Pencarian

Kanjeng Empu Basula 2

Raja Gendeng 29 Kanjeng Empu Basula Bagian 2


"Dua mahluk aneh ini jangan jangan mereka mahluk yang dikirimkan oleh Sang Kuasa Agung untuk mencelakai diriku!"

Kata sang Pemburu.

Baru saja dia berpikir demikian.

Tanpa keluarkan suara apapun kedua mahluk merah itu tiba-tiba miringkan sayapnya ke arah pepohonan yang menghalangi jalan mereka.

Sing!

Cras!

Cras!

Sayap dua mahluk sama menebas, membuat pucuk pepohonan sampai ke batang putus bergugusan laksana dihantam empat mata pedang raksasa yang luar biasa tajam.

Kutungan-kutungan kayu hebatnya lagi berlesatan ke arah Pemburu Dari Neraka yang sudah naik ke punggung kuda.

Kuda digebah.

Tali kendali kuda dibiarkan lepas tanpa dipegang.

Secepat kilat sang Pemburu hantamkan kedua tangan kesegenap penjuru arah.

Serangkum cahaya merah menyilaukan menebar panas luar biasa menderu secara berurutan menghantam potongan puluhan batang kayu yang siap menghantam tubuhnya juga kuda yang menjadi tunggangannya.

Kuda meringkik, lalu berlari menghindar sesuai dengan keinginan penunggangnya.

Batang-batang kayu berukuran kecil dan besar berpelantingan dalam keadaan dikobari api.

Lolos dari serangan, Pemburu Dari Neraka langsung melesat tinggalkan kudanya.

Sambil berkelebat ke arah dua mahluk yang menyerang dengan capit-capit raksasanya, pemuda ini sekali lagi menghantam dengan ilmu pukulan sakti Neraka Membara.

Lidah api luar biasa besar menderu menghantam dua kalajengking merah yang menyambar ke arahnya.

Melihat lidah api ber-gulung gulung menyambar siap memberangus tubuh mereka.

Kedua mahluk itu memekik kaget.

Yang betina segera selamatkan diri dengan membelok ke samping menjauh dari sambaran api, namun kalajengking bersayap yang berada dibagian paling depan tak sanggup menyelamatkan diri.

Wuuues!

Byar!

Begitu lidah api raksasa menggulung tubuhnya, kalajengking besar itu keluarkan suara pekikan aneh.

Seketika tubuhnya dikobari api.

Walau tubuh dan sayap terbakar, namun mahluk ini masih berusaha terbang tinggi mencari selamat. Melihat ini Pemburu Dari Neraka kembali menghantam dengan pukulan Neraka Membara.

Selarik cahaya merah terang yang sangat panas luar biasa kembali melesat dari kedua tangan sang Pemburu.

Secepat kilat cahaya yang panasnya tiga kali lipat dari panas serangan sebelumnya menghantam mahluk itu.

Byar!

Ledakan keras mengguncang kawasan itu.

Sang mahluk hancur menjadi kepingan dikobari api. Cairan berbau busuk bermuncratan membuat sang Pemburu merasa dirinya seperti berada ditengah lautan bangkai.

Mengetahui pasangannya tewas mengerikan ditangan lawan.

Kalajengking betina yang terbang diketinggian keluarkan suara pekikan aneh.

Nampaknya sang betina menjadi sangat marah.

Diawaili dengan gerakan berputar rendah, mahluk ini tiba-tiba menukik tajam ke bawah.

Secepat tubuhnya menukik, secepat itu pula sayapnya yang tajam dihantamkan ke arah Pemburu Dari Neraka.

Gemuruh angin dingin luar biasa disertai menebarnya bau amis menghantam tubuh pemuda itu, membuatnya terhuyung, namun dia masih sempat jatuhkan diri bergulingan hindari tebasan sayap.

Lolos dari kibasan sayap tak disangka-sangka ekor kalajengking yang runcing tajam laksana mata tombak berkelebat menyambar siap menembus batok belakang kepalanya.

"Mahluk keparat!"

Teriak sang Pemburu.

Sambil berjumpalitan kebelakang tangan diayunkan ke udara dengan gerakan seperti orang yang menyambar sesuatu.

Entah dari mana datangnya tahu-tahu ditangan pemuda itu telah tergenggam sebilah pedang aneh bergerigi seperti gergaji namun memiliki ketajaman yang sangat luar biasa.

Ketika ujung ekor sang mahluk raksasa siap menembus kepalanya, Pemburu Dari Neraka jatuhkan diri hingga kedua lutut menyentuh tanah.

Serangan ekor yang siap menyengat luput satu jengkal diatas kepala.

Melihat ekor melesat didepannya.

Sebelum mahluk itu berbalik siap menyerang dengan menggunakan capitnya yang besar.

Laksana kilat pedangnya diayunkan ke arah ekor runcing mahluk itu.

Cahaya putih berkilau menderu menyertai berkelebatnya pedang di tangan.

Craas!

Tanpa ampun lagi ekor tajam berbisa terbabat putus, lalu jatuh ke tanah tepat didepan pemuda itu.

Putusnya ekor yang dipenuhi bisa mematikan membuat kalajengking bersayap itu menggelepar.

Tidak disangka-sangka ternyata titik kelemahan mahluk itu memang terletak pada bagian ekornya.

Terbukti ketika ekor terbabat buntung mahluk ini meledak hancur berubah menjadi asap.

"Lagi-lagi mahluk siluman!"

Geram Pemburu Dari Neraka sambil mengusap hulu pedang ditangannya. Dua kali tangan mengusap hulu pedang lalu senjata itupun raib dari pandangan mata.

"Sang Kuasa Agung.... Aku semakin bertambah yakin semua ini memang ulahnya. Aku bersumpah bakal menyeretmu untuk menerima hukuman di neraka!"

Dengus pemuda itu.

Dengan hati masih diliputi rasa penasaran, sang Pemburu kemudian menghampiri kudanya.

Setelah itu tanpa membuang waktu dia menggebrak kudanya


*****

Setelah peristiwa tewasnya Randu Wulih yang kemudian disusul dengan diculiknya Pranajiwa oleh Si Jenggot Panjang.

Sebenarnya kabar itu telah sampai ditelinga Tujuh Tokoh di Puncak Akherat.

Untuk membuktikan kebenaran kabar tentang orang-orang yang terbunuh maka atas kesepakatan bersama, Tujuh Tokoh penting dijamannya ini akhirnya mengutus tokoh paling muda yaitu tokoh ke tujuh yang bernama Ari Prahmana atau yang juga dikenal dengan julukan Seruling Naga.

Pagi itu sebelum matahari terbit, Ariprahmana sudah meninggalkan tempat pertapaannya.

Dengan berkuda laki-laki yang usianya sekitar tujuh puluh tahun itu mengitari kaki gunung Bismo disebelah barat.

Untuk diketahui diantara Tujuh Tokoh sakti Penghuni Puncak Akherat.

Yang paling tua usianya ada yang mencapai dua ratus tahun.

Jadi tidaklah mengherankan, walau Ariprahmana saat itu umurnya sudah mencapai tujuh puluh tahun dia termasuk yang paling muda dibandingkan enam tokoh lainnya.

Setelah meninggalkan kaki Gunung Bismo, orang tua itu terus memacu kudanya ke arah matahari terbit. Sejauh itu selama dalam perjalanan dia tidak mengalami rintangan atau hambatan yang berarti.

Sampai kemudian si orang tua tiba disebuah padepokan disebuah desa bernama Lohbener.

Ariprahmana pun memutuskan untuk istirahat di desa itu sambil berusaha menyirap kabar tentang keadaan dunia persilatan saat ini.

Ketika Ariprahmana sampai dihalaman padepokan.

Seorang laki-laki tua yang memang pernah dikenalnya datang menyambut kedatangan orang tua ini.

Si kakek yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari Ariprahmana kembangkan senyum lebar begitu mengenali wajah tamunya.

"Ah, tidak disangka hari ini seorang tamu agung datang menyambangi padepokanku yang butut ini."

Kata orang tua itu yang ternyata adalah pemilik padepokan bernama Dua Gunung Kramat.

"Kakang Carik Wiyoso. Tidak kusangka kau masih mengingat dengan baik siapa diriku ini. Tapi harap jangan bersikap berlebihan karena kita sesama manusia memiliki kedudukan yang sama!"

Kata Ariprahmana sambil rangkapkan dua tangan lalu menjura hormat pada pemilik rumah.

"Ah, sejak dulu aku selalu merasa kagum pada orang dari Puncak Akherat. Walau memiliki ilmu kesaktian tinggi, namun tetap berbudi luhur rendah hati. Kunjunganmu ini bagiku menjadi suatu kehormatan yang tidak ternilai!"

