Dan ketika Kiok Eng menjauh dan menggeser kursinya, duduk tak mau diapit maka semua tertegun dan mendengar52 kata-katanya yang merdu.

"Tak usah berebut, tak usah terlalu riang. Kita sedang membicarakan urusan yang serius dan harap cuwi enghiong ingat akan maksud semula. Siapa berani menghadapi Dewa Mata Keranjang!"

Semua tiba-tiba diam.

Bagai anjing kena gebuk mendadak belasan lelaki itu tak bercecuwitan lagi.

Nama Dewa Mata Keranjang terlalu besar.

Tak ada yang berani menudingkan telunjuk untuk maju sendirian.

Dan ketika Kiok Eng agak mendongkol karena para lelaki itu hanya pandai bersuit-suit kalau ada gadis lewat, segera mengkeret kalau "body-guard"-nya lewat maka gadis ini tersenyum mengejek memandangi nama-nama gagah itu.

"Aku diundang untuk bekerja sama oleh Hung-wangwe. Dan karena Hung-wangwe mengatakan ada kalian di sini, orang-orang lihai yang mungkin dapat diandalkan maka terus terang aku ingin melihat kepandaian cuwi semuanya. Bagaimanakah kalau kita saling kenal dengan mencoba kepandaian masing-masing!"

"Nona mau melakukan apa?"

"Apa yang kalian ingini? Aku pribadi tak menolak cara apapun, cuwi enghiong. Tapi mungkiri permainan arak dapat menggembirakan suasana."

"Ha-ha, benar!"

Hung-wangwe tiba-tiba teringat.

"Tadi ia melemparku arak dan aku tak dapat menerimanya, cuwi enghiong. Barangkah dengan begini kalian masing- masing dapat mengukur kepandaian. Yang jelas Bu Deng Siocia ini lihai bukan main!"

"Hm, aku gatal tangan,"

Tangan Guntur tiba-tiba tertawa, bangkit berdiri.

"Bagaimana kalau aku duluan53 merasakannya, nona. Barangkali aku dapat membuktikan kata-kata Hung-wangwe!"

"Atau aku dulu!"

Si Kaki Selatan melompat.

"Aku jadi penasaran masakah Hung-wangwe kalah oleh nona ini!"

"Atau aku!"

Trisula Sakti tak mau kalah.

"Aku juga penasaran, Kaki Selatan. Jangan-jangan Hung-wangwe hanya berbasa-basi belaka!"

"Hi-hik, tak usah ribut-ribut. Kalian semua maju saja dan siapa dapat menahan lemparan arakku dialah orang kuat!"

Kiok Eng geli, tahu bahwa semua laki-laki itu sebenarnya ingin bersentuhan dengannya, tertawa dan ingin menggoda dan iapun menyambar arak di meja.

Dan ketika delapanbelas cawan sudah disambar dan masing- masing diisi, delapanbelas orang gagah itu tertegun maka Kiok Eng mengetrikkan kuku jarinya dan arak di atas meja tiba-tiba meloncat.

"Lihat, aku akan melempar berbareng. Siapa dapat menahan dialah yang baik. Kalian siap?"

Semua terbelalak.

Cawan yang berloncatan itu tak ada yang tumpah isinya.

Hebat.

Inilah bukti tenaga sinkang yang mengagumkan dan tentu saja delapanbelas laki-laki itu diam-diam kaget.

Kalau secawan dua saja yang tak tumpah adalah biasa, tapi kalau delapanbelas cawan berbareng inilah luar biasa! Dan ketika Kiok Eng tersenyum dan bersinar-sinar, sengaja mendemonstrasikan agar orang-orang itu tahu kepandaiannya maka cawan yang kembali turun tiba-tiba dibentak.

"Awas!"

Semua mendadak menyerbu.

Delapanbelas cawan tiba- tiba melesat dan menyambar delapanbelas orang ini bagai dilempar tangan raksasa.

Hebatnya mereka itu bisa pecah ke masing-masing orang, jadi setiap laki-laki54 gagah itu mendapat bagiannya.

Dan ketika semua berteriak kaget dan tentu saja menggerakkan lengan, menangkap atau menyambar cawan itu maka semua berseru tertahan karena arak yang semula beku mendadak muncrat dan cair isinya.

