Pencarian

Seruling Halilintar 1

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar Bagian 1


Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 19 dalam episode

Seruling Halilintar

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//cerita-silat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Batu Cadas Angin.

Hari telah beranjak malam.

Suasana terasa sunyi mencekam.

Dalam kegelapan terlihat pepohonan menjulang tinggi meranggas menyeramkan tak ubahnya seperti patung-patung raksasa bisu.

Sementara di bawah pohon beringin merah ada seorang lelaki duduk bersila sambil menyandarkan punggungnya di batang pohon.

Lelaki ini berpakaian merah dan berambut kaku tegak bergelung menyerupai tanduk yang juga berwarna merah.

Tidak jauh didepannya teronggok sebuah peti mati hitam terbuat dari jati Lawas. Karena mulut peti ditutup rapat maka tidak ada yang tahu apakah peti mati berisi mayat ataukah dalam keadaan kosong.

Yang jelas laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu sesekali terlihat mengusap dan memeluk peti.

Bahkan air matanya meleleh bergulir menuruni pipinya.

Dia menangis.

Tapi tangisnya tanpa suara.

Lama duduk dibawah pohon membuatnya menjadi bosan.

Sambil menghela nafas dia menyusut air matanya dengan punggung tangan.

Selanjutnya dengan tatapan tajam menusuk dia layangkan pandang ke arah jalan setapak yang membentang tak jauh di depannya yang dipagut kegelapan.

"Sudah sejak pagi bocah itu pergi. Seharusnya dia sudah kembali lagi kesini sebelum matahari terbenam. Tapi sampai hari menjadi malam dia masih belum juga datang. Gerangan apa yang terjadi?"

Membatin laki-laki berambut merah melengkung seperti tanduk itu. Sejenak dia tundukan kepala, mencoba berpikir apakah yang telah dialami bocah yang menjadi suruhannya.

Sesuatu yang menjadi kebiasaan sang bocah tiba-tiba terlintas dalam benaknya, membuat laki-laki itu menggeleng keras lalu menepuk keningnya sehingga mengeluarkan Suara berderak seperti remuknya batok kepala.

Prak!

Prak!

Satu pemandangan mengerikan benar-benar terjadi, Kepala dan wajah yang bulat aplk tampak mencong, miring sana sini tidak beraturan.

Tulang dibagian dahi bahkan menyembul tak karuan.

Tapi tidak ada darah yang keluar baik dari hidung maupun telinga yang menandakan pecahnya kepala akibat tamparannya sendiri.

Dan Laki-laki itu sedikit pun tidak merasa kesakitan.

"Dalam kepala ada otak, namun otak ini terkadang tidak berguna disesatkan rasa sedih dan kecewa yang berlarut-larut. Tapi kalau kubiarkan kepala ini mencong wajah miring tak berbentuk, tidak hanya manusia, setan pun jadi takut memandangiku. Sebaiknya kubetulkan lagi bentuk wajah dan kepalaku ini seperti semula,"

Berkata demikian lalu dia kembangkan kedua telapak tangannya.

Kemudian mulut berkemak-kemik membaca mantra yang dikenal dengan nama Kembali Ke Asal.

Untuk sekedar diketahui ilmu Kembali Ke Asal di masa itu merupakan ilmu langka yang hanya dimiliki oleh beberapa tokoh persilatan saja.

Selesai membaca mantra dia meniup telapak tangan kiri kanan.

Lalu meludahinya masing-masing sebanyak tiga kali.

Kedua tangan diangkat lalu disapukan keseluruh wajah juga bagian kepala.

Krek!

Kreek!

Terdengar tulang-tulang yang hancur berderak, bertautan dan menyusun kemball ke tempat masing-masing.

Ketika dua tangan diturunkan, wajah dan bagian kepala yang remuk kembali ke bentuk semula.

Laki-laki yang dikenal dengan nama Tanggul Api itu tersenyum.

Yang aneh ketika dia tersenyum justru air mata menetes deras membasahi pipinya.

"Bocah keblinger bernama Tunggul Angin! Gerangan apa yang terjadi dengan dirimu? Kuminta kau pergi mencari benda yang kubutuhkan. Dan segera kembali. Mengapa tak kunjung pulang? Aku tak bisa menunggu! Penantian yang lama membuat arwah jadi gelisah dan jasadnya segera membusuk!"

Dengus Tanggul Api tidak sabar.

Perlahan dia bangkit berdiri.

Mata dikedip lalu memandang ke sekelilingnya.

Dua telinganya yang agak lebar namun tipis bergerak-gerak berjingkat.

Dia mendengar suara desir.

Jelas bukan desiran angin biasa.

Suara sangat halus itu jelas datangnya karena kehadiran seseorang.

Datangnya tidak dari satu arah namun dari dua arah sekaligus.

Satu dari sebelah kiri dan satunya dari sebelah kanan.

Yang dari kanan desirannya lebih halus pertanda siapapun orangnya yang hadir dibalik kegelapan itu mempunyai tenaga dalam serta ilmu mengentengi tubuh yang sudah sangat sempurna.

Yang disebelah kiri suaranya lebih kasar.

Bisa jadi dia kedatangan tamu bertubuh gemuk.

Tidak mau menunggu.

Tanggul Api membentak.

"Bocah tolol! Kau sudah tahu jalan ke pohon ini. Mengapa memilih menerobos semak seperti pencuri pikun. Kau datang dari dua arah, apa arwahmu sudah minggat meninggalkan tubuhmu yang bau itu?!"

Ucapan Tanggul Api sebenarnya bukan sungguh-sungguh ditujukan pada Tunggul Angin kakek renta yang kerap dipanggilnya bocah.

Ucapan itu adalah sindiran yang ditujukan pada orang yang datang lalu mendekam di dua tempat

Sret!

Terdengar suara langkah kaki bergegas berlalu, Tanggul Api kembali berucap menyindir.

"Baru datang, Maksud belum diutarakan mengapa buru-buru pergi?"

Lalu Tanggul Api kembali membuka mulut, kali ini ditujukan pada sosok disebelah kanan.

"Mengintai bergelap-gelap diri, apa yang dinanti. Perampok tengik! Aku hanya punya peti mati dan satu mayat orang terpuji. Jika ada kepentingan cepat munculkan diri. Tak ada keperluan harap tahu diri dan angkat kaki."

Tidak ada jawaban baik dari sebelah kirl maupun sisi sebelah kanan.

"Yang satu pergi, tapi aku merasa ada sesuatu yang ditinggalkan. Satunya lagi mungkin sudah bosan hidup,"

Membatin Tanggul Api.

Dia menunggu sebentar namun laki-laki ini tidak ingin membuang waktu maka dua tangan diangkat tenaga dalam diam-diam dialirkan ke tangan dan sekujur tubuh

Byar!

Kegelapan di bawah pohon beringin merah mendadak berubah terang benderang, saat rambut panjang bergelung melengkung ke depan seperti tanduk memancarkan cahaya merah terang.

"Aku bukan orang yang senang bergurau. Aku sedang dirundung duka. Jika ada orang yang menginginkan jalan menuju ke aherat sekarang juga aku akan menunjukkannya!"

Setelah berkata demikian, Tanggul Apl hantamkan kedua tangannya yang menyala yang dikobari api.

Wout!

Wut!

Wuus!

Dua larik cahaya merah seperti ular besar menyambar ke tempat sosok mendekam diperkirakan bersembunyi.

Dua api panas menyambar membakar semak dan pohon hingga membuat suasana menjadi terang.

Sesaat sebelum dua serangan Tanggul Api mengenal sasaran, terlihat satu bayangan serba hijau berkelebat menghindar selamatkan diri.

Seiring dengan itu terdengar pula orang merutuk.

"Sekian lama tidak bertemu. Kini apa yang hendak kau lakukan kepadaku, kakang Tanggul Api?"

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan cuma hendak mencederai, juga hendak mengirimku ke akherat."

"Walah sudah ketertaluan sekali?"

Mendengar orang menyebut namanya dan suaranya suara perempuan membuat Tanggul Api kernyitkan alisnya.

Dia batalkan serangan ke dua dan matanya memandang lurus ke depan.

Mata Tanggul Api membulat besar ketika melihat di depannya tahu-tahu, telah berdiri seorang gadis cantik berpakaian biru ringkas berambut panjang namun awut-awutan.

"Adik Peri...Peri Halilintar. Benar-benar kaukah yang kulihat ini?"

Desis Tanggul Api seakan tidak percaya. Si gadis yang memang Peri Halilintar adanya anggukkan kepala sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Aku memang saudaramu, kakang Tanggul Api,"

Menyahuti Peri Halilintar sementara perhatiannya sedang tertuju ke arah peti mati yang tergeletak di depannya.

"Musibah apa lagi yang menimpa saudaraku satu ini. Mengapa sekarang ada peti bersamanya? Siapa yang terbujur dalam peti itu?"

Membatin sang dara. Dia yang tahu sifat serta watak Tanggul Api tidak berani bertanya. Setelah memperhatikan peti kini perhatiannya tertuju pada laki-laki yang tegak dua tombak di depannya.

"Kulihat wajahmu diliputi kabut kesedihan. Padahal kedatanganku bukan untuk mengucapkan turut berduka cita. Kau menangis dan mungkin tangismu telah berlangsung berhari-hari. Tapi!... saudaraku, bukannya mau mencampuri urusanmu Aku hanya ingin tahu apa yang telah terjadi di dalam kehidupanu?"

Tanggul Api menggumam, kepala digejeng. Kemudian dengan suara lirih tertahan dia menjawab.

"Saudaraku. Lama kita tidak bertemu..."

Lalu Tanggul Api dongakkan kepala, wajah menengadah ke langit.

Kedua matanya menjadi hangat.

Ada air mata menggenang di sana.

Air mata itu coba disembunyikannya.

Namun sekecil apapun perubahan yang terjadi pada wajah Tanggul Api dapat dilihat oleh Peri Halilintar.

Sang dara sebenarnya ingin bertanya gerangan apa yang membuat sang kakak berduka.

Tetapi dia memilih diam.

"Adikku. Aku sedih karena telah ditinggal oleh orang yang sangat dekat dengan hidupku!"

Mendengar ucapan Tanggul Apl, Peri Haliintar dapat menduga bahwa orang yang dimaksud pastilah orang yang ada di dalam peti mati itu.

Dia tahu bahwa Tanggul Api telah tinggal di kawasan Cadas Angin selama belasan tahun.

Di tempat sepi dan gersang ini dia tinggal bersama dengan seorang kakek aneh yang dikenal dengan nama Ki Agung Saba Biru.

Orang tua itu adalah gurunya.

Selain itu masih ada pula seorang kakek aneh yang bernama Tunggul Angin.

Walau usianya tua, Tunggul Angin suka bicara melantur tak keruan seperti seorang bocah.

Dia masih terhitung adik seperguruan Tanggul Api karena menjadi murid yang paling belakang.

"Kakang, aku ingin bertanya apakah dukamu karena sebab kematian saudara seperguruanmu Tunggul Angin?"

Mendengar itu Tanggul Angin tertawa tergelak-gelak.

Dan anehnya setiap kali tertawa Justru air matanya menetes

"Jangan bicara dan bertanya tentang bocah bangkotan bodoh itu? Sebab bukan dia yang terbujur di dalam peti mati itu,"

Kata Tanggul Api sambil menunjuk ke arah peti.

"Kalau dia yang menemui ajal menghadap diraja cacing tanah, maka dukaku akan segera hilang seperti diterpa panas matahari. Tetapi.... huk... huk... huk..."

"Tapi apa?"

"Yang terbujur di dalam peti mati itu apakah gurumu?"

Desak Peri Halilintar sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Setiap orang di dunia ini pasti akan mati dan orang yang ditinggalkan juga merasa sedih. Kakang.... sudah berapa harikah gurumu ini berpulang?"

Tanya sang dara penasaran.

"Sett... bertanya jangan keras-keras,"

Kata Tanggul Api sambil tempelkan jari telunjuknya di depan bibir.