"Sudahlah kakang, jangan berlebihan. Aku tidak bisa berlama-lama ditempatmu ini. Ada sesuatu yang sangat penting ingin kutanyakan pada kakang!"

Ujar Ariprahmana langsung ke titik tujuan.

Carik Wiyoso anggukkan kepala tanda mengerti, Dia pun lalu mempersilahkan Ariprahmana turun dari kudanya.

Setelah itu tokoh ke Tujuh dari Puncak Akherat itu turun meninggalkan kudanya.

Dia segera mengiringi Carik Wiyoso menuju pendopo depan.

Suasana pendopo sunyi dan lengang.

Tidak terlihat murid-murid padepokan ada disekitar halaman.

Seakan mengerti apa yang dipikirkan Ariprahmana, sambil menyuguhkan teh gula kelapa Carik Wiyoso berkata.

"Murid-muridku sekarang memang sedang tidak berada disini. Aku mengutus mereka untuk membantu penduduk berjaga-jaga diperbatasan desa Lohbener. Akhir-akhir ini kejahatan merajalela dimana-mana."

"Hmm,begitu?"

Gumam Ariprahmana.

Raja Gendeng 29 Kanjeng Empu Basula di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh ya apakah boleh kuminum hidangan suguhan kakang ini. Gula kelapa bila dicampur teh diminum selagi hangat rasanya pasti nikmat"

Carik Wiyoso tersenyum tersipu. Begitu asyiknya dia bicara sampai lupa mempersilahkan tamunya menikmati teh gula kelapa yang dia suguhkan.

"Oh silahkan...maafkan aku sampai kelupaan."

Ariprahmana tersenyum. Dia mengambil cangkir tanah berwarna kecoklatan yang masih mengepul. Setelah meniup air dalam cangkir itu dia meneguknya tiga kali lalu meletakkan cangkir diatas nampan bambu.

"Nikmat sekali. Terima kasih atas kemurahan hatimu, kakang!"

Ucap Ariprahmana tulus.

Carik Wiyoso tersenyum. Tapi kemudian dia bertanya.

"Ariprahmana, Jauh-jauh meninggalkan puncak Akherat. Aku rasa kedatanganmu pasti membekal maksud penting. Apakah ini berhubungan erat dengan sesuatu yang hendak kau tanyakan?"

Ariprahmana tidak segera menjawab. Sepasang matanya yang tajam menatap lurus ke arah sawah yang mulai menguning dikejauhan. Sambil menghela nafas pendek dia berkata.

"Semua yang kau katakan memang benar kakang Carik. Tapi sebelum aku menanyakan sesuatu, apakah aku boleh tahu kejahatan apa yang telah terjadi hingga kau menyuruh murid-muridmu menjaga perbatasan desa?"

"Hm.... Aku tidak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Yang kuketahui telah terjadi pembunuhan dimana-mana. Siapa pelakunya tidak ada yang tahu."

"Lalu untuk apa perbatasan dijaga kalau desa ini sebenarnya dalam keadaan aman-aman saja?"

Tanya Ariprahmana tidak mengerti.

"Sebenarnya desa ini sudah tidak aman. Beberapa hari yang lalu kepala desa dan istrinya dibunuh. Sedangkan dua putranya dibantai. Seorang anak gadisnya hilang lenyap. Penduduk ada yang sempat melihat kejadian itu. Kabarnya pembunuh kepala desa dan yang membawa pergi anak gadisnya adalah seorang pemuda remaja berusia sekitar tujuh belas tahun. Pemuda itu berpakaian biru, rambut panjang kaku."

"Kau mengenal pemuda dengan diri-ciri seperti itu, kakang Carik?"

Tanya Ariprahmana sambil tatap wajah orang tua didepannya. Carik Wiyoso gelengkan kepala.

"Dia bukan orang desa ini. Aku mengenal semua penduduk mulai dari anak-anak hingga orang tua!"

Jawab Carik Wiyoso tanpa ragu

"Jadi pemuda itu dari luar desa?"

Gumam Ariprahmana.

"Ya.Memang demikian. Pemuda itu memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi."

Menerangkan Carik Wiyoso.

"Bagaimana kakang bisa tahu dia berilmu sangat tinggi, sedangkan kakang sendiri belum pernah berhadapan dengannya?"

"Seseorang yang bisa mengalahkan kepala desa, bahkan membunuhnya hanya dalam beberapa gebrakan bukan manusia biasa, karena kepala desa memiliki kesaktian yang tinggi. Dimasa mudanya dia adalah seorang pendekar yang sangat disegani di kawasan selatan."

"Bagaimana kepala desa itu dibunuh?"

Tanya Ariprahmana penuh rasa ingin tahu.

"Ditubuhnya terdapat tiga buah luka menganga. Luka-luka itu bukan karena tusukan senjata tapi bersumber dari pukulan sakti yang luar biasa ganas. Aku ikut memandikan jenazahnya. Dan saat itu aku menyadari sang pembunuh adalah iblis berhati keji.

"Kakang, penjelasanmu cukup jelas dan bagaimana ciri-ciri puteri kepala desa?"

Carik Wiyoso diam tercenung. Nampaknya dia berusaha mengingat-ingat. Kemudian dia berkata,

"Gadis itu bernama Windari, bertubuh tinggi. Rambutnya panjang sepinggang. Wajahnya cantik serta berkulit kuning bersih. Dia memiliki tanda khusus berupa tahi lalat di dagu."

"Baiklah. Aku akan mengingat semua yang kakang sebutkan. Siapa tahu aku bisa menemukannya di dalam perjalanan nanti. Terima kasih atas perhatianmu. Sekarang kau ingin kemana?"

Ariprahmana terdiam. Wajahnya menyimpan keraguan, membuat Carik Wiyoso merasa tidak enak hati hingga cepat-cepat berujar.

"Jika pertanyaanku tidak berkenan dihatimu, sebaiknya kau jangan menjawabnya!"

"Oh bukan demikian Kakang!"

Sela Ariprahmana.

"Aku sebenarnya sedang melakukan tugas yang diberikan oleh enam sahabat yaitu enam tokoh puncak yang lebih tua dariku...!"

Terang orang tua itu.

Ariprahmana kemudian menceritakan tentang kabar menggegerkan yang telah menimpa beberapa sahabat.

Sampai kemudian enam tokoh mengutusnya melakukan penyelidikan secara langsung.

Selesai mendengarkan cerita Ariprahmana, Carik Wiyoso berkata.

"Ariprahmana semua yang kau dengar memang benar adanya. Apakah kau belum mendengar bahwa Giring Sabanaya, Si Kedip Mata dan seorang pemuda bernama Ariamaja juga tewas mengenaskan beberapa hari yang lalu? Menurut petani yang menyaksikan kejadian itu. Ketiga orang yang kabarnya ikut bergabung dalam penyerbuan ke gedung tempat kediaman Pendekar Sesat itu dibunuh oleh seorang pemuda yang ciri-cirinya sama persis dengan pemuda yang membunuh kepala desa dan menculik anaknya."

"Apa?!"

Sentak Ariprahmana kaget bukan kepalang.

"Begitulah yang telah kudengar!"

Ucap Carik Wiyoso prihatin.

"Apakah ada yang tahu siapa nama pemuda itu?"

Tanya si orang tua sambil tatap pemilik padepokan dalam-dalam.

"Namanya... kalau tidak salah adalah Pura Saketi...!"

Mendengar ledakan halilintar disiang bolong Ariprahmana tidak akan sekaget itu.

"Pura Saketi adalah Putra Pendekar Sesat. Dia lolos dari penyerbuan dan sempat terkena panah namun kemudian menceburkan diri kedalam Jurang Watu Remuk Raga. Astaga! Jika Pura Saketi yang melakukan semua kejahatan ini, berarti kehadirannya di rimba persilatan adalah untuk membalas dendam!"

Carik Wiyoso terdiam sambil usap-usap jenggotnya yang putih meranggas. Wajah orang tua itu sangat tegang. Walau dia menyadari tidak pernah berurusan dengan putra Pendekar Sesat, namun dia mencemaskan keselamatan Tujuh Tokoh dari Puncak Akherat.

"Apa yang akan kau lakukan? Sebaiknya kembalilah ke Puncak Akherat. Kabar ini harus disampaikan pada enam tokoh lainnya agar mereka tahu tindakan apa yang sebaiknya harus dilakukan?"

"Puncak Akherat sangat jauh dari sini. Aku harus melanjutkan perjalanan mencari pemuda itu sebelum dia melakukan pembunuhan lebih banyak lagi!"

"Tapi pemuda itu sangat berbahaya. Jika dia mampu membunuh Randu Wullih bukan mustahil dia akan menghabisimu juga!"