"Plak-crot!"

Delapanbelas laki-laki itu kena getah. Kiok Eng sengaja mengatur tenaganya sedemikian rupa hingga arak beku yang semula padat mengisi cawan mencair pada saat ditangkap. Gadis ini memang ingin "mengerjain"

Delapanbelas laki-laki itu, yang tentu saja berteriak dan tersiram arak, kecuali si Tangan Guntur dan Kaki Selatan, dua laki-laki yang hanya terhuyung dan sempat mengelak dengan jalan melempar kepala ke belakang, tepat di saat arak memuncrat, pecah lagi.

Dan ketika dua orang ini terbelalak sementara enambelas yang lain basah kuyup, Kiok Eng segera tahu bahwa dua laki-laki pertama itulah yang paling lihai, lainnya setingkat dengan Hung-wangwe maka gadis ini tertawa dan kekehnya menyiram lenyap semua kemarahan orang.

Begitu merdu.

"Hi-hik, kalian tak waspada menerima arak, cuwi enghiong. Salah sendiri. Jangan menyalahkan aku!"

Delapanbelas laki-laki berdecak. Tadi mereka marah dan malu tersiram arak. Tapi karena gadis itu benar dan itu adalah kesalahan sendiri, semua kagum dan berseri maka masing-masing mengusap wajah dan tertawa.

"Benar,"

Semua berseru.

"Ini salah kami sendiri, nona. Tadi kau sudah memperingatkan tapi kami yang kurang waspada. Ha-ha, kau hebat tapi kami puas!"

"Benar, kau lihai menggerakkan delapanbelas cawan55 sekaligus, nona. Aku pribadi jelas tak sanggup!"

"Dan aku mengaku kalah. Bu Beng Siocia lebih tinggi daripada aku!"

"Dan Hung-wangwe tak bohong. Ah, gembira rasanya kalau dipimpin. Bu Beng Siocia menggempur Dewa Mata Keranjang! Aku siap berangkat!"

Kiok Eng terkekeh.

Sebentar saja ternyata ia telah berhasil menguasai delapanbelas laki-laki gagah ini.

Betapa gampangnya merobohkan lelaki! Dan karena mereka telah melihat kepandaiannya di samping kecantikannya, Kiok Eng merasa cukup maka dia berdehem menyuruh semuanya diam, tak usah ribut- ribut.

"Sudahlah, kita sudah tahu kepandaian masing-masing. Meskipun tak usah kita bertanding tentu kita sama-sama maklum siapa yang hebat. Dan aku memuji si Tangan Guntur dan Kaki Selatan!"

Dua laki-laki itu gembira.

Mereka tadinya mendongkol dan hampir saja marah bahwa arak memuncrat menyambar wajah.

Tapi karena mereka lihai dan cepat mengelak cepat, selamat, maka wajah yang semula gelap merasa dipermainkan itu tiba-tiba berseri dipuji terang-terangan, apalagi di depan banyak orang.

"Ha-ha, aku sendiri selalu waspada, nona. Tapi terus terang tenaga lemparanmu tetap saja membuat aku terdorong!"

"Dan aku juga terhuyung,"

Si Kaki Selatan berterus terang.

"Aku boleh lihai tapi nona lebih lihai lagi!"

"Hi-hik, kalian ternyata jujur-jujur juga. Sudahlah, kita tanya Hung-wangwe kapankah kita berangkat. Bagiku lebih cepat lebih baik!"56

"Tapi kita baru delapanbelas orang,"

Hung-wangwe terkejut, membelalakkan mata, buru-buru menjawab.

"Jumlah ini masih kecil, nona. Aku tetap saja khawatir!"

"Kita berjumlah duapuluh, wangwe, ada kau dan aku. Masih ditambah lagi dengan pengawal-pengawalmu."

"Ah, mereka bangsa kurcaci, tak dapat diharap!"

"Tapi kita belum pernah mencobanya, wangwe. Aku mau segera berangkat dan membuktikan kata-katamu ini. Masa tua bangka macam Dewa Mata Keranjang tak dapat dikalahkan!"

Hung-wangwe kalah debat.

Akhirnya ia harus mengakui ini bahwa semuanya belum dicoba.

Ada delapanbelas orang gagah yang dapat dimintai kerja samanya, dan yang lebih lagi adalah dengan adanya gadis itu sendiri.