Melihat sang kakak mulai menunjukkan gelagat dan tingkah yang aneh Peri Halilintar menggerutu dalam hati.

"Sial! Penyakit gilanya kumat lagi."

"Jika begitu kejadiannya pertolongan dan bantuan apa yang bisa kuharapkan dari orang yang tidak waras?"

"Aku tidak ingin guru terjaga. Yang aku mau beliau dapat tidur nyenyak di alam sana."

Tanggul Api lanjutkan ucapan.

"Dia adalah orang tua yang baik padaku juga pada bocah bangkotan itu. Mengapa orang baik-baik usianya tidak panjang. Mengapa orang yang sering berbuat jahat panjang usianya?"

Tanggul Api lalu menatap sang dara, memperhatikan wajah dan tatapan mata bening itu seolah berusaha mencari jawaban disana.

Peri Halilintar menggaruk kepala.

Dia merasa iba, prihatin dan sedih melihat saudaranya.

Tak ingin berlarut-larut, sang dara sengaja mengalihkan pembicaraan dengan tidak menjawab pertanyaan sang kakak.

"Kakang. Apa yang menjadi penyebab tewasnya gurumu, apakah karena sakit ataukah karena dibunuh?"

"Dibunuh?"

Desis Tanggul Api tercengang kaget. Dia goyang-goyangkan jari telunjuknya sambil menggerutu tidak jelas.

"Tentu saja beliau menghembuskan nafas terakhir karena usianya tua. Tapi... .aku ingin guruku hidup kembali. Aku ingin dia tetap bersamaku. Karena itu aku telah memerintahkan Bocah Bangkotan Tunggul Angin untuk mencari dan menemukan Mutiara Tujuh Setan. Benda kramat itu yang konon menyimpan kehebatan diantaranya juga dapat dipergunakan untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Bila Tunggul Angin mendapatkan Mutiara Tujuh Setan maka guruku pasti bisa hidup kembali."

Segala ucapan Tanggul Api membuat mata Per Halilintar terbelalak. Dengan tak percaya gadis ini langsung memberi teguran.

"Kakang. Sedikitpun aku tidak pernah menyangka otakmu kini sudah tidak lempang lagi. Tidak ada gunanya menyuruh kakek Tunggul Angin mencari benda kramat yang sedang menjadi Incaran banyak tokoh sakti itu. Sadarlah kakang, sejak dulu hingga sekarang setiap kehidupan selalu berakhir dengan kematian., Kau tidak boleh melanggar apa yang telah digariskan oleh dewa. Menghidupkan gurumu yang sudah tiada jelas merupakan perbuatan menentang kehendak Yang Kuasa. Kuharap kau segera menguburkan gurumu Ki Agung Saba Biru. Kasihan kakek itu. Dengan membiarkan tergeletak di dalam peti mati sama saja menyiksa jasadnya dan membuat arwahnya menjad tidak tenang."

"Ha ha ha. Kau tahu apa tentang kehidupan di alam sana? Guruku baru dua puluh hari terbaring dalam peti mati."

"Ha! Apa? Dua puluh hari kau bilang baru?"

Sentak sang dara dengan mata terbelalak. Tunggul Api manggut-manggut.

Dengan sikap selayaknya orang yang tidak melakukan kesalahan tenang saja dia berkata,

"Adikku kau terlalu cerewet. Aku harap jangan mencampuri unusanku! Tapi...
hem, tunggu. Sekarang aku ingat."

Gumam Tanggul Api. Wajah yang murung itu tiba-tiba berubah sumringah.

"Bukankah... bukankah kau yang selama ini dipercaya menjaga mahluk dari luar jagad. Mahluk itu kalau tidak salah dikurung dalam penjara disebuah jurang membara di kaki gunung Dieng. Bukankah mahluk yang kau jaga itu sebelumnya hendak merampas Mutiara Kramat dari tujuh perwira? Aku yakin kau tahu dimana Mutiara Kramat itu berada?"

Mendengar pertanyaan Tanggul Api jantung Peri Halilintar berdegup kencang.

"Jauh-jauh aku datang ingin mengharap uluran tangannya, sungguh tak pernah kusangka kehadiranku disini malah menambah masalah," batin sang dara penuh sesal.

"Mengapa kau diam? Sikap diammu itu sudah merupakan pertanda bahwa kau tahu keberadaan mutiara itu"

"Kau bermaksud mendapatkan dan menguasai benda yang bukan menjadi milikmu?!" kata Peri Halilintar mulai hilang kesabaran

"Tidak. Aku hanya ingin meminjam sebentar saja.Mutiara Tujuh Setan berguna untuk mengembalikan nyawa guruku!"

Jawab Tanggul Api polos sambil titikkan air mata.

"Kakang Tanggul Api. Mungkin saja aku tahu dimana adanya mutiara kramat Mutiara Tujuh Setan, Tapi ada dua masalah penting yang kiranya perlu kau ketahui. Pertama menyangkut gurumu yang telah berpulang. Mengingat beliau menghembuskan nafas karena sakit dan usia tua harap kau merelakan kepergiannya. Yang kedua perbuatanmu hendak membangkitkan orang yang telah mati adalah melawan kehendak takdir, Sebelum terlambat dan terlanjur melakukan kesalahan besar batalkan saja keinginanmu!"

Mendengar ucapan Peri Halilintar rupanya Tanggul Api tidak dapat menerima. Wajah yang sedih, tampang yang murung dan diliputi kebingungan itu mendadak berubah menjadi beringas

"Kkk...kau.. bukannya membantu mencarikan jalan keluar malah sebaliknya membuat pikiran yang kusut ini jadi tak karuan. Apakah sudah bosan hidup, sehingga berani mencegah keinginanku?"

"Kakang, aku hanya mengingatkan karena aku adalah adikmu"

"Diam! Setiap orang yang tidak berada dipihakku, dia adalah musuhku. Setiap musuh aku wajib menyingkirkannya!"

Teriak Tanggul Api.

Peri Halilintar mencoba bersikap sabar.

Dia berpikir ada keanehan menguasai diri sang kakak.

Sesuatu yang sangat jahat tapi sang dara tak dapat memastikannya.

Belasan tahun yang lalu Tanggul Api memang telah menderita gangguan ingatan.

Namun kegilaannya hanya setahun sekal.

Dan kini setelah menjadi murid Ki Agung Saba Biru penyakitnya tak kunjung sembuh malah terkesan makin menjadi-jadi.

Peri Halilintar menggigit bibir sambil pandang Tanggul Api yang berubah beringas dan liar.

Suasana tegang menyelimuti kegelapan yang dingin.

Tanggul Api masih memperihatkan gerak gerik yang tidak wajar.

Sementara itu Peri Halilintar tengah berpikir apakah sebaiknya dia tinggalkan saja Tanggul Api seorang diri.

Namun tiba-tiba saja Tanggul Api palingkan kepala ke arah pepohonan di sebelah kiri.

Patut diakui pendengaran Tanggul Api memang setajam pendengaran gajah.

Terbukti dia kemudian membentak.

"Sudah dua kali aku mendengar tanda-tanda kehadiran orang. Siapa yang bersembunyi disitu, harap segera tunjukkan diri"
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dikegelapan terdengar suara erangan. Semak belukar bergoyang. Daun-daun bergetar. Lalu ada sosok bergerak mendatangi.

Tanggul Api angkat tangan kanannya. Siap melepas satu pukulan mematikan. Memperhatikan sosok tersebut segala kemarahan karena ucapan sang adik seketika lenyap. Tangan yang diangkat segera diturunkan. Sambil berjalan menyongsong ke arah sosok yang datang dia berseru kaget.

"Tunggul Angin, adik seperguruanku Bocah Bangkotan. Apa yang terjadi padamu?"

Bruuuk!

Bukannya menjawab orang yang ditanya malah ambruk jatuh berkelukuran di tanah yang becek.

Peri Halintar terkesima. Tanggul Api jatuhkan diri berlutut disamping sosok kakek berpakaian serba putih berambut putih bertampang bodoh

"Mengapa beginl?1"

Tanya Tanggul Api sambil meletakkan kepala kakek yang sekujur tubuhnya dipenuhi luka dan darah itu.

Si kakek yang memang Tunggul Angin dan biasa dipanggil Bocah Bangkotan nampak megap megap.

Tenggorokannya yang berlubang keluarkan suara mengorok, dari hidung dan mulut darah terus mengucur, Sementara ketika Tanggul Api memeriksa sekujur tubuh orang tua itu dia melihat ada luka menganga di sekitar dada sebelah kiri dan perut di sebelah bawah.

Dalam keadaan dipenuhi luka dan banyak kehilangan darah. Tunggul Angin membuka mata.

Dia memaksakan diri untuk bicara.

Peri Halilintar mendekat, duduk diantara Tunggul Angin yang tergeletak dan Tanggul Api yang memangkunya.

Menatap sekilas pada orang tua itu Peri Halilintar cepat berkata.

"Aku merasa pertolongan apapun yang diberikan tak mungkin bisa menyelamatkan nyawanya. Lebih baik kakang segera tanya siapa yang melakukan semua ini padanya!."

Saran Sang dara. Tanggul Api diam membisu.

Namun seakan melupakan amarah gila yang hampir sempat membuatnya gelap mata, Tanggul Apl turuti juga usul adiknya.

"Tunggul Angin. Aku mohon bila kau mendengar jawablah pertanyaanku ini." kata laki-aki itu.

Mata yang setengah membuka setengah terkatub itu mendadak terbelalak-lebar.

Bukannya menjawab, sebaliknya mata si kakek berputar mencari-cari.

Kemudian pandangan mata yang kosong itu tertuju ke arah peti mati hitam yang tergeletak di sampingnya.

Peri Halilintar melihat ada rasa takut yang sedemikian rupa di wajah si kakek hingga membuatnya membatin.

"Mengapa dia seperti ketakutan melihat peti mati itu."

"Bocah bangkotan jawab pertanyaanku. Mengapa kau terus menerus memandang ke pet mati guru kita? Katakan. Katakan siapa yang telah membuatmu mengalami cedera begini parah?"

Tanya Tanggul Api.

Lagi-lagi terdengar suara mengorok.

Peri Halilintar dan Tanggul Api kemudian bahu membahu meletakkan kedua tangannya masing-masing ke kepala dan dada kanan Tunggul Angin. Hampir bersamaan mereka salurkan tenaga dalam dan hawa murni ke tubuh Tunggul Angin. Hawa hangat mengalir deras ke tubuh si kakek.

Tunggul Angin megap-megap.

Mata yang mendelik terlihat lebih tenang namun tiba-tiba dari mulutnya terdengar suara teriakan.

"Aku tidak akan mati penasaran saudaraku bila kau segera membuka penutup peti mati dan memeriksa isinya. Kumohon lakukanlah pemintaanku ini...!"

Teriakan Tunggul Angin lenyap, kepala terkulai lalu diam tidak bergerak lagi

"Jangan! Kau jangan pergi. Hanya kau temanku satu-satunya yang paling penurut di dunia ini!"

Seru Tanggul Api histeris sambil memeluk tubuh Tunggul Angin yang bergelimang darah.

Tapi tidak selayaknya orang yang berduka Tanggul Api malahan melampiaskan duka citanya dengan mengumbar tawa bergelak. Peri Halilintar yang sudah paham benar dengan kebiasaan itu sejenak diam membiarkan.

Setelah cukup lama berselang sang dara menepuk bahu Tanggul Api sekaligus berkata.

"Dia telah pergi. Siapapun yang belah membunuhnya aku akan berusaha membantu untuk mencarinya. Tapi lakukan dulu apa yang telah diamanatkannya."

"Amanat? Pernahkah dia menyampaikan amanat?"

Tanya Tanggul Api dengan mata jelalatan selayaknya orang kehilangan ingatan.

"Apakah kau lupa, sebelum menghembuskan nafas yang terakhir. Tunggul Angin meminta agar kau membuka penutup peti mati gurumu."