Kata Carik Wiyoso dengan wajah membayangkan kekhawatiran mendalam. Ariprahmana tersenyum.

"Hidup mati yang menyangkut takdir manusia ada ditangan yang maha kuasa, kakang. Demi membela kebenaran aku tidak akan menyesal walau harus mati ditangan pemuda ingusan. Satu saja pintaku, jika dalam waktu tiga hari kedepan aku tidak muncul atau kembali ke padepokanmu ini. Harap kau pergilah ke Puncak Akherat. Sampaikan kepada enam Tokoh bahwa mungkin telah terjadi sesuatu denganku!"

Mendengar pesan yang diucapkan Ariprahmana, Carik Wiyoso merasa sedih.

Dia menyadari bagaimanapun juga Ariprahmana adalah orang yang telah ikut serta menjaga ketentraman di dunia persilatan khususnya di kawasan tengah.

Jika bukan karena jasa kakek ini bersama enam tokoh lainnya mungkin Iblis Kolot masih gentayangan menyebar maut dimana-mana.

"Ariprahmana... entah mengapa hatiku merasa risau dengan kepergianmu kali ini. Ingin rasanya aku menyertaimu. Tapi dipadepokan ini aku juga punya tanggung jawab terhadap murid-muridku."

Ariprahmana tersenyum sambil tepuk-tepuk bahu orang tua didepannya.

"Kakang tidak perlu menyertaiku. Cukup sampaikan saja pesanku bila aku tidak kembali lagi dalam tiga hari ke depan."

"Apakah kau akan pergi sekarang?!"

Tanya Carik Wiyoso begitu dilihatnya Ariprahmana bangkit berdiri

"Ya...!"

"Bb.. baiklah. Aku akan mengantarmu sampai ke halaman depan."

Carik Wiyoso pun kemudian berdiri, lalu berjalan mengiringi sang tamu hingga sampai di depan kuda.

"Aku pergi dulu, kakang!"

Ariprahmana berpamitan yang dijawab oleh Carik Wlyoso dengan anggukkan kepala. Ariprahmana tersenyum dan memutar arah kuda, selanjutnya tanpa menoleh lagi orang tua itu meninggalkan Carik Wiyoso yang berdiri tertegun menatap kepergiannya.

"Jagad dewa bathara yang maha kasih. Lindungilah sahabatku Ariprahmana dari kejahatan manusia Iblis!"

Desis si orang tua dengan wajah tertunduk mata berkaca-kaca.


*****


Bukit Batu Lumut terdapat di tengah hamparan sawah luas.

Sejak puluhan tahun yang lalu sawah itu dibiarkan tidak terurus.

Para penggarap yang menempati desa-desa kecil yang terdapat disekeliling sawah meninggalkan tempat itu akibat diserang wabah penyakit menular.

Tidak sedikit korban tewas akibat wabah ganas itu.

Bahkan saking banyaknya korban yang berjatuhan membuat para penggali kubur yang jumlahnya terbatas tidak sempat lagi menguburkan mayat-mayat bergelimpangan setiap harinya.

Mayat dari belasan desa lalu dikumpulkan ditengah sawah.

Diantaranya ada yang dibakar namun banyak pula yang dibiarkan busuk begitu saja.

Malam menjelang pagi.

Ketika Kanjeng Empu Basula sampai ditempat itu terasa suasananya sunyi mencekam.

Dari tempatnya berdiri terlihat sebuah bukit berwarna hijau tegak dalam kebisuan dikejauhan.

Sang Kanjeng yang banyak mengetahu tentang riwayat bukit itu segera mengayunkan langkahnya ke sana.

Semak belukar, rerumputan liar menjulang tinggi tidak menjadi penghalang bagi sang Kanjeng karena saat itu dia berjalan dengan kedua kaki mengambang satu tombak dari atas tanah.

Walau kelihatannya Kanjeng Empu Basula berjalan seperti biasa-biasa saja namun kecepatannya melangkah melebihi orang biasa yang sedang berlari sekencang-kencangnya.

Ini tidak mengherankan karena si kakek menggunakan ilmu Lampah Angin yang membuatnya bisa bergerak secepat angin berhembus.

Tak lama melangkahkan kaki Kanjeng Empu Basula pun sampai didepan bukit itu.

Malam bertambah dingin seiring dengan turunnya embun.

Di langit cahaya bulan mulai memudar.

Kanjeng Empu Basula tampak diam dengan dua tangan dilipat di depan dada.
Raja Gendeng 29 Kanjeng Empu Basula di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kemudian si kakek pejamkan matanya.

Sayup sayup terdengar suara rintihan tangis.

"Suara-suara itu pasti suara arwah yang meninggal karena terserang wabah aneh."

Membatin sang Kanjeng dalam hati. Tanpa memperhatikan suara mahluk-mahluk halus itu, sang Kanjeng kembali buka matanya. Sekarang perhatian sang Kanjeng tertuju lurus ke arah bukit batu yang berada didepannya.

"Ada pintu ada jalan keluar. Bila terbuka maka tersingkaplah semua rahasia yang tersembunyi di dalam!"

Ucap sang Kanjeng.

Selanjutnya mulut yang terlindung kumis tipis rapih berkemak-kemik.

Perlahan namun pasti telunjuk tangan kanan diacungkan ke depan tepat ke arah lereng bukit.

Sekonyong-konyong dari ujung jemari telunjuk sang Kanjeng membersit cahaya putih terang yang ukurannya tidak lebih besar dari ujung lidi.

Cahaya melesat tanpa suara, lalu menghantam ke arah bukit yang menjadi sasaran.

Cees!

Dess!

Cahaya menghantam lereng bukit batu, namun kemudian cahaya terpental ke atas, dan pecah diketinggian berubah menjadi taburan bunga api.

Kanjeng Empu Basula menghela nafas kecewa sekaligus gelengkan kepala.

"Ternyata letak pintu tidak disini!"

Berkata demikian Kanjeng Empu Basula kembali ayunkan langkah.

Kali ini dia bergerak menuju ke sebelah selatan lereng bukit.

Sama seperti sebelumnya saat berjalan kedua kakinya tetap mengambang diatas rumput dan semak belukar.

Tepat diselatan bukit Batu Lumut orang tua ini hentikan langkahnya.

Sambil menatap ke lereng bukit mulutnya kembali berkemak-kemik.

Setelah itu dia berucap.

"Ada pintu ada jalan keluar. Setelah terbuka maka tersingkaplah semua rahasia yang tersembunyi di dalam!"

Setelah mengulang ucapan yang sama Kanjeng Empu Basula menunggu.

Lalu ada sambaran angin halus menerpa tubuhnya.

Si kakek tersenyum.

"Pintu yang dicari telah ditemukan, karena keberadaan pintu ditandai dengan adanya desiran angin lembut itu."

Tanpa ragu Kanjeng Empu Basula kambali ulurkan tangan.

Jari telunjuk dipentang lurus di acungkan ke lereng bukit.

Ujung jari tiba-tiba bergetar.

Cahaya putih berkilau melesat dari ujung jari. Tak ada suara, tidak juga terdengar suara menderu ketika cahaya putih itu berkiblat.

Lalu...

Byar!

Ketika cahaya putih menghantam lereng bukit batu Lumut terjadi pijaran aneh.

Cahaya membelah menjadi dua.

Satu bergerak kesebelah kiri sepanjang lengan tangan lalu berbelok ke bawah, sedangkan satu cahaya lagi bergerak ke kanan sepanjang lengan, kemudian berbelok ke bawah pula.

Greek!

Cahaya putih lenyap, meninggalkan jejak berupa garis berbentuk pintu.

Bersamaan dengan itu terdengar suara derit panjang.

Pintu batu membuka.

Dibalik pintu tebal dan berat keadaannya gelap gulita.

Sementara hawa panas menyembur dari balik pintu tersebut.

Si kakek bergerak kesamping.

Dengan menggunakan ujung lengan baju dia menghalau hawa panas yang menyambar tubuhnya.

Terdengar suara letupan disertai kepulan asap.

Kanjeng Empu Basula segera menutup jalan nafas dengan mengalirkan tenaga dalam kebagian tenggorokannya.

Kepulan asap lenyap.

Orang tua itu menatap ke depan ke arah pintu yang menghubungkan bagian dalam bukit.

Dia menduga tidak mungkin Sang Kuasa Agung meninggalkan bukit Batu Lumut yang didiaminya selama puluhan tahun tanpa penjagaan dan pengamanan.

Sang Kuasa Agung pasti telah memasang perangkap rahasia.

Untuk membuktikan kecurigaannya itu, Kanjeng Empu Basula mengambil sebuah benda bulat seukuran jari telunjuk, lalu melemparkannya ke balik pintu.