Dan ketika yang lain-lain juga berseru bahwa tak perlu takut karena ada Kiok Eng di situ, semuanya belum dicoba maka hartawan ini angkat tangan dan menyerah.

"Baiklah, kita boleh berangkat. Tapi jangan tergesa-gesa. Besok saja sambil aku menjamu Bu Beng Siocia ini!"

Kiok Eng tak menolak.

Baginya baik juga kalau semalam dia di situ, omong-omong dan kumpul-kumpul dengan delapanbelas laki-laki gagah itu sambil menjepret kan panah asmaranya.

Nanti akan dia adu dan tentu menarik.

Dan ketika malam itu Hung-wangwe mengadakan pesta untuk mereka sendiri, Kiok Eng tentu saja menjadi primadonanya maka dengan pandai dan sikap sama manis Kiok Eng memberikan perhatian dan senyumnya kepada semua orang.

Hal ini membuat semua orang tergila-gila dan di pesta ini Kiok Eng mempertontonkan kelihaiannya lagi.

Tujuh orang mengeroyok namun semua dapat dirobohkan dengan mudah.

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ketika delapanbelas mengeroyok juga dapat dirobohkan tanpa57 banyak kesukaran, delapanbelas lelaki itu mendecak maka mereka kagum bukan dan takjub bukan main.

"Luar biasa, hampir tak dapat kupercaya. Aih, Bu Beng Siocia ini barangkali sudah dapat menghadapi kakek itu sendiri-, an!"

"Benar,"

Yang lain berseru, mata masih terbelalak lebar- lebar.

"Kau sudah dapat mengalahkan Dewa Mata Keranjang, nona. Sinkang dan ginkangmu hebat sekali. Aku sudah tak dapat mengikuti bayanganmu!"

"Dan tamparannya membuat kepalaku pening. Sedikit ditambah tenaga lagi tentu kepalaku pecah!"

Kiok Eng berseri-seri.

Tadi ia sudah membuktikan kepandaiannya dan ternyata orang-orang itu bukanlah lawannya.

Dengan sinkang atau ginkangnya dia beterbangan menyambar-nyambar, tak dapat diikuti mata dan akibatnya delapanbelas laki-laki itu dapat ditampar atau dipukulnya roboh.

Dan ketika kini mereka terang-te- rangan memuji dirinya, menyatakan dia dapat mengalahkan Dewa Mata Keranjang maka Kiok Eng menjadi besar hati.

Sesungguhnya dia juga percaya diri sendiri dan tak takut menghadapi Dewa Mata Keranjang itu.

Para subonya berkali-kali menyatakan kagum dan memuji kepandaiannya itu.

Namun karena mereka juga berkali-kali mengatakan bahwa kakek yang hendak dicari amatlah lihai dan luar biasa, kesaktiannya mendekati dewa maka Kiok Eng tidak sombong dan percaya guru- gurunya itu.

Begitupun ia tak sombong ketika dipuji delapanbelas laki-laki ini.

Ia dapat mengendalikan diri.

Dan ketika ia hanya tertawa dan tetap biasa, pujian itu masih di bawah pujian subo-subonya maka pesta ditutup dan Kiok Eng telah membetot sukma delapanbelas lelaki itu luar dalam, termasuk pula Hung-wangwe yang memberikan kamarnya paling indah kepada gadis itu,58 kamar pribadinya! "Nona boleh beristirahat di sini.

Silahkan mengaso.

Aku akan tidur di luar menjagamu."

Kiok Eng terkejut. Hung-wangwe mengambil tikar dan menggelarnya di pintu kamarnya. Gila! Tapi ketika dia tertawa dan tak sungkan-sungkan, inilah laki-laki kalau sudah jatuh hati maka Kiok Eng geli dan menutup pintu kamar.

"Baik, terima kasih, wangwe. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti kedinginan."

"Tak apa. Dingin menjagamu di luar pintu merupakan kebahagiaan sendiri bagiku, nona. Silahkan tidur dan selamat mengaso."

Kiok Eng tertawa.

Jeratnya telah dilepas dan tuan rumah sendiri sudah tidak "normal".

Itulah laki-laki.