"Membuka penutup peti, bukankah menurut guru merupakan sebuah pantangan besar. Mana aku berani melakukannya. Lagi pula apa hubungan kematiannya dengan kematian guru?"

"Apa hubungannya? Barangkali itu yang harus kita cari tahu. Mungkin saja kematian kakek ini berkaitan erat dengan gurumu."

"Aku tidak mengerti. Bagaimana bila permintaannya tidak kukabulkan?"

Tanya Tanggul Api dengan mata menerawang.

"Oh itu yang paling berbahaya. Melanggar permintaan orang yang sudah mati bisa membuatnya arwahnya gentayangan penasaran mencarimu. Lebih baik kau penuhi saja permintaannya."

"Apakah... apakah...!"

"Sudah jangan banyak tanya. Lebih baik kabulkan permintaannya,"

Desak Peri Halilintar tidak sabar.

"Tapi aku takut!"

Menyahuti Tanggul Api sambil sembunyikan wajah.

"Aku takut kwalat!"

"Hi hi hik. Karena aku bukan murid gurumu, biar aku saja yang membuka penutup peti itu. Aku tidak takut kena kualat,"

Tegas Peri Halilintar.

Setelah didesak terus akhirnya Tanggul Api mengalah.

Dia mengizinkan adiknya untuk membuka peti mati itu.

Peri Hallilintar bangkit berdirl, lalu dekati peti dan berdiri di sampingnya.

Sekilas mata sang dara yang bening indah memperhatikan penutup peti.

Dia mendapati penutup peti dipasak dengan empat buah paku terbuat dari kayu nibung.

"Kau tidak ingin mendekat untuk melihat apa yang kulakukan ?"

Bertanya sang Peri seraya bungkukan badan julurkan tangan. Empat pasak yang terdapat di empat penjuu sudut diraba. Dibelakangnya Tanggul Api tidak bergerak dari tempatnya. Dia tetap duduk memangku kepala Tunggul Angin.

"Kau saja yang buka. Kau yang membuat keputusan aku tidak mau ikutan kena tulah."

Sahut laki-laki itu dengan suara bergetar berbalut ketakutan.

Peri Halilintar tersenyum, dalam hati dia berkata.

"Dalam keluguan dan ketidakberesan otaknya dia menerima apa saja yang diajarkan guru nya. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres telah ditanamkan dalam diri saudaraku ini."

Peri Halilintar tegak kembali. Sambil menatap ke arah peti, dua tangan diangkat tinggi. Telapak tangan dibuka sementara diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke bagian kedua tangannya.

Set!

Tangan sang Peri tiba-tiba bergetar dan pancarkan cahaya berkilau. Ilmu Mencabut Tulang Didalam Raga dia terapkan. Dua tangan ditekan ke bawah lalu disentakkan ke atas. Seketika itu juga terdengar empat paku berderak dan....

Wous!

Wous!

Empat paku melesat di udara lalu lenyap dalam kegelapan. Peri Halilintar kembali gerakkan tangan kebagian penutup peti. Ketika tangan disentakkan kesamping, penutup peti yang berat itu melayang kesamping jatuh di atas rerumputan. Peri Halilintar turunkan kedua tangan, kepala dijulur sepasang menatap ke dalam peti itu.

Tiba-tiba saja dia, berseru.

"Lihat! Peti mati ini. Tidak ada jenazah gurumu di dalamnya. Hanya ada seekor beruang hitam besar tergeletak kaku tak bernyawa!"

Seruan itu karuan saja membuat Tanggul Api berjingkrak kaget, lalu melompat dari tempat duduknya dan bergegas menghampiri

"Tidak mungkin.
Aku dan bocah bangkotan yang meletakkan jenazah guru kami ke dalam peti mati ini. Kemana jenazah itu pergi? Mengapa berubah menjadi beruang?"

Desis Tanggul Api terheran-heran. Seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, ditatapnya peti mati itu berulangkali.

"Saudaramu telah mencium ada yang tidak beres dengan kematian guru kalian.Mungkin saja dia mengetahui sesuatu.Sayang dia tidak sempat mengatakannya padamu,"

Gumam Peri Halilintar. Tanggul Api tatap wajah gadis itu dengan kening berkerut serta hati diliputi keheranan.

"Sesuatu yang tidak beres apa? Guruku telah meninggal bila sekarang berubah menjadi beruang mungkin semua ini sudah menjadi kehendak para dewa."

Peri Halilintar tersenyum sambil menggeleng.

"Gurumu tak mempunyai ilmu beruang bukan?" tanya si gadis sambil menatap sang kakak lekat lekat

"Semua ilmu kesaktian serta jurus silat yang dia miliki tak berhubungan dengan beruang."

"Itu berarti kau harus menyelidiki gerangan apa yang tersembunyi dibalik semua ini."

"Bagaimana dengan kematian saudara seperguruanku bocah bangkotan?"

"Emm, aku belum bisa mengambil kesimpulan apa-apa kakang. Tidak seorangpun diantara kita yang tahu siapa yang telah menyerangnya.Hanya saja permintaannya agar kita membuka peutup peti gurumu sebagai sesuatu yang aneh.Mungkin saja kematiannya berhubungan dengan menghilangnya guru kalian dari peti itu"

"Aku bingung, aku tidak mengerti.Ha ha ha!"

Tanggul Api bangkit berdiri sambil tertawa tergelak-gelak.

Mulut tertawa, namun mata dan hati menangis.

Peri Halilintar yang sadar jiwa kakaknya dalam keadaan terluka segera menyusul bangkit

"Jangan bersedih, jangan pula berduka.Terimalah semua ini sebagai kenyataan hidup. Marilah kita bersama-sama menguburkan jenazah adik seperguruanmu Tunggul Angin."

"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku bingung, otakku seperti mendidih. Kumohon, apapun kepentinganmu menyambangiku disini. Tolong bantu aku!"

Ucap Tanggul Api suaranya memelas dan terlihat lebih sering menarik-narik rambut merah di kepalanya.
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tanpa bicara lagi.

Peri Halilintar segera membuat sebuah kubur untuk Tunggul Angin menyusul sebuah kubur berikutnya diperuntukkan buat sang beruang.

Menjelang tengah malam setelah acara pemakaman selesai, kedua bersaudara namun lain guru itu duduk melepas lelah.

"Aku tahu kedatanganmu kemari pastilah membawa kabar yang sangat penting. Andai saja kita berdua bisa saling mendukung dan saling membantu."

Kata Tanggul Api dengan mata menerawang.

"Ya. Kita memang harus saling bantu. Terus terang kedatanganku kesini membawa suatu maksud. Aku butuh bantuanmu."

"Bantuan apa saudaraku?"

Tanya Tanggul Apl.

"Kau tahu selama ini Tiga Setan Putih yang juga dikenal dengan Tiga Perwira Setan mempercinyaiku untuk menjaga penjara api digunung Dieng. Seperti kau ketahui dalam penjara itu mendekam seorang panglima ganas bernama Bethala Karma, sang mahluk dari kerajaan istana kuno di luar jagat."

Peri Halintar kemudian menceritakan segala kejadian di kaki Dieng serta kemungkinan buruk yang ditimbulkan akibat lolosnya Bethaia Karma.

"Kini dia bebas berkeliaran mengincar Mutiara Tujuh Setan. Aku telah mencoba untuk menyingkirkannya. Tapi karena seorang diri aku tidak sanggup untuk menyingkirkannya."

"Bukankah Bethala Karma juga dijaga oleh seorang temanmu?"

"Temanku yang bernama Sora Magandala ketika kejadian tidak berada di tempat. Dia sedang menemui seseorang bernama Lisang Geni. Orang tua sekaligus pertapa yang tinggal di sebuah gua ditepi sungai Serayu, Orang tua itu menyimpan sebuah kitab batu bertulis. Kitab itu merupakan kitab tanda. Pada salah satu halamannya memuat riwayat tentang kemunculan Bethala Karma dan Mutiara Tujuh Setan, Konon bila kitab terbakar dengan sendirinya berarti itu merupakan pertanda lolosnya Bethala Karma dari ruang penjara dan tempat pemasungan, tidak mungkin dicegah lagi"

"Kemungkinan kitab yang kau sebutkan itu memang telah terbakar. Buktinya Bethala Karma telah berkeliaran bebas."

Ujar Tanggul Api yang diikuti angguklkan kepala Peri Halilintar.

"Aku ingin membantu, tapi aku tidak lagi memiliki senjata yang menjadi andalanku"

Mendengar pengakuan Tanggul Api sang dara terkesima.

"Senjata itu, Seruling Halilintar maksudmu?" sentak Peri Halilintar

"Ya.Seruling Halilintar hilang raib dari tempat penyimpanan beberapa malam yang lalu."

Ujar Tanggul Api

"Mungkin kau lupa meletakkannya?"

Tanggul Api dengan tegas menggeleng

"Tidak Aku yakin diambil oleh seseorang yang mempergunakan kesempatan selagi aku berduka cita."

Peri Halilintar terdiam.

Dia sadar betul betapa dahsyatnya senjata yang bernama Seruling Halilintar itu, Seandainya jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab tentu saja dapat menimbulkan malapetaka.

"Diambil atau dicuri, akibatnya sama saja.
Siapapun yang mengambil Seruling itu pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu"

Kata Peri Halilintar setelah terdiam cukup lama

"Itulah yang aku takutkan. Apalagi beberapa hari belakangan aku mendengar ada kekacauan besar di dusun Bambu tak jauh dari utara Gerobokan.Seseorang membunuh penduduk setempat dengan membabi buta.Orang itu kudengar mempergunakan seruling untuk menghabisi mereka.Aku khawatir semua ini sebuah fitnah keji yang dialamatkan kepadaku!"

"Jika begitu kau harus selalu bersama denganku. Kita selesaikan masalahmu dan masalahku bersama-sama."

"Mengapa aku harus selalu bersamamu?" tanya Tanggul Api tidak mengerti.

"Kakang, apakah kau lupa. Ingatanmu selalu timbul tenggelam. Orang mengenalmu sebagal manusia yang kurang waras. Sebuah fitnah dengan mudah dialamatkan padamu karena kekuranganmu itu."

"Yang kau katakan itu rasanya cukup bisa diterima. Baiklah..."

Kata Tanggul Api sambil menepuk bahu Peri Halilintar yang duduk di sampingnya

"Sambil mencar? siapa pembunuh adik seperguruanku juga menemukan kembali Seruling Halintar, aku memutuskan untuk mengikuti saja kemanapun kau pergi."

Peri Halilintar tersenyum.

Sejenak dia dongakkan kepala memandang ke langit.

Setelah itu sambil berdiri dia berkata,

"Menunggu datangnya pagi masih terlalu lama. Alangkah baiknya kita berangkat sekarang."

"Aku setuju. Aku juga sudah tidak sabar mencari jawaban dari semua keanehan ini."

Sahut Tanggul Api.

******

Desa Umbul Tirta dikegelapan menjelang pagi terasa dingin mencucuk.

Hamparan kabut tipis menyelimuti desa itu hingga ke kaki bukit Saguling.

Suasana pinggiran desa di jalan setapak terasa sunyi.

Hamparan sawah dan ladang membentang seluas mata memandang.

Di tengah jalan becek yang diguyur hujan hingga tengah malam tadi, sosok bayangan tibatiba muncul, berlari dengan kecepatan luar biasa seperti dikejar setan.

Setelah jauh meninggalkan jalan di tepi desa, Sosok yang berlari di sebelah belakang tiba-tiba membuka mulut disela-sela nafasnya yang tersengal.

"Saudaraku Durgandala desa Umbul Tirta telah kita lewati. Di depan sana kalau tidak salah adalah bukit Saguling.Dibalik bukit kita sudah memasuki kawasan Gerobokan.Sesampainya disana kita hanya tinggal mencari sebuah patung monyet putih."