Benda bulat yang ternyata adalah alat yang bisa meledak ini berkelebat membeset udara, meluncur sambil berputar sedemikian rupa lalu amblas kedalam pintu.

Byar!

Terjadi letupan keras.

Guncangan ringan melanda sekeliling bukit.

Bersamaan bertebarannya debu yang mengepul keluar dari dalam bukit, melesat pula sedikitnya lima tombak, lima anak panah ke arah si kakek.

Karena sebelumnya sudah menduga, Kanjeng Empu Basula dengan mudah dapat menghindari senjata rahasia itu.

Semua senjata akhirnya berjatuhan.

Sang Kanjeng menunggu.

Tiba-tiba saja dia mendengar suara lolongan anjing sayup-sayup dikejauhan.

"Lolongan anjing dimalam hari biasanya merupakan pertanda tidak baik,"

Gumam orang tua itu.

Sambil tatap pintu yang sunyi, orang tua ini mengeluarkan sesuatu dari balik pinggangnya.

Benda itu berukuran dua jengkal dan berwarna hitam.

Benda yang dinamakan Batu Api sepanjang dua jengkal ditiup. Tiupan yang dilakukan sang Kanjeng tentulah bukan tiupan biasa karena dalam tiupannya mengandung tenaga dalam berhawa panas.

Begitu ditiup ujung sebelah atas menyala memancarkan cahaya putih benderang menerangi segenap penjuru seluas lima tombak. Dengan menggunakan penerangan ditangan orang tua ini melangkah dekati pintu.

Sesampai didepan pintu dia mengendus udara dari dalam yang pengab.

Si kakek kembali membaca sesuatu sebelum ayunkan langkah ke dalam.

Selesai membaca kini dia melangkah masuk sambil menahan nafas dan dada berdebar.

Baru saja orang tua ini ayunkan langkah beberapa tindak, pintu dibelakangnya bergeser menutup.

Walau terkejut tak menyangka pintu gaib dilereng bukit itu bisa menutup sendiri Kanjeng Empu Basula berkata,

"Ada pintu ada jalan keluar. Setelah terbuka maka tersingkaplah semua rahasia yang tersembunyi didalam!"

Dan kata-kata itu adalah kata-kata keramat yang hanya diketahui oleh pemilik tempat dan Kanjeng sendiri.

Tidaklah mengherankan walau pintu menutup dia tidak menjadi risau karena dia tahu bagaimana nantinya akan keluar.

Tanpa menoleh kebelakang lagi Kanjeng Empu Basula segera memperhatikan segenap penjuru ruangan yang kini menjadi terang benderang.

Orang tua itu tertegun, langkahnya terhenti sedang mulutnya berdecak kagum.

"Benda-benda tidak berjiwa ini usianya mencapai ribuan tahun. Saat ini benda-benda itu seperti barang yang tidak berguna. Namun bila diberi jiwa, dibangkitkan oleh orang yang mengetahui rahasianya. Mereka bisa menjadi alat pembunuh yang sulit ditemukan tandingannya."

Batin Kanjeng Empu Basula.

Dengan penuh perhatian dia menatap ke depan, ke arah perajurit perang yang terdiri dari ratusan patung yang terbuat dari batu yang dipahat.Patung-patung batu dibuat sedemikian rupa laksana perajurit perang.

Tangan memegang pedang, ada pula yang memegang rantai dibanduli bola berduri, tidak sedikit yang dipersenjatai golok dan tombak batu.

Sebagian patung juga dilengkapi dengan perisai.

Kemudian agak disebelah belakang terdapat pula perajurit patung berkuda, berpenampilan gagah berwajah sangar dan garang. Dibelakang perajurit berkuda masih terdapat deretan patung lainnya dibariskan berderet rapi lengkap dengan panah dan busur.

Memperhatikan ratusan patung perajurit perang agak lebih lama membuat tengkuk Kanjeng Empu Basula jadi merinding.

"Semua masalah memang tidak bermula dari tempat ini. Tapi yang jelas aku harus menyelesaikan salah satu pemicu persoalan dari sini. Jika tidak kuhancurkan semua patung-patung ini maka dalam waktu tidak lama lagi mereka bakal berubah menjadi pasukan pembunuh yang paling kejam dan tiada tandingannya di dunia ini!"

Kata sang Kanjeng.

Orang tua itu lalu melangkah mundur kebelakang sejauh tiga tindak.

Batu api yang digenggam ditangan kiri lalu diangkat tinggi melewati bagian atas kepala.

Kemudian tanpa bicara apa-apa, tangan Kanjeng Empu Basula yang menggenggam alat penerangan satu-satunya yang menerangi ruangan itu digerakkan ke bawah tepat kebagian ubun-ubun.

Ujung Batu Api disebelah bawah keluarkan suara menderu seiring dengan gerakan tangan yang menggenggamnya.

Satu pemandangan mengerikan kemudian terjadi ditempat itu.

Ujung batu api yang tumpul amblas masuk menembus batok kepala sang Kanjeng.

Raja Gendeng 29 Kanjeng Empu Basula di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blees!

Tidak terdengar suara tulang tengkorak berderak, tidak terlihat pula darah yang memancar dari kepala yang ditancapi Batu Api.

Ujung batu seakan menembus bantalan kasur yang empuk. Anehnya begitu menancap dibatok kepala Kanjeng Empu Basula, nyala Batu api tiga kali lebih terang dari sebelumnya.

si kakek turunkan tangan yang kini tak lagi memegangi Batu Api.

Tangan lalu disilangkan di depan dada.

Sambil menghirup udara dalam-dalam perlahan-lahan namun pasti orang tua ini segera salurkan tenaga sakti ke bagian tangan juga kedua kakinya.

Hawa dingin sejuk mengalir deras mengalir deras ke kaki dan tangannya.

Dua kaki yang berterompah kemudian memancarkan cahaya putih berkilau.

Demikian juga dengan kedua tangan sang Kanjeng.

Dua tangan mulai dari ujung jari hingga kebagian pangkal lengan yang terlindung lengan baju juga memancarkan cahaya yang sama.

Tidak menunggu lama, si kakek gerakkan tangannya ke atas, diputar sedemikian rupa diatas kepala.

Ketika tangan bergerak turun ke bawah. Kanjeng Empu Basula tarik tangannya ke belakang kemudian dengan kecepatan yang sangat luar biasa tangan itu dia hantamkan ke arah deretan patung patung yang berada dibarisan paling depan.

Wuuut!

Wuus!

Cahaya putih menyilaukan mata berkiblat empat kali berturut-turut disertai suara menggemuruh mengerikan.

Saat itu sang Kanjeng berpikir.

Sekali pukulan saktinya menghantam ke arah sasaran.

Sedikitnya patung-patung batu yang berjejer pada barisan terdepan sampai barisan ke empat yang jumlahnya tidak kurang dari empat puluh patung bakal hancur menjadi kepingan.

Apalagi dia sengaja menghantam dengan menggunakan pukulan Roh Suci Menyapa Bumi.

Pukulan itu adalah salah satu dari beberapa pukulan sakti yang dimiliki sang Kanjeng.

Reeet!

Bees!

Dengan telak empat pukulan yang dilepaskannya menghantam deretan patung-patung itu.

Patung terguncang keras, dinding dan langit-langit didalam ruangan besar perut bukit Batu Lumut terguncang.

Tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Kanjeng Empu Basula terpengarah, mata mendelik mulut ternganga.

Tidak satupun dari empat pukulan sakti yang dilepaskannya sanggup menghancurkan patung batu.

Semua serangan yang dilancarkan sang Kanjeng seolah tersedot amblas lalu terserap ke badan patung.

"Tidak mungkin! Bagaimana mereka bisa menyedot amblas seranganku. Apakah mungkin ada sesuatu yang salah?!"

Kata Kanjeng Empu Basula seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Merasa penasaran, si kakek kembali alirkan tenaga sakti kebagian tangannya dengan kekuatan berlipat ganda.

Dua tangan kembali memancarkan cahaya putih yang jauh lebih terang dari sebelumnya.

Udara didalam ruangan semakin bertambah dingin.

Kanjeng Empu Basula tarik nafas dalam-dalam. Kali ini mulutnya terlihat berkemak-kemik.

Rupanya terdorong oleh rasa penasaran, Kanjeng Empu Basula melambari pukulannya dengan mantra yang bisa menghancurkan rintangan gaib yang mungkin melindungi patung patung dari kehancuran.

"Hiyaaa.."

Dua tangan kembali menghantam ke depan. Cahaya putih benderang menderu sebat meluncur cepat laksana anak panah yang terlepas dari busurnya. Tanpa ampun serangan kakek itu menghantam dengan telak lima barisan patung yang berjejer didepannya.