Dan ketika ia mengunci pintu kamar dan meloncat ke pembaringan, tak melepas pakaian atau sepatunya maka gadis ini sudah nyenyak, sementara Hung-wangwe menggigil di luar! -- Keesokannya terjadi kesibukan luar biasa.

Kiok Eng telah keluar dari kamarnya namun tidak melalui pintu, melainkan jendela yang sekali ditendang telah terbuka dan langsung ia melayang keluar.

Dan ketika ia di sini dan mau memutar, ia tak mau melewati pintu karena semalam Hung wangwe berjaga di situ maka Kiok Eng bermaksud melihat keadaan hartawan itu ketika tiba-tiba telinganya mendengar isak tangis, lapat-lapat di luar pagar tembok.

"Kau mau meninggalkan aku? Kau benar-benar tak terpikat kepada gadis itu?"

"Ah, siapa yang terpikat kepadanya, Lu Ti? Aku masih59 mencintaimu, aku menyayangmu. Aku pergi karena harus melakukan tugas. Pagi ini juga semua berangkat dan akan ke Liang-san. Kau tunggulah aku di sini dan jangan khawatir."

Kiok Eng berkelebat.

Tangis itu menarik perhatiannya tapi suara laki-laki itu lebih menariknya lagi.

Ia mengenal suara laki-laki itu sebagai si Trisula Sakti Kek Cong.

Rupanya ada sesuatu.

Dan ketika ia berkelebat dan sudah di luar pagar, tertegun dan melihat dua orang duduk berpelukan maka benar saja dugaannya bahwa laki-laki gagah itu di situ, bersama seorang wanita cantik yang kalau tidak salah adalah dayang atau selir Hung- wangwe! "Hm, apa yang dilakukan? Mau apa mereka ini? Pagi- pagi sudah pacaran, phuih!"

Kiok Eng tersenyum mengejek, bergerak mendekat namun langkahnya demikian ringan hingga tak ada yang dengar. Dan ketika ia menonton dan si Trisula Sakti melingkarkan lengannya di pundak wanita itu maka laki-laki ini berkata.

"Lu Ti, kau tak usah takut aku jatuh cinta kepada siapa pun. Aku mencintaimu dan lihat buktinye. Inilah..."

Pemuda itu mendekatkan bibirnya, mencium dan segera keduanya hanyut dalam suasana hangat mesra.

Kiok Eng yang menonton hampir saja terkekeh.

Semalam laki- laki itu juga berbisik menyatakan cintanya kepadanya.

Lucu! Namun karena ia dapat menahan diri dan tidak mengganggu maka Trisula Sakti akhirnya melepaskan ciumannya dan bangkit berdiri.

Kiok Eng tetap menonton.

"Aku akan minta kepada Hung-wangwe untuk memberikan dirimu nanti. Wangwe telah berjanji bahwa siapapun yang membantunya akan diberi hadiah. Nah, nanti akan kuminta itu dan hadiahnya adalah dirimu."60

"Kau yakin dapat?"

"Tentu, wangwe tak mungkin menolak, Lu Ti. Masih banyak selirnya- yang lain di sini, bukan hanya kau seorang. Nah, jaga diri baik-baik dan selamat tinggal. Aku tak mungkin jatuh cinta!'"

Kiok Eng hampir terkekeh.

Ia hampir tak kuat menahan gelinya lagi melihat laki-laki itu berbohong di depan kekasihnya.

Berkali-kali bilang tak mungkin jatuh cinta padahal semalam berbisik dan minta perhatiannya.

Laki- laki sungguh tak tahu malu.

Namun karena lagi-lagi ia hanya menonton dan kejadian ini tak akan diusiknya, untuk pertama kali dia melihat "skandal"

Maka kata-kata atau wejangan gurunya benar.

"Lelaki itu paling busuk, namun mulutnya paling manis. Di sini dia bilang cinta dan di sanapun dia bilang suka, Kiok Eng. Karena itu hati-hatilah menghadapi mulut lelaki dan jangan percaya kepadanya. Kau akan membuktikannya nanti kalau sudah bergaul dengan lelaki!"

Dan Kiok Eng mengangguk-angguk.

Buktinya adalah sekarang ini dan tiba-tiba matanya bersinar marah.

Laki- laki sungguh keji dan malang benar nasib kaumnya.