"Patung yang menurut kakek Raga Sontang merupakan petunjuk satu-satunya menuju ke tempat pertapaan Tiga Setan Putih."

"Lalu.."

Tanya orang berpakaian kelabu yang melindungi kepalanya dengan topi caping.

"Hampir semalaman kita terus berlari. Mengingat tempat yang kita tuju tidak jauh lagi dari sini alangkah baiknya kita melepas lelah barang sejenak,"

Papar sosok berpakaian hijau yang juga lindungi kepala dengan topi yang sama.

"Baiklah!"

Si baju kelabu hentilkan larinya mata jelalatan memperhatikan keadaan disekitar.

Setelah yakin tidak ada sesuatu yang mencurigakan dua bersaudara yang tak lain adalah Durgandala dan Durganini memutuskan untuk melepas lelah di bawah pohon tak jauh dari tepi sebuah sungai.

"Aku ingin segera menyelesaikan tugas berat yang diamanatkan oleh Raga Sontang ini secepatnya."

Berucap Durganini sambil mengusap perutnya.

"Tugas kita sangat berat dan tidak mudah. Salah-salah kita yang menjadi tawanannya. Andai saja aku tidak terikat hubungan sahabat yang begitu erat dengan kakek Raga Sontang. Aku past menolak permintaannya"

"Aku mengerti.Sebagai saudara senasib aku selalu siap membantu. Mudah-mudahan tidak ada musuh yang mengejar kita."

Kata Durganini

Sebagaimana telah diceritakan dalam episode sebelumnya.

Atas permintaan Raga Sontang si juru kunci yang menjaga Mutiara Tujuh Setan di puncak Papandayan, dua mahluk setengah manusia setengah monyet bertubuh pendek dipenuhi bulu dan memiliki ekor yang selalu disembunyikan diballk pakaiannya itu, dititipi sebuah mutiara.

Mutiara itu adalah Mutiara Tujuh Setan yang harus diserahkan kepada Tiga Setan Putih yang dikenal dengan sebutan Tiga Perwira Setan.

Dalam perjalanan membawa mutiara menuju candi kuno di Gerobokan.

Sebagai amanat yang dipesankan Raga Sontang mereka diminta singgah ke desa Bambu untuk menamui seseorang bernama Tanggul Api yang juga dikenal dengan sebutan Seruling Halllintar.

Menurut kakek itu Tanggul Api adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya mengantar mereka ke tempat tujuan dengan aman, Seperti diketahui.

Sesampainya di ddsun Bambu mereka tidak menemukan orang yang dicari.

Sebaliknya malah mendapati keadaan dusun yang kacau, porak poranda rata dengan tanah sementara sebagian besar penghuni itu tewas terbantai.

Sadar keadaan di tempat itu tidak aman dan ada belasan orang tidak dikenal melakukan pengintaian diseluruh penjuru dusun.

Jadi untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan keduanya segara angkat kaki tinggalkan tempat itu.

Seperginya Durgandala dan Durganini muncullah Sang Maha Sakti Raja Gendeng.

Raja yang hendak menolong penduduk yang terluka diserang oleh Lohpati dan pengikutnya.

Tapi setelah mengetahui siapa Raja dan mengingat hubungan baik antara Lohpati dengan guru Raja yaitu Nini Balang Kudu dimasa lalu.

Lohpati pun berbalik memberi dukungan pada sang pendekar.

Lohpati yang takluk pada Raja pewaris tahta pulau Es itu akhirnya tewas dibunuh oleh penyerang gelap.

"Aku merasa belum benar-benar aman selama benda titipan ini belum sampal ke tangan Tiga Setan Putih,"

Ucap Durganini setelah sekian Lama keduanya tenggelam dalam kebisuan.

Durgandala menghela nafas lalu menghembuskannya dalam-dalam.

"Aku setuju dengan pendapatmu! Sekarang sebaiknya kita jangan terlalu lama beristirahat. Kita lanjutkan saja perjalanan."

"Mengapa terlalu terburu-buru. Keringat yang mengucur belum kering di badan. Tubuhku lengket bau asem. Aku ingin mandi disungai itu sebentar." kata Durganini.

Dia bangkit berdiri lalu berjalan menuju tepi sungai. Baru saja dia melepas topi yang menutupi rambut panjang hitamnya yang berkeluk bergelombang Durgandala bergegas menghampiri.

Sambil menepuk lembut bahu saudaranya dia berkata.

"Jangan lakukan! Lebih baik batalkan keinginanmu. Kau bisa mandi bersegar diri, kalau perlu sehari penuh puaskan diri berendam. Malah sampai kembung juga tidak mengapa, tapi nanti setelah tugas selesai."

Merasa keinginannya mendapat halangan Durganini menjadi marah. Ditepisnya jemari tangan Durgandala yang menyentuh bahunya.

Sambil balikkan tubuh hingga keduanya sama berhadap hadapan Durganini mendamprat.

"Ada apa dengan dirimu. Aku merasakan tempat ini aman. Tidak ada yang perlu dirisaukan."

"Aku merasakan sebaliknya. Tempat ini tidak aman, aku bahkan merasakan ada yang mengawasi gerak-gerik kita."

Ucapan Durgandala karuan saja membuat Durganini delikkan mata. Namun belum sempat mendamprat, tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa yang disertal munculnya satu sosok berpakaian biru ringkas bertubuh tinggi.

Kakek ini berkulit biru dan memakai ikat kepala berupa ular laut berwarna biru. Ular berbisa mematikan itu sengaja dililitkan bergelung melingkar disekeliling lingkaran kepala sementara bagian kepala menghadap ke arah depan.
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Selain memakai ikat kepala dari ular, di bagian lehernya juga bergelung menggelantung seekor ular berkulit cokelat bertotol kuning.

Mahluk mematikan sepanjang tak lebih lima jengkal itu bergelayut manja sambil julurkan lidahnya yang bercabang.

"Jika merasa berat mengemban sebuah amanat mengapa semua tidak diserahkan saja pada orang yang lebih mampu memikul amanat itu? Ha ha ha,"

Kata si kakek diringi gelak tawa menggema.

Terkejut juga tidak menyangka dengan kehadiran kakek berkulit biru yang tidak dikenal. Durgandala dan Durganini sama berpandangan.

Gadis yang sekujur wajah dan tubuhnya ditumbuhi bulu lebat kecoklatan itu segera kenakan topi caping yang dia tanggalkan.

Perlahan dia melangkah mundur dari setiap kemungkinan terburuk sambil diam-diam alirkan tenaga ke bagian tangan

"Aku tidak tahu siapa orang tua digelanduti ular itu.
Tapi melihat jenis ular yang melingkar di kepala dan menggelantung dilehernya mahluk melata itu pasti berasal dari laut." kata Durgandala melalul ilmu menyusupkan suara.

"Mungkin saja dia memang datang dari lautan sebab aku mencium sesuatu yang amis seperti bau ikan.Bisa jadi dugaanmu memang tidak keliru." menyahuti Durganini melalul ilmu menyusupkan suara pula.

Merasa dirinya dibicarakan orang si kakek berkulit biru tiba-tiba hentikan tawanya. Mata yang kereng angker melirik silih berganti menatap kepada kedua orang di depannya.

"Kalian merasani aku? Tak perlu berkasak kusuk didepanku. Katakan siapa kalian berdua ini? Tubuh kalian aneh. Kalian seperti manusia namun juga mirip kunyuk"

"Siapa kami tak perlu kau tahu? Kau sendiri siapa?!"

Kata Durgandala balas bertanya.

"Kunyuk kurang ajar. Aku bertanya kau malah balik bertanya. Ketahuilah dan pentang telinga baik baik. Aku adalah Aki Tiga Samudra. Orang mengenalku dengan sebutan Iblis Momok Laut Biru." terang kakek itu membuat Durganini dan Durgandala diam-diam terkejut.

Walau belum pernah berjumpa. Namun nama besar Iblis Momok Laut Biru dikenal luas di dunia persilatan. Tokoh ganas yang satu ini dalam kehidupannya memang lebih banyak menghabiskan waktu menebar maut di Selatan.

"Celaka kita telah bertemu dengan iblis paling Jahat dari laut selatan."

Desis Durganini.

"Apakah kita sanggup melenyapkan manusia jahanam yang satu ini?"

Bisik dara bertubuh pendek itu resah.

"Jangan risau. Apapun yang terjadi kau harus menyelamatkan diri dari tempat ini secepatnya."

pesan Durgandala dengan berbisik pula.

"Apa lagi yang kalian bicarakan? Lekas jawab siapa kalian?!" hardik Iblis Momok Laut Biru tidak sabaran.

Sadar betapa orang yang dihadapi bukan tokoh sembarangan melainkan seorang dedengkot paling ditakuti, Durgandala memilih bersikap lunak dengan menjawab.

"Orang tua, maafkan kami berdua bila tidak melihat tingginya gunung di depan mata. Kami adalah dua bersaudara, namaku Durgandala sedang saudaraku Durganini. Kami orang biasa tidak punya sesuatu yang berharga."

Jawaban itu membuat Iblis Momok Laut Biru terdiam, memperhatikan kedua orang didepannya silih berganti. Tiba-tiba dia tersenyum sinis. Dengan tatapan dingin dia menyela.

"Mengaku bodoh dan tak punya barang berharga.. Aku tahu kau dan saudaramu itu hendak pergi ke Gerobokan. Beberapa hari yang lalu kaiian pasti baru saja meninggalkan puncak Papandayan setelah bertemu dengan seorang kakek penipu tengik bernama bernama Raga Sontang. Tua bangka itu telah menitipkan sesuatu pada kalian berdua. Bagaimana sekarang bisa mengatakan kalian tak punya sesuatu yang berharga?" geram Iblis Momok Laut Biru.

"Celaka! Dia tahu apa yang kita bawa. Raga Sontang melakukan sesuatu pada orang tua satu ini yang mungkin membahayakan dirinya. Itu yang membuatnya menuduh kakek Raga Sontang penipu."

Pikir Durganini.

"Aku tidak tahu bagaimana nasib sahabatku Raga Sontang. Yang jelas walau nyawa harus berpindah dengan badan aku tidak akan membiarkan jahanam ini merampas mutiara keramat."

batin Durgandala pula.

Setelah bulat dengan keputusannya Durgandala melangkah maju.

Masih dengan hormat dia ajukan pertanyaan.

"Orang tua, maaf kami sama sekali tidak tahu apa yang kau maksudkan."

"Kurang ajar!"

Teriak Iblis Momok Laut Biru sambil kepalkan tinjunya.

"Kalian pasti tahu apa yang aku maksud. Mutiara Tujuh Setan, benda sakti dari luar jagad itu. Bukankah sekarang ada pada kalan?"

"Tidak. Benda yang kau cari sama sekali tidak ada pada kami!"

Jawab Durganini tegas.

"Kalau tidak percaya ini silahkan periksa kantong perbekalan yang kami bawa."

Durgandala ikut meyakinkan lalu turunkan kantong berwarna hitam yang tergantung dipunggung. Kantong itu selanjutnya dilemparkan dekat kaki Iblis Momok Laut Biru.

Melihat tindakan yang dilakukan saudaranya Durganini ikutan serahkan kantong.

Kantong kedua juga jatuh di depan kaki kiri Iblis Momok. Kakek itu menatapnya sekilas, lalu memperhatikan dengan dengan seksama dua orang di depannya

"Apa kau tidak menyembunyikan benda yang kucari dibalik pakaian atau tubuhmu yang lain?" tanya Iblis Momok Laut Biru curiga

"Orang tua, orang seperti kami mana berani menipumu."

Sahut Durganini.

"Orang tua. Kami sudah bicara jujur. Mohon jangan menyuruh melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuh kami. Tubuh kami jelek dan tak patut dipandang oleh orang tua segagah dirimu." timpal Durgandala

Mendengar itu Iblis Momok Laut Biru mengumbar tawa bergelak. Sambil tetap tertawa dan raih dua kantung dikakinya dia berujar.