Buum!

Satu dentuman menggelegar mengguncang ruang perut bukit hingga kebagian puncaknya yang berada disebelah luar. Kali ini patung jatuh bertumbangan tumpang tindih tak karuan. Walau patung tidak lagi menyedot pukulan sang Kanjeng. Namun patung-patung yang berpelantingan itu tidak satupun yang mengalami kerusakan. Patung tetap utuh dan dalam keadaan tidak kekurangan sesuatu.

"Tidak! Tidak mungkin! Pukulan saktiku sanggup menghancurkan gunung tinggi. Bagaimana mungkin kini tak bisa membuat patung-patung itu hancur menjadi puing berserakan!"

Seru Kanjeng Empu Basula penasaran.

Dia memandang ke depan.

Terlihat ada kepulan debu dan asap membubung ke langit langit.

Bersamaan dengan itu dibagian paling belakang deretan patung, disudut yang gelap dia melihat muncul cahaya merah berpijar.

Cahaya itu melesat diatas kepala patung patung menuju ke arahnya.

Melihat munculnya cahaya. Kanjeng Empu Basula segera bersikap waspada.

Diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke bagian tangannya.

Seiring dengan melesatnya cahaya tiba-tiba saja terdengar suara tawa menggeledek.

Tawa perempuan.

Suara nyaring bergema itu terdengar menyeramkan ditelinga sang Kanjeng.

Suara tawa lenyap dan cahaya merah yang telah sampai di depan orang tua itu tiba-tiba saja berpendar lalu pecah menjadi kepingan. Kepulan asap tebal mengepul diudara, bergulung-gulung sedemikian rupa.

Ketika kepulan asap lenyap didepan Kanjeng Empu Basula telah berdiri tegak seorang kakek bertubuh pendek, berkumis, berambut dan berpakaian putih.

Di bibir orang tua itu terselip sebuah pipa dalam keadaan tidak menyala.

Sang Kanjeng tidak mengenali siapa adanya kakek itu namun dia menduga orang tua itu adalah orang yang bernama Si Jenggot Panjang sebagaimana yang disebutkan oleh Dewi Kipas Pelangi. Tidak jauh disebelah si kakek berdiri sosok yang sudah tidak asing lagi, Dia mengenal gadis cantik yang tangan dan kakinya berbentuk aneh berupa kaki kalajengking besar berwarna merah.

"Kanjeng Empu Basula! Beraninya kau masuk ke dalam ruangan rahasia tempat penyimpanan benda-benda yang bakal menjadi kaki tanganku ini? Kau mungkin mengira patung patung itu tidak berada dalam perlindunganku!"

Hardik sang dara cantik yang tidak lain adalah Sang Kuasa Agung. Dan bagi gadis itu Kanjeng Empu Basula tidak asing lagi. Dia sudah mengenal sang kanjeng sejak lama.

"Sang Kuasa Agung,"

Kata sang Kanjeng sambil tatap gadis didepannya dan kakek yang berada disamping si gadis.

"Aku telah mengetahui semua rencana busukmu. Aku tidak bisa membiarkan semua itu terjadi!"

Tegas orang tua itu.

Mendengar ucapan Kanjeng Empu Basula, gadis didepannya tertawa dingin menyeramkan.

"Kanjeng.... Kau telah berada di alam roh. Mengapa gentayangan mencampuri urusan orang yang masih hidup? Kau tidak suka melihat kebahagiaan orang lain, merasa iri karena aku sedang berusaha mencapai puncak kejayaan?"

"Aku tidak iri melihat manusia berhasil dalam hidupnya, Silahkan menggapai semua impianmu. Tapi jika kau membunuh manusia lain untuk mendapatkan kejayaan hidup, maka aku tidak bisa menerimanya?"

Jawab sang Kanjeng.

"Apa maksudmu, orang tua?"

Si Jenggot Panjang yang sedari tadi hanya diam mendengarkan tiba-tiba bertanya. Kanjeng Empu Basula tatap kakek pendek itu.

"Kaukah orangnya yang bernama Si Jenggot Panjang?"

Tanya sang Kanjeng. Walau terkejut tak menyangka orang mengetahui siapa dirinya, namun Si Jenggot Panjang tersenyum.

"Benar."

"Kau orangnya yang telah menculik seorang laki-laki bernama Pranajiwa?"

Tanya Kanjeng Empu Basula.

Belum sempat Si Jenggot Panjang menjawab. Sang Kuasa Agung buru-buru menyahuti.

"Kalau benar kau mau apa, Kanjeng? Pranajiwa sudah berubah menjadi jerangkong tanpa jantung. Dia telah kehilangan darah juga saripati kehidupannya. Aku yang merampas sisa hidupnya,"

"Kau memang sungguh iblis yang sangat keji.!"

Geram sang Kanjeng

"Kau sudah lama mengetahuinya, mengapa baru mengatakannya sekarang?!"

Dengus Sang Kuasa Agung sinis.

"Aku tidak akan berpangku tangan. Jika aku tidak dapat membunuhmu malam ini akan datang seseorang yang bakal menghabisimu!"

"Kau hanya bisa membual, Kanjeng. Apakah kau lupa, aku adalah mahluk siluman yang tidak dapat dikalahkan oleh siapapun.!"

Tegas Sang Kuasa Agung begitu percaya diri.

"Mulutmu terlalu sombong. Kesombongan adalah awal kehancuran setiap insan."

Ucap sang Kanjeng.

Gadis dan kakek didepannya tersenyum sinis. Kanjeng Empu Basula bersikap tidak perduli. Malah orang tua ini lanjutkan ucapannya.

"Aku tahu siapa dirimu, gadis berkaki kalajengking merah. Tapi aku tidak mengerti bagaimana orang sepertimu sangat ingin membangkitkan perajurit patung itu?"

"Hik hik hik! Aku memang tidak pernah menginginkan kekuasaan, aku tidak pernah ingin menjadi ratu rimba persilatan. Pasukan batu ini kubutuhkan untuk menghabisi manusia-manusia yang selalu merasa suci seperti dirimu. Kelak aku akan membuat lebih banyak lagi perajurit dari patung batu. Semua manusia akan kujadikan budak dan mereka harus menyembah padaku sabagaimana manusia lain yang suka menyembah pohon dan batu!"

"Cita-citamu keji dan dan menyesatkan, Sang Kuasa Agung. Sayang kau tidak bisa mewujudkan implanmu seorang diri. Kau bahkan tidak kuasa menghidupkan patung-patung itu tanpa bantuan Iblis Kolot! "

Kata Kanjeng Empu Basula sambil tersenyum mengejek.
Sang Kuasa Agung diam-diam terkejut tidak menyangka kakek itu mengetahui apa yang dirahasiakannya.

"Jahanam ini bagaimana dia bisa tahu aku membutuhkan Iblis Kolot untuk membangkitkan patung-patung ini?"

Batin Kuasa Agung.

"Tapi apa perduliku. Kalaupun dia tahu semua rahasiaku memangnya dia bisa berbuat apa?"

"Bukankah semua yang kukatakan ini benar adanya gadis kalajengking?"

Kata Kanjeng Empu Basula lagi.

Raja Gendeng 29 Kanjeng Empu Basula di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin benar itu tetapi bisa juga salah!"

"Sang kuasa Agung sahabatku. Mengapa banyak bicara. Lebih baik kita hancurkan saja mahluk kesasar satu ini!"

Teriak Si Jenggot Panjang tidak sabar.

"Kanjeng kau sudah mendengar sendiri bagaimana keinginan Jenggot Panjang. Tapi aku masih berbaik hati dengan memberimu kesempatan hidup lebih lama lagi. Jika tidak mau tubuhmu tercerai berai, sebaiknya kau segera angkat kaki dari tempat ini!"

"Hmm, sebenarnya aku benci mengatakannya. Tapi aku lebih suka memilih untuk menghadapi dirimu dan sahabatmu itu. Aku menantangmu, Sang Kuasa Agung."

Sambil berkata demikian sang Kanjeng tiba-tiba kibaskan tangannya ke arah pintu batu yang terdapat dibelakangnya.

Angin menderu menerpa pintu tersebut. Terdengar suara bergemuruh disertai bergesernya pintu batu yang berat.

Pintu terbuka, tidak menunggu lebih lama Kanjeng Empu Basula berkelebat keluar.

Bagi Kanjeng sendiri keluarnya dia dari ruangan adalah untuk menghindari adanya jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh gadis itu. Dia tidak mau termakan tipuan Sang Kuasa Agung.

Sebaliknya keluarrnya orang tua itu dari dalam ruangan perut bukit memberikan keuntungan tersendiri, Sang Kuasa Agung tidak khawatir patung-patungnya menjadi rusak bila terjadi perkelahian.