Wanita dibodohi dan ditipu sesukanya saja oleh lelaki.

Hm, dia akan membalas.

Tidak sekarang tetapi nanti, kalau urusan sudah selesai dan mereka pulang dari 'Liang-san.

Dan ketika ia mengeluarkan senyum mengejek dan berkelebat meninggalkan tempat itu maka laki-laki itu sudah dilihatnya bersama yang lain.

Namun tempat itu ribut-ribut karena Hung-wangwe berkali-kali mengetuk pintu kamarnya tak mendapat jawaban.

"Bu Beng Siocia tak ada. Ia pergi. Ah, apa yang ia lakukan dan kenapa tak satu pun orang-orangku61 melihatnya!"

"Ia meninggalkan kita? Sepagi ini?"

"Benar, sudah kuketuk pintunya berkali-kali, Kaki Selatan. Namun ia tak menjawab. Tak mungkin masih tidur!"

"Kalau begitu dobrak saja pintunya, atau buka dari luar!"

"Ya, apa boleh buat. Semalam aku menjaga di sini agar tidak keluar namun lolos juga. Ah, kita kehilangan tenaga andalan. Awas...!"

Dan ketika Hung-wangwe siap mendobrak pintu, Kiok Eng berkelebat dan tahu-tahu di situ maka gadis ini terkekeh berseru.

"Wangwe, aku di sini. Mau apa mendobrak pintu!"

Sang hartawan tertegun.

Bau harum menyambar dan gadis itu tahu-tahu sudah di belakang, berdiri paling belakang dan serentak yang lain memutar tubuh.

Dan ketika mereka bengong melihat gadis itu, berkacak pinggang maka sang hartawan berseri dan tiba-tiba berseru keras, gembira bukan main.

"Aduh. kukira pergi, nona. Kami semua cemas. Dari mana kau dan bagaimana tiba-tiba di sini!"

"Aku lewat jendela, dan kebetulan melihat sepasang merpati berasyik-masyuk!"

"Merpati?"

"Ya, betina dan jantan. Barangkali hewan-hewan piaraanmu, hi-hik...!"

Dan ketika semua meledak oleh tawa geli, menganggap Kiok Eng bergurau maka Hung- wangwe melompat dan berseru bahwa semua sudah disiapkan.

"Kita sarapan dulu, makan pagi. Baru setelah itu bertandang ke tempat musuh!"62

"Hm, bagaimana kalau di jalan? Terlalu lama membuang waktu, wangwe. Aku ingin cepat-cepat. Kita dapat sarapan di hutan!"

"Benar, biar di hutan saja. Kita sarapan di sana dan tentu asyik!"

"Apalagi kalau bersama Bu Beng Siocia. Aih, nikmat dan tentu segarr..!"

"Benar, tentu segar dan menyenangkan. Ah, aku setuju dan biar kita sarapan di hutan!"

Hung-wangwe terbahak.

Dia melihat kegembiraan wajah- wajah itu dan memang nikmat rasanya kalau sarapan di hutan saja.

Di samping mereka ada gadis cantik ini dan makanpun tentu gembira.

Laki-laki mana tak senang bersama gadis seperti Kiok Eng.

Dan ketika semua setuju bahwa biarlah makan pagi di hutan, kicau dan riuh burung tentu menambah kegembiraan suasana maka Hung-wangwe tak menolak dan meja makan yang sudah disiapkan ditinggal begitu saja, isinya dimasukkan ke dalam kereta.

"Eh, kenapa membawa kereta,"

Kiok Eng bertanya.

"Apakah kita mau pesiar, wangwe. Bukankah semua berjalan kaki, berlari cepat."

"Aku terpaksa membawa pengawal-pengawalku. Setidak-tidaknya mereka itu dapat disuruh ini itu membawa bekal."

"Dan dapat dipergunakan pula untuk mengeroyok Dewa Mata Keranjang, kalau kita kalah,"

Kiok Eng terkekeh.

"Kau ke-lewat hati-hati dan penakut, wangwe. Wah, masa seperti pasukan perang saja!"
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Maaf, aku tak ingin gagal, nona. Dewa Mata Keranjang benar-benar bukan orang biasa. Sudahlah, kita63 berangkat dan biar pengawal mengikuti!"

Kiok Eng tersenyum mengangguk.