"Tentu saja aku tidak suka melihat tubuh burukmu. Tapi bagaimana dengan tubuh polos perempuan saudaramu itu. Kulihat sekujur tangan dan kakinya ditumbuhi bulu. Tidak ada salahnya bila aku bisa melihat apakah bagian tertentu ditubuhnya juga dipenuhi bulu. Ini pasti menarik. Aku pasti suka. Ha ha ha!"

Iblis Momok Laut Biru julurkan lidah basahi bibir.

Tenggorokan naik, turun.

Andai saja wajah Durganini tidak dipenuhi bulu-bulu halus kecoklatan, Iblis Momok Laut Biru tentu dapat melihat betapa wajah si gadis berubah merah dibakar kemarahan.

Melihat Durganini marah, Durgandala memberi isyarat dengan kedipan mata agar adiknya menahan diri.

Sementara itu di depan sana Iblis Momok Laut Biru baru saja selesai menggeledah kantong barang milik Durgandala.

Di kantong itu dia hanya menemukan beberapa perangkat pakaian dan makanan serta buah-buahan.

Tanpa memandang pemiliknya kantong dicampakkan ke sungai. Melihat ini Durgandala sudah tentu menjadi marah

"Hei mengapa dibuang?"

Bukannya menjawab.

Iblis Momok Laut Biru sebaliknya malah tertawa tergelak-gelak. Durgandala hanya bisa menatap geram ketika kantong perbekalannya hanyut.

Iblis Momok Laut Biru periksa lantong kedua.

Karena dalam kantong inipun tak ditemukan apa yang dicari sambil membanting kantong bekal Durganini dia berteriak.

"Dua monyet jahanam! Kalian dan Raga Sontang sama-sama penipu yang tidak patut untuk dimaafkan!"

Belum lagi gema teriakannya lenyap kakek itu ulurkan tangannya ke depan.

Sreet!

Sungguh mengejutkan.

Tiba-tiba saja dari lima ujung jemari tangannya mencuat kuku panjang runcing berwarna kebiruan.

"Apa yang hendak dilakukannya? Kuku-kuku itu pasti mengandung racun mematikan!"

"Siapa diantara kalian yang mau menanggalkan seluruh pakaian agar bisa terlihat apakah benda yang kucari ada atau tidak ditubuh salah satu dari kalian!"

"Kau gila! Mana mungkin kami sudi meLakukannya!"

Teriak Durgandini jadi hilang kesabaran.

"Diminta baik-baik kalian menolak, apakah harus dipaksa dengan mencabik pakaian kalian dengan kuku-kulu ini?"

Geram Iblis Momak Laut Biru berang. Tak kalah sengit dengan suara lantang Durgandala berteriak.

"Kami memilih menyabung nyawa denganmu dari pada harus menanggung malu!"

Jawaban ini membuat kemarahan Iblis Momok Laut Biru menjadi tidak terbendung.

Disertai teriakan menggeledek si kakek pun segera menyerang Durgandala dan Durganini.

Iblis Momok Laut Biru mulai melakukan serangan kepada Durgandala dan saudaranya.

Tak jauh dari tepi sungai tempat berlangsungnya perkelahian sengit.

Seorang pemuda berpakaian kelabu berambut gondrong yang bukan lain adalah Raja adanya, sedang menelusuri semak belukar disepanjang aliran sungai.

Kemunculannya dari bagian hilir sungai atas petunjuk Tiga Setan Putih atau Tiga Perwira Setan.

Sebagaimana diketahui sebelumnya.

Sang pendekar bertemu dengan Perwira Setan atas kehendak mereka di sebuah candi tua.

Ketiga perwira berkepala botak pelontos yang dikeningnya masing terdapat rajah hitam berupa titik sesuai dengan pangkat dan jabatannya.

Ketiganya secara terang-terangan meminta bantuan pemuda itu.

Perwira tertinggi yaitu perwira Tiga malah mengharap agar Sang Maha Sakti Raja Gendeng selalu bersama dengan mereka. Di perjalanan perwira Satu dan perwira Dua berubah pikiran.

Karena untuk menemukan orang kepercayaan yang membawa Mutiara Tujuh Setan dari puncak Papandayan akan memakan waktu yang lama maka ketiga perwira itu lalu sepakat berbagi tugas. Tiga perwira tetap bergerak menuju ke wilayah barat tanah Dwipa sedangkan Raja diminta untuk mencari seorang pertapa yang berdiam disebuah gua di tepi sungai Serayu.

"Kami berharap setelah kau bertemu dengan orang tua itu dia bisa memberi petunjuk penting bagaimana caranya melenyapkan panglima kuno Bethala Karma. Kami bertiga tak mungkin bisa membunuh Bethala Karma. Bethala Karma saat ini pasti telah meloloskan diri dari ruang penjara dikaki gunung Dieng." terang perwira Tiga sebelum mereka berpisah.

"Aku tidak tahu apakah aku mampu menolong tiga setan botak seperti kalian dari segala kesulitan. Yang jelas aku akan berusaha sedapat mungkin agar kalian tidak kecewa."

Sahut Raja.

"Terima kasih.
Terima kasih...kau adalah raja yang baik. Manusia tinggi ilmu rendah hati.Kami tiga perwira setan mengucapkan terima kasih!"

Tiga perwira kemudian sama menjura.

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja menanggapi ucapan bernada sanjungan itu dengan tawa sambil menggaruk kepalanya.

"Kalian tiga mahluk kesasar pandai sekali memuji orang, membuat kepalaku mekar melembung seperti mau meledak. Tapi...ya sudah. Dari pada terus menerus menerima pujian hingga membuat lupa diri, sebaiknya aku memohon diri saja, Ha ha ha!"

Setelah berkata begitu sang pendekar balikan badan dan...

Wuss!

Terdengar suara menderu halus.

Sosok sang pendekar lenyap dari pandangan mata dengan meninggalkan kepulan asap kelabu.

Tiga perwira setan yang semula terkagum-kagum melihat kecepatan bergerak, sekonyang-konyong tekab hidung masing-masing ketika asap kelabu tercium oleh mereka

"Huh, bau apa ini? Baunya busuk sekali!" dengus perwira Dua dengan suara dihidung.

"Huek.. mungkin inilah yang oleh manusia disebut-sebut sebagai kentut."

Menyahuti perwira Tiga sambil melompat kebelakang hindari terjangan asap kelabu.

"Sial! Pendekar itu konyol sekali. Kita memuji dan menyanjungnya tapi dia malah menghadiahi kita dengan angin berbau busuk."

Gerutu perwira Satu bersungut-sungut

"Sudahlah. Anggap saja apa yang diberikan pada kita sebagai sebuah pertanda niat baik hati yang lapang untuk membantu.Bukankah sesuatu yang keluar dari bawah pertanda sebuah kelegaan hati bagi orang yang mengeluarkannya, Ha ha ha!"

Kata Perwira Tiga sambil tertawa geli.

Setelah itu ketiga Setan Putih kemudian hilang lenyap dari pandangan.

******

Sementara dipinggir sungai. Raja yang masih ingat dengan segala ulahnya pada Tiga Setan Putih terlihat senyum-senyum sendiri.

Namun senyum dibibirnya lenyap begitu mendengar perdebatan sengit yang terjadi antara Durgandala, Durganini dan Iblis Momok Laut Biru.

Perdebatan yang dilanjutkan dengan perkelahian itu membuat Raja hentikan langkah lalu memutuskan untuk mencari tahu siapa saja orang orang itu.

"Dua orang muda, satu perempuan satunya lagi laki-laki. Bertopi caping penampilan dan tampang seperti monyet. Siapa mereka. Siapa pula kakek berpenampilan serba biru itu?"

Kata sang pendekar sambil terus memperhatikan dengan pandangan tak berkedip.

Seer!

Angin berdesir.

Ada hawa dingin aneh seperti langkah kaki melintas di samping telinganya.

Membuat Sang Maha Sakti Raja Gendeng menoleh kesamping, mata melirak-lirik penasaran.

"Perasaan ada yang lewat? Tidak ada orang, hembusan angin pun tak terasa. Lalu siapa yang melintas dekat telingaku tadi?"

Gumam Raja sambil mengusap telinganya.

Sekali lagi pemuda ini menatap ke depan.

Dan tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang menggelitik tengkuknya membuat sang pendekar kegelian.

"Apa mungkin ada mahluk halus tinggal di sekitar sini, mahluk itu tidak senang karena aku sempat kencing sambil berlari.
Kini dia marah dan mulai menjahili aku!"

Trak!

"Aduh edan! Kurang ajar sekali siapa yang telah menimpuk kepalaku?"

Gerutu Raja sambil mengusapi kepalanya yang tertimpa buah jambu batu.

Diperhatikannya buah yang jatuh disamping kakinya.

Dia dongakkan kepala menatap ke atas ternyata ditempat itu tidak ada pohon jambu.

"Siapa yang melempar kepalaku dengan buah Jambu? Setan? Siapa yang meniup-niup telinga lalu mengusap tengkukku.
Apakah setan juga! Dasar setannya memang setan usil yang tidak tahu diri."

Raja mengomel dan belingsatan sendiri.

Pada saat itu juga sang pendekar tiba-tiba mendengar suara menguap selayaknya orang yang baru saja terjaga dari tidurnya.

Ingat dengan Sang Jiwa sahabatnya yang bersemayam dalam hulu pedang Gila. Raja manggut-manggut mulut terikatup menahan segenap rasa kesal dihati.

Mengira yang berbuat usil adalah Jiwa dalam pedang, maka segera tangannya diulur, rangka pedang ditepuk dengan keras.

"Aduh...paduka Raja ada apa ini? Mengapa marah-marah tanpa sebab?"

Pekik satu suara.

Tentu saja hanya Raja seorang diri yang bisa mendengar suara pekikan itu.

"Jangan berlagak jadi mahluk tolol."

Geram Raja.

"Mengapa kau suka berbuat jahil di saat aku sedang mencari tahu tentang orang-orang yang sedang saling serang itu."

"Paduka Raja, mana berani saya berbuat seperti itu pada paduka. Saya baru saja terjaga setelah sempat jatuh pingsan akibat menghirup bau busuk yang paduka hadiahkan pada ketiga perwira gundul itu"

"Bau busuk!"

Raja menyeringai, hati tertawa namun wajah tetap cemberut unjukkan sikap berwibawa selayaknya seorang raja.

"Jadi kau ikutan mabok? Aku tidak menyangka mahluk sepertimu bisa kelenger mencium angin gembus"

"Angin gembus apa," ujar Jiwa Pedang kesal

"Mahluk bodoh, Angin gembus itu ya angin yang berbau tidak sedap,"

Terang Raja sambil menahan tawa, Jiwa dalam pedang ikutan tertawa lepas sambil berkata.

"Ah paduka ada-ada saja."

"Dengar ya... Boleh saja kau tertawa sampai hilang suaramu. Tapi aku tetap meminta kejujuran" kata sang pendekar mendengus.

Tawa Jiwa dalam hulu pedang mendadak lenyap.

"Apa maksud paduka Raja,"

Tanya mahluk yang tidak memiliki jasad itu.

"Bicara dan mengakulah! Bukankah kau yang telah berbuat jahil padaku?"

"Tidak. Saya tidak tahu apa-apa paduka, sumpah."

"Begitu?!"

Raja terdiam. Setelah sesaat dia bertanya lagi.

"Aku percaya dengan sumpahmu. Tapi sebagai mahluk halus apakah kau melihat mahluk lain gentayangan di sekitar tempat ini."

"Tidak. Saya tidak melihat mahluk lain terkecuali setan botak yang bersembunyi dibalik celana depan paduka."

"Mahluk sialan! Aku sungguh-sungguh bertanya kau malah bergurau. Kalau yang satu itu memang sudah ada disana sejak aku lahir tolol" geram Raja sambil kepalkan tinjunya.