Begitu melihat sang Kanjeng tinggalkan ruangan maka dengan diikuti oleh Si Jenggot Panjang dia segera berkelebat mengejar.

Di tengah sawah yang luas Kanjeng Empu Basula tegak berdiri dengan dua kaki dipentang.

Tangan disilangkan di depan dada, sedangkan sepasang matanya yang mencorong tajam menatap ke arah si gadis dan si Jenggot Panjang silih berganti.

Tanpa bicara lagi Si Jenggot Panjang melompat ke depan siap melakukan serangan ganas.

Namun sebelum dia sempat melakukan serangan, Sang Kuasa Agung tiba-tiba berteriak.

"Jenggot Panjang sahabatku! Sebaiknya kau segera mundur! Kau tidak perlu ikut campur. Semua ini hanya masalah antara aku dan dia. Terkecuali aku mampus ditangannya. Kau boleh bertindak sesuka hati...!"

"Tapi apakah kau lupa bahwa aku telah bersumpah akan membantu dirimu dengan sepenuh jiwa ragaku. Kesulitan yang kau hadapi saat ini adalah kesulitanku juga!"

Sahut Si Jenggot Panjang.

Sang Kuasa Agung menyeringai. Wajahnya yang cantik berubah menjadi bengis. Mata yang teduh indah kini menjadi merah menyeramkan.

"Jangan membantah ucapanku! Sekarang aku tidak sedang dalam kesulitan. Kanjeng Empu Basula keparat adalah lawan yang sangat mudah! Cepat menyingkir, atau kau ingin dihajar juga?!"

Hardik gadis itu dengan suara lantang menggeledek.

Walau merasa kesal, namun Si Jenggot Panjang terpaksa patuhi perintah sahabatnya.

Dia melompat mundur.

Selesai orang tua ini jejakkan kedua kakinya diatas rerumputan maka secepat kilat si gadis melesat ke arah sang Kanjeng.

Tidak sampai sekedipan mata tahu-tahu Sang Kuasa Agung telah berada didepan Kanjeng Empu Basula.

Kemudian dengan menggunakan sepasang tangannya yang berbentuk capit berwarna merah dia menghantam wajah kakek itu.

Dua capit yang terbuka laksana penjepit besi menderu, mencari sasaran dibagian tenggorokan juga menghantam dibahu sebelah kiri.

Sementara dengan bertumpu pada sepasang kaki belakang, dua pasang kaki lainnya yang runcing tajam laksana mata tombak melesat ke bagian perut juga kaki Kanjeng Empu Basula.

Tiga serangan ganas, satu dari tangan berbentuk capit dan dua pasang kaki menghantam secara bersamaan.

Kanjeng Empu Basula geser kaki kirinya ke belakang, dua tangan yang teraliri tenaga dalam diangkat ke atas melewati kepala, lalu dengan gerakan seperti orang berenang diayunkannya kedua tangan itu ke bawah.

Trak!

Trak!

Tangan si kakek beradu keras dengan tangan dan kaki lawan.

Tangkisan yang dilakukannya membuat serangan itu dapat dipatahkan.

Sang Kuasa Agung menggerung, tubuhnya terhuyung kebelakang.

Namun dengan gerakan yang sangat cepat sekali dia sudah merangsak maju lagi.

Sementara itu Kanjeng Empu Basula sendiri sebenarnya merasakan kedua tangannya yang beradu keras dengan dua tangan dan dua pasang kaki lawan terasa sakit luar biasa.

Lengannya bahkan menggembung bengkak. Tapi ketika melihat Sang Kuasa Agung telah bergerak menyusulkan dua kaki ke arah jantungnya maka orang tua ini lambungkan tubuhnya ke atas.

Serangan itu hanya mengenai tempat kosong.

Si gadis menggeram, tangan sebelah kiri berkelebat menyambar.

Sreet!

Serangan kilat yang dilancarkan Sang Kuasa Agung berhasil merobek baju putih sang Kanjeng dari bahu hingga ke dada.

Dibalik pakaian yang robek menganga terlihat sebuah alur luka memanjang.

Luka itu tidak berbahaya dan hanya sedikit mengeluarkan darah.

Tapi Kanjeng Empu Basula merasakan ada hawa panas menjalar disekitar luka.

Hanya dengan sekali mengusap bagian tubuh yang luka, maka luka dan hawa panas yang dirasakannya langsung lenyap.

Melihat lawan kena dilukai, Sang Kuasa Agung tambah bersemangat.

Dia pun lambungkan tubuhnya ke udara.

Sepasang tangan dan tiga pasang kaki bergerak sekaligus, menghantam, membabat dan menusuk bagian-bagian tubuh lawan yang tidak terlindung.

Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh Kanjeng Empu Basula.

Begitu kaki dan tangan berkelebat siap menghujani tubuhnya yang mengapung diudara, Tanpa menunggu lebih lama, Kanjeng Empu Basula segera menghantam dengan pukulan sakti Roh Suci Menyapa Bumi!

Wuus!

Srat!

Byaar!

Cahaya putih berkiblat, lalu menderu bergulung-gulung menyambar tubuh Sang Kuasa Agung, Ketika cahaya itu menerpa tubuhnya dia segera tarik kaki dan tangan lalu didorong ke depan menangkis serangan ganas lawannya. Tiga pasang kaki runcing terpental, sepasang tangan yang jari-jarinya berbentuk penjepit terguncang.

Satu ledakan keras mengguncang tempat itu. Sang Kuasa Agung keluarkan suara raungan menggeledek.

Tubuhnya jatuh terlentang.

Walau tidak mengalami cidera parah, namun punggung dan tangannya yang membentur lereng bukit Batu Lumut terasa sakit bukan kepalang.

Bentrok pukulan yang terjadi juga membuat tubuh Kanjeng Empu Basula melambung ke atas, dua tangan seperti kesemutan.

Namun setelah jungkir balik dia jejakkan kakinya diatas rerumputan.

Melihat apa yang dialami oleh Sang Kuasa Agung, sebenarnya Si Jenggot Panjang sudah tidak sabar lagi ingin melibatkan diri dalam perkelahian itu.

Tapi dia tidak berani melakukannya karena Sang Kuasa Agung belum memberi perintah.

Selagi Sang Kuasa Agung balikkan badan dan kembali bangkit berdiri.

Dan ketika Si Jenggot Panjang terombang ambing dalam kebimbangan.

Didepan si gadis, Kanjeng Empu Basula tiba-tiba saja mencabut tiga helai rambut putihnya.

Tiga helai rambut masing-masing sepanjang dua jengkal ditangan tiba-tiba diputar diatas kepala.

Tiga kali rambut berkelebat, seketika itu juga berubah menjadi tiga buah jarum yang ukurannya sebesar lengan tangan orang dewasa.

Sambil acungkan tiga jarum putih berkilau sang Kanjeng berteriak,

"Sang Kuasa Agung! Aku perintahkan untuk menyerah sekarang juga! Kalau tidak aku akan menghukummu dengan Tiga Raja Jarum Akherat!"

Perintah si kakek sama sekali tidak digubris oleh gadis itu. Sebaliknya sambil mengumbar tawa dingin, Sang Kuasa Agung menjawab sinis.

"Kanjeng, rupanya kau sudah gila! Aku sama sekali belum kalah, aku juga tidak mengalami cidera. Bagaimana mungkin semudah itu kau menyuruhku menyerah? Hik hik hik"

"Baiklah, jangan menyesal jika aku terpaksa mengambil tindakan keras!"

Geram sang Kanjeng.

Berkata demikian salah satu jarum besar itu lalu dipindahkan ke tangan kiri.

Disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, jarum itu lalu disambitkan ke arah lawan tepat di tengah keningnya.

Sang Kuasa Agung terkesima sama sekali tidak menyangka lawan menyerang tepat dibagian tubuh yang paling mematikan.

Sambil menggerung, tiga pasang kaki ditekuk, tubuhnya sengaja dibuat amblas ke bawah hingga sama rata dengan tanah.

Jarum besar menderu, namun hanya menyambar sejengkal diatas kepala gadis itu.

Belum sempat gadis ini bangkit diluar dugaan Jarum Akherat sekonyong-konyong berbalik dan kini mengarah tepat dipunggung gadis itu.

"Keparat jahanam! Dia mengendalikan jarum sialan itu dari Jauh. Tua bangka Ini benar-benar menguji kesabaranku!"

Geram Sang Kuasa Agung dalam hati.

Secepat kilat dia kembali jatuhkan diri, begitu bokongnya menyentuh tanah dia memutar tubuh.

Dua tangan digerakkan dengan kecepatan luar biasa.