Ia tak ingin menyakiti siapa pun karena tenaga mereka itu amatlah diperlukan.

Dia tak akan maju sendiri kalau tidak terpaksa.

Dan ketika rombongan itu berangkat dan Kiok Eng berkelebat mendahului, semua bersorak dan mengikuti maka Hung- wangwe ternyata berkelebat pula dan tidak mau menaiki keretanya.

Benar-benar bersikap sebagai orang kang- ouw.

"Ha-ha, Bu Beng Siocia tak sabar lagi. Mari, kita susul!"

Kaki Selatan dan lain-lain mengangguk.

Mereka itu juga berkelebatan keluar kota dan sesampainya di luar masing-masing sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mengejar atau menyusul Kiok Eng yang berada di depan.

Gadis ini sengaja memperlihatkan kepandaiannya dan tentu saja belasan lelaki di belakang kagum.

Mereka terbelalak karena setelah mengerahkan segenap tenaga tetap saja gadis itu tak terkejar, jarak mereka tetap terjaga dan kalau mau agaknya gadis itu dapat meninggalkan mereka.

Kereta berderap di belakang namun empat ekor kuda juga tak mampu menyusui.

Bayangan Kiok Eng sungguh seperti setan, jauh dan melesat di sana.

Dan ketika Kaki Selatan dan lain-lain menjadi malu, mereka berseru agar saling bergandengan tangan maka delapanbelas lelaki melejit dan menyatukan tenaga.

"Wah, kita benar-benar bukan tandingan. Adu lari saja juga kalah. Ayo, satukan tenaga, kawan-kawan. Kita bergandengan tangan dan susul Bu Beng Siocia!"

Kiok Eng tertawa.

Ia menoleh dan melihat Kaki Selatan dan kawan-kawannya bergandengan tangan.

Semua mengeluarkan seruan keras dan bergeraklah orang-64 orang gagah itu menyambar seperti rajawali.

Jalanan yang lebar mampu memuat delapanbelas orang itu dan mereka ternyata dapat menyusul.

Tapi karena Kiok Eng tak mau dekat-dekat dan tentu saja juga menambah tenaganya, berkelebat dan melesat secepat anak panah maka tiba di hutan orang-orang gagah itu tak mungkin bergandengan tangan lagi.

Jalanan sudah menyempit.

"Hi-hik, boleh kejar kalau bisa, Kaki Selatan. Siapa mampu menyusulku dia kuberi hadiah saputangan!"

"Ah, jangan terlampau cepat. Kita harus sarapan dulu, Siocia. Ingat, di hutan itu kita menangsal perut!"

"Hi-hik, kalian lelaki cepat sekali kelaparan. Baik, aku masuk dulu dan kita berhenti sejenak!"

Kiok Eng menghilang. Dia sudah melesat lagi dan Hung- wangwe maupun kawan-kawan mendecak. Bagai siluman saja gadis itu lenyap. Tapi ketika mereka menyusul dan tiba di hutan, keringat mulai membasahi dahi maka Kiok Eng tak ada di situ.

"Heii, kami sudah di sini, Siocia. Mana janjimu akan menunggu. Tolong keluar, kereta makanan hampir tiba!"

"Hi-hik, aku di sini, di atas kalian. aku memeriksa apakah tempat ini aman. Tak usah berkaok-kaok, aku tahu bahwa kereta hampir tiba!"

Semua mendongak.

Yang dicari ternyata di atas dan Kiok Eng melayang turun.

Tubuhnya menyambar bagai seekor rajawali saja, hinggap dan tertawa-tawa tanpa keringat setetes pun di tubuh, padahal para lelaki itu mulai mandi peluh dan wajah mereka basah.

Dan ketika mereka tertegun tapi derap kereta terdengar, menyusul dan tiba di tempat itu maka keempat ekor kuda juga bermandi peluh karena tadi dipacu kencang oleh saisnya.65

"Aduh, tobat. Kami jangan ditinggal jauh-jauh!"

"Kocak rasanya seisi perut kami. Hu-waduh, mana kami dapat diadu dengan orang-orang gagah!"

"Dan mana wangwe. Kami menunggu perintah.'"

"Aku di sini,"

Hung-wangwe menyeruak dan mengusap keringatnya yang memenuhi wajah juga, kagum dan terbelalak memandang Kiok Eng.