"Weleh, paduka. Kenapa akhir-akhir ini suka marah-marah. Mungkin karena paduka belum punya kekasih ya? Kasihan! Orang segagah paduka ternyata belum laku juga."

"Jangan bicara ngaco. Katakan siapa yang berbuat usil padaku. Kau pasti tahu."

Jiwa dalam pedang menggumam tidak jelas

"Apa yang kau lakukan disitu? Tiduran lagi ya?"

"Tidak paduka. Saya sedang mengorek telinga saya yang gatal."

"Oh dasar mahluk edan bukannya menjawab pertanyaanku malah mengorek telinga,"

Geram sang pendekar

"Paduka Raja, sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu pada paduka.Sesuatu yang tidak hanya mengusik ketentraman saya, tapi juga kini telah mengganggu paduka."

"Sesuatu apa? Sesuatu menyangkut kehadiran mahluk lain yang terus gentayangan mengikuti kita."

"Mahluk itu tidak punya tempat tinggal, Dia ingin tinggal menetap dalam pedang gila ini bersama saya. Tapi saya larang karena kehadirannya hulu pedang yang saya tempati menjadi bertambah sempit.Saya tak mau berdesak-desakan,"

Terang Jiwa pedang seadanya.

Penjelasan Sang Jiwa tentu saja membuat Raja terperangah

"Mahluk sejenismu?"

"Bukan sejenis. Maksud saya sama-sama mahluk berupa jiwa tapi tidak sejenis karena dia adalah perempuan,"

Terang Jiwa lagi. Raja tersenyum.

"Oh begitu? Jadi mahluk yang kau sebutkan Itu yang telah menjahili aku,"

Kata Raja mulai mengerti.

"Ya.Tapi sekarang dia sudah pergi. Saya yakin dia bakal datang lagi merengek dan memohon agar saya mau berbagi tempat dengannya."

"Oalah. Kalau bersempit-sempit, berdesakan bersama perempuan bukannya enak? Aku saja mau masakan kau menolak?"

Kata Raja disertai senyum mencibir.

"Paduka, maaf beribu kali maaf, berhimpitan dengan perempuan apalagi dalam keadaannya saling berhadap-hadapan tentu saja enak. Tapi paduka perempuan itu cerewet bawel sekali. Selain itu nafasnya bau terasi paduka."

"Bagus itu. Kau hanya tinggal mencari cabenya saja lalu buat dia menjadi sambal. He he he."

Goda Raja sambil menahan tertawa.

"Paduka. Untuk sementara jangan hiraukan kehadiran perempuan bawel itu. Bukankah paduka tadi mengatakan sedang mencari tahu siapa orang yang tertibat perkelahian sengit di pinggir sungai itu?"

Merasa dingatkan Raja cepat anggukkan kepala.
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Benar. Aku tidak tahu siapa mereka. Sebagai mahluk galb pengetahuanmu lebih luas karena kau bisa pergi gentayangan kemana-mana dalam waktu yang begitu cepat."

"Jadi paduka berharap saya mencari tahu siapa mereka?"

"Ya.

"Kapan paduka?"

"Sekarang bodoh. Masa besok!"

Gerutu sang pendekar tidak sabaran.

"Baiklah. Paduka tunggu sebentar.Kabar yang paduka inginkan segera paduka dapatkan."

Raja lalu mendengar seperti suara langkah kaki bergerak cepat meninggalkan pedang.

Tidak lama kemudian ada angin halus berdesir menyambar ditelinga sebelah kanan.

Raja merasakan sesuatu yang lembut menjejak dan berdiri dibahunya.

"Hei, kau berdiri dibahuku ya?"

Sentak pemuda itu.

"Saya adalah mahluk yang tidak mempunyai bobot dan berat. Sesekali bolehkan berdiri dibahu paduka Raja. Harap jangan dianggap sebagai tindakan kurang ajar tidak mengenal sopan. Saya tetap menaruh hormat pada paduka walaupun kini saya berada dibahu paduka,"

Jawab Jiwa.

"Ya. Sudah tidak mengapa. Asal tidak menginjak-injak kepalaku berarti masih termasuk mahluk waras yang mengenal peradatan."

Celetuk sang pendekar sambil cemberut.

"Kau sudah mendekati mereka?"

"Sudah."

"Berarti kau sudah mengetahui siapa mereka?"

Tenya pemuda itu.

"Ya."

"Hebat. Tidak percuma punya sahabat, sepertimu. Sekarang katakan siapa kakek berpenampilan serba biru itu?"

"Kakek berkulit biru berbau amis berkalung ular laut itu bernama Aki Gede Samudera, dikenal dengan sebutan Iblis Momok Laut Biru. Dia tokoh sesat di kawasan laut selatan. Guru paduka Nini Balang Kudu yang berdiam didasar laut selatan pasti mengenal kakek busuk satu ini."

"Orang dari laut mengapa sekarang gentayangan di daratan? Apa yang dia cari?"

"Dia mencari Mutiara kramat. Mutiara Tujuh Setan."

Jelas Jiwa.

Setelah sempat terdiam dia melanjutkan.

"Sebelumnya kakek itu telah datang ke puncak Papandayan paduka. Ini dapat saya cium dari bau belerang diantara tebaran bau amis tubuhnya. Dan dua orang muda bertubuh pendek itu. Mereka adalah dua bersaudara yang dipercaya oleh kakek penjaga mutiara berama Raga Sontang. Mereka dipercaya mengantar mutiara itu untuk diserahkan pada pemiliknya yaitu Tiga Setan Putih."

"Eeh, tiga setan gundul itu bukan pemilik mutiara yang sebenarnya. Mereka hanya bertugas menyelamatkan mutiara dari tangan Bethala Karma,"

Tegas Raja.

"Walau bukan pemilik tetap saja keberadaan benda yang telah menimbulkan kegegeran tersebut karena perbuatan mereka bertiga."

"Ya, ya,"

"saya tahu paduka. Masalah kecil saja diributkan."

Dengus sang Jiwa membuat Raja mengulum senyum.

"Kau melihat mutiara kramat ada pada mereka?"

Tanya sang pendekar lagi.

"Saya tidak melihatnya. Namun saya dapat merasakan ada satu getaran yang memancar dari dalam tubuh salah seorang dari mereka."

"Tubuh yang mana? Tubuh yang laki-lakd atau tubuh yang perempuan?"

"Yang perempuan paduka. Saya mencoba mencari tahu dengan menyusup merasuk kedalam diri perempuan yang bernama Durganini itu. Tapi sebuah kekuatan yang luar biasa hebat menolak saya, melemparkan saya keluar dari tubuh mereka"

"Mungkin dia mempunyai ilmu yang dapat menangkal kehadiran mahluk halus sepertimu"

"Tidak paduka. Saya tahu Durganini mempunyai ilmu serta tenaga dalam yang cukup tinggi. Tapi dia dan juga kakek serba biru itu tak bisa melihat keberadaan saya. Jangankan mereka, paduka sendiri tak pernah bisa melhat bagaimana keadaan diri saya."

"Ya, aku tahu. Tapi kalau aku mau, aku pasti bisa mempergunakan salah satu ilmuku. Dengan ilmu Itu aku dengan mudah dapat melihat tampang rupamu"

"Jangan paduka, aku bisa malu."

Sela sang jiwa gugup Raja tersenyum, namun segera pula berucap.

"Aku merasa getaran aneh yang memancar dari tubuh perempuan berbulu bernama Durganini itu pastilah berasal dari Mutiara Kramat. Mutiara Tujuh Setan. Dua manusia berpenampilan aneh. Mereka telah berlaku cerdik dengan menyembunyikan mutiara di dalam tubuh salah satu dari mereka."

"Itulah yang saya maksudkan gusti. Tadi juga saya hendak mengatakan demikian."

"Pendapat kita sama. Bagusnya Mutiara Keramat tidak membuat ulah. Seandainya mutiara dapat memancarkan kesaktiannya saat berada di dalam perut Durganini. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana nasib gadis itu."

"Gadis katamu?"

Desis sang pendekar. Sepasang allis matanya tiba-tiba terangkat naik. Dia menoleh menatap ke bagian bahunya tapi yang ditatap tidak kelihatan.

"Gusti paduka sepertinya kaget. Memangnya ada apa paduka?"

Bertanya sang Jiwa dengan terheran-heran.

Senyum-senyum sambil menggaruk kepala Raja membuka mulut.

"Tidak! Aku cuma heran, bagaimana kau tahu perempuan berbulu itu masih gadis?"

Pertanyaan Sang Maha Sakti Raja Gendeng membuat sang Jiwa tak kuasa menahan gelak tawanya.

Sambil tertawa dengan suara bergetar malu malu lirih perlahan dia menjawab.

"Maaf gusti jangan bilang siapa-siapa. Saya tahu dia masih gadis karena ketika berusaha menyusup merasuk ke dalam dirinya saya tidak lewat ubun-ubun, tapi lewat bawah. Jadi jangan heran saya mengatakan perempuan itu masih gadis."

"Mahluk sialan kurang ajar. Bagusnya dia tidak sedang kedatangan tamu. Pantas saja sedari tadi sejak kau ada disampingku aku mencium bau!"

Gerutu Raja sambil menahan gelak tawa.

"Paduka ada-ada saja. Perempuan itu... eh maksud saya gadis itu baunya harum paduka!"

"Sudah! Aku tak mau bergurau. Sekarang aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Kita harus membantu kedua orang itu. Tapi sebelum itu aku ingin memastikan apakah hanya kita dan mereka saja yang berada di tempat ini?"

"Paduka ingin saya melakukan penyelidikan lagi?"

"Kalau kau tidak berkeberatan lakukanlah. Tapi hati-hati, aku berpendapat kita tidak sendiri. Naluriku mengatakan bakal terjadi sesuatu yang luar biasa mengerikan di tempat ini!"

"Baiklah paduka, saya mengerti. Saya juga tahu apa yang seharusnya saya lakukan."

Setelah berkata demikian sang Jiwa pun bergegas pergi.

Raja mengusap bahunya sambil mengendus-endus dan mengira-ngira ditempat mana tadinya sang Jiwa berdiri

"Uh kurang ajar.Ternyata bau pesing.Jangan-jangan penghuni hulu pedang sahabatku itu ngompol!"

Gerutu Raja.

****

Ketika Iblis Momok Laut Biru menyerang Durgandala dengan sapuan lima kuku jemari tangannya yang mencuat tajam.

Lima larik cahaya biru berkiblat mendahului datangnya serangan kuku ke bagian leher Durgandala.

Hawa dingin disertai menebarnya bau amis menyengat turut menyambar, membuat Durgandala tersentak, namun cepat jatuhkan diri hindari terjangan lima cahaya dan tebasan lima kuku. Lima cahaya biru menghantam diudara kosong.

Iblis Momok menggeram.

Penasaran dia kibaskan tangan kiri ke bawah sementara kaki kanan menghantam ke arah Durgandala.

Tiga serangan datang dalam waktu bersamaan.

Durgandala rasanya sulit untuk bisa lolos dari sergapan.

Tapi dia tidak mau celaka menerima nasib.

Selagi dua serangan menyambar mengincar bagian punggung dan bahunya.

Sementara tendangan kaki siap membuat remuk dadanya pemuda itu segera lakukan satu gerakan yang membuat tubuhnya menggelinding kesamping.

Sreet!

Sreet!

Douk!

Sepuluh kuku jemari tangan menghunjam tepat dimana Durgandala berada.

Tanah terbelah asap tebal berwarna kebiruan menebar.

Tanah di tempat dimana kuku menghunjam terlihat hangus. Durgandala tidak sepenuhnya lolos, dari serangan maut.

Dia sendiri terkena sambaran tendangan lawan.

Sambil meringis namun tanpa menghiraukan rasa sakit yang luar biasa secepat kilat dia bangkit.

Sementara itu melihat saudaranya terancam bahaya.Durgandini yang tidak jauh berada di belakangnya tidak tinggal diam.