Ketika tangan itu telah berubah merah membara, si gadis segera mendorong tangannya menyambuti sambaran jarum.

Jeeest!

Dihantam cahaya merah gerakan jarum jadi tertahan, mengapung diudara.

Si kakek sentakkan tangan kiri yang mengendalikan jarum, tapi senjata sakti itu tidak bergerak.

Tidak punya pilihan lain, Kanjeng Empu Basula kembali hantamkan dua jarum maut yang tergenggam ditangan kanannya.

Karena serangan dua jarum datang dari arah belakang.

Walau sempat merasakan adanya desir angin mendahului gerakan dua jarum itu, Sang Kuasa Agung yang perhatiannya terus tertuju pada satu jarum yang menyerang dari sebelah depan rasanya tidak dapat selamatkan diri dari terjangan dua jarum maut itu.

Melihat sahabatnya berada dalam ancaman bahaya besar, si Jenggot Panjang tidak mau berdiam diri.
Raja Gendeng 29 Kanjeng Empu Basula di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dia pun lalu menghantam kedua senjata lawan dengan pukulan Telapak Iblis Menebar Bala.

Cahaya hitam pekat berkiblat, membentuk dua buah alur panjang, menebar hawa dingin luar biasa.

Tapi sebelum hawa alur cahaya menggidikkan menghantam dua jarum yang siap menghujam dipunggung si gadis.

Tidak disangka-sangka bagian ekor Sang Kuasa Agung yang mencuat panjang dengan ujung runcing berbentuk sengatan tajam dan dapat menyemburkan bisa menghantam kedua senjata berwarna putih berkilawan itu.

Traak!

Trak!

Benturan keras terjadi dua kali berturut-turut. Dua batang jarum terpental.

Sang Kuasa Agung tiba-tiba berseru.

"Berbalik, hantam tua bangka itu dengan senjatanya sendiri!"

Teriakan itu segera diikuti dengan kejadian yang sangat luar biasa.

Bahkan Kanjeng Empu Basula sendiri sempat dibuatnya tercengang.

Sesuai dengan perintah si gadis, tiba-tiba dua batang jarum berbalik arah.

Lalu menderu siap menghantam tubuh si kakek.

Walau Kanjeng telah berusaha mengendalikan jarum melalui pengerahan tenaga dalam jarak jauh.

Kedua jarum tetap saja tak bisa dia hentikan.

Tidak ada pilihan lain sang Kanjeng terpaksa hantamkan kedua tangan ke arah senjatanya sendiri.

Dua jarum rontok jatuh menjadi kepingan.

Si kakek leletkan lidah basahi bibirnya yang kering.

Tindakan penyelamatan diri yang dilakukan oleh Kanjeng Empu Basula tentu saja membuat perhatian si kakek terpecah menjadi dua.

Dengan demikian serangan jarum yang ditahan lawan tak dapat lagi dipertahankannya.

Tanpa dapat dicegah, jarum itupun akhirnya meledak hancur menjadi kepingan yang dikobari api.

Tanpa menghiraukan bagian ekornya terasa sakit bukan kepalang akibat bentrok dengan dua batang jarum yang menyerang dari belakang tadi.

Sang Kuasa Agung mengumbar tawa bergelak.

Sambil tertawa dia bangkit berdiri.

Kemudian tanpa menghiraukan Si Jenggot Panjang yang tadinya berusaha menolongnya, Sang Kuasa Agung berseru.

"Kanjeng kini aku benar-benar marah. Sekarang tiba giliranmu untuk menerima hadiah dariku! Heaaa...!"

Secepat kilat si gadis melakukan tiga lompatan ke depan. Dua tangan menyambar ke bagian leher sang Kanjeng sedangkan tiga pasang kaki menghujam ke tubuh kakek itu sekaligus.

Kanjeng Empu Basula yang masih terkesima melihat tiga senjatanya musnah terkesiap namun masih sempat selamatkan diri dengan melompat ke kiri sementara dua tangan dihantamkan ke dada gadis itu

Bek!

Buk!

Dua tangan sang Kanjeng bergedebukan menghantam dada Sang Kuasa Agung.

Tapi ternyata gadis ini telah melindungi tubuhnya dengan ilmu kebal. Pukulan yang dilakukan Kanjeng seperti menghantam timbunan karet tebal. Jangankan membuat remuk dada lawan, membuatnya terguncang pun tidak sanggup.

"Kau memang sudah selayaknya mampus ditanganku!"

Teriak Sang Kuasa Agung disertai seringai kemenangan.

Dua tangan berbentuk capit mencengkeram leher.

Sedangkan tiga pasang kaki lebih dulu menghujani perut kanjeng.

Ujung tiga pasang kaki yang runcing seperti tombak tanpa ampun amblas menghujani dada, perut dan kaki orang tua itu.

Darah menyembur dari seluruh luka ditubuhnya.

Sang Kuasa Agung menyeringai.

Dua tangan yang menjepit leher ditekan sedemikian rupa hingga terdengar suara tulang putus berderak.

Krek!

Blug!

Kepala itu menggelinding direrumputan.

Si gadis angkat kaki-kakinya yang terbenam diperut lawan.

Begitu kaki tercabut, tubuh Kanjeng Empu Basula pun ambruk.

Sang Kuasa Agung mengumbar tawa kemenangan.

Dengan kaki dan tangan masih berlumuran darah dia tinggalkan mayat lawannya.

Melihat sahabatnya selamat bahkan sanggup menghabisi kakek yang menjadi lawannya, dengan perasaan girang Si Jenggot Panjang berlari mendatangi.

"Sang Kuasa Agung, aku sudah menduga kau bisa mengalahkan orang tua itu. Kau memang hebat! Aku sangat bangga mempunyai sahabat seperti dirimu!"

Kata kakek itu sambil tatap gadis disebelahnya dengan pandangan kagum.

"Dia bukan lawan sepadan buatku! " dengus Sang Kuasa Agung.

Gadis ini lalu memandang ke langit. Bulan hampir lenyap dari pandangan. Sebentar lagi pasti malam digantikan datangnya pagi.

Sang Kuasa Agung paling tidak suka berada dialam terbuka disiang hari. Itulah sebabnya dia segera berkata.

"Sebaiknya kita masuk ke dalam bukit. Sambil memikirkan langkah selanjutnya. Kita bisa menunggu kedatangan kekasihku Iblis Kolot!"

"Baiklah sahabatku."

Sahut Si Jenggot Panjang.

Kemudian tanpa bicara lagi keduanya bergegas menuju ke pintu bukit.

Mereka tidak pernah tahu, pada saat mereka masuk ke dalam ruangan besar dalam perut bukit, disaat pintu batu bergerak menutup.

Satu kejadian yang sangat sulit dipercaya berlangsung di tempat itu.

Tubuh Kanjeng Empu Basula yang dipenuhi lubang luka tiba-tiba bangkit.

Kemudian kepala yang menggelinding terpenggal menyatu kembali.

Orang tua ini lalu duduk.

Dua tangan dipergunakan mengusap lehernya.

Luka mengerikan dileher yang sempat terpisah dengan kepala lenyap tanpa bekas. Mata yang mengatup terpejam kemudian membuka, Menatap ke arah tubuh disebelah bawah dia menggeleng.

Tanpa bicara Kanjeng Empu Basula mengusap luka-luka didada, perut juga kedua kakinya.

Sebagaimana yang terjadi pada lehernya, luka itupun lenyap, Hanya pakaian yang dipenuhi lubang bekas tancapan kaki yang tidak dapat bertaut. Kanjeng Empu Basula kembali dalam keadaan tidak kekurangan sesuatu apa.

"Dia tidak pernah menyadari, bahwa mahluk sepertiku tidak dapat dibunuh oleh satu kekuatan apapun yang dimiliki manusia ataupun siluman. Aku hanya bisa mati oleh diriku sendiri."

Sang Kanjeng kemudian menatap ke arah bukit. Dia melhat pintu bukit yang menutup.

"Sang Kuasa Agung berada di dalam bukit. Aku tahu kau pasti menunggu kedatangan Iblis Kolot. Kau boleh menyusun rencana, namun aku juga punya rencana sendiri. Kekalahanku bukanlah kekalahan sesungguhnya, aku hanya sengaja mengalah untuk mengatur siasat. Kau boleh punya seribu muslihat namun aku selalu punya penangkalnya!"

Sambil berkata demikian, Kanjeng Empu Basula segera memutar tubuh, siap hendak tinggalkan tempat itu.

Namun sebelum orang tua ini sempat bergerak dari tempatnya berdiri tiba-tiba saja terdengar suara menderu dikejauhan.

Kanjeng Empu Basula menoleh ke belakang.