"Keluarkan isi kereta, Lo-sam. Biarkan cuwi enghiong dan nona ini sarapan. Aku juga tiba-tiba lapar!"

Kiok Eng tertawa.

Ia telah menguji ilmu lari cepat mereka dan diam-diam hatinya agak kecewa.

Dibanding subonya orang-orang ini masih tiga tingkat di bawah.

Tapi karena mereka berjumlah banyak dan ia sendiri memang tak akan mengotori tangan kalau dapat membujuk orang- orang gagah, kecantikannya dipergunakan memikat mereka maka Kiok Eng dan lain-lain sarapan pagi.

Kaki Selatan dan lain-lain tak habis-habisnya memuji namun Kiok Eng tersenyum-senyum saja.

Gadis ini bersikap biasa.

Dan karena ia mulai gembira dapat membujuk orang-orang kang-ouw, rasakan nanti Dewa Mata Keranjang itu maka gadis ini tak mau berpanjang cerita dan menerima pujian.

"Sudahlah, Liang-san masih jauh. Kita harus cepat-cepat ke sana dan mari cepat habiskan!"

Semua mengangguk.

Kicau burung dan sikap Kiok Eng menambah kegembiraan, gadis itu tak sombong meskipun kadang-kadang timbul senyum mengejeknya.

Dan ketika semua selesai dan perjalanan dilanjutkan maka dua hari kemudian tibalah rombongan ini di Liang- san, sore harinya.

"Hm, agak terlambat. Kalau aku sendiri tentu sudah66 sampai kemarin,"

Kiok Eng menggerutu, apa boleh buat membiarkan teman-temannya beristirahat karena dua hari ini mereka benar-benar dipacu.

Mula-mula memang kuat namun akhirnya mengeluh, apalagi pengawal dan kereta di belakang.

Dan karena berkali-kali Kiok Eng harus menunggu ini, tak sabar sebenarnya dia maka sore itu mereka semua baru tiba di Liang-san, itupun di kaki gunung.

"Hm, agaknya harus istirahat. Bagaimana pertimbangan wangwe."

"Benar, kami semua telah melakukan perjalanan cukup jauh, nona, tapi yang paling harus diperhatikan adalah kereta dan pengawal-pengawalku. Kalau sekarang diajak naik ke atas tentu payah. Aku minta agar beristirahat saja dan biarlah besok pagi-pagi kita menyerbu!"

"Benar,"

Kaki Selatan berkata menyambung.

"Daya tahanmu luar biasa, nona. Kami semua tak sehebat dirimu, apalagi pengawal. Biarlah kita bermalam di sini dan besok setelah mengumpulkan tenaga kita menyerbu ke atas."

"Baiklah,"

Kiok Eng tak memaksa.

"Silahkan kalian beristirahat tapi aku akan coba melihat-lihat pemandangan di sini."

"Nona mau ke atas?"

"Tidak, hanya di hutan depan itu. Kalian di sini saja dan beristirahatlah!"

Semua terbelalak.

Kiok Eng yang baru tiba di tempat itu tiba-tiba sudah bergerak lagi.

Gadis ini benar-benar tak mengenal capai, hebat! Dan ketika dia menghilang dan berkata akan menuju hutan di depan itu, Kiok Eng akan menyelidiki keadaan maka gadis ini kagum akan67 keindahan Liang-san.

Tak kalah dengan tempat tinggalnya sendiri ternyata Liang-san memiliki pemandangan mentakjubkan dengan sinar mataharinya yang siap tenggelam di ufuk barat.

Bayang-bayang jingga semburat di ujung-ujung dedaunan.

Sinar kuning keemasan dan merah keperak- perakan memancar indah di situ, penuh pesona.

Dan ketika Kiok Eng takjub dan berhenti di sini, memandang ke puncak gunung di mana sang dewa surya akan menyembunyikan dirinya maka kokok ayam hutan terdengar dua kali, syahdu dan merdu.

"Kukuruyuukk...!"

Kiok Eng tertegun.

Tanpa terasa ia mengamati puncak gunung yang memancarkan cahaya merah jingga.

Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Orang Ketiga Karya Sherls Astrella Merivale Mall 05 Korban Gosip
^