Selagi Iblis Momok Laut Biru berusaha keras mencabut kuku kukunya yang menghunjam ditanah, kesempatan itu dipergunakan sang dara.

Dia lakukan satu lompatan tinggi dan hantamkan kedua tangan ke wajah lawan.

Ketika dua tangan menghantam dari telapak tangan Durganini menderu dua larik cahaya merah pekat menebar hawa panas luar biasa.

Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua cahaya itu langsung menderu siap menghajar batok kepala Iblis Momok.

Mendapati dirinya diserang sedemikian rupa Iblis Momok menggerung.

Tak ingin celaka.

Dia terpaksa membetot kuku-kukunya yang terjepit ditanah.

Empat kuku terlepas yang lainnya putus bergugusan.

Sakit akibat putusnya kuku tidak dihiraukannya.

Sebaliknya sambil melipat tangan.

Kukunya dia angsurkan sekaligus didorong ke depan.

Byar!

Byar!

Dua pukulan sakti yang dikenal dengan nama Kera Langit Menguncang Gunung yang dilontarkan Durganini amblas buyar tak sanggup membuat celaka lawannya.

Iblis Momok terhuyung, lengan baju biru hangus mulai dari pangkal hingga ke ujung lengan.

Tapi dibalik pakaian yang hangus sikunya tidak menderita cidera barang sedikitpun,

Durganini terkesima, selagi lawan berusaha mengimbangi diri agar tidak sampai jatuh terjengkang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Durganini dan Durgandala melakukan serangan ganas beruntun berbarengan.

"Dua kunyuk jahanam! IImu kesaktian yang kalian miliki boleh saja selangit tembus. Tapi berhadapan dengan Iblis Momok Laut Biru kalian bisa berbuat apa?"

Geram kakek itu begitu melihat dua lawan yang menyerang berkelebat cepat mengitari tubuhnya seperti bayang-bayang.

Sementara pukulan dan tendangan beruntun yang memancarkan cahaya merah dan biru silih berganti melabrak tubuh kakek itu. Melihat datangnya tendangan dan pukulan mengeledek Iblis Momok menyambut semua serangan itu.

Benturan kaki dan tangan yang menghantam lengan dan tubuh Iblis Momok membuat Durganini dan Durgandala terdorong mundur lalu jejakkan kaki dengan wajah tercengang.

Setiap tendangan, pukulan maupun jotosan yang mendarat di tubuh lawan seperti membentur tembok baja.

"Dia mempunyai lmu Tameng Baja Menahan Badai!"

Seru Durganini memberitahu.

"Aku juga menduga demikian!"

Menyahut Durgandala tak kalah kaget.

"Bagus! Kalian cerdik tapi tolol! Sekarang terimalah ajalmu!"

Berkata begitu secepat kilat Iblis Momok Laut Biru pentang tangan hingga sejajar dengan bahu. Secepat tangan dipentang, secepat itu pula dua tangan digebrakkan kedepan dengan gerakan menepuk.

Hebatnya lagi tanpa bergerak bergeser dari tempatnya berdiri.

Dua tangan Iblis Momok tiba-tiba menjulur panjang seolah karet.

Dua tangan menyambar yang sebelah kiri menghantam Durganini sedangkan tangan disebelah kanan menyambar ganas ke arah Durgandala

"Celaka! ilmu setan apa lagi yang dipergunakannya!"

Rutuk Durgandala sambil melambungkan tubuh ke atas hindari serangan.

Melihat apa yang dilakukan Durgandala, Iblis Momok mengumbar tawa bergelak.

"Kalian tak mungkin bisa lolos dari ajian saketi Ular Laut Melintas Samudra," seru Iblis Momok Laut Biru menyebut nama ilmu sakti yang dipergunakannya.

Yang diucapkan kakek itu ternyata memang tidak berlebihan.

Terbukti kemanapun kedua bersaudara itu berusaha menghindar sambil menghantam dengan pukulan sakti tetap saja kedua tangan itu tak dapat dihentikan.

Malah dua tangan si kakek terus menggeletar terjulur sambil meliuk liuk tak ubahnya ular raksasa yang merambah kawasan hutan.

Dees!

Dess!

Dua pukulan keras melabrak.

Durgandala yang mengambang diketinggian dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya menjadi tak berdaya seperti sehelai daun kering ditiup badai.

Jatuh terpelanting.

Wajah hancur bagian tulang dada melesak amblas.

Laki-laki itu diam tidak berkutik begitu menyentuh tanah.

Sementara tidak jauh disebelah kirinya Durganini juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan saudaranya.

Walau dada gadis itu tidak sampai remuk namun hantaman keras yang mendera perutnya membuat gadis ini terpelanting, jatuh menyerangsang di atas pohon lalu diam tidak bergerak.

Sambil menyeringai Iblis Momok sentakkan dua tangan hingga tangan-tangan yang tadinya terjulur panjang kembali menyusut ke bentuk semula

"Dua mahluk tolol tidak berguna!"

Geram kakek itu sambil pandangi Durgandala yang telah menemui ajal. Setelah itu dengan tatapan dingin dongakkan kepala menatap ke arah pohon tempat di mana Durganini tersangkut.
"Siapa diantara mereka yang membawa mutiara itu?"

Geram Iblis Momok yang menyangka kedua lawan semuanya menemul ajal.

Iblis Momok jadi bingung.

Dia berpikir mungkinkah mutiara itu disembunyikan di tubuh.

Kalau benar apakah dia harus membedah tubuh mereka.

Iblis Momok Laut Biru tidak pernah menyadari bahwa Mutiara Tujuh Setan tersimpan didalam perut Durganini. Selagi si kakek terombang-ombing dalam kebingungan.

Tiba-tiba tanpa diketahui dari mana datangnya tahu-tahu di depan orang tua itu menggelinding satu sosok tubuh berambut gondrong.

Setelah menggelindingkan diri sosok yang datang dan tak lain adalah Sang Maha Salti Raja Gendeng itu segera duduk.

Sekejab dia menatap Iblis Momok dengan acuh dan kemudian mengumbar tawa tergelak-gelak.

Ditengah kegalawan dan hati yang diliputi rasa penasaran luar biasa Iblis Momok Laut Biru menjadi marah sekali, ketika melihat kehadiran pemuda itu Gondrong

"kurang ajar! Siapa dirimu. Kau datang pada waktu yang tidak tepat. Lekas angkat kaki dari hadapanku sebelum kutendang remuk bokongmu?"

Walau Iblis Momok memandangnya dengan mata mendelik garang.

Namun Raja terus saja tertawa-tawa.

Malahan sambil menunjuk-nunjuk wajah orang tua itu sang pendekar berkata,

"Orang tua pakaian biru kulit juga biru Wajahmu yang jelek. kulihat makin bertambah buruk kalau marah-marah begini. Orang sepertimu tidak layak mencelakai dua manusia aneh itu. Kau layak dibunuh atau enaknya kau membunuh diri saja yah... Ha ha ha!"

"Pemuda jahanam! Beraninya kau bicara seperti itu pada Iblis Momok Laut Biru? Apa kau sudah bosan hidup, heh..."

Hardik si kakek sambil berkacak pinggang.

Raja pura-pura unjukkan wajah kaget, namun mulut mengulum senyum

"Ternyata kau ini iblis ya...tapi mengapa ada momoknya.
Julukanmu cukup angker. Sayang aku tidak takut padamu.Aku sudah tahu apa yang kau cari"

"Memangnya aku mencari apa?"

Sentaknya

"Kau..kau mencari sebuah mutiara, mutiara tu adalah benda keramat yang disebut Mutiara Tujuh Setan. Sayang benda yang kau inginkan bukanlah milikmu juga bukan milik tokoh manapun di rimba persilatan ini. Kau bermaksud merampas. Buktinya kedua orang yang kau duga membawa mutiara itu tewas."

"Yang satu tewas, paduka. Tapi yang satunya saya kira masih hidup. Sesuatu yang berada dalam dirinya telah melindungi gadis itu dari kematian."

Kata Jiwa.

"Ya, aku juga tahu."

Tanpa sadar Raja menyahut dengan suara keras.

Iblis Momok Laut Biru tercengang. Menyangka Raja bicara dengan dirinya diapun membentak

"Kau tahu apa?"

Raja tersenyum. Sambil menggaruk kepala dia menjawab.

"Eng... aku tahu tubuhmu bau amis"

Jawaban sang pendekar membuat Ibilis Momok makin bertambah marah.

"Gondrong keparat. Ditanya nama tidak mau menjawab. Kini menghina diriku. Kau benar-benar mencari .."

Belum sempat Iblis Momok selesaikan ucapan sang pendekar tiba-tiba.

"Maksudmu aku benar- benar ingin mencari mati?"

Sementara selagi Raja dan Iblis Momok Laut Biru terlibat pembicaraan sengit, ketegangan diantara mereka makin bertambah meningkat.

Tanpa disadari oleh kedua orang yang berada dipinggir sungai, pada saat itu di atas pohon dimana Durganini yang terjatuh dalam keadaan menyangsang, tubuhnya mulai bergerak bergoyang-goyang.

Kemudian terdengar ada suara berkata.

"Tubuhnya dingin, nafasnya seperti berhenti. Kalau tidak cepat ditolong gadis yang telah menanam budi jasa besar pada kita ini bakal celaka."

Setelah suara itu lenyap terdengar suara yang lain suara kedua.

"Bukan cuma jasa besar. Dia telah mempertaruhkan nyawa ketika membawa kita. Kita harus membawanya pergi, menggotongnya bersama-sama. Kita bertujuh, mustahil tak kuat membawa Durganini ke tempat yang aman"

Kemudian terdengar pula suara ke tiga. Suara itu lebih nyaring kecil cempreng mirip suara seorang bocah.

"Jangan buru-buru. Aku ingin tahu kita mau membawa penolong kita ini kemana?"

"Tentu saja menjauh dari sini. Mumpung perhatian Iblis Momok Laut Biru tertuju pada paduka Raja aneh yang datang membantu."

Kemudian terdengar suara lainnya.
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Memangnya pemuda gondrong itu seorang raja."

"Iya. Dia pewaris tahta sebuah istana. Dari namanya saja sudah menandakan dia seorang raja, tapi raja yang banyak pikiran."

"Jadi seperti yang kita lihat dia tidak waras kan. Hik hik! Hik hik hik!"

Kata suara satunya lagi.

"Sekarang jangan banyak bicara. Gadis ini harus segera kita selamatkan,"

Terdengar lagi suara orang pertama.

"Kalau begitu kita harus menggotongnya beramai-ramai" menyahuti suara lainnya.

Sunyi.

Tubuh Durganini yang menyangsang terdiam. Namun kemudian tubuh itu terutama di bagian dada nampak berguncang. Lalu dari dalam tubuh itu sendiri terdengar lagi suara orang bercakap-cakap kali ini cukup serius. Dangan berisik.

"Orang-orang itu nanti dengar. Kalau Iblis Momok yang mendengar kita semua bisa celaka. Bukankah kita semua setan-setan di dalam mutiara keramat."

"Iya. Kita bertujuh, makanya orang menyebutnya sebagai Mutiara Tujuh Setan."

Kata suara yang lainnya pula.

"Baiklah. Jangan ribut. Kita harus keluar dari tubuh gadis ini. Sebaiknya kita lakukan secepatnya sebelum musuh-musuh yang lain datang, bermunculan disini"

"Setuju!"

Kata beberapa suara bersamaan

"Karena saya yang keenam aku seenam saja. Hi hi hi!"

Suara-suara aneh yang berasal dari tubuh bagian dalam Durganini untuk yang kesekian kalinya kembali lenyap.

Lalu dari dalam tubuh itu sendiri terdengar suara seperti tenggorokan diketuk disertai suara saling menyalahkan.

"Bodoh! Ini namanya dinding tenggorokan.
Usah diketuk nanti sakit. Kita jangan menembus tenggorokan, lebih baik keluar lewat mulut saja."