Kening mengeryit, sepasang mata menyipit begitu melihat seekor kuda dan penunggang kuda berpenampilan aneh datang ke arahnya.

Sekali lagi sang Kanjeng balikkan badan.

Didepannya terlihat seekor kuda berbulu coklat bermata buta tertutup dua batok hitam berdiri tegak dengan nafas berdengus.

Dari hembusan nafas sang kuda yang panas sekali, orang tua ini sadar binatang itu bukanlah kuda yang biasa dipergunakan oleh manusia.

Dari kuda perhatiannya tertuju ke arah penunggangnya.

Pemuda bertelanjang dada bercelana biru yang matanya terlindung dua batok ternyata juga sedang menatap ke arahnya.

"Orang tua aneh, dua kaki mengambang diatas rerumputan. Siapakah dirimu? Kelihatannya telah terjadi perkelahian hebat ditempat ini."

Si kakek tersenyum.
Dia tahu pemuda diatas kuda itu bukan manusia tapi mahluk asing yang datang dari alam roh

"Aku Kanjeng Empu Basula. Kau siapa? Kau seperti seorang petinggi yang datang dari tempat mahluk-mahluk yang sedang menjalani hukuman siksa."

"Orang tua. Kau hebat bisa mengetahui siapa diriku. Dan kau juga bukan berasal dari alam fana ini.Aku biasa disebut Pemburu Dari Neraka. Aku sedang mencari seorang pelarian. Dia bernama Si Jenggot Panjang.Penciumanku mengendus dia baru saja berada ditempat ini!"

Pemburu Dari Neraka selanjutnya menerangkan ciri-ciri orang yang dicarinya. Begitu Pemburu Dari Neraka selesai bercerita tentang orang yang dicarinya. Kanjeng Empu Basula pun kemudian berkata.

"Orang itu memang berada ditempat ini. Tapi sekarang dia telah masuk kedalam perut bukit Batu Lumut bersama sahabatnya yang dikenal dengan sebutan Sang Kuasa Agung!"

Si kakek lalu menunjuk ke arah bukit yang terdapat dibelakang pemuda itu.

Pemburu Dari Neraka menatap ke Arah bukit yang ditunjuk oleh Kanjeng

"Kurang ajar! Sang Kuasa Agung adalah orang yang menyerangku dengan ratusan bola api. Jadi dia yang menjadi pelindung mahluk pelarian Si Jenggot Panjang.?"

"Menjadi pelindungnya atau bukan! Aku tidak tahu! Yang jelas Sang Kuasa Agung memang sahabatnya!"

Kata sang Kanjeng.

"Jadi Si Jenggot Panjang itu tawananmu!"
Raja Gendeng 29 Kanjeng Empu Basula di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Benar! Jenggot Panjang adalah mahluk pelarian dari neraka lapis tiga! Masa hukumannya masih lama. Dia seharusnya masih mendekam di neraka selama seribu tahun lagi!"

Terang Pemburu Dari Neraka membuat Kanjeng Empu Basula belalakkan mata, seluruh tubuhnya merinding wajah membayangkan ketegangan.

"Kalau demikian adanya. Kau harus bisa menghancurkan bukit Batu berlumut yang ada dibelakangmu. Setelah bukit hancur lebur kau seret Si Jenggot Panjang dan sahabatnya Sang Kuasa Agung. Mahluk siluman berkaki kalajengking itu sudah sepatutnya dibawa serta ke neraka!"

"Dan kau sendiri hendak kemana? Apakah kau tidak punya keinginan untuk membantu meringkus kedua orang tua itu?!"

Tanya Pemburu Dari Neraka ketika melihat Kanjeng Empu Basula sepertinya siap hendak tinggalkan tempat itu.

Si kakek tersenyum

"Sebelum kau datang aku telah melakukannya sendiri, anak muda! Sang Kuasa Agung adaiah orang yang sangat luar biasa. Namun tiba-tiba aku berubah pikiran. Aku pura-pura mengalah dengan terbunuh ditangannya...!"

"Apa? Kau sudah terbunuh tapi kini hidup lagi? Ucapanmu itu sungguh sulit untuk dipercaya?"

Potong Pemburu Dari Neraka heran.

"Aku tidak pernah mengharap kau mempercayai ucapanku. Pemilik alam semesta penuh kuasa. Manusia punya ilmu punya kepandaian. Pandangan mata kadangkala suka menipu. Dengan ilmu kesaktianku, aku telah menipu mahluk itu. Dia merasa senang karena mengira aku sudah mati. Dia tidak tahu kematianku berada ditanganku sendiri."

"Orang tua, aku sungguh kagum padamu."

"Segala pujian hendaknya dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa. Aku hanya mahluk yang memiliki banyak keterbatasan. Dan kau tidak usah menyanjungku."

Setelah berkata begitu si kakek segera ayunkan langkah tinggalkan Pemburu Dari Neraka seorang diri.

Sebelum orang tua itu lenyap dari pandangan, Sang Pemburu tiba-tiba berseru.

"Orang tua, apakah kau pergi untuk menjalankan rencana sebagaimana yang kau sebutkan?!"

Tanpa menoleh lagi Kanjeng Empu Basula menjawab,

"Jika Sang Kuasa Agung pandai bermuslihat, tentu saja aku juga punya rencana yang jauh lebih baik dari pada tipu muslihatnya. Yang jelas aku harus pergi dari sini secepatnya sebelum malam menjadi siang!"

"Orang tua aneh!"

Membatin sang Pemburu dalam hati.

Tiba-tiba dia ingat sesuatu.

Cepat dia menatap ke arah perginya sang Kanjeng.

Namun belum sempat pemuda ini membuka mulut. Kanjeng Empu Basula telah lenyap dari pandangan mata.

Seperginya si kakek renta, Pemburu Dari Neraka melompat turun dari kudanya.

Begitu kaki menyentuh rerumputan tebal dia segera melangkah menghampiri bukit Batu Berlumut.

Namun baru sampai ditengah jalan, langkahnya terhenti.

Tiba-tiba saja terdengar suara menderu dari atas ketinggian.

Kaget bercampur heran, sang Pemburu dongakkan kepala menatap ke atas.

Kening pemuda ini berkerut ketika diatas ketinggian sana seolah jatuh dari langit terlihat satu sosok tubuh melayang-layang ke arahnya.

Cepat sekali sosok tubuh yang melayang itu jatuh tiga tombak di depannya.

Bruuk!

Terdengar suara bergedebukan disertai derak tulang belulang yang berpatahan.

Pemburu Dari Neraka tatap ke depan dengan dada berdebar darah berdesir.

Penasaran pemuda ini datang menghampiri ke arah jatuhnya sosok tubuh itu.

Pemuda ini terkesima, sepasang mata yang terlindung dua batok hitam terbelalak lebar.

Dia melihat sosok yang jatuh dari langit ternyata sosok seorang gadis berwajah cantik dipenuhi bercak darah.

Gadis itu berambut panjang, berkulit putih berdada bagus berpinggul indah.

Sosok itu diam tidak bergerak. Dan yang membuat Sang pemburu merasa miris, tubuh mulus si gadis malang tidak terlindung selembar kain pun.

"Mayat gadis telanjang!"

Desis Pemburu Dari Neraka dengan suara tercekat dan darah seperti disirap.

"Siapa iblisnya yang telah memperlakukan gadis yang tidak berdosa seperti ini?"

Teriak sang Pemburu dengan suara meraung mirip lolongan anjing dimalam buta.

Pemburu Dari Neraka terus berteriak selayaknya orang gila.

Semakin lama suara teriakannya tambah melengking menembus langit.

Pemuda ini kemudian jatuhkan diri.

Sambil dekap kedua matanya Pemburu Dari Neraka menangis sejadi-jadinya.

TAMAT

Siapakah mayat gadis itu?

Apa yang terjadi dengannya?

Mengapa Pemburu Dari Neraka tiba tiba menjadi histeris?

Apakah Sang Kuasa Agung berhasil mewujudkan impiannya?

Bagaimana perasaannya ketika mengetahui Iblis Kolot ternyata sudah tewas dan mengetahui arwahnya bersemayam dalam diri seorang pemuda tampan?

Bagaimana pula dengan Raja Gendeng 313, Anjarsari juga Dewi Kipas Pelangi.
Apakah kedua gadis itu tetap bersahabat atau saling bermusuhan karena cemburu.

Ikuti kelanjutan ceritanya dalam episode

Asmara Pedang Halilintar


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini)

Situbondo,3 Oktober 2019

Sampai jumpa di episode berikutnya...

Terima Kasih

*** Saiful Bahri Situbondo ******


Special thank to
Awie Dermawan




Fear Street Terperangkap Trapped Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah
^