"Ya, dia memang bodoh. Bangsa manusia suka memelihara kambing tapi si biru ini lebih senang memelihara ketololannya."

"Sudah. Begitu saja diributkan. Apa kalian tuli aku sudah bilang jangan berisik,"

Mendamprat suara pertama

"Kami tidak berisik, cuma ribut sedikit,"

Suara yang lain menyahuti.

"Jangan bicara melulu. Buka mulutnya. Kita akan keluar!"

Tidak berselang lama setelah terdengarnya suara dari dalam tubuh Durganini mulut si gadis yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka.

Kemudian dari mulut yang terbuka berturut-turut melesat, melayang keluar tujuh warna warni berbentuk bulat lonjong samar mirip kepala.

Dari masing-masing cahaya merah, putih, kuning, biru, hitam, ungu dan ingga tampak sosok kepala botak plontos tanpa rambut dan tanpa anggota tubuh yang yang lain.

Mahluk-mahluk yang terdiri dari tujuh warna ini mempunyai mata, hidung, mulut.

Bedanya dengan manusia biasa mereka mempunyai daun telinga lebar. Ketika tujuh mahluk cahaya berbentuk kepala keluar dari mulut Durganini, ketujuh sosok dalam cahaya itu melesat mengitari tubuh Durganini.

"Kita harus segera membawanya pergi!"

Kata sosok kepala berwarna putih sambil julurkan lidahnya yang panjang menjuntai berwarna putih terang.

"Mari. Aku setuju saja. Kita gotong dia beramai-ramai! "

Menyahuti sosok kepala bercahaya merah.

"Kami setuju!"

Lima kepala lainnya memberi dukungan.

Tujuh cahaya berupa kepala yang tadinya bergerak beriring-iringan kemudian menyebar. Dua menuju ke arah kaki Durganini yang menjuntai, Dua lagi mengambil tempat disebelah kiri dan kanan perut sang dara. Dua lainnya menuju ke bagian bahu sedangkan satu sosok kepala berwarna hitam menuju ke bagian kepala si gadis.

"Sekarang!"

Kata kepala yang putih memberi aba-aba.

Begitu aba-aba diberikan setiap mulut di bawah hidung tujuh kepala terbuka.

Lalu dari setiap mulut menjulur lidah panjang yang segera melibat merangkul setiap bagian tubuh Durganini.

Dalam belitan lidah yang bertugas menggantikan fungsi tangan, tubuh Durganini perlahan-lahan mulai terangkat.

Tujuh Mahluk cahaya penghuni Mutiara Tujuh Setan tiba-tiba memberi isyarat dengan saling mengedipkan matanya.

Selanjutnya....

Wuus!

Dengan kecepatan luar biasa, ke tujuh mahluk dan Durganini lenyap dari pandangan mata.

Semua kejadian berlangsung cepat dan aneh itu ternyata tidak luput dari perhatian tiga sosok yang mendekam tidak jauh dari pinggiran sungai.

Sosok pertama bersembunyi dibalik sebatang pohon tiba-tiba menyeringai.

"Setelah sekian lama mencari, ternyata pencarianku tidak sia-sia. Benda keramat yang dipesan ada bersama seorang gadis tubuh berbulu selayaknya monyet. Aku akan segera dapatkan benda itu, lalu mempersembahkannya pada yang mulia Bethala Karma. Dia pasti senang kemudian menepati janjinya memberi hadiah berupa ilmu sakti ajian Gelap Ngampar."

Setelah berkata begitu sosok berpakaian yang serba hitam layangkan pandang ke arah Iblis Momok Laut Biru yang saat itu mulai terlibat perkelahian sengit dengan Raja.

"Biarkan saja mereka berkelahi sampai mampus. Aku harus segera mengikuti ke arah lenyapnya gadis bernama Durganini tadi."

Setelah bulat dengan keputusannya sosok yang mendekam itu juga segera mengendap-endap menyelinap pergi. Sementara disudut sebelah selatan sungai, seorang kakek tua renta memakai pakaian berupa selempang berwarna kuning berambut dan berjanggut putih tiba-tiba saja membuka mulut,

"Tujuh Mutiara Setan. Aku yakin gadis yang tidak sadarkan diri itu pastilah orang yang dipercaya oleh kakek Raga Sontang di gunung Papandayan untuk mengantar Tujuh Mutiara Setan pada pemiliknya Tiga Setan Putih."

"Apakah guru tidak mengenal mereka?"

Bertanya gadis berpakaian putih berwajah cantik yang memiliki rambut panjang hitam digelung.

"Muridku Nilam Suri" menyahuti si kakek yang tak lain adalah Lisang Geni, sang pertapa banyak menghabiskan waktu dengan menetap disalah satu gua dikawasan sungai Serayu.

"Aku tidak mengenal mereka, namun dari ciri-cirinya mungkin mereka adalah dua bersaudara yang dikenal dengan nama Durgandala dan Durganini. Sayang saudaranya Durgandala sepertinya tidak terselamatkan, sedangkan gadis itu sendiri nasibnya belum jelas."

"Dia diselamatkan oleh tujuh cahaya yang keluar dari dalam tubuhnya. Mungkinkah tujuh cahaya berupa sosok tujuh kepala yang kita lihat itu berasal dari Mutiara Tujuh Setan?"

Tanya Nilam Suri sambil menatap gurunya

"Aku tidak begitu yakin, namun mungkin saja memang demikian.Mutiara kramat dihuni oleh tujuh mahluk aneh namun sakti. Mahluk-mahluk yang hanya terdiri dari kepala saja namun mereka hidup selayaknya mahluk lainnya."

Terang kakek Lisang Geni.

"Gadis itu cerdik. Menyimpan benda berharga di dalam tubuhnya. Namun aku masih mengkhawatirkan keselamatannya juga keselamatan benda itu guru."

Kata Nilam Suri berterus terang.

"Aku juga demikian. Apalagi di samping pendekar bernama Raja Gendeng. Iblis Momok yang terlibat perkelahian sengit tadi terlihat ada seseorang mendekam dibalik semak belukar di sebelah sana. Sosok itu kini telah lenyap."

Ucap Lisang Geni sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.

Nilam Suri menatap sekilas kejurusan yang dimaksud.

Dia tidak tahu ada orang lain yang melakukan pengintaian mengawasi semua kejadian yang berlangsung.

Jauh dilubuk hati dia akui gurunya memang mempunyai penglihatan yang cukup tajam.

Dan kini dia melihat Durganini yang tersangkut di atas pohon dalam keadaan entah masih hidup atau sudah mati dan digotong beramai-ramai dengan menggunakan belitan lidah.

Timbullah keinginan Nilam Suri untuk segera menyusul Mahluk-mahluk itu.

Tidak dapat menahan ganjalan di hatinya maka si gadis pun lalu ajukan pertanyaan.

"Guru apakah kita akan terus berada disini?"

Lisang Geni yang sedang memperhatikan jalannya pertarungan sengit itu tersentak kaget. Tapi tanpa berpaling pada muridnya dia menjawab.

"Kita akan menyusul gadis berbulu itu Dia perlu dibantu, tapi jangan bertindak tolol melewatkan jalannya pertarungan yang sedang berlangsung. Lihat..! Iblis Momok Laut Biru adalah manusia yang paling ditakuti di kawasan laut selatan. Lautan menjadi wilayah kekuasaannya. Dilaut siapa yang tidak mengenal Iblis Momok. Tapi didarat coba lihat pemuda bernama Raja itu agaknya bukan bocah ingusan sembarangan."

"Memangnya guru melihat ada ingus dihidung pemuda itu?!"

Ucap Nilam Suri yang segera ikutan menatap ke arah seberang sungai.

"Murid geblek!"

Mendamprat si kakek dengan wajah cemberut.

Nilam Suri tersenyum namun cepat tutup mulutnya agar tidak sampai keterlepasan tawa.

"Dia masih sangat muda, dapat dikatakan sebagai bocah ingusan. Tingkah-lakunya aneh selayaknya orang bingung. Tapi ternyata Iblis Momok Laut Biru tidak mudah menaklukkan pendekar yang satu ini. Terbukti walau beberapa jurus perkelahian telah berlangsung namun kakek itu belum mampu menjatuhkan apalagi membuat cidera lawannya."

Gumam Lisang Geni kagum ada geli juga ada ketika melihat bagaimana Raja berbuat ulah dengan segala tingkahnya yang membuat lawan jadi tambah kalap.

"Pemuda itu, hem... ternyata dia sangat tampan sekali. Mengapa aku tidak memperhatikannya sedari tadi."

Batin Nilam Suri lalu anggukkan kepala.

"Benar saja kau pasti tertarik padanya. Orang seperti dia memang pantas menjadi kekasihmu!"

Celetuk Lisang Geni.

Walau tidak memperhatikan bagaimana reaksi wajah Nilam Suri namun Lisang Geni terlihat bersungguh-sungguh.

Wajah dara cantik itu sempat merona merah dia mengulum senyum.

Dengan pandangan tetap tertuju ke arah Raja yang tengah menghadapi gempuran dahsyat Iblis Momok enak saja dia berujar.

"Menjadi kekasih pemuda segagah dia pastilah menjadi dambaan setiap gadis. Apalagi mengingat namanya mungkin saja dia memang keturunan raja sungguhan. Gagah, sakti tampan dan pewaris tahta? Kalau saja dia benar-benar menjadi kekasihku, rasanya seperti orang yang bermimpi kejatuhan seribu bintang, bulan dan matahari kek "

"Sebegitu banyak benda langit yang jatuh menimpamu. Besok kau hanya tinggal nama saja."
Raja Gendeng 19 Seruling Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sahut gurunya.

"Itu hanya perumpamaan guru. Guru selalu ketinggalan. Ilmu kesaktian yang kau turunkan padaku tidak sehebat yang dimiliki oleh pemuda itu. Sedangkan ilmu pemikat, ilmu pellet aku juga tidak punya. Mana mungkin aku bisa mendapatkan pemuda seperti dia! "

"Kelak seandainya dia mau jadi kekasihmu apakah kau mau?!"

Pancing Lisang Geni sambil tatap mata muridnya tanpa berkedip. Diperhatikan begitu rupa membuat Nilam Suri tersipu malu. Sambil dekap wajahnya dia menjawab,

"Guru! bagaimana berani saya menolak. Hik hik hik."

"Sudah kuduga kau memang gadis genit dan memalukan."

"Iih guru. Dijodohkan dengan pemuda tampan tak punya kebecusan apa-apa asalkan masih ada nafasnya aku juga tak akan menolak. Hik hik hik!"

"Sudah-sudah! Bicara berlama-lama denganmu bisa membuat telingaku jadi gatal. Lebih baik kita susul Durgandini dan tujuh mahluk yang membawanya pergi!"

"Eeh guru yang memulai, mengapa sekarang jadi marah? Sejak dulu sudah murid bilang, segeralah mencari jodoh biar guru tidak marah-marah melulu,"

Gurau Nilam Sari.

Lisang Geni hanya mendengus.

Dia lalu bangkit berdiri balikkan badan dan tinggalkan tempat itu.

Melihat gurunya pergi Nilam Suri segera hampiri kuda hitamnya yang ditambat disebatang pohon.

Kuda itu sedang merumput ketika sang dara menghampirinya.

Lalu melompat ke punggung kuda dan segera tinggalkan tempat itu.

Di pinggiran sungai yang tenang berpemandangan indah keadaannya telah porak poranda.

Bebatuan hancur berserakan.

Belasan pohon besar roboh, sebagian hancur selebihnya hangus dikobari api.

Perkelahian sengit antara Sang Maha Sakti Raja Gendeng dan Iblis Momok Laut Biru semakin lama berlangsung tambah seru menegangkan.

Yang membuat Iblis Momok tidak habis mengerti, serangannya yang dilancarkan berupa pukulan tendangan yang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi ternyata masih belum bisa menciderai lawannya.

Melati Di Musim Kemarau Karya Maria Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton Kereta 450 Dari Paddington 450 From
^